Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 3

Dampak Revolusi Mental terhadap Sistem Hukum Indonesia

Indonesia saat ini menghadapi suatu paradoks pelik yang menuntut jawaban dari
para pimpinan nasional. Setelah 16 tahun melaksanakan reformasi, kenapa masyarakat
kita bertambah resah dan bukannya tambah bahagia, atau dalam istilah anak muda
sekarang, semakin galau.

Kita melihat dan merasakan kegalauan masyarakat seperti yang dapat kita
saksikan melalui protes di jalan-jalan di kota besar dan kecil, dan juga di ruang publik
lainnya, termasuk media massa dan media sosial. Pimpinan nasional dan pemikir di
Indonesia bingung menjelaskan fenomena bagaimana keresahan dan kemarahan
masyarakat justru merebak sementara oleh dunia, Indonesia dijadikan model
keberhasilan reformasi yang menghantarkan kebebasan politik serta demokrasi bersama
pembangunan ekonomi bagi masyarakatnya.

Reformasi yang dilaksanakan di Indonesia sejak tumbangnya rezim Orde Baru


Soeharto tahun 1998 baru sebatas melakukan perombakan yang sifatnya institusional. Ia
belum menyentuh paradigma, mindset atau budaya politik kita dalam rangka
pembangunan bangsa, atau nation building. Agar perubahan benar- benar bermakna
dan berkesinambungan, dan sesuai dengan cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka,
adil dan makmur, kita perlu melakukan revolusi mental.

Nation building tidak mungkin maju kalau sekedar mengandalkan perombakan


institusional, tanpa melakukan perombakan manusianya atau sifatnya mereka yang
menjalankan sistem ini. Sehebat apapun kelembagaan yang kita ciptakan, selama ia
ditangani oleh manusia dengan salah kaprah, tidak akan membawa kesejahteraan.
Sejarah Indonesia merdeka penuh dengan contoh di mana salah-pengelolaan, atau
mismanagement negara telah membawa bencana besar nasional.

Namun di saat yang sama, sejumlah tradisi atau budaya yang tumbuh subur dan
berkembang di alam represeif Orde Baru masih berlangsung sampai sekarang, mulai dari
korupsi, intoleransi terhadap perbedaan dan sifat kerakusan, sampai sifat ingin menang
sendiri, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah,
pelecehan hukum dan sifat oportunis. Kesemuanya ini masih berlangsung, dan beberapa
di antaranya bahkan semakin merajalela, di alam Indonesia yang katanya lebih reformis.
Jelas reformasi, yang hanya menyentuh faktor kelembagaan negara, tidak akan
cukup untuk menghantarkan Indonesia ke arah cita-cita bangsa seperti yang
diproklamirkan oleh para pendiri bangsa. Apabila kita gagal melakukan perubahan,
memberantas praktek korupsi, intoleransi, kerakusan, keinginan cepat kaya, pelecehan
hukum dan oportunis, semua keberhasilan reformasi ini segera lenyap bersama
kehancuran bangsa.

Dalam pembangunan bangsa, atau, saat ini cenderung menerapkan prinsip-


prinsip faham liberalisme, yang jelas tidak sesuai dan kontradiktif dengan nilai, budaya
dan karakter bangsa Indonesia. Sudah saatnya Indonesia melakukan tindakan korektif,
bukan dengan menghentikan proses reformasi yang sudah berjalan, namun dengan
mencanangkan revolusi mental menciptakan paradigma, budaya politik dan pendekatan
nation building baru yang lebih manusiawi, sesuai dengan budaya nusantara, bersahaja
dan berkesinambungan.

Penggunaan istilah revolusi tidak berlebihan. Karena Indonesia memerlukan


suatu terobosan budaya politik untuk memberantas setuntas-tuntasnya segala praktek-
praktek yang buruk yang sudah terlalu lama dibiarkan tumbuh kembang sejak zaman
Orde Baru sampai sekarang. Revolusi mental beda dengan revolusi fisik, karena ia tidak
memerlukan pertumpahan darah. Namun usaha ini tetap memerlukan dukungan moral
dan spiritual, serta komitmen dalam diri seorang pemimpin dan selayaknya setiap
revolusi, diperlukan pengorbanan oleh masyarakat.

Dalam melaksanakan revolusi mental, kita dapat menggunakan konsep Trisakti


yang pernah diutarakan oleh Bung Karno dalam pidatonya tahun 1963, dengan tiga pilar;
Indonesia yang berdaulat secara politik, Indonesia yang mandiri secara ekonomi, dan
Indonesia yang berkepribadian secara sosial budaya.

Kita juga memerlukan birokrasi yang bersih, handal dan kapabel, yang benar-
benar bekerja melayani kepentingan rakyat dan mendukung pekerjaan pemerintah yang
terpilih. Demikian juga dengan penegakkan hukum, yang penting demi menegakkan
wibawa pemerintah dan negara menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan
hukum.
Pilar ketiga Trisakti adalah membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia.
Sifat ke-Indonesia-an semakin pudar karena derasnya tarikan arus globalisasi dan
dampak dari revolusi teknologi komunikasi selama 20 tahun terakhir. Indonesia tidak
boleh membiarkan bangsanya larut dengan arus budaya yang belum tentu sesuai dengan
nilai-nilai luhur bangsa kita.

Sistem pendidikan harus diarahkan untuk membantu membangun identitas


bangsa Indonesia yang berbudaya dan beradab, yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral
agama yang hidup di negara ini. Akses ke pendidikan dan layanan kesehatan masyarakat
yang terprogram dan tepat sasaran oleh nagara dapat membantu kita membangun
kepribadian sosial dan budaya Indonesia.

Kalau bisa disepakati bahwa Indonesia perlu melakukan revolusi mental,


pertanyaan berikutnya adalah dari mana kita harus memulainya. Jawabannya dari
masing-masing kita sendiri, dimulai dengan lingkungan keluarga dan lingkungan tempat
tinggal serta lingkungan kerja dan kemudian meluas menjadi lingkungan kota dan
lingkungan negara.

Revolusi mental harus menjadi sebuah gerakan nasional, usaha kita bersama
untuk mengubah nasib Indonesia menjadi bangsa yang benar benar merdeka, adil dan
makmur. Kita harus berani mengendalikan masa depan sendiri, dengan restu Allah SWT
sebagaimana dikatakan dalam ayat Al Quran surat Ar-Rad ayat 11 bahwa Sesungguhnya
Allah tidak mengubah nasib suatu bangsa kecuali bangsa itu mengubah apa yang ada
pada diri mereka.

You might also like