Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 27

Skenario C Blok 24

A female baby was born at type C public hospital from a 17 years old woman. Her mother, mrs.
Feni was hospitalized at the hospital due to hypertension, (blood pressure 180/100 mmHg). It was
her second pregnancy. She forgot when her first day of last period, but she thought that her
pregnancy was about 7 months. Her other child was born preterm too, about 8 months. The first
child did not survive. He died at one day of age.

4 hours after admission, the doctor decided to end the pregnancy by C section. The baby did not
cry spontaneously after birth, but grunting and his whole body was cyanotic. Pediatric residence
did the first step of resuscitation to the baby. APGAR score at the first minute was 3 and fifth
minutes was 7. The amnion liquor was clear.

As a GP on physical examination:
Body weight: 1400 grams
Body length was 42 cm
Head circumference 32 cm
The muscle tone was decreased, he was poorly flexed at the limbs, he has thin skin, more lanugo
over the body and plantar creases 1/3 anterior.
At 15 minutes of age, he still had grunting and cyanosis of the whole body, respiratory rate was
100 breathes per minute, there were epigastric retraction, breathing ound decreased. Heart rate 168
beats per minute.
Saturation 85% with nasal oxygen.

A. Analisis Masalah
1. A female baby was born at type C public hospital from a 17 years old woman. Her mother,
Mrs. Feni was hospitalized at the hospital due to hypertension, (blood pressure 180/100
mmHg). It was her second pregnancy. She forgot when her first day of last period, but she
thought that her pregnancy was about 7 months.
a. Bagaimana perkembangan janin pada bulan ke 7?

Usia gestasi Organ

1
6 Pembentukan hidung, dagu, palatum, dan tonjolan paru. Jari-jari
telah berbentuk, namun masih tergenggam. Jantung telah terbentuk
penuh.

7 Mata tampak pada muka. Pembentukan alis dan lidah.


8 Mirip bentuk manusia, mulai pembentukan genitalia eksterna.
Sirkulasi melalui tali pusat dimulai. Tulang mulai terbentuk.

9 Kepala meliputi separuh besar janin, terbentuk ‘muka’ janin;


kelopak mata terbentuk namun tak akan membuka sampai 28
minggu.

13-16 Janin berukurang 15 cm. Ini merupakan awal dari trimester ke-2.
Kulit janin masih transparan, telah mulai tumbuh lanugo (rambut
janin). Janin bergerak aktif, yaitu menghisap dan menelan air
ketuban. Telah terbentuk mekonium (feses) dalam usus. Jantung
berdenyut 120 – 150/menit.

17-24 Komponen mata terbentuk penuh, juga sidik jari. Seluruh tubuh
diliputi oleh verniks kaseosa (lemak). Janin mempunyai refleks.

25-28 Saat ini disebut permulaan trimester ke-3, di mana terdapat


perkembangan otak yang cepat. Sistem saraf mengendalikan
gerakan dan fungsi tubuh, mata sudah membuka. Kelangsungan
hidup pada periode ini sangat sulit bila lahir.

29-32 Bila bayi dilahirkan, ada kemungkinan untuk hidup (50 – 70%).
Tulang telah terbentuk sempurna, gerakan napas telah reguler, suhu
relatif stabil.

33-36 Berat janin 1500 – 2500 gram. Bulu kulit janin (lanugo) mulai
berkurang, pada saat 35 minggu paru telah matur. Janin akan dapat
hidup tanpa kesulitan.

38-40 Sejak 38 minggu kehamilan disebut aterm, di mana bayi akan


meliputi seluruh uterus. Air ketuban mulai berkurang, tetapi masih
dalam batas normal.

2
3
2. Her other child was born preterm too, about 8 mionths. The first child did not survive. He
died at one day of age.
a. Apa hubungan usia dan penyakit ibu dengan kelahiran premature pada kasus?

3. 4 hours after admission, the doctor decided to end the pregnancy by C section. The baby
did not cry spontaneously after birth, but grunting and his whole body was cyanotic.
a. Bagaimana fisiologi bayi baru lahir?

4. Pediatric residence did the first step of resuscitation to the baby. APGAR score at the first
minute was 3 and fifth minutes was 7. The amnion liquor was clear.
a. Apa makna klinis cairan ketuban jernih?

5. At 15 minutes of age, he still had grunting and cyanosis of the whole body, respiratory rate
was 100 breathes per minute, there were epigastric retraction, breathing sound decreased.
Heart rate 168 beats per minute. Saturation 85% with nasal oxygen.
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormalitas pada pemeriksaan di atas?

Hasil Pemeriksaan Normal Interpretasi


Grunting Tidak terdapat grunting Gangguan pernapasan
• Pada bayi yang lahir dengan
kondisi paru belum matang
terdapat usaha bernafas
(gasping) yang terdengar
sebagai rintihan (grunting)
Sianosis seluruh tubuh tidak sianosis Respiratory Distress
Downe’s score = 1 – 2
RR 100 x/menit Normal <60/min Respiratory Distress
Downe’s Score = 2

4
Epigastric retraction Tidak ada retraksi Respiratory Distress
(retraksi subcosta) suprasternal, subcostal, Downe’s score = 1 – 2
intercostal
Suara napas menurun Normal Dispnea
HR 168 x/menit. HR post resusitasi > 100 Respon resusitasi baik
x/menit
Saturasi oksigen 85% Target saturasi 10 min: Respon resusitasi baik
dengan oksigen nasal 85-95%

6. Template
a. Factor risiko
b. Patofisiologi dan pathogenesis

7. Learning Issue
RDS (Wajib)
A. Definisi
Hyaline Membrane Disease (HMD) disebut juga respiratory distress syndrome (RDS) atau
Sindroma Gawat Nafas yaitu gawat napas pada bayi kurang bulan atau premature yang terjadi
segera atau beberapa saat setelah lahir, frekuensi angka kejadiannya dihubungkan dengan bayi dari
ibu diabetes, persalinan sebelum umur kehamilan 37 minggu, kehamilan multijanin, persalinan
seksio sesarea, persalinan cepat, asfiksia, stres dingin, dan adanya riwayat bahwa bayi sebelumnya
terkena. Insiden tertinggi pada bayi preterm laki-laki atau kulit putih. Respiratory distress
síndrome ditandai adanya kesukaran bernafas, (pernafasan cuping hidung, grunting, tipe
pernapasan dispnea / takipnea, retraksi dada, dan sianosis) yang menetap atau menjadi progresif
dalam 48 – 96 jam pertama kehidupan. Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis
alveoli, edema, dan kerusakan sel danselanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam
alveoli sehingga menghambatfungsi surfaktan.

B. Epidemiologi

5
Respiratory Distress syndrome merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi baru
lahir. Di Amerika Serikat diperkirakan terjadi pada 20.000-30.000 bayi baru lahir tiap tahunnya
dan merupakan komplikasi dari 1% kehamilan. Kurang lebih 30% dari semua kematian pada
neonatus disebabkan oleh RDS atau komplikasinya.
RDS pada bayi prematur bersifat primer, insidensinya berbanding terbalik dengan umur
kehamilan dan berat lahir. Insidensinya sebesar 60-80% pada bayi kurang dari 28 minggu, 15-30%
pada bayi 32-36 minggu, 5% pada bayi kurang dari 37 minggu, dan sangat jarang terjadi pada bayi
matur. RDS lebih jarang ditemukan di Negara berkembang dibanding lainnya, terutama karena
sebagian besar infant premature yang kecil untuk masa kehamilan mengalami stress didalam rahim
karena diinduksi oleh hipertensi. Tambahan, juga dikarenakan padawilayah ini kebanyakan
persalinan dilakukan didalam rumah, sehingga pencatatatannya buruk
Frekuensinya meningkat pada ibu yang diabetes, kelahiran sebelum usia kehamilan 37
minggu, kehamilan dengan lebih dari 1 fetus, kelahiran dengan operasi caesar, kelahiran yang
dipercepat, asfiksia, stress dingin, dan riwayat bayi terdahulu mengalami RDS. Pada ibu diabetes,
terjadi penurunan kadar protein surfaktan, yang menyebabkan terjadinya disfungsi surfaktan.
Selain itu dapat juga disebabkan pecahnya ketuban untuk waktu yang lama serta hal-hal yang
menimbulkan stress pada fetus seperti ibu dengan hipertensi/drug abuse, atau adanya infeksi
kongenital kronik. Insiden tertinggi didapatkan pada bayi prematur laki-laki atau bayi kulit putih.
Pada laki-laki, androgen menunda terjadinya maturasi paru dengan menurunkan produksi
surfaktan oleh sel pneumosit tipe II.

C. Faktor Resiko
1. Bayi kurang bulan. Pada bayi kurang bulan, paru bayi secara biokimiawi masih imatur dengan
kekurangan surfaktan yang melapisi rongga paru.
2. Kegawatan neonatal seperti kehilangan darah dalam periode perinatal, aspirasi mekonium,
pneumotoraks akibat tindakan resusitasi, dan hipertensi pulmonal dengan pirau kanan ke kiri
yang membawa darah keluar dari paru.
3. Bayi dari ibu diabetes mellitus. Pada bayi dari ibu dengan diabetes terjadi keterlambatn
pematangan paru sehingga terjadi distress respirasi.

6
4. Bayi lahir dengan operasi sesar. Bayi yang lahir dengan operasi sesar, berapapun usia
gestasinya dapat mengakibatkan terlambatnya absorpsi cairan paru (Transient Tachypnea of
Newborn).
5. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita demam, ketuban pecah dini dapat terjadi pneumonia
bakterialis atau sepsis.
D. Etiologi
Pembentukan paru dimulai pada kehamilan 3 - 4 minggu dengan terbentuknya trakea dari
esofagus. Pada 24 minggu terbentuk rongga udara yang terminal termasuk epitel dan kapiler, serta
diferensiasi pneumosit tipe I dan II. Sejak saat ini pertukaran gas dapat terjadi namun jarak antara
kapiler dan rongga udara masih 2 -3 kali lebih lebar dibanding pada dewasa. Setelah 30 minggu
terjadi pembentukan bronkiolus terminal, dengan pembentukan alveoli sejak 32 - 34 minggu.
Surfaktan muncul pada paru-paru janin mulai usia kehamilan 20 minggu tapi belum mencapai
permukaan paru. Surfaktan tampak dalam cairan amnion antara 28 dan 32 minggu. Kadar
surfaktan yang matur baru muncul setelah 35 minggu kehamilan. Surfaktan mengurangi tegangan
permukaan pada rongga alveoli, memfasilitasi ekspansi paru dan mencegah kolapsnya alveoli
selama ekspirasi. Selain itu dapat pula mencegah edema paru serta berperan pada sistem
pertahanan terhadap infeksi.
Komponen utama surfaktan adalah Dipalmitylphosphatidylcholine (lecithin) 80%,
phosphatidylglycerol 7%, phosphatidylethanolamine 3%, apoprotein (surfactant protein A, B, C,
D) dan cholesterol. Dengan bertambahnya usia kehamilan, bertambah pula produksi fosfolipid dan
penyimpanannya pada sel alveolar tipe II. Protein merupakan 10% dari surfaktan, fungsinya adalah
memfasilitasi pembentukan film fosfolipid pada perbatasan udara-cairan di alveolus, dan ikut serta
dalam proses perombakan surfaktan.
Kegagalan mengembangkan functional residual capacity dan kecenderungan dari paru
yang terkena untuk mengalami atelektasis berhubungan dengan tingginya tegangan permukaan
dan absennya phosphatydilglycerol, phosphatydilinositol, phosphatydilserin,
phosphatydilethanolamine dan sphingomyelin. Pembentukan surfaktan dipengaruhi pH normal,
suhu dan perfusi. Asfiksia, hipoksemia, dan iskemia pulmonal; yang terjadi akibat hipovolemia,
hipotensi dan stress dingin; menghambat pembentukan surfaktan. Epitel yang melapisi paru-
paru juga dapat rusak akibat konsentrasi oksigen yang tinggi dan efek pengaturan respirasi,
mengakibatkan semakin berkurangnya surfaktan.

7
E. Patofisiologi
Imaturitas paru secara anatomis dan dinding dada yang belum berkembang dengan baik
mengganggu pertukaran gas yang adekuat. Pembersihan cairan paru yang tidak efisien karena
jaringan interstitial paru imatur bekerja seperti spons. Edema interstitial terjadi sebagai resultan
dari meningkatnya permeabilitas membran kapiler alveoli sehingga cairan dan protein masuk ke
rongga alveoli yang kemudian mengganggu fungsi paru-paru. Selain itu pada neonatus pusat
respirasi belum berkembang sempurna disertai otot respirasi yang masih lemah.
Alveoli yang mengalami atelektasis, pembentukan membran hialin, dan edema interstitial
mengurangi compliance paru-paru; dibutuhkan tekanan yang lebih tinggi untuk mengembangkan
saluran udara dan alveoli kecil. Dinding dada bagian bawah tertarik karena diafragma turun dan
tekanan intratorakal menjadi negatif, membatasi jumlah tekanan intratorakal yang dapat
diproduksi. Semua hal tersebut menyebabkan kecenderungan terjadinya atelektasis. Dinding dada
bayi prematur yang memiliki compliance tinggi memberikan tahanan rendah dibandingkan bayi
matur, berlawanan dengan kecenderungan alami dari paru-paru untuk kolaps. Pada akhir respirasi
volume toraks dan paru-paru mencapai volume residu, cencerung mengalami atelektasis.
Kurangnya pembentukan atau pelepasan surfaktan, bersama dengan unit respirasi yang kecil
dan berkurangnya compliance dinding dada, menimbulkan atelektasis, menyebabkan alveoli
memperoleh perfusi namun tidak memperoleh ventilasi, yang menimbulkan hipoksia.
Berkurangnya compliance paru, tidal volume yang kecil, bertambahnya ruang mati fisiologis,
bertambahnya usaha bernafas, dan tidak cukupnya ventilasi alveoli menimbulkan hipercarbia.
Kombinasi hiperkarbia, hipoksia, dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi arteri pulmonal dan
meningkatnkan pirau dari kanan ke kiri melalui foramen ovale, ductus arteriosus, dan melalui paru
sendiri. Aliran darah paru berkurang, dan jejas iskemik pada sel yang memproduksi surfaktan dan
bantalan vaskuler menyebabkan efusi materi protein ke rongga alveoli.
Pada bayi imatur, selain defisiensi surfaktan, dinding dada compliant, otot nafas lemah dapat
menyebabkan kolaps alveolar. Hal ini menurunkan keseimbangan ventilasi dan perfusi, lalu terjadi
pirau di paru dengan hipoksemia arteri progresif yang dapat menimbulkan asidosis metabolik.
Hipoksemia dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah paru dan penurunan aliran
darah paru. Kapasitas sel pnuemosit tipe II untuk memproduksi surfaktan turun. Hipertensi paru
yang menyebabkan pirau kanan ke kiri melalui foramen ovale dan duktus arteriosus memperburuk
hipoksemia.

8
Aliran darah paru yang awalnya menurun dapat meningkat karena berkurangnya resistensi
vaskuler paru dan PDA. Sebagai tambahan dari peningkatan permeabilitas vaskuler, aliran darah
paru meningkat karena akumulasi cairan dan protein di interstitial dan rongga alveolar. Protein
pada rongga alveolar dapat menginaktivasi surfaktan.
Berkurangnya functional residual capacity (FRC) dan penurunan compliance paru merupakan
karakteristik RDS. Beberapa alveoli kolaps karena defisiensi surfaktan, sementara beberapa terisi
cairan, menimbulkan penurunan FRC. Sebagai respon, bayi premature mengalami grunting yang
memperpanjang ekspirasi dan mencegah FRC semakin berkurang.

Gambar 1. Faktor - faktor yang Mempengaruhi Patogenesis penyakit membran hialin.

F. Patologi
Paru nampak merah keunguan dengan konsistensi menyerupai hati. Secara mikroskopis,
terdapat atelektasis luas disertai dengan pelebaran kapiler-kapiler dan saluran linfe intraalveolar.
Beberapa ductus alveolaris, alveoli dan bronchiolus respiratorius dilapisi mebran kemerahan
homogen atau granuler. Debris amnion, perdarahan intra-alveolar, dan emfisema interstitial dapat
ditemukan bila penderita telah mendapat ventilasi dengan positive end expiratory pressure.

9
Karakteristik HMD jarang ditemukan pada penderita yang meninggal kurang dari 6-8 hari sesudah
lahir.
G. Manifestasi Klinis
Tanda-tanda HMD biasanya tampak dalam beberapa menit setelah kelahiran, walaupun
tanda-tanda ini tidak dapat dikenali selama beberapa jam sampai pernafasan menjadi cepat,
dangkal bertambah sampai ≥60/menit. Beberapa penderita membutuhkan resusitasi saat lahir
akibat asfiksia intrapartum atau distres pernafasan awal yang berat (bila berat badan lahir kurang
dari 1000g). Khasnya ditemukan takipnea, mendengkur jelas, retraksi interkostal dan subkostal,
pelebaran dan kehitaman pada cuping hidung. Sianosis yang meningkat, yang biasanya tidak
responsif terhadap oksigen. Suara nafas dapat normal atau hilang dengan kualitas tubular yang
kasar, dan pada inspirasi dalam dapat terdengan ronkhi basah halus, terutama pada basis paru
posterior. Perjalanannya ditandai dengan perjelekan sianosis dan dispnea yang progresif. Bila tidak
mendapatkan terapi dengan baik, tekanan darah dan suhu tubuh akan turun, terjadi peningkatan
sianosis, lemah dan pucat, grunting berkurang atau hilang seiring memburuknya penyakit. apnea
dan pernafasan iregular mucul saat bayi lelah, dan merupakan tanda perlunya intervensi segera.
Dapat juga ditemukan gabungan dengan asidosis metabolik, edema, ileus, dan oliguria. Tanda
asfiksia sekunder dari apnea atau kegagalan respirasi muncul bila ada progresi yang cepat dari
penyakit. Kondisi ini jarang menyebakan kematian pada bayi dengan kasus berat. Tapi pada kasus
ringan, tanda dan gejala mencapai puncak dalam 3 hari. Setelah periode inisial tersebut, bila tidak
timbul komplikasi, keadaan respirasi mulai membaik. Bayi yang lahir pada 32 – 33 minggu
kehamilan, fungsi paru akan kembali normal dalam 1 minggu kehidupan. Pada bayi lebih kecil
(usia kehamilan 26 – 28 minggu) biasanya memerlukan ventilasi mekanik.
Perbaikan ditandai dengan diuresis spontan, dan kemampuan oksigenasi pada kadar
oksigen lebih rendah. Kematian jarang terjadi pada 1 hari pertama, biasanya terjadi pada hari ke 2
sampai ke 7, sehubungan dengan adanya kebocoran udara alveoli (emfisema interstitial,
pneumothorax) perdarahan paru atau intraventrikular. Kematian dapat terjadi setelah beberapa
minggu atau bulan bila terjadi bronchopulmonary displasia (BPD) pada penderita dengan ventilasi
mekanik (HMD berat).
H. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Foto Thorax Berdasarkan gambaran rontgen, paru-paru dapat memberikan
gambaran yang karakteristik, tapi bukan patognomonik, meliputi gambaran retikulogranular

10
halus dari parenkim dan gambaran air bronchogram tampak lebih jelas di lobus kiri bawah
karena superimposisi dengan bayangan jantung. Awalnya gambaran rontgen normal,
gambaran yang tipikal muncul dalam 6-12 hari.
Gambar 2. RDS klasik. Thoraks berbentuk seperti lonceng karena aerasi tidak adekuat ke seluruh
bagian paru. Volume paru berkurang, parenkim paru menunjukkan pola retikulogranular difus,
serta adanya gambaran air bronchogram sampai ke perifer.
Gambar 3. RDS sedang. Gambaran retikulogranular lebih jelas dan terdistribusi secara uniform.
Paru mengalami hipoaerasi disertai peningkatan air bronchogram.
Gambar 4. RDS berat. Gambaran opak retikulogranuler pada kedua paru. Air bronchogram nyata,
gambaran jantung sukar dinilai. Terdapat area kistik di paru kanan, menunjukan alveoli yang
berdilatasi atau awal dari pulmonary interstitial emphysema (PIE).

2. Laboratorium
Berdasarkan pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan Hb, Ht dan gambaran darah tepi tidak
menunjukan tanda-tanda infeksi. Kultur darah tidak terdapat Streptokokus. Analisis gas darah
awalnya dapat ditemukan hipoksemia, dan pada keadaan lanjut ditemukan hipoksemia progresif,
hipercarbia dan asidosis metabolik yang bervariasi.
3. Echocardiografi Echocardiografi dilakukan untuk mendiagnosa PDA dan menentukan arah dan
derajat pirau. Juga berguna untuk mendiagnosa hipertensi pulmonal dan menyingkirkan
kemungkinan adanya kelainan struktural jantung.
4. Pemeriksaan darah untuk skrining sepsis: termasuk pemeriksaan darah rutin, hitung jenis, apus
darah tepi, C-reactive protein, kultur darah, glukosa darah, dan elektrolit.
Pemeriksaan Kegunaan
Kultur darah Menunjukkan keadaan bakteriemia
Analisis gas darah menilai derajat hipoksemia dan keseimbangan asam basa
Glukosa darah Menilai keadaan hipoglikemia, karena hipoglikemia dapat menyebabkan atau
memperberat takipnea
Rontgen toraks Mengetahui etiologi distress nafas
Darah rutin dan Leukositosis menunjukkan adanya infeksi
hitung jenis Neutropenia menunjukkan infeksi bakteri
Trombositopenia menunjukkan adanya sepsis

11
Pulse oximetry Menilai hipoksia dan kebutuhan tambahan oksigen

I. Diagnosis
Gambaran klinis seperti Peningkatan respirasi, peningkatan usaha nafas, periodic breathing,
apnea, sianosis yang tidak berkurang dengan pemberian oksigen, turunnya tekanan darah disertai
takikardi, pucat, kegagalan sirkulasi yang diikuti bradikardi, penggunaan otot-otot pernafasan
tambahan, foto thorax dan analisa gas darah serta asam basa membantu menegakkan diagnosis.
Derajat beratnya distress nafas dapat dinilai dengan menggunakan skor Silverman-Anderson dan
skor Downes.
Skor Silverman-Anderson lebih sesuai digunakan untuk bayi prematur yang menderita
hyaline membrane disease
(HMD), sedangkan skor Downes merupakan sistem skoring yang lebih komprehensif dan dapat
digunakan pada semua usia kehamilan. Penilaian dengan sistem skoring ini sebaiknya dilakukan
tiap setengah jam untuk menilai progresivitasnya. Tabel 1. Skor Downe Evaluasi Respiratory
Distress
Skor Downe:
Evaluasi Respiratory Distress Skor Downe

0 1 2
Frekuensi Nafas <60x/menit 60 – 80x/menit >80x/menit
Retraksi Tidak ada retraksi Retraksi ringan Retraksi berat
Sianosis Tidak sianosis Sianosis hilang dengan Sianosis menetap
O2 walau diberikan O2
Air Entry Udara masuk Penurunan ringan udara
masuk
Merintih Tidak merintih Dapat didengar dengan Dapat didengar tanpa
stetoskop alat bantu

Skor < 4 gangguan pernafasan ringan

12
Skor 4 – 5 gangguan pernafasan sedang
Skor > 6 gangguan pernafasan ringan (pemeriksaan gas darah harus dilakukan)
Selain menilai beratnya distress nafas yang terjadi, diperlukan juga penilaian untuk
memperkirakan penyebab dasar gangguan nafas untuk penatalaksanaan selanjutnya. Pada bayi
yang baru lahir dan mengalami distress nafas, penilaian keadaan antepartum dan peripartum
penting untuk dilakukan. Beberapa pertanyaan yang dapat membantu memperkirakan penyebab
distress nafas antara lain: apakah terdapat faktor resiko antepartum atau tanda-tanda distress pada
janin sebelum kelahiran, adanya riwayat ketuban pecah dini, adanya mekoneum dalam cairan
ketuban, dan lain-lain.

J. Diagnosis Banding
1. Pneumonia neonatal
2. Dalam diagnosis banding, sepsis akibat Streptococcus grup B kurang bisa dibedakan dengan
HMD. Pada pneumonia yang muncul saat lahir, gambaran rontgen dada dapat identik dengan
HMD, namun ditemukan coccus gram positif dari aspirat lambung atau trakhea, dan apus buffy
coat. Tes urin untuk antigen streptococcus positif, serta adanya netropenia.
3. Transient Tachypnea of the Newborn Takipnea sementara dapat disingkirkan karena gejala
klinisnya pendek dan ringan.
4. Proteinosis alveoli kongenital adalah kelainan familial yang jarang dan kadang muncul sebagai
respiratory distress syndrome (RDS) yang berat dan mematikan.
K. Penatalaksanaan
Terapi terutama ditujukan pada pertukaran O2 dan CO2 yang tidak adekuat di paru-paru,
asidosis metabolik dan kegagalan sirkulasi adalah manifestasi sekunder. Beratnya HMD akan
berkurang bila dilakukan penanganan dini pada bayi BBLR, terutama terapi asidosis, hipoksia,
hipotensi dan hipotermia. Kebanyakan kasus HMD bersifat self-limiting. Tujuan utama dalam
penatalaksanaan gagal nafas adalah menjamin kecukupan pertukaran gas dan sirkulasi darah
dengan komplikasi yang seminimal mungkin. Penanganan sebaiknya dilakukan di NICU.
1. Resusitasi di tempat melahirkan
Resusitasi adekuat di kamar bersalin untuk semua kelahiran prematur. Mencegah perinatal
asfiksia yang dapat mengganggu produksi surfaktan. Mencegah terjadinya hipotermia dengan
menjaga suhu bayi sekitar 36,5-37,5 derajat Celcius di mana kebutuhan oksigen berada pada

13
batas minimum. Monitoring saturasi oksigen dapat dilakukan dengan menggunakan pulse
oxymetri secara kontinyu untuk memutuskan kapan memulai intubasi dan ventilasi. Semua
bayi yang mengalami distress nafas dengan atau tanpa sianosis harus mendapatkan tambahan
oksigen. Oksigen yang diberikan sebaiknya oksigen lembab dan telah dihangatkan.
Pemberian obat selama resusitasi:
 Adrenalin 10 microgram /kg (0,1 mls/kg larutan 1:10.000) bila bradikardi persisten
setelah ventilasi dan kompresi yang adekuat. Dosis pertama dapat diberikan intratrachea
atau intravena, 1 dosis lagi diberikan intravena bila bayi tetap bradikardi, dosis ketiga
dapat diberikan sebesar 100 microgram/kg bila situasi sangat buruk.
 Pemberian bicarbonat 4 mmol/kg merupakan setengah koreksi untuk defisit basa 20
mmol (larutan bicarbonat 8,4% mengandung 1 mmol/ml), atau 2 mEq/kg dari konsentrasi
0,5 mEq/ml. Pemberian dilakukan secara intravena dengan hati-hati.
 Volume expander 10 ml/kg
 Bolus glukosa 10 % 1 ml/kg BB.

14
15
2. Surfaktan Eksogen
Instilasi surfaktan eksogen multidosis ke endotrakhea pada bayi BBLR yang
membutuhkan oksigen dan ventilasi mekanik untuk terapi penyelamatan RDS sudah
memperbaiki angka bertahan hidup dan menurunkan insidensi kebocoran udara dari paru
sebesar 40 %, tapi tidak menurunkan insidensi bronchopulmonary dysplasia (BPD) secara
konsisten. Efek yang segera muncul meliputi perbaikan oksigenasi dan perbedaan oksigen
alveoli – arteri dalam 48 – 72 jam pertama kehidupan, menurunkan tidal volume ventilator,
meningkatkan compliance paru, dan memperbaiki gambaran rontgen dada. Pemberian
surfaktan eksogen menurunkan insidensi BPD, namun tidak berpengaruh terhadap insidensi
PDA, perdarahan intrakranial, dan necrotizing enterocolitis (NEC). Terdapat penigkatan
insiden perdarahan paru pada pemberian surfaktan sintetik sebesar 5 %.
Surfaktan dapat diberikan segera setelah bayi lahir (terapi profilaksis) atau beberapa jam
kemudian setelah diagnosa RDS ditegakkan (terapi penyelamatan). Terapi profilaksis lebih
efektif dibandingkan bila diberi beberapa jam kemudian. Bayi yang mendapat surfaktan
eksogen sebagai terapi profilaksis membutuhkan oksigen dan ventilasi mekanik lebih sedikit
disertai angka bertahan hidup yang lebih baik. Bayi yang lahir kurang dari 32 minggu
kehamilan harus diberi surfaktan saat lahir bila ia memerlukan intubasi. Terapi biasa dimulai
24 jam pertama kehidupan, melalui ETT tiap 12 jam untuk total 4 dosis. Pemberian 2 dosis
atau lebih memberikan hasil lebih baik dibanding dosis tunggal. Pantau radiologi, BGA, dan
pulse oxymetri.
Ada 4 surfaktan yang memiliki lisensi di UK untuk terapi. Yang berasal dari binatang
adalah Curosurf, diekstrak dari paru-paru babi, diberikan 1,25-2,5 ml/kg, dan Survanta,
ekstrak dari paru-paru sapi dengan penambahan 3 jenis lipid (phosphatidylcholine, asam
palmitat, dan trigliserid), diberikan 4 ml/kg. Kedua surfaktan ini mengandung apoprotein SP-
B dan SP-C dengan proporsi yang berbeda dengan yang dimiliki manusia. Apoprotein SP-A
dan SP-D tidak ditemukan. Surfaktan sintetik tidak mengandung protein. Exosurf merupakan
gabungan phospholipid dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), hexadecanol dan tyloxapol,
diberikan 5 ml/kg. Hexadecanol, dan tyloxapol memperbaiki penyebaran surfaktan di antara
alveolus. ALEC (artificial lung expanding compound merupakan gabungan DPPC and
phosphatidylglycerol dengan perbandingan 7:3, diberikan 1,2 ml berapapun beratnya. Yang
sedang diteliti adalah Infasurf (alami).

16
Komplikasi pemberian surfaktan antara lain hipoksia transien dan hipotensi, blok ETT, dan
perdarahan paru. Perdarahan paru terjadi akibat menurunnya resistensi pambuluh darah paru
setelah pemberian surfaktan, yang menimbulkan pirau kiri ke kanan melalui duktus arteriosus.
3. Oksigenasi dan monitoring analisa gas darah
Oksigen lembab hangat diberikan untuk menjaga agar kadar O2 arteri antara 55 – 70
mmHg dengan tanda vital yang stabil untuk mempertahankan oksigenasi jaringan yang normal,
sementara meminimalkan resiko intoksikasi oksigen. Bila oksigen arteri tak dapat
dipertahankan di atas 50 mmHg saat inspirasi oksigen dengan konsentrasi 70%, merupakan
indikasi menggunakan continuous positive airway pressure (CPAP).
Monitor frekuensi jantung dan nafas, PO2, PCO2, pH arteri, bikarbonat, elektrolit, gula
darah, hematokrit, tekanan darah dan suhu tubuh, kadang diperlukan kateterisasi arteri
umbilikalis. Transcutaneus oxygen electrodes dan pulse oxymetry diperlukan untuk memantau
oksigenasi arteri. Namun yang terbaik tetaplah analisa gas darah karena dapat memberi
informasi berkelanjutan serta tidak invasif, memungkinkan deteksi dini komplikasi seperti
pneumotoraks, juga merefleksikan respon bayi terhadap berbagai prosedur seperti intubasi
endotrakhea, suction, dan pemberian surfaktan. PaO2 harus dijaga antara 50 – 80 mmHg, dan
Sa O2 antara 90 – 94 %. Hiperoksia berkepanjangan harus dihindarkan karena merupakan
faktor resiko retinopathy of prematurity (ROP).
Kateter radioopak harus selalu digunakan dan posisinya diperiksa melalui foto rontgen
setelah pemasangan. Ujung dari kateter arteri umbilikalis harus berada di atas bifurkasio aorta
atau di atas aksis celiaca (T6 – T10). Penempatan harus dilakukan oleh orang yang ahli. Kateter
harus diangkat segera setelah tidak ada indikasi untuk penggunaan lebih lanjut, yaitu saat PaO2
stabil dan Fraction of Inspiratory O2 (FIO2) kurang dari 40 %.
Pengawasan periodik dari tekanan oksigen dan karbondioksida arteri serta pH adalah
bagian yang penting dari penanganan, bila diberikan ventilasi buatan maka hal – hal tersebut
harus dilakukan. Darah diabil dari arteri umbilikal atau perifer. Arteri temporalis merupakan
kontra indikasi karena menimbulkan emboli cerebral retrograd. PO2 jaringan harus selalu
dipantau dari elektroda yang ditempatka di kulit atau pulse oximetry (saturasi oksigen). Darah
kapiler tidak berguna untuk menentukan PO2 tapi dapat digunakan untuk memantau PCO2
dan pH.

17
4. Fluid and Nutrition
Kalori dan cairan diberikan secara intravena. Dalam 24 jam pertama berikan infus glukosa
10% dan cairan melalui vena perifer sebanyak 65-75 ml/kg/24 jam. Kemudian tambahkan
elektrolit, volume cairan ditingkatkan bertahap sampai 120-150 ml/kg/24 jam. Cairan yang
berlebihan akan menyebabkan terjadinya Patent Ductus Arteriosus (PDA). Pemberian nutrisi
oral dapat dimulai segera setelah bayi secara klinis stabil dan distres nafas mereda. ASI adalah
pilihan terbaik untuk nutrisi enteral yang minimal, serta dapt menurunkan insidensi NEC.
5. Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)
CPAP memperbaiki oksigenasi dengan meningkatkan functional residual capacity (FRC)
melalui perbaikan alveoli yang kolaps, menstabilkan rongga udara, mencegahnya kolaps
selama ekspirasi. CPAP diindikasikan untuk bayi dengan RDS PaO2 <>> 50%. Pemakainan
secara nasopharyngeal atau endotracheal saja tidak cukup untuk bayi kecil, harus diberikan
ventilasi mekanik bila oksigenasi tidak dapat dipertahankan. Pada bayi dengan berat lahir di
atas 2000 gr atau usia kehamilan 32 minggu, CPAP nasopharyngeal selama beberapa waktu
dapat menghindari pemakaian ventilator. Meski demikian observasi harus tetap dilakukan dan
CPAP hanya bisa diteruskan bila bayi menunjukan usaha bernafas yang adekuat, disertai
analisa gas darah yang memuaskan.
CPAP diberikan pada tekanan 6-10 cm H2O melalui nasal prongs. Hal ini menyebabkan
tekanan oksigen arteri meningkat dengan cepat. Meski penyebabnya belum hilang, jumlah
tekanan yang dibutuhkan biasanya berkurang sekitar usia 72 jam, dan penggunaan CPAP pada
bayi dapat dikurangi secara bertahap segera sesudahnya. Bila dengan CPAP tekanan oksigen
arteri tak dapat dipertahankan di atas 50 mmHg (sudah menghirup oksigen 100 %), diperlukan
ventilasi buatan.
6. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanis merupakan prosedur bantuan hidup yang invasif dengan berbagai efek
pada sistem kardiopulmonal. Tujuan ventilasi mekanis adalah membaiknya kondisi klinis
pasien dan optimalisasi pertukaran gas dan pada FiO2 (fractional concentration of inspired
oxygen) yang minimal, serta tekanan ventilator/volume tidal yang minimal. Derajat distress
pernafasan, derajat abnormalitas gas darah, riwayat penyakit paru-paru, dan derajat instabilitas
kardiopulmonal serta keadaan fisiologis penderita harus ikut dipertimbangkan dalam
memutuskan untuk memulai penggunaan ventilator mekanik. Berbagai mode ventilasi

18
mekanik dapat ditentukan oleh parameter yang diatur oleh klinisi untuk menentukan
karakteristik pernafasan mekanis yang diinginkan. Indikasi absolut penggunaan ventilasi
mekanis antara lain: (1) prolonged apnea, (2) PaO2 kurang dari 50 mmHg atau FiO2 diatas
0,8 yang bukan disebabkan oleh penyakit jantung bawaan tipe sianotik, (3) PaCO2 lebih dari
60 mmHg dengan asidemia persisten, dan (4) bayi yang menggunakan anestesi umum.
Sedangkan indikasi relatif untuk penggunaan ventilasi mekanis antara lain: (1) frequent
intermittent apnea, (2) bayi yang menunjukkan tanda-tanda kesulitan nafas, (3) dan pada
pemberian surfaktan.
7. Keseimbangan asam basa
Asidosis respiratoar mungkin membutuhkan ventilasi buatan jangka pendek atau jangka
panjang. Pada asidosis respiratoar yang berat dengan disertai hipoksia, terapi dengan sodium
karbonat dapat menimbulkan hiperkarbia. Asidosis metabolik harus dicegah karena dapat
menggangu produksi surfaktan, meningkatkan resistensi pembuluh darah paru, dan memberi
pengaruh buruk pada sistem cardiovaskular. Meski demikian infus cepat sodium bikarbonat
harus dihindari karena meningkatkan insidensi perdarahan intraventrikular. Asidosis
metabolik pada HMD bisa merupakan hasil asfiksia perinatal, sepsis, perdarahan
intraventrikular dan hipotensi (kegagalan sirkulasi), dan biasanya muncul saat bayi telah
membutuhkan resusitasi. Sodium bicarbonat 1 – 2 mEq/kg dapat diberikan untuk terapi selama
10 - 15 menit melalui vena perifer, dengan pengulangan kadar asam – basa dalam 30 menit
atau dapat pula diberikan selama beberapa jam. Sodium bikarbonat lebih sering diberikan pada
kegawatan melalui kateter vena umbilikalis. Terapi alkali dapat menimbulkan kerusakan kulit
akibat terjadinya infiltrasi, peningkatan osmolaritas serum, hipernatremia, hipokalsemia,
hipokalemia, dan kerusakan hepar bila larutan berkonsentrasi tinggi diberikan secara cepat
melalui vena umbilikalis.
8. Tekanan darah dan Cairan
Monitor tekanan darah aorta melalui kateter vena umbilikalis atau oscillometric
dapat berguna dalam menangani keadaan yang menyerupai syok yang dapat muncul selama 1
jam atau lebih setelah kelahiran prematur dari bayi yang telah mengalami asfiksia atau
mengalami distres nafas. Monitor tekanan darah arteri diperlukan. Hipotensi arterial
memfasilitasi pirau kanan ke kiri melalui PDA lalu menimbulkan hipoksemia. Hipotensi juga
dapat menimbulkan perdarahan serebral. Hipotensi umumnya ditimbulkan oleh

19
asfiksia perinatal, sepsis dan hipotensi. Terapi lini I adalah dengan memberikan volume
expander (10 – 20 mls/kg larutan saline atau koloid). Terapi lini II dengan memberi obat
inotropik. Dopamin lebih efektif disbanding dobutamin. Dopamin meningkatkan tahanan
sistemik, sementara dobutaminmeningkatkan output ventrikel kiri. Dosis dopamine 10
micrograms / kg / menit. Dosis > 15 micrograms / kg / menit meningkatkan tahanan paru,
menimbulkan hipertensi paru. Terapi lini III diberikan pada kasus yang resisten. Mula-mula
dapat dicoba menambahkan dobutamin 10-20 micrograms / kg / menit pada dopamine. Dapat
pula dicoba memberikan hydrocortisone, adrenaline dan isoprenaline.
Edema paru merupakan bagian dari patofisiologi HMD, bayi yang mengalaminya
cenderung menghasilkan sedikit urin output selama 48 jam pertama, diikuti fase diuretik
dengan penurunan berat badan. Pemberian cairan berlebih harus dihindari, masukan cairan
biasa dimulai dengan 60 – 80 ml/kg/hari kemudian ditingkatkan secara bertahap. Asupan
cairan lebih tinggi diperlukan untuk bayi dengnan berat lahir sangat rendah dengan insensible
water loss tinggi. Asupan cairan harus selalu dikoreksi bila terdapat perubahan pada berat
badan, output urin, dan kadar elektrolir serum. Penggunaan fototerapi, kelembaban rendah, dan
penghangat radiant meningkatkan kebutuhan cairan. Pemberian cairan berlebih pada hari
pertama dapat menimbulkan PDA dan BPD. Penggunaan diuretik tidak dianjurkan karena
dapat menimbulkan deplesi volume yang tidak diinginkan.
9. Antibiotik
Karena sulit untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi streptokokus grup B atau infeksi
lain dari HMD, diindikasikan untuk memberikan antibakteri sampai hasil kultur darah selesai.
Penisilin atau ampisilin dengan kanamisin atau gentamisin dapat diberikan, tergantung pola
sensitivitas bakteri di rumah sakit tempat perawatan. Hal-hal yang diasosiasikan dengan
peningkatan insidensi infeksi pada bayi prematur antara lain ketuban pecah untuk waktu yang
lama, ibu demam selama persalinan, fetus mengalami takikardi, leukositosis / leukopeni,
hipotensi dan asidosis.
10. Inhaled Nitric Oxide
Inhaled nitric oxide (iNO) dapat memperbaiki vasodilatasi paru dan oksigenisasi pada bayi
cukup bulan dengan gagal nafas yang berat. Beberapa penelitian multisenter menyebutkan
bahwa iNO akan mengurangi kebutuhan akan extracorporeal membrane
oxygenation (ECMO). Penggunaan iNO pada terapi gagal nafas pada bayi berdasar kepada

20
kemampuannya sebagai vasodilator di paru-paru tanpa menurunkan tonus vaskuler paru.
Penggunaan iNO dipertimbangkan karena memiliki kemampuan selektif
menurunkan pulmonary vascular resistance (PVR).
Nitrat oksida disintesis pada saluran napas atas dan bawah. Nitrat oksida merupakan salah
satu substansi fisiologis yang dilepaskan endotel untuk memelihara tekanan darah dalam batas
normal. Nitrat oksida akan berdifusi dari lapisan endotel ke dalam otot polos pembuluh darah
dimana akan mengaktifkan guanil siklase, dan mengkatalisir formasi dari cGMP, cGMP
kemudian akan mengfosforilasi beberapa protein melalui protein kinase dependent cGMP,
yang secara tidak langsung akan menyebabkan defosforilasi miosin dan menyebabkan
relaksasi otot polos. Sirkulasi paru janin cenderung mempunyai resistensi yang tinggi. Nitrat
oksida endogen secara fisiologis penting untuk mengatur tonus vaskuler paru janin. Nitrat
oksida menyebabkan angiogenesis, pembentukan alveolar dan pertumbuhan paru normal.
Terapi iNo pada bayi baru lahir telah diteliti pada bayi preterm dan aterm. Nitrat oksida
eksogen yang dihantarkan melalui ventilator akan menyebabkan vasodilatasi paru. Terapi iNO
memperbaiki oksigenisasi tanpa efek samping jangka pendek seperti perdarahan paru,
perdarahan intrakranial, pnumotoraks pada bayi prematur dengan gagal napas.

L. Prognosis
Observasi intensif dan perhatian pada bayi baru lahir beresiko tinggi dengan segera akan
mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat HMD dan penyakit neonatus akut lainnya. Hasil yang
baik bergantung pada kemampuan dan pengalaman personel yang menangani, unit rumah sakit
yang dibentuk khusus, peralatan yang memadai, dan kurangnya kmplikasi seperti asfiksia fetus
atau bayi yang berat, perdarahan intrakranial, atau malformasi kongenital. Terapi surfaktan telah
mengurangi mortalitas 40 %. Mortalitas dari bayi dengan berat lahir rendah yang dirujuk ke ICU
menurun dengan pasti, 75 % dari bayi dengan berat <> 2.500 gr bertahan. Meski 85 – 90 % bayi
yang selamat setelah medapat bantuan respirasi dengan ventilator adalah normal, penampakan luar
lebih baik pada yang berta badannya > 1.500 gr, sekitar 80 % dari yang beratnya dibawah 1500g
tidak mengalami sekuele neurologis atau mental. Prognosis jangka panjang untuk mencapai fungsi
paru yang normal pada bayi HMD adalah sangat baik, tetapi bayi yang mengalami gagal nafas
neonatus yang berat dapt mengalami gangguan pada paru dan perkembangan sarafnya.
J. Pencegahan

21
Hal yang terpenting adalah pencegahan prematuritas, menghindari seksio seksaria yang tidak perlu
atau kurang sesuai waktu. Pada seksio sesaria atau intervensi kelahiran yang tepat waktu, perkiraan
lingkar kepala janin dengan ultrasonograf dan penentuan kadar lesitin pada cairan amnion dengan
rasio lesitin terhadap sfingomielin mengurangi kemnungkinan bayi premature. Pemantauan
intrauterin pada masa antenatal dan pemantauan intrapartum dapat mengurangi resiko asfiksia
janin yang dapat meningkatkan insiden dan keparah penyakit membran hialin. Pemberian
deksametason dan betametason 48-72 jam sebelum persalinan dengan usia kehamilan ≤32 minggu
dapat mengurangi insiden, mortalitas dan morbiditas HMD. Pada wanita hamil yang lesitin dalam
cairan amnionnya menunjukkan imaturitas paru janin dapat diberikan kortikosteroid. Pemberian 1
dosis surfaktan kedalam trakea bayi premature segera setelah lahir dapat mengurangi mortalitas
dari HMD.
Asfiksia Neonatorum

A. Definisi

Asfiksia neonatorum adalah suatu keadaan gawat bayi berupa kegagalan bernafas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini disertai hipoksia, hiperkapnia dan berakhir
dengan asidosis. Konsekuensi fisiologis yang terutama terjadi pada asfiksia adalah depresi
susunan saraf pusat dengan kriteria menurut World Health Organization (WHO) tahun 2008
didapatkan adanya gangguan neurologis berupa hypoxic ischaemic enchepalopaty (HIE), akan
tetapi kelainan ini tidak dapat diketahui dengan segera.
Keadaan asidosis, gangguan kardiovaskuler serta komplikasinya sebagai akibat langsung
dari hipoksia merupakan penyebab utama kegagalan adaptasi bayi baru lahir. Kegagalan ini juga
berakibat pada terganggunya fungsi dari masing- masing jaringan dan organ yang akan menjadi
masalah pada hari-hari pertama perawatan setelah lahir.

B. Etiologi

Pengembangan paru bayi baru lahir terjadi pada menit-menit pertama kelahiran
kemudian disusul dengan pernafasan teratur. Bila didapati adanya gangguan pertukaran gas atau
pengangkutan oksigen dari ibu ke janin akan berakibat asfiksia janin. Gangguan ini dapat
timbul pada masa kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir. Hampir sebagian besar
asfiksia bayi baru lahir merupakan kelanjutan asfiksia janin, karena itu penilaian janin selama

22
masa kehamilan dan persalinan memegang peranan penting untuk keselamatan bayi.
Gomella (2009) yang dikutip dari AHA dan American Academy of Pediatrics (AAP)
mengajukan penggolongan penyebab kegagalan pernafasan pada bayi yang terdiri dari:
1. Faktor ibu:
a. Hipoksia ibu: hal ini berakibat pada hipoksia janin. Hipoksia ibu dapat terjadi
karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetik atau anestesia lain.
b. Ganggguan aliran darah uterus: berkurangnya aliran darah pada uterus akan
menyebabkan berkurangnya aliran oksigen ke plasenta dan janin.
2. Faktor plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta.
Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya
solusio plasenta, perdarahan plasenta dan lain-lain.
3. Faktor janin
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pembuluh
darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Hal ini dapat
ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher dan lain-
lain.18
4. Faktor neonatus
Depresi pusat pernafasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa hal,
yaitu :
a. pemakaian obat anestesi dan analgesia yang berlebihan
b. trauma persalinan
c. kelainan kongenital bayi seperti hernia diafragmatika, atresia saluran pernafasan,
hipoplasia paru dan lain-lain.

C. Patofisiologi

Proses kelahiran selalu menimbulkan asfiksia ringan yang bersifat sementara, proses ini
dianggap perlu untuk merangsang kemoreseptor pusat pernafasan agar terjadi primary gasping
yang kemudian berlanjut dengan pernafasan teratur. Sifat asfiksia ini tidak mempunyai pengaruh
buruk karena reaksi adaptasi bayi dapat mengatasinya. Kegagalan pernafasan mengakibatkan
gangguan pertukaran oksigen dan karbondioksida sehingga menimbulkan berkurangnya

23
oksigen dan meningkatnya karbondioksida, diikuti dengan asidosis respiratorik. Apabila proses
berlanjut maka metabolisme sel akan berlangsung dalam suasana anaerobik yang berupa
glikolisis glikogen sehingga sumber utama glikogen terutama pada jantung dan hati akan
berkurang dan asam organik yang terjadi akan menyebabkan asidosis metabolik. Pada tingkat
selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskular yang disebabkan beberapa keadaan di
antaranya :
a. Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung
b. Terjadinya asidosis metabolik mengakibatkan menurunnya sel jaringan termasuk otot
jantung sehingga menimbulkan kelemahan jantung.
c. Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat menyebabkan tetap tingginya resistensi
pembuluh darah paru, sehingga sirkulasi darah ke paru dan sistem sirkulasi tubuh lain
mengalami gangguan.
Sehubungan dengan proses faali tersebut maka fase awal asfiksia ditandai dengan
pernafasan cepat dan dalam selama tiga menit (periode hiperpneu) diikuti dengan apneu primer
kira-kira satu menit di mana pada saat ini denyut jantung dan tekanan darah menurun. Kemudian
bayi akan mulai bernafas (gasping) 8-10 kali/menit selama beberapa menit, gasping ini semakin
melemah sehingga akhirnya timbul apneu sekunder. Pada keadaan normal fase-fase ini tidak
jelas terlihat karena setelah pembersihan jalan nafas bayi maka bayi akan segera bernafas dan
menangis kuat.
Pemakaian sumber glikogen untuk energi dalam metabolisme anaerob menyebabkan
dalam waktu singkat tubuh bayi akan menderita hipoglikemia. Pada asfiksia berat menyebabkan
kerusakan membran sel terutama sel susunan saraf pusat sehingga mengakibatkan gangguan
elektrolit, berakibat menjadi hiperkalemia dan pembengkakan sel. Kerusakan sel otak terjadi
setelah asfiksia berlangsung selama 8- 15 menit.
Manifestasi dari kerusakan sel otak dapat berupa HIE yang terjadi setelah 24 jam pertama
dengan didapatkan adanya gejala seperti kejang subtel, multifokal atau fokal klonik. Manifestasi
ini dapat muncul sampai hari ketujuh dan untuk penegakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan
penunjang seperti ultrasonografi kepala dan rekaman elektroensefalografi.
Menurun atau terhentinya denyut jantung akibat dari asfiksia mengakibatkan iskemia.
Iskemia akan memberikan akibat yang lebih hebat dari hipoksia karena menyebabkan perfusi
jaringan kurang baik sehingga glukosa sebagai sumber energi tidak dapat mencapai jaringan dan

24
hasil metabolisme anaerob tidak dapat dikeluarkan dari jaringan.
Iskemia dapat mengakibatkan sumbatan pada pembuluh darah kecil setelah mengalami
asfiksia selama lima menit atau lebih sehingga darah tidak dapat mengalir meskipun tekanan
perfusi darah sudah kembali normal. Peristiwa ini mungkin mempunyai peranan penting dalam
menentukan kerusakan yang menetap pada proses asfiksia.

D. Diagnosis

Neonatus yang mengalami asfiksia neonatorum bisa didapatkan riwayat gangguan lahir,
lahir tidak bernafas dengan adekuat, riwayat ketuban bercampur mekoneum. Temuan klinis
yang didapat pada neonatus dengan asfiksia neonatorum dapat berupa lahir tidak
bernafas/megap-megap, denyut jantung <100x/menit, kulit sianosis atau pucat dan tonus otot
yang melemah. Secara klinis dapat digunakan skor APGAR pada menit ke-1,5 dan 10 untuk
mendiagnosa dan mengklasifikasikan derajat asfiksia secara cepat.
Skor APGAR merupakan metode obyektif untuk menilai kondisi bayi baru lahir dan
berguna untuk memberikan informasi mengenai keadaan bayi secara keseluruhan dan
keberhasilan tindakan resusitasi. Walaupun demikian, tindakan resusitasi harus dimulai sebelum
perhitungan pada menit pertama. Jadi skor APGAR tidak digunakan untuk menentukan apakah
seorang bayi memerlukan resusitasi, langkah mana yang dibutuhkan atau kapan kita
menggunakannya. Ada tiga tanda utama yang digunakan untuk menentukan bagaimana dan
kapan melakukan resusitasi (pernapasan, frekuensi jantung, warna kulit) dan ini merupakan
bagian dari skor APGAR. Dua tanda tambahan (tonus otot dan refleks rangsangan)
menggambarkan keadaan neurologis. Skor APGAR biasanya dinilai pada menit 1 kemudian
pada menit ke 5. Jika nilainya pada menit ke 5 kurang dari 7, tambahan penilaian harus dilakukan
setiap 5 menit sampai 20 menit. Walaupun skor APGAR bukan merupakan nilai prediksi yang
baik untuk hasil, akan tetapi perubahan nilai yang terjadi pada saat resusitasi dapat
menggambarkan bagaimana bayi memberikan respon terhadap tindakan resusitasi.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah analisis gas darah, di mana pada neonatus
dengan asfiksia neonatorum didapatkan PaO2 < 50 mmH2O, PaCO2 > 55 mmH2O, pH < 7,3.
WHO pada tahun 2008 sudah menambahkan kriteria dalam penegakkan diagnosis asfiksia
selain berdasarkan skor APGAR dan adanya asidosis metabolik, ditambahkan adanya gangguan
fungsi organ berupa gejala neurologis berupa HIE, akan tetapi penegakkan diagnosis HIE tidak

25
dapat dilakukan dengan segera dan terdapat berbagai keterbatasan dalam aplikasinya di komunitas.
Hal ini membuat diagnosis asfiksia secara cepat di komunitas menggunakan kriteria penilaian
adanya gangguan pada pernapasan, frekuensi jantung dan warna kulit ditunjang dengan hasil
analisa gas darah yang menunjukkan asidosis metabolik.

E. Penyulit

Asfiksia Neonatorum dapat berakibat gangguan pada berbagai jaringan dan organ,
kematian atau sekuele akibat terjadinya proses penyembuhan disfungsi organ yang berlangsung
lama. Manifestasi yang didapatkan :
1. Depresi neonatus saat lahir akibat asidosis dan rendahnya nilai APGAR
2. HIE
3. Disfungsi sistem multiorgan
a. gangguan fungsi ginjal, ditandai dengan oliguria dan meningkatnya kreatinin
b. kardiomiopati
c. gangguan fungsi paru seperti hipertensi pulmonal
d. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
e. Kegagalan fungsi hati
f. Necrotizing Enterocolitis (NEC)
4. Abnormalitas cairan, elektrolit dan metabolisme

F. Analisis Gas Darah pada Bayi Asfiksia

Periode perinatal merupakan masa terjadinya perubahan status kardiopulmoner pada bayi.
Sistem respirasi mengalami perubahan, pada awalnya janin bergantung dari maternal menjadi
bayi yang harus memenuhi kebutuhan dengan sendirinya. Respirasi yang bergantung pada
plasenta harus digantikan oleh paru dalam hitungan menit setelah persalinan. Sistem
kardiovaskuler juga berubah secara dramatis dimana sirkulasi yang berlangsung paralel menjadi
sirkulasi yang serial. Sehingga diperlukan proses adaptasi dan maturasi dari bayi baru lahir
terhadap perubahan lingkungannya.
Pemeriksaan analisis gas darah pada bayi merupakan tehnik yang telah lama dikenal
dalam menentukan assesment, pengobatan dan prognosis dari bayi. Analisis gas darah
merupakan pemeriksaan yang penting dilakukan pada bayi baru lahir yang mengalami keadaan

26
yang sakit atau mengalami masa kritis. Dari analisis gas darah dapat kita ketahui informasi
mengenai oksigenasi pada bayi tersebut. Hambatan yang dapat ditemui dalam melakukan
pemeriksaan ini adalah dalam mengambil sampel untuk pemeriksaan. Beberapa penelitian
dilakukan untuk mencari akses yang tepat untuk menentukan analisis gas darah tersebut.
Brouillette dan Waxman (2007) mengungkapkan bahwa lokasi pengambilan yang menunjukkan
analisis mengenai oksigenasi adalah di pembuluh darah arterial, akan tetapi tidak didapatkan
perbedaan bermakna dalam lokasinya apakah dari umbilikus atau perifer.
Pemeriksaan analisis gas darah pada bayi asfiksia didapatkan peningkatan kadar PaCO2,
penurunan pH, PaO2, bikarbonat dan gangguan pada defisit basa. Mohan (2000) dalam
penelitiannya menetapkan kadar PaO2 < 50 mmH2O, PaCO2 >55 mmH2O, pH < 7,3 merupakan
parameter terjadinya asfiksia. Sedangkan American Heart Association (2006) menetapkan salah
satu kriteria terjadinya asfiksia adalah adanya asidemia yang ditandai dengan kadar pH <7,3.

27

You might also like