Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 218

DISTRIBUSI SPASIAL, AUTEKOLOGI, DAN

BIODIVERSITAS TUMBUHAN SAGU (Metroxylon spp.)


DI PULAU SERAM, MALUKU

SAMIN BOTANRI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi saya yang berjudul


Distribusi Spasial, Autekologi, dan Biodiversitas Tumbuhan Sagu (Metroxylon
spp.) di Pulau Seram, Maluku adalah merupakan disertasi hasil penelitian saya
sendiri, dengan arahan komisi pembimbing. Disertasi ini belum pernah diajukan
untuk memperoleh gelar pada program studi sejenis di Perguruan Tinggi
manapun. Semua sumber informasi yang berasal dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain yang digunakan dalam penulisan
disertasi ini telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka
secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Desember 2010

Samin Botanri
NRP. G361060031
ABSTRACT

SAMIN BOTANRI. Spatial Distribution, Autecology, and Biodiversity of


Sagoo (Metroxylon spp.) in Seram Island, Maluku. Under supervision of
DEDE SETIADI, EDI GUHARDJA, IBNUL QAYIM, and LILIK BUDI
PRASETYO.

Sago palm (Metroxylon spp.) is a tropical plant. Its area distribution in Indonesia
is the largest in the world, covering 50-60 % of worlds Sago area. It is
multifunction plant, however, it is still under utilized. Ecologicaly, sago palm
well adapted on fresh water or peat swamp, riverine zone, surrounding water or
swamp forests. Unfortunately, there is no any valid information on its area
distribution. Moreover, regarding species diversity of Sago is also unclear. Based
on the above facts, it is an urgent need to know its ecological aspect, spatial
distribution and species diversity. The research was conducted in March to
November 2009 at the Seram Island, Maluku. Spatial distribution was developed
by Supervised classification of Landsat TM coupled with ground survey to collect
Ground Control Points (GCPs) for accuracy assessment. Further field survey was
done to collect autecological data. Isozyme analysis was also conducted to
identify species diversity. Output supervised classification of Landsat-5TM image
in 2007, showed that potential area of sago palm at the Seram Island was
18.239,8 ha. Characteristic of the habitat was distributed in the lowland (elevation
less than 250 m asl), flat area, around river, near from beach, and on alluvium soil
(sediment). Population structure of sago palm in the nature community follows
young growth pattern, in wich rate seedling mortality was about 76,82 %.
Regarding the species, M. rumphii Mart. species is the most dominant vegetation
which cover 43,3 % of habitat. As adaptation strategy in swampy condition, sago
palm form roots which was vertically directed to reach water surface. In sago
palm community there was negative interspecific association indicated by Jaccard
index less than 0,2. Abiotic component significant effected growth and sago fluor
production. The variable that most have significantly effect to growth and sago
flour production were micro temperature, micro relative humidity, bulk density,
soil acidity, and salinity. The potential clump population at the Seram Island was
about 3,2 million clump or approximately of about 1,5 million trunk of trees. M.
rumphii Mart. and M. sylvestre Mart. species were the most potential with
production capacity of about 566,04 kg starch/trunk and 560,68 kg starch/trunk,
respectively. Genetic analysis by isozyme proved that initially known five species
of Sago in the Seram Island was actualy only two species, namely Metroxylon
rumphii Mart. (concist of M. rumphii Mart., M. sylvestre Mart., M. longispinum
Mart, and M. microcanthum Mart.), and Metroxylon sagu Rottb.

Keywords : spatial distibution, habitat type, abiotic component, Metroxylon spp.,


and Seram Island.
RINGKASAN

SAMIN BOTANRI. Distribusi Spasial, Autekologi, dan Biodiversitas Tumbuhan


Sagu (Metroxylon spp.) di Pulau Seram, Maluku. Dibimbing oleh DEDE
SETIADI, EDI GUHARDJA, IBNUL QAYIM, dan LILIK BUDI PRASETYO.

Sagu (Metroxylon spp.) merupakan tumbuhan palem wilayah tropika


basah. Luas potensinya di Indonesia adalah yang terbesar di dunia sekitar 50-60%,
memiliki multifungsi bagi masyarakat tetapi pemanfatannya masih kurang. Secara
ekologi tumbuh baik pada daerah rawa-rawa air tawar atau daerah rawa
bergambut, daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air, atau hutan-hutan
rawa. Kisaran habitat tumbuhnya cukup lebar, mulai dari lahan tergenang sampai
dengan lahan kering, di dataran rendah, dan pesisir pantai. Pada habitat beragam
itu tumbuh berbagai spesies sagu. Di Maluku terdapat lima spesies, yaitu :
Metroxylon rumphii Mart., M. sylvestre Mart., M. longispinum Mart., M.
microcanthum Mart., dan M. sagu Rottb. Data potensi komoditas ini di berbagai
daerah sangat variatif, antara sumber satu dengan yang lain. Berapa besar potensi
sagu di P. Seram tidak diketahui secara pasti, kemudian studi mengenai ekologi
sagu selama ini belum banyak dilakukan. Oleh karena itu diperlukan suatu
penelitian untuk memahami preferensi ekologi dan mengetahui luas potensi
sebarannya. Disisi lain masih terdapat perbedaan persepsi mengenai jumlah
spesies sagu, sehingga perlu dilakukan klarifikasi.
Hasil klasifikasi terbimbing data citra Landsat-5TM tahun 2007
menunjukkan bahwa potensi luas areal sagu di P. Seram Maluku sebesar 18.239,8
ha. Potensi tersebut tersebar di dataran rendah ketinggian 250 m dpl, kemiringan
lereng datar-curam, dekat pinggir kiri-kanan sungai, dekat pesisir pantai sering
berbatasan dengan nipah, pada tanah-tanah aluvium (Entisols dan Inceptisols).
Secara umum struktur populasi sagu dalam komunitas alami di P. Seram
mengikuti pola pertumbuhan muda yaitu populasi dengan jumlah individu paling
banyak pada fase semai, berkurang secara drastis pada fase berikutnya. Jumlah
individu fase semai yang berhasil tumbuh ke fase berikutnya hanya 23,18 %, atau
mengalami kematian sekitar 76,82 %. Tinginya tingkat kematian dapat disebabkan
karena : 1) sifat pertumbuhan anakan sagu, 2) terjadi persainggan di antara
masing-masing individu dalam rumpunnya, 3) rentan terhadap pH rendah, dan 4)
mengalami toxic karena konsentrasi Fe dan Al sangat tinggi.
Hasil perhitungan jumlah populasi rumpun sagu dan indeks nilai penting
(INP) menunjukkan bahwa spesies sagu menguasai sebagian besar areal lahan
habitat dalam komunitas alaminya. Dengan bertambahnya fase pertumbuhan,
dominasi spesies sagu ikut meningkat. Fenomena seperti ini merupakan
gambaran umum yang sering dijumpai pada tipe vegetasi yang mengarah kepada
kondisi klimaks dan stabil. Berdasarkan jumlah individu masing-masing spesies
sagu, ditemukan bahwa M. rumphii Mart. memiliki jumlah individu paling banyak
(99,93 ind/ha) dan INP paling tinggi (129,35 %). Data ini memberikan petunjuk
bahwa M. rumphii Mart. merupakan spesies yang memiliki kerapatan, dominasi,
dan frekwensi yang melampaui spesies lain. Secara ekologi merupakan spesies
dominan dengan penguasaan habitat mencapai 43,3 %.
Tipe habitat sagu yang ditemukan di P. Seram terdiri atas dua kategori
yaitu 1) tipe habitat lahan kering, dan 2) tipe habitat lahan tergenang, berupa
rawa-rawa yang tergenang secara temporer maupun permanen. Tipe habitat yang
kedua dapat dipisahkan lebih lanjut menjadi tiga tipe yaitu : 1) habitat tergenang
air payau yaitu habitat yang dicirikan oleh adanya pasang-surut sehingga
genangannya bersifat temporer, merupakan habitat yang berdekatan dengan
vegetasi nipah (mangrove), 2) habitat tergenang temporer oleh air hujan yaitu
tipe habitat dimana genangannya sangat ditentukan oleh ada-tidaknya hujan, dan
3) habitat tergenang permanen, yaitu tipe habitat yang mengalami genangan pada
periode waktu relatif lama, biasanya lebih dari satu bulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lima spesies sagu di P. Seram, tidak
semuanya dapat tumbuh pada setiap habitat. Spesies sagu yang dapat tumbuh dan
berkembang pada semua tipe habitat adalah M. rumphii Mart., M. longispinum
Mart., dan M. sylvestre Mart. Dua spesies sagu yang lain yakni M. microcanthum
Mart. dan M. sagu Rottb. tumbuh pada habitat terbatas. M. microcanthum Mart.
hanya ditemukan tumbuh pada habitat lahan kering (TTG), sedangkan spesies M.
sagu Rottb. ditemukan tumbuh di dua tipe habitat yaitu tergenang temporer air
tawar (T2AT) dan tergenang permanen (TPN). Dari tiga spesies sagu yang
disebutkan pada bagian awal, M. rumphii Mart. memiliki kemampuan berinteraksi
yang sangat kuat. Apabila interaksi tumbuhan sagu dengan tipe habitat ini
dijadikan acuan untuk menjelaskan kemampuan adaptasinya, maka dapat
dikatakan bahwa spesies M. rumphii Mart. memiliki kemampuan adaptasi yang
luas (eury tolerance), sedangkan M. microcanthum Mart. memiliki daya adaptasi
sempit (steno tolerance). Tiga spesies sagu yang lain daya adaptasinya sedang
(meso tolerance).
Tiga dari empat tipe habitat sagu termasuk kategori tergenang. Habitat
tergenang identik dengan kondisi tereduksi, artinya keadaan dimana terjadi
keterbatasan oksigen. Pada sisi lain untuk menjamin pertumbuhan diperlukan
oksigen untuk respirasi. Dalam kaitan dengan kondisi yang tereduksi ini, sistem
perakaran sagu mengalami modifikasi arah pergerakan. Biasanya muncul akar
berukuran kecil dalam jumlah banyak dengan arah gerakan menuju permukaan air
sehingga terjadi kontak langsung dengan udara bebas (oxytropisme).
Hasil analisis Varians Ratio (VR) menunjukkan bahwa secara simultan
(keseluruhan) terjadi asosiasi spesies dalam komunitas sagu dengan nilai VR
sebesar 0,83. Nilai VR < 1 mengandung makna bahwa asosiasi antara spesies
bersifat negatif. Hasil analisis chi-square spesies berpasangan menunjukkan
bahwa terdapat asosiasi interspesifik dengan nilai chi-square berkisar antara 4,35
21,03, dan indeks Jaccard rataan 0,14. Asosiasi antar spesies yang bersifat negatif
menunjukkan bahwa terjadi perebutan dalam penggunaan sumberdaya. Dengan
meningkatnya jumlah individu yang satu akan menekan pertumbuhan individu
spesies lain.
Hasil analisis regresi komponen utama untuk menjelaskan pengaruh
komponen abiotis yang terdiri dari faktor iklim, tanah, dan kualitas air rawa
terhadap jumlah populasi rumpun (pertumbuhan) dan produksi pati sagu
menunjukkan bahwa variabel iklim, tanah, dan kualitas air rawa berpengaruh
signifikan terhadap pertumbuhan dan produksi pati sagu, baik bersifat positif atau
negatif. Hal ini memberi petunjuk bahwa terdapat sifat-sifat iklim, tanah, dan air
yang memberikan pengaruh menguntungkan, sebaliknya ada pula yang bersifat
menghambat. Pengaruh suatu parameter yang bersifat menguntungkan (positif)
bagi pertumbuhan, tidak selalu diikuti dengan pengaruh positif bagi produksi,
demikian pula sebaliknya. Komponen abiotis yang paling berpengaruh terhadap
jumlah populasi rumpun sagu adalah faktor kualitas air rawa (10,0 %).
Sedangkan faktor tanah merupakan komponen abiotis yang paling bepengaruh
terhadap produksi pati sagu, sebesar 60,9 %. Parameter iklim yang paling
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi pati sagu masing-masing adalah
temperatur mikro dan kelembaban mikro. Parameter tanah yang paling
berpengruh adalah bulk density dan kemasaman tanah (pH KCl). Dilain fihak
salinitas merupakan parameter kualitas air rawa yang paling berpengaruh, baik
terhadap pertumbuhan maupun produksi pati sagu.
Di P. Seram Maluku terdapat potensi rumpun sagu sebanyak 3,22 juta
rumpun sagu dengan jumlah fase pohon sebanyak 1,47 juta batang. Hasil
perhitungan potensi produksi pati sagu diperoleh bahwa spesies M. rumphii Mart.
dan M. sylvestre Mart. memiliki potensi produksi paling tinggi. Potensi produksi
pati sagu M. rumphii Mart. rata-rata mencapai 566,04 kg/batang dan M. sylvestre
Mart. 560,68 kg/batang. Sedangkan M. longispinum Mart. dan M. sagu Rottb.
rata-rata hanya mencapai 245,21 dan 237,22 kg/batang. Hasil analisis isozim
menunjukkan bahwa lima spesies sagu di P. Seram Maluku mengelompok
membentuk dua pola pita enzim (zimogram). Kelompok pertama M. rumphii
Mart., M. longispinum Mart., M. sylvestre Mart., dan M. microcanthum Mart.,
menyatu kedalam spesies M. rumphii Mart., sedangkan kelompok kedua spesies
M. sagu Rottb.

Kata kunci : distribusi spasial, tipe habitat, komponen abiotik, Metroxylon spp.,
dan P. Seram.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebut sumber :
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
DISTRIBUSI SPASIAL, AUTEKOLOGI, DAN
BIODIVERSITAS TUMBUHAN SAGU (Metroxylon spp.)
DI PULAU SERAM, MALUKU

SAMIN BOTANRI

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor


pada Program Studi Biologi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
Judul Disertasi : Distribusi Spasial, Autekologi, dan Biodiversitas
Tumbuhan Sagu (Metroxylon spp.) di Pulau Seram,
Maluku

N a m a : Ir. Samin Botanri, MP.

N R P : G 361060031

Program Studi : Biologi

Disetujui :

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, M.S. Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, M.Sc.
Ketua Anggota

Dr. Ir. Ibnul Qayim Prof. Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo, M.Sc.
Anggota Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dedy Duryadi S, DEA. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian : 22 Desember 2010 Tanggal Lulus :


Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Dra. Sri Sudarmiyati Tjitrosoedirdjo, M.Sc.
2. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S.

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Ir. Achmad M. Satari, M.Sc.
2. Prof. (Riset) Dr. Ir. Nadirman Haska, M.Sc.
PRAKATA

Dengan rahmat Allah SWT., Tuhan Yang Maha Kuasa, penyusunan


disertasi dengan judul Distribusi Spasial, Autekologi, dan Biodiversitas
Tumbuhan Sagu (Metroxylon spp.) di Pulau Seram, Maluku, dapat penulis
selesaikan sebagaimana mestinya. Dengan rampungnya disertasi ini, penulis
berkenan mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada berbagai pihak yang telah memberikan dukungannya, baik moril maupun
materil, masing-masing kepada :
1. Ayahanda (almarhum) dan Ibunda yang telah membesarkan dan
menyekolahkan penulis sejak Pendidikan Dasar sampai ke Perguruan Tinggi.
2. Istri dan anak-anak saya dengan kesabaran yang tulus dan ikhlas, senantiasa
ditinggal untuk keperluan studi pendidikan doktor di IPB Bogor.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, M.S. Selaku ketua komisi pembimbing,
Bapak Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, M,Sc., Dr. Ir. Ibnul Qayim, dan Prof. Dr. Ir.
Lilik B. Prasetyo, M.Sc., masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing
yang telah memberikan arahan, petunjuk, dan dorongan sejak penyusunan
proposal penelitian tahun 2007 sampai penyusunan disertasi ini.
4. Rektor Univ. Darussalam Ambon (Prof. Ismael Tahir) dan Koordinator
KOPERTIS Wilayah XII Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat yang
telah memberikan izin kepada penulis untuk melanjutkan studi ke IPB.
5. Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional RI atas bantuan
beasiswa BPPS kepada penulis selama 3 tahun.
6. Pimpinan IPB dan Pimpinan Sekolah Pascasarjana IPB yang telah bersedia
menerima penulis studi S3 di IPB, dan dukungan hibah penelitian doktor pada
tahun 2009.
7. Pimpinan Fakultas dan Ketua Program Studi Biologi FMIPA IPB (Dr. Ir. Dedy
Duryadi Solihin, DEA), seluruh staf administrasi dalam lingkup IPB yang telah
memberikan pelayanan yang baik untuk kelancaran administrasi studi penulis
di IPB.
8. Bapak-Ibu mertua yang senantiasa berdoa untuk keberhasilan studi penulis;
Kakak-adik & kakak-adik ipar yang telah memberikan dorongan dan semangat
kepada penulis.
9. Para sahabat, kerabat, dan semua pihak yang telah memberikan bantuan
dan dukungannya kepada penulis sejak awal sampai akhir studi pendidikan
doktor di IPB.
Dalam melakukan penelitian dan penyusunan disertasi ini, seandainya
terdapat kepribadian/sikap, tutur kata, maupun perbuatan penulis, kurang atau
tidak berkenan, dari lubuk hati yang sangat dalam, penulis berkenan memohon
maaf yang sebesar-besarnya. Segala bantuan yang telah diberikan oleh semua
pihak, kiranya tercatat sebagai ibadah dan mendapat balasan kebaikan dari Allah
SWT. Mudah-mudahan disertasi ini dapat bermanfaat dan berguna untuk
pengembangan ilmu pengetahuan dan kemaslahatan ummat manusia. Insya Allah,
Amin.

Bogor, Desember 2010

Samin Botanri
ii
RIWAYAT HIDUP

SAMIN BOTANRI, lahir di Kalauly-Ambon pada tanggal 7


September 1962 sebagai anak keempat dari 7 bersaudara, dari
orang tua, ayah La Tara Botanri (almarhum) dan ibu Wa Amun.
Menikah pada tahun 1988 dengan Marwan Yani Kamsurya, SP.
MP. dan dikaruniai 4 orang anak yaitu : Tina Amnah Ningsih B
(21 tahun), Adnan Affan Akbar B. (19 tahun), Affif Rizqy B (12
tahun) dan Harry Algifary Alfayed B (Adith 6 tahun). Pendidikan
Sekolah Dasar dan Menengah Pertama diselesaikan di Kecamatan
Leihitu Kabupaten Maluku Tengah. Sekolah Lanjutan Atas
diselesaikan di SMA Negeri 3 Kota Ambon tahun 1982. Sejak kecil berdomisili di
Ambon, antara tahun 1997-2003 berdomisili di Malang Jawa Timur. Kemudian tahun
2003 sampai sekarang berdomisili kembali di Ambon.
Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian
Universitas Pattimura Ambon, lulus tahun 1988. Pada tahun 1997, penulis diterima di
Program Studi Pengelolaan Tanah & Air Program Pascasarjana Universitas Brawijaya
Malang dan menamatkan pada tahun 1999. Kesempatan untuk melanjutkan ke
program Doktor pada Program Studi Biologi Institut Pertanian Bogor diperoleh pada
tahun 2006. Beasiswa pendidikan Pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
Penulis pertama kali bekerja pada proyek penelitian tanaman umbian,
kerjasama Universitas Pattimura dengan USAID-FAO selama 3 tahun, antara tahun
1986-1988. Selain itu bertugas sebagai asisten dosen pada Fakultas Pertanian
Universitas Pattimura. Pada tahun 1989 diangkat menjadi pegawai negeri sipil sebagai
dosen Kopertis Wilayah IX Ujung Pandang/Makassar, dipekerjakan pada Universitas
Darussalam Ambon. Pada tahun 1991 terjadi pemekaran Kopertis, dan sejak tahun
1994 penulis dialihkan ke Kopertis Wilayah XII Maluku, Maluku Utara, Papua, dan
Papua Barat, dipekerjakan pada Perguruan Tinggi yang sama. Jabatan dosen lektor
kepala diperoleh pada tahun 2003 dalam bidang ilmu tanaman.
Selama mengikuti pendidikan doktor, aktif mengikuti seminar nasional
maupun internasional, antara lain : 1) Pengelolaan dan pemanfaatan lahan bekas
tambang berazazkan kelestarian lingkungan (soil and mining), tahun 2008, 2)
Sinkroninsasi kebijakan pembukaan lahan sawit terhadap pelestarian satwaliar di
Indonesia, tahun 2008, 3) Seminar pertanian nasional, tahun 2008, 4) Seminar
nasional soil and palm oil, tahun 2009, 5) Menuju sinergitas stakeholders pertanian
Indonesia dalam era ACFTA, tahun 2010, 6) International seminar on sago and spices
for food security, tahun 2010.
Disertasi ini penulis persembahkan kepada :
Istri : Marwan Yani Kamsurya, SP. M.P. dan anak-anak saya :
Tina Amnah Ningsih B, Adnan Affan Akbar B, Affif Rizqy B, dan
Harry Algifary Alfayed B (Adith) atas doa, dedikasi, dan
kesabaran yang tulus & ikhlas kepada penulis dalam menempuh
pendidikan doktor di Institut Pertanian Bogor
DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL .... xiii


DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR PERSAMAAN xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix

I. PENDAHULUAN ........ 1
1.1. Latar belakang ................................................................................ 1
1.2. Perumusan masalah ......................................................................... 3
1.3. Tujuan penelitian ............................................................................ 4
1.4. Manfaat penelitian ........................................................................... 5
1.5. Kerangka pemikiran ........................................................................ 5
1.6. Hipotesis .......................................................................................... 6
1.7. Kebaruan (Novelty) .................................................................... 8

II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 9


2.1. Autekologi ....................................................................................... 9
2.2. Biodiversitas tumbuhan sagu ...................................................... 10
2.3. Ciri-ciri morfologi tumbuhan sagu ............................................. 13
2.4. Habitat dan ekologi tumbuhan sagu ............................................ 17
2.5. Intraspesifik dan asosiasi tumbuhan sagu ................................... 20
2.6. Potensi areal tumbuhan sagu ....................................................... 22
2.7. Pemanfaatan tumbuhan sagu ......................................................... 25
2.8. Distribusi spasial ............................................................................. 26

III. BAHAN DAN METODE ................................................................ 30


3.1. Waktu dan tempat ......................................................................... 30
3.2. Bahan dan peralatan ........................................................................ 30
3.3. Jenis data ........................................................................................ 32
3.4. Metode ............................................................................................. 32
3.4.1. Penelitian tahap I : Studi distribusi spasial tumbuhan sagu di P.
Seram, Maluku ............................................................................ 32
3.4.1.1. Penggabungan citra ................................................................. 32
3.4.1.2. Pemotongan citra ...................................................................... 32
3.4.1.3. Klasifikasi penutupan lahan ...................................................... 33
3.4.1.4. Evaluasi akurasi ....................................................................... 34
3.4.1.5. Pengecekan lapangan ............................................................... 35
3.4.2. Penelitian tahap II : Studi autekologi tumbuhan sagu di P.
Seram, Maluku ........................................ 35
3.4.2.1. Metode pengamatn vegetasi ............................................ 37
3.4.2.2. Pengamatan tumbuhan sagu ................................................... 39
3.4.2.3. Pengamatan faktor lingkungan .. 41
3.4.2.4. Analisis data ................................................ 44
3.4.3. Penelitian tahap III : Studi biodiversitas tumbuhan sagu di P.
Seram, Maluku .................................... 51
3.4.3.1. Biodiversitas komunitas ................................................... 53
3.4.3.2. Biodiversitas spesies ................................................................. 53
3.4.3.3. Biodiversitas genetik ................................................................ 54

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 56


4.1. Studi distribusi spasial tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku ...... 56
4.1.1. Distribusi sagu pada berbagai elevasi ... 58
4.1.2. Distribusi sagu pada berbagai kemiringan ... 60
4.1.3. Distribusi sagu pada berbagai sistem lahan .. 61
4.1.4. Distribusi sagu pada berbagai jenis tanah . 65
4.1.5. Distribusi sagu pada berbagai jarak dari sungai 66
4.2. Studi autekologi tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku ................. 69
4.2.1. Struktur populasi . 69
4.2.2. Kelimpahan ................................................................................ 75
4.2.3. Pertumbuhan, perkembangbiakan, dan mekanisme pembentukan
rumpun 78
4.2.4. Sifat morfologi sagu . 84
4.2.5. Preferensi habitat dan adaptasi tumbuhan sagu 86
4.2.6. Mekanisme adaptasi sagu ............................ 92
4.2.7. Karakteristik habitat sagu di P. Seram . 95
4.2.8. Interaksi dengan komponen biotis 107
4.2.9. Interaksi dengan komponen abiotis 112
4.2.10. Potensi populasi dan produksi pati sagu di P. Seram, Maluku 133
4.3. Studi biodiversitas tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku ......... 136
4.3.1. Biodiversitas tingkat komunitas ......................................... 136
4.3.2. Biodiversitas tingkat spesies .............................................. 138
4.3.3. Biodiversitas tingkat genetik ............................................. 140

V. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 146


5.1. Kesimpulan ...................................................................................... 146
5.2. Saran ................................................................................................ 147

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 149

LAMPIRAN ............................................................................................ 156

xii
DAFTAR TABEL

Halaman

1 Penggolongan tingkat pertumbuhan sagu .................................. 21

2 Perkiraan potensi sagu dunia ..................................................... 23

3 Perkiraan potensi luas areal tumbuhan sagu di Indonesia dari


berbagai sumber ......................................................................... 23

4 Luas areal tumbuhan sagu di Indonesia ..................................... 24

5 Matrix kontingensi untuk evaluasi akurasi 34

6 Fase pertumbuhan sagu ..................................................... 40

7 Matriks data kehadiran dan ketidakhadiran dari S spesies dalam


N unit sampling ... 46

8 Tabel kontingensi 2 x 2 untuk asosiasi spesies berpasangan . 48

9 Spesies sagu yang terdapat di P. Seram, Maluku ..................... 55

10 Distribusi sagu pada berbagai kelas elevasi di P. Seram, Maluku .. 60

11 Distribusi sagu pada berbagai kelas kemiringan lereng di P.


Seram, Maluku .. 61

12 Distribusi sagu pada berbagai sistem lahan di P. Seram, Maluku 63

13 Distribusi sagu pada berbagai jenis tanah di P. Seram, Maluku 65

14 Distribuusi sagu pada berbagai jarak dari sungai ...... 69

15 Kelimpahan Metroxylon spp di P. Seram, Maluku ........ 76

16 Populasi rumpun dan fase pertumbuhan sagu pada tipe habitat


berbeda di P. Seram, Maluku ..... 88

17 Intensitas sinaran surya rata-rata harian di bawah tegakan


tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku ................................. 96

18 Temperatur rata-rata harian di bawah tegakan tumbuhan sagu di


P. Seram, Maluku .................................. 97

xiii
19 Kelembaban relatif rata-rata harian di bawah tegakan tumbuhan
sagu P. Seram, Maluku .. 100

20 Sifat kimia tanah lahan sagu di P. Seram, Maluku 104

21 Sifat fisika tanah lahan sagu di P. Seram, Maluku 105

22 Sifat air rawa di lahan tumbuhan sagu P. Seram, Maluku .......... 107

23 Chi-square untuk pengujian asosiasi interspesifik spesies


berpasangan penyusun utama komunitas sagu P. Seram,
Maluku .......................................................... 109

24 Eigenvalues matriks korelasi faktor iklim . 112

25 Eigenvector komponen utama variabel iklim... 113

26 Kontribusi variabel iklim terhadap habitat sagu di P. Seram,


Maluku ... 115

27 Eigenvalues matriks korelasi faktor tanah . 119

28 Eigenvector komponen utama variabel tanah .... 120

29 Kontribusi variabel tanah terhadap habitat sagu di P. Seram,


Maluku . 122

30 Eigenvalues matriks korelasi faktor kualitas air rawa .. 128

31 Eigenvector komponen utama variabel kualitas air rawa .. 129

32 Kontribusi variabel kualitas air rawa terhadap habitat sagu di P.


Seram, Maluku ...... 130

33 Potensi populasi tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku ... 133

34 Potensi produksi sagu di P. Seram pada tipe habitat berbeda ... 135

35 Indeks kemiripan komunitas sagu di P. Seram, Maluku ... 137

36 Indeks keanekaragaman spesies dalam komunitas sagu di P.


Seram . 139

37 Jumlah spesies sagu di P. Seram, Maluku menurut beberapa


ahli .. 144

xiv
DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Sketsa kerangka pemikiran ............... 7

2 Peta lokasi penelitian P. Seram, Maluku ............................... 31

3 Bagan alur penelitian distribusi spasial ... 33

4 Prosedur penelitan autekologi .. 36

5 Penetapan petak sampel (a) wilayah sampel I Luhu, (b) II Sawai,


dan (c) III Werinama .. 38

6 Penempatan unit contoh .................. 39

7 Letak tempat pengambilan sampel dalam petak kuadrat .. 41

8 Tahapan studi biodiversitas tumbuhan sagu ................... 52

9 Peta distribusi spasial tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku 57

10 Distribusi sagu pada berbagai elevasi di P. Seram, Maluku ......... 59

11 Distribusi sagu pada berbagai kemiringan lereng di P. Seram,


Maluku ... 62

12 Distribusi sagu pada berbagai sistem lahan di P. Seram, Maluku .. 64

13 Distribusi sagu pada berbagai jenis tanah di P. Seram, Maluku 67

14 Distribusi sagu pada jarak dari sungai di P. Seram, Maluku . 68

15 Struktur populasi sagu di P. Seram, Maluku ............ 71

16 Anakan sagu tuni yang tumbuh menggantung ............................. 72

17 Populasi sagu menurut jumlah rumpun dan fase pertumbuhan . 75

18 NJD spesies sagu dan non-sagu di P. Seram, Maluku 77

19 Anakan sagu yang tumbuh pada bagian atas rhyzome .... 79

20 Pertumbuhan anakan sagu melalui biji . 82

21 Percabangan basal yang menjauh dari pohon induk . 83

xv
22 Diagram ketahanan tumbuhan terhadap kondisi defisit oksigen
(Levitt 1980) .. 90

23 Diagram ringkasan adaptasi jenis sagu pada berbagai tipe habitat 92

24 Modifikasi pertumbuhan akar sagu pada kondisi tergenang .. 94

25 Kondisi temperatur udara di P. Seram, Maluku 98

26 Curah hujan rata-rata harian di P. Seram, Maluku .. 99

27 Kondisi kelembaban relatif di P. Seram, Maluku 101

28 Ulat sagu, biasanya ditemukan pada bagian empulur yang tidak


diolah 112

29 Interaksi variabel iklim dalam habitat sagu di P. Seram, Maluku.. 114

30 Interaksi variabel tanah dalam habitat sagu di P. Seram, Maluku . 120

31 Interaksi variabel kualitas air rawa dalam habitat sagu di P.


Seram, Maluku . 129

32 Zimogram isozim (a) Aspartat Aminotransferase (AAT), (b)


Asam Phosphatase (ACP), dan (c) Peroksidase (PER) 142

33 Jumlah spesies sagu di P. Seram, Maluku menurut Beccari (1918


dalam Flach 1997) 144

xvi
DAFTAR PERSAMAAN

Halaman

1 Producers Accuracy ................ 34

2 Users Accuracy ................................ 34

3 Overall Accuracy .................................... 35

4 Rumus menghitung luas tutupan tajuk ... 37

5 Rumus menghitung temperatur mikro harian ... 43

6 Rumus menghitung kelembaban udara relatif harian .................. 43

7 Rumus menghitung kerapatan mutlak ... 45

8 Rumus menghitung kerapatan relatif .................... 45

9 Rumus menghitung frekwensi mutlak .. 45

10 Rumus menghitung frekwensi relatif ........ 45

11 Rumus menghitung dominasi mutlak 45

12 Rumus menghitung dominasi relatif . 45

13 Rumus menghitung Indeks Nilai Penting (INP) . 45

14 Rumus menghitung Nisbah Jumlah Dominasi (NJD) ... 45

15 Rumus menghitung varians sampel total .............. 47

16 Pendugaan varians jumlah spesies total ............................. 47

17 Rumus menghitung Variance Ratio ... 47

18 Rumus menghitung Chi-square .. 47

19 Rumus menghitung Indeks Jaccard (JI) ..... 48

20 Model Regresi Komponen Utama . 50

21 Transformasi variabel bebas menjadi variabel baku Z .... 51

22 Persamaan regresi ... 51

xvii
23 Rumus menghitung Indeks Similaritas (IS) . 53

24 Rumus menghitung Indeks Keanekaragaman Spesies (Shannon-


Wiener H) .. 54

25 Model indeks habitat sagu terkait dengan faktor iklim di P.


Seram, Maluku ... 115

26 Persamaan Regresi Komponen Utama pengaruh faktor iklim


terhadap pertumbuhan sagu .. 116

27 Persamaan Regresi Komponen Utama pengaruh faktor iklim


terhadap produksi pati sagu .. 116

28 Model indeks habitat sagu terkait dengan faktor tanah di P.


Seram, Maluku ... 122

29 Persamaan Regresi Komponen Utama pengaruh faktor tanah


terhadap pertumbuhan sagu .. 123

30 Persamaan Regresi Komponen Utama pengaruh faktor tanah


terhadap produksi pati sagu .. 123

31 Model indeks habitat sagu terkait dengan faktor kualitas air rawa
di P. Seram, Maluku . 130

32 Persamaan Regresi Komponen Utama pengaruh faktor kualitas


air rawa terhadap pertumbuhan sagu 131

33 Persamaan Regresi Komponen Uama pengaruh faktor kualitas air


rawa terhadap prooduksi pati ... 131

xviii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Peta penggunaan lahan di P. Seram, Maluku .. 156

2 Peta kesesuaian elevasi habitat sagu di P. Seram, Maluku .. 157

3 Peta kesesuaian kemiringan habitat sagu di P. Seram, Maluku 158

4 Peta kesesuaian sistem lahan habitat sagu di P. Seram, Maluku .. 159

5 Peta kesesuaian tanah habitat sagu di P. Seram, Maluku 160

6 Populasi tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku .. 161

7 Hasil analisis vegetasi pada tiga wilayah sampel di P. Seram,


Maluku ...... 163

8 Tipe habitat tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku .. 166

9 Intensitas sinaran surya rataan harian di bawah tegakan tanaman


sagu di P. Seram, Maluku (lux = lumen/m2) .... 168

10 Temperatur rataan harian di bawah tegakan tumbuhan sagu di P.


Seram, Maluku .. 171

11 Curah hujan bulanan di Stasiun Klimatologi Kairatu Kab. SBB


dan Amahai Kab. MT P. Seram, Maluku .. 173

12 Kelembaban udara relatif rataan harian di bawah tegakan


tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku (%) ... 174

13 Sifat kimia tanah dalam habitat tumbuhan sagu di P. seram,


Maluku 176

14 Sifat fisika tanah dalam habitat sagu di P. seram, Maluku . 178

15 Sifat kualitas air rawa dalam habitat sagu di P. Seram, Maluku 179

16 Spesies tumbuhan dalam komunitas sagu alami di P. Seram,


Maluku . 180

17 Hasil uji Chi-Square untuk pengujian asosiasi interspesifik


spesies berpasangan penyusun utama vegetasi (INP 10 %) .. 181

xix
18 Analisis Komponen Utama faktor iklim ... 183

19 Analisis Komponen Utama faktor tanah .. 186

20 Analisis Komponen Utama faktor kualitas air rawa 190

xx
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Indonesia memiliki keunggulan komparatif potensi tumbuhan sagu terluas di


dunia dibandingkan dengan negara-negara penghasil sagu yang lain, seperti Papua
New Guinea (PNG), Malaysia dan Thailand. Flach (1983) dan Budianto (2003)
menyebutkan bahwa luas areal hutan sagu di dunia sekitar 2 juta hektar, yang
tersebar di Indonesia lebih kurang 1,1 juta hektar atau sekitar 51,3 %, bahkan
Suryana (2007) memperkirakan luasan yang lebih besar sekitar 60 % dari luas
areal sagu dunia. Kebanyakan potensi luasan tumbuhan sagu nasional terdapat di
wilayah Indonesia Timur terutama Papua dan Maluku mencapai 96 %, sisanya
tersebar di daerah lain seperti Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tenggara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Jambi, dan Riau. Walaupun
potensi sagu nasional sangat besar, namun pemanfaatannya belum optimal. Hal
ini ditandai dengan banyak tumbuhan sagu yang layak panen tetapi tidak dipanen
dan akhirnya rusak. Pemanfaatan potensi sagu masih rendah, diperkirakan hanya
sekitar 15-20 %.
Sagu (Metroxylon spp.) sebagai salah satu tumbuhan palem yang tumbuh
di daerah tropik basah, memiliki multifungsi dalam kehidupan masyarakat.
Bagian empulur dari batang sagu dapat menghasilkan atau diambil pati sebagai
bahan pangan utama bagi sebagian masyarakat Papua dan Maluku serta beberapa
daerah lain di Indonesia Bagian Timur. Pemanfaatan tepung sagu atau aci sagu
sebagai sumber karbohidrat di beberapa daerah terutama di pedesaan Papua dan
Maluku telah berlangsung lama. Namun sekitar 15-20 tahun terakhir terjadi
perubahan pola konsumsi yang beralih ke beras. Perubahan ini berimplikasi pada
pemanfaatan tepung sagu sebagai bahan pangan yang semakin berkurang bahkan
terabaikan, pada sisi lain kebutuhan bahan pangan beras cenderung meningkat.
Peran pati sagu tidak hanya dapat digunakan sebagai bahan pangan, dengan
perkembangan teknologi ternyata pati sagu dapat dijadikan bahan baku berbagai
jenis industri makanan, industri kayu lapis, berpeluang sebagai salah satu sumber
bahan baku bio-etanol. Di PNG, telah dilakukan serangkaian penelitian tentang
studi kelayakan produksi bioetanol dari pati sagu. Hasil studi menunjukkan bahwa
2

produksi bioetanol dari pati sagu adalah layak, diperkirakan dari pengolahan satu
kilogram pati kering menghasilkan bioetanol sebanyak 0,56 liter (Flach 1983).
Ampas sagu kering yang merupakan limbah dalam proses ekstraksi pati sagu
dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan pupuk organik (Bintoro 2000).
Dalam penanganan tumbuhan sagu dijumpai data luas areal dan potensi
produksi yang sangat beragam antar penulis dan lembaga yang terkait dengan
komoditas tersebut (Suryana 2007). Sebagai contoh di Maluku berdasarkan
laporan Darmoyuwono (1984) dan Universitas Pattimura (1992 dalam Mulyanto
dan Suwardi 2000) disebutkan bahwa luas areal tumbuhan sagu di Maluku
masing-masing sekitar 30.100 dan 47.600 hektar. Sedangkan menurut
Louhenapessy (1993) disebutkan bahwa luas areal sagu di Maluku sekitar 26.410
hektar.
Luas potensi sagu yang variatif ini dapat dikarenakan metode penetapan
yang berbeda, populasi sagu yang sifatnya dinamis sehingga secara temporal bisa
bertambah atau sebaliknya mengalami pengurangan karena kondisi lingkungan
yang tidak mendukung seperti kekeringan atau terjadi kebakaran lahan karena
fenomena alam atau sengaja dibakar. Selain itu dapat dikarenakan adanya
aktifitas masyarakat yang melakukan pengembangan sagu melalui kegiatan
penanaman atau bahkan sebaliknya melakukan perubahan peruntukkan
penggunaan lahan menjadi non-sagu.
Data potensi yang tersebar di Maluku, belum ditunjukkan secara pasti
sebarannya pada setiap wilayah, padahal dapat dilakukan dengan menggunakan
data citra satelit. Disisi lain penentuan distribusi spasial luas areal tumbuhan sagu
dengan menggunakan citra satelit masih sangat terbatas. Oleh karena itu untuk
mendapatkan data distribusi sagu yang akurat perlu dilakukan dengan
memanfaatkan data citra satelit sehingga dapat dipetakan penyebaran spasialnya.
Salah satu citra satelit yang tersedia dan memiliki resolusi cukup tinggi adalah
citra Landsat-5 TM multispektral dengan resolusi spasial 30 m x 30 m. Dengan
menggunakan citra satelit ini dapat dilakukan pemetaan distribusi spasial
tumbuhan sagu.
Secara ekologi tumbuhan sagu tumbuh baik pada daerah rawa-rawa air tawar
atau daerah rawa bergambut, daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air,
3

atau hutan-hutan rawa. Suryana (2007) menyebutkan bahwa tumbuhan sagu


mempunyai daya adaptasi yang tinggi pada daerah rawa-rawa dan lahan marginal
yang tidak memungkinkan pertumbuhan optimal bagi tanaman pangan dan
tanaman perkebunan, sehingga sagu dapat berperan sebagai tanaman konservasi.
Tumbuhan sagu yang tumbuh disekitar mata air dapat berperan dalam melindungi
dan melestarikan kelangsungan sumber mata air.
Tumbuhan sagu memiliki kisaran kondisi pertumbuhan yang relatif luas,
mulai dari lahan tergenang sampai dengan lahan kering, yang penting kandungan
lengas tanah terjamin cukup tinggi (Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993).
Pada kondisi habitat tersebut tumbuh dan berkembang berbagai jenis sagu.
Louhenapessy (2006) mengemukakan bahwa di kepulauan Provinsi Maluku
terdapat lima spesies sagu yaitu : 1) Metroxylon rumphii Mart. (sagu tuni), 2) M.
sagu Rottb. (molat), 3) M. sylvestre Mart. (ihur), 4) M. longispinum Mart.
(makanaru), dan 5) M. microcanthum Mart. (duri rotan). Hal ini memberikan
gambaran bahwa terdapat keanekaragaman (biodiversitas) spesies sagu di
Provinsi Maluku yang berinteraksi dengan kondisi habitatnya.

1.2. Perumusan masalah

Kisaran habitat tumbuh sagu cukup lebar, mulai dari lahan tergenang
sampai dengan lahan kering, dari dataran rendah di pinggir pantai sampai dataran
tinggi. Pada kisaran tersebut tumbuh berbagai spesies sagu. Secara umum semua
spesies memiliki kesamaan habitat tumbuh, tetapi dapat pula setiap spesies,
menghendaki habitat yang spesifik. Oleh karena itu diperlukan penelitian untuk
memahami autekologi tumbuhan sagu yang menyangkut pola interaksi antara
tumbuhan sagu dengan parameter kualitas lingkungan, penilaian kondisi populasi
yang meliputi struktur populasi, kerapatan, coverage, asosiasi, pertumbuhan dan
perkembangbiakan, penentuan preferensi ekologi seperti karakteristik habitat, tipe
habitat, interaksi spesies dengan tipe habitat, dan mekanisme adaptasi sagu.
Selain itu yang penting untuk dipelajari juga adalah pengaruh kualitas tanah, air,
dan iklim terhadap pertumbuhan dan produksi sagu sebagai wujud interaksi
tumbuhan sagu dengan parameter lingkungannya.
4

Habitat tumbuh sagu dicirikan oleh sifat tanah, air, iklim mikro, dan
spesies vegetasi dalam habitat itu. Ciri spesies dan genetik masing-masing
tumbuhan sagu ditunjukkan oleh sifat genetik setiap spesies. Oleh karena itu
perlu dilakukan analisis genetik untuk dapat membedakan secara tegas
biodiversitas pada tingkat spesies dan genetik terhadap tumbuhan sagu yang
tumbuh dan berkembang dalam wilayah P. Seram Provinsi Maluku. Dalam kaitan
tersebut, maka permasalahan yang menjadi kajian penelitian adalah sebagai
berikut :

1. Bagaimana pola distribusi spasial tumbuhan sagu dalam wilayah P. Seram,


Maluku?
2. Bagaimana sifat populasi berbagai spesies sagu di P. Seram?
3. Bagaimana karakteristik habitat tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku?
4. Apakah semua spesies sagu dapat tumbuh dan berkembang pada berbagai tipe
habitat, ataukah setiap spesies lebih mendominasi tipe habitat tertentu?
5. Bagaimana interaksi antara tumbuhan sagu dengan tipe habitatnya, dan
bagaimana pengaruh faktor lingkungan terhadap pertumbuhan dan
produksinya?

1.3. Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :


1. Melakukan analisis untuk mengetahui penyebaran spasial tumbuhan sagu
dalam wilayah P. Seram Provinsi Maluku.
2. Mengungkapkan struktur populasi, melakukan analisis vegetasi, dan asosiasi
spesies dalam komunitas sagu alami di P. Seram.
3. Mengungkapkan karakteristik habitat, serta adaptasi tumbuhan sagu pada
berbagai kondisi habitat.
4. Melakukan analisis untuk menjelaskan interaksi faktor lingkungan dengan
pertumbuhan dan produksi pati sagu.
5. Melakukan klarifikasi spesies sagu yang tumbuh dan berkembang di P. Seram,
Maluku.
5

1.4. Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dihasilkan suatu peta penyebaran


spasial dan luas potensi areal sagu di P. Seram sehingga dapat dijadikan sebagai
informasi penting dalam upaya pemanfaatan dan pengembangan sagu dimasa
yang akan datang. Dalam kaitan dengan eksploitasi dan pengembangan sagu,
selain dapat memanfaatkan potensi sagu yang tumbuh secara alami, maka
informasi ini dapat dijadikan sebagai acuan di dalam usaha pengembangan sagu
melalui kegiatan budidaya. Dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan, hasil
penelitian ini dapat memberikan informasi secara tegas terhadap konsistensi
biodiversitas spesies sagu.

1.5. Kerangka pemikiran

Dalam beberapa tahun terakhir, kajian tentang tumbuhan sagu cukup


banyak dilakukan. Kebanyakan kajian yang dilakukan berkaitan dengan aspek
budidaya (Jong 2005, Novarianto 2003, Bintoro 2008, dan Rostiwati et al. 2008),
identifikasi jenis berdasarkan penampakan fenotipe (Miftahorrachman dan
Novarianto 2003, Barahima 2005), dan fungsi atau pemanfaatan pati untuk
berbagai keperluan (Gumbira Said 1993, Barlina dan Karouw 2003, Ishizaki
2007). Kajian mengenai aspek ekologi sagu masih sangat terbatas.
Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1993) melakukan kajian tentang persyaratan
lahan bagi tumbuhan sagu. Dalam uraiannya substansi ekologi tumbuhan sagu
belum tersentuh secara menyeluruh. Pada sisi lain hasil penelitian tentang
distribusi spasial tumbuhan sagu belum pernah dilakukan oleh peneliti
sebelumnya. Dalam kaitan itu, maka dapat dilakukan koreksi data spasial sagu
menggunakan teknologi yang lebih maju dan memiliki akurasi tinggi yakni
dengan memanfaatkan data citra satelit melalui Sistem Informasi Geografis (GIS).
Melalui proses analisis dapat menghasilkan informasi baru berupa data spasial
dalam bentuk patch (cluster) tumbuhan sagu.
Secara umum sagu tumbuh pada habitat yang berair atau tergenang air,
pada pinggir-pinggir sungai, sekitar sumber-sumber air, tetapi dapat pula setiap
spesies lebih menyukai kondisi habitat tertentu, dapat berupa lahan kering, lahan
6

tergenang secara temporer, atau tergenang permanen. Louhenapessy (1993) telah


melakukan studi tentang potensi produksi tumbuhan sagu pada berbagai jenis
tanah. Kajian ini masih bersifat makro, artinya setiap spesies sagu dipersepsikan
tumbuh pada berbagai tipe habitat, padahal perbedaan spesies senantiasa
menghendaki kondisi habitat tumbuh yang lebih spesifik. Dalam kaitan itu, maka
perlu dilakukan suatu studi autekologi, sehingga dapat diungkapkan secara
spesifik preferensi ekologi masing-masing spesies sagu seperti karakterisitk
habitat, struktur populasi, kepadatan, coverage, pertumbuhan, perkembangbiakan,
mekanisme adaptasi, dan sifat-sifat lahan seperti tanah, air, dan iklim mikro.
Dalam melakukan kajian tentang habitat tumbuhan sagu, maka diperlukan
informasi tentang berbagai parameter lingkungan. Parameter lingkungan yang
dimaksud meliputi faktor iklim, tanah, air, dan vegetasi lain yang tumbuh dalam
komunitas sagu. Faktor iklim yang berperanan dalam pertumbuhan dan
perkembangan sagu berupa curah hujan, temperatur, kelembaban, dan sinaran
surya. Faktor tanah meliputi sifat fisik, kimia, dan biologi, sedangkan faktor air
yaitu berupa pH, salinitas, unsur hara terlarut, dan sebagainya. Secara alami
tumbuhan sagu dalam habitatnya, tumbuh bersama-sama atau berasosiasi dengan
jenis vegetasi yang lain. Oleh karena itu, perlu dipelajari interaksi antara berbagai
faktor pertumbuhan dengan tumbuhan sagu itu sendiri
Beberapa ahli, antara lain Louhenapessy (2006), Bintoro (2008), dan
Rostiwati et al. (2008) menyebutkan bahwa di Provinsi Maluku tumbuh dan
berkembang lima spesies sagu. Sedangkan berdasarkan klasifikasi sagu yang
dilakukan oleh Beccari (1918 dalam Flach 1997) di Maluku hanya terdapat dua
spesies. Oleh karena itu diperlukan suatu studi agar dapat dilakukan klarifikasi
mengenai jumlah spesies sagu. Sketsa kerangka pemikiran penelitian tersaji dalam
Gambar 1.

1.6. Hipotesis

Dalam penelitian ini dikemukakan hipotesis sebagai berikut :


1. Penyebaran spasial tumbuhan sagu di P. Seram berupa klaster-klaster sagu,
banyak terdapat pada lahan datar di dataran rendah yang tergenang secara
temporer atau permanen.
7

2. Terdapat asosiasi di antara spesies vegetasi dalam komunitas sagu alami di P.


Seram.
3. Setiap spesies sagu memiliki daya adaptasi yang berbeda pada setiap tipe
habitat.
4. Dalam pertumbuhan dan perkembangan sagu di dalam habitatnya terdapat
interaksi antara sagu dengan parameter lingkungan.

Studi Distribusi Spasial

Data citra Peta distribusi


Landsat-5TM sagu

Studi
Autekologi

Sagu Habitat

Struktur populasi
Tipe
Adaptasi

Pembentukan rumpun
TTG T2AT T2AP TPN

Spesies
Karakteristik
Vegetasi

Kelimpahan

Iklim Tanah Air


Asosiasi

Genetik Studi Biodiversitas Komunitas

Spesies

Keterangan : TTG = lahan kering; T2AT = tergenang temporer air tawar; T2AP = tergenang
temporer air payau; TPN = tergenang permanen

Gambar 1. Sketsa kerangka pemikiran


8

1.7. Kebaruan (Novelty)

Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa aspek sebagai kebaruan


(Novelty) dari penelitian ini yaitu :

1. Membuat peta distribusi spasial tumbuhan sagu di P. Seram Maluku,


menggunakan citra Landsat-5TM.
2. Mengungkapkan pola pertumbuhan sagu dalam komunitas sagu alami yang
mengikuti pola pertumbuhan muda.
3. Mengungkapkan mekanisme adaptasi sagu pada kondisi tergenang (tereduksi)
melalui perubahan arah pertumbuhan akar sebagai gerakan dalam mencari
oksigen (oxytropisme).
4. Mengungkapkan mekanisme pembentukan rumpun sagu dalam komunitas sagu
alami.
5. Ditemukan terdapat spesies sagu yang memiliki daya adaptasi luas (eury
tolerance), sedang (meso tolerance), dan sempit (steno tolerance).
6. Menggunakan metode analisis regresi komponen utama untuk menjelaskan
pengaruh faktor abiotis terhadap populasi rumpun dan produksi pati sagu.
7. Melakukan klarifikasi jumlah spesies sagu yang terdapat di P. Seram Maluku,
menjadi dua spesies yaitu Metroxylon rumphii Mart. dan M. sagu Rottb.
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Autekologi

Autekologi merupakan cabang ilmu ekologi yang membahas pengkajian


individu organisme atau spesies, yang berkaitan dengan sejarah hidup dan
perilaku sebagai cara-cara penyesuaian diri terhadap lingkungan dimana spesies
atau individu itu hidup (Odum 1994). Autekologi mempelajari tentang sifat dan
kelakuan spesies atau populasi yang berhubungan dengan tempat hidup mereka.
Penekanan autekologi terkait dengan siklus hidup, distribusi individu spesies pada
kondisi alaminya, adaptasi, perbedaan populasi, dan lain-lain. Kajian autekologi
penting untuk menjelaskan struktur dan dinamika suatu komunitas. Kajian
autekologi merupakan sesuatu yang kompleks, sehingga pemahaman terhadap
spesies pada suatu komunitas adalah penting, dikarenakan pengetahun tersebut
digunakan sebagai dasar untuk memahami masalah vegetasi secara keseluruhan.
Berbagai aspek kajian dalam autekologi pada individu setiap spesies
menyangkut identifikasi tumbuhan, asosiasi spesies tumbuhan, distribusi dan
manfaat tumbuhan, morfologi tumbuhan, sitogenetik spesies tumbuhan, fisiologi
tumbuhan dan kompleksitas lingkungan. Selain itu autekologi juga mengkaji
aspek fenologi seperti perkecambahan, gugurnya daun, produksi buah, produksi
biji, pembungaan, dan lain-lain. Dalam kaitan dengan perbedaan musim selama
setahun, maka aspek biotik dan abiotik merupakan parameter yang harus
dikuantifikasi pada fase pertumbuhan yang berbeda dengan interval waktu yang
teratur. Kompleksitas faktor lingkungan menyebabkan terjadinya variasi
pengaruh terhadap setiap fase dalam siklus hidup tumbuhan. Dalam kajian lebih
lanjut dijelaskan korelasi fenologi dengan variasi perubahan lingkungan.
Parameter yang dipelajari antara lain meliputi pembungaan, penyerbukan,
pembuahan, produksi biji, viabilitas biji, dormansi, kapasitas reproduktif,
pertumbuhan anakan, dan pertumbuhan vegetatif (Shukla and Chandel 1982
dalam Djufri 2006).
Uraian lebih lanjut tentang autekologi oleh Barbour et al. (1987)
dikemukakan bahwa autekologi merupakan bagian yang besar dari ekologi
tumbuhan dalam kaitannya dengan adaptasi dan kelakuan individu setiap spesies
10

atau populasi yang terkait dengan tempat hidup. Dikemukakan lebih lanjut bahwa
sub bagian autekologi meliputi demokologi (spesiasi), ekologi populasi dan
demografi (ukuran populasi), ekologi fisiologi (ekofisiologi) dan genekologi
(genetika). Para ahli autekologi telah mencoba menjelaskan terjadinya distribusi
spesies tertentu, sifat fenologis, fisiologis, morfologis, perilaku, dan sifat genetik
yang tampak pada habitat tertentu. Autekologiawan telah berusaha untuk
menjelaskan pengaruh lingkungan pada level populasi, organismik,
suborganismik, dan kemudian menyusun suatu ringkasan sebagai pola adaptasi
spesies agar tetap hidup (survive) dalam habitatnya.

2.2. Biodiversitas tumbuhan sagu

Biodiversitas atau keanekaragaman hayati merupakan semua kehidupan di


atas bumi, yang mencakup tumbuhan, hewan, jamur dan mikroorganisme, serta
berbagai materi genetik yang dikandungnya dan keanekaragaman sistem ekologi
yang menjadi tempat hidupnya. Keanekaragaman hayati memiliki tiga tingkatan
(Kartono 2008), yakni : a) keanekaragaman genetik, yang merujuk pada berbagai
informasi genetik yang terkandung di dalam setiap makhluk hidup secara
individu, b) keanekaragaman spesies, yang menjelaskan tentang jumlah spesies
makhluk hidup dalam suatu ruang tertentu, dan c) keanekaragaman ekosistem,
yakni keragaman habitat, komunitas hayati, serta proses-proses ekologis yang
terjadi di dalam suatu ekosistem tertentu. Keaneragaman genetik dan ekosistem
seringkali dapat diterangkan oleh keanekaragaman spesies karena dalam setiap
spesies terkandung berbagai informasi genetik dan tiap spesies memiliki
kebutuhan dasar yang berbeda terutama habitat.
Primack et al. (1998) mengemukakan bahwa biodiversitas pada tingkat
spesies mencakup seluruh organisme di bumi, dari bakteri dan protista melalui
dunia tumbuhan, hewan dan jamur. Pada skala yang lebih kecil mencakup variasi
genetik dalam spesies, di antara populasi yang terpisah secara geografik dan di
antara individu di dalam suatu populasi. Keanekaragaman hayati juga meliputi
variasi di dalam komunitas biologi (dimana spesies hidup) dan ekosistem (dimana
komunitas berada), dan interaksi antar tingkatan tersebut.
11

Dalam upaya memahami keanekaragaman suatu spesies dapat dirunut dari


sistem klasifikasinya. Berdasarkan sistem klasifikasi tumbuhan yang dikeluarkan
FAO (2007) tumbuhan sagu diklasifikasikan dengan susunan sebagai berikut :
Kingdom : Plantae (tumbuhan)
Sub kingdom : Tracheobionta (tumbuhan vascular)
Superdivision : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Division : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga)
Class : Liliopsida (monokotil)
Subclass : Archidae
Ordor : Arecales
Family : Arecaceae
Genus : Metroxylon Rottb.
Species : 1. Metroxylon amicarum (H. Wendl.) Becc.
2. Metroxylon elatum Mart.
3. Metroxylon paulcoxii McClatcey
4. Metroxylon rumphii (Willd.) Mart.
5. Metroxylon sagu Rottb.
6. Metroxylon salomonense (Warb.) Becc.
7. Metroxylon vitiense (H. Wendl.) H. wendl.ex Hook.f.
8. Metroxylon warburgii Becc.

Tumbuhan sagu menurut Beccari (1918 dalam Flach 1997) membagi


genus Metroxylon menjadi dua kelompok. Tumbuhan sagu memiliki jumlah row
sisik kulit buah sebanyak 18 dimasukkan ke dalam kelompok Eumetroxylon.
Sedangkan apabila jumlah row sisik kulit buah berjumlah antara 24-29 termasuk
dalam kelompok Coelococcus. Kelompok pertama Eumetroxylon memiliki dua
spesies yaitu : Metroxylon sagu Rottb. dan Metroxylon rumphii Mart. Sedangkan
kelompok kedua : Coelococcus, terdiri dari 7 spesies yaitu : M. squarosum Becc.,
M. warburgii Heim., M. upoluense Becc., M. vitiense Benth et Hook, M.
amicarum Becc., M. salomonense Becc., dan M. bougainvillense Becc.
Menurut Heyne (1950 dalam Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993)
dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan tumbuhan sagu adalah sagu sejati
12

yang termasuk dalam genus Metroxylon. Tumbuhan sagu sejati ini dipisahkan
atas dua kelompok berdasarkan ada-tidaknya duri pada tangkai daun. Kelompok
pertama adalah yang berduri meliputi M. rumphii Mart., merupakan spesies
utama dalam kelompok ini. Spesies lainnya adalah M. longispinum Mart., M.
microcanthum Mart., dan M. sylvestre Mart. Sedangkan kelompok yang tidak
berduri adalah M. sagu Rottb., sebagai jenis utama yang mempunyai berbagai
forma.
Klasifikasi tumbuhan sagu dilakukan pula oleh Rauwerdink (1986 dalam
Barahima 2005) yang dilakukan berdasarkan ciri-ciri berduri atau tidak, berumpun
atau tidak, dan jumlah sisik yang menutupi buah. Berdasarkan kriteria tersebut,
maka tumbuhan sagu (genus Metroxylon) dibagi atas 5 spesies yaitu 1). M. sagu
Rottb. yaitu tumbuhan sagu yang membentuk rumpun, berduri atau tidak, dan
buahnya mempunyai 18 sisik yang membujur, 2). M. amicarum Becc, 3). M.
vitiense Benth et Hook, 4). M. salomonense Becc, dan 5). M. warburgii Heim
yaitu jenis sagu yang tidak berduri dan buahnya ditutupi 24-28 sisik longitudinal.
Wilayah penyebaran kelima spesies ini oleh Rauwerdink (1986 dalam Flach
1997) meliputi kepulauan Malaya, New Hebrides, Fiji, Carolines, dan kepulauan
Salomon. Dikemukakan juga bahwa Metroxylon rumphii sinonim dengan M.
squarrosum. Sedangkan M. bougainvillense dari Bougainville sinonim dengan
M. salomonense dari kepulauan Salomon.
McClatchey et al. (2006) melakukan deskripsi botani tumbuhan sagu
genus Metroxylon dan membaginya atas 6 spesies yaitu 1). M. amicarum
(H.Wendland) Beccari, 2). M. paulcoxii McClatchey, 3). M. sagu Rottboell, 4). M.
salomonense (Warburg) Beccari, 5). M. vitiense (H. Wendland) H. Wendland ex
Bentham & Hooker f., dan 6). M. warburgii (Heim) Beccari. Wilayah penyebaran
jenis-jenis sagu ini meliputi Asia Tenggara, Melanesia, dan beberapa pulau di
Micronesia dan Polynesia. Berdasarkan peta penyebaran sagu di dunia yang
dibuatnya, tampak bahwa di Indonesia, PNG, dan sebagian kepulauan Filipina
Selatan hanya terdapat satu spesies sagu yaitu M. sagu Rottb.
13

2.3. Ciri-ciri morfologi tumbuhan sagu


a. Ciri umum

Tumbuhan sagu memiliki jenis akar serabut, pada awal pertumbuhan


tumbuh akar primer dan dalam pertumbuhan lanjutannya tumbuh dan berkembang
akar-akar sekunder. Nitta el al (2002 dalam Barahima 2005) membagi sistem
perakaran tumbuhan sagu atas dua tipe yaitu : 1) tipe besar yang memiliki
diameter sekitar 6-11 mm, dan 2) tipe kecil dengan ukuran diameter antara 4-6
mm. Tipe akar besar sebagai akar adventif melekat langsung pada bagian luar
epidermal, berukuran besar, dan tumbuh vertikal ke bawah. Tipe akar kecil
berupa akar lateral, merupakan percabangan dari akar besar, ukurannya lebih kecil
dan tumbuh atau menyebar secara lateral.
Batang tumbuhan sagu terbentuk setelah masa russet berakhir yaitu
setelah berumur sekitar 3-4 tahun, dan kemudian membesar dan memanjang
dalam waktu sekitar 54 bulan (Flach 2005 dalam Barahima 2005). Batang sagu
berbentuk silinder atau bulat memanjang dengan diameter sekitar 50-60 cm,
bahkan dapat mencapai 80-90 cm. Pada umumnya diameter batang bagian bawah
lebih besar dibandingkan dengan diameter batang bagian atas. Tumbuhan sagu
memiliki batang tertinggi apabila telah sampai pada umur panen yakni 11 tahun
atau lebih. Pada masa itu tinggi pohon sagu telah mencapai 13-16 m, tetapi ada
pula yang dapat mencapai 20 m dengan bobot sekitar satu ton (Haryanto dan
Pangloli 1992). Variasi tinggi batang sagu sangat tergantung pada jenis dan
pengaruh kondisi lingkungan tumbuh. Pada kondisi lingkungan tumbuh yang
baik, dalam arti tanahnya subur, kandungan air cukup, maka batang sagu
memiliki ukuran yang lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi lingkungan yang
kurang baik. Batang tumbuhan sagu terdiri dari lapisan kulit bagian luar yang
keras berupa lapisan epidermal, dan bagian dalam berupa empulur yang
mengandung serat-serat dan pati.
Tumbuhan sagu memiliki sistem daun menyirip yang tumbuh pada tangkai
daun. Pada bagian tajuk terdapat sekitar 6-15 rangkaian daun (ental) dan pada
setiap rangkaian terdapat pelepah daun, tangkai daun, dan kurang lebih 20 pasang
helai daun dengan panjang antara 60-80 cm. Flach dan Schuiling (1991 dalam
Barahima 2005) mengemukakan bahwa ukuran tajuk tumbuhan sagu berkisar
14

antara 6-24 ental, panjang setiap ental sekitar 5-8 meter dengan jumlah 100-190
anak daun. Flach (1983) menyatakan bahwa sagu yang tumbuh pada tanah liat
dengan penyinaran yang baik pada umur dewasa memiliki 18 tangkai daun yang
panjangnya sekitar 5-7 meter. Dalam setiap tangkai daun terdapat sekitar 50
pasang daun dengan panjang bervariasi antara 60-180 cm, dan lebar sekitar 5 cm.
Sagu yang masih muda memiliki tangkai daun yang lebih sedikit jumlahnya yaitu
sekitar 12-15 tangkai. Pada setiap bulan terbentuk tangkai daun, dan
diperkirakan umur tangkai daun sekitar 18 bulan, kemudian akan gugur setelah
menua. Daun muda umumnya berwarna hijau muda, kemudian dengan bertambah
waktu secara berangsur-angsur berubah menjadi hijau tua, selanjutnya berubah
lagi menjadi coklat kemerah-merahan apabila daun telah tua. Tangkai daun yang
telah tua tersebut akan terlepas dengan sendirinya dari batang, dan meninggalkan
bekas pada kulit batang.
Tumbuhan sagu mulai berbunga dan berbuah pada umur sekitar 10-15
tahun. Kisaran pembungaan ini sangat tergantung pada jenis atau spesies sagu
dan kondisi pertumbuhannya. Fase pembungaan diawali dengan munculnya daun
bendera, yaitu daun yang ukurannya lebih pendek dari daun-daun sebelumnya.
Munculnya bunga merupakan indikator bahwa sagu tersebut telah mendekati akhir
daur pertumbuhannya. Setelah buahnya mengering diikuti dengan kematian
(Braulech 1953 dalam Haryanto dan Pangloli 1992). Malai bunga menyerupai
tanduk rusa yang terdiri atas cabang utama, sekunder, dan tersier. Pada cabang
tersier terdapat sepasang bunga jantan dan bunga betina. Bunga jantan
mengeluarkan tepung sari sebelum bunga betina mekar. Dengan demikian
tumbuhan sagu melakukan penyerbukan silang (cross polination). Oleh karena
itu apabila tumbuhan sagu tumbuh secara soliter, maka jarang yang berhasil
membentuk buah.
Putik pada bunga betina mengandung tiga sel induk telur, tetapi hanya satu
yang keluar membentuk kecambah, sedangkan dua induk terluar lainnya bersifat
rudimenter, sedangkan benang sari bunga jantan berjumlah enam helai (Anonim
1979 dalam Barahima 2005). Jumlah struktur bunga sekitar 15-25 cabang utama,
dengan panjang 2-3 meter, cabang sekunder terdapat 15-22 cabang, dan cabang
ketiga terdapat 7-10 cabang (Jong 2005). Buah sagu berbentuk bulat menyerupai
15

buah salak dan mengandung biji yang fertil. Waktu antara mulai muncul bunga
sampai fase pembentukan buah diperkirakan sekitar 2 tahun (Haryanto dan
Pangloli 1992).
Pembentukan buah dan biji dari antesis sampai buah terakhir gugur
memerlukan waktu sekitar 19-23 bulan. Jumlah buah yang dihasilkan per pohon
sagu sekitar 2.174-6.675 buah (Jong 2005). Buah sagu terdiri atas exocarp,
mesocarp, endocarp, sarcotesta, testa, endosperm, dan embrio. Exocarp bersisik
dan di dalamnya terdapat daging buah yang disebut mesocarp dan tempurung biji
yang disebut sarkotesta. Di dalam sarkotesta terdapat endosperm yang berfungsi
sebagai cadangan makanan bagi embrio.

b. Ciri-ciri beberapa jenis sagu

Di Indonesia terdapat lima spesies tumbuhan sagu yang telah diidentifikasi


ciri-cirinya (Haryanto dan Pangloli 1992). Spesies sagu tersebut adalah sebagai
berikut :

1. Metroxylon rumphii Martius (sagu tuni)


Tinggi batang berkisar dari 10-15 meter, bahkan dapat mencapai 18 meter
atau lebih. Memiliki tebal kulit sekitar 2-3 cm. Kulit pada bagian pangkal
lebih tebal dibandingkan dengan ketebalan kulit pada bagian tengah dan
bagian ujung. Diameter pada pangkal sampai ujung batang hampir sama,
kecuali pada bagian dasar pangkal karena perakarannya yang dangkal.
Daun berwarna hijau tua, panjang tangkai (pelepah) daun sekitar 5-7 meter.
Tangkai daun berduri pada bagian pangkal sampai ujung, duri terdapat pula
pada pinggir daun. Duri pada tangkai daun berukuran 1-4 cm, pada stadia
anakan durinya sangat banyak dan rapat. Setiap tangkai daun terdiri dari
100-200 anak daun yang panjangnya 80-120 cm dan lebar 5-10 cm.
Memiliki sistem perakaran yang dangkal dan banyak terubusnya.
Berat batang pada umur panen lebih dari satu ton. Empulurnya lunak dan
sedikit mengandung serat sehingga mudah ditokok. Kadar empulur
mencapai 82 % dari berat batang dengan kandungan aci/tepung sekitar 20 %.
16

Tepung berwarna putih dan enak rasanya. Setiap pohon dapat menghasilkan
170-500 kg tepung kering (Soerjono 1980 dalam Haryanto dan Pangloli
1992). Spesies ini merupakan sagu paling besar ukurannya dibandingkan
dengan jenis lainnya.
2. Metroxylon sagu Rottboell (sagu molat)
Tinggi batang berkisar dari 10-14 meter, diameter sekitar 40-60 cm, berat
batang dapat mencapai 1,2 ton atau lebih.
Tangkai daun tidak berduri, ujung daun panjang meruncing. Letak daun
berjauhan, panjang tangkai daun sekitar 4,5 meter, panjang lembaran daun
sekitar 1,5 meter dan lebar kira-kira 7 cm.
Memiliki bunga majemuk berwarna sawo matang kemerah-merahan.
Empulur lunak dan berwarna putih, sehingga acinya berwarna putih. Berat
empulur sekitar 80 % dari berat batang, kandungan aci sekitar 18 %. Setiap
pohon dapat menghasilkan aci basah sekitar 800 kg atau sekitar 200 kg aci
kering (Soerjono 1980 dalam Haryanto dan Pangloli 1992).
3. Metroxylon sylvestre Martius (sagu ihur)
Tinggi batang berkisar dari 12-16 meter, bahkan dapat mencapai 20 meter.
Diameter batang sekitar 60 cm, berat batang sekitar 1,2 ton. Tebal kulit
berkisar 1-3 cm.
Panjang tangkai (pelepah) daun sekitar 4-6 meter. Daun berwarna hijau tua,
memiliki tulang daun yang lunak, dan ujungnya membengkok ke bawah.
Pada sekitar pelepah dan sepanjang tangkai daun terdapat duri dengan
panjang sekitar 1-5 cm.
Empulur agak keras, mengandung banyak serat dan berwarna kemerah-
merahan, sehingga aci yang dihasilkan berwarna kemerah-merahan pula.
Berat empulur sekitar 18 % dari berat batang dengan kandungan aci sekitar
17-18 %. Setiap pohon dapat menghasilkan sekitar 150 kg aci kering
(BPPT 1982 dalam Haryanto dan Pangloli 1992).
4. Metroxylon longispinum Martius (sagu makanaru)
Tinggi batang sekitar 12-15 meter, diameter sekitar 50 cm. Berat batang
sekitar satu ton dan kandungan empulur mencapai 80 % dari berat batang
(Rumalatu 1981 dalam Haryanto dan Pangloli 1992).
17

Tangkai daun pendek berkisar antara 4-6 cm dan berduri banyak. Anak
daun kecil-kecil dengan panjang sekitar 80-120 cm. Pinggir daun penuh
duri.
Kandungan aci sagu dalam empulur sekitar 200 kg per pohon, dan rasanya
kurang enak.
5. Metroxylon microcanthum Martius (sagu duri rotan)
Tinggi batang sekitar 8 meter dengan diameter sekitar 40 cm.
Produksi aci dalam setiap pohon hampir sama dengan M. sylvestre Mart.
(Soerjono dalam Haryanto dan Pangloli 1992).
Empulur tidak cepat mengalami fermentasi atau pengasaman, sehingga tidak
cepat busuk setelah dipanen.

2.4. Habitat dan ekologi tumbuhan sagu

Daerah penyebaran tumbuhan sagu terdapat di Pasifik Selatan, Melanesia,


Thailand, Indonesia, Malaysia, dan Philipina. Pada umumnya tumbuh pada lahan-
lahan yang basah atau tergenang, baik bersifat permanen, tergenang ketika
berlangsung musim hujan, dan ada pula yang tumbuh pada lahan kering. Deinum
(1984 dalam Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993) menyebutkan bahwa
habitat asli tumbuhan sagu adalah tepian parit dan sungai yang becek, tanah
berlumpur, akan tetapi secara berkala mengering. Lahan sekitar parit pada
umumnya berupa lahan kering, sedangkan pada pinggiran sungai, kebanyakan
tergenang air atau relatif basah, meskipun ada pula yang kering. Flach (1983)
menyebutkan bahwa habitat tumbuh yang baik untuk pertumbuhan sagu adalah
daerah yang berlumpur, dimana akar nafas tidak terendam, kaya mineral dan
bahan organik, air tanah berwarna coklat dan bereaksi agak masam. Apabila akar
nafas terendam air secara terus menerus akan menghambat pertumbuhan, dan
dengan sendirinya menghambat pembentukan karbohidrat berupa pati dalam
pokok batangnya.
Tempat tumbuh sagu terdapat di tanah yang lembab, di sepanjang tepi
sungai, di sekitar danau dan tanah berawa (Atmawidjaja 1992). Tumbuhan sagu
dijumpai juga di tempat dimana terdapat pohon nipah di muara sungai. Tanah
lempung berpasir merupakan tempat tumbuh yang baik, sebaliknya di tanah
18

gambut pertumbuhan sagu cukup merana. Pada jalur transisi antara hutan sagu
dan hutan tropika basah, dimana sesekali digenangi air, sagu tumbuh dengan baik.
Tumbuhan sagu dapat pula tumbuh pada tanah-tanah organik, akan tetapi
sagu yang tumbuh pada kondisi tanah yang demikian biasanya menunjukkan
berbagai gejala defisiensi terhadap beberapa unsur hara tertentu yang ditandai oleh
berkurangnya jumlah daun dan umur sagu yang lebih panjang mencapai 15-17
tahun (Fach 1977 dalam Haryanto dan Pangloli 1992).
Apabila dilihat dari kemungkinan hidup tumbuhan sagu berdasarkan
kisaran keadaan hidrologi, maka Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1993)
menyatakan bahwa kisaran keadaan hidrologi tempat tumbuh sangat lebar. Sagu
dapat hidup pada keadaan lahan yang tergenang, sampai kondisi lahan yang tidak
tergenang asalkan kondisi kadar air tanah (lengas tanah) terjamin cukup tinggi.
Kondisi kadar air yang tinggi ini dapat disebabkan oleh genangan berkala, daya
tahan menyimpan air banyak, misalnya karena mengandung bahan organik
banyak, maupun oleh air tanah dangkal. Pada genangan tetap, pertumbuhan sagu
pada fase semai masih baik, akan tetapi pada fase pembentukan batang (tiang dan
pohon) laju pertumbuhannya sangat lambat, jumlah pohon masak tebang per
hektar sedikit dan produksi pati per pohon rendah. Pertumbuhan dan produksi
tampak cukup baik pada lahan dengan genangan berkala atau yang tidak
tergenang.
Di daerah rawa pantai dengan kadar garam (salinitas) tinggi tumbuhan
sagu masih dapat tumbuh, ditemukan bercampur dengan nipah. Akan tetapi
perkembangan fase pembentukan batang dan pembentukan pati terhambat. Secara
alamiah di daerah rawa pasang surut zone sagu berada di belakang zone nipah
yang lebih tenggelam (Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993).
Tumbuhan sagu yang tumbuh dan berkembang di Provinsi Maluku,
menurut Louhenapessy (1993) dikelompokkan menjadi 4 kategori yaitu : 1).
Kondisi rawa pantai (brackish water) yang bercampur dengan nipah dan
tumbuhan payau lainnya, 2). Kondisi rawa air tawar, baik secara murni maupun
bercampur dengan tumbuhan rawa, dengan penggenangan tetap maupun
penggenangan sementara, 3). Kondisi pantai berpasir yang dipengaruhi oleh
19

keadaan pasang surut, dan 4). Kondisi yang tidak tergenang tetapi mempunyai
kandungan air tanah yang cukup.
Tumbuhan sagu dapat tumbuh di tanah gambut, bahkan di Serawak sagu
terutama ditanam di tanah gambut (Flach and Schuiling 1988 dalam
Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993). Di daerah Arandai Bintuni Irian Jaya,
sagu ditemukan tumbuh pada tanah gambut dengan ketebalan lebih dari 4.5 meter
dengan hasil panen mencapai 425 kg per pohon (Notohadiprawiro dan
Louhenapessy 1993). Sagu juga dapat tumbuh dan berproduksi baik di tanah
pasiran, asal mengandung bahan organik tinggi. Hal ini berkaitan dengan
penyediaan air, di tanah dengan kandungan pasir tinggi dan bahan organik rendah
memiliki produksi tepung sagu yang rendah.
Tumbuhan sagu banyak juga yang tumbuh baik secara alamiah pada tanah
liat yang berawa, kaya akan bahan-bahan organik seperti di pinggir hutan
mangrove atau nipah. Selain itu tumbuhan sagu dapat tumbuh pada tanah
vulkanik, latosol, andosol, podzolik merah kuning, aluvial, hidromorfik kelabu
dan tipe-tipe tanah lainnya (Manan et al. 1984 dalam Haryanto dan Pangloli
1992).
Tumbuhan sagu pada umumnya tumbuh baik di tropis pada daerah yang
terletak antara 10oLS-15oLU, dan antara 90o-180oBT, pada ketinggian antara 0-
700 meter di atas permukaan laut (dpl). Pertumbuhan sagu terbaik terdapat pada
ketinggian mencapai 400 dpl, pada ketinggian tempat yang lebih besar
pertumbuhan terhambat dan produksinya rendah (Bintoro 1999 dalam Barahima
2005).
Dalam pertumbuhan sagu diperlukan suhu minimal 15oC, dan
o
pertumbuhan terbaik berlangsung pada suhu sekitar 25 C dengan kelembaban
relatif sekitar 90% dan intensitas sekurang-kurangnya 900 J/cm/hari (Flach 1980;
Flach et al. 1986 dalam Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993). Berdasarkan
klasifikasi ragam curah hujan oleh Schmidt & Ferguson, daerah pertumbuhan
sagu terdapat dalam kawasan ragam A (luar biasa basah-sangat basah) dan B
(sangat basah-basah). Curah hujan rata-rata tahunan yang diperlukan sekitar
2.500 - 3.500 mm, dan jumlah hari hujan tahunan rata-rata antara 142 - 209 hari
(Turukay 1986 dalam Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993). Hasil studi
20

Luhulima et al. (2005) di Sorong Selatan didapatkan bahwa tumbuhan sagu


tumbuh baik pada tipe iklim B1, curah hujan 4.365 mm per tahun, jumlah hari
hujan 20 hari per bulan, suhu rata-rata 27.58oC, tertinggi 28.74oC, dengan
kelembaban relatif sekitar 84.33%.
Menurut Mulyanto dan Suwardi (2000) dikemukakan bahwa sagu tumbuh
pada kondisi ekosistem yang spesifik yang dicirikan oleh kondisi temperatur yang
berkisar antara 24-30oC, kelembaban relatif terendah 60% dan tertinggi 90%,
penyinaran surya terendah 900 J/cm2/hari dengan curah hujan yang berkisar antara
2000-4000 mm/tahun.

2.5. Intraspesifik dan asosiasi tumbuhan sagu

Sebagaimana tumbuhan palem pada umumnya, pada awal pertumbuhan


batang belum berbentuk. Pertumbuhan pertama dari biji adalah daun dan akar,
daun-daun yang tumbuh kemudian terus melebar dari daun sebelumnya. Selama
2-4 tahun pertumbuhan batang sagu belum muncul di permukaan tanah (Sjachrul
1993). Setelah pertumbuhan daun dan akar sempurna, batang akan tumbuh
vertikal. Pada periode ini pertumbuhan daun berlangsung secara konstan. Daun
akan tumbuh dalam setiap bulan, dan setiap daun ditaksir berumur antara 18-24
bulan. Periode pencapaian tingkat pertumbuhan sangat tergantung pada jenis
sagu. Tingkat pertumbuhan ini dikelompokkan atas beberapa kelompok
sebagaimana tersaji pada Tabel 1.
Selain pengelompokkan tersebut di atas, pada areal pertumbuhan sagu
yang tumbuh membentuk rumpun BPPT (1982 dalam Haryanto dan Pangloli
1992) membaginya atas beberapa tingkat pertumbuhan yaitu :
1. Tingkat semai atau anakan yaitu tumbuhan sagu yang masih kecil, memiliki
batang bebas daun 0-0.5 meter.
2. Tingkat sapihan yaitu tumbuhan sagu yang memiliki batang bebas daun 0.5-
1,5 meter.
3. Tingkat tihang yaitu tumbuhan sagu dengan tinggi batang bebas daun 1,5-5,0
meter.
4. Tingkat pohon yaitu tumbuhan sagu yang memiliki tinggi batang bebas daun
di atas 5 meter.
21

Tabel 1. Penggolongan tingkat pertumbuhan sagu


Tingkat Periode
No. Keterangan
Pertumbuhan Pertumbuhan
1. Tunas 1 tahun Anakan yang masih menempel pada
pohon induk, berdaun 2 atau lebih.
2. Anakan 1-2,5 tahun Anakan yang masih menempel pada
pohon induk tetapi sudah mempunyai
sistem perakaran sendiri dan dapat
dipisahkan dari pohon induk untuk
ditanam.
3. Sapihan 1,5-2,5 tahun Anakan yang telah tumbuh secara
mandiri dan telah membentuk pelepah
yang keras. Pada tingkat pertumbuhan
ini telah berbentuk sistem perakaran
yang kuat dan sukar untuk dipisahkan.
4. Belum masak 6 tahun Pohon sagu muda yang telah
tebang membentuk batang tetapi belum
berbunga.
5. Masak tebang Saat bunga mulai keluar sampai mulai
(MT) 1 berbuah (periode produktif)
6. Lewat masak Malai buah telah berbentuk tanduk rusa.
tebang (LMT)
Sumber : Sjachrul (1993).

Pada rumpun yang terdiri dari beberapa semai, sapihan, tihang dan pohon
menyebabkan terjadinya persaingan, diantaranya dalam mendapatkan faktor
tumbuh, baik di atas tanah maupun di dalam tanah. Persaingan faktor tumbuh di
atas tanah meliputi ruang, udara dan cahaya, sedangkan di dalam tanah berupa air
dan unsur hara. Persaingan untuk mendapatkan faktor tumbuh semakin tinggi
apabila jumlah individu dalam rumpun lebih tinggi. Dalam persaingan yang tinggi
individu pada stadia semai biasanya mengalami hambatan pertumbuhan yang
sangat berarti, dan seringkali mengalami kematian. Matanubun dan Maturbongs
(2005) menyebutkan bahwa apabila jumlah populasi persatuan luas meningkat
akan menyebabkan persaingan yang semakin kuat.
Pada lahan kurang basah pohon sagu dapat tumbuh lebih tinggi, sedangkan
pada lahan terlalu basah pertumbuhan sagu kalah cepat dengan pertumbuhan
rerumputan dan herba sehingga kalah bersaing dalam memperoleh ruang tempat
tumbuh. Pada lahan kering pertumbuhan sagu kalah cepat dengan pertumbuhan
22

pepohonan hutan lain sehingga kalah bersaing dalam mendapatkan sinar matahari
(Flach and Schuiling 1986 dalam Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993).
Pola pertumbuhan yang bersama-sama ini membentuk asosiasi diantara tumbuhan
sagu dengan jenis tumbuhan lain, baik dengan jenis rumputan maupun vegetasi
lain berbentuk pohon.

2.6. Potensi areal tumbuhan sagu

Tumbuhan sagu yang tumbuh dan berkembang di dunia diperkirakan


sekitar dua juta hektar lebih, tetapi ada pula yang menyebutkan bahwa luas areal
sagu dunia dapat mencapai lima juta hektar yang menyebar di Papua New Guinea,
Indonesia, Malaysia, Thailand, Philipina, dan Kepulauan Pasifik. Flach (1983)
memperkirakan potensi sagu dunia sekitar 2,2 juta hektar dan yang terbanyak
terdapat di Indonesia mencapai 1,13 juta hektar atau sekitar 51,14 %. Sebagian
besar luasan tumbuhan sagu merupakan sagu yang tumbuh liar secara alami
mencapai 90 %, dan yang budidaya hanya sebasar 10 %. Di beberapa daerah di
Indonesia diperkirakan bukan merupakan sagu liar, tetapi merupakan sagu
budidaya. Sagu yang tumbuh liar pada umumnya terdapat di Papua New Guinea
dan Indonesia (khususnya di Maluku dan Papua/Irian Jaya). Perkiraan potensi
sagu dunia menurut Bintoro (2000) mencapai lebih dari 2 juta hektar, dan luas
areal sagu yang sebenarnya masih perlu ditata secara lebih akurat karena kisaran
potensi sagu dunia sangat lebar yaitu sekitar 600 ribu 5 juta hektar, dan sebagian
besar luas areal merupakan angka perkiraan. Perkiraan potensi sagu dunia oleh
Flach (1983) disajikan pada Tabel 2.
Potensi luas areal tumbuhan sagu di Indonesia sangat bervariasi antara
sumber yang satu dengan yang lain pada wilayah yang sama. Mulyanto dan
Suwardi (2000) melakukan kompilasi luas areal potensi tumbuhan sagu di
Indonesia dari berbagai sumber menunjukkan adanya keragaman yang sangat
besar. Di Irian Jaya (Papua) luas areal potensi sagu berkisar antara 800 ribu
hektar sampai dengan 4,1 juta hektar. Pada wilayah yang sama perbedaan potensi
luas areal bisa mencapai 4 kali lipat, atau terdapat perbedaan lebih dari 3 juta ha.
Di Provinsi Kepulauan Maluku selisih antara sumber yang satu dengan lainnya
23

sekitar 15 ribu hektar. Potensi luas areal tumbuhan sagu di Indonesia


diperlihatkan pada Tabel 3.

Tabel 2. Perkiraan potensi sagu dunia


Negara Tumbuh Liar (ha) Budidaya (ha)
Papua New Guinea 1.000.000 20.000
Provinsi Sepik 500.000 5.000
Provinsi Guv 400.000 5.000
Provinsi Lain 100.000 10.000
Indonesia 1.000.000 128.000
Irian Jaya (Papua) 980.000 14.000
Maluku 20.000 10.000
Sulawesi - 10.000
Kalimantan - 20.000
Sumatera - 30.000
Kepulauan Riau - 20.000
Kepulauan Mentawai - 10.000
Malaysia - 33.000
Sabah - 10.000
Serawak - 20.000
Malaysia Barat - 3.000
Thailand - 5.000
Philipina - 5.000
Kepulauan Pasifik - 10.000
Total 2.000.000 200.000
Sumber : Flach (1983)

Tabel 3. Perkiraan potensi luas areal tumbuhan sagu di Indonesia


No. Daerah Luas Areal (ha)
1. Papua Barat (Irian Jaya) 4.371.590
2. Maluku 30.108
3. Sulawesi 45.540
4. Sumatera 71.900
5. Kalimantan 2.000-50.000
6. Jawa 262
Sumber : Mulyanto dan Suwardi (2000)

Dalam areal sagu yang terbesar di Indonesia yakni Papua (Irian Jaya) dan
Maluku mencapai 96 %, sampai dengan tahun 2003 besar potensinya masih
sangat beragam. Lakuy dan Limbongan (2003) menyebutkan bahwa berdasarkan
data Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah X Papua, luas areal sagu sebesar
2.936.675 hektar, tetapi menurut Gubernur Papua (2003) luas areal tumbuhan
24

sagu di Papua mencapai 4,1 juta hektar dengan perincian sebagai berikut : 1).
Kabupaten Merauke : 3.569.130 ha, 2). Kabupaten Fak-Fak : 389.840 ha, 3).
Kabupaten Manokwari : 11.330 ha, 5). Kabupaten Biak Numfor: 6.500 ha, dan 6).
Kabupaten/Kota Jayapura : 36.670 ha.
Berdasarkan data luas areal sagu yang dikemukakan oleh Prayitno (1991
dalam Ruhendi 2000), makin menunjukkan keragaman luas potensi sagu di
Indonesia yang semakin bervariasi Tabel 4). Total luas areal sagu yang
dikemukakan mencapai 2,3 juta hektar, berupa hutan sedangkan yang
dibudidayakan sebesar 136 ribu hektar. Luas areal sagu yang sangat menonjol
terdapat di kepulauan Maluku mencapai 800 ribu hektar. Jika dibandingkan
dengan data sebelumnya yang tidak mencapai 50 ribu hektar, maka luasan yang
dikemukakan ini hampir mencapai 20 kali lebih besar.

Tabel 4. Luas areal tumbuhan sagu di Indonesia


Pulau/Kepulauan Berupa Hutan (000) Budidaya (000)
Irian Jaya 1.500 26
Kepulauan Maluku 800 10
Sumatera 30 30
Sulawesi 13 10
Kalimantan 5 20
Riau Kepulauan - 20
Mentawai - 20
Jumlah 2.348 136
Sumber : Ruhendi (2000)

Potensi jenis tumbuhan sagu di daerah sentra pertumbuhan Papua sangat


tinggi. Hasil identifikasi jenis-jenis sagu yang dilakukan oleh BPTP Papua
ditemukan untuk jenis sagu berduri sebanyak 43 jenis, sedangkan jenis sagu yang
tidak berduri sebanyak 17 jenis (Lakuy dan Limbongan 2003). Di daerah Maluku
tumbuh dan berkembang lima jenis sagu (Louhenapessy 2006) yaitu : 1). Sagu
tuni (Metroxylon rumphii Martius), 2). Sagu ihur (Metroxylon sylvestre Martius),
3). Sagu makanaru (Metroxylon longispinum Martius), 4). Sagu duri rotan
(Metroxylon microcanthum Martius), dan 5). Sagu molat (Metroxylon sagu
Rottboel). Selain itu di wilayah Seram Timur terdapat jenis sagu yang dikenal
dengan nama Sagu Suanggi, yang memiliki tinggi 3-4 meter telah berbunga. Ada
pula jenis sagu molat berduri pada masa anakan. Di Kota Halmahera terdapat
25

jenis molat merah dan molat merah berduri. Jenis-jenis ini diduga merupakan
jenis baru yang terbentuk sebagai akibat terjadinya persilangan (cross over
pollination) di antara spesies yang telah ada sebelumnya.

2.7. Pemanfaatan tumbuhan sagu

Bagian-bagian tumbuhan sagu dapat dimanfaatkan untuk berbagai


keperluan, mulai dari daun, tangkai daun, kulit batang, dan yang paling penting
adalah pemanfaatan bagian empulur dalam menghasilkan pati dan ampas sebagai
sisa ekstrak pati untuk pakan ternak dan/atau pupuk organik. Flach (1983)
mengemukakan bahwa tumbuhan sagu memiliki multifungsi, daun dapat
dimanfaatkan sebagai atap rumah, tangkai daun sebagai bahan bangunan, kulit
batang untuk bahan bakar dan industri kertas, dari empulur dapat diproses untuk
berbagai kebutuhan, bahan pangan, bahan baku industri makanan, etanol, pakan
ternak berprotein tinggi, industri kertas, industri tekstil, board, dan plastik
biodegradable. Sedangkan derivat pati dapat dimanfaatkan sebagai lapisan kertas,
bahan adhesive, dealdehide untuk industri kertas, eter dan ester sebagai bahan
baku obatan.
Menurut Bintoro (2007) dikemukakan bahwa berdasarkan sifat fisik dan
kimia pati sagu dapat dimanfaatkan tidak terbatas pada bahan pangan saja, tetapi
dapat juga digunakan sebagai bahan baku industri, baik pangan maupun non
pangan seperti industri kertas dan tekstil. Sebagai bahan pangan, pati sagu dapat
dijadikan sebagai bahan pangan pokok sebagian masyarakat di beberapa daerah di
kawasan Timur Indonesia. Saat ini pati sagu telah dimanfaatkan lebih luas lagi
yaitu sebagai bahan pembuat roti, biskuit, bagea, mie, sirup berkadar fruktosa
tinggi, dan penyedap makanan.
Dengan perkembangan teknologi ternyata pati sagu dapat dijadikan bahan
baku untuk pembuatan plastik yang mudah terurai (biodegradable plastic)
(Pranamuda et al. 1996 dalam Bintoro 2007). Gumbira Said (1993)
mengemukakan bahwa pati sagu dapat diolah menjadi berbagai macam keperluan
seperti sirup fruktosa tinggi, protein sel tunggal untuk pangan dan pakan, Selain
itu pati sagu berpotensi dan memiliki prospek yang baik sebagai substrat
fermentasi aseton-butanol-etanol. Hal ini berarti bahwa pati sagu dapat diolah
26

menjadi etanol (gasohol), dan berpeluang sebagai salah satu sumber bahan baku
bio-energi. Di Papua New Guinea telah dilakukan serangkaian penelitian tentang
studi kelayakan produksi etanol dari pati sagu, dan hasil studi menunjukkan
bahwa produksi etanol dari pati sagu adalah layak, diperkirakan produksi etanol
dari pati sagu kering mencapai 0.56 liter/kg (Flach, 1983) dan di daerah Sepik
telah dibangun industri etanol karena areal sagunya luas, mencapai 500.000 ha.
Di Malaysia pemanfaatan pati sagu telah berkembang lebih luas, yaitu
untuk pembuatan gula cair, penyedap makanan (monosodium glutamate), mie,
karamel, sagu mutiara, kue cracker, keperluan rumah tangga, industri perekat, dan
industri lainnya (Bintoro 2000). Selain pati sagu, ampas sagu kering dapat
dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Hasil penelitian perlakuan ampas sagu
dengan takaran 12,5-25% untuk ransum ayam pedaging dan petelur tidak
memberikan pengaruh yang buruk (Bintoro et al. 2007), dengan kata lain
memberikan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ayam. Selain itu
dengan pemanfaatan ini dapat mengurangi pencemaran lingkungan disekitar
pengolahan sagu.

2.8. Distribusi spasial

Distribusi spasial atau penyebaran spasial (keruangan) berkaitan dengan


istilah geografis, sehingga seringkali timbul istilah geospasial. Istilah-istilah
tersebut mengandung pengertian yang sama dalam konteks Sistem Informasi
Geografis (SIG). SIG merupakan suatu sistem yang menekankan pada unsur
informasi geografis. Informasi geografis mengandung pengertian informasi
mengenai tempat-tempat yang terletak di permukaan bumi, pengetahuan mengenai
posisi dimana suatu objek terletak di permukaan bumi, dan informasi mengenai
keterangan-keterangan (atribut) yang terdapat di permukaan bumi yang posisinya
diketahui. SIG itu sendiri merupakan sejenis perangkat lunak yang dapat
digunakan untuk pemasukan, penyimpanan, manipulasi, menampilkan, dan
keluaran informasi geografis berikut atribut-atributnya (Prahasta 2004).
Menurut Aronoff (1989 dalam Prahasta 2004), SIG diartikan sebagai
sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan
manipulasi informasi-informasi geografi. SIG dirancang unuk mengumpulkan,
27

menyimpan, dan menganalisis objek-objek dan fenomena dimana lokasi geografi


merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan
demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan
dalam menangani data yang bereferensi geografi : a) masukan data, b) manajemen
data (penyimpanan dan pemanggilan data), c) analisis dan manipulasi data, dan d)
keluaran.
Puntodewo et al. (2003) mengemukakan bahwa SIG memiliki empat
komponen utama yaitu perangkat keras, perangkat lunak, data, dan sumberdaya
manusia. Perangkat lunak yang banyak dipakai dalam aplikasi SIG antara lain
ArcView, IDRISI, ER mapper, GRASS, MapInfo, dan ERDAS. Sedangkan salah
satu sumber data dalam SIG berasal dari penginderaan jauh (remote sensing).
Dalam teknologi ini, objek di permukaan bumi direkam oleh sensor yang dipasang
pada wahana (platform) pesawat udara atau satelit. Pada umumnya objek yang
direkam sensor satelit berupa citra digital. Citra digital yang terekam dalam
bentuk elemen-elemen gambar (picture element = pixel). Pixel menyatakan
tingkat keabuan atau tingkat warna yang terekam pada citra (Purwadhi 2001).
Perekaman citra digital oleh sensor menggunakan energi elektromagnetik.
Spektrum gelombang elektromagnetik yang dipakai dalam perekaman berkisar
dari spektrum ultraviolet, tampak, infra merah dekat, infra merah termal, dan
gelombang mikro. Perekaman berlangsung dengan melibatkan beberapa spektrum
sekaligus sehingga disebut citra multispektral. Citra digital multispektral seperti
citra Lansat TM (Thematic mapper) direkam dengan menggunakan tujuh kisaran
spektrum elektromagnetik atau tujuh saluran (band = channel) spektral, yaitu :
band 1 biru (0,45-0,52m) berguna untuk membedakan kejernihan air dan
membedakan antara tanah dengan tanaman; band 2 hijau (0,52-0,60m) berguna
untuk mendeteksi tanaman; band 3 merah (0,63-0,69m) berguna untuk
membedakan tipe tanaman; band 4 infra merah dekat (NIR) (0,76-0,90m)
berguna untuk meneliti biomas tanaman, dan juga membedakan batas tanah-
tanaman dan daratan-air; band 5 infra merah sedang (MIR) (1,55-1,75m)
menunjukkan kandungan air tanaman dan tanah, berguna untuk membedakan tipe
tanaman dan kesehatan tanaman, juga digunakan untuk membedakan antara awan,
salju dan es; band 6 infra merah termal (TIR) (10,40-12,50m) berguna untuk
28

mencari lokasi kegiatan geothermal, mengukur tingkat stres tanaman, kebakaran,


dan kelembaban tanah; dan band 7 infra merah sedang (MIR) (2,08-2,35m)
berhubungan dengan mineral, rasio antara band 5 dan 7 berguna untuk mendeteksi
batuan dan deposit mineral (Purwadhi 2001; Puntodewo et al. 2003).
Citra digital akan bermakna apabila dilakukan interpretasi atau penafsiran
citra. Interpretasi dimaksudkan untuk mengidentifikasi objek yang tergambar
dalam citra dan menilai arti pentingnya objek tersebut. Interpretasi citra
penginderaan jauh dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu interpretasi secara
manual dan interpretasi secara digital (Purwadhi 2001). Interpretasi secara
manual adalah interpretasi data citra berdasarkan pada pengenalan ciri
(karakteristik) objek secara keruangan (spasial). Karakterisasi objek yang
tergambar pada citra dapat dikenali berdasarkan unsur-unsur interpretasi seperti
rona atau warna, bentuk, pola ukuran, letak, dan asosiasi kenampakan objek.
Sedangkan interpretasi citra digital merupakan evaluasi kuatitatif tentang
informasi spektral yang disajikan pada citra. Dasar interpretasi digital berupa
klasifikasi pixel berdasarkan nilai spektralnya. Setiap kelas kelompok pixel dicari
kaitannya terhadap objek atau gejala di permukaan bumi.
Objek di permukaan bumi dapat dikenali melalui pengenalan pola spektral
yang dapat dilakukan dengan cara klasifikasi. (Purwadhi 2001) mengemukakan
bahwa klasifikasi citra bertujuan untuk pengelompokkan atau melakukan
segmentasi terhadap kenampakan-kenampakan yang homogen dengan
menggunakan teknik kuantitatif. Klasifikasi citra secara digital dapat dilakukan
dengan tiga cara, yaitu 1) klasifikasi terbimbing (supervised classification) yang
merupakan klasifikasi nilai pixel didasarkan pada contoh daerah yang diketahui
jenis objek dan nilai spektralnya, 2) klasifikasi tak terbimbing (unsupervised
classification), merupakan klasifikasi tanpa daerah contoh yang diketahui jenis
objek dan nilai spektralnya, 3) klasifikasi gabungan atau klasifikasi hibrida
(hybride) menggunakan kedua cara klasifikasi di atas.
Jaya (2007) mengemukakan bahwa klasifikasi secara kuantitatif dalam
konteks multispektral dapat diartikan sebagai suatu proses mengelompokkan
piksel ke dalam kelas-kelas yang ditetapkan berdasarkan peubah-peubah yang
digunakan. Proses ini sering juga disebut dengan segmentasi (segmentation).
29

Kelas yang terbentuk dapat berupa sesuatu yang terkait dengan fitur-fitur yang
telah dikenali di lapangan atau berdasarkan kemiripan yang dikelompokkan oleh
komputer. Citra yang telah dikelompokkan dapat terdiri atas beberapa kelas
tutupan lahan, seperti vegetasi, tanah kosong, padang rumput, wilayah
pemukiman, wilayah lahan basah, permukaan lahan terbangun (built up) dan
sebagainya.
Dengan menggunakan data citra Landsat TM, Yuan et al (2005) telah
melakukan klasifikasi tutupan lahan dan analisis perubahannya di kota-kota
berdekatan metropolitan Minnesota. Klasifikasi tutupan lahan ini dilakukan untuk
menjelaskan penyebaran spasial perubahan tutupan lahan sejak tahun 1986
sampai dengan 2002. Klasifikasi dilakukan dengan menggunakan metode hibrid
supervised-unsupervised. Selama tujuh tahun terjadi perubahan tutupan lahan
berupa perluasan kota dari 23,7% menjadi 32,8%, sementara lahan pertanian,
hutan dan lahan basah mengalami pengurangan dari 69,6% menjadi 60,5%.
30

III. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan tempat

Penelitian berlangsung selama sembilan bulan sejak bulan Maret sampai


dengan November 2009. Kegiatan penelitian lapangan dilakukan di P. Seram,
merupakan Pulau terbesar di Provinsi Maluku dengan luas 18.000 km2 (Gambar
2). Analisis tanah dan air dilakukan di laboratorium Balai Penelitian Tanah (BPT)
Bogor. Analisis spasial dilakukan di laboratorium Pemodelan Spasial dan
Analisis Lingkungan Fakultas Kehutanan IPB. Spesies tumbuhan yang tidak
diketahui, diidentifikasi oleh ahli taksonomi dari Herbarium Bogoriense.
Analisis isozim dikerjakan di laboratorum Biologi Tumbuhan PAU IPB.

3.2. Bahan dan peralatan

Penelitian menggunakan potensi tumbuhan sagu yang tersebar di P. Seram


provinsi Maluku. Pemetaan distribusi spasial menggunakan data citra Landsat-5
TM yang diperoleh dari BTIC Dataport BIOTROP Bogor, groundcheck ke
lapangan menggunakan GPS. Prosesing dan analisis citra untuk menghasilkan
peta menggunakan perangkat lunak komputer ERDAS Imagine ver. 9.1, ArcView
Ver. 3.2, dan Microsoft Excell 2000. Pengolahan data spesies menggunakan
Ecological Methodology (Krebs 1999). Untuk pengolahan data lingkungan abiotik
dalam kaitannya dengan tumbuhan sagu digunakan perangkat lunak (software)
SPSS ver.15 dan MINITAB ver. 15. Peralatan pengambilan parameter vegetasi
yang dipergunakan yaitu pita meteran, kamera digital, data sheet, dan kantong
sampel vegetasi.
Peralatan untuk pengambilan sampel tanah dan air yaitu bor tanah, pH
meter tanah, pH meter air, ring sampel, kantong sampel tanah, botol sampel air,
dan pisau sampel tanah. Peralatan untuk mengukur iklim mikro berupa temperatur
dan kelembaban udara relatif digunakan thermohigro meter, untuk mengukur
sinaran surya digunakan lux meter (light meter). Selain itu dikumpulkan pula data
iklim lokal seperti curah hujan, temperatur, dan kelembaban, yang diperoleh dari
30

Gambar 2. Peta lokasi penelitian P. Seram, Maluku


31
32

stasiun klimatologi Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) dan
Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah (MT).

3.3. Jenis data

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data sekunder
yang dikumpulkan merupakan data spasial berupa : a) citra landsat-5 TM zone
52S UTM WGS 84 sebanyak empat scene citra arsip, b) peta rupa bumi (RBI) P.
Seram skala 1:250.000, dan c) peta land system Pulau Seram, dan data iklim.
Adapun data primer yang dikumpulkan meliputi data vegetasi, iklim mikro, tanah,
dan air.

3.4. Metode
3.4.1. Penelitian tahap I : Distribusi spasial tumbuhan sagu di P. Seram,
Maluku

3.4.1.1. Penggabungan citra

Data citra landsat yang dipergunakan berupa citra landsat-5 TM yang


terdiri dari empat scene citra yaitu P107/R062, P107/R063, P108/R062 (direkam
pada tanggal 16 Maret 2007), dan P109/R062 (direkam pada tanggal 27 Juli
2007). Data citra yang diperoleh telah terkoreksi secara geometrik, empat scene
citra tersebut selanjutnya dilakukan penggabungan. Tahapan pelaksanaannya
sebagaimana tersaji dalam Gambar 3.

3.4.1.2. Pemotongan citra

Empat data citra yang telah tergabung mencakup P. Seram dan Pulau-
Pulau kecil disekitarnya, padahal cakupan wilayah penelitian hanya mencakup P.
Seram saja, oleh karena itu dilakukan pemotongan untuk mendapatkan citra baru
khusus P. Seram. Pemotongan citra ini dimaksudkan untuk efisiensi proses
pelaksanaan pekerjaan selanjutnya. Citra yang berukuran besar memerlukan lebih
banyak memori yang seringkali menghambat dalam proses pengolahannya.
33

Mulai

Citra Landsat-5 TM

Penggabungan Citra

Pemotongan Citra /
Pemilihan Wilayah

Klasifikasi Terbimbing

Tutupan Lahan
ditolak

Evaluasi
Akurasi

diterima

Peta Distribusi Spasial Sagu Studi Autekologi

Selesai Cek lapangan

Gambar 3. Bagan alur penelitian distribusi spasial

3.4.1.3. Klasifikasi penutupan lahan

Klasifikasi secara digital merupakan proses pengelompokkan pixel-pixel


ke dalam kelas atau kategori yang telah ditentukan berdasarkan nilai kecerahan
pixel yang bersangkutan. Klasifikasi landcover dilakukan dengan menggunakan
metode klasifikasi terbimbing (supervised classification), yang dikelompokkan
menjadi delapan kelas yaitu : 1) tumbuhan sagu, 2) semak belukar, 3) hutan
34

mangrove, 4) hutan primer, 5) bangunan/pemukiman, 6) badan air, 7) tanah


terbuka, dan 8) kebun/tegalan.
Prosedur pelaksanaan klasifikasi dilakukan dengan membuat traning area
pada klaster untuk mewakili setiap landcover. Algoritma yang digunakan dalam
klasifikasi terbimbing ini adalah algoritma Kemiripan Maksimum (maximum
Likelihood Algorithm) yang merupakan algoritma yang paling banyak digunakan
dalam proses klasifikasi. Asumsi penggunaan algoritma ini adalah objek
homogen selalu menampakkan histogram yang berdistribusi normal. Di atas citra
masing-masing kelas penutupan lahan mempunyai penampakan khas yang
membedakan dengan kelas penutupan lahan lainnya.

3.4.1.4. Evaluasi akurasi

Evaluasi akurasi dari hasil klasifikasi yang dibuat digunakan ukuran-


ukuran akurasi yaitu : overall accuracy, producers accuracy (omission accuracy),
dan users accuracy (commision accuracy). Ukuran-ukuran akurasi tersebut dapat
diketahui dengan cara membuat matriks kontingensi atau sering disebut dengan
matriks kesalahan (confusion matrix) (Jaya, 2007). Matriks kontingensi dapat
dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Matriks kontingensi untuk evaluasi akurasi


Training Total Prods
A B C ...
Area Baris Acc
A X11 X12 X13 ... X1+ X11/ X1+
B X11 X22 X23 ... X2+ X11/ X1+
C X11 X32 X33 ... X3+ X11/ X1+
... ... ... ... ... ... ...
Total Kolom X+1 X+2 X+3 ... N
Users Acc X11/X+1 X22/X+2 X11/X+1 ...

Berdasarkan matriks kontingensi ditentukan tingkat akurasi yaitu :


X ii
Producers Accuracy = x(100%) . (1)
Xi

X ii
Users Accuracy = x(100%) .. (2)
X i
35

r
X ii
Overall Accuracy = i 1
x100% .. (3)
N

3.4.1.5. Pengecekan lapangan

Pemeriksaan lapangan dilakukan untuk pengecekan kebenaran klasifikasi,


melalui penelusuran pada klaster sagu di setiap wilayah sampling dengan cara
mengambil gambar dan tracking ordinat menggunakan GPS.

3.4.2. Penelitian tahap II : Studi autekologi tumbuhan sagu di P. Seram,


Maluku

Setelah peta distribusi spasial tumbuhan sagu diketahui, ditentukan


wilayah yang menjadi lokasi pengambilan sampel. Penetapan wilayah sampel
menggunakan metode Judgement/Purposive samplings yaitu penetapan sampel
yang didasarkan pada luas sebaran sagu yang menempati 3 terbesar, pada tiga
wilayah kabupaten di P. Seram yaitu Kabupaten SBB, MT, dan SBT. Disamping
itu juga dengan pertimbangan letak wilayah sampling sesuai posisi mata angin
(Utara-Selatan-Timur-Barat). Tahapan prosedur penelitian autekologi disajikan
pada Gambar 4. Wilayah sampel terpilih selanjutnya ditetapkan sebagai berikut :
1. Wilayah sampel I : Luhu Kabupaten SBB.
2. Wilayah sampel II : Sawai Kabupaten MT.
3. Wilayah sampel III : Werinama Kabupaten SBT.

Tahapan selanjutnya adalah melakukan penelusuran untuk pengamatan


spesies sagu. Spesies sagu dibedakan berdasarkan klasifikasi sagu yang dipahami
secara umum yaitu : 1) Metroxylon rumphii Mart., 2) Metroxylon sylvestre Mart.,
3) M. Longispinum Mart., 4) M. microcanthum Mart., dan Metroxylon sagu
Rottb.
Petak sampel ditetapkan dengan menggunakan metode non-random
sampling (penarikan contoh tak acak), secara beraturan (systematic sampling).
Pemilihan metode ini karena memiliki beberapa keuntungan (Kusmana 1997)
antara lain :
36

1. Memberikan nilai dugaan yang dapat dipercaya terhadap rata-rata dan total
parameter populasi karena satuan-satuan sampel diletakkan menyeluruh pada
populasi.
2. Memberikan nilai dugaan yang dapat dipercaya terhadap rata-rata dan total
parameter populasi karena satuan-satuan sampel diletakkan menyeluruh pada
populasi.
3. Dapat dilaksanakan secara lebih cepat dan murah bila dibandingkan dengan
metode sampling berpeluang, karena kurangnya waktu dan biaya untuk proses
pemilihan dari satuan-satuan sampel.

Distribusi spasial
sagu

Peta wilayah Judgemen /Purposive


sampel sampling

Metode sampling :
Bentuk, ukuran, & cara
penetapan

Pengumpulan data

Pengamatan Pengamatan Pengambilan Pengambilan Pengumpulan


spesies sagu vegetasi contoh tanah contoh air data iklim

Identifikasi tbhn Analisis sifat Analisis Analisis


yang tak diketahui kimia & fisika sifat air data iklim

Studi biodiversitas Analisis Data :


Analisis vegetasi, asosiasi,
komponen utama

Gambar 4. Prosedur penelitan autekologi


37

4. Perjalanan (penjelajahan) antara satuan-satuan sampel yang berurutan adalah


lebih mudah, karena adanya arah rintis yang jelas.
5. Ukuran populasi tidak perlu diketahui selama satuan-satuan sampel diletakan
pada jarak yang beraturan setelah satuan sampel pertama ditentukan.
6. Pemetaan areal dapat dilakukan sekaligus di lapangan.

Penempatan unit sampel pada masing-masing wilayah sampel I Luhu


Kabupaten SBB, II Sawai Kabupaten MT, dan III Werinama Kabupaten SBT
sebagaimana tersaji pada Gambar 5. Jumlah petak pengamatan disesuaikan
dengan luas wilayah sampel. Luas wilayah sampel I sekitar 250 ha, jumlah petak
kuadrat yang dibuat sebanyak 36 petak. Wilayah sampel II luasnya sekitar 500 ha,
jumlah petak kuadratnya 54. Luas wilayah sampel III sekitar 300 ha, jumlah petak
kuadrat yang dibuat sebanyak 40 petak. Total petak pengamatan sebanyak 130
petak kuadrat.

3.4.2.1. Metode pengamatan vegetasi

Dalam metode analisis vegetasi dikenal antara lain metode petak,


mencakup metode petak tunggal dan petak ganda. Metode yang disebut terakhir
salah satunya adalah metode petak ganda yang diletakkan secara sistematis
(Kusmana 1997). Dalam metode ini ukuran petak kuadrat untuk vegetasi fase
pohon berukuran 20 x 20 m2, tiang 10 x 10 m2, sapihan 5 x 5 m2, dan semai atau
tumbuhan bawah 2 x 2 m2. Penetapan unit contoh sebagaimana tersaji pada
Gambar 6. Pengamatan vegetasi meliputi jenis vegetasi, jumlah masing-masing
vegetasi, intensitas ditemukan suatu jenis, dan ukuran proyeksi tajuk.
Pengamatan ukuran proyeksi selanjutnya dimanfaatkan untuk menentukan luas
tutupan tajuk masing-masing jenis vegetasi. Penetapannya dengan mengukur
panjang jari-jari proyeksi tajuk dari pangkal batang suatu jenis sampai batas
proyeksi tajuk. Luas tutupan ditetapkan dengan rumus :

Luas tutupan tajuk = r2 (4)


dimana : = 3,14
r = jari-jari proyeksi tajuk
38

Keterangan : Petak pengamatan


Gambar 5. Penetapan petak sampel (a) wilayah sampel I Luhu Kab. SBB, (b) II
Sawai Kab. MT, dan (c) III Werinama Kab. SBT
39

20m
2m Arah rintis
5m semai
10m sapihan
tiang pohon
20m
Gambar 6. Penempatan unit contoh

3.4.2.2. Pengamatan tumbuhan sagu

Berkenaan dengan fokus penelitian ini lebih diarahkan pada tumbuhan


sagu, maka dilakukan uraian khusus untuk itu. Walaupun tumbuhan sagu
merupakan bagian dari vegetasi dalam komunitas sagu itu sendiri. Pengamatan
tumbuhan sagu yang dimaksudkan disini adalah untuk menjelaskan tumbuhan
sagu dalam konteks individu yang kemudian membentuk populasi. Variabel
pengamatan yang diamati meliputi spesies tumbuhan sagu dan fase masing-
masing spesies. Data hasil pengamatan dipergunakan untuk mengungkapkan
struktur populasi tumbuhan sagu yang tumbuh dan berkembang di P. Seram
Provinsi Maluku. Pengamatan dilakukan pada petak kuadrat berukuran 20 m x 20
m. Kegiatan pengukuran atau pengamatan yang dilakukan meliputi :
1. Jumlah rumpun pada setiap unit contoh, pengamatan dilakukan dengan cara
menghitung jumlah rumpun setiap spesies sagu. Satu rumpun dianggap
sebagai satu tanaman.
2. Jumlah individu per rumpun, pengamatan dilakukan dengan cara menghitung
jumlah individu per rumpun dengan memisahkan menjadi beberapa fase
pertumbuhan. Penentuan fase pertumbuhan didasarkan pada kriteria yang
dikembangkan BPPT (1982 dalam Haryanto dan Pangloli 1992) (Tabel 6).
Pengamatan tumbuhan sagu pada masing-masing petak kuadrat yang disusun
atau ditentukan secara sistematis, dipisahkan menurut tipe habitat. Pemisahan
ini dimaksudkan untuk keperluan penetapan jumlah rumpun tiap-tiap jenis
sagu, terkait dengan daya adaptasi sagu pada habitat tertentu. Makin banyak
jumlah individu suatu jenis pada suatu tipe habitat, menggambarkan daya
adaptasi yang kuat. Sebaliknya apabila jumlah populasi suatu individu rendah
atau sedikit, maka daya adaptasi jenis sagu tersebut sempit.
40

Tabel 6. Fase pertumbuhan sagu


No Fase tumbuh Kriteria BPPT (1982) Kriteria modifikasi
1. Semai (seedling) Tinggi batang bebas daun Sejak mulai muncul anakan
0-0,5 m. s/d tinggi batang bebas daun
0 m (terbentuk roset).

2. Sapihan (sapling) Tinggi batang bebas daun Tinggi batang bebas daun
0,5-1,5 m. 0-2 m.

3. Tiang (pole) Tinggi batang bebas daun Tinggi batang bebas daun
1,5-5,0 m. 2-5 m.

4. Pohon (trees) Tinggi batang bebas daun Tinggi batang bebas daun
> 5 m. > 5 m.

5. Pohon Masak panen Masa primodia berbunga s/d Masa primodia berbunga s/d
(harvesting) terbentuk bunga/buah* terbentuk bunga/buah.

6. Pohon veteran/melewati Masa berbuah sampai Masa berbuah sampai


masak panen (post tumbuhan sagu mati* tumbuhan sagu mati*
harvesting)
Keterangan : * Sjachrul (1993).

3. Struktur populasi tumbuhan sagu. Pola pertumbuhan suatu organisme


ditentukan oleh jumlah individu dalam setiap fase pertumbuhannya. Pola
pertumbuhan ini selanjutnya mencerminkan parameter struktur populasi suatu
organisme. Dalam kaitan ini, struktur populasi yang dimaksudkan adalah
struktur populasi tumbuhan sagu.
4. Mekansime adaptasi sagu. Pengamatan parameter ini dilakukan dengan
mencermati sifat pertumbuhan sagu untuk dapat beradaptasi dalam lingkungan
atau habitat yang senantiasa tergenang. Suatu kondisi yang seringkali tidak
baik untuk jenis tumbuhan tertentu. Dengan kata lain merupakan kondisi yang
bersifat marjinal bagi sebagian jenis tumbuhan, artinya tumbuh-tumbuhan
tertentu tidak dapat bertahan hidup atau pertumbuhannya terganggu pada
kondisi yang tergenang itu.
5. Mekanisme pembentukan rumpun. Tumbuhan sagu pada umumnya dapat
berkembangbiak atau memperbanyak individu melalui organ biji dan/atau
anakan berupa stolon atau rhyzome. Mekanisme pembentukan rumpun yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah pembentukan individu baru yang berasal
dari rhyzome menjauh dari pangkal pohon induk, kemudian terpisah dari
pohon induk membentuk rumpun sendiri.
41

6. Produksi pati sagu. Parameter ini ditetapkan dengan cara menimbang hasil
panen per batang (pohon panen). Penimbangan dilakukan dengan cara
menimbang pati sagu basah yang telah dimasukkan ke dalam wadah yang
disebut tumang. Kemudian dikoreksi dengan jumlah tumang pada setiap
batang panen. Pada setiap tipe habitat diambil tiga batang untuk diukur
besarnya produksi pati sagu.

3.4.2.3. Pengamatan faktor lingkungan

a. Sifat-sifat tanah

Pengamatan sifat tanah dilakukan bersamaan dengan kegiatan pengamatan


vegetasi yaitu pada petak berukuran 20 x 20 m 2. Pengambilan sampel tanah
dilakukan pada tiga titik secara diagonal sebagaimana tersaji dalam Gambar 7.

Keterangan : = titik pengambilan sampel

Gambar 7. Letak tempat pengambilan sampel dalam petak kuadrat

Sampel tanah yang diambil dipisahkan menurut tipe habitat. Sifat-sifat


tanah yang diamati meliputi sifat fisika dan kimia tanah. Terdapat sifat tanah
yang ditentukan langsung di lapangan seperti pH tanah, sedangkan sifat tanah
yang lain ditetapkan di laboratorium. Pengambilan sampel tanah untuk keperluan
analisis kimia tanah dilakukan pada kedalaman 0-30cm dan 30-60cm. Penetapan
kedalaman ini didasarkan pada hasil observasi pendahuluan, dimana didapatkan
akumulasi sebaran perakaran sagu berada pada zone kedalaman 0 60 cm.
Sampel tanah untuk keperluan analisis sifat fisika tanah menggunakan ring sampel
pada kedalaman antara 0-30 cm (top soil). Prosedur pengamatan sifat-sifat tanah
sebagai berikut :
42

1. Sifat fisika tanah

Pada setiap wilayah sampel diambil tiga sampel untuk setiap tipe habitat.
Dengan demikian jumlah sampel yang digunakan untuk keperluan analisis dengan
empat tipe habitat adalah sebanyak : 3 x 3 x 4 = 36 sampel. Sifat fisika tanah yang
diamati dalam penelitian ini meliputi bulk density, partikel pasir, debu, liat, dan
kelas tekstur. Analisisnya dilakukan di laboratorium BPT Bogor.

2. Sifat kimia tanah

Sampel tanah untuk keperluan analisis sifat kimia tanah dari tipe habitat
yang sama dikompositkan, kemudian dari komposit tersebut diambil sebanyak
tiga sampel untuk setiap tipe habitat. Dengan demikian jumlah sampel secara
keseluruhan dari tiga wilayah sampel, empat tipe habitat, dua kedalaman, dan tiap
habitat tiga sampel, jumlahnya sebanyak : 3 x 4 x 2 x 3 = 72 sampel. Sifat-sifat
tanah yang dianalisis adalah sebagai berikut :

a. pH, ditetapkan dengan menggunakan pH meter tanah, penetapannya dilakukan


langsung di lapangan terutama untuk kedalaman 0-30 cm. Hasil pengukuran
ini kemudian dibandingkan dengan hasil pengukuran di laboratorium pada
kedalaman 0-30 cm dan 30-60 cm. Selain pH (H2O) dilakukan pula penetapan
pH (KCl) untuk mengetahui pH potensial di lokasi penelitian. Penetapan pH
(KCl) dilakukan di laboratorium.
b. Kapasitas Tukar Kation (KTK), dan unsur hara N, P, K, Ca, Mg, Fe, dan Al.
Analisis sifat kimia tanah menggunakan metode standard pada BPT Bogor.

b. Sifat air

Sampel air diambil dari tipe habitat tergenang, yaitu tergenang temporer
air tawar (T2AT), tergenang temporer air payau (T2AP), dan tergenang permanen
(TPN). Sampe air diambil secara hati-hati dari bagian permukaan, bagian tengah,
dan bagian bawah. Pada setiap petak sampel diambil tiga sampel secara diagonal,
sama seperti pengambilan sampel tanah. Sampel dari tipe habitat yang sama
kemudian dicampur untuk selanjutnya diambil tiga sampel pada setiap tipe
43

habitat. Dengan demikian, maka jumlah sampel secara keseluruhan dari tiga
wilayah sampel, tiga tipe habitat, dan tiga sampel dari masing-masing habitat
adalah sebanyak : 3 x 3 x 3 = 27 sampel air.
Pengukuran variabel yang berkaitan dengan sifat air sebagian dilakukan di
lapangan dan sebagian di laboratorium. Sifat-sifat air yang diamati yaitu :
1. pH, ditetapkan dengan menggunakan pH meter air.
2. Salinitas, ditetapkan dengan menggunakan salinitas meter atau refraktometer.
3. Pengambilan sampel air dengan cara memasukan air yang diambil dari bagian
atas, tengah dan bagian dasar, kemudian dikompositkan untuk dilakukan
analisis. Sifat air yang dianalisis yaitu : NO3-, NH4+, K+, Ca+, Mg+, dan PO4-.

c. Data tipe iklim

1. Iklim mikro

a. Temperatur dan kelembaban udara relatif disekitar rumpun sagu dikumpulkan


dengan menggunakan thermohigro meter. Pengukuran dilakukan dengan cara
menggantung thermohigro pada tongkat kayu setinggi satu meter dari
permukaan tanah yang ditempatkan pada salah satu bagian dalam areal hutan
sagu pada masing-masing wilayah sampel. Pada setiap wilayah sampel
ditempatkan satu unit thermohigro. Pengamatan dilakukan pada pukul 07.30,
13.00, dan 17.00. Data ini kemudian di rata-ratakan untuk mendapatakan data
harian. Temperatur dan kelembaban udara relatif ditetapkan dengan
menggunakan rumus berikut :

t7.30 x2 t13.30 t17.00


T (5)
4

RH 7.30 x2 RH13.30 RH17.00


RH (6)
4
Keterangan : T = temperatur udara (oC); RH = relative humidity atau kelembaban udara
relatif (%)

b. Intensitas sinaran surya di bawah tegakan sagu. Parameter ini diamati dengan
menggunakan lux meter antara pukul 11.00 - 14.00. Data ini selanjutnya di
rata-ratakan untuk mendapatkan data intensitas sinaran surya harian.
44

Pengamatan intensitas sinaran surya dilakukan pada dua titik untuk setiap
wilayah sampel. Titik pertama terletak di antara rumpun sagu, sedangkan titik
pengamatan yang kedua terletak di dekat rumpun atau tegakan pohon sagu
pada jarak 1 meter. Di setiap wilayah sampel digunakan satu unit lux meter.
Pengamatan variabel temperatur, kelembaban udara, dan intensitas
sinaran surya dilakukan selama 4 bulan dengan periode pengamatan dua kali
dalam seminggu, yaitu pada hari Rabu dan Minggu. Waktu pengamatan pada 3
wilayah sampel dijadwalkan secara bersamaan.

2. Iklim lokal

Selain dilakukan pengamatan parameter iklim mikro, dikumpulkan pula


data iklim lokal meliputi curah hujan, temperatur, dan kelembaban udara relatif.
Data iklim lokal ini diperoleh dari dua stasiun Klimatologi di P. Seram, yaitu
stasiun Klimatologi Amahai Kabupaten MT dan stasiun Kairatu Kabupaten SBB.
Data dari dua stasiun klimatologi ini mewakili dua tipe iklim di sebagian besar
wilayah P. Seram, yaitu tipe iklim A diwakili oleh stasiun klimatologi Amahai
dan tipe iklim B diwakili oleh stasiun klimatologi Kairatu.
Semua data yang meliputi parameter iklim, tanah, dan kualitas air rawa
yang berasal dari tiga wilayah sampel yaitu wilayah sampel I Luhu Kabupaten
SBB, II Sawai Kabupaten MT, dan III Werinama Kabupaten SBT selanjutnya
dikompilasi untuk memperoleh data rataan. Data rataan inilah yang dipergunakan
untuk menjelaskan menganai kondisi iklim (terutama iklim mikro), tanah, dan
kualitas air rawa dalam komunitas sagu alami di P. Seram.

3.4.2.4. Analisis data

a. Analisis Vegetasi

Analisis vegetasi dilakukan dengan tahapan menghitung nilai kerapatan


mutlak (KM), frekwensi mutlak (FM), dan dominasi mutlak (DM).
Penetapannya dilakukan dengan menggunakan formula menurut Cox (2002) sbb :
45

Jumlah individu suatu spesies


KM (i) = (7)
Jumlah total luas areal contoh

Kerapatan mutlak spesies i


KR (i) = x 100% ... (8)
Kerapatan total seluruh spesies

Jumlah petak contoh yang diduduki spesies i


FM (i) = ... (9)
Jumlah banyaknya petak yang dibuat

Frekwensi mutlak spesies i


KR (i) = x 100 % .. . (10)
Frekwensi total seluruh spesies

DM (i) = Jumlah penutupan spesies i (11)

Jumlah dominasi spesies i


DR (i) = x 100 % . (12)
Jumlah dominasi seluruh spesies

Untuk menghitung Indeks Nilai Penting (INP) setiap spesies digunakan

rumus sebagai berikut :

INP = Kerapatan Relatif (KRi) + Frekwensi Relatif (FRi) + Dominasi


Relatif (DRi) . (13)

Indeks nilai penting memiliki satuan mencapai 300 %, nilai persentasi

yang melebihi 100 % adalah tidak lazim. Oleh karena itu disederhanakan menjadi

Nisbah Jumlah Dominasi (NJD atau Summed Dominance Ratio = SDR). NJD

ditetapkan dengan rumus :

INP
NJD (%) (14)
3

Penentuan indeks nilai penting atau NJD dilakukan untuk setiap wilayah sampel.
Hasil analisis ini kemudian dikompilasi untuk mendapatkan data rataan nilai
penting. Data inilah yang dipergunakan untuk menjelaskan mengenai dominasi
vegetasi dalam komunitas sagu di P. Seram. Dalam kaitan dengan interpretasi
hasil INP, maka nilai ini dimanfaatkan untuk dua kepentingan, yaitu : 1)
46

membandingkan INP tumbuhan sagu dan bukan sagu (non sagu), dan 2)
menentukan spesies dominan, terutama spesies sagu dominan dalam komunitas
sagu alami di P. Seram.

b. Analisis asosiasi interspesifik

Analisis ini dimaksudkan untuk menjelaskan asosiasi antara spesies sagu


dengan tumbuhan lain dalam komunitas sagu di P. Seram. Analisis dilakukan
berdasarkan data kehadiran-ketidakhadiran (data biner) seluruh petak pengamatan
pada tiga wilayah sampel, yaitu wilayah sampel I Luhu Kabupaten SBB, II Sawai
Kabupaten MT, dan III Werinama Kabupaten SBT secara sekaligus. Hal ini
dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh menganai asosiasi
vevetasi dalam komuitas sagu di P. Seram. Khusus untuk spesies sagu dilakukan
pada tingkatan klasifikasi terendah yaitu yaitu varietas/subvarietas menurut
Beccari (1918 dalam Flach 1997). Pengujian asosiasi interspesifik ditentukan
melalui dua tahap uji yaitu 1) menentukan adanya asosiasi antar spesies secara
simultan (menyeluruh), dan 2) mengukur kekuatan asosiasi diantara dua pasangan
spesies. Seluruh rangkaian analisis asosiasi hanya dilakukan terhadap spesies
penyusun utama, yaitu spesies yang memiliki INP 10 %. Tahapan analisis
asosiasi interspesifik sebagai berikut :
1. Membuat matriks data mengenai kehadiran dan ketidakhadiran suatu spesies
dalam sejumlah unit sampling (US). Kehadiran spesies yang diuji dinyatakan
dengan 1, sedangkan ketidakhadirannya dinyatakan dengan nilai 0 (Tabel 7).

Tabel 7. Matriks data kehadiran dan ketidakhadiran dari S spesies dalam N


unit sampling
Sampling Unit (SU) Total
Spesies
(1) (2) (3) (...) (N) Spesies
(1) 1 1 0 0 n1
(2) 1 0 1 1 n2
(3) 0 1 0 1 n3
... ... ... ... ...
... ... ... ... ...
... ... ... ... ...
(S) 0 0 1 1 ns
Total SU T1 T2 T3 TN
47

2. Melakukan analisis asosiasi spesies secara simultan. Meskipun semua


kombinasi pasangan spesies yang berasosiasi dihitung, namun mereka tidak
akan bebas. Oleh karena itu Schluter (1984 dalam Ludwig and Reynolds
1988) mengusulkan suatu pendekatan baru yaitu menggunakan Variance Ratio
(VR) yang diturunkan dari null association model untuk menguji keberartian
(signifikansi) asosiasi secara simultan. Indeks asosiasi VR diturunkan dari data
kehadiran-ketidakhadiran (Tabel 4). Tahapan analisisnya sebagai berikut :
- Menghitung varians sampel total untuk keterdapatan S spesies dalam sampel
menggunakan rumus :
S
T2 = pi 1 pi . (15)
i 1

dimana pi = ni/N
- Melakukan pendugaan varians jumlah spesies total menggunakan rumus :
N
1 2
ST2 = pi T j t . (16)
N j 1

Dimana t adalah rata-rata jumah spesies per sampel unit.


- Menghitung Variance Ratio (VR) menggunakan rumus :

VR = ST2/ T2 ..... (17)

VR merupakan indeks asosiasi antar seluruh spesies. Kriterianya sebagai


berikut :
Bila : VR = 1 maka tidak ada asosiasi
VR > 1 seluruh spesies menunjukkan asosiasi positif
VR < 1 seluruh spesies menunjukkan asosiasi negatif

3. Melakukan analisis asosiasi spesies berpasangan menggunakan tabel


kontingensi 2 x 2 (Tabel 8). Untuk mengetahui adanya asosiasi antara dua
spesies digunakan rumus Chi-square (Ludwig and Reynolds 1988) dan
Soegianto (1994) :
( Nilai observasi Nilai harapan) 2
X i2 .. (18)
Nilai harapan

Dimana X i2 merupakan penjumlahan semua sel pada tabel kontingensi 2 x 2.


Nilai harapan dihitung sebagai berikut :
48

mr ms nr ns
E(a) = ; E(b) = ; E(c) = ; E(d) =
N N N N

Selanjutnya uji statistik Chi-square menjadi :


2
a E (a) d E (d )
X i2 ...
E (a) E (d )

Tabel 8. Tabel kontingensi 2 x 2 untuk asosiasi spesies berpasangan


Spesies B
Ada Tidak ada

Ada a b m = a+b
Spesies A
Tidak ada c d n = c+d

r = a+c s = b+d N = a+b+c+d


Keterangan :
a = jumlah petak dimana spesies A dan spesies B ditemukan
b = jumlah petak dimana terdapat spesies A, namun tidak terdapat spesies B
c = jumlah petak dimana tidak terdapat spesies A, namun terdapat spesies B
d = jumlah petak dimana tidak terdapat spesies A dan B
N = jumlah total unit sampling (petak pengamatan)

Setelah nilai X i2 diketahui, maka dibandingkan dengan dengan X tabel


2
dengan

derajat bebas (df) = (r-1)(c-1), = 0,05 (tingkat siginifikan 5 %). Karena


pengujian dilakukan terhadap dua spesies berpasangan, maka df = 1. Dengan
2
= 0,05 diperoleh X tabel = 3,84. Jika X 2 hitung > 3,84, maka hipotesis bahwa

terdapat asosiasi antara spesies A dan B diterima, dan sebaliknya ditolak.


4. Menetapkan tipe asosiasi dengan kriteria sebagai berikut :
Bila : a > E(a) maka kedua spesies memiliki asosiasi bersifat positif
a < E(a) maka kedua spesies memiliki asosiasi bersifat negatif.
5. Menentukan kekuatan (tingkat) asosiasi. Analisis ini dimaksudkan untuk
mengetahui besarnya tingkat asosiasi spesies yang berpasangan menggunakan
indeks Jaccard (JI) (Ludwig and Reynolds 1988) dengan rumus :
a
JI = ..... (19)
a b c
49

Nilai indeks Jaccard berkisar antara 0-1, nilai 0 setara dengan tidak ada
asosiasi, dan 1 setara dengan tingkat asosiasi maksimum. Indeks Jaccard
dipilih karena menurut Goodall (1973 dalam Ludwig & Reynolds 1988)
merupakan indeks tidak bias (unbiased).

c. Analisis komponen utama

Dalam pertumbuhan sagu terdapat interaksi antara sagu dengan komponen


abiotis. Komponen abiotis yang dimaksud adalah faktor iklim, tanah, dan kualitas
air rawa. Untuk menjelaskan interaksi antara tumbuhan sagu dengan komponen
abiotis, maka dilakukan dengan menggunakan analisis komponen utama
(Principal Components Analysis / PCA) (Supranto 2004). Secara teknis analisis
komponen utama merupakan suatu teknik mereduksi data/variabel menjadi lebih
sedikit, tetapi menyerap sebagian besar jumlah varian (keragaman) dari data awal.
Reduksi data/variabel dilakukan dengan menggunakan statistik uji KMO (Kaiser-
Meyer-Olkin) dan MSA (Measured sampling adequacy) dengan kriteria statistik
>0,5. Salah satu output dari hasil analisis ini adalah diagram loading plot.
Diagram ini digunakan untuk menjelaskan interaksi antar variabel melalui
korelasi diantara variabel-variabel itu. Interpretasi sifat korelasi (positif dan
negatif) tergantung sudut yang dibentuk oleh garis loading plot dua variabel.
Apabila sudut yang terbentuk garis loading plot berbentuk lancip, maka korelasi
bersifat positif. Jika sudut yang terbentuk tumpul, maka korelasinya bersifat
negatif (Setiadi 1998). Korelasi yang bersifat positif mengandung pengertian
bahwa apabila terjadi peningkatan suatu variabel, maka akan diikuti dengan
peningkatan variabel pasangannya. Sebaliknya apabila korelasinya bersifat
negatif, maka penambahan suatu variabel menyebabkan penurunan variabel yang
lain.
Dengan mempertimbangkan eigenvalues (akar ciri) sebagai skor PC (skor
komponen) dan eigenvector (vektor ciri) dapat ditentukan besarnya kontribusi
suatu faktor (Dewi 2005 dan Marzuki 2007). Dalam konteks ini dapat ditentukan
kontribusi faktor iklim, tanah, dan kualitas air rawa terhadap habitat sagu. Habitat
sagu yang dimaksudkan adalah berupa besarnya peran faktor-faktor tersebut di
atas dalam menentukan, dapat tumbuh atau tidaknya sagu pada suatu tempat
50

(kesesuaian habitat sagu) di P. Seram. Melalui pendekatan ini dapat diketahui


kontribusi masing-masing variabel pada setiap faktor terhadap habitat sagu.
Dengan demikian dapat pula ditentukan total kontribusi setiap faktor terhadap
habitat sagu.
Dalam pertumbuhan sagu dengan komponen abiotis, dapat memunculkan
pengaruh dari setiap faktor (iklim, tanah, dan kualitas air rawa) terhadap
parameter sagu. Untuk menjelaskan pengaruh faktor tersebut dapat didekati
dengan menggunakan analisis regresi komponen utama. Analisis ini merupakan
pengembangan dari analisis komponen utama, dikombinansikan dengan analisis
regresi klasik (Gasperz 1995). Dalam analisis regresi klasik, asumsi dasar yang
harus dipenuhi, antara lain adalah tidak terdapat korelasi diantara variabel bebas
(multikolinieritas). Dengan kata lain antara variabel yang satu dengan yang lain
bersifat ortogonal (saling bebas). Dalam melakukan analisis dengan variabel
banyak (multivariate) seringkali tidak dapat dihindari terjadinya multikolinieritas
ini. Oleh karena itu pendekatan statistika yang sesuai adalah dengan
menggunakan analisis regresi komponen utama (Principal Component Regression
Model). Sebagaimana dalam analisis regresi pada umumnya, dikenal variabel
bebas (X) dan variabel tak bebas (Y). Dalam kaitan itu, maka model ini
dipergunakan untuk menguji pengaruh komponen abiotis iklim, tanah, dan
kualitas air rawa. Faktor iklim, tanah, dan kualitas air rawa dijadikan sebagai
variabel bebas, sedangkan variabel tak bebas parameter sagu yakni jumlah
populasi rumpun (pertumbuhan) dan produksi pati sagu. Menurut Gaspersz
(1995) model regresi komponen utama untuk menjelaskan pengaruh variabel
bebas terhadap variabel tak bebas, dilakukan analisis dengan model berikut :
Y wo w1K1 w2 K 2 ..... wm K m v (20)
dimana : Y = variabel tak bebas
Kj = vartiabel bebas komponen utama yang merupakan kombinasi
linier dari semua variabel baku Z (j = 1, 2, , m)
wo = konstanta
wj = parameter model regresi (koefisien regresi), (j = 1, 2, , m)
v = bentuk gangguan/galat.
51

Dalam proses analisis semua variabel bebas ditransformasi ke dalam variabel


baku Z. Transformasi data ini diperlukan karena terdapat perbedaan satuan
diantara variabel bebas. Transformasi data menggunakan rumus :

xi x
Zi ( ) . (21)
si

dimana : Z i = variabel bebas ke-i dalam bentuk baku


xi = variabel bebas ke-i dalam bentuk asli
x = nilai rata-rata dari variabel bebas xi
s i = simpangan baku (standard deviation) dari xi

Setelah melalui proses komputasi secara aljabar, maka dapat dibentuk persamaan
regresi dalam bentuk variabel asli X, sebagai berikut :
Y bo b1x1 b2 x2 ... bp x p .. (22)
dimana : Y = variabel tak bebas (dependent variable)
xi = vartiabel bebas ke-i yang dispesifikasikan sejak awal, i = 1, 2,, , p
bo = konstanta (intersep)
bi = koefisien regresi dari variabel ke-i, i = 1, 2, , p.

3.4.3. Penelitian tahap III : Studi biodiversitas tumbuhan sagu di P. Seram,


Maluku

Fokus studi ini dimaksudkan untuk melakukan klarifikasi spesies sagu,


karena diduga masih terdapat perbedaan pandangan mengenai jumlah spesies sagu
yang terdapat di P. Seram Maluku, maupun istilah spesies yang banyak dianut di
Indonesia. Dalam studi ini dilakukan pula kajian yang berkaitan dengan
biodiversitas sagu berdasarkan tingkat keanekaragamannya. Secara teoritis atas
dasar tingkatannya, keanekaragaman hayati terbagi atas tiga tingkatan yaitu : 1)
keanekaragaman tingkat komunitas, 2) keanekaragaman tingkat spesies, dan 3)
keanekaragaman tingkat genetik. Dalam hubungan itu, maka uraian mengenai
keanekaragaman atau biodiversitas tumbuhan sagu disetarakan ke dalam tiga
kategori tingkatan tersebut. Tahapan penelitian biodiversitas tersaji dalam Gambar
8.
Dalam hubungannya dengan studi ini, maka tumbuhan sagu diletakkan pada
tataran vegetasi, merupakan jenis tumbuhan yang tumbuh bersama jenis tumbuhan
52

yang lainnya dalam suatu klaster atau komunitas. Dalam konteks ini komunitas
tumbuhan sagu disepadankan dengan wilayah sampel, sehingga setiap wilayah
sampel dianggap sebagai suatu komunitas. Kegiatan pengamatan yang dilakukan
pada studi ini dikerjakan pada petak kuadrat. Ukuran petak pengamatan
disesuaikan dengan fase pertumbuhan vegetasi. Untuk jenis vegetasi bawah
(seedling) pengamatan dilakukan pada petak berukuran 2 m x 2 m, jenis perdu
(sapling/sepihan) ukuran petak 5 m x 5 m, fase tiang 10 m x 10 m, dan fase pohon
20 m x 20 m. Pengamatan vegetasi meliputi :

Pengamatan vegetasi Analisis Kemiripan Komunitas

Analisis Keanekaragaman
Pengamatan Spesies
Spesies

Klarifikasi Spesies Analisis Genetik (Isozim)

Gambar 8. Tahapan studi biodiversitas tumbuhan sagu

1. Spesies tumbuhan, dilakukan di lapangan dengan menggunakan buku


panduan identifikasi spesies. Untuk spesies yang tidak dapat diidentifikasi di
lapangan diambil bagian tumbuhan (herbarium) untuk diidentifikasi di
laboratorium.
2. Jumlah tiap spesies, untuk keperluan penentuan kerapatan spesies.
3. Kedapatan pada setiap unit contoh untuk menentukan frekwensi spesies.
3. Luas tutupan (coverage). Parameter ini dilakukan dengan cara mengukur
panjang jari-jari tutupan tajuk vegetasi. Kemudian luas tutupan tajuk suatu
spesies ditetapkan dengan menggunakan rumus pada persamaan-(4).
Pengukuran ini dimaksudkan untuk menentukan dominasi spesies.
53

3.4.3.1. Biodiversitas komunitas

Dalam rangka menjelaskan keanekaragam komunitas tumbuhan sagu di


dalam wilayah P. Seram Maluku, maka didekati dengan menggunakan analisis
kemiripan komunitas. Suatu wilayah sampel dianggap sebagai suatu komunitas
sagu. Untuk menentukan kemiripan komunitas antara satu wilayah sampel dengan
wilayah sampel yang lain, maka dilakukan analisis kemiripan komunitas
menggunakan indeks similaritas (IS) (Smith 1980 dalam Setiadi et al. 1989).
Penetapannya dengan menggunakan rumus berikut :

2w
IS x100% . (23)
(a b)

dimana :
IS : Indeks similaritas (kemiripan)
a : Jumlah nilai penting dari tegakan pertama
b : Jumlah nilai penting dari tegakan kedua
w : Jumlah nilai terkecil untuk masing-masing jenis di dalam kedua
tegakan yang diamati

Untuk menentukan tingkat kemiripan antar komunitas, dalam konteks ini


antara satu komunitas sagu dengan komunitas yang digunakan kriteria sebagai
berikut : kemiripan sangat tinggi bila IS > 75 %, kemiripan tinggi bila 50 % < IS
< 75 %, kemiripan rendah bila 25 % < IS < 50 %, dan kemiripan sangat rendah
bila IS < 25 % (Krebs 1999).

3.4.3.2. Biodiversitas spesies

Analisis ini dimaksudkan untuk menjelaskan keanekaragaman spesies


pada setiap komunitas sagu. Pada setiap komunitas sagu dilakukan analisis untuk
mengetahui keanekaragaman spesies di dalamnya. Analisis ini dimaksudkan
untuk menjelaskan biodiversitas spesies dalam komunitas sagu. Pendekatan yang
dilakukan melalui indeks keanekaragaman Shannon (H) untuk menjelaskan
keanekaragaman spesies dalam komunitas tumbuhan sagu di P. Seram Provinsi
Maluku dilakukan perhitungan nilai indeks keaneragaman Shannon-Wiener (H).
Penetapan nilai indeks Shannon ini menggunakan input data nilai penting pada
setiap wilayah sampel sebagai suatu komunitas tumbuhan sagu. Besarnya nilai
54

indeks keanekaragaman spesies (Shannon-Wiener H) ditetapkan dengan formula


berikut ini (Ludwig dan Reynolds 1988) :

H = - [(n.i/N)log(n.i/N)] (24)
dimana :
H : Indeks keanekaragaman
n.i : nilai penting dari setiap jenis
N : total nilai penting

Secara teoritis nilai indeks keanekaragaman Shannon (H) biasanya


berkisar antara 0 - 7. Jika nilai H 1, maka keanekaragaman spesies vegetasi
termasuk dalam kategori sangat rendah, jika 1 < H 2 termasuk dalam kategori
rendah, jika 2 < H 3 termasuk dalam kategori sedang (medium), jika 3 < H 4
termasuk dalam kategori tinggi, dan jika H > 4, maka keanekaragaman spesies
vegetasi termasuk dalam kategori sangat tinggi (Soegianto 1994).

3.4.3.3. Biodiversitas genetik

Sifat genetik dilakukan melalui analisis molekuler. Untuk mempelajari


variasi karakteristik genetik masing-masing jenis sagu dalam studi ini digunakan
melalui analisis isozim. Dalam sistematika tumbuhan, isozim dimanfaatkan
dalam membedakan spesies/varietas tanaman yang secara taksonomi sukar
dibedakan hanya berdasarkan sifat morfologinya. Isozim sebagai penanda
biokimia dapat digunakan sebagai identitas yang relatif stabil bagi suatu kultivar
atau jenis tumbuhan. Isozim cukup akurat sebagai penanda biologi dalam
membedakan satu individu dari individu lainnya dalam suatu populasi (Marzuki
2007).
Menurut Hartana (2005) isozim atau isoenzim mempunyai bentuk
polimorfik dalam suatu organisme atau spesies tanaman yang sama tetapi
mengkatalisator reaksi metabolisme yang berbeda. Polimorfisme isozim berupa
molekul-molekul protein yang berbeda fenotipenya dapat ditampakkan dalam
bentuk pola pita yang berbeda dengan menggunakan elektroforesis gel pati yang
diwarnai dengan pewarna yang spesifik untuk setiap enzim.
Untuk keperluan analisis ini diambil beberapa helai daun muda yaitu daun
ketiga dari pucuk tunas (leaf index). Daun-daun terpilih kemudian dimasukkan
55

dalam cool box yang berisi es kering untuk selanjutnya dilakukan analisis isozim
di laboratorium. Pewarna enzim yang dipergunakan terdiri dari empat jenis enzim
yaitu 1) enzim Aspartat Aminotransferase (AAT), 2) enzim Asam Phosphatase
(ACP), 3) enzim Peroksidase (PER), dan 4) enzim Esterase (EST).
Hasil analisis ini dipergunakan untuk melakukan klarifikasi spesies sagu di
P. Seram. Klarifikasi spesies dilakukan berdasarkan dua pandangan klasifikasi
yang diketahui yaitu klasifikasi yang dianut oleh para ahli di Maluku atau di
Indonesia pada umumnya, dikomparasi dengan sistem klasifikasi yang
dikemukakan oleh Beccari (1918 dalam Flach 1997). Klarifikasi spesies sagu
yang terdapat di P. Seram sebagaimana tertera dalam Tabel 9 berikut.

Tabel 9. Spesies sagu yang terdapat di P. Seram, Maluku


Nama spesies secara Nama spesies menurut Beccari (1918 dalam Flach 1997)
No. Nama daerah
umum* Spesies Varietas Subvar.
1. Sagu tuni M. rumphii Mart. M. rumphii Mart. Micracanthum Becc. Tuni
2. Sagu Makanaru M. longispinum Mart. M. rumphii Mart. Micracanthum Becc. Makanaro
3. Sagu ihur M. sylvestre Mart. M. rumphii Mart. Sylvestre Becc. -
4. Sagu durirotan M. micracanthum Mart. M. rumphii Mart. Rotang Becc. -
5. Sagu molat M. sagu Rottb. M. sagu Rottb. Molat Becc. -

Sumber : * Haryanto dan Pangloli (1992), Louhenapessy (2006), Bintoro (2008),


Rostiwati et al. (2008).
58

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Studi distribusi spasial tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku

Hasil analisis tutupan lahan (land cover) menggunakan metode klasifikasi


terbimbing (supervised classification) menunjukkan bahwa tumbuhan sagu
terdistribusi pada wilayah pesisir di dataran rendah pada tanah-tanah endapan, di
tempat-tempat yang berdekatan dengan sungai, lembah-lembah bukit dengan total
luas areal mencapai 18.239 ha (Lampiran 1). Apabila luas areal sagu ini
dibandingkan dengan luas P. Seram 1,8 juta ha, maka luas tutupan sagu hanya
mencapai satu persen. Dalam rangka uji akurasi dilakukan pengumpulan Ground
Control Points (GCP). Tingkat akurasi klasifikasi cukup tinggi mencapai 76 %
(Gambar 9) berdasarkan overall accuracy (Producers Accuracy = 73 % dan
Users Accuracy = 68 %) . Tingkat akurasi ini dipengaruhi oleh awan dan kondisi
topografi sehingga tumbuhan sagu tidak terdeteksi dengan baik pada citra.
Selain itu diduga karena terdapat tumbuhan sagu yang tumbuh bercampur dengan
vegetasi pohon dan/atau ternaungi sehingga nilai dijitalnya bercampur dengan
nilai dijital tumbuhan di atasnya. Hambatan lain yang bisa terjadi adalah
pertumbuhan sagu yang tidak teratur dengan luas klaster yang relatif terbatas
yakni tidak mencukupi ukuran 3 x 3 piksel. Semua klaster sagu dengan ukuran
luas melebihi ukuran tersebut apabila tidak terdapat hambatan lain, misalnya
karena adanya awan, maka klaster tersebut tampak pada citra. Resolusi citra
landsat-5TM minimal yang dapat terdeteksi pada citra sebanyak sembilan piksel
karena dilakukan focal scan dengan ukuran window 3 x 3.
Peta distribusi spasial tumbuhan sagu di P. Seram apabila dikaitkan
dengan sifat-sifat lahan, maka dapat dikemukakan bahwa tumbuhan sagu
menyukai kondisi lahan dengan ciri-ciri yaitu : 1) lahan datar-curam, 2) dekat
pesisir, 3) dekat sungai, 4) pada tanah-tanah aluvial (Entisol dan Inceptisol), dan
5) pada ketinggian tempat antara 0-250 m dpl. Sifat-sifat lahan ini selanjutnya
disebut sebagai kondisi habitat tumbuhan sagu yang sesuai, sedangkan kondisi
lahan yang tidak termasuk dalam kategori di atas dikategorikan sebagai kondisi
habitat yang kurang, bahkan tidak sesuai untuk pertumbuhan dan pengembangan
sagu.
58

Gambar 9. Peta distribusi spasial tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku 57


58

4.1.1. Distribusi sagu pada berbagai elevasi

Overlay antara distribusi sagu dan Digital Elevation Model (DEM) ASTER
dan observasi lapangan menunjukkan bahwa kebanyakan tumbuhan sagu tumbuh di
dataran rendah pada elevasi (ketinggian tempat) 250 meter dari atas permukaan laut
(m dpl) (Tabel 10 dan Gambar 10). Lahan pada ketinggian ini merupakan habitat
yang banyak ditemukan tumbuhan sagu, mencapai 99,98 %. Bintoro (2008)
mengemukakan bahwa pada tegakan sagu alami di berbagai daerah di Indonesia
seperti Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera banyak ditemukan
sagu tumbuh pada ketinggian tempat mencapai 300 m dpl. Secara umum tumbuhan
sagu dapat tumbuh sampai mencapai ketinggian tempat 1000 m dpl, tetapi
pertumbuhan sagu terbaik berada pada ketinggian antara 0 - 400 m dpl. Pada
ketinggian yang lebih besar pertumbuhannya terhambat dan memiliki kandungan pati
rendah. Pada ketinggian tempat di atas 600 m dpl pertumbuhan sagu memendek,
hanya mencapai tinggi sekitar enam meter. Atas dasar ketinggian tempat ini,
berdasarkan hasil survey BPPT (1982) dilaporkan bahwa tumbuhan sagu di Maluku
pada umumnya ditemukan tumbuh pada ketinggian antara 0-20 m dpl.
Berdasarkan fakta di atas, maka dapat dikemukakan bahwa tumbuhan sagu
yang tumbuh dan berkembang di P. Seram kondisi habitat yang sesuai terletak pada
ketinggian tempat antara 0-250 m dpl (Lampiran 2). Pada ketinggian tempat yang
lebih besar dari 250 m dpl tumbuhan sagu yang tumbuh pada ketinggian tersebut
tidak mencapai setengah persen. Hal ini berarti bahwa secara alami tumbuhan sagu
tidak dapat beradaptasi dengan baik pada ketinggian yang melebihi 250 m dpl.
Kalaupun terdapat sagu, luas klasternya kecil-kecil atau hanya terdiri atas beberapa
rumpun. Klaster-klaster seperti dengan menggunakan citra Landsat tidak dapat
terdeteksi. Kelas elevasi dan distribusi sagu pada berbagai elevasi di P. Seram
disajikan pada Tabel 10.
58

Gambar 10. Distribusi sagu pada berbagai elevasi di P. Seram, Maluku 59


60
58

Tabel 10. Distribusi sagu pada berbagai kelas elevasi di P. Seram, Maluku
Ketinggian tempat Luas P. Seram
% Luas sagu (ha) %
(m dpl) (ha)
0 - 125 617.800,32 34,64 13.385,61 73,39
125 - 250 324.529,29 18,19 4.814,28 26,39
250 - 375 236.379,87 13,25 39,87 0,22
375 - 500 174.499,83 9,78 0,00 0,00
500 - 625 126.367,02 7,08 0,00 0,00
625 - 750 91.214,10 5,11 0,00 0,00
750 - 825 43.930,98 2,46 0,00 0,00
825 - 1000 68.282,82 3,83 0,00 0,00
> 1000 100.680,75 5,64 0,00 0,00
Jumlah 1.783.684,98 100,00 18.239,76 100,00

Pada Tabel di atas tampak bahwa dari sisi ketinggian tempat di atas
permukaan laut, lahan yang terletak pada ketinggian antara 0-250 m dpl sebanyak
942.329,61 ha atau setara 52,83 % dari total luas lahan di P. Seram yang mencapai
1,8 juta hektar. Hal ini berarti bahwa secara parsial berdasarkan ketinggian
tempat, maka sekitar 50 % lahan sagu di P. Seram dapat dikatakan sesuai sebagai
habitat tumbuhan sagu. Pada luas lahan tersebut tumbuh dan berkembang sekitar
18.239 ha tumbuhan sagu. Distribusi sagu di P. Seram pada berbagai ketinggian
tempat yaitu : 1) pada ketinggian 0-125 m dpl sebanyak 13,39 ribu ha (73,39 %),
2) 125-250 m dpl 4,81 ribu ha (26,39 %). Apabila luas ini dikaitkan dengan luas
lahan yang terdapat pada ketinggian antara 0-250 m dpl, maka dapat dikatakan
bahwa hanya sekitar 1,94 % lahan yang ditumbuhi sagu, sisanya berupa jenis
vegetasi yang lain. Overlay distribusi sagu pada berbagai ketinggian tempat di P.
Seram tersaji pada Gambar 8.

4.1.2. Distribusi sagu pada berbagai kemiringan

Kondisi topografi lahan di P. Seram pada umumnya berbukit dan


berlereng. Berdasarkan sifat lahan ini, tumbuhan sagu banyak ditemukan tumbuh
pada kondisi lahan dengan kemiringan rendah atau memiliki slope antara kecil-
sedang, berkisar antara 0-40 % (Tabel 11 dan Gambar 11). Kondisi kemiringan
lereng ini merupakan sifat lahan yang sesuai sebagai habitat untuk pertumbuhan
dan perkembangan sagu (Lampiran 3). Pada kemiringan lereng yang lebih besar
dari 40 persen tidak sesuai bagi pertumbuhan sagu. Secara parsial berdasarkan
kemiringan lereng, di P. Seram terdapat sekitar 336.922,65 ha setara dengan 18,96
61

% luas lahan yang sesuai sebagai habitat tumbuhan sagu. Pada luas lahan 336,9
ribu ha ini telah tumbuh sebanyak 18,239 ha sagu. Distribusinya pada berbagai
kemiringan lereng yaitu : 1) kemiringan 0-88 % (datar) sebanyak 9,17 ribu ha (50
%), 2) 8-15 % (landai) 2,79 ribu ha (15 %), 3) 15-25 % (agak curam) 2,85 ribu ha
(16 %), 25-40 % (curam) 2,68 ribu ha (15 %). Dengan kata lain sebanyak 98 %
tumbuhan sagu di P. Seram tumbuh dan berkembang pada kemiringan lereng
antara 0-40 %. Sisanya sebesar empat persen tumbuh pada kemiringan >40 %.

Tabel 11. Distribusi sagu pada berbagai kelas kemiringan lereng di P. Seram,
Maluku
Luas P. Seram Luas sagu
Kemiringan Lereng % %
(ha) (ha)
0 - 8 % (Datar) 336.922,65 18,96 9.169,20 50,00
8 - 15 % (Landai) 270.211,77 15,21 2.787,39 15,00
15 - 25 % (Agak curam) 408.540,78 23,00 2.845,35 16,00
25 - 40 % (Curam) 541.066,77 30,45 2.681 15,00
>40% (Sangat curam) 220.146,39 12,39 756,72 4,00
Jumlah 1.776.888,36 100,00 18.239,66 100,00

4.1.3. Distribusi sagu pada berbagai sistem lahan

Sistem lahan (land system) berkaitan dengan bahan induk pembentukan


tanah. Oleh karena itu sistem lahan menentukan jenis tanah yang terbentuk di
suatu tempat. Berdasarkan analisis sistem lahan (land system), tumbuhan sagu di
P. Seram kebanyakan terdistribusi pada sistem lahan dari bahan-bahan seperti : 1)
Limestone; coral, seluas 607,86 ha (3,33 %), 2) Alluvium-recent riverine; alluvi,
1.102,05 ha (6,04 %), 3) Alluvium, estuarine marine; allu, 3.887,91 ha (21,32 %),
4) Schist; gneiss, 1.067,40 ha (5,85 %), 5) Phyllite; schist; gneiss; sandst,
2.101,32 ha (11,52 %), 6) Andesite; basalt; diorite; gabbr, 1.227,33 ha (6,73 %),
dan 7) Phyllite; schist 1.025,00 ha (5,62 %) (Tabel 12 dan Gambar 12). Jumlah
luas lahan pada sistem lahan ini mencapai 11.474 ha, setara 62,64 % dari total
lahan sagu pulau Seram 1,8 juta ha.
58

Gambar 11. Distribusi sagu pada berbagai kemiringan lereng di P. Seram, Maluku
62
63
58

Tabel 12. Distribusi sagu pada berbagai sistem lahan di P. Seram, Maluku
Luas P. Seram Luas sagu
No. Sistem Lahan % %
(ha) (ha)

1. Coral; alluvium, recent estuarin 14.514,93 0,79 607,86 3,33


2. Limestone; coral 72.797,76 3,94 1.102,05 6,04
3. Alluvium-recent riverine; alluvi 184.232,52 9,98 3.887,91 21,32
4. Alluvium-recent estuarine-marine 17.032,50 0,92 410,13 2,25
5. Limestone; coral; sandstone; mar 80.150,31 4,34 861,21 4,72
6. Alluvium recent riverine; alluvi 28.465,47 1,54 723,33 3,97
7. Alluvium, estuarine marine; allu 8.902.89 0,48 1.063,80 5,83
8. Marl; limestone 100.129,41 5,42 465,66 2,55
9. Schist; gneiss 71.548,92 3,88 1.067,40 5,85
10. Alluvium, recent marine (beachs) 9.059,67 0,49 348,48 1,91
11. Sandstone; mudstone; shale; cong 80.297,28 4,35 231,21 1,27
12. Phyllite; schist; gneiss; sandst 343.933,74 18,63 2.101,32 11,52
13. Sandstone; mudstone; conglomerat 195.521,49 10,59 315,45 1,73
14. Limestone; coral, alluvium, fan 32.321,07 1,75 521,91 2,86
15. Clay 261.007,11 14,14 301,95 1,66
16. Limestone; sandstone; marl 28.227,24 1,53 291,78 1,60
17. Limestone 82.791,09 4,48 30,78 0,17
18. Limestone; alluvium, recent rive 17.879,04 0,97 429,12 2,35
19. Limestone; coral; marl; alluvium 9.786,69 0,53 134,46 0,74
20. Alluvium recent riverine; alluvi 11.136,24 0,60 43,65 0,23
21. Sandstone; shale; alluvium, rece 20.244,06 1,10 163,17 0,90
22. Marl; limestone; sandstone; shal 8.966,61 0,49 28,80 0,16
23. Granite; granodiorite 2.491,29 0,13 47,25 0,26
24. Andesite; basalt; diorite; gabbr 106.775,64 5,78 1.227,33 6,73
25. Basalt; andesite 1.263,60 0.07 359,10 1,97
26. Serpentinite; peridotite; dunite 8.361,45 0,45 41,94 0,23
27. Andesite; basalt 17.736,30 0,96 35,91 0,20
28. Alluvium, fan deposits alluvium, 926,62 0,50 63,99 0,35
29. Alluvium, fan deposits, colluviu 1.068,66 0,06 218,88 1,20
30. Alluvium, fan deposits 10.082,61 0,55 0,00 0,00
31. Sandstone; shale; alluvium; old 2.165,76 0,12 27,72 0,15
32. Phyllite; schist 689,85 0,04 1.025,00 5,62
33. Alluvium, recent riverine; alluv 7.306,11 0,40 61,18 0,33
Jumlah 1.828.911,04 100,00 18.239,75 100,00

Pada sistem lahan sebagaimana yang disebutkan di atas, lahan yang ditumbuhi
sagu pada umumnya >1000 ha. Sistem lahan ini diduga merupakan sistem lahan yang
sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan sagu (Lampiran 4).
58

Gambar 12. Distribusi sagu pada berbagai sistem lahan di P. Seram, Maluku
64
65
58

4.1.4. Distribusi sagu pada berbagai jenis tanah

Berdasarkan sistem lahan, apabila dikaitkan dengan jenis tanah yang


terbentuk di P. Seram, maka tampak bahwa tumbuhan sagu banyak berkembang
pada lima jenis tanah yatitu : 1) entisols, 2) alfisols, 3) inceptisols, 4) oxisols, dan
5) ultisols (Tabel 13). Ciri yang dipakai untuk menjelaskan jenis-jenis tanah
tersebut adalah berdasarkan empat huruf pada bagian akhir tiap-tiap jenis tanah,
sesuai ketentuan penamaan menurut Keys to Soil Taxonomy (Soil Survey Staff
USDA 1999). Jenis-jenis tanah ini yang selanjutnya dapat dikategorikan sebagai
tanah-tanah yang sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan sagu (Lampiran 5).
Distribusi sagu paling banyak pada jenis tanah entisols dan inceptisols.
Jenis tanah ini merupakan tanah yang belum lama terbentuk atau tanah yang baru
mulai berkembang. Diduga bahan-bahan penyusunnya berasal dari bahan
endapan baru yang terbawa dari bagian ketinggian terbawa oleh aliran permukaan
(run off), atau berasal dari endapan banjir apabila terjadi hujan. Menurut Keys to
Soil Taxonomy (Soil Survey Staff USDA 1999) tanah-tanah ini merupakan jenis
tanah baru (recent). Penamaan ini sepadan dengan jenis tanah Aluvial menurut
sistem klasifikasi tanah yang dikembangkan oleh Pusat penelitian Tanah Bogor
(Hardjowigeno 2003). Jenis tanah Entisols memiliki ciri antara lain selalu jenuh
air dan matriksnya tereduksi pada semua horizon di bawah kedalaman 25 cm dari
permukaan tanah. Sedangkan jenis tanah Inceptisols memiliki ciri antara lain
mulai terbentuk struktur dan di dalam kedalaman 50 cm dari permukaan tanah
mineral mengandung cukup besi fero (Fe 2+) aktif untuk dapat memberikan reaksi
positif terhadap alpha, alpha-dipyridil ketika tanah tidak sedang diirigasi (Soil
Survey Staff USDA 1999). Pada Gambar 13 tampak sebaran jenis tanah yang
sesuai bagi habitat tumbuhan sagu.

Tabel 13. Distribusi sagu pada berbagai jenis tanah di P. Seram, Maluku
No. Jenis tanah Luas (ha) (%)
1. Troporthens; Tropudalfs; Tropop 607,86 3,33
2. Rendolls; Eutropepts; Tropudalfs 1.665,63 9,13
3. Tropaquepts; Fluvaquents 3.887,91 21,32
4. Hydraquents; Sulfaquuents 410,13 2,25
5. Rendolls; Tropudalfs; Eutropepts 861,21 4,72
6. Tropoquepts; Eutropepts; Tropof 723,33 3,97
70
66

lanjutan
7. Tropaquepts; Eutropepts; Tropud 1.063,80 5,83
8. Eutropepts; Dystropepts; Troport 465,66 2,55
9. Dystropepts; Tropudults 2.377,17 13,03
10. Tropopsamments; Tropaquents 348,48 1,91
11. Tropudults; Dystropept 247,23 1,36
12. Humitropepts; Dystropepts; Tropa 2.101,32 11,52
13. Dystropepts; troporthents; Tropu 315,45 1,73
14. Rendolls; Eutropepts 552,69 3,03
15. Eutropepts; Paleudults; Troudal 301,95 1,66
16. Eutropepts; Tropudults 291,78 1,60
17. Tropofluvents; Tropaquepts 43,65 0,24
18. Tropudults; Tropudalfs; Dystrope 163,17 0,90
19. Eutropepts; Dystropepts; tropudda 28,80 0,16
20. Eutropepts; Dystropepts 359,10 1,97
21. Dystropepts; Eutropepts; Tropudu 41,94 0,23
22. Haplorthox; Acrorthox; Dystrpep 35,91 0,20
23. Dystropepts; Tropudults; Troport 63,99 0,35
24. Dystropepts; Dystrandepts; Tropa 218,88 1,20
25. Dystropepts; Dystrandepts; Tropu 27,72 0,15
26. tropaquents; Tropopluvents; Fluva 1.025,01 5,62
27. Eutropepts; Tropaquepts; Tropfl 9,99 0,05
Jumlah 18239,76 100,00

4.1.4. Distribusi sagu pada berbagai jarak dari sungai


Tumbuhan sagu banyak juga yang tumbuh di bagian pinggir kiri-kanan
sungai yang datar atau berupa rawa-rawa yang senantiasa terendam air, baik
permanen ataupun temporer (Gambar 14). Hasil observasi lapangan ditemukan
bahwa tidak semua kawasan kiri-kanan sungai terdapat tumbuhan sagu. Bagian
kiri-kanan sungai yang biasanya dapat ditemukan tumbuhan sagu adalah bagian
pinggir sungai yang tanahnya terdapat liat, memiliki tekstur halus, atau
mengandung bahan organik yang memadai yang ditunjukkan oleh perubahan
warga coklat kehitaman. Pada bagian pinggir sungai yang didominasi partikel
pasir, jarang atau bahkan tidak ditemukan sagu. Louhenapessy (1993)
mengemukakan bahwa tumbuhan sagu dapat bertumbuh dengan baik pada tanah-
tanah berpasir apabila mengandung bahan organik yang cukup.
58

Gambar 13. Distribusi sagu pada berbagai jenis tanah di P. Seram, Maluku
67
58

66

Gambar 14. Distribusi sagu pada buffer sungai di P. Seram, Maluku 68


69

Hasil overlay distribusi sagu dengan jarak dari pinggir kiri-kanan sungai
(buffer sungai) menunjukkan bahwa terdapat sekitar 10.834,44 ha (59,40 %)
tumbuhan sagu yang tumbuh pada sisi pinggir kiri-kanan sungai berjarak <300.
Hal ini berarti bahwa terdapat sekitar 7.405,36 ha tumbuhan sagu yang tumbuh
pada jarak > 300 m (40,60 %) dari sisi kiri-kanan sungai (Tabel 14).

Tabel 14. Distribusi sagu pada berbagai jarak dari sungai di P. Seram, Maluku
No. Jarak dari sungai Luas (ha) (%)
1. 0 - 300 m 10.834,44 59,40
2. > 300 m 7.405,36 40,60
Jumlah 18.239,80 100,00

Pada Tabel di atas tampak bahwa tidak semua areal sagu di P. Seram
terdapat di tempat yang berdekatan dengan sungai pada jarak sekitar 300 m.
Artinya terdapat sebagian tumbuhan sagu di luar jarak tersebut. Hal ini berarti
bahwa buffer sungai untuk keperluan mengetahui distribusi tumbuhan sagu pada
sisi kiri-kanan sungai jaraknya perlu diperlebar.

4.2. Studi Autekologi tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku

4.2.1. Struktur populasi

Struktur populasi tumbuhan sagu (Metroxylon spp.) dalam kajian ini


diuraikan menurut fase pertumbuhan berdasarkan kriteria yang dikembangkan
BPPT (1982 dalam Haryanto dan Pangloli 1992) dengan modifikasi. Fase
pertumbuhan dimaksud meliputi fase semai (seedling), sapihan (sapling), tiang
(pole), dan pohon (trees). Secara teoritis dikenal tiga struktur populasi yang dapat
ditemukan dalam pertumbuhan suatu organisme. Pemisahan ini pada umumnya
didasarkan pada tingkatan umur organisme, yaitu struktur populasi menurun,
stabil, dan muda (Wirakusumah 2003). Struktur populasi menurun dicirikan oleh
jumlah populasi yang tinggi pada fase umur post-reproduktif, berkurang pada fase
reproduktif, dan semakin sedikit pada fase pre-reproduktif. Struktur populasi
stabil dicirikan oleh jumlah populasi yang rendah pada fase post-reproduktif,
70

makin bertambah pada fase reproduktif, dan makin bertambah lagi pada fase pre-
reproduktif. Struktur populasi yang berikut adalah struktur populasi muda, yaitu
struktur populasi yang dicirikan oleh jumlah individu rendah pada fase post-
reproduktif, sedang pada fase produktif, dan sangat banyak pada fase pre-
reproduktif.
Struktur populasi sagu yang ditemukan di P. Seram Maluku secara
umum menyerupai struktur populasi muda yaitu populasi yang memiliki jumlah
individu paling banyak pada fase semai, kemudian berkurang secara drastis pada
fase sapihan, tiang, dan sedikit meningkat pada fase pohon (Gambar 15).
Terjadinya peningkatan populasi pada fase pohon diduga karena tiga alasan yaitu
: 1) fase pohon menghambat pertumbuhan sagu pada fase dibawahnya sehingga
terjadi gap antara sagu fase tiang dan pohon belum panen. Hambatan ini
berlangsung sampai dengan tumbuhan sagu fase pohon tersebut berbunga. Ketika
tumbuhan sagu sampai pada fase berbunga, maka ukuran daun mengecil atau
tangkai dan anak-anak daun memendek. Pada masa itu tidak lagi terjadi
penambahan daun yang kemudian mengarah ke kematian. Hambatan tersebut
dapat pula berakhir apabila tumbuhan sagu fase pohon telah dipanen, 2) sejak
akhir fase tiang sampai dengan awal fase pohon panen diperlukan periode waktu
sekitar 5-7 tahun, dengan asumsi masak panen sagu sekitar 15 tahun, 2) kriteria
ukuran tinggi sekitar dua meter bagi pertumbuhan sagu selama fase tiang patut
dikoreksi menjadi tiga meter atau memerlukan periode waktu sekitar empat tahun,
dan Apabila tiga aspek sebagaimana tersebut di atas dimasukkan dalam
pembangunan struktur populasi tumbuhan sagu, kemudian ditarik garis pola
pertumbuhan (trend line) maka akan membentuk huruf J terbalik. Hasil ini
mirip dengan temuan Rostiwati et al. (2008) yang memperoleh trend line yang
sama dengan struktur populasi sagu berdasarkan data rumpun sagu alam di Papua
dan Maluku.
Dalam struktur populasi sagu di P. Seram secara umum, dimana jumlah
individu rata-rata fase semai mencapai 83,04 ind/ha, apabila dibandingkan dengan
jumlah individu rata-rata fase sapihan sebanyak 21,59 ind/ha, terlihat bahwa
terjadi pengurangan jumlah individu sagu mencapai 76,18 %. Dengan kata lain
hanya sebanyak 23,82 % individu semai sagu yang sukses tumbuh mencapai fase
71

sapihan. Tingginya tingkat kematian atau gagalnya individu sagu fase semai
tumbuh masuk ke fase sapihan dan seterusnya karena beberapa aspek yaitu :1)
sifat pertumbuhan tunas, 2) banyaknya jumlah tunas, 3) kondisi kemasaman
tanah, dan 4) intensitas sinaran surya yang terbatas.

c. Struktur populasi sagu M. longispinum Mart. d. Struktur populasi M. sagu Rottb.


90 20
79,27
80 18,87
18
70 16
Populasi sagu (ind/ha)

Populasi sagu (ind/ha)


60 14
12
50
10 8,93
40 7,82
8
30
6
20 15,22 15,14 3,03 3,39 3,39
4
10 5,26 5,73 2
3,21
0 0
Semai Sapihan Tiang PBP PP PV Semai Sapihan Tiang PBP PP PV

Fase Pertumbuhan Fase Pertumbuhan


a. Struktur populasi M. rumphii Mart. b. Struktur populasi sagu M. sylvestre Mart.
180 70
168,9 65,12
160
60
Populasi sagu (ind/ha)

Populasi sagu (ind/ha)

140
50
120
100 40

80 30
60 20,76
18,60
42,53 20
36,73
40
15,31 10 6,49
20 6,29 3,67
0,7 0,53
0 0
Semai Sapihan Tiang PBP PP PV Semai Sapihan Tiang PBP PP PV
Fase Pertumbuhan Fase Pertumbuhan

Keterangan : PBP = pohon belum panen, PP = pohon panen, PV = pohon veteran. Data yang disajikan berasal
dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009.

Gambar 15. Struktur populasi sagu di P. Seram, Maluku

Dalam pertumbuhan tunas anakan sagu, terdapat sebagian yang muncul


dari pangkal batang tidak bersentuhan dengan permukaan tanah (anakan
menggantung) (Gambar 16) dan selama beberapa periode waktu tertentu sistem
perakarannya tidak dapat mencapai permukaan tanah untuk masuk ke dalam tanah
melakukan fungsi penyerapan unsur hara dan air. Pada masa tertentu suplai
72

makanan dari pohon induk ke tunas anakan tersebut terhenti. Dengan terhentinya
suplai makanan ini, maka kebutuhannya tidak mencukupi untuk melangsungkan
pertumbuhannya, selanjutnya menyebabkan kematian tunas anakan.

50 cm

Gambar 16. Anakan sagu M. rumphii Mart. yang tumbuh menggantung

Tumbuhan sagu senantiasa menghasilkan jumlah tunas anakan dalam


jumlah relatif banyak, sehingga memungkinkan terjadinya persaingan. Persaingan
dapat terjadi diantara sesama tunas anakan maupun persaingan dengan individu
yang tumbuh lebih awal. Dalam rumpun sagu sangat mungkin terjadi kompetisi
atau persaingan diantara sesama individu semai itu sendiri dan fase di atasnya.
Persaingan yang dimaksud berkaitan dengan komponen di atas tanah (atmosfer)
seperti udara, cahaya, ruang, dan komponen di dalam tanah seperti air, oksigen,
dan unsur hara.
Hasil pengukuran intensitas sinaran surya di dekat rumpun sagu
menunjukkan bahwa hanya sekitar 12,40 % setara 206,53 lux sinaran surya yang
masuk sampai di dekat rumpun sagu. Pada ruang terbuka mencapai 1675,29 lux.
Hal ini karena terdapat hambatan masuknya cahaya matahari oleh tajuk rumpun
73

tumbuhan sagu itu sendiri. Keterbatasan intensitas sinaran ini dapat berdampak
terhadap pertumbuhan anakan sagu dan dapat berakhir dengan kematian. Sinaran
surya merupakan sumber energi utama bagi kehidupan, dan berperan dalam
proses fotosintesis. Apabila intensitas sinaran surya terbatas maka proses
fotosintesis tidak dapat berlangsung secara maksimal. Implikasi berikutnya
adalah hasil fotosintesis (fotosintat) akan berkurang. Dengan demikian kebutuhan
tunas anakan tidak dapat terpenuhi, selanjutnya dapat menyebabkan kematian
anakan sagu.
Tumbuhan sagu selain tumbuh pada lahan kering, sebagian besar tumbuh
pada kondisi habitat tergenang, baik temporer maupun permanen. Lahan yang
tergenang memungkinkan kondisinya menjadi tereduksi. Artinya terjadi
kekurangan oksigen di dalam air dan tanah, karena diserap oleh akar dan
organisme yang hidup di air maupun dalam tanah melalui proses respirasi. Dalam
proses respirasi terjadi pembebasan molekul karbondioksida (CO2). Dengan
pertambahan waktu akan terjadi akumulasi CO2 dalam air dan dalam tanah.
Akumulasi ini memungkinkan terjadi reaksi dengan molekul air (H2O)
menghasilkan senyawa asam karbonat (H2CO3). Senyawa ini memberikan akses
masam ke dalam tanah maupun air, sehingga tingkat kemasaman akan meningkat
(pH turun).
Hasil analisis pH (KCl) tanah atau kemasaman potensial dapat mencapai
4,3. Artinya apabila kondisi tanah terendam air dalam periode waktu cukup lama,
kemasaman tanah berpotensi turun mencapai angka tersebut. Dalam kaitan
dengan kematian tunas anakan sagu, diduga sebagian tunas anakan yang baru
muncul tidak dapat bertahan hidup pada kondisi kemasaman yang rendah, dapat
pula terjadi melalui pengaruh kemasaman rendah terhadap sistem perakaran tunas
anakan yang masih muda. Kemasaman dapat bersifat mengikis sehingga dapat
merusak sel-sel akar terutama yang masih muda. Akar tunas anakan yang
mengalami kerusakan, berdampak terhadap pertumbuhan secara keseluruhan dan
dapat menyebabkan kematian anakan.
Kematian anakan sagu dapat pula disebabkan karena keracunan Fe dan
Al. Hasil pengukuran Fe dan Al di dalam tanah mencapai 3,08 % dan 4,99 %,
termasuk kategori sangat tinggi menurut kriteria BPT Bogor (2005). Brady (1990)
74

mengemukakan bahwa konsentrasi unsur mikro seperti Fe yang terlalu tinggi


dalam tanah dapat bersifat toxic. Fakta penelitian mengenai kematian semai pada
kondisi habitat tergenang atau tereduksi menunjukkan bahwa jumlah populasi
semai pada kondisi habitat tergenang temporer air payau dan tergenang permanen
hanya mencapai 162 ind/ha dan 264 ind/ha. Jumlah populasi ini hanya separoh
dibandingkan dengan populasi semai pada habitat lahan kering dan tergenang
temporer air tawar masing-masing sebesar 345,28 ind/ha dan 416,90 ind/ha.
Hasil penelitian jumlah populasi rumpun sagu di P. Seram ditemukan
sebanyak 176,55 rumpun/ha (Gambar 17 dan Lampiran 6). Pada setiap rumpun
sagu tidak selalu dapat ditemukan rumpun yang memiliki semua fase
pertumbuhan berupa pohon, tiang, sapihan, dan semai. Komposisi fase
pertumbuhan yang sering dijumpai pada suatu rumpun sagu di lapangan dalam
komunitas sagu alami adalah sebagai berikut : semai, sapihan, pohon; semai,
pohon; semai, tiang; semai, sapihan; dan/atau hanya semai saja. Pada sejumlah
rumpun sagu yang mencapai 176,55 rumpun/ha, ditemukan fase pohon sebanyak
106,06 ind/ha. Jumlah populasi pohon ini termasuk tumbuhan sagu fase masak
panen dan yang telah melampaui fase masak panen (pohon veteran). Hal ini
berarti bahwa sekitar 60 % rumpun sagu yang memiliki fase pohon. Dengan kata
lain bahwa sekitar 40 % rumpun tumbuhan sagu di P. Seram tidak terdapat fase
pohon.
Terlihat pada Gambar 17 bahwa dalam struktur populasi tumbuhan sagu,
fase tiang memiliki jumlah populasi paling sedikit hanya sekitar 30,3 ind/ha, atau
hanya 17,2 % dari jumlah populasi rumpun yang terbentuk. Sedangkan fase
sapihan mencapai 49,3 %, dan pada fase semai jumlah populasinya paling tinggi
yakni mencapai dua kali lipat dari jumlah rumpun. Hal ini menunjukkan bahwa
pada setiap rumpun tumbuhan sagu dapat ditemukan lebih dari satu individu fase
semai, bahkan di lapangan untuk jenis tanaman sagu tuni dan sylvestre ditemukan
ada yang dapat mencapai lebih dari 10 individu semai (rata-rata 6-8), tetapi pada
fase yang lain tidak selalu terdapat pada setiap rumpun.
75

400

350 335,71

300
Populasi sagu (ind/ha)

250

200 176,6

150

100 87,1 80,5

50 30,27
19,08
6,48
0
Rumpun Semai Sapihan Tiang PBP PP PV
Fase Pertumbuhan

Keterangan : PBP = pohon belum panen, PP = pohon panen, PV = pohon veteran. Data yang disajikan berasal
dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009.

Gambar 17. Populasi sagu menurut jumlah rumpun dan fase pertumbuhan

4.2.2. Kelimpahan

Kelimpahan sagu (Metroxylon spp.) dalam uraian ini diletakkan pada


kelimpahan menurut spesies yang dipahami secara umum. Parameter yang
dipergunakan untuk menjelaskan kelimpahan jenis adalah menurut jumlah
rumpun dan indeks nilai penting (INP). Dari lima spesies sagu yang ditemukan di
P. Seram yaitu M. rumphii Mart., M.sylvestre Mart., M. longispinum Mart., M.
microcanthum Mart. dan M. sagu Rottb. Khusus spesies M. microcanthum Mart.
tidak diuraikan dalam pembahasan dikarenakan jumlah individunya sangat
terbatas yakni tidak mencapai satu persen.
Hasil perhitungan jumlah populasi rumpun sagu dan indeks nilai penting
empat spesies sagu menunjukkan bahwa M. rumphii Mart. memiliki jumlah
individu paling banyak dan indeks nilai penting paling tinggi diantara semua
spesies sagu, bahkan diantara semua spesies tumbuhan dalam komunitas sagu di
P. Seram (Tabel 15 dan Gambar 18). Hal ini berarti bahwa spesies M. rumphii
76

Mart. merupakan spesies tumbuhan yang memiliki kerapatan, dominasi, dan


frekwensi yang melampaui spesies sagu yang lain. Fakta ini memberikan
petunjuk bahwa sebagian besar lahan dalam komunitas sagu di P. Seram
ditempati atau dikuasai oleh spesies M. rumphii Mart. (Lampiran 7)

Tabel 15. Kelimpahan Metroxylon spp. di P. Seram, Maluku

Parameter Kelimpahan Wilayah Sampel Rataan


Luhu-SBB Sawai-MT Werinama-SBT
M. rumphii Mart.
Jumlah rumpun/ha 71.53 101.6 108.85 93.99
INP (%) Pohon 117.27 124.93 145.85 129.35
Tiang 107.56 141.45 103.11 117.37
Sapihan 97.93 117.79 97.63 104.45
57.6 94.4 94.4
Semai 82.13
M. longispinum Mart.
Jumlah rumpun/ha 8.33 43.09 38.02 29.81
INP (%) Pohon 16.91 101.44 75.67 64.67
Tiang 17.93 75.5 39.69 44.37
Sapihan 31.85 59.71 55.79 49.12
16.28 45.76 45.76
Semai 35.93
M. sylvestre Mart.
Jumlah rumpun/ha 67.36 13.83 22.4 34.53
INP (%) Pohon 121.37 23.26 35.88 60.17
Tiang 107.56 14.24 19.85 47.22
Sapihan 70.83 36.6 27.89 45.11
46.06 36.28 36.28
Semai 39.54
M. sagu Rottb.
Jumlah rumpun/ha 13.19 22.87 14.06 16.71
INP (%) Pohon 24.1 33.07 13.92 23.70
Tiang 31.69 33.48 43.49 36.22
Sapihan 47.78 46.97 39.15 44.63
38.39 30.51 30.51
Semai 33.14
Keterangan : SBB = Seram bagian Barat, MT = Maluku Tengah, SBT = Seram Bagian Timur, INP = indeks
nilai penting.

Secara ekologi nilai penting yang diperlihatkan oleh suatu spesies,


merupakan indikasi bahwa spesies yang bersangkutan dianggap dominan pada
kondisi habitat tersebut, yaitu mempunyai nilai frekwensi, kerapatan, dan
dominasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan spesies tumbuhan lain. M.
rumphii Mart. merupakan spesies sagu dengan indeks nilai penting paling tinggi,
mencapai 108,33 %. Spesies tumbuhan sagu yang juga memiliki indeks nilai
77

penting cukup tinggi yaitu M. sylvestre Mart. 48,71 % dan M. longispinum Mart.
51,77 %. Sedangkan dua spesies sagu yang lain indeks nilai pentingnya < 35 %.
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa kemampuan menguasai ruang
spesies M. rumphii Mart. dua kali lebih besar dibandingkan sagu M. sylvestre
Mart. dan M. longispinum Mart. Sedangkan kemampuan menguasai ruang spesies
M. rumphii Mart. apabila dibandingkan dengan M. sagu Mart. tiga kali lebih
tinggi. Secara keseluruhan kemampuan spesies sagu di P. Seram dalam
menguasai ruang dalam komunitas sagu alami mencapai 70-90 %, khusus spesies
M. rumphii Mart. kemampuan menempati ruangnya sekitar 43,12 %.

100
93,98
90 84,32
81,47 80,81
80
Nisbah jumlah dominasi (%)

70 63,47

60

50

40 36,53

30
18,53 19,19
20 15,68

10 6,02

0
Semai Sapihan Tiang Pohon Rataan
Fase pertumbuhan
Keterangan : NJD = nisbah jumlah dominasi Sagu Non-sagu

Keterangan : Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III
Werinama SBT, tahun 2009.

Gambar 18. NJD spesies sagu dan non-sagu di P. Seram, Maluku

Pada Gambar 18 diperlihatkan nisbah jumlah dominasi (NJD = INP/3)


spesies sagu secara ekologi merupakan spesies dominan dalam menguasai habitat.
Sedangkan spesies tumbuhan lain (bukan sagu) memiliki nilai NJD yang rendah.
Fenomena seperti ini merupakan gambaran umum yang dijumpai pada tipe
78

vegetasi yang mengarah kepada kondisi klimaks dan stabil. Menurut Mueller dan
Ellenberg (1974 dalam Setiadi 2005) dikemukakan bahwa komposisi bervegetasi
hutan alami yang telah terbentuk dalam jangka panjang akan memperlihatkan
fisiognomi, fenologi, dan daya regenerasi yang lambat dan cenderung mantap,
sehingga dinamika floristik komunitas hutan tidak terlalu nyata dan menyolok.
Dalam konteks ini pergantian generasi atau regenerasi spesies seakan-akan tidak
tampak, akibatnya jarang dijumpai spesies tertentu yang kemudian muncul
dominan, karena semua spesies telah beradaptasi dalam jangka waktu lama.

4.2.3. Pertumbuhan, perkembangbiakan, dan mekanisme pembentukan


rumpun

a. Pertumbuhan

Dalam uraian untuk menjelaskan pertumbuhan sagu, maka siklus


pertumbuhan sagu dipisahkan atas beberapa fase pertumbuhan menurut kriteria
sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, yaitu fase semai (seedling).
sapihan (sapling), tiang (pole), dan pohon (trees).
Fase semai diawali dari keluarnya tunas sampai batang utama terbentuk
(masa roset). Pada saat muncul tunas anakan, keluar satu tangkai daun, disusul
dengan tangkai daun berikutnya. Setelah terbentuk anakan sempurna jumlah
tangkai daun berkisar antara 3-4 tangkai dengan panjang sekitar 50-80 cm.
Anakan yang terus membesar, diikuti dengan bertambahnya jumlah tangkai daun
antara 5-6 tangkai, dengan panjang antara 1-2 m. Menjelang masa roset, jumlah
tangkai daun berkisar antara 6-8 tangkai dengan panjang sekitar 3-4 m, dan
setelah masa roset jumlah tangkai daun berkisar antara 7-9 tangkai, dengan
panjang dapat mencapai 5 m. Anakan sagu yang keluar dari bagian pangkal
batang memiliki jumlah yang bervariasi, tergantung jenisnya. Spesies M. rumphii
Mart. dan M. sylvestre Mart. biasanya memiliki jumlah anakan yang lebih banyak
mencapai 7-8 anakan. Sedangkan spesies sagu yang lain relatif lebih sedikit,
jumlah anakan spesies M. longispinum Mart. sekitar 6-7 anakan, M. sagu Rottb. 3-
4 anakan, dan yang paling sedikit ditemukan pada spesies M. microcanthum Mart.
hanya sekitar 2-3 anakan.
79

Tunas anakan sagu yang muncul tidak semuanya sukses tumbuh menjadi
anakan fase bibit (fase yang lebih besar). Sebagian besar mengalami kematian
selama masa pertumbuhan awal. Berdasarkan letak tunas anakan sagu pada
bagian pangkal batang, ditemukan dua tipe yaitu : 1) tunas anakan yang keluar
dari bagian pangkal batang di bawah permukaan tanah atau sejajar permukaan
tanah, dan 2) letak tunas anakan beberapa centimeter dari atas permukaan tanah.
Tunas anakan ini biasanya gagal untuk tumbuh dan berkembang ke fase
selanjutnya.
Selain dari bagian pangkal batang, tunas anakan sagu muncul pula dari
rhyzome yang memanjang. Pada rhyzome ini, tunas anakan keluar dari bagian
bawah atau sejajar permukaan tanah dan ada pula yang keluar dari bagian atas,
tidak bersinggungan dengan permukaan tanah. Tunas anakan sagu yang disebut
terakhir paling rentan terhadap kematian (Gambar 19). Sejak mulai muncul tunas
anakan pada pangkal batang, sampai terbentuk batang di permukaan tanah (masa
roset) diperlukan waktu sekitar tiga tahun.

3 m

Gambar 19. Anakan sagu yang tumbuh pada bagian atas rhyzome

Setelah terbentuk batang pokok di permukaan tanah, pertumbuhan sagu


masuk pada fase berikutnya yaitu fase sapihan (sapling). Fase ini ditandai
80

dengan mulai terbentuk batang sempurna sampai tinggi batang mencapai ukuran
sekitar dua meter. Masa pertumbuhan selama fase ini diperlukan waktu sekitar
tiga tahun (Sjachrul 1993). Dengan demikian masa pertumbuhan sejak muncul
tunas anakan sampai akhir fase ini memerlukan waktu sekitar enam tahun. Pada
fase ini jumlah pelepah daun berkisar antara 8-12 tangkai dengan panjang sekitar
5-6 meter. Pada spesies M. rumphii dan M. sylvestre panjang pelepah daun dapat
mencapai 7-7,5 meter, dengan jumlah anak daun dapat mencapai 140 helai. Pada
fase ini tumbuhan sagu sudah mulai menghasilkan tunas anakan.
Setelah mencapai umur lebih dari enam tahun, tumbuhan sagu masuk ke
fase tiang (pole). Fase ini berlangsung sekitar tiga tahun, dan selama masa
periode fase ini terjadi pertambahan tinggi batang yang bertambah sekitar tiga
meter, sehingga total tinggi batang sampai dengan akhir fase tiang sekitar lima
meter (Sjachrul 1993). Sejak mulai muncul tunas anakan sampai berakhir fase ini
dibutuhkan waktu sekitar sembilan tahun. Sejak fase ini sering kali terjadi
pertambahan diameter batang, sehingga ukuran batang relatif lebih besar daripada
ukuran batang sagu di bagian pangkal. Selama fase tiang jumlah pelepah daun
berkisar antara 8-12 tangkai dengan jumlah anak daun dapat mencapai 180 helai.
Panjang pelepah daun dapat mencapai 7,58,0 meter, bahkan pada jenis sagu
sylvestre yang pertumbuhannya bagus, panjang pelepah daun dapat mencapai 9-
10 meter. Pada akhir fase ini tinggi batang sagu telah mencapai lima meter.
Setelah mencapai umur sekitar sembilan tahun, maka tumbuhan sagu telah
masuk ke fase pohon (trees) . Pada fase ini tinggi batang sagu telah mencapai
lebih dari lima meter (Sjachrul 1993). Terdapat jenis sagu tertentu seperti spesies
rotang dan makanaro sudah dapat dipanen pada tinggi batang mencapai 7-8 meter.
Dari fase tiang sampai mencapai ukuran tinggi batang tersebut diperlukan waktu
sekitar 3-4 tahun. Dengan demikian tumbuhan sagu secara alami baru dapat
dipanen setelah mencapai umur paling kurang 12 tahun . Pada jenis-jenis sagu
yang memiliki ukuran tinggi pohon antara 15-20 meter, diperkirakan untuk
sampai pada masa panen diperlukan masa pertumbuhan sekitar 12-15 tahun.
Jenis-jenis sagu yang dapat mencapai ukuran tinggi tersebut seperti spesies M.
rumphii Mart., M. sylvestre Mart., dan M. sagu Rottb. Selama fase ini jumlah
tangkai daun berkisar antara 10-15 tangkai dengan panjang pelepah mencapai 7-8
81

meter, dan jumlah anak daun mencapai 200 helai. Meskipun demikian,
menjelang masa pembungaan ukuran pelepah daun dan anak-anak daun mulai
memendek, dan pada masa pembungaan jumlah pelepah daun tidak lagi
mengalami penambahan.

b. Perkembangbiakan dan mekanisme pembentukan rumpun

Tumbuhan sagu berkembangbiak dengan menggunakan organ generatif


dan vegetatif. Perkembangbiakan dengan organ generatif menggunakan buah atau
biji. Di dalam buah terdapat biji yang dapat berkecambah, tumbuh, dan
berkembang membentuk individu baru. Agen penyebaran sagu melalui organ
buah/biji ini diduga terjadi melalui perantaraan air, karena buah sagu dilengkapi
dengan sabut yang dapat menjadikan buah sagu terapung, kemudian terbawa
mengikuti arus pergerakan air. Buah sagu yang jatuh di sekitar pohon, bila terjadi
hujan dan tinggi muka air meningkat, maka buah sagu akan terapung, kemudian
terbawa dari bagian muara sungai atau bagian kaki bukit terangkut mengikuti arus
genangan ke bagian pesisir. Apabila aliran genangan masuk sampai ke bagian
pesisir pantai, maka buah sagu akan terbawa arus ke berbagai tempat dan
memungkinkan terdampar pada sisi pesisir pulau lain. Jika kondisi lingkungan
mendukung untuk perkecambahan biji, maka dari biji akan tumbuh anakan dan
seterusnya menjadi generasi baru di tempat tersebut.
Agen penyebaran buah sagu yang lain seperti melalui perantaraan hewan,
menurut hemat penulis kemungkinan itu sangat kecil dikarenakan tidak terdapat
bagian buah atau biji yang disukai sebagai makanan hewan liar. Argumen ini
memiliki kelemahan karena penulis tidak memiliki fakta empiris atau sandaran
hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya.
Dalam melakukan observasi atau penelitian lapangan di P. Seram selama
lebih kurang enam bulan sejak Maret-Agustus 2009, tidak ditemukan fakta adanya
biji sagu yang berkecambah di bawah tegakan pohon yang tumbuh dengan
kerapatan tinggi. Pada tempat yang lain di sekitar hutan sagu dimana terjadi
pembukaan hutan oleh masyarakat petani pengolah sagu, ditemukan biji-biji sagu
yang berkecambah dengan baik dalam jumlah terbatas (Gambar 20). Fakta ini
menunjukkan bahwa biji sagu akan mengalami hambatan perkecambahan apabila
82

tidak mendapat penyinaran surya yang cukup atau tidak mendapat penyinaran
surya secara langsung. Hal ini berarti bahwa untuk mematahkan dormansi biji
sagu diperlukan intensitas sinaran surya yang cukup. Apabila intensitas sinaran
surya tidak terpenuhi, maka biji sagu akan tetap mengalami dormansi atau gagal
berkecambah.

Gambar 20. Pertumbuhan anakan sagu melalui biji

Kueh (1977 dalam Flach 1983) melaporkan hasil penelitian


perkecambahan biji sagu yang berasal dari Serawak, sebagian besar biji tidak
dapat berkecambah, terdapat beberapa biji yang berkecambah namun memiliki
mutu yang rendah. Disebutkan bahwa kegagalan perkecambahan itu
kemungkinan karena biji-biji sagu tersebut tidak mendapatkan cahaya yang cukup
atau cadangan makanan telah berkurang karena tersimpan dalam waktu yang
cukup lama.
Cara perkembangbiakan sagu yang kedua adalah melalui organ vegetatif
berupa anakan, stolon, atau rhyzome yang muncul dari bagian pangkal batang.
Anakan sagu biasanya muncul dari pangkal batang di bagian bawah permukaan
tanah, sejajar permukaan tanah, atau tidak menyentuh permukaan tanah. Tipe
anakan yang disebut terakhir pada umumnya gagal untuk tumbuh menjadi
individu baru ke fase pertumbuhan berikutnya. Agen penyebaran sagu dengan
83

organ ini yang paling banyak terjadi melalui perantaraan manusia terutama dalam
praktek budidaya.
Dalam perkembangbiakan secara vegetatif ini, apabila anakan sagu
tumbuh berdekatan dengan pohon induk, maka rumpun terbentuk memiliki jumlah
individu yang relatif banyak. Di lapangan ditemukan rumpun sagu spesies
tertentu seperti M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. dapat terdiri dari 15-20
individu. Rumpun sagu dengan jumlah individu sebanyak itu memiliki
kemampuan penguasaan ruang dapat mencapai 10 m 2. Pertumbuhan rhyzome
(percabangan basal) yang memanjang menjauh dari pohon induk, terpisah dari
rumpunnya pada jarak antara 1,5 2,0 m dapat tumbuh dan berkembang
membentuk rumpun sendiri (Gambar 21). Dalam mekansime pembentukan
rumpun ini, percabangan basal tumbuh membesar, setelah mencapai fase sapihan
mulai diikuti dengan terbentuknya tunas. Tunas-tunas ini selanjutnya tumbuh
membesar, secara bersama-sama dengan pohon induk membentuk rumpun baru.

2,5 m

Gambar 21. Percabangan basal yang menjauh dari pohon induk

Percabangan basal akan mengalami pemanjangan, menjauh dari pohon


induk atau rumpun apabila terdapat hambatan dalam pertumbuhannya, atau
84

terdapat kondisi yang tidak memungkinkan untuk segera tumbuh vertikal


membentuk individu baru. Hambatan yang dapat menyebabkan percabangan
basal memanjang jauh dari pohon induk antara lain adalah adanya tumpukan
tangkai daun kering yang jatuh berserakan. Tumpukan ini memunculkan
hambatan sinaran surya yang dapat memacu pergerakan tunas ke arah vertikal
sebagai bagian dari mekansime fototropisme. Dengan kata lain terjadi hambatan
terhadap sinaran surya sehingga pemunculan tunas ke arah vertikal terhambat,
sehingga pada periode tertentu tumbuh secara horizontal, setelah cahaya cukup
kemudian tumbuh secara vertikal. Dalam perkembangan selanjutnya diikuti
dengan pertumbuhan tunas-tunas baru membentuk suatu rumpun lagi.

4.2.4. Sifat morfologi sagu

Sagu (Metroxylon spp.) merupakan jenis tumbuhan palem tropika basah,


apabila diamati secara morfologi memiliki bentuk arsitektur pohon model
Tomlinson. Model arsitektur ini dicirikan oleh adanya beberapa sumbu yang
terbentuk dari percabangan basal, yaitu percabangan yang berkembang dari
munculnya mata tunas di bagian pangkal batang, kemudian memanjang atau
menjalar ke arah samping menyerupai akar (rhyzome) seterusnya membentuk
individu baru (caulomere). Masing-masing kaulomer pada awalnya dihasilkan
dari dasar batang yang semula jumlahnya hanya satu, terus bertambah muncul dari
permukaan tanah (Halle & Oldeman 1975).
Tumbuhan sagu memiliki sistem perakaran yang serupa dengan perakaran
jenis tumbuhan palem pada umumnya yaitu sistem akar serabut. Akar keluar dari
hampir seluruh permukaan pangkal batang di bawah permukaan tanah, bahkan
sampai beberapa sentimeter di atas permukaan tanah. Akar keluar secara padat
menyebar memanjang ke arah horizontal dan vertikal. Perakaran tumbuhan sagu
menyebar horizontal sampai radius 3-4 meter dari pangkal batang. Sedangkan
jangkauan jelajah ke dalam tanah dapat lebih dari satu meter, namun akumulasi
perakaran paling banyak terdapat pada kedalaman tanah sekitar 60 cm. Diameter
akar rata-rata sekitar satu centimeter, berwarna coklat muda sampai coklat tua.
Sepanjang akar terdapat bagian menyerupai buku, dengan jarak yang bervariasi
antara 3-5 cm. Ujung akar pada umumnya berwarna putih kekuningan atau
85

kemerahan. Hampir pada seluruh permukaan akar tumbuh bulu-bulu akar dengan
panjang antara 3-5 cm dan diameter 1,5-2,0 mm.
Batang sagu berbentuk bulat, ukuran diameter bervariasi, tergantung
spesies. Spesies M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. memiliki ukuran
diameter batang berkisar antara 55-75 cm, M. longispinum Mart. dan M.
microcanthum Mart. memiliki diameter sekitar 40-55 cm. Sedangkan spesies M.
sagu Rottb. pada umumnya memiliki ukuran diameter sekitar 50-65 cm. Tinggi
batang sagu bebas daun juga bervariasi tergantung spesies. Spesies M. rumphii
Mart. dan M. sylvestre Mart. memiliki ukuran tinggi batang antara 15-20 meter,
M. longispinum Mart. sekitar 10-12 meter, M. microcanthum Mart. 7-10 meter,
dan M. sagu Rottb. berkisar antara 12-15 meter. Susunan penampang batang dari
bagian luar ke dalam terdiri dari kulit luar yang tipis, kulit keras, serat kasar, dan
empulur. Pada sisi bagian luar batang terdapat tanda bekas pelepah daun. Jarak
antara bekas pelepah yang satu dengan yang lain secara vertikal berkisar antara
10-15 cm. Warna empulur bervariasi tergantung jenis sagu mulai dari putih
sampai kemerahan. Spesies M. rumphii Mart. mempunyai empulur berwarna
putih agak kemerahan, M. sylvestre Mart. kemerahan, M. longispinum Mart.
merah muda, M. microcanthum Mart. berwarna merah muda, dan M. sagu Rottb.
berwarna putih. Menurut Haryanto dan Pangloli (1992) dikemukakan bahwa
bahwa berat kulit batang sagu berkisar antara 17-25 % dari berat batang, sisanya
berupa berat empulur sekitar 75-83 % dan perbandingan antara berat kulit batang
dan empulur selama masa pertumbuhan sagu relatif tetap.
Daun tumbuhan sagu terdiri dari pelepah (tangkai daun), anak daun, tulang
daun, dan spesies M. rumphii Mart. terdapat duri (spine) yang menempel pada
hampir seluruh bagian pangkal pelepah. Duri-duri tersebut juga terdapat pada
bagian belakang tangkai daun. Duri juga terdapat pada sisi pinggir anak daun
berupa duri-duri halus. Pangkal pelepah daun sagu menempel mengitari batang.
Di sepanjang tangkai daun tumbuh anak daun menyirip berhadapan atau agak
berhadapan. Jarak tata letak anak daun pada tangkainya berkisar antara 5-10 cm.
Pelapah atau tangkai daun berjumlah antara 12-16 tangkai dan memiliki ukuran
panjang sekitar 5-7 m. Pada spesies M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart.
ukuran tangkai daun dapat mencapai delapan meter bahkan lebih. Setiap tangkai
86

daun dewasa terdapat sekitar 50-80 pasang anak daun. Anak daun memiliki
ukuran panjang antara 100-180 cm, dan lebar 10-15 cm. Flach (1983)
mengemukakan bahwa tanaman sagu memiliki tangkai mencapai 18 tangkai
dengan ukuran antara 5-7 m. Setiap bulan terbentuk satu tangkai daun, dan umur
rata-rata tangkai daun diperkirakan sekitar 12-18 bulan. Tangkai daun berwarna
hijau muda, kemudian berubah warna menjadi hijau kekuningan dan selanjutnya
tangkai dan anak-anak daun menguning, mengering dan gugur. Daun sagu yang
masih muda pada umumnya berwarna hijau muda, kadang-kadang berwarna hijau
keunguan. Dengan bertambah umur secara berangsur-angsur berubah warna
menjadi hijau tua, kuning, dan coklat apabila telah mengering.
Tumbuhan sagu diperkirakan mulai berbunga pada umur sekitar 10-12
tahun, diikuti dengan pembentukan buah. Masa pembungaan diawali dengan
munculnya tanda-tanda seperti tangkai daun dan anak-anak daun memendek,
ukuran lebar menyempit dan pelepah tangkai daun menunjukkan perubahan warna
menjadi hijau kekuningan. Tomlinson (1990 dalam Flach 1997) melakukan
deskripsi pembungaan Metroxylon spp. dilaporkan bahwa palem ini melengkapi
proses pertumbuhan dengan membentuk pembungaan, merupakan indikasi akan
berakhirnya masa pertumbuhan yang diakhiri dengan kematian.
Bunga sagu merupakan bunga majemuk yang keluar dari ujung atau
pucuk batang, berwarna merah kecoklatan. Bunga bercabang banyak seperti
tanduk rusa yang terdiri dari cabang primer, sekunder, dan tersier. Pada cabang
tersier terdapat sepasang bunga jantan dan bunga betina. Diduga penyerbukan
tumbuhan sagu berlangsung secara silang (Flach 1977 dalam Haryanto dan
Pangloli 1992). Buah sagu berbentuk bulat menyerupai buah salak. Kulit buah
berupa sisik yang tersusun secara diagonal. Di dalam buah terdapat biji yang
sifatnya fertil. Dikemukakan juga bahwa waktu antara bunga mulai muncul
sampai fase pembentukan buah, berlangsung sekitar dua tahun.

4.2.5. Preferensi habitat dan adaptasi tumbuhan sagu

Secara umum tipe habitat sagu dapat dipisahkan menjadi dua kategori
yaitu 1) tipe habitat lahan kering dan 2) tipe habitat lahan tergenang, berupa rawa-
rawa yang tergenang secara temporer maupun permanen. Tipe habitat kedua atas
87

dasar karakteristiknya dapat dipisahkan lebih lanjut menjadi beberapa tipe habitat
yaitu : 1) tipe habitat tergenang air payau yaitu tipe habitat yang dicirikan oleh
adanya pasang-surut sehingga genangannya bersifat temporer, merupakan habitat
yang berdekatan atau berbatasan dengan vegetasi nipah (mangrove). Pada
umumnya terdapat di bagian belakang nipah, dari bagian pesisir ke arah daratan.
Tumbuhan sagu pada tipe habitat ini biasanya mengalami perendaman atau
tergenang apabila terjadi air pasang, dan kondisi habitatnya mengering jika terjadi
air surut, 2) tipe habitat tergenang sementara oleh air hujan yaitu tipe habitat
dimana genangannya sangat ditentukan oleh ada-tidaknya hujan. Apabila terjadi
hujan habitat sagu mengalami genangan selama beberapa waktu, pada umumnya
sekitar satu sampai dua minggu atau paling lama satu bulan. Apabila tidak terjadi
hujan maka kondisi habitatnya mengering, 3) tipe habitat tergenang permanen,
yaitu tipe habitat sagu yang mengalami genangan pada periode waktu relatif
cukup lama, biasanya lebih dari satu bulan. Air genangan bisa berasal dari air
hujan atau air sungai, dan 4) tipe habitat lahan kering, artinya kondisi habitat sagu
tidak pernah mengalami genangan air, apakah dari air hujan, sungai atau air laut.
Kondisi lahan pada tipe habitat ini pada umumnya kemiringan lahan agak datar,
sehingga tidak memungkinkan air sungai, air laut ataupun air hujan yang jatuh
tidak menyebabkan genangan tetapi mengalami run off masuk ke sungai atau
kolam yang dapat menampung sejumlah air, seringkali masuk ke tipe habitat
tergenang tidak permanen air tawar atau ke tipe habitat permanen (Lampiran 8).
Di dalam wilayah P. Seram terdapat lima spesies sagu yaitu : 1) M.
rumphii Mart., 2) M. sylvestre Mart., 3) M. longispinum Mart., 4) M.
microcanthum Mart., dan 5) M. sagu Rottb. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tidak semua spesies sagu dapat tumbuh pada setiap tipe habitat. Dari lima spesies
tumbuhan sagu yang tumbuh dan berkembang dalam wilayah P. Seram, hanya
tiga spesies sagu yang ditemukan tumbuh pada semua tipe habitat yaitu M.
rumphii Mart., M. sylvestre Mart. dan M. longispinum Mart. (Tabel 16). Dua
spesies tumbuhan sagu yang lain yakni M. microcanthum Mart. dan M. sagu
Rottb. ditemukan pada tipe habitat terbatas. Spesies M. microcanthum Mart.
hanya ditemukan tumbuh pada tipe habitat lahan kering (TTG), sedangkan spesies
M. sagu Rottb. hanya ditemukan pada dua tipe habitat yaitu tergenang temporer
88

air tawar (T2AT) dan tergenang permanen (TPN). Hal ini menunjukkan bahwa
tiga spesies tumbuhan sagu yang disebutkan pada bagian awal memiliki
kemampuan untuk berinteraksi dengan berbagai tipe habitat, sedangan dua spesies
yang lain memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan tipe habitat yang
relatif terbatas.

Tabel 16. Populasi rumpun dan fase pertumbuhan sagu pada tipe habitat berbeda
di P. Seram, Maluku tahun 2009
Tipe Habitat
Spesies Rataan
No TTG T2AT T2AP TPN
sagu
ind/ha % ind/ha % ind/ha % ind/ha % ind/ha %
Populasi rumpun
1. M. rumphii 103,26 58,9 124,33 50,1 62,08 64,2 61,20 37,3 87,72 52.6
2. M. longisp. 28,37 15,8 26,01 10,5 20,00 20,7 36,04 22,0 27,60 17.2
3. M.sylvestre 37,95 22,9 85,10 34,3 14,58 15,1 11,58 7,1 37,30 19.8
4. M. microc. 4,27 2,5 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 1,07 0.6
5. M. sagu 0,00 0,0 12,50 5,0 0,00 0,0 55,19 33,7 16,92 9.7
Jumlah 173.85 100,0 247,94 100,0 96,67 100,0 164,0 100,0 170,6 100,0
Populasi semai
1. M. rumphii 186,35 54,00 195,56 46,9 159,38 65,6 90,69 34,3 158,0 50.2
2. M. longisp. 53,4 15,5 49,74 11,9 40,00 16,5 77,24 29,2 55,1 18.3
3. M.sylvestre 96,46 27,9 157,71 37,8 43,75 18,0 41,24 15,6 84,79 24.8
4. M. microc. 9,06 2,6 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 2,27 0.7
5. M. sagu 0,00 0,0 13,89 3,3 0,00 0,0 55,63 21,0 17,38 6.1
Jumlah 345.28 100,0 416,90 100,0 162,08 100,0 264,8 100,0 317,5 100,0
Populasi sapihan
1. M. rumphii 25,97 57,0 25,64 45,1 24,38 73,6 16,77 27,6 23,19 50.8
2. M. longisp. 6,46 14,2 7,68 13,5 7,50 22,6 17,48 28,8 9,78 19.8
3. M.sylvestre 11,01 24,2 18,88 33,2 1,25 3,8 3,30 5,4 8,61 16.7
4. M. microc. 2,12 4,7 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 0,53 1.2
5. M. sagu 0,00 0,0 4,63 8,2 0,00 0,0 23,16 38,2 6,95 11.6
Jumlah 45.56 100,0 56,83 100,0 33,13 100,0 60,71 100,0 49,06 100,0
Populasi tiang
1. M. rumphii 10,66 58,8 11,04 47,4 2,50 60,0 8,50 33,8 8,17 50.0
2. M. longisp. 1,11 6,1 3,57 15,3 1,67 40,0 8,06 32,1 3,60 23.4
3. M.sylvestre 5,80 32,0 6,39 27,4 0,00 0,0 0,00 0,00 3,05 14.9
4. M. microc. 0,56 3,1 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,00 0,14 0.8
5. M. sagu 0,00 0,0 2,31 9,9 0,00 0,0 8,55 34,0 2,72 11.0
Jumlah 18.13 99,9 23,32 99,9 4,17 99,9 25,11 99,9 17,68 99,9
Populasi pohon
1. M. rumphii 57,36 55,7 41,55 43,0 15,00 72,0 24,95 26,6 34,71 49.3
2. M. longisp. 12,95 12,6 14,73 15,3 5,83 28,0 22,84 25,3 14,09 20.3
3. M.sylvestre 29,10 28,2 33,38 34,6 0,00 0,0 4,92 6,9 16,85 17.4
4. M. microc. 3,65 3,5 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 0,91 0.9
5. M. sagu 0,00 0,0 6,94 7,2 0,00 0,0 29,44 41,3 9,1 12.1
Jumlah 103,06 100,0 96,60 100,0 20,83 100,0 82,14 100,0 75,66 100,0
89

lanjutan
Populasi pohon masak panen
1. M. rumphii 8,65 50,4 8,09 32,6 0,83 33,3 7,3 26,2 6,22 35.6
2. M. longisp. 5,42 28,1 6,62 26,7 1,67 66,7 9,73 34,9 5,86 39.1
3. M.sylvestre 3,89 21,5 7,48 30,1 0,00 0,0 0,00 0,0 2,84 12.9
4. M. microc. 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0.0
5. M. sagu 0,00 0,0 2,63 10,6 0,00 0,0 10,82 38,9 3,36 12.4
Jumlah 17,95 100,0 24,82 100,0 2,50 100,0 27,85 100,0 18,28 100,0
Populasi pohon veteran
1. M. rumphii 1,63 30,1 0,44 6,9 0,00 0,0 4,44 24,3 1,63 15.3
2. M. longisp. 3,23 59,6 2,83 44,7 0,50 100 8,46 46,2 3,76 62.6
3. M.sylvestre 0,56 10,3 0,44 6,9 0,00 0,0 0,76 4,1 0,44 5.3
4. M. microc. 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0.0
5. M. sagu 0,00 0,0 2,63 41,5 0,00 0,0 4,65 25,4 1,82 16.7
Jumlah 5,42 100,0 6,34 100,0 0,50 100,0 18,32 100,0 7,64 100,0
Keterangan : M. longisp = M. longispinum, M. micrc = M. microcanthum, ind = individu, ha = hektar, TTG = lahan
kering, T2AT = tergenang temporer air tawar, T2AP = tergenang temporer air payau, TPN = tergenang
permanen. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III
Werinama SBT, tahun 2009.

Dalam kaitan dengan habitat tergenang, Levitt (1980) mengemukakan


bahwa penggenangan dapat memunculkan tiga macam cekaman secara berurutan
yaitu : 1) cekaman tekanan turgor sebagai akibat potensi air meningkat, 2)
cekaman defisit oksigen, dan 3) cekaman ionik oleh unsur mangan (Mn 2+) dan
besi (Fe2+). Jika terjadi penggenangan, mula-mula memunculkan cekaman air
yakni peningkatan cekaman turgor, diikuti dengan cekaman sekunder berupa
kekurangan oksigen dalam air, implikasi berikut adalah terjadi cekaman ionik.
Ketika oksigen di dalam air berkurang, maka potensial oksidasi-reduksi menurun,
implikasi selanjutnya adalah terjadi akumulasi Mn 2+ dan Fe2+ yang bersifat
meracun (toxic). Tumbuh-tumbuhan pada kondisi cekaman karena genangan,
maka akan menciptakan resistensi (katahanan) melalui penghindaran (avoidance)
dan toleransi (tolerance). Penghindaran terhadap cekaman defisit oksigen terjadi
melalui pembesaran ruang antar sel (intercellular space) misalnya dengan
meningkatkan volume perakaran yang dapat mencapai 70 %. Sedangkan toleransi
terhadap cekaman berlangsung melalui penghindaran terhadap akumulasi senyawa
yang bersifat toxic atau toleransi terhadap akumulasi senyawa itu. Skema adaptasi
tumbuhan pada kondisi tergenang yang menyebabkan cekaman terhadap defisit
oksigen tersaji pada gambar berikut (Gambar 22).
Apabila interaksi tumbuhan sagu dengan tipe habitat ini dijadikan ukuran
atau acuan untuk menjelaskan kemampuan adaptasi tumbuhan sagu terhadap tipe
90

habitatnya, tampak bahwa kemampuan adaptasi diantara spesies sagu dengan tipe
habitat relatif berbeda. M. rumphii Mart. secara keseluruhan mempunyai
kemampuan adaptasi yang kuat pada semua tipe habitat, yang ditunjukkan melalui
jumlah rumpun dan jumlah populasi semua fase pertumbuhan yang lebih tinggi
dibandingkan spesies sagu lain.

Ketahanan defisit oksigen

Penghindaran cekaman Toleransi cekaman

Perbanyak akar, menambah ruang Penghindaran terhadap Toleransi terhadap


antar sel, meningkatkan transport akumulasi senyawa akumulasi senyawa
gas dari tajuk beracun beracun

Gambar 22. Diagram ketahanan tumbuhan terhadap kondisi defisit oksigen


(Levitt 1980)

Selain spesies M. rumphii Mart., dua spesies sagu yang juga mempunyai
kemampuan adaptasi yang kuat dengan tipe habitatnya adalah spesies M. sylvestre
Mart. dan M. longispinum Mart. Spesies M. sylvestre Mart. mempunyai
kemampuan adaptasi yang kuat pada tipe habitat lahan kering (TTG) dan
tergenang temporer air tawar (T2AT), yang ditunjukkan oleh jumlah populasi
rumpun dan fase pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan spesies M.
longispinum Mart. Sedangkan pada tipe habitat tergenang temporer air payau
(T2AP) dan tergenang permanen (TPN) populasi spesies M. sylvestre Mart. tidak
lebih tinggi daripada M. microcanthum Mart. Dengan kata lain pada dua tipe
habitat yang disebut terakhir ini, spesies M. longispinum Mart. mempunyai
kemampuan adaptasi yang lebih baik dibandingkan dengan spesies M. sylvestre
Mart. Spesies M. sagu Rottb. hanya ditemukan tumbuh pada tipe habitat T2AT
dan TPN. Hal ini menunjukkan bahwa spesies tumbuhan sagu ini memiliki daya
adaptasi yang cukup baik pada kondisi habitat tergenang, tetapi tidak pada air
payau karena pada tipe habitat tergenang tidak permanen air payau spesies sagu
ini tidak ditemukan. Fakta ini memberikan petunjuk bahwa spesies M.
91

microcanthum Mart. memiliki daya adaptasi yang sangat terbatas atau sempit
terhadap berbagai tipe habitat.
Berdasarkan jumlah populasi tumbuhan sagu, tampak bahwa spesies sagu
yang memiliki daya adaptasi yang tinggi sampai sempit terhadap berbagai kondisi
habitat secara berurutan sebagai berikut M. rumphii Mart. > M. longispinum
Mart. > M. sylvestre Mart. > M. sagu Rottb. > M. microcanthum Mart. Dalam
hubungan ini, maka spesies M. rumphii Mart. dapat dikategorikan sebagai spesies
sagu yang memiliki tingkat toleransi yang luas/lebar (eury tolerance) terhadap
kondisi habitatnya. spesies tumbuhan sagu M. Longispinum Mart., M. Sylvestre
Mart., dan M. sagu Rottb. dikategorikan sebagai jenis sagu dengan tingkat
toleransi sedang (meso tolerance). Sedangkan spesies M. microcanthum Mart.
dikategorikan sebagai spesis sagu yang memiliki tingkat toleransi sempit (steno
tolerance). Indikator untuk menjelaskan lebar atau sempitnya tingkat toleransi
masing-masing jenis ini didasarkan pada ada/atau tidak-adanya suatu spesies pada
setiap habitat dan banyak atau sedikitnya jumlah populasi pada masing-masing
habitat.
Dalam kaitan itu maka dapat dikemukakan bahwa spesies M. rumphii
merupakan spesies tumbuhan sagu yang memiliki kemampuan pertumbuhan dan
daya adaptasi yang tinggi terhadap berbagai tipe habitat. Spesies M. sylvestre
Mart., M. longispinum Mart., dan M. sagu Rottb. merupakan spesies sagu yang
dapat dikategorikan sebagai spesies yang memiliki kemampuan tumbuh tinggi
tetapi daya adaptasi yang terbatas. Sedangkan spesies M. microcanthum Mart.
merupakan spesies tumbuhan sagu yang memiliki kemampuan pertumbuhan dan
daya adaptasi yang lebih terbatas lagi.
Apabila tipe habitat ini diurutkan ke dalam tingkat marjinalisasi habitat,
terkait dengan jumlah populasi rumpun masing-masing spesies sagu pada setiap
tipe habitat, maka akan didapatkan urutan marjinalisasi habitat sebagai berikut :
tergenang temporer air payau (T2AP) > tergenang permanen (TPN) > lahan
kering (TTG) > tergenang temporen air tawar (T2AT). Artinya tipe habitat
tergenang temporer air payau (T2AP) memiliki tingkat marjinal yang lebih tinggi
dibandingkan dengan tingkat marjinal tipe habitat tergenang permanen (TPN), dan
tipe habitat ini lebih marjinal dibandingkan dengan tipe habitat lahan kering
92

(TTG). Kondisi habitat yang sangat rendah tingkat marjinalnya adalah tipe habitat
tergenang temporer air tawar (T2AT). Ukuran untuk menjelaskan tinggi atau
rendahnya tingkat marjinalisasi ini didasarkan pada banyak atau sedikitnya jumlah
populasi rumpun sagu yang tumbuh pada setiap tipe habitat. Pada tipe habitat
tergenang temporer air payau, jumlah populasi rumpun sagu hanya mencapai
96,67 ind/ha, tipe habitat tergenang permanen 164,02 ind/ha, tipe habitat lahan
kering 173,85 ind/ha, sedangkan tipe habitat tergenang temporer air tawar jumlah
populasinya mencapai 247,94 ind/ha. Diagram ringkasan adaptasi sagu pada
berbagai tipe habitat disajikan pada Gambar 23.

Habitat

TTG T2AT T2AP TPN

M. rumphii M. rumphii M. rumphii M. rumphii

M. Sylvestre M. Sylvestre M. Sylvestre M. Sylvestre

M. M. M. M.
longispinum longispinum longispinum longispinum
akanaro o
M.
microcanthum

M. sagu M. sagu

Keterangan : TTG = lahan kering; T2AT = tergenang temporer air tawar; T2AP = tergenang temporer air
payau; TPN = tergenang permanen; secara horizontal tidak terdapat jenis yang sama.

Gambar 23. Diagram ringkasan adaptasi spesies sagu pada berbagai tipe habitat

4.2.6. Mekanisme adaptasi sagu

Sebagian besar tumbuhan sagu tumbuh pada lahan yang terendam, baik
sifatnya temporer maupun permanen. Pada kondisi habitat yang senantiasa
tergenang tersebut memungkinkan kondisi tanah menjadi masam dan miskin
oksigen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pH tanah di areal lahan sagu
93

berkisar antara 4,47 5,63 (pH H2O), dan berpotensi turun lebih rendah lagi
mencapai 4,13 (pH KCl). pH masam pada umumnya bersifat melisis suatu zat
sehingga dapat merusak didinding sel. Tanah-tanah masam dengan kandungan
logam tinggi seperti Fe dan Al dapat berpengaruh buruk terhadap kehidupan
tumbuhan. Syekhfani (1997) mengemukakan logam memiliki kemampuan untuk
melisis air sehingga pH tanah dapat semakin masam. Pada saat pH dalam kondisi
masam Fe dan Al akan larut sehingga konsentrasinya meningkat. Konsentrasi Fe
dan Al yang tinggi dapat meracun perakaran, walaupun Fe merupakan unsur hara
esensial, namun termasuk dalam kategori unsur hara mikro, sehingga
kelebihannya tidak menguntungkan bagi perakaran.
Separoh atau sebagian besar habitat tumbuhan sagu adalah berupa rawa-
rawa yaitu berupa tipe habitat tergenang, baik temporer atau permanen. Pada
kondisi habitat seperti itu biasanya sistem perakaran sagu mengalami modifikasi
bentuk untuk dapat beradaptasi dengan kondisi habitat tereduksi. Kondisi habitat
tergenang atau berupa rawa-rawa, identik dengan kondisi tereduksi. Artinya
keadaan dimana terjadi keterbatasan oksigen di dalam tanah karena oksigen atau
udara terdesak oleh partikel air (H2O). Pada sisi yang lain untuk menjamin
pertumbuhan diperlukan oksigen untuk proses respirasi akar.
Dalam kaitan dengan kondisi yang tereduksi ini, maka sistem perakaran
tumbuhan sagu mengalami modifikasi bentuk dan arah. Biasanya pergerakan
akar senantiasa tumbuh ke samping secara horizontal dan vertikal ke lapisan tanah
bagian dalam. Namun ketika kondisi tanah tergenang air, maka terdapat sebagian
arah pertumbuhan akar sagu berbalik ke atmosfer keluar menembus permukaan
air sehingga terjadi kontak langsung dengan udara bebas. Disamping itu jumlah
atau volume akar rambut meningkat sehingga luas permukaan kontak bertambah
besar. Mekanisme adaptasi sistem perakaran sagu seperti inilah yang ditemukan
terjadi untuk memenuhi penyerapan aksigen melalui perluasan kontak permukaan
akar dengan udara luar, sehingga kebutuhan oksigen sagu dapat terpenuhi selama
terjadi genangan (Gambar 24).
94

Gambar 24. Modifikasi pertumbuhan akar sagu pada kondisi tergenang

Modifikasi sistem perakaran ke arah permukaan air, atau melewati tinggi


genangan ini, diduga agar supaya penyerapan oksigen oleh perakaran tumbuhan
sagu dapat berlangsung dengan baik, yang dimaksudkan untuk dapat memenuhi
kebutuhan oksigen. Mekanisme pergerakan ini selanjutnya disebut sebagai
oxytropisme, yaitu pergerakan akar sagu menuju tempat yang cukup tersedia
oksigen. Menurut Levitt (1980) dikemukakan bahwa lahan yang tergenang dalam
tempo cukup lama memunculkan cekaman. Kondisi cekaman tidak
menguntungkan bagi banyak jenis tumbuhan. Beberapa tumbuhan dalam
menghadapi kondisi cekaman, secara alamiah terjadi pembentukan organ dalam
jumlah banyak seperti rhyzome dan memperbanyak jumlah akar. Mekanisme
inilah yang terjadi pada tumbuhan sagu untuk mempertahankan kehidupan pada
kondisi tergenang. Daubenmire (1974) mengemukakan pula bahwa banyak
tumbuhan untuk dapat beradaptasi dengan kondisi lahan yang memiliki aerase
jelek, terjadi melalui dua mekanisme adaptasi yaitu : 1) melalui adaptasi
morfologi seperti membentuk sistem perakaran dangkal, membentuk jaringan
aerase khusus atau organ aerase tertentu, misalnya membentuk sistem ruang udara
interseluler yang menghubungkan stomata dengan sistem parakaran, yang disebut
95

pneumatophora, dan 2) melalui adaptasi fisiologi seperti pemenuhan kebutuhan


oksigen rendah dan kemampuan respirasi anaerobik secara spesifik.

4.2.7. Karakteristik habitat sagu di P. Seram

a. Karakteristik iklim

Intensitas sinaran surya

Hasil penelitian intensitas sinaran surya dalam areal pertumbuhan sagu


pada tiga wilayah sampel di P. Seram menunjukkan bahwa hanya sebagian dari
intensitas sinaran surya yang masuk sampai ke lantai rumpun sagu. Dari jumlah
intensitas sinaran surya yang mencapai 2000 lux (lumen/m 2) yang diukur pada
ruang terbuka, hanya sekitar 29,69 % yang sampai ke bagian bawah rumpun
tumbuhan sagu (Tabel 17). Jumlah intensitas sinaran surya yang sampai di bagian
bawah rumpun sagu di antara rumpun mencapai 46,97 %, sedangkan intensitas
yang sampai di bagian bawah dekat pohon hanya mencapai 12,40 %. Hal ini
berarti bahwa lebih dari 50 % intensitas sinaran surya tidak dapat masuk ke
bagian bawah rumpun atau tegakan tumbuhan sagu. Rata-rata jumlah intensitas
sinaran surya yang terukur di dekat rumpun tumbuhan sagu sekitar 206,53 lux, di
antara rumpun sagu yang satu dengan yang lain sekitar 781,48 lux. Sedangkan
intensitas sinaran surya rata-rata yang terukur pada ruang terbuka mencapai
1675,29 lux (Lampiran 9).
Rendahnya intensitas sinaran surya yang masuk ke bagian bawah rumpun
atau tegakan pohon tumbuhan sagu dikarenakan adanya hambatan dari tajuk.
tajuk terbentuk dari tangkai dan anak-anak daun yang tumbuh merapat. Selain itu
pada suatu rumpun terdiri dari beberapa individu. Individu dimaksud meliputi
beberapa fase berupa pohon, tiang, sapihan, dan semai. Walaupun tidak semua
rumpun ditemukan stadia pertumbuhan yang lengkap, namun pada setiap rumpun
bisa terdapat lebih dari 10 individu tumbuhan sagu. Setiap individu tumbuhan
sagu dapat memiliki 8-14 tangkai daun dengan anak daun dapat mencapai 150
helai.
96

Tabel 17. Intensitas sinaran surya rata-rata harian di bawah tegakan tumbuhan
sagu di P. Seram, Maluku
Wilayah Sampel Lokasi Pengamatan
Rg Terbuka
Bwh Tgkn Antara Tgkn Rataan
WS I Luhu-SBB lux (lumen/m2)
April 250,38 882,91 566,64 1779,56
Mei 233,10 803,45 518,28 1676,85
Juni 225,78 789,58 507,68 1641,30
Juli 204,06 793,24 498,65 1542,22
Rataan 228,33 817,30 522,81 1659,98
WS II Sawai-MT
April 186,70 837,48 512,09 1872,89
Mei 206,91 825,95 516,43 1781,93
Juni 199,34 796,05 497,69 1788,26
Juli 181,24 796,23 488,74 1644,47
Rataan 193,55 813,93 503,74 1771,89
WS III Werinama-SBT
April 252,68 960,28 606,48 2019,48
Mei 246,39 749,79 498,09 1852,71
Juni 182,48 762,36 472,42 1653,03
Juli 109,34 380,47 244,91 850,80
Rataan 197,72 713,22 455,47 1594,00
Rataan umum 177,07 670,56 423,82 1427,56
Persen thdp Rtb 12,40 % 46,97 % 29,69 %
Keterangan : WS = wilayah sampel, Bwh Tgkn = bawah tegakan, Rg = ruang, Rtb = ruang terbuka. Data
yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III
Werinama SBT, tahun 2009.

Temperatur udara

Hasil penelitian menunjukkan bahwa temperatur udara rata-rata di bawah


tegakan sagu P. Seram Maluku selama periode waktu pengamatan antara bulan
April sampai Juli 2009 berkisar antara 22,69 23,940C (Tabel 18). Fakta ini
menunjukkan bahwa fluktuasi temperatur udara di bawah tegakan sagu relatif
sempit, lebih rendah dibandingkan dengan temperatur di lahan terbuka.
Berdasarkan data yang diperoleh dari dua stasiun Klimatologi yang terdapat di P.
Seram menunjukkan bahwa temperatur udara rata-rata berkisar antara 24,67
26,31oC (Lampiran 10).
97

Tabel 18. Temperatur rata-rata harian di bawah tegakan tumbuhan sagu di P.


Seram, Maluku
Periode Pengamatan
Wilayah Sampel
April Mei Juni Juli
0
WS I Luhu-SBB Temperatur ( C)
MG 1 23,13 23,38 23.47 23.94
MG 2 23,56 23,25 23.00 23.63
MG 3 23,50 23,38 23.25 22.94
MG 4 23,44 23,31 23.44 23.25
Rataan 23,41 23,33 23.29 23.44
WS II Sawai-MT
MG 1 23,50 23,88 23.38 23.75
MG 2 23,56 23,44 23.13 23.38
MG 3 23,50 23,38 23.25 22.94
MG 4 23,38 23,31 23.44 23.25
Rataan 23,48 23,50 23.30 23.33
WS III Werinama-SBT
MG 1 23,69 23,13 23.44 22.88
MG 2 23,75 23,63 23.25 23.00
MG 3 23,88 23,94 23.63 22.69
MG 4 23,50 23,38 23.00 23.13
Rataan 23,70 23,52 23.33 22.92
Keterangan : WS = wilayah sampel, MG = minggu. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil.
Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009.

Kondisi temperatur ini hampir mirip dengan hasil penelitian Matanubun et


al. (2005) yang dilakukan pada areal pertumbuhan sagu di Papua. Rendahnya
temparatur udara di bawah tegakan tumbuhan sagu dikarenakan permukaan tanah
sebagian besar (sekitar 55 %) turtutup oleh bagian tajuk tumbuhan sagu, sehingga
menghambat penetrasi sinaran surya sebagai sumber energi yang dapat
memberikan efek panas. Implikasi dari rendahnya sinaran surya yang masuk ini
menyebabkan temperatur udara di sekitar tajuk atau rumpun tumbuhan sagu lebih
rendah daripada di ruang terbuka.
Perubahan temperatur udara di sekitar tumbuhan sagu senantiasa
mengikuti perubahan (fluktuasi) kondisi temperatur lokal (Gambar 25). Kondisi
temperatur lokal rata-rata pada bulan April sekitar 26,15oC, kondisi ini selama
tiga bulan ke depan bergerak turun sampai mencapai 24,67oC pada bulan Juli.
Dengan kata lain temperatur lokal sejak bulan April sampai Juli terjadi penurunan
temperatur udara sekitar 1,5oC. Pergerakan ini mengikuti pola perubahan musim.
98

dimana pada bulan April termasuk musim kemarau dan sampai dengan bulan Juli
sudah masuk ke musim hujan.

28

27
Temperatur udara (oC)

26

25

24

23

22
April Mei Juni Juli
Periode Waktu

Amahai Kairatu Rataan T-mikro

Keterangan : Data primer dan sekunder diolah

Gambar 25. Kondisi temperatur udara di P. Seram, Maluku

Curah hujan

Berdasarkan data curah hujan rata-rata bulanan yang diperoleh dari dua
stasiun klimatologi di P. Seram yaitu stasiun klimatologi Amahai Kabupaten
Maluku Tengah dan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat, menunjukkan
bahwa tumbuhan sagu di P. Seram Maluku banyak ditemukan tumbuh pada
kondisi curah hujan rata-rata bulanan berkisar antara 139,37 mm pada bulan
Januari sampai 491,36 mm pada bulan Juni, puncak hujan berlangsung pada bulan
Juni-Juli (Gambar 26 dan Lampiran 11). Dengan kata lain bahwa curah hujan
tahunan berkisar antara 1.672,44 mm 5.896,32 mm/tahun (rata-rata 3.031,82
mm/tahun), termasuk dalam kategori tipe hujan A dan B berdasarkan klasifikasi
menurut Schmidt and Ferguson (BPKH Wil. IX Ambon 2006). Jumlah curah
hujan ini baik bagi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan sagu. Flach (1997)
mengemukakan bahwa tumbuhan sagu tumbuh baik pada kondisi curah hujan
99

>2000 mm/tahun. Hasil penelitian Matanubun et al. (2005) yang dilakukan di


Provinsi Papua menunjukkan bahwa tumbuhan sagu banyak ditemukan tumbuh
pada tipe iklim B1 dengan curah hujan rata-rata 2.118 mm/tahun. Harsanto
(1992) mengemukakan bahwa jumlah curah hujan sekitar 2.000 - 4.000 mm/tahun
menguntungkan bagi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan sagu.

550
Jumlah Curah Hujan Bulanan (mm)

500
450
400
350
300
250
200
150
100
50
Jan Feb Mart April Mei Juni Juli Agt Sept Okt Nop Des
Periode Waktu
Kairatu Amahai Rataan

Keterangan : Data primer dan sekunder diolah

Gambar 26. Curah hujan rata-rata harian di P. Seram, Maluku

Kelembaban Udara

Hasil penelitian kelembaban udara relatif di bawah tegakan tumbuhan


sagu P. Seram Provinsi Maluku menunjukkan bahwa jumlah kandungan uap air
yang terdapat di bawah tegakan tumbuhan sagu berkisar antara 87,97 91,60 %.
(Tabel 19 dan Lampiran 12). Hal ini berarti bahwa kandungan uap air di bawah
tegakan tumbuhan sagu cukup besar. Apabila dibandingkan kondisi kelembaban
udara lokal, tampak bahwa perubahan kondisi kelembaban udara mikro sepadan
dengan perubahan kondisi kelembaban lokal. Pada bulan April rata-rata
kelembaban udara relatif lokal sebesar 86,70 %, kemudian cenderung bergerak
naik sampai mencapai 91,13 % pada bulan Juli (Gambar 27). Perubahan kondisi
100

kelembaban ini sejalan dengan peningkatan jumlah curah hujan yang mulai
meningkat sejak bulan April, terus bergerak naik sampai mencapai puncaknya
sekitar bulan Juni dan Juli, dengan rata-rata jumlah curah hujan berkisar antara
477,24 mm 491,36 mm.

Tabel 19. Kelembaban udara relatif rata-rata harian di bawah tegakan tumbuhan
sagu P. Seram, Maluku
Periode Pengamatan
Wilayah Sampel
April Mei Juni Juli
WS I Luhu-SBB Kelembaban relatif (%)
MG 1 87,38 90,38 89,63 92,13
MG 2 88,63 89,50 90,00 90,13
MG 3 87,25 85,88 89,75 92,38
MG 4 86,00 89,25 90,00 89,25
Rataan 87,31 88,75 89,84 90,97
WS II Sawai-MT
MG 1 88,88 91,25 92,50 91,38
MG 2 87,38 91,93 91,25 91,50
MG 3 89,63 90,75 89,25 91,75
MG 4 89,50 89,01 90,88 89,88
Rataan 88,84 90,73 90,97 91,13
WS III Werinama-SBT
MG 1 88,50 90,75 91,75 93,00
MG 2 88,13 90,88 92,00 92,50
MG 3 87,25 90,50 92,00 92,63
MG 4 87,13 89,88 92,00 92,75
Rataan 87,75 90,50 91,94 92,72
Rataan umum 87,97 89,99 90,92 91,60
Keterangan : WS = wilayah sampel, MG = minggu. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel
I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009.

Di bawah tegakan rumpun sagu, tingkat kelembaban udara relatif lebih


tinggi dibandingkan dengan kelembaban relatif lokal, hal ini dimungkinkan
karena pergerakan uap air di bawah tegakan rumpun sagu berjalan lambat karena
ada hambatan tajuk rumpun sagu. sedangkan kelembaban udara relatif lokal
berasal dari data stasiun klimatologi yang dipasang pada ruang terbuka, tanpa ada
hambatan pohon, bangunan atau bentuk hambatan lainnya. Pada ruang terbuka
pergerakan angin biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan di bawah tajuk
vegetasi.
101

Tingkat kelembaban udara relatif di P. Seram ini, baik bagi pertumbuhan


sagu karena berada pada rentang yang sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan
sagu. Flach (1997) mengemukakan bahwa tumbuhan sagu menghendaki kondisi
kelembaban >70 % untuk menjamin pertumbuhannya yang lebih baik. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian Matanubun et al. (2005) yang dilakukan di Papua,
diperoleh kelembaban relatif sebesar 83,34 % pada areal pertumbuhan sagu
dengan tipe iklim B1.

92

91
Kelembaban Udara (%)

90

89

88

87

86

85
April Mei Juni Juli
Periode Waktu
Amahai Kairatu Rataan RH-mikro

Keterangan : Data primer dan sekunder diolah

Gambar 27. Kondisi kelembaban relatif di P. Seram, Maluku

b. Karakteritik tanah habitat sagu

Hasil analisis paramater tanah menunjukkan bahwa tumbuhan sagu di P.


Seram tumbuh dan berkembang pada kondisi lahan dengan pH (H2O) berkisar
antara 4,47 5,63 (Tabel 20). Hal ini menunjukkan bahwa tumbuhan sagu
mampu tumbuh pada kondisi tanah dengan tingkat pH aktual bersifat masam.
Pada kondisi seperti ini tidak banyak tanaman pertanian mampu bertahan hidup
atau dapat tumbuh dengan baik. Apabila kondisi tanahnya makin tereduksi, maka
reaksi tanah akan semakin masam. Fakta ini ditunjukkan oleh pH (KCl) hasil
102

analisis berkisar antara 4,13 4,67 (Lampiran 13). Berdasarkan kisaran nilai pH
(KCl) ini, maka dapat dikatakan bahwa tumbuhan sagu memiliki toleransi yang
kuat terhadap kondisi kemasaman yang rendah. Dengan kata lain dapat
dikemukakan bahwa sagu merupakan jenis tumbuhan palem yang memiliki daya
adaptasi yang kuat terhadap kondisi kemasaman tanah yang dapat mencapai
empat.
Kandungan bahan organik tanah pada berbagai tipe habitat di lahan sagu P.
Seram mencapai 4,81 %, termasuk dalam kategori sedang-tinggi (berdasarkan
kriteria PPT Bogor dalam Hardjowegeno 1992). Tanah yang memiliki kandungan
bahan organik lebih dari satu persen merupakan tanah yang menyerupai kondisi
tanah dalam kawasan hutan. Tanah-tanah hutan biasanya memiliki kandungan
bahan organik lebih dari 3 %, hal ini dikarenakan di dalam kawasan hutan sumber
bahan organik cukup banyak yang berasal dari seresah tumbuhan hutan. Pada
lahan yang ditumbuhi sagu dengan kandungan bahan organik yang relatif tinggi,
dimungkinkan karena lahan tumbuhan sagu pada umumnya terletak di dataran
rendah, lembah-lembah bukit, di bagian kiri-kanan sungai, atau lahan datar
sampai ke arah dekat pesisir pantai. Pada wilayah tersebut bahan organik bisa
berasal dari daerah dataran tinggi yang terangkut air mengikuti run off kemudian
mengendap atau terakumulasi pada lahan-lahan habitat tumbuhan sagu, atau dapat
pula berasal dari vegetasi dalam habitat sagu, termasuk dari tumbuhan sagu itu
sendiri.
Kandungan unsur hara nitrogen di habitat sagu rataan sebesar 0,19 %,
nitrogen paling tinggi ditemukan pada tipe habitat T2AT mencapai 0,26 %.
Rendahnya kandungan nitrogen tanah ini menunjukkan bahwa sumber nitrogen
tanah terbatas. Nitrogen tanah biasanya berasal dari bahan organik yang
mempunyai kandungan protein tinggi, fiksasi atau pengikatan Nitrogen bebas oleh
mikroba tanah, air hujan, atau melalui pemupukan. Rendahnya kandungan
Nitrogen tanah diduga dapat pula dikarenakan Nitrogen anorganik dalam bentuk
ion terabsorpsi atau terserap oleh tumbuhan sagu termasuk vegetasi lainnya yang
berada dalam habitat sagu.
Secara keseluruhan pada semua tipe habitat C/N 20. merupakan rasio
yang termasuk dalam kategori rendah. Rasio C/N yang rendah merupakan
103

petunjuk yang dapat dipergunakan untuk menjelaskan mengenai kecepatan proses


perombakan bahan organik berupa dekomposisi dan mineralisasi unsur hara yang
terikat secara kimia dalam bentuk senyawa kompleks dalam tubuh organisme.
Rasio C/N yang kurang atau sama dengan 20 %, merupakan petunjuk bahwa
perombakan berlangsung cepat, dan sebaliknya apabila rasio C/N melebihi 20 %,
kecepatan perombakan bahan organik akan berlangsung lambat. Jika perombakan
berlangsung lambat, maka pelepasan (release) unsur hara terutama Nitrogen akan
mengalami keterlambatan pula.
Pada umumnya Kapasistas Tukar Kation tanah > 14 cmol/kg, pada tipe
habitat tergenang permanen dapat mencapai 26,69 cmol/kg. Hal ini menunjukkan
bahwa kondisi lahan sagu cukup subur, artinya unsur hara yang berada di dalam
tanah dalam kondisi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tumbuhan. Kondisi
KTK yang tinggi ini merupakan petunjuk pula bahwa tanah lahan sagu di P.
Seram memiliki penyanggah (buffer) terhadap unsur hara. Tanah-tanah yang
memiliki KTK tinggi terhindar dari pencucian unsur hara (leaching), sehingga
unsur hara senantiasa tetap berada dalam jangkauan perakaran tumbuhan.
Hardjowigeno (1992) mengemukakan bahwa KTK merupakan sifat kimia tanah
yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah dengan KTK
tinggi mampu menyerap dan menyediakan unsur hara lebih baik daripada tanah
dengan KTK rendah, karena unsur-unsur hara terdapat dalam kompleks jerapan
koloid, maka unsur-unsur hara tersebut tidak mudah hilang tercuci oleh air.
Kandungan kalium, kalsium, dan magnesium tanah rata-rata secara
berurutan K 0,72 %, Ca 0,34 %, dan Mg 0,46 %, termasuk kategori sangat tinggi
menurut kriteria BPT Bogor (2005). Ketiga unsur hara tersebut di dalam tanah
merupakan kation basa, artinya dapat memberikan akses basa dalam
meningkatkan pH tanah. Tingginya kation-kation basa ini dapat dikarenakan oleh
pengaruh bahan induk tanah yang sebagian berasal dari bahan coral dan
limestone. Dalam kaitan dengan sifat kation basa tersebut, Syekhfani (1997)
mengemukakan bahwa di antara ion-ion basa K, Ca, dan Mg terdapat sifat
antagonistik dalam hal serapan oleh tumbuhan. Bila salah satu unsur lebih
104

Tabel 20. Sifat kimia tanah lahan sagu di P. Seram, Maluku


C/N
Tipe Kedalaman pH (1:5) C-Org1) N-Total2) KTK3) P K Ca Mg Fe Al
Rasio
Habitat (cm)
H2O KCl % % - Cmol(+) /kg Total (NHO3 + HClO4) (%)
TTG 0-30 5,6 4,7 2,62 0,20 12,50 14,32 0,04 0,77 0,36 0,47 3,10 4.65
30-60 5,3 4,5 1,57 0,13 12,50 14,28 0,05 0,72 0,29 0,48 4,53 4.79
T2AT 0-30 4,9 4,3 6,46 0,26 21,72 25,03 0,10 0,73 0,37 0,51 3,31 5.36
30-60 4,5 4,1 3,12 0,14 18,45 21,49 0,06 0,87 0,33 0,58 4,45 6.11
T2AP 0-30 5,4 4,5 6,08 0,23 20,00 18,97 0,03 0,60 0,30 0,35 1,56 3.42
30-60 5,3 4,3 3,24 0,24 13,25 17,21 0,05 0,62 0,33 0,40 1,66 4.38
TPN 0-30 4,7 4,3 5,62 0,25 20,00 26,69 0,05 0,72 0,53 0,48 2,91 5.46
30-60 4,5 4,1 3,80 0,20 16,17 18,57 0,03 0,64 0,33 0,39 2,14 4.82
0-30 5,1 4,4 4,81 0,23 17,89 20,88 0,05 0,72 0,38 0,46 2,82 4.85
Rataan
30-60 4,8 4,3 2,73 0,16 15,06 17,77 0,04 0,73 0,30 0,47 3,33 5.14
Rataan Umum 5.0 4,3 3,77 0,19 16,47 19,32 0,05 0,72 0,34 0,46 3,08 4,99
Keterangan : TTG = lahan kering, T2AT = tergenang temporer air tawar, T2AP = tergenang temporer air payau, TPN = tergenang permanen, C-org = Karbon
organik, N = Nitrogen, KTK = Kapasistas Tukar Kation, P = Phosfor, K = Kalium, Ca = Kalsium, Mg = Magnesium, Fe = Ferrum, Al = Aluminium.
1)
Walkley & Black; 2)Kjeldahl; 3)NH4-Acetat 1N. pH7. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III
Werinama SBT, tahun 2009.

104
105

banyak, maka serapan unsur lainnya akan terganggu. Kompetisi ini berkaitan
dengan sifat fisiko-kimia yang mirip satu sama lain sehingga terjadi perebutan
tempat pada tapak-tapak jerapan tanah atau permukaan akar.
Bagi tumbuhan, kalium berperan dalam meningkatkan ketahanan
tumbuhan terhadap penyakit tertentu di samping mendorong perkembangan akar.
Hardjowigeno (1992) mengemukakan bahwa kalium berperan dalam
pembentukan pati, mengaktifkan berbagai jenis enzim, pembukaan stomata,
proses fisiologis dalam tumbuhan. proses metabolik dalam sel, mempertinggi
daya tahan tumbuhan, dan penting dalam perkembangan perakaran. Sedangkan
kalsium berperan dalam penyusunan dinding-dinding sel, pembelahan sel, dan
pemanjangan sel (elongation). Sementara magnesium berperan dalam
pembentukan klorofil, sistem enzim, dan pembentukan minyak pada tumbuhan.
Hasil analisis sifat fisika tanah menunjukkan bahwa bulk density atau kepadatan
tanah di lahan sagu P. Seram Maluku tidak terlalu tinggi atau termasuk dalam
kategori sedang yakni berkisar antara 1,07 1,31 (Tabel 21 dan Lampiran 14).

Tabel 21. Sifat fisika tanah lahan sagu di P. Seram, Maluku


Tipe Kedalaman Tekstur (Pipet) (%)
Habitat BD Kelas Tekstur
(cm) Pasir Debu Liat
TTG 0-30 1,31 22,67 39,00 38.33 Lempung liat
30-60 21,83 38,67 39.50 Lempung liat
T2AT 0-30 1,24 23,33 41,00 35.67 Lempung berliat
30-60 17,17 46,00 36.83 Lempung liat
T2AP 0-30 1,19 22,00 40,75 37.25 Lempung liat
30-60 25,50 34,50 40.00 Berliat halus
TPN 0-30 1,07 18,00 40,00 42.00 Liat berdebu
30-60 10,17 41,17 48.67 Liat Berdebu
Rataan 0-30 1,21 21,47 40,69 37.83 Lempung liat
30-60 18,29 40,89 40.82 Liat berdebu
Rataan Umum 1.20 19,88 40,79 39,33 Lempung liat
Keterangan : BD = bulk density, TTG = lahan kering, T2AT = tergenang temporer air tawar,
T2AP = tergenang temporer air payau, TPN = tergenang permanen. Data yang
disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III
Werinama SBT, tahun 2009.

Tingkat bulk density yang sedang ini dapat dikarenakan oleh cukup
tingginya kandungan bahan organik tanah di lahan sagu Pulau Seram Maluku.
Kondisi ini memberi ruang yang baik untuk mendukung pertumbuhan perakaran
tumbuhan sagu. Hasil analisis kelas tekstur tanah menunjukkan bahwa secara
umum termasuk dalam kategori lempung liat, sebagian termasuk dalam kategori
106

liat berdebu. Hal ini memberikan petunjuk bahwa pada semua tipe habitat
tumbuhan sagu ditemukan adanya kandungan liat, artinya tumbuhan sagu tumbuh
baik pada kondisi lahan yang memiliki kandungan liat.

c. Kualitas air rawa habitat sagu

Hasil analisis parameter air menunjukkan bahwa pH air pada lahan sagu di
P. Seram Maluku, baik pada tipe habitat tergenang tidak permanen ataupun
tergenang permanen memiliki kisaran kemasaman yang sedang berkisar antara
6,23 6,58, dengan kondisi kesuburan air yang cukup baik yang ditunjukkan oleh
kandungan nitrogen, kalium, kalsium, dan magnesium yang cukup tinggi (Tabel
22 dan Lampiran 15). Kadar salinitas air pada lahan sagu di P. Seram Maluku
relatif rendah, walaupun pada tipe lahan tergenang tidak permanen air payau. Hal
ini diduga disebakan karena dua sebab yaitu 1) adanya pengaruh air tawar yang
berasal dari sungai yang terdapat disekitar lahan tempat tumbuh sagu atau air
sungai yang berdekatan dengan lahan sagu. Pada umumnya tumbuhan sagu
ditemukan tumbuh pada lahan yang berada disekitar sumber air, seperti misalnya
dekat sungai, dan 2) tumbuhan sagu senantiasa berada di belakang vegetasi nipah
kearah daratan dari bagian pesisir pantai. Vegetasi nipah diketahui memiliki
kemampuan untuk memfilter atau menyaring kadar garam yang terkandung dalam
air laut, sehingga air yang masuk sampai ke lahan sagu kandungan garamnya telah
turun, atau dapat pula disebabkan karena tumbuhan sagu memiliki kemampuan
untuk menyaring kadar garam sehingga salinitas air menjadi rendah yakni hanya
mencapai 0,60 ppt.
Pada Tabel 22 tampak bahwa kandungan nitrogen mineral dalam air di
lahan sagu P. Seram Maluku kebanyakan dalam bentuk Nitrat (NO 3-) (rata-rata
5,65 mg/l) dibandingkan nitrogen dalam bentuk ammonium (NH4+) (rata-rata 0,61
mg/l). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi air berada dalam suasana teroksidasi,
indikasi ini diperjelas dengan kondisi pH air yang mendekati netral. Hal ini berarti
bahwa air tersebut belum terlalu lama menggenang terutama pada tipe habitat
tergenang tidak permanen air tawar (T2AT) dan tipe lahan tergenang permanen
(TPN). Lain halnya dengan tipe habitat tergenang tidak permanen air payau yang
memang kondisi pH air sekitar netral karena pengaruh kandungan garam natrium
107

(Na) yang terkandung dalam air laut dan sering menggenangi lahan sagu ketika air
pasang dan mengering ketika air surut.

Tabel 22. Kualitas air rawa di lahan tumbuhan sagu P. Seram, Maluku
Air Bebas Lumpur
Tipe Salinitas
pH NH4+ K+ Ca2+ Mg2+ NO32- PO43-
Habitat (ppt)
mg/liter
T2AT 6,23 0,60 7,23 23,31 4,97 6,66 1,27 0,13

T2AP 6,58 0,61 2,54 27,74 3,16 4,59 0,06 0,60

TPN 6,33 0,61 3,80 23,83 4,26 5,71 0,23 0,10

Keterangan : T2AT = tergenang temporer air tawar, T2AP = tergenang temporer air payau, TPN
= tergenang permanen; NH4+ = Ammonium, K+ Kalium, Ca2+ = Kalsium, Mg2+ =
Magnesium, NO32- = Nitrat, PO43- = Phosfat, ppt = part per thousand. Data yang
disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III
Werinama SBT, tahun 2009.

Kandungan ion K dalam air cukup tinggi terutama pada tipe lahan T2AT
mencapai 7,23 mg/l, hampir dua kali lipat dibandingkan dengan kandungan ion K
pada tipe habitat T2AP dan TPN. Lebih rendahnya kadar K+ pada dua tipe habitat
yang disebut terakhir diduga karena K+ yang terlarut dalam air pada kedua tipe
habitat tersebut mengalami perkolasi, dikarenakan apabila dilihat dari lama
tergenang, maka air di kedua tipe habitat itu lebih lama terendam. Faktor inilah
yang memungkinkan lebih rendahnya kandungan K+ dalam air di dua tipe habitat
itu. Fenomena ini mirip dengan kandungan fosfat di dalam air pada tiga tipe
habitat yang telah diuraikan di atas.
Ion kalsium dan magnesium memiliki ciri yang mirip yakni semua tipe
habitat memiliki kandungan K dan Mg yang tidak jauh berbeda antara satu tipe
habitat dengan tipe habitat yang lain. Hal ini diduga karena kedua ion tersebut
memiliki sifat yang relatif lebih tahan terhadap gerakan perkolasi karena
mempunyai dua muatan yang bisa terikat pada permukaan koloid tanah.

4.2.8. Interaksi dengan komponen biotis

a. Asosiasi interspesifik

Hasil observasi untuk mengetahui jumlah spesies tumbuhan dalam


komunitas sagu alami di P. Seram ditemukan sebanyak 42 spesies. Hasil analisis
108

Varians Ratio (VR) diperoleh nilai sebesar 0,831 (VR < 1). Hal ini berarti bahwa
secara simultan (keseluruhan) spesies tumbuhan penyusun komunitas sagu di P.
Seram di antara sesama spesies terjadi asosiasi yang bersifat negatif. Dalam
kaitan itu, untuk menjelaskan pasangan asosiasi antara spesies yang satu dengan
spesies lainnya dalam komunitas sagu terutama spesies penyusun utama dilakukan
analisis chi-square. Dari 42 spesies yang tumbuh dalam komunitas sagu, terdapat
21 spesies tumbuhan sebagai penyusun utama (Lampiran 16). Kriteria untuk
menentukan spesies sebagai penyusun utama berdasarkan nilai penting yang
dimiliki setiap spesies yaitu spesies yang memiliki nilai penting 10 %.
Hasil analisis chi-square spesies berpasangan, dalam spesies sagu dan
antara spesies sagu dengan spesies lain menunjukkan bahwa terdapat asosiasi
dalam spesies sagu yang sama dan antara spesies sagu dengan spesies bukan sagu
(Lampiran 17). Empat spesies sagu yang terdapat di P. Seram berasosiasi diantara
sesamanya masing-masing M. rumphii Mart., M. longispinum Mart., M. sylvestre
Mart., dan M. sagu Rottb. dengan nilai X2 sebasar 6,53, 5,12, 16,74, 20,73, 5,69,
dan 5,31. Sedangkan asosiasi dengan spesies sagu dengan bukan sagu hanya
terjadi dengan tiga spesies yaitu Pandanus furcatus Roxb., Homalomena rubra
Hassk., dan Nephrolepis exaltata Shcott. Tipe asosiasi semua pasangan spesies
bersifat negatif dengan tingkat asosiasi berdasarkan indeks Jaccard kurang dari
0,5 atau bersifat lemah. Hasil analisis chi-square disajikan pada Tabel 23.
Terjadinya asosiasi antara spesies yang bersifat negatif sebagaimana
tersaji pada Tabel di atas merupakan fakta bahwa di antara setiap spesies terjadi
perebutan dalam penggunaan sumberdaya. Dengan meningkatnya pertumbuhan
atau jumlah individu yang satu akan menekan pertumbuhan individu spesies
lainnya. Interaksi yang bersifat negatif memberikan petunjuk pula bahwa tidak
terdapat toleransi untuk hidup secara bersama atau tidak ada hubungan timbal
balik yang saling menguntungkan, terutama dalam pembagian ruang hidup.
Menurut Barbour et al. (1999 dalam Kurniawan et al. 2008) dikemukakan bahwa
asosiasi yang bersifat negatif memberikan petunjuk pada setiap tumbuhan dalam
suatu komunitas terjadi saling memberi tempat hidup pada suatu area dan habitat
yang sama. Dikemukakan lebih lanjut oleh Krivan & Sirot (2002) bahwa dalam
asosiasi interspesifik dapat memunculkan kompetisi interspesifik. Pada kondisi
109

dimana asosiasi bersifat negatif ekstrim, suatu spesies dapat muncul sebagai
kompetitor yang mendominasi spesies lain.

Tabel 23. Chi-square untuk pengujian asosiasi interspesifik spesies berpasangan


penyusun utama komunitas sagu P. Seram, Maluku
Chi-square Tipe Indeks
No. Nama spesies
(X2) Asosiasi Jaccard
1. M. rumphii Mart.
1.1 M. longispinum Mart. 6,53* Negatif 0,43
1.2 M. sylvestre Mart. 5,12* Negatif 0,47
1.3 M. sagu Rottb. 16,74* Negatif 0,16
1.4 Pandanus furcatus Roxb. 6,76* Negatif 0,06
1.5 Homalomena rubra Hassk. 9,28* Negatif 0,15
1.6 Nephrolepis exaltata Schott. 21,03* Negatif 0,05
2. M. longispinum Mart.
2.1. M. sylvestre Mart. 20,73* Negatif 0,15
2.2. M. sagu Rottb. 5,69* Negatif 0,20
2.3. Homalomena rubra Hassk. 4,35* Negatif 0,08
2.4. Nephrolepis exaltata Schott. 4,76* Negatif 0,04
3. M. sylvestre Mart.
3.1 M. sagu Rottb. 5,31* Negatif 0,14
3.2 Homalomena rubra Hassk. 4,45* Negatif 0,04
3.3 Nephrolepis exaltata Schott. 4,96* Negatif 0,04
4. M. sagu Rottb.
4.1 Pandanus furcatus Roxb. 4,56* Negatif 0,10
4.2 Homalomena rubra Hassk. 3,54* Negatif 0,04
4.3 Nephrolepis exaltata Schott. 4,48* Negatif 0,02
Keterangan : * signifikan pada taraf 0.05. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil.
sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009.

Interaksi spesies M. rumphii Mart. memiliki tingkat asosiasi yang cukup


kuat dengan spesies M. longispinum Mart., dan M. sylvestre Mart. yang
ditunjukkan dengan indeks Jaccard yang cukup tinggi masing-masing sebesar 0,43
dan 0,47. Hal ini berarti bahwa dalam habitat yang sama terjadi saling menekan
atau kompetisi yang cukup kuat antara spesies M. rumphii Mart. dengan M.
longispinum Mart. dan antara M. rumphii Mart. dengan M. sylvestre Mart. dalam
mendapatkan kebutuhan hidup dan penempatan ruang. Sedangkan asosiasi antara
110

spesies M. longispinum Mart., M. sylvestre Mart., M. sagu Rottb., Pandanus


furcatus Roxb., Homalomena rubra Hassk., dan Nephrolepis exaltata Schott.
semuanya rendah, fakta ini ditunjukkan dengan indeks Jaccard kurang dari 0,20.

b. Keadaan umum fauna dalam komunitas sagu

Selama melakukan penelitian di tiga wilayah sampel dalam komunitas


sagu di P. Seram, tercatat beberapa jenis fauna yang hidup dalam komunitas sagu
seperti kelelawar (Pteropus sp), biawak (Hydrasaurus amboinensis), ular kobra
(Python reticulatus), katak (Rachoporus renwardii), babi hutan (Susscrofa sp),
burung raja udang (Halcyon sp), kumbang sagu (Oryctes rhinoceros L), dan ulat
sagu. Di dalam wilayah sampel I Luhu-SBB pada siang hari dijumpai kelelawar
bergantungan pada bagian ujung tangkai daun pohon sagu dewasa secara
berkelompok dalam jumlah yang cukup banyak mencapai ratusan individu.
Populasi kelelawar dalam jumlah besar yang bergantungan di tangkai daun ini
menyebabkan terjadinya kerusakan anak-anak daun yang cukup berarti. Peran
kelelawar dalam proses penyerbukan atau agen dispersal buah atau biji sagu tidak
diketahui dengan pasti, karena tidak ditemukan fakta empiris atau sandaran hasil
penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya.
Biawak dan ular menjadikan habitat sagu sebagai habitat tempat hidupnya,
dengan kondisi yang tertutup atau ternaung ditemukan biawak berteduh pada
tangkai daun sagu yang tumbuh agak mendatar kebanyakan pada tipe habitat yang
tergenang, baik permanen maupun temporer. Sedangkan ular ditemukan pada
tempat yang tertutup dan lembab. Dalam habitat sagu ditemukan juga katak
terutama pada tipe habitat yang berair.
Hewan liar yang sering ditemui di dalam komunitas sagu adalah babi
hutan. Hewan ini mencari makan pada tempat-tempat pembuangan limbah
pengolahan sagu, ditengarai limbah sagu ini dijadikan sebagai pakan oleh babi
hutan. Selain itu pada limbah pengolahan sagu yang telah tersimpan cukup lama
hidup banyak cacing tanah, di tempat-tempat ini banyak ditemukan juga bekas
pembongkaran babi hutan, kemungkinan dalam mencari fauna tanah. Di beberapa
bagian dalam habitat sagu dijumpai pula bekas pembongkaran tanah oleh babi
hutan. Secara tidak langsung pembongkaran limbah atau pembongkaran tanah
111

oleh babi hutan mempunyai andil dalam perbaikan struktur tanah karena terjadi
penghancuran struktur sekaligus percampuran tanah dengan bahan organik yang
terdapat di bagian permukaan tanah.
Pada tangkai daun sagu fase semai yang tumbuh melengkung dan berada
pada posisi agak datar dijumpai burung raja udang (Halcyon sp) sedang berada di
tangkai daun sagu terutama yang berada pada tipe habitat tergenang atau tangkai
daun sagu yang melengkung ke atas permukaan sungai. Selain berteduh, pada
waktu tertentu burung raja udang (Halcyon sp) menceburkan tubuhnya ke dalam
air atau sungai. Tindakan atau perilaku tersebut tidak diketahui maksudnya.
mungkin sekedar membasahi badannya atau untuk keperluan menemukan mangsa
sebagai pakannya.
Pada pohon sagu yang telah dipanen atau ditebang, beberapa saat
kemudian dapat ditemukan kumbang sagu berwana hitam yang biasanya
menempel pada bagian empulur batang yang telah dipotong dan dibelah atau
dibuka. Sebelum batang dibuka, kumbang sagu dapat ditemukan pada bagian
empulur tuas dan pangkal batang bekas tebangan. Selain itu kumbang sagu ini
ditemukan juga pada bagian pelepah tangkai daun sagu yang telah dipanen.
Diduga kumbang sagu ini mengkonsumsi atau menghisap cairan glukosa atau
fruktosa dari pati sagu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kumbang sagu ini
dapat ditemukan beberapa individu atau cukup banyak pada pagi dan sore hari.
Kumbang Oryctes rhinoceros L ternyata diketahui merupakan salah satu jenis
hama sagu. Kumbang ini biasanya menyerang tanaman palm seperti kelapa,
kelapa sawit, dan sagu (Bintoro 2008). Menurut Rostiwati et al. (2008) kumbang
Oryctes merupakan serangga hama yang menyerang pucuk daun tanaman sagu.
Biasanya sekitar dua meter bagian ujung batang sagu tidak diolah atau
diproses, karena memiliki kandungan pati yang rendah. Bagian ujung yang
ditinggalkan ini, dalam tempo kurang lebih 3 bulan telah membusuk. Pada bagian
dalam batang semula berupa empulur dapat ditemukan larva ulat sagu dalam
jumlah banyak (Gambar 28). Oleh sebagian masyarakat petani di Maluku dan
Papua ulat sagu ini dipanen dan dijadikan menu untuk dikonsumsi. Bustaman
(2008) mengemukakan bahwa ulat sagu selama ini belum dimanfaatkan secara
komersial. Namun, masyarakat Papua dan Maluku yang mengusahakan
112

pengolahan sagu sebagai sumber pendapatan, memanfaatkan ulat sagu untuk


dikonsumsi. Pada daerah-daerah dengan sumber protein hewani sulit didapat, ulat
sagu dapat menjadi alternatif sumber makanan berprotein tinggi.

Sumber :http://www.google.co.id/imglanding

Gambar 28. Ulat sagu hidup pada bagian empulur batang sagu tidak diolah

4.2.9. Interaksi dengan komponen abiotis

a. Interaksi dengan parameter iklim

Hasil analisis komponen utama (Principal Component Analysis / PCA)


faktor iklim menunjukkan bahwa dua komponen utama telah mampu
menerangkan keragaman total data iklim sebesar 100 %. Dua komponen utama
tersebut (PC1 dan PC2) memberikan kontribusi keragaman atau penciri sifat iklim
masing-masing sebesar 55,5 % dan 44,5 % (Tabel 24).

Tabel 24. Eigenvalues matriks korelasi faktor iklim


Komponen Eigenvalue Proportion Cumulative
PC1 2,777 0,555 0,555
PC2 2,223 0,445 1,000
113

Pada PC1 terdapat dua variabel sebagai penciri utama faktor iklim yaitu
sinaran surya mikro dan curah hujan. Sementara pada PC2 secara dominan
dicirikan oleh tiga variabel yaitu temperatur mikro, kelembaban mikro, dan
sinaran surya lokal (Tabel 25).

Tabel 25. Eigenvector komponen utama variabel iklim


Variable PC1 PC2
Temperatur mikro 0,351 -0,544
Kelembaban mikro -0,090 0,663
Sinaran surya lokal 0,406 0,494
Sinaran surya mikro 0,598 -0,050
Curah hujan -0,588 -0,136

Hasil analisis PCA untuk menjelaskan interaksi variabel iklim


menggunakan loading plot menunjukkan bahwa terjadi korelasi positif antara
variabel sinaran surya lokal dan sinaran surya mikro. Hal ini ditunjukkan dengan
sudut lancip oleh garis yang dibentuk dari plot kedua variabel itu (Gambar 29).
Korelasi positif ini mengandung pengertian bahwa apabila sinaran surya lokal
meningkat, maka dengan sendirinya akan terjadi peningkatan sinaran surya mikro.
Korelasi yang sama terjadi pula antara variabel sinaran surya dengan temperatur
mikro, dan kelembaban mikro. Artinya apabila sinaran surya meningkat, maka
temperatur mikro dan kelembaban mikro akan bertambah. Meningkatnya sinaran
surya yang diikuti dengan peningkatan temperatur mikro, dikarenakan sinaran
surya sesungguhnya adalah merupakan pancaran radiasi gelombang
elektromagnetik yang dapat menimbulkan efek panas. Efek ini kemudian diukur
sebagai derajat panas yang dikenal sebagai temperatur.
Dalam konteks ini temperatur yang dimaksud adalah temperatur mikro.
Sedangkan dalam kaitan dengan korelasi positif antara sinaran surya dengan
kelembaban mikro, dikarenakan temperatur yang ditimbulkan oleh sinaran surya
dapat menyebabkan terjadinya evaporasi (penguapan air rawa) pada habitat sagu.
Uap air ini kemudian terperangkap dalam tajuk rumpun sagu karena tutupan lahan
oleh tajuk sagu mencapai >50 %. Jumlah kandungan uap air yang terukur di
bawah tajuk sagu tersebut yang dikenal sebagai kelembaban mikro. Argumen
114

yang dipakai untuk menjelaskan bahwa terjadi tutupan lahan yang cukup tinggi
didasarkan pada jumlah intensitas sinaran surya yang masuk di antara rumpun
sagu hanya sekitar 46,97 %.

Loading Plot of T_mikro; ...; CH


0,75
RH_mikro

Sry_lokal
0,50
Second Component

0,25

0,00 Sry_mikro
CH

-0,25

-0,50 T_mikro

-0,50 -0,25 0,00 0,25 0,50 0,75


First Component

Gambar 29. Interaksi variabel iklim dalam habitat sagu di P. Seram, Maluku

Pada Gambar 29 tampak pula bahwa variabel curah hujan memiliki


korelasi negatif dengan sinaran surya lokal, sinaran surya mikro, dan temperatur
mikro. Hal ini ditunjukkan dengan sudut tumpul yang dibentuk oleh plot curah
hujan dengan ketiga variabel yang disebutkan di atas membentuk sudut tumpul.
Korelasi yang besifat negatif ini mengandung pengertian bahwa dengan semakin
bertambah curah hujan, maka sinaran surya (lokal maupun mikro), dan temperatur
mikro akan menurun. Sinaran surya yang berkurang ini dikarenakan pada
umumnya bila terjadi hujan senantiasa terdapat keawanan atau diawali dengan
munculnya awan yang menghalangi sinaran surya tembus ke permukaan bumi.
Kemudian dengan adanya hujan, maka dengan sendirinya dapat menurunkan
temperatur udara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat interaksi
antara variabel iklim yang satu dengan yang lain, baik interaksi yang bersifat
positif maupun negatif.
115

Dengan mempertimbangkan akar ciri (eigenvalues) sebagai skor


komponen utama (skor PC) dan vektor ciri (eigenvector) terbesar, maka dapat
ditentukan besarnya kontribusi (bobot) relatif masing-masing variabel terhadap
habitat sagu. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah kontribusi faktor
iklim terhadap habitat sagu di P. Seram sebesar 6,69 % (Tabel 26). Variabel iklim
yang memiliki kontribusi tertinggi adalah sinaran surya mikro, dengan besarnya
kontribusi sekitar 1,66 %. Sedangkan variabel dengan kontribusi paling rendah
adalah temperatur mikro sebesar 0,78 %.

Tabel 26. Kontribusi variabel iklim terhadap habitat sagu di P. Seram, Maluku
Variabel Skor PC Eigenvector Kontribusi (%)
Temperatur mikro 2,223 0,351 0,78
Kelembaban mikro 2,223 0,663 1,47
Sinaran surya lokal 2,223 0,494 1,10
Sinaran surya mikro 2,777 0,598 1,66
Curah hujan 2,777 0,588 1,63
Jumlah 3,38

Berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana tertera dalam Tabel 24 di atas,


dapat disusun model indeks habitat sagu terkait dengan peran faktor iklim di P.
Seram sebagai berikut :

HS(F-iklim) = (0,78T-mikro) + (1,47RH-mikro) + (1,10Sry-lokal) + (1,66Sry-mikro) +


(1,63C-hujan) (25)

dimana : HS = habitat sagu terkait dengan faktor iklim


T-mikro = temperatur mikro
RH-mikro = kelembaban mikro
Syr-lokal = sinaran surya lokal
Sry-mikro = sinaran surya mikro
C-hujan = curan hujan

Pada model indeks habitat sagu sebagaimana tersaji dalam persamaan-25


di atas, tampak bahwa habitat sagu di P. Seram atas dasar sifat iklim sangat
ditentukan oleh variabel intensitas sinaran surya mikro, selain itu ditentukan pula
oleh sinaran surya lokal. Hal ini berarti bahwa tumbuhan sagu memiliki
penyinaran yang cukup untuk dapat tumbuh dengan baik. Fakta ini menunjukkan
116

bahwa sagu merupakan jenis tumbuhan yang memerlukan penyinaran langsung.


Apabila terjadi hambatan penyinaran akan mempengaruhi pertumbuhannya. Fakta
ini juga semakin memperkuat argumen bahwa kematian tunas anakan sagu antara
lain dipengaruhi oleh banyaknya intensitas sinaran surya yang masuk sampai ke
bagian bawah tajuk rumpun sagu. Banyak tunas anakan sagu mengalami
kematian karena terjadi kompetisi yang kuat diantara individu setiap rumpun
dalam mendapatkan sinaran surya. Sinaran surya yang masuk sampai dekat
rumpun sagu hanya sekitar 423,82 lux setara 12,40 %, dibandingkan dengan rata-
rata intensitas sinaran surya terukur sebesar 1427,56 lux.
Kontribusi variabel curah hujan dan kelembaban mikro terhadap habitat
sagu, tertinggi kedua dan ketiga setelah sinaran surya mikro. Hal ini mengandung
makna bahwa curah hujan dan kelembaban mikro memiliki peran cukup besar
dalam menentukan habitat sagu di P. Seram. Peran yang sama juga terjadi pada
variabel iklim yang lain seperti temperatur mikro. Peran curah hujan terhadap
habitat sagu berkaitan dengan jumlah curah hujan atau tipe iklim. Dalam konteks
itu, maka terdapat kecenderungan bahwa bahwa habitat sagu di P. Seram banyak
tumbuh pada jumlah curah hujan berkisar antara 1.672,44 5.898,32 mm/tahun,
termasuk tipe hujan A dan B menurut Schmidt-Ferguson (1951 dalam BPPT 1982
dan BPKH 2006).
Dalam rangka menjelaskan pengaruh faktor iklim terhadap jumlah
populasi rumpun dan produksi pati sagu, dilakukan analisis regresi komponen
utama. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa kontribusi pengaruh faktor
iklim terhadap jumlah populasi rumpun dan produksi pati sagu di P. Seram
masing-masing sebesar 7,1 % dan 5,3 % (Lampiran 18). Persamaan regresi
komponen utamanya secara berurutan sebagai berikut :

Y1 = 15,74 - 1,321 X1 + 0,4645 X2 - 0,0021 X3 - 0,0049 X4 + 0,0247 X5 (26)

Y2 = -1897,31 + 2814,27 X1 - 5672,75 X2 + 293,69 X3 + 62,42 X4 + 2,99 X5


.. (27)

dimana : Y1 = jumlah populasi rumpun sagu (ind/ha), Y2 = produksi pati sagu


(kg/batang), X1 = temperatur mikro, X2 = kelembaban mikro, X3 =
sinaran surya lokal, X4 = sinaran surya mikro, X5 = curah hujan.
117

Pada persamaan regresi di atas tampak bahwa variabel temperatur mikro


memiliki pengaruh yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengaruh variabel
iklim yang lain, baik terhadap jumlah populasi rumpun maupun produksi pati
sagu. Kondisi temperatur mikro memberikan pengaruh yang bersifat negatif atau
kurang menguntungkan bagi pertambahan jumlah rumpun sagu. Namun terhadap
produksi pati bersifat positif, mengandung makna bahwa kondisi temperatur
mikro cukup baik terhadap penambahan produksi pati sagu. Fakta ini memberikan
petunjuk bahwa pengaruh faktor iklim terhadap jumlah populasi rumpun sagu
yang bersifat positif tidak selalu diikuti dengan pengaruh positif terhadap produksi
pati sagu, demikian sebaliknya pengaruh negatif faktor iklim terhadap jumlah
rumpun sagu tidak selalu diikuti dengan pengaruh negatif terhadap produksi.
Variabel iklim berikut yang berpengaruh cukup kuat terhadap jumlah
populasi rumpun sagu adalah kelembaban mikro. Variabel ini memberikan
pengaruh yang bersifat positif, artinya kondisi kelembaban mikro berperan dalam
penambahan jumlah rumpun, tetapi tidak menguntungkan bagi peningkatan
produksi pati. Hal ini berarti bahwa kondisi kelembaban mikro yang baik bagi
penambahan jumlah rumpun dicapai pada taraf yang tidak bersamaan dengan
tingkat kelembaban mikro yang baik bagi peningkatan produksi pati. Demikian
pula dengan variabel iklim yang lain seperti sinaran surya lokal dan sinaran surya
mikro.
Curah hujan merupakan variabel iklim yang memberikan pengaruh
sepadan terhadap jumlah populasi rumpun dan produksi pati sagu. Artinya
variabel ini memberikan pengaruh yang bersifat positif terhadap jumlah populasi
rumpun dan juga terhadap produksi pati sagu. Dalam kaitan dengan pembentukan
rumpun dan produksi pati sagu, maka diperlukan curah hujan dalam jumlah yang
memadai. Jika curah hujan berkurang dapat menghambat pembentukan rumpun
baru, demikian pula untuk produksi pati sagu.
Intensitas sinaran surya mikro memberikan pengaruh yang bersifat negatif
terhadap jumlah populasi rumpun sagu. Hal ini mengandung makna bahwa
sinaran surya mikro tidak memberikan andil dalam penambahan jumlah rumpun
sagu. Dengan kata lain apabila sinaran surya mikro cukup tidak akan membentuk
rumpun baru, karena apabila sinaran surya terpenuhi maka percabangan basal
118

tumbuh menjadi individu baru tidak jauh dari pohon induk. Dengan kata lain
individu baru yang terbentuk berdekatan dengan pohon induk. Apabila sinaran
surya berkurang, maka dapat menambah jumlah rumpun yang terbentuk.
Fenomena ini memperkuat argumen tentang mekanisme pembentukan rumpun
yang terbentuk pada kondisi sinaran surya berkurang. Dengan berkurangnya
sinaran surya percabangan basal akan memanjang keluar menjauh dari pohon
induk atau rumpun mencari ruang dengan sinaran surya memadai untuk tumbuh
menjadi individu baru. Dalam perkembangan selanjutnya dari individu ini
kemudian muncul percabangan basal baru atau anakan secara bersama-sama
menjadi rumpun sendiri.
Pengaruh faktor iklim terhadap tumbuhan sagu diawali oleh pengaruh
sinaran surya sebagai sumber energi utama dalam kehidupan. Sinaran surya lokal
memainkan peranan penting dalam mengendalikan variabel iklim yang lain
seperti sinaran surya mikro, temperatur mikro, dan kelembaban mikro. Apabila
sinaran surya lokal meningkat maka sinaran surya mikro ikut pula bertambah dan
senantiasa terjadi fluktuasi dari waktu ke waktu. Sinaran surya merupakan
sumber energi utama bagi kehidupan. Energi surya dalam bentuk radiasi
ditangkap tumbuhan melalui daun oleh klorofil. Kemudian melalui proses
fotosintesis dirubah menjadi energi kimia, selanjutnya energi ini dipergunakan
untuk pertumbuhan dan tersimpan pada tempat penyimpanan (zink) yakni pada
bagian batang.
Sinaran surya terkait pula dengan temperatur mikro dan kelembaban
mikro. Sinaran surya senantiasa memancarkan radiasi yang dapat menimbulkan
efek panas. Efek panas ini selanjutnya meningkatkan termperatur udara. Pada
umumnya dengan meningkatnya temperatur udara akan menurunkan tingkat
kelembaban relatif. Dengan adanya perubahan temperatur dan kelembaban relatif,
maka akan mempengaruhi jumlah populasi rumpun dan produksi pati sagu.
Secara teoritis dengan meningkatnya temperatur maka proses reaksi dalam tubuh
tumbuhan akan meningkat, tetapi pada kondisi temperatur yang sangat tinggi
dapat menghambat pertumbuhan. Dengan meningkatnya kondisi temperatur mikro
dapat meningkatkan produksi pati sagu.
119

Kelembaban relatif dan temperatur udara selain berkaitan dengan sinaran


surya, juga berkaitan dengan curah hujan. Apabila curah hujan meningkat maka
kelembaban relatif akan bertambah, sedangkan temperatur udara akan menurun.
Peran curah hujan dalam pertumbuhan sagu bukan saja berkaitan dengan naik-
turunnya kelembaban dan temperatur, tetapi curah hujan juga mempengaruhi
tumbuhan sagu melalui ketersediaan air. Dengan meningkatnya curah hujan,
maka ketersediaan air ikut meningkat, selanjutnya kebutuhan air tumbuhan akan
terpenuhi, dan sebaliknya jika curah hujan berkurang atau tidak terjadi hujan,
terutama pada tipe habitat lahan kering.

b. Interaksi dengan parameter tanah

Hasil analisis PCA faktor tanah menunjukkan bahwa tiga komponen utama
telah mampu menerangkan keragaman total data sifat tanah sebesar 85,4 %. Tiga
komponen utama tersebut (PC1, PC2, dan PC3) memberikan kontribusi
keragaman atau penciri sifat tanah masing-masing sebesar 42,8 %, 25,4 %, dan
17,2 % (Tabel 27).

Tabel 27. Eigenvalues matriks korelasi faktor tanah


Komponen Eigenvalue Proportion Cumulative
PC1 3,848 0,428 0,428
PC2 2,289 0,254 0,682
PC3 1,547 0,172 0,854

Pada PC1 terdapat tiga variabel sebagai penciri utama faktor tanah yaitu
pH (KCl), KTK, dan kalsium. Pada PC2 secara dominan dicirikan oleh empat
variabel yaitu C-organik, kalium, bulk density dan partikel liat. Sementara PC3
penciri dominannya adalah magnesium dan ferrum (Tabel 28).
Hasil analisis PCA untuk menjelaskan interaksi variabel tanah
menggunakan loading plot menunjukkan bahwa C-organik berkorelasi positif
dengan pH (KCl), kalsium, KTK, magnesium, dan kalium. Partikel liat memiliki
korelasi positif dengan BD (bulk density) (Gambar 30). Hal ini ditunjukkan
dengan sudut lancip yang dibentuk oleh pasangan variabel-variabel tersebut.
Korelasi yang bersifat positif ini mengandung pengertian bahwa jika terjadi
120

peningkatan C-organik maka akan terjadi peningkatan pula pada variabel lain
yang menjadi pasangannya. C-organik merupakan indikator yang menjelaskan
tentang banyak-sedikitnya kandungan bahan organik tanah. Dalam kaitan dengan
korelasi positif dengan pH (KCl), dikarenakan bahan organik dapat berparan
dalam meningkatkan kemasaman tanah (Syekhfani (1997).

Tabel 28. Eigenvector komponen utama variabel tanah


Variable PC1 PC2 PC3
pH (KCl) 0,416 0,187 -0,156
C_organik 0,348 0,363 -0,193
KTK 0,494 0,098 -0,023
Kalium 0,305 -0,421 0,156
Kalsium 0,425 0,163 0,142
Magnesium 0,348 -0,100 0,546
Fe -0,142 0,192 0,694
BD 0,031 -0,532 0,171
Liat 0,213 -0,539 -0,290

Loading Plot of pH (KCl); ...; Liat


0,4 C_organik
Loading Plot of pH (KCl); ...; C_organik
0,4 0,3 C_organik

0,3 Fe pH (KCl)
0,2 Kalsium
Fe pH (KCl)
0,2 Kalsium
KTK
0,1
Second Component

KTK
0,1
Second Component

0,0
0,0
Magnesium
-0,1 Magnesium
-0,2
-0,1
-0,3 -0,2
Kalium
-0,4

-0,5
-0,3 BD Liat

Kalium
-0,4
-0,2 -0,1 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5
First Component
-0,5 BD Liat

-0,2 -0,1 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5


First Component

Gambar 30. Interaksi variabel tanah dalam habitat sagu di P. Seram, Maluku
121

Korelasi positif antara pH (KCl) dengan kalsium, magnesium, dan kalium,


dikarenakan unsur-unsur tersebut selain sebagai unsur hara bagi tumbuhan, juga
merupakan kation basa yang dapat meningkatkan pH tanah. Bahan kapur yang
sering dipakai sebagai bahan untuk memperbaiki kemasaman tanah biasanya
mengandung kation-kation tersebut, seperti kalsit (CaCO3) dan dolomit
[CaMg(CO3)2] (Hardjowigeno 1992).
Pada Gambar 30 tampak pula bahwa C-organik berkorelasi positif dengan
KTK. Dengan bertambahnya kandungan bahan organik tanah, maka KTK tanah
akan meningkat. Hal ini dikarenakan bahan organik memiliki KTK sekitar 2-4
kali lebih tinggi dibandingkan dengan tanah mineral. Misalnya pada tanah-tanah
mineral yang mengandung mineral liat montmorilonit, KTK-nya berkisar antara
80-150 me/100 gr, sedangkan KTK bahan organik berkisar antara 100-300
me/100 gr (Syekhfani 1997). Partikel liat memiliki korelasi positif dengan bulk
density. Hal ini dikarenakan liat merupakan partikel tanah berukuran paling kecil
dan memiliki muatan listrik, baik positif maupun negatif. Partikel yang
mempunyai muatan berbeda akan terjadi tarik menarik. Dengan ukuran partikel
yang sangat kecil (<0,002 mm) dan adanya daya tarik menarik ini, maka terjadi
pemadatan partikel yang berimplikasi pada peningkatan bulk density.
Korelasi antara pH dan Fe bersifat negatif, mengandung makna bahwa
dengan bertambahnya kandungan Fe, maka pH tanah akan berkurang. Hal ini
dikarenakan Fe merupakan kation masam yang memiliki andil dalam
meningkatkan kemasaman tanah (pH turun). Secara teoritis kemasaman tanah
yang meningkat dikarenakan oleh kandungan ion H+ yang meningkat, artinya
dengan meningkatnya ion H dalam tanah, pH tanah akan turun. Ion Fe memiliki
kemampuan dalam memecahkan (melisis) molekul air menjadi ion H+ dan OH-.
Kemudian ion OH- diikat oleh Fe membentuk besi hidroksida [Fe(OH) 3] dan
membebaskan tiga ion H+ (Syekhfani 1997). Reaksinya sebagai berikut :

Fe3+ + 3H2O Fe(OH)3 + 3H+

Dengan mempertimbangkan eigenvalues sebagai skor komponen utama


(skor PC) dan nilai eigenvector terbesar, maka dapat ditentukan besarnya
kontribusi (bobot) relatif masing-masing variabel tanah terhadap habitat sagu.
122

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah kontribusi faktor tanah terhadap


habitat sagu di P. Seram sebesar 10,15 % (Tabel 29). Variabel tanah yang
memiliki kontribusi tertinggi adalah KTK, dengan besarnya kontribusi sekitar
1,90 %. Sedangkan variabel dengan kontribusi paling rendah adalah BD sebesar
0,27 %.

Tabel 29. Kontribusi variabel tanah terhadap habitat sagu di P. Seram, Maluku
Variabel Skor PC Eigenvector Kontribusi (%)
pH (KCl) 3,848 0,416 1,60
C-organik 2,289 0,363 0,83
KTK 3,848 0,494 1,90
Kalium 3,848 0,305 1,17
Kalsium 3,848 0,425 1,64
Magnesium 1,547 0,546 0,85
Fe 1,547 0,694 1,07
BD 1,547 0,171 0,27
Liat 3,848 0,213 0,82
Jumlah 10,15

Berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana tertera dalam Tabel 28 di atas,


dapat disusun model indeks pertumbuhan sagu terkait dengan peran faktor tanah
di P. Seram sebagai berikut :
HS(F-tanah) = (1,60pH-KCl) + (0,83C-org) + (1,90KTK) + (1,17K) + (1,64Ca) +
(0,85Mg) + (1,07Fe) + (0,27BD) + (0,82Liat) ... (28)

dimana : HS(F-tanah) = habitat sagu terkait dengan faktor tanah


pH-KCl = kemasaman tanah potensial
C-org = karbon organik
KTK = kapasitas tukar kation
K = Kalium
Ca = Kalsium
Mg = Magnesium
Fe = Ferrum
BD = bulk density
Liat = partikel liat

Pada model indeks habitat sagu sebagaimana tersaji dalam pers-28 di atas,
tampak bahwa pertumbuhan sagu di P. Seram dalam kaitannya dengan sifat tanah
sangat ditentukan oleh variabel kapasitas tukar kation (KTK). Hal ini berarti
bahwa sagu menghendaki tanah dengan kesuburan yang memadai. Argumen ini
123

dikemukakan karena KTK merupakan parameter tanah yang berkaitan dengan


kesuburan tanah. Tanah dengan KTK tinggi menunjukkan bahwa tanah tersebut
subur, dan sebaliknya apabila KTK rendah termasuk kurang subur. Selain itu
pertumbuhan sagu dikendalikan pula oleh kation-kation basa seperti K, Ca, dan
Mg dan kondisi kemasaman tanah. Pada model dalam pers-28 di atas, tampak
bahwa dua sifat fisika tanah yaitu bulk density dan partikel liat, memiliki peran
yang lebih kecil dibandingkan dengan sifat tanah yang lain. Hal ini dapat
dijadikan petunjuk bahwa untuk pertumbuhan sagu peran sifat fisik tanah kurang
dominan.
Hasil analisis regresi komponen utama untuk mengetahui pengaruh
variabel tanah terhadap jumlah populasi rumpun sagu menunjukkan bahwa
terdapat lima variabel tanah memberikan pengaruh signifikan terhadap jumlah
populasi rumpun sagu di P. Seram. Lima variabel dimaksud yaitu kapasitas tukar
kation (KTK), kalsium, magnesium, ferrum, dan bulk density. Hasil analisis
menunjukkan bahwa kontribusi pengaruh faktor iklim terhadap jumlah populasi
rumpun sagu sebesar 4,3 % (Lampiran 19). Persamaan regresi komponen
utamanya sebagai berikut :

Y1 = 9,363 - 0,016 X1 - 0,0389 X2 + 0,0526 X3 - 0,128 X4 + 2,284 X5 .. (29)

dimana : Y1 = jumlah populasi rumpun, X1 = KTK, X2 = Kalsium, X3 =


Magnesium, X4 = Ferrum, X5 = bulk density.

Sedangkan hasil analisis regresi komponen utama untuk menjelaskan


pengaruh faktor tanah terhadap produksi pati sagu diperoleh kontribusi pengaruh
faktor tanah sebesar 60,9 %. Persamaan regresi komponen utamanya sebagai
berikut :

Y2 = 745,19 + 63,731 X1 + 21,909 X2 + 2,087 X3 + 1,935 X4 + 31,129 X5 +


48,988 X6 - 32,131 X7 - 0,030 X8 + 1,647 X9 .. (30)

dimana : Y2 = produksi pati sagu, X1 = pH (KCl), X2 = C-organik, X3 = KTK,


X4 = Kalium, X5 = Kalsium, X6 = Magnesium, X7 = Ferrum, X8 =
bulk density, X9 = liat.

Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak semua variabel tanah yang diuji
berpengaruh terhadap jumlah populasi rumpun sagu, tetapi terhadap produksi pati
124

sebagian besar variabel tanah memberikan pengaruhnya. Hal ini menunjukkan


bahwa pengaruh sifat tanah terhadap jumlah populasi rumpun sagu lebih terbatas
dibandingkan dengan pengaruhnya terhadap produksi pati. Terdapat variabel
tanah yang memberikan pengaruh yang bersifat positif atau menguntungkan. baik
terhadap jumlah populasi rumpun maupun produksi. Demikian pula sebaliknya
terdapat variabel yang berpengaruh negatif atau bersifat tidak menunjang terhadap
populasi rumpun dan juga produksi pati. Pengaruh yang bersifat menguntungkan
bagi pertumbuhan tidak selalu diikuti dengan pengaruh yang serupa terhadap
produksi pati sagu. Kapasitas tukar kation, pengaruhnya terhadap jumlah populasi
rumpun bersifat negatif, namun sebaliknya terhadap produksi pati bersifat positif.
Demikian pula dengan pengaruh variabel kalsium dan bulk density.
Pada persamaan regresi (pers-29) tampak bahwa variabel tanah yang
paling berpengaruh terhadap jumlah populasi rumpun sagu adalah bulk density.
Variabel ini berkaitan dengan partikel penyusun tanah. Tanah yang memiliki bulk
density tinggi biasanya memiliki kandungan liat yang banyak. Tumbuhan sagu
banyak tumbuh dan berkembang pada tanah-tanah yang memiliki kandungan liat
tinggi. Tumbuhan sagu biasanya tumbuh pada lahan-lahan aluvium berupa endapan
pada dataran rendah, bagian lembah, atau berupa endapan di sisi kiri kanan sungai.
Variabel bulk density berkaitan dengan kepadatan tanah, dan tingkat kepadatan
tanah di dalam habitat sagu P. Seram berada pada kondisi yang memadai yakni
berkisar antara 1,07 1,31, dengan kelas tekstur lempung liat dan liat berdebu.
Pada kondisi tersebut menunjang dalam penambahan jumlah rumpun sagu, dalam
arti mendukung percabangan basal tumbuh keluar menjauhi rumpun induk dan
kemudian membentuk rumpun baru.
Kapasitas tukar kation (KTK) dan unsur hara kalsium memberikan
pengaruh yang bersifat negatif terhadap jumpah populasi rumpun sagu. Artinya
kedua variabel ini tidak menunjang dalam penambahan jumlah rumpun sagu. Hal
ini dapat dikarenakan kedua variabel tersebut merupakan variabel kesuburan
tanah. Tanah yang subur dapat mendorong penambahan jumlah anakan. Dengan
semakin bertambahnya jumlah anakan, maka radius rumpun semakin bertambah.
Penambahan radius ini dapat menyebabkan penyatuan rumpun yang satu dengan
rumpun yang lain. Dengan demikian maka jumlah populasi rumpun akan semakin
125

berkurang. Jadi jumlah populasi rumpun sagu yang bersifat negatif, bukan
dikarenakan terjadi kematian rumpun atau rusaknya rumpun. Tetapi penyatuan
rumpun dalam komunitas sagu itu sendiri.
Lain halnya dengan unsur hara magnesium. Unsur hara ini memberikan
pengaruh yang bersifat positif terhadap jumlah populasi rumpun sagu. Artinya
kondisi kesuburan magnesium rata-rata sekitar 0,46 % dapat menambah jumlah
rumpun sagu. Magnesium merupakan unsur hara yang berperan dalam
penyusunan atau pembentukan klorofil. Rumus kimia klorofil-a dan kloroofil-b
sebagai berikut : klorofil-a C55 H72 O5 N4 Mg dan klorofil-b C55H70O6N4 Mg
(Anonim 2010). Karena magnesium merupakan penyusun klorofil, maka
berkaitan dengan fotosintesis. Hal ini berarti bahwa apabila jumlah magnesium
cukup, maka klorofil yang terbentuk bertambah. Dengan demikian dapat
meningkatkan fotosintesis, selanjutnya dapat meningkatkan hasil fotosintesis
(fotosintat). Meningkatnya fotositat dapat meningkatkan jumlah buah dan biji.
Buah atau biji sagu ini penting sebagai calon individu baru yang kemudian dapat
tumbuh membentuk rumpun baru. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
terdapat sifat tanah yang berperan dalam meningkatkan jumlah populasi rumpun
sagu melalui pengaruhnya terhadap organ vegetatif. Dalam konteks ini melalui
perpanjang cabang basal (rhyzome), dan juga dapat melalui organ generatif berupa
buah atau biji sagu.
Dalam kaitan dengan produksi pati sagu, variabel kemasaman tanah (pH)
memberikan pengaruh yang paling tinggi dibandingkan dengan pengaruh variabel
yang lain. Hal ini berarti bahwa dengan membaiknya kondisi kemasaman tanah,
yakni meningkat >4,3 akan memberikan pengaruh positif dalam peningkatan
produksi pati sagu. Pengaruh positif ini diduga berkaitan dengan ketersediaan
unsur hara terutama phosfor, karena unsur hara ini sangat peka terhadap perubahan
kemasaman tanah. Dengan adanya peningkatan kemasaman tanah, biasanya akan
diikuti dengan perbaikan sifat tanah yang lain seperti ketersediaan unsur hara
phosfor. Unsur hara ini sangat peka terhadap kemasaman. Pada kondisi
kemasaman yang terlalu rendah atau terlalu tinggi, biasanya phosfor tidak tersedia
bagi tumbuhan. Serapan phosfor oleh tumbuhan banyak berlangsung pada kondisi
kemasaman berkisar antara 5,5 6,8 dalam bentuk H2PO4- dan HPO42- (Brady
126

1990). Pada waktu kemasaman tanah rendah, phosfor difiksasi oleh ion Fe dan Al
membentuk senyawa kompleks Fe(OH)2 H2PO4 dan Al(OH)2 H2PO4, sedangkan
ketika kemasaman tinggi, maka phosfor difiksasi oleh Ca membentuk senyawa
Ca(H2PO4)2 atau berupa senyawa kalsium yang lain. Semua senyawa kompleks
yang dikemukakan di atas bersifat sukar larut, sehingga tidak tersedia bagi
tumbuhan. Dengan demikian, apabila kondisi kemasaman berada pada kategori
sedang maka phosfor menjadi tersedia dan dapat meningkatkan produksi pati sagu.
Hardjowigeno (1992) menyebutkan bahwa phosfor merupakan unsur hara yang
memainkan peranan dalam pembentukan pati. Oleh karena itu jika phosfor
terpenuhi, maka penimbunan pati dapat meningkat. Dengan demikian dapat
meningkatkan produksi pati sagu.
Kandungan karbon organik (bahan organik) dan Kapasitas Tukar Kation
(KTK) merupakan parameter tanah yang dapat menjelaskan kesuburan tanah.
Tanah-tanah yang memiliki kandungan bahan organik dan KTK tinggi berarti
kesuburannya tinggi dan sebaliknya. Kandungan bahan organik dan KTK yang
rendah menunjukkan tanah yang kurang subur atau tidak subur. Bahan organik
merupakan salah satu sumber unsur hara dan dapat memperbaiki sifat fisik tanah.
Khusus KTK, sering disebut dengan istilah gudang unsur hara, artinya sebagai
tempat penyimpanan unsur hara. Apabila tumbuhan memerlukan akan segera
dilepas untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan. KTK juga berperan sebagai
buffer unsur hara, sehingga hara tertentu yang mudah tercuci bisa terhindar dari
pencucian atau terangkut oleh air perkolasi (leaching). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa bahan organik dan KTK berpengaruh positif terhadap
produksi pati sagu. Hal ini berarti bahwa unsur hara yang tersimpan dan di buffer
mampu memenuhi kebutuhan sagu sehingga berimplikasi pada peningkatan
produksi pati.
Hasil analisis menunjukkan bahwa unsur hara kalium, kalsium, dan
magnesium berpengaruh positif terhadap produksi pati sagu. Hal berarti bahwa
apabila terjadi penambahan jumlah unsur hara tersebut dalam batas tertentu akan
meningkatkan produksi sagu. Unsur hara kalium bagi tumbuhan antara lain
berperan dalam pembentukan pati, mengaktifkan berbagai jenis enzim dan
mendorong metabolisme karbohidrat, dan memacu perkembangan akar
127

(Hardjowigeno 1992). Hal ini berarti bahwa dengan bertambahnya kandungan


kalium tanah, ketersediaan semakin tinggi sehingga dapat memenuhi kebutuhan
sagu. Dengan terpenuhinya kebutuhan, maka dengan sedirinya akan mendorong
pembentukan karbohidrat, kemudian disimpan dalam bentuk pati. Dalam tubuh
tumbuhan unsur hara kalsium berperan dalam menyusun dinding sel,
pembentukan sel, dan elongasi (elongation) atau pemanjangan sel. Dengan
semakin banyak sel yang terbentuk, maka pati yang tersimpan semakin tinggi,
dengan demikian dapat meningkatkan produksi sagu. Dalam kaitan dengan
pengaruh unsur hara magnesium terhadap produksi pati sagu, telah diuraikan pada
bagian sebelumnya.
Dalam kaitan dengan produksi pati sagu, ferrum memberikan pengaruh
yang bersifat negatif. Dengan kata lain unsur hara ini tidak berperan dalam
meningkatkan produksi pati sagu. Ferrum diketahui sebagai unsur hara esensial
mikro (Hardjowigeno 1992). Hal ini berarti bahwa unsur hara tersebut
berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi suatu tanaman. Selain itu peran
atau fungsinya tidak dapat digantikan oleh unsur hara yang lain. Walaupun esensi
bagi tumbuhan, tetapi apabila konsentrasi tinggi dalam tanah, dapat bersifat
meracun (toxic) terhadap perakaran (Brady 1990). Implikasi dari sifat toxic ini
dapat menyebabkan pertumbuhan akar terganggu. Gangguan dalam pertumbuhan
akar, maka fungsinya tidak dapat berlangsung sebagaimana mestinya. Misalnya
serapan unsur hara bisa berkurang atau terhambat. Jika kebutuhan unsur hara
tumbuhan tidak terpenuhi, maka proses pembentukan pati tidak dapat berlangsung
maksimal, dengan demikian dapat menurunkan produksi.
Dalam pertumbuhan sagu di P. Seram, bulk density atau kepadatan tanah
memberikan pengaruh yang bersifat negatif. Artinya tanah-tanah yang memiliki
kepadatan tinggi tidak baik dalam peningkatan produksi pati sagu. Hasil analasis
menunjukkan bahwa bulk density mencapai 1,3 gr/cm3, termasuk tinggi karena
bulk density tanah mineral pada umumnya berkisar antara 1,1 1,6 gr/cm3
(Hardjowigeno 1992). Secara teoritis, tanah-tanah padat merupakan tanah yang
memiliki tata air (drainase) dan tata udara (airase) jelek. Menurut Levitt (1980)
dikemukakan bahwa tanah-tanah yang memiliki drenase jelek atau tergenang
dapat menyebabkan terjadinya cekaman terkanan turgor. Dampaknya adalah
128

serapan air dan unsur hara terhambat. Hambatan ini dapat berpengaruh terhadap
produksi pati sagu.
Selain bulk density, sifat fisika tanah lain yang diuji dan memberikan
pengaruh terhadap produksi sagu adalah partikel liat. Hasil analisis menunjukkan
bahwa partikel liat berpengaruh positif terhadap produksi pati sagu. Adanya
pengaruh yang bersifat positif ini diduga karena liat yang terbentuk pada habitat
sagu merupakan liat yang memiliki kesuburan tinggi. Syekhfani (1997)
mengemukakan bahwa terdapat dua jenis liat yang memiliki kesuburan tinggi
yaitu liat montmorilonit dan vermikulit. Kedua jenis liat ini memiliki KTK
masing-masing sebesar 80-150 me/100 gr dan 100-150 me/100 gr. Dalam kaitan
dengan peran KTK terhadap produksi pati sagu telah dijelaskan pada uraian
sebelumnya.

c. Interaksi dengan parameter kualitas air rawa

Hasil analisis PCA faktor kualitas air rawa menunjukkan bahwa dua
komponen utama telah mampu menerangkan keragaman total data sifat kualitas
air rawa sebesar 83,3 %. Dua komponen utama tersebut (PC1 dan PC2)
memberikan kontribusi keragaman atau penciri sifat kualitas air rawa masing-
masing sebesar 52,0 %, dan 31,3 % (Tabel 30). Pada PC1 terdapat tiga variabel
sebagai penciri utama faktor kualitas air rawa yaitu pH, kalsium, dan nitrat. Pada
PC2 secara dominan dicirikan oleh tiga variabel yaitu kalium, magnesium, dan
salinitas (Tabel 31).

Tabel 30. Eigenvalues matriks korelasi faktor air

Komponen Eigenvalue Proportion Cumulative


PC1 3,1197 0,520 0,520
PC2 1,8757 0,313 0,833

Hasil analisis PCA untuk menjelaskan interaksi variabel kualitas air rawa
menggunakan loading plot menunjukkan bahwa pH air memiliki korelasi positif
dengan kalium, kalsium, dan magnesium (Gambar 31). Hal ini ditunjukkan
dengan sudut lancip yang dibentuk oleh garis loading plot. Korelasi yang bersifat
positif ini mengandung pengertian bahwa dengan makin bertambah kandungan
129

kalium, kalsium, dan magnesium, maka pH air akan meningkat. Kalium, kalsium,
dan magnesium merupakan kation basa yang memainkan peranan dalam
meningkatkan pH. Pada uraian sebelumnya telah disebutkan bahwa bahan kapur
untuk memperbaiki kemasaman tanah adalah mengandung kation-kation tersebut.
Korelasi positif terjadi pula antara variabel salinitas dengan pH dan kalium. Hal
ini berarti bahwa dengan meningkatnya pH air dan kalium dalam air, maka akan
menaikkan kadar salinitas air rawa.

Tabel 31. Eigenvector komponen utama variabel kualitas air rawa


Variable PC1 PC2
pH 0,516 -0,290
Kalium 0,255 0,629
Kalsium 0,554 -0,091
Magnesium 0,332 0,565
NO3 -0,499 0,264
Salinitas 0,044 -0,352

Loading Plot of pH; ...; Salinitas


Kalium
0,6 Magnesium

0,4
Second Component

NO3

0,2

0,0
Kalsium

-0,2
pH
Salinitas

-0,4
-0,50 -0,25 0,00 0,25 0,50
First Component

Gambar 31. Interaksi variabel kualitas air rawa dalam habitat sagu di P. Seram,
Maluku

Kandungan nitrat (NO3) dalam air berkorelasi negatif dengan pH. Hal ini
ditunjukkan dengan sudut tumpul yang dibentuk oleh garis loading plot variabel
tersebut. Korelasi yang bersifat negatif ini mengandung pengertian bahwa dengan
130

meningkatnya pH, maka kandungan nitrat akan berkurang. Pada lahan rawa yang
mengalami genangan cukup lama, biasanya oksigen berkurang dibarengi dengan
peningkatan kemasaman air. Di dalam air nitrat mudah tercuci atau terbawa oleh
aliran perkolasi. Dalam air yang tergenang dimana kondisinya tereduksi, nitrat
biasanya dirubah ke dalam bentuk ammonium (NH4). Perubahan ini antara lain
diduga berperan dalam turunnya kandungan nitrat dalam air rawa di lahan sagu.
Dengan mempertimbangkan eigenvalues sebagai skor komponen utama
(skor PC) faktor kualitas air rawa dan nilai eigenvector terbesar, maka dapat
ditentukan besarnya kontribusi (bobot) relatif masing-masing variabel kualitas air
rawa terhadap habitat sagu. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah
kontribusi faktor kualitas air rawa terhadap habitat sagu di Pulau Seram sebesar
6,26 % (Tabel 32). Variabel kualitas air rawa yang memiliki kontribusi tertinggi
adalah kalsium, dengan besarnya kontribusi sekitar 1,73 %. Sedangkan variabel
dengan kontribusi paling rendah adalah salinitas sebesar 0,14 %.

Tabel 32. Kontribusi variabel kualitas air rawa terhadap habitat sagu di P. Seram,
Maluku
Variabel Skor PC Eigenvector Kontribusi (%)
pH 3,120 0,516 1,61
Kalium 1,876 0,629 1,18
Kalsium 3,120 0,554 1,73
Magnesium 1,876 0,565 1,10
Nitrat (NO3) 1,876 0,264 0,50
Salinitas 3,120 0,044 0,14
Jumlah 6,26

Berdasarkan hasil perhitungan sebagaimana tertera dalam Tabel 30 di atas,


dapat disusun model indeks habitat sagu terkait dengan peran faktor kualitas air
rawa di P. Seram sebagai berikut :

HS(F-KAR) = (1,61pH) + (1,18K) + (1,73Ca) + (1,10Mg + (0,50Nitrat) + (0,14Salinitas)


.. (31)
131

dimana : HS(F-KAR) = habitat sagu terkait dengan faktor kualitas air rawa
pH = kemasaman air
K = Kalium
Ca = Kalsium
Mg = Magnesium
NO3 = Nitrat

Pada model indeks habitat sagu sebagaimana tersaji dalam pers-31 di atas,
tampak bahwa habitat sagu di P. Seram dalam kaitannya dengan sifat kualitas air
rawa sangat ditentukan oleh variabel kandungan kalsium. Hal ini berarti bahwa
untuk habitat sagu diperlukan kalsium yang memadai. Kalsium merupakan unsur
hara esensial makro, artinya diperlukan oleh tumbuhan dalam jumlah yang relatif
banyak. Kalsium juga merupakan kation basa yang berperan dalam memperbaiki
kemasaman air. Selain itu pertumbuhan sagu ditentukan pula oleh kation dan
anion lain seperti kalsium, magnesium, dan nitrat. Setelah kalsium, variabel
kualitas air rawa yang paling berperan adalah kemasaman air (pH). Kemasaman
air berkaitan dengan ketersediaan unsur hara tertentu seperti phosfor, dan
kelarutan senyawa logam yang dapat memberikan efek buruk terhadap
pertumbuhan sagu. Kualitas air rawa di lahan sagu yang paling kecil perannya
adalah salinitas.
Hasil analisis regresi komponen utama untuk menjelaskan pengaruh
faktor kualitas air rawa terhadap jumlah populasi rumpun dan produksi pati sagu
menunjukkan bahwa kontribusi pengaruh faktor kualitas air rawa terhadap
pertumbuhan dan produksi pati sagu masing-masing sebesar 10,0 % dan 11,0 %
(Lampiran 20). Persamaan regresi komponen utamanya sebagai berikut :

Y1 = 6,17 + 0,004 X1 - 0,018 X2 - 0,009 X3 - 2,105 X4 .. (32)

Y2 = 546,18 + 4,056 X1 - 0,370 X2 + 5,090 X3 - 186,047 X4 .. (33)

dimana : Y1 = jumlah populasi rumpun sagu, Y2 = produksi pati sagu, X1 =


Kalium, X2 = Kalsium, X3 = Magnesium, X4 = Salinitas.

Hasil analisis menunjukkan bahwa salinitas merupakan variabel air yang


paling berpengaruh terhadap jumlah populasi rumpun dan produksi pati sagu.
Pengaruh salinitas ini bersifat negatif, artinya menghambat penambahan jumlah
132

populasi rumpun dan tidak menunjang peningkatan produksi pati sagu, jika
salinitas air meningkat. Rostiwati et al. (2008) mengemukakan bahwa tumbuhan
sagu dapat tumbuh sampai dengan kondisi salinitas air mencapai 10 ppt.
Walaupun tumbuhan sagu memiliki daya adaptasi untuk dapat tumbuh sampai
dengan kondisi salinitas sebagaimana tersebut di atas, namun dengan peningkatan
salinitas tidak memberikan pengaruh yang baik bagi penambahan jumlah populasi
rumpun maupun terhadap produksi pati sagu.
Pengaruh yang bersifat negatif dari salinitas terhadap jumlah populasi
rumpun dikarenakan pada habitat tergenang terdapat garam-garam yang larut
seperti garam kalsium, magnesium, dan mungkin juga natrium terutama pada
habitat air payau. Garam-garam ini diduga menghambat pertumbuhan
percabangan basal (rhyzome) sehingga pembentukan rumpun baru tidak dapat
berlangsung. Artinya pertumbuhan percabangan basal hanya tumbuh disekitar
pohon induk, tumbuh bersama dalam suatu rumpun.
Dalam pertumbuhan sagu, kalium di dalam air memberikan pengaruh yang
bersifat positif terhadap jumlah populasi rumpun sagu. Hal ini berarti bahwa
kalium berperan dalam penambahan jumlah populasi rumpun sagu. Dalam kaitan
ini dimungkinkan karena kalium merupakan unsur hara yang berperan dalam
perkembangan akar (Hardjowigeno 1992). Dalam konteks ini diduga kalium
berperan juga dalam mendorong pemanjangan percabangan basal (rhyzome) sagu.
Dalam ilmu Botani, rhyzome merupakan modifikasi akar yang dapat tumbuh
menjadi individu baru. Rhyzome sagu yang memanjang menjauhi pohon induk
atau rumpun induk, kemudian tumbuh menjadi individu baru yang selanjutnya
membentuk rumpun baru.
Dalam kaitan dengan produksi pati sagu, hasil analisis menunjukkan
bahwa variabel salinitas memberikan pengaruh yang bersifat negatif. Salinitas
sesungguhnya merupakan indikator yang mencirikan kandungan garam-garam
yang terlarut dalam air. Tiga jenis unsur hara yang larut dalam air tersebut yakni,
kalium, kalsium, dan magnesium. Tiga unsur tersebut merupakan kation yang
dibutuhkan tumbuhan dan menentukan tingkat salinitas. Dalam proses serapan,
dapat terjadi kompetisi diantara ketiga kation tersebut karena memiliki kemiripan
sifat. Pada uraian sebelumnya dikemukakan oleh Syekhfani (1997) bahwa
133

terdapat kompetisi dalam penyerapan ion kalium, kalsium, dan magnesium karena
secara kimia memiliki kesamaan sifat. Kalium dan magnesium yang terus
bertambah dapat meningkatkan produksi pati sagu. Hal ini ditunjukkan dengan
pengaruh kedua kation tersebut yang bersifat positif. Pengaruh sebaliknya
ditunjukkan oleh kalsium, artinya dengan semakin bertambah jumlahnya di
dalam air, tidak diikuti dengan peningkatan produksi pati sagu. Hal ini diduga
karena kebutuhan kalsium sagu telah dapat dipenuhi dari dalam tanah. Terkait
dengan fungsi dan peran masing-masing unsur telah dijelaskan pada uraian
sebelumnya.

4.2.10. Potensi populasi dan produksi pati sagu di P. Seram

a. Potensi populasi sagu di P. Seram

Di P. Seram Maluku terdapat luas potensi areal tumbuhan sagu lebih kurang
18.239 ha. Pada luas areal tersebut tumbuh dan berkembang sekitar 3,22 juta
rumpun sagu, terdiri dari sagu fase semai 6,14 juta individu, sapihan 1,59
individu, tiang 0,55 juta individu, pohon 1,47 juta individu, pohon masak panen
0,35 juta individu, dan pohon veteran 0,12 juta individu (Tabel 33).

Tabel 33. Potensi populasi tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku


Spesies Fase Pertumbuhan
Rumpun
sagu Semai Sapihan Tiang Pohon Phn.Panen Phn.Veteran
x 1000 ind.
M.rumphii 1.714,3 2.991,9 775,8 279,3 678,3 114,8 12,8
M.longisp. 543,8 1,025,6 277,6 95,9 276,2 104,5 58,6
M.sylvestre 629,8 1,745,8 378,7 118,4 331,0 67,0 9,6
M.microc. 27,5 57,3 13,7 3,2 20,1 0,0 0,0
M.sagu 304,8 315,2 142,7 55,3 162,8 61,8 37,1
Jumlah 3.220,2 6.135,8 1.588,6 552,1 1,468,2 348,0 118,1
Keterangan : M. longisp = M. longispinum, M. microc = M. microcanthum, ind = individu, phn =
pohon. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. sampel I Luhu SBB, II
Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009, kemudian dikoreksi dengan luas
areal sagu di P. Seram 18.239,8 ha.

Atas dasar jumlah individu yang dimiliki, maka dapat dikatakan bahwa
spesies M. rumphii Mart. merupakan spesies sagu yang sangat potensil karena
memiliki jumlah individu yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan spesies
134

sagu yang lain. Apabila dibandingkan dengan spesies M. longispinum Mart.,


spesies M. rumphii Mart. memiliki jumlah individu rumpun dan seluruh fase
pertumbuhan hampir tiga kali lebih banyak daripada M. longispinum Mart.
Demikian pula jika dibandingkan dengan jumlah individu sagu M. sylvestre Mart.
Walaupun demikian dua spesies sagu yang disebut terakhir ini memiliki jumlah
individu yang lebih banyak dibandingkan dengan spesies M. microcanthum Mart.
dan M. sagu Rottb. Spesies sagu yang sangat tidak potensial di P. Seram yaitu M.
microcanthum Mart. karena memiliki jumlah individu yang sangat sedikit yakni
tidak mencukupi setengah persen.
Dalam setiap tahun tumbuhan sagu yang telah mencapai fase pohon, dan
diperkirakan dapat dipanen sekitar 25-30 % atau sekitar 350 pohon sagu yang
mencakup empat spesies sagu, yaitu M. rumphii Mart., M. longispinum Mart., M.
sylvestre Mart., dan M. sagu Rottb. Sekitar 85 % pohon sagu yang dapat dipanen
berupa spesies M. rumphii Mart., M. longispinum Mart., M. sylvestre Mart. Pada
Tabel di atas terlihat bahwa populasi spesies M. sylvestre Mart. fase pohon yang
dapat dipanen relatif sedikit. Hal ini dikarenakan spesies sagu ini banyak yang
dipanen petani karena spesies sagu ini dapat memberikan hasil yang banyak,
merupakan spesies sagu yang paling dipilih untuk panen. Argumen ini didukung
dengan fakta jumlah individu M. sylvestre Mart. fase pohon veteran yang relatif
sedikit. Berlainan dengan M. longispinum Mart. dan M. sagu Rottb., dimana
jumlah individu fase pohon veteran yang cukup menonjol karena kurang diminati
untuk dipanen oleh masyarakat petani di P. Seram.

a. Potensi produksi pati sagu di P. Seram

Hasil perhitungan potensi produksi pati sagu di P. Seram menunjukkan


bahwa jenis tumbuhan sagu yang memiliki potensi produksi paling tinggi adalah
spesies M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. Berdasarkan tipe habitat, pada
habitat lahan kering potensi produksi pati M. rumphii Mart. rata-rata mencapai
685,50 kg/batang, M. sylvestre Mart. 726,22 kg/batang (Tabel 34). Potensi
produksi kedua spesies sagu ini hampir sama pada semua tipe habitat.
Secara umum potensi produksi pati spesies M. rumphii Mart. dan M.
sylvestre Mart. dua kali lebih besar dibandingkan dengan spesies M. lonhispinum
135

Mart. dan M. sagu Rottb. Apabila potensi produksi sagu ini ditinjau dari tipe
habitat, maka produksi pati sagu pada tipe lahan kering dan tergenang temporer
air tawar (T2AT) diperoleh produksi pati sagu yang paling tinggi pada semua
jenis sagu, dibandingkan dengan dua tipe habitat yang lain yakni tipe habitat
tergenang temporer air payau (T2AP) dan tergenang permanen (TPN).

Tabel 34. Potensi produksi sagu di P. Seram pada tipe habitat berbeda
Tipe Habitat Rataan
No. Spesies sagu TTG T2AT T2AP TPN
kg/batang
1. M. rumphii 685,50 721,50 479,17 378,00 566,04
2. M. longispinum 324,50 287,11 186,00 183,22 245,21
3. M. sylvestre 726,22 708,00 460,50 348,00 560,68
4. M. sagu - 348,44 - 126,00 237,22
Rataan 578,74 516,26 353,06 258,81 393,13
Keterangan : TTG = lahan kering, T2AT = tergenang temporer air tawar, T2AP = tergenang
temporer air payau, TPN = tergenang permanen. Data yang disajikan berasal dari
data rataan wil. sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun
2009.

Pada tipe habitat tergenang terjadi cekaman defisit oksigen, dan cekaman
ionik oleh unsur Fe dan Al. Levitt (1980) mengemukakan bahwa defisit oksigen
menyebabkan penyerapan air (water uptake) berkurang karena aerase jelek. Pada
tumbuh-tumbuhan yang tergenang daun-daunnya mengalami klorosis, dan ketika
taraf oksigen berkurang, maka terjadi hambatan dalam proses sintesis
polisakarida. Dalam kaitan dengan produksi pati sagu, dengan berkurangnya
water uptake, maka penyerapan unsur hara ikut terhambat antara lain seperti
nitrogen, magnesium, dan besi. Fenomena inilah yang menyebabkan daun tampak
klorosis, dengan demikian proses fotosintesis terhambat, dampaknya adalah
penimbunan fotosintat dalam bentuk pati sedikit. Selain itu apabila serapan unsur
hara kalium menurun, karena water uptake bekurang maka proses metabolisme
karbohidrat terhambat. Cekaman defisit oksigen karena penggenangan yang
menyebabkan sintesis polisakarida menurun berpengaruh terhadap produksi sagu
adalah dikarenakan produksi sagu tersimpan dalam bentuk pati (polisakarida),
sehingga jika fotosintat tersimpan dalam bentuk karbohidrat sederhana, akan
mudah larut dan terbuang dalam proses pengolahan.
136

Tipe habitat tergenang temporer air payau (T2AP) dan tergenang


permanen (TPN) merupakan tipe habitat yang kurang baik bagi pertumbuhan dan
produksi pati sagu. Hal ini tampak dari potensi produksi sagu yang relatif rendah
apabila dibandingkan dengan potensi produksi pati sagu pada tipe habitat lahan
kering dan tergenang temporer air tawar. Potensi produksi pati sagu tuni dan
sylvestre pada tipe habitat yang kurang baik tersebut sama baiknya dengan potensi
produksi pati sagu makanaro dan molat pada tipe habitat yang dianggap baik bagi
pertumbuhan sagu yakni habitat lahan kering dan tergenang temporer air tawar
(T2AT).
Berdasarkan potensi produksi pati sagu yang dimiliki masing-masing
spesies sagu, maka dapat dikatakan bahwa spesies M. rumphii Mart. dan M.
sylvestre Mart. merupakan jenis sagu yang berpotensi untuk dikembangkan
dimasa yang akan datang. Sedangkan tipe habitat yang paling baik untuk
pengembangan sagu adalah tipe habitat lahan kering (TTG) dan tergenang
temporer air tawar (T2AT). Untuk keperluan pengembangan pada tipe habitat
tergenang temporer air payau (T2AP) dan tergenang permanen (TPN), selain
diperlukan pertimbangan pemilihan jenis sagu yang memiliki potensi produksi
tinggi, juga diperlukan usaha-usaha pengelolaan berupa pengembangan saluran
drainase sehingga tidak memungkinkan air tergenang dalam tempo yang relatif
lama.

4.3. Studi Biodiversitas tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku

Berdasarkan tingkatannya, biodiversitas atau keanekaragaman hayati


terdiri dari tiga tingkatan yaitu keanekaragaman tingkat komunitas,
keanekaragaman tingkat spesies, dan keanekaragaman tingkat genetik (Kartono
2006). Dalam penelitian ini keanekaragaman tumbuhan sagu dikelompokkan
menurut tiga tingkatan tersebut.

4.3.1. Biodiversitas tingkat komunitas

Keanekaragaman sagu tingkat komunitas dalam penelitian ini dilakukan


dengan membandingkan keanekaragaman tumbuhan sagu menurut wilayah
137

sampel, meliputi wilayah sampel I Luhu-SBB, wilayah sampel II Sawai-MT, dan


wilayah sampel III Werinama-SBT. Keanekaragaman komunitas sagu antar
wilayah sampel didekati dengan menggunakan analisis kemiripan komunitas
(Smith 1980 dalam Setiadi et al. 1989).
Hasil analisis indeks kemiripan komunitas sagu antara wilayah sampel I
Luhu-SBB dan wilayah sampel II Sawai-MT, wilayah sampel I Luhu-SBB dan
wilayah sampel III Werinama-SBT, dan wilayah sampel II Sawai-MT dan
wilayah sampel III Werinama-SBT menunjukkan bahwa komunitas sagu di P.
Seram memiliki kemiripan komunitas yang termasuk dalam kategori tinggi
dengan nilai indeks kemiripan komunitas berkisar antara 60,66 80,92 %. (rata-
rata 65,76 %) (Tabel 35).

Tabel 35. Indeks kemiripan komunitas sagu di P. Seram, Maluku


No. Fase Indeks Kemiripan Komunitas (%)
Pertumbuhan I x II I x III II x III Rataan
1. Pohon 60,95 60,95 80,92 67,61
2. Tiang 57,14 57,52 61,42 58,69
3. Sapihan 74,91 71,60 76,47 74,33
4. Semai 65,92 60,66 60,66 62,41
Rataan 64,73 62,68 69,87 65,76
Keterangan : Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. sampel I Luhu SBB, II Sawai MT,
dan III Werinama SBT, tahun 2009.

Berdasarkan fase pertumbuhan, tampak bahwa kemiripan komunitas


paling tinggi terdapat pada fase sapihan mencapai 74,33 % dan kemiripan
komunitas yang lebih rendah secara berurutan, fase tiang 58,69 %, semai 62,41 %,
dan fase pohon 67,61 %. Indeks kemiripan komunitas antara wilayah sampel yang
satu dengan yang lain pada semua fase pertumbuhan sagu menunjukkan bahwa
kemiripan komunitas tumbuhan sagu di P. Seram termasuk dalam kategori tinggi
dengan nilai indeks rata-rata sebesar 65,76 %. Hal ini berarti bahwa terdapat
kesamaan komunitas sagu alami di dalam wilayah P. Seram. Kesamaan yang
tinggi ini dikarenakan pada semua wilayah sampel tumbuhan sagu tumbuh dan
berkembang membentuk klaster secara masif melalui pertumbuhan rhyzome yang
memanjang membentuk individu baru. Dalam perkembangan lebih lanjut
individu baru ini kemudian membentuk rumpun sendiri, demikian seterusnya
138

dengan pertambahan waktu sehingga menguasai seluruh areal lahan yang sesuai
untuk pertumbuhannya. Sagu merupakan jenis tumbuhan yang memiliki daya
adaptasi yang tinggi sehingga mampu tumbuh dan berkembang pada lahan-lahan
marjinal yaitu lahan dimana jenis tumbuhan atau kebanyakan tanaman
perkebunan tidak dapat bertahan hidup (Suryana 2007).
Secara ekologi wilayah pengamatan yang mempunyai indeks kemiripan
komunitas yang tinggi memberikan indikasi bahwa komposisi spesies yang
menyusun komunitas tersebut relatif memiliki kesamaan. Berdasarkan nilai IS
yang diperoleh diketahui bahwa seluruh wilayah pertumbuhan sagu alami di P.
Seram Maluku memiliki kemiripan komunitas yang tinggi. Hal ini dikarenakan
adanya kesamaan kondisi habitat atau lingkungan pertumbuhan, baik secara fisik,
kimia, maupun interaksi antar spesies yang hidup pada seluruh wilayah penelitian,
sehingga spesies sagu dan vegetasi lain yang tumbuh relatif sama. Akibatnya
tingkat kemiripan komunitas vegetasi di seluruh wilayah penelitian termasuk
dalam kategori tinggi. Barbour et al. (1987) mengemukakan bahwa kondisi
mikrositus yang relatif homogen akan ditempati oleh individu dari jenis yang
sama, karena spesies tersebut secara alami telah mengembangkan mekanisme
adaptasi dan toleransi terhadap habitatnya.
Kemiripan atau kesamaan komunitas vegetasi dalam areal pertumbuhan
sagu di P. Seram ini didorong pula oleh adanya aktivitas masyarakat yang
melakukan penanaman tumbuhan sagu, walaupun secara sporadis sejak masa
lampau berpuluh bahkan beratus tahun yang lalu. Hal ini sejalan dengan pendapat
Loveless (1983 dalam Setiadi 2005) yang mengemukakan bahwa faktor lain
yang menentukan kehadiran suatu spesies tumbuhan atau komunitas tumbuhan
tidak hanya sebagai akibat dari pengaruh faktor fisik dan kimia, tetapi hewan dan
manusia juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan
tumbuhan.

4.3.2. Biodiversitas tingkat spesies

Penentuan indeks keanekaragaman spesies dilakukan dengan menghitung


indeks keanekaragaman Shannon (H). Indeks ini mengggambarkan banyaknya
jumlah individu suatu spesies atau kelimpahan jenis dan jumlah jenis spesies
139

tertentu atau kekayaan jenis (Muhdi 2005). Hasil analisis indeks keanekaragaman
spesies menurut indeks Shannon (H) pada semua fase pertumbuhan di seluruh
wilayah sampel menunjukkan bahwa indeks keanekaragaman spesies termasuk
dalam kategori sangat rendah dengan nilai H berkisar antara 0,61 0,90, kecuali
pada stadia semai dalam wilayah sampel I Luhu-SBB termasuk dalam kategori
rendah dengan nilai H sebesar 1,18 (Tabel 36).

Tabel 36. Indeks keanekaragaman spesies dalam komunitas sagu di P. Seram


Indeks Shannon (H)
Fase
No. Wil.Sampel I Wil. Sampel II Wil. Sampel III
Tumbuh Rataan
Luhu-SBB Sawai-MT Werinama-SBT
1. Pohon 0,61 0,61 0,65 0,62
2. Tiang 0,64 0,68 0,89 0,74
3. Sapihan 0,75 0,71 0,90 0,79
4. Semai 1,18 0,92 0,95 1,02
Rataan 0,79 0,73 0,85 0,79
Keterangan : Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. sampel I Luhu SBB, II Sawai MT,
dan III Werinama SBT, tahun 2009.

Nilai indeks keanekaragaman spesies pada sebagian besar fase


pertumbuhan kurang dari satu (<1), mengandung makna bahwa indeks
keanekaragaman spesies fase sapihan sampai fase pohon di P. Seram Maluku
termasuk dalam kategori sangat rendah, sedangkan pada fase semai termasuk
dalam kategori rendah. Walaupun demikian apabila diperhitungkan secara
keseluruhan, nilai indeks keanekaragaman spesies tidak mencapai satu (rataan
0,79). Dengan demikian maka secara umum dapat dikatakan bahwa indeks
keaneragaman spesies dalam wilayah P. Seram termasuk dalam kategori sangat
rendah. Hal ini berarti bahwa dalam komunitas tumbuhan sagu pada seluruh
wilayah sampel tidak terdapat perbedaan indeks keanekaragaman spesies.
Fenomena ini memberikan petunjuk bahwa dalam komunitas tumbuhan sagu yang
tumbuh secara alami di P. Seram telah mencapai suatu komunitas klimaks dan
stabil.
Barbour et al. (1987) mengemukakan bahwa keanekaragaman spesies
merupakan informasi penting tentang suatu komunitas. Semakin luas areal
sampel dan semakin banyak spesies yang dijumpai, maka nilai indeks
keanekaragaman spesies cenderung akan lebih tinggi. Nilai indeks
keanekaragaman spesies yang rendah pada umumnya dijumpai pada komunitas
140

yang telah mencapai klimaks. Untuk mempertahankan keanekaragaman spesies


yang tinggi, suatu komunitas memerlukan gangguan secara teratur dan acak.
Komunitas yang sangat stabil, meluas secara regional dan homogen, mempunyai
indeks keanekaragaman spesies lebih rendah dibandingkan bentuk hutan mosaik
atau secara regional diganggu secara periodik oleh api, angin, banjir, hama, dan
intervensi manusia. Biasanya setelah terjadi gangguan akan terjadi peningkatan
keanekaragaman spesies sampai pada suatu titik dimana komunitas mencapai
klimaks. Selanjutnya setelah klimaks ada kecendurungan indeks keanekaragaman
menurun lagi.
Di dalam komunitas tumbuhan sagu alami di P. Seram seringkali terjadi
gangguan melalui kegiatan pemanenan oleh masyarakat, akan tetapi gangguan
yang ditimbulkan oleh aktivitas itu belum menyebabkan kerusakan berarti yang
memungkinkan munculnya spesies lain atau vegetasi baru secara menyolok
sehingga mampu meningkatkan keanekaragaman spesies dalam komunitas
tumbuhan sagu. Disisi lain pemanenan sagu pada fase pohon tidak menyebabkan
gangguan berarti terhadap eksistensi rumpun sagu, dalam arti rumpun sagu masih
relatif kokoh dan fase tumbuh sagu di bawah fase pohon seperti tiang, sapihan,
dan/atau semai masih tetap mendominasi habitat tumbuhnya.
Hasil analisis yang tersaji dalam Tabel 18, sangat relevan dengan pendapat
Barbour et al. (1987) dimana pada seluruh wilayah sampel dan fase pertumbuhan
diperoleh nilai indeks keanekaragaman spesies yang tergolong rendah dan
termasuk dalam kategori relatif sama. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi
habitat pada seluruh wilayah sampel relatif homogen, apabila terjadi gangguan
tidak secara drastis yang menyebabkan kerusakan berarti.

4.3.3. Biodiversitas tingkat genetik

Analisis genetik dimaksudkan untuk melakukan klarifikasi spesies sagu


karena ditengarai terdapat perbedaan pandangan mengenai jumlah spesies
tumbuhan sagu yang terdapat di P. Seram pada khususnya dan Indonesia pada
umumnya. Analisis untuk menjelaskan hal ini dilakukan dengan menggunakan
metode elektroforesis gel pati atau disebut pula dengan istilah metode isozim atau
isoenzim (Hartana 2003). Untuk menjelaskan hal ini dilakukan dengan
141

menggunakan empat jenis pewarna enzim yaitu 1) enzim Aspartat


Aminotransferase (AAT), 2) enzim Asam Phosphatase (ACP), 3) enzim
Peroksidase (PER), dan 4) enzim Esterase (EST). Hasil analisis enzim atau isolasi
enzim menunjukkan bahwa dari empat jenis pewarna enzim, tiga jenis enzim
memberikan hasil pewarnaan yang dapat dilakukan interpretasi yaitu enzim AAT,
ACP, dan PER. Sedangkan pewarnaan dengan menggunakan enzim Esterase
(EST) memberikan pewarnaan yang tidak sempurna. Tiga jenis enzim yang
memberikan pewarnaan yang baik dan dapat dilakukan interpretasi disajikan
berturut-turut dalam Gambar 32 berikut.
Berdasarkan hasil analisis isozim sebagaimana terlihat pada gambar
tersebut tampak bahwa pola pita isozim lima spesies sagu yang dianalisis
memperlihatkan dua pola pita isozim. Spesies M. rumphii Mart., M. sylvestre
Mart., M. longispinum Mart., dan M. micrtocanthum Mart. membentuk pola pita
isozim dalam satu kelompok tersendiri, sedangkan M. sagu Rottb. terpisah
membentuk pola pita tersendiri pula. Empat spesies sagu yang membentuk pola
pita isozim pertama merupakan spesies sagu yang memiliki duri sedangkan
spesies sagu dengan pola pita isozim kedua berupa M. sagu Rottb. merupakan
jenis tumbuhan sagu yang tidak berduri. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
lima spesies tumbuhan sagu yang tumbuh dan berkembang di P. Seram hanya
terdiri dari dua spesies. Kedua spesies ini oleh Beccari (1918 dalam Flach 1997)
dikelompokkan ke dalam spesies Metroxylon rumphii Mart. untuk spesies sagu
yang memiliki duri, sedangkan spesies Metroxylon sagu Rottb. untuk tumbuhan
sagu yang tidak berduri. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa hasil penelitian
ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Beccari (1918 dalam Flach
1997).
142

Keterangan : 1 = M. rumphii Mart.; 2 = M. sylvestre Mart.; 3 = M. longispinum Mart.; 4 = M. microcanthum


Mart.; 5 = M. sagu Rottb.

Gambar 32. Zimogram isozim (a) Aspartat Aminotransferase (AAT), (b) Asam
Phosphatase (ACP), dan (c) Peroksidase (PER)
143

Berdasarkan hasil penelitian Sarkar (1970 dalam Flach 1997)


dikemukakan bahwa jumlah kromosom tumbuhan sagu sebanyak 16 (2n = 32).
Hasil penelitian ini kemudian terkoreksi berdasarkan hasil penelitian Verhaar
(1976 dalam Flach 1997) yang menemukan bahwa jumlah kromosom spesies
sagu tidak berduri (M. sagu Rottb.) memiliki jumlah kromosom sebanyak 13 (2n
= 26). Dengan demikian, maka spesies sagu yang berduri M. rumphii Mart.
memiliki jumlah kromosom sebanyak 16 dan spesies M. sagu Rottb. jumlah
kromosomnya sebanyak 13.
Dua spesies tumbuhan sagu yang terdapat di P. Seram Provinsi Maluku
yaitu M. rumphii Mart. dan M. sagus Rottb., yang meliputi lima spesies sagu
sebelumnya, oleh Beccari (1918 dalam Flach 1997) dilakukan pengelompokkan
menjadi empat varietas yaitu M. rumphii Mart. terdiri dari tiga varietas yaitu : 1)
varietas microcanthum Becc., 2) varietas sylvestre Becc., dan 3) varietas rotang
Becc. Sedangkan spesies M. sagu Rottb. hanya memiliki satu varietas yakni
varietas molat Becc. Selanjutnya varietas microcanthum dibagi menjadi dua
subvarietas yaitu subvarietas tuni dan subvarietas makanaro. Hasil analisis
genetik menggunakan isozim ini semakin mempertegas atau memperjelas uraian
yang dikemukakan oleh Beccari ini. Sistem klasifikasi atau cara penamaan ini
menganut prinsip penamaan menurut istilah spesies biologis. Spesies biologi ini
mengandung makna sebagai individu-individu organisme yang dapat melakukan
pertukaran gen atau dapat kawin dan membentuk individu baru yang bersifat
fertil.
Selain pembagian spesies tumbuhan sagu sebagaimana yang dikemukakan
di atas, ditemukan pula cara penulisan atau pemahaman bahwa di P. Seram
Maluku khususnya dan Indonesia pada umumnya terdapat lima spesies sagu.
Pertama kali penulis mengetahui bahwa tumbuhan sagu di Maluku berjumlah lima
spesies berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Heyne (1950) dalam
Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1993), yaitu : 1) M. rumphii Mart., 2) M.
longispinum Mart., 3) M. microcanthum Mart., dan M. sylvestre Mart., dan 5) M.
Sagu Rottb.
Penamaan ini oleh Louhenapessy (1993 dan 2006) disertakan dengan
nama lokal sebagai berikut : 1) Metroxylon rumpii Mart. (sagu tuni), 2) M. sagu
144

Rottb. (sagu molat), 3) M. sylvester Mart. (sagu ihur), 4) M. longispinum Mart.


(sagu makanaru), dan 5) M. microcanthum Mart. (sagu duri rotan). Cara
penamaan ini dianut pula oleh para ahli yang lain, misalnya Bintoro (2008) dan
Rostiwati et al. (2008).
Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka faham yang menganut lima
spesies sagu di Maluku terutama di P. Seram terkoreksi. Dapat dikemukakan pula
bahwa dalam Botanica Sistematica yang dikeluarkan FAO (2007) dari delapan
spesies sagu yang terdapat di dunia, tidak terdapat spesies sagu seperti M.
longispinum Mart., M. microcanthum Mart, dan M. sylvestre Mart. Kemudian di
dalam klasifikasi sagu yang dibuat Martius (1838 dalam FAO 2007) hanya
terdapat dua spesies yaitu spesies M. rumphii Mart. dan M. elatum Mart.
Ringkasan jumlah spesies sagu menurut Beccari (1918 dalam Flach 1997) dan
beberapa ahli yang lain disajikan pada Gambar 33 dan Tabel 37.

Spesies Varietas Subvarietas

M. rumphii Mart. Microcanthum Tuni

Sylvestre Makanaro
Sagu
Rotang

M. sagu Rottb. Molat

Gambar 33. Jumlah spesies sagu di P. Seram, Maluku menurut Beccari (1918
dalam Flach 1997)

Tabel 37. Jumlah spesies sagu di P. Seram, Maluku menurut beberapa ahli
No. Nama spesies sagu Referensi
1. Metroxylon rumphii Mart.
Hayne (1950 dalam
2. Metroxylon sylvestre Mart. Notohadiprawiro & Louhenapessy
3. Metroxylon longispinum Mart. 1993).
Louhenapessy (1993 & 2006).
4. Metroxylon microcanthum Mart. Bintoro (2008)
5. Metroxylon sagu Rottb. Rostiwati et al. (2008).
145

Khusus varietas molat dari spesies M. sagu Rottb. seperti yang


dikemukakan oleh Beccari (19181 dalam Flach 1997). Sejalan dengan hasil
penelitian genetik sagu di PNG oleh Kjaer et al. (2004), dengan menggunakan
metode AFLP disimpulkan bahwa secara taxonomy spesies M. sagu hanya terdiri
dari satu spesies. Dikemukakan lebih lanjut bahwa pola distribusi morfologi
secara geografi tidak mencerminkan pola variasi secara genetik. Hal ini
mengandung pengertian bahwa terdapat variasi secara morfologi pada spesies M.
sagu Rottb., keragaman morfologi di berbagai daerah di PNG tidak berkaitan
dengan perbedaan secara genetik.
V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan uraian pada bab sebelumnya, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Tumbuhan sagu di P. Seram Maluku terdistribusi secara spasial secara tidak
merata pada seluruh wilayah, membentuk patch atau klaster pada kondisi lahan
datar di dataran rendah, ketinggian 250 m dpl, kemiringan datar-curam,
wilayah dekat pesisir pantai atau berdekatan dengan sungai, pada tanah-tanah
aluvium (endapan) sebagian besar pada jenis tanah Entisols dan Inceptisols,
dengan total luas areal mencapai 18.239,8 ha.
2. Struktur populasi tumbuhan sagu dalam komunitas alami di P. Seram mengikuti
pola pertumbuhan muda, didominasi oleh fase semai dengan tingkat kegagalan
untuk tumbuh ke fase berikutnya sangat tinggi mencapai 76,82 %.
3. Dalam komunitas sagu alami di P. Seram, spesies sagu telah berkembang
mendominasi sebagian besar habitatnya, tumbuh dan berkembang mengarah
kepada kondisi vegetasi yang bersifat stabil. Dalam komunitas tersebut terjadi
asosiasi diantara spesies yang bersifat negatif, baik secara kolektif maupun
antara spesies berpasangan, dengan tingkat asosiasi secara umum rendah (JI <
0,2).
4. Tumbuhan sagu spesies M. rumphii Mart. merupakan spesies yang memiliki
daya adaptasi paling luas (eury tolerance), sedangkan M. microcanthum Mart.
merupakan spesies sagu dengan daya adaptasi sempit (steno tolerance). Tiga
spesies sagu yang lain yaitu M. longispinum Mart., M. sylvestre Mart., dan M.
sagu Rottb. dikategorikkan sebagai spesies sagu yang memiliki daya adaptasi
sedang (meso tolerance).
5. Dalam interaksi antara tumbuhan dengan komponen abiotis, terdapat pengaruh
faktor iklim, tanah, dan kualitas air rawa terhadap jumlah populasi
(pertumbuhan) dan produksi pati sagu. Faktor tanah merupakan komponen
abiotis yang paling bepengaruh terhadap tumbuhan sagu, ditunjukkan melalui
pengaruhnya terhadap produksi pati sagu mencapai 60,9 %. Sedangkan
147

terhadap jumlah populasi rumpun, pengaruh yang paling besar oleh faktor
kualitas air rawa 10,0 %). Parameter iklim, tanah, dan kualitas air rawa yang
paling berpengaruh terhadap tumbuhan sagu masing-masing temperatur dan
kelembaban mikro, bulk density, kemasaman tanah, dan salinitas.
6. M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. merupakan spesies sagu yang
memiliki kapasitas produksi tinggi, masing-masing mencapai 566,04 dan
560,68 kg/batang, sedangkan kapasistas produksi spesies M. longispinum Mart.
dan M. sagu Rottb. masing-masing hanya sekitar 245,21 dan 237,22 kg/batang.
7. Tumbuhan sagu yang tumbuh dan berkembang dalam wilayah P. Seram
Maluku menurut spesies biologi hanya terdiri dari dua spesies yaitu 1)
Metroxylon rumphii Mart., dan 2) Metroxylon sagu Rottb. Spesies sagu M.
rumphii Mart. terdiri dari tiga varietas yaitu 1) varietas microcanthum Becc.,
2) varietas sylvestre Becc., dan 3) varietas rotang Becc. Sedangkan spesies M.
sagu Rottb. hanya tediri dari varietas molat. Varietas microcanthum terdiri
dari dua subvarietas, yaitu subvarietas tuni Becc. dan subvarietas makanaro
Becc.

5.2. Saran

1. Berkenaan dengan pemanfaatan sagu di P. Seram, terdapat luas lahan sagu


sekitar 18.239 ha, dengan jumlah populasi rumpun mencapai 3,22 juta
rumpun, pohon 1,47 juta individu, dan pohon panen sekitar 350 ribu individu
yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pangan atau bahan baku industri.
2. Dalam rangka budidaya dan pengembangan sagu dimasa yang akan datang,
dapat dilakukan dengan mengembangkan subvarietas tuni Becc. Pada tipe
habitat lahan kering dan tergenang temporer air tawar dapat pula
dikembangkan varietas sylvestre Becc. Sedangkan pada kondisi habitat yang
tergenang permanen dapat diusahakan varietas molat Becc. Varietas sagu ini
selain memiliki daya adaptasi yang baik pada lahan tersebut, juga memiliki
kandungan pati yang berwarna putih, sangat disukai masyarakat Maluku dan
Papua sebagai bahan pangan.
3. Varietas atau subvarietas sagu yang kurang produktif seperti subvarietas
148

makanaro Becc. dan varietas rotang Becc. dapat dikembangkan sebagai


tumbuhan konservasi sumber mata air, sekaligus melestarikan sumberdaya
genetiknya.
4. Dalam upaya untuk meningkatkan dan menjamin kontinuitas produksi pati
sagu dapat dilakukan dengan memodifikasi pola pertumbuhan ke pola
pertumbuhan stabil melalui upaya sortasi anakan dan pengaturan jarak tumbuh
antar individu.
5. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan luas lahan yang
sesuai bagi pengembangan sagu di P. Seram, terutama pada yang belum
dimanfaatkan.
6. Perlu dilakukan analisis genetik menggunakan marker yang lebih tajam untuk
memperkuat atau menguji keakuratan hasil klarifikasi jumlah spesies yang
dicapai ini.
7. Mengingat tingginya perubahan penggunaan lahan untuk berbagai
peruntukkan, oleh karena itu diperlukan suatu penelitian tentang laju
penyusutan perubahan tutupan lahan sagu.
149

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2010. Rumus kimia klorofil-a dan klorofil-b. http://cindyharyono.


wordpress.com/perbedaan-pigmen-klorofil-a-dan-klorofil-b/ [13 Mei
2010]

Atmawidjaja R. 1993. Komoditi sagu, ditinjau dari kepentingan nasional


(prospek dan permasalahannya). Prosiding Simposium Sagu Nasional,
Ambon 12-13 Oktober 1992. PP : 49-54.

[BPKH] Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah IX Ambon. 2006. Peta Iklim
Pulau Seram Provinsi Maluku. Badan Planologi Kehutanan, Departemen
Kehutanan Republik Indonesia.

[BPPT] Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 1982. Hasil survey


agronomi Sagu di kepulauan Maluku dalam rangka inventarisasi potensi
sagu di Maluku. Proyek Penelitian pemanfaatan dan pendayagunaan sagu
sebagai bahan pangan dan energi (P3SBPE). Kerjasama BPP Teknologi
dan Universitas Pattimura.

[BPT] Balai Penelitian Tanah Bogor. 2005. Petunjuk teknis analisis kimia tanah,
tanaman, air, dan pupuk. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian.

Barahima. 2005. Keragaman genetik tanaman sagu di Indonesia berdasarkan


penanda molekuler genom kloroplas dan genom inti [disertasi]. Bogor :
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Barbour GM, Burk JK, Pitts WD. 1987. Terrestrial Plant Ecology. New York :
Benyamin/Cumming Publishing. Inc.

Barlina R, Karouw S. 2003. Potensi pati sagu sebagai bahan baku plastik. Di
dalam : Rahawarin H. Akuba et al., penyunting. Sagu untuk Ketahanan
Pangan, Prosiding Seminar Nasional Sagu; Manado, 6 Okt 2003. Bogor
: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. hlm 105-110.

Bintoro HMH. 2000. Country Report of Indonesia. Di dalam : Bintoro HMH et


al., editor. Sustainable utilization of sago palm as an alternative source of
food and materials for agroindustry in the third millenium. Proceeding of
the International Sago Seminar; Bogor Indonesia, March 22-23, 2000. hlm
26-29.

Bintoro HMH, Mashud N, Novarianto H. 2007. Status teknologi sagu. Makalah


disampaikan pada lokakarya pengembangan sagu Indonesia. Batam, 25-
26 Juli 2007.

Bintoro HMH. 2008. Bercocok Tanam Sagu. Bogor : IPB Press.


150

Brady NC. 1990. The Nature and Properties of Soils. New York : MacMillian
Publishing Company.

Budianto J. 2003. Teknologi sagu bagi agribisnis dan ketahanan pangan. Di dalam
: Rahawarin H. Akuba et al., penyunting. Sagu untuk Ketahanan Pangan,
Prosiding Seminar Nasional Sagu; Manado, 6 Okt 2003. Bogor : Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. hlm 5-15.

Bustaman, S. 2008. Potensi ulat sagu dan prospek pemanfaatannya. J Litbang


Pertanian, 27(2 : 50-54. http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi/
p3272082.pdf. [25 Oktober 2010].

Cox GW. 2002. General Ecology, Laboratory Manual. Eigth edition. New
York : McGraw Hill.

Daubenmire R.F. 1974. Plant and Environment. A Texbook of Autecology. Third


edition. New York : John Wiley & Sons.

Dewi H. 2005. Tingkat kesesuaian habitat Owa Jawa (Hylobates moloch


Audebert) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak [tesis]. Bogor :
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Djufri. 2006. Studi autekologi dan pengaruh invasi akasia (Acasia nilotica)
terhadap eksistensi savana dan strategi penanganannya di taman Nasional
Baluran Banyuwangi Jawa Timur [disertasi]. Bogor : Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2007. Botanica sistematica.


http://www.homolaicus.com/scienza/erbario/utility/botanica_sistematica/h
ypertext/1251.htm. [21 Februari 2010].

Flach M. 1983. The Sago Palm Metroxylon sagu Rottb. Rome : Food and
Agriculture Organization of the United Nation.

Flach M. 1997. Promoting the Conservation and Use of Underutilized and


Neglected Crops. Sago Palm, Metroxylon sagu, Rottb. Wageningen
Agriculture University, Netherlands. International Plant Genetic Resources
Institute, Rome. pp 76. http://www.ipgri.cgiar.org/Publications/
pdf/238.pdf. [11 Agustus 2008].

Halle F & Oldeman RAA. An Essay the Architerture and Dynamics of Growth of
Tropical Trees. Translated from the Frenc by Benjamin C. Stone, Reader
in Botany, School of Biological Science, University of Malaya. Kuala
Lumpur Malaysia : University Malaya.

Hardjowigeno S. 1992. Ilmu Tanah. Jakarta : Melton Putra.


151

Hardjowigeno S. 2003. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Jakarta : Akademika


Pressindo.

Haryanto B, Pangloli P. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Yogyakarta :


Kanisus.

Gaspersz V. 1995. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Bandung :


Tarsito.

Gubernur Provinsi Papua. 2003. Pengembangan potensi dan pemberdayaan


petani sagu di Provinsi Papua; Di dalam : Rahawarin H. Akuba et al.,
penyunting. Sagu untuk Ketahanan Pangan, Prosiding Seminar Nasional
Sagu; Manado, 6 Okt 2003. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perkebunan. Pp : 142-145.

Gumbira Said E. 1993. Peluang pemanfaatan pati sagu dengan bioteknologi dan
kajian khusus mengenai pemerkayaan protein bahan berpati dengan
kultivasi media padat. Di dalam : Pemanfaatan dan Pengelolaan Hutan
Sagu dalam Rangka Pengembangan Bagian Timur Wilayah Indoensia
Khususnya Provinsi Maluku. Prosiding Simposium Sagu Nasional;
Ambon, 12-13 Oktober 1992. Ambon : Fakultas Pertanian Universitas
Pattimura. hlm 125-134.

Harsanto PB. 1992. Budidaya dan Pengolahan Sagu. Yogyakarta : Kanisus.

Hartana A. 2003. Elektroforesis sebagai alat pelacak marka molekul biologi.


Materi pelatihan singkat Teknik Analisis dengan Metode dan Peralatan
mutakhir di Bidang Hayati dan Kimia. Kerjasama antara Pusat Studi Ilmu
Hayati Lembaga Penelitian IPB dengan Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Bogor, 21-25 Oktober 2003.
hlm 25-31.

Ishizaki A. 2007. NECFERs new technology for bioethanol from sago log.
Makalah disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Sagu Indonesia.
Batam, 25-26 Juli 2007.

Jaya IN. 2007. Teknik-Teknik Pemodelan Spasial dalam Pengelolaan Sumberdaya


Alam dan Lingkungan. Laboratorium Inventarisasi Sumberdaya Hutan,
Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor.

Jong FJ. 2005. An urgen need to expedite the commercialization of the sago
industries. Di dalam : Yan P. Karafir, Foh. S. Jong, and Victor E. Fere,
editor. Sago Palm Development annd Utilization. Proceeding of the eighth
International sago symposium; Jayapura, Aug 4-6, 2005. Manokwari :
Universitas Negeri Papua. hlm 25-34.
152

Kartono AP. 2006. Ekologi kuantitatif konservasi keanekaragaman hayati.


Laboratorium Ekologi Satwaliar, Departemen Konservasi Sumberdaya
Hutan dan Ekowisata. Fakultas Kehutanan IPB (tidak dipublikasikan).
Kartono AP. 2008. Dampak penambangan terhadap keanekaragaman hayati.
Makalah disampaikan pada seminar Nasional Soil and Mining yang
diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah, Fakultas
Pertanian IPB pada tanggal, 29 Nopember 2008.

Kjaer A, Barfodi A, Asmussen CB, Seberg O. 2004. Investigation of genetic and


morphological variation in the sago palm (Metroxylon sagu; Arecaceae) in
Papua Newe Guinea. J Ann Bot 94 (1) : 109-117.

Krebs CJ. 1999. Ecological Methodology. Canada : Addison-Welsey Longman,


Inc.

Krivan V & Sirot E. 2002. Habitat selection by to competing species in a two-


habitat environment. J The American Naturalist 160 (2) : 214-234.

Kurniawan A, Undaharta Ni KE, Pendit I Made R. 2008. Asosiasi jenis-jenis


pohon dominan di hutan dataran rendah Cagar Alam Tangkoko, Bitung,
Sulawesi Utara. J Biodiversitas 8 (3) : 199-203.

Kusmana C. 1997. Metode Survey Vegetasi. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

Lakuy H, Limbongan J. 2003. Beberapa hasil kajian dan teknologi yang


diperlukan untuk pengembangan sagu di Provinsi Papua. Di dalam :
Rahawarin H. Akuba et al., penyunting. Sagu untuk Ketahanan Pangan,
Prosiding Seminar Nasional Sagu; Manado, 6 Okt 2003. Bogor : Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. hlm 41-50.

Levitt J. 1980. Responses of Plant to Environmental Stresses, 2nd. End. New York
: Academic Press.

Louhenapessy JE. 2006. Potensi dan Pengelolaan sagu di Maluku. Makalah


disampaikan pada Lokakarya Sagu dengan tema Sagu dalam Revitalisasi
Pertanian Maluku. Ambon 29-31 Mei 2006.

Louhenapessy J.E. 1993. Sagu di Maluku (Potensi, Kondisi Lahan, dan


Permasalahannya). Di dalam : Pemanfaatan dan Pengelolaan Hutan Sagu
dalam Rangka Pengembangan Bagian Timur Wilayah Indoensia
Khususnya Provinsi Maluku. Prosiding Simposium Sagu Nasional;
Ambon, 12-13 Oktober 1992. Ambon : Fakultas Pertanian Universitas
Pattimura. hlm 135-145.

Ludwig AJ, & Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology. A Primer on Methods and
Computing. New York : John Willey & Sons.
153

Luhulima F, Karyoto SA, Abdullah Y, Dampa DJ. 2005. Feasibility study of


natural sago forest for the establishment of commercial sago plantation in
south Sorong, Irian Jaya Barat, Indonesia. Di dalam : Yan P. Karafir, Foh.
S. Jong, and Victor E. Fere, editor. Sago Palm Development annd
Utilization. Proceeding of the eighth International sago symposium;
Jayapura, Aug 4-6, 2005. Manokwari : Universitas Negeri Papua. hlm 57-
64.

Mahmud Z. 2003. Sinkronisasi kebijakan dalam pengembangan agribisnis sagu


sebagai komponen ketahanan pangan. Rahawarin H. Akuba et al.,
penyunting. Sagu untuk Ketahanan Pangan, Prosiding Seminar Nasional
Sagu; Manado, 6 Okt 2003. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perkebunan. hlm 146-155.

Marzuki I. 2007. Studi morfo-ekotipe dan karakterisasi minyak atsiri, isozim, dan
DNA pala Banda (Miristica fragrans Houtt) Maluku [disertasi]. Bogor :
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Matanubun H, Maturbongs L. 2005. Sago palm potential, biodiversity and social-


cultural consideration for industrial sago development in Papua, Indonesia.
Di dalam : Yan P. Karafir, Foh. S. Jong, and Victor E. Fere, editor. Sago
Palm Development annd Utilization. Proceeding of the eighth
International sago symposium; Jayapura, Aug 4-6, 2005. Manokwari :
Universitas Negeri Papua. hlm 41-54.

Matanubun H et al. 2005. Feasibility study of the natural sago forest for the
establishment of the commercial sago palm plantation at Kaureh District,
Jayapura, Papua Province Indonesia. Di dalam : Yan P. Karafir, Foh. S.
Jong, and Victor E. Fere, editor. Sago Palm Development annd Utilization.
Proceeding of the eighth International sago symposium; Jayapura, Aug 4-
6, 2005. Manokwari : Universitas Negeri Papua. hlm 79-92.

McClatchey W, Manner HI, Elevitch CR. 2006. Metroxylon amicarum, M.


paulcoxii, M. sagu, M. salomonense, M. vitiense, and M. warburgii (sago
palm). Species Profile for Pacific Island Agroforestry. Traditional Tree
Initiative. http://www.agroforestry.net/tti/Metroxylon-sagopalm.pdf. [7
Agustus 2008].

Miftahorrahman, Novarianto H. 2003. Jenis-jenis sagu potensial di Sentani, Irian


Jaya. Di dalam : Rahawarin H. Akuba et al., penyunting. Sagu untuk
Ketahanan Pangan, Prosiding Seminar Nasional Sagu; Manado, 6 Okt
2003. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. hlm 90-
98.

Muhdi. 2005. Struktur dan Dinamika tegakan Sebelum dan Sesudah Pemanenan
Kayu di Hutan Alam. Medan : Univesritas SumateraUtara. e-USU
Repository.
154

Mulyanto B, Suwardi. 2000. Distribution and characteristic of land the sago palm
(Metroxylon spp) habitat in Indonesia. Di dalam : Bintoro HMH et al.,
editor. Sustainable utilization of sago palm as an alternative source of
food and materials for agroindustry in the third millenium. Proceeding of
the International Sago Seminar; Bogor Indonesia, March 22-23, 2000. hlm
38-44.

Notohadiprawiro T, Louhenapessy JE. 1993. Potensi sagu dalam


penganekaragaman bahan pangan pokok ditinjau dari persyaratan lahan.
Di dalam : Pemanfaatan dan Pengelolaan Hutan Sagu dalam Rangka
Pengembangan Bagian Timur Wilayah Indoensia Khususnya Provinsi
Maluku. Prosiding Simposium Sagu Nasional; Ambon, 12-13 Oktober
1992. Ambon : Fakultas Pertanian Universitas Pattimura. hlm 99-106.

Novarianto H. 2003. Pengembangan sagu semi budidaya. Di dalam : Rahawarin


H. Akuba et al., penyunting. Sagu untuk Ketahanan Pangan, Prosiding
Seminar Nasional Sagu; Manado, 6 Okt 2003. Bogor : Pusat Penelitian
dan Pengembangan Perkebunan. hlm 34-40.

Odum EP. 1994. Dasar-Dasar Ekologi. Terjemahan Tj. Samingan. Yogyakarta :


Gadjah Mada University Press.

Prahasta E. 2004. Sistem Informasi Geografis, Tools dan Plug-ins. Bandung :


Penerbit Informatika.

Primack BR, Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata P. 1998. Biologi


Konservasi. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Puntodewo A, Sonya D, Tarigan J. 2003. Sistem informasi geografis untuk


pengelolaan sumberdaya alam. Bagian 4 Penginderaan Jauh. Center for
International Forestry Research (CIFOR), Jakarta Indonesia. hlm 90-112.

Purwadhi SH. 2001. Interpretasi Citra Digital. Jakarta : Gramedia Widisarana


Indonesia.

Rostiwati T et al. 2008. Sagu (Metroxylon spp) sebagai sumber energi bioetanol
potensial. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan.

Ruhendi S. 2000. Sago (Metroxylon spp) wood for bio-composite development.


Di dalam : Bintoro HMH et al., editor. Sustainable utilization of sago
palm as an alternative source of food and materials for agroindustry in the
third millenium. Proceeding of the International Sago Seminar; Bogor
Indonesia, March 22-23, 2000. hlm 186-191.

Setiadi D. 1998. Keterkaitan profil vegetasi sistem agroforestri kebun campur


dengan lingkungannya [disertasi]. Bogor : Progam Pascasarjana, Institut
Pertanian Bogor.
155

Setiadi D. 2005. Keanekaragaman spesies tingkat pohon di Taman Wisata Alam


Ruteng, Nusa Tenggara Timur. J Biodiversitas 6 (2) : 118-122.

Setiadi D, Muhadiono I, Yusron A. 1989. Penuntun Praktikum Ekologi.


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

Sjachrul M. 1993. Tinjauan pengolahan sagu di pabrik PT. Inhutani I Kao


Maluku Utara. Di dalam : Pemanfaatan dan Pengelolaan Hutan Sagu
dalam Rangka Pengembangan Bagian Timur Wilayah Indoensia
Khususnya Provinsi Maluku. Prosiding Simposium Sagu Nasional;
Ambon, 12-13 Oktober 1992. Ambon : Fakultas Pertanian Universitas
Pattimura. hlm 151-157.

Soegianto A. 1994. Ekologi Kuantitatif, Metode Analisis Populasi dan


Komunitas. Surabaya : Usaha Nasional.

Soerianegara I, Indrawan A. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium


Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (tidak
dipublikasi).

[SSSU] Soil Survey Staff USDA. 1999. Keys to Soil Taxonomy. United States
Departement of Agriculture Natural Resources Conservation Services.
Alih Bahasa oleh Tim Alih-Bahasa Kunci Taksonomi Tanah, Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian Departemen
Pertanian RI.

Supranto J. 2004. Analisis Multivariat, Arti dan Interpretasi. Jakarta : PT.


Rineka Cipta.

Suryana A. 2007. Arah dan strategi pengembangan sagu di Indonesia. Makalah


disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Sagu Indonesia. Batam, 25-
26 Juli 2007.

Syekhfani. 1997. Hara-Air-Tanah-Tanaman. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian,


Universitas Brawijaya Malang.

Wirakusumah, S. 2003. Dasar-Dasar Ekologi bagi Populasi dan Komunitas.


Jakarta : UI Press.

Yuan F, Sayawa KE, Loeffelholz BC, Bauer ME. 2005. Land Cover
Classification and Change Analysis of the Twin Cities (Minnesota)
Metropolitan Area by Multitemporal Landsat Remote Sensing. Pre-print of
paper accepted for publication in Remote Sensing of Environment, August
21, 2005. http://rsl.gis.umn.edu/Documents/TCMA_change_detection_
paper.pdf. [30 Nopember 2007].
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta penggunaan lahan di P. Seram, Maluku

156
Lampiran 2. Peta kesesuaian elevasi habitat sagu di P. Seram, Maluku

157
Lampiran 3. Peta kesesuaian kemiringan habitat sagu di P. Seram, Maluku

158
Lampiran 4. Peta kesesuaian sistem lahan habitat sagu di P. Seram, Maluku

159
Lampiran 5. Peta kesesuaian tanah habitat sagu di P. Seram, Maluku

160
161

Lampiran 6. Populasi tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku

Populasi sagu berdasarkan jumlah rumpun/ha


Wilayah Sampling
Nama Seram
No. Luhu-SBB Sawai-MT Werinama-SBT
Spesies
Pop/ha % Pop/ha % Pop/ha % Pop/ha %
1 M. rumphii 68,75 42,49 101,60 55,85 108,85 58,54 93,07 52,29
2 M. sylvestre 70,14 43,35 13,83 7,60 22,40 12,04 35,45 21,00
3 M. longisp 8,33 5,15 43,09 23,68 38,02 20,45 29,81 16,43
4 M. microcan 1,39 0,86 0,53 0,29 2,60 1,40 1,51 0,85
5 M. sagu 13,19 8,15 22,87 12,57 14,06 7,56 16,71 9,43
Jumlah 161,81 100,00 181,91 100,00 185,94 100,00 176,55 100,00
Populasi sagu berdasarkan jumlah semai/ha
1 M. rumphii 180,21 54,49 155,32 51,50 168,75 54,00 168,09 53,33
2 M. sylvestre 63,54 19,21 41,49 13,76 56,77 18,17 53,93 17,05
3 M. longisp 65,63 19,84 80,85 26,81 65,63 21,00 70,70 22,55
4 M. microcan 5,73 1,73 1,60 0,53 5,73 1,83 4,35 1,36
5 M. sagu 15,63 4,72 22,34 7,41 15,63 5,00 17,86 5,71
Jumlah 330,73 100,00 301,60 100,00 312,50 100,00 314,94 100,00
Populasi sagu berdasarkan jumlah sapihan/ha
1 M. rumphii 38,19 44,36 41,49 49,68 47,92 52,27 42,53 48,77
2 M. sylvestre 31,25 36,29 14,89 17,83 16,15 17,61 20,76 23,91
3 M. longisp 8,33 9,68 17,02 20,38 20,31 22,16 15,22 17,41
4 M. microcan 0,69 0,81 0,00 0,00 1,56 1,70 0,75 0,84
5 M. sagu 7,64 8,87 10,11 12,10 5,73 6,25 7,82 9,07
Jumlah 86,11 100,00 83,51 100,00 91,67 100,00 87,10 100,00
Populasi sagu berdasarkan jumlah tiang/ha
1 M. rumphii 15,97 44,23 13,30 52,09 16,67 57,14 15,31 51,15
2 M. sylvestre 15,28 42,31 1,60 6,25 2,60 8,93 6,49 19,16
3 M. longisp 2,08 5,77 6,91 27,09 6,77 23,21 5,26 18,69
4 M. microcan 0,00 0,00 0,53 2,08 0,00 0,00 0,18 0,69
5 M. sagu 2,78 7,69 3,19 12,50 3,13 10,71 3,03 10,30
Jumlah 36,11 100,00 25,53 100,01 29,17 99,99 30,27 100,00
Populasi sagu berdasarkan jumlah pohon/ha
1 M. rumphii 29,17 40,78 38,83 46,50 42,19 48,79 36,73 45,36
2 M. sylvestre 30,56 42,72 11,70 14,01 13,54 15,66 18,60 24,13
3 M. longisp 2,78 3,88 22,34 26,75 20,31 23,49 15,14 18,04
4 M. microcan 0,69 0,97 0,00 0,00 2,60 3,01 1,10 1,33
5 M. sagu 8,33 11,65 10,64 12,74 7,81 9,04 8,93 11,14
Jumlah 71,53 100,00 83,51 100,00 86,46 100,00 80,50 100,00
.
162

.lanjutan
Populasi sagu berdasarkan jumlah pohon masak tebang/ha
Wilayah Sampling
Nama Seram
No. Luhu-SBB Sawai-MT Werinama-SBT
Spesies
Pop/ha % Pop/ha % Pop/ha % Pop/ha %
1 M. rumphii 4,17 33,33 6,38 28,57 8,33 37,20 6,29 33,04
2 M. sylvestre 4,17 33,33 3,72 16,67 3,13 13,95 3,67 21,32
3 M. longisp 1,39 11,11 7,98 35,71 7,81 34,88 5,73 27,23
4 M. microcan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
5 M. sagu 2,78 22,22 4,26 19,05 3,13 13,95 3,39 18,41
Jumlah 12,50 100,00 22,34 100,00 22,40 99,98 19,08 99,99
Populasi sagu berdasarkan jumlah pohon > masak tebang/ha
1 M. rumphii 0,00 0,00 1,06 13,33 1,04 11,77 0,70 8,37
2 M. sylvestre 0,00 0,00 1,06 13,33 0,52 5,89 0,53 6,41
3 M. longisp 0,69 33,39 4,26 53,32 4,69 52,97 3,21 46,56
4 M. microcan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
5 M. sagu 1,39 66,77 1,60 20,00 3,13 35,31 2,04 40,69
Jumlah 2,08 100,00 7,98 99,98 9,38 100,00 6,48 100,00
Keterangan : Pop = populasi; ha = hektar; M.longisp = M. longispinum; M. microcan = M. microcanthum.
163

Lampiran 7. Hasil analisis vegetasi pada tiga wilayah sampel di P. Seram, Maluku

A. Wilayah sampel I Luhu-SBB


No. Nama Spesies KR DR FR INP
Pohon
1. M. rumphii Mart. 37.50 39.89 39.89 117.27
2. M. sylvestre Mart. 39.28 41.04 41.04 121.37
3. M. sagu Rottb. 8.93 7.59 7.59 24.10
4. M. longispinum Mart. 5.36 5.78 5.78 16.91
5. M. microcannthum Mart. 0.89 0.85 0.85 2.59
6. Durio zibethinus Murr. 1.79 2.07 2.07 5.93
7. Langisum domesticum (L) 1.79 1.09 1.09 3.96
8. Cocos nucifera (L) 2.68 0.64 0.64 3.95
9. Gmellina moluccana 0.89 0.85 0.85 2.59
10. Pandanus scandens (St. John ex
Stone) 0.89 0.21 0.21 1.32
Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00
Tiang
1. M. rumphii Mart. 33.33 40.89 33.33 107.56
2. M. sylvestre Mart. 33.33 40.89 33.33 107.56
3. M. longispinum Mart. 5.56 6.81 5.56 17.93
4. M. sagu Rottb. 11.11 9.47 11.11 31.69
5. Theobromo cacao (L) 11.11 1.18 11.11 23.41
6. Inocarpus fagifera (Park) Fosb. 5.56 0.76 5.56 11.87
Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00
Sapihan
1. M. rumphii Mart. 31.58 34.77 31.58 97.93
2. M. sylvestre Mart. 21.05 28.73 21.05 70.83
3. M. longispinum Mart. 10.53 10.80 10.53 31.85
4. M. sagu Rottb. 15.79 16.20 15.79 47.78
5. Theobromo cacao L 10.53 1.73 10.53 22.78
6. Leea guineensis G.Don 5.26 0.86 5.26 11.39
7. Mussa paradisiaca L 5.26 6.91 5.26 17.44
Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00
Semai
1. M. rumphii Mart. 11.63 34.07 11.90 57.60
2. M. sylvestre Mart. 6.98 31.94 7.14 46.06
3. M. longispinum Mart. 2.33 6.81 7.14 16.28
4. M. sagu Rottb. 6.98 24.27 7.14 38.39
5. Homalomena rubra Hassk. 6.98 0.21 4.76 11.95
6. Nephrolepis exaltata Schott. 9.30 0.46 7.14 16.90
7. Leea guineensis G.Don 2.33 0.14 2.38 4.84
8. Leea aculeata Blume 2.33 0.14 2.38 4.84
9. Commelina benghalensis L. 2.33 0.14 2.38 4.84
10. Ichanthus vicinus (Bailey) Merr. 4.65 0.11 4.76 9.52
11. Carex cruciata Vahl. 4.65 0.14 4.76 9.55
12. Fordia cf.Gibbsiae Dunn & E.G.Baker 2.33 0.14 2.38 4.84
13. Piper betle L. 4.65 0.19 4.76 9.60
14. Terminalia catapa L. 2.33 0.04 2.38 4.74
15. Clidemia hirta D. Don. 2.33 0.11 2.38 4.81
16. Pandanus scandens St. John ex Stone. 2.33 0.11 2.38 4.81
17. Cordyline terminalis Kunth. 4.65 0.21 4.76 9.63
18. Cyrtandra hellwingii Warb. 2.33 0.14 2.38 4.84
19. Donax cannaeformis (G.Fors) K. Sch. 4.65 0.14 4.76 9.55
20. Stenocloena palustris 2.33 0.03 2.38 4.73
21. Selaginella ciliaris Spring 4.65 0.03 2.38 7.06
22. Aneilema nudiflorum R.Br. 4.65 0.36 4.76 9.77
23. Amischotolype marginata (Blume)
Hassk. 2.33 0.11 2.38 4.81
Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00
164

. lanjutan

B. Wilayah sampel II Sawai-MT


No. Nama jenis KR DR FR INP
Pohon
1. M. rumphii Mart. 42.71 43.09 39.13 124.93
2. M. sylvestre Mart. 9.90 7.27 6.09 23.26
3. M. longispinum Mart. 29.69 36.97 34.78 101.44
4. M. sagu Rottb. 11.98 10.65 10.43 33.07
5. Pandanus furcatus Roxb. 2.08 0.69 3.48 6.26
6. Pometia ridleyi King. 1.56 0.55 2.61 4.72
7. Terminalia catapa L. 1.04 0.45 1.74 3.23
8. Kamiha eugenia 1.04 0.31 1.74 3.09
Jumlah 100.00 100.00 100.00 299.99
Tiang
1. M. rumphii Mart. 45.65 50.15 45.65 141.45
2. M. sylvestre Mart. 4.35 5.54 4.35 14.24
3. M. longispinum Mart. 23.91 26.68 23.91 74.50
4. M. microcannthum Mart. 2.17 2.35 2.17 6.70
5. M. sagu Rottb. 10.87 11.74 10.87 33.48
6. Leea guinnensis G.Don 2.17 0.15 2.17 4.49
7. Terminalia catapa L. 2.17 2.35 2.17 6.70
8. Pandanus furcatus Roxb. 2.17 0.26 2.17 4.61
9. Kamiha eugenia 2.17 0.26 2.17 4.61
10. Pometia ridleyi King. 4.35 0.52 4.35 9.22
Jumlah 99.99 100.00 99.99 299.99
Sapihan
1. M. rumphii Mart. 36.84 44.11 36.84 117.79
2. Varietas Sylvestre becc. 10.53 15.55 10.52 36.60
3. M. longispinum Mart. 21.05 17.61 21.05 59.71
4. M. microcannthum Mart. 15.79 15.39 15.79 46.97
5. Cordyline terminals Kunth. 5.26 5.71 5.26 16.24
6. Leea guineensis G.Don. 5.26 0.99 5.26 11.52
7. Kamiha eugenia 5.26 0.63 5.26 11.16
Jumlah 100.00 100.00 99.99 299.99
Semai
1. M. rumphii Mart. 26.09 42.23 26.09 94.40
2. M. sylvestre Mart. 8.70 18.89 8.70 36.28
3. M. longispinum Mart. 13.04 19.67 13.04 45.76
4. M. microcannthum Mart. 4.35 4.20 4.35 12.89
5. M. sagu Rottb. 8.70 13.12 8.70 30.51
6. Bergia capensis L. 4.35 0.02 4.35 8.72
7. Nephrolepis exaltata Schott. 4.35 0.07 4.35 8.76
8. Homalomena rubra Hassk. 4.35 0.05 8.70 13.09
9. Limnocharis flava (L) Buch. 8.70 0.01 4.35 13.05
10. Selaginella ciliaris Spring. 4.35 1.64 4.35 10.33
11. Clidemia hirta D. Don 4.35 0.04 4.35 8.74
12. Oncosperma tigilarium (Jack) Ridl. 4.35 0.02 4.35 8.72
13. Donax cannaeformis (G.Fors) K.Sch. 4.35 0.04 4.35 8.74
Jumlah 100.00 100.00 99.99 299.99
165

. lanjutan

C. Wilayah sampel III Werinama-SBT


No. Nama jenis KR DR FR INP
Pohon
1. M. rumphii Mart. 46.59 52.45 46.81 145.85
2. M. sylvestre Mart. 13.07 12.18 10.64 35.88
3. M. longispinum Mart. 23.29 25.78 26.60 75.67
4. M. microcannthum Mart. 2.84 2.46 4.26 9.56
5. M. sagu Rottb. 8.52 4.33 1.06 13.92
6. Kamiha eugenia 1.14 0.52 2.13 3.78
7. Terminalia catapa L. 0.57 0.26 1.06 1.89
8. Durio zibethinus Murr. 1.14 0.61 2.13 3.87
9. Pterocarpus indicus Willd 0.57 0.35 1.06 1.98
10. Oncosperma tigilarium (Jack) Ridl. 0.57 0.18 1.06 1.81
11. Octomeles sumatrana Miq. 0.57 0.35 1.06 1.98
12. Pometia ridleyi King. 1.14 0.53 2.13 3.79
Jumlah 100.00 100.00 100.00 299.99
Tiang
1. M. rumphii Mart. 26.67 47.03 29.41 103.11
2. M. sylvestre Mart. 6.67 7.30 5.88 19.85
3. M. longispinum Mart. 13.33 14.60 11.76 39.69
4. M. microcannthum Mart. 6.67 5.07 5.88 17.62
5. M. sagu Rottb. 13.33 18.40 11.76 43.49
6. Kamiha eugenia 0.00 1.27 5.88 7.15
7. Terminalia catapa L. 6.67 1.82 5.88 14.37
8. Oncosperma tigilarium (Jack) Ridl. 6.67 0.81 5.88 13.36
9. Pometia ridleyi King 6.67 1.82 5.88 14.37
10. Myristica fragrans (Houtt) 6.67 0.81 5.88 13.36
11. Oncosperma tigilarium (Jack) Ridl. 6.67 1.07 5.88 13.62
Jumlah 100.00 100.00 99.99 299.99
Sapihan
1. M. rumphii Mart. 29.17 39.30 29.17 97.63
2. M. sylvestre Mart. 8.33 11.23 8.33 27.89
3. M. longispinum Mart. 16.67 22.46 16.67 55.79
4. M. microcannthum Mart. 4.17 3.90 4.17 12.23
5. M. sagu Rottb. 12.50 14.15 12.50 39.15
6. Mussa paradisica L. 4.17 0.97 4.17 9.31
7. Pterocarpus indicus Willd. 4.17 0.62 4.17 8.96
8. Leea guineensis G.Don 4.17 0.62 4.17 8.96
9. Myristica fragrans (Houtt) 4.17 0.35 4.17 8.68
10. Calamus ornatus Bl. 4.17 5.61 4.17 13.95
11. Oncosperma tigilarium (Jack) Ridl. 4.17 0.62 4.17 8.96
12. Ptycoccus paradoxus (Scheff) Becc 4.17 0.16 4.17 8.49
Jumlah 100.00 99.99 100.00 300.00
Semai
1. M. rumphii Mart. 26.09 42.23 26.09 94.40
2. M. sylvestre Mart. 8.70 18.89 8.70 36.28
3. M. longispinum Mart. 13.04 19.67 13.04 45.76
4. M. microcannthum Mart. 4.35 4.20 4.35 12.89
5. M. sagu Rottb. 8.70 13.12 8.70 30.51
6. Bergia capensis L. 4.35 0.02 4.35 8.72
7. Nephrolepis exaltata Schott. 4.35 0.07 4.35 8.76
8. Homalomena rubra Hassk. 4.35 0.05 8.70 13.09
9. Limnocharis flava (L) Buch. 8.70 0.01 4.35 13.05
10. Selaginella ciliaris Spring. 4.35 1.64 4.35 10.33
11. Clidemia hirta D. Don 4.35 0.04 4.35 8.74
12. Oncosperma tigilarium (Jack) Ridl. 4.35 0.02 4.35 8.72
13. Donax cannaeformis (G.Fors) K.Sch. 4.35 0.04 4.35 8.74
Jumlah 100.00 100.00 100.00 300.00
166

Lampiran 8. Tipe habitat tumbuhan sagu di P. Seram, Maluku

Tipe habitat lahan kering (TTG)

Tipe habitat tergenang temporer air tawar (T2AT)


167

.. lanjutan

Tipe habitat tergenang temporer air payau (T2AP)

Tipe habitat tergenang permanen (TPN)


168

Lampiran 9. Intensitas sinaran surya rataan harian di bawah tegakan tanaman sagu
di P. Seram, Maluku (lux = lumen/m2)
Lokasi Pengamatan
Wil. Sampel I Luhu Ruang
Bawah Antara Terbuka
Kab. SBB Rataan
Tegakan Tegakan
April
MG 1 142,70 523,60 333,15 1877,20
510,70 1342,50 926,60 1742,30
MG 2 310,00 986,00 648,00 1568,10
215,70 1511,00 863,35 1608,90
MG 3 416,30 1421,10 918,70 2754,10
192,30 642,70 417,50 1689,50
MG 4 105,60 374,80 240,20 1231,20
109,70 261,60 185,65 1765,20
Rataan 250,38 882,91 566,64 1779,56
Mei
MG 1 214,50 453,80 334,15 1211,80
371,80 812,90 592,35 2345,50
MG 2 121,90 523,40 322,65 1054,90
114,10 875,30 494,70 2172,00
MG 3 177,60 761,50 469,55 2116,90
216,20 654,70 435,45 1208,30
MG 4 423,00 1712,80 1067,90 1432,50
225,70 633,20 429,45 1872,90
Rataan 233,10 803,45 518,28 1676,85
Juni
MG 1 122,10 562,00 342,05 1272,00
255,20 762,80 509,00 2642,70
MG 2 123,90 829,10 476,50 1114,70
172,60 774,50 473,55 2118,90
MG 3 182,80 654,30 418,55 1215,20
321,70 931,00 626,35 1521,70
MG 4 236,50 821,70 529,10 2223,60
391,40 981,20 686,30 1021,60
Rataan 225,78 789,58 507,68 1641,30
Juli
MG 1 261,80 875,90 568,85 1197,20
198,40 709,20 453,80 1987,90
MG 2 201,90 989,00 595,45 2011,60
321,70 1209,00 765,35 1018,20
MG 3 231,20 987,90 609,55 2132,30
130,30 531,50 330,90 1210,70
MG 4 114,80 611,70 363,25 1316,90
212,50 806,40 509,45 1986,00
Rataan 204,06 793,24 498,65 1542,22
169

Wil. Sampel II
Sawai Kab. MT
April
MG 1 162,30 567,30 364,80 1922,30
157,00 836,10 496,55 2198,50
MG 2 297,70 1265,90 781,80 2011,60
105,00 587,90 346,45 1701,40
MG 3 189,20 1091,50 640,35 1980,00
250,00 1092,30 671,15 1986,20
MG 4 213,50 897,20 555,35 1311,70
118,90 361,60 240,25 1871,40
Rataan 186,70 837,48 512,09 1872,89
Mei
MG 1 241,10 855,10 548,10 1099,00
298,40 1251,70 775,05 3210,10
MG 2 211,90 623,30 417,60 2114,70
109,30 798,50 453,90 989,30
MG 3 165,40 695,50 430,45 2090,10
192,30 599,00 395,65 1202,90
MG 4 231,20 908,20 569,70 1562,30
205,70 876,30 541,00 1987,00
Rataan 206,91 825,95 516,43 1781,93
Juni
MG 1 321,80 1049,00 685,40 2213,00
198,00 691,20 444,60 1951,00
MG 2 203,00 783,40 493,20 2014,10
144,20 543,50 343,85 988,60
MG 3 190,60 633,40 412,00 2215,00
231,30 1002,30 616,80 2041,00
MG 4 190,20 924,50 557,35 1901,50
115,60 741,10 428,35 981,90
Rataan 199,34 796,05 497,69 1788,26
Juli
MG 1 99,50 876,90 488,20 1098,00
203,10 659,00 431,05 1765,00
MG 2 213,40 1027,00 620,20 2100,00
290,00 901,00 595,50 2912,40
MG 3 219,00 865,70 542,35 1121,00
205,00 832,60 518,80 1311,00
MG 4 90,00 589,60 339,80 1165,00
214,20 911,60 562,90 2006,00
Rataan 181,24 796,23 488,74 1644,47
170

Wil. Sampel III


Werinama Kab. SBT
April
MG 1 235,00 1176,00 705,50 2718,30
495,00 1643,00 1069,00 3217,60
MG 2 215,00 689,00 452,00 1675,00
117,00 987,00 552,00 1924,10
MG 3 342,00 981,00 661,50 1293,00
176,00 763,00 469,50 1753,00
MG 4 119,40 568,20 343,80 1387,30
322,00 875,00 598,50 2187,50
Rataan 252,68 960,28 606,48 2019,48
Mei
MG 1 162,50 543,50 353,00 1421,30
324,00 721,60 522,80 1546,50
MG 2 119,80 621,70 370,75 1253,50
125,60 658,60 392,10 1723,70
MG 3 377,50 871,20 624,35 3210,10
193,20 790,30 491,75 1321,50
MG 4 346,80 897,20 622,00 2421,70
321,70 894,20 607,95 1923,40
Rataan 246,39 749,79 498,09 1852,71
Juni
MG 1 153,20 546,70 349,95 1325,60
243,40 841,00 542,20 2006,40
MG 2 146,10 711,60 428,85 1092,50
98,60 687,30 392,95 1523,10
MG 3 141,20 754,40 447,80 1075,10
231,60 832,40 532,00 1956,80
MG 4 244,70 956,20 600,45 2144,50
201,00 769,30 485,15 2100,20
Rataan 182,48 762,36 472,42 1653,03
Juli
MG 1 112,10 346,40 229,25 987,10
201,00 673,80 437,40 1088,30
MG 2 112,30 534,50 323,40 768,40
87,90 175,70 131,80 721,80
MG 3 85,40 289,40 187,40 722,30
78,00 211,90 144,95 598,20
MG 4 116,00 458,10 287,05 672,30
89,30 312,60 200,95 867,30
102,10 421,80 261,95 1231,50
Rataan 109,34 380,47 244,91 850,80
171

Lampiran 10. Temperatur rataan harian di bawah tegakan tumbuhan sagu di P.


Seram, Maluku
Wil. Sampel I Bulan
Luhu Kab. SBB April Mei Juni Juli
MG 1 24,00 24,13 23,38 23,75
23,00 23,13 23,50 24,00
MG 2 23,38 23,25 23,00 23,63
23,75 23,63 23,25 23,13
MG 3 23,25 23,75 23,75 22,63
23,75 23,00 22,75 23,25
MG 4 23,13 22,50 23,50 23,00
23,75 24,13 23,38 23,50
Rataan 23,50 23,44 23,31 23,36
Wil. Sampel II
Sawai Kab. MT
MG 1 24,00 23,00 23,38 23,75
23,00 23,00 23,00 23,00
MG 2 23,38 23,25 23,00 23,63
23,75 22,00 23,00 23,13
MG 3 23,25 23,75 22,00 22,00
23,75 23,00 22,75 23,25
MG 4 23,13 22,50 23,50 23,00
23,63 24,13 23,38 22,00
Rataan 23,48 23,39 23,31 23,29
Wil. Sampel III
Werinama Kab. SBT
MG 1 24,13 23,63 23,88 22,25
23,25 22,63 23,00 21,80
MG 2 23,25 23,88 23,50 23,50
24,25 23,38 23,00 22,00
MG 3 23,50 22,75 23,75 23,00
22,25 24,25 22,50 22,20
MG 4 23,50 22,00 22,00 22,18
22,00 21,50 22,00 22,00
Rataan 23,70 23,52 23,33 22,90
172

lanjutan
Temperatur rataan dari stasiun Klimatologi Amahai dan Kairatu P. Seram, Maluku (oC)
April Mei Juni Juli
No.
Amahai Kairatu Rata2 Amahai Kairatu Rata2 Amahai Kairatu Rata2 Amahai Kairatu Rata2

1 27,85 24,9 26,38 25,8 24,5 25,15 25,83 26,1 25,96 24,45 24,5 24,48
2 25,83 25,3 25,56 25,58 26 25,79 25,83 25,3 25,56 25,48 25,8 25,64
3 25,63 25,7 25,66 26,5 24,8 25,65 25,25 25,3 25,28 25,08 24,1 24,59
4 26,83 26,4 26,61 26,5 25,9 26,2 26,9 25,2 26,05 25,25 24,4 24,83
5 26,4 26,4 26,4 26,65 25,1 25,88 25,88 24,4 25,14 24,58 24,7 24,64
6 27,15 26,8 26,98 25,73 25,9 25,81 26,35 25,2 25,78 24,15 23,6 23,88
7 26 26,8 26,4 25,63 25,8 25,71 26,78 25,6 26,19 24,58 24,2 24,39
8 26,8 26,7 26,75 26,2 25,6 25,9 26,35 25,2 25,78 23,53 23,8 23,66
9 27,2 26,8 27 25,8 26,4 26,1 25,18 26,8 25,99 24,6 25,3 24,95
10 25,93 25,7 25,81 26,75 26,3 26,53 25,53 26,3 25,91 25,2 24,9 25,05
11 27,48 26,6 27,04 26,03 25,7 25,86 26,13 24,5 25,31 25,53 25 25,26
12 27,4 26,4 26,9 26,35 25,4 25,88 26,45 24 25,23 24 25,3 24,65
13 27,25 26 26,63 26,88 24,9 25,89 26,1 24,3 25,2 24,7 25,5 25,1
14 27,03 25,8 26,41 25,83 26,1 25,96 26,75 24,3 25,53 25,93 24,3 25,11
15 26,98 25,3 26,14 26,18 26,1 26,14 26,1 25,3 25,7 25,33 24 24,66
16 26,65 25,8 26,23 26,7 26,2 26,45 26,5 25,6 26,05 25,78 24 24,89
17 27,35 26,7 27,03 26,35 26,2 26,28 25,65 24,9 25,28 25,3 24,1 24,7
18 26,78 25 25,89 26,55 26,3 26,43 25,5 25 25,25 25,15 24,6 24,88
19 20,83 26 23,41 26,43 26,1 26,26 26,1 25,9 26 26 25,1 25,55
20 27,65 26,8 27,23 26,38 26,2 26,29 26,4 24,7 25,55 25,43 25 25,21
21 26,4 26,9 26,65 26,93 24,5 25,71 27 25,7 26,35 24,95 24,9 24,93
22 26,15 26,7 26,43 24,83 25 24,91 27,2 24,1 25,65 25,23 24,4 24,81
23 25,48 25,9 25,69 26,5 25,7 26,1 26,2 24,9 25,55 25,3 24,4 24,85
24 25,15 25,9 25,53 26,23 26,2 26,21 26,53 24,8 25,66 25,1 23,5 24,3
25 25,53 25 25,26 26,15 25 25,58 26,65 24,8 25,73 24,38 23,4 23,89
26 25,65 25,3 25,48 26,65 25,9 26,28 26,2 24,4 25,3 26,08 23,9 24,99
27 25,85 25,6 25,73 25,75 25,6 25,68 25,13 25,7 25,41 23,95 25,2 24,58
28 26,2 25,6 25,9 25,7 25,9 25,8 24,8 25,5 25,15 25,38 23,6 24,49
29 25,48 26,2 25,84 26,28 25,9 26,09 24,25 26 25,13 23,35 25,6 24,48
30 26,33 26,1 26,21 26,8 25,6 26,2 25,33 25,9 25,61 24,75 24 24,38
31 26,63 25,6 26,11 24,85 23,9 24,38

Jlh 789,18 780,3 784,74 813,2 793,2 803,2 780,8 755,3 768,05 773,3 758,8 766,05

Rata 26,31 26 26,15 26,23 25,6 25,92 26,03 25,2 25,61 24,95 24,4 24,67
173

Lampiran 11. Curah hujan bulanan di Stasiun Klimatologi Kairatu Kab. SBB dan
Amahai Kab. MT P. Seram, Maluku

Stasiun Kairatu
Tahun
Bulan Rataan
2006 2007 2008
Jan 229,40 129,17 158,72 172,43
Peb 110,39 290,00 208,80 203,06
Maret 119,66 188,38 241,80 183,28
April 108,00 265,50 273,30 215,60
Mei 223,41 316,20 816,33 451,98
Juni 531,00 368,40 668,28 522,56
Juli 317,54 136,00 1095,33 516,29
Ags 299,77 244,90 273,67 272,78
Sep 201,80 365,77 183,60 250,39
Okt 41,85 345,89 183,79 190,51
Nop 81,10 142,94 216,30 146,78
Des 68,20 245,30 333,25 215,58
Rataan 194,34 253,21 387,76 278,44

Stasiun Amahai
Tahun
Bulan Rataan
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Jan 217,80 142,70 76,60 67,80 79,20 61,20 121,10 94,20 77,60 106,32
Peb 178,50 127,80 24,50 90,20 99,30 101,30 114,20 53,60 141,80 112,32
Maret 179,60 94,60 168,90 93,30 107,60 98,70 115,80 159,20 107,20 128,49
April 155,80 413,20 72,60 168,30 341,80 214,70 108,00 266,00 296,30 234,97
Mei 327,50 327,50 209,90 92,50 165,80 158,80 216,20 191,00 514,60 293,78
Juni 704,40 574,60 121,30 89,20 337,20 253,60 1130,90 499,30 454,90 460,16
Juli 570,80 229,10 53,50 692,50 226,90 571,60 307,30 287,60 882,10 438,19
Ags 354,40 46,90 28,20 152,00 24,30 104,40 50,10 384,60 1411,50 293,52
Sep 522,40 195,10 132,20 79,80 352,10 62,10 201,80 330,00 345,80 262,92
Okt 360,90 96,20 24,40 59,70 49,60 301,50 40,50 57,80 181,70 153,32
Nop 127,20 248,80 25,70 62,20 91,70 134,10 81,10 36,60 126,80 105,71
Des 72,90 194,80 187,30 102,90 131,90 221,90 66,00 56,10 148,50 132,69
Rataan 314,35 224,28 93,76 145,87 167,28 190,33 212,75 201,33 390,73 226,87
174

Lampiran 12. Kelembaban udara relatif rataan harian di bawah tegakan tumbuhan
sagu di P. Seram, Maluku (%)

Wil. Sampel I Bulan


Luhu Kab. SBB April Mei Juni Juli
MG 1 86,25 89,75 90,00 92,75
86,50 89,00 89,25 91,50
MG 2 89,00 90,25 90,50 89,00
86,25 86,75 89,50 91,25
MG 3 85,00 83,75 91,25 92,75
87,50 86,00 88,25 92,00
MG 4 85,75 88,75 90,50 89,75
84,25 87,75 89,50 88,75
Rataan 87,31 88,75 89,84 90,97
Wil. Sampel II
Sawai Kab. MT
MG 1 87,75 89,50 92,50 91,50
88,00 91,00 92,50 91,25
MG 2 86,50 90,85 91,75 90,50
86,25 91,00 90,75 92,50
MG 3 88,75 90,25 88,25 91,75
88,50 89,25 90,25 91,75
MG 4 88,50 88,75 89,50 91,00
88,50 87,26 92,25 88,75
Rataan 88,84 90,73 90,97 91,13
Wil. Sampel III
Werinama Kab. SBT
MG 1 87,50 89,50 91,50 92,50
87,50 90,00 92,00 93,50
MG 2 86,25 89,75 93,00 92,00
88,00 90,00 91,00 93,00
MG 3 87,00 89,00 91,50 92,25
85,50 90,00 92,50 93,00
MG 4 86,75 89,00 92,25 92,25
85,50 88,75 91,75 93,25
Rataan 87,75 90,50 91,94 92,72
Keterangan : MG = minggu
175

lanjutan
Kelembaban rataan dari stasiun Klimatologi Amahai dan Kairatu P. Seram, Maluku (%)
April Mei Juni Juli
No.
Amahai Kairatu Rata2 Amahai Kairatu Rata2 Amahai Kairatu Rata2 Amahai Kairatu Rata2

1 81,75 80,00 80,88 90,00 88,00 89,00 90,25 89,00 89,63 85,50 93,00 89,25

2 89,75 87,00 88,38 89,00 85,00 87,00 91,75 92,00 91,88 84,50 89,00 86,75

3 91,75 83,00 87,38 89,00 85,00 87,00 92,25 92,00 92,13 88,50 89,00 88,75

4 83,25 82,00 82,63 89,00 85,00 87,00 84,00 93,00 88,50 88,00 93,00 90,50

5 86,50 83,00 84,75 88,00 89,00 88,50 88,00 93,00 90,50 84,00 90,00 87,00

6 83,25 86,00 84,63 90,00 87,00 88,50 87,75 92,00 89,88 90,00 95,00 92,50

7 86,25 86,00 86,13 87,00 90,00 88,50 86,00 93,00 89,50 89,00 92,00 90,50

8 82,75 87,00 84,88 87,00 91,00 89,00 91,00 92,00 91,50 90,00 95,00 92,50

9 83,75 86,00 84,88 90,00 92,00 91,00 96,00 89,00 92,50 91,25 91,00 91,13

10 81,75 85,00 83,38 87,00 91,00 89,00 90,75 90,00 90,38 90,50 93,00 91,75

11 84,50 94,00 89,25 85,00 86,00 85,50 88,00 89,00 88,50 90,00 93,00 91,50

12 84,00 92,00 88,00 86,00 90,00 88,00 90,00 91,00 90,50 95,50 90,00 92,75

13 84,00 91,00 87,50 86,00 91,00 88,50 89,50 94,00 91,75 94,00 95,00 94,50

14 86,25 90,50 88,38 86,00 89,00 87,50 89,00 91,00 90,00 94,50 92,00 93,25

15 88,25 91,00 89,63 89,00 90,00 89,50 92,00 88,00 90,00 92,50 93,00 92,75

16 86,25 92,00 89,13 88,00 89,00 88,50 91,50 89,00 90,25 90,00 90,00 90,00

17 84,25 90,00 87,13 90,00 97,00 93,50 92,50 92,00 92,25 93,00 90,00 91,50

18 86,00 84,00 85,00 87,00 90,00 88,50 90,25 92,00 91,13 93,00 92,00 92,50

19 83,00 87,00 85,00 86,00 91,00 88,50 89,00 86,00 87,50 92,00 91,00 91,50

20 83,00 83,50 83,25 88,00 90,00 89,00 87,00 90,00 88,50 92,00 92,00 92,00

21 87,00 86,00 86,50 90,00 86,00 88,00 91,00 89,00 90,00 91,00 91,00 91,00

22 90,00 85,00 87,50 89,00 89,00 89,00 88,00 91,00 89,50 90,00 91,00 90,50

23 91,00 85,00 88,00 88,00 88,00 88,00 88,50 91,00 89,75 91,00 92,00 91,50

24 90,00 85,50 87,75 89,00 87,00 88,00 90,00 88,00 89,00 90,25 90,00 90,13

25 94,00 85,00 89,50 86,00 86,00 86,00 84,25 89,00 86,63 94,50 91,50 93,00

26 90,00 84,50 87,25 86,50 91,00 88,75 92,75 89,00 90,88 89,00 90,25 89,63

27 89,00 89,00 89,00 90,00 89,00 89,50 96,50 88,00 92,25 92,00 89,00 90,50

28 87,00 87,00 87,00 88,00 86,50 87,25 97,25 89,00 93,13 91,00 90,00 90,50

29 88,75 87,00 87,88 87,00 87,25 87,13 95,25 89,00 92,13 90,00 89,50 89,75

30 85,00 86,00 85,50 88,00 86,00 87,00 92,00 90,00 91,00 92,00 90,00 91,00

31 86,53 89,50 87,00 88,25 90,00 89,00 89,50

Jlh 2623,75 2547,00 2585,40 2771,50 2622,00 2738,38 2687,30 2733,00 2710,10 2736,50 2837,00 2786,75

Rata2 86,40 86,67 86,53 88,00 88,67 88,33 90,40 90,33 90,37 90,60 91,33 90,96
Lampiran 13. Sifat kimia tanah dalam habitat tumbuhan sagu di P. seram, Maluku
N-
Nama Kedalaman C-Org* KTK***
pH (1:5) Total** C/N P K Ca Mg Fe Al
Lokasi (cm)
H2O KCl % cmol/kg Total (NHO3 + HClO4) (%)
WS I (Luhu)

TTG 0-30 5,80 4,35 3,92 0,370 13,00 21,89 0,077 1,015 0,765 0,645 2,570 4,365
30-60 5,20 3,85 2,02 0,160 12,50 20,83 0,087 0,835 0,535 0,550 4,020 4,210
T2AT 0-30 5,40 3,85 5,74 0,420 30,33 38,14 0,096 0,950 0,500 0,615 1,355 4,045
30-60 5,00 4,20 2,89 0,230 29,96 30,45 0,092 1,050 0,460 0,540 4,490 4,840
T2AP 0-30 5,50 4,20 3,42 0,380 30,00 35,47 0,059 0,920 0,555 0,490 0,900 1,360
30-60 5,70 4,45 1,72 0,330 14,00 27,16 0,093 0,690 0,535 0,495 1,315 2,805
TPN 0-30 4,60 4,30 7,52 0,280 27,00 32,83 0,059 0,840 0,710 0,590 2,480 3,005
30-60 4,50 4,10 3,36 0,340 23,50 27,47 0,031 0,685 0,545 0,380 0,905 2,885
Rataan 0-30 5,33 4,18 5,15 0,363 25,08 32,08 0,073 0,931 0,633 0,585 1,826 3,194
30-60 5,10 4,15 2,496 0,265 19,990 26,475 0,076 0,815 0,519 0,491 2,683 3,685
Rataan Umum 5,21 4,16 3,823 0,314 22,536 29,278 0,074 0,873 0,576 0,538 2,254 3,439
WS II (Sawai)
TTG 0-30 5,60 5,40 1,35 0,110 12,00 9,53 0,023 0,630 0,155 0,385 4,375 5,910
30-60 5,40 5,30 1,82 0,150 12,50 10,39 0,032 0,555 0,210 0,460 6,890 5,900
T2AT 0-30 4,80 4,70 5,13 0,220 23,32 22,09 0,166 0,425 0,465 0,490 5,720 6,550
30-60 4,50 4,40 1,98 0,160 12,38 18,47 0,074 0,580 0,525 0,685 5,105 6,710
T2AP 0-30 5,20 4,85 0,73 0,070 10,00 2,47 0,004 0,270 0,040 0,210 2,225 5,475
30-60 4,80 4,20 1,78 0,140 12,50 7,27 0,011 0,545 0,115 0,300 2,010 5,950
TPN 0-30 4,80 4,20 8,15 0,380 21,00 30,04 0,045 0,410 0,540 0,355 3,145 7,705

176
30-60 4,70 4,10 2,20 0,180 12,00 8,11 0,020 0,495 0,150 0,225 2,070 5,405
Rataan 0-30 5,10 4,79 3,84 0,195 16,58 16,03 0,060 0,434 0,300 0,360 3,866 6,410
30-60 4,85 4,50 1,94 0,158 12,35 11,06 0,034 0,544 0,250 0,418 4,019 5,991
Rataan Umum 4,98 4,64 2,89 0,176 14,46 13,55 0,047 0,489 0,275 0,389 3,943 6,201
WS III (Werinama)
TTG 0-30 5,50 4,25 1,59 0,130 12,50 11,56 0,025 0,675 0,145 0,365 2,350 3,675
30-60 5,30 4,30 0,89 0,070 12,50 11,63 0,020 0,765 0,125 0,415 2,680 4,270
T2AT 0-30 4,50 4,20 1,53 0,130 11,50 14,85 0,026 0,815 0,145 0,425 2,865 5,475
30-60 3,90 3,80 0,51 0,040 13,00 15,55 0,012 0,980 0,015 0,510 3,760 6,780
TPN 0-30 4,60 4,50 1,18 0,100 12,00 17,21 0,033 0,905 0,330 0,490 3,105 5,670
30-60 4,40 4,20 0,84 0,065 13,00 20,12 0,025 0,730 0,285 0,560 3,435 6,170
Rataan 0-30 4,87 4,32 1,430 0,120 12,000 14,537 0,028 0,798 0,207 0,427 2,773 4,940
30-60 4,53 4,10 0,742 0,058 12,833 15,763 0,019 0,825 0,142 0,495 3,292 5,740
Rataan Umum 4,70 4,21 1,086 0,089 12,417 15,150 0,023 0,812 0,174 0,461 3,033 5,340

177
178

Lampiran 14. Sifat fisika tanah dalam habitat sagu di P. seram, Maluku

Kedalaman Tekstur (Pipet) (%)


Nama Lokasi BD Kelas Tekstur
(cm) Pasir Debu Liat
Wilayah Sampel I
Luhu-SBB
TTG 0-30 1,33 38,50 26,50 35,00 Lempung Berliat
30-60 24,00 43,00 33,00 Lempung Berliat
T2AT 0-30 1,22 27,50 35,00 37,50 Lempung Berliat
30-60 28,50 41,50 30,00 Lempung Berliat
T2AP 0-30 1,20 17,00 49,00 34,00 Lempung Berliat
30-60 42,00 22,50 35,50 Lempung Berliat
TPN 0-30 1,10 38,50 26,50 35,00 Lempung Berliat
30-60 18,00 27,50 54,50 Berliat Halus
Rataan 0-30 1,21 30,38 34,25 35,38 Lempung Berliat
30-60 28,13 33,63 38,25 Lempung liat
Rataan Umum 1,21 29,25 33,94 36,81 Lempung liat
Wilayah Sampel II
Sawai-MT
TTG 0-30 1,23 7,50 52,50 40,00 Liat Berdebu
30-60 2,50 40,50 57,00 Liat Berdebu
T2AT 0-30 1,22 7,00 49,00 44,00 Liat Berdebu
30-60 1,50 49,50 49,00 Liat Berdebu
T2AP 0-30 1,17 27,00 32,50 40,50 Berliat Halus
30-60 9,00 46,50 44,50 Liat Berdebu
TPN 0-30 1,06 8,00 30,00 62,00 Liat
30-60 10,00 43,00 47,00 Liat Berdebu
Rataan 0-30 1,17 12,38 41,00 46,63 Liat berdebu
30-60 5,75 44,88 49,38 Liat berdebu
Rataan Umum 1,17 9,06 42,94 48,00 Liat berdebu
Wilayah Sampel III
Werinama-SBT
TTG 0-30 1,37 22,00 38,00 40,00 Berliat Halus
30-60 39,00 32,50 28,50 Lempung Berliat
T2AT 0-30 1,28 35,50 39,00 25,50 Berlempung Halus
30-60 21,50 47,00 31,50 Lempung Berliat
TPN 0-30 1,05 7,50 63,50 29,00 Berdebu Halus
30-60 2,50 53,00 44,50 Liat Berdebu
Rataan 0-30 1,23 21,67 46,83 31,50 Lempung berliat
30-60 21,00 44,17 34,83 Lempung berliat
Rataan Umum 1,23 21,33 45,50 33,17 Lempung berliat
Keterangan : TTG = lahan kering, T2AT = tergenang temporer air tawar, T2AP =
tergenang temporer air payau, TPN = tergenang permanen.
179

Lampiran 15. Sifat kualitas air rawa dalam habitat sagu di P. Seram, Maluku

Air Bebas Lumpur


Nama Lokasi pH Salinitas
NH4 K Ca Mg NO3 PO4 (ppt)
Wilayah Sampel I
Luhu-SBB
T2AT 6,4 0,82 18,33 34,19 11,72 4,91 3,73 0,10
T2AP 6,1 0,59 4,34 13,28 3,93 7,13 0,09 0,70
TPN 6,6 0,62 9,01 36,61 10,08 5,77 0,61 0,10
Rataan 6,4 0,7 10,6 28,0 8,6 5,9 1,5 0,3
Wilayah Sampel II
Sawai-MT
T2AT 6,7 0,51 1,55 29,99 1,69 2,71 0,02 0,10
T2AP 7,1 0,63 0,75 42,21 2,38 2,05 0,02 0,50
TPN 6,7 0,64 0,42 29,30 1,61 2,92 0,06 0,10
Rataan 6,8 0,6 0,9 33,8 1,9 2,6 0,0 0,2
Wilayah Sampel III
Werinama-SBT
T2AT 5,7 0,47 1,82 5,76 1,51 12,37 0,05 0,20
TPN 5,8 0,58 1,96 5,59 1,10 8,45 0,02 0,10
Rataan 5,7 0,5 1,9 5,7 1,3 10,4 0,0 0,2

Keterangan : T2AT = tergenang temporer air tawar, T2AP = tergenang temporer


air payau, TPN = tergenang permanen, ppt = part per thousand.
180

Lampiran 16. Spesies tumbuhan dalam komunitas sagu alami di P. Seram, Maluku
No. Spesies Famili
1. Metroxylon rumphii Mart. 1. Arecaceae (palmae)
2. M. longispinum Mart. Arecaceae (palmae)
3. M. sylvestre Mart. Arecaceae (palmae
4. M. microcanthum Mart. Arecaceae (palmae)
5. M. sagu Rottb. Arecaceae (palmae)
6. Cocos nucifera (L) Arecaceae (Palmae)
7. Oncosperma tigilarium (Jack) Ridl. Arecaceae (Palmae)
8. Calamus ornatus Bl. Arecaceae (Palmae)
9. Ptycocus paradoxus (Scheff) Becc Arecaceae (Palmae)
10. Durio zibethinus Murr. 2. Bombacaceae
11. Gmelina moluccana 3. Verbenaceae
12. Pandanus furcatus Roxb. 4. Pandanaceae
13. Pandanus scandens (St. John ex Stone) Pandanaceae
14. Theobroma cacao (L) 5. Sterculiaceae
15. Inocarpus fagifera (Park) Fosb. 6. Papilionaceae
16. Aneilema nudiflorum R. Br. Papilionaceae
17. Pterocarpus indicus Willd. Papilionaceae
18. Leea guinensis G. Don 7. Leeaceae
19. Leea aculeata Blume Leeaceae
20. Musa paradisiaca (L) 8. Mussaceae
21. Homalomena rubra Hassk. 9. Araceae
22. Nephrolepis exaltata Schott. 10. Lomariopsidaceae
23. Commelina benghalensis (L) 11. Commelinaceae
24. Ichanthus vicinus (Bailey) Merr. 12. Poaceae
25. Corex cruciata (Vahl.) 13. Cyperaceae
26. Fordia cf.Gibbsiae Dunn & E.G.Baker 14. Fabaceae
27. Clidemia hirta (D.Don.) 15. Melastomaceae
28. Cordylene terminalis Kunth. 16. Asteliaceae
29. Cyrtandra hellwingii Warb. 17. Gesneriaceae
30. Donax cannaeformis (G. Fors) K. Sch. 18. Marantaceae
31. Stenoclaea palutris 19. Blechnaceae
32. Pometia ridleyi King 20. Sapindaceae
33. Terminalia catappa (L) 21. Combretaceae
34. Kamiha eugenia 22. Myrtaceae
35. Bergea capensis (L) 23. Elatinaceae
36. Limnocharis flava (L) Buch 24. Butomaceae
37. Octomeles sumatrana Miq. 25. Daticaceae
38. Myristica fragrans (Houtt) 26. Myristicaceae
39. Langsium domesticum 27. Meliaceae
40. Selaginella ciliaris Spring 28. Selaginellaceae
41. Piper betle (L) 29. Piperaceae
42. Amischotolype marginata (Blume) Hassk. 30. Commelinaceae
Keterangan : 42 spesies; 36 genus; 30 famili.
181

Lampiran 17. Hasil uji chi-square untuk pengujian asosiasi interspesifik spesies
berpasangan penyusun utama (INP 10 %)
Spesies A : M. Rumphii Mart.
Tipe Tingkat
No. Spesies B X2 a E(a)
Asosiasi Asosiasi
1. M. longispinum Mart. 6,53* 40 44,92 Negatif 0,43
2. M. sylvestre Mart. 5,12* 35 35,11 Negatif 0,47
3. M. sagu Rottb. 16,74* 13 17,91 Negatif 0,16
4. Pandanus furcatus Roxb. 6,76* 5 7,15 Negatif 0,06
5. Theobroma cacao L. 0,22tn 4 3,80 Negatif 0,05
6. Inocarpus fagifera (Park) Fosb. 0,05tn 2 1,95 Negatif 0,03
7. Leea guinensis G. Don 0,35tn 5 4,69 Negatif 0,67
8. Musa paradisiaca L. 0,05tn 2 1,95 Negatif 0,03
9. Homalomena rubra Hassk. 9,28* 9 13,09 Negatif 0,15
10. Nephrolepis exaltata Schott. 21,03* 4 6,98 Negatif 0,05
11. Cordylene terminalis Kunth. 3,36tn 1 1,79 Negatif 0,01
12. Selaginella ciliaris Spring 0,37tn 3 2,68 Negatif 0,04
13. Pometia ridleyi King 1,43tn 2 2,68 Negatif 0,04
14. Terminalia catappa L. 0,37tn 3 2,68 Positif 0,04
15. Kamiha eugenia 0,16tn 5 5,30 Negatif 0,07
16. Limnocharis flava (L) Buch. 3,36tn 1 1,79 Negatif 0,01
17. Oncosperma tigilarium (Jack) Ridl. 0,24tn 2 1,79 Positif 0,03
18. Myristica fragrans (Houtt) 0,24tn 2 1,79 Positif 0,03
19. Calamus ornatus Bl. 3,36tn 1 1,79 Negatif 0,01
Spesies A : M. Longispinum Mart.
No. Spesies B
1. M. sylvestre Mart. 20,73* 11 21,36 Negatif 0,15
2. M. sagu Rottb. 5,69* 13 16,95 Negatif 0,20
3. Pandanus furcatus Roxb. 0,21tn 5 4,38 Positif 0,10
4. Theobroma cacao L. 2,57tn 1 2,73 Negatif 0,02
5. Inocarpus fagifera (Park) Fosb. 2,55tn 0 1,11 Negatif 0,00
6. Leea guinensis G. Don 0,06tn 3 2,74 Positif 0,06
7. Musa paradisiaca L. 2,42tn 0 1,08 Negatif 0,00
8. Homalomena rubra Hassk. 4,35* 4 6,57 Negatif 0,08
9. Nephrolepis exaltata Schott. 4,76* 2 4,60 Negatif 0,04
10. Cordylene terminalis Kunth. 0,01tn 1 1,08 Negatif 0,02
11. Selaginella ciliaris Spring. 0,58tn 1 1,64 Negatif 0,02
12. Pometia ridleyi King. 0,22tn 2 1,60 Positif 0,04
13. Terminalia catappa L. 2,57tn 3 1,64 Positif 0,07
14. Kamiha eugenia 0,03tn 3 3,21 Negatif 0,06
15. Limnocharis flava (L) Buch. 1,74tn 2 1,08 Positif 0,04
16. Oncosperma tigilarium (Jack) Ridl. 0,02tn 1 1,20 Negatif 0,02
17. Myristica fragrans (Houtt) 0,01tn 1 1,08 Negatif 0,02
19. Calamus ornatus Bl. 0,01tn 1 1,08 Negatif 0,02

182

lanjutan
Spesies A : M. sylvestre Mart.
No. Spesies B
1. M. microcanthum Mart. 0,24tn 1 1,41 Negatif 0,02
2. M. sagu Rottb. 5,31* 7 11,30 Negatif 0,14
3. Pandanus furcatus Roxb. 1,47tn 2 3,63 Negatif 0,04
4. Theobroma cacao L. 1,24 4 2,69 Positif 0,10
5. Inocarpus fagifera (Park) Fosb. 0,01tn 1 0,91 Positif 0,03
6. Leea guinensis G. Don 0,46tn 3 2,27 Negatif 0,07
7. Musa paradisiaca L. 0,01tn 1 0,93 Positif 0,03
8. Homalomena rubra Hassk. 4,45* 2 4,75 Negatif 0,04
9. Nephrolepis exaltata Schott. 4,96* 2 5,43 Negatif 0,04
10. Cordylene terminalis Kunth 0,01tn 1 0,93 Positif 0,03
11. Selaginella ciliaris Spring 0,51tn 2 1,39 Positif 0,05
12. Pometia ridleyi King 0,20tn 1 1,38 Negatif 0,02
13. Terminalia catappa L. 0,20tn 1 1,38 Negatif 0,02
14. Kamiha eugenia 0,04tn 3 2,75 Positif 0,07
15. Limnocharis flava (L) Buch. 2,36tn 2 0,93 Positif 0,05
16. Oncosperma tigilarium (Jack) Ridl. 1,78tn 0 0,93 Negatif 0,00
17. Myristica fragrans (Houtt) 1,78tn 0 0,93 Negatif 0,00
18. Calamus ornatus Bl. 1,78tn 0 0,93 Negatif 0,00
Spesies A : M. sagu Rottb.
No. Spesies B
1 Pandanus furcatus Roxb. 4,56* 3 6,14 Negatif 0,10
2 Theobroma cacao L. 1,29tn 0 0,94 Negatif 0,00
3 Inocarpus fagifera (Park) Fosb. 0,64tn 0 0,48 Negatif 0,00
4 Leea guinensis G. Don 0,64tn 0 0,48 Negatif 0,00
5 Musa paradisiaca L. 0,63tn 0 0,47 Negatif 0,00
6 Homalomena rubra Hassk. 3,54* 2 4,06 Negatif 0,04
7 Nephrolepis exaltata Schott. 4,48* 1 3,19 Negatif 0,02
8 Cordylene terminalis Kunth. 0,78tn 1 0,48 Positif 0,05
9. Selaginella ciliaris Spring 0,97tn 0 0,71 Negatif 0,00
10 Pometia ridleyi King 0,96tn 0 0,71 Negatif 0,00
11 Terminalia catappa L. 0,96tn 0 0,71 Negatif 0,00
12 Kamiha eugenia 2,16tn 0 1,50 Negatif 0,00
13 Limnocharis flava (L) Buch. 0,57tn 0 0,44 Negatif 0,00
14 Oncosperma tigilarium (Jack) Ridl. 0,75tn 1 0,48 Positif 0,05
15 Myristica fragrans (Houtt) 0,64tn 0 0,48 Negatif 0,00
16 Calamus ornatus Bl. 0,75tn 1 0,48 Positif 0,05
Keterangan : * tingkat signifikansi 5 % ( = 0,05); df = 1; X2tabel = 3,84. Tipe asosiasi : a > E(a)
positif, a < E(a) negatif. Tingkat asosiasi berdasarkan Jaccard Index (JI): JI = 0
berarti tidak terdapat asosiasi antara 2 spesies; JI = 1 berarti asosiasi antara 2
spesies maksimum.
183

Lampiran 18. Analisis komponen utama faktor iklim

Statistik uji dalam analisis komponen utama sebagai acuan dalam melakukan
reduksi data (variabel) sifat iklim

KMO and Bartlett's Test


Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. ,562
Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 37,196
df 10
Sig. ,000

Anti-image Matrices
T_mikro RH_mikro Sry_mikro Sry_lokal CH
Anti-image T_mikro ,945 ,038 -,026 ,005 ,204
Covariance RH_mikro ,038 ,900 ,068 ,210 -,108
Sry_mikro -,026 ,068 ,873 -,265 ,063
Sry_lokal ,005 ,210 -,265 ,828 -,093
CH ,204 -,108 ,063 -,093 ,926
Anti-image T_mikro ,543(a) ,041 -,029 ,006 ,218
Correlation RH_mikro ,041 ,605(a) ,077 ,244 -,119
Sry_mikro -,029 ,077 ,581(a) -,312 ,070
Sry_lokal ,006 ,244 -,312 ,534(a) -,106
CH ,218 -,119 ,070 -,106 ,500(a)
a Measures of Sampling Adequacy(MSA)

Eigenanalysis of the Correlation Matrix

Eigenvalue 2,7774 2,2226 -0,0000 -0,0000 -0,0000


Proportion 0,555 0,445 -0,000 -0,000 -0,000
Cumulative 0,555 1,000 1,000 1,000 1,000

Eigenvector
Variable PC1 PC2 PC3 PC4 PC5
T_mikro 0,351 -0,544 -0,064 -0,184 -0,737
RH_mikro -0,090 0,663 0,462 0,035 -0,581
Sry_lokal 0,406 0,494 -0,586 -0,498 0,005
Sry_mikro 0,598 -0,050 0,647 -0,319 0,346
CH -0,588 -0,136 0,145 -0,784 0,004

Selain output di atas, dihasilkan juga loading plot interaksi diantara variabel
iklim. Hasil analisis di atas (eigenvalue dan eigenvector) kemudian dipergunakan
untuk menghitung besarnya kontribusi masing-masing variabel iklim dan
kontribusi totalnya terhadap pertumbuhan sagu.

Pengaruh faktor iklim terhadap jumlah rumpun dan produksi pati sagu dihitung
dengan menggunakan analisis regresi komponen utama. Dalam analisis ini semua
variabel bebas dikonversi ke dalam variabel baku Z. Proses analisis persamaan
regresi komponen utama sebagai berikut :
184

Regression Analysis: Y1 versus SPC1; SPC2


Y1 = jumlah populasi rumpun sagu (ind/ha)

The regression equation is


Y1 = 7,11 - 0,214 SPC1 + 0,151 SPC2

S = 1,39242 R-Sq = 8,5% R-Sq(adj) = 7,1%

Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 2 23,110 11,555 5,96 0,003
Residual Error 128 248,172 1,939
Total 130 271,282

Variable PC1 PC2 PC3 PC4 PC5


Z1 0,351 -0,544 -0,163 0,342 -0,661
Z2 -0,090 0,663 0,366 0,478 -0,436
Z3 0,406 -0,494 -0,767 -0,042 -0,022
Z4 0,598 -0,050 0,240 0,513 0,565
Z5 -0,588 -0,136 -0,440 0,624 0,231

Y1 Koef_1 PC1 Koef_2 PC2 Koef1*PC1 Koef*PC2 Jumlah


Z1 -0,214 0,351 0,151 -0,544 -0,075 -0,082 -0,157
Z2 -0,214 -0,09 0,151 0,663 0,019 0,100 0,119
Z3 -0,214 0,406 0,151 -0,494 -0,087 -0,075 -0,161
Z4 -0,214 0,598 0,151 -0,050 -0,128 -0,008 -0,136
Z5 -0,214 -0,588 0,151 -0,136 0,126 -0,021 0,105

Y1 = 7,11 -0,157Z1 + 0,119Z2 - 0,012Z3 - 0,136Z4 + 0,105Z5

Kembali ke X Koef_Reg Intersep Inters. Y1


X1 -1,3215 -30,67 7,11
X2 0,4645 41,64 8,63
X3 -0,0021 -3,53
X4 -0,0049 -2,39
X5 0,0247 0,33
Jumlah 5,37 15,74

Y1 = 15,74 - 1,321X1 + 0,4645X2 - 0,0021X3 - 0,0049X4 + 0,0247X5

Keterangan : X1 = temperatur mikro; X2 = kelembaban mikro; X3 = sinaran


surya mikro; X4 sinaran surya lokal; X5 = curah hujan.
185

Regression Analysis: Y2 versus SPC1; SPC2


Y2 = produksi pati sagu (kg/batang)

The regression equation is


Y2 = 602 + 3,91 SPC1 - 24,0 SPC2

S = 136,716 R-Sq = 6,7% R-Sq(adj) = 5,3%

Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 2 172597 86298 4,62 0,012
Residual Error 128 2392472 18691
Total 130 2565069

Y2 Koef_1 PC1 Koef_2 PC2 Koef1*PC1 Koef*PC2 Jumlah


Z1 3,91 0,351 -24 -0,544 1,372 13,056 14,428
Z2 3,91 -0,09 -24 0,663 -0,352 -15,912 -16,264
Z3 3,91 0,406 -24 -0,494 1,587 11,856 13,443
Z4 3,91 0,598 -24 -0,05 2,338 1,200 3,538
Z5 3,91 -0,588 -24 -0,136 -2,299 3,264 0,965

Y2 = 602 + 14,428Z1 - 16,264Z2 + 13,43Z3 + 3,538Z4 + 0,965Z5

Kembali ke X Koef_Reg Intersep Inters. Y2


X1 121,247 2814,27 602,08
X2 -63,284 -5672,75 -2499,39
X3 0,175 293,69
X4 0,127 62,42
X5 0,226 2,99
Jumlah -2499,39 -1897,31

Y2 = -1897,31 + 2814,27 X1 - 5672,75X2 + 293,69 X3 + 62,42 X4 + 2,99 X5

Keterangan : X1 = temperatur mikro; X2 = kelembaban mikro; X3 = sinaran


surya mikro; X4 sinaran surya lokal; X5 = curah hujan.
186

Lampiran 19. Analisis komponen utama faktor tanah

Statistik uji dalam analisis komponen utama sebagai acuan dalam melakukan
reduksi data (variabel) sifat tanah

KMO and Bartlett's Test


Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. ,554
Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 1625,263
df 36
Sig. ,000

Anti-image Matrices

C-org pH (KCl) KTK K Ca Mg Fe BD Liat


Anti-image C-org ,064 ,006 -,020 ,032 -,046 ,038 -,036 ,020 -,018
Covariance
pH (KCl) ,006 ,090 -,034 ,031 ,032 ,013 -,011 -,006 -,004
KTK -,020 -,034 ,020 -,020 -,003 -,017 ,013 ,001 ,004
K ,032 ,031 -,020 ,063 ,009 -,003 -,031 ,031 -,026
Ca -,046 ,032 -,003 ,009 ,084 -,043 ,025 -,014 ,009
Mg ,038 ,013 -,017 -,003 -,043 ,050 -,023 -,002 -,003
Fe -,036 -,011 ,013 -,031 ,025 -,023 ,044 -,037 ,026
BD ,020 -,006 ,001 ,031 -,014 -,002 -,037 ,051 -,030
Liat -,018 -,004 ,004 -,026 ,009 -,003 ,026 -,030 ,020
Anti-image C-org ,502(a) ,074 -,558 ,497 -,633 ,669 -,671 ,354 -,493
Correlation
pH (KCl) ,074 ,647(a) -,798 ,405 ,370 ,190 -,176 -,094 -,087
KTK -,558 -,798 ,601(a) -,553 -,064 -,540 ,429 ,034 ,216
K ,597 ,405 -,553 ,536(a) ,129 -,057 -,583 ,551 -,728
Ca -,633 ,370 -,064 ,129 ,611(a) -,659 ,407 -,221 ,208
Mg ,669 ,190 -,540 -,057 -,659 ,520(a) -,491 -,043 -,092
Fe -,671 -,176 ,429 -,583 ,407 -,491 ,500(a) -,772 ,883
BD ,354 -,094 ,034 ,551 -,221 -,043 -,772 ,503(a) -,936
Liat -,493 -,087 ,216 -,728 ,208 -,092 ,883 -,936 ,501(a)
a Measures of Sampling Adequacy(MSA)

Eigenanalysis of the Correlation Matrix

Eigenvalue 3,848 2,289 1,547 0,700 0,430


Proportion 0,428 0,254 0,172 0,078 0,048
Cumulative 0,428 0,682 0,854 0,932 0,979
187

Eigenvector
Variable PC1 PC2 PC3 PC4 PC5
pH (KCl) 0,416 0,187 -0,156 -0,032 -0,674
C_organik 0,348 0,363 -0,193 -0,427 0,027
KTK 0,494 0,098 -0,023 0,170 -0,121
Kalium 0,305 -0,421 -0,156 0,473 -0,078
Kalsium 0,425 0,163 0,142 -0,221 0,618
Magnesium 0,348 -0,100 -0,546 0,156 0,135
Fe -0,142 0,192 0,694 -0,222 -0,318
BD 0,031 -0,532 0,171 -0,640 -0,150
Liat 0,213 -0,539 -0,290 -0,179 0,021

Selain output di atas, dihasilkan juga loading plot interaksi diantara variabel
tanah. Hasil analisis di atas (eigenvalue dan eigenvector) kemudian dipergunakan
untuk menghitung besarnya kontribusi masing-masing variabel tanah dan
kontribusi totalnya terhadap pertumbuhan sagu.

Pengaruh faktor tanah terhadap jumlah rumpun dan produksi pati sagu dihitung
dengan menggunakan analisis regresi komponen utama. Dalam analisis ini semua
variabel bebas dikonversi ke dalam variabel baku Z. Khusus pengaruh faktor
tanah terhadap jumlah rumpun sagu, apabila memasukan seluruh variabel tanah,
maka tidak terdapat pengaruh yang signifikan (R-Sq = 0,0%). Oleh karena itu
dilakukan reduksi data (variabel) dengan menggunakan melalui metode stapewise.
Kemudian dilanjutkan dengan analisis regresi komponen utama. Proses analisis
regresi komponen utama sebagai berikut :

Regression Analysis: Y1 versus SPC1; SPC2


Y1 = jumlah populasi rumpun sagu (ind/ha)

The regression equation is


Y1 = 7,11 - 0,0898 SPC1 - 0,281 SPC2

S = 1,41289 R-Sq = 5,8% R-Sq(adj) = 4,3%

Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 2 15,762 7,881 3,95 0,022
Residual Error 128 255,521 1,996
Total 130 271,282
188

Variable PC1 PC2 PC3 PC4 PC5


Z1 0,587 0,263 -0,026 0,367 0,671
Z2 0,593 0,080 0,044 -0,791 -0,115
Z3 0,550 -0,378 0,025 0,461 -0,584
Z4 -0,021 -0,705 0,591 -0,108 0,377
Z5 0,016 -0,534 -0,805 -0,120 0,230
Keterangan : Z1=KTK, Z2=Ca, Z3=Mg, Z4=Fe, Z5=BD

Y1 Koef_1 PC1 Koef_2 PC2 Koef1*PC1 Koef*PC2 Jumlah


Z1 -0,09 0,587 -0,28 0,263 -0,053 -0,074 -0,127
Z2 -0,09 0,539 -0,28 0,080 -0,048 -0,022 -0,071
Z3 -0,09 0,55 -0,28 -0,378 -0,049 0,106 0,057
Z4 -0,09 -0,021 -0,28 0,705 0,002 -0,198 -0,196
Z5 -0,09 0,016 -0,28 -0,534 -0,001 0,150 0,149

Y1 = 7,11 - 0,127Z1 - 0,071Z2 + 0,057 3 - 0,164Z4 + 0,225Z5

Kembali ke X Koef_Reg Intersep Inters. Y1


X1 -0,016 -0,287 7,11
X2 -0,338 -0,071 2,253
X3 0,526 0,243
X4 -0,153 -0,516
X5 1,510 1,851
Jumlah 1,220 9,363

Y1 = 9,363 - 0,016 X1 - 0,0389 X2 + 0,0526 X3 - 0,128 X4 + 2,284 X5

Keterangan : X1= KTK; X2 = Kalsium; X3 = Magnesium; X4 = Ferrum; X5 =


Bulk Density

Regression Analysis: Y2 versus SPC1; SPC2; SPC3


Y2 = produksi pati sagu (kg/batang)

The regression equation is


Y2 = 602 + 23,0 SPC1 + 36,5 SPC2 - 64,7 SPC3

S = 87,8487 R-Sq = 61,8% R-Sq(adj) = 60,9%

Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 3 1584961 528320 68,46 0,000
Residual Error 127 980108 7717
Total 130 2565069
189

Variable PC1 PC2 PC3 PC4 PC5


Z1 0,416 0,187 -0,156 -0,032 -0,674
Z2 0,348 0,363 -0,193 -0,427 0,027
Z3 0,494 0,098 -0,023 0,170 -0,121
Z4 0,305 -0,421 -0,156 0,473 -0,078
Z5 0,425 0,163 0,142 -0,221 0,618
Z6 0,348 -0,100 -0,546 0,156 0,135
Z7 -0,142 0,192 0,694 -0,222 -0,318
Z8 0,031 -0,532 0,171 -0,640 -0,150
Z9 0,213 -0,539 -0,290 -0,179 0,021
Keterangan : Z1=pH (KCl), Z2=C-org, Z3=KTK, Z4=K, Z5=Ca, Z6=Mg, Z7=Fe,
Z8=BD, Z9=liat

Y2 Koef1 PC1 Koef2 PC2 Koef3 PC3 Koef1*PC1 Koef2*PC2 Koef3*PC3 Jumlah
Z1 23,00 0,416 36,50 0,187 -64,70 -0,156 9,568 6,826 10,093 26,487
Z2 23,00 0,348 36,50 0,363 -64,70 -0,193 8,004 13,250 12,487 33,741
Z3 23,00 0,494 36,50 0,098 -64,70 -0,023 11,362 3,577 1,488 16,427
Z4 23,00 0,305 36,50 -0,421 -64,70 -0,156 7,015 -15,367 10,093 1,742
Z5 23,00 0,425 36,50 0,163 -64,70 0,142 9,775 5,950 -9,187 6,537
Z6 23,00 0,348 36,50 -0,100 -64,70 -0,546 8,004 -3,650 35,326 39,680
Z7 23,00 -0,142 36,50 0,192 -64,70 0,694 -3,266 7,008 -44,902 -41,160
Z8 23,00 0,031 36,50 -0,532 -64,70 0,171 0,713 -19,418 -11,064 -29,769
Z9 23,00 0,213 36,50 -0,290 -64,70 -0,29 4,899 -10,585 18,763 13,077

Y2 = 602 + 26, 487Z1 + 33,7441Z2 + 16,427Z3 + 1,742Z4 + 6,537Z5 + 39,680Z6 - 41,160Z7 - 29,769Z8
+ 13,077Z9

Y2 Kembali ke X Intersep Inters. Y2


Z1 63,731 279,009 602
Z2 21,909 54,2041 143,19
Z3 2,087 37,2605
Z4 1,935 6,5762
Z5 31,129 10,1169
Z6 48,988 169,853
Z7 -32,131 -108,249
Z8 -0,030 -370,747
Z9 1,647 65,1691
Jumlah 143,192 745,19
Y2 = 745,19 + 63,731X1 + 21,909X2 + 2,087X3 + 1,935X4 + 31,129X5 + 48,988X6 - 32,131X7
0,030X8 + 1,647X9

Keterangan : X1 = pH (KCl), X2 = C-organik, X3 = KTK, X4 = Kalium, X5 = Kalsium,


X6 = Magnesium, X7 = Ferrum, X8 = bulk density, X9 = liat.
190

Lampiran 20. Analisis komponen utama faktor kualitas air rawa

KMO and Bartlett's Test


Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. ,506
Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 884,445
df 15
Sig. ,000

Anti-image Matrices
pH K Ca Mg NO3 Salinitas
Anti-image pH ,702 ,006 -,003 ,002 ,007 -,023
Covariance K ,006 ,637 -,007 -,025 ,020 -,051
Ca -,003 -,007 ,804 -,004 -,008 ,027
Mg ,002 -,025 -,004 ,743 -,002 -,011
NO3 ,007 ,020 -,008 -,002 ,621 -,068
Salinitas -,023 -,051 ,027 -,011 -,068 ,511
Anti-image pH ,520(a) ,628 -,974 ,158 ,912 -,644
Correlation K ,628 ,585(a) -,518 -,632 ,697 -,368
Ca -,974 -,518 ,668(a) -,309 -,801 ,588
Mg ,158 -,632 -,309 ,609(a) -,075 -,071
NO3 ,912 ,697 -,801 -,075 ,618(a) -,649
Salinitas -,644 -,368 ,588 -,071 -,649 ,507(a)
a Measures of Sampling Adequacy(MSA)

Eigenanalysis of the Correlation Matrix

Eigenvalue 3,1197 1,8757 0,8831 0,0985 0,0216


Proportion 0,520 0,313 0,147 0,016 0,004
Cumulative 0,520 0,833 0,980 0,996 1,000

Eigenvector
Variable PC1 PC2 PC3 PC4 PC5
pH 0,516 -0,290 0,081 -0,203 -0,098
Kalium 0,255 0,629 -0,192 0,410 -0,566
Kalsium 0,554 -0,091 0,021 -0,486 -0,336
Magnesium 0,332 0,565 -0,217 -0,248 0,679
NO3 -0,499 0,264 -0,218 -0,694 -0,310
Salinitas 0,044 -0,352 -0,928 0,107 0,015

Selain output di atas, dihasilkan juga loading plot interaksi diantara variabel
kualitas air rawa. Hasil analisis di atas (eigenvalue dan eigenvector) kemudian
dipergunakan untuk menghitung besarnya kontribusi masing-masing variabel
kualitas air rawa dan kontribusi totalnya terhadap pertumbuhan sagu.

Pengaruh faktor kualitas air rawa terhadap jumlah rumpun dan produksi pati sagu
dihitung dengan menggunakan analisis regresi komponen utama. Dalam analisis
ini semua variabel bebas dikonversi ke dalam variabel baku Z. Proses analisis
persamaan regresi komponen utama sebagai berikut :
191

Regression Analysis: Y1 versus SPC1; SPC2


Y1 = jumlah populasi rumpun sagu (ind/ha)

The regression equation is


Y1 = 7,01 - 0,0535 SPC1 - 0,438 SPC2

S = 1,27098 R-Sq = 12,2% R-Sq(adj) = 10,0%

Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 2 18,141 9,071 5,62 0,005
Residual Error 81 130,847 1,615
Total 83 48,988

Variable PC1 PC2 PC3 PC4


Z1 0,627 -0,133 -0,370 -0,672
Z2 0,397 0,528 0,737 -0,140
Z3 0,653 0,003 -0,216 0,726
Z4 -0,153 0,839 -0,522 -0,022

Y1 Koef_1 PC1 Koef_2 PC2 Koef1*PC1 Koef*PC2 Jumlah


Z1 -0,0535 0,627 -0,438 -0,133 -0,034 0,058 0,02
Z2 -0,0535 0,397 -0,438 0,528 -0,021 -0,231 -0,25
Z3 -0,0535 0,653 -0,438 0,003 -0,035 -0,001 -0,04
Z4 -0,0535 -0,153 -0,438 0,839 0,008 -0,367 -0,36

Y1 = 7,01 + 0,02 Z1 - 0,25 Z2 - 0,04 Z3 - 0,36 Z4

Kembali ke X Koef_Reg Intersep Inters. Y1


X1 0,004 0,02 7,01
X2 -0,018 -0,41 -0,84
X3 -0,009 -0,03
X4 -2,105 -0,42
Jumlah -0,84 6,17

Y1 = 6,17 + 0,004X1 - 0,018X2 - 0,009X3 - 2,105X4


Keterangan : X1 = Kalium; X2 = Kalsium; X3 = Magnesium; X4 = salinitas.
192

Regression Analysis: Y2 versus SPC1; SPC2

Y2 = produksi pati sagu (kg/batang)


Y2 = 556 + 29,9 SPC1 - 32,4 SPC2

S = 146,253 R-Sq = 13,1% R-Sq(adj) = 11,0%

Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 2 262092 131046 6,13 0,003
Residual Error 81 1732583 21390
Total 83 1994674

Y2 Koef_1 PC1 Koef_2 PC2 Koef1*PC1 Koef*PC2 Jumlah


Z1 29,9 0,627 -32,4 -0,133 18,747 4,309 23,06
Z2 29,9 0,397 -32,4 0,528 11,870 -17,107 -5,24
Z3 29,9 0,653 -32,4 0,003 19,525 -0,097 19,43
Z4 29,9 -0,153 -32,4 0,839 -4,575 -27,184 -31,76

Y2 = 556 + 23,06 Z1 - 5,24 Z2 + 19,43 Z3 - 31,76 Z4

Kembali ke X Koef_Reg Intersep Inters. Y2


X1 4,056 16,92 556,00
X2 -0,370 -8,49 -9,82
X3 5,090 18,51
X4 -186,047 -36,76
Jumlah -9,82 546,18

Y2 = 546,18 + 4,056 X1 0,370 X2 + 5,090 X3 186,047 X4

Keterangan : X1 = Kalium; X2 = Kalsium; X3 = Magnesium; X4 = salinitas.

You might also like