Model Kepemimpinan Dalam Karak Teristik Gender Oleh: Nurlina

You might also like

Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 20

Nurlina |

169

MODEL KEPEMIMPINAN DALAM KARAK


TERISTIK GENDER

Oleh: Nurlina
Dosen tetap pada jurusan Tarbiyah STAIN Watampone
Email: dikatakbir@yahoo.co.id

Abstract:

This paper aims to briefly review the basic principles


of the policy model of female leadership in the world of work
(employment). Which is quite interesting due to the
differences in the characteristics studied gender injustice that
their treatment will management policies against women in
the workplace as well as the assumption that the leadership
in the organization meant the gender perspective, that is to
say in choosing a leader to be seen sex (gender). Because
of the gender differences are men and women who have
become the rule of God or nature and biological provisions
that can not be changed anymore. So when this gender
difference in occupying a position considered as nature,
because it leads to masculine leadership. Therefore in this
paper, the author will discuss the characteristics of gender in
an effort that can be formulated into alternative solutions to
the perception characteristic of gender in the form of
literature literature on the subject of women's leadership in
an organization that needs to be disseminated in the form of
scientific writings on differentiation characteristics of gender
in management women's leadership.

Tulisan ini bertujuan untuk mengulas secara singkat


prinsip dasar kebijakan model kepemimpinan perempuan dalam
dunia pekerjaan (employment). Yang cukup menarik dikaji
disebabkan adanya perbedaan karakteristik gender yakni
adanya perlakuan ketidakadilan akan kebijakan manajemen
terhadap kaum perempuan di tempat kerja serta adanya asumsi
bahwa kepemimpinan dalam organisasi dimaknai dengan
perspektif gender, artinya dalam memilih pemimpin harus dilihat
jenis kelamin (gendernya). Karena adanya perbedaan gender
yaitu laki-laki dan perempuan yang sudah menjadi ketentuan
Tuhan atau kodrat dan ketentuan

An-Nisa, Volume VIII Nomor 1


Juni 2015
170 | Model Kepemimpinan Karakteristik Gender

biologis yang tidak dapat diubah lagi. Sehingga saat ini


perbedaan gender dalam menduduki suatu jabatan
dianggap sebagai kodrat, sebab itu kepemimpinan lebih
mengarah ke maskulin. Karena itu dalam tulisan ini,
penulis akan membahas karakteristik gender sebagai
upaya yang dapat dirumuskan menjadi alternatif
pemecahan masalah terhadap persepsi karakteristik
gender dalam bentuk literatur pustaka tentang masalah
kepemimpinan perempuan dalam suatu organisasi
yang perlu disosialisasikan dalam bentuk penulisan
karya ilmiah terhadap adanya pembedaan karakteristik
gender dalam manajemen kepemimpinan perempuan.

Kata Kunci: Karakteristik, Model, Gender, Kepemimpinan

I. PENDAHULUAN
Keberadaan akan akses perempuan dalam mengisi
perjuangan di negeri Indonesia yang cukup terbuka luas, ini harus
ditunjang oleh kualitas dan kapasitas serta tanggung jawab sebagai
perempuan karir. Karena itu kemandirian perempuan dalam dunia
kerja harus terus didukung di Indonesia melalui emansipasi
perempuan yang telah dirintis oleh Pahlawan Nasional Perempuan
yaitu: R.A Kartini, yang telah memperjuangkan hak perempuan dari
keadilan untuk mendapatkan pendidikan dan kesetaraan gender agar
tidak tertindas dan tidak dilecehkan kemampuan perempuan yang
bersifat feminim. Bahwa perempuan juga mampu menjadi seorang
pemimpin yang sukses tanpa meninggalkan kodrat kewanitaannya
tanpa harus bersifat maskulin.
Hingga sampai saat ini keadilan dan kesetaraan gender
terus diperjuangkan untuk dapat merubah posisi seorang
perempuan yang tidak hanya menyandang satu pekerjaan
sebagai ibu rumah tangga saja. Akan tetapi bisa juga menjadi
seorang pemimpin, perempuan bisnis dan wanita karir yang
mampu bersaing di lingkungan pemerintahan, ekonomi, politik,
sosial dan budaya serta seni bahkan di kepolisian yang
awalnya hanya dibolehkan kepada kaum adam.
Fenomena demikian telah banyak menunjukkan bahwa
perempuan sudah ada menduduki jabatan sebagai pemimpin yakni
kepala desa, kepala kantor, kepala sekolah, manajer perusahaan,
direktur rumah sakit, direktur bank,dan lain-lain. Namun Persentase
perempuan sebagai pemimpin dibandingkan populasi
An-Nisa Volume VIII Nomor 1 Juni 2015
Nurlina |
171

perempuan secara keseluruhan, masih lebih rendah dibandingkan


dengan persentase laki laki sebagai pemimpin. Namun fakta lain
terkait dengan proporsi perempuan dalam angkatan kerja dan
usaha bisa di lihat dengan kemunculan banyaknya pemimpin
perempuan di zaman pemerintahan Jokowi.
Karena itu penulis rasa karakteristik gender dalam gaya
kepemimpinan perempuan menjadi suatu kebutuhan bahan kajian
yang berkaitan dengan dunia kerja. Karena dalam kelompok kerja
sering dijumpai Leader Women yang menghasilkan kinerja optimal
bagi kelompok yang dipimpinnya. Karakter pemimpin yang bersifat
feminim ternyata terbukti juga mampu memberikan kesuksesan
atau keefektifan dalam kepemimpinan. Inilah yang menjadi
masalah pengkajian dalam tulisan ini yakni: Apakah kesuksesan
perempuan dalam memimpin harus mempunyai sifat-sifat
maskulin untuk meraih efektivitas serta dengan meninggalkan
sifat-sifat bawaannya sendiri yang feminin? Perempuan pemimpin
tidak perlu khawatir dengan karakter feminin yang dimilikinya,
karena tidak sedikit hasil penelitian berdasarkan fakta di lapangan
yang menunjukan bahwa gaya kepemimpinan feminin juga dapat
meraih kesuksesan, tanpa harus merubah kodratnya sebagai
wanita. Karena kepemimpinan dalam sebuah organisasi bukan
otot yang digunakan akan tetapi kecerdasan dalam memanajemen
sebuah organisasi.

II. PEMBAHASAN

A. Efektivitas Kepemimpinan dalam Perspektif Gender


Efektivitas kepemimpinan perempuan dalam karir
dapat diartikan sebagai kepemimpinan yang berorientasi
pada pengembangan karir yang mampu menyeimbangkan
aktivitasnya dengan tanggung-jawab yang bisa dikategorikan
tanggung-jawab ganda. Karena selain tanggung-jawab
dalam organisasi, lembaga dan masyarakat luas juga
mempunyai tanggung-jawab sebagai perempuan dalam
rumah tangga yang merupakan amanah harus diembannya
Adanya efektivitas perempuan sering dimaknai dengan
kesetaraan gender baik dari eksistensi, pekerjaan, pengakuan hidup
dan lain-lainnya. efektivitas yang dilakukan oleh kaum perempuan
khususnya sebagai ibu berorientasi pada kegiatan yang efektif. Hal ini
dapat diartikan sebagai hasil dari sesuatu kebenaran yang bagus
atau ketepatan dalam pelayanan masyarakat. Efektivitas
An-Nisa, Volume VIII Nomor 1
Juni 2015
172 | Model Kepemimpinan Karakteristik Gender

merupakan suatu kemampuan yang dimiliki seseorang


dalam mengerjakan sesuatu yang menjadi tujuannya dengan
1
tindakan yang tepat dan benar. (Arief Saudi. hal:7) .
Pada dasarnya Efektif tidaknya suatu tindakan dapat
dilihat dari kebenaran hasil yang dicapai. Dengan demikan
efektivitas itu berhubungan dengan pencapaian tujuan dan
hasil dari suatu tindakan. Dalam artian Efektivitas kerja
merupakan suatu kemampuan yang dimiliki seseorang
dalam mengerjakan sesuatu yang menjadi tujuannya dengan
tindakan tepat dan benar dalam melaksanakan tugas.
Perempuan dalam efektivitas kepemimpinanannya dapat
berhasil dalam karirnya sebagai pengemban amanah,
melakukan kualitas dari proses-proses kelompok,
meningkatkan solidaritas kelompok, memotivasi para pengikut,
pemecahan masalah kontribusi terhadap efisiensi spesialisasi
peran, mengelola aktivitas-aktivitas organisasi, akumulasi
sumber-sumber daya, kesiapan kelompok untuk menangani
perubahan dan krisis, memperbaiki kualitas kehidupan kerja,
membangun rasa percaya diri para pengikut, meningkatkan
ketrampilannya, dan memberi kontribusi terhadap pertumbuhan
2
dan perkembangan psikologisnya.Gary Yukl .
Karena itu efektifitas kepemimpinan perempuan dalam
perspektif gender merupakan wacana menarik yang perlu di kaji.
Hal ini terutama dipicu ramalan suami-istri futurolog, John Naisbitt
dan Patricia Aburdene, dalam bukunya Megatrends for Women,
3
(2000) . Menurutnya tahun 1990-an adalah dekade kepemimpinan
perempuan dan abad-21 adalah abadnya kaum perempuan. Tidak
pasti disebutkan mengapa dikatakan abadnya kaum perempuan,
kecuali mereka membeberkan sejumlah fakta yang berkenaan
dengan kemajuan kaum perempuan, terutama di Amerika dan
Asia. Perempuan-perempuan Amerika dan beberapa negara di
Asia dan Eropa telah banyak memenangkan kompetisi dengan
lawan jenisnya dalam mengisi posisi-posisi manajemen puncak
(top management di beberapa perusahaan terkenal. Namun

1 Arief Saudi, Sistem Pengendalian Manajemen.


2
Gary Yukl. Kepemimpinan dalam Organisasi terjemahan Jusuf
Udaya.
3 Megatrends for Women

An-Nisa Volume VIII Nomor 1 Juni 2015


Nurlina |
173

apa yang diungkapkan oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene


bahwa di Indonesia pun sekarang sudah terbukti bahwa di kabinet
kerja Jokowi sudah ada sejumlah wanita menduduki jabatan yang
tinggi. Bahkan terbukti bahwa sebelum era Jokowi sudah ada
perempua yang pernah menduduki jabatan tertinggi yaitu Presiden
Megawati Soekarno Putri. Dan juga beberapa lembaga organisasi
di Indonesia yang menduduki jabatan manajer adalah perempuan.
Di Amerika, masih menurut dua futurolog ini, ada 74
persen kaum laki-laki yang bekerja, sementara perempuan yang
bekerja mempunyai anak atau tidak, berjumlah 79 persen.
Kecenderungan yang sama sebenarnya juga terjadi di Indonesia.
Sebelum masa pemerintahan Jokowi, sepuluh tahun terakhir
beberapa majalah mingguan di Indonesia memuat topik
perempuan manajer sebagai laporan utamanya. Majalah
Manajemen (September 1989); majalah Warta Ekonomi
(Desember 1990); majalah Editor (April 1992); majalah Warta
Ekonomi (Juli 1992); majalah Info Bank (Juni 1993); majalah
Warta Ekonomi (April 1996); majalah Swa Sembada (Mei 1997).
Ini belum majalah-majalah khusus perempuan seperti Femina,
Kartini dan Sarinah atau Jurnal Perempuan, yang isinya mengulas
topik perempuan manajer, menyebutkan bahwa umumnya para
perempuan manajer sukses memanejemen organisasi sebab
menerapkan sikap tegas, agresif, kompetitif, ambisius, kuat, berani
bertahan, percaya diri, dan independen, sehingga menjadi
pemimpin yang dipandang efektif dalam mencapai sasaran dalam
organisasinya tanpa meninggalkan karakter feminim.
4
Menurut Kanter , hlm. 233-236, bahwa ada empat faktor yang
berpengaruh dalam kepemimpinan perempuan, Pertama, yaitu: The
mother (keibuan). Pemimpin perempuan cenderung bersikap
sebagaimana layaknya seorang ibu, misalnya sewaktu anak sakit,
sang ibu akan menyediakan obat dalam arti jika bawahan mempunyai
masalah mampu memberikan perhatian lebih. Bahwa pemimpin
perempuan mempunyai sifat simpatik, pendengar yang baik, dan
mudah untuk mencurahkan permasalahan. Kedua yaitu The pet
(kesayangan). Pemimpin perempuan cenderung menjadi kesayangan
bagi bawahannya, sehingga bawahan akan lebih menjaganya. Dalam
hal ini karyawan

4 Kanter, M. S.,. (hlm. 233-236) Men and Women of the


Corporation. Collin Publisher.

An-Nisa, Volume VIII Nomor 1


Juni 2015
174 | Model Kepemimpinan Karakteristik Gender

akan menganggap pemimpin perempuan sebagai orang dekat,


sehingga tidak terdapat rasa canggung. Ketiga The sex object
(obyek seksual) Pemimpin perempuan cenderung menjadi
penyemangat kerja bagi karyawannya. Karena pemimpin
perempuan dianggap sebagai faktor yang mampu memotivasi
karyawan untuk bekerja lebih giat, akan tetapi kemauan yang
timbul dari karyawan untuk bekerja lebih giat bukan karena
perintah yang diberikan, tetapi karena ada dorongan dari dalam
(sense). Keempat The iron maiden (wanita besi). Pemimpin
perempuan cenderung bersikap tegas dalam memimpin
bawahannya, sehingga timbul kesan tegas. Dengan adanya sikap
ini, maka pemimpin perempuan digambarkan sebagai sosok
pemimpin yang keras dan tegas namun terselip jiwa kelembutan.
Salah satu bahasan isu yang menarik dalam kepemimpinan
gender adalah pengaruh keragaman gender dalam kepemimpinan.
Dalam sudut pandang gender, terdapat stigma bahwa laki-laki
dianggap lebih unggul daripada perempuan. Stigma tersebut
menempatkan perempuan sebagai warga masyarakat kelas dua,
termasuk dalam hal kepemimpinan. Dikarenakan stigma tesebut,
kemudian muncul pandangan bahwa kekuasaan dan kepemimpinan
merupakan domain laki-laki yang terwujud dalam identitas maskulin.
Sebagai akibatnya, berkembanglah resistensi terhadap
kepemimpinan perempuan. Hingga saat ini, masyarakat masih
cenderung bersikap skeptis terhadap pemimpin perempuan. Hal
tersebut tercermin dalam persentase pemimpin perempuan yang
masih jauh dibawah pemimpin laki-laki. Berdasarkan survey di
Provinsi Jawa Tengah, persentase perempuan profesional, teknisi,
kepemimpinan dan ketatalaksanaan pada tahun 2006 adalah
51,98%. (data BPS dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak). Angka tersebut jauh berbeda dari jumlah
profesional laki-laki pada tahun yang sama. Merupakan hal yang
ironis apabila dibandingkan dengan peningkatan jumlah perempuan
yang berkiprah dalam ranah pendidikan.
Kepemimpinan perempuan seringkali dilihat dari kacamata
maskulin. Perempuan dapat diterima sebagai seorang pemimpin
apabila mampu mengembangkan karakteristik maskulin dalam
kepemimpinannya. Selain itu, kepemimpinan perempuan yang
dilegitimasi secara sosial hanyalah kepemimpinan dalam
organisasi atau perkumpulan perempuan seperti perkumpulan
mahasiswi, perawat, dan sekolah wanita. Dalam lingkungan
organisasi, wanita diharapkan mengambil peran subordinat kecuali

An-Nisa Volume VIII Nomor 1 Juni 2015


Nurlina |
175

posisi mereka disahkan oleh keturunan (diturunkan) karena


ketiadaan anggota laki-laki dan perkawinan. (Handayani &
5
Novianto, 2004) .
Teori tersebut di atas menjelaskan betapa pentingnya
sebuah studi manajemen kepemimpinan perempuan dalam
perspektif gender, artinya dalam menilai pemimpin bukan harus
dilihat jenis kelamin (gender). Seorang pemimpin keberhasilannya
dilihat dari cara mengambil keputusan, cara membagi kekuasaan,
cara berkomunikasi dengan yang dipimpinnya dan faktor-faktor
lainnya. Studi yang tidak kompratif dan hanya dilakukan secara
umum kepada pemimpin perempuan pada gilirannya akan
menghasilkan pemimpin yang tidak dapat dijadikan acuan.
6
Robbins (1998) , mengemukakan dua kesimpulan
sehubungan dengan isu gender dan kepemimpinan
(Leadership). Pertama, menyamakan antara laki-laki dan
perempuan cenderung mengabaikan perbedaan diantara
keduanya. Kedua, bahwa apa yang menjadi perbedaan antara
perempuan dan laki-laki adalah bahwa perempuan memiliki
gaya kepemimpinan yang lebih democratic, sedangkan laki-laki
merasa lebih nyaman dengan gaya yang bersifat directive
(menekankan pada cara-cara yang bersifat perintah).
Dengan demikian pada prinsipnya siapapun jadi pemimpin
laki-laki atau perempuan harus mampu mendeskripsikan dirinya
dengan membangun harapan-harapan dan strategi untuk
menunjukkan eksistensi dirinya seperti kewibawaan, wawasan,
supel, perhatian, serta pintar menlobi, dan kalau perempuan tidak
meninggalkan nilai-nilai keibuan sebagai wanita.
Disamping kapasitas yang dimiliki, pemimpin yang
efektif pada organisasi dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor penting yaitu:
1. Pemilihan dan penempatan pemimpin,
2. Pendidikan kepemimpinan,
3. Pemberian imbalan pada prestasi pemimpin dan
bawahan,
4. Teknik pengelolaan organisasi untuk menghadapi
perubahan lingkungan dan teknologi.

5
Handayani, Christina S & Ardian Novianto. 2004. Kuasa Wanita
Jawa.
6 Robbins, S.P. (1998). Organizational behavior.

An-Nisa, Volume VIII Nomor 1


Juni 2015
176 | Model Kepemimpinan Karakteristik Gender

Jadi kepemimpinan perempuan diyakini tidak efektif


dibanding kepemimpinan laki-laki. Tetapi pendapat tersebut
cenderung membesar-besarkan sifat yang melekat pada
perempuan. Padahal untuk menjadi eketivitas seorang
pemimpin dalam mencapai tujuan organisasi tidak semata-
mata ditentukan oleh sifat feminim, tetapi karena kapasitas
yang dimiliki dalam memimpin sebuah organisasi, bukan
dilihat dari karaktristik gender sebagai perempuan.

B. Gaya Kepemimpinan Gender


Gaya kepemimpinan dalam manajemen, biasanya
dibedakan antara gaya maskulin dan feminin atau antara
gaya yang berorientasi tugas dan gaya yang berorientasi
karyawan (kemanusiaan), atau juga dibedakan antara gaya
transaksional dan gaya interaktif. Banyak pakar menyebutkan
bahwa tidak ada gaya maskulin atau feminin murni.
Pemimpin yang karakter maskulinnya lebih tinggi akan
dikategorikan maskulin. Pemimpin yang karakter femininnya
lebih tinggi akan dikategorikan sebagai gaya feminin.
Pemimpin yang berkarakter diantara keduanya sering disebut
kepemimpinan androgini, yakni pemimpin yang memiliki gaya
maskulin sekaligus feminin, sama-sama kuat kadarnya.
Gaya mana yang seyogyanya dipilih bagi perempuan
manajer, berdasarkan kemungkinan-kemungkinan yang terarah
pada efektivitas kepemimpinan dan secara realitas mudah
diwujudkan? Tidak mudah untuk dijawab. Para peneliti
terdahulu, yang hingga kini masih cukup banyak pengikutnya,
cenderung menganjurkan bahwa gaya manajemen maskulin
yang paling tepat dan lebih banyak memberikan bukti
keberhasilan. Artinya para perempuan manajer harus siap
mempelajari, menghayati dan mempraktekkan karakter dan
perilaku-perilaku maskulin, yang umumnya berlawanan dengan
proses sosialisasi kepribadiannya sejak kecil.
Hubungan gender dan kepemimpinan juga dikemukakan
oleh Sara Levinson, seorang Presiden Properti NFL, Inc di New
York. Ia mengungkapkan pertanyaan secara langsung dalam
sebuah tanya jawab dengan seluruh anggota laki-laki yang ada di
timnya. Ia bertanya kepada mereka: Apakah kepemimpinan saya

An-Nisa Volume VIII Nomor 1 Juni 2015


Nurlina |
177

berbeda dengan laki-laki? Jawab mereka: ya dikutip dalam


7
Darmono . Jawaban ini cukup memberikan dukungan bahwa ada
perbedaan gaya kepemimpinan antara perempuan dan laki-laki.
Perempuan cenderung lebih memiliki perilaku yang
demokratis dan partisipatif, seperti hormat pada orang lain,
perhatian pada orang lain, Model seperti ini mengacu pada
kepemimpinan interaktif, gaya seperti ini memiliki unsur-unsur
kepemimpinan yang transformasional,yakni yang inspirasional.
Berbeda dengan laki-laki yang cenderung lebih mengarah pada
perilaku yang directive (mendasarkan pada instruksi) dan
assertive (cenderung agresif dan dogmatik), dan menggunakan
otoritas yang biasanya ia miliki untuk melakukan kontrol dan
komando
Karena kepemimpinan merupakan fungsi sentral dalam
suatu kelompok atau organisasi. Proses mencapai tujuan
organisasi diperlukan seorang pemimpin yang mampu
mempengaruhi dan mengkoordinir bawahan. Kepemimpinan
masih identik dengan kedudukan yang hanya bisa dijalankan oleh
laki-laki. Ada pandangan bahwa laki-laki ditakdirkan sebagai
makhluk yang statusnya lebih tinggi dari perempuan (Hasibuan
8
dan Sedyono,) . Akibat dari pandangan tersebut maka terkadang
timbul perlakuan diskriminatif yang terang-terangan maupun
terselubung terhadap perempuan yang bekerja di sektor formal.
Seorang pemimpin harus mempertimbangkan tiga
kumpulan kekuatan sebelum melakukan pilihan gaya
kepemimpinan. Pertimbangan itu adalah:
1) Kekuatan-kekuatan dalam diri manajer, seperti sistem nilai
yang dimiliki, kepercayaan terhadap bawahan dan
kecenderungan kepemimpinannya sendiri.
2) Kekuatan-kekuatan pada diri bawahan, seperti
kebutuhannya akan kebebasan, kebutuhannya akan
tanggung-jawab, apakah mereka tertarik dengan pemecahan
masalah, dan harapannya akan pembuatan keputusan.
3)Kekuatan-kekuatan yang berasal dari faktor situasi,
seperti tipe organisasi, efektivitas kelompok, desakan
waktu, dan sifat dari masalah yang ada.

7
Artikel: Gaya Kepemimpinan Perempuan Bagi Efektivitas Organisasi
8
Perempuan Di Sektor Formal Kerja Ya, Karier Tidak dalam
Mayling Oey-Gardier.
An-Nisa, Volume VIII Nomor 1
Juni 2015
178 | Model Kepemimpinan Karakteristik Gender

Fakta yang masih sering terjadi saat ini di Indonesia adalah


posisi pemimpin yang selalu diduduki oleh laki-laki. Stereotipi
mengenai perempuan yang cengeng, lemah lembut, emosional
sering menyulitkan perempuan untuk dapat meraih posisi sebagai
pemimpin. Kesetaraan gender di instansi-instansi sulit
dilaksanakan, meskipun pada kenyataannya kemampuan
perempuan tidak kalah dengan laki-laki. Pemerintah mencoba
untuk menanggulangi masalah ketidaksetaraan gender di instansi
dengan mengeluarkan Inpres no.9 tahun 2000. munculnya Inpres
tersebut membantu perempuan untuk mempermudah mencapai
posisi sampai menjadi pimpinan.
1. Pendekatan Karakter
Sudut pandang karakter kepemimpinan ini mempunyai
kendala dan keterbatasan dalam mengupas persoalan
kepemimpinan, tetapi juga salah kalau menganggapnya tidak
berarti, karena ada cukup banyak bukti yang memperlihatkan
bahwa pemimpin-pemimpin yang efektif sangat dipengaruhi
oleh karakter atau sifat. Sifat, karakter atau bakat seseorang
merupakan pra-kondisi untuk menjadi seorang pemimpin efektif
9
(Locke, 1997) . Artinya kepemimpinan tidak di lihat dari aspek
perbedaan gender, tetapi keberhasilan pemimpin karena
memang mempunyai karakter atau sifat kepemimpinan.
Dalam manajemen dapat kita lihat beberapa pendekatan
yang telah dilakukan para peneliti mengenai kepemimpinan,
minimal mencakup tiga aspek. Pertama, pendekatan karakter atau
sifat pemimpin (traits approach), kedua pendekatan perilaku
pemimpin (behavior approach), dan terakhir pendekatan
situasional (situational approach) (Lihat: Stoner, 1982; Stogdill,
10
1974; Gibson, 1982) . Ketiga pendekatan ini akan dimanfaatkan
guna melihat jenis kemungkinan-kemungkinan model
kepemimpinan yang efektif bagi perempuan pemimpin dan tidak
mempunyai implikasi negatif dalam penggunaannya.

9 The Essence of Leadership: The Four Keysto Leading


Successfully,
New York: Lexington Books.
10 Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses, Jakarta: Binarupa
Aksara, (terjemahan)

An-Nisa Volume VIII Nomor 1 Juni 2015


Nurlina |
179

Efektivitas dalam kepemimpinanan perempuan dapat


berhasil dalam karirnya sebagai pengemban amanah,
melakukan kualitas dari proses-proses kelompok,
meningkatkan solidaritas kelompok, memotivasi para pengikut,
pemecahan masalah kontribusi terhadap efisiensi spesialisasi
peran, mengelola aktivitas-aktivitas organisasi, akumulasi
sumber-sumber daya, kesiapan kelompok untuk menangani
perubahan dan krisis, memperbaiki kualitas kehidupan kerja,
membangun rasa percaya diri para pengikut, meningkatkan
ketrampilannya, dan memberi kontribusi terhadap pertumbuhan
11
dan perkembangan psikologisnya.(Gary Yukl 1994). Untuk
proses pembentukan karakter pribadi perempuan yang efektif
dengan menyeimbangkan antara karir dan rumah tangga,
sebaiknya dimulai dari lingkungan keluarga sebagai faktor
utama dan pertama terhadap penanaman kepada anak tentang
konsep dasar pendidikan karakter untuk menghasikan generasi
pemimpin yang tidak hanya dilihat aspek gender.
Dalam lingkungan keluarga, kedudukan perempuan
dengan posisi sebagai ibu perlu dipahami secara baik dan benar.
Kampanye kesetaraan terhadap keadilan perempuan dalam karir
di kantor pemerintah dan perusahaan serta dalam rumah tangga
harus lebih berorientasi pada efektivitas kinerja yang dapat
menyeimbangkan antara keluarga dan kerja. Sehingga dimaknai
sebagai indikator upaya untuk meningkatkan perbaikan kualitas
hubungan efektivitas kepemimpinan perempuan dalam karirnya
yang dapat menentukan sikap yang baik dan benar dalam
membina generasi pemimpin yaitu hubungan antar anak dan ibu
yang nantinya berpengaruh nilai yang baik pada pembentukan
karakter generasi bangsa Indonesia.
2. Faktor Situasional Gender
Berbagai faktor yang mendukung untuk menjadi
perempuan pemimpin memang secara teoritik adalah menjadi
keturunan orang terpandang, berperilaku baik dan datang pada
situasi yang pas. Namun pandangan ini tentu sangat utopis dan
ada kontra dari aliran yang mengatakan bahwa kepemimpinan
itu adalah dilatih bukan dilahirkan. Pengembangan SDM
melalui

11Kepemimpinan dalam Organisasi terjemahan Jusuf Udaya. Jakarta:


Prenhafindo

An-Nisa, Volume VIII Nomor 1


Juni 2015
180 | Model Kepemimpinan Karakteristik Gender

pelatihan on job maupun off job membuktikan bahwa siapa saja


yang berlatih terus menerus akan mendapatkan penguasaan
atas kompetensinya. Pada gilirannya feminitas yang dimiliki
seorang perempuan merupakan suatu gaya kepemimpinan
perempuan yang mendorong perempuan berhasil
meningkatkan kinerja karyawannya. Di sisi lain pandangan
maskulin seperti iron maiden (keras dan kaku) bukanlah gaya
yang secara optimal untuk meningkatkan kinerja karyawan.
Dan sampai saat ini dari tahun ke tahun jumlah kaum
perempuan yang bekerja sebagai manajer dan pemimpin baik di
lingkungan perusahaan maupun organisasi pemerintah secara
kuantitatif mengalami kenaikan. Sekalipun demikian harus disadari
bahwa kaum perempuan masih ada yang mengalami sejumlah
pembedaan organisasional sebagai bagian dari praktek kebijakan
manajemen sumber daya manusia yang cenderung bersifat
maskulin dalam suatu lembaga. Di samping itu perempuan
masih mengalami perlakuan negatif yang merendahkan nilai-nilai
luhur kemanusiaan dalam berbagai bentuk terutama kasus-kasus
pelecehan seksual di tempat kerja (sexual harassment at work
place). Dengan demikian upaya untuk mendiskusikan masalah
perempuan dalam konteks pelaksanaan pekerjaan organisasi
sekaligus mencari solusi berdasar prinsip-prinsip dasar
manajemen sumber daya manusia yang sangat dibutuhkan untuk
meningkatkan kualitas kehidupan di dalam organisasi yang
mampu menempatkan perempuan secara equal dan fair.

3. Alternatif Pemecahan Masalah Gender


Tak bisa dipungkiri bahwa praktek diskriminasi manajemen
sumber daya manusia dan pelecehan di tempat kerja memerlukan
berbagai alternatif pemecahan masalah. Sekalipun demikian
sangatlah sulit untuk mendapat alternatif yang bersifat universal
karena adanya perbedaan konteks dalam setiap negara dan
daerah. Juga tidak mudah memperoleh alternatif sebagai one
best way untuk setiap permasalahan. Alternatif tersebut paling
tepat disebut sebagai most possibilities yang dapat digunakan
sebagai acuan untuk kemudian dikembangkan sesuai konteksnya.
12
Hasil penemuan Mattis , menunjukkan bahwa fungsi
kepemimpinan serta manajer level atas dan menengah mengatasi
masalah perlakuan diskriminatif terhadap perempuan adalah dalam

12
Manajemen Sumber Daya Manusia, Penerbit Salemba.

An-Nisa Volume VIII Nomor 1 Juni 2015


Nurlina |
181

bentuk mentors dan role models. Mentors merupakan kegiatan


pendampingan dalam membantu perempuan memperoleh hak-hak
kemajuan dan perkembangan karir, sementara role models
merupakan rujukan organisasi dalam membentuk profil utuh
perempuan yang menggambarkan keberhasilannya baik sebagai
pekerja di luar rumah maupun ataupun dalam rumah tangga.Acuan
yang menjadi pusat perhatian dalam mentoring dan role models
berupa tiga elemen yaitu (1) kombinasi antara family dan working,
(2) setiap perempuan memiliki keinginan untuk advancement
dalam karir, dan (3) adanya pihak yang memiliki kepedulian
dalam meng-update pengetahuan dan keterampilan perempuan
untuk mampu menjawab semua tantangan di era global .
Karena fakta menunjukkan bahwa kerjasama yang baik
dalam manajemen organisasi, kepemimpinan manajer dapat
meraih harapan dan mengalami kondisi yang lebih baik dalam
pekerjaan tanpa melihat faktor gender. Dalam situasi yang sangat
kompleks untuk melakukan setiap pekerjaan organisasional,
networking gender yang mampu mempersatukan sumber daya
manusia merupakan kunci alternatif yang paling dicari untuk
mengatasi masalah dalam organisasi. Ini berarti bahwa interaksi
antara organisasi dengan para pegawai yang ada di dalamnya
membutuhkan berbagai alternatif work arrangements yang
mengatur pegawai dalam melaksanakan pekerjaan sesuai dengan
tujuan-tujuan yang telah ditentukan.
Sehingga efektifitas praktek manajemen sumber daya
manusia dalam memfasilitasi perempuan dalam mencapai kemajuan
dalam karir serta mendapat perlakuan yang adil dan manusiawi
dalam organisasi. Sehingga fungsi kepemimpinan merupakan sumber
kebijakan organisasi sementara peran manajer atas dan tengah (Top
and Midle) merepresentasikan dinamika organisasi melalui
implementasi kebijakan yang telah dirumuskan.
Adapun faktor yang memaksimalkan efektivitas
kepemimpinan perempuan dalam organisasi, sangat
dipengaruhi oleh keterkaitan pengalaman pribadi mereka.
Ada enam tema secara psikologis yang mengkarakterisasi
respon pada wanita dalam karirnya:
1. Kesempatan untuk mengembangkan kemampuan
interpersonal seperti memotivasi, menghargai dan
mengembangkan orang lain (dalam hal ini seperti
mengutamakan mengasuh anak di rumah) dapat

An-Nisa, Volume VIII Nomor 1


Juni 2015
182 | Model Kepemimpinan Karakteristik Gender

diaplikasikan untuk memotivasi,mengembangkan dan


mengarahkan karyawan.
2. Keuntungan psikologis dari mengatasi hambatan,
mengambil resiko, dan berhasil dalam area pribadi
akan mendukung harga diri, kepercayaan diri, energi
dan keberanian.
3. Dukungan dan saran emosional dari teman dan keluarga
yang bertindak sebagai dewan yang terpercaya dan
motivator serta mencurahkan perasaan secara aman.
4. Mengatasi tugas yang banyak seperti perencanaan
dan berkutat dengan jadwal keluarga akan
mengembangkan kemampuan administratif seperti
prioritas dan perencanaan.
5. Ketertarikan pribadi dan latar belakang menyediakan
cara pandang yang membantu untuk memahami dan
menghubungkan dengan rekan kerja.
6. Kesempatan kepemimpinan dalam organisasi bersifat
sukarela atau pengaturan keluarga menyediakan
pelajaran kepemimpinan dan meningkatkan
kenyamanan dalam peran otoritas.
Keenam alternatif respon di atas menunjukkan bahwa
alternatif work arrangements tersebut dapat dilakukan dengan
mengkaji kembali (rethinking) terhadap makna keberhasilan dan
kemajuan karir melalui pengaturan manajerial, jadwal pelaksanaan
pekerjaan, dan skema career development. Berbagai bentuk
pengaturan tersebut pada akhirnya merupakan referensi organisasi
dalam mengambil keputusan tentang promosi pegawai sebagai
bagian utama praktek manajemen sumber daya manusia yang efektif.
Isu perempuan dan berbagai permasalahan yang dialaminya dalam
organisasi justru memiliki implikasi yang positif bagi pembentukan
praktek manajemen sumber daya manusia yang efektif untuk
mengatasi diversity pegawai sekaligus merupakan agenda penelitian
yang sangat berguna untuk menciptakan kondisi pekerjaan yang
manusiawi tanpa membedakan gender.

C. Gender dalam Kepemimpinan

Kepemimpinan dalam organisasi memiliki peran yang sangat


penting dalam setiap pengambilan keputusan yang mempengaruhi
warna praktek manajemen. Sementara secara rutin, perilaku para
manajer pada level atas dan menengah mewarnai

An-Nisa Volume VIII Nomor 1 Juni 2015


Nurlina |
183

dinamika praktek manajemen sumber daya manusia.


Dengan demikian kemajuan karir setiap pegawai termasuk
kaum perempuan tergantung dari pola kepemimpinan dan
perilaku para manajer dalam menjalankan fungsinya.
Peranan usia, tingkat pendidikan, pengalaman kerja,
gender dan kebutuhan untuk berhubungan diprediksi sebagai
preferensi ideal pekerja untuk berhubungan dan perilaku
kepemimpinan. Powell et al. (2004) dan Lowe & Galen (1996)
13
dalam Embry, Padgett & Caldwell (2008) mengemukakan bahwa
kepemimpinan transaksional lebih jelek daripada kepemimpinan
transformasional, dan kepemimpinan transformasional lebih efektif
daripada kepemimpinan transaksional. Dari hasil penelitiannya
Powell (1990) menemukan bahwa pemimpin wanita mendapatkan
evaluasi lebih rendah ketika menggunakan suatu gaya
inkonsistensi gender (gender-inconsistent) (transaksional) dimana
pemimpin pria mendapatkan evaluaasi lebih tinggi ketika
menggunakan suatu gaya inkonsistensi gender (transformasional),
sebab gaya transformasional dilihat lebih positif daripada gaya
transaksional.
Pembicaraan mengenai gender tidak akan terlepas dari
masalah kemitraan dan keadilan peran sosial antara pria dan
wanita, yang dalam sepanjang waktu manusia telah
dikonstruksikan oleh agama, adat dan budaya.Boatwright &
14
Forrest mengungkapkan bahwa wanita lebih menyukai untuk
menafsirkan kepemimpinan dalam bentuk transformasi,
sedangkan pria lebih menyukai untuk menafsirkan
kepemimpinan dalam bentuk transaksi. Juga bahwa wanita
lebih menyukai untuk menggambarkan gaya kepemimpinan
mereka dengan mengadopsi bentuk transformasional,
sedangkan pria lebih menyukai bentuk transaksional.
Banyak literatur dan penelitian tentang kepemimpinan dan
manajemen dikembangkan oleh para pria dan dengan beberapa teori
organisasional didasarkan pada observasi manajer pria, bukan suatu
kejutan bahwa fokus pada pengalaman pemimpin pria meningkatkan
nilai pria sebagai norma perilaku manajerial (Lansa

13 One More Time: Do Female and Male Managers Differ?,


Academy of Management
14 Leadership Preferences: The Influence of Gender and Needs

An-Nisa, Volume VIII Nomor 1


Juni 2015
184 | Model Kepemimpinan Karakteristik Gender

15
& Sintonen, 2001 dalam Elliot & Stead, 2008) . Umumnya
literatur tentang wanita dan kepemimpinan diidentikkan
dengan bias, kontradiksi dan paradok. Dengan demikian
dominasi maskulin masih terlihat untuk penggolongan
kepemimpinan dan dinamika manajemen.

III. PENUTUP

Dari kenyataan akan konsep dan aplikasi kepemimpinan


bagi pemimpin efektif diatas, kiranya ada beberapa hal yang dapat
dicatat disini. Gaya kepemimpinan dalam sebuah organisasi
seseorang seringkali dipengaruhi karakteristik, termasuk kondisi
bawahan dan situasi organisasi, karena itu bagi perempuan
manajer tidak perlu cemas dengan gaya-gaya maskulin yang
seringkali dimitoskan sebagai satu-satunya gaya yang paling pas
untuk meraih kesuksesan. Gaya maskulin, seperti tegas, agresif
dan orientasi tugas, itu tidak memberi kepastian keberhasilan bagi
karakter seorang pemimpin yang bergender feminin, tetapi
keberhasilan karena adanya interaksi yang baik dalam organisasi
serta pola manajemen tanpa dipengaruhi oleh karakteristik gender.
Bergaya natural sesuai karakter bawaan yang telah
tersosialisasi sekian puluh tahun jauh lebih menjanjikan
kesuksesan dalam memimpin, bukan karena faktor gender.
Untuk masa depan, tampaknya gaya natural merupakan
alternatif yang cukup baik diaplikasikan dalam pola
kepemimpinan. Dengan catatan bahwa faktor situasi, atau
bersikap fleksibel harus menjadi pertimbangan utama bila
menghadapi kegagalan. Perlu juga untuk menjadi catatan bagi
pemimpin perempuan, mengenai beberapa tips (kiat) menuju
16
sukses dari Morrison, sebagaimana dikutip ensiklopedi yakni:
1. Menjadi feminin tetapi tidak terlalu bersifat seperti woman
2. Menjadi kuat, tetapi tidak bertindak seperti laki-laki.
3. Bersikaplah selalu rapi, tetapi tidak memberi kesan sexy.
4. Bersikaplah sosial, tetapi tidak terlalu bersifat friendly.
5. Menjadi orang yang haus informasi, tetapi tidak untuk
mengerti problem-problem pribadi bawahannya.

15
Learning From Leading Woment Experience: Towards a
Sociological
16 www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/sofjan-wanandi.

An-Nisa Volume VIII Nomor 1 Juni 2015


Nurlina |
185

6. Pemberi tugas, tetapi tidak bersikap terlalu seperti bossy.


7. Ambilah risiko, tetapi tidak untuk mengalami kegagalan.
Apa yang diungkapkan di atas dapat dijadikan salah
satu kiat manajemen kepemimpinan perempuan diera global,
sebagai kunci keberhasilan dalam memimpin. Namun
kesuksesan kepemimpinan bukan faktor gender tapi faktor
kepribadian bagaimana memanejer diri menjadi pemimpin yang
sukses. Dengan menghilangkan persepsi tentang kesuksesan
pemimpin dan manajer karena penggolongan kepemimpinan
dan dinamika manajemen yang dominasi maskulin.

DAFTAR RUJUKAN

Arief Saudi, Sistem Pengendalian Manajemen. Yogyakarta:


BPFE, 1999.di akses 12 februari 2015
Boatwright, Karyn J., Linda Forrest. 2007. Leadership
Preferences: The Influence of Gender and Needs
Burke, R.J., Organizational Values, Work Experiences and
Satisfactions among Managerial and Professional
Women, dalam Journal of Management Development
. 2004.
Darmono, Artikel: Gaya Kepemimpinan Perempuan Bagi
Efektivitas Organisasi, 2008.
Elliot, Carole, Valerie Stead, Learning From Leading Woment
Experience: Towards a Sociological, 2008.
Gary Yukl. Kepemimpinan dalam Organisasi terjemahan
Jusuf Udaya. Jakarta: Prenhafindo, 1994
Gibson, I.D, Organisasi: Perilaku, Struktur, Proses, Jakarta:
Binarupa Aksara, (terjemahan). 1997, Di akses 12
februari 2015.
Handayani, Christina S & Ardian Novianto. 2004. Kuasa
Wanita Jawa. Yogyakarta: Lkis Pelangi Aksara
Hani Handoko, Manajemen, Yogyakarta:BPFE. Di akses 1
Maret 2015, 1997
Hasibuan, C dan Sedyono. Perempuan Di Sektor Formal Kerja
Ya, Karier Tidak dalam Mayling Oey-Gardier, M.
An-Nisa, Volume VIII Nomor 1
Juni 2015
186 | Model Kepemimpinan Karakteristik Gender

Wagemann, E. Suleeman dan Sulastri. Perempuan


Indonesia Dulu dan Kini. Penerbit: PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta, 1996
http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/s/sofjan-
wanandi/index.shtml
Journal Information & Management Vol. 42
Lee, M.K.O, C.K.M. Cheung, & Z. Chen Acceptance of
internet-based learning medium: The role of extrinsic
and intrinsic motivation, 2005.
Locke, A. Edwin, Shelley Kirkpatrick, Jill K. Wheeler, The
Essence of Leadership: The Four Keys to Leading
Successfully, New York: Lexington Books, 1991. Di
akses 14 Juni 2015.
Mathis.R L,Jackson.J H.2001.Manajemen Sumber Daya
Manusia, Penerbit Salemba Empat.
Meredith, Geoffrey G. et al., Kewirausahaan; Teori dan Praktek.
Jakarta:PPM, (terjemahan). Di akses 7 Juni 2015, 1996.
Neuman, W. Lawrence. Social Research Methods, USA:
Allyn and Bacon, 2000.
Stoner, James AF., R. Edward Freeman, Daniel R. Gilbert, Jr.,
Management, Sixth Edition. 1995, Di akses 17 Mei 2015.
Wiratmo, Masykur, Pengantar Kewiraswastaan,
Yogyakarta:BPFE., 2006.
Yukl, A. Gary. Managerial Leadership: A Review of Theory
and Research, Journal of Management,Vo. 15, No. 2,
1989, Di akses 8 Mei 2015.

An-Nisa Volume VIII Nomor 1 Juni 2015

You might also like