Professional Documents
Culture Documents
Pengaruh Kekuatan Persaingan Terhadap Bisnis Internasional
Pengaruh Kekuatan Persaingan Terhadap Bisnis Internasional
Pengaruh Kekuatan Persaingan Terhadap Bisnis Internasional
INTERNASIONAL
RESUME MATERI
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Bisnis Internasional
Yang dibina oleh bapak Drs. Djoko Dwi Kusumojanto, Msi
Oleh :
Lailatul Qudsiah
150413601160
Mochammad Febri Andrian
150413604270
Weny Ferinda Setyadi
140413601934
B. Uni Eropa
Ketika Economic Community – EEC [Masyarakat Ekonomi Eropa]
pertama kali dibentuk pada akhir tahun 1950-an, diciptakanlah suatu pasar yang
terdiri atas 6 pasar yang sudah ada. Pasar yang lebih besar itu tidak hanya menarik
pesaing baru dari luar Eropa, tetapi juga memberikan akses yang mudah kepada
perusahaan-perusahaan yang selama ini hanya menjual ke satu negara anggota
menjadi ke lima negara lainnya. Persaingan semakin ketat dengan diterimanya
Denmark, Irlandia, dan Inggris pada tahun 1973 dan semakin meningkat dengan
masuknya Yunani pada tahun 1981 serta Spanyol dan Portugal pada tahun 1986.
Para produsen produk-produk industri, namun bukan produk pertanian,
dihadapkan pada persaingan dari negara-negara anggota EFTA [ Kawasan
Perdagangan Bebas Eropa] ketika EEZ [ Zona Ekonomi Eropa] dibentuk pada
tahun 1984. Pada bulan Oktober 1991, suatu perjanjian baru antara kedua
kelompok tersebut tercapai, di mana perjanjian itu mengubah Zona Ekonomi
Eropa menjadi Kawasan Ekonomi Eropa. Dengan masuknya bekas anggota-
anggota EFTA, yaitu Austria, Swedia, dan Finlandia ke Uni Eropa pada tanggal 1
Januari 1995, hanya tiga anggota EEA, yaitu Norwegia, Eslandia, dan
Liechtenstein yang tidak menjadi bagian dari Uni Eropa. Pada bulan Mei 2004
Uni Eropa yang beranggotakan 15 negara ituakan menambahkan 10 anggota lagi.
Proses perluasan Uni Eropa ini diperkirakan pada akhirnya akan menggabungkan
28 negara atau lebih ke dalam kawasan dagang “Eropa yang lebih besar”, dengan
populasi lebih dari 555 juta. Perkembangan semacam ini dapat menciptakan
peluang-peluang baru yang penting bagi dunia usaha, serta menciptakan
tantangan-tantangan persaingan baru.
- Daya saing Eropa
Adalah sulit untuk membandingkan daya saing suatu negara dengan daya
saing 15 negara, bahkan ketika kelima belas negara tersebut merupakan
pasar bersama. Tetapi, terdapat beberapa indikasi bahwa daya saing Uni
Eropa secara keseluruhan telah menurun relatif terhadap AS meskipun
terdapat fakta bahwa beberapa negara anggota telah meningkatkan posisi
daya saing internasionalnya pada tahun-tahun belakangan ini.
Selama tahun 1990-an, tingkat pertumbuhan dari volume ekspor Uni
Eropa tertinggal dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan yang
dicapai oleh sebagian besar negara di dunia, termasuk Amerika Utara.
Impor Uni Eropa juga tumbuh dengan laju yang lebih lambat
dibandingkan dengan kebanyakan negara lain di dunia selama
dasawarsa ini.
Pada tahun 2001, Uni Eropa mengalahkan sebagian besar negara di
dunia dalam hal pertumbuhan ekspor maupun impor, tetapi hasil ini
tampaknya sebagian besar diakibatkan oleh perlambatan ekonomi
yang tertunda di Uni Eropa relatif terhadap kawasan lainnya. Uni
Eropa memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih rendah dalam PDB
riil dan tingkat pengangguran yang lebih tinggi dibandingkan dengan
AS setiap tahunnya dari tahun 1992 sampai tahun 2000. Meskipun
terdapat pertumbuhan ekonomi yang kuat pada tahun1999 dan 2000,
manffat anggaran tidak digunakan untuk menghasilkan anggaran yang
seimbang atau surplus untuk jangka menengah. Malahan, neraca yang
disesuaikan secara siklis menunjukkan situasi yang lebih buruk selama
beberapa tahun terakhir, yang semakin diperparah dengan adanya
pemotongan pajak di beberapa negara anggota.
Indikasi OECD untuk rasio cakupan perdagangan ekspor/impor bagi
semua tingkatan industri mengungkapkan bahwa perusahaan-
perusahaan Eropa tampaknya melakukan spesialisasi pada produk-
produk berteknologi rendah untuk ekspor, yang kemudian diikuti oleh
produk-produk berteknologi menengah lalu produk-produk
berteknologi tinggi.
Pengeluaran Eropa untuk R&D sebagai presentase dari PDB secara
konsisten lebih rendah dibandingkan dengan Jepang dan AS. Selain
itu, pembelanjaan pemerintah untuk R&D sedang menurun di negara-
negara utama Eropa sejak awal tahun 1980.
Karena adopsi teknologi telah bergerak dengan lebih lambat di Eropa
dibandingkan dengan di AS atau Jepang, Eropa menjadi semakin
tertinggal.
Kurangnya fleksibilitas sering kali dikemukakan sebagai alasan utama
mengapa Uni Eropa telah tertinggal dari AS dalam beberapa
penerapan ICT
- Berbagai Hambatan terhadap Daya Saing Eropa
a) Biaya Tenaga Kerja dan Produktivitas
Biaya tenaga kerja adalah faktor utama yang mempengaruhi daya
saing Eropa. Upah, gaji, dan tunjangan di 11 negara Eropa adalah
lebih tinggi dibandingkan dengan di Jepang. Keluhan umum yang
biasa muncul di Eropa adalah bahwa para pekerja Eropa dibayar
terlalu tinggi, terlalu dilindungi, serta memperoleh terlalu banyak hari
libur dibandingkan di Jerman, AS, maupun Jepang.
Biaya tenaga kerja yang tinggi di Uni Eropa diperparah oleh
produktivitas yang tertinggal dibandingkan dengan produktivitas AS
dan para pesaing lainnya. Menurut pendapat para analisis, para
manajer Eropa membutuhkan waktu yang terlalu lama untuk
mengadaptasikan operasi mereka terhadap persaingan jasa global yang
ketat dan untuk menandingi peningkatan yang agresif dari para
produsen kelas dunia.
Konsultan manajemen, McKinsey & Co, merilis sebuah studi yang
mengklaim bahwa beribu-ribu pekerjaan mungkin harus dihilangkan
jika industri-industri seperti industri otomotif, telekomunikasi, dan
perbankan di Jerman dan Prancis ingin seefisien seperti di Jepang dan
AS. Analisis atas enam industri menyiratkan bahwa peraturan
pemerintah di kedua negara Eropa tersebut menghalangi pertumbuhan
ekonomi dan meningkatkan pengangguran.
Pengaturan pasar produk, keterlibatan dan kepemilikan publik yang
luas dalam operasi bisnis, hambatan terhadap kewirausahaan, dan
kebijakan tenaga kerja yang restriktif adalah sebagian dari faktor-
faktor yang mungkin menyebabkan munculnya persepsi bahwa
pilihan-pilihan investasi di Uni Eropa kurang menarik.
b) Pendidikan
Banyak negara Eropa telah mencapai standar prestasi yang tinggi
dalam sistem pendidikan dasar dan menengahnya, yang sering kali
lebih unggul dibandingkan dengan AS. Tetapi, presentase populasi AS
yang mengenyam pendidikan di universitas adalah lebih tinggi
dibandingkan dengan Uni Eropa. Pendidikan universitas di Eropa juga
cenderung lebih teoritis, lebih kaku, dan kurang mampu menyesuaikan
diri dengan kebutuhan industri yang berubah dibandingkan dengan
As, dan hal ini dapat merugikan daya saing bisnis Eropa lebih lanjut.
c) Posisi negara-negara anggota bertentangan
Suatu faktor kendala dalam upaya meningkatkan daya saing
keseluruhan dari Uni Eropa adalah berlanjutnya perselisihan di antara
negara-negara anggota mengenai masalah-masalah kunci. Uni Eropa
masih memiliki perbedaan-perbedaan yang signifikan dalam hal
kemakmuran ekonomi relatif antara negara-negara anggota, sehingga
memperumit usaha untuk mencapai konsensus mengenai kebijakan
moneter dan perpajakan, pembangunan ekonomi dan subsidi industri,
perluasan Uni Eropa melalui penerimaan negara anggota baru, dan
prakarsa-prakarsa lainnya.
d) Bias budaya
Satu alasan bagi ketertinggalan teknologi Eropa adalah penolakan
untuk menggunakan alat-alat yang terlalu berbau “Amerika”. Manajer
Eropa dari Intel mengamati bahwa CEO dari beberapa perusahaan
komputer pribadi Eropa tidak memiliki komputer di kantor mereka. Di
banyak perusahaan Eropa, yang menjadi tujuan adalah meningkatkan
jenjang karier sampai ke posisi yang cukup tinggi di mana Anda tidak
harus menggunakan PC. Bias yang seperti ini dan bias-bias budaya
lainnya dapat merintangi usaha Uni Eropa untuk meningkatkan daya
saingnya di dunia yang semakin dipacu oleh pengetahuan.
e) E-commerce International di Eropa
Langkah-langkah besar telah dilakukan untuk meningkatkan daya
saing Eropa dalam hal teknologi internet pada tahun-tahun belakangan
ini. Di sektor perdagangan mobile yang sedang muncul, di mana
bisnis dilakukan dengan alat-alat nirkabel seperti telepon mobile,
Eropa telah mengambil posisi memimpin, terutama di negara-negara
Nordik seperti Finlandia dan Swedia. Namun, kemajuan ini tidaklah
terbagi rata di seluruh Eropa, dan banyak negara masih ketinggalan.
Selain kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan oleh beragamnya tingkat
penetrasi internet, pengembangan E-business Uni Eropa terhambat
oleh kurangnya budaya kewirausahaan dan pasar modal risiko yang
belum berkembang.
- Tanda-tanda Peningkatan dalam Daya Saing Eropa
Meskipun kinerjanya relatif tertinggal dibandingkan dengan AS,
belakangan ini terdapat tanda-tanda adanya daya saing yang kuat dan
sering kali meningkat di antara beberapa negara Eropa.
Dalam laporan Daya Saing Global, 4 dari 10 negara pada tahun 2002
berasal dari Uni Eropa atau EFTA, dibandingkan dengan hanya 3
negara dari 10 negara teratas pada tahun1996.
Demikian juga pada Papan Nilai Daya Saing Dunia tahun 2002,
mendaftarkan 6 negara Eropa di antara 10 teratas.
Faktor pendorong lainnya berkaitan dengan daya saing Eropa adalah
rendahnya tingkat korupsi yang dianggap ada di banyak negara Eropa.
Hal ini dapat memengaruhi daya saing dalam bekerja dengan atau
melawan perusahaan-perusahaan Eropa di Uni Eropa dan di negara
lainnya.
Dalam hal daya saing di bidang inovasi, COC menemukan bahwa
beberapa negara Eropa, terutama Denmark, Finlandia, dan Irlandia,
telah menciptakan kemajuan utama dalam kapasitas inovatifnya
selama bertahun-tahun belakangan ini, sehingga memungkinkan untuk
memperoleh posisi relatif terhadap AS dan Jepang. Pergeseran yang
menguntungkan dalam kebijakan pengaturan serta peningkatan
investasi dalam R&D dan pendidikan telah memosisikan negara-
negara Skandinavia sebagai pusat inovasi terkemuka, terutama dalam
hal telekomunikasi nirkabel, dalam hal mana negara-negara tersebut
berada di antara para pemimpin dunia.
Satu langkah yang oleh banyak perusahaan Eropa, terutama
perusahaan internasional yang lebih besar, diambil untuk
meningkatkan efisiensi produksinya adalah menutup pabrik yang lebih
tua dan mengonsentrasikan produksinya pada fasilitas-fasilitas yang
paling efisien.
Meskipun Uni Eropa mengalami kinerja ekonomi yang lebih rendah
dan tingginya tingkat pengangguran secara berkelanjutan pada periode
tahun 1991-1996, kawasan tersebut mengaami peningkatan
pertumbuhan ekonomi sejak saat itu.
Pengembangan suatu kebijakan moneter tunggal, termasuk
pengenalan euro pada tahun 1999, telah membantu menyediakan
peningkatan stabilitas ekonomi makro di Uni Eropa, terutama melalui
penghapusan risiko nilai tukar bagi arus keuangan antara sebagian
besar negara Uni Eropa.
- Persaingan dari Jepang
Walaupun perekonomian Jepang telah menghadapi tantangan-tantangan
ekonomi yang signifikan sejak tahun 1990, ekspansi internasional dari
perusahaan-perusahaan multinasional Jepang telah berlanjut dan beberapa
faktor industri Eropa telah merasakan dampak dari usaha ini. Kendaraan
bermotor hanyalah merupakan satu segi ekspansi Jepang ke Eropa. Seperti
di AS, impor Jepang hampir melenyapkan industri sepeda motor Eropa.
Uni Eropa menjalani defisit perdagangan yang besar dalam produk
elektronik. Kamera dan jam tangan Jepang adalah pemimpin pasar, dan
setiap tabung TV warna kecil yang digunakan di Eropa dibuat oleh
perusahaan elektronik Jepang dengan fasilitas produksi lokal. Investasi
yang ekstensif oleh produsen mobil Jepang, membantu perusahaan-
perusahaan tersebut untuk membuat kemajuan yang pesat dalam pangsa
pasar.
Perusahaan jasa Jepang juga telah berinvestasi di pasar-pasar Eropa dan
bersaing dengan perusahaan lokal dalam bidang ritel, periklanan, hotel,
distribusi, pariwisata, dan asuransi. Banyak perusahaan yang datang
karena produsen Jepang sering kali lebih suka membawa penyedia jasanya
sendiri daripada menggunakan penyedia jasa lokal.
Kalangan produsen Eropa prihatin bahwa produsen Jepang akan membeli
perusahaan distribusi lokal. Di Jepang, produsen elektronik besar
melakukan hal ini untuk mengendalikan pemasaran dan penetapan harga.
Distributor-distributor pembeli di Eropa mungkin membantu mereka
dalam mempertahankan harga yang tinggi dan mempersulit para pesaing
kecil dalam mendapatkan distribusi. Eropa pada akhirnya akan
menghadapi situasi oligopoli, di mana harga-harga naik dan para pesaing
Eropa yang lebih miskin semakin jauh dari pasar.
- Persaingan dari AS
Perusahaan-perusahaan Eropa menghadapi persaingan dari ekspor
Amerika sebagaimana dengan ekspor Jepang. Tetapi, tidak seperti Jepang,
banyak perusahaan AS telah lama memiliki fasilitas manufaktur yang
berbasis di Eropa. Mobil-mobil General Motors dan Ford produksi Eropa
bersaing di pasar otomotif; merek-merek seperti Heinz, Kodak, dan Coca
Cola adalah nama-nama rumah tangga, Microsoft mendominasi pasar
software komputer; sementara produsen komputer Dell dan Hewlett-
Packard memimpin dalam hal pangsa pasar dan PC profesional. Mungkin
karena ikatan politik dan budaya jangka panjang ditambah dengan fakta
bahwa perusahaan multinasional Eropa bebas untuk melakukan investasi
di AS dengan hambatan minimum, perusahaan-perusahaan Amerika pada
umumnya diterima dengan baik di Eropa.
Tetapi, pemerintah negara-negara Eropa berupaya untuk membantu
perusahaan-perusahaan nasional bersaing dengan perusahaan-perusahaan
Amerika. Pemerintah negara-negara tersebut menolong Airbus dalam
persaingannya melawan Boeing dan telah mengeluarkan miliaran dolar
untuk program R&D guna mendukung industri Eropa.
- Persaingan dari negara-negara Asia
Perusahaan dari negara-negara Asia yang dahulunya menerima investasi
dari perusahaan-perusahaan Eropa yang mengambil keuntungan dari biaya
tenaga kerja yang lebih rendah sekarang melakukan investasi di Eropa.
Investasi perusahaan-perusahaan tersebut pada pabrik-pabrik otomotif dan
elektronika Eropa berjumlah miliaran dolar. Meskipun perusahaan dari
negara-negara macan Asia memiliki fasilitas produksi di Eropa, para
konglomerat industri Korea Selatan – chaebol - telah memimpin gerakan
investasi Asia ke Eropa. Serupa dengan kasus Jepang, para chaebol
mempunyai preferensi yang jelas untuk suatu negara. Pada tahun-tahun
belakangan ini Inggris telah menerima dua pertiga investasi baru Korea di
Eropa. Akan tetapi, huru-hara ekonomi Asia yang terjadi pada tahun 1997
menyebabkan hampir runtuhnya ekonomi Korea akibat beban utang luar
negeri yang bermiliaran. Perkembangan ini telah turut ambil bagian dalam
memperlambat serangan gencar dari Korea dan para pesaing asal Asia
lainnya ke Eropa, tetapi situasi ini tampaknya hanya sementara saja karena
perbaikan dalam situasi ekonomi yang dihadapi Korea dan perusahaan-
perusahaannya terus meningkat dan memberikan fondasi bagi usaha-usaha
pembaruan internasinalisasi.
- Persaingan dari Negara Pasifik
Sebuah perjanjian preferensial yang dikenal sebagai Cotonou Agreement,
yang ditandatangani di Cotonou, Benin, pada bulan Juni2000, adalah suatu
sumber persaingan dari negara-negara berkembang untuk sebagian
produsen Eropa. Perjanjian Cotonou adalah kesepakatan perdagangan 20
tahun yang berkaitan dengan perdagangan, bantuan, dan pembangunan
yang berkesinambungan antara Uni Eropa dan 77 negara Afrika, Karibia,
dan Pasifik. Perjanjian ini mencerminkan kerangka keuangan dan politik
terbesar di dunia dalam hal kerja sama Utara-Selatan.
Untuk menghadapi keprihatinan ini, perjanjian Cotonou menekankan pada
suatu pendekatan kolaboratif guna membahas kemiskinan, meningkatkan
pembangunan yang berkesinambungan dan bekerja menuju integrasi
negara-negara AKP dalam perekonomian global secara bertahap. Negara-
negara AKP akan menerima manfaat perdagangan nonresiprokal atau
bukan timbal balik, termasuk ekspor ke Uni Eropa secara tidak terbatas
untuk 99 persen barang industri dan produk-produk lainnya.
- Apakah Industri-industri Pengetahuan dan Informasi akan Mengubah
Eropa?
Terdapat beberapa usaha yang ditujukan untuk reformasi struktural dan
peningkatan suatu perekonomian yang didasarkan pada pengetahuan,
termasuk privatisasi, reformasi terhadap pasar tenaga kerja dan keuangan,
serta adopsi atas teknologi-teknologi baru. Permintaan domestik adalah
kuat, persaingan di Uni Eropa semakin intensif, harga-harga telah merosot,
dan banyak negara sudah memulai usaha untuk mereformasi sistem
perpajakan. Guna mencapai potensinya, kawasan tersebut harus mencoba
untuk menghindari terulangnya kembali penurunan yang terus-menerus
terjadi dalam nilai relatif euro, mengelola perbedaan dalam kebijakan dan
pertumbuhan ekonomi antara negara-negara anggota, dan menghindari
guncangan utama akibat peristiwa-peristiwa ekonomi makro seperti resesi
di AS atau di tempat lainnya. Jika hal ini tercapai, Uni Eropa mungkin
akan berada pada posisi yang mencapai peningkatan produktivitas,
pertumbuhan noninflasi yang berkesinambungan dan kesempatan untuk
mulai menutup kesenjangan dalam daya saingnya dengan AS.
C. Jepang
Jepang mengalami pertumbuhan ekonomi yang mengesankan antara tahun
1960 dan 1985, tetapi pada tahun 1980-an perekonomian Jepang telah melakukan
ekspansi yang berlebihan dan modalnya tidak dialokasikan dengan benar. Suatu
kecenderungan yang menurun secara berkelanjutan terjadi akibat runtuhnya
“perekonomian gelembung” dimana harga saham, real estate, dan properti lainnya
turun secara drastis. Sebagai akibatnya, tahun 1990-an adalah periode yang sulit
bagi Jepang dengan rata-rata pertumbuhan tahunan dalam PDB rill kurang dari
1% dari tahun 1992 sampai tahun 2002 dan pertumbuhan diproyeksikan akan
sama dengan nol sampai setidaknya tahun 2004. Tingginya tingkat utang
perusahaan dan permintaan domestik yang yang stagnan mengakibatkan
banyaknya jumlah perusahaan yang bangkrut. Pengangguran meningkat setiap
tahunnyasejak tahun 1990-2002 meningkat dari 2,1% jumlah tenaga kerja menjadi
5,3%. Di masa lalu, perusahaan-perusahaan Jepang mampu mengekspor guna
mengatasi perekonomian negaranya dengan relatif mudah, tetapi devaluasi besar-
besaran atas mata uang Asia Tenggara dan Korea Selatan pada tahun 1997 dan
1998 mengurangi ekspor otomotif, elektronik dan mesin-mesin Jepang sehingga
surplus perdagangan Jepang dengan negara-negara tersebut turun tajam.
Penurunan dalam syarat-syarat perdagangan telah menyebabkan banyak
perusahaan Jepang memindahkan investasinya ke luar negeri, terutama ke negara
berbiaya rendah seperti Cina.
- Penurunan Peringkat Daya Saing
Pengalaman pada tahun 1990-an dan awal tahun 2000-an memiliki suatu
dampak yang negatif pada peringkat daya saing Jepang. Faktor-faktor
yang menjadi penyebab merosotnya daya saing Jepang selama dasawarsa
yang lalu adalah sebagai berikut :
a) Penurunan Produktivitas
Perusahaan-perusahaan multinasional Jepang telah menerima banyak
pujian untuk efisiensi operasionalnya. Sistem pendidikan jepang telah
menghasilkan siswa-siswi yang prestasinya hampir mendekati puncak
dalam perbandingan tingkat dunia. Akan tetapi bisnis Jepang banyak
mengalami penurunan pada tahun belakangan ini. Untuk penurunan
produktivitas Jepang adalah keengganan pemberi kerja Jepang
tradisional untuk memecat karyawan yang setia. Tenaga kerja Jepang
merupakan tenaga kerja dengan mobilitas terendah diantara negara-
negara ekonomi maju sebagai akibat dari praktik “pekerjaan seumur
hidup” gaji berdasarkan senioritas, stigma sosial yang luas terhadap
kehilangan pekerjaan dan portabilitas pensiun yang terbatas.
Akibatnya, perputaran tenaga kerja di Jepang hanya sekitar separuh
dari tingkat perputaran di Jerman dan Prancis. Hal ini telah
mengakibatkan terlalu banyaknya karyawan yang dipekerjakan dan
menurunnya perekrutan atas pekerja-pekerja muda sehingga
menciptakan tidak sepadannya keterampilan yang ada akibat
ketidakmampuan untuk merekrut pekerja baru dan muda dengan basis
pengetahuan yang baru.
b) Penurunan Investasi dalam Penelitian dan Pengembangan Research
and Development
Jepang merupakan negara terkemuka dalam hal tingkat inovasi di
kancah internasional. Dan memang banyak perusahaan Jepang
melakukan investasi yang sangat besar dalam R&D sepanjang tahun
1990-an dan awal 2000-an meskipun terdapat masalah ekonomi secara
keseluruhan di Jepang, dan perusahaan-perusahaan itu telah
membangun posisi internasional yang kuat sebagai hasil dari tingkat
inovasinya.
c) Hambatan terhadap Inovasi dan Kewirausahaan
Pembentukan bisnis baru memainkan peranan penting dalam
pertumbuhan ekonomi, eksploitasi gagasan-gagasan baru untuk
produk dan jasa yang inovatif, dan penggunaan tenaga kerja dan
sumber daya lainnya secara efisien. Menurut standar internasional,
Jepang mempunyai tingkat pembentukan bisnis baru yang rendah. Hal
ini mencerminkan adanya hambatan yang substansial terhadap
prakarsa kewirausahaan di Jepang. Biaya mendirikan fasilitas
manufaktur baru di Jepang 5 sampai 10 kali lebih mahal dibandingkan
di negara-negara seperti AS, Jerman, Perancis serta Inggris dan
bahkan jauh lebih mahal dibandingkan dengan negara industri baru
(NIC) dan perekonomian industri baru (NIE) di Asia. Biaya yang
lebih tinggi ini dapat mendorong para pelaku bisnis untuk memulai
atau memperluas perusahaan di negara-negara lain, sehingga semakin
merugikan usaha Jepang untuk mengurangi pengangguran dan
mendorong aktivitas ekonomi.
- Keterbatasan Penetrasi Teknologi Komunikasi dan Informasi
Walaupun Jepang mewakili sumber penting untuk mengembangkan
produl-produk teknologi komunikasi dan informasi (information and
communication technology – ICT) dan merupakan pasar terkemukan
untuk banyak teknologi seluler yang canggih, masih banyak terdapat
banyak ruang untuk peningkatan dalam peran ICT. Berdasarkan pada
sebagian besar ukuran, penggunaan ICT di Jepang melampaui
penggunaan ICT di kawasan Eropa secara keseluruhan. Penetrasi dan
akses internet ke PC diantara konsumen, penggunaan internet di bidang
pendidikan, dan penggunaan perdagangan elektronik di Jepang masih
masih jauh di bawah AS dan negara-negara terkemuka lainnya.
Walaupun biaya akses internet adalah serupa dengan di AS, biaya
telekomunikasi yang tinggi di Jepang meningkatkan total biaya akses
menjadi 200 sampai 300 persen dari biaya yang sama di AS. Dalam
sektor bisnis, survei yang dilakukan oleh METI pada tahun 2001
menemukan bahwa investasi ICT di Jepang cenderung dipusatkan pada
peningkatan efisiensi dari transaksi da operasi yang sudah ada, dan bukan
hanya berorientasi ke arah perubahan yang memiliki jangkauan yang lebih
luas dalam struktur dan operasi perusahaan. Kenyamanan dan keakraban
para eksekutif Jepang dengan internet dilaporkan berada pada tingkat
15%, dibandingkan dengan 64% untuk para eksekutif Amerika Serikat.
- Menurunnya Peran Investasi Asing Langsung
Setelah liberalisasi pengendalian modal pada awal tahun 1980-an, Jepang
muncul sebagai sumber investasi asing langsung (foreign direct
investment). Pertumbuhan dalam FDI mencerminkan baik kuatnya
pertumbuhan ekonomi di Jepang dan diluar negeri maupun pesatnya
apresiasi yen, yang mendorong perusahaan-perusahaan Jepang untuk
merelokasi produksinya ke luar negeri guna mempertahankandaya saing
dalam hal biaya. Pada awalnya, sebagian besar dari modal tersebut
diarahkan ke AS, terutama di sektor real estat, jasa, keuangan, dan
asuransi. Hal ini kemudian diikuti dengan peningkatan yang dramatis
dalam tingkat investasi ke pasar Asia yang sedang muncul, dengan fokus
pada sektor industri.
- Regulasi dan Restrukturisasi
Meskipun terdapat tekanan yang terus menerus untuk meningkatkan
restrukturisasi dan deregulasi, namun kemajuan yang dicapai oleh Jepang
pada tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an relatif terbatas. Keiretsu terus
memiliki pengaruh yang kuat, sektor keuangan telah diisolasi dari daya
saing internasional, tidak efisien, serta seiring kali praktik-praktik korupsi
menandai banyak proyek pekerjaan umum. Dalam suatu kondisi budaya
yang tidak mengizinkan terjadinya kegagalan perusahaan atau bank,
masalah hanya ditutupi dan tidak dipecahkan, sehingga memperpanjang
krisis pasca-ekonomi gelembung dan memungkinkan timbulya
ketidakpercayaan yang kronis.
Ditekan oleh pengakuan yang luas bahwa penyakit ekonomi
berkepanjangan tidak akan hilang dengan sendirinya, pemerintah Jepang
baru-baru ini mulai mempromosikan sejumlah perubahan institusional,
upaya-upaya dilakukan untuk merestrukturisasi sektor bisnis. Untuk
menghadapi kredit macet, suatu situasi yang diperparah dengan
kemunduran yang tajam di bursa saham sehingga meningkatkan
keprihatinan lebih lanjut mengenai kecukupan modal bank, sektor
perbankan direstrukturisasi. Perubahan-perubahan tersebut mencakup
sejumlah merger dan penjualan bank yang sebelumnya bangkrut serta
konsolidasi diantara konglomerat-konglomerat perbankan utama,
walaupun sektor ini terus diwarnai dengan pinjaman yang macet dan
neraca yang lemah.
- Keitersu Jepang
Salah satu institusi Jepang adalah keiretsu, sekelompok perusahaan yang
terkait secara keuangan dan cenderung melakukan bisnis antara
sesamanya dibandingkan dengan perusahaan lain. Sistem keiretsu adalah
suatu kekuatan penting dalam pemulihan Jepang setelah Perang Dunia II
dan dianggap sebagai sumber kekuatan persaingan industri Jepang.
Keiretsu berada di pusat suatu lingkaran pengaturan yang melibatkan
pemerintah, perbankan, industri, dan masyarakat. Pemerintah
memberitahukan kepada bank untuk menanam modal di perusahaan-
perusahaan tertentu. Perusahaan-perusahaan terutama yang besar,
memberikan jaminan pekerjaan seumur hidup kepada karyawannya.
Karyawan kemudian menabung sebagian besar dari pendapatan mereka,
dan menyimpan di bank, yang kemudian menginvestasikannya kembali
sebagaimana diperintahkan oleh pemerintah. Sebagai imbalan untuk
menaati perintah pemerintah, perusahaan-perusahaan tersebut diberikan
perlakuan istimewa dalam hal pemberian izin perusahaan.
- Meningkatkan Daya Saing Jepang
Sebagai respon terhadap daya saing dan tekanan-tekanan lainnya, porsi
manufaktur dalam PDB Jepang secara keseluruhan turun dari 24,7% pada
tahun 1991 menjadi 22,4% pada tahun 1999. Perusahaan-perusahaan
Jepang telah mencoba untuk meningkatkan operasi manufakturnya
melalui tindakan-tindakan seperti melakukan reorganisasi terhadap
pabrik-pabrik domestik, memusatkan perhatian secara strategis pada
produk-produk tertentu, melakukan spesialisasi dalam bidang-bidang
yang memberikan nilai tambah yang tinggi seperti perancangan
semikonduktor, dan meningkatkan efisiensi melalui penggunaan
teknologi informasi untuk meningkatkan pengembangan dan
produktivitas.
- Persaingan dari AS dan Eropa
Perekonomian Jepang telah berada pada siklus yang berulang selama 25
tahun terakhir dimana pemerintah membiarkan yen jatuh terhadap dollar
untuk mendorong ekspor sementara juga membatasi pertumbuhan
domestik untuk mengurangi laju impor. Surplus perdagangan Jepang
meningkat, kemudian AS menuntut agar pemerintah Jepang membiarkan
yen naik terhadap dolar, mengurangi batasan terhadap impor AS,
memberikan kebebasan yang lebih besar bagi perusahaan-perusahaan AS
dalam menjalankan bisnisnya di Jepang dan merangsang
perekonomiannya untuk meningkatkan permintaan. Tanggapan Jepang
adalah membuat beberapa konsesi atas impor AS, mengurangi beberapa
pembatasan terhadap perusahaan-perusahaan AS yang berbisnis di negeri
Jepang, dan mendorong peningkatan nilai yen.
- Persaingan dari Negara-negara Asia
Banyak persaingan di Jepang dari negara-negara Asia merupakan akibat
dari perusahaan Jepang yang memindahkan produksinya ke negara-negara
tersebut pada pertengahan tahun 1990-an guna menghindari biaya buruh
yang tinggi di dalam negeri dan meningkatkan atau memulihkan daya
saing internasionalnya. Industri-industri kunci, seperti produsen
elektronik dituduh melakukan hollowing out, yaitu menutup fasilitas
produksi lokal mereka dan menjadi organisasi pemasaran untuk produsen-
produsen lain yang pada umumnya berasal dari luar negeri. Perusahaan-
perusahaan yang terus melakukan produksinya sendiri beralih ke negara-
negara lain yang biaya produksinya lebih rendah. Strategi Jepang yang
baru ini menciptakan kelompok-kelompok regional yang mampu bersaing
di tingkat dunia dan juga mengaitkan negara-negara Asia dengan
perekonomian Jepang.