Isi em Kakek

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Daerah penelitian sendiri didominasi oleh topografi karst. Karst ini
merupakan sebuah bentuk permukaan bumi yang biasa ditemukan pada daerah
batuan karbonat dimana bahannya mudah larut oleh air sehingga mudah terbentuk
goa-goa bawah tanah. Pada daerah karst ini banyak terdapat sungai yang tidak
menerus atau terputus-putus, menghilang ke dalam tanah, dan juga sungai-sungai
bawah permukaan. Pada daerah Karst ini, kekeringan sangat terlihat di permukaan
tetapi besar kemungkinan adanya air di bawah permukaan karena kemampuannya
untuk meloloskan air cukup tinggi sehingga pada musim kemarau akan sangat
sulit mendapatkan air tanah.
Air sebagai kebutuhan primer dari makhluk hidup perlu dipenuhi untuk
tetap hidup. Selain manusia dan hewan, tanaman juga membutuhkan air untuk
melakukan fotosintesis. Selama ini, masyarakat sekitar belum mempunyai patokan
pasti mengenai keberadaan sumber air potensial ini. Sedangkan pada musim
penghujan, air hujan cenderung akan mudah masuk ke bawah permukaan
sehingga hanya menyisakan sedikti sisa-sisa air hujan yang belum masuk ke
bawah permukaan. Selain itu, semakin meningkatnya jumlah penduduk tentu akan
meningkatkan kebutuhan air tetapi pada daerah Karst ini air cukup sulit diperoleh.
Oleh karena itu, dipakailah metode geofisika berupa metode VLF untuk
mengetahui keberadaan air di bawah permukaan.
Metode VLF (Very Low Frequency) merupakan metode yang mengukur
bahan bahan konduktifitas di bawah permukaan dengan sumber frekuensinya dari
pemancar berfrekuensi rendah sekitar 15-30 kHz. Karena frekuensinya cukup
rendah maka penetrasinya cukup dalam. Metode ini dirasa cukup berguna dalam
mengetahui keberadaan air berdasarkan kontras resistivitas batuan di sekitarnya.
Metode VLF ini dipakai karena tidak butuh operator yang banyak dalam
pengoperasiannya, mobilitasnya cukup cepat dan mampu dipakai pada daerah
dengan topografi cukup berat.

1
1.2. Maksud dan Tujuan
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengerti dan memahami pengolahan
lewat software surfer. Selain itu maksud lain dari penelitian ini yaitu mengerti
tentang metode ini mulai dari mengolah data hingga memproses dan
menginterpretasinya. Penelitian ini bertujuan berupa dihasilkannya grafik Tilt Vs.
Elipt Australia semua kelompok. Selain itu, tujuan dari penelitian ini adalah
dihasilkannya penampang RAE Australia semua kelompok beserta korelasi
penampang RAE.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Geologi Regional


Zona Pegunungan Selatan adalah daerah pegunungan yang berada pada
bagian selatan Jawa Tengah, daerahnya melampar dimulai dari bagian tenggara
provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, memanjang ke arah timur sepanjang pantai
selatan Jawa Timur.
Jika dilihat dari reliefnya, daerah ini pegunungan selatan tersiri dari dua
relief secara umum, yakni relief yang kasar di sisi timur, dan yang cenderung
lebih halus di sisi barat, pada bagian utaranya terdapat gawir-gawir yang
memanjang relatif barat-timue, pembentukannya terjadi karena adanya evolusi
tektonik yang terjadi di Pulau Jawa pada zaman Kapur hingga sekarang.

Gambar 2.1 Fisiografi Pulau Jawa bagian timur -mencakup zona Pegunungan Selatan

1. Geomorfologi Regional
Secara morfologis daerah Pegunungan Selatan merupakan pegunungan yang
dapat dibedakan menjadi 3 satuan morfologi utama, yaitu:
Satuan perbukitan berelief sedang sampai kuat, yakni daerah mulai
dari sekitar Imogiri di bagian barat, memanjang ke utara hingga
Prambanan, membelok ke timur (Pegunungan Baturagung) dan terus ke
arah timur melewati Perbukitan Panggung, Plopoh, Kambengan hingga di
kawasan yang terpotong oleh jalan raya antara Pacitan-Slahung, daerah ini

3
didominasi oleh keberadaan litologi batupasir, breksi vulkanik dan batuan
beku dari Formasi Semilir, Nglanggran atau Wuni dan Besole.
Satuan dataran tinggi terdapat di daerah Gading, Wonosari, Playen
hingga Semanu. Memiliki ketinggian 400 m di atas muka laut, dengan
topografi yang hampir rata dan pada umumnya ditempati oleh
batugamping. Daerah ini tersusun oleh bukit-bukit kecil maupun
berbentuk kerucut, tersusun oleh batugamping klastik maupun jenis
batugamping yang lain.
Satuan dataran rendah, berada pada daerah mulai dari Wonogiri di utara
hingga Giritrontro-Pracimantoro di selatan. Dataran rendah ini terdiri oleh
batugamping Formasi Kepek yang tertutup oleh endapan Kuarter. Dataran
rendah ini disebut sebagai Depresi Wonogiri-Baturetno, yang saat ini
sebagian besar merupakan daerah genangan Waduk Gajahmungkur.
2. Stratigrafi Regional
Pegunungan Selatan secara umum tersusun oleh batuan sedimen
volkaniklastik dan batuan karbonat. Urutan stratigrafi penyusun Pegunungan
Selatan bagian barat dari tua ke muda adalah sebagai berikut:
a. Formasi Wungkal-Gamping : Formasi ini terletak di Gunung Wungkal
dan Gunung Gamping, di Perbukitan Jiwo. Satuan batuannya terdiri dari
perselingan antara batupasir dan batulanau serta lensa batugamping. Pada
bagian atas, satuan batuan ini berupa napal pasiran dan lensa batugamping.
Formasi ini tersebar di Perbukitan Jiwo, antara lain di G. Wungkal, Desa
Sekarbolo, Jiwo Barat, menpunyai ketebalan sekitar 120 meter (Bronto
dan Hartono, 2001).
b. Formasi Kebo-Butak : Formasi ini disusun pada bagian bawah berupa
batupasir berlapis baik, batulanau, batulempung, serpih, tuf dan aglomerat,
dengan ketebalan lebih dari 650 meter.Bagian atasnya berupa perselingan
batupasir dan batulempung dengan sisipan tipis tuf asam. Setempat di
bagian tengahnya dijumpai retas lempeng andesit-basal dan di bagian
atasnya dijumpai breksi andesit.

4
Gambar 2.2 Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan
c. Formasi Semilir : Formasi ini berlokasi tipe di Gunung Semilir, sebelah
selatan Klaten. Dengan ketebalan lebih dari 460 meter.Litologi
penyusunnya terdiri dari tuf, tuf lapili, lapili batuapung, breksi batuapung
dan serpih. Komposisi tuf dan batuapung tersebut bervariasi dari andesit
hingga dasit. Di bagian bawah satuan batuan ini, yaitu di S. Opak, Dusun
Watuadeg, Desa Jogotirto, Kec. Berbah, Kab. Sleman, terdapat andesit
basal sebagai aliran lava bantal (Bronto dan Hartono, 2001).
d. Formasi Nglanggran : Pada formasi ini batuan penyusunnya terdiri dari
breksi gunungapi, aglomerat, tuf dan aliran lava andesit-basal dan lava
andesit. Breksi gunungapi dan aglomerat yang mendominasi formasi ini
umumnya tidak berlapis. Kepingannya terdiri dari andesit dan sedikit
basal, berukuran 2 50 cm. Di bagian tengah formasi ini, yaitu pada
breksi gunungapi, ditemukan batugamping terumbu yang membentuk

5
lensa atau berupa kepingan. Secara setempat, formasi ini disisipi oleh
batupasir
e. Formasi Sambipitu : Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Sambipitu
pada jalan raya Yogyakarta-Patuk-Wonosari dengan ketebalan mencapai
230 meter. Batuan penyusun formasi ini di bagian bawah terdiri dari
batupasir kasar, kemudian ke atas berangsur menjadi batupasir halus yang
berselang-seling dengan serpih, batulanau dan batulempung. Pada bagian
bawah kelompok batuan ini tidak mengandung bahan karbonat. Namun di
bagian atasnya, terutama batupasir, mengandung bahan karbonat.
f. Formasi Oyo : Lokasi tipe formasi ini berada di Sungai Oyo. Batuan
penyusunnya pada bagian bawah terdiri dari tuf dan napal tufan.
Sedangkan ke atas secara berangsur dikuasai oleh batugamping berlapis
dengan sisipan batulempung karbonatan. Batugamping berlapis tersebut
umumnya kalkarenit, namun kadang-kadang dijumpai kalsirudit yang
mengandung fragmen andesit membulat. Formasi Oyo tersebar luas di
sepanjang K. Oyo. Ketebalan formasi ini lebih dari 140 meter.
g. Formasi Wonosari : Formasi ini tersingkap baik di daerah Wonosari dan
sekitarnya, dengan ketebalan lebih dari 800 meter. Formasi ini didominasi
oleh batuan karbonat yang terdiri dari batugamping berlapis dan
batugamping terumbu. Sedangkan sebagai sisipan adalah napal. Sisipan tuf
hanya terdapat di bagian timur.
h. Formasi Kepek : Lokasi tipe dari formasi ini terletak di Desa Kepek,
tersebar di hulu. Rambatan sebelah barat Wonosari yang membentuk
sinklin. Batuan penyusunnya adalah napal dan batugamping berlapis.
Tebal satuan ini lebih kurang 200 meter.
i. Endapan Permukaan : Endapan permukaan pada daerah Sungai Opak
merupakan rombakan batuan yang lebih tua yang terbentuk pada Kala
Plistosen hingga masa kini. Terdiri dari bahan lepas sampai padu lemah,
berbutir lempung hingga kerakal. Surono dkk. (1992) membagi endapan
ini menjadi Formasi Baturetno (Qb), Aluvium Tua (Qt) dan Aluvium (Qa).
Sumber bahan rombakan berasal dari batuan Pra-Tersier Perbukitan Jiwo,
batuan Tersier Pegunungan Selatan dan batuan G. Merapi.

6
3. Struktur Regional
Struktur daerah ini memiliki arah poros lipatan lebih kurang timurlaut
baratdaya. Disamping perlipatan terdapat juga persesaran, berdasarkan data
geofisika terdapat sesar dengan arah timurlaut baratdaya melalui tepi timur
TerbanBantul (Untung, dkk, 1977).
Berdasarkan data di atas juga data di lapangan dapat disimpulkan, bahwa
lembar Yogyakarta terdapat dua sistem sesar. Sistem patahan dengan arah kurang
lebih tenggara baratlaut. Pada awal Pleistocen, seluruh daerah terangkat lagi yang
mengakibatkan pembentukan morfologi daerah dataran tinggi, dan mengakibatkan
terjadinya persesaran daerah ini ( Rahardjo, dkk, 1977).
Daerah Bayat, Kabupaten Klaten merupakan suatu Pegunungan Lipatan
yang terdiri dari perbukitan homoklin, perbukitan lipatan, perbukitan intrusi dan
perbukitan lembah antiklin dengan pola aliran sungai dendritik. Struktur-struktur
geologi yang bekembang di daerah ini berupa struktur lipatan dan sesar. Dijumpai
pula banyak struktur kekar di daerah ini. Struktur-struktur geologi ini terbentuk
diperkirakan akibat bekerjanya gaya kompresi berarah hampir utara-selatan yang
kemungkinan berlangasung dalam dua periode, pada awal kala Miosen Tengah
sebelum Formasi Oyo diendapkan dan pada kala Pliosen setelah Formasi Oyo
diendapkan.

2.2. Geologi Lokal


Daerah penelitian, dilakukan di daerah Pegunungan Selatan subzona
Gunung Sewu. Lebih tepatnya lagi berada di daerah gunung kidul. Daerah ini
terletak di bagian selatan dari Pegunungan Selatan, berupa rangkaian pebukitan
karst berbentuk kerucut dengan arah poros reltif barat-timur. Bukit-bukit tersebut
memiliki ketinggian antara 100-300 meter. Ditinjau dari struktur geologi, subzone
Gunung Sewu ini merupakan homoklin yang memiliki kemiringan relative ke arah
selatan. Di daerah gunungkidul, terdapat pola pelurusan sungai yang berarah
timurlaut-bratdaya (Bengawan Solo, Kali Opak, Kali Dengkeng), berarah
baratlaut-tenggara (Bengawan Solo) dan berarah timur barat (Kali Oyo, Kali
Dengkeng).

7
Geomorfologi Daerah Gunungsewu, berdasarkan morfogenetik dan
morfometriknya dapat dikelompokkan menjadi tiga satuan, yaitu Satuan
Geomorfologi Dataran Karst, Satuan Geomorfologi Perbukitan Kerucut Karst, dan
Satuan Geomorfologi Teras Pantai. Secara umum karstifikasi di daerah ini sudah
mencapai tahapan dewasa. Lapisan paling bawah stratigafi Daerah Gunungsewu
berupa endapan vulkanik yang terdiri dari batupasir tufaan, lava, dan breksi, yang
dikenal sebagai Kelompok Besole. Di atas batuan basal tersebut, secara setempat-
setempat didapatkan napal Formasi Sambipitu, serta batugamping tufaan dan
batugamping lempungan Formasi Oyo. Di atasnya lagi dijumpai batugamping
Gunungsewu Formasi Wonosari yang dianggap merupakan lapisan pembawa air
di daerah penelitian. Di bagian paling atas, berturut-turut terdapat napal Formasi
Kepek, endapan aluvial dan endapan vulkanik Merapi (Kusumayudha, S.B. 2007).
Berdasarkan litofasiesnya, batugamping Gunungsewu dapat dibedakan
menjadi batugamping bioklastik wackestone, dan batugamping terumbu yang
terdiri dari boundstone dan packstone. Di lapangan, sebagai singkapan,
batugamping Gunungsewu menunjukkan dua sifat fisik berbeda, yaitu karstik dan
kapuran (chalky = kalice). Batugamping karstik bersifat pejal dan keras,
sedangkan batugamping kalice bersifat rapuh dan lunak. Porositas sekunder
berbentuk saluran (conduit) dan rongga-rongga, merupakan porositas yang
dominan pada batugamping karstik, sedangkan porositas intergranuler (matriks)
merupakan porositas yang terdapat pada batugamping kalice. Dengan demikian,
airtanah di dalam batugamping karstik akan mengalir secara conduit flow (aliran
saluran) sedangkan di dalam batugamping kalice akan bergerak secara diffuse
flow (aliran rembesan) (Kusumayudha, S.B. 2007).

2.3. Literatur Mengenai Sungai Bawah Permukaan Karst


Sistem hidrologi karst dikontrol oleh sistem pelorongan yang dibentuk
oleh proses pelarutan batuan, sehingga sangat berbeda dengan sistem hidrologi
yang terdapat pada media porus yang dikontrol oleh ruang antar butir batuan. Hal
yang dapat dilihat secara jelas pada sistem karst yang sudah berkembang nampak
bahwa sangat jarang/ tidak dijumpai sungai permukaan. Sistem yang lebih
berkembang adalah lorong-lorong pelarutan seperti gua dan sungai bawah tanah.

8
Sistem hidrologi bawah permukaan dalam tulisan ini selanjutnya disebut sebagai
sistem airtanah
Sistem aliran di kawasan karst dikelompokkan menjadi dua, yakni aliran
yang didominasi oleh ruang antar butir batuan (diffuse) dan aliran yang
didominasi oleh lorong-lorong pelarutan (conduit). Namun demikian, beberapa
ahli menambahkan jenis aliran yang didominasi oleh sistem rekahan (fissure).
Aliran diffuse memiliki sifat penyimpanan air yang baik, karena aliran pada ruang
antar butir mengalir dengan lambat. Jenis aliran ini yang akan berkontribusi paling
besar dalam mensuplai aliran pada mata air dan sungai bawah tanah pada musim
kemarau. Aliran conduit memiliki kecepatan aliran yang tinggi, sehingga
memiliki fungsi sebagai pengatus. Jenis aliran ini adalah aliran yang berkontribusi
besar pada kejadian banjir pada mata air dan sungai bawah tanah.
Porositas pada akuifer karst dibentuk oleh rekahan-rekahan batuan karena
struktur geologi maupun pelarutan batuan. Porositas yang demikian kemudian
selanjutnya disebut porositas sekunder dan rongga antar butir penyusun batuan
yang disebut sebagai porositas primer. Porositas primer mempunyai sifat
isotropik, sifat aliran laminer, dan mempunyai respon yang lambat. Porositas
sekunder mempunyai sifat anisotropis dengan muka airtanah yang tidak teratur,
sifat aliran laminer dengan respon yang menengah. Jenis porositas tersebut
kemudian akan berpengaruh jenis aliran dan sifat khas masing-masing jenis aliran

2.4. Penelitian Terdahulu


PENDUGAAN KEBERADAAN ALIRAN SUNGAI BAWAH TANAH
MENGGUNAKAN METODE GRADIO VERY LOW FREQUENCY (VLF)
DI DAERAH GIRIJATI, PURWOSARI, GUNUNGKIDUL,
YOGYAKARTA
Wahyu Hidayat, Suharsono
Program Studi Teknik Geofisika, Fakultas Teknologi Mineral, UPN Veteran Yogyakarta
Jl. SWK 104 Lingkar Utara Condongcatur, Depok, Sleman Yogyakarta 55283
INTISARI
Telah dilakukan penelitian pendugaan aliran sungai bawah tanah di daerah Girijati,
Kecamatan Purwosari, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta dengan menggunakan metode
geofisika Gradio Very Low Frequency (VLF) Elektromagnetik (Gradient VLF-EM) untuk

9
mengetahui respon VLF mode sudut tilt dan eliptisitas. Interpretasi dilakukan dari data VLF sudut
tilt dan elliptisitas untuk mengestimasi aliran sungai bawah tanah yang diinterpretasi secara
kualitatif dan kuantitatif. Akuisisi data dilakukan pada tanggal 9 15 Juli 2014. Pengolahan data
menggunakan bahasa pemrograman Matlab. Interpretasi kualitatif dilakukan dengan pengolahan
data yang difilter dengan moving average melalui filter Karous-Hajelt dan filter Fraser sehingga
memperlihatkan anomali benda konduktif bawah tanah. Nilai kerapatan arus ekivalen dari lintasan
1 hingga lintasan 5 berkisar dari 0-1200%. Zona konduktif mempunyai kerapatan arus ekivalen
600%. Dari peta penampang rapat arus ekivalen lintasan 1 sampai dengan 5 diduga sungai
bawah tanah di daerah Girijati, Kecamatan Purwosari Kabupaten Gunungkidul Yogyakarta
mengalir dari Timur Laut ke Barat Daya, terdiri atas dua aliran sungai bawah tanah dan tidak
saling berhubungan dengan kedalaman 10-70 meter.
Kata kunci: Gradient VLF-EM, respon VLF, zona konduktif.

Interpretasi dilakukan dengan pengolahan data yang difilter dengan


moving average melalui filter Karous-Hajelt dan filter Fraser sehingga
memperlihatkan anomali benda konduktif bawah tanah (Fraser,1969, Karous dan
Hjelt, 1983). Kelima lintasan tersebut kemudian dikorelasi satu lintasan dengan
lintasanyang lainnya berdasarkan rapat arus ekivalennya. Profil estimasi pada
Gambar 4 dengan kerapatan arusekivalen memperlihatkan pola penyebaran aliran
sungai bawah tanah yang terdiri atas dua buah aliran sungaiyang tidak saling
berhubungan. Aliran sungai pertama berada pada Utara daerah penelitian lintasan
1 dan 2,namun tidak dijumpai pada lintasan 3; hal ini dikarenakan keterbatasan
interpolasi pada saat pengolahan dataoleh karena itu peneliti menganjurkan untuk
melakukan akuisisi disebalah Utara lintasan 3 untuk dapatmenegtahui adanya pola
aliran ataukah hanya berhenti pada lintasan 2 saja? Untuk pola aliran kedua
beradarelatif di sebelah Selatan daerah penelitian yang menunjukkan adanya pola
aliran sungai bawah tanah darilintasan 1 hingga lintasan 5. Dari hasil penelitian
diduga sungai bawah tanah di daerah Girijati, KecamatanPurwosari, Kabupaten
Gunungkidul, Yogyakarta mengalir dari Timur Laut ke Barat Daya, terdiri atas
duaaliran sungai bawah tanah dan tidak saling berhubungan dengan kedalaman
berkisar 10-70 meter. Tentang kemungkinan aliran sungai bawah ini menerus
hingga ke Sendang Beji ke arah pantai Parangtritis, perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut.

10
BAB III
DASAR TEORI

3.1. Pengertian dan Prinsip Dasar VLF

Metode Very Low Frequency (VLF-EM) merupakan salah satu metode


dalam eksplorasi geofisika. Metode ini menggunakan prinsip induksi gelombang
elektromagnetik akibat adanya suatu benda yang konduktif di bawah permukaan
bumi. Dalam penelitian ini dibahas fenomena efek induksi elektromagnetik akibat
adanya batuan yang mempunyai nilai konduktivitas yang cukup tinggi.

Metode VLF mengukur daya hantar listrik batuan dengan cara mengetahui
sifat-sifat gelombang EM sekunder. Gelombang sekunder ini dihasilkan dari
induksi EM sebuah gelombang EM primer yang berfrekuensi sangat rendah dari
15 sampai 30 KHz. Karena rendahnya harga frekuensi yang digunakan, maka
jangkau frekuensi dikelompokkan ke dalam kelompok VLF (Very Low
Frequency).

Metode ini memanfaatkan gelombang pembawa (carrier wave) dari


pemancar yang dibuat oleh militer yang sebenarnya untuk komunikasi bawah laut.
Gelombang ini memiliki penetrasi yang cukup dalam karena frekuensinya yang
cukup rendah. Gelombang VLF menjalar ke seluruh dunia dengan atenuasi yang
kecil dalam pandu gelombang antara permukaan bumi dan ionosfer.

Karena induksi gelombang primer tersebut, di dalam medium akan timbul


GGL, arus induksi (arus Eddy). Arus induksi inilah yang menimbulkan medan
sekunder yang dapat ditangkap di permukaan. Besarnya kuat medan EM sekunder
ini sebanding dengan besarnya daya hantar listrik batuan (), sehingga dengan
mengukur kuat medan pada arah tertentu, secara tidak langsung kita dapat
mendeteksi daya hantar listrik batuan di bawahnya.

11
3.2. Perambatan Medan Elektromagnetik

Medan elektromagnetik dinyatakan dalam 4 vektor-vektor medan. Yaitu; E


= intensitas medan listrik (V/m), H = intensitas medan magnetisasi (A/m), B =
induksi magnetik, atau rapat fluks (Wb/m2 atau tesla) dan D = pergeseran listrik
(C/m2). Keempat persamaan tersebut dikaitkan dalam 4 persamaan maxwell
(persamaan 3.1).

B
E
t
D
H i (3.1)
t
B 0
D c

Persamaan (3.1) dapat direduksi dengan menggunakan hubungan-hubungan


tensor tambahan sehingga diperoleh persamaan yang hanya berkait dengan medan
E dan H saja. Apabila diasumsikan medan E dan H tersebut hanya sebagai fungsi
waktu eksponensial, akan diperoleh persamaan vektorial sebagai;
2E iE 2E
(3.2)
2H iH 2E
Dengan permitivitas dielektrik (F/m), permeabilitas magnetik (H/m),
dan kondukivitas listrik (S/m). Bagian kiri pada sisi kanan persamaan (3.2)
menunjukkan arus konduksi, sedangkan bagian kanannya menunjukkan
sumbangan arus pergeserannya.
Di dalam VLF (pada frekuensi < 100 KHz), arus pergeseran akan lebih kecil
daripada arus konduksi karena permitivitas dielektrik batuan rata-rata cukup kecil
(sekitar 100 dengan 0 sebesar 910-12 F/m) dan konduktivitas target VLF
biasanya 10-2 S/m. Hal ini menunjukkan bahwa efek medan akibat arus
konduksi memegang peranan penting ketika terjadi perubahan konduktivitas
medium.

12
3.3. Segitiga Fase

Pada saat gelombang primer masuk ke dalam medium, gaya gerak listrik
(ggl) induksi es akan muncul dengan frekuensi yang sama, tetapi fasenya
tertinggal 90o. Gambar 3.1. menunjukkan diagram vektor antara medan primer P
dan ggl induksinya.

S S cos
R R sin
P
0
R cos S sin

Gambar 3.1. Hubungan amplitudo dan fase gelombang sekunder dan primer

Andaikan Z(=R + iL) adalah impedansi efektif sebuah konduktor dengan


tahanan R dan induktans L, maka arus induksi (eddy), Is (=es/Z) akan menjalar
dalam medium dan menghasilkan medan sekunder S. Medan S tersebut memiliki
fase tertinggal sebesar yang besarnya tergantung dari sifat kelistrikan medium.
Besarnya ditentukan dari persamaan tan = L/R. Total beda fase antara medan
P dan S akan menjadi 90o + tan-1 (L/R).

Berdasar hal ini dapat dikatakan bahwa, jika terdapat medium yang sangat
konduktif (R0), maka beda fasenya mendekati 180o, dan jika medium sangat
resistif (R) maka beda fasenya mendekati 90o.

Kombinasi antara P dan S akan membentuk resultan R. Komponen R yang


sefase dengan P (Rcos) disebut sebagai komponen real (in-phase) dan komponen
yang tegak lurus P (Rsin) disebut komponen imajiner (out-of-phase, komponen
kuadratur). Perbandingan antara komponen real dan imajiner dinyatakan dalam
persamaan;

Re
tan L / R (3.3)
Im

13
Persamaan (3.3) menunjukkan bahwa semakin besar perbandingan Re/Im
(semakin besar pula sudut fasenya), maka konduktor semakin baik, dan semakin
kecil maka konduktor semakin buruk.

3.4. Polarisasi Elipt

Dalam pengukurannya, alat T-VLF akan menghitung parameter sudut tilt


dan eliptisitas dari pengukuran komponen in-phase dan out-of phase medan
magnet vertikal terhadap komponen horisontalnya. Besarnya sudut tilt (%) akan
sama dengan perbandingan Hz/Hx dari komponen in-phase-nya, sedangkan
besarnya eliptisitas (%) sama dengan perbandingan komponen kuadraturnya.

Jika medan magnet horisontal adalah Hx dan medan vertikalnya sebesar Hx


ei (gambar 2), maka besar sudut tilt diberikan sebagai;

H
2 z cos
tan( 2 ) x 2
H
(3.4)
H
1 z
Hx

dan eliptisitasnya diberikan sebagai;

b H z H x sin


(3.5)
i
a H z e sin H x cos 2

a
H
b
x

H
Gambar 3.2. Parameter polarisasi elips

14
3.5. Rapat Arus Ekuivalen (RAE)

Rapat arus ekuivalen terdiri dari arus yang menginduksi konduktor dan arus
yang terkonsentrasi dalam konduktor dari daerah sekelilingnya yang kurang
konduktif. Asumsi untuk menentukan rapat arus yang menghasilkan medan
magnetik yang identik dengan medan magnetik yang diukur. Secara teori,
kedalaman semu rapat arus ekuivalen memberikan gambaran indikasi tiap-tiap
kedalaman variasi konsentrasi arus.

( 2 ) = 0.2052 + 0.3231 1.4460 + 1.446+1
2
0.323+2 + 0.205+3 (3.6)

Persamaan filter linear (Karous dan Hjelt) di atas adalah persamaan untuk
menentukan rapat arus ekuivalen dan merupakan filter terpendek yang
memberikan kesalahan kurang dari 8% untuk medan dari lintasan arus tunggal.

3.6. Moving Average

Moving average adalah nilai rata rata pengolahan data yang di jumlahkan
kemudian dibagi 4. Biasanya data yang diolah yaitu data tilt dan elipt. Dengan
perhitungan sebagai berikut :
(1) +2 + (+1)
MA Tilt = 4

(1) +2 + (+1)
MA Elipt = (3.7)
4

Dimana :

MA tilt : moving average tilt

MA elipt : moving average elipt

Elipt : data elipt

Tilt : data tilt

(n-1) : data sebelumnya

(n+1) : data selanjutnya

Moving average elipt adalah nilai rata rata pengolahan data yang di
jumlahkan kemudian dibagi 4. Biasanya data yang diolah yaitu data tilt dan elipt.
Dengan perhitungan sebagai berikut :
(1) +2 + (+1)
MA Tilt = 4

15
(1) +2 + (+1)
MA Elipt = (3.8)
4

Dimana :

MA tilt : moving average tilt

MA elipt : moving average elipt

Elipt : data elipt

Tilt : data tilt

(n-1) : data sebelumnya

(n+1) : data selanjutnya

3.7. Karous Hjelt Filter

Filter dari Karous dan Hjelt (1983) ini dapat menentukan nilai dari rapat
arus terhadap kedalaman sehingga interpretasi kualitatif VLF-EM dapat dilakukan
dengan menggunakan filter Karous-Hjelt. Penerapan hasil filter ini berupa
distribusi kerapatan arus yang dapat memberi informasi mengenai daerah
konduktif.
Filter Karous-Hjelt menggunakan apparent depth dan rapat arus H0 yang
berasal dari turunan magnitudo komponen vertikal dan medan magnetik pada
lokasi tertentu. Kedalaman ditentukan dari jarak spasi yang digunakan dalam
perhitungan.
0 = 0.1021 0.0592 + 0.5613 0.5615 + 0.0596
0.1027
Keterangan :
0= sinyal output hasil filter karous-hjelt
= data ke-i

16
BAB IV
METODOLOGI

4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian


Pada pengukuran VLF kali ini dilakukan di Daerah Girijati, Kecamatan
Purwosari, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengukuran
dilakukan pada tanggal 17, 18, 24, dan 25 November 2017 dari pagi hari hingga
sore hari dengan kondisi cuaca mendung, cerah, dan hujan. Lokasi Penelitian
berjarak sekitar 48 km dari kampus 1 UPNVYK dan berada di selatan kampus
1UPNVYK.

4.2. Desain Survei

Gambar 4.1. Desain Survei Penelitian

Berdasarkan gambar di atas, terdapat 7 lintasan pada wilayah pengukuran


yang berupa hutan lebat. Seluruh lintasan pengukuran berarah timur-barat agar
agar tegak lurus dengan pemancar sehingga target terpotong. Umumnya seluruh

17
lintasan memiliki spasi antar lintasan cukup jauh kecuali pada lintasan 1 dan 8
yang cukup dekat. Jumlah titik pengukuran dalam satu lintasan berbeda-beda
setiap lintasan dengan jarak antar titiknya 5m.

18
4.3. Peralatan dan Perlengkapan

6 3 4 5

Gambar 4.2. Peralatan dan Perlengkapan

Gambar diatas merupakan seperangkat peralatan beserta perlengkapan


pendukung antara lain :
1. Sensor
Alat berbentuk seperti tabung yang berfungsi untuk menangkap sinyal
frekuensi yang telah ditentukan sebelumnya. Alat tersebut dapat
menangkap dua frekuensi sekaligus dan dalam acara ini yang ditangkap
yakni frekuensi transmitter Australia dan Jepang.
2. Monitor (T-VLF)
Berfungsi sebagai penampil data seperti angka-angka, dan juga nilai bar.
3. Kompas Geologi
Alat yang membantu untuk orientasi medan dan juga penunjuk arah mata
angin.
4. Global Positioning System (GPS)
Alat selanjutnya yakni GPS yang berfungsi untuk mengeplot titik-titik
yang akan diukur sehingga membantu untuk memberitahukan arah ke titik
selanjutnya.
5. Buku kerja

19
Selanjutnya buku kerja berfungsi untuk kegiatan catat-mencatat selama
akusisi seperti mencatat kenampakan-kenampakan geologi khusus yang
nampak pada lapangan.
6. Payung
Payung sangat berfungsi untuk melindungi alat dari sengatan sinar
matahari langsung

20
4.4. Diagram Alir Pengambilan Data

Gambar 4.3. Diagram Alir Pengambilan Data

21
4.5. Pembahasan Diagram Alir Pengambilan Data
Tahap akuisisi data dimulai dari persiapan alat hingga menyimpan alat
kembali pada tempatnya, untuk penjelasan lebih lanjutnya sebagai berikut :
Alat disiapkan antara lain sensor, monitor, kompas, GPS, dan tidak lupa
perlengkapan seperti payung dan buku kerja.
Melakukan penentuan lintasan berupa azimuth, panjang lintasan, dan jarak
antar lintasan
Selanjutnya dilakukan setting alat untuk mengatur nilai frekuensi stasiun
transmitter yakni Jepang dan Australia
Setelah setting alat selesai dilanjutkan dengan pengukuran inti. Pengukuran
inti dilakukan sebanyak 2 kali pada satu titik. Pengukuran pertama digunakan
sinyal transmitter dari frekuensi Jepang dilanjutkan pada pengukuran kedua
frekuensi Australia.
Jika terdapat SH pada monitor maka pengukuran diulang dan jika tidak maka
dicatat nilai tilt dan elipt nya dalam buku kerja.
Ulangi langkah diatas sampai pada titik terakhir.
Setelah pengukuran selesai dan data telah lengkap, maka kembalikan alat
pada tempatnya dengan aman.

22
4.6. Diagram Alir Pengolahan Data

Gambar 4.4. Diagram Alir Pengolahan Data

23
4.7. Pembahasan Diagram Alir Pengolahan Data
Alur pengolahan data digambarkan dengan diagram alir diatas dimana
pengolahan dimulai dari data lapangan masuk hingga penarikan kesimpulan
masing-masing individu, untuk lebih lengkapnya berikut merupakan
penjelasannya :
1. Mula mula data hasil akuisisi masuk dan di input kan ke dalam software
pengolah angka microsoft excel.
2. Setelah data masuk pada microsoft exel dapat dilakukan perhitungan Tilt
dan Elipt
3. Tahap berikutnya dibuatlah grafik Tilt dan Elipt lalu dianalisa grafiknya
4. Pengolahan selanjutnya hitung masing-masing Tilt dan Elipt sehingga
mendapat nilai RAE pada kedalamanan tertentu.
5. Penampang RAE juga dibuat dengan menggunakan data perhitungan
manual yang dimasukkan pada software surfer.
6. Setelah data grafik dan penampang telah dibuat, maka siaplah untuk
dilakukan interpretasi dalam pembahasan.
7. Pada akhirnya setelah dilakukan pembahasan dapat dilakukan penarikan
kesimpulan.

24
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Grafik Tilt Vs Elipt


5.1.1. Grafik Tilt Vs Elipt Australia Lintasan 1

GRAFIK TILT VS ELIPT AUSTRALIA


LINTASAN 1
25
20
15
10
%
5
0
0 20 40 60 80 100 120 140 160
-5
-10
JARAK

Tilt Elipt

Gambar 5.1. Grafik Tilt vs Elipt Australia Lintasan 1

Nilai Tilt (%) merupakan nilai perbandingan antara Hz dengan Hx yang


mana pada komponen in-phase yang ditunjukkan oleh garis berwarna biru,
sedangkan nilai Elipt (%) merupakan perbandingan pada komponen out-phase
yang ditunjukkan oleh garis berwarna merah, dan grafik diatas menunjukan nilai
tilt dan elipt pada 31 titik pengukuran. Nilai tilt tertinggi berada pada titik
pengukuran 25 atau pada jarak 120 meter dari titik awal dengan nilai 14 %
sedangkan nilai elipt tertinggi berada pada titik pengukuran 23 atau pada jarak
110 meter dengan nilai 21.33%. Selanjutnya nilai tilt terendah berada pada titik
pengukuran 19 atau pada jarak 90 meter dengan nilai -8% sedangkan nilai elipt
terendah berada pada titik pengukuran 3 pada jarak 10 meter dengan nilai -3%.
Terdapat anomali dimana ada titik yang nilai elipt yang rendah sedangkan tilt
yang tinggi dapat terjadi dikarenakan zona tersebut cukup konduktif sementara
titik yang nilai tilt cukup rendah dan elipt yang rendah dapat terjadi dikarenakan
zona tersebut cukup rendah daripada nilai konduktfitas di lintasan tersebut.

25
5.1.2. Grafik Analisis Tilt Vs Elipt Australia Lintasan 2

GRAFIK TILT VS ELIPT AUSTRALIA


LINTASAN 2
40
30
20
10
%
0
0 20 40 60 80 100 120 140
-10
-20
-30
JARAK

Tilt Elipt

Gambar 5.2. Grafik Tilt vs Elipt Australia Lintasan 2

Nilai Tilt (%) merupakan nilai perbandingan antara Hz dengan Hx yang


mana pada komponen in-phase yang ditunjukkan oleh garis berwarna biru,
sedangkan nilai Elipt (%) merupakan perbandingan pada komponen out-phase
yang ditunjukkan oleh garis berwarna merah, dan grafik diatas menunjukan nilai
tilt dan elipt pada 26 titik pengukuran. Nilai Tilt tertinggi berada pada titik
pengukuran 23 atau pada jarak 110 meter dari titik awal dengan nilai 28 %
sedangkan nilai elipt tertinggi berada pada titik pengukuran 19 atau pada jarak 90
meter dengan nilai 29%. Selanjutnya nilai tilt terendah berada pada titik
pengukuran 1 dan 2 atau pada jarak 0 dan 5 meter dengan nilai -2% sedangkan
nilai elipt terendah berada pada titik pengukuran 12 pada jarak 55 meter dengan
nilai -23%. Terdapat anomali dimana ada titik yang nilai elipt yang rendah
sedangkan tilt yang tinggi dapat terjadi dikarenakan zona tersebut cukup
konduktif sementara titik yang nilai tilt cukup rendah dan elipt yang rendah dapat
terjadi dikarenakan zona tersebut cukup rendah daripada nilai konduktfitas di
lintasan tersebut.

26
5.1.3. Grafik Tilt Vs Elipt Australia Lintasan 3

GRAFIK TILT VS ELIPT AUSTRALIA


LINTASAN 3
25
20
15
10
%
5
0
0 20 40 60 80 100 120 140
-5
-10
JARAK

Tilt Elipt

Gambar 5.3. Grafik Tilt vs Elipt Australia Lintasan 3

Nilai Tilt (%) merupakan nilai perbandingan antara Hz dengan Hx yang


mana pada komponen in-phase yang ditunjukkan oleh garis berwarna biru,
sedangkan nilai Elipt (%) merupakan perbandingan pada komponen out-phase
yang ditunjukkan oleh garis berwarna merah, dan grafik diatas menunjukan nilai
tilt dan elipt pada 24 titik pengukuran. Nilai Tilt tertinggi berada pada titik
pengukuran 24 atau pada jarak 115 meter dari titik awal dengan nilai 10.67 %
sedangkan nilai elipt tertinggi berada pada titik pengukuran 2 atau pada jarak 5
meter dengan nilai 21.33%. Selanjutnya nilai tilt terendah berada pada titik
pengukuran 6 atau pada jarak 25 meter dengan nilai -8% sedangkan nilai elipt
terendah berada pada titik pengukuran 22 pada jarak 105 meter dengan nilai -3%.
Terdapat anomali dimana ada titik yang nilai elipt yang rendah sedangkan tilt
yang tinggi dapat terjadi dikarenakan zona tersebut cukup konduktif sementara
titik yang nilai tilt cukup rendah dan elipt yang rendah dapat terjadi dikarenakan
zona tersebut cukup rendah daripada nilai konduktfitas di lintasan tersebut.

27
5.1.4. Grafik Analisis Tilt Vs Elipt Australia Lintasan 4

GRAFIK TILT VS ELIPT AUSTRALIA


LINTASAN 4
40
30
20
10
0
%
-10 0 20 40 60 80 100 120
-20
-30
-40
-50
JARAK

Tilt Elipt

Gambar 5.4. Grafik Tilt vs Elipt Australia Lintasan 4

Nilai Tilt (%) merupakan nilai perbandingan antara Hz dengan Hx yang


mana pada komponen in-phase yang ditunjukkan oleh garis berwarna biru,
sedangkan nilai Elipt (%) merupakan perbandingan pada komponen out-phase
yang ditunjukkan oleh garis berwarna merah, dan grafik diatas menunjukan nilai
tilt dan elipt pada 26 titik pengukuran. Nilai Tilt tertinggi berada pada titik
pengukuran 20 atau pada jarak 95 meter dari titik awal dengan nilai 29 %
sedangkan nilai elipt tertinggi berada pada titik pengukuran 17 atau pada jarak 80
meter dengan nilai 22%. Selanjutnya nilai tilt terendah berada pada titik
pengukuran 1 atau pada jarak 0 meter dengan nilai -41% sedangkan nilai elipt
terendah berada pada titik pengukuran 10 pada jarak 45 meter dengan nilai -18%.
Terdapat anomali dimana ada titik yang nilai elipt yang rendah sedangkan tilt
yang tinggi dapat terjadi dikarenakan zona tersebut cukup konduktif sementara
titik yang nilai tilt cukup rendah dan elipt yang rendah dapat terjadi dikarenakan
zona tersebut cukup rendah daripada nilai konduktfitas di lintasan tersebut.

28
5.1.5. Grafik Tilt Vs Elipt Australia Lintasan 5

GRAFIK TILT VS ELIPT AUSTRALIA


LINTASAN 5
40
30
20
10
%
0
0 20 40 60 80 100 120
-10
-20
-30
JARAK

Tilt Elipt

Gambar 5.5. Grafik Tilt vs Elipt Australia Lintasan 5

Nilai Tilt (%) merupakan nilai perbandingan antara Hz dengan Hx yang


mana pada komponen in-phase yang ditunjukkan oleh garis berwarna biru,
sedangkan nilai Elipt (%) merupakan perbandingan pada komponen out-phase
yang ditunjukkan oleh garis berwarna merah, dan grafik diatas menunjukan nilai
tilt dan elipt pada 21 titik pengukuran. Nilai Tilt tertinggi berada pada titik
pengukuran 21 atau pada jarak 100 meter dari titik awal dengan nilai 18 %
sedangkan nilai elipt tertinggi berada pada titik pengukuran 14 atau pada jarak 65
meter dengan nilai 34%. Selanjutnya nilai tilt terendah berada pada titik
pengukuran 1 atau pada jarak 0 meter dengan nilai -6% sedangkan nilai elipt
terendah berada pada titik pengukuran 9 pada jarak 40 meter dengan nilai -19%.
Terdapat anomali dimana ada titik yang nilai elipt yang rendah sedangkan tilt
yang tinggi dapat terjadi dikarenakan zona tersebut cukup konduktif sementara
titik yang nilai tilt cukup rendah dan elipt yang rendah dapat terjadi dikarenakan
zona tersebut cukup rendah daripada nilai konduktfitas di lintasan tersebut.

29
5.1.6. Grafik Analisis Tilt Vs Elipt Australia Lintasan 6

GRAFIK TILT VS ELIPT AUSTRALIA


LINTASAN 6
60
50
40
30
%
20
10
0
0 20 40 60 80 100 120
-10
JARAK

Tilt Elipt

Gambar 5.6. Grafik Tilt vs Elipt Australia Lintasan 6

Nilai Tilt (%) merupakan nilai perbandingan antara Hz dengan Hx yang


mana pada komponen in-phase yang ditunjukkan oleh garis berwarna biru,
sedangkan nilai Elipt (%) merupakan perbandingan pada komponen out-phase
yang ditunjukkan oleh garis berwarna merah, dan grafik diatas menunjukan nilai
tilt dan elipt pada 21 titik pengukuran. Nilai Tilt tertinggi berada pada titik
pengukuran 1 atau pada jarak 0 meter dari titik awal dengan nilai 24 % sedangkan
nilai elipt tertinggi berada pada titik pengukuran 20 atau pada jarak 95 meter
dengan nilai 48%. Selanjutnya nilai tilt terendah berada pada titik pengukuran 4
atau pada jarak 15 meter dengan nilai 9% sedangkan nilai elipt terendah berada
pada titik pengukuran 4 pada jarak 15 meter dengan nilai 2%. Terdapat anomali
dimana ada titik yang nilai elipt yang rendah sedangkan tilt yang tinggi dapat
terjadi dikarenakan zona tersebut cukup konduktif sementara titik yang nilai tilt
cukup rendah dan elipt yang rendah dapat terjadi dikarenakan zona tersebut cukup
rendah daripada nilai konduktfitas di lintasan tersebut.

30
5.1.7. Grafik Tilt Vs Elipt Australia Lintasan 8

GRAFIK TILT VS ELIPT AUSTRALIA


LINTASAN 8
100
80
60
40
20
%
0
-20 0 20 40 60 80 100 120 140
-40
-60
-80
JARAK

Tilt Elipt

Gambar 5.7. Grafik Tilt vs Elipt Australia Lintasan 8

Nilai Tilt (%) merupakan nilai perbandingan antara Hz dengan Hx yang


mana pada komponen in-phase yang ditunjukkan oleh garis berwarna biru,
sedangkan nilai Elipt (%) merupakan perbandingan pada komponen out-phase
yang ditunjukkan oleh garis berwarna merah, dan grafik diatas menunjukan nilai
tilt dan elipt pada 26 titik pengukuran. Nilai Tilt tertinggi berada pada titik
pengukuran 4 atau pada jarak 15 meter dari titik awal dengan nilai 80 %
sedangkan nilai elipt tertinggi berada pada titik pengukuran 12 atau pada jarak 55
meter dengan nilai 33%. Selanjutnya nilai tilt terendah berada pada titik
pengukuran 17 atau pada jarak 80 meter dengan nilai -56% sedangkan nilai elipt
terendah berada pada titik pengukuran 7 pada jarak 30 meter dengan nilai -8%.
Terdapat anomali dimana ada titik yang nilai elipt yang rendah sedangkan tilt
yang tinggi dapat terjadi dikarenakan zona tersebut cukup konduktif sementara
titik yang nilai tilt cukup rendah dan elipt yang rendah dapat terjadi dikarenakan
zona tersebut cukup rendah daripada nilai konduktfitas di lintasan tersebut.

31
5.2. Penampang RAE
5.2.1. Penampang RAE Australia Lintasan 1

Gambar 5.8. Penampang RAE Australia Lintasan 1

Penampang RAE yakni hasil pengolahan atau hitung manual melalui excel
yang selanjutnya dengan bantuan software Surfer dapat dibuat penampang dengan
parameter warna merah menunjukan nilai RAE tinggi hingga warna ungu yang
menunjukan nilai RAE rendah. Nilai RAE Australia yang dihasilkan memiliki
rentang dari -50% hingga -30%. Data yang ditampilkan berupa offset, kedalaman,
dan nilai RAEnya.
Terdapat zona dengan nilai RAE sedang yang mendominasi pada titik
pengukuran offset 15-90 meter dengan nilai RAE -6 hingga -2% yang
ditunjukkan oleh warna biru yang mencuat hingga ke permukaan dan mencapai
kedalaman -30m yang diinterpretasikan sebagai gamping masif. Gamping masif
ini mempunyai nilai konduktifitas yang cukup rendah karena sifatnya yang masif
sehingga tidak dapat menampung air (air membuat nilai konduktifitas menjadi
tinggi). Setelah itu, selebihnya hingga titik terakhir nilai RAE nya bervariasi dan
cenderung naik yang ditunjukkan oleh warna hijau hingga ke merah lalu ke hijau
lagi pada offset 88 hingga 120m dengan nilai RAE sekitar -2 hingga 30% biru
yang mencuat hingga ke permukaan dan mencapai kedalaman -20m. Pada zona
yang berwarna merah dengan nilai konduktifitas tinggi ini diinterpretasikan
sebagai gamping yang basah. Jika dibandingkan dengan sekelilingnya yang
berupa gamping masif maka wajar sekali jika nilainya cukup kontras. Kemudian
akan turun nilai RAEnya di akhir yang ditunjukkan oleh warna biru dan ungu
pada offset 120 hingga 135m dengan nilai RAE sekitar -50 hingga -2%.

32
5.2.2. Penampang RAE Australia Lintasan 2

Gambar 5.9. Penampang RAE Australia Lintasan 2

Penampang RAE yakni hasil pengolahan atau hitung manual melalui excel
yang selanjutnya dengan bantuan software Surfer dapat dibuat penampang dengan
parameter warna merah menunjukan nilai RAE tinggi hingga warna ungu yang
menunjukan nilai RAE rendah. Nilai RAE Australia yang dihasilkan memiliki
rentang dari -50% hingga -30%. Data yang ditampilkan berupa offset, kedalaman,
dan nilai RAEnya.
Terdapat zona dengan nilai RAE tinggi yang cukup mendominasi pada
titik pengukuran offset 15-60m dan 92 hingga 108m dengan nilai RAE 0 hingga
30% yang ditunjukkan oleh warna kuning hingga merah yang mencuat hingga ke
permukaan hingga ke kedalaman -25m yang diinterpretasikan sebagai gamping
basah. Terdapat anomali dimana ada zona yang bernilai sedang lalu rendah hingga
sedang lagi dengan nilai RAEnya -50 hingga 0% yang ditunjukkan oleh warna
hijau dan biru yang mencapai kedalaman -20m dan mencuat hingga ke permukaan
pada offset 60 hingga 92m dan 108-110m yang diinterpretasikan sebagai gamping
masif. Nilai RAE yang tinggi atau bisajuga dibilang nilai konduktivitasnya tinggi
pada gamping masif karena pada gamping masif tersebut karena sifatnya yang
masif sehingga tidak dapat menampung air (air membuat nilai konduktifitas
menjadi tinggi). Terdapat anomali juga dimana pada bagian bawah dari
penampang pada offset 15 hingga 40m, nilai RAEnya sedang ke arah tinggi yang
ditunjukkan oleh warna hijau dengan nilai offset sedang yaitu sekitar -8 hingga -
4%.

33
5.2.3. Penampang RAE Australia Lintasan 3

Gambar 5.10. Penampang RAE Australia Lintasan 3

Penampang RAE yakni hasil pengolahan atau hitung manual melalui excel
yang selanjutnya dengan bantuan software Surfer dapat dibuat penampang dengan
parameter warna merah menunjukan nilai RAE tinggi hingga warna ungu yang
menunjukan nilai RAE rendah. Nilai RAE Australia yang dihasilkan memiliki
rentang dari -50% hingga -30%. Data yang ditampilkan berupa offset, kedalaman,
dan nilai RAEnya.
Terdapat zona dengan nilai RAE rendah hingga sedang yang cukup
mendominasi pada titik pengukuran offset 25-100 meter dengan nilai RAE -50
hingga -2% yang ditunjukkan oleh warna ungu dan biru. Terdapat anomali dengan
nilai RAE rendah sekitar -50 hingga -2% pada offset 35 hingga 40m, lalu pada
offset 43 hingga 53m berada dipermukaan dan cukup dangkal, kemudian pada
offset 55 hingga 78 yang mencapai kedalaman -20m dan mencuat hingga ke
permukaan, dan terakhir di akhir penampang pada offset 85 dan 100m dan juga
mencuat hingga ke permukaan yang ditunjukkan oleh warna ungu yang
diinterpretasikan sebagai gamping masif. Gamping masif ini mempunyai nilai
konduktifitas yang cukup rendah karena sifatnya yang masif sehingga tidak dapat
menampung air (air membuat nilai konduktifitas menjadi tinggi). Setelah itu, pada
offset 15m hingga offset 25m terjadi perubahan kontras warna yang ditunjukkan
oleh warna hijau hingga ke jingga. Tingginya nilai konduktifitas dan cenderung
nilainya naik dari kedalaman -8m hingga -5m dengan nilai RAE sekitar -2 hingga
30% disebabkan oleh keterdapatan gamping basah. Jika dibandingkan dengan
sekelilingnya yang berupa gamping masif maka wajar sekali jika nilainya cukup
kontras.

34
5.2.4. Penampang RAE Australia Lintasan 4

Gambar 5.11. Penampang RAE Australia Lintasan 4

Penampang RAE yakni hasil pengolahan atau hitung manual melalui excel
yang selanjutnya dengan bantuan software Surfer dapat dibuat penampang dengan
parameter warna merah menunjukan nilai RAE tinggi hingga warna ungu yang
menunjukan nilai RAE rendah. Nilai RAE Australia yang dihasilkan memiliki
rentang dari -50% hingga -30%. Data yang ditampilkan berupa offset, kedalaman,
dan nilai RAEnya.
Terdapat zona dengan kontras nilai RAE yang cukup jelas dengan zona
nilai RAE terbagi 2 dengan nilai tinggi beserta juga dengan sedang dan rendah.
Pada offset 15 hingga 60m cenderung bernilai tinggi yang ditunjukkan oleh warna
jingga dan merah dengan nilai RAE sekitar -2 hingga 30% yang diinterpretasikan
sebagai gamping basah dan sisanya bernilai sedang dan rendah yang ditunjukkan
oleh warna biru dan ungu dengan nilai RAE sekitar -50 hingga -2% yang
diinterpretasikan sebagai gamping masif. Nilai RAE yang tinggi atau bisajuga
dibilang nilai konduktivitasnya tinggi pada gamping masif karena pada gamping
masif tersebut karena sifatnya yang masif sehingga tidak dapat menampung air
(air membuat nilai konduktifitas menjadi tinggi).

35
5.2.5. Penampang RAE Australia Lintasan 5

Gambar 5.12. Penampang RAE Australia Lintasan 5

Penampang RAE yakni hasil pengolahan atau hitung manual melalui excel
yang selanjutnya dengan bantuan software Surfer dapat dibuat penampang dengan
parameter warna merah menunjukan nilai RAE tinggi hingga warna ungu yang
menunjukan nilai RAE rendah. Nilai RAE Australia yang dihasilkan memiliki
rentang dari -50% hingga -30%. Data yang ditampilkan berupa offset, kedalaman,
dan nilai RAEnya.
Terdapat zona dengan nilai RAE sedang yaitu sekitar -2 hingga 0% yang
ditunjukkan oleh warna hijau berada pada offset 15 hingga 50 dan 57 hingga 85m.
Zona dengan nilai RAE tinggi yang ditunjukkan oleh warna jingga hingga ke
merah dengan nilai RAE sekitar 0 hingga 30% pada offset 60 hingga 67m yang
mencuat ke permukaan hingga mencapai kedalaman -15m dan pada offset 78
hingga 84m yang mencuat ke permukaan hingga mencapai kedalaman -7m yang
diinterpretasikan sebagai gamping basah. Selain itu, terdapat anomali dimana
pada bagian tengah penampang pada offset 50 hingga 57m dengan nilai RAE
rendah hingga ke sedang sekitar -50 hingga -2% yang ditunjukkan oleh warna biru
dan ungu yang diinterpretasikan sebagai gamping masif. Nilai RAE yang tinggi
atau bisajuga dibilang nilai konduktivitasnya tinggi pada gamping masif karena
pada gamping masif tersebut karena sifatnya yang masif sehingga tidak dapat
menampung air (air membuat nilai konduktifitas menjadi tinggi) sedangkan nilai
RAE tinggi pada gamping basah dapat terjadi karena ada kandungan air yang
menyebabkan nilai RAE menjadi lebih tinggi jika dibandingkan dengan di
sekitarnya.

36
5.2.6. Penampang RAE Australia Lintasan 6

Gambar 5.13. Penampang RAE Australia Lintasan 6

Penampang RAE yakni hasil pengolahan atau hitung manual melalui excel
yang selanjutnya dengan bantuan software Surfer dapat dibuat penampang dengan
parameter warna merah menunjukan nilai RAE tinggi hingga warna ungu yang
menunjukan nilai RAE rendah. Nilai RAE Australia yang dihasilkan memiliki
rentang dari -50% hingga -30%. Data yang ditampilkan berupa offset, kedalaman,
dan nilai RAEnya.
Terdapat zona dengan nilai RAE sedang yang ditunjukkan oleh warna biru
yang cukup mendominasi pada titik pengukuran offset 15-46 meter dan offset 62
hingga 85 meter dengan nilai RAE sekitar -8%. Terdapat anomali berupa adanya
sebuah tubuh zona dengan nilai rendah sekitar -50 hingga -8% di tengah
penampang pada offset 46 hingga 62m yang ditunjukkan oleh warna ungu yang
mencapai kedalaman -20m dan mencuat hingga ke permukaan yang
diinterpretasikan sebagai gamping masif. Nilai RAE yang tinggi atau bisajuga
dibilang nilai konduktivitasnya tinggi pada gamping masif karena pada gamping
masif tersebut karena sifatnya yang masif sehingga tidak dapat menampung air
(air membuat nilai konduktifitas menjadi tinggi). Terdapat anomali juga dimana
pada bagian bawah dari penampang pada offset 15 hingga 40m, nilai RAEnya
sedang ke arah tinggi yang ditunjukkan oleh warna hijau dengan nilai offset
sedang yaitu sekitar -8 hingga -4%.

37
5.2.14. Penampang RAE Australia Lintasan 8

Gambar 5.14. Penampang RAE Australia Lintasan 8

Penampang RAE yang terakhir yakni hasil pengolahan atau hitung manual
melalui excel yang selanjutnya dengan bantuan software Surfer dapat dibuat
penampang dengan parameter warna merah menunjukan nilai RAE tinggi hingga
warna ungu yang menunjukan nilai RAE rendah. Nilai RAE Australia yang
dihasilkan memiliki rentang dari -50% hingga -30%. Data yang ditampilkan
berupa offset, kedalaman, dan nilai RAEnya.
Terdapat zona dengan nilai RAE rendah sekitar -50 hingga -24% yang
ditunjukkan oleh warna ungu dan biru berada pada offset 15 hingga 25m lalu nilai
RAE sedang sekitar -24 hingga 6% yang ditunjukkan oleh warna hijau dan kuning
berada pada offset 25 hingga 80m yang diinterpretasikan sebagai gamping masif.
Terdapat zona dengan nilai RAE tinggi sekitar 6 hingga 30% yang ditunjukkan
oleh warna jingga dan merah berada pada offset 80 hingga 110m yang
diinterpretasikan sebagai gamping basah. Nilai RAE yang tinggi atau bisajuga
dibilang nilai konduktivitasnya tinggi pada gamping masif karena pada gamping
masif tersebut karena sifatnya yang masif sehingga tidak dapat menampung air
(air membuat nilai konduktifitas menjadi tinggi) sedangkan nilai RAE tinggi pada
gamping basah dapat terjadi karena ada kandungan air yang menyebabkan nilai
RAE menjadi lebih tinggi jika dibandingkan dengan di sekitarnya.

38
5.3. Korelasi Penampang RAE

Gambar 5.15. Korelasi Penampang RAE

Berdasarkan gambar di atas ditunjukkan korelasi penampang RAE. Pada


gambar tersebut ditampilkan pula data SRTM dari Global Mapper. Data srtm
berguna sebagai input untuk elevasi pada korelasi penampang yang dibuat. Pada
korelasi penampang ini digunakan skala 1:10.000. Kemudian terdapat pula skala
warna yang menunjukkan nilai RAE dalam bentuk persentase. Akuisisi VLF
dilakukan pada 7 lintasan pengukuran dengan urutan dari utara yaitu line 8, line 1,
line 2, line 3, line 4, line 5, line 6. Pada korelasi juga ditunjukkan adanya 2
sayatan yaitu A-A dan B-B.
Pada skala warna ditunjukkan warna biru hingga hijau yang
mengindikasikan nilai RAE dengan presentase rendah yaitu -50 sampai -2%.
Warna kuning hingga merah mengindikasikan nilai RAE dengan persentase yang
tinggi yaitu -2 sampai 30%. Pada lintasan 2, 4, 5 dan 8 diindikasi oleh nilai RAE
yang cukup tinggi, namun pada lintasan 1 di bagian timur terdapat sedikit nilai
RAE yang tinggi. Sedangkan pada lintasan 3 dan lintasan 6 didominasi oleh nilai
RAE yang rendah.

39
Target penelitian ini merupakan gamping basah sebagai bagian dari sistem
pengaliran diffuse. Keterdapatan adanya sistem pengaliran diffuse dapat
diperkirakan dari nilai RAE yang tinggi. Beradasarkan data korelasi yang ada
dapat dikatakan bahwa lintasan 1, 2, 4, 5 dan 8 terdapat sistem pola pengaliran
diffuse yaitu gamping basah. Pada lintasan 1 keterdapatan gamping basah hanya
sebagian kecil saja tidak seperti lintasan lainnya yang cukup mendominasi. Pada
saat akuisisi terjadi hujan pada daerah penelitian yang cukup deras. Air hujan
tersebut masuk ke dalam pori-pori gamping melalui rekahan yang ada. Maka dari
itu hal tersebut sangat berpengaruh terhadap nilai RAE yang mana juga sebanding
dengan kondutivitas.
Kemudian pada lintasan 3 dan lintasan 6 ditunjukkan nilai RAE yang
rendah dapat diinterpretasi sebagai gamping masif. Gamping massif memiliki
nilai RAE yang rendah karena gamping massif cenderung bersifat tidak konduktif.
Ketidak konduktifan gamping massif disebabkan karena air tidak dapat
menembus tubuh gamping massif tersebut.

40
BAB VI
PENUTUP

6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan juga pembahasan, dapat ditarik beberapa
kesimpulan, seperti:
Berdasarkan penampang RAE yang dihasilkan, pada zona berwarna biru
sampai hijau dapat diinterpretasi sebagai zona gamping massif
Berdasarkan penampang RAE yang dihasilkan, pada zona berwarna
kuning sampai merah dapat diinterpretasi sebagai zona gamping basah
dengan sistem pengaliran diffuse
Penyebab variasi nilai RAE karena sifat litologi dari gamping yang ada di
daerah tersebut. Nilai RAE tinggi terjadi karena gamping terisi oleh air
hujan yang masuk melalui rekahan-rekahan. Sedangkan nilai RAE rendah
terjadi karena gamping bersifat massif sehingga tidak dapat ditembus oleh
air.

6.2. Saran
Dalam akusisi data VLF sebaiknya dilakukan perencanaan terkait desain
survei terutama spasi tiap titik pengukurannya untuk mendapatkan penetrasi
kedalaman yang lebih besar. Kemudian apabila akan dilakukan pembuatan
korelasi penampang sebaiknya jarak atau spasi antarline tidak terlalu jauh karena
sistem hidrologi sangat kompleks.

41
DAFTAR PUSTAKA

Billings, M.P. 1082. Structural Geology 3rdEd. Prentice Hall of India Private
Limited: New Delhi
Bronto, S. dan Hartono, H.G. 2001. Panduan Ekskursi Geologi Kuliah Lapangan
2. STTNAS: Yogyakarta
Cagniard, L. 1953. Basic Theory of the Magnetotelluric Method of Geophysical
Prospecting, Geophysics, 18. 605-653
Haryono, E. 2016. Pedoman Praktis Survei Terintegrasi Kawasan Karst. Badan
Penerbit Fakultas Geografi (BPFG) Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta
Hidayat, W. dan Suharsono. 2015. Pendugaan Keberadaan Aliran Sungai Bawah
Tanah Menggunakan Metode Gradio Very Low Frequency (Vlf) di Daerah
Girijati, Purwosari, Gunungkidul, Yogyakarta. Jurnal Berkala Fisika
Indonesia, Volume 7 Nomor 2.
Kusumayudha, S.B. 2007. Hidrogeologi Karst dan Geometri Fraktal di Daerah
Gunungsewu. Penerbit Adicita: Yogyakarta
Paal, G. 1965. Ore Prospecting Based on VLF- Radio Signals. Geoexploration
Vol 3, 139-147.
Rahardjo, W,. Sukandarrumidi, dan Rosidi, H,M,. Peta Geologi Lembar
Yogyakarta, JawaSkala 1: 100.000. Dir. Geologi: Bandung
Telford, M.W., et al, 1990. Applied Geophysics. Cambridge University Press:
Cambridge
Van Bemmelen. R. W. 1949. The Geology of Indonesia v. I.A. The Hauge:
Government Printing Office.

42

You might also like