Professional Documents
Culture Documents
Basic Life Support
Basic Life Support
Day 1st
Topic Method Facilitator
Sep 10th, 2011
Antonius Pudjiadi
Divisi Pediatri Gawat Darurat Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta
Nurnaningsih
Subbagian Pediatri Gawat Darurat Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP DR. Sardjito
Jogjakarta
Yusrina Istanti
Subbagian Pediatri Gawat Darurat Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RSUP Dr. Kariadi
Semarang
Sri Martuti
Divisi Pediatri Gawat Darurat Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/RSUD Dr. Moewardi
Solo
Hari Kushartono
Divisi Pediatri Gawat Darurat Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo
Surabaya
Roni Naning
Subbagian Respirologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP DR. Sardjito
Jogjakarta
Elisabeth S Herini
Subbagian Neurologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP DR. Sardjito
Jogjakarta
Antonius Pudjiadi
Target Pencapaian
Mengetahui karakteristik anak sesuai tahapan tumbuh-kembangnya
Mampu melakukan pendekatan anak sakit kritis sesuai usia dan keadaan
khusus
Mampu melakukan penilaian anak dengan segitiga penilaian pediatrik
Mampu melakukan evaluasi sistimatik yang meliputi Airway, Breathing,
Circulation, Disability, Exposure (ABCDE)
Mampu memutuskan tindakan yang tepat sesuai kondisi kritis
1. Pendahuluan
2. Teknik Pendekatan
2.1. Bayi
2.1.1. Karakteristik tumbuh kembang bayi
Pada usia 2-6 bulan bayi lebih aktif. Mereka telah dapat
mengadakan kontak mata dengan pemeriksa dan mengenal
pengasuhnya. Reflek hisapnya baik, grakan ekstremitas aktif dan
2.5. Remaja
2.5.1. Karakteristik tumbuh kembang anak usia remaja
Seperti batita, anak usia remaja sangat aktif bergerak.
Namun demikian, mereka lebih rasional, mengerti sebag-akibat
dan dapat menyampaikan perasaannya dalam kata-kata. Mereka
berani bereksperimen dan kadang-kadang tidak takut bahaya.
Ketergantungannya mulai berpindah dari keluarga ke teman. Hal
yang berbeda dari teman-temannya menimbulkan kecemasan.
Gejala psikosomatik sering dijumpai pada anak usia remaja. Pada
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 11
saat sakit atau cedera mereka sering seperti anak kecil (dalam
tubuh dewasa).
Gawat Napas
Gagal Napas
Sirkulasi kulit N/
Sirkulasi kulit
4. Metoda ABCDE
6. Rangkuman
Diperlukan keterampilan khusus dalam menghadapi anak dalam
keadaan gawat-darurat. Pendekatan dan penilaian harus dilakukan dengan
mempertimbangkan fase tumbuh kembang anak. Penilaian awal dilakukan
secara observasi, yaitu dengan metoda PAT, dilanjutkan dengan
pemeriksaan tanda vital dengan metoda ABCDE. Pemeriksaan ini dilakukan
untuk memutuskan tindakan selanjutnya, seperti meneruskan resusitasi,
pemeriksaan dan pemantauan lebih lanjut, atau merujuk.
Nurnaningsih
Tujuan Pembelajaran:
Bisa melakukan tunjangan hidup dasar ( Basic Life Support) pada anak
Pendahuluan
Deteksi dini dan tatalaksana henti jantung mendadak akan
meningkatkan harapan hidup pada anak. Tindakan resusitasi merupakan
tindakan utama pada tatalaksana henti jantung mendadak. Tunjangan hidup
dasar merupakan tindakan awal dari resusitasi dan termasuk didalamnya
adalah pendekatan asesmen awal yang sistematik, aktifasi pelayanan
kegawatan dan inisiasi resusitasi kardiopulmonal termasuk defibrilasi.
Komponen utama pada resusitasi kardiopulmonal yang efektif adalah ventilasi
dan kompresi dada secara adekuat.
Bila anak tidak responsif dan tidak bernapas (atau hanya gasping) mulai
lakukan resusitasi kardiopulmonal. Kadang-kadang anak terlihat gasping
dan disalah interpretasikan sebagai bernapas. Perlakukan anak dengan
gasping sebagai tidak bernapas dan segera lakukan resusitasi
kardiopulmonal. Berikan bantuan napas inisial sejumlah lima kali.
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 25
Tehnik E-C clamp pada pemberian ventilasi balon sungkup
Kompresi dada :
Pasien /korban diletakkan pada tempat yang permukaannya rata dan
keras. Selama henti jantung kompresi dada dengan kualitas tinggi akan
memperbaiki aliran darah pada organ vital. Bila bayi/anak tidak
responsive dan tidak bernapas berikan 30 kompresi dada.
Tanda-tanda resusitasi kardiopulmonal yang berkualitas tinggi :
Kompresi dada dengan frekuensi dan kedalaman yang sesuai.
o Kompresi cepat : kompresi dengan frekuensi sekitar 100
x/menit.
o Kompresi kuat : pemberian tekanan dengan kekuatan yang
cukup kira-kira kedalaman 1/3 diameter anteroposterior
dada atau sekitar 4 cm pada bayi dan 5 cm pada anak.
Minimalisir interupsi selama kompresi dada
Cegah ventilasi yang berlebihan
Bayi:
Dilakukan maneuver backblow dan chest thrust secara kombinasi. Bayi
diletakkan pada lengan bawah kiri penolong dengan kepala lebih
rendah, tangan menopang pada rahang bawah anak. Dilakukan pukulan
pada punggung bayi diantara kedua tulang belikat dengan pangkal
telapak tangan yang lain dari penolong sampai 5 kali pukulan. Bila belum
berhasil maka posisi bayi dibalik dengan kepala lebih rendah. Dilakukan
5 kali chest thrust pada titik tempat kompresi dada dengan frekuensi 1 x
/detik.
Anak :
Dapat dengan cara backblow seperti pada bayi, dapat juga dengan cara
abdominal thrust (Heimlich manoevre). Penolong berdiri di belakang korban,
lingkarkan kedua lengan mengitari pinggang, pegang satu sama lain
pergelangan atau kepalan tangan penolong, letakkan kedua tangan penolong
pada daerah antara pusat dan prosesus sifoideus, tekan ke arah perut atas
dengan hentakan sebanyak 3-5 kali
Setiap kali pemberian bantuan napas lihat apakah dalam rongga mulut
terdapat benda asing, bila ada segera keluarkan secara hati-hati agar tidak
merusak jaringan sekitarnya. Bila anak belum bernapas tetapi sudah ada
gerakan atau tersedak walaupun benda asing sudah keluar segera dilanjutkan
pemberian ventilasi dan kalau sirkulasi belum baik berikan kompresi dada,
kalau perlu dilanjutkan dengan pemberian tunjangan hidup lanjut. Bila anak
sudah bernapas secara efektif kemudian tempatkan anak dalam posisi pulih
dan lakukan monitor secara kontinyu.
Rujukan :
1. Mackway Jones K, Molineoux E, Phillips B, Wieteska K. Advanced
Paediatric Life Support,The Practical Approach. 4thed. Massachusetts:
Blackwell Publishing;2005.Chapter 4, Basic life support; p. 21-35.
2. Pediatrics Vol. 126 No. 5 November 1, 2010 pp. e1345 -e1360 .
Published online October 18, 2010 (doi: 10.1542/peds.2010-2972C)
3. Resuscitation Guidelines 2010, Resuscitation Council (UK)
Antonius Pudjiadi
Pendahuluan
Henti jantung adalah keadaan saat curah jantung tidak ada (tidak
efektif). Pada keadaan ini tindakan resusitasi dasar yang efektif perlu
dilakukan sebelum tindakan spesifik (gambar1). Penyebab utama henti
jantung pada orang dewasa adalah fibrilasi ventrikel, sehingga kompresi dada
lebih penting dari ventilasi. Berbeda dengan orang dewasa, penyebab utama
henti jantung pada anak adalah asfiksia, hingga ventilasi sangat penting pada
henti jantung anak. Keberhasilan resusitasi pada gagal napas anak murni
dapat mencapai 95%. Tetapi anak yang tiba di rumah sakit dengan henti
jantung mempunyai prognosis yang sangat buruk. Schindler dkk.melaporkan
luaran 80 anak yang tiba di rumah sakit dengan henti jantung sebagai berikut:
37 anak (46%) meninggal di ruang darurat,37 anak lainnya meninggal di
PICU, 2 anak bertahan dalam kondisi vegetatif, 3 anak mengalami deficit
fungsional dan 1 anak meninggal 12 bulan kemudian. Empat irama henti
jantung yang akan dibahas adalah;
1.Asistole
2.Pulselesselectricalactivity(PEA)
3.VentricularFibrillation(VF)
4.PulselessVentricularTachycarda(pulselessVT)
Gambar 2.Asystole
Bila anak dirawat menggunakan monitor EKG, maka gangguan iramaini dapat
segera terdeteksi,sebelum perburukan lanjut. Dalam keadaan ini tindakan
defibrilasi (kejutlistrik) harus segera dilakukan dengan dosis 4 joules/kg berat
badan, dilanjutkan dengan tindakan resusitasi tanpa jeda. Pada anak yang
tidak dalam monitor EKG, identifikasi umumnya terlambat dan resusitasi dasar
harus sudah dilakukan sebelum gangguan irama terdeteksi. Protokol
tatalaksana VF dan pulseless VT dapat dilihat pada gambar 5. Selama
resusitasi,pertimbangkan pula mengatasi penyebab reversible yang dikenal
dengan 4H dan 4T.
Daftar Bacaan
1. Schindler MB, Bohn D, Cox PN, McCrindle BW,Jarvis A, Edmonds J, Barker
G.Outcome of hospital cardiac or respiratory arrest in
children.NEnglJMed1996;335(20):1473-9.
2. Berg MD, Schexnayder SM,Chameides L, Terry M,Donoughue A,Hickey
RW,Berg RA, Sutton RM, Fran M. Pediatric Basic Life Support:2010
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary resuscitation
and Emergency Cardiovascular care.Circulation2010;122:S862-75.
3. MackwayJones K, Molyneoux E, Phhillips B, Wieteska S. Advanced
Paediatric Life Support, The Practical Approach. 4thed.
Massachusetts:Blackwell Publishing; 2005. Chapter 6, The management of
cardiac arrrest;p.47-56.6
Yusrina Istanti
TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Bagaimana menilai dan mengelola jalan napas
2. Bagaimana memberi support pernapasan dengan alat bantu sederhana
3. Bagaimana memberi respons terhadap masalah jalan napas maupun
pernapasan dengan pendekatan terstruktur
PENDAHULUAN
Manajemen jalan napas dan pernapasan merupakan prioritas utama
dalam resusitasi. Pada pasien anak fungsi respirasi cepat mengalami
penurunan sehingga teknik resusitasi yang efektif harus dikuasai untuk
mencegah dampak yang lebih buruk. Terdapatnya perbedaan anatomis dan
fisiologis antara pasien anak dan dewasa harus diperhatikan karena
berhubungan dengan teknik dan alat yang akan dipergunakan.
7. Lamina posterior rawan krikoid lebih tebal dan membentuk sudut seperti
hurup 'v', sedang arkus anterior lebih bulat. Karena pipa endotrakeal
berbentuk bulat bagian posterior akan mengalami tekanan lebih besar
hingga dapat mengakibatkan iskemia dan nekrosis.
8. Trakea bayi pendek. Keadaan ini mengakibatkan mudah terjadi migrasi
pipa endotrakeal, baik endobronkial dengan akibat atelektasis paru kiri,
maupun bermigrasi keluar dari liang glotis hingga jalan napas tidak
terlindungi. Migrasi dapat terjadi pada fleksi atau ekstensi kepala.
b. Laringoskop
Ada dua jenis laringoskop yang umum dipakai pada anak, yaitu
laringoskop berdaunlurus (Miller) dan lengkung (Macintosh). Alat ini
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 47
dirancang untuk menyingkirkan lidah kemudian membuka dan melihat
daerah larings. Sesuai dengan rancang bangunnya, laringoskop lurus
digunakan dengan meletakkan ujung daun pada epiglotis, kemudian
mengangkat seluruh daun laringoskop tegak lurus dengan tuasnya.
Laringoskop lengkung digunakan dengan meletakkan ujung daun
pada valekula kemudian mengungkitnya dengan mengerakkan tuas
kebelakang. Laringoskop daun lurus juga dapat diletakkan di valekula.
Keuntungan bila diletakkan di epiglotis adalah sering kali dapat
melihat pita suara dengan lebih jelas. Keuntungan bila diletakan di
valekula adalah mengurangi rangsang epiglottis yang dapat berakibat
spasme larings. Karena bentuk anatomis jalan napas neonatus,
laringoskop berdaun lurus lebih banyak digunakan pada neonatus.
Sangat penting diingat bahwa dalam persiapan selalu disediakan
lampu dan batu baterai cadangan. Sebelum digunakan, laringoskop
diaktifkan dahulu, sesuai dengan daun yang akan dipilih
c. Pipa endotrakea
Pipa endotrakeal yang paling bayak digunakan untuk resusitasi
adalah pipa plastic lengkung dengan ke dua ujung yang terbuka. Pada
bagian proksimal pipa endotrakeal dihubungkan dengan adaptor yang
berdiameter 15 mm, sesuai dengan adaptor balon resusitasi.
Terdapat juga adaptor dengan baku lain, yaitu 8,5 mm. Karena itu
pada tas resusitasi adaptor ini harus diseragamkan. Bagian distal
pipa terdapat garis yang menunjukkan lokasi yang tepat setinggi pita
suara agar posisi pipa setelah terpasang tepat pada trakea. Adapula
pipa endotrakeal yang memiliki lubang pada sisinya, dikenal dengan
istilah Murphy eye, dirancang sebagai penyelamat bila terjadi
obstruksi pada ujung pipa. Untuk anak dibawah usia 8 - 10 tahun
atau lebih biasanya tidak digunakan pipa yang menggunakan cuff
(balon), untuk mencegah edema setinggi rawan krikoid.
3. Pipa lambung
Anak sangat rentan untuk tanpa sengaja menelan udara dan
kemudian muntah.Selama tindakan bantuan ventilasi dengan balon
resusitasi dan masker, udara biasanya juga masuk ke dalam
lambung. Keadaan ini dapat merangsang muntah, reaksi vagal dan
menekan diafragma keatas. Pemasangan pipa lambung dapat
mengempeskan lambung dan memperbaiki pernapasan dengan
sangat bermakna.
Pipa lambung tersedia dalam ukuran 2 F hingga 16 F untuk
neonatus, anak hingga remaja. Penempatan pipa biasanya dilakukan
melalui hidung, yaitu pada dasar hidung, melalui dinding posterior
farings, esofagus dan masuk ke lambung. Untuk menempatkan ujung
pipa dalam lambung, sebelum pemasangan, dianjurkan untuk
memberi tanda pada pipa sesuai dengan jarak dari hidung ke telinga
lalu ke prosessus xiphoideus (dikenal dengan istilah nex,
kependekatan dari nose-ear-xiphoid). Pelumasan beberapa
sentimeter ujung pipa lambung dengan pelumas yang larut dalam air
atau mengandung 2% lidokain akan memudahkan pemasangannya.
Gambar 11. Maneuver chin lift dan look, listen and feel
Penilaian pertama
Dalam menghadapi pasien dengan kegawatan pernapasan, diperlukan
pemeriksaan fisiologis cepat yang harus diselesaikan kurang dari 1
menit. Langkah pemeriksaan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Maneuver melihat, mendengar dan merasakan.
2) Nilai work of breathing
3) Hitung frekuensi napas
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 61
4) Dengar stridor dan/atau wheezing
5) Auskultasi suara napas
6) Nilai warna kulit
Bila selama penilaian ini teridentifikasi masalah yang harus segera
diatasi, upayakan segera mengatasi masalah tersebut dan kemudian
ulangi lagi langkah-langkah penilaian pertama.
Resusitasi
Tindakan penyelamatan yang meliputi sistem vital lain (resusitasi
cairan dll). Tehnik mempertahankan jalan napas dan ventilasi dalam
tindakan resusitasi dilakukan dengan urutan sebagai berikut:
1) Pertimbangkan manuver chin lift/jaw thrust
2) Berikan oksigen
3) Pertimbangkan penghisapan sekret dari saluran pernapasan dan
atau mengeluarkan benda asing dari jalan napas.
4) Pertimbangkan bantuan ventilasi dengan masker dan balon
resusitasi, bila perlu melakukan intubasi.
5) Pertimbangkan melakukan dekompresi toraks dengan pipa
torakotomi
6) Pertimbangkan krikotiroidotomi
7) Lakukan pemantauan dengan pulse oximetry atau alat monitor
lainnya.
Penilaian kedua
Meliputi pemeriksaan fisis lengkap (dari kepala hingga kaki).
Sebelum sampai pada tahap ini semua tindakan resusitasi harus telah
dilaksanakan semestinya. Dari segi jalan napas dan ventilasi tindakan
yang dilakukan pada fase ini adalah sebagai berikut:
1) Pemeriksaan rinci jalan napas, leher dan toraks.
2) Carilah tanda-tanda seperti pembengkakan , memar dan luka.
3) Nilai gerakan simetris pernapasan.
4) Jangan dilupakan pemeriksaan toraks bagian belakang.
Penilaian pertama
Penilaian jalan napas
Pada kecurigaan adanya trauma, Lindungi vertebra servikalis
Obstruksi jalan napas dan ganguan kesadaran, lakukan Chin lift /
jaw thrust
Terapi oksigen
Penghisapan sekret jalan napas, keluarkan benda asing
Bila masih terdapat tanda obstruksi
Penyangga jalan napas oro/nasofarings
Bila masih terdapat tanda obstruksi
Intubasi
Bila intubasi gagal
Krikotiroidotomi
Bila terdapat stridor tetapi keadaan baik
Bila memadai pertahankan pernapasan spontan
Upayakan penggunaan masker oksigen, namun demikian jangan
memaksa hingga anak ketakutan.
Jangan paksa anak berbaring terlentang, biarkan anak memilih
posisi yang nyaman.
Jangan lakukan pemeriksaan jalan napas dengan penekan lidah
atau laringoskop. Bila harus dilakukan prosedur tersebut lakukan
persiapan yang matang.
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 63
Hubungi/aktifkan team ahli (danperlengkapannya,contoh
bronkoskop).
Penilaian pernapasan
Bila henti napas
Berikan oksigen dengan balon resusitasi.
Pertimbangkan intubasi
Bila henti napas kemungkinan akibat obat Berikan penawar
Sesak napas atau takipnu
Berikan oksigen
Pernapasan tidak simetris
Pertimbangkan kemungkinan hemopneumotoraks, aspirasi benda
asing, perpadatan paru atau efusi pleura.
Trauma toraks
Tension pneumothorax, hemotoraks, flail chest, pneumotoraks
terbuka
Tension pneumothorax lakukan dekompresi dengan jarum,
selanjutnya pasang pipa torakotomi
Hemotoraks massif, pasang pipa torakotomi dan transfusi darah
Wheezing dan ronki
Pikirkan asma bronkial, bronkiolitis, pneumonia aspirasi dan gagal
jantung.
Serangan asma akut berikan inhalasi B-agonis, steroid dan
aminofilin intravena
Sri Martuti
Pendahuluan
Dalam menangani anak yang sakit tidak jarang kita menemukan pasien
dengan kondisi syok. Anak dalam keadaan syok harus mendapatkan intervensi
segera, karena kelambatan dalam penanganan syok akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitasnya. Oleh karena itu perlu kita kenali tanda-tanda
syok lebih awal dan selanjutnya mampu memberikan penatalaksanaan segera
dengan tepat agar komplikasi dapat dicegah.
Definisi
Syok adalah sindroma akut yang disebabkan oleh ketidakmampuan
sistem sirkulasi menyediakan kecukupan oksigen dan nutrien untuk memenuhi
kebutuhan metabolik organ vital.
Sistem sirkulasi
Curah jantung (cardiac output=CO) dipertahankan oleh fungsi sistem
sirkulasi. Curah jantung akan mengalirkan darah secara adekuat untuk
mengangkut oksigen dan nutrien guna memenuhi kebutuhan metabolisme
jaringan tubuh dan membawa kembali hasil-hasil metabolik untuk dibuang dari
tubuh. Curah jantung merupakan perkalian laju jantung (Heart rate=HR) dan
isi sekuncup (Stroke Volume =SV). Isi sekuncup (SV) tergantung pada 3
komponen yaitu pengisian darah dari ventrikel (preload), kontraktilitas
miokardium dan jumlah beban jantung setelah kontraksi (afterload). Preload
secara tidak langsung dipengaruhi oleh jumlah darah yang kembali kejantung
(venous return). Afterload bergantung kepada resistensi aliran darah yang
keluar dari jantung ke sirkulasi sistemik (Systemic Vascular Resistance = SVR)
dan tahanan pembuluh paru (Pulmonary Vascular Resistance = PVR).
Sedangkankontraktilitasmiokardium (inotropic contractility) adalah kekuatan
otot jantung memeras darah keluar dari ventrikel. Keadaan hipoksia dan
Manifestasi klinis
Syok hipovolemik merupakan penyebab syok yang paling sering pada
anak, dan urutan selanjutnya adalah sepsis. Hipovolemikdapat disebabkan
karena dehidrasi (muntah atau diare), kehilangan darah (trauma, perdarahan
gastrointestinal atau intrakranial) kehilangan plasma ( luka bakar,
hipoproteinemia, peritonitis)dan kehilangan cairan contohnya pada diuresis
glukosuri.
Pada fase awal atau kompensasi akan ditemukan tanda-tanda takikardia,
takipneu ringan, vasokonstrik siperifer (temperatur kulit menurun, pengisian
kapiler > 2-3 detik), tekanan darah masih normal dan tekanan nadi
menyempit dan iritabel ringan. Adanya takikardia tanpa sebab yang jelas dan
tidak didapatkan tanda-tanda yang lain mungkin merupakan tanda awal
adanya syok. Takikardia merupakan upaya kompensasi terhadap penurunan isi
sekuncup. Sedangkan perlambatan waktu pengisian kapiler terjadi karena
peningkatan tonus simpatis oleh katekolamin endogen untuk meningkatkan
denyut jantung dan vasokonstriksi perifer dalam rangka mempertahankan
curah jantung dan tekanan darah.
Fase lanjut atau dekompensasi terjadi bila mekanisme kompensasi tidak
mampu mencukupi kebutuhan metabolik jaringan. Pada fase ini efek iskemia
seluler yang berhubungan dengan pelepasan mediator inflamasi dan vasoaktif
mulai berdampak pada mikrosirkulasi sehingga anak akan menunjukkan
gangguan pada otak, jantung dan ginjal. Tampak takikardia dan takipneu
menjadi lebih berat, kulit motled atau pucat, ekstremitas teraba dingin karena
vasokonstriksi dan penurunan aliran darah ke kulit. Waktu pengisian kapiler
makin nyata melambat (> 4 detik) dan didapatkan hipotensi. Pada syok septik
sebelum terjadi hipotensi akan ditemukan trias yaitu hipo atau hipertermia,
penurunan status mental dan pada beberapa kasus kulit akan teraba hangat
dan kering tanpa ditemukan penurunan waktu pengisian kapiler yang
menggambarkan vasodilatasi (warm syok) atau kulit teraba dingin yang
menunjukkan vasokonstriksi (cold syok).Penurunan curah jantung dan
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 66
vasokonstriksi mengakibatkan penurunan perfusi renal dan dapat ditemukan
oliguria. Perfusi saluran gastrointestinal juga menurun pada fase ini dan
mungkin sampai terjadi iskemia. Kondisi ini menyebabkan penurunan
motilitas, distensi, pelepasan mediator inflamasi dan vasoaktif, juga akumulasi
cairan. Dampak penurunan perfusi pada otak adalah keadaan iritabel yang
melanjut menjadi agitasi, confusi, halusinasi hingga koma. Dampak gangguan
mikrosirkulasi, iskemia jaringan dan pelepasan mediator inflamasi dan
vasoaktif terjadi pada seluruh jaringan termasuk jaringan paru dan pembuluh
darah. Kerusakan endotel kapiler paru mengakibatkan cairan mengisi intersitial
dan intraalveolar septum, bila syok terus melanjut cairan akan merembes
(leakage) ke dalam intraalveolar sehingga pertukaran gas tidak adekuat.
Kerusakan paru yang berlanjut akan menunjukkan gambaran sesak napas,
takipneu, sianosis, refrakter terhadap terapi oksigen, penurunan komplian paru
dan infiltral alveoli difus. Kumpulan gejala tersebut dikelompokkan sebagai
Acut Lung Injury (ALI) dan lebih berat yaitu Acute Respiratory Disstress
Syndrome (ARDS).
Penatalaksanaan
Terapi awal di ruang emergensi dapat diberikan universal pada semua
penyebab syok, karena secara fisiologis hanya terdapat sedikit perbedaan.
Kelainan dasar (basic defect) pada syok adalah hipovolemia, disfungsi
mikrosirkulasi, iskemia jaringan dan disfungsi kardiovaskuler. Masing-masing
defek di atas menjadi lebih berat seiring dengan lamanya syok berlangsung.
Semakin lama status syok, semakit berat defek yang terjadi. Sehingga
pemberian terapi segera dan agresif diperlukan, dimana survival pasien syok
terutama tergantung pada pemberian resusitasi cairan yang agresif dan seawal
mungkin.
Langkah pertama dalam penanganan syok meliputi : menjaga airway
yang adekuat, menentukan apakah pernapasan cukup adekuat, memberikan
oksigen 100%, membuat akses vaskuler dan sampling darah, memberikan
terapi cairan agresif 20 ml/kg NaCl 0,9% atau RL secepatnya (dalam 5-10
menit). Sebelum dan sesudah satu tahapan terapi sangat penting untuk
dilakukan reassesment. Target yang ingin dicapai adalah tekanan darah
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 67
kembali normal, nadi sentral dan perifer cukup kuat, produksi urin >
1ml/kg/jam, status mental normal, perfusi kulit hangat dengan waktu
pengisian kapiler < 2 detik. Perlu dan tidaknya pemberian tambahan cairan
dinilai berdasarkan tekanan darah, laju jantung dan oksigenasi. Jika tekanan
darah normal pemberian cairan tambahan didasarkan dari output urin, laju
jantung, waktu pengisian kapiler dan status mental. Pemberian tambahan
cairan kristaloid isotonik 20ml/kg dapat diulang sampai total 60 ml/kg dalam
30-60 menit pertama. Bila setelah pemberian kristaloid isotonik syok tidak
membaik, perlu dipikirkan penyebab syok yang lain. Pada syok non perdarahan
yang tidak berespon setelah pemberian cairan 60 ml/kg bisa disebabkan
estimasi cairan yang hilang terlalu rendah (misal pada luka bakar) atau
mungkin masih berlangsung kehilangan cairan misal kebocoran kapiler pada
obstruksi usus. Kecukupan pemberian cairan dapat juga dinilai dari cental
venous pressure. Direkomendasikan untuk memberikan tambahan cairan
selama tidak didapatkan ronki, irama galop, hepatomegali atau peningkatan
usaha bernapas, cairan bahkan dapat diberikan sampai 200ml/kg dalam 1 jam
pertama untuk mencapai tekanan darah dan perfusi normal. Kenyataannya
pada sebagian besar kasus syok cairan yang diberikan tidak mencukupi
sehingga anak tetap dalam kondisi syok hipovolemik relatif. Bila diperlukan
dapat diberikan packed red cell (PRC) 10 ml/kg dalam waktu lebih dari 1-2jam
untuk menjamin hemoglobin dalam kadar 10 g/dl. Tetapi bila kadar
hemoglobin di atas 10 g/dl atau darah tidak tersedia, maka dapat diberikan
albumin 5% dalam 0,9% NaCl yang dikombinasi dengan penggunaan
kristaloid. Penggunaan koloid dianjurkan pada syok hipovolemik yang dengan
kebocoran kapiler atau hipoalbumin yang tidak berespon dengan pemberian
kristaloid isotonik 60 ml/kg.
Guideline yang dapat digunakan dalam penatalaksanaan pasien syok septik
adalah sebagai berikut :
i. 0-5 menit : mengenal penurunan status mental dan penurunan
perfusi. Memberikan oksigen aliran tinggi. Memasang akses intravena
atau intaosseous. Bila ventilasi dan oksigenasi tetap tidak adekuat
dapat dilakukan intubasi endotrakeal atau pemasangan ventilator jika
Hari Kushartono
Pendahuluan
Secara umum terapi cairan dan elektrolit bisa secara enteral maupun
parenteral. Dalam konteks perawatan anak sakit maka pembahasan terutama
pada terapi secara parenteral, karena biasanya intake peroral sangat tidak
memadai. Pada keadaan sakit sering didapatkan gangguan metabolisme
termasuk metabolisme air dan elektrolit. Dikatakan bahwa perburukan maupun
perbaikan keadaan klinis penderita berjalan paralel dengan perubahan-
perubahan pada variabel fisiologis. Sebagaimana diketahui bahwa anak
bukanlah miniatur dewasa, sehingga terapi cairan dan elektrolit pada anak
haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip fisiologi sesuai tahapan tumbuh
kembangnya dan patofisiologi terjadinya gangguan metabolisme air dan
elektrolit.
Glukosa BUN
+
Osmolalitas plasma = 2 x [Na ] + +
18 (mg/dl) 2,8 (mg/dl)
C. Masalah osmolalitas.
Osmolalitas diatur oleh :
ADH melalui mekanisme pengenceran dan pemekatan urin.
Mekanisme rasa haus.
Perubahan osmolalitas serum yang terjadi secara akut akan
menyebabkan perubahan volume sel secara cepat termasuk sel otak,
sehingga bisa menimbulkan abnormalitas neurologi. Dalam hal ini
memerlukan koreksi cepat.
Terapi :
A = Penggantian air dan natrium yang adekuat, terapi
Hiponatremi simtomatik:
Penurunan kadar natrium (biasanya < 120 mEq/L) disertai dengan
kejang dan perubahan mental status.
Salin hipertonis (NaCl 3%) hanya diindikasikan untuk kasus ini.
Dinaikkan bertahap dengan kenaikkan cepat cukup 5-10 mEq/L
(cukup hanya sampai kadar natrium 125 mEq/L) atau gejala klinis
hilang, dengan batas kecepatan tidak lebih dari 3 mEq/L/jam atau 6
ml/kg/jam (yang terbaik 1 mEq/L/jam atau 2 ml/kg/jam).
Selanjutnya diberikan lebih lambat dengan cairan lain yang lebih
hipotonis dari NaCl 3% (D5 0,45NS, D5 0,225NS, dsb), total kenaikan
perhari tidak lebih dari 10-15 mEq/L. Salin hipertonis (NaCl 3%) tidak
ada tempat untuk hiponatremi asimtomatik.
Penghitungan defisit natrium:
TBW (L) x Natrium yang diharapkan (mEq/L).
Gunakan 135 mEq/L sebagai harga normal natrium.
Bila jumlah airnya yang berlebih, maka perhitungan banyaknya air
yang perlu dikeluarkan untuk meningkatkan natrium serum seperti
contoh di bawah ini:
Anak 6 th, 25 kg, Na serum 110 mEq/L, dinaikkan menjadi 120
mEq/L.
- (Na terukur x TBW1) (Na diharapkan x TBW baru).
- TBW (6 th) = 65% x BB 25 x 0.65 = 16.25 L.
110 mEq/L x 16.25 L
- TBW2 = = 14.9 L 15 L.
120 mEq/L
- Air bebas elektrolit yang perlu dikeluarkan untuk meningkatkan Na
serum menjadi 120 mEq/L = TBW New TBW = 1.25 L.
2. Hipernatremi.
Natrium serum > 150 mEq/L.
Biasanya disebabkan karena relatif defisiensi air (sebenarnya kadar
natriumnya normal). Bisa terjadi karena kehilangan banyak air, atau
kehilangan air dan natrium yang lebih encer (lebih hipotonis) dari pada
serum.
Hipernatremia sebenarnya hampir tidak pernah terjadi pada pasien
dengan sistem pengaturan osmolalitas serumnya normal.
Terapi :
A,B,C,D = Memperbaiki volume sirkulasi efektif, dilanjutkan
penyesuaian osmolalitas dengan hati-hati. Bila memungkinkan, biarkan
mekanisme dalam tubuh penderita itu sendiri yang melakukan fungsi
mekanisme regulasi osmolalitasnya.
Hipernatremi berat atau kronis memerlukan koreksi perlahan untuk
mencegah masuknya kembali air ke dalam sel dengan cepat, jangan
lebih dari 10-15 mEq/L/hari dan monitor laboratorium ketat.
E = Keluarkan natrium dengan diuretik dan diganti air.
Pertimbangkan dialisis untuk kasus dengan hipernatremi dan kelebihan
cairan berat.
Hipernatremi simtomatik:
Gejala neurologi biasanya mulai tampak pada kadar natrium > 160
mEq/L.
1. Hipokalemia
Beberapa keadaan yang menyebabkan hipokalemia (kadar kalium <3,5
mEq/L):
- Redistribusi: terapi insulin, anabolisme, refeeding syndrome.
- Kehilangan melalui ginjal:
o Aldosteron
o Diuretik
o Asidosis tubular renal
- Kehilangan cairan di luar ginjal:
o Gastrointestinal (muntah, diare, fistula, ileostomi)
o Bilier/pankreas
- Asupan tidak adekuat
Gejala klinis hipokalemia adalah kelemahan otot, ileus paralitik,
perubahan gambaran EKG (ST depresi, aritmia).
2. Hiperkalemia
Beberapa keadaan yang menyebabkan hiperkalemia (kadar kalium
>5,5 mEq/L):
- Pemberian kalium yang berlebihan.
- Perpindahan kalium.
Hiperglikemia, katabolisme (hemolisis, sindrom lisis tumor), asidosis.
- Ekskresi melalui ginjal berkurang
Diuretik hemat kalium (aldactone), gagal ginjal, hipoaldosteronisme
(bisa karena ACE inhibitors, tacrolimus, siklosporin, inhibitor
prostaglandin, heparin).
Gejala klinis hiperkalemia berupa kelemahan sampai kelumpuhan
otot, parestesia, penurunan refleks, perubahan gambaran
elektrokardiogram (tall-T), bila berat bisa terjadi fibrilasi ventrikel dan
henti jantung.
DAFTAR PUSTAKA
1. Greenbaum LA. Pathophysiology of body fluids and fluid therapy. In:
Kliegman RM, Berhman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics, 18th ed. Philadelphia : Saunders Elsevier, 2007: 267-319.
2. Wood EG, Lynch RE. Electrolyte management in pediatric critical illness.
Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman JJ. Pediatric critical care, 3th ed. Elsevier:
Mosby, 2006: 939-957.
3. Kelly A, Moshang T. Disorders of water, sodium, and potassium
homeostasis. Dalam: Nichols DG, penyunting. Rogerss Textbook of
Pediatric Intensive Care. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams and
Wilkins, 2008: 1615-48.
PENDAHULUAN
Terapi inhalasi adalah pemberian obat yang dilakukan secara inhalasi
(hirupan) ke dalam saluran respiratorik. Penggunaan terapi inhalasi sangat
luas di bidang respirologi atau respiratory medicine. Alat terapi inhalasi yang
ditujukan ke saluran respiratorik bawah, misalnya alat hirupan dosis
terukur (Metered dose inhaler = MDI) atau alat hirupan bubuk kering (Dry
powder inhaler = DPI). Alat terapi inhalasi lain yang luas digunakan adalah
nebulizer, suatu alat yang dapat mengubah obat cair menjadi aerosol.
Tergantung dari besarnya partikel yang dihasilkan dan teknik penggunaannya,
alat ini dapat digunakan untuk terapi inhalasi respiratorik atas hingga bawah.1
Terapi inhalasi sebenarnya sudah dikenal dan dilakukan oleh manusia
sejak lama, persisnya kapan datanya tidak jelas. Sejak kira-kira 4000 SM
masyarakat Mesir, India, Yunani, dan Roma telah mengenalnya. Masyarakat
awam di Indonesia telah lama melakukan kebiasaan menghirup uap air panas
bila mengalami flu. Telah pula diketahui uap herbal tertentu dapat memberikan
rasa nyaman dan lega di saluran napas. Penggunaan aerosol sebagai terapi
inhalasi pertama kali diperkenalkan oleh Schneider dan Waltz pada tahun
1829.1
Dengan perkembangan ilmu dan teknologi, terapi inhalasi berkembang
dengan pesat. Pada awalnya bahan yang digunakan tidak turut
dipertimbangkan pengaruhnya terhadap lingkungan tetapi akhir-akhir ini mulai
dikembangkan penggunaan propelan yang bersahabat dengan lingkungan
yaitu yang tidak merusak lapisan ozon.2-4 Prinsip dasar terapi inhalasi adalah
mengubah obat cair (likuid) menjadi bentuk aerosol agar dapat langsung
masuk ke sistem respiratorik. Obat untuk terapi inhalasi tidak hanya dalam
bentuk aerosol tetapi dapat dalam bentuk dry powder (bubuk kering) yang
dihirup. Pada pasien dewasa terapi inhalasi telah banyak digunakan sedangkan
pada anak belum sepenuhnya dijalankan karena berbagai kendala. Jenis terapi
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 88
inhalasi yang dipasarkan saat ini dirancang untuk orang dewasa yang
kemudian digunakan juga untuk anak. Untuk menunjang keberhasilan
penggunaan pada anak diperlukan pengetahuan adanya perbedaan antara
dewasa dan anak dalam hal fisiologi dan sistem koordinasi serta tentang
teknik inhalasi yang optimal sehingga penggunaan terapi inhalasi dapat lebih
dipahami.5-7
1. Nebulizer
Alat nebuliser dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi
aerosol secara terus menerus dengan tenaga yang berasal dari udara yang
dipadatkan atau gelombang ultrasonik sehingga dalam prakteknya dikenal 2
jenis alat nebuliser yaitu ultrasonic nebulizer dan jet nebulizer. Hasil
pengobatan dengan nebulizer lebih banyak bergantung pada jenis nebulizer
yang digunakan. Terdapat nebulizer yang dapat menghasilkan partikel aerosol
terus menerus ada juga yang dapat diatur sehingga aerosol hanya timbul pada
saat pasien melakukan inhalasi sehingga obat tidak banyak terbuang.5-7,10,11
Selain jenis nebulizer, ternyata jenis obat yang diberikan juga mempengaruhi
deposisi di paru, misalnya -2 agonis tidak terpengaruh apabila diberikan
dengan jet maupun ultrasonic nebulizer, sedangkan ipratropium bromida
berbeda. Keuntungan terapi inhalasi menggunakan nebulizer adalah tidak atau
sedikit memerlukan koordinasi pasien, hanya memerlukan pernapasan tidal,
beberapa jenis obat dapat dicampur (misalnya salbutamol dan ipratropium
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 93
bromida). Kekurangannya adalah alatnya cukup besar sehingga kurang
praktis, memerlukan sumber tenaga listrik dan relatif mahal.5
Ultrasonic nebulizer
Alat ini menghasilkan aerosol melalui osilasi frekuensi tinggi dari piezo-
electric crystal yang berada dekat larutan dan cairan memecah menjadi
aerosol. Keuntungan jenis nebuliser ini adalah tidak menimbulkan suara bising
dan terus menerus dapat mengubah larutan menjadi aerosol sedangkan
kekurangannya alat ini mahal dan memerlukan biaya perawatan lebih besar.
Jet nebulizer
Alat ini paling banyak digunakan di banyak negara karena relatif lebih
murah daripada ultrasonic nebulizer. Dengan gas jet berkecepatan tinggi yang
berasal dari udara yang dipadatkan dalam silinder ditiupkan melalui lubang
kecil dan akan dihasilkan tekanan negatif yang selanjutnya akan memecah
larutan menjadi bentuk aerosol.
Aerosol yang terbentuk dihisap penderita melalui mouth piece atau
sungkup (masker). Dengan mengisi labu pada nebulizer sebanyak 4ml maka
dihasilkan partikel aerosol berukuran <5m, sebanyak 60-80% larutan
nebulisasi akan terpakai dan lama nebulisasi dapat dibatasi. Dengan cara
yang optimal maka hanya 12% larutan akan terdeposit di paru-paru.7
Bronkodilator yang diberikan dengan nebulizer memberikan efek bronkodilatasi
yang bermakna tanpa menimbulkan efek samping.10
Perawatan nebulizer
Nebulizer di klinik atau rumah sakit biasanya digunakan dalam frekuensi
tinggi oleh banyak pasien. Aerosol yang terkontaminasi dari nebulizer
merupakan risiko terjadinya infeksi respiratorik. Kontaminasi ini berhubungan
dengan jarang dan kurang adekuatnya pembersihan nebulizer.12 Aspek ini
seringkali terabaikan dan tidak mendapat perhatian serius. Idealnya 1 alat
nebulizer hanya digunakan oleh 1 pasien, namun hal ini tentunya akan
memerlukan biaya tinggi. Cara yang relatif murah adalah dengan menyediakan
masker atau mouthpiece untuk masing-masing pasien. Pasca pemakaian
segera didisinfeksi dengan cairan antiseptik, dibilas, dikeringkan untuk
kemudian dapat digunakan lagi oleh pasien lain. Untuk labunya juga perlu
didisinfeksi pasca tiap penggunaan.
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 100
Nebulizer Koordinasi minimal Mahal
ultrasonik Dosis tinggi bisa Kemungkinan kontaminasi alat
diberikan Risiko gangguan listrik dan
Tidak ada pelepasan mekanik
freon Tidak semua obat bisa
Tidak berisik dinebulisasi
Waktu relatif singkat Ukuran besar, tidak praktis
dibawa
Perlu menyiapkan cairan obat
Perlu waktu lebih lama
DPI Koordinasi sedikit Perlu arus inspirasi kuat
Tidak ada pelepasan (>30L/mnt)
freon Risiko deposisi orofaringeal
Aktivasi dgn upaya Tidak semua obat ada dalam
napas bentuk ini
Tidak perlu penyiapan Sulit untuk dosis tinggi
obat
Risiko kontaminasi
minimal
MDI Kecil, mudah dibawa Manuver sulit
Kurang mahal Deposisi orofaringeal besar
Tidak perlu penyiapan Tidak semua obat ada dalam
obat bentuk ini
Risiko kontaminasi Sulit untuk dosis tinggi
minimal
MDI+ Koordinasi minimal Repot bagi sebagian pasien
spacer Deposisi orofaringeal Lebih mahal dibanding MDI saja
minimal Kurang praktis
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 105
b. Bronkiolitis akut dan mengi postbronkiolitis
Studi dengan kontrol terhadap budesonide tidak dapat membuktikan
keuntungan pemberian budesonide pada bronkiolitis akut maupun pencegahan
mengi pasca bronkiolitis. Penelitian ini mengevaluasi efek jangka pendek dan
jangka panjang inhalasi suspensi budesonide dibandingkan dengan plasebo
pada 201 bayi berusia 4-41 minggu. Bayi-bayi tersebut dirandomisasi, satu
kelompok diinhalasi plasebo setiap 12 jam selama 6 minggu sedangkan
kelompok lain dengan inhalasi budesonide 1 mg tiap 12 jam selama 5 hari,
dilanjutkan dengan budesonide 0,5 mg tiap 12 jam sampai 6 minggu. Dari
hasil studi didapatkan tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok
budesonide dengan kelompok plasebo dalam hal gejala klinis setelah terapi
inisial maupun masa rawat di rumah sakit. Dalam pengamatan lanjutan setelah
6 bulan dan 12 bulan ternyata tidak ada perbedaan bermakna dalam
prevalensi mengi, gejala klinis ataupun penggunaan bronkodilator 2-agonis
antara kelompok budesonide dan kelompok plasebo.
Selain obat steroid hirupan, penggunaan bronkodilator juga merupakan
perdebatan. Sebagian berpendapat bahwa peran bronkodilator cukup
bermanfaat dan sebagian lagi tidak bermanfaat. Alasan yang kurang
mendukung pemberian bronkodilator adalah karena pada usia bayi peran
bronkodilator kurang jelas. Pada keadaan bronkioliis yang dominan adalah
inflamasinya bukan bronkokonstriksinya sehingga pemberian bronkodilator
kurang bermanfaat.31
c. Croup
Nebulisasi steroid ternyata juga dapat mempercepat hilangnya gejala
pada anak dengan croup ringan-berat dan mengurangi kemungkinan
perawatan di rumah sakit. Suatu studi meta analisis mendapatkan hasil bahwa
steroid inhalasi dapat mencegah perawatan pasien croup. Dalam mengurangi
gejala croup pada anak, inhalasi budesonide suspensi 2 mg atau 4 mg lebih
efektif dibandingkan placebo, sama efektif dibandingkan dengan nebulisasi
epinefrin dan deksametason oral namun sedikit kurang efektif dibandingkan
deksametason intramuskular. Gejala Croup menghilang 2-3 jam setelah
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 106
nebulisasi budesonide, hal ini merupakan implikasi penting dalam mengurangi
masa rawat di ruang emergensi.6
Nebulisasi adrenalin (0,5ml/kgBB cairan 1:1000) berguna untuk
mencegah intubasi, menstabilkan pasien sebelum dialihkan ke PICU, dan
bermanfaat mengobati stridor pasca intubasi. Efeknya hanya berlangsung
sebentar (1-2 jam). 6
Kesimpulan
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 108
Kepustakaan
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 109
12. Lannefors L, Heslop K, Teirlinck C. Nebulizer systems: contamination,
microbial risk, cleaning and effect on function. Eur Respir Rev 2000; 10: 76,
571-5.
13. Freenhandler M, Asperen PPV. Nebuhaler versus nebulizer in children
with acute asthma. BMJ 1984; 288:1873-4.
14. Leach C. Safety assessment of the HFA propellant and the new inhaler.
Eur Respir Rev 1997; 7:35-6.
15. Bleecker E. Clinical reality: the safety and efficacy of the worlds first
CFC-free MDI. Eur Respir Rev 1997; 7:37-9.
16. Kamps AWA, van Ewijk B, Roorda RJ, Brand PLP. Poor inhalation
technique, even after inhalation instructions, in children with asthma.
Pediatr Pulmonol 2000; 29:39-42.
17. Rubilar L, Castro-Rudriguez JA, Girardi G. Randomized trial of salbutamol
via metered-dose inhaler with spacer versus nebulizer for acute wheezing in
children less than 2 years of age. Pediatr Pulmonol 2000; 29:264-9.
18. Nikander K, Turpeinem M, Wolmer P. Evaluation of pulsed and breath-
syncrinized nebulization of budesonide as a means of reducing nebulizer
wastage of drug. Pediatr Pulmonol 2000; 29:120-6.
19. Pederson S. Aerosol treatment of bronchoconstriction in children, with or
without a tube spacer. N Engl J Med 1983; 308:1328-30.
20. ODonohue WJ. Guidelines for the use of nebulizers in the home and at
domiciliary sites. Report of a consensus conference. Chest 1996; 109:814-
20.
21. Ahonen A, Leinonen M, Pesonen MR. Patient satisfaction with easyhaler
compared with ither inhalation system in the treatment of asthma: A meta-
analysis. Current Theraupetic Research 2000; 61:61-73.
22. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for Asthma. NHLBI/WHO
Workshop Report 2002.
23. Warner JO, Naspitz CK. Third International Pediatric Consensus
Statement on the Management of Childhood Asthma. Pediatr Pulmonoll
1998; 25:1-17.
24. UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. Jakarta, 2004.
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 110
25. Schuch S, Johnson DW, Callahan S, Canny G, Levison H. Efficacy of
frequent nebulized ipratropium bromide added to frequent high-dose
albuterol therapy in severe childhood asthma. J Pediatr 1995; 126:639-45.
26. Nuhoglu Y, Bahceeiler, Barlan IB, Basaran MM. The effectiveness of high-
dose inhaled budesonide therapy in the treatment of acute asthma
exacerbations in children. Annals of Allergy Asthma Immunol 2001;86:318-
22.
27. Rabe KF, Vermeire PA, Soriane JB, Maier WC. Clinical management of
asthma in 1999: the Asthma Insights and reality in Europe (AIRE) study.
Eur Respir J 2000; 16:802-7.
28. Condemi JJ, Chervinsky P, Goldstein MF, et al. Fluticasone propionate
powder administration through diskhaler versus triamsolone acetonide
aerosol administered through metered-dose inhaler in patients with
persistent asthma. J Allergy Clin Immunol 1997; 100:468-74.
29. Allen HDW, Thong IG, Clifton-Bligh P, Holmes S, Nery L, Wilson KB.
Effects of high-dose inhaled corticosteroids on bone metabolism in
prepubertal children with asthma. Pediatr Pulmonol 2000; 29:188-93.
30. Kemp JP, Skoner DP, Szefler SJ, Walton-Bowen K, Rivera MC, Smith JA.
Once-daily budesonide inhalation suspension for the treatment of persistent
asthma in infants and young children. Annals of Allergy Asthma Immunol
1999;83:231-9.
31. Van Woensel JBM, van Aalderen WMC, Kimpen JLL. Viral lower
respiratory tract infection in infants and young children. BMJ 2003; 327:36-
40.
32. Szefler SJ. A review of budesonide inhalation suspension in the
treatment of pediatric asthma. Pharmacotherapy 2001;21(2):195-206.
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 111
Pemeriksaan Neurologis pada Anak dan Bayi
Elisabeth S. Herini
Pendahuluan
Derajat kesadaran
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 112
Skala Koma Pediatrik
Membuka mata
Spontan 4
Terhadap bicara
Terhadap nyeri 3
Tidak ada
2
Respons Verbal 5
Terorientasi 4
Kata-kata
Suara 3
Menangis
Tidak ada 2
Respons Motor
Menurut perintah 5
Lokalisasi nyeri
Fleksi terhadap 4
nyeri
Ekstensi terhadap 3
nyeri
2
Tidak ada
1
Nilai Normal
Lahir - 6 bulan 9
6 12 bulan
1 2 tahun 11
2 5 tahun
Lebih dari 5 tahun 12
13
14
2
Dikutip dengan modifikasi dari Menkes, 2006
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 113
Respons Verbal Pada Bayi
1.Tidak ada 1.
Tidak ada
2.Menangis bila ada stimulus 2.
Menangis bila ada stimulus
3.Menangis spontan 3.
Vokalisasi suara
4.Menangis bila bulu mata 4.
Mengenal anggota keluarga
disentuh 5.
Meleter terhadap orang dan
5. Suara di tenggorok mainan
Dua Bulan Tujuh dan Delapan Bulan
1.
Tidak ada 1. Tidak ada
2.
Menangis bila ada stimulus 2. Menangis bila ada stimulus
3.
Melihat lingkungan 3. Mengenal suara keluarga
4.
Tersenyum terhadap suara familiar
5.
Coos, chuckles, suara huruf 4. Meleler
hidup panjang 5. Mama, dada
Empat Bulan Sebelas duabelas bulan
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 114
dapat ditemukan pada penyakit seperti poliomyelitis, Guillain Barre Syndrome
(GBS), miastenia atau kerusakan medulla spinalis yang tergolong dalam Acute
Flaccid Paralysis (AFP) yang harus dilaporkan dalam rangka Indonesia bebas
polio. Pada paralisis tipe upper motor neuron akan menunjukkan flaksiditas
lebih dahulu sebelum terjadi spastisitas. Oleh karena itu bayi dengan
kerusakan otak mungkin tampak flaksid terlebih dahulu, dapat sampai 6 bulan,
sebelum spastisitas menjadi nyata. Flaksiditas biasanya disertai dengan refleks
yang menurun.
Lesi upper motor neuron (UMN) ditandai dengan paresis/paralisis spastik
dengan gejala tonus otot yang meningkat dengan kontraksi yang berlangsung
lama dan refleks fisiologis yang meningkat serta didapatkan refleks patologis.4
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 115
Gambar 3. Refleks patela Gambar 4. Refleks Achilles
Refleks patologis
Beberapa perasat reflek patologis yang sering dilakukan pada bayi dan
anak yaitu refleks Babinski, refleks Oppenheim, refleks Hoffmann dan klonus
pergelangan kaki.
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 116
Gambar 5. Refleks Babinski
Kaku kuduk
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 117
Perasat Brudzinski I
Perasat Brudzinski II
Perasat Kernig
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 118
Pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien telentang, kemudian
dilakukan fleksi tungkai atas tegak lurus dan tungkai bawah diluruskan pada
sendi lutut. Dalam keadaan normal tungkai bawah dapat membentuk sudut
lebih dari 135 terhadap tungkai atas (Gambar 9). Pada iritasi meningeal
ekstensi lutut secara pasif tersebut akan menyebabkan rasa sakit dan terdapat
tahanan
Uji ini hanya dapat dilakukan pada anak yang sudah dapat mengerjakan
instruksi pemeriksa dan koperatif. Pada bayi dan anak yang tidak koperatif
hanya dapat dinilai kesan keseluruhan saja. Anak diperiksa dalam posisi duduk
dengan tungkai bawah tergantung. Anak tersebut diminta untuk
menggerakkan anggota badan yang diuji dan pemeriksa menahan gerakan-
gerakannya (kekuatan kinetik), kemudian diminta menahan anggota badan
yang diuji tetap ditempatnya dengan kekuatan terhadap gerakan-gerakan
yang dilakukan pemeriksa (kekuatan statik).
5 = normal
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 119
3 = dapat menggerakkan anggota gerak untuk menahan berat, tetapi tidak
dapat menggerakkan anggota badan untuk melawan tahanan pemeriksa
2 = dapat menggerakkan anggota gerak, tetapi tidak kuat menahan berat dan
tidak dapat melawan tahanan pemeriksa
1 = terlihat atau teraba ada getaran kontraksi otot, tetapi tidak ada gerakan
anggota gerak sama sekali
1,4,5
Pemeriksaan saraf otak
Uji penciuman dilakukan pada anak yang sudah berumur lebih dari 5-6
tahun. Pemeriksaan dilakukan dengan menutup salah satu lubang hidung
secara bergantian dan dengan mata tertutup. Bahan uji yang paling baik
adalah bahan yang menimbulkan bau yang tidak merangsang dan yang sudah
dikenal oleh pasien.
Untuk uji saraf ini dilakukan uji gerakan kedua mata, uji akomodasi dan
refleks cahaya. Uji gerakan bola mata dilakukan dengan menggerakkan
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 120
mainan, baterai atau pengukur lingkaran kepala yang digarakkan ke samping,
atas, bawah di garis tengah dan diagonal. Uji ini dilakukan pada masing-
masing mata dengan menutup mata yang lain.
Paralisis saraf otak III menyebabkan mata yang terkena akan deviasi
kearah lateral bawah, ptosis, strabismus, diplopia, dilatasi pupil, serta
hilangnya refleks cahaya dan akomodasi.
Pemeriksaan untuk kelainan saraf ini ialah uji perasaan (sensori) dengan
mengusapkan kapas, menggoreskan jarum dan benda-benda hangat atau
dingin di daerah wajah kuadran atas, tengah dan bawah. Uji lain ialah
terhadap refleks kornea dan rahang. Uji refleks kornea dilakukan dengan kain
kasa atau kapas yang bersih yang disentuhkan pada kornea pasien, bila saraf
otak V intak, maka mata akan berkedip. Refleks rahang (jaw jerk) dilakukan
dengan menyuruh pasien membuka mulut sedikit, kemudian letakkan jari di
tengah-tengah dagu pasien. Ketuklah jari tersebut dengan jari tangan lainnya
atau dengan pengetuk refleks, normal dagu akan terangkat. Lesi saraf otak V
unilateral akan menyebabkan rahang miring ke sisi yang paretik, hal ini
disebabkan oleh karena kelemahan ipsilateral otot pterigoid. Perlu diingat
bahwa uji perasaan (sensori) sukar dilakukan pada anak, yang mudah
dilakukan ialah uji refleks kornea.
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 121
Saraf otak VII (N. Fasialis)
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 122
Saraf otak X (N. Vagus)
Kelainan saraf ini dapat berupa gangguan motorik, sensorik dan vegetatif.
Uji yang dilakukan untuk menilai kekuatan lidah dengan meminta pasien
menyorongkan ujung lidah ke tepi pipi kanan dan kiri melawan tahanan jari
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 123
tangan pemeriksa. Untuk melihat paralisis lidah, pasien diminta menjulurkan
lidah, bila terjadi paralisis maka lidah akan deviasi ke sisi lesi dan tampak
atrofi disertai tremor.
4-6
Pemeriksaan neurologis pada neonatus
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 124
Pemeriksaan saraf otak
Pemeriksaan saraf otak pada neonatus berbeda dengan pada anak, tidak
perlu urut dari saraf otak I. Misalnya pada waktu anak bangun,
mengerenyutkan muka dan menangis, lihatlah mata dan sudut mulutrnya
untuk memeriksa n. Fasialis (N VII). Jika terjadi paresis n. Fasialis akan
terlihat mulut mencong ke sisi sehat, mata tidak dapat menutup dan lipatan
nasolabialis hilang pada sisi yang paresis. Sewaktu anak menangis dan
membuka mulut perhatikan lidah dan langit-langit untuk memeriksa saraf IX
dan XII. Pada lidah perhatikan ukurannya dan gerakan simetris atau
asimetris, juga dilihat apakah ada fasikulasi (n. XII). Pada langit-langit
perhatikan gerakan arkus farings dan uvula. Pada paresis saraf IX terlihat
arkus pada sisi paresis akan tertinggal.
Refleks pupil sebenarnya sudah ada pada neonatus tetapi sukar dinilai,
karena kalau ada cahaya neonatus segera menutup mata dan sukar dibuka
lagi. Pada waktu mata terbuka segera dilihat apakah pupilnya isokor atau
anisokor. Saraf I (penciuman), saraf II (penglihatan) dan saraf XI pada
neonatus sukar diperiksa secara obyektif.
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 125
Pemeriksaan refleks neonatal primer
Refleks Moro
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 126
juga tidak selalu terjadi. Setelah selesai ganti kepala dipalingkan ke kiri
(Gambar 13 ).
Daftar Pustaka
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 127
Neurology. Edisi ketujuh. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2006. h.1-27.
2. Menkes JH and Ellenbogen RG. Postnatal Trauma and Injuries by Physical
Agents. Dalam: Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL, penyunting. Child
Neurology. Edisi ketujuh. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2006. h.659-702
3. Wisoff JH and Epstein FJ. Management of head trauma> dalam:
Zimmerman< Gildea, penyunting> Critical Care Pediatrics> Philadelphia:
Saunder, 1985;368-77
4. Soetomenggolo TS. Pemeriksaan Neurologis. Dalam: Matondang CS,
Wahidiyat I, Sastroasmoro S, penyunting. Diagnosis Fisis pada Anak.
Edisi kedua. Jakarta: Sagung Seto; 2003. h. 128-45.
5. Soetomenggolo TS. Pemeriksaan Neurologis pada Anak dan Bayi. Dalam:
Soetomenggolo TS, Ismail S, penyunting. Neurologi Anak. Cetakan
kedua. Jakarta: BP IDAI; 2000. h. 1-35.
6. Volpe JJ. Neurological Examination: Normal and Abnormal Features.
Dalam: Volpe JJ, penyunting. Neurology of the Newborn. Edisi kelima.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008. h.121-53.
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 128