Professional Documents
Culture Documents
Bab 1-2 Hasil Penelitian L
Bab 1-2 Hasil Penelitian L
PENDAHULUAN
1
400 ℃ (Soldera et. al., 2008). Saat ini, asap cair telah banyak digunakan oleh
industri pangan sebagai pemberi aroma, tekstur, dan citarasa yang khas pada produk
pangan, seperti daging, ikan, dan keju. Asap cair memiliki kemampuan untuk
mengawetkan bahan makanan karena adanya senyawa asam, fenolat dan, karbonil
(Wijaya dkl., 2008).
Salah satu makanan yang memerlukan pengawet serta penambah cita rasa
adalah Bakso. Bakso merupakan jenis bola daging yang paling lazim dalam
masakan Indonesia. Bakso umumnya dibuat dari campuran daging sapi giling dan
tepung tapioka, akan tetapi ada juga bakso yang terbuat dari daging ayam, ikan,
atau udang.
Dalam proses pembuatanya, terdapat bakso yang dicampur dengan boraks atau
bleng untuk membuat tepung menjadi lebih kenyal mirip daging serta lebih awet.
Hal ini membuat bakso pernah dianggap makanan yang kurang aman oleh BPOM.
BPOM mengingatkan bahwa mengkonsumsi makanan berkadar boraks tinggi
selama kurun 5–10 tahun dapat meningkatkan risiko kanker hati. Maka bakso yang
dijual di berbagai pasar tradisional dan pasar swalayan diwajibkan bebas boraks.
(Fitri, 2013)
2
1.3 Tujuan Penelitian
1. Menentukan waktu optimum perendaman dalam pengawetan bakso
menggunakan asap cair tongkol jagung.
2. Menentukan konsentrasi optimum asap cair tongkol jagung dalam
pengawetan bakso.
3. Menetukan Berapa lama daya awet bakso dengan menggunakan pengawet
asap cair tongkol jagung.
Penelitian ini akan menghasilkan data ilmiah tentang Pemanfaatan Asap Cair
Grade I dari Limbah Tongkol jagung Dalam Pengawet Bakso Daging Sapi yang
dapat dimuat pada karya ilmiah Indonesia (terakreditasi) ataupun jurnal
internasional.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
Air 9.6
Abu 1.5
Hemiselulosa 36.0
Selulosa 41.0
Lignin 6.0
Pektin 3.0
Pati 0.014
4
Jagung merupakan komoditas palawija utama di Indonesia ditinjau dari aspek
pengusahaan dan penggunaan hasilnya, yaitu sebagai bahan baku pangan dan
pakan. Kebutuhan jagung terus meningkat seiring dengan terus meningkatnya
permintaan bahan baku pakan. Komposisi bahan baku pakan ternak unggas
membutuhkan jagung sekitar 50% dari total bahan yang diperlukan. (Reta and
Anggraini, 2016).
2.2 Pirolisis
Biomassa terdiri atas beberapa komponen yaitu kandungan air (moisture
content), zat mudah menguap (volatile matter), karbon terikat (fixed carbon), dan
abu (ash). Mekanisme pembakaran biomassa terdiri dari tiga tahap yaitu
pengeringan (drying), devolatilisasi (devolatilization), dan pembakaran arang (char
combustion). Proses pengeringan akan menghilangkan moisture, devolatilisasi
yang merupakan tahapan pirolisis akan melepaskan volatile, dan pembakaran arang
yang merupakan tahapan reaksi antara karbon dan oksigen, akan melepaskan kalor.
Laju pembakaran arang tergantung pada laju reaksi antara karbon dan oksigen
pada permukaan dan laju difusi oksigen pada lapis batas dan bagian dalam dari
arang. Reaksi permukaan terutama membentuk CO 2 . Diluar partikel, CO akan
bereaksi lebih lanjut membentuk CO 2 . Pembakaran akan menyisakan material
berupa abu. Karbon yang terkandung di dalam arang bereaksi dengan oksigen pada
permukaan membentuk karbon monoksida menurut reaksi berikut:
C+½O CO................................................ (1)
Permukaan karbon juga bereaksi dengan karbon dioksida dan uap air dengan
reaksi reduksi sebagai berikut :
C + CO 2CO .............................................. (2)
C + H2O CO + H .......................................(3)
Selama proses karbonisasi, gas-gas yang bisa terbakar seperti CO, CH4 , H2
,formaldehid, methana, asam formiat dan asam asetat serta gas-gas yang tidak bisa
terbakar seperti CO 2 H2 O dan tar cair dilepaskan. Gas-gas yang dilepaskan pada
proses ini mempunyai nilai kalor yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan
kalor pada proses karbonisasi.
5
Pirolisis adalah peristiwa kompleks, dimanas senyawa organik dalam biomassa
didekomposisi melalui pemanasan tanpa kehadiran oksigen. Produk pirolisis dapat
berupa: padatan, gas, cairan, dan biochar (sebagai hasil samping). Perkembangan
terakhir dari pirolisis biomassa telah terbukti mampu menjadi salah satu pilihan
yang bisa memberikan kontribusi yang substansial sebagai sumber energi. Faktor
yang berpengaruh pada proses pirolisis adalah: kondisoperasi (temperatur dan
waktu reaksi) dan kondisi umpan (jenis, ukuran dan kadar air).
Pirolisis merupakan salah satu teknologi alternatif yang dapat digunakan untuk
mengkonversi biomassa menjadi bahan tambahan pangan dan bio oil yang
pemanasannya dengan penggunaan oksigen yang minimal. Hasil pada pirolisis
tongkol jagung menghasilkan cairan 27-40.96%, padatan 23.36-31.6%, dan sisanya
adalah gas. Beberapa bahan hasil degradasi dari lignin, selulosa dan hemiselulosa
diantaranya adalah beberapa jenis asam karboksilat (contohnya: asam oxopentana,
asam asetat, asam benzoat, asam format, asam glikolik, asam hexadekanoat, asam
hexanoat, asam propanoat, asam valeric), gula (1,6 anhydroglucofuranose, D-
arabinose, D-glucose, fructose, oligosacharides dan levoglucosan), keton (1-
hidroxy 2-propanon, 2,5 hexanedione, 2-butanon, 2-ethylcyclopentanone, 2-
methyl2-cyclopenten-1one, dsb), fenol, oxygenates seperti, furans dan hidrokarbon
lainnya. Zat kimia yang diperoleh dari proses pirolisis biomassa jagung ini dapat
berfungsi sebagai bahan tambahan pangan (antioksidan, flavour, dan pengawet)
dan bio oil. (Aladin, Alwi and Syarif, 2017).
Salah satu hasil samping pirolisis adalah arang, yang dapat dimanfaatkan
sebagai bahan bakar alternatif yaitu biobriket. Briket arang biomassa atau biobriket
dibuat dari arang biomassa baik berupa bagian yang memang sengaja dijadikan
bahan baku briket maupun sisa atau limbah proses produksi/pengolahan
agroindustri. Misalnya kayu, tempurung kelapa, arang tempurung kelapa sawit,
limbah bambu, sekam padi, limbah batang tembakau, dan juga limbah tongkol
jagung dapat menjadi bahan baku untuk biobriket.
Hasil pirolisis cair berupa asap cair dan tart , dimana asap cair merupakan
senyawa-senyawa yang menguap secara simultan dari reaktor panas melalui teknik
pirolisis (penguraian dengan panas) dan berkondensasi pada sistem pendingin.
6
Proses pembuatan asap cair melalui beberapa tahapan yaitu pirolisis, kondensasi,
dan redestilasi.
Asap cair (bahasa Inggris: wood vinegar, liquid smoke) merupakan suatu hasil
kondensasi atau pengembunan dari uap hasil pembakaran secara langsung maupun
tidak langsung dari bahan - bahan yang banyak mengandung lignin Selulosa
Hemiselulosa serta senyawa karbon lainnya. Selain itu, teknologi pengasapan
dengan menggunakan asap cair juga mempunyai keuntungan yaitu menghemat
biaya yang dibutuhkan untuk kayu dan peralatan pembuat asap, dapat mengatur cita
rasa produk yang diinginkan, dapat mengurangi komponen yang berbahaya, mudah
diterapkan pada masyarakat awam dan mengurangi polusi udara.
Menurut (Ayudiarti and Sari Nurbaya, 2010) Asap cair merupakan senyawa-
senyawa yang menguap secara simultan dari reaktor panas melalui tekni k pi rol i
si s (pengurai an dengan panas) dan berkondensasi pada sistem pendingin. Proses
pembuatan asap cair melalui beberapa tahapan yaitu pirolisis, kondensasi, dan
redestilasi. Kayu atau serbuk kayu dipirolisis pada suhu tertentu hingga menghasi
asap, kemudian asap yang dihasilkan dikondensasikan menjadi bentuk asap cair.
Pada proses pirolisa komponen kayu seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin
mengalami degradasi termal menghasilkan asap dengan komposisi kompleks antara
lain mengandung komponen asam, fenol dan karbonil yang dapat berperan sebagai
anti bakteri, antioksidan dan dapat memberikan efek cita rasa dan warna yang
spesifik.
Asap cair mempunyai berbagai sifat fungsional. Fungsi terutama adalah untuk
memberi flavor dan wama yang diinginkan pada produk asapan yang diperankan
7
oleh senyawa fenol dan karbonil. Fungsi se!anjutnya yaitu dalam pengawetan
karena kandungan senyawa fenol dan asam yang berperan sebagai antibakteri dan
antioksidan. Asap cair juga mengandung senyawa yang merugikan yaitu Tar dan
senyawa benzopiren yang bersifat toksik dan karsinogenik serta menyebabkan
kerusakan asam amino essensial dari protein dan vitamin- vitamin. Pengaruh ini
disebabkan adanya sejumlah bahan kimia yang terdapat dalam asap cair yang dapat
melakukan reaksi-reaksi dengan komponen bahan makanan.
Redistilasi merupakan salah satu cara pemumian terhadap asap cair, yaitu
merupakan proses pemisahan kembali suatu larutan berdasarkan perbedaan titik
didihnya. Redestilasi asap cair dilakukan untuk menghilangkan
senyawa-senyawa yang tidak diinginkan dan berbahaya, seperti poliaromatik
hidrokabon (PAH) dan tar, dengan cara pengaturan suhu didih sehingga diharapkan
didapat asap cair yang jemih, bebas ter dan benzopiren.(Darmadji, 2002)
8
Antioksidan digunakan untuk melindungi unsur-unsur yang terdapat
dalam makanan terutama lemak serta unsur lain seperti vitamin yang juga perlu
untuk dilindungi.
Sumber-sumber antioksidan dapat dikelompokkan menjadi dua
kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil
sintesa reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan
alami). Beberapa contoh antioksidan sintetik yang diijinkan penggunaanya
untuk makanan dan penggunaannya telah sering digunakan, yaitu butil hidroksi
anisol (BHA), butil hidroksi toluen (BHT), propil galat, tert-butil hidoksi quinon
(TBHQ) dan tokoferol. Antioksidan-antioksidan tersebut merupakan
antioksidan alami yang telah diproduksi secara sintetis untuk tujuan komersial.
Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari senyawa
antioksidan yang sudah ada dari satu atau dua komponen makanan, senyawa
antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan,
senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke
makanan sebagai bahan tambahan pangan.
Senyawa antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik
atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat,
kumarin, tokoferol dan asam-asam organik polifungsional. Golongan flavonoid
yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon,
kateksin, flavonol dan kalkon. Sementara turunan asam sinamat meliputi asam
kafeat, asam ferulat, asam klorogenat, dan lain-lain.
2. Pengawet
Pengawet adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah atau
menghambat fermentasi, pengasam, atau peruraian lain terhadap makanan yang
disebabkan oleh mikroorganisme. Bahan tambahan makanan ini biasanya
ditambahkan ke dalam makanan yang mudah rusak, atau makanan yang disukai
oleh medium tumbuhnya bakteri atau jamur misalnya pada produk daging, buah-
buahan, dsb.
9
Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang
mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat
proses degradasi bahan pangan terutama yang disebabkan oleh faktor biologi.
Dapat juga digunakan untuk memperpanjang masa simpan atau memperbaiki
tekstur pada makanan yang relatif awet. Beberapa pengawet yang umum
digunakan adalah benzoate, propionate, nitrit, nitrat, sorbet, dan sulfit.
Pengawet sering dikelompokkan sebagai antioksidan karena keduanya
berfungsi untuk mencegah pembusukan makanan. Perbedaannya adalah
antioksidan hanya digunakan untuk mencegah pembusukan karena oksidasi oleh
lemak, sedangkan pengawet digunakan untuk mencegah pembusukan karena
mikroba yang tidak hanya mempengaruhi kandungan lemak di dalam makanan
tetapi juga protein. WHO (World Health Organization) memperkirakan bahwa
20% dari persediaan makanan dunia hilang atau rusak karena pembusukan.
Tanpa penggunaan bahan pengawet, persentase tersebut akan menjadi lebih
tinggi.
3. Flavour
Flavour adalah bahan tambahan makanan yang dapat memberikan,
menambah, dan mempertegas rasa dan aroma suatu makanan. Salah satu
penyedap rasa dan aroma yang dikenal luas di Indonesia adalah vetsin atau
bumbu masak dalam berbagai merek. Penyedap rasa tersebut mengandung
senyawa yang disebut monosodium glutamate (MSG). Peranan asam glutamat
sangat penting, di antaranya untuk merangsang dan mengantar sinyal-sinyal
antar sel otak, dan dapat memberikan cita rasa pada makanan Flavour
merupakan bahan tambahan makanan yang paling unik karena belum memiliki
standar dalam peraturan dan dianggap tidak berbahaya.(Purwaningtyas, 2010)
Menurut Aladin dkk, 2017, Karakteristik dan pemanfaatan asap cair
Asap cair grade 3 adalah asap cair yang diperoleh dari hasil kondensasi
10
lignin, protein dari bahan biomassa secara pirolisis dengan minim oksigen. Asap
cair grade 3 tidak dapat digunakan untuk pengawet makanan, karena masih
banyak mengandung tar yang karsinogenik. Asap cair grade 3 tidak digunakan
penghilang bau, dan pengawet agar dapat tahan terhadap rayap. Cara
penggunaan asap cair grade 3 untuk pengawet kayu agar tahan rayap dan karet
tidak bau adalah: 1 cc asap cair grade 3 dilarutkan dalam 300ml air, kemudian
Asap cair grade 2 adalah hasil destilasi dari asap cair grade 3. Asap cair
transparan, rasa asam sedang, aroma asap lemah Cara penggunaan asap cair
grade 2 untuk pengawet pengganti formalin pada ikan adalah:celupkan ikan yang
telah dibersihkan ke dalam 50% asap cair, tambahkan garam, biasanya ikan yang
Asap cair grade 1 adalah hasil destilasi dari asap cair grade 2. Asap cair
grade 1 digunakan sebagai pengawet makanan seperti bakso, mie, tahu, bumbu-
bumbu barbaque, berwarna bening, rasa sedikit asam, aroma normal/ netral,
merupakan asap cair yang paling bagus kualitasnya dan tidak mengandung
Asap cair dari bahan limbah tongkol jagung yang diproses secara pirolisis
11
3. Ukuran bahan : sedang (10 mesh)
4. Kondisi bahan : basis kering (pengeringan sinar matahari
selama 3 hari).
Berdasarkan kondisi operasi di atas diperoleh produk samping pirolisis berupa
asap cair dengan karakteristik sebagai berikut :
1. Wujud : cair
2. Warna : kuning kemerahan,
3. Bau : khas asap cair tongkol jagung
4. pH : 1,9
5. Volume cairan : V = 450 mL
6. Berat jenis : Bj = 1,008 g/mL
7. Rendemen : yield = (450 mL) x ( 1,008 g/mL) / 1000 g x 100 = 45,36.
(Aladin dkk, 2017)
Seperti dapat dilihat pada Tabel 2.2 bahwa senyawa utama karbonil dalam asap
cair tongkol didominasi oleh turunan fenol seperti: fenol; 2 fenol metoksi; asam
format anhidrida dan 2,6, fenol dimetoksi. asap cair jagung didominasi oleh tiga
senyawa yaitu asam propanoat, 2 furan metanol dan fenol.
Senyawa ini penting untuk dikaitkan dengan antimikroba dan antioksidan .
Kandungan fenol yang tinggi dimungkinkan untuk memberi efek pengawet pada
produk karena jika kemampuannya membunuh bakteri, jamur, dan sifat antioksidan
untuk mencegah kentengikan. Senyawa fenolik memberi kesan umur simpan bahan
lebih awet.(Fronthea, Herry and Dian, 2015).
12
Tabel 2.2 Kandungan kimia Asap Cair Tongkol jagung
Peek
Retantion
No Area SI Molecule Structure
Time
(%)
Anhydride formic
1 3,246 12,52 96
acid
Dihydro2,3H
2 10,158 4,51 91
furanone
4 Methyl benzene, 2
8 19,923 9,43 92
Methoxy, 1 Hidroxy
2 Methyl benzene,
9 22,621 6,35 88
1,4 dimethoxy
2,6, Dimethoxy
10 24,718 10,49 96
phenol
13
2.4 Pengawetan Bakso
Bakso atau baso adalah jenis bola daging yang paling lazim dalam
masakan Indonesia. Bakso menurut SNI No. 01-3818-1995 adalah produk makanan
berbentuk bulatan, yang diperoleh dari campuran daging ternak (kadar daging tidak
kurang dari 50%) dan pati atau serealia dengan atau tanpa Bahan Tambahan Pangan
yang diizinkan. Bakso berbeda dengan Meatball , bakso menggunakan bahan
berpati yang tidak dibatasi penggunaannya, sedangkan meatball menggunakan
konsentrat protein, tepung kedelai, susu bubuk tanpa lemak dan bahan sejenis
lainnya maksimal 12%. Bakso adalah suatu produk daging yang dihaluskan,
dicampur dengan pati, dibentuk bulatan, dan dimasak dengan air panas. Bakso
merupakan produk gel dari protein daging, baik daging sapi, ayam, ikan, maupun
udang.
Daging yang baik adalah daging fase pre rigor sehingga water holding
capacity masih tinggi dan protein terekstrak lebih banyak dibandingkan pada fase
berikutnya sehingga kemampuan emulsinya juga meningkat dan menghasilkan
emulsi yang stabil. Saat direbus bakso yang dibuat dari daging fase pre rigor, akan
memiliki daya ikat air yang tinggi sehingga permukaan bakso yang dihasilkan akan
kering tetapi tetap empuk. Bahan pengisi yang umum digunakan adalah tapioka
dan pati sagu.
Karakteristik bakso sapi yang disukai oleh konsumen berdasarkan
survei yang dilakukan adalah rasanya gurih (sedang), agak asin, rasa daging kuat,
berwarna abu-abu pucat atau muda, beraroma daging rebus, teksturnya empuk dan
kenyal, bentuk bulat dengan ukuran sedang (diameter 3 -5 cm). Bakso yang beredar
umumnya menggunakan daging sapi. Berdasarkan perbandingan daging dan tepung
yang digunakan, Bakso umumnya dibuat dari campuran daging sapi giling dan
tepung tapioka, akan tetapi ada juga baso yang terbuat dari daging ayam, ikan, atau
udang dengan pH 6.0-6.5 sehingga masa simpan maksimalnya adalah 1 hari (12-24
jam). Saat ini banyak usaha yang dilakukan untuk membuat masa simpan bakso
menjadi lebih lama, namun usaha tersebut sering tidak memperhatikan keamanan
dan kelayakan konsumsi.
Jenis jenis teknik pengolahan dan pengawetan makanan yaitu :
14
1. Pendinginan
Pendiginan adalah penyimpanan bahan pangan di atas suhu pembekuan
bahan yaitu -2 sampai +10℃. Cara pengawetan dengan suhu rendah lainya
yaitu pembekuan. Pembekuan adalah penyimpanan bahan pangan dalam
keadaan beku yaitu pada suhu 12 sampai - 24℃. Pembekuan cepat (quick
freezing) di lakukan pada suhu -24 sampai -40℃. Pendinginan biasanya dapat
mengawetkan bahan pangan selama beberapa hari atau minggu tergantung
pada macam bahan panganya, sedangkan pembekuan dapat mengawetkan
bahan pangan untuk beberapa bulan atau kadang beberapa tahun.
Perbedaan lain antara pendinginan dan pembekuan adalah dalam hal
pengaruhnya terhadap keaktifan mikroorganisme di dalam bahan pangan.
Penggunaan suhu rendah dalam pengawetan pangan tidak dapat membunuh
bakteri, sehingga jika bahan pangan beku misalnya di keluarkan dari
penyimpanan dan di biarkan mencair kembali pertumbuhan bakteri pembusuk
kemudian berjalan cepat kembali. Pendinginan dan pembekuan masing -
masing juga berbeda pengaruhnya terhadap rasa, tekstur, nilai gizi, dan sifat -
sifat lainya. Beberapa bahan pangan menjadi rusak pada suhu penyimpangan
yang terlalu rendah.
2. Pengeringan
Pengeringan adalah suatu cara untuk mengeluarkan atau mengilangkan
sebagian air dari suatu bahan dengan menguapkan sebagian besar air yang di
kandung melalui penggunaan energi panas. Biasanya, kandungan air bahan
tersebut di kurangi sampai batas sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh
lagi di dalamya.
Keuntungan pengeringan adalah bahan menjadi lebih awet dan volume
bahan menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang
pengangkutan dan pengepakan, berat bahan juga menjadi berkurang sehingga
memudahkan transpor, dengan demikian diharapkan biaya produksi menjadi
lebih murah. Kecuali itu, banyak bahan - bahan yang hanyadapat di pakai
15
apabila telah dikeringkan, misalnya tembakau, kopi, the, dan biji - bijian.
Disamping keuntungan-keuntunganya, pengeringan juga mempunyai beberapa
kerugian yaitu karena sifat asal bahan yang di keringkan dapat berubah,
misalnya bentuknya, misalnya bentuknya, sifat - sifat fisik dan kimianya,
penurunan mutu dan sebagainya.
Kerugian yang lainya juga disebabkan beberapa bahan kering perlu
pekerjaan tambahan sebelum di pakai, misalnya harus di basahkan kembali
(rehidratasi) sebelum di gunakan. Agar pengeringan dapat berlangsung, harus
di berikan energi panas pada bahan yang di keringkan, dan di perlukan aliran
udara untuk mengalirkan uap air yang terbentuk keluar dari daerah
pengeringan. Penyedotan uap air ini dapat juga di lakukan secara vakum.
Pengeringan dapat berlangsung dengan baik jika pemanasan terjadi pada setiap
tempat dari bahan tersebut, dan uap air yang di ambil berasal dari semua
permukaan bahan tersebut.
Faktor - faktor yang mempengaruhi pengeringan terutama adalah luas
permukaan benda, suhu pengeringan, aliran udara, tekanan uap di udara, dan
waktu pengeringan.
3. Pengemasan.
Pengemasan merupakan bagian dari suatu pengolahan makanan yang
berfungsi untuk pengawetan makanan, mencegah kerusakan mekanis,
perubahan kadar air. Teknologi pengemasan perkembangan sangat pesat
khususnya pengemas plastik yang dengan drastis mendesak peranan kayu,
karton, gelas dan metal sebagai bahan pembungkus primer. Berbagai jenis
bahan pengepak seperti tetaprak, tetabrik, tetraking merupakan jenis teknologi
baru bagi berbagai jus serta produk cair yang dapat dikemas dalam keadaan
qaseptis steril.
Sterilisasi bahan kemasan biasanya dilakukan dengan pemberian cairan atau
uap hydrogen peroksida dan sinar UV atau radiasi gama. Jenis generasi baru
bahan makanan pengemas ialah lembaran plastik berpori yang disebut Sspore
2226, sejenis platik yang memilki lubang – lubang. Jenis plastik tersebut dapat
16
menggeser pengguanaan daun pisang dan kulit ketupat dalam proses
pembuatan ketupat dan sejenisnya.
4. Penggunaan bahan kimia
Bahan pengawet dari bahan kimia berfungsi membantu mempertahankan
bahan makanan dari serangan makroba pembusuk dan memberikan tambahan
rasa sedap, manis, dan pewarna. Contoh beberapa jenis zat kimia : cuka, asam
asetat, fungisida, asap cair, antioksidan, in-package desiccant, ethylene
absorbent untuk melindungi buah dan sayuran dari ancaman kerusakan pasca
panen untuk memperpanjang kesegaran masa pemasaran.
5. Pemanasan
Penggunaan panas dan waktu dalam proses pemanasan bahan pangan
sangat berpengaruh pada bahan pangan. Pada umumnya semakin tinggi jumlah
panas yang di berikan semakin banyak mikroba yang mati. Pada proses
pengalengan, pemanasan di tujukan untuk membunuh seluruh mikroba yang
mungkin dapat menyebabkan pembusukan makanan dalam kaleng tersebut,
selama penanganan dan penyimpanan.
Pada proses pasteurisasi, pemanasan di tujukan untuk memusnahkan
sebagian besar mikroba pembusuk, sedangkan sebagian besar mikroba yang
tertinggal dan masih hidup terus di hambat pertumbuhanya dengan
penyimpanan pada suhu rendah atau dengan cara lain misalnya dengan bahan
pengawet. Proses pengawetan dapat di kelompokan menjadi 3 yaitu :
pasteurisasi, pemanasan pada 100℃ dan pemanasan di atas 100℃.
6. Pengasapan
Pengasapan adalah cara pengawetan makanan dengan menggunakan asap
yang berasal dari hasil pembakaran arang kayu atau tempurung kelapa, sabut,
serbuk gergaji atau sekam padi, tongkol jagung, dll. Dalam hal ini dalam asap
terkandung senyawa-senyawa yang mempunyai sifat mengawetkan, seperti
senyawa phenol, formaldehyde dan lain-lain. Asap terbentuk karena
pembakaran yang tidak sempurna, yaitu pembakaran dengan jumlah oksigen
yang terbatas. Pengasapan ikan dilakukan dengan tujuan: 1) Untuk
mengawetkan, 2) Untuk memberikan rasa dan aroma yang khas. Pengasapan
17
harus dikombinasikan dengan cara-cara pengawetan lainnya, misalnya
penyimpanan pada suhu rendah.
Contoh dari usaha untuk membuat masa simpan bakso menjadi lebih lama
adalah dengan menggunakan bahan-bahan tambahan yang berbahaya seperti
formalin atau boraks, sehingga memerlukan usaha yang lebih memperhatikan
keamanan pangan dan sehingga mereka menggunakan bahan yang dapat
memperpanjang umur simpan dari bakso, termasuk penggunaan bahan pengawet
yang dilarang seperti penggunaan boraks dan formalin.
Penilaian mutu bakso dapat dilakukan dengan menilai mutu sensori
atau mutu organoleptiknya. Kriteria mutu sensori bakso dapat diketahui
berdasarkan lima parameter sensori. Bakso memiliki kadar air dan Aw yang tinggi
yaitu 80% dan 0.99 sehingga rentan terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh
mikroorganisme. Mikroorganisme penyebab kerusakan pada bahan pangan
berkadar air tinggi dengan pH sekitar netral adalah golongan bakteri.
Dampak buruk bagi kesehatan dari boraks yaitu menyebabkan iritasi
saluran cerna yang ditandai dengan sakit kepala, pusing, muntah, mual, diare,
penyakit kulit yakni kemerahan pada kulit, diikuti dengan terkelupasnya kulit ari.
Gejala lebih lanjut ditandai dengan badan menjadi lemah, kerusakan ginjal,
pingsan, bahkan shock dan kematian bila tertelan 5-10 g boraks Kemungkinan
adanya boraks yang terkadung dalam sampel bakso daging sapi A dan B yang tidak
terdaftar pada BPOM memunculkan alasan dilakukannya analisis sebagai kontrol
kualitas (Suhendra, 2013).
18
menyatakan kesan tentang baik atau buruk. Karena itu beberapa ahli memasukkan
uji mutu hedonik kedalam uji hedonik.
Kesan mutu hedonik lebih spesifik dari pada sekedar kesan suka atau tidak suka.
Mutu hedonik dapat bersifat umum, yaitu baik atau buruk dan bersifat spesifik.
Rentangan skala hedonik berkisar dari ekstrim baik sampai ke ekstrim jelek. Skala
hedonik pada uji mutu hedonik sesuai dengan tingkat mutu hedonik. Jumlah tingkat
skala juga bervariasi tergantung dari rentangan mutu yang diinginkan dan
sensitivitas antar skala. data penilaiaan dapat ditransformasi dalam skala numerik
dan selanjutnya dapat dianalisis statistik untuk interprestasinya. Beberapa pengujian
organoleptik yaitu dari segi aroma, tekstur, warna, dan rasa.
1. Aroma
Aroma disebut juga pencicipan jarak jauh karena manusia dapat
mengenal enaknya makanan yang belum terlihat hanya dengan mencium
aromanya dari jarak jauh, manusia dapat mencium bau yang keluar dari
makanan karena adanya sel-sel epitel alfaktori di bagian dinding atas
rongga hidung dalam uji organoleptik aroma panelis lebih menyukai aroma
bakso yang berbau daging dibanding dengan aroma tepung.(Aulawi and Retry,
2009)
2. Tekstur
Tekstur bakso ditentukan oleh kandungan air, kandungan lemak dan
jenis karbohidrat. Kandungan air yang tinggi akan menghasikan tekstur yang
lembek begitu juga dengan kadar lemak yang tinggi akan menghasilkan
bakso yang berlubang–lubang sehingga dapat mempengaruhi tektur bakso).
Aspek yang dinilai dari tekstur bakso ditandai dengan kasar atau halusnya
produk yang dihasilkan yang peka terhadap komponen bau. Aroma bakso
dipengaruhi oleh aroma daging, aroma tepung bahan pengisi, bumbu-bumbu dan
bahan lain yang ditambahkan. Pemasakan dapat mempengaruhi warna, bau, rasa
dan produk daging.(Aulawi and Retry, 2009)
3. Warna
19
Warna bakso ditentukan oleh jenis daging yang digunakan dan lama
penyimpanan bakso itu sendiri. Pada umumnya bakso yang ada dipasaran
memiliki warna ciklat keabu-abuan
20
III. METODE PENELITIAN
Gambar 3.2.1 Rangkaian alat pirolisis (Aladin, Alwi and Syarif, 2017)
21
Gambar 3.2.2. Rangkaian Alat destilasi
Sedangkan, alat penunjang yang digunakan seperti gelas piala, gelas ukur,
erlenmeyer, corong, pipet volume, viskometer Oswald, piknometer, pengaduk, labu
didih. diperoleh dari Laboratorium Kimia Dasar FTI UMI. Serta alat penunjang
lainnya seperti talenan,wadah perendaman, pisau.
22
c. Pengawetan bakso.
3.2.1.1 Variabel waktu perendaman
Menggunakan Asap cair grade 1 yang telah diperoleh untuk
mengawetkan bakso dengan variabel waktu perendaman yaitu 10, 15, 30,
50, dan 60 menit dengan konsentrasi tetap 10%. Terlebih dahulu membuat
larutan pengawet asap cair dengan cara mengencerkan asap cair grade 1
dengan konsentrasi tetap yaitu 10% dengan volume setiap wadah
(menggunakan 2 wadah untuk perlakuan berbeda) 2300 cc.
Bakso (bakso daging sapi) yang digunakan memiliki berat ± 5 gram
sebanyak 10 biji. Kemudian merendam bakso secara sempurna dalam
larutan asap cair dengan perbandingan konsentrasi tetap dan massa bakso
yaitu 2300 cc : 50 gram dengan waktu perendaman yang telah ditentukan.
Setiap waktu perendaman, mengangkat dan meniriskan bakso, lalu
memasukkan kedalam plastik untuk perlakuan 1 dan tanpa plastik untuk
perlakuan 2. Setelah itu,memasukkan dalam ruang steril (bersih) dan
mengamati secara bersamaan dengan kontrol sampai bakso membusuk.
Mengamati perubahan yang terjadi meliputi warna, aroma, dan tekstur.
Sehingga memperoleh waktu perendaman terbaik.
3.2.1.2 Variabel konsentrasi
Setelah mendapatkan variabel waktu perendaman terbaik dilanjutkan
dengan variable konsentrasi yaitu 5%, 10%, 15%, 20% dan 30%. Terlebih
dahulu membuat larutan pengawet asap cair dengan cara mengencerkan
asap cair grade 1 dengan konsentrasi yang telah ditentukan.
Menggunakan Bakso (bakso sapi) yang memiliki berat ±5 gram
sebanyak 10 buah, masing-masing 2 biji untuk setiap wadah konsentrasi
tertentu dengan volume 460 cc. Merendam bakso segar dengan sempurna
dalam larutan asap cair dengan perbandingan konsentrasi tetap dan massa
bakso yaitu 460 cc : 5 gram (menggunakan 5 wadah untuk masing-masing
konsentrasi) dengan waktu perendaman terbaik yang telah didapatkan.
Setiap waktu perendaman terbaik dengan konsentrasi yang telah
ditentukan, mengangkat bakso dan meniriskan, lalu memasukkan kedalam
23
plastik untuk hasil perlakuan terbaik. Setelah itu, memasukkan dalam
ruang steril (bersih) dan mengamati secara bersamaan dengan kontrol
sampai bakso membusuk meliputi perubahan warna, aroma, dan tekstur.
Sehingga memperoleh waktu perendaman terbaik.
24
3.6 Diagram Alir
25
3.7 Jadwal Kegiatan Penelitian
Tabel 3.1 Jadwal Kegiatan Penelitian
Bulan dan Pekan ke :
Kegiatan i ii iii iv V
4
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3
A. Persiapan
Penelusuran Pustaka
Seminar Proposal
Penyiapan Sampling
Tongkol Jagung
Penyiapan Alat dan
Bahan
B. Pelaksanaan
Pirolisis Asap Cair
Grade 1, 2, dan 3
Pengawetan bakso
variasi Waktu
Perendaman
Pengawetan Ikan
variasi Konsentrasi
Analisis Hasil
C. Penyelesaian
Olah Data
Penyusunan Laporan
Asistensi Laporan
Seminar Hasil 1
Seminar Hasil 2
(Ujian)
Laporan Final
(Skripsi)
26
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
27
Pada tabel pengamatan diatas, dapat dikatakan bahwa uji organoleptik dalam
hal ini adalah warna, aroma, dan tekstur. Dapat dilihat pada tabel bahwa perubahan
yang paling mempengaruhi yaitu dari segi aroma dan tekstur hal ini dikarenakan
pengaruh warna tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa bakso dalam keadaan baik
atau dalam keadaan tidak baik. Sampel bakso (bakso daging sapi) yang diawetkan
diberi dua perlakuan yaitu dalam kemasan dan tanpa kemasan/udara bebas.
Sehingga dapat dilihat perubahan khusus untuk aroma dan tekstur pada grafik 4.1
sampai grafik 4.4
3 Aroma (K)
2 Aroma (TK)
1
0
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu Perendaman
Gambar 4.1 Grafik Perbandingan antara waktu perendaman (20 jam daya
awet) dan aroma bakso
Pada grafik diatas menunjukkan bahwa penyimpanan bakso selama 20 jam
dari segi aroma diperoleh, aroma terbaik pada perlakuan 30 menit perendaman
dengan aroma khas bakso dan disimpan dalam kemasan, begitu pula untuk
waktu perendaman 50 dan 60 menit, akan tetapi kita mengambil hasil terbaik
dengan waktu yang seefisien mungkin. Sedangkan untuk tanpa kemasan pada
penyimpanan 20 jam hasil terbaik dengan perendaman 30 menit aroma yang
dihasilkan adalah dominan asap, akan tetapi untuk bakso pada umumnya yang
layak konsumsi adalah bakso yang memiliki aroma segar dan khas bakso,
28
sehingga untuk perbandingan antara waktu perendaman dan aroma bakso
terbaik adalah dengan perlakuan 30 menit dalam kemasan.
4
3 Tekstur (K)
2 Tekstur (TK)
1
0
0 10 20 30 40 50 60 70
waktu Perendaman
Gambar 4.2 Grafik Perbandingan antara waktu perendaman (20 jam daya
awet) dan Tekstur bakso.
4
3 Aroma (K)
2
Aroma (TK)
1
0
0 10 20 30 40 50
Waktu Penyimpanan
29
Berdasarkan grafik diatas perbandingan antara waktu penyimpanan(selama
30 menit perendaman) dengan aroma bakso diperoleh waktu penyimpanan dengan
aroma terbaik adalah selama 20 jam dalam kemasan dengan aroma khas bakso.
Sedangkan untuk bakso tanpa kemasan pada waktu penyimpanan 20 menit
memiliki aroma yang dominan asap.
5
Tekstur
3 Tekstur(K)
Tekstur (TK)
2
0
0 10 20 30 40 50
Waktu penyimpanan
30
Tabel 4.2 Perubahan Organoleptik (Warna, Aroma, dan Tekstur) bakso terhadap
Variasi Konsentrasi.
Waktu Penyimpanan
Konsentrasi 0 15 22 25 42 49
W A T W A T W A T W A T W A T W A T
0 6 6 6 6 6 6 6 6 3 6 2 3 1 1 2 1 1 1
5 5 5 6 5 5 6 5 5 6 5 5 6 5 5 6 5 5 6
10 6 4 5 5 4 5 5 5 6 5 5 6 5 5 6 5 5 6
15 5 4 5 5 4 5 5 5 5 5 5 6 5 4 5 5 5 5
20 5 4 5 4 4 5 5 4 5 5 4 5 6 4 5 6 4 5
30 5 3 4 4 3 4 5 3 4 5 3 4 6 3 4 6 3 4
Waktu Penyimpanan
Konsentrasi 63 74 86 92 97 110
W A T W A T W A T W A T W A T W A T
0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
5 5 2 6 5 2 3 5 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1
10 5 2 6 5 2 6 5 2 3 5 2 3 5 2 2 1 1 1
15 6 5 6 6 5 6 6 5 6 6 5 6 6 2 3 6 2 3
20 6 5 5 6 5 6 6 5 6 6 5 6 6 5 6 6 23
30 6 4 4 6 4 6 6 4 6 6 4 6 6 5 6 6 5 6
Keterangan :
DK = Dalam Kemasan Untuk Warna Untuk Aroma Untuk Tekstur
UB = Udara Bebas 1=Coklat kekuningan 1 = Sangat basi 1 = Hancur
W = Warna 2 = Coklat Tua 2 = Basi 2 = Sangat lunak
A = Aroma 3 = Coklat 3= Asap kuat 3= Lunak
T = Tekstur 4 = Pucat 4 =Dominan Asap Lengket
5 = Coklat pucat 5 = Aroma bakso 4 = Lebih keras
6 = Coklat muda dan asap 5 = Agak Keras
seimbang 6 = Kenyal
6 = Khas Bakso
31
Dari data diatas, dapat terbaca bahwa uji organoleptik dalam hal ini adalah
warna, aroma, dan tekstur. Dapat dilihat pada tabel bahwa perubahan yang paling
mempengaruhi yaitu dari segi aroma dan tekstur hal ini dikarenakan pengaruh
warna tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa bakso dalam keadaan baik atau dalam
keadaan tidak baik. Sampel bakso (bakso daging sapi) yang diawetkan diberi dua
perlakuan yaitu dalam kemasan dan tanpa udara bebas. Sehingga dapat dilihat
perubahan khusus untuk aroma dan tekstur dengan penyimpanan 49 jam pada
grafik 4.5 sampai grafik 4.8
3
Aroma
2
Linear (Aroma)
1
0
0 10 20 30 40
Konsentrasi
32
Pengamatan terhadap Tekstur
7
y = 0,0429x + 3,9286
6
R² = 0,0612
5
Tekstur
4
3 Tekstur
2 Linear (Tekstur)
1
0
0 10 20 30 40
konsentrasi
33
Aroma
7
6
5
Aroma
4
y = -0,0497x + 5,9646
3 R² = 0,8518 Aroma
2 Linear (Aroma)
1
0
0 50 100 150
Waktu Penyimpanan
Pengamatan Tekstur
8
7
6
5
Tekstur
y = -0,0574x + 7,396
4
R² = 0,7924 Tekstur
3
Linear (Tekstur)
2
1
0
0 50 100 150
Waktu Penyimpanan
34
Berdasarkan grafik hubungan antara waktu penyimpanan (konsentrasi 5%)
dengan tekstur menunjukkan bahwa lama penyimpanan bakso dapat bertahan
selama 68 jam dengan tekstur bakso kenyal. Sedangkan pada waktu penyimpanan
92 jam menunjukkan bakso memiliki tekstur hancur . Hal ini berarti semakin lama
waktu penyimpanan untuk perendaman konsentrasi 5% maka semakin menurun
tekstur bakso menuju keadaan terburuk yaitu hancur.
90000
80000
70000
60000
50000
40000
30000
20000
10000
0
0 10 30
Angka Lempeng Total 91000 11000 2800
35
V. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
36
DAFTAR PUSTAKA
Aladin, A., Alwi, R. S. and Syarif, T. (2017) ‘Design of pyrolysis reactor for
production of bio-oil and bio-char simultaneously’, 110010, p. 110010. doi:
10.1063/1.4982340.
Aulawi, T. and Retry, D. A. N. (2009) ‘Sifat Fisik Bakso Daging Sapi Dengan
Bahan Pengenyal Dan Lama Penyimpanan Yang Berbeda’, Jumal Petemakan Vol,
6(2).
Ayudiarti, D. L. and Sari Nurbaya, R. (2010) ‘Asap cair dan aplikasinya pada
produk perikanan’, Squalen Vol. 5 No.3, Desember 2010, 5(3), pp. 101–108.
BPS (2015) ‘produksi jagung’.
Fronthea, S., Herry, B. S. and Dian, W. (2015) ‘BOD: COD Ratio as an Indicator
for River Pollution’, International Proceedings of Chemical, Biological and
Environmental Engineering, 51(26), pp. 139–142. doi: 10.7763/IPCBEE.
37
38