Professional Documents
Culture Documents
Acute Respiratory Infections: Keywords: Meteorological Factors, PM10, ARI, Path Analysis
Acute Respiratory Infections: Keywords: Meteorological Factors, PM10, ARI, Path Analysis
Acute Respiratory Infections: Keywords: Meteorological Factors, PM10, ARI, Path Analysis
Abstract
The purpose of this study was to analyze the influence of meteorological factors directly or
indirectly through the concentration of particulate (PM10) on the incidence of Acute
Respiratory Infections (ARI) in the District of South Banjarbaru, Banjarbaru. The method used
in this research is cross-sectional study, where data meteorological factors, the concentration of
particulate matter (PM10) and the incidence of ARI are collected simultaneously. Data
meteorological factors and the concentration of particulate matter (PM10) derived from
Banjarbaru Climatological Station, while data came from health ARI Banjarbaru and Sei Besar
which is located in the district of South Banjarbaru. While the analysis used in this study were
Path Analysis (path analysis) was an analysis of the relationship between the independent
variables, intermediate variables, and the dependent variable was presented in the form of a
diagram. The results showed the meteorological factors that had a direct impact on the incidence
of ARI was the largest factor relative air humidity of by 18.7%, followed by a factor of 7.1%
of air temperature, wind speed factor and its influence on the intensity of rainfall was below
1%. While the indirect influence of meteorological factors on the concentration of particulate
matter (PM10) on the incidence of ARI in the District of South Banjarbaru effect was below
1%. It can be concluded that the direct effect of meteorological factors and the concentration of
particulate matter (PM10) on the incidence of ARI in the District of South Banjarbaru
significant factor was the relative air humidity and air temperature. While the indirect influence
of meteorological factors against ARI through PM10, the effect was not significant.
302
Pengaruh Faktor Meteorologis Dan Konsentrasi Partikulat (PM10) (Wiji Cahyadi, et al)
Particulate Matter 2,5 (PM2,5) dan partikel meteorologis yang berhubungan signifikan
debu kasar Particulate Matter 10 (PM10). dengan kejadian penyakit ISPA adalah
Pajanan partikulat (PM10) merupakan kecepatan angin. Sementara Pawenang
indikator untuk pengukuran pencemaran (2001), menyimpulkan bahwa faktor
partikulat udara dikaitkan dengan efek meteorologis yang berhubungan signifikan
terhadap saluran pernapasan, karena PM10 dengan konsentrasi PM10, NO2, CO, dan O3
merupakan kelompok partikulat berukuran adalah kelembaban udara relatif dan
kecil 0-10 µm, sedangkan partikulat yang kecepatan angin, sementara konsentrasi
kecil-kecil ini merupakan risiko kesehatan PM10 mempunyai persamaan hubungan
yang terbesar diantara berbagai ukuran yang kuat terhadap kejadian penyakit
partikulat karena terhirup masuk melalui gangguan saluran pernapasan dibanding
saluran pernapasan sampai dengan saluran dengan SO2, NO2, CO, dan O3.
pernapasan bagian bawah dan dideposit di Pencemaran udara di Kota Banjarbaru
paru-paru (Purwana, 1999). antara lain disebabkan oleh polusi asap
Infeksi Saluran Pernapasan Akut kendaraaan yang disebabkan oleh pesatnya
(ISPA) merupakan penyebab utama pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor
morbiditas dan mortalitas penyakit menular baik di Kota Banjarbaru sendiri maupun di
di dunia. Hampir empat juta orang Kalimantan Selatan. Kota Banjarbaru
meninggal setiap tahun akibat ISPA. Tingkat merupakan merupakan jalur utama yang
mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak- dilewati kendaraan bermotor baik yang
anak dan orang lanjut usia, terutama di menuju ibu kota provinsi di Banjarmasin
negara dengan pendapatan per kapita rendah maupun yang keluar daerah menuju kota-
dan menengah. Begitu pula, ISPA kota di wilayah Kalimantan Selatan. Data
merupakan salah satu penyebab utama rawat perkembangan jumlah kendaraan baik
jalan dan rawat inap di fasilitas pelayanan umum maupun tidak umum untuk tahun
kesehatan terutama pada bagian perawatan 2010 berjumlah 85.626 unit, tahun 2011
anak (World Health Organzation, 2008). berjumlah 86.371 unit. Tahun 2012
Faktor kondisi meteorologis juga berjumlah 101.528 unit, tahun 2013
berpengaruh terhadap munculnya kejadian berjumlah 122.682 unit dan tahun 2014
penyakit ISPA. Ayres (2009) menyatakan berjumlah 123.380 unit (BPS Kota
bahwa peningkatan kasus penyakit infeksi Banjarbaru, 2015). Disamping itu penyebab
pernapasan diduga dipengaruhi oleh curah pencemaran udara di Kota Banjarbaru
hujan ekstrim yang menyebabkan suatu adalah disebabkan oleh kabut asap yang
wilayah menjadi dingin. Musim dingin di timbul akibat kebakaran hutan dan lahan
negara-negara tropis diikuti oleh yang biasanya terjadi pada musim kemarau.
peningkatan kasus infeksi pernapasan. Luas kebakaran hutan di Provinsi
Penelitian mengenai hubungan antara Kalimantan Selatan pada tahun 2012 seluas
kondisi faktor meteorologis dan konsentrasi 60,50 ha, tahun 2013 seluas 417,50 ha,
PM10, SO2, NO2, CO, dan O3 dengan tahun 2014 seluas 341,00 ha dan tahun 2015
kejadian Penyakit ISPA di Kecamatan seluas 185,70 ha. (Kementerian Lingkungan
Bandung Wetan Kota Bandung oleh Hidup dan Kehutanan, 2016). Polutan yang
Budianto (2008), menyimpulkan bahwa dihasilkan berupa gas dan partikel yang
faktor meteorologis yang berhubungan mengganggu kesehatan masyarakat meliputi
signifikan dengan konsentrasi pencemar gas sulfur dioksida (SO2), karbon monoksida
yaitu kelembaban udara relatif dengan (CO), formaldehid (HCOH), benzen (C6H6),
konsentrasi O3, kecepatan angin dengan nitrogen oksida (NOx) dan ozon (O3) serta
PM10 dan O3 dan konsentrasi parameter partikel yang dikenal sebagai materi
pencemar yang berhubungan signifikan partikulat (PM10). Zat-zat tersebut dapat
dengan kejadian penyakit ISPA adalah menimbulkan penyakit seperti iritasi mata,
PM10 dan NO2, sedangkan faktor infeksi saluran pernapasan akut, iritasi dan
303
EnviroScienteae Vol. 12 No. 3, Nopember 2016 : 302-311
alergi kulit manusia, serta efek yang sedangkan data kejadian ISPA berasal dari
berkepanjangan seperti penyakit jantung, Puskesmas yang terdapat di Kecamatan
asma maupun kanker paru-paru. Kejadian Banjarbaru Selatan yaitu Puskesmas
penyakit tersebut disebabkan oleh tingginya Banjarbaru dan Puskesmas Sei Besar.
kadar debu di udara yang telah melampaui Analisis yang digunakan dalam
ambang batas (Perwitasari dan Sukana, penelitian ini adalah Analisis Jalur (path
2012). analysis) yaitu analisa terhadap keterkaitan
Menurut data Dinas Kesehatan Kota antara variabel independen, variabel
Banjarbaru disebutkan bahwa pada tahun intermediate, dan variabel dependen yang
2015 kasus ISPA yang ditangani bulan biasanya disajikan dalam bentuk diagram.
Januari sebanyak 1.048 kasus, Februari Didalam diagram ada panah-panah yang
1.609 kasus, Maret 1.729, dan bulan April menunjukkan arah pengaruh antara variable-
yang melonjak 2.414 kasus. Kemudian, variabel exogenous, intermediary, dan
bulan Mei 1.645 kasus, Juni turun menjadi variabel dependent. Path analysis digunakan
694 kasus dan Juli 1.517, sedangkan untuk menganalisis pola hubungan antara
Agustus dari data empat puskesmas sudah variabel dengan tujuan untuk mengetahui
tercatat sebanyak 1.207 kasus ISPA pengaruh langsung maupun tidak langsung
(http://kalsel.antaranews.com, 2015). seperangkat variabel bebas (eksogen)
Sementara dari hasil rekapitulasi dari 8 Pusat terhadap variabel terikat (endogen).
Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang Variabel bebas (independen/eksogen)
ada di Kota Banjarbaru pada tahun 2014, dalam penelitian ini adalah faktor
menunjukkan bahwa prosentase rata-rata meteorologis yang terdiri atas temperatur
bulanan penderita ISPA terhadap jumlah udara, kelembaban udara relatif, intensitas
penduduk yang terbanyak tercatat di curah hujan dan kecepatan angin. Sedangkan
Puskesmas Banjarbaru Kecamatan partikulat (PM10) merupakan variabel
Banjarbaru Selatan sebesar 2,43%. perantara (intermediate) dan kejadian
Tujuan dari penelitian ini adalah penyakit ISPA merupakan variabel terikat
menganalisis pengaruh faktor meteorologis (dependen). Secara ringkas pola hubungan
secara langsung maupun tidak langsung antara variabel-variabel dalam penelitian ini
melalui konsentrasi partikulat (PM10) dapat digambarkan sebagai berikut:
terhadap kejadian ISPA di Kecamatan
Banjarbaru Selatan Kota Banjarbaru.
METODE PENELITIAN
304
Pengaruh Faktor Meteorologis Dan Konsentrasi Partikulat (PM10) (Wiji Cahyadi, et al)
Untuk pengolahan data, data harian dan menganalisis hubungan antar variabel
faktor meteorologis, konsentrasi partikulat dari model kausal yang telah dirumuskan
(PM10) dan jumlah penderita ISPA diinput oleh peneliti atas dasar pertimbangan
menggunakan Microsoft excel. Data yang teoritis.
diinput untuk masing-masing variabel mulai Dari pengolahan dan analisa akan
tahun 2014-2015, terdiri atas data mingguan ditarik kesimpulan berapa besar pengaruh
sesuai dengan kalender epidemologi. Untuk faktor meteorologis baik langsung maupun
data faktor meteorologis dan konsentrasi tidak langsung melalui konsentrasi
partikulat (PM10) data yang digunakan partikulat (PM10) terhadap kejadian ISPA di
adalah data rata-rata mingguan, sedangkan Kecamatan Banjarbaru Selatan Kota
data kejadian ISPA adalah jumlah penderita Banjarbaru. Dalam penelitian ini tingkat
ISPA yang berkunjung selama satu minggu signifikansi yang digunakan adalah 10% (α
ke Puskesmas Banjarbaru Selatan dan Sei = 0,1). Hal ini untuk mengantisipasi adanya
Besar. data penelitian yang bias.
Langkah selanjutnya adalah
menganalisis data menggunakan analisis
jalur (path analysis) dengan menggunakan HASIL DAN PEMBAHASAN
software Statistik. Melalui analisis jalur ini
akan dapat ditemukan jalur mana yang Hubungan Konsentrasi Partikulat (PM10)
paling tepat dan singkat suatu variabel dengan Kejadian ISPA
eksogen menuju variabel endogen yang
terkait. Berbeda dengan korelasi dan regresi, Berdasarkan analisis korelasi antara
analisis jalur mempelajari apakah hubungan konsentrasi Partikulat (PM10) dengan
yang terjadi disebabkan oleh pengaruh kejadian ISPA diketahui bahwa hubungan
langsung dan tidak langsung dari variabel antara konsentrasi Partikulat (PM10) dan
independen terhadap variabel dependen, kejadian ISPA adalah signifikan namun
mempelajari ketergantungan sejumlah sangat lemah dengan nilai korelasinya
variabel dalam suatu model (model kausal), sebesar 0,219. Hasil penelitian ini tidak
305
EnviroScienteae Vol. 12 No. 3, Nopember 2016 : 302-311
sejalan dengan penelitian Pawenang (2001) dihasilkan hanya mewakili spot tersebut
yang menyatakan konsentrasi PM10 dalam artian tidak mencakup suatu area atau
mempunyai hubungan yang kuat terhadap wilayah yang luas. Faktor lain yaitu data
kejadian penyakit gangguan saluran penderita ISPA yang terdapat di dua
pernapasan dibanding dengan SO2, NO2, Puskesmas yaitu Puskesmas Banjarbaru dan
CO, dan O3. Sedangkan dari sisi pengaruh Sei Besar kemungkinan kurang mewakili
langsung konsentrasi partikulat (PM10) terhadap jumlah penderita ISPA secara
terhadap kejadian ISPA, besar pengaruhnya keseluruhan di Kecamatan Banjarbaru
adalah (β = 0,010)2 = 0,0001 atau 0,01%, dan Selatan, dalam hal ini data dari tempat
tidak signifikan. Hal ini bisa disebabkan oleh pelayanan kesehatan seperti rumah sakit,
beberapa faktor antara lain data konsentrasi tempat praktek dokter tidak dimasukan
partikulat diambil dari satu stasiun tetap kedalam sampel.
(fixed station), sehingga data yang
Gambar 2. Grafik Hubungan Kelembaban Udara Relatif Mingguan dengan PM10 Mingguan
306
Pengaruh Faktor Meteorologis Dan Konsentrasi Partikulat (PM10) (Wiji Cahyadi, et al)
307
EnviroScienteae Vol. 12 No. 3, Nopember 2016 : 302-311
2014) dengan nilai kelembaban udara relatif akan naik. Dari gambar diatas dapat kita
sebesar 91,1% ketahui bahwa rata-rata temperatur
Berdasarkan hasil analisis korelasi, maksimum terjadi pada puncak musim
diketahui bahwa antara kelembaban udara kemarau, dapat diartikan ketika temperatur
relatif dengan konsentrasi partikulat (PM10) tinggi, keadaan lingkungan akan sangat
memiliki hubungan signifikan, sangat kuat panas dan kering, sehingga polutan akan
namun tidak berarah. Hal ini dimaksudkan mudah terangkat dan melayang di udara.
ketika kelembaban udara relatif turun maka Hubungan Curah Hujan Mingguan
konsentrasi partikulat akan naik. Hal ini dengan PM10 Mingguan dari Gambar 5 di
disebabkan ketika kelembaban udara relatif atas terlihat bahwa intensitas curah hujan
rendah, maka keadaan udara akan kering minimum di Banjarbaru Selatan adalah 0,0
sehingga sumber pencemar/polutan akan mm terajadi pada beberapa minggu di
mudah terangkat dan melayang di udara periode musim kemarau dan maksimum
bebas, sehingga lebih mudah terpapar dan adalah 38,1 mm terjadi pada minggu ke-2
akan meningkatkan nilai konsentrasi (pertengahan Januari 2014). Distribusi curah
partikulat. hujan di Kecamatan Banjarbaru Selatan
Hubungan Kecepatan Angin paling tinggi terjadi pada bulan Januari, hal
Mingguan dengan PM10 Mingguan dari ini sesuai tipe iklim monsunal, dimana
Gambar 3 diatas terlihat bahwa kecepatan puncak musim hujan terjadi pada sekitar
angin maksimum adalah 6,4 knot terjadi bulan Januari-Februari sementara puncak
pada minggu ke-88 (awal September 2015) musim kemarau terjadai sekitar bulan
dan minimum di Banjarbaru Selatan adalah September-Oktober.
2,0 knot terjadi pada minggu ke-29 Berdasarkan hasil analisis korelasi
(pertengahan Juli 2014). antara intensitas curah hujan dengan
Berdasarkan hasil analisis korelasi konsentrasi partikulat (PM10), terlihat
diketahui bahwa hubungan antara kecepatan bahwa hubungannya signifikan dan cukup
angin dan konsentrasi partikulat (PM10) kuat walaupun tidak searah. Hal ini dapat
signifikan, kuat dan searah. Ini artinya ketika diartikan bahwa konsentrasi partikulat
kecepatan angin naik maka konsentrasi (PM10) berbanding terbalik dengan
partikulat juga naik, hal ini dikarenakan intensitas curah hujan. Artinya pada musim
sumber pencemar/polutan tidak hanya kemarau curah hujan sangat kurang,
berasal dari sekitar Banjarbaru Selatan tapi sehingga konsentrasi partikulat (PM10)
juga daerah yang lebih jauh lagi. Periode berpotensi meningkat. Pada sisi lain musim
September-Oktober merupakan musim hujan menyebabkan curah hujan cukup
kemarau dimana polutan lebih kering dan banyak sehingga konsentrasi partikulat
ringan sehingga lebih mudah diterbangkan (PM10) akan sangat kecil. Hal ini
oleh angin. disebabkan polutan yang ada di udara akan
Hubungan Temperatur Udara hilang apabila terkena air hujan.
Mingguan dengan PM10 Mingguan dilihat
dari Gambar 4 diatas dapat diketahui bahwa Pengaruh Langsung Faktor Mereorologis
temperatur udara minimum di Banjarbaru Terhadap Kejadian ISPA
Selatan adalah 25,3 oC terjadi pada minggu
ke-58 (awal Februari 2015) dan maksimum Pengaruh langsung (Dirrect Effect)
adalah 28,9 oC terjadi pada minggu ke-42 dalam analisis jalur (path analysis,)
(pertengahan Oktober 2014). diartikan sebagai pengaruh satu variabel
Beradasarkan hasil analisis korelasi eksogen (variabel bebas) terhadap variabel
dapat disimpulkan bahwa temperatur udara endogen (variabel terikat) yang terjadi tanpa
mempunyai hubungan yang signifikan, kuat melalui variabel eksogen lain (Riduwan dan
dan searah. Hal ini berarti ketika temperatur Kuncoro, 2012). Dalam penelitian ini
udara naik maka konsentrasi partikulat juga variabel eksogennya adalah faktor
308
Pengaruh Faktor Meteorologis Dan Konsentrasi Partikulat (PM10) (Wiji Cahyadi, et al)
309
EnviroScienteae Vol. 12 No. 3, Nopember 2016 : 302-311
Gambar 7. Diagram Jalur Pengaruh Tidak Langsung Faktor Meteorologis terhadap Kejadian
ISPA
310
Pengaruh Faktor Meteorologis Dan Konsentrasi Partikulat (PM10) (Wiji Cahyadi, et al)
311