Professional Documents
Culture Documents
Essay
Essay
Indonesia saat ini menghadapi suatu paradoks pelik yang menuntut jawaban dari
para pimpinan nasional. Setelah 16 tahun melaksanakan reformasi, kenapa masyarakat
kita bertambah resah dan bukannya tambah bahagia, atau dalam istilah anak muda
sekarang, semakin galau.
Kita melihat dan merasakan kegalauan masyarakat seperti yang dapat kita
saksikan melalui protes di jalan-jalan di kota besar dan kecil, dan juga di ruang publik
lainnya, termasuk media massa dan media sosial. Pimpinan nasional dan pemikir di
Indonesia bingung menjelaskan fenomena bagaimana keresahan dan kemarahan
masyarakat justru merebak sementara oleh dunia, Indonesia dijadikan model
keberhasilan reformasi yang menghantarkan kebebasan politik serta demokrasi bersama
pembangunan ekonomi bagi masyarakatnya.
Namun di saat yang sama, sejumlah tradisi atau budaya yang tumbuh subur dan
berkembang di alam represeif Orde Baru masih berlangsung sampai sekarang, mulai dari
korupsi, intoleransi terhadap perbedaan dan sifat kerakusan, sampai sifat ingin menang
sendiri, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah,
pelecehan hukum dan sifat oportunis. Kesemuanya ini masih berlangsung, dan beberapa
di antaranya bahkan semakin merajalela, di alam Indonesia yang katanya lebih reformis.
Jelas reformasi, yang hanya menyentuh faktor kelembagaan negara, tidak akan
cukup untuk menghantarkan Indonesia ke arah cita-cita bangsa seperti yang
diproklamirkan oleh para pendiri bangsa. Apabila kita gagal melakukan perubahan,
memberantas praktek korupsi, intoleransi, kerakusan, keinginan cepat kaya, pelecehan
hukum dan oportunis, semua keberhasilan reformasi ini segera lenyap bersama
kehancuran bangsa.
Kita juga memerlukan birokrasi yang bersih, handal dan kapabel, yang benar-
benar bekerja melayani kepentingan rakyat dan mendukung pekerjaan pemerintah yang
terpilih. Demikian juga dengan penegakkan hukum, yang penting demi menegakkan
wibawa pemerintah dan negara menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan
hukum.
Pilar ketiga Trisakti adalah membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia.
Sifat ke-Indonesia-an semakin pudar karena derasnya tarikan arus globalisasi dan
dampak dari revolusi teknologi komunikasi selama 20 tahun terakhir. Indonesia tidak
boleh membiarkan bangsanya larut dengan arus budaya yang belum tentu sesuai dengan
nilai-nilai luhur bangsa kita.
Revolusi mental harus menjadi sebuah gerakan nasional, usaha kita bersama
untuk mengubah nasib Indonesia menjadi bangsa yang benar benar merdeka, adil dan
makmur. Kita harus berani mengendalikan masa depan sendiri, dengan restu Allah SWT
sebagaimana dikatakan dalam ayat Al Quran surat Ar-Rad ayat 11 bahwa Sesungguhnya
Allah tidak mengubah nasib suatu bangsa kecuali bangsa itu mengubah apa yang ada
pada diri mereka.