Download as rtf, pdf, or txt
Download as rtf, pdf, or txt
You are on page 1of 359

FINALISASI DISERTASI

PRINSIP KEADILAN DALAM PEMBAGIAN HARTA BERSAMA AKIBAT


PERCERAIAN PADA PENGADILAN AGAMA

Diajukan oleh:
Siddiki

NBI: 03.122.0.0308

PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA
2017
2

i
FINALISASI DISERTASI

PRINSIP KEADILAN DALAM PEMBAGIAN HARTA BERSAMA AKIBAT


PERCERAIAN PADA PENGADILAN AGAMA

Diajukan Sebagai Syarat


untuk Menyelesaikan Program Doktor Ilmu Hukum
Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Diajukan oleh:
Siddiki

NBI: 03.122.0.0308

PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA
3

2017

ii
4

ABSTRACT

Based on the theory of justice, the theory of authority and the


maslahah theory, the researcher finds that the law applied in the
Religious Court during this time about the process of divorce settlement
case can be completed. The researcher found that the practice of divorce
settlement proceedings in the Religious Courts that had been running
was the interpretation of previous officials against the law. Formerly for
the sake of the authority of the Religious Courts, what kind of practice is
right now. But for now it needs to be refined by holding on to the
principle of justice done with simple, fast and light cost. The researchers'
discovery of the new law on divorce settlement proceedings in the
Religious Courts does not necessarily leave the provisions of the law, but
is a contribution to increasingly providing legal protection and justice to
justice seekers.
When marriage as a legal event has a legal effect on the property
acquired during the marriage, so too is the case of divorce law. Marriage
raises legal consequences for the emergence of joint husband and wife
property. When a divorce occurs, it causes the consequences of the
common property law to be divided in two.
The issue of determining the categories of joint treasures that have
been going on does not distinguish who produced the treasure.
According to researchers this concept is not in accordance with the
principle of protection by husbands to the wife and husband's principle is
required to meet all household needs. Because by entering the category
of property obtained by a wife into a joint property means the husband
does not protect his wife and also does not meet all the needs of
household.
Next on the sharing of common property, according to the
researchers, the norm that has been running can be developed to be more
perfect. The share of joint property to be half as big between husband
and wife has gone according to the Compilation of Islamic Law and the
norm of jurisprudence. Then came a new tradition that was caused by a
lawsuit against the old tradition by the seeker of justice.
keywords: divorce, joint property and justice
5

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah …………………………... ............... ...... 1

1.2. Rumusan Masalah ..........………………………..........…............... 55

1.3. Tujuan Penelitian ...…………………………………………...... ... 55

1.4. Manfaat Penelitian .……………………………………… ......... 55

1.5. Orisinalitas Penelitian ……………………………............ 57

1.6. Landasan Teori dan Penjelasan Konsep ..…………….......... 57

1.6.1. Landasan Teori ……………………………................ 57

1.6.1.1. Teori Keadilan ……………. ................................. 60

1.6.1.2. Teori Tujuan Hukum ……………………............. 69

1.6.1.3. Teori Perlindungan Hukum ……………..... ........ 75

1.6.1.4. Teori Kewenangan ………………….....…….... 78

1.6.1.5. Teori Maslahat ........................................................ 83

1.6.2. Penjelesan Konsep ………………………………….. 86

1.6.2.1. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia .................... 87

1.6.2.2. Kewenangan Mahkamah Agung ............................ 90

1.6.2.3. Kewenangan Peradilan Agama ............................... 93

1.6.2.4. Hukum Acara pada Pengadilan Agama .................. 96

1.6.2.5. Hakim dan Penemuan Hukum ................................ 10


6

1.6.2.6. Prinsip-prinsip Hukum dalam Kaidah Fiqh .......... 7

1.6.2.7. Harta Bersama ...................................................... 11

1.7. Metode Penelitian ………………………………….......... 3

1.7.1. Jenis Penelitian ...………………………………………… 11

1.7.2. Pendekatan Masalah ..…………………………………… 9

1.7.3. Sumber Bahan Hukum ...………………………………… 12

1.7.4. Teknik Pengumpulan dan Pengelolaan Bahan Hukum ........ 5

1.7.5. Analisis Bahan Hukum ..……………………...…............... 12

1.8. Pertanggungjawaban Sistematika ………............................... 5

BAB II. PRINSIP KEADILAN DALAM PENYELESAIAN PERKARA 12

PERCERAIAN PADA PENGADILAN AGAMA 8

2.1. Perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ..... 13


2.1.1. Pengertian perkawinan ...................................................
2.1.2. Sahnya Perkawinan ......................................................... 1
2.1.3. Tujuan Perkawinan ........................................................
2.1.4. Prosedur Perkawinan ..................................................... 13
2.1.5. Akibat Hukum Terjadinya Perkawinan terhadap Hak
dan Kewajiban Suami-Istri ............................................. 3
2.1.6. Akibat Hukum Terjadinya Perkawinan terhadap Hak
dan Kewajiban Anak-anak ................................................ 13
2.1.7. Akibat Hukum Terjadinya Perkawinan terhadap Hak dan
3
Kewajiban Harta Benda dalam Perkawinan (Harta
13
Bawaan dan Harta Bersama) ...........................................
2.2. Putusnya Perkawinan serta Akibat Hukumnya ............................ 4
2.2.1. Alasan-alasan Perceraian ....................................................
2.2.2. Prosedur Perceraian/Proses Menyelesaikan Perkara
Perceraian pada Pengadilan Agama ...................................
1. Perkara Cerai Talak .....................................................
2. Penyelesaian Perkara Cerai Talak Menurut Buku II ....
3. Perkara Cerai Gugat ..................................................... 13
4. Penyelesaian Perkara Cerai Gugat Menurut Buku II ...
5. Waktu Tunggu (iddah) ..... ........................................... 8
6. Mut’ah dan Nafkah Iddah ............................................
7

2.2.3. Akibat Hukum Terjadinya Perceraian terhadap Anak ......... 13

2.2.4. Akibat Hukum Terjadinya Perceraian Terhadap Harta 8

Benda dalam Perkawinan ................................................... 14

2.3. Fungsi Mediasi dalam Proses Penyelesaian Perkara pada 6


Pengadilan Agama..........................................................................
2.4. Prinsip Keadilan dalam Penyelesaian Perkara Perceraian ............. 18

BAB III. PRINSIP KEADILAN DALAM PEMBAGIAN HARTA 4

BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN PADA 18

PENGADILAN AGAMA 9

1.1. Pengertian Harta Bersama .....……………. . . .......………............

1.2. Masa Terbentuknya Harta Bersama ................................................ 20

1.3. Batasan-batasan Harta Bersama ................................................. ... 1

1.4. Harta Bersama dalam Perkawinan Serial

(Beristeri Lebih dari Satu/Poligami) ............................................. 20

1.5. Cara Mengajukan Sengketa Harta Bersama ................................. 6

1.6. Pemeriksaan Sengketa Harta Bersama ..........................................

1.7. Pembagian Harta Bersama ............................................................

1.8. Prinsip Keadilan Dalam Pembagian Harta Bersama Pasca 21

Perceraian pada Pengadilan Agama .............................................. 2

BAB IV. PENUTUP 21

4.1. Kesimpulan …………………..………..……………………….... 7

4.2. Saran ……………………………………....………………… 22

PUSTAKA...................……………………………..……………… 3
8

22

24

25

25

26

26

26

26

26

27

28
9

30

30

30

31

31

32

32

32

8
10

33

34

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


11

Perkawinan menurut agama Islam bertujuan untuk memenuhi tuntunan

ajaran agama dalam kerangka membangun keluarga yang harmonis dan sejahtera.

Harmonis artinya adalah terciptanya keseimbangan antara terpenuhinya hak dan

terlaksananya kewajiban semua anggota keluarga. Sejahtera adalah terciptanya

ketenangan lahir dan batin dengan dipenuhinya keperluan hidup yang bersifat

lahiriyah/fisik dan batiniyah/spritual. Dengan terwujudnya keharmonisan dan

kesejahteran dalam keluarga, maka timbul kebahagiaan dalam anggota keluarga

yang berupa terjalinnya kasih sayang di antara mereka.1

Allah menciptakan manusia dengan naluri kemanusian yang bersifat

biologis yang harus dipenuhi seperti kebutuhan akan makan, minum dan tidur

serta kebutuhan-kebutuhan fisik lainnya. Dalam konsep Islam, pemenuhan

terhadap kebutuhan-kebutuhan yang bersifat fisik ini adalah dalam kerangka

mengikuti dan tunduk kepada fitrah yang diciptakan oleh Allah. Pemenuhan

terhadap kebutuhan biologis yang berupa perkawinan adalah dalam kerangka

mengikuti perintah Allah. Sehingga manusia dalam melaksanakan perkawinan

harus tunduk dan patuh pada aturan-aturan yang diturunkan oleh Allah lewat

utusan-Nya yaitu Nabi Muhammad.2

Ada dua ayat di dalam Al-Qur’an yang menggambarkan bahwa manusia

diciptakan oleh Allah dengan kecenderungan untuk mencintai wanita, anak-anak

dan harta; dan bahwa dalam memenuhi kebutuhan naluri fisiknya manusia harus

tunduk pada ketentuan Allah. Pertama dijelaskan di dalam surat Ali Imran ayat 14
1
Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN di Jakarta, Ilmu Fiqh,
Cetakan ke-2, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,
Jakarta, 1984/1985, hlm. 62.

2
Ibid.
12

yang isinya menjelaskan bahwa manusia diciptakan oleh Allah dihiasi dengan

kesenangan akan wanita, anak dan harta. Kedua pada surat Ar Rum ayat 30 yang

artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama Allah dengan lurus,

ketentuan Allah yang menciptakan manusia sesuai dengan fitrahnya, tidak ada

yang bisa mengganti kepada ciptaan Allah, agama Allah adalah agama yang lurus,

tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya.”

Menurut Islam perkawinan adalah perbuatan hukum yang mempunyai

pengaruh yang sangat besar terhadap orang yang melakukan perkawinan, bagi

masyarakat dan negara. Keluarga yang dibangun melalui perkawinan adalah

susunan yang paling kecil dan mendasar dalam pembinaan masyarakat. Hubungan

perkawinan adalah ikatan lahir dan batin yang mempunyai tanggung jawab

berkesinambungan dari dunia sampai akhirat nanti. Perkawinan bukan hanya

merupakan hubungan manusia dengan manusia, tetapi juga merupakan hubungan

manusia dengan Tuhannya. Bentuk hubungan dalam perkawinan adalah bersifat

vertikal dan horizontal.3

Dari tujuan umum perkawinan tersebut yang meliputi tujuan lahiriyah dan

batiniyah, dapat diperinci tujuan perkawinan bagi manusia menjadi lima, yaitu:

1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan, atau untuk regenerasi


kehidupan manusia sehingga jenis ciptaan Allah yang bernama manusia
tidak punah dan terus berlanjut hingga waktu yang sangat lama.
2. Memenuhi hajat kebutuhan manusia dan menyalurkan kebutuhan
biologisnya secara halal serta menumpahkan kasih sayang kepada
keluarga.
3. Memenuhi tuntunan ajaran agama dalam rangka mencari keridlaan
Allah, memelihara diri dari perbuatan maksiat dan menghindari
kerusakan dalam masyarakat.
3
Bakri A. Rahman, Drs. dan Ahmad Sukarja, S.H., Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-
undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, Jilid I, PT Hidakarya Agung, Jakarta, 1981, hlm. 7.
13

4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab terhadap


keluarga dengan menerima hak serta melaksanakan kewajiban melalui
cara mencari rizki Allah secara halal.
5. Membangun rumah tangga dan keluarga sebagai unit terkecil dari
unsur masyarakat serbagai dasar yang fundamental dalam menciptaklan
kedamaian dan ketenteraman secara soaial.4

Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974,

dan diumumkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor

1 (selanjutnya dalam penelitian ini disebut dengan UU Perkawinan) Bab I

Dasar Perkawinan Pasal 1 dirumuskan pengertian perkawinan adalah:

“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang

bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari rumusan Pasal 1

UU Perkawinan ini ada empat unsur yang dapat dipahami dari perkawinan, yaitu:

1. Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin, artinya perkawinan


merupakan peristiwa hukum yang bersifat akad secara lahiriyah
sekaligus bersifat batiniyah.
2. Perkawinan dilakukan antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri. Maksudnya sebagai suami istri, perkawinan
dilakukan untuk selamanya, secara lahiriyah dan batiniyah, kekal abadi.
3. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal, juga harus dipahami secara lahiriyah dan batiniyah,
sehingga perkawinan selain bersifat pemenuhan hasrat biologis
manusia, juga bersifat ukhrowi yang berlanjut hingga di akhirat nanti.
Tujuan perkawinan tidak hanya bersifat duniyawiyah, tetapi juga
mengandung maksud yang ukhrowiyah.
4. Perkawinan dilakukan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sebagai konsekwensi dari dasar perkawinan yang religius, maka akad
dan tujuan perkawinan mengandung sifat lahir dan batin.5

4
Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN di Jakarta, Op. Cit, hlm.
64.
14

Berkenaan dengan Pasal1 UU Perkawinan tersebut dijabarkan di dalam

penjelasannya yang tercantum dalam Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019

sebagai berikut:

Pasal 1
Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, di mana Sila yang
pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan
mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sehingga
perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi unsur
bathin/rohani, juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk
keluarga yang bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula
merupakan tujuan perkawinan, Pemeliharaan dan Pendidikan menjadi hak
dan kewajiban orang tua.

Maksud dari batin dalam perkawinan yang disebutkan dalam Pasal 1 UU

Perkawinan adalah bahwa di dalam jiwa suami istri yang melakukan perkawinan

terpatri niat yang mendalam untuk hidup bersama dalam bangunan rumah tangga

secara abadi. Karena itu bangunan rumah tangga perkawinan harus diusahakan

untuk selalu dibina sehingga terjaga keharmonisannya. Sebagai upaya memelihara

perkawinan untuk mencapai tujuan abadi adalah dengan cara mendapatkan

keturunan yang harus dipelihara dan dididik secara baik dan benar sesuai dengan

tuntunan ajaran agama Islam.6

Perkawinan merupakan peristiwa hukum yang mempunyai akibat hukum.

Sebagai sebuah akad, maka perkawinan setelah dilakukan akad akan

menimbulkan hak dan kewajiban bagi yang melakukannya. Akibat hukum yang

paling utama dari terlaksananya akad nikah adalah halalnya “hubungan badan”

antara suami dan istri. Sebelum adanya akad nikah, hubungan badan antara wanita

5
Bakri A. Rahman, Drs. dan Ahmad Sukarja, Op. Cit, hlm. 13.

6
Ibid, hlm. 14.
15

dan pria yang bukan mahram hukumnya haram dan merupakan perbuatan zina

yang diancam dengan hukuman dosa besar.7

Menurut UU Perkawinan hak dan kewajiban suami istri terkandung di

dalam Bab VI tentang Hak dan Kewajiban Suami Istri. Di dalam Pasal 30 UU

Perkawinan disebutkan bahwa “suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk

menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.”

Suami dan istri sama-sama mempunyai beban kewajiban yang bertujuan

menegakkan rumah tangga. Kewajiban itu sifatnya luhur, bukan yang

memberatkan, karena dengan dilaksanakannya kewajiban itu maka rumah

tangganya menjadi tegak dalam suasana yang tenteram dan damai.

Posisi suami dan istri mempunyai porsi yang seimbang sesuai dengan

fungsi dan perannya masing-masing. Di dalam Undang-undang Perkawinan suami

diberi tempat yang wajar, tidak dalam posisi yang paling menentukan. Demikian

juga istri tidak dikecilkan perannya sehingga ia juga mempunyai hak untuk

mengatur urusan rumah tangga. Mengenai keseimbangan peran suami istri di

dalam UU Perkawinan disebutkan sebagai berikut:

Pasal 31
(1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup
bersama dalam masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

Di dalam Pasal 31 ayat (1) UU Perkawinan merupakan suatu pernyataan

adanya keseimbangan antara suami istri, tidak hanya di dalam intern kehidupan

7
Dedi Susanto, Kupas Tuntas Masalah Harta Gono-gini, Buku Pegangan Keluarga, Akademisi
dan Praktisi, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2011, hlm. 63.
16

rumah tangga, tetapi juga di dalam kehidupan masyarakat. Dalam Pasal 31 ayat

(2) UU Perkawinan dijelaskan mengenai keseimbangan hak dan kedudukan suami

istri, yaitu keduanya sama-sama berhak melakukan perbuatan hukum. Suami

berhak melakukan perbuatan hukum, istri demikian juga berhak melakukan

perbuatan hukum. Peran yang dipikul oleh suami dan istri dalam rumah tangga

posisinya ditegaskan dalam Pasal 31 ayat (3) UU Perkawinan yaitu suami

berposisi sebagai kepala keluarga dan isteri berposisi sebagai ibu rumah tangga.

Keduanya harus saling mengisi sesuai dengan perannya masing-masing untuk

menegakkan rumah tangga.

Mengenai keseimbangan adanya kewajiban bagi suami dan istri dalam

mengurus rumah tangga menurut Undang-undang Perkawinan yaitu:

Pasal 34
(1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.
(3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing
dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan.

Kewajiban suami menurut ketentuan ini adalah:

1. Suami wajib melindungi isterinya. Perlindungan suami terhadap istrinya

sangat luas, bisa dalam bentuk fisik, juga bisa dalam bentuk non fisik.
2. Konsekwensi dari bentuk kewajiban suami untuk melindungi istrinya,

maka ia harus memberi segala keperluan hidup berumah tangga. Kewajiban ini

harus dilaksanakan oleh suami sesuai dengan kemampuannya.

Sedangkan mengenai kewajiban istri di dalam rumah tangganya adalah istri wajib

mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya. Dari ketentuan ini suami dan istri

sama-sama berperan aktif dalam mengurus rumah tangga. Jika kewajiban suami
17

tidak dilaksanakan, maka berakibat kepada tidak terlaksananya kewajiban istri

untuk mengurus rumah tangga secara baik.8

Undang-undang Perkawinan juga mengatur mengenai harta yang diperoleh

di dalam masa selama perkawinan suami dan istri. Dimuat dalam Bab VII tentang

Harta Benda Dalam Perkawinan Pasal 35 ayat (1) bahwa harta benda yang

diperoleh selama dalam masa perkawinan menjadi harta bersama suami dan istri.

Di dalam Pasal 35 ayat (2) dinyatakan bahwa harta bawaan dari masing-masing

suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah

atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak

tidak menentukan lain. Dari ketentuan ini, harta yang berada dalam kekuasaan

suami dan istri selama dalam masa perkawinan ada tiga jenis:

1. Harta bersama;
2. Harta bawaan; dan
3. Harta yang diperjanjikan oleh suami dan istri.

Harta yang diperoleh dari hadiah atau warisan dan harta yang diperoleh

sebelum masa perkawinan dilangsungkan dari suami atau istri merupakan harta

bawaan masing-masing. Selain dari harta bawaan dari suami dan istri merupakan

harta bersama, kecuali keduanya memperjanjikan lain sebelum akad nikah

dilangsungkan. Jika ada perjanjian antara suami istri mengenai harta yang

diperoleh semasa dalam perkawinan, maka status harta itu ditentukan seperti yang

sudah dituangkan dalam perjanjian itu.

Berdasarkan ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan harta bersama

antara suami dan istri adalah harta yang diperoleh selama dalam masa perkawinan

berlangsung. Tidak ada syarat atau ketentuan bahwa harta bersama itu dihasilkan
8
Ibid, hlm. 86.
18

dari hasil bekerja suami atau istri. Salah satu pihak saja yang bekerja atau

berpenghasilan, suami atau istri, maka harta yang dihasilkannya menjadi harta

bersama. Suami yang bekerja dan berpenghasilan, sedangkan istri hanya berada di

rumah tidak bekerja, maka harta yang dihasilkan suami itu merupakan harta

bersama antara suami dan istri.


Awal terbentuknya harta bersama dimulai sejak saat terjadi akad

perkawinan sampai perkawinan bubar. Setelah akad nikah terjadi atau setelah ijab

diucapkan oleh wali calon istri dan kabul oleh calon suami, maka sejak saat itu

dimulai masa terbentuknya harta bersama. Masa akhir dari terbentuknya harta

bersama ialah setalah perkawinan berakhir atau putus, yaitu ketika terjadi

perceraian atau meninggalnya suami atau istri. dengan berakhirnya masa

perkawinan, berakhir pula terbentuknya harta bersama.9


Perbuatan hukum terhadap harta bersama bisa dilakukan jika kedua suami

dan istri setuju terhadap tindakan itu. Bila suami yang akan melakukan tindakan

terhadap harta bersama, maka ia harus terlebih dahulu disetujui oleh istrinya,

demikian juga sebaliknya. Sedangkan terhadap harta pribadi suami dan terhadap

pribadi istri, maka masing-masing suami dan istri berwenang untuk bertindak

terhadap hartanya sendiri.


Di dalam UU Perkawinan disebutkan:

Pasal 36
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum
mengenai harta bendanya.

9
M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Pustaka Kartini,
1993, Jakarta, hlm. 272-278.
19

Melihat dari kesakralan tujuan dari perkawinan dari sudut pandang agama

serta arti pentingnya buat tatanan kemasyarakatan, maka tidak seorangpun yang

menginginkan perkawinannya yang dilaksanakan dengan niat yang baik dan

ikhlas berujung pada perceraian. Banyak alasan mengapa orang cenderung

berusaha mempertahankan mahligai rumah tangganya, meskipun banyak masalah

yang menggelutinya. Susah payahnya perjalanan menuju perkawinan selalu

memberi semangat kekompakan dalam mengarungi perjalanan perkawinan.

Karena menjunjung tinggi sifat perkawinan yang suci, banyak orang berusaha

agar perceraian tidak terjadi.10

Hanya karena dalam kehidupan rumah tangga sudah tidak ada suasana

yang harmonis, tidak lagi saling mencintai dan tidak saling menghormati serta

tidak ada komunikasi, karena percekcokan yang terjadi secara terus menerus,

tidak adanya saling mempercayai antara satu dengan yang lain, sehingga tidak ada

kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga, maka secara terpaksa pilihan

perceraian dilakukan. Keadaan rumah tangga yang tidak tenteram, meskipun

sudah diusahakan oleh berbagai pihak untuk tetap bersatu dalam perkawinan,

perceraian dipilih sebagai jalan terakhir untuk mengatasi pilihan-pilihan yang

sudah buntu. Karena kalau tetap dipertahankan, tujuan perkawinan untuk

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal sesuai Pasal 1 UU

Perkawinan tidak akan tercapai.

Usaha untuk tetap mempertahankan pernikahan dari terjadinya perceraian

memang sangat sulit, apalagi apabila hubungan rumah tangga sudah tidak

10
Jurnal Hukum Perkawinan, http://www.jurnalhukumperkawinan.com/10002/5-alasan-untuk-
tetap-mempertahankan-pernikahan, diakses pada hari Jum’at taggal 5 Juni 2015 jam 9:44.
20

harmonis dan sering terjadi pertengkaran. Perceraian merupakan jalan terakhir

yang harus ditempuh untuk menjaga timbulnya aspek lain yang dapat mengancam

kehidupan keluarga, baik secara fisik maupun psikis. Perceraian bukan perbuatan

baik, tetapi harus dilakukan untuk mencegah timbulnya akibat yang tidak baik

yang dikhawatirkan membawa implikasi buruk yang lebih besar.11

Banyak pasangan suami-istri yang memilih untuk tetap bertahan dalam

perkawinan meskipun dalam keluarganya tidak ada kebahagian karena seringnya

terjadi perselisihan dan pertengkaran. Ada beberapa alasan mengapa terjadi yang

demikian:

1. Tidak Ada Yang Sempurna (Nobody’s Perfect)


Semua pasangan suami-istri pasti mempunyai masalah dalam menjalani

mahligai rumah tangganya. Berbagai problem rumah tangga akan selalu

muncul sepanjang hubungan suami-istri tetap berlangsung. Bercerai lalu hidup

sendiri atau menikah lagi dengan orang lain, belum tentu memberikan keadaan

yang lebih baik dari sebelumnya. Memilih bertahan dalam perkawinan

kemudian mencari solusi saling bekerja sama dalam menyelesaikan setiap ada

masalah yang timbul dan saling berkompromi ketika terjadi konflik serta

menurunkan ego berdasarkan cinta yang dilandasi iman agama.12


2. Tidak Mudah Menemukan Cinta Baru
Tabel statistik yang diumumkan oleh Statistical Abstract of the United States

mengenai Status Perkawinan Penduduk Amerika Serikat pada tahun 2010,

11
Jurnal Hukum Perkawinan, http://www.jurnalhukumperkawinanindonesia.com/10002/5-alasan-
untuk-tetap-mempertahankan-pernikahan, diakses pada hari Jum’at taggal 5 Juni 2015 jam 9:44.

12
Jurnal Hukum Perkawinan, http://www.jurnalhukumperkawinanindonesia.com/10002/5-alasan-
untuk-tetap-mempertahankan-pernikahan, diakses pada hari Jum’at taggal 5 Juni 2015 jam 9:44.
21

ditemukan 30,4 % pria dan 23,6 % wanita pada usia yang layak menikah (di

atas 40 tahun) belum pernah menikah.13


Dari data statistik ini memberikan gambaran, ketika seseorang memilih

bercerai akan sulit menemukan cinta baru, apalagi usia yang bercerai sudah

tidak muda lagi. Sehingga mempertahankan perkawinan merupakan pilihan

yang lebih memberikan harapan dalam membahagiakan kehidupan.14


3. Demi Anak
Memutuskan untuk tidak bercerai karena pertimbangan demi anak. Dari hasil

penelitian memberikan gambaran bahwa anak-anak dari orangtua yang bercerai

lebih banyak mengalami masalah dalam prilaku daripada anak-anak yang

berasal dari orangtua yang utuh perkawinannya.15


4. Masalah Keuangan
Banyak rumah tangga yang mengalami masalah di antaranya karena problem

keuangan. Penghasilan tidak mencukupi sementara mencari pekerjaan yang

lebih banyak penghasilannya sangat sulit; atau usaha yang selama ini

memberikan penghasilan yang cukup atau bahkan berlebih mengalami

penurunan sehingga harus mengurangi belanja pokok sehari-hari. Bekerja sama

dengan tetap mempertahankan perkawinan menjadi pilihan dengan harapan

kerjasamanya ini bisa mengatasi masalah keuangan keluarga.16

13
https://en.wikipedia.org/wiki/Statistical_Abstract_of_the_United_States, diakses pada hari Rabu,
tanggal 9/8/2017 jam 18:31 dan http://www.infoplease.com/ipa/A0193922.html, diakses pada hari
Jum’at taggal 5 Juni 2015 jam 10:30.

14
Jurnal Hukum Perkawinan, http:// www.jurnalhukumperkawinanindonesia.com/10002/5-alasan-
untuk-tetap-mempertahankan-pernikahan, diakses pada hari Jum’at taggal 5 Juni 2015 jam 9:44.

15
Jurnal Hukum Perkawinan, http:// www.jurnalhukumperkawinanindonesia.com/10002/5-alasan-
untuk-tetap-mempertahankan-pernikahan, diakses pada hari Jum’at taggal 5 Juni 2015 jam 9:44.

16
Jurnal Hukum Perkawinan, http://www.jurnalhukumperkawinanindonesia.com/10002/5-alasan-
untuk-tetap-mempertahankan-pernikahan, diakses pada hari Jum’at taggal 5 Juni 2015 jam 9:44.
22

Di dalam hukum Islam perceraian dibolehkan sebagai alternatif terakhir

dalam memecahkan problem rumah tangga yang tidak berkesudahan. Nabi

Muhammad sudah mengingatkan umatnya dengan sabdanya: “paling dimurkainya

perbuatan halal oleh Allah adalah thalaq.” Artinya perceraian merupakan proses

terakhir dari berbagai cara dalam menyelesaikan masalah rumah tangga. Ada jalan

yang mesti dilalui untuk sampai kepada perceraian, dan jalan itu harus ditempuh

secara sungguh-sungguh. Karena meskipun perceraian dibolehkan, tetapi Allah

sangat memurkainya. Allah-pun marah apabila manusia memilih alternatif

perceraian, karena itu – kalau dapat – janganlah cerai diambil sebagai cara

pemecahan masalah.17

Angka pasangan yang bercerai di Indonesia terus meningkat drastis. Data

dari Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA RI) mencatat,

pada tahun 2001 ada 159.299 perkara yang masuk ke pengadilan agama, pada

tahun 2006 ada 167.807 perkara, dan pada 2015 ada 445.568 perkara. Dari

perkara yang masuk itu pada tahun 2001 ada 144.912 perkara cerai, pada tahun

2007 meningkat menjadi 175.088 perkara, pada tahun 2014 meningkat pula

menjadi 382.231 perkara, tetapi pada tahun 2015 menurun dari tahun sebelumnya,

yaitu ada 347.425 perkara. Dari perkara cerai yang masuk itu, pada tahun 2001

ada perkara cerai gugat (cerai yang diajukan oleh istri) sebanyak 83.319, cerai

talak (cerai yang diajukan oleh suami) ada 61.593 perkara. Pada tahun 2014 ada

17
Jurnal Hukum Perkawinan http://www.jurnalhukumperkawinanindonesia.com/10002/5-alasan-
untuk-tetap-mempertahankan-pernikahan, diakses pada hari Jum’at taggal 5 Juni 2015 jam 9:44.
23

268.381 cerai gugat dan ada 113.850 cerai talak. Dan pada tahun 2015 ada

249.679 cerai gugat dan ada 97.749 cerai talak.18

Dari data Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA RI)

tersebut ada peningkatan jumlah perkara perceraian dari tahun ke tahun. Rentang

waktu dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2015 dalam perkara cerai gugat ada

kenaikan 71.9 %. Sedangkan dalam perkara cerai talak ada kenaikan 28.1 %.

Kelihatan dari data tersebut jumlah perkara cerai gugat jumlahnya lebih tinggi dari

cerai talak. Artinya cerai yang terjadi di masyarakat yang telah diputus oleh

pengadilan agama lebih banyak yang diajukan oleh istri.19

Banyak faktor yang menyebabkan pasangan suami-istri bercerai. Semakin

majunya ilmu pengetahuan dan teknologi menambah beragamnya alasan yang

menjadi pemicu terjadinya perceraian. Dari isi faktor penyebab perceraian pada

tahun 2015, dari keseluruhan perkara perceraian, ada 31.5 % karena disebabkan

tidak adanya keharmonisan di dalam rumah tangga, yaitu 110.354 perkara. Yang

disebabkan karena tidak adanya tanggung jawab dalam keluarga ada 25.5% atau

88.596 perkara. Kemudian perceraian yang disebabkan karena faktor ekonomi ada

23.4% atau 81.702 perkara. Lalu ada 8.2% perceraian yang disebabkan karena

faktor adanya pihak ketiga.20

18
Wahyu Widiana, Slide: Penguatan Peran dan Penataan Organisasi BP4, Disampaikan pada
Sosialisasi Mekanisme Pelaksanaan Bimbingan Perkawinan – Kemenag RI, Jakarta, 8 Desember
2016.

19
Ibid.

20
Ibid.
24

Tetapi Indonesia tidak termasuk ke dalam katagori 10 besar negara dengan

tingkat perceraian tinggi. Setiap tahun Badan Demografi PBB merilis negara

dengan angka perceraian paling tinggi di dunia. Dari hasil survei statistik di

seluruh dunia, ada 10 negara dengan tingkat perceraian tertinggi di dunia. Urutan

pertama, Rusia dengan tingkat perceraian lima per 1000 orang. Berikutnya

Belarus, pecahan negara Soviet memiliki tingkat perceraian 3,8 per 1000 orang.

Ukraina memiliki angka perceraian 3,6 per 1000 orang. Moldova, negara kecil

pecahan Soviet di antara Rumania dan Ukraina memiliki angka 3,5 perceraian per

1000 orang. Kepulauan Cayman, memiliki tingkat perceraian 3,4 per 1000 orang.

Amerika Serikat secara keseluruhan tingkat perceraian menempati urutan ke-5 di

dunia, setiap 1000 orang penduduk AS, tingkat perceraian mencapai 3,4.

Bermuda, memiliki angka perceraian cukup tinggi, 3.3 per 1000 orang. Kuba

memiliki 3,2 perceraian setiap 1000 orang. Lithuania mempunyai angka

perceraian 3,1 per setiap 1000. Republik Cekome miliki angka perceraian 3 per

1000 orang.21

Secara yuridis hukum perceraian di Indonesia diatur di dalam Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang

disahkan oleh Presiden Republik Indonesia dan diundangkan oleh

Menteri/Sekretaris Negara Republik Indonesia pada tanggal 2 Januari 1974,

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, beserta dengan

penjelasannya, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019 (selanjutnya di dalam

penelitian ini disebut dengan UU No. 1/1974); dan Peraturan Pemerintah

21
http://www.life.viva.co.id/news/read/195848-10-negara-dengan-tingkat-perceraian-tertinggi,
diakses jam 10:20 tanggal 11/6/2015.
25

Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang ditetapkan oleh Presiden Republik

Indonesia dan diundangkan oleh Menteri/Sekretaris Negara Republik Indonesia

pada tanggal 1 April 1975, (selanjutnya dalam penelitian ini ditulis dengan PP No.

9/1975). Juga diatur di dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan agama yang disahkan oleh Presiden Republik

Indonesia dan diundangkan oleh Menteri/Sekretaris Negara Republik Indonesia

pada tanggal 29 Desember 1989, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

1989 Nomor 49, berserta dengan penjelasannya, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3400, yang diubah dengan Undang Undang Republik

Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang disahkan oleh Presiden Republik

Indonesia dan diundangkan di Jakarta oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi

Manusia Republik Indonesia pada tanggal 20 Maret 2006, Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 22, beserta penjelasannya, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611, yang kemudian diubah

kembali dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 50 tahun 2009

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama yang diisahkan oleh Presiden Republik Indonesia dan

diundangkan oleh Menteri hukum dan hak Asasi Manusia Republik indonesia

pada tanggal 29 oktober 2009, Lembaran negara republik indonesia tahun 2009

nomor 159, beserta penjelasannya, Tambahan lembaran negara republik indonesia

nomor 5078 (untuk selanjutnya di dalam penelitian ini disebut dengan UU


26

Peradilan Agama). Selain itu juga berpegang pada Instruksi Presiden Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Presiden Republik Indonesia tanggal 10 Juni 1991

tentang menyebarkan luaskan Kompilasi Hukum Islam (K.H.I) yang terdiri dari:

a. Buku I tentang Hukum Perkawinan, b. Buku II tentang Hukum Kewarisan, c.

Buku III tentang Hukum Perwakafan, serta peraturan lain yang berkaitan.22

Dalam Pasal 65 UU Peradilan Agama diatur bahwa perceraian hanya dapat

dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan

berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Pasal 65 UU

Peradilan Agama ini merupakan pasal pokok dari proses perceraian yang diatur

oleh undang-undang. Norma yang ada di dalam pasal itu adalah perceraian hanya

dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, Pengadilan berusaha mendamaikan

kedua belah pihak, dan pengadilan tidak berhasil mendamaikan kedua belah

pihak.

Menurut ketentuan pokok berdasarkan Pasal 65 UU Peradilan Agama

tersebut secara positivis ada tiga hal yang menjadi unsur di dalam perkara

perceraian:

1. Pengadilan yang menentukan keabsahan perceraian.

2. Setelah menerima perkara perceraian, pengadilan harus berusaha

mendamaikan suami dan isteri yang bersangkutan.

3. Pengadilan dapat mengabulkan permohonan atau gugatan cerai jika

usaha perdamaian tidak berhasil.

22
Arto, H.A. Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Cetakan ke-1,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1996, hlm. ..
27

Dalam Bab IV Pasal 54 UU Peradilan Agama ditentukan mengenai

Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama

adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang

ini. Dari ketentuan tersebut ada dua sumber hukum mengenai hukum acara yang

berlaku pada Pengadilan Agama:


1. Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Umum.
2. Hukum acara yang diatur secara khusus dalam Undang-undang ini,

yaitu Undang Undang tentang Peradilan Agama.


Dalam praktik di lembaga peradilan saat ini, Hukum Acara yang berlaku

secara garis besarnya pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum adalah:
1. Herzien Inlandsch Reglement (H.I.R) atau Reglemen Indonesia

yang Diperbaharui (R.I.B) Staatsblad 1941 Nomor 44 yang berlaku

sebagai hukum acara perdata di Indonesia berdasarkan pada Pasal 6

Undang Undang Darurat Tahun 1951 Nomor 1 untuk peradilan di Jawa

dan Madura.
2. Regelemen Acara Hukum untuk Daerah Luar Jawa dan Madura

(Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten

Java Enmadura (R.Bg) Staatsblad 1927 Nomor 227.


3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985

tentang Mahkamah Agung yang disahkan oleh Presiden Republik

Indonesia dan diundangkan oleh Menteri/Sekretaris Negara Republik

Indonesia pada tanggal 30 Desember 1985, Lembaran Negara Tahun 1985

Nomor 73, beserta penjelasannya, Tambahan Lembaran Negara nomor

3316, yang diubah dengan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 5


28

Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun

1985 tentang Mahkamah Agung yang disahkan oleh Presiden Republik

Indonesia dan diundangkan oleh Sekretaris Negara Republik Indonesia

pada tanggal 15 Januari 2004, Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2004 Nomor 9, beserta penjelasannya, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4359, dan diubah yang kedua kalinya dengan

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang Undang Nomor 14 TAHUN 1985 tentang

Mahkamah Agung yang disahkan oleh Presiden Republik Indonesia dan

diundangkan oleh Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik

Indonesia pada tanggal 12 Januari 2009, Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, beserta penjelasannya, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958 (selanjutnya disebut

dengan UU Mahkamah Agung).


4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman yang disahkan oleh Presiden Republik

Indonesia dan diundangkan oleh Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia pada tanggal 29 Oktober 2009, Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, beserta penjelasannya,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5076 (selanjutnya disebut dengan UU Kekuasaan Kehakiman.


5. Reglement op de Burgerlijk Rechtsvoerdering (RV atau Reglement

Hukum Acara Perdata untuk golongan Eropa: Staatsblad 1847 Nomor 52

dan Staatsblad 1849 Nomor 63).


29

6. Burgerlijke Wetboek (BW) atau disebut juga Kitab Undang-undang

Hukum Perdata Eropa.


7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1986 tentang

Peradilan Umum yang disahkan oleh Presiden Republik Indonesia

Soeharto dan diundangkan oleh Menteri/Sekretaris Negara Republik

Indonesia pada tanggal 8 Maret 1986, Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1987 Nomor 20, beserta penjelasannya, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3327, yang diubah dengan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2004 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 tahun 1986 yang disahkan oleh

Presiden Republik Indonesia dan diundangkan oleh Sekretaris Negara

Republik Indonesia pada tanggal 29 Maret 2004, Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, beserta penjelasannya,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379, dan

perubahan kedua kalinya dengan Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum yang disahkan oleh

Presiden Republik Indonesia dan diundangkan oleh Menteri Hukum Dan

Hak Asasi Manusia Republik Indonesia pada tanggal 29 Oktober 2009,

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 158, beserta

penjelasannya, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5077.23

23
Ibid. dan http://koirula.blogspot.co.id/2016/04/hukum-acara-perdata-peradilan-umum-dan.html,
diakses pada hari Kamis tanggal 17 Agustus 2017 jam 16:49.
30

Sedangkan hukum acara yang diatur secara khusus dalam Undang Undang

tentang Peradilan Agama, yaitu tercantum pada:


1. Bab IV tentang Hukum Acara.
Bagian Pertama, Umum, dari Pasal 54 sampai dengan Pasal 64.
2. Bagian Kedua, Pemeriksaan Sengketa Perkawinan.
Paragraf 1, bagian Umum, hanya memuat satu pasal, yaitu Pasal 65.
3. Paragraf 2, tentang Cerai Talak, dari Pasal 66 sampai dengan Pasal

72.
4. Paragraf 3, tentang Cerai Gugat, dari Pasal 73 sampai dengan Pasal

86.
5. Paragraf 4, Cerai dengan Alasan Zina, dari Pasal 87 sampai dengan

Pasal 88.
6. Bagian Ketiga, Biaya Perkara, dari Pasal 89 sampai dengan Pasal

91.

Merujuk kepada Bab IV Pasal 54 UU Peradilan Agama, maka sumber

hukum acara pada pengadilan agama adalah H.I.R untuk daerah Jawa dan

Madura/R.Bg untuk daerah luar Jawa dan Madura, UU Mahkamah Agung, UU

Kekuasaan Kehakiman, RV, BW, UU Peradilan Umum, dan UU Peradilan Agama

dari Pasal 54 sampai dengan Pasal 91. Dalam praktik peradilan UU No. 1/1974

dan PP No. 9/1975 juga dijadikan sumber hukum acara pada pengadilan agama.

Begitu juga K.H.I yang berlaku berdasarkan instruksi presiden dimasukkan ke

dalam sumber hukum acara pada pengadilan agama.

Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam

(Pasal 1 UU Peradilan Agama). Sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman

bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam (Pasal 2 UU Peradilan Agama),

Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan perkara sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 49 UU Peradilan


31

Agama. Secara umum hukum acara yang berlaku pada pengadilan agama tidak

ada perbedaan dengan hukum acara yang berlaku pada peradilan umum. Pada

garis besarnya perbedaan hukum acara pada pengadilan agama dan peradilan

umum sesuai Pasal 54 UU Peradilan Agama ada dua, yaitu:

1. Pasal 57 ayat (2) UU Peradilan Agama: Tiap penetapan dan

putusan dimulai dengan kalimat BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

diikuti dengan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN

YANG MAHA ESA.


2. Hukum acara yang berkenaan dengan Pemeriksaan Sengketa

Perkawinan, yaitu dari Pasal 65 sampai dengan Pasal 88 UU Peradilan

Agama yang terdiri dari empat paragraf. Paragraf pertama tentang

ketentuan umum mengenai perceraian, paragraf kedua mengenai cerai

talak, paragraf ketiga mengenai cerai gugat, dan paragraf keempat

mengenai cerai dengan alasan zina.


Perceraian adalah proses yang dilakukan oleh suami atau istri, atau kedua-

duanya, yang hendak mengakhiri perkawinannya. Esensi dari perceraian adalah

karena suami atau istri, atau kedua-duanya, berkehendak untuk tidak melanjutkan

ikatan perkawinannya. Jadi yang tampak dari perceraian ini adalah hati dari suami

atau istri, atau kedua-duanya, sudah tidak ada cinta lagi sehingga perkawinannya

harus diakhiri. Jadi terjadinya perceraian bertumpu pada masalah hati. Hati dari

suami atau istri, atau kedua-duanya, sudah tidak ingin melanjutkan perkawinannya

sehingga tidak bisa dipaksa untuk terus berada dalam mahligai rumah tangga.

Sehingga dialog yang biasa muncul dalam persidangan perkara perceraian dari

suami atau istri, atau kedua-duanya, ketika ditanya mengenai alasan mengapa
32

mengajukan perkara perceraian adalah: “cinta kami sudah habis” atau “sudah

tidak ada cinta lagi di antara kami”.24


Hukum acara yang tercantum di dalam H.I.R dan R.Bg adalah hukum

acara di pengadilan mengenai gugatan hak terhadap suatu benda atau jasa. Dalam

praktek mengenai gugatan hak, penggugat mengajukan gugatan dengan menuntut

hak atas suatu benda atau jasa dengan alasan-alasan yang tercantum di dalam surat

gugat. Kalau gugatan ditolak oleh tergugat, maka kewajiban penggugat untuk

membuktikan kebenaran dalil-dalil gugatannya. Apabila gugatan terbukti, maka

gugatan dikabulkan; apabila tidak tertbukti, maka gugatan ditolak. Jadi prinsip

dalam gugatan hak terhadap suatu benda, barang atau jasa adalah:
1. Kebenaran dalil-dalil gugatan dengan mengajukan bukti-bukti yang

menguatkan gugatannya.
2. Dalam gugatan hak ada salah-benar dan kalah-menang. Pihak yang dapat

membuktikan dalil-dalinya di sidang itulah yang menang. Dan pihak yang

dapat membuktikan argumentasi hukumnya itulah yang benar.25


Di dalam perkara perceraian, tidak ada gugatan hak, kecuali gugatan hak

mengenai akibat setelah terjadi perceraian. Dalam pertimbangan hukum pada

putusan pengadilan perkara perceraian selalu dipertimbangkan bahwa dalam

perkara perceraian tidak dicari siapa yang salah dan siapa yang benar, dan tidak

ada yang kalah dan tidak ada yang menang. Fokus utamanya dalam perkara

perceraian adalah mendamaikan suami-istri dalam perkara tersebut. Apabila

24
http://www.jurnalhukumperkawinanindonesia.com/10002/5-alasan-untuk-tetap-
mempertahankan-pernikahan, diakses pada hari Jum’at taggal 5 Juni 2015 jam 9:44.

25
http://www.jurnalhukumperkawinanindonesia.com/10002/5-alasan-untuk-tetap-
mempertahankan-pernikahan, diakses pada hari Jum’at taggal 5 Juni 2015 jam 9:44.
33

terjadi rukun kembali, maka perkara perceraiannya dicabut. Jika tidak terjadi

rukun lagi, maka perkaranya diteruskan dan perceraiannya dikabulkan.26


Semestinya dengan konsep pertimbangan hukum seperti ini tidak ada lagi

pembuktian mengenai perkara perceraiannya. Tetapi faktanya dalam peraktik

peradilan masih diberlakukan model pembuktian seperti yang diberlakukan pada

perkara gugatan hak pada kebendaan. Masih harus menghadirkan minimal dua

orang saksi yang tahu mengenai permasalahan rumah tangganya. Padahal tidak

ada manfaatnya saksi yang tahu persis mengenai permasalahan rumah tangganya,

karena tidak dicari siapa yang salah dan siapa yang benar. Di dalam perkara

perceraian bukan perkara yang terdapat kalah dan menang. Apabila tidak bias

dirukunkan, maka dikabulkanlah perceraiannya, sesuai dengan Pasal 65 UU

Peradilan Agama.27
Apabila proses berjalannya pemeriksaan perkara perceraian memakai

model H.I.R dan R.Bg dengan acara jawab menjawab, maka prosesnya itu mencari

siapa yang benar dan siapa yang salah. Karena jawaban pihak tergugat sering

membantah dalil yang diajukan di dalam gugatan. Kalau gugatan dibantah, maka

kewajiban pihak penggugat untuk membuktikan kebenaran gugatannya. Apabila

pihak penggugat tidak mampu membuktikan dalil gugatannya, maka gugatannya

harus ditolak. Ketika perkara perceraian ditolak, tidak ada jalan keluar bagi

pasangan suami-istri yang tidak rukun yang di dalam rumah tangganya selalu

terjadi perselisihan dan pertengkaran tetapi tidak bisa membuktikan di dalam

26
http://www.jurnalhukumperkawinanindonesia.com/10002/5-alasan-untuk-tetap-
mempertahankan-pernikahan, diakses pada hari Jum’at taggal 5 Juni 2015 jam 9:44.

27
http://www.jurnalhukumperkawinanindonesia.com/10002/5-alasan-untuk-tetap-
mempertahankan-pernikahan, diakses pada hari Jum’at taggal 5 Juni 2015 jam 9:44.
34

persidangan. Mereka tidak mungkin rukun lagi karena hati mereka sudah tidak

bersatu.28
Tetapi di dalam peraktik persidangan perkara perceraian pada pengadilan

agama masih diberlakukan acara jawab menjawab dan pembuktian model

sengketa hak kebendaan. Secara utilitis muncul persepsi yang ingin tahu mengenai

manfaatnya. Dan ironisnya lagi, dalam beberapa kasus perkara perceraian ada

yang ditolak karena saksinya tidak tahu langsung atau pihak penggugat tidak

dapat membuktikan dalil-dalilnya. Padahal setelah perkara itu ditolak, suami-istri

yang berperkara tersebut tidak menjadi rukun lagi, bahkan sengketa rumah

tangganya semakin meruncing dengan tuduhan salah satu pihak sengaja

mempersulit perceraiannya.29
Secara yuridis juga ditemukan adanya ketidak-konsistenan hukum dalam

pelaksanaan penyelesaian perkara perceraian pada pengadilan agama. Menurut

Pasal 68 ayat (2) UU Peradilan Agama, pemeriksaan permohonan cerai talak

dilakukan dalam sidang tertutup untuk umum. Tetapi sesuai Pasal 60 UU

Peradilan Agama putusan perkara perceraian harus diucapkan dalam sidang

terbuka untuk umum. Di sini terlihat adanya konflik norma, di satu isi

pemeriksaan perkara perceraian harus dilakukan secara tertutup untuk umum

karena menyangkut rahasia rumah tangga yang kalau dilakukan secara terbuka

untuk umum akan membuat malu pihak-pihak yang bersidang. Tetapi kalau

putusannya harus dilakukan secara terbuka untuk umum, berarti pengadilan

membeberkan fakta-fakta hukum secara umum yang semestinya dirahasiakan.


28
http://www.jurnalhukumperkawinanindonesia.com/10002/5-alasan-untuk-tetap-
mempertahankan-pernikahan, diakses pada hari Jum’at taggal 5 Juni 2015 jam 9:44.

29
http://www.jurnalhukumperkawinanindonesia.com/10002/5-alasan-untuk-tetap-
mempertahankan-pernikahan, diakses pada hari Jum’at taggal 5 Juni 2015 jam 9:44.
35

Sebaiknya dan sepatutnya di dalam perkara perceraian – memang wajib

melalui proses pengadilan untuk menjamin kekuatan legalitas hukumnya –

difokuskan pada aspek upaya perdamaiannya dengan jalur mediasi.

Keuntungannya dengan cara ini:


1. Memaksimalkan upaya perdamaian supaya suami-istri yang bertikai dapat

terjadi rukun lagi.


2. Proses berperkara akan lebih efisien karena tidak lagi memakai acara

jawab menjawab dan pembuktian dengan saksi yang sangat sulit mencarinya.

Karena permasalahan rumah tangga selalu terjadi secara rahasia sehingga

sangat sulit untuk menemukan saksi yang tahu langsung pertmasalahan rumah

tangga suami-istri yang berperkara.


3. Tetap menjaga kerahasiaan permasalahan rumah tangga yang berperkara,

karena semua yang terjadi selama proses mediasi tidak dibenarkan dibawa ke

ruang sidang pengadilan. Dan semua data-data yang dihasilkan selama proses

mediasi harus dimusnahkan.


4. Mempermudah bagi pasangan suami-istri yang sudah sepakat untuk

bercerai, sehingga tidak perlu lagi dilakukan persidangan dengan acara jawab

menjawab dan pembuktian saksi segala.


5. Lebih menjamin proses peradilan yang sederhana, cepat dan biaya

ringan.30

Sejatinya secara historis dan sosiologis pasangan suami-istri yang bertikai

sudah menjalani proses upaya perdamaian untuk rukun lagi di dalam keluarganya.

Upaya damai itu dilakukan oleh keluarga dekat, atau tokoh masyarakat yang

30
http://www.siddikilegaldick.blogspot.co.id/2014/12/mengapa-memilih-mediasi.html diakses
tanggal 20/01/2016 jam 13.30.
36

dituakan, atau oleh lingkungan kerjanya. Kalau sampai ke pengadilan, berarti

upaya damai yang dilakukan di dalam keluarganya tidak membuahkan hasil.31

Proses yang dilakukan di dalam keluarganya biasanya fokus pada upaya

supaya rukun lagi. Bukan pada mencari siapa yang salah dan siapa yang benar.

Karena mencari siapa yang salah dan siapa yang benar sering menghambat upaya

rekonsiliasi antara suami dengan istri yang bertikai. Biasanya kalau mau rukun

lagi, masalah yang lalu harus ditutup dan ke depannya mulai dengan lembaran

baru.32

Memakai hukum acara sebagaimana H.I.R dan R.Bg dalam proses perkara

perceraian secara utilitis, selain prosesnya berbelit-belit juga memakan waktu

yang panjang. Juga konsekwensi logis dari penerapan H.I.R dan R.Bg akan terjadi

perkara perceraian yang ditolak. Jika demikian justru proses peradilan dalam

perkara perceraian tidak membawa manfaat kepada masyarakat. Kalau terjadi

rukun lagi malah bagus. Tetapi yang sering terjadi perkara perceraian yang ditolak

oleh pengadilan, suami-istri itu tidak terjadi rukun lagi, tetapi bahkan menambah

kerasnya pertengkaran antara suami-istri tersebut.

Bahkan ada preseden mengenai perkara perceraian yang ditolak oleh

pengadilan. Pihak yang ditolak permohonan cerainya yang tidak puas terhadap

putusan pengadilan karena keinginan cerainya ditolak, bukannya memakai upaya

hukum banding. Tetapi ia diam beberapa bulan setelah putusan perkaranya jatuh.

Kemudian ia mengajukan perkara cerai kembali pada pengadilan agama yang


31
http://www.siddikilegaldick.blogspot.co.id/2014/12/mengapa-memilih-mediasi.html diakses
tanggal 20/01/2016 jam 13.30.

32
http://www.siddikilegaldick.blogspot.co.id/2014/12/mengapa-memilih-mediasi.html diakses
tanggal 20/01/2016 jam 13.30.
37

sama. Yang namanya perkara cerai tidak mungkin ia mengajukan alasan baru

dalam perkaranya. Yang dipakai adalah alasan lama dengan kemasan baru.

Dan lagi di dalam perkara perceraian, sering alasan perceraian yang

dicantumkan di dalam permohonan atau gutannya selalu bersifat umum dan tidak

jelas. Kalau mau konsisten dengan hukum acara, maka banyak sekali perkara

perceraian yang tidak diterima karena alasan hukum. Maka alangkah baiknya

penyelesaian perkara perceraian pada pengadilan agama khusunya dilakukan

dengan metode baru dengan fokus pada upaya perdamaiannya sehingga proses

persidangan menjadi sederhana, cepat dan biaya ringan.

Penyelesaian perkara perceraian bagi orang yang beragama Islam

dilakukan oleh lembaga peradilan agama sebagai pelaksana kewenangan absolut.

Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 49 huruf (a) UU Peradilan Agama. Dalam

pasal tersebut dijelaskan bahwa pengadilan agama bertugas dan berwenang

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-

orang yang beragama Islam mengenai sengketa di bidang perkawinan.

Di dalam penjelasan mengenai Pasal 49 huruf (a) UU Peradilan Agama

bahwa yang dimaksud dengan sengketa di bidang "perkawinan" adalah hal-hal

yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang

berlaku yang dilakukan menurut syari'ah Islam. Antara lain ada 22 poin mengenai

sengketa di bidang perkawinan yang dijabarkan di dalam penjelasan Pasal 49

huruf (a) UU Peradilan Agama. Pada angka 8 adalah perceraian karena talak, pada

angka 9 adalah gugatan perceraian dan pada angka 10 adalah penyelesaian harta

bersama. Perceraian karena talak, gugatan perceraian dan penyelesaian harta


38

bersama merupakan bagian yang berada di dalam area sengketa perkawinan yang

penyelesaiannya berada dalam wilayah kewenangan absolut pengadilan agama.

Perkawinan dalam konsep Islam adalah ikatan lahir dan batin antara suami

dan istri untuk membentuk rumah tangga yang tenteram dan bahagia dari dunia

sampai akhirat. Konsep ini tertuang dalam Pasal 1 UU No. 1/1974 tentang

Perkawinan yang menyebutkan, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara

seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa. Jiwa dasar dalam konsep perkawinan di dalam Islam adalah dibangun

untuk selamanya.

Ada empat hal yang terkandung di dalam Pasal 1 UU No. 1/1974 tentang

perkawinan, yaitu:

1. Ikatan lahir dan batin.


2. Antara suami dan istri (laki-laki dan perempuan).
3. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga atau rumah

tangga yang:
- bahagia, dan
- kekal.
4. Dasar kejiwaannya adalah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Senada dengan UU Perkawinan, di dalam Instruksi Presiden Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991 yang menginstruksikan

kepada Menteri Agama untuk menyebarkan luaskan Kompilasi Hukum Islam

(K.H.I) pada Pasal 2 disebutkan, bahwa perkawinan menurut hukun Islam adalah

pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati

perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dan pada Pasal 3 KHI
39

disebutkan bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah

tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Ada tiga hali yang terkandung di dalam Pasal 2 K.H.I ini mengenai

perkawinan, yaitu:

1. Akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan.


2. Dasar dilaksanakannya perkawinan itu karena untuk mentaati

perintah Allah.
3. Tujuan melaksanakan perkawinan adalah karena Allah semata-

mata merupakan ibadah atau ta’abbud kepada-Nya.

Menurut hukum Islam yang tertuang secara normatif pada UU No. 1/1974

dan K.H.I, melaksanakan perkawinan merupakan pelaksanaan ibadah kepada

Allah dan merupakan penyembahan kepada-Nya sebagai manifestasi atas ketaatan

terhadap perintah-Nya. Karena itu ia disebut dengan mitsaqan ghalidzan atau

ikatan yang sangat kuat yang dimanifestasikan secara lahiriyah dan batiniyah.

Karena kuatnya ikatan itu maka roh pernikahan itu dibangun untuk selamanya.

Meskipun konsep perkawinan di dalam Islam dibangun untuk selamanya,

tetapi Islam memperbolehkan perceraian dalam perkawinan. Yang selalu dipakai

sebagai dasar bolehnya perceraian di dalam Islam adalah sabda Nabi Muhammad

yang maknanya, bahwa paling dibencinya perbuatan halal (diperbolehkan) di

hadapan Allah adalah thalaq (perceraian). Meskipun perceraian dalam konsep

Islam diperbolehkan, tetapi merupakan perbuatan yang sangat dibenci oleh Allah.

Oleh karena itu sebisa mungkin perceraian itu diusahakan untuk dihindarkan,

karena akibatnya mendapat murka yang sangat dari Allah.


40

Secara normatif, menurut UU No. 1/1974, perkawianan dapat putus karena

tiga sebab, yaitu karena:

1. Kematian.
2. Perceraian.
3. Atas keputusan pengadilan.
Disebutkan dalam Pasal 38 UU No. 1/1974, bahwa perkawinan dapat

putus karena: a. kematian, b. perceraian dan c. atas keputusan pengadilan.

Perceraian yang secara Islam diperbolehkan meskipun mendapat murka yang

sangat besar dari Allah mendapatkan legalitas formal di dalam undang-undang

perkawainan. Karena itu untuk memutuskan bercerai harus dipikirkan secara

matang.

Masalah perceraian juga disebutkan di dalam K.H.I Pasal 113, bahwa

perkawinan dapat putus karena:

a. Kematian.
b. Perceraian.
c. Putusan pengadilan.
Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi

Hukum Islam sama mengenai penyebab putusnya perkawinan, yaitu ada 3 sebab,

kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan. Di dalam Pasal 114 K.H.I

disebutkan bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat

terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.

Terjadinya perceraian bagi suami/istri karena disebabkan oleh berbagai

macam alasan. Di dalam Pasal 19 PP No. 9/1975 disebutkan sebagai berikut:

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:


a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat,
penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena
hal lain di luar kemampuannya;
41

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau


hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.

Semenetara pada Pasal 116 K.H.I mengenai alasan yang dapat

menyebabkan terjadinya perceraian adalah sebagai berikut:

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:


a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena
hal lain di luar kemampuannya;
c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak lain;
e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga;
g. suami menlanggar taklik talak;
h. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga.

Ada penambahan pada K.H.I mengenai alasan yang menyebabkan

terjadinya perceraian. Kalau dalam PP No. 9/1975 ada 6 alasan yang menjadi

penyebab terjadinya perceraian, sedangkan dalam K.H.I ada 8 alasan. Dua alasan

tambahan yang tercantum di dalam K.H.I yaitu suami menlanggar taklik talak dan
42

peralihan agama suami atau istri atau murtad yang menyebabkan terjadinya

ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Setiap suami atau istri yang beragama Islam yang berkehendak untuk

mengajukan perkara perceraian, maka harus diajukan ke pengadilan agama, sesuai

dengan Pasal 49 huruf (a) UU Peradilan Agama. Pengadilan Agama untuk

memproses jalannya perkara perceraian dari awal sampai selesai sudah

mempunyai aturan tersendiri. Dalam melakukan penyelesaian perkara perceraian

selain mengikuti hukum acara perdata pada umumnya, pengadilan agama tunduk

pada aturan khusus yang diatur dalam UU Peradilan Agama.

Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi

rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu (Pasal 2

UU Peradilan Agama). Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Agama

dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama (Pasal 3 UU

Peradilan Agama). Pengadilan Agama berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota

dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota (Pasal 4 ayat (1) UU

Peradilan Agama). Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibu kota provinsi

dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi (Pasal 4 ayat (2) UU Peradilan

Agama).

Kewenangan peradilan agama disebutkan di dalam Pasal 49 UU Peradilan

Agama yaitu:

Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan


menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
43

d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah.

Kewenangan peradilan agama yang disebutkan di dalam Pasal 49 UU

Peradilan Agama dijabarkan di dalam penjelasannya yang berbunyi sebagai

berikut:

Pasal 49: Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan


syari'ah, melainkan juga di bidang ekonomi syari'ah lainnya.
Yang dimaksud dengan "antara orang-orang yang beragama Islam"
adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya
menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai
hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan
ketentuan Pasal ini.
Huruf a: Yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah hal-hal yang diatur
dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang
berlaku yang dilakukan menurut syari'ah, antara lain:
1. izin beristri lebih dari seorang;
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum
berusia 21 (dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali,
atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3. dispensasi kawin;
4. pencegahan perkawinan;
5. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6. pembatalan perkawinan;
7. gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri;
8. perceraian karena talak;
9. gugatan perceraian;
10.penyelesaian harta bersama;
11. penguasaan anak-anak;
12.ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan
anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab
tidak mematuhinya;
13.penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh
suami kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi
bekas istri;
14.putusan tentang sah tidaknya seorang anak;
44

15.putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;


16.pencabutan kekuasaan wali;
17.penunjukan orang lain sebagai wall oleh pengadilan dalam
hal kekuasaan seorang wall dicabut;
18.penunjukan seorang wall dalam hal seorang anak yang
belum cult-up umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal
kedua orang tuanya;
19.pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda
anak yang ada di bawah kekuasaannya;
20.penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan
pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam;
21.putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk
melakukan perkawinan campuran;
22.pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi
sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Huruf b: Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan,
penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan
pembagian harta peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan
atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi
ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
Huruf c: Yang dimaksud dengan "wasiat" adalah perbuatan seseorang
memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau
lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi
tersebut meninggal dunia.
Huruf d: Yang dimaksud dengan "hibah" adalah pembegan suatu benda secara
sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum
kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
Huruf e: Yang dimaksud dengan "wakaf' adalah perbuatan seseorang atau
sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harts benda miliknya untuk dimanfaatkan
selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan
umum menurut syari'ah.
Huruf f: Yang dimaksud dengan "zakat" adalah harta yang wajib disisihkan
oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang
muslim sesuai dengan ketentuan syari'ah untuk diberikan kepada
yang berhak menerimanya.
45

Huruf g: Yang dimaksud dengan "infaq" adalah perbuatan seseorang


memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan,
baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan
rezeki (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain
berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu Wata'ala.
Huruf h: Yang dimaksud dengan "shadagah" adalah perbuatar; seseorang
memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum
secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah
tertentu dengan mengharap ridho Allah Subhanahu Wata'ala dan
pahala semata.
Huruf i: Yang dimaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau
kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara
lain meliputi:
a. bank syari'ah;
b. lembaga keuangan mikro syari'ah.
c. asuransi syari'ah;
d. reasuransi syari'ah;
e. reksa dana syari'ah;
f. obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah
syari'ah;
g. sekuritas syari'ah;
h. pembiayaan syari'ah;
i. pegadaian syari'ah;
j. dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan
k. bisnis syari'ah.

Dasar eksistensi badan peradilan agama di Indonesia adalah Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat

dengan UUD 1945) yang disebutkan di dalam Bab IX tentang Kekuasaan

Kehakiman pada Pasal 24 ayat (2) yang berbunyi: Kekuasaan kehakiman

dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di

bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,

lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh

sebuah Mahkamah Konstitusi. Menurut UUD 1945 ada dua lembaga yang

melaksanakan kekuasaan kehakiman di Indonesia, yaitu Mahkamah Agung dan


46

Mahkamah Konstitusi. Sedangkan Mahkamah Agung melasanakan kekuasaan

kehakiman bersama-sama dengan badan peradilan yang berada di bawahnya

dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan

peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara.

Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, Mahkmah Agung dan badan

peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan

peradilan tata usaha negara serta Mahkamah Konstitusi adalah kekuasaan negara

yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan (Pasal 24 ayat (1) UUD 1945). Di dalam Bab I tentang Ketentuan Umum

Pasal 1 angka 1 UU Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa kekuasaan

kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi

terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Fungsi dari kekuasaan

kehakiman adalah menegakkan hukum dan keadilan. Tujuan utamanya adalah

terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Di dalam Pasal 20 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa

Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari badan peradilan

yang berada di dalam keempat lingkungan peradilan yang berada di bawahnya.

Berkaitan dengan kedudukannya sebagai peradilan tertinggi, maka Mahkamah

Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan
47

pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada

di bawah Mahkamah Agung (Pasal 20 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman).

Sebagai kewenangan Mahkamah Agung juga Pasal 24 ayat (1) UU Kekuasaan

Kehakiman menentukan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat

mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

Mengenai tugas dan wewenang Mahkamah Agung di dalam UU

Mahkamah Agung disebutkan sebagai berikut:

Pasal 28 ayat (1) :


Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:
a. permohonan kasasi;
b. sengketa tentang kewenangan mengadili;
c. permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 29 :
Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan
Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir dari semua Lingkungan Peradilan.

Mahkamah Agung mempunyai fungsi pengawasan terhadap empat badan

peradilan yang berada di bawahnya. Ketentuan ini disebutkan di dalam UU

Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut:

Pasal 39 :
ayat (1) : Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada
semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam
menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung.
ayat (2) : Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap pelaksanaan
tugas administrasi dan keuangan.
ayat (3) : Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh
Mahkamah Agung.
48

ayat : (4) : Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat


(1), ayat (2), dan ayat (3) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam
memeriksa dan memutus perkara.

Fungsi pengawasan Mahkamah Agung terhadap empat badan peradilan

yang berada di bawahnya diatur juga dalam UU Mahkamah Agung sebagai

berikut:

Pasal 32 :
ayat (1) : Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam
menjalankan kekuasaan kehakiman.
ayat (2) : Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para
Hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya.
ayat (3) : Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang
hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua Lingkungan
Peradilan.
ayat (4) : Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, tegoran, atau
peringatan yang dipandang perlu kepada Pengadilan di semua Lingkungan
Peradilan.
ayat (5) : Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksudkan dalam
ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim
dalam memeriksa dan memutus perkara.

Prinsip yang harus dilaksanakan oleh pengadilan adalah asas peradilan

dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" (Pasal 2 ayat

(1) UU Kekuasaan Kehakiman). Jadi peradilan negara menerapkan dan

menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila (Pasal 2 ayat (2) UU

Kekuasaan Kehakiman). Pada Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman

disebutkan bahwa peradilan harus dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya

ringan. Dalam semua proses penyelesaian perkara pada pengadilan harus selalu
49

memegang prinsip dan asas peradilan yang dilakukan dengan sederhana, cepat,

dan biaya ringan.

Hakim merupakan pelaku utama pelaksana kekuasaan kehakiman bagi

lembaga peradilan. Di dalam Pasal 3 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman

disebutkan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga

kemandirian peradilan. Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak

lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana

dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(Pasal 3 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman). Di tangan hakim terdapat harapan

dari para pencari keadilan untuk mendapatkan keadilan.

Pada Pasal 4 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa

Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

Meskipun demikian, Pengadilan harus membantu pencari keadilan dan berusaha

mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang

sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman).

Hakim sebagai pengejawantahan dari lembaga peradilan yang bertugas sebagai

pelaksana kekuasaan kehakiman harus aktif berusaha terciptanya prinsip dan asas

peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Di dalam Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa

Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa

keadilan yang hidup dalam masyarakat. Agar supaya hakim tetap berada dalam

koridor yang benar dalam menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum

dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, maka Hakim harus memiliki
50

integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan

berpengalaman di bidang hukum (Pasal 5 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman). Di

samping itu karena besarnya peranan hakim dalam menegakkan hukum dan

keadilan, maka Hakim wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim

(Pasal 5 ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman).

Asas yang utama yang harus dilaksanakan oleh pengadilan adalah

melaksanakan peradilan yang dilandasi "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa". Hakim sebagai pelaksana utama penegakan hukum dalam

lembaga peradilan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman harus menghayati bahwa

penegakan hukum itu adalah menciptakan keadilan. Keadilan yang hendak

ditegakkan itu adalah keadilan yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Prinsip berikutnya adalah bahwa peradilan itu harus dilakukan dengan

sederhana, cepat, dan biaya ringan. Sederhana, cepat, dan biaya ringan ukurannya

sangat relatif, sehingga dalam berbagai macam perkara kesederhanaan, kecepatan

dan biaya ringannya tidak sama. Tetapi keadaan sederhana, cepat, dan biaya

ringan itu harus selalu ditingkatkan.

Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

orang sebagai pelaksanaan dari prinsip kemandirian peradilan. Pengadilan harus

mandiri, karena itu hakimnya juga harus mandiri. Apabila hakimnya tidak

mandiri, maka pengadilan juga tidak akan mandiri.

Sisi sosialnya hakim adalah ketika pengadilan harus membantu pencari

keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat

tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Dari ketentuan ini
51

memang peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan tidak bisa diukur dengan

pasti, tetapi bisa diusahakan untuk semakin sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Untuk melaksanakan prinsip ini hakim tidak boleh membeda-bedakan orang. Dari

lapisan manapun pencari keadilan itu, prinsip peradilan sederhana, cepat, dan

biaya ringan harus selalu ditegakkan.

Yang sangat penting dalam penegakan hukum adalah hakim wajib

menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang

hidup dalam masyarakat. Dalam hal ini hakim tetap harus berada dalam prinsip

tidak membeda-bedakan orang. Ketentuan ini bisa menimbulkan bias dan

kecurigaan kepada hakim, karena nilai keadilan yang diterapkan bisa berbeda

dengan norma hukum yang tertulis. Karena itu integritas hakim sangat penting

dalam menerapkan prinsip ini, terutama integritas intelektuan dan moralnya.

Berkenaan dengan proses penyelesaian perkara perceraian pada

Pengadilan Agama memang sudah diterapkan norma yang selama ini sudah

menjadi pelaksanaannya secara rutin. Secara normatif hukum yang dilaksanakan

sudah berlandaskan kepada keadilan yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang

Maha Esa. Juga pelaksanaan proses penyelesaian perkaranya dilakukan dengan

prinsip tidak membeda-bedakan orang. Dan pengadilan juga sudah berusaha untuk

mengatasi hambatan bagi para pencari keadilan.

Tetapi meskipun demikian, asas hakim wajib menggali, mengikuti, dan

memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat

harus tetap dilakukan dan jangan sampai berhenti. Di dalam penelitian ini asas

peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan masih bisa ditingkatkan. Ada faktor
52

rasa keadilan yang berbicara ketika suatu perkara perceraian yang mestinya bisa

segera diselesaikan demi kesederhanaan, kecepatan dan biaya ringan, tetapi hal ini

tidak dilakukan hanya karena sudah berdasar pada norma yang sudah ada tanpa

menganalisis norma tersebut secara mendasar.

Pengertian perkawinan menurut Pasal 1 UU Perkawinan adalah ikatan

lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan

tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Pasal 2 ayat (2) UU No. 1/1974,

tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Sedangkan menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (K.H.I) perkawinan

adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk

mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pada Pasal 1

huruf (c) K.H.I disebutkan bahwa yang dimaksud dengan akad nikah ialah

rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh

mempelai pria atau wakilnya dengan disaksikan oleh dua orang saksi.

Dari pengertian pernikahan tersebut, kalau ditarik pada konsep kontrak di

dalam hukum perdata, maka perkawianan adalah peristiwa hukum antara beberapa

subjek hukum yang melahirkan fakta hukum. Peristiwa hukum perkawinan adalah

perbuatan hukum beberapa subjek hukum yang mengakibatkan adanya

hukubungan hukum yang melahirkan akibat hukum adanya hak dan kewajiban.

Sebagai akibat hukum dari peristiwa hukum perkawinan juga timbul keadaan

hukum yang diantaranya berupa adanya harta perkawinan dan kelahiran anak. Dan

kelanjutan dari adanya peristiwa hukum perkawinan juga bisa timbul kejadian
53

hukum yang berupa putusnya perkawinan yang bisa disebabkan oleh karena

kematian, perceraian dan atas keputusan Pengadilan (Pasal 38 huruf a, b, dan c.

UU No. 1/1974).33

Setelah terjadi peristiwa hukum akad perkawinan, maka timbul fakta

hukum bahwa subjek hukum yang melaksanakan akad nikah adalah sebagai

suami-istri. Dalam fakta hukum sebagai suami-istri, maka timbul keadaan hukum

yang mana semua harta yang dihasilkan selama dalam perkawinan (harta

perkawinan) adalah merupakan harta bersama. Pasal 35 ayat (1) UU No. 1/1974

menyebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta

bersama. Dan pada ayat (2) nya disebutkan bahwa harta bawaan dari masing-

masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai

hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para

pihak tidak menentukan lain.

Di dalam K.H.I Pasal 85 disebutkan bahwa meskipun ada harta bersama

dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-

masing suami atau isteri. Karena menurut K.H.I Pasal 86 ayat (1), pada dasarnya

tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.

Tetapi karena undang-undang perkawinan telah menentukan, maka harta benda

yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama atau biasa juga disebut

harta gono-gini.

33
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta Balai Pustaka, 2008, hlm. 59; Pipin Syarifin dan
Zarkasy Chumaidy, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung, Pustaka Setia, 1998, hlm. 72; Dudu
Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum, Bandung: Refika Aditama, 2003, hlm. 40; Soeroso,
Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2011, hlm. 191.
54

Terhadap keadaan hukum adanya harta bersama dalam perkawinan, maka

timbul perbuatan hukum yang berupa hubungan hukum mengenai hak dan

kewajiban terhadap harta bersama tersebut. Pasal 36 ayat (1) UU No. 1/1974

menyebutkan, bahwa mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak

atas persetujuan kedua belah pihak. Kewajiban yang harus dilaksanakan terhadap

harta bersama menurut Pasal 89 K.H.I, suami bertanggung jawab menjaga harta

bersama, harta isteri maupun harta sendiri. Selanjutnya di dalam Pasal 90 K.H.I

disebutkan bahwa isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun

harta suami yang ada padanya.

Kemudian selanjutnya timbul kejadian hukum yang tidak dapat

dihindarkan di dalam fakta hukum perkawinan, yaitu putusnya perkawinan yang

bisa disebabkan oleh karena kematian, perceraian atau atas keputusan Pengadilan.

Apabila timbul kejadian hukum putusanya perkawinan, menurut Pasal 37 UU No.

1/1974, apabila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut

hukumnya masing-masing. Undang-undang perkawinan tidak memberikan

ketentuan yang pasti mengenai pengaturan pembagian harta bersama. Namun di

dalam Pasal 96 K.H.I ditentukan, apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta

bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Pada Pasal 97 K.H.I

disebutkan, janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta

bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Berlandaskan pada K.H.I selama ini putusan pengadilan selalu membagi

dua sama besar terhadap sengketa harta bersama, dengan tidak

mempertimbangkan siapa di antara suami-istri yang mempunyai kontribusi yang


55

lebih besar dalam menghasilkan harta. Pada derah-daerah tertentu bermacam-

macam model pembagian terhadap harta bersama secara hukum adat, ada yang

membagi untuk suami lebih besar bagiannya daripada istri karena perannya yang

lebih besar dalam berusaha menghasilkan harta. Tetapi sekarang muncul

kecenderungan pengadilan membagi harta bersama tidak sama besar antara suami

dan istri, bahkan bagian istri lebih besar daripada bagian suami, yaitu ¼ bagian

untuk suami dan ¾ bagian untuk istri. Adanya kecenderungan pengadilan yang

membagi harta bersama tidak sama besar antara suami dan istri, dan bagian istri

lebih besar daripada bagian suami, karena menilai dari segi kontribusi dari suami-

istri dalam menghasilkan harta.34

Selama ini pengadilan tidak menilai mengenai siapa dari suami atau istri

yang menghasilkan harta. Apabila di pengadilan terbukti yang dipersengketakan

adalah harta bersama, maka pembagiannya dibagi dua sama besar, suami dapat

separuh dan istri dapat separuh. Intinya harta itu dihasilkan selama suami dan istri

masih berada dalam ikatan perkawinan. Juga tidak dipertimbangkan mengenai

suami-istri tersebut di dalam perkawinannya mempunyai keturunan apa tidak.

Bahwa kemudian muncul kecenderungan baru dari pengadilan dalam putusannya

dengan memberi pertimbangan terhadap seberapa besar kontribusi dari suami dan

istri dalam menghasilkan harta dalam perkawinan, merupakan bahan yang

menarik untuk dikaji dalam penelitian ini.

Perkara perceraian merupakan fakta yang terjadi di dalam masyarakat

yang kecenderungannya seiring berjalannya waktu terus meningkat jumlahnya.

34
http://blogperadilan.blogspot.co.id/2011/05/paradigma-baru-penyelesaian-sengketa.html
diunduh tanggal 6/2/2016 jam 15:10.
56

Fakta terjadinya perceraian antara suami dan istri ternyata tidak hanya

menyangkut perceraiannya itu saja, tetapi juga berimbas pada masalah hak

kepemilikan harta yang diperoleh selama di dalam perkawinan. Pengadilan agama

yang mempunyai kewenangan menyelesaiakan perceraian bagi orang yang

beragama Islam telah melakukan tugasnya secara baik. Namun demikian cukup

banyak masalah, misalnya dari segi:

a. Filosofis

Adanya ketidakadilan dalam pelaksanaan proses penyelesaian perkara

perceraian di pengadilan agama. Praktek proses penyelesaian perkara perceraian

pada pengadilan agama yang selama ini berjalan menyamakan perkara perceraian

dengan perkara sengketa harta/kebendaan yang menfokuskan pemeriksaannya

pada kebenaran alasan gugatan. Padahal sejatinya perkara perceraian berbeda

dengan perkara sengketa harta. Kekhususan perkara perceraian yang selama ini

tidak pernah menjadi perhatian dalam peraktek penyelesaiannya pada pengadilan

agama telah menimbulkan ketidakadilan pada pencari keadilan.

Begitu juga proses penyelesaian perkara berkenaan dengan akibat lanjutan

dari perkara perceraian, yaitu perkara sengketa harta bersama. Praktek yang

selama ini berjalan dalam putusan pengadilan adalah membagi dua harta bersama

(gono-gini) sama besar antara mantan istri dan mantan suami. Kemudian

berkembang tradisi baru dalam putusan pengadilan yang mempertimbangkan

aspek kontribusi dan peran masing-masing mantan suami dan mantan istri ketika

masih terikat dalam perkawinan. Akibatnya ketika kontribusi suami terhadap


57

pengumpulan harta lebih sedikit dibanding istrinya dan suami mempunyai prilaku

yang jelek, maka bagiannya mendapat lebih sedikit dari pada istrinya.

Penyelesaian sengketa bersama yang selama ini berjalan pada pengadilan

agama cenderung tidak memperhatikan keadaan keturunannya ketika pasangan

suami istri itu dikaruniai keturunan. Dalam penyelesaian sengketa harta bersama

yang banyak menjadi korban adalah anak-anaknya yang semestinya mendapatkan

manfaat dari harta itu. Karena itu meskipun secara normatif harta bersama itu

adalah hak dari mantan suami dan mantan istri alangkah bijaksananya jika

memasukkan faktor keturunan dalam pusaran penyelesaian sengketa harta

bersama.

b. Teoritis

Teori Maqasid al-Syari'ah menjelaskan bahwa diterapkannya suatu hukum

kepada masyarakat adalah mempunyai makna dan tujuan yang dikehendaki.

Menurut teori Maqasid al-Syari'ah tujuan dari diterapkannya hukum ke dalam

masyarakat adalah untuk kemaslahatan umat manusia. Maqasid al-Syari'ah di

kalangan ulama ushul fikih disebut juga dengan Asrar al-Syari'ah, yaitu rahasia-

rahasia yang terdapat di balik hukum yang ditetapkan oleh syara’, berupa

kemaslahatan bagi umat manusia baik di dunia maupun di akhirat.35

Berkaitan dengan penyelesaian sengketa perceraian, ketika prosesnya

disamakan dengan sengketa harta/kebendaan, maka secara Maqasid al-

35
Jurnal Maqasid Al-Syariah, http://www.referensimakalah.com/2011/09/pembicaraan-tentang-
maqasid-al-syari_1553.html, diakses tanggal 20/08/2017 jam 11:18. Muhammad Abdul’Athy
Muhammad ‘Aly, Dr., Al-Maqashid Al-Syar’yah wa Atsaruha fi Al-Fiqh Al-Islamy, Dar al-Hadits,
Al-Qahiroh, 2007, hlm. 7. Muhammad Sa’ed ibn Ahmad ibn Mas’aud al-Yuby, Maqashid al-
Syari’ah al-Islamiyah wa ‘Alaqtuha bi al-Adillah al-Syar’iyah, Dar al-Hijrah, Al-Riyadl, 1998,
hlm. 7-8.
58

Syari'ah belum menampakkan kemaslahatannya. Karena ketika pihak penggugat

tidak dapat membuktikan alasan permohonan perceraiannya, sementara pasangan

suami istri itu sudah bertahun-tahun tidak tinggal serumah, lalu gugatannya

ditolak, maka tidak ada kemaslahatan bagi suami istri yang sedang berselisih

tersebut. Begitu juga dengan penyelesaian sengketa harta bersama. Ketika harta

bersama itu dibagi dua, dan pasangan suami istri itu mempunyai keturunan, maka

tidak akan nampak kemaslahatan harta itu untuk keturunannya. Bahkan untuk

mantan istri dan mantan suami pun dalam jangka panjang tidak akan nampak

kemaslahatnnya.

c. Sosiologis
Teori sosiologi hukum yang dikemukakan oleh Rudolf von Jhering (1800-

1889), seorang Juris Jerman terkenal dengan gelarnya sebagai “the father of

sociological jurisprudence”, doktrinnya yang sistematis didasarkan pada “social

utilitarianism” yang berasal dari prinsip “plain-pleasure”-nya Betham. Menurut

Jhering esensi hukum itu adalah suatu kehendak nyata untuk melindungi

kepentingan kehidupan bersama dan kepentingan individu melalui koordinasi

antara kedua jenis kepentingan itu. Jhering menganggap bahwa dengan adanya

koordinasi antara kepentingan masyarakat di satu pihak dengan kepentingan

individu di lain pihak maka kemungkinan terjadinya konflik dapat diperkecil.

Karena beliau yakin bahwa di bawah hukum kepentingan masyarakat harus lebih

didahulukan daripada kepentingan individu dalam hal terjadinya konflik antara

kedua kepentingan tersebut. Konsep-konsep hukum Jhering didominir oleh ajaran

tentang kebutuhan-kebutuhan manusia di dalam masyarakat. Menurutnya hukum


59

adalah seperangkat kondisi-kondisi kehidupan sosial dalam arti luas sekali, yang

ditegakkan oleh kekuasaan negara melalui usaha paksaan dari luas (external

compulsion). Rudolf von Jhering menitikberatkan hakikat hukum pada jenis

paksaan. Teori sosiologi hukum dari Jhering meneropong bahwa arah yang

sebenarnya dari hukum adalah realisasi dari suatu keseimbangan antara asas-asas

(the principles) dan maksud/motivasi individu di satu pihak dan asas-asas dan

motivasi masyarakat di pihak lain. Dalam pandangannya hukum adalah

perwujudan dari persekutuan individu dan masyarakat.36


Berkaitan dengan penyelesaian perkara perceraian di pengadilan agama

sesuai dengan teori sosiologi hukum dari Rudolf von Jhering ini semestinya

prosesnya tidak kaku. Karena dalam kehidupan masyarakat secara tradisonal

sudah mempunyai pola bagaimana menerapkan hukum perceraian ini. Ketika

terjadi pertengkaran suami istri, di dalam keluarganya dan juga masyarakatnya

sudah diusahakan untuk merukunkanya. Di sini terletak makna teori sosiologi

hukum dari Jhering meneropong bahwa arah yang sebenarnya dari hukum adalah

realisasi dari suatu keseimbangan antara asas-asas (the principles) dan

maksud/motivasi individu di satu pihak dan asas-asas dan motivasi masyarakat di

pihak lain. Begitu juga semestinya mengenai proses penyelesaian sengketa harta

bersama yang sering terjadi merupakan proses pasca perceraian di pengadilan

agama.
d. Historis

36
Jurnal Hukum Dr. Rahman Amin, S.H., M.H.,
http://rahmanamin1984.blogspot.co.id/2014/03/filsafat-hukum-aliran-utilitarianisme.html, diakses
tanggal 20/08/2017 jam 13.04, dan Jurnal Sosiologi Hukum
http://aepcitystudio.blogspot.co.id/2014/09/teori-sosiologi-hukum-menurut-beberapa.html, diakses
tanggal 20/08/2017 jam 13.04.
60

Friedrich Carl von Savigny (1779-1861) dalam bukunya “Von Beruf

Ungerer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtswissenschaft” (Tentang Tugas Zaman

Kita Bagi Pembentuk Undang-undang dan Ilmu Hukum).antara lain dikatakan:

“Das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem volke” (Hukum itu tidak

dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat). Ajaran Savigny ini

dilatarbelakangi oleh suatu pandangannya yang mengatakan bahwa di dunia ini

terdapat banyak bangsa dan pada tiap bangsa mempunyai volkgeist/jiwa rakyat.

Perbedaan ini juga sudah barang tentu berdampak pada perbedaan hukum yang

disesuaikan dengan tempat dan waktu. Hukum sangat bergantung atau bersumber

pada jiwa rakyat dan isi hukum itu ditentukan oleh pergaulan hidup manusia dari

masa ke masa. Hukum menurut pendapat Savigny berkembang dari suatu

masyarakat yang sederhana yang pencerminannya tampak dalam tingkah laku

semua individu kepada masyarakat yang modern dan kompleks di mana kesadaran

hukum rakyat itu tampak pada apa yang diucapkan oleh para ahli hukumnya.

Persoalannya berkaitan dengan proses penyelesaian perkara perceraian

pada pengadilan agama dan sengketa harta bersama sebagai akibat dari perceraian,

pengadilan selalu memakai satu ukuran untuk bermacam kasus perceraian di

manapun tempatnya. Padahal berangkat dari pemikiran Savigny, hukum itu tidak

dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat, hukum sangat

bergantung atau bersumber pada jiwa rakyat dan isi hukum itu ditentukan oleh

pergaulan hidup manusia dari masa ke masa, maka penyelesaiannya dengan

memakai satu standar hukum akan menimbulkan masalah di dalam masyarakat.


61

Dengan timbulnya masalah, maka berarti penyelesaiannya tidak memenuhi rasa

keadilan.

e. Yuridis

Visi Mahkamah Agung adalah “Terwujudnya Badan Peradilan Yang

Agung.” Sedangkan Misi Mahkamah Agung angka 1. Menjaga kemandirian

badan peradilan untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dan

angka 2, Memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan kepada pencari

keadilan. Dari misi Mahkamah Agung angka 1 dan 2 ini dapat diambil tiga

pengertian, yaitu:

1. Menjaga kemandirian badan peradilan.


2. Tujuan dari pemeliharaan terhadap kemandirian badan peradilan adalah

untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka.


3. Memberikan pelayanan hukum yang berkeadilan.
Proses persidangan di pengadilan ada tiga tahap, yaitu:
1. Tahap pra persidangan.
2. Tahap persidangan.
3. Tahap pasca persidangan.
1. Tahap Pra Persidangan
Tahap pra persidangan dalam perkara perceraian adalah sesuai Pasal 130

H.I.R yaitu majlis hakim mendorong para pihak melakukan perdamaian. Kalau

usaha damai oleh majlis hakim tidak berhasil, maka majlis hakim harus

mendorong para pihak untuk melakukan proses mediasi sesuai PERMA No. 1

Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Majlis hakim harus menunda

sidang pemeriksaan perkara untuk menjamin efektifitasnya proses mediasi. Begitu

juga harus ditempuh proses pra persidangan mengenai proses penyelesaian untuk

sengketa harta bersama.


2. Tahap Persidangan
62

Dalam tahap proses persidangan semestinya pengadilan merujuk pada

dasar hukum Pasal 65 UU Peradilan Agama sebagai sumber hukum elementer

dalam penyelesaian sengketa perceraian yang berbunyi: “Perceraian hanya dapat

dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan

berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.” Seharusnya porsi

pemeriksaan perkaranya dalam perkara perceraian sebagian besar dititik beratkan

dan fokus pada usaha perdamaian kepada pihak suami dan istri. Bukan malah

berusaha membuktikan alasan perceraian sesuai Pasal 19 PP No. 9/1975

berdasarkan pada Pasal 163 H.I.R, yaitu: “Barang siapa, yang mengatakan ia

mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya

itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan

adanya hak itu atau adanya kejadian itu.”

Berdasarkan Pasal 54 UU Peradilan Agama, “Hukum Acara yang berlaku

pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata

yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang

telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini.” Sesuai teori “Lex specialis

derogat legi generali, bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis)

mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis)”, semestinya

pengadilan agama mendahulukan menerapkan Pasal 65 UU Peradilan Agama,

yaitu melakukan upaya damai sebagai sumber hukum elementer. Sementara Pasal

163 H.I.R bersifat komplementer atau bersifat melengkapi.

3. Tahap Pasca Persidangan


Pada tahap pasca persidangan pada peradilan tingkat pertama, yaitu setelah

pembacaan putusan oleh majlis hakim dalam sidang yang terbuka untuk umum.
63

Apabila pihak-pihak tidak puas terhadap putusan tingkat pertama, maka ada upaya

hukum banding. Jika setelah jatuh putusan banding masih belum puas, maka ada

upaya hukum kasasi. Setelah jatuh putusan kasasi, maka perkara sudah

berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan amar putusannya dapat

dilaksanakan. Upaya hukum luar biasa peninjauan kembali tidak menunda

pelaksanaan putusan.
Melihat pada ketentuan Pasal 66 ayat (2) UU No. 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung (UU MA) sebagaimana telah diubah dengan UU No. 5 Tahun

2004 ditentukan bahwa permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan

atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan. Dari ketentuan pasal tersebut

dan dari penjelasan pasalnya yang juga berbunyi “cukup jelas”, maka dapat kita

simpulkan bahwa upaya Peninjauan Kembali (PK) tidak akan menunda

pelaksanaan putusan kasasi.


Namun di sisi lain, dalam bukunya “Ruang Lingkup Permasalahan

Eksekusi Bidang Perdata” (hlm. 323), M. Yahya Harahap, S.H. berpendapat

bahwa Pasal 66 ayat (2) UU MA itu:


- Dapat diperlunak secara “kasuistik” dan “eksepsional”;
- Karena yang dilarang pasal itu, mempergunakan permohonan peninjauan

kembali sebagai alasan penundaan eksekusi secara “generalisasi”.


Yahya menyatakan bahwa tidak setiap permohonan peninjauan kembali

mesti menunda atau menghentikan eksekusi. Penerapan yang seperti itu

bertentangan dengan undang-undang. Sebaliknya, undang-undang tidak melarang

pengadilan menunda atau menghentikan eksekusi asal penerapannya secara

“kasuistik” dan “eksepsional”. Dalam keadaan yang sangat mendasar dan

beralasan, permohonan peninjauan kembali dapat dipergunakan sebagai alasan

menunda atau menghentikan eksekusi.


64

Menurut Yahya, peninjauan kembali dapat dianggap sungguh-sungguh dan

mendasar apabila alasan yang diajukan:


a. Benar-benar sesuai dengan salah satu alasan yang ditentukan Pasal 67 UU

MA.
b. Alasan yang dikemukakan didukung oleh fakta atau bukti yang jelas dan

sempurna, dan
c. Dapat diduga majelis hakim yang akan memeriksa PK besar kemungkinan

akan mengabulkannya.
1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka rumusan

masalah yang akan dibahas di dalam penelitian ini adalah:

1.2.1. Bagaimanakah prinsip sederhana, cepat dan biaya ringan

mengenai penyelesaian perkara perceraian pada Pengadilan Agama?


1.2.2. Bagaimanakah prinsip keadilan dalam pembagian harta

bersama akibat perceraian pada Pengadilan Agama?


1.3. Tujuan Penelitian
Dari latar belakang masalah dan rumusan masalah tersebut di muka, maka

penelitian ini bertujuan:


1.3.1. Menganalisis dan menemukan prinsip sederhana, cepat dan

biaya ringan mengenai penyelesaian perkara perceraian pada

Pengadilan Agama.
1.3.2. Menganalisis dan menemukan prinsip keadilan dalam

pembagian harta bersama akibat perceraian pada Pengadilan Agama.


1.4. Manfaat Penelitian
Dari latar belakang masalah, rumusan masalah dan tujuan dalam penelitian

ini, diharapkan penelitian ini memberi manfaat diantaranya adalah:


1.4.1. Manfaat Teoritis/Akademis:

Manfaat teoritis dari penelitian ini diantaranya adalah:


65

1.4.1.1. Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk

pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum,

khususnya dalam bidang hukum acara perdata pada

Pengadilan Agama sesuai prinsip sederhana, cepat dan biaya

ringan mengenai penyelesaian perkara perceraian dan hukum

materiil mengenai pembagian harta bersama akibat

perceraian.
1.4.1.2. Penelitian ini diharapkan dapat menemukan

jawaban permasalahan normatif berkenaan dengan proses

penyelesaian sengketa perkara perceraian yang responsif

terhadap kepentingan masyarakat sesuai dengan prinsip

keadilan dan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya

ringan, dan juga mengenai prinsip keadilan dalam pembagian

harta bersama akibat perceraian.


1.4.2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini diantaranya adalah:

1.4.2.1. Diharapkan dari penelitian ini dapat memberikan

kepastian hukum bagi hakim, para pihak dan kuasa hukum

dalam pelaksanaan proses penyelesaian sengketa perkara

perceraian pada Pengadilan Agama yang responsif terhadap

kepentingan masyarakat sesuai dengan asas peradilan

sederhana, cepat dan biaya ringan, dan juga berkenaan

dengan prinsip keadilan dalam pembagian harta bersama

akibat perceraian.
66

1.4.2.2. Diharapkan dari penelitian ini dapat memberikan

hasil yang memuaskan bagi pencari keadilan dalam

pelaksanaan proses penyelesaian sengketa perkara perceraian

pada Pengadilan Agama yang responsif terhadap kepentingan

masyarakat sesuai dengan asas peradilan sederhana, cepat

dan biaya ringan, dan juga berkenaan dengan prinsip keadilan

dalam pembagian harta bersama akibat perceraian.


1.4.2.3. Sebagai masukan kepada pembentuk hukum ke

depan dalam rangka pembaharuan hukum acara perdata pada,

khususnya berkenaan dengan hukum acara yang berlaku pada

Pengadilan Agama agar melakukan pengkajian secara

mendalam dan luas sehingga hukum yang dihasilkan

responsif terhadap kepentingan masyarakat sesuai dengan

prinsip keadilan dan asas peradilan sederhana, cepat dan

biaya ringan, dan juga mengenai hukum mteriil berkenaan

dengan prinsip keadilan dalam pembagian harta bersama

akibat perceraian.
1.5. Orisinalitas Penelitian
Sejauh penelusuran yang dilakukan oleh peneliti di beberapa perguruan

tinggi tidak ditemukan hasil penelitian disertasi yang judul dan masalahnya mirip

dengan penelitian ini.


1.6. Landasan Teori dan Penjelasan Konsep
1.6.1. Landasan Teori
67

Arti kata landas adalah alas atau tumpuan; arti kata “landasan” adalah alas

atau alas untuk menempa, kata bukti atau keterangan sebagai penguat suatu

kesaksian yang diberikan.37

Landasan adalah dasar tempat berpijak atau tempat di mulainya suatu

perbuatan. Dalam bahasa Inggris, landasan disebut dengan istilah foundation,

yang dalam bahasa Indonesia menjadi fondasi. Fondasi merupakan bagian

terpenting untuk mengawali sesuatu.38 Adapun menurut S. Wojowasito, bahwa

landasan dapat diartikan sebagai alas, ataupun dapat diartikan sebagai fondasi,

dasar, pedoman dan sumber.39

Makna “teori” adalah: 1. pendapat yang didasarkan pada penelitian dan

penemuan, didukung oleh data dan argumentasi; 2. asas dan hukum umum yang

menjadi dasar suatu ilmu pengetahuan.40

Teori adalah serangkaian bagian atau variabel, definisi, dan dalil yang

saling berhubungan yang menghadirkan sebuah pandangan sistematis mengenai

fenomena dengan menentukan hubungan antar variabel, dengan menentukan

hubungan antar variabel, dengan maksud menjelaskan fenomena alamiah.

Labovitz dan Hagedorn mendefinisikan teori sebagai ide pemikiran “pemikiran

37
https://kbbi.web.id/landas, diakses jam 8:21 tanggal 7/12/2017.

38
http://ineusintiawati.blogspot.co.id/2012/03/pengertian-landasan.html, diakses jam 12:35 tanggal
7/12/2017.

39
S. Wojowasito, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Malang: Shinta Dharma, 1972, hlm. 161.

40
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus versi online/daring (dalam jaringan)
https://kbbi.web.id/teori, diakses jam 12:43 tanggal 7/12/2017.
68

teoritis” yang didefinisikan sebagai “menentukan” bagaimana dan mengapa

variable-variabel dan pernyataan hubungan dapat saling berhubungan.41

Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa Latin yang berarti

perenungan, dari kata thea dalam bahasa Yunani yang berarti cara atau hasil

pandang, yaitu suatu konstruksi di alam ide imajinatif manusia tentang realitas-

realitas yang ia jumpai dalam pengalaman hidupnya.42

Berdasarkan pada pengertian di muka, maka landasan teori bermakna

dasar tempat berpijak yang dijadikan pedoman dan sumber yang berasal dari

pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan yang didukung oleh

argumentasi ilmiah.

Berkenaan dengan teori hukum ada beberapa definisi yang dikemukakan

oleh ahli, yaitu:43

1) Hans Kelsen

Teori hukum adalah ilmu pengetahuan megenai hukum yang berlaku

bukan mengenai hukum yang seharusnya. Teori hukum yang dimaksud adalah

teori hukum murni, yang disebut teori hukum positif. Teori hukum murni,

maksudnya karena ia hanya menjelaskan hukum dan berupaya membersihkan

objek penjelasan dari segala hal yang tidak bersangkut paut dengan hukum.

Sebagai teori, ia menjelaskan apa itu hukum, dan bagaimana ia ada.

2) Friedman
41
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, https://id.wikipedia.org/wiki/Teori, diakses jam
12:48 tanggal 7/12/2017.

42
https://krisnaptik.com/polri-4/teori/teori-hukum-dan-pengertian/, diakses jam 1:11 tanggal
7/12/2017.

43
Otje Salman S., 2010, Teori Hukum, Cetakan Ke-2, Bandung, Refika Aditama, hlm. 60-70.
69

Teori hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari esensi hukum

yang berkaitan antara filsafat hukum di satu sisi dan teori politik di sisi lain.

Disiplin teori hukum tidak mendapatkan tempat sebagai ilmu yang mandiri, maka

disiplin teori hukum harus berusaha untuk mendapatkan tempat di dalam disiplin

ilmu hukum secara mandiri.

3) Ian Mc Leod

Teori hukum adalah suatu yang mengarah kepada analisis teoritik secara

sistematis terhadap sifat-sifat dasar hukum, aturan-aturan hukum atau intitusi

hukum secara umum.

4) John Finch

Teori hukum adalah studi yang meliputi karakteristik esensial pada hukum

dan kebiasaan yang sifatnya umum pada sutau sistem hukum yang bertujuan

menganalisis unsur-unsur dasar yang membuatnya menjadi hukum dan

membedakannya dari peraturan-peraturan lain.

5) Bruggink

Teori hukum adalah seluruh pernyataan yang saling berkaitan dengan

sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum dan sistem

tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan. Pengertian ini mempunyai

makna ganda, yakni teori sebagai produk dan proses.

Landasan teori diperlukan dalam suatu penelitian untuk membantu

menentukan arah dan tujuan dalam penelitian, serta memecahkan rumusan

masalah yang ada. Berdasarkan hal itu dikemukakan beberapa pemikiran atau

teori-tori yang dapat dipakai sebagai pisau analisis penelitian ini. Di dalam
70

penelitian disertasi ini mengacu pada teori-teori tentang keadilan, teori tujuan

hukum, teori perlindungan hukum, teori kewenangan, dan teori maslahat.

1.6.1.1. Teori Keadilan

Di dalam penelitian ini yang akan dijadikan landasan mengenai teori

kradilan adalah teori keadilan menurut John Rawls. Konsep keadilan menurut

Rawls tertuang di dalam bukunya yang terkenal A Theory of Justice. Pemikiran

Rawls mengenai keadilan ini termasuk gagasan yang banyak diikuti oleh pemikir-

pemikir sesudahnya terutama mengenai pemikiran di bidang teori hukum yang

relevan untuk dijadikan acuan dalam memecahkan permasalahan dalam penelitian

ini mengenai bagaimanakah prinsip sederhana, cepat dan biaya ringan mengenai

penyelesaian perkara perceraian pada Pengadilan Agama dan bagaimanakah

prinsip keadilan dalam pembagian harta bersama akibat perceraian pada

Pengadilan Agama.

John Rawls (1921-2002) adalah seorang pemikir yang memiliki pengaruh

sangat besar di bidang filsafat politik dan filsafat moral. Melalui gagasan-gagasan

yang dituangkan di dalam A Theory of Justice, Rawls menjadikan dirinya pijakan

utama bagi perdebatan filsafat politik dan filsafat moral kontemporer. Hal ini

dikarenakan jangkauan pemikiran Rawls yang sangat luas dan dalam, yaitu sebuah

upaya untuk melampaui paham utilitarianisme yang sangat dominan di era

sebelum Rawls serta merekonstruksi warisan teori kontrak sosial dari Hobbes,

Locke dan Kant sebagai titik tolak untuk merumuskan sebuah teori keadilan yang

menyeluruh dan sistematis.44

44
Daniels, Norman, (Ed.), Reading Rawls: Critical Studies on Rawls’ A Theory of Justice, Oxford:
Basil Blackwell, 1975, hlm. 27.
71

A Theory of Justice adalah sebuah karya filsafat politik dan filsafat moral

yang kuat, mendalam, luas dan sistematik yang tidak pernah terlihat lagi semenjak

karya-karya John Stuart Mill, atau sebelumnya. Buku ini merupakan sumber mata

air ide-ide yang terintegrasi bersama dalam satu kesatuan yang bagus. Para

pemikir filsafat politik sekarang harus bekerja di dalam teori Rawls, atau harus

menjelaskan mengapa tidak sependapat dengan Rawls.45

Tanggapan-tanggapan atas pemikiran Rawls dalam A Theory of Justice

tersebut datang dari berbagai kalangan, terutama dari para pemikir yang berada di

barisan libertarian, feminis, pembela utilitarianisme, dan komunitarianisme neo-

Aristotelian. Debat antara Rawls dan pendukungnya di satu sisi, serta

pengkritiknya dari kalangan komunitarian neo-Aristotelian di lain sisi bahkan

kemudian menjadi sangat terkenal sebagai “debat liberal-komunitarian” dalam

percaturan filsafat kontemporer. Beberapa di antara filsuf terkenal yang

melibatkan diri di dalam perdebatan ini adalah Rawls sendiri, Jurgen Habermas,

Charles Taylor, Michael Sandel, dan Michael Walzer.46

Mengenai pemikiran Rawls tentang keadilan adalah sebagai berikut:

1) Keadilan Sebagai Fairness


Rawls mengemukakan bahwa kesukarelaan segenap anggota masyarakat

untuk menerima dan mematuhi ketentuan-ketentuan sosial yang ada hanya

dimungkinkan jika masyarakatnya tertata baik di mana keadilan sebagai fairness

45
Nozick, Robert, Anarchy, State, and Utopia, Oxford: Blackwell, 1974, Nozick: 1974, h. 183.

46
Rasuanto, Bur, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas; Dua Teori
Filsafat Politik Modern, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005, h. 26; dan Magnis-Susseno,
Franz, Moralitas dan Nilai-nilai Komunitas: Debat Komunitarisme dan Universalisme Etis dalam
Franz Magnis-Susseno, Pijar-pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam
Muller ke Postmodernisme, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2005, h. 198-216.
72

menjadi dasar bagi prinsip-prinsip pengaturan institusi-institusi yang ada di

dalamnya. Tentang ketentutan-ketentuan sosial yang mengatur kehidupan

bersama, Rawls menekankan upaya untuk merumuskan prinsip-prinsip yang

mengatur distribusi hak dan kewajiban di antara segenap anggota suatu

masyarakat. Titik utama konsep keadilan menurut Rawls adalah penekanannya

terhadap masalah hak dan kewajiban, yang didasarkan pada suatu konsep keadilan

bagi suatu kerja sama sosial. Teori keadilan Rawls memusatkan perhatian pada

cara mendistribusikan hak dan kewajiban secara seimbang di dalam masyarakat

sehingga setiap orang berpeluang memperoleh manfaat secara nyata serta

menanggung beban yang sama. Agar terjamin distribusi hak dan kewajiban yang

berimbang, menurut Rawls, harus ada kesepakatan yang fair di antara semua

anggota masyarakat. Kesepakatan yang fair inilah yang mampu mendorong kerja

sama sosial.47
Kesepakatan yang fair menurut Rawls adalah rumusan kunci untuk

memahami dan menciptakan keadilan. Rawls memandang bahwa kesepakatan

yang fair hanya bisa dicapai dengan adanya prosedur yang tidak memihak. Hanya

dengan suatu prosedur yang tidak memihak, prinsip-prinsip keadilan bisa

dianggap fair. Karenanya, bagi Rawls, keadilan sebagai fairness adalah “keadilan

prosedural murni”. Dalam hal ini, apa yang dibutuhkan oleh mereka yang terlibat

dalam proses perumusan konsep keadilan hanyalah suatu prosedur yang fair yang

tidak memihak untuk menjamin hasil akhir yang adil pula.48

47
Rawls, John, A Theory of Justice, London: Oxford University Press, 1971, h. 4-5.

48
Ujan, Andre Ata, Keadilan dan Demokrasi: Telaah Filsafat Politik John Rawls, Yogyakarta:
Kanisius, 2001, h. 42.
73

Jika dalam penerapan prinsip sederhana, cepat dan biaya ringan mengenai

penyelesaian perkara perceraian pada Pengadilan Agama mengacu pada

kesepakatan yang fair antara pihak-pihak yang berperkara, maka keputusannya

menjadi adil bagi semua pihak. Begitu juga prinsip keadilan dalam pembagian

harta bersama akibat perceraian pada Pengadilan Agama memakai teori

kesepakatan yang fair antara mantan suami isteri untuk kepentingan bersama,

maka hasilnya akan lebih banyak berguna untuk anak keturunannya. Makanya

teori keadilan menurut John Rawls menjadi sangat mendasar dalam kaitannya

dengan penelitian ini.


2) Posisi Asali
Rawls menekankan posisi penting suatu prosedur yang fair demi lahirnya

keputusan-keputusan yang oleh setiap orang dapat diterima sebagai hal yang adil.

Adapun prosedur yang fair ini hanya bisa terpenuhi apabila terdapat iklim

musyawarah yang memungkinkan lahirnya keputusan yang mampu menjamin

distribusi yang fair atas hak dan kewajiban. Rawls menegaskan pentingnya semua

pihak, yang terlibat dalam proses musyawarah untuk memilih prinsip-prinsip

keadilan, berada dalam suatu kondisi awal yang disebutnya “posisi asali” (the

original position).
Gagasan Rawls tentang posisi asali mempunyai pengertian sebagai berikut:
Pertama, adalah penting untuk menegaskan terlebih dahulu bahwa posisi asali

sebagai suatu prasyarat yang niscaya bagi terjaminnya kadilan sebagai fairness.

Namun posisi asali ini bukan sebagai suatu yang riil, melainkan merupakan

sebuah kondisi awal yang bersifat imajiner. Kondisi awal yang imajiner ini harus

diandaikan dan diterima, karena hanya dengan cara ini tercapainya keadilan

sebagai prosedural murni bisa dibayangkan. Hanya saja, kendati bersifat imajiner,
74

posisi asali sudah merupakan syarat yang memadai untuk melahirkan sebuah

konsep keadilan yang bertujuan pada terjaminnya kepentingan semua pihak secara

fair.49
Kedua, setiap orang yang berpartisipasi di dalam proses perumusan prinsip-

prinsip keadilan ini harus benar-benar masuk dalam situasi ideal tersebut. Hanya

saja tidak semua orang dapat masuk ke dalam posisi asali. Hanya orang-orang

tertentu yang dapat masuk ke dalam situasi hipotetis ini, yaitu mereka yang

memiliki kemampuan bernalar sesuai dengan standar formal dalam dunia ilmu

pengetahuan. Ketentuan-ketentuan ilmiah ini membuka peluang bagi semua orang

untuk masuk ke dalam proses musyawarah yang fair.50

Semua pihak yang berada dalam posisi asali harus juga berada dalam

keadaan “tanpa pengetahuan.” Melalui gagasan tentang “keadaan-tanpa-

pengetahuan” tersebut, semua pihak yang ada dalam posisi asali tidak memiliki

pengetahuan mengenai berbagai alternatif yang dapat mempengaruhi mereka

dalam proses perumusan dan pemilihan prinsip-prinsip pertama keadilan. Keadaan

ketidaktahuan akan hal-hal partikular memang menjadi syarat penting untuk

menjamin fairness. Oleh karena itu, semua pihak yang terlibat dalam proses

pemilihan tersebut harus mampu melakukan penilaian atas prinsip-prinsip

keadilan yang senantiasa dipandu oleh pertimbangan-pertimbangan yang umum

sifatnya.51

49
Rawls, John, Op. Cit., h. 120

50
Ibid., h. 130-135.

51
Ibid., h. 136-142.
75

Dalam posisi asali tersebut semua pihak juga diandaikan bersikap saling-

tidak-peduli dengan kepentingan pihak lain. Di sini dimaksudkan bahwa semua

pihak berusaha dengan sungguh-sungguh memperjuangkan apa yang dianggap

paling baik bagi dirinya. Pada saat yang sama, mereka juga dianggap tidak saling

mengetahui apa yang dapat diperoleh pihak lain bagi dirinya sendiri. Sikap saling-

tidak-peduli di antara orang-orang yang ada dalam posisi asali tersebut sebenarnya

lebih sebagai sebuah pengandaian agar semua pihak dalam posisi asali mampu

membebaskan diri dari rasa iri terhadap apa yang mungkin didapatkan oleh orang

lain. Untuk itu, semua orang harus berkonsentrasi hanya pada apa yang terbaik

bagi dirinya sendiri.

Dalam situasi tersebut, maka orang-orang atau para pihak akan

memastikan bahwa prinsip keadilan yang akan dirumuskan bisa menjamin

distribusi “nilai-nilai primer” (primary goods) yang fair. Dalam hal ini, “nilai-nilai

primer” adalah satu-satunya motivasi yang mendorong dan membimbing semua

pihak dalam usahanya memilih prinsip-prinsip pertama keadilan. Dengan nilai-

nilai primer, maka akan tercakup semua nilai sosial dasar yang pasti diinginkan

dan dikejar oleh semua manusia. Sehingga semua manfaat dilihat dan dihayati

sebagai nilai-nilai sosial yang harus dimiliki oleh seseorang agar layak disebut

manusia.
Posisi asali tersebut merupakan refleksi dari konsep moral tentang person.

Setiap manusia diakui dan diperlakukan sebagai person yang rasional, bebas, dan

setara (memiliki hak yang sama). Manusia sebagai person moral pada dasarnya

memiliki dua kemampuan moral, yaitu:


76

(1) Kemampuan untuk mengerti dan bertindak berdasarkan rasa

keadilan dan dengan itu juga didorong untuk mengusahakan suatu kerja

sama sosial.
(2) Kemampuan untuk membentuk, merevisi, dan secara rasional

mengusahakan terwujudnya konsep yang baik. Kedua kemampuan ini

sebagai a sense of justice dan a sense of the good. Kemampuan-

kemampuan moral itu memberikan kemungkinan bagi manusia sebagai

person moral untuk bertindak secara rasional dan otonom dalam

menetapkan cara-cara dan tujuan-tujuan yang dianggap baik bagi dirinya

di satu sisi, serta bertindak berdasarkan prinsip-prinsip keadilan di lain

sisi.52
3) Dua Prinsip Keadilan
Dalam kondisi awal (posisi asali) sebagaimana dijelaskan di atas, semua

pihak akan bersikap rasional; dan sebagai person yang rasional, semua pihak akan

lebih suka memilih prinsip keadilan yang ditawarkannya daripada prinsip manfaat

(utilitarianisme).

Semua nilai-nilai sosial – kebebasan dan kesempatan, pendapatan dan

kekayaan, dan basis harga diri – harus didistribusikan secara sama. Suatu

distribusi yang tidak sama atas nilai-nilai sosial tersebut hanya diperbolehkan

apabila hal itu memang menguntungkan orang-orang yang paling tidak

beruntung.53

Bertolak dari prinsip umum di atas, maka ada dua prinsip keadilan, yaitu:
(1) Setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang

paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang.


52
Ibid., h. 1-88.

53
Daniels, Norman, Op. Cit., h. 62.
77

(2) Ketidak-samaan sosial ekonomi harus diatur sedemikian rupa, sehingga:


a. diharapkan memberi keuntungan bagi bagi orang-oang yang paling

tidak beruntung, dan


b. semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang.54
Supaya terjamin efektivitas dari kedua prinsip keadilan itu, keduanya

harus diatur dalam suatu tatanan yang disebutnya sebagai serial order atau lexical

order.55 Dengan pengaturan seperti ini, maka hak-hak serta kebebasan-kebebasan

dasar tidak bisa ditukar dengan keuntungan-keuntungan sosial dan ekonomi. Hal

ini berarti bahwa prinsip keadilan kedua hanya bisa mendapat tempat dan

diterapkan apabila prinsip keadilan pertama telah terpenuhi. Dengan kata lain,

penerapan dan pelaksanaan prinsip keadilan yang kedua tidak boleh bertentangan

dengan prinsip keadilan yang pertama. Oleh karena itu, hak-hak dan kebebasan-

kebebasan dasar dalam konsep keadilan khusus ini memiliki prioritas utama atas

keuntungan-keuntungan sosial dan ekonomi.56


Pembatasan terhadap hak dan kebebasan hanya diperbolehkan sejauh hal

itu dilakukan demi melindungi dan mengamankan pelaksanaan kebebasan itu

sendiri. Itu berarti, perlu diterima suatu pengaturan secara kelembagaan atas

praktek-praktek kebebasan agar pelaksanaan kebebasan tidak membahayakan

kebebasan yang memang menjadi hak setiap orang.57


Prinsip keadilan yang kedua menuntut bahwa ketidak-samaan dalam

pencapaian nilai-nilai sosial dan ekonomi diperbolehkan apabila tetap membuka


54
Rawls, John, Op. Cit., h. 60.

55
Ibid., h. 63-64.

56
Ibid., h. 250.

Ujan, Andre Ata, Op. Cit., (Ujan: 2001, h. 74)

57
78

peluang bagi pihak lain untuk mendapatkan manfaat dalam hal yang sama. Oleh

karena itu, ketidak-samaan dalam perolehan nilai sosial dan ekonomi tidak harus

selalu dimengerti sebagai ketidak-adilan. Inti dari prinsip keadilan yang kedua

justru terletak pada sisi ini.


Prinsip “perbedaan” dimaksudkan untuk menjamin berlangsungnya suatu

masyarakat yang ideal di mana keterbukaan peluang yang sama (dijamin melalui

prinsip kesempatan yang adil) tidak akan menguntungkan sekelompok orang dan

pada saat yang sama merugikan kelompok orang lainnya. Oleh karena itu, adanya

prinsip “perbedaan” merupakan pengakuan dan sekaligus jaminan atas hak dari

kelompok yang lebih beruntung (the better off) untuk menikmati prospek hidup

yang lebih baik pula. Akan tetapi, dalam kombinasi dengan prinsip kesempatan

yang sama dan adil, prinsip itu juga menegaskan bahwa “kelebihan” berupa

prospek yang lebih baik itu hanya dapat dibenarkan apabila membawa dampak

berupa peningkatan prospek hidup bagi mereka yang kurang beruntung atau

paling tidak beruntung.58


1.6.1.2. Teori Tujuan Hukum
Menurut Achmad Ali, tujuan hukum dapat dilihat dalam tiga (3)

perspektif, yaitu perspektif yuridis-normatif, filsafat hukum dan sosiologi

hukum59. Perbedaan pandangan dalam memandang tujuan hukum, didasarkan

pada keragaman pemaknaan terhadap hukum dari segi bentuk dan hakekat.

Keadilan adalah merupakan salah satu dari tujuan hukum dalam perspektif

filsafat hukum. Teori etis atau etische theory, merupakan teori yang pertama kali

dikemukakan oleh Aristoteles dalam karyanya ”Ethica Nicomachea” dan


58
Rawls, Op. Cit., h. 75.

59
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis Dan Sosiologis, Jakarta: Toko
Gunung Agung, 2002, hal. 72.
79

”Rhetorika”.60 Teori ini mengajarkan bahwa hukum semata-mata bertujuan untuk

mewujudkan keadilan. Menurut teori ini, isi hukum semata-mata harus ditentukan

oleh kesadaran ethis mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil.61

Pertanyaan seputar apa itu “keadilan” adalah sebuah pertanyaan yang

acapkali kita dengar, namun pemahaman yang tepat justru rumit bahkan abstrak,

terlebih apabila dikaitkan dengan pelbagai kepentingan yang demikian

kompleks.62 Keadilan adalah tujuan akhir dari sebuah sistem hukum, yang terkait

erat dengan fungsi sistem hukum sebagai sarana untuk mendistribusikan dan

memelihara suatu alokasi nilai-nilai dalam masyarakat, yang ditanamkan dengan

suatu pandangan kebenaran, yang secara umum merujuk kepada keadilan. 63

Terkadang hukum positif tidak sepenuhnya menjamin rasa keadilan, dan

sebaliknya rasa keadilan sering kali tidak memiliki kepastian hukum, sehingga

komprominya adalah bagaimana agar hukum positif yang ada selalu merupakan

cerminan dari rasa keadilan itu.


Keadilan adalah apa yang hendak dituju dengan atau melalui hukum.

Pengertian keadilan yang luas dapat dikembangkan ke mana pun. Pengertian ini

mengandung muatan yang luas. Hipotesis yang menempatkan keadilan sebagai

60
Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999, hal. 20.

61
Van Apeldomm, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradya Paramita, 1996, hal.12.

62
Robert Reiner dalam tulisannya berjudul “justice” menggambarkan perdebatan tentang keadilan
sebagai suatu ‘essentially contested concept’. Dalam James Penner et.al. (editors), Introduction to
Jurisprudence and Legal Theory (Commentary and Materials), Butterwords, London, 2002, hal.
719. Menurut Plato keadilan merupakan bagian dari virtue (kebajikan). Lam, Etika Sosial, Jakarta:
Rineka Cipta, 1997, hal.117.

63
Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, New York: Rusell
Sage Foundatiolandn,1975, hal. 17-18.
80

tujuan hukum adalah berguna, satu dan lain hal akan bergantung pada cara

bagaimana keadilan itu dipahami.64


Secara filsafati, asas keadilan memiliki keterkaitan dengan

proporsionalitas dan keseimbangan, yang terefleksi dari adanya tiga syarat

minimum agar keadilan mendapat pernyataannya, yaitu:65


1. Adil adalah tengah-tengah, diantara dua ujung ia berada;
2. Adil adalah kesebandingan, yang harus dinyatakan dalam dua bagian yang

sebanding dari apa yang dibagi;


3. Dalam sifatnya sebagai yang adil, harus ada orang-orang tertentu untuk siapa

hal itu adil.


Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau perlakuan yang

adil. Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak memihak dan berpihak

kepada yang benar. Keadilan adalah apabila dipenuhi dua prinsip, yaitu: pertama

tidak merugikan seseorang dan kedua, perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa

yang menjadi haknya.

Majjid Khadduri memberikan komentar, bahwa keadilan merupakan

konsep yang relatif66, pada sisi lain, keadilan merupakan hasil interaksi antara

harapan dan kenyataan yang ada, yang perumusannya dapat menjadi pedoman

dalam kehidupan individu maupun kelompok. Dari makna kata “adala”

kemudian disinonimkan dengan wasth yang menurunkan kata wasith, yang berarti

penengah atau orang yang berdiri di tengah yang mengisyaratkan sikap yang adil.

64
Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia Hukum Perjanjian
Berlandaskan Asas-asas Wigati Indonesia, Bandung: Pt. Rafika Aditama, 2006Op Cit, hal. 213.

65
Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, Filsafat Hukum, Mazhab dan Refleksinya, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1994, hal. 26.

66
Majjid Khadduri, The Islamik Conception of Justice, Baltimore and London: The Jhons
Hoopkins University Press, 1984, hal. 1.
81

Kata adil disinonimkam dengan inshaf yang berarti sadar, karena orang

yang adil adalah orang yang sanggup berdiri di tengah tanpa a priori memihak.

Orang yang demikian adalah orang yang selalu menyadari persoalan yang

dihadapinya, sehingga setiap keputusan yang diambil akan menjadi benar. 67

Menurut Murtadha al Muthahhari keadilan haruslah memperhatikan hak-hak

pribadi atau golongan dengan memberikan hak itu kepada yang berhak sedang

lawan dari keadilan adalah kezaliman yaitu keadaan dimana tidak menempatkan

hak pada mestinya.68


Dengan demikian, sebenarnya adil atau keadilan itu sulit untuk dilukiskan

dengan kata-kata, akan tetapi lebih dekat untuk dirasakan. Orang lebih mudah

merasakan adanya keadilan atau ketidakadilan ketimbang mengatakan apa dan

bagaimana keadilan itu. Memang terasa sangat abstrak dan relatif, apalagi tujuan

adil atau keadilan itupun beraneka ragam, tergantung mau dibawa kemana.
Menurut kajian filsafat, ada berbagai macam teori menangani keadilan dan

masyarakat yang adil, diantaranya teori keadilan Aristoteles. Pandangan

Aristoteles tentang keadilan dapat kita lihat dalam bukunya nichomachean ethics,

politics, dan rethoric. Lebih khususnya, dalam buku nicomachean ethics, buku ini

sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang berdasarkan filsafat umum Aristoteles,

mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, karena hukum hanya bisa

ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan. Aristoteles berpendapat bahwa

keadilan harus dipahami dalam pengertian kesamaan. Kesamaan dibagi dua,

67
Nurcholis Madjid, Islam kemanusiaan dan kemoderenan, Doktrin dan Peradaban, sebuah
Telaah Kritis Tentang Masalah Keimaanan, Jakarta: Yayasan Wakaf, Cetakan Ke 2,1992, hal. 512.

68
Ibid, hal. 513-516.
82

kesamaan numerik dan kesamaan proporsional.69Kesamaan numerik

mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit yang sekarang biasa dipahami

kesamaan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan

proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan

kemampuan, prestasi, dan sebagainya. Ini memberikan makna bahwa keadilan

merupakan suatu pendapat mengenai nilai secara pribadi. Selanjutnya untuk hal-

hal yang sama diperlakukan sama dan yang tidak sama juga diperlakukan tidak

sama, secara proporsional.


Lebih lanjut, Aristoteles membedakan keadilan menjadi jenis keadilan

distributif dan keadilan korektif. Keadilan distributif bahwa imbalan yang sama

rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Distribusi yang adil boleh jadi

merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikan, yakni nilai bagi

masyarakat.70 Di sisi lain, keadilan korektif fokus pada pembentulan sesuatu yang

salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, keadilan

korektif berusaha memberikan kompensasi/hukuman yang memadai bagi pihak

yang dirugikan.71Bagaimanapun, ketidak-adilan akan mengakibatkan

terganggunya kesetaraan yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan

korektif bertugas membangun kembali kesetaraaan tersebut.


Keadilan yang dikembangkan oleh filosof Aristotelis dengan teori etisnya,

memiliki relevansi dengan asas`keadilan sebagai bagian dari asas umum dalam

hukum Islam. Asas keadilan merupakan asas yang penting dan mencakup semua

69
Fridrich, Carl Joachim, Filsafat Hukum Pepektif Historis, Bandung: Nusamedia, 2004, hal. 24.

70
Ibid., hal. 25

71
Ibid, hal. 26
83

asas dalam bidang hukum Islam.72 Hal ini pula yang dikembangkan para Islamic

juries (fuqoha) di mana pertimbangan yang dominan dalam ukuran maslahat

adalah keadilan.
Maslahat adalah merupakan inti dari tujuan syari'at. Pada dasarnya tujuan

utama disyariatkan hukum adalah untuk memelihara kemaslahatan dan sekaligus

menghindari kemafsadatan baik di dunia maupun di akherat. Ia bertujuan untuk

melindungi dan mengembangkan perbuatan-perbuatan yang lebih banyak

mendatangkan kemashlahatan, dan melarang perbuatan-perbuatan yang membawa

pada bahaya dan pengorbanan yang tidak semestinya.73 Bahkan menurut Abu

Zahrah, tidak ada satupun hukum yang disyari'atkan melainkan di dalamnya

terdapat kemaslahatan.74 Dengan demikian tujuan hukum Islam adalah

kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individu dan sosial.
Keadilan merupakan bagian yang diperjuangkan dalam maslahat. Hal ini

didasarkan pada teori yang dikembangkan para Islamic juries (fuqoha)75 di mana

pertimbangan yang dominan dalam ukuran maslahat adalah keadilan. Keadilan

(al-adalah), kebebasan (al-hurriyah), dan persamaan (al-musawah) merupakan

sendi dasar ajaran Islam.76


72
Zainuddin Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia), Jakarta: Sinar Grafika,
2006, hal. 45.

73
Sofyan Hasan, Dasar-dasar Memahami Hukum Islam di Indonesia, Surabaya: Usaha Nasional,
hal. 21.

74
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Cairo: Dar al-Fikr al-Arab, 1958, hal. 336.

75
Para ahli hukum yang konsen dalam mengukur maslahat dengan keadilan adalah seperti
Munawir Sadjali, dan Masdar F. Mas'udi. Kedua tokoh muslim Indonesia ini, oleh kebanyakan
umat dianggap pemikirannya kontroversial. Salah satu pemikiran Munawir sadjali yang dianggap
kontroversial adalah pandangannya tentang pembagian harta waris yang termuat dalam Q.S. (4):17
yang dipandangnya tidak adil.

76
Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: dari Nalar Partisipatoris hingga Emansipatoris,
Yogyakarta: Lkis, 2005, hal. 209.
84

Menurut asy-Syathibi, tujuan utama syari'at Islam adalah mencapai

kesejahteraan manusia yang terletak pada perlindungan terhadap lima

kemaslahatan (usῡ al-khamsah), yaitu memelihara agama (ḥifzh ad-dien), jiwa

(ḥifzh an-nafs), intelektual (ḥifzh al-aql), keluarga dan keturunan (ḥifzh an-nasl),

dan harta (ḥifzhal-mal).77Kelima hal tersebut merupakan kebutuhan dasar

manusia, yaitu kebutuhan yang mutlak harus dipenuhi agar manusia dapat hidup

di dunia dan di akhirat. Salah satu saja tidak terpenuhi atau terpenuhi tetapi tidak

balances (seimbang) akan berakibat pada tidak tercapainya falaḥ, yakni

kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.78


Mengenai keadilan itu sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata, akan tetapi

lebih dekat untuk dirasakan, demikianlah yang terjadi dalam penyelesaian perkara

perceraian pada Pengadilan Agama dan pembagian harta bersama akibat

perceraian pada Pengadilan Agama. Dengan memakai teori tujuan hukum

diharapkan prinsip sederhana, cepat dan biaya ringan menjadi kenyataan dalam

penyelesaian perkara perceraian pada Pengadilan Agama. Begitu juga prinsip

keadilan dalam pembagian harta bersama akibat perceraian pada Pengadilan

Agama diharapkan menjadi terwujud dengan memakai teori tujuan hukum.


1.6.1.3. Teori Perlindungan Hukum

Equality before the law, merupakan prinsip yang melekat pada setiap

negara yang menyatakan diri sebagai negara hukum. Dalam prinsip ini setiap

orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum dan tanpa membedakan

77
Asy-Syathibi Li Abi Ishaq, Al-Muwafaqat Fi al-Ushul asy-Syari'ah, Beirut: Dar al-Kutub
al-'Alamiyah, 2003, Jilid. II, hal. 8.

78
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Berbagai Aspek Ekonomi Islam,
Yogyakarta: PT Tiara Wacana dan P3EI UII,2008. hal. 3-4.
85

status hukum seseorang79. Dalam negara hukum, pemerintah sebagai representasi

dari negara, harus memastikan jaminan terlindunginya setiap warga negara dari

kemungkinan terjadinya ketidak-adilan terhadap dirinya, dan juga untuk

melindungi segenap bangsa di dalam suatu negara serta mewujudkan keadilan

sosial bagi seluruh rakyat dari negara itu adalah termasuk di dalam makna

perlindungan hukum. Hal seperti itu merupakan teori perlindungan hukum yang

dikemukakan oleh H.W.R. Wade dan terungkap setelah memperhatikan

pandangannya: “...the need to protect the citizen against arbitrary goverment”80.

Perlindungan hukum bagi subyek hukum, terutama penduduk atau citizen

sebagaimana dikemukakan dalam teori Wade di atas itu merupakan semangat yang

cocok dengan pembentukan dan pendirian negara. Perlindungan hukum yang

ditempuh melalui suatu proses peradilan memiliki asas-asas hukum yang

mendasarinya. Demikian pula, perlindungan hukum yang ditempuh melalui upaya

pembuatan dan pencantuman langkah-langkah melalui proses peradilan yang

memiliki tujuan, ruang lingkup, direncanakan melalui strategi dan kebijakan.

Semua hal itu dapat dijumpai dalam setiap proses peradilan yang utama diadakan

dengan persamaan tujuan yaitu perlindungan hukum.

Hal-hal yang lebih terperinci segala upaya yang identik dengan

perlindungan hukum bagi rakyat ditemukan, dianalisis dan digambarkan atau

diuraikan dalam penelitian ini. Manakala perlindungan hukum harus dimengerti

menurut teori kontrak sosial, maka apa yang disebut perlindungan hukum itu
79
Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Madju, Bandung,
2014, h. 10.

80
H. W. R. Wade, Character of the Law, Chapter One, Administrative Law, English-Book Society,
Oxford University Press, London, 1986, hal., 27-35.
86

sebenarnya adalah suatu hubungan hukum yang dikonseptualisasikan dengan

kontrak sosial. Kontrak sosial ini dalam perspektif teori keadilan bermartabat yaitu

Pancasila sebagai kesepakatan pertama81.

Kontrak sosial itu telah mengalami penyederhanaan dengan dibentuknya

berbagai Undang-undang di banyak negara di dunia. Undang-undang dibentuk

dengan konsep melindungi masyarakat. Ada baiknya dasar teori perlindungan

hukum ala Hobbes itu dikemukakan di bawah ini. Dalam kosepsi atau Hobbes’

doctrine of authorisation yang dirumuskan:

When the people appoint the sovereign, they do not simply estabished a de
facto power able to dominate them through superior might. Rather, they
authorise him to act as he sees fit so that he act by right of the people, who
are de jure obligated to obey him. The social contract does not merely create
the sovereign de facto, it creats a moral-juridical relationship between
sovereign and people in which the people acknowledge the soverign’s acts as
their own and are obigated to obey his commands because he commands as
of right82.

Kutipan di atas mengandung makna bahwa ketika rakyat menunjuk

seorang penguasa, mereka tidak hanya sekedar membentuk suatu kekuasaan

faktuil (de facto) yang dapat melindungi mereka melalui penggunaan kekuasaan

yang dimilikinya. Namun lebih kepada adanya kekuasaan dan kemampuan bagi

penguasa untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu jika memang diperlukan,

sehingga penguasa dapat bertindak sesuai dengan kewenangan yang dimandatkan

kepadanya oleh rakyat, yang secara yuridis (de jure) diwajibkan untuk

mematuhinya.
81
Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat, Perspektif Teori Hukum, Cetakan Pertama, Nusa Media,
Bandung, 2015.

82
D. Gauthier, The Logic of Leviathan, Oxford University Press, Oxford, 1969, Chapter IV., hal.,
98.
87

Kontrak sosial itu tidak sekedar menciptakan kekuasaan berdaulat secara

de facto bagi penguasa, namun lebih untuk menciptakan hubungan hukum yang

berintikan moral untuk menegakkan hukum antara si penguasa dengan rakyat,

dimana rakyat mengakui upaya yang ditempuh oleh penguasa, sehubungan dengan

itu, maka rakyat memikul kewajiban untuk mematuhi setiap perintah penguasa

karena apa yang diperintahkannya adalah apa yang baik menurutnya. Oleh karena

itu, rakyat sebagai pihak yang diperintah memiliki kewajiban untuk mentaatinya.

Penelitian ini mengacu pada teori perlindungan hukum agar pihak-pihak

yang sedang mengajukan perkara perceraian menjadi terlindungi kepentingannya.

Dengan teori perlindungan hukum prinsip sederhana, cepat dan biaya ringan

mengenai penyelesaian perkara perceraian pada Pengadilan Agama menjadi

mengejawantah untuk melindungi kepentingan pihak-pihak yang terlibat dalam

perkara perceraian. Dan dengan memakai teori perlindungan hukum, prinsip

keadilan dalam pembagian harta bersama akibat perceraian pada Pengadilan

Agama dirasakan oleh pihak-pihak yang bersengketa.

1.6.1.4. Teori Kewenangan

Dalam lapangan hukum administrasi, sering digunakan istilah wewenang

dan kewenangan secara silih bergansi. Bahkan tidak jarang antara kedua istilah ini

diberikan makna yang sama. Istilah wewenang (authority, competence)83 sering

digunakan silih berganti dengan istilah kewenangan. Dalam kamus W.J.S.

Poerwadarminta, wewenang adalah hak dan kekuasaan (untuk menjalankan

83
E John M Echols, & Hassan Shadily, Kamus Indonesia-Inggris, Gramedia, Jakarta, 1977, hal.
1150.
88

sesuatu)84. Sedangkan menurut Tim Penyusun Kamus dari Pusat Pembinaan dan

Pengembangan Bahasa mengartikan wewenang sebagai: 1) hak dan kekuasaan

untuk bertindak, 2) kekuasaan membuat keputusan, memerintah dan

melimpahkan tanggungjawab kepada orang lain85. Hassan Shadhily

menerjemahkan wewenang (authority) sebagai “hak atau kekuasaan memberi

perintah atau bertindak untuk mempengaruhi tindakan orang lain agar sesuatu

dilakukan sesuai yang diingini”86.

Lebih lanjut Hassan Shadhily mengatakan bahwa proses delegation of

authority dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: 1) menentukan

tugas bawahan tersebut, 2) penyerahan wewenang itu sendiri, dan 3) timbulnya

kewajiban melakukan tugas yang sudah ditentukan itu 87. Menurut I Dewa Gede

Atmadja, konsep wewenang dapat difahami melalui sumber wewenang dan

konsep pembenaran tindakan kekuasaan pemerintahan. Teori sumber wewenang

tersebut meliputi atribusi, delegasi dan mandate88. Dalam hal authority sebagai

kekuasaan, menurut Miriam Budiardjo terjadi melalui proses dalam diri manusia

ketika berusaha mencapai tujuannya. Selanjutnya Miriam Budiardjo menyatakan

bahwa:

84
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1986, hal.
1150.

85
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal. 1011.

86
Ibid., hal. 1170.

87
Ibid., hal. 173.

88
Ibid.
89

...dalam usaha untuk mencapai tujuannya, orang sering perlu memaksakan


kemauannya atas orang lain, sehingga menimbulkan perasaan pada dirinya
bahwa mengendalikan orang lain adalah syarat mutlak untuk
keselamatannya sendiri. Ia ingin mencapai suatu kedudukan dimana ia
dapat memaksa orang lain supaya taat kepadanya, atau dengan perkataan
lain, ia ingin kekuasaan.89

Dalam penggunaan wewenang terdapat dua pihak, yaitu pihak yang

memerintah dan pihak yang diperintah atau dengan istilah yang lebih sederhana

adalah antara yang memberi wewenang dan yang menerima wewenang. Untuk

dapat memberikan perintah kepada orang lain, maka wewenang penyelenggara

pemerintahan dalam suatu negara hukum mensyaratkan adanya legitimasi

kekuasaan melalui peraturan perundang-undangan atau sering diungkapkan

sebagai asas legalitas. Sedangkan menurut Ossip K. Flechtheim:

Kekuasaan sosial adalah keseluruhan daripada kemampuan, hubu-ngan-


hubungan dan proses-proses yang menghasilkan ketaatan dari pihak lain. ....
untuk tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh pemegang kekuasaan (social
power is the sum total of all thoses capacities, relationship and processes
by which compliance of others is secured.... for ends determined by the
power holder).90

Senada dengan pendapat di atas, Mac Iver memberikan definisi dan

pengertian yang lebih tegas, yaitu:

Kekuasaan sosial adalah kempuan untuk mengendalikan kelakuan orang


lain baik secara langsung dengan jalan memberikan perintah maupun secara
tidak langsung dengan jalan mempergunakan segala alat dan cara yang ada
(social power is the capacity to control the behavior of others either
directly by fiat or indirectly by the manipulation of available means.91.

89
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hal. 28.

90
Ossip K. Flechtheim, Fundamental of Political Science, Ronald Press Co., New York, 1952, hal.
16.
90

Selain itu, Mac Iver juga mengemukakan bahwa kekuasaan dalam suatu

masyarakat selalu berbentuk piramida92. Bentuk piramida kekuasaan itu oleh

Mariam Budiardjo digambarkan, sebagai berikut:

... karena kenyataan bahwa kekuasaan yang satu membuktikan dirinya lebih
unggul daripada lainnya, hal mana berarti bahwa yang satu itu lebih kuat
dengan jalan mensubordinasikan kekuasaan lainnya itu. Atau dengan
perkataan lain struktur piramida kekuasaan itu terbentuk oleh kenyataan
dalam sejarah masyarakat, bahwa golongan yang berkuasa (dan yang
memerintah) itu relatif selalu lebih kecil jumlahnya daripada golongan yang
dikuasai (dan yang diperintah). .... Gaetano Mosca mendalilkan bahwa the
many are ruled by the few. Dan kenyataan tersebut berlaku, baik dalam
sistem demokrasi maupun diktator.93

Mengenai cara memperoleh wewenang menurut F.A.M. Stroink dan J.G.

Steenbeek mengungkapkan bahwa:

Terdapat dua cara organ pemerintahan memperoleh wewenang, yaitu


atribusi dan delegasi “er bestaan slecht twee wijzen waarop een orgaan aan
bevoegheid aan komen, namelijk attributie en delegatie yang menjelaskan
bahwa atribusi dan delegasi bermakna: “atribusi berkenan dengan
penyerahan wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut pelimpahan
wewenang yang sudah ada (oleh organ yang telah mempengaruhi wewenang
secara atributif kepada organ lain; jadi delegasi secara logis selalu didahului
atribusi.94

Senada dengan pendapat di atas, terkait dengan sumber wewenang,

Philipus M. Hadjon, menyatakan bahwa: “Setiap tindak pemerintahan disyaratkan

harus bertumpu atas kewenangan yang sah. Kewenangan itu dperoleh melalui tiga

91
Robert M. Mac Iver, The Web of Government, The Mac-Millan Company, New York, 1961, hal.
87.

92
Ibid.

93
Miriam Budiardjo, op.cit., hal. 29.

94
F.A.M. Stroink en J.G. Steenbeek, Inleiding in het Staats en Administratief Recht, Samson H.D.,
Tjeenk Wilink, Alphen aan den Rijn, 1985, hal. 40.
91

sumber, yaitu atribusi, delegasi dan mandat”. Kewenangan atribusi lazimnya

digariskan melalui pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang dasar,

sedangkan kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal

dari “pelimpahan”.95 Apabila tugas pemerintahan sebagai penyelenggara

pemerintahan dilengkapi dengan wewenang yang menurut hukum positif telah

ditentukan dan diatur, maka tindakan legal (sah menurut hukum) tidak perlu

dikhawatirkan akan tetapi sebaliknya.

Sebagai pengejawantahan dari teori kewenangan ini dalam praktik

peradilan khusunya pada Pengadilan Agama, Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 5

ayat (1) telah memberi legalitas untuk teori kewenangan ini. Pengadilan dalam hal

ini hakim harus membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala

hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat,

dan biaya ringan. Begitu juga hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami

nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Dalam kaitannya dengan permasalahan dalam penelitian ini, yaitu

bagaimanakah prinsip sederhana, cepat dan biaya ringan mengenai penyelesaian

perkara perceraian pada Pengadilan Agama dan bagaimanakah prinsip keadilan

dalam pembagian harta bersama akibat perceraian pada Pengadilan Agama.

Pengadilan dan hakim diberi kewenangan oleh Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman agar membantu

pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk

dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Untuk
95
Ibid.
92

mencapai keadilan dalam pembagian harta bersama akibat perceraian pada

Pengadilan Agama, maka hakim diperintahkan wajib menggali, mengikuti, dan

memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

1.6.1.5. Teori Maslahat

Maslahat secara etimologi adalah kata tunggal dari kata al-masᾱlih, yang

searti dengan kata ṣolah, yaitu "mendatangkan kebaikan.96 Setiap segala sesuatu

apa saja, yang mengandung manfaat di dalamnya baik untuk memperoleh

manfaat, kebaikan, maupun untuk menolak kemudharatan, disebut dengan

maslahat. Dalam konteks kajian usul fikih, kata maṣlahah menjadi sebuah istilah

teknis yang berarti "berbagai manfaat yang dimaksudkan syar'i dalam penetapan

hukum bagi hamba-hamba-Nya, yang mencakup tujuan untuk memelihara agama,

jiwa, akal, keturunan dan harta kekayaan, serta mencegah hal-hal yang dapat

mengakibatkan luputnya seseorang dari kelima kepentingan tersebut.97

Maslahat adalah merupakan inti dari tujuan syari'at. Pada dasarnya tujuan

utama disyariatkan hukum adalah untuk memelihara kemaslahatan dan sekaligus

menghindari kemafsadatan baik di dunia maupun di akherat. Ia bertujuan untuk

melindungi dan mengembangkan perbuatan-perbuatan yang lebih banyak

mendatangkan kemashlahatan, dan melarang perbuatan-perbuatan yang membawa

pada bahaya dan pengorbanan yang tidak semestinya.98 Bahkan menurut Abu

Zahrah, tidak ada satupun hukum yang disyari'atkan melainkan di dalamnya

96
Ibn Manzhur, Kamus Lisanul ‘Arab, Beirut: Dar Shadir, Cet.I, tt., hal. 517.

97
M. Hasbi Umar, Nalar Fikih Kontemporer, Jakarta: Gaung Persada Press, 2007, hal.112.

98
Sofyan Hasan, Op.Cit., hal. 21.
93

terdapat kemaslahatan.99 Dengan demikian tujuan hukum Islam adalah

kemaslahatan hidup manusia, baik rohani maupun jasmani, individu dan sosial.

Al-Ghazali merumuskan maslahat sebagai suatu tindakan memelihara

tujuan syara’ atau tujuan hukum Islam, sedangkan tujuan hukum Islam menurut

al-Ghazali adalah memelihara lima hal di atas. Setiap hukum yang mengandung

tujuan memelihara salah satu dari lima hal di atas disebut maslahah, dan setiap hal

yang meniadakannya disebut mafsadah, dan menolak mafsadah disebut maslahah.

Menurut Mahmuzar, berdasarkan kepada beberapa pengertian dari para Ulama,

maslahah mursalah adalah salah satu cara dalam melakukan ijtihad dalam rangka

menggali hukum (istinbat) Islam, akan tetapi berdasarkan kepada nash tertentu

melainkan berdasarkan kepada pendekatan maksud diturunkan hukum syara’

(maqosid asy-syari’ah).100

Keadilan merupakan bagian yang diperjuangkan dalam maslahat. Hal ini

didasarkan pada teori yang dikembangkan para Islamic juries (fuqoha)101 di mana

pertimbangan yang dominan dalam ukuran maslahat adalah keadilan. Keadilan

(al-adalah), kebebasan (al-hurriyah), dan persamaan (al-musawah) merupakan

sendi dasar ajaran Islam.102

99
Muhammad Abu Zahrah, Op.Cit., hal. 336.

100
Mahmuzar, Maslahah Mursalah: Suatu Metode Istinbat Hukum, diakses dari http://fush.uin-
suska.ac.id/attachments/073_Mahmuzar.pdf, 17/12/2014.

101
Para ahli hukum yang konsen dalam mengukur maslahat dengan keadilan adalah seperti
Munawir Sadjali, dan Masdar F. Mas'udi. Kedua tokoh muslim Indonesia ini, oleh kebanyakan
umat dianggap pemikirannya kontroversial. Salah satu pemikiran Munawir sadjali yang dianggap
kontroversial adalah pandangannya tentang pembagian harta waris yang termuat dalam Q.S. (4):17
yang dipandangnya tidak adil.

102
Fuad Mahsun, Op.Cit., hal. 209.
94

Menurut asy-Syathibi, tujuan utama syari'at Islam adalah mencapai

kesejahteraan manusia yang terletak pada perlindungan terhadap lima

kemaslahatan (usῡ al-khamsah), yaitu memelihara agama (ḥifzh ad-dien), jiwa

(ḥifzh an-nafs), intelektual (ḥifzh al-aql), keluarga dan keturunan (ḥifzh an-nasl),

dan harta (ḥifzhal-mal).103 Kelima hal tersebut merupakan kebutuhan dasar

manusia, yaitu kebutuhan yang mutlak harus dipenuhi agar manusia dapat hidup

di dunia dan di akhirat. Salah satu saja tidak terpenuhi atau terpenuhi tetapi tidak

balances (seimbang) akan berakibat pada tidak tercapainya falaḥ, yakni

kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.104

Segala macam kasus hukum baik yang secara eksplisit diatur di dalam al-

Qur’an dan al-Hadis maupun yang dihasilkan melalui ijtihad, harus bertitik tolak

dari tujuan tersebut. Dalam kasus hukum yang secara eksplisit dijelaskan di dalam

kedua sumber utama tersebut, kemaslahatan dapat ditelusuri melalui teks yang

ada. Jika ternyata kemaslahatan itu dijelaskan maka ia (kemaslahatan) itu harus

dijadikan titik tolak penetapan hukumnya. Kemaslahatan seperti ini biasanya

disebut dengan al-maṣlahah al-mu’tabarah. Berbeda halnya jika kemaslahatan itu

tidak dijelaskan secara eksplisit dalam kedua sumber itu, peranan mujtahid sangat

menentukan untuk menggali dan menemukan “maslahat” yang terkandung dalam

penetapan hukum.105

103
Asy-Syathibi Li Abi Ishaq, Loc Cit.

104
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Op.Cit., hal.3-4.

105
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta: Logos, 1995,
hal.37.
95

Pada dasarnya pengadilan menyelesaikan perkara adalah untuk

kemaslahatan. Kemaslahatan yang ingin dicapai oleh pengadilan adalah

kemaslahatan khususnya untuk pihak-pihak yang bersengketa. Selain itu juga

kemaslahatan untuk keluarganya dan masyarakat. Karena setelah masyarakat

melihat hasil kemaslahatan yang diterima oleh pihak-pihak yang bersengketa,

maka mereka memilih menyelesaikannya secara kekeluargaan.

1.6.2. Penjelasan Konsep


Arti konsep adalah: 1. rancangan atau buram surat, 2. ide atau pengertian

yang diabstrakkan dari peristiwa konkret.106 Konsep atau anggitan adalah abstrak,

entitas mental yang universal yang menunjuk pada kategori atau kelas dari suatu

entitas, kejadian atau hubungan. Istilah konsep berasal dari bahasa latin

conceptum, artinya sesuatu yang dipahami. Aristoteles dalam "The classical

theory of concepts" menyatakan bahwa konsep merupakan penyusun utama dalam

pembentukan pengetahuan ilmiah dan filsafat pemikiran manusia. Konsep

merupakan abstraksi suatu ide atau gambaran mental, yang dinyatakan dalam

suatu kata atau simbol. Konsep dinyatakan juga sebagai bagian dari pengetahuan

yang dibangun dari berbagai macam kharakteristik.107


Secara istilah, konsep didefinisikan oleh para ahli, yaitu:108
1) Soedjadi menyatakan bahwa pengertian konsep adalah ide abstrak yang

dapat digunakan untuk mengadakan klasifikasi atau penggolongan yang pada

umumnya dinyatakan dengan suatu istilah atau rangkaian kata.

106
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus versi online/daring (dalam jaringan),
https://kbbi.web.id/konsep, diakses jam 1:19 tanggal 7/12/2017.

107
https://id.wikipedia.org/wiki/Konsep, diakses jam 1:21 tanggal 7/12/2017.

108
http://www.kuliah.info/2015/05/konsep-adalah-apa-itu-konsep-ini.html, diakses jam :23 tanggal
7/12/2017.
96

2) Bahri menyatakan bahwa pengertian konsep adalah satuan arti yang

mewakili sejumlah objek yang mempunyai ciri yang sama. Orang yang

memiliki konsep mampu mengadakan abstraksi terhadap objek-objek yang

dihadapi, sehingga objek-objek ditempatkan dalam golongan tertentu. Objek-

objek dihadirkan dalam kesadaran orang dalam bentuk representasi mental tak

berperaga. Konsep sendiri pun dapat dilambangkan dalam bentuk suatu kata

(lambang bahasa).
3) Singarimbun menyatakan bahwa pengertian konsep adalah generalisasi

dari sekelompok fenomena tertentu, sehingga dapat dipakai untuk

menggambarkan barbagai fenomena yang sama. Konsep merupakan suatu

kesatuan pengertian tentang suatu hal atau persoalan yang dirumuskan. Dalam

merumuskan kita harus dapat menjelaskannya sesuai dengan maksud kita

memakainya.
Dari beberapa pengertian yang sudah disebutkan di muka, maka konsep

berarti ide atau pengertian yang diabstrakkan dari suatu kesatuan pengertian

tentang suatu hal atau persoalan yang dirumuskan yang mewakili sejumlah objek

yang mempunyai ciri yang sama yang mampu mengadakan abstraksi terhadap

objek-objek yang dihadapi, sehingga objek-objek ditempatkan dalam golongan

tertentu.
Berlandaskan teori keadilan menurut John Rawls, teori tujuan hukum,

teori perlindungan hukum, teori kewenangan, dan teori maslahat, maka konsep

penelitian ini dijelaskan sebagai berikut:


1.6.2.1. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia

Kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami perubahan yang sangat

mendasar sejak Masa Reformasi, diawali dengan adanya TAP MPR RI Nomor
97

X/MPR/1999 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka

Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara

menuntut adanya pemisahan yang tegas antara fungsi-fungsi yudisial dan

eksekutif. Sejak adanya TAP MPR tersebut, peraturan yang mengatur tentang

kekuasaan kehakiman yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diubah dengan Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor

14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Perubahan pokok dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-

ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman hanya mengenai penghapusan campur

tangan kekuasaan eksekutif terhadap kekuasaan kehakiman (judikatif). Perubahan

penting dalam kekuasaan kehakiman adalah segala urusan organisasi, administrasi

dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya

berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung yang sebelumnya, secara

organisatoris, administrasi dan finansial badan peradilan yang berada di bawah

Mahkamah Agung berada di bawah departemen.

Selanjutnya Kekuasaan Kehakiman di Indonesia mengalami

perkembangan dan perubahan dengan adanya Amandemen Undang-Undang Dasar

1945 menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

telah mengubah sistem penyelenggaraan negara di bidang yudisial atau kekuasaan

kehakiman sebagaimana termuat dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman

Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C dan Pasal 25.
98

Berdasarkan pasal-pasal tersebut, kekuasaan kehakiman yang semula

dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama,

Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara dengan Mahkamah Agung

sebagai pengadilan tertinggi kemudian berubah menjadi kekuasaan kehakiman

dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya dalam

lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan

Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah pelaksana

kekuasaan kehakiman baru yang disebut Mahkamah Konstitusi.

Dengan adanya perubahan tersebut, akhirnya undang-undang yang

mengatur tentang kekuasaan kehakiman di Indonesia mengalami perubahan pula

karena harus disesuaikan dengan Undang-Undang Dasar sebagai peraturan yang

lebih tinggi agar peraturan yang tingkatnya lebih rendah tidak bertentangan

dengan peraturan yang lebih tinggi. Kekuasaan kehakiman yang semula diatur

dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman dirubah dengan diundangkannya Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun

1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, kemudian

diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman dan karena Undang-Undang ini sudah tidak sesuai lagi dengan

perkembangan kebutuhan hukum dan ketatanegaraan menurut Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 maka diganti dengan Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.


99

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Kekuasaan kehakiman di Indonesia dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah

Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dalam lingkungan Peradilan

Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan

Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Masing-masing peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman diatur

dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana terurai di bawah ini.

1.6.2.2. Kewenangan Mahkamah Agung

Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Mahkamah Agung

dan badan peradilan yang berada di bawahnya adalah sebagai berikut:

1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;


2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum

dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan

Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;


100

3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009

tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara;


4) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan

Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;


5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Mahkamah Agung merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman

di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 24 ayat (2 )dan pasal 24A ayat (1) dan

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman serta

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana

telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Dalam undang-undang ini mengatur tentang kedudukan, susunan,

kekuasaan, hukum acara yang berlaku pada pemeriksaan perkara di Mahkamah

Agung. Mahkamah Agung berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia.


101

Kewenangan Mahkamah Agung adalah:

a. Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus:


– permohonan kasasi;
– sengketa tentang kewenangan mengadili;
– permohonan peninjauan kembali.
b. Menguji peraturan perundang-undangan yang di bawah undang-undang

terhadap undang-undang.
c. kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Mahkamah Agung berwenang juga:
- melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di

semua lingkungan peradilan yang berada di bawahnya dalam menjalankan

kekuasaan kehakiman;
- melakukan pengawasan organisasi, administrasi badan peradilan yang ada

di bawahnya;
- meminta keterangan tentang hal-hal yang berkaitan dengan teknis

peradilan dari semua badan yang berada di bawahnya;


- memberi petunjuk, teguran, atau peringatan kepada pengadilan di semua

badan yang berada di bawahnya;


- memberikan pertimbangan hukum kepada presiden dalam permohonan

grasi dan rehabilitasi;


- dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum

kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan.


Dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung

merupakan pengadilan tertinggi dari semua lingkungan peradilan. Segala urusan

organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan

yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.


1.6.2.3. Kewenangan Peradilan Agama

Peradilan Agama diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun


102

1989 tentang Peradilan Agama Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang

Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama. Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi

rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu

sebagaimana dimaksud undang-undang.

Dalam undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, hukum acara, dan

kedudukan hakim serta segi-segi administrasi pada Pengadilan Agama dan

Pengadilan Tinggi Agama.

Kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh

Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama. Pengadilan Agama

berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah

kabupaten/kota. Pegadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibukota propinsi dan

daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi tetapi tidak menutup kemungkinan

adanya pengecualian. Pengadilan Agama merupakan Pengadilan Tingkat Pertama

dan Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan Tingkat Banding. Peradilan

Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman berpuncak ke Mahkamah Agung.

Peradilan Agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan

menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud “antara orang yang

beragama Islam” adalah orang atau badan hukum yang dengan sendirinya

menundukkan diri dengan suka rela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang

menjadi kewenangan Peradilan Agama.


103

Kewenangan Pengadilan Agama sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu:

a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infak;
h. sodaqoh;
i. ekonomi syari’ah.

Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan Tingkat Banding yang

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara yang diputus oleh

Pengadilan Agama dan merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Terakhir

mengenai sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Agama di daerah

hukumnya.

Pada lingkungan Peradilan Agama dapat dibentuk pengkhususan

pengadilan yang diatur dalam undang-undang sebagaimana tercantum dalam pasal

3A Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Peradilan Syari’ah Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam

merupakan peradilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama dan merupakan

peradilan khusus dalam lingkungan Peradilan Umum sepanjang kewenangannya

menyangkut kewenangan Peradilan Umum. Pengadilan Arbitrasi Syari’ah

termasuk Pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama.


104

Pengadilan syari’ah Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam diatur

dengan Undang-Undang Mahkamah Syar’iyah di Propinsi Nanggroe Aceh

Darussalam yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001

tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Aceh sebagai Propinsi Nanggroe

Aceh Darussalam.

Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun

2003 Pengadilan Agama di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam berubah menjadi

Mahkamah Syar’iyah dan Pengadilan Tinggi Agama berubah menjadi Mahkamah

Syar’iyah Propinsi.

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan

Aceh, Peradilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama diatur dalam BAB

XVIII tentang Mahkamah Syar’iyah Pasal 128 - Pasal 137. Pengadilan yang

melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama di Propinsi

Nanggroe Aceh Darussalam di adalah:

- Mahkamah Syar’iyah (Tingkat Pertama);


- Mahkamah Syar’iyah Aceh (Tingkat Banding);
- Mahkamah Agung (Tingkat Kasasi).

Kewenangan Mahkamah Syar’iyah adalah memeriksa, mengadili dan

memutuskan perkara-perkara:

- ahwal syahsiyah (hukum keluarga);


- muamalah (hukum perdata);
- jinayah (hukum Pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam dan akan

diatur dalam Qonun Aceh.


1.6.2.4. Hukum Acara pada Pengadilan Agama

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan terhadap

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pada Pasal 2


105

menyebutkan: ''Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman

bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu

sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini".

Yang dimaksud dengan “perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam

Undang-undang ini” terdapat di dalam pasal 49 yang menyebutkan: “Pengadilan

Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara

di tingkat pertama antara orang-orang yang bercgama Islam di bidang: (a)

perkawinan, (b) waris (c) wasiat, (d) hibah, (e) wakaf, (f) zakat (g) infaq, (h)

shadaqah, dan (i) ekonomi syari'ah”.

Dalam penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3

Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama disebutkan mengenai:

Pasal 49 :
Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari'ah,
melainkan juga di bidang ekonomi syari'ah lainnya.
Yang dimaksud dengan "antara orang-orang yang beragama Islam" adalah
termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan
diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi
kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan pasal ini.
Huruf a :
Yang dimaksud dengan "perkawinan" adalah hal-hal yang diatur dalam atau
berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang
dilakukan menurut syari'ah, antara lain:
1. Izin beristri lebih dari seorang;
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yangbelum berusia 21
(dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam
garis lurus ada perbedaan pendapat;
3. Dispensasi kawin;
4. Pencegahan perkawinan;
5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6. Pembatalan perkawinan;
106

7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri;


8. Perceraian karena talak;
9. Gugatan perceraian;
10. Penyelesaian harta bersama;
11. Penguasaan anak-anak;
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak
bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak
mematuhinya;
13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami
kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
14. Putusan tentang sah tidaknya seorang anak;
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16. Pencabutan kekuasaan wali;
17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal
kekuasaan seorang wali dicabut;
18. Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum
cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang
tuanya;
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang
ada di bawah kekuasaannya;
20. Penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan
anak berdasarkan hukum Islam;
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk
melakukan perkawinan campuran;
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
dijalankan menurut peraturan yang lain.
Huruf b :
Yang dimaksud dengan "waris" adalah penentuan siapa yang menjadi ahli
waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-
masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut,
serta penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan
siapa yang menjadi ahli waris, penentuan bagian masing-masing ahli waris.
Huruf c :
Yang dimaksud dengan "wasiat" adalah perbuatan seseorang memberikan
suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum,
yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.
Huruf d :
Yang dimaksud dengan "hibah" adalah pemberian suatu benda secara
sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang
lain atau badan hukum untuk dimiliki.
107

Huruf e :
Yang dimaksud dengan "wakaf" adalah perbuatan seseorang atau
sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk
jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah
dan/atau kesejahteraan umum menurut syari'ah.
Huruf f :
Yang dimaksud dengan "zakat" adalah harta yang wajib disisihkan oleh
seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim sesuai
dengan ketentuan syari'ah untuk diberikan kepada yang berhak
menerimanya.
Huruf g :
Yang dimaksud dengan "infaq" adalah perbuatan seseorang memberikan
sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan,
minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau menafkahkan
sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah
Subhanahu Wata'ala.
Huruf h :
Yang dimaksud dengan "shadaqah" adalah perbuatan seseorang yang
memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara
spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan
mengharap ridho Allah Subhanahu Wata'ala dan pahala semata.
Huruf i : Yang dimaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau
kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain
meliputi:
a. Bank syari'ah;
b. Lembaga keuangan mikro syari'ah.
c. Asuransi syari'ah;
d. Reasuransi syari'ah;
e. Reksa dana syari'ah;
f. Obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah;
g. Sekuritas syari'ah;
h. Pembiayaan syari'ah;
i. Pegadaian syari'ah;
j. Dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan
k. Bisnis syari'ah.

Bidang-bidang yang tersebut pada Pasal 49 Undang-undang Nomor 3

Tahun 2006 adalah bidang hukum perdata, yaitu ketentuan yang mengatur hak-
108

hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi

hukum di daratan Eropa (civil law) dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni

hukum publik dan hukum privat atau hukum perdata. Dalam sistem Anglo

Sakson (common law) tidak dikenal pembagian semacam ini.109

Apabila terjadi sengketa mengenai hal tersebut dan diajukan ke Pengadilan

Agama untuk penyelesaiannya, maka hukum acara yang berlaku dalam proses

beracara adalah hukum acara perdata pada Peradilan Agama. Hukum acara

perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana cara mengajukan gugatan,

memeriksa, mengadili dan memutus, melakukan eksekusi melalui hakim dalam

lingkungan peradilan perdata, atau disebut juga hukum formil.110

Menurut Wirjono Prodjodikoro, hukum acara perdata adalah rangkaian

peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka

pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk

melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.111 R. Suparmono

memberikan definisi hukum acara perdata adalah keseluruhan peraturan hukum

yang mengatur tentang cara-cara bagaimana mempertahankan, melaksanakan dan

menegakkan hukum perdata materiil melalui proses peradilan (peradilan

negara)112. Soedikno Mertokusumo menyatakan hukum acara perdata mengatur

109
id.wikipedia.org/wiki/Hukum_perdata, diunduh jam 09.55 tanggal 13/1/2013.

110
Hukum.kompasiana.com/2012/07/12/huk…, diunduh jam 10:02 tanggal 13/1/2013.

111
http://dc177.4shared.com/doc/NJLykB0N/preview.html, diunduh jam14:45 tanggal 12/11/2012.

112
Ibid.
109

tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak,memeriksa

sertamemutusnya dan pelaksanaan dari putusannya113.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum Acara Peradilan

Agama adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang

harus bertindak di muka pengadilan yang terdiri dari cara mengajukan tuntutan

dan mempertahankan hak, cara bagaimana pengadilan harus bertindak untuk

memeriksa serta memutus perkara dan cara bagaimana melaksanakan putusan

tersebut dalam lingkungan Peradilan Agama.

Pasal 54 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan

terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama

menyebutkan, bahwa hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam

lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku dalam

lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam

undang-undang ini. Oleh karena itu dapat ditegaskan bahwa sumber hukum acara

Peradilan Agama antara lain adalah:

1. Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura.


2. Rechtsreglement Buitengewesten (RBg.) untuk luar Jawa dan Madura.
3. Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv).
4. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa

dan Madura.
5. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan

Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor

1 Tatun 1974.

113
Ibid.
110

6. Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang

telah diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Undang-

undang Nomor 3 Tahun 2009 .


7. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah

diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-undang

Nomor 50 Tahun 2009.


8. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
9. Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
10. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun l991 tentang

penggunaan Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman dalam penyelesaian

masalah-masalah di bidang Perkawinan, Perwakafan dan Kewarisan.


11.Yurisprudensi, yaitu kumpulan yang sistematis dari Putusan Mahkamah

Agung yang diikuti oleh hakim lain dalam putusan yang sama.
12. Surat Edaran Mahkamah Agung sepanjang menyangkut Hukum

Acara Perdata.

Sebagai landasan hukum acara Peradilan Agama, dipedomani asas-asas

hukum acara (yang secara garis besarnya berlaku pada Peradilan Umum tetapi ada

prinsip-prinsip khusus yang hanya berlaku pada Peradilan Agama) diantanya

adalah114:

1. Asas Personalitas Keislaman


Asas personalitas ke-Islam-an hanya untuk melayani penyelesaian perkara di

bidang tertentu sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 2 dan Pasal 49

Undang-undang No. 3 Tahun 2006. Dengan kata lain ke-Islam-an seseoranglah

yang menjadi dasar kewenangan pengadilan di lingkungan Peradilan Agama.

Indikator untuk menentukan kewenangan Pengadilan Agama terhadap


114
http://gokil8.wordpress.com/2011/04/13/asas-hukum-peradilan-agama/, diunduh jam 14:48
tanggal 12/11/2012.
111

permasalahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yaitu agama yang

dianut kedua belah pihak ketika terjadinya hukum dan hubungan ikatan mereka

berdasarkan hukum Islam. Jika salah satu dari patokan itu tidak terpenuhi maka

kedua belah pihak yang bersengketa di bidang tersebut tidak berlaku asas

personalitas ke-Islam-an. Dasar yang menjadi patokan pada asas personalitas

ke-Islam-an ini adalah dasar umum dan saat terjadinya hubungan hukum.

Patokan umum untuk melihat ke-Islam-an seseorang dapat dengan

menunjukkan Kartu Tanda Penduduk, SIM, atau tanda bukti yang lainnya tanpa

mempertimbangkan kualitas ke-Islam-antara orang tersebut.


2. Asas Hakim Wajib Mendamaikan
Penyelesaian terbaik dalam suatu permasalahan adalah dengan jalan damai.

Islam lebih mengutamakan jalan perdamaian dalam menyelesaikan

permasalahan sebelum perkara tersebut diselesaikan di pengadilan. Karena

keputusan pengadilan dapat menimbulkan dendam bagi pihak yang dikalahkan.

Jadi sebelum hakim menyelesiakan suatu masalah atau perkara tersebut dengan

keputusan pengadilan, hakim wajib mendamaikannya terlebih dahulu, jika hal

ini tidak dilakukan, maka putusan yang dijatuhkan hakim batal demi hukum

(Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg).


3. Asas Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan
Asas ini tertuang dalam ketentuan Pasal2 Ayat (4) Undang-undang Nomor 48

tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Beracara cepat, sederhana, dan

biaya ringan merupakan dambaan dari setiap orang pencari keadilan, sehingga

apabila peradilan agama kurang optimal dalam mewujudkan asas ini, maka

orang akan enggan beracara di pengadilan agama.


4. Asas Mengadili menurut Hukum dan Persamaan Hak
112

Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman, yaitu bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dan

tidak membeda-bedakan orang. Dalam acara hukum perdata, asas ini dikenal

dengan istilah audi et alteram partem yang berarti bahwa pihak-pihak yang

berperkara harus diperlakukan sama dan adil, masing-masing harus diberi

kesempatan yang sama dalam memberikan pendapatnya. Tidak membeda-

bedakan hukum dalam istilah sistem hukum anglo saxon adalah equality before

the law yang artinya bahwa setiap orang mempunyai persamaan kedudukan di

bawah hukum. Sedangkan lawan dari asas ini adalah diskriminasi yang berarti

membeda-bedakan hak dan kedudukan dalam sidang pengadilan.


5. Asas Persidangan Terbuka untuk Umum
Menurut ketentuan Pasal 13 Ayat (1) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009,

Pasal 59 Ayat (1) Undang-undang No. 7 Tahun 1989, bahwa sidang

pemeriksaan perkara perdata harus dilaksanakan dalam sidang terbuka untuk

umum. Tujuan dari asas ini adalah untuk menghindari terjadinya

penyimpangan proses pemeriksaan, seperti berat sebelah, hakim bertindak

sewenang-wenang. Dengan demikian sidang terbuka untuk umum ini

diharapkan agar: (1) dapat menjamin adanya social control atas tugas yang

dilaksanakan oleh hakim, sehingga hakim dapat mempertanggung-jawabkan

pemeriksaan secara fair serta tidak memihak, (2) untuk memberikan edukasi

dan prepensi kepada masyarakat tentang suatu peristiwa, (3) masyarakat dapat

menilai mana yang baik dan mana yang buruk. Pengecualian dari asas ini

adalah pada perkara-perkara tertentu yang menurut sifatnya rahasia/privat


113

antara lain terhadap sengketa perceraian (Pasal 68 ayat (2) Undang-undang

Nomor 7 Tahun 1989), perkara anak dan sebagainya.


Meskipun sidang terbuka untuk umum khusus untuk rapat permusyawatan

hakim bersifat rahasia, sehingga umum tidak boleh menyaksikannya (Pasal 59

ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989). Konsekuensi yuridis jika asas

ini tidak dipenuhi, misalkan dalam awal sidang tidak dinyatakan bahwa sidang

terbuka untuk umum atau dalam putusan tidak adakata-kata diputuskan dalam

sidang terbuka untuk umum, maka sebagaimana ketentuan Pasal 59 ayat (2)

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, maka putusan perkara tersebut bersifat

batal demi hukum.


6. Asas Hakim Wajib Memberi Bantuan
Artinya hakim harus membantu secara aktif kepada pencari keadilan dan

berusaha secara bersungguh-sungguh dan sekeras-kerasnya mengatasi segala

hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana,

cepat, dan biaya ringan (Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 tahun

2009, Pasal 58 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).


7. Asas Peradilan Dilakukan Dengan Hakim Majelis
Asas ini secara eksplisit dijelaskan dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-undang

Nomor 48 tahun 2009 yang menyatakan bahwa pengadilan memeriksa,

mengadili, dan memutuskan dengan sekurang-kurangnya 3 (orang) hakim,

kecuali undang-undang menentukan hal lain. Di antara ketiga hakim tersebut

salah satunya menjadi ketua mejelis hakim dan berwenang untuk memimpin

jalannya sidang peradilan. Tujuan diadakan sidang peradilan harus majelis

hakim adalah untuk menjamin pemeriksaan yang objketif, guna memberi

perlindungan hak-hak asasi manusia dalam peradilan. Jika dalam hal ini tidak

ada kesepakatan dalam rapat permusyawaratan hakim, maka putusan diambil


114

dengan cara voting. Sementara jika ada keputusan yang berbeda maka

keputusan tersebut tetap dilampirkan dalam putusan yang bersangkutan (Pasal

14 ayat (3) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009).

Seseorang yang merasa haknya dilanggar oleh orang lain dan ia tidak

dapat menyelesaikannya sendiri masalahnya itu, dapat mengajukan tuntutan hak

kepada pengadilan untuk menyelesaikannya sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Bagi orang Islam, mengenai perkara-perkara tertentu,

diajukan pada Pengadilan Agama. Pada hari sidang yang telah ditentukan yang

dihadiri kedua belah pihak, hakim wajib mendamaikan pihak-pihak yang

bersengketa supaya menyelesaikannya secara damai dan kekeluargaan dengan

musyawarah mufakat. Akan tetapi apabila tidak berhasil perdamaian, maka hakim

mewajibkan kepada para pihak untuk menempuh mediasi. Hakim wajib menunda

proses persidangan perkara itu untuk memberikan kesempatan kepada para pihak

menempuh proses mediasi, dan melalui kuasa hukum atau langsung kepada para

pihak, hakim wajib mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif

dalam proses mediasi (Pasal 3 Ayat (1), (2) dan (3) PermaNo. 1 Tahun 2016).

Jika usaha perdamaian tersebut berhasil, maka dibuat akta perdamaian,

yang harus dibacakan terlebih dahulu oleh hakim di hadapan para pihak sebelum

hakim menjatuhkan putusan yang menghukum kedua belah pihak untuk mentaati

isi perdamaian tersebut, atau perkaranya dicabut. Tetapi jika dalam waktu yang

telah ditetapkan yaitu selama 40 (empat puluh) hari mediasi tidak menghasilkan

kesepakatan, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi

telah gagal dan memberitahukan kegagalan kepada hakim. Segera setelah diterima
115

pemberitahuan itu, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan

hukum acara yang berlaku (Pasal 12 Ayat(1) dan (2) Perma No. 1/2016).

Khusus untuk perkara perceraian, hakim wajib mendamaikan kedua belah

pihak yang bersengketa, yang harus dihadiri sendiri oleh suami-istri tersebut.

Apabila usaha perdamaian berhasil, maka gugatan penceraian tersebut harus

dicabut. Akan tetapi pabila tidak berhasil perdamaian, maka hakim mewajibkan

kepada para pihak untuk menempuh mediasi. Apabila usaha perdamaian melalui

mediasi-pun gagal, maka gugatan perceraian diperiksa dalam sidang yang tertutup

untuk umum.

Dalam setiap perkara perdata, ada alur dimana hakim harus mendamaikan

kedua belah pihak yang bersengketa dengan mediasi yang bertujuan untuk

mendamaikan kedua belah pihak. Usaha mendamaikan kedua belah pihat yang

berperkara tidak terbatas pada hari sidang pertama saja, melainkan dapat

dilakukan dalam sidang-sidang berikutnya meskipun sudah memasuki

pemeriksaan lebih lanjut. Hal ini sesuai dengan Pasal 130 HIR/Pasal154 RBg.

1.6.2.5. Hakim dan Penemuan Hukum

Kebebasan dalam memutus suatu perkara merupakan suatu hal yang

mutlak harus dimiliki oleh setiap hakim sebagaimana diamanatkan oleh undang-

undang. Dengan bertitik tolak pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU

Kekuasaan Kehakiman, maka tugas hakim dalam mengadili perkara pada

hakikatnya berdimensi menegakkan hukum dan menegakkan keadilan. Dalam

konteks hakim menegakkan keadilan, berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU

Kekuasaan Kehakiman ditentukan, peradilan dilakukan demi keadilan


116

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hakim dalam memutus setiap perkara,

maka harus didasarkan pada keadilan yang berlandaskan pada Ketuhanan Yang

Maha Esa.115

Konsekuensi aspek ini maka hakim dalam memutus perkara tidak boleh

hanya bersandar pada undang-undang atau peraturan tertulis semata, tetapi juga

harus sesuai dengan kebenaran berlandaskan hati nurani. Dalam konteks ini hakim

dalam mengadili perkara selain bersandar kepada hukum yang tertulis juga harus

bertitik tolak kepada norma-norma yang hidup dalam masyarakat. Sehingga

dengan demikian putusan yang dihasilkan berdimensi keadilan sesuai dengan

yang diinginankan oleh masyarakat.

Hakim merupakan pengejawantahan dari lembaga peradilan sebagai

pelaksana kekuasaan kehakiman. Sesuai dengan Pasal 1 angka 1 UU Kekuasaan

Kehakiman, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Berdasar pada pasal

ini maka hakim dalam posisinya sebagai penegak hukum harus merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.116

Dalam memutus suatu perkara, hakim harus dapat mempertimbangkan

secara seksama sisi hukum dan sisi keadilannya. Di satu sisi hakim harus

menerapkan peraturan perundang-undangan atau hukum yang tertulis dan di sisi


115
Sudikno Mertokusumo, dan A. Pitlo, Bab – Bab Tentang Penemuan Hukum, cet. I, (tanpa
tempat : PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 4.

116
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebagai Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996. hal.
48
117

yang lain ia harus menegakkan keadilan. Hakim tidak dapat memaksakan suatu

norma hukum yang dipandang tidak adil untuk diterapkan pada masyarakat.

Karena itu maka hakim harus dapat menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam

suatu masyarakat sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, yaitu

hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa

keadilan yang hidup dalam masyarakat.117

Penemuan hukum oleh hakim lazimnya diartikan sebagai proses

pembentukan hukum oleh hakim dalam menerapkan hukum terhadap peristiwa

hukum yang konkrit. Terdapat hirarki penerapan hukum di pengadilan oleh hakim

sebagai sumber hukum, yaitu: pertama, peraturan perundang-undangan atau

hukum yang tertulis; kedua, yurisprudensi; ketiga, hukum yang tidak tertulis yang

berupa hukum yang sudah berlaku di dalam masyarakat; keempat, pendapat ahli

hukum. Di dalam mengambil suatu keputusan hukum, biasanya hakim selalu

berpegangan kepada hirarki ini.118

Di dalam ajaran penemuan hukum, peraturan perundang-undangan

diprioritaskan atau didahulukan oleh hakim dari sumber-sumber hukum lainnya.

Hal ini disebabkan karena peraturan perundang-undangan diberlakukan oleh

negara sebagai pengayom masyarakat. Dalam bentuk hukum yang tertulis, maka

peraturan perundang-undangan mudah dibaca dan lebih menjamin kepastian

hukum. Karena itu peraturan perundang-undangan lebih mudah diterapkan di

dalam masyarakat, dan penerapannya bisa dipaksakan.119


117
Ibid., hal. 51

118
Ibid., hal. 52

119
Ibid.
118

Setelah tidak ada di dalam peraturan perundang-undangan, barulah hakim

mencari di dalam yurisprudensi. Kata yurisprudensi mengandung beberapa

pengertian. Yurisprudensi dapat berarti setiap putusan hakim. Yurisprudensi dapat

pula berarti kumpulan putusan hakim yang disusun secara sistematis dari tingkat

peradilan pertama sampai pada tingkat kasasi dan yang pada umumnya diberi

annotatie oleh pakar di bidang peradilan. Selanjutnya yurisprudensi diartikan

sebagai pandangan atau pendapat para ahli yang dianut oleh hakim dan

dituangkan dalam putusannya.120

Di samping itu di lingkungan peradilan dikenal apa yang disebut

yurisprudensi tetap. Apabila suatu kaedah atau ketentuan dalam suatu putusan

kemudian diikuti secara konstan atau tetap oleh para hakim dalam putusannya dan

dapat dianggap menjadi bagian dari keyakinan hukum umum, maka dikatakan

bahwa terhadap masalah hukum tersebut telah terbentuk yurisprudensi tetap.

Yurisprudensi yang dipakai sebagai landasan hukum oleh hakim secara terus-

menerus membuat kaedah hukum dalam suatu putusan oleh suatu yurisprudensi

tetap akan memperkuat wibawa kaedah hukum tersebut.

Menurut Subekti, yurisprudensi diartikan sebagai putusan-putusan hakim

atau Pengadilan yang tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai

Pengadilan Kasasi atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang sudah tetap

(constant).121 Sedangkan menurut Paulus Lotulung yurisprudensi adalah putusan

badan peradilan (hakim) yang diikuti secara berulang-ulang dalam kasus yang

120
Ibid.

121
Subekti, Hukum Adat Indonesia dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, (Bandung : Alumni,
1974) hal. 117
119

sama oleh para hakim lainnya sehingga karenanya dapat disebut pula sebagai

“Rechtersrecht” (hukum ciptaan hakim/peradilan).122 Jadi yurisprudensi adalah

putusan pengadilan yang mengandung norma hukum yang diikuti oleh putusan-

putusan pengadilan berikutnya yang menerapkannya pada kasus kongkrit yang

sama.

Kalau hakim belum menemukan jawaban untuk kasus perkara yang

hendak diputus di dalam yurisprudensi, maka hakim mencari pada hukum

kebiasaan atau hukum adat yang berlaku dalam masyarakat. Hukum yang tidak

tertulis yang berupa kebiasaan-kebiasaan atau hukum adat yang sudah berlaku di

dalam masyarakat dan tidak ada yang keberatan terhadap keberlakuannya itu bisa

dijadikan pegangan oleh hakim dalam mengambil keputusan. Karena pentingnya

hukum yang tidak tertulis ini, maka UU Kekuasaan Kehakiman khusus

mencantumkannya di dalam Pasal 5 ayat (1) yang disebutkan disebutkan bahwa

Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa

keadilan yang hidup dalam masyarakat.123

Ada beberapa teori tentang bagaimana cara yang digunakan untuk

melakukan penemuan hukum oleh hakim, di antaranya adalah metode interpretasi

(penafsiran) atau disebut juga metode yuridis. Ajaran tentang penafsiran ini telah

ada sejak abad kesembilan belas yang sangat dipengaruhi oleh Von Savigny. Ia

memberi batasan tentang penafsiran sebagai rekonstruksi pikiran yang tersimpul


122
Paulus Effendie Lotulung, SH, “Yurisprudensi Dalam Perspektif Pengembangan Hukum
Administrasi Negara di Indonesia,” (Pidato Pengukuhan Diucapkan Pada Upacara Penerimaan
Jabatan Sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Administrasi Negara pada Fakultas Hukum Universitas
Pakuan, Bogor, 24 September 1994), hal. 3

123
Subekti, Hukum Adat Indonesia dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, (Bandung : Alumni,
1974) hal. 117
120

dalam undang-undang. Metode penafsiran sejak semula dibagi menjadi 4, yaitu

penafsiran gramatikal, sistematis, historis dan teleologis.124

Penciptaan hukum oleh hakim berbeda dengan penciptaan hukum melalui

proses legislasi. Hukum ciptaan hakim berupa putusan dan hanya berlaku

mengikat khusus bagi pihak berperkara, sedangkan hukum produk legislasi

berlaku umum. Bagaimanapun juga, penemuan hukum maupun penciptaan hukum

oleh hakim dilakukan untuk mempertimbangkan relevansi perundang-undangan

terhadap nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Muara

mengalirnya dari penemuan hukum atau penciptaan hukum oleh hakim adalah

keadilan.125

Hakim sebagai pengejawantahan nilai-nilai keadilan dan kepastian hukum

memperoleh legitimasi di dalam UU Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat (1) yang

disebutkan bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai

hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan tersebut

menjelaskan bahwa hakim memiliki kebebasan dalam memutus suatu perkara.

Tetapi kebebasan hakim dalam mengambil keputusan tetap selalu harus mengacu

kepada rasa keadilan masyarakat.

Dalam memutus suatu perkara, hakim tidak semata-mata berpandangan

legalistik. Hakim harus memahami undang-undang secara mendalam. Sehingga

yang ditemukan bukan hanya makna dari kata-kata, tetapi harus bisa menemukan
124
Mertokusumo, op.cit., hal. 56

125
Roscoe Pound membedakan dua istilah dalam membahas persoalan penemuan hukum, yaitu
”law making” yang lebih merupakan kegiatan pembentuk undang-undang dalam membentuk suatu
aturan (lex), sedangkan ”law finding” berupa aturan yang hidup dalam masyarakat (ius). Periksa
Roscoe Pound, Law Finding Through Experience and Reason: Three Lectures, University of
Georgia Press, Athens, 1960, hal. 1.
121

keadilan yang sesungguhnya. Keadilan substantif ini sering bisa ditemukan di

balik kata-kata setelah menyelaminya secara dalam dan luas.126

Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman merupakan amanat

terhadap semua hakim agar mengadili perkara yang ditanganinya secara sungguh-

sungguh dengan menerapkan dua dimensi menegakkan keadilan dan menegakkan

hukum. Dalam konteks hakim menegakkan keadilan maka berdasarkan ketentuan

Pasal 2 ayat (1), (2) dan (4) UU Kekuasaan Kehakiman yaitu :

Pasal 2 :
ayat (1) : Peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
ayat (2) : Peradilan negara menerapkan dan menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
ayat (3) : Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan
biaya ringan.

Ketentuan ini yang melegetimasi keberadaan hakim Indonesia untuk selalu

menemukan hukum atau menciptakan hukum agar putusan-putusannya senantiasa

melahirkan keadilan dalam masyarakat.

1.6.2.6. Prinsip-prinsip Hukum dalam Kaidah Fiqh

Dari permasalahan yang disebutkan di muka, penelitian ini diarahkan

untuk mencari penyelesaian alternatif dari kemampetan hukum dalam melakukan

proses penyelesaian perkara perceraian di pengadilan khususnya pada pangadilan

agama. Persoalan yang selama ini terjadi adalah terlalu ketatnya penerapan hukum

perceraian pada teks hukum undang-undang. Meskipun dari segi kesederhanaan

126
Harifin A. Tumpa, Kekuasaan Kehakiman Dimaknai Menegakkan Hukum, Keadilan,
http://www.ditjenmiltun.net/index.php/component/content/article/114-umum/1410-harifin-
kekuasaan-kehakiman-dimaknai-menegakkan-hukum-keadilan.html, diunduh pada tanggal 8
Januari 2016 jam 9:45.
122

dan kecepatan penyelesaian sidang perkara perceraian selalu dipertanyakan, tetapi

karena undang-undang yang menentukan demikian, maka dijalankanlah apa yang

selama ini sudah berjalan. Tidak ada koreksi maupun introspeksi mengenai

penerapan asas peradilan yang harus dilakukan secara sederhana, cepat dan biaya

ringan.

Di satu sisi teks undang-undang sebagaimana yang dipahami selama ini

secara tekstual menghendaki pelaksanaan hukum sebagaimana yang sudah

berjalan. Di sisi yang lain ada pemahaman bahwa pelaksanaan penegakan hukum

harus diartikan secara mendalam mengenai hakikat dari apa yang dikehendaki

dalam penegakan hukum. Meskipun kemudian dalam pelaksanaannya terkesan

menyimpang dari bunyi undang-undang secara lahiriyahnya.

Mengikuti pendapat yang kedua, maka pelaksanaan penegakan hukum

oleh pengadilan harus selalu ada koreksi dan introspeksi. Harus ada instrumen

hukum yang bisa senantiasa menyelaraskannya dengan prinsip peradilan yang

harus dilakukan secara sederhana, cepat dan biaya ringan. Setiap waktu harus ada

peningkatan kualitas mengenai prinsip peradilan yang harus dilakukan secara

sederhana, cepat dan biaya ringan. Penelitian ini bertujuan untuk merombak

pemikiran formal yang selama ini berjalan pada Pengadilan Agama dengan

melakukan penggalian terhadap persoalan keadilan yang selama ini disuarakan

tetapi tidak disentuh sebagai pemikiran yang konstruktif menuju tegaknya

keadilan secara substantif.

Keadilan bisa dilihat dari dua sisi, keadilan menurut teks undang-undang

(formal/legal justice) dan keadilan yang sebenarnya (substantial justice). Keadilan


123

memang ada di dalam undang-undang sebagai hukum tertulis, tetapi keadilan

yang ada di dalam undang-undang harus ditemukan untuk mewujudkan keadilan

yang sebenarnya. Tidak serta merta menerapkan undang-undang lalu muncul

suatu keadaan yang adil. Dengan berjalannya waktu, dan munculnya situasi yang

berbeda dengan ketika undang-undang dibuat akan berakibat pada perbedaan

tuntutan keadilan yang diinginkan. Makanya secara hakiki berhukum itu tidak

sama dengan menerapkan undang-undang, tetapi juga merupakan usaha

memunculkan keadilan yang tersirat dari undang-undang itu.

Pengadilan sebagai gawang terakhir dalam penegakan hukum dan

keadilan, maka ia harus menegakkan hukum. Tetapi sering yang dipilih oleh

pengadilan dalam penegakan hukum itu adalah keadilan formal, bukan keadilan

substansial. Di dalam menegakkan hukum dan keadilan itu pengadilan memang

dihadapkan kepada pilihan sulit. Karena itu ia harus bekerja keras untuk

mewujudkan keadilan itu, jangan sampai demi menegakkan bunyi undang-undang

lalu keadilan yang sebenarnya terabaikan.

Hukum itu tidak pernah berhenti bergerak untuk mewujudkan keadilan

bagi manusia. Hukum tidak bebas dari berbagai aspek yang mengelilinginya.

Karena itu ia harus dilihat dan diterapkan bersama lingkungannya itu. Hukum

yang dipandang sebagai institusi yang otonom yang terlepas dari lingkungan

yang mengelilinginya, maka ia terancam gagal memenuhi tujuannya sebagai

hukum yang bertugas melayani dan mengatasi masalah kemanusiaan.127

127
Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti (Editor), Memahami Hukum: Dari Konstruksi Sampai
Implementasi, Ed. 2, Jakarta, Rajawali Pers, 2011, hlm. 3 - 5.
124

Khusus mengenai hukum perceraian yang berlaku pada Pengadilan

Agama, intisari yang dapat diambil adalah bahwa hukum itu tidak statis, tetapi ia

dapat berubah-ubah sesuai dengan masa dan keadaan. Konsep awalnya tetap

hukum tertulis yaitu undang-undang dan hukum tertulis lainnya. Tetapi pada tahap

pelaksanaannya tidak dapat dipungkiri akan mengakibatkan pergeseran

pemaknaan yang ditimbulkan karena berjalannya waktu sehingga menimbulkan

keadaan yang baru yang mau tidak mau harus dipertimbangkan dalam

menghasilkan hukum terapannya.

Kaidah fiqhiyah-pun mengungkapkan: al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi

(hukum berlaku sesuai dengan illat/faktor waktu dan keadaannya). Atau dalam

bahasa yang lain disebutkan al-hukmu yaduru ma'a 'illatihi wujudan wa 'adaman

(hukum itu dinamis, bisa berubah tergantung alasannya). Dalam kontek Indonesia,

berkenaan dengan hukum Islam, telah terjadi dialog yang sangat panjang antara

budaya lokal versus nilai Islam di tengah-tengah masyarakat sehingga mewujud

menjadi tradisi baru yang membumi. Masyarakat Islam ini menyatu dalam pola

pikir (ittifaq al-ara’ wal-mahzab) dan referensi tradisi sosial keagamaan (ittihad

al-ma’khad wal-masyrab).128

Tradisi masyarakat ini bercirikan sikap tawassuth, tawazun, tasamuh dan

i’tidal yang merupakan implementasi dari kekukuhan dalam memegang prinsip-

prinsip keagamaan (qaidah al-fiqhyah) yang dirumuskan oleh para ulama klasik.

Di antara prinsip-prinsip ulama tersebut adalah “al-‘adah muhakkamah” yang

artinya sebuah tradisi dapat menjelma menjadi pranata sosial keagamaan.

128
Abdul Karim Zaidan (dalam terjemahan Muhyiddin Mas Rida), Al-Wajiz 100 Kaidah Fikih
dalam Kehidupan Sehari-hari, Pustaka Al-Kautsar, Cetakan 1, Jakarta, 2008, hlm. 1 – 5; dan
125

Maksudnya, rumusan hukum yang tidak bersifat absolut dapat ditata selaras

dengan subkultur sebuah komunitas masyarakat menurut ruang dan waktunya

dengan mengacu kepada kesejahteraan dan kebaikan masyarakat tersebut. Hal ini

dapat dilakukan selama tidak kontradiksi dengan prinsip-prinsip ajaran yang

bersifat absolut (qath’i), dalil-dalil yang merupakan kaidah umum dan prinsip-

prinsip universal.129

Al-‘adah muhakkamah menjadikan performan hukum Islam sebagai

hukum yang dinamis dan membumi yang selalu aktual di tengah-tengah

masyarakat. Hukum Islam pun menjadi hukum yang mampu menjawab tantangan

zaman dan tuntutan umat tanpa dibatasi ruang dan waktu. Umat Islam Indonesia

juga mengenal prinsip dasar keagamaan al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih

wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (upaya pelestarian nilai-nilai yang baik di masa

lalu dan melakukan adopsi nilai-nilai baru yang lebih baik). Kaidah ini merupakan

instrumen bagi proses rekonsiliasi agama dan budaya. Sebagaimana maklum,

agama dan budaya merupakan dua hal yang berbeda serta mempunyai

independensi tersendiri. Agama berasal dari wahyu Tuhan karena itu bersifat suci

dan permanen. Sedangkan budaya adalah produk manusia yang selalu berubah

dan dinamis. Kaidah ini mampu memperkaya khazanah keagamaan sebagai

implikasi dari dialog budaya dan prinsip-prinsip keagamaan. Kaidah ini juga

mampu membawa masyarakat untuk melakukan penyerapan, antisipasi setiap

perilaku hukum yang hidup di tengah masyarakat serta setiap pergeseran

kemaslahatan umat sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan

129
http://kangparjay.blogspot.co.id/2011/05/qidah-fiqhiyyah.html, diakses tanggal 12/9/2015 jam
9:17.
126

teknologi. Sehingga hukum Islam tidak menjelma sebagai hukum yang statis dan

stagnan. Bahkan sebaliknya hukum Islam menjadi hukum yang dinamis, kreatif

dan inovatif demi kebaikan dan kemaslahatan masyarakat.

Kaidah lainnya adalah ma la yatimmu al-wajib illa bihi fahuwa wajib (jika

sebuah keharusan tidak dapat ideal kecuali dengan unsur yang lain itu juga

menjadi keharusan). Maksudnya, sebuah idealisasi harus diupayakan dengan

memperhatikan faktor-faktor lain yang mempunyai keterkaitan dengannya.

Optimalisasi atas sesuatu secara otomatis juga optimalisasi atas faktor yang

mendukungnya. Pinsip selanjutnya adalah idza ta’aradla mafsadatani ru’iya

a’dzamuhuma dlararan birtikabi akhaffihima (jika terjadi kemungkinan

komplikasi yang membahayakan maka yang dipertimbangkan adalah resiko yang

terbesar dengan cara dengan melaksanakan yang paling kecil resikonya). Kaidah

ini merupakan solusi untuk menghindari resiko buruk dengan cara menghindari

langkah-langkah ideal yang beresiko tinggi. Setiap langkah kebijakan di tengah

masyarakat selalu mengandung resiko. Karena itu resiko buruk harus menjadi

pertimbangan dengan cara memilih kebijakan yang mempunyai dampak buruk

yang paling ringan.

Dikenal juga kaidah dar’u al-mafasid muqaddam ‘ala jalb al-

mashalih (mencegah marabahaya lebih diutamakan daripada meraih kebaikan).

Maksudnya, masyarakat perlu memilih langkah menghindari bahaya daripada

mengupayakan kebaikan yang beresiko tinggi. Prinsip ini mendorong masyarakat

untuk bertindak cermat dan tepat sehingga aktivitasnya benar-benar bersifat

positif, baik bagi dirinya maupun orang lain.


127

Kaidah yang tidak kalah pentingnya adalah tasharruf al-imam manuthun

bi maslahah al-ra’iyyah (kebijakan pemimpin harus mengacu kepada kebaikan

rakyatnya). Maksudnya, seorang penguasa merupakan penjelmaaan kepentingan

rakyatnya. Ia bukanlah representasi atas dirinya sendiri. Karena itu segala

kebijakan yang diambil harus mengacu kepada kepentingan rakyat yang

dipimpinnya.130

1.6.2.7. Harta Bersama


1. Ruang Lingkup Harta Bersama
Pada Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan maupun yurisprudensi

yang terkait telah ditentukan mengenai harta yang dengan sendirinya menjadi

harta bersama di dalam perkawinan. Akan tetapi tidak sesederhana itu

penerapannya di dalam kenyataan ini. Berikut ini adalah batasan dalam ruang

lingkup harta bersama menurut Yahya Harahap:131


a. Harta yang dibeli selama perkawinan
Patokan pertama yang menentukan apakah suatu barang termasuk objek

harta bersama atau tidak, ditentukan pada saat pembeliannya. Setiap

barang yang dibeli selama perkawinan maka harta tersebut menjadi objek

harta bersama suami isteri tanpa mempersoalkan:


- Apakah isteri atau suami yang membeli,
- Apakah harta terdaftar atas nama isteri atau suami,
- Dimana harta tersebut diletakkan.
Seperti itulah patokan umum untuk menentukan barang yang dibeli selama

perkawinan. Hal ini dipertegas dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 5

Mei 1971 No. 803 K/Sip/1970. Dalam putusan ini dijelaskan bahwa harta

yang dibeli oleh suami atau isteri di tempat yang jauh dari tempat tinggal

130
Ibid.

131
http://handarsubhandi.blogspot.co.id/2014/11/ruang-lingkup-harta-bersama.html, diunduh
tanggal 7/2/2016 jam 3:6.
128

mereka adalah termasuk harta bersama, jika pembelian dilakukan selama

perkawinan berlangsung.
Lain halnya jika uang yang digunakan untuk membeli barang berasal dari

harta pribadi suami atau isteri. Jika uang yang digunakan untuk membeli

barang secara murni berasal dari harta pribadi, maka barang yang dibeli itu

tidak termasuk objek harta bersama.


b. Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai

dari harta bersama.


Patokan berikut untuk menentukan suatu barang termasuk objek harta

bersama atau tidak adalah ditentukan berdasarkan asal-usul uang biaya

pembelian atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun barang

itu dibeli atau dibangun sesudah terjadinya perceraian. Hal ini sejalan

dengan keputusan Mahkamah Agung tanggal 5 Mei 1970 No. 803

K/Sip/1970, yakni apa saja yang dibeli, jika uang pembelinya berasal dari

harta bersama. Penerapannya yang seperti ini harus dipegang teguh untuk

menghindari manipulasi dan itikad buruk suami atau isteri.


c. Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama masa perkawinan.
Patokan ini sejalan dengan kaidah hukum harta bersama, yakni semua

harta yang diperoleh selama perkawinan di luar dari harta pribadi, warisan

dan hibah dengan sendirinya menjadi harta bersama. Namun disadari

bahwa dalam suatu sengketa harta bersama, tentu tidak semulus dan

semudah itu. Pada umumnya, dalam setiap perkara harta bersama pihak

yang digugat selalu mengajukan bantahan terhadap harta yang digugat

dengan dalih, bahwa harta yang digugat bukan harta bersama, melainkan

harta milik pribadi tergugat. Jika penggugat mengajukan dalih bahwa harta

tersebut berasal dari warisan atau hibah, maka ditetapkannya objek


129

gugatan tersebut berdasarkan kemampuan dan keberhasilan tergugat atau

penggugat untuk membuktikan bahwa harta tersebut adalah harta bersama

atau tidak.
Patokan ini secara jelas tertuang dalam putusan Pengadilan Tinggi Medan

tanggal 20 November 1975 yang menyatakan “Pelawan tidak dapat

membuktikan bahwa rumah dan tanah terperkara diperoleh sebelum

perkawinannya dengan suaminya dan juga malah terbukti bahwa sesuai

dengan tanggal izin bengunan, rumah tersebut dibangun semasa

perkawinan berlangsung. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

rumah dan tanah terperkara adalah harta bersama antara suami dan isteri,

sekalipun tanah dan rumah terdaftar atas nama isteri.


d. Penghasilan harta bersama dan harta bawaan
Penghasilan yang tumbuh dari harta bersama, sudah logis akan jatuh

menambah jumlah harta bersama. Tumbuhnya pun berasal dari harta

bersama, sudah semestinya hasil tersebut menjadi harta bersama. Tetapi

bukan hanya yang tumbuh dari harta bersama yang jatuh menjadi objek

harta bersama diantara suami isteri, penghasilan suami-isteri yang tumbuh

dari harta pribadi pun akan jatuh menjadi objek harta bersama. Sekalipun

hak dan kepemilikan harta pribadi mutlak di bawah penguasaan

pemiliknya masing-masing akan tetapi harta pribadi tidak lepas fungsinya

dari kepentingan keluarga.


Ketentuan ini berlaku sepanjang suami isteri tidak menentukan lain dalam

perjanjian perkawinan. Jika dalam perjanjian perkawinan tidak diatur

mengenai hasil yang timbul dari harta pribadi, maka seluruh hasil yang
130

diperoleh dari harta pribadi suami dan harta pribadi isteri jatuh menjadi

objek harta bersama.


e. Segala penghasilan pribadi suami-istri.
Menurut putusan Mahkamah Agung tanggal 11 Maret 1971 No. 454

K/Sip/1970 menyatakan “Segala penghasilan pribadi suami isteri baik dari

keuntungan yang diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil

perolehan masing-masing pribadi sebagai pegawai jatuh menjadi harta

bersama suami isteri”. Jadi sepanjang mengenai penghasilan pribadi suami

isteri tidak terjadi pemisahan maka dengan sendirinya akan menjadi harta

bersama. Demikianlah ruang lingkup mengenai harta bersama dengan

batasan-batasannya yang telah dipertegas dengan adanya putusan

Mahkamah Agung dan Pengadilan Tinggi Medan, baik pada perkawinan

monogami maupun poligami.


2. Pembagian Harta Bersama
Setiap perceraian membawa dampak dalam hal pembagian harta bersama

yang biasa dikenal di masyarakat dengan sebutan pembagian gono-gini. Di sini

sering muncul permasalahan di mana salah satu pihak merasa lebih berhak atas

harta yang diperebutkan. Sampai saat ini mengenai pembagian harta memang

tidak ada acuan bakunya. UU Perkawinan tidak mengatur hal tersebut secara

tegas. Dalam UU Perkawinan tidak disebutkan bahwa harta bersama akan dibagi

sama rata antar bekas suami dan bekas istri.


Menurut pendapat beberapa ahli hukum dan berdasarkan kebiasaan dalam

peradilan, pembagian harta bersama akan dilakukan secara “berimbang”. Yang

dimaksud berimbang disini belum tentu “sama rata”, namun lebih kepada sejauh

mana masing-masing pihak memasukkan jasa dan usahanya dalam menghasilkan

harta bersama tersebut. Dalam Pasal 37 UU Perkawinan disebutkan “bila


131

perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya

masing-masing”. Dengan dicantumkannya kata “diatur menurut hukum masing-

masing”, menunjukkan bahwa keputusan mengenai pembagian harta bersama

tersebut diserahkan kepada kebijaksanaan hakim. Dengan demikian akan lebih

memenuhi rasa keadilan dari para pihak yang bersengketa.


Pembagian harta bersama menurut pasal tersebut di atas tidak mengatur

mengenai berapa persentasi bagian masing-masing suami atau isteri namun,

Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 424.K/SIP/1959 tertanggal 9 Desember

1959 dalam pertimbangannya menyatakan bahwa harta bersama suami-isteri kalau

terjadi perceraian maka masing-masing pihak mendapat masing-masing setengah

bagian dari seluruh harta bersama. Adakalanya setengah besaran bagian suami

atau isteri atas seluruh harta bersama tidak mutlak menjadi keharusan, karena

akan menciderai rasa keadilan dan kepatutan apabila suami yang tidak bekerja

mendapat bagian separuh dari seluruh harta bersama sementara harta bersama

tersebut dihasilkan seluruhnya dari jerih payah dan keringat seorang isteri.

Sehingga oleh karena itu besarnya bagian harta bersama kepada masing-masing

suami atau isteri jika dimungkinkan sepatutnya didasari atas dasar kesepakatan

dari masing-masing pasangan yang bercerai itu sendiri.132


Berlandaskan pada KHI selama ini putusan pengadilan selalu membagi

dua sama besar terhadap sengketa harta bersama, dengan tidak

mempertimbangkan siapa antara suami-istri yang mempunyai kontribusi yang

lebih besar dalam menghasilkan harta. Pada derah-daerah tertentu bermacam-

macam model pembagian terhadap harta bersama secara hukum adat, ada yang
132
https://kamaldiegrosse.wordpress.com/pembagian-harta-gono-gini-dalam-perceraian/, 7/2/2016
jam 3:37; http://alfarabi1706.blogspot.co.id/2013/01/harta-bersama-gono-gini-hukum-
perdata.html, diunduh tanggal 7/2/2016 jam 3:43.
132

membagi untuk suami lebih besar bagiannya daripada istri karena perannya yang

lebih besar dalam berusaha menghasilkan harta. Tetapi sekarang muncul

kecenderungan pengadilan membagi harta bersama tidak sama besar antara suami

dan istri, bahkan bagian istri lebih besar daripada bagian suami, yaitu ¼ bagian

untuk suami dan ¾ bagian untuk istri. Adanya kecenderungan pengadilan yang

membagi harta bersama tidak sama besar antara suami dan istri, dan bagian istri

lebih besar daripada bagian suami, karena menilai dari segi kontribusi dari suami-

istri dalam menghasilkan harta.133


Berbeda dengan yang disebutkan di muka, putusan Pengadilan Agama

Sungguminasa, Kabupaten Gowa, Nomor 346/Pdt.G/2010/PA.Sgm, memutuskan

dengan amar putusan harta bersama diserahkan kepada anak. Putusan ini yang

amarnya menyerahkan harta bersama kepada anak merupakan terobosan hukum

baru. Tetapi putusan ini, meskipun merupakan suatu terobosan hukum yang

seharusnya membanggakan dan dijadikan rujukan pada putusan pengadilan

berikutnya, karena tidak didukung dengan basis argumentasi yang kuat dan

perangkat sistematika putusan yang lengkap, maka kemudian putusan ini

mendapat kritikan yang tajam.134


1.7. Metode Penelitian
1.7.1. Jenis Penelitian
Di dalam masyarakat, bagaimanapun primitifnya, terdapat hukum yang

mengatur hubungan antar individu di dalam masyarakat itu. Selama ada

masyarakat, besar maupun kecil, selalu diikuti oleh hukum. Hukum terdapat di

133
http://blogperadilan.blogspot.co.id/2011/05/paradigma-baru-penyelesaian-sengketa.html ,
diunduh tanggal 6/2/2016 jam 15:10.

134
http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/10951, diunduh tanggal 7/2/2016 jam 3:33.
133

mana saja di seluruh dunia selama ada masyarakat. Kesemuanya itu menunjukkan

bahwa hukum itu berperan sekali dalam kehidupan masyarakat135.

Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, maka

masyarakat juga berkembang maju dalam hal tata aturan berkenaan dengan

hubungan kepentingan antar subjek hukum. Sehingga semakin maju masyarakat,

maka tata aturannya juga harus semakin maju.

Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan hukum,

maka diperlukan penelitian yang berkesinambungan dan secara terus menerus.

Karena itu penelitian merupakan kegiatan yang sangat penting dalam

pengembangan ilmu pengetahuan hukum136.

Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum adalah suatu proses

untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin

hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penelitian hukum dilakukan

untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam

menyelesaikan masalah yang dihadapi. Peter Mahmud Marzuki mengatakan, jika

pada keilmuan yang bersifat deskriptif jawaban yang diharapkan adalah true atau

false, jawaban yang diharapkan di dalam penelitian hukum adalah right,

apppropriate, in apppropriate, atau wrong. Oleh karena itu di dalam penelitian

135
Tugas, Fungsi dan Tujuan Hukum, http://thatsmekrs.wordpress.com/ 2010/06/17/tugas-fungsi-
dan-tujuan-hukum/, diunduh jam 07:38 tanggal l7/10/2012.

136
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 20l2, Penelitian Hukum Normatif SuatuTinjauan Singkat,
Cetakan ke-14, Jakarta, RajaGrafindo Persada, hlm. 1.
134

hukum tidak diperlukan adanya hipotesis. Di dalam penelitian hukum juga tidak

dikenal istilah data137.

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, metode yang dipakai di

dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu metode penelitian

hukum dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka 138. Penelitian hukum normatif

merupakan salah satu kajian yang dikenal secara umum dalam bidang ilmu hukum

untuk mengkaji substansi hukum positip secara tekstual. Tidak hanya terhadap

norma-norma, tetapi juga asas-asas, bahkan nilai-nilai yang terkandung di

dalamnya yang sifatnya memberikan keadilan, kepastian dan kemanfaatan dalam

menemukan prinsip sederhana, cepat dan biaya ringan mengenai penyelesaian

perkara perceraian pada Pengadilan Agama dan prinsip keadilan dalam pembagian

harta bersama akibat perceraian pada Pengadilan Agama.

Istilah penelitian hukum normatif dalam tradisi civil law memiliki

kesamaan dengan istilah penelitian doktrinal (doctrinal research) dalam

kepustakaan common law. Penelitian hukum doktrinal, menurut Sutandyo

Wignyosubroto, mencakup tiga hal berupa: (1) usaha penemuan hukum positip;

(2) usaha penemuan asa-asas dan dasar falsafah (dogma atau doktrin); dan (3)

usaha penemuan hukum a quo yang layak diterapkan untuk menyelesaikan suatu

perkara hukum tertentu.139 Sejalan dengan penelitian hukum doktrinal, penelitian

137
Peter Mahmud Marzuki, Prof. Dr., S.H. M.S. LL.M, Penelitian Hukum, Cetakan ke-7, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, November 2011), hal. 35-36.

138
lawmetha.wordpress.com,http:// lawmetha . wordpress . com /2011/05/19/metode-penelitian-
hukum- normatif/, diunduh jam 12:37 tanggal l5/l0/2012.

139
Sutandyo Wignyosubroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, (Jakarta:
Elsam & Huma, 2002), hal. 56. Lihat juga Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum,
(Jakarta: Raja Grasindo Persada, 2005), hal. 42.
135

hukum normatif, menurut Jan Gijssal dan Mark Van Hoecke, bertitik tolak dari

hakikat keilmuan hukum yang secara teoritik terbagi dalam tiga lapisan utama,

yakni dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat hukum, yang kajiannya

dilakukan menurut karakter masalah hukumnya sendiri.140

Sebagaimana telah dirumuskan dalam rumusan masalah, masalah hukum

yang pertama di dalam penelitian ini adalah bagaimanakah prinsip sederhana,

cepat dan biaya ringan mengenai penyelesaian perkara perceraian pada Pengadilan

Agama. Permasalahan ini diteliti pada tataran dogmatik hukum (ketentuan

hukum) dengan mengkaji teori hukum melalui pengembangan konsep hukum

berdasarkan filsafat hukum (asas-asas hukum), dengan memakai pisau analisis

landasan teori: teori tentang keadilan menurut John Rawls, teori tujuan hukum,

teori perlindungan hukum, teori kewenangan, dan teori maslahat.

Permasalahan hukum yang kedua di dalam penelitian ini adalah

bagaimanakah prinsip keadilan dalam pembagian harta bersama akibat perceraian

pada Pengadilan Agama. Permasalahan ini juga diteliti pada tataran dogmatik

hukum (ketentuan hukum) dengan mengkaji teori hukum melalui pengembangan

konsep hukum berdasarkan filsafat hukum (asas-asas hukum), dengan memakai

pisau analisis landasan teori: teori tentang keadilan menurut John Rawls, teori

tujuan hukum, teori perlindungan hukum, teori kewenangan, dan teori maslahat.

1.7.2. Pendekatan Masalah

140
Jan Gijssal dan Mark Van Hoecke, Apakah Teori Hukum itu?, Terjemahan B. Arief Sidharta,
(Bandung: FH Unpar, 2000), hal. 109.
136

Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, penelitian hukum normatif

atau kepustakaan mencakup141:

1. Penelitian terhadap asas-asas hukum,


2. Penelitian terhadap sistematik hukum,
3. Penelitian terhadap taraf singkronisasi vertikal dan horizontal,
4. Perbandingan hukum,
5. Sejarah hukum.

Sedangkan menurut Peter Mahmud Marzuki, sebagaimana dikutip oleh

H.M. Hadin Muhjad dan Nunuk Nuswardania, ada lima pendekatan dalam

penelitian normatif, yaitu142:

1. Pendekatan perundang-undangan,
2. Pendekatan kasus,
3. Pendekatan historis,
4. Pendekatan perbandingan, dan
5. Pendekatan konseptual.

Bertolak dari latar belakang dan rumusan masalah di dalam penelitian ini,

maka pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah memakai

pendekatan sesuai pendapat dari Peter Mahmud Marzuki yaitu:

1. Pendekatan perundang-undangan (statute approach):


Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk menelaah semua peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan isu hukum, yaitu berkenaan

dengan bagaimanakah prinsip sederhana, cepat dan biaya ringan mengenai

penyelesaian perkara perceraian pada Pengadilan Agama dan bagaimanakah

prinsip keadilan dalam pembagian harta bersama akibat perceraian pada


143
Pengadilan Agama. .
141
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Op. Cit., hlm. 14.

142
H.M. Hadin Muhjad dan Nunuk Nuswardani, 2012, Penelitian Hukum Indonesia Kontemporer,
Cetakan Ke-I, Yogyakarta, Genta Publishing, hlm. 45-46.

143
Ibid.
137

2. Pendekatan kasus (case approach):


Pendekatan kasus, yaitu dengan mengangkat kasus-kasus tertentu berupa

perkara yang pernah diputus oleh Pengadilan, terutama putusan Mahkamah

Agung, yang kemudian diabstraksikan ke dalam konsepsi hukum yang

selanjutnya diikuti oleh putusan-putusan Pengadilan berikutnya berupa

yurisprudensi. Bisa juga putusan tersebut berlainan dengan putusan yang

sudah menjadi yurisprudensi sebagai upaya penemuan hukum untuk

mencapai putusan yang berkeadilan.


3. Pendekatan historis (historical approach):
Pendekatan historis adalah upaya memahami suatu norma atau yurisprudensi

dari sudut latar belakang kemunculannya sehingga dapat dipahami dalam

konteks masyarakat dan waktu tertentu.


4. Pendekatan perbandingan (comparison approach):
Pendekatan perbandingan dilakukan dengan membandingkan norma atau

putusan tertentu yang berbeda dari sisi pertimbangannya yang akhirnya.

melahirkan produk yang berbeda pula. Pendekatan perbandingan ini

dilakukan sebagai usaha memahami secara konseptual munculnya putusan

atau norma yang berbeda tersebut.


5. Pendekatan konseptual (conceptual approach):
Pendekatan konseptual merupakan pendekatan yang dilakukan dengan cara

menelusuri atau membahas konsep-konsep, doktrin-doktrin atau pendapat

dari para sarjana atau para pakar sebagai pendukung dari pembahasan

terhadap isu hukum dalam penelitian ini. Pendekatan konseptual ini dilakukan

sebagai suatu pendekatan yang digunakan untuk memperoleh kejelasan dan

pembenaran ilmiah berdasarkan konsep-konsep hukum yang bersumber dari

prinsip-prinsip dan asas-asas hokum.144


6. Pendekatan Filosofis (Philosophical Approach)
144
Ibid. hlm. 47
138

Selain dengan pendekatan-pendekatan di muka, penelitian ini juga memakai

pendekatan filsafat (Philosophical Approach). Dengan sifat filsafat yang

menyeluruh, mendasar, dan spekulatif, penjelajahan filsafat akan mengupas

isu hukum (legal issue) dalam penelitian normatif secara radikal dan

mengupas secara mendalam. Tugas filsafat secara mendasar adalah

mempersoalkan jawaban yang diberikan. Penjelajahan dalam filsafat meliputi

ajaran ontologis (ajaran tentang hakikat), aksiologis (ajaran tentang nilai),

epistimologis (ajaran tentang pengetahuan), telelogis (ajaran tentang tujuan)

untuk menjelaskan secara mendalam sejauh dimungkinkan oleh pencapaian

pengetahuan manusia.145 Philosophical Approach dalam penelitian ini sangat

penting berkaitan dengan pembahasan mengenai prinsip peradilan

dilaksanakan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Begitu juga berkaitan

dengan pembahasan prinsip keadilan tentang pembagian harta bersama pasca

perceraian.
1.7.3. Sumber Bahan Hukum

Penelitian ini didasarkan pada penelitian hukum normatif, sehingga bahan

hukum yang dipergunakan merupakan bahan pustaka hukum yang terdiri dari:

1. Bahan hukum primer,


2. Bahan hukum sekunder, dan
3. Bahan hukum tersier146.

Jadi sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yang

terdiri dari:
145
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cetakan ke-6: Bayumedia
Publishing, , Malang , 2012, hal. 321.

146
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Op. Cit., hlm. 141.
139

1.1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


1.2. HIR: Herzien Indonesis Reglement atau Reglemen Indonesia Baru

untuk Daerah Jawa dan Madura (Staatblad 1984 No. 16 yang

diperbaharui dengan Staatblad 1941 No. 44),


1.3. Reglemen Acara Hukum untuk Daerah Luar Jawa dan Madura

(Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten

Java En Madura (RBg.) (S. 1927-227),


1.4. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan,
1.5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tantang Pelaksanaan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.


1.6. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung yang diubah dengan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 dan Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 3 Tahun 2009,


1.7. Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Tanggal 29 Desember 1989

tentang Peradilan Agama yang diubah dengan Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 50 Tahun 2009,


1.8. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebar-luasan

Kompilasi Hukum Islam.


1.9. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman,
1.10. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01

Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.


2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan

penjelasan dan mendukung terhadap bahan hukum primer seperti buku-buku

teks, literatur, artikel, jurnal dan pendapat para sarjana dan praktisi hukum
140

yang terkait dan relevan dengan permasalahan atau isu hukum yang diteliti

dalam penelitian ini.


3. Bahan hukum tersier, yaitu kamus dan ensiklopedi yang berupa:
3.1. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Baru, 2009, Cetakan ke-4,

Jakarta, Pustaka Phoenix.


3.2. Ensiklopedi.
3.3. Jurnal.
1.7.4. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan

bahan hukum tersier ini dilakukan dengan penelitian di perpustakaan dan

penjelajahan atau penelusuran lewat internet.

Teknik pengolahan bahan hukum yang dipergunakan akan dilakukan

dengan cara menginventarisir, mempelajari dan mendalami bahan-bahan hukum

primer, sekunder, dan tersier secara sistematis dan tetap fokus pada permasalahan

yang diteliti.

1.7.5. Analisis Bahan Hukum


Analisis bahan hukum dalam penelitian hukum normatif pada dasarnya

menekankan pada metode deduktif dengan mempergunakan bahan-bahan

kepustakaan sebagai sumber bahan penelitian. Oleh karena itu dalam melakukan

penelitian hukum normatif, analisis bahan hukum dilakukan secara deskriptif

analisis dengan menjawab isu hukum menuju penerapan hukum.


Bahan hukum yang terkumpul diklasifikasi sedemikian rupa kemudian

dianalisis secara deskriptif-analisis untuk mendapatkan jawaban dari isu

permasalahan yang menjadi objek penelitian. Penelitian ini dilakukan untuk

memecahkan isu hukum yang telah dirumuskan di dalam rumusan masalah di


141

atas. Hasil yang hendak dicapai adalah memberikan preskripsi mengenai apa yang

seyogyanya.147
1.8. Pertanggungjawaban Sistematika
Penelitian disertasi ini disusun dengan sistematika penulisan diawali

dengan:
- Bab I, Pendahuluan.
Di dalam bab I ini diuraikan mengenai latar belakang masalah yang melatar

belakangi munculnya kehendak untuk melakukan penelitian. Setelah

diuraikan mengenai latar belakang masalah, lalu dirumuskan mengenai

rumusan masalah yang menjadi persoalan di dalam penelitian ini. Lalu

diuraikan mengenai apa yang menjadi tujuan penelitian dan apa manfaat

penelitian yang akan dihasilkan. Di dalam manfaat penelitian ini diuraikan

mengenai manfaat teoritis dan manfaat praktis. Kemudian dijelaskan

mengenai orisinalitas penelitian ini tentang permasalah yang akan dibahas

dan jawabannya.
- Masih di dalam Bab I, lalu dibahas mengenai landasan teori dan

penjelasan konsep dalam penelitian ini.


Di dalam landasan teori dijabarkan mengenai teori tentang keadilan menurut

Rawls yang meliputi keadilan sebagai fairness, posisi asali dan dua prinsip

keadilan; teori tujuan hukum, teori perlindungan hukum, teori kewenangan,

dan teori maslahat.


Di dalam penjelasan konsep dijabarkan mengenai kekuasaan kehakiman di

indonesia yang meliputi penjelasan mengenai kewenangan Mahkamah Agung

dan kewenangan Peradilan Agama; lalu dijabarkan mengenai hukum acara

pada Pengadilan Agama, hakim dan penemuan hukum, dan prinsip-prinsip

147
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Op. Cit., hlm. 89.
142

hukum dalam kaidah fiqh; juga dijabarkan mengenai pokok-pokok tentang

harta bersama di dalam perkawinan. Mengenai harta bersama dijelaskan

tentang Ruang Lingkup Harta Bersama dan Pembagian Harta Bersama yang

selama ini sudah berjalan dan diputuskan oleh Pengadilan Agama.


- Di dalam Bab I kemudian dibahas mengenai metode penelitian yang

meliputi tentang jenis penelitian yaitu penelitian ini merupakan penelitian

hukum normatif, pendekatan masalah, sumber bahan hukum yang meliputi

bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier,

bagaimana cara pengumpulan dan pengolahan bahan hukum, lalu cara

bagaimana melakukan analisis bahan hukum, dan kemudian mengenai

pertanggungjawaban sistematika.
- Bab II, Prinsip Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan dalam

Penyelesaian Perkara Perceraian pada Pengadilan Agama


Pada bab ini dibahas sub bab mengenai pengertian, syarat, prosedur dan

sahnya perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974; kemudian

mengenai akibat hukum terjadinya perkawinan terhadap hak dan kewajiban

suami-istri, anak-anak, serta harta benda dalam perkawinan (harta bawaan

dan harta bersama); lalu mengenai alasan-alasan dan prosedur perceraian;

mengenai proses menyelesaikan perkara perceraian pada Pengadilan Agama;

sub bab ini membahas mengenai proses penyelesaian perkara cerai talak dan

cerai gugat; akibat hukum terjadinya perceraian terhadap anak dan harta

benda dalam perkawinan; dan bagaimana bila terjadi perkawinan lebih dari 1

kali terhadap harta benda perkawinan. Kemudian pada sub bab berikutnya

dibahas mengenai fungsi mediasi dalam proses perkara pada Pengadilan

Agama. Kemudian pada sub bab berikutnya dibahas mengenai prinsip


143

sederhana, cepat dan biaya ringan dalam penyelesaian perkara perceraian

pada pengadilan agama. Dalam pembahasan ini bertitik tolak pada asas

peradilan harus dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Ketika

membahas prinsip ini dikaitkan dengan norma penemuan hukum oleh hakim

berdasarakan undang-undang.
- Bab III, Prinsip Keadilan dalam Pembagian Harta Bersama Akibat

Perceraian pada Pengadilan Agama


Pada bab ini dibahas tentang pengertian mengenai harta bersama. Kemudian

dibahas mengenai masa terbentuknya harta bersama. Lalu dibahas mengenai

batasan-batasan harta bersama yang dilanjutkan dengan membahas cara

mengajukan sengketa harta bersama. Lalu mengenai pemeriksaan harta

bersama dan pembagian harta bersama; lalu bagaimana bila terjadi

perkawinan lebih dari 1 kali terhadap harta benda perkawinan; dan bagaimana

bila terjadi percampuran harta benda perkawinan dalam perkawinan poligami;

Terakhir dibahas mengenai prinsip keadilan dalam pembagian harta bersama

akibat perceraian pada Pengadilan Agama; dan apa yang baru yang dihasilkan

dalam penelitian ini.


- Bab IV, Penutup
Dalam bab penutup ini berisi kesimpulan dan saran.
Terakhir dari penelitian ini diuraikan mengenai daftar bacaan sehingga

penelitian ini melahirkan hasil penelitian secara utuh.


144

BAB II

PRINSIP KEADILAN DALAM PENYELESAIAN PERKARA

PERCERAIAN PADA PENGADILAN AGAMA

2.5. Perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974


2.1.1. Pengertian perkawinan

Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi

yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam

budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi yang biasanya intim

dan seksual. Perkawinan umumnya dimulai dan diresmikan dengan upacara

pernikahan. Umumnya perkawinan dijalani dengan maksud untuk membentuk

keluarga. Tergantung budaya setempat bentuk perkawinan bisa berbeda-beda dan

tujuannya bisa berbeda-beda juga. Tapi umumnya perkawinan itu ekslusif dan

mengenal konsep perselingkuhan sebagai pelanggaran terhadap perkawinan.

Perkawinan umumnya dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga.

Umumnya perkawinan harus diresmikan dengan pernikahan.148

Menurut bahasa, “perkawinan” berasal dari kata dasar “kawin”, yang

berarti membentuk keluarga dengan lawan jenis149. “Kawin” dengan awalan “per”

148
Wikipedia, ensiklopedia bebas, https://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan, diakses hari Selasa
tanggal 24/10/2017 jam 18:03.

149
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kamus versi online, https://kbbi.web.id/kawin, diakses
hari Selasa tanggal 24/10/2017 jam 18:18.
145

dan akhiran “an” menjadi “perkawinan” berarti proses terjadinya kawin, peristiwa

kawin atau keadaan kawin.150

Lain kata dari “kawin” adalah “nikah”. Nikah berasal dari bahasa Arab

yang berarti “berhimpun” atau “wathi” (hubungan badan). Secara istilah (syara’)

nikah adalah suatu akad yang memperbolehkan seorang pria dan wanita bergaul

bebas (wathi’).151 Dalam literatur fiqh berbahasa Arab, perkawinan atau

pernikahan disebut dengan dua kata, yaitu “nikah” dan “zawaj”. Kedua kata ini

yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam

Al-Qur’an dan hadits Nabi.152 Secara arti kata nikah bermakna “bergabung” atau

“berhubungan kelamin”, dan juga nikah bermakna “akad”. Adanya dua

kemungkinan arti ini karena kata nikah yang terdapat dalam Al_Qur’an

mengandung dua arti tersebut.153

Menurut Ahmad Ashar Bashir, pernikahan atau perkawinan adalah

melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-

laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak,

dengan dasar sukarela dan keridhaan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu

kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman

dengan cara-cara yang diridhai oleh Allah. Menurut Mahmud Yunus, pengertian

150
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kamus versi online, https://kbbi.web.id/asimilasi,
diakses hari Selasa tanggal 24/10/2017 jam 18:27.

151
Peunoh Daly, Dr., Hukum Perkawinan Islam, Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan
Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, cetakan ke-2, Bulan Bintang, Jakarta, 2005, hlm. 73.

152
Amir Syarifuddin, Prof. Dr., Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-undang Perkawinan, cetakan ke-5, Kencana, Jakarta, 2014, hlm. 35.

153
Ibid., hlm 36.
146

pernikahan atau perkawinan ialah akad antara calon laki istri untuk memenuhi

hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syariat. Dalam hal ini, aqad adalah ijab

dari pihak wali perempuan atau wakilnya dan kabul dari calon suami atau

wakilnya. Sulaiman Rasyid mengemukakan pengertian pernikahan atau

perkawinan adalah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan

kewajiban seta bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang

perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. Pengertian pernikahan atau

perkawinan menurut Abdullah Sidiq adalah pertalian yang sah antara seorang

lelaki dan seorang perempuan yang hidup bersama (bersetubuh) dan yang

tujuannya membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan, serta mencegah

perzinaan dan menjaga ketentraman jiwa atau batin. Menurut Soemiyati,

pengertian pernikahan atau perkawinan ialah perjanjian perikatan antara seseorang

laki-laki dan seorang wanita. Perjanjian dalam hal ini bukan sembarang perjanjian

tapi perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan

seorang wanita. Suci di sini dilihat dari segi keagamaan dari suatu pernikahan.

Zahry Hamid mengatakan pendapatnya bahwa Perngertian Pernikahan atau

perkawinan merupakan akad (ijab kabul) antara wali dan mempelai laki-laki

dengan ucapan tertentu dan memenuhi rukun dan syaratnya. Dalam Pengertian

Pernikahan secara umum adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki

dan seorang perempuan untuk hidup berketurunan, yang dilangsungkan menurut

ketentuan syariat Islam.

Jurnal Pengertian Pakar, Kumpulan Pengertian Menurut Para Pakar,


http://www.pengertianpakar.com/2015/03/pengertian-dan-tujuan-pernikahan-perkawinan.html,
diakses hari Selasa tanggal 24/10/2017 jam 19:13.
147

Pengertian pernikahan atau perkawinan dalam UU No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, pernikahan adalah sebuah ikatan lahir batin antara seorang

pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk

keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal yang didasarkan pada

Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Kompilasi Hukum Islam No. 1 Tahun 1991

mengartikan perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau

miitsaaqan ghaliidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya

merupakan ibadah.

Kata perkawinan menurut istilah hukum Islam sama dengan kata “nikah”

dan kata “zawaj“. Nikah menurut bahasa adalah menghimpit, menindih atau

berkumpul. Nikah mempunyai arti kiasan yakni “wathaa” yang berarti “setubuh”

atau “akad” yang berarti mengadakan perjanjian pernikahan. Dalam kehidupan

sehari-hari nikah dalam arti kiasan lebih banyak, sedangkan dipakai dalam arti

sebenarnya jarang sekali dipakai saat ini. Dari pengertian pernikahan atau

perkawinan yang diungkapkan para pakar di atas tidak terdapat pertentangan satu

sama lain, karena intinya secara sederhana dapat ditarik kesimpulan bahwa

pengertian pernikahan atau perkawinan adalah perjanjian antara calon suami dan

calon isteri untuk membolehkan bergaul sebagai suami isteri guna membentuk

suatu keluarga.154

154
Jurnal Pengertian Pakar, Kumpulan Pengertian Menurut Para Pakar,
http://www.pengertianpakar.com/2015/03/pengertian-dan-tujuan-pernikahan-perkawinan.html,
diakses tanggal 24/10/2017 jam 18:11.
148

Dari Pasal 1 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa,

dapat di dekonstruksi bahwa perkawinan adalah:

1) ikatan lahir dan bathin;


2) antara seorang pria dengan seorang wanita;
3) sebagai suami isteri;
4) dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga);
5) berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.

Sedangkan menurut Pasal 2 Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor

1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya dalam penelitian ini

disingkat dengan KHI), perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan,

yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah

Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, dapat di dekonstruksi bahwa

perkawinan adalah:

1) akad (yang sangat kuat) atau mitssaqan ghalidzan;


2) (bertujuan) untuk mentaati perintah Allah;
3) merupakan ibadah.

Menurut hukum adat, perkawinan adalah suatu bentuk hidup bersama yang

lenggeng lestari antara seorang pria dan wanita yang diakui oleh persekutuan adat

dan yang diarahkan pada pembantu dan keluarga. Perkawinan menurut hukum

adat pada umumnya di Indonesia, bukan saja berarti sebagai perikatan perdata

tetapi juga merupakan “perikatan adat” dan sekaligus merupakan perikatan

kekerabatan dan kekeluargaan. Jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan

semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, seperti


149

hak dan kewajiban suami isteri, harta bersama kedudukan anak, hak dan

kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat,

kewarisan kekeluargaan, dan kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut

upacara-upacara adat dan keagamaan. Begitu juga menyangkut kewajiban

mentaati perintah dan larangan keagamaan, baik dalam hubungan manusia dengan

Tuhannya (ibadah) maupun hubungan manusui dengan manusia (mu’Amalah)

dalam pergaulan hidup agar selamat didunia dan selamat di Akhirat.155

Hilman Hadikusuma mengemukakan pendapat Imam Sudiyat bahwa

menurut hukum adat, perkawinan biasa merupakan urusan kerabat, keluarga,

persekutuan, bisa juga merupakan urusan pribadi bergantung pada susunan

masyarakatnya. Sedangkan menurut Teer Haar bahwa perkawinan adalah urusan

kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, dan urusan pribadi. Van Vollenhoven

mengemukakan bahwa perkawinan dalam hukum adat menyangkut banyak

lembaga-lembaga hukum dan kaidah-kaidah hukum yang berhubungan dengan

tatanan dunia di luar dan di atas kemampuan manusia.156

Perkawinan dalam arti “perikatan adat” ialah perkawinan yang mempunyai

akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat yang

bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada sejak sebelum perkawinan terjadi, yaitu

misalnya dengan adanya hubungan pelamaran yang merupakan “rasa senak”

(hubungan anak-anak, bujang gadis) dan “rasa tuha” (hubungan orang tua

keluarga dari pada calon suami istri). Setelah terjadinya ikatan perkawinan maka

155
Hilman Hadikusuma, H. Prof. S.H., Hukum Perkawinan Indonesia menurut: Perundangan,
Hukum Adat, Hukum Agama, cetakan ke-3 Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm. 8-10.

156
Ibid.
150

timbul hak-hak dan kewajiban orang tua termaksud anggota keluarga, kerabat

menurut hukum adat setempat yaitu dengan pelaksanaan upacara adat dan

selanjutnya dalam peran serta membina dan memelihara kerukunan, keutuhan dan

kelenggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang terlibat dalam perkawinan.

Sejauh mana ikatan perkawinan itu membawa akibat hukum “perikatan

adat” seperti tentang kedudukan suami atau kedudukan istri, begitu pula tentang

kedudukan anak dan pengangkatan anak, kedudukan anak tertua anak anak

penerus keturunan, anak adat, anak asuh dan lain-lain, mengenai harta perkawinan

tergantung pada bentuk dan sistim perkawinan adat setempat.

Menurut hukum adat di Indonesia perkawinan itu dapat berbentuk dan

bersistim perkawinan jujur dimana pelamaran dilakukan pihak pria kepada pihak

wanita; dan setelah perkawinan, isteri mengikuti tempat kedudukan dan kediaman

suami; hal ini biasa dijumpai seperti di Bantul, Lampung dan Bali. Kemudian

“perkawinan semanda” di mana pelamar dilakukan oleh pihak wanita kepada

pihak pria; dan setelah perkawinan, suami mengikuti tempat kedudukan dan

kediaman istri; hal ini bisa dijumpai seperti di daerah Minangkabau dan Sumatera

Selatan. Ada bentuk perkawinan bebas yaitu seperti di Jawa dimana pelamaran

dilakukan oleh pihak pria; dan setelah perkawinan, kedua suami istri bebas

menentukan tempat kedudukan dan kediaman mereka menurut kehendak mereka.

Yang terakhir ini banyak berlaku dikalangan masyarakat keluarga yang telah maju

(Modern).157

Berdasarkan UU Perkawinan dan KHI serta pendapat para ahli, maka

makna perkawinan adalah:


157
Ibid.
151

1) akad (ikatan lahir dan bathin) yang berisi perjanjian atau

kesepakatan;
2) akad tersebut adalah di dalamnya antara seorang pria dengan

seorang wanita sebagai suami dan istri yang bertujuan untuk membentuk

rumah tangga; rumah tangga ini dibentuk dengan niat untuk selamanya,

dengan tujuan kebahagiaan;


3) dasar dilaksanakannya akad adalah agama, untuk mentaati perintah

Allah, merupakan ibadah kepada Allah.

Karena perkawinan itu merupakan akad, maka ia menimbulkan

konsekwensi-konsekwensi, hak dan kewajiban, serta akibat-akibat. Hak dan

kewajiban muncul setelah adanya akad perkawinan. Begitu juga dengan

konsekwensi-konsekwensi dan akibat-akibatnya. Hak-hak bagi suami dan istri

serta kewajiban-kewajiban muncul sebagai konsekwensi adanya akad perkawinan.

Dari berbagai penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa

bagaimanapun tata tertib adat yang harus dilakukan oleh mereka yang akan

melangsungkan perkawinan menurut bentuk dan sistim yang berlaku dalam

masyarakat, Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tidak mengaturnya, hal mana

berarti terserah kepada selera dan nilai-nilai budaya dari masyarakat yang

bersangkutan, asal saja segala sesuatunya tidak bertentangan dengan kepentingan

umum, Pancasila dan Undang-Undang Dasar tahun 1945. Dengan demikian

perkawinan dalam arti “perikatan adat”, walaupun dilangsungkan antara adat yang

berbeda, pelaksanaannya tergantung pada pihak-pihak yang berkehendak akan

menikah sesuai dengan kesepakatannya.

Hukum menikah menurut hukum Islam, ulama berbeda pendapat, yaitu:


152

Pertama: nikah hukumnya wajib bagi yang mampu melaksanakan nikah dari segi

biaya dan telah dewasa. Ibnu Hazm berpendapat, bahwa wajib

hukumnya bagi lelaki yang mampu berhubungan badan (dewasa), jika

dia memiliki dana untuk menikah. Jika dia tidak mampu secara dana,

maka hendaknya dia memperbanyak puasa.

Kedua, pendapat mayoritas ulama, menikah sebagai anjuran bagi yang mampu

menikah dan dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam maksiat jika

tidak menikah. Sehingga latar belakang perintah nikah adalah karena

dalam rangka menghindari yang haram. Imam An-Nawawi mengatakan,

terdapat perintah untuk menikah bagi orang yang mampu dan

dikhawatirkan terjerumus ke dalam dosa besar. Perintah ini sifatnya

anjuran, dan bukan wajib. Karena itu, tidak wajib harus menikah. Para

ulama itu mengatakan bahwa keharusan menikah itu hanya ada seumur

hidup sekali. Imam As-Syaukani mengatakan, bagi yang takut

terjerumus ke dalam maksiat, karena menjauhi yang haram, hukumnya

wajib. Jika menjauhi yang haram tidak bisa dilakukan kecuali melalui

nikah, maka nikah hukumnya wajib. 158

2.1.2. Sahnya Perkawinan

Menurut Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, perkawinan adalah sah, apabila

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Terhadap ketentuan tersebut ada yang memaknai bahwa perkawinan itu sah

apabila: 1. dilakukan menurut hukum agama orang yang berkehendak menikah; 2.

158
Jurnal Konsultasi Syari'ah, https://konsultasisyariah.com/21710-hukum-menikah-dalam-
islam.html, diakses tanggal 25/10/2017 jam 17:25.
153

dilakukan menurut hukum kepercayaan orang yang berkehendak menikah.

Dengan pengertian ini ada pemisahan antara hukum agama dan hukum

kepercayaan.

Pemahaman yang lain terhadap ketentuan di atas adalah bahwa

perkawinan itu sah apabila dilakukan menurut hukum agama orang yang

berkehendak menikah. Pemahaman terakhir tidak memasukkan hukum

kepercayaan sebagai faktor legal sahnya perkawinan. Apabila perkawinan itu

dilakukan menurut agama orang yang berkehendak menikah, maka

perkawinannya sah secara hukum.

Penjelasan resmi atas UU Perkawinan adalah dengan perurnusan pada

Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum rnasing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945.

Yang dimaksud dengan hukurn masing-masing agamanya dan kepereayaannya itu

termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya

dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain

dalam Undang- undang ini.

Menurut konsep fiqh atau pemahaman hukum Islam, perkawinan sah

apabila memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun. Ada dua hal yang harus

dipenuhi supaya memenuhi kriteria sahnya perkawinan. Pertama harus memenuhi

syarat-syarat perkawinan. Kedua harus memenuhi rukun-rukun perkawinan.

Syarat secara bahasa berasal dari bahasa Arab “al-syarth” (‫ )الشرط‬yang

berarti sesuatu yang harus dipenuhi.159 Secara istilah syarat berarti:

159
https://www.almaany.com/ar/dict/ar-ar/%D8%B4%D8%B1%D8%B7/, diakses jam 11:10
tanggal 15-11-2017.
154

‫ فالشرط في صحاة العبادة ما تتوقف صحاة العباد عليه‬، ‫واصطلحاا الشرط هو ما ل يتم الشيء إل به‬

‫كالطهارة‬.160

Artinya: “Secara istilah, syarat berarti bahwa sesuatu keadaan yang sesuatu

peebuatan tidak akan sempurna kecuali dengan adanya keadaan itu.” Seperti orang

yang akan bershalat harus suci dari najis, hadats kecil dan hadats besar. Suci dari

najis, hadats kecil dan hadats besar merupakan syarat dari sahnya shalat.

Seseorang itu tidak sah shalatnya apabila tidak suci dari najis, hadats kecil dan

hadats besar.

Dengan pengertian lain, syarat adalah:

‫ ما يلزم من عدمه عدم المشروط ول يلزم من وجوده عدم ول وجود لذاته‬:‫الشرط هو‬.161

Artinya: “Syarat adalah sesuatu yang karena tidak adanya, maka perbuatan yang

dinyaratkan menjadi tidak ada; tetapi tidak harus karena syaratnya sudah ada lalu

berarti yang disyaratkan mesti menjadi ada.” Seperti sahnya shalat harus suci dari

najis, hadats kecil dan hadats besar. Tetapi bukan berarti orang yang bershalat

yang suci dari najis, hadats kecil dan hadats besar lalu shalatnya menjadi sah,

karena ada hal-hal lain yang menyebabkan batalnya shalat seseorang. Syarat ialah

suatu yang harus dipenuhi sebelum mengerjakan sesuatu pekerjaan. Kalau syarat-

syaratnya kurang sempurna, maka pekerjaan itu tidak sah.162

Menurut istilah ushul al-fiqh, syarat adalah:

160
Ibid.

161
Islamweb.net, Markaz al-Fatawa, http://fatwa.islamweb.net/fatwa/ index. php?
page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=2038, diakses jam 12:10 tanggal 14-11-2017.

162
Jurnal Tuntunan Ilmu, http://menurut-islam.blogspot.co.id/2013/03/ syarat-dan-rukun.html,
diakses jam 12:55 tanggal 14-11-2017.
155

‫ ول يلزم من وجوده وجودد ول عدم‬،‫ هو الذي يلزم ممن عدمه العدم‬:‫وفي اصطلحا الصولييين‬.163

Artinya: “Syarat adalah sesuatu yang karena tidak adanya, maka perbuatan yang

dinyaratkan menjadi tidak ada; tetapi tidak harus karena syaratnya sudah ada lalu

berarti yang disyaratkan mesti menjadi ada.”

Secara garis besar syarat dibagi dua:

1) Syarat primer, yaitu syarat yang kalau tidak ada atau tidak dipenuhi, maka

perbuatannya menjadi tidak sah. Seperti orang yang hendak bershalat harus

suci. Apabila tidak suci, maka shalatnya tidak sah.


2) Syarat sekunder, yaitu syarat yang kalau tidak ada atau tidak dipenuhi,

maka perbuatannya tidak serta merta perbuatannya menjadi tidak sah, tetapi

hanya tidak sempurna. Seperti penjual dan pembeli di dalam akad jual beli

disyaratkan harus dewasa. Kalau penjual dan pembeli tidak dewasa tidak serta

merta jual belinya tidak sah, jika penjual dan pembeli sudah bisa membedakan

keadaan baik dan buruk (tamyiz).


Rukun berasal dari bahasa Arab “al-rukn” (‫ )الركن‬yang berarti:
‫الركن هو أحد الجوانب التي يستند إليها الشيء ويقوم بها‬.164

Artinya: “Salah satu bagian dari sesuatu, sesuatu itu bisa tegak dengan bagian

itu”.

Secara istilah, rukun adalah:

‫ جزء الماهية وإن شئت جزء الذات كالركوع والسجود بالنسبة للصلةا‬:‫والركن هو‬.165

163
Sa’d ibn Abdillah Al-Hamid, Dr., Al-Alukah Al-Syar’iyah, http://
www.alukah.net/sharia/0/102016/, diakses jam 12:23 tanggal 14-11-2017.

164
https://www.almaany.com/ar/dict/ar-ar/%D8%B1%D9%83%D9%86/, diakses jam 12:19
tanggal 15-11-2017.

165
Islamweb.net, Markaz al-Fatawa, http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=
showfatwa&Option=FatwaId&Id=2038 diakses jam 12:10 tanggal 14-11-2017.
156

Artinya: “Rukun adalah bagian dari suatu perbuatan. Seperti ruku’ di dalam

shalat.”

Dalam pengertian ushul fiqh, rukun adalah:

:‫ ومن عدمه العدم داخل العمل؛ فمثلل‬،‫وأما الركن في اصططلِحا الصوليين هو الذي يلزم من وجوده الوجود‬

‫ وإن‬،‫ فالصلة صحايحاة‬،‫ فإن توقفرت جميع أركان الصلة‬،‫الركوع في الصلة من أركانها بالجماع المتيققن‬

‫ ومن عدمها عدم‬،‫ يلزم من وجود الركان وجود الصحاة‬:‫ فالصلة باطلة؛ أي‬،‫انعدم ركن واحاد منها‬

‫الصحاة‬.166

Artinya: “Rukun menurut istilah ushul fiqh adalah sesuatu yang harus ada untuk

adanya sesuatu yang lain. Kalau tidak ada rukun itu, maka perbuatan menjadi

tidak sah. Seperti ruku’ di dalam shalat. Apabila tidak ada ruku’ di dalam shlat

seseorang, maka shalatnya tidak sah.” Rukun ialah sesuatu yang harus dikerjakan

dalam melakukan suatu pekerjaan. Jadi, rukun berarti sebagai bagian yang

pokok.167

Perbedaan syarat dengan rukun adalah:

‫والفرق بينهما أن الشرط خارج عن الماهية والركن جزءء منها‬.168

Artinya: “Perbedaan antara syarat dan rukun, syarat berada di luar dari perbuatan;

sedangkan rukun merupakan bagian dari perbuatan”.

166
Sa’d ibn Abdillah Al-Hamid, Dr., Al-Alukah AlSyar’iyah,
http://www.alukah.net/sharia/0/102016/, diakses jam 12:23 tanggal 14-11-2017.

167
Jurnal Tuntunan Ilmu, http://menurut-islam.blogspot.co.id/2013/03/syarat-dan-rukun.html,
diakses jam 12:55 tanggal 14-11-2017.

168
Islamweb.net, Markaz al-Fatawa, http://fatwa.islamweb.net/fatwa/ index.php?
page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=2038, diakses jam 12:10 tanggal 14-11-2017.
157

‫ والشرط ل يلزم من وجوده وجوءد ول‬،‫ والركن يكون داخل العمل‬،‫أن الشرط ييكون خارج العمل‬

‫ وأما الركن فييلزم من وجودهما الوجود‬،‫عدم‬.169

Artinya: “Sesungguhnya syarat berada di luar perbuatan; sedangkan rukun berada

di dalam perbuatan.”

Perbuatan yang lengkap syarat dan rukunnya, maka perbuatan itu sah

secara hukum. Jika tidak lengkap syarat dan rukunnya, maka perbuatan itu tidak

sah atau batal secara hukum. Sah ialah telah cukup syarat dan rukunnya serta

sudah benar. Batal ialah tidak cukup syarat dan rukunnya (tidak benar). Jadi suatu

pekerjaan atau perkara yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya berarti perkara

itu tidak sah atau batal.170

Menurut Pasal 4 KHI, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan. Pada Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kompilasi Hukum Islam

mengembalikan mengenai sahnya perkawinan kepada Pasal 2 ayat (1) Undang-

undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sementara di dalam Undang-

undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak diatur mengenai sahnya

perkawinan menurut agama. Sehingga agama para calon mempelai yang

menentukan mengenai sahnya perkawinan itu.

169
Sa’d ibn Abdillah Al-Hamid, Dr., Al-Alukah AlSyar’iyah, http://www.
alukah.net/sharia/0/102016/ , diakses jam 12:23 tanggal 14-11-2017.

170
Jurnal Tuntunan Ilmu, http://menurut-islam.blogspot.co.id/2013/03/syarat-dan-rukun.html,
diakses jam 12:55 tanggal 14-11-2017.
158

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diberlakukan untuk

semua pemeluk agama. Sehingga wajar di dalam undang-undang tersebut tidak

diatur mengenai sahnya perkawinan menurut agama-agama yang berada di

Indonesia. Karena apabila mencantumkan mengenai sahnya perkawinan menurut

agama-agama yang berada di Indonesia, maka undang-undang tersebut akan

memu ‫ش‬t pasal-pasal yang sangat banyak.

Untuk umat Islam Indonesia mengenai sahnya perkawinan diatur di dalam

Kompilasi Hukum Islam yang diberlakukan melalui Instruksi Presiden Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. Kompilasi Hukum Islam

terdiri dari: a. Buku I tentang Hukum Perkawinan; b. Buku II tentang Hukum

Kewarisan; c. Buku III tentang Hukum Perwakafan. Instruksi Presiden Republik

Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 menginstruksikan kepada

Menteri Agama untuk menyebarkan luaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri

dari tiga buku tersebut.

Pada Buku I tentang Hukum Perkawinan di atur mengenai sahnya

perkawinan, yaitu dari Pasal 14 sampai dengan 44 melalui Bab IV tentang rukun

dan syarat perkawinan, Bab V tentang mahar Bab VI tentang larangan kawin.

Pada Bab IV tentang rukun dan syarat perkawinan terdiri dari lima bagian, Bagian

Kesatu tentang rukun perkawinan, Bagian Kedua tentang calon mempelai, Bagian

Ketiga tentang wali nikah, Bagian Keempat tentang saksi nikah, dan Bagian

Kelima tentang akad nikah.

Mengenai rukun nikah, pada Pasal 14 Bagian Kesatu Kompilasi Hukum

Islam, rukun nikah disebutkan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
159

a. calon suami; b. calon isteri; c. wali nikah; d. dua orang saksi dan e. ijab dan

kabul.

Rukun berasal dari bahasa Arab “al-ruknu” yang berarti bagian yang

sesuatu menjadi kuat karena bagian itu.171 Rukun menurut istilah fiqh adalah satu

bagian yang menjadi unsur pokok di dalam sesuatu hal; bagian itu adalah unsur

yang mendasar di dalamnya yang sesuatu itu tidak bisa tegak kecuali dengan

unsur tadi.172 Dengan pengertian secara istilah ini, maka pernikahan menjadi tidak

ada atau tidak sah apabila tidak terpenuhi rukun nikahnya. Sesuai Pasal 14

Kompilasi Hukum Islam, maka rukun nikah ada 4, yaitu: 1. calon mempelai yang

terdiri dari calon suami dan calon isteri; 2. wali nikah; 3. dua orang saksi, dan 4.

ijab dan kabul. Sesuai ketentuan hukum Islam, maka pernikahan menjadi tidak

sah jika tidak dipenuhi kelima rukun ini secara keseluruhan.

1. Rukun Nikah yang Pertama tentang Calon Mempelai (calon suami dan

calon isteri)

Mengenai calon mempelai, dalam Bagian Kedua tentang Calon Mempelai,

pada Pasal 15 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa untuk

kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan

calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 ayat 1

Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yakni calon suami sekurang-kurangnya

berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.

Menurut Kompilasi Hukum Islam, mengenai syarat calon mempelai harus

171
Jurnal Maudlu’ Akbar Mauqi’ ‘Araby bi al-“Alam, http://mawdoo3.com/, diakses tanggal
31/10/2017 jam 18:13.

172
Ibid.
160

berdasarkan pada Pasal 7 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Ketentuannya

adalah:

1) calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun.


2) calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.

Ketentuan ini bertujuan untuk menjaga kesehatan suami-isteri dan

keturunan serta untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga. Dengan usia

calon suami 19 tahun dan calon istri berusia 16 tahun dipandang sudah dewasa.

Ketika pasangan yang menikah sudah dewasa diharapkan rumah tangganya makin

sejahtera. Dalam mengatasi masalah keluarga juga sedapat mungkin diselesaikan

dengan cara-cara yang dewasa. Pasal 7 ayat 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974

berbunyi: “Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19

(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas)

tahun.”

Dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mengatur

bahwa dalam hal penyimpangan terhadap Pasal 7 ayat 1 Undang-undang No. 1

Tahun 1974 dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan. Permohonan dispensasi

untuk menikah karena belum mencapai batas usia minimal diajukan pada

Pengadilan Agama. Apabila Pengadilan Agama memutuskan bahwa permohonan

dispensasi menikah ini dikabulkan, maka perkawinan untuk calon mempelai dapat

dilaksanakan. Sebaliknya apabila permohonan dispensasi menikah ini ditolak oleh

Pengadilan Agama, maka perkawinan tidak dapat dilaksanakan.

Dari ketentuan batas usia minimal untuk menikah ini menunjukkan bahwa

batas usia minimal untuk menikah bukan syarat mutlak atau syarat primer untuk

sahnya pernikahan. Tidak dipenuhinya syarat umur calon mempelai dalam


161

perkawinan tidak menyebabkan perkawinannya tidak sah. Ketika perkawinan

dilaksanakan dengan tidak dipenuhinya syarat umur calon mempelai, setelah

mendapat penetapan dispensasi dari pengadilan, tidak menyebabkan

perkawinannya tidak sah, tetapi hanya perkawinannya kurang sempurna. Tidak

sempurnanya perkawinan tersebut karena hanya dapat dilaksanakan pencatatannya

oleh pegawai pencatat nikah kantor urusan agama setelah pelaksanaan perkawinan

tersebut mendapatkan penetapan dispensasi dari pengadilan.

Menurut Pasal 16 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, perkawinan didasarkan

atas persetujuan calon mempelai. Syarat ini sesuai dengan Pasal 6 ayat (1)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Di dalam

Pasal 16 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, bentuk persetujuan calon mempelai

wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat

tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.

Kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat, banyak perkawinan yang

dilaksanakan tanpa ada persetujuan oleh kedua belah pihak. Perkawinan yang

semacam ini terjadi sering karena dijodohkan oleh orang tuanya. Di dalam

masyarakat tradisional masih banyak perkawinan yang semacam ini. Artinya

syarat persetujuan calon mempelai tidak termasuk syarat primer yang dapat

membatalkan pernikahan, tetapi termasuk pada syarat sekunder. Apabila dalam

perjalanan perkawinannya ternyata tidak terjadi rukun, maka salah satunya dapat

mengajukan perkara perceraian, bukan perkara pembatalan nikah.


162

Syarat persetujuan calon mempelai dalam perkawinan adalah untuk

kebahagian suami istri dalam perkawinan. Ketika perkawinan dilaksanakan atas

persetujuan calon mempelai, tujuan perkawinan untuk membentuk rumah tangga

sakinah diharapkan dengan mudah dicapai. Untuk itu di dalam Pasal 17 ayat (1)

Undang-undang Perkawinan diharuskan sebelum berlangsungnya perkawinan

Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di

hadapan dua saksi nikah. Dan di dalam Pasal 17 ayat (2) Undang-undang

Perkawinan, bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon

mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan. Dikarenakan

pentingnya syarat persetujuan calon mempelai, pada Pasal 17 ayat (3) Undang-

undang Perkawinan diatur bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau

tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat

dimengerti.

Syarat berikutnya bagi calon mempelai sesuai dengan Pasal 18 Kompilasi

Hukum Islam, bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan

pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam bab VI

Kompilasi hukum Islam. Menurut Pasal 8 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, perkawinan dilarang antara dua orang yang:

a.berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;


b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu

antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang

dengan saudara neneknya;


c.berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara

susuan dan bibi/paman susuan;


163

e.berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari

isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;


f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang

berlaku, dilarang kawin.

Secara terperinci sebagaima ditunjuk oleh Pasal 18 Kompilasi Hukum

Islam, di dalam bab VI Kompilasi hukum Islam tentang larangan kawin

disebutkan pada Pasal 39, dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang

pria dengan seorang wanita disebabkan:

1) Karena pertalian nasab:


a. dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya

atau keturunannya;
b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;
c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya.
2) Karena pertalian kerabat semenda:
a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas

isterinya;
b. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;
c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya,

kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al

dukhul;
d. dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.
3) Karena pertalian sesusuan:
a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus

ke atas;
b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis

lurus ke bawah;
c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan

ke bawah;
d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke

atas;
e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.
164

Dari Pasal 8 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

dan Pasal 39 Kompilasi Hukum Islam tentang larangan kawin, ada 3 komponin

larangan kawin, yaitu: 1. karena pertalian nasab, 2. karena pertalian kerabat

semenda, 3. karena pertalian sesusuan. Syarat ini adalah syarat primer. Apabila

syarat ini dilanggar, maka perkawinannya tidak sah atau batal.

Karena pertalian nasab maksudnya adalah mempunyai hubungan keluarga

yang dekat yang antara keduanya dalam status mahram, yaitu:


(1) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun

ke atas. Seorang pria tidak boleh menikah dengan seorang wanita yang

melahirkan atau yang menurunkannya, yaitu ibunya, ibunya ibu, neneknya

ibu, dan seterusnya ke atas. Seorang pria tidak boleh menikah dengan

seorang wanita keturunannya, yaitu anaknya, anaknya anak, cucunya anak,

dan seterusnya ke bawah.


(2) berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping. Seorang

pria tidak boleh menikah dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu,

yaitu saudara seayah dan seibu, saudara seayah dan saudara seibu. Seorang

pria tidak boleh menikah dengan seorang wanita anak saudaranya

(keponakan). Seorang pria tidak boleh menikah dengan seorang wanita

saudara orang tua (bibi); dan seorang pria tidak boleh menikah dengan

seorang wanita saudara neneknya;

Karena pertalian kerabat semenda maksudnya adalah mempunyai

hubungan keluarga karena disebabkan adanya perkawinan, yaitu:

(1) Seorang pria tidak boleh menikah dengan seorang wanita yang

melahirkan isterinya (mertuanya) atau bekas isterinya (mantan mertua).


165

Larangan ini berarti sifatnya muabbad (‫)معبببد‬. Artinya begitu terjadi

perkawinan sampai pun telah terjadi perceraian tidak boleh menikah

dengan mertua atau mantan mertua.


(2) Seorang pria tidak boleh menikah dengan seorang wanita bekas

isteri orang yang menurunkannya (bekas istri bapak).


(3) Seorang pria tidak boleh menikah dengan seorang wanita

keturunan isteri (anaknya istri) atau bekas isterinya (anaknya mantan istri);

seorang pria bercerai dengan istrinya, kemudian mantan istri menikah lagi

dan mempunyai anak wanita, maka pria mantan suaminya tidak boleh

menikah dengan anak mantan istrinya ini; kecuali putusnya hubungan

perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul (belum melakukan

hubungan suami istri);


(4) Seorang pria tidak boleh menikah dengan seorang wanita bekas

isteri keturunannya (mantan istri anaknya).


Karena pertalian berhubungan susuan, maksudnya seorang pria yang

bukan anaknya ketika masih bayi menyusu kepada seorang ibu yang bukan orang

tuanya, maka pria itu disebut anak susuan dan ibunya adalah ibu susuan.

Berkaitan dengan hubungan sesusuan ini, maka seorang pria tidak boleh menikah

dengan seorang wanita, yaitu:


(1) Seorang pria tidak boleh menikah dengan wanita yang menyusui

dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;


(2) Seorang pria tidak boleh menikah dengan seorang wanita sesusuan

dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;


(3) Seorang pria tidak boleh menikah dengan seorang wanita saudara

sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah;


(4) Seorang pria tidak boleh menikah dengan seorang wanita bibi

sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;


166

(5) Seorang pria tidak boleh menikah dengan anak yang disusui oleh

isterinya dan keturunannya.

Dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang, maka berlaku

larangan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 huruf (e) Undang-undang Nomor

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 41 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam,

yaitu seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang wanita yang

mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya, yaitu:

a.saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya;


b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.

Larangan ini tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj`i, tetapi

masih dalam masa iddah. Larangan ini sifatnya muaqqat (‫)مؤقت‬. Artinya ketika

pria itu telah menceraikan istrinya dan telah lepas masa iddahnya, maka ia boleh

mengawini wanita saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya mantan

istrinya dan wanita bibinya atau kemenakannya mantan istrinya.

Selain larangan perkawinan yang telah disebutkan di muka, ada larangan

melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena

keadaan tertentu. Menurut Pasal 40 Kompilasi Hukum Islam dilarang

melangsungkan perkawinan antara seorang pria denagn seorang wanita karena

keadaan tertentu, yaitu:

a.Seorang pria tidak boleh menikah dengan seorang wanita karena wanita

yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;


b. Seorang pria tidak boleh menikah dengan seorang wanita yang

masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;


c.Seorang pria tidak boleh menikah dengan seorang wanita yang tidak

beragama Islam.
167

Dilarang juga perkawinan antra seorang pria dengan seorang wanita

karena keadaan tertentu, menurut Pasal 43 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam,

yaitu:
a.Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang

wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali. Larangan ini gugur, kalau

bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut

putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya.


b. Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan

seorang wanita bekas isterinya yang di-li`an. Di-li’an maksudnya seorang

suami menuduh istrinya berzina, si suami tidak mempunyai bukti, lalu si

suami bersumpah bahwa istrinya telah berzina dan si suami menyatakan

laknat Allah kepadanya kalau ia berbohong. Istri yang dituduh zina dan

suaminya telah bersumpah li’an tersebut, disebut istri yang di-lian. Dengan

adanya li”an ini, maka secara serta merta terjadi perceraian antara suami-

istri tersebut dan keduanya mantan suami dengan mantan istri tersebut tidak

boleh menikah lagi dalam satu perkawinan.


Ada satu hal lagi larangan pernikahan karena keadaan tertentu, yaitu sesuai

Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam, yaitu seorang wanita Islam dilarang

melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

Menurut Pasal 40 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam, seorang pria tidak boleh

menikah dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam. Begitu juga seorang

wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak

beragama Islam sesuai Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam.

Bagia suami yang menikah lebih dari seorang, berdasarkan Pasal 42

Kompilasi Hukum Islam, seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan


168

dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang

isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam

iddah talak raj`i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali

perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i.

Dari dasar Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum

Islam, ada dua macam larangan kawin yang harus diperhatikan oleh setiap lelaki

yang akan mengawini seorang wanita. 1. Larangan yang bersifat selama-lamanya;

yaitu seorang lelaki dilarang mengawini wanita dengan kriteria tertentu tidak

berbatas waktu. Untuk selamanya tidak boleh mengawini wanita dengan kriteria

tertentu itu; dan 2. Larangan yang bersifat sementara; seorang lelaki dilarang

mengawini wanita dengan kriteria keadaan tertentu. Jika keadaan itu berubah,

maka lelaki itu boleh mengawininya.

1) Larangan Kawin Selama-lamanya


Wanita yang haram dikawini untuk selama-lamanya ada 3 golongan, yaitu:

1. golongan karena hubungan nasab; 2. golongan karena hubungan semenda; 3.

golongan karena hubungan susuan.


a. Golongan Haram Kawin Karena Hubungan Nasab
Menurut al-Qur-an surat al-Nisa: 23 ada tujuh macam wanita golongan

karena hubungan nasab, yaitu:173


(1) Ibu, termasuk nenek dan seterusnya menurut garis lurus ke

atas. Nenek termasuk dalam lajur ibu.


(2) Anak perempuan, termasuk cucu dan seterusnya menurut

garis lurus ke bawah.


(3) Saudara perempuan kandung, saudara perempuan sebapak

dan saudara perempuan seibu.


173
Peunoh Daly, Dr., Hukum Perkawinan Islam: Suatu Studi Perbandingan dalam Kalangan
Ahlus Sunnah dan Negara-negara Islam, cetakan ke-2, Bulan Bintang, Jakarta, 2005, hal. 178-
190.
169

(4) Bibi (saudara perempuan bapak) sekandung, sebapak, atau

seibu.
(5) Bibi (saudara perempuan ibu) sekandung, sebapak, atau

seibu.
(6) Anak perempuan dari saudara laki-laki, baik saudara

kandung, saudara sebapak maupun saudara seibu dan seterusnya ke

bawah.
(7) Anak perempuan dari saudara perempuan kandung,

sebapak ataupun seibu dan seterusnya ke bawah.


b. Golongan Haram Kawin Karena Hubungan Semenda (musaharah)
Ada 4 macam yang termasuk dalam golongan ini, yaitu:
(1) Istri bapak, istri kakek dan seterusnya ke atas, baik kakek

dari jalur bapak maupun dari jalur ibu (surat al-Nisa: 22). Tidak ada

bedanya apakah istrinya itu sudah dicampuri ataupun belum.


(2) Istri anak dan istri cucu, baik cucu dari jalur anak laki-laki

maupun dari jalur anak perempuan, apakah istrinya itu sudah

dicampuri ataupun belum (surat al-Nisa: 23).


(3) Ibu istri (mertua), yaitu ibu kandung dan ibu susuannya,

baik wanita yang dikawini itu sudah dicampuri ataupun belum

dicampuri.
(4) Anak perempuan dari istri (anak tiri), kalau istri itu sudah

dicampuri sesudah akad yang sah maupun akad yang fasid (tidak

memenuhi syarat). Tetapi kalua belum dicampuri, maka boleh

mengawini anak wanitanya istri (surat al-Nisa: 23).


c. Golongan Haram Kawin Karena Hubungan Susuan
Berdasarkan firman Allah surat al-Nisa: 23, diharamkan kawin dengan ibu

susuan dan saudara susuan. Rasulullah bersabda: “Haram kawin karena susuan

seperti apa yang diharamkan karena hubungan nasab (kelahiran)”. 174 Dalam Al-

174
Ibid.
170

Qur’an disebutkan dua macam golongan orang yang diharamkan kawin karena

susuan. Untuk selanjutnya hadits menegaskan bahwa orang-orang yang

diharamkan kawin karena nasab diharamkan pula karena susuan. Kalau dari pihak

nasab ada tujuh macam yang diharamkan kawin, maka dengan sebab susuan ada

tujuh macam pula. Yaitu:


(1) Ibu susuan, nenek susuan dan seterusnya menurut garis

lurus ke atas. Nenek termasuk nenek susuan dalam lajur ibu.


(2) Anak perempuan dari ibu susuan, termasuk cucu dan

seterusnya menurut garis lurus ke bawah. Semua anak perempuan

yang menyusu pada ibu susuan.


(3) Saudara perempuan sesusuan. Semua anak perempuan yang

disusui ibu atau menyusu pada istri bapak dan putri dari bapak

susuan.
(4) Bibi susuan (saudara perempuan dari bapak susuan),

termasuk saudara perempuan kakek susuan.


(5) Bibi susuan (saudara perempuan dari ibu susuan), termasuk

saudara perempuan dari nenek susuan.


(6) Anak perempuan dari saudara laki-laki susuan dan anak

perempuan dari saudara perempuan sesusuan, dan selanjutnya ke

bawah (cucu-cucunya).
(7) Anak perempuan susuan dari istri, jika ibunya sudah

dicampuri. Demikian pula cucu perempuan susuannya, baik dari

anak laki-laki susuan maupun dari anak perempuan susuan.


2) Larangan Kawin untuk Sementara Waktu175
Larangan mengawini seorang perempuan yang untuk sementara waktu

adalah larangan kawin karena adanya keadaan tertentu. Apabila keadaan tertentu

175
Ibid.
171

itu hilang, maka dengan sendirinya larangan kawinnya juga hilang. Ada beberapa

macam wanita yang seorang lelaki dilarang mengawini, yaitu:


a. Mengumpulkan Dua Orang Wanita Mahram
Haram bagi laki-laki mengumpulkan dua orang perempuan yang

bersaudara senasab ataupun sesusuan, dan mengumpulkan seorang perempuan

dengan bibiknya atau ponakannya (dari pihak ibu dan bapak) karena nasab

ataupun sesusuan. Allah berfirman dalam surat al-Nisa: 23, “Dan diharamkan

mengumpulkan dua orang bersaudara menjadi istri bagi kamu”. Rasulullah

bersabda: “Tidak boleh mengumpulkan seorang perempuan dengan bibiknya dari

pihak ibu atau bapak”. Larangan tersebut berlaku baik dalam melakukan akad

nikah sekaligus maupun dengan terpisah-pisah, ataupun masih dalam iddah raj’i.
b. Istri yang Sudah Talak Tiga
Termasuk dalam golongan wanita yang haram dikawini untuk sementara

waktu oleh seorang laki-laki adalah istrinya yang telah ditalak tiga. Terhadap

istrinya yang sudah ditalak tiga, suaminya tidak boleh rujuk kembali kepada

mantan istrinya itu dan juga tidak boleh kawin kembali dengan mantan istrinya itu

meskipun masa iddahnya sudah habis. Mantan suaminya boleh menikah kembali

kepada mantan istrinya yang sudah ditalak tiga itu, jika mantan istrinya itu sudah

kawin dengan laki-laki lain, dan dalam perkawinannya itu mereka campur,

kemudian mereka bercerai dan habis masa iddahnya, barulah mantan suaminya

yang dahulu boleh menikah kembali dengan mantan istrinya yang sudah ditalak

tiga itu.
c. Kawin Lebih dari 4 Orang Istri
Seorang laki-laki haram mempunyai lebih dari 4 orang istri dalam satu

waktu. Allah berfirman dalam surat al-Nisa: 3, “Kawinilah dengan wanita-wanita

yang baik bagimu, dua, tiga atau empat istri”.


d. Kawin dengan Wanita Istri Orang Lain
172

Diharamkan seorang laki-laki menikah menikah dengan seorang wanita

yang terikat perkawinan dengan laki-laki lain.


e. Kawin dengan Wanita yang dalam Masa Iddah
Diharamkan seorang laki-laki menikah menikah dengan seorang wanita

yang berada dalam masa iddah. Selama dalam masa iddah, wanita yang diceraikan

harus menunggu. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah: 228, “Wanita-wanita

yang ditalak suaminya haruslah menunggu (tidak kawin) selama tiga kali sucian.”

Ini bagi wanita yang masih haidl. Bagi wanita yang tidak haidl, maka ia harus

menunggu selama 3 bulan. Bagi wanita yang sedang hamil, ia harus menunggu

selama sampai melahirkan.


2. Rukun Nikah yang Kedua tentang Wali Nikah

Wanita tidak boleh melaksanakan akad nikah, walaupun seizin walinya,

baik akad itu untuk dirinya ataupun untuk orang lain. Seorang wanita yang tidak

mempunyai wali boleh menunjuk seorang laki-laki yang adil untuk

mengawinkannya. Apabila seorang wanita tidak mampu membayar ongkos nikah

yang diminta hakim setempat, maka ia boleh menunjuk seorang laki-laki yang adil

untuk menikahkan dirinya tanpa bayar.176

Jika menikah tanpa wali, maka pernikahannya tidak sah. Menurut Pasal

19 Kompilasi Hukum Islam tentang Wali Nikah, wali nikah dalam perkawinan

merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita. Wali

bertindak untuk menikahkan calon mempelai wanita dengan calon mempelai pria.

Di dalam Pasal 20 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa yang

bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum

176
Ibid, hlm. 74.
173

Islam yakni muslim, aqil dan baligh. Jadi ada 3 syarat bagi wali yang berhak

menikahkan, yaitu:

1) beragama Islam (muslim).


2) beraqal.
3) baligh.

Ketiga syarat tersebut bagi seorang wali merupakan syarat yang elementer

yang secara kumulatif ketiga-tiganya harus dipenuhi. Syarat pertama bagi seorang

wali harus beragama Islam (muslim). Karena yang hendak dinikahkan beragama

Islam (muslim), maka yang akan menikahakan juga harus beragama Islam

(muslim). Syarat kedua adalah beraqal, yaitu tidak terganggu akalnya atau normal

dalam berfikir. Karena ia sebagai wali, tidak mungkin akan bertindak secara

hukum kalau ia kurang sehat akalnya, apalagi gila. Syarat yang ketiga adalah

baligh atau dewasa. Orang dewasa dalam semua tindakannya mempunyai

tanggung jawab secara hukum. Acara akad nikah merupakan peristiwa hukum

yang mempunyai akibat hukum, sehingga pihak-pihak yang berhak

melaksanakannya harus memenuhi syarat dewasa.

Menurut Pasal 20 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, wali nikah terdiri dari:

a. Wali nasab;
b. Wali hakim.

Pasal 21 ayat (1) mengatur bahwa wali nasab terdiri dari empat kelompok

dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang

lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita,

yaitu:

Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari

pihak ayah dan seterusnya.


174

Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah,

dan keturunan laki-laki mereka.

Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara

seayah dan keturunan laki-laki mereka.

Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah

dan keturunan laki-laki mereka.

Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang

sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah

yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita. Apabila

dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya, maka yang paling berhak

menjadi wali nikah ialah karabat kandung dari kerabat yang seayah. Apabila

dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat

kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak

menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-

syarat wali. Pasal 22 Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa apabila wali nikah

yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau

oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur,

maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurit derajat

berikutnya.

Pasal 23 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa wali hakim

baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak

mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau

adlal/enggan menjadi wali. Pasal 23 ayat (2) Kompilasi hukum Islam, dalam hal
175

wali adlal atau enggan untuk menjadi wali, maka wali hakim baru dapat bertindak

sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.

Menurut tradisi hukum Islam klasik (fiqh)177 urut-urutan yang berwenang

menjadi wali adalah:

a. Bapak.
b. Kakek dan seterusnya menurut garis lurus ke atas.
c. Saudara laki-laki seibu-sebapak.
d. Saudara laki-laki sebapak.
e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu-sebapak.
f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak dan seterusnya menurut garis

lurus ke bawah.
g. Paman kandung (saudara bapak).
h. Anak laki-laki dari paman kandung.
i. Paman (saudara bapak yang sebapak), kemudian putra-putranya dan

seterusnya menurut garis lurus ke bawah.


j. Saudara laki-laki dari kakek, kemudian putra-putranya dan seterusnya

menurut garis lurus ke bawah.

Apabila seorang wanita tidak mempunyai wali, maka yang menjadi wali adalah

pemangku negara. Anak laki-laki tidak boleh menjadi wali nikah untuk ibunya.

3. Rukun Nikah yang Ketiga tentang Dua Orang Saksi


Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.

Ketentuan ini tercantum di dalam Pasal 24 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam.

Dalam setiap peristiwa perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi. Jika

tidak dipenuhi syarat dua orang saksi ini, maka pernikahannya tidak sah.
Menurut Pasal 25 Kompilasi Hukum Islam, yang dapat ditunjuk menjadi

saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak

terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli. Sesuai pasal ini ditentukan

bahwa saksi harus:


177
Abd. Rahman Ghazaly, Dr.H.MA, Fiqh Munakahat, edisi pertama, cetakan ke-2, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hal. 47.
176

1) Laki-laki.
2) Beragama Islam (muslim).
3) Adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan.
4) Tidak tuna rungu atau tuli.
Pada prinsipnya syarat dua orang saksi sama dengan syaratnya seorang

wali, yaitu beragama Islam (muslim), beraqal, dan baligh/dewasa. Seorang yang

bertanggung jawab terhadap terlaksananya peristiwa hukum seharusnya sehat

secara fisik dan akal fikirannya. Selain itu ia juga harus dewasa, karena dengan

kedewasaannya akan matang dalam mempertimbangkan sah tidaknya suatu

peristiwa hukum. Syarat-syarat itu harus dipenuhi, karena sesuai Pasal 26

Kompilasi Hukum Islam, saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung

akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah

dilangsungkan. Penandatangan itu menunjukkan bahwa peristiwa hukum

pernikahannya sudah sah.


4. Rukun Nikah yang Keempat tentang Ijab dan Kabul
Berdasarkan pada Pasal 27 Kompilasi Hukum Islam, ijab dan kabul antara

wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.

Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang

bersangkutan. Wali nikah dapat mewakilkan kepada orang lain apabila

berhalangan hadir pada saat akad nikah dilaksanakan. Bisa juga ijab oleh wali

nikah pengucapannya diwakilkan kepada orang lain apabila dikehendakinya.


Di dalam Pasal 29 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa yang

berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi. Namun

dalam keadaan tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain

dengan ketentuan calon mempelai pria memeberi kuasa yang tegas secara tertulis

bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria. Menurut

Pasal 29 ayat (3) Kompilasi Hukum Islam, apabila dalam hal calon mempelai
177

wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak

boleh dilangsungkan.
5. Tentang Mahar / Mas Kawin

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)178, mahar adalah

pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada

mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah. Menurut Wikipedia

bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas179, mahar atau mas kawin adalah harta yang

diberikan oleh pihak mempelai laki-laki (atau keluarganya) kepada mempelai

perempuan (atau keluarga dari mempelai perempuan) pada saat pernikahan. Istilah

yang sama pula digunakan sebaliknya bila pemberi mahar adalah pihak keluarga

atau mempelai perempuan. Secara antropologi, mahar seringkali dijelaskan

sebagai bentuk lain dari transaksi jual beli sebagai kompensasi atas kerugian yang

diderita pihak keluarga perempuan karena kehilangan beberapa faktor pendukung

dalam keluarga seperti kehilangan tenaga kerja, dan berkurangnya tingkat

fertilitas dalam kelompok.

Di dalam Pasal 34 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam ditentukan, bahwa

mahar tidak termasuk rukun pernikahan. Tetapi di dalam Pasal 30 Kompilasi

Hukum Islam mengatur bahwa calon mempelai pria wajib membayar mahar

kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh

kedua belah pihak. Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan

kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam. Mahar diberikan secara langsung

178
https://kbbi.web.id/mahar, diakses jam 2:25 tanggal 22-11-2017.

179
https://id.wikipedia.org/wiki/Mahar, diakses jam 2:20 tanggal 22-11-2017.
178

oleh calon suami atau keluarganya kepada calon mempelai wanita, dan sejak itu

mahar itu menjadi hak pribadi istri.

Menurut Pasal 33 ayat (1) Kompilasi hukum Islam, penyerahan mahar

dilakukan dengan tunai. Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan

mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. Mahar yang

belum ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria.

Sesuai dengan Pasal 34 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, bahwa

kewajiban menyerahkan mahar mahar bukan merupakan rukun dalm perkawinan.

Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak

menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar

masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan.

Namun disebutkan di dalam Pasal 35 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam,

bahwa suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul (belum dikumpuli) wajib

membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah. Apabila

suami meninggal dunia qobla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan,

maka suami wajib membayar mahar mitsil (mas kawin yang sesuai menurut adat

kebiasaan).

Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, Pasal 36 Kompilasi Hukum

Islam menentukan agar mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama

bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang

yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang. Apabila terjadi selisih

pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan, penyelasaiannya

diajukan ke Pengadilan Agama.


179

Pasal 38 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa apabila mahar

yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai tetap

bersedia menerimanya tanpa syarat, maka penyerahan mahar dianggap lunas.

Tetapi apabila isteri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus

menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama penggantinya belum

diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar. Apabila terjadi perceraian

suami-istri dan mahar yang telah ditentukan belum diserahkan oleh suami kepada

istrinya, maka mahar itu menjadi hutang mantan suami yang harus dibayarnya

kepada mantan istrinya.

6. Pencegahan Perkawinan
Perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-

syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pencegahan perkawinan ini diatur

dalam Pasal l3 sampai dengan Pasal 21 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974.


Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis

keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dari

salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan. Mereka

berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari

calon mempelai berada di bawah pengampuan. Apabila salah seorang dari calon

mempelai berada di bawah pengampuan yang dengan perkawinan tersebut nyata-

nyata akan mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, maka

sebelum perkawinan dilangsungkan hendaknya ada pencegahan. Pejabat yang

ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila ada

ketentuan-ketentuan undang-undang yang tidak dipenuhi.


Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum

di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada


180

Pegawai Pencatat Perkawinan. Pegawai pencatat perkawinan harus

memberitahukan kepada calon-calon mempelai mengenai permohonan

pencegahan perkawinan ini. Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan

putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada

Pengadilan oleh pemohon yang mencegah. Perkawinan tidak dapat dilangsungkan

apabila permohonan pencegahan belum dicabut oleh pemohon.


Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau

membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran

dari ketentuan perundang-undangan, meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.

Jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan

tersebut ada larangan menurut undang-undang, maka ia harus menolak

melangsungkan perkawinan. Ketika ada penolakan dari pegawai pencatat nikah,

maka atas permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan,

oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari

penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.


Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan

kepada pengadilan di dalam wilayah hukum pegawai pencatat perkawinan yang

mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan

menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut di atas. Pengadilan akan

memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan,

apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan, agar

supaya perkawinan dilangsungkan. Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika

rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para


181

pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan kepada pegawai

pencatat nikah tentang maksud mereka.


Di dalam Kompilasi Hukum Islam tentang pencegahan perkawinan diatur

dari Pasal 60 sampai dengan Pasal 69. Pencegahan perkawinan bertujuan untuk

menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan Peraturan

Perundang-undangan. Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami

atau calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-

syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan

Perundang-undangan.
Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis

keturunan lurus ke atas dan lurus ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu

dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan. Ayah

kandung yang tidak pernah melaksankan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak

gugur hak kewaliannya untuk mencegah perkawinan yang akan dilakukan oleh

wali nikah yang lain.


Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau isteri yang masih

terikat dalam perkawinan dalam perkawinan dengan salah seorang calon isteri

atau calon suami yang akan melangsungkan perkawinan. Pejabat yang ditunjuk

untuk mengawasi perkawinan berkewajiban mencegah perkawinan bila rukun dan

syarat perkawinan tidak terpenuhi.


Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam daerah

Hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga

kepada Pegawai Pencatat Nikah. Oleh Pegawai Pencatat Nikah harus

diberitahukan kepada calon-calon mempelai mengenai permohonan pencegahan


182

perkawinan. Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belu

dicabut.
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik kembali

permohonan pencegahan pada Pengadilan Agama oleh pemohon yang mencegah

atau dengan putusan Pengadilan Agama. Pegawai Pencatat Nikah tidak

diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia

mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan hukum Islam dan peraturan

perundang-undangan, meskipun tidak ada permohonan pencegahan perkawinan

pada Pengadilan Agama.


Jika pejabat pencatat nikah berpendapat bahwa terhadap perkawinan

tersebut ada larangan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, maka ia

harus menolak untuk melangsungkan perkawinan. Dalam hal penolakan oleh

pegawai pencatat nikah, maka atas permintaan salah satu pihak yang ingin

melangsungkan perkawinan, harus diberikan suatu keterangan tertulis dari

penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya oleh Pegawai

Pencatat Nikah.
Para pihak yang kehendak perkawinannya ditolak berhak mengajukan

permohonan kepada Pengadilan Agama dalam wilayah Pegawai Pencatat Nikah

yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan

menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut. Pengadilan Agama akan

memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan,

dengan menguatkan penolakan tersebut atau memerintahkan agar supaya

perkawinan dilangsungkan. Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-

rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang
183

ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud kehendak nikah

mereka kepada pegawai pencatat nikah.


7. Batalnya Perkawinan
Perkawinan yang tidak memenuhi syarat dan rukunnya, maka perkawinan

tersebut batal secara hukum. Tentang batalnya perkawinan diatur dalam Pasal 22

sampai dengan Pasal 28 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Perkawinan yang

sudah dilaksanakan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-

syarat dan rukun-rukun untuk melangsungkan perkawinan.


Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d. Pejabat yang ditunjuk berdasrkan undang-undang ini; dan
e. setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung

terhadap perkawinan tersebut.

Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam

daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua

belah pihak suami-isteri, suami atau isteri.

Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan

yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa

dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para

keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan

suami atau isteri. Perkawinan yang dapat dimintakan pembatalannya adalah

perkawinan dengan kriteria, yaitu:

1) Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan

yang tidak berwenang.


2) Perkawinan yang dilangsungkan dengan wali-nikah yang tidak sah.
3) Perkawinan yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi.
184

Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan yang

tersebut daalam ketentuan ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai

suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai

pencatat perkawinan yang tidak berwenang. Perkawinan tersebut harus

diperbaharui supaya sah.

Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan

perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang

melanggar hukum. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan

pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi

salah sangka mengenai diri suami atau isteri. Apabila ancaman telah berhenti, atau

yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6

(enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak

mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka

haknya gugur.

Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan

mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya

perkawinan. Keputusan tidak berlaku surut terhadap:

a.Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;


b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali

terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya

perkawinan lain yang lebih dahulu;


c.Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang

mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan

tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.


185

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menggariskan bahwa

batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan. Permohonan

pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang berhak

mengajukannya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat

berlangsungnya perkawinan, atau di tempat tinggal kedua suami-isteri, suami atau

isteri. Tatacara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai

dengan tatacara pengajuan gugatan perceraian.

Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang batalnya perkawinan dari Pasal

70 sampai dengan Pasal 76. Di dalam Kompilasi Hukum Islam diatur bahwa

perkawinan batal apabila:

a.Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad

nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri sekalipun salah satu dari

keempat isterinya dalam iddah talak raj`i;


b. seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dili`annya;
c.seseorang menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak

olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain

kemudian bercerai lagi ba`da al dukhul dan wanita tersebut telah habis masa

iddahnya;
d. perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai

hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang

menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang No. 1 Tahun

1974, yaitu:
1) berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau

keatas.
2) berhubugan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara

saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
186

dengan saudara neneknya; berhubungan semenda, yaitu mertua, anak

tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri.


3) berhubungan sesusuan, yaitu orng tua sesusuan, anak sesusuan dan

bibi atau paman sesusuan.


e.isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dan isteri

atau isteri-isterinya.

Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:

a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;


b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi

isteri pria lain yang mafqud.


c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam masa iddah dari suami

lain;
d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana

ditetapkan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974;


e. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang

tidak berhak;
f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan

perkawinan apabila:

a. perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.


b. pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka

mengenai diri suami atau isteri.

Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari

keadaanya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup

sebagai suami isteri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan

permohonan pembatalan nikah, maka haknya gugur untuk mengajukan

pembatalan nikah.
187

Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan

adalah:

a. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami

atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut

Undang-undang.
d. para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam

rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-

undangan.
Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan

Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau tempat perkawinan

dilangsungkan. Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan

Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat

berlangsungnya perkawinan. Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku

surut terhadap:
a. perkawinan yang batal karena salah satu suami atau isteri murtad;
b. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
c. pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber`itikad

baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan kekutan hukum yang tetap.


Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum

antara anak dengan orang tuanya. Meskipun perkawinan sudah batal secara

hukum berdasrkan putusan pengadilan, tetapi hubungan hukum anak dengan

orang tuanya tetap terjalin dan tidak terpengaruh dengan putusnya perkawinan

orang tuanya. Ketika secara hukum hubungan anak dan orang tua tetap berjalan

dan tidak putus, maka begitu juga dengan hubungan hukum lainnya yang dapat

timbul karena hubungan hukum anak dan orang tua.


2.1.3. Tujuan perkawinan
188

Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan menyebutkan tentang tujuan perkawinan, yaitu perkawinan bertujuan

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Mahaesa. Dari pasal tersebut perkawinan bertujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.


Perkawinan bertujuan untuk membentuk rumah tangga. Rumah tangga

yang dibentuk adalah rumah tangga yang bahagia. Tidak dibenarkan orang

menikah untuk suatu tujuan yang dapat menimbulkan ketidak-bahagian di dalam

rumah tangganya. Rumah tangga yang dibentuk adalah rumah tangga yang kekal.

Tidak dibenarkan orang menikah untuk suatu tujuan yang hanya sementara waktu.

Karena itu untuk mencapai kebahagiaan dan kekekalan rumah tangga harus

berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Mahaesa. Dengan berdasar kepada

Ketuhanan Yang Mahaesa berarti orang yang menikah itu berdasarkan kepada

agama. Karena itu kebahagian dan kekealan yang hendak dicapai di dalam

perkawinan bukan hanya kebahagiaan dan kekekalan yang bersifat duniyawiyah,

tetapi juga bersifat ukhrawiyah. Bahagia dan kekal dari dunia sampai dengan di

akhirat nanti.
Menurut Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan bertujuan untuk

mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Tujuan perkawinan yang disebutkan di dalam Kompilasi Hukum Islam adalah

manifestasi dari didasarkannya perkawinan kepada Ketuhanan Yang Mahaesa,

yaitu agama. Agama Islam mengajarkan bahwa perkawinan dilakukan untuk

menjadikan pernikahan itu sakinah, mawaddah, dan rahmah bagi yang

melakukannya. Tujuan ini didasarkan pada firman Allah:


‫ هكيو اللذيِ يخليقيككيم مين نييف ة‬: ‫قال تعالى فى ا لقرآن الكريم‬
‫ ألية‬..‫س يواحيدةةا يويجيعيل مينيها يزيويجيها ليييسككين إلييييها‬
189

[189 :‫]العراف‬

Artinya: “Dia lah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari diri yang

satu itu Dia menciptakan pasangannya agar supaya merasa senang..”

‫ق ليككيم مين أيينفكسككيم أييزيواةجا لتييسكككنوا إلييييها يويجيعيل بييينيككيم يميولدةاة يويريحيمةة إلن في يذل ي‬
‫ك‬ ‫يومين آييياته أيين يخلي ي‬

‫[يليييا ة‬21 :‫]الروم‬


‫ت لقييوةم ييتيفيلككرون‬

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan Nya ialah Dia menciptakan

untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram dan tercipta

rasa kasih dan sayang, sesungguhnya yang demikian itu merupakan peringatan

bagi orang-orang yang mau berfikir.”

Berbicara mengenai tujuan pernikahan atau tujuan perkawinan, kedua

belah pihak antara laki-laki dan perempuan melangsungkan pernikahan atau

perkawinan bertujuan untuk memperoleh keluarga yang sakinah, mawadah dan

rahmah. Untuk mengetahui lebih jelas mengenai tujuan pernikahan akan dibahas

sebagai berikut:180
1. Tujuan Pernikahan Sakinah (tenang)
Salah satu dari tujuan pernikahan atau perkawinan adalah untuk

memperoleh keluarga yang sakinah. Sakinah artinya tenang, dalam hal ini

seseorang yang melangsungkan pernikahan berkeinginan memiliki keluarga yang

tenang dan tentram. Dalam tafsirnya Al-Alusi181 mengatakan bahwa sakinah

adalah merasa cenderung kepada pasangan. Kecenderungan ini merupakan satu

hal yang wajar karena seseorang pasti akan merasa cenderung terhadap dirinya.
Apabila kecenderungan ini disalurkan sesuai dengan aturan Islam maka

yang tercapai adalah ketenangan dan ketentraman, karena makna lain dari sakinah
180
Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hal. 12.

181
Ibid.
190

adalah ketenangan. Ketenangan dan ketentraman ini yang menjadi salah satu dari

tujuan pernikahan atau perkawinan. Karena pernikahan adalah sarana efektif

untuk menjaga kesucian hati agar terhindar dari perzinahan.


2. Tujuan Pernikahan Mawadah dan Rahmah
Tujuan pernikahan yang selanjutnya adalah untuk memperoleh keluarga

yang mawadah dan rahmah. Tujuan pernikahan Mawadah yaitu untuk memiliki

keluarga yang di dalamnya terdapat rasa cinta, berkaitan dengan hal-hal yang

bersifat jasmaniah. Tujuan pernikahan Rahmah yaitu untuk memperoleh keluarga

yang di dalamnya terdapat rasa kasih sayang, yakni yang berkaitan dengan hal-hal

yang bersifat kerohanian.


Mengenai pengertian mawaddah menurut Imam Ibnu Katsir ialah al-

mahabbah (rasa cinta) sedangkan ar-rahmah adalah ar-ra’fah (kasih sayang).

Mawaddah adalah makna kinayah dari nikah yaitu jima’ sebagai konsekuensi

dilangsungkannya pernikahan. Sedangkan ar rahmah adalah makna kinayah dari

keturunan yaitu terlahirnya keturunan dari hasil suatu pernikahan. Ada juga yang

mengatakan bahwa mawaddah hanya berlaku bagi orang yang masih muda

sedangkan untuk ar-rahmah bagi orang yang sudah tua.


Implementasi dari tujuan pernikahan mawaddah wa rahmah ini adalah

sikap saling menjaga, saling melindungi, saling membantu, saling memahami hak

dan kewajiban masing-masing. Pernikahan adalah lambang dari kehormatan dan

kemuliaan. Fungsi pernikahan diibaratkan seperti fungsi pakaian, karena salah

satu fungsi pakaian adalah untuk menutup aurat. Aurat sendiri bermakna sesuatu

yang memalukan, karena memalukan maka wajib untuk ditutup. Dengan demikian

seharusnya dalam hubungan suami istri, satu sama lainnya harus saling menutupi
191

kekurangan pasangannya dan saling membantu untuk mempersembahkan yang

terbaik.182
3. Mendapatkan dan Melangsungkan Keturunan
Naluri manusia adalah mempunyai kecenderungan untuk mempunyai

keturunan. Keturunan ini berdasarkan peristiwa yang sah karena dilakukan dengan

memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukunnya. Dengan demikian keturunannya

diakui oleh keluarga, masyarakat dan negara.


Agama memberi jalan untuk kebahagian di dunia dan di akhirat.

Kebahagian di dunia dan di akhirat dapat dicapai dengan mematuhi perintah-

perintah Allah dan menjauhi larangannya. Di antara perintah Allah adalah

menikah untuk memelihara keturunan dan menjaga kelangsungan kehidupan

generasi manusia. Allah memberi jalan dengan menikah secara sah agar keturunan

yang dihasilkan mempenyai kulitas selain secara lahiriyah juga secara bathiniyah.

Kualitas ini dibutuhkan karena manusia pada dasarnya adalah khalifah Allah di

muka bumi.
4. Memelihara Diri dari Kerusakan
Salah satu sumber kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat nanti

adalah apabila manusia dapat menjaga nafsu syahwatnya. Demikian disampaikan

oleh Allah di dalam kitan suci Nya Al-Qur’an. Nafsu syahwat tidak hanya

menimbulkan kebaikan, jika tidak dilakukan secara sah dan halal, maka nafsu

syahwat akan menimbulkan kerusakan di muka bumi. Kebebasan berhubungan

laki-laki dengan perempuan secara hayawaniyah akan menjadikan masyarakat

kotor dan tidak berbudaya.


Karena itu Allah memberi arahan agar makhluk Nya yang berlainan jenis

melakukan saluran syhawatnya dengan benar. Kalau hewan belantara melakukan

182
Tujuan Pernikahan atau Tujuan Perkawinan, http://www. pengertianpakar.com /2015/03/
pengertian-dan-tujuan-pernikahan-perkawinan.html, diakses tanggal 23/02/2017 jam 17:10
192

hubungan syahwat untuk menurutnkan generasi berikutnya tidak ada aturannya,

karena hewan tidak mempunyai akal seperti manusia. Manusia diberi aturan oleh

Allah dalam melakukan hubungan syahwat, yaitu dengan pernikahan yang sah

yang memenuhi syarat dan rukunnya. Demikianlah Allah mensyariatkan

pernikahan untuk tujuan agar manusia dapat memelihara diri dari kerusakan.
2.1.4. Prosedur perkawinan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)183 prosedur adalah: 1.

tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu aktifitas; 2. metode langkah demi

langkah secara pasti dalam memecahkan suatu masalah. Menurut Wikipedia 184

prosedur adalah serangkaian aksi yang spesifik, tindakan atau operasi yang harus

dijalankan atau dieksekusi dengan cara yang baku (sama) agar selalu memperoleh

hasil yang sama dari keadaan yang sama.

Dari pengertian mengenai kata prosedur tersebut, maka yang dimaksud

dengan prosedur perkawinan adalah tahap kegiatan untuk menyelesaikan suatu

aktifitas perkawinan; atau metode langkah demi langkah secara pasti dalam

melaksanakan kegiatan perkawinan. Atau dengan pengertian lain, prosedur

perkawinan adalah serangkaian aksi yang spesifik, tindakan atau operasi yang

harus dijalankan atau dieksekusi dengan cara yang baku (sama) agar selalu

memperoleh hasil yang sama dari keadaan yang sama berkenaan dengan

pelaksanaan kegiatan perkawinan. Jadi prosedur perkawinan harus dilakukan agar

selalu memperoleh hasil yang sama dengan kualitas yang sama.

183
https://kbbi.web.id/prosedur, diakses jam 10:04 tanggal 21/11/2017.

184
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Prosedur, diakses jam 10:10 tanggal 21/11/2017.
193

Berkenaan dengan prosedur perkawinan diatur di dalam Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Bab II tentang

Pencatatan Perkawinan dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 dan pada Bab III

tentang Tata Cara Perkawinan dari Pasal 9 sampai dengan Pasal 11. Secara

terperinci sebagai berikut:

1. Pencatatan Perkawinan

Menurut Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, bagi

orang-orang yang bergama Islam yang berkehendak melangsungkan perkawinan,

pencatatan perkawinannya dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah dari Kantor

Urusan Agama sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun

1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Sedangkan bagi orang-orang

yang berkehendak melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaan

selain Agama Islam, berdasarkan pada Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975 dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor

Catatan Sipil.

Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 mengatur

bahwa setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan

kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan akan

dilangsungkan. Pegawai Pencatat Nikah ini wilayah kerjanya meliputi satu

kecamatan pada Kantor Urusan Agama. Jadi bagi orang yang akan

melangsungkan perkawinan harus memberitahukan kehendaknya itu kepada

Pegawai Pencatat Nikah yang kantornya berada di Kantor Urusan Agama


194

Kecamatan yang mewilayahi tempat pelangsungan akad perkawinan. Biasanya

maksud kehendak nikah ini diurus oleh 194pparat desa atau kelurahan yang diberi

tugas untuk menangani urusan perkawinan.

Dalam Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

mengatur bahwa pemberitahuan maksud kehendak perkawinan itu dilakukan

sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan hendak dilangsungkan.

Pemberitahuan kehendak nikah itu dapat dilakukan secara lisan atau tertulis oleh

calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya. Pemberitahuan memuat nama,

umur, agama, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai. Apabila salah seorang

atau keduanya pernah kawin, maka disebutkan juga nama istri atau suaminya yang

terdahulu.

Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,

Pegawai Pencatat Nikah yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan

perkawinan tersebut, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan

apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undang-undang. Penelitian

tersebut meliputi pada:

a. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Kalau tidak

ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan

yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh

kepala desa atau kelurahan.


b. Keterangan mengenai nama, agama, pekerjaan dan tempat tinggal orang

tua calon mempelai.


195

c. Izin tertulis atau dispensasi dari Pengadilan jika calon mempelai belum

memenuhi syarat sebagaimana diatur oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974.
d. Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau akte cerai bagi

perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih;


e. Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk bagi seorang calon mempelai

anggota TNI/POLRI;
f. Surat kuasa otentik atau di bawah tangan apabila salah seorang calon

mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri.

Berdasarkan pada Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun

1975, hasil penelitian yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat ditulis dalam sebuah

daftar yang diperuntukkan untuk itu. Apabila ternyata dari hasil penelitian

terdapat halangan perkawinan, keadaan itu segera harus diberitahukan kepada

calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya.

Setelah dipenuhinya tatacara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada

sesuatu halangan perkawinan, maka Pegawai Pencatat menyelenggarakan

pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan

dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan

pada kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan

mudah dibaca oleh umum. Pengumuman ditandatangani oleh Pegawai Pencatat

dan memuat:

a. Nama, umur, agama, pekerjaan, tempat kediaman dari calon

mempelai dan dari orang tua calon mempelai. Apabila salah seorang atau

keduanya pernah kawin, harus disebutkan nama isteri dan atau suami

mereka yang terdahulu.


196

b. Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.


2. Tatacara Perkawinan

Berdasarkan pada Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun

1975, perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak kehendak

perkawinan diumumkan oleh Pegawai Pencatat Nikah. Bagi orang yang beragama

Islam, tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum Islam dan harus memenuhi

syarat serta rukunnya. Perkawinan harus dilaksanakan di hadapan Pegawai

Pencatat Nikah setelah lengkap rukun dan syaratnya. Sesaat sesudah

dilangsungkannya perkawinan, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan

yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.

Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya

ditandatangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat Nikah yang

menghadiri perkawinan serta ditandatangani pula oleh wali nikah. Dengan

penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan tersebut telah sah dan

dicatat secara resmi.

3. Tatacara Perkawinan Beristeri Lebih dari Seorang

Berdasarkan pada Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pada azasnya dalam suatu perkawinan

seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh

mempunyai seorang suami. Asas perkawinan di Indonesia adalah monogami.

Seorang suami hanya boleh beristri seorang. Seorang istri hanya hanya boleh

bersuami seorang.

Pengecualian hanya boleh dilakukan oleh suami. Sedangkan istri tidak ada

pengecualian. Seorang istri hanya boleh bersuami seorang. Pada Pasal 3 ayat (2)
197

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari

seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan. Menurut

ketentuan ini seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki

oleh fihak-fihak yang bersangkutan, tidak hanya dikehendaki oleh satu pihak

suami saja atau oleh satu pihak istri saja.

Apabila sudah dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan bahwa

seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, maka sesuai Pasal 4 ayat (1)

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bagi seorang suami

yang akan beristeri lebih dari seorang, ia wajib mengajukan permohonan kepada

Pengadilan di daerah tempat tinggalnya, dalam hal ini adalah Pengadilan Agama

bagi orang yang beragama Islam.

Menurut Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan

beristeri lebih dari seorang apabila:

a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.


b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Ada 3 syarat bagi suami yang yang berkehendak beristri lebih dari

seorang. Ketiga syarat ini sifatnya alternatif. Artinya minimal ada satu syarat yang

harus dipenuhi sebagai alasan bagi suami yang berkehendak menikah lebih dari

seorang istri. Dan syarat ini dikemukakan kepada pengadilan untuk diperiksa.

Syarat yang pertama adalah isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya

sebagai isteri. Meskipun istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai


198

isteri, menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,

kehendak untuk menikah dengan lebih seorang istri harus juga dikehendaki oleh

istri. Bahasa yang dipakai oleh undang-undang adalah apabila dikehendaki oleh

fihak-fihak, bukan hanya satu pihak. Jadi syarat kehendak dari pihak-pihak

memayungi syarat-syarat yang lainnya.

Syarat yang kedua adalah isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang

tidak dapat disembuhkan. Dan syarat yang ketiga adalah isteri tidak dapat

melahirkan keturunan. Dari ketiga syarat ini minimal satu syarat harus ada dalam

mengajukan permohonan beristri lebih seorang kepada pengadilan.

Selain syarat-syarat yang telah disebutkan, menurut Pasal 5 ayat (1)

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, untuk dapat

mengajukan permohonan beristri lebih seorang kepada Pengadilan, harus dipenuhi

syarat-syarat sebagai berikut:

a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri. Syarat ini sebagai

pengejawantahan dari syarat dikehendaki oleh fihak-fihak.


b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan

hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka. Syarat ini adalah agar tercipta

ketenteraman di dalam rumah tangga, dan menikah lebih dari seorang tidak

menimbulkan kemudlaratan, baik kepada suami maupun kepada istri/istri-istri

dan keturunannya.
c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan

anak-anak mereka. Jaminan oleh suami yang hendak menikah lebih seorang

akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka ditunjukkan

dengan pernyataan dari suami. Pernyataan ini tidak cukup hanya disampaikan
199

secara lisan, tetapi juga harus disampaikan dalam bentuk surat pernyataan,

agar memberi keyakinan kepada pengadilan untuk memberi ijin untuk beristri

lebih dari seorang.

Syarat-syarat ini bersifat kumulatif. Artinya ketiga syarat ini harus

dipenuhi semuanya, tidak boleh ada ayang tertinggal. Apabila ada syarat yang

tidak dipenuhi, maka permohonan suami untuk menikah lebih seorang istri

dinyatakan tidak diterima karena tidak memenuhi syarat.

Di luar ketentuan yang telah disebutkan, pada Pasal 5 ayat (2) Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, syarat persetujuan tidak

diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin

dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau

apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun,

atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim

Pengadilan. Menurut Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, syarat adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri bagi suami

yang hendak menikah lebih dari seorang istri tidak diperlukan dengan kriteria:

1. Apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan

tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian.


2. Apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua)

tahun.
3. Karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim

Pengadilan.

Ketiga kriteria ini bersifat alternatif, tidak harus semua terpenuhi. Apabila

ada satu kriteria dipenuhi dalam pertimbangan pengadilan, maka permohonan


200

beristri lebih dari seorang dapat dikabulkan. Kriteria nomor 3 merupakan syarat

yang sangat luas. Karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari

Hakim Pengadilan merupakan pasal yang dapat ditarik secara fleksibel oleh hakim

untuk mengabulkan permohonan beristri lebih dari seorang.

Kompilasi Hukum Islam juga mengatur tentang suami yang berkehendak

beristri lebih seorang. Ketentuan ini diatur dalam Bab IX tentang Beristeri Lebih

Satu Orang dari Pasal 55 sampai dengan Pasal 59. Bagi suami yang berkehendak

beristeri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai

empat isteri. Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu

berlaku adil terhadap ister-isteri dan anak-anaknya. Apabila syarat utama suami

harus mampu berlaku adil terhadap ister-isteri dan anak-anaknya tidak mungkin

dipenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang.

Suami yang berkehendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat

izin dari Pengadilan Agama. Pengajuan permohonan izin pada Pengadilan Agama

dilakukan menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan

Pemeritah No. 9 Tahun 1975. Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada

seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:

a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri.


b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Selain syarat utama yang telah disebutkan, untuk memperoleh izin

pengadilan Agama bagi suami yang berkehendak beristri lebih seorang, harus pula

dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada Pasal 5 Undang-undang No. 1 Tahun

1974, yaitu:
201

a. adanya pesetujuan dari isteri atau istri-istri.


b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup ister-

isteri dan anak-anak mereka.

Persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan,

tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan

persetujuan lisan isteri atau isteri-isteri pada sidang Pengadilan Agama.

Persetujuan dari istri atau istri-istri tidak diperlukan bagi seorang suami yang

berkehendak beristri lebih seorang, apabila isteri atau isteri-isterinya:

d. tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak

dalam perjanjian; atau


e. apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurang-kurangnya

2 tahun; atau
f. karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim.

Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin

untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur

dalam Pasal 55 ayat (2) dan 57 Kompilasi Hukum Islam, Pengadilan Agama dapat

menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang

bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama. Terhadap penetapan ini isteri

atau suami dapat mengajukan upaya hukum.

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur juga tentang suami

yang berkehendak beristeri lebih dari seorang, yaitu pada Bab VIII dari Pasal 40

sampai dengan Pasal 44.


202

Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka

ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan. Pengadilan

kemudian memeriksa mengenai:

a. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi,

ialah:
- bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
- bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan.
- bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
b. Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun

tertulis. Apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, maka

persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan.


c. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan

hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:


- surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda-tangani

oleh bendahara tempat bekerja; atau


- surat keterangan pajak penghasilan; atau
- surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan;
d. Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap

isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami

yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

Pengadilan dalam melakukan pemeriksaan, harus memanggil dan

mendengar isteri atau istri-istri yang bersangkutan. Apabila Pengadilan

berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang,

maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih

dari seorang. Pegawai Pencatat Nikah dilarang untuk melakukan pencatatan

perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya
203

izin Pengadilan. Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau

keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama tidak mempunyai kekuatan hukum.

4. Pelaksanan Pernikahan

Menurut madzhab Syafi’iy185 supaya akad nikah yang akan dilangsungkan

itu sah menurut syari’at Islam, maka calon suami dan calo istri harus memenuhi

syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syariat Islam. Berhubung di Indonesia

mayoritas masyarakatnya bermadzhab Syafi’iy di sini akan dikemukakan syarat

calon suami menurut madzhab syafi’i, yaitu:

1) Calon suami tidak sedang dalam berihram ibadah umrah atau haji. Begitu

juga ia tidak boleh mewakilkan kepada orang lain kalau dalam keadaan

berihram ibadah umrah atau haji.


2) Calon suami tidak boleh dipaksa.
3) Calon suami harus diketahui secara pasti orangnya dengan identitas yang

jelas.
4) Calon suami harus tahu bahwa calon istrinya halal baginya untuk

dikawini.
Sedangkan mengenai syart-syarat untuk calon istri, menurut madzhab

Syafi’iy harus memenuhi, yaitu:


1) Wanita itu tidak haram untuk dikawini.
2) Calon istri harus pasti orangnya dengan identitas yang jelas.
3) Calon istri tidak dalam keadaan ihram atau keadaan lain yang menghambat

dilaksanakannya perkawinan.
4) Waktu penyebutan nama untuk calon istri ketika ijab oleh wali harus jelas

identitasnya.
2.1.5. Akibat hukum terjadinya perkawinan terhadap hak dan

kewajiban suami-istri

185
Peunoh Daly, Dr., Op. Cit., hlm. 126-130.
204

Pada saat telah terlaksana peristiwa hukum akad nikah, maka timbul akibat

hukum terhadap suami dan istri dalam pernikahan tersebut. Akibat hukum yang

secara langsung timbul akibat adanya peristiwa hukum perkawinan adalah

munculnya kewajiban bagi suami kepada istrinya dan kewajiban istri kepada

suaminya dan terhadap rumah tangganya. Selain timbul kewajiban, muncul juga

hak bagi istri terhadap suaminya dan hak suami terhadap istrinya.

Tentang hak dan kewajiban suami dan isteri dalam perkawinan diatur di

dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan. Di dalam Pasal 30 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan disebutkan bahwa suami dan isteri memikul kewajiban yang

luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan

masyarakat. Suami dan istri sama-sama berkewajiban menegakkan rumah tangga.

Jangan sampai rumah tangganya menjadi roboh merupakan kewajiban

bagi suami dan istri berdua bersama-sama. Rumah tangga adalah unit terkecil di

dalam masyarakat yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Karena itu

kewajiban suami dan istri dalam menegakkan rumah tangga merupakan kewajiban

yang luhur dan mulya. Dengan menegakkan rumah tangga sehingga tidak roboh

sama nilainya dengan menegakkan sendi dasar di dalam masyarakat.

Setelah kewajiban pertama dari suami dan istri, yaitu menegakkan rumah

tangga, digariskan juga bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan

hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup

bersama dalam masyarakat. Hak dan kedudukan suami dan isteri ini seimbang
205

dipandang dari sudut hukum. Karena itu masing-masing pihak suami dan istri

berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Di dalam rumah tangga kedudukan suami adalah kepala keluarga dan

kedudukan isteri adalah sebagai ibu rumah tangga. Sebagai konsekwensi dari

posisi kedudukan suami dan istri, maka suami dan isteri harus mempunyai tempat

kediaman yang tetap. Rumah tempat kediaman yang tetap ini ditentukan secara

bersama-sama oleh suami dan isteri dengan musyawarah secara kekeluaargaan

supaya jangan sampai terjadi perselisihan yang mengakibatkan retaknya rumah

tangga. Suami-isteri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan

memberi bantuan lahir dan bathin yang satu kepada yang lain.

Manifestasi dari rasa cinta suami-istri, maka suami wajib melindungi

isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai

dengan kemampuannya. Sedangkan isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga

sebaik-baiknya. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing,

maka keduanya atau salah satunya dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.

Di dalam Kompilasi hukum Islam mengenai hak dan kewjiban suami-isteri

diatur dari Pasal 77 sampai dengan Pasal 84. Kompilasi Hukum Islam mengatur

bahwa suami-isteri memikul kewjiban yang luhur untuk menegakkan rumah

tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan

susunan masyarakat. Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat

menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satui kepada yang lain;

Suami-isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-

anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya


206

dan pendidikan agamanya, serta suami isteri wajib memelihara kehormatannya.

Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan

gugatan kepada Pengadilan Agama.

Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. Rumah

kediaman yang dimaksud ditentukan oleh suami-isteri secara bersama. Dalam

menentukan rumah tempat kediaman keduanya harus menentukannya sesuai

dengan kemampuannya. Untuk menentukan ini tentunya dimusyawarahkan oleh

berdua, bahkan bisa melibatkan orang tua dengan musyawarah kekeluargaan.

Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. Hak dan

kedudukan isteri secara hukum adalah seimbang dengan hak dan kedudukan

suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam

masyarakat. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

Meskipun masing-masing suami-istri berhak untuk melakukan perbuatan hukum,

tetapi sebaiknya dibicarakan secara bersama supaya jangan sampai ada yang

dirugikan secara perasaan.

Tentang kewajiban suami, Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa

suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetap

mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh

sumai-isteri secara bersama. Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan

segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi

kesempatan belajar

pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
207

Sesuai dengan penghasislannya suami menanggung:

a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;


b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan

anak;
c. biaya pendidikan bagi anak.

Kewajiban suami terhadap isterinya ini dimulai dan berlaku sesudah ada tamkin

(penyerahan) sempurna dari isterinya setelah akad nikah. Namun demikian isteri

dapat membebaskan suaminya dari kewajiban-kewajiban tersebut terhadap dirinya

ketika istri merasa berkecukupan.

Mengenai tempat kediaman dalam berumah tangga, suami wajib

menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang

masih dalam iddah. Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk

isteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.

Tujuan tempat kediaman disediakan adalah untuk melindungi isteri dan anak-

anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram.

Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan,

sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga. Karena itu suami

wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta

disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat

perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.

Bagi suami yang beristri lebih dari seorang lebih besar kewajibannya dari

suami yang hanya beristri seorang. Suami yang mempunyai isteri lebih dari

seorang berkewajiban memberikan tempat tiggal dan biaya hidup kepada masing-

masing isteri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang
208

ditanggung masing-masing isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan. Namun

dalam hal para isteri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam

satu tempat kediaman.

Mengenai kewajiban yang menjadi beban isteri, kewajibn utamanya adalah

berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam hal yang dibenarkan oleh hukum

Islam. Isteri harus menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga

sehari-hari dengan sebaikbaiknya. Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau

melaksanakan kewajiban-kewajibannya, kecuali dengan alasan yang sah. Selama

isteri dalam keadaan nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut tidak

berlaku, kecuali dalam hal-hal untuk kepentingan anaknya. Pending terhadap

kewajiban suami tersebut dicabut dan berlaku kembali kewajian suami terhadap

istrinya sesudah isteri tidak nusyuz.

2.1.6. Akibat hukum terjadinya perkawinan terhadap hak dan

kewajiban anak-anak
Telah disebutkan di muka bahwa salah satu tujuan perkawinan adalah

untuk memelihara keturunan. Dengan melakukan pernikahan secara benar syarat

dan rukunnya, baik menurut hukum Islam maupun menurut peraturan perundang-

undangan diharapkan dapat menghasilkan keturunan yang berkualitas secara

lahiriyah (fisik) dan batiniyah (rohani). Tujuan hidup di dunia ini adalah

berkelanjutan untuk membangun kehidupan di akhirat nanti. Makanya Allah dan

rasul Nya memberitakan aturan yang jelas dan terperinci mengenai hukumnya

pernikahan.
Anak yang sah menurut Pasal 42 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
209

perkawinan yang sah. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan secara a contrario

merupakan anak yang tidak sah. Menurut Pasal 43 ayat (1) Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, anak yang dilahirkan di luar

perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga

ibunya. Tetapi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia melalui putusan No.

46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 telah melakukan terobosan hukum

dengan memutus bahwa Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945. Karena anak luar kawin tidak

memiliki hubungan dengan ayahnya. Melalui putusan No. 46/PUU-VIII/2010

tanggal 17 Februari 2012 Mahkamah Konstitusi menetapkan anak yang dilahirkan

di luar perkawinan, selain mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan

keluarga ibunya juga mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya dan keluarga

ayahnya. Ketentuan dari Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan tersebut menurut putusan No. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari

2012 seharusnya berbunyi:


“Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya
yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”

Kemudian ditafsirkan bahwa hubungan perdata anak yang dilahirkan di luar

perkawinan dengan ayahnya sesuai putusan No. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17

Februari 2012 adalah merupakan hubungan biologis yang berbeda secara hukum

dengan hubungannya dengan ibu yang melahirkannya.


210

Alasan hukum yang melatarbelakangi rechtfinding tersebut untuk

menegaskan bahwa anak luar kawin pun berhak mendapat perlindungan hukum.

Majelis hakim konstitusi mempunyai pertimbangan hukum yang mendorong

adanya keharusan memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap

status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk

terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih

disengketakan.
Putusan MK RI dengan terobosan hukumnya tersebut membuka titik

terang hubungan antara anak luar kawin dengan bapaknya. Hubungan darah antara

anak dan ayah dalam arti biologis bisa dikukuhkan berdasarkan proses hukum.

Membuka kemungkinan hukum untuk subyek hukum (ayah) yang harus

bertanggungjawab terhadap anak luar kawin. Subjek hukum tersebut akan

bertanggungjawab sebagai bapak biologis dan bapak hukumnya melalui

mekanisme hukum dengan menggunakan pembuktian berdasarkan ilmu

pengetahuan dan teknologi mutakhir dan/atau hukum.


Bisa diambil sebuah kesimpulan bahwa untuk memberikan pengakuan

terhadap anak luar kawin oleh ayah biologisnya dilakukan dengan cara:
- Pengakuan oleh sang ayah biologis;
- Pengesahan oleh sang ayah biologis terhadap anak luar kawin tersebut.
Putusan MK RI menguatkan kedudukan ibu atas anak luar kawin dalam

memintakan pengakuan terhadap ayah biologis dari anak luar kawin. Jika terdapat

kemungkinan yang terjadi bapak biologis tidak membuat pengakuan dengan

sukarela terhadap anak luar kawin.


Setelah adanya pengakuan oleh ayah biologisnya, pada saat itu juga akan

timbul hubungan perdata dengan ayah biologis dan keluarganya dengan anak luar

kawin yang diakui. Adanya pengakuan akan melahirkan hubungan hukum ayah
211

dan anak sesuai dengan Pasal 280 KUHPer yaitu “Dengan pengakuan terhadap

anak di luar kawin, terlahirlah hubungan perdata antara anak itu dan bapak atau

ibunya.”186
Terhadap anaknya, kedua orang tuanya (ayah dan ibunya) wajib

memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang

tua ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana

berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tuanya putus.


Berkenaan dengan kewajiban anak terhadap orang tuanya, berdasarkan

Pasal 46 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, anak wajib menghormati

orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. Pada ayat (2) nya disebutkan

bahwa jika anak tersebut telah dewasa, ia wajib memelihara orang tua dan

keluarga dalam garis lurus ke atas menurut kemampuannya, bila mereka itu

memerlukan bantuannya.
Menurut Pasal 47 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, anak

yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah

melangsungkan perkawinan berada di bawah kekuasaan orang tuanya selama

orang tuanya tidak dicabut dari kekuasaannya. Dalam hal anak bearada di bawah

kekuasaan orang tuanya, menurut ayat (2) nya, orang tua mewakili anak tersebut

mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan. Namun

meskipun orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di

dalam dan di luar Pengadilan, tetapi orang tua tidak diperbolehkan memindahkan

hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum

186
Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Referensi HAM,
http://referensi.elsam.or.id/2014/10/putusan-nomor-46puu-viii2010-mahkamah-konstitusi-
republik-indonesia-tentang-perkawinan/, diakses tanggal 23-11-2017 jam 6:05.
212

berumur 18 (delapan betas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan,

kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.


Mengenaikekuasaan orang tua terhadap anaknya, salah seorang atau kedua

orang tua dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak atau lebih untuk

waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam

garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang

berwenang, dengan keputusan Pengadilan dengan alasan:


a. sebagai orang tua, ia sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya;
b. sebagai orang tua, ia berkelakuan buruk sekali.

Meskipun orang tua yang dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap

berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya. Mengenai

batasan-batasan orang tua yang sangat melalaikan kewajiban terhadap anaknya

dan berkelakuan buruk sekali, pengadilan yang memutuskannya.

Di dalam Kompilasi Hukum Islam, mengenai hak dan kewajiban orang tua

terhadap anaknya dan sebaliknya diatur di dalam Bab XIV tentang Pemeliharaan

Anak dari Pasal 98 sampai dengan 106. Menurut Kompilasi Hukum Islam, anak

yang sah adalah:

a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;


b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh

isteri tersebut.

Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan

ibunya dan keluarga ibunya. Ketentuan ini telah direvisi oeh Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia melalui putusan No. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17

Februari 2012 yang telah melakukan terobosan hukum dengan memutus bahwa

Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan
213

UUD 1945. Karena anak luar kawin tidak memiliki hubungan dengan ayahnya.

Melalui putusan No. 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012 Mahkamah

Konstitusi menetapkan anak yang dilahirkan di luar perkawinan, selain

mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya juga

mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya dan keluarga ayahnya.

Menurut Kompilasi Hukum Islam, mengenai batas usia anak yang mampu

berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun. Batas usia anak yang mampu berdiri

sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik

maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Sedangakan

menurut Pasal 47 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, mengenai batas

usia adalah anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum

pernah melangsungkan perkawinan. Dalam hal anak belum dewasa, maka orang

tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di

luar Pengadilan. Atas permohonan pihak-pihak yang berkepentingan, Pengadilan

Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan

kewajiban tersebut, mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di

dalam dan di luar Pengadilan, apabila kedua orang tuanya tidak mampu.

Semua biaya penyusuan anak dipertanggungkawabkan kepada ayahnya.

Apabila ayahya stelah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan

kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.

Penyusuan terhadap anak dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat

dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan

ibunya.
214

2.1.7. Akibat hukum terjadinya perkawinan terhadap hak dan

kewajiban harta benda dalam perkawinan (harta bawaan dan harta

bersama)

Mengenai harta benda dalam perkawinan, Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974 mengatur dalam Bab VII tentang Harta Benda dalam Perkawinan dari Pasal

35 sampai dengan Pasal 37. Menurut Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta

bersama. Dari ketentuan ini dapat diambil pengertian bahwa semua harta yang

diperoleh selama dalam perkawinan adalah harta bersama. Tidak dibahas siapa

yang menghasilkan harta itu. Yang penting harta itu diperoleh selama dalam masa

perkawinan, semuanya dalah harta bersama.

Di dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

ditentukan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta

benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di

bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Dari ketentuan Pasa 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat diambil

pengertian bahwa harta di dalam perkawinan ada dua macam, yaitu:

1) Harta bersama.
Menurut Yahya Harahap, berdasarkan pada Pasal 35 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun yurisprudensi yang

terkait telah ditentukan mengenai harta yang dengan sendirinya menjadi harta

bersama di dalam perkawinan. Akan tetapi tidak sesederhana itu penerapannya di


215

dalam kenyataan ini. Berikut ini adalah batasan atau kualifikasi dalam ruang

lingkup harta bersama menurut Yahya Harahap:187


a. Harta yang dibeli selama perkawinan
Patokan pertama yang menentukan apakah suatu barang termasuk objek

harta bersama atau tidak, ditentukan pada saat pembeliannya. Setiap barang yang

dibeli selama perkawinan, maka harta tersebut menjadi objek harta bersama suami

isteri tanpa mempersoalkan:


- Apakah isteri atau suami yang membeli,
- Apakah harta terdaftar atas nama isteri atau suami,
- Di mana harta tersebut diletakkan.

Lain halnya jika uang yang digunakan untuk membeli barang berasal dari harta

pribadi suami atau isteri. Jika uang yang digunakan untuk membeli barang secara

murni berasal dari harta pribadi, maka barang yang dibeli itu tidak termasuk objek

harta bersama.

b. Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai

dari harta bersama.


Patokan berikut untuk menentukan suatu barang termasuk objek harta

bersama atau tidak adalah ditentukan berdasarkan asal-usul uang biaya pembelian

atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun barang itu dibeli atau

dibangun sesudah terjadinya perceraian. Apa saja yang dibeli, jika uang

pembelinya berasal dari harta bersama, maka hasilnya adalah termasuk harta

bersama.
c. Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama masa perkawinan.
Patokan ini sejalan dengan kaidah hukum harta bersama, yakni semua

harta yang diperoleh selama perkawinan di luar dari harta pribadi, warisan dan

187
http://handarsubhandi.blogspot.co.id/2014/11/ruang-lingkup-harta-bersama.html, diunduh
tanggal 7/2/2016 jam 3:6.
216

hibah dengan sendirinya menjadi harta bersama. Namun disadari bahwa dalam

suatu sengketa harta bersama, tentu tidak semulus dan semudah itu.
d. Penghasilan harta bersama dan harta bawaan
Penghasilan yang tumbuh dari harta bersama, sudah logis akan jatuh

menambah jumlah harta bersama. Tumbuhnya pun berasal dari harta bersama,

sudah semestinya hasil tersebut menjadi harta bersama. Tetapi bukan hanya yang

tumbuh dari harta bersama yang jatuh menjadi objek harta bersama di antara

suami isteri, penghasilan suami-isteri yang tumbuh dari harta pribadi pun akan

jatuh menjadi objek harta bersama. Sekalipun hak dan kepemilikan harta pribadi

mutlak di bawah penguasaan pemiliknya masing-masing, akan tetapi harta pribadi

tidak lepas fungsinya dari kepentingan keluarga.


Ketentuan ini berlaku sepanjang suami isteri tidak menentukan lain dalam

perjanjian perkawinan. Jika dalam perjanjian perkawinan tidak diatur mengenai

hasil yang timbul dari harta pribadi, maka seluruh hasil yang diperoleh dari harta

pribadi suami dan harta pribadi isteri jatuh menjadi objek harta bersama.
e. Segala penghasilan pribadi suami-istri.
Segala penghasilan pribadi suami isteri baik dari keuntungan yang

diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-

masing pribadi sebagai pegawai jatuh menjadi harta bersama suami isteri. Jadi

sepanjang mengenai penghasilan pribadi suami isteri tidak terjadi pemisahan

maka dengan sendirinya akan menjadi harta bersama. Demikianlah ruang lingkup

mengenai harta bersama dengan batasan-batasannya.


2) Harta bawaan.

Kualifikasi harta bawaan menurut Pasal 35 ayat (2) Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 adalah:


217

a. Harta benda yang dibawa oleh masing-masing suami dan istri yang

berasal dari masa sebelum perkawinan terjadi.


b. Harta benda yang diperoleh masing-masing suami dan istri yang

berasal dari hadiah.


c. Harta benda yang diperoleh masing-masing suami dan istri yang

berasal dari warisan.

Tindakan terhadap harta bersama, baik oleh suami maupun istri, keduanya

dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36 ayat (1) Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974). Sedangkan terhadap harta bawaan masing-masing,

suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum

mengenai harta bendanya (Pasal 36 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974). Cuma secara etika social, meskipun suami dan isteri mempunyai hak

sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum terhadap harta bawaannya, namun

alangkah baiknya dalam men-tasharufkan-nya bermusyawarah satu sama lainnya.

Dengan bermusyawarah, pasangannya akan memberi pertimbangan seandainya

ada yang tidak baik mengenai langkah yang diambil oleh pasangannya. Begitu

juga sebaliknya, jika dipandang baik, maka pasangannya akan memberi dukungan

terhadap langkah yang diambil oleh pasangannya.

Kompilasi Hukum Islam juga mengatur mengenai harta kekayaan dalam

perkawinan, yaitu dalam Bab XIII tentang Harta Kekayaan Dalam Perkawinan

dari Pasal 85 sampai dengan Pasal Pasal 97. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Pasal 85 bahawa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup

kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. Jadi menurut

Kompilasi Hukum Islam ada dua macam harta di dalam perkawinan, yaitu:
218

1) harta bersama.
2) harta milik masing-masing suami atau isteri.

Pasal 86 ayat (1) Kompilasi hukum Islam menyebutkan bahwa pada

dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena

perkawinan. Jadi harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasi sepenuhnya

olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasi

sepenuhnya olehnya.

Kompilasi Hukum Islam tidak memerinci mengenai kualifikasi harta

perkawinan sehingga disebut harta bersama, tetapi ia memerinci mengenai harta

bawaan, yaitu:

1) harta yang dibawa suami dan istri yang berasal dari sebelum perkawinan

terjadi.
2) harta yang berasal dari hadiah.
3) harta yang berasal dari warisan.
4) harta yang berasal dari hibah.
5) harta yang berasal dari sodaqah.

Terhadap harta bawaan masing-masing suami dan isteri adalah di bawah

penguasaan masing-masing suami dan isteri, sepanjang para pihak tidak

menentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Suami dan isteri mempunyai hak

sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing suami

dan istri. Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama,

maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.

Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun

harta sendiri. Isteri juga bertanggung jawab menjagaharta pribadi, harta bersama

maupun harta suami yang ada padanya. Dalam arti tanggung jawab adalah apabila

salah satu pihak suami atau istri akan bertindak terhadap harta bersama, maka ia
219

harus ada persetujuan dari pihak lain. Begitu juga salah satu suami atau istri yang

akan bertindak terhadap harta pribadinya seyogyanya bermusyawarah dahulu

dengan pasaangannya.

2.2. Putusnya Perkawinan serta Akibat Hukumnya

Putusnya perkawinan di dalam Bab VIII tentang Putusnya Perkawinan

Serta Akibatnya pada Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena:

a. kematian,
b. perceraian, dan
c. atas keputusan Pengadilan.

Ketika suami meninggal dunia, berarti perkawinannya putus sejak saat suaminya

meninggal dunia. Sejak saat suaminya meninggal dunia, maka status istrinya

berubah menjadi janda. Ketika istri meninggal dunia, perkawinannya putus sejak

saat istrinya meninggal dunia. Sejak saat istrinya meninggal dunia, maka status

suaminya berubah menjadi duda.

Yang menjadi pertanyaan terhadap Pasal 38 Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah pada huruf (b) dan (c) bahwa:

- perkawinan dapat putus karena perceraian, dan


- perkawinan dapat putus karena atas keputusan Pengadilan.

Berdasarkan pada Pasal 65 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan

sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak

berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Di dalam Pasal 38 Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada huruf (b) dan (c) timbul kesan

bahwa perkawinan putus karena perceraian (di luar putusan pengadilan) dan ada
220

perkawinan yang putus karena putusan pengadilan. Padahal berdasarkan Pasal 65

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama perceraian hanya

dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan yang bermakna bahwa dengan

putusan pengadilan. Berdasarkan pada Pasal 65 Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama, maka pengertian perkawinan putus karena

perceraian berdasarkan pada Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan pada huruf (b) adalah juga atas putusan pengadilan.

Sedangkan mengenai Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan huruf (c) tentang perkawinan dapat putus karena atas keputusan

Pengadilan adalah putusan pengadilan selain mengenai perceraian, seperti

pembatalan perkawinan.

Sebagaimana disebutkan pada Pasal 65 Undang-undang Republik

Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, perceraian hanya dapat

dilakukan didepan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan

berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan

perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat

hidup rukun sebagai suami isteri. Esensi dalam perceraian adalah antara suami

isteri itu tidak dapat hidup rukun sebagai suami isteri, setelah Pengadilan berusaha

dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak suami dan istri.

Mengenai alasan perceraian, disebutkan dalam Pasal 19 Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perceraian dapat

terjadi karena alasan atau alasan-alasan:


221

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi,

dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;


b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-

turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di

luar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman

yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;


d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak yang lain;


e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;


f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah

tangga.

Dari alasan-alasan perceraian yang disebutkan dari huruf (a) sampai dengan huruf

(f) tersebut, esensinya tetap pada fakta bahwa suami-istri itu sudah tidak dapat

didamaikan. Jika suami-istri itu dapat didamikan, meskipun ada alasan terpenuhi

mengenai alasan perceraian, maka perceraian itu tidak akan terjadi. Enam alasan

perceraian yang disebutkan itu adalah pada tataran formalitas. Substansinya

adalah antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Putusnya perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam senada dengan

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu karena:

a. Kematian,
b. Perceraian, dan
c. atas putusan Pengadilan.
222

Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena

talak atau berdasarkan gugatan perceraian.

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama

setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan

kedua belah pihak suami-istri. Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-

alasan:

a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan

lain sebagainya yang sukar disembuhkan;


b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-

turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar

kemampuannya;
c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman

yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;


d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain;


e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;


f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g. Suami melanggar taklik talak (talak yang dikaitkan dengan perjanjian);
k. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak

rukunandalam rumah tangga.

Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang

menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan. Talak raj`i adalah talak kesatu

atau kedua, di mana suami berhak rujuk (kembali kepada istrinya yang ditalak)

selama isterinya dalam masa iddah. Talak ba`in shughra adalah talak yang tidak
223

boleh di-rujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun

dalam iddah. Talak ba`in shughra adalah:

a. talak yang terjadi qabla al-dukhul (suami belum menggauli istrinya);


b. talak dengan tebusan atahu khuluk (suami bersedia menalak istrinya

dengan syarat istri memberi sesuatu kepada suaminya);


c. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.

Talak ba`in kubra adalah talak oleh suami terhadap istrinya yang terjadi untuk

ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan

kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri menikah

degan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba`da al dukhul dan habis masa

iddahnya.

Talak sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan

terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.

Talak bid`i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu

isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri

pada waktu suci tersebut.

Li`an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami-isteri untuk

selama-lamnya. Li`an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zinah dan atau

mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya,

sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut. Tata cara li`an

diatur sebagai berikut:

a. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau

pengingkaran anak tersebut diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat

Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”;
224

b. Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah

empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”,

diikuti sumpah kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya jika tuduhan

dan atau pengingkaran tersebut benar”;


c. tata cara ini merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan;
d. apabila tata cara yang pertama tidak diikuti dengan tata yang kedua, maka

dianggap tidak terjadi li`an. Li`an hanya sah apabila dilakukann di hadapan

sidang Pengadilan Agama.


2.2.1. Alasan-alasan Perceraian
Menurut Pasal 39 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam,

perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan. Bagi orang yang

beragama Islam adalah Pengadilan Agama. Tugas pengadilan yang menerima

permohonan perceraian adalah berusaha mendamaikan suami-istri yang salah

satunya atau kedua-duanya berkehendak untuk bercerai. Setelah pengadilan

berusaha dan tidak berhasil mendamaikan pihak yang berkehendak bercerai, maka

kehendak perceraaian tersebut dikabulkan. Jadi berdasarkan Pasal 39 ayat (1)

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 115

Kompilasi Hukum Islam proses perceraian adalah:


1) Diajukan ke Pengadilan Agama;
2) Pengadilan Agama melalui majlis hakim berusaha mendamaikan suami-

istri yang oleh salah satu pihaknya diajukan permohonan perceraian;


3) Setelah usaha perdamaian tidak berhasil, maka permohonan perceraian

patut dikabulkan.

Ketentuan ini diadopsi oleh Pasal 65 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama yang berbunyi bahwa perceraian hanya dapat dilakukan
225

di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan

tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Meskipun proses perceraian kelihatannya sangat sederhana, tetapi menurut

Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan untuk

melakukan perceraian harus ada cukup alasan. Alasan yang dikemukakan oleh

pihak yang berkehendak untuk bercerai adalah bahwa antara suami-isteri itu tidak

akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri. Senada dengan Pasal 39 ayat (2)

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah Pasal 70 ayat

(1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1989 tetang Peradilan Agama yang

mengatakan bahwa Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak

tidak mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian, maka

Pengadilan menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan.

Jadi Pengadilan Agama mengabulkan permohonan perceraian dari pihak

yang mengajukan setelah ada dua fakta hukum, yaitu:

1) Pengadilan Agama melalui majlis hakim telah berusaha mendamaikan

suami-istri yang oleh salah satu pihaknya diajukan permohonan perceraian;


2) Pengadilan telah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak suami-istri tidak

mungkin lagi didamaikan;


3) Telah cukup alasan perceraian (bahwa antara suami-isteri itu tidak akan

dapat hidup rukun sebagai suami isteri).

Mengenai alasan perceraian, disebutkan dalam Pasal 19 Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perceraian dapat

terjadi karena alasan atau alasan-alasan:


226

a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi,

dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;


b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-

turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di

luar kemampuannya;
c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman

yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;


d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak yang lain;


e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;


f) Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah

tangga.

Kompilasi Hukum Islam melalui Pasal 116 memberikan alasan bahwa

perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan

lain sebagainya yang sukar disembuhkan;


b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-

turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar

kemampuannya;
c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman

yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;


d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain;


e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;


227

f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran

dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
g. Suami melanggar taklik talak;
h. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak

rukunan dalam rumah tangga.


2.2.2. Prosedur perceraian / Proses menyelesaikan perkara

perceraian pada Pengadilan Agama

Prosedur adalah serangkaian aksi yang spesifik, tindakan atau operasi yang

harus dijalankan atau dieksekusi dengan cara yang baku (sama) agar selalu

memperoleh hasil yang sama dari keadaan yang sama, semisal prosedur kesehatan

dan keselamatan kerja. Lebih tepatnya, kata ini bisa mengindikasikan rangkaian

aktivitas, tugas-tugas, langkah-langkah, keputusan-keputusan, perhitungan-

perhitungan dan proses-proses, yang dijalankan melalui serangkaian pekerjaan

yang menghasilkan suatu tujuan yang diinginkan, suatu produk atau sebuah

akibat.188

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus versi

online/daring (dalam jaringan),189 prosedur adalah: 1. tahap kegiatan untuk

menyelesaikan suatu aktivitas; 2. metode langkah demi langkah secara pasti dalam

memecahkan suatu masalah;

Dalam bahasa Inggris, prosedur diterjemahkan dengan kata procedure190

yaitu “an established or official way of doing something” (cara yang mapan atau

188
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, https://id.wikipedia.org/wiki/Prosedur, diakses
jam 9:50 tanggal 29/11/2017.

189
https://kbbi.web.id/prosedur, diakses jam 9:55 tanggal 29/11/2017.

190
https://translate.google.co.id/?hl=en#id/en/prosedur, jam 10:06 tanggal 29/11/2017.
228

resmi dalam melakukan sesuatu)191. “A fixed, step-by-step sequence of activities or

course of action (with definite start and end points) that must be followed in the

same order to correctly perform a task” (urutan aktivitas atau tindakan tindakan

tetap, langkah-demi-langkah (dengan titik awal dan akhir yang pasti) yang harus

diikuti dengan urutan yang sama untuk melakukan tugas dengan benar).192

Menurut pengertian sebagaimana disebutkan di muka tentang kata

prosedur, maka maksud prosedur perceraian / proses menyelesaikan perkara

perceraian pada Pengadilan Agama maksudnya adalah serangkaian aksi yang

spesifik, tindakan atau operasi yang harus dijalankan untuk memperoleh hasil

perceraian; tahap kegiatan untuk menyelesaikan, metode langkah demi langkah

secara pasti dalam mengurus perkara perceraian hingga selesai; urutan aktivitas

atau tindakan tindakan tetap, langkah-demi-langkah (dengan titik awal dan akhir

yang pasti) yang harus diikuti dengan urutan yang sama untuk melakukan tugas

dengan benar sehingga tujuan perceraian tercapai.

Prosedur perceraian dan proses menyelesaikan perkara perceraian pada

Pengadilan Agama diatur di dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang

diubah pertama dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan

kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama

(UU Peradilan Agama) dari Pasal 65 sampai dengan Pasal 88. Prosedur perceraian

ini dikenal dengan hukum acara. Karena prosedur perceraian berada di dalam

191
https://www.google.co.id/search?
q=what+is+the+procedure&oq=what+is+the+procedure&aqs=chrome..69i57j0l5.4688j0j8&source
id=chrome&ie=UTF-8, jam 10:04 tanggal 29/11/2017.

192
Business Dictionary, http://www.businessdictionary.com/definition/procedure.html, diakses jam
10:14 tanggal 29/11/2017.
229

katagori hukum perdata, maka hukum acaranya masuk dalam kualifikasi hukum

acara perdata.

Hukum acara adalah hukum formal, yaitu peraturan hukum yang mengatur

tentang cara bagaimana mempertahankan dan menjalankan peraturan hukum

materil. Hukum acara merupakan kaidah hukum yang mengatur cara-cara

bagaimana mengajukan suatu perkara ke muka suatu badan peradilan serta cara-

cara hakim memberikan keputusan. Fungsinya menyelesaikan masalah yang

memenuhi norma-norma larangan hukum materil melalui suatu proses yang

berpedoman kepada peraturan yang dicantumkan dalam hukum acara. Tugas

hukum acara menjamin ditaatinya norma-norma hukum material oleh setiap

individu. Dapat dikatakan bahwa hukum acara itu sebagai alat penegak dari aturan

hukum material.193

Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana

menjamin ditaatinya hukum perdata material dengan perantaraan hakim.

Dikatakan pula bahwa hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang

menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksaaan hukum perdata material.

Lebih tegas dikatakan bahwa hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur

bagaimana caranya mengajukan serta melaksanakan putusan tersebut.194

Hukum acara perdata yang disebut juga hukum perdata formal mengatur

tentang cara bagaimana mempertahankan dan menjalankan peraturan hukum

perdata material. Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur

193
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm.
112.

194
Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 238.
230

bagaimana cara memelihara dan mempertahankan hukum perdata materiil atau

peraturan yang mengatur bagaimana cara mengajukan suatu perkara perdata

kemuka pengadilan perdata dan bagaimana cara hakim perdata memberikan

putusan. Menurut Wirjono Projodikoro, hukum acara perdata adalah rangkaian

peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di

muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain

untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.195

Hukum acara perdata di bidang perceraian adalah hukum formal yang

mengatur cara bagaimana mempertahankan dan menjalankan peraturan hukum

mengenai perceraian. Rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana orang

harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan berkenaan dengan proses

pengajuan perkara perceraian dan cara bagaimana pengadilan harus bertindak satu

sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata di

bidang perceraian. Setelah hukum acara perdata di bidang perceraian langkah-

demi-langkah dari titik awal sampai dengan titik akhir diikuti dengan benar, maka

pada akhirnya tujuan perceraian pasti tercapai.

Beradasarkan Pasal 2 UU Peradilan Agama, Peradilan Agama adalah salah

satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama

Islam mengenai perkara tertentu. Menurut Pasal 49 UU Peradilan Agama,

Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama

Islam di bidang:

a. perkawinan;
195
Ibid.
231

b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah.

Berdasarkan penjelasan atas UU Peradilan Agama, yang termasuk ke

dalam katagori Pasal 49 huruf (a) UU Peradilan Agama, yang dimaksud dengan

bidang perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-

undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari'ah,

antara lain:

(1) izin beristri lebih dari seorang;


(2) Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21

(dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga dalam garis

lurus ada perbedaan pendapat;


(3) dispensasi kawin;
(4) pencegahan perkawinan;
(5) penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
(6) pembatalan perkawinan;
(7) gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri;
(8) perceraian karena talak;
(9) gugatan perceraian;
(10) penyelesaian harta bersama;
(11) penguasaan anak-anak;
(12) ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak

bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak mematuhinya;


(13) penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami

kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
(14) putusan tentang sah tidaknya seorang anak;
(15) putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
(16) pencabutan kekuasaan wali;
(17) penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal

kekuasaan seorang wali dicabut;


232

(18) penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum

cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;
(19) pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang

ada di bawah kekuasaannya;


(20) penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan

anak berdasarkan hukum Islam;


(21) putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk

melakukan perkawinan campuran;


(22) pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan

menurut peraturan yang lain.

Perceraian karena talak pada angka (8) dan gugatan perceraian pada angka

(9) merupakan sengketa yang termasuk dalam katagori di bidang perkawinan.

Karena itu berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 49 UU Peradilan Agama, bagi orang

yang beragama Islam yang berkehendak untuk bercerai pengajuan perkaranya

diajukan pada Pengadilan Agama sebagai Lembaga yang mempunyai kewenangan

absolut. Berdasarkan penjelasan atas UU Peradilan Agama, termasuk ke dalam

sengketa bidang perkawinan juga adalah akibat hukum dari perceraian karena

talak dan gugatan perceraian sebagaimana pada angka (10).

Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Agama diatur dalam UU

Peradilan Agama pada Bab IV tentang Hukum Acara dari Pasal 54 sampai dengan

Pasal 64. Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan

Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam

lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam
233

Undang-undang Peradilan Agama. Dengan demikian sumber hukum acara yang

berlaku pada Peradilan Agama ada dua macam, yaitu:

1) Hukum acara perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Umum; dan


2) Hukum acara yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang

Peradilan Agama.

Sebagai konsekwensi dari ketentuan ini, maka sumber hukum dari hukum

acara pada Peradilan Agama adalah:

1) Het Herziene Indonesisch Reglement (H.I.R) untuk Jawa dan

Madura.
2) Rechtsreglement Buitengewesten (R.Bg) untuk luar Jawa dan

Madura.
3) Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv).
4) Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan

di Jawa dan Madura.


5) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-

undang Nomor 1 Tatun 1974.


6) Undang-undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 dan

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009.


7) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan

Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009.


8) Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
9) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman.
234

10) Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun l991 tentang

penggunaan Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman dalam penyelesaian

masalah-masalah di bidang Perkawinan, Perwakafan dan Kewarisan.


11) Yurisprudensi, yaitu kumpulan yang sistematis dari Putusan

Mahkamah Agung yang diikuti oleh hakim lain dalam putusan yang sama.
12) Surat Edaran Mahkamah Agung sepanjang menyangkut Hukum

Acara Perdata.

Selain mengenai sumber hukum acara, asas-asas hukum acara yang berlaku pada

Pengadilan Agama berlaku juga asas-asas hukum acara yang berlaku pada

Peradilan umum, kecuali asas-asas yag ditentukan tersendiri di dalam UU

Peradilan Agama.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus versi

online/daring (dalam jaringan),196 kata “asas” bermakna “dasar”, yaitu sesuatu

yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. Dari pengertian tersebut dapat

kita lihat pengertian yang esensial dari asas itu ialah: merupakan dasar, pokok

tempat menemukan kebenaran dan sebagai tumpukan berpikir. Tentang apa yang

dimaksud dengan asas hukum banyak pengertian yang dikemukakan oleh para

ahli hukum, yang antara lain adalah sebagai berikut:

Menurut G. W. Paton dalam bukunya A Textbook of Jurisprudence yang

dikutip oleh Mahadi197 mengatakan asas adalah: “A principles is the broad reason,

which lies at the base of rule of law” yang dalam bahasa Indonesia kalimat itu

berbunyi: asas adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan

196
https://kbbi.web.id/asas, diakses jam 2:29 tanggal 29/11/2017.

197
Mahadi, Prof., S.H, FALSAFAH HUKUM SUATU PENGANTAR, Alumni, Jakarta, 2000, hlm.
50.
235

mendasari adanya sesuatu norma hukum. Dari pengertian tersebut dapat diurai

bahwa dalam unsur-unsur asas terdapat sebagai berikut:

1) Alam pikiran;
2) Rumusan luas;
3) Dasar bagi pembentukan norma hukum.

Jadi asas ialah suatu alam pikiran yang melatarbelakangi pembentukan

suatu norma hukum. Rumusan asas yang dihidangkan oleh G. W. Paton memberi

kesan seolah-olah setiap norma hukum dapat dikembalikam kepada susunan asas.

Setiap norma pasti bersumber dari suatu asas.

Dalam praktek, menurut Mahadi, terdapat norma-norma hukum, yang

tidak dapat ditelusuri bagaimana bunyi asas yang mendasarinya. Salah satu

contoh, norma hukum positif dalam bidang lalu lintas, yang menyuruh pemakai

jalan umum yang mempergunakan bagian kiri dari jalan itu. Untuk norma hukum

itu sulit dicarikan asasnya, tetapi kalau ia menjadi asas maka norma hukum itu

sendirilah yang berfungsi sebagai asas.

Karena itu menurut Mahadi ada norma hukum yang dapat dikembalikan

kepada suatu asas tetapi adapula kalanya yang tidak dapat dikembalikan kepada

asas. Keadaan seperti itu, menurut Mahadi, banyak terdapat pada bidang-bidang

hukum yang netral, yaitu bidang-bidang hukum yang tidak ada kaitannya dengan

agama atau kebudayaan. Sebaliknya dalam bidang-bidang hukum yang non-netral

(bidang-bidang hukum yang erat kaitannya dengan agama dan budaya), dapat

diketemukan norma-norma hukum yang dapat dikembalikan kepada suatu asas.

Menurut Van Eikema Hommes asas hukum tidak boleh dianggap sebagai

norma hukum yang konkret, tetapi perlu dipandang sebagai dasar umum atau
236

petunjuk bagi hukum yang berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu

berorientasi pada asas-asas hukum tersebut. Dengan kata lain bahwa asas hukum

ialah dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.198

The Liang Gie berpendapat bahwa asas merupakan suatu dalil umum yang

dinyatakan dalam istilah umum tanpa menyarankan cara khusus mengenai

pelaksanaannya yang diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi

petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu. Menurut P. Scholten, asas hukum adalah

kecenderungan yang diisyaratkan oleh pandangan kesusilaan kita pada hukum

yang merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai

pembawaan umum, tetapi tidak boleh tidak harus ada.199

Dari beberapa pendapat para sarjana tersebut, kemudian dapat

disimpulkan bahwa asas hukum baru merupakan cita-cita suatu kebenaran yang

menjadi pokok dasar atau tumpukan berpikir untuk menciptakan norma hukum.

Jadi pengertian asas hukum adalah suatu alam pikiran atau cita-cita ideal yang

melatarbelakangi pembentukan norma hukum, yang konkret dan bersifat umum

dan abstrak (khususnya dalam bidang-bidang hukum yang erat hubungannya

dengan agama dan budaya). Agar supaya asas hukum berlaku dalam praktek maka

isi asas hukum itu harus dibentuk yang lebih konkret. Seperti misalnya asas

praduga tak bersalah (presumption of innocence) yang telah dituangkan dalam

bentuk konkret yang terdapat dalam ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang

198
Pengertian Pakar, Kumpulan Pengertian Menurut Para Pakar,
http://www.pengertianpakar.com/2015/01/pengertian-fungsi-dan-macam-macam-asas-hukum.html,
diakses jam 5:02 tanggal 5-12-2017.

199
Sudikno Mertokusumo, Prof., Dr., S.H., Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta, 2005, hlm. 32.
237

Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu

“setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di

depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan

yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Contoh asas hukum, adalah asas legalitas (nullumdelictum mulla poena

sine praevia lege poenali) sebagaimana yang tercantum pada Pasal 1 angka (1)

KUH Pidana yang berbunyi : “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas

kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum

perbuatan itu dilakukan.” Asas tersebut merupakan perlindungan bagi

kemerdekaan diri pribadi dari tindakan sewenang-wenang pihak penguasa, karena

seorang tidak dapat dihukum kecuali undang-undang mengaturnya lebih dahulu.

Jika asas hukum telah dirumuskan secara konkret dalam bentuk peraturan norma

hukum, maka ia sudah dapat diterapkan secara langsung pada peristiwanya.

Sedangkan asas hukum yang belum konkret dirumuskan dalam ketentuan hukum,

maka ia belum dapat dipergunakan secara langsung dalam peristiwanya.

Berdasarkan uraian dan contoh asas hukum diatas jelaslah bahwa asas

hukum bukanlah kaidah hukum konkret, melainkan merupakan latar belakang

peraturan yang konkret dan bersifat umum dan abstrak. Untuk menjadi hukum,

maka asas tersebut harus ditungkan terlebih dahulu dalam bentuk norma. Ketika

sudah menjadi norma, maka asas menjiwai norma tadi.

Dalam tatanan hukum di Indonesia dikenal adanya dua asas yaitu asas

hukum umum dan asas hukum khusus.200


200
Jurnal Siswapedia, Pengertian Asas Hukum dan Macam-Macam Asas Hukum,
https://www.siswapedia.com/pengertian-asas-hukum-dan-macam-macam-asas-hukum/, diakses
tanggal 14-11-2017 jam 1:18.
238

(1) Asas Hukum Umum

Asas hukum umum merupakan asas hukum yang berhubungan dengan

keseluruhan bidang hukum. Misalnya:

a. Asas lex posteriori derogat legi priori (peraturan yang baru akan

menghapus peraturan yang lama), misalnya Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

mengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman.
b. Asas lex speciali derogat legi generali (peraturan yang lebih

khusus akan mengesampingkan peraturan yang bersifat lebih umum),

misalnya Pasal 68 ayat (2) UU Peradilan Agama bahwa Pemeriksaan

permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup merupakan

peraturan khusus yang mengesampingkan Pasal 13 ayat (1) UU Kekuasaan

Kehakiman bahwa Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka

untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.


c. Asas lex superior derogat legi inferior (peraturan yang lebih tinggi

akan mengesampingkan peraturan yang lebih rendah), misalnya ketentuan

tertentu yang tercantum di dalam UU Peradilan Agama mengesampingkan

ketentuan yang tercantum di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun

1975.
(2) Asas hukum khusus

Asas hukum khusus ialah asas yang berlaku dalam lapangan hukum

tertentu. Misalnya:

a. Dalam hukum perdata berlaku asas pacta sunt servanda (setiap

janji itu mengikat), asas konsensualisme.


239

b. Dalam hukum pidana berlaku asas presumption of innocence (asas

praduga tak bersalah), asas legalitas.

Adapun asas-asas hukum yang berlaku pada Pengadilan Agama sebagai

peradilan perdata adalah asas-asas hukum yang berlaku pada peradilan umum di

bidang perdatanya, diantaranya adalah:

1) Asas tiap pemeriksaan perkara di Pengadilan dimulai sesudah

diajukannya suatu permohonan atau gugatan, dan pihak-pihak yang

berperkara telah dipanggil menurut ketentuan yang berlaku. Hal ini tertuang

di dalam Pasal 55 UU Peradilan Agama. Perkara baru diperiksa oleh

Pengadilan Agama setelah perkara itu diajukan ke Pengadilan Agama.

Perkara tersebut dapat diperiksa oleh Pengadilan Agama setelah pihak-

pihaknya dipanggil untuk menghadap sidang.


2) Asas pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan

memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau

kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutusnya. Hal ini tertuang

di dalam Pasal 56 ayat (1) UU Peradilan Agama dan Pasal 10 ayat (1) UU

Kekuasaan Kehakiman. Pengadilan, begitu ada perkara diajukan, maka ia

harus memeriksa dan mengadilinya sampai selesai. Tetapi di dalam ayat (2)

nya disebutkan bahwa ketentuan ini tidak menutup kemungkinan adanya

usaha penyelesaian perkara secara damai.


3) Asas peradilan dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA. Hal ini tertuang di dalam Pasal 57 ayat

(1) UU Peradilan Agama. Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan sila

pertama dalam Pancasila. Sila ini menunjukkan sifat keagamaan di dalam


240

kehidupan, termasuk di dalam menjalankan peradilan. Asas ini juga tertuang

di dalam Bab II Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Pasal 2 ayat

(1) Undang- Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: Peradilan dilakukan

"DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA

ESA".
4) Asas tiap penetapan dan putusan dimulai dengan kalimat

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM diikuti dengan DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Hal ini tertuang di

dalam Pasal 57 ayat (2) UU Peradilan Agama. Asas ini hanya berlaku khusus

pada Peradilan Agama. Sedangkan pada peradilan umum berlaku asas

Peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA" sebagaimana tersebut di dalam Pasal 2

ayat (1) Undang- Kekuasaan Kehakiman.


5) Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya

ringan. Hal ini tertuang di dalam Pasal 57 ayat (3) UU Peradilan Agama dan

Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman.


6) Asas pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak

membeda-bedakan orang. Hal ini tertuang di dalam Pasal 58 ayat (1) UU

Peradilan Agama Pasal 4 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman.


7) Asas pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha

sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk

tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Hal ini

tertuang di dalam Pasal 58 ayat (2) UU Peradilan Agama Pasal 4 ayat (2)

UU Kekuasaan Kehakiman.
8) Asas sidang pemeriksaan Pengadilan terbuka untuk umum, kecuali

apabila undang-undang menentukan lain atau jika Hakim dengan alasan-


241

alasan penting yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan

bahwa pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan

dengan sidang tertutup. Hal ini tertuang di dalam Pasal 59 ayat (1) UU

Peradilan Agama Pasal 13 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman.


9) Asas Rapat permusyawaratan Hakim bersifat rahasia. Hal ini

tertuang di dalam Pasal 59 ayat (3) UU Peradilan Agama.


10) Asas Penetapan dan putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai

kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Hal

ini tertuang di dalam Pasal 60 UU Peradilan Agama.


11) Asas atas penetapan dan putusan Pengadilan Agama dapat

dimintakan banding oleh pihak yang berperkara, kecuali apabila undang-

undang menentukan lain. Hal ini tertuang di dalam Pasal 60 UU Peradilan

Agama.

Proses menyelesaikan perkara perceraian pada Pengadilan Agama menurut

UU Peradilan Agama ada dua macam dalam peristilahannya maupun dalam

prosesnya. Pertama, perkara perceraian yang diajukan oleh pihak suami, ini

disebut dengan perkara cerai talak. Yang kedua perkara cerai yang pihak

pengajunya adalah istri, ini disebut dengan perkara cerai gugat.

Dalam Pasal 65 UU Peradilan Agama diatur bahwa perceraian hanya dapat

dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan

berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Pasal 65 UU

Peradilan Agama ini merupakan pasal pokok dari proses perceraian yang diatur

oleh undang-undang. Norma yang ada di dalam pasal itu adalah perceraian hanya

dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan, Pengadilan berusaha mendamaikan


242

kedua belah pihak, dan pengadilan tidak berhasil mendamaikan kedua belah

pihak.

Perceraian adalah proses yang dilakukan oleh suami atau istri, atau kedua-

duanya, yang hendak mengakhiri perkawinannya. Esensi dari perceraian adalah

karena suami atau istri, atau kedua-duanya, berkehendak untuk tidak melanjutkan

ikatan perkawinannya. Jadi yang tampak dari perceraian ini adalah hati dari suami

atau istri, atau kedua-duanya, sudah tidak ada cinta lagi sehingga perkawinannya

harus diakhiri. Jadi terjadinya perceraian bertumpu pada masalah hati. Hati dari

suami atau istri, atau kedua-duanya, sudah tidak ingin melanjutkan perkawinannya

sehingga tidak bisa dipaksa untuk terus berada dalam mahligai rumah tangga.
Mengenai gambaran alur proses perkara yang harus dilalui oleh pihak-

pihak yang berperkara dalam skema litigasi di Pengadilan Agama adalah sebagai

berikut:
- Pihak penggugat membayar panjar biaya perkara, lalu mengajukan surat

gugatan;
- Surat gugatan diberi nomor perkara oleh bagian kepaniteraan dan

dimasukkan ke dalam map berkas.


- Ketua pengadilan lalu membuat penetapan menunjuk majelis hakim yang

akan menangani perkara.


- Panitera membuat surat tugas untuk panitera pengganti yang akan

membantu majlis hakim dan jurusita yang akan memanggil pihak-pihak.


- Majelis hakim membuat penetapan menentukan hari sidang, dan

memerintahkan jurusita agar memanggil pihak-pihak yang berperkara;


- Pada hari sidang yang pertama yang dihadiri oleh pihak-pihak, majelis

hakim berusaha mendamaikan pihak-pihak yang berperkara.


- Apabila usaha mendamaikan oleh majelis hakim berhasil, maka ada dua

kemungkinan: pertama, perkara dicabut oleh penggugat, lalu majlis hakim


243

membuat penetapan bahwa perkaranya telah dicabut; yang kedua, para pihak

membuat kesepakatan perdamaian, lalu diajukan kepada majelis hakim,

kemudian oleh majlis hakim dijatuhkan putusan perdamaian yang isinya

memerintahkan kepada para pihak untuk mentaati kesepakatan perdamaian

tersebut. Putusan perdamaian oleh pengadilan, tidak dapat dilakukan upaya

hukum banding dan lain-lainnya. Apabila ada pihak yang tidak mau

melaksanakan putusan perdamaian, maka oleh pihak yang berkepentingan

diajukan permohonan eksekusi ke pengadilan untuk memaksa putusan

perdamaian tersebut dilaksanakan dengan membayar panjar biaya eksekusi.


- Dalam hal perkara dicabut, penyelesaian perkaranya dilakukan di luar

proses pengadilan dengan jalan musyawarah mufakat antar pihak-pihak yang

berkaitan, kelemahannya apabila ada pihak yang tidak bersedia melaksanakan

kesepakatan perdamaian, maka tidak ada kekuatan hukum untuk

mengeksekusinya atau memaksa untuk menjalankan kesepakatan itu.


- Dalam hal upaya perdamaian oleh majelis hakim tidak berhasil, lalu

dilakukan proses mediasi dengan perantara mediator. Majlis hakim membuat

penetapan penunjukan mediator dan memerintahkan pihak-pihak yang

berperkara agar mengikuti proses mediasi. Apabila berhasil terjadi perdamaian

melalui mediasi, jalan keluarnya juga ada dua kemungkinan: pertama,

perkaranya dicabut, lalu majlis hakim membuat penetapan bahwa perkaranya

telah dicabut; yang kedua, mediator membantu membuatkan kesepakatan

perdamaian, yang kemudian diajukan kepada majelis hakim, kemudian oleh

majlis hakim dijatuhkan putusan perdamaian. Selanjutnya untuk proses

penyelesaiannya sebagaimana diterangkan di atas.


244

- Dalam hal terjadi perdamaian dan pihak-pihak terkait bersedia

melaksanakan isi perdamaian secara sukarela, maka perdamaian tersebut

berhasil dengan memuaskan semua pihak, tali silaturrahmi antara pihak-pihak

tetap tersambung dengan mesra, bahkan mungkin menjadi lebih mesra dari

yang sebelumnya.
- Apabila dengan bantuan mediator tidak terjadi perdamaian, maka mediator

membuat laporan kepada majlis hakim bahwa mediasi gagal menghasilkan

perdamaian. Karena tidak terjadi perdamaian, maka proses perkara berjalan

sebagaimana mestinya dalam sidang-sidang peradilan yaitu: surat gugatan

dibacakan, tergugat mengajukan jawaban, penggugat mengajukan replik,

tergugat mengajukan duplik, pembuktian oleh pihak penggugat, pembuktian

oleh pihak tergugat, kesimpulan pihak-pihak, musyawarah majelis hakim,

terakhir putusan.
- Pihak-pihak yang tidak puas terhadap putusan pada tingkat pertama, dapat

mengajukan upaya hukum biasa, yaitu banding, dengan membayar panjar biaya

perkara banding.
- Pihak-pihak yang tidak puas terhadap putusan pada tingkat banding, dapat

mengajukan upaya hukum biasa, yaitu kasasi, dengan membayar panjar biaya

perkara kasasi.
- Pihak-pihak yang tidak puas terhadap putusan pada tingkat kasasi, dapat

mengajukan upaya hukum luar biasa, yaitu peninjauan kembali (PK), dengan

membayar panjar biaya perkara peninjauan kembali. Upaya hukum peninjauan

kembali tidak menghalangi pelaksanaan putusan, karena begitu perkara kasasi

putus, maka putusannya langsung mempunyai kekuakan hukum tetap, artinya

dapat dilaksanakan. Kalau putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap tidak
245

bisa dilaksanakan dengan sukarela oleh pihak-pihak, maka dilaksanakan

dengan jalan eksekusi oleh pengadilan.


- Setelah putusan terakhir mempunyai kekuatan hukum yang tetap, apabila

pihak yang dikalahkan tidak bersedia melaksanakan putusan dengan sukarela,

maka pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan eksekusi

kepada Pengadilan Agama dengan membayar panjar biaya eksekusi.


- Pelaksanaan eksekusi oleh pengadilan bisa berhasil, bisa tidak berhasil.

Eksekusi bisa tidak berhasil, apabila pihak yang dikalahkan melakukan

penghadangan yang menjurus pada tindak kekerasan yang dapat

membahayakan jiwa jurusita pengadilan. Dalam keadaan yang membahayakan

tersebut biasanya jurusita memilih tidak melaksanakan eksekusi.


- Dalam hal eksekusi berhasil dilaksanakan, pihak yang dikalahkan sering

tetap tidak puas dan tali silaturrahmi menjadi putus serta terjadi dendam yang

berkepanjangan, bahkan turun temurun.


- Dalam hal pihak tergugat tidak hadir menghadap sidang, meskipun sudah

dipanggil secara patut, maka pengadilan dapat memutus perkaranya dengan

verstek (tanpa hadirnya tergugat). Putusan verstek dapat dilakukan oleh

pengadilan dengan dua syarat: 1. pihak tergugat telah dipanggil secara patut;

dan 2. gugatan beralasan dan tidak melawan hak.


- Upaya hukum oleh pihak tergugat terhadap putusan verstek adalah

melakukan verzet, yaitu perlawanan yang diajukan dan diperiksa serta diadili

pada peradilan tingkat pertama yang sama.


- Dalam perkara perceraian, apabila terjadi perdamaian rukun kembali,

maka perkaranya dicabut oleh penggugat. Apabila tidak terjadi perdamaian,

dan kedua belah pihak suami-isteri sama-sama menghendaki perceraian, maka

perkaranya segera diputus cerai, dan selesai pada pengadilan tingkat pertama.
246

Tetapi apabila salah satu pihak tidak bersedia bercerai dan tidak puas terhadap

putusan pengadilan, maka proses perkaranya berjalan sebagaimana biasanya

proses litigasi yang telah diterangkan di atas.


1. Perkara Cerai Talak
Perkara cerai talak diatur di dalam UU Peradilan Agama pada Bagian

Kedua tentang Pemeriksaan Sengketa Perkawinan dari Pasal 66 sampai dengan

Pasal 72. Di dalam proses penyelesaian perkara perceraian ini berlaku Bab IV

tentang Hukum Acara Pasal 54 UU Peradilan Agama yang berbunyi: Hukum

Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah

Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan

Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang ini.

Artinya sejauh tidak diatur secara tersendiri mengenai hukum acara peradilan

agama, maka berlaku hukum acara pada peradilan umum. Prinsip-prinsip hukum

yang berlaku pada peradilan umum juga berlaku pada peradilan agama.
Prinsip adalah suatu pernyataan fundamental atau kebenaran umum

maupun individual yang dijadikan oleh seseorang/kelompok sebagai

sebuah pedoman untuk berpikir atau bertindak. Sebuah prinsip merupakan roh

dari sebuah perkembangan ataupun perubahan, dan merupakan akumulasi dari

pengalaman ataupun pemaknaan oleh sebuah objek atau subjek tertentu.201


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), prinsip adalah sama

dengan asas, yaitu kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan

sebagainya.202 Prinsip diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris adalah principle,203


201
https://id.wikipedia.org/wiki/Prinsip, diakses jam 2:46 tanggal 28/11/2017.

202
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus versi online/daring (dalam jaringan)
https://kbbi.web.id/prinsip, diakses jam 2:84 tanggal 28/11/2017.

203
Google Translate, https://translate.google.co.id/?hl=en#id/en/prinsip, diakses jam 3:14 tanggal
28/11/2017.
247

maknanya adalah a fundamental truth or proposition that serves as the foundation

for a system of belief or behavior or for a chain of reasoning (sebuah kebenaran

atau proposisi fundamental yang berfungsi sebagai dasar bagi sistem kepercayaan

atau perilaku atau untuk rantai penalaran).204


Ada dua asas khusus yang khusus berlaku pada perkara perceraian

berdasarkan UU Peradilan Agama, yaitu: pertama, asas pemeriksaan permohonan

cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup untuk umum, sesuai Pasal 68 ayat (2)

UU Peradilan Agama yang merupakan pengecualian terhadap asas semua sidang

pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang

menentukan lain. Meskipun pemeriksaan perkara perceraian dilakukan di dalam

sidang yang tertutup untuk umum, namun dalam pengucapan putusannya harus

dilakukan di dalam sidang yang terbuka untuk umum. Yang kedua adalah asas

mendamaikan, sesuai Pasal 65 UU Peradilan Agama bahwa perceraian hanya

dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan

berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.


Pasal 65 UU Peradilan Agama sebagai ketentuan dasar yang memayungi

dan menerangi ketentua-ketentuan lain berkenaan dengan penyelesaian perkara

perceraian. Jika ada ketentuan yang samar maknanya atau tidak jelas, maka

pelaksanaannya harus dikembalikan kepada aturan dasar tadi. Ketentuan dasar ini

204
https://www.google.co.id/search?
q=what+is+the+meaning+of+the+word+principle&oq=what+is+the+meaning+of+the+word+prin
ciple&aqs=chrome..69i57j0l2.3508j0j8&sourceid=chrome&ie=UTF-8, diakses jam 2:58 tanggal
28/11/2017.
248

bertujuan untuk mewujudkan asas peradilan dilaksanakan secara sederhana, cepat

dan biaya ringan.


Pasal 66 ayat (1) UU Peradilan Agama mengatur bahwa bagi seorang

suami yang beragama Islam yang berkehendak akan menceraikan istrinya harus

mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna

menyaksikan ikrar talak. Dari pasal ini muncul istilah perkara cerai talak untuk

perkara cerai yang diajukan oleh pihak suami. Karena perkaranya berupa

permohonan ijin dari suami kepada Pengadilan untuk mengikrarkan talak.


Ditentukan seorang suami yang beragama Islam sesuai dengan asas

personalitas keislaman di dalam kewenangan Pengadilan Agama pada Pasal 1

angka 1 UU Peradilan Agama bahwa Peradilan Agama adalah peradilan bagi

orang-orang yang beragama Islam. Dengan ketentuan ini maka yang dapat

mengajukan perkara perceraian adalah suami yang beragama Islam. Sedangkan

suami yang tidak beragama Islam pengajuannya adalah di Pengadilan Umum.


Permohonan untuk mengucapkan talak oleh pihak suami diajukan kepada

Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon (istri),

kecuali apabila termohon (istri) dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman

yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon (suami), Pasal 66 ayat (2) UU

Peradilan Agama. Apabila termohon (istri) bertempat kediaman di luar negeri,

permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat

kediaman pemohon (suami), Pasal 66 ayat (3) UU Peradilan Agama. Jika

pemohon (suami) dan termohon (istri) bertempat kediaman di luar negeri, maka

permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat

perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat,

Pasal 66 ayat (4) UU Peradilan Agama.


249

Dari ketentuan tersebut dapat diperinci bahwa permohonan cerai talak

diajukan ke Pengadilan Agama, yaitu:


(1) Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi di tempat kediaman

istri, kecuali jika istri dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang

ditentukan bersama tanpa izin suami.


(2) Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi di tempat kediaman

suami, jika istri bertempat kediaman di luar negeri.


(3) Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat perkawinan

dilangsungkan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat, jika suami dan istri

bertempat kediaman di luar negeri.


Merupakan kekhususan perkara perceraian pada Pengadilan Agama adalah

diperbolehkan bagi pihak suami yang mengajukan permohonan cerai talak di

dalamnya juga mengajukan mengenai perkara:


(1) penguasaan anak;
(2) nafkah anak;
(3) nafkah istri;
(4) harta bersama suami istri.

Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama

suami-istri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak oleh

suami ataupun sesudah ikrar talak diucapkan, Pasal 66 ayat (5) UU Peradilan

Agama. Begitu juga pihak istri dapat mengajukan gugatan balik (rekonpensi)

mengenai soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama

suami-istri bersama-sama dengan permohonan cerai talak dari suami, dan dapat

juga diajukan sesudah ikrar talak diucapkan oleh pihak suami.

Permohonan cerai yang diajukan oleh pihak suami, menurut Pasal 67 UU

Peradilan Agama harus memuat:


a. nama, umur, dan tempat kediaman pemohon, yaitu suami, dan termohon,

yaitu istri;
250

b. alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak.

Sesuai dengan asas personalitas keislaman, maka identitas agama juga harus

dicantumkan di dalam permohonan cerai, agama dari suami dan agama dari istri.

Sedangkan alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak adalah alasan-alasan yang

tercantum di dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Alasan

perceraian ini dikaitkan dengan Pasal 65 dan 70 ayat (1) UU Peradilan Agama

bahwa sudah diupayakan perdamaian oleh Pengadilan tetapi tidak berhasil.

Perkara permohonan cerai talak akan diperiksa oleh majlis hakim

Pengadilan Agama paling lambat tiga puluh hari setelah berkas atau surat

permohonan cerai talak didaftarkan di Kepaniteraan. Sesuai dengan Pasal 68 ayat

(1) UU Peradilan Agama bahwa pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan

oleh Majelis Hakim selambat lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau

surat permohonan cerai talak didaftarkan di Kepaniteraan. Berdasarkan Pasal 68

ayat (2) UU Peradilan Agama, pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan

dalam sidang tertutup untuk umum. Pemeriksaan perkara permohonan cerai talak

secara tertutup untuk umum menyimpangi asas umum pemeriksaan peradilan

yang harus dilakukan secara terbuka untuk umum. Asas pemeriksaan tertutup

untuk umum berlaku khusus untuk Peradilan Agama dalam perkara perceraian,

sesuai dengan Pasal 68 ayat (2) UU Peradilan Agama.

Berdasarkan pada Pasal 69 UU Peradilan Agama, pada sidang pertama

pemeriksaan perkara permohonan cerai talak, Majlis Hakim berusaha

mendamaikan kedua pihak suami dan istri. Dalam sidang perdamaian tersebut,
251

suami dan istri harus datang secara pribadi, kecuali apabila salah satu pihak

bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara

pribadi dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.

Apabila suami dan istri bertempat kediaman di luar negeri, maka suami pada

sidang perdamaian tersebut harus menghadap secara pribadi. Selama perkara

belum diputus dan perkara permohonan cera talak terus berlangsung, maka usaha

mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

Apabila tercapai perdamaian antara suami dan istri, maka tidak dapat

diajukan permohonan cerai talak baru berdasarkan alasan yang ada dan telah

diketahui oleh suami sebelum perdamaian tercapai. Kalau di kemudian hari pihak

suami akan mengajukan perkara permohonan perceraian yang baru, maka

alasannya harus baru, bukan alasan yang telah pernah disampaiakan pada

permohonan cerai terdahulu. Permohonan cerai talak oleh suami gugur apabila

suami atau istri meninggal dunia sebelum adanya putusan Pengadilan.

Dalam pemeriksaan perkara perceraian, setelah Pengadilan berkesimpulan

bahwa kedua belah pihak suami dan istri tidak mungkin lagi didamaikan dan telah

cukup alasan perceraian, maka oleh Pengadilan permohonan cerai talak tersebut

dapat dikabulkan. Terhadap putusan cerai oleh pengadilan, berlaku asas istri dapat

mengajukan upaya hukum banding. Setelah upaya hukum banding putus, pihak

istri dapat melakukan upaya hukum kasasi, sesuai Pasal 60 UU Peradilan Agama.

Setelah putusan pengadilan yang mengabulkan permohonan cerai talak

memperoleh kekuatan hukum tetap, Pengadilan menentukan hari sidang

penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami dan istri atau wakilnya untuk
252

menghadiri sidang tersebut. Dalam sidang itu suami atau wakilnya yang diberi

kuasa khusus dalam suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak,

mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh istri atau kuasanya. Jika istri telah

mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak datang menghadap sendiri

atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya dapat mengucapkan

ikrar talak tanpa hadirnya istri atau wakilnya. Jika suami dalam tenggang waktu

enam bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak, tidak datang

menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, meskipun telah mendapat

panggilan secara sah atau patut, maka gugurlah kekuatan putusan yang

mengabulkan permohonan cerai talak tersebut, dan perceraian tidak dapat

diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.


Setelah suami mengucapkan ikrar talak terhadap istrinya, lalu majlis

hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan putus

sejak ikrar talak diucapkan, dan penetapan tersebut tidak dapat dimintakan

banding atau kasasi. Sejak ikrar talak diucapkan oleh suami terhadap istrinya,

maka perkawinan suami-istri tersebut putus dengan segala akibat hukumnya.


Berdasarkan Pasal 72 UU Peradilan Agama, Panitera Pengadilan Agama

atau pejabat Pengadilan Agama yang ditunjuk berkewajiban selambat-lambatnya

tiga puluh hari setelah ikrar talak diucapkan oleh suami terhadap istrinya agar

mengirimkan satu helai salinan penetapan pengucapan ikrar talak kepada Pegawai

Pencatat Nikah yang wilayahnya meliputi di tempat kediaman suami dan dan istri

dan tempat perkawinan dilaksanakan, untuk mendaftarkan telah terjadinya

perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu. Apabila perkawinannya

dilangsungkan di luar negeri, maka satu helai salinan penetapan telah


253

diucapkannya ikrar talak disampaikan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah di

tempat didaftarkannya perkawinan suami-istri itu di Indonesia. Kemudian

Panitera Pengadilan Agama berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat

bukti cerai kepada para pihak selambat-lambatnya tujuh hari terhitung setelah

penetapan telah diucapkannya ikrar talak. Kelalaian pengiriman salinan penetapan

telah diucapkannya ikrar talak menjadi tanggung jawab Panitera yang

bersangkutan atau pejabat Pengadilan yang ditunjuk, apabila yang demikian itu

mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau istri atau keduanya.


2. Penyelesaian Perkara Cerai Talak Menurut Buku II

Sesuai dengan Pedoman Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II

Edisi Revisi 2013 Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung

R.I. prosedur penyelesaian perkara cerai talak pada pengadilan agama sebagai

berikut:

a) Cerai talak adalah proses cerai yang diajukan oleh pihak suami

yang petitumnya memohon kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah

Syar’iyah untuk diizinkan menjatuhkan talak terhadap isterinya.


b) Pada sidang pertama yang dihadiri oleh suami dan istri, pengadilan

berusaha mendamaikan. Apabila tidak terjadi perdamaian, maka majlis

hakim menunjuk mediator yang disepakati pihak-pihak yang berperkara

untuk mendamaikannya.
c) Apabila tidak terjadi perdamaian, proses sidang dilanjutkan dengan

membacakan permohonan pemohon (suami).


d) Setelah permohonan pemohon dibacakan, dilanjutkan dengan

pengajuan jawaban dari termohon (istri) terhadap permohonan pemohon.

Bisa diajukan secara lisan maupun tulisan.


254

e) Kemudian diajukan tanggapan dari pemohon terhadap jawaban

termohon (replik). Bisa diajukan secara lisan maupun tulisan.


f) Kemudian tanggapan dari termohon (duplik) terhadap replik

pemohon. Bisa diajukan secara lisan maupun tulisan.


g) Lalu dilanjutkan dengan pengajuan bukti-bukti dari pemohon,

kemudian pengajuan bukti-bukti dari termohon.


h) Setelah itu pengajuan kesimpulan dari pihak-pihak yang berperkara

(pemohon dan termohon).


i) Lalu majlis hakim melakukan musyawarah, dan terakhir majlis

hakim menjatuhkan putusan.


j) Selama berjalan proses persidangan, pengadilan wajib melakukan

upaya perdamaian pada setiap sidang berlangsung.


k) Pemeriksaan perkara dilakukan dalam sidang yang tertutup untuk

umum. Pengucapan terhadap putusan perkara dilakukan dalam sidang

yang terbuka untuk umum.


l) Bagi yang tidak puas terhadap putusan tingkat pertama, dapat

mengajukan upaya hukum banding ke pengadilan tinggi agama.


m) Bagi yang tidak puas terhadap putusan tingkat banding, dapat

mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.


n) Bagi yang tidak puas terhadap putusan tingkat kasasi, dapat

mengajukan upaya hukum peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.


o) Setelah putusan berkekuatan hukum tetap, lalu pihak suami

mengajukan permohonan untuk mengucapkan ikrar talak.


p) Suami dan istri dipanggil menghadap sidang; lalu atas kehadiran

suami, pengadilan mempersilakannya untuk mengucapkan ikrar talak

terhadap istrinya dengan talak satu.


q) Lalu dikeluarkan akta cerai untuk suami dan untuk istri.
r) Apabila dalam waktu 6 bulan suami tidak mengucapkan ikrar talak,

maka putusan pengadilan gugur demi hukum.


255

s) Jika suami masih berkehendak menceraikan sitrinya, maka harus

mengajukan perkara dari awal lagi.


3. Perkara Cerai Gugat

Kehendak perceraian yang diajukan oleh istri ke Pengadilan Agama

disebut dengan istilah cerai gugat. Pengajuan perkara perceraian oleh istri ini

diatur di dalam UU Peradilan Agama dari Pasal 73 sampai dengan Pasal 86.

Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya kepada Pengadilan yang

daerah hukumnya meliputi di tempat kediaman penggugat (istri), kecuali apabila

penggugat (istri) dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa

izin tergugat (suami), Pasal 73 ayat (1) UU Peradilan Agama. Jika penggugat

(istri) bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada

Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat (suami),

Pasal 73 ayat (2) UU Peradilan Agama. Jika penggugat (istri) dan tergugat (suami)

bertempat kediaman di luar negeri, maka gugatan perceraian diajukan kepada

Pengadilan Agaama yang daerah hukumnya meliputi di tempat perkawinan suami-

istri itu dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat, Pasal 73 ayat

(3) UU Peradilan Agama.

Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak (suami)

mendapat pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai

bukti, penggugat (istri) cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang

berwenang yang memutuskan perkara, disertai keterangan yang menyatakan

bahwa putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap, Pasal 74 UU

Peradilan Agama. Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa

tergugat (suami) mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
256

menjalankan kewajiban sebagai suami, maka majlis Hakim dapat memerintahkan

tergugat (suami) untuk memeriksakan diri kepada dokter untuk mendapatkan

kepastian mengenai penyakitnya, Pasal 75 UU Peradilan Agama.

Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq (pertengkaran

yang sangat sengit), maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar

keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat

dengan suami-istri, Pasal 76 ayat (1) UU Peradilan Agama. Setelah mendengar

keterangan saksi-saksi tentang sifat persengketaan antara suami dan istri, maka

Pengadilan dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing

pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakam (penengah), Pasal 76 ayat (2) UU

Peradilan Agama.

Selama berlangsungnya proses pemeriksaan gugatan perceraian, atas

permohonan penggugat (istri) atau tergugat (suami) atau berdasarkan

pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan

suami istri tersebut untuk tidak tinggal di dalam satu rumah, Pasal 77 UU

Peradilan Agama. Begitu juga, Pasal 78 UU Peradilan Agama, selama

berlangsungnya proses penyelesaian gugatan perceraian, atas permohonan

penggugat (istri), Pengadilan dapat menentukan, yaitu:

a. nafkah yang harus ditanggung oleh suami;


b. hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak;
c. hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang

menjadi hak bersama suami-istri atau barang-barang yang menjadi hak suami

atau barang-barang yang menjadi hak istri.


Pemeriksaan perkara gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis Hakim

selambat-lambatnya tiga puluh hari sejak berkas atau surat gugatan perceraian
257

didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama, Pasal 80 ayat (1) UU Peradilan

Agama. Pasal 80 ayat (2) UU Peradilan Agama menggariskan bahwa pemeriksaan

perkara gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup untuk umum. Namun

demikian, ketika Putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian diucapkan oleh

majlis hakim harus dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum, Pasal 81

ayat (1) UU Peradilan Agama. Apabila suami atau istri meninggal dunia sebelum

adanya putusan Pengadilan, maka gugatan perceraian gugur, sesuai Pasal 79 UU

Peradilan Agama.

Sebagaimana dalam perkara permohonan cerai talak, pada sidang pertama

pemeriksaan gugatan perceraian, majlis Hakim harus berusaha mendamaikan

kedua pihak suami dan istri, Pasal 82 ayat (1) UU Peradilan Agama. Dalam sidang

perdamaian tersebut, suami dan istri harus datang secara pribadi, kecuali apabila

salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat datang

menghadap secara pribadi dapat diwakili oleh kuasanya yang secara khusus

dikuasakan untuk itu, Pasal 82 ayat (2) UU Peradilan Agama. Apabila kedua pihak

suami dan istri bertempat kediaman di luar negeri, maka penggugat (istri) pada

sidang perdamaian tersebut harus menghadap secara pribadi ke hadapan sidang,

Pasal 82 ayat (3) UU Peradilan Agama. Usaha mendamaikan kedua pihak suami

dan istri dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan, selama perkara gugata

cerai belum diputuskan, Pasal 82 ayat (4) UU Peradilan Agama.

Apabila tercapai perdamaian di dalam perkara gugatan perceraian, maka

tidak dapat diajukan gugatan perceraian yang baru berdasarkan alasan yang ada

dan telah diketahui oleh penggugat (istri) sebelum perdamaian tercapai, Pasal 83
258

UU Peradilan Agama. Kalau pihak istri setelah terjadi proses damai, lalu suatu

ketika akan mengajukan perkara gugat cerai yang baru, maka harus memakai

alasan yang baru di dalam gugatannya, tidak boleh memakai alasan lama yang

sudah diajukan pada perkara terdahulu.

Suatu perceraian dinyatakan telah terjadi beserta segala akibat hukumnya

terhitung sejak putusan Pengadilan yang telah diucapkan di dalam sidang yang

terbuka untuk umum memperoleh kekuatan hukum tetap, Pasal 81 ayat (2) UU

Peradian Agama. Putusan memperoleh kekuatan hukum tetap jika semua jenjang

upaya hukum biasa telah dilalui dan telah mendapatkan putusan.

Panitera Pengadilan Agama atau pejabat Pengadilan yang ditunjuk

berkewajiban selambat-lambatnya tiga puluh hari sejak putusan gugat cerai

memperoleh kekuatan hukum tetap agar supaya mengirimkan satu helai salinan

putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap itu kepada

Pegawai Pencatat Nikah yang wilayahnya meliputi di tempat kediaman penggugat

(istri) dan tergugat (suami) dan tempat perkawinan dilangsungkan untuk

mendaftarkan telah terjadinya perceraian dalam sebuah daftar yang.disediakan

untuk itu. Apabila perkawinan dilangsungkan di luar negeri, maka satu helai

salinan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap disampaikan kepada Pegawai

Pencatat Nikah di tempat didaftarkannya perkawinan mereka di Indonesia.

Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai

kepada para pihak suami dan istri selambat-lambatnya tujuh hari terhitung sejak

putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. Kelalaian pengiriman salinan putusan

memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut menjadi tanggung jawab Panitera


259

yang bersangkutan atau pejabat Pengadilan yang ditunjuk, apabila yang demikian

itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau bekas istri atau keduanya.

Sama dengan di dalam perkara permohonan cerai talak, gugatan soal

penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama suami-istri dapat

diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian oleh istri ataupun sesudah

putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap. Begitu juga suami dapat

mengajukan gugatan balik (rekonpensi) terhadap soal penguasaan anak, nafkah

anak, nafkah istri, dan harta bersama suami-istri bersama-sama dengan gugatan

perceraian oleh istri, atau dapat diajukan sesudah putusan perceraian memperoleh

kekuatan hukum tetap.

4. Penyelesaian Perkara Cerai Gugat Menurut Buku II


Sesuai dengan Pedoman Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II

Edisi Revisi 2013 Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung

R.I. prosedur penyelesaian perkara cerai talak pada pengadilan agama sebagai

berikut:
a) Cerai gugat adalah perkara perceraian yang diajukan oleh pihak

isteri yang petitumnya memohon agar Pengadilan Agama atau Mahkamah

Syar’iyah memutuskan perkawinan Penggugat dengan Tergugat.


b) Pada sidang pertama yang dihadiri oleh istri dan suami sebagai

penggugat dan tergugat, pengadilan berusaha mendamaikan. Apabila tidak

terjadi perdamaian, maka majlis hakim menunjuk mediator yang

disepakati pihak-pihak yang berperkara untuk mendamaikannya.


c) Apabila tidak terjadi perdamaian, proses sidang dilanjutkan dengan

membacakan gugatan penggugat (istri).


260

d) Setelah gugatan penggugat dibacakan, dilanjutkan dengan

pengajuan jawaban dari tegugat (suami) terhadap gugatan penggugat. Bisa

diajukan secara lisan maupun tulisan.


e) Kemudian diajukan tanggapan dari penggugat terhadap jawaban

tergugat (replik). Bisa diajukan secara lisan maupun tulisan.


f) Kemudian tanggapan dari tergugat (duplik) terhadap replik

penggugat. Bisa diajukan secara lisan maupun tulisan.


g) Lalu dilanjutkan dengan pengajuan bukti-bukti dari penggugat,

kemudian pengajuan bukti-bukti dari tergugat.


h) Setelah itu pengajuan kesimpulan dari pihak-pihak yang berperkara

(penggugat dan tergugat).


i) Lalu majlis hakim melakukan musyawarah, dan terakhir majlis

hakim menjatuhkan putusan.


j) Selama berjalan proses persidangan, pengadilan wajib melakukan

upaya perdamaian pada setiap sidang berlangsung.


k) Pemeriksaan perkara dilakukan dalam sidang yang tertutup untuk

umum. Pengucapan terhadap putusan perkara dilakukan dalam sidang

yang terbuka untuk umum.


l) Bagi yang tidak puas terhadap putusan tingkat pertama, dapat

mengajukan upaya hukum banding ke pengadilan tinggi agama.


m) Bagi yang tidak puas terhadap putusan tingkat banding, dapat

mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.


n) Bagi yang tidak puas terhadap putusan tingkat kasasi, dapat

mengajukan upaya hukum peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.


o) Setelah putusan berkekuatan hukum tetap, pengadilan

mengeluarkan akta cerai untuk istri dan untuk suami.


5. Waktu Tunggu (iddah)

Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya (janda) berlaku waktu

tunggu atau iddah, kecuali qobla al-dukhul (dalam perkawinannya belum


261

melakukan “hubungan badan”). Waktu tunggu ini artinya bekas istri (janda) tidak

boleh menerima lamaran dan juga tidak boleh menikah lagi dari dan dengan laki-

laki lain. Setelah lepas atau lewat masa tunggu (iddah), maka ia boleh menerima

lamaran dan juga boleh menikah lagi dari dan dengan laki-laki lain. Apabila sudah

lewat masa iddah dan ia berkehendak kembali kepada bekas suaminya, maka ia

dan bekas suaminya harus dengan akad menikah lagi, bukan dengan akad rujuk

(kembali).

Berdasarkan pada Pasal 39 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

dan Pasal 153 Kompilasi Hukum Islam, masa atau lama waktu tunggu bagi janda

adalah:

a.Perkawinan Putus Karena Kematian


- Bagi wanita yang masih dan sudah tidak berdatang bulan

(haidl/menstruasi)
Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu bagi janda --

walaupun qobla al dukhul -- ditetapkan seratus tiga puluh hari.


- Bagi wanita yang sedang hamil
Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam

keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan, dan

sekurang-kurangnya seratus tiga puluh hari.


b. Perkawinan Putus Karena Perceraian
- Bagi wanita yang masih berdatang bulan (haidl/menstruasi)
Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi wanita

yang masih berdatang bulan (haidl/menstruasi) ditetapkan tiga kali suci

dengan sekurang-kurangnya sembilan puluh hari.


- Bagi wanita yang sudah tidak berdatang bulan (haidl/menstruasi)
Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi wanita

yang sudah tidak berdatang bulan (haidl/menstruasi) ditetapkan

sembilan puluh hari.


262

- Bagi wanita yang sedang hamil


Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedang janda tersebut

dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.


c.Perkawinan Putus Qobla Al-Dukhul
Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena

perceraian, sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum

pernah terjadi hubungan kelamin.


d. Awal Mulai Waktu Tungga (iddah)
- Suami Meninggal Dunia
Bagi wanita yang perkawinannya putus karena suaminya meninggal dunia,

tenggang waktu tunggu (iddah) nya dihitung sejak kematian suami.


- Akibat Cerai Talak
Bagi wanita yang perkawinannya putus karena cerai talak, tenggang waktu

tunggu (iddah) nya dihitung sejak suaminya mengikrarkan talak di

hadapan sidang Pengadilan Agama.


- Akibat Cerai Gugat
Bagi wanita yang perkawinannya putus karena cerai gugat, tenggang

waktu tunggu (iddah) nya dihitung sejak putusan Pengadilan Agama

memperoleh kekuatan hukum tetap.


6. Mut’ah dan Nafkah Iddah

Mut’ah adalah pemberian bekas suami kepada bekas isteri yang dijatuhi

talak berupa benda atau uang dan lainnya, Pasal 1 huruf (j) Kompilasi Hukum

Islam. Bekas suami wajib memberikan Mut`ah yang layak kepada bekas istri

dengan syarat: a. isteri yang ba`da al dukhul dan belum ditetapkan mahar/mas

kawin, b. perceraian itu atas kehendak suami (cerai talak), Pasal 158 Kompilasi

Hukum Islam.

Selain mengenai mut’ah, bekas suami yang bercerai karena talak wajib

memberi kepada bekas istrinya, yaitu:


263

a. nafkah, maskan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) kepada bekas isteri

selama dalam masa iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak bain, atau

nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil;


b. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separuh apabila

qobla al-dukhul;
c. Sebagai konsekwensi dari kewajiban bekas suami berupa nafkah, maskan

(tempat tinggal) dan kiswah (pakaian) kepada bekas isteri selama dalam masa

iddah, maka bekas isteri selama dalam waktu iddah, wajib menjaga dirinya,

tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.


2.2.3. Akibat Hukum Terjadinya Perceraian Terhadap Anak

Sebagaimana telah diuraikan di muka, berdasarkan Pasal 38 UU Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan itu putus karena: a. kematian, b.

perceraian, dan c. atas keputusan Pengadilan. Berdasarkan Pasal 41 UU Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan, akibat putusnya perkawinan karena perceraian

ialah:

a.Mengenai Pemeliharaan dan Pendidikan Anak


Pemeliharaan anak atau hadhonah adalah kegiatan mengasuh, memelihara

dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri (Pasal 1 huruf

(g) Kompilasi Hukum Islam); jika suami-istri bercerai, maka:


- Ibu dan bapak dari anak tetap berkewajiban memelihara dan

mendidik anak-anaknya;
- Pemeliharaan dan pendidikan anak oleh ibu dan bapaknya

bertujuan untuk kepentingan anak dan dilakukan dengan memperhatikan

untuk kebaikan anak-anaknya;


- Bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak antara ibu

dan bapaknya, maka Pengadilan yang memberi keputusannya, dalam hal

ini Pengadilan Agama. Pengadilan Agama ketika memutuskan mengenai


264

penguasaan anak harus mempetimbangkan dan memperhatikan untuk

kepentingan dan kebaikan anak.


b. Biaya Pemeliharaan dan Pendidikan Anak
- Bapak yang bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan

pendidikan yang diperlukan anak itu;


- Ibu ikut memikul beban biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan

anak atas dasar putusan Pengadilan, bilamana bapak dalam

kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut.


c.Kewajiban Bekas Suami untuk Bekas Isteri
- Bekas suami diwajibkan untuk memberikan biaya penghidupan

kepada bekas istri atas dasar putusan Pengadilan.


- Pengadilan dapat menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

Menurut Pasal 156 Kompilasi Hukum Islam, akibat hukum putusnya

perkawinan karena perceraian terhadap anak, ialah:

e. Mengenai Anak yang Belum Mumayyiz


Anak yang belum mumayyiz (anak yang belum dewasa dan belum cerdas

menentukan pilihan) berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya. Jika ibunya

telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:


1) wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
2) ayah;
3) wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4) saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5) wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
f. Mengenai Anak yang Sudah Mumayyiz
Anak yang sudah mumayyiz (anak yang belum dewasa, tetapi sudah cerdas

menentukan pilihan) berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah

atau ibunya.
g. Memindahkan Hak Hadhanah Kepada Kerabat Lain
Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain

yang mempunyai hak hadhanah pula, atas permintaann kerabat dari anak,

apabila pemegang hadhanah yang pertama ternyata tidak dapat menjamin


265

keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah

telah dicukupi.
h. Biaya Hadhanah dan Nafkah Anak
Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah

menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa

(usia 21 tahun) atau dapat mengurus diri sendiri.


i. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak antara

mantan suami dan mantan istri, maka yang menentukan adalah putusan

Pengadilan Agama.
j. Pengadilan Agama dapat pula menetapkan jumlah biaya dan dibebankan

kepada ayahnya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak

turut pada ayahnya, dengan mengingat dan mempertimbangkan

kemampuannya.
2.2.4. Akibat Hukum Terjadinya Perceraian Terhadap Harta

Benda Dalam Perkawinan

Sudah diuraikan di muka berdasarkan Pasal 35 ayat (1) dan (2) UU Nomor

1 Tahun 1974 bahwa ada dua jenis mengenai harta di dalam perkawinan: 1. harta

bersama, dan 2. harta bawaan. Harta bersama atau yang juga biasa disebut dengan

harta gono-gini adalah harta benda yang diperoleh selama dalam perkawinan.

Harta bawaan adalah harta yang diperoleh atau dipunyai oleh masing-masing

suami dan isteri dari sebelum adanya perkawinan, dan harta benda yang diperoleh

sebagai hadiah atau warisan.

Dijelaskan juga di muka menurut Yahya Harahap, berdasarkan pada Pasal

35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun

yurisprudensi yang terkait telah ditentukan mengenai harta yang dengan


266

sendirinya menjadi harta bersama di dalam perkawinan. Yahya Harahap membuat

batasan atau kualifikasi dalam ruang lingkup harta bersama, yaitu:

a. Harta yang dibeli selama perkawinan

Patokan pertama yang menentukan apakah suatu barang termasuk objek

harta bersama atau tidak, ditentukan pada saat pembeliannya. Setiap barang yang

dibeli selama perkawinan, maka harta tersebut menjadi objek harta bersama suami

isteri tanpa mempersoalkan:

- Apakah isteri atau suami yang membeli,


- Apakah harta terdaftar atas nama isteri atau suami,
- Di mana harta tersebut diletakkan.

Lain halnya jika uang yang digunakan untuk membeli barang berasal dari harta

pribadi suami atau isteri. Jika uang yang digunakan untuk membeli barang secara

murni berasal dari harta pribadi, maka barang yang dibeli itu tidak termasuk objek

harta bersama.

b. Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari

harta bersama.

Patokan berikut untuk menentukan suatu barang termasuk objek harta

bersama atau tidak adalah ditentukan berdasarkan asal-usul uang biaya pembelian

atau pembangunan barang yang bersangkutan, meskipun barang itu dibeli atau

dibangun sesudah terjadinya perceraian. Apa saja yang dibeli, jika uang

pembelinya berasal dari harta bersama, maka hasilnya adalah termasuk harta

bersama.

c. Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama masa perkawinan.


267

Patokan ini sejalan dengan kaidah hukum harta bersama, yakni semua

harta yang diperoleh selama perkawinan di luar dari harta pribadi, warisan dan

hibah dengan sendirinya menjadi harta bersama.

d. Penghasilan harta bersama dan harta bawaan

Penghasilan yang tumbuh dari harta bersama, sudah logis akan jatuh

menambah jumlah harta bersama. Tumbuhnya pun berasal dari harta bersama,

sudah semestinya hasil tersebut menjadi harta bersama. Tetapi bukan hanya yang

tumbuh dari harta bersama yang jatuh menjadi objek harta bersama di antara

suami isteri, penghasilan suami-isteri yang tumbuh dari harta pribadi pun akan

jatuh menjadi objek harta bersama. Sekalipun hak dan kepemilikan harta pribadi

mutlak di bawah penguasaan pemiliknya masing-masing, akan tetapi harta pribadi

tidak lepas fungsinya dari kepentingan keluarga.

Ketentuan ini berlaku sepanjang suami isteri tidak menentukan lain dalam

perjanjian perkawinan. Jika dalam perjanjian perkawinan tidak diatur mengenai

hasil yang timbul dari harta pribadi, maka seluruh hasil yang diperoleh dari harta

pribadi suami dan harta pribadi isteri jatuh menjadi objek harta bersama.

e. Segala penghasilan pribadi suami-istri.

Segala penghasilan pribadi suami isteri baik dari keuntungan yang

diperoleh dari perdagangan masing-masing ataupun hasil perolehan masing-

masing pribadi sebagai pegawai jatuh menjadi harta bersama suami isteri. Jadi

sepanjang mengenai penghasilan pribadi suami isteri tidak terjadi pemisahan

maka dengan sendirinya akan menjadi harta bersama. Demikianlah ruang lingkup

mengenai harta bersama dengan batasan-batasannya.


268

Sedangkan kualifikasi harta bawaan menurut Pasal 35 ayat (2) Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah:

a. Harta benda yang dibawa oleh masing-masing suami dan istri yang berasal

dari masa sebelum perkawinan terjadi.


b. Harta benda yang diperoleh masing-masing suami dan istri yang berasal

dari hadiah.
c. Harta benda yang diperoleh masing-masing suami dan istri yang berasal

dari warisan.

Tindakan terhadap harta bersama, baik oleh suami maupun istri, keduanya

dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak (Pasal 36 ayat (1) Undang-

undang Nomor 1 Tahun 1974). Sedangkan terhadap harta bawaan masing-masing,

suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum

mengenai harta bendanya (Pasal 36 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun

1974).

Berdasarkan pada Pasal 37 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,

bila perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama diatur menurut

hukumnya masing-masing. Perkawinan dapat putus karena: a. kematian, b.

perceraian, dan c. atas keputusan Pengadilan. Kalau berdasarkan pada Pasal 37

UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, bila perkawinan putus karena

perceraian, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Tetapi

di dalam peraktek, tidak hanya pada perkawinan yang putus karena perceraian,

tetapi juga dalam hal perkawinan putus karena kematian dan atas keputusan

Pengadilan selalu menimbulkan persoalan.


269

Persoalan muncul karena Pasal 37 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang

perkawinan tidak mengatur secara jelas bagaimana mengenai harta bersama

setelah perkawinan putus. Hanya disebutkan harta bersama diatur menurut

hukumnya masing-masing. Kata-kata hukumnya masing-masing merupakan

norma yang samar yang perlu penjelasan lebih lanjut dan sering menimbulkan

permasalahan berikutnya.

Di dalam penjelasan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan terhadap Pasal 37 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan

"hukumnya" masing-masing; ialah hukum agama, hukum adat dan hukum

lainnya. Kemudian menjadi permasalahan lagi mengenai hukum lainnya di dalam

penjelasan tersebut. Sedangkan mengenai hukum agama dan hukum adat yang

secara fokus ditunjuk masih juga mendatangkan perbedaan pendapat.

Sebagaimana telah diuraikan di muka berdasarkan Pasal 85, Pasal 86 dan

Pasal 87 Kompilasi Hukum Islam, harta di dalam perkawinan itu ada tiga macam,

yaitu:

1) Harta hak milik istri


- Harta bawaan istri;
- Harta yang berupa hadiah untuk istri;
- Harta yang berupa warisan untuk istri;
2) Harta hak milik suami
- Harta bawaan suami;
- Harta yang berupa hadiah untuk suami;
- Harta yang berupa warisan untuk suami;
3) Harta bersama hak milik suami dan istri, yaitu harta yang dihasilkan

selama dalam perkawinan.

Konsep harta di dalam perkawinan menurut Kompilasi hukum Islam

prinsipnya tidak ada percampuran antara harta hak milik suami dan harta hak
270

milik isteri karena adanya perkawinan. Setelah terjadi perkawinan, harta hak milik

isteri tetap menjadi hak milik isteri dan dikuasi sepenuhnya oleh istri, demikian

juga harta hak milik suami tetap menjadi hak milik suami dan dikuasi sepenuhnya

oleh suami. Harta hak milik suami dan harta hak milik suami isteri berada di

bawah penguasaan masing-masing, sepanjang suami dan istri tidak menentukan

lain dalam perjanjian perkawinan. Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya

untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing hak milik suami dan

hak milik istri.

Dengan adanya tiga macam harta di dalam perkawinan, harta hak milik

isteri, harta hak milik suami dan harta bersama yang menjadi hak milik istri dan

suami, suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri, maupun

harta sendiri. Begitu juga isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama,

harta suami, maupun harta sendiri. Ketentuan ini menggariskan bahwa pada

esensinya dalam memanfaatkan terhadap harta di dalam perkawinan, apakah itu

berupa harta hak milik pribadi maupun harta bersama, harus dengan musyawarah

dan persetujuan siami dan istri, karena keduanya tetap harus bertanggung jawab

terhadap pemanfaatan harta-harta itu.

Harta pribadi istri, harta pribadi suami dan harta bersama hak milik suami

dan istri, yaitu harta yang dihasilkan selama dalam perkawinan dapat berupa:

1) benda berwujud, berupa:


a. benda bergerak,
b. surat-surat berharga, dan
c. benda tidak bergerak.
2) benda tidak berwujud, berupa:
a. hak-hak, dan
b. kewajiban-kewajiban (hutang).
271

Harta bersama yang berupa benda berwujud dan hak-hak dapat dijadikan sebagai

barang jaminan oleh salah satu pihak suami atau istri atas persetujuan pihak

lainnya, atau oleh kedua-keduanya suami dan istri. Suami atau isteri tanpa

persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta

bersama.
Mengenai hutang, Pasal 93 Kompilasi Hukum Islam menggariskan bahwa

pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya

masing-masing. Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk

kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama; bila harta bersama tidak

mencukupi, maka dibebankan kepada harta suami; bila harta suami tidak ada atau

tidak mencukupi, maka dibebankan kepada harta isteri.


Dari Pasal 93 Kompilasi Hukum Islam ini, maka hutang di dalam

perkawinan dikatagorikan, yaitu:


1) hutang suami untuk pribadi;
2) hutang suami untuk kepentingan keluarga;
3) hutang istri untuk kepentingan pribadi;
4) hutang istri untuk kepentingan keluarga;
5) hutang suami dan istri secara bersama.
Dalam katagori hutang suami untuk kepentingan pribadi, maka

pertanggungjawabannya dibebankan kepada harta suami. Dalam katagori hutang

istri untuk kepentingan pribadi, maka pertanggungjawabannya dibebankan kepada

harta istri. Dalam katagori hutang suami atau istri untuk kepentingan keluarga,

atau hutang suami dan istri secara bersama, maka pertanggungjawabannya

dibebankan kepada harta bersama, kalau harta bersama tidak mencukupi,

dibebankan kepada harta suami; bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi,

maka dibebankan kepada harta isteri.


272

Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam mengatur mengenai harta bersama

dalam kaitannya suami beristri lebih seorang. Harta bersama dari perkawinan

seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah

dan berdiri sendiri. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang

mempunyai isteri lebih dari seorang dihitung pada saat berlangsungnya akad

perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat.

Berdasarkan pada Pasal 94 Kompilasi Hukum Islam ini, ketika seorang

suami menikah dengan istri kedua, maka hartanya yang diperoleh dengan istri

yang pertama merupakan harta bersama dengan istri yang pertama. Maksud dari

masing-masing terpisah dan berdiri sendiri adalah ketika harta bersama dengan

istri pertama berkembang, maka posisi harta perkembangannya tetap menjadi

harta bersama dengan istri pertama, meskipun posisi waktu perkembangan harta,

suami tersebut sudah menikah dengan istri yang kedua. Begitu juga harta yang

diperoleh oleh suami dengan istri yang kedua merupakan harta bersama dengan

istri yang kedua, meskipun keadaannya tetap beristri dengan istri yang pertama.

Begitulah keadaannya dengan istri yang ketiga dan juga dengan istri yang

keempat.

Apabila terjadi cerai mati (Pasal 96 Kompilasi Hukum Islam), maka

separuh dari harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama, dan

separuhnya menjadi harta peninggalan/harta warisan/tirkah dari yang meninggal

dunia. Separuh dari harta bersama menjadi hak milik dari pasangannya yang

hidup. Separuhnya menjadi harta warisan dari yang meninggal dunia dan harus

dibagi waris kepada ahli warisnya. Pasangan yang hidup lebih lama akan
273

mendapat lagi dari harta peninggalan dari yang meninggal dunia yang berupa

bagian sebagai ahli waris.

Berdasaarkan pada Pasal 97 Kompilasi hukum Islam, janda atau duda cerai

masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan

lain dalam perjanjian perkawinan. Apabila bercerai, isteri mendapat bagian

separuh dari harta bersama, suami juga mendapat bagian separuh dari harta

bersama tersebut. Pembagian separuh-separuh ini bisa disimpangi apabila terdapat

ketentuan di dalam perjanjian perkawinan.

2.3. Fungsi Mediasi dalam Proses Penyelesaian Perkara

pada Pengadilan Agama


Mediasi adalah satu dari metode alternatif penyelesaian

sengketa/alternative dispute resolution (ADR) yang memungkinkan untuk

dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa. Mediasi pada dasarnya adalah

sebuah negosiasi yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang netral. Tidak seperti

arbitrase, yang merupakan proses ADR yang agak mirip dengan peradilan,

mediasi tidak melibatkan pengambilan keputusan oleh pihak ketiga yang netral

itu. Pemilihan cara mediasi dapat dimulai oleh pihak-pihak yang bersengketa atau

karena diwajibkan oleh undang-undang atau pengadilan, atau ada dalam

kesepakatan kontrak.205
Dalam proses mediasi, para pihak yang bersengketa bekerja dengan pihak

ketiga yang netral, mediator, untuk menyelesaikan perselisihan mereka. Mediator

menfasilitasi penyelesaian sengketa para pihak dengan mengawasi pertukaran

informasi dan proses tawar-menawar. Mediator membantu para pihak menemukan

205
http://www.siddikilegaldick.blogspot.co.id/2014/12/mengapa-memilih - mediasi. html, diunduh
tanggal 30/1/2016 jam 1:57.
274

kesamaan dan kesepakatan dengan harapan yang realistis. Dia mungkin juga

menawarkan solusi kreatif dan membantu dalam menyusun penyelesaian akhir.

Peran mediator adalah untuk menafsirkan keprihatinan, menyampaikan informasi

antara para pihak, masalah frame, dan menentukan masalah.206


Mediasi biasanya proses sukarela, meskipun kadang-kadang atas dasar

peraturan atau perintah pengadilan. Yang pasti proses mediasi memerlukan

partisipasi dari pihak-pihak yang bersengketa. Mediasi bisa dalam bidang

perumahan, lapangan keluarga, dan juga bidang lingkungan serta lain-lainnya.


Berbeda dengan proses litigasi di mana pihak ketiga yang netral (biasanya

hakim) memberikan keputusan atas sengketa, tetapi dalam proses mediasi tidak

demikian. Dalam mediasi, para pihak dan mediator, mereka biasanya secara

bersama-sama mengontrol proses mediasi, memutuskan kapan dan di mana

mediasi berlangsung, siapa saja yang akan hadir, bagaimana mengenai biaya

mediasi, dan bagaimana mediator akan berinteraksi dengan para pihak.207


Jika resolusi tercapai, kesepakatan mediasi tersebut bisa dibuat secara lisan

atau tertulis; dan kontennya bervariasi sesuai dengan jenis mediasi. Biasanya

perjanjian mediasi berlaku mengikat, Tergugat tergantung pada hukum yang

berlaku di wilayah hukum masing-masing. Norma dasar dari kesepakatan mediasi

dianggap sebagai kontrak yang harus dilaksanakan.


Dalam beberapa kasus, hasil dari proses mediasi dimohonkan putusan

pada pengadilan, kemudian pengadilan memutuskan, dan pada akhirnya

kesepakatan mediasi menjadi keputusan pengadilan. Jika kesepakatan sudah

tercapai, bagaimanapun, para pihak dapat memutuskan untuk menuntut agar

206
Ibid.

207
Ibid.
275

kesepakatan dilaksanakan. Ketika sudah menjadi putusan pengadilan, maka

pengadilan dapat memaksakan terlaksananya kesepakatan mediasi itu.


Proses mediasi umumnya dianggap lebih cepat, murah, dan proseduralnya

sederhana dibanding proses litigasi formal. Hal ini memungkinkan para pihak

untuk fokus pada keadaan yang mendasari yang memberikan kontribusi pada

pihak-pihak yang bersengketa, bukan pada masalah hukum yang sempit. Proses

mediasi tidak fokus pada kebenaran atau kesalahan. Pertanyaan dari pihak mana

yang benar atau salah umumnya kurang penting dibandingkan tentang bagaimana

masalah dapat diselesaikan.208


Dalam setiap perkara yang diproses pada Pengadilan Agama secara

normatif diwajibkan untuk menempuh prosedur mediasi sesuai Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

(Perma No. 1 Tahun 2016). Ditetapkannya Perma No. 1 Tahun 2016 didasari oleh

pertimbangan:
1) Mediasi merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang lebih

cepat dan murah;


2) Mediasi dapat memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak

dalammenemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa

keadilan;
3) Mediasi diharapkan dapat menjadi salah satu instrumen efektif dalam

mengatasi penumpukan perkara di pengadilan.


Ketiga pertimbangan ini sesuai dengan asas hukum bahwa peradilan harus

dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan, dan asas kewajiban

mendamaikan pihak-pihak yang berperkara.


Pada dasarnya hukum dan pengadilan berfungsi sebagai sarana

penyelesaian sengketa untuk menciptakan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.

208
Ibid.
276

Sudikno Mertokusumo berpendapat, sebagaimana dikutip oleh I Made Sukadana,

bahwa di dalam menerapkan hukum, asas kepastian, asas keadilan dan asas

kemanfaatan haruslah dilaksanakan secara kompromi dengan cara menerapkan

ketiga-tiganya secara berimbang dan proporsional209.

Pada kenyataannya penyelesaian konflik persengketaan melalui

pengadilan tidak sebagaimana yang diharapkan, bahkan dibutuhkan waktu yang

sangat lama dan harus mengeluarkan biaya banyak. Setelah putus pada peradilan

tingkat pertama, masih ada upaya hukum banding, kasasi dan peninjauan kembali,

kemudian ada eksekusi.

Sungguhpun sudah putus, tetapi belum tentu memberi kepuasan kepada

semua pihak yang bersengketa. Sifat putusan pengadilan adalah memaksa.

Apabila salah satu pihak tidak mau menjalankan putusan pengadilan, maka

pengadilan dapat menjalankan eksekusi secara memaksakan putusan yang sudah

dijatuhkan itu.

Eksekusi putusan pun bisa berhasil bisa tidak. Apabila eksekusi putusan

berhasil, belum tentu menyesaikan masalah secara tuntas. Sering sesudahnya

timbul dendam antar keluarga, antar tetangga secara berkepanjangan, bahkan

turun temurun.

Dalam memutus perkara untuk menegakkan hukum dan kebenaran yang

mengandung keadilan, kemanfaatan dan kepastian, ada beberapa hal yang mesti

dipedomani, yaitu:210

1) Pengadilan harus menjamin fair trial and just trial.


209
I Made Sukadana, Mediasi Peradilan, 2012, Cetakan Ke-l, Jakarta, Prestasi Pustaka, hlm. 151.

210
Ibid., hlm. 156.
277

2) Pengadilan harus memberi putusan yang baik dan benar.


3) Pengadilan harus menjatuhkan putusan yang merefleksikan kepatutan.

Tetapi, meskipun telah melaksanakan tugas sebaik-baiknya sesuai doktrin

di atas, tetap saja pengadilan dan hakim menjadi sorotan publik. Menjawab

problema tersebut, alangkah tepatnya mengintegrasikan mediasi ke dalam proses

beracara di pengadilan, karena penyelesaiannya ditentukan oleh pihak-pihak yang

bersengketa melalui perdamaian, bukan oleh hakim. Penyelesaian secara damai

adalah cara yang paling baik sehingga tidak ada yang merasa dikalahkan dan

dirasakan adil oleh semuanya.

Sesuai dengan asas “pacta sunt servanda” (janji harus ditepati, dalam

pepatah Arab: janji adalah hutang), persetujuan atau kesepakatan perdamaian yang

dibuat adalah mengikat pihak-pihak. Berdasarkan pasal 1338 KUHPerdata,

persetujuan yang dibuat oleh pihak-pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi

pihak-pihak yang membuatnya. Hal ini sejalan dengan fungsi hukum untuk

menyelesaikan sengketa.

Agar supaya persetujuan perdamaian dapat dipaksakan atau bertitel

eksekutorial, maka diperlukan putusan perdamaian dari pengadilan yang memuat

amar yang berbunyi: “menghukum kedua pihak untuk patuh dan taat terhadap

persetujuan yang telah disepakati”. Karena putusan yang eksekutorial tersebut

dapat dipaksakan pelaksanaannya. Berdasarkan Pasal 130 ayat (3) HIR, putusan

perdamaian tidak dapat dimohonkan upaya hukum sehingga merupakan putusan

yang final dan mengikat (final and binding).

Berkenaan dengan perkara di Pengadilan Agama yang mayoritas

perkaranya merupakan sengketa di bidang perkawinan yaitu perceraian, maka


278

mediasi merupakan satu sarana yang dapat membantu mempercepat proses

selesainya perkara secara memuaskan kepada kedua belah pihak. Perkara

perceraian adalah masalah hati yang sering menimbulkan konflik berkepanjangan

dan bahkan bisa membuat jiwa melayang. Pada Pengadilan Agama Surabaya,

perkara masuk pada tahun 2012 seluruhnya berjumlah 7276 perkara; perkara cerai

yang diajukan isteri sebanyak 3605 perkara dan perkara cerai yang diajukan suami

sebanyak 1871 perkara211.

Berdasarkan praktek di persidangan, ada beberapa tipe dalam perkara

perceraian, yaitu:

1) Tipe pertama: perkara perceraian murni, suami dan isteri sama-sama

berkehendak untuk bercerai, dan tidak ada masalah lain selain perceraian;
2) Tipe kedua: perkara perceraian murni, tetapi salah satu pihak suami atau

istri tidak berkehendak untuk bercerai, bahkan sampai kapanpun tetap akan

mempertahankan mahligai rumah tangganya.


3) Tipe ketiga, perkara perceraian plus gugatan selain perceraian; kedua belah

pihak sama-sama berkehendak untuk bercerai, tetapi ada gugatan selain

perkara perceraian, seperti harta bersama, pengasuhan dan nafkah untuk

anak, dan lain sebagainya.


4) Tipe keempat, perkara perceraian plus gugatan selain perceraian; salah

satu pihak ingin bercerai tetapi salah satunya tidak ingin bercerai, juga ada

gugatan selain perkara perceraian, seperti harta bersama, pengasuhan dan

nafkah untuk anak, dan lain sebagainya.


Kelebihan proses mediasi di dalam perkara perceraian, karena proses

mediasi berjalan secara informal dan sifatnya tertutup. Hal ini sudah sesuai

dengan proses litigasi di dalam perkara perceraian yang harus tertutup untuk
211
Laporan Tahunan Pengadilan Agama Surabaya Tahun 2012.
279

umum demi menjaga kerahasian rumah tangga dari liputat umum. Proses informal

dalam mediasi sangat membantu dalam memperlancar proses mediasi perkara

perceraian karena sering suami dan istri hanya dapat mengemukakan isi hatinya

mengenai rumah tangganya dalam suasana yang rileks dan santai. Terintegrasinya

proses mediasi ke dalam proses beracara di Pengadilan Agama sangat membantu

proses berperkara secara litigasi.


Dari gambaran alur proses perkara yang harus dilalui oleh pihak-pihak

yang berperkara dalam skema litigasi di Pengadilan Agama, dengan proses

mediasi, maka proses berperkara menjadi semakin cepat, sederhana dan biaya

ringan. Dengan mediasi, apabila berhasil dengan perdamaian, maka jenjang yang

harus dilalui oleh pihak-pihak yang berperkara menjadi semakin singkat. Dengan

singkatnya proses yang dilalui, maka biaya yang mesti dikeluarkan pun semakin

kecil. Pikiran dan tenagapun setelah selesai dapat dipergunakan untuk urusan lain

yang lebih produktif, karena sengketa selesai dan hubungan kekeluargaan tetap

berjalan secara baik.


Proses mediasi yang diintegrasikan ke dalam proses hukum acara

berperkara di Pengadilan Agama berfungsi dapat memperkuat proses litigasi.

Dalam proses litigasi, selain lama dan biaya besar, sering penyelesaiannya tidak

tuntas dan masih menyisakan masalah di luar perkara yang sebenarnya. Karena

putusan dijatuhkan oleh majelis hakim dengan putusan kalah-menang, sehingga

yang kalah tetap menyimpan dendam yang berkepanjangan. Sedangkan dalam

proses mediasi, keputusan diambil sendiri oleh pihak-pihak yang berperkara

dengan cara kekeluargaan dan melibatkan partisipasi secara keseluruhan.

Keputusan melalui mediasi mempunyai tingkat keadilan yang relatif tinggi karena
280

keputusan itu atas dasar kehendak mereka sendiri yang yang bersifat win-win

solution (sama-sama menang), dan penyelesaiannya memberikan kepuasan

kepada semuanya. Dengan mengintegrasikan mediasi ke dalam proses peradilan,

maka keputusan peradilan menjadi lebih kuat, karena keputusan pengadilan

didasarkan atas dasar kemauan pihak-pihak yang bersengketa dan putusannya

win-win solution.
2.4. Prinsip Keadilan dalam Penyelesaian Perkara

Perceraian
John Rawls sangat memperhatikan terciptanya keadilan dalam masyarakat.

Dalam prinsip Rawls, masyarakat menerima dan mematuhi ketentuan dan

peraturan yang ada harus terjadi dengan sendirinya atas kesadaran yang muncul

dari dalam dirinya sendiri. Masyarakat yang baik adalah ketika mereka mematuhi

peraturan dengan sukarela tanpa ada paksaan atau terpaksa. Keadaan ini,

masyarakat yang mematuhi peraturan dengan sukarela, akan terjadi apabila

masyarakatnya sudah tertata dengan baik. Bukan hanya tertata dengan baik, tetapi

tatanan yang baik itu yang ada dalam masyarakat harus dilandasi oleh keadilan

sebagai fairness.
Konsep keadilan menurut Rawls, keadilan itu harus muncul sebagai hasil

dari proses yang fairness ketika memulai dan melakukan penciptaan tatanan

dalam masyarakat. Menurut Rawls, keadilan itu harus dimulai sejak dalam tahap

proses penciptaan tatanan. Ketika dalam tahap proses penciptaan tatanan itu

dilakukan secara fairness, maka akan terciptalah keadilan. Keadilan adalah

sebagai hasil akhir dari suatu proses yang dilakukan secara fairness. Dalam

masyarakat yang berkeadilan secara fairness ini, maka akan muncul masyarakat

yang mematuhi peraturan secara sukarela.


281

Keadaan dari proses yang fairness di dalam masyarakat itu menurut Rawls

adalah suatu kondisi dimana ada pendistribusian hak dan kewajiban kepada

anggota masyarakat secara seimbang. Seorang anggota masyarakat mendapatkan

hak dan kewajiban sesuai dengan kondisi orang itu dan dilakukan secara

seimbang. Tidak boleh ada seorang anggota masyarakat ketika ia mendapatkan

hak untuk dirinya, tetapi secara bersamaan ia memperoleh beban kehidupan yang

sangat berat bagi dirinya. Untuk mengukur keseimbangan antara hak dan

kewajiban bagi seseorang adalah orang yang menerima itu sendiri. Apabila

seseorang menerima manfaat dari hak dan beban kewajiban dengan senang hati

dan rasa gembira, maka berarti ia sudah mendapatkan pendistribusian hak dan

kewajiban secara seimbang.


Untuk menjamin terlaksananya pendistribusian hak dan kewajiban secara

seimbang di dalam masyarakat, menurut Rawls, harus ada kesepakatan yang fair

dari semua anggota masyarakat. Adanya kesepakatan yang fair inilah yang mampu

mendorong kerja sama sosial dengan baik secara sukarela. Kesepakatan yang fair

inilah menurut Rawls yang merupakan rumusan kunci untuk memahami dan

menciptakan keadilan.
Agar bisa sampai pada terciptanya kesepakatan yang fair di dalam

masyarakat, maka harus dibuat prosedur yang tidak memihak. Prosedur yang tidak

memihak ini dibangun untuk kepentingan bersama, dan baru bisa terwujud apabila

ada niat di dalam hati masing-masing anggota masyarakat untuk sama-sama

berbuat untuk kepentingan bersama. Tidak boleh ada untuk kepentingan satu

golongan atau kelompok, kemudian kelompok yang lain harus dikorbankan. Inilah

yang oleh Rawls disebut dengan istilah “keadilan prosedur murni”.


282

Supaya bisa melewati keadilan prosedur murni, maka seluruh anggota

masyarakat harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Keputusan diambil

secara bersama-sama setelah melakukan musyawarah. Yang berperan di dalam

musyawarah adalah semua anggota masyarakat. Tidak ada satu komponen

masyarakat yang lebih unggul dari elemen lainnya, semua sama rata dan sederajat

dalam pengambilan keputusan. Tidak ada pemihakan untuk golongan tertentu.

Setelah keputusan diambil, maka keputusan ini merupakan keputusan bersama.


Jadi menurut Rawls, untuk menghasilkan suatu tatanan yang adil harus

dimulai dan direncanakan sejak awal. Proses pertama adalah membuat

kesepakatan di dalam masyarakat secara fair untuk membangun prosedur yang

fair pula guna dapat mendistribusikan hak dan kewajiban kepada masyarakat

secara seimbang. Kesepakatan itu dibuat dengan tidak memihak kepada salah satu

komponen masyarakat, tetapi dilakukan murni untuk kepentingan secara

keseluruhan. Kalau kondisi ini sudah terjadi, maka – menurut Rawls – keadilan

akan tercipta. Keadilan sebagai hasil akhir harus dilakukan dengan proses yang

adil pula.
Untuk menilai keadilan secara paripurna – menurut Rawls – bukan hanya

melihat hasil akhirnya. Tetapi juga harus dinilai secara lengkap dari awal proses

dilakukan. Apabila proses dari awal dilakukan dengan tidak adil, meskipun pada

akhirnya tercipta keadilan, maka keadaan ini bukan keadilan yang sesungguhnya.

Keadaan ini harus dievaluasi supaya tercipta keadilan yang sesungguhnya.

Apabila dari awal sudah dilakukan proses secara adil, maka pada ujungnya pasti

akan dihasilkan suatu keadaan yang adil. Ketika tercipta yang demikian ini, maka

masyarakat akan menaati peraturan secara sukarela tanpa ada paksaan.


283

Rawls menekankan posisi pentingnya suatu prosedur yang fair demi

lahirnya keputusan-keputusan yang oleh setiap orang dapat diterima sebagai hal

yang adil. Adapun prosedur yang fair ini hanya bisa terpenuhi apabila terdapat

iklim musyawarah yang memungkinkan lahirnya keputusan yang mampu

menjamin distribusi yang fair atas hak dan kewajiban secara seimbang. Rawls

menegaskan pentingnya semua pihak, yang terlibat dalam proses musyawarah

untuk memilih prinsip-prinsip keadilan, bukan untuk kepentingan pribadi atau

golongan. Ketika semua pihak yang terlibat dalam proses musyawarah memilih

prinsip-prinsip keadilan, maka keadaan ini berarti berada dalam suatu kondisi

awal yang oleh Rawls disebutnya sebagai “posisi asali” (the original position).
Posisi asali adalah penting sebagai suatu prasyarat yang niscaya bagi

jaminan terciptanya kadilan sebagai fairness. Posisi asali merupakan syarat yang

harus ada untuk melahirkan sebuah konsep keadilan yang bertujuan pada

terjaminnya kepentingan semua pihak secara fair. Setiap orang harus bisa

berpartisipasi di dalam proses perumusan prinsip-prinsip keadilan supaya benar-

benar masuk dalam situasi ideal.


Posisi asali tersebut merupakan refleksi dari konsep moral Rawls tentang

person. Setiap manusia diakui dan diperlakukan sebagai person yang rasional,

bebas, dan setara (memiliki hak yang sama). Manusia sebagai person moral pada

dasarnya memiliki dua kemampuan moral, yaitu:


1) Kemampuan untuk mengerti dan bertindak berdasarkan rasa keadilan dan

dengan itu juga didorong untuk mengusahakan suatu kerja sama sosial.
2) Kemampuan untuk membentuk, merevisi, dan secara rasional

mengusahakan terwujudnya konsep yang baik.


284

Kedua kemampuan ini sebagai a sense of justice dan a sense of the good.

Kemampuan-kemampuan moral itu memberikan kemungkinan bagi manusia

sebagai person moral untuk bertindak secara rasional dan otonom dalam

menetapkan cara-cara dan tujuan-tujuan yang dianggap baik bagi dirinya di satu

sisi, serta bertindak berdasarkan prinsip-prinsip keadilan di lain sisi.

Dalam kondisi awal (posisi asali) sebagaimana dijelaskan di atas, menurut

Rawls semua pihak akan bersikap rasional; dan sebagai person yang rasional,

semua pihak akan lebih suka memilih prinsip keadilan yang ditawarkannya

daripada prinsip manfaat (utilitarianisme). Semua nilai-nilai sosial – kebebasan

dan kesempatan, pendapatan dan kekayaan, dan basis harga diri – harus

didistribusikan secara sama. Suatu distribusi yang tidak sama atas nilai-nilai sosial

tersebut hanya diperbolehkan apabila hal itu memang menguntungkan orang-

orang yang paling tidak beruntung.


Bertolak dari prinsip umum di atas, maka ada dua prinsip keadilan

menurut Rawls, yaitu:


1) Setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang

paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang.


2) Ketidak-samaan sosial ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga:
a. diharapkan memberi keuntungan bagi bagi orang-oang yang paling

tidak beruntung, dan


b. semua posisi dan jabatan terbuka bagi semua orang.
Supaya terjamin efektivitas dari kedua prinsip keadilan itu, keduanya

harus diatur dalam suatu tatanan yang disebutnya sebagai serial order atau lexical

order. Dengan pengaturan seperti ini, maka hak-hak serta kebebasan-kebebasan

dasar tidak bisa ditukar dengan keuntungan-keuntungan sosial dan ekonomi. Hal

ini berarti bahwa prinsip keadilan kedua hanya bisa mendapat tempat dan
285

diterapkan apabila prinsip keadilan pertama telah terpenuhi. Dengan kata lain,

penerapan dan pelaksanaan prinsip keadilan yang kedua tidak boleh bertentangan

dengan prinsip keadilan yang pertama. Oleh karena itu, hak-hak dan kebebasan-

kebebasan dasar dalam konsep keadilan khusus ini memiliki prioritas utama atas

keuntungan-keuntungan sosial dan ekonomi.


Pembatasan terhadap hak dan kebebasan hanya diperbolehkan sejauh hal

itu dilakukan demi melindungi dan mengamankan pelaksanaan kebebasan itu

sendiri. Itu berarti, perlu diterima suatu pengaturan secara kelembagaan atas

praktek-praktek kebebasan agar pelaksanaan kebebasan tidak membahayakan

kebebasan yang memang menjadi hak setiap orang.


Prinsip keadilan yang kedua menuntut bahwa ketidak-samaan dalam

pencapaian nilai-nilai sosial dan ekonomi diperbolehkan apabila tetap membuka

peluang bagi pihak lain untuk mendapatkan manfaat dalam hal yang sama. Oleh

karena itu, ketidak-samaan dalam perolehan nilai sosial dan ekonomi tidak harus

selalu dimengerti sebagai ketidak-adilan. Inti dari prinsip keadilan yang kedua

justru terletak pada sisi ini.


Prinsip “perbedaan” dimaksudkan untuk menjamin berlangsungnya suatu

masyarakat yang ideal di mana keterbukaan peluang yang sama (dijamin melalui

prinsip kesempatan yang adil) tidak akan menguntungkan sekelompok orang dan

pada saat yang sama merugikan kelompok orang lainnya. Oleh karena itu, adanya

prinsip “perbedaan” merupakan pengakuan dan sekaligus jaminan atas hak dari

kelompok yang lebih beruntung (the better off) untuk menikmati prospek hidup

yang lebih baik pula. Akan tetapi, dalam kombinasi dengan prinsip kesempatan

yang sama dan adil, prinsip itu juga menegaskan bahwa “kelebihan” berupa

prospek yang lebih baik itu hanya dapat dibenarkan apabila membawa dampak
286

berupa peningkatan prospek hidup bagi mereka yang kurang beruntung atau

paling tidak beruntung.


Konsepsi keadilan menurut Rawls memperlihatkan dukungan dan

pengakuan yang kuat akan hak dan kewajiban manusia, baik dalam bidang politik

maupun dalam bidang ekonomi. Secara khusus, konsepsi keadilan tersebut

menuntut hak pastisipasi yang sama bagi semua warga masyarakat dalam setiap

proses pengambilan keputusan politik dan ekonomi. Dengan demikian,

diharapkan bahwa seluruh struktur sosial dasar sungguh-sungguh mampu

menjamin kepentingan semua pihak.


Dalam kaitannya dengan kekuasaan kehakiman di Indonesia, mengenai

keadilan disebutkan dalam UUD 1945 pada Bab IX tentang Kekuasaan

Kehakiman, Pasal 24 ayat (1), bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan

yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan

keadilan. Di dalam UU Kekuasaan Kehakiman, mengenai keadilan disebutkan di

dalam pertimbangannya sebagai berkut:


Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang
merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;

Pada Pasal 1 angka 1 UU Keuasaan Kehakiman disebutkan mengenai

keadilan sebagai berikut:


Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.
287

Pada Bab II tentang Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Pasal 2

ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa peradilan dilakukan Demi

Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada ayat (2) nya disebutkan

bahwa peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila. Begitu juga di dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama dalam pertimbangannya disebutkan mengenai keadilan sebagai

berikut:
Menimbang: b. bahwa untuk mewujudkan tata kehidupan tersebut dan
menjamin persamaan kedudukan warga negara dalam hukum diperlukan
upaya untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian
hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat;

Pada UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan terhadap UU Nomor 7

Tahun 1989 dalam pertimbangannya disebutkan mengenai keadilan sebagai

berikut:
Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan
negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negarg Republik Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk rnewujudkan tata
kehidupan bangsa, negara, dan masyarakat yang tertib, bersih, makmur, dan
berkeadilan;
b. bahwa Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah
Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Pada UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan yang kedua terhadap

UU Nomor 7 Tahun 1989 dalam pertimbangannya disebutkan mengenai keadilan

sebagai berikut:

Menimbang: a. bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang


merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan sehingga perlu diwujudkan adanya lembaga peradilan yang bersih
dan berwibawa dalam memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.
288

Menurut Pasal 19 UU Kekuasaan Kehakiman, hakim adalah pejabat

negara yang melakukan kekuasaan kehakiman. Di dalam Pasal 11 ayat (1) UU

Peradilan Agama disebutkan, bahwa Hakim pengadilan adalah pejabat yang

melakukan tugas kekuasaan kehakiman. Karena hakim yang melakukan tugas

kekuasaan kehakiman, maka ia berkewajiban menyelenggarakan peradilan dengan

tugas menegakkan hukum dan keadilan. Hukum dan keadilan yang harus

ditegakkan oleh hakim adalah hukum dan keadilan yang berdasarkan pada

Pancasila (Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Kekuasaan Kehakiman) dan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penegakan hukum dan

keadilan oleh hakim adalah bertujuan untuk terselenggaranya Negara Hukum

Republik Indonesia. Sesuai dengan pertimbangan yang tercantum dalam UU

Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, hukum dan keadilan yang

ditegakkan oleh hakim harus mampu memberikan pengayoman kepada

masyarakat. Begitu juga pertimbangan yang tercantum dalam UU Nomor 50

Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, hukum dan keadilan yang ditegakkan oleh

hakim harus memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.

Intisari dari norma-norma yang tercantum di dalam UU Kekuasaan

Kehakiman dan UU Peradilan Agama, bahwa hakim sebagai pelaku kekuasaan

kehakiman dan penyelenggara badan peradilan bertugas menegakkan hukum dan

keadilan. Hukum dan keadilan tersebut harus mampu memberikan pengayoman

kepada masyarakat dan juga harus memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.

Tugas ini menempatkan hakim pada posisi yang sangat berat, karena selain harus

menegakkan hukum, ia juga harus menegakkan keadilan. Ia harus menerapkan


289

hukum yang mengandung nilai-nilai keadilan dan mencari keadilan di dalam

norma-norma hukum.

Karena itu undang-undang mewajibkan hakim untuk menggali, mengikuti,

dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat

(Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman). Keharusan ini ditujukan agar

putusan pengadilan mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat dan

juga memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Dalam hal ini artinya hakim

tidak boleh terpaku terhadap hukum yang tertulis saja yang berupa peraturan

perundang-undangan.

Asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman adalah peradilan dilakukan

dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 2 ayat (4) UU Kekuasaan

Kehakiman). Siapapun pencari keadilan pasti menginginkan perkaranya

diselesaikan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan. Untuk memenuhi asas ini,

maka hakim dituntut untuk melakukan pencarian dan pembaharuan supaya

senantiasa selaras dengan asas. Hakim juga dituntut memenuhi kewajiban yang

mana pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus

suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang

jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Di sinilah hakim dituntut untuk melakukan penemuan hukum atau

penciptaan hukum baru. Tetapi meskipun demikian, supaya hakim tidak

menyimpang dari rambu-rambu keadilan, maka hakim dipagari oleh undang-

undang agar mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.

Hakim juga diharuskan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi


290

segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana,

cepat, dan biaya ringan. Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang

tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.

Berkenaan dengan prinsip keadilan dalam proses penyelesaian perkara

perceraian pada pengadilan agama, sesuai dengan teori keadilan menurut Rawls,

bahwa keadilan itu harus dimulai dengan proses yang fair sejak awal dengan jalan

menentukan prosedur secara fair pula yang mana untuk menuju proses ini harus

dilakukan dengan pembicaraan bersama antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Bertitik tolak pada landasan teori ini pengadilan agama dapat melakukan

penciptaan hukum baru dalam proses penyelesaian perkara perceraian apabila

mendapati suatu kondisi tertentu yang berbeda. Proses penyelesaiannya tidak

harus sama dengan proses yang selama ini berjalan yang sudah dianggap

mempunyai kebenaran mutlak.

Sebenarnya kalau bertitik tolak pada UU Peradilan Agama, maka yang

menjadi prinsip pokok secara umum dalam perkara perceraian adalah perceraian

hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang

bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (Pasal

65 UU Peradilan Agama). Ada tiga prinsip menurut pasal ini mengenai perceraian

suami istri:

1) perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan.


2) pengadilan berusaha untuk mendamaikan.
3) pengadilan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
291

Jadi penekanannya di sini adalah usaha untuk mendamaikan, apabila setelah

diusahakan untuk berdamai ternyata tidak berhasil, maka perceraian dapat

dilakukan oleh pihak yang berkehendak untuk bercerai.

Memang pada Pasal 68 ayat (1) dan (2) serta Pasal 69 UU Peradilan

Agama ada kata-kata “pemeriksaan” dalam perkara permohonan cerai talak, dan

pada Pasal 80 ayat (1) dan (2) UU Peradilan Agama pada perkara cerai gugat.

Tetapi tidak ada ketentuan mengenai cara pemeriksaannya. Di dalam penjelasan

terhadap kedua pasal tersebut dinyatakan cukup jelas. Sehingga dengan demikian

dapat saja kata-kata “pemeriksaan” pada kedua pasal tersebut dikembalikan pada

makna umum dari perkara perceraian sesuai Pasal 65 UU Peradilan Agama, yaitu

usaha untuk mendamaikan.

Sebenarnya, kalau dipahami secara mendalam, ada kontradiksi antara

Pasal 70 (1) UU Peradilan Agama yang berbunyi, Pengadilan setelah

berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak mungkin lagi didamaikan dan telah

cukup alasan perceraian, maka Pengadilan menetapkan bahwa permohonan

tersebut dikabulkan; dan pada ayat (2) nya yang disebutkan, terhadap penetapan

sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), istri dapat mengajukan banding.

Seharusnya tidak perlu diadakan ketentuan banding kalau dikembalikan pada

prinsip umum perkara perceraian. Tidak ada gunanya upaya hukum banding

apabila upaya perdamaian sudah dilakukan dan tidak berhasil.

Upaya hukum banding dalam perkara perceraian menjadi semakin tidak

logis apabila dikaitkan dengan norma hukum Islam mengenai perceraian.

Perceraian menurut hukum Islam ada tiga kali: talak satu, talak dua dan talak tiga.
292

Sepanjang masih berada dalam area talak dua, maka suami-istri itu masih dalam

posisi aman untuk menjadi suami-istri lagi meskipun sudah bercerai, apabila

keduanya sama-sama berkehendak untuk membina rumah tangga kembali. Pada

talak satu dan talak dua, meskipun suami-istri itu sudah bercerai, tetapi masih

dalam posisi introspeksi. Apabila hasil dari introspeksi lebih baik kembali lagi,

maka keduanya dapat menikah kembali.

Perkara perceraian fokusnya adalah upaya mendamaikan adalah ketentuan

Pasal 76 ayat (1) UU Peradilan Agama, apabila gugatan perceraian didasarkan

atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar

keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat

dengan suami istri. Kemudian pada ayat (2) nya, pengadilan setelah mendengar

keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami istri dapat mengangkat

seorang atau lebih dari keluarga masing-masing pihak ataupun orang lain untuk

menjadi hakam. Ketentuan ini adalah upaya untuk mencari jalan damai suapaya

bisa rukun kembali, bukan dalam kontek mencari kebenaran dalil masing-masing

pihak suami-istri yang bertikai. Dan ketentuan ini merupakan pengejawantahan

dari prinsip umum mengenai perkara perceraian.

Proses penyelesaian perkara perceraian pada pengadilan agama dengan

penerapan aturan sebagaimana yang berlaku selama ini menimbulkan masalah

yang tidak terselesaikan. Di satu sisi pemeriksaan perkara perceraian dilakukan

dalam sidang yang tertutup untuk umum. Tetapi di sisi yang lain putusan

mengenai perkara perceraian harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk

umum. Pemeriksaan secara tertutup agar rahasia keluarga tidak terbuka ke umum.
293

Ketika putusannya diucapkan secara terbuka, maka rahasia keluarga itu menjadi

dibuka. Dalam hal ini terjadi kontradiksi yang selama ini tidak pernah dipikirkan

cara penyelesaiannya.

Kalau mau memakai dasar hukum yang legalistik formal, sebenarnya

perkara perceraian bisa dikembalikan kepada bunyi undang-undang tentang

peradilan agama. Pada Bab IV diatur mengenai hukum acara pada pengadilan

agama yang menentukan, bahwa Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan

dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku

pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur

secara khusus dalam Undang-undang ini (Pasal 54 UU Peradilan Agama). Hukum

Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah

Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan

Umum mengenai perkara selain perkara perceraian. Sedangkan mengenai perkara

perceraian telah diatur secara khusus di dalam undang-undang ini sehingga tidak

perlu memakai hukum acara dengan sepenuhnya sebagaimana pada peradilan

umum.

Kekhususan perkara perceraian pada pengadilan agama diatur mulai Pasal

65 sampai dengan Pasal 88 UU Peradilan Agama. Karena kehususan perkara

perceraian ini, maka penyelesaiannya harus kasuistik. Satu tipe perkara perceraian

tidak sama proses penyelesaiannya dengan satu tipe yang lainnya. Tetapi

penekanannya adalah upaya mendamaikan dari pengadilan. Apabila upaya

perdamaian tidak berhasil, maka perceraian dapat dilakukan oleh pihak yang

menghendaki, dan pengadilan patut mengabulkan permohonannya.


294

BAB III

PRINSIP KEADILAN DALAM PEMBAGIAN HARTA BERSAMA AKIBAT

PERCERAIAN PADA PENGADILAN AGAMA

3.1. Pengertian Harta Bersama

Istilah harta bersama dalam perkawinan dapat dipahami melalui ketentuan

Pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Untuk memahami konsep

mengenai harta bersama dalam perkawinan, maka harus merujuk kepada pasal

tersebut. Menurut Pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, ketentuan

mengenai harta perkawinan adalah:

1) harta yang diperoleh selama dalam perkawinan adalah menjadi harta

bersama.
2) harta bawaan masing-masing suami istri disebut harta pribadi yang

sepenuhnya berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang tidak

diperjanjikan selainnya.

Dari ketentuan tersebut, di dalam perkawinan dikenal adanya dua macam

harta, yaitu harta bersama dan harta pribadi masing-masing suami dan istri. Harta

bersama adalah harta yang diperoleh selama berada dalam ikatan perkawinan,
295

yaitu sejak adanya akad perkawinan dilangsungkan. Sedangkan harta pribadi

adalah harta yang ada atau diperoleh di luar masa dalam perkawinan.

Menurut Ismail Muhammad Syah mengenai harta yang diperoleh di dalam

perkawinan, yang dikutip oleh M. Yahya Harahap, S.H. 212, pencaharian bersama

yang dilakukan oleh suami dan istri semestinya masuk dalam pembahasan bab

Rub’u Mu’amalah. Tetapi kenyataannya pembahasannya tidak ada di dalam bab

itu. Menurutnya, mengapa di dalam kitab-kitab fiqh Islam tidak ditemukan

pembahasan mengenai penghasilan suami dan istri yang dilakukan secara

bersama, kemungkinan hal tersebut dikarenakan di dalam tradisi dan adat istiadat

orang Arab tidak dikenal adanya harta yang diperoleh secara bersama antara

suami dan istri.

Di dalam tradisi yang berlaku di Jazirah Arab yang kemudian – bisa jadi –

ini diadopsi oleh para ulama ke dalam paham yang dicantumkan di dalam kitab-

kitab fiqh, yang mempunyai kewajiban mencari nafkah adalah suami. Kewajiban

suami yang mengharuskan ia mencari penghasilan karena ia adalah berposisi

sebagai imam di dalam keluarga/rumah tangga yang harus memenuhi segala

kebutuhan rumah tangganya. Ia – suami – wajib memberi nafkah kepada istri dan

anaknya berupa pakaian, tempat tinggal dan lainnya yang menjadi kebutuhan

primer dan suplementer dalam rumah tangganya. Sementara istri mempunyai hak

untuk mendapatkan nafkah dari suami, selain itu istri juga berhak mendapatkan

212
M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Pustaka Kartini,
1993, Jakarta, hlm. 272.
296

dari suaminya berupa tempat tinggal, pakaian, perhiasan dan lain-lainnya yang

menjadi kebutuhan hidupnya.213

Maka dari itu, menurut Ismail Muhammad Syah, apabila suami dan istri

bersama-sama mempunyai usaha yang menimbulkan penghasilan, maka untuk

memahaminya dapat dicari dan ditelusuri melalui bab syarikah. Menurutnya, harta

yang diperolah selama di dalam perkawinan digolongkan ke dalam bentuk

syarikah abadan mufawadlah.214 Persepsi ini diambil olehnya berdasarkan

kenyataan kebanyakan keluarga di Indonesia suami dan istri bersama-sama

bekerja untuk menghasilkan provit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-

hari selama di dalam perkawinan.

Di dalam kitab-kitab fiqh klasik tidak ditemukan pembahasan mengenai

harta bersama yang diperoleh selama di dalam perkawinan suami dan istri. Yang

dikenal di dalam kitab-kitab fiqh, bahwa apabila istri bekerja, maka

penghasilannya menjadi hak pribadi. Meskipun demikian, ia – istri – tetap

mempunyai hak memperoleh nafkah dari suaminya dan hak-hak lainnya sebagai

istri. Istri, menurut tradisi yang berlaku di Jazirah Arab yang kemudian dijadikan

paham juga oleh sebagian umat Islam di Indonesia karena pengaruh fiqh Timur

213
Ibid., hlm. 273.

214
Syirkah berarti mencampurkan dua bagian atau lebih sedemikian rupa sehingga tidak dapat lagi
dibedakan satu bagian dengan bagian lainnya. Adapun menurut makna syariat, syirkah adalah
suatu akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha dengan
tujuan memperoleh keuntungan. Syirkah Abdan kesepakatan para pemilik usaha dan kerajinan
untuk menerima pekerjaan dan berserikat dalam hasilnya. Syirkah Mufawadhah menggabungkan
beberapa macam bentuk syirkah yang masing-masing dari syirkah itu dibolehkan secara terpisah,
beberapa macam bentuk syirkah itu dikombinasikan. Syirkah Abdan Mufawadhah adalah syirkah
antara yang satu pemilik modal dan yang satunya tidak mempunyai modal yang bentuk syirkahnya
menggabungkan atau mengkombinasikan dari berbagai macam syirkah.
https://nonkshe.wordpress.com/tag/maca-macam-syirkah/, diakses jam 8:53 tanggal 12/12/2017.
297

Tengah, tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah kepada keluarga.

Sedangkan suami ketika ia mencari penghasilan juga menjadi hak pribadinya,

bukan menjadi harta bersama suami dan istri. Tetapi suami mempunyai kewajiban

untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarga, suami, istri dan anak215.

Ditinjau dari sudut hukum adat mengenai harta yang diperoleh di dalam

masa perkawinan, menurut Vandijk, sebagaimana dikutip oleh M. Yahya

Harahap216, semua harta yang dimiliki yang diperoleh selama dalam waktu

perkawinan merupakan harta pencaharian bersama yang kemudian terkenal

dengan sebutan harta bersama atau harta syarikat. Begitu juga pendapat yang

dikemukakan oleh B. Ter Haar, bahwa harta yang diperoleh suami atau istri

selama di dalam perkawinan merupakan harta bersama suami dan istri. 217

Pengertian harta bersama secara hukum adat ini sudah diakui keberadaannya di

seluruh daerah di Indonesia yang menerapkan sistem kekeluargaan yang berbeda-

beda.218

Satu contohnya – yang dikutip oleh M. Yahya Hayahap – putusan

Pengadilan Tinggi Medan tanggal 20 Desember 1971 Nomor 389/1971 yang

dikuatkan oleh Mahkamah Agung dengan putusan tanggal 23 Mei 1973 Nomor

1031 K/Sip/1972. Putusan Pengadilan Tinggi Medan tersebut membenarkan

adanya harta syarikat/harta bersama yang digugat oleh seorang istri yang berasal

215
Ibid.

216
Ibid., hlm. 273-274.

217
Adib Bahari, S.H., S.HI., Tata Gugatan Cerai, Pembagian Harta Gono-Gini dan Hak Asuh
Anak, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2016, hlm. 143-145.

218
Ibid.
298

dari Tapanuli Selatan yang di daerah tersebut tidak mengenal adanya bentuk harta

pencaharian bersama di dalam perkawinan. Pertimbangan Pengadilan Tinggi

Medan menyebutkan, walaupun bentuk harta pencaharian bersama atau harta

bersama tidak dikenal di dalam Hukum Adat Tapanuli Selatan dan hukum Islam,

tetapi sesuai dengan perkembangan kesadaran hukum masyarakat Indonesia,

dipandang adil harta yang diperoleh suami atau istri selama dalam perkawinan

ditentukan sebagai harta syarikat atau harta bersama yang harus dibagi dua antara

suami dan istri apabila keduanya bercerai. Di dalam putusan Mahkamah Agung

tanggal 7 Nopember 1956 Nomor 51 K/Sip/1956 juga menegaskan ketentuan

yang sama sehingga menjadi kaidah hukum, yaitu:

“Menurut Hukum Adat, semua harta yang diperoleh selama berlangsungnya


perkawinan, termasuk dalam gono-gini, meskipun mungkin hasil
kegiatannya suami sendiri”219

Menurut Pasal 35 ayat (1) dan juga Pasal 36 ayat (1) Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974, harta yang diperoleh selama dalam ikatan suami istri

disebut dengan istilah harta bersama. Di berbagai daerah yang menganut sistem

hukum adat yang berbeda-beda, istilah yang dipakai untuk menjelaskan mengenai

harta yang diperoleh suami istri selama dalam masa perkawinan disebut dengan

istilah yang berbeda-beda pula. Pada masyarakat Aceh dipergunakan sebutan

dengan istilah harta seharkat. Dalam masyarakat Melayu dipakai istilah harta

syarikat. Masyarakat Jawa memakai istilah harta gono-gini. Penyebutan dengan

berbagai macam istlah itu sesuai dengan daerahnya masing-masing diperuntukkan

bagi sebuah konsep harta atau penghasilan yang diperoleh oleh suami istri selama

219
Ibid.
299

dalam masa perkawinan. Kemudian berbagai macam penyebutan itu direduksi ke

dalam bentuk penyebutan oleh Pasal 35 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

menjadi harta bersama, yang kemudian di dalam masyarakat juga disebut dengan

istilah harta pencaharian bersama atau gono-gini. Istilah penyebutan itu mengarah

pada harta yang ada atau didapat selama dalam perkawinan masih berlangsung

tanpa mempersoalkan siapa yang mencari, apakah suami atau istri220.

3.2. Masa Terbentuknya Harta Bersama


Sesuai dengan Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974,

bahwa: harta benda yang diperoleh selama dalam perkawinan menjadi harta

bersama. Artinya – menurut M. Yahya Harahap – harta bersama terbentuk sejak

saat terjadinya akad perkawinan sampai perkawinan bubar221. Setelah akad nikah

terjadi atau setelah ijab diucapkan oleh wali calon istri dan kabul oleh calon

suami, maka sejak saat itu dimulailah masa terbentuknya harta bersama. Masa

akhir dari terbentuknya harta bersama ialah setelah perkawinan berakhir atau

putus, yaitu ketika terjadi perceraian atau meninggalnya suami atau istri 222.

Menurut Pasal 38 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan itu putus

karena kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan. Sehingga dengan

demikian perkawinan itu berakhir setelah terjadi perceraian, atau suami/istri

meninggal dunia, atau berakhir karena putusan pengadilan. Maka dengan

berakhirnya masa perkawinan, berakhir pula terbentuknya harta bersama.


M. Yahya Harahap mengutip putusan Mahkamah Agung tanggal 9

Nopember 1976 Nomor 1448 K/Sip/1974 yang menyebutkan bahwa sejak


220
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 274-275

221
Ibid.

222
Ibid., hlm. 275-278.
300

berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, maka semua harta benda yang

diperoleh selama dalam masa perkawinan menjadi harta bersama, sehingga

dengan demikian ketika terjadi perceraian, maka harta bersama tersebut dibagi

sama rata antara bekas suami dan bekas istri. Menurutnya, kaidah yang

menentukan semua harta yang diperoleh selama masa dalam perkawinan menjadi

harta bersama sudah dimulai sejak sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974. Yaitu tercantum dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 7

Nopember 1956 Nomor 51 K/Sip/1956 yang menegaskan bahwa segala harta

yang diperoleh selama dalam masa perkawinan menjadi wujud harta bersama

antara suami dan istri.


Harta bersama itu terbentuk tanpa mempersoalkan siapa yang mencari. M.

Yahya Harahap mengutip putusan Mahkamah Agung tanggal 19 Pebruari 1976

Nomor 985 K/Sip/1973 yang memberikan rumusan mengenai semua harta

kekayaan yang diperoleh suami istri selama dalam masa perkawinan dinyatakan

sebagai harta pendapatan bersama, sekalipun harta itu semata-mata hasil

pencaharian suami saja atau istri saja. Dalam rumah tangga, suami saja yang

bekerja, maka hasilnya adalah harta bersama. Begitu juga istri saja yang bekerja

hasilnya merupakan harta bersama223.


Menurut M. Yahya Harahap, akhirnya pengertian harta bersama antara

suami istri menjadi sederhana, yaitu harta yang diperoleh selama masa

perkawinan berlangsung. Tidak ada syarat bahwa harta bersama itu dihasilkan dari

hasil kerja suami dan istri. Cukup salah satu pihak saja yang bekerja atau

223
Ibid.
301

berpenghasilan, suami atau istri, maka harta yang dihasilkannya menjadi harta

bersama224.
Pasal 35 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan

terbentuknya harta bersama secara umum, tidak terkait dengan siapa yang bekerja.

Rumusan ini juga sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung yang sudah ada

sebelum Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Begitu juga rumusan Pasal 85

Kompilasi Hukum Islam sama persis dengan rumusan Undang-undang Nomor 1

Tahun 1974.
3.3. Batasan-batasan Harta Bersama

Sebagaimana dikemukakan di muka mengenai pengertian dan

terbentuknya harta bersama sesuai dengan Pasal 35 ayat (1) Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 yaitu harta yang diperoleh selama masa dalam perkawinan.

Tetapi kenyataannya tidak mudah menerapkan konsep itu ke dalam kehidupan

faktual. Karena itu menurut M. Yahya Harahap perlu dilakukan pembatasan-

pembatasan sehingga jelas dan mudah penerapannya. Referensi awal dari

pembahasan harta bersama secara panjang lebar dan mendalam dilakukan oleh M.

Yahya Harahap, dahulu menjabat sebagai hakim agung. Menurutnya ruang

lingkup harta bersama itu meliputi, yaitu:225

1. Harta yang dibeli selama perkawinan.


Semua barang yang dibeli selama dalam masa perkawinan, maka harta

tersebut menjadi objek harta bersama suami istri, tanpa mempersoalkan siapa

yang membeli, apakah suami atau istri dan terdaftar atas nama siapa harta itu.

Suami yang membeli barang atas nama suami di dalam masa perkawinan, maka

224
Adib Bahari, S.H., S.HI., Op. Cit.

225
Ibid., hlm. 278-282.
302

harta ini termasuk objek harta bersama, begitu juga sebaliknya, dan terletak di

mana saja harta itu. Di dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 5 Mei 1971

Nomor 803 K/Sip/1970 dijelaskan bahwa harta yang dibeli suami atau istri di

tempat yang jauh dari tempat tinggal mereka termasuk harta bersama suami-isteri

jika pembelian itu dilakukan dalam masa perkawinan.


Tetapi tidak termasuk ke dalam harta bersama, meskipun harta itu dibeli

dalam waktu perkawinan, apabila uang yang dijadikan alat pembeli itu murni

berasal dari milik pribadi. Contohnya uang yang dibuat membeli barang adalah

murni berasal dari tabungan yang dihasilkan ketika belum menjadi suami istri,

maka barang tersebut bukan termasuk ke dalam harta bersama. Di dalam putusan

Mahkamah Agung tanggal 16 Desember 1975 Nomor 151 K/Sip/1974

menyatakan bahwa karena harta yang disengketakan berasal dari harta bawaan

istri, meskipun dibeli dalam masa perkawinan, tidak termasuk ke dalam katagori

harta bersama. Umpama istri membeli barang dalam masa perkawinan, uang yang

dijadikan pembeli berasal dari menjual harta bawaan dari sebelum perkawinan,

maka barang yang dibeli dalam masa perkawinan ini bukanlah termasuk ke dalam

batasan harta bersama. Dalam contoh kasus ini berlaku batasan sebagaimana

ditentukan dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang

berlaku asas: harta pribadi istri tetap menjadi hak milik istri dan dikuasai

sepenuhnya olehnya, demikian juga sebaliknya.


2. Harta yang dibeli dan dibangun sesudah masa perkawinan / sesudah

bercerai yang dibiayai dari harta bersama.

Batasan berikutnya untuk menentukan harta bersama adalah sumber atau

asal usul uang yang dijadikan biaya pembelian atau pembangunan. Menurut
303

putusan Mahkamah Agung tanggal 5 Mei 1970 Nomor 803 K/Sip/1070 yang

menentukan meskipun harta itu dibeli atau dibangun setelah masa perkawinan

atau setelah suami istri bercerai, tetapi dibeli atau dibangun dengan biaya atau

uang dari hasil harta bersama, maka harta tersebut termasuk ke dalam katagori

harta bersama. Jadi harus dinilai secara akal sehat mengenai harta yang dibeli atau

dibangun setelah masa perkawinan atau sesudah bercerai. Harus ditelusuri aliran

dananya, apabila berasal dari harta bersama, maka termasuk ke dalam pengertian

harta bersama.

3. Penghasilan yang berasal dari harta bersama dan harta bawaan.

Harta bersama yang produktif yang meskipun suami istri telah bercerai,

maka produksi dari harta bersama itu dan hasilnya yang berasal dari harta bersama

termasuk kedalam katagori harta bersama. Begitu juga harta pribadi yang tumbuh

dan berkembang kemudian menghasilkan di dalam masa perkawinan, maka

tumbuh kembangnya ini termasuk ke dalam katagori harta bersama. Harta pribadi

yang menjadi pokok tetap berupa harta pribadi. Tetapi hasilnya selama masa

perkawinan yang berasal dari harta pribadi merupakan harta bersama. Seperti

suami sebelum kawin mempunyai kebun kelapa sawit senilai 100 milyar. Setelah

kawin, kebun itu terus berkembang. Maka perkembangan dari kebun itu

merupakan harta bersama. Tetapi pokok modal yang berupa harta pribadi yang

berupa kebun senilai 100 milyar tetap sebagai harta pribadi.

4. Penghasilan suami-istri
Suami atau istri yang berpenghasilan dalam masa perkawinan, maka

semua penghasilannya menjadi harta bersama. Sesuai dengan putusan Mahkamah

Agung tanggal 11 Maret 1971 Nomor 454 K/Sip/1970 yang menentukan bahwa
304

segala penghasilan pribadi suami istri, baik dari keuntungan yang diperoleh dari

perdagangan masing-masing atau pun hasil dari perolehan masing-masing pribadi

sebagai pegawai jatuh menjadi harta bersama suami istri. Sepanjang tidak

diperjanjikan adanya pemisahan harta, maka semua penghasilan pribadi suami dan

istri selama perkawinan yang menjalani profesi sebagai apa pun hartanya menjadi

harta bersama.
Terhadap konsep ini bahwa semua penghasilan suami atau istri menjadi

harta bersama peneliti melakukan kritisi melalui: 1. penafsiran penafsiran

sistematis, 2. penafasiran sosiologis, dan 3. penafsiran ekstensif terhadap Pasal

35 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan. Munculnya konsep bahwa semua penghasilan suami atau istri

menjadi harta bersama karena memahami Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun

1974 tentang Perkawinan berdiri sendiri dan terpisah dari Pasal 34 ayat (1) dan (2)

UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pendapat peneliti berbeda dengan

konsep bahwa semua penghasilan suami atau istri menjadi harta bersama melalui:

1. penafsiran penafsiran sistematis, 2. penafasiran sosiologis, dan 3. penafsiran

ekstensif terhadap Pasal 35 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (1) dan (2) UU Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam pengertian yang saling mengait dan dalam

kontek satu kesatuan yang tidak terpisahkan.


Memahami Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan secara berdiri sendiri akan menimbulkan persoalan secara implikatif

terhadap pemaknaan pada Pasal 34 ayat (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan. Secara struktur pasal per pasal keduanya memang terpisah
305

dan berdiri sendiri. Tetapi menurut peneliti secara substantif pemaknaan keduanya

merupakan ketentuan yang berada dalam satu kesatuan.


1) Penafsiran sistematis
Penafsiran sistematis yaitu penafsiran hukum yang didasarkan atas

sistematika pengaturan hukum dalam hubungannya antar pasal atau ayat dari

peraturan hukum itu sendiri dalam mengatur masalahnya masing-masing. Dalam

kaitannya dengan pemaknaan mengenai harta bersama ini peneliti mengaitkan

Pasal 34 ayat (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang

membahas pengaturan Bab VI mengenai Hak dan Kewajiban Suami-Isteri dengan

Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang membahas

Bab VII mengenai Harta Benda dalam Perkawinan. Secara tematik kedua bab itu

berbeda, tetapi dengan penafsiran sistematis keduanya dapat dihubungkan menjadi

satu kesatuan makna.


2) Penafasiran sosiologis
Penafsiran sosiologis adalah penafsiran hukum yang didasarkan atas

situasi dan kondisi yang dihadapi dengan tujuan untuk sedapat mungkin berusaha

untuk menyelaraskan peraturan-peraturan hukum yang sudah ada dengan bidang

pengaturannya berikut segala masalah dan persoalan yang berkaitan di dalamnya,

yang pada dasarnya merupakan masalah baru bagi penerapan peraturan hukum

yang bersangkutan. Contoh penafsiran sosiologis adalah orang yang dengan

sengaja melakukan penimbunan barang-barang kebutuhan pokok masyarakat

secara sosiologis dapat ditafsirkan sebagai telah melakukan tindak pidana

ekonomi, yakni tindak pidana kejahatan untuk mengacaukan perekonomian

masyarakat, meskipun tujuan orang itu hanyalah untuk mencari laba yang sebesar-

besarnya untuk dirinya sendiri.


3) Penafsiran ekstensif
306

Penafsiran ekstensif yaitu suatu penafsiran hukum yang bersifat

memperluas isi pengertian suatu ketentuan hukum dengan maksud agar dengan

perluasan tersebut, hal-hal yang tadinya tidak termasuk dalam ketentuan hukum

tersebut sedangkan ketentuan hukum lainnya pun belum ada yang mengaturnya,

dapat dicakup oleh ketentuan hukum yang diperluas itu. Akibatnya masalah-

masalah yang ditimbulkan oleh hal-hal tersebut dapat dipecahkan dengan

menggunakan ketentuan hukum yang isinya telah diperluas melalui penafsiran ini,

sehingga tidak perlu lagi repot-repot disusun suatu ketentuan hukum yang baru

lagi, yang khusus dibuat hanya untuk mengatur hal-hal baru yang itu saja. Contoh

penafsiran ekstensi adalah Pasal 100 KUHP yang memperluas pengertian “kunci

palsu” dengan menegaskan: “yang masuk sebutan kunci palsu yaitu sekalian

perkakas yang gunanya tidak untuk pembuka kunci itu”.


Dengan penafsiran sistematis, untuk mengartikan Pasal 35 ayat (1) UU

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan harus dihubungkan dengan Pasal

34 ayat (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang

pengartiannya, bahwa:
a. Suami wajib:
(1) melindungi isterinya; dan
(2) memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga,

sesuai dengan kemampuannya.


b. Isteri wajib:
- mengatur urusan rumah-tangga, sebaik-baiknya.

Kewajiban suami dalam berumahtangga, pertama adalah melindungi

istrinya. Definisi 'melindungi' adalah: 1. menutupi supaya tidak terlihat atau


307

tampak, tidak kena panas, angin, atau udara dingin, 2. menjaga, merawat, 3.

menyelamatkan (memberi pertolongan) supaya terhindar dari mara bahaya.226

Pengertian yang lain dari ‘melindung’ adalah untuk menutupi atau

melindungi dari bahaya atau cedera; untuk mempertahankan; untuk menjaga;

untuk melestarikan keselamatan.227 "Melindungi" diterjemahkan ke dalam bahasa

Inggris adalah: 1. “to preserve” yang berarti: mengawetkan, mempertahankan,

memelihara, menjaga; 2. “to protect” yang berarti membela, menjaga,

memelihara.228

Sebagai konsekwensi dari kewajiban suami yang harus melindungi

istrinya, maka suami wajib memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah

tangga, sesuai dengan kemampuannya. Segala keperluan hidup berumah tangga

harus dipenuhi oleh suami, sebagai konsekwensi dari perlindungan suami

terhadap istrinya. Tidak ada pengecualian mengenai segala keperluan hidup

berumah tangga ini.

Sementara istri berkewajiban mengatur urusan rumah-tangga, sebaik-

baiknya. Kewajiban istri kaitannya dengan rumah tangga hanya satu, yaitu

mengatur agar rumah tangganya menjadi teratur. Yang berlebih diatur agar

kelebihannya disimpan sebaik-baiknya untuk keperluan keluarga. Yang hanya

secukupnya diatur agar tidak kekurangan. Yang kekurangan diatur agar jangan

sampai kehidupan rumah tangganya berantakan. Karena itu bagi yang kekurangan
226
http://m.artikata.com/arti-370773-melindungi.html, diakses jam 12:34 tanggal 10/12/2017.

227
http://kamus-internasional.com/definitions/?indonesian_word=protect, diakses jam 12:34
tanggal 10/12/2017.

228
https://www.babla.co.id/bahasa-indonesia-bahasa-inggris/melindungi, diakses jam 12:34
tanggal 10/12/2017.
308

dan secukupnya istri membantu untuk mencari tambahan, yang kurang menjadi

cukup dan yang secukupnya menjadi berlebih.

Ketika hendak mengartikan Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan mengenai harta bersama, maka harus dikaitkan dalam kontek

suami wajib melindungi istrinya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 34 ayat (1)

UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Jadi yang dimaksud dengan “harta

benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama” harus dimaknai

dalam keadaan “suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu

keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya”. Dengan

demikian maka pemaknaan harta bersama harus menghargai kewajiban isteri yang

harus mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya. Maka ketika menentukan

bahwa semua penghasilan suami dan istri seluruhnya menjadi harta bersama itu

melanggar prinsip melindungi suami terhadap istrinya sebagaimana disebutkan di

dalam Pasal 34 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang

berarti membela, menjaga, memelihara, dan menyelamatkan (memberi

pertolongan) supaya terhindar dari mara bahaya. Kalau istri bekerja dan

berpenghasilan, lalu pengahasilannya dimasukkan ke dalam katagori harta

bersama, maka tidak sejalan dengan prinsip melindungi dari suami terhadap

istrinya ini.

Menurut hemat peneliti berdasrkan penafsiran sistimatis ini, maka yang

pantas dikatagorikan sebagai harta bersama adalah penghasilan suami. Sementara

penghasilan dari istri tidak dapat dikatagorikan sebagai harta bersama. Sehingga
309

seandainya istri bekerja dan berpenghasilan, maka penghasilannya menjadi harta

pribadi yang sepenuhnya berada di dalam pengelolaannya.

Melalui penafsiran sosiologis, di dalam masyarakat terkenal dengan

ungkapan: “suami mencari pengahasilan adalah untuk anak-istri”. Tidak ada dan

tidak dikenal ungkapan: “istri mencari penghasilan untuk anak-suami”. Dengan

demikian berdasarkan ungkapan ini yang diadopsi menjadi penafsiran sosiologis,

maka Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai

harta bersama pengertiannya adalah harta yang dihasilkan oleh suami, bukan harta

yang dihasilkan oleh istri. Harta yang dihasilkan suami adalah untuk anak dan

istrinya. Sementara harta yang dihasilkan oleh istri adalah untuk anak dan dirinya

sendiri.

Melalui penafsiran ekstensif yang bersifat memperluas pengertian suatu

ketentuan hukum dengan maksud agar hal-hal yang tadinya tidak termasuk dalam

ketentuan hukum tersebut -- sedangkan ketentuan hukum lainnya pun belum ada

yang mengaturnya -- dapat dicakup oleh ketentuan hukum yang diperluas itu.

Gunanya agar masalah-masalah yang ditimbulkan oleh hal-hal yang tadinya tidak

termasuk dalam ketentuan hukum tersebut dapat dipecahkan dengan

menggunakan ketentuan hukum yang isinya telah diperluas melalui penafsiran ini.

Panafsiran ekstensif diterapkan kepada Pasal 34 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan, arti kata suami wajib melindungi istri diperluas menjadi

suami wajib termasuk melindungi harta istri. Ketika suami wajib melindungi harta

istri, maka tidak layak penghasilan istri dimasukkan ke dalam katagori harta

bersama.
310

Dengan demikian pengertian harta bersama berdasarkan penafsiran

sistematis, sosiologis dan ekstensif, maka yang termasuk ke dalam katagori harta

bersama menurut peneliti ini adalah pengasilan suami, tidak termasuk penghasilan

istri. Sedangkan penghasilan istri adalah menjadi harta pribadi yang penguasaan

dan pemanfaatannya dilakukan oleh istri. Suami dalam hal ini wajib memberi

perlindungan kepada harta istrinya dalam status ini. Dalam kontek ini penurut

peneliti, semua harta pribadi hak milik istri dan semua yang berkembang darinya

tidak dapat dikatagorikan sebagai harta bersama.

3.4. Harta Bersama dalam Perkawinan Serial (Beristeri Lebih dari

Satu/Poligami)

Ketentuan dalam Pasal 65 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang perkawinan bahwa seorang suami yang beristeri lebih dari seorang, maka

berlakulah ketentuan-ketentuan berikut:

a. Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan

anaknya;
b. Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama

yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu

terjadi;
c. Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi

sejak perkawinannya masing-masing.


Menurut ketentuan ini, seorang suami yang beristri lebih dari satu (dua

istri, tiga istri atau empat istri) berlaku ketentuan, yaitu:


a) harta bersama suami dengan istri yang pertama dan

perkembangannya menjadi hak mereka berdua; istri yang pertama tidak


311

berhak terhadap harta bersama suami dengan istri kedua, harta bersama

suami dengan istri ketiga, dan harta bersama suami dengan istri keempat.
b) harta bersama suami dengan istri yang kedua dan

perkembangannya menjadi hak mereka berdua; istri yang kedua tidak

berhak terhadap harta bersama suami dengan istri yang pertama, harta

bersama suami dengan istri ketiga, dan harta bersama suami dengan istri

keempat.
c) harta bersama suami dengan istri yang ketiga dan

perkembangannya menjadi hak mereka berdua; isteri yang ketiga tidak

berhak terhadap harta bersama antara suami dengan istri pertama, harta

bersama antara suami dengan istri kedua, dan harta bersama antara suami

dengan istri keeempat.


d) harta bersama suami dengan istri yang keempat dan

perkembangannya menjadi hak mereka berdua; isteri yang keempat tidak

berhak terhadap harta bersama antara suami dengan istri pertama, harta

bersama antara suami dengan istri kedua, dan harta bersama antara suami

dengan istri ketiga.

Sejak perkawinan suami dengan istri kedua, ketiga dan keempat lalu

muncul batas mengenai harta bersama. Status harta bersama suami dengan istri

kedua timbul sejak perkawinan mereka dilakukan, tetapi istri kedua tidak berhak

terhadap harta bersama suami dengan istri pertama. Status harta bersama suami

dengan istri ketiga timbul sejak perkawinan mereka dilakukan, tetapi istri ketiga

tidak berhak terhadap harta bersama suami dengan istri pertama dan harta bersama

suami dengan istri kedua. Status harta bersama suami dengan istri keempat timbul

sejak perkawinan mereka dilakukan, tetapi istri keempat tidak berhak terhadap
312

harta bersama suami dengan istri pertama, harta bersama suami dengan istri

kedua, dan harta bersama suami dengan istri ketiga. 229 Masing-masing berdiri

sendiri berikut perkembangan harta itu ke depan. Perkembangan harta bersama

suami dengan istri pertama tetap menjadi harta bersama suami dengan istri

pertama. Perkembangan harta bersama suami dengan istri kedua tetap menjadi

harta bersama suami dengan istri kedua. Perkembangan harta bersama suami

dengan istri ketiga tetap menjadi harta bersama suami dengan istri ketiga.

Perkembangan harta bersama suami dengan istri keempat tetap menjadi harta

bersama suami dengan istri keempat.

Ketentuan harta bersama dalam perkawinan serial juga diatur di dalam

Kompilasi Hukum Islam, yaitu pada Pasal 94 ayat (1) yang berbunyi: “Harta

bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari

seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri”. Masing-masing terpisah dan

berdiri sendiri adalah sebagaimana yang telah diuraikan di muka. Ada batas yang

tidak ada saling mengambil antara suami dengan istri pertama, suami dengan istri

kedua, suami dengan istri ketiga, dan suami dengan istri keempat. Kepemilikan

harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari

seorang dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga

atau keempat.230

3.5. Cara Mengajukan Sengketa Harta Bersama

229
Happy Susanto, Memahami Peraturan, Menumbuhkan Kesadaran, Pembagian Harta Gono-
Gini Saat Terjadi perceraian, Pentingnya Perjanajian Perkawinan untuk Mengantisipasi Masalah
Harta Gono-Gini, Cetakan Ketiga, Visimedia, Jakarta, 2008, hlm. 36.

230
Ibid., hlm. 37
313

Permohonan cerai talak merupakan istilah dari kehendak perceraian yang

diajukan oleh suami ke Pengadilan Agama. Perkara perceraian yang diajukan

suami ke Pengadilan untuk bercerai dengan istrinya disebut dengan permohonan

cerai talak (Paragraf 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah

dengan undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Undang-undang Nomor 50

Tahun 2009 tentang Peradilan Agama – selanjutnya disebut dengan UU Peradilan

Agama). Sedangkan kehendak perceraian yang diajukan oleh istri ke Pengadilan

Agama perkaranya disebut dengan cerai gugat (Paragraf 3 UU Peradilan Agama).


Di dalam Pasal 78 huruf (c) UU Peradilan Agama ditentukan bahwa

“Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat,

Pengadilan dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya

barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-barang yang

menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak istri”. Dan pada Pasal 86

ayat (1) UU Peradilan Agama disebutkan bahwa “Gugatan soal harta bersama

suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan perceraian ataupun

sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan hukum tetap”. Dari Pasal 78

huruf (c) dan Pasal 86 ayat (1) memperbolehkan penggabungan antara gugat cerai

dengan gugat harta bersama. Menurut M. Yahya Harahap 231, hal ini adalah demi

tercapainya prinsip bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya

ringan sesuai dengan kehendak Pasal 2 ayat (4) Undang-undang Nomor 48 Tahun

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kalau ditelusuri ke belakang, kehendak

prinsip peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan sudah ada

sejak Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yaitu pada Pasal 4 ayat (2). UU

231
Op. Cit., hlm. 267-272.
314

Peradilan Agama memberi pilihan kepada istri yang berkehendak mengajukan

gugat cerai untuk bersama-sama juga mengajukan gugatan harta bersama atau

tidak. Ketentuan ini sangat membantu bagi para istri yang ingin bercerai dengan

suaminya sekaligus menyelesaikan semua perkara yang berkaitan dengan perkara

perceraian, termasuk mengenai harta bersama.


Bagi suami yang menjadi tergugat di dalam gugat cerai dapat juga

mengajukan gugat balik (rekonpensi) berkenaan dengan harta bersama.

Adakalanya istri menggugat kepada suaminya mengenai harta bersama yang

dikuasai suaminya, tetapi ia menyembunyikan harta bersama yang dikuasai

dirinya. Dalam hal ini suami berhak mengajukan gugat balik terhadap istri

mengenai harta bersama yang dikuasai istrinya.


Di dalam perkara cerai talak melalui Pasal 66 ayat (5) UU Peradilan

Agama ditentukan bahwa “Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak,

nafkah istri, dan harta bersama suami istri dapat diajukan bersama-sama dengan

permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan”. Dalam ketentuan

ini suami yang mengajukan permohonan cerai talak dapat juga secara bersama

sekaligus mengajukan gugat harta bersama terhadap istrinya. Begitu juga istrinya

dapat mengajukan gugat balik mengenai harta bersama yang dikusai suaminya.

Sudah sangat adil UU Peradilan Agama memberi kesempatan kepada suami atau

istri yang berkehendak mengajukan perceraian.


Dari uraian di muka dalam mengajukan gugatan harta bersama

berdasarkan UU Peradilan Agama dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu:


1) Suami melakukan permohonan cerai talak sekaligus mengajukan gugatan

harta bersama.
2) Suami mengajukan gugatan harta bersama setelah ia mengucapkan ikrar

talak.
315

3) Istri mengajukan gugatan harta bersama dalam gugatan balik (rekonpensi)

ketika proses permohonan cerai talak oleh suami dalam proses berlangsung di

Pengadilan Agama.
4) Istri mengajukan gugat cerai sekaligus mengajukan gugatan harta bersama.
5) Istri mengajukan gugatan harta bersama setelah gugatan cerainya

dikabulkan oleh Pengadilan Agama dan telah memperoleh kekuatan hukum

tetap.
6) Suami mengajukan gugatan harta bersama dalam gugatan balik

(rekonpensi) ketika proses gugat cerai oleh istri dalam proses berlangsung di

Pengadilan Agama.
3.6. Pemeriksaan Sengketa Harta Bersama
Di muka telah diuraikan pengertian dan batasan-batasan mengenai harta

bersama. Juga telah dijelaskan mengenai hak suami dan istri untuk mengajukan

gugat harta bersama. Bagi suami istri yang bersengketa mengenai harta bersama

sebaiknya diupayakan untuk diselesaikan secara kekeluargaan dengan

musyawarah untuk mencapai kemufakatan yang saling menguntungkan.


Apabila upaya jalan damai tidak membuahkan hasil, maka jalan

berikutnya adalah mengajukan perkara ke pengadilan, dalam hal ini bagi orang

yang beragama Islam sesuai dengan asas personalitas keislaman mengajukan

perkara ke Pengadilan Agama. Pengadilan tetap berkewajiban mengupayakan

perdamaian bagi pihak-pihak yang bersengketa sesuai dengan Pasal 130 Het

Herziene Inladsch Regelement, Staatsblad 1941:44 / H.I.R). Kalau tidak berhasil

upaya damai melalui majlis hakim, pengadilan wajib memerintahkan kepada

pihak-pihak untuk menempuh mediasi sesuai dengan Perma Nomor 1 Tahun

20016 – sebelumnya Perma Nomor 1 Tahun 2008.


Menurut Pasal 49 Huruf (a) UU Peradilan Agama beserta penjelasannya

angka 10, Peradilan Agama berwenang menyelesaikan perkara di tingkat pertama


316

antara orang-orang yang beragama Islam di bidang sengketa harta bersama. Pada

Pasal 50 ayat (1) UU Peradilan Agama disebutkan bahwa dalam hal terjadi

sengketa hak milik atau sengketa lain, khusus mengenai objek sengketa tersebut

harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

Pada Pasal 50 ayat (2) UU Peradilan Agama disebutkan bahwa apabila terjadi

sengketa hak milik yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama

Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh pengadilan agama bersama-sama

dengan pokok perkara. Tetapi untuk menegakkan asas peradilan dilakukan dengan

sederhana, cepat dan biaya ringan, semestinya meskipun sengketa hak milik yang

subjek hukumnya antara orang-orang yang tidak beragama Islam tetap mengenai

objek yang tersangkut sengketa hak milik diselesaikan oleh peradilan agama

bersama-sama dengan pokok perkara yang tidak terindikasi adanya sengketa hak

milik.
Yang dimaksud dengan sengketa hak milik yang tercantum di dalam Pasal

50 UU Peradilan Agama adalah sengketa dengan pihak ketiga selain suami istri.

Dalam penafsiran secara a contrario menurut ketentuan tersebut apabila terjadi

sengketa hak milik mengenai objek sengketa yang bersangkutan dengan pihak

ketiga yang tidak beragama Islam, maka khusus mengenai objek sengketanya ini

harus diselesaikan terlebih dahulu oleh peradilan umum. Mengikuti bunyi teksnya

maka demikianlah pengertian jalan yang harus dilalui. Tetapi kalau berpijak

kepada asas peradilan harus dilakukan secara sederhana, cepat dan biaya ringan,

maka meskipun subjek hukumnya sengketa hak milik adalah pihak ketiga orang

yang tidak beragama Islam, maka semuanya harus diselesaikan oleh peradilan
317

agama, baik mengenai objek yang terindikasi sengketa hak milik maupun terhadap

objek sengketa yang tidak terindikasi sengketa hak milik.


Jika suami atau istri mengajukan gugat harta bersama pada Pengadilan

Agama, maka hukum acara yang dipakai untuk memeroses perkara tersebut

adalah hukum acara yang berlaku pada peradilan umum, sesuai dengan Pasal 54

UU Peradilan Agama. Kalau gugatan harta bersama diajukan oleh penggugat, lalu

ditolak/dibantah oleh tergugat, maka sesuai dengan prinsip umum gugatan yang

tertuang di dalam ketentuan Pasal 163 H.I.R. penggugat wajib membuktikan dalil

gugatannya. Kalau penggugat dapat membuktikan dalil gugatannya maka

dikabulkan gugatannya. Sebaliknya apabila penggugat tidak dapat membuktikan

dalil gugatannya maka ditolak gugatannya.


Pemeriksaan sengketa harta bersama terkadang berjalan tidak lancar

karena pihak tergugat yang menguasai harta menyangkal keberadaan harta

bersama. Terkadang tergugat menolak klaim dari penggugat yang mengklaim

harta sebagai harta bersama, sedangkan penggugat sama sekali tidak ada bukti

atas klaimnya itu sesuai H.I.R., sementara secara faktual harta itu diperoleh

selama dalam masa perkawinan. Tergugat membantah harta itu sebagai harta

bersama dan menyatakan bahwa harta itu adalah berasal dari harta pribadi/bawaan

meskipun diperoleh dalam masa perkawinan berlangsung.


Melihat kondisi seperti ini, bagi hakim yang berpaham tekstual, maka

ditolaklah gugatannya. Tetapi bagi hakim yang progresif dipakai kaidah fiqh

bahwa “apabila ada barang berada di wilayah kekuasaan seseorang, maka barang

itu adalah hak miliknya sampai ada pihak lain yang membuktikan sebaliknya”.

Terhadap kaidah ini dapat diterapkan ke dalam perkara sengketa harta bersama

dengan bahasa “semua harta yang dikuasai suami istri dalam masa perkawinan
318

berlangsung, maka harta itu merupakan harta bersama sampai ada pihak yang

membuktikan sebaliknya”.
Operasionalisasi dari kaidah ini ialah bahwa orang yang membantah

bahwa objek itu bukan harta bersama, sementara harta itu faktual dihasilkan

dalam masa perkawinan berlangsung, maka yang harus membuktikan kebenaran

dalilnya di pengadilan adalah orang yang membantah itu. Bukan sebaliknya di

mana yang membuktikan adalah orang yang mengklaim objek itu adalah sebagai

harta bersama. Apabila yang membantah dapat membuktikan bantahannya, maka

objek itu bukan harta bersama. Tetapi kalau tidak dapat membuktikan, maka harta

itu adalah harta bersama. Batasannya ialah bahwa objek itu faktual diperoleh dan

dikuasai oleh suami istri dalam masa perkawinan berlangsung.


Hal ini dapat dilihat di dalam putusan Pengadilan Tinggi Medan tanggal

20 Nopember 1975 yang dikuatkan oleh putusan Mahkamah Agung dalam tingkat

kasasi tanggal 30 Juli 1974 Nomor 808 K/Sip/1974, sebagaimana dikutip oleh M.

Yahya Harahap, yang isinya:


“Pelawan tidak dapat membuktikan bahwa rumah dan tanah terperkara
diperoleh sebelum perkawinannya dengan suaminya dan juga malah
terbukti bahwa sesuai dengan tanggal izin bangunan, rumah tersebut
dibangun di masa perkawinan dengan suaminya, dengan demikian dapat
disimpulkan rumah dan tanah terperkara adalah harta bersama antara suami
dan istri sekalipun tanah dan rumah terdaftar atas nama istri”.232

3.7. Pembagian Harta Bersama

Pasal 37 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

mengatur bahwa jika perkawinan putus karena perceraian, maka harta bersama

diatur menurut hukumnya masing-masing. Dalam penjelasan Pasal 37 disebutkan

bahwa yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing ialah hukum agama,

232
Ibid. h. 284-296.
319

hukum adat dan hukum lainnya. Menghubungkan Pasal 37 Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1974 dengan Pasal 96 ayat (1) dan Pasal 97 Kompilasi Hukum

Islam, maka penerapan pembagian harta bersama, baik yang perkawinannya putus

karena mati atau karena perceraian, masing-masing mantan suami dan mantan istri

berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam

perjanjian perkawinan.

Sebelum ada ketentuan sebagaimana tersebut di atas, putusan Mahkamah

Agung tanggal 9 Desember 1959 Nomor 424 K/Sip/1959 telah menerapkan

pembagian harta bersama antara suami dan istri masing-masing mendapatkan

separuh bagian. Ditegaskan dalam putusan ini bahwa dalam hal terjadi perceraian,

maka menurut yurisprudensi Mahkamah Agung harta gono-gini harus dibagi

antara suami dan istri dengan masing-masing mendapat separoh bagian. Konsep

separoh bagian dalam hal ini artinya suami dan istri masing-masing mendapatkan

sama besar atau dengan jumlah yang sama. Yurisprudensi ini telah diikuti oleh

putusan-putusan peradilan berikutnya, baik pada peradilan tingkat pertama,

banding, maupun kasasi233.

Dalam hal suami beristri lebih dari seorang, Pasal 65 ayat (1) huruf b dan c

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menentukan bahwa: istri kedua dan

seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum

perkawinan dengan istri kedua atau berikutnya terjadi; semua istri mempunyai hak

yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing.

Ketentuan dalam Pasal 94 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam menyebutkan:

233
Ibid.
320

(2) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai


istri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.
(3) Pemilikan harta bersama dari harta bersama dari perkawinan
seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang dihitung pada saat
berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga, atau yang keempat.

Merujuk pada Pasal 94 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, dalam hal suami

beristri dua istri – umpamanya – maka harta yang diperoleh suami dengan istri

pertama menjadi harta bersama suami dengan istri pertama; dan ketika menikah

dengan istri kedua, maka dimulai sejak akad nikah dengan istri kedua, harta yang

dihasilkan dengan istri kedua menjadi harta bersama suami dengan istri kedua.

Harta yang diperoleh suami dengan istri pertama berdiri sendiri dan harta yang

diperoleh suami dengan istri kedua berdiri sendiri secara terpisah. Demikian

seterusnya bagi suami yang menikah dengan tiga istri atau empat istri.
Tetapi penerapan ketentuan ini menjadi kabur, karena menyimpang dari

prinsip pengertian harta bersama yang dikonsepkan sebagai harta yang diperoleh

dalam masa perkawinan. Contohnya, suami beristri dua. Dengan istri pertama

mempunyai satu perusahaan yang memproduksi makanan dan minuman anak-

anak senilai seratus milyar. Lalu kawin dengan istri kedua, belum mempunyai

harta bersama. Setelah menikah dengan istri kedua nilai perusahaan berkembang

menjadi dua ratus milyar. Kalau memakai konsep harta bersama dari perkawinan

seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing terpisah

dan berdiri sendiri, maka istri kedua tidak mempunyai hak sama sekali terhadap

perusahaan yang sudah bernilai dua ratus milyar. Karena perusahaan itu

merupakan harta bersama dengan istri pertama.


Ketentuan ini sangat merugikan istri kedua dan berikutnya. Karena bisa

jadi istri kedua dan berikutnya tidak akan pernah mempunyai harta bersama sebab
321

harta yang dihasilkan berasal dari harta bersama dengan istri pertama. Ketentuan

ini juga menyimpangi prinsip pengertian harta bersama yang dikonsepkan sebagai

harta yang diperoleh dalam masa perkawinan. Kalau memakai konsep awal

mengenai harta bersama, maka nilai tambahan yang seratus milyar – sebagai

perkembangan dari nilai seratus milyar yang berupa harta bersama dengan istri

pertama – semestinya menjadi harta bersama antara suami dengan kedua istrinya.

Lalu kawin dengan istri ketiga dan perusahaan berkembang menjadi tiga ratus

milyar. Maka seratus milyar berikutnya – sebagai perkembangan dari yang dua

ratus milyar – menjadi harta bersama antara suami dengan ketiga isterinya. Begitu

juga hukum yang harus dipakai dengan istri keempat.


3.8. Prinsip Keadilan Dalam Pembagian Harta Bersama Pasca

Perceraian pada Pengadilan Agama


Bertitik tolak pada pandangan John Rawls yang sangat memperhatikan

terciptanya keadilan dalam masyarakat, bahwa dalam prinsip Rawls, masyarakat

menerima dan mematuhi ketentuan dan peraturan yang ada harus terjadi dengan

sendirinya atas kesadaran yang muncul dari dalam dirinya sendiri. Masyarakat

yang baik adalah ketika mereka mematuhi peraturan dengan sukarela tanpa ada

paksaan atau terpaksa. Keadaan ini, masyarakat yang mematuhi peraturan dengan

sukarela, akan terjadi apabila masyarakatnya sudah tertata dengan baik. Bukan

hanya tertata dengan baik, tetapi tatanan yang baik itu yang ada dalam masyarakat

harus dilandasi oleh keadilan sebagai fairness.


Konsep keadilan menurut Rawls, keadilan itu harus muncul sebagai hasil

dari proses yang fairness ketika memulai dan melakukan penciptaan tatanan

dalam masyarakat. Menurut Rawls, keadilan itu harus dimulai sejak dalam tahap

proses penciptaan tatanan. Ketika dalam tahap proses penciptaan tatanan itu
322

dilakukan secara fairness, maka akan terciptalah keadilan. Keadilan adalah

sebagai hasil akhir dari suatu proses yang dilakukan secara fairness. Dalam

masyarakat yang berkeadilan secara fairness ini, maka akan muncul masyarakat

yang mematuhi peraturan secara sukarela.


Keadaan dari proses yang fairness di dalam masyarakat itu menurut Rawls

adalah suatu kondisi dimana ada pendistribusian hak dan kewajiban kepada

anggota masyarakat secara seimbang. Seorang anggota masyarakat mendapatkan

hak dan kewajiban sesuai dengan kondisi orang itu dan dilakukan secara

seimbang. Tidak boleh ada seorang anggota masyarakat ketika ia mendapatkan

hak untuk dirinya, tetapi secara bersamaan ia memperoleh beban kehidupan yang

sangat berat bagi dirinya. Untuk mengukur keseimbangan antara hak dan

kewajiban bagi seseorang adalah orang yang menerima itu sendiri. Apabila

seseorang menerima manfaat dari hak dan beban kewajiban dengan senang hati

dan rasa gembira, maka berarti ia sudah mendapatkan pendistribusian hak dan

kewajiban secara seimbang.


Berkenaan dengan penyelesaian sengketa harta bersama dalam perkawinan

yang diajukan ke pengadilan agama, konsep keadilan menurut Rawls dapat

dipergunakan sebagai landasan untuk memberikan putusan yang memenuhi rasa

keadilan masyarakat. Hakim dalam memutus perkara harus memenuhi rasa

keadilan masyarakat dan juga harus bisa memberi pengayoman kepada

masyarakat. Dengan cara seperti ini maka putusan pengadilan akan memberi

manfaat kepada masyarakat sebagai pencari keadilan.


Menurut undang-undang, hakim harus berusaha untuk mencari keadilan

yang sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Meskipun sudah ada hukum yang

tertulis, tetapi aplikasi dari hukum ini harus bercirikan rasa keadilan. Menurut
323

Pasal 50 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman, putusan pengadilan selain harus

memuat alasan dan dasar putusan, juga harus memuat pasal tertentu dari peraturan

perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang

dijadikan dasar untuk mengadili. Kalau tidak mendapatkan dasar hukum pada

undang-undang, maka hakim harus mencari dari sumber hukum tak tertulis yang

dijadikan dasar untuk mengadili.

Ada tiga model penyelesaian sengketa harta bersama oleh pengadilan.

Timbulnya tiga model penyelesaian sengketa harta bersama oleh pengadilan ini

dimungkinkan karena undang-undang memberikan keleluasaan untuk mencari

hukum sebagai landasan penyelesaiannya. Pasal 37 UU Perkawinan menyatakan,

bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut

hukumnya masing-masing. Kata-kata “diatur menurut hukumnya masing-masing”

memberikan peluang kepada pengadilan untuk melakukan disparitas dalam

memutus mengenai sengketa harta bersama.

Timbulnya tiga model penyelesaian ini mengenai sengketa harta bersama

secara kaidah fiqhiyah mempunyai landasan yang kuat. Kaidah fiqhiyah

mengungkapkan: al-hukmu yaduru ma’a ‘illatihi (hukum berlaku sesuai dengan

illat/faktor waktu dan keadaannya). Atau dalam bahasa yang lain disebutkan al-

hukmu yaduru ma'a 'illatihi wujudan wa 'adaman (hukum itu dinamis, bisa

berubah tergantung terhadap alasannya). Patokan yang dijadikan pegangan adalah

rasa keadilan masyarakat. Di dalam kaidah yang lain disebutkan: tasharruf al-

imam manuthun bi maslahah al-ra’iyyah (kebijakan pemimpin harus mengacu

kepada kebaikan rakyatnya). Maksudnya, seorang penguasa merupakan


324

penjelmaaan kepentingan rakyatnya. Ia bukanlah representasi atas dirinya sendiri.

Karena itu segala kebijakan yang diambil harus mengacu kepada kepentingan

rakyat yang dipimpinnya. Begitu juga hakim dalam mengambil keputusan harus

mengacu pada rasa keadilan masyarakat, sejauh mana putusan dapat memberi

pengayoman kepada masyarakat.

Model pertama penyelesaian sengketa harta bersama di pengadilan adalah

merujuk pada Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan yurisprudensi Mahkamah

Agung adalah membagi harta bersama menjadi dua bagian sama besar, setengah

untuk mantan istri dan setengahnya untuk mantan suami. Cara ini menjadi model

yang sudah diperaktekkan secara luas di pengadilan agama. Meskipun selalu ada

bantahan mengenai rasa keadilan terhadap cara ini, tetapi pengadilan selalu tidak

bergeming untuk melaksanakannya. Landasannya adalah cara ini sudah menjadi

yurisprudensi Mahkamah Agung.

Setelah muncul respon dan kritikan terhadap cara penyelesaian sengketa

harta bersama model pertama, lalu muncul cara penyelesaian harta bersama model

kedua, yaitu membagi harta bersama menjadi dua bagian, tetapi tidak sama besar.

Besar bagian suami dan istri tergantung kontribusi masing-masing dalam

menghasilkan harta. Apabila suami lebih banyak kontribusinya, maka mantan

suami mendapat bagian yang lebih besar. Jika istri yang lebih besar kontribusinya

dalam menghasilkan harta, maka mantan istri mendapat bagian yang lebih besar.

Cuma kendalanya adalah dalam menentukan besar kecilnya kontribusi yang

kemudian diimplimintasikan terhadap persentase pembagian harta bersama. Tidak

ada patokan yang pasti mengenai penentuan besar-kecilnya penentuan persentase


325

ini, sangat relatif dan tergantung subjektifitas pendapat hakim. Sehingga kadang

ada kritik yang sangat tajam dari mantan istri karena suami tidak mempunyai

sedikitpun kontribusi dalam menghasilkan harta yang karenanya suami tidak

memberi nafkah kepada istri, tetapi dalam penyelesaian sengketa harta bersama,

mantan suami mendapat bagian yang sangat signifikan besarnya.

Putusan kasasi dengan perkara Nomor 266 K/AG/2010 memutuskan isteri

mendapat bagian harta bersama lebih besar dari suami. Dalam perkara ini

Mahkamah Agung dengan majlis Drs. H. Andi Syamsu Alam, S.H., Drs. H.

Hamdan, S.H., M.H. dan Drs. H. Mukhtar Zamzami, S.H., M.H. memutuskan

memberikan harta bersama yang lebih besar kepada istri di mana istri sebagai

penggugat mendapatkan bagian ¾ dari harta bersama sementara suami sebagai

Tergugat mendapatkan ¼ dari harta bersama dengan pertimbangan bahwa selama

perkawinan berlangsung tergugat tidak taat beragama, telah membuat penggugat

mengalami stress, dan ternyata tergugat selama perkawinan tidak pernah

memberikan nafkah kepada penggugat, seluruh harta bersama diperoleh oleh

penggugat dari hasil kerjanya. Demi rasa keadilan Mahkamah Agung memandang

pantas penggugat memperolah harta bersama yang lebih besar dari tergugat.

Cuma ketentuan ini menyimpang dari konsep awal mengenai harta

bersama yang tidak melihat siapa yang berpenghasilan. Kalau memakai konsep

awal mengenai harta bersama, maka sudah adil dengan pembagian separuh sama

besar antara suami dan istri. Ketika salah satu pihak dari suami atau istri

memperoleh tidak sama besar sesuai dengan kontribusi masing-masing, maka

berarti nantinya suami yang tidak bekerja, istri yang tidak bekerja atau istri yang
326

nusyuz tidak akan mendapatkan bagian dari harta bersama yang diperolehnya.

Dan ini menjadi suatu fenomena baru dalam perkembangan hukum di Indonesia.

Dalam kaitan dengan perkawinan serial, ketika seorang suami beristri

dengan dua istri, lalu suami bercerai dengan istri kedua, dengan memakai konsep

harta bersama pada perkawinan serial di muka, maka yang dibagi adalah harta

bersama suami dengan istri kedua saja. Pembagian harta bersama dengan istri

yang kedua ini terlepas dari harta bersama suami dengan istri pertama. Demikian

yang tergambar dalam putusan Mahkamah Agung No. 127 K/Ag/1992 tanggal 28

Desember 1992 yang menolak permohonan kasasi pada putusan Pengadilan

Tinggi Agama Pekanbaru No. 09/Pdt/1992/PTA.Pbr tanggal 3 Juni 1992 yang

menyatakan tidak menerima permohonan banding pada putusan Pengadilan

Agama Pekanbaru No. 159/Pdt.G/1991 tanggal 13 Januari 1991. Kasusnya

seorang suami menikah dengan seorang istri, memperoleh harta bersama, lalu

bercerai, tidak ada gugatan harta bersama. Dalam perjalan waktu mantan suami

menikah kembali dengan mantan istri, memperoleh harta bersama, lalu bercerai,

menggugat harta bersama. Majlis hakim Pengadilan Agama Pekanbaru

memisahkan harta bersama suami dengan istri pada perkawinan periode pertama

dan harta bersama suami dengan istri pada perkawinan periode kedua. Harta

bersama suami dengan istri pada perkawinan periode pertama dibagi dua sama

besar, masing-masing kepunyaan mantan suami dan mantan istri, dan harta

bersama suami dengan istri pada perkawinan periode kedua dibagi dua sama

besar, masing-masing kepunyaan mantan suami dan mantan istri.


327

Cara ketiga adalah membagi harta bersama kepada anak apabila mantan

pasangan suami istri itu mempunyai keturunan. Model pembagian ini sangat tidak

popular di pengadilan agama, karena jauh menyimpang dari norma hukum yang

tertulis atau peraturan perundang-undangan. Tetapi kalau dikaji secara mendalam

cara ini sebenarnya tidak menyimpang dari norma hukum dan keadilan.

Landasan berpikir secara normatif dari penyelesaian cara ketiga ini adalah

Pasal 54 ayat (3) UU Kehakiman tentang cara pelaksanaan putusan pengadilan,

bahwa pelaksanaan putusan pengadilan harus memperhatikan nilai kemanusiaan

dan keadilan. Sarwohadi, hakim tinggi pada Pengadilan Tinggi Agama Mataram

berpendapat bahwa salah satu alasan pengadilan melakukan penundaan eksekusi

terhadap putusan pengadilan mengenai harta bersama adalah karena menyangkut

faktor kemanusiaan.234 Faktor kemanusian ini salah satunya adalah karena adanya

anak dari mantan suami istri yang bersengketa.235

Menurut peneliti disertasi ini, daripada melakukan penundaan eksekusi

putusan pengadilan karena adanya faktor kemanusian yang disebabkan pihak-

pihak yang bersengketa mempunyai anak, alangkah baiknya apabila sejak putusan

harta bersama tersebut diserahkan pada anak. Dengan diserahkan kepada anak,

maka objek sengketa akan tetap utuh. Karena seandainya anak itu masih di bawah

umur, maka pihak-pihak yang bersengketa sebagai orangtua tidak bisa memindah-

tangankan kecuali atas ijin pengadilan. Harta bersama itu seutuhnya dipergunakan

234
Sarwohadi, Sekitar Kejurusitaan, Pengadilan Tinggi Agama Mataram, Mataram, 2015, hlm. 68.

235
Ceramah oleh Sarwohadi, hakim tinggi Pengadilan Tinggi Agama Mataram dalam rapat
koordinasi pengadilan agama se-wilayah hukum PTA Mataram yang disampaikan pada tanggal 27
Maret 2015 di Mataram.
328

untuk kepentingan anak. Kalau anak itu masih dalam usia sekolah, maka

dipergunakan untuk biaya hidup dan pendidikannya.

Cara terakhir ini sesuai dengan pepatah bangsa Indonesia, “kasih sayang

anak kepada orang tua sepanjang gala, tetapi kasih sayang orang tua kepada anak

adalah sepanjang masa”. Artinya budaya bangsa Indonesia melaksanakan tradisi

bahwa hak milik orang tua, jiwa raga, diperuntukkan untuk anak keturunan. Ini

sesuai dengan pameo orang Indonesia yang mengatakan bahwa dalam mencari

harta mereka selalu mengatakan “untuk dan demi anak-anak”. Dengan demikian

alangkah adilnya jika pengadilan menyerahkan harta bersama kepada anak

keturunan dari mantan suami-istri yang mempunyai keturunan.

Yang terakhir ini tergambar dalam putusan Pengadilan Agama

Sungguminasa, Kabupaten Gowa, Nomor 346/Pdt.G/2010/PA.Sgm yang

memutuskan dengan amar putusan harta bersama diserahkan kepada anak. Namun

putusan ini dijatuhkan setelah terjadi kesepakatan antara suami dan istri untuk

menyerahkan harta bersama kepada anaknya. Putusan ini yang amarnya

menyerahkan harta bersama kepada anak merupakan terobosan hukum baru.

Tetapi meskipun merupakan suatu terobosan hukum yang seharusnya

membanggakan dan dijadikan rujukan pada putusan pengadilan berikutnya,

karena tidak didukung dengan basis argumentasi yang kuat dan perangkat

sistematika putusan yang lengkap, maka kemudian putusan ini mendapat kritikan

yang tajam.236

236
http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/10951, diunduh tanggal 7/2/2016 jam
3:33.
329

Pada putusan Pengadilan Agama Jember juga ada putusan mengenai harta

bersama yang diserahkan kepada anak. Putusan Nomor 2160/Pdt.G/2017/PA.Jr

yang diputus pada tanggal 22 Juni 2017 memberikan amar putusan diantara, yaitu:

3. Menyatakan harta berupa tanah dan bangunan yang terletak di


Perumahan Kebonsari Indah blok X No. 14 Kelurahan Kebonsari,
Kecamatan Kebonsari, Kabupaten Jember, sesuai dengan SHM No.
4000 berdasarkan Surat Ukur No. 331/Kebonsari/1999 tanggal 7
Oktober 1999 dengan luas 102 m2 atas nama Furqoniah Januari
Sobriaty dengan batas-batas:
- Utara : Jalan Perumahan,
- Timur : Rumah P. Syam,
- Selatan : Rumah P. Suprapto,
- Barat : Rumah P. Syarifudin
adalah harta bersama/gono-gini Penggugat dan Tergugat;
4. Menetapkan, mengalihkan hak kepemilikan harta bersama/gono-gini
tersebut pada amar angka 3 dari Penggugat dan Tergugat menjadi hak
milik ketiga anaknya yang bernama:
a. Anaa Murti Citra Putri Azzahra, umur 22 tahun,
b. Muhammad Murti Abdillah Ash-Shiddiqie, umur 18 tahun,
dan
c. Adinda Ghoziratun Ni’mah, umur 15 tahun;

Adapun pertimbangan hukum dari amar putusan tersebut adalah:

1. Bahwa pada saat ini Penggugat sudah bercerai dengan Tergugat,


dan dalam perkawinannya dahulu telah dihasilkan harta yang tersebut di
dalam gugatan; ketika Penggugat memohon agar harta yang diperoleh
di dalam perkawinan Penggugat dan Tergugat tersebut supaya
ditetapkan sebagai harta bersama/gono-gini, maka gugatan Penggugat
tersebut tidak melawan hak dan sudah beralasan secara hukum;
2. Bahwa Penggugat memohon agar harta bersama tersebut dihak
milikkan kepada ketiga anak Penggugat dan Tergugat juga tidak
melawan hak dan sudah beralasan secara hukum; sebab di Indonesia
pada umumnya berlaku adat kebiasaan, apabila orang tua mencari harta
kekayaan, dinyatakan bahwa harta kekayaan itu adalah untuk anak-
naknya;
330

Putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap sehingga sudah patut

untuk dieksekusi. Menurut peneliti disertasi, pertimbangan hukum dan amar

dalam putusan Nomor 2160/Pdt.G/2017/PA.Jr tanggal 22 Juni 2017 sudah bagus.

Kenyataan yang terjadi di dalam masyarakat, harta orang tua memang diturunkan

kepada anak-anaknya. Putusan yang demikian, meskipun di luar bahasa undang-

undang, secara kewenangan adalah kewenangan majlis hakim, dan putusan

tersebut memberi maslahat kepada pihak-pihak yang bersengketa dan

keturunannya. Dari sisi keadilan, putusan tersebut juga memenuhi rasa keadilan

dari semua pihak.

BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan
331

Dari pembahasan yang telah diuraian di muka, hal baru yang dapat

diperoleh dari penelitian ini berlandaskan pada Teori Keadilan John Rawls, Teori

Tujuan Hukum, Teori Perlindungan Hukum, Teori Kewenangan dan Teori

Maslahat, adalah sebagai berikut:


4.1.1. Dalam proses penyelesaian perkara perceraian pada

pengadilan agama, untuk menuju proses ini harus dilakukan dengan

pembicaraan bersama antara pihak-pihak yang bersangkutan. Bertitik

tolak pada landasan teori ini dan sesuai dengan konsep kekuasaan

kehakiman yang menunut hakim senantiasa melakukan menemuan

hukum atau penciptaan hukum dalam melaksanakan penegakan

hukum, maka pengadilan agama sebagai pelaku kekuasaan

kehakiman bagi pencari keadilan yang beragama Islam, dapat

melakukan penciptaan hukum baru dalam proses penyelesaian

perkara perceraian apabila mendapati suatu kondisi tertentu yang

berbeda. Proses penyelesaiannya tidak harus sama dengan proses

yang selama ini berjalan yang sudah dianggap mempunyai kebenaran

mutlak. Yang menjadi prinsip pokok secara umum dalam perkara

perceraian adalah perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang

pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak

berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Ada tiga prinsip menurut

pasal ini mengenai perceraian suami istri: perceraian hanya dapat

dilakukan di depan sidang pengadilan, pengadilan berusaha untuk

mendamaikan, dan pengadilan tidak berhasil mendamaikan kedua

belah pihak. Jadi penekanannya di sini adalah usaha untuk


332

mendamaikan. Apabila setelah diusahakan untuk berdamai ternyata

tidak berhasil, maka pengadilan patut mengabulkan untuk pihak yang

mengajukan kehendak untuk bercerai.


4.1.2. Berkenaan dengan penyelesaian sengketa harta bersama,

berdasarkan rasa keadilan dan untuk memenuhi pengayoman kepada

kepentingan masyarakat, adalah:


a. Penentuan kualifikasi harta bersama sepatutnya berpatokan

kepada penghasilan yang diperoleh oleh suami, sedangkan

penghasilan yang diperoleh oleh istri sepatutnya tidak

dimasukkan ke dalam katagori harta bersama.


b. Mengenai pembagian harta bersama, bagi pasangan suami-

istri yang mempunyai keturunan, dengan cara membagi harta

bersama kepada anak. Kalau tidak mempunyai anak kandung,

tetapi mempunayi anak angkat, seyogyanya dialihkan menjadi

hak kepada anak angkatnya. Model pembagian ini sangat tidak

popular di Pengadilan Agama, karena jauh menyimpang dari

norma hukum yang tertulis atau peraturan perundang-undangan,

tetapi kalau dikaji secara mendalam cara ini justru mengandung

cita rasa hukum yang berkeadilan.


4.2. Saran
4.2.1. Berkenaan dengan proses penyelesaian perkara perceraian

dan pembagian harta bersama, pengadilan harus mampu memberi

jawaban yang aspiratif kepada kepentingan masyarakat sesuai

dengan rasa keadilan masyarakat dan untuk pengayoman kepada

kepentingan masyarakat serta pula sesuai dengan asas peradilan

dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.


333

4.2.2. Untuk lembaga legaslatif sebagai pemangku tugas

pembuatan undang-undang agar membuat undang-undang yang

lentur untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat. Undang-undang

yang dihasilkan harus mampu menjawab aspirasi yang disampaikan

oleh masyarakat, bukan hanya menyuarakan keadilan secara

memaksa dari atas.

DAFTAR BACAAN

Buku:

‘Aly, Muhammad Abdul ’Athy Muhammad, Dr., Al-Maqashid Al-Syar’yah wa


Atsaruha fi Al-Fiqh Al-Islamy, Dar al-Hadits, Al-Qahiroh, 2007.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet. ke-1,
Akademika Pressindo, Jakarta, 1992.
Abidin, Ibnu, Hasyiyatu Radd Al-Mukhtar, Mustafa Al-Babiy Al-Hakabiy, Mesir,
1966.
Adji, Oemar Seno, Seminar Ketatanegaraan Undang Undang Dasar 1945,
Seruling Massa, Jakarta, 1966.
Admadja, Djenal Hoesein Koesoemah, Pokok-pokok Hukum Tata Usaha Negara,
Alumni, Bandung, l979.
Afzalurrahman, Doktrin Ekonomi Islam, PT. Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta,
1996.
Agustina, Rosa, Perbuatan Melawan Hukum, Program Pascasarjana, Fakultas
Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 2003.
334

Aji, Oemar Seno, Peradilan Bebas Negara Hukum, Penerbit Erlangga, Jakarta,
1980.
Alawy, Zainal Abidin, Ijtihad Kontemporer dan Reformasi Hukum Islam dalam
Perspektif Mahmud Syaltut, Yayasan Haji Abdullah Amin, Jakarta, 2003.
Ali, A. M. Hasan, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam Suatu Tinjauan
Analisis Historis, Teoritis, &Praktis, Kencana, Jakarta, 2004.
Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis Dan Sosiologis, Toko
Gunung Agung, Jakarta, 2002.
---------------, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan, Kencana Prenada
group, Jakarta, 2009.
Ali, Chaidir, Yurisprudensi Perbuatan Melanggar Hukum, Bina Cipta, Bandung,
1970.
Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.
--------------------------, Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan), Rajawali Press
Jakarta, 1995.
-------------------------, Hukum Islam Dan Peradilan Agama (Kumpulan Tulisan),
PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002.
-------------------------, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia,
Yayasan Risalah, Jakarta, 1984.
----------------------, dan Habiba Daud, Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia,
Raja Grafindopersada, Jakarta, 1995.
Ali, Zainuddin, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, 2006.
Al-Qardᾱgi, Ali Muhyἶ ad-Dἶn Ali, Mabda ar-Ridᾱ Fἶ al-Uqῡd Dirᾱsah
Muqᾱranah Fἶ al-Fiqh al-Islamἶ wa al-Qanῡn al-Madᾱni (ar-Rumᾱni wa
al-Faransi wa al-Injilἶjiy wa al-Mishriy wa al-'Irᾱqy), Jilid I, Dᾱr- al-
Basyᾱir al-Islᾱmiyyati, Beirut, 1985.
Al-Qazwini, Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Yazid ibn Majah, Sunan Ibn Majah,
vol. 3, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1996.
Al-Samarqandi, ‘Abd. Allah bin ‘Abd al-Rahman al-Darimi, Sunan al-Darimi,
vol.2, Dal al-Kitab al-‘Arabi, Beirut, 1987.
Al-Yuby, Muhammad Sa’ed ibn Ahmad ibn Mas’aud, Maqashid al-Syari’ah al-
Islamiyah wa ‘Alaqtuha bi al-Adillah al-Syar’iyah, Dar al-Hijrah, Al-
Riyadl, 1998.
335

Amriani, Nurnaningsih, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di


Pengadilan, Cetakan Ke-2, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012.
Amruzi, H.M. Fahmi Al, Hukum Harta Kekayaan Perkawinan Studi Komparatif
Fiqh, KHU, Hukum Adat dan KUHPerdata, Aswaja Pressindo,
Yogyakarta, 2014.
An, Gerven W., Kebijaksanaan Hakim, Erlangga, Jakarta, 1990.
Anshary, H.M., Hukum Perkawinan di Indonesia: Masalah-masalah Krusial,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2015.
Anshori, Abdul Ghofur, Peradilan Agama di Indonesia Pasca Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006, Cetakan 1, UII Press, Yogyakarta, 2007.
Anwar, Syamsul, Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam, dalam
Ainurrofiq (ed.), "Mazhab" Jogja Menggagas Paradigma Ushul Fiqh
Kontemporer, Ar-ruzz Press, Djogjakarta, 2012
-------------------, Studi Hukum Islam Kontemporer, Cakrawala, Yogyakarta, 2006.
Apeldorn, Van, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1996.
Arinanto, Satya dan Ninuk Triyanti (Editor), Memahami Hukum: Dari Konstruksi
Sampai Implementasi, Ed. 2, Rajawali Pers, Jakarta, 2011.
Arrasjid, Chainur, Dasar-dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
Arto, H. A. Mukti, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Cetakan
ke-1, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996.
Aseri, Muhsin, Regulasi Politik Hukum Islam, Absolute Media, Yogyakarta, 2014.
Asy-Syathibi, Li Abi Ishaq, Al-Muwafaqat Fi al-Ushul asy-Syari'ah, Dar al-Kutub
al-'Alamiyah, Beirut, 2003.
Atmadjaja, Djoko Imbawani, Hukum Perdata, Setara Press, Malang, 2016
Ayub, Muhammad, Understanding Islamic Finance A-Z Keuangan Syariah, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2009.
Azhary, Thahir, Pancasila dan UUD 1945, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.
Bahari, Adib, Tata Gugatan Cerai, Pembagian Harta Gono-Gini dan Hak Asuh
Anak, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2016.
Barent, J., De Wetenschap Der politiek, terjemahan L.M. Sitorus, Ilmu Politik,
Pembangunan, Jakarta, 1965.
Basah, Sjahran, Ilmu Negara: Pengantar, Metode, dan Sejarah Berkembang, Citra
Aditya, Bandung, 1992.
336

Basyir, Achmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Universitas Islam Indonesia,


Yogyakarta, 1977.
Bek, Ahmad Ibrahim, Ahkam al-Ahwal asy-Syakhshiyyah fi asy-Syari’ah al-
Islamiyyah, n.p., Cairo, 2003.
Belifante, A. D. dan Boehanoedin Sutan Batoeah, Pokok-pokok Hukum Tata
Usaha Negara, Bina Cipta, Bandung, 1997.
Berahim, Abdullah, Hukum Kewarisan Islam Solusi Menghindari Konflik
Keluarga Muslim, Kalika, Yogyakarta, 2015.
Bruggink, J.H.H., Rechtsreflecties, Grondbegrippen uit de Rechrtheorie,
terjemahan Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Hukum, Citra Aditya,
Bandung, 1996.
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1998.
Budiono, Herlin, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia Hukum
Perjanjian Berlandaskan Asas-asas Wigati Indonesia, Pt. Rafika Aditama,
Bandung, 2006.
Coulson, Noel J, Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah, terj. Hamid Ahmad,
P3M, Jakarta, 1987.
Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Studi Perbandingan dalam
Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, cetakan ke-2, Bulan
Bintang, Jakarta, 2005.
Daniels, Norman, (Ed.), Reading Rawls: Critical Studies on Rawls’ A Theory of
Justice, Basil Blackwell, Oxford, 1975.
Departemen Agama, Direktorat Badan Peradilan Agama, Petunjuk Pelaksana
Pengadilan Agama, Jakarta, 2001.
Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012.
Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, Logos,
Jakarta, 1995.

Djatmika, Rahmat, Sosialisasi Hukum Islam dalam Kontroversi Pemikiran Islam


di Indonesia, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993.
Djatmika, Sastra, dan Marsono, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Penerbit
Djambatan, Djakarta, 1987.
Eddy, Richard, Aspek Legal Property-Teori, Contoh, dan Aplikasi, CV Andi
Offset, Yogyakarta, 2010.
337

Effendi, Satria, M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer


Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, Kencana, Jakarta,
2004.
Fajar , A. Mukthie, Tipe Negara Hukum, Bayu Media Publising, Malang, 2005.
Fanani, Muhyar, Membumikan Hukum Langit Nasionalisasi Hukum Islam dan
Islamisasi Hukum Nasional Pasca Reformasi, Tiara Wacana, Yogyakarta,
2008.
Flechtheim, Ossip K., Fundamental of Political Science, Ronald Press Co., New
York, 1952.
Fridrich, Carl Joachim, Filsafat Hukum Pepektif Historis, Nusamedia, Bandung,
2004.
Friedman, Lawrence M., Law and Society: an Introduction, New Jersey: Prentice-
hall, Inc.,1997.
Friedman, The Task of Law - Tugas Hukum, terjemahan Muhammad Radjab,
penerbit Bhratara, Jakarta, t.t.
Fuad, Mahsun, Hukum Islam Indonesia: dari Nalar Partisipatoris hingga
Emansipatoris, Lkis, Yogyakarta, 2005.
Fuady, Munir, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor, 2010.
----------------, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer, Bandung,
PT.Citra Aditya Bakti, 2005.
Gautama, Sudargo, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1973.
Gauthier, D., The Logic of Leviathan, Chapter IV Oxford University Press,
Oxford, 1969.
Ghazaly, Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, edisi pertama, cetakan ke-2, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2006.
Gijssal, Jan dan Mark Van Hoecke, Apakah Teori Hukum itu?, Terjemahan B.
Arief Sidharta, FH Unpar, Bandung, 2000.
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia menurut: Perundangan,
Hukum Adat, Hukum Agama, cetakan ke-3 Mandar Maju, Bandung, 2007.
-------------------------, Hukum Waris Adat, CitraAditya Bakti, Bandung, 2016.
Hadjon, Philipus M., Hukum Administrasi dan Good Governance, Penerbit
Universitas Trisakti, Jakarta, 2010.
---------------------------, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada
University Press, Cet. Kedelapan, Jogjakarta, 2002.
338

---------------------------, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina


Ilmu, Surabaya, 1987.
Hamidi, Jazim, Hermeneutika Hukum Teori Penemuan Hukum Baru dengan
Intrepretasi Teks, UII Press, Yogyakarta, 2005.
Hanafie, E.K., Dampak Modernisasi Terhadap Hubungan Kekerabatan Daerah
Sulawesi Tengah, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan
daerah Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Dep. P&K, 1984
Harahap, Krisna, Hukum Acara Perdata, Cetakan ke-1, Grafitri Budi Utami,
Bandung, 1996.
Harahap, M. Yahya, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,
Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, cetakan kedua, Sinar
Grafika, Jakarta, 2005.
--------------------------, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
Pustaka Kartini, Jakarta, 1993.
Harjono, Anwar, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an Komentar atas
Hazairin dalam Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, UI-Press, Jakarta,
1981.
Hartanto, Andi, Hukum Waris Kedudukan dan Hak Waris Anak Luar Kawin
menurut “Burgerlijk Wetboek” Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi,
Laksbang Justitia, Surabaya, 2015.
Harun, Badriyah, Panduan Praktis Pembagian Waris, Pustaka Yustisia,
Yogyakarta, 2009.
Hasan, Ahmadi, Adat Badamai Interaksi Hukum Islam dan Hukum Adat pada
Masyarakat Banjar, Antasari Press, Banjarmasin, 2007.
Hasan, Sofyan, Dasar-dasar Memahami Hukum Islam di Indonesia, Usaha
Nasional, Surabaya, 2007.
Hazairin, Demokrasi Pancasila, Rineka Cipta, Jakarta, 1990.
Hernoko, Agus Yudha, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak
Komersial, Kencana, Jakarta, 2010.
Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2005.
Ibrahim, Johnny, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia
Publishing, Malang, 2006.
339

Irawan, Candra, Aspek Hukum dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa di Luar


Pengadilan (Alternative Dispute Resolution) di Indonesia, Cetakan ke-1,
Mandar Maju, Bandung, 2010.
Irianto, Sulistyowati, Perempuan & Hukum menuju Hukum yang berperspektif
Kesetaraan dan Keadilan, Obor, Jakarta, 2002.
Ismanto, Kuat, Asuransi Syari’ah: Tinjauan Asas-Asas Hukum Islam, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2009.
Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Isteri, Bulan Bintang, Jakarta, 1978.
Iswara, F., Pengantar ILmu Politik, Dhiwantara, Bandung, 1967.
Jacobsen, dan Lipman dalam F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan ke-3,
Dhirwantara, Bandung, 1967.
Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, PT. Citra Adtya Bakti, Bandung,
2005.
Joeniarto, Negara Hukum, YBP Gajah Mada, Yogyakarta, 1968.
Judisseno, Rimsky J., Pajak dan Strategi Bisnis, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2005.
Ka’bah, Rifyal, Hukum Islam di Indonesia: Perspektif Muhammadiyah dan N.U,
Universitas Yarsi, Jakarta, 1999.
Kadir, Muhammad Abdul dan Murniati Rilda, Segi Hukum Lembaga Keuangan
dan Pembiayaan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta, 1989.
Kelsen, Hans, Dasar-dasar Hukum Normatif, Prinsip-Prinsip Teoritis untuk
Mewujudkan Keadilan dalam Hukum dan Politik, Penerjemah Nurulita
Yusron, Nusamedia, Bandung, 2008.
----------------, General Theory of Law and State, Teori Umum Hukum dan
Negara, Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum
Deskriptif-Empirik, terjemahan Somardi, BEE Media Indonesia, Jakarta,
2007.
----------------, Pengantar Teori Hukum, terjemahan, Nusa Media, Bandung, 2009.
----------------, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif,
terjemahan, Nusa Media, Bandung, 2008.
Khadduri, Majjid, The Islamic Conceptionof Justice, The JhonsHoopkins
University Press, Baltimore and London, 1984.
340

Khudzaifah, Dimyati, Teorisasi Hukum, Muhammadiyah Unv. Press, Surakarta,


2004.
Kusuma, R.M., A.B., Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004.
Lam, Etika Sosial, Rineka Cipta, Jakarta, 1997.
Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, Rusell
Sage Foundatiolandn, New York, 1975.
Lemaire dalam S.F. Marbun dan Moh. Mahfud, MD, Pokok-Pokok Hukum
Administrasi Negara, Edisi Pertama, Cetakan I, Liberty, Yogyakarta, 1987.
Lewis, Carol W., and Stuart C. Gilman, The Ethics Challenge in Public Service: A
ProblemSolving Guide, Market Street, Jossey-Bass, San Fransisco, 2005.
Lubis, M. Solly, Ilmu Negara, Mandar Maju, Bandung, 1990.
------------------, Pengantar Ilmu Hukum, tanpa penerbit, Medan, 1975.
Lukito, Ratna, Tradisi Hukum Indonesia, imr press, Cianjur, 2013.
Maarif, Ahmad Syafi’i, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi
Terpimpin (1959-1965), Gema Insani Press, Jakarta, 1996.
Mac Iver, Robert M., The Web of Government, The Mac-Millan Company, New
York, 1961.
Machmudin, Dudu Duswara, Pengantar Ilmu Hukum, Refika Aditama, Bandung,
2003.
Madjid, Nurcholis, Islam Kemanusiaan dan Kemoderenan, Doktrin dan
Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimaanan, Cetakan
Ke 2, Yayasan Wakaf, Jakarta, 1992.
Mahadi, Falsafah Hukum Suatu Pengantar, Alumni, Jakarta, 2000.
Marbun, S.F. dan Moh. Mahfud, MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,
Edisi Pertama, Cetakan I, liberty, Yogyakarta, 1987.
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syariah, cetakan
pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
Marsh, S.B. dan J Soulsby Dalam Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perjanjian,
Alumni, Bandung, 2006.
Martono, Hukum Angkutan Udara, Rajawali Press, Jakarta, 2010.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Cetakan ke-7, Kencana Prenada
Media Group, Jakarta, 2011.
341

--------------------------, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Group, Jakarta,


2008.
McMurrin, M. (ed.), Liberty, Equality, and Law, Cambridge University Press,
Cambrige, 1987.
Meiwissen, D.H.M. dalam Van Apeldorn’s, Inleiding tot de Studie van het
Nederlandse Rechts, W.E.J., Tjeenk-Zwole, l985.
Mertokukuso, Soedikno, Hukum Acara Perdata Indonesia, cetakan ketujuh,
Liberty, Yogyakarta, 1998.
----------------------------, dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, cet. I,
PT. Citra Aditya Bakti, tanpa tempat, 1993.
----------------------------, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
2005.
Minka, Agustianto, Maqashid Syariah dalam Ekonomi dan Keuangan Syariah,
t.p., Jakarta, 2013.
Montesquieu, Membatasi Kekuasaan : Telaah Mengenai Jiwa Undang Undang
(Spirit of the Laws), Gramedia, Jakarta, 1993.
Mu’allim, Amir dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, UII Press,
Yogyakarta, 2001.
Muchsin, Ikhtisar Hukum Indonesia, Iblam, Jakarta, 2005.
Muhammad, Abdul Kadir, Asuransi Sosial Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2015.
Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Acara Perdata Indonesia, Alumni, Bandung,
1978.
Muhammad, Rusli, Lembaga Pengadilan Indonesia Beserta Putusan
Kontroversial, UII Press, Yogyakarta, 2013.
Muhjad, H.M. Hadin dan Nunuk Nuswardani, Penelitian Hukum Indonesia
Kontemporer, Cetakan Ke-I, Genta Publishing, Yogyakarta, 2012.
Mundy, Martha, The Family Inheritance and Islam: A Reexamination of The
Sociology of Fara’id Law dalam Aziz al Azmeh (ed), Islamic Law Social
and Historical Context, Routledge, London, 1998.
Mutiara, D. S., Ilmu Tata Negara Hukum, Pustaka Islam, Jakarta, 2006.
Nallino, Carlo Alfonso, editor, Fikih Islam dan Hukum Romawi Refleksi atas
Pengaruh Hukum Lama terhadap Hukum Baru, Gama Media, Yogyakarta,
2003.
342

Nasution, Bahder Johan, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Madju,
Bandung, 2014.
Natabaya, H.A.S, Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, Sekretaris
Jenderal Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006.
Natin, Sri, dkk., Hukum tentang Orang, Hukum Keluarga dan Hukum Waris di
Belanda dan Indonesia, Pustaka Larasan, Denpasar, 2012.
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, Jakarta,
1998.
---------------, Pengantar ke Pemikiran Politik, Cet. I, CV. Rajawali, Jakarta, 1983
Notosusanto, Organisasi dan Jurisprudensi Peradilan Agama di Indonesia, B.P.
Gadjah Mada, Yogyakarta, 1963.
Nozick, Robert, Anarchy, State, and Utopia, Blackwell, Oxford, 1974.
Panggabean, Samsu Rizal dan Taufik Adnan Amal, Politik Syariat Islam Dari
Indonesia hingga Nigeria, Pustaka Alvabet, Jakarta, 2004.
Pat O'Malley, Risk, Uncertainty and Goverment, Glass-House Press, New South
Wales, 2004.
Paton, G. W., A Textbook of Jurisprudence, Clarendon Press, Oxford, 1972.
Penner, James (editors), Introduction to Jurisprudence and Legal Theory,
(Commentary and Materials), Butterwords, London, 2002.
Perangin, Effendi, Hukum Waris, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997.
Philippe, Nonet & Philip Selznick, Hukum Responsif, Nusamedia, Bandung, 2008.
Pitlo, A., Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
Intermasa, Jakarta, 1979.
Pointer, J.A., Penemuan Hukum, terjemahan B. Arief Sidharta, Jendela Mas
Pustaka, Bandung, 2008.
Pound, Roscoe, Law Finding Through Experience and Reason: Three Lectures,
University of Georgia Press, Athens, 1960.
Praja, Juhaya S., Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, cetakan pertama,
Penerbit PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000.
Pramukti, Annger Sigit dan Andre Budiman Panjaitan, Pokok-Pokok Hukum
Asuransi, Pustaka Yustisia, Jakarta, 2016.
Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum,
Cetakan Ke-4, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011.
343

Prasetyo, Teguh, Keadilan Bermartabat, Perspektif Teori Hukum, Cetakan


Pertama, Nusa Media, Bandung, 2015.
Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Cetakan ke-9, Sumur,
Bandung, 1982.
------------------------, Perbuatan Melanggar Hukum, Sumur, Bandung, 1987.
Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN di
Jakarta, Ilmu Fiqh, Cetakan ke-2, Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Jakarta, 1984/1985.
Purbopranoto, Kuntjoro, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan
Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung, l972.
Purwosutjipto, H.M.N., Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Djambatan,
Jakarta, 1986.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Berbagai Aspek
Ekonomi Islam, PT Tiara Wacana dan P3EI UII, Yogyakarta, 2008.
Putri, Asih Eka, Paham BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Komunitas
Pajaten Mediatama, Jakarta, 2014.
Qamar, Nurul, Hak asasi Manusia dalam Negara Hukum Demokrasi, Sinar
Grafika, Jakarta, 2013.
Rahardjo, Dawam, Ensiklopedi Al-Qur’an, Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-
Konsep Kunci, Paramadina, Jakarta, 1996.
Rahardjo, Satjipto, Hukum dalam Jagat Ketertiban, UI Press, Jakarta, 2006.
---------------------, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1993.
---------------------, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012.
---------------------, Penegakan Hukum Progresif, Alvabet, Jakarta, 2004.
Rahmad, Dwi Susilo, K., Intgrasi Ilmu Sosial, Upaya Integrasi Ilmu Sosial, Tiga
Peradaban, Ar Ruzz, Jogjakarta, t.t.
Rahmadi, Takdir, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat,
Cetakan ke-2, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011.
Rahman, Bakri A., dan Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan Menurut Islam,
Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, Jilid I, PT
Hidakarya Agung, Jakarta, 1981.
Rajafi, Ahmad, Nalar Hukum Keluarga Islam di Indonesia, Istana Publishing,
Yogyakarta, 2015.
344

Ramulyo, M. Idris, Beberapa Masalah tentang Hukum Acara Perdata Peradilan


Agama dan Hukum Perkawinan Islam, Ind-Hell Co, Jakarta, 1985.
Rasjid, Sulaiman, Fikih Islam, Cet. 45, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2010.
Rasjidi, Lili dan B. Arief Sidharta, Filsafat Hukum, Mazhab dan Refleksinya,
Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994.
Rasuanto, Bur, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas;
Dua Teori Filsafat Politik Modern, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2005.
Rato, Dominikus, Hukum Perkawinan dan Waris Adat, Laksbang Yustitia,
Surabaya, 2011.
Rawls, John dalam Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barakatulloh, Filsafat,
Teori, dan Ilmu Hukum, Pemikiran Menuju Masyarakat Yang Berkeadilan
Bermartabat, Grafindo Persada, Jakarta, 2012.
Rawls, John, A Theory of Justice, Oxford University Press, London, 1971.
Ridwan, H. Juniarso dan Ahmad Sodik Sudrajad, Hukum Administrasi Negara,
dan Kebijakan Pelayanan Publik, Nuansa, Bandung, 2009.
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, cetakan 4, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2000.
Rohman, Fathur, Ilmu Waris, Pt. Al-Ma’arif, Bandung, 1981.
Roscoe, Pound, Law Finding Through Experience and Reason: Three Lectures,
University of Georgia Press, Athens, 1960.
Roth, Gabriel Joseph,The Privat Provision of Public Service in Developing
Country, Oxford University Press, Washington DC, 1926.
Sabiq, Sayyid, Fiqh al-Sunnah, Dar al-Fikr, Beirut, 1997.
Sacipto, Rahardjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000.
Sadjiono, Memahami Beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, Laksbang
Presindo, Yogyakarta, 2008.
Salman S., H.R. Otje, dan Mustofa Haffas, Hukum Waris Islam, Refika Aditama,
Bandung, 2006.
-------------------------, dan Mustofa Haffas, Hukum Administrasi Negara, Rajawali
Press, Jakarta, 2006.
-------------------------, Filsafat Hukum, Perkembangan & Dinamika Masalah,
Cetakan Ke-2, Refika Aditama, Bandung, 2010.
345

------------------------, Teori Hukum, Cetakan Ke-2, Bandung, Refika Aditama,


2010.
Sarmadi, Sukris, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif,
PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1997.
Sarwohadi, Sekitar Kejurusitaan, Pengadilan Tinggi Agama Mataram, Mataram,
2015.
Satria Efendi, Ushul Fikih, Jakarta:Perdana Media, 2005.
Sembiring, Rosnidar, Hukum Keluarga Harta-harta Benda dalam Perkawinan,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2016.
Setiawan, Aneka Masalah Hukum Dan Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung,
1992.
Shabuni, M. Ali Ash, Penerjemah A.M. Basalamah, Pembagian Waris Menurut
Islam, Cet. I, Gema Insani, Jakarta, 1995.
Shiddiqi, Noerouzzaman, Fiqhi Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, cet. ke-
1, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997.
Shomad, Abd., Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum
Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010.
Simanjuntak, P.N.H., Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jembatan, Jakarta,
1999.
Sjadzali, Munawir, Landasan Pemikiran Politik Hukum Islam dalam Rangka
Menentukan Peradilan Agama, dalam Tjun Suryaman (ed), Hukum Islam
di Indonesia Pemikiran dan Praktek, cetakan kedua, Bandung, 1994.
Sjarif, Surini Ahlan, dan Nurul Elmiyah. Hukum Kewarisan Perdata Barat.
Pewarisan Menurut Undang-Undang, cet. ke-2. Kencana, Jakarta, 2004.
Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif SuatuTinjauan
Singkat, Cetakan ke-14, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 20l2.
----------------------, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hukum, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2012.
----------------------, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, Citra Aditya Bhakti,
Bandung, 1989.
----------------------, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1981.
----------------------, Penelitian Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2001.
346

Soepomo, Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, Noordhoff,


Jakarta, 1945.
Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang Undangan (Dasar Dasar dan
Pembentukannya), Kanisius, Yogyakarta, l998.
Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Spelt, N.M. dan JBJM ten Berge, Pengantar Hukum Perijinan, Disunting oleh
Philipus M. Hadjon, Utercht, 1991.
Steers, Richards M, Efektifitas Organisasi, Erlangga, 1985.
Stroink, F.A.M. en J.G. Steenbeek, Inleiding in het Staats en Administratief Recht,
Samson H.D., Tjeenk Wilink, Alphen aan den Rijn, 1985.
Subekti, R., Hukum Adat Indonesia dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung,
Alumni, Bandung, 1974.
-----------------, dan J. Tamara, Kumpulan Putusan Mahkamah Agung mengenai
Hukum Adat, Gunung Agung, Djakarta, 1965.
----------------, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, 2003.
----------------, Ringkasan Tentang Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Intermasa,
Jakarta, 2005.
Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, Rineke Cipta, Jakarta, 1991.
------------, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1995.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalah, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.
Sukadana, I Made, Mediasi Peradilan, Cetakan Ke-l, Prestasi Pustaka, Jakarta,
2012.
Sukardja, Ahmad, Piagam Madinan dan Undang-Undang dasar 1945, Kajian
Perbandingan tentang dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang
Majemuk, UII Press, Jakarta, 1995.
Suma, Muhammad Amin, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam dan
Peraturan Pelaksanaan Lainnya Di Negara Hukum Indonesia,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.
------------------------------, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.
-----------------------------, Keadilan Hukum Waris Islam Dalam Pendekatan Teks
dan Konteks, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013.
Sumardjono, Maria S.W., Nurhasan Ismail dan Isharyanto, Mediasi Sengketa
Tanah, Cetakan ke-1, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2008.
347

Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada,


Jakarta, 2008.
Sunny, Ismail, Pembagian Kekuasaan Negara, Aksara Baru, Jakarta, 1978.
Suparman Eman, Intisari Hukum Waris Indonesia, cet. ke-3, Mandar Maju,
Bandung, 1995.
-------------------, Hukum Waris Islam Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat,
dan BW., Refika Aditama, Bandung, 2005.
------------------, Hukum Waris Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2015.
Susanto, Dedi, Kupas Tuntas Masalah Harta Gono-gini, Buku Pegangan
Keluarga, Akademisi dan Praktisi, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2011.
Susanto, Happy, Memahami Peraturan, Menumbuhkan Kesadaran, Pembagian
Harta Gono-Gini Saat Terjadi perceraian, Pentingnya Perjanajian
Perkawinan untuk Mengantisipasi Masalah Harta Gono-Gini, Cetakan
Ketiga, Visimedia, Jakarta, 2008.
Susilo, Sri, dkk., Bank & Lembaga Keuangan Lain, Salemba Empat, Jakarta,
2000.
Susseno, Franz Magnis, Moralitas dan Nilai-nilai Komunitas: Debat
Komunitarisme dan Universalisme Etis dalam Franz Magnis-Susseno,
Pijar-pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam
Muller ke Postmodernisme, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2005.
---------------------------, Pijar-pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat
Perempuan, dari Adam Muller ke Postmodernisme, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, 2005.
Sutikno, Filsafat Hukum, Jilid II, Pradnya-Paramita, Jakarta, 1976.
Syahrani, Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1999.
Syaifuddin, Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1993.
Syarifin, Pipin dan Zarkasy Chumaidy, Pengantar Ilmu Hukum, Pustaka Setia,
Bandung, 1998.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, cetakan ke-5, Kencana,
Jakarta, 2014.
Talib, Abdul Rasyid, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya Dalam
Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.
348

Tanya, Bernard L. dan Yoan N Simanjuntak, Markus Y.Hage, Teori Hukum-


Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Lintas Generasi, Cetakan
Keempat, Gentha Publishing, Yogyakarta, 2013.
Thalib, Sayuti, Receptio a Contrario, Pura Aksara, Jakarta, 1982.
Ubbe, Ahmad, Monografi Hukum AdatSulawesi Selatan dan Tengah, Badan
Pembinaan Hukum Nasional Kerja Sama dengan Fakultas Hukum Univ.
Tadulako, Jakarta, 1999.
Ujan, Andre Ata, Keadilan dan Demokrasi: Telaah Filsafat Politik John Rawls,
Kanisius, Yogyakarta, 2001.
Umar, M. Hasbi, Nalar Fikih Kontemporer, Gaung Persada Press, Jakarta, 2007.
Utrech, E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1960.
------------, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Penerbit dan Balai Buku
Ichtiar, Djakarta, 1964.
Vandijk, R., dalam M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dalam Acara
Peradilan Agama Undang-Undang N0. 7 Tahun 1989, Pustaka Kartini,
Jakarta, 1993.
Vollmar, H.F.A, Inleiding tot de Studie van het Nederlands Burgerlijk Recht, 1955.
Wade, H.W.R., Character of the Law, Chapter One, Administrative Law, English
Book Society, Oxford University Press, London, 1986.
Wahid, Abdurrahman, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, Remaja
Rosdakarya, Bandung, 1990.
Wahid, Marzuki dan Rumadi, Figh Madzhab Negara: Kritik atas Politik Hukum
Islam di Indonesia, Lkis, Yogyakarta, 2001.
Wahyudi, Alwi, Hukum Tata Negara Indonesia Dalam Perspektif Pancasila
Pasca Reformasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013.
Wignyosubroto, Sutandyo, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika
Masalahnya, Elsam & Huma, Jakarta, 2002.
Winarta, Frans Hendra, Hukum Penyelesaian Sengketa, Cetakan ke-1, Sinar
Grafika, Jakarta, 2012.
Wiradipradja, E. Saefullah, Tanggung Gugat Pengangkut Dalam Hukum
Pengangkutan Udara Internasional, Liberty, Jogyakarta, 1989.
Zahrah, Muhammad Abu, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr al-Arab, Cairo, 1958.
349

Zaidan, Abdul Karim (dalam terjemahan Muhyiddin Mas Rida), Al-Wajiz 100
Kaidah Fikih dalam Kehidupan Sehari-hari, Cetakan 1, Pustaka Al-
Kautsar, Jakarta, 2008.
Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam, Haji Masa
Agung, Jakarta, 1992.

Kamus:

Black, Henry Campbell, BlackS Law Dictionary, Minn-West Publishing co, St.
Paul, 1990.
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1990.
E John M Echols,. & Hassan Shadily, Kamus Indonesia-Inggris, Gramedia,
Jakarta, 1977.
Echols, John M. & Hassan Shadily, Kamus Indonesia-Inggris, Gramedia, Jakarta,
1977.
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictitionary, West Publisher, Minnesota,
2003.
Ibn Manzhur, Kamus Lisanul ‘Arab, Beirut: Dar Shadir, Cet.I, tt.
John M. Echols dan Hasan Syadilly, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta: Gramedia,
1990.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Baru, 2009, Cetakan ke-4, Jakarta, Pustaka
Phoenix.
Peter Salim, Contemporary English-Indonesian Dictionary, Modern English
Press, Jakarta, 1998.
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
1986.
S. Wojowasito, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Malang: Shinta Dharma, 1972.
Suharso dan Ana Ratnaningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia Cetakan
Kesepuluh Semarang, Widya Karya, 2012.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Sakai-Indonesia, Depdikbud, 1985.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989.
350

Perundang-undangan:

HIR: Herzien Indonesis Reglement atau Reglemen Indonesia Baru (Staatblad


1984: No. 16 yang diperbaharui dengan Staatblad 1941 No. 44).
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebar-luasan Kompilasi
Hukum Islam.
Kumpulan Peraturan Perundang-undangan, 1993, Jakarta, Yayasan Al- Hikmah.
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2016 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tantang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Reglemen Acara Hukum untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement Tot
Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura
(RBg.) (S. 1927-227).
Subekti, R., dan R. Tjiptosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
J.B.Wolters, Jakarta, 1990.
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002tentang
Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama untuk Menerapkan Lembaga
Damai.
Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan
terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989tentang Peradilan Agama.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009tentang perubahan
kedua terhadap Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004tentang perubahan
terhadap Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung.
351

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009tentang perubahan


kedua terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989tentang Peradilan
Agama.

Jurnal, Makalah, Tesis dan Disertasi:


Abdul Ghani Abdullah, “Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 dan
Perkembangan Studi Hukum Islam di Indonesia”, dalam Mimbar Hukum
No. 1 tahun V, Jakarta, al-Hikmah & Ditbinpera Islam Depag RI.
Ah. Azharuddin Lathif, “Fatwa DSN-MUN: Kedudukan, Proses, Pendekatan dan
Penerapannya”, bahan pada kuliah tamu, IAIN Antasari.
Akhmad Sukris Sarmadi, “Analisi Hukum Terhadap Ahli waris Pengganti Dalam
Kompilasi Hukum Islam”, Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas 17 Agustus 1945, 2011.
Arskal Salim, “Praktek Penyelesaian Formal dan Informal Masalah Pertanahan,
Kewarisan dan Perwalian Pasca Tsunami Di Banda Aceh Dan Aceh
Besar”, Laporan Penelitian, International development Law Organization
(IDLO) Post-Tsunami Legal Assistance Initiative for Indonesia.
Bustanul Arifin, Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia, Jurnal Al-Mizan, Nomor
3 Tahun I, 1983.
Jazim Hamidi, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjajaran, Bandung,
2005.
Joeni Arianto Kurniawan. Hukum Adat dan Problematika Hukum di Indonesia.
Majalah Hukum “Yuridika” FH Unair, Volume 23, No. 1 Januari-April
2008.
John M. Echols dan Hasan Syadilly, Kamus Inggris-Indonesia, Jakarta:Gramedia,
1990.
Masjfuk Zuhdi, Pelaksanaan Hukum Faraid di Indonesia, 1983, Jurnal Al-Mizan,
No. 2 Tahun I.
Muchtar Zarkasyi, Kerangka Historis Pembentukan UU Nomor 7 Tahun 1989,
Jurnal Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam, Nomor 1 Tahun 1,
diterbitkan oleh Al-Hikmah & Direktorat Pembinaan Badan Peradilan
Agama Islam, Jakarta, 1990.
Sari Wahyuni, “Penyelesaian Sengketa Klaim Asuransi Dikalangan Ahli Waris
Tertanggung (Studi Kasus Pada Pengadilan Agama Lhokseumawe), Tesis,
352

Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas


Sumatera Utara.
Slamet Suhartono, “Vage Normen Sebagai Dasar Tindakan Hukum Tindakan Tata
Usaha Negara”, Ringkasan Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Brawijaya Malang, 2009.
Syaugi, “Dealektika Muhammadiyah dan Budaya Lokal:Studi Reorientasi
Manhaj Tarjih Muhammadiyah tentang Budaya Lokal”, Tesis, Sekolah
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2005.
Syaugi, "Metode Penemuan Hukum Islam Melalui Interpretasi Teleologis Kajian
Terhadap Maqashid al-Syari'ah",dalamSyari'ah Jurnal Hukum dan
Pemikiran, N0.2, Tahun 6, Juli-Desember 2006.
Soetandyo Wignyosoebroto, Kumpulan Perkuliahan dalam Mata kuliah Penulisan
Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Departemen Pendidikan Nasional
Universitas Diponegoro Semarang, 2000.
Sunarjati Hartono, "Pembinaan Hukum Nasional Pada Pembangunan Jangka
panjang Tahap II dalam Konteks Hukum Islam", Mimbar Hukum, N0.8,
Th. 1993.
Shintiya Dwi Puspita, “Legitieme Portie Dalam Hukum Waris Islam” jurnal
diakses dari portalgaruda.org/article.php? pada tanggal 4 Desember 2016.
Tjokorda Raka Dherana, “Beberaoa Segi Hukum Adat Waris Bali”, Majalah
Hukum N0.2 Tahun Kedua, Jakarta:Yayasan Penelitian dan Pengembangan
Hukum (Law Center), 1975.
Frans G. von der Dunk, Liability Versus Responsibility In Space Law,
Misconseption or Misconstruction?”, Space and Telecomunication Law
Program Faculy Publikation, http://digital commons. unl.edu/ spacelaw/
43,1991.
Hamidi, Jazim, Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustua
l945 Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Disertasi,
Program Pascasarjana Universitas Padjdjaran, Bandung, 2004.
Assiddiqie, Jimly, Konstitusi Sebagai Landasan Indonesia Baru Yang
Demokratis, (Pokok Pokok Pikiran tentang Perimbangan Kekuasaan
Eksekutif dan Legislatif Dalam Rangka Perubahan Undang Undang
Dasar l945, Makalah, Disampaikan Dalam Seminar Hukum Nasional VII,
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman RI, l999.
353

Assiddiqie, Jimmly, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, Orasi Ilmiah


pada Wisuda Sarjana Hukum Universitas Sriwijaya Palembnag, 23 Maret
2004, dalam Jurnal Simbur Cahaya, No. 25 Th. IX, Mei 2004.
Lotulung, Effendie, Paulus, “Yurisprudensi Dalam Perspektif Pengembangan
Hukum Administrasi Negara di Indonesia,” (Pidato Pengukuhan
Diucapkan Pada Upacara Penerimaan Jabatan Sebagai Guru Besar Ilmu
Hukum Administrasi Negara pada Fakultas Hukum Universitas Pakuan,
Bogor, 24 September 1994).
Slamet, Kadar, Subyek Hukum (Penggugat Dan Tergugat) Serta Perkembangan
Subyek Dan Obyek Hukum Dalam Yurisprudensi Tun, Ceramah pada
Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim, Ceramah pada Pendidikan dan
Pelatihan Calon Hakim Angkatan IV Di PUSDIKLAT MA-RI, CIKOPO,
Tahun 2009.
Alfons, Maria, Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-
produk Masyarakat Lokal Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual,
Ringkasan Disertasi Doktor, Universitas Brawijaya, Malang, 2010.
Wahyono, Padmo, Konsep Yuridis Negara Hukum Indonesia, Makalah, UI Press,
Jakarta, l998.
Soemantri, Sri, Perlindungan Hukum Melalui Perlindungan Hak Asasi, Makalah
Seminar, Fakultas Hukum, Universitas 17 Agustus l945, Surabaya, l992.
Sumantri, Sri, Kemandirian Kekuasaan Kehakiman Sebagai Prasyarat Negara
Hukum Indonesia, Makalah Seminar 50 Tahun kemandirian Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia, UGM Yogyakarta, 26 Agustus 1995.
Laporan Tahunan Pengadilan Agama Surabaya Tahun 2012.
Aviati, Wiwik, Hak Gugat Dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan, WWW/
Google.Com, diakses tanggal 26 Mei 2017.
Rahardjo, Satjipto, Teori dan Metode Dalam Sosiologi Hukum, Makalah dalam
pertemuan Ilmiah, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1984.
Wahyu Widiana, Slide: Penguatan Peran dan Penataan Organisasi BP4,
Disampaikan pada Sosialisasi Mekanisme Pelaksanaan Bimbingan
Perkawinan – Kemenag RI, Jakarta, 8 Desember 2016.

Internet:
354

Business Dictionary,
http://www.businessdictionary.com/definition/procedure.html, diakses jam
10:14 tanggal 29/11/2017.
Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Referensi HAM,
http://referensi.elsam.or.id/2014/10/putusan-nomor-46puu-viii2010-
mahkamah-konstitusi-republik-indonesia-tentang-perkawinan/, diakses
tanggal 23-11-2017 jam 6:05.
Google Translate, https://translate.google.co.id/?hl=en#id/en/prinsip, diakses jam
3:14 tanggal 28/11/2017.
Harifin A. Tumpa, Kekuasaan Kehakiman Dimaknai Menegakkan Hukum,
Keadilan,
http://www.ditjenmiltun.net/index.php/component/content/article/114-
umum/1410-harifin-kekuasaan-kehakiman-dimaknai-menegakkan-hukum-
keadilan.html, di Unduh pada tanggal 8 September 2015 jam 9:45.
Harifin A. Tumpa, Kekuasaan Kehakiman Dimaknai Menegakkan Hukum,
Keadilan,
http://www.ditjenmiltun.net/index.php/component/content/article/114-
umum/1410-harifin-kekuasaan-kehakiman-dimaknai-menegakkan-hukum-
keadilan.html, diunduh pada tanggal 8 Januari 2016 jam 9:45.
http://advosolo.wordpress.com/2012/07/04/kekuasaan-kehakiman-di-indonesia/,
diunduh jam 14:20 tanggal 23/11/2012.
http://andrie07.wordpress.com/2009/11/25/faktor-penyebab-konflik-dan-strategi-
penyelesaian-konflik/, diunduh jam 07:27 tanggal 16/l0/2012.
http://blogperadilan.blogspot.co.id/2011/05/paradigma-baru-penyelesaian-
sengketa.html diunduh tanggal 6/2/2016 jam 15:10.
http://bolmerhutasoit.wordpress.com/2011/10/07/artikel-politik-hukum-tujuan-
hukum-menurut-gustav-radbruch/, diunduh jam 07:23 tanggal 17-12-2012.
http://dc177.4shared.com/doc/NJLykB0N/preview.html, diunduh jam 14:45
tanggal 12/11/2012.
http://dieks2010.wordpress.com/2010/08/27/pengertian-fungsi-dan-tujuan-negara-
kesatuan-republik-indonesia/, diunduh jam 08:45 tanggal 19/11/2012.
http://dukunhukum.wordpress.com/2012/04/09/asas-asas-hukum-acara-perdata/,
diunduh jam 14:47 tanggal l7/10/2012.
http://filkumania-bentham.blogspot.com/,diunduh jam l4:31 tanggal 15/l0/2012.
355

http://gokil8.wordpress.com/2011/04/13/asas-hukum-peradilan-agama/, diunduh
jam 14:48 tanggal 12/11/2012.
http://handarsubhandi.blogspot.co.id/2014/11/ruang-lingkup-harta-
bersama.html,diunduh tanggal 7/2/2016 jam 3:6.
http://hnikawawz.blogspot.com/2011/11/kajian-teori-perlindungan-hukum.html,
diunduh jam 08:00 tangga 16/11/2012.
http://id.shvoone.com/law-and-politics/law/2093155-fungsi-hukum/, diunduh jam
l4:30 tanggal 17/10/2012.
http://id.wikipedia.org/wiki/Kain_dan_Habel,diunduh jam 07:33 tanggal
16/10/2012.
http://ineusintiawati.blogspot.co.id/2012/03/pengertian-landasan.html, diakses
jam 12:35 tanggal 7/12/2017.
http://kamus-internasional.com/definitions/?indonesian_word=protect, diakses
jam 12:34 tanggal 10/12/2017.
http://kangparjay.blogspot.co.id/2011/05/qidah-fiqhiyyah.html, diakses tanggal
12/9/2015 jam 9:17.
http://koirula.blogspot.co.id/2016/04/hukum-acara-perdata-peradilan-umum-
dan.html, diakses pada hari Kamis tanggal 17 Agustus 2017 jam 16:49.
Error! Hyperlink reference not valid., diunduh jam 12:37 tanggal l5/l0/2012.
http://m.artikata.com/arti-370773-melindungi.html, diakses jam 12:34 tanggal
10/12/2017.
http://mklh10arbitrase.blogspot.com, diunduh jam 19:36 tanggal l2/9/2012.
http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/10951, diunduh tanggal 7/2/2016
jam 3:33.
http://sejarah.kompasiana.com/2011/06/25/akar-konflik/, diunduh jam 07:31
tanggal 16/l0/2012.
http://thatsmekrs.wordpress.com/2010/06/17/tugas-fungsi-dan-tujuan-hukum/,
diunduh jam 07:38 tanggal l7/10/2012.
http://wawasankeislaman.blogspot.com/2012/02/fiqh-shulh-l.html, diunduh jam
07:51 tanggal 16/10/2012.
http://wonkdermayu.wordpress.com/artikel/alternatif-
penyelesaian-sengketa-di-indonesia/, diunduh jam 19:08
tanggal 22/12/2012.
356

http://www.ekomarwanto.com/2011/05/arbitrase-dan-alternatif-penyelesaian.html,
diunduh jam 19:33 tanggal l2/9/2012.
http://www.infoplease.com/ipa/A0193922.html, diakses pada hari Jum’at taggal 5
Juni 2015 jam 10:30.
http://www.kuliah.info/2015/05/konsep-adalah-apa-itu-konsep-ini.html, diakses
jam 10:23 tanggal 7/12/2017.
http://www.life.viva.co.id/news/read/195848-10-negara-dengan-tingkat-
perceraian-tertinggi, diakses jam 10:20 tanggal 11/6/2015.
http://www.scribd.com/doc/46240963/Asas-Kepastian-Hukum, diunduh jam
08:34 tanggal 5/11/2012.
http://www.scribd.com/doc/51273229/BENTUK-ALTERNATIF-
PENYELESAIAN-SENGKETA, diunduh jam 12:41 tanggal 5/11/2012.
http://www.siddikilegaldick.blogspot.co.id/2014/12/mengapa-memilih-
mediasi.html diakses tanggal 20/01/2016 jam 13.30.
http://www.siddikilegaldick.blogspot.co.id/2014/12/mengapa-memilih - mediasi.
html, diunduh tanggal 30/1/2016 jam 1:57.
https://en.wikipedia.org/wiki/Statistical_Abstract_of_the_United_States, diakses
pada hari Rabu, tanggal 9/8/2017 jam 18:31.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Prosedur, diakses jam 10:10 tanggal 21/11/2017.
https://id.wikipedia.org/wiki/Konsep, diakses jam 1:21 tanggal 7/12/2017.
https://id.wikipedia.org/wiki/Mahar, diakses jam 2:20 tanggal 22-11-2017.
https://id.wikipedia.org/wiki/Prinsip, diakses jam 2:46 tanggal 28/11/2017.
https://kamaldiegrosse.wordpress.com/pembagian-harta-gono-gini-dalam-
perceraian/, 7/2/2016 jam 3:37;
http://alfarabi1706.blogspot.co.id/2013/01/harta-bersama-gono-gini-
hukum-perdata.html, diunduh tanggal 7/2/2016 jam 3:43.
https://kbbi.web.id/asas, diakses jam 2:29 tanggal 29/11/2017.
https://kbbi.web.id/landas, diakses jam 8:21 tanggal 7/12/2017.
https://kbbi.web.id/mahar, diakses jam 2:25 tanggal 22-11-2017.
https://kbbi.web.id/prosedur, diakses jam 10:04 tanggal 21/11/2017.
https://kbbi.web.id/prosedur, diakses jam 9:55 tanggal 29/11/2017.
https://krisnaptik.com/polri-4/teori/teori-hukum-dan-pengertian/, diakses jam 1:11
tanggal 7/12/2017.
357

https://translate.google.co.id/?hl=en#id/en/prosedur, jam 10:06 tanggal


29/11/2017.
https://www.almaany.com/ar/dict/ar-ar/%D8%B1%D9%83%D9%86/, diakses jam
12:19 tanggal 15-11-2017.
https://www.almaany.com/ar/dict/ar-ar/%D8%B4%D8%B1%D8%B7/, diakses
jam 11:10 tanggal 15-11-2017.
https://www.babla.co.id/bahasa-indonesia-bahasa-inggris/melindungi, diakses jam
12:34 tanggal 10/12/2017.
https://www.google.co.id/search?
q=what+is+the+meaning+of+the+word+principle&oq=what+is+the+mean
ing+of+the+word+principle&aqs=chrome..69i57j0l2.3508j0j8&sourceid=
chrome&ie=UTF-8, diakses jam 2:58 tanggal 28/11/2017.
https://www.google.co.id/search?
q=what+is+the+procedure&oq=what+is+the+procedure&aqs=chrome..69i
57j0l5.4688j0j8&sourceid=chrome&ie=UTF-8, jam 10:04 tanggal
29/11/2017.
Hukum.kompasiana.com/2012/07/12/huk…, diunduh jam 10:02 tanggal
13/1/2013.
Husodo, Siswono Yudo, Indonesia: “Welfare State” yang Belum Sejahtera, dalam
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/ 0604/ 25/ opini/ 2605736. htm
dikutip pada tanggal 6 April 2016.
id.wikipedia.org/wiki/Hukum_perdata, diunduh jam 09.55 tanggal 13/1/2013.
Islamweb.net, Markaz al-Fatawa,http://fatwa.islamweb.net/fatwa/ index. php?
page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=2038, diakses jam 12:10 tanggal
14-11-2017.
Islamweb.net, Markaz al-Fatawa, http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?
page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=2038, diakses jam 12:10 tanggal
14-11-2017.
Jamsos Indonesia, Regulasi Program Taspen, diakses dari
http://www.jamsosindonesia.com/prasjsn/taspen/regulasi, 16/12/2014.
Jurnal Hukum Dr. Rahman Amin, S.H., M.H.,
http://rahmanamin1984.blogspot.co.id/2014/03/filsafat-hukum-aliran-
utilitarianisme.html, diakses tanggal 20/08/2017 jam 13.04.
358

Jurnal Hukum Perkawinan, http://www.jurnalhukumperkawinan.com/10002/5-


alasan-untuk-tetap-mempertahankan-pernikahan, diakses pada hari Jum’at
taggal 5 Juni 2015 jam 9:44.
Jurnal Konsultasi Syari'ah, https://konsultasisyariah.com/21710-hukum-menikah-
dalam-islam.html, diakses tanggal 25/10/2017 jam 17:25.
Jurnal Maqasid Al-Syariah,
http://www.referensimakalah.com/2011/09/pembicaraan-tentang-maqasid-
al-syari_1553.html, diakses tanggal 20/08/2017 jam 11:18.
Jurnal Maudlu’ Akbar Mauqi’ ‘Araby bi al-“Alam, http://mawdoo3.com/, diakses
tanggal 31/10/2017 jam 18:13.
Jurnal Pengertian Pakar, Kumpulan Pengertian Menurut Para Pakar,
http://www.pengertianpakar.com/2015/03/pengertian-dan-tujuan-
pernikahan-perkawinan.html, diakses hari Selasa tanggal 24/10/2017 jam
19:13.
Jurnal Pengertian Pakar, Kumpulan Pengertian Menurut Para Pakar,
http://www.pengertianpakar.com/2015/03/pengertian-dan-tujuan-
pernikahan-perkawinan.html, diakses tanggal 24/10/2017 jam 18:11.
Jurnal Siswapedia, Pengertian Asas Hukum dan Macam-Macam Asas Hukum,
https://www.siswapedia.com/pengertian-asas-hukum-dan-macam-macam-
asas-hukum/, diakses tanggal 14-11-2017 jam 1:18.
Jurnal Sosiologi Hukum http://aepcitystudio.blogspot.co.id/2014/09/teori-
sosiologi-hukum-menurut-beberapa.html, diakses tanggal 20/08/2017 jam
13.04.
Jurnal Tuntunan Ilmu, http://menurut-islam.blogspot.co.id/2013/03/ syarat-dan-
rukun.html, diakses jam 12:55 tanggal 14-11-2017.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus versi online/daring (dalam
jaringan) https://kbbi.web.id/teori, diakses jam 12:43 tanggal 7/12/2017.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Kamus versi online/daring (dalam
jaringan) https://kbbi.web.id/prinsip, diakses jam 2:84 tanggal 28/11/2017.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kamus versi online,
https://kbbi.web.id/kawin, diakses hari Selasa tanggal 24/10/2017 jam
18:18.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kamus versi online,
https://kbbi.web.id/asimilasi, diakses hari Selasa tanggal 24/10/2017 jam
18:27.
359

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Kamus versi online/daring (dalam


jaringan), https://kbbi.web.id/konsep, diakses jam 1:19 tanggal 7/12/2017.
Lawmetha.wordpress.com,Error! Hyperlink reference not valid., diunduh jam
12:37 tanggal l5/l0/2012.
Mahmuzar, Maslahah Mursalah: Suatu Metode Istinbat Hukum, diakses dari
http://fush.uin-suska.ac.id/attachments/073_Mahmuzar.pdf, 17/12/2014.
Pengadilan Negeri Surabaya, Sejarah Pengadilan, diakses melalui http://pn-
surabayakota.go.id/page/view/1, 10 Juli 2013.
Pengertian Pakar, Kumpulan Pengertian Menurut Para Pakar,
http://www.pengertianpakar.com/2015/01/pengertian-fungsi-dan-macam-
macam-asas-hukum.html, diakses jam 5:02 tanggal 5-12-2017.
Sa’d ibn Abdillah Al-Hamid, Dr., Al-Alukah Al-Syar’iyah, http://
www.alukah.net/sharia/0/102016/, diakses jam 12:23 tanggal 14-11-2017.
Tugas, Fungsi dan Tujuan Hukum, http://thatsmekrs.wordpress.com/
2010/06/17/tugas-fungsi-dan-tujuan-hukum/, diunduh jam 07:38 tanggal
l7/10/2012.
Tujuan Pernikahan atau Tujuan Perkawinan, http://www. pengertianpakar.com /
2015/03/ pengertian-dan-tujuan-pernikahan-perkawinan.html, diakses
tanggal 23/02/2017 jam 17:10
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas,
https://id.wikipedia.org/wiki/Teori, diakses jam 12:48 tanggal 7/12/2017.
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas,
https://id.wikipedia.org/wiki/Prosedur, diakses jam 9:50 tanggal
29/11/2017.
Wikipedia, ensiklopedia bebas, https://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan, diakses
hari Selasa tanggal 24/10/2017 jam 18:03.

You might also like