Professional Documents
Culture Documents
2010 Sbo
2010 Sbo
SAMIN BOTANRI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Samin Botanri
NRP. G361060031
ABSTRACT
Sago palm (Metroxylon spp.) is a tropical plant. Its area distribution in Indonesia
is the largest in the world, covering 50-60 % of worlds Sago area. It is
multifunction plant, however, it is still under utilized. Ecologicaly, sago palm
well adapted on fresh water or peat swamp, riverine zone, surrounding water or
swamp forests. Unfortunately, there is no any valid information on its area
distribution. Moreover, regarding species diversity of Sago is also unclear. Based
on the above facts, it is an urgent need to know its ecological aspect, spatial
distribution and species diversity. The research was conducted in March to
November 2009 at the Seram Island, Maluku. Spatial distribution was developed
by Supervised classification of Landsat TM coupled with ground survey to collect
Ground Control Points (GCPs) for accuracy assessment. Further field survey was
done to collect autecological data. Isozyme analysis was also conducted to
identify species diversity. Output supervised classification of Landsat-5TM image
in 2007, showed that potential area of sago palm at the Seram Island was
18.239,8 ha. Characteristic of the habitat was distributed in the lowland (elevation
less than 250 m asl), flat area, around river, near from beach, and on alluvium soil
(sediment). Population structure of sago palm in the nature community follows
young growth pattern, in wich rate seedling mortality was about 76,82 %.
Regarding the species, M. rumphii Mart. species is the most dominant vegetation
which cover 43,3 % of habitat. As adaptation strategy in swampy condition, sago
palm form roots which was vertically directed to reach water surface. In sago
palm community there was negative interspecific association indicated by Jaccard
index less than 0,2. Abiotic component significant effected growth and sago fluor
production. The variable that most have significantly effect to growth and sago
flour production were micro temperature, micro relative humidity, bulk density,
soil acidity, and salinity. The potential clump population at the Seram Island was
about 3,2 million clump or approximately of about 1,5 million trunk of trees. M.
rumphii Mart. and M. sylvestre Mart. species were the most potential with
production capacity of about 566,04 kg starch/trunk and 560,68 kg starch/trunk,
respectively. Genetic analysis by isozyme proved that initially known five species
of Sago in the Seram Island was actualy only two species, namely Metroxylon
rumphii Mart. (concist of M. rumphii Mart., M. sylvestre Mart., M. longispinum
Mart, and M. microcanthum Mart.), and Metroxylon sagu Rottb.
Kata kunci : distribusi spasial, tipe habitat, komponen abiotik, Metroxylon spp.,
dan P. Seram.
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2010
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1) Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebut sumber :
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2) Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
DISTRIBUSI SPASIAL, AUTEKOLOGI, DAN
BIODIVERSITAS TUMBUHAN SAGU (Metroxylon spp.)
DI PULAU SERAM, MALUKU
SAMIN BOTANRI
Disertasi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2010
Judul Disertasi : Distribusi Spasial, Autekologi, dan Biodiversitas
Tumbuhan Sagu (Metroxylon spp.) di Pulau Seram,
Maluku
N R P : G 361060031
Disetujui :
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, M.S. Prof. Dr. Ir. Edi Guhardja, M.Sc.
Ketua Anggota
Dr. Ir. Ibnul Qayim Prof. Dr. Ir. Lilik B. Prasetyo, M.Sc.
Anggota Anggota
Diketahui :
Dr. Ir. Dedy Duryadi S, DEA. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. Dr. Ir. Achmad M. Satari, M.Sc.
2. Prof. (Riset) Dr. Ir. Nadirman Haska, M.Sc.
PRAKATA
Samin Botanri
ii
RIWAYAT HIDUP
Halaman
I. PENDAHULUAN ........ 1
1.1. Latar belakang ................................................................................ 1
1.2. Perumusan masalah ......................................................................... 3
1.3. Tujuan penelitian ............................................................................ 4
1.4. Manfaat penelitian ........................................................................... 5
1.5. Kerangka pemikiran ........................................................................ 5
1.6. Hipotesis .......................................................................................... 6
1.7. Kebaruan (Novelty) .................................................................... 8
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
xiii
19 Kelembaban relatif rata-rata harian di bawah tegakan tumbuhan
sagu P. Seram, Maluku .. 100
22 Sifat air rawa di lahan tumbuhan sagu P. Seram, Maluku .......... 107
34 Potensi produksi sagu di P. Seram pada tipe habitat berbeda ... 135
xiv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
xv
22 Diagram ketahanan tumbuhan terhadap kondisi defisit oksigen
(Levitt 1980) .. 90
xvi
DAFTAR PERSAMAAN
Halaman
xvii
23 Rumus menghitung Indeks Similaritas (IS) . 53
31 Model indeks habitat sagu terkait dengan faktor kualitas air rawa
di P. Seram, Maluku . 130
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
15 Sifat kualitas air rawa dalam habitat sagu di P. Seram, Maluku 179
xix
18 Analisis Komponen Utama faktor iklim ... 183
xx
I. PENDAHULUAN
produksi bioetanol dari pati sagu adalah layak, diperkirakan dari pengolahan satu
kilogram pati kering menghasilkan bioetanol sebanyak 0,56 liter (Flach 1983).
Ampas sagu kering yang merupakan limbah dalam proses ekstraksi pati sagu
dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan pupuk organik (Bintoro 2000).
Dalam penanganan tumbuhan sagu dijumpai data luas areal dan potensi
produksi yang sangat beragam antar penulis dan lembaga yang terkait dengan
komoditas tersebut (Suryana 2007). Sebagai contoh di Maluku berdasarkan
laporan Darmoyuwono (1984) dan Universitas Pattimura (1992 dalam Mulyanto
dan Suwardi 2000) disebutkan bahwa luas areal tumbuhan sagu di Maluku
masing-masing sekitar 30.100 dan 47.600 hektar. Sedangkan menurut
Louhenapessy (1993) disebutkan bahwa luas areal sagu di Maluku sekitar 26.410
hektar.
Luas potensi sagu yang variatif ini dapat dikarenakan metode penetapan
yang berbeda, populasi sagu yang sifatnya dinamis sehingga secara temporal bisa
bertambah atau sebaliknya mengalami pengurangan karena kondisi lingkungan
yang tidak mendukung seperti kekeringan atau terjadi kebakaran lahan karena
fenomena alam atau sengaja dibakar. Selain itu dapat dikarenakan adanya
aktifitas masyarakat yang melakukan pengembangan sagu melalui kegiatan
penanaman atau bahkan sebaliknya melakukan perubahan peruntukkan
penggunaan lahan menjadi non-sagu.
Data potensi yang tersebar di Maluku, belum ditunjukkan secara pasti
sebarannya pada setiap wilayah, padahal dapat dilakukan dengan menggunakan
data citra satelit. Disisi lain penentuan distribusi spasial luas areal tumbuhan sagu
dengan menggunakan citra satelit masih sangat terbatas. Oleh karena itu untuk
mendapatkan data distribusi sagu yang akurat perlu dilakukan dengan
memanfaatkan data citra satelit sehingga dapat dipetakan penyebaran spasialnya.
Salah satu citra satelit yang tersedia dan memiliki resolusi cukup tinggi adalah
citra Landsat-5 TM multispektral dengan resolusi spasial 30 m x 30 m. Dengan
menggunakan citra satelit ini dapat dilakukan pemetaan distribusi spasial
tumbuhan sagu.
Secara ekologi tumbuhan sagu tumbuh baik pada daerah rawa-rawa air tawar
atau daerah rawa bergambut, daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air,
3
Kisaran habitat tumbuh sagu cukup lebar, mulai dari lahan tergenang
sampai dengan lahan kering, dari dataran rendah di pinggir pantai sampai dataran
tinggi. Pada kisaran tersebut tumbuh berbagai spesies sagu. Secara umum semua
spesies memiliki kesamaan habitat tumbuh, tetapi dapat pula setiap spesies,
menghendaki habitat yang spesifik. Oleh karena itu diperlukan penelitian untuk
memahami autekologi tumbuhan sagu yang menyangkut pola interaksi antara
tumbuhan sagu dengan parameter kualitas lingkungan, penilaian kondisi populasi
yang meliputi struktur populasi, kerapatan, coverage, asosiasi, pertumbuhan dan
perkembangbiakan, penentuan preferensi ekologi seperti karakteristik habitat, tipe
habitat, interaksi spesies dengan tipe habitat, dan mekanisme adaptasi sagu.
Selain itu yang penting untuk dipelajari juga adalah pengaruh kualitas tanah, air,
dan iklim terhadap pertumbuhan dan produksi sagu sebagai wujud interaksi
tumbuhan sagu dengan parameter lingkungannya.
4
Habitat tumbuh sagu dicirikan oleh sifat tanah, air, iklim mikro, dan
spesies vegetasi dalam habitat itu. Ciri spesies dan genetik masing-masing
tumbuhan sagu ditunjukkan oleh sifat genetik setiap spesies. Oleh karena itu
perlu dilakukan analisis genetik untuk dapat membedakan secara tegas
biodiversitas pada tingkat spesies dan genetik terhadap tumbuhan sagu yang
tumbuh dan berkembang dalam wilayah P. Seram Provinsi Maluku. Dalam kaitan
tersebut, maka permasalahan yang menjadi kajian penelitian adalah sebagai
berikut :
1.6. Hipotesis
Studi
Autekologi
Sagu Habitat
Struktur populasi
Tipe
Adaptasi
Pembentukan rumpun
TTG T2AT T2AP TPN
Spesies
Karakteristik
Vegetasi
Kelimpahan
Spesies
Keterangan : TTG = lahan kering; T2AT = tergenang temporer air tawar; T2AP = tergenang
temporer air payau; TPN = tergenang permanen
2.1. Autekologi
atau populasi yang terkait dengan tempat hidup. Dikemukakan lebih lanjut bahwa
sub bagian autekologi meliputi demokologi (spesiasi), ekologi populasi dan
demografi (ukuran populasi), ekologi fisiologi (ekofisiologi) dan genekologi
(genetika). Para ahli autekologi telah mencoba menjelaskan terjadinya distribusi
spesies tertentu, sifat fenologis, fisiologis, morfologis, perilaku, dan sifat genetik
yang tampak pada habitat tertentu. Autekologiawan telah berusaha untuk
menjelaskan pengaruh lingkungan pada level populasi, organismik,
suborganismik, dan kemudian menyusun suatu ringkasan sebagai pola adaptasi
spesies agar tetap hidup (survive) dalam habitatnya.
yang termasuk dalam genus Metroxylon. Tumbuhan sagu sejati ini dipisahkan
atas dua kelompok berdasarkan ada-tidaknya duri pada tangkai daun. Kelompok
pertama adalah yang berduri meliputi M. rumphii Mart., merupakan spesies
utama dalam kelompok ini. Spesies lainnya adalah M. longispinum Mart., M.
microcanthum Mart., dan M. sylvestre Mart. Sedangkan kelompok yang tidak
berduri adalah M. sagu Rottb., sebagai jenis utama yang mempunyai berbagai
forma.
Klasifikasi tumbuhan sagu dilakukan pula oleh Rauwerdink (1986 dalam
Barahima 2005) yang dilakukan berdasarkan ciri-ciri berduri atau tidak, berumpun
atau tidak, dan jumlah sisik yang menutupi buah. Berdasarkan kriteria tersebut,
maka tumbuhan sagu (genus Metroxylon) dibagi atas 5 spesies yaitu 1). M. sagu
Rottb. yaitu tumbuhan sagu yang membentuk rumpun, berduri atau tidak, dan
buahnya mempunyai 18 sisik yang membujur, 2). M. amicarum Becc, 3). M.
vitiense Benth et Hook, 4). M. salomonense Becc, dan 5). M. warburgii Heim
yaitu jenis sagu yang tidak berduri dan buahnya ditutupi 24-28 sisik longitudinal.
Wilayah penyebaran kelima spesies ini oleh Rauwerdink (1986 dalam Flach
1997) meliputi kepulauan Malaya, New Hebrides, Fiji, Carolines, dan kepulauan
Salomon. Dikemukakan juga bahwa Metroxylon rumphii sinonim dengan M.
squarrosum. Sedangkan M. bougainvillense dari Bougainville sinonim dengan
M. salomonense dari kepulauan Salomon.
McClatchey et al. (2006) melakukan deskripsi botani tumbuhan sagu
genus Metroxylon dan membaginya atas 6 spesies yaitu 1). M. amicarum
(H.Wendland) Beccari, 2). M. paulcoxii McClatchey, 3). M. sagu Rottboell, 4). M.
salomonense (Warburg) Beccari, 5). M. vitiense (H. Wendland) H. Wendland ex
Bentham & Hooker f., dan 6). M. warburgii (Heim) Beccari. Wilayah penyebaran
jenis-jenis sagu ini meliputi Asia Tenggara, Melanesia, dan beberapa pulau di
Micronesia dan Polynesia. Berdasarkan peta penyebaran sagu di dunia yang
dibuatnya, tampak bahwa di Indonesia, PNG, dan sebagian kepulauan Filipina
Selatan hanya terdapat satu spesies sagu yaitu M. sagu Rottb.
13
antara 6-24 ental, panjang setiap ental sekitar 5-8 meter dengan jumlah 100-190
anak daun. Flach (1983) menyatakan bahwa sagu yang tumbuh pada tanah liat
dengan penyinaran yang baik pada umur dewasa memiliki 18 tangkai daun yang
panjangnya sekitar 5-7 meter. Dalam setiap tangkai daun terdapat sekitar 50
pasang daun dengan panjang bervariasi antara 60-180 cm, dan lebar sekitar 5 cm.
Sagu yang masih muda memiliki tangkai daun yang lebih sedikit jumlahnya yaitu
sekitar 12-15 tangkai. Pada setiap bulan terbentuk tangkai daun, dan
diperkirakan umur tangkai daun sekitar 18 bulan, kemudian akan gugur setelah
menua. Daun muda umumnya berwarna hijau muda, kemudian dengan bertambah
waktu secara berangsur-angsur berubah menjadi hijau tua, selanjutnya berubah
lagi menjadi coklat kemerah-merahan apabila daun telah tua. Tangkai daun yang
telah tua tersebut akan terlepas dengan sendirinya dari batang, dan meninggalkan
bekas pada kulit batang.
Tumbuhan sagu mulai berbunga dan berbuah pada umur sekitar 10-15
tahun. Kisaran pembungaan ini sangat tergantung pada jenis atau spesies sagu
dan kondisi pertumbuhannya. Fase pembungaan diawali dengan munculnya daun
bendera, yaitu daun yang ukurannya lebih pendek dari daun-daun sebelumnya.
Munculnya bunga merupakan indikator bahwa sagu tersebut telah mendekati akhir
daur pertumbuhannya. Setelah buahnya mengering diikuti dengan kematian
(Braulech 1953 dalam Haryanto dan Pangloli 1992). Malai bunga menyerupai
tanduk rusa yang terdiri atas cabang utama, sekunder, dan tersier. Pada cabang
tersier terdapat sepasang bunga jantan dan bunga betina. Bunga jantan
mengeluarkan tepung sari sebelum bunga betina mekar. Dengan demikian
tumbuhan sagu melakukan penyerbukan silang (cross polination). Oleh karena
itu apabila tumbuhan sagu tumbuh secara soliter, maka jarang yang berhasil
membentuk buah.
Putik pada bunga betina mengandung tiga sel induk telur, tetapi hanya satu
yang keluar membentuk kecambah, sedangkan dua induk terluar lainnya bersifat
rudimenter, sedangkan benang sari bunga jantan berjumlah enam helai (Anonim
1979 dalam Barahima 2005). Jumlah struktur bunga sekitar 15-25 cabang utama,
dengan panjang 2-3 meter, cabang sekunder terdapat 15-22 cabang, dan cabang
ketiga terdapat 7-10 cabang (Jong 2005). Buah sagu berbentuk bulat menyerupai
15
buah salak dan mengandung biji yang fertil. Waktu antara mulai muncul bunga
sampai fase pembentukan buah diperkirakan sekitar 2 tahun (Haryanto dan
Pangloli 1992).
Pembentukan buah dan biji dari antesis sampai buah terakhir gugur
memerlukan waktu sekitar 19-23 bulan. Jumlah buah yang dihasilkan per pohon
sagu sekitar 2.174-6.675 buah (Jong 2005). Buah sagu terdiri atas exocarp,
mesocarp, endocarp, sarcotesta, testa, endosperm, dan embrio. Exocarp bersisik
dan di dalamnya terdapat daging buah yang disebut mesocarp dan tempurung biji
yang disebut sarkotesta. Di dalam sarkotesta terdapat endosperm yang berfungsi
sebagai cadangan makanan bagi embrio.
Tepung berwarna putih dan enak rasanya. Setiap pohon dapat menghasilkan
170-500 kg tepung kering (Soerjono 1980 dalam Haryanto dan Pangloli
1992). Spesies ini merupakan sagu paling besar ukurannya dibandingkan
dengan jenis lainnya.
2. Metroxylon sagu Rottboell (sagu molat)
Tinggi batang berkisar dari 10-14 meter, diameter sekitar 40-60 cm, berat
batang dapat mencapai 1,2 ton atau lebih.
Tangkai daun tidak berduri, ujung daun panjang meruncing. Letak daun
berjauhan, panjang tangkai daun sekitar 4,5 meter, panjang lembaran daun
sekitar 1,5 meter dan lebar kira-kira 7 cm.
Memiliki bunga majemuk berwarna sawo matang kemerah-merahan.
Empulur lunak dan berwarna putih, sehingga acinya berwarna putih. Berat
empulur sekitar 80 % dari berat batang, kandungan aci sekitar 18 %. Setiap
pohon dapat menghasilkan aci basah sekitar 800 kg atau sekitar 200 kg aci
kering (Soerjono 1980 dalam Haryanto dan Pangloli 1992).
3. Metroxylon sylvestre Martius (sagu ihur)
Tinggi batang berkisar dari 12-16 meter, bahkan dapat mencapai 20 meter.
Diameter batang sekitar 60 cm, berat batang sekitar 1,2 ton. Tebal kulit
berkisar 1-3 cm.
Panjang tangkai (pelepah) daun sekitar 4-6 meter. Daun berwarna hijau tua,
memiliki tulang daun yang lunak, dan ujungnya membengkok ke bawah.
Pada sekitar pelepah dan sepanjang tangkai daun terdapat duri dengan
panjang sekitar 1-5 cm.
Empulur agak keras, mengandung banyak serat dan berwarna kemerah-
merahan, sehingga aci yang dihasilkan berwarna kemerah-merahan pula.
Berat empulur sekitar 18 % dari berat batang dengan kandungan aci sekitar
17-18 %. Setiap pohon dapat menghasilkan sekitar 150 kg aci kering
(BPPT 1982 dalam Haryanto dan Pangloli 1992).
4. Metroxylon longispinum Martius (sagu makanaru)
Tinggi batang sekitar 12-15 meter, diameter sekitar 50 cm. Berat batang
sekitar satu ton dan kandungan empulur mencapai 80 % dari berat batang
(Rumalatu 1981 dalam Haryanto dan Pangloli 1992).
17
Tangkai daun pendek berkisar antara 4-6 cm dan berduri banyak. Anak
daun kecil-kecil dengan panjang sekitar 80-120 cm. Pinggir daun penuh
duri.
Kandungan aci sagu dalam empulur sekitar 200 kg per pohon, dan rasanya
kurang enak.
5. Metroxylon microcanthum Martius (sagu duri rotan)
Tinggi batang sekitar 8 meter dengan diameter sekitar 40 cm.
Produksi aci dalam setiap pohon hampir sama dengan M. sylvestre Mart.
(Soerjono dalam Haryanto dan Pangloli 1992).
Empulur tidak cepat mengalami fermentasi atau pengasaman, sehingga tidak
cepat busuk setelah dipanen.
gambut pertumbuhan sagu cukup merana. Pada jalur transisi antara hutan sagu
dan hutan tropika basah, dimana sesekali digenangi air, sagu tumbuh dengan baik.
Tumbuhan sagu dapat pula tumbuh pada tanah-tanah organik, akan tetapi
sagu yang tumbuh pada kondisi tanah yang demikian biasanya menunjukkan
berbagai gejala defisiensi terhadap beberapa unsur hara tertentu yang ditandai oleh
berkurangnya jumlah daun dan umur sagu yang lebih panjang mencapai 15-17
tahun (Fach 1977 dalam Haryanto dan Pangloli 1992).
Apabila dilihat dari kemungkinan hidup tumbuhan sagu berdasarkan
kisaran keadaan hidrologi, maka Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1993)
menyatakan bahwa kisaran keadaan hidrologi tempat tumbuh sangat lebar. Sagu
dapat hidup pada keadaan lahan yang tergenang, sampai kondisi lahan yang tidak
tergenang asalkan kondisi kadar air tanah (lengas tanah) terjamin cukup tinggi.
Kondisi kadar air yang tinggi ini dapat disebabkan oleh genangan berkala, daya
tahan menyimpan air banyak, misalnya karena mengandung bahan organik
banyak, maupun oleh air tanah dangkal. Pada genangan tetap, pertumbuhan sagu
pada fase semai masih baik, akan tetapi pada fase pembentukan batang (tiang dan
pohon) laju pertumbuhannya sangat lambat, jumlah pohon masak tebang per
hektar sedikit dan produksi pati per pohon rendah. Pertumbuhan dan produksi
tampak cukup baik pada lahan dengan genangan berkala atau yang tidak
tergenang.
Di daerah rawa pantai dengan kadar garam (salinitas) tinggi tumbuhan
sagu masih dapat tumbuh, ditemukan bercampur dengan nipah. Akan tetapi
perkembangan fase pembentukan batang dan pembentukan pati terhambat. Secara
alamiah di daerah rawa pasang surut zone sagu berada di belakang zone nipah
yang lebih tenggelam (Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993).
Tumbuhan sagu yang tumbuh dan berkembang di Provinsi Maluku,
menurut Louhenapessy (1993) dikelompokkan menjadi 4 kategori yaitu : 1).
Kondisi rawa pantai (brackish water) yang bercampur dengan nipah dan
tumbuhan payau lainnya, 2). Kondisi rawa air tawar, baik secara murni maupun
bercampur dengan tumbuhan rawa, dengan penggenangan tetap maupun
penggenangan sementara, 3). Kondisi pantai berpasir yang dipengaruhi oleh
19
keadaan pasang surut, dan 4). Kondisi yang tidak tergenang tetapi mempunyai
kandungan air tanah yang cukup.
Tumbuhan sagu dapat tumbuh di tanah gambut, bahkan di Serawak sagu
terutama ditanam di tanah gambut (Flach and Schuiling 1988 dalam
Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993). Di daerah Arandai Bintuni Irian Jaya,
sagu ditemukan tumbuh pada tanah gambut dengan ketebalan lebih dari 4.5 meter
dengan hasil panen mencapai 425 kg per pohon (Notohadiprawiro dan
Louhenapessy 1993). Sagu juga dapat tumbuh dan berproduksi baik di tanah
pasiran, asal mengandung bahan organik tinggi. Hal ini berkaitan dengan
penyediaan air, di tanah dengan kandungan pasir tinggi dan bahan organik rendah
memiliki produksi tepung sagu yang rendah.
Tumbuhan sagu banyak juga yang tumbuh baik secara alamiah pada tanah
liat yang berawa, kaya akan bahan-bahan organik seperti di pinggir hutan
mangrove atau nipah. Selain itu tumbuhan sagu dapat tumbuh pada tanah
vulkanik, latosol, andosol, podzolik merah kuning, aluvial, hidromorfik kelabu
dan tipe-tipe tanah lainnya (Manan et al. 1984 dalam Haryanto dan Pangloli
1992).
Tumbuhan sagu pada umumnya tumbuh baik di tropis pada daerah yang
terletak antara 10oLS-15oLU, dan antara 90o-180oBT, pada ketinggian antara 0-
700 meter di atas permukaan laut (dpl). Pertumbuhan sagu terbaik terdapat pada
ketinggian mencapai 400 dpl, pada ketinggian tempat yang lebih besar
pertumbuhan terhambat dan produksinya rendah (Bintoro 1999 dalam Barahima
2005).
Dalam pertumbuhan sagu diperlukan suhu minimal 15oC, dan
o
pertumbuhan terbaik berlangsung pada suhu sekitar 25 C dengan kelembaban
relatif sekitar 90% dan intensitas sekurang-kurangnya 900 J/cm/hari (Flach 1980;
Flach et al. 1986 dalam Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993). Berdasarkan
klasifikasi ragam curah hujan oleh Schmidt & Ferguson, daerah pertumbuhan
sagu terdapat dalam kawasan ragam A (luar biasa basah-sangat basah) dan B
(sangat basah-basah). Curah hujan rata-rata tahunan yang diperlukan sekitar
2.500 - 3.500 mm, dan jumlah hari hujan tahunan rata-rata antara 142 - 209 hari
(Turukay 1986 dalam Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993). Hasil studi
20
Pada rumpun yang terdiri dari beberapa semai, sapihan, tihang dan pohon
menyebabkan terjadinya persaingan, diantaranya dalam mendapatkan faktor
tumbuh, baik di atas tanah maupun di dalam tanah. Persaingan faktor tumbuh di
atas tanah meliputi ruang, udara dan cahaya, sedangkan di dalam tanah berupa air
dan unsur hara. Persaingan untuk mendapatkan faktor tumbuh semakin tinggi
apabila jumlah individu dalam rumpun lebih tinggi. Dalam persaingan yang tinggi
individu pada stadia semai biasanya mengalami hambatan pertumbuhan yang
sangat berarti, dan seringkali mengalami kematian. Matanubun dan Maturbongs
(2005) menyebutkan bahwa apabila jumlah populasi persatuan luas meningkat
akan menyebabkan persaingan yang semakin kuat.
Pada lahan kurang basah pohon sagu dapat tumbuh lebih tinggi, sedangkan
pada lahan terlalu basah pertumbuhan sagu kalah cepat dengan pertumbuhan
rerumputan dan herba sehingga kalah bersaing dalam memperoleh ruang tempat
tumbuh. Pada lahan kering pertumbuhan sagu kalah cepat dengan pertumbuhan
22
pepohonan hutan lain sehingga kalah bersaing dalam mendapatkan sinar matahari
(Flach and Schuiling 1986 dalam Notohadiprawiro dan Louhenapessy 1993).
Pola pertumbuhan yang bersama-sama ini membentuk asosiasi diantara tumbuhan
sagu dengan jenis tumbuhan lain, baik dengan jenis rumputan maupun vegetasi
lain berbentuk pohon.
Dalam areal sagu yang terbesar di Indonesia yakni Papua (Irian Jaya) dan
Maluku mencapai 96 %, sampai dengan tahun 2003 besar potensinya masih
sangat beragam. Lakuy dan Limbongan (2003) menyebutkan bahwa berdasarkan
data Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah X Papua, luas areal sagu sebesar
2.936.675 hektar, tetapi menurut Gubernur Papua (2003) luas areal tumbuhan
24
sagu di Papua mencapai 4,1 juta hektar dengan perincian sebagai berikut : 1).
Kabupaten Merauke : 3.569.130 ha, 2). Kabupaten Fak-Fak : 389.840 ha, 3).
Kabupaten Manokwari : 11.330 ha, 5). Kabupaten Biak Numfor: 6.500 ha, dan 6).
Kabupaten/Kota Jayapura : 36.670 ha.
Berdasarkan data luas areal sagu yang dikemukakan oleh Prayitno (1991
dalam Ruhendi 2000), makin menunjukkan keragaman luas potensi sagu di
Indonesia yang semakin bervariasi Tabel 4). Total luas areal sagu yang
dikemukakan mencapai 2,3 juta hektar, berupa hutan sedangkan yang
dibudidayakan sebesar 136 ribu hektar. Luas areal sagu yang sangat menonjol
terdapat di kepulauan Maluku mencapai 800 ribu hektar. Jika dibandingkan
dengan data sebelumnya yang tidak mencapai 50 ribu hektar, maka luasan yang
dikemukakan ini hampir mencapai 20 kali lebih besar.
jenis molat merah dan molat merah berduri. Jenis-jenis ini diduga merupakan
jenis baru yang terbentuk sebagai akibat terjadinya persilangan (cross over
pollination) di antara spesies yang telah ada sebelumnya.
menjadi etanol (gasohol), dan berpeluang sebagai salah satu sumber bahan baku
bio-energi. Di Papua New Guinea telah dilakukan serangkaian penelitian tentang
studi kelayakan produksi etanol dari pati sagu, dan hasil studi menunjukkan
bahwa produksi etanol dari pati sagu adalah layak, diperkirakan produksi etanol
dari pati sagu kering mencapai 0.56 liter/kg (Flach, 1983) dan di daerah Sepik
telah dibangun industri etanol karena areal sagunya luas, mencapai 500.000 ha.
Di Malaysia pemanfaatan pati sagu telah berkembang lebih luas, yaitu
untuk pembuatan gula cair, penyedap makanan (monosodium glutamate), mie,
karamel, sagu mutiara, kue cracker, keperluan rumah tangga, industri perekat, dan
industri lainnya (Bintoro 2000). Selain pati sagu, ampas sagu kering dapat
dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Hasil penelitian perlakuan ampas sagu
dengan takaran 12,5-25% untuk ransum ayam pedaging dan petelur tidak
memberikan pengaruh yang buruk (Bintoro et al. 2007), dengan kata lain
memberikan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ayam. Selain itu
dengan pemanfaatan ini dapat mengurangi pencemaran lingkungan disekitar
pengolahan sagu.
Kelas yang terbentuk dapat berupa sesuatu yang terkait dengan fitur-fitur yang
telah dikenali di lapangan atau berdasarkan kemiripan yang dikelompokkan oleh
komputer. Citra yang telah dikelompokkan dapat terdiri atas beberapa kelas
tutupan lahan, seperti vegetasi, tanah kosong, padang rumput, wilayah
pemukiman, wilayah lahan basah, permukaan lahan terbangun (built up) dan
sebagainya.
Dengan menggunakan data citra Landsat TM, Yuan et al (2005) telah
melakukan klasifikasi tutupan lahan dan analisis perubahannya di kota-kota
berdekatan metropolitan Minnesota. Klasifikasi tutupan lahan ini dilakukan untuk
menjelaskan penyebaran spasial perubahan tutupan lahan sejak tahun 1986
sampai dengan 2002. Klasifikasi dilakukan dengan menggunakan metode hibrid
supervised-unsupervised. Selama tujuh tahun terjadi perubahan tutupan lahan
berupa perluasan kota dari 23,7% menjadi 32,8%, sementara lahan pertanian,
hutan dan lahan basah mengalami pengurangan dari 69,6% menjadi 60,5%.
30
stasiun klimatologi Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB) dan
Kecamatan Amahai Kabupaten Maluku Tengah (MT).
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan sekunder. Data sekunder
yang dikumpulkan merupakan data spasial berupa : a) citra landsat-5 TM zone
52S UTM WGS 84 sebanyak empat scene citra arsip, b) peta rupa bumi (RBI) P.
Seram skala 1:250.000, dan c) peta land system Pulau Seram, dan data iklim.
Adapun data primer yang dikumpulkan meliputi data vegetasi, iklim mikro, tanah,
dan air.
3.4. Metode
3.4.1. Penelitian tahap I : Distribusi spasial tumbuhan sagu di P. Seram,
Maluku
Empat data citra yang telah tergabung mencakup P. Seram dan Pulau-
Pulau kecil disekitarnya, padahal cakupan wilayah penelitian hanya mencakup P.
Seram saja, oleh karena itu dilakukan pemotongan untuk mendapatkan citra baru
khusus P. Seram. Pemotongan citra ini dimaksudkan untuk efisiensi proses
pelaksanaan pekerjaan selanjutnya. Citra yang berukuran besar memerlukan lebih
banyak memori yang seringkali menghambat dalam proses pengolahannya.
33
Mulai
Citra Landsat-5 TM
Penggabungan Citra
Pemotongan Citra /
Pemilihan Wilayah
Klasifikasi Terbimbing
Tutupan Lahan
ditolak
Evaluasi
Akurasi
diterima
X ii
Users Accuracy = x(100%) .. (2)
X i
35
r
X ii
Overall Accuracy = i 1
x100% .. (3)
N
1. Memberikan nilai dugaan yang dapat dipercaya terhadap rata-rata dan total
parameter populasi karena satuan-satuan sampel diletakkan menyeluruh pada
populasi.
2. Memberikan nilai dugaan yang dapat dipercaya terhadap rata-rata dan total
parameter populasi karena satuan-satuan sampel diletakkan menyeluruh pada
populasi.
3. Dapat dilaksanakan secara lebih cepat dan murah bila dibandingkan dengan
metode sampling berpeluang, karena kurangnya waktu dan biaya untuk proses
pemilihan dari satuan-satuan sampel.
Distribusi spasial
sagu
Metode sampling :
Bentuk, ukuran, & cara
penetapan
Pengumpulan data
20m
2m Arah rintis
5m semai
10m sapihan
tiang pohon
20m
Gambar 6. Penempatan unit contoh
2. Sapihan (sapling) Tinggi batang bebas daun Tinggi batang bebas daun
0,5-1,5 m. 0-2 m.
3. Tiang (pole) Tinggi batang bebas daun Tinggi batang bebas daun
1,5-5,0 m. 2-5 m.
4. Pohon (trees) Tinggi batang bebas daun Tinggi batang bebas daun
> 5 m. > 5 m.
5. Pohon Masak panen Masa primodia berbunga s/d Masa primodia berbunga s/d
(harvesting) terbentuk bunga/buah* terbentuk bunga/buah.
6. Produksi pati sagu. Parameter ini ditetapkan dengan cara menimbang hasil
panen per batang (pohon panen). Penimbangan dilakukan dengan cara
menimbang pati sagu basah yang telah dimasukkan ke dalam wadah yang
disebut tumang. Kemudian dikoreksi dengan jumlah tumang pada setiap
batang panen. Pada setiap tipe habitat diambil tiga batang untuk diukur
besarnya produksi pati sagu.
a. Sifat-sifat tanah
Pada setiap wilayah sampel diambil tiga sampel untuk setiap tipe habitat.
Dengan demikian jumlah sampel yang digunakan untuk keperluan analisis dengan
empat tipe habitat adalah sebanyak : 3 x 3 x 4 = 36 sampel. Sifat fisika tanah yang
diamati dalam penelitian ini meliputi bulk density, partikel pasir, debu, liat, dan
kelas tekstur. Analisisnya dilakukan di laboratorium BPT Bogor.
Sampel tanah untuk keperluan analisis sifat kimia tanah dari tipe habitat
yang sama dikompositkan, kemudian dari komposit tersebut diambil sebanyak
tiga sampel untuk setiap tipe habitat. Dengan demikian jumlah sampel secara
keseluruhan dari tiga wilayah sampel, empat tipe habitat, dua kedalaman, dan tiap
habitat tiga sampel, jumlahnya sebanyak : 3 x 4 x 2 x 3 = 72 sampel. Sifat-sifat
tanah yang dianalisis adalah sebagai berikut :
b. Sifat air
Sampel air diambil dari tipe habitat tergenang, yaitu tergenang temporer
air tawar (T2AT), tergenang temporer air payau (T2AP), dan tergenang permanen
(TPN). Sampe air diambil secara hati-hati dari bagian permukaan, bagian tengah,
dan bagian bawah. Pada setiap petak sampel diambil tiga sampel secara diagonal,
sama seperti pengambilan sampel tanah. Sampel dari tipe habitat yang sama
kemudian dicampur untuk selanjutnya diambil tiga sampel pada setiap tipe
43
habitat. Dengan demikian, maka jumlah sampel secara keseluruhan dari tiga
wilayah sampel, tiga tipe habitat, dan tiga sampel dari masing-masing habitat
adalah sebanyak : 3 x 3 x 3 = 27 sampel air.
Pengukuran variabel yang berkaitan dengan sifat air sebagian dilakukan di
lapangan dan sebagian di laboratorium. Sifat-sifat air yang diamati yaitu :
1. pH, ditetapkan dengan menggunakan pH meter air.
2. Salinitas, ditetapkan dengan menggunakan salinitas meter atau refraktometer.
3. Pengambilan sampel air dengan cara memasukan air yang diambil dari bagian
atas, tengah dan bagian dasar, kemudian dikompositkan untuk dilakukan
analisis. Sifat air yang dianalisis yaitu : NO3-, NH4+, K+, Ca+, Mg+, dan PO4-.
1. Iklim mikro
b. Intensitas sinaran surya di bawah tegakan sagu. Parameter ini diamati dengan
menggunakan lux meter antara pukul 11.00 - 14.00. Data ini selanjutnya di
rata-ratakan untuk mendapatkan data intensitas sinaran surya harian.
44
Pengamatan intensitas sinaran surya dilakukan pada dua titik untuk setiap
wilayah sampel. Titik pertama terletak di antara rumpun sagu, sedangkan titik
pengamatan yang kedua terletak di dekat rumpun atau tegakan pohon sagu
pada jarak 1 meter. Di setiap wilayah sampel digunakan satu unit lux meter.
Pengamatan variabel temperatur, kelembaban udara, dan intensitas
sinaran surya dilakukan selama 4 bulan dengan periode pengamatan dua kali
dalam seminggu, yaitu pada hari Rabu dan Minggu. Waktu pengamatan pada 3
wilayah sampel dijadwalkan secara bersamaan.
2. Iklim lokal
a. Analisis Vegetasi
yang melebihi 100 % adalah tidak lazim. Oleh karena itu disederhanakan menjadi
Nisbah Jumlah Dominasi (NJD atau Summed Dominance Ratio = SDR). NJD
INP
NJD (%) (14)
3
Penentuan indeks nilai penting atau NJD dilakukan untuk setiap wilayah sampel.
Hasil analisis ini kemudian dikompilasi untuk mendapatkan data rataan nilai
penting. Data inilah yang dipergunakan untuk menjelaskan mengenai dominasi
vegetasi dalam komunitas sagu di P. Seram. Dalam kaitan dengan interpretasi
hasil INP, maka nilai ini dimanfaatkan untuk dua kepentingan, yaitu : 1)
46
membandingkan INP tumbuhan sagu dan bukan sagu (non sagu), dan 2)
menentukan spesies dominan, terutama spesies sagu dominan dalam komunitas
sagu alami di P. Seram.
dimana pi = ni/N
- Melakukan pendugaan varians jumlah spesies total menggunakan rumus :
N
1 2
ST2 = pi T j t . (16)
N j 1
mr ms nr ns
E(a) = ; E(b) = ; E(c) = ; E(d) =
N N N N
Ada a b m = a+b
Spesies A
Tidak ada c d n = c+d
Nilai indeks Jaccard berkisar antara 0-1, nilai 0 setara dengan tidak ada
asosiasi, dan 1 setara dengan tingkat asosiasi maksimum. Indeks Jaccard
dipilih karena menurut Goodall (1973 dalam Ludwig & Reynolds 1988)
merupakan indeks tidak bias (unbiased).
xi x
Zi ( ) . (21)
si
Setelah melalui proses komputasi secara aljabar, maka dapat dibentuk persamaan
regresi dalam bentuk variabel asli X, sebagai berikut :
Y bo b1x1 b2 x2 ... bp x p .. (22)
dimana : Y = variabel tak bebas (dependent variable)
xi = vartiabel bebas ke-i yang dispesifikasikan sejak awal, i = 1, 2,, , p
bo = konstanta (intersep)
bi = koefisien regresi dari variabel ke-i, i = 1, 2, , p.
yang lainnya dalam suatu klaster atau komunitas. Dalam konteks ini komunitas
tumbuhan sagu disepadankan dengan wilayah sampel, sehingga setiap wilayah
sampel dianggap sebagai suatu komunitas. Kegiatan pengamatan yang dilakukan
pada studi ini dikerjakan pada petak kuadrat. Ukuran petak pengamatan
disesuaikan dengan fase pertumbuhan vegetasi. Untuk jenis vegetasi bawah
(seedling) pengamatan dilakukan pada petak berukuran 2 m x 2 m, jenis perdu
(sapling/sepihan) ukuran petak 5 m x 5 m, fase tiang 10 m x 10 m, dan fase pohon
20 m x 20 m. Pengamatan vegetasi meliputi :
Analisis Keanekaragaman
Pengamatan Spesies
Spesies
2w
IS x100% . (23)
(a b)
dimana :
IS : Indeks similaritas (kemiripan)
a : Jumlah nilai penting dari tegakan pertama
b : Jumlah nilai penting dari tegakan kedua
w : Jumlah nilai terkecil untuk masing-masing jenis di dalam kedua
tegakan yang diamati
H = - [(n.i/N)log(n.i/N)] (24)
dimana :
H : Indeks keanekaragaman
n.i : nilai penting dari setiap jenis
N : total nilai penting
dalam cool box yang berisi es kering untuk selanjutnya dilakukan analisis isozim
di laboratorium. Pewarna enzim yang dipergunakan terdiri dari empat jenis enzim
yaitu 1) enzim Aspartat Aminotransferase (AAT), 2) enzim Asam Phosphatase
(ACP), 3) enzim Peroksidase (PER), dan 4) enzim Esterase (EST).
Hasil analisis ini dipergunakan untuk melakukan klarifikasi spesies sagu di
P. Seram. Klarifikasi spesies dilakukan berdasarkan dua pandangan klasifikasi
yang diketahui yaitu klasifikasi yang dianut oleh para ahli di Maluku atau di
Indonesia pada umumnya, dikomparasi dengan sistem klasifikasi yang
dikemukakan oleh Beccari (1918 dalam Flach 1997). Klarifikasi spesies sagu
yang terdapat di P. Seram sebagaimana tertera dalam Tabel 9 berikut.
Overlay antara distribusi sagu dan Digital Elevation Model (DEM) ASTER
dan observasi lapangan menunjukkan bahwa kebanyakan tumbuhan sagu tumbuh di
dataran rendah pada elevasi (ketinggian tempat) 250 meter dari atas permukaan laut
(m dpl) (Tabel 10 dan Gambar 10). Lahan pada ketinggian ini merupakan habitat
yang banyak ditemukan tumbuhan sagu, mencapai 99,98 %. Bintoro (2008)
mengemukakan bahwa pada tegakan sagu alami di berbagai daerah di Indonesia
seperti Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera banyak ditemukan
sagu tumbuh pada ketinggian tempat mencapai 300 m dpl. Secara umum tumbuhan
sagu dapat tumbuh sampai mencapai ketinggian tempat 1000 m dpl, tetapi
pertumbuhan sagu terbaik berada pada ketinggian antara 0 - 400 m dpl. Pada
ketinggian yang lebih besar pertumbuhannya terhambat dan memiliki kandungan pati
rendah. Pada ketinggian tempat di atas 600 m dpl pertumbuhan sagu memendek,
hanya mencapai tinggi sekitar enam meter. Atas dasar ketinggian tempat ini,
berdasarkan hasil survey BPPT (1982) dilaporkan bahwa tumbuhan sagu di Maluku
pada umumnya ditemukan tumbuh pada ketinggian antara 0-20 m dpl.
Berdasarkan fakta di atas, maka dapat dikemukakan bahwa tumbuhan sagu
yang tumbuh dan berkembang di P. Seram kondisi habitat yang sesuai terletak pada
ketinggian tempat antara 0-250 m dpl (Lampiran 2). Pada ketinggian tempat yang
lebih besar dari 250 m dpl tumbuhan sagu yang tumbuh pada ketinggian tersebut
tidak mencapai setengah persen. Hal ini berarti bahwa secara alami tumbuhan sagu
tidak dapat beradaptasi dengan baik pada ketinggian yang melebihi 250 m dpl.
Kalaupun terdapat sagu, luas klasternya kecil-kecil atau hanya terdiri atas beberapa
rumpun. Klaster-klaster seperti dengan menggunakan citra Landsat tidak dapat
terdeteksi. Kelas elevasi dan distribusi sagu pada berbagai elevasi di P. Seram
disajikan pada Tabel 10.
58
Tabel 10. Distribusi sagu pada berbagai kelas elevasi di P. Seram, Maluku
Ketinggian tempat Luas P. Seram
% Luas sagu (ha) %
(m dpl) (ha)
0 - 125 617.800,32 34,64 13.385,61 73,39
125 - 250 324.529,29 18,19 4.814,28 26,39
250 - 375 236.379,87 13,25 39,87 0,22
375 - 500 174.499,83 9,78 0,00 0,00
500 - 625 126.367,02 7,08 0,00 0,00
625 - 750 91.214,10 5,11 0,00 0,00
750 - 825 43.930,98 2,46 0,00 0,00
825 - 1000 68.282,82 3,83 0,00 0,00
> 1000 100.680,75 5,64 0,00 0,00
Jumlah 1.783.684,98 100,00 18.239,76 100,00
Pada Tabel di atas tampak bahwa dari sisi ketinggian tempat di atas
permukaan laut, lahan yang terletak pada ketinggian antara 0-250 m dpl sebanyak
942.329,61 ha atau setara 52,83 % dari total luas lahan di P. Seram yang mencapai
1,8 juta hektar. Hal ini berarti bahwa secara parsial berdasarkan ketinggian
tempat, maka sekitar 50 % lahan sagu di P. Seram dapat dikatakan sesuai sebagai
habitat tumbuhan sagu. Pada luas lahan tersebut tumbuh dan berkembang sekitar
18.239 ha tumbuhan sagu. Distribusi sagu di P. Seram pada berbagai ketinggian
tempat yaitu : 1) pada ketinggian 0-125 m dpl sebanyak 13,39 ribu ha (73,39 %),
2) 125-250 m dpl 4,81 ribu ha (26,39 %). Apabila luas ini dikaitkan dengan luas
lahan yang terdapat pada ketinggian antara 0-250 m dpl, maka dapat dikatakan
bahwa hanya sekitar 1,94 % lahan yang ditumbuhi sagu, sisanya berupa jenis
vegetasi yang lain. Overlay distribusi sagu pada berbagai ketinggian tempat di P.
Seram tersaji pada Gambar 8.
% luas lahan yang sesuai sebagai habitat tumbuhan sagu. Pada luas lahan 336,9
ribu ha ini telah tumbuh sebanyak 18,239 ha sagu. Distribusinya pada berbagai
kemiringan lereng yaitu : 1) kemiringan 0-88 % (datar) sebanyak 9,17 ribu ha (50
%), 2) 8-15 % (landai) 2,79 ribu ha (15 %), 3) 15-25 % (agak curam) 2,85 ribu ha
(16 %), 25-40 % (curam) 2,68 ribu ha (15 %). Dengan kata lain sebanyak 98 %
tumbuhan sagu di P. Seram tumbuh dan berkembang pada kemiringan lereng
antara 0-40 %. Sisanya sebesar empat persen tumbuh pada kemiringan >40 %.
Tabel 11. Distribusi sagu pada berbagai kelas kemiringan lereng di P. Seram,
Maluku
Luas P. Seram Luas sagu
Kemiringan Lereng % %
(ha) (ha)
0 - 8 % (Datar) 336.922,65 18,96 9.169,20 50,00
8 - 15 % (Landai) 270.211,77 15,21 2.787,39 15,00
15 - 25 % (Agak curam) 408.540,78 23,00 2.845,35 16,00
25 - 40 % (Curam) 541.066,77 30,45 2.681 15,00
>40% (Sangat curam) 220.146,39 12,39 756,72 4,00
Jumlah 1.776.888,36 100,00 18.239,66 100,00
Gambar 11. Distribusi sagu pada berbagai kemiringan lereng di P. Seram, Maluku
62
63
58
Tabel 12. Distribusi sagu pada berbagai sistem lahan di P. Seram, Maluku
Luas P. Seram Luas sagu
No. Sistem Lahan % %
(ha) (ha)
Pada sistem lahan sebagaimana yang disebutkan di atas, lahan yang ditumbuhi
sagu pada umumnya >1000 ha. Sistem lahan ini diduga merupakan sistem lahan yang
sesuai bagi pertumbuhan dan perkembangan sagu (Lampiran 4).
58
Gambar 12. Distribusi sagu pada berbagai sistem lahan di P. Seram, Maluku
64
65
58
Tabel 13. Distribusi sagu pada berbagai jenis tanah di P. Seram, Maluku
No. Jenis tanah Luas (ha) (%)
1. Troporthens; Tropudalfs; Tropop 607,86 3,33
2. Rendolls; Eutropepts; Tropudalfs 1.665,63 9,13
3. Tropaquepts; Fluvaquents 3.887,91 21,32
4. Hydraquents; Sulfaquuents 410,13 2,25
5. Rendolls; Tropudalfs; Eutropepts 861,21 4,72
6. Tropoquepts; Eutropepts; Tropof 723,33 3,97
70
66
lanjutan
7. Tropaquepts; Eutropepts; Tropud 1.063,80 5,83
8. Eutropepts; Dystropepts; Troport 465,66 2,55
9. Dystropepts; Tropudults 2.377,17 13,03
10. Tropopsamments; Tropaquents 348,48 1,91
11. Tropudults; Dystropept 247,23 1,36
12. Humitropepts; Dystropepts; Tropa 2.101,32 11,52
13. Dystropepts; troporthents; Tropu 315,45 1,73
14. Rendolls; Eutropepts 552,69 3,03
15. Eutropepts; Paleudults; Troudal 301,95 1,66
16. Eutropepts; Tropudults 291,78 1,60
17. Tropofluvents; Tropaquepts 43,65 0,24
18. Tropudults; Tropudalfs; Dystrope 163,17 0,90
19. Eutropepts; Dystropepts; tropudda 28,80 0,16
20. Eutropepts; Dystropepts 359,10 1,97
21. Dystropepts; Eutropepts; Tropudu 41,94 0,23
22. Haplorthox; Acrorthox; Dystrpep 35,91 0,20
23. Dystropepts; Tropudults; Troport 63,99 0,35
24. Dystropepts; Dystrandepts; Tropa 218,88 1,20
25. Dystropepts; Dystrandepts; Tropu 27,72 0,15
26. tropaquents; Tropopluvents; Fluva 1.025,01 5,62
27. Eutropepts; Tropaquepts; Tropfl 9,99 0,05
Jumlah 18239,76 100,00
Gambar 13. Distribusi sagu pada berbagai jenis tanah di P. Seram, Maluku
67
58
66
Hasil overlay distribusi sagu dengan jarak dari pinggir kiri-kanan sungai
(buffer sungai) menunjukkan bahwa terdapat sekitar 10.834,44 ha (59,40 %)
tumbuhan sagu yang tumbuh pada sisi pinggir kiri-kanan sungai berjarak <300.
Hal ini berarti bahwa terdapat sekitar 7.405,36 ha tumbuhan sagu yang tumbuh
pada jarak > 300 m (40,60 %) dari sisi kiri-kanan sungai (Tabel 14).
Tabel 14. Distribusi sagu pada berbagai jarak dari sungai di P. Seram, Maluku
No. Jarak dari sungai Luas (ha) (%)
1. 0 - 300 m 10.834,44 59,40
2. > 300 m 7.405,36 40,60
Jumlah 18.239,80 100,00
Pada Tabel di atas tampak bahwa tidak semua areal sagu di P. Seram
terdapat di tempat yang berdekatan dengan sungai pada jarak sekitar 300 m.
Artinya terdapat sebagian tumbuhan sagu di luar jarak tersebut. Hal ini berarti
bahwa buffer sungai untuk keperluan mengetahui distribusi tumbuhan sagu pada
sisi kiri-kanan sungai jaraknya perlu diperlebar.
makin bertambah pada fase reproduktif, dan makin bertambah lagi pada fase pre-
reproduktif. Struktur populasi yang berikut adalah struktur populasi muda, yaitu
struktur populasi yang dicirikan oleh jumlah individu rendah pada fase post-
reproduktif, sedang pada fase produktif, dan sangat banyak pada fase pre-
reproduktif.
Struktur populasi sagu yang ditemukan di P. Seram Maluku secara
umum menyerupai struktur populasi muda yaitu populasi yang memiliki jumlah
individu paling banyak pada fase semai, kemudian berkurang secara drastis pada
fase sapihan, tiang, dan sedikit meningkat pada fase pohon (Gambar 15).
Terjadinya peningkatan populasi pada fase pohon diduga karena tiga alasan yaitu
: 1) fase pohon menghambat pertumbuhan sagu pada fase dibawahnya sehingga
terjadi gap antara sagu fase tiang dan pohon belum panen. Hambatan ini
berlangsung sampai dengan tumbuhan sagu fase pohon tersebut berbunga. Ketika
tumbuhan sagu sampai pada fase berbunga, maka ukuran daun mengecil atau
tangkai dan anak-anak daun memendek. Pada masa itu tidak lagi terjadi
penambahan daun yang kemudian mengarah ke kematian. Hambatan tersebut
dapat pula berakhir apabila tumbuhan sagu fase pohon telah dipanen, 2) sejak
akhir fase tiang sampai dengan awal fase pohon panen diperlukan periode waktu
sekitar 5-7 tahun, dengan asumsi masak panen sagu sekitar 15 tahun, 2) kriteria
ukuran tinggi sekitar dua meter bagi pertumbuhan sagu selama fase tiang patut
dikoreksi menjadi tiga meter atau memerlukan periode waktu sekitar empat tahun,
dan Apabila tiga aspek sebagaimana tersebut di atas dimasukkan dalam
pembangunan struktur populasi tumbuhan sagu, kemudian ditarik garis pola
pertumbuhan (trend line) maka akan membentuk huruf J terbalik. Hasil ini
mirip dengan temuan Rostiwati et al. (2008) yang memperoleh trend line yang
sama dengan struktur populasi sagu berdasarkan data rumpun sagu alam di Papua
dan Maluku.
Dalam struktur populasi sagu di P. Seram secara umum, dimana jumlah
individu rata-rata fase semai mencapai 83,04 ind/ha, apabila dibandingkan dengan
jumlah individu rata-rata fase sapihan sebanyak 21,59 ind/ha, terlihat bahwa
terjadi pengurangan jumlah individu sagu mencapai 76,18 %. Dengan kata lain
hanya sebanyak 23,82 % individu semai sagu yang sukses tumbuh mencapai fase
71
sapihan. Tingginya tingkat kematian atau gagalnya individu sagu fase semai
tumbuh masuk ke fase sapihan dan seterusnya karena beberapa aspek yaitu :1)
sifat pertumbuhan tunas, 2) banyaknya jumlah tunas, 3) kondisi kemasaman
tanah, dan 4) intensitas sinaran surya yang terbatas.
140
50
120
100 40
80 30
60 20,76
18,60
42,53 20
36,73
40
15,31 10 6,49
20 6,29 3,67
0,7 0,53
0 0
Semai Sapihan Tiang PBP PP PV Semai Sapihan Tiang PBP PP PV
Fase Pertumbuhan Fase Pertumbuhan
Keterangan : PBP = pohon belum panen, PP = pohon panen, PV = pohon veteran. Data yang disajikan berasal
dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009.
makanan dari pohon induk ke tunas anakan tersebut terhenti. Dengan terhentinya
suplai makanan ini, maka kebutuhannya tidak mencukupi untuk melangsungkan
pertumbuhannya, selanjutnya menyebabkan kematian tunas anakan.
50 cm
tumbuhan sagu itu sendiri. Keterbatasan intensitas sinaran ini dapat berdampak
terhadap pertumbuhan anakan sagu dan dapat berakhir dengan kematian. Sinaran
surya merupakan sumber energi utama bagi kehidupan, dan berperan dalam
proses fotosintesis. Apabila intensitas sinaran surya terbatas maka proses
fotosintesis tidak dapat berlangsung secara maksimal. Implikasi berikutnya
adalah hasil fotosintesis (fotosintat) akan berkurang. Dengan demikian kebutuhan
tunas anakan tidak dapat terpenuhi, selanjutnya dapat menyebabkan kematian
anakan sagu.
Tumbuhan sagu selain tumbuh pada lahan kering, sebagian besar tumbuh
pada kondisi habitat tergenang, baik temporer maupun permanen. Lahan yang
tergenang memungkinkan kondisinya menjadi tereduksi. Artinya terjadi
kekurangan oksigen di dalam air dan tanah, karena diserap oleh akar dan
organisme yang hidup di air maupun dalam tanah melalui proses respirasi. Dalam
proses respirasi terjadi pembebasan molekul karbondioksida (CO2). Dengan
pertambahan waktu akan terjadi akumulasi CO2 dalam air dan dalam tanah.
Akumulasi ini memungkinkan terjadi reaksi dengan molekul air (H2O)
menghasilkan senyawa asam karbonat (H2CO3). Senyawa ini memberikan akses
masam ke dalam tanah maupun air, sehingga tingkat kemasaman akan meningkat
(pH turun).
Hasil analisis pH (KCl) tanah atau kemasaman potensial dapat mencapai
4,3. Artinya apabila kondisi tanah terendam air dalam periode waktu cukup lama,
kemasaman tanah berpotensi turun mencapai angka tersebut. Dalam kaitan
dengan kematian tunas anakan sagu, diduga sebagian tunas anakan yang baru
muncul tidak dapat bertahan hidup pada kondisi kemasaman yang rendah, dapat
pula terjadi melalui pengaruh kemasaman rendah terhadap sistem perakaran tunas
anakan yang masih muda. Kemasaman dapat bersifat mengikis sehingga dapat
merusak sel-sel akar terutama yang masih muda. Akar tunas anakan yang
mengalami kerusakan, berdampak terhadap pertumbuhan secara keseluruhan dan
dapat menyebabkan kematian anakan.
Kematian anakan sagu dapat pula disebabkan karena keracunan Fe dan
Al. Hasil pengukuran Fe dan Al di dalam tanah mencapai 3,08 % dan 4,99 %,
termasuk kategori sangat tinggi menurut kriteria BPT Bogor (2005). Brady (1990)
74
400
350 335,71
300
Populasi sagu (ind/ha)
250
200 176,6
150
50 30,27
19,08
6,48
0
Rumpun Semai Sapihan Tiang PBP PP PV
Fase Pertumbuhan
Keterangan : PBP = pohon belum panen, PP = pohon panen, PV = pohon veteran. Data yang disajikan berasal
dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009.
Gambar 17. Populasi sagu menurut jumlah rumpun dan fase pertumbuhan
4.2.2. Kelimpahan
penting cukup tinggi yaitu M. sylvestre Mart. 48,71 % dan M. longispinum Mart.
51,77 %. Sedangkan dua spesies sagu yang lain indeks nilai pentingnya < 35 %.
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa kemampuan menguasai ruang
spesies M. rumphii Mart. dua kali lebih besar dibandingkan sagu M. sylvestre
Mart. dan M. longispinum Mart. Sedangkan kemampuan menguasai ruang spesies
M. rumphii Mart. apabila dibandingkan dengan M. sagu Mart. tiga kali lebih
tinggi. Secara keseluruhan kemampuan spesies sagu di P. Seram dalam
menguasai ruang dalam komunitas sagu alami mencapai 70-90 %, khusus spesies
M. rumphii Mart. kemampuan menempati ruangnya sekitar 43,12 %.
100
93,98
90 84,32
81,47 80,81
80
Nisbah jumlah dominasi (%)
70 63,47
60
50
40 36,53
30
18,53 19,19
20 15,68
10 6,02
0
Semai Sapihan Tiang Pohon Rataan
Fase pertumbuhan
Keterangan : NJD = nisbah jumlah dominasi Sagu Non-sagu
Keterangan : Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III
Werinama SBT, tahun 2009.
vegetasi yang mengarah kepada kondisi klimaks dan stabil. Menurut Mueller dan
Ellenberg (1974 dalam Setiadi 2005) dikemukakan bahwa komposisi bervegetasi
hutan alami yang telah terbentuk dalam jangka panjang akan memperlihatkan
fisiognomi, fenologi, dan daya regenerasi yang lambat dan cenderung mantap,
sehingga dinamika floristik komunitas hutan tidak terlalu nyata dan menyolok.
Dalam konteks ini pergantian generasi atau regenerasi spesies seakan-akan tidak
tampak, akibatnya jarang dijumpai spesies tertentu yang kemudian muncul
dominan, karena semua spesies telah beradaptasi dalam jangka waktu lama.
a. Pertumbuhan
Tunas anakan sagu yang muncul tidak semuanya sukses tumbuh menjadi
anakan fase bibit (fase yang lebih besar). Sebagian besar mengalami kematian
selama masa pertumbuhan awal. Berdasarkan letak tunas anakan sagu pada
bagian pangkal batang, ditemukan dua tipe yaitu : 1) tunas anakan yang keluar
dari bagian pangkal batang di bawah permukaan tanah atau sejajar permukaan
tanah, dan 2) letak tunas anakan beberapa centimeter dari atas permukaan tanah.
Tunas anakan ini biasanya gagal untuk tumbuh dan berkembang ke fase
selanjutnya.
Selain dari bagian pangkal batang, tunas anakan sagu muncul pula dari
rhyzome yang memanjang. Pada rhyzome ini, tunas anakan keluar dari bagian
bawah atau sejajar permukaan tanah dan ada pula yang keluar dari bagian atas,
tidak bersinggungan dengan permukaan tanah. Tunas anakan sagu yang disebut
terakhir paling rentan terhadap kematian (Gambar 19). Sejak mulai muncul tunas
anakan pada pangkal batang, sampai terbentuk batang di permukaan tanah (masa
roset) diperlukan waktu sekitar tiga tahun.
3 m
Gambar 19. Anakan sagu yang tumbuh pada bagian atas rhyzome
dengan mulai terbentuk batang sempurna sampai tinggi batang mencapai ukuran
sekitar dua meter. Masa pertumbuhan selama fase ini diperlukan waktu sekitar
tiga tahun (Sjachrul 1993). Dengan demikian masa pertumbuhan sejak muncul
tunas anakan sampai akhir fase ini memerlukan waktu sekitar enam tahun. Pada
fase ini jumlah pelepah daun berkisar antara 8-12 tangkai dengan panjang sekitar
5-6 meter. Pada spesies M. rumphii dan M. sylvestre panjang pelepah daun dapat
mencapai 7-7,5 meter, dengan jumlah anak daun dapat mencapai 140 helai. Pada
fase ini tumbuhan sagu sudah mulai menghasilkan tunas anakan.
Setelah mencapai umur lebih dari enam tahun, tumbuhan sagu masuk ke
fase tiang (pole). Fase ini berlangsung sekitar tiga tahun, dan selama masa
periode fase ini terjadi pertambahan tinggi batang yang bertambah sekitar tiga
meter, sehingga total tinggi batang sampai dengan akhir fase tiang sekitar lima
meter (Sjachrul 1993). Sejak mulai muncul tunas anakan sampai berakhir fase ini
dibutuhkan waktu sekitar sembilan tahun. Sejak fase ini sering kali terjadi
pertambahan diameter batang, sehingga ukuran batang relatif lebih besar daripada
ukuran batang sagu di bagian pangkal. Selama fase tiang jumlah pelepah daun
berkisar antara 8-12 tangkai dengan jumlah anak daun dapat mencapai 180 helai.
Panjang pelepah daun dapat mencapai 7,58,0 meter, bahkan pada jenis sagu
sylvestre yang pertumbuhannya bagus, panjang pelepah daun dapat mencapai 9-
10 meter. Pada akhir fase ini tinggi batang sagu telah mencapai lima meter.
Setelah mencapai umur sekitar sembilan tahun, maka tumbuhan sagu telah
masuk ke fase pohon (trees) . Pada fase ini tinggi batang sagu telah mencapai
lebih dari lima meter (Sjachrul 1993). Terdapat jenis sagu tertentu seperti spesies
rotang dan makanaro sudah dapat dipanen pada tinggi batang mencapai 7-8 meter.
Dari fase tiang sampai mencapai ukuran tinggi batang tersebut diperlukan waktu
sekitar 3-4 tahun. Dengan demikian tumbuhan sagu secara alami baru dapat
dipanen setelah mencapai umur paling kurang 12 tahun . Pada jenis-jenis sagu
yang memiliki ukuran tinggi pohon antara 15-20 meter, diperkirakan untuk
sampai pada masa panen diperlukan masa pertumbuhan sekitar 12-15 tahun.
Jenis-jenis sagu yang dapat mencapai ukuran tinggi tersebut seperti spesies M.
rumphii Mart., M. sylvestre Mart., dan M. sagu Rottb. Selama fase ini jumlah
tangkai daun berkisar antara 10-15 tangkai dengan panjang pelepah mencapai 7-8
81
meter, dan jumlah anak daun mencapai 200 helai. Meskipun demikian,
menjelang masa pembungaan ukuran pelepah daun dan anak-anak daun mulai
memendek, dan pada masa pembungaan jumlah pelepah daun tidak lagi
mengalami penambahan.
tidak mendapat penyinaran surya yang cukup atau tidak mendapat penyinaran
surya secara langsung. Hal ini berarti bahwa untuk mematahkan dormansi biji
sagu diperlukan intensitas sinaran surya yang cukup. Apabila intensitas sinaran
surya tidak terpenuhi, maka biji sagu akan tetap mengalami dormansi atau gagal
berkecambah.
organ ini yang paling banyak terjadi melalui perantaraan manusia terutama dalam
praktek budidaya.
Dalam perkembangbiakan secara vegetatif ini, apabila anakan sagu
tumbuh berdekatan dengan pohon induk, maka rumpun terbentuk memiliki jumlah
individu yang relatif banyak. Di lapangan ditemukan rumpun sagu spesies
tertentu seperti M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. dapat terdiri dari 15-20
individu. Rumpun sagu dengan jumlah individu sebanyak itu memiliki
kemampuan penguasaan ruang dapat mencapai 10 m 2. Pertumbuhan rhyzome
(percabangan basal) yang memanjang menjauh dari pohon induk, terpisah dari
rumpunnya pada jarak antara 1,5 2,0 m dapat tumbuh dan berkembang
membentuk rumpun sendiri (Gambar 21). Dalam mekansime pembentukan
rumpun ini, percabangan basal tumbuh membesar, setelah mencapai fase sapihan
mulai diikuti dengan terbentuknya tunas. Tunas-tunas ini selanjutnya tumbuh
membesar, secara bersama-sama dengan pohon induk membentuk rumpun baru.
2,5 m
kemerahan. Hampir pada seluruh permukaan akar tumbuh bulu-bulu akar dengan
panjang antara 3-5 cm dan diameter 1,5-2,0 mm.
Batang sagu berbentuk bulat, ukuran diameter bervariasi, tergantung
spesies. Spesies M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. memiliki ukuran
diameter batang berkisar antara 55-75 cm, M. longispinum Mart. dan M.
microcanthum Mart. memiliki diameter sekitar 40-55 cm. Sedangkan spesies M.
sagu Rottb. pada umumnya memiliki ukuran diameter sekitar 50-65 cm. Tinggi
batang sagu bebas daun juga bervariasi tergantung spesies. Spesies M. rumphii
Mart. dan M. sylvestre Mart. memiliki ukuran tinggi batang antara 15-20 meter,
M. longispinum Mart. sekitar 10-12 meter, M. microcanthum Mart. 7-10 meter,
dan M. sagu Rottb. berkisar antara 12-15 meter. Susunan penampang batang dari
bagian luar ke dalam terdiri dari kulit luar yang tipis, kulit keras, serat kasar, dan
empulur. Pada sisi bagian luar batang terdapat tanda bekas pelepah daun. Jarak
antara bekas pelepah yang satu dengan yang lain secara vertikal berkisar antara
10-15 cm. Warna empulur bervariasi tergantung jenis sagu mulai dari putih
sampai kemerahan. Spesies M. rumphii Mart. mempunyai empulur berwarna
putih agak kemerahan, M. sylvestre Mart. kemerahan, M. longispinum Mart.
merah muda, M. microcanthum Mart. berwarna merah muda, dan M. sagu Rottb.
berwarna putih. Menurut Haryanto dan Pangloli (1992) dikemukakan bahwa
bahwa berat kulit batang sagu berkisar antara 17-25 % dari berat batang, sisanya
berupa berat empulur sekitar 75-83 % dan perbandingan antara berat kulit batang
dan empulur selama masa pertumbuhan sagu relatif tetap.
Daun tumbuhan sagu terdiri dari pelepah (tangkai daun), anak daun, tulang
daun, dan spesies M. rumphii Mart. terdapat duri (spine) yang menempel pada
hampir seluruh bagian pangkal pelepah. Duri-duri tersebut juga terdapat pada
bagian belakang tangkai daun. Duri juga terdapat pada sisi pinggir anak daun
berupa duri-duri halus. Pangkal pelepah daun sagu menempel mengitari batang.
Di sepanjang tangkai daun tumbuh anak daun menyirip berhadapan atau agak
berhadapan. Jarak tata letak anak daun pada tangkainya berkisar antara 5-10 cm.
Pelapah atau tangkai daun berjumlah antara 12-16 tangkai dan memiliki ukuran
panjang sekitar 5-7 m. Pada spesies M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart.
ukuran tangkai daun dapat mencapai delapan meter bahkan lebih. Setiap tangkai
86
daun dewasa terdapat sekitar 50-80 pasang anak daun. Anak daun memiliki
ukuran panjang antara 100-180 cm, dan lebar 10-15 cm. Flach (1983)
mengemukakan bahwa tanaman sagu memiliki tangkai mencapai 18 tangkai
dengan ukuran antara 5-7 m. Setiap bulan terbentuk satu tangkai daun, dan umur
rata-rata tangkai daun diperkirakan sekitar 12-18 bulan. Tangkai daun berwarna
hijau muda, kemudian berubah warna menjadi hijau kekuningan dan selanjutnya
tangkai dan anak-anak daun menguning, mengering dan gugur. Daun sagu yang
masih muda pada umumnya berwarna hijau muda, kadang-kadang berwarna hijau
keunguan. Dengan bertambah umur secara berangsur-angsur berubah warna
menjadi hijau tua, kuning, dan coklat apabila telah mengering.
Tumbuhan sagu diperkirakan mulai berbunga pada umur sekitar 10-12
tahun, diikuti dengan pembentukan buah. Masa pembungaan diawali dengan
munculnya tanda-tanda seperti tangkai daun dan anak-anak daun memendek,
ukuran lebar menyempit dan pelepah tangkai daun menunjukkan perubahan warna
menjadi hijau kekuningan. Tomlinson (1990 dalam Flach 1997) melakukan
deskripsi pembungaan Metroxylon spp. dilaporkan bahwa palem ini melengkapi
proses pertumbuhan dengan membentuk pembungaan, merupakan indikasi akan
berakhirnya masa pertumbuhan yang diakhiri dengan kematian.
Bunga sagu merupakan bunga majemuk yang keluar dari ujung atau
pucuk batang, berwarna merah kecoklatan. Bunga bercabang banyak seperti
tanduk rusa yang terdiri dari cabang primer, sekunder, dan tersier. Pada cabang
tersier terdapat sepasang bunga jantan dan bunga betina. Diduga penyerbukan
tumbuhan sagu berlangsung secara silang (Flach 1977 dalam Haryanto dan
Pangloli 1992). Buah sagu berbentuk bulat menyerupai buah salak. Kulit buah
berupa sisik yang tersusun secara diagonal. Di dalam buah terdapat biji yang
sifatnya fertil. Dikemukakan juga bahwa waktu antara bunga mulai muncul
sampai fase pembentukan buah, berlangsung sekitar dua tahun.
Secara umum tipe habitat sagu dapat dipisahkan menjadi dua kategori
yaitu 1) tipe habitat lahan kering dan 2) tipe habitat lahan tergenang, berupa rawa-
rawa yang tergenang secara temporer maupun permanen. Tipe habitat kedua atas
87
dasar karakteristiknya dapat dipisahkan lebih lanjut menjadi beberapa tipe habitat
yaitu : 1) tipe habitat tergenang air payau yaitu tipe habitat yang dicirikan oleh
adanya pasang-surut sehingga genangannya bersifat temporer, merupakan habitat
yang berdekatan atau berbatasan dengan vegetasi nipah (mangrove). Pada
umumnya terdapat di bagian belakang nipah, dari bagian pesisir ke arah daratan.
Tumbuhan sagu pada tipe habitat ini biasanya mengalami perendaman atau
tergenang apabila terjadi air pasang, dan kondisi habitatnya mengering jika terjadi
air surut, 2) tipe habitat tergenang sementara oleh air hujan yaitu tipe habitat
dimana genangannya sangat ditentukan oleh ada-tidaknya hujan. Apabila terjadi
hujan habitat sagu mengalami genangan selama beberapa waktu, pada umumnya
sekitar satu sampai dua minggu atau paling lama satu bulan. Apabila tidak terjadi
hujan maka kondisi habitatnya mengering, 3) tipe habitat tergenang permanen,
yaitu tipe habitat sagu yang mengalami genangan pada periode waktu relatif
cukup lama, biasanya lebih dari satu bulan. Air genangan bisa berasal dari air
hujan atau air sungai, dan 4) tipe habitat lahan kering, artinya kondisi habitat sagu
tidak pernah mengalami genangan air, apakah dari air hujan, sungai atau air laut.
Kondisi lahan pada tipe habitat ini pada umumnya kemiringan lahan agak datar,
sehingga tidak memungkinkan air sungai, air laut ataupun air hujan yang jatuh
tidak menyebabkan genangan tetapi mengalami run off masuk ke sungai atau
kolam yang dapat menampung sejumlah air, seringkali masuk ke tipe habitat
tergenang tidak permanen air tawar atau ke tipe habitat permanen (Lampiran 8).
Di dalam wilayah P. Seram terdapat lima spesies sagu yaitu : 1) M.
rumphii Mart., 2) M. sylvestre Mart., 3) M. longispinum Mart., 4) M.
microcanthum Mart., dan 5) M. sagu Rottb. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tidak semua spesies sagu dapat tumbuh pada setiap tipe habitat. Dari lima spesies
tumbuhan sagu yang tumbuh dan berkembang dalam wilayah P. Seram, hanya
tiga spesies sagu yang ditemukan tumbuh pada semua tipe habitat yaitu M.
rumphii Mart., M. sylvestre Mart. dan M. longispinum Mart. (Tabel 16). Dua
spesies tumbuhan sagu yang lain yakni M. microcanthum Mart. dan M. sagu
Rottb. ditemukan pada tipe habitat terbatas. Spesies M. microcanthum Mart.
hanya ditemukan tumbuh pada tipe habitat lahan kering (TTG), sedangkan spesies
M. sagu Rottb. hanya ditemukan pada dua tipe habitat yaitu tergenang temporer
88
air tawar (T2AT) dan tergenang permanen (TPN). Hal ini menunjukkan bahwa
tiga spesies tumbuhan sagu yang disebutkan pada bagian awal memiliki
kemampuan untuk berinteraksi dengan berbagai tipe habitat, sedangan dua spesies
yang lain memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan tipe habitat yang
relatif terbatas.
Tabel 16. Populasi rumpun dan fase pertumbuhan sagu pada tipe habitat berbeda
di P. Seram, Maluku tahun 2009
Tipe Habitat
Spesies Rataan
No TTG T2AT T2AP TPN
sagu
ind/ha % ind/ha % ind/ha % ind/ha % ind/ha %
Populasi rumpun
1. M. rumphii 103,26 58,9 124,33 50,1 62,08 64,2 61,20 37,3 87,72 52.6
2. M. longisp. 28,37 15,8 26,01 10,5 20,00 20,7 36,04 22,0 27,60 17.2
3. M.sylvestre 37,95 22,9 85,10 34,3 14,58 15,1 11,58 7,1 37,30 19.8
4. M. microc. 4,27 2,5 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 1,07 0.6
5. M. sagu 0,00 0,0 12,50 5,0 0,00 0,0 55,19 33,7 16,92 9.7
Jumlah 173.85 100,0 247,94 100,0 96,67 100,0 164,0 100,0 170,6 100,0
Populasi semai
1. M. rumphii 186,35 54,00 195,56 46,9 159,38 65,6 90,69 34,3 158,0 50.2
2. M. longisp. 53,4 15,5 49,74 11,9 40,00 16,5 77,24 29,2 55,1 18.3
3. M.sylvestre 96,46 27,9 157,71 37,8 43,75 18,0 41,24 15,6 84,79 24.8
4. M. microc. 9,06 2,6 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 2,27 0.7
5. M. sagu 0,00 0,0 13,89 3,3 0,00 0,0 55,63 21,0 17,38 6.1
Jumlah 345.28 100,0 416,90 100,0 162,08 100,0 264,8 100,0 317,5 100,0
Populasi sapihan
1. M. rumphii 25,97 57,0 25,64 45,1 24,38 73,6 16,77 27,6 23,19 50.8
2. M. longisp. 6,46 14,2 7,68 13,5 7,50 22,6 17,48 28,8 9,78 19.8
3. M.sylvestre 11,01 24,2 18,88 33,2 1,25 3,8 3,30 5,4 8,61 16.7
4. M. microc. 2,12 4,7 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 0,53 1.2
5. M. sagu 0,00 0,0 4,63 8,2 0,00 0,0 23,16 38,2 6,95 11.6
Jumlah 45.56 100,0 56,83 100,0 33,13 100,0 60,71 100,0 49,06 100,0
Populasi tiang
1. M. rumphii 10,66 58,8 11,04 47,4 2,50 60,0 8,50 33,8 8,17 50.0
2. M. longisp. 1,11 6,1 3,57 15,3 1,67 40,0 8,06 32,1 3,60 23.4
3. M.sylvestre 5,80 32,0 6,39 27,4 0,00 0,0 0,00 0,00 3,05 14.9
4. M. microc. 0,56 3,1 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,00 0,14 0.8
5. M. sagu 0,00 0,0 2,31 9,9 0,00 0,0 8,55 34,0 2,72 11.0
Jumlah 18.13 99,9 23,32 99,9 4,17 99,9 25,11 99,9 17,68 99,9
Populasi pohon
1. M. rumphii 57,36 55,7 41,55 43,0 15,00 72,0 24,95 26,6 34,71 49.3
2. M. longisp. 12,95 12,6 14,73 15,3 5,83 28,0 22,84 25,3 14,09 20.3
3. M.sylvestre 29,10 28,2 33,38 34,6 0,00 0,0 4,92 6,9 16,85 17.4
4. M. microc. 3,65 3,5 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 0,91 0.9
5. M. sagu 0,00 0,0 6,94 7,2 0,00 0,0 29,44 41,3 9,1 12.1
Jumlah 103,06 100,0 96,60 100,0 20,83 100,0 82,14 100,0 75,66 100,0
89
lanjutan
Populasi pohon masak panen
1. M. rumphii 8,65 50,4 8,09 32,6 0,83 33,3 7,3 26,2 6,22 35.6
2. M. longisp. 5,42 28,1 6,62 26,7 1,67 66,7 9,73 34,9 5,86 39.1
3. M.sylvestre 3,89 21,5 7,48 30,1 0,00 0,0 0,00 0,0 2,84 12.9
4. M. microc. 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0.0
5. M. sagu 0,00 0,0 2,63 10,6 0,00 0,0 10,82 38,9 3,36 12.4
Jumlah 17,95 100,0 24,82 100,0 2,50 100,0 27,85 100,0 18,28 100,0
Populasi pohon veteran
1. M. rumphii 1,63 30,1 0,44 6,9 0,00 0,0 4,44 24,3 1,63 15.3
2. M. longisp. 3,23 59,6 2,83 44,7 0,50 100 8,46 46,2 3,76 62.6
3. M.sylvestre 0,56 10,3 0,44 6,9 0,00 0,0 0,76 4,1 0,44 5.3
4. M. microc. 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0,0 0,00 0.0
5. M. sagu 0,00 0,0 2,63 41,5 0,00 0,0 4,65 25,4 1,82 16.7
Jumlah 5,42 100,0 6,34 100,0 0,50 100,0 18,32 100,0 7,64 100,0
Keterangan : M. longisp = M. longispinum, M. micrc = M. microcanthum, ind = individu, ha = hektar, TTG = lahan
kering, T2AT = tergenang temporer air tawar, T2AP = tergenang temporer air payau, TPN = tergenang
permanen. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III
Werinama SBT, tahun 2009.
habitatnya, tampak bahwa kemampuan adaptasi diantara spesies sagu dengan tipe
habitat relatif berbeda. M. rumphii Mart. secara keseluruhan mempunyai
kemampuan adaptasi yang kuat pada semua tipe habitat, yang ditunjukkan melalui
jumlah rumpun dan jumlah populasi semua fase pertumbuhan yang lebih tinggi
dibandingkan spesies sagu lain.
Selain spesies M. rumphii Mart., dua spesies sagu yang juga mempunyai
kemampuan adaptasi yang kuat dengan tipe habitatnya adalah spesies M. sylvestre
Mart. dan M. longispinum Mart. Spesies M. sylvestre Mart. mempunyai
kemampuan adaptasi yang kuat pada tipe habitat lahan kering (TTG) dan
tergenang temporer air tawar (T2AT), yang ditunjukkan oleh jumlah populasi
rumpun dan fase pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan spesies M.
longispinum Mart. Sedangkan pada tipe habitat tergenang temporer air payau
(T2AP) dan tergenang permanen (TPN) populasi spesies M. sylvestre Mart. tidak
lebih tinggi daripada M. microcanthum Mart. Dengan kata lain pada dua tipe
habitat yang disebut terakhir ini, spesies M. longispinum Mart. mempunyai
kemampuan adaptasi yang lebih baik dibandingkan dengan spesies M. sylvestre
Mart. Spesies M. sagu Rottb. hanya ditemukan tumbuh pada tipe habitat T2AT
dan TPN. Hal ini menunjukkan bahwa spesies tumbuhan sagu ini memiliki daya
adaptasi yang cukup baik pada kondisi habitat tergenang, tetapi tidak pada air
payau karena pada tipe habitat tergenang tidak permanen air payau spesies sagu
ini tidak ditemukan. Fakta ini memberikan petunjuk bahwa spesies M.
91
microcanthum Mart. memiliki daya adaptasi yang sangat terbatas atau sempit
terhadap berbagai tipe habitat.
Berdasarkan jumlah populasi tumbuhan sagu, tampak bahwa spesies sagu
yang memiliki daya adaptasi yang tinggi sampai sempit terhadap berbagai kondisi
habitat secara berurutan sebagai berikut M. rumphii Mart. > M. longispinum
Mart. > M. sylvestre Mart. > M. sagu Rottb. > M. microcanthum Mart. Dalam
hubungan ini, maka spesies M. rumphii Mart. dapat dikategorikan sebagai spesies
sagu yang memiliki tingkat toleransi yang luas/lebar (eury tolerance) terhadap
kondisi habitatnya. spesies tumbuhan sagu M. Longispinum Mart., M. Sylvestre
Mart., dan M. sagu Rottb. dikategorikan sebagai jenis sagu dengan tingkat
toleransi sedang (meso tolerance). Sedangkan spesies M. microcanthum Mart.
dikategorikan sebagai spesis sagu yang memiliki tingkat toleransi sempit (steno
tolerance). Indikator untuk menjelaskan lebar atau sempitnya tingkat toleransi
masing-masing jenis ini didasarkan pada ada/atau tidak-adanya suatu spesies pada
setiap habitat dan banyak atau sedikitnya jumlah populasi pada masing-masing
habitat.
Dalam kaitan itu maka dapat dikemukakan bahwa spesies M. rumphii
merupakan spesies tumbuhan sagu yang memiliki kemampuan pertumbuhan dan
daya adaptasi yang tinggi terhadap berbagai tipe habitat. Spesies M. sylvestre
Mart., M. longispinum Mart., dan M. sagu Rottb. merupakan spesies sagu yang
dapat dikategorikan sebagai spesies yang memiliki kemampuan tumbuh tinggi
tetapi daya adaptasi yang terbatas. Sedangkan spesies M. microcanthum Mart.
merupakan spesies tumbuhan sagu yang memiliki kemampuan pertumbuhan dan
daya adaptasi yang lebih terbatas lagi.
Apabila tipe habitat ini diurutkan ke dalam tingkat marjinalisasi habitat,
terkait dengan jumlah populasi rumpun masing-masing spesies sagu pada setiap
tipe habitat, maka akan didapatkan urutan marjinalisasi habitat sebagai berikut :
tergenang temporer air payau (T2AP) > tergenang permanen (TPN) > lahan
kering (TTG) > tergenang temporen air tawar (T2AT). Artinya tipe habitat
tergenang temporer air payau (T2AP) memiliki tingkat marjinal yang lebih tinggi
dibandingkan dengan tingkat marjinal tipe habitat tergenang permanen (TPN), dan
tipe habitat ini lebih marjinal dibandingkan dengan tipe habitat lahan kering
92
(TTG). Kondisi habitat yang sangat rendah tingkat marjinalnya adalah tipe habitat
tergenang temporer air tawar (T2AT). Ukuran untuk menjelaskan tinggi atau
rendahnya tingkat marjinalisasi ini didasarkan pada banyak atau sedikitnya jumlah
populasi rumpun sagu yang tumbuh pada setiap tipe habitat. Pada tipe habitat
tergenang temporer air payau, jumlah populasi rumpun sagu hanya mencapai
96,67 ind/ha, tipe habitat tergenang permanen 164,02 ind/ha, tipe habitat lahan
kering 173,85 ind/ha, sedangkan tipe habitat tergenang temporer air tawar jumlah
populasinya mencapai 247,94 ind/ha. Diagram ringkasan adaptasi sagu pada
berbagai tipe habitat disajikan pada Gambar 23.
Habitat
M. M. M. M.
longispinum longispinum longispinum longispinum
akanaro o
M.
microcanthum
M. sagu M. sagu
Keterangan : TTG = lahan kering; T2AT = tergenang temporer air tawar; T2AP = tergenang temporer air
payau; TPN = tergenang permanen; secara horizontal tidak terdapat jenis yang sama.
Gambar 23. Diagram ringkasan adaptasi spesies sagu pada berbagai tipe habitat
Sebagian besar tumbuhan sagu tumbuh pada lahan yang terendam, baik
sifatnya temporer maupun permanen. Pada kondisi habitat yang senantiasa
tergenang tersebut memungkinkan kondisi tanah menjadi masam dan miskin
oksigen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pH tanah di areal lahan sagu
93
berkisar antara 4,47 5,63 (pH H2O), dan berpotensi turun lebih rendah lagi
mencapai 4,13 (pH KCl). pH masam pada umumnya bersifat melisis suatu zat
sehingga dapat merusak didinding sel. Tanah-tanah masam dengan kandungan
logam tinggi seperti Fe dan Al dapat berpengaruh buruk terhadap kehidupan
tumbuhan. Syekhfani (1997) mengemukakan logam memiliki kemampuan untuk
melisis air sehingga pH tanah dapat semakin masam. Pada saat pH dalam kondisi
masam Fe dan Al akan larut sehingga konsentrasinya meningkat. Konsentrasi Fe
dan Al yang tinggi dapat meracun perakaran, walaupun Fe merupakan unsur hara
esensial, namun termasuk dalam kategori unsur hara mikro, sehingga
kelebihannya tidak menguntungkan bagi perakaran.
Separoh atau sebagian besar habitat tumbuhan sagu adalah berupa rawa-
rawa yaitu berupa tipe habitat tergenang, baik temporer atau permanen. Pada
kondisi habitat seperti itu biasanya sistem perakaran sagu mengalami modifikasi
bentuk untuk dapat beradaptasi dengan kondisi habitat tereduksi. Kondisi habitat
tergenang atau berupa rawa-rawa, identik dengan kondisi tereduksi. Artinya
keadaan dimana terjadi keterbatasan oksigen di dalam tanah karena oksigen atau
udara terdesak oleh partikel air (H2O). Pada sisi yang lain untuk menjamin
pertumbuhan diperlukan oksigen untuk proses respirasi akar.
Dalam kaitan dengan kondisi yang tereduksi ini, maka sistem perakaran
tumbuhan sagu mengalami modifikasi bentuk dan arah. Biasanya pergerakan
akar senantiasa tumbuh ke samping secara horizontal dan vertikal ke lapisan tanah
bagian dalam. Namun ketika kondisi tanah tergenang air, maka terdapat sebagian
arah pertumbuhan akar sagu berbalik ke atmosfer keluar menembus permukaan
air sehingga terjadi kontak langsung dengan udara bebas. Disamping itu jumlah
atau volume akar rambut meningkat sehingga luas permukaan kontak bertambah
besar. Mekanisme adaptasi sistem perakaran sagu seperti inilah yang ditemukan
terjadi untuk memenuhi penyerapan aksigen melalui perluasan kontak permukaan
akar dengan udara luar, sehingga kebutuhan oksigen sagu dapat terpenuhi selama
terjadi genangan (Gambar 24).
94
a. Karakteristik iklim
Tabel 17. Intensitas sinaran surya rata-rata harian di bawah tegakan tumbuhan
sagu di P. Seram, Maluku
Wilayah Sampel Lokasi Pengamatan
Rg Terbuka
Bwh Tgkn Antara Tgkn Rataan
WS I Luhu-SBB lux (lumen/m2)
April 250,38 882,91 566,64 1779,56
Mei 233,10 803,45 518,28 1676,85
Juni 225,78 789,58 507,68 1641,30
Juli 204,06 793,24 498,65 1542,22
Rataan 228,33 817,30 522,81 1659,98
WS II Sawai-MT
April 186,70 837,48 512,09 1872,89
Mei 206,91 825,95 516,43 1781,93
Juni 199,34 796,05 497,69 1788,26
Juli 181,24 796,23 488,74 1644,47
Rataan 193,55 813,93 503,74 1771,89
WS III Werinama-SBT
April 252,68 960,28 606,48 2019,48
Mei 246,39 749,79 498,09 1852,71
Juni 182,48 762,36 472,42 1653,03
Juli 109,34 380,47 244,91 850,80
Rataan 197,72 713,22 455,47 1594,00
Rataan umum 177,07 670,56 423,82 1427,56
Persen thdp Rtb 12,40 % 46,97 % 29,69 %
Keterangan : WS = wilayah sampel, Bwh Tgkn = bawah tegakan, Rg = ruang, Rtb = ruang terbuka. Data
yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III
Werinama SBT, tahun 2009.
Temperatur udara
dimana pada bulan April termasuk musim kemarau dan sampai dengan bulan Juli
sudah masuk ke musim hujan.
28
27
Temperatur udara (oC)
26
25
24
23
22
April Mei Juni Juli
Periode Waktu
Curah hujan
Berdasarkan data curah hujan rata-rata bulanan yang diperoleh dari dua
stasiun klimatologi di P. Seram yaitu stasiun klimatologi Amahai Kabupaten
Maluku Tengah dan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat, menunjukkan
bahwa tumbuhan sagu di P. Seram Maluku banyak ditemukan tumbuh pada
kondisi curah hujan rata-rata bulanan berkisar antara 139,37 mm pada bulan
Januari sampai 491,36 mm pada bulan Juni, puncak hujan berlangsung pada bulan
Juni-Juli (Gambar 26 dan Lampiran 11). Dengan kata lain bahwa curah hujan
tahunan berkisar antara 1.672,44 mm 5.896,32 mm/tahun (rata-rata 3.031,82
mm/tahun), termasuk dalam kategori tipe hujan A dan B berdasarkan klasifikasi
menurut Schmidt and Ferguson (BPKH Wil. IX Ambon 2006). Jumlah curah
hujan ini baik bagi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan sagu. Flach (1997)
mengemukakan bahwa tumbuhan sagu tumbuh baik pada kondisi curah hujan
99
550
Jumlah Curah Hujan Bulanan (mm)
500
450
400
350
300
250
200
150
100
50
Jan Feb Mart April Mei Juni Juli Agt Sept Okt Nop Des
Periode Waktu
Kairatu Amahai Rataan
Kelembaban Udara
kelembaban ini sejalan dengan peningkatan jumlah curah hujan yang mulai
meningkat sejak bulan April, terus bergerak naik sampai mencapai puncaknya
sekitar bulan Juni dan Juli, dengan rata-rata jumlah curah hujan berkisar antara
477,24 mm 491,36 mm.
Tabel 19. Kelembaban udara relatif rata-rata harian di bawah tegakan tumbuhan
sagu P. Seram, Maluku
Periode Pengamatan
Wilayah Sampel
April Mei Juni Juli
WS I Luhu-SBB Kelembaban relatif (%)
MG 1 87,38 90,38 89,63 92,13
MG 2 88,63 89,50 90,00 90,13
MG 3 87,25 85,88 89,75 92,38
MG 4 86,00 89,25 90,00 89,25
Rataan 87,31 88,75 89,84 90,97
WS II Sawai-MT
MG 1 88,88 91,25 92,50 91,38
MG 2 87,38 91,93 91,25 91,50
MG 3 89,63 90,75 89,25 91,75
MG 4 89,50 89,01 90,88 89,88
Rataan 88,84 90,73 90,97 91,13
WS III Werinama-SBT
MG 1 88,50 90,75 91,75 93,00
MG 2 88,13 90,88 92,00 92,50
MG 3 87,25 90,50 92,00 92,63
MG 4 87,13 89,88 92,00 92,75
Rataan 87,75 90,50 91,94 92,72
Rataan umum 87,97 89,99 90,92 91,60
Keterangan : WS = wilayah sampel, MG = minggu. Data yang disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel
I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun 2009.
92
91
Kelembaban Udara (%)
90
89
88
87
86
85
April Mei Juni Juli
Periode Waktu
Amahai Kairatu Rataan RH-mikro
analisis berkisar antara 4,13 4,67 (Lampiran 13). Berdasarkan kisaran nilai pH
(KCl) ini, maka dapat dikatakan bahwa tumbuhan sagu memiliki toleransi yang
kuat terhadap kondisi kemasaman yang rendah. Dengan kata lain dapat
dikemukakan bahwa sagu merupakan jenis tumbuhan palem yang memiliki daya
adaptasi yang kuat terhadap kondisi kemasaman tanah yang dapat mencapai
empat.
Kandungan bahan organik tanah pada berbagai tipe habitat di lahan sagu P.
Seram mencapai 4,81 %, termasuk dalam kategori sedang-tinggi (berdasarkan
kriteria PPT Bogor dalam Hardjowegeno 1992). Tanah yang memiliki kandungan
bahan organik lebih dari satu persen merupakan tanah yang menyerupai kondisi
tanah dalam kawasan hutan. Tanah-tanah hutan biasanya memiliki kandungan
bahan organik lebih dari 3 %, hal ini dikarenakan di dalam kawasan hutan sumber
bahan organik cukup banyak yang berasal dari seresah tumbuhan hutan. Pada
lahan yang ditumbuhi sagu dengan kandungan bahan organik yang relatif tinggi,
dimungkinkan karena lahan tumbuhan sagu pada umumnya terletak di dataran
rendah, lembah-lembah bukit, di bagian kiri-kanan sungai, atau lahan datar
sampai ke arah dekat pesisir pantai. Pada wilayah tersebut bahan organik bisa
berasal dari daerah dataran tinggi yang terangkut air mengikuti run off kemudian
mengendap atau terakumulasi pada lahan-lahan habitat tumbuhan sagu, atau dapat
pula berasal dari vegetasi dalam habitat sagu, termasuk dari tumbuhan sagu itu
sendiri.
Kandungan unsur hara nitrogen di habitat sagu rataan sebesar 0,19 %,
nitrogen paling tinggi ditemukan pada tipe habitat T2AT mencapai 0,26 %.
Rendahnya kandungan nitrogen tanah ini menunjukkan bahwa sumber nitrogen
tanah terbatas. Nitrogen tanah biasanya berasal dari bahan organik yang
mempunyai kandungan protein tinggi, fiksasi atau pengikatan Nitrogen bebas oleh
mikroba tanah, air hujan, atau melalui pemupukan. Rendahnya kandungan
Nitrogen tanah diduga dapat pula dikarenakan Nitrogen anorganik dalam bentuk
ion terabsorpsi atau terserap oleh tumbuhan sagu termasuk vegetasi lainnya yang
berada dalam habitat sagu.
Secara keseluruhan pada semua tipe habitat C/N 20. merupakan rasio
yang termasuk dalam kategori rendah. Rasio C/N yang rendah merupakan
103
104
105
banyak, maka serapan unsur lainnya akan terganggu. Kompetisi ini berkaitan
dengan sifat fisiko-kimia yang mirip satu sama lain sehingga terjadi perebutan
tempat pada tapak-tapak jerapan tanah atau permukaan akar.
Bagi tumbuhan, kalium berperan dalam meningkatkan ketahanan
tumbuhan terhadap penyakit tertentu di samping mendorong perkembangan akar.
Hardjowigeno (1992) mengemukakan bahwa kalium berperan dalam
pembentukan pati, mengaktifkan berbagai jenis enzim, pembukaan stomata,
proses fisiologis dalam tumbuhan. proses metabolik dalam sel, mempertinggi
daya tahan tumbuhan, dan penting dalam perkembangan perakaran. Sedangkan
kalsium berperan dalam penyusunan dinding-dinding sel, pembelahan sel, dan
pemanjangan sel (elongation). Sementara magnesium berperan dalam
pembentukan klorofil, sistem enzim, dan pembentukan minyak pada tumbuhan.
Hasil analisis sifat fisika tanah menunjukkan bahwa bulk density atau kepadatan
tanah di lahan sagu P. Seram Maluku tidak terlalu tinggi atau termasuk dalam
kategori sedang yakni berkisar antara 1,07 1,31 (Tabel 21 dan Lampiran 14).
Tingkat bulk density yang sedang ini dapat dikarenakan oleh cukup
tingginya kandungan bahan organik tanah di lahan sagu Pulau Seram Maluku.
Kondisi ini memberi ruang yang baik untuk mendukung pertumbuhan perakaran
tumbuhan sagu. Hasil analisis kelas tekstur tanah menunjukkan bahwa secara
umum termasuk dalam kategori lempung liat, sebagian termasuk dalam kategori
106
liat berdebu. Hal ini memberikan petunjuk bahwa pada semua tipe habitat
tumbuhan sagu ditemukan adanya kandungan liat, artinya tumbuhan sagu tumbuh
baik pada kondisi lahan yang memiliki kandungan liat.
Hasil analisis parameter air menunjukkan bahwa pH air pada lahan sagu di
P. Seram Maluku, baik pada tipe habitat tergenang tidak permanen ataupun
tergenang permanen memiliki kisaran kemasaman yang sedang berkisar antara
6,23 6,58, dengan kondisi kesuburan air yang cukup baik yang ditunjukkan oleh
kandungan nitrogen, kalium, kalsium, dan magnesium yang cukup tinggi (Tabel
22 dan Lampiran 15). Kadar salinitas air pada lahan sagu di P. Seram Maluku
relatif rendah, walaupun pada tipe lahan tergenang tidak permanen air payau. Hal
ini diduga disebakan karena dua sebab yaitu 1) adanya pengaruh air tawar yang
berasal dari sungai yang terdapat disekitar lahan tempat tumbuh sagu atau air
sungai yang berdekatan dengan lahan sagu. Pada umumnya tumbuhan sagu
ditemukan tumbuh pada lahan yang berada disekitar sumber air, seperti misalnya
dekat sungai, dan 2) tumbuhan sagu senantiasa berada di belakang vegetasi nipah
kearah daratan dari bagian pesisir pantai. Vegetasi nipah diketahui memiliki
kemampuan untuk memfilter atau menyaring kadar garam yang terkandung dalam
air laut, sehingga air yang masuk sampai ke lahan sagu kandungan garamnya telah
turun, atau dapat pula disebabkan karena tumbuhan sagu memiliki kemampuan
untuk menyaring kadar garam sehingga salinitas air menjadi rendah yakni hanya
mencapai 0,60 ppt.
Pada Tabel 22 tampak bahwa kandungan nitrogen mineral dalam air di
lahan sagu P. Seram Maluku kebanyakan dalam bentuk Nitrat (NO 3-) (rata-rata
5,65 mg/l) dibandingkan nitrogen dalam bentuk ammonium (NH4+) (rata-rata 0,61
mg/l). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi air berada dalam suasana teroksidasi,
indikasi ini diperjelas dengan kondisi pH air yang mendekati netral. Hal ini berarti
bahwa air tersebut belum terlalu lama menggenang terutama pada tipe habitat
tergenang tidak permanen air tawar (T2AT) dan tipe lahan tergenang permanen
(TPN). Lain halnya dengan tipe habitat tergenang tidak permanen air payau yang
memang kondisi pH air sekitar netral karena pengaruh kandungan garam natrium
107
(Na) yang terkandung dalam air laut dan sering menggenangi lahan sagu ketika air
pasang dan mengering ketika air surut.
Tabel 22. Kualitas air rawa di lahan tumbuhan sagu P. Seram, Maluku
Air Bebas Lumpur
Tipe Salinitas
pH NH4+ K+ Ca2+ Mg2+ NO32- PO43-
Habitat (ppt)
mg/liter
T2AT 6,23 0,60 7,23 23,31 4,97 6,66 1,27 0,13
Keterangan : T2AT = tergenang temporer air tawar, T2AP = tergenang temporer air payau, TPN
= tergenang permanen; NH4+ = Ammonium, K+ Kalium, Ca2+ = Kalsium, Mg2+ =
Magnesium, NO32- = Nitrat, PO43- = Phosfat, ppt = part per thousand. Data yang
disajikan berasal dari data rataan wil. Sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III
Werinama SBT, tahun 2009.
Kandungan ion K dalam air cukup tinggi terutama pada tipe lahan T2AT
mencapai 7,23 mg/l, hampir dua kali lipat dibandingkan dengan kandungan ion K
pada tipe habitat T2AP dan TPN. Lebih rendahnya kadar K+ pada dua tipe habitat
yang disebut terakhir diduga karena K+ yang terlarut dalam air pada kedua tipe
habitat tersebut mengalami perkolasi, dikarenakan apabila dilihat dari lama
tergenang, maka air di kedua tipe habitat itu lebih lama terendam. Faktor inilah
yang memungkinkan lebih rendahnya kandungan K+ dalam air di dua tipe habitat
itu. Fenomena ini mirip dengan kandungan fosfat di dalam air pada tiga tipe
habitat yang telah diuraikan di atas.
Ion kalsium dan magnesium memiliki ciri yang mirip yakni semua tipe
habitat memiliki kandungan K dan Mg yang tidak jauh berbeda antara satu tipe
habitat dengan tipe habitat yang lain. Hal ini diduga karena kedua ion tersebut
memiliki sifat yang relatif lebih tahan terhadap gerakan perkolasi karena
mempunyai dua muatan yang bisa terikat pada permukaan koloid tanah.
a. Asosiasi interspesifik
Varians Ratio (VR) diperoleh nilai sebesar 0,831 (VR < 1). Hal ini berarti bahwa
secara simultan (keseluruhan) spesies tumbuhan penyusun komunitas sagu di P.
Seram di antara sesama spesies terjadi asosiasi yang bersifat negatif. Dalam
kaitan itu, untuk menjelaskan pasangan asosiasi antara spesies yang satu dengan
spesies lainnya dalam komunitas sagu terutama spesies penyusun utama dilakukan
analisis chi-square. Dari 42 spesies yang tumbuh dalam komunitas sagu, terdapat
21 spesies tumbuhan sebagai penyusun utama (Lampiran 16). Kriteria untuk
menentukan spesies sebagai penyusun utama berdasarkan nilai penting yang
dimiliki setiap spesies yaitu spesies yang memiliki nilai penting 10 %.
Hasil analisis chi-square spesies berpasangan, dalam spesies sagu dan
antara spesies sagu dengan spesies lain menunjukkan bahwa terdapat asosiasi
dalam spesies sagu yang sama dan antara spesies sagu dengan spesies bukan sagu
(Lampiran 17). Empat spesies sagu yang terdapat di P. Seram berasosiasi diantara
sesamanya masing-masing M. rumphii Mart., M. longispinum Mart., M. sylvestre
Mart., dan M. sagu Rottb. dengan nilai X2 sebasar 6,53, 5,12, 16,74, 20,73, 5,69,
dan 5,31. Sedangkan asosiasi dengan spesies sagu dengan bukan sagu hanya
terjadi dengan tiga spesies yaitu Pandanus furcatus Roxb., Homalomena rubra
Hassk., dan Nephrolepis exaltata Shcott. Tipe asosiasi semua pasangan spesies
bersifat negatif dengan tingkat asosiasi berdasarkan indeks Jaccard kurang dari
0,5 atau bersifat lemah. Hasil analisis chi-square disajikan pada Tabel 23.
Terjadinya asosiasi antara spesies yang bersifat negatif sebagaimana
tersaji pada Tabel di atas merupakan fakta bahwa di antara setiap spesies terjadi
perebutan dalam penggunaan sumberdaya. Dengan meningkatnya pertumbuhan
atau jumlah individu yang satu akan menekan pertumbuhan individu spesies
lainnya. Interaksi yang bersifat negatif memberikan petunjuk pula bahwa tidak
terdapat toleransi untuk hidup secara bersama atau tidak ada hubungan timbal
balik yang saling menguntungkan, terutama dalam pembagian ruang hidup.
Menurut Barbour et al. (1999 dalam Kurniawan et al. 2008) dikemukakan bahwa
asosiasi yang bersifat negatif memberikan petunjuk pada setiap tumbuhan dalam
suatu komunitas terjadi saling memberi tempat hidup pada suatu area dan habitat
yang sama. Dikemukakan lebih lanjut oleh Krivan & Sirot (2002) bahwa dalam
asosiasi interspesifik dapat memunculkan kompetisi interspesifik. Pada kondisi
109
dimana asosiasi bersifat negatif ekstrim, suatu spesies dapat muncul sebagai
kompetitor yang mendominasi spesies lain.
oleh babi hutan mempunyai andil dalam perbaikan struktur tanah karena terjadi
penghancuran struktur sekaligus percampuran tanah dengan bahan organik yang
terdapat di bagian permukaan tanah.
Pada tangkai daun sagu fase semai yang tumbuh melengkung dan berada
pada posisi agak datar dijumpai burung raja udang (Halcyon sp) sedang berada di
tangkai daun sagu terutama yang berada pada tipe habitat tergenang atau tangkai
daun sagu yang melengkung ke atas permukaan sungai. Selain berteduh, pada
waktu tertentu burung raja udang (Halcyon sp) menceburkan tubuhnya ke dalam
air atau sungai. Tindakan atau perilaku tersebut tidak diketahui maksudnya.
mungkin sekedar membasahi badannya atau untuk keperluan menemukan mangsa
sebagai pakannya.
Pada pohon sagu yang telah dipanen atau ditebang, beberapa saat
kemudian dapat ditemukan kumbang sagu berwana hitam yang biasanya
menempel pada bagian empulur batang yang telah dipotong dan dibelah atau
dibuka. Sebelum batang dibuka, kumbang sagu dapat ditemukan pada bagian
empulur tuas dan pangkal batang bekas tebangan. Selain itu kumbang sagu ini
ditemukan juga pada bagian pelepah tangkai daun sagu yang telah dipanen.
Diduga kumbang sagu ini mengkonsumsi atau menghisap cairan glukosa atau
fruktosa dari pati sagu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kumbang sagu ini
dapat ditemukan beberapa individu atau cukup banyak pada pagi dan sore hari.
Kumbang Oryctes rhinoceros L ternyata diketahui merupakan salah satu jenis
hama sagu. Kumbang ini biasanya menyerang tanaman palm seperti kelapa,
kelapa sawit, dan sagu (Bintoro 2008). Menurut Rostiwati et al. (2008) kumbang
Oryctes merupakan serangga hama yang menyerang pucuk daun tanaman sagu.
Biasanya sekitar dua meter bagian ujung batang sagu tidak diolah atau
diproses, karena memiliki kandungan pati yang rendah. Bagian ujung yang
ditinggalkan ini, dalam tempo kurang lebih 3 bulan telah membusuk. Pada bagian
dalam batang semula berupa empulur dapat ditemukan larva ulat sagu dalam
jumlah banyak (Gambar 28). Oleh sebagian masyarakat petani di Maluku dan
Papua ulat sagu ini dipanen dan dijadikan menu untuk dikonsumsi. Bustaman
(2008) mengemukakan bahwa ulat sagu selama ini belum dimanfaatkan secara
komersial. Namun, masyarakat Papua dan Maluku yang mengusahakan
112
Sumber :http://www.google.co.id/imglanding
Gambar 28. Ulat sagu hidup pada bagian empulur batang sagu tidak diolah
Pada PC1 terdapat dua variabel sebagai penciri utama faktor iklim yaitu
sinaran surya mikro dan curah hujan. Sementara pada PC2 secara dominan
dicirikan oleh tiga variabel yaitu temperatur mikro, kelembaban mikro, dan
sinaran surya lokal (Tabel 25).
yang dipakai untuk menjelaskan bahwa terjadi tutupan lahan yang cukup tinggi
didasarkan pada jumlah intensitas sinaran surya yang masuk di antara rumpun
sagu hanya sekitar 46,97 %.
Sry_lokal
0,50
Second Component
0,25
0,00 Sry_mikro
CH
-0,25
-0,50 T_mikro
Gambar 29. Interaksi variabel iklim dalam habitat sagu di P. Seram, Maluku
Tabel 26. Kontribusi variabel iklim terhadap habitat sagu di P. Seram, Maluku
Variabel Skor PC Eigenvector Kontribusi (%)
Temperatur mikro 2,223 0,351 0,78
Kelembaban mikro 2,223 0,663 1,47
Sinaran surya lokal 2,223 0,494 1,10
Sinaran surya mikro 2,777 0,598 1,66
Curah hujan 2,777 0,588 1,63
Jumlah 3,38
tumbuh menjadi individu baru tidak jauh dari pohon induk. Dengan kata lain
individu baru yang terbentuk berdekatan dengan pohon induk. Apabila sinaran
surya berkurang, maka dapat menambah jumlah rumpun yang terbentuk.
Fenomena ini memperkuat argumen tentang mekanisme pembentukan rumpun
yang terbentuk pada kondisi sinaran surya berkurang. Dengan berkurangnya
sinaran surya percabangan basal akan memanjang keluar menjauh dari pohon
induk atau rumpun mencari ruang dengan sinaran surya memadai untuk tumbuh
menjadi individu baru. Dalam perkembangan selanjutnya dari individu ini
kemudian muncul percabangan basal baru atau anakan secara bersama-sama
menjadi rumpun sendiri.
Pengaruh faktor iklim terhadap tumbuhan sagu diawali oleh pengaruh
sinaran surya sebagai sumber energi utama dalam kehidupan. Sinaran surya lokal
memainkan peranan penting dalam mengendalikan variabel iklim yang lain
seperti sinaran surya mikro, temperatur mikro, dan kelembaban mikro. Apabila
sinaran surya lokal meningkat maka sinaran surya mikro ikut pula bertambah dan
senantiasa terjadi fluktuasi dari waktu ke waktu. Sinaran surya merupakan
sumber energi utama bagi kehidupan. Energi surya dalam bentuk radiasi
ditangkap tumbuhan melalui daun oleh klorofil. Kemudian melalui proses
fotosintesis dirubah menjadi energi kimia, selanjutnya energi ini dipergunakan
untuk pertumbuhan dan tersimpan pada tempat penyimpanan (zink) yakni pada
bagian batang.
Sinaran surya terkait pula dengan temperatur mikro dan kelembaban
mikro. Sinaran surya senantiasa memancarkan radiasi yang dapat menimbulkan
efek panas. Efek panas ini selanjutnya meningkatkan termperatur udara. Pada
umumnya dengan meningkatnya temperatur udara akan menurunkan tingkat
kelembaban relatif. Dengan adanya perubahan temperatur dan kelembaban relatif,
maka akan mempengaruhi jumlah populasi rumpun dan produksi pati sagu.
Secara teoritis dengan meningkatnya temperatur maka proses reaksi dalam tubuh
tumbuhan akan meningkat, tetapi pada kondisi temperatur yang sangat tinggi
dapat menghambat pertumbuhan. Dengan meningkatnya kondisi temperatur mikro
dapat meningkatkan produksi pati sagu.
119
Hasil analisis PCA faktor tanah menunjukkan bahwa tiga komponen utama
telah mampu menerangkan keragaman total data sifat tanah sebesar 85,4 %. Tiga
komponen utama tersebut (PC1, PC2, dan PC3) memberikan kontribusi
keragaman atau penciri sifat tanah masing-masing sebesar 42,8 %, 25,4 %, dan
17,2 % (Tabel 27).
Pada PC1 terdapat tiga variabel sebagai penciri utama faktor tanah yaitu
pH (KCl), KTK, dan kalsium. Pada PC2 secara dominan dicirikan oleh empat
variabel yaitu C-organik, kalium, bulk density dan partikel liat. Sementara PC3
penciri dominannya adalah magnesium dan ferrum (Tabel 28).
Hasil analisis PCA untuk menjelaskan interaksi variabel tanah
menggunakan loading plot menunjukkan bahwa C-organik berkorelasi positif
dengan pH (KCl), kalsium, KTK, magnesium, dan kalium. Partikel liat memiliki
korelasi positif dengan BD (bulk density) (Gambar 30). Hal ini ditunjukkan
dengan sudut lancip yang dibentuk oleh pasangan variabel-variabel tersebut.
Korelasi yang bersifat positif ini mengandung pengertian bahwa jika terjadi
120
peningkatan C-organik maka akan terjadi peningkatan pula pada variabel lain
yang menjadi pasangannya. C-organik merupakan indikator yang menjelaskan
tentang banyak-sedikitnya kandungan bahan organik tanah. Dalam kaitan dengan
korelasi positif dengan pH (KCl), dikarenakan bahan organik dapat berparan
dalam meningkatkan kemasaman tanah (Syekhfani (1997).
0,3 Fe pH (KCl)
0,2 Kalsium
Fe pH (KCl)
0,2 Kalsium
KTK
0,1
Second Component
KTK
0,1
Second Component
0,0
0,0
Magnesium
-0,1 Magnesium
-0,2
-0,1
-0,3 -0,2
Kalium
-0,4
-0,5
-0,3 BD Liat
Kalium
-0,4
-0,2 -0,1 0,0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5
First Component
-0,5 BD Liat
Gambar 30. Interaksi variabel tanah dalam habitat sagu di P. Seram, Maluku
121
Tabel 29. Kontribusi variabel tanah terhadap habitat sagu di P. Seram, Maluku
Variabel Skor PC Eigenvector Kontribusi (%)
pH (KCl) 3,848 0,416 1,60
C-organik 2,289 0,363 0,83
KTK 3,848 0,494 1,90
Kalium 3,848 0,305 1,17
Kalsium 3,848 0,425 1,64
Magnesium 1,547 0,546 0,85
Fe 1,547 0,694 1,07
BD 1,547 0,171 0,27
Liat 3,848 0,213 0,82
Jumlah 10,15
Pada model indeks habitat sagu sebagaimana tersaji dalam pers-28 di atas,
tampak bahwa pertumbuhan sagu di P. Seram dalam kaitannya dengan sifat tanah
sangat ditentukan oleh variabel kapasitas tukar kation (KTK). Hal ini berarti
bahwa sagu menghendaki tanah dengan kesuburan yang memadai. Argumen ini
123
Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak semua variabel tanah yang diuji
berpengaruh terhadap jumlah populasi rumpun sagu, tetapi terhadap produksi pati
124
berkurang. Jadi jumlah populasi rumpun sagu yang bersifat negatif, bukan
dikarenakan terjadi kematian rumpun atau rusaknya rumpun. Tetapi penyatuan
rumpun dalam komunitas sagu itu sendiri.
Lain halnya dengan unsur hara magnesium. Unsur hara ini memberikan
pengaruh yang bersifat positif terhadap jumlah populasi rumpun sagu. Artinya
kondisi kesuburan magnesium rata-rata sekitar 0,46 % dapat menambah jumlah
rumpun sagu. Magnesium merupakan unsur hara yang berperan dalam
penyusunan atau pembentukan klorofil. Rumus kimia klorofil-a dan kloroofil-b
sebagai berikut : klorofil-a C55 H72 O5 N4 Mg dan klorofil-b C55H70O6N4 Mg
(Anonim 2010). Karena magnesium merupakan penyusun klorofil, maka
berkaitan dengan fotosintesis. Hal ini berarti bahwa apabila jumlah magnesium
cukup, maka klorofil yang terbentuk bertambah. Dengan demikian dapat
meningkatkan fotosintesis, selanjutnya dapat meningkatkan hasil fotosintesis
(fotosintat). Meningkatnya fotositat dapat meningkatkan jumlah buah dan biji.
Buah atau biji sagu ini penting sebagai calon individu baru yang kemudian dapat
tumbuh membentuk rumpun baru. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
terdapat sifat tanah yang berperan dalam meningkatkan jumlah populasi rumpun
sagu melalui pengaruhnya terhadap organ vegetatif. Dalam konteks ini melalui
perpanjang cabang basal (rhyzome), dan juga dapat melalui organ generatif berupa
buah atau biji sagu.
Dalam kaitan dengan produksi pati sagu, variabel kemasaman tanah (pH)
memberikan pengaruh yang paling tinggi dibandingkan dengan pengaruh variabel
yang lain. Hal ini berarti bahwa dengan membaiknya kondisi kemasaman tanah,
yakni meningkat >4,3 akan memberikan pengaruh positif dalam peningkatan
produksi pati sagu. Pengaruh positif ini diduga berkaitan dengan ketersediaan
unsur hara terutama phosfor, karena unsur hara ini sangat peka terhadap perubahan
kemasaman tanah. Dengan adanya peningkatan kemasaman tanah, biasanya akan
diikuti dengan perbaikan sifat tanah yang lain seperti ketersediaan unsur hara
phosfor. Unsur hara ini sangat peka terhadap kemasaman. Pada kondisi
kemasaman yang terlalu rendah atau terlalu tinggi, biasanya phosfor tidak tersedia
bagi tumbuhan. Serapan phosfor oleh tumbuhan banyak berlangsung pada kondisi
kemasaman berkisar antara 5,5 6,8 dalam bentuk H2PO4- dan HPO42- (Brady
126
1990). Pada waktu kemasaman tanah rendah, phosfor difiksasi oleh ion Fe dan Al
membentuk senyawa kompleks Fe(OH)2 H2PO4 dan Al(OH)2 H2PO4, sedangkan
ketika kemasaman tinggi, maka phosfor difiksasi oleh Ca membentuk senyawa
Ca(H2PO4)2 atau berupa senyawa kalsium yang lain. Semua senyawa kompleks
yang dikemukakan di atas bersifat sukar larut, sehingga tidak tersedia bagi
tumbuhan. Dengan demikian, apabila kondisi kemasaman berada pada kategori
sedang maka phosfor menjadi tersedia dan dapat meningkatkan produksi pati sagu.
Hardjowigeno (1992) menyebutkan bahwa phosfor merupakan unsur hara yang
memainkan peranan dalam pembentukan pati. Oleh karena itu jika phosfor
terpenuhi, maka penimbunan pati dapat meningkat. Dengan demikian dapat
meningkatkan produksi pati sagu.
Kandungan karbon organik (bahan organik) dan Kapasitas Tukar Kation
(KTK) merupakan parameter tanah yang dapat menjelaskan kesuburan tanah.
Tanah-tanah yang memiliki kandungan bahan organik dan KTK tinggi berarti
kesuburannya tinggi dan sebaliknya. Kandungan bahan organik dan KTK yang
rendah menunjukkan tanah yang kurang subur atau tidak subur. Bahan organik
merupakan salah satu sumber unsur hara dan dapat memperbaiki sifat fisik tanah.
Khusus KTK, sering disebut dengan istilah gudang unsur hara, artinya sebagai
tempat penyimpanan unsur hara. Apabila tumbuhan memerlukan akan segera
dilepas untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan. KTK juga berperan sebagai
buffer unsur hara, sehingga hara tertentu yang mudah tercuci bisa terhindar dari
pencucian atau terangkut oleh air perkolasi (leaching). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa bahan organik dan KTK berpengaruh positif terhadap
produksi pati sagu. Hal ini berarti bahwa unsur hara yang tersimpan dan di buffer
mampu memenuhi kebutuhan sagu sehingga berimplikasi pada peningkatan
produksi pati.
Hasil analisis menunjukkan bahwa unsur hara kalium, kalsium, dan
magnesium berpengaruh positif terhadap produksi pati sagu. Hal berarti bahwa
apabila terjadi penambahan jumlah unsur hara tersebut dalam batas tertentu akan
meningkatkan produksi sagu. Unsur hara kalium bagi tumbuhan antara lain
berperan dalam pembentukan pati, mengaktifkan berbagai jenis enzim dan
mendorong metabolisme karbohidrat, dan memacu perkembangan akar
127
serapan air dan unsur hara terhambat. Hambatan ini dapat berpengaruh terhadap
produksi pati sagu.
Selain bulk density, sifat fisika tanah lain yang diuji dan memberikan
pengaruh terhadap produksi sagu adalah partikel liat. Hasil analisis menunjukkan
bahwa partikel liat berpengaruh positif terhadap produksi pati sagu. Adanya
pengaruh yang bersifat positif ini diduga karena liat yang terbentuk pada habitat
sagu merupakan liat yang memiliki kesuburan tinggi. Syekhfani (1997)
mengemukakan bahwa terdapat dua jenis liat yang memiliki kesuburan tinggi
yaitu liat montmorilonit dan vermikulit. Kedua jenis liat ini memiliki KTK
masing-masing sebesar 80-150 me/100 gr dan 100-150 me/100 gr. Dalam kaitan
dengan peran KTK terhadap produksi pati sagu telah dijelaskan pada uraian
sebelumnya.
Hasil analisis PCA faktor kualitas air rawa menunjukkan bahwa dua
komponen utama telah mampu menerangkan keragaman total data sifat kualitas
air rawa sebesar 83,3 %. Dua komponen utama tersebut (PC1 dan PC2)
memberikan kontribusi keragaman atau penciri sifat kualitas air rawa masing-
masing sebesar 52,0 %, dan 31,3 % (Tabel 30). Pada PC1 terdapat tiga variabel
sebagai penciri utama faktor kualitas air rawa yaitu pH, kalsium, dan nitrat. Pada
PC2 secara dominan dicirikan oleh tiga variabel yaitu kalium, magnesium, dan
salinitas (Tabel 31).
Hasil analisis PCA untuk menjelaskan interaksi variabel kualitas air rawa
menggunakan loading plot menunjukkan bahwa pH air memiliki korelasi positif
dengan kalium, kalsium, dan magnesium (Gambar 31). Hal ini ditunjukkan
dengan sudut lancip yang dibentuk oleh garis loading plot. Korelasi yang bersifat
positif ini mengandung pengertian bahwa dengan makin bertambah kandungan
129
kalium, kalsium, dan magnesium, maka pH air akan meningkat. Kalium, kalsium,
dan magnesium merupakan kation basa yang memainkan peranan dalam
meningkatkan pH. Pada uraian sebelumnya telah disebutkan bahwa bahan kapur
untuk memperbaiki kemasaman tanah adalah mengandung kation-kation tersebut.
Korelasi positif terjadi pula antara variabel salinitas dengan pH dan kalium. Hal
ini berarti bahwa dengan meningkatnya pH air dan kalium dalam air, maka akan
menaikkan kadar salinitas air rawa.
0,4
Second Component
NO3
0,2
0,0
Kalsium
-0,2
pH
Salinitas
-0,4
-0,50 -0,25 0,00 0,25 0,50
First Component
Gambar 31. Interaksi variabel kualitas air rawa dalam habitat sagu di P. Seram,
Maluku
Kandungan nitrat (NO3) dalam air berkorelasi negatif dengan pH. Hal ini
ditunjukkan dengan sudut tumpul yang dibentuk oleh garis loading plot variabel
tersebut. Korelasi yang bersifat negatif ini mengandung pengertian bahwa dengan
130
meningkatnya pH, maka kandungan nitrat akan berkurang. Pada lahan rawa yang
mengalami genangan cukup lama, biasanya oksigen berkurang dibarengi dengan
peningkatan kemasaman air. Di dalam air nitrat mudah tercuci atau terbawa oleh
aliran perkolasi. Dalam air yang tergenang dimana kondisinya tereduksi, nitrat
biasanya dirubah ke dalam bentuk ammonium (NH4). Perubahan ini antara lain
diduga berperan dalam turunnya kandungan nitrat dalam air rawa di lahan sagu.
Dengan mempertimbangkan eigenvalues sebagai skor komponen utama
(skor PC) faktor kualitas air rawa dan nilai eigenvector terbesar, maka dapat
ditentukan besarnya kontribusi (bobot) relatif masing-masing variabel kualitas air
rawa terhadap habitat sagu. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa jumlah
kontribusi faktor kualitas air rawa terhadap habitat sagu di Pulau Seram sebesar
6,26 % (Tabel 32). Variabel kualitas air rawa yang memiliki kontribusi tertinggi
adalah kalsium, dengan besarnya kontribusi sekitar 1,73 %. Sedangkan variabel
dengan kontribusi paling rendah adalah salinitas sebesar 0,14 %.
Tabel 32. Kontribusi variabel kualitas air rawa terhadap habitat sagu di P. Seram,
Maluku
Variabel Skor PC Eigenvector Kontribusi (%)
pH 3,120 0,516 1,61
Kalium 1,876 0,629 1,18
Kalsium 3,120 0,554 1,73
Magnesium 1,876 0,565 1,10
Nitrat (NO3) 1,876 0,264 0,50
Salinitas 3,120 0,044 0,14
Jumlah 6,26
dimana : HS(F-KAR) = habitat sagu terkait dengan faktor kualitas air rawa
pH = kemasaman air
K = Kalium
Ca = Kalsium
Mg = Magnesium
NO3 = Nitrat
Pada model indeks habitat sagu sebagaimana tersaji dalam pers-31 di atas,
tampak bahwa habitat sagu di P. Seram dalam kaitannya dengan sifat kualitas air
rawa sangat ditentukan oleh variabel kandungan kalsium. Hal ini berarti bahwa
untuk habitat sagu diperlukan kalsium yang memadai. Kalsium merupakan unsur
hara esensial makro, artinya diperlukan oleh tumbuhan dalam jumlah yang relatif
banyak. Kalsium juga merupakan kation basa yang berperan dalam memperbaiki
kemasaman air. Selain itu pertumbuhan sagu ditentukan pula oleh kation dan
anion lain seperti kalsium, magnesium, dan nitrat. Setelah kalsium, variabel
kualitas air rawa yang paling berperan adalah kemasaman air (pH). Kemasaman
air berkaitan dengan ketersediaan unsur hara tertentu seperti phosfor, dan
kelarutan senyawa logam yang dapat memberikan efek buruk terhadap
pertumbuhan sagu. Kualitas air rawa di lahan sagu yang paling kecil perannya
adalah salinitas.
Hasil analisis regresi komponen utama untuk menjelaskan pengaruh
faktor kualitas air rawa terhadap jumlah populasi rumpun dan produksi pati sagu
menunjukkan bahwa kontribusi pengaruh faktor kualitas air rawa terhadap
pertumbuhan dan produksi pati sagu masing-masing sebesar 10,0 % dan 11,0 %
(Lampiran 20). Persamaan regresi komponen utamanya sebagai berikut :
populasi rumpun dan tidak menunjang peningkatan produksi pati sagu, jika
salinitas air meningkat. Rostiwati et al. (2008) mengemukakan bahwa tumbuhan
sagu dapat tumbuh sampai dengan kondisi salinitas air mencapai 10 ppt.
Walaupun tumbuhan sagu memiliki daya adaptasi untuk dapat tumbuh sampai
dengan kondisi salinitas sebagaimana tersebut di atas, namun dengan peningkatan
salinitas tidak memberikan pengaruh yang baik bagi penambahan jumlah populasi
rumpun maupun terhadap produksi pati sagu.
Pengaruh yang bersifat negatif dari salinitas terhadap jumlah populasi
rumpun dikarenakan pada habitat tergenang terdapat garam-garam yang larut
seperti garam kalsium, magnesium, dan mungkin juga natrium terutama pada
habitat air payau. Garam-garam ini diduga menghambat pertumbuhan
percabangan basal (rhyzome) sehingga pembentukan rumpun baru tidak dapat
berlangsung. Artinya pertumbuhan percabangan basal hanya tumbuh disekitar
pohon induk, tumbuh bersama dalam suatu rumpun.
Dalam pertumbuhan sagu, kalium di dalam air memberikan pengaruh yang
bersifat positif terhadap jumlah populasi rumpun sagu. Hal ini berarti bahwa
kalium berperan dalam penambahan jumlah populasi rumpun sagu. Dalam kaitan
ini dimungkinkan karena kalium merupakan unsur hara yang berperan dalam
perkembangan akar (Hardjowigeno 1992). Dalam konteks ini diduga kalium
berperan juga dalam mendorong pemanjangan percabangan basal (rhyzome) sagu.
Dalam ilmu Botani, rhyzome merupakan modifikasi akar yang dapat tumbuh
menjadi individu baru. Rhyzome sagu yang memanjang menjauhi pohon induk
atau rumpun induk, kemudian tumbuh menjadi individu baru yang selanjutnya
membentuk rumpun baru.
Dalam kaitan dengan produksi pati sagu, hasil analisis menunjukkan
bahwa variabel salinitas memberikan pengaruh yang bersifat negatif. Salinitas
sesungguhnya merupakan indikator yang mencirikan kandungan garam-garam
yang terlarut dalam air. Tiga jenis unsur hara yang larut dalam air tersebut yakni,
kalium, kalsium, dan magnesium. Tiga unsur tersebut merupakan kation yang
dibutuhkan tumbuhan dan menentukan tingkat salinitas. Dalam proses serapan,
dapat terjadi kompetisi diantara ketiga kation tersebut karena memiliki kemiripan
sifat. Pada uraian sebelumnya dikemukakan oleh Syekhfani (1997) bahwa
133
terdapat kompetisi dalam penyerapan ion kalium, kalsium, dan magnesium karena
secara kimia memiliki kesamaan sifat. Kalium dan magnesium yang terus
bertambah dapat meningkatkan produksi pati sagu. Hal ini ditunjukkan dengan
pengaruh kedua kation tersebut yang bersifat positif. Pengaruh sebaliknya
ditunjukkan oleh kalsium, artinya dengan semakin bertambah jumlahnya di
dalam air, tidak diikuti dengan peningkatan produksi pati sagu. Hal ini diduga
karena kebutuhan kalsium sagu telah dapat dipenuhi dari dalam tanah. Terkait
dengan fungsi dan peran masing-masing unsur telah dijelaskan pada uraian
sebelumnya.
Di P. Seram Maluku terdapat luas potensi areal tumbuhan sagu lebih kurang
18.239 ha. Pada luas areal tersebut tumbuh dan berkembang sekitar 3,22 juta
rumpun sagu, terdiri dari sagu fase semai 6,14 juta individu, sapihan 1,59
individu, tiang 0,55 juta individu, pohon 1,47 juta individu, pohon masak panen
0,35 juta individu, dan pohon veteran 0,12 juta individu (Tabel 33).
Atas dasar jumlah individu yang dimiliki, maka dapat dikatakan bahwa
spesies M. rumphii Mart. merupakan spesies sagu yang sangat potensil karena
memiliki jumlah individu yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan spesies
134
Mart. dan M. sagu Rottb. Apabila potensi produksi sagu ini ditinjau dari tipe
habitat, maka produksi pati sagu pada tipe lahan kering dan tergenang temporer
air tawar (T2AT) diperoleh produksi pati sagu yang paling tinggi pada semua
jenis sagu, dibandingkan dengan dua tipe habitat yang lain yakni tipe habitat
tergenang temporer air payau (T2AP) dan tergenang permanen (TPN).
Tabel 34. Potensi produksi sagu di P. Seram pada tipe habitat berbeda
Tipe Habitat Rataan
No. Spesies sagu TTG T2AT T2AP TPN
kg/batang
1. M. rumphii 685,50 721,50 479,17 378,00 566,04
2. M. longispinum 324,50 287,11 186,00 183,22 245,21
3. M. sylvestre 726,22 708,00 460,50 348,00 560,68
4. M. sagu - 348,44 - 126,00 237,22
Rataan 578,74 516,26 353,06 258,81 393,13
Keterangan : TTG = lahan kering, T2AT = tergenang temporer air tawar, T2AP = tergenang
temporer air payau, TPN = tergenang permanen. Data yang disajikan berasal dari
data rataan wil. sampel I Luhu SBB, II Sawai MT, dan III Werinama SBT, tahun
2009.
Pada tipe habitat tergenang terjadi cekaman defisit oksigen, dan cekaman
ionik oleh unsur Fe dan Al. Levitt (1980) mengemukakan bahwa defisit oksigen
menyebabkan penyerapan air (water uptake) berkurang karena aerase jelek. Pada
tumbuh-tumbuhan yang tergenang daun-daunnya mengalami klorosis, dan ketika
taraf oksigen berkurang, maka terjadi hambatan dalam proses sintesis
polisakarida. Dalam kaitan dengan produksi pati sagu, dengan berkurangnya
water uptake, maka penyerapan unsur hara ikut terhambat antara lain seperti
nitrogen, magnesium, dan besi. Fenomena inilah yang menyebabkan daun tampak
klorosis, dengan demikian proses fotosintesis terhambat, dampaknya adalah
penimbunan fotosintat dalam bentuk pati sedikit. Selain itu apabila serapan unsur
hara kalium menurun, karena water uptake bekurang maka proses metabolisme
karbohidrat terhambat. Cekaman defisit oksigen karena penggenangan yang
menyebabkan sintesis polisakarida menurun berpengaruh terhadap produksi sagu
adalah dikarenakan produksi sagu tersimpan dalam bentuk pati (polisakarida),
sehingga jika fotosintat tersimpan dalam bentuk karbohidrat sederhana, akan
mudah larut dan terbuang dalam proses pengolahan.
136
dengan pertambahan waktu sehingga menguasai seluruh areal lahan yang sesuai
untuk pertumbuhannya. Sagu merupakan jenis tumbuhan yang memiliki daya
adaptasi yang tinggi sehingga mampu tumbuh dan berkembang pada lahan-lahan
marjinal yaitu lahan dimana jenis tumbuhan atau kebanyakan tanaman
perkebunan tidak dapat bertahan hidup (Suryana 2007).
Secara ekologi wilayah pengamatan yang mempunyai indeks kemiripan
komunitas yang tinggi memberikan indikasi bahwa komposisi spesies yang
menyusun komunitas tersebut relatif memiliki kesamaan. Berdasarkan nilai IS
yang diperoleh diketahui bahwa seluruh wilayah pertumbuhan sagu alami di P.
Seram Maluku memiliki kemiripan komunitas yang tinggi. Hal ini dikarenakan
adanya kesamaan kondisi habitat atau lingkungan pertumbuhan, baik secara fisik,
kimia, maupun interaksi antar spesies yang hidup pada seluruh wilayah penelitian,
sehingga spesies sagu dan vegetasi lain yang tumbuh relatif sama. Akibatnya
tingkat kemiripan komunitas vegetasi di seluruh wilayah penelitian termasuk
dalam kategori tinggi. Barbour et al. (1987) mengemukakan bahwa kondisi
mikrositus yang relatif homogen akan ditempati oleh individu dari jenis yang
sama, karena spesies tersebut secara alami telah mengembangkan mekanisme
adaptasi dan toleransi terhadap habitatnya.
Kemiripan atau kesamaan komunitas vegetasi dalam areal pertumbuhan
sagu di P. Seram ini didorong pula oleh adanya aktivitas masyarakat yang
melakukan penanaman tumbuhan sagu, walaupun secara sporadis sejak masa
lampau berpuluh bahkan beratus tahun yang lalu. Hal ini sejalan dengan pendapat
Loveless (1983 dalam Setiadi 2005) yang mengemukakan bahwa faktor lain
yang menentukan kehadiran suatu spesies tumbuhan atau komunitas tumbuhan
tidak hanya sebagai akibat dari pengaruh faktor fisik dan kimia, tetapi hewan dan
manusia juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan
tumbuhan.
tertentu atau kekayaan jenis (Muhdi 2005). Hasil analisis indeks keanekaragaman
spesies menurut indeks Shannon (H) pada semua fase pertumbuhan di seluruh
wilayah sampel menunjukkan bahwa indeks keanekaragaman spesies termasuk
dalam kategori sangat rendah dengan nilai H berkisar antara 0,61 0,90, kecuali
pada stadia semai dalam wilayah sampel I Luhu-SBB termasuk dalam kategori
rendah dengan nilai H sebesar 1,18 (Tabel 36).
Gambar 32. Zimogram isozim (a) Aspartat Aminotransferase (AAT), (b) Asam
Phosphatase (ACP), dan (c) Peroksidase (PER)
143
Sylvestre Makanaro
Sagu
Rotang
Gambar 33. Jumlah spesies sagu di P. Seram, Maluku menurut Beccari (1918
dalam Flach 1997)
Tabel 37. Jumlah spesies sagu di P. Seram, Maluku menurut beberapa ahli
No. Nama spesies sagu Referensi
1. Metroxylon rumphii Mart.
Hayne (1950 dalam
2. Metroxylon sylvestre Mart. Notohadiprawiro & Louhenapessy
3. Metroxylon longispinum Mart. 1993).
Louhenapessy (1993 & 2006).
4. Metroxylon microcanthum Mart. Bintoro (2008)
5. Metroxylon sagu Rottb. Rostiwati et al. (2008).
145
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan uraian pada bab sebelumnya, maka dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Tumbuhan sagu di P. Seram Maluku terdistribusi secara spasial secara tidak
merata pada seluruh wilayah, membentuk patch atau klaster pada kondisi lahan
datar di dataran rendah, ketinggian 250 m dpl, kemiringan datar-curam,
wilayah dekat pesisir pantai atau berdekatan dengan sungai, pada tanah-tanah
aluvium (endapan) sebagian besar pada jenis tanah Entisols dan Inceptisols,
dengan total luas areal mencapai 18.239,8 ha.
2. Struktur populasi tumbuhan sagu dalam komunitas alami di P. Seram mengikuti
pola pertumbuhan muda, didominasi oleh fase semai dengan tingkat kegagalan
untuk tumbuh ke fase berikutnya sangat tinggi mencapai 76,82 %.
3. Dalam komunitas sagu alami di P. Seram, spesies sagu telah berkembang
mendominasi sebagian besar habitatnya, tumbuh dan berkembang mengarah
kepada kondisi vegetasi yang bersifat stabil. Dalam komunitas tersebut terjadi
asosiasi diantara spesies yang bersifat negatif, baik secara kolektif maupun
antara spesies berpasangan, dengan tingkat asosiasi secara umum rendah (JI <
0,2).
4. Tumbuhan sagu spesies M. rumphii Mart. merupakan spesies yang memiliki
daya adaptasi paling luas (eury tolerance), sedangkan M. microcanthum Mart.
merupakan spesies sagu dengan daya adaptasi sempit (steno tolerance). Tiga
spesies sagu yang lain yaitu M. longispinum Mart., M. sylvestre Mart., dan M.
sagu Rottb. dikategorikkan sebagai spesies sagu yang memiliki daya adaptasi
sedang (meso tolerance).
5. Dalam interaksi antara tumbuhan dengan komponen abiotis, terdapat pengaruh
faktor iklim, tanah, dan kualitas air rawa terhadap jumlah populasi
(pertumbuhan) dan produksi pati sagu. Faktor tanah merupakan komponen
abiotis yang paling bepengaruh terhadap tumbuhan sagu, ditunjukkan melalui
pengaruhnya terhadap produksi pati sagu mencapai 60,9 %. Sedangkan
147
terhadap jumlah populasi rumpun, pengaruh yang paling besar oleh faktor
kualitas air rawa 10,0 %). Parameter iklim, tanah, dan kualitas air rawa yang
paling berpengaruh terhadap tumbuhan sagu masing-masing temperatur dan
kelembaban mikro, bulk density, kemasaman tanah, dan salinitas.
6. M. rumphii Mart. dan M. sylvestre Mart. merupakan spesies sagu yang
memiliki kapasitas produksi tinggi, masing-masing mencapai 566,04 dan
560,68 kg/batang, sedangkan kapasistas produksi spesies M. longispinum Mart.
dan M. sagu Rottb. masing-masing hanya sekitar 245,21 dan 237,22 kg/batang.
7. Tumbuhan sagu yang tumbuh dan berkembang dalam wilayah P. Seram
Maluku menurut spesies biologi hanya terdiri dari dua spesies yaitu 1)
Metroxylon rumphii Mart., dan 2) Metroxylon sagu Rottb. Spesies sagu M.
rumphii Mart. terdiri dari tiga varietas yaitu 1) varietas microcanthum Becc.,
2) varietas sylvestre Becc., dan 3) varietas rotang Becc. Sedangkan spesies M.
sagu Rottb. hanya tediri dari varietas molat. Varietas microcanthum terdiri
dari dua subvarietas, yaitu subvarietas tuni Becc. dan subvarietas makanaro
Becc.
5.2. Saran
DAFTAR PUSTAKA
[BPKH] Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah IX Ambon. 2006. Peta Iklim
Pulau Seram Provinsi Maluku. Badan Planologi Kehutanan, Departemen
Kehutanan Republik Indonesia.
[BPT] Balai Penelitian Tanah Bogor. 2005. Petunjuk teknis analisis kimia tanah,
tanaman, air, dan pupuk. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
Departemen Pertanian.
Barbour GM, Burk JK, Pitts WD. 1987. Terrestrial Plant Ecology. New York :
Benyamin/Cumming Publishing. Inc.
Barlina R, Karouw S. 2003. Potensi pati sagu sebagai bahan baku plastik. Di
dalam : Rahawarin H. Akuba et al., penyunting. Sagu untuk Ketahanan
Pangan, Prosiding Seminar Nasional Sagu; Manado, 6 Okt 2003. Bogor
: Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. hlm 105-110.
Brady NC. 1990. The Nature and Properties of Soils. New York : MacMillian
Publishing Company.
Budianto J. 2003. Teknologi sagu bagi agribisnis dan ketahanan pangan. Di dalam
: Rahawarin H. Akuba et al., penyunting. Sagu untuk Ketahanan Pangan,
Prosiding Seminar Nasional Sagu; Manado, 6 Okt 2003. Bogor : Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. hlm 5-15.
Cox GW. 2002. General Ecology, Laboratory Manual. Eigth edition. New
York : McGraw Hill.
Djufri. 2006. Studi autekologi dan pengaruh invasi akasia (Acasia nilotica)
terhadap eksistensi savana dan strategi penanganannya di taman Nasional
Baluran Banyuwangi Jawa Timur [disertasi]. Bogor : Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Flach M. 1983. The Sago Palm Metroxylon sagu Rottb. Rome : Food and
Agriculture Organization of the United Nation.
Halle F & Oldeman RAA. An Essay the Architerture and Dynamics of Growth of
Tropical Trees. Translated from the Frenc by Benjamin C. Stone, Reader
in Botany, School of Biological Science, University of Malaya. Kuala
Lumpur Malaysia : University Malaya.
Gumbira Said E. 1993. Peluang pemanfaatan pati sagu dengan bioteknologi dan
kajian khusus mengenai pemerkayaan protein bahan berpati dengan
kultivasi media padat. Di dalam : Pemanfaatan dan Pengelolaan Hutan
Sagu dalam Rangka Pengembangan Bagian Timur Wilayah Indoensia
Khususnya Provinsi Maluku. Prosiding Simposium Sagu Nasional;
Ambon, 12-13 Oktober 1992. Ambon : Fakultas Pertanian Universitas
Pattimura. hlm 125-134.
Ishizaki A. 2007. NECFERs new technology for bioethanol from sago log.
Makalah disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Sagu Indonesia.
Batam, 25-26 Juli 2007.
Jong FJ. 2005. An urgen need to expedite the commercialization of the sago
industries. Di dalam : Yan P. Karafir, Foh. S. Jong, and Victor E. Fere,
editor. Sago Palm Development annd Utilization. Proceeding of the eighth
International sago symposium; Jayapura, Aug 4-6, 2005. Manokwari :
Universitas Negeri Papua. hlm 25-34.
152
Levitt J. 1980. Responses of Plant to Environmental Stresses, 2nd. End. New York
: Academic Press.
Ludwig AJ, & Reynolds JF. 1988. Statistical Ecology. A Primer on Methods and
Computing. New York : John Willey & Sons.
153
Marzuki I. 2007. Studi morfo-ekotipe dan karakterisasi minyak atsiri, isozim, dan
DNA pala Banda (Miristica fragrans Houtt) Maluku [disertasi]. Bogor :
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Matanubun H et al. 2005. Feasibility study of the natural sago forest for the
establishment of the commercial sago palm plantation at Kaureh District,
Jayapura, Papua Province Indonesia. Di dalam : Yan P. Karafir, Foh. S.
Jong, and Victor E. Fere, editor. Sago Palm Development annd Utilization.
Proceeding of the eighth International sago symposium; Jayapura, Aug 4-
6, 2005. Manokwari : Universitas Negeri Papua. hlm 79-92.
Muhdi. 2005. Struktur dan Dinamika tegakan Sebelum dan Sesudah Pemanenan
Kayu di Hutan Alam. Medan : Univesritas SumateraUtara. e-USU
Repository.
154
Mulyanto B, Suwardi. 2000. Distribution and characteristic of land the sago palm
(Metroxylon spp) habitat in Indonesia. Di dalam : Bintoro HMH et al.,
editor. Sustainable utilization of sago palm as an alternative source of
food and materials for agroindustry in the third millenium. Proceeding of
the International Sago Seminar; Bogor Indonesia, March 22-23, 2000. hlm
38-44.
Rostiwati T et al. 2008. Sagu (Metroxylon spp) sebagai sumber energi bioetanol
potensial. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan.
[SSSU] Soil Survey Staff USDA. 1999. Keys to Soil Taxonomy. United States
Departement of Agriculture Natural Resources Conservation Services.
Alih Bahasa oleh Tim Alih-Bahasa Kunci Taksonomi Tanah, Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian Departemen
Pertanian RI.
Yuan F, Sayawa KE, Loeffelholz BC, Bauer ME. 2005. Land Cover
Classification and Change Analysis of the Twin Cities (Minnesota)
Metropolitan Area by Multitemporal Landsat Remote Sensing. Pre-print of
paper accepted for publication in Remote Sensing of Environment, August
21, 2005. http://rsl.gis.umn.edu/Documents/TCMA_change_detection_
paper.pdf. [30 Nopember 2007].
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta penggunaan lahan di P. Seram, Maluku
156
Lampiran 2. Peta kesesuaian elevasi habitat sagu di P. Seram, Maluku
157
Lampiran 3. Peta kesesuaian kemiringan habitat sagu di P. Seram, Maluku
158
Lampiran 4. Peta kesesuaian sistem lahan habitat sagu di P. Seram, Maluku
159
Lampiran 5. Peta kesesuaian tanah habitat sagu di P. Seram, Maluku
160
161
.lanjutan
Populasi sagu berdasarkan jumlah pohon masak tebang/ha
Wilayah Sampling
Nama Seram
No. Luhu-SBB Sawai-MT Werinama-SBT
Spesies
Pop/ha % Pop/ha % Pop/ha % Pop/ha %
1 M. rumphii 4,17 33,33 6,38 28,57 8,33 37,20 6,29 33,04
2 M. sylvestre 4,17 33,33 3,72 16,67 3,13 13,95 3,67 21,32
3 M. longisp 1,39 11,11 7,98 35,71 7,81 34,88 5,73 27,23
4 M. microcan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
5 M. sagu 2,78 22,22 4,26 19,05 3,13 13,95 3,39 18,41
Jumlah 12,50 100,00 22,34 100,00 22,40 99,98 19,08 99,99
Populasi sagu berdasarkan jumlah pohon > masak tebang/ha
1 M. rumphii 0,00 0,00 1,06 13,33 1,04 11,77 0,70 8,37
2 M. sylvestre 0,00 0,00 1,06 13,33 0,52 5,89 0,53 6,41
3 M. longisp 0,69 33,39 4,26 53,32 4,69 52,97 3,21 46,56
4 M. microcan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
5 M. sagu 1,39 66,77 1,60 20,00 3,13 35,31 2,04 40,69
Jumlah 2,08 100,00 7,98 99,98 9,38 100,00 6,48 100,00
Keterangan : Pop = populasi; ha = hektar; M.longisp = M. longispinum; M. microcan = M. microcanthum.
163
Lampiran 7. Hasil analisis vegetasi pada tiga wilayah sampel di P. Seram, Maluku
. lanjutan
. lanjutan
.. lanjutan
Lampiran 9. Intensitas sinaran surya rataan harian di bawah tegakan tanaman sagu
di P. Seram, Maluku (lux = lumen/m2)
Lokasi Pengamatan
Wil. Sampel I Luhu Ruang
Bawah Antara Terbuka
Kab. SBB Rataan
Tegakan Tegakan
April
MG 1 142,70 523,60 333,15 1877,20
510,70 1342,50 926,60 1742,30
MG 2 310,00 986,00 648,00 1568,10
215,70 1511,00 863,35 1608,90
MG 3 416,30 1421,10 918,70 2754,10
192,30 642,70 417,50 1689,50
MG 4 105,60 374,80 240,20 1231,20
109,70 261,60 185,65 1765,20
Rataan 250,38 882,91 566,64 1779,56
Mei
MG 1 214,50 453,80 334,15 1211,80
371,80 812,90 592,35 2345,50
MG 2 121,90 523,40 322,65 1054,90
114,10 875,30 494,70 2172,00
MG 3 177,60 761,50 469,55 2116,90
216,20 654,70 435,45 1208,30
MG 4 423,00 1712,80 1067,90 1432,50
225,70 633,20 429,45 1872,90
Rataan 233,10 803,45 518,28 1676,85
Juni
MG 1 122,10 562,00 342,05 1272,00
255,20 762,80 509,00 2642,70
MG 2 123,90 829,10 476,50 1114,70
172,60 774,50 473,55 2118,90
MG 3 182,80 654,30 418,55 1215,20
321,70 931,00 626,35 1521,70
MG 4 236,50 821,70 529,10 2223,60
391,40 981,20 686,30 1021,60
Rataan 225,78 789,58 507,68 1641,30
Juli
MG 1 261,80 875,90 568,85 1197,20
198,40 709,20 453,80 1987,90
MG 2 201,90 989,00 595,45 2011,60
321,70 1209,00 765,35 1018,20
MG 3 231,20 987,90 609,55 2132,30
130,30 531,50 330,90 1210,70
MG 4 114,80 611,70 363,25 1316,90
212,50 806,40 509,45 1986,00
Rataan 204,06 793,24 498,65 1542,22
169
Wil. Sampel II
Sawai Kab. MT
April
MG 1 162,30 567,30 364,80 1922,30
157,00 836,10 496,55 2198,50
MG 2 297,70 1265,90 781,80 2011,60
105,00 587,90 346,45 1701,40
MG 3 189,20 1091,50 640,35 1980,00
250,00 1092,30 671,15 1986,20
MG 4 213,50 897,20 555,35 1311,70
118,90 361,60 240,25 1871,40
Rataan 186,70 837,48 512,09 1872,89
Mei
MG 1 241,10 855,10 548,10 1099,00
298,40 1251,70 775,05 3210,10
MG 2 211,90 623,30 417,60 2114,70
109,30 798,50 453,90 989,30
MG 3 165,40 695,50 430,45 2090,10
192,30 599,00 395,65 1202,90
MG 4 231,20 908,20 569,70 1562,30
205,70 876,30 541,00 1987,00
Rataan 206,91 825,95 516,43 1781,93
Juni
MG 1 321,80 1049,00 685,40 2213,00
198,00 691,20 444,60 1951,00
MG 2 203,00 783,40 493,20 2014,10
144,20 543,50 343,85 988,60
MG 3 190,60 633,40 412,00 2215,00
231,30 1002,30 616,80 2041,00
MG 4 190,20 924,50 557,35 1901,50
115,60 741,10 428,35 981,90
Rataan 199,34 796,05 497,69 1788,26
Juli
MG 1 99,50 876,90 488,20 1098,00
203,10 659,00 431,05 1765,00
MG 2 213,40 1027,00 620,20 2100,00
290,00 901,00 595,50 2912,40
MG 3 219,00 865,70 542,35 1121,00
205,00 832,60 518,80 1311,00
MG 4 90,00 589,60 339,80 1165,00
214,20 911,60 562,90 2006,00
Rataan 181,24 796,23 488,74 1644,47
170
lanjutan
Temperatur rataan dari stasiun Klimatologi Amahai dan Kairatu P. Seram, Maluku (oC)
April Mei Juni Juli
No.
Amahai Kairatu Rata2 Amahai Kairatu Rata2 Amahai Kairatu Rata2 Amahai Kairatu Rata2
1 27,85 24,9 26,38 25,8 24,5 25,15 25,83 26,1 25,96 24,45 24,5 24,48
2 25,83 25,3 25,56 25,58 26 25,79 25,83 25,3 25,56 25,48 25,8 25,64
3 25,63 25,7 25,66 26,5 24,8 25,65 25,25 25,3 25,28 25,08 24,1 24,59
4 26,83 26,4 26,61 26,5 25,9 26,2 26,9 25,2 26,05 25,25 24,4 24,83
5 26,4 26,4 26,4 26,65 25,1 25,88 25,88 24,4 25,14 24,58 24,7 24,64
6 27,15 26,8 26,98 25,73 25,9 25,81 26,35 25,2 25,78 24,15 23,6 23,88
7 26 26,8 26,4 25,63 25,8 25,71 26,78 25,6 26,19 24,58 24,2 24,39
8 26,8 26,7 26,75 26,2 25,6 25,9 26,35 25,2 25,78 23,53 23,8 23,66
9 27,2 26,8 27 25,8 26,4 26,1 25,18 26,8 25,99 24,6 25,3 24,95
10 25,93 25,7 25,81 26,75 26,3 26,53 25,53 26,3 25,91 25,2 24,9 25,05
11 27,48 26,6 27,04 26,03 25,7 25,86 26,13 24,5 25,31 25,53 25 25,26
12 27,4 26,4 26,9 26,35 25,4 25,88 26,45 24 25,23 24 25,3 24,65
13 27,25 26 26,63 26,88 24,9 25,89 26,1 24,3 25,2 24,7 25,5 25,1
14 27,03 25,8 26,41 25,83 26,1 25,96 26,75 24,3 25,53 25,93 24,3 25,11
15 26,98 25,3 26,14 26,18 26,1 26,14 26,1 25,3 25,7 25,33 24 24,66
16 26,65 25,8 26,23 26,7 26,2 26,45 26,5 25,6 26,05 25,78 24 24,89
17 27,35 26,7 27,03 26,35 26,2 26,28 25,65 24,9 25,28 25,3 24,1 24,7
18 26,78 25 25,89 26,55 26,3 26,43 25,5 25 25,25 25,15 24,6 24,88
19 20,83 26 23,41 26,43 26,1 26,26 26,1 25,9 26 26 25,1 25,55
20 27,65 26,8 27,23 26,38 26,2 26,29 26,4 24,7 25,55 25,43 25 25,21
21 26,4 26,9 26,65 26,93 24,5 25,71 27 25,7 26,35 24,95 24,9 24,93
22 26,15 26,7 26,43 24,83 25 24,91 27,2 24,1 25,65 25,23 24,4 24,81
23 25,48 25,9 25,69 26,5 25,7 26,1 26,2 24,9 25,55 25,3 24,4 24,85
24 25,15 25,9 25,53 26,23 26,2 26,21 26,53 24,8 25,66 25,1 23,5 24,3
25 25,53 25 25,26 26,15 25 25,58 26,65 24,8 25,73 24,38 23,4 23,89
26 25,65 25,3 25,48 26,65 25,9 26,28 26,2 24,4 25,3 26,08 23,9 24,99
27 25,85 25,6 25,73 25,75 25,6 25,68 25,13 25,7 25,41 23,95 25,2 24,58
28 26,2 25,6 25,9 25,7 25,9 25,8 24,8 25,5 25,15 25,38 23,6 24,49
29 25,48 26,2 25,84 26,28 25,9 26,09 24,25 26 25,13 23,35 25,6 24,48
30 26,33 26,1 26,21 26,8 25,6 26,2 25,33 25,9 25,61 24,75 24 24,38
31 26,63 25,6 26,11 24,85 23,9 24,38
Jlh 789,18 780,3 784,74 813,2 793,2 803,2 780,8 755,3 768,05 773,3 758,8 766,05
Rata 26,31 26 26,15 26,23 25,6 25,92 26,03 25,2 25,61 24,95 24,4 24,67
173
Lampiran 11. Curah hujan bulanan di Stasiun Klimatologi Kairatu Kab. SBB dan
Amahai Kab. MT P. Seram, Maluku
Stasiun Kairatu
Tahun
Bulan Rataan
2006 2007 2008
Jan 229,40 129,17 158,72 172,43
Peb 110,39 290,00 208,80 203,06
Maret 119,66 188,38 241,80 183,28
April 108,00 265,50 273,30 215,60
Mei 223,41 316,20 816,33 451,98
Juni 531,00 368,40 668,28 522,56
Juli 317,54 136,00 1095,33 516,29
Ags 299,77 244,90 273,67 272,78
Sep 201,80 365,77 183,60 250,39
Okt 41,85 345,89 183,79 190,51
Nop 81,10 142,94 216,30 146,78
Des 68,20 245,30 333,25 215,58
Rataan 194,34 253,21 387,76 278,44
Stasiun Amahai
Tahun
Bulan Rataan
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008
Jan 217,80 142,70 76,60 67,80 79,20 61,20 121,10 94,20 77,60 106,32
Peb 178,50 127,80 24,50 90,20 99,30 101,30 114,20 53,60 141,80 112,32
Maret 179,60 94,60 168,90 93,30 107,60 98,70 115,80 159,20 107,20 128,49
April 155,80 413,20 72,60 168,30 341,80 214,70 108,00 266,00 296,30 234,97
Mei 327,50 327,50 209,90 92,50 165,80 158,80 216,20 191,00 514,60 293,78
Juni 704,40 574,60 121,30 89,20 337,20 253,60 1130,90 499,30 454,90 460,16
Juli 570,80 229,10 53,50 692,50 226,90 571,60 307,30 287,60 882,10 438,19
Ags 354,40 46,90 28,20 152,00 24,30 104,40 50,10 384,60 1411,50 293,52
Sep 522,40 195,10 132,20 79,80 352,10 62,10 201,80 330,00 345,80 262,92
Okt 360,90 96,20 24,40 59,70 49,60 301,50 40,50 57,80 181,70 153,32
Nop 127,20 248,80 25,70 62,20 91,70 134,10 81,10 36,60 126,80 105,71
Des 72,90 194,80 187,30 102,90 131,90 221,90 66,00 56,10 148,50 132,69
Rataan 314,35 224,28 93,76 145,87 167,28 190,33 212,75 201,33 390,73 226,87
174
Lampiran 12. Kelembaban udara relatif rataan harian di bawah tegakan tumbuhan
sagu di P. Seram, Maluku (%)
lanjutan
Kelembaban rataan dari stasiun Klimatologi Amahai dan Kairatu P. Seram, Maluku (%)
April Mei Juni Juli
No.
Amahai Kairatu Rata2 Amahai Kairatu Rata2 Amahai Kairatu Rata2 Amahai Kairatu Rata2
1 81,75 80,00 80,88 90,00 88,00 89,00 90,25 89,00 89,63 85,50 93,00 89,25
2 89,75 87,00 88,38 89,00 85,00 87,00 91,75 92,00 91,88 84,50 89,00 86,75
3 91,75 83,00 87,38 89,00 85,00 87,00 92,25 92,00 92,13 88,50 89,00 88,75
4 83,25 82,00 82,63 89,00 85,00 87,00 84,00 93,00 88,50 88,00 93,00 90,50
5 86,50 83,00 84,75 88,00 89,00 88,50 88,00 93,00 90,50 84,00 90,00 87,00
6 83,25 86,00 84,63 90,00 87,00 88,50 87,75 92,00 89,88 90,00 95,00 92,50
7 86,25 86,00 86,13 87,00 90,00 88,50 86,00 93,00 89,50 89,00 92,00 90,50
8 82,75 87,00 84,88 87,00 91,00 89,00 91,00 92,00 91,50 90,00 95,00 92,50
9 83,75 86,00 84,88 90,00 92,00 91,00 96,00 89,00 92,50 91,25 91,00 91,13
10 81,75 85,00 83,38 87,00 91,00 89,00 90,75 90,00 90,38 90,50 93,00 91,75
11 84,50 94,00 89,25 85,00 86,00 85,50 88,00 89,00 88,50 90,00 93,00 91,50
12 84,00 92,00 88,00 86,00 90,00 88,00 90,00 91,00 90,50 95,50 90,00 92,75
13 84,00 91,00 87,50 86,00 91,00 88,50 89,50 94,00 91,75 94,00 95,00 94,50
14 86,25 90,50 88,38 86,00 89,00 87,50 89,00 91,00 90,00 94,50 92,00 93,25
15 88,25 91,00 89,63 89,00 90,00 89,50 92,00 88,00 90,00 92,50 93,00 92,75
16 86,25 92,00 89,13 88,00 89,00 88,50 91,50 89,00 90,25 90,00 90,00 90,00
17 84,25 90,00 87,13 90,00 97,00 93,50 92,50 92,00 92,25 93,00 90,00 91,50
18 86,00 84,00 85,00 87,00 90,00 88,50 90,25 92,00 91,13 93,00 92,00 92,50
19 83,00 87,00 85,00 86,00 91,00 88,50 89,00 86,00 87,50 92,00 91,00 91,50
20 83,00 83,50 83,25 88,00 90,00 89,00 87,00 90,00 88,50 92,00 92,00 92,00
21 87,00 86,00 86,50 90,00 86,00 88,00 91,00 89,00 90,00 91,00 91,00 91,00
22 90,00 85,00 87,50 89,00 89,00 89,00 88,00 91,00 89,50 90,00 91,00 90,50
23 91,00 85,00 88,00 88,00 88,00 88,00 88,50 91,00 89,75 91,00 92,00 91,50
24 90,00 85,50 87,75 89,00 87,00 88,00 90,00 88,00 89,00 90,25 90,00 90,13
25 94,00 85,00 89,50 86,00 86,00 86,00 84,25 89,00 86,63 94,50 91,50 93,00
26 90,00 84,50 87,25 86,50 91,00 88,75 92,75 89,00 90,88 89,00 90,25 89,63
27 89,00 89,00 89,00 90,00 89,00 89,50 96,50 88,00 92,25 92,00 89,00 90,50
28 87,00 87,00 87,00 88,00 86,50 87,25 97,25 89,00 93,13 91,00 90,00 90,50
29 88,75 87,00 87,88 87,00 87,25 87,13 95,25 89,00 92,13 90,00 89,50 89,75
30 85,00 86,00 85,50 88,00 86,00 87,00 92,00 90,00 91,00 92,00 90,00 91,00
Jlh 2623,75 2547,00 2585,40 2771,50 2622,00 2738,38 2687,30 2733,00 2710,10 2736,50 2837,00 2786,75
Rata2 86,40 86,67 86,53 88,00 88,67 88,33 90,40 90,33 90,37 90,60 91,33 90,96
Lampiran 13. Sifat kimia tanah dalam habitat tumbuhan sagu di P. seram, Maluku
N-
Nama Kedalaman C-Org* KTK***
pH (1:5) Total** C/N P K Ca Mg Fe Al
Lokasi (cm)
H2O KCl % cmol/kg Total (NHO3 + HClO4) (%)
WS I (Luhu)
TTG 0-30 5,80 4,35 3,92 0,370 13,00 21,89 0,077 1,015 0,765 0,645 2,570 4,365
30-60 5,20 3,85 2,02 0,160 12,50 20,83 0,087 0,835 0,535 0,550 4,020 4,210
T2AT 0-30 5,40 3,85 5,74 0,420 30,33 38,14 0,096 0,950 0,500 0,615 1,355 4,045
30-60 5,00 4,20 2,89 0,230 29,96 30,45 0,092 1,050 0,460 0,540 4,490 4,840
T2AP 0-30 5,50 4,20 3,42 0,380 30,00 35,47 0,059 0,920 0,555 0,490 0,900 1,360
30-60 5,70 4,45 1,72 0,330 14,00 27,16 0,093 0,690 0,535 0,495 1,315 2,805
TPN 0-30 4,60 4,30 7,52 0,280 27,00 32,83 0,059 0,840 0,710 0,590 2,480 3,005
30-60 4,50 4,10 3,36 0,340 23,50 27,47 0,031 0,685 0,545 0,380 0,905 2,885
Rataan 0-30 5,33 4,18 5,15 0,363 25,08 32,08 0,073 0,931 0,633 0,585 1,826 3,194
30-60 5,10 4,15 2,496 0,265 19,990 26,475 0,076 0,815 0,519 0,491 2,683 3,685
Rataan Umum 5,21 4,16 3,823 0,314 22,536 29,278 0,074 0,873 0,576 0,538 2,254 3,439
WS II (Sawai)
TTG 0-30 5,60 5,40 1,35 0,110 12,00 9,53 0,023 0,630 0,155 0,385 4,375 5,910
30-60 5,40 5,30 1,82 0,150 12,50 10,39 0,032 0,555 0,210 0,460 6,890 5,900
T2AT 0-30 4,80 4,70 5,13 0,220 23,32 22,09 0,166 0,425 0,465 0,490 5,720 6,550
30-60 4,50 4,40 1,98 0,160 12,38 18,47 0,074 0,580 0,525 0,685 5,105 6,710
T2AP 0-30 5,20 4,85 0,73 0,070 10,00 2,47 0,004 0,270 0,040 0,210 2,225 5,475
30-60 4,80 4,20 1,78 0,140 12,50 7,27 0,011 0,545 0,115 0,300 2,010 5,950
TPN 0-30 4,80 4,20 8,15 0,380 21,00 30,04 0,045 0,410 0,540 0,355 3,145 7,705
176
30-60 4,70 4,10 2,20 0,180 12,00 8,11 0,020 0,495 0,150 0,225 2,070 5,405
Rataan 0-30 5,10 4,79 3,84 0,195 16,58 16,03 0,060 0,434 0,300 0,360 3,866 6,410
30-60 4,85 4,50 1,94 0,158 12,35 11,06 0,034 0,544 0,250 0,418 4,019 5,991
Rataan Umum 4,98 4,64 2,89 0,176 14,46 13,55 0,047 0,489 0,275 0,389 3,943 6,201
WS III (Werinama)
TTG 0-30 5,50 4,25 1,59 0,130 12,50 11,56 0,025 0,675 0,145 0,365 2,350 3,675
30-60 5,30 4,30 0,89 0,070 12,50 11,63 0,020 0,765 0,125 0,415 2,680 4,270
T2AT 0-30 4,50 4,20 1,53 0,130 11,50 14,85 0,026 0,815 0,145 0,425 2,865 5,475
30-60 3,90 3,80 0,51 0,040 13,00 15,55 0,012 0,980 0,015 0,510 3,760 6,780
TPN 0-30 4,60 4,50 1,18 0,100 12,00 17,21 0,033 0,905 0,330 0,490 3,105 5,670
30-60 4,40 4,20 0,84 0,065 13,00 20,12 0,025 0,730 0,285 0,560 3,435 6,170
Rataan 0-30 4,87 4,32 1,430 0,120 12,000 14,537 0,028 0,798 0,207 0,427 2,773 4,940
30-60 4,53 4,10 0,742 0,058 12,833 15,763 0,019 0,825 0,142 0,495 3,292 5,740
Rataan Umum 4,70 4,21 1,086 0,089 12,417 15,150 0,023 0,812 0,174 0,461 3,033 5,340
177
178
Lampiran 14. Sifat fisika tanah dalam habitat sagu di P. seram, Maluku
Lampiran 15. Sifat kualitas air rawa dalam habitat sagu di P. Seram, Maluku
Lampiran 16. Spesies tumbuhan dalam komunitas sagu alami di P. Seram, Maluku
No. Spesies Famili
1. Metroxylon rumphii Mart. 1. Arecaceae (palmae)
2. M. longispinum Mart. Arecaceae (palmae)
3. M. sylvestre Mart. Arecaceae (palmae
4. M. microcanthum Mart. Arecaceae (palmae)
5. M. sagu Rottb. Arecaceae (palmae)
6. Cocos nucifera (L) Arecaceae (Palmae)
7. Oncosperma tigilarium (Jack) Ridl. Arecaceae (Palmae)
8. Calamus ornatus Bl. Arecaceae (Palmae)
9. Ptycocus paradoxus (Scheff) Becc Arecaceae (Palmae)
10. Durio zibethinus Murr. 2. Bombacaceae
11. Gmelina moluccana 3. Verbenaceae
12. Pandanus furcatus Roxb. 4. Pandanaceae
13. Pandanus scandens (St. John ex Stone) Pandanaceae
14. Theobroma cacao (L) 5. Sterculiaceae
15. Inocarpus fagifera (Park) Fosb. 6. Papilionaceae
16. Aneilema nudiflorum R. Br. Papilionaceae
17. Pterocarpus indicus Willd. Papilionaceae
18. Leea guinensis G. Don 7. Leeaceae
19. Leea aculeata Blume Leeaceae
20. Musa paradisiaca (L) 8. Mussaceae
21. Homalomena rubra Hassk. 9. Araceae
22. Nephrolepis exaltata Schott. 10. Lomariopsidaceae
23. Commelina benghalensis (L) 11. Commelinaceae
24. Ichanthus vicinus (Bailey) Merr. 12. Poaceae
25. Corex cruciata (Vahl.) 13. Cyperaceae
26. Fordia cf.Gibbsiae Dunn & E.G.Baker 14. Fabaceae
27. Clidemia hirta (D.Don.) 15. Melastomaceae
28. Cordylene terminalis Kunth. 16. Asteliaceae
29. Cyrtandra hellwingii Warb. 17. Gesneriaceae
30. Donax cannaeformis (G. Fors) K. Sch. 18. Marantaceae
31. Stenoclaea palutris 19. Blechnaceae
32. Pometia ridleyi King 20. Sapindaceae
33. Terminalia catappa (L) 21. Combretaceae
34. Kamiha eugenia 22. Myrtaceae
35. Bergea capensis (L) 23. Elatinaceae
36. Limnocharis flava (L) Buch 24. Butomaceae
37. Octomeles sumatrana Miq. 25. Daticaceae
38. Myristica fragrans (Houtt) 26. Myristicaceae
39. Langsium domesticum 27. Meliaceae
40. Selaginella ciliaris Spring 28. Selaginellaceae
41. Piper betle (L) 29. Piperaceae
42. Amischotolype marginata (Blume) Hassk. 30. Commelinaceae
Keterangan : 42 spesies; 36 genus; 30 famili.
181
Lampiran 17. Hasil uji chi-square untuk pengujian asosiasi interspesifik spesies
berpasangan penyusun utama (INP 10 %)
Spesies A : M. Rumphii Mart.
Tipe Tingkat
No. Spesies B X2 a E(a)
Asosiasi Asosiasi
1. M. longispinum Mart. 6,53* 40 44,92 Negatif 0,43
2. M. sylvestre Mart. 5,12* 35 35,11 Negatif 0,47
3. M. sagu Rottb. 16,74* 13 17,91 Negatif 0,16
4. Pandanus furcatus Roxb. 6,76* 5 7,15 Negatif 0,06
5. Theobroma cacao L. 0,22tn 4 3,80 Negatif 0,05
6. Inocarpus fagifera (Park) Fosb. 0,05tn 2 1,95 Negatif 0,03
7. Leea guinensis G. Don 0,35tn 5 4,69 Negatif 0,67
8. Musa paradisiaca L. 0,05tn 2 1,95 Negatif 0,03
9. Homalomena rubra Hassk. 9,28* 9 13,09 Negatif 0,15
10. Nephrolepis exaltata Schott. 21,03* 4 6,98 Negatif 0,05
11. Cordylene terminalis Kunth. 3,36tn 1 1,79 Negatif 0,01
12. Selaginella ciliaris Spring 0,37tn 3 2,68 Negatif 0,04
13. Pometia ridleyi King 1,43tn 2 2,68 Negatif 0,04
14. Terminalia catappa L. 0,37tn 3 2,68 Positif 0,04
15. Kamiha eugenia 0,16tn 5 5,30 Negatif 0,07
16. Limnocharis flava (L) Buch. 3,36tn 1 1,79 Negatif 0,01
17. Oncosperma tigilarium (Jack) Ridl. 0,24tn 2 1,79 Positif 0,03
18. Myristica fragrans (Houtt) 0,24tn 2 1,79 Positif 0,03
19. Calamus ornatus Bl. 3,36tn 1 1,79 Negatif 0,01
Spesies A : M. Longispinum Mart.
No. Spesies B
1. M. sylvestre Mart. 20,73* 11 21,36 Negatif 0,15
2. M. sagu Rottb. 5,69* 13 16,95 Negatif 0,20
3. Pandanus furcatus Roxb. 0,21tn 5 4,38 Positif 0,10
4. Theobroma cacao L. 2,57tn 1 2,73 Negatif 0,02
5. Inocarpus fagifera (Park) Fosb. 2,55tn 0 1,11 Negatif 0,00
6. Leea guinensis G. Don 0,06tn 3 2,74 Positif 0,06
7. Musa paradisiaca L. 2,42tn 0 1,08 Negatif 0,00
8. Homalomena rubra Hassk. 4,35* 4 6,57 Negatif 0,08
9. Nephrolepis exaltata Schott. 4,76* 2 4,60 Negatif 0,04
10. Cordylene terminalis Kunth. 0,01tn 1 1,08 Negatif 0,02
11. Selaginella ciliaris Spring. 0,58tn 1 1,64 Negatif 0,02
12. Pometia ridleyi King. 0,22tn 2 1,60 Positif 0,04
13. Terminalia catappa L. 2,57tn 3 1,64 Positif 0,07
14. Kamiha eugenia 0,03tn 3 3,21 Negatif 0,06
15. Limnocharis flava (L) Buch. 1,74tn 2 1,08 Positif 0,04
16. Oncosperma tigilarium (Jack) Ridl. 0,02tn 1 1,20 Negatif 0,02
17. Myristica fragrans (Houtt) 0,01tn 1 1,08 Negatif 0,02
19. Calamus ornatus Bl. 0,01tn 1 1,08 Negatif 0,02
182
lanjutan
Spesies A : M. sylvestre Mart.
No. Spesies B
1. M. microcanthum Mart. 0,24tn 1 1,41 Negatif 0,02
2. M. sagu Rottb. 5,31* 7 11,30 Negatif 0,14
3. Pandanus furcatus Roxb. 1,47tn 2 3,63 Negatif 0,04
4. Theobroma cacao L. 1,24 4 2,69 Positif 0,10
5. Inocarpus fagifera (Park) Fosb. 0,01tn 1 0,91 Positif 0,03
6. Leea guinensis G. Don 0,46tn 3 2,27 Negatif 0,07
7. Musa paradisiaca L. 0,01tn 1 0,93 Positif 0,03
8. Homalomena rubra Hassk. 4,45* 2 4,75 Negatif 0,04
9. Nephrolepis exaltata Schott. 4,96* 2 5,43 Negatif 0,04
10. Cordylene terminalis Kunth 0,01tn 1 0,93 Positif 0,03
11. Selaginella ciliaris Spring 0,51tn 2 1,39 Positif 0,05
12. Pometia ridleyi King 0,20tn 1 1,38 Negatif 0,02
13. Terminalia catappa L. 0,20tn 1 1,38 Negatif 0,02
14. Kamiha eugenia 0,04tn 3 2,75 Positif 0,07
15. Limnocharis flava (L) Buch. 2,36tn 2 0,93 Positif 0,05
16. Oncosperma tigilarium (Jack) Ridl. 1,78tn 0 0,93 Negatif 0,00
17. Myristica fragrans (Houtt) 1,78tn 0 0,93 Negatif 0,00
18. Calamus ornatus Bl. 1,78tn 0 0,93 Negatif 0,00
Spesies A : M. sagu Rottb.
No. Spesies B
1 Pandanus furcatus Roxb. 4,56* 3 6,14 Negatif 0,10
2 Theobroma cacao L. 1,29tn 0 0,94 Negatif 0,00
3 Inocarpus fagifera (Park) Fosb. 0,64tn 0 0,48 Negatif 0,00
4 Leea guinensis G. Don 0,64tn 0 0,48 Negatif 0,00
5 Musa paradisiaca L. 0,63tn 0 0,47 Negatif 0,00
6 Homalomena rubra Hassk. 3,54* 2 4,06 Negatif 0,04
7 Nephrolepis exaltata Schott. 4,48* 1 3,19 Negatif 0,02
8 Cordylene terminalis Kunth. 0,78tn 1 0,48 Positif 0,05
9. Selaginella ciliaris Spring 0,97tn 0 0,71 Negatif 0,00
10 Pometia ridleyi King 0,96tn 0 0,71 Negatif 0,00
11 Terminalia catappa L. 0,96tn 0 0,71 Negatif 0,00
12 Kamiha eugenia 2,16tn 0 1,50 Negatif 0,00
13 Limnocharis flava (L) Buch. 0,57tn 0 0,44 Negatif 0,00
14 Oncosperma tigilarium (Jack) Ridl. 0,75tn 1 0,48 Positif 0,05
15 Myristica fragrans (Houtt) 0,64tn 0 0,48 Negatif 0,00
16 Calamus ornatus Bl. 0,75tn 1 0,48 Positif 0,05
Keterangan : * tingkat signifikansi 5 % ( = 0,05); df = 1; X2tabel = 3,84. Tipe asosiasi : a > E(a)
positif, a < E(a) negatif. Tingkat asosiasi berdasarkan Jaccard Index (JI): JI = 0
berarti tidak terdapat asosiasi antara 2 spesies; JI = 1 berarti asosiasi antara 2
spesies maksimum.
183
Statistik uji dalam analisis komponen utama sebagai acuan dalam melakukan
reduksi data (variabel) sifat iklim
Anti-image Matrices
T_mikro RH_mikro Sry_mikro Sry_lokal CH
Anti-image T_mikro ,945 ,038 -,026 ,005 ,204
Covariance RH_mikro ,038 ,900 ,068 ,210 -,108
Sry_mikro -,026 ,068 ,873 -,265 ,063
Sry_lokal ,005 ,210 -,265 ,828 -,093
CH ,204 -,108 ,063 -,093 ,926
Anti-image T_mikro ,543(a) ,041 -,029 ,006 ,218
Correlation RH_mikro ,041 ,605(a) ,077 ,244 -,119
Sry_mikro -,029 ,077 ,581(a) -,312 ,070
Sry_lokal ,006 ,244 -,312 ,534(a) -,106
CH ,218 -,119 ,070 -,106 ,500(a)
a Measures of Sampling Adequacy(MSA)
Eigenvector
Variable PC1 PC2 PC3 PC4 PC5
T_mikro 0,351 -0,544 -0,064 -0,184 -0,737
RH_mikro -0,090 0,663 0,462 0,035 -0,581
Sry_lokal 0,406 0,494 -0,586 -0,498 0,005
Sry_mikro 0,598 -0,050 0,647 -0,319 0,346
CH -0,588 -0,136 0,145 -0,784 0,004
Selain output di atas, dihasilkan juga loading plot interaksi diantara variabel
iklim. Hasil analisis di atas (eigenvalue dan eigenvector) kemudian dipergunakan
untuk menghitung besarnya kontribusi masing-masing variabel iklim dan
kontribusi totalnya terhadap pertumbuhan sagu.
Pengaruh faktor iklim terhadap jumlah rumpun dan produksi pati sagu dihitung
dengan menggunakan analisis regresi komponen utama. Dalam analisis ini semua
variabel bebas dikonversi ke dalam variabel baku Z. Proses analisis persamaan
regresi komponen utama sebagai berikut :
184
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 2 23,110 11,555 5,96 0,003
Residual Error 128 248,172 1,939
Total 130 271,282
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 2 172597 86298 4,62 0,012
Residual Error 128 2392472 18691
Total 130 2565069
Statistik uji dalam analisis komponen utama sebagai acuan dalam melakukan
reduksi data (variabel) sifat tanah
Anti-image Matrices
Eigenvector
Variable PC1 PC2 PC3 PC4 PC5
pH (KCl) 0,416 0,187 -0,156 -0,032 -0,674
C_organik 0,348 0,363 -0,193 -0,427 0,027
KTK 0,494 0,098 -0,023 0,170 -0,121
Kalium 0,305 -0,421 -0,156 0,473 -0,078
Kalsium 0,425 0,163 0,142 -0,221 0,618
Magnesium 0,348 -0,100 -0,546 0,156 0,135
Fe -0,142 0,192 0,694 -0,222 -0,318
BD 0,031 -0,532 0,171 -0,640 -0,150
Liat 0,213 -0,539 -0,290 -0,179 0,021
Selain output di atas, dihasilkan juga loading plot interaksi diantara variabel
tanah. Hasil analisis di atas (eigenvalue dan eigenvector) kemudian dipergunakan
untuk menghitung besarnya kontribusi masing-masing variabel tanah dan
kontribusi totalnya terhadap pertumbuhan sagu.
Pengaruh faktor tanah terhadap jumlah rumpun dan produksi pati sagu dihitung
dengan menggunakan analisis regresi komponen utama. Dalam analisis ini semua
variabel bebas dikonversi ke dalam variabel baku Z. Khusus pengaruh faktor
tanah terhadap jumlah rumpun sagu, apabila memasukan seluruh variabel tanah,
maka tidak terdapat pengaruh yang signifikan (R-Sq = 0,0%). Oleh karena itu
dilakukan reduksi data (variabel) dengan menggunakan melalui metode stapewise.
Kemudian dilanjutkan dengan analisis regresi komponen utama. Proses analisis
regresi komponen utama sebagai berikut :
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 2 15,762 7,881 3,95 0,022
Residual Error 128 255,521 1,996
Total 130 271,282
188
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 3 1584961 528320 68,46 0,000
Residual Error 127 980108 7717
Total 130 2565069
189
Y2 Koef1 PC1 Koef2 PC2 Koef3 PC3 Koef1*PC1 Koef2*PC2 Koef3*PC3 Jumlah
Z1 23,00 0,416 36,50 0,187 -64,70 -0,156 9,568 6,826 10,093 26,487
Z2 23,00 0,348 36,50 0,363 -64,70 -0,193 8,004 13,250 12,487 33,741
Z3 23,00 0,494 36,50 0,098 -64,70 -0,023 11,362 3,577 1,488 16,427
Z4 23,00 0,305 36,50 -0,421 -64,70 -0,156 7,015 -15,367 10,093 1,742
Z5 23,00 0,425 36,50 0,163 -64,70 0,142 9,775 5,950 -9,187 6,537
Z6 23,00 0,348 36,50 -0,100 -64,70 -0,546 8,004 -3,650 35,326 39,680
Z7 23,00 -0,142 36,50 0,192 -64,70 0,694 -3,266 7,008 -44,902 -41,160
Z8 23,00 0,031 36,50 -0,532 -64,70 0,171 0,713 -19,418 -11,064 -29,769
Z9 23,00 0,213 36,50 -0,290 -64,70 -0,29 4,899 -10,585 18,763 13,077
Y2 = 602 + 26, 487Z1 + 33,7441Z2 + 16,427Z3 + 1,742Z4 + 6,537Z5 + 39,680Z6 - 41,160Z7 - 29,769Z8
+ 13,077Z9
Anti-image Matrices
pH K Ca Mg NO3 Salinitas
Anti-image pH ,702 ,006 -,003 ,002 ,007 -,023
Covariance K ,006 ,637 -,007 -,025 ,020 -,051
Ca -,003 -,007 ,804 -,004 -,008 ,027
Mg ,002 -,025 -,004 ,743 -,002 -,011
NO3 ,007 ,020 -,008 -,002 ,621 -,068
Salinitas -,023 -,051 ,027 -,011 -,068 ,511
Anti-image pH ,520(a) ,628 -,974 ,158 ,912 -,644
Correlation K ,628 ,585(a) -,518 -,632 ,697 -,368
Ca -,974 -,518 ,668(a) -,309 -,801 ,588
Mg ,158 -,632 -,309 ,609(a) -,075 -,071
NO3 ,912 ,697 -,801 -,075 ,618(a) -,649
Salinitas -,644 -,368 ,588 -,071 -,649 ,507(a)
a Measures of Sampling Adequacy(MSA)
Eigenvector
Variable PC1 PC2 PC3 PC4 PC5
pH 0,516 -0,290 0,081 -0,203 -0,098
Kalium 0,255 0,629 -0,192 0,410 -0,566
Kalsium 0,554 -0,091 0,021 -0,486 -0,336
Magnesium 0,332 0,565 -0,217 -0,248 0,679
NO3 -0,499 0,264 -0,218 -0,694 -0,310
Salinitas 0,044 -0,352 -0,928 0,107 0,015
Selain output di atas, dihasilkan juga loading plot interaksi diantara variabel
kualitas air rawa. Hasil analisis di atas (eigenvalue dan eigenvector) kemudian
dipergunakan untuk menghitung besarnya kontribusi masing-masing variabel
kualitas air rawa dan kontribusi totalnya terhadap pertumbuhan sagu.
Pengaruh faktor kualitas air rawa terhadap jumlah rumpun dan produksi pati sagu
dihitung dengan menggunakan analisis regresi komponen utama. Dalam analisis
ini semua variabel bebas dikonversi ke dalam variabel baku Z. Proses analisis
persamaan regresi komponen utama sebagai berikut :
191
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 2 18,141 9,071 5,62 0,005
Residual Error 81 130,847 1,615
Total 83 48,988
Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 2 262092 131046 6,13 0,003
Residual Error 81 1732583 21390
Total 83 1994674