Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 19

Studi Reflektif-Historis : Budaya Literasi Dalam Bingkai Local Wisdom

Pesantren

Karya Tulis Ini Disusun Dalam Rangka Mengikuti Pekan


Lomba LKTI Ushuluddin

Nama Penulis :
Achmad Baharudin Ashar 933407514
Abdul Hafidz Febriansyah 933406614
Progam Studi :
Ushuluddin/Psikologi Islam
Alamat Email : yeyelala20@gmail.com

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KEDIRI

2017
Studi Reflektif-Historis : Budaya Literasi Dalam Bingkai Local Wisdom
Pesantren

Abstract
As we know well that radicalism, hoax news, and hate speech has become trending
problems on media recently. Consequently, Empowering-Literacy as a government
and community planning is one of strategy how to solve its. But not many realize that
literacy actually is a part of culture on Islamic boarding school (read: Pesantren) for a
long years ago in Indonesia. Pesantren is the oldest Islamic education and their
existence have been adapting in any era. According to history, pesantren with their
unique education has been a local wisdom education and still preserved. But until
now, literacy’s pesantren is still slightly discussed among of us. This research main
purpose is to show and explain the culture of literacy based on pesantren history. This
method’s research is using literature review and reflective-history approach. The
result of research show that pesantren, in fact, have many contribution on literacy for
Indonesian development. Generally, there are two model of pesantren in our society
i.e traditional (salafi) and modern. Many literacy figures produced by pesantren on
their existence e.g Syekh Nawawi Al Bantani, K.H Wahid Hasyim, K.H
Abdurahaman Wahid (Gus Dur), Abdul Mukti Ali, K.H Musthofa Bisri (Gus Mus)
and etc. are important characters and have a big influences for Indonesia.
Globalization’s effect, especially social media advancement, is always linear with
social transformation among the people. So that the unique of pesantren education
system can be one of Empowering-Literacy progam and alternative way to help solve
the problems caused globalization’s effects.

Keywords : Literacy, Local Wisdom, Pesantren


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dewasa ini gerakan pendidikan karakter melalui penguatan budaya literasi
tengah menjadi PR bagi pemerintah untuk menanggulangi efek arus globalisasi yang
semakin kuat. Betapa tidak, dengan kemajuan teknologi komunikasi, khususnya
media sosial, semua informasi apapun kini menjadi lebih mudah untuk diakses oleh
siapapun dan kapanpun. Implikasi dampak negatif akibat media sosial yang akhir-
akhir ini sedang tren antara lain ialah kasus penipuan, informasi hoax, paham
radikalisme, berita adu domba, ataupun ujaran kebencian. Kasus yang demikian
kompleks ini tidak lagi dapat dianggap sebagai masalah spele. Bahkan hal tersebut
dapat menjadi pemicu konflik diantara masyarakat hingga berpotensi mengancam
keutuhan NKRI.
Meskipun pemerintah telah membuat UU ITE sebagai pilar payung hukum
dalam bersosial media, namun masih saja banyak ditemui kasus-kasus tersebut masih
terulang. Melihat dari permasalahan ini, maka salah satu upaya preventif yang paling
tepat dilakukan adalah menggagas penguatan budaya literasi bagi masyarakat. Fracis
Bacon, seorang filsuf asal Inggris pernah mengatakan, “Reading makes a full man;
conference a ready man; and writing an exact man”, pesan tersebut menyuratkan
bahwa dengan giat membaca manusia akan memperoleh pengetahuan yang
komprehensif dan menjadi lebih bijak dalam menilai sesuatu.
Literasi secara sederhana diartikan sebagai kemampuan membaca dan
menulis. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat, literasi mempunyai arti
kemampuan memperoleh informasi dan menggunakannya untuk mengembangkan
ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat. Menurut Wildova, its main
principle is literacy approach to initial reading and writing. Ketika seseorang

1
memiliki kemampuan berbahasa yakni membaca dan menulis, maka bisa dikatakan ia
memiliki kemampuan literasi.1
Dalam konteks upaya penguatan budaya literasi bagi rakyat Indonesia, selain
berimplikasi pada masalah-masalah yang ditimbulkan dari krisis budaya literasi
seperti yang sudah dijelaskan diatas, faktor lain yang mendorong pemerintah
mencanangkan progam penguatan budaya literasi ialah bedasarkan fakta megejutkan
bahwa Indonesia ternyata menduduki rangking buncit dalam indeks minat membaca.
Dilansir dari riset oleh Programme for Internasional Student Assessment (PISA) yang
dilakukan tiap tiga tahun sekali,pada tahun 2015 menunjukan bahwa Indonesia
menempati peringkat 69 dari 76 negara dengan skor indeks minat membaca masih di
bawah rata-rata.2 Setahun kemudian, berdasarkan studi "Most Littered Nation In the
World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret tahun
2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat
membaca.3 Indonesia persis berada di bawah Thailand (peringkat 59) dan di atas
Bostwana (peringkat 61). Kondisi ini tentunya sangat mengkhawatirkan.
Mari kita menghela nafas sejenak atas kondisi bangsa kita saat ini, apabila kita
berbicara mengenai masalah literasi, sadarkah kita bahwa sebenarnya budaya literasi
sudah mengakar kuat dan menjadi bagian dari pendidikan pesantren sejak lama?.
Sayangnya dalam berbagai forum diskusi mengenai upaya penguatan literasi bagi
masyarakat, pesantren sebagai lembaga edukasi tradisional agama Islam masih jarang
sekali ditemui untuk ikut dibahas. Terlepas dari maraknya gerakan-gerakan literasi
yang tengah digarap oleh pemerintah maupun sebuah komunitas, sangat tidak arif
sekali apabila kita tidak membahas pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan
yang merupakan sistem pendidikan warisan leluhur.

1
Lea Sakti Mirtasari, “Peran Kegiatan Literasi Dalam Meningkatkan Minat Membaca Dan Menulis
Siswa Kelas Atas Di Sdn Gumpang 1”. Naskah Publikasi Unmuh Surakarta, 2017, 3.
21
https://jawapos.com/read/2017/05/27/132964/minat-baca-orang-indonesia-nomor-dua-terbawah
diakses tanggal 28 Oktober 2017
3
http://edukasi.kompas.com/read/2016/08/29/07175131/minat.baca.indonesia.ada.di.urutan.ke-
60.dunia diakses tanggal 28 Oktober 2017
2
Pesantren merupakan fenomena sosio-kultural yang unik. Di sisi historis, ia
merupakan sistem pendidikan tertua khas Indonesia, yang eksistensinya telah teruji
sejarah dan berlangsung hingga kini. Jauh sebelum Indonesia merdeka, pesantren
telah berdiri di negeri ini sebagai basis pendidikan pembelajaran bagi nusantara.
Pesantren dalam sejarah panjangnya telah menjadi ciri local wisdom atau kearifan
lokal bagi pendidikan Islam Indonesia. Maka tidak dipungkiri bahwa gerakan
pesantren dalam eksistensinya juga telah banyak menyumbang jasa yang sangat luar
biasa bagi bangsa dan negara melintasi perubahan era demi era.
Kontribusi pesantren sebagai lembaga pendidikan ini perlu direnungkan
kembali. Seiring dengan globalisasi yang mempengaruhi secara masif pada
perubahan sosial masyarakat sekarang, hal ini menuntut kita, terutama umat Islam
menyikapinya dengan bijaksana untuk menghadapi segala transformasi sosial yang
diakibatkan oleh globalisasi. Sebagaimana telah dijelaskan pada permasalahan
sebelumnya, maka pada karya ilmiah ini hendak membahas mengenai sistem
pendidikan pesantren dengan mengerucutkan pembahasanya pada budaya literasi.
Tulisan ini bersifat reflektif historis dengan maksud untuk mengambil makna sejarah
dari pesantren. Tulisan ini diharapkan bahwa di tengah maraknya progam penguatan
literasi yang dilakukan oleh pemerintah maupun non-pemerintah, pesantren tetap
mampu memposisikan martabatnya sebagai salah satu lembaga pendidikan Indonesia
yang dengan kearifan lokalnya dapat menjadi alternative of way dalam menyikapi
permasalahan sosial yang terjadi.

B. Rumusan Masalah
Bedasarkan latar belakang di atas, maka tulisan ini akan memuat rumusan
masalah sebagai berikut,
a. Bagaimana sejarah berdirinya pesantren di Indonesia?
b. Apa saja model-model pesantren yang ada di Indonesia?
c. Dalam sejarahnya, bagaimana peranan budaya literasi pesantren bagi
Indonesia?
3
d. Mengapa budaya literasi pesantren urgen dibutuhkan di era sekarang?

C. Tujuan Penelitian
Bedasarkan rumusan masalah di atas, maka tulisan ini memuat beberapa
tujuan yang ingin dicapai dalam pembahasan ini adalah:
a. Mengetahui sejarah berdirinya pesantren di Indonesia
b. Mengetahui model-model pesantren yang ada di Indonesia
c. Menggali nilai-nilai dari sejarah peranan budaya literasi pesantren bagi
Indonesia
d. Mengidentifikasi urgensi budaya literasi pesantren pada era sekarang

D. Manfaat Penelitian
Manfaat karya imiah ini dapat dikemukakan menjadi dua sisi, yakni:
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis,
sekurang-kurangnya dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran terkait
maraknya progam penguatan literasi bagi masyarakat.

b. Manfaat Praktis
 Bagi Penulis
Menambah wawasan penulis mengenai wacana upaya penguatan literasi
bagi masyarakat, terutama melalui pesantren ini untuk selanjutnya dapat
dijadikan acuan sebagai salah satu alternatif pilihan tindakan.
 Bagi Masyarakat dan Pemerintah
Sebagai masukan yang membangun guna meningkatkan penguatan
literasi berbasis pendidikan kearifan lokal pesantren. Dapat menjadi
pertimbangan untuk diterapkan sebagai salah satu sosialisasi gerakan literasi
dan menjawab permasalahan perubahan sosial yang ada.

4
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN

Dalam melakukan suatu kegiatan penelitian, metodologi sangat diperlukan


untuk membantu memecahkan permasalahan dan memudahkan terhadap pencapaian
orientasi pengetahuan dari penyusunan karya tulis. Metode berasal dari bahasa
Yunani “Methodos” yang dapat diartikan sebagai cara yang teratur dan terpikir baik-
baik dalam mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan), cara kerja yang
bersistematik memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang
ditentukan.4 Dalam penulisan sebuah karya ilmiah metode mutlak diperlukan.
Penggunaan metode akan memudahkan terhadap pencapaian orientasi pengetahuan
dari penyusunan karya tulis sendiri. Adapun tahapan (metode) yang digunakan adalah
sebagai berikut:

a. Jenis Penelitian
Dalam penelitian karya tulis ini, penulis menggunakan jenis penelitian
kepustakaan (library research), yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan
metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan
penelitiannya. Ia merupakan suatu penelitian yang memanfaatkan sumber
perpustakaan untuk memperoleh data penelitiannya.5 Menurut Abdul Rahman
Sholeh, penelitian kepustakaan (library research) ialah penelitian yang
menggunakan cara untuk mendapatkan data informasi dengan menempatkan
fasilitas yang ada di perpus, seperti buku, majalah, dokumen, atau catatan kisah-
kisah sejarah.6

4
Anton Baker, Metode-metode Filsafat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), 10.
5
Mahmud, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 31.
6
Abdul Rahman Sholeh, Pendidikan Agama dan Pengembangn untuk Bangsa, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2005), 63.

5
b. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam karya tulis m adalah
dokumentasi, yaitu mengumpulkan berbagai karya pustaka, artikel, internet dan
bentuk informasi lain yang bersifat ilmiah dan mempunyai keterkaitan erat dengan
tema karya ilmiah ini. Berdasarkan sumber data diatas, maka buku-buku yang
membicarakan tentang pesantren akan penulis kumpulkan atau himpun kemudian
dikembangkan sesuai dengan isi permasalahan yang diangkat. Dari data-data
tersebut kemudian dirangkai secara tuntut dan analisa dengan harapan untuk
menghasilkan sebuah karya yang argumentatif yang bisa dipertanggung jawabkan.

c. Analisa Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu
sebuah metode yang bertujuan memecahkan permasalahan yang ada dengan
menggunakan teknik analisa deskripsi terkait fenomena persoalan yang diangkat. 7
Sedangkan teknik analisisnya adalah analisis isi (content analysis) yaitu teknik
yang digunakan untuk menganalisis makna yang terkandung di dalam data yang
dihimpun melalui riset kepustakaan. Lebih lanjut Lexy Moleong sebagaimana
mengutip pendapatnya Krippendorf bahwa content analysis adalah teknik
penelitian yang dimanfaatkan untuk menarik kesimpulan yang replikatif dan sahih
dari data atas dasar konteksnya.8
Selanjutnya penulis menggunakan gaya pendekatan reflektif historis dalam
menyampaikan ide bedasarkan data-data yang telah diperoleh. Reflektif historis
merupakan model berpikir yang dibangun atas dasar implementasi sejarah dari
masa lalu untuk kemudian diambil nilai-nilai yang berguna bagi masa sekarang.9
Argumen-argumen dirangkai secara runtut dan berkesinambungan dalam bagian-
7
Winarno Surahmad, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung: Tarsito, 1994), 138-139.
8
Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, ( Bandng: PT Remaja Rosda Karya, 1993), 163.
9
Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Multikultur, (Yogyakarta: LkiS
Yogyakarta, 2005), 396.
6
bagian pembahasan sehingga isi pemaparan dapat dipahami sebagai sebuah uraian
yang sistematis yang pada akhirnya dapat dinilai sebagai karya ilmiah.

d. Sistematika Pembahasan
Supaya pembahasan dapat dilakukan secara terarah dan sistematis, maka
pembahasan dalam karya ilmiah ini akan disusun dengan sistematika sebagai
berikut:
Bab-Pertama menguraikan pendahuluan yang meliputi latar belakang
masalah, rumusan masalah dan tujuan penelitian. Pada uraian ini merupakan
tonggak untuk dijadikan jembatan dalam menyusun karya ilmiah dan sifatnya
hanya informatif.
Bab-Kedua menjelaskan metodologi penelitian, termasuk di dalamnya uraian
jenis penelitian, teknik pengumpulan data, analisis data dan sistematika
pembahasan.
Bab-Ketiga menjelaskan tentang pembahasan terkait judul yang diangkat,
meliputi sejarah pesantren di Indonesia, model-model pesantren, peranan budaya
literasi di pesantren dan urgensi budaya literasi pesantren di era modern.
Bab ke-Empat merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dari semua
pembahasan yang ada. Bab ini penting untuk dikemukakan karena sebagai hasil
penelitian. Selain kesimpulan juga dipaparkan saran dengan harapan agar
penelitian ini mampu memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi masyarakat
pada umumnya.

7
BAB III
PEMBAHASAN

A. Sejarah Berdirinya Pesantren di Indonesia


Pesantren, seringkali disebut sebagai lembaga pendidikan tradisional. Disebut
“tradisional” karena lembaga ini telah ada sejak ratusan tahun yang lalu dan menjadi
bagian tak terpisahkan dari sistem kehidupan sebagian besar masyarakat Islam
Indonesia. Perkataan pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan akhiran
–an yang berarti tempat tinggal santri.10Di Jawa termasuk Sunda dan Madura,
umumnya digunakan istilah pesantren atau pondok pesantren, sedangkan di Aceh
digunakan istilah dayah atau meunasah.11 Semuanya memiliki esensi yang sama
meskipun dengan penyebutan yang berbeda. Mengenai asal-usul dan latar belakang
berdirinya pesantren di Indonesia terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ahli
sejarah.
Pertama, pendapat yang menyebutkan bahwa pesantren berakar pada tradisi
Islam sendiri, yaitu tradisi tarekat. Pandangan ini dikaitkan dengan fakta bahwa
penyebaran Islam di Indonesia pada awalnya banyak dikenal dalam bentuk kegiatan
tarekat dengan dipimpin oleh kyai. Salah satu kegiatan tarekat adalah melakukan
ibadah di masjid di bawah bimbingan kyai. Untuk keperluan tersebut, kyai
menyediakan ruang-ruang khusus untuk menampung para santri sebelah kiri dan
kanan masjid. Para pengikut tarekat selain diajarkan amalan-amalan tarekat mereka
juga diajarkan kitab agama dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan agama Islam.
Pendapat kedua, pesantren yang ada sekarang merupakan pengambil alihan
dari sistem pesantren orang-orang Hindu di Nusantara pada masa sebelum Islam.
Lembaga ini dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu
serta tempat membina kader-kader penyebar agama tersebut. Pesantren merupakan

10
Shofiyullah Mz, Revitalisasi Humanisme Religius dan Kebangsaan K.H Wahid Hasyim, (Jombang:
Ponpes Tebu Ireng, 2011), 103.
11
Abdurrachman Mas’ud, Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 50.
8
kreasi sejarah anak bangsa setelah mengalami persentuhan budaya dengan budaya
pra-Islam. Pesantren merupakan sistem pendidikan Islam yang memiliki kesamaan
dengan sistem pendidikan Hindu-Budha. Pesantren disamakan dengan mandala dan
asrama dalam khazanah lembaga pendidikan pra-Islam.12 Adapun versi ini diperkuat
dengan asal-usul kata santri yang merupakan serapan dari bahasa agama Hindu yakni
shastri (bentuk lain dari kata sastra) berarti orang yang menekuni kitab atau ahli
kitab.
Hasil penelusuran sejarah menunjukkan bahwa cikal bakal pendirian
pesantren pada awal ini terdapat di daerah-daerah sepanjang pantai utara Jawa, seperti
Giri (Gresik), Ampel Denta (Surabaya), Bonang (Tuban), Kudus, Lasem, dan
Cirebon. Kota-kota tersebut pada waktu itu merupakan kota kosmopolitan yang
menjadi jalur penghubung perdagangan dunia, sekaligus tempat persinggahan para
pedagang dan mubalig Islam yang datang dari Jazirah Arab seperti Persia dan Irak.13
Pesantren di Indonesia tumbuh dan berkembang sangat pesat. Sepanjang abad
ke- 18 sampai dengan abad ke -20, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam
semakin dirasakan keberadaannya oleh masyarakat secara luas, sehingga kemunculan
pesantren di tengah masyarakat selalu direspons positif oleh masyarakat. 14 Kemudian
dikenalah elemen-elemen pokok atau unsur pesantren secara umum yaitu, kiai,
pondok (asrama), masjid, santri, dan pengajaran kitab kuning.

B. Sistem Pembelajaran Pesantren di Indonesia


Secara faktual terdapat dua tipe pondok pesantren yang beradadi Indonesia,
yakni pondok modern dan pondok tradisional (salafi). Keduanya hingga saat ini
masih eksis dengan sistem pembelajaran khasnya melewati perubahan zaman. Berikut
penjelasan keduaya :

a. Pondok Pesantren Tradisional


12
http://multazam-einstein.blogspot.com/2013/10/sejarah-dan-perkembangan-pesantren-di.html
diakses pada tanggal 06 November 2017.
13
Abdurrachman Mas’ud, Op. Cit, 248.
14
Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), 212.
9
Pondok pesantren tradisional biasa disebut sebagai pondok pesantren
salafi. Pesantren tradisional ini adalah corak pesantren yang masih
mempertahankan bentuk aslinya dengan semata-mata mengajarkan kitab yang
ditulis oleh Ulama’ abad 15 dengan menggunakan bahasa Arab. 15 Pesantren
model seperti ini biasanya bersifat sangat konservatif .
Metode belajar mengajar di pesantren salaf terbagi menjadi dua yaitu
metode sorogan, wethonan dan metode klasikal. Metode sorogan adalah
sistem belajar mengajar di mana santri membaca kitab yang dikaji di depan
ustadz atau kyai. Sedangkan sistem wethon adalah kyai membaca kitab yang
dikaji sedang santri menyimak, mendengarkan dan memberi makna pada kitab
tersebut. Metode sorogan dan wethonan merupakan metode klasik dan paling
tradisional yang ada sejak pertama kali lembaga pesantren didirikan dan
masih tetap eksis dan dipakai sampai saat ini.
Adapun metode klasikal adalah metode sistem kelas yang tidak
berbeda dengan sistem modern. Hanya saja bidang studi yang diajarkan
mayoritas adalah keilmuan agama.16

b. Pondok Pesantren Modern


Pondok pesantren modern merupakan pengembangan tipe pesantren
tradisional. Penerapan sistem modern ini nampak pada penggunaan kelas-
kelas seperti dalam bentuk sekolah, perbedaan dengan sekolah terletak pada
pendidikan agama dan bahasa Arab yang lebih menonjol.17
Metode pembelajaran pada pesantran modern umumnya memakai
sitem klasikal, yakni sistem kelas. Bedanya dengan pesantren tradisional
hanya penempatan kelasnya saja sesuai dengan kemampuan dasar ilmu agama
yang dimiliki sebelumnya. Selanjutnya yang menjadi ciri khas pada pesantren
modern ialah ilmu umum dan agama sama-sama dipelajari, kemudian adanya

15
M. Bahri Ghazali, Pendidikan Pesantren Berwawasan Lingkungan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,
2001), 14.
16
http://www.alkhoirot.com/beda-pondok-modern-dan-pesantren-salaf/ diakses pada tanggal 06
November 2017.
17
M. Bahri Ghazali, Op. Cit, 14.
10
penekanan pada bahasa asing yaitu bahasa Arab dan Inggris yang
wajibdigunakan untuk percakapan.

C. Peranan Budaya Literasi Pesantren Dalam Perspektif Sejarah


Metode pembelajaran pesantren sejatinya memang terbagi ke dalam dua
kategori, yakni tradisional dan modern. Sebagai satu kesatuan sistem pendidikan
keduanya memang memiliki perbedaan. Akan tetapi keduanya tidaklah untuk dilihat
siapa yang paling lebih baik dalam penerapanya. Baik tradisional maupun modern
keduanya memiliki visi dan misi dalam ranahnya masing-masing untuk memajukan
Indonesia.
Gambaran budaya literasi tentunya tidak akan lepas dari bagaimana sistem
pembelajaran diterapkan, tak terkecuali pada sistem pendidikan pesantren.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa literasi secara sederhana diartikan
sebagai kemampuan membaca dan menulis. Dalam konteks pemberdayaan
masyarakat, literasi mempunyai arti kemampuan memperoleh informasi dan
menggunakannya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi
masyarakat.
Berbicara tentang budaya literasi sesungguhnya tak lepas dari dunia santri,
karena budaya menulis adalah budaya santri. Hal ini dapat dipahami bahwa ulama-
ulama terdahulu atau kyai-kyai zaman dulupun mereka produktif dalam dunia tulis
menulis.Secara historis, beberapa ulama atau kyai nusantara yang tumbuh dari
pesantren telah banyak melahirkan karya intelektual fenomenal yang sampai saat ini
masih tak habis-habisnya terus dikaji sebagai sumber inspirasi dan aksi islami.
Sebagai contoh prominen ialah Syeikh Nawawi Al-Bantani (1813-1897), ulama
asal Banten yang telah mewariskan karya intelektualnya tidak kurang dari 100 buah
kitab kuning yang membahas sembilan bidang ilmu pengetahuan Islam: tafsir, fiqih,
ushuludin, tauhid, tasawuf, sejarah Nabi, gramatika bahasa Arab, hadits, dan akhlaq.
Melalui karya-karya tersebut, Syeikh Nawawi juga menumbuhkan budaya literasi
pada diri murid-muridnya mulai dari K.H. Hasyim Asy’ari (1871-1947), pendiri NU
11
dari Jawa Timur, K.H. Khalil (1819-1925) dari Bangkalan Madura, hingga K.H.
Abdurohman Wahid mantan presiden ke-empat RI juga aktif dalam dunia tulisan.
Sementara contoh tokoh terkenal yang kini masih hidup ialah seperti K.H Musthofa
Bisri (Gus Mus) atau Ahmad Fuadi (Novelis) yang juga merupakan alumnus
pesantren. Selain mereka, tentunya masih terlalu banyak lagi apabila dituliskan satu
persatu para literalis intelektual yang lahir dari pendidikan pesantren.
Hal ini menggambarkan bahwasanya pesantren dalam sejarah panjangnya telah
mencetak banyak tokoh literasi yang mempunyai pengaruh besar pada bangsa
Indonesia. Sistem pendidikan pesantren yang disajikan secara khas mampu
bereksistensi dan sejajar dengan pendidikan umum lainya.

D. Urgensi Budaya Literasi Pesantren di Masa Sekarang


Bagi umat Islam, membaca bukan sekedar anjuran atau himbauan namun
sebuah kewajiban. Membaca adalah perintah Allah SWT yang pertama dan sekaligus
utama bagi umat Islam. Bahkan perintah sholat turun jauh sesudah perintah
membaca.Sungguh pada dasarnya kebudayaan Islam adalah kebudayaan buku. Di
pusat pandangan dunia Islam, yaitu tepat di jantungnya terdapat Al-Quran dengan
wahyu yang pertama kali muncul adalah kata yang berbunyi iqra’ yang berarti
bacalah!.
Menengok pada zaman keemasan Islam, Al-Quran merupakan kitab petunjuk
yang menjadi fokus peradaban muslim. Maka buku dan seluruh kegiatan yang
berkaitan denganya seperti menulis, membaca, membuat ilustrasi, menjilid, membuat
katalog, mempersiapkan bibliografi hingga membangun perpustakaan menjadi begitu
sentral selama periode klasik Islam. Buku dan produksinya merupakan lembaga
utama dari apa yang dinamakan zaman keemasan Islam dan merupakan salah satu
bentuk seninya yang paling tinggi.18 Maka tidak berlebihan bila dikatakan bahwa
Islam adalah agama yang menjunjung tinggi budaya literasi. Konsekuensi logisnya

18
Ziauddin Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21. (Bandung: Mizan 1996), 83.
12
adalah sudah menjadi hal pokok bahwa budaya literasi memang sejatinya sangat
melekat pada pesantren.
Gerakan literasi berbasis pesantren bisa menjadi salah satu alternatif aksi yang
tepat dan strategis dalam upaya mengimbangi permasalahan arus teknologi informasi
yang kompleks saat ini. K.H Ma’ruf Amin pengurus besar NU menuturkan bahwa
budaya literasi pesantren merupakan salah satu benteng nasional dalam menghadapi
situasi global, regional, dan nasional yang akhir-akhir ini semakin marak diwarnai
beragam aksi radikal yang mengatasnamakan Islam.19 Selain mencoreng citra Islam
sebagai agama cinta damai, aksi-aksi semacam itu telah mengancam keamanan serta
mengganggu stabilitas relasi sosial-keagamaan di Indonesia.
K.H. Hasan Basri, tokoh dan ulama nasional mengatakan beberapa titik
keberhasilan pesantren , antara lain:
a) Berhasil menanamkan iman yang kokoh dalam jiwa para santri sehingga mereka
memiliki daya dan semangat juang yang tinggi untuk Islam.
b) Mampu membentuk kecerdasan (intelektualitas) dan kesholehan (moralitas) pada
diri para santri, menguasai ilmu-ilmu yang diajarkan, dan membina diri untuk
memiliki akhlak terpuji.
c) Mampu membentuk masyarakat yang bermoral dan beradab berdasarkan ajaran
Islam (masyarakat santri) sehingga menjadi kekuatan sosial dengan pengaruhnya
yang besar dalam masyarakat bangsa Indonesia.
d) Dalam menghadapi arus perubahan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan
yang melanda bangsa Indonesia, ternyata pesantren masih tetap menunjukkan
vitalitasnya untuk tetap berperan sebagai salah satu kekuatan sosial yang penting
bagi peradaban Islam di Indonesia, baik masa kini maupun masa mendatang.
Dengan kata lain, pesantren berhasil menyelamatkan kebudayaan Islam di
Indonesia.20

19
http://ramadan.tempo.co/read/news/2017/06/07/151882335/kolom-ramadan-gerakan-literasi-
damai-berbasis-pesantren, diakses tanggal 06 November 2017
20
Abdurrachman Mas’ud, Op. Cit, 38.
13
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam pembahasan di atas maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut;
a) Terdapat dua pendapat mengenai sejarah berdirinya pesantren di Indonesia.
Pertama pendapat yang menyebutkan bahwa pesantren berakar pada tradisi
Islam sendiri, yaitu tradisi tarekat. Pendapat kedua, pesantren yang ada
sekarang merupakan pengambil alihan dari sistem pesantren orang-orang
Hindu di Nusantara pada masa sebelum Islam.
b) Secara umum terdapat dua jenis model pesantren yang berada di Indonesia,
yakni model tradisional (salafi) dan model pondok modern. Dan keduanya
memiliki beberapa perbedaan dalam sistem pembelajaranya.
c) Gambaran budaya literasi di pondok pesantren terkait dengan jenis model
sistem pembelajaran yang diterapkan. Dalam sejarahnya, pesantren telah
mencetak banyak tokoh literalis yang mempunyai kontribusi besar di
bangsa Indonesia.
d) Urgensi budaya literasi di masa sekarang adalah mencetak generasi muslim
yang cerdas dalam menghadapi dampak era global. Dalam hal ini
pengikisan budaya pribumi akibat radikalisme.

B. Saran
Masalah-masalah yang ditimbulkan akibat krisis budaya literasi merupakan
masalah yang berdampak besar, apalagi di era globalisasi saat ini transformasi sosial
dan gaya hidup berubah begitu cepat. Pengembangan budaya literasi memang
langkah yang tepat dalam menanggulangi hal tersebut.
Memang disadari budaya literasi sejatinya memang melekat pada sebuah sistem
pendidikan, kendati demikian eksistensi pesantren dengan ciri khas pembelajaranya
juga perlu ikut direnungkan kembali. Sejarah membuktikan bahwa pesantren telah

14
banyak mencetak tokoh literalis yang mempunyai kontribusi besar bagi bangsa dan
negara.
Maka di tengah maraknya penguatan literasi yang dilakukan oleh berbagai
pihak saat ini, penguatan literasi berbasis pesantren sebagai agen pembangunan yang
bergerak secara aktif akan memiliki keunggulan tersendiri. Melalui pesantren dengan
“sekali pukul” kita akan mencapai dua tujuan sekaligus, yakni; menjadi salah satu
pilar penguatan budaya literasi bagi masyarakat dan mencetak generasi
berkepribadian luhur islamis di tengah maraknya radikalisme agama yang terjadi saat
ini. Memang benar petuah tokoh Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia,
yakni Soekarno dan Hatta bahwasanya, “Membangun negara awali dengan
memulainya dari giat membaca”

15
DAFTAR PUSTAKA

Baker, Anton. 1984. Metode-metode Filsafat. Jakarta: Ghalia Indonesia

Ghazali, M. Bahri. 2001. Pendidikan Pesantren Berwawasan Lingkungan. Jakarta:


Pedoman Ilmu Jaya

Mahmud. 2011. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia

Moleong, Lexy. 1993 Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandng: PT Remaja Rosda


Karya

Mas’ud, Abdurrachman. 2002. Dinamika Pesantren dan Madrasah. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar

Mz, Shofiyullah. 2011. Revitalisasi Humanisme Religius dan Kebangsaan K.H


Wahid Hasyim. Jombang: Ponpes Tebu Ireng

Liliweri, Alo. 2005. Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya


Multikultur, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta

Lea Sakti Mirtasari. 2017. Peran Kegiatan Literasi Dalam Meningkatkan Minat
Membaca Dan Menulis Siswa Kelas Atas Di Sdn Gumpang 1. Naskah
Publikasi Unmuh Surakarta.

Rahman Sholeh, Abdul. 2005. Pendidikan Agama dan Pengembangan untuk


Bangsa. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Sardar, Ziauddin. 1996. Tantangan Dunia Islam Abad 21. Bandung: Mizan

Surahmad, Winarno. 1994. Pengantar Penelitian Ilmiah. Bandung: Tarsito

Zuhairini. 1992. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara

https://jawapos.com/read/2017/05/27/132964/minat-baca-orang-indonesia-nomor-
dua-terbawah diakses tanggal 28 Oktober 2017

http://edukasi.kompas.com/read/2016/08/29/07175131/minat.baca.indonesia.ada.di
.urutan.ke-60.dunia diakses tanggal 28 Oktober 2017

http://multazam-einstein.blogspot.com/2013/10/sejarah-dan-perkembangan-
pesantren-di.html diakses pada tanggal 06 November 2017.
http://www.alkhoirot.com/beda-pondok-modern-dan-pesantren-salaf/ diakses pada
tanggal 06 November 2017.

http://ramadan.tempo.co/read/news/2017/06/07/151882335/kolom-ramadan-
gerakan-literasi-damai-berbasis-pesantren, diakses tanggal 06 November
2017

You might also like