Minyak Kedelai Dan Minyak Salmon

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 15

Journal of Marine and Coastal Science, 1(2), 125 – 139, 2012

PENGARUH PENGKAYAAN Artemia spp. DENGAN KOMBINASI


MINYAK KEDELAI DAN MINYAK IKAN SALMON TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP
LARVA KEPITING BAKAU (Scylla paramamosain)

EFFECT OF DIFFERENT DENSITY ON THE RATE OF MANGROVE


CRAB (Scylla Paramamosain) MOLTING MASS-REARED IN CAGE.

Noviati Rohmatul Khasanah, Boedi Setya Raharjda dan Yudi Cahyoko.

Fakultas Perikanan dan Kelautan - Universitas Airlangga


Kampus C Mulyorejo – Surabaya 60115 Telp. 031-5911451

Abstract
Mud crab (Scylla paramamosain) is one of the marine animals that have
economic value and high nutritional ie, containing 47.5% protein and 11.20% fat.
Taste the delicious crab causes the market demand and foreign demand is
increasing the availability of seed on an ongoing basis. Availability krustacea this
experience because it still relies on resistance from the wild, so the required mass-
seeding efforts. This effort has run into difficulty due to low survival rates and
slower growth in larval stadia due to the low quality of feed given. Artemia spp. a
feed that contains complete nutrition, so, very well used as a natural food crab.
Artemia spp. have a deficiency in essential fatty acid content. Essential fatty acids
in krustacea are: linoleic, linolenic, DHA and EPA that are required in an
enrichment of Artemia spp. because of Artemia spp. is non-selective filter feeder.
Enrichment of Artemia spp. can be done using the oil-rich salmon for the content
of DHA and EPA as well as content-rich soy oil linoleic acid and linolenic acid.
The purpose of this study was to determine the growth and survival rates of larvae
of mud crab (S. paramamosain) after fed Artemia spp. enriched with a
combination of soybean oil and salmon oil. The method used is an experimental
method with a Completely Randomized Design (CRD) of three replications and
seven treatments. The treatments used were A (control), B (egg yolks 100%), C:
(salmon oil 100%), D (salmon fish oil 75% soybean oil + 25%), E (salmon fish oil
50% soybean oil + 50%), F (salmon fish oil 25% + 75% soybean oil), G (100%
soybean oil). The main parameters observed is the growth and survival rates.
Parameters was observed support the development of the larvae and water quality
(temperature, salinity, pH, dissolved oxygen and ammonia). Analysis of data
analysis using a Varian (ANAVA) and if there is a difference in treatment, then
using Duncan Multiple Test distance. The results showed that mud crab larvae (S.
paramamosain) after nauplius fed Artemia spp. enriched with a combination of
soybean oil and salmon oil influence significantly different (p <0.05) on the
growth and survival rates of larval mud crab.
Keywords : mangrove crab, soft shell, density, moulting

125
Noviati Rohmatul Khasanah, dkk.

PENDAHULUAN
Kepiting bakau (Scylla paramamosain) merupakan salah satu hewan laut
yang memiliki nilai ekonomi dan gizi yang tinggi. Karim (2005) mengemukakan
bahwa daging kepiting bakau mengandung 47,5% protein dan 11,20% lemak.
Karim (2006) menyatakan permintaan semakin meningkat sehingga menuntut
ketersediaan benih. Ketersediaan benih mengalami hambatan, sehingga diperlukan
upaya pembenihan secara massal (Kanna, 2002).
Yunus dkk. (1996) mengemukakan bahwa masalah yang dihadapi oleh
usaha pembenihan kepiting bakau adalah rendahnya tingkat kelangsungan hidup
dan pertumbuhan yang lambat pada stadia larva disebabkan rendahnya mutu
pakan yang diberikan. Sirait (1997) menyatakan pakan alami yang diberikan pada
larva kepiting zoea tiga adalah Artemia spp.
Watanabe dan Kiron (1994) menyatakan menyatakan bahwa Artemia spp.
memiliki kandungan nutrien yang lengkap dan memiliki sifat non selective filter
feeder yaitu, mengambil semua makanan yang ada disekelilingnya tanpa seleksi
akan tetapi, memiliki kandungan asam lemak essensial yang rendah sehingga
perlu dilakukan penambahan. Asam lemak yang essensial bagi krustacea yaitu
18:2n-6 (linoleat), 18:3n-3 (linolenat), 20:5n-3 (eicosapentaenoic), dan 20:6n-3
(docosahexaenoic)(Karim, 1998). Asam lemak essensial merupakan sumber
penting sebagai penunjang pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup larva
kepiting bakau.Mursitorini (2006) menyatakan kadar asam lemak essensial 1%
dari pakan dapat meningkatkan pertumbuhan larva kepiting bakau.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Arulvasu dan Munuswamy
(2009) bahwa penelitian pengkayaan Artemia spp. dengan minyak kedelai dan
minyak ikan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kelangsungan
hidup pada ikan guppy (Poecilia latipinna), dibanding dengan Artemia spp. tanpa
penambahan pengkayaan. Pengkayaan Artemia spp. dengan asam lemak n-3
HUFA berupa emulsi ICES yang mengandung DHA dan EPA memberikan
pengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup pada larva
kepiting bakau (Karim, 2006). Oleh sebab itulah, penelitian tentang pengkayaan
Artemia spp. dengan kombinasi minyak kedelai dan minyak ikan salmon terhadap

126
Pengaruh Pengkayaan Artemia spp.

pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup larva kepiting bakau


(S. paramamosain) ini dilakukan.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan:
Apakah ada pengaruh terhadap pertumbuhan larva kepiting bakau
(S. paramamosain) setelah diberi pakan nauplius Artemia spp. yang diperkaya
dengan kombinasi antara minyak kedelai dan minyak ikan salmon?; Apakah ada
pengaruh terhadap tingkat kelangsungan hidup larva kepiting bakau
(S. paramamosain) setelah diberi pakan nauplius Artemia spp. yang diperkaya
dengan kombinasi antara minyak kedelai dan minyak ikan salmon?; Berapakah
kombinasi dosis yang tepat untuk larva kepiting bakau (S. paramamosain) setelah
diberi pakan nauplius Artemia spp. yang diperkaya dengan minyak kedelai dan
minyak ikan salmon?

Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk: Mengetahui pengaruh pertumbuhan,
pengaruh tingkat kelangsungan hidup dan mengetahui dosis kombinasi yang tepat
untuk larva kepiting bakau (S. paramamosain) setelah diberi pakan nauplius
Artemia spp. yang diperkaya dengan kombinasi antara minyak kedelai dan
minyak ikan salmon.
Manfaat yang diharapakan dapat memberikan informasi mengenai
pengkayaan nauplius Artemia spp. dengan kombinasi minyak ikan salmon dan
minyak kedelai sehingga dapat mengoptimalkan pertumbuhan dan tingkat
kelangsungan hidup kepiting bakau (S. paramamosain).

METODOLOGI
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2011 sampai November
2011 di UPT Budidaya Air Laut Situbondo, Kembangsambi, Situbondo, Propinsi
Jawa Timur. Analisis proksimat Artemia spp. yang telah diperkaya dengan
minyak ikan dan minyak kedelai di Laboratorium Pakan Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Airlangga, Surabaya.

127
Noviati Rohmatul Khasanah, dkk.

Bahan Pakan dan Alat Penelitian


Hewan Uji
Hewan uji yang digunakan adalah larva kepiting bakau
(S. paramamosain) stadia zoea tiga berjumlah 1050 ekor yang berasal dari
penetasan larva kepiting bakau sendiri di Hatchery UPT Budidaya Air Laut
Situbondo Jawa Timur.
Bahan Pakan
Bahan pakan yang digunakan dalam penelitian adalah Artemia spp. merek
Dolphin. Pakan yang diberikan adalah nauplius Artemia spp. yang telah diperkaya
dengan kombinasi antara minyak kedelai dan minyak ikan salmon yang telah
diemulsi dengan telur ayam dan minyak ikan selama enam jam sebanyak 300.000
individu/L. Kepadatan larva nauplius Artemia spp. yang diberikan pada larva
kepiting adalah 5000 individu/L air media (Karim, 2006).

Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: bak berwarna biru
dengan volume 22 L sebanyak 21 buah, 7 toples 10 L untuk kultur nauplius
Artemia spp., selang aerasi, batu aerasi, T aerasi, spidol, tali rafia, selang plastik,
mangkok plastik, mixer, saringan Artemia spp. berupa plankton net, ember plastik
volume 2 L, gelas ukur volume 100 mL, timbangan digital, cawan petri, pipet,
mikroskop, blower, plastik biru, mikroskop dan kamera digital.

Metode Penelitian
Rancangan penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
eksperimental. Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 7 perlakuan dan 3 kali ulangan.
Perlakuan yang digunakan adalah A : nauplius Artemia spp. tanpa
pengkayaan (kontrol), B : nauplius Artemia spp. diperkaya dengan kuning telur
100%, C : nauplius Artemia spp. diperkaya dengan kombinasi minyak ikan
salmon 100%, D : nauplius Artemia spp. diperkaya dengan kombinasi minyak
ikan salmon 75% + minyak kedelai 25%, E : nauplius Artemia spp. diperkaya

128
Pengaruh Pengkayaan Artemia spp.

dengan kombinasi minyak ikan salmon 50% + minyak kedelai 50%, F : nauplius
Artemia spp. diperkaya dengan kombinasi minyak ikan salmon 25% + minyak
kedelai 75%, G : nauplius Artemia spp. diperkaya dengan minyak kedelai 100%.

Pemeliharaan Larva Kepiting Bakau Zoea Tiga sampai Megalopa


Larva kepiting dimasukkan dalam 21 bak pemeliharaan bervolume 22 L
yang diberi air 10 L, setiap bak berisi 5 individu/L. Setiap hari dilakukan
penyifonan dan ganti air sebanyak 25% dari volume total. Pegamatan suhu
dilakukan tiga kali sehari dan salinitas sekali sehari, sedangkan pengamatan
oksigen terlarut, ammoniak dan pH dilakukan tiga hari sekali. Pakan berupa
Artemia spp. yang telah diperkaya dengan minyak kedelai dan minyak ikan
salmon selama enam jam diberikan sekali dalam sehari dengan kepadatan 5000
individu/L (Karim, 2006). Pengamatan panjang harian dilakukan setiap hari
sampel secara acak setiap ulangan satu sampel mengunakan mikroskop.
Penghitungan jumlah larva yang diteliti pada tiap perlakauan dilakukan pada awal
dan akhir penelitian guna mengetahui tingkat kelangsungan hidup larva kepiting
bakau selama pemeliharaan.

Parameter
Parameter yang diamati pada penelitian ini meliputi parameter utama dan
parameter penunjang. Parameter utama dalam penelitian ini adalah pertumbuhan
panjang mutlak dan tingkat kelangsungan hidup.
Pertumbuhan panjang mutlak larva kepiting bakau dapat dihitung dengan
rumus (Serang, 2006) :
L = Lt-Lo
Keterangan :
L = Pertumbuhan panjang mutlak (mm)
Lt = Pertumbuhan panjang mutlak rata-rata pada akhir penelitian (mm)
Lo = Pertumbuhan panjang mutlak rata-rata pada awal penelitian (mm)
Kelangsungan Hidup (Survival Rate /SR) merupakan persentase kepiting
yang hidup pada akhir pemeliharaan. Kelangsungan hidup dapat dihitung dengan
rumus (Huynh dan Foteder, 2004) sebagai berikut:
Jumlah kepiting yang dipanen
SR = x 100

129
Noviati Rohmatul Khasanah, dkk.

Jumlah kepiting yang ditebar


Keterangan:
SR adalah tingkat kelangsungan hidup kepiting bakau (%)
No adalah jumlah benih kepiting pada awal penelitian (ekor)
Nt adalah jumlah benih kepiting bakau yang hidup pada akhir penelitian
(ekor)

Parameter Penunjang dalam penelitian ini adalah suhu yang diukur dengan
termometer, salinitas dengan refraktometer, pH dengan pH indikator, amoniak
dengan amoniak test kit serta Oksigen terlarut (DO) dengan DO test kit.

Analisis Data
Data hasil penelitian akan dianalisis dengan menggunakan uji ANAVA
(Analysis of Variance), yang dilanjutkan uji jarak berganda Duncan’s untuk
mengetahui perbedaan antar perlakuan (Kusriningrum, 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil
Pertumbuhan panjang mutlak larva kepiting bakau
Grafik pertumbuhan panjang mutlak larva kepiting bakau stadia zoea tiga
sampai megalopa pada tiap perlakuan selama 9 hari pemeliharaan dapat dilihat
pada Gambar 5.

Gambar 5. Grafik pertumbuhan panjang mutlak larva kepiting bakau


stadia zoea tiga sampai megalopa pada tiap perlakuan
selama 9 hari pemeliharaan.
Grafik di atas menunjukkan bahwa terdapat penambahan panjang larva
kepiting seiring dengan berjalannya waktu pemeliharaan pada tiap-tiap perlakuan
selama 9 hari pemeliharaan dan berbeda nyata antar perlakuan (p<0,05).

130
Pengaruh Pengkayaan Artemia spp.

Pertumbuhan panjang mutlak larva kepiting bakau pada tiap perlakuan selama 9
hari pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pertumbuhan panjang mutlak larva kepiting bakau stadia zoea tiga
sampai megalopa pada tiap perlakuan selama 9 hari pemeliharaan.
Perlakuan L ± SD (mm)
A 0% (Kontrol) 2,087 c±0,0061
B 0,6 KT 2,353 b±0,0105
C 100% MI 0,6 KT 3,017 a±0,0064
D 75% MI 25% MK 0,6 KT 3,053 a±0,0116
E 50% MI 50% MK 0,6 KT 2,953 a±0,0105
F 25% MI 75 MK 0,6 KT 2,423 b±0,0061
G 100% MK 0,6 KT 2,387 b±0,0061
Keterangan
KT : Kuning telur
MI : Minyak ikan
MK : Minyak kedelai
L : Pertumbuhan panjang mutlak
a, b, c :Superskip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan
nyata (p<0,05)
:Superskip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak terdapat
perbedaan nyata (p>0,05)

Berdasarkan uji jarak berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test)


diketahui bahwa pertumbuhan panjang mutlak tertinggi adalah perlakuan D yang
tidak berbeda nyata dengan perlakuan C dan E (p>0,05). Perlakuan D, C dan E
berbeda nyata dengan perlakuan A, B, F, G (p<0,05). Perlakuan B tidak berbeda
nyata dengan perlakuan F dan G (p>0,05). Perlakuan B, F dan G berbeda nyata
dengan perlakuan A (p<0,05).

Tingkat kelangsungan hidup larvakepiting bakau


Diagram batang kelangsungan hidup larva kepiting bakau stadia zoea tiga
sampai megalopa pada tiap perlakuan selama 9 hari pemeliharaan dapat dilihat
pada Gambar 2.

131
Noviati Rohmatul Khasanah, dkk.

Gambar 2. Diagram rata-rata tingkat kelangsungan hidup larva kepiting


bakau stadia zoea tiga sampai megalopa pada tiap perlakuan selama 9
hari pemeliharaan.

Diagram di atas menunjukkan bahwa kelangsungan hidup larva kepiting


bakau berbeda nyata antar perlakuan (p<0,05). Kelangsungan hidup larva kepiting
bakau pada tiap perlakuan selama 9 hari pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kelangsungan hidup larva kepiting bakau stadia zoea tiga sampai
megalopa pada tiap perlakuan selama 9 hari pemeliharaan.
Perlakuan SR (%) ± SD Transformasi√y±SD
A 0% (Kontrol) 15,33c ±1,1547 3,9138±0,1491
b
B 0,6 KT 31,33 ±1,1547 5,5969±0,1037
C 100% MI 0,6 KT 42,66a ±3,0550 6,5292±0,0901
a
D 75% MI 25% MK 0,6 KT 39,33 ±3,0550 6,2684±0,2452
E 50% MI 50% MK 0,6 KT 38,00 a ±2,0000 6,1629±0,1005
F 25% MI 75 MK 0,6 KT 33,33 b ±1,1547 5,7729±0,5142
b
G 100% MK 0,6 KT 32,00 ±2,0000 5,6550±0,5142
Keterangan
KT : Kuning telur
MI : Minyak ikan
MK : Minyak kedelai
SR : Tingkat kelangsungan hidup
a, b, c :Superskip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata
(p<0,05)
: Superskip yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak terdapat
perbedaan nyata (p>0,05)

Berdasarkan uji jarak berganda Duncan (Duncan’s Multiple Range Test)


diketahui bahwa tingkat kelangsungan hidup tertinggi adalah perlakuan C yang
tidak berbeda nyata dengan perlakuan D dan E (p>0,05). Perlakuan C, D dan E
berbeda nyata dengan perlakuan A, B, F dan G (p<0,05). Perlakuan B tidak
berbeda nyata dengan perlakuan G dan F (p>0,05). Perlakuan B, F dan G berbeda
nyata dengan perlakuan A (p<0,05).

Kualitas Air

132
Pengaruh Pengkayaan Artemia spp.

Kualitas air merupakan faktor penting dari pemeliharaan larva kepiting


karena kualitas air yang baik akan menunjang pertumbuhan optimal dan
kelangsungan hidup dari larva kepiting bakau. Salah satu faktor penunjang pada
penelitian ini adalah kualitas air yang meliputi pengukuran suhu, salinitas, pH,
kandungan oksigen terlarut dan amonnia. Hasil dari pengukuran suhu berkisar
antara 29,0-31,0ºC, salinitas 30 ppt, pH berkisar 7, oksigen terlarut 5 mg/liter dan
amoniak 0,25 mg/liter.

Pembahasan
Pertumbuhan merupakan perubahan ukuran panjang dalam kurun waktu
tertentu (Rusdi dan Karim, 2006). Faktor-faktor yang berpengaruh dalam variasi
pertumbuhan kepiting adalah faktor dalam dan faktor luar (Hariati, 1989). Faktor
luar yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan adalah pakan (Serang, 2006).
Kepiting memperoleh energi melalui pakan yang dikonsumsi dan digunakan
untuk berbagai aktifitas termasuk untuk keperluan osmoregulasi (Karim, 2005).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah 9 hari pemeliharaan adanya
peningkatan panjang mutlak larva kepiting bakau pada tiap perlakuan. Adanya
pertumbuhan larva kepiting bakau ini berarti bahwa energi yang dikonsumsi
melebihi energi yang diperlukan untuk kebutuhan pokok dan aktivitas tubuh
lainnya. Berdasarkan analisis statistik data pertumbuhan panjang mutlak larva
kepiting bakau menunjukkan hasil yang berbeda nyata (p<0,05) antar perlakuan.
Pertumbuhan panjang mutlak terendah pada perlakuan A yaitu, nauplius Artemia
spp. tanpa pengkayaan (kontrol) dengan rata-rata pertumbuhan L=2,087 mm.
Komposisi nutrisi hasil analisis bahan pakan berdasarkan bahan kering, perlakuan
A menghasilkan pakan dengan protein 45% dan lemak 13% lebih rendah
dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya sedangkan kebutuhan lemak pada
pakan larva kepiting bakau berkisar 15-20% (Sheen, 2000). Rendahnya
pertumbuhan ini disebabkan oleh kandungan nutrisi nauplius Artemia spp. tanpa
pengkayaan tidak dapat memenuhi nutrisi yang dibutuhkan oleh larva kepiting
bakau.
Pertumbuhan panjang mutlak tertinggi pada perlakuan D, nauplius
Artemia spp. diperkaya dengan minyak ikan salmon75%+minyak kedelai 25%
dengan rata-rata pertumbuhan L=3,053. Tingginya pertumbuhan ini disebabkan

133
Noviati Rohmatul Khasanah, dkk.

oleh kandungan pakan berupa nauplius Artemia spp. dengan penambahan minyak
ikan salmon 75%+minyak kedelai 25% dapat memenuhi nutrisi yang dibutuhkan
oleh larva kepiting bakau. Komposisi nutrisi hasil analisis bahan pakan
berdasarkan berat kering 100%, hasil protein 57,1053% dan lemak 22,338%,
mampu memenuhi kebutuhan nutrisi larva kepiting bakau dikarenakan jumlah
tersebut melebihi jumlah protein dan lemak yang dibutuhkan larva kepiting bakau
sehingga, kelebihan tersebut digunakan untuk pertumbuhan. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Lovell (1988) bahwa kebutuhan energi untuk metabolisme
harus dipenuhi terlebih dahulu dan apabila berlebihan maka digunakan untuk
pertumbuhan.
Proses pertumbuhan tersebut terjadi karena kandungan lemak ikan salmon
pada Artemia spp, yang telah diperkaya minyak ikan salmon mengandung DHA
dan EPA sedangkan minyak kedelai mengandung linoleat dan linolenat. Protein
yang terdapat pada Artemia spp. yang telah dilakukan pengkayaan tersebut akan
berubah menjadi asam amino. Asam-asam lemak essensial dan asam amino
tersebut beroksidasi menghasilkan asetil Ko-A kemudian diproses dalam silklus
asam sitrat dilanjutkan dalam transpor elektron yang menghasilkan ATP/sumber
energi. Energi tersebut digunakan sebagai proses metabolisme. Hasil metabolisme
tersebut dimanfaatkan sebagai penganti jaringan yang rusak, pertumbuhan dan
tingkat kelangsungan hidup.
Tingkat Kelangsungan hidup adalah perbandingan antara jumlah individu
yang hidup pada akhir percobaan dengan jumlah individu yang hidup pada awal
percobaan (Amry, 2002). Faktor yang mempengaruhi Kelangsungan hidup adalah
kualitas dan kuantitas pakan yang diberikan (Sukoso, 2002). Kualitas pakan
dilihat berdasarkan kandungan nutrisi yaitu protein, lemak, karbohidrat, vitamin
dan mineral (Shuanglin, 2002).
Hasil analisis statistik data kelangsungan hidup larva kepiting bakau
menunjukkan hasil yang berbeda nyata ( P< 0,05) antar perlakuan. Hal ini diduga
karena pengaruh kombinasi pengkayaan minyak ikan salmon dan minyak kedelai
terhadap Artemia spp. yang berbeda, sehingga nilai nutrisi yang diperoleh masing-
masing perlakuan berbeda. Tingkat kelangsungan hidup terendah terdapat pada
perlakuan A (SR=15,11%) yang berbeda nyata dengan perlakuan B, C, D, E, F,

134
Pengaruh Pengkayaan Artemia spp.

dan G. Hal tersebut dikarenakan kurangnya kandungan nutrisi pada perlakuan A


yang tanpa pengkayaan minyak ikan dan minyak kedelai karena kebutuhan nutrisi
yang tidak dapat terpenuhi tersebut dapat memicu terjadinya defisiensi pada larva
sehingga memicu kematian masal. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Effendy dkk. (2005) menyatakan bahwa kekurangan nutrisi pada fase
pemeliharaan larva dapat menyebabkan kematian massal. Tingkat kelangsungan
hidup tertinggi larva kepiting bakau terdapat pada perlakuan C (SR=41,78%)
tidak berbeda nyata dengan perlakuan D (SR=39,56%) dan perlakuaan E
(SR=38,22%). Hal ini diperkuat oleh hasil analisis bahan pengkaya berdasarkan
berat kering 100%, dengan kadar protein kasar, lemak kasar, imbangan energi,
dan energi yang dapat dicerna keseluruhan hasilnya hampir sama akan tetapi,
berbeda nyata dengan perlakuan F (SR=33.33%), G (SR=32,44%), dan B
(31,11%) karena kandungan lemak yang terdapat pada perlakuan tersebut lebih
sedikit yaitu antara 18-20% meskipun imbangan energi, dan energi yang dapat
dicerna hampir sama.
Perlakuan C menggunakan kombinasi minyak ikan salmon 100% dari total
dosis 0,6 ml/L, minyak ikan salmon mengandung DHA dan EPA sebagai bahan
pengkaya terbukti lebih mampu menghasilkan kelangsungan hidup yang paling
tinggi dikarenakan menghasilkan lemak yang paling tinggi yaitu 23,2333% yang
terbukti pada hasil proksimat analisis bahan pakan berdasarkan berat kering
100%, namun hasil proteinnya lebih sedikit dibandingkan protein pada perlakuan
B akan tetapi, perlakuan C memiliki imbangan energi yang lebih stabil. Hal ini
menunjukkan bahwa pengkayaan Artemia spp. pada larva kepiting bakau dengan
menggunakan kuning telur dan minyak kedelai tidak dapat menunjukkan tingkat
kelangsungan hidup yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan minyak
ikan salmon yang mengandung DHA dan EPA sebagai bahan pengkaya. Hal
tersebut didukung pula oleh pernyataan Takeuchi (1992) bahwa larva kepiting
bakau memerlukan EPA untuk kelangsungan hidup dan DHA untuk pertumbuhan.
Tingkat kelangsungan hidup rendah dan kecepatan pertumbuhan akan
menurun apabila kondisi lingkungan dan nutrisi tidak sesuai
(Wickins dan Lee, 2002). Pakan alami merupakan faktor penting dalam
pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva kepiting bakau. Namun kualitas air

135
Noviati Rohmatul Khasanah, dkk.

seperti suhu, salinitas pH, oksigen terlarut dan amoniak sangat menentukan
pertumbuhan dan kelangsungan hidup krustacea (Gusrina, 2008). Suhu dapat
mempengaruhi berbagai fungsi metabolisme dari organisasi akuatik seperti
perkembangan embrionik, pertumbuhan dan nafsu makan kepiting bakau
(Serang, 2006).
Pada penelitian ini hasil pengamatan suhu berkisar antara 29,0-31,0ºC.
Hasil pengamatan tersebut sesuai dengan pernyataan Juwana (2003), menyatakan
suhu yang optimal untuk pemeliharaan larva kepiting bakau ada pada suhu antara
28-31ºC. Salinitas pada penelitian berkisar antara 30 ppt. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian Giri et al. (2003) yang menyatakan bahwa salinitas yang layak
untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup kepiting bakau adalah 30-33 ppt.
Nilai pH pada penelitian ini adalah 7. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Juwana (2003), larva kepiting bakau dapat hidup baik dengan kisaran pH antar
7-7,7. Kandungan oksigen terlarut pada penelitian berkisar pada 5,0 mg/liter.
Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Chien (1992) yaitu kandungan oksigen
terlarut yang optimum bagi kepiting adalah di atas 4 mg/liter. Kandungan
amoniak pada penelitian ini berkisar antara 0,25 mg/liter. Amoniak akan bersifat
akut pada kisaran 1.0-1,5 mg/liter Nana dan Putra (2008).

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan
Pertumbuhan larva kepiting bakau (S. paramamosain) setelah diberi pakan
nauplius Artemia spp. yang diperkaya dengan minyak kedelai dan minyak ikan
salmon menunjukkan pengaruh nyata (1), Tingkat kelangsungan hidup larva
kepiting bakau (S. paramamosain) setelah diberi pakan nauplius Artemia spp.
yang diperkaya dengan minyak kedelai dan minyak ikan salmon menunjukkan
pengaruh nyata (2), Dosis yang tepat untuk pertumbuhan larva kepiting bakau (S.
paramamosain) terdapat pada perlakuan D (3,053 mm) yaitu dengan perlakuan
kombinasi minyak ikan salmon 75% dan minyak kedelai 25 %, sedangkan untuk

136
Pengaruh Pengkayaan Artemia spp.

tingkat kelangsungan hidup dosis yang tepat terdapat pada perlakuan C (41,78%)
yaitu dengan perlakuan kombinasi minyak ikan salmon 100% (3).

Saran
Berdasarkan hasil penelitian pada pertumbuhan larva kepiting bakau
(S. paramamosain) disarankan menggunakan kombinasi minyak ikan salmon
75% dan minyak kedelai 25 %, sedangkan tingkat kelangsungan hidup disarankan
menggunakan kombinasi minyak ikan salmon 100% guna memperoleh hasil yang
optimal.

DAFTAR PUSTAKA
Arulvasu, C and N, Munuswamy. 2009. Survival, Growth and Composition of
Poecilia latipinna Fry Fed Enrich Artemia Naupli. Current Science.
University of Madras, India. 245 : 487-578.

Amry. 2002. Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Kepiting Bakau


(Scylla Serrata) yang Dipelihara dalam Kurungan di Laut. Lutjanus, Jurnal
Teknologi Perikanan dan Kelautan, 7 (2): 130-137.

Chien, Y.H. 1992. Water Quality Requirement and Management for Marine
Shrimp Culture. Journal of World Aquaculture Society. P. 144-156.
Effendy, S., Sudirman., Faidar., E. Nurcahyono. 2005. Perbandingan Teknik
Ablasi Tangkai Mata pada Penampakan Reproduksi Kepiting Rajungan
(Portunus pelagicus Linn). Skripsi. Takalar. hal 2-7.

Giri, N. A., K. Suwiryo., I . Rusdi., dan M. Marzuqi. 2003. Kandungan Lemak


Pakan Optimal untuk Pembenihan kepiting bakau (Scylla paramamosain).
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, 9(4): 19-41.
Gusrina. 2008. Budidaya Ikan Jilid 2. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
hal 167-324.
Hariati, A. M. 1989. Makanan Ikan. UNIBRAW / LUW / Fisheries Product
Universitas Brawijaya. Malang. hal 21-35.
Huynh, M.S. and R. Fotedar. 2004. Growth, Survival, Hemolymph Osmolality
and Organosomatic Indices of the Western King Prawn
(Penaeus laticulatus Kihinouye, 1896) Reared at Different Salinities.
Aquaculture, 234: 601-614.

Juwana, S. 2003. Kriteria optimum untuk pemeliharahaan rajungan (Portunus


pelagicus). 2. Pengaruh pencahayaan dan diet formulasi Oseanologi dan
Limnologi di Indonesia No. 35: 37-50.

137
Noviati Rohmatul Khasanah, dkk.

Kanna, I. 2002. Budidaya Kepiting Bakau. Kanisius. Yogyakarta. hal 24-25.

Karim, M. Y. 2005. Kinerja Pertumbuhan Kepiting Bakau Betina


(Scylla serrata Forsska) pada Berbagai Salinitas Media dan Evaluasinya
pada Salinitas Optimum Dengan Kadar Protein Pakan Berbeda. Disertasi.
Institut Pertanian Bogor. Bogor. 75 hal.

Karim, M. Y. 1998. Aplikasi Pakan Alami (Brachionus Plikatilis dan Nauplius


Artemia) Yang Diperkaya dengan Asam Lemak Omega-3 dalam
Pemeliharaan Larva Kepiting Bakau (Scylla serrata). Tesis. Progam pasca
Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 95 hal.

Karim, M. Y., 2006. Respon Fisiologis Larva Kepiting Bakau (Scylla serrata)
Yang Diberi Nauplius Artemia Hasil Bioenkapsulasi Dengan Asam Lemak
Hufa. Jurnal Protein, XIII (1): 1-7.

Kusriningrum, R. S. 2008. Perancangan Percobaan. Airlangga University Press.


Surabaya. Hal 43-98.

Lovell, T. 1988. Nutrition and Fedding of Fish. Van Nostrand Reinhold. New
York. 27 pp.

Mursitorini, E. 2006. Pengaruh Pengkayaan Artemia spp. dengan EPA dan DHA
terhadap pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup larva rajungan.
Skripsi. Teknologi Instititut Pertanian Bogor. Bogor. 35 hal.

Nana, S.S dan U. Putra. 2008. Manajemen Kualitas Tanah dan Air dalam
Kegiatan Perikanan Budidaya. Diktat Apresiasi Tenaga Pendamping
Teknologi (TPT) Ditjen Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Air Payau
Takalar, Sulawesi Selatan. 40 hal.

Rusdi, I. dan M. Y. Karim. 2006. Salinitas Optimum bagi Sintasan dan


pertumbuhan Crablet Kepiting Bakau (Scylla paramamosain). Jurnal Sains
& Teknologi, Volume 6 No. 3. Hal 149-157.
Serang, M. S., 2006. Pengaruh Kadar Protein dan Rasio Energi Protein Pakan
Berbeda Terhadap Kinerja Pertumbuhan Benih Rajungan
(Portunus pelagicus). Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 59 hal.

Sheen, S. 2000. Dietary Cholesrerol Requirement of Juvenile Mud Crab Scylla


Serrata. Aquaculture, 189:277-285.

Shuanglin, D. 2002. Protein Restriction With Subsquent Realimention on Growth


Performance of Juvenile Chinese Shrimp (Fenneropenaeus chinensis).
Jurnal Aquaculture, 210:343-358.

138
Pengaruh Pengkayaan Artemia spp.

Sirait, J.M. 1997. Kualitas Habitat Kepiting Bakau, Scylla serata, S. oceanic dan
S. transquebarica di Hutan Mangrove RPH Cibuaya, Karawang. Skripsi.
Fakultas Perikanan IPB. 104 hal.
Sukoso. 2002. Pemanfaatan Mikroalga dalam Industri Pakan Ikan. Agritek YPN.
Jakarta. hal 56-70.
Watanabe, T. and V. Kiron, 1994. Prospect in Larval Fish Dietetics. Review,
Aquaculture, 124 : 223-251.

Wickins, J.F and D.O.C. Lee. 2002. Crustacean Farming, Ranching and Culture.
Blackwell Science. Oxford. 446 p.
Yunus, K. Suwirya, Kasprijo, dan I. Setyadi. 1996. Pengaruh Pengkayaan Rotifer
(Brachionus plicatilis) Dengan Menggunakan Minyak Hati Ikan Cod
terhadap Sintasan Larva Kepiting Bakau (Scylla serrata). Jurnal Penelitian
Perikanan Indonesia, II (3) : 38-45.

139

You might also like