Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 29

Medan Population

Question: What is the population of Medan? Answer: Medan, Indonesia


(Administrative unit: Sumatera Utara) - last known population is 2 097
600(year 2010). This was 0.868% of total Indonesia population. If
population growth rate would be same as in period 2005-2010
(+0.66%/year), Medan population in 2017 would be: 2 196 371*.

KOTA MEDAN
City in Sumatra

Subdivision
The population in Kota Medan as well as related information and services (Wikipedia, Google,
images).

Population
Name Status Census
2010-05-01

Kota Medan City 2,097,610

Medan Amplas District 113,143

Medan Area District 96,544

Medan Barat District 70,771

Medan Baru District 39,516

Medan Deli District 166,793

Medan Denai District 141,395

Medan Helvetia District 144,257

Medan Johor District 123,851

Medan Kota District 72,580

Medan Kota Belawan District 95,506

Medan Labuhan District 111,173

Medan Maimun District 39,581


Population
Name Status Census
2010-05-01

Medan Marelan District 140,414

Medan Perjuangan District 93,328

Medan Petisah District 61,749

Medan Polonia District 52,794

Medan Selayang District 98,317

Medan Sunggal District 112,744

Medan Tembung District 133,579

Area: 7.90 km Density: 16,903/km [2010]

Medan Tembung: district in Medan City, Sumatera Utara Province, Indonesia

Medan Timur District 108,633

Medan Tuntungan District 80,942

Sumatera [Sumatra] Geographical Unit 46,029,906

Source: Badan Pusat Statistik, Republik Indonesia (web).


TRANSPORTASI BERKELANJUTAN
(SUSTAINABLE TRANSPORTATION)
AUGUST 22, 2013 BY ANNISA MUAWANAH

Beberapa tahun belakangan ini, sektor transportasi merupakan penyumbang terbesar


konsumsi energi diperkotaan, yakni sebesar 23% dari emisi CO2 yang dihitung secara global
pada tahun 2007. Adanya peningkatan akan kebutuhan transportasi, memberi dampak bagi
pengeluaran emisi yang juga akan terus meningkat dalam dekade mendatang, kecuali ada
langkah-langkah kebijakan yang tepat diperkenalkan. Sementara itu, bahan bakar fosil yang
tak dapat diperbaharui juga akan menjadi langka dalam dekade mendatang. Transportasi yang
tidak berkelanjutan atau tanpa pengaturan khusus dapat menyebabkan polusi udara,
kebisingan, kecelakaan dan efek samping negatif lainnya yang merugikan masyarakat dan
lingkungan. Efek ini sangat relevan di daerah perkotaan, dimana saat ini sekitar 50% dari
populasi dunia dari 6,9 miliar orang hidup di kota-kota. Hal ini akan meningkat menjadi
hampir 70% pada tahun 2050. Guna mengantisipasi hal tersebut, perlu ada upaya untuk
mewujudkan transportasi yang berkelanjutan untuk mengurangi dampak perubahan iklim dan
meningkatkan keamanan energi, mempercepat pertumbuhan dukungan ekonomi, dan
menambah interaksi sosial antar pengguna.

Istilah transportasi berkelanjutan sendiri berkembang sejalan dengan munculnya terminologi


pembangunan berkelanjutan pada tahun 1987 oleh World Commission on Environment and
Development, United Nation). Secara khusus, transportasi berkelanjutandiartikan sebagai
upaya untuk memenuhi kebutuhan mobilitas transportasi generasi saat ini tanpa mengurangi
kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mobilitasnya. OECD (1994)
juga mengeluarkan definisi mengenai sustainable transportation, yakni suatu suatu
transportasi yang tidak menimbulkan dampak yang membahayakan kesehatan masyarakat
atau ekosistem dan dapat memenuhi kebutuhan mobilitas yang ada secara konsisten dengan
memperhatikan (a) penggunaan sumberdaya terbarukan pada tingkat yang lebih rendah dari
tingkat regenerasinya dan (b) penggunaan sumber daya tidak terbarukan pada tingkat yang
lebih rendah dari tingkat pengembangan sumberdaya alternatif yang terbarukan.

Pendapat lain mengenai definisi sustainable transportation muncul dari Brundtland


Commission dalam CAI-Asia (2005), dimana lembaga ini mendefinisikan sustainable
transportation sebagai kumpulan kegiatan transportasi bersama dengan infrastruktur yang
tidak meninggalkan masalah atau biaya-biaya untuk generasi mendatang guna
menyelesaikannya dan menanggungnya. Sedang World Bank (1996)
mendefinisikan sustainable transportation sebagai transportasi yang melayani tujuan utama
sebagai penggerak ekonomi wilayah perkotaan dan perkembangan sosial. Dari beberapa
pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa dengan sustainable
transportation diharapkan ada penggunaan moda transportasi dan infrastruktur transportasi
lain yang bekerja secara bersama-sama guna memperlancar kegiatan transportasi serta
menggerakkan ekonomi wilayah namun tidak meninggalkan masalah di masa mendatang.

Dalam menciptakan transportasi yang berkelanjutan, harus memperhatikan berbagai indikator


yang ada agar bisa bermanfaat bagi lingkungan dan masyarakat. Indikator yang ada juga
dapat digunakan sebagai parameter keberhasilan penerapan transportasi berkelanjutan di
suatu negara/wilayah/kota. Menurut Beela (2007) indikator sustainable transportation,
meliputi :

1. Keamanan perjalanan bagi pengemudi dan penumpang


2. Penggunaan energi oleh moda transportasi
3. Emisi CO2 oleh moda transportasi
4. Pengaruh transportasi terhadap lingkungan sekitar
5. Kesenangan dan kenyaman menggunakan moda transportasi
6. Emisi dari bahan beracun dan bahan kimia berbahaya serta polusi udara dikarenakan
penggunaan moda transportasi.
7. Guna lahan bagi moda trasnportasi seperti lahan parkir
8. Gangguan terhadap wilayah alami oleh moda transportasi atau infrastruktur lainnya.
9. Polusi suara oleh moda transportasi

Contoh Kota dengan Sistem Transportasi Berkelanjutan

Curitiba adalah salah satu kota di Brazil telah berhasil dalam menerapkan sistem perencanaan
transportasi yang hemat energi melalui penyediaan transportasi publik yang efisien.
Penyediaan transportasi berkelanjutan di Curitiba ini telah banyak menginspirasi berbagai
kota lain di dunia untuk menciptakan transportasi publik yang mampu melayani seluruh
penduduk dengan efektif, efisien, dan ramah lingkungan.

Pertumbuhan Kota Curitiba menjadi semakin pesat setelah tahun 1950 sejalan dengan
perkembangan kota ini menjadi wilayah hubungan perdagangan dan jasa. Pertumbuhan kota
yang tidak terkendali mendorong perencanaan kota yang ditekankan pada transportasi dan
penghijauan lingkungan. Perencanaan kota pertama kali di Curitiba hanya pada
pengembangan jalan-jalan dan fasilitas kota seperti pusat rekreasi dan industri. Namun,
hingga tahun 1970 Curitiba masih mengalami permasalahan ancaman ledakan penduduk yang
menjadikan kota ini mengalami fenomena kemacetan dan banjir. Curitiba sebagai salah satu
kota dengan pertumbuhan tercepat di Brazil, dengan laju pertumbuhan sekitar 5,7% per tahun
menyebabkan kurangnya terhadap pelayanan sosial, perumahan, sanitasi, lingkungan, dan
transportasi dalam kota.

Dengan berbagai masalah yang muncul, tahun 1961, walikota baru Curitiba, J. Lerner
mencoba merubah sistem transportasi Curitiba. Hal pertama yang diubah adalah desain tata
kota yang semula terpusat menjadi linear. Curitiba tidak tumbuh di segala arah dari pusat
atau inti kota, melainkan tumbuh di sepanjang koridor dalam bentuk linier. Jantung kota
gedung-gedung komersial, pemerintahan, pendidikan atau bisnis diletakkan dalam satu situs,
sementara tempat tinggal penduduk dibuat mengitari. Struktur kota yang linier merupakan
model spasial yang dapat digunakan untuk mencapai keberlanjutan karena terjadi
penghematan energi dengan mengurangi waktu perjalanan.

Pemerintah Kota Curitiba membangun jalan-jalan penghubung dari tempat tinggal penduduk
langsung menuju pusat kota. Dalam urusan transportasi, Curitiba menerapkan Trinary
Road System. Ini adalah model jalanan yang menggunakan dua jalur jalan besar yang
berlawanan arah. Namun, yang istimewa, ada dua jalur sekunder di tengah yang
dimanfaatkan sebagai jalur ekslusif untuk busway. Hampir semua jalanan di Curitiba
menerapkan sistem ini. Jalan raya yang diubah menjadi rute bus telah memacu perumahan
dengan kepadatan tinggi seperti pembangunan apartemen di sepanjang jalur
peregangan.Dengan mengubah jalan raya menjadi rute bus, perencana kota harapan untuk
memacu perumahan kepadatan tinggi di daerah tersebut.

Selain itu, untuk mengurangi permasalahan transportasi pemerintah Curitiba juga berupaya
untuk membuat perencana perkotaan dengan menciptakan Master Plan perkotaan yang akan
memberikan prioritas kepada pelayanan publik seperti sanitasi, mengurangi kemacetan lalu
lintas dan menciptakan pusat-pusat pertumbuhan sosial dan ekonomi. Transportasi
merupakan komponen kunci dalam rencana, yang disebut untuk ekspansi perkotaan linier di
sepanjang jalur transit. Pada tahun 1971 sebuah Mass Transit Rencana Terminal
dikembangkan dan pada tahun 1974 sebuah bus rapid transit (BRT) jalur, yang pertama dari
jenisnya, mulai beroperasi di sepanjang koridor utama kota. Pada tahun 1982 semua lima dari
koridor inti kota telah selesai.

Curitiba secara luas diakui telah memelopori bus rapid transit (BRT) sebagai solusi yang
terjangkau untuk mengangkut masalah dalam mengembangkan dan kota transisi. Hal ini juga
menunjukkan praktek terbaik dalam pembuatan kebijakan informasi, dengan tingkat tinggi
kesadaran politik, dan komitmen untuk, prinsip non transportasi mobil-berorientasi
perencanaan.

BRT adalah alat transportasi utama yang menyenangkan dan menjadi keunggulan. Sistem
busway itu direncanakan berdasarkan rencana induk kota yang bertujuan untuk menahan
laju urban sprawl, menekan volume lalu lintas kendaraan bermotor yang masuk ke pusat
kota, melestarikan bagian kota yang bersejarah, dan membangun sistem transportasi umum
yang nyaman dan terjangkau. Prinsip utama yang dipergunakan adalah pembangunan kota
yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan manusia, bukan mobil.

Sebuah sistem busway diperkenalkan ke Curitiba pada tahun 1974, sebagai bagian dari paket
reformasi untuk transportasi dan perencanaan penggunaan lahan, menggantikan sistem kacau
rute paratransit tidak diatur. Ini menghasilkan peningkatan tahunan 2,36% pada patronase
bus, dan penurunan dalam lalu lintas jalan 30% selama pertama 30 tahun beroperasi.

Salah satu keunikan BRT Curitiba ini adalah ketika berhenti dan pintu terbuka, papan pijakan
dari bus ikut terbuka dan menutup celah antara lantai bus dan lantai halte (Eryudhawan,
2009). Desain seperti ini sangat aman untuk pergerakan keluar masuk penumpang sehingga
sangat aman digunakan bagi bagi penyandang cacat, orang tua, dan anak-anak. Setelah
sepuluh tahun, kota mengambil kontrol bus dan menggunakannya untuk transportasi ke
taman-taman, atau sebagai sekolah berjalan. Jalur pemberhentian BRT berbentuk
silinder/tabung. Tabung tersebut memberikan perlindungan dari unsur-unsur luar dan
memfasilitasi beban simultan dan bongkar muat penumpang, termasuk kursi roda.

Negara Brazil sendiri, dianggap sebagai negara yang pertama kali memberlakukan ekonomi
bahan bakar bio secara berkelanjutan sehingga dijadikan model bagi beberapa negara lain.
Etanol dari gula yang dihasilkan negara ini merupakan bahan bakar alternatif. Pada saat ini
tidak ada lagi kendaraan kecil di Brazil yang hanya menggunakan bahan bakar bensin saja.
Sejak tahun 1976, pemerintah mewajibkan semua mobil di Brazil harus bisa menggunakan
bahan bakar campuran etanol dengan bensin, yang besarannya beragam, mulai dari 10%-
22%.

Jika disimpulkan, munculnya transportasi berkelanjutan di Brazil dapat tercipta karena


adanya integrasi antara peran pemerintah dan dukungan kesadaran penduduk setempat. Di
negara Brazil, ini dapat terlihat dari adanya kebijakan pemerintah Brazil yang selalu berupaya
menciptakan sistem transportasi publik yang ramah lingkungan dimana dengan adanya
transportasi publik ini diharap akan dapat meminimalkan penggunaan kendaraan pribadi yang
secara langsung berdampak bagi penurunan gas emisi. Selain itu, dengan menggunakan
potensi yang dimiliki, pemerintah berupaya menciptakan bahan bakar alternatif berupa
bioetanol yang ternyata dapat diterima di masyarakat. Dengan kebijakan ini, ternyata ada
banyak pihak yang mendukung upaya ini melalui penciptaan kendaraan-kendaraan dengan
bahan bakar bioetanol ini. Kesadaran masyarakat Brazil untuk mau menggunakan
transportasi publik, seperti metro dan BRT dapat muncul karena adanya kenyamanan dan
keamanan yang terlebih dulu diciptakan oleh pemerintah melalui penyediaan transportasi
publik yang baik, dilengkapi pula dengan infrastruktur yang memadai dan tidak mengganggu
pengguna lainnya.

Keberhasilan negara Brazil dalam mewujudkan transportasi yang berkelanjutan melalui


transportasi publik yang ramah lingkungan menggambarkan bahwa dengan penciptaan sistem
transportasi yang baik dan terintegrasi akan mampu mengakomodir kebutuhan segala
kalangan yang tentunya akan berdampak bagi aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi.
Dengan penyediaan sistem transportasi yang memadai dan berkelanjutan, maka secara tak
langsung pertumbuhan ekonomi suatu negara dapat meningkat karena adanya efisiensi biaya,
waktu dan jumlah energi yang digunakan. Secara sosial, transportasi berkelanjutan dapat
mempererat dan menambah hubungan sosial antar pengguna moda transportasi karena
pengguna akan semakin mengerti dengan kondisi pengguna transportasi lainnya. Dan secara
lingkungan, transportasi berkelanjutan akan mampu mengurangi tingkat emisi atau polusi
udara yang dampak jangka panjangnya dapat berpengaruh untuk peningkatan kondisi
kesehatan dan angka harapan hidup penduduk karena membaiknya kualitas udara yang
mereka hirup.

Sabtu, 18 Oktober 2014 | Dibaca 1132 kali

Url Berita

Oleh: Hadhe Panji KS. Kabar tak sedap datang dari hasil penelitian Badan
Perlindungan Lingkungan Hidup Amerika mengenai tingkat polusi udara sejumlah
kota di dunia. Kota Medan ditetapkan sebagai kota keempat penyandang kota paling
berpolusi, di bawah Ludhiana (India), Lanzhou (Tiongkok), dan Mecixali (Meksiko).

Penelitian yang berlangsung periode Agustus-September 2014 itu menggunakan


metode pengukuran tingkat kualitas udara (AQI). Hasil penelitian itu mengungkapkan,
tingkat polusi udara di Medan berada di angka 110 micron diameter. Tingkat
pencemaran udara di atas 100 dianggap telah membahayakan paru-paru.

Kabar baiknya, Kota Lanzhou, Tiongkok yang pada tahun sebelumnya berada di
peringkat pertama kota dengan tingkat polusi tertinggi, turun ke posisi kedua. Artinya,
setiap kota punya peluang menurunkan tingkat pencemaran, tergantung upaya yang
dilakukan.
Belajar dari Lanzhou, penurunan tingkat polusi di kota itu terjadi setelah sejumlah
masyarakat mendesak Beijing untuk mengumumkan tingkat polusi sebuah kota.
Pemerintah Tiongkok merespons tuntutan masyarakat. Kementerian Lingkungan
Hidup Tiongkok minta 74 kota untuk memulai memantau tingkat polusi kota. Mereka
kemudian bersungguh-sungguh menurunkan tingkat pencemaran udara dengan
berbagai kebijakan.

Dampak

Umumnya warga yang tinggal di kota besar seperti Medan, menganggap pencemaran
udara hal yang biasa. Padahal pencemaran berdampak buruk bagi kesehatan pribadi
dan lingkungan. Ditinjau dari sumbernya, pencemaran datang dari berbagai macam.
Sumber pencemaran itu dapat mengotori udara, tanah dan air yang menjadi sumber
kehidupan warga kota.

Dampak dari pencemaran pun beragam. Udara kotor yang terhirup pernafasan ,
dalam jangka panjang, menyebabkan berbagai gangguan kesehatan. Apalagi udara
kotor yang dihasilkan cerobong asap industri atau kendaraan bermesin mengandung
zat berbahaya. Beragam zat berbahaya itu bisa menyebabkan organ tubuh manusia
rusak, menurunkan kesehatan serta mental anak-anak dan menimbulkan penyakit
pernapasan, misalnya jantung, paru-paru dan tenggorokan.

Pencemaran tidak hanya di udara, air sungai akibat limbah pabrik juga akan
menimbulkan dampak yang tidak kalah buruk dari pencemaran udara. Pencemaran
sungai tidak hanya berbahaya bagi manusia namun mengancam semua biota yang
ada di dalam sungai.

Selain itu, pencemaran karena sampah bisa memberikan dampak kotornya tanah dan
lingkungan. Lahan pemukiman yang tercemar sampah tentu tidak sehat karena
sampah adalah sumber penyakit. Sampah juga menjadi sumber pencemaran udara
dengan bau yang tidak sedap serta membuat lingkungan menjadi tidak indah.

Di antara beberapa sumber pencemaran, pencemaran udara (polusi) menjadi


perhatian besar dunia . Pencemaran udara yang mengandung satu atau lebih zat
berbahaya di atmosfer dalam jumlah tertentu dapat membahayakan kesehatan
manusia, hewan dan tumbuhan. Dampak pencemaran udara juga akan menimbulkan
berbagai kerusakan alam seperti penipisan ozon yang berakibat pemanasan global
(global warming).

Jenis bahan pencemar udara yang biasa ditemukan antara lain dari karbon
monoksida (CO), Nitrogen dioksida (NO2), Sulfur dioksida (SO2), Karbon dioksida
(CO2), Ozon (O3), Hydro Carbon (HC), dan sebagainya. Di kota besar, penggunaan
kendaraan bermotor merupakan penyebab utama pencemaran udara. Penyebab
lainnya adalah gas buang dari asap industri sekitar 10 15 persen, serta dari sumber
pembakaran lain, seperti dari asap rumah tangga, pembakaran sampah, kebakaran
hutan, dan lain-lain.

Perlu Belajar
Pengawasan dan kebijakan pemerintah kota dibutuhkan dalam rangka
mengendalikan tingkat polusi udara. Salah satunya kebijakan sistem transportasi,
pengendalian ledakan kendaraan bermesin dan penegakan peraturan standarisasi
emisi gas buang yang diperbolehkan. Pada sisi lain peningkatan jumlah kendaraan
bermotor memang tidak bisa dicegah. Selain menimbulkan kemacatan, kendaraan
bermotor menjadi penyebab terbesar pencemaran udara. Diperkirakan 60 70 persen
pencemaran udara di perkotaan adalah akibat gas buang kendaraan bermotor.

Kebijakan lain menyangkut antisipasi pencemaran udara adalah dengan


memerhatikan aspek lingkungan pada pelaksanaan pemanfaatan tata ruang kota.
Tergerusnya ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai penyaring pencemaran
udara, masih menjadi masalah yang memprihatinkan. Tidak hanya di Medan, masalah
tersebut juga terjadi di beberapa kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya
dan lainnya.

Taman kota dan ruang terbuka hijau lainnya yang diharapkan menjadi paru-paru kota
semakin hari semakin berkurang. Pembangunan mal dan gedung bertingkat banyak
menyita ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai paru-paru kota.

Dalam pemulihan kerusakan ruang terbuka hijau, bisa belajar dari Walikota Surabya,
Tri Rismaharini. Wanita itu mulai menata Kota Surabaya sejak dilantik menjadi
walikota pada 2010. Risma berhasil memotivasi warga dan melakukan pemulihan
ruang terbuka hijau yang rusak dan menambah jumlah taman sebagai ruang publik.
Tak heran di masa kepemimpinannya, Surabaya menjadi lebih asri dan tertata
dengan baik dibandingkan sebelumnya, lebih hijau dan lebih segar.

Kota Medan perlu belajar dari kota-kota besar lain yang telah berhasil menurunkan
tingkat pencemaran udara kota berikut dampak buruknya. Sejumlah kota yang
berhasil mengendalikan pencemaran udara, telah berhasil melaksanakan beberapa
program menyangkut sistem moda transportasi angkutan massal yang aman dan
ramah lingkungan. Program transportasi massal di negara-negara maju mampu
memotivasi warga memilih menggunakan angkutan umum dari pada mobil pribadi.

Kota yang maju berhasil membatasi usia kendaraan yang beredar, terutama angkutan
umum. Semakin tua kendaraan akan semakin besar kemungkinan dampak buruk dari
gas buangnya. Pembenahan manajemen transportasi kota sangat penting karena
berkaitan dengan upaya mengatasi kemacatan. Kemacetan lalu lintas -apalagi
disebabkan kendaraan tua- sangat berpotensi memperburuk pencemaran udara.

Meski demikian, solusi pencemaran udara tidak bisa semata-mata bergantung pada
pejabatnya. Masalah lingkungan menjadi tanggungjawab kolektif warga. Karena itulah
perlu upaya menumbuhkan kesadaran setiap warga kota agar peduli mengantisipasi
pencemaran udara di wilayahnya masing-masing. Gerakan moral warga sangat perlu
untuk berinisiatif memulai hal positif yang bisa mengurangi pencemaran udara.

Gerakan moral mencintai lingkungan bisa dimulai dari hal-hal kecil secara pribadi,
seperti menanam pohon di pekarangan, tidak membuang sampah sembarangan,
membiasakan diri naik angkutan umum dan mengurangi perjalanan dengan
kendaraan bermesin bila tidak ada keperluan penting.
(Penulis peminat masalah lingkungan)
Jakarta, Badan Kesehatan Dunia (WHO) memasukkan 5 kota besar di Indonesia dalam hasil
pemantauan polusi udara 1.082 kota di 91 negara. Hasilnya polusi udara di kota Medan tercatat yang
paling tinggi melampaui Surabaya, Bandung, Jakarta dan Pekanbaru.

Survei tersebut dirilis WHO pada Senin 26 September 2011. Angka polusi tersebut disusun
berdasarkan laporan tahunan kadar pasrtikel udara dalam udara yang disebut PM10.

PM10 merujuk pada sebuah partikel dengan diameter 10 mikrometer atau kurang yang bergerak di
udara. Batas maksimal PM10 yang direkomendasikan WHO adalah kurang dari 20 mikrogram PM10
per meter kubik. Pada angka tersebut, polutan di udara dapat menyebabkan penyakit pernafasan
yang serius bagi manusia.

Menurut WHO, penyebab tingginya tingkat polusi udara bervariasi. Industrialisasi serta penggunaan
bahan bakar transportasi dan pembangkit listrik berkualitas rendah paling banyak menjadi sumber
polutan yang berbahaya.

Data WHO menunjukkan Kanada dan Amerika Serikat memiliki kota-kota dengan tingkat polutan
terendah. Hal itu mungkin disebabkan sebagian besar sampel diambil di kedua negara tersbut.
Anehnya, negara besar seperti Rusia hanya diketahui kadar polusi pada ibu kotanya saja, Moskow,
namun tidak dengan kota-kota lainnya seperti pada negara lain.

Seperti dilansir dari Guardian dan Huffingtonpost, Rabu (28/9/2011), beberapa orang menuding
bahwa sampling tersebut menunjukkan data yang dimiliki WHO tidak sempurna dan seringkali
berasal dari data tahun yang berbeda-beda. Meskipun demikian, ketersediaan data adalah langkah
pertama untuk memperbaiki setiap kumpulan data yang tidak sempurna.

Rata-rata global PM10 di kota-kota dunia adalah 71 mikrogram/m3 kita. Iran, Mongolia dan Botswana
menempati rangking teratas buruknya polusi udara.

Bagaimana dengan Indonesia?

Menurut daftar WHO, Medan adalah kota dengan polutan tertinggi di Indonesia dengan kadar PM10
sebesar 111 mikrogram/m3. Medan menempati peringkat ke-59 kota dengan polutan udara tertinggi
dari 1.082 kota yang disurvei.

Peringkat berikutnya adalah Surabaya pada peringkat ke-128 dengan kadar PM10 sebesar 69
mikrogram/m3. Disusul oleh Bandung pada peringkat ke-192 dengan kadar PM10 51 mikrogram/m3.

Jakarta menempati peringkat ke-238 dengan kadar PM10 sebesar 43 mikrogram/m3.

Kota terakhir di Indonesia yang disurvei WHO adalah Pekanbaru yang menempati peringkat ke-1001
dengan kadar PM10 sebesar 11 mikrogram/m3, atau sama dengan beberapa kota di Kanada dan
Amerika Serikat seperti Edmonton, Honolulu, Quebec, dan lebih baik dibandingkan Sydney yang
menempati peringkat ke-992 dengan kadar PM10 sebesar 12 mikrogram/m3.

WHO hanya menyebutkan penyebab tingginya tingkat polusi udara bervariasi, seperti cepatnya
industrialisasi dan penggunaan bahan bakar transportasi dan pembangkit listrik yang berkualitas
rendah.

Pembakaran batubara dan kayu juga ikut menyumbang kotornya udara. Asap pembakaran itu
berkumpul dengan emisi kendaraan yang menciptakan selimut kabut asap yang menutupi beberapa
kota di dunia.

Kemacetan di Kota Medan harus secepatnya ditangani agar tidak semakin parah
dan menimbulkan kerugian ekonomi yang semakin besar.

Seperti juga kota-kota besar lainnya di Indonesia, kemacetan lalu-lintas telah men-
jadi pemandangan sehari-hari di Kota Medan. Kemacetan ini merupakan salah satu
konsekwensi yang harus ditanggung oleh Medan seiring terus bertambahnya jumlah
kendaraan bermotor yang menyesaki jalan-jalan di kota ini.

Di samping membuat lingkungan kian tidak sehat, kemacetan juga menimbulkan


gangguan terhadap aktivitas bisnis dan ekonomi. Dalam karyanya ber-
tajuk Measuring the Economic Costs of Urban Traffic Congestion to Business, Weis-
brod et al (2003) menyebutkan bahwa kemacetan menaikkan biaya perjalanan,
menaikkan biaya logistik serta menurunkan produktivitas. Nominal kerugian ekonomi
akibat kemacetan lalu-lintas ternyata tidak sedikit. Kajian yang pernah dilakukan oleh
SITRAMP (Study on Integrated Transportation Master Plan), misalnya, menyebut
kerugian akibat kemacetan bisa mencapai Rp 12,8 triliun per tahun.

Secara sederhana, kemacetan terjadi lantaran panjang serta lebar jalan tidak se-
imbang dengan jumlah kendaraan. Logikanya, cara paling gampang untuk menga-
tasi kemacetan adalah dengan menambah panjang jalan dan lebar jalan yang ada.

Namun, menambah panjang dan lebar jalan tidak selalu bisa dilakukan. Yang paling
mungkin adalah membuat jalan baru, seperti dengan membuat jalan tol di dalam
kota. Sampai batas tertentu, membangun jalan tol dalam kota memang dapat meng-
atasi kemacetan lalu-lintas. Akan tetapi, kebijakan seperti ini cuma mengatasi
kemacetan untuk sementara waktu jika tidak disertai dengan upaya-upaya lainnya,
mulai dari membenahi manajemen transportasi, pengadaan transportasi massal
yang murah, nyaman serta aman, pembatasan jumlah kendaraan bermotor hingga
ke pendidikan disiplin berlalu-lintas warga kota.

Ambil contoh kasus Kota Jakarta. Meskipun ruas jalan tol dalam kota di ibukota kita
itu terus bertambah, toh masalah kemacetan lalu-lintas di Jakarta hingga kini masih
belum kunjung terpecahkan lantaran tidak dibarengi dengan upaya-upaya signifikan
lainnya yang menunjang.

Menurut Stephen Ison, pakar transportasi asal Universitas Loughborough, Inggris,


pembangunan jalan baru, seperti jalan tol dalam kota, sesungguhnya bukan solusi
tepat untuk mengatasi kemacetan. Dalam pandangan Ison, pembangunan jalan baru
justru membawa dampak negatif dalam kaitannya dengan kelestarian lingkungan
dan pembangunan berkelanjutan.

Jam kerja

Dari segi waktu, kemacetan sering terjadi tatkala para pekerja secara serentak
berangkat dan pulang pada jam-jam yang sama. Dengan melakukan manajemen
waktu seperti mengatur jam/shift kerja, kemacetan sesungguhnya bisa dikurangi.
Contohnya, untuk mengatasi masalah kemacetan ini, tidak sedikit perusahaan di luar
negeri kini mulai memberlakukan empat hari kerja bagi para karyawannya. Jumlah
40 jam kerja sepekan dengan lima hari kerja diubah menjadi 40 jam kerja sepekan
dengan empat hari kerja. Dengan demikian, durasi kerja yang semula delapan jam
kerja per hari berubah menjadi sepuluh jam kerja per hari.

Di samping itu, penerapan pola kerja jarak jauh (telework) dapat pula menjadi pilihan
untuk ikut mengatasi kemacetan lalu-lintas. Dengan memanfaatkan kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi, saat ini para karyawan kantor/perusahaan bisa
saja bekerja dari rumah mereka masing-masing. Mereka tidak perlu rutin pergi ke
kantor/perusahaan mereka saban hari. Tugas-tugas kantor dikerjakan di rumah
mereka. Di banyak kota di negara-negara maju, sistem kerja jarak jauh ini telah
menjadi bagian yang menyatu dengan kebijakan pemerintah kota dalam upaya
mengurangi kemacetan lalu-lintas dan pencemaran udara.

Yang tidak kalah penting dalam mengupayakan pemecahan masalah kemacetan


seperti yang dialami Kota Medan saat ini adalah bagaimana mengubah gaya hidup
masyarakat. Gaya hidup masyarakat harus diarahkan kepada gaya hidup yang ber-
sahaja dan lebih ramah lingkungan.

Lihat saja, masyarakat kita sekarang ini cenderung lebih memilih menggunakan
kendaraan bermotor untuk bepergian dari dan ke satu tempat yang nota bene ja-
raknya tidak terlalu jauh. Padahal, untuk mencapai tujuan yang jaraknya kurang dari
dua kilometer, kita bisa tempuh dengan cara berjalan kaki. Sementara untuk tujuan
dengan jarak kurang dari duapuluh kilometer, kita dapat tempuh dengan mengayuh
sepeda.

Bayangkan, jika saja separuh dari karyawan, separuh dari mahasiswa dan separuh
dari pelajar yang ada di seluruh Kota Medan ini mau berjalan kaki dan atau
mengayuh sepeda untuk menjangkau tempat-tempat tujuan mereka yang tidak
terlalu jauh, niscaya ini akan memberi kontribusi berarti bagi pengurangan tingkat
kemacetan dan pencemaran udara di kota ini.

Dalam hal ini, kebijakan pengelola kota yang mampu mendorong warga agar mau
menerapkan gaya hidup ramah lingkungan mutlak diperlukan. Di samping
menyediakan fasilitas pendukung yang prima bagi para pejalan kaki dan pengguna
sepeda serta menyediakan transportasi massal yang benar-benar murah, nyaman
dan aman, yang dibarengi dengan aturan pembatasan jumlah kendaraan, pengelola
kota dapat pula memberi insentif yang menarik dan memanjakan bagi para war-
ganya yang menerapkan gaya hidup ramah lingkungan. Insentif itu antara lain bisa
berupa pemberian keringanan pembayaran pajak, pemberian asuransi kesehatan
gratis dan sebagainya.

Pada akhirnya, kemacetan di Kota Medan tidak boleh terus dibiarkan kian parah.
Harus ada langkah yang lebih serius untuk mengatasi masalah kemacetan ini,
sehingga kerugian lingkungan dan kerugian ekonomi yang ditimbulkannya tidak
bertambah besar.
MedanBisnis Medan. Jumlah kendaraan di Medan tercatat sebanyak
2.708.511 unit dan 85,61% di antaranya sepeda motor, yang setiap tahun
bertambah sekitar 31,23%. Padahal, berdasarkan data sensus penduduk
tahun 2009 jumlah penduduk di Medan hanya 2.121.053 jiwa.
Itu artinya, jumlah kendaraan lebih banyak dibanding jumlah penduduk
Medan. Kondisi ini menurut Dinas Perhubungan Kota Medan sebagai
penyebab tidak terkendalinya kemacetan di Kota Medan.

"Pembangunan Kota Medan sebagai Kota Metropolitan tidak hanya


berdampak positif bagi pertumbuhan perekonomian Kota Medan, tetapi
juga akan menimbulkan beberapa dampak negatif, antara lain
permasalahan transportasi," kata Kepala Dinas Perhubungan Kota Medan
Syarif Armansyah Lubis kepada MedanBisnis, Minggu (22/5).

Permasalahan lalulintas juga terjadi akibat kemampuan menambah ruas


jalan semakin sulit dibandingkan penambahan kendaraan, yakni panjang
jalan hanya bertambah kurang dari 1% yaitu jalan lingkar luar.

"Setiap hari juga terdapat perjalanan komuter lebih kurang 600.000 orang
yang melakukan perjalanan ke Kota Medan dari Binjai dan Deliserdang.
Jika dihitung dengan jumlah kendaraan lebih kurang 300.000 unit, maka
hanya memiliki tingkat akupansi sebanyak dua orang per kendaraan.

Selain itu, sistem pelayanan angkutan umum (angkutan kota) juga masih
menggunakan jenis angkutan berkapasitas kecil yakni sebanyak 8 sampai
12 seat (tempat duduk_red) dan bus kecil berpasitas 12 sampai 16 seat.
Ditambah pola prilaku masyarakat menggunakan kendaraan sangat
memprihatinkan," jelasnya.

Untuk mengatasi masalah tersebut, lanjut Arman, pihaknya telah


melakukan berbagai hal antara lain penempatan personil Dishub Kota
Medan bersama personil Satlantas Polresta Medan di titik titik rawan
kemacetan baik di persimpangan maupun lokasi-lokasi tertentu, membuat
manajemen dan rekayasa lalu lintas di beberapa kawasan di Kota Medan
seperti di seputaran kawasan Lapangan Merdeka.

"Di samping itu, kita juga menggelar pembinaan pengemudi angkutan


umum melalui kegiatan Pemilihan Awak Kendaraan Umum Teladan
(AKUT) setiap tahun, meningkatkan pengawasan dan penindakan terhadap
pengemudi angkutan umum baik roda empat ke atas serta roda tiga,"
ungkapnya.

Arman menjelaskan selain itu, dalam waktu dekat pihaknya juga akan
melakukan pemasangan Panel Tenaga Surya pada beberapa
persimpangan direncanakan masuk dalam PAPBD Kota Medan tahun
anggaran 2011 guna mengantisipasi listrik padam di persimpangan lampu
merah atau traffic light. Ditambah melanjutkan rencana manajemen dan
rekayasa lalu lintas untuk kawasan Jalan Gatot Subroto dan sekitarnya
hingga pemasangan Area Traffic Control System (ATCS) di 37
persimpangan pada wilayah inti Kota Medan melalui pendanaan dari
Kementrian Perhubungan di tahun 2012.

"Kita juga akan mulai melakukan pengoperasian angkutan massal melalui


pengadaan Angkutan Bus (Trans Medan) yang direncanakan Tahap Awal
sebanyak 7 koridor melalui pendanaan dari Kementerian Perhubungan,
Pemko Medan dan investor di tahun 2012.

Ditambah pembangunan Terminal Tipe A Tuntungan, pada tahun 2011


akan disusun terlebih dahulu perencanaannya," jelasnya. ( sulaiman
achmad )

Dalam Tajuk Rencana harian ini pada Kamis, 3 Agustus 2017 dengan judul
Kemacetan Jadi Keluhan, yang diuraikan secara komprehensif tentang faktor-faktor
penyebab terjadinya kemacetan di Kota Medan, perlu kita pikirkan solusi atau
kebijakan untuk mengatasinya secara konprehensif, konseptual dan implementabel.

Secara nyata, kita warga kota Medan telah merasakan kemacetan parah pada jam-
jam tertentu di kota ini, yang membuat kita menjadi stress dan mengeluarkan
berbagai umpatan sumpah serapah yang tidak jelas sasarannya. Kemacetan dapat
menyebabkan kita terlambat sampai di kantor, terlambat anak-anak sampai di
sekolah, terlambat menepati janji binsis dan terlambat lainnya, yang kita rasakan
sangat merugikan.

Kejadian seperti ini jadi rutinitas yang akan kita hadapi setiap hari di kota ini dan
akhirnya pasrah pada situasi yang ada. Bahkan kita lihat instansi terkait yang
bersentuhan dengan masalah lalu lintas, pengaturan angkutan umum dan pe-
merintah kota Medan, tidak bisa berbuat banyak mengatasi kemacetan ini. Alasannya
masuk akal, bahwa jumlah Kendaraan sudah lagi tidak seimbang dengan kapasitas
jalan raya di kota ini. Menurut data dari Dinas Perhubungan Kota Medan (2016),
jumlah Kendaraan bermotor mencapai 2,7 juta unit dengan panjang jalan 3.191,5 km
dan rasio kecepatan 23,4 km/jam serta Volume Capacity Ratio 0,76. Kendaraan
pribadi 97,8 persen, Kendaraan umum 2,2 persen, Kendaraan roda dua 75,95 persen
dan roda empat 24,05 persen .

Bila faktor utama penyebab kemacetan di kota ini adalah ketidak seimbangan jumlah
Kendaraan dengan infrastuktur jalan raya, maka diperlukan 2 kebijakan utama (main
policy) untuk mengatasi kemacetan ini, yakni : a) pembangunan sistem transportasi
massal di perkotaan, dan b) pendekatan instrumen hukum pembatasan jumlah
Kendaraan.

Kebijakan Transportasi Massal

Kebijakan pembangunan sistem angkutan massal di perkotaan yang nyaman, murah


dan efisien waktu, adalah salah satu solusi mengatasi kemacetan di perkotaan.
Dengan adanya angkutan massal dalam kota yang disediakan pemerintah daerah
secara memadai jumlahnya, sudah barang tentu akan menjadi pilihan masyarakat
untuk melakukan aktivitas bepergian untuk berbagai tujuan di dalam di kota ini.

Penyediaan angkutan massal di perkotaan yang dapat menjangkau antara pusat-


pusat kegiatan ekonomi (bisnis) dari zona Medan Barat dan Medan Timur, Medan
Selatan dan Medan Utara ke jantung Kota Medan, diyakini akan mendapat sambutan
sangat positif dari masyarakat luas.

Tentu syarat angkutan massal ini adalah : harus aman, nyaman, tarif relatif murah
atau terjangkau, dan terpadu dengan angkutan dari pinggiran perkotaan. Artinya,
masyarakat yang rumahnya berada di pinggiran kota ini relatif mudah terhubung
dengan sistem angkutan massal perkotaan, dengan membangun sistem koneksi
penumpang di tempat-tempat khusus di pinggiran perkotaan. Misalnya, harus ada
tempat koneksi penumpang dari daerah Martubung, Pinang Baris, Marindal, dan
Percut menuju pusat Kota Medan. Dengan cara seperti ini, maka masyarakat akan
cepat sampai di pusat kota ini, tidak perlu lama menunggu, sehingga sistem ini
dipastikan akan efektif dan efisien dari segi waktu.
Menjadi pertanyaan, apakah sistem transportasi massal ini dapat dikembangkan di
Kota Medan. Jawabannya sudah pasti dapat dikembangkan, asal ada kemauan dari
pemerintah daerah dan legislatif di kota ini. Pembangunan sistem angkutan massal di
kota ini tentu membutuhkan dana besar, dan kita harapkan bahwa pembiayaan ini
tidak hanya dibebankan kepada APBN dan APBD. Tetapi, pemerintah kota harus
mengajak sektor swasta untuk terlibat dalam pembangunan sistem transportasi
massal ini. Kita yakin, pasti banyak pihak swasta yang mau menanamkan
investasinya dalam pembangunan transportasi massal di perkotaan terutama dengan
model angkutan jalan raya bus besar.

Penulis berpendapat bila ada kebijakan yang ingin membangun jalan tol dalam Kota
Medan, rasanya untuk jangka panjang tidak banyak membantu mengatasi kemacetan
di kota ini. Kita harus belajar dari Kota Megapolitan Jakarta, jalan tol dan jalan layang
yang dibangun dalam kota, ternyata malah terjadi kemacetan di jalan tol dan jalan
layang dan membuat masyarakat jadi stress di jalan. Oleh sebab itu, alangkah lebih
baik membangun sistem transportasi massal di perkotaan, yang dikelola secara
profesional dan memberikan keuntungan bagi pemerintah kota, sektor swasta yang
terlibat dan khususnya masyarakat pengguna.

Bila hal ini dapat dikembangkan di Kota Medan, sudah barang tentu masyarakat akan
lebih banyak menggunakan angkutan massal dalam kota ketimbang membawa
Kendaraan pribadi yang dipastikan akan terjebak kemacetan lalu lintas. Selain itu,
masyarakat tidak akan selalu terdorong atau terdesak untuk membeli Kendaraan baru
atau bekas sebagai sarana transportasi bila sudah ada angkutan massal yang aman
dan nyaman di kota ini.

Instrumen Hukum Pembatasan Kendaraan

Kebijakan lain yang dapat dipertimbangkan dalam upaya mengatasi kemacetan di


kota ini adalah penerbitan Peraturan Daerah (Perda) yang membatasi jumlah
Kendaraan yang beraktivitas di jalan raya. Caranya adalah, bahwa dalam Perda itu
ditegaskan bahwa Kendaraan yang boleh memasuki jalan raya kota adalah
Kendaraan yang memiliki tahun pembuatan 5 (lima) tahun terakhir.

Artinya, bila sekarang tahun 2017, maka Kendaraan yang layak beroperasi di jalan
raya kota adalah Kendaraan yang diproduksi mulai tahun 2012 hingga 2017, baik
untuk jenis roda dua maupun roda empat. Sistem ini telah diterapkan di Kota
Singapura.

Mungkin kebijakan seperti ini akan dianggap sebagian pihak diskriminatif, karena
Kendaraan lama tidak boleh beroperasi di jalan raya, dan Kendaraan yang relatif baru
boleh memasuki jalan raya. Namun perlu dipahami bahwa kebijakan ini memiliki
dampak positif yang besar yakni dapat mengurangi jumlah Kendaraan yang
beroperasi di jalan raya secara signifikan, dan sekaligus mengurangi terjadinya
pencemaran udara akibat pembakaran BBM.

Proses penghentian operasional Kendaraan lama tentu dapat dilakukan dengan tidak
menerima atau menghentikan pembayaran pajak Kendaraan lama di Dinas
Pendapatan Daerah, dan menaikkan biaya pajak Kendaraan baru secara signifikan,
sehingga masyarakat tidak terdorong untuk menambah jumlah Kendaraan baru di
rumahnya.

Kendaraan-Kendaraan lama dengan sendirinya akan digeser ke daerah-daerah lain


karena tidak dapat lagi beroperasi di perkotaan. Demikian halnya, penambahan
Kendaraan baru baik roda dua ataupun roda empat akan bertumbuh lebih lambat
dibanding dengan kondisi seperti selama ini, yang bebas tanpa instrumen pembatas.

Di sisil lain, pembatasan kenderaan yang beroperasi di jalan raya kota juga dapat
dilakukan dengan menerapkan peraturan nomor plat ganjil dan genap. Model ini akan
bisa efektif bila ada pengawasan yang ketat di lapangan dan melakukan tindakan
tegas terhadap pelanggar aturan ini. Melalui sosialisasi yang terus menerus dan
pengawasan petugas di lapangan yang tidak pandang bulu, maka sistem nomor plat
ganjil untuk hari tertentu dan nomor plat genap untuk hari lain akan berjalan efektif di
lapangan.

Banyak pihak meragukan implementasi aturan seperti ini, karena ada yang
melaporkan bahwa plat kenderaan dapat diubah atau dimanipulasi secara timbal
balik, dan itulah kehebatan orang Indonesia. Oleh sebab itu, bila sistem ini diterapkan
di lapangan, maka perlu dilakukan razia terpadu di lapangan dan pemeriksaan plat
kenderaan ketika kenderaan berhenti di lampu merah perempatan jalan.

Bila ada orang yang melakukan manipulasi plat kenderaan, langsung diberikan
tindakan nyata yang menimbulkan efek jera sehingga orang lain tidak berani lagi
melakukannya.

Bila ingin kota ini tidak macet lagi, maka kesadaran warga kota ini juga sangat
dibutuhkan untuk memenuhi aturan hukum. Janganlah berprinsip bahwa peraturan itu
dibuat untuk dilanggar, ini Medan Bung ! Kita harus sadar bahwa peraturan di kota itu
dibuat adalah untuk membuat sistem kehidupan di perkotaan menjadi lebih baik,
tertib, aman dan terkendali. Semoga. ***

Penulis dosen tetap di Universitas HKBP Nommensen dan Pemerhati Masalah


Sosial Kemasyarakatan.

Dalam Tajuk Rencana harian ini pada Kamis, 3 Agustus 2017 dengan judul
Kemacetan Jadi Keluhan, yang diuraikan secara komprehensif tentang faktor-faktor
penyebab terjadinya kemacetan di Kota Medan, perlu kita pikirkan solusi atau
kebijakan untuk mengatasinya secara konprehensif, konseptual dan implementabel.

Secara nyata, kita warga kota Medan telah merasakan kemacetan parah pada jam-
jam tertentu di kota ini, yang membuat kita menjadi stress dan mengeluarkan
berbagai umpatan sumpah serapah yang tidak jelas sasarannya. Kemacetan dapat
menyebabkan kita terlambat sampai di kantor, terlambat anak-anak sampai di
sekolah, terlambat menepati janji binsis dan terlambat lainnya, yang kita rasakan
sangat merugikan.

Kejadian seperti ini jadi rutinitas yang akan kita hadapi setiap hari di kota ini dan
akhirnya pasrah pada situasi yang ada. Bahkan kita lihat instansi terkait yang
bersentuhan dengan masalah lalu lintas, pengaturan angkutan umum dan pe-
merintah kota Medan, tidak bisa berbuat banyak mengatasi kemacetan ini. Alasannya
masuk akal, bahwa jumlah Kendaraan sudah lagi tidak seimbang dengan kapasitas
jalan raya di kota ini. Menurut data dari Dinas Perhubungan Kota Medan (2016),
jumlah Kendaraan bermotor mencapai 2,7 juta unit dengan panjang jalan 3.191,5 km
dan rasio kecepatan 23,4 km/jam serta Volume Capacity Ratio 0,76. Kendaraan
pribadi 97,8 persen, Kendaraan umum 2,2 persen, Kendaraan roda dua 75,95 persen
dan roda empat 24,05 persen .

Bila faktor utama penyebab kemacetan di kota ini adalah ketidak seimbangan jumlah
Kendaraan dengan infrastuktur jalan raya, maka diperlukan 2 kebijakan utama (main
policy) untuk mengatasi kemacetan ini, yakni : a) pembangunan sistem transportasi
massal di perkotaan, dan b) pendekatan instrumen hukum pembatasan jumlah
Kendaraan.

Kebijakan Transportasi Massal

Kebijakan pembangunan sistem angkutan massal di perkotaan yang nyaman, murah


dan efisien waktu, adalah salah satu solusi mengatasi kemacetan di perkotaan.
Dengan adanya angkutan massal dalam kota yang disediakan pemerintah daerah
secara memadai jumlahnya, sudah barang tentu akan menjadi pilihan masyarakat
untuk melakukan aktivitas bepergian untuk berbagai tujuan di dalam di kota ini.

Penyediaan angkutan massal di perkotaan yang dapat menjangkau antara pusat-


pusat kegiatan ekonomi (bisnis) dari zona Medan Barat dan Medan Timur, Medan
Selatan dan Medan Utara ke jantung Kota Medan, diyakini akan mendapat sambutan
sangat positif dari masyarakat luas.

Tentu syarat angkutan massal ini adalah : harus aman, nyaman, tarif relatif murah
atau terjangkau, dan terpadu dengan angkutan dari pinggiran perkotaan. Artinya,
masyarakat yang rumahnya berada di pinggiran kota ini relatif mudah terhubung
dengan sistem angkutan massal perkotaan, dengan membangun sistem koneksi
penumpang di tempat-tempat khusus di pinggiran perkotaan. Misalnya, harus ada
tempat koneksi penumpang dari daerah Martubung, Pinang Baris, Marindal, dan
Percut menuju pusat Kota Medan. Dengan cara seperti ini, maka masyarakat akan
cepat sampai di pusat kota ini, tidak perlu lama menunggu, sehingga sistem ini
dipastikan akan efektif dan efisien dari segi waktu.

Menjadi pertanyaan, apakah sistem transportasi massal ini dapat dikembangkan di


Kota Medan. Jawabannya sudah pasti dapat dikembangkan, asal ada kemauan dari
pemerintah daerah dan legislatif di kota ini. Pembangunan sistem angkutan massal di
kota ini tentu membutuhkan dana besar, dan kita harapkan bahwa pembiayaan ini
tidak hanya dibebankan kepada APBN dan APBD. Tetapi, pemerintah kota harus
mengajak sektor swasta untuk terlibat dalam pembangunan sistem transportasi
massal ini. Kita yakin, pasti banyak pihak swasta yang mau menanamkan
investasinya dalam pembangunan transportasi massal di perkotaan terutama dengan
model angkutan jalan raya bus besar.

Penulis berpendapat bila ada kebijakan yang ingin membangun jalan tol dalam Kota
Medan, rasanya untuk jangka panjang tidak banyak membantu mengatasi kemacetan
di kota ini. Kita harus belajar dari Kota Megapolitan Jakarta, jalan tol dan jalan layang
yang dibangun dalam kota, ternyata malah terjadi kemacetan di jalan tol dan jalan
layang dan membuat masyarakat jadi stress di jalan. Oleh sebab itu, alangkah lebih
baik membangun sistem transportasi massal di perkotaan, yang dikelola secara
profesional dan memberikan keuntungan bagi pemerintah kota, sektor swasta yang
terlibat dan khususnya masyarakat pengguna.

Bila hal ini dapat dikembangkan di Kota Medan, sudah barang tentu masyarakat akan
lebih banyak menggunakan angkutan massal dalam kota ketimbang membawa
Kendaraan pribadi yang dipastikan akan terjebak kemacetan lalu lintas. Selain itu,
masyarakat tidak akan selalu terdorong atau terdesak untuk membeli Kendaraan baru
atau bekas sebagai sarana transportasi bila sudah ada angkutan massal yang aman
dan nyaman di kota ini.

Instrumen Hukum Pembatasan Kendaraan

Kebijakan lain yang dapat dipertimbangkan dalam upaya mengatasi kemacetan di


kota ini adalah penerbitan Peraturan Daerah (Perda) yang membatasi jumlah
Kendaraan yang beraktivitas di jalan raya. Caranya adalah, bahwa dalam Perda itu
ditegaskan bahwa Kendaraan yang boleh memasuki jalan raya kota adalah
Kendaraan yang memiliki tahun pembuatan 5 (lima) tahun terakhir.

ESTIMASI BIAYA KEMACETAN


DI KOTA MEDAN
Suci Susanti, Maria Magdalena

Abstract

Perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang semakin meningkat di Kawasan Mebidang


terutama Kota Medan berpengaruh terhadap peningkatan jumlah kendaraan yang signifikan.
Mobilitas orang dan barang, mengakibatkan kemacetan lalu lintas dan menimbulkan social cost
seperti waktu tempuh perjalanan, konsumsi bahan bakar hingga bertambahnya angka
kecelakaan dan stres di tengah masyarakat. Kemacetan lalu lintas di Kota Medan terjadi di jalan-
jalan provinsi dan nasional menuju pusat Kota Medan antara lain Jalan Jamin Ginting, Jalan Dr.
Mansyur, Jalan Sisingamangaraja, Jalan Juanda dan Jalan Katamso. Kemacetan ini terjadi baik
di saat jam sibuk pagi maupun jam sibuk sore. Dalam mengetahui besarnya biaya kemacetan ini
digunakan disain deskriptif untuk mendeskripsikan variabel-variabel yang berpengaruh terhadap
biaya kemacetan dengan analisis ekonomi melalui perhitungan nilai waktu orang dan pengunaan
BBM. Biaya kemacetan ini dipengaruhi oleh biaya waktu dan biaya BBM. Berdasarkan hasil
analisis, total biaya kemacetan di beberapa Ruas Jalan Kota Medan sebesar Rp.
85.361.196/hari dan Rp. 22.535.355.867/tahun.

untuk jenis roda dua maupun roda empat. Sistem ini telah diterapkan di Kota
Singapura.

Mungkin kebijakan seperti ini akan dianggap sebagian pihak diskriminatif, karena
Kendaraan lama tidak boleh beroperasi di jalan raya, dan Kendaraan yang relatif baru
boleh memasuki jalan raya. Namun perlu dipahami bahwa kebijakan ini memiliki
dampak positif yang besar yakni dapat mengurangi jumlah Kendaraan yang
beroperasi di jalan raya secara signifikan, dan sekaligus mengurangi terjadinya
pencemaran udara akibat pembakaran BBM.

Proses penghentian operasional Kendaraan lama tentu dapat dilakukan dengan tidak
menerima atau menghentikan pembayaran pajak Kendaraan lama di Dinas
Pendapatan Daerah, dan menaikkan biaya pajak Kendaraan baru secara signifikan,
sehingga masyarakat tidak terdorong untuk menambah jumlah Kendaraan baru di
rumahnya.

Kendaraan-Kendaraan lama dengan sendirinya akan digeser ke daerah-daerah lain


karena tidak dapat lagi beroperasi di perkotaan. Demikian halnya, penambahan
Kendaraan baru baik roda dua ataupun roda empat akan bertumbuh lebih lambat
dibanding dengan kondisi seperti selama ini, yang bebas tanpa instrumen pembatas.

Di sisil lain, pembatasan kenderaan yang beroperasi di jalan raya kota juga dapat
dilakukan dengan menerapkan peraturan nomor plat ganjil dan genap. Model ini akan
bisa efektif bila ada pengawasan yang ketat di lapangan dan melakukan tindakan
tegas terhadap pelanggar aturan ini. Melalui sosialisasi yang terus menerus dan
pengawasan petugas di lapangan yang tidak pandang bulu, maka sistem nomor plat
ganjil untuk hari tertentu dan nomor plat genap untuk hari lain akan berjalan efektif di
lapangan.

Banyak pihak meragukan implementasi aturan seperti ini, karena ada yang
melaporkan bahwa plat kenderaan dapat diubah atau dimanipulasi secara timbal
balik, dan itulah kehebatan orang Indonesia. Oleh sebab itu, bila sistem ini diterapkan
di lapangan, maka perlu dilakukan razia terpadu di lapangan dan pemeriksaan plat
kenderaan ketika kenderaan berhenti di lampu merah perempatan jalan.

Bila ada orang yang melakukan manipulasi plat kenderaan, langsung diberikan
tindakan nyata yang menimbulkan efek jera sehingga orang lain tidak berani lagi
melakukannya.

Bila ingin kota ini tidak macet lagi, maka kesadaran warga kota ini juga sangat
dibutuhkan untuk memenuhi aturan hukum. Janganlah berprinsip bahwa peraturan itu
dibuat untuk dilanggar, ini Medan Bung ! Kita harus sadar bahwa peraturan di kota itu
dibuat adalah untuk membuat sistem kehidupan di perkotaan menjadi lebih baik,
tertib, aman dan terkendali. Semoga. ***
Penulis dosen tetap di Universitas HKBP Nommensen dan Pemerhati Masalah
Sosial Kemasyarakatan.

Sungai merupakan sumber kehidupan dan penghidupan. Sungai merupakan sumber air bagi
banyak mahluk hidup, sungai juga dapat menjadi sumber bencana bagi mahluk hidup.
Barangkali ini ungkapan yang sering kita bicarakan dalam setiap diskusi tentang sungai.

Sungai deli merupakan salah satu, dari delapan sungai yang ada di Kota Medan. Sungai yang
memiliki luas areal DAS mencapai 48.162 ha. Ia merupakan penyumbang sumber air terbesar
bagi penduduk kota medan. Hulu sungai deli terletak di dataran tinggi yang berada di antara
Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Karo. Luas hutan di hulu Sungai Deli hanya tinggal
3.655 hektar, atau tinggal 7,59 persen dari 48.162 hektar areal DAS
deli, (http//www.wikipedia.org.)

Pada masa kerajaan Deli, sungai ini menjadi urat nadi perdagangan ke daerah lain. Sebab
sungai deli dijadikan jalur transportasi dalam aktivitas perdagangan pada masa itu. Pada masa
kejayaannya Sungai Deli memberikan sumbangsi yang cukup besar dalam
menumbuhkembangkan Kota Medan. Di mana cikal bakal Kota Medan hanya merupakan
sebuah perkampungan kecil yang bernama Medan Putri, (http.students.ukdw.ac.id).

Perkembangan Medan Putri menjadi sebuah kota tidak terlepas dari posisinya yang strategis.
Ia terletak antara pertemuan Sungai Deli dan Sungai Babura. Kedua sungai tersebutlah yang
menjadi jalur lalu lintas perdagangan yang ramai. Lalu berkembang menjadi pelabuhan
transit para pedagang. Dengan demikian, kedua sungai tersebut sangat mempengaruhi
sejarah, budaya dan kondisi sosial masyarakat Kota Medan.

Tapi, baik buruknya kualitas sebuah kota juga dapat dilihat dari kondisi sungai yang ada di
kota tersebut. Rendahnya penghargaan yang diberikan oleh masyarakat kota terhadap sungai
akan mengakibatkan sungai mengalami degradasi kualitas juga.

DAS Deli
DAS (Daerah Aliran Sungai) merupakan satu kesatuan bentangan lahan yang berfungsi
sebagai penangkap, menampung dan pengalir air hujan ke suatu titik yang disebut sungai.
Sampai pada akhirnya menuju ke laut atau danau.

Kawasan DAS juga terdri dari berbagai sumber daya yang saling mendukung, antara lain
sumber daya alam, manusia dan intitusi yang semuanya saling mempengaruhi. Salah satu
indikator yang dapat dijadikan ukuran dalam melihat baik buruknya DAS adalah jumlah debit
air di sungai tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, kita dapat melihat bahwa kondisi Sungai Deli saat ini dapat
dikatakan sangat buruk. Semakin menurunnya debit air yang disediakan Sungai Deli menjadi
satu alasannya.

Menurut desertasi Gindo Maraganti Hasibuan, yang juga Wakil Kepala Dinas Pengairan
Sumut. Bahwa perbandingannya 10;315 m3/detik atau 1;31,5. Grafik debit air sungai deli
dari tahun 1990-2004, cendrung menurun dari rata-rata 17 m3/detik (1990) menjadi rata-rata
8-10 m3/detik (2004). Jika diasumsikan rata-rata debit air Sungai Deli adalah 10-12 m3/detik.
Sedangkan sampai tahun 2008 kebutuhan akan debit air di Sungai Deli mencapai 14,5
m3/detik. Ini membuktikan bahwa semakin menurunnya debit air Sungai Deli merupakan
bukti buruknya pengelolaan DAS Deli.

Tak hanya soal debit, juga permasalahan kontinuitas, ketersediaan dan kualitas juga menjadi
ukuran penting yang harus dilihat. Tingkat degradasi kualitas Sungai Deli berada pada tingkat
yang menghawatirkan.

Menurut Harian Kompas (17/12/05) bahwa hasil penelitian Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan (Bappedalda) Provinsi Sumatera Utara menunjukkan air sungai deli yang
dijadikan sample tidak layak digunakan untuk mandi dan cuci.

Dapat kita banyangkan, untuk mandi dan cuci saja tidak layak apalagi untuk dikonsumsi
sudah barang pasti sangat tisak layak. Dari hasil penelitian itu Bappedalda Sumut tersebut
ternyata bukan saja sungai deli yang airnya tidak layak. Beberapa sungai besar lainnya yang
ada di Kota Medan seperti Sungai Babura, Sungai Precut dan Sungai Belawan pun
diperkirakan kualitas airnya hampir sama dengan Sungai Deli.

Salah satu penyebab menurunya kualitas air sungai itu adalah pencemaran limbah padat dan
cair. Limbah domestic (bersumber dari rumah tangga atau pemukiman)seperti sampah dan
juga limbah cair hingga kini belum terkelola dengan benar. Begitu juga limbah cair yang
dihasilkan industri. Tak heran bila Bappedalda Sumut menyebutkan Sungai Deli dikotori oleh
70% limbah domestik, sementara 30% sisanya dikotori oleh limbah industri.

Pada tingkat domestik, pengotoran Sungai Deli lebih disebabkan oleh belum tingginya
kesadaran masyarakat dan pengelola pemukiman tentang peran sungai terhadap keberlanjutan
hidup bersama. Sungai cendrung dijadikan lubang sampah yang paling efektif. Perspektif
tidak mau repot mengurusi limbah karena tak bernilai ekonomis telah mengindikasikan
rendahnya tingkat kesetiakawanan sosial masyarakat Kota Medan.

Sementara itu, di sektor pengawasan juga masih sangat lemah. Terutama kepada industri
yang membuang limbah produksinya ke sungai. Misalnya kasus PT. Eka Kesuma Wijaya,
PT. PT. Istana Prima yang bekerjasama dengan PT. SJA, yang diadukan ke pihak Poldasu
oleh WALHI Sumatera Utara, Kontras Sumatera Utara, Yayasan Leuser Lestari (YLL) Dan
GM3B. Pengaduan tersebut dilakukan berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan tentang
perusahaan yang melakukan penimbunan sampah dan penimbunan di bantaran sungai.
Ketidak pedulian perusahaan industri yang berada dekat dengan kawasan aliran sungai
mengakibatkan semakin tercemarnya sungai.

Sikap berbeda justru ditampilkan oleh pihak Kepolisian dari Kota Surabaya. Menurut terbitan
Harian Kompas (24/11/07), setidaknya ada 14 perusahaan yang diperiksa pihak kepolisian
terkait pembuangan limbah ke sungai.

Antara lain 5 Perusahaan berada di Kota Surabaya (PT. Aktif Indonesia Industri, PT. Spindo,
PT. Smart, UD Kota Makmur dan UD Samson), 4 perusahan di Kota Malang (PT. Usaha
Loka, PT. Kasin, dan PT. Ekamas Fortuna), 3 Perusahaan di Kabupaten Gersik (PT. WIM
Cycle, PT. Samator, PT. Kingdom Indah), dan 2 Perusahaan di Kabupaten Mojokerto (UD
Handoko dan Pabrik Gula Gempolkerep).

Lagi, soal penegakan hukum bukan sekedar niat, tapi juga keberanian untuk menunjukkan
sikap kelembagaan. Dan peran Pemerintah terkait, termasuk aparat hukum mestinya lebih
jeli. Sebab kasus yang berbasis lingkungan cenderung mengorbankan jumlah jiwa lebih
banyak dibandingkan kasus kriminal lainnya.

Artinya, upaya pengelolaan sungai harus mengoftimalkan seluruh fungsi dan sumber daya
yang ada di wilayah aliran sungsi tersebut. Jadi tak hanya Bappedalda Sumut saja yang teriak
bila Desperindag Sumut dan Kota Medan tak peduli hanya karena alasan PAD dan financial
lainnya. Begitu juga dengan kepolisian, jangan karena para perusahaan memiliki sumber
modal kuat lalu harus mengalasankan mencari bukti yang penguat hanya untuk melakukan
pemeriksaan. Bukankah laporan-laporan dari Bapedalda Sumut memiliki kekuatan hukum
karena mereka mengerjakannya berdasarkan legitimasi hukum Negeri ini? Artinya satu
fungsi saja terabaikan, kita harus membayar mahal terhadap dampak yang ditimbulkannya.

Rehabilitasi Sungai

Untuk itu ada beberapa pendekatan yang harus dilakukan dalam rehabilitasi pengelolaan
kawasan DAS. Pertama, Pendekatan konservasi, Yakni, dengan melakukan perbaikan
langsung terhadap kawasan yang menjadi resapan air hujan di hulu sungai. Konservasi di sini
tentunya mesti pula melibatkan masyarakat sehingga mendorong lahirnya kesadaran
multipihak bahwa bucara sungai bukan sekedar tanggung jawab pemerintah.

Lalu melakukan rehabilitasi lahan di kawasan hutan yang berfungsi sebagai kawasan
tangkapan air. Sebab hujan yang turun mestinya diresap oleh humus hutan untuk ditahan
sementara waktu sebelum mengalir ke sungai dan sumber-sumber air lainnya. Dengan
demikian, ada semacam upaya untuk menjamin ketersedian keberlanjutan debit air yang
diharapkan.
Di hilir perlu sekali melakukan berbagai kegiatan penyadara kepada masyarakat tentang
pentingnya menjaga kelestarian sungai. Mendorong peran serta masyarakat untuk lebih
menghargai fungsi sungai sebagai sumber kehidupan bersama. Artinya pendekatan ini harus
dilakukan secara terpadu dan menyeluruh.

Kedua, pendekatan institusi, ini adalah pendekatan teknis dalam melakukan perbaikan di
tingkat lapangan. Seluruh upaya tidak akan berhasil bila tidak mendapat dukungan kebijakan
yang memihak pada konservasi sumber hidup bersama tersebut. Penguatan kapasitas
masyarakat yang terkait pada satu kesatuan sumber hidup mestilah memiliki aturan main.
Selain itu proses penegakan hukum di kawasan DAS harus pula menggunakan pendekatan
yang benar.

Tak hanya pendekatan punishment (hukuman), tapi juga awareness(penghargaan) dan


pengakuan mesti diberikan atas jerih payah masyarakat baik secara individu maupun
kelompok/ komunitas. Penghargaan ini diberikan bila memang terbukti berhasil melakukan
upaya pengelolaan lingkungan sungai. Tumbuhnya kesadaran inilah yang patutnya kita
rangsang, kita kembangkan dan hargai bersama.

Pengelolaan DAS Deli untuk meningkatkan kualitas Sungai Deli bukanlah sekedar tugas
Bappedalda Sumut dan Badan Pengelolaan DAS. Tapi soal semua. Paling tidak, ketika kita
meletakkan punggung bangunan ke arah sungai, maka pada saat yang sama kita sedang
meletakkan nasib kita di air yang mengalir ke laut pada titik yang menghawatirkan.

Itulah perlunya penyatuan pemahaman antara stakeholder. Pemahaman yang sama antara
stakeholder yang terkait dengan DAS Deli mampu menjelaskan tentang pembagian peran
setiap kelompok dan setiap level sosial terkait upaya rehabilitasi sungai.

Jika pemahaman kita sudah sama dan peran yang harus diambil juga jelas, maka ke depan
Sungai Deli dapat kembali menjadi kebanggaan masyarakat Kota Medan. Sehingga anak
cucupun tak hanya mengenal Sungai Deli dari buku sejarah tanpa pernah menikmatinya.
Cukuplah hanya sungai Kasih Sayang (atau lebih dikenal dengan Sungai Kera) yang hilang.
Cukuplah sudah kehilangan yang kita alami hanya kepentingan modal dan modal!

Bila tidak juga, itulah cerminan dari rasa bangga kita terhadap Sungai Deli. Bahwa, apa yang
kita banggakan dipastikan akan kita terlantarkan. Tak peduli bila kebanggaan itu adalah
cerminan kemunafikan kita tentang sejarah maupun pembangunan yang berorientasi pada
kesejahtraan sosial.

Banyak asa yang disandarkan sehubungan dengan rencana Kompas


melaksanakan Ekspedisi Ciliwung, 16-22 Januari 2009 (Kompas, 8-9
Januari). Semua tahu, Sungai Ciliwung identik dengan kota Jakarta, seperti
halnya kita mengingat Baghdad dengan Sungai Tigris-nya, Kairo-Sungai
Nil, London-Sungai Thames, Paris-Sungai Rheine, dan Melbourne-Sungai
Yarra.

Indonesia merupakan negeri air dengan kebijakan tentang air termasuk


yang terburuk di dunia. Dari total 472 kota dan kabupaten, hampir 300 kota
dan kabupaten dibangun dekat sumber air, baik berupa danau, daerah
aliran sungai, maupun tepi pantai. Namun, sudah lama pula sebenarnya
kebijakan perencanaan kota kita dan pola budaya hidup warga
menganiaya sungai dan mengingkari fitrah air.

Kebijakan tata kota kita tidak menghargai kesinambungan hidup air. Danau
(situ), sungai, dan tepi pantai menjadi halaman belakang yang kotor dan
tempat membuang limbah, sampah, dan hajat. Jakarta pun dijuluki kota
jamban terpanjang di dunia.

Badan sungai menyempit dipenuhi bangunan (tak berizin) dan mendangkal


akibat penggundulan hutan di hulu, erosi, dan sedimentasi. Situ-situ
(tempat menampung kelebihan air hujan dan air sungai) justru diuruk atas
nama kebutuhan lahan permukiman, tempat usaha, atau tempat buang
sampah!

Air berubah menjadi sumber malapetaka. Sungai (dan saluran air) penuh
sampah, berwarna hitam pekat, menebar aroma tak sedap, dan sumber
penyakit lingkungan (kolera, diare, gatal-gatal, dan demam berdarah). Air
sungai sudah lama tak layak minum. Puncak kemurkaan air saat air
pasang di tepi pantai (rob) dan pada musim hujan air sungai meluber
membanjiri kota.

Lanskap kota tak akan bertahan tanpa air yang lestari. Sejarah mencatat,
kota-kota besar dunia, beradab, dan masyhur adalah kota-kota yang
dibangun dekat sumber air.

Tengok kota pesisir Sydney, Los Angeles, Miami, Barcelona, kota kanal
Venice, Amsterdam, dan kota sungai London, Paris, Melbourne,
Manhattan. Air ditempatkan (kembali) pada tempat yang sangat mulia dan
bermartabat sebagai berkah sumber kehidupan warga dan kota.
Bagaimana Jakarta dengan Sungai Ciliwung dan kedua belas sungai yang
mengalirinya?

Jakarta terus mengalami kekurangan air bersih sepanjang tahun. Debit air
sungai dan situ menurun dan tak lama lagi mengering. Air limbah rumah
tangga dan air hujan melimpah ruah terbuang percuma begitu saja
melewati saluran air langsung ke sungai dan laut. Air tidak sempat
ditampung dahulu ke daerah resapan air karena taman, situ, rawa-rawa,
dan hutan mangrove terus menyusut diuruk untuk pembangunan kota yang
tak berkelanjutan.

Fenomena pemanasan global dan degradasi kualitas lingkungan memaksa


Jakarta harus membangun kota (sungai) ramah air untuk menghidupkan
kembali air dalam tata kotanya. Ini sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 23
Tahun 1997 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU
No 7/2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, UU No 26/2007 tentang
Penataan Ruang, dan Permendagri No 1/2007 tentang Penataan RTH
Kawasan Perkotaan.

Ada lima kriteria, yakni kemudahan akses publik terhadap air, partisipasi
masyarakat dalam membangun budaya ramah air, penataan muka dan
badan air secara berkelanjutan, pengelolaan air, dan limbah ramah
lingkungan.
Kota memberikan kemudahan akses untuk memperoleh air bersih layak
minum. Di tempat-tempat publik di terminal, stasiun, dan taman disediakan
keran air minum gratis. Saluran air terhubung secara hierarkis (kecil ke
besar sesuai kapasitas), tidak terputus, terawat baik bebas sampah, bersih,
dan lancar. Partisipasi masyarakat membersihkan saluran air di depan
rumah harus terus digiatkan.

Sumur resapan air diperbanyak dan situ-situ direvitalisasi untuk


memperbanyak serapan air ke dalam tanah dan mengurangi air yang
dibuang ke sungai (ekodrainase). Pencemaran air sungai dikurangi dengan
pembuatan instalasi pengolahan air limbah menjadi air daur ulang untuk
mandi, mencuci, dan menyiram.

Jakarta sebagai kota sungai, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus


merefungsi bantaran sungai bebas dari sampah dan permukiman,
menghijaukan kembali bantaran, serta menjadikan halaman muka
bangunan dan wajah kota. Meski memakan waktu dan daya tahan lama,
upaya revitalisasi bantaran kali harus diikuti sosialisasi yang mendorong
warga untuk berpartisipasi pindah secara sukarela bergeser (bukan
tergusur) ke kawasan terpadu yang komprehensif.

Pemerintah daerah, pengembang besar, dan perancang kota bersama


membangun kawasan terpadu yang terencana matang dan layak huni.
Kawasan dilengkapi fasilitas hunian vertikal sistem marger sari, perpaduan
berimbang 1:3:6 (1 hotel, 3 apartemen, 6 rusunami), pendidikan (sekolah,
kursus, pelatihan), ibadah, perkantoran, dan pasar, serta dekat jalur
transportasi publik. Penghuni cukup berjalan kaki atau bersepeda ke
tempat tujuan dalam kawasan, serta mengandalkan transportasi publik ke
luar kawasan.

Jika tidak, warga yang tergusur pasti akan berpindah menghuni ruang hijau
kota lainnya (bantaran sungai, rel kereta api, bawah jalur tegangan tinggi,
kolong jalan layang, dan tepian situ) di lain lokasi yang memang banyak
tidak terawat. Begitu seterusnya.
Setelah itu, bantaran sungai (dan juga bantaran rel kereta api, jalur
tegangan tinggi, kolong jalan layang) dapat dikembangkan sebagai taman
penghubung antar-ruang kota (urban park connector). Warga dapat
berjalan kaki atau bersepeda menyusuri sungai menuju ke berbagai tempat
tujuan harian (kantor, sekolah, pasar) dengan aman, nyaman, dan bebas
kemacetan sambil menikmati keindahan lanskap tepi sungai.
Pengoperasionalan perahu air sebagai alat transportasi air kota (waterway)
dan taman penghubung (jalur sepeda) akan mendukung pola transportasi
makro terpadu Jakarta.

Sebagai daerah terbuka untuk publik yang menarik, warga dapat


menggelar acara rekreasi bersama keluarga atau teman di tepi sungai
setiap akhir pekan. Komunitas peduli lingkungan membentuk koperasi
masyarakat cinta Sungai Ciliwung. Berbagai perhelatan turisme seperti
Festival Sungai Ciliwung digelar menjadi kalender tetap pariwisata kota.

Untuk menjaga kebersihan dan mengendalikan pemanfaatan sungai,


pemerintah kota harus mengoperasikan patroli perahu kecil pembersih
sungai setiap hari untuk mengangkut sampah tepi sungai sekaligus
mengawasi pemanfaatan badan sungai oleh masyarakat.

Kelak bantaran Sungai Ciliwung pun bernilai estetis (indah, bersih, tertata
rapi), ekologis (meredam banjir, menyuplai air tanah), edukatif (habitat dan
jalur migrasi satwa liar), dan ekonomi (wisata air, transportasi ramah
lingkungan).

Perubahan perspektif ini semoga dapat mengubah keseluruhan lanskap


hunian kota Jakarta yang berpihak kepada kelestarian air, kota (sungai)
ramah air, menuju kejayaan (kembali) peradaban kota tepian air.

Ini alasannya kenapa minimal lebar jalan trotoar berkisar di angka 1,5 m - 1,8 m. Yaitu, untuk
mengakomodir pejalan kaki yang menggunakan kursi roda
.
.
Pembagian ruang jalan bertujuan untuk membuat akses pejalan kaki menjadi humanis. Artinya,
semua orang bisa berjalan sesuai dengan kebutuhan ruang minimalnya di ruang pejalan kaki
yang disediakan

You might also like