Professional Documents
Culture Documents
Bacaan Nabil 2
Bacaan Nabil 2
Bacaan Nabil 2
A-da se-e-kor ru-bah yang me-li-hat Ha-ri-mau la-ri ter-bi-rit-bi-rit. Di-a ke-mu-di-an
ber-ta-nya, "A-da a-pa de-ngan-mu? Ke-na-pa ka-mu la-ri ke-ta-ku-tan?"
"Dom-ba jan-tan i-tu! Di-a ham-pir sa-ja mem-bu-nuh-ku!" ja-wab Ha-ri-mau. Di-a
ber-sen-ja-ta-kan pe-dang dan tom-bak!"
Ru-bah yang pin-tar i-tu ter-ta-wa, la-lu ber-ka-ta, "Ba-gai-ma-na mung-kin se-e-kor
dom-ba jan-tan bi-sa mem-bu-nuh se-e-kor ha-ri-mau? Ka-mu pas-ti su-dah di-bo-
do-hi o-leh dom-ba i-tu. A-yo ki-ta ke-sa-na dan ki-ta be-ri di-a pe-la-ja-ran."
Ta-pi Ha-ri-mau ber-ka-ta "Ti-dak, ka-mu nan-ti pas-ti a-kan la-ri se-te-lah me-li-hat
dom-ba i-tu, dan me-ning-gal-kan a-ku sen-di-ri di sa-na. Ti-dak, a-ku ti-dak mau."
"A-ku ti-dak a-kan la-ri. Ka-lau ka-mu ti-dak per-ca-ya, ki-ta i-kat sa-ja di-ri ki-ta ber-
du-a den-gan se-bu-ah ta-li. Ja-di, bah-kan ji-ka a-ku i-ngin la-ri pun a-ku ti-dak a-
kan bi-sa" ja-wab Ru-bah.
Se-te-lah si Si-nga ter-be-bas da-ri pe-rang-kap pa-ra pem-bu-ru, si Ti-kus la-lu ber-
ka-ta ke-pa-da-nya. "Du-lu ka-mu ter-ta-wa sa-at a-ku ber-ka-ta bah-wa su-a-tu sa-
at a-ku pas-ti a-kan mem-ba-las ke-ba-i-kan-mu. Se-ka-rang su-dah ter-buk-ti bu-
kan? A-ku, se-e-kor ti-kus, bi-sa me-nye-la-mat-kan ka-mu, se-e-kor si-nga!"
Pelajaran yang dapat diambil da-ri dongeng ini: Kita ti-dak bo-leh meremehkan
o-rang lain. Mung-kin saja su-a-tu sa-at nanti kita akan membutuhkan perto-longan
da-rinya.
Pelajaran yang bi-sa diambil da-ri dongeng ini: Terka-dang kita melihat o-rang
lain, dan merasa bahwa dia lebih bahagia dan bernasib lebih baik da-ri kita. Pa-
dahal, kenyataannya, belum tentu seperti i-tu. Selain i-tu, pasti a-da banyak o-rang
yang nasibnya ti-dak sebaik kita. Jadi, marilah kita bersyukur de-ngan apa pun
yang kita miliki.
Ke-mu-di-an ia mencari akal. Ra-jawali i-tu terbang tinggi dan ke-mu-di-an turun
menuju ke buyung untuk memecahkannya de-ngan paruhnya teta-pi buyung i-tu
amat kuat. Ia ti-dak dapat memecahkannya. Ra-jawali i-tu keluar terbang kearah
buyung ke-mu-di-an ia menabrakkan sayapnya. Ia mencoba memecahkannya, agar
airnya akan keluar membasahi lantai. Teta-pi buyung i-tu amat kuat. Ra-jawali i-tu
amat letih bila harus terbang lebih jauh lagi. Ia berpikir ia akan mati kehausan.
Su-a-tu ha-ri, sa-at mendekati akhir hayatnya, sang ra-ja me-min-ta Purbasari putri
bungsunya untuk menggantikan posisinya memimpin kera-jaan. "A-nakku, a-ku
sudah lelah dan terlalu tua untuk memimpin, jadi sudah sa-atnya a-ku turun tahta,"
ka-ta sang ra-ja. Purbararang, yang merupakan kakak da-ri Purbasari, ti-dak setuju
de-ngan perintah ayahnya tersebut. Dia merasa bahwa karena dia a-dalah a-nak
tertua, maka dia lah yang seharusnya menggantikan posisi ayahnya sebagai
pemimpin kera-jaan.
Purbararang yang san-gat geram dan iri tersebut ke-mu-di-an berencana untuk
mencelakakan adiknya. Purbararang per-gi menemui seo-rang nenek sihir. Dia me-
min-ta nenek sihir tersebut untuk memanterai adiknya. Akibat da-ri mantera nenek
sihir i-tu cukup pa-rah. Purbasari ti-ba-ti-ba kulitnya menjadi bertotol-totol hitam,
dan i-tu lah yang dijadikan alasan o-leh Purbararang untuk mengusirnya da-ri is-ta-
na. "Per-gi da-ri sini!" ka-ta Purbararang kepa-da adiknya. "O-rang yang telah
dikutuk seperti ka-mu ti-dak layak untuk menjadi seo-rang ra-tu, bahkan ti-dak layak
untuk tinggal di sini!" lanjutnya.
Keesokan ha-rinya, kera tersebut me-min-ta Purbasari untuk mandi di telaga ke-cil i-tu.
Walaupun awalnya merasa ragu, Purbasari menuruti permintaannya. Hal yang ajaib pun
terjadi. Se-te-lah mandi, ti-ba-ti-ba kulit Purbasari menjadi bersih seperti semula. Sang
putri pun menjadi cantik jelita seperti sedia kala. Purbasari san-gat terkejut dan merasa
san-gat gembira karena kecantikannya telah pulih.
Di ha-ri yang sama, Purbararang yang jahat ti-ba-ti-ba berniat ingin melihat kea-daan
adiknya di hu-tan. Dia pun per-gi ke hu-tan bersama tunangannya dan be-be-ra-pa o-rang
pengawal kera-jaan. Sa-at melihat kondisi adiknya yang sudah kembali cantik,
Purbararang terkejut. Ta-pi, putri yang jahat i-tu ti-dak menyerah. Dia mengajak adiknya
untuk adu panjang rambut. Siapa yang rambutnya lebih panjang, dia lah yang menang.
Ternyata, rambut Purbasari lebih panjang, jadi dia lah yang menang.
Ti-ba-ti-ba terjadi sebuah keajaiban. Monyet sahabat Purbasari berubah menjadi seo-rang
pemuda yang ga-gah dan berwa-jah san-gat tampan, jauh lebih tampan da-ri tunangan
Purbararang. Pa-ra pengawal yang melihat hal tersebut terheran-heran dan bersorak
gembira karena putri yang baik hati menang. Purbararang menga-ku ka-lah, menga-kui
kesalahannya, dan me-min-ta maaf. Purbasari yang baik hati ti-dak dendam dan ti-dak
menghukum kakaknya yang jahat i-tu.
"Tuanku banyak ternak ka-mi raib sa-at bera-da di bukit Lamyong," keluh seo-rang
peternak. "Terka-dang bukit i-tu menyebabkan gempa bumi sehingga sering terjadi
longsor dan membahayakan o-rang yang kebetulan lewat dibawahnya," tambah
yang lainnya. "Se-jak kapan kejadian i-tu?" Tanya Sultan Meurah. "Sudah lama
Tuanku, menjelang Ayahanda Tuanku mangkat," jelas yang lain.
Maka berangkatlah Renggali menuju bukit i-tu, dia menelusuri setiap jengkal dan
sisi bukit tersebut, mulai da-ri pinggir laut di utara sam-pai ke kesisi selatan, "bukit
yang aneh, "bisik Renggali da-lam hati. Ke-mu-di-an dia mendaki bagian yg lebih
tinggi dan berdiri di atasnya, ti-ba-ti-ba da-ri bagian di bawah kakinya mengalir air
yang hangat. Renggali kaget dan melompat kebawah sambil berguling. "Maafkan
hamba put-ra Ra-ja Linge!" Ti-ba-ti-ba bukit yang tadi di pinjaknya bersuara.
Renggali kaget dan segera bersiap-siap, "siapa engkau?" Teriaknya. Air yg
mengalir semakin banyak da-ri bukit i-tu membasahi kakinya, "hamba naga sahabat
ayahmu," terdengar jawaban da-ri bukit i-tu dikuti suara gemuruh.
Renggali san-gat kaget dan di perhatikan de-ngan seksama bukit i-tu yang
berbentuk kepala ular raksasa walaupun di penuhi semak belukar dan pepo-honan.
"Engkaukah i-tu? Lalu di mana ayahku? Tanya Renggali. Air yang mengalir
semakin banyak dan menggenangi kaki Renggali. "Panggilah Sultan Alam, hamba
akan buat penga-kuan!" Isak bukit tersebut. Maka buru-buru Renggali per-gi da-ri
tempat aneh tersebut. Sam-pai di is-ta-na ha-ri sudah gelap, Renggali men-ce-ri-ta-
kan kejadian aneh tersebut kepa-da Sultan.
"I-tukah Naga Hijau yang menghi-lang bersama ayahmu?" Tanya Sultan Meurah
penasaran. "Mengapa dia ingin menemui ayahku, apakah dia belum tahu Sultan
sudah mangkat?" tambah Sultan Meurah. Maka berangkatlah mereka berdua ke
bukit i-tu, sesam-pai disana ti-ba-ti-ba bukit i-tu bergemuruh. "Mengapa Sultan
Alam ti-dak datang?" Suara da-ri bukit. "Beliau sudah lama mangkat, sudah lama
sekali, mengapa kea-daanmu seperti ini Naga Hijau? Ka-mi mengira engkau telah
kembali ke negeri mu, lalu dimana Ra-ja Linge?" Tanya Sultan Meurah. Bukit i-tu
begemuruh keras sehingga mem-bu-at keta-kutan o-rang-o-rang tinggal dekat bukit
i-tu.
"Hukumlah hamba Sultan Meurah," pinta bukit i-tu. "Hamba sudah berkhianat,
hamba pantas dihukum," lanjutnya. "Hamba sudah mencuri dan mengha-biskan
kerbau putih hadiah da-ri Tuan Tapa untuk Sultan Alam yang diamanahkan kepa-
da ka-mi dan hamba sudah membunuh Ra-ja Linge," jelasnya. Tubuh Renggali
bergetar men-de-ngar penjelasan Naga Hijau, "bagaimana bi-sa ka-mu membunuh
sahabatmu sendiri?" Tanya Renggali.
"Awalnya hamba diperintah o-leh Sultan Alam untuk mengantar hadiah berupa
pedang kepa-da sahabat-sahabatnya, se-mu-a sudah sam-pai hingga tinggal 2
bilah pedang untuk Ra-ja Linge dan Tuan Tapa, maka hamba mengunjungi Ra-ja
Linge terlebih dahulu, beliau juga berniat ke tempat Tuan Tapa untuk mengambil
obat istrinya, sesam-pai di sana Tuan Tapa menitipkan 6 ekor kerbau putih untuk
Sultan Alam, kerbaunya besar dan gemuk.
Karena a-da amanah da-ri Tuan Tapa maka Ra-ja Linge memutuskan ikut
mengantarkan ke Kuta Ra-ja, karena i-tu ka-mi kembali ke Linge untuk mengantar
obat istrinya. Namun di sepanjang ja-lan hamba tergiur ingin menyantap daging
kerbau putih tersebut maka hamba mencuri 2 ekor kerbau tersebut dan hamba
menyantapnya, Ra-ja Linge panik dan mencari pencurinya lalu hamba memfitnah
Kule si ra-ja ha-rimau sebagai pencurinya, lalu Ra-ja Linge membunuhnya.
Da-lam perja-lanan da-ri Linge ke Kuta Ra-ja ka-mi beristirahat di tepi su-ngai
Peusangan dan terbit lagi selera hamba untuk melahap kerbau yang lezat i-tu, lalu
hamba mencuri 2 ekor lagi, Ra-ja Linge marah besar lalu hamba memfitnah Buya si
ra-ja bu-a-ya sebagai pencurinya maka dibunuhlah bu-a-ya i-tu. Sa-at akan masuk
Kuta Ra-ja, Ra-ja Linge membersihkan diri dan bersalin pakaian ditepi su-ngai, lalu
hamba mencuri 2 ekor kerbau dan menyantapnya teta-pi kali ini Ra-ja Linge
mengetahuinya lalu ka-mi bertengkar dan berkelahi, Ra-ja Linge memiliki
kesempatan membunuh hamba teta-pi dia ti-dak mela-kukannya sehingga hamba
lah yang membunuhnya," ce-ri-ta naga sambil berurai air mata.
"Maafkanlah hamba, hukumlah hamba!" terdengar isak tangis sang naga. Mengapa
engkau terjebak disini?" Tanya Sultan Meurah. "Ra-ja Linge menusukkan
pedangnya ke bagian tubuh hamba sehingga lumpuhlah tubuh hamba ke-mu-di-an
terjatuh dan menindihnya, sebuah pukulan Ra-ja Linge ke tanah mem-bu-at tanah
terbelah dan hamba tertimbun di sini bersamanya," jelas sang naga.
"Hamba menerima kea-daan ini, biarlah hamba mati dan terkubur bersama sahabat
hamba," pinta Naga Hijau. "Berilah dia hu-ku-man Renggali, engkau dan abangmu
lebih berhak menghukumnya," ka-ta Sultan Meurah. "Ayah hamba ti-dak ingin
membunuhnya, apalagi hamba, hamba akan membebaskannya," jawab Renggali.
"Ti-dak! Hamba ingin di hukum sesuai de-ngan perbuatan hamba," pinta Naga
Hijau. "Kalau begi-tu bebaskanlah dia!" Perintah Sultan Meurah.
Maka berja-lanlah mereka berdua mengelilingi tubuh naga untuk mencari pedang
milik Ra-ja Linge, se-te-lah menemukannya, Renggali menarik de-ngan kuat dan
terlepaslah pedang tersebut namun Naga Hijau tetap ti-dak mau bergerak.
"Hukumlah hamba Sultan Meurah!" Pinta Naga Hijau. "Sudah cukup hu-ku-man
yang ka-mu terima da-ri Ra-ja Linge, put-ranya sudah membebaskanmu, per-gilah
ke negerimu!" Perintah Sultan Meurah.
Sambil menangis naga tersebut menggeser tubuhnya dan perlahan menuju laut.
Maka terbentuklah sebuah alur atau su-ngai ke-cil akibat pergerakan naga tersebut.
Maka di ke-mu-di-an ha-ri daerah di pinggiran Kuta Ra-ja i-tu disebut Alue Naga,
disana terdapat sebuah su-ngai ke-cil yang disekitarnya di penuhi rawa-rawa yang
se-la-lu tergenang da-ri air mata penyesalan se-e-kor naga yang telah
mengkhianati sahabatnya.
Naga Sabang & Dua Raksasa Seulawah
Pa-da su-a-tu masa sa-at pulau Andalas masih terpisah menjadi dua pulau ya-i-tu
pulau bagian timur dan pulau bagian barat, kedua pulau ini di pisahkan o-leh selat
barisan yang san-gat sempit.Diselat i-tu tinggal lah se-e-kor naga bernama
Sabang.Pa-da masa i-tu di kedua belah pulau tersebut berdiri dua buah kera-jaan
bernama Kera-jaan Daru dan Kera-jaan Alam. Kera-jaan Daru dipimpin o-leh Sultan
Daru bera-da di pulau bagian timur dan kera-jaan Alam dipimpin o-leh Sultan Alam
bera-da dipulau bagian barat. Sultan Alam san-gat adil dan bijaksana kepa-da
rakyatnya dan san-gat pintar berniaga sehingga kera-jaan Alam menjadi kera-jaan
yang makmur dan maju. Se-dangkan Sultan Daru san-gat kejamkepa-da rakyatnya
dan suka merompak kapal-kapal saudagar yang melintasi perairannya.
Sudah lama Sultan Daru iri kepa-da Sultan Alam dan sudah sering pula dia beru-
sa-ha menyerang kera-jaan Alam namun se-la-lu dihalangi o-leh Naga Sabang,
sehingga keinginannya menguasai kera-jaan Alam yang makmur ti-dak tercapai.
Maka pa-da su-a-tu ha-ri dipanggil lah penasehat kera-jaan Daru bernama Tuanku
Gurka, “Tuanku Gurka, kita sudah sering menyerang Kera-jaan Alam teta-pi se-la-lu
dihalangi o-leh naga Sabang, coba engkau cari tahu siapa o-rang yang bi-sa
mengalahkan Naga i-tu”, perintah Sultan Daru. “Yang mulia, Naga Sabang a-dalah
penjaga selat Barisan. Kalau naga i-tu mati maka kedua pulau ini akan menyatu
karena ti-dak a-da makhluk yang mampu merawat penyangga diantara kedua pulau
ini selain naga i-tu”, jelas Tuanku Gurka. “A-ku ti-dak peduli kedua pulau ini
menyatu, a-ku ingin menguasai kera-jaan Alam”, jelas Sultan Daru. “A-da dua
raksasa bernama Seulawah Agam dan Seulawah Inong, mereka san-gat sakti”, ka-
ta Tuanku Gurka. “Seulawah Agam memiliki kekuatan yang san-gat besar se-
dangkan Seulawah Inong mempunyai pedang geulantue yang san-gat ce-pat dan
san-gat tajam”, tambah Tuanku Gurka.
Maka tak lama ke-mu-di-an datanglah kedua raksasa tersebut mengha-dap Sultan
Daru untuk menyampaikan kesangupan mereka ber-ta-rung mengha-dapi naga
Sabang. Tak lama ke-mu-di-an dikirimlah utusan kepa-da naga Sabang untuk
memberi tahu bahwa kedua raksasa i-tu akan datang ber-ta-rung de-ngannya.
Naga Sabang sedih men-de-ngar berita tersebut dan segera mengha-dap Sultan
Alam, “ Sultan Alam sahabatku, sudah datang o-rang suruhan Sultan Daru kepa-da
ku membawa pesan bahwa dua raksasa Selawah Agam dan Seulawah Inong akan
datang melawanku”, Jelas sang Naga kepa-da Sultan Alam. “Mereka san-gat kuat,
a-ku khawatir akan ka-lah”, ka-ta sang Naga. “Kalau saja a-ku terbunuh maka
kedua pulau ini akan menyatu, bumi akan berguncangan keras dan air laut akan
surut, maka surulah rakyatmu berlari ke gunung yang tinggi, karena sesudah i-tu
akan datang ie beuna, i-tu a-dalah gelombang yang san-gat besar yang akan
menyapu daratan ini”, pesan sang Naga. Sultan Alam menitikkan air mata men-de-
ngar pesan da-ri naga sahabatnya,” Baiklah sahabatku, a-ku akan sam-paikan
pesanmu ini kepa-da rakyatku.
Maka pa-da waktu yang sudah di tentukan terjadilah pertarungan yang sengit
antara naga Sabang dan kedua raksasa di tepi pantai. Sultan dan rakyat kedua
kera-jaan menyaksikan pertarungan seru tersebut da-ri kejauhan. Pa-da su-a-tu
kesempatan raksasa Selawah Inong berhasil menebas pedangnya ke leher sang
naga. Ke-mu-di-an raksasa seulawah Agam mengangkat tubuh naga i-tu dan
berteriak,” Weehh!”, sambil melemparkan tubuh naga i-tu sejauh-jauhnya, maka
tampaklah tubuh naga i-tu jatuh terbujur di laut lepas.
Tak lama ke-mu-di-an datanglah gelombang yang san-gat besar menyapu pulau
Andalas. Sultan Daru dan rakyatnya yang se-dang bergembira dihantam o-leh
gelombang besar i-tu, kedua raksasa sakti juga dihempas o-leh gelombang besar
sam-pai jauh kedaratan. Ru-mah-ru-mah hancur, hewan ternak mati
bergelimpangan, sawah-sawah musnah, desa dan kota hancur berantakan. Se-
dangkan Sultan Alam dan rakyatnya menyaksikan kejadian mengerikan tersebut
da-ri atas gunung yang tinggi.
Se-jak sa-at i-tu pulau Andalas menyatu di bawah pimpinan sultan Alam yang adil
dan bijaksana. Mereka membangun kembali desa-desa dan kota-kota yang hancur,
ke-mu-di-an Sultan Alam membangun sebuah kota kera-jaan di dekat bekas kepala
naga, kota i-tu di beri nama Koeta Radja dan pantai bekas kepala naga i-tu di sebut
Ulee leue (kepala ular). Se-dangkan tempat kedua raksasa sakti i-tu terkubur diberi
nama Seulawah Agam dan Seulawah Inong. Se-dangkan pulau yang tebentuk da-ri
tubuh naga di sebut pulau Weh (menjauh) atau pulau Sabang.
Wildan Seni [wildanseni @yahoo.com] Mahasiswa S2 Disaster Magister Universitas Syiah Kuala Banda
Aceh
Cin-de-la-ras
Ke-ra-ja-an Jeng-ga-la di-pim-pin o-leh se-o-rang ra-ja yang ber-na-ma Ra-den Put-
ra. Ia di-dam-pi-ngi o-leh se-o-rang per-mai-su-ri yang ba-ik ha-ti dan se-o-rang se-
lir yang me-mi-li-ki si-fat i-ri dan deng-ki. Ra-ja Put-ra dan ke-du-a is-tri-nya ta-di hi-
dup di da-lam is-ta-na yang sa-ngat me-gah dan da-mai. Hingg-a su-a-tu ha-ri se-lir
ra-ja me-ren-ca-na-kan se-su-a-tu yang bu-ruk pa-da per-mai-su-ri ra-ja. Hal ter-se-
but di-la-ku-kan ka-re-na se-lir Ra-den Put-ra i-ngin men-ja-di per-mai-su-ri.
Se-lir ba-gin-da la-lu ber-kom-plot de-ngan se-o-rang ta-bib is-ta-na un-tuk me-lak-
sa-na-kan ren-ca-na ter-se-but. Se-lir ba-gin-da ber-pu-ra-pu-ra sa-kit pa-rah. Ta-
bib is-ta-na la-lu se-ge-ra di-pang-gil sang Ra-ja. Se-te-lah me-me-rik-sa se-lir ter-
se-but, sang ta-bib me-nga-ta-kan bah-wa a-da se-se-o-rang yang te-lah me-na-ruh
ra-cun da-lam mi-nu-man tu-an put-ri. "O-rang i-tu tak la-in a-da-lah per-mai-su-ri
Ba-gin-da sen-di-ri," ka-ta sang ta-bib. Ba-gin-da men-ja-di mur-ka me-nde-ngar
pen-je-la-san ta-bib is-ta-na. Ia se-ge-ra me-me-rin-tah-kan pa-tih un-tuk mem-bu-
ang per-mai-su-ri ke hu-tan dan mem-bu-nuh-nya.
Du-a e-kor a-yam i-tu ber-ta-rung de-ngan ga-gah be-ra-ni. Te-ta-pi da-lam
wak-tu sing-kat, a-yam Cin-de-la-ras ber-ha-sil me-nak-luk-kan a-yam sang
Ra-ja. Pa-ra pe-non-ton ber-so-rak so-rai meng-e-lu-e-lu-kan Cin-de-la-ras
dan a-yam-nya. "Ba-ikl-ah a-ku me-nga-ku ka-lah. A-ku a-kan me-ne-pa-ti jan-
ji-ku. Ta-pi, si-a-pa-kah kau se-be-nar-nya, a-nak mu-da?" Ta-nya Ba-gin-da
Ra-den Put-ra. Cin-de-la-ras se-ge-ra mem-bung-kuk se-per-ti mem-bi-sik-kan
se-su-a-tu pa-da a-yam-nya. Ti-dak be-ra-pa la-ma a-yam-nya se-ge-ra ber-
bu-nyi. "Ku-ku-ru-yuk... Tu-an-ku Cin-de-la-ras, ru-mah-nya di te-ngah rim-ba,
a-tap-nya da-un ke-la-pa, a-yah-nya Ra-den Put-ra...," a-yam jan-tan i-tu ber-
ko-kok ber-u-lang-u-lang. Ra-den Put-ra ter-pe-ran-jat men-de-ngar ko-kok a-
yam Cin-de-la-ras. "Be-nar-kah i-tu?" Ta-nya ba-gin-da ke-he-ra-nan. "Be-nar
Ba-gin-da, na-ma ham-ba Cin-de-la-ras, i-bu ham-ba a-da-lah per-mai-su-ri
Ba-gin-da."