Professional Documents
Culture Documents
Analisis Pemangku Kepentingan
Analisis Pemangku Kepentingan
Fitri Nurfatriani1, Dudung Darusman2, Dodik Ridho Nurrochmat2, & Ahmad Erani Yustika3
1
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim;
Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor, Indonesia; e-mail: nurfatriani@yahoo.com
2
Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga, Bogor,
Indonesia; e-mail: dudungdarusman@gmail.com, dnrochmat@yahoo.com
3Departemen Ekonomi Pembangunan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya,
ABSTRACT
The current fiscal policy in the forestry sector is still dominated by the management of timber extraction as a basic for sharing
forestry revenues from central to local government. Therefore, it requires some shift towards green fiscal policies which positioning the
overall benefits of forests. In order to prepare on green fiscal policy framework, it is required the analysis of stakeholders involved in the
formulation of green fiscal policy. The objectives of the research are to identify, categorize and investigate the relationship among the
involved stakeholders at national and sub-national levels, and then to formulate green fiscal policy by using stakeholders analysis
method. The analysis results show that there are 18 involved stakeholders consists of five key stakeholders, seven primary stakeholders
and six secondary stakeholders. Based on the category of stakeholders involved in the formulation of green fiscal policy as key players,
context setters, subjects and crowds, it is realized the great need for strategies to optimize stakeholders management by enhancing
colaboration and cooperation between the subjects and the key players. This will be better achieved by increasing effective cooperation
and collaboration between central and local governments in implementing the current fiscal policy on forestry.
ABSTRAK
Kebijakan fiskal kehutanan saat ini masih didominasi oleh pengaturan hasil ekstraksi kayu sebagai dasar
pembagian hasil penerimaan kehutanan dari pusat ke daerah. Untuk itu diperlukan pergeseran ke arah kebijakan
fiskal hijau yang memposisikan manfaat hutan secara menyeluruh. Sebagai penyiapan kerangka kebijakan fiskal
hijau diperlukan analisis pemangku kepentingan yang terlibat dalam perumusan kebijakan fiskal hijau. Tulisan ini
bertujuan untuk mengidentifikasi, membuat kategori dan menyelidiki hubungan antara pemangku kepentingan
di tingkat nasional dan sub nasional dalam perumusan kebijakan fiskal hijau menggunakan analisis pemangku
kepentingan. Dari hasil analisis diperoleh 18 pemangku kepentingan yang terdiri atas lima pemangku kepentingan
kunci, tujuh pemangku kepentingan utama serta enam pemangku kepentingan pendukung. Berdasarkan kategori
pemangku kepentingan yang terlibat dalam perumusan kebijakan fiskal hijau yaitu sebagai key players, context setter,
subject dan crowd maka perlu strategi untuk mengoptimalkan pengaturan pemangku kepentingan dalam
perwujudan kebijakan fiskal hijau yaitu melalui peningkatan kolaborasi dan kerja sama antara subject dan key players
yang memiliki tingkat kepentingan tinggi terhadap kebijakan fiskal hijau. Hal ini dapat terwujud melalui
peningkatan kerja sama dan kolaborasi yang efektif antara pemerintah pusat dan daerah dalam perwujudan
kebijakan fiskal hijau dan praktek pengaturan kebijakan fiskal kehutanan saat ini.
Kata kunci: Fiskal hijau, kebijakan fiskal kehutanan, pemangku kepentingan, kebijakan.
105
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol. 12 No. 2, Agustus 2015 : 105 - 124
106
Analisis Pemangku Kepentingan dalam Transformasi Fiskal Hijau
Fitri Nurfatriani et al.
Juni 2013 sampai dengan bulan Juni 2014. Lokasi kegiatan memperbaiki lingkungan (Scholten,
tersebut dipilih karena berdasarkan hasil analisis 2001; Chaturvedi et al., 2014). Secara lebih
spasial, luas kawasan hutan di Kabupaten konkret, kebijakan fiskal hijau di sektor kehutanan
Tanjung Jabung Timur adalah 213.089 ha atau akan mengarah kepada optimalisasi manfaat
38% dari total luas wilayah Kabupaten Tanjung hutan secara menyeluruh, tidak hanya manfaat
Jabung Timur yang memiliki potensi hasil jasa sebagai penghasil produk kayu akan tetapi
lingkungan tinggi dari Taman Nasional Berbak, termasuk juga di dalamnya fungsi lingkungan
hutan lindung gambut dan Cagar Alam Bakau sebagai pencegah erosi, sedimentasi, tata air,
Pantai Timur (Dinas Kehutanan dan Perkebunan keanekaragaman hayati dan kemampuan pe-
Tanjabtim, 2012). Dengan demikian terbuka nyerapan karbon. Nilai-nilai tersebut menjadi
pilihan-pilihan untuk pemanfaatan hasil hutan dasar dalam perumusan kebijakan fiskal dalam
yang berorientasi kayu atau jasa lingkungan pemanfaatan sumber daya alam.
sehingga memiliki relevansi yang kuat dengan Dalam penyiapan kerangka infrastruktur
upaya perwujudan kebijakan fiskal hijau. kebijakan fiskal hijau perlu dipastikan partisipasi
publik pada perumusan rancangan kebijakan
B. Kerangka Pemikiran fiskal hijau. Partisipasi publik yang akan dianalisis
adalah aktor yang terlibat, kepentingan, agenda
Kebijakan fiskal kehutanan saat ini didasari
dan pengaruh para aktor yang terlibat pada proses
oleh UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan
perumusan rancangan kebijakan fiskal hijau.
Keuangan Pusat dan Daerah sebagai implikasi
Dengan demikian perlu dilakukan analisis
desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan
stakeholder atau pemangku kepentingan sebagai
daerah. Berdasarkan peraturan ini daerah
suatu proses untuk mengidentifikasi individu,
menerima alokasi DBH kehutanan berdasarkan
kelompok dan organisasi yang dipengaruhi atau
volume kayu yang diekstraksi sehingga daerah
dapat memengaruhi lingkungan dan generasi yang
yang kaya akan sumber daya alam mendapatkan
akan datang serta memprioritaskan individu-
dana yang lebih besar dari pendapatan yang
individu dan kelompok untuk terlibat dalam
berasal dari ekstraksi sumber daya alam
proses pengambilan keputusan (Reed et al., 2009).
(Nurrochmat et al., 2010). Hal ini memicu daerah
Menurut Bryson (2004) analisis pemangku
untuk mengeksploitasi sumber daya hutannya
kepentingan memiliki kegunaan untuk: 1)
untuk meningkatkan penerimaan daerah dengan
menghindari kebijakan yang gagal karena
laju rehabilitasi hutan yang rendah sehingga
pengambil kebijakan gagal mengetahui
menimbulkan deforestasi dan degradasi hutan
kepentingan dan informasi dari pemangku
(Nurrochmat, 2005; Barr et al., 2006; Wisuandini,
kepentingan kunci; 2) menghubungkan banyak
2009; Ekawati et al., 2012). Di samping itu
pihak yang terlibat secara global; 3) sebagai aspek
pembagian alokasi DBH kehutanan ini belum
penting dalam pemecahan masalah; 4)
memasukkan faktor indeks kinerja daerah dalam
memperbaiki kinerja organisasi; 5) membantu
melaksanakan pengelolaan hutan secara lestari
keberhasilan organisasi publik dalam mencapai
sebagai prasyarat penyaluran DBH maupun
tujuan dan 6) memberikan kontribusi penting
penyediaan insentif bagi daerah yang melaksana-
untuk menciptakan nilai melalui dampaknya pada
kan pengelolaan hutan secara berkelanjutan.
fungsi-fungsi atau kegiatan dalam strategi
Gambaran ini menunjukkan bahwa perlu ada
pengelolaan.
pergeseran arah kebijakan fiskal kehutanan ke
Kerangka pemikiran dalam penelitian
arah kebijakan fiskal hijau yang mengarahkan
disajikan pada Gambar 1.
penggunaan kembali penerimaan negara untuk
107
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol. 12 No. 2, Agustus 2015 : 105 - 124
Tabel 1. Teori, metode analisis data, variabel dan sumber data penelitian
Table 1. Theory, method, variables and data sources
Teori yang Metode analisis data
Tujuan Variabel Sumber data
digunakan (Method of data
(Objective) (Variables) (Data sources)
(Theory used) analysis)
Teridentifikasinya - Teori Analisis pemangku - Aktor yang Kementerian Keuangan,
para aktor yang Stakeholder kepentingan (Reed terlibat dalam Kementerian Kehutanan,
terlibat beserta (Eden & et al., 2009; ODA , perancangan Bappenas, Badan
pengaruh dan Eckermann, 1995; Grimble, kebijakan fiskal Pengelola REDD+ (BP
kepentingannya dalam 1998; Friedman 1998; Bryson, 2004) hijau REDD+), Dewan
perancangan & Miles, 2006; - Peran para aktor Nasional Perubahan Iklim
kebijakan fiskal hijau Bryson, 2004) - Kepentingan para (DNPI), Kementerian
- Teori kategori aktor Lingkungan Hidup,
Stakeholder - Pengaruh para Dinas Kehutanan Provinsi
(Eden & aktor dan Kabupaten, Bappeda
Eckermann, Provinsi dan Kabupaten,
1998; Reed et Badan Pengelola
al., 2009) Keuangan dan Aset
Daerah, LSM, Universitas
Jambi, Pemegang ijin HTI,
narasumber/ informan
kunci
Sumber: data primer/diolah (2014)
Source: primary data/processed (2014)
108
Analisis Pemangku Kepentingan dalam Transformasi Fiskal Hijau
Fitri Nurfatriani et al.
109
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol. 12 No. 2, Agustus 2015 : 105 - 124
an dan pengaruh yang rendah. Matriks kepenting- implementor, evaluator, advokator dan penerima
an-pengaruh dapat menjadi alat untuk memetakan manfaat. Sementara itu kepentingan para pihak
tingkat kepentingan dan pengaruh pemangku dalam perumusan kebijakan fiskal hijau dike-
kepentingan terhadap suatu isu berdimensi 2 x 2 lompokkan berdasarkan kepentingan ekonomi,
seperti terlihat pada Gambar 2. Posisi kuadran sosial, lingkungan dan politik sebagaimana yang
dapat menggambarkan posisi dan peranan yang dilakukan Lienert et al. (2013) pada penelitian
dimainkan oleh masing-masing pemangku analisis para pihak yang dikombinasikan dengan
kepentingan terhadap perumusan kebijakan fiskal analisis jaringan sosial dengan menggunakan
hijau. kategori kepentingan ekonomi, sosial, teknis dan
Dalam menentukan tingkat kepentingan dan lingkungan dalam proses perencanaan infra-
pengaruh pemangku kepentingan digunakan struktur air.
modifikasi dari analisis terhadap kepentingan dan Derajat kepentingan dan pengaruh pemangku
agenda pemangku kepentingan berdasarkan kepentingan dalam perumusan kebijakan fiskal
Grimble (1998). Menurut Grimble (1998) hijau dinilai secara kualitatif dari hasil wawancara,
kepentingan dan agenda pemangku kepentingan FGD dan data sekunder. Tingkat kepentingan dan
dapat dilihat dari: kepentingan pemangku pengaruh pemangku kepentingan diklasifikasikan
kepentingan, dampak potensial, tingkat menjadi rendah, sedang dan tinggi menggunakan
kepentingan relatif dan pengaruh kelompok. kriteria yang diadopsi dari ODA (1995), Grimble
Pada analisis ini untuk menentukan pengaruh (1998) serta Eden dan Eckermann (1998).
pemangku kepentingan dilihat berdasarkan peran Penilaian derajat kepentingan dan pengaruh
pemangku kepentingan dalam perumusan dalam analisis pemangku kepentingan secara
kebijakan fiskal hijau. Peran para pihak dalam kualitatif telah dilakukan oleh Muttaqin (2012)
kebijakan fiskal hijau akan digolongkan dan Hero (2012). Tingkat kepentingan dan
berdasarkan peran para aktor dalam pembuatan pengaruh pemangku kepentingan diklasifikasi-
kebijakan menurut Dunn (2003) dan Birkland kan mengikuti kriteria sebagai berikut:
(2001) yaitu sebagai regulator, fasilitator,
110
Analisis Pemangku Kepentingan dalam Transformasi Fiskal Hijau
Fitri Nurfatriani et al.
111
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol. 12 No. 2, Agustus 2015 : 105 - 124
Implementor Politik
Fasilitator Lingkungan
Evaluator
3. Bappenas Regulator tingkat nasional Ekonomi Tinggi Tinggi
Implementor Sosial
Fasilitator Lingkungan
Evaluator
4. Kementerian Regulator tingkat nasional Lingkungan Tinggi Tinggi
Lingkungan Hidup
Implementor
Fasilitator
Evaluator
5. Kementerian Dalam Regulator tingkat nasional Sosial Tinggi Sedang
Negeri
Fasilitator Lingkungan
Evaluator
B. Pemangku kepentingan utama
6. Dinas Kehutanan Implementor Lingkungan Sedang Tinggi
Provinsi
Fasilitator Politik
Regulator penggunaan
anggaran kehutanan tingkat
provinsi
7. Dinas Kehutanan Implementor Sosial Sedang Tinggi
Kabupaten
Fasilitator Lingkungan
Regulator penggunaan
anggaran kehutanan tingkat
kabupaten
8. Pemegang ijin usaha Implementor Ekonomi Sedang Sedang
pemanfaatan hasil Advokator Politik
hutan
9. Bappeda Kabupaten Regulator penyusunan Sosial Sedang Tinggi
APBD tingkat kabupaten
Implementor Ekonomi
Lingkungan
10. Bappeda Provinsi Regulator penyusunan Lingkungan Sedang Sedang
APBD tingkat provinsi
Implementor Ekonomi
11. Badan Lingkungan Regulator kebijakan teknis Lingkungan Sedang Tinggi
Hidup Provinsi lingkungan tingkat provinsi
12. Penduduk desa sekitar Penerima manfaat dari Sosial Rendah Sedang
hutan kebijakan Lingkungan
Ekonomi
112
Analisis Pemangku Kepentingan dalam Transformasi Fiskal Hijau
Fitri Nurfatriani et al.
Tabel 2. Lanjutan
Table 2. Continued
Kategori pemangku Derajat
No Peran Kepentingan Derajat pengaruh
kepentingan kepentingan
. (Roles) (Interest) (Level of influence)
(Stakeholders category) (Level of interest)
C. Pemangku kepentingan pendukung
13. Badan Pengelola Fasilitator Ekonomi Sedang Tinggi
REDD+
Implementor Lingkungan
Advokator Sosial
14. DNPI Fasilitator Ekonomi Sedang Tinggi
Implementor Lingkungan
Advokator
15. Dinas Pendapatan Implementor Sosial Rendah Sedang
Daerah Provinsi
Fasilitator Ekonomi
Regulator penyusunan
APBD tingkat provinsi
16. Dinas Pendapatan, Implementor Lingkungan Rendah Sedang
Pengelolaan Keuangan
dan Aset Daerah Fasilitator Sosial
Kabupaten Regulator penyusunan Ekonomi
APBD tingkat provinsi
17. Universitas Jambi Advokator Lingkungan Sedang Tinggi
Fasilitator Ekonomi
18. ZSL Advokator Sosial Rendah Tinggi
Fasilitator Lingkungan
Ekonomi
19. Warsi Advokator Sosial Rendah Sedang
Fasilitator Lingkungan
Ekonomi
Sumber: data primer/diolah (2014)
Source: primary data/processed (2014)
tetapi ini menjadi dasar hukum utama bagi perbaikan lingkungan khususnya kehutanan
digunakannya instrumen ekonomi untuk dalam RPJMN dan RPJP yang dijadikan dasar
memperbaiki lingkungan hidup. penyusunan rencana strategis (Renstra) dan
Bappenas khususnya direktorat yang anggaran di setiap kementerian/lembaga (K/L).
menangani bidang pangan dan pertanian, Sementara itu Kemendagri juga menjadi
kehutanan dan konservasi sumber daya air, pemangku kepentingan kunci dengan kewenang-
kelautan dan perikanan, sumber daya energi, an me mb e rik an pe r t imb ang a n ke p ada
mineral dan pertambangan serta lingkungan kementerian teknis dalam penetapan daerah
hidup, menjadi pemangku kepentingan kunci penghasil pada mekanisme pembagian DBH ke
sebagai perumus kebijakan perencanaan daerah, juga sebagai instansi pemerintah pusat
pembangunan nasional pada khususnya. Terkait yang mengevaluasi penetapan anggaran pemda
kebijakan fiskal hijau, Bappenas menjadi kunci (APBD) dan pengalokasiannya khususnya dari
dalam mengarusutamakan isu fiskal hijau dalam dana perimbangan.
pembangunan nasional yang dituangkan dalam Dinas kehutanan provinsi, dinas kehutanan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah kabupaten, pemegang ijin usaha pemanfaatan
Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan hasil hutan, bappeda kabupaten, bappeda
Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Bappenas provinsi, badan lingkungan hidup provinsi
berperan sentral untuk memasukkan isu-isu menjadi pemangku kepentingan utama yaitu
113
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol. 12 No. 2, Agustus 2015 : 105 - 124
pemangku kepentingan yang secara langsung Jabung Timur diwakili oleh PT Wirakarya Sakti
terkena dampak, baik positif maupun negatif dari (WKS) sebagai satu-satunya pemegang ijin
adanya kebijakan fiskal hijau. Dinas kehutanan pemanfaatan dan pengusahaan Hutan Tanaman
provinsi dan dinas kehutanan kabupaten Industri. PT WKS berperan sebagai wajib bayar
merupakan instansi pemerintah daerah yang iuran kehutanan yang sangat dipengaruhi oleh
bertanggungjawab melaksanakan peraturan di adanya berbagai peraturan terkait tarif iuran
tingkat pusat khususnya peraturan terkait fiskal kehutanan dan tata cara pemungutan dan
kehutanan yang dirumuskan oleh pemerintah pengenaan iuran kehutanan. Pemegang ijin usaha
pusat. Dinas kehutanan mempunyai tugas ini juga akan menjadi salah satu aktor bila praktik
melaksanakan sebagian urusan pemerintahan pemanfaatan jasa lingkungan dan implementasi
daerah berdasarkan azas otonomi dan tugas skema insentif bagi pengurangan emisi dari
pembantuan di bidang kehutanan yang diatur deforestasi dan degradasi hutan diimplementasi-
dalam Peraturan Daerah Provinsi Jambi No. 14 kan. Sementara itu instansi pemda lainnya yang
tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja menjadi pemangku kepentingan utama adalah
Dinas Daerah Provinsi Jambi. Dengan demikian Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah
dinas kehutanan provinsi juga menyelenggarakan (Bappeda) provinsi, Bappeda kabupaten dan
urusan pemerintahan dan pelayanan umum di Badan Lingkungan Hidup (BLH) provinsi.
bidang kehutanan termasuk di dalamnya iuran Bappeda provinsi dan Bappeda kabupaten adalah
kehutanan, pemanfaatan jasa lingkungan hutan instansi pemda yang menjadi wakil ketua Tim
dan pengurangan emisi GRK dari kehutanan, Anggaran Pemerintah Daerah dalam penyusunan
pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang penggunaan anggaran untuk kehutanan di tingkat
kehutanan. provinsi dan kabupaten berdasarkan pertimba-
Terkait pengaturan iuran kehutanan dinas ngan teknis. Untuk itu Bappeda provinsi dan
kehutanan provinsi hanya sebatas melakukan kabupaten hanya bertugas melaksanakan
rekapitulasi, dokumentasi dan pelaporan atas penyusunan anggaran daerah berdasarkan
segala penerimaan kehutanan dari kabupaten di penerimaan daerah yang dipengaruhi oleh
wilayahnya. Demikian pula dinas kehutanan kebijakan fiskal kehutanan.
kabupaten berkewajiban untuk melaksanakan Sementara itu BLH provinsi menjadi
pelayanan umum di bidang kehutanan dan pemangku kepentingan utama dalam perumusan
pembinaan teknis terhadap Unit Pelaksana Teknis kebijakan fiskal hijau mengingat tugas BLH
(UPT) di lingkup wilayahnya sesuai dengan provinsi sebagai perumus kebijakan teknis di
Peraturan Daerah Kabupaten Tanjung Jabung bidang lingkungan hidup tingkat provinsi,
Timur No. 19 tahun 2003 tentang Organisasi pembina dan pelaksana tugas di bidang
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten lingkungan hidup, salah satu instansi yang terlibat
Tanjung Jabung Timur. Dinas kehutanan dalam perancangan Rencana Aksi Daerah (RAD)
kabupaten merupakan ujung tombak instansi GRK Provinsi Jambi dan anggota Pokja pe-
pemerintah yang melakukan pengumpulan, nurunan emisi GRK tingkat Provinsi. Pemangku
penagihan, pengenaan dan pelaporan iuran kepentingan utama yang terakhir adalah
kehutanan di lapangan. Dengan demikian sesuai masyarakat sekitar hutan yaitu kelompok yang
PP No. 38 tahun 2007 tentang Kewenangan mengambil manfaat dari hutan, menerima
Pemerintah Pusat dan Daerah, khusus untuk berbagai manfaat dari pelaksanaan program
pengaturan penerimaan negara bukan pajak pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah
(PNBP) kehutanan pemerintah kabupaten dalam maupun Corporate Social Responsibility (CSR) dari
hal ini dinas kehutanan kabupaten bertanggung- perusahaan swasta juga sebagai pelaksana
jawab terhadap pelaksanaan pemungutan PNBP program penanaman yang didanai dari penerima-
skala kabupaten/kota. an kehutanan. Jika kebijakan fiskal kehutanan
Pemangku kepentingan utama lainnya adalah diarahkan untuk memperbaiki fungsi hutan maka
pemegang ijin pemanfaatan dan pengusahaan masyarakat akan mengalami dampak kebijakan
hutan. Dalam studi kasus di Kabupaten Tanjung tersebut. Sebagai contoh, peningkatan atau pe-
114
Analisis Pemangku Kepentingan dalam Transformasi Fiskal Hijau
Fitri Nurfatriani et al.
nurunan alokasi anggaran pemerintah untuk yang melakukan advokasi agar kebijakan dan
masyarakat dari penerimaan iuran kehutanan akan implementasi kebijakan kehutanan berpihak pada
berdampak pada kehidupan masyarakat pembangunan yang berkelanjutan melalui
khususnya di sekitar hutan. kegiatan-kegiatan yang menuju pengelolaan hutan
Ke lompok te rakhi r dari pe mangku lestari dan pengurangan emisi GRK dari
kepentingan yang terlibat dalam perumusan kehutanan. ZSL merupakan LSM yang bergerak
kebijakan fiskal hijau adalah pemangku dalam konservasi satwa dan merupakan pelaksana
kepentingan pendukung (secondary stakeholder) Demonstration Activity (DA) REDD+ di TN Berbak
yang merupakan perantara dalam proses melalui kegiatan Carbon Inititative Berbak,
implementasi kebijakan fiskal hijau ataupun sedangkan Warsi merupakan LSM yang bergerak
pihak-pihak yang tidak memiliki kaitan secara dalam advokasi untuk mengembangkan dan
langsung terhadap kebijakan fiskal hijau tetapi memperkuat hutan adat di Provinsi Jambi serta
memiliki kepedulian atas keputusan kebijakan bergerak dalam program pemberdayaan
fiskal hijau. Termasuk dalam kelompok ini adalah masyarakat sekitar hutan. Dengan demikian
Badan Pengelola REDD+, Dinas Pendapatan lembaga-lembaga ini merupakan lembaga yang
Daerah Provinsi, Dinas Pendapatan Pengelolaan tidak memiliki kaitan secara langsung terhadap
Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten, kebijakan fiskal hijau tetapi memiliki kepedulian
Universitas Jambi, ZSL, Warsi dan penduduk desa atas keputusan kebijakan fiskal kehutanan
sekitar hutan. Para pemangku kepentingan ini terhadap kelestarian hutan.
dapat digolongkan sebagai lembaga pemerintah
yang berperan dalam implementasi kebijakan B. Pengelompokan dan Pengategorian
fiskal kehutanan dan pendanaan, organisasi Pemangku Kepentingan
pemantau dan advokasi, LSM, lembaga akademik
Tahap berikutnya adalah mengelompokkan
dan masyarakat. BP REDD+ merupakan badan
pemangku kepentingan berdasarkan tingkat
bentukan presiden yang bertugas menyiapkan
kepentingan dan pengaruhnya, menggunakan
kelembagaan untuk implementasi REDD+. BP
modifikasi dari analisis terhadap kepentingan dan
REDD+ tidak memiliki kewenangan untuk
agenda pemangku kepentingan berdasarkan
mengeluarkan kebijakan formal sehingga
Grimble (1998) dan pengaruh pemangku kepenti-
tugasnya sebatas memfasilitasi dan mengordinir
ngan dilihat berdasarkan peran pemangku
institusi-institusi yang memiliki kewenangan
kepentingan dalam perumusan kebijakan fiskal
untuk mengeluarkan kebijakan terkait fiskal hijau,
hijau menurut Dunn (2003) dan Birkland (2001).
khususnya dalam hal penyiapan dan koordinasi
Matriks hasil analisis penilaian tingkat pengaruh
instrumen dan mekanisme pendanaan REDD+.
dan kepentingan para pemangku kepentingan
Sementara itu Dinas Pendapatan Daerah
dalam perumusan kebijakan fiskal hijau dapat
Provinsi dan Dinas Pendapatan Pengelolaan
dilihat pada Tabel 2.
Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten merupa-
Dari hasil pengolahan data menggunakan
kan lembaga pemerintah yang bertanggung jawab
matriks kepentingan-pengaruh (interestinfluence
sebagai bendahara kas daerah yang menerima
matrix) (Gambar 3), pemangku kepentingan untuk
pendapatan daerah yang berasal dari dana per-
setiap kategori dalam perumusan kebijakan fiskal
imbangan, khususnya dari kehutanan, memasti-
hijau terdiri atas:
kan ketepatan jumlah dan waktu penerimaan serta
- Key player: Kementerian Kehutanan, Ke-
melakukan pencocokan jumlah penerimaan.
menterian Keuangan, Bappenas, Kementerian
Dengan demikian lembaga pemerintah ini
Lingkungan Hidup.
berperan sebagai mediator dalam menerima
- Context setters: Kementerian Dalam Negeri.
pendapatan daerah untuk dapat disalurkan
- Subjects: BP REDD+, DNPI, dinas kehutanan
kembali melalui penganggaran Satuan Kerja
provinsi dan kabupaten, bappeda provinsi
Perangkat Daerah (SKPD) di daerah. Lembaga
dan kabupaten, badan lingkungan hidup
akademik dan LSM seperti Universitas Jambi
provinsi, PT WKS, ZSL, Universitas Jambi,
(Unja), ZSL dan Warsi berfungsi sebagai lembaga
115
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol. 12 No. 2, Agustus 2015 : 105 - 124
dispenda provinsi dan kabupaten, masyarakat Kebijakan Fiskal yang memiliki tugas untuk
sekitar hutan. mengelola pendanaan dan pembiayaan perubahan
- Crowd: Warsi. iklim. Kepentingan politik juga menjadi salah satu
Dari hasil analisis pemangku kepentingan kepentingan Kementerian Keuangan mengingat
diperoleh bahwa Kementerian Kehutanan, beban target penerimaan negara juga diserahkan
Kementerian Keuangan, Kementerian Lingkung- ke Kementerian Keuangan. Bappenas dan Ke-
an Hidup dan Bappenas merupakan key players menterian Lingkungan Hidup juga memiliki ting-
(Gambar 3) yang memiliki tingkat kepentingan kat kepentingan yang tinggi, mengingat motivasi
dan pengaruh yang tinggi dalam perumusan untuk perwujudan fiskal hijau bagi Bappenas dan
kebijakan fiskal hijau. Hal ini disebabkan karena Kementerian Lingkungan Hidup adalah untuk
institusi-institusi tersebut merupakan regulator menjaga fungsi lingkungan dengan mengurangi
sekaligus juga implementor, fasilitator dan kerusakan hutan dengan cara mengurangi emisi
evaluator sehingga sangat berpengaruh terhadap GRK dari hutan. Bappenas memiliki ke-
terwujudnya kebijakan fiskal hijau. Key players pentingan yang tinggi dengan memasukkan prog-
dapat memengaruhi tersusunnya kebijakan fiskal ram penurunan emisi GRK ini dalam RPJMN pe-
hijau dari sumber daya modal yang dimiliki melalui riode 2010-2014. RPJM Nasional 2010-2014 me-
penetapan anggaran yang mendukung ke arah muat sasaran pembangunan nasional untuk me-
fiskal hijau, kewenangan dalam menyusun per- ngurangi jumlah penduduk miskin dan penduduk
aturan terkait iuran kehutanan, PNBP, DBH yang menganggur dengan menggunakan strategi
kehutanan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pembangunan pro growth, pro job, pro poor dan pro
penurunan emisi GRK kehutanan. Tupoksi dari environment. Kebijakan pembangunan diarahkan
institusi-institusi tersebut membuat tingkat untuk meningkatkan pertumbuhan yang
pengetahuan yang dimiliki key players lebih dalam menghasilkan lapangan kerja, mengurangi
dibanding pemangku kepentingan yang lain. kemiskinan dan tidak merusak lingkungan hidup.
Sementara itu tingkat kepentingan Kementerian Dari hasil analisis diketahui bahwa
Kehutanan sebagai key players dalam perumusan Kementerian Dalam Negeri termasuk pemangku
kebijakan fiskal hijau meliputi kepentingan kepentingan kategori context setter yaitu pemangku
ekonomi, sosial, lingkungan dan politik. kepentingan yang memiliki pengaruh tinggi tetapi
Kementerian Kehutanan memiliki kepentingan kepentingannya rendah. Pengaruh yang tinggi
agar penerimaan dari kehutanan dapat kembali diperoleh dari peran Kementerian Dalam Negeri
untuk perbaikan dan pengelolaan hutan sehingga sebagai regulator yaitu pemberi pertimbangan
dapat bermanfaat bagi masyarakat sekitar hutan, teknis dalam menentukan daerah penghasil DBH
menjaga fungsi ekosistem hutan, sekaligus juga sekaligus sebagai fasilitator dan evaluator dalam
terdapat kepentingan untuk meningkatkan pe- penyusunan dan penilaian kinerja APBD. Semen-
nerimaan dari hutan yang dibebankan secara tara itu, tingkat kepentingan Kementerian Dalam
politik di tingkat parlemen. Selain itu Indonesia Negeri lebih rendah daripada keyplayers dalam
sebagai salah satu negara yang meratifikasi perumusan kebijakan fiskal hijau. Dari hasil
Protokol Kyoto dan berperan aktif dalam wawancara dengan narasumber, Kementerian
berbagai konvensi internasional perubahan iklim Dalam Negeri lebih mempertimbangkan aspek
memiliki tang gung jawab politik untuk kepentingan terpeliharanya fungsi ekologis hutan
mewujudkan fiskal hijau di Indonesia. dan sosial bagi masyarakat daripada kepentingan
Kementerian Keuangan berkepentingan agar lainnya.
penerimaan negara meningkat, pengelolaan Instansi pemerintah daerah seperti dinas ke-
keuangan negara berjalan serta terpeliharanya hutanan provinsi, dinas kehutanan kabupaten,
fungsi-fungsi lingkungan dengan adanya Bappeda provinsi, Bappeda kabupaten, Dis-
kebijakan fiskal hijau. Hal ini diakomodasi dengan penda provinsi, Dispenda kabupaten, badan
adanya Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan lingkungan hidup provinsi termasuk dalam
Iklim dan Multilateral (PKPPIM) di bawah Badan kategori pemangku kepentingan subject yaitu
116
Analisis Pemangku Kepentingan dalam Transformasi Fiskal Hijau
Fitri Nurfatriani et al.
117
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol. 12 No. 2, Agustus 2015 : 105 - 124
kepentingan lingkungan, ekonomi dan sosial kebutuhan hidup masyarakat sehari-hari dari
mengingat syarat terwujudnya pembangunan hutan. Kategori terakhir adalah crowd yaitu
berkelanjutan adalah meliputi tiga aspek tersebut. pe mangku ke pe ntin g an y ang m emili ki
dinas kehutanan provinsi memiliki kepentingan kepentingan dan pengaruh yang rendah.
politik akan adanya kebijakan fiskal hijau yaitu Pemangku kepentingan yang masuk dalam
peran pemerintah provinsi dalam pengelolaan kategori ini adalah Warsi karena merupakan LSM
PNBP kehutanan harus lebih diperjelas secara yang berperan sebagai advokator untuk
hukum, mengingat ketentuan tersebut tidak diatur tercapainya pemberdayaan masyarakat sekitar
pada PP No. 38 tahun 2007. Sementara itu dinas hutan dan diakuinya masyarakat adat di sekitar
kehutanan kabupaten sangat menginginkan hutan sehingga kepentingan khusus terhadap
agar dengan adanya kebijakan fiskal hijau maka kebijakan fiskal hijau relatif lebih rendah dari
anggaran untuk kehutanan dapat dimanfaatkan pemangku kepentingan lainnya.
untuk mendorong pengembangan agroforestry
C. Strategi Pengaturan Pemangku Kepenti-
tanaman jelutung yang dilakukan oleh masyarakat
ngan
sekitar hutan. Selain kepentingan ekologis untuk
menjaga lingkungan, Bappeda provinsi, Bappeda Menurut Reed et al. (2009) matriks kepenting-
kabupaten, Dispenda provinsi dan kabupaten an dan pengaruh pemangku kepentingan bersifat
memiliki kepentingan agar fiskal hijau dapat dinamis. Dampak perubahan tersebut harus
meningkatkan penerimaan daerah. dipertimbangkan dan dijadikan bahan untuk
Pemangku kepentingan lainnya yang merumuskan strategi dalam mengatasi isu yang
merupakan kategori subject adalah pemegang ijin terjadi. Bryson (2004) menyatakan bahwa matriks
usaha pemanfaatan/pengusahaan hutan yaitu PT pengaruh dan kepentingan dapat membantu
WKS dan masyarakat sekitar hutan. PT WKS menentukan kepentingan dan pengaruh dari
berperan sebagai implementor dalam kebijakan pemangku kepentingan mana yang harus
fiskal kehutanan yaitu sebagai wajib bayar iuran dipertimbangkan untuk mengatasi masalah atau
kehutanan yang menjadi sumber penerimaan isu yang terjadi. Selain itu matriks ini dapat
kehutanan. Di samping itu PT WKS juga dapat menyoroti kerja sama yang perlu diperkuat atau
menjadi advokator dalam perumusan kebijakan justru diperlemah, perilaku apa yang harus dijaga,
fiskal khususnya untuk pembuatan aturan terkait menyediakan informasi untuk meyakinkan para
tarif dan perijinan yang dibuat di tingkat pusat; pihak untuk mengubah pandangannya. Dari hasil
sebagai contoh adalah revisi PP No. 59 tahun 1998 analisis pemangku kepentingan dapat dirumuskan
mengenai jenis dan tarif PNBP dari Kementerian strategi pengaturan pemangku kepentingan dalam
Kehutanan. Dari sisi kepentingan, pemegang ijin perwujudan kebijakan fiskal hijau berdasarkan
sangat berkepentingan secara ekonomi agar matriks kategori pemangku kepentingan (Eden
adanya kebijakan fiskal hijau dapat lebih & Ackermann, 2013).
meningkatkan keuntungan perusahaan melalui Key players dan context setter merupakan aktor
kepastian hukum dalam berusaha. Demikian pula dalam pembuatan kebijakan fiskal hijau. Para
kepentingan politik dimiliki oleh pemegang ijin aktor ini memberikan pengaruh dan dampak
agar pembuatan aturan dapat mendukung iklim tinggi pada pembuatan kebijakan ke depan.
berusaha pemegang ijin. Dengan demikian Kementerian Kehutanan,
Masyarakat sekitar hutan berperan sebagai Kementerian Keuangan, Bappenas dan Kemen-
penerima manfaat dari pelaksanaan program- terian Lingkungan Hidup merupakan pemangku
program pemerintah khususnya yang bersumber kepentingan utama yang harus dipertimbangkan,
dari dana penerimaan kehutanan. Masyarakat dilibatkan dalam perumusan kebijakan karena
sekitar hutan memiliki kepentingan yang tinggi dapat memanipulasi dan dimanipulasi dengan
dari sisi sosial, ekonomi dan lingkungan terhadap adanya kebijakan fiskal hijau. Hal yang penting
hasil hutan. Masyarakat mengharapkan dengan adalah para key players harus saling berkoordinasi
dikeluarkannya kebijakan fiskal hijau maka akan dan bersinergi dengan efektif dalam merumuskan
berdampak positif terhadap pemenuhan kebijakan fiskal hijau. Dari hasil pengamatan di
118
Analisis Pemangku Kepentingan dalam Transformasi Fiskal Hijau
Fitri Nurfatriani et al.
lapangan, kendala yang dihadapi adalah lemahnya subject ini merupakan lembaga-lembaga yang
tata hubungan kerja di antara intitusi terkait mengadvokasi terwujudnya perwujudan fiskal
seperti kurangnya inisiatif di antara institusi un- hijau. Masyarakat sekitar hutan pun perlu diakui
tuk merevisi peraturan perundangan yang sudah keberadaannya dalam perumusan kebijakan ini
tidak sesuai atau untuk merumuskan peraturan melalui koalisi dan kerja sama yang erat antara
perundangan yang membutuhkan koordinasi pemerintah pusat dan masyarakat dalam bentuk
lintas sektoral. pelaksanaan program-program pemerintah yang
Kementerian Dalam Negeri sebagai context pro masyarakat khususnya terkait penerimaan,
setter merupakan pemangku kepentingan yang pengeluaran dan pembiayaan dari anggaran
berpengaruh penting dalam perumusan kebijakan kehutanan dan untuk kepentingan kehutanan.
fiskal hijau akan tetapi memiliki kepentingan yang Sementara itu crowd tidak terlalu dipentingkan
lebih rendah daripada key players. Dengan dalam analisis pemangku kepentingan, kecuali ada
demikian perlu strategi untuk menjadikan upaya untuk meningkatkan pengaruh dan
Kementerian Dalam Negeri sebagai pemangku kepentingannya dalam perumusan kebijakan
kepentingan yang memungkinkan di masa depan fiskal hijau. Warsi merupakan pemangku
untuk dipertimbangkan dalam perumusan kepentingan yang kurang dipertimbangkan dalam
kebijakan fiskal hijau. Subject memiliki kepentingan perwujudan kebijakan fiskal hijau karena fokus
yang tinggi akan suatu isu dan ingin memengaruhi dari Warsi adalah memberdayakan masyarakat
perilaku pemangku kepentingan lain agar dapat sekitar hutan.
mengatasi isu tersebut akan tetapi tidak memiliki
dasar kekuatan yang cukup untuk memengaruhi D. Tingkat Hubungan Antar Pemangku
pembuatan kebijakan. Dengan demikian strategi Kepentingan
potensial yang diperlukan adalah mengoptimalkan
Langkah terakhir dalam analisis pemangku ke-
koalisi, kolaborasi dan kerja sama antara subject dan
pentingan adalah menganalisis tingkat hubungan
key players yang memiliki tingkat kepentingan
antara pemangku kepentingan. Secara deskriptif
tinggi. Untuk itu perlu ditingkatkan kerja sama
tingkat hubungan antar pemangku kepentingan
dan kolaborasi yang efektif antara pemerintah
ini digambarkan dalam matriks actorlinkage.
pusat dan daerah dalam perwujudan kebijakan fis-
Hubungan antar pemangku kepentingan dalam
kal hijau dan praktik pengaturan kebijakan fiskal
perumusan kebijakan fiskal hijau yang teridenti-
kehutanan saat ini. Mekanisme transfer fiskal
fikasi adalah konflik, saling mengisi dan bekerja-
antara pemerintah pusat dan daerah adalah salah
sama (Reed et al., 2009). Pemangku kepentingan
satu mekanisme yang dapat menjadi jalan
yang teridentifikasi ditulis dalam baris dan kolom
terwujudnya kebijakan fiskal hijau. Hal ini
tabel yang menggambarkan hubungan antar
membutuhkan kerja sama yang harmonis antara
pemangku kepentingan seperti terlihat pada
instansi pemerintah pusat seperti Kementerian
Tabel 3.
Kehutanan, Kementerian Keuangan, Bappenas,
Pemangku kepentingan dari pemerintah pusat
Kementerian Lingkungan Hidup (key players)
memiliki potensi untuk bekerjasama. Kementeri-
dengan instansi pemerintah daerah seperti dinas
an Kehutanan, Kementerian Keuangan, Bappe-
kehutanan provinsi dan dinas kehutanan
nas, Kementerian Lingkungan Hidup dan Ke-
kabupaten, Bappeda provinsi dan Bappeda
menterian Dalam Negeri merupakan institusi
kabupaten, Dispenda provinsi dan Dispenda ka-
yang berwenang untuk menyusun regulasi norma-
bupaten serta pemegang ijin pengusahaan hutan
standar-prosedur-kriteria (NSPK) untuk mewu-
sebagai wajib bayar iuran kehutanan.
judkan kebijakan fiskal hijau. Peran utama
Kerja sama antara institusi pemerintah pusat
tersebut harus disinergikan sebagai aktor dalam
dengan badan pemerintah lain dan LSM seperti
perumusan kebijakan fiskal hijau. Sementara itu
BP REDD+, Balai TN Berbak, LSM ZSL dan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah
Universitas Jambi harus ditingkatkan karena
terdapat potensi kerja sama, konflik dan saling
institusi-institusi yang termasuk dalam kategori
mengisi.
119
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol. 12 No. 2, Agustus 2015 : 105 - 124
Potensi kerja sama terjalin dalam mekanisme Kementerian Keuangan atau Kementerian Dalam
transfer fiskal antara pemerintah pusat dan Negeri melalui program Program Nasional
daerah, pengelolaan penerimaan iuran kehutanan Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) tidak diterima
dan pemanfaatan jasa lingkungan dan penurunan oleh sasaran penerima manfaat yang tepat
emisi GRK. Potensi konflik dapat ditemui pada sehingga menimbulkan konflik. Kerja sama untuk
saat terdapat ketidakharmonisan peraturan dan mewujudkan fiskal hijau sangat dimungkinkan
implementasinya di tingkat pusat dan daerah. antara pemerintah pusat dan LSM serta lembaga
Sebagai contoh pada saat penyaluran DBH akademis. LSM dan lembaga akademis menjadi
kehutanan ke daerah terjadi pelanggaran atau lembaga advokasi yang dapat memberikan
kurang tertibnya administrasi, berubah-ubahnya informasi ilmiah sebagai landasan dalam
peraturan pengelolaan penerimaan iuran perumusan kebijakan fiskal hijau. Akan tetapi
kehutanan dan tidak harmonisnya kebijakan yang hubungan ini pun berpotensi konflik khususnya
dikeluarkan di tingkat pusat dengan di daerah. dengan LSM yang menentang secara ekstrem
Dari hasil pengamatan di lapangan, pemerintah kebijakan pemerintah pusat. Sebagai contoh,
kabupaten dan pemerintah pusat cenderung terdapat beberapa LSM yang kontra dengan
terkotak-kotak dalam mengelola kawasan hutan. kebijakan program REDD+ di Indonesia.
Pemda kurang terlibat dalam pengelolaan kawasan Hubungan antara sesama pemerintah daerah
konservasi karena merasa kawasan konservasi dapat merupakan kerja sama dan potensi konflik.
adalah tanggung jawab pemerintah pusat. Dinas kehutanan sebagai pengusul anggaran dan
Hubungan antara pemerintah pusat dan penyusun program kehutanan di tingkat daerah,
masyarakat juga dapat berbentuk kerja sama dan Bappeda sebagai lembaga yang menyusun APBD
potensi konflik. Masyarakat merupakan target daerah, Dispenda sebagai lembaga yang
penerima manfaat dari pelaksanaan program- melaksanakan administrasi penerimaan daerah
program kebijakan pemerintah pusat sehingga dan badan lingkungan hidup yang membuat
potensi kerja sama sangat tinggi. Terdapat program-program terkait lingkungan hidup di
beberapa potensi konflik antara pemerintah pusat daerah harus bersinergi dan bekerjasama agar
dan masyarakat, sebagai contoh konflik lahan dapat mengelola fiskal daerah untuk diarahkan
karena penetapan areal yang dibebani ijin usaha menuju ke arah kelestarian hutan dan
untuk meningkatkan penerimaan dari kehutanan pembangunan berkelanjutan. Akan tetapi terdapat
dilakukan oleh Kementerian Kehutanan. Contoh potensi konflik di antara lembaga pemerintahan
lainnya penyaluran bantuan keuangan dari daerah ini, misalnya jika salah satu lembaga pemda
Tabel 3. Tingkat hubungan antar pemangku kepentingan dalam perumusan kebijakan fiskal hijau
Table 3. Level of relationship among stakeholders in green fiscal policy making
Pemerintah pusat Pemerintah daerah Masyarakat LSM Lembaga akademik
(Central government) (Regional government) (Community) (NGO) (Academic institution)
Pemerintah pusat 3 1; 2; 3 1; 3 1; 2; 3 2; 3
(Central government)
Pemerintah daerah 1; 2; 3 1; 3 1; 3 1; 2; 3 2; 3
(Regional government)
Masyarakat (Community) 1; 3 1; 3 1; 2; 3 2; 3 3
LSM (NGO) 1; 2; 3 1; 2; 3 2; 3 2; 3 2; 3
Lembaga akademik 2; 3 2; 3 3 2; 3 2; 3
(Academic institution)
Keterangan (Remarks):
1 = potensi konflik (potential conflict); 2 = potensi untuk saling mengisi (potential to complement); 3 = potensi untuk bekerjasama
(potential for collaboration).
Sumber (Source) : data primer/diolah (primary data/processed) (2014)
120
Analisis Pemangku Kepentingan dalam Transformasi Fiskal Hijau
Fitri Nurfatriani et al.
mendominasi dalam pembuatan kebijakan fiskal Di kalangan internal masyarakat dapat terjadi
daerah. Sebagai contoh, dari hasil wawancara di potensi konflik khususnya jika terjadi perebutan
kabupaten, Bappeda kabupaten sebagai lembaga penerimaan bantuan dari pemerintah. Hubungan
yang sangat berpengaruh dalam penyusunan antara masyarakat dengan LSM dan lembaga
APBD hanya mengalokasikan jumlah anggaran akademis adalah hubungan kerja sama karena
yang relatif kecil untuk kehutanan karena masyarakat adalah binaan LSM dan lembaga
mayoritas kawasan hutan di Kabupaten Tanjung akademis dalam usaha mencapai tujuan pemba-
Jabung Timur adalah kawasan konservasi yang ngunan rendah karbon melalui program-program
menjadi tanggungjawab pemerintah pusat. pembangunan kapasitas dan pemberdayaan
Hubungan antara pemda dengan masyarakat masyarakat dalam penyiapan implementasi
merupakan hubungan yang saling bekerjasama REDD+. Di kalangan LSM, mereka bekerjasama
dan berpotensi konflik. Hubungan kerja sama dan saling mengisi dalam melaksanakan program-
dapat terjalin karena masyarakat sekitar hutan program tersebut. Sementara itu kerja sama antara
adalah pelaku pelaksana kegiatan rehabilitasi LSM dan akademisi berlangsung secara baik di
hutan dan lahan yang bersumber dari Dana dalam suatu forum yaitu Komisi Daerah REDD+
Reboisasi (DR) melalui kegiatan agroforestry Jambi yang menjadi titik awal penyiapan
tanaman jelutung dan kopi. Potensi konflik terjadi pembangunan rendah karbon di tingkat provinsi.
disebabkan karena tidak tepat sasarannya
masyarakat penerima bantuan program dari
penerimaan kehutanan, konflik lahan yang me- VI. KESIMPULAN DAN SARAN
rupakan implikasi dari kebijakan pemerintah
pusat, sedangkan pemda adalah garda terdepan A. Kesimpulan
yang berhubungan langsung dengan masyarakat.
Berdasarkan hasil identifikasi pemangku
Hubungan antara pemda dengan LSM dan
kepentingan menunjukkan bahwa terdapat 18
lembaga akademisi hampir serupa dengan
pemangku kepentingan yang terlibat dalam
hubungan antara pemerintah pusat dan kedua
perumusan kebijakan fiskal hijau di tingkat
lembaga tersebut. LSM dan lembaga akademisi
nasional dan sub nasional (lokasi penelitian) yang
mendampingi pemda dalam mewujudkan
terdiri dari lima pemangku kepentingan kunci
kebijakan fiskal hijau karena kapasitas dan
dari instansi pemerintah pusat, tujuh pemangku
sumber daya yang dimiliki pemda terbatas
kepentingan utama yang terdiri dari instansi-
sehingga terjadilah hubungan kerja sama antar
instansi pemerintah daerah, pemegang ijin dan
keduanya. Peran LSM dan lembaga akademisi
masyarakat serta enam pemangku kepentingan
mengadvokasi dan memfasilitasi pemda agar
pendukung yang terdiri atas akademisi, LSM,
mampu menyiapkan infrastruktur kebijakan fiskal
Badan REDD+ dan instansi pemerintah daerah.
hijau seperti rencana daerah dalam penurunan
Kategori pemangku kepentingan yang terlibat
emisi GRK dan REDD+, memberdayakan
dalam perumusan kebijakan fiskal hijau
masyarakat sekitar hutan, memfasilitasi dilaksana-
berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruh-
kannya Measuring, Reporting dan Verification (MRV)
nya yaitu Kementerian Kehutanan, Kementerian
dalam pengurangan emisi GRK kehutanan,
Keuangan, Bappenas, Kementerian Lingkungan
menjadi sumber pendanaan alternatif bagi pemda
Hidup termasuk dalam kategori key players;
dalam kegiatan pembangunan rendah karbon dan
Kementerian Dalam Negeri termasuk dalam
memfasilitasi dibuatnya peraturan daerah
context setter; BP REDD+, DNPI, dinas kehutanan
mengenai hutan adat. Akan tetapi potensi konflik
provinsi dan kabupaten, Bappeda provinsi dan
dapat timbul khususnya antara pemda dengan
kabupaten, badan lingkungan hidup provinsi,
LSM yang mengkritik kebijakan-kebijakan pemda.
PT WKS, ZSL, Universitas Jambi, Dispenda
Sebagai contoh LSM lingkungan yang berafiliasi
provinsi dan kabupaten, masyarakat sekitar hutan
dengan lembaga internasional seperti Green
termasuk dalam subject dan Warsi termasuk dalam
Peace, Walhi yang sangat keras dalam mencermati
crowd.
implementasi REDD+ di daerah.
121
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol. 12 No. 2, Agustus 2015 : 105 - 124
Dari hasil analisis matrix actor linkage diketahui pihak yang mempraktikkan kebijakan fiskal hijau.
bahwa tingkat hubungan antara pemangku kepen- Peran para lembaga advokator yang masuk dalam
tingan bersifat potensi konflik, kerja sama dan me- kategori subject harus menjadi pendamping dan
lengkapi yaitu di antara pemerintah pusat, penyedia informasi bagi key players dalam
pemerintah daerah, masyarakat, LSM dan perwujudan kebijakan fiskal hijau.
lembaga akademis. Dengan demikian, strategi
yang dapat diterapkan untuk mengoptimalkan
pengaturan pemangku kepentingan dalam DAFTAR PUSTAKA
perwujudan kebijakan fiskal hijau adalah melalui
peningkatan koalisi, kolaborasi dan kerja sama Barr, C., Resosudarmo, I.A.P., Dermawan, A.,
antara subject dan key players yang memiliki tingkat McCarthy, J., Moeliono, M., & Setiono, B.
kepentingan yang tinggi terhadap kebijakan fiskal (2006). Decentralization of forest administration in
hijau. Hal ini dapat terwujud melalui peningkatan Indonesia - Implications for forest sustainability,
kerja sama dan kolaborasi yang efektif antara economic development and community livelihood.
pemerintah pusat dan daerah dalam perwujudan Bogor (ID): Centre for International Re-
kebijakan fiskal hijau dan praktik pengaturan search.
kebijakan fiskal kehutanan saat ini.
Birkland, T.A. (2001). An introduction to the policy
process. Theories, concepts, and models of public policy
B. Saran
making. New York: M.E. Sharpe.
Peran key players menjadi sangat penting dalam
Bryson, J.M. (2004). What to do when pemangku
perwujudan kebijakan fiskal hijau, dengan
kepentingans matter: Pemangku kepentingan
demikian Kementerian Kehutanan, Kementerian
identification and analysis techniques. Public
Keuangan, Bappenas, dan Kementerian
Management Review, 6, 21-53.
Lingkungan Hidup perlu meningkatkan sinergitas
dan koordinasi dalam menyusun kebijakan fiskal Chaturvedi, A., Saluja, M.S., Banerjee, A., &
hijau di sektor kehutanan. Kementerian Arora, R. (2014). Environmental fiscal
Kehutanan harus berperan dalam penyusunan reforms. IIMB Management Review, 26(3), 193-
NSPK dari sisi teknis kehutanan khususnya terkait 205.
landasan teknis pemberian insentif untuk
Cooper, P.J., & Vargas, C.M. (2004). Impelementing
pengelolaan hutan lestari, Kementerian Keuangan
sustainable development. From global policy to local
perlu menggunakan kewenangannya sebagai
action. Marryland: Rowman and Littlefield
lembaga pengelola keuangan negara untuk
Publishers Inc.
membuat peraturan terkait mekanisme keuangan
untuk kepentingan kelestarian hutan dan ling- Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tanjabtim.
kungan seperti upaya penurunan emisi GRK dari (2012). Kegiatan Dinas Kehutanan dan Perke-
kehutanan, Bappenas harus menginternalisasikan bunan Tanjung Jabung Timur tahun 2012. Tan-
upaya-upaya pembangunan hijau ke dalam jung Jabung Timur: Dinas Kehutanan dan
rencana pembangunan jangka menengah maupun Perkebunan Tanjung Jabung Timur.
jangka panjang, sementara itu Kementerian
Dunn, W.N. (2003). Pengantar analisis kebijakan pub-
Lingkungan Hidup juga perlu mendorong
lik (Edisi kedua). (S. Wibawa, D. Asitadani,
tersusunnya kebijakan instrumen ekonomi untuk
A.H. Hadna, E.A. Purwanto, penerjemah).
perbaikan lingkungan hidup.
Darwin, M. (Ed.). Yogyakarta (ID): Gajah-
Peran dari key players tidak berhenti sampai de-
mada University Press.
ngan penyusunan kebijakan saja, tetapi lebih jauh
lagi sampai dengan pemantauan, evaluasi dan pe- Eden, C., & Ackermann, F. (1998). Making strategy:
mantauan, baik yang dilakukan secara komando the journey of strategic management. London: Sage
maupun melalui mekanisme insentif bagi para Publications.
122
Analisis Pemangku Kepentingan dalam Transformasi Fiskal Hijau
Fitri Nurfatriani et al.
Ekawati, S., Kartodihardjo, H., Nurrochmat, D.R., Nurrochmat, D.R. (2005). The impacts of regional
Hardjanto, & Dwiprabowo, H. (2012). Ana- autonomy on political dynamics, socioeconomics and
lisis diskursus dan implikasinya bagi perbaikan forest degradation: case of Jambi, Indonesia. (Diser-
kebijakan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pe- tasi). University of Goettingen, Goettingen.
ngembangan Perubahan Iklim dan Kebijak-
Nurrochmat, D.R., Solihin, I., Ekayani, M., & Ha-
an.
dianto, A. (2010). Neraca pembangunan hijau-
Friedman, A.L. & Miles, S. (2006). Stakeholders konsep dan implikasi bisnis karbon dan tata air di
theory and practices. Oxford: Oxford University sektor kehutanan. Bogor: IPB Press.
Press.
Overseas Development Administration. (1995).
Giddings, B., Hopwood, B., & O'Brien, G. (2002). Guidance note on how to do stakeholder analysis of
Environment, economy and society: fitting aid projects and programmes. Bonn: Social
them together into sustainable development. Development Departement, Overseas
Sustainable Development, 10, 187-196. Development Administration. Diunduh 23
Desember 2012 dari http://www.euforic.
Grimble, R. (1998). Stakeholder methodologies in
org/gb/stake1.htm#intro.
natural resource management. Chatam, UK:
Natural Resource Institute. Peraturan Daerah Kabupaten Tanjung Jabung Ti-
mur No. 19 tahun 2003 tentang Organisasi
Hermans, L.M., & Thissen, W.A.H. (2009). Actor
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupa-
analysis methods and their use for public
ten Tanjung Jabung Timur.
policy analysts. European Journal of Operational
Research, 196, 808-818. Peraturan Daerah Provinsi Jambi No. 14 tahun
2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Di-
Hero, Y. (2012). Peran kelembagaan dalam proses pem-
nas Daerah Provinsi Jambi.
buatan kebijakan pengelolaan Hutan Pendidikan
Gunung Walat berdasarkan pendekatan diskursus Peraturan Menteri Kehutanan No. P.40 tahun
dan sejarah. (Disertasi). Institut Pertanian 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Bogor, Bogor. Kementerian Kehutanan.
Keraf, A.S. 2010. Etika lingkungan hidup. Jakarta Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang
(ID): PT. Kompas Media Nusantara. Kewenangan Pemerintah Pusat dan Daerah.
Lienert, J., Schnetzer, F., & Ingold, K. (2013). Peraturan Pemerintah No. 59 tahun 1998 tentang
Stakeholder analysis combined with social Jenis dan Tarif PNBP dari Kementerian
network analysis provinsiides finegrained Kehutanan.
insights into water infrastructure planning
Reed, S.M., Graves, A., Dandy, N., Posthumus, H.,
processes. Journal of Environmental Manage-
Huback, K., Morris, J., &, Stringer, L.C.
ment, 125, 134-148.
(2009). Who's in and why? A typology of
Mulyaningrum. (2013). Tinjauan kritis kebijakan stakeholder analysis methods for natural re-
legalitas kayu di hutan rakyat (kasus di Kabupaten sources management. Journal of Environmental
Lampung Tengah Provinsi Lampung, Konawe Se- Management, 90, 1933-1949.
latan Provinsi Sulawesi Tenggara, Buleleng Provinsi
Scholtens, B. (2001). Borrowing green: economic
Bali dan Kulonprogo Provinsi DI Yogyakarta).
and environmental effects of green scal
(Disertasi). Institut Pertanian Bogor, Bogor.
policy in the Netherlands. Journal Ecological
Muttaqin, M.Z. (2012). Designing payments for Economics, 39, 425-435.
environmental services (PES) to reduce emissions from
Suparmoko, M. & Suparmoko, M.R. (2000).
deforestation and forest degradation (REDD+) in
Ekonomika lingkungan. Yogyakarta (ID):
Indonesia. (Disertasi). The Australian Na-tional
BPFE.
University.
123
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Vol. 12 No. 2, Agustus 2015 : 105 - 124
Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Per- Wisuandini, S. (2009). Transfer daerah dalam rangka
imbangan Keuangan antara Pemerintah Pu- pelaksanaan desnetralisasi fiskal di indonesia (suatu
sat dan Daerah. studi terhadap dana bagi hasil sumber daya alam
kehutanan). (Skripsi). Universitas Indonesia,
Depok.
124