Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 16

DIMENSI KEPUASAN PELANGGAN ATAS PELAYANAN PUBLIK:

Studi pada KPPN Wilayah Jawa Timur

Dr. Moh. Nasih, SE., MT, Ak.


E-mail: mhnasih@yahoo.com
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga

Abstract

Customer satisfaction has become a vital concern for companies and organizations in their
efforts to improve product and service quality, and maintain customer loyalty within a highly
competitive market place.Customer satisfaction is importance both for private organizations
and public organizations. Kantor Pelayanan dan Perbendaharaan Negara (KPPN) is one of the
state agency that was given the authority to verify and make a payment to customer. This
study aims to assess the factors that affect customer satisfaction within KPPN in East Java by
using the instrument developed by Parasuraman et al (1990) as well as analyzing the gap
between expectations and perceptions are perceived by customer’s KPPN. Based on testing
of 435 respondents of KPPN is obtained results that KPPN customer satisfaction is
determined by the dimensions of tangibility, reliability, assurance and emphaty. While
responsiveness is not a major factor affecting customer satisfaction KPPN. This is
understandable because all KPPN’s activity was referring to the Standard Operating
Procedures so that the level of responsiveness provided by KPPN in East Java have the same
standards.
Based on the gap analysis,on average, KPPN’s customer still feel the negatif gap between
their expectations of the service and their perception.This means that KPPN have to improve
their performance in order to increasing customer satisfaction.

Keywords: gap analysis, public sector, service quality dimension

I. PENDAHULUAN

Pelanggan (customer) merupakan nyawa bagi perusahaan. Oleh karena itu,


kepuasanpelangganmerupakankunciutamakeberhasilanbisnissuatuperusahaan.
Bagibanyakperusahaan,
kepuasanpelanggantelahmenjadisuatuurusanyangvitaldalammeningkatkankualitaslayanandan
produknya, sertamemeliharaloyalitaspelanggandalamsuatupasarpersainganyang kompetitif.
Olehkarenaitu, banyakperusahaanyang berlomba-
lombamencanangkansebagaisalahsatutujuanstrategiknya.
Kepuasan pelanggan seringkali diukur dengan menggunakan kualitas jasa. Beberapa
penelitian empiris telah menunjukkan bahwa kepuasan pelanggan berkontribusi
meningkatkan pangsa pasar dan kepuasan pelanggan (Anderson and Zeithaml, 1984;
Parasuraman et al., 1985; Zeithaml, 2000). Upaya peningkatan kepuasan pelanggan bukan
hanya monopoli perusahaan privat, organisasi publik pun dituntut untuk meningkatkan
kepuasan pelanggannya. Seiring dengan tuntutan reformasi pelayanan publik, sektor publik
dituntut untuk bisa menangani berbagai tantangan dan merespon berbagai tuntutan
masyarakat dalam memberikan jasa publik.
Perkembangan praktik manajemen yang pesat mendorong cepatnya perkembangan
pengukuran kualitas jasa di sektor privat dibandingkan sektor publik. Hal ini disebabkan
karena terdapat perbedaan karakteristik antara sektor privat dan publik. Secara khusus,
tujuan utama organisasi sektor publik adalah untuk memberikan manfaat sosial kepada
rakyat/pelanggan dengan keterbatasan anggaran dan penurunan biaya (Dewhirst et al., 1999).
Hal ini berbeda dengan organisasi sektor privat yang lebih menekankan pada upaya untuk
meningkatkan keuntungan. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila organisasi sektor privat
memiliki produktivitas dan profitabilitas yang lebih tinggi dibandingkan organisasi sektor
publik (Ehrlich et al., 1994).
Pemerintah harus lebih responsif terhadap kebutuhan dan permintaan masyarakat.
Sebagai salah satu organisasi sektor publik, pemerintah dihadapkan pada tuntutan reformasi
untuk memberikan pelayanan yang lebih baik, lebih cepat dan lebih banyak.
Rakyat/pelanggan memiliki bargaining power yang lebih unggul dalam tuntutan reformasi
ini.
Di negara-negara berkembang, konsep kualitas seperti total quality management
(TQM) dan new public management (NPM) telah diadopsi oleh organisasi sektor publik
sejak awal tahun 1990an. Salah satu tujuan dari NPM adalah untuk memperbaiki pemberian
kualitas jasa publik dengan lebih menekankan pada pendekatan yang berorientasi pada
pelanggan (Mwita, 2000) dan memfokuskan pada kinerja dan pengukuran.
Gema konsep kepuasan pelanggan menyeruak seiring dengan tuntutan reformasi atas
sistem pemerintahan di Indonesia. Pemberian desentralisasi pengelolaan keuangan dan
pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah merupakan salah satu upaya
untuk lebih mendekatkan pemerintah dengan kepentingan rakyat. Dengan kata lain,
desentralisasi pemerintahan mendorong pada upaya peningkatan kepuasan pelanggan.
Pelanggan yang dilayani oleh pemerintah utamanya adalah rakyat.
Di Indonesia, terdapat dua level pemerintahan yaitu pemerintah pusat dan pemerintah
daerah. Pemerintah Pusat memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk
memanfaatkan sumber-sumber penerimaan daerahnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat di
suatu wilayah. Disamping menggunakan alokasi penerimaan daerah, pemerintah daerah juga
mendapatkan alokasi dana pembangunan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) dari pemerintah pusat dalam rangka menyeimbangkan kemampuan keuangan
daerah dan percepatan pertumbuhan di daerah.
Kantor Pelayanan dan Perbendaharaan Negara (KPPN) merupakan salah satu lembaga
negara yang diberikan kewenangan di bidang perbendaharaan negara yang bertindak sebagai
Kuasa Bendahara Umum Negara dan melakukan aktivitas penyaluran pembiayaan atas
beban APBN ke daerah. Selain melayani kebutuhan finansial dari pemerintah daerah, KPPN
juga melayani instansi pemerintah pusat didaerah dalam rangka verifikasi dan pencairan
dana dari APBN.Sebagai salah satu organ dari pemerintah pusat, KPPN juga dituntut untuk
meningkatkan kepuasan pelanggan.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji dimensi-dimensi kualitas jasa apa
yang dapat meningkatkan kepuasan pelanggan di KPPN selaku organisasi sektor publik. Hal
ini tidak terlepas dari citra buruk organisasi pemerintahan yang identik dengan birokrasi
yang bertele-tele dan kelambatan dalam pelayanan.

II. STUDI PUSTAKA/PENELITIAN TERDAHULU


2.1. Kualitas Jasa

Kepuasan merupakan salah satu konsep yang agak sulit untuk didefinisikan. Seorang
pelanggan bisa menjadi sangat puas atau kurang puas atas suatu kualitas jasa. Kepuasan
pelanggan menunjukkan sebuah ukuran kinerja perusahaan berdasarkan kebutuhan
pelanggan (Hill, et al., 2003), oleh karena itu, pengukuran kepuasan pelanggan merujuk pada
pengukuran kualitas jasa. Pelanggan mengeskpresikan penilaiannya dengan memberikan
judgment atas beberapa aspek jasa yang diberikan.
Kualitas jasa merupakan konsep yang menarik perhatian berbagai pihak dan menjadi
ajang debat yang sangat hangat karena sulitnya mendefinisikan dan mengukurnya
(Parasuraman, 1985; Asubonteng et. al., 1996). Akibatnya, tidak benar-benar ditemukan
konsensus bersama untuk mendefinisikan dan mengukur kualitas jasa.
Jasamerupakanaktivitas, manfaat, ataukepuasan yang
ditawarkanuntukdijual.Perbedaansecarategasantarabarangdanjasaseringsekalisulitdilakukan.H
al inidikarenakanpembelianbarangseringsekalidisertaidenganjasa-jasatertentu
(misalnyainstalasi, pemberiangaransi, pelatihandanbimbinganoperasional,
perawatandanreparasi) dansebaliknyapembelianjasaseringkalijugamelibatkanbarang-barang
yang melengkapinya (misalnyamakanan di restoran, telepondalamjasatransportasi).Kotler,
(1994) mendefinisikanjasasebagaisetiaptindakanatauperbuatan yang
dapatditawarkanolehsuatupihakkepadapihaklain, yang padadasarnyabersifatintangible
(tidakberwujudfisik) dantidakmenghasilkankepemilikansesuatu.
Terdapat beberapa “definisi” dari kualitas jasa. Namun demikian, definisi yang paling
sering digunakan untuk konsep kualitas jasa adalah sejauh mana jasa yang diberikan dapat
memenuhi kebutuhan atau ekspektasi pelanggan (Asubonteng et. al., 1996). Jadi, kualitas jasa
merupakan perbedaan antara ekspektasi pelanggan dengan pelayanan yang dirasakannya. Jika
ekspektasi pelanggan lebih besar dibandingkan kinerja pelayanan jasa yang dirasakannya
maka ia menjadi kurang puas, dengan kata lain timbullah ketidakpuasan (Parasuraman et al.,
1985).
Organisasi sektor publik merupakan organisasi yang mayoritas memberikan
pelayanan jasa. Berbeda dengan barang, jasa memiliki karakteristik unik sebagai berikut
(Zeithaml et al., 1992):
Karakteristik Dampak/Masalah
Intangibility 1. Jasa tidak bisa disimpan
Jasa tidak bisa dirasa menggunakan pendekatan lima
2. Jasa tidak bisa diproteksi melalui hak paten
indera sebagaimana barang
3. Jasa tidak dapat ditunjukkan (display )
4. S ulit menentukan harga sebuah jasa
Inseparability 1. Konsumen terlibat dalam produksi
Adanya interkoneksi diantara penyedia jasa, 2. Konsumen lain terlibat dalam produksi
pelanggan yang menerima jasa dan pelanggan lain 3. S ulit melakukan produ ksi massal yang tersentralisir
yang berbagi pengalaman dalam menerima jasa
Heterogenity Standarisasi dan pengendalian kualitas menjadi sulit
Adanya variasi konsistensi dari satu transaksi jasa ke dicapai
transaksi jasa berikutnya
Perishability Jasa Tidak dapat disimpan
Jasa merupakan komoditas tidak tahan lama, tidak
dapat disimpan dan kapasitas yang tidak terpakai
tidak dapat dicadangkan

Mengingat karakteristik jasa berbeda dengan karakteristik produk


barangmakasimbolisasipelayananmelaluipenciptaanekuitasmerek (brand equity)
adalahsatusatunyadiferensiasi antarakinerjasuatujasadenganjasa yang lain.

2.2. Kualitas Jasa di Sektor Publik


Perbedaan karakteristik dan lingkungan antara organisasi sektor privat dan organisasi
sektor publik menimbulkan pertanyaan mengenai pengukuran kepuasan pelanggan. Bagi
organisasi sektor privat, definisi “pelanggan” tidak perlu diperdebatkan lagi mengingat
sudah sangat jelas, yaitu pembeli produk baik berupa barang maupun jasa yang dijualnya.
Hal ini memudahkan bagi perusahaan privat untuk menyesuaikan produk yang dihasilkannya
dengan kebutuhan pelanggannya. Kegagalan dalam memenuhi kebutuhan pelanggan akan
berdampak pada kalahnya perusahaan privat dalam bersaing yang pada akhirnya memaksa
mereka untuk keluar dari pasar.
Organisasi sektor publik memiliki hubungan yang kompleks dengan publik. Dalam
beberapa kasus, hubungan dengan publik dapat didefinisikan sebagai hubungan dengan
pelanggan (customer) dan dapat pula didefinisikan sebagai hubungan dengan rakyat
(citizenship relationship). Sifat dari kepuasan pelanggan berbeda dengan kepuasan rakyat
(Schmidtand Stricklan, 2000). Ketika berbicara tentang kepuasan pelanggan, maka
pertanyaan yang diajukan secara langsung berkenaan dengan pelayanan jasa pada tingkat
operasional (doing the thing right). Namun, ketika berbicara tentang kepuasan rakyat
menanyakan apakah suatu jasa tertentu seharusnya disediakan oleh organisasi sektor publik
(doing the right thing). Prioritas dari pengguna (user) adalah mendapatkan jasa yang lebih
baik, namun sebagai rakyat (citizen) bisa jadi menilai bahwa lebih baik sumberdaya yang
dikeluarkan tersebut digunakan untuk pemberian jasa yang lain (Dinsdale and
Marsden,1999).
Perbedaan lainnya antara sektor privat dan publik adalah bahwa tujuan utama
pelayanan jasa oleh organisasi sektor privat adalah untuk meningkatkan konsumsi jasa
dan/atau meningkatkan loyalitas pelanggan. Bagi organisasi sektor publik, tujuan tersebut
tidaklah relevan mengingat organisasi sektor publik adalah organisasi yang bersifat
monopoli sehingga pelanggan “terpaksa” untuk mengkonsumsi jasa yang dihasilkan oleh
organisasi sektor publik karena tidak disediakan oleh sektor privat. Bahkan, dalam beberapa
hal tujuan pelayanan jasa dari sektor publik berseberangan dengan sektor privat yaitu
mengurangi konsumsi pelanggan. Sebagai contoh, pemerintah berupaya untuk mengurangi
konsumsi jasa kesehatan dan sosial oleh pelanggan/rakyatnya.

2.3. Dimensi Kualitas Jasa


Terdapat banyak model pengukuran kualitas jasa, salah satunya adalah pendekatan
service quality (SERVQUAL) yang dikembangkan oleh Parasuraman et al. (1985). Pada
awalnya, servqual memiliki 10 determinan kualitas jasa, namun pada akhirnya diringkas
menjadi 5 determinan utama yang menentukan kualitas jasa, yaitu:
a. Tangibleness
Tangibleness mencerminkan fasilitas dan peralatan fisik yang
tersedia,yaitukemampuansuatuperusahaandalammenunjukkaneksistensinyakepadapih
akeksternal.
Penampilandankemampuansaranadanprasaranafisikperusahaandankeadaanlingkungan
sekitarnyaadalahbuktinyatadaripelayanan yang
diberikanolehpemberijasayangmeliputifasilitasfisik (gedung, gudang, dan lain
sebagainya), perlengkapandanperalatan yang dipergunakan (teknologi)
sertapenampilanpegawainya.
b. Reliability
merupakankemampuanperusahaanuntukmemberikanpelayanansesuaidengan yang
dijanjikansecaraakuratdanterpercaya. Kinerjaharussesuaidenganharapanpelanggan
yang berartiketepatanwaktu, pelayanan yang
samauntuksemuapelanggantanpakesalahan, sikap yang simpatikdandenganakurasi
yang tinggi.
c. Responsiveness
Merupakansuatukemampuanuntukmembantudanmemberikanpelayanan yang cepat
(responsif) dantepatkepadapelanggan, denganpenyampaianinformasi yang jelas.
d. Assurance
Assurance terdiridaribeberapakomponenantara lain kredibilitas (credibility),
keamanan (security), kompetensi (competence) dansopansantun (courtesy).
e. Empathy
Merupakanperhatian yang tulusdanbersifat individual ataupribadi yang
diberikankepadaparapelanggandenganberupayamemahamikeinginankonsumen.Suatuo
rganisasidiharapkanmemilikipengertiandanpengetahuantentangpelanggan,
memahamikebutuhanpelanggansecaraspesifik.
Empathyterdiridarikomponencommunication (komunikasi) danunderstanding the
customer (memahamipelanggan)
Metode ServQual memperkenalkan konsep kepuasan sebagai fungsi dari ekspektasi
pelanggan (apa yang diharapkan pelanggan dari sebuah jasa) dan persepsi (apa yang diterima
pelanggan). Metode ini dikembangkan untuk menilai persepsi pelanggan mengenai kualitas
jasa dalam organisasi retail dan jasa. Kelima dimensi ServQual tersebut dibuatkan item-item
pertanyaan dalam kuesioal dengan menggunakan 7 skala Likert mulai dari sangat tidak setuju
sampai sangat setuju.

Salah satu ukuran langsung terhadap evaluasi kualitas jasa adalah “Customer
Satisfaction Index (CSI) (Hill et al., 2003). CSI merepresentasikan ukuran kualitas jasa atas
dasar persepsi konsumen/user atas jasa yang disajikan dalam bentuk tingkat pentingnya
dibandingkan dengan ekspektasi pelanggan/user yang disajikan dalam bentuk tingkat
kepuasan. CSI melengkapi gap dalam ServQual karena CSI disajikan dalam bentuk skala
numerik. CSI didasarkan atas sebuah prosedur sederhana. Namun demikian, CSI memiliki
keterbatasan dalam mengukur kepuasan pelanggan, diantaranya adalah tidak
mempertimbangkan heterogenitas diantara user.

2.4. Analisis Gap


Guna memahami kepuasan pelanggan, salah satu cara pengukurannya adalah dengan
menggunakan analisis gap. Model yang mendukung pendekatan kepuasan pelanggan adalah
teori diskonfirmasi (disconfirmation theory) yang menyatakan bahwa kepuasan pelanggan
atas sebuah jasa sangat terkait dengan besarnya pengalaman diskonfirmasi. Diskonfirmasi itu
sendiri dipengaruhi oleh tingkat ekspektasi awal seseorang. Jika pengalaman atas pelayanan
jasa yang diterima melampaui ekspektasi yang ditetapkan maka pelanggan merasakan
tingkat kepuasan yang tinggi, demikian pula sebaliknya. Dalam literatur kualitas jasa,
persepsi pelayanan jasa diukur secara terpisah dari ekspektasi pelanggan, dan gap antara
P(ersepsi) ‒ E(kspektasi) memberikan sebuah ukuran kualitas jasa dan menentukan tingkat
kepuasan.
Untuk mengetahui penyebab perbedaan persepsi dalam memberikan kualitas jasa
maka Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1991) membentuk model kualitas jasa yang
mengidentifikasikan adanya 5 kesenjangan (gap) yang mengakibatkan kegagalan
penyampaian kualitas jasa sebagai berikut :
a. Gap Persepsi Manajemen.
Yaitu adanya perbedan antara penilaian pelayanan menurut pengguna jasa dan
persepsi manajemen mengenai harapan pengguna jasa. Kesenjangan ini terjadi karena
kurangnya orientasi penelitian pemasaran, pemanfaatan yang tidak memadai atas
temuan penelitian, kurangnya interaksi antara pihak manajemen dan pelanggan,
komunikasi dari bawah ke atas yang kurang memadai. Serta terlalu banyaknya
tingkatan manajemen.
b. Gap Spesifikasi Kualitas
Merupakan kesenjangan antara persepsi manajemen mengenai harapan pengguna jasa
dan spesifikasi kualitas jasa. Kesenjangan terjadi antara lain karena tidak memahami
komitmen manajemen terhadap kualits jasa. Persepsi mengenai ketidaklayakan, tidak
memadai ketidaklayakan, tidak memadai standarisasi tugas, dan tidak adanya
penyusunan tujuan.
c. Gap Penyampaian Pelayanan.
Yaitu kesenjangan spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa (servis delivery).
Kesenjangan ini terutama disebabkan oleh faktor-faktor :
1) Ambiguitas peran, yaitu sejauh mana pegawai dapat melakukan tugasnya
sesuai dengan harapan manajer tetapi memuaskan pelanggan.
2) Konflik Peran, yaitu sejauh mana pegawai meyakini bahwa mereka dapat
memuaskan semua pihak.
3) Kesesuaian pegawai dengan tugas yang harus dikerjakan.
4) Kesesuaian teknologi yang digunakan pegawai.
5) Sistem pengendalian dari atasan, yaitu tidak memadai sistem pengendalian
dengan sistem imbalan.
6) Perceived control, yaitu sejauh mana pegawai merasakan kebebasan atau
fleksibilitas untuk menentukan cara pelayanan.
7) Team Work, yaitu sejauh mana pegawai dan manajemen merumuskan tujuan
bersama di dalam memauaskan pelanggan secara bersama-sama.

d. Gap Komunikasi Pemasaran


Yaitu kesenjangan antara penyampaian jasa dan komunikasi eksternal. Ekspektasi
pelanggan mengenai kualitas pelayanan dipengaruhi oleh pernyataan yang dibuat oleh
perusahaan melalui komunikasi ekstenal pemasaran. Kesenjangan ini terjadi karena :
1) Tidak memadai komunikasi horisontal
2) Adanya kecenderungan untuk memberikan janji yang berlebihan. Dalam hal
ini komunikasi eksternal telah mendistorsi harapan nasabah.

e. Gap dalam Pelayanan yang Dirasakan.


Yaitu perbedaan persepsi antara jasa yang dirasakan dan yang diharapakan oleh
pelanggan. Jika keduanya terbukti sama, maka perusahaan akan memperoleh citra dan
dampak positif. Namun, bila yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan, maka
kesenjangan ini akan menimbulkan permasalahaan bagi perusahaan.
Berdasarpada 7 point skalalikert, perbedaanatau gap antarapersepsi
(tingkatkepuasanataurealita) danekspektasi (tingkatkepentinganatauharapan)
diukurdenganperception-expectation gap( K-H gap) (Coulthard, 2004), sehinggabila:
a) P-E gap memilikinilai 0 (nol) berartitidakadaperbedaanantaraHarapan (H)
danKeyakinan (K) terhadapservice quality (SQ).
b) Jika K-H<0 makaharapanpelangganmelebihipersepsipelanggandarijasa yang
berikanoleh service provider.
c) Jika K-H>0, berartikinerja service provider melebihiharapanpelanggan.

Secaragrafis, analisisgapdilakukansebagaimanakerangkapemikiransebagaiberikut:
Gambar 1. Gaps Model of Service Quality
CUSTOMER Expected
Service
Customer
Gap

Perceived
Service

COMPANY Service Delivery External


Communications to
Gap 4
customers
Gap 3
Gap 1
Customer-driven service
designs and Standards

Gap 2

Company perceptions of
customer expectation

2.5. Hipotesis
Optimalisasi dari dimensi kualitas jasa yang tercermin dalam ServQual akan
memberikan dampak positif terhadap kepuasan pelanggan, oleh karena itu hipotesis yang
diajukan dalam penelitian ini adalah:Kualitas jasa berpengaruh positif terhadap kepuasan
pelanggan.

III. METODE PENELITIAN

Penelitian ini memfokuskan diri untuk menguji dimensi kualitas jasa yang
mempengaruhi kepuasan pelanggan di organisasi sektor publik. Sampel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pelanggan KPPN di wilayah Jawa Timur. Responden yang
dipilih untuk menilai kinerja dari KPPN dalam memberikan pelayanan jasanya adalah para
bendahara dari instansi vertikal maupun dari pemerintah daerah yang menggunakan jasa
KPPN dalam melakukan verifikasi dan pencairan transaksi keuangan. Di wilayah Jawa
Timur terdapat 15 KPPN yang menjadi obyek penelitian.

Terdapat 2 instrumen yang digunakan dalam penelitian ini. Instrumen pertama


mengadopsi dari ServQual yang berisi pertanyaan mengenai penilaian responden terhadap 5
dimensi kualitas pelayanan dan 1 dimensi kepuasan pelanggan. Instrumen ServQual ini
mengacu pada Parasuraman et al. (1985) dengan menggunakan 7 skala Likert mulai dari
“sangat setuju” sampai dengan “sangat tidak setuju”. Dimensi tangibleness diukur dengan
menggunakan 4 pertanyaan, dimensi reliability diukur dengan menggunakan 6 butir
pertanyaan, dimensi responsivenessdiukur dengan 3 pertanyaan, dimensi assurance diukur
dengan 6 butir pertanyaan, 6 butir pertanyaan untuk mengukur dimensi emphaty.Kepuasan
pelanggan diukur dengan menggunakan 4 butir pertanyaan. Model yang digunakan untuk
menguji pengaruh dimensi kualitas jasa terhadap kepuasan pelanggan adalah sebagai
berikut:

Y = α + β1 X 1 + β 2 X 2 + β 3 X 3 + β 4 X 4 + β 5 X 5 + ε

Y merepresentasikan variabel kepuasan pelanggan, X 1 merepresentasikan variabel


tangibleness, X 2 merepresentasikan variabel reliability, X 3 merepresentasikan variabel
responseveness, X 4 merepresentasikan variabel assurance, dan X 5 merepresentasikan
variabel emphaty. Instrumen kedua digunakan untuk melakukan analisis gap dengan
menandingkan antara ekspektasi pelanggan dengan pelayanan jasa yang mereka rasakan
(perceived). Guna memenuhi analisis gap ini, butir pertanyaan yang harus dijawab oleh
responden adalah sebanyak 19 pertanyaan.

Metode pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner yang diisi oleh
responden tanpa menyebutkan identitas masing-masing responden. Setiap KPPN diambil
rata-rata 30 orang responden sehingga secara total diharapkan terkumpul 450 responden.
Namun setelah dilakukan tahap pengumpulan data, terdapat mengurangan jumlah kuesioner
yang bisa diolah karena ada beberapa kuesioner yang tidak terisi lengkap dan jumlah
kehadiran responden yang kurang dari 30 orang. Dari total 450 kuesioner yang disebarkan,
yang memenuhi syarat untuk diolah lebih lanjut sebanyak 443 kuesioner dengan tingkat
response rate sebesar 100%.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Analisis Deskriptif

Berikut ini disajikan data deskriptif obyek penelitian yang dilakukan terhadap KPPN
di wilayah Jawa Timur:

Tabel 1. Data Obyek Penelitian dan Jumlah Responden


No. Asal Kabupaten/Kota KPPN Jumlah Persentase (%)
1 Banyuwangi 30 6,8
2 Blitar 30 6,8
3 Bojonegoro 30 6,8
4 Bondowoso 25 5,6
5 Jember 30 6,8
6 Kediri 30 6,8
7 Madiun 29 6,5
8 Malang 33 7,4
9 Mojokerto 30 6,8
10 Pacitan 30 6,8
11 Pamekasan 30 6,8
12 Sidoarjo 30 6,8
13 Surabaya 1 33 7,4
14 Surabaya 2 31 7,0
15 Tuban 22 5,0
Total 443 100,0
Rata-Rata 29.53

Total KPPN yang tercakup sebagai obyek penelitian sebanyak 15 wilayah dengan rata-rata
jumlah responden sebesar hampir 30 orang. dari 15 wilayah tersebut, 59,8% adalah laki-laki
dan 38,4% perempuan, sisanya tidak mengisi identitas jenis kelamin dalam kuesioner.

Secara keseluruhan, hasil tabulasi atas instrumen pertama yang menguji pengaruh
dimensi kualitas jasa terhadap kepuasan pelanggan dapat dilihat sebarannya sebagaimana
gambar 2 dibawah ini:

Gambar 2. Persepsi Responden terhadap Dimensi Kepuasan


Persepsi Responden terhadap Dimensi Kepuasan
70.00%

Prosentase responden 60.00%

50.00%

40.00%

30.00% Reliability

20.00% Responsiveness
Assurance
10.00%
Empathy
0.00%
1 2 3 4 5 6 7 Tangibles
Reliability 0.68% 0.98% 2.65% 5.26% 13.76% 29.94% 46.73%
Responsiveness 0.08% 0.00% 1.28% 3.03% 10.81% 28.81% 55.99%
Assurance 0.76% 0.42% 1.06% 2.83% 9.70% 26.69% 58.55%
Empathy 1.10% 1.10% 1.63% 4.54% 13.15% 33.10% 45.40%
Tangibles 0.17% 0.40% 1.08% 4.37% 13.27% 28.48% 52.23%

Gambar2menjelaskanfrekuensijumlahresponden yang menjawabpertanyaan 1


(sangattidaksetuju) sampaidengan 7 (sangatsetuju)
untuksetiapdimensikepuasan.Dimensikepuasanpelanggandibedakanberdasarkanaspekreliabili
ty, responsiveness, assurance, empathydantangibles.

Gambar2menunjukkanbahwapada level tertinggi (yang menjawabsangatsetuju)


tingkatkepuasanterbesardirasakanpadadimensiassurance,
peringkatkeduaadalahresponsiveness.Peringkatterendahdirasakanuntukdimensiempathy.Hal
inimenunjukkanbahwapelanggan KPPN secarakeseluruhanmenyetujuibahwapetugas KPPN
bersikapramahdanbisamemberikanjawaban yang tepatdanakuratdenganpemahaman yang
memadai, danpelanggan KPPN merasaamanketikabertransaksi di KPPN.

Gambar2menunjukkansebaranresponpelangganterhadapmasing-
masingdimensikepuasan.Gambar2mengindikasikandimensikepuasan yang
masihperluditingkatkan, utamanyadaridimensireliability.Secara rata-rata,
dimensireliabilitymemilikiresponpenilaian yang relatifrendahdibandingkandimensi yang lain.
Hal inimenunjukkanbahwasecara rata-rata di seluruh KPPN di
JawaTimurperlumeningkatkanketepatanwaktupelayanan, keberadaanpegawai di
tempatkerjadanpemberianinformasi yang jelasdanlengkap.

4.2. Uji Pengaruh Dimensi Kualitas Jasa terhadap Kepuasan Pelanggan

Hasil analisis dengan menggunakan ANOVA memperlihatkan bahwa model secara


keseluruhan model penelitian ini valid. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat signifikansi F
sebesar 0,00. Analisis dilanjutkan dengan melakukan regresi linier berganda dengan hasil
sebagaimana tabel 2 berikut ini:

Tabel 2. Hasil Analisis Regresi Linier Berganda


Unstandardized Collinearity Statistics
Variabel t Sig.
B ffi Std.
i Error Tolerance VIF
(Constant) (0,8042) 0,2582 (3,1147) 0,0020
X1 (Tangibleness) 0,1056 0,0438 2,4122 0,0163 0,4873 2,0519
X2 (Reliability) 0,1673 0,0574 2,9117 0,0038 0,2185 4,5765
X3 (Respon sibility) 0,0426 0,0609 0,7005 0,4840 0,3029 3,3018
X4 (Assurance) 0,6444 0,0623 10,3457 0,0000 0,3129 3,1959
X5 (Emphaty) 0,1529 0,0418 3,6545 0,0003 0,3685 2,7134
Variabel Dependen: Kepuasan Pelanggan

Berdasarkan tabel 2 terlihat bahwa dimensi kualitas jasa yang berpengaruh terhadap
kepuasan pelanggan adalah tangibleness, reliability, assurance dan emphaty. Kesemua
dimensi tersebut memiliki pengaruh positif terhadap kepuasan pelanggan. Hal ini
menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pelanggan KPPN di
wilayah Jawa Timur adalah fasilitas dan peralatan fisik serta penampilan pegawai KPPN,
keakuratan pelayanan yang diberikan, jaminan kepercayaan dan keyakinan yang diberikan
serta tingkat kepedulian dan perhatian pegawai terhadap kebutuhan pelanggan.

Hasil analisis regresi tidak berhasil menunjukkan pengaruh responsibility terhadap


kepuasan pelanggan.Responsibility merupakan wujud dari keinginan pegawai untuk melayani
pelanggan dan memberikan jasa yang terbaik. ketidaksignifikanan responsibility dalam
meningkatkan kepuasan pelanggan lebih didorong oleh rendahnya ambiguitas dalam
pelaksanaan pekerjaan KPPN dimata pelanggan. KPPN merupakan lembaga yang berada
dibawah Departemen Keuangan yang memiliki tugas dalam hal verifikasi dan pencairan dana
yang bersumber dari APBN. Reformasi dalam Departemen Keuangan telah memberikan
dampak positif dengan diterbitkannya prosedur operasi standar (SOP) dalam berbagai bidang
termasuk didalamnya SOP bidang perbendaharaan yang dijalankan oleh KPPN. SOP ini telah
memberikan petunjuk yang jelas mengenai mekanisme verifikasi dan pencairan dana APBN
dilengkapi dengan bagan alur yang cukup jelas. Demikian pula dengan target waktu
penyelesaian pelayanan yang telah terstandarisasi. Hal ini yang mendorong tidak terlalu
banyak komunikasi yang terjadi antara pelanggan dengan petugas di KPPN mengingat
aktivitas verifikasi dan pencairan dana APBN merupakan suatu transaksi yang rutin
dilakukan setiap bulan sehingga baik pelanggan maupun petugas KPPN telah memahami
proses verifikasi dan pencairan dana APBN.

4.3. Hasil Analisis Gap

Hasil analisis gap antara ekspektasi pelanggan dengan pelayanan jasa yang dirasakan
diringkas berdasarkan obyek penelitian yang tersebar di Jawa Timur. Hasilnya dapat dilihat
pada tabel 3 berikut ini:

Tabel 3. Analisis Gap per Obyek


KOTA HARAPAN KEYAKINAN GAP
Malang 6,15 5,75 -0,40
Madiun 5,20 4,80 -0,41
Kediri 6,20 6,35 0,16
Bondowoso 6,15 6,14 -0,01
Pamekasan 6,28 6,28 0,00
Bojonegoro 6,33 6,51 0,18
Mojokerto 6,30 6,40 0,11
Pacitan 6,32 6,15 -0,16
Banyuwangi 6,53 6,36 -0,17
Surabaya2 6,29 6,51 0,22
Blitar 6,11 5,73 -0,38
Sidoarjo 6,21 5,73 -0,48
Tuban 6,23 6,39 0,16
Surabaya1 6,38 6,22 -0,16
Jember 6,17 6,45 0,28

Tabel3menunjukkan rata-rata gap


antaraharapanrespondendankeyakinanrespondenterhadappelayanan yang diberikanoleh
KPPN.Gap
negatifmenunjukkanbahwaharapanpelangganlebihbesardibandingkankinerjapelayanan yang
merekarasakan.Sedangkan gap positifmenunjukkanbahwakinerjapelayanan KPPN
dirasakanmelebihidarikinerja yang diharapkanolehpelanggan.

Berdasarkan tabel 3 terlihat bahwa 8 dari 15 wilayah kerja KPPN di Jawa Timur
menunjukkan ada gap negatif. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum KPPN belum bisa
memenuhi ekspektasi pelanggannya. Identifikasi atas indikator yang memiliki gap negatif
ditunjukkan dalam tabel 4.

Tabel 4 menunjukkan bahwa hanya 3 indikator saja yang memiliki gap positif. Ketiga
indikator tersebut mewakili indikator assurance dan tangibleness. Jika dirata-rata
berdasarkan instrumen gap analysis berdasarkan indikatornya, terlihat ringkasannya
sebagaimana digambarkan pada tabel 5.

Tabel 4 Gap Indikator


Indikator Harapan Keyakinan Gap
1 6,26 6,23 (0,03)
2 6,30 6,28 (0,02)
3 4,55 4,95 0,40
4 6,20 5,96 (0,24)
5 6,21 6,04 (0,18)
6 6,19 6,02 (0,17)
7 6,11 6,08 (0,03)
8 6,26 6,01 (0,26)
9 6,30 6,18 (0,12)
10 6,36 6,36 0,00
11 6,36 6,21 (0,15)
12 6,30 6,26 (0,05)
13 6,29 6,21 (0,08)
14 6,21 6,09 (0,12)
15 6,19 6,08 (0,10)
16 6,36 6,25 (0,11)
17 6,37 6,33 (0,04)
18 6,37 6,38 0,01
19 6,37 6,31 (0,06)

Tabel 5. Analisis Gap berdasarkan indikator dimensi kualitas jasa

Indikator Harapan Keyakinan Gap


Tangibleness 6,2952 6,2416 (0,0537)
Reliability 6,2589 6,0689 (0,1900)
Respon sibility 6,2000 6,0877 (0,1123)
Assurance 5,8872 5,9120 0,0248
Emphaty 6,2718 6,1920 (0,0798)

Berdasarkan tabel 5 terlihat bahwa hanya indikator assurance yang memiliki gap positif. Hal
ini menunjukkan bahwa masih diperlukan banyak pembenahan dalam melayani publik
ditinjau dari masing-masing dimensi kualitas jasa yang diberikan oleh KPPN.

V. SIMPULAN DAN SARAN


Kepuasan pelanggan tidak hanya menjadi komoditas bagi organisasi sektor privat.
Organisasi sektor publik juga dituntut untuk melakukan reformasi birokrasi guna
meningkatkan kepuasan pelanggan/rakyat mengingat organisasi pemerintahan mayoritas
menyediakan produk berupa jasa.

Penelitian ini menguji pengaruh dimensi kualitas jasa terhadap kepuasan pelanggan di
organisasi sektor publik yaitu KPPN yang secara organisatoris berada dibawah Departemen
Keuangan Republik Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi tangibleness,
reliability, assurance dan emphaty berpengaruh positif terhadap kepuasan pelanggan.
Sedangkan dimensi responsiveness tidak berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan. Hal ini
bisa dipahami mengingat KPPN sebagai organisasi sektor publik yang memiliki sifat
monopoli dalam penyediaan jasanya telah dilengkapi dengan petunjuk teknis pelaksanaan
pekerjaan (prosedur operasi standar=SOP) yang cukup jelas baik bagi pegawai KPPN
maupun bagi pelanggan.

Berdasarkan analisis gap kepuasan pelanggan diketahui bahwa pelayanan jasa yang
dilakukan oleh KPPN masih perlu mendapatkan perhatian karena dari seluruh dimensi
kualitas jasa mayoritas memiliki gap negatif yang artinya bahwa ekspektasi pelanggan
belum bisa dipenuhi dengan baik oleh KPPN. Hanya dimensi assurance yang memberikan
gap ekspektasi positif. Artinya bahwa pengetahuan petugas KPPN dalam melayani
pelanggan sudah cukup memadai sehingga memberikan rasa percaya dan rasa aman ketika
melakukan transaksi di KPPN.

Hal yang perlu diperhatikan dari hasil penelitian ini adalah bisa jadi hasil pengujian
dipengaruhi oleh metodologi pengukuran kepuasan pelanggan yang diadopsi dari organisasi
sektor privat yang memiliki karakteristik pelanggan yang memang berbeda dari organisasi
sektor publik. Disamping itu, perlu dikembangkan penelitian lebih lanjut untuk menguji
aspek demografi yang bisa mempengaruhi tingkat kepuasan pelanggan seperti tingkat
pendidikan, usia dan jenis kelamin.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, C. and Zeithaml, C.P. (1984), “Stage of the product life cycle, business strategy,
and business performance”, Academy of Management Journal, Vol. 27, pp. 5-24

Asubonteng, P., McCleary, K. J., and Swan J.E., (1996), SERVQUAL revisited: a critical
review of service quality, Journal of Services Marketing, Vol 10, No. 6, pp 62-81.

Dewhirst, F., Martinez-Lovente, A.R. and Dale, B.G. (1999), “TQM in public organisations:
an examination of the issues”, Managing Service Quality, Vol. 9 No. 1, pp. 265-73.

Dinsdale, G. and Marsden, D. (1999), Citizen/Client Surveys: Dispelling Myths and


Redrawing Maps, for the Citizen centred network, CCMD, p. 43.
Ehrlich, I., Gallois-Hammano, G., Liv, Z. and Lutter, R. (1994), “Productivity growth and
firm ownership: an empirical investigation”, Journal of Political Economy, Vol. 102,
pp. 257-98.

Hill, Y., Lomas, L. and MacGregor, J. (2003), “Students perceptions of quality in higher
education”, Quality Assurance in Education, 11(1): 15-20.

Mwita, J.I. (2000), “Performance management model”, The International Journal of Public
Sector Management, Vol. 13 No. 1, pp. 19-37

Parasuraman, A., Zeithaml, W. and Berry, L. (1985), “A conceptual model of service quality
and its implications for future research”, Journal of Marketing, Vol. 49, pp. 41-50.

_____________ (1991), “Refinement and reassessment of theSERVQUAL scale”, Journal


of Retailing, Vol. 67 No. 4, pp. 420-50.

Schmidt and Stricklan, (2000) Client Satisfaction Surveying: Common Measurements Tool,
Canadian Centre for Management Development, November 2000.

Zeithaml V. A., (1992)Problems and strategies in service marketing, In: Bateson J. (ed.),
Managing service marketing, London, The Dryden Press.

_____________ (2000), “Service quality, profitability and the economic worth of customers:
what we know and what we need to learn”, Journal of the Academy of Marketing
Science, Vol. 28 No. 1, pp. 67-85.

You might also like