Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 12

Agriprima, Journal of Applied Agricultural Sciences.

Maret, 2017
Online version : https://agriprima.polije.ac.id Vol. 1, No. 1, Hal. 1-12
P-ISSN : 2549-2934 | E-ISSN : 2549-2942

THE RATIO OF MALE AND FEMALE PARENTAL AND ADDITION BORON


FERTILIZER IN MALE PLANT TO THE PRODUCTION AND QUALITY SEED
OF SWEET CORN (Zea mays saccharata STURT.)

Indah Yuyun; Rahmat Ali Syaban*

Seed Production Technique Study Program


Department of Agricultural Production, State Polytechnic of Jember
Mastrip street, Po Box 164 Jember 68121
*
Corresponding author: rahmat_tpb@yahoo.co.id

ABSTRACT

One reason of low production sweet corn in Indonesia is the lack of availability quality seeds
and less accurate at cultivation technicals. One effort that can be used to increase the
production sweet corn is by setting a ratio of male and female parent plants and the addition
boron fertilizer on male plants. The research was conducted at Kotes Village, Gandosari,
Blitar a height above 60 m asl. And conducted split-plot design (RBD) with 3 factors and 2
replications. The first factor was ratio plants consisting of 1: 4, 1:5 and 1:6. The second
factor was an addition of boron fertilizer consisting of 0 kg/ha (control) and 15 kg/ha. The
results showed that treatment ratio male and female parent plants significant effect on the
parameters of seeds number each cob, a weight of 100 seeds, germination and speed
germination. Parent plant ratio of 1:5 (R2) showed the best results by produce 219,50 seeds
each cob and seed viability 83,67%, and 32,75% for seed speed germination. As for boron
fertilizer treatment was highly significant on the weight of pollen and pollen viability. Boron
fertilizer with a dose 15 kg/ha (B2) showed the best results on the pollen production and
pollen viability by 1.91 gram/plant and 7,19%, respectively. There was a significant
interaction between parent plant ratio and boron fertilizer on the number of seeds in each
cob. The combination parent plant ratio 1:5 and boron fertilizer application showed the best
result on the average number of seed by 232,30 seeds on each cob.

Keywords: Boron Fertilizer; Production and Seed Corn Quality; Ratio Male and Female
Parental

Publisher: Jurusan Produksi Pertanian | Politeknik Negeri Jember 1


Agriprima, Journal of Applied Agricultural Sciences. Maret, 2017
Online version : https://agriprima.polije.ac.id Vol. 1, No. 1, Hal. 1-12
P-ISSN : 2549-2934 | E-ISSN : 2549-2942

RASIO TANAMAN INDUK JANTAN DAN BETINA SERTA PENAMBAHAN


PUPUK BORON PADA TANAMAN JANTAN TERHADAP PRODUKSI DAN
MUTU BENIH JAGUNG MANIS (Zea mays saccharata STURT.)

Indah Yuyun; Rahmat Ali Syaban*

Program Studi Teknik Produksi Benih


Jurusan Produksi Pertanian, Politeknik Negeri Jember
Jl. Mastrip Po Box 164 Jember 68121
*
Corresponding author: rahmat_tpb@yahoo.co.id

ABSTRAK

Salah satu alasan rendahnya produksi jagung manis di Indonesia adalah kurangnya
ketersediaan bibit yang berkualitas dan kurang akuratnya teknis budidaya. Salah satu upaya
yang dapat digunakan untuk meningkatkan produksi jagung manis adalah dengan
menetapkan rasio tanaman induk jantan dan betina dan penambahan boron pupuk pada
tanaman jantan. Penelitian ini dilakukan di Desa Kotes, Gandosari, Blitar dengan ketinggian
di atas 60 m dpl. Dilaksanakan dengan menggunakan rancangan kelompok petak terpisah
(RBD) dengan 3 faktor dan 2 ulangan. Faktor pertama adalah rasio tanaman yang terdiri dari
1: 4, 1: 5 dan 1: 6. Faktor kedua adalah penambahan pupuk boron yang terdiri dari 0 kg / ha
(kontrol) dan 15 kg / ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan rasio tanaman induk
jantan dan betina berpengaruh secara nyata pada parameter jumlah biji setiap tongkol, berat
100 biji, perkecambahan dan kecepatan perkecambahan. Rasio tanaman induk dari 1: 5 (R2)
menunjukkan hasil terbaik dengan menghasilkan 219,50 biji setiap tongkol dan viabilitas
benih 83,67%, dan 32,75% untuk kecepatan perkecambahan biji. Adapun perlakuan
pemupukan boron sangat berbeda nyata pada berat serbuk sari dan viabilitas serbuk sari.
Pupuk Boron dengan dosis 15 kg / ha (B2) menunjukkan hasil terbaik pada produksi serbuk
sari dan viabilitas serbuk sari masing-masing 1,91 gram / tanaman dan 7,19%. Ada interaksi
yang berbeda nyata antara rasio tanaman induk dan pupuk boron pada jumlah biji di setiap
tongkol. Kombinasi rasio tanaman induk 1:5 dan pemupukan boron menunjukkan hasil
terbaik pada jumlah rata-rata benih dengan 232,30 biji pada setiap tongkol.

Kata Kunci: Pupuk Boron; Produksi dan Kualitas Benih Jagung; Rasio Tanaman Induk
Jantan dan Betina.

Publisher: Jurusan Produksi Pertanian | Politeknik Negeri Jember 2


Author: Indah Yuyun;Rahmat Ali Syaban* _____________________________________________________

PENDAHULUAN tidak digunakan hasilnya sebagai benih.


Jagung manis (Zea mays saccharata Sehingga dengan komposisi tersebut
Sturt) merupakan salah satu jenis jagung belum dapat memberikan hasil benih yang
yang mempunyai prospek bisnis yang baik optimal karena hanya 67 sampai 75% areal
dan menguntungkan Karena disukai oleh produksi yang ditempati tanaman induk
masyarakat, karena rasanya yang enak juga betina. Namun produktivitas benih jagung
mangandung karbohidrat, protein dan hibrida silang tunggal hasilnya dapat
vitamin yang tinggi serta kandungan lemak ditingkatkan hingga mencapai 3 ton/ha,
yang rendah. tergantung dari potensi genetik tetuanya
Total kebutuhan benih jagung manis dan managemen produksinya. Jika
sebanyak 500 ton - 600 ton pada 2011, penanaman induk jantan terlalu kurang,
sedangkan Indonesia masih mengimpor maka induk betina akan kekurangan tepung
250 ton untuk memenuhi kebutuhan benih sari sehingga banyak tongkol yang ompong
jagung manis dalam negeri dengan harga karena itu diperlukan pengaturan
impor yang masih sangat tinggi, sisanya komposisi baris jantan dan betina untuk
sebanyak 41,66% - 50% atau 250 ton - 350 memperoleh hasil benih yang optimal
ton diproduksi lokal (Handoyo, 2012). (Saenong and Rahmawati, 2010). Sehingga
Salah satu benih jagung manis yang bisa diharapkan dalam penggunaan tetua jantan
dikembangkan adalah benih hibrida. Benih yang minimum tersebut, serbuk sari masih
hibrida merupakan generasi pertama hasil tersedia dengan cukup untuk menyerbuki
persilangan antara tetua berupa galur tanaman betina yang ada. Dengan
inbrida. Benih hibrida dapat dibentuk pada demikian, pengelolaan polen tanaman
tanaman menyerbuk sendiri maupun menjadi penting dilakukan untuk men-
menyerbuk silang. jamin ketersediaan polen dalam rangka
Berbagai permasalahan dalam pro- peningkatan produksi dan mutu benih
duksi benih F1 adalah rendahnya produksi hibrida. Kegiatan pengelolaan polen yang
tepung sari, jumlah rambut tongkol yang dimaksud mencakup produksi polen di
terbatas, rentan berbagai cekaman ling- lapangan dengan menerapkan perlakuan
kungan, saat penyerbukan yang tepat sulit budidaya untuk meningkatkan jumlah dan
dicapai, jumlah biji pertongkol sedikit, dan mutu polen serta pemanfaatannya untuk
produksi benihnya rendah. Namun penyerbukan di lapangan. Beberapa
demikian produktivitas benih jagung metode yang dikembangkan untuk
hibrida silang tunggal masih dapat meningkatkan produksi dan viabilitas
ditingkatkan jika teknologi produksinya polen di antaranya ialah pemberian boron
dapat diperbaiki. Karena itu masih ada (Lordkaew et al., 2011).
peluang untuk meningkatkan hasil benih Boron meski hanya merupakan salah
F1 dengan upaya penyediaan teknologi satu unsur mikro yang diperlukan dengan
produksi benih yang optimal 4diantaranya jumlah yang sedikit namun keberadaannya
dengan mengatur ratio unduk jantan dan harus tetap ada karena unsur ini memiliki
betina. fungsi tersendiri dalam pertumbuhan
Rasio tanaman induk jantan dan tanaman. Boron memiliki fungsi penting
betina pada produksi benih yang telah terhadap sintesis dan transport karbohidrat,
diterapkan umumnya adalah 2 baris pertumbuhan, dan perkembangan polen,
tanaman induk jantan dan 4 baris induk serta aktivitas sel. Pemberian boron pada
betina, atau 1 baris induk jantan dan 3 baris tanaman diharapkan dapat mengopti-
induk betina, artinya sebesar 25 sampai malkan pertumbuhan tanaman dan
33% areal tanam produksi benih F1 perkecambahan serbuk sari sehingga
ditempati oleh tanaman induk jantan yang proses penyerbukan akan menjadi lebih

Publisher: Jurusan Produksi Pertanian | Politeknik Negeri Jember 3


Author: Indah Yuyun;Rahmat Ali Syaban* _____________________________________________________

baik dan produksi benih jagung yang Faktor kedua adalah penambahan
dihasilkan juga baik. pupuk boron pada tanaman jantan (B)
Dari berbagai hasil penelitian dengan 2 taraf, yaitu:
diketahui bahwa pemberian unsur boron b1 : 0 kg/ha
pada tanaman blueberry sebanyak 345 g/ha b2 : 15 kg/ha
dapat meningkatkan viabilitas polen, Sehingga didapatkan enam kombi-
jumlah bunga, dan pembentukan buah nasi perlakuan sebagai berikut: r1b1; r2b1;
(Chen et al., 1998). Viabilitas serbuk sari r3b1; r1b2; r2b2; r3b2. Dari enam
dan pertumbuhan tabung serbuk sari yang kombinasi perlakuan tersebut, masing-
meningkat dengan pemupukan boron telah masing perlakuan diulang 4 kali sehingga
diteliti pada padi (Garg et al., 1979). diperoleh 24 unit percobaan. Data hasil
Selanjutnya pemberian unsur boron penelitian diolah secara statistik
sebanyak 20 M pada tanaman jagung menggunakan Analysis Of Variance
hibrida dapat meningkatkan jumlah polen (Anova). Apabila hasil menunjukkan
per antera dari 1.386 polen menjadi 2.999 pengaruh yang nyata maka akan
polen per antera (Lordkaew et al., 2011). dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple
Pemberian boron juga menunjukkan Range Test (DMRT) pada taraf 5% .
respons yang positif terhadap peningkatan
produksi biji tanaman tomat dan paprika Parameter Pengamatan
(Sharma, 1999), terutama boron pada dosis 1. Umur berbunga tanaman jantan,
12 kg/ha. dihitung dari waktu tanam sampai 50%
Dari hasil penelitian sebelumnya tanaman dalam petakan telah
tersebut, maka perlu dilakukan penelitian membentuk malai (tassel) dan telah
mengenai rasio penanaman tanaman induk memproduksi tepung sari.
jantan dan betina pada jagung manis dan 2. Berat serbuk sari atau polen (mg),
penambahan pupuk boron pada tanaman 3. Diameter tongkol (cm),
jantan serta pengaruhnya terhadap pro- 4. Panjang tongkol (cm),
duksi dan mutu benih tanaman jagung 5. Jumlah biji pertongkol (%),.
manis. 6. Berat 1000 biji (gr).
7. Uji Viabilitas Polen (DB):
BAHAN DAN METODE Metode yang digunakan yaitu dengan
Penelitian ini dilakukan dengan menghitung jumlah polen yang
menggunakan Rancangan Petak Terbagi berkecambah dan tidak dengan
(Split plot Design) sesuai dengan penarikan tiga garis yang telah
kondisinya yang heterogen. Dalam ditentukan. Menurut Warid (2009)
penelitian terdapat 2 faktor yaitu penentuan perhitungan perkecambahan mengguna-
tanaman induk jantan dan betina serta kan rumus :
penambahan pupuk boron pada tanaman

jantan. Sehingga diperoleh rancangan 100%

percobaan sebagai berikut:
Faktor pertama adalah rasio tanaman 8. Uji daya kecambah benih (DB):
induk jantan dan betina (R) dengan 3 taraf Dihitung dari persentase kecambah
yaitu: normal pada perhitungan first count
r1 : Rasio 1 jantan : 4 betina (hari ke-7) dan perhitungan final count
r2 : Rasio 1 jantan : 5 betina (hari ke-14) dibagi jumlah benih yang
r3 : Rasio 1 jantan : 6 betina dikecambahkan.

Publisher: Jurusan Produksi Pertanian | Politeknik Negeri Jember 4


Author: Indah Yuyun;Rahmat Ali Syaban* _____________________________________________________

5 & 7 Tabel 1. Rerata Berat Serbuk Sari (gram)


x 100%
Perlakuan Pupuk
Rerata Berat Pollen
Boron
9. Uji kecepatan tumbuh benih (KCT) b1 (Kontrol) 1,64 a
Uji kecepatan tumbuh (KCT) dihitung b2 (15 kg) 1,91 b
dengan rumus:


% Berdasarkan Tabel 1, perlakuan
1
pupuk boron (B2) dengan 15 kg/ha pada
tanaman jantan menunjukan perbedaan
HASIL DAN PEMBAHASAN yang sangat nyata dengan rata-rata berat
Umur Berbunga serbuk sari 1,91 gram/tanaman. Pemberian
Setiap tanaman dikatakan memasuki pupuk boron mampu menghasilkan jumlah
umur berbunga jika tanaman telah ber- polen yang lebih tinggi dibandingkan
bunga minimal 60% dari jumlah populasi jumlah polen pada tanaman kontrol (b1).
dengan satuan HST (Hari Setelah Tanam). Sejalan dengan pendapat Heni and Palupi,
Berdasarkan hasil rangkuman sidik ragam (2016) didalam penelitiannya bahwa
pada Tabel 1, perlakuan rasio tanaman boraks 10 kg/ha dapat meningkatkan
induk jantan dan betina (r), pemberian produksi polen tetua jantan pada tanaman
pupuk boron (b), dan interaksi antara rasio melon. Polen merupakan salah satu
tanaman dan pupuk boron (r*b) tidak komponen yang sangat penting dalam
menunjukan adanya perbedaan yang nyata produksi benih karena polen sangat
terhadap umur berbunga tanaman jantan berpengaruh terhadap proses reproduksi
jagung manis. Umur rata-rata berbunga pembentukan biji. Keadaan ini akan
59,2 HST. Hal ini diduga umur berbunga menyebabkan semakin banyaknya biji
lebih dipengaruhi oleh faktor genotipe yang dihasilkan, sesuai dengan pernyataan
tanaman, dan genotipe dipengaruhi oleh Maheshwari and Kanta, (1964) bahwa
kondisi lingkungan dimana tanaman itu di jumlah biji yang dihasilkan tergantung
tanam. Seperti yang dilaporkan oleh pada: 1) jumlah butiran polen yang
Mouradov et al. (2002) yang menyatakan digunakan untuk menyerbuk, 2) jumlah
bahwa pembungaan itu dipengaruhi oleh polen yang menempel pada stigma, 3)
faktor genetik (faktor dalam) dan faktor lamanya waktu perkecambahan polen, dan
lingkungan dimana tanaman tumbuh (luar). 4) jumlah polen yang berkecambah pada
stigma.
Berat Serbuk Sari (Polen) Boron (B) meski hanya merupakan
Perlakuan rasio tanaman induk salah satu unsur mikro yang diperlukan
jantan dan betina (r), serta interaksi antara dengan jumlah yang sedikit namun
rasio tanaman dengan pupuk boron (r*b) keberadaannya harus tetap ada karena
tidak menunjukan adanya perbedaan yang unsur ini memiliki fungsi tersendiri dalam
nyata terhadap berat serbuk sari pada pertumbuhan tanaman (Safitri, 2014). Pada
bunga jagung manis. Akan tetapi pada lokasi penelitian ini, B tersedia didalam
perlakuan pupuk boron (B), menunjukkan tanah hanya sebesar 1,7 ppm. Dengan
perbedaan yang sangat nyata. asumsi bahwa berat tanah adalah 2.106 kg
Hasil uji DMRT taraf 5% untuk per 1 ha lapisan olah (0 20 cm), maka B
perlakuan pupuk boron terhadap parameter tersedia didalam tanah hanya 3,4 kg B/ha
berat serbuk sari bunga tanaman jantan (Hasil Analisa Laboratorium Politeknik
disajikan pada Tabel 1. di bawah ini. Negeri Jember No.13/Lab Tanah/XI/
2015). Kandungan B dalam tanah kurang
mencukupi bagi kebutuhan tanaman,

Publisher: Jurusan Produksi Pertanian | Politeknik Negeri Jember 5


Author: Indah Yuyun;Rahmat Ali Syaban* _____________________________________________________

karena itu diberikan tambahan B dengan viabilitas polen. Garg et al. (1979)
kandungan 48% yang berasal dari pupuk menyatakan bahwa perbaikan viabilitas
boron sesuai dengan dosis perlakuan. serbuk sari pada tanaman padi merupakan
efek stimulasi boron dalam meningkatkan
Viabilitas Serbuk Sari (Polen) ketersediaan gula, aktivitas enzimatik, dan
Polen merupakan pembawa materi respirasi yang diperlukan untuk perbaikan
genetik jantan kepada gametofit betina pertumbuhan serbuk sari. Pemberian boron
ketika terjadi fertilisasi. Pengujian juga menunjukkan respons yang positif
viabilitas polen pada kegiatan penelitian ini terhadap peningkatan produksi biji
dilakukan dengan menggunakan metode tanaman tomat dan paprika (Sharma,
perkecambahan secara in vitro. Berdasar- 1999).
kan hasil rangkuman sidik ragam pada Viabilitas polen merupakan kemam-
Tabel 1, perlakuan rasio tanaman induk puan untuk hidup yang ditunjukkan oleh
jantan dan betina (r), serta interaksi antara pertumbuhan atau gejala metabolisme.
rasio tanaman dengan pupuk boron (r*b) Kelly et al., (2002) menyatakan bahwa
tidak menunjukan adanya perbedaan yang kualitas polen dapat ditentukan dari tingkat
nyata terhadap viabilitas serbuk sari pada viabilitasnya. Fertilisasi tidak mungkin
bunga jagung manis. Akan tetapi pada dapat terjadi tanpa kehadiran polen dengan
perlakuan pupuk boron (b), menunjukkan viabilitas yang tinggi. Polen dengan
perbedaan yang sangat nyata. viabilitas tinggi akan lebih dahulu
Hasil uji DMRT taraf 5% untuk membuahi sel telur, sehingga sel telur yang
perlakuan dosis pupuk boron terhadap dibuahi lebih awal akan lebih dahulu
parameter viabilitas serbuk sari pada berkembang menjadi embrio dari pada sel
tanaman jagung manis disajikan pada telur yang dibuahi kemudian. Embrio yang
Tabel 2 di bawah ini. terbentuk lebih awal mempunyai
kesempatan yang lebih baik untuk
Tabel 2. Rerata Viabilitas Polen memanfaatkan fotosintat untuk pertumbu-
Perlakuan Pupuk Rerata Viabilitas han dan perkembangannya dalam pemben-
Boron Polen
tukan biji sehingga dengan demikian
b1 (Kontrol) 6,00 a embrio tersebut dapat berkembang menjadi
b2 (15 kg) 7,19 b biji yang memiliki viabilitas yang tinggi
Keterangan : (Hoekstra, 1983).
Angka-angka yang diikiuti dengan huruf kecil yang Hasil rerata viabilitas polen pada
sama menunjukan tidak berbeda nyata pada uji
perlakuan kontrol (b1) dan Pupuk Boron
DMRT taraf 5%
(b2) menunjukkan hasil dengan viabilitas
Berdasarkan Tabel 2 di atas tampak sesuai standar PT. East West Seed
bahwa perlakuan pupuk boron memberi- Indonesia yaitu 1% untuk semua crop.
kan pengaruh yang sangat nyata terhadap Polen yang mempunyai viabilitas dengan
viabilitas polen. Aplikasi pupuk boron ini perkecambahan normal memiliki ciri-ciri
(b2) mampu meningkatkan viabilitas polen berwarna merah dan polen yang tidak
jagung manis dengan rerata 7,19%, viabel tetap transparan seperti yang terlihat
sedangkan perlakuan kontrol (b1) pada Gambar 1.
memberikan hasil dengan rerata 5,72%.
Serbuk sari yang viabel merupakan syarat
untuk pembentukan biji dan kapsul
(Shivanna and Sawhney, 1997). Salah satu
usaha untuk memperbaiki pembentukan
biji dapat dilakukan melalui peningkatan

Publisher: Jurusan Produksi Pertanian | Politeknik Negeri Jember 6


Author: Indah Yuyun;Rahmat Ali Syaban* _____________________________________________________

antara rasio tanaman dan pupuk boron


(r*b) tidak menunjukan adanya perbedaan
yang nyata terhadap panjang tongkol
jagung manis. Panjang tongkol jagung juga
dipengaruhi oleh faktor genetik dan keada-
an lingkungan disekitar tanaman seperti
yang dikemukakan oleh Sutopo (1998)
bahwa panjang tongkol yang berisi pada
jagung lebih dipengaruhi oleh faktor
genetik, sedangkan kemampuan dari
tanaman untuk memunculkan karakter
Gambar 1. Perkecambahan Polen Jagung ;
genetiknya dipengaruhi oleh faktor
Tetrazolium (perbesaran 150X). lingkungan. Panjang tongkol rata-rata
(Merah: polen viabel, transparan/putih: 10,98 cm.
polen non viabel)
Jumlah Biji per Tongkol
Faktor-faktor yang mempengaruhi Berdasarkan hasil sidik ragam pada
perkecambahan polen secara in vitro antara Tabel 1, perlakuan rasio tanaman induk
lain: spesies tanaman, waktu pengumpulan jantan dan betina (r) berpengaruh sangat
polen, musim, metode pengambilan polen, nyata terhadap jumlah biji pertongkol, dan
penyimpanan, kerapatan polen, dan berpengaruh nyata terhadap interaksi
kondisi lingkungan perkecambahan seperti antara rasio tanaman induk jantan dan
suhu, dan media Brewbaker dan Kwack betina serta pemberian pupuk boron pada
(Fariroh, 2012). tanaman jantan (r*b). Sedangkan
perlakuan pemberian pupuk boron (b),
Diameter Tongkol tidak menunjukan adanya perbedaan yang
Berdasarkan hasil rangkuman nyata pada pengamatan jumlah biji
sidik ragam pada Tabel 1, perlakuan rasio pertongkol.
tanaman induk jantan dan betina (r), Selanjutnya interaksi antara perlaku-
pemberian pupuk boron (b), dan interaksi an rasio tanaman induk jantan dan betina
antara rasio tanaman dan pupuk boron serta pemberian pupuk boron pada
(r*b) tidak menunjukan adanya perbedaan tanaman jantan (r*b) dilakukan uji lanjut
yang nyata terhadap diameter tongkol menggunakan uji Duncan Multiple Range
jagung manis. Kondisi ini diduga diameter Test (DMRT) taraf 5% yang disajikan
tongkol lebih dipengaruhi oleh genetik dan dalam Tabel 3.
genetik dipengaruhi oleh lingkungan
seperti : ketersediaan unsur hara dan air. Tabel 3. Jumlah Biji Pertongkol Pada Rasio
Potensi gen dari suatu tanaman akan Tanaman (r) dan Pupuk Boron (b)
optimal apabila didukung oleh faktor Rerata Jumlah Biji
Perlakuan
Pertongkol
lingkungan yang berperan dalam r3 b 1 153,75 a
penampilan karakter dalam gen tersebut r1 b 2 173,55 a
(Kuruseng and Arman, 2006).
r3 b 2 174,10 a
r1 b 1 181,60 b
Panjang Tongkol
r2 b 1 206,70 c
Berdasarkan hasil rangkuman sidik
r2 b 2 232,30 d
ragam pada Tabel 1, perlakuan rasio
Keterangan : Angka-angka yang diikiuti dengan
tanaman induk jantan dan betina (r), huruf kecil yang sama menunjukan tidak berbeda
pemberian pupuk boron (b), dan interaksi nyata pada uji DMRT taraf 5%

Publisher: Jurusan Produksi Pertanian | Politeknik Negeri Jember 7


Author: Indah Yuyun;Rahmat Ali Syaban* _____________________________________________________

Tabel 3. menunjukkan bahwa kombi- mencukupi untuk menyerbuki tanaman


nasi perlakuan rasio tanaman 1:5 dengan betina yang berjumlah 6.
penambahan pupuk boron (r2 b2),
memberikan hasil jumlah biji pertongkol Bobot 100 Butir
tertinggi yaitu 232,30 biji. Kondisi ini Hasil analisis sidik ragam pada Tabel
diduga bahwa kombinasi perlakuan terse- 1 menunjukkan bahwa perlakuan rasio
but jumlah serbuk sari tersedia dalam tanaman (r) memberikan pengaruh yang
jumlah yang cukup dan dengan rasio nyata terhadap berat kering 100 biji,
tanaman 1:5 jarak antara tanaman jantan ke sedangkan faktor aplikasi pupuk boron
tanaman jantan berikutnya lebih ideal tidak menunjukkan perbedaan yang nyata
untuk proses penyerbukan. Pada rasio terhadap berat kering 100 biji. Hasil uji
tanaman 1:5 jarak antara tanaman jantan ke lanjut dengan uji DMRT (Duncan Multiple
tanaman jantan lebih lebar dari rasio Range Test) taraf eror 5% dapat dilihat
tanaman 1:4 dan lebih kecil dari rasio pada Tabel 4 berikut.
tanaman 1:6. Dengan jarak tersebut proses
penyerbukan atau jatuhnya serbuk sari ke Tabel 4. Rerata Jumlah Bobot 100 Butir (gram)
rambut betina lebih tepat, karena dalam Perlakuan Rasio Tanaman
Perlakuan Rasio Rerata Bobot 100
proses penyerbukan tanaman jagung faktor Tanaman Butir
yang berperan adalah angin dan setiap r3 (1:6) 9,56 a
daerah mempunyai kelembapan serta r1 (1:4) 9,63 ab
kecepatan angin yang berbeda. Semakin r2 (1:5) 9,90 b
tinggi kecepatan angin maka semakin jauh Keterangan :
serbuk sari terjatuh. Berdasarkan data Angka-angka yang diikiuti dengan huruf kecil yang
sama menunjukan tidak berbeda nyata pada uji
Badan Meteorologi dan Geofisika, kece- DMRT taraf 5%
patan angin di kota Blitar pada bulan
Oktober 2015 adalah 25 km/jam. Penyer- Dari Tabel 4 di atas menunjukkan
bukan tanaman jagung juga dapat dise- bahwa perlakuan rasio tanaman 1:5 (r2)
babkan oleh faktor genetik dari suatu galur, memiliki berat 100 butir benih lebih tinggi
dimana pengaruh genetik merupakan yakni 9,90 gram yang berbeda nyata
pengaruh keturunan yang dimiliki oleh dengan perlakuan rasio tanaman 1:6 (r3)
setiap galur (Mahdiannoor dan Istiqomah, dan perlakuan rasio tanaman 1:4 (r1). Hal
2015). Setiap galur mempunyai berat dan ini diduga karena benih yang dihasilkan
jumlah polen yang berbeda sehingga pada perlakuan 1:5 lebih bernas sehingga
semakin ringan sebuah polen pada tanaman bobot pada perlakuan ini lebih besar dari
maka semakin mudah polen terbawa jauh perlakuan yang lain. Rahimi et al. (2013)
oleh angin. Sitompul and Guritno (1995) menambahkan bahwa tinggi rendahnya
menambahkan bahwa faktor genetis berat biji tergantung dari banyak atau
tanaman merupakan salah satu penyebab tidaknya bahan kering yang terkandung
perbedaan antara tanaman satu dengan dalam biji. Bahan kering dalam biji
lainnya. diperoleh dari hasil fotosintesis yang
Sedangkan pada kombinasi perla- selanjutnya dapat digunakan untuk
kuan rasio tanaman 1:6 dengan perlakuan pengisian biji.
tanpa penambahan pupuk boron (r3b1), Selain itu Mugnisjah et al. (1994)
memberikan hasil jumlah biji pertongkol juga menyatakan bahwa rata-rata bobot biji
paling rendah yaitu 153,75 biji. Hal ini sangat ditentukan oleh bentuk dan ukuran
diduga pada kombinasi perlakuan tersebut biji pada suatu varietas. Biji dari sebuah
serbuk sari bunga tanaman jantan kurang tongkol jagung memiliki ukuran, bobot dan
bentuk yang bervariasi keragaman ini

Publisher: Jurusan Produksi Pertanian | Politeknik Negeri Jember 8


Author: Indah Yuyun;Rahmat Ali Syaban* _____________________________________________________

terjadi disebabkan waktu terjadinya (r2) tidak hanya memiliki keunggulan


fertilisasi yang bergantung pada proses biji dalam pertumbuhan dan hasil produksi
di tongkol. Biji yang berada di sekitar 1- 2 namun juga pada mutu benih. Angka
inci dari pangkal adalah yang pertama 83,67% telah melewati nilai SNI yang
terbentuk. Biji pada ujung tongkol baru ditetapkan untuk kualitas benih dalam
terbentuk 4 - 6 hari setelah biji pada kemasan berlebel adalah 70 80%.
pangkal tongkol terbentuk (Azrai, 2004) Ningsih (2014) menyatakan bahwa
.Sedangkan bobot 100 butir benih tidak daya kecambah berhubungan dengan bobot
dipengaruhi oleh pupuk boron. Mugnisjah 100 butir. Bobot 100 butir benih pada
et al. (1994) menyatakan bahwa rata-rata tanaman dengan perlakuan rasio tanaman
bobot biji sangat ditentukan oleh bentuk 1:6 lebih rendah yakni 79,67 %. Sehingga
dan ukuran biji pada suatu varietas. Lebih dapat dikatakan bahwa pada perlakuan
lanjut Ismunadji et al. (1988) menambah- tersebut ukuran benihnya lebih kecil
kan bahwa apabila tidak terjadinya dengan cadangan makanan di dalam benih
perbedaan pada ukuran biji maka yang yang lebih sedikit serta energi yang
berperan adalah faktor genetik. disimpan untuk proses perkecambahan
lebih kecil. Oleh karena itu daya
Daya Kecambah Benih (DB) perkecambahan lebih rendah.
Berdasarkan hasil Tabel 1, perlakuan
rasio tanaman induk jantan dan betina (r) Kecepatan Tumbuh Benih (KCT)
berpengaruh nyata terhadap daya kecam- Berdasarkan hasil sidik ragam pada
bah benih. Sedangkan perlakuan pembe- Tabel 1, perlakuan rasio tanaman induk
rian pupuk boron (b) dan interaksi antara jantan dan betina (r) berpengaruh nyata
rasio tanaman serta pemberian pupuk terhadap daya kecambah benih. Sedangkan
boron pada tanaman jantan (r*b) tidak perlakuan pemberian pupuk boron (b) dan
menunjukan adanya perbedaan yang nyata interaksi antara rasio tanaman serta
pada daya kecambah benih. Hasil dengan pemberian pupuk boron pada tanaman
uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) jantan (r*b) tidak menunjukan adanya
taraf eror 5% dapat dilihat pada Tabel 5. perbedaan yang nyata pada daya kecambah
benih. Hasil uji DMRT (Duncan Multiple
Tabel 6. Rerata Daya Kecambah Perlakuan Rasio Range Test) Perlakuan Rasio Tanaman
Tanaman terhadap daya kecambah pada taraf eror
Perlakuan Rasio Rerata Daya
Tanaman Kecambah
5% dapat dilihat pada Tabel 6.
r3 (1:6) 79,67 a
Tabel 6. Rerata Kecepatan Tumbuh Benih
r1 (1:4) 80,21 ab Perlakuan Rasio Tanaman
r2 (1:5) 83,67 b Perlakuan Rerata
Keterangan : Rasio Tanaman Kecepatan Tumbuh
Angka-angka yang diikiuti dengan huruf kecil yang r3 (1:6) 30,34 a
sama menunjukan tidak berbeda nyata pada uji
DMRT taraf 5% r1 (1:4) 30,74 a
r2 (1:5) 32,75 b
Dari Tabel 5 diatas menunjukkan Keterangan :
bahwa perlakuan rasio tanaman 1:5 (r1) Angka-angka yang diikiuti dengan huruf kecil yang
mampu menghasilkan kecambah normal sama menunjukan tidak berbeda nyata pada uji
mencapai 83,67% yang berbeda nyata DMRT taraf 5%
dengan perlakuan rasio tanaman 1:6 (r3)
dan rasio tanaman 1:4 (r2). Hasil tersebut Dari Tabel 6 diatas menunjukkan
memperlihatkan bahwa rasio tanaman 1:5 bahwa perlakuan rasio tanaman 1:5 (r2)
menghasilkan kecambah normal mencapai

Publisher: Jurusan Produksi Pertanian | Politeknik Negeri Jember 9


Author: Indah Yuyun;Rahmat Ali Syaban* _____________________________________________________

32,75 %/etmal yang berbeda nyata dengan dengan pendapat Sadjad (1993), yang juga
perlakuan rasio tanaman 1:4 (r1) dan rasio memberi kriteria bila benih mempunyai
tanaman 1:6 (r3). Hasil tersebut sejalan kecepatan tumbuh lebih besar dari 30 %
dengan daya kecambah yang dihasilkan artinya benih tersebut memiliki vigor
oleh perlakuan 1:5 (r2) dimana pada kecepatan tumbuh yang kuat.
perlakuan tersebut (r2) memiliki daya Akan tetapi nilai kecepatan tumbuh
kecambah yang lebih tinggi dibandingkan benih (KCT) pada seluruh perlakuan masih
dengan perlakuan rasio tanaman (1:4) dan memenuhi standar vigor dengan kriteria
1:6 (r3). Seperti yang telah diungkapkan baik, di mana rata-rata vigor yang baik
diatas bahwa perlakuan rasio tanaman 1:5 berkisar antara 25%/etmal 30%/etmal
(r2) memiliki bobot 100 butir terbaik, yang (Sadjad, 1993).
artinya benih yang dihasilkan lebih bernas.
Sehingga dari benih yang bernas tersebut, KESIMPULAN
banyak cadangan makanan yang tersimpan Hasil penelitian ini dapat disimpul-
di dalam kotiledon dan menyebabkan kan bahwa:
benih mengalami metabolisme yang lebih Perlakuan rasio tanaman berpenga-
aktif sehingga hal ini mendorong benih ruh sangat nyata (**) pada parameter
untuk lebih cepat berkecambah. Jumlah Biji Pertongkol dan Bobot 100
Hasil pada uji kecepatan tumbuh Butir, berpengaruh nyata (*) terhadap
menunjukkan kemampuan benih untuk parameter Daya Kecambah dan Kecepatan
berkecambah secara cepat pada kisaran Tumbuh Benih. Rasio Tanaman 1:5 (r2)
hari itu. Kemampuan benih yang cepat menghasilkan jumlah biji pertongkol dan
untuk berkecambah tentunya didukung mutu benih tertinggi yaitu sebesar 219.50
oleh nilai daya kecambah dari setiap benih biji/tongkol, DB 83.67 %, KCT 32.75 %.
yang menunjukkan viabilitas yang tinggi. Untuk perlakuan pupuk boron
Semakin tinggi jumlah hari yang berpengaruh sangat nyata (**) pada
diperlukan untuk suatu proses perkecam- parameter Berat Pollen dan Viabilitas
bahan maka semakin rendah nilai indeks Pollen. Aplikasi Pupuk Boron dengan
kecepatan perkecambahan yang didapat- dosis 15 kg/ha (b2) menunjukkan hasil
kan. Artinya bahwa semakin lama jumlah terbaik pada produksi dan viabilitas pollen
hari yang dibutuhkan untuk perkecam- yaitu 1.91 gram/tanaman dan viabilitas
bahan menunjukan bahwa indeks 7.19 %.
kecepatan perkecambahan kecil (Sahilatua, Terdapat interaksi yang nyata (*)
1992). Nilai indeks kecepatan perkecam- antara rasio tanaman dan pupuk boron
bahan yang rendah menunjukan bahwa terhadap jumlah biji pertongkol.
benih tersebut membutuhkan jumlah hari Kombinasi rasio tanaman 1:5 dan aplikasi
yang lebih lama yang dibutuhkan oleh pupuk boron (r2b2) menghasilkan jumlah
suatu benih untuk proses perkecambahan. biji pertongkol tertinggi yaitu 232.30
Kecepatan tumbuh mengindikasikan biji/tongkol.
vigor kekuatan tumbuh benih karena benih
yang cepat tumbuh lebih mampu
menghadapi kondisi lapang yang subopti- DAFTAR PUSTAKA
mal. Berdasarkan hasil yang didapat pada Azrai, M. 2004. Penampilan Varietas
masing-masing perlakuan rasio tanaman Jagung Unggul Baru Bermutu
diatas, semua perlakuan menunjukkan Protein Tinggi di Jawa dan Bali.
hasil kecepatan pekecam-bahan diatas 30 Buletin Plasma Nutfah, 10(2).
% semua, maka benih-benih ini memiliki pp.4955.
kecepatan tumbuh yang kuat. Hal ini sesuai

Publisher: Jurusan Produksi Pertanian | Politeknik Negeri Jember 10


Author: Indah Yuyun;Rahmat Ali Syaban* _____________________________________________________

Chen, Y., J.M. Smagula, W. Litten, and S. Kuruseng, M.A. and W. Arman. 2006.
Dunham. 1998. Effect of Boron and Respon Berbagai Varietas Tanaman
Calcium Foliar Sprays on Pollen Jagung Terhadap Waktu Perompesan
Germination and Development, Fruit Daun di Bawah Tongkol. Jurnal
Set, Seed Development, and Berry Agrisistem, 2(2).
Yield and Quality in Lowbush
Blueberry (Vaccinium angustifolium Lordkaew, S., B. Dell, S. Jamjod, and B.
Ait.). Journal of the American Rerkasem. 2011. Boron Deficiency
Society for Horticultural Science, in Maize. Plant and Soil, 342(12).
123(4). pp.524531. pp.207220.

Fariroh, I. 2012. Pengaruh Pengeringan, Maheshwari, P. and K. Kanta. 1964.


Media Pengujian, Waktu Panen dan Control of Fertilization. In
Kondisi Ruang Simpan Terhadap Proceedings: HF Linskens Pollen
Viabilitas Serbuk Sari Mentimun physiology and fertilization-a
(Cucumis sativus L.). Institut symposium, 1964. pp.187193.
Pertanian Bogor.
Mouradov, A., F. Cremer, and G.
Garg, O.K., A.N. Sharma, and G.R.S.S. Coupland. 2002. Control of
Kona. 1979. Effect of Boron on the Flowering Time: Interacting
Pollen Vitality and Yield of Rice Pathways as a Basis for Diversity.
Plants (Oryza sativa L. var. Jaya). The Plant Cell, 14 Suppl. pp.S111
Plant and Soil, 52(4). pp.591594. S130.

Handoyo. 2012. Kebutuhan Benih Jagung Mugnisjah, Setiawan W. Q. A., and Sania.
Melambung [Online]. Available at: 1994. Panduan Praktikum dan
http://kesehatan.kontan.co.id/news/k Penelitian Bidang Teknologi Benih.
ebutuhan-benih-jagung-melambung. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Heni, A. and E. Palupi. 2016. Pengelolaan Ningsih, R. 2014. Aplikasi Paclobutrazol


Polen untuk Produksi Benih Melon dan Pemupukan NPK Terhadap
Hibrida Sunrise Meta dan Orange Produksi dan Mutu Benih Padi
Meta. Jurnal Hortikultura. (Oryza sativa L.). Skripsi. Politeknik
Negeri Jember.
Hoekstra, F.A. 1983. Physiological
Evolution in Angiosperm Pollen: Rahimi, Z. Zuhry, and E. Nurbaiti. 2013.
Possible Role of Pollen Vigour. Pengaruh Jarak Tanam Terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Padi
Ismunadji, M., S. Partoharjono, M. Syam, Sawah (Oryza sativa L.) Varietas
and A. Widjono. 1988. Padi. 1st ed. Batang Piaman dengan Metode
Bogor: Badan Penelitian dan System of Rice Intensification (SRI)
Pengembangan Pertanian. di Padang Marpoyan Pekanbaru.
Jurnal. Fakultas Pertanian.
Kelly, J.K., A. Rasch, and S. Kalisz. 2002. Universitas Riau. p.7.
A Method to Estimate Pollen
Viability from Pollen Size Variation. Sadjad, S. 1993. Dari Benih Kepada Benih.
American Journal of Botany, 89(6). Jakarta: Grasindo.
pp.10211023.

Publisher: Jurusan Produksi Pertanian | Politeknik Negeri Jember 11


Author: Indah Yuyun;Rahmat Ali Syaban* _____________________________________________________

Saenong, S. and Rahmawati. 2010.


Penentuan Komposisi Tanaman
Induk Jantan dan Betina Terhadap
Produktivitas dan Vigor Benih F1
Jagung Hibrida Bima-5. In
Proceedings: Pekan Serealia
Nasional, 2010. pp.7485.

Safitri, A.D. 2014. Pengaruh


Penyemprotan Boron Terhadap
Pertumbuhan dan Produksi Benih
Padi. Skripsi. Lampung: Universitas
Lampung.

Sahilatua, D.J. 1992. Teknologi Benih.


Ambon: Fakultas Pertanian
Universitas Pattimura.

Sharma, S.K. 1999. Effect of Boron and


Calcium on Seed Production of Bell-
Pepper (Capsicum annuum L.).
Vegetable Science, 26(1). pp.8788.

Shivanna, K.R. and V.K. Sawhney. 1997.


Pollen Biology and Pollen
Biotechnology: an Introduction. In
Pollen Biotechnology for Crop
Production and Improvement.
Cambridge, UK.: Cambridge
University Press.

Sitompul, S.M. and B. Guritno. 1995.


Analisis Pertumbuhan Tanaman.
Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

Sutopo, L. 2002. Teknologi Benih. Jakarta:


PT. Raja Grafindo Persada.

Warid. 2009. Korelasi Metode


Pengecambahan In Vitro dengan
Pewarnaan dalam Pengujian
Viabilitas Polen. Institut Pertanian
Bogor.

Publisher: Jurusan Produksi Pertanian | Politeknik Negeri Jember 12

You might also like