Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 128

SUSUNAN ACARA PEDIATRIC BASIC LIFE SUPPORT COURSE

Day 1st
Topic Method Facilitator
Sep 10th, 2011

08.30 - 09.00 Opening & pretest The head of pediatric emergency


working group Indonesian
pediatric society and team
09.00 - 09.30 How to recognize life-threatening Lecture dr. Antonius Pudjiadi,SpAK
condition in a child
09.30 - 10.00 Pediatrics Basic Life Support Lecture dr. Nurnaningsih SpAK
10.00 - 10.15 Coffee Break
10.15 - 10.45 Respiratory problems and airway Lecture dr. Yusrina Istanti SpA
management
10.45 - 11.15 Cardiac arrest Lecture dr. Antonius Pudjiadi,SpAK
11.15 - 12.00 Demo: TEAM
- Pediatrics Basic Life Support
- Airway management
- Defibrilation
12.00 - 13.00 ISHOMA
13.00 - 16.00 Skill Station: TEAM
1.Basic Life Support, defibrilation
(scenario)
2.airway management (intubation)
3.intravenous line access
4.Intraosseous access
1.
16.00 - Coffee break

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 1


Day 2nd Topic Method Facilitator
Sep 11th,2011
09.00 - 09.30 Shock management Lecture dr. Sri Martuti SpA
09.30 - 10.00 Fluid therapy and Imbalance Lecture dr. Hari Kushartono, SpAK
electrolyte
10.00 - 10.15 Coffee break
10.15 - 11.00 Oxygen therapy and inhalation Lecture + demo dr. Roni Naning, MKes, SpAK
therapy
11.00 11.45 Neurology Examination in Lecture + video Dr. dr. ES. Herini SpAK
infant and pediatric demo
11.45 - 12.45 ISHOMA
12.45 15.45 Skill Station: Skill training TEAM
1.Shock management
(scenario)
2.Inhalation therapy and
oxygen therapy (scenario)
3.Imbalance electrolyte (case
study)
4. neurology examination
(patient study)
15.45 - 16.00 Postest + Closing TEAM
16.00 Coffee break

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 2


Daftar Penulis

Antonius Pudjiadi
Divisi Pediatri Gawat Darurat Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

Nurnaningsih
Subbagian Pediatri Gawat Darurat Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP DR. Sardjito
Jogjakarta

Yusrina Istanti
Subbagian Pediatri Gawat Darurat Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RSUP Dr. Kariadi
Semarang

Sri Martuti
Divisi Pediatri Gawat Darurat Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/RSUD Dr. Moewardi
Solo

Hari Kushartono
Divisi Pediatri Gawat Darurat Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RSUD Dr. Soetomo
Surabaya

Roni Naning
Subbagian Respirologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP DR. Sardjito
Jogjakarta

Elisabeth S Herini
Subbagian Neurologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP DR. Sardjito
Jogjakarta

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 3


Menilai Anak Sakit Kritis

Antonius Pudjiadi

Target Pencapaian
Mengetahui karakteristik anak sesuai tahapan tumbuh-kembangnya
Mampu melakukan pendekatan anak sakit kritis sesuai usia dan keadaan
khusus
Mampu melakukan penilaian anak dengan segitiga penilaian pediatrik
Mampu melakukan evaluasi sistimatik yang meliputi Airway, Breathing,
Circulation, Disability, Exposure (ABCDE)
Mampu memutuskan tindakan yang tepat sesuai kondisi kritis

1. Pendahuluan

Anak merupakan kelompok yang unik pada pelayanan gawat-


darurat. Kelompok ini mempunyai permasalahan dan peralatan gawat-
daruratan yang berbeda dari kelompok dewasa. Perbedaan ukuran dan
fisiologi menyababkan diperlukannya pedekatan dan tata laksana yang
berbeda. Mengevaluasi, melakukan tindakan awal, melakukan triage dan
transport pasien anak seringkali menimbulkan stress tersendiri bagi dokter
dan paramedik.
Dalam melakukan penilaian anak dalam keadaan gawat-darurat,
dibutuhkan pendekatan khusus agar diperoleh data sebanyak-banyaknya
dan mendekati ketepatan. Beberapa kekhususan yang diperhatikan antara
lain:

Teknik pendekatan sesuai tumbuh kembang anak.


Observasi awal. Salah satu metoda yang khusus dikembangkan untuk
ini dikenal dengan metoda segitiga penilaian pediatrik (PAT=
Paediatric Assessment Triangle). Teknik ini dikembangkan karena
anak dapat memperlihatkan sikap yang berbeda-beda sesuai taraf

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 4


perkembangannya. Dengan teknik ini pemeriksa dapat menilai berat
ringannya kondisi anak dengan cepat.
Penilaian tanda vital yang dikenal dengan metoda ABCDE. Karena
perbedaan anatomi dan fisiologi, teknik pemeriksaan dan nilai normal
pada anak dapat berbeda untuk setiap kelompok usia.
Memutuskan untuk tindakan selanjutnya dengan cepat, sesuai
tingkat kegawatan
Pemeriksaan selanjutnya dilakukan setelah kondisi vital stabil (tidak
dibahas dalam makalah ini).

2. Teknik Pendekatan

Respon psikologis keluarga dalam menghadapi kondisi anak perlu


diperhatikan. Respon orang tua sangat dipengaruhi latar belakang
pendidikan dan budaya. Beberapa reaksi orang tua yang sering dijumpai
pada kondisi akut anak dapat dilihat pada tabel 1.
Dalam mengevaluasi kondisi anak dibutuhkan pengenalan keadaan
normal anak pada setiap fase perkembangan anak. Karakteristik
perkembangan normal anak, secara ringkas adalah sebagai berikut:

2.1. Bayi
2.1.1. Karakteristik tumbuh kembang bayi

Bayi kurang dari 2 bulan tidak dapat membedakan orang


tua atau pengasuhnya dengan orang asing. Kelompok ini banyak
tidur. Kontak mata dengan pemeriksa belum ada. Bila ditangani
dengan lembut, ditimang-timang, bayi usia kurang dari 2 bulan
akan merasa nyaman. Karena fungsi pendengaran telah
berkembang baik, suara yang lembut juga dapat membuat bayi
tenang.

Pada usia 2-6 bulan bayi lebih aktif. Mereka telah dapat
mengadakan kontak mata dengan pemeriksa dan mengenal
pengasuhnya. Reflek hisapnya baik, grakan ekstremitas aktif dan

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 5


dapat menangis kuat. Bayi usia 2-6 bulan dapat mengikuti cahaya
atau obyek lain yang menarik. Bayi telah dapat mengarahkan
kepala ke suara yang kuat atau suara pengasuhnya.

Tabel. 1. Reaksi orang tua menghadapi anak yang mengalami


sakit/cedera mendadak

Tidak percaya (berjuang Penampilannya dapat tampak terlalu tenang


menghadapi kenyataan yang atau kurang memberi perhatian
ada)
Merasa bersalah (takut karena Biasanya rekasi yang timbul adalah lebih
tidak mengetahui keadaan anak mempermasalahkan apa yang telah terjadi,
lebih awal atau tidak dapat atau apa yang seharusnya ia lakukan agar
mencegah kecelakaan) keadaan ini tidak terjadi karena pemikiran
demikian, kondisi anak dan tindakan yang
harus segera dilakukan saat ini kurang
mendapat perhatian.
Marah Kemarahan dapat dilimpahkan pada
penolong. Orang tua dapat
menghambat/mengganggu tindakan medis,
juga menolak transportasi pasien.
Disertai gangguan fisik Orang tua dapat mengalami takikardi, mual,
pusing, nyeri dada, keringat dingin, mulut
kering atau hiperventilasi.

Pada usia 6-12 bulan, biasanya bayi mulai belajar bersuara,


duduk, mencoba meraih mainan, memindahkan benda dari satu
tangan ke tangan lain, serta memasukan benda-benda ke dalam
mulut. Pada usia 1 tahun umumnya bayi dapat merangkak, berdiri
bila ditarik dan mulai berjalan.
Pada usia 7-8 bulan bayi mengalamai kecemasan bila
dipisahkan dari orang tua atau pengasuhnya. Pada usia 10 bulan
mereka mulai takut pada orang asing. Beberapa karakteristik
anatomis dan fisiologis bayi dapat dilihat pada tabel 2.

Karena komunikasi pemeriksan dan bayi amat terbatas,


persepsi keadaan anak oleh orang tua atau pengasuhnya harus
dianggap penting. Berbagai persepsi yang harus diperhatikan
antara lain adalah bayi kurang aktif, tidak mau menyusu, terlalu

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 6


banyak tidur dan demam (suhu tubuh lebih dari 38oC). Keterangan
lain yang patut ditanyakanantara lain adalah riwayat trauma,
proses kelahiran dan perkembangan anak sejak lahir.
Iritabilitas atau tidur yang berlebihan, demam, tidak mau
menyusu dapat merupakan bagian dari penyakit yang lebih serius
seperti sepsis atau penyakit jantung bawaan. Apnu dapat
merupakan tanda infeksi yang berat, kejang, gangguan jantung,
trauma kepala atau hipoglikemi.

Tabel 2. Karakteristik Anatomik dan Fisiologik Bayi

Pernapasan hidung Usia kurang dari 1 bulan. Sumbatan hidung akibat


edema mukosa dapat menyebabkan distress
napas hebat.
Pernapasan abdominal Karena anatomis tulang iga dan otot interkostal
yang belum berkembang sempurna, pernapasan
abdominal normal pada bayi
Retraksi Pada distress napas lebih mudah terlihat
Metabolisme tinggi Kebutuhan oksigen per kilogram berat badan lebih
tinggi. Cadangan substrat terbatas. Bayi mudah
mengalami hipoksia dan hipoglikemia.
Regulasi suhu belum Mudah mengalami hipotermi
sempurna
Kepala relatif besar Kepala merupakan bagian utama kehilangan
panas tubuh

2.1.2. Cara melakukan penilaian bayi


Tanyakan nama bayi dan gunakan pada pemeriksaan
Urutan pemeriksaan: inspeksi, auskultasi dan palpasi. Lakukan
inspeksi sejak bayi dalam gendongan pengasuh. Teknik ini
mengurangi stress bayi dan memberikan informasi lebih
banyak. Kecemasan terhadap orang asing mulai berkembang
pada bayi di atas usia 6 bulan
Lakukan pendekatan dengan lembut. Suara keras dan teriakan
yang cepat menakutkan bayi
Lakukan pemeriksaan sambil duduk atau berjongkok hingga
pemeriksa sama tinggi dengan bayi

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 7


Dot, selimut atau mainan favorit bayi dapat membantu
menenangkan bayi yang menangis. Jangan beri makan bayi
yang sakit atau cedera berat
Mulailah dengan pemeriksaan yang kurang menakutkan,
misalnya kehangatan kulit ekstremitas atau menilai refill kapiler
Gunakan tangan dan stetoskop yang hangat
Tindakan yang mungkin menyakitkan sedapat mungkin
dilakukan lebih akhir, setelah penilaian lain selesai
Beberapa tindakan dapat dilakukan oleh pengasuh, misalnya
membuka pakaian bayi
Perhatikan hal-hal yang dikemukakan pengasuh terutama
penampilan bayi yang dianggap tidak seperti biasanya

2.2. Batita (bawah tiga tahun / toddlers)


2.2.1. Karakteristik tumbuh kembang batita
Batita mengalami tumbuh kembang yang cepat. Pada usia 18
bulan batita telah dapat berlari, makan sendiri, bermain mainan,
dan berkomunikasi dengan anak lain. Mereka mulai membuat
keputusan sendiri dan memperlihatkan kebebasannya. Usia 1
tahun hingga 3 tahun sering disebut the terrible two. Pada usia
ini anak sangat aktif bergerak kemana-mana, mempunyai
kehendak/pendapat yang sulit dibantah dan dapat takut pada
orang asing. Mereka egosentrik, merasa semua (mainan) miliknya,
mempunyai rasa ingin tahu yang besar, tidak takut bahaya, dan
tidak dapat menerima alasan yang disampaikan orang lain.
Kemampuan bahasa anak dalam usia ini berbeda-beda. Terkadang
mereka mengerti apa yang disampaikan tetapi tidak dapat
menjawab dengan kata-kata. Mereka belajar dengan cara trial and
error. Pengalaman sebelumnya, misalnya penyuntikan vaksin,
menyebabkan mereka sering takut kepada dokter atau suster.
Secara anatomi dan fisiologi batita mirip dengan bayi.
Proporsi kepala relatif besar dan bernapas secara abdominal.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 8


Namun demikian otot ekstremitas telah lebih berkembang dan
termoregulasinya lebih baik.

2.2.2. Cara melakukan penilaian batita


Amati sejak awal bertemu, dekati perlahan-lahan, hindari
kontak fisik sampai anak lebih mengenal/beradaptasi kepada
pemeriksa
Duduk atau jongkok di dekat anak, gunakan suara yang lembut
Biarkan anak berada dipangkuan pengasuh
Gunakan mainan untuk menarik perhatiannya. Usahakan agar
anak berani memegang mainan tersebut
Ajaklah berbicara tentang dirinya sendiri, misalnya sepatunya,
binatang peliharannya dan lain-lain
Jangan berikan banyak pilihan, tetapi biarkan ia merasa
memiliki kontrol terhadap pemeriksa. Contoh: tanyakan:
apakah engkau ingin saya memeriksa perut atau nadi terlebih
dahulu ?
Hindari pertanyaan yang dapat dijawab dengan tidak
Pujilah dia agar mau bekerja sama
Utamakan pemeriksaan bagian yang penting, namun bagian
kepala dan leher diperiksa paling akhir (toe to head)
Minta bantuan orang tua atau pengasuh untuk beberapa
tindakan, misalnya membuka baju, memberi oksigen dan lain-
lain
Jangan mengharapkan anak duduk diam dan berkooperasi
dengan baik. Bersikaplah fleksibel
Dalam keadaan tertentu anak-anak dalam kelompok ini amat
sulit diperiksa. Bila kesadarannya baik namun menolak
pemeriksaan apapun, keputusan tindakan medik atau rujukan
banyak ditentukan oleh riwayat sakitnya.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 9


2.3. Usia prasekolah
2.3.1. Karakteristik tumbuh kembang anak usia prasekolah
Anak prasekolah seringkali tidak dapat membedakan realita
dan fantasi. Banyak miskonsepsi tentang penyakit, cedera dan
fungsi tubuh. Mereka seringkali takut akan terjadinya mutilasi
tubuh, kehilangan kontrol tubuh, kegelapan, dan ditinggalkan
sendirian. Perhatiannya pendek.

2.3.2. Cara melakukan penilaian anak usia prasekolah


Gunakan bahasa sederhana untuk menerangkan prosedur.
Jelaskan berbagai miskonsepsi
Boneka dapat digunakan untuk menerangkan apa yang akan
dilakukan terhadap anak
Ijinkan anak memegang alat pemeriksaan
Berikan batas yang jelas untuk sikapnya, contoh kamu boleh
berteriak, tetapi tidak boleh menendang atau menggigit
Hargai sikapnya yang baik
Gunakan permainan atau mainan lain untuk menarik
perhatiannya
Perban dan plester boleh digunakan dengan lebih bebas
Bagi anak yang membutuhkan imobilisasi, tarik perhatiannya
dengan permainan

2.4. Usia sekolah


2.4.1. Karakteristik tumbuh kembang anak usia sekolah
Pada usia ini anak dapat berbicara aktif, menganalisis dan
mengerti hubungan sebab-akibat. Konsep tentang fungsi tubuh
seringkali masih salah. Setelah usia 9 tahun anak baru dapat
mengerti bila diterangkan tentang fungsi tubuh dan mau terlibat
dalam perawatannya. Ketakutan yang umum pada usia ini adalah
pisah dari orang tua, nyeri dan gangguan fungsi tubuh. Sebagian
anak takut mengemukakan perasaannya atau tidak dapat

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 10


menjelaskannya dalam bentuk kata-kata.Anatomi dan fisiologi
anak usia 8 tahun ke atas telah menyerupai orang dewasa.

2.4.2. Cara melakukan pemeriksaan anak usia sekolah


Bicara langsung pada anak, baru kemudian libatkan orang tua
Antisipasi berbagai ketakutannya dan segera diskusikan
masalah ini. Contoh: anak usia 5 tahun dapat langsung
dikatakan: tulang tangamu patah dan dokter akan dapat
membetulkannya hingga baik seperti baru. Kamu kan diberi
obat untuk menghilangkan sakitnya
Tidak perlu memberi terlalu banyak informasi
Terangkan prosedur sebelum dilakukan. Jangan berbohong
Pada anak yang berusia lebih besar, dapat ditanyakan apakah ia
ingin mengasuhnya mendampinginya atau tidak
Jangan bernegoisasi. Lakukan yang memang harus dilakukan,
misalnya memasang infus
Anak boleh ikut berpartisipasi dalam perawatannya (biasanya
anak dalam usia ini takut kehilangan kontrol atas dirinya)
Yakinkan bahwa sakit atau cedera yang dialaminya bukan suatu
hukuman
Hargai bila anak mau berkooperasi
Pemeriksaan biasanya dilakukan dengan urutan dari kepala
hingga kaki (head-to-toe)

2.5. Remaja
2.5.1. Karakteristik tumbuh kembang anak usia remaja
Seperti batita, anak usia remaja sangat aktif bergerak.
Namun demikian, mereka lebih rasional, mengerti sebag-akibat
dan dapat menyampaikan perasaannya dalam kata-kata. Mereka
berani bereksperimen dan kadang-kadang tidak takut bahaya.
Ketergantungannya mulai berpindah dari keluarga ke teman. Hal
yang berbeda dari teman-temannya menimbulkan kecemasan.
Gejala psikosomatik sering dijumpai pada anak usia remaja. Pada
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 11
saat sakit atau cedera mereka sering seperti anak kecil (dalam
tubuh dewasa).

2.5.2. Cara melakukan pemeriksaan anak usia remaja


Beri informasi yang jelas tentang keadaaan fisiknya, fungsi
tubuh yang normal dan intervensi yang akan dilakukan.
Terangkan apa yang akan dilakukan dan mengapa
Berani anak untuk bertanya dan terlibat dalam perawatan
dirinya
Bicara langsung pada anak. Jangan bertanya pada pengasuh
terlebih dahulu
Hormati kerahasiaan kecuali bila hal ini membahayakan dirinya
Jujur dan jangan berprasangka
Jangan menyimpulkan kedewasaan dari ukuran tubuh
Jangan frustasi atau marah bila anak tidak kooperatif
Dapat minta bantuan teman untuk menyakinkannya

2.6. Anak yang memerlukan perawatan khusus


2.6.1. Karakteristik tumbuh kembang anak yang memerlukan
perawatan khusus
Anak yang memerlukan perawatan khusus dapat terjadi pada
semua usia. Dalam menghadapi kasus ini, lebih penting untuk
memperhatikan usia perkembangan daripada usia kronologik.
Kelompok ini termasuk anak dengan kecacatan fisik,
perkembangan mental atau anak dengan penyakit kronik.
Terkadang mereka tergantung dengan berbagai alat kedokteran
seperti kanul trakeostomi, gastrostomi dan ventilator.

2.6.2. Cara melakukan pemeriksaan anak yang memerlukan


perawatan khusus
Perhatikan dengan seksama anamnesis dari pengaruh, mulai
riwayat penyakit, obat-obat dan keluhan saat ini. Pengasuh

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 12


biasanya sadar tindakan yang terbaik untuk masalah-masalah
tertentu dan karakteristik respon anak
Bila pengasuh menganggap anak tidak memberi respon seperti
biasanya, lakukan eksplorasi
Hadapi anak dengan lembut sesuai usai perkembangannya
Jangan menganggap semua anak ini mengalami keterbelakangan
mental
Bersikaplah professional. Keluarga anak ini biasanya telah
berpengalaman menghadapi tenaga medis. Bila pengalaman
sebelumnya dalam menghadapi tenaga medis baik, biasanya
keluarga lebih mudah percaya pada tenaga medis. Namun bila
pengalaman sebelumnya buruk, mereka seringkali lebih sulit
dihadapi daningin memegang kendali
Bersimpatilah pada orang tua yang tentunya telah lama
menanggung beban.

3. Segitiga penilaian pediatrik (PAT: Pediatric Assessmen Triangle)


Seperti diterangkan pada pendahuluan, teknik penilaian ini
dilakukan tanpa memegang anak. Dengan melihat dan mendengar,
pemeriksa dapat mendapatkan kesan akan kegawatan anak. Tentu saja
karakteristik tumbuh kembang anak seperti dibahas di atas harus
dikuasi. Tiga komponen PAT adalah:
Penampilan anak
Upaya napas
Sirkulasi kulit

3.1. Penampilan anak


Penampilan anak seringkali merupakan cerminan kecukupan
ventilasi dan oksigenasi otak. Namun demikian beberapa keadaan
lain dapat pula mempengaruhi penampilan anak seperti
hipoglikemi, keracunan, infeksi otak, perdarahan atau edema otak
atau juga penyakit kronik pada susunan saraf pusat.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 13


Penampilan anak dapat dinilai dengan berbagai skala.
Metoda ticles meliputi penilaian tonus (T= tone), interaktisi (I=
interactiveness), konsolabilitas (C= consolability), cara melihat (L=
look/gaze) dan berbicara atau menangis (S= speech/cry) (tabel 3).

Tabel 3. Penilaian dengan metoda Ticles (TICLS)


Karakteristik Hal yang dinilai
Tone Apakah anak bergerak aktif atau menolak pemeriksaan
dengan kuat? Apakah tonus ototnya baik atau lumpuh?
Interactiveness Bagaimana kesadarannya? Apakah suara mempengaruhinya?
Apakah ia mau bermain dengan mainan atau alat
pemeriksaan? Apakah anak tidak bersemangat saat
berinteraksi dengan orang tua/ pengasuh?
Consolabillity Apakah ia dapat ditenangkan orang tua atau pengasuh atau
pemeriksa? Apakah anak menangis terus atau tampak agitasi
sekalipun dilakukan pendekatan yang lembut?
Look/Gaze Apakah ia dapat memfokuskan penglihatan? Apakah
pandangannya kosong?
Speech/Cry Apakah anak berbicara atau menangis dengan kuat? Apakah
suaranya lemah?

3.2. Upaya napas


Upaya napas merefleksikan usaha anak mengatasi gangguan
oksigenasi dan ventilasi. Karakteristik hal yang dinilai adalah (tabel
4):
Suara napas yang tidak normal
Posisi tubuh yang khas
Retraksi
Cuping hidung

Tabel 4. Penilaian Upaya Napas


Karakteristik Hal yang dinilai
Suara napas yang tidak Mengorok, parau, stridor, merintih,
normal menangis
Posisi tubuh yang tidak Sniffing, tripoding, menolak berbaring,
normal head bobbing
Retraksi Supraklavikula, interkosta, subternal
Cuping hidung Napas cuping hidung

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 14


3.3. Sirkulasi kulit
Sirkulasi kulit mencerminkan kecukupan curah jantung dan
perfusi ke organ vital. Hal yang dinilai (tabel 5):
Pucat
Mottling
Sianosis

Tabel 5. Penilaian sirkulasi kulit

Karakteristik Hal yang dinilai


Pucat Kulit atau mukosa tampak kurang merah karena
kurangnya aliran darah ke darah tersebut
Mottling Kulit berbecak kebiruan akbiat vasokontriksi
Sianosis Kulit dan mukosa tampak biru

Penilaian ke 3 hal ini, tanpa menyentuh anak, telahdapat


memberikan gambaran kasar tentang kegawatan anak dengan
cepat. Secara ringkas penggunaan PAT dapat dilihat pada gambar
1.

Gawat Napas

Penampilan (N) Upaya napas

Sirkulasi kulit (N)

Gagal Napas

Penampilan Upaya napas /

Sirkulasi kulit N/

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 15


Syok

Penampilan Upaya napas (N)

Sirkulasi kulit

Gangguan metabolik, gangguan primer susunan syaraf pusat atau


intoksikasi

Penampilan Upaya napas (N)

Sirkulasi kulit (N)


Gambar 1. Metoda PAT

4. Metoda ABCDE

Teknik ini dilakukan dengan pemeriksaan fisik pada anak.


Komponen pemeriksaan:
A= airway
B= breathing
C= circulation
D= disability
E= exposure

4.1. Airway (jalan napas)

Sekalipun dengan teknik PAT telah diketahui adanya


obstruksi jalan napas, namun derajat obstruksi perlu lebih terinci,
antara lain untuk tindakan resusitasi. Menilai jalan napas (airway)

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 16


pada anak dengan kesadaran menurun dilakukan dengan teknik
look, listen, feel yaitu membuka jalan napas dengan posisi
sniffing, lalu melihat pengembangan dada sambil mendengar suara
napas dan merasakan udara yang keluar dari hidung/mulut
(gambar 2). Penilaian jalan napas diekspresikan sebagai:
Jalan napas bebas
Jalan napas masih dapat dipertahankan
Jalan napas harus dipertahankan dengan intubasi
Obstruksi total jalan napas

Gambar 2. Teknik look, listen, feel

4.2. Breathing (kinerja napas)


Kinerja napas dinilai dengan menghitung frekuensi napas,
menilai upaya napas dan penampilan anak. Sesuai tingkat tumbuh
kembang anak, frekuensi normal berbeda-beda dengan perubahan
usia (tabel 6). Frekuensi napas juga dipengaruhi oleh berbagai
keadaan. Pernapasan yang cepat dapat terjadi pada demam, nyeri,
ketakutan/kecemasan, atau emosi yang meningkat. Pernapasan
yang lambat dapat terjadi pada anak yang kelelahan akibat gawat
napas yang tidak segera ditolong. Karena itu dalam menilai upaya
napas perlu diperhatikan nilai ekstrim. Frekuensi napas di atas 60
kali/menit untuk semua usia, apalagi disertai retraksi dan
kesadaran menurun sangat mungkin menandakan gagal napas.
Freksuensi napas kurang dari 20 kali/menit untuk anak di bawah 6

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 17


tahun dan 15 kali/menit untuk anak kurang dari 15 tahun juga
harus mendapat perhatian khusus.

Tabel 6. Frekuensi pernapasan normal sesuai usia


Usia Frekuensi pernapasan
(pernapasan/menit)
< 1 th 30 40
2 5 th 20 30
5 12 th 15 20
>12 th 12 16

Penilaian upaya napas dilakukan dengan melihat,


mendengar, juga menggunakan stetoskop dan alat pulse-oxymetry
bila ada. Interpretasi suara napas abnormal dapat dilihat dalam
tabel 7.

Tabel 7. Interprestasi suara napas abnormal


Suara Penyebab Contoh diagnosis
Stridor Obstruksi jalan napas Croup, benda asing,
atas abses retrofarings
Meningitis Obstruksi jalan napas Asthma, benda asing,
bawah bronkiolitis
Merintih (grunting) Oksigenasi tidak Kontusi paru,
pada ekspirasi adekuat pneumonia,
tenggelam, IRDS
Ronkhi basah pada Cairan lendir atau Pneumonia, kontusi
inspirasi darah dalam jalan paru
napas
Suara napas tidak ada Obstruksi jalan Benda asing asthma
dengan upaya napas napas total berat,
yang meningkat pneumotoraks,
Gangguan transmisi hemotoraks
suara Efusi pleura,
pneumonia,
pneumotoraks

Pulseoxymetry merupakan alat sederhana untuk menilai


kinerja napas. Pembacaan di atas saturasi 94% secara kasar dapat
menunjukkan kecukupan oksigenasi. Pembacaan di bawah 90%
pada anak dengan oksigen 100% dapat menunjukkan bahwa anak
memerlukan ventilator. Interpretasi pulseoxymetry harus
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 18
dilakukan bersama dengan penilaian upaya napas, frekuensi napas
dan penampilan anak. Anak dengan gangguan napas kadang-
kadang masih dapat mempertahankan kadar oksigen darah dengan
work of breathing yang meningkat. Sementara anak dengan
kelainan jantung bawaan biru dapat menunjukkan saturasi yang
rendah tanpa distress napas.

4.3. Circulation (sirkulasi)


Penilaian sirkulasi dilakukan dengan menghitung denyut
jantung, perfusi organ dan tekanan darah.
Denyut jantung normal sesuai usia dapat dilihat dalam tabel
8. Takikardi dapat merupakan tanda awal hipoksia atau perfusi
yang buruk. Namun dapat juga terjadi pada demam, nyeri,
ketakutan, dn emosi yang meningkat. Bradikardi dapat memerikan
indikasi hipoksia atau iskemia.
Perfusi organ dapat dinilai dengan menilai denyut nadi
perifer, capillary refill time dan tingkat kesadaran. Produksi urine
juga merupakan indikator yang baik, namun biasanya kurang
diperhatikan orang tua. Perhatikan kualitas nadi. Bila nadi brakial
kuat, biasanya anak tidak mengalami hipotensi. Bila denyut nadi
perifer tidak teraba, cobalah meraba di femoral atau karotis. Tidak
adanya denyut nadi sentral merupakan indikasi untuk segera
dilakukan tindakan pijat jantung. Capillary refill time normal
kurang dari 2-3 detik. Namun demikian capillary refill time
dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan, misalnya suhu udara yang
dingin.

Tabel 8. Nilai normal denyut jantung sesuai usia


Umur Sebaran normal ( denyut/menit)
< 3 bulan 85 200
3 bulan 2 tahun 100 190
2 10 tahun 60 140

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 19


Tekanan darah dipengaruhi ukuran manset. Lebar manset
yang benar adalah duapertiga panjang lengan atas. Pemeriksaan
tekanan darah membutuhkan kooperasi anak. Tekanan darah
tinggi pada anak yang tidak berkooperasi baik mungkin dapat
menyesatkan. Namun tekanan darah rendah menandakan syok.
Formula tekanan darah sistolik terendah:

Tekanan Sistolik minimal= 70 + 2 x umur


(dalam tahun)

4.4. Disability (status neurologik)


Evaluasi neurologik meliputi fungsi korteks dan batang otak.
Fungsi korteks dinilai dengan skala AVPU (tabel 9). Anak dengan
penurunan skala AVPU pasti disertai kelainan penampilan pada skla
PAT. Anak dengan sakit atau cedera sedang dapat mengalami
gangguan penampilan pada skala PAT, namun mempunyai skala
AVPU pada tingkat A (A= Alert).
Tabel 9. Skala AVPU
Kategori Rangsang Tipe Reaksi
respon
Alert Lingkungan Sesuai Interaksi normal untuk
normal tingkat usia
Verbal Perintah Sesuai Bereaksi terhadap nama
sederhana atau Tidak Tidak spesifik/ bingung
rangsang suara sesuai
Pain Nyeri Sesuai Menghindar rangsang
Tidak Mengeluarkan suara
sesuai tanpa tujuan atau dapat
melokali-sasi nyeri
Posture
Patologis
Unresponsive Tak ada respon yang dapat dilihat terhadap semua
rangsang

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 20


Skala lain yang banyak digunakan untuk menilai fungsi
korteks adalah skala koma Glasgow. Penggunaan skala koma
Glasgow untuk pasien gawat di lapangan seringkali di anggap tidak
praktis dan kontroversial.
Untuk mengevaluasi fungsi batang otak dilakukan
pemeriksaan pola napas sentral, postur tubuh
(dekortikasi/deserebrasi/flacid), pupil dan reaksinya terhadap
cahaya serta evaluasi syaraf kranial lain. Refleks pupil dapat
menjadi tidak normal akibat hipoksia, obat-obatan, kejang atau
herniasi batang otak.
Penilaian lebih lanjut dilakukan atas gerakan motorik.
Perhatikan gerakan-gerakan asimetrik, kejang, posture atau
flasiditas. Pemeriksaan neurologis lebih lengkap dilakukan pada
tahap pemeriksaan tambahan.

4.5. Exposure (paparan)


Untuk melengkapi perlu juga dinilai hal lain yang dapat
langsung terlihat, contoh: ruam akibat morbili, hematoma akibat
trauma dsb. Ketika melakukan pemeriksaan jagalah agar anak
(terutama bayi) tidak kedinginan.

5. Memutuskan untuk tindakan selanjutnya


Setelah melengkapi tahap PAT dan ABCDE, sekaligus resusitasi
bila dibutuhkan, petugas medis harus memutuskan tindakan selanjutnya
yang meliputi:
Meneruskan resusitasi
Melakukan pemeriksaan / pemantauan lebih lanjut
Merujuk
Proses ini amat tergantung pada kemampuan petugas, fasilitas
yang ada dan sistim penanggulangan kegawatan medis setempat. Bila
fasilitas terbatas, lebih baik untuk cepat melakukan rujukan untuk anak
berisiko, antara lain:
Cedera berat
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 21
Riwayat penyakit berat (contoh: serangan asma yang berat
yang tidak memberikan respon adekuat terhadap pengobatan)
Kelainan fisiologi yang terdekteksi pada pengamatan awal
Kelainan anatomis yang dapat memberikan akibat fatal
Nyeri hebat

6. Rangkuman
Diperlukan keterampilan khusus dalam menghadapi anak dalam
keadaan gawat-darurat. Pendekatan dan penilaian harus dilakukan dengan
mempertimbangkan fase tumbuh kembang anak. Penilaian awal dilakukan
secara observasi, yaitu dengan metoda PAT, dilanjutkan dengan
pemeriksaan tanda vital dengan metoda ABCDE. Pemeriksaan ini dilakukan
untuk memutuskan tindakan selanjutnya, seperti meneruskan resusitasi,
pemeriksaan dan pemantauan lebih lanjut, atau merujuk.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 22


TUNJANGAN HIDUP DASAR PADA ANAK

Nurnaningsih

Tujuan Pembelajaran:
Bisa melakukan tunjangan hidup dasar ( Basic Life Support) pada anak

Pendahuluan
Deteksi dini dan tatalaksana henti jantung mendadak akan
meningkatkan harapan hidup pada anak. Tindakan resusitasi merupakan
tindakan utama pada tatalaksana henti jantung mendadak. Tunjangan hidup
dasar merupakan tindakan awal dari resusitasi dan termasuk didalamnya
adalah pendekatan asesmen awal yang sistematik, aktifasi pelayanan
kegawatan dan inisiasi resusitasi kardiopulmonal termasuk defibrilasi.
Komponen utama pada resusitasi kardiopulmonal yang efektif adalah ventilasi
dan kompresi dada secara adekuat.

Penentuan henti jantung paru :


Palpasi nadi dalam 10 detik belum bisa menunjukkan ada tidaknya
suatu sirkulasi yang efektif. Artinya bahwa palpasi nadi saja belum cukup
untuk menentukan perlu tidaknya melakukan kompresi dada. Penolong harus
menentukan dulu ada tidaknya tanda-tanda kehidupan seperti adanya respon
terhadap rangsang, pernapasan normal atau gerakan spontan. Untuk
menentukan dimulainya resusitasi kardiopulmonal diperlukan waktu < 10 detik
dari penentuan awal status sirkulasi pada anak dan bila masih ragu setelah
waktu yang ditentukan maka resusitasi kardiopulmonal harus segera
dilakukan. Bila dinyatakan tidak ada tanda-tanda kehidupan maka resusitasi
kardiopulmonal harus segera dimulai secepatnya.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 23


Langkah-langkah pemberian tunjangan hidup dasar :
1. Menjaga keamanan penolong dan penderita. Selalu diyakinkan
bahwa tempat untuk melakukan pertolongan adalah aman untuk
penolong maupun korban.
2. Tentukan pemberian resusitasi kardiopulmonal. Untuk menyatakan
perlunya dilakukan resusitasi kardiopulmonal penolong harus yakin
adanya henti jantung bila anak tidak responsive dan tidak bernapas atau
hanya gasping.
3. Amati terhadap respon. Dekati pasien secara lembut dan tanyakan
dengan suara keras , kamu baik-baik saja?. Panggil namanya bila tahu.
Bila anak responsif dia akan menjawab, bergerak atau merintih. Segera
periksa apakah anak mengalami trauma atau membutuhkan bantuan
obat. Bila penolong hanya sendiri dan anak bisa bernapas, tinggalkan
anak sebentar untuk menelpon/mencari bantuan tetapi harus segera
kembali dan periksa kondisi anak secara frekuen.
4. Airway (A) : suatu obstruksi jalan napas dapat sebagai penyebab
primer dan koreksi terhadap sumbatan dapat memperbaiki keadaan
tanpa diperlukan intervensi yang lain. Bila ada anak dengan kesulitan
bernapas tetapi masih dalam keadaan sadar maka harus segera dikirim
ke rumah sakit. Bila anak tidak bernapas dapat disebabkan karena jalan
napas tertutup oleh lidah yang jatuh ke belakang dan menutupi faring
harus dilakukan usaha membuka jalan napas dengan cara head tilt/ chin
lift manouvre. Untuk menilai patensi jalan napas dilakukan pemeriksaan
:
LOOKing : melihat gerakan dada/perut
LISTENing : mendengarkan suara napas
FEELing : merasakan adanya hembusan napas
Bila tidak memungkinkan dilakukan head tilt/chin lift atau adanya kontra
indikasi ( dicurigai ada trauma leher) maka dilakukan jaw thrust
manouvre. Anak dengan distress napas perlu diatur posisi untuk
mempertahankan jalan napas dan ventilasi yang optimal dan posisikan
senyaman mungkin. Bila anak tidak responsif segera panggil bantuan
dan rujuk ke rumah sakit.
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 24
Head tilt/chin lift:
Letakkan satu tangan pada dahi, tekan perlahan ke posterior
sehingga posisi kepala sedikit ekstensi
Letakkan jari tangan yang lain pada tulang rahang bawah tepat di
ujung dagu dan dorong ke luar atas sambil mempertahankan cara
pertama. Hindari penekanan pada bagian lunak dagu karena dapat
menyumbat jalan napas.
Jaw thrust:
Posisi penolong di sisi atau di arah bagian kepala
Letakkan 2-3 jari (tangan kiri dan kanan) pada masing-masing
sudut posterior bawah kemudian angkat dan dorong ke luar
Bila posisi penolong di atas kepala, kedua siku penolong diletakkan
pada lantai atau alas dimana korban diletakkan.
5. Breathing (B): Bila terlihat anak bernapas secara teratur maka tidak
perlu dilakukan resusitasi kardiopulmonal. Bila tidak dijumpai adanya
trauma letakkan anak pada posisi pulih (recovery position) dengan tetap
mempertahankan jalan napas dan menurunkan risiko terjadinya aspirasi.

Gambar : Posisi pulih (recovery position)

Bila anak tidak responsif dan tidak bernapas (atau hanya gasping) mulai
lakukan resusitasi kardiopulmonal. Kadang-kadang anak terlihat gasping
dan disalah interpretasikan sebagai bernapas. Perlakukan anak dengan
gasping sebagai tidak bernapas dan segera lakukan resusitasi
kardiopulmonal. Berikan bantuan napas inisial sejumlah lima kali.
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 25
Tehnik E-C clamp pada pemberian ventilasi balon sungkup

Panduan umum dalam melakukan resusitasi napas :


Harus terlihat ada pengembangan dinding dada
Diperlukan tekanan inflasi yang lebih tinggi karena jalan
napas kecil
Napas lambat pada tekanan yang lebih rendah akan
mengurangi distensi lambung
Pemberian penekanan lembut pada kartilago krikoid akan
mengurangi insuflasi lambung.

6. Circulation (C): Adanya kegagalan sirkulasi dinilai dengan tidak adanya


pulsasi sentral dalam 10 detik, adanya pulsasi yang tidak efisien atau
tidak terlihat adanya tanda-tanda sirkulasi misalnya tidak adanya napas
atau batuk saat dilakukan resusitasi napas dan tidak ada gerakan
spontan. Untuk menilai sirkulasi pada bayi dilakukan perabaan pada
arteria brakhialis atau arteria femoralis. Bila tidak dijumpai adanya
pulsasi selama 10 detik atau pulsasi tidak adekuat (<60 x/menit dan
perfusi jelek) maka harus segera dilakukan kompresi dada.
Kompresi dada harus segera dilakukan bila :
a. Tidak ada pulsasi
b. Pulsasi lambat ( <60 x/menit dan perfusi jelek)

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 26


c. Tidak ada tanda-tanda adanya sirkulasi

Kompresi dada :
Pasien /korban diletakkan pada tempat yang permukaannya rata dan
keras. Selama henti jantung kompresi dada dengan kualitas tinggi akan
memperbaiki aliran darah pada organ vital. Bila bayi/anak tidak
responsive dan tidak bernapas berikan 30 kompresi dada.
Tanda-tanda resusitasi kardiopulmonal yang berkualitas tinggi :
Kompresi dada dengan frekuensi dan kedalaman yang sesuai.
o Kompresi cepat : kompresi dengan frekuensi sekitar 100
x/menit.
o Kompresi kuat : pemberian tekanan dengan kekuatan yang
cukup kira-kira kedalaman 1/3 diameter anteroposterior
dada atau sekitar 4 cm pada bayi dan 5 cm pada anak.
Minimalisir interupsi selama kompresi dada
Cegah ventilasi yang berlebihan

Posisi pada kompresi dada:


Pada bayi: bila hanya ada satu penolong lakukan kompresi dengan dua
jari pada tempat dibawah garis diantara 2 papila mammae
(intermammary line). Jangan melakukan kompresi pada tulang xiphoid
atau tulang iga.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 27


Gambar : kompresi dada pada bayi ( satu penolong)

Gambar : kombinasi kompresi dada dan ventilasi pada bayi (2


penolong)

Pada anak: tempatkan pangkal telapak tangan diatas sternum pada


daerah 1/3 bawah. Penolong berada pada posisi vertikal di atas dada

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 28


anak dan lakukan penekanan pada sternum dengan kedalaman sekitar
1/3 diameter dada. Untuk anak yang lebih besar atau penolong yang
lebih kecil dapat menggunakan kedua tangan dalam melakukan
kompresi.

Gambar : kompresi dada pada anak menggunakan tehnik satu tangan

Gambar : kompresi dada pada anak menggunakan tehnik dua tangan

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 29


KONTINYUITAS RESUSITASI KARDIOPULMONAL
Frekuensi kompresi dada pada anak 100 x/menit. Rasio antara
kompresi dan ventilasi adalah 15 : 2. Bila setelah resusitasi selama 1
menit belum berhasil segera memanggil bantuan. Kompresi dilakukan
pada saat akhir inspirasi, tunjangan hidup dasar tidak boleh dilakukan
interupsi sampai anak bergerak atau bisa bernapas.
Rangkuman tehnik bantuan hidup dasar pada bayi dan anak:
Bayi (<1 tahun) Anak (1 tahun - pubertas)
Airway :
Posisi Head-tilt Netral Sniffing
Breathing:
Napas lambat inisial 5 5
Circulation :
Cek pulsasi Brakhial atau femoral Karotis
Tehnik : 2 jari atau 2 ibu jari satu atau dua tangan
Rasio RKP : 15 : 2 15 : 2

TERSEDAK PADA ANAK


Kematian terbanyak pada kasus sumbatan jalan napas karena
benda asing terjadi pada usia prasekolah. Diagnosis mungkin agak
kurang jelas, tetapi perlu dicurigai adanya sumbatan jalan napas bila
terjadi gangguan napas yang berlangsung mendadak dann berkaitan
dengan terjadinya batuk, tersedak maupun stridor. Sumbatan jalan
napas bisa juga disebabkan karena adanya infeksi misalnya epiglotitis
akut dan croup. Anak dengan sumbatan jalan napas yang disebabkan
atau diduga karena infeksi dan masih dapat bernapas ataupun penyebab
sumbatan belum jelas harus segera dirujuk ke rumah sakit segera. Bila
benda asing mudah terlihat dan masih berada dalam mulut dapat
langsung diambil dengan hati-hati. Jangan melakukan blind finger
sweeps pada mulut atau saluran napas atas karena benda asing dapat
merusak jaringan tanpa dapat mengambil benda asing tersebut.
Metode pembersihan jalan napas hanya dilakukan bila :

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 30


1. Diagnosis sumbatan benda asing jelas (diduga kuat), batuk tidak
efektif dan ada peningkatan dispneu, penurunan kesadaran atau
apneu.
2. Kegagalan membuka napas baik secara head-tilt/chin lift maupun jaw
thrust pada anak dengan apneu.
Bila anak bisa batuk akan mendorong benda asing tersebut. Batuk yang
terjadi secara spontan lebih efektif dalam menghilangkan sumbatan dari
pada maneuver dari luar. Tidak perlu dilakukan intervensi sampai
batuknya menjadi tidak efektif, anak menjadi diam, tidak menangis,
bicara atau bernapas atau menjadi sianosis, mulai ada penurunan
kesadaran. Bila sudah dijumpai hal-hal diatas harus segera mencari
bantuan dan segera dilakukan intervensi.

Bayi:
Dilakukan maneuver backblow dan chest thrust secara kombinasi. Bayi
diletakkan pada lengan bawah kiri penolong dengan kepala lebih
rendah, tangan menopang pada rahang bawah anak. Dilakukan pukulan
pada punggung bayi diantara kedua tulang belikat dengan pangkal
telapak tangan yang lain dari penolong sampai 5 kali pukulan. Bila belum
berhasil maka posisi bayi dibalik dengan kepala lebih rendah. Dilakukan
5 kali chest thrust pada titik tempat kompresi dada dengan frekuensi 1 x
/detik.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 31


Tehnik pukulan dan hentakan
Bayi dan anak kecil

Anak :
Dapat dengan cara backblow seperti pada bayi, dapat juga dengan cara
abdominal thrust (Heimlich manoevre). Penolong berdiri di belakang korban,
lingkarkan kedua lengan mengitari pinggang, pegang satu sama lain
pergelangan atau kepalan tangan penolong, letakkan kedua tangan penolong
pada daerah antara pusat dan prosesus sifoideus, tekan ke arah perut atas
dengan hentakan sebanyak 3-5 kali

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 32


Tatalaksana pada bayi dan anak dengan sumbatan jalan napas dan tidak
sadar :
Panggil bantuan

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 33


Tempatkan anak dalam posisi telentang diatas permukaan yang
rata
Buka mulut dan bila terlihat benda asing segera dikeluarkan
Buka jalan napas dan berikan 5 bantuan napas, reposisikan jalan
napas bila tidak terlihat pengembangan dada setiap pemberian
bantuan napas
Bila pemberian bantuan napas tidak efektif mulai berikan kompresi
dada
Bila hanya ada satu penolong tetap berikan resusitasi selama satu
menit kemudian panggil bantuan.

Setiap kali pemberian bantuan napas lihat apakah dalam rongga mulut
terdapat benda asing, bila ada segera keluarkan secara hati-hati agar tidak
merusak jaringan sekitarnya. Bila anak belum bernapas tetapi sudah ada
gerakan atau tersedak walaupun benda asing sudah keluar segera dilanjutkan
pemberian ventilasi dan kalau sirkulasi belum baik berikan kompresi dada,
kalau perlu dilanjutkan dengan pemberian tunjangan hidup lanjut. Bila anak
sudah bernapas secara efektif kemudian tempatkan anak dalam posisi pulih
dan lakukan monitor secara kontinyu.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 34


Algoritme Tunjangan Hidup Dasar pada Anak. Dikutip dari : Resuscitation
Guidelines 2010, Resuscitation Council (UK)

Rujukan :
1. Mackway Jones K, Molineoux E, Phillips B, Wieteska K. Advanced
Paediatric Life Support,The Practical Approach. 4thed. Massachusetts:
Blackwell Publishing;2005.Chapter 4, Basic life support; p. 21-35.
2. Pediatrics Vol. 126 No. 5 November 1, 2010 pp. e1345 -e1360 .
Published online October 18, 2010 (doi: 10.1542/peds.2010-2972C)
3. Resuscitation Guidelines 2010, Resuscitation Council (UK)

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 35


Tatalaksana Henti Jantung pada Anak

Antonius Pudjiadi

Pendahuluan

Henti jantung adalah keadaan saat curah jantung tidak ada (tidak
efektif). Pada keadaan ini tindakan resusitasi dasar yang efektif perlu
dilakukan sebelum tindakan spesifik (gambar1). Penyebab utama henti
jantung pada orang dewasa adalah fibrilasi ventrikel, sehingga kompresi dada
lebih penting dari ventilasi. Berbeda dengan orang dewasa, penyebab utama
henti jantung pada anak adalah asfiksia, hingga ventilasi sangat penting pada
henti jantung anak. Keberhasilan resusitasi pada gagal napas anak murni
dapat mencapai 95%. Tetapi anak yang tiba di rumah sakit dengan henti
jantung mempunyai prognosis yang sangat buruk. Schindler dkk.melaporkan
luaran 80 anak yang tiba di rumah sakit dengan henti jantung sebagai berikut:
37 anak (46%) meninggal di ruang darurat,37 anak lainnya meninggal di
PICU, 2 anak bertahan dalam kondisi vegetatif, 3 anak mengalami deficit
fungsional dan 1 anak meninggal 12 bulan kemudian. Empat irama henti
jantung yang akan dibahas adalah;
1.Asistole
2.Pulselesselectricalactivity(PEA)
3.VentricularFibrillation(VF)
4.PulselessVentricularTachycarda(pulselessVT)

Irama yang tidak diterapi dengan kejut listrik


Asistole
Asistolemerupakan penyebab tersering henti jantung anak. Umumnya
disebabkan karena hipoksia berat dan lama disertai asidosis. Pada
elektrokardiogram (EKG) gambaran umumnya berbentuk garis lurus mendatar,
kadang-kadang dapat pula muncul gelombang P yang jarang (gambar2). Bila

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 36


pada monitor terdapat gambar demikian, kecuali pemeriksaan pasien,
perhatikan pula apakah tidak disebabkan karena kabel elektroda yang lepas.

Pulseless electrical activity(PEA)

Suatu keadaan tidak terabanya nadi atau terdapat tanda terhentinya


sirkulasi ketika monitor EKG menunjukan gambar yang sewajarnya
menyebabkan terabanya nadi. PEA sering kali terjadi akibat suatu sebab yang
reversible. Pada anak penyebab nya antara lain adalah hipovolemi
berat,tensionpneumothorax, tamponade perikardium, hipotermia, gangguan
elektrolit termasuk intoksikasi calcium channel blocker. Sekalipun pada anak
jarang terjadi, PEA dapat juga disebabkan karena tromboemboli paru
masif.Tatalaksana awal PEA sama dengan asistole.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 37


Gambar 1.Algoritma Resusitasi Anak

Gambar 2.Asystole

Tatalaksana Asystole /PEA


Lakukan kompresi dada dan bantuan napas sesuai siklus resusitasi
dengan efektif. Berikan adrenaline 10 mikrogram/kg berat badan (0,1ml
larutan1:10.000) intravena atau intraoseous,dilanjutkan dengan bilasan saline
sebannyak 25ml. Pemberian yang paling baik adalah melalui kateter vena
setral. Efekadrenergik adrenalin akan mengakibatkan vasokonstriksi hingga
meningkatkan tekanan diastolic aorta saat kompresi dada. Dengan demikian
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 38
perfusi koroner membaik. Kondisi ini diharap kanakan membangkitkan
kontraksi spontan jantung dan memperbaiki kontraktilitas miokardium. Selama
pemberian adrenalin, kompresi dada dan bantuan napas tetap dilakukan.
Evaluasi dengan menghentikan sementara kompresi dada dilakukan tiap 2
menit untuk menilai irama jantung dan tanda sirkulasi. Bila masih asistole,
siklus resusitasi dilanjutkan. Pemberian adrenalin dapat diulang setelah
4menit. Selama resusitasi, pertimbangkan pula mengatasi penyebab yang
reversible, seringkali diingat sebagai 4H dan 4T, yaitu:
1.Hipoksia
2.Hiopovolemia
3.Hiperkalemia
4.Hipotermia
5. Tensionpneumothrorax
6. Tamponade jantung
7.Toxisubstances
8.Thromboemboli
Pemberiannatrium bikarbonat tidak rutin dilakukan. Karena
memproduksi karbondioksida, penggunaan natrium bikarbonat hanya dapat
dilakukan bila resusitasi dasar dilakukan dengan effektif. Indikasi
penggunaannya antara lain pada henti jantung lama atau penyebab henti
jantung adalah asidosis metabolik berat. Natrium bikarbonat juga digunakan
pada hiperkalemia.

Irama yang diterapi dengan kejut listrik


Ventricular Fibrillation dan Pulseless Ventricular Tacycardia

Gambaran EKG ventricular fibrillation (VF) dan ventricular tachycardia


(VT) dapat dilihat pada gambar 3 dan 4. Aritmia jenis ini lebih jarang terjadi
pada anak,namun dapat juga tidak terdeteksi karena anak segera menjadi
kolaps.Kondisi ini dapat terjadi pada hipotermia, keracunan antidepresan
jenistrisiklik dan seringkali pada anak dengan penyakit jantung.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 39


Gambar 3.VentricularFibrillation

Gambar 4.Ventricular Tacycardia

Bila anak dirawat menggunakan monitor EKG, maka gangguan iramaini dapat
segera terdeteksi,sebelum perburukan lanjut. Dalam keadaan ini tindakan
defibrilasi (kejutlistrik) harus segera dilakukan dengan dosis 4 joules/kg berat
badan, dilanjutkan dengan tindakan resusitasi tanpa jeda. Pada anak yang
tidak dalam monitor EKG, identifikasi umumnya terlambat dan resusitasi dasar
harus sudah dilakukan sebelum gangguan irama terdeteksi. Protokol
tatalaksana VF dan pulseless VT dapat dilihat pada gambar 5. Selama
resusitasi,pertimbangkan pula mengatasi penyebab reversible yang dikenal
dengan 4H dan 4T.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 40


Penggunaan perangkat kejut listrik DC
Paddles pediatric (4,5cm) digunakan untuk anak dibawah 10 kg. Salah
satu elektroda diletakan pada apeks, digaris mid-aksilaris dan elektroda yang
lain di bawah klavikula, sebelah kanan sternum. Bila digunakan paddles
dewasa, satu elektroda di punggung dan yang lain di dada kiri bawah.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 41


Anti-aritmia
Amiodarone adalah pilihan utama untuk VF dan VT yang kebal terhadap
terapi kejut listrik. Dosis Amiodarone 5mg/kg bolus intravena cepat. Lidokain
adalah alternative lain dengan dosis1mg/kg intravena atau intraoseus.

Daftar Bacaan
1. Schindler MB, Bohn D, Cox PN, McCrindle BW,Jarvis A, Edmonds J, Barker
G.Outcome of hospital cardiac or respiratory arrest in
children.NEnglJMed1996;335(20):1473-9.
2. Berg MD, Schexnayder SM,Chameides L, Terry M,Donoughue A,Hickey
RW,Berg RA, Sutton RM, Fran M. Pediatric Basic Life Support:2010
American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary resuscitation
and Emergency Cardiovascular care.Circulation2010;122:S862-75.
3. MackwayJones K, Molyneoux E, Phhillips B, Wieteska S. Advanced
Paediatric Life Support, The Practical Approach. 4thed.
Massachusetts:Blackwell Publishing; 2005. Chapter 6, The management of
cardiac arrrest;p.47-56.6

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 42


UPAYA MEMPERTAHANKAN JALAN NAPAS
DAN
MEMBERI BANTUAN PERNAPASAN

Yusrina Istanti

TUJUAN PEMBELAJARAN
1. Bagaimana menilai dan mengelola jalan napas
2. Bagaimana memberi support pernapasan dengan alat bantu sederhana
3. Bagaimana memberi respons terhadap masalah jalan napas maupun
pernapasan dengan pendekatan terstruktur

PENDAHULUAN
Manajemen jalan napas dan pernapasan merupakan prioritas utama
dalam resusitasi. Pada pasien anak fungsi respirasi cepat mengalami
penurunan sehingga teknik resusitasi yang efektif harus dikuasai untuk
mencegah dampak yang lebih buruk. Terdapatnya perbedaan anatomis dan
fisiologis antara pasien anak dan dewasa harus diperhatikan karena
berhubungan dengan teknik dan alat yang akan dipergunakan.

Perbedaan anatomis dan fisiologis


1. Diameter jalan napas lebih kecil. Akibatnya edema mukosa ringan
meningkatkan resistensi jalan nafas/work of breathing yang besar.
2. Lidah bayi relatif besar dibanding ruang orofarings. Keadaan ini
mengakibatkan obstruksi jalan napas hebat bila lidah jatuh ke belakang.
Ukuran lidah yang relatif besar ini juga akan mengganggu upaya
melihat larings dengan laringoskop saat melakukan intubasi.
3. Letak larings lebih tinggi (cepalhad), proyeksinya pada vertebra
servikalis ke 3 dan 4 sedang pada orang dewasa pada vertebra servikal
4,5 dan 6. Posisi ini mengakibatkan terdapatnya sudut yang relatif
tajam antara basal lidah dan liang glotis. Keadaan ini menyulitkan

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 43


penolong untuk melihat epiglotis. Karena jaringan dasar mulut bayi
relatif lunak, penggunaan laringoskop berdaun lurus dengan teknik
menekan jaringan dasar mulut lebih digemari saat mengintubasi bayi.
4. Epiglotis bayi dan balita lunak, pendek, sempit dan membentuk sudut
dengan sumbu trakea. Keadaan ini menyulitkan pengontrolan epiglotis
saat melakukan intubasi.
5. Pita suara pendek, perlekatannya di dinding anterior lebih rendah.
Susunan anatomis ini menyebabkan peletakan endotrakeal secara buta
sangat mungkin terhambat di komisura anterior pita suara.
6. Jalan nafas tersempit anak di bawah usia 10 tahun terletak di bawah pita
suara, yaitu setinggi rawan krikoid yang kurang elastis. Laring anak
berbentuk corong sedangkan larings remaja dan dewasa berbentuk
silinder (gambar 1). Diameter pipa endotrakeal harus disesuaikan
denagan diameter rawan krikoid, bukan liang glotis. Kebocoran dari
pipa endotrakeal pada peak inspiratory pressure 20-30 cmH2O setelah
intubasi merupakan indikator pemilihan pipa endotrakeal yang tepat.

Gambar 1. Perbedaan larings anak dan dewasa

7. Lamina posterior rawan krikoid lebih tebal dan membentuk sudut seperti
hurup 'v', sedang arkus anterior lebih bulat. Karena pipa endotrakeal
berbentuk bulat bagian posterior akan mengalami tekanan lebih besar
hingga dapat mengakibatkan iskemia dan nekrosis.
8. Trakea bayi pendek. Keadaan ini mengakibatkan mudah terjadi migrasi
pipa endotrakeal, baik endobronkial dengan akibat atelektasis paru kiri,
maupun bermigrasi keluar dari liang glotis hingga jalan napas tidak
terlindungi. Migrasi dapat terjadi pada fleksi atau ekstensi kepala.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 44


9. Kepala bayi memiliki oksiput yang menonjol, mengakibatkan posisi
sniffing saat berbaring terlentang. Keadaan ini mengakibatkan jalan
napas dapat lebih terbuka dengan meletakkan penyangga pada bahu.
10. Tulang iga relatif horizontal dan bersifat elastis. Otot interkostal
umumnya tipis. Dinding dada yang bersifat elastis menyebabkan
functional residual capac-ity berkurang bila usaha napas berkurang.
Volume tidak amat bergantung gerakan diafragma. Distensi lambung
atau toraks akan menyebabkan gerakan diafragma terganggu. Otot
interkostal tidak dapat banyak meningkatkan vol-ume toraks dengan
mengangkat iga. Pada obstruksi saluran napas, dinding torak yang
elastis mengalami retraksi pada saat inspirasi. Keadaan ini menimbulkan
gerak napas paradoks. Grunting pada bayi adalah upaya untuk
mempertahankan functional residual capacity dan jalan napas agar tetap
terbuka.
11. Kebutuhan oksigen per kilogram berat badan pada anak jauh lebih
tinggi dari dewasa. Pada bayi konsumsi oksigen 6 - 8 ml/kg, pada
dewasa 3 - 4 ml/kg. Keadaan ini mengakibatkan hipoksemia lebih cepat
terjadi pada anak.
12. Etiologi penyebab gangguan napas berbeda. Pada anak depresi
pusat napas dapat terjadi akibat hipoksia, hipotermia, intoksikasi,
gangguan metabolik (contoh: hipoglikemia) dan disfungsi susunan syaraf
pusat (contoh: akibat trauma atau kejang). Hipotermia, dan Erb's
paresis lebih sering terjadi pada bayi sedangkan trauma servikal lebih
sering terjadi pada orang dewasa.

Peralatan untuk mempertahankan jalan napas


a. Penyangga jalan napas :
a. Penyangga jalan napas orofarings (oropharyngeal airway atau
guedel)
Penyangga jalan napas orofarings atau guedel dipakai pada
pasien tidak sadar untuk menjaga tetap terbukanya jalan napas
antara lidah dan dinding posterior farings. Alat ini bisa juga dipakai
untuk stabilisasi posisi pipa endotrakhea. Pada pasien sadar
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 45
dengan reflex muntah yang masih intak tidak disarankan karena
bisa memicu terjadinya muntah.
Penyangga napas orofarings tersedia dalam berbagai ukuran
atara 4-10 cm (ukuran guedel 0-4). Pemilihan ukuran disesuaikan
dengan jarak antara gigi seri dengan angulus mandibulae (Gambar
A). Ukuran yang terlalu besar akan mengakibatkan penyangga
jalan napas orofarings menutup larings atau menyebabkan trauma
larings (Gambar C). Bila terlalu kecil akan mendorong lidah ke
posterior akan menutup farings (Gambar D). Teknik pemasangan
dapat dilakukan langsung dengan lengkung menghadap kebawah
bila digunakan penekan lidah. Bila tidak digunakan penekan lidah,
penyangga jalan napas orofarings dimasukan melalui mulut
dengan bagian lengkung menghadap keatas, setelah ujungnya
mencapai orofarings, penyangga jalan napas orofarings diputar
180o dan didorong hingga posisi yang tepat. Untuk mencegah
kerusakan mukosa, palatum mole atau gigi, teknik dengan cara
memutar hanya dilakukan pada anak di atas 12 tahun

Gambar 2. Cara mengukur dan posisi penyangga orofarings

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 46


b. Penyangga jalan napas nasofarings
Tujuannya menjaga jalan napas antara hidung dan farings
posterior tetap terbuka. Alat ini lebih dapat ditoleransi pasien
dibandingkan penyangga jalan napas orofarings. Penyangga jalan
napas nasofarings terdapat dalam ukuran 12F sampai 36F.
Ukuran 12F berdiameter setara dengan pipa endotrakeal ukuran
3mm, biasanya digunakan pada neonatus cukup bulan. Pemilihan
penyangga nasofarings yang tepat dilakukan dengan mengukur
diameter liang hidung. Diameter luar tidak boleh menyebabkan
peregangan alae nasi. Panjang penyangga diukur dari ujung
hidung ke tragus telinga. Pemasangan dilakukan dengan
memberikan pelumas, kemudian alat dimasukan melalui lubang
hidung kearah posterior mengikuti dasar nasofarings. Kontra
indikasi penyangga jalan napas nasofarings antara lain pada
fraktura basal tengkorak.

Gambar 3. Penyangga nasofarings

b. Laringoskop
Ada dua jenis laringoskop yang umum dipakai pada anak, yaitu
laringoskop berdaunlurus (Miller) dan lengkung (Macintosh). Alat ini
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 47
dirancang untuk menyingkirkan lidah kemudian membuka dan melihat
daerah larings. Sesuai dengan rancang bangunnya, laringoskop lurus
digunakan dengan meletakkan ujung daun pada epiglotis, kemudian
mengangkat seluruh daun laringoskop tegak lurus dengan tuasnya.
Laringoskop lengkung digunakan dengan meletakkan ujung daun
pada valekula kemudian mengungkitnya dengan mengerakkan tuas
kebelakang. Laringoskop daun lurus juga dapat diletakkan di valekula.
Keuntungan bila diletakkan di epiglotis adalah sering kali dapat
melihat pita suara dengan lebih jelas. Keuntungan bila diletakan di
valekula adalah mengurangi rangsang epiglottis yang dapat berakibat
spasme larings. Karena bentuk anatomis jalan napas neonatus,
laringoskop berdaun lurus lebih banyak digunakan pada neonatus.
Sangat penting diingat bahwa dalam persiapan selalu disediakan
lampu dan batu baterai cadangan. Sebelum digunakan, laringoskop
diaktifkan dahulu, sesuai dengan daun yang akan dipilih

Gambar 4. Laringoskop berdaun lurus dan lengkung

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 48


Gambar 5. Posisi ujung daun laringoskop pada proses intubasi

c. Pipa endotrakea
Pipa endotrakeal yang paling bayak digunakan untuk resusitasi
adalah pipa plastic lengkung dengan ke dua ujung yang terbuka. Pada
bagian proksimal pipa endotrakeal dihubungkan dengan adaptor yang
berdiameter 15 mm, sesuai dengan adaptor balon resusitasi.
Terdapat juga adaptor dengan baku lain, yaitu 8,5 mm. Karena itu
pada tas resusitasi adaptor ini harus diseragamkan. Bagian distal
pipa terdapat garis yang menunjukkan lokasi yang tepat setinggi pita
suara agar posisi pipa setelah terpasang tepat pada trakea. Adapula
pipa endotrakeal yang memiliki lubang pada sisinya, dikenal dengan
istilah Murphy eye, dirancang sebagai penyelamat bila terjadi
obstruksi pada ujung pipa. Untuk anak dibawah usia 8 - 10 tahun
atau lebih biasanya tidak digunakan pipa yang menggunakan cuff
(balon), untuk mencegah edema setinggi rawan krikoid.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 49


Gambar 6. Pipa endotrakea

Pemilihan ukuran pipa yang tepat dapat diperkirakan dengan cara


sebagai berikut:
Diameter dalam (mm) = (Usia/4) + 4
Panjang (cm) = (Usia/2) + 12 (pipa oral)
Panjang (cm) = (usia/2) + 15 (pipa nasal)
Rumus diatas dapat berlaku untuk usia diatas 1 tahun.
Neonatus umumnya menggunakan pipa berukuran 3-3,5 mm, kecuali
bayi prematur yang mungkin memerlukan pipa berdiameter 2,5 mm.
Cara lain untuk memperkirakan diameter pipa adalah dengan
membandingkannya dengan diameter kelingking pasien atau diameter
yang tepat dengan liang hidung. Pemilihan diameter yang tepat
dapat diketahui bila dalam penggunaannya terjadi kebocoran udara
melalui tepi pipa pada tekanan di atas 20-30 cmH2O. Bila digunakan
pipa dengan cuff, pengisian udara kedalam cuff, juga harus dapat
menghasilkan kebocoran udara melalui tepi cuff pada tekanan di atas
20-30 cm H2O
d. Cunam Magil
Cunam Magill adalah alat penjepit yang bersudut agar dalam
penggunaannya tidak
mengganggu lapangan pandang. Alat ini digunakan untuk menjepit
pipa endotrakeal, terutama yang dimasukan melalui liang hidung, dan
mendorongnya hingga melewati pita suara. Cunam ini dapat juga
digunakan untuk mengeluarkan benda asing dari jalan napas atas.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 50


e. Kateter penghisap
Digunakan untuk mengeluarkan sekret bronkus atau cairan lain
yang teraspirasi ke dalam jalan napas. Ukuran yang umum digunakan
adalah dalam satuan French gauge. Sebagai pedoman, dipakai
ukuran French gauge dua kali diameter dalam pipa endotrakeal.
Sebagai contoh: bila pipa endotrakeal berdiameter 3.0 mm, karakter
penghisapan yang digunakan berukuran 6 French gauge.

Peralatan sederhana untuk mendukung oksigenasi dan ventilasi


1. Masker resusitasi
Masker resusitasi, untuk mulut-masker atau Bag-mask,
mempunyai dua bentuk dasar. Bentuk pertama menyesuaikan bentuk
anatomi anak, bertujuan untuk mengurangi ruang rugi. Bentuk lain
memiliki plastik lunak berbentuk sirkular yang memberikan
kekedapan yang sempurna. Pada bagian pangkalnya, masker
resusitasi mempunyai konektor baku berukuran 15/22 mm. Masker
yang baik seharusnya bening, sehingga dapat mendeteksi sianosis
bibir, udara ekspirasi (masker mengembun) dan muntahan. Ukuran
yang ideal adalah yang meliputi dagu hingga pangkal hidung, tetapi
tidak menyebabkan tekanan pada mata.

Gambar 7. Masker resusitasi

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 51


2. Balon resusitasi
a. Balon resusitasi tipe mengembang dengan sendirinya (Self-
inflating bag)
Alat ini dirancang untuk memberikan ventilasi pasien pada
keadaan darurat. Terbuat dari bahan karet atau plastik yang
memiliki daya recoil sehingga dapat mengisi udara sendiri tanpa
adanya sumber gas (oksigen). Pada bagian distal terdapat katup
searah yang mengalirkan udara dari balon resusitasi ke sistem
pernapasan pasien. Bagian ini dilengkapai konektor yang
dibakukan untuk dapat dihubungkan dengan masker resusitasi.
Pada bagian proksimal terdapat konektor untuk dihubungkan
dengan sumber oksigen dan konektor lain yang dapat terbuka
untuk mengisi bag dengan udara luar atau dihubungkan dengan
reservoir. Tanpa reservoir, sulit untuk memasok udara ke pasien
yang berkadar oksigen lebih dari 50 %. Dengan reservoir yang
terisi penuh dengan oksigen dapat membuat alat ini mampu
memasok gas dengan kadar oksigen mencapai 98%. Ada 3 ukuran
Self-inflating bag, 240 ml, 500 ml dan 160 ml. Bag berukuran 240
ml dan 500 ml biasanya dilengkapi katup pengaman yang
membuka pada tekanan 45 cm H2O untuk mencegah barotrauma.

Gambar 8. Balon resusitasi tipe mengembang sendiri

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 52


b. Balon resusitasi tipe tidak mengembang dengan sendirinya
Terdiri dari reservoir bag, tempat keluar untuk udara yang
berlebih, tempat untuk masuknya gas dan konektor masker baku
15/22 mm. Tempat udara yang berlebihan biasanya dilengkapi
dengan katup pengatur. Alat ini tidak dilengkapi dengan katup
non-rebreathing. Untuk menggunakan alat ini dibutuhkan
keterampilan dan pengalaman. Dengan mengatur aliran gas, katup
pengatur kelebihan gas dan pengunaan masker yang benar,
bantuan ventilasi dapat diberikan. Volume udara inspirasi
diperoleh melalui pengaturan katup untuk udara berlebih.
Komposisi gas inspirasi ditentukan oleh aliran udara segar. Aliaran
udara penting juga untuk menghalau gas ekspirasi. Bila katup
pengatur kelebihan gas terlalu tertutup, dapat diciptakan udara
inspirasi bertekanan tinggi dengan risiko barotrauma. Bila katup
ini terlalu terbuka, reservoir akan kempes dan bantuan ventilasi
tidak dapat dilakukan sampai reservoir terisi kembali. Bila katup
ini ditutup sama sekali akan terjadi rebreathing
Untuk pasien dengan berat kurang dari 10 kg, umumnya
digunakan aliran gas 2 l/menit, dengan berat 10-50 kg, 4 l/menit
dan berat lebih dari 50 kg 6 l/menit. Makin tinggi aliran gas, makin
kecil terjadinya rebreathing, sehingga efektif mencegah
hiperkarbia. Positive end expiratory pressure (PEEP) atau
continuous positive airway pressure (CPAP) dapat diciptakan
dengan alat ini dengan mengatur katup pengatur kelebihan gas.
Karena pengunaannya yang memerlukan pengalaman dan alat ini
sama sekali tidak dapat digunakan bila sumber gas tidak ada,
maka biasanya alat ini tidak disediakan sebagai alat resusitasi
awal. Ditangan orang yang berpengalaman, compli-ance paru
dapat 'terasa', hingga alat ini sangat efektif.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 53


Gambar 9. Balon resusitasi tipe tidak mengembang sendiri

3. Pipa lambung
Anak sangat rentan untuk tanpa sengaja menelan udara dan
kemudian muntah.Selama tindakan bantuan ventilasi dengan balon
resusitasi dan masker, udara biasanya juga masuk ke dalam
lambung. Keadaan ini dapat merangsang muntah, reaksi vagal dan
menekan diafragma keatas. Pemasangan pipa lambung dapat
mengempeskan lambung dan memperbaiki pernapasan dengan
sangat bermakna.
Pipa lambung tersedia dalam ukuran 2 F hingga 16 F untuk
neonatus, anak hingga remaja. Penempatan pipa biasanya dilakukan
melalui hidung, yaitu pada dasar hidung, melalui dinding posterior
farings, esofagus dan masuk ke lambung. Untuk menempatkan ujung
pipa dalam lambung, sebelum pemasangan, dianjurkan untuk
memberi tanda pada pipa sesuai dengan jarak dari hidung ke telinga
lalu ke prosessus xiphoideus (dikenal dengan istilah nex,
kependekatan dari nose-ear-xiphoid). Pelumasan beberapa
sentimeter ujung pipa lambung dengan pelumas yang larut dalam air
atau mengandung 2% lidokain akan memudahkan pemasangannya.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 54


Gambar 10. Lokasi pemsangan pipa nasogastrik

Teknik untuk mempertahankan jalan napas dan ventilasi


1. Maneuver chin lift dan jaw thrust dan penggunaan penyangga jalan
napas. Maneuver chin lift biasanya dikerjakan dengan maneuver
melihat, mendengar dan merasakan yang bertujuan untuk cepat
mengenali adanya henti napas, obstruksi jalan napas atau gangguan
pernapasan lain. Fleksi leher maupun ekstensi yang berlebihan juga
akan mengakibatkan jalan napas tertutup.

Gambar 11. Maneuver chin lift dan look, listen and feel

Gambar 12. Jaw trust

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 55


2. Penggunaan balon dan masker resusitasi
Teknik ini dilakukan dengan salah satu tangan penolong
mempertahankan masker kedap pada muka sambil mempertahankan
posisi chin lift dengan meletakan jari ke 3,4 dan 5 pada ramus
mandibula sambil mendorong rahang ke atas. Tangan penolong
lainya memijat balon resusitasi.
Bila terdapat dua penolong yang akan melakukan bantuan
napas, salah seorang penolong dapat menggunakan kedua tangannya
untuk menjaga masker kedap sambil mempertahankan posisi jalan
napas. Penolong lainnya melakukan pemijatan balon resusitasi.
Dengan mengatur posisi kepala dan leher ventilasi yang efektif dapat
dilakukan. Ventilasi yang efektif dapat dinilai dengan terjadinya
pengembangan dada. Bila dada tidak mengembang dengan baik,
lakukan perbaikan posisi, pertimbangkan juga pembersihan jalan
napas dengan alat penghisap. Bila usaha bernapas masih baik, cukup
berikan oksigen. Pada bantuan ventilasi dengan menggunakan
masker, sering terjadi distensi lambung. Keadaan ini lebih sering lagi
terjadi bila compliance paru menurun atau terdapat obstruksi jalan
napas. Distensi lambung disamping menghambat gerakan diafragma
kebawah dapat pula berakibat regurgitasi dan aspirasi cairan
lambung. Pada bayi dengan kesadaran menurun, distensi lambung
dan regurgitasi pasif dapat dicegah dengan memberikan tekanan pada
rawan krikoid (maneuver Sellick) selama ventilasi dengan masker.
Pada bayi penekanan rawan krikoid biasanya dilakukan dengan satu
jari saja, pada anak dengan ibu jari dan telunjuk. Penekanan yang
terlalu kuat akan mengakibatkan obstruksi trakea.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 56


Gambar 13. Penggunaan balon dan masker resusitasi dengan satu
penolong

Gambar 14. Penggunaan balon dan masker resusitasi dengan dua


penolong

3. Pemasangan pipa endotrakeal


Ventilasi melalui pipa endotrakeal merupakan cara yang sangat
efektif. Jalan napas yang terjaga menyebabkan pemberian ventilasi
dan oksigen lebih terjamin. Kemungkinan aspirasi cairan lambung
menjadi kecil. Tekanan udara pernapasan juga menjadi mudah
dikendalikan dan penggunaan Positive End Expiratory pressure (PEEP)
dengan mengatur katup ekspirasi. Indikasi penggunaan pipa
endotrakeal antara lain adalah :
1) Gangguan kontrol pernapasan dari susunan saraf pusat.
2) Obstruksi jalan baik secara anatomis maupun fungsional
3) Refleks yang melindungi jalan napas hilang
4) Work of breathing berlebihan

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 57


5) Dibutuhkan tekanan inspirasi yang tinggi atau PEEP
6) Dibutuhkan ventilasi mekanik tekanan positif
7) Potensial terjadi keadaan diatas dalam proses transportasi
pasien

Untuk melakukan intubasi diperlukan langkah-langkah sebagai berikut


:
1) Lakukan ventilasi dengan balon dan masker resusitasi dengan
oksigen 100 %
2) Pantau denyut jantung, sangat membantu bila terdapat pulse
oxymeter.
3) Siapkan laringoskop, pipa endotrakeal dan kateter penghisap.
Pastikan semua alat tersebut bekerja dengan baik dan tepat
ukurannya.
4) Tindakan intubasi harus dilakukan dengan cepat, tindakan lebih
lama dari 30 detik dapat berakibat hipoksia berat.
5) Gunakan laringoskop. Agar liang glotis dapat terlihat jelas,
sumbu mulut, farings dan glotis harus segaris. Untuk anak di
atas 2 tahun, posisi optimal dapat dicapai dengan meletakkan
ganjal pada kepala anak, kemudian melakukan sniffing position.
Pada bayi hal ini tidak perlu dilakukan karena oksiput bayi yang
prominent. Pada trauma leher, intubasi harus dilakukan dalam
posisi netral.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 58


Gambar 15. Sumbu mulut, farings dan glottis dengan peletakan berbagai posisi
penyangga

6) Bersihkan jalan napas dengan kateter penghisap bila


dibutuhkan.
7) Intubasi dapat dilakukan secara orotrakeal atau nasotrakeal.
Pada tindakan resusitasi umumnya dilakukan intubasi
orotrakeal, karena dapat dilakukan lebih cepat. Agar tidak
menghalangi lapang pandang, biasanya pipa endotrakeal
dimasukan melalui sudut mulut sebelah kanan. Bila dilakukan
intubasi nasotrakeal, biasanya dibutuhkan cunam Magill untuk
menuntun ujung pipa masuk kedalam liang glotis. Penekanan
rawan krikoid dari luar sering kali memudahkan visualisasi liang
glotis.
8) Masukan pipa endotrakeal sampai petanda pita suara terletak
tepat setinggi pita suara. Bila digunakan pipa endotrakeal
dengan cuff, letakkan cuff tepat dibawah pita suara, dengan
demikian posisi pipa endotrakeal akan tepat pada pertengahan
trakea. Kembangkan cuff hingga terjadi kebocoran udara bila
balon resusitasi ditekan hingga menghasilkan tekanan lebih dari
20-30 cm H2O

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 59


9) Setelah pipa endotrakeal terpasang lakukan observasi gerakan
simetri dada, lakukan auskultasi suara napas pada bagian
lateral dada kiri dan kanan dan pastikan suara napas yang
dipompakan balon resusitasi tidak terdengar di lambung.
10) Bila gerakan dada dan suara napas tidak simetris,
kemungkinan terjadi intubasi endobronkial. Pipa endotrakeal
harus ditarik hingga gerakan dada dan suara napas simetris.
11) Lakukan fiksasi dengan plester. Agar posisi pipa tidak
berubah, bagian pipa yang terletak setinggi mulut (orotrakeal)
atau hidung (nasotrakeal) ditandai dengan zat pewarna atau
diikat dengan benang.
12) Lakukan foto rontgen toraks untuk memastikan posisi pipa
endotrakeal yang tepat.
13) Evaluasi dengan pemeriksaan analisis gas darah atau end
tidal CO2 sangat bermanfaat untuk menilai tingkat ventilasi
yang akan dicapai.
Beberapa keadaan yang menyebabkan, pengembangan paru tidak
adekuat dengan masker resusitasi dan pipa endotrakeal antara lain
adalah :
1) Pipa endotrakeal terlalu kecil.
2) Katup pelindung kelebihan tekanan pada balon resusitasi 'lupa'
ditutup, hingga udara tekan keluar melalui katup ini.
3) Kebocoran pada konektor
4) Volume tidal yang diberikan kurang.
5) Sumbatan pada pipa endotrakeal.
6) Pneumotoraks

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 60


Gambar 16. Manuever Cellick

Gambar 17. Visualisasi liang glottis saat intunasi

Tata laksana jalan napas dan ventilasi pada resusitasi


Untuk dapat melakukan penyelamatan dengan cepat dan efektif
diperlukan suatu pendekatan yang sistematis.

Penilaian pertama
Dalam menghadapi pasien dengan kegawatan pernapasan, diperlukan
pemeriksaan fisiologis cepat yang harus diselesaikan kurang dari 1
menit. Langkah pemeriksaan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Maneuver melihat, mendengar dan merasakan.
2) Nilai work of breathing
3) Hitung frekuensi napas
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 61
4) Dengar stridor dan/atau wheezing
5) Auskultasi suara napas
6) Nilai warna kulit
Bila selama penilaian ini teridentifikasi masalah yang harus segera
diatasi, upayakan segera mengatasi masalah tersebut dan kemudian
ulangi lagi langkah-langkah penilaian pertama.

Resusitasi
Tindakan penyelamatan yang meliputi sistem vital lain (resusitasi
cairan dll). Tehnik mempertahankan jalan napas dan ventilasi dalam
tindakan resusitasi dilakukan dengan urutan sebagai berikut:
1) Pertimbangkan manuver chin lift/jaw thrust
2) Berikan oksigen
3) Pertimbangkan penghisapan sekret dari saluran pernapasan dan
atau mengeluarkan benda asing dari jalan napas.
4) Pertimbangkan bantuan ventilasi dengan masker dan balon
resusitasi, bila perlu melakukan intubasi.
5) Pertimbangkan melakukan dekompresi toraks dengan pipa
torakotomi
6) Pertimbangkan krikotiroidotomi
7) Lakukan pemantauan dengan pulse oximetry atau alat monitor
lainnya.

Penilaian kedua
Meliputi pemeriksaan fisis lengkap (dari kepala hingga kaki).
Sebelum sampai pada tahap ini semua tindakan resusitasi harus telah
dilaksanakan semestinya. Dari segi jalan napas dan ventilasi tindakan
yang dilakukan pada fase ini adalah sebagai berikut:
1) Pemeriksaan rinci jalan napas, leher dan toraks.
2) Carilah tanda-tanda seperti pembengkakan , memar dan luka.
3) Nilai gerakan simetris pernapasan.
4) Jangan dilupakan pemeriksaan toraks bagian belakang.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 62


Semua intervensi medis darurat dapat dilakukan selama fase penilaian
kedua dilaksanakan. Setiap saat, bila keadaan pasien memburuk
dengan cepat, ulangi pemeriksaan pertama dan lanjutkan langkah
selanjutnya hingga seluruh langkah pendekatan sistimatis dilaksanakan.
Pada pasien sangat gawat, tindakan pemeriksaan pertama dan resusitasi
menjadi satu. Segera setelah teridentifikasi suatu masalah darurat,
segera lakukan tindakan untuk mengatasinya, sebelum kembali
mengulangi langkah-langkah pemeriksaan pertama secara berurutan.
Secara sederhana tata laksana untuk mempertahankan jalan napas dan
ventilasi dapat dilihat sebagai berikut:

Penilaian pertama
Penilaian jalan napas
Pada kecurigaan adanya trauma, Lindungi vertebra servikalis
Obstruksi jalan napas dan ganguan kesadaran, lakukan Chin lift /
jaw thrust
Terapi oksigen
Penghisapan sekret jalan napas, keluarkan benda asing
Bila masih terdapat tanda obstruksi
Penyangga jalan napas oro/nasofarings
Bila masih terdapat tanda obstruksi
Intubasi
Bila intubasi gagal
Krikotiroidotomi
Bila terdapat stridor tetapi keadaan baik
Bila memadai pertahankan pernapasan spontan
Upayakan penggunaan masker oksigen, namun demikian jangan
memaksa hingga anak ketakutan.
Jangan paksa anak berbaring terlentang, biarkan anak memilih
posisi yang nyaman.
Jangan lakukan pemeriksaan jalan napas dengan penekan lidah
atau laringoskop. Bila harus dilakukan prosedur tersebut lakukan
persiapan yang matang.
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 63
Hubungi/aktifkan team ahli (danperlengkapannya,contoh
bronkoskop).
Penilaian pernapasan
Bila henti napas
Berikan oksigen dengan balon resusitasi.
Pertimbangkan intubasi
Bila henti napas kemungkinan akibat obat Berikan penawar
Sesak napas atau takipnu
Berikan oksigen
Pernapasan tidak simetris
Pertimbangkan kemungkinan hemopneumotoraks, aspirasi benda
asing, perpadatan paru atau efusi pleura.
Trauma toraks
Tension pneumothorax, hemotoraks, flail chest, pneumotoraks
terbuka
Tension pneumothorax lakukan dekompresi dengan jarum,
selanjutnya pasang pipa torakotomi
Hemotoraks massif, pasang pipa torakotomi dan transfusi darah
Wheezing dan ronki
Pikirkan asma bronkial, bronkiolitis, pneumonia aspirasi dan gagal
jantung.
Serangan asma akut berikan inhalasi B-agonis, steroid dan
aminofilin intravena

Kembali kepenilaian pertama


Lanjutkan dengan penilaian Airway, Breathing, Circulation.
Bila terjadi perburukan oleh sebab apapun, ulangi penilaian jalan napas
dan pernapasan, sekaligus siapkan tindakan intubasi dan bantuan
ventilasi.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 64


PENATALAKSANAAN SYOK

Sri Martuti

Pendahuluan
Dalam menangani anak yang sakit tidak jarang kita menemukan pasien
dengan kondisi syok. Anak dalam keadaan syok harus mendapatkan intervensi
segera, karena kelambatan dalam penanganan syok akan meningkatkan
morbiditas dan mortalitasnya. Oleh karena itu perlu kita kenali tanda-tanda
syok lebih awal dan selanjutnya mampu memberikan penatalaksanaan segera
dengan tepat agar komplikasi dapat dicegah.

Definisi
Syok adalah sindroma akut yang disebabkan oleh ketidakmampuan
sistem sirkulasi menyediakan kecukupan oksigen dan nutrien untuk memenuhi
kebutuhan metabolik organ vital.

Sistem sirkulasi
Curah jantung (cardiac output=CO) dipertahankan oleh fungsi sistem
sirkulasi. Curah jantung akan mengalirkan darah secara adekuat untuk
mengangkut oksigen dan nutrien guna memenuhi kebutuhan metabolisme
jaringan tubuh dan membawa kembali hasil-hasil metabolik untuk dibuang dari
tubuh. Curah jantung merupakan perkalian laju jantung (Heart rate=HR) dan
isi sekuncup (Stroke Volume =SV). Isi sekuncup (SV) tergantung pada 3
komponen yaitu pengisian darah dari ventrikel (preload), kontraktilitas
miokardium dan jumlah beban jantung setelah kontraksi (afterload). Preload
secara tidak langsung dipengaruhi oleh jumlah darah yang kembali kejantung
(venous return). Afterload bergantung kepada resistensi aliran darah yang
keluar dari jantung ke sirkulasi sistemik (Systemic Vascular Resistance = SVR)
dan tahanan pembuluh paru (Pulmonary Vascular Resistance = PVR).
Sedangkankontraktilitasmiokardium (inotropic contractility) adalah kekuatan
otot jantung memeras darah keluar dari ventrikel. Keadaan hipoksia dan

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 65


asidosis mempunyai pengaruh negative terhadap kontraktilitas miokardium
(inotropic negative).

Manifestasi klinis
Syok hipovolemik merupakan penyebab syok yang paling sering pada
anak, dan urutan selanjutnya adalah sepsis. Hipovolemikdapat disebabkan
karena dehidrasi (muntah atau diare), kehilangan darah (trauma, perdarahan
gastrointestinal atau intrakranial) kehilangan plasma ( luka bakar,
hipoproteinemia, peritonitis)dan kehilangan cairan contohnya pada diuresis
glukosuri.
Pada fase awal atau kompensasi akan ditemukan tanda-tanda takikardia,
takipneu ringan, vasokonstrik siperifer (temperatur kulit menurun, pengisian
kapiler > 2-3 detik), tekanan darah masih normal dan tekanan nadi
menyempit dan iritabel ringan. Adanya takikardia tanpa sebab yang jelas dan
tidak didapatkan tanda-tanda yang lain mungkin merupakan tanda awal
adanya syok. Takikardia merupakan upaya kompensasi terhadap penurunan isi
sekuncup. Sedangkan perlambatan waktu pengisian kapiler terjadi karena
peningkatan tonus simpatis oleh katekolamin endogen untuk meningkatkan
denyut jantung dan vasokonstriksi perifer dalam rangka mempertahankan
curah jantung dan tekanan darah.
Fase lanjut atau dekompensasi terjadi bila mekanisme kompensasi tidak
mampu mencukupi kebutuhan metabolik jaringan. Pada fase ini efek iskemia
seluler yang berhubungan dengan pelepasan mediator inflamasi dan vasoaktif
mulai berdampak pada mikrosirkulasi sehingga anak akan menunjukkan
gangguan pada otak, jantung dan ginjal. Tampak takikardia dan takipneu
menjadi lebih berat, kulit motled atau pucat, ekstremitas teraba dingin karena
vasokonstriksi dan penurunan aliran darah ke kulit. Waktu pengisian kapiler
makin nyata melambat (> 4 detik) dan didapatkan hipotensi. Pada syok septik
sebelum terjadi hipotensi akan ditemukan trias yaitu hipo atau hipertermia,
penurunan status mental dan pada beberapa kasus kulit akan teraba hangat
dan kering tanpa ditemukan penurunan waktu pengisian kapiler yang
menggambarkan vasodilatasi (warm syok) atau kulit teraba dingin yang
menunjukkan vasokonstriksi (cold syok).Penurunan curah jantung dan
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 66
vasokonstriksi mengakibatkan penurunan perfusi renal dan dapat ditemukan
oliguria. Perfusi saluran gastrointestinal juga menurun pada fase ini dan
mungkin sampai terjadi iskemia. Kondisi ini menyebabkan penurunan
motilitas, distensi, pelepasan mediator inflamasi dan vasoaktif, juga akumulasi
cairan. Dampak penurunan perfusi pada otak adalah keadaan iritabel yang
melanjut menjadi agitasi, confusi, halusinasi hingga koma. Dampak gangguan
mikrosirkulasi, iskemia jaringan dan pelepasan mediator inflamasi dan
vasoaktif terjadi pada seluruh jaringan termasuk jaringan paru dan pembuluh
darah. Kerusakan endotel kapiler paru mengakibatkan cairan mengisi intersitial
dan intraalveolar septum, bila syok terus melanjut cairan akan merembes
(leakage) ke dalam intraalveolar sehingga pertukaran gas tidak adekuat.
Kerusakan paru yang berlanjut akan menunjukkan gambaran sesak napas,
takipneu, sianosis, refrakter terhadap terapi oksigen, penurunan komplian paru
dan infiltral alveoli difus. Kumpulan gejala tersebut dikelompokkan sebagai
Acut Lung Injury (ALI) dan lebih berat yaitu Acute Respiratory Disstress
Syndrome (ARDS).

Penatalaksanaan
Terapi awal di ruang emergensi dapat diberikan universal pada semua
penyebab syok, karena secara fisiologis hanya terdapat sedikit perbedaan.
Kelainan dasar (basic defect) pada syok adalah hipovolemia, disfungsi
mikrosirkulasi, iskemia jaringan dan disfungsi kardiovaskuler. Masing-masing
defek di atas menjadi lebih berat seiring dengan lamanya syok berlangsung.
Semakin lama status syok, semakit berat defek yang terjadi. Sehingga
pemberian terapi segera dan agresif diperlukan, dimana survival pasien syok
terutama tergantung pada pemberian resusitasi cairan yang agresif dan seawal
mungkin.
Langkah pertama dalam penanganan syok meliputi : menjaga airway
yang adekuat, menentukan apakah pernapasan cukup adekuat, memberikan
oksigen 100%, membuat akses vaskuler dan sampling darah, memberikan
terapi cairan agresif 20 ml/kg NaCl 0,9% atau RL secepatnya (dalam 5-10
menit). Sebelum dan sesudah satu tahapan terapi sangat penting untuk
dilakukan reassesment. Target yang ingin dicapai adalah tekanan darah
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 67
kembali normal, nadi sentral dan perifer cukup kuat, produksi urin >
1ml/kg/jam, status mental normal, perfusi kulit hangat dengan waktu
pengisian kapiler < 2 detik. Perlu dan tidaknya pemberian tambahan cairan
dinilai berdasarkan tekanan darah, laju jantung dan oksigenasi. Jika tekanan
darah normal pemberian cairan tambahan didasarkan dari output urin, laju
jantung, waktu pengisian kapiler dan status mental. Pemberian tambahan
cairan kristaloid isotonik 20ml/kg dapat diulang sampai total 60 ml/kg dalam
30-60 menit pertama. Bila setelah pemberian kristaloid isotonik syok tidak
membaik, perlu dipikirkan penyebab syok yang lain. Pada syok non perdarahan
yang tidak berespon setelah pemberian cairan 60 ml/kg bisa disebabkan
estimasi cairan yang hilang terlalu rendah (misal pada luka bakar) atau
mungkin masih berlangsung kehilangan cairan misal kebocoran kapiler pada
obstruksi usus. Kecukupan pemberian cairan dapat juga dinilai dari cental
venous pressure. Direkomendasikan untuk memberikan tambahan cairan
selama tidak didapatkan ronki, irama galop, hepatomegali atau peningkatan
usaha bernapas, cairan bahkan dapat diberikan sampai 200ml/kg dalam 1 jam
pertama untuk mencapai tekanan darah dan perfusi normal. Kenyataannya
pada sebagian besar kasus syok cairan yang diberikan tidak mencukupi
sehingga anak tetap dalam kondisi syok hipovolemik relatif. Bila diperlukan
dapat diberikan packed red cell (PRC) 10 ml/kg dalam waktu lebih dari 1-2jam
untuk menjamin hemoglobin dalam kadar 10 g/dl. Tetapi bila kadar
hemoglobin di atas 10 g/dl atau darah tidak tersedia, maka dapat diberikan
albumin 5% dalam 0,9% NaCl yang dikombinasi dengan penggunaan
kristaloid. Penggunaan koloid dianjurkan pada syok hipovolemik yang dengan
kebocoran kapiler atau hipoalbumin yang tidak berespon dengan pemberian
kristaloid isotonik 60 ml/kg.
Guideline yang dapat digunakan dalam penatalaksanaan pasien syok septik
adalah sebagai berikut :
i. 0-5 menit : mengenal penurunan status mental dan penurunan
perfusi. Memberikan oksigen aliran tinggi. Memasang akses intravena
atau intaosseous. Bila ventilasi dan oksigenasi tetap tidak adekuat
dapat dilakukan intubasi endotrakeal atau pemasangan ventilator jika

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 68


diperlukan. Alasan untuk intubasi endotrakeal antara lain adah syok
persisten setelah pemberian cairan > 40-60 ml/kg.
ii. 5-15 menit : Resusitasi awal menggunakan akses perifer atau
intraosseous dilakukan setelah jalan napas dan pernapasan cukup
adekuat. Diberikan volume cairan pengganti sebanyak 20 ml/kg
berupa cairan isotonis (NaCl 0,9 % atau ringer laktat) dan diulang jika
diperlukan (sampai 60 ml/kg). Masih terdapat kontroversi apakah
lebih baik menggunakan cairan kristaloid atau koloid. Keuntungan
cairan kristaloid adalah mudah didapat, murah, dan side efeknya tidak
ada. Sifat cairan ini adalah segera didistribusikan melintasi ruang
intavaskuler dan interstitial, tetapi volume yang diperlukan 2-4x lebih
besar dibandingkan jika digunakan cairan koloid. Cairan koloid seperti
haes, gelatin menghasilkan volume plasma yang lebih besar dan lebih
bertahan lama, tetapi belum tentu tersedia. Fresh frozen plasma
sering juga digunakan pada pasien dengan disseminated intravascular
coagulation untuk suplementasi faktor-faktor koagulan, tidak praktis
untuk digunakan sebagai cairan resusitasi. Resusitasi menggunakan
cairan albumin sebaiknya hanya dipakai pada kasus tertentu misalnya
luka bakar atau kasus yang terbukti hipoalbumin misal sindroma
nefrotik. Sebelum menggunakan obat-obatan untuk memperbaiki
curah jantung, perlu dilakukan koreksi abnormalitas elektrolit yang
dapat mengganggu fungsi jantung misal hipokalsemia dan juga
keadaan hipoglikemia. Antibiotika spektrum luas diberikan
berdasarkan kecurigaan klinis kuman penyebab sesudah mengambil
kultur darah. Mulai memasang akses vena perifer yang kedua untuk
pemberian obat-obatan inotropik dan vasoaktif.
iii. 15-60 menit : kenali syok yang refrakter cairan yaitu syok persisten
setelah pemberian volume yang adekuat dan perfusi organ vital masih
belum pulih. Obat-obat inotropik dapat digunakan untuk memperbaiki
curah jantung. Beberapa obat-obatan yang sering digunakan adalah
dopamin, dobutamin, adrenalin (epinephrine) dan noradrenalin
(norepinephrine).

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 69


iv. > 60 menit : kenali syok resisten katekolamin. Dapat diberikan
hidrokortison pada kasus resisten katekolamin atau dicurigai dan
terbukti insufisiensi adrenal. Pasien yang memiliki risiko tersebut
adalah syok septik berat dan purpura, anak yang mendapatkan terapi
steroid sebelumnya karena penyakit kronis, dan anak dengan kelainan
kelenjar pituitary atau adrenal. Direkomendasikan dosis 50 mg/m2/24
jam. Selanjutnya pasien perlu dirawat di PICU untuk dilakukan titrasi
cairan dan obat inotropik dengan monitoring invasif untuk mencapai
cardiac index >3,3 dan < 6,0 L/menit/m2.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 70


Gambar Algoritma Tatalaksana Syok

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 71


TERAPI CAIRAN DAN GANGGUAN KESEIMBANGAN
ELEKTROLIT

Hari Kushartono

Pendahuluan
Secara umum terapi cairan dan elektrolit bisa secara enteral maupun
parenteral. Dalam konteks perawatan anak sakit maka pembahasan terutama
pada terapi secara parenteral, karena biasanya intake peroral sangat tidak
memadai. Pada keadaan sakit sering didapatkan gangguan metabolisme
termasuk metabolisme air dan elektrolit. Dikatakan bahwa perburukan maupun
perbaikan keadaan klinis penderita berjalan paralel dengan perubahan-
perubahan pada variabel fisiologis. Sebagaimana diketahui bahwa anak
bukanlah miniatur dewasa, sehingga terapi cairan dan elektrolit pada anak
haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip fisiologi sesuai tahapan tumbuh
kembangnya dan patofisiologi terjadinya gangguan metabolisme air dan
elektrolit.

Prinsip-prinsip fisiologi cairan dan elektrolit


Air merupakan komponen terbesar dan pelarut terpenting dari tubuh
kita, dinyatakan dalam persen berat badan dan besarnya berubah menurut
umur. Pada masa prenatal menurun bersama masa gestasi, lebih kurang 78%
berat badan pada saat menjelang dan segera setelah lahir. Setelah itu
menurun bertahap seperti pada gambar 1. Pada pubertas anak perempuan
mempunyai jumlah cairan tubuh lebih rendah dari anak laki-laki karena
kandungan lemaknya lebih tinggi.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 72


Gambar 1: Grafik hubungan antara umur dengan total cairan tubuh, cairan intraseluler

dan cairan ekstraseluler sebagai persen dari berat badan.

Cairan tubuh terbagi dalam dua kompartemen yaitu intraseluler dan


ekstraseluler. Ekstraseluler terbagi dalam ruang interstisial dan intravaskuler.
Cairan ekstraseluler menurun tajam setelah lahir karena postnatal diuresis,
peningkatan pertumbuhan sel dan penurunan relatif rata-rata pertumbuhan
kolagen terhadap otot selama awal kehidupan.
Dua ruang lain adalah ruang transcellular dan ruang slowly
exchangeable. Sebe-narnya ini juga merupakan cairan ekstraseluler tetapi
mempunyai karakteristik tersendiri dan dalam keadaan normal tidak begitu
penting. Cairan slowly exchangeable (8-10% berat badan), mengisi tulang
rawan dan jaringan ikat yang keras, dapat menerima cairan infus dan
meneruskan ke plasma pada resusitasi intraosseous. Cairan transcellular (1-
3% berat badan) atau rongga ke tiga (extracorporeal) berasal dari
pengangkutan aktif cairan ekstrasel melalui epitel dan dianggap sebagai
reservoir cairan ekstraseluler, seperti: cairan serebro spinalis, cairan lumen
usus, cairan bola mata, cairan getah bening, cairan intrapleura, cairan
peritoneal, cairan sinovial dsb.
Komposisi elektrolit dalam berbagai kompartemen tidak sama (gambar
2). Natrium merupakan kation utama ekstraseluler dan aktif secara osmotik
menjaga volume intravaskuler dan interstisial. Kalium merupakan kation
utama intraseluler, berperanan menjaga osmolalitas intrasel dan memelihara

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 73


volume sel. Kalium penting untuk membangkitkan sel-sel saraf dan otot,
bertanggung jawab terhadap kontraktilitas otot (bercorak maupun polos)
terutama otot jantung.

Gambar 2. Distribusi elektrolit dalam masing-masing kompartemen

Regulasi input dan output cairan tubuh


Intake dirangsang oleh rasa haus sebagai respon kurang air (hipertonik)
melalui osmoreceptor di midhipotalamus, pankreas dan vena porta hepatika.
Hipovolemi dan hi-potensi juga dapat merangsang haus melalui baroreceptor
di atrium dan pembuluh darah besar, atau melalui peningkatan angiotensin II.
Gangguan rasa haus bisa terjadi pada gangguan psikologik, penyakit SSP,
hipokalemi, malnutrisi, gangguan renin angiotensin.
Excretion atau pengeluaran air dapat berupa kehilangan cairan insensible
(+30%), air kemih melalui ginjal (+60%) dan sedikit cairan tinja (+10%). Ini
menggambarkan jumlah yang harus diminum perhari untuk mempertahankan
keseimbangan cairan. Kehilangan insensible bisa melalui kulit (2/3) dan paru
(1/3), tergantung faktor-faktor yang mempengaruhi energy expenditure (tidak
tergantung keadaan cairan tubuh) seperti: luas permukaan tubuh, suhu tubuh
dan lingkungan, laju respirasi, kelembaban ling-kungan, dsb. Berbeda dengan
kehilangan cairan melalui keringat (sensible water and electrolyte losses) yang
biasanya terjadi bila suhu tubuh dan/lingkungan meningkat, diatur oleh sistem
syaraf otonom.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 74


Pengeluaran air kemih penting untuk mengatur osmolalitas dan
komposisi cairan ekstraseluler. Jumlah dan kadar urine dikendalikan oleh axis
neurohypophyseal-renal, yaitu Antidiuretic Hormone (ADH). Ikut berpengaruh
pula adalah GFR, keadaan epitel tubulus ginjal, fungsi tiroid dan kadar adrenal
steroid dalam plasma.
Pengeluaran ADH terjadi karena exocytosis sebagai reaksi rangsangan
hypothalamus. Sekresi ADH diatur oleh tekanan osmotik cairan ekstraseluler,
dipantau oleh vesikel dalam nukleus supraoptikus sebagai osmoreceptor.
Pengaruh utama ADH adalah meningkatkan permeabilitas duktus colligentus
terhadap air. Air berdifusi keluar tubulus atas pengaruh ADH, dan difusi tidak
terjadi bila tidak ada ADH.

Regulasi distribusi cairan dan elektrolit di dalam tubuh


Cairan tubuh terdiri dari air, elektrolit, dan non elektrolit. Distribusi antar
kompartemen ditentukan oleh permeabilitas membran dan osmolal gradient.
Keseimbangannya menganut hukum iso-osmolaritas, neutralitas elektron dan
keseimbangan asam basa. Cairan intraseluler dipertahankan konstan oleh
tekanan osmotik di luar sel yang dibatasi membran yang permeabel terhadap
air. Peningkatan osmolalitas cairan ekstraseluler menyebabkan pengurangan
air intrasel, atau sebaliknya. Pemeliharaan cairan ekstraseluler terjadi karena
keseimbangan pemasukan cairan, regulasi ginjal dan tekanan onkotik (colloid
osmotic) kapiler. Tekanan onkotik merupakan sebagian kecil dari tekanan
osmotik, dipengaruhi molekul-molekul besar seperti albumin yang tak mudah
melintasi pori kapiler. Selain permeabilitas kapiler dan colloid osmotic
pressure, jumlah cairan interstitial dipengaruhi tekanan hidrostatik kapiler
(hukum Starling). Air dari ruang interstitial dibawa oleh saluran lymphe melalui
duktus thorasikus ke vena cava. Tidak ada hubungan antara osmolalitas
dengan volume cairan ekstraseluler. Hipo atau hiperosmolar dapat
berhubungan dengan volume yang kurang, normal, atau berlebih.
Elektrolit dapat melintasi membran kapiler dan membran sel dengan
difusi maupun transport aktif Na+-K+-ATPase mengikuti netralitas elektron
masing-masing kompartemen. Permeabilitas membran terhadap bahan terlarut
non elektrolit bervariasi tergantung besar molekul dan jenis selnya. Glukosa
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 75
tidak mudah masuk ke dalam sel otot, tetapi harus dibantu insulin untuk
selanjutnya segera dimetabolisme. Untuk sel-sel darah merah, hati, ginjal, dan
beberapa sel otak termasuk mungkin osmoreceptor glukosa dapat berdifusi
dengan bebas. Karena sebagian besar tubuh kita adalah sel otot, maka
glukosa dapat mempengaruhi osmolalitas efektif (effective osmols).
Hiperglikemia menyebabkan pergeseran air intrasel ke ekstrasel sehingga bisa
menyebabkan kesalahan interpretasi kadar elektrolit, demikian pula dengan
manitol. BUN mudah melewati membran kapiler maupun membran sel,
sehingga tidak berkontribusi terhadap osmotic gradient (ineffective osmols).
Tetapi BUN mempunyai kontribusi terhadap osmolalitas secara keseluruhan.
Natrium merupakan kation terbanyak dalam plasma dan interstitial, dan
bersama anionnya (Cl- dan bikarbonat) berperan lebih dari 90% terhadap
osmolalitas ekstrasel. Sehingga osmolalitas plasma dapat dihitung dengan
rumus:

Glukosa BUN
+
Osmolalitas plasma = 2 x [Na ] + +
18 (mg/dl) 2,8 (mg/dl)

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam menilai osmolalitas plasma


berkaitan interpretasi kadar natrium adalah bila terdapat hiperproteinemia dan
hiperlipidemia. Hasil laboratorium biasanya dalam meq/liter atau mmol/liter
plasma volume, yang sebenarnya adalah kadar dalam plasma water. Karena
kelebihan protein dan lipid akan menggantikan sebagian tempat dari air,
kandungan air dalam plasma akan berkurang sehingga interpretasinya
cenderung hiponatremi (pseudohyponatremia).
Cairan transeluler tidak ikut dalam keseimbangan, akan tetapi jumlahnya
sangat meningkat pada keadaan diare atau ileus dengan multiple air fluid
level.

Prinsip-prinsip terapi cairan dan elektrolit


Anak-anak memerlukan cairan dan elektrolit lebih banyak dari pada
dewasa, karena itu mudah terjadi gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit. Hal ini disebabkan karena metabolic rate yang tinggi, insensible loss
yang tinggi, dan kemampuan konsentrasi urin yang rendah.
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 76
Kebutuhan perhari didasarkan pada IWL + urin + cairan tinja. Bisa juga
diperkirakan berdasarkan energy expenditure: 1 kcal = 1 ml H2O. Berdasarkan
perhitungan energy expenditure rata-rata pada pasien yang dirawat di rumah
sakit didapatkan kebutuhan cairan perhari sebagai berikut:
Bayi 1 hari = 50 ml H2O/kgBB/hari.
Bayi 2 hari = 75 ml H2O/kgBB/hari.
Bayi > 3 hari = 100 ml H2O/kgBB/hari.
Berat badan 10 kg pertama = 100 ml H2O/kgBB/hari.
Berat badan 10 kg kedua = 1000 ml + 50 ml H2O/kgBB/hari.
Berat badan > 20 kg = 1500 ml + 20 ml H2O/kgBB/hari.
Pada pasien dengan kesulitan kompensasi terhadap kelebihan atau
kekurangan cairan dan elektrolit (kelainan jantung, ginjal) harus dilakukan
perhitungan secara ketat/titrasi. Demikian juga adanya faktor-faktor yang bisa
mengurangi/meningkatkan kebutuhan cairan, harus diperhitungkan.
Perkiraan kebutuhan elektrolit perhari didasarkan pada kebutuhan
metabolisme, atau didasarkan pada kebutuhan cairan perhari:
Natrium : 2 4 mEq/100mlH2O/hari.
Kalium : 1 2 mEq/100mlH2O/hari.
Klorida : 2 4 mEq/100mlH2O/hari.
Walaupun dalam beberapa kondisi bisa terjadi kehilangan banyak
elektrolit melalui kulit atau gastrointestinal, tetapi sebagian besar kehilangan
elektrolit perhari adalah melalui urin. Karena itu pada penderita oliguri
memerlukan elektrolit lebih sedikit untuk penggantiannya, sebaliknya pada
penderita poliuri. Pada penderita dengan unusual losses memerlukan
monitoring dan penyesuaian kebutuhan penggantian elektrolitnya.
Persamaan-persamaan untuk menentukan kebutuhan rumatan cairan
dan elektrolit di atas didasarkan pada beberapa ASUMSI, yaitu : rata-rata
kehilangan cairan insensible, rata-rata energy expenditure dan metabolisme,
rata-rata produksi urin, dianggap tidak ada sumber kehilangan cairan dan
elektrolit dari tempat lain, serta fungsi ginjal dianggap normal. Pada penderita-
penderita yang dirawat seringkali terdapat abnormalitas dari asumsi-asumsi
tersebut, karena itu penatalaksanaannya harus disesuaikan keadaan klinis
penderita.
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 77
Penatalaksanaan penggantian cairan dan elektrolit.
Tujuan utama adalah mengembalikan volume sirkulasi efektif yang
adekuat. Volume yang diperlukan bervariasi tergantung keadaan klinis dan
perlu re-evaluasi.

A. Perkiraan kehilangan cairan.


1. Berat badan :
Perubahan yang cepat dari berat badan menggambarkan perubahan
TBW.
2. Anamnesis :
o Kehilangan cairan : muntah, diare, perdarahan, luka bakar, drainase
bedah (seberapa banyak dan / seberapa sering).
o Masukan cairan : jenis cairan, berapa banyak, bagaimana
keberhasilannya.
o Produksi urin.
3. Pemeriksaan fisik : mental status, nadi, heart rate, tekanan darah,
membran mukosa, turgor kulit, warna kulit, perabaan perifer, capillary
refill.
4. Laboratorium : kimia serum, hematokrit, urin lengkap.

B. Pemberian cairan intravena.


1. Sebelum volume sirkulasi efektif tercapai.
o Jenis cairan.
Cairan awal yang seharusnya diberikan adalah cairan isotonis untuk
memperbaiki volume sirkulasi efektif. Dalam hal ini yang biasa
digunakan adalah Ringers Lactate, Ringers Asetat, dan NaCl 0,9%.
Nilai Strong Ion Difference (SID) dari NaCl 0,9% adalah 0 (nol),
sehingga pasca resusitasi bisa terjadi asidosis metabolik
hiperkloremik. Bila karena perdarahan, volume expander yang terbaik
adalah darah. Pada beberapa keadaan khusus perlu dipertimbangkan
penggunaan koloid.
o Jumlah cairan.
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 78
Untuk memperbaiki volume sirkulasi efektif diberikan 10-20 ml/kg
dalam 10-30 menit. Evaluasi perbaikan klinis meliputi mental status,
tanda vital, dan produksi urin. Bila masih diperlukan bisa diulang. Bila
belum membaik setelah diberikan 60 ml/kgBB, pertimbangkan
pemasangan Central Venous Pressure (CVP) untuk menentukan
volume intravaskuler yang lebih tepat.
2. Setelah volume sirkulasi efektif tercapai.
Bila belum memungkinkan peroral, total kebutuhan diberikan intravena
dengan mempertimbangkan:
o Sisa defisit (air maupun elektrolitnya):
Volume : bandingkan berat badannya dengan berat badan sebelum
sakit.
Perhitungkan jumlah cairan selama resusitasi.
Natrium : Bila hiponatremi, perhitungkan defisit natriumnya.
Air : Bila hipernatremi, perhitungkan defisit airnya.
o Ongoing losses : volume dan komposisi elektrolitnya.
o Kebutuhan rumatan : air dan elektrolit (pertimbangkan kondisi yang
meningkatkan/mengurangi kebutuhannya).
Jumlahkan semua kebutuhan air dan elektrolit dari sisa defisit, ongoing
losses, dan kebutuhan rumatan. Kemudian tentukan jenis cairannya
berdasarkan jumlah total air dan elektrolit yang diperlukan dan juga
kalori untuk diberikan dalam 24 jam. Pertimbangkan juga kondisi klinis
penderita seperti adanya kelainan jantung dan kelainan ginjal.

C. Masalah osmolalitas.
Osmolalitas diatur oleh :
ADH melalui mekanisme pengenceran dan pemekatan urin.
Mekanisme rasa haus.
Perubahan osmolalitas serum yang terjadi secara akut akan
menyebabkan perubahan volume sel secara cepat termasuk sel otak,
sehingga bisa menimbulkan abnormalitas neurologi. Dalam hal ini
memerlukan koreksi cepat.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 79


Tubuh mampu melakukan kompensasi terhadap perubahan
osmolalitas serum yang terjadi secara lambat melalui pengaturan
osmolalitas intrasel. Koreksi terhadap abnormalitas osmolalitas serum yang
sudah berlangsung lama harus dilakukan lebih lambat untuk memberikan
kesempatan terhadap mekanisme adaptasi tubuh.
Sebagaimana diketahui bahwa natrium mempunyai peranan penting
terhadap osmolalitas ekstrasel, karena itu pembahasan osmolalitas akan
kami tekankan pada masalah gangguan keseimbangan natrium.
1. Hiponatremi.
Natrium serum < 130 mEq/L
Biasanya disebabkan karena jumlah air yang berlebih, dari pada karena
jumlah natriumnya yang rendah.
Perlu menentukan status cairan penderita untuk membantu klarifikasi
penyebab hiponatremi:

Terapi :
A = Penggantian air dan natrium yang adekuat, terapi

hormonal bila ada indikasi.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 80


B = Penambahan volume dan penggantian defisit natrium.
C&D = Restriksi air.
E = Membuat keseimbangan volume sirkulasi efektif dengan

restriksi Na dan air.

Hiponatremi simtomatik:
Penurunan kadar natrium (biasanya < 120 mEq/L) disertai dengan
kejang dan perubahan mental status.
Salin hipertonis (NaCl 3%) hanya diindikasikan untuk kasus ini.
Dinaikkan bertahap dengan kenaikkan cepat cukup 5-10 mEq/L
(cukup hanya sampai kadar natrium 125 mEq/L) atau gejala klinis
hilang, dengan batas kecepatan tidak lebih dari 3 mEq/L/jam atau 6
ml/kg/jam (yang terbaik 1 mEq/L/jam atau 2 ml/kg/jam).
Selanjutnya diberikan lebih lambat dengan cairan lain yang lebih
hipotonis dari NaCl 3% (D5 0,45NS, D5 0,225NS, dsb), total kenaikan
perhari tidak lebih dari 10-15 mEq/L. Salin hipertonis (NaCl 3%) tidak
ada tempat untuk hiponatremi asimtomatik.
Penghitungan defisit natrium:
TBW (L) x Natrium yang diharapkan (mEq/L).
Gunakan 135 mEq/L sebagai harga normal natrium.
Bila jumlah airnya yang berlebih, maka perhitungan banyaknya air
yang perlu dikeluarkan untuk meningkatkan natrium serum seperti
contoh di bawah ini:
Anak 6 th, 25 kg, Na serum 110 mEq/L, dinaikkan menjadi 120
mEq/L.
- (Na terukur x TBW1) (Na diharapkan x TBW baru).
- TBW (6 th) = 65% x BB 25 x 0.65 = 16.25 L.
110 mEq/L x 16.25 L
- TBW2 = = 14.9 L 15 L.
120 mEq/L
- Air bebas elektrolit yang perlu dikeluarkan untuk meningkatkan Na
serum menjadi 120 mEq/L = TBW New TBW = 1.25 L.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 81


- Dengan kecepatan koreksi 1 mEq/jam, maka untuk mencapai
koreksi yang diharapkan diperlukan pengeluaran air sebanyak 125
ml/jam.
- Berikan furosemide, monitor produksi urin, dan ganti kehilangan
natrium, kalium serta kelebihan kehilangan air.
- Batasi intake air sebanyak IWL (jangan ganti volume urin yang
keluar, atau buat balance negatif) dengan tetap memperhatikan
kebutuhan rumatan elektrolit dan hemodinamik.

2. Hipernatremi.
Natrium serum > 150 mEq/L.
Biasanya disebabkan karena relatif defisiensi air (sebenarnya kadar
natriumnya normal). Bisa terjadi karena kehilangan banyak air, atau
kehilangan air dan natrium yang lebih encer (lebih hipotonis) dari pada
serum.
Hipernatremia sebenarnya hampir tidak pernah terjadi pada pasien
dengan sistem pengaturan osmolalitas serumnya normal.

Perhitungan defisit air :


Natrium yang diukur (mEq/L)
X TBW (L) - TBW (L)
Natrium yang diharapkan (mEq/L)
Gunakan 145 mEq/L untuk natrium yang diharapkan.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 82


Evaluasi status cairan pada hipernatremi:

Terapi :
A,B,C,D = Memperbaiki volume sirkulasi efektif, dilanjutkan
penyesuaian osmolalitas dengan hati-hati. Bila memungkinkan, biarkan
mekanisme dalam tubuh penderita itu sendiri yang melakukan fungsi
mekanisme regulasi osmolalitasnya.
Hipernatremi berat atau kronis memerlukan koreksi perlahan untuk
mencegah masuknya kembali air ke dalam sel dengan cepat, jangan
lebih dari 10-15 mEq/L/hari dan monitor laboratorium ketat.
E = Keluarkan natrium dengan diuretik dan diganti air.
Pertimbangkan dialisis untuk kasus dengan hipernatremi dan kelebihan
cairan berat.

Hipernatremi simtomatik:
Gejala neurologi biasanya mulai tampak pada kadar natrium > 160
mEq/L.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 83


Kecepatan penurunan kadar natrium pada prinsipnya sama dengan
kecepatan peningkatan kadar natrium pada penanganan hiponatremi.
Ganti setengah dari defisit air yang dihitung dalam 12-24 jam,
setengahnya diberikan dalam 24-36 jam berikutnya.

D. Gangguan keseimbangan kalium.


Kalium merupakan kation intraseluler yang sangat penting. Besarnya
perbedaan konsentrasi antara intraseluler dan extraseluler dipertahankan
melalui mekanisme transpor aktif. Ada banyak mekanisme (pompa Na/K,
mekanisme renal, insulin, asidosis, rate of cell breakdown, hyperosmolality)
yang mempengaruhi keseimbangan kalium sehingga menjamin secara ketat
kadar kalium serum 3,5-5,5 mEq/L. Jumlah ion kalium di cairan
ekstraseluler kurang dari 2 persen total kalium tubuh. Massa sel berkorelasi
erat dengan total kalium tubuh. Diperkirakan jumlah kalium tubuh berada
antara 40-55 mEq/kg berat badan.
Kalium yang diberikan secara oral maupun intravena akan masuk ke
cairan ekstraseluler, selanjutnya ke cairan intraseluler melalui proses yang
membutuhkan energi. Bila proses ini terganggu, misalnya akibat hipoksia
atau racun tertentu akan terjadi akumulasi kalium dalam cairan
ekstraseluler yang bersifat toksik. Akumulasi juga terjadi pada sindroma
lisis tumor dan gagal ginjal. Sekresi kalium terjadi di tubulus distal ginjal
atas pengaruh aldosteron. Asidosis dan alkalosis mempengaruhi
keseimbangan kalium tubuh. Ion hidrogen yang bermuatan positif akan
masuk ke dalam sel untuk ditukar dengan ion kalium untuk menjaga
netralitas muatan akibatnya pada asidosis kadar kalium cairan ekstraseluler
meningkat. Pada alkalosis terjadi kondisi sebaliknya. Scribner dan Bunrell
mengembangkan normogram untuk memperkirakan kekurangan kalium
tubuh total berdasar kadar kalium serum dan pH (gambar 3)

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 84


Gambar 3. Perkiraan kekurangan kadar kalium tubuh berdasarkan kadar kalium serum dan pH

1. Hipokalemia
Beberapa keadaan yang menyebabkan hipokalemia (kadar kalium <3,5
mEq/L):
- Redistribusi: terapi insulin, anabolisme, refeeding syndrome.
- Kehilangan melalui ginjal:
o Aldosteron
o Diuretik
o Asidosis tubular renal
- Kehilangan cairan di luar ginjal:
o Gastrointestinal (muntah, diare, fistula, ileostomi)
o Bilier/pankreas
- Asupan tidak adekuat
Gejala klinis hipokalemia adalah kelemahan otot, ileus paralitik,
perubahan gambaran EKG (ST depresi, aritmia).

Tata laksana hipokalemia:


Pada hipokalemia simptomatik, koreksi kalium dilakukan dengan
pemberian kalium 0,25 mEq/kg/jam (maksimum 1 mEq/kg/jam) secara
intravena. Pemberian secara perifer dilakukan dengan konsentrasi 1
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 85
mEq/10 mL untuk menghindari iritasi pembuluh darah. Bila
menggunakan akses sentral, dapat digunakan konsentrasi yang lebih
tinggi (1 mEq/5 mL) untuk membatasi jumlah volume. Koreksi kalium
dengan cepat harus dilakukan dengan pemantauan elektrokardiogram.
Bila dilakukan koreksi 1 mEq/kg/jam, evaluasi kadar kalium harus
dilakukan setiap jam, hingga kadar kalium mencapai 3 mEq/L.
Selanjutnya dilakukan koreksi perlahan. Pada hipokalemia asimptomatik,
bila pasien mendapat obat yang menyebabkan kehilangan kalium atau
pada pasien yang dilakukan pengisapan lendir secara berkala, kehilangan
kalium harus diperhitungkan ke dalam kebutuhan rumat. Koreksi kalium
peroral diberikan dengan dosis 0,5-1 mEq/kg/dosis (maksimal 40
mEq/dosis), 2 kali perhari.

2. Hiperkalemia
Beberapa keadaan yang menyebabkan hiperkalemia (kadar kalium
>5,5 mEq/L):
- Pemberian kalium yang berlebihan.
- Perpindahan kalium.
Hiperglikemia, katabolisme (hemolisis, sindrom lisis tumor), asidosis.
- Ekskresi melalui ginjal berkurang
Diuretik hemat kalium (aldactone), gagal ginjal, hipoaldosteronisme
(bisa karena ACE inhibitors, tacrolimus, siklosporin, inhibitor
prostaglandin, heparin).
Gejala klinis hiperkalemia berupa kelemahan sampai kelumpuhan
otot, parestesia, penurunan refleks, perubahan gambaran
elektrokardiogram (tall-T), bila berat bisa terjadi fibrilasi ventrikel dan
henti jantung.

Tata laksana hiperkalemia:


Pada hiperkalemia simptomatik, untuk mengatasi aritmia
diperlukan pemberian kalsium glukonas 60-100 mg/kg iv atau kalsium
klorida 20-25 mg/kg iv pelan (tidak lebih dari 100 mg/menit). Tiap 1
gram kalsium glukonas 10% mengandung 4,5 mEq kalsium elemental,
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 86
sedangkan tiap satu gram kalsium klorida 10% mengandung 13,5 mEq
kalsium elemental. Bila perlu tambahkan nebulizer salbutamol intravena
4-5 g/kgBB dalam 20 menit dan dapat diulang setelah 2 jam.
Alkalinisasi dilakukan dengan pemberian natrium bikarbonat 1-2 mEq/kg
iv bolus perlahan. Pemberian natrium bikarbonat tidak boleh dicampur
atau dalam satu jalur dengan kalsium karena dapat menimbulkan
presipitasi. Jika jalur intravena hanya tersedia satu, maka kalsium
diberikan lebih dahulu. Pemberian glukosa dengan dosis 1 g/kgBB dan
insulin (rapid insuline) 0,2 U/g glukosa secara intravena diberikan dalam
15-30 menit. Jumlah yang sama dapat diulang dalam 1 jam. Biasanya
digunakan dekstrosa 25%. Chelating agent, Sodium polystyrene
sulfonate (Kayexalate) oral, diberikan melalui pipa nasogastrik atau
rektal 1-2 g/kg berat badan dalam larutan sorbitol atau dekstrosa. Bila
diberikan rektal konsentrasinya tidak boleh lebih dari 20%. Pemberian
secara oral lebih efektif. Bila cara di atas tidak berhasil, dilakukan
transfusi tukar atau dialisis. Loop diuretik dan/atau tiazid dapat diberikan
pada kasus tanpa gagal ginjal. Tata laksana hiperkalemia asimptomatik
dilakukan dengan mengurangi asupan kalium, mengobati penyakit yang
mendasari, dan dilusi dengan pemberian cairan bebas kalium.

DAFTAR PUSTAKA
1. Greenbaum LA. Pathophysiology of body fluids and fluid therapy. In:
Kliegman RM, Berhman RE, Jenson HB, Stanton BF. Nelson Textbook of
Pediatrics, 18th ed. Philadelphia : Saunders Elsevier, 2007: 267-319.
2. Wood EG, Lynch RE. Electrolyte management in pediatric critical illness.
Dalam: Fuhrman BP, Zimmerman JJ. Pediatric critical care, 3th ed. Elsevier:
Mosby, 2006: 939-957.
3. Kelly A, Moshang T. Disorders of water, sodium, and potassium
homeostasis. Dalam: Nichols DG, penyunting. Rogerss Textbook of
Pediatric Intensive Care. Edisi ke-4. Philadelphia: Lippincott Williams and
Wilkins, 2008: 1615-48.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 87


TERAPI INHALASI PADA ANAK
Prinsip dasar dan aplikasi

UKK RESPIROLOGI IDAI

PENDAHULUAN
Terapi inhalasi adalah pemberian obat yang dilakukan secara inhalasi
(hirupan) ke dalam saluran respiratorik. Penggunaan terapi inhalasi sangat
luas di bidang respirologi atau respiratory medicine. Alat terapi inhalasi yang
ditujukan ke saluran respiratorik bawah, misalnya alat hirupan dosis
terukur (Metered dose inhaler = MDI) atau alat hirupan bubuk kering (Dry
powder inhaler = DPI). Alat terapi inhalasi lain yang luas digunakan adalah
nebulizer, suatu alat yang dapat mengubah obat cair menjadi aerosol.
Tergantung dari besarnya partikel yang dihasilkan dan teknik penggunaannya,
alat ini dapat digunakan untuk terapi inhalasi respiratorik atas hingga bawah.1
Terapi inhalasi sebenarnya sudah dikenal dan dilakukan oleh manusia
sejak lama, persisnya kapan datanya tidak jelas. Sejak kira-kira 4000 SM
masyarakat Mesir, India, Yunani, dan Roma telah mengenalnya. Masyarakat
awam di Indonesia telah lama melakukan kebiasaan menghirup uap air panas
bila mengalami flu. Telah pula diketahui uap herbal tertentu dapat memberikan
rasa nyaman dan lega di saluran napas. Penggunaan aerosol sebagai terapi
inhalasi pertama kali diperkenalkan oleh Schneider dan Waltz pada tahun
1829.1
Dengan perkembangan ilmu dan teknologi, terapi inhalasi berkembang
dengan pesat. Pada awalnya bahan yang digunakan tidak turut
dipertimbangkan pengaruhnya terhadap lingkungan tetapi akhir-akhir ini mulai
dikembangkan penggunaan propelan yang bersahabat dengan lingkungan
yaitu yang tidak merusak lapisan ozon.2-4 Prinsip dasar terapi inhalasi adalah
mengubah obat cair (likuid) menjadi bentuk aerosol agar dapat langsung
masuk ke sistem respiratorik. Obat untuk terapi inhalasi tidak hanya dalam
bentuk aerosol tetapi dapat dalam bentuk dry powder (bubuk kering) yang
dihirup. Pada pasien dewasa terapi inhalasi telah banyak digunakan sedangkan
pada anak belum sepenuhnya dijalankan karena berbagai kendala. Jenis terapi
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 88
inhalasi yang dipasarkan saat ini dirancang untuk orang dewasa yang
kemudian digunakan juga untuk anak. Untuk menunjang keberhasilan
penggunaan pada anak diperlukan pengetahuan adanya perbedaan antara
dewasa dan anak dalam hal fisiologi dan sistem koordinasi serta tentang
teknik inhalasi yang optimal sehingga penggunaan terapi inhalasi dapat lebih
dipahami.5-7

I. PRINSIP DASAR TERAPI INHALASI


Prinsip farmakologis terapi inhalasi yang ideal untuk penyakit sistem
respiratorik adalah obat dapat sampai pada organ target dengan menghasilkan
partikel aerosol berukuran optimal agar terdeposisi di paru-paru, awitan
kerjanya cepat, dosis obat kecil, efek samping minimal karena konsentrasi
obat di dalam darah sedikit atau rendah, mudah digunakan, serta efek
terapeutik tercapai yang ditunjukkan dengan tampaknya perbaikan klinis.5-7
Sistem respiratorik mempunyai beberapa mekanisme pertahanan antara lain
refleks batuk, bersin serta klirens mukosilier yang akan melindungi terhadap
masuk dan mengendapnya partikel obat. Dengan adanya mekanisme tersebut
di atas, harus dibuat metode agar partikel aerosol yang dihasilkan tidak
tereliminasi yaitu dengan memperhatikan besar atau ukuran partikel.4
Ukuran partikel akan mempengaruhi sampai sejauh mana partikel
melakukan penetrasi sistem respiratorik. Partikel berukuran >15 tersaring
oleh filtrasi rambut hidung sedangkan >10 akan mengendap di hidung dan
nasofaring. Partikel yang besar ini terutama mengendap karena benturan
inersial bila terdapat aliran udara yang cepat disertai perubahan arah atau arus
turbulen. Partikel berukuran 0,55 akan mengendap secara sedimentasi
karena gaya gravitasi sedangkan pertikel berukuran 0,1 akan mengendap
karena gerak Brown. Dengan demikian untuk mendapatkan manfaat obat yang
optimal, obat yang diberikan secara inhalasi harus dapat mencapai tempat
kerjanya di dalam sistem respiratorik. Biasanya digunakan obat dalam bentuk
aerosol yaitu suspensi partikel di dalam gas, dan partikel dalam aerosol
mempunyai kisaran ukuran antara 2-10 atau 1-7.7 Penelitian lainnya
mendapatkan bahwa partikel berukuran 1-8 mengalami benturan dan
pengendapan di saluran respiratorik besar, kecil, dan alveoli.8,9
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 89
Faktor yang mempengaruhi delivery aerosol pada anak
Dengan memperhatikan kebutuhan anak maka diperlukan pengetahuan
bahwa masa anak merupakan masa dengan adanya perubahan nyata pada
perkembangan fisik, intelektual dan sosial pada masa prasekolah. Beberapa
faktor yang mempengaruhi mempengaruhi delivery aerosol pada anak antara
lain: 7
1. Perubahan anatomi
Bagaimana efek perubahan anatomi pada awal tahun kehidupan tidaklah
jelas. Saluran respiratorik anak relatif lebih kecil dibandingkan dengan
dewasa sehingga aliran udara inspirasi lebih rendah yang menyebabkan
deposisi obat menurun.
2. Kompetensi
Kompetensi atau kemampuan anak merupakan faktor sangat penting
dalam delivery obat. Anak kecil tidak mempunyai kompetensi untuk
melakukan manuver inhalasi yang kompleks. Alat/jenis inhalasi yang
tersedia dan dipasarkan saat ini dibuat untuk orang yang bisa melakukan
inhalasi melalui mulut waktu melakukan manuver inhalasi yang
kompleks. misalnya pressured metered dosed inhalers (pMDIs). Anak
sekolah sudah dapat melakukan usaha inspirasi maksimal yang
diperlukan untuk menggunakan alat inhalasi jenis Dry powder inhaler
(DPI) dan hanya sedikit yang bisa menggunakan pMDI.
3. Pola pernapasan
Pola pernapasan bayi dan anak akan mempengaruhi seberapa banyak
aerosol yang diinhalasi ke dalam paru-paru. Pernapasan pada bayi dan
anak menunjukkan volume pernapasan tidal yang kecil sehingga
mengurangi delivery obat, pola pernapasan bervariasi luas dengan aliran
udara inspirasi (inspiratory flow rates=IFR) bervariasi antara 0 sampai
40 L/menit. Aliran udara yang cepat akan menyebabkan deposisi pada
saluran pernapasan yang lebih proksimal.
4. Usia bayi
Secara umum, respons bayi (usia <12 bulan) terhadap 2-agonis tidak
sebaik pada anak yang lebih besar. Bayi seringkali mengalami mengi
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 90
saat mendapat infeksi respiratorik akut. Respons terhadap 2-agonis
kerap tidak memuaskan, walaupun jelas bayi telah mempunyai reseptor
2. Inhalasi ipratropium bromide mungkin efektif pada sebagian bayi
dengan mengi. 6
5. Menangis
Anak yang menangis mempunyai IFR tinggi dan terjadi pernapasan
mulut sehingga seharusnya akan meningkatkan delivery obat ke paru-
paru, tetapi kenyataannya jumlah obat yang diinhalasi ke paru-paru
berkurang karena kurang baiknya masker muka menempel dan pada
waktu menangis pernapasan pendek dan cepat.

Mekanisme deposisi obat pada paru


Ukuran partikel aerosol merupakan faktor utama dalam menentukan
efisiensi dan distribusi obat yang diinhalasi ke dalam paru. Deposisi partikel
obat inhalasi pada sistem respiratorik terutama melalui 3 cara :10
1. Impaksi, terjadi pada partikel berukuran > 5 m karena inersia yang besar.
2. Sedimentasi, terjadi akibat gaya gravitasi, terutama pada partikel
berukuran 0,5-5 m.
3. Difusi, disebabkan oleh gerak Brown yang melibatkan partikel-partikel
submikron berukuran < 1 m pada paru dengan aliran udara yang rendah.
Kemungkinan deposisi melalui cara sedimentasi atau difusi sebanding
dengan lamanya partikel berada di saluran respiratorik, sedangkan kecepatan
aliran udara berpengaruh langsung terhadap impaksi (benturan) partikel pada
dinding saluran respiratorik. Semakin besar partikel, semakin dipengaruhi oleh
gaya gravitasi. Partikel yang besar (>5 m) berimpaksi di daerah orofaring,
saluran respiratorik atas dan bifurkasio. Partikel <5 m akan dideposit melalui
sedimentasi dan difusi pada saluran respiratorik yang lebih kecil yang aliran
udaranya juga lebih rendah. Deposisi ke dalam saluran respiratorik yang lebih
kecil dapat ditingkatkan dengan menginhalasi aerosol dengan aliran udara
yang rendah disertai menahan napas lebih lama untuk memberi kesempatan
yang lebih besar terjadinya sedimentasi dan difusi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi deposisi aerosol pada paru dibagi
menjadi 3 kelompok utama seperti yang tercantum pada tabel 1, yaitu :
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 91
- Faktor fisik
- Faktor ventilasi
- Faktor anatomik

Tabel 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi deposisi aerosol ke dalam


paru10
Fisik Ventilasi
Anatomik
diameter partikel volume tidal diameter
saluran napas
bentuk partikel arus inspirasi
penyakit-penyakit
densitas partikel lamanya menahan napas
heterodispersitas frekuensi napas
bernapas melalui hidung/mulut
kelembaban udara
suhu

Ukuran partikel, aliran udara paru dan dimensi saluran respiratorik


merupakan faktor yang paling mempengaruhi pola penyampaian obat inhalasi
pada paru. Adanya pengecilan kaliber saluran respiratorik dan/atau aliran
inspirasi yang tinggi akan menghasilkan perubahan distribusi deposisi melalui
saluran respiratorik yang lebih proksimal. Pola deposisi aerosol dalam paru
perlu diperhatikan dalam terapi inhalasi terhadap anak. Perbedaan distribusi
tersebut dipengaruhi oleh dimensi saluran respiratorik yang berubah sesuai
dengan umur, jumlah saluran respiratorik kecil dan alveoli, serta pola
pernapasan yang berbeda pada anak.
Hasil kalkulasi secara prediktif menunjukkan bahwa pada anak <5 tahun
terjadi peningkatan jumlah deposisi dibandingkan dengan dewasa pada semua
ukuran partikel dengan deposisi yang lebih besar pada permukaan saluran
respiratorik sedangkan pada area paru deposisinya rendah. Perbedaan ini
disebabkan oleh frekuensi napas yang lebih tinggi pada anak dan jumlah
alveoli yang sedikit. Anak juga memiliki volume tidal yang kecil sehingga
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 92
pengiriman partikel lebih rendah. Penelitian terhadap pengukuran deposisi
paru secara in vivo mendapatkan bahwa pada neonatus setelah inhalasi
dengan aerosol yang telah dilabel dengan radioisotop ternyata <2% dari dosis
obat yang diberikan yang terdeposisi di paru.10

Jenis terapi inhalasi


Pemberian aerosol yang ideal adalah dengan alat yang sederhana,
mudah dibawa, tidak mahal, secara selektif mencapai saluran napas bawah,
hanya sedikit yang tertinggal di saluran napas atas serta dapat digunakan oleh
anak, orang cacat atau orang tua. Namun keadaan ideal tersebut tidak dapat
sepenuhnya tercapai dan masing-masing jenis alat terapi inhalasi mempunyai
beberapa keuntungan dan kerugian. Hingga saat ini dikenal 3 sistem inhalasi
yang digunakan dalam klinik sehari-hari yaitu : 5
1. Nebulizer
2. Metered dosed inhaler aerosol ( dengan atau tanpa spacer / alat
penyambung)
3. Dry powder inhaler

1. Nebulizer
Alat nebuliser dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi
aerosol secara terus menerus dengan tenaga yang berasal dari udara yang
dipadatkan atau gelombang ultrasonik sehingga dalam prakteknya dikenal 2
jenis alat nebuliser yaitu ultrasonic nebulizer dan jet nebulizer. Hasil
pengobatan dengan nebulizer lebih banyak bergantung pada jenis nebulizer
yang digunakan. Terdapat nebulizer yang dapat menghasilkan partikel aerosol
terus menerus ada juga yang dapat diatur sehingga aerosol hanya timbul pada
saat pasien melakukan inhalasi sehingga obat tidak banyak terbuang.5-7,10,11
Selain jenis nebulizer, ternyata jenis obat yang diberikan juga mempengaruhi
deposisi di paru, misalnya -2 agonis tidak terpengaruh apabila diberikan
dengan jet maupun ultrasonic nebulizer, sedangkan ipratropium bromida
berbeda. Keuntungan terapi inhalasi menggunakan nebulizer adalah tidak atau
sedikit memerlukan koordinasi pasien, hanya memerlukan pernapasan tidal,
beberapa jenis obat dapat dicampur (misalnya salbutamol dan ipratropium
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 93
bromida). Kekurangannya adalah alatnya cukup besar sehingga kurang
praktis, memerlukan sumber tenaga listrik dan relatif mahal.5

Ultrasonic nebulizer
Alat ini menghasilkan aerosol melalui osilasi frekuensi tinggi dari piezo-
electric crystal yang berada dekat larutan dan cairan memecah menjadi
aerosol. Keuntungan jenis nebuliser ini adalah tidak menimbulkan suara bising
dan terus menerus dapat mengubah larutan menjadi aerosol sedangkan
kekurangannya alat ini mahal dan memerlukan biaya perawatan lebih besar.

Jet nebulizer
Alat ini paling banyak digunakan di banyak negara karena relatif lebih
murah daripada ultrasonic nebulizer. Dengan gas jet berkecepatan tinggi yang
berasal dari udara yang dipadatkan dalam silinder ditiupkan melalui lubang
kecil dan akan dihasilkan tekanan negatif yang selanjutnya akan memecah
larutan menjadi bentuk aerosol.
Aerosol yang terbentuk dihisap penderita melalui mouth piece atau
sungkup (masker). Dengan mengisi labu pada nebulizer sebanyak 4ml maka
dihasilkan partikel aerosol berukuran <5m, sebanyak 60-80% larutan
nebulisasi akan terpakai dan lama nebulisasi dapat dibatasi. Dengan cara
yang optimal maka hanya 12% larutan akan terdeposit di paru-paru.7
Bronkodilator yang diberikan dengan nebulizer memberikan efek bronkodilatasi
yang bermakna tanpa menimbulkan efek samping.10

Tabel 2. Perbandingan Nebulizer


Parameter Jet Ultrasonik
Teknik
Sumber tenaga Listrik Listrik
Cara kerja Aliran udara tekanan Osilasi frekuensi tingi
tinggi Piezo-electric
Hukum Bernoulli crystal
Arus aliran udara 7L/mnt (+3L)

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 94


Suara Bising Tenang
Posisi alat Bebas Harus datar benar
Volume isi Sedikit (<5ml) Banyak (>10ml)
Klinis
Obat yang Semua Steroid tidak bisa
dinebulisasi
Efek samping Hampir tidak ada Dapat mencetuskan
asma
Lain-lain
Harga Murah Mahal
Perawatan Mudah Sulit

Perawatan nebulizer
Nebulizer di klinik atau rumah sakit biasanya digunakan dalam frekuensi
tinggi oleh banyak pasien. Aerosol yang terkontaminasi dari nebulizer
merupakan risiko terjadinya infeksi respiratorik. Kontaminasi ini berhubungan
dengan jarang dan kurang adekuatnya pembersihan nebulizer.12 Aspek ini
seringkali terabaikan dan tidak mendapat perhatian serius. Idealnya 1 alat
nebulizer hanya digunakan oleh 1 pasien, namun hal ini tentunya akan
memerlukan biaya tinggi. Cara yang relatif murah adalah dengan menyediakan
masker atau mouthpiece untuk masing-masing pasien. Pasca pemakaian
segera didisinfeksi dengan cairan antiseptik, dibilas, dikeringkan untuk
kemudian dapat digunakan lagi oleh pasien lain. Untuk labunya juga perlu
didisinfeksi pasca tiap penggunaan.

2. Metered dose inhaler (MDI)


Metered dose inhaler (MDI) atau inhaler dosis terukur merupakan cara
inhalasi yang memerlukan teknik inhalasi tertentu agar sejumlah dosis obat
mencapai saluran respiratorik. Pada inhaler ini bahan aktif obat disuspensikan
dalam kurang lebih 10 cc cairan pendorong (propelan) dan yang biasa
digunakan adalah khloroflurokarbon (Chlorofluorocarbon = CFC) pada tekanan
tinggi. Akhir-akhir ini mulai dikembangkan penggunaan bahan non-CFC yaitu
hidrofluroalkana (HFA) yang tidak merusak lapisan ozon.4,13,14 Propelan
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 95
mempunyai tekanan uap tinggi sehingga di dalam tabung (kanister) tetap
berbentuk cairan. Bila kanister ditekan, aerosol disemprotkan keluar dengan
kecepatan tinggi yaitu 30 m/detik dalam bentuk droplet dengan dosis tertentu
melalui aktuator (lubang). Pada ujung aktuator ukuran partikel berkisar 35
m, pada jarak 10 cm dari kanister besarnya menjadi 14 m, dan setelah
propelan mengalami evaporasi seluruhnya ukuran partikel menjadi 2,8-4,3
m. Dengan teknik inhalasi yang benar maka 80% aerosol akan mengendap
di mulut dan orofarings karena kecepatan yang tinggi dan ukurannya besar,
10% tetap berada dalam aktuator, dan hanya sekitar 10% dari aerosol yang
disemprotkan akan sampai ke dalam paru-paru.5
Pada cara inhalasi ini diperlukan koordinasi antara penekanan kanister
dengan inspirasi napas ini.7,15 Untuk mendapatkan hasil optimal maka
pemakaian inhaler ini hendaklah dikerjakan sebagai berikut:
Terlebih dahulu kanister dikocok agar obat tetap homogen, lalu tutup
kanister dibuka.
Inhaler dipegang tegak kemudian penderita melakukan ekspirasi maksimal
secara perlahan.
Mulut kanister diletakkan diantara bibir, lalu bibir dirapatkan dan dilakukan
inspirasi perlahan sampai maksimal
Pada pertengahan inspirasi kanister ditekan agar obat keluar
Penderita menahan napas 10 detik atau dengan menghitung 10 hitungan
pada inspirasi maksimal
Apabila diperlukan, setelah 30 detik atau 1 menit prosedur yang sama
diulang kembali
Setelah proses selesai, jangan lupa berkumur untuk mencegah efek
samping.

Langkah-langkah di atas harus dilaksanakan oleh pasien dalam


menggunakan obat inhaler jenis MDI. Sering langkah di atas tidak diikuti
sehingga pengobatan kurang efektif dan timbul efek samping yang tidak
diinginkan. Beberapa ahli mengidentifikasi beberapa kesalahan yang sering
dijumpai antara lain:
Tidak mengocok kanister sebelum menyemprotkan obat
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 96
Tidak membuka penutup kanister
Posisi inhaler terbalik saat menyemprotkan obat
Tidak melakukan ekspirasi maksimal terlebih dahulu
Kurang koordinasi pada saat menekan kanister dan saat menghirup obat
Inspirasi terlalu cepat dan kuat
Inspirasi kurang dalam
Tidak menahan napas setelah inspirasi

Kesalahan-kesalahan di atas umumnya dilakukan pada anak yang lebih


muda, manula, wanita, dan pada sosial ekonomi dan pendidikan yang
rendah.1,7,15,16

MDI dengan spacer


Spacer (alat penyambung) akan menambah jarak antara aktuator
dengan mulut sehingga kecepatan aerosol pada saat dihirup menjadi
berkurang dan akan dihasilkan partikel berkuran kecil yang berpenetrasi ke
saluran respiratorik yang kecil (small airway). Hal ini merupakan kelebihan dari
penggunaan spacer karena mengurangi pengendapan di orofaring. Spacer ini
berupa tabung (dapat bervolume 80 ml) dengan panjang sekitar 10-20 cm,
atau bentuk lain berupa kerucut dengan volume 700-1000 ml. Untuk bayi
dianjurkan menggunakan spacer volume kecil (babyhaler) agar aerosol yang
dihasilkan lebih solid sehingga lebih banyak obat akan terinhalasi pada setiap
inspirasi.
Beberapa spacer dilengkapi dengan katup satu arah yang akan terbuka
saat inhalasi dan akan menutup pada saat ekshalasi misalnya Nebuhaler,
Volumatik.4,5,10,11,17 Pengendapan di orofaring akan berkurang yaitu sekitar 5%
dosis yang diberikan bila digunakan spacer dengan katup satu arah. Pada
spacer tanpa katup satu arah, pengendapan di orofaring sekitar 8-60% dosis.
Dengan penggunaan spacer, deposisi pada paru akan meningkat menjadi 20%
dibandingkan tanpa spacer. Penggunaan spacer ini sangat menguntungkan
pada anak karena pada anak koordinasinya belum baik. Dengan bantuan
spacer, koordinasi pada saat menekan kanister dengan saat penghisapan
dapat dikurangi atau bahkan tidak memerlukan koordinasi.7,9,11,18 Apabila
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 97
spacer ini tidak tersedia maka sebagai penggantinya bisa digunakan spacer
sederhana yang murah dan mudah dibuat yaitu dari plastic coffee cup yang
dilubangi dasarnya untuk tempat aerosol. Cara ini sudah terbukti bermanfaat
hanya untuk bronkodilator dan belum dibuktikan berguna untuk natrium
kromoglikat dan steroid.5
Dari uraian di atas, terlihat adanya dua tipe spacer yaitu extension
devices dan holding chamber. Extension devices yang tanpa katup
dimaksudkan terutama untuk memanjangkan jarak tempuh aerosol sebelum
dihirup pasien. Dengan demikian aerosol akan melambat dan propelannya
menguap, serta partikel besar terperangkap di dalamnya. Spacer jenis ini
hanya mengatasi masalah kedua dari kekurangan MDI. Alat ini tidak
mempunyai katup searah, serta tetap memerlukan koordinasi dari pemakainya
19
sehingga tidak cocok untuk anak balita. Holding chamber spacer mempunyai
penampung obat dengan ukuran volume tertentu, dan mempunyai katup
searah. Obat dari MDI disemprotkan ke dalam spacer ini kemudian pasien
menghirup obat dari spacer. Alat ini dapat mengatasi kedua kekurangan MDI
yang disebutkan di atas sehingga dapat digunakan pada anak bahkan bayi
sekalipun.7 Untuk penggunaan pada anak besar ujung spacer cukup dilengkapi
dengan mouthpiece, sedangkan untuk bayi dan anak kecil ditambahkan
masker.19

Langkah penggunaan MDI dengan spacer:


Kanister dalam aktuator dikocok dengan arah atas bawah beberapa kali, lalu
tutup aktuator dibuka.
MDI disiapkan dalam posisi tegak, masukkan dalam spacer
Semprotkan obat dari MDI ke dalam spacer
Untuk anak besar diminta menghirup obat dalam spacer melalui mouthpiece
Untuk bayi dan anak kecil, spacer dipasangi masker sebelumnya dan
katupkan masker menutupi mulut dan hidung pasien
Biarkan anak bayi bernapas ke dalam spacer selama sekitar 20-30 detik,
sehingga semua obat dalam spacer telah terhirup
Bila diperlukan dosis kedua dan seterusnya, lakukan langkah yang sama
setelah 30-60 detik.
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 98
Selesai melakukan hirupan, jika sudah mampu pasien berkumur dan airnya
dibuang untuk menghilangkan sisa obat yang teringgal di mulut, sehingga
mengurangi absorpsi sistemik.

3. Dry Powder Inhaler


Pada awalnya di tahun 1957 jenis inhaler ini digunakan untuk delivery
serbuk antibiotika. Selanjutnya banyak penelitian uji klinis yang menunjukkan
bahwa DPI bisa digunakan untuk pengobatan pada anak. Dalam
perkembangannya pada tahun 1970 dibuat inhaler yang hanya memuat serbuk
kering dosis tunggal seperti misalnya spinhaler dan rotahaler, dan akhir tahun
1980 diperkenalkan inhaler yang memuat multiple dosis yaitu yang dikenal
dengan diskhaler (8 dosis) dan turbuhaler. Beberapa tahun terakhir ini
diperkenalkan diskus (di Inggris dikenal dengan Accuhaler) yang memuat 60
dosis dan dapat dipergunakan untuk 1 bulan terapi.4 Inhaler jenis ini tidak
mengandung propelan sehingga mempunyai kelebihan dari MDI. Penggunaan
obat serbuk kering pada DPI memerlukan inspirasi yang cukup kuat. Pada
anak yang kecil hal ini sulit dilakukan mengingat inspirasi kuat belum dapat
dilakukan, sehingga deposisi obat pada sistem respiratorik berkurang. Pada
anak yang lebih besar, penggunaan obat serbuk ini dapat lebih mudah, karena
kurang memerlukan koordinasi dibandingkan dengan MDI. Dengan cara ini
deposisi obat di dalam paru lebih tinggi dan lebih konstan dibandingkan MDI
tanpa spacer sehingga dianjurkan diberikan pada anak di atas 5 tahun. Cara
DPI ini tidak memerlukan spacer sebagai alat bantu sehingga mudah dibawa
dan dimasukkan ke dalam saku. Hal ini yang memudahkan pasien sehingga
lebih praktis.4,7

Langkah penggunaan Turbuhaler:


Tutup Turbuhaler dibuka
Pegang turbuhaler dalam posisi tegak, putar bagian bawahnya ke kanan
(searah jarum jam) hingga mentok, kemudian putar balik ke kiri
(berlawanan jarum jam) hingga terdengar bunyi klik.
Untuk pemakaian pertama lakukan langkah ini dua kali, untuk pemakaian
selanjutnya cukup satu kali.
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 99
Masukkan mouthpiece ke dalam mulut, katupkan kedua bibir
Setelah ekspirasi maksimal, lakukan inspirasi dengan cepat dan dalam
hingga maksimal
Tahan napas selama 10 detik, kemudian hembuskan napas keluar
Selesai melakukan hirupan, pasien berkumur dan airnya dibuang untuk
menghilangkan sisa obat yang tertinggal di mulut, sehingga mengurangi
absorpsi sistemik.

Inhaler jenis ini bersifat effort dependent karena sumber tenaga


penggerak alat ini sepenuhnya adalah upaya inspirasi maksimal dari pasien
sehingga juga disebut breath-actuated inhaler. Pada anak kecil (balita) hal ini
sulit dilakukan mengingat kemampuannya melakukan inspirasi kuat belum
optimal. Pada anak yang lebih besar (di atas 5 tahun), penggunaan alat ini
relatif mudah karena tidak memerlukan manuver yang kompleks seperti pada
MDI. DPI ini tidak memerlukan alat tambahan seperti spacer sehingga lebih
praktis dan mudah untuk dibawa.

Kelebihan dan kekurangan alat inhalasi


Tabel berikut ini menggambarkan perbandingan kelebihan dan
kekurangan dari masing-masing alat terapi inhalasi.
Tabel 4. Kelebihan dan kekurangan alat terapi inhalasi20
Alat Kelebihan Kekurangan
Nebulizer Koordinasi minimal Mahal
jet Dosis tinggi bisa Kemungkinan kontaminasi alat
diberikan Risiko gangguan listrik dan
Tidak ada pelepasan mekanik
freon Tidak semua obat bisa
dinebulisasi
Perlu kompresor, tidak praktis
dibawa
Perlu menyiapkan cairan obat
Perlu waktu lebih lama

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 100
Nebulizer Koordinasi minimal Mahal
ultrasonik Dosis tinggi bisa Kemungkinan kontaminasi alat
diberikan Risiko gangguan listrik dan
Tidak ada pelepasan mekanik
freon Tidak semua obat bisa
Tidak berisik dinebulisasi
Waktu relatif singkat Ukuran besar, tidak praktis
dibawa
Perlu menyiapkan cairan obat
Perlu waktu lebih lama
DPI Koordinasi sedikit Perlu arus inspirasi kuat
Tidak ada pelepasan (>30L/mnt)
freon Risiko deposisi orofaringeal
Aktivasi dgn upaya Tidak semua obat ada dalam
napas bentuk ini
Tidak perlu penyiapan Sulit untuk dosis tinggi
obat
Risiko kontaminasi
minimal
MDI Kecil, mudah dibawa Manuver sulit
Kurang mahal Deposisi orofaringeal besar
Tidak perlu penyiapan Tidak semua obat ada dalam
obat bentuk ini
Risiko kontaminasi Sulit untuk dosis tinggi
minimal
MDI+ Koordinasi minimal Repot bagi sebagian pasien
spacer Deposisi orofaringeal Lebih mahal dibanding MDI saja
minimal Kurang praktis

Pemilihan alat terapi inhalasi untuk anak


Setelah melihat berbagai kelebihan dan kekurangan dari masing-masing
jenis alat inhalasi, maka untuk penggunaan pada anak perlu pemilihan alat
yang tepat. Jenis terapi inhalasi yang diberikan dapat disesuaikan dengan usia
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 101
pasien seperti tabel berikut, namun patokan ini tidak berlaku secara kaku.
Patokan yang diajukan oleh Dolovich dan Everard di bawah ini dapat dipakai
sebagai acuan : 7
Tabel 4. Pemilihan alat inhalasi
Umur Reliever Controller
(tahun) (Pereda) (Pengendali)
03 pMDI / dengan pMDI / dengan spacer
spacer Nebuliser
Nebuliser
35 pMDI / dengan pMDI / dengan spacer
spacer Nebuliser
Nebuliser DPI (?)
>5 pMDI / dengan pMDI / dengan spacer
spacer DPI
DPI
Nebuliser
7
Sumber: Dolovich dan Everard (dimodifikasi)
II. APLIKASI TERAPI INHALASI PADA ANAK
a. Asma
Pada tatalaksana asma harus dibedakan dua hal penting yaitu
tatalaksana serangan dan tatalaksana jangka panjang. Seorang anak yang
telah didiagnosis asma harus ditentukan klasifikasinya. Berdasarkan Pedoman
Nasional Asma Anak (PNAA) klasifikasi asma adalah asma episodik jarang,
episodik sering, dan asma persisten.21 Pada asma episodik jarang, tidak
diperlukan obat pengendali (controller) untuk tatalaksana jangka panjangnya
sedangkan pada asma episodik sering dan asma persisten harus diberikan obat
pengendali (controller). Obat pengendali dari golongan antiinflamasi yang
sering digunakan adalah golongan kortikosteroid seperti budesonide,
beklometason dipropionat, dan flutikason.21 Bila terjadi serangan asma maka
digunakan obat pereda (reliever). Obat yang sering digunakan yaitu golongan
bronkodilator seperti metilsantin (teofilin), -2 agonis, dan ipratropium
bromida. Obat-obat ini dapat digunakan secara oral, parenteral, dan
inhalasi,5,21-23 tetapi untuk metilsantin pemberian secara oral dan intravena
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 102
lebih dipilih daripada inhalasi karena obat ini menyebabkan iritasi saluran
pernapasan.5
Telah diketahui secara luas bahwa obat antiinflamasi yang sering
digunakan adalah golongan steroid. Sebagai dasar pada asma adalah
terjadinya reaksi inflamasi sehingga pengendalian dengan obat antiinflamasi
sangat dianjurkan pada asma episodik sering dan asma persisten. Namun
harus disadari penggunaan kortikosteroid jangka panjang bila diberikan peroral
atau parenteral dapat mengganggu tumbuh kembang anak secara keseluruhan
disamping efek samping lain yang mungkin timbul seperti hipertensi dan
moon-face. Untuk itu pemberian kortikosteroid perinhalasi sangat dianjurkan.
Peran terapi inhalasi pada asma anak dapat diterangkan sebagai berikut:
Saat serangan
Pada saat serangan obat yang digunakan adalah obat golongan
bronkodilator dan yang tersering adalah -2 agonis yang dapat diberikan
sendiri atau bersama-sama dengan ipratropium bromida. Pada serangan asma
ringan obat inhalasi yang diberikan hanya -2 agonis saja meskipun ada juga
yang menambahkan dengan ipratropium bromida. Schuch dkk dalam
penelitiannya mendapatkan bahwa dengan menggunakan -2 agonis saja
dapat meningkatkan FEV1 dan menghilangkan gejala serangannya, sedangkan
penambahan ipratropium bromida akan meningkatkan FEV1 yang lebih tinggi
lagi.24 Pada serangan asma yang berat, PNAA menganjurkan pemberian -2
agonis saja pada serangan asma ringan, sedangkan pada serangan asma berat
diberikan bersama-sama dengan ipratropium bromida.21
Pemberian cara nebulizer untuk usia 18 bulan- 4 tahun dianjurkan
menggunakan mouthpiece daripada masker muka untuk menghindarkan
deposisi obat di muka dan mata.5 Apabila dengan pemberian inhalasi obat
tersebut serangan asma tidak teratasi/sedikit perbaikan maka dapat diberikan
steroid sistemik. Pemberian steroid sistemik perlu diperhatikan pada anak
dengan serangan asma yang sering karena anak ini berisiko mengalami efek
samping akibat pemberian steroid sistemik berulang kali seperti supresi
adrenal, gangguan pertumbuhan tulang, dan osteoporosis. Untuk mengurangi
pemberian steroid oral yang berulang kali, maka sebagai alternatifnya dapat
diberikan inhalasi budesonid dosis tinggi (1600 g perhari) pada anak yang
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 103
serangan asmanya tidak teratasi dengan penanganan inhalasi -2 agonis di
rumah dan mereka belum/tidak perlu perawatan di rumah sakit.25 Namun
pemberian steroid perinhalasi untuk mengatasi serangan asma masih
kontroversial.
Penggunaan obat pereda (reliever) secara inhalasi pada serangan asma
sangat bermanfaat dan justru sangat dianjurkan dibandingkan pemberian
peroral maupun injeksi. Hal ini sejalan dengan prinsip terapi inhalasi yaitu
dengan dosis minimal dan onset kerja cepat dengan tujuan untuk
menghilangkan atau mengurangi bronkokonstriksi dapat dipenuhi. Namun
demikian penggunaannya masih belum banyak. Hal ini dimungkinkan karena
penggunaannya yang belum banyak diketahui, harga obat masih mahal, dan
persepsi yang salah dari sebagian dokter dan pasien. Hal ini berlaku bukan
hanya di Indonesia, tetapi juga berlaku di negara maju. Penggunaannya pada
orang dewasa lebih banyak dibandingkan dengan anak.17,21,26
Pada serangan asma, selain pemilihan jenis obat dan usia harus pula
diperhatikan jenis alat inhalasi yang digunakan. Pada serangan asma ringan
dan serangan sedang penggunaan dengan cara MDI dengan spacer dan DPI
serta nebuliser sama baiknya. Sedangkan pada serangan berat, pemberian
dengan nebuliser sangat dianjurkan karena lebih unggul dibanding MDI dengan
spacer maupun DPI. Hal ini dapat dimengerti karena pada saat serangan berat
pasien sulit untuk inspirasi secara aktif yang sangat dibutuhkan pada
penggunaan MDI dan DPI sedangkan dengan nebuliser pasien cukup bersikap
pasif.
Di luar serangan
Penggunaan obat inhalasi di luar serangan asma hanya diberikan apabila
memerlukan obat pengendali yaitu asma episodik swering dan asma persisten.
Yang biasa digunakan adalah natrium kromoglikat dan golongan steroid.
Menurut PNAA kromoglikat tidak digunakan lagi karena berdasarkan penelitian
efektifitasnya rendah disamping ketersediaan obatnya yang sukar didapat.21
Penggunaan steroid pada asma anak harus hati-hati dan diperlukan
pengetahuan secara benar mengingat akan efek samping yang mungkin
ditimbulkan. Beberapa peneliti telah membuktikan bahwa penggunaan yang
tepat dengan dosis, cara, dan jenis yang sesuai efek samping dapat dikurangi.
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 104
Penggunaan obat inhalasi yang salah akan meningkatkan efek samping
seperti jamur/kandidiasis di daerah mulut, suara serak, dan efek lainnya.
Dengan inhalasi sebagian obat juga akan beredar ke seluruh tubuh melalui
sistem gastrointestinal dan selanjutnya akan dieliminir melalui hati sehingga
dalam peredaran sistemik kadarnya berkurang. Obat yang baik adalah yang
dapat eliminir tubuh dengan baik artinya kadar di dalam sirkulasi menjadi
kecil.
Penggunaan steroid inhalasi pada asma episodik sering dan asma
persisten memerlukan waktu yang lama dan dosis yang mungkin bervariasi.
Pada awal pengobatan diberikan kortikosteroid dosis rendah (setara dengan
100 ug budesonide atau 50 ug flutikason). Apabila dengan dosis ini selama 6-8
minggu, asma masih belum stabil maka dapat diberikan beberapa alternatif
yaitu meningkatkan steroid menjadi dosis medium (200-400 ug budesonide
atau 100 ug flutikason) atau steroid dosis rendah ditambahkan LABA, atau
ditambahkan TSR (teofilin slow release), atau penambahan antileukotrien
reseptor (ALTR). Apabila selama 6-8 minggu dengan dosis inipun belum stabil
maka dapat ditingkatkan menjadi steroid dosis tinggi (>400 ug budesonide
atau >100 ug flutikason) atau dosis medium ditambahkan LABA atau TSR atau
penambahan ALTR.
Apabila selama 6-8 minggu dengan cara inipun belum berhasil baru
dapat digunakan steroid oral sebagai alternatif terakhir penanganan jangka
panjang asma pada anak. Penggunaan obat pengendali ini harus dipantau
gejala klinisnya dan kalau mungkin uji fungsi paru. Apabila terdapat perbaikan
dosis dapat diturunkan secara bertahap dan perlahan-lahan menjadi dosis
yang lebih kecil sampai didapat dosis optimal dan pada akhirnya kalau
mungkin tidak menggunakan steroid sama sekali. Penggunaan obat di atas
dapat diberikan secara MDI dengan spacer atau dengan DPI. Penggunaan
yang waktu lama (sekitar 2-3 tahun) dengan dosis 400 ug perhari tidak
mengganggu proses tumbuh kembang anak.27,28 Untuk bayi dan anak berusia
dibawah 4 tahun yang memerlukan steroid inhalasi selain dengan MDI dan
29,30
spacer dapat digunakan secara nebusisasi. Jadi penggunaan steroid
inhalasi dapat lebih aman apabila diketahui cara penggunaannya.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 105
b. Bronkiolitis akut dan mengi postbronkiolitis
Studi dengan kontrol terhadap budesonide tidak dapat membuktikan
keuntungan pemberian budesonide pada bronkiolitis akut maupun pencegahan
mengi pasca bronkiolitis. Penelitian ini mengevaluasi efek jangka pendek dan
jangka panjang inhalasi suspensi budesonide dibandingkan dengan plasebo
pada 201 bayi berusia 4-41 minggu. Bayi-bayi tersebut dirandomisasi, satu
kelompok diinhalasi plasebo setiap 12 jam selama 6 minggu sedangkan
kelompok lain dengan inhalasi budesonide 1 mg tiap 12 jam selama 5 hari,
dilanjutkan dengan budesonide 0,5 mg tiap 12 jam sampai 6 minggu. Dari
hasil studi didapatkan tidak ada perbedaan bermakna antara kelompok
budesonide dengan kelompok plasebo dalam hal gejala klinis setelah terapi
inisial maupun masa rawat di rumah sakit. Dalam pengamatan lanjutan setelah
6 bulan dan 12 bulan ternyata tidak ada perbedaan bermakna dalam
prevalensi mengi, gejala klinis ataupun penggunaan bronkodilator 2-agonis
antara kelompok budesonide dan kelompok plasebo.
Selain obat steroid hirupan, penggunaan bronkodilator juga merupakan
perdebatan. Sebagian berpendapat bahwa peran bronkodilator cukup
bermanfaat dan sebagian lagi tidak bermanfaat. Alasan yang kurang
mendukung pemberian bronkodilator adalah karena pada usia bayi peran
bronkodilator kurang jelas. Pada keadaan bronkioliis yang dominan adalah
inflamasinya bukan bronkokonstriksinya sehingga pemberian bronkodilator
kurang bermanfaat.31

c. Croup
Nebulisasi steroid ternyata juga dapat mempercepat hilangnya gejala
pada anak dengan croup ringan-berat dan mengurangi kemungkinan
perawatan di rumah sakit. Suatu studi meta analisis mendapatkan hasil bahwa
steroid inhalasi dapat mencegah perawatan pasien croup. Dalam mengurangi
gejala croup pada anak, inhalasi budesonide suspensi 2 mg atau 4 mg lebih
efektif dibandingkan placebo, sama efektif dibandingkan dengan nebulisasi
epinefrin dan deksametason oral namun sedikit kurang efektif dibandingkan
deksametason intramuskular. Gejala Croup menghilang 2-3 jam setelah
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 106
nebulisasi budesonide, hal ini merupakan implikasi penting dalam mengurangi
masa rawat di ruang emergensi.6
Nebulisasi adrenalin (0,5ml/kgBB cairan 1:1000) berguna untuk
mencegah intubasi, menstabilkan pasien sebelum dialihkan ke PICU, dan
bermanfaat mengobati stridor pasca intubasi. Efeknya hanya berlangsung
sebentar (1-2 jam). 6

d. Prematuritas dan chronic lung diseases


Peran inhalasi budesonide untuk terapi pada bayi-bayi prematur dengan
risiko timbulnya BPD (bronchopulmonary dysplasia) masih dalam penelitian.
Studi terbaru mendapatkan bahwa nebulisasi budesonide merupakan alternatif
yang efektif selain deksametason perenteral dan mengurangi lama
penggunaan ventilasi mekanik dan menurunkan kebutuhan kortikosteroid
sistemik.32
Hambatan
Telah dijelaskan sebelumnya prinsip dasar inhalasi serta keuntungan dan
kerugian penggunaan inhalasi pada asma. Namun demikian, masih sangat
sedikit dokter yang menggunakan terapi inhalasi pada asma khususnya anak.
Hal ini berkaitan dengan hambatan yang ada baik itu hambatan pada dokter,
pasien atau keluarganya, dan ketersediaan alat.
Hambatan pada dokter dapat berupa perlunya waktu yang lama untuk
menerangkan kepada pasien/keluarga (time consuming), menambah biaya
pengobatan karena harganya masih mahal, kunjungan pasien akan berkurang
karena asmanya terkontrol, kekuatiran dokter bahwa pasien akan membeli
obatnya sendiri (karena sudah tahu). Kekhawatiran dokter karena kunjungan
akan berkurang sebenarnya kurang beralasan. Memang benar dengan
terkontrolnya gejala asma, maka kunjungan akan berkurang. Tetapi dampak
lainnya adalah dengan makin jarangnya timbul serangan, maka pasien merasa
bahwa penanganan oleh dokter cukup baik. Dengan pengalaman yang
dialaminya, maka pasien akan menceritakan pengalamannya. Pengalaman di
atas akan menarik pasien lain untuk berobat pada dokter tersebut.
Hambatan pada pasien dapat berupa anggapan bahwa harga obat mahal,
pasien akan merasa ketagihan (kecanduan), anggapan bahwa penggunaan
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 107
inhalasi hanya apabila penyakit asma sudah berat, atau dapat berbahaya
karena pemberiannya langsung ke paru. Hambatan ini dapat dihilangkan
apabila dokter yang menangani menjelaskan secara detail tentang terapi
inhalasi.
Ketersediaan alat merupakan hambatan yang perlu ditangani. Distribusi
obat atau alat (spacer) yang tidak merata menyebabkan kesulitan tersendiri
dalam menangani asma khususnya sosialisasi penggunaan terapi inhalasi.
Rumit atau kompleksnya penggunaan alat juga merupakan kendala yang
masih ada pada masyarakat. Dengan dasar tersebut, maka sosialisasi terhadap
terapi inhalasi mutlak dilakukan baik pada kalangan dokter maupun
masyarakat sehingga persepsi yang salah dapat dibenahi.

Kesimpulan

Penggunaan terapi inhalasi merupakan pilihan tepat pada asma karena


banyak manfaat yang didapat seperti onset kerjanya cepat, dosis obat kecil,
efek samping minimal, dan langsung mencapai target. Beberapa kendala
dalam terapi inhalasi berupa teknik dan cara pemberian yang kurang tepat
menyebabkan masih banyak yang tidak menggunakannya. Untuk mengatasi
masalah di atas perlu diketahui indikasi, cara pemilihan obat, jenis, cara
pemberian, dan perlu berulang kali memantau apakah anak menggunakannya
dengan tepat, bahkan orang tua dianjurkan mencoba alat inhalasi yang
diberikan untuk anaknya. Dengan mengetahui hal di atas diharapkan
pengobatan asma mencapai kemajuan yang cukup berarti.
Indikasi penggunaan terapi inhalasi pada asma anak adalah pada setiap
pasien asma karena baik pada saat serangan maupun di luar serangan
pemberian inhalasi merupakan pilihan utama. Pada terapi inhalasi harus
diperhatikan jenis alat inhalasi; obat inhalasi baik jenis, dosis, dan lamanya
pemberian, serta efek samping yang mungkin ditimbulkannya.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 108
Kepustakaan

1. Huchon, G. Metered dose inhalers past and present: Advantages and


limitations. Eur Respir Rev 1997; 7:26-8.
2. Matthys H. CFCs and their effect on the ozone layer: the Montreal Protocol
and consequences for physicians. Eur Respir Rev 1997; 7:29-31.
3. June D. Achieving the change: challenges and successes in the formulation
of CFC-free MDIs. Eur Respir Rev 1997; 7:32-4.
4. Newman SP. New aerosol delivery system. Dalam: Barnes PJ, Grunstein
MM, Leff AR, Woolcock AJ, penyunting. Asthma. Philadelphia: Lippincott-
Raven. Volume 2. 1997:1805-15.
5. Reiser J dan Warner JO. Inhalation treatment for asthma. Arch Dis Child
1986; 61:88-94.
6. Barry PW, Fouroux B, Pederson S, OCallaghan C. Nebulizers in childhood.
Eur Respir Rev 2000; 10: 527-35.
7. Dolovich MB, Everard ML. Delivery of aerosols to children: devices and
inhalation techniques. Dalam: Naspitz C, Szefler SJ, Tinkelman D, Warner
JO, penyunting. Textbook of pediatric asthma. An International Perspective.
London: Martin Dunitz Ltd 2001: 327-46.
8. Malmstrom K, Sorva R, Silvasti M. Application and efficacy of the multidose
powder inhaler, easyhaler, in children with asthma. Pediatr Allergy Immunol
1999; 10:66-70.
9. Kanner RE, Kanter LJ, Dwork P. A comparison of drug delivery from a
metered-dose inhaler plus an inspiratory flow control device with a metered-
dose inhaler plus a spacer device. J Allergy Clin Immunol 1997; 99:853-4.
10. Dolovich MB. Aerosols. Dalam: Barnes PJ, Grunstein MM, Left AR,
Woolcock AJ, penyunting. Asthma. Philadelphia: Lippincott-Raven
1997.h.1349-66.
11. Bertrand P, Aranibar H, Castro E, Sanchez I. Efficacy of nebulized
epinephrine versus salbutamol in hospitalized infants with bronchiolitis.
Pediatr Pulmonol 2001; 31:284-8.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 109
12. Lannefors L, Heslop K, Teirlinck C. Nebulizer systems: contamination,
microbial risk, cleaning and effect on function. Eur Respir Rev 2000; 10: 76,
571-5.
13. Freenhandler M, Asperen PPV. Nebuhaler versus nebulizer in children
with acute asthma. BMJ 1984; 288:1873-4.
14. Leach C. Safety assessment of the HFA propellant and the new inhaler.
Eur Respir Rev 1997; 7:35-6.
15. Bleecker E. Clinical reality: the safety and efficacy of the worlds first
CFC-free MDI. Eur Respir Rev 1997; 7:37-9.
16. Kamps AWA, van Ewijk B, Roorda RJ, Brand PLP. Poor inhalation
technique, even after inhalation instructions, in children with asthma.
Pediatr Pulmonol 2000; 29:39-42.
17. Rubilar L, Castro-Rudriguez JA, Girardi G. Randomized trial of salbutamol
via metered-dose inhaler with spacer versus nebulizer for acute wheezing in
children less than 2 years of age. Pediatr Pulmonol 2000; 29:264-9.
18. Nikander K, Turpeinem M, Wolmer P. Evaluation of pulsed and breath-
syncrinized nebulization of budesonide as a means of reducing nebulizer
wastage of drug. Pediatr Pulmonol 2000; 29:120-6.
19. Pederson S. Aerosol treatment of bronchoconstriction in children, with or
without a tube spacer. N Engl J Med 1983; 308:1328-30.
20. ODonohue WJ. Guidelines for the use of nebulizers in the home and at
domiciliary sites. Report of a consensus conference. Chest 1996; 109:814-
20.
21. Ahonen A, Leinonen M, Pesonen MR. Patient satisfaction with easyhaler
compared with ither inhalation system in the treatment of asthma: A meta-
analysis. Current Theraupetic Research 2000; 61:61-73.
22. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for Asthma. NHLBI/WHO
Workshop Report 2002.
23. Warner JO, Naspitz CK. Third International Pediatric Consensus
Statement on the Management of Childhood Asthma. Pediatr Pulmonoll
1998; 25:1-17.
24. UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. Jakarta, 2004.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 110
25. Schuch S, Johnson DW, Callahan S, Canny G, Levison H. Efficacy of
frequent nebulized ipratropium bromide added to frequent high-dose
albuterol therapy in severe childhood asthma. J Pediatr 1995; 126:639-45.
26. Nuhoglu Y, Bahceeiler, Barlan IB, Basaran MM. The effectiveness of high-
dose inhaled budesonide therapy in the treatment of acute asthma
exacerbations in children. Annals of Allergy Asthma Immunol 2001;86:318-
22.
27. Rabe KF, Vermeire PA, Soriane JB, Maier WC. Clinical management of
asthma in 1999: the Asthma Insights and reality in Europe (AIRE) study.
Eur Respir J 2000; 16:802-7.
28. Condemi JJ, Chervinsky P, Goldstein MF, et al. Fluticasone propionate
powder administration through diskhaler versus triamsolone acetonide
aerosol administered through metered-dose inhaler in patients with
persistent asthma. J Allergy Clin Immunol 1997; 100:468-74.
29. Allen HDW, Thong IG, Clifton-Bligh P, Holmes S, Nery L, Wilson KB.
Effects of high-dose inhaled corticosteroids on bone metabolism in
prepubertal children with asthma. Pediatr Pulmonol 2000; 29:188-93.
30. Kemp JP, Skoner DP, Szefler SJ, Walton-Bowen K, Rivera MC, Smith JA.
Once-daily budesonide inhalation suspension for the treatment of persistent
asthma in infants and young children. Annals of Allergy Asthma Immunol
1999;83:231-9.
31. Van Woensel JBM, van Aalderen WMC, Kimpen JLL. Viral lower
respiratory tract infection in infants and young children. BMJ 2003; 327:36-
40.
32. Szefler SJ. A review of budesonide inhalation suspension in the
treatment of pediatric asthma. Pharmacotherapy 2001;21(2):195-206.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 111
Pemeriksaan Neurologis pada Anak dan Bayi

Elisabeth S. Herini

Pendahuluan

Pemeriksaan neurologis merupakan bagian integral dari pemeriksaan


fisik pediatrik. Pemeriksaan neurologis sangat membantu untuk menegakkan
diagnosis dan mencari dimana lesi dari kelainan neurologis tersebut.

Pemeriksaan neurologis membutuhkan rencana yang jelas pada setiap


langkah dengan tujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: 1

1. Apakah anak mengalami gangguan neurologis?


2. Jika ya, dimana lesinya dan kelainan ini apa sering terjadi pada kasus-
kasus neurologi pediatrik dan apakah melibatkan seluruh atau sebagian
otak ?
3. Lesi patologis apa yang paling sering untuk kelainan di tempat tersebut ?
Untuk membantu dokter anak melakukan pemeriksaan neurologis, akan
diuraikan dibawah ini cara-cara pemeriksaan neurologi pada anak dan bayi

Pemeriksaan neurologis pada anak

Derajat kesadaran

Kesadaran harus dinyatakan secara rinci dengan skala koma pediatrik


(Pediatric Coma Scale/PCS). Gradasi koma pada anak dimodifikasi dari skala
koma Glasgow yang sebenarnya untuk menilai koma akibat trauma kapitis
dengan menilai 3 fase yaitu membuka mata, respons motor dan respons
verbal.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 112
Skala Koma Pediatrik

Membuka mata

Spontan 4
Terhadap bicara
Terhadap nyeri 3
Tidak ada
2

Respons Verbal 5

Terorientasi 4
Kata-kata
Suara 3
Menangis
Tidak ada 2

Respons Motor

Menurut perintah 5
Lokalisasi nyeri
Fleksi terhadap 4
nyeri
Ekstensi terhadap 3
nyeri
2
Tidak ada
1

Nilai Normal

Lahir - 6 bulan 9
6 12 bulan
1 2 tahun 11
2 5 tahun
Lebih dari 5 tahun 12

13

14
2
Dikutip dengan modifikasi dari Menkes, 2006

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 113
Respons Verbal Pada Bayi

Satu Bulan Lima dan Enam Bulan

1.Tidak ada 1.
Tidak ada
2.Menangis bila ada stimulus 2.
Menangis bila ada stimulus
3.Menangis spontan 3.
Vokalisasi suara
4.Menangis bila bulu mata 4.
Mengenal anggota keluarga
disentuh 5.
Meleter terhadap orang dan
5. Suara di tenggorok mainan
Dua Bulan Tujuh dan Delapan Bulan

1. Tidak ada 1. Tidak ada


2. Menangis bila ada stimulus 2. Menangis bila ada stimulus
3. Menutup mata bila ada 3. Mengenal suara keluarga dan
cahaya yang dikenal
4. Tersenyum bila dibelai 4. Meleter
5. Meleter (babbles) huruf 5. Ba-ma-da
hidup
Tiga Bulan Sembilan Sepuluh Bulan

1.
Tidak ada 1. Tidak ada
2.
Menangis bila ada stimulus 2. Menangis bila ada stimulus
3.
Melihat lingkungan 3. Mengenal suara keluarga
4.
Tersenyum terhadap suara familiar
5.
Coos, chuckles, suara huruf 4. Meleler
hidup panjang 5. Mama, dada
Empat Bulan Sebelas duabelas bulan

1. Tidak ada 1. Tidak ada


2. Menangis bila ada stimulus 2. Menangis bila ada stimulus
3. Menoleh ke arah suara 3. Mengenal, tersenyum
4. Tersenyum spontan dan 4. Meleter
tertawa 5. Kata-kata terutama mama
5. Ucapan huruf hiduo jelas

Dikutip dengan modifikasi dari Wisoff dan Epstein, 1985 3

Paresis dan paralisis

Paresis merupakan kelumpuhan otot yang tidak sempurna, sedangkan


paralisis merupakan kelumpuhan otot yang sempurna. Paresis maupun
paralisis dapat bersifat flaksid maupun spastik. Pada paresis/paralisis flaksid
otot tidak dapat mempertahankan tonus pada posisi yang normal. Flaksiditas
pada umumnya menunjukkan adanya lesi lower motor neuron (LMN) dan

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 114
dapat ditemukan pada penyakit seperti poliomyelitis, Guillain Barre Syndrome
(GBS), miastenia atau kerusakan medulla spinalis yang tergolong dalam Acute
Flaccid Paralysis (AFP) yang harus dilaporkan dalam rangka Indonesia bebas
polio. Pada paralisis tipe upper motor neuron akan menunjukkan flaksiditas
lebih dahulu sebelum terjadi spastisitas. Oleh karena itu bayi dengan
kerusakan otak mungkin tampak flaksid terlebih dahulu, dapat sampai 6 bulan,
sebelum spastisitas menjadi nyata. Flaksiditas biasanya disertai dengan refleks
yang menurun.
Lesi upper motor neuron (UMN) ditandai dengan paresis/paralisis spastik
dengan gejala tonus otot yang meningkat dengan kontraksi yang berlangsung
lama dan refleks fisiologis yang meningkat serta didapatkan refleks patologis.4

Refleks tendon dalam (Refleks fisiologis) 5

Refleks tendon dalam biasanya diperiksa pada tendon biseps, triseps,


patela dan Achilles. Refleks biseps positip bila terjadi fleksi sendi siku bila
tendon biseps diketuk (Gambar 1); refleks triseps positip jika terjadi ekstensi
sendi siku jika tendon triseps diketuk (Gambar 2). Refleks patela normal jika
terjadi ekstensi sendi lutut jika tendon patela diketuk (Gambar 3) dan refleks
tendon Achilles normal jika terjadi fleksi plantar kaki sewaktu tendon Achilles
diketuk.

Gambar 1. Refleks biseps Gambar 2. Refleks triseps

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 115
Gambar 3. Refleks patela Gambar 4. Refleks Achilles

Pemeriksaan akan berhasil baik bila pasien dalam keadaan santai,


dengan cara mengajak pasien berbicara. Pada bayi dan anak kecil ketukan
cukup dilakukan dengan jari tangan, pemukul refleks hanya dipakai pada anak
yang besar. Refleks kanan dan kiri perlu dibandingkan. Refleks tendon dalam
akan meninggi pada lesi UMN, hipokalsemia, hipertiroidisme atau tumor
batang otak. Hiporefleksi terjadi pada lesi LMN, sindrom Down, malnutrisi atau
beberapa kelainan metabolik.

Refleks patologis

Beberapa perasat reflek patologis yang sering dilakukan pada bayi dan
anak yaitu refleks Babinski, refleks Oppenheim, refleks Hoffmann dan klonus
pergelangan kaki.

Refleks Babinski dilakukan dengan menggores permukaan plantar kaki


dengan alat yang sedikit runcing. Penggoresan dilakukan di bagian lateral
telapak kaki dari posterior ke anterior. Hasil positif jika terjadi reaksi berupa
ekstensi ibu jari kaki disertai dengan menyebarnya jari-jari kaki yang lain
(Gambar 5). Refleks ini normal pada bayi sampai umur 18 bulan, bila
ditemukan sampai umur 2-2,5 tahun, kemungkinan terdapat lesi piramidal

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 116
Gambar 5. Refleks Babinski

Tanda rangsang meningeal

Perasat untuk memeriksa tanda rangsang meningeal yaitu pemeriksaan


kaku kuduk, perasat Brudzinski I, perasat Brudzinski II dan perasat Kernig

Kaku kuduk

Pemeriksaan kaku kuduk dilakukan dengan menekuk leher secara pasif,


bila terdapat tahanan sehingga dagu tidak bisa menempel pada dada, maka
dikatakan kaku kuduk positif (Gambar 6). Kaku kuduk selain bisa ditemukan
pada meningitis, juga terdapat pada tetanus, abses retrofaringeal, abses
pertonsilar, ensefalitis virus, reumatoid artritis dan keracunan timbal.5

Gambar 6. Pemeriksaan kaku kuduk

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 117
Perasat Brudzinski I

Letakkan satu tangan pemeriksa di bawah kepala pasien yang telentang


dan tangan yang lain diletakkan di dada pasien untuk mencegah agar badan
tidak terangkat, kemudian kepala pasien difleksikan ke dada secara pasif.
Rangsang meningeal positif bila kedua tungkai bawah fleksi pada sendi
panggul dan sendi lutut (Gambar 7)

Gambar 7. Pemeriksaan perasat Brudzinski I

Perasat Brudzinski II

Pasien dalam posisi telentang, kemudian tungkai atas difleksikan pada


sendi panggul secara pasif. Hasilnya positif bila diikuti fleksi tungkai lainnya
pada sendi panggul dan sendi lutut. Hasil lebih jelas bila sewaktu fleksi ke
panggul sendi lutut dalam keadaan ekstensi (Gambar 8)

Gambar 8. Pemeriksaan perasat Brudzinski II

Perasat Kernig

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 118
Pemeriksaan dilakukan dengan posisi pasien telentang, kemudian
dilakukan fleksi tungkai atas tegak lurus dan tungkai bawah diluruskan pada
sendi lutut. Dalam keadaan normal tungkai bawah dapat membentuk sudut
lebih dari 135 terhadap tungkai atas (Gambar 9). Pada iritasi meningeal
ekstensi lutut secara pasif tersebut akan menyebabkan rasa sakit dan terdapat
tahanan

Gambar 9. Pemeriksaan perasat Kernig

Uji kekuatan dan tonus otot

Uji ini hanya dapat dilakukan pada anak yang sudah dapat mengerjakan
instruksi pemeriksa dan koperatif. Pada bayi dan anak yang tidak koperatif
hanya dapat dinilai kesan keseluruhan saja. Anak diperiksa dalam posisi duduk
dengan tungkai bawah tergantung. Anak tersebut diminta untuk
menggerakkan anggota badan yang diuji dan pemeriksa menahan gerakan-
gerakannya (kekuatan kinetik), kemudian diminta menahan anggota badan
yang diuji tetap ditempatnya dengan kekuatan terhadap gerakan-gerakan
yang dilakukan pemeriksa (kekuatan statik).

Penilaian derajat kekuatan otot ini bercam-macam. Ada yang


menggunakan nilai 100% sampai 0%, ada yang menggunakan huruf (N =
normal; G = good; F = fair; P = poor; T = trace dan 0 = zero), ada yang
menilai dengan angka 5 sampai 0

5 = normal

4 = dapat menggerakkan sendi dengan aktif untuk menahan berat dan


melawan tahanan secara simultan

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 119
3 = dapat menggerakkan anggota gerak untuk menahan berat, tetapi tidak
dapat menggerakkan anggota badan untuk melawan tahanan pemeriksa

2 = dapat menggerakkan anggota gerak, tetapi tidak kuat menahan berat dan
tidak dapat melawan tahanan pemeriksa

1 = terlihat atau teraba ada getaran kontraksi otot, tetapi tidak ada gerakan
anggota gerak sama sekali

0 = paralisis, tidak ada kontraksi otot sama sekali

1,4,5
Pemeriksaan saraf otak

Saraf otak I (N. olfaktorius)

Uji penciuman dilakukan pada anak yang sudah berumur lebih dari 5-6
tahun. Pemeriksaan dilakukan dengan menutup salah satu lubang hidung
secara bergantian dan dengan mata tertutup. Bahan uji yang paling baik
adalah bahan yang menimbulkan bau yang tidak merangsang dan yang sudah
dikenal oleh pasien.

Saraf otak II (N. Optikus)

Pemeriksaan n. Optikus merupakan pemeriksaan yang sangat penting.

Ketajaman penglihatan dapat dites dengan memperhatikan kemampuan


pasien mengikuti wajah orang, kemampuan untuk mengambil mainan
dan mengikuti benda bergerak. Untuk anak, tes ketajaman penglihatan
juga dapat dilakukan dengan gambar kuda, perahu, payung dan lain-lain
Lapangan penglihatan dapat diperiksa dengan metode konfrontasi
Pemeriksaan funduskopi dengan optalmoskop
Saraf otak III, IV, VI (Nn okulomotorius, troklearis, dan abdusen)

Untuk uji saraf ini dilakukan uji gerakan kedua mata, uji akomodasi dan
refleks cahaya. Uji gerakan bola mata dilakukan dengan menggerakkan

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 120
mainan, baterai atau pengukur lingkaran kepala yang digarakkan ke samping,
atas, bawah di garis tengah dan diagonal. Uji ini dilakukan pada masing-
masing mata dengan menutup mata yang lain.

Uji akomodasi dilakukan dengan meminta pasien melihat benda yang


digerakkan mendekat dan menjauh, kemudian dilihat pupil pasien apakah
mengecil bila melihat dekat dan membesar bila melihat jauh.

Paralisis saraf otak III menyebabkan mata yang terkena akan deviasi
kearah lateral bawah, ptosis, strabismus, diplopia, dilatasi pupil, serta
hilangnya refleks cahaya dan akomodasi.

Saraf otak V (N. Trigeminus)

N trigeminus mempunyai fungsi motor dan sensori. Bagian motor


mempersarafi pengunyah, yaitu maseter, pterigoid dan temporalis. Bagian
sensori mempersarafi daerah wajah dan setengah kulit kepala bagian depan.
Cabang oftalmikus mempersarafi kuadran atas, cabang maksilaris
mempersarafi kuadran tengah dan cabang mandibularis mempersarafi kuadran
bawah.

Pemeriksaan untuk kelainan saraf ini ialah uji perasaan (sensori) dengan
mengusapkan kapas, menggoreskan jarum dan benda-benda hangat atau
dingin di daerah wajah kuadran atas, tengah dan bawah. Uji lain ialah
terhadap refleks kornea dan rahang. Uji refleks kornea dilakukan dengan kain
kasa atau kapas yang bersih yang disentuhkan pada kornea pasien, bila saraf
otak V intak, maka mata akan berkedip. Refleks rahang (jaw jerk) dilakukan
dengan menyuruh pasien membuka mulut sedikit, kemudian letakkan jari di
tengah-tengah dagu pasien. Ketuklah jari tersebut dengan jari tangan lainnya
atau dengan pengetuk refleks, normal dagu akan terangkat. Lesi saraf otak V
unilateral akan menyebabkan rahang miring ke sisi yang paretik, hal ini
disebabkan oleh karena kelemahan ipsilateral otot pterigoid. Perlu diingat
bahwa uji perasaan (sensori) sukar dilakukan pada anak, yang mudah
dilakukan ialah uji refleks kornea.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 121
Saraf otak VII (N. Fasialis)

Parasis N. VII perifer menyebabkan pasien tidak dapat mengerutkan dahi


ke atas, tidak dapat memejamkan mata dan tidak dapat menaikkan otot mulut
pada sisi saraf paresis. Pada tipe sentral hanya terkena otot-otot wajah bagian
bawah, sehingga sudut mulut turun ke bawah, lipatan naso-labialis mengurang
atau menghilang, dan fisura palbebra bertambah. Otot dahi yang mendapat
persarafan bilateral tidak terkena. Perasaan (sensori) pengecap di daerah dua
pertiga lidah bagian depan juga terganggu.

Pemeriksaan untuk saraf otak VII dilakukan dengan menyuruh pasien


tersenyum, meringis, bersiul, membuka dan memejamkan mata, serta refleks
kornea dan uji pengecap (sensori pengecap). Bila terdapat paresis N. VII, akan
terlihat mulut pasien mencong ke sisi yang sehat, dan mata pada sisi lesi tidak
dapat menutup dengan rapat (lagoftalmos). Uji sensori pengecap dilakukan
dengan meminta pasien menjulurkan lidah, pemeriksa memegang ujung lidah
dengan kain kasa dan meletakkan gula atau garam atau asam sitrat atau kina.
Lidah harus tetap di luar sampai uji sensori pengecap selesai, dan pasien
diminta menyebutkan bahan uji yang digunakan dengan mata tertutup

Saraf otak VIII (N. Akustikus)

Saraf otak ini terdiri dari N. Koklearis untuk pendengaran dan N.


Vestibularis untuk keseimbangan. Uji ketajaman pendengaran dilakukan
dengan menutup satu telinga kemudian memperdengarkan suara detik arloji
atau suara bisikan di telinga yang diuji; ini dikerjakan bergantian pada kedua
telinga. Uji lainnya dilakukan oleh ahli THT, demikian pula uji keseimbangan

Saraf otak IX (N. Glosofaringeus)

Pemeriksaan saraf ini ditujukan untuk menilai kelainan-kelainan yang


timbul berupa hilangnya refleks muntah, disfagia ringan, hilangnya sensasi
mengecap (dengan uji pengecap), deviasi uvula ke sisi yang baik, hilangnya
sensasi pada faring, tonsil, tenggorok bagian atas dan lidah bagian belakang
serta hilangnya konstriksi dinding posterior faring ketika mengeluarkan suara
ah dan adanya hipersalivasi.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 122
Saraf otak X (N. Vagus)

Kelainan saraf ini dapat berupa gangguan motorik, sensorik dan vegetatif.

Gangguan motorik berupa afonia (suara menghilang), disfonia


(gangguan suara), disfagia (kesukaran menelan), spasme esofagus dan
paralisis palatum mole (refleks muntah negatif) (Gambar 10)
Gangguan sensorik berupa nyeri dan parestesi pada faring dan laring,
batuk dan sesak napas
Gangguan vegetatif: bradikardia, takikardia dan dilatasi lambung

Gambar 10. Paralisis palatum mole kanan

Saraf otak XI (N. Aksesorius)

Pemeriksaan ini dilakukan dengan uji kemampuan untuk mengangkat


bahu dan memutar kepala melawan tahanan. Jika ada kelainan saraf ini,
pasien tidak dapat mengangkat bahu sisi yang terkena dan tidak mampu
memutar kepala ke arah sisi yang sehat. Bahu yang terkena berada pada
posisi lebih rendah daripada yang sehat, serta terdapat atrofi m.
sternokleidomastoideus

Saraf otak XII (N. Hipoglosus)

Uji yang dilakukan untuk menilai kekuatan lidah dengan meminta pasien
menyorongkan ujung lidah ke tepi pipi kanan dan kiri melawan tahanan jari
Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 123
tangan pemeriksa. Untuk melihat paralisis lidah, pasien diminta menjulurkan
lidah, bila terjadi paralisis maka lidah akan deviasi ke sisi lesi dan tampak
atrofi disertai tremor.

Pengukuran lingkar kepala

Pengukuran lingkar kepala dilakukan secara rutin untuk mengetahui


adanya mikrosefal, makrosefal atau normal sesuai umur dan jenis kelamin.

Cara mengukur lingkar kepala yaitu:

Kepala pasien dalam posisi diam


Pita pengukur ditempatkan melingkar di kepala pasien melalui bagian
yang paling menonjol (protuberantia occipitalis) dan dahi (glabella)
(Gambar 11)

Gambar 11. Cara pengukuran lingkar kepala

4-6
Pemeriksaan neurologis pada neonatus

Pemeriksaan neurologis pada neonatus sangat penting untuk dilakukan


pada semua bayi, baik yang sehat maupun sakit. Pada bayi sehat dilakukan
pemeriksaan ini untuk mengetahui bahwa bayi tersebut benar-benar tidak
mengalami kelainan neurologis, sedang untuk bayi sakit pemeriksaan ini untuk
menentukan diagnosis, pengobatan dan prognosis.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 124
Pemeriksaan saraf otak

Pemeriksaan saraf otak pada neonatus berbeda dengan pada anak, tidak
perlu urut dari saraf otak I. Misalnya pada waktu anak bangun,
mengerenyutkan muka dan menangis, lihatlah mata dan sudut mulutrnya
untuk memeriksa n. Fasialis (N VII). Jika terjadi paresis n. Fasialis akan
terlihat mulut mencong ke sisi sehat, mata tidak dapat menutup dan lipatan
nasolabialis hilang pada sisi yang paresis. Sewaktu anak menangis dan
membuka mulut perhatikan lidah dan langit-langit untuk memeriksa saraf IX
dan XII. Pada lidah perhatikan ukurannya dan gerakan simetris atau
asimetris, juga dilihat apakah ada fasikulasi (n. XII). Pada langit-langit
perhatikan gerakan arkus farings dan uvula. Pada paresis saraf IX terlihat
arkus pada sisi paresis akan tertinggal.

Untuk menentukan kelainan saraf V, VII dan XII, diperiksa refleks


rooting yaitu dengan menyentuhkan ujung jari di sudut mulut anak, maka
anak akan menengok ke arah rangsangan dan berusaha memasukkan ujung
jari ke dalam mulutnya kemudian menghisapnya (refleks isap/sucking reflex).

Pemeriksaan refleks menelan dilakukan untuk memeriksa saraf IX dan X.


Pada waktu mengisap mata anak biasanya terbuka spontan, pada waktu itu
bisa untuk memeriksa pergerakan bola mata untuk menilai saraf III, IV dan
VI. Dolls eye maneuver dilakukan untuk menilai gerakan bola mata ke lateral
dengan cara memutar kepala pasien ke kiri dan kanan. Pemeriksaan ini juga
bisa digunakan untuk memeriksa saraf VIII bagian vestibular. Pemeriksaan
saraf VIII bagian pendengaran sukar dilakukan secara obyektif, tetapi bisa
dilakukan dengan pemeriksaan brain stem auditory evoked responses.

Refleks pupil sebenarnya sudah ada pada neonatus tetapi sukar dinilai,
karena kalau ada cahaya neonatus segera menutup mata dan sukar dibuka
lagi. Pada waktu mata terbuka segera dilihat apakah pupilnya isokor atau
anisokor. Saraf I (penciuman), saraf II (penglihatan) dan saraf XI pada
neonatus sukar diperiksa secara obyektif.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 125
Pemeriksaan refleks neonatal primer

Refleks Moro

Refleks Moro merupakan suatu reaksi kejut dengan menimbulkan


perasaan jatuh pada bayi. Bayi dalam posisi telentang, kemudian kepalanya
dibiarkan jatuh dengan cepat beberapa sentimeter dengan hati-hati ke tangan
pemeriksa. Reaksinya bayi akan kaget, lengan direntangkan dalam posisi
abduksi ektensi dan tangan terbuka disusul gerakan lengan adduksi dan fleksi
(Gambar 12)

Gambar 12. Refleks Moro

Refleks tonic neck

Bayi diletakkan dalam posisi telentang, kepala di garis tengah dan


anggota gerak dalam posisi fleksi, kemudian kepala ditengokkan ke kanan,
maka akan terjadi ekstensi pada anggota gerak sebelah kanan dan fleksi pada
anggota gerak sebelah kiri. Yang selalu terjadi adalah ekstensi lengan,
sedangkan tungkai tidak selalu ekstensi, dan fleksi anggota gerak kontralateral

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 126
juga tidak selalu terjadi. Setelah selesai ganti kepala dipalingkan ke kiri
(Gambar 13 ).

Gambar 13. Refleks tonik neck

Refleks plantar graps

Refleks ini dilakukan dengan meletakkan sesuatu (misanya jari


pemeriksa) pada telapak kaki pasien, maka akan terjadi fleksi jari-jari kaki

Refleks palmar grasp

Refleks ini dilakukan dengan meletakkan sesuatu (misanya jari


pemeriksa) pada telapak tangan pasien, maka akan terjadi fleksi jari-jari
tangan

Daftar Pustaka

1. Menkes JH and Moser FG. Neurologic Examination of the Child and


Infant. Dalam: Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL, penyunting. Child

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 127
Neurology. Edisi ketujuh. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2006. h.1-27.
2. Menkes JH and Ellenbogen RG. Postnatal Trauma and Injuries by Physical
Agents. Dalam: Menkes JH, Sarnat HB, Maria BL, penyunting. Child
Neurology. Edisi ketujuh. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;
2006. h.659-702
3. Wisoff JH and Epstein FJ. Management of head trauma> dalam:
Zimmerman< Gildea, penyunting> Critical Care Pediatrics> Philadelphia:
Saunder, 1985;368-77
4. Soetomenggolo TS. Pemeriksaan Neurologis. Dalam: Matondang CS,
Wahidiyat I, Sastroasmoro S, penyunting. Diagnosis Fisis pada Anak.
Edisi kedua. Jakarta: Sagung Seto; 2003. h. 128-45.
5. Soetomenggolo TS. Pemeriksaan Neurologis pada Anak dan Bayi. Dalam:
Soetomenggolo TS, Ismail S, penyunting. Neurologi Anak. Cetakan
kedua. Jakarta: BP IDAI; 2000. h. 1-35.
6. Volpe JJ. Neurological Examination: Normal and Abnormal Features.
Dalam: Volpe JJ, penyunting. Neurology of the Newborn. Edisi kelima.
Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008. h.121-53.

Pediatric Basic Life Support Course, Jogjakarta 10-11 September 2011 128

You might also like