Professional Documents
Culture Documents
Kumpulan Spo
Kumpulan Spo
PASURUAN
2015
Penyusun :
1. Status generalis :
Keadaan pasien tampak kesakitan.
Demam (≥ 37,7 oC).
Perbedaan suhu rektal dengan suhu aksiler > ½ oC.
2. Nyeri tekan daerah Mc Burney.
3. Rovsing sign (+) yaitu pada penekanan perut bagian kontra Mc Burney (kiri)
maka akan terasa nyeri di Mc Burney.
4. Psoas sign (+) yaitu dengan melakukan ekstensi pada artikulasio coxae
dextra (pasien posisi supinasi dan kaki sebelah kanan dijatuhkan dari bed)
maka akan terasa nyeri di Mc. Burney.
Pemeriksaan Fisik 5. Obturator sign (+) yaitu fleksi dan endorotasi articulatio costa pada posisi
supine, bila nyeri berarti kontak dengan m. obturator, artinya appendiks di
pelvis.
6. Teraba massa yang nyeri tekan pada perut kanan bawah pada
periapendikular infiltrat.
7. Peritonitis umum (perforasi)
Nyeri diseluruh abdomen (defans muskuler).
Pekak hati hilang.
Bising usus hilang.
8. Colok dubur: nyeri tekan pada jam 9-12.
1. Keluhan utama.
2. Sejak kapan mengalami hematuria, terus-menerus atau intermiten, apakah
sekarang urin masih merah.
3. Jenis hematuria : inisial, terminal, atau total.
4. Disertai nyeri atau tidak, sifat nyeri.
5. Apakah disertai benjolan / mrongkol di perutnya. Bila ya, sejak kapan
Anamnesa diketahui, apakah tambah membesar.
6. Apakah pernah keluar batu spontan apda waktu miksi.
7. Apakah menderita batuk kronis.
8. Apakah beberapa hari/minggu sebelumnya menderita pharingitis.
9. Obat apa saja yang diminum.
10. Riwayat trauma.
Diagnosis Banding -
1. Rongent foto mandibula AP + Lat + Eisler, atau panoramik.
Pemeriksaan
2. CT scan kepala.
Penunjang
PERITONITIS UMUM /
PERITONITIS GENERALISATA
(Kode ICD: K 65)
No. Dokumen No. Revisi Halaman
................... .................. 1/2
Tanggal terbit Ditetapkan Tanggal...............
Direktur,
.....................
PANDUAN
PRAKTEK KLINIS
(SMF BEDAH) dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
NIP. 19600504 198902 1 002
Peritonitis adalah reaksi inflamasi akut pada peritoneum dan rongga
Pengertian
peritoneum
Lama sakit diderita oleh pasien.
Demam/menggigil.
Nyeri, lokasi nyeri, sifat nyeri serta perubahan lokasi nyeri.
Anoreksia.
Muntah.
Anamnesa
Ileus.
Riwayat trauma.
Riwayat infeksi.
Riwayat obstetric dan ginekologi pada wanita usia subur.
Peritonitis septik.
Diagnosis Peritonitis kimiawi.
Diagnosis
-
Banding
Pemeriksaan Pemeriksaan Laboratorik:
Penunjang 1. Pemeriksaan darah rutin.
2. Pemeriksaan faal pembekuan darah.
3. Pemeriksaan fungsi faal hati.
4. Pemeriksaan fungsi ginjal.
5. Pemeriksaan serum elektrolit.
6. Pemeriksaaan kadar gula darah.
Pemeriksaan Radiologik:
1. Foto polos abdomen 3 posisi.
2. USG abdomen (bila perlu/ atas saran konsulen).
3. CT scan abdomen dengan kontras (bila perlu/ atas saran konsulen).
1. Resusitasi:
a. Pemberian oksigen.
b. Pemasangan double iv line.
c. Pemasangan vena sentral bila perlu.
d. Pemasangan pipa lambung.
e. Pemasangan kateter urin dan monitor urine
f. Pemberian antibiotic spectrum luas seperti golongan
sefalosporin dan metronidazole secara intravena.
g. Dapat diberikan H2 receptor blocker atau proton pump inhibitor
Terapi untuk mencegah stress ulcer.
h. Dapat diberikan dopamine/dobutamin bila terjadi syok.
i. Konsul dokter spesialis untuk persiapan pra-bedah.
2. Laparotomi:
Laparotomi bisa dilakukan secara terbuka maupun laparoskopik
untuk mencari penyebab peritonitis sekaligus melakukan terapi
definitif seperti appendektomi, menjahit perforasi gaster atau
melakukan peritoneal toilet.
FRAKTUR ZIGOMA
(Kode ICD: S 02.4)
No. Dokumen No. Revisi Halaman
................... .................. 1/3
Ditetapkan Tanggal...............
PANDUAN PRAKTEK Tanggal terbit
KLINIS Direktur,
KELOMPOK SMF .....................
BEDAH (SPESIALIS
BEDAH UMUM)
dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
NIP. 19600504 198902 1 002
Hilang atau putusnya kontinuitas tulang zigoma yang disebabkan oleh
Pengertian trauma.
Diagnosis Banding -
1. Rongent foto Waters, nampak garis fraktur, biasanya pada 3
Pemeriksaan tempat yaitu margo inferior orbita, silier dan arkus zigomatikum.
Penunjang 2. CT scan kepala.
Prosedur 1. Stabilisasi airway, breathing dan sirkulasi (ABC), pastikan ABC baik.
2. Anamnesa dan pemeriksaan fisik umum serta neurologis.
3. Infus NaCl 0,9% 1,5ml/kgbb/jam, periksa lab: DL, SE, GDA, dan lab
lainnya sesuai indikasi.
4. Pemeriksaan radiologis sesuai indikasi.
a. Cervical lateral, bila terdapat salah satu dari:
- Jejas di leher
- Nyeri di leher
- Mekanisme trauma (jatuh dari ketinggian, fleksi-ekstensi, dsb)
- Gejala neurologis (kelainan spinal)
- Pasien tidak sadar
b. Foto polos kepala, bila terdapat salah satu dari:
- Kehilangan kesadaran, amnesia
- Nyeri kepala menetap
- Gejala neurologis fokal
- Jejas pada kulit kepala
- Kecurigaan luka tembus
- Keluar CSF atau darah dari hidung atau telinga
- Deformitas tulang kepala
- Kesulitan penilaian klinis: mabuk, intoksikasi obat, epilepsi,
pasien anak
- Pasien GCS 15 tanpa keluhan dan gejala tetapi memiliki resiko:
benturan langsung atau jatuh pada permukaan keras, pasien usia
>50 th
c. CT scan kepala, bila terdapat salah satu dari:
- GCS ≤ 13 setelah resusitasi
- Nyeri kepala, muntah yang menetap
- Deteorisasi neurologis: penurunan GCS 2 poin atau lebih,
hemiparesis, kejang
- Terdapat tanda fokal neurologis
- Terdapat tanda fraktur, atau kecurigaan fraktur
- Trauma tembus, atau kecurigaan trauma tembus
- Evaluasi pasca operasi
- Pasien multitrauma
- Indikasi sosial
5. Terapi simtomatik dan antibiotik sesuai indikasi.
6. Bila kejang: diazepam 10 mg iv pelan, dosis dapat ditambah s/d
kejang berhenti, awasi depresi nafas. Dilanjutkan phenitoin bolus 10-
20 mg/kgBB diencerkan dengan aqua steril 100 ml NaCl 0,9% iv,
dilanjutkan 5-10 mg/KgBB/hr
7. Lapor dokter jaga bedah saraf.
8. Observasi selama ± 6 jam, bila tidak ada keluhan dan tidak ditemukan
kelainan dari pemeriksaan, dapat dipertimbangkan untuk rawat jalan.
Komplikasi Cedera Otak Sekunder (iskemi otak, edema otak, perdarahan otak)
Unit yang
Bagian llmu Bedah Saraf
menangani
Unit terkait Instalasi Gawat Darurat, Unit Rawat Inap, Komite Medik.
CEDERA OTAK SEDANG
Prosedur 9. Stabilisasi airway, breathing dan sirkulasi (ABC), pasang collar brace
10. Pasang pipa lambung, pasang kateter, catat keadaan dan produksi
urine
11. Lihat gerakan nafas, palpasi, perkusi, auskultasi. Cari tanda-tanda
pneumothorak, hematothorak, flail chest atau fraktur costae
12. Atasi hipotensi dengan cairan isotonis, cari penyebabnya
13. Pemeriksaan darah (DL, SE, GDA, RFT, BGA, cross match) lab lain
sesuai indikasi
14. Bila tensi stabil, infus cairan isotonis ( NaCl 0,9%) 1,5 ml/kgBB/jam
15. Anamnesis → mekanisme trauma, waktu trauma, pemakaian obat-
obatan, sedasi, narkotika, intake terakhir, alergi
16. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
17. Obat simptomatik iv ataupun supp + Antibiotik sesuai indikasi
18. Bila kejang: diazepam 10 mg iv pelan, dosis dapat ditambah s/d
kejang berhenti, awasi depresi nafas. Dilanjutkan phenitoin bolus
10-20 mg/kgBB diencerkan dengan aqua steril 100 ml NaCl 0,9% iv
drip dalam 20 menit, dilanjutkan 5-10 mg/KgBB/hr
19. Tanda vital stabil → CT-Scan Kepala, foto cervical AP/Lat, thoraks
foto AP, pemeriksaan radiologis lain atas indikasi
20. Lapor dr. Jaga Bedah Saraf
Komplikasi Cedera Otak Sekunder (iskemi otak, edema otak, perdarahan otak)
Unit yang
Bagian llmu Bedah Saraf
menangani
Unit terkait Instalasi Gawat Darurat, Unit Rawat Inap, Komite Medik
PENANGANAN CEDERA OTAK BERAT di IGD
Prosedur tube bila perlu. Bila ada sumbatan jalan nafas akut dilakukan
cricothyroidotomy dan persiapan intubasi atau tracheostomi.
Intubasi + kontrol ventilasi (PCO2 35-40 mmHg, PaO2 : 80-200 mmHg
atau SpO2 > 97%), pasang pipa lambung (dianjurkan
Prosedur melalui oral), pasang kateter, catat keadaan dan produksi urin.
Pasang collar brace.
Lihat gerakan nafas, auskultasi, palpasi, perkusi dada. Cari tanda-tanda
pneumothorak, hematothorak, flail chest atau fraktur costa.
Bila shock, berikan cairan isotonis (RL, NaCl, atau koloid atau darah).
Cari penyebab, atasi, pertahankan tensi > 90 mmHg.
Pemeriksaan Lab DL, SE, GDA, RFT, BGA, cross match, lab lain sesuai
indikasi.
Anamnesis mekanisme trauma, waktu trauma, pemakaian obat-
obatan, sedasi, narkotika, intake terakhir, alergi.
Pemeriksaan fisik umum dan neurologis.
Lapor dokter jaga bedah saraf.
Ada tanda-tanda TIK meningkat dan tidak ada hipotensi atau gagal
ginjal dan atau gagal jantung manitol 20% 200 ml bolus dalam 20
menit atau 5ml/kgBB, dilanjutkan 2 ml/kgBB dalam 20 menit setiap 4-6
jam, jaga osmolalitas darah < 320 mOsm.
Bila kejang : Diazepam 10mg iv pelan, dosis dapat ditambah hingga
kejang berhenti. Awasi depresi nafas, dilanjutkan phenitoin bolus 10-20
mg/kgBB encerkan dengan aqua steril 100 ml NaCl 0,9% iv pelan,
dilanjutkan 5-10 mg/kgBB/hr.
Bila telah stabil infus cairan isotonis (NaCl 0,9%) 1,5 ml/kgBB/jam
pertahankan euvolume, pemasangan CVP atas indikasi.
Obat simptomatik IV atau supp dan antibiotika sesuai indikasi.
Tanda vital stabil CT scan kepala, foto cervical lat, thorak foto AP,
pemeriksaan radiologis lain atas indikasi.
Pemeriksaan refleks batang otak. Hati-hati pada pemeriksaan reflek
oculocephalik.
Pasang ICP monitor, pertahankan tekanan <15 mmHg atau <22 cm H2O
pada pasien yang tidak ada indikasi operasi lesi intrakranial. Bila ada
lesi intrakranial indikasi operasi, ICP monitor dipasang bersamaan saat
operasi emergensi.
Kepustakaan:
Tim Neurotrauma. 2007. Pedoman Tata Laksana Cedera Otak. Surabaya: Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga
KHOLELITHIASIS
(Kode ICD: K 80)
Prosedur
PENANGANAN FASE AKUT
Saat memeriksa penderita, diwajibkan memakai sarung tangan
yang steril dan bebaskan penderita dari baju yang terbakar atau
terkena zat panas lainnya
Dilakukan pemeriksaan yang teliti dan menyeluruh untuk
memastikan adnya trauma lain yang menyertai
Nilai KU penderita
Primary Survey (ABC)
AIRWAY
Cek apakah ada obstruksi airway → Bebaskan airway,
perhatikan apakah ada trauma inhalasi (intubasi,
trakeostomi bila ada indikasi)
BREATHING
Bila ada trauma inhalasi:
- Beri oksigen masker 8-10 lpm
- Penghisapan sekret secara berkala
- Humidifikasi dengan nebulizer
- Pemberian bronkodilator (ventolin inhalasi)
- Pantau tanda dan gejala distres nafas
CIRCULATION
- Segera pasang double i.v line
Shock → segera infus (grojok), tanpa
memperhitungkan luas luka bakar & kebutuhan
cairan (20 cc/kgBB dalam 15-20 menit)
Tidak shock → segera infus sesuai perhitungan
kebutuhan cairan
- Pasang catheter → pantau produksi urin. Catat produksi
urin per jam. Pada orang dewasa, normalnya produksi urin
60-100 cc/jam. Sedangkan pada anak-anak dan orangtua
25-50 cc/jam
Pada Luka Bakar Listrik:
- Bila didapatkan myoglobinuria, urin output dipertahankan
antara 75-100cc/jam sampai tampak berwarna jernih
- Lakukan cardiac monitoring → Monitoring EKG secara
ketat dan kontinu di ICU/HCU, waspadai terjadinya aritmia
dan artrial fibrilasi
Rawat Luka
- Bula kecil (± 2-3 cm) → biarkan
- Luka dikompres basah dengan cairan infus PZ kemudian tutup
dengan kasa sampai dengan dilakukan tindakan
- Pencucian dan rawat luka dapat dilakukan di ruang operasi
dengan anestesi general
- Pemberian antibiotik profilaksis spektrum luas
Berikan: 1. Analgetik
2. ATS
Pemberian tetanus toksoid booster bila penderita
tidak mendapatkannya dalam 5 tahun terakhir
3. Antasida
Pemeriksaan lab: DL, GDA
Pasang NGT untuk gastric dekompresi ~ ileus paralitik (pada luka
bakar yang luas)
1. ½ Jumlah cairan
RL: 4cc x BBdiberikan dalam
x % Luas 8 jamBakar
Luka I post trauma
2. ½ Jumlah cairan berikutnya diberikan dalam 16 jam berikutnya
3. Luas luka bakar > 50% diperhitungkan = luas luka bakar 50%
Anak-anak
RES: = cc
Kebutuhan Faali:
< 1 th : BB xRL: 2cc x BB x % Luas Luka Bakar
100cc A
1-3 th : BB x 75cc = cc
3-5 th : BB x 50cc
Kebutuhan Total = ∑ RES + ∑ Keb. Faali = (A + B) cc B
Diberikan dalam keadaan tercampur RL:Dextran = 17:3
8 jam I = ½ (A+B) cc
16 jam II = ½ (A+B) cc
INDIKASI MRS:
- Dewasa : Luka Bakar > 15% grade II
Anak : Luka Bakar > 10% grade II
- Luka Bakar grade III > 2%
- Luka Bakar yang mengenai area penting : Wajah dan
leher, genetalia, dan persendian
- Trauma Inhalasi
- Luka Bakar Listrik
Luka Bakar Akibat Ledakan (Blast Injury)
Bila akan dilakukan tindakan tambahan seperti mengambil batu dalam buli-
buli, evakuasi gumpalan darah, memasang drain di kavum Retzii dsb.
STANDAR .....................
PROSEDUR
Dr. AGUNG BASUKI, M.Kes
OPERASIONAL
NIP. 19600504 198902 1 002
(SMF...............)
1. Prosedur yang mengatur tentang penatalaksanaan snake bite
pada anak
2. Gigitan ular pada umumnya menyebabkan nyeri lokal dan tidak
memerlukan perawatan, namun anak-anak mempunyai resiko
tinggi terjadi reaksi berat.
3. Reaksi klinis berat pada anak sering terjadi karena volume tubuh
lebih kecil untuk penyebaran racun.
4. Ular berbisa sebagian besar berasal dari 3 famili yaitu,
hydrophidae (ular laut), elapidae (ular cobra), dan viperadae
Pengertian
(crotalidae). Kasus gigitan ular berbisa 95% disebabkan oleh
gigitan ular dari family crotalidae
5. Pada umumnya gejala yang ditimbulkan oleh bisa ular terjadi
dalam 2-6 jam setelah gigitan. Infark serebri sering terjadi
karena gigitan ular dari familoi crotalidae, terjadi dalam waktu 7
jam sampai 1 minggu setelah gigitan
6. Manifestasi klinis:
Gigitan oleh Crotalidae sering kali menimbulkan gejala:
pada tempat gigitan berupa nyeri dan bengkak yang
dapat terjadi dalam beberapa menit,
bisa akan menjalar ke proksimal,
selanjutnya terjadi edema dan ekimosis.
9. Diagnosis
Diagnosis gigitan ular berbisa ditegakkan berdasarkan
identifikasi ular yang menggigit dan adanya manifestasi klinis
ular yang menggigit sebaiknya dibawa dalam keadaan hidup atau
mati.
Kepustakaan:
Diagnosis Tetanus
2.Medikamentosa
Profilaksis
a. Debridemen
Tanpa memperhatikan status imunisasi. Eksisi jaringan yang
nekrotik dan benda asing harus dikerjakan untuk semua jenis
luka.
b. Anti kejang
Diazepam 20mg/kg/BB drip dalam D5% (20 TPM) diberikan
setiap 4-6 jam.
c.ATS (Anti Tetanus Serum)
1. Skin test 0,1 ATS dalam 1cc 0,9% NACL, suntikan secara
intrakutan tunggu 15 menit
2. Human Tetanus Immunoglobuline (asal manusia), terkenal
di pasaran dengan nama Tetagam P.
- profilaksi 250 iu IM bersamaan dengan 0,5 ml vaksin
tetanus
- tetanus dewasa 3000-6000 iu diberikan dalam 4 kali
suntikan ditempat yang berbeda IM. Anak 500-3000 iu.
- bila Htig tidak tersedia gunakan ATS dengan dosis 100.000 iu
dgn cara pemberian 40.000 iu dalam 200cc NACL IV dalam
waktu 30 menit kemudian 40.000 dan 20.000 iu selanjutnya
diberikan secara IM
NB: 250 IU Htig (setara dengan 1500 IU ATS)
d. Antibiotika :
Diberikan parenteral Peniciline 1,2 juta IU / 8 jam selama 5
hari, IM. Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan
Peniciline dosis 50.000 IU / KgBB/ hari secara IM diberikan
hingga 3 hari bebas demam. Bila sensitif terhadap peniciline,
obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin
dosis 30-40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2
gram dan diberikan dalam dosis terbagi ( 4 dosis ). Pada
dewasa diberikan 4 x 500 mg/ hari.
4. Stabilisasi
Cara stabilisasi tulang tergantung pada derajat patah tulang terbukanya dan
fasilitas yang ada. Pada derajat 1 dan 2, dapat dipertimbangkan pemasangan
fiksasi dalam secara primer, untuk derakat 3 dianjurkan pemasangan fiksasi
luar
5. Penutupan luka
Penutupan luka primer dapat dipertimbangkan pada patah tulang derajat 1
dan 2, untuk derajat 3 sama sekali tidak dianjurkan pernutupan luka primer,
bila memungkinkan tulang yang tampak ditutup dengan jaringan lunak (otot)
untuk mempertahankan hidupnya
6. Rehabilitasi Dini
fragmen
- Tipe 2 B. Terjadi ganguan ligament. Salah satunya terkoyak
ataupun kedua-duanya.
- Tipe 3. Patah tulang yang pada bagian distal clavikula yang
melibatkan AC joint.
- Tipe 4. Ligament tetap utuk melekat pata perioteum,
sedangkan fragmen proksimal berpindah keatas.
- Tipe 5. Patah tulang kalvikula terpecah menjadi beberapa
fragmen.
Kelompok 3: patah tulang klavikula pada sepertiga proksimal
(5%)
Pada kejadian ini biasanya berhubungan dengan cidera
neurovaskuler.
Diagnosis
1. Pasien datang dengan riwayat trauma
Prosedur 2. Rasa sakit di bahu dan diperparah dengan pergerakan lengan
3. Nyeri tekan di daerah fraktur disertai penonjolan kulit akibat
desakan fragmen fraktur dan pembengkakan local
b. Shortening > 2 cm
c. Increasing comminution (> 3 fragments)
d. Fraktur segmental
e. Fraktur terbuka
f. Impending fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak
g. Deformitas klinik yang jelas
h. Terdapat malposisi scapula dan winging
b. Associated Injuries
i. Cidera vaskuler yang memerlukan reparasi
j. Defisit neurologis yang progresif
k. Fraktur extremitas atas yang ipsilateral
l. Floating shoulder
m. Fraktur clavicula bilateral
c. Faktor Pasien
n. Politrauma yang memerlukan weight-bearing extremitas
atas
o. Pasien yang membutuhkan kesembuhan fungsi yang cepat
(contohnya atlit terkenal)
C1: unilateral
C2: bilateral
C3: associated with acetabular fracture
23. Young and Burgess Classification terdiri atas:
u. LC: anterior injury =rami fractures
LC I: sacral fracture on side of impact
LC II: crescent fracture on side of impact
LC III: type I or II injury on side of impact with contralateral
open book injury
v. Anterior-Posterior Compression (APC): anterior injury =
symphysis diastasis/rami fractures
APC I: minor opening of symphysis and SI joint anteriorly
APC II: opening of anterior SI, intact posterior SI ligaments
APC III: complete disruption of SI joint
w. Vertical shear (VS) type
Vertical displacement of hemipelvis with symphysis diastasis
or rami fractures anteriorly, iliac wing, sacral facture, or
sacroiliac dislocation posteriorly
x. Combined Mechanism (CM) type
Any combination of above injuries
Evaluasi Klinis:
Lakukan primary assessment pada pasien yang meliputi A(airway),
B(breathing), C(circulation), D(disability), dan E(exposure).
1. Identifikasi semua cedera pada extremitas dan pelvis serta lakukan
assessment dengan hati-hati pada distal neurovascular.
2. Ketidakstabilan pada pelvis bias menyebabkan perubahan pada
ukuran panjang kaki yang meliputi shortening pada sis yang cidera
atau bisa juga terdapat internal atau external rotasi pada extremitas
bawah.
3. Lakukan test AP-LC untuk mengetahui kestabilan pelvis (dilakukan
hanya boleh 1 kali)
4. Adanya memar yang masif pada sisi flank atau pantat disertai
Prosedur pembengkakan merupakan indikasi adanya perdarahan yang
signifikan.
5. Pada palpasi pada posterior pelvis dapat mengetahui adanya
hematoma yang besar, defek yang menunjukkan fraktur, atau
dislokasi dari sendi sacroiliaca. Palpasi pada simfisis juga bisa
menunjukan hal yang sama.
6. Perineum harus diinspeksi dengan hati-hati untuk mengetahui
adanya lesi yang menandakan fraktur terbuka.
7. Pemeriksaan digital rectal dan vaginal (pada wanita) wajib dilakukan
pada pasien dengan curiga trauma pada pelvis.
Penanganan Status Hemodinamik
1. Penanganan status hemodinamik pasien fraktur pelvis tergantung
dari jenis status hemodinak dan kestabilan fraktur pelvis.
Memerpelukan operasi
2. Uretheral Injury (terjadi sekitar 10% dari fraktur pelvis)
aa. Cek apakah terdapat darah meatus uretra
bb. Cek apakah terdapat floating prostate pada saat RT
cc. Apabila ada kecurigaan klinis, maka harus dilakukan
retrograde urethrogram.
3. Bowel Injury
dd. Perforasi rectum atau anus yang disebabkan osseous
fragment termasuk dalam kategori fraktur terbuka.
ee. Entrapment of bowel di lokasi fraktur dengan gejala
obstruksi GIT bisa terjadi sehingga perlu colostomy.
Radiographic Evaluation
Pemeriksaan standar untuk pasien dengan trauma pelvis meliputi Thoraks
AP, lateral cervical spine, dan Pelvis AP. Pemeriksaan FAST, CT-Scan, dan MRI
dapat dilakukan tergantung indikasi.
Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah biasanya yang dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin
dan pemeriksaan darah untuk persiapan operasi.
Instalasi Gawat Darurat, SMF Bedah Tulang, Instalasi Kamar Operasi, Unit
Unit terkait Rawat Inap.
PENANGANAN ACUTE CORONARY SYNDROME (ACS) DI IGD
g. NSTEMI
Depresi segmen ST ≥0.05 mV (Depresi ST horisontal atau
Depresi ST landai ke bawah (down-slope)) minimal pada 2
sandapan yang berdekatan
Inversi gelombang T, ≥0.1 mV minimal pada 2 sandapan
yang berdekatan
29. Petanda Biokimia Jantung:
Terdapat peningkatan kadar enzim jantung CK-MB dan Troponin (I
atau T) → Ulangi pemeriksaan 6 jam kemudian
30. Diagnosa Banding:
- STEMI
- NSTEMI
- UNSTABLE ANGINA PECTORIS (UAP)
Kepustakaan:
Joewono, Boedi S. 2003. Ilmu Penyakit Jantung. Surabaya: Airlangga University Press
Kalim, Harmani et al. 2004. Tatalaksana Sindroma Koroner Akut tanpa ST-ELEVASI. Jakarta:PERKI
Kalim, Harmani et al. 2004. Tatalaksana Sindroma Koroner Akut dengan ST-ELEVASI. Jakarta:PERKI
Steg, Gabriel et al. 2012. Management of Acute Myocardial Infarction in Patients Presenting with ST-
Segment Elevation. Available at: European Society of Cardiology Pocket Guidelines
Thygesen, Kristian et al. 2012. Universal Definition of Myocardial Infarction. Available at:
http://circ.ahajournals.org/content/116/22/2634.full.pdf
PENANGANAN HEART FAILURE DI IGD
Kriteria minor:
a. Edema kedua kaki
b. Sesak (dyspnea on effort)
c. Hepatomegali
d. Efusi pleura
e. Takikardi
36.Pemeriksaan Penunjang:
a. Pemeriksaan darah dan pemantauan kimia darah
b. Pemeriksaan EKG
c. Pemeriksaan Foto Thoraks → cardiomegali
37.Diagnosa Banding:
h. Kelainan paru
i. Kelainan ginjal
j. Kelainan hati
k. Anemia
Pengertian ii. Sesak atau perasaan tertekan atau perasaan nyeri pada
dada
iii. Terdapat takipnue serta denyut nadi yang cepat dan lemah
iv. Biasanya penderita tampak sangat pucat dan mungkin
sianosis
6. Pemeriksaan :
a. Terdapat takipnea, ortopnea (menifestasi lanjutan)
b. Takikardia, hipotensi atau tekanan darah bisa meningkat
c. Pasien biasanya dalam posisi duduk agar dapat
mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik saat
respirasi atau sedikit membungkuk ke depan
d. Terlihat retraksi inspirasi pada sela interkostal dan fossa
supraklavikula yang menunjukan tekanan negatif intrapleural
yang besar dibutuhkan pada saat inpsirasi
e. Batuk dengan sputum yang berwarna kemerahan (pink frothy
sputum) serta JVP meningkat
f. Pada pemeriksaan paru akan terdengar ronki basah setengah
lapangan paru atau lebih dan terdapat wheezing
g. Pemeriksaan jantung dapat ditemukan ditemukan gallop,
bunyi jantung 3 dan 4.
h. Terdapat juga edem perifer, akral dingin dengan sianosis
i. Pada edem paru non kardiogenik didapatkan khas bahwa
Pada pemeriksaan fisik, pada perkusi terdengar keredupan
dan pada pemeriksaan auskultasi di dapat ronki basah dan
bergelembung pada bagian bawah dada
7. Diagnosis Banding
Syok cardiogenik
1. Posisi ½ duduk.
2. Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker.
3. Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah,
PaO2 tidak bisa dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi
dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu
mengurangi cairan edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi
endotrakeal, suction, dan ventilator.
4. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri
bila ada.
5. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 –
0,6 mg tiap 5 – 10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa
Kepustakaan:
Harun, Sjaharuddin., dan Sally Aman Nasution. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V Jilid II.
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. 1772
PENANGANAN SYOK KARDIOGENIK di UGD
Lampiran :
Komplikasi Gagal nafas, gagal ginjal, gagal hati, KID, renjatan septik ireversibel
Unit yang
Bagian llmu Penyakit Dalam (Interna)
menangani
Unit terkait Instalasi Gawat Darurat, Unit Rawat Inap, Komite Medik
PENANGANAN KETO ASIDOSIS DIABETIK DI IGD
Pengertian muntah, dehidrasi, lemah, nyeri perut difus, penurunan kesadaran, nafas
cepat dan dalam (Kussmaul respiration).
53. Pemeriksaan :
s. Gula darah sewaktu >250mg/dl
t. pH arteri <7,30
u. Pernafasan Kussmaul
v. Keton darah dan atau keton urin meningkat
w. Bikarbonat serum <18mEq/l
x. Anion gap >10, anion gap = [Na – (Cl + HCO3)]
54. Diagnosa Banding:
o. Lakto asidosis
p. Sindroma hiperglikemik hiperosmolar
q. Keto asidosis alkoholik
r. Starvation ketosis
s. Intoksikasi obat-obatan seperti salisilat, metanol, etilenglikol,
paraldehid
Penanganan KAD bisa dilakukan dengan 2 cara, yaitu berdasarkan Formula Klinik
Praktis dari Prof. Askandar Tjokroprawiro,dr., Sp.PD, K-EMD FINASIM atau Guideline
dari American Diabetes Association.
I. Penanganan KAD berdasarkan Formula Klinik Praktis dari Prof. Askandar
Tjokroprawiro,dr., Sp.PD, K-EMD FINASIM adalah sebagai berikut
Prosedur 1. REHIDRASI: NaCl 0,9% atau RL, 2L/ 2 jam pertama, lalu 80
tpm / 4 jam, lalu 30 tpm/ 18 jam (4-6L/24 jam), diteruskan
sampai 24 jam berikutnya 20 tpm
FASE I 2. IDRIV (Actrapid/ Apidra): 4 unit/ jam i.v (Formula Minus
Satu)
3. Infus Kalium/ 24 jam: 25mEq (bila K+ = 3,0-3,5 mEq/L),
50mEq (K+ = 2,5-3,0 mEq/L), 75mEq (K+ = 2,0-2,5 mEq/L),
25mEq/ 100cc/5 jam (K+ < 2,0)
4. INFUS BIKARBONAT: bila pH ≤7,2 atau BIK <12 mEq/L: 50-
100mEq/ 500cc/ 24 jam
5. ANTIBIOTIK: harus rasional dengan dosis adekuat
Glukosa darah ± 250mg/dl atau IDRIV: Insulin Dosis Rendah Intra Vena
reduksi urin ±
Protokol terapi KAD terdiri dari 2 fase, fase I (fase gawat) dan fase II (fase
rehabilitasi) dengan batas kadar glukosa antara kedua fase tersebut sekitar
250mg/dl.
Penanganan di IGD adalah fase I yang terdiri dari:
35. Koreksi dehidrasi :
Berikan normal saline 0,9% 2 liter dalam 2 jam pertama, dilanjutkan 80 tpm
dalam 4 jam, lalu 30 tpm dalam 18 jam, diteruskan 20 tpm dalam 24 jam
berikutnya.
36. Koreksi hiperglikemia:
Insulin dosis rendah secara intravena (insulin bisa menggunakan rapid
acting seperti Apidra atau short acting seperti Actrapid dan Humulin-R)
menggunakan rumus N-1, N merupakan angka pertama dari gula darah
sewaktu. Insulin diberikan bolus intravena sebanyak 4 unit/jam sebanyak N-
1 dengan selang waktu 1 jam. Biasanya maksimal dilakukan sebanyak 3 kali
4 unit/jam lalu cek GDA 1 jam kemudian.
37. Koreksi imbalans elektrolit (kalium):
Pertahankan kadar kalium >3,5mEq
d. Bila kalium 3,0 – 3,5mEq → berikan 25mEq (1 flakon) KCl secara infus
intravena dalam 500 cc NaCl 0,9% / 24 jam
e. Bila kalium 2,5 – 3,0mEq → berikan 50mEq (2 flakon) KC l secara infus
intravena dalam 500 cc NaCl 0,9% / 24 jam
f. Bila kalium 2,0 – 2,5mEq → berikan 75mEq (3 flakon) KCl secara infus
intravena dalam 500 cc NaCl 0,9% / 24 jam
g. Bila kalium 3,0 – 3,5mEq → berikan 25mEq (1 flakon) KCl secara infus
intravena dalam 500 cc NaCl 0,9% / 24 jam
h. Bila kalium <2mEq → berikan 25mEq (1 flakon) KCl secara infus
intravena dalam 500 cc NaCl 0,9% / 5 jam
2. Koreksi Hiperglikemia
a. Injeksi insulin reguler (Actrapid) atau Apidra bolus iv 0,15iu/kgBB
b. Lanjut infus insulin Actrapid atau Apidra drip 0,1iu/kgBB/jam
c. Cek GDA 1 jam kemudian, bila GDA tidak turun 50-70mg/dl dalam 1 jam
pertama, naikkan dosis insulin drip 2x lipat tiap 1 jam sampai GDA turun
50-70mg/dl dalam 1 jam.
Bila kesulitan mengetahui GDA atau berat badan pasien, untuk
pemberian awal dapat diberikan injeksi insulin bolus iv dengan insulin
rapid acting seperti Apidra atau short acting seperti Actrapid dan
Humulin-R sebanyak 10iu, cek GDA 1 jam kemudian, bila GDA tidak turun
memenuhi target, pemberian 10iu insulin ini dapat diberikan sebanyak 2
kali. Lalu lanjutkan dengan drip insulin Actrapid 0,1iu/kgBB/jam atau
5iu/jam dalam 500ml cairan isotonik, drip bisa menggunakan infus mikro
atau syringe pump.
b. Bikarbonat
- Jika pH <6,9: drip NaBic 100mEq dalam 400ml cairan infus dengan
kecepatan 200ml/jam.
- Jika pH 6,9-7,0: drip NaBic 50mEq dalam 200ml cairan infus dengan
kecepatan 200ml/jam.
- Jika pH >7,0: tidak perlu drip NaBic.
5. Cek elektrolit, BUN, kreatinin serum, dan GDA tiap 2-4 jam hingga kondisi
stabil. Pasien dapat diberikan insulin subkutan sesuai regimen insulin
pasien yang biasa digunakan atau jika pasien dengan DM yg baru diketahui,
dapat menggunakan total dosis inisial 0,5-1iu/kg/hari, dosis terbagi dalam
regimen insulin short dan long-acting. Lanjutkan infus drip insulin 1-2 jam
setelah pemberian insulin subkutan untuk memastikan kadar insulin
plasma adekuat.
6. Pasien dirawat di HCU (bila tidak ada tanda-tanda atau resiko gagal nafas)
atau ICU (bila ada tanda-tanda atau resiko gagal nafas).
American Diabetes Association. 2004. Hyperglicemic Crises in Diabetes. Diabetes Care 27: 594-602.
PENANGANAN SINDROMA HIPERGLIKEMIK HIPEROSMOLAR DI IGD
Prosedur
Penanganan sindroma hiperglikemik hiperosmolar bisa dilakukan dengan 2 cara, yaitu
berdasarkan Formula Klinik Praktis dari Prof. Askandar Tjokroprawiro,dr., Sp.PD, K-EMD
FINASIM atau Guideline dari American Diabetes Association.
I. Penanganan sindroma hiperglikemik hiperosmolar berdasarkan Formula Klinik
Praktis dari Prof. Askandar Tjokroprawiro,dr., Sp.PD, K-EMD FINASIM adalah
sebagai berikut:
Glukosa darah ± 250mg/dl atau IDRIV: Insulin Dosis Rendah Intra Vena
reduksi urin ±
gawat) dan fase II (fase rehabilitasi) dengan batas kadar glukosa antara kedua fase
tersebut sekitar 250mg/dl. Penanganan di IGD adalah fase I yang terdiri dari:
40. Koreksi dehidrasi :
Cairan rehidrasi yang digunakan adalah normal saline 0,9% jika Na plasma
<150mEq/L atau normal saline 0,45% jika Na plasma >150mEq/L. Berikan 2 liter
dalam 2 jam pertama, dilanjutkan 80 tpm dalam 4 jam, lalu 30 tpm dalam 18
jam, diteruskan 20 tpm dalam 24 jam berikutnya.
41. Koreksi hiperglikemia:
Insulin dosis rendah secara intravena (insulin bisa menggunakan rapid acting
seperti Apidra atau short acting seperti Actrapid dan Humulin-R) menggunakan
rumus N-1, N merupakan angka pertama dari gula darah sewaktu. Insulin
diberikan bolus intravena sebanyak 4 unit/jam sebanyak N-1 dengan selang
waktu 1 jam. Biasanya maksimal dilakukan sebanyak 3 kali 4 unit/jam lalu cek
GDA 1 jam kemudian.
42. Koreksi imbalans elektrolit (kalium):
Pertahankan kadar kalium >3,5mEq
i. Bila kalium 3,0 – 3,5mEq → berikan 25mEq (1 flakon) KCl secara infus
intravena dalam 500 cc NaCl 0,9% / 24 jam
j. Bila kalium 2,5 – 3,0mEq → berikan 50mEq (2 flakon) KCl secara infus
intravena dalam 500 cc NaCl 0,9% / 24 jam
k. Bila kalium 2,0 – 2,5mEq → berikan 75mEq (3 flakon) KCl secara infus
intravena dalam 500 cc NaCl 0,9% / 24 jam
l. Bila kalium 3,0 – 3,5mEq → berikan 25mEq (1 flakon) KCl secara infus
intravena dalam 500 cc NaCl 0,9% / 24 jam
m. Bila kalium <2mEq → berikan 25mEq (1 flakon) KCl secara infus intravena
dalam 500 cc NaCl 0,9% / 5 jam
43. Koreksi asidosis metabolik:
Bila pH ≤7,2 atau BIK <12mEq/L, berikan NaBic 50-100 mEq (1-2 flakon) secara
infus intravena dalam 500 cc NaCl 0,9% / 24 jam
44. Pemberian antibiotik:
Antibiotika rasional sesuai indikasi dengan dosis yang adekuat.
j. Perdarahan intrakranial.
k. Gangguan respirasi yang menyebabkan hipoksia dan depresi nafas.
Prosedur 3) Pastikan jalan nafas bebas dan observasi fungsi pernafasan, posisikan
miring atau setengah duduk untuk mencegah aspirasi.
4) Infus dengan cairan yang mengandung dekstrosa, magnesium, folat,
tiamin, dan multivitamin, seperti RD5 1,5 ml/kgBB/jam untuk
memperbaiki status hidrasi, elektrolit, dan hipoglikemia.
5) Bila pasien hipoglikemia dapat diberikan injeksi bolus iv D40. Berikan 3
flakon jika GDA <30, 2 flakon jika GDA 30-50, dan 1 flakon bila GDA 50-70.
6) Berikan anti emetik bila pasien mual muntah.
7) Bila pasien gelisah, berikan dosis rendah sedatif seperti Lorazepam 1-2
mg atau Haloperidol 5 mg oral. Berikan secara parenteral bila pasien
gaduh gelisah dan dapat membahayakan sekitarnya.
8) Bila pasien dalam kondisi koma, observasi tanda vital tiap 15 menit dan
berikan injeksi Thiamine 100mg iv untuk profilaksis terjadinya Wernicke
Encephalopathy, lalu injeksi 50ml D40 bolus iv. Injeksi Thiamine dengan
D40 harus berurutan, tidak boleh terbalik, karena injeksi D40 di saat
tubuh mengalami defisiensi thiamine akan memperparah kerusakan
saraf.
9) Karena etanol cepat diabsorbsi, dekontaminasi dengan kumbah lambung
atau emesis dilakukan bila pasien baru mengonsumsi etanol 30-45 menit
sebelumnya dan jumlah yang diminum banyak, atau dicurigai
mengonsumsi obat yang lain secara bersamaan. Karbon aktif dapat
diberikan terutama bila diminum bersamaan dengan toksin yang lain.
10) Akselerasi eliminasi etanol dengan injeksi Metadoxine 300-900 mg iv
dosis tunggal.
11) Bila terdapat gangguan penglihatan, dapat dipertimbangkan untuk konsul
dengan spesialis mata.
12) Bila kegawatdaruratan telah ditangani, pasien dirawat di ruang HCU.
1. Resusitasi
Infus RL/NS 0,9% kecepatan 15-20 tt/menit, napas buatan + O 2,
hisap lendir saluran napas, hindari obat-obat depresan saluran
napas, kalau perlu digunakan respirator pada kegagalan napas yang
berat.
2. Eliminasi
Prosedur
Emesis, katarsis, KL, keramas rambut, dan mandikan seluruh tubuh
dengan sabun.
3. Terapi Penunjang
Bila penderita kejang: diazepam 10 mg iv atau phenytoin (bolus 18
mg/kgBB, dengan kecepatan <50 mg/menit). Bila timbul aritmia
ventrikuler lidocaine, procanamide atau defibrilator.
4. Antidotum
Atropin sulfat (SA) merupakan antagonis kompetitif dari AKh,
bekerja dengan menghambat efek akumulasi Akh pada tempat-
tempat penumpukannya.
a. Mula-mula diberikan bolus intravena 1-2,5 mg.
b. Dilanjutkan dengan 0,5-1 mg setiap 5-10-15 menit sampai
timbul gejala-gejala atropinisasi (muka merah, mulut kering,
takhikardia, midriasis, febris, psikosis).
c. Kemudian interval diperpanjang setiap 15-30-60 menit,
selanjutnya setiap 2-4-6 dan 12 jam.
d. Pemberian SA dihentikan minimal setelah 2x24 jam.
Penghentian SA yang mendadak dapat menyebabkan rebound
effect berupa edema paru dan kegagalan pernapasan akut,
yang sering fatal.
3. Fibrotik pnemonia
Komplikasi
4. ARDS
Unit yang Bagian llmu Penyakit Dalam
menangani
Unit terkait Instalasi Gawat Darurat, Unit Rawat Inap, Komite Medik.
Kepustakaan:
Kusumobroto, Hernomo, Iswan A. Nusi dan Herry Purbayu. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Surabaya: Airlangga University Press
PENANGANAN INTOKSIKASI NAPZA DI IGD
ALKOHOL
ataksia dan bicara cadel/tak jelas
emosi labil dan disinhibisi
napas berbau alkohol
mood yang bervariasi
CANABIS
ansietas dan panic
paranoia
halusinasi pendengaran dan penglihatan
gangguan koordinasi
kehilangan memori jangka pendek
takikardia dan aritmia supraventrikuler
KOKAIN
Pada dosis rendah :
anastesi lokal
dilatasi pupil
vasokonstriksi
peningkatan pernapasan
peningkatan denyut jantung
peningkatan tekanan darah
peningkatan suhu tubuh
Pada dosis tinggi (reaksi toksik):
stereotipik, perilaku repetitif
ansietas/ agitasi berat/ panik
agresif
kedutan otot/tremor/hilang koordinasi
peningkatan reflex
gagal napas
peningkatan tekanan darah yang bermakna
nyeri dada/angina
edema paru
gagal ginjal akut
konvulsi
penglihatan kabur
stroke akut
kebingungan/delirium
halusinasi, lebih sering halusinasi dengar
dizziness
kekakuan otot
lemah, nadi cepat
aritmia jantung
iskemi miokardial dan infark
berkeringat/suhu tubuh sangat tinggi (suhu rektal bisa mencapai
41°C)
sakit kepala
nyeri perut/mual/muntah
BENZODIAZEPIN
mengantuk, letargi, kelelahan
gerakan yang tidak terkoordinasi, penurunan reaksi terhadap waktu
dan ataksia
penurunan fungsi kognisi dan memori (terutama amnesia
anterograde)
kebingungan
kelemahan otot atau hipotoni
depresi
nistagmus, vertigo
disarthria, bicara cadel/tidak jelas
pandangan kabur, mulut kering
sakit kepala
euforia paradoksal, rasa girang, tidak dapat beristirahat, hipomania
dan perilaku
inhibisi yang ekstrim (terutama pengguna dosis tinggi dapat merasa
tidak dapat dilukai, kebal terhadap serangan atau pukulan dan
merasa dirinya tidak dapat dilihat orang sekitarnya)
efek potensiasi dengan napza depresah susunan syaraf pusat
lainnya, missal alkohol dan opioid yang dapat meningkatkan risiko
penekanan pernapasan
VOLATILE SUBSTANCE (SENYAWA YANG MUDAH MENGUAP)
mata merah dan berair
bersin dan batuk
nafas berbau napza kimia lem, solven, bekas cat tertinggal pada
baju, jari tangan, hidung, atau mulut
intoksikasi terlihat jelas/ perilaku menyimpang/ berani mengambil
risiko
kebingungan
koordinasi yang lemah
mengeluarkan keringat yang berlebihan
ada tanda-tanda tidak biasa/rash,
iritasi kulit di sekitar mulut dan hidung
sekresi nasal yang berlebihan, bila secara langsung menghirup
25. Menurunkan angka morbiditas dan mortalitas.
26. Pasien mendapatkan penanganan yang sesuai dengan prosedur
Prosedur
Penatalaksanaan umum kondisi emergensi gangguan penggunaan NAPZA
Kepustakaan:
Direktorat Jendaral Bina Pelayanan Medik Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2010.
Pedoman Layanan Terapi dan Rehabilitasi Komprehensif pada Gangguan Penggunaan NAPZA
Berbasis Rumah Sakit. Jakarta: Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia
NOMOR 420/MENKES/SK/III/2010.