Download as rtf, pdf, or txt
Download as rtf, pdf, or txt
You are on page 1of 25

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas Rahmat dan

RidhoNYA, dalam rangka memenuhi tugas terstruktur sebagai mahasiswa pada

Program Magister Ilmu Hukum fakultas Hukum Universitas Tabjungpura, kami

diberi kesempatan untuk dapat mengangkat suatu bahasan akademik yang

berhubungan dengan Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

Sebagaimana yang telah kami utarakan diatas pemilihan tema dan bahasan

berkenaan dengan Putusan KPPU dilatar belakangi oleh realita kasus yang

dipandang dari sudut Kajian keilmuan.

Mengemukakan suatu tanggapan ilmiah dirasa penting dalam rangka

memberikan ide dan pemikiran baru dalam suatu penegakan hukum persaingan

usaha yang adil dan fair, mengingat ketidak pedulian dan ketidak adilan masih

dirasakan pada kelompok ekonomi yang kecil.

Hal inilah yang mestinya dilakukan dan dipikirkan oleh pihak-pihak

berwenang yang memiliki kompetensi dalam rangka menciptakan bentuk regulasi

tetang sistem Pengawasan persaingan usaha yang sehat dan kompetitif tanpa

mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.

demikian sedikit pengantar dalam ranggka penulisan makalah ilmiah, atas

perhatian dan dukungan semua pihak diucapkan terima kasih.

Pontianak, Januari 2011

Penulis,

DENI TRISNA DYAH


BAB I
PENDAHULUAN

PELANGGARAN TERHADAP UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN


1999 DALAM PERKARA KARTEL SMS (SHORT MESSAGE
SERVICE) YANG DILAKUKAN OLEH PARA OPERATOR
PENYELENGGARA JASA TELEKOMUNIKASI.

Studi Kasus : Perkara KPPU No.26/KPPU-L/2007

A.Latar Belakang

Perkara KPPU No.26/KPPU-L/2007 ini bermula dari laporan tentang adanya

penetapan harga SMS off-net. Pelanggaran tersebut dilakukan oleh para

operator jasa telekomunikasi pada periode 2004 sampai dengan 1 April 2008.

KPPU menemukan bukti adanya klausula perjanjian kerja sama (PKS)

Interkoneksi yang menyatakan bahwa harga layanan SMS off-net berkisar

pasar Rp. 250,00 – Rp. 350,00. Tim Pemeriksa juga menemukan beberapa

klausula penetapan harga SMS tidak boleh lebih rendah dari Rp. 250,00

dalam PKS Interkoneksi. Komisi juga melihat adanya dampak atas penetapan

harga yang mengakibatkan kerugian konsumen dihitung berdasarkan selisih

penerimaan harga kartel dengan penerimaan harga kompetitif SMS off-net

setidak-tidaknya sebesar Rp. 2.827.700.000.000).

Komisi tidak berwenang untuk menjatuhkan sanksi ganti rugi untuk

konsumen. Dalam putusannya, KPPU menyatakan bahwa 6 (enam) operator

telekomunikasi melanggar Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 dengan dijatuhi

denda berkisar Rp. 4 Milyar sampai dengan Rp. 25 Miyar.


B.Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, Penulis merumuskan beberapa

permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana mekanisme dalam menetapkan standar harga suatu

produk berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999;

2. Bagaimana dampak Penetapan harga sms oleh para operator

terhadap konsumen pengguna telp seluler dalam kasus perkara kartel;

3. Bagaimanakah tindakan hukum yang dilakukan KPPU terhadap

kasus kartel sms.

C. Tujuan

Untuk meneliti dan menganalisa bagaimana tindakan hukum yang

dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam memutuskan

perkara kartel sms (short message service) yang dilakukan oleh para

operator penyelenggara jasa telekomunikasi.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian

Pengertian kartel adalah kerjasama sejumlah perusahaan yang

bersaing untuk mengkoordinasi kegiatannya sehingga dapat

mengendalikan jumlah produksi dan harga suatu barang dan atau jasa

untuk memperoleh keuntungan di atas tingkat keuntungan yang wajar.

Peraturan tentang kartel tersebar dalam berbagai pasal di Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999),

seperti pasal 5 tentang kartel harga (price fixing), pasal 9 tentang kartel

wilayah dan Pasal 11 tentang kartel produksi dan pemasaran.

Menurut pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,

jika pelaku usaha melanggar pasal 4 sampai dengan pasal 16 maka

KPPU akan melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha

tidak sehat. Berdasarkan pasal tersebut maka jika pelaku usaha

terindikasi melakukan kartel maka yang harus dinilai oleh KPPU adalah

perjanjiannya.

Perjanjian inilah yang akan menjadi alat bukti adanya kartel.

Masalahnya, pembuktian dengan menggunakan perjanjian atau

kesepakatan tertulis sangat sulit dilakukan. Oleh karena itulah pembuktian

kartel berkembang menggunakan indirect evidence yaitu bukti-bukti

secara tidak langsung dimana terdapat hasil-hasil analisis ekonomi yang


menggunakan tool-tools ekonomi yang memang secara ilmiah diakui dan

bisa menunjukkan korelasi antara satu fakta dengan fakta lain bahwa

memang telah terjadi pengaturan di dalamnya.

Selain itu, kartel seringkali berjalan simultan dengan pelanggaran

lain yang berpotensi berseberangan dengan aturan dalam Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999. Yakni, Pasal 5 (penetapan harga)¸ Pasal 9

(pembagian pasar), Pasal 10 (pemboikotan), Pasal 12 (trust), Pasal 22

(persekongkolan tender), Pasal 24 (persekongkolan menghambat

produksi dan atau pemasaran). Menurut pasal 35 huruf b Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999, jika pelaku usaha melakukan pelanggaran

pasal 17 sampai dengan pasal 24 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

mengenai kegiatan terlarang maka KPPU akan melakukan penilaian

terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha

tidak sehat. Jadi, yang dinilai oleh KPPU dalam hal ini adalah tindakan

atau perilaku pelaku usaha yang bersangkutan. Lantas timbul pertanyaan.

Jika perilaku pelaku usaha telah memenuhi ketentuan pasal-pasal

tersebut, apakah pelaku usaha yang bersangkutan dapat diindikasikan

kartel walaupun tidak terdapat perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal

11 UU No. 5 Tahun 1999? Apa parameter yang digunakan KPPU untuk

menilai perilaku pelaku usaha yang dapat diindikasikan kartel?

B. Proses terjadinya Kartal


Dalam draft pedoman kartel dapat ditemukan ketentuan mengenai

indikator awal terjadinya kartel yakni melalui faktor struktural dan faktor perilaku.

Faktor struktural antara lain tingkat konsentrasi dan jumlah perusahaan, ukuran

perusahaan, homogenitas produk, kontak multi pasar, persediaan dan kapasitas

produksi, keterkaitan kepemilikan, kemudahan masuk pasar, karakter permintaan

dan kekuatan tawar pembeli. Sedangkan faktor perilaku, antara lain transparansi

dan pertukaran informasi serta peraturan harga dan kontak.

Namun permasalahannya, parameter atau ukuran yang jelas mengenai

indikator awal tersebut tidak juga ditemukan dalam draft pedoman kartel. Inilah

yang dikeluhkan oleh para pelaku usaha. Berbagai macam penafsiran mengenai

indikator awal akan timbul, dan hanya KPPU–lah yang dapat menilai apakah

tindakan atau perilaku pelaku usaha tersebut telah terindikasi kartel.

Lebih lanjut, salah satu faktor terjadinya kartel adalah melalui asosiasi

pengusaha yang merupakan pertemuan rutin antara para pengusaha. Biasanya

setiap sector usaha memiliki asosiasi masing-masing. “Paguyuban” tersebut

bertujuan sebagai wadah pertemuan antara para pengusaha yang saling berbagi

pengalaman. Apakah rapat atau pertemuan dalam rangka berbagi pengalaman

tersebut dapat diindikasikan sebagai kartel?

Terlepas dari hal-hal tersebut diatas, pengaturan kartel oleh KPPU

bertujuan untuk menjamin hak berkompetisi sehat bagi pelaku usaha dan

peluang kesejahteraan konsumen. Kita pun sebagai konsumen telah menikmati

keuntungan dari keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh KPPU. Misalnya

dalam kasus kartel SMS, konsumen akhirnya dapat merasakan harga SMS yang
ditawarkan para pelaku telekomunikasi selular yang kompetitif. Sebagai

informasi, dalam penanganan kartel di beberapa negara, kartel telah

berkembang ke arah per se illegal karena adanya konsekuensi ekonomi negatif

yang sudah pasti terjadi oleh karena adanya suatu tindakan. Bahkan, di

beberapa negara di dunia, kartel sudah mengarah pada tindakan kriminal karena

dianggap merugikan masyarakat. Namun memang di Indonesia, kartel masih

bersifat rule of reason.

C. Tujuan Pengaturan Pedoman Kartel

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) telah menuntaskan

penyusunan draf pedoman pelarangan kartel. Pedoman ini bertujuan untuk

mewaspadai potensi terbentuknya perilaku kartel. Namun demikian, draft

pedoman tentang pelarangan kartel yang rencananya akan disahkan oleh KPPU

pada sekitar bulan April, mengalami pengunduran hingga saat ini. Hal tersebut

memunculkan pertanyaan, sebenarnya hal apa saja yang menjadi alasan

diundurnya pemberlakuan pedoman tersebut? Padahal sejauh ini telah terdapat

berbagai kasus mengenai kartel seperti kartel sms, kartel fuel surcharge, kartel

garam, kartel semen dan kartel minyak goreng.

D. Tindakan hukum oleh KPPU dalam Putusan KPPU No. 26/KPPU-


L/2007 tentang Penetapan Harga SMS,

Dalam Putusan KPPU No. 26/KPPU-L/2007 tentang Penetapan Harga

SMS, selain KPPU menemukan bukti adanya perjanjian tertulis di antara para

operator, juga membuktikan dampak terhadap persaingan itu sendiri, yakni

adanya kerugian yang dialami konsumen.


Penyelidikan terhadap ada tidaknya pelanggaran terhadap

ketentuan hukum persaingan melalui pendekatan per se illegal

dianggap lebih memberikan kepastian hukum. Artinya, bahwa adanya

larangan yang tegas dapat memberikan kepastian bagi pengusaha

untuk mengetahui keabsahan suatu perbuatan. Hal ini memungkinkan

mereka untuk mengatur dan menjalankan usaha tanpa khawatir

adanya gugatan hukum di kemudian hari, yang menimbulkan kerugian

berlipat ganda. Dengan perkataan lain, bahwa pendekatan per se

illegal dapat memperingatkan pelaku usaha sejak awal, mengenai

perbuatan apa saja yang dilarang, serta berusaha menjauhkan mereka

untuk mencoba melakukannya. 1

Namun demikian, tidak mudah untuk membuktikan adanya

perjanjian, terutama jika perjanjian tersebut dilakukan secara lisan. 2

Dalam hal ini, hakim hanya perlu membuktikan apakah terjadi suatu

perjanjian. Namun demikian, terdapat kesulitan Pasal 1 butir 7 UU

Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan, bahwa “Perjanjian adalah suatu

perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri

terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik

tertulis maupun tidak tertulis”.

1 CarlKaysen and Donald F. Turner, Antitrust Policy: an Economic and Legal Analysis (Cambridge:
Harvard
University Press,1971)
2 Pasal 1 butir 7 UU Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan, bahwa “Perjanjian adalah suatu
perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain
dengan nama apapun, baik
tertulis maupun tidak tertulis”.
Untuk membuktikan suatu perjanjian yang dilakukan dengan

cara lisan (tidak tertulis). Sebagai contoh, misalnya, dalam perkara

Barber Shop Association 3


, yakni suatu asosiasi para tukang cukur

dalam Akita Prefecture, yang melakukan penelitian tentang pendapat

para tukang cukur anggota asosiasi, dengan cara mengirimkan

kuesioner kepada mereka dan menjawab pertanyaan mengenai dua

hal: “do you wish to raise price and if you do, what is the appropriate

price level?” Setelah kuesioner terkumpul, mereka menganalisis isi,

dan mengumumkan, bahwa hampir semua anggota asosiasi

menghendaki peningkatan harga, dengan tingkat harga yang

diperkirakan adalah sebesar 300 yen. Kemudian asosiasi menentukan

“harga standar” sebesar 300 yen, dan memerintahkan bahwa masing-

masing anggota dapat menentukan harga secara independen, dengan

mempertimbangkan “harga standar” tersebut. Semua anggota asosiasi

akhirnya sepakat secara diam-diam untuk menetapkan harga sebesar

300 yen.

KPPU menemukan bukti adanya perjanjian tertulis di antara para

operator, juga membuktikan dampak terhadap persaingan itu sendiri, yakni

adanya kerugian yang dialami konsumen.

Beberapa kasus serupa terjadi juga di Amerika Serikat, yang bertujuan

mempengaruhi harga persaingan, yang ditemukan dan digunakan sebagai

petunjuk analisis untuk mendukung karakterisasi suatu pengaturan atas harga.

3 FTC Decision, 11 Agustus 1965: p. 13 (1966) in Mitsuo Matsushita, International Trade and
Competition Law in
Japan (New York: Oxford University Press, Inc., 1993) pp. 144-145.
4
Dalam Nationwide Trailer Rental System, Inc. v. United States , Mahkamah

Agung menetapkan, bahwa pengedaran surat dalam bentuk daftar terjadwal,

yang berisi penetapan tingkat harga lembur (overtime charges) untuk persewaan

trailer kepada masing-masing anggota asosiasi, merupakan hambatan dalam

bentuk harga (price restraint).

Bukti-bukti menunjukkan, bahwa “jadwal” tersebut hanya

digunakan sebagai “pedoman”, yang tidak mengharuskan para

anggota untuk mematuhi, dan secara nyata menyimpanginya.

Meskipun hanya sedikit atau tidak terdapat bukti mengenai pengaruh

terhadap harga yang dapat dilihat, namun pengadilan menyimpulkan,

bahwa “jadwal” tersebut diedarkan dengan beberapa tujuan, dan

tampaknya antara lain, adalah menyarankan “tingkat harga” lembur,

walaupun harga tersebut tidak ditetapkan secara rigid. Hal yang sama

terdapat dalam Plymouth Dealers’ Association v. United States 5


.

Dalam hal ini, asosiasi dealer mengedarkan daftar “harga yang

disarankan” (suggested price) yang nilainya lebih tinggi dari pada

harga penjualan kembali yang disarankan oleh perusahaan. Meskipun

tidak terdapat alasan dari para dealer untuk mengikutinya dan

kenyataannya memang demikian, namun terdapat beberapa bukti

yang menunjukkan, bahwa ketika melakukan negosiasi dengan para

4 Nationwide Trailer Rental System, Inc. v. United States, 355 U.S. 10, 78 S. Ct. 11, 2 L. Ed. 2d
20 (1957), aff’g 156 S. Supp. 800 (D. Kan.). Lihat juga Goldfarb v. Virginia State Bar, 421 U.S. 773, 95 S.
Ct. 2004, 44 L. Ed. 2d
572 (1975).

5 Plymouth Dealers’Association v. United States, 279 F. 2d 128 (9th Cir. 1960).


pelanggan, mereka menunjuk pada daftar “harga yang disarankan”,

selanjutnya baru mereka mulai melakukan tawar-menawar. Dalam

perkara ini, pengadilan memutuskan, bahwa tujuan untuk

mempengaruhi harga pasar, dapat ditentukan secara memadai. Dalam

perkara United States v. Jantzen Inc.,6 tergugat dilarang menyetujui

suatu pengaturan penetapan harga pada waktu mana, ketika masing-

masing individu harus menerapkan harga sendiri-sendiri.

Pengaruh dari pengaturan tersebut, secara nyata dapat menutup

kemungkinan perubahan harga di waktu lain. Kemudian dalam United

States v. United Liquors Corp., 7


terdapat suatu perjanjian penetapan

prosentase diskon yang fungsional, dan cara bagaimana konsumen

diklasifikasikan dalam menentukan apakah mereka berhak atas diskon.

Tindakan ini dianggap sebagai suatu hambatan harga, meskipun tidak

terdapat perjanjian tentang harga dasar dari para pesaing individu

yang memperhitungkan diskon. Dalam United States v. Gasoline

Retailers Association8 , terjadi suatu anjuran untuk tidak mengiklankan

harga, kecuali dengan harga yang tertulis di pompa bensin. Tindakan

ini juga dianggap sebagai satu pembatasan harga, yang bertujuan dan

berpengaruh terhadap persaingan.

6 United States v. Jantzen Inc., 1966 CCH Trade Cas. 71,887 (D. Or. 1966).

7 United States v. United Liquors Corp.,149 F.Supp. 609 (W.D. Tenn. 1956), aff’d per curiam 352
U.S. 991, 77 S.Ct.
557, 1 L.Ed. 2d 540 (1957).

8 United States v. Gasoline Retailers Association, 285 F. 2d 688 (7th Cir. 1961).
Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks 65
E. Hal-hal yang diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999

Undang-undang No. 5 Tahun 1999 pada dasarnya berisi larangan

terhadap perjanjian, kegiatan, dan posisi dominan yang bertentangan

dengan prinsip persaingan usaha yang sehat. Perjanjian yang dilarang

diatur dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 9, meliputi Oligopoli,

Penetapan Harga, Pembagian Wilayah, Pemboikotan, Kartel, Trust,

Oligopsoni, Integrasi Vertikal, Perjanjian Tertutup, dan Perjanjian

dengan Pihak Luar Negeri. Kegiatan yang dilarang diatur dalam Pasal

17 sampai dengan Pasal 24, meliputi Monopoli, Monopsoni,

Penguasaan Pasar, dan Persekongkolan. Adapun penyalahgunaan

posisi dominan diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 29, meliputi

Jabatan Rangkap, Pemilikan Saham, dan Penggabungan, Peleburan,

dan Pengambilalihan.

Selain hal-hal tersebut di atas, UU No. 5 Tahun 1999 juga

mengatur mengenai Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagai

lembaga yang berwenang melaksanakan pengawasan persaingan

usaha di Indonesia (dalam pasal 30 sampai dengan 37), tata cara

penanganan perkara (pasal 38 sampai dengan 46), sanksi (pasal 47

sampai dengan 49), dan hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan

undang-undang ini (pasal 50).

Pendekatan Rule of Reason Dan Penerapannya

Berbeda halnya dengan per se illegal, penggunaan pendekatan

rule of reason memungkinkan pengadilan untuk melakukan interpretasi


terhadap Undang-undang. Dalam hal ini, Mahkamah Agung Amerika

Serikat, umpamanya, telah menetapkan suatu tandar rule of reason,

yang memungkinkan pengadilan mempertimbangkan faktor-faktor

kompetitif dan menetapkan layak atau tidaknya suatu hambatan

perdagangan. Artinya untuk mengetahui apakah hambatan tersebut

bersifat mencampuri, mempengaruhi, atau bahkan menghambat

proses persaingan. Masing-masing pola pendekatan tersebut

mengandung keunggulan dan kelemahan, yang mungkin dapat

menjadi bahan pemikiran untuk menerapkan salah satu pendekatan

terhadap tindakan pelaku usaha yang diduga melanggar Undang-

undang Anti monopoli. Keunggulan rule of reason adalah,

menggunakan analisis ekonomi untuk mencapai efisiensi guna

mengetahui dengan pasti, yaitu apakah suatu tindakan pelaku usaha

memiliki implikasi kepada persaingan. Dengan perkataan lain, apakah

suatu tindakan dianggap menghambat persaingan atau mendorong

persaingan, ditentukan oleh: “…economic values, that is, with the

maximization of consumer want satisfaction through the most efficient

allocation and use resources…”. Sebaliknya, jika menerapkan per se

illegal, maka tindakan

pelaku usaha tertentu selalu dianggap melanggar Undang-undang.

Namun pendekatan rule of reason juga mengandung satu

kelemahan, dan mungkin merupakan kelemahan paling utama yaitu,

bahwa rule of reason yang digunakan oleh para hakim dan juri
mensyaratkan pengetahuan tentang teori ekonomi dan sejumlah data

ekonomi yang kompleks, di mana mereka belum tentu

memiliki kemampuan yang cukup untuk memahaminya, guna dapat

menghasilkan

keputusan yang rasional. Terbatasnya kemampuan dan pengalaman

hakim untuk

mengatasi proses litigasi yang kompleks, seringkali menimbulkan

masalah sepanjang sejarah sistem pengadilan di Amerika Serikat57 .

Di samping itu, tidak mudah untuk membuktikan kekuatan pasar

tergugat, mengingat penggugat harus menyediakan saksi ahli di

bidang ekonomi, dan bukti dokumenter yang ekstensif dari para

pesaing lainnya. Padahal, biasanya pihak penggugat hanya memiliki

emungkinan yang kecil untuk memenangkan perkara, sehingga

seringkali pendekatan rule of reason dipandang sebagai a rule of per

se legality.

Pendekatan rule of reason yang pertama diterapkan dalam

Standard Oil Co. of N.J. v. United States sebagai interpretasi terhadap

the Sherman Act pada tahun 1911.58 Interpretasi tersebut

menghasilkan suatu premis, bahwa pertimbangan

Hukum yang utama dalam menerapkan pendekatan tersebut

adalah maksimalisasi kesejahteraan atau pemuasan kebutuhan

konsumen . Dalam hal ini, hakim Peckham, Taft, dan White

menunjukkan perhatian mereka, bahwa hukum tidak bertujuan untuk


menghancurkan suatu bentuk combination perusahaan yang efisien,

namun menekan bentuk kerjasama di bidang penjualan yang

bermaksud mengeliminasi persaingan. Adanya unsur pemuasan

kebutuhan konsumen sebagai pertimbangan utama dari hukum,

mengharuskan pengadilan untuk menerapkan sebagai kriteria pokok,

yakni apakah suatu perjanjian akan berdampak pada terwujudnya

efisiensi, dan kemudian dapat meningkatkan produk, atau sebaliknya,

akan berdampak pada pembatasan produksi. Dalam perkara ini hakim

Amerika Serikat menyatakan, bahwa alasan utama diterapkannya the

Sherman Act adalah adanya akumulasi kekayaan yang amat besar di

dalam perusahaan secara bersama maupun secara individual,

mengakibatkan adanya kekuatan yang besar dari pengembangan yang

luas, sehingga dapat mengakibatkan tekanan terhadap individu-

individu perusahaan lainnya dan merugikan masyarakat secara umum.

Undang-undang tersebut bermaksud, pertama, untuk menerapkan

common law di negara-negara federal, yang menjamin bahwa masing-

masing individu berhak melakukan perdagangan yang tidak dihambat

dengan cara tidak wajar (unreasonably). Kedua adalah, bahwa

masyarakat harus mendapat perlindungan dari praktek-praktek

penetapan harga serta bentuk-bentuk praktek penyimpangan lainnya.


Analisis Putusan KPPU No. 26/KPPU-L/2006

Putusan KPPU No. 26/KPPU-L/2006 merupakan hasil akhir dari serangkaian

kegiatan penyelidkan dan pemeriksaan atas dugaan penetapan harga layanan SMS oleh

sembilan operator selular. Kesembilan terlapor tersebut adalah :

1. PT Exelcomindo Pratama atau XL sebagai Terlapor I;

2. PT Telekomunikasi Selular atau Telkomsel sebagai Terlapor II;

3. PT Indosat, Tbk sebagai Terlapor III;

4. PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk sebagai Terlapor IV;

5. PT Hutchinson CP Telecommunication sebagai Terlapor V;

6. PT Bakrie Telecom, Tbk sebagai terlapor VI;

7. PT Mobile-8 Telecom, Tbk sebagai Terlapor VII;

8. PT Smart Telecom sebagai Terlapor VIII;

9. PT Natrindo Telepon Seluler sebagai Terlapor IX.

Berdasarkan hasil pemeriksaan, Tim Pemeriksa telah menemukan adanya indikasi

kuat adanya penetapan tarif SMS pada interval harga Rp. 250,00 sampai Rp. 350,00. Hal

tersebut melanggar Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 tentang penetapan harga : ”Pelaku

usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya

untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus

dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang

sama”. Menurut analisis Tim Pemeriksa, setidak-tidaknya terdapat dua unsur yang

terpenuhi, yaitu 1) unsur pelaku usaha dan 2) unsur perjanjian harga dengan pesaing,

sedangkan unsur pasar bersangkutan adalah unsur tambahan yang tidak mutlak

dibuktikan namun hanya bersifat menjelaskan dari unsur kedua Kesimpulan yang
diajukan oleh Tim Pemeriksa untuk diuji dalam Sidang Majelis Komisi adalah bahwa

dari kesembilan terlapor, enam di antaranya terbukti melanggar sedangkan tiga lainnya

tidak terbukti melakukan kartel tarif SMS pada periode 2004-2008.

Atas nalisis dan kesimpulan tersebut, para terlapor menyampaikan

pembelaannya. Beberapa substansi penting dalam pembelaan para terlapor meliputi

kewenangan KPPU dalam pengawasan persaingan usaha sektor telekomunikasi,

argumentasi penyusunan perjanjian kerja sama tentang tarif SMS, dan urgensi penetapan

pasar bersangkutan dalam analisis perkara. Terkait penetapan pasar bersangkutan, tiga

terlapor bahkan menyampaikan analisisnya sendiri, yaitu Telkomsel, Telkom, dan Bakrie.

Pihak Telkomsel menyatakan bahwa tidak terpenuhinya batasan atau definisi

unsur pasar bersangkutan merupakan hal yang keliru secara fundamental karena tidak

sesuai dengan keseluruhan bunyi dari Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 dan sangat

berkaitan dengan unsur pelaku usaha pesaing. ejelasan mengenai batasan pasar

bersangkutan dinilai penting mengingat banyaknya pelaku usaha, jumlah pelaku usaha

pesaing serta produk dalam pasar telekomunikasi. Jenis- jenis pasar dalam jasa

telekomunikasi setidaknya dapat dianalisis dari dua aktegori, yaitu 1) dari segi lisensi

atau ijin usaha; atau 2) dari segi teknologi atau produk. Pihak Telkom selaku Terlapor III

menyatakan bahwa pendapat tim Pemeriksa telah secara subjektif menilai bahwa unsur

pasar bersangkutan merupakan unsur tambahan. Hal tersebut tidak dapat diterima karena

secara hukum ketiga unsur yang disebutkan dalam Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 bersifat

kumulatif dan mutlak harus dibuktikan pemenuhannya untuk kemudian dapat

disimpulkan ada tidaknya pelanggaran atas pasal ini. Menurut Telkom, produknya tidak

berada dalam pasar bersangkutan yang sama dengan produk dari terlapor yang lain

karena kemampuan mobilitasnya yang berbasis FWA berbeda dengan produk lain yang
berbasis seluler. Oleh karenanya Telkom tidak dapat dikatakan melanggar atas ketentuan

pasal 5 tersebut.

Adapun Bakrie selaku Terlapor VI memberikan pendapat bahwa untuk

menentukan ada atau tidaknya bentuk praktek anti persaingan berikut dampaknya, maka

secara teoritis pertama-tama diperlukan adanya pasar bersangkutan secara tepat. Oleh

karena dalam penyelenggaran jasa bahwa kedua produk tersebut saling bersaing atau

bersubstitusi dilihat dari aspek kegunaan (intended-use), karakteristik

(characteristics), dan harga (price). Mengacu pada Putusan KPPU sebelumnya

yang juga terkait seluler (Putusan KPPU No. 07/KPPU-L/2007), telah disimpulkan

bahwa produk seluler berada dalam pasar yang berbeda dengan PTSN/FWA dan harga

yang berbeda, meskipun kegunaan dasarnya sama. Dengan demikian produk Bakrie yang

berbasis FWA tidak saling bersubstitusi dengan produk lain yang berbasis seluler. Terkait

dengan pembahasan pasar bersangkutan, Majelis Komisi memberikan pendapat sebagai

berikut :

1. Bahwa unsur Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1999 yang didalilkan oleh Tim Pemeriksa

sudah tepat, namun perlu dijelaskan mengenai alur logikanya yaitu seharusnya unsur

kedua yaitu harus dipisahkan antara ” harga” dengan ”pesaing”. Unsur perjanjian

harga telah terpenuhi sehingga pembahasan pasar bersangkutan yang bertujuan untuk

pembuktian unsur pesaing tidak perlu dilakukan untuk menghindari redudansi;

2. Selanjutnya Majelis Komisi melakukan penetapan pasar bersangkutan melalui

analisis pasar produk dan pasar geografis, sebagai berikut :

a. Pasar produk, Analisis pasar produk pada intinya bertujuan untuk menentukan

jenis barang atau jasa yang sejenis atau tidak sejenis tapi merupakan substitusinya

yang saling bersaing satu sama lain. Untuk melakukan analisis ini maka suatu
produk harus ditinjau dari beberapa aspek, yaitu kegunaan, karakteristik, dan

harga. Kegunaan : short messages service atau SMS yang menjadi

objek pada perkara ini adalah jasa layanan tambahan yang dimiliki oleh semua

penyelenggara jasa telekomunikasi seluler dan FWA. Kegunaan SMS adalah

untuk mengirimkan pesan singkat satu arah dari satu pemilik handset kepada

pemilik handset lainnya. Komunikasi suara (voice) memiliki kegunaan yang

berbeda karena terdapat pertukaran pesan yang terjadi secara langsung atau dua

arah dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan dalam penggunaan SMS pesan

yang disampaikan hanya bersifat satu arah. Fitur lain yang pada umumnya

terdapat pada jasa telekomunikasi dan dapat berfungsi identik dengan SMS antara

lain voice mail, Multimedia Messaging Service (MMS), dan push e-

mail, kesemuanya berfungsi untuk menyampaikan pesan singkat satu arah.

Dengan demikian, dari segi keguanaan, SMS bersubstitusi dengan voice mail,

MMS, dan push e- mail.

Karakteristik , meskipun memiliki kegunaan yang sama, terdapat karakteristik

yang berbeda secara signifikan antara SMS dengan fitur lainnya yang memiliki

kegunaan yang identik. Fitur SMS adalah fitur yang dikirim dan diterima berupa

pesan teks sehingga berbeda dengan voice mail yang dikirim dan diterima

sebagai pesan suara. Pesan SMS disalurkan melalui kanal signaling sedangkan

MMS dan push e-mail menggunakan kanal data. Akibatnya fitur SMS hanya

dapat mengirim dan menerima pesan teks sedangkan MMS memungkinkan untuk

pengiriman dan dan penerimaan gambar, musik, rekaman suara, animasi, video,

dan file-file multimedia lainnya. Sedangkan push e- mail di samping dapat


mencakup pesan-pesan berisi multimedia juga dapat melakukan pengiriman dan

penerimaan pesan yang lebih luas dari pesan yang bersifat multimedia, seperti

pengiriman dan penerimaan dokumen softcopy dalam berbagai format. Di

samping itu, pola pentarifan SMS dihitung berdasarkan jumlah pengirimannya

tanpa ada biaya yang dikeluarkan oleh penerima SMS, berbeda dengan voice

mail yang menggunakan pola pentarifan berdasarkan durasi, sedangkan MMS

dan push e-mail menggunakan pola pentarifan berdasarkan jumlah data yang

dipergunakan sehingga baik pengirim maupun penerima voice mail, MMS, dan

push e-mail juga harus membayar sesuai dengan pola pentarifannya.

Perkecualian berlaku untuk pengguna SMS dari Bakrie yang menerapkan pola

harga berdasarkan jumlah karakter teks yang dikirim, namun demikian tidak

menghilangkan fakta bahwa hanya pengirim SMS yang membayar jasa tersebut

sedangkan penerima SMS tidak mengeluarkan biaya apa pun sehingga karakter

fitur SMS tetap berbeda dengan fitur pengiriman pesan singkat lainnya sehingga

tidak dapat saling mensubstitusi diantaranya.

Harga , dari aspek harga, secara umum harga fitur SMS sekali kirim berada

dalam kisaran yang jauh lebih murah dibandingkan dengan voice mail, MMS,

dan push e-mail. Perkecualian berlaku bagi layanan push e-mail dengan

mempertimbangkan size dari e-mail yang dikirim dan harga data yang

diterapkan oleh setiap oleh setiap operator, maka harga layanan push e-mail

dapat bervariasi. Hal ini berbeda dengan harga SMS yang tetap per sekali kirim

kecuali fitur SMS yang disediakan oleh Bakrie yang bergantung pada jumlah

karakter yang digunakan. Namun secara umum, dari sisi harga fitur SMS tidak
dapat disubstitusi oleh layanan voice, voice mail, MMS, dan push e-mail.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pasar produk pada perkara ini adalah

layanan SMS yang terpisah dari product market layanan voice, voice mail,

MMS, maupun push e-mail.

b. Pasar Geografis, Analisis pasar geografis bertujuan untuk menjelaskan di

area mana saja pasar produk yang telah didefiniskan saling bersaing satu sama

lain. Sebagai suatu layanan nilai tambah dari operator seluler maupun FWA, maka

keberadaan layanan SMS akan mengikuti keberadaan dari ketersediaan jaringan

operator yang bersangkutan. Berkaitan dengan jangkauan daerah pemasaran, tidak

ditemukan adanya hambatan baik dari segi teknologi maupun regulasi bagi para

operator untuk memasarkan produknya di seluruh wilayah Indonesia selama

operator tersebut telah memiliki ketersediaan jaringannya. Dengan demikian,

ditetapkan bahwa pasar geografis pada perkara ini adalah seluruh wilayah

Indonesia.

3. Menanggapi pembelaan yang diajukan oleh Telkomsel, Telkom dan Bakrie yang

pada pokoknya menyatakan bahwa terdapat pemisahan pasar bersangkutan antara

telekomunikasi seluler dengan FWA, Majelis Komisi mengemukakan hal-hal sebagai

berikut : Karena sifat layanan nilai tambahnya merupakan layanan pelengkap dari

layanan suara sebagai layanan utama, maka analisis terhadap pasar produk suara

berbeda dengan analisis pasar produk SMS; Sebagai layanan nilai tambah, SMS

otomatis tersedia ketika operator membangun jaringan untuk menyediakan layanan

suara. Oleh karena itu, adanya perbedaan kegunaan, karakteristik, dan harga layanan

suara antara operator seluler dan FWA tidak berlaku ketika digunakan untuk

melakukan analisis terhadap layanan SMS;. Majelis Komisi menilai perbedaan antara
telekomunikasi seluler dengan FWA tidak relevan di dalam penggunaan layanan

SMS yang disediakan oleh masing-masing operator, baik seluler maupun FWA.

Berdasarkan analisis pasar produk di atas, perbedaan lisensi operator seluler dengan

operator FWA tidak akan mempengaruhi analisis

B A B III

PENUTUP

A. Kesimpulan dan Saran

Terhadap keputusan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) yang dibacakan

pada tanggal 18 Juni 2008 yang menyatakan, bahwa enam penyelenggara telekomunikasi

(PT Excelcomindo Pratama, PT Telkomsel, PT Telkom, PT Bakrie Telecom, PT Mobile-

8 Telecom dan PT Smart Telecom) telah terbukti melakukan pelanggaran persaingan

usaha tidak sehat dengan melakukan kartel SMS periode tahun 2004 sampai dengan

tanggal 1 April 2008. Mereka dianggap melanggar Pasal 5 UU No.5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, yang menyebutkan,

bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk

menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau

pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.

Tujuan penyampaian tanggapan oleh pembuat regulasi, adalah untuk

menunjukkan sikap resmi pihak regulator telekomunikasi terhadap putusan tersebut, juga
untuk memposisikan keberpihakan pemerintah dalam melindungi kepentingan

masyarakat umum selaku pengguna jasa telekomunikasi dan juga kontinuitas kepentingan

para penyelenggara telekomunikasi. Tanggapan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Pemerintah menghormati keputusan KPPU tersebut, karena merupakan

suatu proses pembelajaran yang harus dialami oleh para penyelenggara

telekomunikasi bagi terwujudnya industri telekomunikasi yang lebih kompetitif,

sehingga tarif layanan telekomunikasi, khususnya SMS lebih terjangkau.

Sedangkan kepada para penyelenggara masih dimungkinkan untuk mengajukan

banding dengan mengikuti proses hukum yang berlaku. Hanya saja, terhadap

proses banding beserta besaran kerugian yang diakibatkan oleh tindakan para

penyelenggara telekomunikasi yang terkena putusan KPPU tersebut serta

kemungkinan adanya gugatan ganti rugi oleh konsumen, maka pemerintah belum

dapat menyampaikan sikapnya karena putusan tersebut belum inkrah (menjadi

putusan yang tetap) mengingat masih adanya proses banding.

2. Terhadap salah satu bagian keputusan KPPU yang menemukan klausul

penetapan tarif SMS lintas penyelenggara telekomunikasi (off net) yang tidak

boleh lebih rendah dari tarif yang berlaku berkisar Rp 250,- - Rp 350,-

sebagaimana yang tertuang dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS) interkoneksi

antar penyelenggara telekomunikasi, dimana pada sisi lain berdasarkan tarif

interkoneksi perhitungan Ovum Consulting Company , yang menyebutkan bahwa

layanan SMS originasi Rp 38, dan terminasi Rp 38 sehingga tarif dasar SMS

sebesar Rp 76 per SMS, maka biaya Rp76 tersebut merupakan biaya jaringan (

network element cost ) yang berlaku pada tahun 2007.


3. Besaran tarif tersebut bukan merupakan harga mati yang harus ditentukan

oleh penyelenggara telekomunikasi, karena dalam penetapan tarif pungutnya

masih ditambahkan dengan sejumlah komponen biaya lainnya seperti misalnya

retail activity, riset pasar, sell cost, administrative cost dan lain-lainnya. yang

dijadikan salah satu dasar untuk penetapan tarif pungut atau tarif ritel. Bahkan

untuk tahun 2008 diperkirakan akan turun besaran betwork element cost tersebut

menjadi Rp 52,-

4. Terhadap pandangan bahwa pemerintah kurang concern untuk mengatur

layanan SMS, pemerintah berpandangan, bahwa secara substansial layanan SMS

merupakan salah satu fitur layanan telekomunikasi, yang notabene merupakan

domain sepenuhnya area komersialnya penyelenggara telekomunikasi untuk

mengaturnya sendiri. Itulah sebabnya pengaturannya diserahkan pada mekanisme

pasar. Hanya saja, pemerintah tetap berkepentingan, khususnya sebatas yang

terkait dengan penyampaian pengaturan referensinya untuk penetapan formula

biaya jaringan mengingat faktanya kini telah menjadi suatu layanan yang sangat

tinggi segmentasinya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku/ Literatur/ artikel

Diktat atau bahan ajar yang menjadi pegangan mahasiswa dalam

perkuliahan.

2. Website

http://www.kppu.go.id/docs/Putusan/putusan_SMS.pdf

http://www.yorumla.net/ask-ve-sevgi/79588-besiktas-mesajlari-kara-kartal-

sms. diakses tanggal 18 Oktober 2011

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol19544/brti-tunggu-putusan-

kartel-sm

diakses tanggal 18 Oktober 2011

http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2008/06/080618_smscartel.sht

ml diakses tanggal 18 Oktober 2011

You might also like