Professional Documents
Culture Documents
Isi em Kakek
Isi em Kakek
Isi em Kakek
PENDAHULUAN
1
1.2. Maksud dan Tujuan
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengerti dan memahami pengolahan
lewat software surfer. Selain itu maksud lain dari penelitian ini yaitu mengerti
tentang metode ini mulai dari mengolah data hingga memproses dan
menginterpretasinya. Penelitian ini bertujuan berupa dihasilkannya grafik Tilt Vs.
Elipt Australia semua kelompok. Selain itu, tujuan dari penelitian ini adalah
dihasilkannya penampang RAE Australia semua kelompok beserta korelasi
penampang RAE.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gambar 2.1 Fisiografi Pulau Jawa bagian timur -mencakup zona Pegunungan Selatan
1. Geomorfologi Regional
Secara morfologis daerah Pegunungan Selatan merupakan pegunungan yang
dapat dibedakan menjadi 3 satuan morfologi utama, yaitu:
Satuan perbukitan berelief sedang sampai kuat, yakni daerah mulai
dari sekitar Imogiri di bagian barat, memanjang ke utara hingga
Prambanan, membelok ke timur (Pegunungan Baturagung) dan terus ke
arah timur melewati Perbukitan Panggung, Plopoh, Kambengan hingga di
kawasan yang terpotong oleh jalan raya antara Pacitan-Slahung, daerah ini
3
didominasi oleh keberadaan litologi batupasir, breksi vulkanik dan batuan
beku dari Formasi Semilir, Nglanggran atau Wuni dan Besole.
Satuan dataran tinggi terdapat di daerah Gading, Wonosari, Playen
hingga Semanu. Memiliki ketinggian 400 m di atas muka laut, dengan
topografi yang hampir rata dan pada umumnya ditempati oleh
batugamping. Daerah ini tersusun oleh bukit-bukit kecil maupun
berbentuk kerucut, tersusun oleh batugamping klastik maupun jenis
batugamping yang lain.
Satuan dataran rendah, berada pada daerah mulai dari Wonogiri di utara
hingga Giritrontro-Pracimantoro di selatan. Dataran rendah ini terdiri oleh
batugamping Formasi Kepek yang tertutup oleh endapan Kuarter. Dataran
rendah ini disebut sebagai Depresi Wonogiri-Baturetno, yang saat ini
sebagian besar merupakan daerah genangan Waduk Gajahmungkur.
2. Stratigrafi Regional
Pegunungan Selatan secara umum tersusun oleh batuan sedimen
volkaniklastik dan batuan karbonat. Urutan stratigrafi penyusun Pegunungan
Selatan bagian barat dari tua ke muda adalah sebagai berikut:
a. Formasi Wungkal-Gamping : Formasi ini terletak di Gunung Wungkal
dan Gunung Gamping, di Perbukitan Jiwo. Satuan batuannya terdiri dari
perselingan antara batupasir dan batulanau serta lensa batugamping. Pada
bagian atas, satuan batuan ini berupa napal pasiran dan lensa batugamping.
Formasi ini tersebar di Perbukitan Jiwo, antara lain di G. Wungkal, Desa
Sekarbolo, Jiwo Barat, menpunyai ketebalan sekitar 120 meter (Bronto
dan Hartono, 2001).
b. Formasi Kebo-Butak : Formasi ini disusun pada bagian bawah berupa
batupasir berlapis baik, batulanau, batulempung, serpih, tuf dan aglomerat,
dengan ketebalan lebih dari 650 meter.Bagian atasnya berupa perselingan
batupasir dan batulempung dengan sisipan tipis tuf asam. Setempat di
bagian tengahnya dijumpai retas lempeng andesit-basal dan di bagian
atasnya dijumpai breksi andesit.
4
Gambar 2.2 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan
c. Formasi Semilir : Formasi ini berlokasi tipe di Gunung Semilir, sebelah
selatan Klaten. Dengan ketebalan lebih dari 460 meter.Litologi
penyusunnya terdiri dari tuf, tuf lapili, lapili batuapung, breksi batuapung
dan serpih. Komposisi tuf dan batuapung tersebut bervariasi dari andesit
hingga dasit. Di bagian bawah satuan batuan ini, yaitu di S. Opak, Dusun
Watuadeg, Desa Jogotirto, Kec. Berbah, Kab. Sleman, terdapat andesit
basal sebagai aliran lava bantal (Bronto dan Hartono, 2001).
d. Formasi Nglanggran : Pada formasi ini batuan penyusunnya terdiri dari
breksi gunungapi, aglomerat, tuf dan aliran lava andesit-basal dan lava
andesit. Breksi gunungapi dan aglomerat yang mendominasi formasi ini
umumnya tidak berlapis. Kepingannya terdiri dari andesit dan sedikit
basal, berukuran 2 50 cm. Di bagian tengah formasi ini, yaitu pada
breksi gunungapi, ditemukan batugamping terumbu yang membentuk
5
lensa atau berupa kepingan. Secara setempat, formasi ini disisipi oleh
batupasir
e. Formasi Sambipitu : Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Sambipitu
pada jalan raya Yogyakarta-Patuk-Wonosari dengan ketebalan mencapai
230 meter. Batuan penyusun formasi ini di bagian bawah terdiri dari
batupasir kasar, kemudian ke atas berangsur menjadi batupasir halus yang
berselang-seling dengan serpih, batulanau dan batulempung. Pada bagian
bawah kelompok batuan ini tidak mengandung bahan karbonat. Namun di
bagian atasnya, terutama batupasir, mengandung bahan karbonat.
f. Formasi Oyo : Lokasi tipe formasi ini berada di Sungai Oyo. Batuan
penyusunnya pada bagian bawah terdiri dari tuf dan napal tufan.
Sedangkan ke atas secara berangsur dikuasai oleh batugamping berlapis
dengan sisipan batulempung karbonatan. Batugamping berlapis tersebut
umumnya kalkarenit, namun kadang-kadang dijumpai kalsirudit yang
mengandung fragmen andesit membulat. Formasi Oyo tersebar luas di
sepanjang K. Oyo. Ketebalan formasi ini lebih dari 140 meter.
g. Formasi Wonosari : Formasi ini tersingkap baik di daerah Wonosari dan
sekitarnya, dengan ketebalan lebih dari 800 meter. Formasi ini didominasi
oleh batuan karbonat yang terdiri dari batugamping berlapis dan
batugamping terumbu. Sedangkan sebagai sisipan adalah napal. Sisipan tuf
hanya terdapat di bagian timur.
h. Formasi Kepek : Lokasi tipe dari formasi ini terletak di Desa Kepek,
tersebar di hulu. Rambatan sebelah barat Wonosari yang membentuk
sinklin. Batuan penyusunnya adalah napal dan batugamping berlapis.
Tebal satuan ini lebih kurang 200 meter.
i. Endapan Permukaan : Endapan permukaan pada daerah Sungai Opak
merupakan rombakan batuan yang lebih tua yang terbentuk pada Kala
Plistosen hingga masa kini. Terdiri dari bahan lepas sampai padu lemah,
berbutir lempung hingga kerakal. Surono dkk. (1992) membagi endapan
ini menjadi Formasi Baturetno (Qb), Aluvium Tua (Qt) dan Aluvium (Qa).
Sumber bahan rombakan berasal dari batuan Pra-Tersier Perbukitan Jiwo,
batuan Tersier Pegunungan Selatan dan batuan G. Merapi.
6
3. Struktur Regional
Struktur daerah ini memiliki arah poros lipatan lebih kurang timurlaut
baratdaya. Disamping perlipatan terdapat juga persesaran, berdasarkan data
geofisika terdapat sesar dengan arah timurlaut baratdaya melalui tepi timur
TerbanBantul (Untung, dkk, 1977).
Berdasarkan data di atas juga data di lapangan dapat disimpulkan, bahwa
lembar Yogyakarta terdapat dua sistem sesar. Sistem patahan dengan arah kurang
lebih tenggara baratlaut. Pada awal Pleistocen, seluruh daerah terangkat lagi yang
mengakibatkan pembentukan morfologi daerah dataran tinggi, dan mengakibatkan
terjadinya persesaran daerah ini ( Rahardjo, dkk, 1977).
Daerah Bayat, Kabupaten Klaten merupakan suatu Pegunungan Lipatan
yang terdiri dari perbukitan homoklin, perbukitan lipatan, perbukitan intrusi dan
perbukitan lembah antiklin dengan pola aliran sungai dendritik. Struktur-struktur
geologi yang bekembang di daerah ini berupa struktur lipatan dan sesar. Dijumpai
pula banyak struktur kekar di daerah ini. Struktur-struktur geologi ini terbentuk
diperkirakan akibat bekerjanya gaya kompresi berarah hampir utara-selatan yang
kemungkinan berlangasung dalam dua periode, pada awal kala Miosen Tengah
sebelum Formasi Oyo diendapkan dan pada kala Pliosen setelah Formasi Oyo
diendapkan.
7
Geomorfologi Daerah Gunungsewu, berdasarkan morfogenetik dan
morfometriknya dapat dikelompokkan menjadi tiga satuan, yaitu Satuan
Geomorfologi Dataran Karst, Satuan Geomorfologi Perbukitan Kerucut Karst, dan
Satuan Geomorfologi Teras Pantai. Secara umum karstifikasi di daerah ini sudah
mencapai tahapan dewasa. Lapisan paling bawah stratigafi Daerah Gunungsewu
berupa endapan vulkanik yang terdiri dari batupasir tufaan, lava, dan breksi, yang
dikenal sebagai Kelompok Besole. Di atas batuan basal tersebut, secara setempat-
setempat didapatkan napal Formasi Sambipitu, serta batugamping tufaan dan
batugamping lempungan Formasi Oyo. Di atasnya lagi dijumpai batugamping
Gunungsewu Formasi Wonosari yang dianggap merupakan lapisan pembawa air
di daerah penelitian. Di bagian paling atas, berturut-turut terdapat napal Formasi
Kepek, endapan aluvial dan endapan vulkanik Merapi (Kusumayudha, S.B. 2007).
Berdasarkan litofasiesnya, batugamping Gunungsewu dapat dibedakan
menjadi batugamping bioklastik wackestone, dan batugamping terumbu yang
terdiri dari boundstone dan packstone. Di lapangan, sebagai singkapan,
batugamping Gunungsewu menunjukkan dua sifat fisik berbeda, yaitu karstik dan
kapuran (chalky = kalice). Batugamping karstik bersifat pejal dan keras,
sedangkan batugamping kalice bersifat rapuh dan lunak. Porositas sekunder
berbentuk saluran (conduit) dan rongga-rongga, merupakan porositas yang
dominan pada batugamping karstik, sedangkan porositas intergranuler (matriks)
merupakan porositas yang terdapat pada batugamping kalice. Dengan demikian,
airtanah di dalam batugamping karstik akan mengalir secara conduit flow (aliran
saluran) sedangkan di dalam batugamping kalice akan bergerak secara diffuse
flow (aliran rembesan) (Kusumayudha, S.B. 2007).
8
Sistem hidrologi bawah permukaan dalam tulisan ini selanjutnya disebut sebagai
sistem airtanah
Sistem aliran di kawasan karst dikelompokkan menjadi dua, yakni aliran
yang didominasi oleh ruang antar butir batuan (diffuse) dan aliran yang
didominasi oleh lorong-lorong pelarutan (conduit). Namun demikian, beberapa
ahli menambahkan jenis aliran yang didominasi oleh sistem rekahan (fissure).
Aliran diffuse memiliki sifat penyimpanan air yang baik, karena aliran pada ruang
antar butir mengalir dengan lambat. Jenis aliran ini yang akan berkontribusi paling
besar dalam mensuplai aliran pada mata air dan sungai bawah tanah pada musim
kemarau. Aliran conduit memiliki kecepatan aliran yang tinggi, sehingga
memiliki fungsi sebagai pengatus. Jenis aliran ini adalah aliran yang berkontribusi
besar pada kejadian banjir pada mata air dan sungai bawah tanah.
Porositas pada akuifer karst dibentuk oleh rekahan-rekahan batuan karena
struktur geologi maupun pelarutan batuan. Porositas yang demikian kemudian
selanjutnya disebut porositas sekunder dan rongga antar butir penyusun batuan
yang disebut sebagai porositas primer. Porositas primer mempunyai sifat
isotropik, sifat aliran laminer, dan mempunyai respon yang lambat. Porositas
sekunder mempunyai sifat anisotropis dengan muka airtanah yang tidak teratur,
sifat aliran laminer dengan respon yang menengah. Jenis porositas tersebut
kemudian akan berpengaruh jenis aliran dan sifat khas masing-masing jenis aliran
9
mengetahui respon VLF mode sudut tilt dan eliptisitas. Interpretasi dilakukan dari data VLF sudut
tilt dan elliptisitas untuk mengestimasi aliran sungai bawah tanah yang diinterpretasi secara
kualitatif dan kuantitatif. Akuisisi data dilakukan pada tanggal 9 15 Juli 2014. Pengolahan data
menggunakan bahasa pemrograman Matlab. Interpretasi kualitatif dilakukan dengan pengolahan
data yang difilter dengan moving average melalui filter Karous-Hajelt dan filter Fraser sehingga
memperlihatkan anomali benda konduktif bawah tanah. Nilai kerapatan arus ekivalen dari lintasan
1 hingga lintasan 5 berkisar dari 0-1200%. Zona konduktif mempunyai kerapatan arus ekivalen
600%. Dari peta penampang rapat arus ekivalen lintasan 1 sampai dengan 5 diduga sungai
bawah tanah di daerah Girijati, Kecamatan Purwosari Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta
mengalir dari Timur Laut ke Barat Daya, terdiri atas dua aliran sungai bawah tanah dan tidak
saling berhubungan dengan kedalaman 10-70 meter.
Kata kunci: Gradient VLF-EM, respon VLF, zona konduktif.
10
BAB III
DASAR TEORI
Metode VLF mengukur daya hantar listrik batuan dengan cara mengetahui
sifat-sifat gelombang EM sekunder. Gelombang sekunder ini dihasilkan dari
induksi EM sebuah gelombang EM primer yang berfrekuensi sangat rendah dari
15 sampai 30 KHz. Karena rendahnya harga frekuensi yang digunakan, maka
jangkau frekuensi dikelompokkan ke dalam kelompok VLF (Very Low
Frequency).
11
3.2. Perambatan Medan Elektromagnetik
B
E
t
D
H i (3.1)
t
B 0
D c
12
3.3. Segitiga Fase
Pada saat gelombang primer masuk ke dalam medium, gaya gerak listrik
(ggl) induksi es akan muncul dengan frekuensi yang sama, tetapi fasenya
tertinggal 90o. Gambar 3.1. menunjukkan diagram vektor antara medan primer P
dan ggl induksinya.
S S cos
R R sin
P
0
R cos S sin
Gambar 3.1. Hubungan amplitudo dan fase gelombang sekunder dan primer
Berdasar hal ini dapat dikatakan bahwa, jika terdapat medium yang sangat
konduktif (R0), maka beda fasenya mendekati 180o, dan jika medium sangat
resistif (R) maka beda fasenya mendekati 90o.
Re
tan L / R (3.3)
Im
13
Persamaan (3.3) menunjukkan bahwa semakin besar perbandingan Re/Im
(semakin besar pula sudut fasenya), maka konduktor semakin baik, dan semakin
kecil maka konduktor semakin buruk.
H
2 z cos
tan( 2 ) x 2
H
(3.4)
H
1 z
Hx
b H z H x sin
(3.5)
i
a H z e sin H x cos 2
a
H
b
x
H
Gambar 3.2. Parameter polarisasi elips
14
3.5. Rapat Arus Ekuivalen (RAE)
Rapat arus ekuivalen terdiri dari arus yang menginduksi konduktor dan arus
yang terkonsentrasi dalam konduktor dari daerah sekelilingnya yang kurang
konduktif. Asumsi untuk menentukan rapat arus yang menghasilkan medan
magnetik yang identik dengan medan magnetik yang diukur. Secara teori,
kedalaman semu rapat arus ekuivalen memberikan gambaran indikasi tiap-tiap
kedalaman variasi konsentrasi arus.
( 2 ) = 0.2052 + 0.3231 1.4460 + 1.446+1
2
0.323+2 + 0.205+3 (3.6)
Persamaan filter linear (Karous dan Hjelt) di atas adalah persamaan untuk
menentukan rapat arus ekuivalen dan merupakan filter terpendek yang
memberikan kesalahan kurang dari 8% untuk medan dari lintasan arus tunggal.
Moving average adalah nilai rata rata pengolahan data yang di jumlahkan
kemudian dibagi 4. Biasanya data yang diolah yaitu data tilt dan elipt. Dengan
perhitungan sebagai berikut :
(1) +2 + (+1)
MA Tilt = 4
(1) +2 + (+1)
MA Elipt = (3.7)
4
Dimana :
Moving average elipt adalah nilai rata rata pengolahan data yang di
jumlahkan kemudian dibagi 4. Biasanya data yang diolah yaitu data tilt dan elipt.
Dengan perhitungan sebagai berikut :
(1) +2 + (+1)
MA Tilt = 4
15
(1) +2 + (+1)
MA Elipt = (3.8)
4
Dimana :
Filter dari Karous dan Hjelt (1983) ini dapat menentukan nilai dari rapat
arus terhadap kedalaman sehingga interpretasi kualitatif VLF-EM dapat dilakukan
dengan menggunakan filter Karous-Hjelt. Penerapan hasil filter ini berupa
distribusi kerapatan arus yang dapat memberi informasi mengenai daerah
konduktif.
Filter Karous-Hjelt menggunakan apparent depth dan rapat arus H0 yang
berasal dari turunan magnitudo komponen vertikal dan medan magnetik pada
lokasi tertentu. Kedalaman ditentukan dari jarak spasi yang digunakan dalam
perhitungan.
0 = 0.1021 0.0592 + 0.5613 0.5615 + 0.0596
0.1027
Keterangan :
0= sinyal output hasil filter karous-hjelt
= data ke-i
16
BAB IV
METODOLOGI
17
lintasan memiliki spasi antar lintasan cukup jauh kecuali pada lintasan 1 dan 8
yang cukup dekat. Jumlah titik pengukuran dalam satu lintasan berbeda-beda
setiap lintasan dengan jarak antar titiknya 5m.
18
4.3. Peralatan dan Perlengkapan
6 3 4 5
19
Selanjutnya buku kerja berfungsi untuk kegiatan catat-mencatat selama
akusisi seperti mencatat kenampakan-kenampakan geologi khusus yang
nampak pada lapangan.
6. Payung
Payung sangat berfungsi untuk melindungi alat dari sengatan sinar
matahari langsung
20
4.4. Diagram Alir Pengambilan Data
21
4.5. Pembahasan Diagram Alir Pengambilan Data
Tahap akuisisi data dimulai dari persiapan alat hingga menyimpan alat
kembali pada tempatnya, untuk penjelasan lebih lanjutnya sebagai berikut :
Alat disiapkan antara lain sensor, monitor, kompas, GPS, dan tidak lupa
perlengkapan seperti payung dan buku kerja.
Melakukan penentuan lintasan berupa azimuth, panjang lintasan, dan jarak
antar lintasan
Selanjutnya dilakukan setting alat untuk mengatur nilai frekuensi stasiun
transmitter yakni Jepang dan Australia
Setelah setting alat selesai dilanjutkan dengan pengukuran inti. Pengukuran
inti dilakukan sebanyak 2 kali pada satu titik. Pengukuran pertama digunakan
sinyal transmitter dari frekuensi Jepang dilanjutkan pada pengukuran kedua
frekuensi Australia.
Jika terdapat SH pada monitor maka pengukuran diulang dan jika tidak maka
dicatat nilai tilt dan elipt nya dalam buku kerja.
Ulangi langkah diatas sampai pada titik terakhir.
Setelah pengukuran selesai dan data telah lengkap, maka kembalikan alat
pada tempatnya dengan aman.
22
4.6. Diagram Alir Pengolahan Data
23
4.7. Pembahasan Diagram Alir Pengolahan Data
Alur pengolahan data digambarkan dengan diagram alir diatas dimana
pengolahan dimulai dari data lapangan masuk hingga penarikan kesimpulan
masing-masing individu, untuk lebih lengkapnya berikut merupakan
penjelasannya :
1. Mula mula data hasil akuisisi masuk dan di input kan ke dalam software
pengolah angka microsoft excel.
2. Setelah data masuk pada microsoft exel dapat dilakukan perhitungan Tilt
dan Elipt
3. Tahap berikutnya dibuatlah grafik Tilt dan Elipt lalu dianalisa grafiknya
4. Pengolahan selanjutnya hitung masing-masing Tilt dan Elipt sehingga
mendapat nilai RAE pada kedalamanan tertentu.
5. Penampang RAE juga dibuat dengan menggunakan data perhitungan
manual yang dimasukkan pada software surfer.
6. Setelah data grafik dan penampang telah dibuat, maka siaplah untuk
dilakukan interpretasi dalam pembahasan.
7. Pada akhirnya setelah dilakukan pembahasan dapat dilakukan penarikan
kesimpulan.
24
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tilt Elipt
25
5.1.2. Grafik Analisis Tilt Vs Elipt Australia Lintasan 2
Tilt Elipt
26
5.1.3. Grafik Tilt Vs Elipt Australia Lintasan 3
Tilt Elipt
27
5.1.4. Grafik Analisis Tilt Vs Elipt Australia Lintasan 4
Tilt Elipt
28
5.1.5. Grafik Tilt Vs Elipt Australia Lintasan 5
Tilt Elipt
29
5.1.6. Grafik Analisis Tilt Vs Elipt Australia Lintasan 6
Tilt Elipt
30
5.1.7. Grafik Tilt Vs Elipt Australia Lintasan 8
Tilt Elipt
31
5.2. Penampang RAE
5.2.1. Penampang RAE Australia Lintasan 1
Penampang RAE yakni hasil pengolahan atau hitung manual melalui excel
yang selanjutnya dengan bantuan software Surfer dapat dibuat penampang dengan
parameter warna merah menunjukan nilai RAE tinggi hingga warna ungu yang
menunjukan nilai RAE rendah. Nilai RAE Australia yang dihasilkan memiliki
rentang dari -50% hingga -30%. Data yang ditampilkan berupa offset, kedalaman,
dan nilai RAEnya.
Terdapat zona dengan nilai RAE sedang yang mendominasi pada titik
pengukuran offset 15-90 meter dengan nilai RAE -6 hingga -2% yang
ditunjukkan oleh warna biru yang mencuat hingga ke permukaan dan mencapai
kedalaman -30m yang diinterpretasikan sebagai gamping masif. Gamping masif
ini mempunyai nilai konduktifitas yang cukup rendah karena sifatnya yang masif
sehingga tidak dapat menampung air (air membuat nilai konduktifitas menjadi
tinggi). Setelah itu, selebihnya hingga titik terakhir nilai RAE nya bervariasi dan
cenderung naik yang ditunjukkan oleh warna hijau hingga ke merah lalu ke hijau
lagi pada offset 88 hingga 120m dengan nilai RAE sekitar -2 hingga 30% biru
yang mencuat hingga ke permukaan dan mencapai kedalaman -20m. Pada zona
yang berwarna merah dengan nilai konduktifitas tinggi ini diinterpretasikan
sebagai gamping yang basah. Jika dibandingkan dengan sekelilingnya yang
berupa gamping masif maka wajar sekali jika nilainya cukup kontras. Kemudian
akan turun nilai RAEnya di akhir yang ditunjukkan oleh warna biru dan ungu
pada offset 120 hingga 135m dengan nilai RAE sekitar -50 hingga -2%.
32
5.2.2. Penampang RAE Australia Lintasan 2
Penampang RAE yakni hasil pengolahan atau hitung manual melalui excel
yang selanjutnya dengan bantuan software Surfer dapat dibuat penampang dengan
parameter warna merah menunjukan nilai RAE tinggi hingga warna ungu yang
menunjukan nilai RAE rendah. Nilai RAE Australia yang dihasilkan memiliki
rentang dari -50% hingga -30%. Data yang ditampilkan berupa offset, kedalaman,
dan nilai RAEnya.
Terdapat zona dengan nilai RAE tinggi yang cukup mendominasi pada
titik pengukuran offset 15-60m dan 92 hingga 108m dengan nilai RAE 0 hingga
30% yang ditunjukkan oleh warna kuning hingga merah yang mencuat hingga ke
permukaan hingga ke kedalaman -25m yang diinterpretasikan sebagai gamping
basah. Terdapat anomali dimana ada zona yang bernilai sedang lalu rendah hingga
sedang lagi dengan nilai RAEnya -50 hingga 0% yang ditunjukkan oleh warna
hijau dan biru yang mencapai kedalaman -20m dan mencuat hingga ke permukaan
pada offset 60 hingga 92m dan 108-110m yang diinterpretasikan sebagai gamping
masif. Nilai RAE yang tinggi atau bisajuga dibilang nilai konduktivitasnya tinggi
pada gamping masif karena pada gamping masif tersebut karena sifatnya yang
masif sehingga tidak dapat menampung air (air membuat nilai konduktifitas
menjadi tinggi). Terdapat anomali juga dimana pada bagian bawah dari
penampang pada offset 15 hingga 40m, nilai RAEnya sedang ke arah tinggi yang
ditunjukkan oleh warna hijau dengan nilai offset sedang yaitu sekitar -8 hingga -
4%.
33
5.2.3. Penampang RAE Australia Lintasan 3
Penampang RAE yakni hasil pengolahan atau hitung manual melalui excel
yang selanjutnya dengan bantuan software Surfer dapat dibuat penampang dengan
parameter warna merah menunjukan nilai RAE tinggi hingga warna ungu yang
menunjukan nilai RAE rendah. Nilai RAE Australia yang dihasilkan memiliki
rentang dari -50% hingga -30%. Data yang ditampilkan berupa offset, kedalaman,
dan nilai RAEnya.
Terdapat zona dengan nilai RAE rendah hingga sedang yang cukup
mendominasi pada titik pengukuran offset 25-100 meter dengan nilai RAE -50
hingga -2% yang ditunjukkan oleh warna ungu dan biru. Terdapat anomali dengan
nilai RAE rendah sekitar -50 hingga -2% pada offset 35 hingga 40m, lalu pada
offset 43 hingga 53m berada dipermukaan dan cukup dangkal, kemudian pada
offset 55 hingga 78 yang mencapai kedalaman -20m dan mencuat hingga ke
permukaan, dan terakhir di akhir penampang pada offset 85 dan 100m dan juga
mencuat hingga ke permukaan yang ditunjukkan oleh warna ungu yang
diinterpretasikan sebagai gamping masif. Gamping masif ini mempunyai nilai
konduktifitas yang cukup rendah karena sifatnya yang masif sehingga tidak dapat
menampung air (air membuat nilai konduktifitas menjadi tinggi). Setelah itu, pada
offset 15m hingga offset 25m terjadi perubahan kontras warna yang ditunjukkan
oleh warna hijau hingga ke jingga. Tingginya nilai konduktifitas dan cenderung
nilainya naik dari kedalaman -8m hingga -5m dengan nilai RAE sekitar -2 hingga
30% disebabkan oleh keterdapatan gamping basah. Jika dibandingkan dengan
sekelilingnya yang berupa gamping masif maka wajar sekali jika nilainya cukup
kontras.
34
5.2.4. Penampang RAE Australia Lintasan 4
Penampang RAE yakni hasil pengolahan atau hitung manual melalui excel
yang selanjutnya dengan bantuan software Surfer dapat dibuat penampang dengan
parameter warna merah menunjukan nilai RAE tinggi hingga warna ungu yang
menunjukan nilai RAE rendah. Nilai RAE Australia yang dihasilkan memiliki
rentang dari -50% hingga -30%. Data yang ditampilkan berupa offset, kedalaman,
dan nilai RAEnya.
Terdapat zona dengan kontras nilai RAE yang cukup jelas dengan zona
nilai RAE terbagi 2 dengan nilai tinggi beserta juga dengan sedang dan rendah.
Pada offset 15 hingga 60m cenderung bernilai tinggi yang ditunjukkan oleh warna
jingga dan merah dengan nilai RAE sekitar -2 hingga 30% yang diinterpretasikan
sebagai gamping basah dan sisanya bernilai sedang dan rendah yang ditunjukkan
oleh warna biru dan ungu dengan nilai RAE sekitar -50 hingga -2% yang
diinterpretasikan sebagai gamping masif. Nilai RAE yang tinggi atau bisajuga
dibilang nilai konduktivitasnya tinggi pada gamping masif karena pada gamping
masif tersebut karena sifatnya yang masif sehingga tidak dapat menampung air
(air membuat nilai konduktifitas menjadi tinggi).
35
5.2.5. Penampang RAE Australia Lintasan 5
Penampang RAE yakni hasil pengolahan atau hitung manual melalui excel
yang selanjutnya dengan bantuan software Surfer dapat dibuat penampang dengan
parameter warna merah menunjukan nilai RAE tinggi hingga warna ungu yang
menunjukan nilai RAE rendah. Nilai RAE Australia yang dihasilkan memiliki
rentang dari -50% hingga -30%. Data yang ditampilkan berupa offset, kedalaman,
dan nilai RAEnya.
Terdapat zona dengan nilai RAE sedang yaitu sekitar -2 hingga 0% yang
ditunjukkan oleh warna hijau berada pada offset 15 hingga 50 dan 57 hingga 85m.
Zona dengan nilai RAE tinggi yang ditunjukkan oleh warna jingga hingga ke
merah dengan nilai RAE sekitar 0 hingga 30% pada offset 60 hingga 67m yang
mencuat ke permukaan hingga mencapai kedalaman -15m dan pada offset 78
hingga 84m yang mencuat ke permukaan hingga mencapai kedalaman -7m yang
diinterpretasikan sebagai gamping basah. Selain itu, terdapat anomali dimana
pada bagian tengah penampang pada offset 50 hingga 57m dengan nilai RAE
rendah hingga ke sedang sekitar -50 hingga -2% yang ditunjukkan oleh warna biru
dan ungu yang diinterpretasikan sebagai gamping masif. Nilai RAE yang tinggi
atau bisajuga dibilang nilai konduktivitasnya tinggi pada gamping masif karena
pada gamping masif tersebut karena sifatnya yang masif sehingga tidak dapat
menampung air (air membuat nilai konduktifitas menjadi tinggi) sedangkan nilai
RAE tinggi pada gamping basah dapat terjadi karena ada kandungan air yang
menyebabkan nilai RAE menjadi lebih tinggi jika dibandingkan dengan di
sekitarnya.
36
5.2.6. Penampang RAE Australia Lintasan 6
Penampang RAE yakni hasil pengolahan atau hitung manual melalui excel
yang selanjutnya dengan bantuan software Surfer dapat dibuat penampang dengan
parameter warna merah menunjukan nilai RAE tinggi hingga warna ungu yang
menunjukan nilai RAE rendah. Nilai RAE Australia yang dihasilkan memiliki
rentang dari -50% hingga -30%. Data yang ditampilkan berupa offset, kedalaman,
dan nilai RAEnya.
Terdapat zona dengan nilai RAE sedang yang ditunjukkan oleh warna biru
yang cukup mendominasi pada titik pengukuran offset 15-46 meter dan offset 62
hingga 85 meter dengan nilai RAE sekitar -8%. Terdapat anomali berupa adanya
sebuah tubuh zona dengan nilai rendah sekitar -50 hingga -8% di tengah
penampang pada offset 46 hingga 62m yang ditunjukkan oleh warna ungu yang
mencapai kedalaman -20m dan mencuat hingga ke permukaan yang
diinterpretasikan sebagai gamping masif. Nilai RAE yang tinggi atau bisajuga
dibilang nilai konduktivitasnya tinggi pada gamping masif karena pada gamping
masif tersebut karena sifatnya yang masif sehingga tidak dapat menampung air
(air membuat nilai konduktifitas menjadi tinggi). Terdapat anomali juga dimana
pada bagian bawah dari penampang pada offset 15 hingga 40m, nilai RAEnya
sedang ke arah tinggi yang ditunjukkan oleh warna hijau dengan nilai offset
sedang yaitu sekitar -8 hingga -4%.
37
5.2.14. Penampang RAE Australia Lintasan 8
Penampang RAE yang terakhir yakni hasil pengolahan atau hitung manual
melalui excel yang selanjutnya dengan bantuan software Surfer dapat dibuat
penampang dengan parameter warna merah menunjukan nilai RAE tinggi hingga
warna ungu yang menunjukan nilai RAE rendah. Nilai RAE Australia yang
dihasilkan memiliki rentang dari -50% hingga -30%. Data yang ditampilkan
berupa offset, kedalaman, dan nilai RAEnya.
Terdapat zona dengan nilai RAE rendah sekitar -50 hingga -24% yang
ditunjukkan oleh warna ungu dan biru berada pada offset 15 hingga 25m lalu nilai
RAE sedang sekitar -24 hingga 6% yang ditunjukkan oleh warna hijau dan kuning
berada pada offset 25 hingga 80m yang diinterpretasikan sebagai gamping masif.
Terdapat zona dengan nilai RAE tinggi sekitar 6 hingga 30% yang ditunjukkan
oleh warna jingga dan merah berada pada offset 80 hingga 110m yang
diinterpretasikan sebagai gamping basah. Nilai RAE yang tinggi atau bisajuga
dibilang nilai konduktivitasnya tinggi pada gamping masif karena pada gamping
masif tersebut karena sifatnya yang masif sehingga tidak dapat menampung air
(air membuat nilai konduktifitas menjadi tinggi) sedangkan nilai RAE tinggi pada
gamping basah dapat terjadi karena ada kandungan air yang menyebabkan nilai
RAE menjadi lebih tinggi jika dibandingkan dengan di sekitarnya.
38
5.3. Korelasi Penampang RAE
39
Target penelitian ini merupakan gamping basah sebagai bagian dari sistem
pengaliran diffuse. Keterdapatan adanya sistem pengaliran diffuse dapat
diperkirakan dari nilai RAE yang tinggi. Beradasarkan data korelasi yang ada
dapat dikatakan bahwa lintasan 1, 2, 4, 5 dan 8 terdapat sistem pola pengaliran
diffuse yaitu gamping basah. Pada lintasan 1 keterdapatan gamping basah hanya
sebagian kecil saja tidak seperti lintasan lainnya yang cukup mendominasi. Pada
saat akuisisi terjadi hujan pada daerah penelitian yang cukup deras. Air hujan
tersebut masuk ke dalam pori-pori gamping melalui rekahan yang ada. Maka dari
itu hal tersebut sangat berpengaruh terhadap nilai RAE yang mana juga sebanding
dengan kondutivitas.
Kemudian pada lintasan 3 dan lintasan 6 ditunjukkan nilai RAE yang
rendah dapat diinterpretasi sebagai gamping masif. Gamping massif memiliki
nilai RAE yang rendah karena gamping massif cenderung bersifat tidak konduktif.
Ketidak konduktifan gamping massif disebabkan karena air tidak dapat
menembus tubuh gamping massif tersebut.
40
BAB VI
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan juga pembahasan, dapat ditarik beberapa
kesimpulan, seperti:
Berdasarkan penampang RAE yang dihasilkan, pada zona berwarna biru
sampai hijau dapat diinterpretasi sebagai zona gamping massif
Berdasarkan penampang RAE yang dihasilkan, pada zona berwarna
kuning sampai merah dapat diinterpretasi sebagai zona gamping basah
dengan sistem pengaliran diffuse
Penyebab variasi nilai RAE karena sifat litologi dari gamping yang ada di
daerah tersebut. Nilai RAE tinggi terjadi karena gamping terisi oleh air
hujan yang masuk melalui rekahan-rekahan. Sedangkan nilai RAE rendah
terjadi karena gamping bersifat massif sehingga tidak dapat ditembus oleh
air.
6.2. Saran
Dalam akusisi data VLF sebaiknya dilakukan perencanaan terkait desain
survei terutama spasi tiap titik pengukurannya untuk mendapatkan penetrasi
kedalaman yang lebih besar. Kemudian apabila akan dilakukan pembuatan
korelasi penampang sebaiknya jarak atau spasi antarline tidak terlalu jauh karena
sistem hidrologi sangat kompleks.
41
DAFTAR PUSTAKA
Billings, M.P. 1082. Structural Geology 3rdEd. Prentice Hall of India Private
Limited: New Delhi
Bronto, S. dan Hartono, H.G. 2001. Panduan Ekskursi Geologi Kuliah Lapangan
2. STTNAS: Yogyakarta
Cagniard, L. 1953. Basic Theory of the Magnetotelluric Method of Geophysical
Prospecting, Geophysics, 18. 605-653
Haryono, E. 2016. Pedoman Praktis Survei Terintegrasi Kawasan Karst. Badan
Penerbit Fakultas Geografi (BPFG) Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta
Hidayat, W. dan Suharsono. 2015. Pendugaan Keberadaan Aliran Sungai Bawah
Tanah Menggunakan Metode Gradio Very Low Frequency (Vlf) di Daerah
Girijati, Purwosari, Gunungkidul, Yogyakarta. Jurnal Berkala Fisika
Indonesia, Volume 7 Nomor 2.
Kusumayudha, S.B. 2007. Hidrogeologi Karst dan Geometri Fraktal di Daerah
Gunungsewu. Penerbit Adicita: Yogyakarta
Paal, G. 1965. Ore Prospecting Based on VLF- Radio Signals. Geoexploration
Vol 3, 139-147.
Rahardjo, W,. Sukandarrumidi, dan Rosidi, H,M,. Peta Geologi Lembar
Yogyakarta, JawaSkala 1: 100.000. Dir. Geologi: Bandung
Telford, M.W., et al, 1990. Applied Geophysics. Cambridge University Press:
Cambridge
Van Bemmelen. R. W. 1949. The Geology of Indonesia v. I.A. The Hauge:
Government Printing Office.
42