Acute Respiratory Infections: Keywords: Meteorological Factors, PM10, ARI, Path Analysis

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 10

EnviroScienteae Vol. 12 No.

3, Nopember 2016 p-ISSN 1978-8096


Halaman 302-311 e-ISSN 2302-3708

PENGARUH FAKTOR METEOROLOGIS DAN KONSENTRASI PARTIKULAT


(PM10) TERHADAP KEJADIAN INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA)
(Studi Kasus Kecamatan Banjarbaru Selatan, Kota Banjarbaru Tahun 2014-2015)

The Influence Of Meteorological Factors And Concentration Particulate (PM10) To


Acute Respiratory Infections (ARI)
(Case Study On The District Of South Banjarbaru, Banjarbaru Year 2014-2015)

Wiji Cahyadi1), Basir Achmad2), Eko Suhartono3), Fakhrur Razie4)


1)
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat
e-mail : wijicahyadi@gmail.com
2)
Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat
3)
Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat
4)
Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat

Abstract

The purpose of this study was to analyze the influence of meteorological factors directly or
indirectly through the concentration of particulate (PM10) on the incidence of Acute
Respiratory Infections (ARI) in the District of South Banjarbaru, Banjarbaru. The method used
in this research is cross-sectional study, where data meteorological factors, the concentration of
particulate matter (PM10) and the incidence of ARI are collected simultaneously. Data
meteorological factors and the concentration of particulate matter (PM10) derived from
Banjarbaru Climatological Station, while data came from health ARI Banjarbaru and Sei Besar
which is located in the district of South Banjarbaru. While the analysis used in this study were
Path Analysis (path analysis) was an analysis of the relationship between the independent
variables, intermediate variables, and the dependent variable was presented in the form of a
diagram. The results showed the meteorological factors that had a direct impact on the incidence
of ARI was the largest factor relative air humidity of by 18.7%, followed by a factor of 7.1%
of air temperature, wind speed factor and its influence on the intensity of rainfall was below
1%. While the indirect influence of meteorological factors on the concentration of particulate
matter (PM10) on the incidence of ARI in the District of South Banjarbaru effect was below
1%. It can be concluded that the direct effect of meteorological factors and the concentration of
particulate matter (PM10) on the incidence of ARI in the District of South Banjarbaru
significant factor was the relative air humidity and air temperature. While the indirect influence
of meteorological factors against ARI through PM10, the effect was not significant.

Keywords: Meteorological Factors, PM10, ARI, Path Analysis

PENDAHULUAN lamanya keterpajanan, selain itu dipengaruhi


oleh status kesehatan penduduk terpajan.
Pencemaran udara pada saat ini Hal ini dapat dijelaskan bahwa keadaan
menjadi salah satu masalah yang sangat lingkungan udara yang tercemar akan
penting dan perlu mendapatkan perhatian memperburuk kondisi kesehatan seseorang
serius. Polutan yang ada di udara berisiko (Kusnoputranto, 2000).
terhadap kesehatan manusia, dimana Partikel di udara dapat berbeda
efeknya dipengaruhi oleh intensitas dan ukuran, yang ukurannya lebih kecil

302
Pengaruh Faktor Meteorologis Dan Konsentrasi Partikulat (PM10) (Wiji Cahyadi, et al)

Particulate Matter 2,5 (PM2,5) dan partikel meteorologis yang berhubungan signifikan
debu kasar Particulate Matter 10 (PM10). dengan kejadian penyakit ISPA adalah
Pajanan partikulat (PM10) merupakan kecepatan angin. Sementara Pawenang
indikator untuk pengukuran pencemaran (2001), menyimpulkan bahwa faktor
partikulat udara dikaitkan dengan efek meteorologis yang berhubungan signifikan
terhadap saluran pernapasan, karena PM10 dengan konsentrasi PM10, NO2, CO, dan O3
merupakan kelompok partikulat berukuran adalah kelembaban udara relatif dan
kecil 0-10 µm, sedangkan partikulat yang kecepatan angin, sementara konsentrasi
kecil-kecil ini merupakan risiko kesehatan PM10 mempunyai persamaan hubungan
yang terbesar diantara berbagai ukuran yang kuat terhadap kejadian penyakit
partikulat karena terhirup masuk melalui gangguan saluran pernapasan dibanding
saluran pernapasan sampai dengan saluran dengan SO2, NO2, CO, dan O3.
pernapasan bagian bawah dan dideposit di Pencemaran udara di Kota Banjarbaru
paru-paru (Purwana, 1999). antara lain disebabkan oleh polusi asap
Infeksi Saluran Pernapasan Akut kendaraaan yang disebabkan oleh pesatnya
(ISPA) merupakan penyebab utama pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor
morbiditas dan mortalitas penyakit menular baik di Kota Banjarbaru sendiri maupun di
di dunia. Hampir empat juta orang Kalimantan Selatan. Kota Banjarbaru
meninggal setiap tahun akibat ISPA. Tingkat merupakan merupakan jalur utama yang
mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak- dilewati kendaraan bermotor baik yang
anak dan orang lanjut usia, terutama di menuju ibu kota provinsi di Banjarmasin
negara dengan pendapatan per kapita rendah maupun yang keluar daerah menuju kota-
dan menengah. Begitu pula, ISPA kota di wilayah Kalimantan Selatan. Data
merupakan salah satu penyebab utama rawat perkembangan jumlah kendaraan baik
jalan dan rawat inap di fasilitas pelayanan umum maupun tidak umum untuk tahun
kesehatan terutama pada bagian perawatan 2010 berjumlah 85.626 unit, tahun 2011
anak (World Health Organzation, 2008). berjumlah 86.371 unit. Tahun 2012
Faktor kondisi meteorologis juga berjumlah 101.528 unit, tahun 2013
berpengaruh terhadap munculnya kejadian berjumlah 122.682 unit dan tahun 2014
penyakit ISPA. Ayres (2009) menyatakan berjumlah 123.380 unit (BPS Kota
bahwa peningkatan kasus penyakit infeksi Banjarbaru, 2015). Disamping itu penyebab
pernapasan diduga dipengaruhi oleh curah pencemaran udara di Kota Banjarbaru
hujan ekstrim yang menyebabkan suatu adalah disebabkan oleh kabut asap yang
wilayah menjadi dingin. Musim dingin di timbul akibat kebakaran hutan dan lahan
negara-negara tropis diikuti oleh yang biasanya terjadi pada musim kemarau.
peningkatan kasus infeksi pernapasan. Luas kebakaran hutan di Provinsi
Penelitian mengenai hubungan antara Kalimantan Selatan pada tahun 2012 seluas
kondisi faktor meteorologis dan konsentrasi 60,50 ha, tahun 2013 seluas 417,50 ha,
PM10, SO2, NO2, CO, dan O3 dengan tahun 2014 seluas 341,00 ha dan tahun 2015
kejadian Penyakit ISPA di Kecamatan seluas 185,70 ha. (Kementerian Lingkungan
Bandung Wetan Kota Bandung oleh Hidup dan Kehutanan, 2016). Polutan yang
Budianto (2008), menyimpulkan bahwa dihasilkan berupa gas dan partikel yang
faktor meteorologis yang berhubungan mengganggu kesehatan masyarakat meliputi
signifikan dengan konsentrasi pencemar gas sulfur dioksida (SO2), karbon monoksida
yaitu kelembaban udara relatif dengan (CO), formaldehid (HCOH), benzen (C6H6),
konsentrasi O3, kecepatan angin dengan nitrogen oksida (NOx) dan ozon (O3) serta
PM10 dan O3 dan konsentrasi parameter partikel yang dikenal sebagai materi
pencemar yang berhubungan signifikan partikulat (PM10). Zat-zat tersebut dapat
dengan kejadian penyakit ISPA adalah menimbulkan penyakit seperti iritasi mata,
PM10 dan NO2, sedangkan faktor infeksi saluran pernapasan akut, iritasi dan

303
EnviroScienteae Vol. 12 No. 3, Nopember 2016 : 302-311

alergi kulit manusia, serta efek yang sedangkan data kejadian ISPA berasal dari
berkepanjangan seperti penyakit jantung, Puskesmas yang terdapat di Kecamatan
asma maupun kanker paru-paru. Kejadian Banjarbaru Selatan yaitu Puskesmas
penyakit tersebut disebabkan oleh tingginya Banjarbaru dan Puskesmas Sei Besar.
kadar debu di udara yang telah melampaui Analisis yang digunakan dalam
ambang batas (Perwitasari dan Sukana, penelitian ini adalah Analisis Jalur (path
2012). analysis) yaitu analisa terhadap keterkaitan
Menurut data Dinas Kesehatan Kota antara variabel independen, variabel
Banjarbaru disebutkan bahwa pada tahun intermediate, dan variabel dependen yang
2015 kasus ISPA yang ditangani bulan biasanya disajikan dalam bentuk diagram.
Januari sebanyak 1.048 kasus, Februari Didalam diagram ada panah-panah yang
1.609 kasus, Maret 1.729, dan bulan April menunjukkan arah pengaruh antara variable-
yang melonjak 2.414 kasus. Kemudian, variabel exogenous, intermediary, dan
bulan Mei 1.645 kasus, Juni turun menjadi variabel dependent. Path analysis digunakan
694 kasus dan Juli 1.517, sedangkan untuk menganalisis pola hubungan antara
Agustus dari data empat puskesmas sudah variabel dengan tujuan untuk mengetahui
tercatat sebanyak 1.207 kasus ISPA pengaruh langsung maupun tidak langsung
(http://kalsel.antaranews.com, 2015). seperangkat variabel bebas (eksogen)
Sementara dari hasil rekapitulasi dari 8 Pusat terhadap variabel terikat (endogen).
Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) yang Variabel bebas (independen/eksogen)
ada di Kota Banjarbaru pada tahun 2014, dalam penelitian ini adalah faktor
menunjukkan bahwa prosentase rata-rata meteorologis yang terdiri atas temperatur
bulanan penderita ISPA terhadap jumlah udara, kelembaban udara relatif, intensitas
penduduk yang terbanyak tercatat di curah hujan dan kecepatan angin. Sedangkan
Puskesmas Banjarbaru Kecamatan partikulat (PM10) merupakan variabel
Banjarbaru Selatan sebesar 2,43%. perantara (intermediate) dan kejadian
Tujuan dari penelitian ini adalah penyakit ISPA merupakan variabel terikat
menganalisis pengaruh faktor meteorologis (dependen). Secara ringkas pola hubungan
secara langsung maupun tidak langsung antara variabel-variabel dalam penelitian ini
melalui konsentrasi partikulat (PM10) dapat digambarkan sebagai berikut:
terhadap kejadian ISPA di Kecamatan
Banjarbaru Selatan Kota Banjarbaru.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah


Kecamatan Banjarbaru Selatan Kota
Banjarbaru Provinsi Kalimantan Selatan.
Metode yang digunakan dalam rancangan
penelitian ini yaitu Cross Sectional Study,
dimana data faktor meteorologis,
konsentrasi partikulat (PM0) dan angka
kejadian ISPA dikumpulkan secara
bersamaan. Semua data tersebut berupa data
time series/runtun waktu dan bersifat
kuantitatif yang diambil dari mulai bulan
Januari 2014 sampai dengan bulan
Desember 2015. Data factor meteorologis
dan konsentrasi partikulat (PM10) berasal
dari Stasiun Klimatologi Banjarbaru

304
Pengaruh Faktor Meteorologis Dan Konsentrasi Partikulat (PM10) (Wiji Cahyadi, et al)

Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian

Untuk pengolahan data, data harian dan menganalisis hubungan antar variabel
faktor meteorologis, konsentrasi partikulat dari model kausal yang telah dirumuskan
(PM10) dan jumlah penderita ISPA diinput oleh peneliti atas dasar pertimbangan
menggunakan Microsoft excel. Data yang teoritis.
diinput untuk masing-masing variabel mulai Dari pengolahan dan analisa akan
tahun 2014-2015, terdiri atas data mingguan ditarik kesimpulan berapa besar pengaruh
sesuai dengan kalender epidemologi. Untuk faktor meteorologis baik langsung maupun
data faktor meteorologis dan konsentrasi tidak langsung melalui konsentrasi
partikulat (PM10) data yang digunakan partikulat (PM10) terhadap kejadian ISPA di
adalah data rata-rata mingguan, sedangkan Kecamatan Banjarbaru Selatan Kota
data kejadian ISPA adalah jumlah penderita Banjarbaru. Dalam penelitian ini tingkat
ISPA yang berkunjung selama satu minggu signifikansi yang digunakan adalah 10% (α
ke Puskesmas Banjarbaru Selatan dan Sei = 0,1). Hal ini untuk mengantisipasi adanya
Besar. data penelitian yang bias.
Langkah selanjutnya adalah
menganalisis data menggunakan analisis
jalur (path analysis) dengan menggunakan HASIL DAN PEMBAHASAN
software Statistik. Melalui analisis jalur ini
akan dapat ditemukan jalur mana yang Hubungan Konsentrasi Partikulat (PM10)
paling tepat dan singkat suatu variabel dengan Kejadian ISPA
eksogen menuju variabel endogen yang
terkait. Berbeda dengan korelasi dan regresi, Berdasarkan analisis korelasi antara
analisis jalur mempelajari apakah hubungan konsentrasi Partikulat (PM10) dengan
yang terjadi disebabkan oleh pengaruh kejadian ISPA diketahui bahwa hubungan
langsung dan tidak langsung dari variabel antara konsentrasi Partikulat (PM10) dan
independen terhadap variabel dependen, kejadian ISPA adalah signifikan namun
mempelajari ketergantungan sejumlah sangat lemah dengan nilai korelasinya
variabel dalam suatu model (model kausal), sebesar 0,219. Hasil penelitian ini tidak

305
EnviroScienteae Vol. 12 No. 3, Nopember 2016 : 302-311

sejalan dengan penelitian Pawenang (2001) dihasilkan hanya mewakili spot tersebut
yang menyatakan konsentrasi PM10 dalam artian tidak mencakup suatu area atau
mempunyai hubungan yang kuat terhadap wilayah yang luas. Faktor lain yaitu data
kejadian penyakit gangguan saluran penderita ISPA yang terdapat di dua
pernapasan dibanding dengan SO2, NO2, Puskesmas yaitu Puskesmas Banjarbaru dan
CO, dan O3. Sedangkan dari sisi pengaruh Sei Besar kemungkinan kurang mewakili
langsung konsentrasi partikulat (PM10) terhadap jumlah penderita ISPA secara
terhadap kejadian ISPA, besar pengaruhnya keseluruhan di Kecamatan Banjarbaru
adalah (β = 0,010)2 = 0,0001 atau 0,01%, dan Selatan, dalam hal ini data dari tempat
tidak signifikan. Hal ini bisa disebabkan oleh pelayanan kesehatan seperti rumah sakit,
beberapa faktor antara lain data konsentrasi tempat praktek dokter tidak dimasukan
partikulat diambil dari satu stasiun tetap kedalam sampel.
(fixed station), sehingga data yang

Hubungan Antara Faktor Meteorologis dengan Konsentrasi Partikulat (PM10)

Gambar 2. Grafik Hubungan Kelembaban Udara Relatif Mingguan dengan PM10 Mingguan

Gambar 3. Grafik Hubungan Kecepatan Angin Mingguan dengan PM10 Mingguan

306
Pengaruh Faktor Meteorologis Dan Konsentrasi Partikulat (PM10) (Wiji Cahyadi, et al)

Gambar 4. Grafik Hubungan Temperatur Udara Mingguan dengan PM10 Mingguan

Gambar 5. Grafik Hubungan Curah Hujan Mingguan dengan PM10 Mingguan

Hubungan Kelembaban Udara Relatif minggu ke-55 (pertengahan Januari 2014)


Mingguan dengan PM10 Mingguan dapat diikuti yang terjadi pada minggu ke-58
dilihat dari Gambar 2 diatas, dapat diketahui (awal Februari 2015). Pada saat itu
bahwa konsentrasi partikulat tertinggi merupakan merupakan puncak musim hujan
sebesar 131,5 µg/m3 terjadi pada minggu ke- di wilayah Kecamatan Banjarbaru Selatan.
41 (awal Oktober 2014) dikuti minggu-90 Sedangkan rata-rata kelembaban udara
(pertengahan September 2015) sebesar relatif minimum di Banjarbaru Selatan
113,62 µg/m3. Pada periode tersebut adalah 65,2% terjadi pada minggu ke-44
merupakan puncak periode musim kemarau, (akhir Oktober 2014) diikuti minggu ke-41
dimana potensi debu serta kebakaran hutan (pertengahan Oktober 2014) dengan
dan lahan sangat besar, yang berpengaruh kelembaban udara relatif sebesar 66,6% dan
terhadap meningkatnya konsentrasi maksimum adalah 91,2% terjadi pada
partikulat (PM10). Sementara konsentrasi minggu ke-103 (pertengahan Desember
partikulat (PM10) terendah di Banjarbaru 2015) dikuti minggu ke-2 (awal Januari
Selatan adalah 11,8 µg/m3 terjadi pada

307
EnviroScienteae Vol. 12 No. 3, Nopember 2016 : 302-311

2014) dengan nilai kelembaban udara relatif akan naik. Dari gambar diatas dapat kita
sebesar 91,1% ketahui bahwa rata-rata temperatur
Berdasarkan hasil analisis korelasi, maksimum terjadi pada puncak musim
diketahui bahwa antara kelembaban udara kemarau, dapat diartikan ketika temperatur
relatif dengan konsentrasi partikulat (PM10) tinggi, keadaan lingkungan akan sangat
memiliki hubungan signifikan, sangat kuat panas dan kering, sehingga polutan akan
namun tidak berarah. Hal ini dimaksudkan mudah terangkat dan melayang di udara.
ketika kelembaban udara relatif turun maka Hubungan Curah Hujan Mingguan
konsentrasi partikulat akan naik. Hal ini dengan PM10 Mingguan dari Gambar 5 di
disebabkan ketika kelembaban udara relatif atas terlihat bahwa intensitas curah hujan
rendah, maka keadaan udara akan kering minimum di Banjarbaru Selatan adalah 0,0
sehingga sumber pencemar/polutan akan mm terajadi pada beberapa minggu di
mudah terangkat dan melayang di udara periode musim kemarau dan maksimum
bebas, sehingga lebih mudah terpapar dan adalah 38,1 mm terjadi pada minggu ke-2
akan meningkatkan nilai konsentrasi (pertengahan Januari 2014). Distribusi curah
partikulat. hujan di Kecamatan Banjarbaru Selatan
Hubungan Kecepatan Angin paling tinggi terjadi pada bulan Januari, hal
Mingguan dengan PM10 Mingguan dari ini sesuai tipe iklim monsunal, dimana
Gambar 3 diatas terlihat bahwa kecepatan puncak musim hujan terjadi pada sekitar
angin maksimum adalah 6,4 knot terjadi bulan Januari-Februari sementara puncak
pada minggu ke-88 (awal September 2015) musim kemarau terjadai sekitar bulan
dan minimum di Banjarbaru Selatan adalah September-Oktober.
2,0 knot terjadi pada minggu ke-29 Berdasarkan hasil analisis korelasi
(pertengahan Juli 2014). antara intensitas curah hujan dengan
Berdasarkan hasil analisis korelasi konsentrasi partikulat (PM10), terlihat
diketahui bahwa hubungan antara kecepatan bahwa hubungannya signifikan dan cukup
angin dan konsentrasi partikulat (PM10) kuat walaupun tidak searah. Hal ini dapat
signifikan, kuat dan searah. Ini artinya ketika diartikan bahwa konsentrasi partikulat
kecepatan angin naik maka konsentrasi (PM10) berbanding terbalik dengan
partikulat juga naik, hal ini dikarenakan intensitas curah hujan. Artinya pada musim
sumber pencemar/polutan tidak hanya kemarau curah hujan sangat kurang,
berasal dari sekitar Banjarbaru Selatan tapi sehingga konsentrasi partikulat (PM10)
juga daerah yang lebih jauh lagi. Periode berpotensi meningkat. Pada sisi lain musim
September-Oktober merupakan musim hujan menyebabkan curah hujan cukup
kemarau dimana polutan lebih kering dan banyak sehingga konsentrasi partikulat
ringan sehingga lebih mudah diterbangkan (PM10) akan sangat kecil. Hal ini
oleh angin. disebabkan polutan yang ada di udara akan
Hubungan Temperatur Udara hilang apabila terkena air hujan.
Mingguan dengan PM10 Mingguan dilihat
dari Gambar 4 diatas dapat diketahui bahwa Pengaruh Langsung Faktor Mereorologis
temperatur udara minimum di Banjarbaru Terhadap Kejadian ISPA
Selatan adalah 25,3 oC terjadi pada minggu
ke-58 (awal Februari 2015) dan maksimum Pengaruh langsung (Dirrect Effect)
adalah 28,9 oC terjadi pada minggu ke-42 dalam analisis jalur (path analysis,)
(pertengahan Oktober 2014). diartikan sebagai pengaruh satu variabel
Beradasarkan hasil analisis korelasi eksogen (variabel bebas) terhadap variabel
dapat disimpulkan bahwa temperatur udara endogen (variabel terikat) yang terjadi tanpa
mempunyai hubungan yang signifikan, kuat melalui variabel eksogen lain (Riduwan dan
dan searah. Hal ini berarti ketika temperatur Kuncoro, 2012). Dalam penelitian ini
udara naik maka konsentrasi partikulat juga variabel eksogennya adalah faktor

308
Pengaruh Faktor Meteorologis Dan Konsentrasi Partikulat (PM10) (Wiji Cahyadi, et al)

meteorologi sementara kejadian ISPA Berdasarkan hasil penelitian,


merupakan variabel endogen. kejadian ISPA terjadi ketika musim
Sedangkan nilai β merupakan kemarau, dimana kelembaban udara relatif
koefisien jalur yang distandarkan rendah sedangkan temperatur udara tinggi.
(standardized path coefficient), ini Hal ini berdampak pada kekurangan cairan
dipergunakan untuk menjelaskan besarnya (dehidrasi) dan menurunnya daya tahan
pengaruh variabel bebas (exogen) terhadap tubuh. Menurut Mairusnita (2007), cuaca
variabel lain yang diberlakukan sebagai panas dapat mengakibatkan kelelahan
variabel terikat (endogen). terhadap manusia karena hawa panas
Dari hasil penelitian diketahui bahwa menyebabkan banyaknya keringat yang
faktor meteorologis di Kecamatan dikeluarkan, sehingga mengalami
Banjarbaru Selatan yang pengaruhnya dehidrasi. Begitu juga dengan anak-anak
signifikan adalah faktor kelembaban udara dan balita dapat terkena penyakit flu, batuk,
relatif dan temperatur udara, sedangkan pilek, demam, gangguan saluran
faktor intensitas curah hujan dan kecepatan pernapasan, masuk angin, gangguan
angin pengaruhnya tidak signifikan. pencernaan, alergi, dan yang paling
Pengaruh langsung terbesar faktor berbahaya adalah ISPA.
meteorologis terhadap kejadian ISPA adalah Faktor intensitas curah hujan tidak
faktor kelembaban udara relatif sebesar (β = berpengaruh secara signifikan terhadap
-0,433)2 = 0,187 atau 18,7%, diikuti oleh kejadian ISPA. Hal ini dikarenakan
faktor temperatur udara sebesar (β = -0,266)2 intensitas curah hujan hubungannya sangat
= 0,071 atau 7,1%, faktor kecepatan angin lemah terhadap kejadian ISPA, artinya
sebesar (β = 0,069)2 = 0,005 atau 0,5% dan intensitas curah hujan tidak memberi
faktor intensitas curah hujan sebesar (β = pengaruh langsung yang signifikan
0,049)2 = 0,002 atau 0,2%. berdampak terhadap munculnya kejadian
Diagram jalur dibawah ini merupakan ISPA. Demikian juga faktor kecepatan
diagram pengaruh langsung faktor angin, tidak memberi pengaruh langsung
meteorologis terhadap kejadian ISPA di yang signifikan berdampak terhadap
Kecamatan Banjarbaru Selatan (Gambar 6). munculnya kejadian ISPA.

Gambar 6. Diagram Jalur Pengaruh Langsung Faktor Meteorologis terahadap Kejadian


ISPA.

309
EnviroScienteae Vol. 12 No. 3, Nopember 2016 : 302-311

Pengaruh Tidak Langsung Faktor Dari Gambar 7, variabel kelembaban


Mereorologis Terhadap Kejadian ISPA udara relatif dan intensitas curah hujan
mempunyai pengaruh yang signifikan
Dalam analisis jalur (path analysis,) tehadap konsentrasi partikulat (PM10),
pengaruh tidak langsung (Indirrect Effect) namun oleh konsentrasi partikulat (PM10)
diartikan sebagai pengaruh satu variabel tidak diteruskan pengaruhnya yang
eksogen terhadap variabel endogen yang signifikan terhadap kejadian ISPA, sehingga
terjadi melalui variabel eksogen lain yang pada akhirnya pengaruhnya kelembaban
terdapat dalam satu model kausalitas yang udara relatif terhadap ISPA melalui
sedang di analisis (Riduwan and Kuncoro, konsentrasi partikulat (PM10) menjadi tidak
2012). signifikan juga. Pengaruh tidak langsung
Berdasarkan hasil penelitian, akan lebih signifikan apabila tidak melalui
diketahui bahwa pengaruh tidak langsung konsentrasi partikulat (PM10). Hal ini dapat
semua faktor meteorologis melalui terlihat dari pengaruh tidak langsung faktor
konsentrasi partikulat (PM10) terhadap intensitas curah hujan yang berkorelasi
kejadian ISPA di Kecamatan Banjarbaru dengan kelembaban udara relatif terhadap
Selatan adalah tidak signifikan seperti yang kejadian ISPA berkonstribusi sebesar
ditunjukan pada. Hal ini dikarenakan semua 27,4%. Hal ini dikarenakan hubungan
faktor meteorologis yang berpengaruh korelasi curah hujan dengan kelembaban
secara langsung terhadap konsentrasi udara relatif kuat dan searah, artinya ketika
partikulat (PM10) apabila di gabungkan curah hujan tinggi maka kelembaban udara
dengan pengaruh konsentrasi partikulat relatif juga ikut tinggi, selanjutnya ketika
(PM10) terhadap kejadian ISPA, maka digabungkan dengan pengaruh kelembaban
pengaruhnya tidak bermakna dikarenakan relatif terhadap kejadian ISPA maka
faktor konsentrasi partikulat (PM10) pengaruhnya juga semakin signifikan.
mempunyai hubungan korelasi yang sangat
lemah dan pengaruhnya tidak signifikan
terhadapa kejadian ISPA.

Gambar 7. Diagram Jalur Pengaruh Tidak Langsung Faktor Meteorologis terhadap Kejadian
ISPA

310
Pengaruh Faktor Meteorologis Dan Konsentrasi Partikulat (PM10) (Wiji Cahyadi, et al)

KESIMPULAN Kusnoputranto. (2000). Toksikologi


Lingkungan., Fakultas Kesehatan
Dari hasil penelitian dan pembahasan Masyarakat Universitas Indonesia.
diatas, dapat disimpulkan bahwa pengaruh Departemen Pendidikan dan
langsung faktor meteorologis (temperatur Kebudayaan, Jakarta.
udara, kelembaban udara relatif, intensitas Mairusnita. (2007). Karakteristik Penderita
curah hujan, kecepatan angin) dan Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan
konsentrasi partikulat (PM10) terhadap Akut (ISPA) pada Balita yang Berobat
kejadian ISPA di Kecamatan Banjarbaru ke Badan Pelayanan Kesehatan
Selatan Kota Banjarbaru yang signifikan Rumah Sakit Umum Dareah
adalah faktor kelembaban udara relatif dan (BPKRSUD) Kota Langka 2006.
temperatur udara. Sedangkan pengaruh tidak Universitas Sumatera Utara, Sumatera
langsung semua faktor meteorologis Utara.
terhadap penyakit ISPA melalui PM10, Pawenang Tunggul Eram. (2001).
pengaruhnya tidak signifikan. Hubungan antara faktor meteorologi,
kualitas udara ambien dan kejadian
gangguan saluran pernapasan di
DAFTAR PUSTAKA KecamatanPedurungan Semarang.
[Tesis]. Universitas Indonesia,
Ayres, J. G. (2009). Long-term exposure to Jakarta.
air pollution. Effect on Mortality. Perwitasari D., Sukana B. (2012). Gambaran
London: Health Protection Agency. Kebakaran Hutan Dengan Kejadian
BPS Kota Banjarbaru. (2015). Kota Penyakit ISPA Dan Pneumonia Di
Banjarbaru dalam Angka Tahun 2015. Kabupaten Batang Hari Provinsi
Budianto, Wakhyono. (2008). Analisis Jambi Tahun 2008. Jurnal Ekologi
Hubungan Kualitas Udara Ambien Kesehatan. 11(2): 147-157.
Dengan Kejadian Penyakit ISPA : Purwana R. (1999). Particulate Rumah
Suatu Kajian Hubungan antara Sebagai Faktor Resiko Gangguan
Kondisi Faktor Meteorologis dan Pernapasan Anak Balita (Penelitian
Konsentrasi PM10, SO2, NO2, CO, di Kelurahan Pekojan, Jakarta).
dan O3 dengan Kejadian Penyakit [Disertasi]. Fakultas Kesehatan
ISPA di Kecamatan Bandung Wetan, Masyarakat Univesitas Indonesia,
Tahun 2007. [Tesis]. Program Studi Jakarta.
Ilmu Lingkungan, Program Riduwan dan Kuncoro. (2012). Cara
Pascasarjana Universitas Indonesia, Menggunakan dan Memakai Analisis
Jakarta. Jalur (Path Analysis). Bandung:
Rizal, Yose. (2015, 14 September). Penerbit Alfabeta .
Banjarbaru Tangani 1.300 Kasus Ispa World Health Organzation. (2008). Infection
Per Bulan. Diambil dari Prevention and Control of Epidemic
Antarakalsel.com. and Pandemic Prone Acute
http://www.antarakalsel.com/berita/2 Respiratory Diseases In Health Care.
9936/banjarbaru-tangani-1300-kasus- WHO Interim Guidelines. June 2007.
ispa-per-bulan. [29 Maret 2016]. WHO/HSE/EPR/2008.2.
Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. (2016). Rekapitulasi Luas
Kebakaran Hutan Per Provinsi Di
Indonesia. Diambil dari SiPongi
Karhutla Monitoring Sistem.
http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/
luas_kebakaran. [24 Maret 2016].

311

You might also like