Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 26

SKENARIO D BLOK 24 tahun 2018

A newborn baby was delivered at private clinic, assisted by midwife. He was delivered
from a 30 years old woman, primigravida. Mrs. Anita, the baby’s mother had premature
ruptured of membrane 5 days ago. The liquor was thick, smelly and greenish. She also
had fever since two days before delivery. The pregnancy was full term. The baby was not
cried spontaneuosly after birth. The midwife cleared the baby’s airway using manual
suction and stimulate the baby by patting his feet, and then he started to cry weakly 5
minutes later. After 2 hours observation the midwife saw the baby still breathing uneasily
and had grunting. The baby was refered to Moh Hoesin Hospital.
Physical examination revealed body weight was 3500 gram. Body length 50 cms, head
circumference 34 cms. He looked hypoactivce, tachypnoe, respiratory rate 86 breaths per
minute, there were chest indrawing, grunting could be heard using stethoscope, breathing
soung was normal, saturation 80% using nasal oxygen. Sucking reflex was weak. Heart
rate was 168 beats per minute. Abdomen was tender with normal bowel sound. There
were not meconeum staining at umbilical cord and skin.
INSTRUCTION
As GP, what will you do to treat the baby?
ANALISIS MASALAH
1. Seorang bayi lahir cukup bulan dari ibu berusia 30 tahun, primigravida,
dibawa ke klinik dan ditangani oleh bidan. Mrs. Anita mengalami ketuban
pecah dini 5 hari yang lalu. Cairannya kental, berbau, dan kehijauan. Dia
mengalami demam 2 hari yang lalu sebelum melahirkan.
a. Apa makna klinis cairan ketuban kental, berbau, dan kehijauan dan
bagaimana gambaran normal dari cairan ketuban?
Air ketuban yang normal memiliki volume paling besar saat mendekati
kehamilan 34 minggu, dengan volume rata-rata 800 ml dan sekitar 600 ml
pada bayi cukup bulan (40 minggu) dan saat melahirkan. Cairan ketuban
bersikulasi dengan cara janin menelan dan menghirup serta pengeluaran
melalui urin janin.
Air ketuban normal jernih agak kekuningan, menyelimuti janin pada masa
kehamilan. Cairan amnion normal memiliki pH 7,2 dan massa jenis 1,008.

Gambar. Warna cairan amnion normal dan bercampuran darah


Warna air ketuban kehijauan atau kecoklatan menunjukkan bahwa neonatus
telah mengeluarkan mekonium (kotoran yang terbentuk sebelum lahir, pada
keadaan normal keluar setelah lahir saat pergerakan usus yang pertama kali).
Hal ini dapat menjadi petanda bahwa neonatus dalam keadaan stres. Keadaan
hipoksia menyebabkan peristaltik usus dan relaksasi otot sfingter ani, maka
mekonium dapat keluar melalui anus.
Seorang neonatus dapat menghirup cairan tersebut sehingga mengakibatkan
masalah pernapasan yang serius yaitu sindrom aspirasi mekonium (SAM)
yang membutuhkan penanganan yang tepat. Apabila seorang klinikus melihat
mekonium selama proses persalinan, dapat dilakukan pemberian
amnioinfusion bagi ibu dengan harapan dapat mencegah berbagai komplikasi
pada neonatus.
Cairan yang berwarna merah jambu menunjukkan perdarahan yang baru
terjadi, sedangkan AK yang berwarna seperti anggur menunjukkan adanya
riwayat perdarahan. Tanda warna air ketuban tersebut kemungkinan trivial
tetapi dapat membantu menentukan penyebab yang mungkin.

Tabel. Warna dan penyebab perubahan warna


Air ketuban bersifat steril namun oleh karena mekonium yang merupakan
media yang paling baik untuk bakteri tumbuh dengan subur dapat
menyebabkan iritasi pada saluran napas, walaupun pendapat ini masih
diperdebatkan.
b. Apa dampak KPD dan demam si ibu terhadap janin dalam kandungan?
Riwayat ketuban pecah dini mempunyai risiko infeksi intrauteri. Hal ini
kemudian menjadi penyebab utama yang teridentifikasi dari kelahiran
prematur dan komplikasinya, termasuk sindroma distress pernapasan, infeksi
neonatus, dan perdarahan intraventrikular.

2. Bayi lahir tidak menangis spontan. Menangis lemah 5 menit kemudian


setelah dilakukan pembersihan jalan napas secara manual dan distimulasi
dengan cara menepuk-nepuk telapak kakinya oleh bidan. Dua jam kemudian
bayi masih sulit bernapas dan merintih. Bayi kemudian dirujuk ke RSMH.
a. Apa makna klinis dari bayi tidak menangis spontan?
3. Physical examination
Umum
Berat Badan : 3500 gram.
Panjang Badan : 50 cms
Lingkar Kepala : 34 cms.
RR : 86 bpm
HR : 168 bpm
Spesifik
Bayi tampak hypoactivce, tachypnoe,
Retraksi dinding dada
Rintihan terdengar dengan stetoskop
Suara napas normal
Saturasi 80% dengan nasal oksigen
Refleks menghisap lemah
Abdomen teraba lembut dengan bising usus normal
Meconeum staining pada tali pusat dan kulit (-)
a. Apa interpretasi dan bagaimana mekanisme abnormalitas dari hasil
pemeriksaan fisik spesifik?
Pemeriksaan Normal Interpretasi
Hypoactive Abnormal, kurangnya oksigen ke ekstremitas
Tachypnoe bayi menyebabkan bayi terlihat hipoaktif.
Invasi bakteri ke parenkim paru menimbulkan
konsolidasi eksudatif jaringan ikat paru yang
bisa lobular (bronkhopneumoni), lobar, atau
intersisial. Pneumonia bakteri dimulai dengan
terjadinya hiperemi akibat pelebaran
pembuluh darah, eksudasi cairan intra-
alveolar, penumpukan fibrin, dan infiltrasi
neutrofil, yang dikenal dengan stadium
hepatisasi merah. Konsolidasi jaringan
menyebabkan penurunan compliance paru dan
kapasitas vital. Peningkatan aliran darah yamg
melewati paru yang terinfeksi menyebabkan
terjadinya pergeseran fisiologis (ventilation-
perfusion missmatching) yang kemudian
menyebabkan terjadinya
hipoksemia. Selanjutnya desaturasi oksigen
menyebabkan peningkatan kerja jantung
Retraksi Abnormal, pada keadaan hipoksia otot-otot
Dinding Dada dinding dada ikut berkontraksi lebih kuat
untuk mendapat kan oksigen dengan baik.
Grunting dapat Tidak terdapat Abnormal. Suara grunting keluar akibat
didengar grunting adanya usaha meningkatkan oksigen pada bayi
dengan dengan tertutupnya glottis selama ekspirasi
stetoskop sehingga dapat meningkatkan akhir ekspirasi
pada paru.
Suara napas normal
normal
Saturation 80% Target saturasi Menunjukkan adanya hipoksemia
using nasal 10 menit ; 85-
oxygen 95 %
Sucking reflex Abnormal, sucking refleks merupakan salah
was weak satu refleks normal bayi baru lahir. Refleks
hisap yang lemah menunjukkan adanya
gangguan neurologis, kondisi bayi letargi
dapat menyebabkan refleks hisap bayi
menurun. Hal ini dapat ditemukan pada kasus-
kasus infeksi pada neonatus
Heart rate was Ketuban pecah dini  terjadi perubahan pH
164 beats vagina dari asam ke basa  berpindahnya
perminute bakteri chorioamniotis  infeksi yang
terjadi di paru  bronkopneumonia dan sepsis
onset cepat  distress pernapasan 
Hipoaktif, merintih, Sulit bernafas, Tidak
menangis, HR dan RR meningkat, Sucking
reflex lemah, Retraksi dinding dada
Abdomen was Normal
tender with
normal bowel
sound
Meconium Abnormal, makna klnis ditemukannya
staining at mekonium ini menunjukkan bahwa terjadi
umbilical cord aspirasi mekonium pada bayi, penyaluran ke
and skin (-) bayi dapat melalui plasenta dan kulit

HIPOTESIS
 Bayi laki-laki BB 3,5 kg, Sesuai Masa Kehamilan, mengalami respiratory distress
et causa bronkopneumonia dengan sepsis.
TEMPLATE
a. DD
b. How to diagnose
c. WD
d. Epidemiologi
e. Etiologi
f. Faktor risiko
g. Patogenesis dan patofisiologi
h. Manifestasi klinis
i. Pemeriksaan penunjang
j. Tatalaksana
k. Komplikasi
l. KIE
m. Prognosis
n. SKDI
LEARNING ISSUES
1. Bronkopneumonia Neonatal
A. Definisi
Bronkopneumonia merupakan infeksi pada parenkim paru yang terbatas pada
alveoli kemudian menyebar secara berdekatan ke bronkus distal terminalis. Pada
pemeriksaan histologis terdapat reaksi inflamasi dan pengumpulan eksudat yang dapat
ditimbulkan oleh berbagai penyebab dan berlangsung dalam jangka waktu yang
bervariasi. Berbagai spesies bakteri, klamidia, riketsia, virus, fungi dan parasit dapat
menjadi penyebab.
Bronchopneumonia adalah suatu infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah
dari parenkim paru yang melibatkan bronkus / bronkiolus yang berupa distribusi
berbentuk bercak-bercak yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri,
virus, jamur dan benda asing.
Bronchopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa
lobus paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak Infiltrat.
Bronchopneumina adalah frekuensi komplikasi pulmonary, batuk produktif yang
lama, tanda dan gejalanya biasanya suhu meningkat, nadi meningkat, pernapasan
meningkat (Suzanne G. Bare, 1993).
Bronchopneumonia disebut juga pneumoni lobularis, yaitu radang paru-paru yang
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan benda-benda asing.
Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang mengenai
parenkim paru. Pneumonia pada anak dibedakan menjadi:
1) Pneumonia lobaris
2) Pneumonia interstisial
3) Bronkopneumonia.
Gambar 1, jenis-jenis pneumonia
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada
parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai
alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh
bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
Bronkopneumonia adalah radang paru-paru yang mengenai satu atau beberapa lobus
paru-paru yang ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat yang disebabkan oleh
bakteri,virus, jamur dan benda asing.

B. Epidemiologi
Pneumonia hingga saat ini masih tercatat sebagai masalah kesehatan utama pada
anak di negara berkembang. Pneumonia merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas anak berusia di bawah lima tahun (balita). Diperkirakan hampir seperlima
kematian anak diseluruh dunia, lebih kurang 2 juta anak balita, meninggal setiap tahun
akibat pneumonia, sebagian besar terjadi di Afrika dan Asia Tenggara. Menurut survei
kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi dan 22,8% kematian balita di
Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem repiratori, terutama pneumonia.4
Terdapat berbagai faktor risiko yang menyebabkan tingginya angka mortalitas
pneumonia pada anak balita di negara berkembang. Faktor risiko tersebut adalah:
pneumonia yang terjadi pada masa bayi, berat badan lahir rendah (BBLR), tidak
mendapat imunisasi, tidak mendapat ASI yang adekuat, malnutrisi, defisiensi vitamin A,
tingginya prevalens kolonisasi bakteri patogen di nasofaring, dan tingginya pajanan
terhadap polusi udara (polusi industri atau asap rokok).4

d
iagram 1, penyebab kematian anak dibawah 5 tahun menurut WHO 7

C. Etiologi

Tabel 1. Etiologi Pneumonia pada anak sesuai dengan kelompok usia di negara maju.5
Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang
Lahir-20 hari Bakteri Bakteri
E. colli Bakteri anaerob
Streptococcus group B Streptococcus group D
Listeria moonocytogenes Haemophillus influenzae
Streptococcus pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
Virus
Virus Sitomegalo
Virus Herpes Simpleks

Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang


3 minggu-3 bulan Bakteri Bakteri
Chlamydia trachomatis Bordetella pertussis
Streptococcus pneumoniae Haemophillus influenzae
tipe B
Virus Moraxella catharalis
Virus Adeno Staphylococcus aureus
Virus Influenza Ureaplasma urealyticum
Virus Parainflueza 1,2,3 Virus
Respiratory Syncytial virus Virus Sitomegalo

Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang


4 bulan-5 tahun Bakteri Bakteri
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae
tipe B
Mycoplasma pneumoniae Moraxella catharalis
Streptococcus pneumoniae Neisseria meningitidis
Virus Staphylococcus aureus
Virus Adeno Virus
Virus Influenza Virus Varisela-Zoster
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial virus

Usia Etiologi yang Sering Etiologi yang Jarang


5 tahun-remaja Bakteri Bakteri
Chlamydia pneumoniae Haemophillus influenzae
Mycoplasma pneumoniae Legionella sp
Streptococcus pneumoniae Staphylococcus aureus
Virus
Virus Adeno
Virus Epstein-Barr
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial virus
Virus Varisela-Zoster
Sumber: Said M. Pneumonia. Buku Ajar Respirologi Anak. Badan Penerbit IDAI.
Jakarta:Cetakan Kedua;350-365 5
D. Patogenesis

Proses patogenesis terkait dengan 3 faktor, yaitu imunitas host, mikroorganisme


yang menyerang, dan lingkungan yang berinteraksi. Cara terjadinya penularan berkaitan
dengan jenis kuman, misalnya infeksi melalui droplet sering disebabkan Streptococcus
pneumonia, melalui selang infus oleh Staphylococcus aureus, sedangkan infeksi pada
pemakaian ventilator oleh Enterobacter dan P. aeruginosa. Pada masa sekarang, terlihat
perubahan pola mikrorganisme adanya perubahan keadaan pasien seperti gangguan
kekebalan, penyakit kronik, polusi lingkungan, dan penggunaan antibiotic yang tidak
tepat menimbulkan perubahan karakteristik kuman. Dijumpai peningkatan pathogenesis
kuman akibat adanya berbagai mekanisme terutama oleh S. aureus, H. influenza dan
Enterobacteriaceae serta berbagai bakteri gram negative.
Patogen mikrobial dapat berasal dari flora orofaringeal termasuk S. pneumonia, S.
pyogens, M. pneumonia, H. influenza, Moraxalla catarrhalis. Kolonisasi bakteri ini
meningi merusak fibronektin, glikoprotein yang melapisi permukaan mukosa.
Fibronektin merupakan reseptor bagi flora normal gram positif orofaring. Hilangnya
fibronektin menyebabkan reseptor pada permukaan sel terpajan oleh bakteri gram
negative. Sumber basil gram negative dapat berasal dari lambung pasien sendiri atau alat
respirasi yang tercemar.
Penyebaran hematogen ke seluruh paru biasanya dengan infeksi S. aureus dapat
terjadi pada pasien seperti pada keadaan penyalahgunaan obat melalui intravena, atau
pada pasien dengan infeksi akibat kateter intravena. Dua jalur penyebaran bakteri ke paru
lainya adalah melalui jalan inokulasi langsung sebagai akibat intubasi trakeaatau luka
tusuk dada yang berdekatan denga tempat infeksi yang berbatasan.
Usia merupakan predictor lain yang penting untuk meramalkan mikroorganisme
penyebab infeksi. Chlamidia trachomatis dan virus sisitial pernafasan sering terdapat
pada bayi berusia dibawah 6 bulan. H. influenza pada anak berusia antara 6 bulan sampai
5 tahun, M. pneumonia dan C. pneumonia pada orang dewasa muda dan H. influenza
serta M. catarrhalis pada pasie lanjut usia dengan penyakit paru kronis. H. influenza juga
lebih sering didapatkan pada pasien perokok. Bakteri gram negative lebih sering pada
pasien lansia. Pseudomonas aeruginosa pada pasien bronkiektasis, terapi steroid,
malnutrisi dan imunisupresi disertai lekopeni.

Bakteri Streptococcus pneumoniae umumnya berada di nasopharing dan bersifat


asimptomatik pada kurang lebih 50% orang sehat. Adanya infeksi virus akan
memudahkan Streptococcus pneumoniae berikatan dengan reseptor sel epitel pernafasan.
Jika Streptococcus pneumoniae sampai di alveolus akan menginfeksi sel pneumatosit tipe
II. Selanjutnya Streptococcus pneumoniae akan mengadakan multiplikasi dan
menyebabkan invasi terhadap sel epitel alveolus. Streptococcus pneumoniae akan
menyebar dari alveolus ke alveolus melalui pori dari Kohn. Bakteri yang masuk kedalam
alveolus menyebabkan reaksi radang berupa edema dari seluruh alveolus disusul dengan
infiltrasi sel-sel PMN.
Proses radang dapat dibagi atas 4 stadium yaitu :
1. Stadium I (4 – 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia
ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast
setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut
mencakup histamin dan prostaglandin. Degranulasi sel mast juga mengaktifkan
jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin
untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler
paru.
Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium
sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus
ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah
paling berpengaruh dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen
hemoglobin.

2. Stadium II (48 jam berikutnya)


Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai bagian dari
reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi merah
dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau
sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung
sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
Gambar 1. tampak alveolus terisi sel darah merah dan sel sel inflamasi (netrofil)
3. Stadium III (3 – 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih mengkolonisasi
daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di seluruh
daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit
di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan
leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi
mengalami kongesti.

Gambar 2. tampak alveolus terisi dengan eksudat dan netrofil

4. Stadium IV (7 – 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan
mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh makrofag sehingga
jaringan kembali ke strukturnya semula.
Sebagian besar pneumonia timbul melalui mekanisme aspirasi kuman atau
penyebaran langsung kuman dari respiratorik atas. Hanya sebagian kecil merupakan
akibat sekunder dari bakterimia atau viremia atau penyebaran dari infeksi intra abdomen.
Dalam keadaan normal mulai dari sublaring hingga unit terminal adalah steril. Dalam
keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan mikroorganisme di paru. Keadaan ini
disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Apabila terjadi ketidakseimbangan
antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat
masuk, berkembang biak dan menimbulkan penyakit.

Paru terlindung dari infeksi dengan beberapa mekanisme :


 Filtrasi partikel di hidung
 Pencegahan aspirasi dengan refleks epiglottis
 Ekspulsi benda asing melalui refleks batuk
 Pembersihan kearah kranial oleh mukosiliar
 Fagositosis kuman oleh makrofag alveolar
 Netralisasi kuman oleh substansi imun lokal
 Drainase melalui sistem limfatik.

E. MANIFESTASI KLINIS

Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas


selama beberapa hari. Suhu dapat naik secara mendadak sampai 390-400C dan mungkin
disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispnu, pernafasan cepat
dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung dan sianosis di sekitar hidung dan mulut.
Batuk biasanya tidak dijumpai pada awal penyakit,anak akan mendapat batuk setelah
beberapa hari, di mana pada awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan :
 Inspeksi : pernafasan cuping hidung(+), sianosis sekitar hidung dan mulut,
retraksi sela iga.
 Palpasi : Stem fremitus yang meningkat pada sisi yang sakit.
 Perkusi : Sonor memendek sampai beda
 Auskultasi : Suara pernafasan mengeras ( vesikuler mengeras )disertai
ronki basah gelembung halus sampai sedang.
Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisik tergantung pada luasnya daerah
yang terkena.Pada perkusi toraks sering tidak dijumpai adanya kelainan.Pada auskultasi
mungkin hanya terdengar ronki basah gelembung halus sampai sedang. Pada stadium
resolusi ronki dapat terdengar lagi.Tanpa pengobatan biasanya proses penyembuhan
dapat terjadi antara 2-3 minggu.

F. Diagnosis
1. Anamnesis
Gejala yang timbul biasanya mendadak tetapi dapat didahului dengan infeksi
saluran nafas akut bagian atas. Gejalanya antara lain batuk, demam tinggi terus-
menerus, sesak, kebiruan sekitar mulut, menggigil (pada anak), kejang (pada
bayi), dan nyeri dada. Biasanya anak lebih suka berbaring pada sisi yang sakit.
Pada bayi muda sering menunjukkan gejala non spesifik seperti hipotermi,
penurunan kesadaran, kejang atau kembung. Anak besar kadang mengeluh nyeri
kepala, nyeri abdomen disertai muntah.
2. Pemeriksaan Fisik
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan kelompok umur
tertentu. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding dada, grunting,
dan sianosis. Pada bayi-bayi yang lebih besar jarang ditemukan grunting. Gejala
yang sering terlihat adalah takipneu, retraksi, sianosis, batuk, panas, dan iritabel.
Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah demam, batuk (non
produktif / produktif), takipneu dan dispneu yang ditandai dengan retraksi dinding
dada. Pada kelompok anak sekolah dan remaja, dapat dijumpai panas, batuk (non
produktif / produktif), nyeri dada, nyeri kepala, dehidrasi dan letargi.
Pedoman klinis membedakan penyebab pneumonia, sebagai berikut :

Pemeriksaan Bakteri Virus Mikoplasma


Anamnesis
Umur Berapapun, bayi Berapapun Usia sekolah
Awitan Mendadak Perlahan Tidak nyata
Sakit serumah Tidak Ya, bersamaan Ya, berselang
Batuk Produktif nonproduktif kering
Gejala penyerta Toksik Mialgia, ruam, Nyeri kepala, otot,
organ bermukosa tenggorok
Fisik
Keadaan umum Klinis > temuan Klinis ≤ temuan Klinis < temuan
Demam Umumnya ≥ 39ºC Umumnya < 39ºC Umumnya < 39ºC
Auskultasi Ronkhi ±, suara Ronkhi bilateral, Ronkhi unilateral,
Napas melemah Difus, mengi mengi. 14

Takipneu berdasarkan WHO:


a. Usia < 2 bulan : ≥ 60 x/menit
b. Usia 2-12 bulan : ≥ 50 x/menit
c. Usia 1-5 tahun : ≥ 40 x/menit
d. Usia 6-12 tahun : ≥ 28 x/menit
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah pada pneumonia umumnya didapatkan Lekositosis hingga >
15.000/mm3 seringkali dijumpai dengan dominasi netrofil pada hitung jenis. Lekosit >
30.000/mm3 dengan dominasi netrofil mengarah ke pneumonia streptokokus.
Trombositosis > 500.000 khas untuk pneumonia bakterial. Trombositopenia lebih
mengarah kepada infeksi virus. Biakan darah merupakan cara yang spesifik namun hanya
positif pada 10-15% kasus terutama pada anak- anak kecil.
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan radiologis
Foto toraks (AP/lateral) merupakan pemeriksaan penunjang utama untuk
menegakkan diagnosis. Foto AP dan lateral dibutuhkan untuk menentukan lokasi
anatomik dalam paru. Infiltrat tersebar paling sering dijumpai, terutama pada pasien bayi.
Pada bronkopneumonia bercak-bercak infiltrat didapatkan pada satu atau beberapa lobus.
Jika difus (merata) biasanya disebabkan oleh Staphylokokus pneumonia.
Gambar 3 : Foto toraks PA pada pneumonia lobaris: tampak bercak-bercak infiltrat pada
paru kanan

Gambar 4 : Foto toraks PA pada bronkopneumonia.


b. C-Reactive Protein
Adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh hepatosit. Sebagai respon
infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP distimulai oleh sitokin, terutama
interleukin 6 (IL-6), IL-1 dan tumor necrosis factor (TNF). Secara klinis CRP digunakan
sebagai diagnostik untuk membedakan antara faktor infeksi dan non infeksi, infeksi virus
dan bakteri, atau infeksi superfisialis dan profunda. Kadar CRP biasanya lebih rendah
pada infeksi virus dan bakteri. CRP kadang-kadang digunakan untuk evaluasi respon
terapi antibiotik.
c. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi
bakteri atipik. Peningkatan IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis.
d. Pemeriksaan mikrobiologi
Diagnosis terbaik adalah berdasarkan etiologi, yaitu dengan pemeriksaan
mikrobiologi spesimen usap tenggorok, sekresi nasopharing, sputum, aspirasi trakhea,
fungsi pleura. Sayangnya pemeriksaan ini banyak sekali kendalanya, baik dari segi teknis
maupun biaya. Bahkan dalam penelitianpun kuman penyebab spesifik hanya dapat
diidentifikasi pada kurang dari 50% kasus.

II.6.1 KRITERIA DIAGNOSIS

Dasar diagnosis pneumonia menurut Henry Gorna dkk tahun 1993 adalah ditemukannya
paling sedikit 3 dari 5 gejala berikut ini :
a. sesak nafas disertai dengan pernafasan cuping hidung dan tarikan dinding dada
b. panas badan
c. Ronkhi basah sedang nyaring (crackles)
d. Foto thorax menunjukkan gambaran infiltrat difus
e. Leukositosis (pada infeksi virus tidak melebihi 20.000/mm3 dengan limfosit
predominan, dan bakteri 15.000-40.000/mm3 neutrofil yang predominan)

G. DIAGNOSIS BANDING

1. Infeksi perinatal/kongenital (pada neonatus)


2. Hyalin membrane disease/HMD (pada neonatus)
3. Aspirasi pneumonia
4. Edema paru
5. Atelektasis
6. Perdarahan paru
7. Kelainan kongenital parenkim paru
8. Tuberkulosis
9. Gagal jantung kongestif
10. Neoplasma
11. Reaksi hipersensitivitas (pneumonitis).1

H. PENYULIT
1. Empiema (paling sering oleh S. Pneumoniae dan S. Aureus
2. Perikarditis
3. Pneumotoraks
4. Pneumatokel
5. Meningitis bakterialis
6. Artritis supuratif
7. Osteomielitis.1
I. PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan umum
- Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit  sampai sesak nafas hilang atau PaO2
pada analisis gas darah ≥ 60 torr
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
- Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.

Penatalaksanaan khusus
- mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan pada 72
jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi antibioti awal.
Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi, takikardi,
atau penderita kelainan jantung
- pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan manifestasi
klinis
Pneumonia ringan  amoksisilin 10-25 mg/kgBB/dosis (di wilayah dengan angka
resistensi penisillin tinggi dosis dapat dinaikkan menjadi 80-90 mg/kgBB/hari).
Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan terapi :
a. Kuman yang dicurigai atas dasas data klinis, etiologis dan epidemiologis
b. Berat ringan penyakit
c. Riwayat pengobatan selanjutnya serta respon klinis
d. Ada tidaknya penyakit yang mendasari

Antibiotik :
Bila tidak ada kuman yang dicurigai, berikan antibiotik awal (24-72 jam
pertama) menurut kelompok usia.
a. Neonatus dan bayi muda (< 2 bulan) :
- ampicillin + aminoglikosid
- amoksisillin-asam klavulanat
- amoksisillin + aminoglikosid
- sefalosporin generasi ke-3
b. Bayi dan anak usia pra sekolah (2 bl-5 thn)
- beta laktam amoksisillin
- amoksisillin-amoksisillin klavulanat
- golongan sefalosporin
- kotrimoksazol
- makrolid (eritromisin)
c. Anak usia sekolah (> 5 thn)
- amoksisillin/makrolid (eritromisin, klaritromisin, azitromisin)
- tetrasiklin (pada anak usia > 8 tahun)
Karena dasar antibiotik awal di atas adalah coba-coba (trial and error)
maka harus dilaksanakan dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24 jam
sekali sampai hari ketiga.
Bila penyakit bertambah berat atau tidak menunjukkan perbaikan yang
nyata dalam 24-72 jam  ganti dengan antibiotik lain yang lebih tepat sesuai
dengan kuman penyebab yang diduga (sebelumnya perlu diyakinkan dulu ada
tidaknya penyulit seperti empyema, abses paru yang menyebabkan seolah-olah
antibiotik tidak efektif)

J. Prognosis
Dengan pemberian antibiotik yang tepat dan adekuat yang dimulai secara dini
pada perjalanan penyakit tersebut maka mortalitas selama masa bayi dan masa
kanak-kanak dapat di turunkan sampai kurang 1 % dan sesuai dengan kenyataan ini
morbiditas yang berlangsung lama juga menjadi rendah. Anak dalam keadaan
malnutrisi energi protein dan yang datang terlambat menunjukkan mortalitas yang
lebih tinggi.
2. Sepsis Neonatorum

Sepsis neonatorum adalah sindroma klinis yang terjadi pada 28 hari awal
kehidupan, dengan manifestasi infeksi sistemik dan atau isolasi bakteri patogen
dalam aliran darah. Secara umum sepsis neonatorum diklasifikasikan berdasarkan
waktu terjadinya menjadi sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal
sepsis) dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis). Angka
mortalitas sepsis neonatorum awitan lambat lebih rendah 10-20% dibanding dengan
sepsis neonatorum awitan dini.

Sepsis neonatorum awitan dini terjadi pada 48-72 jam setelah lahir dan
merupakan penyebab terpenting dalam morbiditas dan mortalitas pada

neonatus.16 Angka kejadian sepsis neonatorum awitan dini sebanyak 3,5 kasus
per 1000 kelahiran hidup dengan angka mortalitas 15-50%.

2.1.1 Etiologi
Berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus, parasit atau jamur dapat

menyebabkan sepsis.17 Sepsis neonatorum awitan dini sering dikaitkan dengan


adanya infeksi bakteri yang didapat dari ibu, biasanya diperoleh saat proses

persalinan atau in utero.6 Pola bakteri penyebab sepsis dapat berbeda-beda antar
negara dan selalu berubah dari waktu ke waktu.
Di negara maju, bakteri yang sering ditemukan pada sepsis neonatorum
awitan dini adalah Streptococcus grup B, Escherichia coli, Haemophillus
influenzae dan Listeria monocytogenes. Sedangkan di Indonesia yang termasuk
negara berkembang, penyebab terbanyak sepsis neonatorum awitan dini adalah

bakteri batang gram negatif.17 Escherichia coli merupakan kuman patogen utama

penyebab sepsis pada bayi prematur.17 Data dari RS Dr. Cipto Mangunkusumo
selama tahun 2002 kuman yang ditemukan pada sepsis neonatorum awitan dini
berturut-turut adalah Enterobacter sp, Acinetobacter sp dan Coli sp. Di Neonatal
Intensive Care Unit (NICU) RS Dr. Kariadi Semarang pada tahun 2002 diketahui
Enterobacter aerogenes (47,63%), Pseudomonas aeroginosa (28,75%) dan
Staphylococcus epidermidis (4,76%).

2.1.2 Patofisiologi

Sepsis terjadi karena adanya gangguan keseimbangan antara sitokin


proinflamasi dan antiinflamasi, komponen koagulan dan antikoagulan serta antara
integritas endotel dan sel yang beredar. Gangguan keseimbangan tersebut

disebabkan oleh infeksi bakteri patogen.19 Bakteri mencapai aliran darah melalui
aspirasi janin atau tertelan melalui kontaminasi cairan amnion, menyebabkan

bakteremia.20

Proses molekuler dan seluler yang memicu respon sepsis berbeda


tergantung dari mikroorganisme penyebab. Respon sepsis karena bakteri gram
negatif dimulai saat pelepasan dari lipopolisakarida (LPS) yang merupakan
endotoksin dari dalam dinding sel bakteri. Lipopolisakarida berikatan secara
spesifik di dalam plasma dengan lipoprotein binding protein (LPB). Kemudian
kompleks LPS-LPB akan berikatan dengan CD14. CD14 merupakan reseptor pada
membran makrofag. CD14 mempresentasikan LPS pada Toll-like receptor 4
(TLR4) yang merupakan trasnduksi sinyal untuk aktivasi makrofag.

Bakteri gram positif dapat menyebabkan sepsis dengan dua mekanisme


yaitu dengan menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen yang
mengaktifkan sebagian besar sel T untuk melepaskan sitokin proinflamasi dalam
jumlah yang sangat banyak dan dengan melepaskan fragmen dinding sel yang dapat
merangsang sel imun non spesifik melalui mekanisme yang sama dengan bakteri
gram negatif. Kedua kelompok bakteri tersebut akan memicu kaskade sepsis yang
dimulai dengan pelepasan mediator inflamasi sepsis. Mediator inflamasi primer
dilepaskan oleh sel-sel yang teraktivasi makrofag. Pelepasan mediator akan

mengaktivasi sistem koagulasi dan komplemen.17, 21

Sistem komplemen merupakan komponen yang sangat penting dari sistem


imun bawaan yang memfasilitasi pembunuhan bakteri melalui opsonisasi dan
aktivitas bakterisidal secara langsung. Komponen komplemen juga memiliki
aktivitas kemotaktik atau anafilaktik yang akan meningkatkan agregasi leukosit dan
permeabilitas vaskuler di tempat yang terinvasi. Selain itu, komponen komplemen
juga saling mengaktifkan sejumlah proses penting lainnya seperti koagulasi,
produksi sitokin proinflamasi dan aktivasi leukosit. Disregulasi dari aktivasi
komplemen dapat menyebabkan efek yang tidak diinginkan seperti pada neonatus
dengan sepsis berat atau syok septik. Pada neonatus prematur terjadi penurunan
kadar protein komplemen dan fungsi dari kedua jalur sistem imun. Opsonisasi yang
dimediasi oleh komplemen juga sangat rendah pada neonatus prematur dan terbatas

pada neonatus cukup bulan.22

2.1.3 Diagnosis

Masalah yang ada pada sepsis neonatorum diantaranya penegakkan


diagnosis yang sulit karena tanda dan gejala awal pada sepsis neonatorum yang

sering tidak spesifik.6 Identifikasi penyebab sepsis harus segera dilaksanakan


untuk memberikan terapi yang efektif. Idealnya, ibu harus dievaluasi dan
dilakukan pemeriksaan spesimen jika sudah diketahui memiliki infeksi saat hamil.
Penegakkan diagnosis sepsis neonatorum berdasarkan dari gejala klinik,
pemeriksaan laboratorium darah, pemeriksaan penunjang dan kultur darah sebagai

gold standard.12

Manifestasi klinis yang terlihat sangat berhubungan dengan karakteristik


bakteri penyebab dan respon tubuh terhadap paparan. Janin yang terinfeksi akan
mengalami takikardi, lahir dengan asfiksia dan dengan skor apgar yang rendah. Saat
lahir, bayi akan tampak lemah dengan gambaran klinis sepsis seperti pucat,
hipotermia atau hipertermia, hipoglikemia atau kadang hiperglikemia. Selain itu,
akan tampak kelainan susunan saraf pusat seperti letargi, iritabel, menangis lemah
kadang terdengar high pitch cry dan dapat disertai dengan kejang. Kelainan
kardiovaskuler berupa hipotensi, takikardi, sianosis, dingin dan clummy skin. Gejala
respirasi yang timbul diantaranya takipneu, apneu, merintih dan terdapat retraksi
dinding dada. Bayi juga dapat memperlihatkan kelainan hematologi dan
gastrointesinal (perdarahan, ikterus, muntah, diare, distensi abdomen dan

intoleransi untuk minum).3, 12, 17

Hingga saat ini belum ada pemeriksaan laboratorium tunggal yang


mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang cukup baik, sehingga hasil
laboratorium harus digunakan bersama faktor risiko dan gejala klinis. Pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan antara lain:

1. Pemeriksaan darah rutin yaitu jumlah leukosit PMN, jumlah trombosit dan
preparat darah hapus. Hasil positif apabila didapatkan jumlah leukosit total

≥ 25.000/mm3 atau ≤ 5000/mm3 dan jumlah trombosit < 150.000/mm3.23

2. Dengan preparat darah hapus yang perlu diperhatikan adalah jumlah


leukosit imatur (neutropenia < 1800/µl) sehingga dapat diperhitungkan
rasio neutrofil imatur dengan neutrofil total. Dikatakan terinfeksi apabila
rasio I:T > 0,2. Preparat darah hapus menunjukkan gambaran hasil berupa
hemolisis, hipergranulasi, hipersegmentasi dan toksik granulasi. Sales –
santos M, Bunye MO membuat sistim skor hematologis untuk memprediksi

sepsis neonatorum, sebagai berikut:24


Tabel 2. Sistim skor hematologis untuk prediksi neonatal sepsis

Kriteria Skor

Peningkatan I/T rasio 1

Penurunan/ peningkatan jumlah PMN total 1

I:M ≥ 0,2 1

Peningkatan jumlah PMN imatur 1

Jumlah leukosit sesuai umur 1

Bayi baru lahir ≥ 25.000/mm3 atau ≤ 5.000/mm3


Umur 12-24 jam ≥ 31.000/mm3
Umur > 2 hari ≥ 21.000/mm3

Perubahan PMN 1

≥ 3 vakuolisasi, toksik granuler, dohle bodies


Trombosit < 150.000/mm3 1

Bila jumlah skor lebih atau sama dengan 3 maka kemungkinan besar adalah
sepsis. Penggunaan skor tersebut harus disesuaikan dengan klinis.

3. Kultur darah hingga saat ini merupakan gold standard dalam menentukan
diagnosis sepsis. Hasil kultur darah positif merupakan tanda definitif
terdapatmya bakteri patogen. Namun mempunyai kelemahan yaitu hasil

biakan bakteri baru dapat diperoleh minimal 3-5 hari.25 Insidensi hasil
positif dari kultur sepsis neonatorum awitan dini sekitar 0.9 per 1000

kelahiran.16

You might also like