Kandungan Jahe

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 8

BioSMART ISSN: 1411-321X

Volume 4, Nomor 2 Oktober 2002


Halaman: 48-54

Keragaman Varietas Jahe (Zingiber officinale Rosc.) berdasarkan Kandungan


Kimia Minyak Atsiri
Variation on ginger (Zingiber officinale Rosc.) varieties based on chemical constituent of
volatile oils

AHMAD DWI SETYAWAN


Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta 57126

Diterima: 15 Mei 2002. Disetujui: 31 Juli 2002

ABSTRACT

Rhizome of ginger (Zingiber officinale Rosc.) had been used long time ago as spices, flavoring agent and medicinal stuf. This species
had three varieties based on color and size of rhizome, i.e. gajah (big white ginger), merah (red or blue ginger), and emprit (white
ginger). This research was conducted to find out: (i) percentage of volatile oil of three ginger varieties, (ii) type and percentage of
volatile oil components of those ginger, and (iii) similarity index of volatile oil of those ginger based on type and percentage of each
components. Volatile oils were obtained by hydodistillation method; type and percentage of components were determined by GC and
GC-MS methods, while similarity index was determined by UPGMA methods. The result indicated that (i) percentage of volatile oil of
big white ginger, blue ginger, and white ginger were 2%, 2.5%, and 2.5% respectively, (ii) number of chemical component those ginger
were 18, 18, and 14 respectively, where big white ginger had two main compound (> 10%) namely -pinene (21.25%) and benzene
(17.11%), blue ginger had three main compound namely -pinene (17.39%), 2,6-octadiene (10.25%), and benzene (19.75%), and white
ginger had four main compound namely -pinene (12.75%), 2,6-octadiene (12.82%), RT 12.15 (10.81%), and benzene (11.75%), (iii)
based on type and percentage of volatile oil component, big white ginger and blue ginger had similarity index of 48%, blue ginger and
white ginger had similarity index of 35%, while big white ginger and white ginger had similarity index of 17%.

Key words: ginger (Zingiber officinale Rosc.), Zingiberaceae, volatile oil, cultivars.

PENDAHULUAN rasanya tidak terlalu pedas dapat diolah sebagai manisan


dan asinan. Jahe emprit yang ukurannya lebih kecil, ber-
Kawasan nusantara pernah dikenal sebagai kepulauan kulit putih atau kuning dan sangat pedas sering digunakan
rempah-rempah karena banyaknya tumbuhan atsiri yang untuk bumbu masakan dan obat. Jahe merah yang ukuran-
berasal dan dibudidayakan, hingga kini terdapat lebih dari nya sedang dan berkulit merah umumnya digunakan untuk
40 jenis minyak atsiri yang berpotensi mendatangkan obat. Di antara jahe gajah dan jahe emprit terdapat berbagai
devisa (Manurung, 2002). Salah satu tumbuhan atsiri yang variasi ukuran jahe. Jahe ini paling umum ditanam dan
terkenal adalah jahe (Zingiber officinale Rosc.). Herba sering diperdagangkan berdasarkan daerah asalnya. Dalam
perennial ini merupakan anggota Familia Zingiberaceae penelitian ini, jahe demikian digolongkan dalam jahe
paling bermanfaat di daerah tropis (Heyne, 1950). Rimpang emprit, mengingat persamaan ciri fisik dan kegunaannya.
jahe yang aromatis dan pedas dimanfaatkan sebagai rem- Ketiga varietas jahe di atas sulit dibedakan berdasarkan
pah-rempah, bumbu masakan, dan sumber obat (Holttum, karakter morfologi bunga, sehingga perlu digunakan
1950; Heyne, 1950). Jahe digunakan secara luas di India karakter lain. Kandungan kimia minyak atsiri merupakan
dan Cina sejak sebelum tarikh masehi, dan diperdagangkan karakter taksonomi yang sangat prospektif (Setyawan,
hingga kawasan Mediterania sejak abad pertama. Jahe 1996), bahkan kadang-kadang menjadi pemicu dilakukan-
sampai di Amerika tidak lama setelah penemuan benua itu nya revisi (Hegnauer, 1986). Kemotaksonomi berkembang
(Encyclopaedia Brittanica, 2000). Penyebaran dan pesat sejalan dengan penemuan baru dalam metode kimia,
penggunaan jahe di Indonesia sangat luas, terbukti dari khususnya kromatografi (Harborne, 1973). Kemotaksonomi
banyaknya masakan etnik dan banyaknya nama daerah dapat menggunakan berbagai macam metabolit sekunder,
untuk menyebut jahe (Heyne, 1950; Burkill, 1935). seperti flavonoid (fenol), terpen, alkaloid, lignan, sterol,
Dalam dunia pertanian, dikenal tiga kultivar (varietas) lilin, lemak, tanin, gula, getah, suberin, resin, karotenoid
jahe berdasarkan ukuran dan warna kulit rimpangnya, yaitu dan lain-lain (Obst, 1999), namun senyawa yang paling
jahe gajah (badak), jahe emprit (biasa) dan jahe merah sering digunakan adalah fenol, alkaloid, terpenoid dan
(berem) (Heyne, 1950; Burkill, 1935; Ochse, 1931). asam amino non-protein. Senyawa-senyawa ini memiliki
Kegunaan praktis ketiganya kadang-kadang berbeda. Jahe kandungan kimia beragam, terdistribusi luas dan memiliki
gajah yang ukurannya besar, berkulit putih atau kuning dan bermacam fungsi (Smith, 1976). Perkembangan metode

2002 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta


SETYAWAN Minyak Atsiri Zingiber officinale 49

kimia terbaru memungkinkan komposisi minyak atsiri da- kromatografi gas cairan (GC) untuk menentukan jumlah
pat ditentukan secara cepat dan menyeluruh (Hegarty dkk., dan kadar senyawa-senyawa penyusun minyak atsiri, serta
2001). Karakter kimia memiliki kelebihan dari pada karak- (iii) kromatografi gas-spektrometer massa (GC-MS) untuk
ter morfologi dan anatomi, karena bahan yang dianalisis menentukan identitas setiap senyawa hasil kromatografi.
tidak harus segar dan lengkap. Bahan kering dan remuk
sekalipun dapat dianalisis dan ditempatkan secara tepat Material tumbuhan
dalam sistem klasifikasi, selama tidak ada kontaminasi Material penelitian ini berupa rimpang jahe (Zingiber
mikrobia atau bahan lain. Spesimen herbarium berumur officinale Rosc.) dari tiga kultivar, yaitu gajah, emprit
ratusan tahun tetap dapat diuji kandungan metabolit (biasa) dan merah, yang dipanen pada musim kemarau
sekundernya dengan tepat (Harborne, 1973). dengan umur sekitar 12 bulan dan telah disimpan selama 2-
Metabolit sekunder utama pada jahe adalah minyak 3 bulan. Material diperoleh dari Pasar Legi, Surakarta dan
atsiri, suatu campuran senyawa mudah menguap yang Pasar Beringharjo, Yogyakarta dengan asumsi jahe ini
kebanyakan tergolong terpenoid (Hegarty dkk., 2001). ditanam di Surakarta, Yogyakarta, dan sekitar. Mengingat
Terpen, yakni hidrokarbon yang dibentuk dari unit isopren lokasi penanamannya tidak dapat ditentukan dengan pasti,
(C5), merupakan kelompok terbesar metabolit sekunder maka rimpang masing-masing varietas dicampur sebagai
tumbuhan (Harborne, 1991). Metabolit sekunder biasanya komposit dan diuji tiga kali.
diperoleh dari proses samping sebagai sampah dan tidak
memiliki fungsi khusus dalam metabolisme (Liu dkk., Cara kerja
1998; Hegarty dkk., 2001), namun secara ekologi sangat Distilasi air. Rimpang pokok (Jawa: empon) yang segar,
penting sebagai penarik, penolak, alelopati, feromon, cukup umur, seragam ukuran dan bentuknya dicuci bersih,
pertahanan dari herbivora atau mikrobia dan lain-lain (a.l. diiris melintang setebal 1-2 mm, dan dikeringanginkan
Grison-Pige dkk., 2001; Kutchan, 2001; Agrawal, 2000, dengan kipas atau di bawah sinar matahari tidak langsung
1998; Dam dkk., 2000; Baldwin, 1998; Karban dan selama 3-4 hari. Simplisia yang telah kering diblender dan
Baldwin, 1997; Banthorpe, 1994; Gershenzon dan Croteau diayak dengan saringan ( 2 mm2), hingga diperoleh serbuk
1991; Meyer dan Karasov, 1991; Luckner, 1990). Hingga halus (Setyawan, 1996). Sebanyak 100 g serbuk dimasukkan
kini telah diidentifikasi lebih dari 30.000 senyawa sekunder dalam labu didih 1000 ml, ditambah akuades sampai kira-
(Buckingham, 1998). Beberapa spesies memiliki struktur kira isi labu, dipasang pada alat penyuling Stahl, buret
anatomi khusus untuk mensintesis dan mengakumulasi diisi 0,2 ml silen, dan dididihkan selama 4-5 jam hingga
terpenoid, berupa saluran, rongga sekresi, atau trikoma minyak atsiri menguap sempurna. Silen yang berfungsi
glanduler (Bohlmann dkk., 2000), pada Familia Zingiber- untuk menaikkan daya kohesi minyak diuapkan dengan
aceae berupa sel bendinding suberin (Setyawan, 1996). evaporator bertekanan rendah, lalu ditambah sedikit
Kebanyakan spesies tidak memiliki struktur khusus, karena Na2SO4 anhidris untuk memastikan minyak atsiri bebas
mensintesis senyawa ini dalam jumlah sangat sedikit dari air, disimpan di tempat sejuk (4-5oC), dalam botol
sebagai aroma bunga atau tanggapan terhadap lingkungan gelap dan ditutup rapat (Guenther, 1948; Anonim, 1977,
seperti patogen dan herbivori (Bohlmann dkk., 2000). dan Arrebola dkk. 1994). Kadar minyak atsiri dinyatakan
Minyak atsiri sangat penting sebagai sumber rasa dan sebagai jumlah minyak atsiri yang dihasilkan dari 100 g
obat (Lata dkk., 2000). Minyak atsiri digunakan untuk serbuk (v/b; ml/100 g) seperti dalam Materia Medika
memberi rasa dan aroma makanan, minuman, parfum dan Indonesia (MMI) (Anonim, 1977, 1978, 1979).
kosmetik (Keita dkk., 2000; Hegarty dkk., 2001). Sifat Kromatografi gas (GC). Minyak atsiri hasil distilasi
toksik alami minyak atsiri berguna dalam pengobatan (Liu dianalisis dengan kromatografi gas untuk menentukan
dkk., 1998). Metabolit sekunder merupakan sumber utama jumlah dan kadar senyawa-senyawa penyusunnya. Jenis
senyawa obat (Harvey, 2000). Sekitar 60% penduduk dunia senyawa penyusun diidentifikasi berdasarkan puncak yang
menggunakan tumbuhan untuk pengobatan (Farnsworth, terbentuk pada kromatogram, yaitu nilai RT (retention
1994) dan minyak atsiri telah lama dikenal sebagai sumber time). Semua senyawa yang memiliki kadar cukup tinggi (>
terapi yang penting, misalnya sebagai senyawa anti bakteri 1%) dianalisis, sedang yang kadarnya rendah (< 1%)
dan anti kangker (Cragg, 1997). diabaikan. Nilai RT dianggap sama pada jarak 0,05, apabila
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan terjadi tumpang tindih pada jarak tersebut, maka dilihat
kadar minyak atsiri pada tiga kultivar jahe (Zingiber nilai di atas atau di bawahnya. Kondisi kromatografi gas
officinale Rosc.), yakni jahe gajah, jahe emprit dan jahe (GC) sebagai berikut: merek: Hewlett-Packard 5890 series
merah, (ii) jumlah jenis (kualitatif) dan kadar (kuantitatif) II, gas pembawa: He, jenis detektor: FID (flame ionization
senyawa-senyawa penyusun minyak atsiri ketiganya, serta detector), jenis kolom: HPS non polar (30 m, 0.33 mm),
(iii) indek similaritas minyak atsiri ketiganya berdasarkan kecepatan gas: 10 ml/menit, kenaikan suhu: 10 C/menit,
jenis dan kadar komponen penyusunnya. suhu awal: 120C, suhu akhir: 270C, suhu injektor:
260C, suhu detektor: 270C, tekanan kolom: 60 kpa,
volume cuplikan: 0,1 l, dan waktu awal: 5 menit.
BAHAN DAN METODE Kromatografi gas-spektrometer massa (GC-MS).
Minyak atsiri yang telah dianalisis dengan kromatografi
Penelitian ini mencakup: (i) distilasi air (hidrodistilasi) gas, dipilih 10 puncak yang secara konsisten muncul pada
untuk menentukan kadar minyak atsiri dalam rimpang dan ketiga varietas jahe dengan kadar tinggi (~ 2%), lalu
memperoleh minyak atsiri untuk uji kromatografi, (ii) dilakukan pendugaan strukturnya berdasarkan spektrum
50 BioSMART Vol. 4, No. 2, Oktober 2002, hal. 48-54

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sejak ratusan tahun yang lalu


telah diketahui bahwa jahe dapat
tumbuh di tempat yang sama selama
bertahun-tahun. Di Jamaika, jahe
dapat ditanam secara ekonomis di
kebun yang sama selama 40 tahun.
Pada musim kemarau yang tidak
menguntungkan dapat ditanam
varietas yang lebih tahan meskipun
dengan produksi lebih rendah yaitu
jahe merah, sedangkan pada musim
hujan dapat ditanam jahe putih biasa
yang nilai jualnya lebih tinggi
(Kilmer, 1898). Oleh karena itu perlu
dilakukan identifikasi dan karakteri-
sasi keanekaragaman jahe, sehingga
upaya peningkatan produksinya dapat
diarahkan.

Kadar minyak atsiri


Jahe umumnya dibedakan menja-
di tiga varietas, yaitu jahe gajah, jahe
Gambar 1. Kromatogram GC dan GC-MS minyak atsiri jahe gajah. Senyawa yang
emprit dan jahe merah, namun di
teridentifikasi: 1. -pinen, 2. kamfen, 3. eukaliptol, 4. borneol, 5. sitral, 6. 2,6-oktadiena,
Indonesia pada dasarnya terdapat
7. benzen, 8. karyofilen, 9. farnesen, dan 10. naftalenon. Senyawa yang belum
diidentifikasi: 1. RT 5.23, 2. RT 6.91, 3. RT 8.92, 4. RT 14.17, 5. RT 15.42, 6. RT 15,71, cukup banyak varietas jahe, yang di-
7. RT 16.28, dan 8. RT 18.07. bedakan berdasarkan bentuk, ukuran
maupun daerah asalnya. Balai
Penelitian Tanaman Rempah dan
massa dengan kromatografi gas-spektrometer massa, dan Obat (Balittro) Bogor memiliki 20-30 nomor koleksi jahe
dicocokkan dengan spektrum massa di bank data NIST (Molide Rizal, 2002, komunikasi pribadi).
Library yang memuat 74.282 jenis senyawa (Arrebola Dalam penelitian ini, kadar minyak atsiri rimpang
dkk., 1994; Agusta dkk., 1998). Kondisi kromatografi gas- ketiga varietas jahe relatif sama dan tidak berbeda jauh
spektrometer massa (GC-MS) sebagai berikut: merek: dengan pustaka-pustaka yang ada. Hidrodistilasi rimpang
Simadzu QP 5000 (Jepang), gas pembawa: He, jenis jahe gajah, jahe merah dan jahe emprit (biasa) secara
kolom: DB 1 (30 m, 0.33 mm), jenis pengion: EI berturut-turut menghasilkan 2%, 2,5% dan 2,5% minyak
(electron impact), kecepatan gas: 40 ml/menit, kenaikan atsiri. Menurut pustaka kadar minyak atsiri pada rimpang
suhu: 10 C/menit, suhu akhir: 250C, suhu awal: 60C, jahe berkisar 0,4-3,1% (Burkill, 1935), 2-3% (Hegnauer,
suhu detektor: 280C, suhu injektor: 270C, tekanan 1963), 1-3% (Purseglove, 1972), atau 2% (Encyclopaedia
kolom: 10 kpa, volume cuplikan: 0,1 l, dan waktu awal: 5 Brittanica, 2000). Kadar minyak atsiri tumbuhan
menit. dipengaruhi oleh tingkat kematangan atau umur panen,
bagian organ yang disuling, musim pemanenanan, tanah
Analisis data dan iklim tempat penanaman, varietas atau spesies yang
Data jenis dan kadar senyawa penyusun minyak atsiri ditanam, serta faktor lingkungan lainnya (Estell dkk., 1994;
ketiga kultivar jahe ditabulasi dalam bentuk biner (0 dan 1) Bryant dkk., 1991; Gershenzon dan Croteau 1991; Jacoby
dan dibuat dendrogram. Setiap jenis senyawa yang hadir dkk., 1990; Cedarleaf dkk., 1983; Guenther, 1948).
diberi nilai 1, sedang senyawa yang tidak hadir diberi nilai Rimpang jahe umumnya mencapai usia panen pada
0. Apabila suatu senyawa selalu hadir pada ketiga kultivar, umur 12 bulan, saat mana daun telah mengering dan tinggal
maka ditentukan berdasarkan kadarnya. Senyawa yang organ rimpang di bawah tanah. Pada umur lebih tua kadar
kadarnya sama atau di atas rata-rata diberi nilai 1, sedang minyak atsiri akan menyusut, sebaliknya kadar pati dan
di bawah rata-rata diberi nilai 0. serat akan meningkat, sebelum akhirnya mati. Konsentrasi
Dendrogram dibuat secara numerik dengan metode terpenoid seringkali lebih besar pada tumbuhan yang belum
pengelompokan koefisien asosiasi (Sneath dan Sokal, betul-betul tua (Gershenzon dan Croteau 1991).
1973), dimana tingkat persamaan harga-harga koefisien Bagian organ yang disuling sangat menentukan kadar
assosiasi ditentukan dengan analisis klaster (Pielou, 1984). minyak atsiri. Pengamatan anatomi pada helai daun, pele-
Model perhitungan ini tercakup dalam UPGMA pah daun, batang semu, akar dan rimpang anggota-anggota
(Unweighted Pair Group Method with Arithmatic mean), Zingiberaceae, menunjukkan bahwa jumlah sel penyimpan
yang dikomputasikan dalam program BIOSYS-1 (Swofford minyak atsiri pada rimpang jauh lebih banyak dibanding-
dan Selander, 1989). kan organ lain, sehingga diperkirakan mengandung lebih
banyak minyak atsiri (Setyawan, 1996).
SETYAWAN Minyak Atsiri Zingiber officinale 51

(Hegarty dkk., 2001). Dalam


penelitian ini, jahe gajah
menghasilkan minyak atsiri lebih
sedikit dibandingkan jahe emprit dan
jahe merah. Di samping itu
patogenisitas (Misaghi, 1982) dan
herbivori (Gershenzon dan Croteau,
1991) dapat dengan cepat
menginduksi pembentukan minyak
atsiri sebagai bentuk pertahanan diri,
namun pengaruhnya tidak permanen
dan dalam jangka pendek. Setelah
serangan tersebut terhenti, produksi
minyak atsiri akan kembali normal.
Metode isolasi juga sangat mem-
pengaruhi kadar minyak atsiri beserta
komposisi dan kadar senyawa-
senyawa penyusunnya (Hegarty dkk.,
2001). Minyak atsiri dapat diperoleh
melalui distilasi, pengempaan dan
ekstraksi (McHugh dan Krukonis,
1986; Guenther, 1948). Minyak atsiri
jahe yang dijual di pasaran umumnya
diperoleh dari proses hidrodistilasi,
Gambar 2. Kromatogram GC dan GC-MS minyak atsiri jahe merah. Senyawa yang sedangkan minyak atsiri yang
teridentifikasi: 1. -pinen, 2. kamfen, 3. eukaliptol, 4. borneol, 5. sitral, 6. 2,6-oktadiena, memiliki titik didih rendah seperti
7. benzen, 8. karyofilen, 9. farnesen, dan 10. naftalenon. Senyawa yang belum aroma bunga umumnya diperoleh
diidentifikasi: 1. RT 1.74, 2. RT 5.23, 3. RT 6.91, 4. RT 12.15, 5. RT 14.50, 6. RT 15.42, melalui pengempaan atau ekstraksi
7. RT 15,71, dan 8. RT 18.07. dengan pelarut organik. Metode
distilasi sangat dipengaruhi kualitas
pengapian. Pemasakan dengan suhu
Musim pemanenan sangat mempengaruhi kadar minyak tinggi akan mempercepat proses distilasi, namun unsur
atsiri (Llusia dan Penuelas, 2000; Liu dkk., 1998; Cedarleaf karbon pada simplisia akan terbakar menjadi arang,
dkk., 1983). Pemanenan pada musim hujan biasanya sehingga minyak atsiri berbau gosong dan kualitasnya
memberikan rendemen minyak atsiri lebih rendah dari pada turun. Di samping itu suhu tinggi selama distilasi akan
musim kemarau, karena pada saat itu tumbuhan sedang mengubah komposisi kimia minyak atsiri dan
dalam tahap pertumbuhan. Kelembaban tanah (Kainulainen menghasilkan senyawa baru yang secara alami tidak
dkk., 1992), banyaknya sinar matahari (Fitter dan Hay disintesis. Senyawa ini dikenal sebagai senyawa artifact.
1987), serta stres lingkungan akibat kekurangan air dapat Misalnya, gingerol yang dihasilkan pada proses ekstraksi
menaikkan konsentrasi senyawa kimia berkerangka karbon, akan didehidrasi menjadi shogaol atau dihidrolisis menjadi
termasuk terpenoid (Gershenzon dan Croteau 1991). Dalam zingeron dan n-heksana pada distilasi (Trease dan Evans,
penelitian ini, rimpang jahe dipanen pada musim kemarau 1978; Hegnauer, 1963). Suhu tinggi menyebabkan
dan telah disimpan selama 2-3 bulan dengan harapan terjadinya proses-proses hidrodifusi, hidrolisis, polimerisasi
rendemen minyak atsiri tinggi. dan resinifikasi (Guenther, 1948). Namun senyawa ini tetap
Tanah dan iklim juga berpengaruh terhadap kadar berguna sebagai karakter pembeda selama sifatnya stabil.
minyak atsiri. Jahe yang ditanam pada tanah yang miskin Metode pengempaan sangat dipengaruhi kemampuan
hara dengan iklim kering, umumnya menghasilkan rimpang mesin kempa. Metode ini biasa digunakan untuk bahan
yang ukurannya lebih kecil, namun dengan kadar minyak segar yang berukuran tipis seperti mahkota bunga. Metode
atsiri tinggi. Ketersediaan nutrien sangat mempengaruhi ekstraksi dapat digunakan untuk mengisolasi minyak atsiri
kadar dan komposisi terpenoid (Gershenzon dan Croteau tanpa melihat jenis bahannya, namun sangat dipengaruhi
1991). Sayangnya dalam penelitian ini, rimpang yang jenis pelarut. Untuk mendapatkan seluruh komponen secara
disuling tidak dapat dipastikan asalnya dan dibuat sebagai utuh harus digunakan lebih dari satu macam pelarut,
komposit jahe gajah, jahe merah dan jahe emprit, sehingga biasanya digunakan pelarut organik dari kepolaran tinggi
tidak diketahui variasi jenis dan kadar komponen minyak ke rendah. Untuk itu dibutuhkan waktu lebih lama, biaya
atsiri berdasarkan lokasi tumbuhnya. lebih mahal, dan minyak atsiri yang dihasilkan tidak
Biosistesis fitokimia sangat dipengaruhi oleh faktor sepenuhnya sama dengan minyak atsiri di pasaran yang
genetik (Estell dkk., 1994), sehingga perbedaan faktor umumnya dihasilkan melalui proses distilasi. Oleh karena
genetik yang ditampilkan dengan perbedaan varietas sangat itu dalam penelitian ini digunakan metode hidrodistilasi
berpengaruh terhadap kadar dan komposisi minyak atsiri. dengan harapan dapat segera diperoleh minyak atsiri yang
Tumbuhan berbeda dari spesies yang sama dapat komposisinya sama dengan minyak atsiri di pasaran.
menghasilkan minyak atsiri yang berbeda kadarnya
52 BioSMART Vol. 4, No. 2, Oktober 2002, hal. 48-54

memungkinkan isolasi lebih lanjut


untuk tujuan-tujuan khusus, seperti
pengobatan, meskipun daya kerja
minyak atsiri seringkali merupakan
sinergi seluruh komponen di
dalamnya, bukan satu atau beberapa
komponen saja.
Secara keseluruhan ditemukan
lima senyawa khas, yakni senyawa
yang hanya muncul pada satu
kultivar. Pada jahe gajah senyawa
khas ditemukan pada RT 8,92 dan
16,28, pada jahe merah ditemukan
pada RT 1,74, sedangkan pada jahe
emprit ditemukan pada RT 4,39 dan
10,05. Senyawa-senyawa ini memi-
liki kadar relatif rendah, berkisar 1-
1,5%, menunjukkan bahwa senyawa
ini khas dan distribusinya terbatas.
Senyawa demikian sangat bergunan
sebagai penanda kimia untuk mem-
bedakan minyak atsiri satu varietas
Gambar 3. Kromatogram GC dan GC-MS minyak atsiri jahe emprit (biasa). Senyawa
dari varietas lain, tentu dengan mem-
yang teridentifikasi: 1. -pinen, 2. kamfen, 3. eukaliptol, 4. borneol, 5. sitral, 6. 2,6-
oktadiena, 7. benzen, 8. karyofilen, dan 9. farnesen. Senyawa yang belum diidentifikasi: perhatikan konsistensi kemunculan-
1. RT 4.39, 2. RT 5.23, 3. RT 6.91, 4. RT 12.15, dan 5. RT 14.50. nya. Hal ini berguna untuk menge-
tahui kemurnian suatu minyak atsiri,
meskipun untuk mengetahui adanya
Komposisi minyak atsiri pemalsuan produk minyak atsiri tetap harus dilakukan
Ketiga kultivar jahe secara keseluruhan menunjukkan pembacaan secara keseluruhan terhadap kromatogram.
23 senyawa penyusun minyak atsiri, dimana jahe gajah dan
jahe merah masing-masing tersusun atas 18 senyawa. Tabel 1. Kadar komponen-komponen kimia penyusun minyak
Sepuluh senyawa yang paling sering muncul dan telah atsiri rimpang berbagai varietas jahe.
diidentifikasi beserta rata-rata nilai RT-nya sebagai berikut:
-pinen (1,74), kamfen (3,52), eukaliptol (5,23), borneol Rerata Rerata kadar (%)
Nama trivial
(6,91), sitral (8,92), 2,6-oktadiena (10,05), benzen (12,15), Nilai RT Jahe gajah Jahe merah Jahe emprit
sedangkan jahe emprit hanya 14 senyawa (Tabel 1). 1,74 1,15
karyofilen (14,17), farnesen (14,22), dan naftalenon 3,52 -pinen 4,19 3,00 2,56
3,75 kamfen 21,25** 17,39* 12,75*
(16,28). Sedang senyawa sisanya yang belum diidentifikasi 4,39 1,94
terletak pada rerata nilai RT berikut: 1,74; 4,39; 5,23; 6,91; 5,23 2,85 1,98 2,53
8,92; 10,05; 12,15; 14,17; 14,50; 15,42; 15,71; 16,28; dan 5,31 eukaliptol 7,65 5,00 3,07
18,07. Di antara senyawa-senyawa yang belum diidentifi- 6,91 1,31 1,26 1,33
kasi tersebut terdapat dua senyawa yang kemunculannya 8,44 borneol 2,10 2,50 1,99
sangat konsisten pada ketiga kultivar, yaitu senyawa 8,92 1,11
dengan nilai RT 5,23, dan 6,91. Sedangkan senyawa yang 9,97 sitral 3,17 4,67 7,99
telah diidentifikasi kesemuanya muncul secara konsisten 10,05 2,74
pada ketiga kultivar meskipun dengan kadar yang 10,51 2,6-oktadiena 5,30 10,25* 12,82*
12,15 1,49 10,81*
bervariasi, kecuali naftalenon pada jahe emprit yang 13,96 benzen 17,11* 19,75* 11,75*
muncul kurang dari 1% sehingga dapat dianggap absen. 14,17 1,44
Secara keseluruhan ditemukan empat senyawa utama (> 14,22 karyofilen 1,14 1,17 4,26
10%) yaitu kamfen, 2,6-oktadiena, benzen dan senyawa 14,29 farnesen 5,27 5,68 4,70
dengan nilai RT 12,15. Kamfen dan benzen ditemukan 14,50 1,07 9,00
secara konsisten pada ketiga kultivar jahe, bahkan kamfen 15,42 1,86 1,52
ditemukan dengan kadar sangat tinggi pada jahe gajah 15,71 1,27 1,18
(21,25%). Kadar ini merupakan kadar komponen tertinggi 16,28 1,46
selama penelitian, sedangkan 2,6-oktadiena ditemukan 16,70 naftalenon 2,29 2,37
18,07 1,86 1,92
sebagai senyawa utama hanya pada jahe merah dan jahe
Total kadar komponen (> 1%) 82,63 83,35 90,24
emprit. Adapun senyawa dengan nilai RT 12,15 hanya Total jumlah komponen
18 18 14
ditemukan sebagai senyawa utama pada jahe emprit, Total komponen utama 2 3 4
meskipun pada kadar lebih rendah juga ditemukan pada Kadar minyak atsiri (%) 2 2,5 2,5
jahe merah. Diketahuinya senyawa-senyawa utama
SETYAWAN Minyak Atsiri Zingiber officinale 53

Puncak yang muncul pada ketiga kultivar jahe cukup komposit. Hal ini memungkinkan pengembangan setiap
banyak, namun sebagian besar dengan kadar sangat rendah kultivar untuk kegunaan yang berbeda-beda sebagaimana
(< 1%) sehingga diabaikan (Gambar 1-3). Kadar total dilakukan masyarakat awam selama ini. Minyak atsiri jahe
minyak atsiri jahe gajah, jahe merah dan jahe emprit gajah dan jahe merah memiliki tingkat kesamaan hingga
dengan kadar 1% atau lebih secara berturut-turut adalah 48%, jahe merah dengan jahe emprit 35%, sedangkan jahe
82,63%, 83,35% dan 90,24%. Hal ini menunjukkan kadar gajah dan jahe emprit hanya 17% (Tabel 2). Secara visual,
minyak atsiri yang tidak digunakan sebagai sifat pembeda jahe emprit memiliki rasa yang jauh lebih pedas dan bau
varietas masih cukup besar, yakni 17,47%, 16,65%, dan lebih menyengat dari pada kedua varietas lain.
9,86%. Secara taksonomi senyawa-senyawa berkadar
rendah ini kurang berguna karena dapat berubah-ubah Tabel 2. Indeks similaritas tiga kultivar jahe berdasarkan jenis
bahkan dapat hilang dari lembar kromatogram yang dan kadar senyawa-senyawa penyusun minyak atsiri.
berbeda. Ketidakkonsistenan puncak-puncak ini dapat
merupakan hasil tanggapan individual tumbuhan terhadap Kultivar Jahe gajah Jahe merah Jahe emprit
kondisi lingkungan, sehingga seringkali khas, dengan Jahe gajah
Jahe merah 48
penyebaran sangat terbatas, bahkan hanya muncul pada
Jahe emprit 17 35
satu varietas atau satu lokasi saja.
Kadar keseluruhan minyak atsiri maupun komponen di
Di luar kemotaksonomi, kajian keanekaragaman hayati
dalamnya dapat bervariasi terutama disebabkan umur
jahe, sebagaimana anggota Zingiberaceae lainnya, dapat
panen, jenis dan tempat tumbuh (Maarse dan Kepner 1970,
dilakukan secara lebih mendalam dengan beberapa metode
Tucker dkk., 1976), namun keberadaan senyawa utama
baru. Penelitian lanjut dengan isozim yang dipadukan
selalu konsisten (Nagy dan Regelin, 1977). Komposisi
dengan data-data kromosom, seperti karyotipe dan
minyak atsiri dapat berubah-ubah karena dapat mengalami
sitogenetika molekuler akan sangat membantu identifikasi
penyusunan kembali secara intra-molekuler (Guenther,
keanekaragaman jahe, terlebih apabila dipadukan dengan
1948). Variasi kimia komponen penyusun minyak atsiri
data sekuen DNA (Apavatjrut dkk., 1999).
disebabkan adanya proses hidroksilasi, metilasi, pemben-
tukan glikosida, disakarida dan lain-lain (Denford, 1984).
Hal ini biasa ditemukan pada senyawa sesquiterpen, salah
KESIMPULAN
satu kelompok minyak atsiri yang bernilai tinggi untuk
taksonomi, karena dapat membedakan spesies, populasi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar minyak
bahkan individu.
atsiri jahe gajah, merah, dan emprit secara berturut-turut
Senyawa zingiberen yang diyakini merupakan sesqui-
adalah 2%, 2,5%, dan 2,5%. Jumlah senyawa minyak atsiri
terpen khas minyak atsiri Zingiberaceae, khususnya jahe
ketiganya secara berturut-turut adalah 18, 18, dan 14.
tidak ditemukan dalam penelitian ini. Tampaknya prosedur
Senyawa utama dengan kadar cukup tinggi (> 10%) pada
distilasi sulit untuk mengambilnya. Zingiberen biasanya
jahe gajah sebanyak dua senyawa, yaitu pada RT 3,75
muncul pada minyak atsiri hasil ekstraksi dengan pelarut
(21,25%) dan 13,96 (17,11%), pada jahe merah sebanyak
alkohol. Kadar zingiberen dapat mencapai 70% dari
tiga senyawa yaitu pada RT 3,75 (17,39%), 10,51
keseluruhan minyak atsiri (Hegnauer, 1963). Senyawa khas
(10,25%), dan 13,96 (19,75%), dan pada jahe emprit
jahe lainnya yang tidak terdeteksi adalah gingerol, shogaol
sebanyak empat senyawa yaitu pada RT 3,75 (12,75%),
dan zingeron. Berbeda dengan zingiberen yang merupakan
10,51 (12,82%), 12,15 (10,81%), dan 13,96 (11,75%).
salah satu pemberi aroma minyak jahe, ketiga senyawa ini
Berdasarkan jenis dan kadar minyak atsirinya, jahe gajah
merupakan pemberi rasa pedas, panas dan pahit. Gingerol
dan jahe merah memiliki tingkat kesamaan hingga 48%,
merupakan senyawa utama pada jahe segar, sedangkan
jahe merah dengan jahe emprit 35%, sedangkan jahe gajah
shogaol dan zingeron merupakan turunan gingerol yang
dan jahe emprit danya 17%.
dihasilkan dari proses pemanasan atau penyimpanan jangka
panjang. Pemanasan dalam distilasi atau pada saat
pengaplikasian dalam kromatografi gas menyebabkan
DAFTAR PUSTAKA
gingerol secara spontan mengalami degradasi menjadi
zingeron dan aldehida (heksana), serta mengalami Agrawal, A.A. 1998. Induced responses to herbivory and increased plant
dehidrasi menjadi shogaol. Rasa pedas jahe dapat performance. Science 297: 1201-1202.
diekstraksi dengan baik menggunakan karbon dioksida cair Agrawal, A.A. 2000. Mechanisms, ecological consequences and
(Chen dkk., 1986a; Chen dkk., 1986b). Dalam penelitian agricultural implications of tri-trophic interactions. Curruent Opinion
on Plant Biology 3:329-335.
ini secara keseluruhan terdapat 13 senyawa yang belum Agusta, A., Y. Jamal dan Chairul. 1998. Analisis komponen kimia daun
diidentifikasi. Penelitian lebih mendalam dengan GC-MS wati (Piper methysticum Forst.f.). Berita Biologi 4 (2&3): 53-59.
pada ke-13 senyawa itu barangkali akan memunculkan Anonim. 1977. Materia Medika Indonesia. Jilid I. Jakarta: Departemen
senyawa-senyawa khas jahe yang belum dideteksi. Kesehatan Republik Indonesia.
Tingkat kesamaan (indeks similaritas) ketiga varietas Anonim. 1978. Materia Medika Indonesia. Jilid II. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia.
jahe berdasarkan jenis dan kadar komponen-komponen Anonim. 1979. Materia Medika Indonesia. Jilid III. Jakarta: Departemen
penyusun minyak atsiri relatif rendah, atau dengan kata lain Kesehatan Republik Indonesia.
tingkat ketidaksamaannya cukup tinggi, meskipun satu Arrebola, M.L., M.C. Navarro, J. Jimenes, and F.A. Ocana. 1994.
spesies dan populasi-populasi intra varietas telah dibuat Variation in yield and composition of the essential oil of Satureja
obovata. Phytochemistry 35 (1): 83-93.
54 BioSMART Vol. 4, No. 2, Oktober 2002, hal. 48-54

Apavatjrut, P., S. Anuntalabhochai, P. Sirirungsa, and C. Alisi. 1999. Hegnauer, R. 1986. Phytochemistry and plant taxonomy-an essay on the
Molecular markers in the identification of some early flowering chemotaxonomy of higher plants. Phytochemistry 25 (7): 1519-1535.
Curcuma L. (Zingiberaceae) species. Annual of Botany 84: 529-534. Heyne, K. 1950. De Nuttige Planten van Indonesie. Deel I. s-
Baldwin, I.T., 1998. Jasmonate-induced responses are costly but benefit Gravenhage: W. van Hoeve.
plants under attack in native populations. Proceedings of the National Holttum, R.E. 1950. The Zingiberaceae of the Malay Peninsula. The
Academy of Sciences USA 95: 8113-8118. Gardens Singapore 13 (1): 1-249.
Banthorpe, D.V. 1994. Terpenoids. In Mann, J., R.S. Davidson, J.B. Jacoby, P.W., R.J. Ansley, C.H. Meadors, and A.H. Huffman. 1990.
Hobbs, D.V. Banthorpe, and J.B. Harborne (eds). Natural Products: Epicuticular wax in honey mesquite: Seasonal accumulation and
their Chemistry and Biological Significance. London: Longman. intraspecific variation. Journal of Range Management 43: 347-350.
Bohlmann, J., D. Martin, N. J. Oldham, and J. Gershenzon. 2000. Kainulainen, P., J. Oksanen, V. Palomiiki, J.K. Holopainen, and T.
Terpenoid secondary metabolism in Arabidopsis thaliana: cDNA Holopainen. 1992. Effect of drought and waterlogging stress on
Cloning, Characterization and Functional Expression of a Myrcene/ needle monoterpenes of Picea abies. Canadian Journal of Botany
(E)-b-Ocimene Synthase. Archives of Biochemistry and Biophysics 70:1613-1616.
375 (2): 261-269. Karban, R and I.T. Baldwin, 1997. Induced Responses to Herbivory.
Bryant J.P., F.D. Provenza, J. Pastor, P.B. Reichardt, T.P. Clausen, and Chicago: Chicago University Press.
J.T. du Toit. 1991. Interactions between woody plants and browsing Keita, S.M, C. Vincent, J.P. Schmit, S. Ramaswamy, and A. Belanger.
mammals mediated by secondary metabolites. Annual Review of 2000. Effect of various volatile oils on Callosobruchus maculatus
Ecology and Systematics 22:431-446. (F.) (Coleoptera: Bruchidae). Journal of Stored Product Research 36:
Buckingham, J. 1998. Dictionary of Natural Products. London: Chapman 355-364.
and Hall. Kilmer, F.B. 1898. Botanical medicine monographs and sundry; in the
Burkill, I.H. 1935. A Dictionary of the Economic Products of the Malay land of ginger Jamaica. American Journal of Pharmacy 70 (2): 1-16
Peninsula. Vol. I. London: Governments of the Straits Settlements Kutchan, T.M. 2001. Ecological arsenal and developmental dispatcher, the
and Federated Malay States by the Crown Agents for the Colonies. paradigm of secondary metabolism. Plant Physiology 125: 58-60.
Cedarleaf, J.D., B.L. Welch, and J.D. Brotherson. 1983. Seasonal Lata K., S. Mande S, and V.V.N. Kishore. 2000. Studies on Quality
variation of monoterpenoids in big sagebrush (Artemisia tridentata). Improvement of Large-Cardamom using an Advanced Gasifier based
Journal of Range Management 36: 492-494. Dryer. New Delhi: Tata Energy Research Institute.
Chen, C.C., R.T. Rosen, and H.T. Ho. 1986a. Chromatigraphic analysis Liu, Z., S.B. Carpenter, W.J. Bourgeois, Y. Yu, R.J. Constantin, M.J.
of gingerol compounds in ginger (Zingiber officinale Roscoe) Falcon, and J.C. Adams. 1998. Variations in the secondary metabolite
extracted by liquid carbon dioxide. Journal of Chromatography 360: camptothecin in relation to tissue age and season in Camptotheca
163-173. acuminata. Tree Physiology 18: 265-270.
Chen, C.C., R.T. Rosen, and H.T. Ho. 1986b. Chromatigraphic analysis Llusia, J. and J. Penuelas. 2000 Seasonal patterns of terpene content and
of isomeric shogaol compounds derived from isolated gingerol emission from seven Mediterranean woody species in field
compounds of ginger (Zingiber officinale Roscoe). Journal of conditions. American Journal of Botany 87 (1): 133140.
Chromatography 360: 175-184. Luckner, M. 1990. Secondary Metabolism in Microorganisms, Plants and
Cragg, G.M. 1997. Natural products in drug discovery and development. Animals. Berlin: Springer-Verlag.
Journal of Natural Product 60: 52-60. Maarse, H. and R.E. Kepner. 1970. Changes in composition of volatile
Dam, N.M. van, K. Hadwich, and I.T. Baldwin, 2000. Induced responses terpenes in Douglas fir needles during maturation. Journal of
in Nicotiana attenuata affect behavior and growth of the specialist Agricultural Food Chemistry 18:1095.
herbivore Manduca sexta. Oecologia 122: 371379. Manurung, T.R. 2002. Minyak atsiri, karunia untuk bangsa Indonesia.
Denford, K.E. 1984. Phytochemical approaches to biosystematics. In Trubus 33 (392): 68-69.
Grant, W.F. (ed.) Plant Biosystematics. Toronto: Academic Press. McHugh MA, Krukonis VJ. 1986. Supercritical Fluid Extraction:
Encyclopaedia Britannica. 2000. Ginger Rhizomes (Zingiber officinale). Principles and Practice. New York: Butterworths.
http://www.britannica.com/bcom/ b/article/2/0,5716,37592+1,00.html Meyer, M. W. and W.H. Karasov. 1991. Chemical aspects of herbivory in
Estell, R.E., E.L. Frederickson, D.M. Anderson, W.F. Mueller, and M.D. arid and semiarid habitats. In: Palo, R.T. and C.T. Robbins (eds.).
Remmenga. 1994. Relationship of tarbush leaf surface secondary Plant Defenses Against Mammalian Herbivory. Boca Raton: CRC
chemistry to livestock herbivory. Journal of Range Management 47: Press.
424-428. Misaghi, I.J. 1982. Physiology and Biochemsitry of Plant-pathogen
Farnsworth, N.R. 1994. Ethnobotany and the Search for New Drugs. New Interactions. New York: Plenum Press.
York: John Wiley and Sons. Nagy, J.G. and W. L. Regelin. 1977. Influence of plant volatile oils on
Fitter, A.H. and R.K.M. Hay. 1987. Environmental Physiology of Plants. food selection by animals. XIIIth Congress of Game Biology 13: 225-
Second edition. New York: Academic Press. 229.
Gersbenzon, J. and R. Croteau. 1991. Terpenoids. In: Rosenthal, G.A. and Obst, J.R. 1999. Special (secondary) metabolites from wood. In Bruce, A.
M.R. Berenbaum (eds.). Herbivores, their interactions with secondary and J.W. Palfreyman (eds.) Forest Products Biotechnology. London:
plant metabolites. Volume 1: The chemical participants. San Diego: Taylor and Francis.
Academic Press. Ochse, J.J. 1931. Vegetables of The Dutch East Indies. Buitenzorg:
Grison-Pige L, J.L. Salanger, M. Martine-Hossaert-McKey, and J. Roy. Archipel Drukkerij.
2001. Carbon allocation to volatiles and other reproductive Pielou, E.C. 1984. The Interpretation of Ecological Data. A Primer on
components in male Ficus carica (Moraceae). American Journal of Classification and Ordination. New York: John Wiley and Sons.
Botany 88 (12): 22142220. Purseglove, J.W. 1972. Tropical Crops Monocotyledons. London:
Guenther E. 1948. The Essential Oils. Vol. I. Toronto: D. van Nostrand Longman.
Company, Inc. Setyawan, A.D. 1996. Kekerabatan Berdasarkan Sifat-sifat Morfologi,
Harborne, J.B. 1973. Phytochemical Methods. London: Chapman and Anatomi dan Kandungan Kimia Minyak Atsiri pada Anggota Familia
Hall. Zingiberaceae. Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Biologi UGM.
Harborne, J.B. 1991. Recent advances in the ecological chemistry of plant Smith, P.M. 1976. The Chemotaxonomy of Plants. London: Edward
terpenoids. In Harborne, J.B. and F.A. Tomas-Barberan (eds.). Arnold.
Ecological Chemistry and Biochemistry of Plant Terpenoids. Oxford: Sneath, P.H.A and R.R. Sokal. 1973. Numerical Taxonomy. San
Clarendon Press. Francisco: W.H. Freeman and Co.
Harvey, A. 2000. Strategies for discovering drugs from previously Swoffort, D.L. and R.B. Selander. 1989. BIOSYS-1: a computer program
unexplored natural products. Drug Discovery Today 5 (7): 294-300. for the analysis of allelic variation in population genetics and
Hegarty, M.P, E.E. Hegarty, and R.B.H. Wills. 2001. Australian Plant biochemical systematics, release 1.7. Illinois: Natural History Survey.
Bushfoods. Kingston: Rural Industries Research and Development Trease, G.E. and W.C. Evans. 1978. Pharmacognasy. Eleventh edition.
Corporation. London: Bailliere Tindall.
Hegnauer, R. 1963. Chemotaxonomie der Pflanzen (Monocotyledoneae). Tucker, R.E., W. Majak, P.D. Parkinson, and A. McLean. 1976.
Band II. Bassel und Stuttgart: Birkhauser Verlag. Palatability of Douglas fir foliage to mule deer in relation to chemical
and spatial factors. Journal of Range Management 29: 486-489.
BioSMART ISSN: 1411-321X
Volume 4, Nomor 2 Oktober 2002
Halaman: 48-54

2002 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta

You might also like