TAK perah mereka bermimpi, kalau rumah
tangganya yang begitu tenteram damai
tiba-tiba mengalami gelombang malapetaka
dabsyat. Kesan pertempuran itu mengusik
ketenteraman hatinya. Mereka sadar, ekomya
masih panjang. Pastilah gerombolan anak-
buah sang Dewaresi tak mau sudah, manakala
mereka belum dapat merampas kedua pusaka
Pangeran Semono.
"Apa kita serahkan saja?” Wayan Suage
minta pertimbangan.
Isterinya segera menyetujui. Begitu pula
Rukmini, Mereka sepaham, bahwa tidak ada
untungnya memiliki kedua pusaka itu.
"Saweh kita sudah cukup lebar, Rumah kita
besar pula. Sapi dan kerbau kita miliki. Pendek
kata, cukuplah buat hidup tenteram. Anak-
anak kita takkan kelaparan. Hidup macam apa
lagi yang kita inginkan?” kata Rukmini.
65Besar pengaruhnya ujar mereka berdua ter
hadap Wayan Suage. Tetapi Made Tantre
berpaham lain. Katanya, "Kita tak berhak
mengadili kedua pusaka itu. Hajar Karang-
pandan bukanlah orang sembarangan. Kalau
sampai mempercayakan kedua pusaka itu ke-
pada kita, pasti ada maksudnya. Seumpama
kedua pusaka itu lantas kita serahkan begitu
saja kepada mereka yang menghendaki, apa
kata Hajar Karangpandan? Kita tahu, dia ber-
tahan mati-matian dan berjuang dengan sege-
nap hatinya. Dia dapat datang pergi sesuka
hati seperti burung rajawali mendaki angkasa.
Ah, harga diri kita takkan dipandangnya lagi.
Dia dapat menimbulkan malapetaka jauh lebih
mengerikan daripada gerombolan orang-
orang Banyumas tadi.”
"Tapi soalnya, mereka berjumlah besar.
Sedangkan kita hanya dua orang,” bantah
Wayan Suage.
"Itu gampang. Kita lapor ke Kepala Kam-
pung. Kita taruhkan kedua pusaka itu dalam
penjagaan seluruh penduduk. Nah, apakah
mereka mampu merebut?”
Kata-kata Made Tantre masuk akal pula.
‘Maka pada sore harinya mereka lapor kepada
Kepala Kampung. Tetapi setelah Kepala
Kampung itu mendengar tentang kedua pusa-
66
ka Pangeran Semone, timbul pulalah keingin-
annya hendak mengangkangi.
Kepala Kampung Karangtinalang seorang
laki-laki berumur 60 tahunan. Tetapi pandang
matanya masih memancarkan sinar perjuang-
an hidup jasmaniah. Dengan diam-diam ia
memanggil.dua orang pembantunya. Kemu-
dian bergegas mengunjungi rumah Wayan
Suage dan Made Tantre agar mengawalnya
dari jauh.
Made Tantre yang mempunyai penglihatan
cermat, segera memperoleh kesan tertentu.
Celaka! katanya dalam hati. Orang inipun
mempunyai nafsu serigala pula. Maka iamem-
bisikkan kesannya kepada Wayan Suage.
Wayan Suage percaya benar kepada pra-
sangkanya, maka ia berbisik kepada Sapar-
tinah agar memanggil Kepala Kampung
Kemarangan, Krosak dan Gemrenggeng. Me-
reka akan dijadikan saksi hak milik kedua
pusaka. Maka pada senja hari itu, ber-
turut-turut datanglah kepala-kepala kampung
tiga desa.
Wayan Suage menyambut kedatangan
mereka dengan gembira. Beramai-ramai me-
reka memeriksa kedua pusaka Pangeran
Semono yang diletakkan di atas meja. Pan-
dang mereka mendadak berubah seperti orang
67kelaparan. Tetapi mereka tidak berani menya-
takan keinginan hatinya terang-terangan. Juga
Kepala Kampung Karangtinalang agak segan
pula. Untuk menutupi kata hatinya, mereka
berbicara tentang pusaka-pusaka kuno yang
bertuah. Dihubungkan pembicaraan itu kepa-
da penobatan Sultan Yogyakarta.
*Siapa mengira. Raden Mas Sundara akhir-
nya naik tahta kerajaan,” kata Kepala Kam-
ung Karangtinalang. "Tadinya kukira Kanjeng
Gusti Anom Amengkunegara atau Kanjeng
Pangeran Arya Ngabei.”
"Ah! Kanjeng Arya Dipasana atau Kanjeng
Pangeran Arya Kusumayuda lebih tepat,”
sambung Kepala Kampung Gumrenggeng.
"Sebab mereka berdua lebih perwira dan
perkasa.”
"Siapa bilang,” bantah Kepala Kampung
Kemarangan. "Meskipun mereka sakti, apakah
dapat menandingi kekeramatan tombak Kyai
Pleret. Raden Mas Sundara beruntung mem-
peroleh warisan pusaka. Sekiranya tidak, beli-
au pun takkan dapat naik tahta.”
"Hm!" Kepala Kampung Krosak memotong.
"Berbicara tentang pusaka inilah pusaka sakti
tak terlawan. Kalian tahu, Pangeran Semono
dulu adalah cikal-bakal!4) kerajaan Jawa. Dia
14) Ciel Baka: yong pester kal
68
putera Bathara Karawelang, Raja Loano.
Pusaka Raja Karawelang sebenamya tiga
buah. Yang pertama: Bende Mataram, kedua:
keris Kyai Tunggulmanik dan ketiga Jala
Karawelang. Barang siapa memiliki ketiga
pusaka itu, akan dapat merebut tahta kerajaan
awa,”
“Mengapa?” mereka bertiga_menyahut
berbareng.
“Mengapa?” Kepala Kampung Krosak
mengulang. "Dia akan sakti tak terlawan.
Suaranya seperti guntur, Gerak-geriknya gesit
bagaikan kilat. Otaknya menjadi cerdas tanpa
guru, Sekali melihat lantas bisa. Dia akan di-
sujuti jin, setan dan iblis di seluruh kepulauan.
Mereka bersedia menjadi bala tentaranya yang
kelak disebut balatentara sirolah. Nah, siapa
dapat melawan? Apa kalian sanggup berla-
wanan dengan jin, setan dan iblis yang tak
nampak oleh mata?”
Dengan disinggungnya nama kedua pusaka
au. gejolak hati mereka tak tertahankan lagi.
Mereka lantas saja meruntuhkan pandangan
kepada pusaka Bende Mataram dan Keris Kyai
Tunggulmanik.
"Pernahkah kamu melihat pusaka Jala
Karawelang?” ujar Kepala Kampung Karang-
tinalang.
69"Bagaimana mungkin aku kuasa melihat-
nya,” sahut Kepala Kampung Krosak. "Menu-
rut tutur-kata orang-orang kuno, jala itu tidak
nampak. Dia selalu bersama dengan kedua
pusaka ini.”
"Kalau begitu, pasti pusaka Jala Karawelang
berada di sekitar kedua pusaka i
pala Kampung Karangtinalang. Tangannya ke-
mudian meraba-raba, karena napsunya sangat
besar hendak menjamah kedua pusaka itu,
Tetapi belum lagi dia menyentuh, mendadak
tangan Kepala Kampung Kemarangan me-
nyambar cepat.
"Jangan sentuh! Kau tak berhak!” bentak-
nya. Kemudian seperti seorang majikan yang
berhak melarang pegawainya, ia berganti
menurunkan tangan. Tetapi maksudnya diha-
lang-halangi Kepala Kampung Gumrenggeng.
"Hai beraninya kamu menghalangi aku?”
bentaknya.
"Mengapa tidak?” Kepala Kampung Gum-
renggeng merribalas membentak. "Kalau dia
tak berhak, kamupun tak berhak pula. Me-
mang kamu ini siapa?”
"Bangsat!” maki Kepala Kampung Kema-
rangan.
Dimaki demikian, meledaklah amarah Ke-
pala Kampung Gumrenggeng. Tanpa berpikir
70
panjang lagi, tangannya menyambar, Kepala
Kampung Kemarangan terkejut. Gugup ia
menangkis dan sebentar saja mereka berdua
‘telah berhantam seru.
Melihat mereka berdua saling berhantam
Kepala Kampung Karangtinalang mempergu-
nakan kesempatan itu. la tak mempedulikan
agi pandang tajam Wayan Suage dan Made
Tantre yang berdiri di pojok. Pikimya, mereka
kan penduduk kampungku nanti tak akan
menghalanyi maksudku.
Tetapi ia melupakan Kepala Kampung
Krosak yang mengincar pula pusaka itu. Maka
begitu dia hendak menubruk kedua pusaka
Pangeran Semon, tangannya kena dipapas
tinju Kepala Kampung Krosak. Mereka berdua
lantas berdiri, Kedua-duanya sudah berumur
lanjut. Kumis, jenggot dan alisnya memutih
kapuk. Pandang matanya suram kuyu. Mereka
berusaha memperkasakan diri. Kemudian sa-
ling menerjang dengan sekuat tenaga.
‘Mereka berbenturan dan tergetar mundur
dua langkah. Tubuhnya bergoyang-goyang.
Tapi seperti kemasukan setan mereka mener-
_jang lagi dan bergumul rapat pepat.
Jaman dulu tak gampang orang jadi Kepata
Kampung, Dia harus seorang perwira, berwi-
bawa, berani dan cerdik sebagai syarat mutlak
7memperoleh kewibawaan. Itulah sebabnya
mereka kebanyakan terdiri dari bekas jagoan,
pembegal atau maling ampuh. Maka tak
mengherankan, kalau mereka pandai berke-
lahi dan ulet.
Waktu itu senja rembang telah tiba. Dalam
rumah panjang itu seketika menjadi gelap.
Tubuh mereka yang berkelahi berkelebatan
seperti bayangan. Mereka mengadu ketajam-
an pendengaran dan berpedoman pada kesiur
angin belaka.
Keempat orang kepala kampung itu sebe-
narnya tak mempunyai musuh tertentu.
Mereka hanya bersedia bertempur demi
kedua pusaka. Siapa saja yang menghempiti
™meja, lantas saja digempur bersama. Karuan
saja, pertempuran itu berlangsung sangat
kacau.
Mula-mula, Kepala Kampung Kemarangan
bethantam dengan Kepala Kampung Gum-
renggeng. Tiba-tiba mereka melihat pergulat-
an mati-matian antara.Kepala Kampung
Karangtinalang dan Kepala Kampung Krosak.
Ketika kedua kepala kampung itu bergeser
tempat sehingga mendekati meja, dengan
berbareng mereka menyerang. Karena serang-
an itu, pergulatan bubar tersentakkan. Mereka
mendongkol dan permusuhannya kini beralih
72
kepada Kepala Kampung Kemarangan dan
Kepala Kampung Gumrenggeng.
"Kalian manusia rendah!" maki Kepala
Kampung Karangtinalang.
Apa kau bukan bangsa tikus pula?” Kepala
Kampung Gumrenggeng membalas bentakan
itu. Ia mengayunkan tinju. Cepat-cepat Kepala
Kampung Karangtinalang menangkis. Maka
bentroklah adu tenaga itu, sehingga kedua-
duanya mundur sempoyongan.
Dalam -pada itu Kepala Kampung Krosak
melayani Kepala Kampung Kemarang, yang
merangsak dengan hebat. Mereka mencakar
dan menendang sejadi-jadinya. Kedua-kedua-
nya mengerang kesakitan, tetapi tak mau
mengalah, Mereka berputar memasuki gelang-
gang pertarungan Kepala Kampung Karang-
tinalang dan Kepala Kampung Gemrenggeng.
Justru waktu itu, Kepala Kampung Gemreng-
geng sedang menyerang punggung. Karuan
saja mereka berdua terkejut. Buru-buru mere-
ka menangkis berbareng, Prak!
Mereka terjengkang ke samping. Mendadak
Kepala Kampung Karangtinalang berjongkok
dan mengirimkan tendangan. Serangan ini
samasekali tak diduga oleh ketiga-tiganya.
Lagipula, mereka bertiga tadi terkejut karena
bentrokan tanpa rencana. Itulah sebabnya,
73maka masing-masing kena hajaran tendangan
kaki Kepala Kampung Karangtinalang. Mereka
lantas kalangkabut dan berbareng merangsak
maju.
‘Sudah barang tentu, Kepala Kampung Ka-
rangtinalang ketakutan diserang_bertiga.
Untung ia tak kehabisan akal. Cepat ia
merangkak menjauhi dan mengumpet di
bawah meja. Napasnya_tersengal-sengal
menyekat leher. Dalam hati ia mengharap ke-
datangan dua pembantunya yang tadi disuruh-
nya mengawal dari jauh. Tetapi semenjak ia
masuk ke rumah Wayan Suage dan Made
Tantre, mereka jauh berada di luar. Apakah
mereka mengetahui apa yang telah terjadi
pada petang hari itu,
Memikirkan hal itu, ia merayap keluar dari
bawah meja. Hatinya tak rela jika belum dapat
menggenggam pusaka Pangeran Semono
sebagai miliknya. Tetapi begitu dia keluar dari
Kolong meja, segera ia terlibat dalam pertem-
puran kalang kabut. fa lantas menerjang dan
mengamuk serabutan,
Pada saat itu Wayan Suage dan Made Tantre
yang berdiri di luar gelanggang ter-
cengang-cengang menyaksikan terjadinya
pertarungan. Lama-kelamaan mereka men-
dongkol, jengkel dan geli. Bagaimana tidak?
74
Sama sekali tak diduganya kalau mereka
berempat yang diharapkan menjadi saksi hak
milik barang pusaka, malahan saling berhan-
tam begitu: mati-matian, Perkakas rumahnya
rusak berantakan. Sedangkan Sapartinah dan
Rukmini terlihat memepet dinding dengan
wajah ketakutan. Maklumiah, selama mereka
mendirikan rumah tangga, belum pernah
sekali pun menyaksikan orang bertempur di
depan hidungnya. Apa lagi mereka yang
bertempur adalah kepala-kepala kampung
yang mereka hormati.
Sangaji dan Sanjaya sudah sejak tadi
terkunci mulutnya. Mereka berdua gemetaran,
meringkaskan badan dan menyusup ke lam-
bung ibunya masing-masing.
Mempertimbangkan keadaan keluarganya,
Made Tantre habis kesabarannya. Serentak ia
lari ke dapur dan datang kembali dengan
membawa kayu menyala, Segera ia menya-
lakan lampu. Kemudian berbareng dengan
nyala lampu, ia berteriak nyaring,
"Berhenti! Mengapa kalian saling berhan-
tam? Bukankah kalian kami undang untuk
menjadi saksi hak-milik pusaka kami?”
‘Mereka berhenti berkelahi dengan serentak.
Tetapi bukan karena teriakan Made Tantre,
melainkan Karena sinar terang yang mene-
75angi ruang rumah. Mereka saling memandang
dengan pandang mengancam dan menyiasati.
Raut muka mereka bengis dan hawa pem-
bunuhan mulai terasa.
Seketika itu di dalam rumah hanya terde-
ngar napas mereka. Made Tantre bergemetar-
an Karena menahan marah. Ingin ia mende-
Paki muka mereka, andaikata mereka bukan
kepala-kepala kampung yang harus dihormati.
Mendadak ia mendengar suara lantang dari
serambi depan. Suara itu mengalun dan me-
nusuk seluruh penjuru. la kaget dan cepat-
cepat memepet dinding.
“Aku Wirapati, murid keempat Kyai Kasan
Kesambi. Ada sesuatu hal yang harus kusam-
paikan kepadamu. Kuharap jangan salah
paham!” bunyi suara itu.
Jahanam mana lagi yang datang? pikir
Made Tantre. Dia menoleh kepada Wayan Sua-
ge minta keyakinan, Waktu itu Wayan Suage
sedang memusatkan pendengarannya, me-
nangkap suara kata-kata yang terucapkan
dengan pelahan dan terang. la terkejut. Suara
itu begitu riuh seperti guruh. Pastilah yang
datang bukan sembarangan orang.
"Wayan!” bisik Made Tantre. "Apa kata
hatimu?”
76
*Jangan bergerak. Tunggu! Dia pasti datang
ke mari,” jawab Wayan Suage berbisik pula.
Waktu itu Wirapati berjongkok ketika meli-
hat sinar mengejap. Sebenarnya tak usahlah
dia berbuat begitu, karena sinar yang menge-
jep adalah nyala pelita yang sedang disulut
Made Tantre. Tapi oleh pengalamannya di te-
ngah perjalanan tadi, ia perlu bersikap waspa-
da. Bukankah pemuda ganas yang membu-
nuh si pendek gemuk belum menampakkan
diri?
la menunggu beberapa saat. Jawaban tetap
tak diperolehnya. Dalam rumah sunyi hening.
Hati-hati ia merangkak maju menjenguk ke
dalam. Sekarang dilihatnya nyala pelita me-
nerangi ruang sana. Nampak pula ada bebera-
pa bayangan berombak-ombak pada dinding.
Cepat ia berdiri dan melompat ke belakang
tiang guru, Dilihatnya sepuluh orang bersikap
diam tak bergerak. Yang empat orang terdiri
dari dua perempuan dan dua kanak-kanak.
Yang enam, laki-laki semua. Apa yang sedang
dikerjakan? Sebagai murid Kyai Kasan Ke-
sambi yang sudah berpengalaman, segera ia
dapat membaca kesan muka mereka masing-
masing. Mendadak pada saat itu di atap rumah
terdengarlah suara membentak.
*Semua jangan bergerak dan jauhilah mejal”
7Wirapati segera mengenal suara itu. Ah,
pikimya. Itulah si pemuda ganas yang mem-
bunuh si pendek gemuk. Aku harus ber-
hati-hati. Nampaknya di dalam rumah ini telah
terjadi sesuatu yang menegangkan.
Tetapi keenam laki-laki yang berdiri tegang
tetap berada di tempatnya, seolah-olah tak
mendengarkan ancaman itu. Diam-diam hati
Wirapati tergetar. Kalau pemuda itu sampai
menurunkan tangan jahatnya, bagaimana
mereka dapat mengelakkan diri?
‘Terdengarlah kemudian suara tertawa dingin
di atas atap. Kernudian dengan kesiur angin
ringan, turunlah si pemuda ke tanah dengan
sekali melompat.
la adalah seorang pemuda yang berumur
kkurang lebih 24 tahun, Wajahnya agak pucat,
tetapi tampan dan bermata ningrat. Pakaian
yang dikenakan terbuat dari kain mahal, la
menyengkelit sebilah keris melintang perut-
nya. Mulutnya menyungging senyum manis.
Seumpama Wirapati tak menyaksikan dengan
mata kepalanya sendiri, tak percaya kalau
Pemuda itu dapat berlaku ganas.
"Hail Apa kalian tak dengar perintahku!”
bentaknya tajam.
Masih saja keenam orang itu tak menghi-
raukan. Tiba-tiba kakek yang berada di timur
78
(dia Kepala Kampung Karangtinalang) meng-
ayunkan tangannya dan bergerak hendak
mencakar muka si pemuda. Cepat pemiuda itu
mengelak, terus maju selangkah. Melihat si
pemuda melangkah maju, Kepala Kampung
Krosak yang berada di sebelah utara mengem-
plang kepalanya. Tetapi gerak-gerik si peruda
itu gesit. Sedikit ia menggeser tubuh dan kem-
plangan Kepala Kampung Krosak menumbuk
udara kosong.
Medapat bantuan Kepala Kampung Krosak,
hati Kepala Kampung Karangtinalang jadi
mantap. la menerjang dan menyodokkan ta-
ngannya. Tangannya sebelah Kiri dipentang
siap menerkam dada. Ini hebat!
Diam-diam Wirapati memuji dalam hati.
Tetapi ilmu berkelahi si pemuda benar-benar
aneh dan bagus. Dengan tersenyum meren-
dahkan lawan, mendadak ia menangkis dan
membalas menyerang. Kedua kakek itu
dilawannya dengan gampang.
“Iblis! Siapa kamu? Hayo mengaku, apa
kauingin juga memiliki pusaka ini,” bentak
Kepala Kampung Krosak.
Si pemuda membalas bentakan itu dengan
tertawa dingin. Tiba-tiba tubuhnya melesat dan
lengan Kepala Kampung Krosak kena disam-
bar dan dipatahkan sampai berbunyi bergera-
79takan. Alangkah terkejut Kepala Kampung
Karangtinalang menyaksikan lengan Kepala
Kampung Krosak kena dipatahkan. Buru-buru
ia menarik serangannya dan bersikap mem-
pertahankan dir. Tetapi terlambat. Dia pun
terserang si periuda, Tahu-tahu ia terbanting
ke tanah. Betisnya patah tak berdaya, sehing-
ga ia jatuh tengkurap tak berkutik lagi.
Mendapat kemenangan itu, si pemuda men-
dongakkan kepala. Kemudian tertawa dingin.
*Siapa yang salah. Bukankah aku tadi mem-
beri perintah supaya kalian menjauhi meja?
Nah, siapa maju lagi?”
Wirapati mendongkol mendengar sumbar si
pemuda. Sikapnya yang sombong itu benar-
benar memuakkan hati. Hati ksatrianya lantas
bangkit. Mendadak ia melihat si pemuda itu
mengamat-amati perempuan yang berdiri me-
mepet dinding mendekap bocah. Itulah Sapar-
tinah, isteri Wayan Suage.
Dia sesungguhnya seorang perempuan ber-
wajah manis. Hidungnya mancung. Matanya
bersinar. Alisnya tebal dan mempunyai tahi
falat di atas mulutnya. Umumya belum lagi
mencapai 22 tahun'5). Kulitnya kuning
langsat. Perempuan seumur dia cepat menarik
hati laki-laki yang sudah berpengalaman. Itu-
15) pada jaman dahulu gadis kawin sebelum bert 15 tahun
80
lah sebabnya maka tak mengherankan kalau
si pemuda tertegun melihat kecantikannya.
Isteri siapa dia?” tanyanya sambil membagi
pandang.
Tidak ada jawaban.
Isterisiapa dia?” ia mengulang. Karena
tetap tidak ada jawaban, ia meneruskan,
"Bagus! Tidak ada yang mengaku. Kalau begi-
tu kepunyaan umum.”
Mendengar ucapannya Made Tantre tak
dapat mengendalikan hatinya. Tak rela ia
mendengar isteri sahabatnya direndahkan
demikian rupa. Secepat kilat ia menjejak tanah
dan terbang menerkam si pemuda.
Pemuda itu nampak terkejut. la mengi-
baskan tangannya, tahu-tahu Made Tantre
jatuh terkulai, Wirapati kaget bukan kepalang.
Ta tahu apa sebabnya. Pemuda itu melepaskan
senjata rahasia seperti yang dilakukan terha-
dap si pendek gemuk. Menyaksikan kega-
nasan si pemuda, darahnya seketika men-
didih. fa lantas meloncat sambil berjaga-jaga.
Serangan Wirapati cepat dan tak terduga.
Pemuda itu tak dapat mengelakkan dir.
Terpaksa dia menangkis. Tetapi kena benturan
tangan Wirapati, ia bergetar mundur dua
langkah. la heran atas kejadian itu. "Jahanam,
siapa kamu?”
81*Selama kamu tak mau memperkenalkan
namamu, apa perlu aku meladeni tampang-
mu?” Wirapati_ menyahut. la menoleh dan
melihat tubuh Made Tantre tak berkutik.
Rukmini merenggutkan dekapan anaknya dan
lari menubruk. Cepat-cepat Wirapati mengha-
lang-halangi.
*Jangan sentuh! Dia terkena racun!”
‘Mendengar ucapannya semua jadi terkejut.
Tetapi Rukmini tak mempedulikan. la memak-
sa maju merangsak. Terpaksa Wirapati men-
dorongnya pergi. Karuan Rukmini menjerit dan
jatuh pingsan. Anaknya lari menghampiri dan
menangis ketakutan.
"Bagus! Rupanya kaukenal senjataku!” te-
tiak si pemuda.
”Mengepa tidak? Bukankah tadi kau juga
menurunkan tangan jahatmu ke salah seorang
rombongan penari?” Wirapati mendamprat.
Si pemuda tertegun. Kemudian tersenyum
dingin. Berkata, "Eh, agaknya ada juga yang
tahu. Hm!”
Dada Wirapati serasa akan meledak. la me-
esat dan mengirimkan gempuran. Si pemuda
tak berani menangkis. la mengendapkan diti
dan bergulingan ke tanah. Tetapi Wirapati tak
memberi kesempatan dia bernapas.
Secepat kilat ia menyapu dengan kakinya,
82
sambil melindungi dadanya. Diserang demi-
kian, si pemuda tak menjadi gugup. Kakinya
menjejak tanah. Kemudian seperti seekor
ikan melentik dari genggaman tangan, ia me-
loncat tinggi sambil menyerang kepala Wira-
pati, Kedua tangannya disodokkan meng-
gempur kaki. Kemudian dengan berjumpa-
litan ia mementalkan iri. Si pemuda berjum-
palitan pula di udara dan jatuh berdiri dengan
sempoyongan,
"Bahayal” terdengar suaranya di antara
giginya.
Pada saat itu tubuh Made Tantre telah men-
jadi kaku. Wayan Suage tertegun karena terke-
jut. la berdiri terpaku di tempatnya. Matanya
terbeliak tak tahu apa yang harus dilakukan.
Sebaliknya Kepala Kampung Kemarangan
dan Kepala Kampung Gumrenggeng berbuat
lain.
Seperti telah berjanji mereka menggunakan
kesempatan itu untuk menyambar kedua
pusaka Pangeran Semono. Niatnya begitu
berhasil membawa kedua pusaka itu, kemudi-
an akan kabur.
Tetapi justru karena kedua-duanya mem-
punyai tujuan yang sama, malahan mereka
jadi saling bentrok. Kepala Kampung Gum-
Tenggeng lantas saja menyiku saingannya.
83Dan Kepala Kampung Kemarangan mengem-
plang Kepala Kampung Gumrenggeng
Pethatian mereka berdua sedang terpusat
pada pusaka itu, sehingga tak sempat me-
nangkis. Maka siku dan kemplangan tangan
mengenai tepat sasarannya. Keduanya kaget
dan batal mencapai pusaka.
Wayan Suage mendadak sadar karena per-
gulatan itu. Tadi dia tertegun. Kini ia tergugah,
kalau matinya Made Tantre karena membela
kehormatan isterinya. Mana bisa ia hanya
berpeluk tangan. Seketika itu juga timbullah
rasa dendamnya, benci dan jijik. la melihat
kedua kepala kampung yang sedang
meliuk-liuk kesakitan. Deru hatinya lantas saja
ditumpahkan kepada mereka. Secepat kilat
dan di luar dugaan, ia menyambar keris pusa-
ka Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram.
Dengan kedua pusaka itu, ia menggempur
mereka berdua.
Kedua kepala kampung itu melihat datang-
nya bahaya. Mereka hendak meloncat mun-
dur, Tetapi serangan Wayan Suage sangat ce-
pat. Sebelum mereka sadar apa yang terjadi,
kedua pusaka sakti telah menggernpumya.
Dengan menjerit mereka mencoba bertahan.
Tetapi bagaimana mereka kuasa melawan
kesaktian kedua pusaka itu. Mereka terjungkal
84
ke tanah dan mati.
Hawa pembunuhan kini mulai merangsang.
Wayan Suage menggeram penuh dendam.
‘Sedangkan Sapartinah memekik tinggi sambil
menutupi mukanya. Tak rela ia menyaksikan
suaminya menjadi seorang pembunuh, namun
tak ada jalan lagi.
Tiba-tiba di luar dinding terjadilah suatu ke-
nibutan. Rombongan penari yang mengepung
rumah mulai berteriak dan merangsak maju.
Terasa kini udara jadi panas. Wirapati menoleh.
Ah! la mengeluh dalam hati. Rupanya tali
yang melingkar rumah bukan tali beracun,
melainkan tali berminyak tanah. Mereka
bermaksud membakar rumah,
Darah kesatria Wirapati kian menjadi melu-
ap-luap. la harus cepat bertindak, mengingat
di dalam rumah terdapat dua orang perem-
puan dan dua orang kanak-kanak. Maka de-
ngan memusatkan perhatian, ia menerjang si
pemuda sambil berteriak, *Cepat keluar!
Rumah akan terbakar!”
Kepala Kampung Karangtinalang dan
Kepala Kampung Krosak yang kena dipatah-
kan lengan serta kakinya oleh si pemuda,
terkejut mendengar teriakan itu. Mereka sadar
akan bahaya, maka dengan sempoyongan
dan meloncat-loncat lari menghampiri pintu.
85Tetapi waktu itu, rombongan penari dari
Banyumas sudah menyerbu _memasuki
rumah, Mereka berteriak-teriak kalang kabut.
Kekacauan segera terjadi. Api mulai menjilat
dinding rumah dan telah pula membakar atap
ruang tengah. Wayan Suage segera mem-
bungkuki Rukmini yang masih saja_jatuh
pingsan. la menggapai isterinya. Tetapi isteri-
nya tidak melihat. Masih saja dia mendekap
mukanya, sedang Sanjaya dipeluknya erat-
erat.
Waktu itu, Wirapati sedang mendesak si
pemuda dengan serangan bertubi-tubi. la ingin
menyelesaikan pertempuran secepat mung-
kin, Sebaliknya si pemuda tak gampang dapat
dikalahkan. la dapat bergerak dengan gesit.
Gerak-geriknya aneh pula, bahkan kini mulai
memperlihatkan tongkatnya.
Mendadak saja si pemuda yang bermata
tajam melihat Wayan Suage membungkuki
mayat Made Tantre, sedang kedua tangannya
menggenggam dua pusaka sakti. la tak bemi-
at mengadu kepandaian dengan Wirapati.
Tujuannya memasuki rumah panjang semata-
mata hendak merampas kedua pusaka sakti.
Maka dengan dahsyat ia mencoba mengun-
durkan Wirapati. Maksud itu sudah barang
tentu tak mudah dilakukan. Penjagaan Wira-
86
pati rapat dan tidak memberinya bidang gerak.
Ia mengeluh dalam hati. Kemudian meloncat
tinggi dan berjumpalitan di udara. Ketika ke-
dua kakinya telah-meraba tanah, sekali mele-
sat ia menghampiri Wayan Suage sambil
melepas senjata rahasianya. Ternyata senjata
rahasianya berbentuk butiran-butiran lada dan
disembunyikan di dalam tongkatnya yang di-
buatnya sebagai jepretan.
‘Wayan Suage menyadari datangnya bahaya.
Untung, bidikan si pemuda dilakukan dengan
gugup karena dirintangi Wirapati. Meskipun
demikian, senjata rahasianya mengenai juga
mata kaki Wayan Suage yang seketika itu juga
menjerit roboh.
Wirapati terkejut. Cepat
menyambar punggung si pemuda. Si pemuda
terpaksa mengelak, sehingga gagal merampas
kedua pusaka. Ia bermurung dan memaki-
meki dalam hati. Dalam kemurungannya itu
mendadak ia teringat akan kecantikan Sapar-
tinah. Tanpa kesulitan lagi, ia menerkam
lengan Sapartinah. Kemudian ibu dan anak
diangkat tinggi. Dalam hatinya ia akan mem-
pergunakan mereka sebagai perisai, jika
pati tiba-tiba menyerang.
Tetapi kala itu, Wirapati memikirkan akibat
bidikan senjata rahasia si pemuda yang me-
melesat dan
87Untung bidikan si pemuda dilakukan dengan gugup
karena dirintangi Wirapati. Meskipun demikian, senja-
(a rahasianya mengenai juga mata kaki Wayan Suage
yang sekelika itu juga menjerit roboh.
88
ngenai mata kaki Wayan Suage. Buru-buru ia
melolos belatinya dan memangkas kaki
Wayan Suage sekali pagas. Itulah satu-satunya
jalan buat menahan menjalarnya racun berba-
haya. Kemudian ia menotok urat nadi sambil
berdiri di depannya siap melindungi serangan-
serangan si pemuda yang mungkin datang
lagi
Mendadak ruang tengah telah terbakar
habis. Rombongan penari benar-benar telah
menyerbu. Kedua kepala kampung yang
bemasib malang kena ditumpas mati, Tubuh
mereka terjengkang di dekat ambang pintu
dan sebentar saja telah digerumit nyala api.
Melihat bahaya, si pemuda tak mempedu-
likan kedua pusaka sakti yang masih ter-
genggam erat-erat dalam tangan Wayan
Suage. Pikimya, yang penting aku harus me-
nyingkir. Kedua pusaka itu perlahan-lahan
akan dapat kujejak di kemudian hari,
Tubuh Sapartinah dan Sanjaya diringkusnya
erat-erat kemudian ia meloncat menubruk din-
ding. Dinding rumah terbuat dari papan. Di
ujung sana telah terbakar hangus. Itulah se-
babnya sisa dinding tidak sekokoh semula.
Maka dengan mudah si pemuda dapat meng-
gempur roboh dan melesat melintasi lautan
api. -
89Wirapati tak dapat berpikir lama-lama. la
harus segera mengambil keputusan. Dilihat-
nya tubuh Rukmini dan anaknya menggeletak
di atas tanah. Untuk menolong mereka sekali-
gus tidaklah mungkin, sedangkan rombongan
penari mulai menghujani senjata. Pedang,
tombak dan belatinya dilontarkan membabi
buta.
Wirapati tak menjadi gugup. la mengendap-
kan kepalanya sambil menyabetkan belatinya.
Dengan kecekatan yang telah dilatihnya
semenjak berguru di Gunung Damar, ia dapat
menangkis hujan senjata itu dengan sekali
sabet. Kemudian ia mencengkeram ikat ping-
gang Wayan Suage sambil berpikir, mereka
datang untuk merebut pusaka sakti. Aku tak
dapat membiarkan mereka mencapai_mak-
sudnya. Baiklah kuselamatkan dulu orang ini.
Mereka boleh mengejarku, masa aku tak
mampu.
la melesat ke dinding. Seperti laku
da, ia menggempur dinding dan melintasi laut-
an api. la mendengar rombongan penari itu
berteriak-teriak tinggi. Tapi tak usahlah dia
khawatir, Karena lautan api menjadi batas
pagar yang cukup sentosa.
"Kejar dial” terdengar suara si tinggi
jangkung yang telah dikenalnya, "Pusaka ada
90
padanya. Perempuan dan anak itu, biar aku
yang mengurusi.”
Mendengar seruan si tinggi jangkung, hati
Wirapati bersyukur. Rukmini dan anaknya
pasti dapat diselamatkan. Sekarang ia me-
musatkan perhatiannya ke tujuan melarikan
dir, Ke mana dia akan lari? Dalam gelap, ia
kehilangan kiblat arah. Lagi pula jalan Desa
Karangtinalang sama sekali belum dikenalnya.
‘Tanpa berpikir ia lari terus dan lari terus. la
mendengar desa menjadi ribut oleh kentungan
tanda bahaya. Kentungan tanda bahaya itu
segera disahut dari desa ke desa.
Celaka! pikimya dalam hati. Kalau aku lewat
jalan besar aku kena cegat penduduk desa.
Baiklah aku menyeberang sawah, moga-moga
hilanglah jejakku. O hujan, turunlah kau!
Kalau tadi ia meresa dirintangi turunnya
hujan kini ia berdoa sebaliknya. Larinya diper-
cepat dan dipercepat. Ia tak mengenal lelah
sampai akhimya tak terdengar lagi kentung
tanda bahaya. Dengan hati lega ia memper-
lambat larinya. la mencium daun-daun hutan.
muncullah harapan untuk membebaskan diri.
Sekarang ia menaruh Wayan Suage di atas
tanah, la memeriksa lukenya. Temyata Wayan
Suage jatuh pingsan, karena darahnya berce-
cer sepanjang jalan.
91