Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 174

Proceeding

Book


Competence Care in Daily Practice



Bandung, 14–15 Oktober 2017



















Editor: Prof. Herry Garna, dr., Sp.A(K), Ph.D





DEPARTEMEN/SMF ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN –
RSUP Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG






Proceeding Book


Competence Care in Daily Practice






Editor:
Prof. Herry Garna, dr., Sp.A(K)., Ph.D.



ISBN:
978-602-71594-6-4




Diterbitkan oleh
Departemen/SMF
Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran

RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

Jl. Pasteur No. 38 Bandung 40161

Telp. & Faks. 022–2035957; E-mail: dikarshs@yahoo.com





Copyright ©2017
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV II


SAMBUTAN KETUA PANITIA
PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK




Ilmu kedokteran merupakan salah satu bidang keilmuan yang senantiasa berkembang.
Setiap harinya ada penemuan dan penelitian terbaru di bidang kedokteran, khususnya
di bidang ilmu kesehatan anak. Keterbaruan ini berjalan selaras dengan kebutuhan klinis
dalam praktik sehari-hari. Oleh karenanya, seorang dokter selalu dituntut untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dan keahliannya demi penanganan dan tatalaksana
yang komprehensif.

Proceeding book ini merupakan makalah lengkap memuat semua materi yang
disampaikan dalam kuliah umum Pendidikan Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak yang
bertujuan agar peserta dokter dan dokter spesialis anak dapat meningkatkan
kemampuan dan keahliannya dalam menghadapi dan menangani masalah kesehatan
anak.

Tentu saja dalam proses penyusunan buku ini tidak luput dari berbagai kesalahan,
namun kami mengharapkan hal tersebut tidak akan mengurangi makna dari buku ini.
Kami berharap buku ini akan bermanfaat bagi sejawat sekalian dan menjadi rujukan bagi
para sejawat. Selamat mengikuti kegiatan Pendidikan Ilmu Kedokteran Anak
Berkelanjutan.








Ketua Panitia,

Prof. Dr. Dwi Prasetyo, dr., Sp.A(K)., M.Kes.


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV III


SAMBUTAN KEPALA DEPARTEMEN


ILMU KESEHATAN ANAK FK UNIVERSITAS PADJADJARAN


RSUP Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Saat ini ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang sangat pesat dan keberadaannya
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Dalam praktik sehari-hari dokter dan
dokter spesialis anak diharapkan selalu dapat meningkatkan kompetensi dalam
keilmuan dan keahlian di bidang kedokteran. Oleh karena itu pada kesempatan ini
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK Unpad/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung
menyelenggarakan acara Pendidikan Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak dengan
mengambil tema "Competence in Daily Practice", melalui kegiatan ini diharapkan para
dokter spesialis anak dapat memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan
bermutu.

Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih kepada para pembicara dan penghargaan
kepada panitia penyelenggara serta semua pihak yang telah membantu dan
memberikan dukungan sehingga Pendidikan Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak dapat
terlaksana dengan baik.

Wassalamu'alaikum warahmatullohi wabarakatuh.

Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Anak

FK Unpad/RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

Dr. H. Djatnika Setiabudi, dr., Sp.A(K)., MCTM(Trop.Ped.)


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV IV


Daftar Isi

Kata Pengantar ................................................................................................ iii
Sambutan Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUP/
RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung .................................................................... iv
Daftar Isi ........................................................................................................... v
Susunan Panitia ............................................................................................... vi
Daftar Kontributor ......................................................................................... viii
Susunan Acara ................................................................................................. ix

Simposium Hari Pertama
Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent) ................................... 1
Tata Laksana Sepsis Pada Anak Terkini ........................................................... 12
Tantangan dalam Penanganan Anemia .......................................................... 32
Hipertensi Emergensi pada Anak: Apa yang Harus Dilakukan? ...................... 42
Resusitasi Neonatus Terintegrasi .................................................................... 52
Epilepsi pada Anak: Klasifikasi ILAE 2017 ........................................................ 61
Dukungan Nutrisi pada Anak Sakit Kritis ......................................................... 71
Peran Dokter Anak dalam Masalah Perilaku Emosi Sosial Remaja ................. 78

Simposium Hari Kedua


Double Burden Malnutrition: Deteksi Dini dan Intervensi Terpadu ................ 92
Imunisasi pada Remaja Sudah Menjadi Keharusan ...................................... 102
Gagal Napas Akut Pada Anak ........................................................................ 107
Pendekatan Diagnostik Perdarahan pada Anak ............................................ 122
Penyakit Ginjal Kronik ................................................................................... 134
Nutrisi pada Bayi Berat Lahir Rendah: Apa yang Berubah? .......................... 151
Disabilitas Intelektual: Kapan Waktu yang Tepat untuk Test IQ? ................. 158


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV V


SUSUNAN PANITIA


Pelindung Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Direktur Utama RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung

Penasihat Prof. Dr. Ponpon S Idjradinata, dr., Sp.A(K)
Panitia Pengarah

Ketua Prof. Dr. Dwi Prasetyo, dr., Sp.A(K), M.Kes.

Wakil Ketua dr. Aris Primadi, SpA(K)



Sekretaris Dr. dr. Anggraini Alam, Sp.A(K)
dr. Mia Milanti Dewi, Sp.A(K), M.Kes

Bendahara dr. Diah Asri Wulandari, Sp.A(K)

Seksi Ilmiah
Koordinator Dr. dr. Sri Endah Rahayuningsih, Sp.A(K)

Anggota Prof. Herry Garna, dr., Sp.A(K), M.Kes
dr. Nur Melani Sari, Sp.A,M.Kes

Seksi Dana
Koordinator Dr. Nelly Amalia Risan, dr., Sp.A(K)

Anggota Prof. Cissy B. Kartasasmita, dr., Sp.A(K), MSc., Ph.D
Prof. Dr. Sjarief Hidajat Effendi, dr., Sp.A(K)
Prof. Dr. Kusnandi Rusmil, dr., Sp.A(K), MM
dr. Viramitha Kusnandi Rusmil., Sp.A, M.Kes


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV VI



Seksi Pameran dr. Faisal., Sp.A, MKes.

Seksi Sidang
dan Acara
Koordinator dr. Nur Suryawan., Sp.A(K), MKes

Anggota dr. Rini Rossanti., Sp.A., MKes.

Seksi Publikasi,
Dokumentasi &
Dekorasi
Koordinator Fina Meilyana, dr., Sp.A, MKes.

Anggota M. Akbar Tirtosudiro, dr., Sp.A

Seksi Konsumsi Dewi Hawani, dr., Sp.A(K)

Seksi Logistik
& Perlengkapan dr. Riyadi, Sp.A(K)., M.Kes

Seksi Keamanan Rodman Tarigan, dr.,Sp.A(K), M.Kes
& Kesehatan


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV VII


DAFTAR KONTRIBUTOR


Prof. Alex Chairulfatah, dr., Sp.A(K) Fiva Aprilia Kadi Sp.A(K)., M.Kes

Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Divisi Neonatologi

Dr. Meita Dhamayanti, dr., Sp.A(K)., M.Kes Prof. Dr. Kusnandi Rusmil, dr., Sp.A(K)., MM

Divisi Tumbuh Kembang Pediatri Sosial Divisi Tumbuh Kembang dan Pediatri Sosial

Dr. Lelani Reniarti, dr., Sp.A(K)., Prof. Dida A Gurnida, dr, Sp.A(K)., M.Kes
M.Kes
Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik
Divisi Hematoonkologi


dr. Stanza Uga P, Sp.A(K)., M.Kes
Prof. Dr. Dedi Rachmadi.,dr., Sp., A(K)., M.Kes
Divisi Emergensi dan Rawat Intensif Anak
Divisi Nefrologi


Dr. Susi Susanah, dr., Sp.A(K)., M.Kes
dr. Aris Primadi, Sp.A(K)
Divisi Hematoonkologi
Divisi Neonatologi


Prof. dr. Nanan Sekarwana, Sp.A(K). MARS
Dr. Nelly Amalia Risan, dr., Sp.A(K)
Divisi Nefrologi
Divisi Neurologi Anak


dr. Purboyo Solek, Sp.A(K)
dr. Julistio TB Djais, Sp.A(K)., M.Kes
Divisi Neurologi Anak
Divisi Nutrisi dan Penyakit Metabolik


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV VIII


SUSUNAN ACARA
Sabtu, 14 Oktober 2017
07.00–07.30 Registrasi
07.30–07.50 Pembukaan
07.50–08.10 Keynote speaker
Informed Concent dalam Praktik Kedokteran Sehari-hari
Prof. Dr. Nanan Sekarwana, dr., Sp.A(K), MARS
Sesi 1:
Moderator: Prof. Alex Chairulfatah, dr., Sp.A(K)
08.10–08.30 Penyakit Ginjal Kronik
Prof. Dr. Nanan Sekarwana, dr., Sp.A(K), MARS
08.30–08.50 Tatalaksana Sepsis Pada Anak Terkini
Dr. Dadang Hudaya Somasetia, dr., Sp.A(K), M.Kes
08.50–09.10 Tantangan dalam Penanganan Anemia
Dr. Lelani Reniarti, dr., Sp.A(K), MKes.
09.10-09.30 Hipertensi Emergensi pada Anak: Apa yang Harus Dilakukan?
Prof. Dr. Dedi Rachmadi, dr., Sp. A(K), M.Kes
09.30–09.40 Diskusi
09.40–10.25 Industrial Meeting
Sesi 2:
Moderator: Prof. Dr. Abdurachman Sukadi, dr., Sp.A(K)
10.25–10.45 Resusitasi Neonatus Terintegrasi
Aris Primadi, dr., Sp.A(K)
10.45–11.05 Epilepsi Pada Anak : Klasifikasi ILAE 2017
Dr. Nelly Amalia Risan, dr., Sp.A(K)
11.05–11.25 Dukungan Nutrisi pada Anak Sakit Kritis
Julistio TB Djais dr., Sp.A(K), MKes.
11.25-11.45
Peran Dokter Anak dalam Masalah Perilaku Emosi Sosial Remaja

Dr. Meita Dhamayanti, dr., Sp.A(K)., M.Kes

Diskusi
11.45–11.55
11.55–12.55 Lunch Symposium
12.55–14.00 ISHOMA
14.00–17.00 Workshop

WORKSHOP
Emergensi & Rawat Intensif Anak Stabilisasi Paska Resusitasi pada Anak Sakit Kritis

Neonatologi Strategi Dukungan Ventilasi pada Bayi Prematur

Neurologi Anak Nyeri Kepala pada Pasien Rawat Jalan

Nefrologi Penyakit ginjal Kronik pada Anak

Nutrisi dan Penyakit Metabolik Dukungan Nutrisi pada Anak Kritis

Hematologi Onkologi Tatalaksana dan Monitoring Pemberian Kelasi Besi

Tumbuh Kembang – Pediatri Sosial Penggunaan Skrining Gangguan Perilaku Emosi Sosial

Remaja


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV IX


Minggu, 15 Oktober 2017
Sesi 3:
Moderator: Prof. Dr. Ponpon S. Idjradinata dr., Sp.A(K)
07.30–07.50 Double Burden Malnutrition:
Deteksi Dini dan Intervensi Terpadu
Prof. Dr.Dida A Gurnida dr., Sp.A(K), MKes.
07.50–08.10 Imunisasi pada Remaja Sudah Menjadi Keharusan
Prof. Dr. Kusnandi Rusmil dr., Sp.A(K), MM.
08.10–08.30 Pendekatan Diagnostik Perdarahan pada Anak
Dr. Susi Susanah, dr., Sp.A(K), MKes.
08.30– 08.40 Diskusi
08.40–10.10 Industrial Meeting
Sesi 4:
Moderator: Prof. Dr. Dani Hilmanto dr., Sp.A(K)
10.10–10.30 Nutrisi Pada Bayi Berat Lahir Rendah : Apa yang Berubah?
Fiva Aprilia Kadi dr., Sp.A(K), MKes
10.30–10.50 Disabilitas Intelektual : Kapan Waktu yang Tepat untuk Test IQ?
Purboyo Solek, dr., Sp.A(K)
10.50–11.10 Gagal Napas Akut
Stanza Uga Peryoga, dr., Sp.A(K), M.Kes
11.10–11.20 Diskusi
11.20–13.20 Lunch Symposium
13.20–14.10 ISHOMA
14.10–17.00 Workshop

WORKSHOP

Emergensi & Rawat Intensif Anak Stabilisasi Paska Resusitasi pada Anak Sakit Kritis

Neonatologi Nutrisi pada Bayi Berat Lahir Rendah

Neurologi Anak Deteksi Dini Gangguan Neurodevelopmental pada

Anak

Nefrologi Penyakit Ginjal Kronik pada Anak

Nutrisi dan Penyakit Metabolik Double Burden Malnutrition : Deteksi dan Intervensi

Terpadu

Hematologi – Onkologi Tata Laksana dan Monitoring Pemberian Kelasi Besi

pada Anak

Tumbuh Kembang dan Pediatrik Sosial Problematika Imunisasi pada Remaja


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV X



PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV XI


PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN (INFORMED CONSENT)

Nanan Sekarwana
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD-RSHS

Pendahuluan
Tindakan kedokteran yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi untuk meningkatkan atau
memulihkan kesehatan seseorang (pasien) hanya merupakan upaya yang tidak wajib diterima oleh
seorang (pasien) yang bersangkutan. Sesungguhnya dalam pelayanan kedokteran tidak seorangpun
yang dapat memastikan keadaan hasil akhir diselenggarakannya pelayanan kedokteran tersebut
(uncertainty result) dan karena itu tidak etis jika penerimaannya dipaksakan. Jika seseorang karena
satu dan lain halnya tidak dapat atau tidak bersedia menerima tindakan kedokteran yang ditawarkan
maka sepanjang penolakan tersebut tidak membahayakan orang lain, harus dihormati.
Hasil tindakan kedokteran akan lebih berdaya guna dan berhasil guna apabila terjalin kerjasama
yang baik antara dokter dan pasien sehingga dapat saling mengisi dan melengkapi. Dalam rangka
menjalin kerjasama yang baik ini perlu diadakan ketentuan yang mengatur perjanjian dokter atau
dokter gigi dengan pasien. Pasien menyetujui (consent) atau menolak merupakan hak pribadinya yang
tidak boleh dilanggar setelah mendapat informasi dari dokter atau dokter gigi terhadap hal-hal yang
akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi sehubungan dengan pelayanan kedokteran yang diberikan
kepadanya.

Pengertian
Informed consent terdiri atas dua kata, yaitu “informed” yang berarti informasi atau keterangan dan
“consent” yang berarti persetujuan atau memberi izin. Jadi, yang dimaksud dengan informed consent
dalam profesi kedokteran adalah pernyataan setuju (consent) atau izin dari seseorang (pasien) yang
diberikan secara bebas, rasional, tanpa paksaan (voluntary) terhadap tindakan kedokteran yang akan
dilakukan terhadapnya sesudah mendapatkan informasi yang cukup tentang kedokteran yang
dimaksud. Dengan demikian, informed consent dapat didefinisikan sebagai pernyataan pasien atau
yang sah mewakilinya yang isinya berupa persetujuan atas rencana tindakan kedokteran yang diajukan
oleh dokter setelah menerima informasi yang cukup untuk dapat membuat persetujuan atau
penolakan. Persetujuan tindakan yang akan dilakukan oleh dokter harus dilakukan tanpa unsur
pemaksaan.

Istilah Bahasa Indonesia informed consent diterjemahkan sebagai persetujuan tindakan medik yang
terdiri atas dua suku kata Bahasa Inggris, yaitu informed yang bermakna informasi dan consent berarti
persetujuan. Secara umum informed consent dapat diartikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh
seorang pasien kepada dokter atas suatu tindakan medik yang akan dilakukan setelah mendapatkan
informasi yang jelas akan tindakan tersebut.

Informed consent menurut Permenkes No.585/Menkes/Per/IX/1989, Persetujuan Tindakan Medik


adalah Persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai
tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.1
Beberapa pengertian khusus:


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 1


a. Persetujuan Tindakan Kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
b. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung atau saudara
kandung.
c. Tindakan Kedokteran atau Kedokteran Gigi yang selanjutnya disebut Tindakan Kedokteran, adalah
tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik, atau rehabilitatif yang dilakukan oleh
dokter atau dokter gigi terhadap pasien.
d. Tindakan invasif adalah tindakan yang langsung dapat memengaruhi keutuhan jaringan tubuh
pasien.
e. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan medis yang berdasar atas
tingkat probabilitas tertentu dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan.
f. Pasien adalah penerima jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit baik dalam keadaan sehat maupun
sakit.
g. Dokter dan Dokter Gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh
Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
h. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung, saudara-
saudara kandung atau pengampunya.
i. Gangguan mental adalah sekelompok gejala psikologis atau perilaku yang secara klinis menimbulkan
penderitaan dan gangguan dalam fungsi kehidupan seseorang, mencakup gangguan mental berat,
retardasi mental sedang, retardasi mental berat, dementia senilis.
j. Pasien gawat darurat adalah pasien yang tiba-tiba berada dalam keadaan gawat atau akan menjadi
gawat dan terancam nyawanya atau anggota badannya (akan menjadi cacat) bila tidak mendapat
pertolongan secepatnya.

Untuk mengatur keserasian, keharmonisan, dan ketertiban hubungan dokter atau dokter gigi
dengan pasien melalui informed consent harus ada pedoman sebagai acuan bagi seluruh personil
rumah sakit.

Dasar Hukum
Persetujuan tindakan kedokteran telah diatur dalam Pasal 45 Undang-Undang No. 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran. Sebagaimana dinyatakan setiap tindakan kedokteran atau kedokteran
gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
Persetujuan sebagaimana dimaksud diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap,
sekurang-kurangnya mencakup diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang
dilakukan, alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, serta
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Persetujuan tersebut dapat diberikan baik secara tertulis
maupun lisan. Dinyatakan di alamnya bahwa setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang
mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang
berhak memberikan persetujuan.2
Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran dinyatakan dalam pasal 1, 2, dan 3, yaitu3


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 2



Pasal 1
1. Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
2. Keluarga terdekat adalah suami atau istri, ayah atau ibu kandung, anak-anak kandung, saudara-
saudara kandung atau pengampunya.
3. Tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang selanjutnya disebut tindakan kedokteran adalah
tindakan medis berupa preventif, diagnostik, terapeutik, atau rehabilitatif yang dilakukan oleh
dokter atau dokter gigi terhadap pasien.
4. Tindakan invasif adalah tindakan medis yang langsung dapat memengaruhi keutuhan jaringan tubuh
pasien.
5. Tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi adalah tindakan medis yang berdasar atas
tingkat probabilitas tertentu dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan.
6. Dokter dan dokter gigi adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter gigi spesialis lulusan
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh
pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
7. Pasien yang kompeten adalah pasien dewasa atau bukan anak menurut peraturan perundang-
undangan atau telah/pernah menikah, tidak terganggu kesadaran fisiknya, mampu berkomunikasi
secara wajar, tidak mengalami kemunduran perkembangan (retardasi) mental dan tidak mengalami
penyakit mental sehingga mampu membuat keputusan secara bebas.
Pasal 2
1. Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.
3. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan
yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan.
Pasal 3
1. Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus memperoleh persetujuan tertulis
yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
2. Tindakan kedokteran yang tidak termasuk dalam ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat diberikan dengan persetujuan lisan.
3. Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam bentuk pernyataan yang
tertuang dalam formulir khusus yang dibuat untuk itu.
4. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan dalam bentuk ucapan setuju atau
bentuk gerakan menganggukkan kepala yang dapat diartikan sebagai ucapan setuju.
5. Dalam hal persetujuan lisan yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap
meragukan maka dapat dimintakan persetujuan tertulis.
Peraturan informed consent apabila dijalankan dengan baik antara dokter dan pasien akan sama-
sama terlindungi secara hukum. Namun, apabila terdapat perbuatan di luar peraturan yang sudah
dibuat tentu dianggap melanggar hukum. Pelanggaran informed consent telah diatur dalam pasal 19
Permenkes No. 290 Tahun 2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran, dinyatakan terhadap
dokter yang melakukan tindakan tanpa informed consent dapat dikenakan sanksi berupa teguran lisan,
teguran tertulis, sampai dengan pencabutan Surat Izin Praktik.
Informed consent di Indonesia juga diatur dalam peraturan berikut:


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 3


1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
2. Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI).
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan
Medis.
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1419/Men.Kes/Per/X/2005 tentang Penyelanggaraan
Praktik Kedokteran.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
6. Surat Keputusan PB IDI No 319/PB/A4/88.
7. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran.
8. Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 269/Menkes/Per/III/2008 tentang Rekam Medis.
9. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2012 Tentang Rahasia
Kedokteran.

Fungsi dan Tujuan


Fungsi informed consent adalah
1. promosi hak otonomi perorangan;
2. proteksi pasien dan subjek;
3. mencegah terjadi penipuan atau paksaan;
4. menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan introspeksi terhadap diri
sendiri;
5. promosi dari keputusan-keputusan rasional;
6. keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai suatu nilai sosial dan
mengadakan pengawasan dalam penyelidikan biomedik.
Informed consent itu sendiri menurut jenis tindakan/tujuannya dibagi tiga, yaitu
a. bertujuan untuk penelitian (pasien diminta untuk menjadi subjek penelitian);
b. bertujuan mencari diagnosis;
c. bertujuan untuk terapi.
Tujuan informed consent menurut J. Guwandi adalah:
a. melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien;
b. memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak terduga dan bersifat
negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tidak mungkin dihindarkan walaupun dokter
sudah mengusahakan semaksimal-maksimalnya dan bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti.

Bentuk Persetujuan Informed Consent


Ada 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medis, yaitu
1. Implied consent (dianggap diberikan)
Umumnya implied consent diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter dapat menangkap
persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang diberikan/dilakukan pasien. Demikian pula
pada kasus emergensi, sedangkan dokter memerlukan tindakan segera sementara pasien dalam
keadaan tidak dapat memberikan persetujuan dan keluarganya tidak ada di tempat maka dokter
dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter.
2. Expressed consent (dinyatakan)


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 4


Dapat dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dalam tindakan medis yang bersifat invasif dan
mengandung risiko, dokter sebaiknya mendapatkan persetujuan secara tertulis, atau yang secara
umum dikenal di rumah sakit sebagai surat izin operasi.
Persetujuan tertulis dalam suatu tindakan medis dibutuhkan saat:
1. bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau menyangkut risiko atau efek samping yang
bermakna;
2. bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi;
3. bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna bagi kedudukan kepegawaian
atau kehidupan pribadi dan sosial pasien;
4. bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian.

Persetujuan dan Pejelasan Tindakan Kedokteran


Dalam menetapkan dan Persetujuan Tindakan Kedokteran harus memperhatikan ketentuan-
ketentuan sebagai berikut:
1. memperoleh informasi dan penjelasan merupakan hak pasien dan sebaliknya memberikan
informasi dan penjelasan adalah kewajiban dokter atau dokter gigi;
2. Pelaksanaan persetujuan tindakan kedokteran dianggap benar jika memenuhi persyaratan dibawah
ini:
a. persetujuan atau penolakan tindakan kedokteran diberikan untuk tindakan kedokteran yang
dinyatakan secara spesifik (the vonsent must be for what will be actually performed);
b. persetujuan atau penolakan tindakan kedokteran diberikan tanpa paksaan (voluntary);
c. persetujuan atau penolakan tindakan kedokteran diberikan oleh seseorang (pasien) yang sehat
mental dan yang memang berhak memberikannya dari segi hokum;
d. persetujuan dan penolakan tindakan kedokteran diberikan setelah diberikan cukup (adekuat)
informasi dan penjelasan yang diperlukan tentang perlunya tindakan kedokteran dilakukan;
3. informasi dan penjelasan dianggap cukup (adekuat) jika sekurang-kurangnya mencakup: (Pasal 45
UU Praktik Kedokteran):2
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
4. Kewajiban memberikan informasi dan penjelasan.
Dokter atau dokter gigi yang akan melakukan tindakan medik mempunyai tanggung jawab utama
memberikan informasi dan penjelasan yang diperlukan. Apabila berhalangan, informasi dan
penjelasan yang harus diberikan dapat diwakilkan kepada dokter atau dokter gigi lain dengan
sepengetahuan dokter atau dokter gigi yang bersangkutan. Bila terjadi kesalahan dalam memberikan
informasi, tanggung jawab berada di tangan dokter atau dokter gigi yang memberikan delegasi.
Penjelasan harus diberikan secara lengkap dengan bahasa yang mudah dimengerti atau cara lain yang
bertujuan untuk mempermudah pemahaman. Penjelasan tersebut dicatat dan didokumentasikan
dalam berkas rekam medis oleh dokter atau dokter gigi yang memberikan penjelasan dengan
mencantumkan


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 5


• tanggal,
• waktu,
• nama,
• tandatangan,
. pemberi penjelasan dan penerima penjelasan.
Dalam hal dokter atau dokter gigi menilai bahwa penjelasan yang akan diberikan dapat merugikan
kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan penjelasan maka dokter atau dokter gigi
dapat memberikan penjelasan kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh seorang tenaga
kesehatan lain sebagai saksi.
Hal-hal yang disampaikan pada penjelasan.
(1) Penjelasan tentang diagnosis dan keadaan kesehatan pasien dapat meliputi:
a. temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut;
b. diagnosis penyakit atau dalam hal belum dapat ditegakkan maka sekurang-kurangnya diagnosis
kerja dan diagnosis banding;
c. indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya tindakan kedokteran;
d. prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan tindakan.
(2) Penjelasan tentang tindakan kedokteran yang dilakukan meliputi:
a. tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif, diagnostik, terapeutik, ataupun
rehabilitatif;
b. tata cara pelaksanaan tindakan apa yang akan dialami pasien selama dan sesudah tindakan, serta
efek samping atau ketidaknyamanan yang mungkin terjadi;
c. alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya dibanding dengan tindakan yang
direncanakan;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi pada tiap-tiap alternatif tindakan;
e. perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan darurat akibat risiko dan
komplikasi tersebut atau keadaan tidak terduga lainnya.
Perluasan tindakan kedokteran yang tidak terdapat indikasi sebelumnya hanya dapat dilakukan
untuk menyelamatkan pasien. Setelah perluasan tindakan kedokteran dilakukan, dokter atau
dokter gigi harus memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarga terdekat.
(3) Penjelasan risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua risiko dan komplikasi yang
dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang dilakukan, kecuali
a. risiko dan komplikasi yang sudah menjadi 1pengetahuan umum;
b. risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau dampaknya sangat ringan;
c. risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya (unforeseeable).
(4) Penjelasan prognosis meliputi:
a. prognosis hidup-matinya (ad vitam);
b. prognosis fungsinya (ad functionam);
c. prognosis kesembuhan (ad sanationam).
Penjelasan diberikan oleh dokter atau dokter gigi yang merawat pasien atau salah satu dokter atau
dokter gigi dari tim dokter yang merawatnya.
Dalam hal dokter atau dokter gigi yang merawatnya berhalangan untuk memberikan penjelasan
secara langsung maka pemberian penjelasan harus didelegasikan kepada dokter atau dokter gigi lain
yang kompeten.


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 6


Tenaga kesehatan tertentu dapat membantu memberikan penjelasan sesuai dengan
kewenangannya. Tenaga kesehatan tersebut adalah tenaga kesehatan yang ikut memberikan
pelayanan kesehatan secara langsung kepada pasien.
Demi kepentingan pasien, persetujuan tindakan kedokteran tidak diperlukan bagi pasien gawat
darurat dalam keadaan tidak sadar dan tidak didampingi oleh keluarga pasien yang berhak
memberikan persetujuan atau penolakan tindakan kedokteran.
Cara pemberian informasi.
1. Informasi diberikan dalam konteks nilai, budaya, dan latar belakang mereka sehingga menghadirkan
seorang interpreter bila mungkin.
2. Dapat menggunakan alat bantu seperti leaflet atau bentuk publikasi lain apabila hal itu dapat
membantu memberikan informasi yang bersifat rinci. Berdasar atas informasi yang terakhir dapat
dibawa pulang dan digunakan untuk berpikir lebih lanjut, tetapi jangan sampai mengakibatkan tidak
ada diskusi.
3. Apabila dapat membantu, tawarkan kepada pasien untuk membawa keluarga atau teman dalam
diskusi atau membuat rekaman dengan tape recorder.
4. Memastikan bahwa informasi yang membuat pasien tertekan (distress) agar diberikan dengan cara
yang sensitif dan empati.
5. Mengikutsertakan salah satu anggota tim pelayanan kesehatan dalam diskusi.
6. Menjawab semua pertanyaan pasien dengan benar dan jelas.
7. Memberikan cukup waktu bagi pasien untuk memahami informasi yang diberikan dan kesempatan
bertanya.

Pemberian Informasi dan Penerima Persetujuan


Pemberi informasi dan penerima persetujuan merupakan tanggung jawab dokter pemberi perawatan
atau pelaku pemeriksaan/tindakan untuk memastikan bahwa persetujuan tersebut diperoleh secara
benar dan layak. Dokter memang dapat mendelegasikan proses pemberian informasi dan penerimaan
persetujuan, tetapi tanggung jawab tetap berada pada dokter pemberi delegasi untuk memastikan
bahwa persetujuan diperoleh secara benar dan layak.
Seseorang dokter apabila akan memberikan informasi dan menerima persetujuan pasien atas nama
dokter lain maka dokter tersebut harus yakin bahwa dirinya mampu menjawab secara penuh
pertanyaan apapun yang diajukan pasien berkenaan dengan tindakan yang akan dilakukan
terhadapnya untuk memastikan bahwa persetujuan tersebut dibuat secara benar dan layak.

Pemberi Persetujuan
Persetujuan diberikan oleh individu yang kompeten. Ditinjau dari segi usia maka seseorang dianggap
kompeten apabila telah berusia 18 tahun atau lebih atau telah pernah menikah. Anak-anak yang
berusia 16 tahun atau lebih, tetapi belum berusia 18 tahun dapat membuat persetujuan tindakan
kedokteran tertentu yang tidak berisiko tinggi apabila mereka dapat menunjukkan kompetensinya
dalam membuat keputusan
Alasan hukum yang mendasarinya adalah sebagai berikut:
1) berdasar atas Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka seseorang yang berusia 21 tahun atau
lebih atau telah menikah dianggap sebagai orang dewasa dan oleh karenanya dapat memberikan
persetujuan;

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 7


2) berdasar atas UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka setiap orang yang berusia 18
tahun atau lebih dianggap sebagai orang yang sudah bukan anak-anak. Dengan demikian, mereka
dapat diperlakukan sebagaimana orang dewasa yang kompeten dan oleh karenanya dapat
memberikan persetujuan.4
3) mereka yang telah berusia 16 tahun, tetapi belum 18 tahun memang masih tergolong anak menurut
hukum, namun dengan menghargai hak individu untuk berpendapat sebagaimana juga diatur
dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka mereka dapat diperlakukan seperti
orang dewasa dan dapat memberikan persetujuan tindakan kedokteran tertentu, khususnya yang
tidak berisiko tinggi. Untuk itu, mereka harus dapat menunjukkan kompetensinya dalam
menerima informasi dan membuat keputusan dengan bebas. Selain itu, persetujuan atau
penolakan mereka dapat dibatalkan oleh orangtua atau wali atau penetapan pengadilan.
Sebagaimana uraian di atas, setiap orang yang berusia 18 tahun atau lebih dianggap kompeten.
Seseorang pasien dengan gangguan jiwa yang berusia 18 tahun atau lebih tidak boleh dianggap tidak
kompeten sampai nanti terbukti tidak kompeten dengan pemeriksaan. Sebaliknya, seseorang yang
normalnya kompeten dapat menjadi tidak kompeten sementara sebagai akibat dari nyeri hebat, syok,
pengaruh obat tertentu, atau keadaan kesehatan fisiknya. Anak-anak berusia 16 tahun atau lebih,
tetapi di bawah 18 tahun harus menunjukkan kompetensinya dalam memahami sifat dan tujuan suatu
tindakan kedokteran yang diajukan. Jadi, kompetensi anak bervariasi bergantung pada usia dan
kompleksitas tindakan.
Tindakan dan atau prosedur berikut ini harus dimintai persetujuan tindakan kedokteran tertulis,
yaitu
1. sebelum operasi atau prosedur invasif;
2. sebelum anestesia termasuk sedasi yang moderat dan dalam;
3. sebelum penggunaan darah atau produk darah;
4. sebelum pelaksanaan tindakan dan pengobatan yang berisiko tinggi.
Persetujuan tertulis dibuat dalam bentuk pernyataan yang tertuang dalam formulir Persetujuan
Tindakan Kedokteran terlampir

Penolakan Pemeriksaan Tindakan


Pasien yang kompeten (dia memahami informasi, menahannya, mempercayainya, dan mampu
membuat keputusan) berhak untuk menolak pemeriksaan atau tindakan kedokteran, meskipun
keputusan pasien tersebut terkesan tidak logis. Kalau hal seperti ini terjadi dan bila konsekuensi
penolakan tersebut berakibat serius maka keputusan tersebut harus didiskusikan dengan pasien, tidak
dengan maksud untuk mengubah pendapatnya, tetapi untuk mengklarifikasi situasinya. Untuk itu
perlu dicek kembali apakah pasien telah mengerti informasi tentang keadaan pasien, tindakan atau
pengobatan, serta semua kemungkinan efek sampingnya.
Kenyataan ada penolakan pasien terhadap rencana pengobatan yang terkesan tidak rasional bukan
merupakan alasan untuk mempertanyakan kompetensi pasien. Meskipun demikian, suatu penolakan
dapat mengakibatkan dokter meneliti kembali kapasitasnya, apabila terdapat keganjilan keputusan
tersebut dibanding dengan keputusan sebelumnya. Dalam setiap masalah seperti ini rincian setiap
diskusi harus secara jelas didokumentasikan dengan baik.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penolakan tindakan kedokteran.
(1) Penolakan tindakan kedokteran dapat dilakukan oleh pasien dan/atau keluarga terdekatnya
setelah menerima penjelasan tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan.

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 8


(2) Jika pasien belum dewasa atau tidak sehat akalnya maka yang berhak memberikan atau menolak
memberikan persetujuan tindakan kedokteran adalah keluarga terdekat atau pengampunya.
(3) Bila pasien yang sudah menikah maka suami atau isteri tidak diikutsertakan menandatangani
persetujuan tindakan kedokteran, kecuali untuk tindakan keluarga berencana yang sifatnya
ireversibel, yaitu tubektomi atau vasektomi.
(4) Jika orang yang berhak memberikan persetujuan menolak menerima informasi dan kemudian
menyerahkan sepenuhnya kepada kebijakan dokter atau dokter gigi maka orang tersebut
dianggap telah menyetujui kebijakan medis apapun yang akan dilakukan dokter atau dokter gigi.
(5) Apabila yang bersangkutan, sesudah menerima informasi, tetapi menolak untuk memberikan
persetujuannya maka penolakan tindakan kedokteran tersebut harus dilakukan secara tertulis.
Akibat penolakan tindakan kedokteran tersebut menjadi tanggung jawab pasien.
(6) Penolakan tindakan kedokteran tidak memutuskan hubungan dokter pasien.
(7) Persetujuan yang sudah diberikan dapat ditarik kembali (dicabut) setiap saat, kecuali tindakan
kedokteran yang direncanakan sudah sampai pada tahapan pelaksanaan yang tidak mungkin lagi
dibatalkan.
(8) Dalam hal persetujuan tindakan kedokteran diberikan keluarga maka yang berhak menarik kembali
(mencabut) adalah anggota keluarga tersebut atau anggota keluarga lainnya yang kedudukan
hukumnya lebih berhak sebagai wali.
(9) Penarikan kembali (pencabutan) persetujuan tindakan kedokteran harus diberikan secara tertulis
dengan menandatangani format yang disediakan.

Penundaan Persetujuan
Persetujuan suatu tindakan kedokteran dapat saja ditunda pelaksanaannya oleh pasien atau yang
memberikan persetujuan dengan berbagai alasan, misalnya terdapat anggota keluarga yang masih
belum setuju, masalah keuangan, atau masalah waktu pelaksanaan. Dalam hal penundaan tersebut
cukup lama maka perlu dicek kembali apakah persetujuan tersebut masih berlaku atau tidak.

Pembatalan Persetujuan yang Telah Diberikan
Prinsipnya, setiap saat pasien dapat membatalkan persetujuan mereka dengan membuat surat atau
pernyataan tertulis pembatalan persetujuan tindakan kedokteran. Pembatalan tersebut sebaiknya
dilakukan sebelum tindakan dimulai. Selain itu, pasien harus diberitahu bahwa pasien
bertanggungjawab atas akibat dari pembatalan persetujuan tindakan. Oleh karena itu, pasien harus
kompeten untuk dapat membatalkan persetujuan.
Kompetensi pasien pada situasi seperti ini sering kali sulit. Nyeri, syok, atau obat-obatan dapat
memengaruhi kompetensi pasien dan kemampuan dokter dalam menilai kompetensi pasien. Bila
pasien dipastikan kompeten dan memutuskan untuk membatalkan persetujuannya maka dokter harus
menghormatinya dan membatalkan tindakan atau pengobatannya. Kadang-kadang keadaan tersebut
terjadi pada saat tindakan sedang berlangsung. Bila suatu tindakan menimbulkan teriakan atau tangis
karena nyeri, tidak perlu diartikan bahwa persetujuannya dibatalkan. Rekonfirmasi persetujuan secara
lisan yang didokumentasikan di rekam medis sudah cukup untuk melanjutkan tindakan, tetapi apabila
pasien menolak dilanjutkannya tindakan, apabila memungkinkan, dokter harus menghentikan
tindakannya, mencari tahu masalah yang dihadapi pasien, dan menjelaskan akibatnya apabila
tindakan tidak dilanjutkan. Dalam hal tindakan sudah berlangsung sebagaimana di atas maka


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 9


penghentian tindakan hanya dapat dilakukan apabila tidak akan mengakibatkan hal yang
membahayakan pasien.

Lama Persetujuan Berlaku


Teori menyatakan bahwa suatu persetujuan akan tetap sah sampai dicabut kembali oleh pemberi
persetujuan atau pasien. Namun demikian, bila informasi baru muncul, misalnya tentang terdapat
efek samping atau alternatif tindakan yang baru maka pasien harus diberitahu dan persetujuannya
dikonfirmasikan lagi. Apabila terdapat jeda waktu antara saat pemberian persetujuan hingga
dilakukan tindakan maka alangkah lebih baik apabila ditanyakan kembali apakah persetujuan tersebut
masih berlaku. Hal-hal tersebut pasti juga akan membantu pasien, terutama bagi mereka yang sejak
awal memang masih ragu-ragu atau masih memiliki pertanyaan.

Ketentuan pada Situasi Khusus


(1) Tindakan penghentian/penundaan bantuan hidup (withdrawing/withholding life support) pada
seorang pasien harus mendapat persetujuan keluarga terdekat pasien.
(2) Persetujuan penghentian/penundaan bantuan hidup oleh keluarga terdekat pasien diberikan
setelah keluarga mendapat penjelasan dari tim dokter atau dokter gigi yang bersangkutan.
Persetujuan harus diberikan secara tertulis.
(3) Keputusan withdrawing/withholding dilakukan pada pasien yang dirawat di ruang rawat intensif
(ICU dan HCU). Keputusan penghentian atau penundaan bantuan hidup adalah keputusan medis
dan etis.
(4) Keputusan untuk penghentian atau penundaan bantuan hidup dilakukan oleh 3 (tiga) dokter, yaitu
dokter spesialis anestesiologi atau dokter lain yang memiliki kompetensi, dan 2 (dua) orang dokter
lain yang ditunjuk oleh komite medis rumah sakit.
(5) Dokter tidak melakukan tindakan-tindakan luar biasa pada pasien-pasien yang jika diterapi hanya
memperlambat waktu kematian dan bukan memperpanjang kehidupan. Untuk pasien ini dapat
dilakukan penghentian atau penundaan bantuan hidup. Pasien yang masih sadar, tetapi tanpa
harapan hanya dilakukan tindakan terapeutik/paliatif agar pasien merasa nyaman dan bebas nyeri.
(6) Semua bantuan hidup dihentikan pada pasien dengan kerusakan fungsi batang otak yang
ireversibel. Setelah kriteria mati batang otak (MBO) yang ada terpenuhi, pasien ditentukan
meninggal dan disertifikasi MBO serta semua terapi dihentikan. Jika dipertimbangkan donasi
organ maka bantuan jantung paru pasien diteruskan sampai organ yang diperlukan telah diambil.
Keputusan penentuan MBO dilakukan oleh 3 (tiga) dokter, yaitu dokter spesialis anestesiologi atau
dokter lain yang memiliki kompetensi, dokter spesialis saraf, dan 1 (satu) dokter lain yang ditunjuk
oleh komite medis rumah sakit.

Dokumen Persetujuan Tindakan Kedokteran


(1) Semua hal-hal yang sifatnya luar biasa dalam proses mendapatkan persetujuan tindakan
kedokteran harus dicatat dalam rekam medis.
(2) Seluruh dokumen mengenai persetujuan tindakan kedokteran harus disimpan bersama-sama
rekam medis.


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 10


(3) Format persetujuan tindakan kedokteran atau penolakan tindakan kedokteran menggunakan
formulir dengan ketentuan sebagai berikut:
a. diketahui dan ditandatangani oleh dua orang saksi;
b. formulir asli harus disimpan dalam berkas rekam medis pasien;
c. formulir harus sudah mulai diisi dan ditanda tangani sebelum tindakan kedokteran;
d. dokter atau dokter gigi yang memberikan penjelaan harus ikut membubuhkan tanda tangan sebagai
bukti bahwa telah memberikan informasi dan penjelasan secukupnya;
e. sebagai tanda tangan, pasien atau keluarganya yang buta huruf harus membubuhkan cap jempol
jari kanan.

Simpulan
Informed consent merupakan pernyataan persetujuan yang penting untuk didapatkan dari seorang
pasien dalam tindakan kedokteran, mengingat dalam tindakan kedokteran tidak ada sesuatu yang
pasti. Informed consent merupakan pendukung terciptanya hubungan dokter-pasien yang baik.
Pelaksanaan informed consent diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran. Apapun keputusan pasien dalam informed consent wajib dihormati
selama tidak membahayakan orang lain.

Daftar Pustaka
1. Republik Indonesia. Peraturan Meneteri Kesehatan RI No. 585 Tahun 1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medik. Lembaran Negara RI tahun 1989. Jakarta: Sekretariat Negara;
1989.
2. Republik Indonesia. Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Lembaran Negara RI tahun 2004. Jakarta: Sekretariat Negara; 2004.
3. Republik Indonesia. Peraturan Meneteri Kesehatan RI No. 290 Tahun 2008 tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran. Lembaran Negara RI tahun 2008. Jakarta: Sekretariat
Negara; 2008.
4. Republik Indonesia. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Lemabaran Negara RI tahun 2002. Sekretariat Negara; 2004.



PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 11


TATA LAKSANA SEPSIS PADA ANAK TERKINI

Dadang Hudaya Somasetia


Emergensi dan Rawat Intensif Anak, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD – RSHS

Pendahuluan
Sepsis dan syok sepsis memerlukan tata laksana rumit dan biaya perawatan mahal dan merupakan
salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas tinggi terutama pada bayi dan anak di seluruh dunia
(di negara berkembang dapat mencapai 60%). Kejadian sepsis pada neonatus dan bayi usia <1 tahun
lebih tinggi dibanding dengan anak usia 1−18 tahun.1-3 Sampai saat ini masih sedikit data tentang
sepsis pada anak dan aspek klinis praktisnya masih banyak bergantung pada konsensus ahli dan bukti
klinis pasien dewasa. Pada Surviving Sepsis Campaign Guidelines 2012 dijelaskan tentang tata laksana
sepsis pada anak (pediatric consideration). Definisi sepsis yang dibuat pada Surviving Sepsis Campaign
Guidelines (SSCG) ternyata terlalu sensitif, tetapi kurang spesifik.4 Hal ini menyebabkan
ketidakpatuhan pemakaian kriteria sepsis.3-5
Penelitian Sepsis Prevalence Outcomes and Therapies (SPROUT) menemukan penurunan prevalensi
sepsis berat global dari 10,3% menjadi 8,9%. Usia rata-rata penderita sepsis berat adalah 3 tahun
(0,7−11 tahun), infeksi terbanyak pada sistem respiratori (40%), dan 67% kasus mengalami disfungsi
multiorgan.6 Insidens syok sepsis dan sepsis berat meningkat dalam 30−40 tahun terakhir. Bakteri
adalah penyebab infeksi paling sering dan dapat pula disebabkan oleh virus, jamur, atau parasit. Infeksi
primer sering pada organ paru, otak, saluran kemih, kulit, serta abdomen dan terutama di negara
berkembang.6-8
Pada tahun 2016, Konsensus Internasional mengeluarkan definisi sepsis dan syok sepsis yang baru,4
serta publikasi pedoman tata laksana sepsis dari Surviving Sepsis Campaign Guidelines (SSCG),2 tetapi
tidak membahas tata laksana sepsis pada anak. Pedoman tata laksana sepsis anak terbaru
dipublikasikan oleh American Academy of Critical Care Medicine (ACCM) 2017.1 Untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas sepsis di Indonesia telah dibuat pedoman tata laksana sepsis pada bayi dan
anak. Rekomendasi ini diharapkan dapat menjadi pedoman diagnosis dan tata laksana sepsis pada
anak sesuai dengan fasilitas yang tersedia (buku Pedoman Diagnosis dan Tata Laksana Sepsis pada
Anak hasil kerjasama antara Unit Kerja Koordinasi Emergensi dan Rawat Intensif Anak [ERIA] dengan
Unit Kerja Koordinasi Infeksi dan Penyakit Tropik, Ikatan Dokter Anak Indonesia 2016.3

Definisi Sepsis
Definisi sepsis dan syok sepsis terbaru telah dipublikasikan, yaitu The Third International Consensus
Definitions for Sepss and Septic Shock (Sepsis-3).4 Sepsis merupakan simdrom kelainan fisiologis,
patologis, dan biokimiawi yang dipicu oleh infeksi. Hal yang membedakan sepsis dengan infeksi adalah
ditemukannya disregulasi respons pejamu dan disfungsi organ.3,5-7
Sepsis adalah disfungsi organ yang mengancam kehidupan yang disebabkan oleh disregulasi
respons imun terhadap infeksi. Pada pasien yang mempunyai penyakit dasar gagal organ (gagal ginjal,
gagal hati, displasia bronkopulmonum), definisi disfungsi organ adalah perburukan dari kondisi
sebelumnya atau ada disfungsi organ lain. Sepsis berat dimasukkan ke dalam terminologi sepsis. Syok
sepsis merupakan bagian dari sepsis dengan abnormalitas sirkulasi dan sel/metabolik berat yang
meningkatkan risiko kematian.2-4

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 12


Terminologi Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) pada konsensus sepsis tidak dipakai
lagi karena terlalu sensitif, tetapi kurang spesifik.2-4 Definisi sepsis anak masih dalam proses
penyesuaian1 (pada pedoman ACCM 2017 tidak dijelaskan). Sepsis berat lebih sering terjadi pada anak
yang mempunyai komorbiditas yang mengakibatkan penurunan sistem imun seperti keganasan,
transplantasi organ, penyakit respiratori kronis,i dan defek jantung bawaan.1,2,7

Diagnosis Sepsis
Diagnosis sepsis pada anak ditegakkan berdasar atas kecurigaan atau bukti infeksi (faktor predisposisi
infeksi, tanda, atau bukti infeksi yang sedang berlangsung dan respons inflamasi), tanda
disfungsi/gagal organ, dan skor PELOD2 (Gambar 1).3

Pasien dicurigai atau


terbukti infeksi

Tidak Tidak
Tanda Waspada Observasi, evaluasi ulang
Masih curiga sepsis
disfungsi organ
kemungkinan sepsis
Ya
Ya

Skor PELOD-2 ≥11 (atau
≥7 untuk RS tipe B-C) Observasi, evaluasi ulang
kemungkinan sepsis
Tidak
Ya

SEPSIS


Gambar 1. Alur Penegakan Diagnosis Sepsis
Dikutip dari : Latief A, dkk.

Kecurigaan infeksi harus dipikirkan bila ada predisposisi infeksi, tanda infeksi, dan reaksi inflamasi.
Faktor predisposisi infeksi meliputi faktor genetik, usia, status nutrisi, status imunisasi, komorbiditas
(asplenia, penyakit kronis, transplantasi, keganasan, kelainan bawaan), dan riwayat terapi (steroid,
antibiotik, tindakan invasif). Tanda infeksi berdasar atas pemeriksaan klinis dan laboratorium. Pada
pemeriksaan klinis dapat ditemukan hipertermia/hipotermia atau fokus infeksi.3 Pada pemeriksaan
laboratorium digunakan penanda infeksi: darah tepi (leukosit, trombosit, rasio neutrophil, limfosit,
dan shift to the left), morfologi darah tepi, C-reactive protein (CRP), dan prokalsitonin.3,9 Sepsis terbukti
bila ditemukan mikroorganisme pada pemeriksaan apus Gram, biakan kuman, atau polymerase chain
reaction (PCR). Pencarian fokus infeksi lebih lanjut dilakukan dengan pemeriksaan analisis urin, feses
rutin, pungsi lumbal, dan pencitraan.3




PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 13


Respons inflamasi pada pemeriksaan klinis meliputi hal berikut ini:3,10,11
1. Demam (suhu inti >38,5°C, suhu aksila >37,9°C) atau hipotermia (suhu inti <36°C);
2. Takikardia, yaitu denyut jantung rata-rata di atas normal sesuai dengan usia tanpa stimulus
eksterna, obat kronis, atau nyeri; atau peningkatan denyut jantung yang tidak dapat dijelaskan
>0,5−4 jam;
3. Bradikardia (anak usia <1 tahun), yaitu denyut jantung rata-rata di bawah normal sesuai dengan
usia tanpa stimulus vagus eksterna, beta-blocker, atau penyakit jantung kongenital; atau
penurunan denyut jantung yang tidak dapat dijelaskan >0,5 jam;
4. Takipnea, yaitu laju napas rata-rata di atas normal sesuai dengan usia.
Pasien dewasa yang dicurigai infeksi dan cenderung akan dirawat lama di ICU atau meninggal di
rumah sakit dapat teridentifikasi segera dengan Quick Sequential [Sespis-Related] Organ Failure
Assesment Score (qSOFA), yaitu 1) perubahan status mental; 2) hipotensi: tekanan sistole darah <100
mmHg; atau 3) takipnea: laju respirasi >22x/menit.4 Pada anak, kesadaran dapat dinilai dengan skor
AVPU, tekanan darah sistole di bawah persentil ke-5 (neonatus 60 mmHg, bayi 70 mmHg, usia >1−9
tahun: 70 + [2 x usia dalam tahun]).10,11 Pada pasien anak deteksi klinis sepsis dapat memakai skor
PELOD-2 (Tabel 1),3,,9,12 sedangkan deteksi awal dapat memakai qPELOD (Tabel 2).13
Disfungsi organ dicurigai bila ditemukan salah satu dari 3 tanda klinis berikut: penurunan kesadaran
(skala AVPU), gangguan kardiovaskular (penurunan kualitas nadi, perfusi perifer memburuk, atau
tekanan arteri rata-rata menurun), atau gangguan respirasi (peningkatan atau penurunan upaya
napas, sianosis). Disfungsi organ pada pasien sepsis meliputi disfungsi sistem kardiovaskular,
respiratori, hematologis, sistem saraf pusat, dan hepar. Disfungsi organ ditegakkan berdasar atas skor
PELOD-2. Diagnosis sepsis ditegakkan bila skor PELOD-2 ≥11 (bila sarana terbatas [tanpa pemeriksaan
laktat plasma] maka skor PELOD-2 ≥7). Hal ini diterapkan untuk meningkatkan sensitivitas diagnosis,
mempercepat tata laksana dan rujukan, serta menekan morbiditas dan mortalitas sepsis.3,9 Pasien
syok sepsis dapat diidentifikasi dengan terdapat gambaran klinis hipotensi menetap (MAP <65 mmHg
[anak sesuai usia] dan kadar laktat serum >2 mmol/L walaupun sudah mendapat resusitasi yang
memadai. Dengan memakai kriteria ini angka mortalitasnya >40%.4


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 14


Tabel 1. Pediatric Logistic Organ Dysfunction-2 Score (PELOD-2)

Disfungsi Organ Nilai Derajat Berat


dan Variabel 0 1 2 3 4 5 6
Neurologis
Glasgow Coma Score >11 5–10 3–4
Reaksi pupil Reaktif Tidak ada
Kardiovaskular
Laktat darah (mmol/L) <5,0 5,0 –10,9 >11,0
Mean arterial pressure
(mmHg)
0–<1 bulan >46 31–45 17–30
1–11 bulan >55 39–54 25–38 <24
12–23 bulan >60 44–59 31–43 <30
24–59 bulan >62 46–61 32–44 <16 <31
60–143 bulan >65 49–64 36–48 <35
> 144 bulan >67 52–66 38–51 <37
Ginjal
Kreatinin (µmoL/L)
0–<1 bulan < 69 >70
1–11 bulan <22 > 23
12–23 bulan <34 >35
24–59 bulan <50 >51
60-143 bulan <58 > 59
> 144 bulan <92 >93
Respirasi
PaO2(mmHg)/FiO2 >61 < 60
PaCO2 (mmHg) <58 59–94 >95
Ventilasi invasive tidak Ya
Hematologi
9
Leukosit (x 10 /L) >2 <2
9
Trombosit (x 10 /L >142 77–141 <76
Dikutip dari dari: Leteurtre dkk.12

Untuk mengenali sepsis lebih dini dapat digunakan quick PELOD (qPELOD, Tabel 2). Quick PELOD
dapat juga digunakan sebagai prediktif mortalitas pada sepsis.13

Tabel 2. Quick PELOD-2 (qPELOD-2)

Kriteria
Penurunan Hipotensi Takikardia
Status Mental Usia Sistole (mmHg) Diastole (mmHg) (x/menit)
GCS<11 <1 bulan <65 <46 <12 tahun >195
1–11 bulan <75 <55 ≥12 tahun >150
12–23 bulan <85 <60
24–59 bulan <85 <62
60–143 bulan <85 <65
≥144 bulan <95 <67
Dikutip dari: Leclerc dkk.13


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 15



Tata Laksana Sepsis Terkini
Tata laksana sepsis dibuat untuk mengatasi infeksi dan disfungsi organ.1-3 Setelah keluar pedoman tata
laksana sepsis dari Surviving Sepsis Campaign 2016,4 American College of Critical Care Medicine
(ACCM) tahun 2017 mengeluarkan rekomendasi deteksi dini sepsis dan syok sepsis pada anak dan
neonatus, algoritma resusitasi dan pemantauan syok sepsis pada anak dan neonatus. Identifikasi serta
tata laksana dini sepsis dan syok sepsis menghasilkan luaran yang lebih baik.1
Sepsis harus terdeteksi sedini-dininya mulai dari pusat pelayanan kesehatan primer sampai pusat
pelayanan kesehatan tertier supaya luaran tata laksananya baik.8 Penapisan sepsis dapat dimulai
dengan memakai skor sederhana, Pediatric Early Warning Score (PEWS) telah dikembangkan di
Kanada untuk menilai derajat berat sakit anak yang dirawat inap atau di ruang emergensi. Skor ini
terdiri atas 3 parameter penilaian tanda vital, yaitu tingkah laku, kardiovaskular, dan respiratori. Mulai
waspada dan aktifkan bantuan medis (sepsis) bila skor 3 dan sakit kritis (syok sepsis) bila skor >4 (Tabel
3).14
Penapisan sepsis dapat dilakukan dengan perangkat PEWS, skor SOFA, qSOFA, PELOD-2, atau
qPELOD-2 dapat pula memakai alur identifikasi sepsis anak “Inpatient Pediatric Sepsis Identification
Pathway” (Gambar 2),15 atau “Red Flag” dilanjutkan dengan alur “Pediatric Sepsis Six” dari The UK
Sepsis Trust (Gambar 3).16

Tabel 3. Pediatric Early Warning Score (PEWS)


Pediatric Early Warning Score (PEWS)
Komponen 0 1 2 3 Skor
Perilaku Bermain/sesuai Tidur Iritabel Letargis/bingung,
ATAU
Berkurangnya
respons terhadap
nyeri
Kardiovaskular Merah jambu Pucat atau waktu Abu-abu atau, Abu-abu atau
atau waktu pengisian kapiler 3 waktu pengisian sianosis atau
pengisian kapiler detik kapiler 4 detik mottled ATAU,
1–2 detik sianosis ATAU waktu pengisian
takikardia >20 laju kapiler ≥5 detik
normal ATAU, takikardia
>30 laju normal
ATAU bradikardia
Respirasi Normal, tidak ada >10 di atas normal >20 di atas normal ≥5 di bawah normal
retraks ATAU, ATAU, dengan retraksi
penggunaan otot retraksi ATAU, ATAU , merintih
bantu napas ATAU, 40+ fiO2 atau 6+ ATAU,
30+%FiO2 atau 3+ L/menit 50% +Fi02 atau 8+
L/menit L/menit

*Skor dimulai dengan parameter yang paling buruk terlebih dahulu
*Skor 2 tambahan untuk setiap 15 menit nebulisasi (termasuk nebulisasi terus menerus) atau
muntah persisten setelah operasi
*Gunakan liter/menit untuk nilai regular nasal kanul
*Gunakan Fi02 untuk menilai nasal kanula aliran tinggi



PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 16


Denyut Jantung Laju Pernapasan
Saat Istirahat Saat Istirahat
Neonatus (lahir–1 bulan) 100–180 40–60
Bayi (1–12 bulan) 100–180 35-40
Batita/Toddler (13 bulan–3 tahun) 70–110 25–30
Pra-sekolah (4–6 tahun) 70–110 21–23
Usia sekolah (7–12 tahun) 70–110 19–21
Remaja (13–19 tahun) 55–90 16–18
14
Dikutip dari: Akre dkk.

Sepsis harus diatasi mulai dengan promosi dan pencegahan infeksi di fasilitas kesehatan primer,
seperti sarana air bersih, imunisasi, suplemen zinc dan vitamin A, pemberian antibiotik kotrimoksazol
(dan gentamisin) i.m. oleh semua petugas kesehatan, serta kebiasaan mencuci tangan.8 Selanjutnya,
tata laksana sepsis pedoman Surviving Sepsis Campaign (SSC) sudah banyak diterapkan di berbagai
negara, di antaranya di Inggris dengan program Red Flag dan Paediatric Sepsis Six.14


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 17


Menghubungi Dokter/Perawat Pelaksana untuk mengevaluasi
Kepala Perawat mendokumentasikan pesan ke Dokter/ Perawat Pelaksana
*Dokter/Perawat Pelaksana merespons dalam 10 menit



Dokter/Perawat Pelaksana mengevaluasi pasien:
Apakah tanda vital abnormal karena nyeri, obat, anemia, dehidrasi, atau rangsang dari luar lainnya

Tidak Yas

Pasien anda SIRS. Diskusi dan penilaian ulang:
SIRS dengan curiga atau terbukti infeksi adalah SEPSIS Dokter, Kepala Perawat, dan Perawat

Pelaksana mendokumentasikan evaluasi
dan diskusi


Dokter/ Perawat Pelaksana: apakah ada tanda disfungsi organ? Sepsis tanpa disfungsi organ
Sistem kardiovaskular: Sistem respirasi:
CRT>2 detik, penurunan nadi, Ya
Upaya napas meningkat, jika - Dokter/Perawat Pelaksana harus menilai
s ulang dalam 1 jam
akral dingin, mottling, penyakit jantung bawaan,
CRT flashing, nadi bounding, kebutuhan oksigen diatas nilai Tidak - Kontinyu memantau
tekanan nadi melebar, hipotensi dasar - Akses intravena
Ginjal: Neurologis: - Pertimbangkan resusitasi cairan

Luaran urin rendah Iritabel, agitasi, mengantuk, - Pertimbangkan apakah antibiotik telah
sesuai?
<1cc/kgBB/jam bingung, letargis, tidak berespon
terhadap rangsang - Mendiskusikan dengan yang lain
- Pertimbangkan konsultasi memerlukan
PICU




Memulai protokol sepsis berat


1
Dikutip dari: Bradshaw dkk.


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 18



Identitas Pasien Petugas yang mengisi:
Tanggal :
Nama :

Jabatan :
Tanda tangan:

1. Apakah memenuhi PEWS? Risiko rendah sepsis. Jika perlu lakukan penilaian
Atau anak demam atau tampak sakit ulang dalam 6 jam. Menggunakan protokol

Atau orang tua sangat khawatir standar, dikaji ulang jika memburuk.


Ya Tidak Tidak

2. Apakah infeksi?
4. Adakah kriteria “Amber Flag”?
Perilaku abnormal/tidak mau bermain
Ya, tapi sumber infeksi belum jelas
Aktivitas berkurang secara signifikans
Pneumonia/sumber daerah dada
menurut orang tua
Meningitis/ensefalitis
SpO2<92% atau takipnea sedang
Infeksi saluran kemih
CRT≥3 detik
Nyeri perut/distensi
Diuresis berkurang
Lainnya (spesifik):
Nyeri tungkai

Akral dingin
Imunokompromise
Ya

3. Ditemukan SATU “Red Flag”
Tidak Ya
Perubahan perilaku atau status mental
Mengantuk, tidak bisa dibangunkan Waktu Paraf
Tampak sakit berat dilihat oleh tenaga Kirim sampel darah jika memenuhi 2

kesehatan kriteria, pertimbangkan jika 1
Sp O2 <90/ baru membutuhkan oksigen (laktat, kultur darah, darah lengkap,
urin, elektrolit, CRP, koagulasi)
Takipnea/sesak napas berat (lihat tabel)
Segera menghubungi dokter
Takikardia berat (lihat tabel) (untuk mengevaluasi dalam 1 jam)
Bradikardia (<60x/menit) Waktu dokter datang (jam…)
Tidak kencing dalam 18 jam terakhir

Mottled, pucat atau kebiruan di
kulit/bibir/lidah
Ruam yang tidak hilang dengan tekanan Ya Tidak
Laktat >2?
Ya


Red Flag Sepsis
Mulai alur Sepsis Six sekarang

Waktu Paraf

Penilaian ulang setiap jam,
Antibiotik diberikan dalam 3 jam
Kebijakan senior
Jaringan pengaman yang tepat




Usia Takipnea Takikardia

Berat Sedang Berat Sedang

5 tahun ≥29 27-28 ≥130 120-129


6-7 tahun ≥27 24-26 ≥120 110-119
8-11 tahun ≥25 22-24 ≥115 105-114


Gambar 3A. Penapisan dan perangkat kerja sepsis anak rawat inap (The UK Sepsis Trust)
16
Dikutip dari: The UK Sepsis Trust.

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 19





Lapor kepada Dokter Konsultan dan PICU Lapor Dokter Konsultan/ PICU?
Pertimbangkan transfer ke Pusat Rawat Anak. Waktu Nol/awal Tandai Paraf
Status pasien “Red Flag Sepsis”




Tindakan (selesaikan dalam 1 jam) Alasan tidak
dikerjakan/varians
1. Memberikan oksigen aliran tinggi Waktu selesai
Kecuali jika ada kontraindikasi

Paraf

2. Mendapatkan akses IV atau IO, Waktu selesai
mengambil darah
Kultur darah, gula darah, laktat, darah Paraf

lengkap, urin, elektrolit
Punksi lumbal jika ada indikasi
3. Memberikan antibiotik IV/IO Waktu selesai
Berdasarkan pedoman baku
Pertimbangkan alergi sebelum Paraf
pemberian
4. Pertimbangkan cairan IV/IO Waktu selesai
Jika hipotensi/laktat<2 mmol/l, hingga
20 ml/kg (10 ml/kg pada neonatus), jika Paraf
laktat >4 mmol/L konsul ke PICU, hati-

hati lebih cairan, periksa hepatomegali,
kepitasi, gallop
5. Pastikan dokter senior hadir Waktu selesai
Konsultan atau fellow senior
Paraf

6. Pertimbangkan Waktu selesai
inotrop/vasopresor?
Jika fisiologi normal tidak kembali Mulai
setelah ≥20 mL/kg cairan (10mL/kg
pada neonatus). Pertimbangkan masuk

PICU. Dopamin atau epinefrin
merupakan pilihan utama, dapat
diberikan melalui vena perifer atau IO



Jika setelah dilakukan alur Sepsis Six, anak masih:
- Penurunan kesadaran
- Takikardia atau takipnea berat
- Laktata tetap > 2mmol/L setelah 1 jam
Atau jelas sakit kritis
Segera konsulkan ke dokter spesialis anak

Gambar 3B.Penapisan dan Perangkat Kerja Sepsis Anak Rawat Inap (The UK Sepsis Trust)
16
Dikutip dari: The UK Sepsis Trust.


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 20



Tidak ada pengganti untuk pengalaman klinis dan ketajaman dalam menangani anak sakit, tetapi
Red Flag Sepsis membantu identifikasi awal untuk anak dengan respons sistemis terhadap infeksi
seperti berikut ini: 17
1. hipotensi, didefinisikan sebagai tekanan sistole darah <2 SB untuk usia, tekanan darah rata-rata <
2 SB untuk usia (70 + 2 x usia dalam tahun);
2. denyut jantung >30 denyut di atas batas normal untuk usia;
3. laktat gas darah > dua kali di atas batas normal;
4. Capilary refill time >5 detik;
5. pucat/ berbintik-mottled/biru atau ruam non-blanching atau purpura;
6. oksigen diperlukan untuk memertahankan saturasi oksigen >92%;
7. laju respirasi >60 x/menit atau >5 di bawah normal, atau grunting;
8. penurunan kesadaran, nilai AVPU = V, P atau U;
9. orangtua melaporkan popok sangat kering, kurang respons terhadap isyarat sosial, aktivitas
menurun bermakna atau lemah, menangis nada tinggi atau terus menerus
Paediatric Sepsis Six dirancang untuk membantu memberikan langkah-langkah awal pedoman
ACCM-PALS dengan cara sederhana dan tepat waktu. Paediatric Sepsis Six dikembangkan oleh The UK
Sepsis Trust, berpedoman pada Sepsis Six dewasa. Program ini bertujuan meningkatkan kepatuhan
terhadap bundel resusitasi sepsis dan sebagai pedoman terapi awal dan berhubungan dengan
penurunan mortalitas sepsis. The Paediatric Sepsis Six dirancang untuk memberdayakan staf medis
dan perawat supaya mengenali sepsis dini dan memulai pengobatan dengan cepat. Dalam pendidikan
tujuannya membentuk budaya pengenalan sepsis sebagai keadaan darurat yang memerlukan
intervensi segera.17

Panduan Umum Tata laksana Syok Sepsis Anak


Panduan umum terbaru tata laksana syok sepsis anak dari The American College of Critical Care
Medicine (ACCM) 2017 yang menyatakan pentingnya deteksi dini trias inflamasi, yaitu demam,
takikardia, dan vasodilatasi yang sering ditemukan pada anak dengan infeksi ringan. Syok sepsis anak
diduga bila ditemukan trias inflamasi disertai perubahan status mental yang bermanifestasi sebagai
iritabel, menangis tidak kuat, bingung, kontak berkurang, letargi, dan tampak mengantuk. Diagnosis
syok sepsis anak ditegakkan dengan ditemukannya hal berikut:1
1. dicurigai infeksi dengan manifestasi berupa hipotermia atau hipertermia;
2. gejala klinis berkurangnya perfusi jaringan yang dinilai dari perubahan status mental,
pemanjangan waktu pengisian kapiler (capillary refill time/CRT) >2 detik, nadi lemah, akral dingin
dan berbercak, atau pengisian kapiler cepat dan nadi kuat, tekanan nadi melebar (>40 mmHg)
atau penurunan produksi urin <1 mL/kgBB/jam. Hipotensi bukan merupakan diagnosis klinis awal
syok sepsis.
The American College of Critical Care Medicine (ACCM) 2017 mengeluarkan rekomendasi bundel
pengenalan sepsis untuk mengoptimalkan identifikasi risiko syok sepsis berdasar atas tanda vital
abnormal dengan kriteria risiko tinggi (Gambar 4,5).1





PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 21





Bundel Pengenalan (Lihat kotak 2 pada Gambar 5)
• Nilai pasien apakah mengalami syok sepsis dengan bagan identifikasi syok sepsis
• Identifikasi syok sepsis oleh dokter selama 15 menit menggunakan bagan tersebut
• Segera kerjakan Bundel Resusitasi dalam waktu 15 menit bila terdiagnosis syok sepsis



Bundel Resusitasi (Lihat algoritma kotak 3 dan 4 pada Gambar 5)
• Akses intravena atau intraoseus dalam waktu 5 menit
• Berikan resusitasi cairan yang tepat dalam waktu 30 menit
• Berikan antibiotik spektrum luas dalam waktu 60 menit
• Berikan titrasi inotrop perifer maupun sentral pada keadaan syok refrakter terhadap cairan
dalam waktu 60 menit


Bundel Stabilisasi
• Lakukan observasi dari berbagai aspek; cairan, hormon, dan kardiovaskular untuk mencapai
stabilitas hemodinamis
• Lakukan konfirmasi terapi antibiotik berdasar atashasil kultur dan resistensi bakteri


Bundel Kinerja
• Nilai kepatuhan terhadap Bundel Identifikasi, Resusitasi, dan Stabilisasi
• Lakukan analisis mengenai penyebab keadaan syok sepsis pada pasien tersebut
• Tentukan rencana selanjutnya terhadap pasien


Gambar 4 Bundel Pengenalan, Resusitasi, Stabilisasi, dan Kinerja sepsis
1
Dikutip dari: Davis dkk.

1
Bundel Pengenalan sepsis terdiri atas:
1. trigger tool. Perangkat yang direkomendasikan adalah tanda vital, pemeriksaan fisis, dan pasien
risiko tinggi;
2. penilaian klinis cepat dalam 15 menit dengan Trigger Tool (kotak 2, Gambar 5);
3. mengaktifkan bundel resusitasi sepsis dalam 15 menit bila dicurigai syok sepsis.
Bundel Resusitasi terdiri atas:1
1. akses intravena atau intraoseus dalam waktu 5 menit;
2. resusitasi cairan yang tepat dalam waktu 30 menit;
3. pemberian antibiotik spektrum luas dalam 60 menit;
4. kultur darah sebelum pemberian antibiotik;
5. penggunaan inotrop perifer atau sentral dalam 30 menit.
Bundel Stabilisasi Sepsis terdiri atas:1
1. pemantauan multimoda memandu terapi cairan, hormone, dan kardiovaskular untuk mencapai
tekanan perfusi ([MAP−CVP]) sesuai dengan usia dan saturasi oksigen vena sentral (central venous
oxygen saturation [ScvO2]) >70% atau indeks jantung (cardiac index [CI]) 3,3−6,0 L/menit/m2;
2. pemberian antibiotik yang sesuai. The American College of Critical Care Medicine
merekomendasikan setiap institusi mengembangkan atau mengadopsi Bundel Tampilan Sepsis
untuk mengidentifikasi faktor penghambat untuk mencapai target pengenalan, resusitasi dan
stabilisasi.

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 22


Bundel Kinerja Sepsis terdiri atas:
1. kepatuhan pemakaian pengukuran perangkat untuk mencapai tujuan;
2. penilaian faktor penghambat seperti waktu pemberian antibiotik yang tidak sesuai dan resusitasi
cairan berlebih.


Gambar 5. Perangkat Identifikasi Cepat Syok Sepsis (Septic Shock Trigger Tool)
1
Dikutip dari: Davis dkk.

Perangkat Identifikasi Cepat Syok Sepsis (Septic Shock Trigger Tool) meliputi penilaian tanda vital,
pemeriksaan fisis, dan pasien risiko tinggi (Gambar 5, Lampiran):
1. penilaian klinis cepat (15 menit) menggunakan Perangkat Identifikasi Cepat;
2. mengaktifkan Bundel Resusitasi Sepsis (15 menit) bila dicurigai syok sepsis.
Pasien di ruang emergensi dengan kemungkinan infeksi dan/atau suhu abnormal dinilai di ruang
triase. Pasien sakit kritis ditransfer ke ruang resusitasi. Pasien tidak sakit kritis dinilai dengan Perangkat
Triase Syok (Shock Triage Tool/STL) yang terdiri atas suhu abnormal, CRT, kesadaran, nadi, kulit,
hipotensi, takikardia, dan takipnea. Jika hipotensi maka dilakukan protokol syok sepsis (Gambar 6).1


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 23



0 menit Kenali adanya penurunan kesadaran dan perfusi. Berikan O2 aliran tinggi, pasang akses intravena atau
intraoseus sesuai PALS


5 menit Jika tidak ada hepatomegali atau ronki/crackles, berikan infus bolus dengan salin normal (NaCl 0,9%) 20
mL/kgBB dan nilai kondisi pasien kembali hingga pemberian 60 mL/kgBB sampai perfusi meningkat. Hentikan
pemberian bolus jika didapatkan ronki, crackles, ataupun hepatomegali. Koreksi apabila didapatkan
hipoglikemia dan hipokalsemia. Berikan antibiotik.

15 menit
Syok refrakter cairan?

Berikan infus inotrop perifer atau sentral, berikan Epinefrin 0,05–0,3 mcg/kgBB/menit. Gunakan atropin atau
ketamin IV/IM/IO jika membutuhkan akses vena sentral atau akses saluran napas



Titrasi epinefrin 0,05–0,3 mcg/kgBB/menit, jika terjadi cold shock

(titrasi dopamin 5–9 mcg/kgBB/menit jika epinefrin tidak tersedia).

Titrasi norepinefrin 0 ,05 mcg/kgBB/menit jika terjadi warm shock


Syok resisten katekolamin?
60 menit

Jika pasien memiliki risiko insufisiensi adrenal absolut, pertimbangkan permberian hidrokortison.

Gunakan USG Doppler, PICCO, FATD, atau PAC untuk menilai pemberian cairan, inotrop, vasopresor, dan

vasodilator.

2
Tujuan akhirnya adalah tekanan perfusi (MAP-CVP) normal, ScvO 2 >70%, dan CI 3,3–6,0 L/menit/m

Tekanan darah rendah, syok dingin, Tekanan darah rendah, syok hangat,
Tekanan darah normal, syok dingin,
ScvO2 >70% / Hgb >10 g/dL ScvO2 >70%
ScvO2 >70% / Hgb >10 g/dL dengan
epinefrin? dengan epinefrin? dengan norepinefrin?

Berikan infus milrinon. Tambahkan norepinefrin hingga Jika euvolemia, tambahkan
epinefrin untuk mencapai tekanan vasopresin, terlipresin, atau
Tambahkan Nitroso-vasodilator jika diastole normal. angiotensin.
2
CI < 3,3 L/menit/m dengan SVRI
2
tinggi dan/atau perfusi kulit buruk. Jika CI < 3,3 L/menit/m , tambahkan Tetapi jika CI menurun di bawah 3,3
2
dobutamin, enoksimon, L/menit/m , tambahkan epinefrin,
Pertimbangkan pemberian levosimendan, atau milrinon. dobutamin, enoksimon,
Levosimendan jika tidak berhasil levosimendan.

Syok resisten-katekolamin persisten? Syok refrakter?

Evaluasi terdapat efusi perikadium atau pneumotoraks,
ECMO
pertahankan tekanan intra-abdomen (IAP) <12 mmHg


Gambar 6. Algoritma Dukungan Hemodinamis Syok Sepsis Anak Menurut ACCM 2017
1
Dikutip dari: Davis dkk.

Resusitasi
Resusitasi pasien syok sepsis bertujuan memertahankan dan memulihkan saluran respiratori,
oksigenasi dan ventilasi, memertahankan dan memulihkan sirkulasi yang didefinisikan sebagai perfusi
dan tekanan darah normal, serta mempertahankan dan memulihkan ambang laju jantung.1 Tujuan
akhir resusitasi adalah waktu pengisian kapiler (CRT) <2 detik, nadi normal, kualitasnya tidak berbeda
antara nadi perifer dan sentral, akral hangat, luaran urin >1 mL/kgBB/jam, status mental normal,
tekanan darah normal sesuai dengan usia, kadar gula darah dan kalsium terionisasi normal.


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 24


Pemantauan selama resusitasi dilakukan dengan pulse oxymeter, elektrokardiogram kontinu, tekanan
darah, nadi, suhu, produksi urin, glukosa, dan kalsium terionisasi.1
Pada saat resusitasi diberikan suplementasi oksigen dengan nasal kanul aliran tinggi yang dititrasi
sebagai terapi awal untuk menghindari hipoksia dan hiperoksia. Akses vaskular secepatnya (5 menit)
dan bolus cairan cepat (5−10 menit) sebanyak 20 mL/kgBB menggunakan kristaloid isotonis (NaCl
0,9%) atau albumin 5% dengan teknik push and pull atau pressure bag sambil memantau tanda lebih
cairan (peningkatan upaya napas, rales, gallop, atau hepatomegali). Bila tidak ditemukan tanda lebih
cairan, mungkin membutuhkan resusitasi sebanyak 40−60 mL/kgBB dalam satu jam pertama. Bila
didapatkan hipoglikemia dan hipokalsemia maka harus dilakukan koreksi.1,3
Pemberian cairan dapat diulang dengan menilai respons terhadap cairan (fluid-responsiveness)
sesuai ketersediaan sarana sebagai berikut:3
1. fluid challenge;
2. Passive leg raising (kenaikan cardiac index/CI ≥10%);
3. Ultrasonografi:
a. pengukuran diameter vena kava inferior;
b. ultrasound cardiac output monitoring: stroke volume variation (SVV) ≥30%;
4. arterial waveform: systolic pressure variation (SVV) atau pulse pressure variation (PPV) ≥13%;
5. pulse contour analysis: stroke volume variation (SVV) ≥13%.
Resusitasi cairan dihentikan bila target resusitasi tercapai atau bila terjadi refrakter cairan. Bila tidak
tersedia alat pemantauan hemodinamik canggih, resusitasi cairan dihentikan bila ditemukan tanda
lebih cairan (takipnea, ronki, gallop, atau hepatomegali), gejala ini merupakan tanda lambat refrakter
cairan. Bila ditemukan tanda gagal respirasi, selain melakukan stabilisasi segera berikan bantuan
ventilasi noninvasif. Bila gagal respirasi berat, lakukan intubasi endotrakea, siapkan rujuk transfer
supaya segera mendapat ventilasi mekanis di ruang rawat intensif. Obat induksi anestesi saat intubasi
dapat memakai ketamin dan rokuronium.3
Bolus cairan lebih lambat selama 15−20 menit menunjukkan risiko lebih rendah dalam hal
pemakaian ventilasi mekanis yang berhubungan dengan lebih cairan walaupun dari segi kematian dan
lama rawat tidak berbeda secara bermakna.18 Jenis cairan kritaloid isotonis dapat diberikan cairan
berimbang (balanced fluid [BF]) yang secara bermakna dapat menurunkan angka kematian, angka
kejadian acute kidney injury (AKI), kebutuhan terapi sulih ginjal, dan lamanya pemberian inotrop.19
Setelah resusitasi cairan maka dilanjutkan ke tahap terapi cairan rumatan. Kebutuhan cairan
rumatan awal dihitung menggunakan formula Holliday-Segar. Pencatatan jumlah cairan masuk dan
keluar dilakukan setiap 4−6 jam untuk mencegah terjadi hipovolemia atau hipervolemia (fluid
overload) >15%.20 Bila pasien mengalami syok refrakter cairan, dopamin dapat dititrasi bertahap
maksimum 10 mcg/kgBB/menit, epinefrin atau norepinefrin lebih menguntungkan. Epinefrin dapat
segera diberikan pada “cold shock” (0,05–0,3 mcg/kgBB/menit) dan norepinefrin dapat segera dititrasi
pada “warm shock” untuk memulihkan perfusi dan tekanan darah normal. Hidrokortison dapat
diberikan bila dicurigai insufisiensi adrenal absolut atau kegagalan aksis adrenal-pituitari.1
Hidrokortison suksinat 50 mg/m2/hari diberikan pada pasien syok refrakter katekolamin atau terdapat
tanda insufisiensi adrenal (hipoglikemia, hiponatremia, hiperkalemia). Perhatikan kondisi premorbid
yang berkaitan, misalnya sindrom nefrotik, lupus sistemis, dan asma bronkiale.3


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 25


Tata Laksana Infeksi
Antibiotik empiris berspektrum luas diberikan sesuai dugaan etiologi, diagnosis kerja, usia, dan
penyakitnya. Bila penyebab sepsis belum jelas, antibiotik segera diberikan dalam 1 jam pertama
(paling lambat 3 jam) sejak diduga sepsis, sebelumnya diambil bahan pemeriksaan kultur darah.
Antibiotik tunggal berspektrum luas merupakan pilihan awal terapi sepsis. Setelah bakteri penyebab
diketahui, antibiotik definitif disesuaikan dengan pola kepekaan kuman.3

Tabel 4. Kombinasi Antibiotik Empiris untuk Sepsis Anak bila Penyebab Belum Diketahui
No Jenis Antibiotik Kombinasi
a b
1 Extended-spectrum penicillin + aminoglikosida
c a
2 Sefalosporin generasi ketiga atau keempat + aminoglikosida + vankomisin
a
3 Karbapenem + aminoglikosida + vankomisin
3
Dikutip dari: Latief dkk.
a
ampisilin-sulbaktam adalah pilihan pertama extended-spectrum penicillin dalam terapi sepsis
b
floroquinolon dapat menggantikan aminoglikosida pada semua regimen di atas
c
Seftriakson jangan digunakan bila dicurigai atau terbukti ditemukan Pseudomonas

Antibiotik kombinasi
Bila diperlukankan antibiotik kombinasi, harus dipertimbangkan kondisi klinis, usia, etiologi dan
tempat infeksi, mikroorganisme penyebab, pola kuman rumah sakit, predisposisi pasien, serta efek
farmakodinamis dan farmakokinetis obat (Tabel 4). Pemilihan antibiotik empiris harus disesuaikan
dengan kondisi sepsis dan kemungkinan mikroorganisme penyebabnya (Tabel 5).3

Tabel 5. Antibiotik Empiris berdasarkan Kondisi Sepsis dan Kemungkinan Kuman Penyebab
Kondisi Jenis Antibiotik Intravena
Infeksi komunitas (community acquired infection) Ampisilin-sulbaktam, sefalosporin generasi III
(sefotaksim, seftriakson)
Infeksi rumah sakit (hospital acquired infection) Extended spectrum penicillin (ampisilin-sulbaktam,
piperacillin-tazobaktam)/ sefepim/karbapenem;
ditambah gentamisin, siprofloksasin, atau
vankomisin (sesuai kasus)
Infeksi Stafilokokus koagulase negatif terkait kateter vena Klindamisin, Vankomisin
sentral
Methicillin-resistance Staphylococcus aureus (MRSA) Klindamisin, Vankomisin
Neutropenia Lini 1: Cefepim, Piperacillin-tazobaktam,
meropenem
Lini 2: Vankomisin, klindamisin, teikoplanin
Sindrom syok toksis (toxic shock syndrome) vankomisin, linezolid, klindamisin
Kondisi imunokompromais
3
Dikutip dari: Latief dkk.

Stabilisasi
Target yang harus dicapai pada tahap stabilisasi setelah resusitasi selama 1 jam adalah perfusi normal,
CRT <2 detik, laju jantung mencapai ambang batas normal, tekanan perfusi sesuai usia, ScvO2 >70%,
serta CI >3,3 dan <6,0 L/menit/m2.1
Tujuan akhir tata laksana syok sepsis anak adalah waktu pengisian kapiler (CRT) <2 detik, nadi
normal dan kualitasnya tidak berbeda antara nadi perifer dan sentral, akral hangat, luaran urin >1

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 26


mL/kgBB/jam, status mental normal, CI >3,3 dan <6,0 L/m/m2, tekanan perfusi normal (MAP−CVP
atau MAP−IAP) sesuai dengan usia, ScvO2 >70%, memaksimalkan preload untuk memaksimalkan CI,
MAP−CVP, serta INR, anion gap dan laktat normal (Tabel 6).1

Tabel 6. Batas Laju Jantung dan Tekanan Perfusi
Laju Jantung (x/menit) Tekanan Perfusi (MAP−CVP [mmHg])
Mean Arterial Pressure – Central Venous Pressure
Bayi kecil 110–160 (55 + usia x 1,5) = 55
Bayi (2 tahun) 90–160 (55 + usia x 1,5) = 58
Anak (7 tahun) 70–150 (55 + usia x 1,5) = 65
Dikutip dari: Davis dkk.1

Pemantauan fase stabilisasi memakai pulse oximeter, elektrokardiogram (EKG) kontinu, tekanan
darah intra-arteri kontinu, suhu, luaran urin, CVP atau saturasi oksigen dan/atau tekanan arteri
pulmonalis, INR, glukosa dan kalsium, serta laktat dan kesenjangan anion.1,3
Defisit cairan dan hipovolemia sekunder persisten karena kebocoran endotel kapiler difus dapat
berlangsung beberapa hari. Cairan pengganti dilanjutkan untuk mencapai perfusi dan curah jantung.
Cairan kristaloid isotonis merupakan pilihan utama bila Hb >10 g/dL. Transfusi sel darah merah (PRC)
diberikan bila Hb <10 g/dL (Hb <7 g/dL pada keadaan syok sepsis). Fresh frozen plasma (FFP) dapat
diberikan bila INR memanjang. Bila ditemukan tanda lebih cairan diberikan furosemid, dialisis
peritoneum atau terapi sulih ginjal kontinu (CRRT) untuk mengeluarkan kelebihan cairan.1,3
Peningkatan kadar laktat dan anion gap dapat diatasi dengan pemberian oksigen dan glukosa.
Pasokan oksigen adekuat ditandai dengan ScvO2 >70% dan dapat dicapai bila kadar Hb>10 g/dL dan
CI >3,3 dan <6 L/menit/m2. Pasokan glukosa dapat dicapai dengan rumatan cairan isotonis yang
mengandung D10%. Kadar glukosa dipertahankan 80−150 mg/dL dan mencegah hiperglikemia atau
hipoglikemia.1,3
Dukungan hemodinamis dibutuhkan sampai beberapa hari. Syok sepsis resisten-katekolamin
persisten dapat menunjukkan curah jantung (CO) rendah/resistensi vaskular sistemis (SVR) tinggi, CO
tinggi/SVR rendah, atau CO rendah/SVR rendah. Infus titrasi vasoaktif pada keadaan ini harus dipandu
dengan pemeriksaan klinis (tekanan darah, laju jantung, dan CRT/analisis perfusi kulit) serta data
laboratorium (analisis gas darah, dan ScvO2). Pada pasien syok persisten yang tidak responsif terhadap
katekolamin (penurunan luaran urin, perfusi buruk, asidosis metabolik, atau hipotensi) memerlukan
penilaian CO yang akurat.1,3
Bila CI rendah, tekanan darah normal, dan SVR tinggi dapat diberi milrinon sebagai inodilator lini
pertama pada syok sepsis yang resisten terhadap epinefrin dengan tekanan darah normal. Nitroprusid
atau nitrogliserin sebagai lini kedua.1,3
Bila CI rendah, tekanan darah rendah dan SVR rendah, norepinefrin dapat ditambahkan atau
menggantikan epinefrin untuk meningkatkan tekanan darah dan SVR. Setelah tekanan darah normal
dapat diberi dobutamin, milrinon atau levosimendan, ditambahkan kepada norepinefrin untuk
memperbaiki CI dan ScvO2.1,3
Bila CI tinggi dan SVR rendah, sedangkan titrasi norepinefrin dan cairan tidak memperbaiki
hipotensi maka dapat diberikan vasopresin dosis rendah atau angiotensin untuk mengembalikan
tekanan darah normal; walaupun potensi vasokonstriktor dapat mengurangi CO maka dapat
ditambahkan epinefrin dosis rendah atau dobutamin.1,3


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 27


Simpulan
Tata laksana syok sepsis harus dimulai dengan promosi dan pencegahan infeksi di semua lini
pelayanan kesehatan. Definisi sepsis telah berubah sejak tahun 2016 dan hanya memakai istilah sepsis
dan syok sepsis. Deteksi dini sepsis dapat dilakukan dengan mencari tanda infeksi dan disfungsi organ
melalui berbagai perangkat penapis sepsis seperti kecurigaan atau bukti infeksi, disfungsi organ, trias
inflamasi, PEWS, qSOFA, qPELOD-2, dan PELOD-2. Tata laksana 1 jam pertama sangat penting, meliputi
langkah ABC resusitasi, resusitasi cairan, antibiotik berspektrum luas, pemeriksaan kadar laktat
plasma, kesenjangan anion, kadar gula darah, kalsium terionisasi, bantuan ventilasi noninvasif atau
intubasi bila ada tanda gagal napas.
Selain memantau tanda vital, tanda klinis dan laboratorium konvensional, sangat penting
melakukan pemantauan hemodinamik yang dinamis sepanjang waktu (real time) sedini-dininya untuk
deteksi dan melihat tanda pulih syok serta kecukupan resusitasi cairan, menghindari lebih cairan dan
keperluan penambahan inotrop dan vasopresor per individu. Cairan resusitasi terpilih adalah garam
fisiologis (NaCl 0,9%) dan albumin 5% (bila perlu). Cairan berimbang (balanced fluid/solution) dengan
komposisi yang lebih mirip plasma merupakan pilihan baru untuk resusitasi pasien syok. Kecepatan
bolus cairan pada syok sepsis dapat dipertimbangkan lebih lambat dengan jumlah lebih sedikit dengan
panduan pemantau hemodinamik. Pilihan pertama inotrop telah bergeser dari dopamin ke epinefrin
dan dobutamin dengan mempertimbangkan keadaan klinis individu. Titrasi dopamin dan epinefrin
dapat dimulai melalui akses vena perifer atau intraoseus. Bila ada tanda gagal napas harus segera
memberi bantuan ventilasi noninvasif sampai intubasi trakea dan ventilasi mekanis.
Tata laksana sepsis anak terkini yang komprehensif telah dipublikasikan oleh ACCM 2017,
sedangkan aplikasi klinis yang lebih sederhana telah dipublikasikan oleh The UK Sepsis Trust 2017
dengan panduan PEWS, Red Flag, dan Paediatric Sepsis Six. Di Indonesia dibuat buku Pedoman
Nasional Panduan Kedokteran (PNPK). Diagnosis dan tata laksana sepsis pada anak yang disusun oleh
Unit Kerja Koordinasi Emergensi dan Rawat Intensif Anak (ERIA) dan Unit Kerja Koordinasi Infeksi dan
Penyakit Tropik. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2016.

Daftar Pustaka
1. Davis AL, Carcillo JA, Aneja RK, Deymann AJ, Lin JC, Nguyen TC, dkk. American College of Critical
Care Medicine Clinical Practice Parameters for Hemodynamic Support of Pediatric and Neonatal
Septic Shock. Crit Care Med. 2017;40(6).
2. Rhodes A, Evans LE, Alhazzani W, dkk. Surviving Sepsis Campaign: International guidelines for
management of sepsis and septic shock: 2016. Crit Care Med. 2017; 45(3):486–552.
3. Latief A, Chairulfatah A, Alam A, Pudjiadi AH, Malisie RF, Hadinegoro SRS. Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran. Diagnosis dan tata laksana sepsis pada anak. Jakarta: Unit Kerja
Koordinasi Emergensi dan Rawat Intensif Anak (ERIA) dan Unit Kerja Koordinasi Infeksi dan
Penyakit Tropik. Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2016.
4. Singer M, Deutschman CS, Seymour CW, Shankar-Hari M, Annane D, Bauer M, dkk. The Third
International Consensus Definitions for Sepsis and Septic Shock (Sepsis-3). JAMA.
2016;315(8):801–10.
5. Kawasaki T. Update on pediatric sepsis: a review. J Intens Care. 2017;5:47.DOI 10.1186/s40560-
017-0240-1.
6. Weiss SL, Fitzgerald JC, Maffei FA, dkk. Discordant identification of pediatric severe sepsis by
research and clinical definitions in the SPROUT international point prevalence study. Crit Care.
2015;19:325–34.
7. Plunkett A, Tong J. Sepsis in children. BMJ. 2015;350:h3017.

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 28


8. Kissoon N, Carcillo JA, Espinosa V, Argent A, Devictor D, Madden M, dkk. World Federation of
Pediatric Intensive Care and Critical Care Societies: Global Sepsis Initiative. Pediatr Crit Care
Med. 2011;12(5):494–503.
9. Dewi R. Hubungan antara kadar prokalsitonin dan C-reactive protein dengan derajat berat
penyakit berdasarkan skor pediatric logistic organ dysfunction (Pelod)-2 pada anak sepsis. (Tesis).
Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; 2016.
10. Sepanski RJ, Godambe SA, Mangum CD, Bovat CS, Zaritsky AL, Shah SH. Designing a pediatric
severe sepsis screening tool. Front Pediatr. 2014;2:56.
11. Goldstein B, Giroir B, Randolph A, Members of the International Consensus Conference on
Pediatric Sepsis. International pediatric sepsis consensus conference: definitions for sepsis and
organ dysfunction in pediatrics. Crit Care Med. 2005;6:2–8.
12. Leteurtre S, Duhamel A, Salleron J, dkk. PELOD-2: an update of the pediatric Logistic Organ
Dysfunction Score. Crit Care Med 2013;41:1761-73.
13. Leclerc F, Duhamel A, Deken V, Grandbastien B, Leteurtre S. Can the pediatric logistic organ
dysfunction-2 score on day 1 be used in clinical criteria for sepsis in children? Pediatr Crit Care
Med. 2017;XX:00-.
14. Akre M, Finkelstein M, Erickson M, Liu M, Vanderbilt L, Billman G. Sensitivity of the pediatric
early warning score to identify patient deterioration. Pediatrics. 2010;125:e763–9.
15. Bradshaw C, Goodman I, Rosenberg R, Bandera C, Fierman A, Rudy B. Implementation on of an
inpatient pediatric sepsis identification pathway. Pediatrics. 2016;137(3):e20144082.
16. The UK Sepsis Trust. Inpatient paediatric sepsis screening & action tool (diunduh 21 September
2017). Tersedia dari: https://sepsistrust.org/wp-content/uploads/2017/08/Inpatient-5-11-NICE-
Final-1107-2.pdf
17. The UK Sepsis Trust Paediatric Group. Paediatric Sepsis 6 version 11.1 August 2015.
18. Sankar J, Ismail J, Sankar MJ, Suresh, Meena RS. Fluid bolus over 15–20 versus 5–10 minutes each
in the first hour of resuscitation in children with septic shock: a randomized controlled trial.
Pediatr Crit Care Med. 2017;XX.
19. Emrath ET, Fortenberry JD, Travers C, McCracken CE, Hebbar KB. Resuscitation with balanced
fluids is associated with improved survival in pediatric severe sepsis. Crit Care Med.
2017;45:1177–83
20. Arikan AA, Zappitelli M, Goldstein SL, Naipaul A, Jefferson LS, Loftis LL. Fluid overload is associated
with impaired oxygenation and morbidity in critically ill children. Pediatr Crit Care Med.
2012;13:253–8.


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 29



Lampiran 1
Algoritma Identifikasi Syok Sepsis


Pasien ke emergensi dengan penanda infeksi dan/atau abnormalitas suhu Singkirkan dari algoritma syok


Lanjutkan proses triase rutin

Transfer ke ruang resusitasi,
Penilaian secara umum: apakah pasien tampak sakit berat ? panggil tim resusitasi secepatnya



Lanjutkan algoritma trias syok
1. Periksa tanda vital secara keseluruhan termasuk tekanan darah dan suhu
2. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis secara singkat: nilai fungsi kesadaran,
warna kulit, denyut nadi, dan waktu pengisian kapiler.
3. Apakah pasien merupakan risiko tinggi ? (Lampiran Tabel 1)

Daftar tilik syok sepsis:
1. Abnormalitas suhu
o
…… C (Lampiran Tabel 2)
2. Hipotensi …….mmHg (Lampiran Tabel 2)
3. Takikardia ……. x/menit (Lampiran Tabel 2)
4. Takipnea ……..x /menit (Lampiran Tabel 2)
5. Abnormalitas waktu pengisian kapiler ..….. (Lampiran Tabel 3)
6. Penurunan kesadaran ..……(Lampiran Tabel 3)
7. Abnormalitas denyut nadi . .……(Lampiran Tabel 3)
8. Abnormalitas warna kulit ….…..(Lampiran Tabel 3)


Apakah pasien mengalami hipotensi ? Mulai atau lanjutkan protokol syok sepsis
menggunakan the sepsis shock order set


Apakah pasien memenuhi ≥3 dari 8 kriteria klinis Lanjutkan proses
Atau triase rutin
Apakah pasien dengan risiko tinggi memenuhi ≥2 dari 8 kriteria klinis

Identifikasi pasien sebagai pasien yang memenuhi kriteria syok
sepsis, kirim pasien ke ruangan dan informasikan kepada dokter

Apakah penilaian dokter sesuai dengan penilaian triase


Lanjutkan perawatan rutin

Gambar 6 Rekomendasi Tata Laksana Sepsis Anak ACCM 2014
Dikutip dari: Davis dkk.1



PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 30


Lampiran 2

Tabel 1. Kondisi risiko tinggi


1. Keganasan
2. Asplenia (termasuk SCD)
3. Transplantasi sumsum tulang
4. Terpasang kateter sentral/berkelanjutan
5. Transplantasi organ padat
6. Retardasi mental berat atau palsi serebral
7. Imunodefisiensi, imunosupresi, imunokompromais
1
Dikutip dari: Davis dkk.

Tabel 2. Tanda vital


Usia Laju jantung Laju napas Tekanan darah sistole Suhu
0 hari–1 bulan >205 >60 <60 <36 atau >38
≥1 bulan–3 bulan >205 >60 <70 <36 atau >38
≥3 bulan-–1 tahun >190 >60 <70 <36 atau >38,5
≥1 tahun–2 tahun >190 >40 <70 + (usia dalam tahun x 2) <36 atau >38,5
≥2 tahun–4 tahun >140 >40 <70 + (usia dalam tahun x 2) <36 atau >38,5
≥4 tahun–6 tahun >140 >34 <70 + (usia dalam tahun x 2) <36 atau >38,5
≥6 tahun–10 tahun >140 >30 <70 + (usia dalam tahun x 2) <36 atau >38,5
≥10 tahun–13 tahun >100 >30 <90 <36 atau >38,5
≥13 tahun >100 >16 <90 <36 atau >38,5
1
Dikutip dari: Davis dkk.

Tabel 3. Abnormalitas Pemeriksaan


Syok Dingin Syok Hangat Non-spesifik
Pulsasi Menurun atau lemah Cepat dan sangat kuat
(sentral vs perifer)
Waktu pengisian kapiler ≥3 detik Sangat cepat (<1 detik)
(sentral vs perifer)
Kulit Mottled, dingin Kemerahan, eritroderma Petekie di bawah payudara, ada
(selain pada wajah) purpura

Status mental (kesadaran) Penurunan kesadaran, gelisah,


bingung, menangis yang tidak
normal, mengantuk, kontak
tidak adekuat, letargi

1
Dikutip dari: Davis dkk.





PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 31


TANTANGAN PENANGANAN ANEMIA DALAM PRAKTIK DOKTER ANAK SEHARI-HARI

Lelani Reniarti
Hematologi Onkologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD – RSHS

Pendahuluan
Anemia masih menjadi masalah kesehatan utama. Data pada tahun 2013 menunjukkan sekitar 27%
populasi, yaitu 1,93 milyar orang mengalami anemia, 89% di antaranya terdapat di negara
berkembang dan anak-anak kejadiannya tertinggi.1,2 Anemia defisiensi besi menjadi penyebab utama
anemia di banyak negara, terutama pada anak di bawah usia 5 tahun.1 Menurut WHO sekitar 273 juta
anak, yaitu sekitar 43% anak mengalami anemia defisiensi besi.3 Saat ini prevalensi anemia pada bayi
dan anak Indonesia masih berdasar atas data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian
Kesehatan sekitar 21,7% yang terbagi atas kelompok usia 12–59 bulan sebesar 28,1%; 5–14 tahun
26,4%; dan 14–24 tahun 18,2%.1 Walaupun data tersebut sudah menunjukkan penurunan, namun
penelitian di daerah pedesaan angkanya masih tinggi, yaitu 47,4–53,9%.4
Anemia secara umum didefinisikan sebagai jumlah sel darah merah atau konsentrasi Hemoglobin
(Hb) yang berkurang. Anemia pada anak merupakan kondisi yang sering dijumpai dalam praktik
dokter anak sehari-hari. Diagnosis anemia merupakan bagian yang penting dalam penangananan
kelainan hematologi. Penyebab anemia multifaktor dan bervariasi sesuai dengan usia, namun melalui
riwayat penyakit, pemeriksaan fisis, dan evaluasi laboratorium, diagnosis pasti dapat ditegakkan.5-8
Penilaian laboratorium mean corpuscular volume (MCV) masih merupakan standar pendekatan
diagnostik dengan mengklasifikasikan anemia sebagai anemia mikrositer, normositer, atau
makarositer.8
Anemia bukan merupakan penyakit yang khusus, tetapi merupakan kondisi diakibatkan oleh
berbagai proses patologis. Efek klinis akibat anemia bergantung pada durasi dan beratnya anemia.
Anemia dapat terjadi akut atau kronis dan ringan, sedang, atau berat. Anemia berat dan akut dapat
mengganggu fungsi kardiovaskular.9-12 Sebagian besar anak dengan anemia bersifat asimtomatis,
anemianya ringan, dan hanya didapatkan anemia pada saat pemeriksaan darah rutin dengan berbagai
penyebab yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Perkembangan teknologi diagnostik anemia
pun telah menjadi tantangan tersendiri. Hal tersebut memicu para dokter anak untuk memahami
dasar pemeriksaan sehingga dapat merekomendasikan pemeriksaan tertentu atas dasar ilmiah untuk
menunjang diagnosis anemia.
Paparan berikut ini diharapkan merupakan jawaban berbagai tantangan dalam menangani kasus
anemia dalam praktik dokter anak sehari-hari khususnya dalam menangani kasus anemia yang paling
sering datang ke praktik dokter anak. Paparan ini akan dimulai dari memaparkan ketiga jenis anemia
yang tersering, langkah-langkah diagnosis, dan algoritma untuk diagnostik praktis anemia.

Definisi dan Batasan Anemia


Anemia disefinisikan sebagai jumlah sel darah merah (red blood cell/RBC) atau kadar hemoglobin (Hb)
berkurang di bawah -2 standar deviasi (SD) berdasar atas usia dan jenis kelamin pada populasi anak
sehat.12,13 Menurut WHO kriteria anemia pada ketinggian sejajar dengan permukaan laut, yaitu bila
kadar Hb <11 g/dL pada anak usia 6 bulan–<5 tahun, Hb <11,5 g/dL anak usia 5–12 tahun, dan Hb <12
g/dL pada anak usia 5–12 tahun. Selain itu, anemia didefinisikan sebagai anemia berat bila kadar Hb

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 32


<7 g/dL, sedang Hb 7–10 g/dl, dan ringan bila Hb 10–11g/dL.13-15 Anemia dapat bersifat akut atau
kronik.9-11 Tidak ada definisi yang tepat untuk anemia kronik. Anemia yang berlangsung lebih dari 6
bulan atau lebih (misalnya thalassemia) jelas kronik, tetapi anemia yang baru berlangsung hanya 2
bulan sebaiknya digolongkan kronik juga.11 Sebaliknya, anemia akut biasanya onset-nya cepat dalam
beberapa jam atau hari dan memerlukan tindakan segera, biasanya disebabkan oleh perdarahan atau
hemolisis akut.10 Anemia diklasifikasikan juga berdasar atas ukuran sel eritrosit yang dinyatakan dalam
nilai mean corpuscular volume (MCV), yaitu mikrositik, normostik, dan makrositik.8 The RBC
distribution width (RDW) adalah pemeriksaan untuk menilai variasi ukuran RBC. Nilai RDW yang
rendah menunjukkan ukuran RBC yang uniform, sedangkan peningkatan RDW lebih dari 14%
mengindikasikan ukuran yang bermacam-macam.8 Hal ini dapat menjadi petunjuk untuk pendekatan
diagnostik anemia pada anak (Tabel 1).

Tabel 1. Klasifikasi Etiologi Anemia berdasar atas MCV dan RDW2
MCV Rendah MCV Normal MCV Tinggi
RDW
Mikrositik Homogenus Normositik Homogenus Makrositik Homogenus
Normal
Heterozygous thalassemia Normal Inherited bone marrow failure syndromes
Penyakit kronik Penyakit kronik Preleukemia
Penyakit hati kronik
Hemoglobinopati non-anemik
Kemoterapi
Leukemia mielositik kronik
Pendarahan
Hereditary spherocytosis




RDW Mikrositik Heterogenus Normositik Heterogenus Makrositik Heterogenus
Tinggi
Defisiensi besi Defisiensi besi atau folat awal Defisiensi folat
Thalassemia β Mixed deficiencies Defisiensi vitamin B12
Hemoglobin H Hemoglobinopati Anemia hemolitik imunologis
Eritrosit Mielofibrosis Cold agglutinins
Fragmented disorders Anemia sideroblastik
MCV, mean corpuscular volume; RDW, red cell distribution width, koefisien variasi distribusi eritrosit (nilai
normal 11,5%-14,5%)
2
Dikutip dari: Kassebaum dkk


Etiologi
Penyebab anemia bervariasi sesuai dengan usia, jenis kelamin, ras, dan etnis. Anemia sebaiknya tidak
digolongkan sebagai diagnosis, tetapi didapatkan anemia pada anak memerlukan pemeriksaan lebih
lanjut untuk mencari penyebabnya. Pada bayi dan anak anemia umumnya disebabkan oleh produksi
eritrosit yang berkurang atau peningkatan eritropoesis. Anemia defisiensi besi (ADB) merupakan
penyebab terbanyak. Selain itu, dapat disebabkan oleh inflamasi dan infeksi kronik, serta kelainan
sumsum tulang. Peningkatan eritropoesis dapat diakibatkan oleh perdarahan dan destruksi mekanik
sel eritrosit atau proses hemolisis, antara lain anemia hemolitik herediter seperti thalassemia dan


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 33


defisiensi enzim glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD). Destruksi sel eritrosit didapatkan pada
penderita splenomegali.8
Penyebab anemia bervariasi sesuai dengan usia, antara lain:8,17
• Pada periode neonatal: perdarahan, inkompatibilitas atau Rhesus (Rh), anemia hemolitik
kongenital (defisiensi G6PD, infeksi kongental, congenital pure red cell aplasia, ABO
incompatibility, dan anemia Fanconi.
• Pada periode infant dan anak usia bawah 3 tahun (toddlerhood): anemia defisiensi besi,
infeksi, kelainan struktur dan sintesis Hb (thalassemia, sickle cell disease), defisiensi G6PD,
RBC membrane defects, dan anemia hemolitik didapat (anemia hemolitik autoimun,
hemolytic uremic syndrome).
• Pada periode anak dan remaja: anemia defisiensi besi, penyakit kronik, kelainan struktur
dan sintesis Hb (thalassemia, sickle cell disease), RBC membrane defects, dan anemia
hemolitik didapat (anemia hemolitik autoimun, hemolytic uremic syndrom). leukemia, dan
kelainan di sumsum tulang.

Manifestasi Klinis
Pada sebagian besar anak dengan anemia ringan biasanya tidak memunjukkan gejala atau
asimtomatis dan hanya didapatkan penurunan Hb saat pemeriksaan laboraorium rutin.7,8 Gejala yang
dapat ditemukan pada penderita anemia antara lain pucat, lemah badan, jaundice, napas cepat, dan
palpitasi. Tanda-tanda yang menunjukkan anemia kronik antara lain: anak rewel, pucat (biasanya
muncul saat Hb di bawah 7 g/dL), glositis, murmur sitolik, gagal tumbuh.7 Anak dengan anemia akut
gejala anemia nya lebih berat dengan manifestasi klinis ikterik, takikardia, takipnea, gagal jantung, dan
perubahan pada kuku (nailbed).7,8 Gejala pucat memiliki sensitivitas yang buruk dalam memprediksi
anemia, namun berkorelasi baik apabila anemianya berat. Penelitian menujukkan pada pemeriksaan
fisis bila terdapat pucat pada konyungtiva, lidah, pamar, dan kuku memiliki sensitivitas 93% dan
spesifisitas 57% pada anak dengan diagnosis anemia dengan kadar Hb di bawah 5 g/dL. Sensitivitas
menurun menjadi 66% pada kadar Hb 5–8 g/dL.8

Langkah Diagnostik Anemia pada Anak


Pada sebagian besar bayi dan anak umumnya anemia bersifat ringan dan tidak menunjukkan gejala
klinis berat. Apabila didapatkan anemia pada saat skrining laboratorium sebaiknya dilakukan
pendekatan diagnostik untuk mencari penyebab anemianya melalui pendekatan anamnesis (riwayat
penyakit, riwayat keluarga, dan etnis), serta pemeriksaan fisis dan laboratorium. Riwayat penyakit
ditujukan untuk mengetahui riwayat anemia sebelumnya (erat kaitannya dengan anemia herediter),
riwayat kelahiran atau jaundice pada bayi baru lahir, tanda-tanda infeksi atau inflamasi, riwayat
keluarga, etnis, asupan makanan, paparan obat sebelumnya, dan gagal tumbuh.17 Pemeriksaan fisis
dapat menjadi arahan penyebab dan berat anemianya, yaitu mencari tanda-tanda anemia pada wajah,
mata, kulit, lidah, palmar dan kuku, selain itu gejala lainnya pada daerah toraks dan abdomen, serta
mencari tanda-tanda infeksi atau inflamasi. Penderita anemia akibat proses hemolisis menunjukkan
gejala berupa anemia, ikterus pada sklera, jaundice, dan hepatosplenomegali.17 Sebagai langkah
selanjutnya apabila didapatkan anemia dilakukan pemeriksaan compllete blood count (CBC). Penting
melihat hasil MCV untuk membedakan anemia mikrositik, normositik, atau makrositik.8,17-18 Algoritma
evaluasi Hb rendah pada anak dapat dilihat pada Gambar 1.

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 34


Tahapan selanjutnya dalam pendekatan diagnosis anemia pada anak adalah pemeriksaan
gambaran darah tepi dan hitung retikulosit. Hitung retikulosit dapat membedakan apakah anemia
tersebut disebabkan oleh penurunan produksi RBC atau peningkatan destruksi RBC. Nilai retikulosit
yang rendah diakibatkan oleh gangguan di sumsum tulang atau aplasia, sedangkan nilai retikulosit
yang tinggi menunjukkan anemia akibat destruksi RBC atau perdarahan.8


Kadar Hemoglobin Rendah


Konfirmasi kadar dan tambahkan index; evaluasi MCV


MCV rendah
MCV normal MCV tinggi


Anemia Mikrositik Anemia Normositik Anemia Makrositik


Apakah anemia ringan, dan apakah

ada riwayat dan indikasi defisiensi
zat besi?


Ya Tidak


Tangani dugaan; tes
ulang dalam satu bulan


Hemoglobin naik > 1.0 g Tidak Pemeriksaan zat besi, hemoglobin
per dL (10g/L) elektroforesis, kadar timah

Ya


Diagnosis terkonfirmasi; Defisiensi zat besi Anemia Talasemia Penyebab tidak

konseling tentang konsumsi (tidak responsive karena ditemukan
susu sapi; terapi dilanjutkan
dengan terapi oral) penyakit
untuk satu sampai dua bulan kronis



Tes untuk pendarahan Obati Konsul Rujuk ke

saluran cerna; rujuk ke penyakit atau rujuk hematologi anak

gastroenterologis anak penyerta sesuai
kebutuhan


Gambar 1. Algoritma Evaluasi dan Tata Laksana Anak dengan Hb Rendah
8 18
Dikutip dari: Yanus dan Moerschel8, Wang





PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 35


Anemia mikrositik
Prevalensi terbanyak penyebab anemia mikrositik adalah anemia defisiensi besi. Penyebab lain yang
perlu dipertimbangan adalah thalassemia.7,8,18-19 Bila anemia mikrositik ringan perlu
dipertimbangkan beta thalassemia trait (𝛽-TT) dan ADB.

Anemia defisiensi besi


Anak anemia mikrositik dengan riwayat asupan makan yang buruk harus mendapat terapi suplemen
besi dan konseling. Terapi anemia mikrostik ringan dengan terapi besi elemental 3–6 mg/kg berat
badan/hari. Pemberian dosis 1 kali atau 2–3 kali sehari memberikan hasil yang tidak berbeda.8 Bila
didapatkan peningkatan 1,0 g per dL setelah pemberian suplemen besi maka diagnosis ADB dapat
ditegakkan. Walaupun ADB biasanya memberikan gambaran mikrositik, penderita ADB dapat
memiliki gambaran anemia normositik.18 Hasil nilai Hb yang normal pun belum menyingkirkan
terdapat defisiensi besi. Sepertiga penderita ADB memiliki nilai MCV normal dengan gambaran
normositik normokromik yang kemudian menjadi hipokromik dan mikrositik sejalan dengan
penurunan besi serum. Pada ADB didapatkan hasil konsentrasi besi serum (serum iron) rendah dan
total iron binding capacity (TIBC) yang tinggi. Nilai besi serum normal adalah 22–184 mcg/dL (3,4–32,9
mcmol/L), TIBC 100–400 mcg/dL pada bayi dan 200–400 mcg/dL pada anak yang lebih besar dengan
nilai saturasi besi lebih dari 20%.5,18-19
Nilai feritin serum di bawah 10–12 µg/L menyokong diagnosis ADB dan merupakan tes yang paling
sensitif untuk menilai ADB karena mencerminkan total cadangan besi tubuh, namun kurang akurat
bila disertai dengan infeksi atau inflamasi. Pemeriksaan lebih lanjut diperlukan bila ADB tidak
berespons terhadap terapi besi dalam waktu 4–8 minggu setelah pengobatan, atau anemia berulang,
kemungkinan dapat disebabkan oleh perdarahan persisten dan malabsorpsi. Dokter anak harus
mempertimbangkan thalassemia trait, thalassemia alpha, atau intoksikasi timah, dan merujuk
penderita ke pediatric hematologist.18 .Peningkatan red blood cell distribution width index (RDWI)
pada ADB merupakan tes yang sensitif untuk membedakan ADB dengan anemia mikrositik lainnya
bila pemeriksaan feritin tidak tersedia.5,18 RDWI dihitung berdasar formula RDWI (MCV x RDW/RBC).19
Pemeriksaan lainnya untuk membedakan anemia mikrositik lain yang ringan, antara lain dengan beta
thalassemia trait (𝛽-TT), yaitu dengan menggunakan indeks Mentzer (MCV/RBC). Pada thalassemia
didapatkan hasil indeks Mentzer lebih dari 13, sedangkan pada ADB hasil indeks Mentzer kurang
dari13.5,8,19

Thalassemia
Thalassemia ialah anemia yang disebabkan oleh defek sintesis globin α atau β harus
dipertimbangakan pada anak dengan anemia mikrositik bila hasil laboratorium tidak sesuai dengan
ADB. Thalassemia alpha didapatkan di wilayah Afrika dan AsiaTenggara, sedangkan thalassemia beta
sering dijumpai di wilayah Mediteranian, Afrika, dan Asia Tenggara. Karena pada saat lahir masih
terdapat Hb F maka bayi baru lahir dengan thalassemia biasanya asimtomatis sampai Hb A (Hb adult)
dominan pada bayi usia 6 bulan.18 Diagnosis thalassemia ditegakkan berdasar atas pemeriksaan Hb
elektroforesis berupa peningkatan Hb A2 >3,5% dan atau peningkatan HbF. Thalassemia HbE dapat
terdeteksi pada pemeriksaan Hb elektoforesis.5 Anak dengan Hemoglobin E trait tidak memiliki gejala
anemia, tetapi dapat dijumpai RBC yang mikrositik, sedangkan HbE homosigot ditandai dengan gejala
anemia ringan, mikrositosis berat tanpa organomegali, dan thalassemia beta-HbE menyerupai gejala

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 36


pada thalassemia mayor dengan gejala anemia berat dan organomegali yang memerlukan transfusi
berulang.5 Thalassemia beta trait gejala anemianya ringan dengan nilai Hb 9,5 –11 g/dL (95–110 g/L)
pada masa prepubertal dan nilai MCV kurang dari 80 fL/sel. Indeks Mentzer kurang dari 13
mengindikasikan thalassemia, sedangkan lebih dari 13 defisiensi besi.5,18 Pada penelitian untuk
membedakan ADB dengan 𝛽-TT, indeks Mentzer memiliki sensitivitas (98,7%) dan spesifisitas tertinggi
(82,4%).20,21 Tidak ada terapi khusus untuk thalassemia beta trait, HbE trait atau HbE homosigot,
sedangkan thalassemia beta mayor memerlukan terapi transfusi reguler dan kelasi besi sepanjang
hidupnya.5 Penderita thalassemia alpha trait (delesi dua gen thalassemia alpha) biasanya
asimtomatis. Terdapat thalassemia alpha trait perlu dipertimbangkan apabila penderita suspek
thalassemia beta trait, namun memili nilai HbA2 dan HbF yang normal terutama sekali pada populasi
Asia. Penderita biasanya pada pemeriksaan fisis normal, hanya pada sindrom thalassemia alpha berat
(penyakit HbH) terdapat anemia berat dengan Hb berkisar 7–10 g/dL dan splenomegali. Tidak ada
terapi khusus untuk thalassemia alpha trait.5 Perlu dilakukan rujukan pada kasus dengan kesulitan
diagnosis dan anemia berat.

Anemia normositik
Penyebab tersering anemia mikrositik pada bayi dan anak adalah anemia defisiensi besi dan
perdarahan akut.18 Pada langkah pertama evaluasi anemia normositik perlu dilakukan pemeriksaan
riwayat penyakit, hitung retikulosit, dan gambaran morfologi darah tepi.18 Pemeriksaan hitung
retikulosit umtuk menentukan apakah anemia disebabkan oleh penurunan produksi RBC (hitung
retikulosit rendah) atau peningkatan destruksi RBC (hitung retikulosit tinggi) seperti tampak pada
Gambar 2.8 Pada anemia akibat destruksi RBC (anemia hemolitik) didapatkan hasil hitung retikulosit
tinggi disertai peningkatan LDH dan bilirubin indirek dengan gambaran morfologi darah tepi
menunjukkan gambaran hemolisis (antara lain sistosit, sel sabit, tear drops, dan poikilosit).7 Anemia
hemolitik pada anak dapat disebabkan oleh membranopati kongenital, hemoglobinopati, enzimopati,
defek metabolik, dan anemia hemolitik autoimun. Evaluasi selanjutnya adalah pemeriksaan fragilitas
osmotik untuk diagnosis sperositosis herediter dan assay glucose-6-phosphate dehydrogenase untuk
diagnosis defisiensi G6PD.7,18 Konfirmasi diagnosis G6PD ditegakkan berdasar atas hasil nilai G6PD
yang rendah, tetapi hasil tersebut dapat saja normal pada keadaan hemolisis akut. Bila hal ini terjadi
sebaiknya pemeriksaan G6PD diulang beberapa bulan setelah terjadi perbaikan.7
Pada anemia akibat pengurangan produksi RBC didapatkan hasil anemia normositik dengan hitung
retikulosit yang rendah. Penyebabnya adalah anemia pada inflamasi kronik, aplasia sumsum tulang,
dan kelainan sumsum tulang (mis leukemia).5,18 Pada kecurigaan kelainan di sumsum tulang maka
perlu dilakukan pemeriksaan morfologi darah tepi, aspirasi sumsum tulang, dan dirujuk ke pediatric
hematologist.18
Anemia fisiologis pada infant sering dikelirukan dengan keadaan patologis. Selama minggu
pertama kehidupan, sintesis eritropoetin menurun dengan cepat, kira-kira pada minggu ke-6–8
setelah lahir Hb mencapai titik terendah, yaitu kadar Hb 9–11 g/dL atau 7–9 g/dL pada bayi prematur,
namun setelahnya terjadi stimulasi fisiologis produksi eritropoetin dan Hb kembali normal.7


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 37


Anemia makrositik
Anemia makrositik jarang didapatkan pada anak. Langkah pertama diagnostik anemia makrositik
adalah melalui pemeriksaan morfologi darah tepi untuk mencari neutrofil hipersegmentasi yang
menjadi petunjuk anemia megaloblastik akibat defisiensi asam folat atau vitamin B12 atau kelainan
sintesis DNA (Gambar 3).8,18 Penyebab lain anemia normositik yang bukan disebabkan oleh anemia
megaloblastik adalah alkoholism, anemia aplastik, mielodisplasia, serta anemia sideroblastik), dan
hipotiroid. Dalam hal ini diperlukan pemeriksaan lanjutan kadar folat dan vitamin B12.18 Defisiensi
asam folat pada umumnya terjadi akibat asupan yang tidak mencukupi maka terapi untuk defisiensi
asam folat adalah pemberian asam folat parenteral atau oral folat dosis 1–3 mg diberikan 1 kali
sehari.7



Normositik Anemia


Tinjau penyakit dasar pasien; hitung retikulosit dan apusan
darah tep



Jumlah retikulosit rendah (menunjukkan Jumlah retikulosit tinggi (mengindikasikan
hipofungsi sumsum tulang) peningkatan turn over sel darah merah)


Tes laboratorium untuk hemolysis (bilirubin,
dehidrogenase laktak, tingkat haptoglobin)
Dicurigai mempunyai Peradangan Bercak yang

penyakit medis pokok tidak normal

Positif Negatif


pertimbangkan defek pertimbangkan kehilangan
enzim, gangguan autoimun, darah, hipersplenisme, atau
hemoglobinopati, atau gangguan campuran
gangguan membran; uji
yang sesuai


Peyebab tidak diketahui Rujuk ke hematologi anak Peyebab tidak diketahui

8
Gambar 2. Algoritma Evaluasi Anemia Normositik pada Anak
8 18
Dikutip dari: Yanus dan Moerschel8, Wang


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 38



Makrositik Anemia


Apus darah tepi untuk mengevaluasi hipersegmentasi neutrofil
(menunjukkan anemia megaloblastik)


Megaloblastik Anemia Nonmegaloblastik
Anemia

Tes tingkat folat dan vitamin B12 Mendapatkan hitungan retikulosit



Tingkat vitamin B12 Tingkat folat Tingkat nilai Rendah Tinggi

rendah rendah keduanya
rendah atau
normal
mengevaluasi kelainan mengevaluasi hemolisis
pertimbangkan pengobatan jika sesuai sumsum tulang, atau perdarahan
secara klinis (atau rujuk ke ahli hematologi hipotiroidisme, atau
anak untuk evaluasi lebih lanjut) penyakit hati



Tidak ada peningkatan Peyebab tidak diketahui



lihat ahli hematologi pediatrik untuk pertimbangan

kelainan sumsum tulang

8,18
Gambar 3. Algoritma Evaluasi Anemia Makrositik pada Anak
8 18
Dikutip dari: Yanus dan Moerschel8, Wang

Tata Laksana Anemia dan Pencegahan


Terapi anemia defisiensi besi selain dengan pemberian preparat besi oral, juga ditujukan untuk
menangani penyebab yang mendasari anemia. Pada anak pemberian besi sulfat yang mengandung
25 mg/mL dengan dosis 6 mg/kgBB/hari besi elemental dibagi 3 dosis. Pada anak yang lebih besar
dapat diberikan dalam bentuk tablet ferrous sulfate 325 mg yang mengandung besi elemental 65 mg,
namun hanya dapat mentolerir 2–3 tablet/hari (setara dengan 2–3 mg/kgBB/hari karena
menimbulkan intestinal discomfort.7 Pengobatan harus dilanjutkan sampai hemoglobin dan
hematokrit normal dan dilanjutkan sampai 1–2 bulan setelahnya untuk mengisi cadangan besi tubuh.7
Pada bayi prematur yang mendapat ASI eksklusif dianjurkan mendapat suplementasi besi dengan
dosis 2 mg per kg per hari besi elemental mulai usia 1 bulan sampai 12 bulan, kecuali pada mereka
yang mendapat transfusi berulang.18 Pada bayi lahir normal dengan kecukupan cadangan besi selama
4–6 bulan pertama yang mendapat ASI eksklusif, American Academy of Pediatric (AAP)
merekomendasikan pemberian suplementasi besi dosis 1 mg/kg BB mulai usia 4 bulan sampai
diperkenalkan pemberian makanan tambahan. Tabel 3 dan 4 menunjukkan pemberian suplementasi
besi pada anak dan kebutuhan besi pada anak.18

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 39


Pada anak dengan gejala anemia berat harus mendapat transfusi darah diberikan dengan volume
10 mL per kgBB, per infus dengan kecepatan tidak lebih dari 5 mL per kgBB per jam dengan monitoring
ketat tanda-tanda gagal jantung selama transfusi berlangsung.8
Pada thalassemia beta-trait, HbE trait, dan HbE homosigot tidak memerlukan terapi khusus.
Terpenting adalah ditetapkan diagnosis klinis untuk mencegah pemberian besi oral karena
misdiagnosis anemia defisiensi besi padahal tidak terjad defisiensi besi.18
Sangatlah penting untuk mengevaluasi kedua orangtuanya akan kemungkinan pembawa sifat
thalassemia beta trait atau HbE trait dengan risiko 25% memiliki anak sindrom thalassemia mayor
dengan risiko mendapat transfusi berulang dan kelasi besi sepanjang hidupnya dan prognosis yang
kurang baik.18


Tabel 3. Unsur Suplemen Zat Besia atau Kebutuhan Pada Anak
Umur Suplemen zat besi atau kebutuhannya
Preterm (<37 minggu kehamilan 2mg per Kg supplementasi per hari jika asi eksklusif
bayi: 1 sampai 12 bulan 1mg per Kg sipplementasi per hari jika menggunakan formula zat besi
Term bayi: 4 sampai 6 sampai 12 bulana 1mg per Kg sipplementasi per hari jika asi eksklusif
Supplementasi tidak dibutuhkan jika menggunakan formula zat besi
Balita 1 sampai 3 tahun Dibutuhkan 7mg per hari; modifikasi makanan dan atau supplemen jika
pucat
Anak – anak 4 sampai 8 bulan Dibutuhkan 10mg per hari; modifikasi makanan dan atau supplemen jika
pucat
2 3 5
Dikutip dari: Kassebaum , WHO , Segel

Tabel 4. Formulasi dan Dosis Zat Besi Oral
Formulasi Dosis (unsur besi)
Ferrous fumarate Tablet: 90 (29.5) mg, 324 (106) mg, 325 (106) mg, 456 (150) mg
Ferrous gluconate Tablet: 240 (27) mg, 256 (28) mg, 325 (36) mg
Ferrous sulfat Tetes dan larutan oral: 75 (15) mg per mL
Eliksir dan cairan: 2240 (44) mg per 5 mL
Sirup: 300 (60) mg per 5 mL
Tablet: 300 (60) mg, 324 (65) mg, 325 (65) mg
Extended-release tablets: 140 (45) mg, 160 (50) mg, 325 (65) mg
polysaccharide-iron complex and ferrous Kapsul: unsur besi (50 mg, 150 mg with or without 50 mg vitamin C)
bisglycinate chelate Eliksir: unsur besi (100 mg per 5 mL)
Dikutip dari: Kassebaum , WHO , Segel
2 3 5

Simpulan
Anemia masih menjadi masalah kesehatan utama dan 89% di antaranya terdapat di negara
berkembang. Pada anak kejadian anemia tertinggi dengan anemia defisiensi besi menjadi penyebab
utama anemia pada anak di bawah usia 5 tahun. Prosedur diagnosis anak anemia adalah melakukan
pendekatan diagnostik melalui anemia mikrositik, normositik, atau makrositik. Melalui skrining dan
diagnostik yang adekuat memungkinkan pengobatan yang tepat.




PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 40


Daftar Pustaka
1. Kassebaum NJ. The global burden of anemia. Hematol Oncol Clin N Am. 2016;30:247–308.
2. Kassebaum NJ, Jasrasaria R, Naghavi M, dkk. A systematic analysis of global anemia burden from
1990 to 2010. Blood. 2014;123(5):615–24.
3. WHO. The global prevalence of anaemia in 2011. Geneva: World Health Organization; 2015.
4. Kemenkes. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kemenkes RI; 2014.
5. Segel GB, Hirsh MG, Feig SA. Managing anemia in pediatric office practice: part 1. Pediatr Rev.
2002 Mar;23(3):75–84.
6. Segel GB, Hirsh MG, Feig SA. Managing anemia in pediatric office practice: part 2. Pediatr Rev.
2002;23:111–22.
7. Irwin JJ, Kirchner JT. Anemia in children. Am Fam Physician. 2001 Oct 15;64(8):1379–87.
8. Janus J, Moerschel SK. Evaluation of anemia in children. Am Fam Physician. 2010;81(12):1462–
71.
9. Hare GMT, Freedman J, Mazer DC. Review article: risks of anemia and related management
strategies: can perioperative blood management improve patient safety? Can J Anaesth. 2013
Feb;60(2):168–75.
10. Inoue S, Robert J, Arceci RJ. Pediatric acute anemia. Emedicine. Updated: Aug 22, 2017.
11. Inoue S, Coppes MJ. Pediatric chronic anemia. Emedicine. Updated: Apr 12, 2016.
12. Lanzkowsky P. Classification and diagnosis of anemia in children. Dalam: Lanzkowsky P, Lipton
JM, Fish JD, penyunting. Lanzkowsky's manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke-6.:
Elsevier; 2016. hlm. 32–41.
13. World Health Organization. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and
assessment of severity. WHO/NMH/NHD/MNM/11.1
14. World Health Organization. Iron deficiency anaemia assessment, prevention, and control. A guide
for programme managers. Geneva (Switzerland): World Health Organization; 2001.
15. Brugnara C, Oski FA, Nathan DG. Diagnostic approach to the anemic patient. Dalam: Orkin SH,
Fisher DE, Ginsburg D, Look AT, Lux SE, Nathan DG, penyunting. Nathan and Oski’s hematology
and oncology of infancy and childhood. Philadelphia: Elsevier; 2015. hlm. 293–307.
16. Beutler E, Waalen J. The definition of anemia: what is the lower limit of normal of the blood
hemoglobin concentration? Blood. 2006;107(5):1747–50.
17. Sandoval C. Approach to the child with anemia. Dalam: Maloney DH, Lorrin ML, Armsby C,
penyunting. Up to date. Section Ed.: Waltham, MA; 2016.
18. Wang M. Iron deficiency and other types of anemia in infants and children Am Fam Physician.
2016;93(4):270–8.
19. Muñoz M, Gómez-Ramírez S, Besser M, dkk. Current misconceptions in diagnosis and
management of iron deficiency. Blood Transfusion. 2017;15(5):422–37.
20. Vehapoglu A, Ozgurhan G, Demir AD, Uzuner S, Nursoy MA, dkk. Hematological indices for
differential diagnosis of beta thalassemia trait and iron deficiency anemia. Hindawi Publishing
Corporation. Anemia. Volume 2014, Article ID 576738. Tersedia dari:
http://dx.doi.org/10.1155/2014/576738
21. Piplani S, Madan M, Mannan R, Manjari M, Singh T, Lalit M. Evaluation of various
discrimination indices in differentiating iron deficiency anemia and beta thalassemia trait: a
practical low cost solution. Annu Pathol Lab Med. 2016 Dec;03(06 Suppl)






PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 41


HIPERTENSI EMERGENSI PADA ANAK: APA YANG HARUS DILAKUKAN ?

Dedi Rachmadi
Nefrologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD - RSHS

Pendahuluan
Hipertensi pada anak sering luput dari perhatian karena banyak yang tidak memberikan gejala dan
baru diketahui pada pemeriksaan rutin. Terdapat peningkatan kejadian hipertensi pada dewasa yang
merupakan kelanjutan hipertensi pada masa anak.1 Hipertensi pada masa anak akan memberikan
kontribusi terjadi aterosklerosis prematur dan berkembang menjadi awal penyakit kardiovaskular.1-3
Angka prevalensi hipertensi pada anak 1–5%, sedangkan angka prevalensi hipertensi berat pada anak
sekitar 0,1–0,6%.4 Prevalensi hipertensi pada anak semakin meningkat, khususnya usia sekolah. Hal
ini disebabkan oleh perubahan gaya hidup seperti konsumsi garam berlebihan, dislipidemia, dan
peningkatan kejadian obesitas yang memberikan kontribusi terhadap peningkatan tekanan darah.2,4,6
Tekanan darah yang tinggi memberikan kontribusi terhadap perubahan struktural dan fungsional
kardiovaskular pada anak. Semakin tinggi tekanan darah menyebabkan autoregulasi gagal untuk
mengompensasi sehingga menimbulkan kerusakan dinding pembuluh darah dan hipoperfusi organ.
Hipertensi emergensi adalah kondisi kritis ditandai dengan peningkatan tekanan darah yang cepat dan
terdapat tanda dan gejala kerusakan target organ.7 Beberapa kasus hipertensi emergensi dapat
dicegah jika hipertensi derajat 1 dan 2 mendapat pengobatan yang teratur dan optimal. Akan tetapi,
ada beberapa kasus hipertensi sekunder yang luput dari pengamatan, umumnya hipertensi sekunder
yang disebabkan oleh kelainan renovaskular atau feokromasitoma atau yang lebih jarang karena
hiperaldosteronism sehingga timbul hipertensi emergensi.8 Untuk mengetahui apa yang harus
dilakukan pada anak dengan hipertensi emergensi adalah mengetahui definisi, mengenal gejala klinis,
paham akan fatofisiologi/mekanisme yang terjadi, dapat membuat diagnosis awal, serta mengetahui
obat yang akan dipergunakan dan tata laksana termasuk tata laksana awal.

Definisi
Menurut Report of the Second Task Force on Blood Pressure Control in Children (1987), hipertensi
adalah tekanan darah sistole dan atau diastole lebih dari persentil ke-95 berdasar atas jenis kelamin,
usia, dan tinggi badan pada pengukuran sebanyak tiga kali. Disebut hipertensi bermakna jika tekanan
darah persentil ke-95–persentil ke-99 dan hipertensi berat jika tekanan darah lebih dari persentil ke-
99 berdasar atas jenis kelamin, usia, dan tinggi badan.1,9,10 National High Blood Pressure Education
Program Working Group on High Blood Pressure in Children and Adolescent (2004) merevisi definisi
hipertensi tersebut menjadi hipertensi adalah tekanan darah sistole dan atau diastole di atas atau
sama dengan persentil 95 berdasar atas usia, jenis kelamin, dan tinggi badan pada pengukuran ≥3 kali
dalam waktu yang berbeda. Hipertensi derajat 1 jika didapatkan tekanan darah di atas atau sama
dengan persentil 95 sampai persentil 99 ditambah 5 mmHg berdasar atas usia, jenis kelamin, dan berat
badan. Hipertensi derajat 2 jika didapatkan tekanan darah di atas atau sama dengan persentil 99
ditambah 5 mmHg berdasar atas usia, jenis kelamin, dan berat badan.1,10,11
Hipertensi emergensi adalah hipertensi yang disertai keterlibatan kerusakan target organ (otak,
jantung, ginjal, dan mata). Umumnya anak dengan hipertensi emergesi mempunyai tekanan darah
>persentil ke-99, tetapi tidak secara tegas ditentukan oleh besarnya nilai tekanan darah.3 Termasuk

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 42


hipertensi emergensi yang mengenai target organ otak adalah hipertensi ensefalopati, gangguan
intrakranial akut, trombosis pembuluh darah otak, perdarahan subaraknoid, dan trauma kepala.
Hipertensi emergensi yang mengenai target organ jantung termasuk sindrom iskemia miokardium,
gagal jantung akut dengan edema paru; sedangkan hipertensi emergensi dengan keterlibatan ginjal di
antaranya gangguan ginjal akut dan peningkatan katekolamin pada krisis feokromasitoma.3,7 Keadaan
hipertensi emergensi memerlukan penurunan tekanan darah segera untuk mencegah komplikasi lebih
lanjut.

Manifestasi Klinis
Tidak seperti gejala pada orang dewasa, keadaan hipertensi emergensi biasanya terjadi pada individu
yang sudah diketahui sebelumnya, sedangkan pada anak gejala dapat timbul dalam 12 jam hingga 2
hari setelah peningkatan tekanan darah mendadak.10,11 Manifestasi klinis bervariasi bergantung pada
kelainan target organ yang terlibat. Manifestasi klinis yang berkaitan dengan keterlibatan organ otak
seperti sakit kepala berat, kejang, gangguan kesadaran, atau kelainan neurologi lainnya sering juga
disertai dengan nausea dan vomitus. Gangguan penglihatan berupa penglihatan yang kabur atau
buta dapat disebabkan oleh edema dan perdarahan retina, hal ini menunjukkan keterlibatan organ
mata. Gangguan target organ ginjal berupa edema, oliguria, hematuria, dan penurunan fungsi ginjal.
Selain itu, dapat juga ditemukan tanda-tanda gagal jantung seperti dispnea, peningkatan tekanan vena
jugularis, takikardia, kelainan pada elektrokardiografi, ataupun hasil pemeriksaan jantung lainnya.3,7,12

Patofisiologi Hipertensi Emergensi


Hipertensi kronik akan menyebabkan kompensasi, baik fungsi ataupun perubahan struktural
pembuluh darah untuk mempertahankan perfusi terutama ke otak dan ginjal. Bila tekanan darah
sistemik melampaui batas kompensasi autoregulasi maka terjadi cedera berupa nekrosis fibrinoid dan
iskemia organ. Sebaliknya, bila tekanan darah turun mendadak di bawah batas kompensasi cedera
iskemik akan meningkat terutama pada individu dengan aterosklerotik atau perubahan struktur
vaskular lainnya. Kebanyakan pada anak hipertensi emergensi tidak mempunyai kelainan struktur
vaskular, oleh karena itu kurang rentan terjadi iskemia organ ketika terjadi penurunan tekanan darah.
Sebaliknya, respons penyesuaian yang kurang pada anak terhadap peningkatan tekanan darah yang
cepat dan mendadak menjadi predisposisi untuk timbul gejala-gejala.3,8,13
Tekanan darah sangat dipengaruhi oleh fungsi curah jantung dan resistensi perifer. Peningkatan
curah jantung dapat diakibatkan oleh peningkatan isi sekuncup dan frekuensi jantung, sedangkan isi
sekuncup dipengaruhi oleh volume cairan ekstraseluler. Setiap keadaan yang memengaruhi isi
sekuncup, frekuensi jantung, dan volume ekstraseluler akan memengaruhi tekanan darah.11,13
Mekanisme peningkatan tekanan darah yang mendadak pada anak belum diketahui secara jelas. Bukti
eksperimental patogenesis hipertensi emergensi didasarkan penelitian pada hewan dan orang
dewasa. Kelebihan cairan, retensi natrium, dan disfungsi endotel memberikan kontribusi dalam
berbagai derajat peningkatan tekanan darah.8,13
Homeostasis tekanan darah melibatkan sistem kardiovaskular, ginjal, dan dipengaruhi oleh saraf
dan mekanisme humoral. Perfusi jaringan di ginjal, otak, dan jantung dipertahankan oleh mekanisme
miogenik dan humoral dalam sistem autoregulasi tekanan darah. Kerusakan target organ pada
hipertensi berat terjadi bila tekanan darah meningkat melebihi batas autoregulasi.3 Patogenesis krisis
hipertensi didominasi oleh mekanisme angiotensin, reaktivitas vaskular yang tinggi, peningkatan

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 43


norepinefrin dan vasopressin, serta penurunan kadar hormon vasodilatasi seperti kininogen, kinin,
dan prostasiklin. Hipertensi berat pada orang dewasa dikaitkan dengan peningkatan aktivitas simpatis
yang menambah efek vasokonstriksi angiotensin II. Angiotensin II memfasilitasi pelepasan
norepinefrin dan mempotensiasi respons vaskular terhadap norepinefrin. Penelitian hipertensi berat
pada tikus menunjukkan bahwa angiotensin II meningkatkan anion superoksida, mengaktifkan sel-sel
T, serta menyebabkan inflamasi pembuluh darah dan disfungsi endotel sehingga berperanan penting
dalam patogenesis hipertensi berat. 8,13
Hipertensi berat menginduksi perubahan arteriol ginjal yang menyebabkan kerusakan endotel,
deposisi trombosit dan fibrin, serta pelepasan tromboksan. Kaskade ini menyebabkan vasokonstriksi,
iskemia, proliferasi miointimal sehingga terjadi hipoperfusi ke jantung, ginjal, dan otak. Mekanisme ini
mengarah ke endarteritis proliferatif dan nekrosis fibrinoid pada dinding arteri.3,8,13
Mekanisme hipertensi emergensi melibatkan beberapa hal.
1. Sistem renin-angiotensin
Renin disekresi dari makula densa aparat juksta glomerular oleh karena hipoperfusi atau
rangsangan simpatis yang akan mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I. Selanjutnya,
angiotensin-converting enzyme (ACE) akan mengubah angiotensin I menjadi komponen aktif
angiotensin II (AII) yang dapat menyebabkan hipertensi melalui beberapa mekanisme. Angiotensin II
berikatan dengan reseptor menjadi agen vasokonstriktor aktif. Ikatan ini mengaktifkan beberapa
proses lain yang menyebabkan hipertensi termasuk retensi natrium, hipertrofi sel pembuluh darah,
serta induksi beberapa jalur proinflamasi dan profibrotik. Angiotensin II juga menginduksi sintesis
aldosteron di zona glomerulosa adrenal menyebabkan retensi natrium dan dengan demikian akan
meningkatkan volume sirkulasi darah.6,11,13
2. Kelebihan cairan
Kelebihan cairan merupakan mekanisme yang paling sering menyebabkan hipertensi pada anak
dengan penyakit ginjal. Hal ini sering disebabkan oleh gangguan ginjal akut dengan oliguria atau
anuria. Peningkatan produksi aldosteron dan angiontensin II menstimulasi retensi natrium dan
menyebabkan kelebihan cairan. Peningkatan vasopresin dapat ditemukan pada hipertensi berat dan
dapat memperburuk hipertensi.6,13
3. Stimulasi simpatis
Sistem saraf simpatik dapat menjadi penyebab utama hipertensi berat. Hal ini terutama terlihat
pada anak dengan feokromositoma dan tumor lainnya yang menghasilkan zat vasoaktif termasuk
neuroblastoma. Hemodialisis berkontribusi meningkatkan substansi katekolamin dan juga renin yang
akan menyebabkan hipertensi. Peningkatan aktivitas simpatis dapat memperberat hipertensi seperti
pada hipertensi renovaskular dan penyakit ginjal polikistik. Aktivasi sistem saraf simpatik akan
menyebabkan vasokonstriksi sistemik seperti umumnya terjadi pada hipertensi berat
pascaoperasi.6,11,13
4. Disfungsi endotel
Endotel mempunyai peranan penting dalam kejadian gejala hipertensi berat. Angiotensin II
memiliki banyak efek pada dinding pembuluh darah mengakibatkan disfungsi endotel yang akan
mengurangi efek vasodilatasi, proinflamasi, dan protrombotik. Selain itu, pembentukan oksida nitrit
yang berkurang dan oksidatif yang berlebih berperan dalam mekanisme berkurangnya
vasodilatasi.3,6,13


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 44


5. Obat-obatan
Beberapa obat dapat meningkatkan tekanan darah secara mendadak melalui beberapa
mekanisme. Kokain, amfetamin, dan fensiklidin menyebabkan hipertensi melalui mekanisme
overstimulasi simpatis. Mekanisme lain hipertensi karena obat-obatan melalui kelebihan cairan,
aktivasi sistem renin angiotensin dan vasokonstriksi arteriol aferen glomerulus.6,13 Gambar di bawah
ini menunjukkan patogenesis hipertensi emergensi pada anak:6

Peningkatan tekanan darah
tiba-tiba



Disfungsi endotel Natriuresis Vasokonstriksi meningkat



Aktivasi kaskade Pengeluaran penanda Penurunan volume dan aktivasi
koagulasi inflamasi sistem renin angiotensin


Nekrosis fibrinoid
dan mioproliferasi

Peningkatan tekanan darah
lebih lanjut

6
Gambar 1. Patogenesis Hipertensi Emergensi pada Anak:
Dikutip dari: Singh6
Diagnosis
Sebagai baku emas pengukuran tekanan darah memakai sfigmomanometer merkuri, akan tetapi
pemakaiannya saat ini berkurang karena keamanan lingkungan dan medis dari zat merkuri sehingga
banyak beralih dengan memakai aneuroid dan oskilometri. Pada bayi dan anak pra-adolesens,
korotkof I menunjukkan tekanan sistole dan korotkof IV menunjukkan tekanan diastole.4,14

Anamnesis
Riwayat penyakit perlu digali, yaitu riwayat penyakit saat ini dan riwayat penyakit terdahulu. Faktor
risiko yang perlu digali termasuk riwayat berat badan lahir rendah, retardasi pertumbuhan intrauterin,
prematuritas, oligo atau polihidramnion, infeksi saluran kemih berulang, hematuria, nyeri pinggang,
poliuria, oliguria, nyeri kepala, gangguan penglihatan, nyeri dada, dan palpitasi. Riwayat keluarga
dengan diabetes melitus, hipertensi, obesitas, hiperkolesterolemia, strok usia muda, penyakit arteri
koroner, keganasan, dan penyakit autoimun. Riwayat penggunaan obat-obatan seperti steroid,
antihipertensi, takrolimus, siklosporin, kontrasepsi oral, diet, serta gaya hidup seperti merokok,
alkohol, dan penyalahgunaan obat.6,15






PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 45


Pemeriksaan Fisis
Spigmomanometer merkuri merupakan standar emas untuk mengukur tekanan darah. Pada bayi dan
anak-anak praremaja, suara Korotkoff pertama dan keempat mewakili tekanan darah sistole dan
diastole. Sfigmomanometer aneroid perlu sering dikalibrasi secara berkala untuk menjaga akurasinya.
Pengukuran langsung tekanan darah arteri berguna ketika diperlukan pemantauan terus menerus
tekanan darah seperti pada sakit akut, pasien hemodinamik tidak stabil dalam unit perawatan intensif,
dan untuk pemantauan intraoperatif. Keuntungan pengukuran tekanan darah langsung adalah
kemampuan untuk memiliki pembacaan terus menerus. Riwayat penyakit penderita secara
menyeluruh penting untuk menentukan apakah ada penyakit akut atau kronik yang mendasarinya.
Pemeriksaan fisis harus lengkap dan harus mencakup pemeriksaan sistem kardiorespiratori, abdomen,
genitourinari, tiroid, retina, kulit, serta pulsasi keempat anggota gerak dan tekanan darah.2,8,14

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan awal yang perlu dilakukan, yaitu pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, asam urat, profil
lipid, glukosa darah, urinalisis, rontgen toraks, elektrokardiogram, ekokardiografi, dan USG ginjal.
Pemeriksaan lanjutan dikerjakan sesuai dengan etiologi, misalnya profil hormon tiroid, kortisol,
aldosteron, renin, HbA1C, kadar hormon paratiroid, katekolamin urin, dan sebagainya.6,14 USG ginjal
dengan doppler merupakan tes skrining yang berguna untuk melihat hidronefrosis, aliran darah ginjal,
dan penyakit parenkim ginjal. Ukuran ginjal dapat membantu menentukan kronisitas penyakit ginjal.
Setelah stabilisasi pasien, bukti kerusakan target organ harus dicari termasuk ekokardiogram dan
pemeriksaan oftalmologi.8

Tata Laksana
Penurunan tekanan darah tidak boleh terlalu cepat karena pada hipertensi kronik telah terjadi
kompensasi autoregulasi aliran darah dan organ vital telah teadaptasi sehingga penurunan tekanan
darah yang terlalu cepat akan menyebabkan hipoperfusi organ vital terutama pada korteks visual dan
otak.3,5,11 Tujuan pengobatan hipertensi emergensi adalah memperbaiki fungsi organ vital dengan
mempertahankan perfusi dan menghindari komplikasi. Tata laksana terdiri atas pemberian obat
antihipertensi, mengatasi kelainan organ target, mencari penyebab hipertensi, dan memberikan
terapi suportif.3 Pada hipertensi emergensi, penurunan awal tekanan darah tidak boleh melebihi 25–
30% dari nilai awal dan dicapai dalam 6–8 jam, selanjutnya diikuti oleh penurunan bertahap dalam
waktu 24–48 jam.8,16,17


Tabel 2. Obat-obatan yang Digunakan pada Hipertensi Emergensi

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 46

8
Dikutip dari : Chandar dan Zilleruelo
Obat Antihipertensi Golongan Dosis
Hipertensi Emergensi
Nicardipin Ca Channel Blocker 1–3 mcg/kg/mnt IV
Clevidipine Ca Channel Blocker 0,5–3,5 mcg/kg/mnt IV
Labetalol α dan β blocker 0,25 – 1,5 mg/kg/jam IV
0,2–1 mg/kg/dosis bolus IV
Esmolol β blocker Bolus 100–500 mcg dalam 1 menit ;
25–100 mcg/kg/mnt
Phentolamine α blocker 0,1–0,2 mg/kg/dosis
Fenoldapam Agonis reseptor dopamin 0,8–3,0 mcg/kg/mnt
Hidralazin Vasodilator 0,1–0,5 mg/kg/dosis Setiap 4–6 jam
Natrium nitroprusid Vasodilator 0,5–0,8 mcg/kg/mnt
Enalaprilat ACE inhibitor 0,005–0,01 mg/kg/hari
Hipertensi Urgensi
Furosemid Diuretik 1–2 mg/kg/dosis IV/PO
Isradipin Ca channel blocker 0,05–0,1 mg/kg/dosis sampai 5 mg/dosis
Nifedipin Ca channel blocker 0,1–0,25 mg/kg/dosis SL/PO
Clonidin Agonis α central 0,05–0,3 mg PO
Minoxidil Vasodilator 0,1–2 mg/kg/dosis PO


Pilihan obat antihipertensi bergantung pada etiologi hipertensi dengan agen yang memiliki onset
cepat, waktu paruh pendek, aman, dan efektif.5,23 Hipertensi emergensi merupakan indikasi
perawatan di ruang rawat intensif untuk dilakukan monitoring yang ketat dan pemberian obat
antihipertensi intravena, sedangkan hipertensi urgensi dapat ditatalaksana di ruang rawat reguler
dengan pemberian obat antihipertensi oral.8

Nitroprusid Natrium
Nitroprusid natrium adalah terapi farmakologis yang umum digunakan untuk hipertensi emergensi.
Obat ini mempunyai efek vasodilator arteri dan vena dengan efek minimal pada curah jantung. Waktu
paruhnya sangat pendek dan membutuhkan pemberian dengan infus kontinu. Jika infus berhenti
maka teka akan diberikan intravena harus dilarutkan dalam dekstrosa 5% dan harus terlindung
dari cahaya untuk mencegah degradasi.3,18-20

Labetalol
Mekanisme labetalol dalam penurunan tekanan darah melalui berkurangnya resistensi pembuluh
darah perifer dengan efek minimal terhadap curah jantung. Labetalol merupakan kompetitif inhibitor
reseptor α dan ß. Waktu paruhnya adalah 3 sampai 5 jam sehingga lebih sulit untuk titrasi. Labetalol
dapat diberikan dengan infus kontinu atau bolus. Untuk infus kontinu maka dosis yang
direkomendasikan 0,2–3 mg/kg/jam. Pemberian secara bolus maka dosis awal 0,2–1 mg/kg
dilanjutkan dengan dosis kontinu 0,25–1,5 mg/kg/jam. Seperti banyak ß-blocker lainnya, labetalol
merupakan kontraindikasi pada penderita dengan asma dan penyakit paru-paru kronik karena dapat


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 47


memicu bronkospasme. Selain itu, labetalol juga kontraindikasi bagi penderita gagal jantung kongestif
oleh karena efek inotropik negatif dan efek dromotrofik.3,18,19

Nicardipin
Nicardipin adalah dihidropiridin penghambat saluran kalsium yang diperbolehkan pemberian secara
intravena. Mekanismenya dengan menghambat pergerakan kalsium ke seluruh sel otot polos
pembuluh darah sehingga mencegah kontraksi dan penurunan resistensi pembuluh darah. Tidak
seperti penghambat saluran kalsium lainnya, nicardipin mempunyai efek yang terbatas terhadap
fungsi jantung, oleh karena itu nicardipin digunakan pada kasus pemberian natrium nitroprusid atau
labetalol intravena merupakan kontraindikasi, seperti pada kerusakan hati atau gagal ginjal dan pada
penderita asma atau penyakit paru. Dosis awal yang dianjurkan 0,5–1 µg/kg/menit sampai 3
µg/kg/menit. Kecepatan infus harus ditingkatkan setiap 15 sampai 30 menit sampai efek yang
diinginkan tercapai. Nicardipin dimetabolisme oleh hati, memiliki onset 1–2 menit, dan memiliki durasi
kerja 40 menit. Efek samping nicardipin meliputi peningkatan tekanan intrakranial, nyeri kepala, mual,
dan hipotensi.3,18,19

Esmolol
Esmolol adalah penghambat ß-adrenergik dengan waktu paruh yang sangat singkat 2 sampai 4 menit.
Penggunaan pada hipertensi emergensi anak sangat terbatas. Efek samping hampir sama dengan
penghambat ß lainnya seperti bronkospasme, bradikardia, dan gagal jantung kongestif.3,18,19

Hidralazin
Hidralazin adalah vasodilator arteri yang digunakan untuk menurunkan tekanan darah. Onset-nya
adalah 5 sampai 30 menit dengan durasi 4 sampai 12 jam. Obat ini diberikan intravena setiap 4 sampai
6 jam. Dosis yang direkomendasikan 0,1–0,5 mg/kg/dosis sampai dosis maksimum 20 mg. Efek
sampingnya flushing, takikardia, hipotensi, dan sindrom seperti lupus.3,17

Diazoksid
Diazoksid adalah vasodilator kuat yang digunakan pada keadaan hipertensi emergensi. Obat ini
mempunyai efek vasodilatasi arteriol sehingga menurunkan tekanan darah sistemik. Obat ini memiliki
onset yang cepat, yaitu 1 sampai 5 menit dan durasi 3 sampai 12 jam. Meskipun diazoksid sangat
efektif, penggunaannya dibatasi karena kecenderungan menyebabkan hipotensi, kesulitan titrasi
dosis, dan durasi yang panjang. Efek samping lainnya adalah hiperglikemia (dengan menghambat
sekresi insulin), ruam, hiperurisemia, flushing, dan nyeri kepala.3,18

Nifedipin
Banyak kontroversi dalam literatur atas penggunaan nifedipin pada populasi anak. Hal ini
menyebabkan banyak pertanyaan tentang penggunaannya pada anak. Namun, efek samping yang
berkaitan dengan hipotensi belum diamati pada anak tidak seperti pada orang dewasa. Blaszak dkk.
menerbitkan sebuah studi retrospektif dari 117 anak yang diobati dengan nifedipin dan menemukan
bahwa obat tersebut aman dan efektif dengan dosis awal tidak lebih dari 0,25 mg/kgBB. Tidak terdapat


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 48


efek samping signifikan yang diamati selama penelitian.21 Nifedipin dapat diberikan sublingual atau
oral.18,19 Unit Kerja Kordinasi (UKK) Nefrologi Anak IDAI merekomendasikan pemberian nifedipin pada
penanganan hipertensi emergensi dengan dosis awal 0,1 mg/kgBB dinaikkan 0,1 mg/kgBB/kali dan
kemudian dosis dinaikkan setiap 30 menit hingga tekanan diastole mencapai <100 mmHg. Nifedipin
dapat dinaikkan hingga maksimal 10 mg/kali. Furosemid diberikan 1 mg/kg/kali diberikan 2 kali sehari.
Jika tekanan darah diastole belum mencapai <100 mmHg, ditambahkan kaptopril 0,3
mg/kgBB/kali.16,17

Isradipin
Isradipin merupakan penghambat saluran kalsium dihidropiridin generasi kedua menyebabkan
vasodilatasi tanpa dampak yang signifikan pada fungsi miokardium. Onset kerja 30–60 menit dengan
puncaknya 2–3 jam dan waktu paruh 3–8 jam. Merupakan salah satu obat yang direkomendasikan
untuk hipertensi akut pada anak.3,9 Stabil dalam bentuk suspensi ataupun powder sehingga dosis
dapat secara akurat diberikan pada anak. Dosis yang direkomendasikan mulai 0,05–0,1 mg/kgBB per
dosis hingga 5 mg. Efek samping mual, emesis, sakit kepala, hipotensi, pusing, flushing, dan jantung
berdebar.18,21

Klonidin
Klonidin adalah agonis α2 adrenergik sentral yang menyebabkan vasodilatasi dengan penurunan
tonus simpatis. Onset kerja 15–30 menit dengan efek maksimal 30–60 menit. Dosis yang
direkomendasikan adalah 0,05–0,1 mg/dosis yang dapat diulang tiap jam sampai delapan jam. Efek
samping yang paling umum adalah mulut kering dan sedasi.21 Unit Kerja Kordinasi (UKK) Nefrologi
Anak IDAI merekomendasikan pemberian klonidin drip pada penanganan hipertensi emergensi,
klonidin diberikan per infus dengan dosis 0,002 mg/kgBB/8 jam, dimasukkan dalam 100 mL dekstrose
5% (12 tetes per menit), kemudian dosis dinaikkan setiap 30 menit hingga tekanan darah diastole di
bawah 100 mmHg. Klonidin dapat dinaikkan hingga maksimum 0,006 mg/kgBB/8 jam (36 tetes per
menit). Furosemid diberikan 1 mg/kgBB/dosis, 2 kali sehari. Jika tekanan darah diastole belum
mencapai <100 mmHg ditambahkan kaptopril 0,3 mg/kgBB/dosis.16,17,22

Minoksidil
Minoksidil merupakan vasodilator arteri yang menyebabkan efluks kalium dengan membuka saluran
kalium dalam sel otot polos pembuluh darah sehingga menyebabkan relaksasi dan hiperpolarisasi.
Efek puncaknya adalah 1 jam dengan waktu paruh 4 jam. Efeknya dapat berlangsung sampai 8–12
jam. Dosis yang disarankan adalah 0,1–0,2 mg/kgBB per dosis hingga 10 mg per dosis. Ekskresinya
melalui ginjal sehingga penyesuaian dosis diperlukan pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.
Efek samping jangka panjang adalah retensi cairan dan hirsutisme.3,21
Simpulan
Hipertensi emergensi adalah keadaan darurat medis yang menyebabkan kerusakan akut organ target
dan mengharuskan penanganan yang cepat dan bijaksana. Penting untuk menentukan keadaan yang
menyebabkan peningkatan tekanan darah secara akut sehingga penurunan tekanan darah dapat
dicapai dengan tepat tanpa penurunan perfusi ke organ vital. Komplikasi neurologis akut, gangguan
penglihatan, dan gagal ginjal akut memerlukan penurunan tekanan darah yang cepat. Morbiditas dan

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 49


mortalitas hipertensi emergensi dapat dihindari jika hipertensi kronik dikelola dengan baik. Pemilihan
obat antihipertensi harus diarahkan untuk penyebab utama hipertensi.

Daftar Pustaka
1. Laurer RM, Clarke WR. Childhood risk factors for high adult blood pressure: the Muscatine Study.
Pediatrics. 1989;84:633.
2. Sun SS, Grave GD, Siervogel RM, dkk. Systolic blood pressure in childhood predict hypertension
and metabolic syndrome later in life. Pediatrics. 2007;119:237.
3. Ellis D. Management of the hypertensive child. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P,
penyunting. Pediatric nephrology. Edisi ke-6. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2009.
hlm. 1541–76.
4. Awazu M. Epidemiology of hypertension. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yashikawa N,
penyunting. Pediatric nephrology. Edisi ke-6. Berlin Heidelberg: Springer-Verlag; 2009. hlm.
1459–84.
5. Sharifan M. Hipertensive encephalopathy. Iran J Child Neurol. 2012;6(3):1–7.
6. Singh D, Akingbola O, Yosypiv I, El-Dahr E. Emergency management of hypertension in children.
Hindawi Publishing Corporation. tahun doi:10.1155/2012/420247
7. Yang WC, Zhao L, Chen CY, Wu YK, Chang YC, Wu HP. First-attack pediatric hypertensive crisis
presenting to the pediatric emergency department. BMC Pediatr. 2012;12:200.
8. Chandar J, Zilleruelo G. Hypertensive crisis in children. Pediatr Nephrol. 2012;27:741–51.
9. Task Force on Blood Pressure Control in Children. Report of the second task force on blood
pressure in children-1987. Pediatrics. 1987;79:1–25.
10. National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in
Children and Adolescents. The fourth report on the diagnosis, evaluation, and treatment of high
blood pressure in children and adolescents. Pediatrics. 2004;114:555–76.
11. Flynn JT, Tullus K. Severe hypertension in children and adolescents: pathophysiology and
treatment. Pediatr Nephrol. 2009;24:1101–12.
12. Vogt BA, Davis ID. Treatment of hypertension. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P,
penyuntig. Pediatric nephrology. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippinocott Williams & Wilkins; 2004.
hlm. 1199–220.
13. Yamaguchi I, Flynn JT. Pathophysiology of hypertension. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet
P, Yashikawa N, penyunting, Pediatric nephrology. Edisi ke-6. Berlin Heidelberg: Springer-Verlag;
2009. hlm. 1485–518.
14. Brewer ED. Evaluation of hypertension in childhood diseases. Dalam: Avner ED, Harmon WE,
Niaudet P, penyunting, Pediatric nephrology. Edisi ke-5. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2004. hlm. 1179–97.
15. Hu MH, Wang HS, Lin Lin K, Huang JL, Hsia SH, Chou Ml, dkk. Clinical experience of childhood
hypertensive encephalopathy over an eight year period. Chang Gung Med J. 2008;31:153–8.
16. Miyashita Y, Peterson D, Rees JM, Flynn J. Isradipine for treatment of acute hypertension in
hospitalized children and adolescents. J Clin Hypertens (Greenwich). 2010;12:850–5.
17. Umboh A. Tata laksana hipertensi pada anak. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K,
penyunting. Kompendium Nefrologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta: Unit Kerja Kordinasi Nefrologi
Ikatan DokterAnak Indonesia; 2011. hlm. 50–3.


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 50


18. Majdalani NM. Managment of hypertensive emergencies in children. J Med Liban. 2010;
58(3):167–70.
19. Patel NH, Romero SK, Kaelber DC. Evaluation and management of pediatric hypertensive crises:
hypertensive urgency and hypertensive emergencies. Open Access Emerg Med. 2012:4 85–92.
20. Blaszak R, Savage J, Ellis E. The use of short-acting nifedipine in pediatric patients with
hypertension. J Pediatr. 2001;139:34–7.
21. Webb TN, Shatat IF, Miyashita Y. Therapy of acute hypertension in hospitalized children and
adolescent. Curr Hypertens Rep. Author manuscript; available in PMC 2014 August 12.
22. Unit Kerja Kordinasi Nefrologi Ikatan DokterAnak Indonesia. Dalam: Sekarwana N, Rachmadi D,
Hilmanto D, penyunting. Konsensus tata laksana hipertensi pada anak. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI; 2011.


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 51


RESUSITASI NEONATUS TERINTEGRASI

Aris Primadi
Neonatologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD – RSHS

Setelah penilaian dan langkah awal dilakukan, nilai kembali usaha napas dan laju denyut jantung. Jika
hasil penilaian menunjukkan bayi gagal mencapai pernapasan adekuat, atau memiliki laju denyut
jantung di bawah 100 kali per menit, lakukan resusitasi dengan mengintegrasikan komponen airway
(membuka jalan napas), breathing (ventilasi), circulation (kompresi dada) dan drugs (pemberian cairan
dan obat-obatan).1 Kerja sama tim yang baik sangatlah esensial untuk resusitasi bayi baru lahir,
terutama resusitasi tahap lanjut.2,3

1. Airway (Membuka Jalan Napas)


Membuka jalan napas dan memberi ventilasi sebagai dua langkah pertama merupakan tahapan paling
penting dalam resusitasi sehingga harus diselesaikan sebelum menuju ke tahap berikutnya.1 Untuk
membuka jalan napas, pertama tempatkan bayi pada posisi telentang dan kepala di tengah. Selimut
atau handuk setebal 2 cm ditempatkan di bawah bahu bayi untuk membantu mempertahankan posisi
kepala bayi yang tepat, terutama jika terjadi moulding yang cukup besar setelah lahir. Pertahankan
posisi menghidu.1-3 Jika usaha bernapas ada namun tidak menghasilkan ventilasi efektif (laju denyut
jantung tidak meningkat di atas 100 kali per menit), jalan napas kemungkinan mengalami obstruksi
sehingga harus dilakukan cara-cara lain untuk memastikan patensi jalan napas, seperti menyokong
rahang bawah, membuka mulut, atau untuk beberapa kondisi pertimbangkan untuk mengisap jalan
napas atas.2

Pengisapan Mulut dan Faring


Selain mengeringkan dan merangsang taktil bayi, pengisapan juga merupakan salah satu tindakan
yang dapat merangsang napas. Pengisapan hanya dilakukan jika jalan napas mengalami obstruksi.
Obstruksi dapat disebabkan oleh partikel mekonium, namun bisa juga oleh bekuan darah, mukus, atau
vernix. Walaupun demikian, pengisapan faring yang terlalu agresif dapat menyebabkan spasme laring,
trauma pada jaringan lunak dan bradikardi karena refleks vagal. Pengisapan juga dapat memperlama
sianosis dan awitan napas spontan. Oleh karena itu, semua pengisapan faring harus dilakukan secara
hati-hati dan singkat. Bayi baru lahir yang normal tidak membutuhkan pengisapan hidung, mulut atau
faring setelah lahir. 1,2
Secara umum, pengisapan tidak boleh dilakukan kecuali bayi yang tidak bugar menunjukkan gejala-
gejala jelas obstruksi, seperti tampaknya mekonium/darah pada jalan napas, suara napas tambahan,
distres napas dan laju denyut jantung di bawah 100 kali per menit. Pengisapan faring juga dapat
dilakukan selama intubasi agar plika vokalis terlihat lebih jelas. Jika pengisapan harus dilakukan,
kateter isap besar harus dimasukkan dengan kedalaman tidak lebih dari 5 cm dari mulut pada bayi
cukup bulan, dan tidak boleh lebih lama dari beberapa detik. Tekanan negatif yang digunakan tidak
boleh melebihi 100 mmHg (13 kPa, 133 cmH2O, 1,9 Psi.) 2



PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 52


Penanganan Jalan Napas pada Air Ketuban Bercampur Mekonium
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengisapan mulut, faring atau endotrakeal pada bayi yang
lahir dengan air ketuban bercampur mekonium namun dalam kondisi baik (bernapas atau menangis,
tonus otot baik), tidak disarankan karena tidak memperbaiki kondisi bayi, tidak mencegah angka
terjadinya sindrom aspirasi mekonium dan bahkan dapat melukai bayi.1,2,4-7
Sedangkan untuk bayi tidak bugar yang terpapar mekonium, bukti-bukti yang ada belum cukup
untuk mendukung atau menolak praktek yang umum dijalankan saat ini, yaitu melakukan pengisapan
endotrakeal. Walaupun demikian, risiko dan keuntungan pengisapan endotrakeal harus
dipertimbangkan secara seksama karena ada kemungkinan pengisapan dapat menunda waktu
resusitasi.1,2 Tindakan mengisap mekonium dari hidung dan mulut bayi ketika kepala masih di
perineum sebelum bahu lahir, tidak direkomendasikan.2

2. Breathing (Ventilasi)
Setelah melakukan langkah awal, lakukan penilaian usaha napas, laju denyut jantung dan tonus.
Langkah selanjutnya adalah membuat bayi bernapas. Pertama, bedakan apakah bayi bernapas
spontan atau tidak. Apabila bayi tidak bernapas, lakukan ventilasi tekanan positif. Sedangkan apabila
pada penilaian didapatkan bayi bernapas spontan namun dengan distres napas, berikan tekanan
positif berkelanjutan pada jalan napas (CPAP).

Pemasangan Sungkup Wajah


Ventilasi optimal dapat dicapai apabila sungkup wajah melekat rapat pada wajah bayi, ditentukan
dengan ukuran yang tepat, cara memegang yang benar sesuai dengan jenis sungkup dan memantau
adanya kebocoran udara yang dapat dirasakan di sekeliling sungkup serta dibuktikan dengan
pengembangan dada yang baik.
Sungkup wajah untuk bayi baru lahir terdiri dari berbagai jenis ukuran (diameter) sehingga dapat
disesuaikan dengan besarnya wajah bayi. Sungkup wajah yang baik harus menutupi ujung dagu, mulut
dan hidung Setelah penolong memilih ukuran yang tepat, lekatkan rapat sungkup pada wajah bayi
menutupi pangkal hidung, mulut dan dagu tapi tidak menutupi mata. Setiap tipe sungkup wajah
memiliki cara memegang yang berbeda-beda. Terdapat tiga metode untuk memegang sungkup pada
muka:
1. “Stem Hold”: titik temu antara ‘batang’ dan sungkup dipegang jari telunjuk dan jempol.
2. “Two-Point Top Hold”: Jari jempol dan telunjuk menekan sisi atas sungkup yang datar. Bagian
‘batang’ tidak dipegang dan jari tidak memegang ke pinggir sungkup
3. “OK Rim Hold”: jempol dan telunjuk membentuk C (seperti tanda OK)
Pada metode Rim Hold, tangan kiri penolong memegang sungkup dengan jari-jari membentuk
huruf C dengan ibu jari dan telunjuk menekan sungkup ke wajah sedangkan 3 jari lainnya memegang
sambil mengangkat tepi rahang bawah bayi ke atas (jaw thrust). 8
Setelah pemasangan sungkup dengan tepat, mulai bantuan pernapasan pada bayi.
Prinsip untuk membantu bayi bernapas dapat disimpulkan menjadi dua hal, yaitu:
• Pada bayi tidak bernapas spontan atau megap-megap, berikan VTP
• Pada bayi yang bernapas spontan, jangan lakukan VTP, melainkan berikan CPAP dini.


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 53


Bayi Bernapas Spontan dengan Distres Napas
Pada bayi bernapas spontan namun dengan distres pernapasan, berikan tekanan positif berkelanjutan
pada jalan napas (continuous positive airway pressure/CPAP). CPAP merupakan pemberian tekanan
positif terhadap jalan napas dari bayi yang bernapas spontan sepanjang siklus respirasi. 9
Penggunaan CPAP di kamar bersalin pada resusitasi bayi baru lahir terbukti meningkatkan angka
kelangsungan bayi secara signifikan. Tekanan positif berkelanjutan yang diberikan kepada jalan napas
sepanjang ekspirasi membantu pernapasan bayi dengan distres pernapasan melalui beberapa cara.
CPAP membantu ekspansi paru, meningkatkan volum paru, meningkatkan FRC, meningkatkan
matching ventilasi-perfusi, menurunkan resistensi vaskular paru, menurunkan atelektasis dan
meningkatkan oksigenasi. CPAP juga memperbaiki pelepasan surfaktan dan menjaga keberadaan
surfaktan pada permukaan alveoli, sehingga sekaligus mempertahankan volum paru. Intubasi dan
ventilasi tekanan positif seringkali menyebabkan cedera pada jalan napas dan alveoli, meningkatkan
risiko infeksi paru dan hiperkarbi, sehingga CPAP lebih dipilih pada resusitasi bayi baru lahir dengan
napas spontan disertai distres napas. 9
Alat yang dapat memberikan CPAP adalah T-piece resuscitator di fasilitas lengkap, dan Jackson-
Reese pada fasilitas terbatas. Pemberian CPAP dapat dicapai dengan melalui sungkup atau single nasal
prong. Pemberian melalui sungkup wajah dilakukan pada saat resusitasi, sedangkan single nasal prong
diberikan setelah resusitasi selesai, dan bayi akan ditransportasikan menuju ruang perawatan.

Kapan Menghentikan Pemberian CPAP?


Apabila pemberian CPAP telah mencapai tekanan positif akhir ekspirasi sebesar 8 cmH2O dan FiO2
telah di atas 40% namun bayi masih mengalami distres pernapasan, maka lakukan persiapan intubasi.

Bayi Tidak Bernapas/Megap-Megap


Jika bayi gagal mencapai pernapasan spontan dan efektif atau dalam kondisi apnu sekunder, atau laju
denyut jantung di bawah 100 kali per menit, lakukan ventilasi tekanan positif. Tanda utama dari
ventilasi yang efektif adalah perbaikan laju denyut jantung dengan segera yang selanjutnya menetap.
Pergerakan dinding dada harus dinilai jika laju denyut jantung tidak membaik.2
Apabila tidak tampak pergerakan dinding dada, pastikan tidak ada kebocoran sungkup dengan
merasakan udara yang keluar di sekeliling sungkup, tekanan ventilasi yang diberikan sudah adekuat,
tidak ada obstruksi lendir dan posisi kepala bayi harus tepat. 2
Menilai Keberhasilan Ventilasi
Konfirmasi efektivitas ventilasi dengan melihat ketiga hal di bawah ini:2
1. Peningkatan laju denyut jantung di atas 100 kali per menit
2. Pengembangan dinding dada dan perut atas setiap inflasi
3. Perbaikan oksigenasi
Intubasi trakea (atau penggunaan sungkup laring) harus dipertimbangkan bila ventilasi melalui
sungkup wajah masih tidak efektif meski telah melakukan hal-hal di atas.2

Oksigen Suplemen selama Resusitasi


Terdapat berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa kadar oksigen darah pada bayi baru lahir
normal dapat membutuhkan waktu hingga 10 menit untuk mencapai kadar di atas 90%.12-17 Walaupun
oksigenasi yang tidak cukup dapat mengganggu fungsi organ atau menyebabkan cedera permanen,
namun oksigenasi yang berlebihan walau sebentar dapat berbahaya untuk bayi baru lahir selama dan

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 54


setelah resusitasi.12-15 International Liaison Committee on Resuscitation (ILCOR) merekomendasikan
penggunaan pulse oximetry untuk memonitor dan mentitrasi penggunaan oksigen di kamar bersalin.
2
Monitor saturasi oksigen di kamar bersalin bertujuan untuk mencegah efek toksisitas oksigen pada
bayi prematur dan cukup bulan serta menghindari pemberian suplementasi oksigen yang tidak perlu.
Secara keseluruhan, pedoman suplementasi oksigen untuk resusitasi bayi baru lahir dapat
disimpulkan sebagai berikut: 3,19
• Mulai pemberian dengan udara (oksigen 21%) dan berikan oksigen sesuai kebutuhan
• Berikan oksigen 100% apabila:
o Saturasi oksigen masih < 70% saat 5 menit atau < 90% saat usia 10 menit
o Denyut jantung tidak meningkat di atas 100 kali per menit setelah 60 detik dilakukan
ventilasi efektif
o Mulai memberikan kompresi dada
• Fraksi oksigen disesuaikan saat saturasi oksigen di atas 90%
Suplementasi oksigen dapat diberikan dalam dua kondisi: ideal dan kurang ideal. Pada kondisi ideal
suplementasi oksigen diberikan dengan oksigen blender, sementara pada kondisi kurang ideal/fasilitas
terbatas, terdapat pilihan dalam pemberian oksigen, yaitu:
• Oksigen-udara dihubungkan dengan Y-connector.
• Oxygen concentrator (menghasilkan oksigen 95%) atau oxygen cylinder (oksigen 100%)
ditambah dengan kompresor silinder/udara.
Apabila hanya tersedia udara ruangan atau oksigen 100%, tetap utamakan resusitasi dasar yaitu
hangatkan bayi, jaga jalan napas dan lakukan pengisapan orofaring bila perlu. Bila usaha respirasi baik
dan laju denyut jantung bayi di atas 100 kali per menit, bayi boleh ditunggu 5 sampai 10 menit hingga
kemerahan. Namun bila tidak ada usaha napas dan laju denyut jantung menurun, berikan ventilasi
tekanan positif dengan oksigen 100%, namun turunkan kadar oksigen secepatnya. 19,20

Intubasi Endotrakea
Indikasi
• Jika ada keputusan mendadak untuk melakukan pengisapan endotrakea pada bayi tidak bugar
yang terpapar cairan amnion bercampur mekonium.
• Jika ventilasi melalui sungkup muka tidak berhasil (laju denyut jantung tetap lambat, saturasi
oksigen gagal naik) atau terlalu lama.
• Pada keadaan khusus, seperti hernia diafragmatika kongenital atau BBLSR
• Untuk bayi yang lahir tanpa denyut jantung yang jelas, intubasi harus dilakukan sesegera
mungkin setelah lahir.

3. Circulation (Kompresi Dada)


Setelah pernapasan reguler, maka seorang bayi normal akan mencapai laju denyut jantung di atas 100
kali per menit, hal ini umumnya tercapai dalam satu menit pertama setelah lahir. Rentang normal dari
denyut jantung adalah 110 hingga 160 kali per menit. 2,3
Jika bayi dengan denyut jantung di bawah 60 kali per menit dan diberikan stimulasi serta VTP
selama 30 detik, kemungkinan memiliki kadar oksigen yang sangat rendah dalam darah. Sebagai
akibatnya, terjadi depresi otot miokardium yang menyebabkan jantung tidak mampu berkontraksi
secara kuat untuk memompa darah ke paru. Sehingga oksigen yang telah dipompa ke dalam paru tidak
dapat dibawa ke seluruh tubuh. Oleh karena itu, penolong harus membantu memompa jantung dan

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 55


pada saat bersamaan melanjutkan memberi ventilasi pada paru dengan oksigen 100% hingga
miokardium mendapat cukup oksigen agar mampu pulih ke fungsi sirkulasi normal dan penyampaian
oksigen dapat terjadi sampai ke otak.22

Indikasi Memulai Kompresi Dada


Kompresi dada diindikasikan jika laju denyut jantung di bawah 60 kali per menit walau ventilasi
tekanan positif telah diberikan secara adekuat selama 30 detik (ditandai dengan dinding dada turut
bergerak setiap inflasi).2,3
Setelah dimulai kompresi dada harus dilanjutkan dengan interupsi seminimal mungkin hingga
terdapat bukti jelas perbaikan pada laju denyut jantung. 2 Setelah 30 detik melakukan koordinasi
antara VTP dan kompresi dada, dibutuhkan penilaian untuk perbaikan laju denyut jantung dan curah
jantung (lebih baik melalui auskultasi, ditambah adanya bukti pulsasi spontan pada oksimetri). Jangan
berhenti kecuali untuk menilai perlu tidaknya memutuskan intervensi selanjutnya. Tanda-tanda
perbaikan curah jantung spontan meliputi peningkatan saturasi oksigen, dan munculnya pergerakan
atau napas spontan. Kompresi dada harus berlanjut hingga laju denyut jantung di atas 60 kali per
menit.1-3

Penilaian
Perbaikan kondisi bayi ditandai dengan:2,3
• Denyut jantung yang terdengar saat auskultasi
• Pulsasi spontan pada oksimetri
• Peningkatan saturasi oksigen
• Pergerakan atau napas spontan
Jika laju denyut jantung tetap di bawah 60 kali per menit meski telah diberikan ventilasi dan
kompresi dada, maka tindakan pertama yang wajib dilakukan penolong adalah memastikan ventilasi
dan kompresi yang diberikan sudah optimal dan bahwa oksigen yang diberikan sudah 100%.
Terkadang, walaupun paru sudah terventilasi dengan baik (melalui ventilasi tekanan positif) dan
curah jantung membaik (melalui kompresi dada), sejumlah kecil bayi baru lahir (kurang dari 2 per 1000
kelahiran) masih memiliki laju denyut jantung di bawah 60 kali per menit. Otot jantung bayi dengan
kondisi seperti ini telah mengalami hipoksia terlalu lama sehingga gagal berkontraksi secara efektif
walau telah mendapat perfusi dengan darah beroksigen.22 Untuk bayi dengan kondisi demikian,
penolong harus berlanjut kepada tahap selanjutnya dalam resusitasi, yaitu Drugs.

4. Drugs (Pemberian Cairan dan Obat-Obatan)


Obat-obatan dan cairan jarang digunakan pada resusitasi bayi baru lahir. 1,2,18 Kondisi bradikardi
umumnya disebabkan oleh hipoksia dan ventilasi yang tidak adekuat. Sedangkan apnu disebabkan
oleh oksigenasi yang kurang pada batang otak. Oleh karena itu pemberian ventilasi yang adekuat
merupakan langkah terpenting untuk meningkatkan laju denyut jantung. Walau demikian, terkadang
laju denyut jantung tetap di bawah 60 kali per menit walau telah diberikan ventilasi adekuat (dada
turut mengembang seiring inflasi) dan kompresi dada, maka pada kondisi demikian adrenalin harus
diberikan.1,2



PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 56


Tipe dan Dosis Obat
Adrenalin
Indikasi
Jika ventilasi dan kompresi dada adekuat masih gagal dalam meningkatkan laju denyut jantung hingga
di atas 60 kali per menit dalam waktu satu menit, maka adrenalin harus diberikan melalui intravena
sesegera mungkin.1,2,18 Namun bila jalur intravena tidak tersedia, dan ventilasi serta kompresi dada
adekuat masih gagal menaikkan laju denyut jantung hingga melebihi 60 kali per menit, berikan
adrenalin melalui endotrakea. Bila dosis intratrakea tidak efektif, dosis intravena harus diberikan
secepat mungkin.2,3

Dosis
Dosis intravena yang direkomendasikan adalah 10-30 mikrogram/kgBB (0,1-0,3 mL/kgBB dari larutan
1:10.000) dengan dorongan cepat. (1 mL mengandung 0,1 mg adrenalin, sehingga 0,1 mL setara
dengan 10 mikrogram adrenalin). Kemudian lanjutkan dengan pemberian saline flush. Dosis ini dapat
diulang setiap beberapa menit sekali bila laju denyut jantung masih di bawah 60 kali per menit meski
ventilasi dan kompresi dada yang efektif sudah diberikan. 1,2,3
Jika adrenalin diberikan melalui jalur trakea, gunakan dosis 50-100 mikrogram/kgBB (0,5-1 mL/kg
dari larutan 1:10.000). Lanjutkan pemberian dengan ventilasi tekanan posistif. Efektivitas dan
keamanan dosis ini masih belum diteliti.1,2,3


Cairan Volume Expanders
Indikasi
Pertimbangkan pemberian cairan intravaskular bila curiga ada kehilangan darah, bayi tampak dalam
kondisi syok (pucat, perfusi buruk, pulsasi lemah) dan tidak merespon secara adekuat terhadap
tindakan resusitatif lainnya.2,3 Kristaloid isotonik (saline normal) dapat digunakan untuk pemberian
pertama, namun dapat dilanjutkan dengan pemberian darah untuk transfusi emergensi pada kasus
kehilangan darah yang masif atau pada bayi yang tidak merespon kepada resusitasi.2,3

Dosis
Dosis awal adalah 10 mL/kgBB diberikan intravena secara bolus (selama beberapa menit). Namun beri
perhatian khusus pada bayi-bayi prematur agar jangan dibolus terlalu cepat karena risiko pecahnya
pembuluh darah. Bila berhasil, pemberian cairan dapat diulang untuk mempertahankan perbaikan.1,2,3

5. Resusitasi Terintegrasi
Resusitasi terintegrasi adalah resusitasi yang dijalankan dengan menggabungkan keempat
komponennya, yaitu Airway, Breathing, Circulation dan Drugs sehingga penolong dapat menjalankan
resusitasi dengan sebaik-baiknya dan mendapat luaran seoptimal mungkin.






PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 57


Prinsip-prinsip dalam resusitasi terintegrasi adalah sebagai berikut:
Berurutan
Kedua tahapan pertama dalam resusitasi, yaitu Airway dan Breathing merupakan komponen
terpenting dan paling awal dijalankan. Tahapan-tahapan ini tidak boleh dilompati untuk menuju ke
komponen berikutnya Circulation dan Drugs. Dengan kata lain sebelum memutuskan melakukan
komponen Circulation dan Drugs harus dipastikan Airway dan Breathing dilakukan optimal.
Dalam resusitasi bayi baru lahir, tahapan resusitasi harus dijalankan secara berurutan, yaitu pada
kasus ini, Airway dan Breathing wajib dijalankan secara optimal dan adekuat sebelum beralih ke tahap
Circulation, walaupun telah diketahui laju denyut jantung kurang dari 60 kali per menit.

Simultan
Penilaian usaha napas, laju denyut jantung dan tonus serta tindakan resusitasi berupa Airway,
Breathing, Circulation dan Drugs harus dilakukan secara simultan atau bersamaan pada satu waktu.
Resusitasi secara simultan paling baik dijalankan dalam bentuk satu tim yang terdiri atas beberapa
penolong, sehingga penolong dapat membagi peran dan tugas masing-masing serta semua tindakan
dan penilaian dapat dilakukan secara serentak. Prognosis resusitasi bayi baru lahir sangat bergantung
pada kecepatan dan ketepatan tindakan penolong, sehingga pelaksanaan resusitasi dalam tim secara
simultan sangat diutamakan. Sebagai contoh, pada beberapa bayi dengan kondisi sangat buruk,
penolong dituntut untuk memberikan ventilasi tekanan positif, kompresi dada dan cairan pada saat
bersamaan. Pada kondisi demikian, penolong harus menerapkan resusitasi simultan.

Ketepatan Waktu
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, waktu merupakan hal yang sangat penting pada resusitasi
bayi baru lahir. Keterlambatan penanganan di awal akan menyebabkan keterlambatan perbaikan
klinis bayi di akhir, seperti usaha napas pertama dan hipoksia lama akibat denyut jantung yang rendah.
Sebagai contoh, apabila bayi terlambat ditangani pada saat penanganan Airway, maka bayi akan lebih
lambat mulai bernapas dibandingkan apabila bayi ditangani lebih awal. Oleh karena itu, penolong
dituntut untuk bekerja dengan sigap dan mampu melaksanakan tahapan-tahapan resusitasi tidak
hanya secara tepat, namun juga cepat.

Koordinasi
Para penolong harus memiliki koordinasi yang baik, mampu bekerja sama dan memiliki bahasa medis
sama sehingga tidak ada keterlambatan, tidak saling bertabrakan kerjanya, tidak saling menunggu
atau malah menonton penolong lainnya melakukan resusitasi.

Penilaian Berulang
Kondisi bayi baru lahir dapat mengalami perubahan sepanjang resusitasi walaupun penolong belum
mencapai titik penilaian pada alur resusitasi. Oleh karena itu, penilaian komponen resusitasi harus
dilakukan berulang kali sepanjang resusitasi. Selain berfungsi untuk memandu penolong menentukan
tindakan dan perawatan selanjutnya, penilaian berulang juga membantu penolong untuk memantau
apakah ada perbaikan atau perburukan kondisi bayi.
Penilaian disarankan dilakukan setiap 30 detik sekali, namun penolong harus tetap memantau
kondisi bayi sepanjang resusitasi. Sebagai contoh, seorang bayi yang lahir tidak bernapas dengan laju


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 58


denyut jantung di bawah 100 kali per menit dapat mengalami perbaikan usaha napas walau ventilasi
tekanan positif yang diberikan masih di bawah 30 detik. Pada kasus semacam ini, penolong diharapkan
dengan segera mengenali tanda-tandanya dan melakukan penilaian kondisi bayi, kemudian
menentukan tindakan selanjutnya.

Selalu Bertanya: Sudah Optimalkah Saya?


Pada setiap tahapan resusitasi, penolong harus selalu memastikan pada timnya, apakah setiap
tahapan yang telah dilalui sudah diberikan secara optimal?.
Pada tahap Airway, pastikan lagi posisi kepala bayi sudah benar (setengah ekstensi) dan tidak ada
obstruksi pada jalan napas bayi.
Pada tahap Breathing dengan bayi yang diberikan tekanan ventilasi positif, pastikan lagi apakah
tampak pengembangan dinding dada yang adekuat? Apabila tidak, pastikan lagi beberapa poin yaitu
tidak ada kebocoran sungkup (rasakan apakah terdapat udara yang keluar di sekeliling sungkup),
tekanan ventilasi yang diberikan sudah adekuat, tidak ada obstruksi lendir dan posisi kepala bayi harus
tepat.
Pada tahap Breathing dengan bayi yang diberikan Continuous Positive Airway Pressure, pastikan
apakah terdapat kebocoran pada sungkup atau sepanjang sirkuit CPAP, sumber gas yang cukup dan
ukuran ETT (bila menggunakan nasal prong) yang pas hingga menutupi lubang hidung bayi.
Pada tahap Circulation, pastikan letak jari di tempat yang tepat, kedalaman kompresi yang
diberikan sudah tepat, dada mengembang penuh di antara dua kompresi, kompresi menghasilkan
pulsasi yang jelas tampak pada oksimeter dan oksigen inspirasi yang diberikan sudah mencapai
konsentrasi 100%.
Resusitasi bayi baru lahir sangat menekankan optimalisasi setiap langkah sebelum bergerak ke
langkah selanjutnya. Resusitasi terintegrasi dapat tercapai dengan selalu menerapkan kelima prinsip
di atas.

Hal-hal penting
1. Pada komponen Airway, buka jalan napas, dengan menempatkan bayi pada posisi telentang,
kepala di tengah dan setengah menghidu. Lakukan pengisapan bila perlu.
2. Pada komponen Breathing, nilai usaha napas bayi. Apabila bayi tidak bernapas, lakukan ventilasi
tekanan positif. Sedangkan apabila pada penilaian didapatkan bayi bernapas spontan namun
dengan distres napas, berikan tekanan positif berkelanjutan pada jalan napas (continuous
positive airway pressure/CPAP).
3. Pada komponen Circulation, lakukan kompresi dada bila laju denyut jantung di bawah 60 kali per
menit walau ventilasi tekanan positif telah diberikan secara adekuat selama 30 detik
4. Pada komponen Drugs, obat baru diberikan hanya bila komponen Airway, Breathing dan
Circulation telah diberikan secara adekuat
5. Resusitasi terintegrasi adalah resusitasi yang dijalankan dengan menggabungkan keempat
komponennya, yaitu Airway, Breathing, Circulation dan Drugs sehingga penolong dapat
menjalankan resusitasi dengan sebaik-baiknya dan mendapat luaran seoptimal mungkin.
6. Prinsip-prinsip resusitasi terintegrasi adalah Berurutan, Simultan, Ketepatan Waktu, Koordinasi,
Penilaian Berulang, dan Selalu Bertanya, Sudah Optimalkah Saya?




PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 59


Daftar Pustaka
1. Richmond S, Wyllie J. European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2010 Section
7. Resuscitation of babies at birth. Resuscitation 81 (2010) 1389–1399
2. Neonatal Guidelines. The Guidelines of the Australian Resuscitation Council. Australian
Resuscitation Council/New Zealand Resuscitation Council. 2010.
3. Neonatal Resuscitation. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guideline. State of
Queensland (Queensland Health). 2010.
4. Falciglia HS, Henderschott C, Potter P, Helmchen R. Does DeLee suction at the perineum prevent
meconium aspiration syndrome? Am J Obstet Gynecol 1992;167:1243-9
5. Vain NE, Szyld EG, Prudent LM, Wiswell TE, Aguillar AM, Vivas NI. Oropharyngeal and
nasopharyngeal suctioning of meconium-stained neonates before delivery of their shoulders:
multicentre, randomised controlled trial. Lancet 2004;364:597-602
6. Wiswell TE, Gannon CM, Jacob J, et al. Delivery room management of the apparently vigorous
meconium-stained neonate: results of the multicenter, international collaboraive trial. Pediatrics
2000;105(pt 1):1-7
7. Liu WF, Harrington T. The need for delivery room intubation of thin meconium in the low-risk
newborn: a clinical trial. Am J Perinatol 1998;15:675-82
8. Wood FE, Morley CJ, Dawson JA, et al. Improved techniques reduce face mask leak during
simulated neonatal resuscitation: study 2. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed 2008;93:F230–F234.
doi:10.1136/adc.2007.117788
9. Halamek LP, Morley C. Continuous positive airway pressure during neonatal resuscitation. Clin
Perinatol 33 (2006) 83– 98.
10. Buch P, Makwana AM, Chudasama RK. Usefulness of Downe score as clinical assessment tool and
bubble CPAP as primary respiratory support in neonatal respiratory distress syndrome. Journal
of Pediatric Sciences. 2013;5(1):e176
11. Sharma A, et al. Adaptation for life: a review of neonatal physiology. Anesthesia and Intensive
Care Medicine 2010.85-90
12. Altuncu E, Ozek E, Bilgen H, Topuzoglu A, Kavuncuoglu S. Percentiles of oxygen saturations in
healthy term newborns in the first minutes of life. Eur J Pediatr 2008;167:687-8
13. Gonzales GF, Salirrosas A. Arterial oxygen saturation in healthy infants immediately after birth. J
Pediatr 2006;148:585-9
14. Toth B, Becker A, Seelbach-Gobel B. Oxygen saturation in healthy newborn infants immediately
after birth measured by pulse oximetry. Arch Gynecol Obstet 2002;266:105-7
15. Mariani G, Dik PB, Ezquer A, et al. Pre-ductal and post-ductal O2 saturation in healthy term
neonates after birth. J Pediatr 2007;150:418-21
16. Rabi Y, Yee W, Chen SY, Singhal N. Oxygen saturation trends immediately after birth. J Pediatr
2006;148:590-4
17. Dawson JA, Kamlin CO, Vento M, et al. Defining the reference range for oxygen saturation for
infants after birth. Pediatrics 2010;125:e1340-7
18. Perlman JM, Wyllie J, Kattwinkel J, et al. Part 11: neonatal resuscitation: 2010 International
Consensus on Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care Science With
Treatment Recommendations. Circulation 2010;122:S516-38
19. World Health Organization. Guidelines on basic newborn resuscitation. 2012
20. Kattwinkel J, et al. ILCOR advisory statement: resuscitation of the newly born infant. Pediatrics
1999.
21. Neonatal Resuscitation Program – The textbook of neonatal resuscitation. Seventh Edition.
American Academy of Pediatrics/ American Heart Association 2016.



PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 60


REVISI KLASIFIKASI BANGKITAN EPILEPSI TAHUN 2017,EPILEPSI, DAN SINDROM EPILEPSI

Nelly Amalia Risan


Neurologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD – RSHS

Pendahuluan
Epilepsi merupakan sekelompok gangguan fungsi otak yang ditandai oleh bangkitan (seizure) yang
berulang. Epilepsi telah dikenal sejak 2000 tahun yang lalu. Hippocrates menyatakan bahwa epilepsi
bukan disebabkan oleh kekuatan supranatural, tetapi akibat gangguan yang berasal dari otak.
Deskripsi tipe bangkitan berawal pada tahun 1964, pada saat itu Henri Gastaut membagi tipe
bangkitan berdasar atas anatomi otak seperti bangkitan lobus temporal, frontal, dan lobus otak
lainnya1. Tahun 1981 The International League Against Epilepsy (ILAE) membuat klasifikasi berdasar
atas patofisiologi dan rekaman EEG (elektro-ensefalogram), klasifikasi yang kita kenal, yaitu klasifikasi
bangkitan dan epilepsi, ILAE 19812. Setelah 31 tahun digunakan, ILAE mengeluarkan revisi terbaru
tahun 2017 dengan tujuan membuat klasifikasi lebih mudah, jelas, dan mudah dimengerti oleh
komunitas medis maupun nonmedis. Meskipun klasifikasi tahun 1981 dapat dipergunakan dengan
baik, namun masih ada kekurangan di antaranya beberapa tipe bangkitan seperti bangkitan fokal
klonik atau spasme infantil tidak ada pada klasifikasi tahun 1981. Menentukan tipe bangkitan biasanya
ditentukan dengan cara mengenal sekuens kejadian, gejala dan observasi klinis yang lain, serta hasil
pemeriksaan penunjang EEG. Contoh bagaimana membedakan bangkitan fokal dengan kesadaran
terganggu dan bangkitan absans. Klasifikasi epilepsi merupakan kunci keberhasilan klinis dalam
evaluasi dan tata laksana pasien. Revisi tipe bangkitan tahun 2017 dibuat sejalan dengan level
diagnosis selanjutnya, yaitu level diagnosis tipe epilepsi dan level diagnosis sindrom epilepsi.3-5

Klasifikasi Bangkitan dan Epilepsi


Klasifikasi epilepsi revisi yang terbaru ini adalah klasifikasi berjenjang/multilevel dengan tujuan
memfasilitasi penegakan diagnosis sesuai dengan sarana yang tersedia di suatu tempat/ daerah.
Setelah menentukan tipe bangkitan maka langkah berikutnya adalah menentukan diagnosis tipe
epilepsi, termasuk epilepsi fokal, eplepsi umum, epilepsi kombinasi umum dan fokal, serta epilepsi
yang tidak dapat ditentukan umum atau fokal. Diagnosis sindrom epilepsi merupakan diagnosis level
ketiga, yaitu menegakkan diagnosis secara spesifik dengan menyertakan tipe bangkitan (dapat lebih
dari satu), tipe epilepsi, dan etiologi yang mempunyai implikasi terapi, prognosis, serta informasi
tentang risiko komorbiditas seperti kesulitan belajar, disabilitas intelektual, atau gangguan perilaku.
Saat pasien datang dengan keluhan kejang, seorang dokter secara kritis sebelum menentukan tipe
bangkitan tentu saja harus menentukan dahulu apakah kejang yang dimaksud adalah benar bangkitan
epileptik, dan bukan kejadian paroksismal menyerupai kejang seperti syncope, parasomnia, breath
holding spell, atau gangguan gerak involunter. Diagnosis klinis epilepsi harus didukung oleh hasil
pemeriksaan penunjang lain seperti EEG, pencitraan (magnetic resonance imaging/MRI), serta
kemungkinan etiologi pada setiap level diagnosis.4,5


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 61



Gambar 1. Algoritma Klasifikasi Epilepsi
Dikutip dari : Scheffer dkk.

Klasifikasi Tipe Bangkitan


Setelah diyakini bahwa pasien mengalami bangkitan epilepsi maka langkah pertama adalah
menentukan tipe bangkitan berdasar atas nomenklatur yang telah ditentukan. Bangkitan
dikelompokkan berdasar atas awitan (onset), artinya bagaimana bangkitan dimulai. Awitan fokal,
artinya melibatkan jejaring/sirkuit pada satu hemisfer/sisi otak, sedangkan awitan umum melibatkan
jejaring pada kedua hemisfer sejak awal. Apabila awitan tidak diketahui karena orangtua tidak melihat
bentuk kejang sejak awal maka dikelompokkan ke dalam kelompok awitan tidak diketahui. Di
kemudian hari kelompok awitan dapat berubah apabila awitan telah diketahui. Awitan bangkitan
penting untuk diketahui oleh karena dapat menentukan pilihan obat yang akan diberikan,
kemungkinan etiologi, dan kelayakan epilepsy surgery. Pada keadaan tertentu dengan keterbatasan
fasilitas (EEG, video), klasifikasi tipe bangkitan adalah level maksimum diagnosis yang dapat
ditegakkan pada seorang anak epilepsi. Sebaliknya, mungkin informasi yang terlalu sedikit untuk
menegakkan diagnosis pada level yang lebih tinggi.4,5


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 62



Gambar 2. ILAE 2017 Klasifikasi Tipe Bangkitan Versi Dasar (Basic Version)
Dikutip dari: Fisher dkk.

Menentukan kewaspadaan/awareness pada bangkitan fokal merupakan hal penting pada tata
laksana epilepsi karena kewaspadaan dapat menentukan keselamatan pasien saat dalam serangan.
Kewaspadaan artinya seseorang mengenal diri dan lingkungannya. Bangkitan fokal waspada (focal
aware), artinya kewaspadaan baik meskipun anak tidak dapat berbicara ataupun merespons, tetapi
anak dapat mengingat semua kejadian selama kejang.5
Focal impaired awareness (bangkitan fokal kewaspadaan terganggu) artinya kewaspadaan
terganggu pada satu saat atau selama bangkitan. Istilah ini menggantikan terminologi lama “bangkitan
parsial kompleks”. Bangkitan fokal ke bilateral tonik-klonik, adalah bangkitan fokal dari satu hemisfer
meluas ke hemisfer lain, sedangkan bangkitan umum adalah bangkitan yang berasal dari kedua
hemisfer sejak awal. Kewaspadaan pada bangkitan umum tidak dimasukkan ke dalam klasifikasi oleh
karena semua bangkitan umum terdapat gangguan kewaspadaan. Bangkitan absans ditandai dengan
aktivitas terhenti dengan gangguan kewaspadaan secara tiba-tiba, setelah bangkitan hilang aktivitas
dan kewaspadaan kembali normal. Awitan yang tidak diketahui, baik oleh karena tidak ada keluarga
yang menyaksikan dari awal atau rekaman video saat kejang dikelompokkan ke dalam klasifikasi
unknown onset, sedangkan tipe bangkitan yang tidak jelas dikelompokkan ke dalam unclassified. Pada
keadaan ini dibutuhkan hasil pemeriksaan EEG untuk konfirmasi klasifikasi yang lebih tepat.4,5


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 63



Gambar 3. ILAE 2017 Klasifikasi Tipe Bangkitan Versi Diperluas (Expanded Version)
Dikutip dari: Fisher dkk.

Bangkitan Fokal Motor


Pada klasifikasi yang diperluas setelah menentukan tingkat kewaspadaan, awitan fokal dibagi menjadi
tipe bangkitan yang lebih spesifik, di antaranya atonik (kehilangan tonus otot), tonik (kaku), klonik
(rhythmic jerking), mioklonik (iregular, cepat, jerking), spasme infantil (fleksi atau ekstensi lengan dan
tubuh), hyperkinetic (gerakan mengayuh, meronta), dan automatism adalah aktivitas berulang-ulang
yang tidak bertujuan. Orangtua kadang-kadang melihat bangkitan automatism seperti aktivitas
normal (mengecap-ngecap, menggaruk, meraba). Bangkitan automatism dapat ditemukan pada
bangkitan fokal dan absans.5

Bangkitan Fokal Nonmotor


Bangkitan fokal autonom ditandai oleh sensasi gastrointestinal, sensasi panas atau dingin, muka
memerah, palpitasi, dll. Bangkitan fokal kognitif ditandai oleh kesulitan berbicara, berpikir, atau fungsi
luhur lain termasuk halusinasi. Bangkitan fokal emosional ditandai oleh perasaan takut, cemas, marah,
paranoia, dan tertawa (gelastic). Bangkitan fokal sensorik di antaranya indra penciuman, penglihatan,
pendengaran, dan vestibular.5
Apabila ditemukan 2 bangkitan yang berbeda, seorang klinisi diharapkan dapat membedakan
apakah bangkitan merupakan bangkitan tunggal yang meluas (propagation) atau 2 bangkitan terpisah
yang secara klinis kadang-kadang sulit dibedakan. Pemeriksaan EEG dapat membantu membedakan
fokal tunggal dengan terpisah.5



PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 64


Bangkitan Umum Motor
Klasifikasi bangkitan umum hampir sama dengan klasifikasi lama dengan beberapa tambahan.
Bangkitan umum tonik-klonik menggantikan terminologi epilepsi “grand mal”, bangkitan diawali
dengan fase kejang tonik, diikuti oleh fase klonik, ritmik dengan frekuensi semakin lama semakin
berkurang. Perlu diingat bahwa ada klasifikasi bangkitan dengan karakteristik tonik-klonik, tetapi
didahului oleh bangkitan mioklonik; bangkitan ini terdapat pada sindrom Juvenile myoclonic epilepsy
(JME). Bangkitan umum tonik-klonik jarang ditemukan pada anak, tetapi yang lebih sering adalah
bangkitan fokal meluas ke bilateral tonik-klonik. Oleh karena itu, perlu ditanyakan apakah ada gerakan
menoleh ke satu sisi atau ada gerakan ekstremitas satu sisi ekstremitas sebelum kejang kedua
ekstremitas, tanda bangkitan awitan fokal yang meluas bilateral. Bangkitan umum klonik dari awal
sampai akhir kejang klonik ritmik, regular, dan sangat jarang pada anak. Pada bangkitan umum tonik,
seluruh tubuh terlihat kaku, dapat disertai tremor pada ekstremitas. Bangkitan umum tonik mungkin
sulit dibedakan dengan postur dystonic merupakan movement disorder yang sering ditemukan pada
anak dengan palsi serebral. Bangkitan umum mioklonik dapat ditemukan tersendiri atau bersama
dengan bangkitan umum lain seperti bangkitan tonik atau atonik. Bangkitan umum epileptic spasm
atau spasme infantil berupa gerakan tiba-tiba fleksi atau ekstensi terutama pada otot proksimal dan
truncal yang biasanya muncul berkali kali pada suatu saat (cluster).5

Bangkitan Umum Nonmotor


Bangkitan ini terbagi menjadi beberapa jenis bangkitan absans. Klasifikasi tahun 2017 masih
membedakan absans tipikal dengan atipikal karena keduanya biasanya dihubungkan dengan
gambaran EEG , sindrom epilepsi, terapi, dan prognosis yang berbeda. Untuk membedakannya perlu
dilakukan pemeriksaan EEG. Bangkitan mioklonik absans adalah bangkitan absans dengan gerakan
mioklonik tiga per detik, terlihat gerakan lengan terangkat ke atas abduksi, sesuai dengan gambaran
EEG paku-ombak umum 3 Hz. Bangkitan mioklonik kelopak mata (eyelid myoclonia) adalah gerakan
jerk pada kelopak mata dan mata mendelik ke atas (upward deviation) dapat ditemukan pada
bangkitan absans.5

Daftar Pustaka
1. Gastaut H. Clinical and electroencephalographical classification of epileptic seizure. Epilepsia.
1969;10(Suppl):2–13.
2. Commission on Classification and Terminology of The International League Againts Epilepsy.
Proposal for revised clinical and electroencephalographic classification of epileptic seizure.
Epilepsia. 1981;22:489–501.
3. Commission on Classification and Terminology of the International League Againts Epilepsy.
Proposal for revised classification of epilepsies and epileptic syndromes. Epilepsia. 1989;30:389–
9.
4. Scheffer IE, Berkovic S, Capovilla G, Connolly MB, French J, Guilhoto L, dkk. ILAE classification of
the epilepsies: position paper of the ILAE Commission for Classification and Terminology.
Epilepsia. 2017;58(4):512–21.
5. Fisher RS, Cross JH, D'Souza C, French JA, Haut SR, Higurashi N, dkk. Instruction manual for the
ILAE 2017 operational classification of seizures types. Epilepsia. 2017;58(4):531–42.




PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 65


Lampiran

Glossary of terms

Word Definition Source

Absence, typical A sudden onset, interruption of ongoing activities, a blank stare, possibly a Adapted
brief upward deviation of the eyes. Usually the patient will be unresponsive from
when spoken to. Duration is a few seconds to half a minute with very rapid Ref. 12
recovery. Although not always available, an EEG would show generalized
epileptiform discharges during the event. An absence seizure is by definition
a seizure of generalized onset. The word is not synonymous with a blank
stare, which also can be encountered with focal onset seizures

Absence, atypical An absence seizure with changes in tone that are more pronounced than in Adapted
typical absence or the onset and/or cessation is not abrupt, often associated from
with slow, irregular, generalized spike-wave activity Ref. 11

Arrest See behavior arrest
 New


Atonic Sudden loss or diminution of muscle tone without apparent preceding 12
myoclonic or tonic event lasting ~1–2 s, involving head, trunk, jaw, or limb
musculature

Automatism A more or less coordinated motor activity usually occurring when cognition is 12
impaired and for which the subject is usually (but not always) amnesic
afterward. This often resembles a voluntary movement and may consist of an
inappropriate continuation of preictal motor activity

Autonomic seizure A distinct alteration of autonomic nervous system function involving Adapted
cardiovascular, pupillary, gastrointestinal, sudomotor, vasomotor, and from
thermoregulatory functions Ref. 12

Aura A subjective ictal phenomenon that, in a given patient, may precede an 12


observable seizure (popular usage)

Awareness Knowledge of self or environment
 New

Bilateral Both left and right sides, although manifestations of bilateral seizures may New
be symmetric or asymmetric


Clonic Jerking, either symmetric or asymmetric, that is regularly repetitive and Adapted
involves the same muscle groups from
Ref. 12

Cognitive Pertaining to thinking and higher cortical functions, such as language, New
spatial perception, memory, and praxis. The previous term for similar usage
as a seizure type was psychic


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 66


Glossary of terms

Word Definition Source

Consciousness A state of mind with both subjective and objective aspects, comprising a New
sense of self as a unique entity, awareness, responsiveness, and memory


Dacrystic Bursts of crying, which may or may not be associated with sadness 12


Dystonic Sustained contractions of both agonist and antagonist muscles producing Adapted
athetoid or twisting movements, which may produce abnormal postures
 from

Ref. 12

Emotional Seizures presenting with an emotion or the appearance of having an emotion New
seizures as an early prominent feature, such as fear, spontaneous joy or euphoria,
laughing (gelastic), or crying (dacrystic)


Epileptic spasms A sudden flexion, extension, or mixed extension–flexion of predominantly Adapted


proximal and truncal muscles that is usually more sustained than a from
myoclonic movement but not as sustained as a tonic seizure. Limited forms Ref. 12
may occur: Grimacing, head nodding, or subtle eye movements. Epileptic
spasms frequently occur in clusters. Infantile spasms are the best known
form, but spasms can occur at all ages

Epilepsy A disease of the brain defined by any of the following conditions: (1) At 3
least two unprovoked (or reflex) seizures occurring >24 h apart; (2) one
unprovoked (or reflex) seizure and a probability of further seizures similar
to the general recurrence risk (at least 60%) after two unprovoked seizures,
occurring over the next 10 years; (3) diagnosis of an epilepsy syndrome.
Epilepsy is considered to be resolved for individuals who had an age-
dependent epilepsy syndrome but are now past the applicable age or those
who have remained seizure free for the last 10 years, with no antiseizure
medicines for the last 5 years

Eyelid myoclonia Jerking of the eyelids at frequencies of at least 3 per second, commonly with New
upward eye deviation, usually lasting <10 s, often precipitated by eye
closure. There may or may not be associated brief loss of awareness


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 67


Glossary of terms

Word Definition Source

Fencer’s posture A focal motor seizure type with extension of one arm and flexion at the New
seizure contralateral elbow and wrist, giving an imitation of swordplay with a foil.
This has also been called a supplementary motor area seizure

Figure-of-4 seizure Upper limbs with extension of the arm (usually contralateral to the New
epileptogenic zone) with elbow flexion of the other arm, forming a figure-
of-4

Focal Originating within networks limited to one hemisphere. They may be 5


discretely localized or more widely distributed. Focal seizures may originate
in subcortical structures

Focal onset A seizure type with focal onset, with awareness or impaired awareness, New
bilateral tonic– either motor or non- motor, progressing to bilateral tonic–clonic activity.
clonic seizure The prior term was seizure with partial onset with secondary generalization

Gelastic
 Bursts of laughter or giggling, usually without an appropriate affective 12


tone


Generalized Originating at some point within, and rapidly engaging, bilaterally 5


distributed networks

Generalized tonic– Bilateral symmetric or sometimes asymmetric tonic contraction and then Adapted
clonic bilateral clonic contraction of somatic muscles, usually associated with from
autonomic phenomena and loss of awareness. These seizures engage
networks in both hemispheres at the start of the seizure Refs 5,
12


Hallucination A creation of composite perceptions without corresponding external stimuli 12
involving visual, auditory, somatosensory, olfactory, and/or gustatory
phenomena. Example: “Hearing” and “seeing” people talking


Behavior arrest Arrest (pause) of activities, freezing, immobilization, as in behavior arrest new
seizure


Immobility See activity arrest new

Impaired See awareness. Impaired or lost awareness is a feature of focal impaired new
awareness awareness seizures, previously called complex partial seizures

Impairment of See impaired awareness
 new


consciousness


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 68


Glossary of terms

Word Definition Source

Jacksonian seizure Traditional term indicating spread of clonic movements through contiguous 12
body parts unilaterally


Motor Involves musculature in any form. The motor event could consist of an 12
increase (positive) or decrease (negative) in muscle contraction to produce
a movement


Myoclonic Sudden, brief (<100 msec) involuntary single or multiple contraction(s) of Adapted
muscles(s) or muscle groups of variable topography (axial, proximal limb, from
distal). Myoclonus is less regularly repetitive and less sustained than is Ref. 12
clonus

Myoclonic–atonic A generalized seizure type with a myoclonic jerk leading to an atonic motor New
component. This type was previously called myoclonic–astatic

Myoclonic–tonic– 
 One or a few jerks of limbs bilaterally, followed by a tonic–clonic seizure. Derived
clonic The initial jerks can be considered to be either a brief period of clonus or from
myoclonus. Seizures with this characteristic are common in juvenile Ref. 1
myoclonic epilepsy


Nonmotor Focal or generalized seizure types in which motor activity is not prominent
 New

Propagation Spread of seizure activity from one place in the brain to another, or engaging New
of additional brain networks


Responsiveness Ability to appropriately react by movement or speech when presented with New
a stimulus


Seizure A transient occurrence of signs and/or symptoms due to abnormal excessive 4


or synchronous neuronal activity in the brain

Sensory seizure A perceptual experience not caused by appropriate stimuli in the external 12
world
Spasm
 See epileptic spasm

Tonic A sustained increase in muscle contraction lasting a few seconds to minutes 12

Tonic–clonic A sequence consisting of a tonic followed by a clonic phase
 12

Unaware The term unaware can be used as shorthand for impaired awareness new


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 69


Glossary of terms

Word Definition Source

Unclassified Referring to a seizure type that cannot be described by the ILAE 2017 new
classification either because of inadequate information or unusual clinical
features. If the seizure is unclassified because the type of onset is unknown,
a limited classification may still derive from observed features

Unresponsive Not able to react appropriately by movement or speech when presented with new
stimulation


Versive A sustained, forced conjugate ocular, cephalic, and/or truncal rotation or 12


lateral deviation from the midline



PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 70


ASUHAN NUTRISI PEDIATRIK PADA ANAK SAKIT KRITIS

Julistio Djais
Nutrisi & Penyakit Metabolik, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD – RSHS

Pendahuluan
Peran nutrisi dalam memberikan kontribusi pada penyembuhan pasien sakit kritis saat ini makin
disadari. Dampak status gizi dan pemberian zat gizi ketika anak sakit kritis terbukti berpengaruh
terhadap mortalitas, komplikasi infeksi, dan lama perawatan. Karena itu, rencana dan pemantauan
pemberian nutrisi yang dilakukan dengan teliti dan hati-hati pada anak sakit kritis penting dilakukan.
Pasien anak sakit kritis yang dirawat umumnya terdapat keanekaragaman baik dalam usia, tipe
penyakit, kondisi komorbid, dan status gizi saat masuk. Asuhan nutrisi yang diberikan harus individual
dengan mempertimbangkan status gizi, derajat penyakitnya, antisipasi kapan waktu siap menerima
makanan, dan risiko pemberian terapi nutrisi. Karena itu, rekomendasi yang diberikan merupakan titik
awal dalam membuat terapi nutrisi yang perlu disesuaikan untuk pasien secara individu.1,2
Pada anak sakit kritis yang dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab seperti sepsis, luka
bakar, trauma, dan kondisi inflamasi akut lainnya maka tubuh akan memberi respons suatu seri
perubahan metabolisme yang dikenal sebagai respons stres metabolik akut (SMA). Respons ini pada
dasarnya bersifat umum untuk semua kondisi. Variasi respons terjadi berkaitan dengan penyebab
stres, lama terjadinya, derajat beratnya, dan juga kondisi cadangan metabolik endogen tubuh seperti
malnutrisi. Pemahaman mengenai perubahan metabolisme yang menyertai anak sakit kritis penting
untuk dapat mengimplementasikan asuhan nutrisi yang adekuat dan menghindari komplikasi yang
timbul akibat pemberian terapi nutrisi.1,3

Respons Metabolisme pada Anak Sakit Kritis


Respons SMA dimulai dengan aktivasi kaskade sitokin. Sitokin dihasilkan oleh berbagai macam
jaringan dan populasi sel darah putih. Sitokin yang berefek proinflamasi seperti TNF-α, IL-1, IL-6, dan
Il-8 akan memulai respons hiperinflamasi. Keluarnya sitokin segera diikuti dengan perubahan dalam
sisitem hormonal. Terjadi peningkatan konsentrasi catecholamine, glukagon, dan kortisol dalam
serum yang dikenal sebagai counter-regulatory hormones. Peningkatan hormonal ini berdampak pada
terjadi resistensi insulin dan growth hormone karena efeknya berlawanan dengan efek anabolik dari
insulin.3
Catecholamine merupakan zat utama dalam respons hipermetabolisme dan menyebabkan
hiperglikemia dengan meningkatkan glikogenolisis hati, menyebabkan konversi glikogen otot skelet
menjadi laktat yang kemudian akan ditransportasi ke hati untuk dikonversi menjadi glukosa melalui
siklus Cori, dan akan mensupresi sekresi insulin oleh pankreas. Catecholamine juga menginduksi
lipolisis yang akan memobilisasi asam lemak bebas. Catecholamine bersama-sama glukagon dan
kortisol berefek meningkatkan basal metabolism rate.3,4
Glukagon menginduksi glikolisis dan glukoneogenesis. Efek ini berlawanan dengan efek metabolik
insulin. Peningkatan glikolisis akan menghasilkan peningkatan konsentrasi laktat dan alanin dalam
serum. Di hati akan diproduksi glukosa endogen melalui siklus Cori dan siklus Alanin. Kedua siklus ini
merupakan kontributor utama perubahan metabolisme karbohidrat saat SMA.3-5


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 71


Kortisol utamanya berefek pada katabolisme protein serta menginduksi proteolisis otot dan
meningkatkan glukoneogenesis, serta mempunyai efek sinergis dengan catecholamine. Peningkatan
kadar kortisol yang menyebabkan proteolisis otot ini berkaitan dengan pelepasan sitokin dan
merupakan prediktor pemecahan protein dan hipermetabolisme pada SMA. Asam amino utama yang
merupakan sumber glukoneogenesis adalah alanin dan glutamin yang masing-masing berasal dari otot
dan intestin. Kortisol, seperti glukagon juga menyebabkan resistensi insulin. Walaupun konsentrasi
insulin mungkin meningkat saat SMA, namun efek anabolik akan dihambat.3



Gambar 1. Respon Metabolik Akut terhadap Kerusakan Jaringan
3
Dikutip dari : Chwals JW

Gambar 2. Metabolic Stress Response


3 6
Dikutip dari : Chwals , Verbruggen

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 72


SMA dan Resistensi Hormon Anabolik
Pada SMA, tubuh umumnya bergantung pada mobilisasi cadangan gizi endogen untuk memenuhi
kebutuhan zat gizi dan energi. Sebagai konsekuensi dilepaskannya counter-regulatory hormone dan
terjadi resistensi hormon anabolik maka terjadi suatu rangkaian perubahan metabolisme protein,
karbohidrat, dan lipid khususnya di hati dan juga pada protein viseral, otot skelet, intestin, dan
jaringan adiposa. Respons ini bersifat katabolik. Protein viseral dalam sirkulasi yang paling pertama
terkena sehingga kadarnya menurun seperti kadar prealbumin (transthyretin), transferin, retinol-
binding protein, dan albumin. Pada otot skelet terjadi peningkatan pemecahan protein, sedangkan
sintesis protein relatif stabil sehingga terjadi balans protein yang negatif dan peningkatan kadar asam
amino bebas. Kondisi ini dapat diketahui dengan mengukur nitrogen balans. Peningkatan asam amino
bebas terutama alanin dan glutamin yang berasal dari otot dan intestin dialirkan ke hati untuk proses
glukoneogenesis dan sintesis protein fase akut (seperti C-reactive protein, CRP). Sebagai akibat, CRP
akan meningkat sementara protein viseral seperti prealbumin dan lainnya menurun.3,6
Sebaliknya, pada proses perbaikan dari respons SMA ditandai dengan penurunan konsentrasi
protein fase akut serta peningkatan protein viseral serum, dan tubuh akan kembali ke metabolisme
anaboli.2,3,6
Perubahan yang menonjol homeostasis glukosa merupakan karakteristik SMA dengan terjadi
hiperglikemia. Efek supresif yang normal pemberian glukosa eksogen terhadap produksi glukosa
endogen tidak terjadi pada SMA. Produksi glukosa meningkat sejalan dengan derajat SMA dan
produksi glukosa bergantung pada proses glikogenolisis yang dipengaruhi oleh epinefrin dan glukagon,
serta glukoneogenesis yang dipengaruhi oleh kortisol.3,4
Perubahan metabolisme lemak terutama dipengaruhi oleh catecholamine di bawah kontrol
stimulasi β2 adrenergik dan mencakup peningkatan lipolisis serta oksidasi asam lemak sesuai dengan
derajat dan lamanya stres juga kesediaan cadangan lemak. Kecepatan produksi asam lemak bebas
tidak bergantung pada kecepatan oksidasi asam lemak. Selama respons SMA maka peningkatan asam
lemak bebas dapat melebihi kecepatan oksidasi. Sekitar 50% asam lemak bebas yang tidak dioksidasi
akan mengalami re-esterifikasi menjadi trigliserida di hati. Oksidasi asam lemak bebas dibatasi oleh
terjadinya oksidasi glukosa.6

SMA dan Metabolisme Energi


Kebutuhan energi pada anak dapat dibagi atas:3
1. pemeliharaan kebutuhan metabolik (basal metabolic rate, aktivitas, kehilangan panas);
2. energi yang dibutuhkan untuk tumbuh.
Sejumlah kecil energi juga dibutuhkan untuk mencerna makanan dan konversi ke zat gizi yang
dibutuhkan oleh tubuh. Kebutuhan energi bergantung pada usia. Kebutuhan energi juga bergantung
pada status metabolik dan cadangan nutrisi. Pemakaian energi akan dapat dengan cepat berubah
pada saat terjadi SMA sehingga kebutuhan energi ini berubah.3,6
Perubahan kebutuhan energi pediatrik saat terjadi SMA antara lain:
SMA menginduksi respons katabolik sejalan dengan derajat, jenis, dan lama stres. Peningkatan
counter-regulatory hormones dalam serum akan menginduksi resistensi insulin dan growth hormone.
Pada periode respons katabolik ini maka proses pertumbuhan pada anak tidak terjadi.


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 73


Anak dengan sakit kritis level aktivitas fisiknya tentunya sangat berkurang sehingga juga akan
menurunkan kebutuhan energi.Dalam kondisi anak yang menggunakan ventilator maka kebutuhan
energi untuk pernapasan juga berkurang.
Secara keseluruhan kebutuhan total energi akan berkurang sehingga bila anak diberi sejumlah
energi berdasar atas prediksi kebutuhan anak sehat maka dapat terjadi overfeeding. Dengan
memperhitungkan perubahan metabolisme energi ini maka jumlah kalori yang sesuai dengan
pemakaian energi atau kebutuhan energi basal perlu diberikan. Strategi terapi ini adalah untuk
menghindari pemberian kalori yang melebihi kebutuhan energi untuk memelihara homeostasis
metabolik dari respons SMA.3,6

SMA dan Overfeeding


Overfeeding saat SMA terjadi bila pemberian kalori dan zat gizi melebihi kebutuhan untuk memelihara
homeostasis metabolik. Stres metabolik tidak dapat diperbaiki dengan memberi makanan berlebih
ketika anak sakit kritis. Overfeeding justru akan memberikan dampak negatif dengan meningkatkan
risiko hiperglikemia dan menambah beban kerja sistem pernapasan dan hati. Pemberian kalori yang
berlebih terbukti dalam penelitian akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Anak yang lebih
muda akan lebih terkena dampaknya, karena itu penting untuk menjamin tidak memberi asupan kalori
berlebih selama periode SMA pada bayi dan anak.3,6


Asesmen Nutrisi terhadap Respons SMA
Penilaian nutrisi anak sakit kritis harus memperhatikan dampak respons SMA dan hal ini dapat
diketahui bila melakukan pengukuran serial3,7
1. protein viseral seperti prealbumin;
2. protein fase akut seperti CRP;
3. energi expenditure menggunakan indirek kalorimetri.
Albumin tidak dapat digunakan untuk melihat perubahan katabolik dan anabolik akut karena
mempunyai waktu paruh yang panjang. Dalam waktu 12–24 jam setelah injuri akan diikuti dengan
penurunan kadar prealbumin yang menggambarkan proses katabolik. Kadar CRP akan meningkat oleh
karena tubuh memprioritaskan sintesis protein fase akut oleh hati sebagai respons terhadap injuri.
Selama periode SMA ini pemberian kalori harus sesuai dengan energi expenditure yang diukur oleh
indirek kalorimetri. Jika alat indirek kalorimetri tidak tersedia maka pemberian kalori harus sesuai
dengan perhitungan energi basal.3,7
Kadar prealbumin dan CRP serum berkorelasi secara terbalik. Kadar prealbumin serum menurun
dan kadar CRP serum meningkat secara proporsional sesuai dengan derajat berat injuri dan akan
kembali ke keadaan normal bila injuri membaik. Karena itu, perlu pengukuran secara serial untuk
mengetahui pola respons SMA. Perubahan protein fase akut juga berkorelasi dengan perubahan
respons glikemia. Konsentrasi glukosa, prealbumin, dan CRP serum merupakan prediksi luaran klinis
yang baik pada anak sakit kritis. CRP juga berkorelasi dengan pengukuran energi expenditure.
Penurunan nilai CRP serum dan peningkatan prealbumin serum mengindikasikan perbaikan respons
SMA dan penghentian metabolisme katabolik. Khususnya peningkatan prealbumin menunjukkan
terjadi proses pertumbuhan (fase anabolik) yang berarti pemberian kalori dapat ditingkatkan untuk
mencapai pemulihan pertumbuhan kembali. Pemberian energi dengan metode ini bermanfaat dalam
optimalisasi pemulihan pertumbuhan tanpa terjadi overfeeding saat fase akut respons SMA.3,

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 74


Perhitungan Kebutuhan Energi dan Makronutrien
Kebutuhan energi anak sakit kritis
FAO/WHO/UNU equation untuk estimasi REE (kcal/hari)8

Tabel 1. Rumus estimasi REE (kcal/hari)


Jenis Kelamin Usia
Perempuan 0 - 3 tahun [(61 x BB) – 51]
3 - 10 tahun [(22.5 x BB) + 499]
10 – 18 tahun [(12.2 x BB) + 746]
Laki - laki 0 – 3 tahun [(60.9 x BB) – 54]
3 – 10 tahun [(22.7 x BB) + 495]
10 – 18 tahun [(17.5 x BB) + 651]
8
Dikutip dari : Orellana

8
Tabel 2. Schofield equation untuk estimasi BMR (kcal/hari)
Jenis Kelamin Usia Rumus Estimasi BMR (kcal/hari)
Perempuan 0 – 3 tahun [(16.252 x BB) + (10.232 x TB) – 413.5]
3 – 10 tahun [(16.969 x BB) + (1.618 x TB) + 371.2]
10 – 18 tahun [(8.365 x BB) + (4.65 x TB) + 200.0]
18 – 30 tahun [(13.623 x BB) + (2.83 x TB) + 98.2]
Laki - laki 0 – 3 tahun [(0.167 x BB) + (15.174 x TB) – 617.6]
3 – 10 tahun [(19.59 x BB) + (1.303 x TB) + 414.9]
10 – 18 tahun [(16.25 x BB) + (1.372 x TB) + 515.5]
18 – 30 tahun [(15.057 x BB) – (0.1 x TB) + 705.8]
8
Dikutip dari : Orellana

Pada anak sakit kritis direkomendasikan menggunakan berat badan aktual, baik untuk anak
underweight maupun overweight.
Direkomendasikan memakai Schofield equation tanpa secara rutin menggunakan faktor stres
dalam perhitungan energinya.8

Kebutuhan protein anak sakit kritis


0–2 tahun 2–3 g/kg/hari
2–13 tahun 1,5–2 g/kg/hari
13–18 tahun 1,5 g/kg/hari
Kecukupan kebutuhan protein dapat ditentukan dengan mengukur ekskresi nitrogen urin.
Peningkatan asupan protein tidak dapat menggantikan pemecahan protein, tetapi dapat memperbaiki
balans nitrogen dengan meningkatkan sintesis protein.8,9

Kebutuhan Karbohidrat dan Lemak


Untuk anak sakit kritis, 50–60% energi berasal dari karbohidrat dan 30–40% energi berasal dari
lemak.8,10


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 75


Tabel 3. Kebutuhan Cairan per hari
Berat Badan Kebutuhan Cairan
0 – 10 kg 100 ml/kg
10 – 20 kg 1000 mL + 50 mL/kg lebih dari 10 kg
> 20 kg 1500 mL + 20 mL/kg lebih dari 20 kg
11
Dikutip dari: Valentine dkk.


Pemberian Nutrisi Anak Sakit Kritis
Pada saat anak sakit kritis, upayakan pemberian nutrisi dengan energi sedekat- dekatnya pada resting
energy expenditure untuk menghindari kekurangan energi. Terdapat bukti bahwa pemberian kalori
yang kurang lebih baik daripada pemberian kalori yang berlebih, berkaitan dengan kejadian
hiperglikemia dan komplikasi yang lebih jelek. Setelah kebutuhan nutrisi ditentukan perlu
dipertimbangkan rute pemberian.3

Nutrisi Enteral
Nutrisi enteral sebaiknya menjadi rute pemberian makan pilihan bagi anak sakit kritis karena
merupakan rute normal untuk konsumsi zat gizi yang dibutuhkan homeostasis sirkulasi dan hormonal,
menjaga serta memperbaiki integritan saluran gastrointestinal, dan mengurangi insidens kegagalan
multorgan. Pemberian nutrisi enteral awal dapat mencapai goal nutrisi lebih awal. Dampak pemberian
nutrisi awal dan pencapaian keseimbangan nutrisi yang optimal pada luaran klinis terutama terlihat
pada anak yang sebelumnya sudah malnutrisi yang tidak sanggup lagi menerima beban karena
cadangan nutrisi yang kurang.3,12,13

Nutrisi Parenteral
Walaupun nutrisi enteral lebih baik daripada nutrisi parenteral, namun jika terjadi kontraindikasi
pemberian rute enteral atau tidak toleran maka pemberian nutrisi parenteral perlu dipertimbangkan
segera setelah pasien stabil.3,14

Simpulan
Pada anak sakit kritis akan terjadi respons tubuh dengan dilepaskan kaskade sitokin, peningkatan
counter-regulatory hormones, dan terjadi resistensi insulin serta growth hormone yang dikenal
sebagai respons stres metabolik akut. Tubuh mengalami katabolisme dari protein, karbohidrat, dan
lemak. Pertumbuhan dihambat. Hal ini semua menimbulkan konsekuensi perubahan pemakaian
energi dan perlu penyesuaian perhitungan kebutuhan energi dan zat gizi. Overfeeding dapat memberi
dampak negatif. Pemberian nutrisi diupayakan dengan energi sedekat-dekatnya pada resting energy
expenditure. Setelah terjadi perbaikan respons stres metabolik akut maka pemberian kalori dapat
ditingkatkan untuk mencapai pemulihan pertumbuhan kembali. Pemberian energi dengan metode ini
bermanfaat dalam optimalisasi pemulihan pertumbuhan tanpa terjadi overfeeding saat fase akut dari
respons SMA.



PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 76


Daftar Pustaka
1. Mehta NM, Compher C. A.S.P.E.N. Clinical guidelines: nutrition support of the critically ill child.
JPEN. 2009;33(3):260−76.
2. Mehta NM. The critically ill child. Dalam: Duggan C, Watsin J, Walker W, penyunting. Nutrition in
pediatrics. Edisi ke-4. Boston: BC Decker Inc Hamilton; 2008. hlm. 1-7.
3. Chwals JW. The acute metabolic response to injury in children. Dalam: Goday PS, Mehta NM,
penyunting. Pediatric critical care nutrition. Edisi ke-1. New York: McGraw-Hill Companies; 2015.
hlm. 3−12.
4. Srinivasan V. Stress hyperglycemia in pediatric critical illness: the intensive care unit adds to the
stress! J Diabetes Sci Technol. 2012;6(1):37−47.
5. Poddar B. Treating hyperglycemia in the critically ill child: is there enough evidence? Indian
Pediatr. 2011;l48:531−6.
6. Verbruggen S. Protein, energy and their interaction in critically Ill children. Rotterdam: Optima
Grafische Communicatie; 2010.
7. Mehta NM, Duggan CP. Nutritional deficiencies during critical illness. Pediatr Clin N Am.
2009;56:1143−60.
8. Orellana R.A, Jorge A. Energy and macronutrient requirements in the critically ill child. Dalam:
Goday PS, Mehta NM, penyunting. Pediatric critical care nutrition. Edisi ke-1. New York: McGraw-
Hill Companies; 2015. hlm. 33−50.
9. ESPGHAN. Amino acids. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2005;41:S12−8.
10. ESPGHAN. Carbohydrates. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2005;41:S28−32.
11. Valentine LS, Albarano TP, Fortenberry JD. Fluid, electrolites, and acid-base physiology in critically
ill children. Dalam: Goday PS, Mehta NM, penyunting. Pediatric critical care nutrition. Edisi ke-1.
New York: McGraw-Hill Companies; 2015. hlm. 71−84.
12. Forchielli M, Bines J. Enteral nutrition. Dalam: Duggan C, Watkins J, Walker W, penyunting.
Nutrition in pediatrics. Hamilton: BC Decker Inc; 2008. hlm. 766−75.
13. Hamilton S, McAleer DM, Ariagno K, Barrett M, Stenquist N, Duggan CP, dkk. A stepwise enteral
nutrition algorithm for critically ill children helps achieve nutrient delivery goals. Pediatr Crit Care
Med. 2014;15:583−9.
14. Ariagno K, Duggan C. Parenteral nutrition support in the critically ill child. Dalam: Goday PS,
Mehta NM, penyunting. Pediatric critical care nutrition. New York: Mc Graw Hill; 2015. hlm.
99−108.


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 77



PERAN DOKTER ANAK DALAM PENANGANAN MASALAH MENTAL EMOSIONAL REMAJA

Meita Dhamayanti
Tumbuh Kembang dan Pediatrik Sosial, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD – RSHS

Pendahuluan
Remaja adalah tunas bangsa, generasi penerus bangsa, tumpuan harapan bangsa yang akan dapat
melanjutkan cita-cita bangsa menuju Indonesia yang bermartabat. Tercatat bahwa kelompok usia
remaja merupakan kelompok yang cukup besar, sekitar 23% dari seluruh populasi sehingga sebagai
generasi penerus kelompok remaja merupakan aset bangsa atau modal utama sumber daya manusia
bagi pembangunan bangsa di masa yang akan datang. Kelompok remaja yang berkualitas memegang
peranan penting dalam mencapai kelangsungan serta keberhasilan tujuan pembangunan nasional
sehingga perlu mendapat perhatian yang serius untuk meningkatkan kualitasnya. Upaya yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan kualitas remaja antara lain meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan peduli remaja, termasuk kualitas dalam memberikan informasi kesehatan peduli remaja,
kualitas dalam memberikan informasi kesehatan remaja, dan pelayanan konseling. Untuk itu,
diperlukan kemampuan petugas kesehatan khususnya di puskesmas dan rumah sakit dalam
pelaksanaan konseling dan penyampaian informasi yang jelas, benar, dan tepat.1
Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini mood (suasana hati) dapat
berubah dengan sangat cepat. Perubahan mood (swing) yang drastis pada para remaja ini sering kali
disebabkan oleh beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di rumah.
Meski mood remaja mudah berubah-ubah dengan cepat, tetapi hal tersebut belum tentu merupakan
gejala atau masalah psikologis. Dalam hal kesadaran diri, pada masa remaja para remaja mengalami
perubahan yang dramatis dalam kesadaran diri mereka (self-awareness).2
Remaja yang diberi kesempatan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka akan tumbuh
menjadi orang dewasa yang lebih berhati-hati, lebih percaya-diri, dan mampu bertanggung jawab.
Rasa percaya diri dan rasa tanggung jawab inilah yang sangat dibutuhkan sebagai dasar pembentukan
jati diri positif pada remaja. Kelak, ia akan tumbuh dengan penilaian positif pada diri sendiri serta rasa
hormat pada orang lain dan lingkungan.2
Masa remaja merupakan masa yang kritis dalam siklus perkembangan seseorang. Di masa ini
banyak terjadi perubahan dalam diri seseorang sebagai persiapan memasuki masa dewasa. Remaja
tidak dapat dikatakan lagi sebagai anak kecil, namun ia juga belum dapat dikatakan sebagai orang
dewasa. Hal ini terjadi oleh karena di masa ini penuh dengan gejolak perubahan baik perubahan
biologik, psikologik, maupun perubahan sosial. Dalam keadaan serba tanggung ini sering kali memicu
terjadi konflik antara remaja dan dirinya sendiri (konflik internal) maupun konflik lingkungan
sekitarnya (konflik eksternal). Apabila konflik ini tidak diselesaikan dengan baik maka akan
memberikan dampak negatif terhadap perkembangan remaja tersebut di masa mendatang, terutama
terhadap pematangan karakternya dan tidak jarang memicu terjadi gangguan mental.3 Untuk
mencegah dampak negatif tersebut, perlu dilakukan pengenalan awal (deteksi dini) perubahan yang
terjadi dan karateristik remaja sehingga remaja dapat melalui periode ini dengan optimal serta ia
mampu menjadi individu dewasa yang matang baik fisik maupun psikisnya. Seorang dokter yang
menangani remaja harus menggali riwayat psikososial. Jika hal ini tidak dilakukan, mustahil ada


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 78


kesempatan untuk mendeteksi masalah secara dini, dan membuat dampak signifikan terhadap
morbiditas serta mortalitas seorang remaja.


Remaja
World Health Organization (WHO) mendefinisikan remaja bila anak telah mencapai 10–19 tahun.
Menurut Peraturan Mentri Kesehatan RI No. 25 Tahun 2014 remaja adalah anak dalam rentang usia
10–18 tahun dan menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) rentang usia
remaja adalah 10–24 tahun dan belum menikah. Dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 mengenai
kesejahteraan anak, remaja adalah individu yang belum mencapai usia 21 tahun dan belum menikah.4
Remaja merupakan bagian dari fase perkembangan yang dinamis dalam kehidupan seorang individu.
Masa yang merupakan periode transisi dari masa anak ke dewasa ini ditandai dengan percepatan
perkembangan fisik, mental, emosional, sosial, dan berlangsung pada dekade kedua masa kehidupan.2


Pertumbuhan dan Perkembangan Remaja
Tumbuh kembang adalah peristiwa yang terjadi sejak masa pembuahan sampai masa dewasa. Proses
tumbuh kembang dibedakan atas tumbuh kembang fisis, tumbuh kembang intelektual, dan tumbuh
kembang emosional. Tumbuh kembang fisis meliputi perubahan ukuran besar dan fungsi organ, mulai
dari tingkat molekuler sampai metabolisme yang kompleks dan perubahan fisik hingga masa pubertas.
Tumbuh kembang intelektual berkaitan dengan kemampuan berkomunikasi dan menangani berbagai
masalah abstrak dan simbolik, seperti bicara, bermain, berhitung, atau membaca. Tumbuh kembang
emosional berkaitan dengan kemampuan membentuk ikatan batin, berkasih sayang, mengelola
rangsang dari luar, serta kemampuan menangani kegelisahan akibat suatu kegagalan. Pada masa ini
terjadi pacu tumbuh, timbul ciri-ciri seks sekunder, tercapai fertilitas, serta terjadi perubahan-
perubahan kognitif dan psikologis. Peristiwa yang penting semasa remaja adalah pubertas, yaitu
perubahan morfologis dan fisiologis yang pesat dari masa anak-anak ke masa dewasa.5 Remaja
merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa sehingga banyak perubahan pada diri
seseorang sebagai tanda keremajaan.6 Konflik yang sering dihadapi oleh remaja semakin kompleks
seiring dengan perubahan yang mereka alami pada berbagai dimensi kehidupan dalam diri mereka,
yaitu dimensi biologis, dimensi kognitif, dimensi moral, dan dimensi psikologis.6

Tumbuh kembang remaja dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu masa remaja awal, remaja pertengahan,
dan remaja akhir.1,5
1. Masa remaja awal
Terjadi saat anak berusia 10–13 tahun. Pada masa ini tingkat maturasi kelamin mulai muncul,
terjadi pertumbuhan serta pematangan fisik yang sangat pesat dan jalan pikiran kongkret, tidak
mampu melihat akibat jangka panjang dari suatu keputusan, dan moralitas yang konvensional.
Pada fase ini terjadi peningkatan kebutuhan akan privasi dan kinginan akan kebebasan. Mencari
teman sebaya yang berjenis kelamin sama untuk mengatasi ketidakstabilan.
2. Masa remaja menengah
Anak yang berusia 14–17 tahun akan memasuki masa remaja menengah. Masa ini ditandai dengan
hampir lengkapnya pertumbuhan pubertas, mulai berpikir abstrak, dapat melihat implikasi ke
depan, tetapi tidak dapat mengambil keputusan. Penampilan tampak atraktif, terjadi konflik
seputar kontrol dan kebebasan, berjuang untuk mendapatkan autonomi, intens terhadap
keterlibatan teman sebaya, dan uji kemampuan untuk menarik lawan jenis. Remaja pada usia ini

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 79


memiliki rasa percaya diri untuk melakukan penilaian terhadap tingkah laku yang dilakukannya.
Pada masa ini remaja akan menemukan jati dirinya.
3. Masa remaja akhir
Masa ini terjadi pada remaja berusia 17–20 tahun. Masa ini ditandai dengan matang secara fisik,
persiapan untuk peran sebagai orang dewasa, termasuk klarifikasi tujuan pekerjaan dan
internalisasi suatu sistem nilai pribadi. Remaja mulai terlibat dalam kehidupan, pekerjaan, dan
hubungan di luar keluarga.


Masalah Mental Emosional Remaja
Perkembangan mental emosional adalah suatu proses perkembangan seseorang dalam upaya
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan pengalaman-pengalamannya.6 Kesehatan mental yang baik
bukan saja tidak ditemukan masalah kesehatan mental yang terdiagnosis, tetapi juga mengenai
kesejahteraan fisik dan emosional, hidup penuh dan hidup kreatif, serta mampu menghadapi fluktuasi
hidup.7,8 Pada anak-anak dan remaja, kesehatan mental yang baik dapat ditunjukkan dengan
kemampuan untuk:7,8
1. berkembang secara emosional, kreatif, intelektual, dan rohani;
2. berinisiatif, mengembangkan, dan mempertahankan kepribadian yang saling memuaskan
hubungan;
3. mampu menghadapi masalah, menyelesaikannya, dan belajar dengan cara yang sesuai untuk anak
seusianya;
4. mengembangkan rasa benar dan salah;
5. bersikap percaya diri dan tegas;
6. peduli terhadap orang lain dan berempati;
7. menikmati kesendirian;
8. bermain dan belajar.

Remaja memiliki risiko lebih besar dalam hal masalah kesehatan mental daripada yang lainnya,
sedangkan faktor tertentu dapat bertindak sebagai proteksi. Faktor risiko dan proteksi dapat
memengaruhi kepribadian anak, keluarga, status sosial ekonomi, dan lingkungan. Memahami
pengetahuan mengenai faktor-faktor yang meningkatkan risiko masalah kesehatan mental sangat
penting dalam memperbaiki kesehatan mental anak dan remaja.8

Faktor risiko anak meliputi:7,8


• kemiskinan;
• ketidak-harmonisan keluarga;
• keluarga dengan single parent;
• orangtua dengan gangguan mental;
• kejahatan orangtua, alkoholisme, atau penyalahgunaan zat;
• konflik di antara orangtua;
• kurang ikatan dalam keluarga;
• sering berpindah tempat tingga/menjadi tunawisma;
• overprotective;
• bermusuhan dan menolak hubungan;


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 80


• gagal menyesuaikan diri dengan kebutuhan perkembangan anak;
• kematian dan kehilangan, termasuk kehilangan persahabatan;
• merawat orang tua yang cacat;
• memiliki watak pemalu, cemas, atau sulit;
• sering melanggar aturan;
• sakit kronik.

Faktor risiko keluarga meliputi:7,8
• ketidakmampuan untuk belajar;
• penyalahgunaan,
kekerasan dalam rumah tangga;
• anak lahir prematuritas atau berat lahir rendah;
• memiliki temperamen sulit;
• salah satu anggota keluarga sakit;
• kurang ikatan dalam keluarga;
• kurang keterikatan kepada pengasuh;
• kegagalan akademis;
• rendah diri.

Faktor risiko eksternal:7,8
• sekolah: disiplin yang tidak jelas, kegagalan mengenali anak sebagai individu;
• bullying;
• penolakan rekan/tekanan teman sebaya.

Faktor protektif meliputi:7,8
• kecerdasan;
• dicintai dan merasa aman;
• tinggal di lingkungan rumah yang stabil;
• pekerjaan orangtua;
• mengasuh yang baik;
• kesehatan mental orangtua yang baik;
• aktivitas dan minat;
• hubungan relasi positif;
• ketahanan emosional dan pemikiran positif;
• rasa humor.

Masalah mental emosional dapat timbul jika terdapat sesuatu yang menghambat seseorang dalam
proses penyesuaian diri dengan lingkungan dan pengalaman-pengalamannya.6 Kelainan mental,
emosional, dan perilaku seperti depresi, masalah perilaku, dan penyalahgunaan zat di antara anak-
anak dan remaja menyebabkan beban yang berat bagi keluarga, bangsa, dan diri mereka sendiri. Selain
kesehatan fisik, kesehatan mental merupakan faktor yang penting bagi masa depan dan kesejahteraan
remaja. Empat belas sampai 20% remaja mengalami kelainan mental, emosional, dan perilaku. Survei
menunjukkan bahwa 50% seluruh kasus yang didiagnosis kelainan mental dimulai sejak usia 14 tahun


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 81


dan tiga-perempatnya dimulai sejak usia 24 tahun.9 Berdasar atas Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
pada tahun 2007, prevalensi masalah mental dan emosional pada orang Indonesia usia di atas 15
tahun adalah 11,6%. Masalah mental dan emosional yang tersering terkait dengan gangguan emosi,
depresi, suka menentang, dan gangguan perilaku.2
Masalah mental emosional pada anak dibagi menjadi dua kategori, yaitu internalisasi dan
eksternalisasi.6 Masalah emosional internalisasi termasuk gejala depresi, kecemasan, perilaku menarik
diri, dan digolongkan sebagai emosi yang menghukum diri seperti kesedihan, perasaan bersalah,
ketakutan, dan kekhawatiran berlebih. Gambaran masalah mental emosional eksternalisasi antara lain
temperamen sulit, ketidakmampuan memecahkan masalah, gangguan perhatian, hiperaktivitas,
perilaku bertentangan (tidak suka ditegur/diberi masukan positif, tidak mau ikut aturan), dan perilaku
agresif.6 Gejala emosional mempunyai konsekuensi yang serius, misalnya, menghambat kesuksesan
akademik dan hubungan dengan teman sebaya. Keberadaan masalah-masalah tersebut pada usia
muda diperkirakan akan meningkatkan risiko kelainan fisik dan mental pada usia pertengahan. Oleh
karena itu, sangat penting untuk dilakukan deteksi dan penanganan masalah emosional sedini-
dininya.10

Pendekatan Masalah Mental Emosional


Untuk sebagian besar remaja, riwayat psikososial sama pentingnya dengan pemeriksaan fisis.4 The
American Academy of Pediatrics (AAP) bahkan menganjurkan kita untuk melakukan skrining masalah
kesehatan mental, bahkan di instalasi gawat darurat.7 Riwayat psikososial tersebut dapat diperoleh
dengan menggunakan metode wawancara HEEADSSS. Remaja yang datang ke dokter untuk mencari
pertolongan tidak banyak. Alat skrining ini dapat memaksimalkan kesempatan pada setiap kunjungan.
HEEADSSS merupakan alat skiring yang simple, powerful, serta memungkinkan kita mengetahui
riwayat psikososial, faktor risiko, dan faktor kekuatan dari seorang remaja. Alat skrining ini sama
pentingnya dengan pemeriksaan tekanan darah, pap smear, dan mamografi pada dewasa. Dengan
melakukan wawancara, seorang klinisi dapat menemukan masalah yang bukan keahlian mereka dan
dirujuk kepada ahli jika memungkinkan. Prinsip yang harus kita ingat pada remaja adalah jika kita tidak
bertanya, mereka tidak akan menjawab. Kita harus menekankan kerahasiaan dalam wawancara
dengan remaja, kecuali terjadi 3 ancaman. Kita dapat menjelaskan misalnya “Yang tahu isi diskusi ini
hanya kita berdua. Satu-satunya kondisi yang memaksa saya untuk mendiskusikan isi pembicaraan
kita adalah jika terjadi 3 ancaman: satu, jika seseorang dapat mencelakakan Anda. Kedua, jika Anda
dapat mencelakakan diri sendiri. Ketiga, jika Anda dapat mencelakakan orang lain. Saya akan selalu
mencoba memberitahukan Anda terlebih dahulu jika saya perlu mendiskusikan salah satu isu hari ini
kepada orang lain.” Kita harus bersikap seperti jaring pengaman untuk melindungi dari bencana
karena banyak upaya bunuh diri didahului kunjungan ke dokter, namun tidak ada satu orangpun yang
menanyakan pertanyaan penting. Kita harus menemukan masalah utama dalam hidup remaja, bukan
keluhan pada saat remaja itu datang. Jangan bertindak sebagai orang yang ingin tahu, namun sebagai
orang yang sangat peduli.2







PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 82


Skrining HEEADSSS pada Remaja
HEEADSSS merupakan salah satu alat skrining yang bertujuan mengetahui riwayat psikososial dan
risiko kesehatan seorang remaja. HEEADSSS pertama kali disusun pada tahun 1972, kemudian direvisi
tahun 1988 dan diperbaharui lagi tahun 2004.
HEEADSSS merupakan format ideal untuk pemeriksaan kesehatan.5 Alat skrining ini dapat
memberikan informasi mengenai fungsi remaja beberapa bidang seperti:

H-Home
E-Education & Employment
E- Eating & Exercise
A-Activities & Peer Relationships
D- Drug use/Ciggarettes/ Alcohol
S- Sexuality
S- Suicide and Depression
S- Safety

Untuk sebagian besar remaja, riwayat psikososial sama pentingnya dengan pemeriksaan fisis.4 The
American Academy of Pediatrics (AAP) bahkan menganjurkan kita untuk melakukan skrining masalah
kesehatan mental, bahkan di instalasi gawat darurat.7 Riwayat psikososial tersebut dapat diperoleh
dengan menggunakan metode wawancara HEEADSSS. Remaja yang datang ke dokter untuk mencari
pertolongan tidak banyak. Alat skrining ini dapat memaksimalkan kesempatan pada setiap kunjungan.
HEEADSSS merupakan alat skiring yang simple, powerful, serta memungkinkan kita mengetahui
riwayat psikososial, faktor risiko, dan faktor kekuatan seorang remaja. Alat skrining ini sama
pentingnya dengan pemeriksaan tekanan darah, pap smear, dan mamografi pada dewasa. Dengan
melakukan wawancara, seorang klinisi dapat menemukan masalah yang bukan keahlian mereka dan
dirujuk kepada ahli jika memungkinkan. Prinsip yang harus kita ingat pada remaja adalah jika kita tidak
bertanya, mereka tidak akan menjawab. Kita harus menekankan kerahasiaan dalam wawancara
dengan remaja, kecuali terjadi 3 ancaman. Kita dapat menjelaskan misalnya “Yang tahu isi diskusi ini
hanya kita berdua. Satu-satunya kondisi yang memaksa saya untuk mendiskusikan isi pembicaraan
kita adalah jika terjadi 3 ancaman: satu, jika seseorang dapat mencelakakan Anda. Kedua, jika Anda
dapat mencelakakan diri sendiri. Ketiga, jika Anda dapat mencelakakan orang lain. Saya akan selalu
mencoba memberitahukan Anda terlebih dahulu jika saya perlu mendiskusikan salah satu isu hari ini
kepada orang lain.” Kita harus bersikap seperti jaring pengaman untuk melindungi dari bencana
karena banyak upaya bunuh diri didahului kunjungan ke dokter, namun tidak ada satu orangpun yang
menanyakan pertanyaan penting. Kita harus menemukan masalah utama dalam hidup remaja, bukan
keluhan pada saat remaja itu datang. Jangan bertindak sebagai orang yang ingin tahu, namun sebagai
orang yang sangat peduli.2
Wawancara HEEADSSS berfokus pada penilaian lingkungan rumah, pendidikan dan pekerjaan,
makanan, teman sebaya dalam melakukan kegiatan, narkoba, seksualitas, bunuh diri/ depresi, srta
keselamatan dari cedera dan kekerasan.
Penilaian HEEADSSS memiliki beberapa tujuan.
1. Laporan perkembangan seorang remaja.
2. Skrining risiko gangguan perilaku.
3. Mengidentifikasi kekuatan seorang remaja dan faktor proteksinya.


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 83


4. Mengidentifikasi area yang memerlukan intervensi dan prevensi.
Pertanyaan HEEADSSS dimulai dari pertanyaan-pertanyaan mengenai area yang kurang sensitif
pada remaja, selanjutnya beralih ke pertanyaan yang sensitif.2,5
Deteksi dini tumbuh kembang anak adalah kegiatan/pemeriksaan untuk menemukan secara dini
penyimpangan tumbuh kembang. Dengan ditemukan secara dini penyimpangan/masalah tumbuh
kembang maka intervensi akan lebih mudah dilakukan, tenaga kesehatan juga mempunyai ”waktu”
dalam membuat rencana tindakan/intervensi yang tepat, terutama ketika harus melibatkan
keluarga.11 Deteksi dini penyimpangan mental emosional adalah kegiatan/ pemeriksaan untuk
menemukan secara dini masalah mental emosional, autisme dan gangguan pemusatan perhatian, dan
hiperaktivitas pada anak agar dapat segera dilakukan tindakan intervensi. Bila penyimpangan mental
emosional terlambat diketahui maka intervensinya akan lebih sulit dan hal ini akan berpengaruh pada
tumbuh kembang anak. Deteksi ini dilakukan oleh tenaga kesehatan.11 Deteksi dini dilakukan dengan
prosedur skrining.
Menurut batasan WHO, skrining adalah prosedur yang relatif cepat, sederhana, dan murah untuk
populasi yang asimtomatik, tetapi mempunyai risiko tinggi atau dicurigai mempunyai masalah.
Pencegahan dan penanganan masalah mental emosional secara tepat sejak dini diharapkan dapat
membantu remaja untuk perkembangan yang lebih baik bagi masa depannya. Beberapa instrumen
yang dapat digunakan untuk menjaring masalah mental emosional adalah Pediatric symptom checklist
(PSC), SDQ, Child Behavior Checklist (CBCL), Children’s Social Behavior Questionnaire (CSBQ), Computer
Based Screening for Adolescent, dan CRAFFT screening test yang cukup sederhana dan relevan dapat
untuk mengenali risiko penyalahgunaan zat/obat.2,6
1. Kuesioner CRAFFT2
• C: Apakah pernah berkendaraan (car) dengan atau tanpa seseorang dalam keadaan mabuk
atau setelah memakai obat-obatan?
• R: Apakah minum alkohol atau memakai obat untuk relaks, merasa diri lebih baik (fit in)?
• A: Apakah pernah minum alkohol atau memakai obat saat sendirian (alone)?
• F: Apakah anda pernah melupakan (forget) hal-hal yg telah anda lakukan selama
menggunakan alkohol atau obat-obatan?
• F: Apakah keluarga atau teman (friend) anda pernah mengatakan kepada anda untuk
menghentikan kebiasaan minum-minum atau penggunaan obat-obatan?
• T: Apakah terlibat masalah (trouble) akibat minum alkohol atau memakai obat?
Bila didapatkan dua atau lebih jawaban ya maka remaja mempunyai masalah yang serius dalam
penyalahgunaan zat.
2. Child Behavior Checklist (CBCL) adalah checklist yang lengkap untuk mendeteksi masalah
emosional dan perilaku pada anak-anak dan remaja. CBCL merupakan bagian dari sistem
Achenbach tentang penilaian berbasis secara empiris yang digunakan pada anak-anak berusia 4
sampai 18 tahun. CBCL ini terdiri atas 113 pertanyaan dan delapan skala sindrom, yaitu social
withdrawal, cemas/depresi, gangguan somatik, gangguan sosial, gangguan berpikir, gangguan
perhatian, delinquent behaviors, dan perilaku agresif. CBCL dibagi menjadi dua kelompok besar,
yaitu faktor internalisasi dan eksternalisasi.12
3. SDQ merupakan kuesioner untuk skrining anak usia 3–16 tahun yang praktis, ekonomis, dan
mudah digunakan untuk klinisi, orangtua, maupun guru. Kuesioner SDQ dapat diisi sendiri oleh
anak berusia 11–16 tahun, sedangkan untuk anak berusia kurang dari 11 tahun maka selain diisi
oleh anak juga diisi oleh orangtua ataupun guru anak tersebut. Diananta, 2012 SDQ terdiri atas 25


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 84


poin pertanyaan yang terdiri atas 5 skala, yaitu gejala emosi, masalah perilaku, hiperaktivitas,
masalah hubungan perilaku antarsesama, dan perilaku sosial. Skor yang diberikan adalah benar:
2; agak benar: 1; dan tidak benar: 0. Ada beberapa pertanyaan yang berbalik dalam pemberian
skor, yaitu pertanyaan nomor 7, 11, 14, 21, dan 25 untuk penilaian benar: 0; agak benar: 1; dan
tidak benar: 2. Setelah perhitungan skor hasilnya akan diinterpretasikan ke dalam mental
emosional normal 0–15, borderline 16-19, atau abnormal 20–40. Dibanding dengan instrumen lain
dalam deteksi dini masalah mental emosional pada remaja SDQ lebih baik dalam mendeteksi
gangguan hiperaktivitas, inatensi, mengenali masalah internalisasi, dan eksternalisasi.13
4. Pediatric symptom checklist (PSC) adalah alat untuk mendeteksi secara dini kelainan psikososial
untuk mengenali masalah emosional dan perilaku, di dalamnya berisi beberapa pertanyaan
tentang kondisi-kondisi perilaku anak yang dikelompokkan dalam 3 masalah, yaitu atensi,
internalisasi, dan eksternalisasi. Terdapat 2 versi, yaitu PSC-17 yang diisi oleh orangtua, untuk anak
usia 4–16 tahun, dan PSC-35 yang diisi sendiri oleh remaja (Youth-PSC) untuk remaja usia >11
tahun. Terdiri atas 17 pertanyaan dengan skor jawaban yang diberikan adalah 0: tidak pernah; 1:
kadang-kadang; dan 2: sering. Total skor adalah penjumlahan skor setiap pertanyaan. Bila total
skor penjumlahan memiliki nilai ≥15 diduga ada masalah emosi.14
Tidak ada metode pencegahan sempurna yang dapat diterapkan untuk seluruh populasi. Populasi
yang berbeda memerlukan tindakan pencegahan yang berbeda pula. Pembagian metode pencegahan
adalah sebagai berikut:2
1. pencegahan universal, ditujukan untuk populasi umum baik untuk keluarga maupun anak;
2. pencegahan selektif, ditujukan bagi keluarga dan anak dengan risiko tinggi. Risiko tersebut dapat
berupa risiko demografis, lingkungan psiko-sosial, dan biologis;
3. pencegahan terindikasi, ditujukan terhadap kasus yang mengalami berbagai faktor risiko dalam
suatu keluarga yang disfungsional.


Peran Dokter Anak dalam Penangan Masalah Mental Emosional Remaja
Semua upaya pencegahan pada umumnya ditujukan untuk memperbaiki mengurangi faktor risiko dan
memperkuat faktor protektif individu, keluarga, dan lingkungannya. Faktor risiko mempermudah
seseorang untuk menjadi pengguna, sedangkan faktor protektif membuat seseorang cenderung tidak
menggunakan obat. Tugas seorang dokter anak adalah mengawasi faktor risiko tersebut,
mengatasinya, atau merujuknya kepada ahli lain.
Seorang dokter anak memiliki peranan yang sangat besar dalam proses pencegahan kesehatan.
Pencegahan kesehatan memiliki komponen yang terpisah secara sistematis, yaitu 1). skrining; 2).
peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit; dan 3). penatalaksanaan dan pemantauan.
Prosedur skrining meliputi data riwayat, pemeriksaan fisis, observasi termasuk pertanyaan
(kuesioner), dan uji laboratorium mengenai masalah mental emosi pada remaja. Diperlukan ketelitian
dan kemampuan seorang dokter dalam memilih, menggunakan, dan melakukan skrining beserta alat
skrining yang akan dipakai sehingga interpretasi yang didapatkan dapat membantu dalam penegakan
diagnosis. Seorang dokter anak harus mampu berperan dalam upaya peningkatan kesehatan anak dan
pencegahan penyakit. dalam hal penanganan masalah mental emosi. Dengan tersedia alat instrumen
sebagai deteksi dini masalah metal emosi, pencegahan dan penanganan masalah mental emosional
secara tepat sejak dini diharapkan dapat membantu remaja untuk perkembangan yang lebih baik bagi
masa depannya.15 Dokter anak pun harus mampu memberikan intervensi/tata laksana terhadap
masalah mental emosional sesuai dengan kelainan yang didapat.15


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 85


Rujukan adalah pelimpahan wewenang dan tanggung jawab atas masalah kesehatan masyarakat
dan kasus-kasus penyakit yang dilakukan secara timbal balik secara vertikal maupun horizontal
meliputi rujukan sarana, rujukan teknologi, rujukan tenaga ahli, rujukan operasional, rujukan kasus,
rujukan ilmu pengetahuan, dan rujukan bahan-bahan pemeriksaan laboratorium. Diharapkan dokter
anak mengetahui saat yang tepat untuk melakukan proses rujukan.11 Rujukan diperlukan jika
masalah/penyimpangan perkembangan anak tidak dapat ditangani meskipun sudah dilakukan
tindakan intervensi dini. Rujukan penyimpangan tumbuh kembang anak dilakukan secara
berjenjang.11
1. Tingkat keluarga dan masyarakat.
Keluarga dan masyarakat (orangtua, anggota keluarga lainnya, dan kader) dianjurkan untuk
membawa anaknya ke tenaga kesehatan di puskesmas dan jaringan atau rumah sakit.
Orangtua/keluarga perlu diingat agar membawa catatan pemantauan tumbuh kembang yang ada
di dalam Buku KIA.
2. Tingkat puskesmas dan jaringannya.
• Pada rujukan dini, bidan dan perawat di Posyandu, Polindes, Pustu termasuk Puskeling,
melakukan tindakan intervensi dini penyimpangan tumbuh kembang sesuai dengan standar
pelayanan yang terdapat pada buku pedoman.
• Bila kasus penyimpangan tersebut ternyata memerlukan penanganan lanjut maka dilakukan
rujukan kepada tim medis di Puskesmas (dokter, bidan, perawat, nutrisionis, dan tenaga
kesehatan terlatih lainnya).
3. Tingkat rumah sakit rujukan.
Bila kasus penyimpangan tersebut tidak dapat ditangani di tingkat puskesmas atau memerlukan
tindakan yang khusus maka perlu dirujuk ke rumah sakit Kabupaten (tingkat rujukan primer) yang
mempunyai fasilitas klinik tumbuh kembang anak dengan dokter spesialis anak, ahli gizi, serta
laboratorium/pemeriksaan penunjang diagnostik. Rumah sakit provinsi sebagai tempat rujukan
sekunder diharapkan memiliki klinik tumbuh kembang anak yang didukung oleh tim dokter spesialis
anak, kesehatan jiwa, kesehatan mata, THT, rehabilitasi medik, ahli terapi (fisioterapis, terapis
bicara, dan sebagainya), ahli gizi, dan psikolog.

Simpulan
Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa sehingga banyak perubahan pada
diri seseorang sebagai tanda keremajaan.6 Konflik yang sering dihadapi oleh remaja semakin kompleks
seiring dengan perubahan yang mereka alami pada berbagai dimensi kehidupan dalam diri mereka,
yaitu dimensi biologis, dimensi kognitif, dimensi moral, dan dimensi psikologis. Remaja adalah tunas
bangsa, generasi penerus bangsa, dan tumpuan harapan bangsa yang akan dapat melanjutkan cita-
cita bangsa menuju Indonesia yang bermartabat.
Tercatat bahwa kelompok usia remaja merupakan kelompok yang cukup besar, sekitar 23% dari
seluruh populasi sehingga sebagai generasi penerus kelompok remaja merupakan aset bangsa atau
modal utama sumber daya manusia bagi pembangunan bangsa. Upaya yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan kualitas remaja antara lain meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan peduli remaja,
termasuk kualitas dalam memberikan informasi kesehatan peduli remaja, termasuk kualitas dalam
memberikan informasi kesehatan remaja dan pelayanan konseling. Untuk itu, kemampuan petugas
kesehatan khususnya di puskesmas dan rumah sakit dalam pelaksanaan konseling dan penyampaian
informasi yang jelas, benar, dan tepat.


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 86


Tugas seorang dokter anak adalah mengawasi faktor risiko tersebut, mengatasinya, atau
merujuknya kepada ahli lain. Seorang dokter anak memiliki peranan yang sangat besar dalam proses
pencegahan kesehatan. Pencegahan kesehatan memiliki komponen yang terpisah secara sistematis,
yaitu 1). skrining; 2). peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit; dan 3). penatalaksanaan dan
pemantauan.

Daftar Pustaka
1. Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (diunduh 30 September 2017). Tersedia dari:
http://www.diskes.baliprov.go.id/id/PELAYANAN-KESEHATAN-PEDULI-REMAJA--PKPR-2.
2. Masalah Kesehatan Mental Remaja di Era Globalisasi. 2013 (diunduh 30 September 2017).
Tersedia dari: http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/masalah-kesehatan-
mental-remaja-di-era-globalisasi.
3. Masalah Kesehatan Mental Remaja. 2013 (diunduh 30 September 2017). Tersedia dari:
http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/masalah-kesehatan-mental-
emosional-remaja.
4. Situasi Kesehatan Reproduksi Remaja. 2015 (diunduh 30 September 2017). Tersedia dari:
http://www.depkes.go.id/article/view/15090200001/situasi-kesehatan-reproduksi-
remaja.html.
5. Klein DA, Goldenring JM, Adelman WP. Heeadsss 3.0: the psychosocial interview for
adolescents updated for a new century fueled by media. Contemporary Pediatr. 2014
(diunduh 30 September 2017). Tersedia dari:
http://contemporarypediatrics.modernmedicine.com/contemporary-
pediatrics/content/tags/adolescent-medicine/heeadsss-30-psychosocial-interview-
adolesce?page=full
6. Goldenring JM, Cohen E. Getting into adolescent heads. Contemporary Pediatr. 1988;5(7):75.
7. Soetjiningsih, Gde R. Tumbuh kembang anak. Jakarta: ECG; 2014.
8. Dhamayanti M. Masalah mental emosional pada remaja: deteksi dan
intervensi. Sari Pediatri J. 2011;13:45–51.
9. Earle J. Emotional and behavioural problems ensuring a healthy future for our children. BMA
Board Science. 2013; 121-147.
10. Mental health in children and young people. An RCN toolkit for nurses who are not mental
health specialists. Royal Collage Nursing. London:2009.
11. Committee on the Prevention of Mental Disorders and Substance Abuse Among Children,
Youth, and Young Adults. Preventing mental, emotional,
and behavioral disorders among young people: progress and possibilities.
Washington D.C.: National Academies Press; 2009 (diunduh 30 September 2017).
Tersedia dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK32769/#ch6.s21.
12. Alves D, Roysamb E, Oppedal B, Zachrisson H. Emotional problems in
preadolescents in norway: the role of gender, ethnic minority status, and
home- and school-related hassles. 2011 (diunduh 30 September 2017).
Child and Adolescent Psychiatry and Mental Health. Tersedia dari:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3287128/
13. DepKes RI. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang
Anak di Tingkat Pelayanan Dasar. Jakarta: Deperteman Kesehatan RI; 2005.
14. Child Behavior Checklist (diunduh 30 September 2017). Tersedia dari:
https://www.icpsr.umich.edu/icpsrweb/PHDCN/descriptions/cbcl-w1-w2-w3.jsp.
15. Kuesioner kekuatan dan kesulitan, the strength and difficulties questionnaire
(SDQ). Pediatric Symptom Checklist 17 Scoring (diunduh 1 Oktober 2017). Tersedia dari:
https://brightfutures.aap.org/.../PSC-17%20Scoring%20Instructio.


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 87


16. Behrman, Kliegman, Stanton. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Edisi ke-20. Philadelphia: Elsevier;
2015


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 88



PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 89



PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 90



PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 91


DOUBLE BURDEN OF MALNUTRITION : DETEKSI DAN INTERVENSI DINI

Dida A. Gurnida
Nutrisi dan Penyakit Metabolik, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD – RSHS

Pendahuluan
Status gizi anak merupakan faktor penting yang harus diperhatikan karena masa anak merupakan
periode tumbuh kembang yang rentan dengan gizi. Seiring berkembangnya jaman, terjadi pergeseran
kualitas dan kuantitas nutrisi yang dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, urbanisasi, dan juga
globalisasi. Malnutrisi sebenarnya adalah gizi salah yang mencakup gizi kurang atau lebih, dan
dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik, dan lebih. Selama berdekade istilah malnutrisi
digunakan untuk mendeskripsikan undernutrition saja, walaupun sesungguhnya malnutrisi tidak
hanya merujuk pada nutrisi yang kurang, namun juga pada nutrisi yang berlebih. Semenjak tahun 1990
ditemukan permasalahan nutrisi baru yang banyak ditemukan terutama di negara-negara
berkembang berupa koeksistensi undernutrition dan overnutrition.1-3
Double burden of malnutrition atau beban ganda malnutrisi adalah suatu konsep yang pertama kali
disajikan sekitar satu dekade lalu dan telah menjadi masalah global yang memengaruhi baik negara
maju maupun negara berkembang. Kebanyakan negara berpenghasilan menengah dikatakan paling
terpengaruh double burden of malnutrition. Bukti tingginya angka overweight dan underweight pada
anak-anak Indonesia mengindikasikan double burden of malnutrition telah menjadi hal yang patut
dikhawatirkan di Indonesia.3
Double burden of malnutrition memiliki dampak negatif dan serius baik pada tingkat individual dan
juga populasi. Undernutrition yang terjadi dini pada kehidupan juga berkontribusi terhadap terjadi
overnutrition saat dewasa. Dibutuhkan upaya untuk mendeteksi dini kondisi tersebut sehingga dapat
dilakukan intervensi yang memadai.4,5

Definisi
Double burden of malnutrition adalah keadaan yang mencakup undernutrition dan overnutrition dari
makronutrien dan mironutrien yang dapat terjadi pada rentang usia manapun dalam populasi,
komunitas, keluarga, dan bahkan individu yang sama.3 Double burden of malnutrition dapat
bermanifestasi pada tiga tingkatan. Pertama, pada tingkat individual terjadi dua jenis malnutrisi pada
satu individual seperti obesitas dengan anemia nutrisional; kedua, dapat terjadi pada tingkat rumah
tangga, di antara anggota kelompok yang tinggal serumah; ketiga, dapat terjadi pada tingkat populasi,
baik undernutrition dan overnutrition memiliki angka prevalensi yang sama dalam satu komunitas.1
Malnutrisi adalah keadaaan yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara asupan makanan dan
kebutuhan zat gizi untuk mempertahankan kesehatan yang dapat bersifat primer atau sekunder.
Malnutrisi primer murni disebabkan oleh kekurangan asupan makanan, sedangkan sekunder akibat
kekurangan asupan dan/atau peningkatan kebutuhan akibat penyakit lain. Undernutrition adalah hasil
dari asupan yang kurang, absorpsi yang buruk, dan/atau penggunaan nutrien yang buruk sehingga
menyebabkan gangguan fungsi tubuh, gangguan pertumbuhan, dan underweight. Overnutrition
adalah hasil dari asupan nutrisi yang berlebihan atau tidak seimbang yang juga dapat menyebabkan
gangguan fungsi tubuh sebagaimana overweight dan/atau obesitas.3


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 92


Epidemiologi
Double burden of malnutrition merupakan masalah global, diperkirakan 25% populasi dunia termasuk
dalam kelompok overweight, 17% dari anak usia prasekolah tergolong underweight serta 28%
stunted.3 Berbagai bentuk dari undernutrition (seperti stunting, wasting, defisiensi mikronutrien) pada
balita masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang signifikan. Pada tahun 2010, diperkirakan
171 juta anak balita termasuk dalam kondisi stunted, kebanyakan berasal dari negara berkembang.4
Angka kejadian undernutrition ditemukan cukup tinggi di Asia, terutama pada Asia Selatan, seperti:
Bangladesh, India, Nepal, Pakistan, dan empat dari sepuluh anak dikatakan stunted.6
Secara simultan, angka kejadian obesitas pada anak juga meningkat secara dramatis yang ditandai
dengan kejadian overweigh dan obesitas sebanyak 43 juta anak balita pada tahun 2010. Walaupun
prevalensinya lebih tinggi pada negara maju, negara berkembang memiliki jumlah anak overnutrition
yang lebih banyak dan secara relatif semakin bertambah.4 Overnutrition juga ditemukan pada semua
negara, terutama pada negara berpenghasilan menengah dan ke atas, seperti Indonesia, Filipina, Sri
Lanka dan Thailand, dan diperkirakan tiga dari sepuluh orang menderita overweight.6
Di beberapa negara, kedua fenonema tersebut dapat ditemukan terjadi sekaligus dalam satu
rumah tangga (seperti di negara RRC dan Indonesia). Di Indonesia hampir satu dari sepuluh rumah
tangga memiliki anggota keluarga yang underweight dan overweight.2,6 Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2007 mendapatkan prevalensi gizi buruk pada anak balita 5,4 persen dan gizi lebih
4,3 persen. Pada survei Riskesdas tahun 2013 gizi buruk pada anak balita meningkat menjadi 5,7
persen dan gizi lebih juga meningkat menjadi 4,5 persen.7

Penyebab dan Konsekuensi Double Burden of Malnutrition


Penyebab double burden of malnutrition terkait dengan serangkaian transisi yang terjadi di
masyarakat baik dalam aspek nutrisi, epidemiologi, dan demografis.1 Walaupun penyebab double
burden of malnutrition dikatakan kompleks, hasil analisis di Indonesia mengelompokkan penyebabnya
menjadi 4 area.3
1. Lingkungan kesehatan dan biologis
Indonesia sedang mengalami transisi demografis dengan angka harapan hidup meningkat dan
akses terhadap fasilitas kesehatan semakin banyak. Hal ini menyebabkan perubahan transisi
epidemiologis dan pergeseran burden of disease atau beban penyakit dari penyakit infeksi ke
noninfeksi.
2. Lingkungan ekonomi dan pangan
Peningkatan ekonomi Indonesia beserta penurunan angka kemiskinan menyebabkan
peningkatan dalam ketersediaan makanan, tidak hanya makanan pokok, namun juga daging
dan ikan serta makanan yang diproses.
3. Lingkungan fisik
Lingkungan Indonesia yang semakin urban menyebabkan aktivitas pejalan kaki semakin
berkurang dan akses ke makanan sehat terbatas.
4. Lingkungan sosial budaya
Tradisi budaya yang masih kuat di Indonesia memengaruhi terjadi undernutrition dini pada
anak, seperti pada kebiasaan menikahkan anak yang masih muda.


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 93


Dewasa
Peningkatan mortalitas
Overweigth
dan obesitas Peningkatan risiko
dengan penyakit kronik saat
peningkatan Bayi berat dewasa
risiko penyakit lahir rendah Menyusui yang buruk
kronik Pertumbuhan dengan infeksi berulang
janin Pertambahan
inadekuat panjang
inadekuat
Ibu kekurangan
gizi

Anak stunted

Akselerasi
Remaja hamil pertambahan
Pertambahan
berat badan
konsumsi
Pertambahan makanan tinggi
konsumsi kalori
makanan
tinggi kalori
dan kurangnya Olahraga yang kurang
Remaja
olahraga
stunted


Gambar 1. Siklus Double Burden of Malnutrition
5
Dikutip dari: Vaezghasemi

Double burden of malnutrition memiliki dampak negatif dan serius baik pada tingkat individual dan
juga populasi, serta lintas generasi baik di negara berkembang dan negara maju. Kekurangan atau
kelebihan zat gizi pada periode usia 0–2 tahun umumnya ireversibel serta akan berdampak pada
kualitas hidup jangka pendek dan jangka panjang.4,5,8
Gambar 1 menggambarkan siklus yang berulang pada perjalanan hidup seseorang yang terkena
double burden of malnurition. Stunting yang terjadi pada dua tahun pertama kehidupan akan
mengganggu kapasitas anak untuk tumbuh dan berkembang sepanjang hidupnya. Undernutrition
berkontribusi terhadap gangguan kognitif yang menyebabkan keterlambatan sekolah, performa
edukasi buruk, dan angka kelulusan yang rendah. Anak stunted sering kali tumbuh menjadi dewasa
dengan lean body mass rendah sehingga menyebabkan penurunan produktivitas serta upah pekerjaan
kasar. Anak stunted akan tumbuh menjadi seorang ibu yang mengalami kekurangan gizi sehingga
menyebabkan pertambahan risiko memiliki bayi dengan berat lahir rendah. Jika sudah terjadi gagal
tumbuh (growth faltering), hal ini tidak saja berdampak pada pertumbuhan fisik anak, melainkan juga
terhadap perkembangan kognitif dan kecerdasan lainnya.4,5,9
Undernutrition yang terjadi dini pada kehidupan juga berkontribusi terhadap terjadi overnutrition
saat dewasa akibat pertambahan konsumsi makanan tinggi kalori dan kurang olahraga. Peningkatan
beban obesitas pada masa kanak-kanak terkait dengan peningkatan risiko penyakit kronik, seperti
diabetes melitus tipe-2, penyakit kardiovaskular, dan penyakit hipertensi. Berbagai pengamatan juga
menunjukkan bahwa makin dini seorang anak mengalami obesitas, makin rendah usia harapan
hidupnya akibat menderita penyakit kronik degeneratif. Pada masa anak dan remaja, obesitas juga

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 94


dapat mengakibatkan hipertensi, sleep apnea, masalah pernapasan, masalah postur dan
perkembangan tulang ekstremitas, masalah psikososial, masalah hormonal dan sistem reproduksi,
alergi dan hipersensitivitas, serta banyak penyakit lainnya.4,5,9
Melalui pengaruhnya terhadap kesehatan, malnutrisi meningkatkan biaya kesehatan, menurunkan
produktivitas, dan memperlambat laju ekonomi yang pada akhirnya membentuk siklus antara
kemiskinan dan penyakit. Biaya langsung dan tidak langsung pada tingkat mikroekonomi dan
makroekonomi sebagai konsekuensi sering kali tidak dapat ditanggung sehinga berkontribusi
terhadap gangguan perkembangan ekonomi dan sosial negara.1

Deteksi Dini
Deteksi dini status gizi adalah kegiatan untuk menemukan secara dini penyimpangan masalah gizi
sebelum terjadi malnutrisi. Melihat permasalahan di Indonesia, upaya deteksi dini penting dan
mendesak untuk dilakukan agar dapat dilakukan intervensi secepatnya karena mempunyai dampak
terhadap aspek kualitas hidup anak, deteksi dini meliputi anamnesis, serta pemeriksaan fisis dan
laboratorium.10-12

Anamnesis
Anamnesis sangat penting artinya untuk mengetahui tumbuh kembang anak. Anamnesis meliputi
riwayat kelahiran, asupan makan, pola makan, toleransi makan, tumbuh kembang, pola aktivitas fisis,
perubahan berat badan (BB), riwayat keluarga, faktor sosioekonomi, budaya, agama, serta penyakit
penyerta. 9,10,12-14

Pemeriksaan Fisis
Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi dihubungkan dengan ketidakcukupan
zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (superficial epithelial tissues) seperti kulit, mata,
rambut dan mukosa oral, atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar
tiroid. Baggy pants, rambut kemerahan dan mudah tercabut, pucat, kulit kering, bengkak pada
tungkai, pengelihatan kabur pada malam hari, dan lain-lain merupakan tanda klinis malnutrisi berat
akibat defisiensi makronutrien dan mikronutrien. Defisiensi mikronutrien pada umumnya
bermanifestasi pada organ terkait seperti kekurangan vitamin A, zinc, iron, dan iodin,11,14,15 sedangkan
pada obesitas dapat ditemukan lemak tubuh yang berlebihan dan peningkatan risiko kesehatan
dengan manifestasinya meningkatkan tekanan darah, gangguan endokrin, serta beberapa
komorbiditas lainnya.9

Laboratorium
Pemeriksaan status gizi secara biokimia dilakukan dengan pemeriksaan spesimen yang diuji secara
laboratorium dan dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh, seperti darah, urin, tinja, jaringan
otot, dan hati. Pemeriksaan darah yang umum dilakukan, yaitu kadar hemoglobin, protein serum,
profil lipid, gula darah, elektrolit, dan lain-lain.13,14,16



PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 95


Antropometri
Secara umum antropometri berarti ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi maka
antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposis
tubuh dari berbagai tingkat usia dan tingkat gizi. Antropometri digunakan untuk menilai
ketidakseimbangan asupan protein dan energi. Ketidakseimbangan ini terlihat pada pola
pertumbuhan fisik dan proposi jaringan tubuh seperti lemak, otot, dan jumlah cairan dalam tubuh.
Pengukuran antropometri adalah suatu metode untuk menilai proporsi, ukuran, dan komposisi tubuh
yang paling mudah, bersifat universal, murah, serta noninvasif. Pengukuran ini dilakukan berulang
secara berkala untuk mengkaji pertumbuhan jangka pendek, jangka panjang, dan status nutrisi. Berat
badan dan tingi badan merupakan indikator antropometrik yang paling sering digunakan karena dapat
dilakukan dengan mudah dan cepat. Interpretasi hasil pengukuran memberikan petunjuk keadaan
status gizi.10,14,17
Terdapat beberapa variabel yang perlu dinilai, yaitu berat badan, panjang atau tinggi badan, dan
lingkar kepala (dari lahir sampai usia 3 tahun). Indeks yang sering digunakan adalah berat badan
terhadap usia (BB/U), tinggi terhadap usia (TB/U), dan berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB).17,18

Deteksi Dini Undernutrition


Kecukupan kenaikan berat badan (weight increment) seorang bayi atau anak harus dinilai berdasar
atas interval waktu dan memakai tabel tertentu. World Health Organization pada tahun 2006 secara
rinci memperkenalkan tabel kecepatan penambahan BB (weight increment), TB, dan LK dengan
interval 1 minggu, 2 minggu, 4 minggu, 2 bulan, 4 bulan, dan 6 bulan yang berbeda untuk laki-laki dan
perempuan dengan memakai growth velocity chart.
Tahapan deteksi dini masalah undernutrition:
1. lakukan pengukuran BB dan TB;
2. plot hasil pengukuran pada kurva WHO PB/U untuk interpretasi perawakan
è perawakan tinggi, pendek, perawakan sangat pendek;
3. plot hasil pengukuran pada kurva WHO PB/BB untuk interpretasi status gizi
è status gizi kurang, buruk, obes;
4. plot hasil pengukuran pada kurva WHO BB/U untuk interpretasi tren pertumbuhan
è naik sesuai/tidak sesuai grafik, mendatar, menurun;
5. analisis kenaikan berat badan menggunakan tabel Weight Velocity WHO
è analisis apakah termasuk at risk of failure to thrive/risiko gagal tumbuh;
6. tanyakan riwayat nutrisi dan asupan makanan, kemudian lakukan penilaian dan edukasi.
è lakukan pemantauan dan evaluasi berkala 1-2 minggu kemudian;
7. lakukan rujukan tepat waktu ke dokter.
Kenaikan berat badan dikatakan cukup apabila kenaikannya ≥5th persentil growth velocity chart
WHO 2006.19
Contoh:
Seorang bayi perempuan usia 4 bulan, berat lahir 3,1 kg, panjang badan 50 cm, pada usia 3 bulan
beratnya 5,5 kg. Berat badan saat ini 5,7 kg dan panjang badan 61 cm. Evaluasi kenaikan berat badan
menggunakan tabel kenaikan berat badan (WHO 2006). Hasil analisis antropometri saat ini: status gizi:
baik (skor Z antara -2 dan +2), perawakan baik (skor Z antara -2 dan +2), sedangkan bila dilihat dari
tabel kenaikan berat badan WHO interval 1 bulan (dari bulan 3 ke bulan 4) berada di bawah persentil
5, jadi bayi tersebut berisiko gagal tumbuh.

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 96


Gambar 2. Contoh Hasil Penelusuran Growth Velocity Standard
19
Dikutip dari: WHO

Koletzko telah membuat perkiraan peningkatan BB dan TB rata-rata secara sederhana pada anak
sehat, yaitu14
Perkiraan peningkatan BB:
1. 200 gram/minggu dalam 3 bulan pertama;
2. 130 gram/minggu dalam 3 bulan kedua;
3. 85 gram/minggu dalam 3 bulan ketiga;
4. 75 gram/minggu dalam 3 bulan keempat;
5. Berat lahir biasanya meningkat 2 kali dalam usia 4 bulan dan 3 kali dalam 12 bulan.
Perkiraan peningkatan TB, yaitu
1. meningkat 25 cm dalam 1 tahun pertama;
2. peningkatan 12 cm dalam tahun kedua;
3. dalam 2 tahun, kira-kira setengah tinggi dewasa dicapai.

Deteksi Dini Overnutrition


Pengukuran berat badan terhadap tinggi badan dan penentuan indeks massa tubuh (IMT) merupakan
metode yang berguna untuk menilai lemak tubuh. Indeks massa tubuh (IMT) diukur dengan cara berat
badan (dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat dari tinggi badan (dalam meter). Berdasar atas kriteria
WHO, kurva WHO Child Growth Standard (WCGS) 2006 untuk anak ≤5 tahun dan WHO Child Growth
Reference (WCGR) 2007 untuk anak 5–19 tahun (61–228 bulan) dipergunakan untuk mengetahui
apakah seorang anak mengalami overweight atau anak itu obesitas. Unit Kerja Koordinasi Nutrisi dan
Penyakit Metabolik (UKK NPM) merekomendasikan penggunaan kurva IMT WCGS 2006 untuk anak
usia <2 tahun dan kurva IMT Center of Disease Control (CDC) 2000 untuk anak 2–18 tahun.20 Kriteria
tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 97


Tabel 1. Kriteria Overweight dan Obesitas

WCGS 2006 WCGR 2007 CDC 2000


(0–60 bulan) (61–228 bulan)
Overweight BB/PB >+2 SD IMT/U >+1 SD IMT >P85–P95
IMT/U >+2 SD IMT >25 pada usia 19 tahun
Obesitas BB/PB >+3 SD IMT/U >+2 SD IMT >P95
IMT/U >+3 SD IMT >30 pada usia 19 tahun
19
Dikutip dari: WHO

Lemak tubuh yang berlebihan pada obesitas berhubungan dengan peningkatan risiko kesehatan,
21
khususnya faktor risiko kardiovaskular.
IMT berkorelasi tinggi dengan berat dan komposisi lemak tubuh, serta berkorelasi lemah dengan
tinggi badan sehingga dipilih untuk memprediksi adipositas pada anak.21,22 Perkembangan IMT paralel
dengan perkembangan adipositas tubuh yang di antaranya dapat dilihat dari tebal lipatan kulit. Anak
mengalami peningkatan IMT pada tahun pertama kehidupan. Indeks massa tubuh menurun setelah
usia 9–12 bulan dan mencapai nilai terendah pada usia 5–6 tahun, serta selanjutnya meningkat
kembali sampai masa remaja dan dewasa. Nilai IMT paling rendah disebut sebagai adiposity rebound
(Gambar 3).9,22,23


23
Gambar 3. Early Adiposity Rebound
Dikutip dari : Plachta-Danielzik,dkk

Jika adiposity rebound terjadi lebih dini sebelum usia 5 tahun maka dikatakan sebagai early
adiposity rebound. Early adiposity rebound menggambarkan balans energi positif yang berlebihan
pada awal kehidupan. Adipositas dini akan memengaruhi program metabolisme lemak, karbohidrat,
serta protein yang berdampak pada munculnya penyakit degeneratif di usia dewasa. Early adiposity
rebound berhubungan dengan peningkatan risiko obesitas dan sindrom metabolik di kemudian
hari.8,9,22-24
Waktu terjadinya adiposity rebound merupakan periode kritis kemungkinan perkembangan
obesitas pada anak. Lemak yang rendah sebelum terjadi adiposity rebound diduga akibat periode
defisit energi yang terjadi pada tahap awal kehidupan yang menyebabkan terprogramnya
metabolisme sebagai respons adaptasi. Deteksi early adiposity rebound dapat menjadi alat untuk
mengetahui secara dini overnutrition pada anak dan tindakan antisipatif dapat dilakukan sejak awal
tanpa menunggu overweight dan obesitas terjadi pada anak.9,22-24

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 98


Intervensi Double Burden of Malnutrition
Deteksi dini risiko malnutrisi akan membantu kita untuk dapat melakukan intervensi yang tepat
sehingga double burden of malnutrition dapat dicegah.1 Berbagai langkah dapat dilakukan, di
antaranya membuat peraturan untuk memastikan nutrisi maternal dan antenatal yang optimal;
proteksi, promosi, dan dukungan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan diikuti pemberian makanan
pendamping ASI dalam 2 tahun pertama kehidupan; program yang mendukung diet sehat pada
sekolah, institusi publik, dan tempat kerja; serta peraturan yang meningkatkan keamanan pangan dan
memastikan tersedia akses makanan sehat ke semua individu.1 Indonesia sendiri mengalami double
burden of malnutrition pada berbagai tingkatan populasi sehingga pemerintah harus mengambil
langkah urgen untuk mencegah dan mengatasi konsekuensinya.5
Identifikasi rutin dari faktor-faktor yang menjadi penyebab malnutrisi sebaiknya dilakukan pada
usia dini agar dapat dilakukan modifikasi gaya hidup dan intervensi asuhan nutrisi.24 Untuk
meningkatkan kualitas manusia Indonesia masa depan, upaya yang paling efisien adalah mencegah
terjadi malnutrisi dengan menyosialisasikan praktik pemberian makan yang benar pada 1.000 hari
pertama kehidupan yang berbasis bukti. Hal ini penting mengingat pola pemberian makan bayi dan
batita dipengaruhi oleh pengalaman ibu, tuntutan keluarga, keadaan sosial ekonomi, serta tradisi
budaya.8
Malnutrisi terjadi karena perhatian terhadap asuhan nutrisi pediatrik (ANP) kurang. UKK NPM
merekomendasikan ANP untuk tata laksana dukungan nutrisi pasien yang dirawat di rumah sakit.
Namun demikian, ANP juga direkomendasikan untuk diterapkan sebagai evaluasi pasien di poliklinik.
ANP bertujuan agar setiap pasien dapat dipenuhi kebutuhan zat gizinya secara optimal dan dilakukan
dengan 5 kegiatan yang berurutan dan berulang. Lima kegiatan yang dimaksud adalah menentukan
masalah nutrisi, menghitung kebutuhan energi maupun zat gizi lain, menentukan rute pemberian
makan, memilih bentuk makanan, serta melakukan pemantauan dan evaluasi/pengkajian respons.25
Penentuan masalah gizi meliputi penilaian status gizi, masalah yang berhubungan dengan proses
pemberian makanan, dan diagnosis klinis. Riwayat pemberian makan meliputi praktik pemberian
makan pada periode bayi termasuk pemberian ASI. Di samping itu jumlah, frekuensi, maupun jenis
makanan yang diberikan kepada bayi dan anak juga dievaluasi. Nutrisi per oral sebaiknya dijadikan
pilihan utama dalam memberikan dukungan nutrisi selama fungsi traktus gastrointestinal masih
berfungsi dengan baik. Pada pemberian makan melalui oral bentuk makanan disesuaikan dengan usia
dan kemampuan oromotor pasien. Pemantauan dan evaluasi meliputi pemantauan terhadap
akseptabilitas atau penerimaan makanan, toleransi (reaksi simpang makanan), dan efektivitas
dukungan nutrisi yang dapat diketahui di antaranya dengan melihat kenaikan berat badan anak.25

Simpulan
Double burden of malnutrition memiliki dampak negatif dan serius baik pada tingkat individual dan
juga populasi. Mengabaikan hal tersebut saat masa kanak-kanak akan berakibat buruk di kemudian
hari. Kejadian malnutrisi dapat dicegah dengan mengenali risiko gagal tumbuh dan early adiposty
rebound sebagai upaya deteksi dini dan menindaklanjuti dengan tata laksana praktik pemberian
makan yang benar pada anak.





PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 99


Daftar Pustaka
1. World Health Organization. The Double Burden of Malnutrition. Geneva: WHO; 2016.
2. Mahmudiono T, Nindya TS, Andrias DR, Megatsari H, Rosenkranz RR. The Effectiveness of
Nutrition Education For Overweight/Obese Mothers With Stunted Children (Neo-Mom) in
Reducing The Double Burden of Malnutrition in Indonesia: Study Protocol For A Randomized
Controlled Trial. BMC Public Health. 2016;16:486.
3. Shrimpton, R, Rokx, C. The Double Burden of Malnutrition in Indonesia. Edisi ke-1. Jakarta:
World Bank; 2013.
4. Tzioumis E, Adair LS. Childhood dual burden of under- and over-nutrition in low- and middle-
income countries: acritical review. Food Nutr Bull. 2014;35(2):230–43.
5. Vaezghasemi M. Nutrition Transition and The Double Burden of Malnutrition in Indonesia : A
Mixed Method Approach Exploring Social and Contextual Determinants of Malnutrition
[Disertasi PhD]; 2017. (Umeå University medical dissertations).
6. Gillespie S, Haddad L. Attacking The Double Burden of Malnutrition in Asia and the Pacific.
ADB Nutrition and Development Series No. 4 Phillipines: Asian Development Bank; 2001. Sep.
xiv, 179 p.
7. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kemenkes RI. Riset kesehatan dasar
(Riskesdas 2013). Jakarta: Badan Litbang Kesehatan; 2013.
8. UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi Praktik
Pemberian Makan Berbasis Bukti pada bayi dan batita di Indonesia untuk mencegah
malnutrisi. Edisi Pertama. Jakarta: IDAI; 2015.
9. UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik Ikatan Dokter Anak Indonesia. Diagnosis, Tata Laksana,
dan Pencegahan Obesitas Pada Anak dan Remaja. Dalam: Sjarif DR, Gultom LC, Hendarto A,
Lestari ED, Sidiartha IGL, Mexitalia M, editor. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi
Pertama. Jakarta: IDAI; 2014.
10. Mehta NM, Corkins MR, Lyman BL, Ainskey M, Goday PS, Carney L, dkk. Defining Pediatric
Malnutrition: A Paradigm Shift Toward Etiology-related Definitions. J Parenter Enteral Nutr.
2013;37:460–81.
11. Schuitema CJ, Klos M, Kouwenoord K, Kruizenga H, Meester WR. Guideline screening and
treatment of malnutrition. Amsterdam: Fight malnutrion. 2011.
12. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI; 2013.
13. Becker P, Carney LN, Corkins MR, Monezka J, Smith E, Smith SE, dkk. Consensus statement of
the academy of nutrition and dietetics/american society for parenteral and enteral nutrition:
indicators recommended for the identification and documentation of pediatric malnutrition
(undernutrition). JPEN. 2015;30:147–61.
14. Koletzko B. Pediatric nutrition in practice. World Rev Nutr Dietetics. 2015;113(2):6–13.
15. Maqbool A, Olsen IE, Stalling VA. Clinical assessment of nutritional status. Nutr Pediatr.
2008;2:5–13.
16. Cederholom T, Bpsaeus I, Barazzoni R, Bauer J GA, Klek S, Muscaritoli M, dkk. Diagnostic
criteria for malnutrition- an espen consensus statement. J.Clnu. 2015(34):335–40.
17. World Health Organization. Use of world health organization and cdc growth charts for
children aged 0–59 months in the united states. Jenewa: WHO; 2010.
18. Seal A, Kerac M. Operational implications of using 2006 World Health Organization growth
standards in nutrition programmes: secondary data analysis. BMJ. 2007:1–6.
19. World Health Organization. Child Growth Standards. Weight Velocity. Jenewa: WHO; 2006.
20. Sjarif DR. Lestari ED, Mexitalia M, Nasar SS, Editor. Obesitas Anak dan Remaja. Dalam: Sjarif
DR, Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik. Edisi ke-1. Jakarta: PB IDAI; 2011. Hlm.
230-44.
21. Krebs NF, Himes JH, Jacobson D, Nicklas TA, Guilday P, Styne D. Assessment of child and
adolescent overweight and obesity. Pediatrics. 2007;120:S193–228.

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 100


22. Rolland-Cachera M, Deheeger M, Maillot M, Bellisle F. Early Adiposity Rebound: Causes and
Consequences for Cbesity in Children and Adults. Int.J.Obesity. 2006;30:S11–7.
23. Plachta-Danielzik S, Bosy-Westphal A, Kehden B, Gehrke M, Kromeyer-Hauschild K,
Grillenberger M, dkk. Adiposity rebound is misclassified by bmi rebound. Eur J Clin Nutr.
2013;67:984–9.
24. Hughes AR, Sherriff A, Ness AR, Reilly JJ. Timing of adiposity rebound and adiposity in
adolescence. Pediatrics. 2014;134(5):1-10.
25. UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik Ikatan Dokter Anak Indonesia. Asuhan nutrisi pediatrik.
Edisi Pertama. Jakarta: IDAI; 2011.


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 101


MASALAH IMUNISASI PADA REMAJA

Kusnandi Rusmil
Tumbuh Kembang dan Pediatri Sosial, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD – RSHS

Pendahuluan
Jumlah remaja di Indonesia lebih kurang 20% populasi penduduk, akan tetapi tingkat imunisasi pada
remaja tertinggal jauh dibanding dengan tingkat imunisasi pada anak balita. Imunisasi pada remaja
diperlukan mengingat imunitas yang mereka peroleh sebelumnya dari pemberian imunisasi sewaktu
masa bayi dan anak tidak dapat bertahan seumur hidup, di samping cakupan yang rendah saat
masa bayi dan banyak morbiditas penyakit serius dapat terjadi pada usia remaja.
Cakupan imunisasi yang rendah pada remaja dikaitkan dengan kurang perhatian dari pembuat
kebijakan dan penyedia layanan kesehatan, para orangtua, dan para pendidik. Kunjungan pelayanan
kesehatan yang komprehensif direkomendasikan untuk anak usia remaja dan membuat jadwal
kunjungan rutin dengan memberikan kesempatan pelayanan kesehatan pencegahan yang diperlukan,
termasuk vaksinasi.
Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) 2016 dan Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI) 2017 merekomendasikan pemberian imunisasi pada remaja dan mengadopsi rekomendasi dari
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) berkolaborasi dengan American Academy of
Pediatric dan American Academy of Family Physicians, serta organisasi-organisasi profesional
lainnya.

Jenis Imunisasi pada Remaja


PD3I dapat menyebabkan kematian dan kesakitan pada remaja dan kontak sekitarnya. Beberapa
imunisasi yang direkomendasikan diberikan pada remaja menurut CDC, yaitu vaksin Tdap, HPV,
Meningococcus, influenza, Pneumococcus, hepatitis A, dan diikuti dengan imunisasi dengan vaksin
yang tidak didapat pada waktu kecil seperti vaksin hepatitis B, polio, campak-gondong-rubela, dan
varisela.
Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) membuat jadwal kunjungan imunisasi
yang direkomendasikan untuk remaja. Kunjungan vaksinasi untuk remaja dibagi menjadi 3,
yaitu kunjungan vaksinasi awal (11–12 tahun), menengah (13–15 tahun), dan akhir (16–18
tahun). Kunjungan vaksinasi awal (11–12 tahun) merupakan program imunisasi primer pada
remaja, kunjungan 14–15 tahun merupakan waktu catch up untuk semua vaksinasi yang
terlambat, dan kunjungan 17–18 tahun merupakan kesempatan untuk melengkapi seluruh
vaksinasi yang direkomendasikan.

Cakupan Imunisasi
Data cakupan imunisasi pada anak sekolah dan remaja masih sangat sedikit khususnya di
negara yang sedang berkembang. Data cakupan imunisasi pada anak remaja tersebut penting
untuk diketahui para penentu kebijakan bidang kesehatan, seperti halnya memonitor hasil
program vaksinasi dan menetapkan kelompok masyarakat daerah risiko tinggi yang
cenderung mengalami KLB karena cakupan imunisasi yang rendah.

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 102


Banyak orangtua dari anak remaja tidak mengerti bahwa vaksinasi penguat perlu diberikan
dan tidak tahu pada usia berapa anaknya memerlukan vaksinasi penguat tersebut. Hal
tersebut terjadi karena informasi tentang jadwal vaksinasi pada usia remaja kurang jelas atau
membingungkan masyarakat sehubungan dengan perubahan jadwal imunisasi. Oleh karena
itu, sangat penting untuk memberikan penyuluhan yang terus menerus kepada masyarakat
dengan cara penyuluhan di sekolah pada pertemuan para guru dengan orangtua murid.
Penyuluhan serupa harus pula dilakukan di dalam kamar praktik seorang dokter sehari-hari,
baik di rumah sakit maupun tempat pribadi. Cakupan imunisasi pada usia anak sekolah dan
remaja yang rendah perlu diupayakan untuk ditingkatkan.

Jadwal Imunisasi Remaja di Indonesia


Jadwal imunisasi rekomendasi IDAI secara berkala dievaluasi untuk penyempurnaan
berdasar atas perubahan pola penyakit, kebijakan Departemen Kesehatan/WHO, kebijakan
global, dan pengadaan vaksin di Indonesia. Imunisasi untuk anak sekolah dan remaja
bertujuan catch up immunization dan penguat/boster; diberikan pada hampir semua jenis
vaksinasi dasar, di antaranya hepatitis B, polio, varisela, hepatitis A, tetanus, difteria (Td),
influenza, rubela, campak, dan gondongan. Khusus untuk HPV merupakan vaksinasi primer.

Berbagai Macam Imunisasi untuk Remaja
Imunisasi pada remaja awal
Vaksin yang diberikan hanya pada masa remaja.
1. Vaksin Human papillomavirus (HPV)
Vaksin HPV yang telah beredar dibuat dengan teknologi rekombinan. Vaksin HPV berpotensi
mengurangi angka morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan infeksi HPV genitalia.
Terdapat dua jenis vaksin HPV, yaitu vaksin bivalen (tipe 16 dan 18) serta vaksin kuadrivalen (tipe 6,
11, 16, dan 18). Vaksin ini mempunyai efikasi 96–100% untuk mencegah kanker leher rahim yang
disebabkan oleh HPV tipe 16 dan18.
Imunisasi vaksin HPV diperuntukkan pada anak perempuan usia >10 tahun. Imunisasi diberikan
dengan dosis 0,5 mL secara intramuskular, untuk vaksin HPV bivalen, imunisasi diberikan dengan
jadwal 0, 1, dan 6 bulan. Vaksin HPV kuadrivalen diberikan dengan jadwal 0, 2, dan 6.
World Health Organization menganjurkan pada anak perempuan <15 tahun pemberian dua dosis
(0 dan 6 bulan), sedangkan untuk anak perempuan >15 tahun tetap diberikan 3 dosis (0, 1–2, dan 6
bulan), serta untuk remaja yang imunokompromais tetap diberikan 3 dosis.
2. Vaksin dengue
Vaksin dengue yang disetujui oleh WHO saat ini adalah vaksin hidup tetravalen untuk anak berusia
9–16 tahun. Vaksin diberikan 3 kali dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan. Dosis vaksin 0.5 mL setiap
pemberian.
Remaja pertengahan dan remaja akhir, imunisasi untuk catch up dan boster
1. Tetanus and diphtheria toxoids vaccine (Td) serta vaksin tetanus dan diphtheria toxoids
acellular pertussis (Tdap)
Pertusis sering kali ditemukan dalam bentuk subklinis atau dengan manifestasi klinis minor. Orang
dewasa yang terinfeksi sering kali merupakan reservoir yang penting terhadap infeksi pada neonatus
dan kelompok individu penyakit berat dengan risiko tinggi atau kematian terkait pertusis. Tdap
merupakan vaksin yang sangat efektif untuk menggantikan rekomendasi sebelumnya. Vaksin Td

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 103


berfungsi sebagai boster pada usia 11–12 tahun atau pada remaja yang lebih tua yang memerlukan
boster Td.
Cara pemberian imunisasi
• Apabila imunisasi dasar belum pernah diberikan pada anak usia <7 tahun maka DTP
diberikan dalam 4 dosis, dosis ke-1 sampai ke-3 diberikan dengan selang waktu 1–2 bulan
dan dosis yang ke-4 diberikan enam bulan kemudian.
• Apabila anak sudah berusia >7 tahun diberikan vaksin Td (adult tetanus diphtheria toxoid)
atau Tdap, kemudian penguat diberikan setiap 10 tahun.
• Imunitas terhadap pertusis berlangsung selama 10 tahun setelah mendapatkan
imunisasi dasar. Meskipun demikian, seorang anak yang sudah menerima 5 dosis vaksin
pertusis, kemungkinan terjangkit pertusis masih dapat terjadi pada usia remaja.
Dengan demikian, dianjurkan memberikan suntikan ulangan pada usia remaja.
• Pada usia praremaja (usia 10–14 tahun) diperlukan vaksinasi ulang terhadap tetanus
(Td), khususnya anak perempuan guna mencegah kemungkinan terjadi tetanus
neonatorum pada bayi yang akan dilahirkan di kemudian hari.
Manfaat vaksin Tdap pada remaja ialah:
• memberikan imunitas terhadap pertusis selama masa remaja karena imunitas pertusis yang
didapat dari dosis lengkap vaksinasi selama anak-anak hanya bertahan selama 5−10 tahun
setelah pemberian dosis terakhir;
• memberikan imunitas lanjutan terhadap tetanus dan difteria;
• mengurangi reservoir pertusis karena remaja yang menderita pertusis dapat menularkan
penyakitnya pada bayi atau anak. Oleh karena itu, dengan penurunan reservoir pertusis maka
akan menurunkan insidensi penyakit ini;
• menurunkan morbiditas dan mortalitas penyakit difteria, tetanus, dan pertusis pada remaja.
Advisory Committee on Immunization Practices merekomendasikan imunisasi rutin Tdap pada
remaja sebagai berikut:
• remaja usia 11−18 tahun sebaiknya mendapat dosis tunggal Tdap dibanding dengan vaksin
tetanus dan difteria (Td) untuk boster imunisasi melawan tetanus, difteria, dan pertusis jika
mereka telah mendapat vaksin DPT/DTaP lengkap yang direkomendasikan semasa bayi dan
anak (5 dosis sebelum usia 7 tahun; jika dosis ke-4 diberikan saat usia 7 tahun atau lebih maka
tidak diperlukan dosis ke-5) dan belum mendapat vaksinasi Td atau Tdap. Usia vaksinasi Tdap
yang direkomendasikan 11−12 tahun;
• remaja usia 11−18 tahun yang mendapat Td, tetapi belum mendapat Tdap sebaiknya
mendapat dosis tunggal Tdap untuk memberikan perlindungan terhadap pertusis jika mereka
telah mendapat vaksinasi DTP/DTaP lengkap. Interval pemberian antara Td dan Tdap adalah
5 tahun untuk mengurangi risiko reaksi lokal dan sistemik setelah vaksinasi Tdap. Walaupun
demikian, dapat digunakan interval pemberian kurang dari 5 tahun;
• penyedia vaksin sebaiknya memberikan vaksinasi Tdap dan tetravalent meningococcal
conjugate pada remaja usia 11−18 dengan waktu yang bersamaan bila vaksin tersebut
tersedia dan diindikasikan.
Kontraindikasi vaksin Tdap dan Td pada remaja usia 11−18 tahun.
• Individu dengan riwayat reaksi alergi serius terhadap komponen vaksin (misalnya syok
anafilaktik).


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 104


• Remaja dengan riwayat ensefalopati (koma atau kejang berkepanjangan) tidak boleh
mendapat komponen vaksin pertusis sehingga mereka hanya mendapat vaksinasi Td dan
bukan vaksinasi Tdap.

2. Vaksin Influenza
Vaksin influenza diberikan setiap tahun pada anak usia 6 bulan–18 tahun pada semua individu tidak
memandang ada tidaknya faktor risiko dengan dosis satu kali per tahun diberikan secara
intramuskular.
3. Vaksin Tifoid
Vaksinasi untuk mencegah penyakit demam tifoid diberikan kepada anak usia sekolah
karena kebiasaan para siswa SD dan SMP membeli makanan dari pedagang kaki lima di sekolah
yang kebersihannya tidak dapat dijamin.
4. Vaksin Hepatitis A (HepA)
Imunisasi menyebabkan terbentuk serum neutralizing antibodies. Imunisasi hepatitis A dapat
diberikan mulai usia anak ≥2 tahun. Diberikan dua dosis vaksin dalam rentang waktu 6 bulan. Lama
proteksi antibodi HVA diperkirakan menetap selama ±20 tahun. Pemberian imunisasi terhadap
hepatitis A, dosis untuk anak tetap berpedoman pada usia dan tidak pada berat badan anak.
Meskipun berat badan melebihi orang dewasa dosis vaksin hepatitis A tetap dengan dosis
anak seperti halnya pada hepatitis B karena response rate ternyata lebih tinggi daripada orang
dewasa meskipun berat badan melebihi normal.
5. Vaksin Hepatitis B (HepB)
Vaksin Hepatitis B yang tersedia adalah vaksin rekombinan. Vaksin ini diberikan secara
intramuskular dalam di regio deltoid pada remaja. Vaksin diberikan sebanyak 2 kali dengan interval
yang direkomendasikan adalah 4 bulan pada anak usia 11−15 tahun. Catch up immunization
merupakan imunisasi kejar untuk individu yang belum pernah diimunisasi atau terlambat >1 bulan
dari jadwal seharusnya. Pada imunisasi catch up ini, individu harus mendapatkan tiga dosis dengan
interval imunisasi antardosis minimal 4 minggu antara dosis pertama dan ke-2, kemudian 8−16 minggu
antara dosis ke-2 dan ke-3. Efektivitas vaksin dalam mencegah infeksi VHB adalah 90−95%. Memori
sistem imun menetap minimal sampai 12 tahun pascaimunisasi sehingga tidak dianjurkan untuk
imunisasi boster.
6. Measles, mumps, and rubella vaccine (MMR)
Vaksin measles, mumps, dan rubella diberikan kepada anak pada semua kelompok usia >1
tahun. Bagi anak yang sudah pernah menderita penyakit campak maupun gondongan bukan
merupakan halangan untuk mendapat vaksinasi MMR. Hal tersebut karena anak yang pernah
menderita secara anamnestis sulit untuk dibuktikan kebenarannya. Vaksinasi MMR menjadi
penting bagi wanita usia subur karena komponen rubela yang ada di dalamnya dapat
mencegah rubela kongenital. Apabila uji tuberkulin diperlukan maka pemberian MMR
harus ditunda karena vaksin MMR mengandung virus hidup yang dapat mengurangi
sensitivitas terhadap tuberkulin. Jarak antara vaksinasi MMR dan uji tuberkulin minimal empat
minggu.



PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 105


7. Campak
Vaksinasi campak diberikan pada program BIAS untuk siswa sekolah dasar kelas 1 mulai
September 2017 dalam rangka kampanye imunisasi rubela dan campak. Vaksin
diberikan dalam bentuk vaksin MR pada anak usia 9 bulan s.d. kurang 15 tahun dan
mulai September 2017 tidak ada lagi vaksin campak monovalen di Indonesia.

Sarana dalam Meningkatkan Imunisasi pada Remaja


Vaksinasi disarankan dilakukan di sekolah dan pelayanan kesehatan primer merupakan komponen
penting untuk mengoptimalkan tingkat imunisasi. Program berbasis sekolah merupakan titik penting
untuk mengupayakan imunisasi pada generasi muda.


Simpulan
Imunisasi merupakan salah satu pencegahan penyakit yang paling efektif dan menguntungkan.
Remaja merupakan masyarakat yang menghadapi masalah kesehatan. Perilaku berisiko dan yang
diperoleh sebelumnya dari pemberian imunisasi sewaktu masa bayi dan anak tidak dapat bertahan
seumur hidup. Imunisasi pada remaja merupakan hal yang penting dalam upaya pemeliharaan
kekebalan tubuh tehadap berbagai macam penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus,
maupun parasit dalam kehidupan menuju dewasa. Beberapa imunisasi yang direkomendasikan
diberikan pada remaja menurut CDC adalah vaksin HPV, dengue, Tdap, influenza, hepatitis A, dan
diikuti dengan imunisasi vaksin yang mungkin tidak didapat atau tidak lengkap pada waktu kecil
seperti vaksin hepatitis B, polio, serta campak-mumps-rubela.


Daftar Pustaka
1. Ranuh, Rusmil K. Imunisasi pada anak sekolah dan remaja. Dalam: Ranuh, Hadinegoro SR,
Kartasasmita C, dkk., penyunting. Pedoman imunisasi di Indonesia. Edisi ke-6. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2017. hlm. 122-128.
2. Esposito, Principi N, Cornaglia G. Barriers to the vaccination of children and adolescents and
possible solutions. Clin Microbiol Infect. 2014 May;20(Suppl 5):25–31.
3. Bernstein HH, Bocchini JA Jr. The need to optimize adolescent immunization. Am Acad Pediatr.
February 2017.
4. ACIP, AAP, AAFP, ACOG. Recommended immunization schedules for persons aged 0 through 18
years. United States: Department of Health and Human Services, CDC; 2016.
5. Human papillomavirus vaccines: WHO position paper, October 2014
6. Capeding MR, Tran NH, Hadinegoro SR, Ismail HI, Chotpitayasunondh T, dkk. Clinical efficacy and
safety of a novel tetravalent dengue vaccine in healthy children in Asia: a phase 3, randomised,
observer-masked, placebo-controlled trial. Lancet. 2014;384(9951):1358–65.


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 106


GAGAL NAPAS AKUT PADA ANAK

Stanza Uga Peryoga


Emergensi dan Rawat Intensif Anak, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD-RSHS

Pendahuluan
Gagal napas akut merupakan kegawatdaruratan yang sering terjadi pada anak. Penyebab gagal napas
akut pada anak beragam dengan tingkat mortalitas yang tinggi (20%).1 Gagal napas akut merupakan
penyebab 50% pasien masuk ruang intensif anak dan merupakan penyebab henti jantung paling sering
pada anak (secondary cardiac arrest).2 Gagal napas terjadi akibat gangguan fungsi sistem pernapasan
akut yang menghambat penghantaran oksigen (oksigenasi) atau pengeluaran karbondioksida
(ventilasi)1,2 Perbedaan anatomi dan perkembangan pada anak menyebabkan risiko yang lebih tinggi
untuk mengalami gagal napas dibanding dengan orang dewasa.1–3 Ada empat kelainan utama pada
gagal napas akut, yaitu hipoventilasi, gangguan difusi, pirau intrapulmonal, dan ketidakpadanan
ventilasi-perfusi.4 Tanda dan gejala distres napas seperti takipneu, retraksi dinding dada, pernapasan
cuping hidung, sianosis ditambah takikardia adalah petunjuk awal dokter mendiagnosis gagal napas.2,5
Penilaian klinis disertai pengetahuan menyeluruh tentang perjalanan penyakit dan dikombinasikan
dengan penilaian oksigenasi, ventilasi, serta status dasar asam basa membuat pengelolaan pasien
dengan gagal napas lebih optimal.5 Walaupun diagnosis gagal napas bergantung pada analisis gas
darah arteri (AGD), para klinisi harus mampu mengenali gagal napas sejak awal distres napas dan
intervensi klinis yang sesuai. Pengelolaan pasien dengan gagal napas masih menjadi tantangan bagi
dokter dalam menilai pasien secara klinis.4 Gagal napas yang tidak diketahui merupakan penyebab
henti jantung dan paru pada anak. Pengenalan dini dan tata laksana yang tepat merupakan hal yang
penting karena prognosisnya buruk bila telah mengalami henti jantung.4,5

Definisi
Gagal napas terjadi ketika pertukaran gas antara atmosfir dan darah tidak mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.2 Gagal napas akut adalah kondisi kegagalan sistem
respirasi dalam oksigenasi atau eliminasi karbondioksida (ventilasi) ataupun keduanya yang terjadi
dalam beberapa menit atau jam.2 Gagal napas akut menggambarkan berbagai gangguan oksigenasi
atau ventilasi yang ditandai dengan PaO2 <60 mmHg (hipoksemia akut), PCO2 >50 mmHg
(hiperkarbia/hiperkapnia akut), dan pH <7,35 atau keduanya.2 Secara fisiologis definisi gagal napas
akut bila PaO2 < 60 mmHg atau SaO2 <88% pada udara ruangan (ICD-10, gagal napas akut hipoksemia)
dan atau peningkatan akut pCO2 sebesar 10–15 mm Hg, disertai penurunan pH<7.32 (ICD-10, gagal
napas akut hiperkapnia).2

Etiologi
Penyebab utama gagal napas pada anak di antaranya:1–4
Gangguan pada saluran pernapasan:
1. obstruksi saluran napas atas/saluran napas ekstratoraks (croup, aspirasi benda asing,
epiglotitis, hipertrofi tonsilar dan adenoid, abses retrofaringeal, ludwig angina,


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 107


laringotrakeobronkitis, trakeitis bakterial, abses peritonsiler, stenosis subglotis, web atau kista
subglotik, laringomalasia, trakeomalasia, vascular ring, higroma kistik, anomali kraniofasial);
2. obstruksi saluran napas bawah/saluran napas intratoraks (bronkiolitis, status asmatikus,
bronchopulmonary dysplasia, bronkomalasia, kistik fibrosis);
3. penyakit paru [pneumonia, edema paru, tenggelam, acute respiratory distress syndrome
(ARDS)], aspirasi, sepsis, emboli paru, edema paru, kontusi paru.
Gangguan mekanik:
1. gangguan neuromuskular atau miopati (Guillain Barre syndrome, Duchenne’s muscular
dystrophy, myasthenia gravis);
2. trauma dinding dada/flail chest, kiposkoliosis kongenital berat;
3. efusi pleura berat dan pneumotoraks;
4. eventrasi diafragma, hernia diafragma;
5. spinal muscular atrophy (SMA);
6. spinal cord trauma.
Kegagalan sistem saraf pusat untuk mengontrol ventilasi:
1. status epileptikus, infeksi sistem saraf pusat, intoksikasi, trauma kepala /traumatic brain
injury, apneu of prematurity;
2. jejas intrakranial/strok (perdarahan dan iskemia);
3. overdosis obat sedatif.
Kegagalan untuk memenuhi kebutuhan oksigen di jaringan:
1. hipovolemia, syok sepsis;
2. gangguan metabolik, intoksikasi;
3. insufisiensi jantung.

Epidemiologi
Gagal napas akut pada anak paling banyak disebabkan oleh pneumonia, bronkiolitis, asma serangan
akut, sumbatan benda asing, dan sindrom croup. Penelitian di India mengenai profil klinis pasien gagal
napas akut pada anak, 49% gagal napas akut akibat bronkopneumonia.6 Sebuah tinjauan pustaka
mengenai infeksi respiratory syncytial virus (RSV) dan Influenza A (H1N1) menyatakan bahwa pasien
yang masuk PICU dengan ARDS sebanyak 19,8% positif RSV dan tingkat mortalitasnya 13,7%. Pada
penelitian di Argentina sebanyak 80% pasien yang positif terinfeksi H1N1 mengalami ARDS dengan
tingkat mortalitas mencapai 45%.7 Bayi dan anak yang lebih muda lebih tinggi frekuensinya mengalami
gagal napas akut. Penelitian di India sebanyak 75% anak yang mengalami gagal napas akut berusia di
bawah 5 tahun.6 Dua pertiga kasus gagal napas pada anak terjadi pada 1 tahun pertama kehidupan.6
Insidensi gagal napas akut pada populasi anak sulit dinilai karena gagal napas akut merupakan kondisi
akhir dari berbagai kondisi klinis.5 Acute lung injury (ALI) terjadi sekitar 12,8% kasus per 100.000
dengan tingkat mortalitas mencapai 18–22%.8


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 108


Patofisiologi
Frekuensi gagal napas akut paling tinggi pada bayi dan anak kecil dibanding dengan orang dewasa.
Perbedaan kompartemen anatomis dan perkembangannya menyebabkan anak lebih mudah
mengalami gagal napas akut. Anak lebih mudah mengalami gagal napas dibanding dengan dewasa,
hal ini disebabkan antara lain: 2,4,9
1. Metabolisme.
Angka metabolisme basal pada anak lebih tinggi dibanding dengan dewasa sehingga cadangan
energinya hanya sedikit. Ketika anak mengalami sakit berat maka konsumsi oksigen menjadi
bertambah;
2. Kontrol pernapasan.
Pusat pernapasan bayi dan anak kecil masih imatur sehingga menyebabkan pernapasan ireguler
dan meningkatkan risiko apnea. Maturasi kontrol pernapasan baru sempurna pada usia gestasi
40 minggu. Respons anak terhadap hiperkapnia atau hipoksia juga menurun;
3. Saluran napas atas dan bawah.
Ukuran saluran napas pada anak lebih kecil sehingga resistensi lebih besar terhadap aliran udara
inspirasi dan ekspirasi, lebih mudah mengalami sumbatan lendir dan edema mukosa. Neonatus
dan bayi harus bernapas per nasal sampai usia 2–6 bulan karena epiglotis terletak dekat
nasofaring. Kongesti nasal dapat menyebabkan distres napas yang signifikan, ukuran saluran
napas pada anak usia <8 tahun masih kecil, bayi dan anak kecil memiliki lidah yang besar
memenuhi orofaring yang sempit, serta bayi dan anak kecil memiliki laring lebih ke atas. Laring
berhadapan dengan vertebra C3–4 pada anak dibanding dengan dewasa C6–7. Epiglotis anak
besar dan lebih horizontal terhadap dinding faring. Epiglotis yang besar dan laring yang lebih ke
atas menyebabkan tingkat kesulitan saat intubasi. Bayi dan anak kecil memiliki area subglotis
yang sempit. Area ini berbentuk kerucut dengan area tersempitnya di krikoid. Sedikit saja terjadi
edema subglotik akan menyebabkan penyempitan signifikan, serta peningkatan resistensi jalan
napas dan upaya napas. Remaja dan dewasa memiliki bentuk jalan napas silindris dan area
tersempit di glotis. Pada anak yang sedikit lebih besar, jaringan adenoid dan limfoid tonsiler
menonjol. Kelainan anatomis kongenital yang tidak dikoreksi (cleft palate, piere robin) atau
kelainan didapat (stenosis subglotis, laringomalasia, trakeomalasia) dapat menyebabkan
obstruksi saluran napas. Bayi dan anak kecil memiliki kartilago yang sedikit. Saluran napas anak
mudah mengalami resistensi aliran udara karena struktur organ penyokong belum sempurna.
Laring, trakea, dan bronkus pada orang dewasa lebih compliance dibanding dengan anak
sehingga pada anak saluran napas lebih rentan mengalami distensi dan tekanan saat mengalami
penyakit paru. Bila terjadi obstruksi saluran napas atas maka organ terletak di atas trakea akan
kolaps saat inspirasi sehingga meningkatkan obstuksi yang terjadi. Bila terjadi obstruksi saluran
napas bawah tekanan ekspirasi meningkatkan tekanan intratoraks sehingga proses dinamis
ekspirasi kolaps menyebabkan aliran ekspirasi terbatas;
4. Dinding dada dan otot pernapasan.
Pada bayi compliance paru dan otot pernapasan belum terbentuk sempurna sehingga kontribusi
dinding dada terhadap pernapasan masih terbatas. Otot diafragma pada anak yang lebih muda
juga secara histokimia fiber otot tipe 1 yang fatigue-resistant belum banyak terbentuk sehingga
tidak dapat menahan beban terlalu banyak;
5. Parenkim paru.


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 109


Alveoli lebih kecil dan mempunyai lebih sedikit ventilasi kolateral sehingga mudah mengalami
kolaps dan ateletaksis, serta sistem imunnya juga belum matang. Bayi dan anak kecil memiliki
sedikit alveolus dibanding dengan dewasa, ukuran alveolus kecil, area pertukaran udara pada
bayi lebih sedikit karena proses alveolarisasi belum sempurna. Pada awal kehidupan beberapa
alveoli yang relatif besar menyokong proses pertukaran gas sehingga mudah kolaps jika terjadi
obstruksi. Alveoli akan bertambah banyak seiring usia yang bertambah dengan pembetukan
septa sehingga paru-paru menjadi lebih elastis dan tidak rentan mengalami kolaps. Ventilasi
kolateral belum terbentuk sempurna hingga usia 3–4 tahun.

Ada 2 tipe gangguan pertukaran gas pada gagal napas: (1) gagal napas hipoksemia, yaitu gagal
napas akibat gagal organ paru; dan (2) gagal napas hiperkapnia, yaitu gagal napas akibat kegagalan
pompa respirasi.2


Gagal napas hipoksemia (tipe I)2,8
• Terjadi ketidakpadanan ventilasi dan perfusi (V/Q mismatch) karena kegagalan oksigenasi yang
ditandai dengan penurunan PaO2 <60 mmHg dengan PaCO2 normal atau rendah. Gagal napas
hipoksemia akut atau kronik tidak segera dapat dibedakan dari analisis gas darah saja dan
diperlukan penanda klinis seperti polisitemia, hipertensi pulmonal, dan cor pulmonale yang
menunjukkan hipoksemia kronik.
• Saturasi oksigen <90% dengan FiO2 >60%.
• Penyebabnya adalah pneumonia, edema paru, pneumonitis difus, aspirasi, sepsis, trauma,
atelektasis, tumor, dan penyakit pleura.
Beberapa mekanisme yang menyebabkan hipoksemia dapat bekerja secara sendiri atau bersama-
sama:2,5
1. hipoventilasi menyebabkan PaO2 menurun;
2. gangguan difusi karena pemisahan fisik gas dan darah seperti penebalan membran alveoli
atau cairan interstisial bertambah pada pertemuan alveous-kapiler (penyakit paru interstisial)
atau penurunan waktu transit eritrosit sewaktu melalui kapiler;
3. ketidakpadanan ventilasi/perfusi (V/Q mismatch) regional. Darah mengalir ke bagian paru
yang tidak mengalami ventilasi adekuat atau bila area ventilasi paru tidak mendapat perfusi
adekuat. Unit paru yang ventilasinya buruk dibanding dengan perfusinya menyebabkan
desaturasi yang efeknya sebagian bergantung pada kadar O2 darah vena. Kadar O2 vena yang
menurun menyebabkan keadaan hipoksemia menjadi lebih buruk. Penyebab terbanyak
adalah keadaan yang menyebabkan ventilasi paru menurun adalah obstruksi saluran napas,
atelektasis, dan konsolidasi. Pemberian oksigen dapat memerbaiki keadaan hipoksemia
apabila penyebabnya adalah gangguan ketidakseimbangan V/Q, hipoventilasi atau gangguan
difusi oleh karena PaO2 akan meningkat, walaupun pada daerah yang ventilasinya buruk;
4. pirau/shunt intraparu, kelainan struktur paru menyebabkan aliran darah melewati paru tanpa
partisipasi dalam pertukaran gas. Pada pirau terjadi darah vena sistemik langsung masuk ke
dalam sirkulasi arterial. Pirau dapat terjadi intrakardiak, yaitu pada penyakit jantung
kongenital sianotik right-to-left atau di dalam paru darah melalui jalur vaskular abnormal
(arterivena fistula).


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 110


Gagal napas hiperkapnia/hiperkabia (tipe II) 2,8
• Terjadi ketidakpadanan ventilasi dan perfusi (V/Q mismatch) akibat hipoventilasi alveolus
ditandai dengan peningkatan PCO2 >50 mmHg, dan biasanya sekunder terhadap keadaan seperti
disfungsi susunan saraf pusat, sedasi berlebihan, atau gangguan neuromuskuler.6 Pada gagal
napas hiperkapnia akut didapatkan pH <7,35. Pada gagal napas kronik yang mengalami
hiperkapnia akut bila PCO2 meningkat 20 mm Hg dari nilai dasar/baseline.
• Asidosis respiratorik dengan pH <7.30.
• Pasien dengan retensi CO2 sering kali stabil dan terkompensasi. Kompensasi asidosis metabolik
menyebabkan pH mendekati normal. Respiratorik asidosis akut ditandai dengan retensi CO 2 dan
pH rendah pada analisis gas arteri atau vena. Hiperkarbia menunjukkan ventilasi alveolus tidak
adekuat.
• Penyebab tersering meliputi akibat obat penekan depresi pernapasan, kelemahan otot
pernapasan, penyakit paru yang mengurangi elastisitas, atau obstruksi saluran pernapasan.
Beberapa mekanisme yang dapat menyebabkan hiperkapnia.2,5
1. Drive respiratori yang insufisien, defek ventilatori pump, beban kerja yang sedemikian besar
sehingga terjadi kelelahan pada otot pernapasan dan penyakit intrinsik paru dengan
ketidakseimbangan V/Q yang berat. Keadaan hiperkapnia hampir selalu merupakan indikasi
insufisiensi atau gagal napas.
2. Hipoventilasi
Hipoventilasi merupakan penyebab hiperkapnia yang paling sering. Selain peningkatan PaCO 2
juga terdapat asidosis respirasi. Penurunan ventilasi alveolar (VA) dapat disebabkan oleh
penurunan faktor minute ventilation (VE) yang disebut sebagai hipoventilasi global atau
karena peningkatan dead space (VD). Minute ventilation merupakan perkalian volume tidal
dan frekuensi napas. Penyebab hipoventilasi global adalah overdosis obat yang menekan
pusat pernapasan.
3. Dead space
Terjadi apabila daerah paru mengalami ventilasi dengan baik, tetapi perfusinya kurang, atau
pada daerah yang perfusinya baik, tetapi mendapat ventilasi dengan gas yang mengandung
banyak CO2. Dead space tidak mampu untuk eliminasi CO2. Dead space yang meningkat akan
menyebabkan hiperkapnia.















PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 111













Gambar 1. Patofisiologi Gagal Napas Akut
5
Dikutip dari Frankel

Gambaran Klinis
Gambaran klinis gagal napas berdasar atas penyebab serta tingkat hipoksemia dan hiperkapnia yang
terjadi.1–5
Stadium kompensasi mengawali gagal napas akut, ditemukan peningkatan upaya napas (work of
breathing) yang ditandai dengan distres napas (gelisah, cemas merintih, pernapasan cuping hidung,
pemakaian otot napas tambahan, retraksi, takipnea/napas cepat dan dangkal, dan takikardia). Posisi
anak sering kali duduk dan tidak mau dibaringkan. Peningkatan upaya napas terjadi untuk
memertahankan aliran udara walaupun komplaiens (compliance) paru menurun. Ancaman gagal
napas karena penyakit paru pada anak ditandai dengan napas cepat atau takipnea, pemakaian otot
pernapasan tambahan berlebihan, dan retraksi epigastrik, interkosta, serta supra-klavikula, biasanya
lebih jelas pada bayi dan anak daripada orang dewasa. 1–5
Stadium dekompensasi muncul belakangan ditandai dengan menurunnya upaya napas. Pada
kondisi ancaman gagal napas gambaran klinis yang muncul adalah dispnea, penurunan kesadaran,
letargis, disorientasi, pucat, atau kelelahan.5 Ancaman gagal napas akut karena disfungsi pusat
pengatur napas lebih sulit dikenali karena anak tersebut mungkin tidak menunjukkan tanda distres
napas, misalnya pada pasien overdosis narkotika akan terjadi penurunan upaya napas dan
hipoventilasi. Laju napas rendah atau napas dangkal merupakan tanda klinis gagal napas akut pada
pasien tersebut.1–5



PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 112


11
Tabel 1. Penilaian Klinis Gagal Napas Akut
Penilaian Distres Pernapasan Gagal Napas Henti Napas
Status mental Sadar, gelisah, agitasi Kurang responsif atau Tidak responsif
memberi respons terhadap terhadap suara dan
rangsang sakit rangsang nyeri

Tonus otot Normal atau hipotonía
Dapat duduk (usia >4 bln) Lemas
Posisi tubuh Posisi tripod, bantuan
Posisi tripod memertahankan posisi Tidak dapat
duduk mempertahankan
posisi tubuh (bayi >7–9
bulan)
Laju napas Takipnea dengan periode
Lebih cepat dari normal bradipnea, Tidak ada napas
bradipnea/napas agonal

Upaya napas tidak adekuat,
dinding dada naik turun

Upaya napas Stridor, mengi, megap- Tidak ada upaya napas
Retraksi interkosta megap

Tidak terdengar suara
Suara napas napas
Napas cuping hidung Sianosis sentral setelah
Pemakaian otot leher diberi O2, berbercak biru
Napas paradoks (mottled)
Stridor, mengi Berbercak biru,
Warna kulit sianosis perifer dan
Kemerahan atau pucat, sianosis sentral
central yang
membaik dengan
pemberian O2
11
Dikutip dari Aehlert


Pemantauan status klinis dan pulse oximetry dapat membantu mendeteksi ancaman gagal napas
akut. Penampilan dan pemeriksaan klinis lebih bermakna untuk menegakkan gagal napas akut pada
anak walaupun baku emas kriteria gagal napas berdasar atas pemeriksaan/analisis gas darah (AGD).1–
4

Diagnosis
Diagnosis gagal napas akut ditegakkan berdasar atas anamnesis tedapat gangguan pernapasan,
pemeriksaan fisis ditemukan tanda klinis distres napas atau gagal napas, pemeriksaan penunjang
laboratorium maupun radiologis membantu mencari etiologi gagal napas dan untuk memonitor
respons terapi yang diberikan.1–5 Anak dengan gangguan respirasi akut dan memerlukan intervensi
lebih lanjut sudah termasuk kriteria gagal napas akut seperti pada pasien yang diberikan oksigen
dengan kadar FiO2 ≥0,30–0,35 untuk memertahankan SpO2 ≥90%. Level pemberian oksigen tersebut
berkorelasi dengan rasio P/F <300 pada anak dengan hemoglobin normal.2 Dukungan respirasi tetap
harus segera diberikan tanpa menunggu hasil pemeriksaan penunjang.2,3


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 113


Pemeriksaan Laboratorium1–4
1. Analisis gas darah (AGD)
Merupakan standar baku emas gagal napas akut. AGD menunjukkan abnormalitas pertukaran
gas dan mengonfirmasi tipe serta kronisitas gagal napas. Pada gagal napas akut hipoksemia
bila PaO2 <60 mmHg, SaO2 <90%; PaO2 <60 mmHg dengan FiO2 40% atau rasio PaO2/FiO2<300.
Gagal napas hiperkapnia bila PaCO2 >50 mmHg dengan asidosis pH <7,35; PaCO2 >40 mmHg
dengan distres napas berat atau PaCO2 >55 mmHg.6 Konsentrasi bikarbonat rendah atau
normal. Diagnosis gagal napas akut hipoksemia untuk acute respiratory distress syndrome
(ARDS) atau acute lung injury (ALI) berhubungan dengan keadaan hipoksemia berat dan
didefiniskan berdasar atas rasio PaO2:FiO2. Rasio P/F< 200 ARDS, rasio P/F <300 ALI.
2. Darah rutin, CRP, dan prokalsitonin untuk menilai infeksi, anemia, atau polisitemia.
3. Kultur darah, sputum, urin, cairan pleura, dan PCR untuk mengidentifikasi bakteri penyebab
4. Fungsi ginjal dan hati menilai komplikasi terhadap organ lain.
5. Elektrolit natrium (kejang akibat hiper/hiponatremia) dan kalium (aritmia akibat hipokalemia).

Pemeriksaan radiologis1–4
1. Foto toraks
- Gambaran foto toraks terlihat opasitas jaringan paru yang menunjukkan cairan di
alveolus (gagal napas hipoksemia/tipe I).
- Gambaran foto toraks tidak memperlihatkan opasitas jaringan paru (gagal napas
hiperkapnia/tipe II).
2. CT toraks atau kepala.
3. MRI toraks atau kepala.

Pemeriksaan lain1–4
1. Kadar CO2 ekspirasi menggunakan end tidal CO2 (etCO2).
2. Saturasi oksigen (SaO2) menggunakan pulse oximetry.
3. Tes fungsi paru. Mengevaluasi status fungsional sistem respirasi dengan cara mengukur
volume dan aliran udara, pertukaran gas, kekuatan otot pernapasan. Pemeriksaan meliputi
spirometri, volume udara paru, kapasitas difusi, dan tekanan maksimal respirasi. Tidak
dilakukan pada pasien sakit kritis.
4. Biopsi dan bronchoalveolar lavage (BAL) untuk pemeriksaan mikrobiologi, sitologi, dan
histologi melalui tindakan bronkoskopi. Tindakan ini tidak aman dilakukan pada pasien sakit
kritis oleh karena berisiko bronkospasme atau atelektasis.
5. Elektrokardiografi dan ekokardiografi bila gagal napas akibat kelainan jantung.



PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 114


Tabel 2. Interpretasi AGD Gagal Napas
Kondisi pH PaCO2 PO2 Base
Excess
Asidosis respiratorik akut atau
hipoventilasi akut
Asidosis respiratorik kronik dengan Normal /
kompensasi metabolik sedikit
2
Dikutip dari: Vo

Tata Laksana
Tujuan tata laksana gagal napas adalah memaksimalkan pengangkutan oksigen dan membuang CO2.
Upaya ini dilakukan dengan meningkatkan kandungan oksigen arteri dan menyokong curah jantung
serta ventilasi.11 Terapi inisial pasien gagal napas adalah penilaian cepat terhadap jalan napas,
pernapasan, dan sirkulasi untuk menentukan intervensi segera yang dibutuhkan. Diagnosis dini,
pemantauan ketat, dan intervensi yang tepat menjadi penting pada pengelolaan pasien yang
mengalami distres napas. Tata laksana awal gagal napas akut adalah memerbaiki pertukaran udara
pernapasan, kemudian mengatasi penyebab dan komplikasinya.1,2,5 Hal yang paling penting adalah
kemampuan untuk menstabilkan jalan napas, termasuk mengenali potensi terjadi masalah pada
saluran napas, intervensi medis yang tepat, dan penggunaan alat yang benar.1 Intervensi pada pasien
gagal napas mulai monitoring ketat dan pemberian oksigen sampai bantuan respirasi menggunakan
ventilasi mekanik.1,5
Sistematika tata laksana gagal napas akut di ruang gawat darurat.12
- Penilaian umum: dalam menit pertama menilai penampilan, upaya napas, dan sirkulasi ke kulit
menggunakan segitiga penilaian anak (pediatric asessment triangle).
- Penilaian primer: pemeriksaan cepat Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure
(ABCDE), dan melakukan intervensi sesuai prioritas kegawatan yang ditemukan.
- Penilaian sekunder: anamnesis dan pemeriksaan fisis lengkap dikerjakan simultan dan
komprehensif bersamaan ketika melakukan prioritas tindakan.
Resusitasi segera: stabilisasi dan mencegah perburukan. Berikan oksigenasi, kontrol saluran napas,
tata laksana ventilasi, stabilisasi sirkulasi, dan terapi farmakologis. Tidak semua pasien yang
mengalami gagal napas akut memerlukan intubasi dan ventilasi mekanik.12
Bila pasien sadar: penanganan minimal, bayi dipangkuan orangtua dalam posisi yang nyaman,
jangan memaksakan pasien dalam posisi tidur, berikan suplemen oksigen (aliran rendah atau tinggi),
pasang pemantau kardiorespirasi dan pulse oxymeter, akses intravena bila perlu, anamnesis dan
pemeriksaan klinis singkat. Hipoksemia diatasi dengan O2 hangat dan lembap melalui kanul nasal,
masker sederhana, masker nonrebreather dengan kantung reservoir oksigen, kotak penutup kepala
(oxyhood), dan alat bantu napas orofaring atau nasofaring. Pantau ketat dan catat konsentrasi oksigen
inspirasi dan lihat respons terapinya. Masker nonrebreather dapat memberikan jumlah oksigen tinggi
(10–15 L/menit) dibanding dengan nasal canulle.1,2,12

Ventilasi noninvasif 13,14


Ventilasi noninvasif adalah pemberian dukungan respirasi tanpa dilakukan intubasi endotrakea
melalui interfaces (nasal prongs, masker nasal, masker muka oronasal, atau helm) dengan
memberikan tekanan positif saluran napas secara kontinu/continuous positive airway pressure (CPAP)
selama siklus respirasi untuk memertahankan saluran napas tetap terbuka, atau teknik Bilevel positive

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 115


airway pressure (BiPAP), yaitu memberikan tekanan positif jalan napas saat inspirasi yang
menyebabkan ekspansi volume inspirasi menjadi efektif, dan memberikan tekanan positif jalan napas
saat ekspirasi yang menyebabkan tekanan positif akhir ekspirasi sehingga dapat mencegah kolaps
jalan napas dan memertahankan paru tetap mengembang.13 Noninvasive ventilation (NIV) dapat
dipergunakan pada anak dengan hemodinamik stabil baik pada gagal napas hipoksemia atau
hiperkapnia yang tidak membutuhkan intubasi endotrakea. Pemantauan pasien, pemilihan pasien,
dan kemampuan pasien untuk beradaptasi terhadap interface adalah kunci kesuksesan pemakaian
NIV pada pasien gagal napas. NIV tidak dapat digunakan pada pasien yang mengalami gagal
kardiopulmonal, penurunan kesadaran, tidak dapat mengeluarkan mukus atau yang membutuhkan
proteksi saluran napas (epiglotitis dan edema saluran napas atas) dan pasien dengan hemodinamik
tidak stabil yang membutuhkan dukungan vasopresor, perdarahan saluran cerna atas, anomali muka,
atau jejas pada muka yang luas.14
NIV memberikan secara fisiologis memberikan manfaat dengan cara:14
- menurunkan upaya napas;
- membuka saluran napas pada saluran napas atas hingga ke saluran napas bawah dan
menurunkan apnea karena obstruksi;
- alveoli recruitment, meningkatkan kapasitas residual dan menurunkan ventilasi perfusi tidak
sepadan (V/Q mismacth).
Penggunaan NIV pada anak dengan gagal napas akut berkembang pesat dalam satu dekade
terakhir. Penelitian di Amerika Serikat mengenai pemilihan NIV oleh dokter menunjukkan NIV banyak
dipilih dokter untuk mengatasi gagal napas akut pada anak.13 Penggunaan NIV meningkatkan ventilasi
dan mengurangi kebutuhan pemakaian ventilasi mekanik invasif pada anak dengan gagal napas akut.14
Bila pasien tidak sadar dan terjadi perburukan kardiorespirasi: buka jalan napas (manuver
tengadah kepala, angkat dagu, mengedapkan rahang) dan letakkan dalam posisi pemulihan. Isap
lendir (10 detik) dan ventilasi tekanan positif balon sungkup/bag valve mask (BVM) dengan O2 100%.
Lakukan intubasi endotrakea dan pijat jantung luar bila laju nadi <60 kali/menit.12 Prioritas pertama
dalam tata laksana gagal napas akut adalah menjamin kecukupan pertukaran gas dan sirkulasi darah
(langkah ABC resusitasi kardiopulmonal).12 O2 harus diberikan untuk mempertahankan saturasi
oksigen arteri >95%. Walaupun pemberian O2 mempunyai risiko menurunkan upaya bernapas pada
beberapa pasien yang mengalami hipoventilasi kronik, keadaan ini bukan kontraindikasi untuk terapi
O2 bila pasien diobservasi ketat dan bantuan ventilasi dapat diberikan bila diperlukan. Pemberian
oksigen ditentukan oleh oksigen inspirasi yang diperlukan dan toleransi terhadap alatnya.2,12 Ventilasi
balon sungkup memberikan oksigenasi dan ventilasi sebelum terapi definitif tersedia. Siapkan alat-
alat seperti endotracheal tube, suction, laryngoscope, carbon dioxide detector, fiberoptic scope, obat
sedasi dan paralisis untuk intubasi. Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik bila pasien tidak mampu
memertahankan jalan napas secara adekuat dan melindungi jalan napas dari aspirasi, gagal oksigenasi
dan ventilasi, serta penurunan kesadaran yang menyebabkan ketidakmampuan memertahankan
patensi jalan napas dan pertukaran gas normal.2 Bila gagal dilakukan intubasi karena sulit, lakukan
pemasangan laryngeal mask airway (LMA) merupakan alat jalan napas supraglotis.12


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 116


Ventilasi Mekanik Invasif
Ventilasi mekanik atau ventilasi tekanan positif melalui ventilator sering digunakan pada pengelolaan
pasien dengan gagal napas akut, tetapi terapi ini berpotensial menyebabkan pneumonia karena
ventilator, jejas paru, dan jejas pada trakea atau vocal cord. Tujuan penggunaan ventilasi mekanik
pada gagal napas akut adalah menurunkan tekanan inspirasi saat bernapas, meningkatkan pertukaran
gas darah, memberikan kesempatan paru-paru untuk sembuh, mengembalikan otot napas yang
kelelahan, dan mencegah komplikasi yang dapat terjadi karena pertukaran gas darah yang abnormal.2
Pada umumnya pernapasan ventilator dipicu oleh perubahan volume serta aliran atau tekanan udara
pernapasan. Mode ventilasi mekanik yang sering digunakan meliputi controlled mechanical
ventilation (CMV), assist control (AC), synchronized intermittent mandatory ventilation (SIMV), dan
pressure support ventilation (PSV).17–19 Pada mode CMV, ventilator memberikan minute ventilation
yang telah diset (tetapkan volum tidal dan frekuensi napas). Mode ini digunakan untuk pasien yang
dilumpuhkan, mendapat sedasi dalam, atau koma. Pada mode AC minute ventilation minimal diset
dan pasien dapat melakukan trigger napas tambahan. Bila pasien gagal melakukan trigger pernapasan
dalam waktu yang diset, maka ventilator memberikan napas. Mode AC tidak cocok untuk pasien yang
siap disapih karena ventilator masih memberikan napas bantuan penuh. Pada mode SIMV, pasien
dapat meningkatkan minute ventilation dengan menetapkan frekuensi napas yang sinkron dengan
napas spontan. Pada mode PSV, bantuan napas dari ventilator pada tingkat pressure support yang
sudah diset saat pasien memberikan trigger setiap kali bernapas.2 Neurally adjusted ventilatory assist
(NAVA), mode ventilasi baru yang menggunakan aktivitas sinyal elektrik diafragma sebagai pemicu
pada saat inspirasi, terbukti memperbaiki sinkronisasi napas pasien dan ventilator dibanding dengan
mode presure support ventilation (PSV) pada ventilasi invasif maupun noninvasif. NAVA terbukti
mengurangi durasi bantuan napas bayi yang mengalami ARDS, namun belum terbukti dapat
meningkatkan luaran secara kesuluruhan baik pada populasi anak maupun dewasa.2,13,17,18 Airway
presure realease ventilation (APRV), mode ventilasi dan pasien dapat bernapas spontan selama siklus
respirasi ventilasi, terbukti membutuhkan tekanan plateau inspirasi yang lebih rendah untuk
memberikan volume tidal dibanding dengan ventilasi volume pada ARDS dewasa, dan pengunaannya
juga menurunkan penggunaan sedasi. Clinical trial pada populasi anak yang mengalami ARDS ringan
menunjukkan APRV lebih unggul dalam memberikan ventilasi dan oksigenasi pada tekanan inspirasi
yang lebih rendah bila dibanding dengan mode nonsynchronized intermitten mechanical ventilation
(IMV).2,18
High Frequency Oscillatory Ventilation (HFOV), adalah mode ventilasi mekanik yang meningkatkan
oksigenasi melalui pemberian tekanan rata-rata saluran napas yang tinggi dengan volume tidal yang
lebih rendah dari ruang mati anatomis. HFOV memberikan tidal volume yang kecil hasil dari osilasi
pergerakkan udara dengan frekuensi napas yang sangat cepat (300-1500 napas permenit).20 Pada anak
yang dilakukan pemasangan HFOV terdapat risiko peningkatan tekanan intratorakal yang dapat
mengganggu cardiac output. Keadaan hemodinamik dan tanda vital pasien harus di monitor secara
berkelanjutan.20 Pemasangan arterial line sangat direkomendasikan ketika seorang anak
mendapatkan ventilasi dengan frekuensi tinggi. Status hemodinamik dapat dilihat melalui tekanan
darah, fungsi ginjal, diuresis, serta saturasi oksigen. Penilaian analisis gas darah (AGD) berkala perlu
dilakukan. AGD dapat diambil setiap 30−60 menit sampai tercapai ventilasi dan oksigenasi yang efektif.
Trans-cutaneous CO2 dapat digunakan sebagai alternatif monitoring PaCO2 non-invasif. Perlu
dilakukan foto toraks 30−60 menit setelah inisiasi pemasangan HFOV untuk menilai apakah terjadi
inflasi berlebih pada rongga dada yang dapat mengakibatkan pneumotoraks. Pada awal pemasangan,


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 117


disarankan pemeriksaan foto toraks setiap 6 jam. HFOV sudah sering digunakan pada anak, terutama
pada neonatus prematur, tetapi manfaat penggunaannya masih menimbulkan perdebatan.20
Penelitian mengenai manfaat penggunaan dini HFOV pada pasien yang mengalami ARDS
menunjukkan penggunaan HFOV berhubungan dengan durasi ventilasi mekanik yang lebih lama
dibandingkan mode konvensional.20
Nitrit Oksida (NO) adalah gas tidak berwarna yang bisa berdilusi ke dalam vaskluar paru-paru. NO
secara hipotesis bisa meningkatkan oksigenasi pada segmen paru yang sehat sehingga memperbaiki
kondisi gagal napas akut. Tinjauan Cochrane mengenai penggunaan nitrit oksida pada kondisi gagal
napas akut baik dewasa ataupun anak menunjukkan pemberian nitrit oksida tidak meningkatkan
angka kelangsungan hidup pasien sehingga pemberiannya masih menjadi perdebatan.21
Extracorporeal membrane oxygenation (ECMO), penggunaan ECMO perlu dipertimbangkan jika
seluruh pilihan telah gagal dan gagal napas diakibatkan oleh penyakit yang reversibel. ECMO
memberikan dukungan kardiopulmonal untuk mencegah terjadi jejas paru yang makin meluas akibat
ventilasi bertekanan tinggi.19 Kontraindikasi relatif ECMO adalah pasien dengan gagal kardiopulmonal
yang ireversibel, tidak dapat diberikan antikoagulan dan menggunakan implantasi alat. Komplikasi
yang dapat terjadi adalah perdarahan, tromboemboli, dan trombositopenia akibat heparin. Prognosis
bergantung pada penyakit penyebab dan tingkat mortalitas masih mencapai 43%. Faktor risiko yang
berhubungan dengan kematian adalah usia anak yang lebih besar, penggunaan ventilasi mekanik >2
minggu, disfungsi organ multipel, dan timbulnya komplikasi akibat ECMO.22
Posisi pronasi bermanfaat untuk memperbaiki hemodinamik, pertukaran gas, dan menurunkan
risiko jejas paru akibat ventilator sehingga menurunkan mortalitas dan morbiditas pasien gagal napas
akut. Patofisiologi dasar dari bagaimana posisi pronasi tekanan pada paru-paru akan sama di seluruh
bagian sehingga proses pertukaran gas membaik. Pada kasus distres napas yang terjadi edema paru
dan obstruksi saluran napas karena inflamasi, pasien dengan posisi telentang tekanan pada paru-paru
tidak terbagi rata.23 Posisi pronasi menjadi popular karena sederhana, rendah biaya, dan bermanfaat
untuk pasien dengan kerusakan paru yang parah.23 Pada Brasil Pediatrics MV Congress I, posisi pronasi
menerima rekomendasi A, dan diindikasikan untuk pasien yang membutuhkan FiO 2 ≥60%, PEEP ≥10
untuk menjaga SaO2 ≥90%. Namun, durasi posisi pronasi belum ditentukan.23 Sebuah ulasan Cochrane
menunjukkan posisi pronasi lebih baik daripada posisi terlentang untuk memerbaiki saturasi oksigen,
episode hipoksemia, dan tidak ada efek samping yang bermakna.24
Perawatan selanjutnya: melakukan diagnosis diferensial dan investigasi lanjut, dan rencana terapi
yang disesuaikan dengan diagnosis seperti:1,2,5
- antibiotik (pneumonia, pertusis, difteria, dll.);
- nebulisasi bronkodilator dan NaCl 3% (asma, bronkhiolitis);
- furosemid (edema paru);
- vasodilator, diuretik, inotrop (edema paru kardiogenik);
- nutrisi;
- fisioterapi;
- pemantauan klinis dan radiologis;
- kortikosteroid,25 memiliki efek anti-inflamasi sehingga penggunaannya banyak dilakukan pada
anak dengan ARDS. Pada anak sebagian besar kasus gagal napas akut disebabkan oleh infeksi
saluran napas dan serangan asma. Penggunaan kortikosteroid pada ARDS masih menimbulkan
kontroversi dan pemberian steroid diharapkan mampu mengurangi proses inflamasi pada paru-
paru yang sedang berlangsung. Pemberian steroid pada 72 jam pertama penggunaan ventilasi


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 118


mekanik pada ARDS dapat memperbaiki luaran dan mempercepat kebutuhan terhadap
ventilator, walaupun patofisiologi bahwa steroid dapat mengurangi proses inflamasi yang
berlangsung belum dapat dipastikan. Beberapa dosis yang telah terbukti memberikan manfaat
dengan menurunkan angka mortalitas, yaitu pada penelitian Meduri dkk. Pemberian
metilprednisolon 1 mg/kg loading dose diikuti 1 mg/kg/hari selama 14 hari, kemudian di-taper
off terbukti dapat menurunkan angka kematian. Pemberian steroid juga diyakini bermakna
diberikan pada pasien dengan ARDS yang gagal dilakukan ekstubasi pada hari ke-7. Patofisiologi
dasar penggunaannya, yaitu timbul jaringan fibrosis paru akibat proses inflamasi yang
berlangsung. Pemberian steroid pada waktu akhir ARDS pada anak penelitian mengenai hal ini
belum banyak. Penelitian pada dewasa dengan ARDS pada percobaan randomisasi dengan
sampel yang kecil menyatakan pemberian steroid mengurangi kemungkinan reintubasi serta
pemakaian kembali ventilasi mekanik.25

Prognosis
Prognosis bergantung pada penyebab penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas. Prognosisnya
baik bila gagal napas terjadi akut dan tidak berhubungan dengan hipoksemia yang berlanjut. Prognosis
buruk bila proses berhubungan dengan gagal napas sekunder karena penyakit neuromuskuler atau
deformitas dinding dada atau pada kasus hipoksia selama 20 menit yang kemungkinan memerlukan
ventilasi mekanis.2 Prognosis bervariasi bila gagal napas berhubungan dengan penyakit kronik dengan
eksaserbasi akut.2

Simpulan
Gagal napas akut lebih sering terjadi pada bayi dan anak karena terdapat perbedaan anatomis,
fisiologis, dan imunologis dibanding dengan orang dewasa. Gagal napas akut menjadi penyebab
morbiditas dan mortalitas yang penting pada anak. Berbagai penyakit dan kondisi dapat mengganggu
pertukaran gas yang menyebabkan kegagalan memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Gagal napas
akut terjadi akibat gangguan fungsi sistem pernapasan yang secara akut menghambat penghantaran
oksigen (oksigenasi) atau pengeluaran karbondioksida dari kapiler paru-paru (ventilasi). Tampilan
klinis gagal napas bergantung pada penyebabnya dan tingkat hipoksemia atau hiperkapnia. Diagnosis
dini, pemantauan ketat, dan intervensi yang tepat menjadi sangatlah penting. Bila tidak terdeteksi dini
dan tidak mendapat tata laksana yang baik, gagal napas akut dapat melanjut menjadi henti
kardiorespirasi yang menyebabkan prognosis lebih buruk. Diagnosis gagal napas akut dan
penyebabnya ditegakkan berdasar atas anamnesis, pemeriksaan klinis, gejala dan tanda gagal napas
akut, serta pemeriksaan laboratorium dan radiologis. Diagnosis definitif didapatkan setelah ada hasil
pemeriksaan/analisis gas darah. Tata laksananya meliputi upaya menstabilkan jalan napas, mengenali
potensi terjadi masalah pada saluran napas, intervensi medis yang tepat, dan penggunaan alat bantu
napas yang benar. Intervensi mulai dari metode noninvasif, yaitu pemberian oksigen yang dapat
diberikan melalui aliran bebas ke kanul nasal, berbagai jenis masker muka, ventilasi tekanan positif
balon ke masker, ventilasi tekanan positif noninvasif CPAP atau BIPAP, atau metode invasif melalui
bantuan respirasi menggunakan ventilasi mekanik, bahkan untuk kasus yang ekstrem menggunakan
oksigenasi membran ekstrakorporeal.


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 119


Daftar Pustaka
1. Hammer J. Acute respiratory failure in children. Paediatr Respirat Rev. 2013;14(2):64–9.
2. Vo P, Kharasch VS. Respiratory failure. Pediatr Rev. 2014;35(11):476–86.
3. Schneider J, Sweberg T. Acute respiratory failure. Crit Care Clinics. 2013;29(2):167–83.
4. Pope J, McBride J. Respiratory failure in children. Pediatr Rev. 2004;25(5): 160–6.
5. Frankel LR. Respiratory distress and failure. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB,
Stanton BF, editor. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders; 2007.
hlm. 421–31.
6. Singh J, Bhardwar V, Sobti P, Pooni PA. Clinical profile and outcome of acute respiratory failure
in children: a prospective study in a tertiary care hospital. Int J Clin Pediatr. 2014;3(2):46–50.
7. Nye S, Whitley RJ, Kong M. Viral infection in the development and progression of pediatric
acute respiratory distress syndrome. Frontiers Pediatr. 2016;4.
8. Smith DA. Pulmonary emergencies. Pediatric emergency medicine. Dalam: Stone CK, dkk,
editor : Sydor AM, Naglieri C. Current diagnosis and treatment. United States of America:
Lange; 2015. hlm. 394–404.
9. Jensen LL, Barrat-Due A, Englud PN, Harju JA, Sigurosson TS, Liberg JP. Paediattric ventilation
trealtment of acute lung injury in Nordic intensive care unit. Acta Anaesth Scan. 2015;59:568–
75.
10. Stenklyft PH, Cataletto ME, Lee BS. The pediatric airway in health and disease. Dalam: Gausch-
Hill M, Fuchs S, Yamamoto L, editor. APLS The pediatric emergency medicine resource. Edisi
ke-4. Boston: Jones and Barlett Publishers; 2004. hlm. 52–105.
11. Aehlert B. Comprehensive pediatric emergency care. Rev ed. St Louis, MO: Mosby; 2007.
12. Ralston M, Hazinski MF, Zaritsky AL, Schexnayder SM, Kleinman ME. PALS pediatric advance
life support. American Academy of Pediatrics, American Heart Association, 2006.
13. Rimensberger PC, Cheifetz IM. Ventilatory support in children with pediatric acute respiratory
distress syndrome: proceeding from the pediatric acute lung injury consensus conference.
Pediatr Crit Care Med. 2015;16(5):51–60.
14. Nagler J, Cheifetz IM. Noninvasive ventilation for acute and impending respiratory failure in
children. Waltham: Uptodate; 2017 [diunduh 27 June 2017). Tersedia dari:
https://www.uptodate.com/contents/noninvasive-ventilation-for-acute-and-impending-
respiratory-failure-in-children
15. Najaf-Zadeh A, Leclerc F. Noninvasive positive pressure ventilation for acute respiratory
failure in children: a concise review. Ann Intens Care. 2011;1(1):15.
16. Fanning JJ, Lee KJ, Bragg DS, Gedeit RG. US attitudes and perceived practice for noninvasive
ventilation in pediatric acute respiratory failure. Pediatr Crit Care Med. 2011;12(5):e187–94.
17. Donoso A, Arriagada D, R FD, R PC. Ventilation strategies in the child with severe hypoxemic
respiratory failure. Gac Med Mex. 2015;151:69–77.
18. Rittayamai N, Brochard L. Recent advances in mechanical ventilation in patients with acute
respiratory distress syndrome. Eur Respir Rev. 2014;23:249–57.
19. Ochiai R. Mechanical ventilation of acute respiratory distress syndrome. J Intens Care.
2015;3(25):1–9.
20. Bateman ST, Borasino S, Asaro LA, Cheifetz IM, Diane S, Wypij D, dkk. Early high-frequency
oscillatory ventilation in pediatric acute respiratory failure. a propensity score analysis. Am J
Resp Crit Care Med. 2016;193(5):495–503.
21. Gebistorf F, Karam O, Wetterslev J, Afshari A. Inhaled nitric oxide for acute respiratory distress
syndrome (ARDS) in children and adults. The Cochrane Library. 2016.
22. Lin JC. Extracorporeal membrane oxygenation for severe pediatric respiratory failure. Respirat
Care. 2017;62(6):732–50.
23. Koulouras V, Papathanakos G, Papathanasiou A, Nakos G. Efficacy of prone position in acute
respiratory distress syndrome patients: a pathophysiology-based review. W J Crit Care Med.
2016;5(2):121.

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 120


24. Gillies D, Wells D, Bhandari AP. Positioning for acute respiratory distress in hospitalised infants
and children. The Cochrane Library. 2012.
25. Drago BB, Kimura D, Rovnaghi CR, Schwingshackl A, Rayburn M, Meduri U, dkk. Double-blind,
placebo-controlled pilot randomized trial of methylprednisolone infusion in pediatric acute
respiratory distress syndrome. Pediatr Crit Care Med. 2015;16;e74-e81.


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 121


PENDEKATAN DIAGNOSIS PERDARAHAN PADA ANAK

Susi Susanah
Divisi Hematologi Onkologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD – RSHS

Pendahuluan
Perdarahan pada anak merupakan salah satu gejala dan tanda yang seringkali membuat orangtua
khawatir. Keluhan perdarahan dapat berupa perdarahan kulit (petekie, purpura, ekimosis,
hematoma), perdarahan mukosa (epistaksis, perdarahan gusi), dan perdarahan organ termasuk
perdarahan intrakranial yang gejala dan akibatnya dapat ringan, sedang, berat, bahkan merupakan
suatu keadaan yang mengancam jiwa.1–2 Perdarahan berat mudah dikenali, sedangkan untuk
memperkirakan derajat perdarahan yang manifestasi klinisnya seperti ringan memerlukan
pertimbangan dokter berdasarkan anamnesis, temuan pada pemeriksaan fisik, dan seringkali
memerlukan bantuan daftar yang tertera pada skoring perdarahan sebelum memutuskan
tatalaksanan awal dan menegakkan diagnosis pasti.1–2;5–12
Di negara-negara barat proporsi morbiditas dan mortalitas penyakit perdarahan akibat gangguan
sistem hemostasis cukup tinggi. Penelitian Mauer, dkk terhadap 500 orang dewasa sehat
mendapatkan 25% memiliki riwayat epistaksis, 18% mudah biru-biru (ekimosis), 18% mengalami
perdarahan lama pascaekstraksi gigi, dan 47% perempuan mengalami menorrhagia.ref Laporan
insidens penyakit perdarahan pada anak umumnya menggambarkan insidens sesuai penyakit terkait,
misalnya insidens trombositopenia imun baru 1,9–6,4 per 100.000 pertahun, hemofilia 1: 5.000
kelahiran bayi laki-laki (sekitar 85% hemofilia A, 10–15% hemofilia B).3,6,8,13,14
Kasus kelainan hemostasis yang sering didapatkan pada praktik sehari-hari adalah kelainan
hemostasis didapat seperti trombositopenia imun, trombositopenia yang merupakan bagian dari
penyakit sistemik, koagulasi intravaskular diseminata (KID), penyakit perdarahan karena defisiensi
vitamin K (PDVK), sementara kelainan hemostasis herediter adalah hemofilia (terutama hemofilia A)
dan penyakit von Willebrand.6;13–15 Pemahaman mengenai hemostasis amat diperlukan untuk dapat
mendiagnosis dan mengelola penyakit perdarahan secara rasional.16,17
Diagnosis penyakit pedarahan dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat, didukung
oleh pemeriksaan fisik, dan untuk diagnosis pasti memerlukan konfirmasi pemeriksaan penunjang
terutama pemeriksaan laboratorium darah.1;16–18

Mekanisme Hemostasis
Hemostasis merupakan suatu sistem homeostasis kompleks yang penting dalam memelihara
kesehatan tubuh. Hemostasis adalah suatu mekanisme tubuh yang menjaga agar darah tetap berada
dalam pembuluh darah dan dalam keadaan cair yang melibatkan komponen pembuluh darah,
trombosit, protein-protein pembekuan (prokoagulan dan antikoagulan), dan sistem fibrinolisis yang
berfungsi untuk menghentikan perdarahan dan mencegah thrombosis.16,17
Proses hemostasis sebagai respons terhadap gangguan terbagi atas hemostasis primer dan
sekunder yang terjadi secara simultan. Sebagian besar komponen hemostasis bersifat multifungsi,
misalnya fibrinogen yang berperan sebagai ligan di antara trombosit-trombosit selama proses agregasi
trombosit, pada pembentukan bekuan fibrin berfungsi sebagai substrat untuk trombin, sementara
pada saat reaksi pembekuan berlangsung trombosit berfungsi mempersiapkan reaksi permukaan,

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 122


membentuk bekuan di tempat pembuluh darah yang mengalami jejas, dan mengerut untuk konstriksi
dan membatasi ukuran bekuan.16
Keutuhan endotel vaskular merupakan sawar primer dalam mengatasi perdarahan. Pada keadaan
normal sel-sel endotel yang melapisi dinding pembuluh darah berfungsi menghambat pembekuan dan
menyediakan permukaan yang rata sehingga aliran darah lancar. Bila terjadi jejas pada endotel
vaskular, akan berlangsung tiga proses secara simultan, yaitu vasokonstriksi (fase vaskular),
pembentukan bekuan trombosit (fase trombosit, mekanisme hemostasis primer), dan pembentukan
trombus fibrin (hemostasis sekunder fase inisiasi, amplifikasi, dan propagasi).16,17
Bila terjadi jejas pada endotel vaskular, terjadi vasokonstriksi dan darah yang mengalir akan kontak
kontak dengan matriks subendotel, faktor von Willebrand (VWF) akan mengubah konformasi untuk
merekatkan reseptor trombosit-VWF, kompleks glikoprotein Ib, tautan trombosit ke tempat jejas
(adhesi trombosit). Jika reseptor VWF berikatan dengan ligannya maka akan mencetuskan aktivasi
trombosit dan mencetuskan sekresi penyimpanan granula-granula yang mengandung adenosine
diphospate (ADP), serotonin, plasma, dan protein membran trombosit yang selanjutnya menyebabkan
agregasi trombosit dan pembentukan bekuan trombosit dengan bantuan fibrinogen. Matriks
subendotel yang terpapar jejas vaskular akan mengktivasi koagulasi dengan mengikat F VII dan
selanjutnya mengaktivasi kaskade koagulasi hingga terbentuk bekuan fibrin (gambar 2).16,17



Gambar 1. Mekanisme Hemostasis
16
Dikutip dari: Scott JP dan Raffini LJ

Kaskade koagulasi dimulai dari faktor koagulasi yang teraktivasi mengaktivasi faktor pembekuan
berikutnya secara sistemik hingga terbentuk bekuan fibrin. Secara in vivo autokatalisis faktor VII
membangkitkan aktivitas sejumlah kecil faktor VII secara kontinyu sehingga sistem terus berlangsung.
Rentetan aktivasi ini membentuk trombin yang mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Trombin juga

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 123


mengaktivasi faktor XIII. Bekuan fibrin yang stabil bersama bekuan trombosit menyebabkan retraksi
bekuan dan cross linking oleh faktor XIII.
Pada keadaan normal aktivitas prokoagulan dipertahankan seimbang dengan antikoagulan. Empat
macam antikoagulan yang penting dalam regulasi prses pembekuan, yaitu antitron=mbin III (AT II),
protein C, protein S, dan tissue factor pathway inhibitor (TPPI).
Setelah terbentuk bekuan fibrin, sistem fibrinolisis akan membatasi perluasan bekuan dan mulai
melisiskan bekuan tersebut, terjadi rekanalisasi, sehingga integritas vaskular tetap terjaga.16,17


Gambar 2. Kaskade Koagulasi
16
Dikutip dari: Scott JP dan Raffini LJ

Mekanisme hemostasis merupakan proses dinamis yang berkembang mulai saat intrauterin.
Periode neonatal merupakan masa transisi fisiologis, seperti penurunan kadar sebagian besar protein
prokoagulan dan antikoagulan meski kadar reaktan fase akut seperti faktor VIII dan fibrinogennya
normal yang berisiko perdarahan bila terjadi trauma kepala saat lahir spontan. Kasus lain pada periode
ini adalah trombositopenia alloimun neonatal. Juga hemostasis neonatal dipengaruhi status
kesehatan dan pengobatan yang diterima ibunya selama persalinan. Sehubungan dengan volume
darah neonatus masih sedikit, perdarahan minor saja sudah dapat mengakibatkan gangguan
hemodinamik. Sejalan dengan pertumbuhan anak maka kisaran nilai-nilai parameter hemostasis
mengalami perubahan, khusus pada neonatus, juga dihubungkan dengan masa gestasi.19


Klasifikasi Penyakit Perdarahan
Perdarahan dapat bersifat akut misalnya karena jejas/trauma atau penyandang kelainan hemostasis
yang mengalami perdarahan akut. Perdarahan kronis umumnya terjadi pada kelainan sistemik yang
mengganggu fungsi hemostasis, karena kelainan herediter berat.1,2; 16,17
Penyakit perdarahan dapat disebabkan oleh kelainan didapat atau herediter.1,2;16,17


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 124


Tabel 1 Kelainan Perdarahan Didapat
Penyakit Defek Hemostasis Penyebab
Sepsis berat KID akut Inisiasi koagulasi, kerusakan endotel,
penurunan kadar faktor-faktor koagulasi
dan antikoagulan
Penyakit hati Defisiensi faktor koagulasi Penurunan sintesis hati
multipel Peningkatan fibrinolisis
Penuruan klirens aktivator plasminogen
Status hiperkoagulasi
Penurunan produksi antikoagulan alami
Trombositopenia
Hipersplenism
Sindrom malabsorpsi Penurunan produksi F II, Defisiensi vitamin K
VII, IX, X, protein C dan S
Penyakit jantung Trombositopenia ringan-
Penurunan kesintasan trombosit
bawaan sianotik sedang Abnormalitas fungsi trombosit
Kelainan agregasi trombosit didapat
Penyakit jantung Penurunan high molecular Pemakaian
bawaan asianotik weight VWF multimers
Disfungsi trombosit Aktivasi trombosit dalam Defisiensi faktor pembekuan
pada ECMO dan CPB oksigenator dan Pemakaian factor koagulasi dalam sirkuit
kerusakan fisik permukaan Hiperfibrinolisis
trombosit Peningkatan tPA dan penurunan
ɑ2-antiplasmin
Leukemia promielositik Trombositopenia KID
akut Penurunan produksi di Pelepasan material prokoagualan dari sel
sumsum tulang dan leukemia
peningkatan pemakaian Peningkatan sintesis activator plasminogen

1
Dikutip dari: Brachford B dan Paola JD
Keterangan: ECMO: extracorporeal membrane oxygenation; CPB: cardiopulmonary bypass

Kelainan perdarahan herediter meliputi: gangguan fungsi trombosit (trombastenia Glanzmann;


sindrom Bernard Soulier), penyakit pseudo von Willebrand; gangguan koagulasi: hemofilia A
(defisiensi faktor VIII), hemofilia B (defisiensi faktor IX), dan hemofilia C (defisiensi faktor XI); penyakit
von Willebrand (defisiensi VWD); hipofibrinogenemia, disfibrinogenemia, dan lain-lain.1,13,14,20


Pendekatan Diagnosis
Anamnesis
Mengenal perdarahan pada anak tidaklah selalu mudah. Seringkali pasien perdarahan kesannya
tampak sakit ringan padahal penyakitnya berat, sebaliknya manifestasi klinisnya seperti hebat tetapi
penyakitnya tidak berat.1–5
Anamnesis dimulai dengan mencari informasi tentang usia (usia pasien, usia saat pertamakali
terjadi keluhan perdarahan), jenis kelamin, jenis perdarahan kemudian ditanyakan secara cermat jenis
perdarahan, lokasi perdarahan (mukokutaneus, sendi, otot dalam), perdarahan baru pertamakali atau
sudah berulang, perdarahan tidak biasa akibat tindakan/prosedur seperti perdarahan pada saat atau


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 125


pascatindakan bedah atau trauma, riwayat penganiayaan, riwayat keluarga yang memiliki penyakit
perdarahan, riwayat penyakit/keluhan yang mendahului atau menyertainya, riwayat pemakaian obat-
obatan, dan riwayat tatalaksana yang sudah pernah didapatkan (termasuk transfusi darah) serta
respons terhadap tatalaksana tersebut.1–5
Manifestasi klinis penyakit perdarahan dapat berupa purpura (ekstravasasi eritrosit ke kulit dan
mukosa dengan manifestasi berupa bercak kemerahan yang tidak hilang pada penekanan; petekie
merupakan purpura superfisial (perdarahan intradermal dan submukosa) berupa bintik merah
keunguan, ukuran 1–4 mm, bulat, tidak memucat, berdarah, tidak menonjol, mula-mula berwarna
merah kemudian menjadi kecoklatan seperti karat besi; ekimosis (memar) adalah bercak perdarahan
berupa makula bercak biru atau ungu yang rata akibat ekstravasasi darah ke dalam jaringan subkutan,
perdarahan baru berwarna biru kehitaman dan berubah warna menjadi hijau kecoklatan dan
menjadi kuning bila mengalami resolusi; hematoma bila darah berkumpul di jaringan
membentuk tumor (biru-biru dan menonjol); epistaksis (perdarahan mukosa pada hidung);
perdarahan gusi (perdarahan mukosa pada gusi); hemartrosis (perdarahan sendi); hemoptoe (batuk
darah), hematochezia (perdarahan saluran cerna; hematuria (perdarahan saluran kemih); perdarahan
kepala ekstrakranial (hematoma sefal); meno-metrorragia (perdarahan uterus yang lama dan atau
banyak); perdarahan intrakranial.1–3
Keluhan utama tidak selalu berupa keluhan perdarahan, pasien hemofilia yang mengalami
hemartrosis sering datang dengan keluhan utama tidak mau berjalan. Pada perdarahan intrakranial
pasien datang dengan keluhan kejang atau penurunan kesadaran. Ditelusuri pula apakah
perdarahannya sudah mengakibatkan penyulit seperti pucat atau bahkan syok.1,2
Karakteristik penyakit perdarahan pada anak dan dewasa tidak selalu sama, misalnya
trombositopenia imun manifestasi klinisnya dan prosedur pemeriksaan laboratoriumnya sama,
namun pada anak lebih banyak mengenai anak laki-laki (70%), remisi spontan 80%, tatalaksana lini
pertama bergantung pada kadar trombosit (<20.000/mm3: observasi, <20.000/mm3: intravenous
immunoglobulin/IVIG), hindari splenektomi, sedangkan pada dewasa lebih banyak terjadi pada
perempuan (90%), tatalaksana awal kortikosteroid, IVIG, risiko tinggi untuk menjadi kronis.21
Diagnosis banding awal penyakit perdarahan dapat diperkirakan berdasarkan anamnesis tipe
perdarahan yang dikonfirmasi dengan temuan pada pemeriksaan fisis (tabel 2).1


Tabel 2. Perbedaan Manifestasi Klinis Perdarahan Akibat Kelainan Hemostasis Primer dan
Defisiensi Faktor Koagulasi
Manifestasi Klinis Kelainan Hemostasis Primer Defisiensi Faktor Koagulasi
Lokasi perdarahan Kulit, membran mukosa Jaringan lunak, otot, sendi
Perdarahan akibat luka ringan Ya Jarang
Petekie Ada Tidak ada
Ekimosis Kecil, superfisial Besar, dalam, teraba
Hemartrosis Jarang Sering
Perdarahan pascabedah/trauma Segera Tunda/lambat
1
Dikutip dari: Brachford B dan Paola JD

Beberapa macam obat terindikasi dapat mencetuskan penyakit perdarahan karena mengganggu
mekanisme hemostasis melalui mekanisme disfungsi trombosit atau menyebabkan trombositopenia.
Pada keadaan disfungsi trombosit obat-obatan tertentu dapat memerparah disfungsi yang sudah

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 126


terjadi sehingga pemakaian obat-obat tersebut dapat menyebabkan manifestasi perdarahan,
misalnya ibuprofen dan aspirin. Obat-obat lain yang dapat menyebabkan disfungsi trombosit adalah
di antaranya: dipiridamol, sefalosporin, penisilin terutama dosis tinggi; obat herbal dan makanan
(Ginkgo biloba, Garlic/Allium sativum, jahe/Zingiber officinale) Turmeric (Curcuma longa); alkohol;
Amitriptilin, imipramin, klorpromazin, kokain, lidokain, isoproterenol, propranolol, penisilin, ampisilin,
sefalotin, prometazin, difenhidramin, karbenisilin; furosemid, verapamil, hidralazin, siklosporin,
hidrocortison; kafein, dipiridamol, aminofilin, teofilin, vinblastin, vinkristin, kolkisisn, papaverin,
sedangkan obat-obatan yang dapat menyebabkan trombositopenia adalah: fenitoin, valproat,
karbamazepin; unfractionated heparin (sering), low-molecular-weight heparin (jarang); kina, jui herbal
tea.1,16
Pemakaian antibiotik lama dapat menyebabkan kadar vitamin K menurun sehingga menginduksi
perdarahan sekunder karena mengganggu fungsi hemostasis faktor-faktor pembekuan yang
bergantung vitamin K.1,15


Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan fisis dimulai dengan menilai keadaan umum dan memeriksa tanda-tanda vital. Sebagai
contoh pada kasus perdarahan yang diduga karena gangguan trombosit, sambil melakukan
anamnesis, asesmen awal pemeriksaan fisik dimulai dengan menilai keadaan umum pasien, apakah
tampak baik-baik saja atau tampak sakit (gambar 3).22
Pada asesmen awal hendaknya ditentukan pula derajat beratnya perdarahan. Penilaian dapat
dibantu dengan menggunakan skoring perdarahan yang bertujuan untuk menilai derajat perdarahan
secara objektif sehingga dapat lebih akurat dan memerkirakan risiko perdarahan di kemudian hari.5–9
Pada kasus yang diduga karena kelainan koagulasi, pemeriksaan fisik dilanjutkan dengan mencari
tanda-tanda khas kelainan tersebut. Temuan hemartrosis ditambah dengan karakteristik lain seperti
anak laki-laki, riwayat keluarga dapat mengarahkan kepada suatu kasus hemofilia, meski sepertiga
kasus hemofilia baru tidak memiliki riwayat keluarga.1,2
Pada semua kasus penyakit perdarahan pemeriksaan fisis hati, limpa, dan kelenjar getah bening
harus dilakukan secara cermat. Untuk memastikan apakah perdarahannya merupakan akibat kelainan
hemostasis itu sendiri atau merupakan bagian dari suatu penyakit lain misalnya leukemia yang
keluhan utamanya perdarahan diagnosis kerja dapat diduga bila ditemukan organomegali dan atau
limfadenopati. Perdarahan juga dapat merupakan bagian dari suatu sindrom, seperti sindrom
Noonan.1,2
Pada kasus yang diduga karena penganiayaan, dicari tanda-tanda kekerasan yang mengakibatkan
keluhan perdarahannya. Pada pemeriksaan fisis juga dicari tanda-tanda penyulit, seperti anemia,
tanda-tanda syok akibat perdarahan berat, kejang, penurunan kesadaran, artropati, dan lain-lain.1,2


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 127


Trombosit besar BAIK Trombosit kecil
Hb dan leukosit Anomali kongenital
normal MPV meningkat

Pemakaian Penurunan sintesis



Imun Kongenital
ITP
.............
Sekunder dari LES, HIV
Induksi obat Thrombocytopenia absent radius
Sindrom Wiskott-Aldrich
X-linked
ITP maternal
Anemia Fanconi
NATP


Non-imun
VWD tipe 2 Didapat
Makrotrombositopenia Pengobatan, toksin, radiasi
herediter SAKIT
Trombosit kecil
Fibrinogen hepatosplenomegali
menurun ..............
FDP meningkat Penurunan sintesis.
Trombosit besar Massa Keganasan
Pemakaian Penyakit penyimpanan
.................
Mikroangiopati Sekuestrasi
Sindrom hemolitik-uremik
ITP Hemangioma

KID
Hipersplenism
Necrotizing enterocolitis
Respiraory distress
Trombosis
Kateterisasi arteri umbilikal
Sepsis
Infeksi virus




Gambar 3 Diagnosis Banding pada Anak dengan Trombositopenia
*Kotak hijau: Kelainan yang sering ditemukan pada neonatus
22
Dikutip dari: Scott JP

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang utama penyakit perdarahan adalah pemeriksaan darah untuk mengetahui
komponen hemostasis mana yang mengalami gangguan, apakah gangguannya
tunggal atau gabungan.1,16,19,22
Bila hasil evaluasi dari anamnesis dan pemeriksaan fisik belum menunjukkan ke arah diagnosis
spesifik, panel penapisan awal meliputi pemeriksaan darah rutin lengkap, yaitu hemoglobin,
hematokrit, leukosit, trombosit (jumlah ukuran, morfologi), hitung jenis, prothrombine time (PT),
activated partial thromboplastin time (aPTT), thrombin time (TT) dilakukan untuk menentukan
diagnosis banding. Sementara bila manifestasi klinis menunjukkan ke arah suatu kelainan spesifik,
pemeriksaan laboratorium dapat langsung tertuju ke arah diagnosis. Hasil pemeriksaan skrining
hemostasis awal dapat menjadi petunjuk ke arah diagnosis kerja (tabel 3).1,18



PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 128








Tabel 3 Pemeriksaan Laboratorium Hemostasis
Pemeriksaan Kelainan Trombositopenia Trombositopati Kelaianan
Vaskular Koagulasi
Jumlah trombosit Normal Menurun Normal Normal
Waktu perdarahan Memanjang Memanjang Memanjang
Normal/abnormal
PT Normal Normal Normal Abnormal
aPTT Normal Normal Normal Abnormal
Uji torniket Abnormal Abnormal Abnormal Normal
Retraksi bekuan Normal Normal Abnormal Normal
18
Dikutip dari: Acharya SS, Saragi SN

Untuk menentukan diagnosis pasti defisiensi faktor pembekuan tertentu dilakukan dengan
mengukur kadar faktor tersebut secara kuantitatif (kadar faktor VIII, faktor IX, fibrinogen, von
Willebrand, dan lain-lain).1,18
Pemeriksaan PT mengukur aktivitas faktor I (fibrinogen), II (protrombin), V, VII, dan X. Kisaran
normal PT umumnya 10–11 detik. Pemanjangan PT umumnya belum tampak hingga kadar fungsional
salah satu faktor tersebut <30% atau kadar fibrinogen sudah <100 mg/dL. Pemanjangan PT saja
mengindikasikan defisiensi faktor VII. Jika PT digunakan untuk memantau pasien yang mendapat
warfarin, perbedaan sensitivitas sediaan tromboplastin pada berbagai laboratorium harus
diperhitungkan, sehingga terdapat metode standarisasi ekspresi pemanjangan yang disebut sebagai
international normalized ratio (INR).1,17
Pemeriksaan aPTT mengukur faktor I (fibrinogen), II (protrombin), V, VIII, IX, X, XI, dan XII;
prekallikrein; dan high-molecular-weight kininogen. Pemanjangan aPTT disertai manifestasi klinis jelas
menunjukkan suatu defisiensi faktor VIII, IX, atau XI. PTT tidak akan memanjang jika kadar faktor VIII
<35% (0,35 U/mL). Nilai normal aPTT umumnya 26–35 detik, bayi cukup bulan 30–54 detik, dan pada
bayi kurang bulan umumnya lebih memanjang. Pemeriksaan aPTT kurang sensitif dibanding PT
terhadap defisiensi faktor-faktor pembekuan bergantung pada vitamin K, tetapi lebih sensitif terhadap
adanya antikoagulan sirkulasi (misal antikoagulan lupus) dan heparin sehingga secara rutin dipakai
untuk memantau standar terapi heparin. Kontaminasi sampel pemeriksaan oleh heparin dapat
menyebabkan pemanjangan aPTT.1
Pemeriksaan TT mengukur jumlah dan fungsi fibrinogen dan TT memanjang pada adanya heparin
atau fibrin degradation product/FDP sirkulasi. Pemanjangan TT ekstrim biasanya mengindikasikan efek
heparin. Nilai normal TT 16–18 detik.1,17
Jumlah trombosit diperiksa sebagai bagian dari pemeriksaan darah rutin. Jumlah trombosit normal
150.000–450.000/mm3. Kesesuaian jumlah trombosit dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan apus
darah tepi. Pseudothrombositopenia dapat disebabkan paparan ethylenediaminetetraacetic acid
(EDTA), terdapat antikoagulan, antibosi antitrombosit (IgG atau IgM), platelet cold agglutinins, ukuran
trombosit yang besar seperti pada trombositopenia imun, atau platelet clumping karena sampel darah
beku. Pemeriksaan juga meliputi mean platelet volume (MPV dan distribusi trombosit.1,17

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 129


Waktu perdarahan mengukur waktu berlangsungnya perdarahan mulai dari perlukaan yang dibuat
secara standar sampai perdarahan berhenti.1
Pemeriksaan fungsi trombosit menggunakan Platelet Function Analyzer (PFA) dapat mengukur
adhesi dan agregasi trombosit.1,17 Pemeriksaan masing-masing kadar faktor pembekuan: faktor I, V, VII,
VIII, IX, X.1,13,16,17
Kadar fibrinogen plasma diukur berdasar metode imunologis atau kimia. Kadar normal 200–400
mg/dL. Fibrinogen merupakan reaktan fase akut, sehingga kadarnya dapat meningkat pada keadaan
stress atau sakit.1,17
Euglobulin lysis time (ECLT) merupakan skrining untuk fibrinolisis berlebihan. Kadar normal ECLT
60–300 menit.1
Tromboelastografi (TEG) menilai semua proses dinamik hemostasis dari pembentukan bekuan
hingga pemecahannya, juga dapat menilai fungsi trombosit.1,17
Thrombine generation assay (TGA), calibrated automated thrombography (CAT) mengukur kadar
trombin dalam bekuan plasma. Saat ini TGA dipergunakan untuk memantau terapi hemophilia dan
antikoagulan.1
Gambar 4 memperlihatkan pendekatan diagnosis pasien yang mengalami perdarahan
mukokutaneus.
Perdarahan mukokutaneus klinis
jelas

CBC, hitung jenis Jika PT, aPTT


Kadar trombosit Mixing study
ADT memanjang:
rendah normal
aPTT, PT, mixing study
fibrinogen Pertimbangkan
defisiensi faktor
MPV rendah MPV MPV normal koagulasi lain

Jika hasilnya normal dan


dugaan ke arah VWD tinggi
Sindrom ITP Induksi Trombosit normal
Periksa kadar VWF
Wiskott- Sindrom obat (dan tidak ada hasil
Aldrich Bernard Keganasan lab lain yang
X-linked Soulier Metabolik abnormal) Kadar VWF rendah
Trombositope Sindrom giant FDP/AML
CAMT Normal
platelet
VWD
Sindrom Scott Normal
Penyebab lain
Trombastenia Tidak ada
Glanzmann (kecuali
Tipe Tipe Tipe
ristosetin)

Agregasi trombosit
ADP receptor
P2Y12 Abnormal
TXA receptor terhadap ADP
ADP/ATP receptor dan TXA2
Hermansky-
Pudak Gelombang kedua
Chedak-Higashi
Tidak ada/sekresi turun
Storage pool
defect
Signal tranductor
Gambar 4 Pendekatan diagnosis perdarahan mukokutaneus
1
Dikutip dari: Brachford B dan Paola JD

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 130



Untuk kelainan koagulasi pendekatan diagnosis penyakit perdarahan dapat ditelusuri sesuai
algoritma pada gambar 5.
PTT

PT Memanjang Normal PT

Memanjang Normal Memanjang Normal

TT
Defisiensi Defisiensi
F XIII
F II, V, VII, X
Normal Memanjang
Defisiensi FX, XII, XI, IX, VII

Antikoagulan sirkulasi

Efek heparin

Penyakit hati, Afibrinogenemia,


Disfibrinogenemia, Disfibrinogenemia,
Antikoagulan sirkulasi, KID,

Efek kumadin Efek heparin


Gambar 5 Tes Koagulasi dan Interpretasinya
18
Dikutip dari: Acharya SS dan Sarangi SN


Pada keadaan gangguan hemostasis berat yang menyebabkan gangguan factor hemostasis multiple
diperlukan banyak parameter dan seringkali dibantu dengan system skoring yang sudah disepakati,
seperti skoring KID karena sepsis.23,24
Skrining hemostasis selalu diperlukan pada kasus-kasus pembedahan atau tindakan tertentu.1
Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan harus diperhatikan syarat dan teknik pengambilan
sampel (prinsip praanalitik, analitik, dan pascaanalitik). Beberapa hal yang harus dipersiapkan saat
akan dilakukan pemeriksaan hemostasis: apakah perlu puasa, berhenti minum aspirin selama 2
minggu atau lebih, sampel harus sudah diperiksa dalam waktu 2 jam pada suhu ruangan atau 4 jam
pada suhu dingin, pemberian antikoagulan.1,19
Selain pemeriksaan darah untuk skrining hemostasis, dapat diperlukan pemeriksaan darah lain dan
juga pemeriksaan penunjang lain, seperti USG, CT scan, MRI, dan lain-lain sesuai kasus.1,5,13,15,23


Tatalaksana
Prinsip tatalaksana penyakit perdarahan adalah mengatasi perdarahan akut, mengelola pasien
sesuai dengan penyakit hemostasisnya, dan mengelola penyakit yang mendasarinya. Selain itu


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 131


seringkali diperlukan tatalaksana non farmakologis seperti edukasi bagi pasien dan
keluarganya.14,16,18,23


Penutup
Perdarahan dan penyakit perdarahan pada anak merupakan kasus yang sering dijumpai.
Pemahaman mengenai hemostasis merupakan bekal yang harus dimiliki dokter dan dokter spesialis
anak terkait kompetensi dan kewenangan klinis untuk dapat mengelola pasien secara rasional.

Daftar Pustaka
1. Branchford B, Paola JD. Approach to the child with a suspected bleeding disorder. Dalam: Orkin SH,
Fisher DE, Ginsburg D, Look AT, Lux SE, Nathan DG, penyunting. Hematology and oncology of
infancy and childhood. Edisi ke–8. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2015. hlm 999–1009.
2. Boender J, Kruip MJHA, Leebeek WG. A diagnostic approach to mild bleeding disorders. J of
thrombosis and haemostasis. 2010:2063–5.
3. Sharathkumar AA, Pipe SW. Bleeding disorders. Pediatr in Rev. 2008;29:121–9.
4. Khair K, Liesner R. Bruising and bleeding in infants and children – a practical approach. British J of
Haematol. 2006;133:221–31.
5. Rodeghiero F, Michel M, Gernsheimer T, Ruggeri M, Blanchette V, Bussel JB, dkk. Standardization
of bleeding assessment in immune thrombocytopenic purpura: Report from the International
Working Group. Blood. 2013; DOI 10.1182.
6. Kuhne T, Berchtold W, Michaels LA, Wu R, Donato H, dkk. Newly diagnosed immune
thrombocytopenia in children and adults: a comparative prospective observational registry of the
Intercontinental Cooperative Immune Thrombocytopenia Study Group. Haematologica.
2011;96(12):1831–7.
7. Grainger S. Severity bleeding tools. Arch Dis Child. 2010;97:8-11.
8. Kihc SC, Sarper N, Zengin E, Gelen SA. Screening bleeding disorders in adolescents and young
women with menorrhagia. Turkish J Hematol. 2013;30:168–76.
9. Neutze D, Roque J. Clinical evaluation of bleeding and bruising in primary care. American Family
Physician. 2016;93(4):279–86.
10. O’Brien SH. Bleeding scores: Are they really useful? American Society of hematology. Hematol.
2012;152–6.
11. Mittal N, Pedersen R, James P, Shott S, Valentino LA. Utility of pediatric bleeding questionare as a
screening tool for von Willebrand diasease in apparently healthy children. Haemophilia.
2015;21(6):806–11.
12. ISTH/SSC bleeding assessment tool; a standardized questionnaire and a proposal for a new
bleeding score for inherited bleeding disorders. J of thrombosis and haemostasis. 2016:1507–16.
13. Scott JP, Flood VH. Hereditary clotting factor deficiencies (bleeding disorder). Dalam: Kliegman
RM, Stanton BF, St Geme JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics.
Edisi ke–20. Philadelphia: Saunders; 2016. hlm. 2384–90.
14. McGunn C, Bussel JB. Disorders of platelets. Dalam: Lanzkowsky P. penyunting: Manual of
pediatric hematology and oncology. Edisi ke–6. Amsterdam PA: Elsevier; 2015. hlm 239–78.
15. Scott JP. Postneonatal deficiency vitamin K. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St Geme JW, Schor
NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke–20. Philadelphia: Saunders;
2016. hlm. 2397.
16. Scott JP, Raffini LJ. Hemostasis (hemorrhagic and thrombotic diseases). Dalam: Kliegman RM,
Stanton BF, St Geme JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi
ke–20. Philadelphia: Saunders; 2016. hlm. 2379–84.

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 132


17. Mann KG, Ziedins KB. Blood Coagulation. Dalam: Orkin SH, dkk, penyunting. Hematology and
oncology of infancy and childhood. Edisi ke–8. Philadelphia: Elsevier Saunders 2015. hlm 964–
1009.
18. Acharya SS, Sarangi SN. Disorders of coagulation. Dalam: Lanzkowsky P. penyunting: Manual of
pediatric hematology and oncology. Edisi ke–6. Amsterdam PA: Elsevier; 2015. hlm 279–333.
19. Monagle P, Igniatovic V, Savoia. Hemostasis in neonate and children: Pitfalls and dilemmas. Blood
Rev. 2010:63–8.
20. Flood VH, Scott JP. Von Willebrand disease. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St Geme JW, Schor
NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke–20. Philadelphia: Saunders;
2016. hlm. 2390–1.
21. Schulze H, Gaedicke K: Immune thrombocytopenic purpura in children and adult: what’s the same
and what different? Haematologica. 2011;96(12):1739–41.
22. Scott JP. Platelet and blood vessel disorders. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St Geme JW, Schor
NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke–20. Philadelphia: Saunders;
2016. hlm. 2400–7.
23. Toh CH, Hoots WK. The scoring system of the Scientific and Standardisation Committee on
Disseminated Intravascular Coagulation of the International Society on Thrombosis and
Haemostasis: a 5-year overview. J Thrombosis and hemostasis. 2007; DOI: 10.1111/j.1538-
7836.2007.02313.
24. Scott JP, Raffini LJ. Disseminated intravascular coagulation. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St
Geme JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke–20.
Philadelphia: Saunders; 2016. hlm. 2392–2400.


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 133


PENYAKIT GINJAL KRONIK ( CHRONIC KIDNEY DISEASE )

Nanan Sekarwana
Nefrologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUP- RSHS

Pendahuluan
Akhir-akhir ini banyak dokter anak yang masih memfokuskan permasalahan anak pada penyakit
infeksi, diare, dan malnutrisi. Namun, dengan perbaikan kesehatan masyarakat banyak negara di Asia
memperlihatkan penurunan kematian bayi dengan pergeseran ke arah penyakit infeksi dan penyakit
kronik.1 Pada orang dewasa terlihat peningkatan prevalensi penyakit seperti obesitas, hipertensi, dan
diabetes melitus yang pada akhirnya terjadi penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular, juga gagal
ginjal kronik atau CKD ditandai dengan peningkatan penyakit ginjal stadium akhir (end state renal
disease=ESRD). Insidensi ESRD pada anak di seluruh dunia bervariasi berkisar antara 3 sampai 15,5 per
juta populasi di bawah usia 19 tahun.2 CKD ini merupakan masalah kesehatan yang serius dengan
akibat utama tidak hanya progresivitas menjadi gagal ginjal, tetapi juga meningkatkan risiko penyakit
kardiovaskular.2
Prevalensi CKD sekitar 1,5 ̶ 3,0 per satu juta pada anak usia kurang dari 16 tahun dengan penyebab
yang tersering adalah kelainan urologi (sekitar 30–33%) dan glomerulonefritis (sekitar 25–27%. Kedua
kelainan di atas menjadi bagian sekitar 50% ESRD pada anak. Penyebab lainnya adalah nefropati
herediter sekitar 16% serta hipoplasia dan displasia ginjal sekitar 11%.3 Sebesar tujuh puluh persen
anak yang terdiagnosis CKD akan berkembang menjadi ESRD pada usia 20 tahun dengan angka
harapan hidup 10 tahun sekitar 80% dan angka kematian sekitar 30x lebih besar dibanding dengan
anak tanpa ESRD.4
Seperti yang kita ketahui, tindakan kita pada anak saat ini akan berdampak pada kehidupan anak di
masa mendatang saat anak menanjak remaja dan dewasa sehingga pada dekade terakhir ini
difokuskan untuk memperlakukan anak selain saat ini juga sebagai calon dewasa masa depan. Salah
satunya adalah masalah ESRD yang berawal dari cidera pada ginjal yang dapat progresif dengan
penurunan fungsi ginjal seperti pada CKD. Hal ini diawali pada masa anak sehingga pencegahan
peningkatan ESRD pada dewasa harus dimulai pada usia anak.1
Prognosis CKD saat ini di negara maju telah mengalami perbaikan dengan bertambah maju tata
laksana medis, yaitu dukungan gizi yang agresif, pemberian eritropoetin, pemberian hormon
pertumbuhan, teknik dialysis, serta transplantasi ginjal.5 Hal ini didukung dengan deteksi dini CKD
sehingga dapat diterapi secara dini pula.4 Bila seseorang telah jatuh pada keadaan ESRD maka
permasalahan tidak hanya timbul pada prognosis yang makin memburuk, tetapi juga biaya
pengobatan yang meningkat. Makalah ini akan membahas CKD, deteksi, dan tata laksana dini yang
dapat kita lakukan dengan tujuan dapat mengurangi risiko terjadi ESRD.


Definisi
Pada tahun 2002 istilah insufisiensi ginjal kronik digunakan untuk mendefinisikan pasien yang
mengalami penurunan progresif fungsi ginjal, yaitu laju filtrasi ginjal (glomerular filtration rate=GFR)
kurang dari 75 mL/menit/1,73 m2 luas permukaan tubuh.3 Penyakit ginjal kronik (chronic kidney
disease=CKD) adalah istilah baru oleh Kelompok National Kidney Foundation Kidney Disease and
Outcome Quaility Initiative untuk mengklasifikasikan pasien yang mengalami kerusakan ginjal lebih
dari 3 bulan dengan atau tanpa penurunan GFR atau semua pasien dengan GFR kurang dari 60
mL/menit/1,73 m2 yang berlangsung lebih dari 3 bulan.1–5

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 134



Penyakit ginjal kronik CKD didefinisikan sebagai cidera ginjal (proteinuria) dan/atau laju filtrasi
glomerulus GFR < 60 ml/menit/1,73 m2 yang berlangsung lebih dari 3 bulan dengan atau tanpa
kerusakan ginjal.1–4 Kerusakan ginjal atau cidera ginjal biasanya diidentifikasi dengan terdapat
beberapa penanda dalam darah, urin, atau pemeriksaan pencitraan dibanding dengan biopsi.
Kemudian, National Kidney Foundation’s Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (NFK K/DOQI)
membuat kriteria definisi untuk CKD (Tabel 1).


Tabel 1. Kriteria Definisi CKD
Penderita dikatakan CKD bila terdapat salah satu kriteria di bawah ini:
1. kerusakan ginjal selama atau >3 bulan yang didefinisikan kelainan fungsi atau struktural ginjal dengan atau tanpa
penurunan GFR dengan manifestasi satu atau lebih gambaran berikut:
kelainan komposisi dalam darah dan urin;
kelainan pemeriksaan pencitraan;
kelainan pada biopsi ginjal;
2. 2
GFR <60 mL/menit/1,73 m selama >3 bulan dengan atau tanpa tanda lain kerusakan ginjal yang dikemukakan
di atas.
2 4
Dikutip dari: Hogg, Vogt


Klasifikasi
Klasifikasi stadium CKD dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Klasifikasi Stadium CKD
Stadium GFR Keterangan Rencana Terapi
2
(mL/menit/1,73 m )
1 >90 Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat
Tata laksana kondisi primer dan
komorbid.
Progresivitas CKD lambat
mengurangi risiko penyakit
kardiovaskular.
2 60–89 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan. Memperkirakan kecepatan
progresivitas CKD.
3 30–59 Penurunan GFR sedang. Evaluasi dan terapi komplikasi.
4 15–29 Penurunan GFR berat. Persiapan transplantasi ginjal.
5 <15 (atau dialisis) Gagal ginjal. Transplantasi ginjal.
Keterangan: rencana tindakan yang terdapat pada stadium yang berat juga termasuk rencana tindakan pada stadium yang
lebih rendah
2
Dikutip dari: Hogg dkk.


Etiologi
Pada anak, CKD dapat merupakan akibat dari kelainan ginjal kongenital, didapat, diturunkan, atau
metabolik dan sebab dasar yang berhubungan dengan usia penderita saat pertama kali CKD
terdeteksi. CKD pada anak usia <5 tahun biasanya disebabkan oleh kelainan kongenital seperti
hipoplasia ginjal, displasia, dengan atau tanpa uropati obstruktif. CKD pada usia setelah lima tahun
biasanya disebabkan oleh penyakit ginjal yang didapat seperti glomerulonefritis, walaupun masih
terdapat kemungkinan penyakit bawaan.5
Penyebab yang tersering adalah kelainan urologi (sekitar 30–33%) dan glomerulonefritis (sekitar
25–27%). Kedua kelainan di atas menjadi bagian sekitar 50% ESRD pada anak. Penyebab lainnya adalah
nefropati herediter (sekitar 16%) serta hipoplasia dan displasia ginjal (sekitar 11%).3


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 135



Tabel 3. Penyebab CKD pada Anak
Diagnosis Insidensi
Obstruksi uropati 22%
Aplasia/hipoplasia/displasia 18%
Glomerulonefritis 10%
Fokal glomerulosklerosis 9%
Refluks nefropati 8%
1
Dikutip dari: Whyte


Anatomi
Ginjal terletak dalam ruang retroperitoneal sedikit di bawah garis horizontal yang melalui unbilikus.
Rentang panjang dan berat sekitar 6 cm dan 24 gram pada bayi baru lahir dengan cukup masa
kehamilan sampai 12 cm dan >150 g pada dewasa. Ginjal mempunyai lapisan luar, yaitu korteks yang
mengandung glomerulus, tubulus proksimal dan distal yang berkelok-kelok, serta duktus koligentes
pada lapisan dalam, yaitu medula mengandung bagian lurus dari tubulus (ansa Henle), vasa rekta, dan
duktus koligentes terminal.4,6,7
Tiap ginjal terdiri atas satu juta nefron (glomerulus dan tubulus). Pada manusia pembentukan
nefron akan sempurna pada saat lahir, tetapi pematangan fungsi dengan pemanjangan tubulus
berlanjut selama dekade pertama kehidupan. Karena tidak ada nefron yang terbentuk lagi setelah lahir
maka kehilangan struktur nefron akan menyebabkan penurunan fungsi ginjal. Jumlah nefron yang
berkurang pada saat lahir akan menyebabkan hipertensi pada masa remaja yang kemungkinan
berhubungan dengan terjadi hiperfiltrasi dan sklerosis prematur pada nefron.
Kapiler glomerulus dibatasi dengan sel endotel dan mempunyai sitoplasma tipis yang berfenestrasi.
Membran basal glomerulus (glomerular basement membrane=GBM) membentuk lapisan kontinu
antara endotel dan sel mesangial di satu sisi dan dengan sel epitel di sisi yang lain. GBM ini mempunyai
tiga lapisan, yaitu 1) lamina densa; 2) lamina rara interna; dan 3) lamina rara eksterna yang berada di
antara lamina densa dan sel epitel. Sel epitel viseral menutupi kapiler foot processes yang menempel
pada lamina rara eksterna. Di antara foot processes terdapat celah untuk filtrasi. Antara sel mesangial
(sel mesangial dan matriks) terdapat kapiler glomerulus pada sisi sel endotel dari GBM dan
membentuk bagian medial dinding kapiler. Bagian mesangium merupakan struktur pendukung kapiler
glomerular dan kemungkinan mempunyai peran dalam regulasi aliran darah dan filtrasi glomerular
serta dalam mengeluarkan makromolekul dari glomerulus seperti kompleks imun, baik dengan proses
fagositosis atau ksdengan cara transpor melalui kanal interseluler ke bagian juksta glomerular. Kapsula
Bowman yang meliputi glomerulus terdiri atas 1) membran basal yang bersambung dengan membran
basalis dari kapiler glomerulus dan tubulus proksimal; serta 2) sel epitel parietal bersambung dengan
sel epitel viseral.4

Fungsi Ginjal
Fungsi utama ginjal adalah menjaga keseimbangan internal dengan jalan menjaga komposis cairan
ekstraseluler.7 Ginjal memproses sebagian darah dengan membuang beberapa zat dalam darah dan
pada beberapa kasus menambahkan zat pada darah.6
Pertama, ginjal memegang peranan penting dalam pengaturan konsentrasi cairan, komposisi ion
inorganik, dan volume pada lingkungan internal. Fungsi tersebut dilakukan dengan mengeluarkan
cairan dan ion inorganik yang cukup untuk mempertahankan zat-zat pada tubuh tetap konstan. Kedua,
ginjal akan mengekskresi produk metabolit ke dalam urin secepatnya sehingga zat-zat buangan yang


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 136


bersifat toksik tidak menumpuk dalam tubuh seperti kreatinin, urea, asam urat, serta produk
pemecahan hemoglobin dan yang lainnya. Ketiga, fungsi ginjal adalah membuang bahan kimia asing
seperti dari obat, makanan, dan metabolitnya. Keempat, ginjal juga berfungsi gluconeogenesis, yaitu
pada keadaan puasa ginjal akan mensintesis glukosa dari asam amino dan prekursor lain serta
melepaskannya ke dalam darah. Terakhir, ginjal beraksi sebagai kelenjar endokrin yang melepaskan
eritropoetin, renin, dan 1,25 dihidroksivitamin D.6


Filtrasi Glomerulus
Saat darah melalui kapiler glomerulus maka plasma akan terfiltrasi melalui dinding kapiler glomelurus.
Zat dalam plasma yang terfiltrasi mengandung elektrolit, urea, kreatinin, peptid, dan molekul dengan
berat rendah. Zat-zat tersebut terkumpul dalam kapsula Bowman dan masuk ke dalam tubulus serta
mengalami perubahan komposisi oleh sekresi dan absorbsi cairan, juga larutan.5
Filtrasi glomerular merupakan hasil tekanan yang berasal dari bagian lain dinding kapiler. Tekanan
untuk filtrasi merupakan hasil tekanan sistemik arteri yang dipengaruhi juga oleh tonus arteriol aferen
dan eferen. Tekanan onkotik adalah tekanan kapiler glomerular yang kuat untuk filtrasi yang berasal
dari perbedaan antara konsetrasi protein plasma yang tinggi dalam kapiler dan pada kapsula Bowman.
Filtrasi glomerular dimulai saat usia sembilan minggu kehamilan dan setelah lahir akan meningkat
fungsinya sampai pertumbuhan berhenti saat kira-kira dekade kedua kehidupan.
Laju filtrasi glomerular (GFR) dapat diperkirakan dengan mengukur kreatinin serum. Kreatinin
berasal dari metabolisme otot yang diproduksi secara konstan dan ekskresinya terutama melalui
filtrasi glomerulus.6 Berbeda dengan konsentrasi urea dalam darah yang dipengaruhi oleh status
hidrasi dan keseimbangan nitrogen, kadar kreatinin serum terutama dipengaruhi oleh fungsi
glomerular. Klinis, kreatinin serum tidak akan meningkat di atas normal sampai GFR menurun 30–40%.
Kreatinin serum juga merupakan nilai yang dapat digunakan untuk memperkirakan GFR dalam
keadaan steady state.5
GFR tidak hanya ditentukan oleh tekanan filtrasi jaringan, tetapi juga oleh permeabilitas membran
korpuskular dan luas permukaan yang ada untuk filtrasi.6 GFR digunakan karena dianggap dapat
memberikan gambaran fungsi ginjal secara keseluruhan. Interpretasi yang tepat terhadap nilai GFR
berbeda pada tiap pasien terutama pada anak dan remaja sehingga memerlukan pengetahuan
mengenai nilai GFR normal pada usia ini menurut usia, jenis kelamin, dan besar tubuh. Nilai normal
GFR pada dewasa muda sekitar 120–130 mL/menit/1,73 m2, sedangkan untuk usia bayi awal lebih
rendah. Nilai GFR dalam Tabel 4 menentukan stadium CKD digunakan untuk usia 2 tahun dan >2 tahun,
sementara nilai GFR normal dapat dilihat pada Tabel 4.












PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 137




Tabel 4. Nilai Normal GFR pada Anak dan Remaja
2
Usia (seks) GFR Rata-rata + SD (mL/m/1,73 m )
1 minggu (laki-laki dan perempuan) 41 + 15
2–8 minggu (laki-laki dan perempuan) 66 + 25
.>8 minggu (laki-laki dan perempuan) 96 + 22
2–12 tahun (laki-laki dan perempuan) 133 + 27
13–21 tahun (laki-laki) 140 + 30
13–21 tahun (perempuan) 126 + 22
2
Dikutip dari: Hogg dkk.

Tabel 5. Estimasi GFR pada Anak Menggunakan Kreatinin Serum dan Tinggi Badan
Penulis, Tahun
Perhitungan
(Jumlah Subjek)
12 2
Schwartz dkk. (N= 186) Ccr (mL/m/1,73 m ) = 0,55 x tinggi (cm)
Scr (mg/dL)
2
Counahan dkk. (N = 108) GFR (mL/m/1,73 m ) = 0,43 x tinggi (cm)
Scr (mg/dL)
Keterangan: Ccr = klirens kreatinin; Scr = kreatinin serum Pada persamaan Schwartz konstanta pada anak <1 tahun: 0,45
sementara pada remaja: 0,7
3
Dikutip dari: Hogg dkk.


Patogenesis
Hiperfiltrasi dapat merupakan jalur penting pada kerusakan glomerular yang tidak bergantung pada
penyebab dasar yang menyebabkan cidera atau kerusakan ginjal. Saat beberapa nefron hilang atau
rusak maka sisa nefron yang ada akan mengalami hipertrofi yang ditandai dengan peningkatan aliran
darah glomerular. Hal ini akan memaksa filtrasi glomerular yang kemudian meningkat pada nefron
yang bertahan. Walaupun mekanisme kompensasi ini dapat mewakili fungsi ginjal secara total, namun
hal ini dapat menyebabkan kerusakan yang progresif dari glomeruli yang masih normal, mungkin
karena efek langsung peningkatan tekanan hidrostatik terhadap integritas dinding kapiler dan/atau
efek toksik peningkatan pindahnya protein yang melalui dinding kapiler. Dengan berjalannya waktu
maka populasi nefron yang mengalami nekrosis akan bertambah, nefron yang bertahan akan
mengalami kerusakan yang mengakibatkan siklus yang tidak normal dari peningkatan aliran darah
glomerular dan cidera hiperfiltrasi.5
Proteinuria sendiri dapat berkontribusi dalam penurunan fungsi ginjal. Protein yang melalui dinding
kapiler glomerulus mempunyai efek langsung toksisitas dan mendatangkan makrofag/monosit yang
akan meningkatkan proses glomerulosklerosis serta fibrosis tubulo-interestitial.4 Terdapat hipertensi
yang tidak terkontrol dapat memperburuk progresivitas penyakit dengan menyebabkan arteriolar
nefrosklerosis dan meningkatkan hiperfiltrasi.4 Hiperfosfatemia dapat meningkatkan progresivitas
penyakit dengan penumpukan kalsium fosfat pada interestisial renal dan pembuluh darah, sedangkan
hiperlipidemia dapat memengaruhi glomerular dengan cidera yang diperantarai zat-zat oksidan.5
Keadaan penurunan fungsi ginjal tersebut dapat menyebabkan berbagai komplikasi dari penyakit
ginjal seperti anemia, gagal tumbuh, dan kelainan tulang. Pada anemia, salah satunya disebabkan oleh
produksi eritropoetin yang berkurang karena penurunan fungsi ginjal, selain karena masalah makan
disebabkan oleh anoreksia, mual, dan muntah. Gagal tumbuh terjadi karena bila fungsi ginjal menurun
maka GH akan meningkat disebabkan oleh klirens pada ginjal berkurang terhadap GH, diikuti
berkurangnya reseptor GH dan terjadi regulasi GH dari inhibitor intraseluler yang memengaruhi
fosforilasi reseptor GH dan terajadi resistensi terhadap GH. Selain itu, diduga konsentrasi IGF aktif

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 138


berkurang pada pasien CKD dengan peningkatan protein pengikat IGF. Dengan penurunan fungsi ginjal
terjadi penghambatan aksi IGF-1 sehingga tidak berikatan dengan reseptornya. Hormon lain yang
berperan adalah leutenizing hormone (LH), testosteron plasma dan bebas karena hormon-hormon ini
berperan penting pada perkembangan pubertas dan pertumbuhan cepat pada anak.3


Faktor Risiko
Risiko terjadi CKD dapat meningkat akibat berbagai faktor. Terdapat risiko biomedikal yang
merupakan penyakit atau kelainan yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal, baik dari luar sistem
urinarius atau dari dalam sistem urinarius. Onset CKD berhubungan dengan onset dari faktor ini.9
1. Diabetes melitus
Pada penderita DM kadar gula darah meningkat dengan kadar insulin yang kurang dan bila
tidak diterapi dengan baik maka peningkatan kadar gula darah akan menyebabkan kerusakan
filtrasi kapiler ginjal dengan komplikasi diabetik nefropati. Pada keadaan kapiler rusak maka
protein akan bocor karena efisiensi filtrasi ginjal juga menurun.
2. Hipertensi dan hipertensi yang tidak tertangani dengan baik dapat menyebabkan kerusakan
pembuluh darah ginjal. Dinding pembuluh darah akan menebal dengan diameter internal
akan menyempit sehingga akan menyebabkan suplai darah ke ginjal akan berkurang. Tekanan
darah yang tinggi sangat berhubungan dengan obesitas dan konsumsi garam yang tinggi.
3. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis merupakan kelompok gejala kelainan ginjal yang ditandai dengan
peradangan pada glomerulus yang dapat menyebabkan kerusakan ginjal bertahap dan
progresif terutama pada struktur ginjal.8,9
4. Kelainan kongenital
Kelainan ginjal kongenital ditemukan pada saat lahir yang dapat diturunkan atau didapat pada
saat kehidupan intrauterin. Kelainan kongenital termasuk malformasi, hipoplasia, atau
displasia.
5. Batu pada saluran kemih
Biasanya batu saluran kemih timbul karena infeksi saluran kemih berulang dan asam urat yang
tinggi. Batu saluran kemih akan menyebabkan obstruksi saluran kemih yang dapat merusak
ginjal dan meningkatkan lagi risiko glomerulonefritis.
6. Infeksi streptokokus
Infeksi streptokokus meningkatkan risiko glomerulonefritis yang kemudian akan mengganggu
fungsi ginjal.















PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 139


Tabel 6. Kelainan yang Meningkatkan Risiko CKD
• Riwayat keluarga dengan penyakit ginjal polikistik atau penyakit ginjal genetik lainnya.
• Bayi dengan berat badan lahir rendah.
• Anak dengan riwayat gagal ginjal akut akibat hipoksemia perinatal atau cidera akut pada ginjal.
• Displasia atau hipoplasia ginjal.
• Kelainan urologi terutama uropati obstruktif.
• Vesicoureteral reflux (VUR) yang berhubungan dengan infeksi saluran kemih berulang dan jaringan parut pada
ginjal.
• Riwayat nefritis akut atau sindrom nefrotik.
• Riwayat sindrom uremik hemolitik.
• Riwayat Henoch-Schonlein purpura.
• Diabetes melitus.
• Systemic lupus erythematosus.
• Riwayat hipertensi yang berasal dari trombosis arteri renalis atau vena renalis pada periode neonatal.
2
Dikutip dari: Hogg dkk.


Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis CKD bervariasi bergantung pada kelainan ginjal yang mendasarinya. Namun, secara
garis besar seorang anak CKD akan memperlihatkan gejala insufisiensi ginjal seperti buang air kecil
yang berkurang, hipertensi, gagal tumbuh, atau perawakan pendek.
Gejala klinis yang timbul pada CKD merupakan menifestasi dari:
1. Kegagalan tubuh dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit;
2. Penumpukan metabolit toksik yang disebut toksin uremik;
3. Kurang hormon ginjal seperti eritropoetin dan bentuk aktif vitamin D (1,25 dihidroksi vitamin
D3);
4. Abnormal respons end organ terhadap hormon endogen (hormon pertumbuhan).
Keluhan dapat disertai anak sering terlihat pucat, edema, muntah, kejang, atau bahkan sesak
karena asidosis. Bayi dan anak yang mengalami kelainan kongenital seperti displasia ginjal dan uropati
obstruktif dapat memperlihatkan gagal tumbuh, dehidrasi dengan poliuria, infeksi saluran kemih, atau
insufisiensi renal. Kebanyakan bayi dengan kelainan kongenital pada ginjal dapat diidentifikasi dengan
USG untuk deteksi dini dan intervensi terapi.4
Anak dapat mempunyai riwayat keluhan ginjal seperti demam, sakit pinggang, bengkak pada muka
dan ekstremitas, gangguan berkemih seperti nyeri saat berkemih (disuria), perubahan warna air seni,
mengompol (enuresis), tidak dapat menahan buang air kecil (urgensi), buang air kecil berwarna
kemerahan (hematuri), tekanan darah tinggi, serta frekuensi berkemih atau jumlah air seni saat
berkemih berkurang.11
CKD dengan penyebab dasar penyakit ginjal kongenital biasanya mempunyai riwayat keluarga
mempunyai kelainan yang sama di keluarga atau pemakaian obat-obatan saat hamil.11 Walaupun
penyakit kongenital biasanya tidak bergejala, namun kadang pada saat remaja dapat memberikan
gejala insufisiensi ginjal seperti hipertensi dan frekuensi buang air kecil ataupun jumlah air seni
berkurang.4,10
Pada pasien CKD yang disebabkan oleh penyakit glomerulus atau kelainan herediter, gejala klinis
penyebab awalnya dapat kita ketahui, sedangkan gejala CKD-nya sendiri tersembunyi dan hanya
menunjukkan keluhan nonspesifik seperti sakit kepala, lelah, letargi, kurang nafsu makan, muntah,
polidipsi, poliuria, dan gangguan pertumbuhan. Pada pemeriksaan fisis sering ditemukan anak tampak
pucat, lemah, dan menderita hipertensi. Keadaan ini dapat berlangsung bertahun-tahun sehingga
pasien telah menderita gangguan anatomis berupa gangguan pertumbuhan dan rikets. Pemeriksaan
yang teliti dan cermat akan ditemukan keadaan-keadaan seperti azotemia, asidosis, hiperkalemia,


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 140


gangguan pertumbuhan, osteodistrofi ginjal, anemia, gangguan perdarahan, hipertensi, serta
gangguan neurologi.4,12


Gangguan Keseimbangan Elektrolit
Dengan berkurangnya LGF yang progresif pada pasien CKD, ginjal akan mempertahankan
keseimbangan natrium dengan meningkatkan ekskresi natrium oleh nefron yang masih baik. Bila
adaptasi ini tidak terjadi akan terjadi retensi natrium yang akan membahayakan tubuh. Penderita CKD
tidak dapat mengeliminasi beban natrium dengan cepat, yaitu pada pasien CKD dengan LFG subnormal
(LFG rata-rata 34 mL/menit/1,73 m2) hanya mampu mengekskresi setengah dari jumlah natrium
dalam waktu 2 jam setelah diberi infus NaCl dibanding dengan orang normal. Hal ini menujukkan
toleransi pasien CKD terhadap peningkatan asupan natrium yang tiba-tiba buruk dan dapat
menimbulkan perubahan volume ekstraseluler.12
Pada keadaan CKD, ginjal tidak mampu menurunkan ekskresi natrium pada saat diberikan diet
dengan retriksi natrium. Konsentrasi minimum urin pada pasien CKD ringan sampai sedang adalah 25–
50 mEq/L karena ketidakmampuan nefron distal meningkatkan reabsorpsi natrium. Bila diberikan
retriksi garam secara tiba-tiba pada pasien CKD akan timbul penurunan volume cairan ekstraseluler,
perfusi ginjal, dan LFG. Pasien CKD karena penyakit ginjal interstitial, displasia ginjal, dan penyakit
kistik adalah yang paling sering menyebabkan salt wasting ini. Tubulus ginjal pasien CKD karena
nefropati obstruktif ditemukan kurang responsif terhadap aldosteron endogen
(pseudohipoaldosteronisme).12,13
Keseimbangan kalium relatif dapat dipertahankan pada LGF di atas 10 mL/m/1,73 m2. Homeostasis
kalium pada pasien CKD dipertahankan dengan meningkatkan ekskresi renal dan ekstrarenal. Ekskresi
renal dicapai dengan meningkatkan ekskresi fraksional, sedangkan ekskresi ekstrarenal terutama
melalui feses sebanyak 75%. Namun, hiperkalemia tetap merupakan ancaman bagi pasien CKD.
Pada pasien CKD dapat terjadi hipokalemia yang terjadi akibat pemakaian diuretik atau akibat
pemberian diet rendah kalium. Gejala yang diperlihatkan berupa penurunan atau hilangnya refleks
otot yang akan sangat berbahaya bila mengenai otot-otot interkostal karena dapat menyebabkan
henti napas (respiratory failure).3,12
Asidosis metabolik biasanya ditemukan pada pasien CKD dengan LGF <25% dari normal, ditandai
dengan penurunan kadar bikarbonat plasma (tCO2 12–15 mEq/L) dan peningkatan senjang anion. Hal
ini terjadi akibat ketidakmampuan pengeluaran ion hidrogen atau asam endogen yang dibentuk
karena insufisiensi sintesis amonium pada segmen nefron distal. Rentang anion meningkat terjadi
akibat retensi anion seperti sulfat, fosfat, urat, dan hipurat dalam plasma (pada ginjal normal anion ini
diekskresi oleh filtrasi glomerulus).3,12 Selain terlibat dalam patogenesis gangguan pertumbuhan dan
memperburuk hiperkalemia yang ada, asidosis juga menimbulkan keadaan katabolik pada pasien CKD.
Manifestasi klinis asidosis adalah takipnea, hiperpnea, perburukan hyperkalemia, dan mungkin
gangguan pertumbuhan.

Masalah Pertumbuhan
Kadang penderita CKD datang dengan perawakan pendek. Gagal tumbuh atau keterlambatan
pertumbuhan merupakan komplikasi pada penderita CKD dan berhubungan dengan onset awal CKD.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan masalah pertumbuhan pada penderita CKD seperti hormon
pertumbuhan (growth hormone=GH), insulin-like growth factor (IGF-1), status nutrisi, dan mineralisasi
tulang.


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 141


GH dilepaskan dari hipofise anterior diatur oleh GH-releasing factor dan somatostatin dengan
feedback negative melibatkan konsentrasi GH dan IGF-1. Kebanyakan IGF-1 berikatan dengan protein
pengikat yang spesifik. GH mempunyai efek langsung tidak hanya terhadap tulang, tetapi juga
terhadap jaringan tubuh yang lain. Bila fungsi ginjal menurun maka GH akan meningkat karena klirens
pada ginjal berkurang terhadap GH. Pada CKD peningkatan GH juga diduga diikuti dengan
berkurangnya reseptor GH atau ada juga yang menyatakan terjadi regulasi GH dari inhibitor
intraseluler yang memengaruhi fosforilasi reseptor GH dan menyebabkan resistensi terhadap GH.
Selain itu, diduga konsentrasi IGF aktif berkurang pada pasien CKD, dengan peningkatan protein
pengikat IGF karena dengan penurunan fungsi ginjal terjadi penghambatan aksi IGF-1 sehingga tidak
berikatan dengan reseptornya.
Hormon lain yang juga berperan adalah leutenizing hormone (LH), serta testosteron plasma dan
bebas karena hormon-hormon ini berperan penting pada perkembangan pubertas dan pertumbuhan
cepat pada anak.3
Faktor terpenting adalah usia waktu timbulnya CKD karena paling sering memengaruhi
pertumbuhan adalah penyakit ginjal kongenital. Hal-hal yang diduga ada hubungannya dengan
gangguan pertumbuhan pada pasien CKD adalah usia, penyakit ginjal kongenital, gangguan fungsi
ginjal usia dini, asidosis, osteodistrofi ginjal, dan gangguan hormonal.12


Nutrisi
Penderita CKD juga mempunyai masalah nutrisi dan asupan protein karena beberapa keadaan seperti
anoreksia, mual, dan muntah. Kekurangan vitamin juga merupakan masalah pada pasien CKD dan
biasanya timbul setelah dialisis.


Osteodistrofi ginjal
Anak CKD stadium II biasanya dapat memperlihatkan tanda dan gejala gangguan tulang atau minimal
memperlihatkan kelainan gambaran laboratorium seperti kadar kalsitriol berkurang (1,25-
dihidroksivitamin D3) dan peningkatan hormon paratiroid (PTH) serum.4 Osteodistrofi ginjal biasanya
didapatkan bila anak sudah mengalami CKD stadium III.
Ginjal normal dapat mempertahankan keseimbangan kalsium, fosfor, dan magnesium, tetapi pada
penderita CKD terjadi hipokalsemia dan hiperfosfatemia. Pada ginjal yang normal dapat mengubah
25-dihidroksivitamin D3 menjadi 1,25-dihidroksivitamin D3 yang dirangsang dengan hipokalsemia,
pelepasan hormon paratiroid (PTH), dan asupan fosfat yang berkurang.3 Hiperfosfatemia akan
menyebabkan kadar ion kalsium menurun, keadaan ini merangsang kelenjar paratiroid untuk
mengeluarkan hormon lebih banyak agar ekskresi fosfor meningkat dan kadar fosfot kembali normal.
Jadi osteodistrofi ginjal adalah kelainan tulang pada CKD sebagai akibat gangguan absorpsi kalsium,
hiperfungsi paratiroid, dan gangguan pembentukan vitamin D aktif.
Pada penyakit ginjal terjadi peningkatan produksi kalsitriol, penurunan absorbsi kalsium pada usus,
dan hipokalemia. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan PTH. Pada keadaan hiperfosfatemia dan
vitamin D yang kurang maka PTH tidak banyak berefek sehingga kemudian terjadi kelainan mineralisasi
tulang.
Gejala klinis berupa gangguan pertumbuhan, gangguan bentuk tulang, fraktur spontan, dan nyeri
ruling. Apabila disertai rakitis yang jelas akan timbul hipotonia umum, lemah otot, dan nyeri otot.




PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 142


Gangguan Keseimbangan Cairan
Pada CKD terjadi gangguan dalam pemekatan urin, tidak mampu memekatkan urin di atas 300
mosmol/L. Berat jenis dan osmolaritas urin seperti berat jenis plasma plasma, hal ini disebabkan oleh
bertambahnya nefron yang rusak sehingga beban osmotik ekskresi yang ditanggung oleh nefron yang
tersisa semakin bertambah. Hal ini menyebabkan reabsorpsi air oleh tubulus berkurang dan
menyebabkan isostenuria. Isostenuria yang resisten terhadap pemberian pitresin dari luar pada CKD
menunjukkan gangguan terhadap respons tubulus terhadap ADH yang juga berperan dalam terjadinya
isostenuria. Hal di atas sering terjadi pada CKD yang disebabkan oleh uropati obstruktif, displasia
ginjal, serta penyakit ginjal kistik dan interstitial. Pasien ini sering mengalami dehidrasi bila masukan
cairan tidak mencukupi atau dibatasi. Dehidrasi yang berulang dan syok akan memperburuk LFG. Pada
beberapa keadaan pasien tidak dapat mengencerkan urin secara maksimal dan tidak dapat
membuang kelebihan cairan tubuh secara cepat dan efektif sehingga dapat timbul masalah kelebihan
cairan.


Gangguan Metabolisme
Manifestasi CKD dapat disertai intoleransi glukosa dengan menunjukkan hiperglikemia. Keadaan ini
sebagai akibat resistensi terhadap insulin yang menghambat glukosa masuk ke dalam sel. Pada anak
yang menderita CKD insulin plasma meningkat hingga harus dilakukan pemantauan kadar glukosa
untuk kemungkinan pemberian glikosa parenteral. Diduga toksin uremik yang menyebabkan resistensi
insulin dan terdapat peranan peninggian kadar glukagon dan hormon pertumbuhan.12
Biasanya timbul hiperlipidemia yang bermanifestasi sebagai hipertrigliserida, kadar kolesterol
darah normal, peninggian VLDL (very low density lipoprotein), dan penurunan LDL (low density
lipoprotein). Hal ini terjadi karena peningkatan produksi trigliserida di hepar akibat hiperinsulinisme
dan penurunan fungsi ginjal, serta karena penurunan katabolisme trigliserida. Keadaan ini biasanya
terjadi bila LFG <40 mL/menit/1,73 m2 dan peningkatan lemak ini sesuai dengan progresivitas CKD
yang bertambah. Lebih dari 2/3 anak akan mengalami hiperlipidemia pada saat gagal ginjal terminal.
Akhir-akhir ini diduga gangguan terjadi pada catabolic pathway trigliserida. Hal ini didukung oleh
sering terjadi penurunan klirens trigliserida pada pasien uremia yang mendapatkan trigliserida dari
luar. Namun, dialisis ternyata tidak memperbaiki keadaan hiperlipidemia pada pasien CKD.


Anemia
Keadaan pucat pada anak CKD sering ditemukan dan biasanya disebabkan oleh produksi eritropoetin
yang berkurang pada penyakit ginjal atau kadang dengan anemia defisiensi besi.3 Anemia normositer,
normokromik ditemukan dan berhubungan dengan derajat CKD.
Eritropoetin ialah hormon glikoprotein yang diproduksi oleh ginjal (90%) dan sisanya diproduksi di
luar ginjal (hati dan sebagainya). Kadar eritropoetin serum nyata menurun pada pasien CKD stadium
lanjut dan ESRD ini tidak jelas pada LFG >20 mL/menit/1,73 m2. Anemia pada pasien dapat dikoreksi
dengan pemberian eritropoetin rekombinan dan responsnya bergantung pada dosis yang diberikan.
Dengan terapi ini terlihat perbaikan pada toleransi latihan, fungsi kognitif, dan kualitas hidup
keseluruhan. Mekanisme lain terjadi anemia pada CKD adalah pemendekan umur eritrosit menjadi
2/3 umur normal, toksisitas alumunium karena pemakaian obat-obat pengikat fosfat yang
mengandung alumunium, iatrogenik karena kehilangan darah sewaktu dialisis dan pengambilan
contoh darah, serta terjadi defisiensi asam folat pada pasien yang sedang menjalani dialisis. Anemia
yang terjadi karena toksisitas alumunium mempunyai gambaran mikrositik, hipokrom yang mirip
dengan defisiensi besi, tetapi kemampuan mengikat besi dan kadar feritin serum normal.1,3,12

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 143


Gangguan Perdarahan
CKD stadium lanjut (III–IV) biasanya mengalami gangguan perdarahan dengan pemanjangan waktu
perdarahan. Hal ini diduga disebabkan oleh gangguan agregasi trombosit dan respons terhadap ADP
(adenosin fosfat) eksogen, kolagen, dan epinefrin berkurang. Jumlah platelet faktor 3 dan retraksi
bekuan juga menurun pada CKD yang tidak menjalani dialisis. Faktor lain yang diduga berperan dalam
gangguan perdarahan adalah gangguan pada faktor VIII (dapat diperbaiki dengan kriopresipitat dan
desmopresin), gangguan metabolisme (prostaglandin inhibitor-2) PGI2, dan aspirin.


Gangguan Fungsi Kardiovaskular
Hipertensi pada CKD disebabkan oleh kadar renin tinggi akibat ginjal yang rusak, tetapi bila LFG
menurun dan jumlah urin berkurang hipertensi sering terjadi akibat kelebihan cairan. Keadaan ini akan
menimbulkan keluhan sakit kepala, badan lemah, gagal jantung bendungan, dan kejang. Sementara
bila hipertensi menetap (persisten) mungkin terjadi diakibatkan oleh LFG yang berkurang. Pada pasien
hipertensi persisten tanpa keluhan harus dievaluasi untuk mencari kerusakan organ. Pemeriksaan
oftalmologi perlu selalu dilakukan pada pasien hipertensi persisten serta pemeriksaan EKG5,12 atau
echocardiography untuk mencari hipertropi jantung.
Bila terdapat hipertensi, kita harus meneliti semua faktor yang dapat meninggikan tekanan darah
seperti faktor kardiovaskular, peningkatan tekanan pembuluh darah perifer, faktor neurogen,
hormonal, dan faktor neurovaskular.
Perikarditis merupakan komplikasi yang sering terjadi pada CKD, terutama timbul pada pasien
uremia berat tanpa dilakukan dialisis. Kadang pada pasien yang mendapat dialisis adekuat juga timbul
perikarditis dan efusi yang hemoragis. Pasien yang mendapat dialisis peritoneal dilaporkan lebih
jarang menderita perikarditis. Patogenesis perikarditis masih belum diketahui, tetapi terdapat dugaan
penyebabnya adalah kelebihan cairan. Manifestasi perikarditis berupa nyeri dada, demam, dan efusi
perikardial. Dapat terjadi tamponande jantung terutama pada efusi perikardial yang hemoragis.
Pada pasien CKD toleransi terhadap latihan rendah. Kapasitas kerja aerobik pada pasien CKD dan
ESRD yang menjalani dialisis kronik menurun sesuai dengan penurunan konsentrasi haemoglobin.
Toleransi dilaporkan membaik dengan koreksi Hb memakai eritropoetin rekombinan. Kardiomiopati
uremik sering menimbulkan gagal jantung kongestif. Pada pasien CKD dapat ditemukan hipertropi
ventrikel kiri dan penebalan septum interventrikuler.12

Gangguan Neurologi
Komplikasi berupa neuropati sensorik dan motorik jarang ditemukan pada anak. Gejala dapat berupa
parestesi telapak tangan atau kaki, rasa nyeri pada bagian distal, dan refleks tendon merupakan
manifestasi neuropati perifer uremik.
Peninggian tekanan darah yang hebat dan tiba-tiba dapat menyebabkan nekrosis arteri intrakranial
dan edema serebri dengan gejala sakit kepala, penurunan kesadaran, dan kejang. Krisis hipertensi
sering terjadi pada ESRD. Penurunan tekanan darah segera tidak akan meninggalkan gejala sisa yang
berat, tetapi bila sudah terjadi perdarahan serebral dan intraventrikuler dapat menimbulkan
kematian.






PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 144


Retardasi Mental
Diperkirakan terjadi peningkatan retardasi mental dengan peningkatan gangguan fungsi ginjal pada
bayi dan anak kecil yang menderita CKD pada tahun pertama kehidupan. Hal ini diduga karena
pengaruh ureum terhadap perkembangan otak dan banyaknya alumunium pada makanan bayi.


Perkembangan Seksual
Keterlambatan perkembangan seksual sering dijumpai pada pasien CKD. Keadaan ini merupakan
akibat disfungsi gonad primer dalam memproduksi steroid gonad, disfungsi hipofisis, dan gangguan
pengeluaran gonadotropin. Gangguan pengeluaran gonadotropin mengakibatkan pubertas
terlambat. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh uremia berat.12


Pemeriksaan Penunjang
Bila kita mencurigai seorang anak CKD, pertama yang kita lakukan adalah memastikan CKD dan
menentukan stadium CKD yang dialami oleh penderita dengan menghitung GFR penderita sesuai
dengan rumus yang telah diuraikan di atas. Kemudian, hasil perhitungan disesuaikan dengan stadium
CKD yang telah ditentukan. Oleh sebab itu, kita memerlukan pemeriksaan kreatinin serum untuk
perhitungan GFR.5
Selain ureum dan kreatinin, diperlukan pemeriksaan protein urin mengingat proteinuria
merupakan salah satu tanda kerusakan ginjal yang sensitif.4 Pada anak CKD akan didapatkan
peningkatan BUN dan kreatinin serum yang berpengaruh dalam perhitungan GFR.2 Albumin adalah
jenis protein yang sering ditemukan dalam urin penderita CKD.4 Peningkatan ekskresi protein albumin
melalui urin merupakan penanda yang sensitif pada pasien dengan diabetes melitus, penyakit
glomerular dan hipertensi, sedangkan peningkatan kadar globulin merupakan penanda untuk kelainan
atau penyakit tubuler. Pemeriksaan ini juga dapat dilakukan untuk skrining dan deteksi dini CKD.2,9
Pemeriksaan sedimentasi urin, pencitraan, dan dihubungkan dengan manifestasi klinis dapat
memperkirakan tipe-tipe CKD termasuk kelainan glomerular, vasklar, dan kistik. Pemeriksaan
pencitraan direkomendasikan pada penderita CKD yang telah diketahui atau penderita yang berisiko
tinggi terjadi CKD dan USG dapat berguna pada beberapa keadaan ini. Pemeriksaan invasif dapat
dilakukan sesuai dengan indikasi pada beberapa kasus seperti voiding cystourography dan biopsi
ginjal. Beberapa tipe atau penyebab CKD dapat memberikan gambaran yang khas dalam darah seperti
pada asidosis tubuler dan diabetes melitus.
Hasil pemeriksaan laboratorium lain yang dapat ditemukan adalah hiperkalemia, hiponatremia,
asidosis, hipokalsemia, hiperfosfatemia, dan peningkatan asam urat. Penderita dengan proteinuria
yang hebat dapat memberikan gambaran darah hipoalbuminemia, serta peningkatan kolesterol dan
triglliserida. Pemeriksaan darah tepi dapat menggambarkan anemia normositik.


Penatalaksanaan CKD
Pada dasarnya penatalaksanaan CKD disesuaikan dengan etiologi CKD itu sendiri dengan tujuan utama
penatalaksaan CKD adalah 1) mengganti fungsi ginjal yang berkurang atau hilang yang berjalan
progresif dan 2) memperlambat progresivitas disfungsi renal. Penatalaksanaan anak CKD harus di
tempat atau senter yang terdiri atas multidisiplin ilmu termasuk medis, nutrisi, sosial, dan dukungan
psikologis.5
Dengan progresivitas gagal ginjal kronik serta komplikasinya seperti anemia, osteodistrofi renal,
dan gagal tumbuh maka prinsip tata laksana CKD adalah 1) deteksi dini CKD agar dapat memberikan

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 145


tata laksana dini dan monitoring yang tepat dengan harapan mengembalikan fungsi ginjal; 2)
pencegahan progresivitas CKD; serta 3) pencegahan dan tata laksana dini komplikasi gagal ginjal kronik
yang dapat berdampak peningkatan risiko kematian pada saat dewasa.1,13
Tata laksana CKD memerlukan monitoring ketat klinis dan laboratorium. Pemeriksaan darah harus
dilakukan rutin termasuk elektrolit serum, blood urea nitrogen (BUN), keratinin, kalsium, fosfat,
albumin, alkali fosfatase, dan hemoglobin.13 Pengukuran hormon paratiroid dan foto rontgen tulang
dapat dikerjakan untuk menilai osteodistrofi renal. Pemeriksaan ekokardiografi perlu dilakukan secara
periodik untuk melihat pembesaran ventrikel kiri dan disfungsi jantung yang dapat timbul sebagai
komplikasi dari CKD.1

Terapi pada anak dengan CKD harus mencakup:2
1. terapi spesifik berdasar atas diagnosis;
2. evaluasi dan terapi keadaan komorbid;
3. memperlambat penurunan fungsi ginjal;
4. pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular;
5. pencegahan dan terapi komplikasi dari penurunan fungsi ginjal (hipertensi, anemia, gagal
tumbuh);
6. persiapan terapi gagal ginjal;
7. penggantian fungsi ginjal dengan dialisis atau transplantasi ginjal.

Pengobatan CKD selain seperti di atas dapat dibagi menjadi beberapa bagian.
1. Terapi konservatif bertujuan memaksimalkan fungsi ginjal yang masih ada dengan diet,
pemberian natrium atau retriksi natrium, terapi osteodistrofi ginjal, asidosis, gangguan
jantung, pertumbuhan dan anemia, pembatasan minum, koreksi hiperkalemia dengan diet
atau pemberian kayeksalat 1 g/kgbb atau kalitake 1–2 kali sehari sampai kadar kalium < 6
mEq/L. Bila kadar kalium >7 meEq/L disertai dengan kelainan EKG diberikan natrium
bikarbonas atau kalsium glukonas.12
2. Terapi pengganti atau transplantasi.
Bila seorang anak telah jatuh pada penyakit ginjal stadium akhir maka terapi yang paling tepat
adalah transplantasi ginjal karena pada keadaan ini disfungsi ginjal telah berlanjut dan ginjal
tidak dapat mempertahankan fungsi dasar ginjal itu sendiri.2 Dengan transplantasi ginjal maka
anak dengan penyakit ginjal terminal dapat menjalani gaya hidup dan rehabilitasi yang
setidaknya hampir seperti keadaan normal. Sebanyak 75% anak di Amerika dengan ESRD
memerlukan dialisis sebelum dilakukan transplantasi dan biasanya hal ini direncanakan saat
anak telah terdiagnosis CKD stadium 4.5
Waktu optimal untuk dialisis ditentukan berdasar atas karakteristik pasien seperti berlebihnya
cairan yang tidak dapat dikoreksi, ketidakseimbangan elektrolit, asidosis, gagal tumbuh, serta
gejala uremia termasuk lemah, mual, dan muntah. Di Amerika kebanyakan anak usia <5 tahun
lebih dipilih dilakukan dialisis peritoneal (88%) dan >12 tahun dilakukan hemodialisis (54%).2
Salah satu literatur menyatakan pada beberapa senter jarang melakukan transplantasi pada
anak usia <6 bulan dan berat badan <6 kg karena mempertimbangkan risiko infeksi dan teknik
yang kemungkinan sulit.1
3. Mengatasi faktor yang dapat disembuhkan atau diatasi (reversibel).
Kerusakan ginjal dapat dihambat atau dihentikan sebelum sampai pada ESRD seperti
mengatasi hipertensi, gangguan jantung, infeksi saluran kemih, atau koreksi kelainan sruktur
ginjal.11

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 146


4. Mencari dan mengatasi faktor yang dapat memperberat.
Hal ini dilakukan dengan menganjurkan agar pasien melakukan kunjungan teratur dan
mengevaluasi pasien serta segera diberikan intervensi bila ditemukan faktor-faktor tersebut.
5. Penggunaan obat.
Penggunaan obat pada CKD harus berdasar atas penyesuaian dosis karena terdapat gangguan
pada fungsi ginjal akan menyebabkan akumulasi obat dan metabolitnya yang akhirnya akan
mengganggu fungsi ginjal.


Tabel 7. Koreksi Hiperkalemia
Nama obat Dosis Efek Samping
{ [0,6 x BB] x [bikarbonat normal-
Natrium bikarbonat bikarbonat hasil pemeriksaan]} : 2 Hipokalsemia
0,5 s.d. 1 mEq/kg i.v. dalam 1 jam
0,5 s.d. 1 mEq/kg i.v. dalam 5 s.d. 15
Kalsium glukonas 10% Aritmia
menit
Glukosa 0,5 g/kg dgn insulin 0,1 unit/kg
Glukosa dan insulin Hipoglikemia
i.v. selama 30 menit
Natrium polistiren sulfonat 1 g/kg per dosis PR atau PO Konstipasi/diare
Beta agonis 5 s.d. 10 mg aerosol Takikardia, hipertensi
I.v. = intravena; PO = per oral; PR= per rektal
3
Dikutip dari: Whyte


Anak CKD yang mengalami gagal tumbuh dengan grafik tetap di bawah -2 SD walaupun sudah
diberikan koreksi nutrisi yang adekuat serta terapi terhadap komplikasi yang juga adekuat perlu
dipikirkan pemberian hormon pertumbuhan dengan dosis awal 0,05 mg/kg/24 jam subkutan,
disesuaikan secara periodik, diberikan hingga mencapai 50 presentil tinggi midparental, mencapai
tinggi dewasa, atau sudah menjalani transplantasi ginjal.3
Vitamin D dapat diberikan pada keadaan osteodistrofi renal dengan kadar vitamin D rendah.
Pemberian rekombinan eritropoetin dimulai bila kadar hemoglobin berkisar 10 g/dL dengan dosis 50–
150 mg/kg/dosis tiap 1–3 minggu untuk mengurangi frekuensi transfusi. Untuk hipertensi selain
membatasi asupan garam dapat diberikan diuretik dengan tiazid 2 mg/kg/24 jam dibagi dua kali
pemberian atau dengan furosemid, penghambat ACE.3


Tabel 8. Analog Vitamin D
Analog Dosis Awal
1,25-dihydroxyvitamin D3 0,01 s.d. 0,05 mcg/kg per hari oral (<3 tahun)
(calcitriol) 0,25 s.d. 0,75 mcg/hari (>3 tahun)
Dapat dititrasi untuk mempertahankan konsentrasi normal PTH
1,25-dihydroxyvitamin D3 0,25 s.d. 0,5 mcg/hari per oral
(alfacalcidol) Dapat dititrasi untuk mempertahankan konsentrasi normal PTH
Vitamin D2 (dihydrotachysterol)
Vitamin D2 Pemberian secara oral dan i.v. untuk remaja dan dewasa
(doxercalciferol)
Synthetic vitamin D analog 0,04 s.d. 0,1 mcg/kg i.v. 3x setiap minggu ( >5 tahun)
(paricalcitol)
Iv = intravena; PTH = parathyroid hormone
3
Dikutip dari: Whyte


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 147


Asupan nutrisi pada anak CKD salah satu aspek yang penting dalam tata laksana CKD karena
walaupun sudah mengalami insufiensi ginjal, tetapi asupan kalori harus tetap memenuhi kebutuhan
anak untuk tumbuh. Pada kasus yang khusus dapat dipikirkan pemasangan pipa nasogastrik bila anak
tidak dapat mempertahankan berat dan tinggi yang ideal dengan pemberian oral. Kendala lain akan
muncul karena pada pemberian protein yang berlebih justru akan terjadi hiperfiltrasi yang
menyebabkan bertambahnya kerusakan ginjal lebih lanjut sehingga pembatasan pemberian protein
dapat membantu mengurangi atau memperlambat progresivitas penyakit ginjal dan pembatasan
protein sampai 0,8–1,1 g/kg per hari terbukti tidak berpengaruh pada pertumbuhan linier disertai
dengan pemberian multivitamin terutama asam folat.3
Hipertensi pada anak CKD sering ditemukan dengan peningkatan tekanan darah pada tiga kali
pemeriksaan selang satu minggu,3 kemudian diagnosis hipertensi ditentukan berdasar atas usia, jenis
kelamin, dan presentil tinggi badan. Untuk menangani hipertensi dapat diberikan obat antihipertensi
seperti inhibitor ACE atau beta blocker serta pembatasan asupan garam.11
Pada CKD, hematokrit harus dipertahankan 33–36% dan hemoglobin harus berada dalam rentang
11–12 g/dL. Pemberian rekombinan eritropoetin lebih diutamakan karena pada penderita CKD
pemberian transfusi sebenarnya dapat mempersulit bila akan dilakukan transplantasi ginjal. Transfusi
tidak hanya membuka jalan masuknya infeksi, tetapi juga memberi paparan terhadap human
lymphocyte antigen (HLA) yang akan meningkatkan risiko penolakan jaringan saat transplantasi.3
Dengan memperbaiki keadaan anemia anak akan memperlihatkan toleransi terhadap latihan fisik,
penampilan kognitif, dan fungsi jantung.3 Karena salah satu penyebab anemia defisiensi besi adalah
masalah makan pada anak CKD maka pemberian preparat besi perlu dengan dosis 2–3 mg/kg per hari
dibagi 2–3 kali sehari. Preparat besi juga dapat diberikan parenteral pada keadaan hemodialisis atau
dialisis peritoneal. Pemberian rekombinan eritropoetin secara subkutan pada CKD dapat membantu
dengan dosis 30–300 unit/kg per minggu.

Deteksi Dini dan Pencegahan CKD pada Anak


Dokter anak mempunyai kesempatan untuk melakukan skrining terhadap pasien yang mempunyai
risiko tinggi, mengidentifikasi pasien, mencegah kerusakan ginjal, serta memperlambat dampak CKD
dengan memulai terapi dini dan memonitoring progresivitas CKD. Pencegahan CKD mencakup tiga
aspek, yaitu pencegahan primer untuk menghilangkan atau mengurangi paparan terhadap faktor yang
dapat menyebabkan penyakit ginjal, termasuk strategi mengurangi paparan pada masa antenatal,
obat-obatan dan pencegahan penyakit yang diturunkan dengan konseling genetik, pencegahan
obesitas dan deteksi dini, serta tata laksana tepat hipertensi dan diabetes melitus.9
Pencegahan sekunder untuk mencegah progresivitas CKD menjadi stadium yang lebih berat.
Terakhir, pencegahan tersier difokuskan mengurangi atau memperlambat komplikasi jangka panjang,
kerusakan atau ketidakmampuan yang dapat terjadi, dan kemungkinan memerlukan transplantasi
ginjal.9
Pada kondisi anak yang bervariasi dapat timbul sebelum anak lahir dan bila kelainan ginjal tidak
dikenali secara dini dapat menyebabkan kerusakan ginjal yang menjadi CKD saat masa anak, remaja,
bahkan pada masa dewasa. Karena hal tersebut di atas maka langkah pencegahan dibagi menjadi
pencegahan antenatal dan posnatal.9





PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 148


Deteksi Dini
Deteksi dini bayi dengan kelainan kongenital ginjal dan/atau saluran kemih serta infeksi saluran kemih
akan membantu terapi lebih dini apakah dengan koreksi struktur yang mengalami kelainan atau
pemberian antibiotik profilaksis. Hal ini dapat mempertahankan fungsi ginjal dan untuk menentukan
perlu tidaknya atau kapan sebaiknya dilakukan terapi transplantasi.1,11
Pada glomerulonefritis kronik, deteksi dini dapat memberikan pencegahan peradangan yang
berlanjut pada ginjal dan menghindari kerusakan yang lebih lanjut. Anak dengan sindrom nefrotik tipe
resisten steroid seperti pada sindrom nefrotik glomerulosklerosis fokal dan segmental (FSGS)
merupakan salah satu keadaan yang sulit ditangani dan dapat berlanjut menjadi ESRD.1 Pada
penelitian anak FSGS resisten steroid, anak yang respons terhadap steroid mempunyai angka harapan
hidup lima tahun sekitar 80%, sementara yang betul-betul tidak berespons mempunyai angka harapan
hidup 35%.1
Perkumpulan internasional nefrologi membuat ketentuan bahwa setiap penderita dewasa dengan
hipertensi dan diabetes melitus perlu dilakukan skrining ulang untuk mengetahui kelainan atau
penyakit ginjal. Pada anak belum ada ketentuan apakah anak dengan diabetes melitus dan hipertensi
perlu dilakukan skrining.1

Pencegahan Antenatal
Beberapa penyakit infeksi kongenital dapat menyebabkan kerusakan ginjal seperti toksoplasma,
sitomegalovirus, dan rubela sehingga pencegahan untuk hal ini adalah imunisasi serta skrining,
kemudian bila didapatkan bukti terdapat infeksi harus diterapi. Selain itu, beberapa obat yang
dikonsumsi saat antenatal seperti inhibitor ACE, penghambat reseptor angiotensin, atau NSAID pada
awal kehamilan dapat menyebabkan kelainan ginjal kongenital.
Seorang anak dengan riwayat keluarga hipertensi, nefropati, diabetes melitus, glomerulonefritis
kronik, SLE, dan infeksi HIV mempunyai risiko penyakit ginjal. Pada anak dengan riwayat di atas
sebaiknya rutin diperiksakan fungsi ginjal, proteinuria, dan pemeriksaan USG atas indikasi. Riwayat
keluarga dengan pernikahan sedarah perlu diperhatikan terhadap kemungkinan penyakit ginjal serta
beberapa penyakit ginjal diturunkan secara genetik. Pada keadaan ini perlu dilakukan evaluasi genetik
dan konseling genetik terhadap keluarga untuk mengurangi risiko kelainan ginjal genetik bila perlu
dilakukan terapi gen. Deteksi kelainan ginjal kongenital dapat dilakukan dengan pemeriksaan cairan
amnion antenatal, USG, dan pemeriksaan darah ibu karena dari pemeriksaan ini dapat ditentukan
tindakan selanjutnya.

Pencegahan Postnatal
Kelainan kongenital ginjal biasanya memperlihatkan fungsi ginjal normal pada saat bayi yang
kemudian akan terlihat gangguan fungsi ginjal pada masa pertumbuhan cepat atau remaja karena
peningkatan metabolisme akan memaksa ginjal bekerja lebih berat dan akhirnya menurunkan fungsi
ginjal bahkan menyebabkan ESRD pada masa remaja dan anak.
Diagnosis antenatal dapat membantu tata laksana pada masa posnatal dengan mendeteksi atau
memeriksakan beberapa tes termasuk pencitraan untuk menentukan kelainan struktur ginjal dan
kelainan obtruksi. Selain itu, berat badan saat lahir dapat meningkatkan risiko penyakit ginjal. Di
negara berkembang berat badan lahir rendah berhubungan dengan prematuritas akan rentan
mengalami kelainan atau penyakit ginjal di kemudian hari. Dikatakan anak dengan berat badan lahir
rendah mempunyai jumlah nefron yang lebih sedikit yang dapat menyebabkan hipertensi, penyakit
kardiovaskular, dan memengaruhi fungsi ginjal di masa dewasa atau remaja.9

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 149


Simpulan
Penyakit ginjal kronik saat ini mulai merupakan masalah karena bila tidak terkontrol dapat jatuh pada
keadaan penyakit ginjal terminal. Pada anak CKD tata laksana yang baik akan mengurangi risiko jatuh
pada keadaan ESRD pada saat remaja atau dewasa. Bila CKD sudah jatuh pada keadaan ESRD maka
penanganan akan lebih kompleks dan memerlukan biaya yang lebih besar. Risiko ini dapat diatasi
dengan deteksi dini, diagnosis, serta penatalaksanaan dini dan tepat terhadap kelainan ginjal yang
dapat menimbulkan CKD.


Daftar Pustaka
1. Yap HK. Chronic kidney disease: the ABC of nephrology [diunduh 1 Februari 2010]. Tersedia
dari: URL: www.annals.edu.sg
2. Hogg RJ, Furth S, Lemley KV, Portman R, Schwartz GJ, Coresh J, dkk. National kidney
foundation’s kidney disease outcomes quality initiative clinical practice guidelines for chronic
kidney disease in children and adolescents: evaluation, classification, and stratification.
Pediatrics. 2003;111:1416–20.
3. Whyte DA, Fine RN. Chronic kidney disease in children. Pedatr Rev. 2008;29;335–41.
4. PGulati S. Chronic kidney disease. Department of nephrology, Sanjay Gandhi Post Graduate
Institute of Medical Sciences; senior consultant in pediatric nephrology, Department of
Nephrology and Transplant Medicine, Fortis Hospitals, India [diunduh 1 Februari 2010].
Tersedia dari: URL: http://emedicine.medscape.com
5. Vogt BA, Avner ED. Renal failure. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF,
penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders-Elsevier; 2007.
hlm. 2163–90.
6. National Kidney Foundation Kidney Disease Outcome Quality Initiative (KDOQI). Clinical
practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification dan stratification.
National Kidney Foundation. 2002 [diunduh 1 Februari 2010]. Tersedia dari: URL:
www.kidney.org
7. Widmaier EP, Raff H, Strang KT. The kidney and regulation of water and inorganic ion. Vander’s
human physiology; the mechanism of body function. Edisi ke-10. New York: McGrawHill; 2006.
hlm. 526–73.
8. Alatas H. Anatomi dan fisiologi ginjal. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono P, Pardede SO,
penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2002.
hlm. 1–28.
9. Chronic kidney disease in Australia [diunduh 1 Februrari 2010]. Tersedia dari: URL:
www.aihw.gov.au
10. Vijayakumar M, Namalwar R, Prahlad N. Prevention of chronic kidney disease in children. Ind
J Nephrol. 2007;17:47–52.
11. Sekarwana N. Deteksi dini sebagai upaya pencegahan penyakit ginjal anak untuk
meningkatkan kualitas hidup di masa depan. Pidato pengukuhan jabatan guru besar dalam
bidang ilmu kesehatan anak pada Fakulas Kedokteran Universitas Padjadjaran; 2008.
12. Sekarwana N, Hilmanto D, Rachmadi D. Gagal ginjal kronik. Dalam: Alatas H, Tambunan T,
Trihono P, Pardede SO, penyunting. Buku ajar nefrologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter
Anak Indonesia; 2002. hlm. 509–30.
13. Snively CS, Gutierrez C. Chronic kidney disease: prevention and treatment of common
complications [diunduh 2 Februari 2010]. Tersedia dari: URL: http://www.aafp.org/afp



PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 150


NUTRISI PADA BAYI BERAT LAHIR RENDAH

Fiva Aprilia Kadi


Neonatologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD – RSHS

Pendahuluan
Permasalah nutrisi pada bayi baru lahir baik cukup bulan maupun kurang bulan sampai saat ini masih
merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam perawatan neonatus. Pada beberapa dekade
terakhir, survival rate bayi yang lahir prematur meningkat terutama bayi berat lahir sangat rendah,
sehingga membutuhkan penanganan nutrisi yang adekuat untuk menunjang tumbuh kembangnya
agar tercapai optimal. Tujuan utama dari terapi nutrisi pada bayi cukup bulan adalah untuk
memastikan pertumbuhan pada masa transisi berlangsung baik dari masa fetus ke masa postnatal,
tujuan nutrisi untuk bayi prematur adalah melanjutkan proses pertumbuhan intrauterine dengan
lingkungan ekstrauterin hingga usia 40 minggu pasca konsepsi dan untuk tumbuh kejar.1 Bayi
prematur sangat berisiko untuk mengalami hambatan pertumbuhan saat keluar dari rumah sakit
karena kekurangan nutrisi dan penyakit yang menyertainya selama dirawat. 1
Perhitungan nutrisi parenteral dan enteral harus dihitung berdasarkan berat badan dan usia
gestasi. Kekurangan asupan substrat pada masa awal bayi dapat mengakibatkan efek jangka panjang
terhadap Proses metabolik dan risiko kesakitan pada kehidupan lanjut.2 Pada bahasan ini akan
dikemukakan mengenai nutrisi enteral dan parenteral pada bayi prematur dalam memenuhi
kebutuhan nutrisi sejak awal kelahiran.

Nutrisi Enteral
Indikasi Nutrisi Enteral. Pemberian minum harus dimulai secepat mungkin pada bayi dengan fungsi
gastrointestinal tract (GIT) normal dan hemodinamika stabil. Minum dimulai dalam 12 jam setelah
lahir pada bayi dengan berat lebih dari 1000 gram. Sedangkan pemberian minum dapat ditunda hingga
24-48 jam pada bayi dengan asfiksia (Skor APGAR pada lima menit < 4), pemakaian kateter umbilikal
dan berat lahir kurang dari 1000 gram.3
Kontraindikasi nutrisi enteral. Pemberian minum merupakan kontraindikasi pada kondisi adanya
obstruksi GIT, curiga atau terdiagnosis NEC. Pemberian minum ditunda bila kondisi bayi masih belum
stabil, seperti pada kondisi hemodinamik tidak stabil yang memerlukan resusitasi cairan atau dopamin
> 5 µg/kg/menit serta adanya kegagalan fungsi organ karena sebab apapun. 3
Nutrisi Enteral Minimal. Nutrisi Enteral Minimal (NEM) diindikasikan pada bayi baru lahir dengan
disfungsi gastrointestinal tract (GIT), tetapi tidak terdapat kontraindikasi pemberian minum enteral.
Tujuan NEM ini adalah untuk meningkatkan maturasi fungsi saluran cerna dan memperbaiki toleransi
minum. NEM ini tidak memberikan nutrisi (non-nutritional feeding). 3
NEM harus dimulai secepatnya setelah lahir bila memungkinkan. Susu formula atau ASI dapat
diberikan melalui selang nasogastrik dengan pemberian minum kontinyu atau intermiten.


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 151


Pemilihan Jenis Formula dan ASI
1. Air Susu Ibu
ASI adalah cara pemberian minum yang paling optimal dan harus diberikan sampai usia 6
bulan. 1
2. Human Milk Fortifier (HMF)
HMF ini direkomendasikan untuk bayi prematur dengan berat kurang dari 2000 gram saat
minum telah mencapai 50-100 ml/kg/hari. Pemberian direkomendasikan menggunakan half-
fortified breast-milk kemudian diganti dengan full-fortified berdasarkan toleransi minum. Bayi
prematur yang masih mengalami hambatan pertumbuhan saat pulang tetap harus
mendapatkan ASI dengan HMF sampai usia gestasi 40 minggu atau dilanjutkan hingga 52
minggu berdasarkan status pertumbuhannya.
3. Formula prematur
Diberikan pada bayi prematur dengan gestasi kurang dari 34 minggu atau berat badan kurang
dari 2000 gram.
4. Formula prematur post discharge
Diberikan pada bayi prematur setelah pulang. Pada bayi prematur yang masih mempunyai
hambatan pertumbuhan pada saat pulang, harus dilakukan pemantauan berkala dan protokol
minum yang bersifat individual. Bayi yang telah mencapai indeks pertumbuhan 25-50
persentil pada grafik pertumbuhan dapat mengganti susu formula prematur dengan formula
standar.
5. Diberikan pada bayi cukup bulan dengan fungsi GIT yang normal dan dapat diberikan pada
bayi prematur dengan usia gestasi > 34 minggu dan berat badan > 2000 gram.
6. Formula protein terhidrolisa dan formula asam amino
Formula dengan protein terhidrolisa sebagian baik diberikan pada bayi dengan risiko tinggi
alergi. Formula dengan protein terhidrolisa ekstensif dan asam amino direkomendasikan
untuk bayi-bayi yang mengalami alergi protein susu sapi setelah lahir. Formula berbasis asam
amino tidak direkomendasikan pada bayi prematur karena mempunyai tekanan osmotik yang
tinggi. Formula protein terhidrolisa dapat diberikan pada kondisi disfungsi saluran cerna (short
bowel syndrome, fistula intestinal, dsb) yang tidak dapat mentoleransi protein utuh.
Walaupun tidak tepat untuk bayi prematur, tetapi dapat dipertimbangkan diberikan
sementara untuk kondisi intoleransi minum atau komplikasi medis.
7. Formula bebas laktosa
Baik diberikan pada bayi dengan intoleransi laktosa primer maupun sekunder atau disfungsi
intestinal seperti diare persisten, short bowel syndrome, atau fistula intestinal.
8. Formula khusus
Dapat diberikan pada kondisi penyakit metabolik seperti fenilketonuria, penyakit maple syrup.

Rekomendasi
1. Energi
Sebagian besar neonatus dapat tumbuh optimal saat asupan enteral mencapai 105-130
kcal/kg/hari. Peningkatan asupan energi pada bayi prematur (110-135 kkal/kg/hari) dan bayi
berat lahir amat sangat rendah (150 kkal/kg/hari) dapat mencukupi kebutuhan neonatus.
2. Protein


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 152


Asupan protein pada bayi cukup bulan 2-3 g/kg/hari dan 3,5-4,5 g/kg/hari pada bayi kurang
bulan (4,0-4,5 g/kg/hari pada bayi kurang bulan dengan berat kurang dari 1 kg, 3,5-4,0
g/kg/hari pada bayi dengan berat 1-1,8 kg).
3. Lemak
Kebutuhan lemak bisa mencapai 5-7 g/kg/hari dan mencakup 40-50% energi total
4. Karbohidrat
Kebutuhan mencapai 10-14 g/kg/hari (40-50% energi total)

Tabel 1. Rencana Pemberian Minum pada Bayi Prematur


Berat Badan (g) Jadwal Awal (ml/kg/hari) Peningkatan Volume Full feeding
(mg/kg/hari)
< 750 Tiap 2 jam < 10 x 1 minggu 15 150
750-1000 Tiap 2 jam 10 15-20 150
1001-1250 Tiap 2 jam 10 20 150
1251-1500 Tiap 3 jam 20 20 150
1501-1800 Tiap 3 jam 30 30 150
1801-2500 Tiap 3 jam 40 40 165
>250 Tiap 4 jam 50 50 180
Dikutip dari : Ramel SE

!
Gambar 1. Panduan Pemberian Minum
Dikutip dari : Ben XM


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 153


Nutrisi Parenteral
Nutrisi parenteral digunakan untuk memberikan energi, cairan,asam amino, karbohidrat, lemak,
vitamin dan mineral untuk neonatus yang tidak dapat dipenuhi dengan asupan enteral. 1
Indikasi. Malformasi saluran cerna kongenital seperti atresia esofagus, atresia intestinal, penyakit
gastrointestinal yang didapat, enterokolitis nekrotikans, dan bayi prematur. 3
Kontrainsikasi NP dan Hal yang Harus Diperhatikan
1. Infus cairan tidak boleh digunakan untuk nutrisi dalam kondisi syok atau gangguan berat
keseimbangan cairan dan gangguan keseimbangan asam basa sampai kondisi tersebut
teratasi.
2. Dosis pemberian lemak harus dikurangi pada pasien dengan infeksi berat, risiko tinggi
perdarahan, atau gangguan pembekuan.
3. Lemak harus dikurangi bila trigliserida plasma melebihi 200 mg/dL dan harus ditunda bila
didapatkan trigliserida plasma melebihi 300 mg/dL.
4. Dosis lemak dikurangi bila bilirubin indirek melebihi 10 mg/dL.
Metode Akses Vena. Pemilihan akses vena untuk NP terutama tergantung dari kebutuhan nutrisi
pasien dan perkiraan lama pemberian NP serta kondisi individual seperti status perdarahan dan
kondisi vaskuler.
1. Akses vena perifer
Penggunaan akses perifer digunakan untuk jangka pendek (< 2 minggu) dengan osmolaritas
cairan NP tidak melebihi 900 mOsm/L. Untuk mencegah terjadinya tromboflebitis dilakukan
intervensi seperti tindakan aseptik selama pemasangan, pemeliharaan akses vena, dan
penggunaan jarum atau kateter vena perifer yang kecil.
2. Akses vena sentral
Akses vena sentral digunakan untuk pemberian NP dengan osmolaritas tinggi atau pemakaian
jangka panjang, termasuk penggunaan peripheral Inserted Central Catheter (PICC), kateter
vena sentral (CVC), dan umbilical kateter.
Komplikasi pemakaian vena sentral dapat terjadi pneumotoraks, letak kateter berubah,
hemotoraks, trombosis, dan emboli udara. Penggunaan kateter umbilikal dapat menimbulkan
komplikasi hipertensi portal dan abses hati. Pemasangan kateter vena sentral harus dilakukan
oleh tenaga professional dengan prosedur standar. Penggunaan kateter vena sentral
mengurangi risiko penusukan vena berulang.

Sistem infus pada NP


1. All in One system
Yaitu sistem peracikan semua substrat dalam satu kemasan yaitu karbohidrat, lemak, protein,
vitamin, dan elektrolit dan diberikan dalam satu line akses vena. Sistem ini merupakan cara
yang aman, efektif dan berisiko rendah.2 Keuntungan sistem ini adalah lebih mudah saat
pemberian, mengurangi komplikasi yang disebabkan manipulasi, keseimbangan nutrisi, dan
penghematan pembiayaan.
Tatacara peracikan sistem All in One (AIO)
a. Masukkan elektrolit dan trace element pada cairan asam amino atau larutan glukosa.
b. Campurkan vitamin larut lemak dan vitamin larut air. Kemudian, campurkan pada larutan
lemak.

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 154


c. Campurkan larutan glukosa dan larutan asam amino, lanjutkan dengan mencampurkan
lipid.
d. Campuran AIO harus diberi label yang berisi informasi pasien dan informasi obat.
Campuran AIO biasanya dibuat setiap hari dan harus disimpan pada suhu 2-8◦C kurang dari 24
jam. Bila tidak bercampur dengan lemak, harus dilindungi dari sinar matahari.
2. Sistem terpisah
Pada sistem ini karbohidrat,lemak, dan protein diberikan dengan botol terpisah, tetapi dapat
dialirkan melalui satu jalur vena atau juga terpisah. Keuntungan sistem ini adalah fleksibel dan
dapat disesuaikan dengan cepat sesuai kebutuhan pasien. Namun, kerugiannya adalah
meningkatnya manipulasi saat penggantian kemasan, hiperglikemia, dan kelainan elektrolit.

Komposisi Nutrisi Parenteral dan Kebutuhan Harian


Cairan. Kebutuhan cairan pada neonatus dapat ditentukan dengan melihat kondisi klinis dan terapi
yang diberikan (fototerapi, inkubator, ventilator, fungsi jantung dan paru, dan hasil pemantauan).
Tabel 2 Kebutuhan Harian Asupan Cairan untuk Neonatus (ml/Kg/hari)
Berat Lahir Hari ke 1 Hari ke 2 Hari Ke 3-6 Lebih dari 7 hari
(g)
< 750 100-140 120-160 140-200 140-160
750-1000 100-120 100-140 130-180 140-160
1000-1500 80-100 100-120 120-160 150
>1500 60-80 80-120 120-160 150
Dikutip dari : Ben XM

Kalori. Kebutuhan asupan kalori pada bayi cukup bulan dan prematur adalah 70-90 kkal/kg/hari
dan 80-100 kkal/kg/hari.
Asam amino. Pemberian protein dapat dimulai dalam 24 jam pertama mulai dari 1,5-2 g/kg/hari
sampai 3 g/kg/hari. Larutan lemak 20% direkomendasikan diberikan pada bayi prematur. Lemak
MCT/LCT lebih baik dibandingkan dengan emulsi lemak LCT, sementara emulsi lemak yang berbahan
dasar minyak zaitun mempunyai potensi mengurangi peroksidase lemak.
Glukosa. Dosis awal pemberian glukosa yang direkomendasikan adalah 4-8 mg/kg/menit dan
ditingkatkan 1-2 mg/kg/menit sampai 11-14 mg/kg/menit dengan pemantauan glukosa. Kadar glukosa
darah yang direkomendasikan adalah 150 mg/dL. Pemberian insulin untuk mengatasi hiperglikemia
tidak direkomendasikan. Kecepatan infus glukosa dapat diturunkan bertahap 1-2 mg/kg/menit dan
insulin dapat diberikan bila didapatkan hiperglikemia yang tidak dapat diatasi dengan GIR 4
mg/kg/menit.
Elektrolit.
Tabel 3 Rekomendasi Asupan Elektrolit Parenteral
Elektrolit Bayi Prematur Bayi Cukup Bulan
(mmol/kg/hari)
Na 2,0-3,0 2,0-3,0
K 1,0-2,0 1,0-2,0
Ca 0,6-0,8 0,5-0,6
P 1,0-1,2 1,2-1,3
Mg 0,3-0,4 0,4-0,5


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 155


Vitamin. Sebanyak tiga belas jenis vitamin diberikan selama berlansungnya NP, termasuk empat
vitamin larut lemak dan sembilan vitamin larut air. Tabel 4 memperlihatkan rekomendasi asupan
vitamin pada neonates.

Tabel 4 Rekomendai Asupan Harian Vitamin Parenteral
Vitamin Neonatus (Dosis/kg/hari)
Larut Air
Vitamin C ( mg) 15-25
Vitamin B-1 (mg) 0,35-0,5
Vitamin B-2 (mg) 0,15-0,2
Niacin (mg) 4,0-6,8
Vitamin B-6 (mg) 0,15-0,2
Vitamin B-12 (µg) 0,3
Panthotenic acid (mg) 1,0-2,0
Biotin (µg) 5,0-8,0
Larut Lemak
Vitamin A (µg)† 150-300
Vitamin D (µg)† 0,8
Vitamin K (µg) 10,00
Vitamin E (mg)† 2,8-3,5
Keterangan: † 1 µg RE= 1 µr all-trans retinol = 3,3 IU vitamin A; 10 µg vitamin D =400 IU; 2,8 mg α-tocopherol= 2,8 IU vitaminE
Dikutip dari : Ben XM

Trace Element. Kebutuhan trace element dapat dilihat dari tabel di bawah ini.

Tabel 5. Rekomendasi Asupan Harian Trace Element untuk Nutrisi Parenteral
Trace Elemet Bayi Prematur Bayi Cukup Bulan
(µg/kg/hari) (µg/kg/hari)
Zinc 400-450 250 < 3 minggu
100 > 3 minggu
Copper 20 20
Selenium 2,0-3,0 2,3-3,0
Chromium 0 0
Manganese 1,0 1,0
Molybdenum 1,0 0,25
Iodine 1,0 1,0
Besi 200 50-100
Dikutip dari : Ben XM

Pemantauan Nutrisi Parenteral


Komplikasi Nutrisi Parenteral
1. Bayi dengan pemberian NP jangka panjang lebih berisiko mengalami CLABSI dibandingkan
pemberian NP jangka pendek.
2. Gangguan metabolik sering terjadi seperti hiperglikemia, hipoglikemia, hipertrigliserida, dan
penyakit metabolik tulang. Harus menjadi perhatian akan risiko terjadinya osteopenia pada
pasien dengan NP jangka panjang.
3. Komplikasi hepatal bisa terjadi seperti gangguan hepar dan kolestasis. Timbulnya komplikasi
ini berhubungan dengan lamanya pemberian NP, sepsis, dan terjadinya NEC.


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 156

Kesimpulan
Nutrisi pada bayi prematur dan bayi berat lahir rendah sangat penting untuk pertumbuhan dan
tumbuh kejar pasca natal. Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dengan segera pada bayi baru lahir
dimulai dengan pemberian enteral, bila tidak mencukupi atau terdapat masalah yang menghambat
pemberian enteral nutrisi dipenuhi dengan pemberian parenteral. Pemberian nutrisi secepat mungkin
dengan pemberian tepat sesuai dengan kebutuhan akan menjaga pertumbuhan optimal.

Daftar Pustaka
1. Ramel SE, Georgieff MK. Nutrition Dalam: MacDonald MG, Seshia MMK, penyunting. Avery’s
Neonatology. Pathophysiology and management of the newborn. Edisi ke-7. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2015. hlm. 280–98.
2. CSPEN. Clinical Nutrition Guidelines for Nutrition Support in Neonates. Asia Pac J Clin
2013;22(4):655-663
3. Ben XM. Nutritional Management of Newborn Infants: Practical Guidelines. World J
Gastroenterol, 28; 14(40): 6133-39. 2008.


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 157


DISABILITAS INTELEKTUAL: KAPAN WAKTU YANG TEPAT UNTUK MELAKUKAN TEST IQ?

Purboyo Solek
Neurologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD-RSHS

Pendahuluan
Kemampuan menganalis, memecahkan masalah, merencanakan sesuatu, berpikir abstrak, dan belajar
untuk hal-hal yang sifatnya baru ditentukan oleh kecerdasan intelektual seorang individu yang
tentunya dapat berbeda dari satu orang ke orang lain.1 Kecerdasan intelektual (bahasa Inggris:
Intelligence Quotient = IQ) menggambarkan kemampuan kognitif seorang individu dan dapat diukur
menggunakan tes psikometri (tes IQ). Hasil tes IQ tersebut dapat memberikan gambaran kemampuan
akademik individunya, apakah akan mampu untuk mengikuti kegiatan belajar sejak sekolah dasar (SD)
sampai dengan menamatkan pendidikan di perguruan tinggi. Rentang angka hasil tes IQ sangatlah
besar, mulai dari paling rendah: disabilitas intelektual sangat berat (IQ sangat rendah) sampai gifted
(IQ lebih dari 130). Berbagai kelainan perkembangan di bidang neurodevelopment dan behavioral
pediatric, misalnya disabilitas intelektual, autism spectrum disorder (ASD), Down syndrome, cerebral
palsy, dan berbagai jenis sindrom memiliki pola-pola IQ tersendiri.1,4,6,7 Pola-pola IQ yang berbeda
antara satu kelainan dan kelainan lainnya akan dapat membantu kita untuk dapat membuat prediksi
jangka panjang, apakah penderita akan memiliki kemampuan akademik untuk dapat menyelesaikan
pendidikan di sekolah umum (regular) atau sekolah khusus (inklusi). Pada makalah ini akan di bahas
keterlambatan perkembangan dan keterbelakangan mental, disabilitas intelektual, griffith mental
development scale (GMDS), kapan waktu yang tepat melakukan tet IQ dan beberapa kelainan di
bidang neurodevelopmental dan behavioral pediatric dengan karakteristik pola IQ yang berbeda
beda.1,4,6

Keterlambatan perkembangan dan keterbelakangan mental


Sangat penting untuk membedakan apakah kasus yang kita dapatkan merupakan kasus dengan
keterlambatan perkembangan atau kasus keterbelakangan mental. Istilah keterlambatan
perkembangan merujuk kepada didapatkan kesenjangan antara kemampuan perkembangan
bayi/anak saat diperiksa dan usia kronologis anak. Usia anak yang mengalami kesenjangan
kemampuan perkembangan dengan usia kronologis anak masih berada dalam rentang usia kurang
dari 3 tahun. Apabila kesenjangan tersebut kita dapatkan pada anak yang usianya lebih dari 3 tahun,
hampir dapat dipastikan bentuk yang kita hadapi adalah keterbelakangan mental, bukan lagi suatu
keterlambatan perkembangan.1,5 Artinya, intervensi yang kita lakukan pada kasus keterlambatan
perkembangan akan menghasilkan perkembangan yang normal, berbeda dengan bentuk
keterbelakangan mental. Intervensi yang dilakukan pada bentuk keterbelakangan mental tidak akan
lagi menghasilkan perkembangan yang normal, khususnya perkembangan kognitif. Oleh karena itu,
deteksi dini kasus kelainan perkembangan menjadi sangat penting. Usia saat ditemukannya
kesenjangan antara usia mental dan usia kronologis saat dilakukan deteksi dini tidak lebih dari 3 tahun.
Deteksi dan kemudian dilanjutkan dengan diagnosis suatu kelainan perkembangan di usia lebih dari 3
tahun tidak lagi memberikan perubahan yang berarti dari seluruh aspek perkembangan (motorik,
bahasa, sosial, dan terutama kognitif).1,5,6


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 158


1,6
Tabel 1.s Perbedaan Keterlambatan Perkembangan dengan Keterbelakangan Mental.
Keterlambatan perkembangan Keterbelakangan mental
Keterlambatan perkembangan yang ringan derajatnya di
Keterlambatan bersifat lebih berat dengan keparahan yang
seluruh area berbeda – beda di setiap areanya
Mengikuti pola perkembangan normal Pola perkembangan “tidak biasa”, missal kemampuan
motorik normal, tetapi kemampuan memecahkan masalah
jauh di bawah normal
Tidak ditemukan penyulit lain yang berhubungan Seringkali diikuti dengan penyulit lain, misalnya gangguan
perilaku
Dapat bersekolah di sekolah regular Mungkin membutuhkan pendidikan khusus, sering kali
tidak dapat bersekolah di sekolah regular
Keterlambatan bersifat TIDAK permanen. Suatu saat akan Keterlambatan bersifat PERMANEN, TIDAK dapat mengejar
mengejar ketinggalannya dan sesuai dengan anak ketinggalannya dan tidak pernah sesuai dengan anak
seusianya seusianya
1 6
Dikutip dari: Batshaw , Elias ER

Disabilitas Intelektual (DI)


Intelectual disability = disabiltas intelektual (DI) dahulu disebut sebagai retardasi mental (RM)
merupakan gangguan yang sifatnya heterogen dan pada penderita kita dapatkan kemampuan fungsi
intelektual yang berada di bawah rata-rata dan didapatkan gangguan keterampilan adaptif. Keadaan
ini dapat disebabkan oleh faktor genetik, lingkungan, psikososial, atau gabungan dari ketiganya.
Menurut definisi dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM IV), disabilitas
intelektual merupakan keadaan fungsi intelektual secara bermakna berada di bawah rata-rata yang
menyebabkan atau berhubungan dengan gangguan pada perilaku adaptif dan bermanifestasi selama
periode perkembangan, yaitu sebelum usia 18 tahun.1,5,6 Fungsi intelektual dapat ditentukan
menggunakan tes-tes kecerdasan yang telah diakui. Istilah secara bermakna di bawah rata-rata
didefinisikan sebagai nilai kecerdasan atau IQ (Intelligence Quotient) ≤70. Fungsi adaptif dapat kita
ukur menggunakan skala Vineland Adaptive Behaviour Scale (VABS) atau Check List Behaviour Scale
(CLBS) yang dapat menilai gangguan komunikasi, sosialisasi, keterampilan motorik, dan keterampilan
hidup sehari-hari.1 Klasifikasi retardasi mental berdasar atas DSM IV:5,6
- Retardasi mental ringan: tingkat IQ 50–55 sampai kira-kira 70
- Retardasi mental sedang: tingkat IQ 35–40 sampai 50–55
- Retardasi mental berat: tingkat IQ 20–25- sampai 35–40
- Retardasi mental sangat berat: tingkat IQ di bawah 20 atau 25
- Retardasi mental, keparahan tidak ditentukan: jika terdapat kecurigaan kuat retardasi
mental, tetapi intelegensi pasien tidak dapat diuji oleh tes intelegensi baku.
Beberapa kelainan yang sering dijumpai dan penderitanya juga memiliki retardasi mental: sindrom
Down, sindrom Fragile-X, sindrom Prader-Willi, sindrom cri-du-chat, X-linked intelellectual disability.
Apabila retardasi mental yang kita jumpai pada seorang anak demikian berat maka akan kita dapatkan
gejala-gejala yang mirip dengan penderita autis (autistic behaviour).2,4,7

Diagnosis Disabilitas Intelektual


Diagnosis ID dibuat berdasar atas tes IQ dan temuan bentuk perilaku tertentu yang ditemukan pada
saat dilakukan pemeriksaan dan riwayat perkembangan anak. Bentuk perilaku aktif biasanya
ditemukan pada ID sedang sampai sangat berat, sementara pada ID ringan didapatkan bentuk
“kelekatan” anak pada orangtua, pengasuh, atau orang-orang terdekatnya.1,5,6


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 159


Gejala Disabilitas Intelektual
Gejala gejala yang sering ditemukan pada anak ID.1
1. Rentang atensi singkat dan sangat mudah terdistraksi.1
2. Kesulitan dalam hal adaptasi dan transisi.
3. Kalau bermain lebih memilih bermain dengan anak yang lebih kecil usianya.
4. Takut untuk mencoba hal yang baru.
5. Kesulitan dalam memecahkan hal hal baru.
6. Daya ingat tidak baik.
7. Ketidakmampuan untuk menerapkan kemampuan yang telah dimiliki pada situasi baru.
8. Sering menabrak atau jatuh karena kontrol batang tubuh yang tidak baik.
9. Berbicara dengan gaya bicara anak kecil
10. Gampang frustrasi/marah dengan perubahan atau transisi

Griffith Mental Development Scale (GMDS)


Dipublikasikan pertama kali pada tahun 1954. Dapat digunakan sebagai tes perkembangan dan tes IQ
pada anak usia 0 sampai 2 tahun. Tahun 1996, tes Griffith dibuat versi ekstensinya yang dapat
digunakan untuk anak usia 2 sampai 6 tahun. Sebagai tes perkembangan maka tes Griffith dapat
digunakan untuk mencari penyimpangan perkembangan dari seorang bayi atau anak. Hasilnya dapat
memberikan gambaran pada pemeriksanya apakah bayi atau anak yang diperiksa tersebut
memagalami keterlambatan perkembangan atau suatu disabilitas. Pemeriksaan menggunakan Griffith
Mental Development Scale, menilai:6
1. lokomotor (motorik kasar);
2. personal sosial;
3. pendengaran dan bahasa;
4. koordinasi mata dengan tangan (motorik halus).
5. performa;
6. abstraksi.
Hasil tes Griffith berbentuk skor yang didapat dari seluruh profil (lokomotor, personal sosial,
pendengaran dan bahasa, koordinasi mata dan tangan, performa dan abstraksi) yang dinilai. Skor total
tes Griffith disebut sebagai general quotient (GQ) dan angka GQ tersebut setara dengan IQ. Penelitian
yang dilakukan oleh Bernett dkk.6 mendapatkan hasil sensitivitas dan spesifisitas Griffiths mental
development scale sebesar 85% dan 100%.6

Kapan Waktu yang Tepat untuk Melakukan Tes IQ?


Seperti kita ketahui, kasus-kasus di bidang neurodevelopmental disorder (autism spectrum disorder,
cerebral palsy, down syndrome, dan berbagai sindrom) memiliki pola IQ tertentu. Sebagian besar
(lebih dari 75%), autism spectrum disorder memiliki IQ di bawah rata rata (<60) (4,6). Down syndrome
memiliki IQ yang lebih baik dibanding dengan autism spectrum disorder karena sebagian besarnya
memiliki IQ setara dengan disabilitas intelektual ringan, sebagiannya lagi dengan IQ border line. Pola
IQ pada cerebral palsy sebagian besar dengan disabilitas intelektual berat dan sisanya dengan
disabilitas intelektual sedang.2,3,6 Kasus-kasus yang tergolong ke dalam suatu sindrom sebagian besar
tergolong ke dalam disabilitas intelektual (ringan, sedang, dan berat).1 Oleh karena itu, menentukan


PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 160


berada pada level IQ mana neurodevelopmental disorder yang kita dapatkan tersebut menjadi
sangatlah penting. Kenapa? Karena sesungguhnya intervensi yang dilakukan akan memberikan
perubahan yang bermakna khususnya pada perkembangan kognitif penderitanya apabila dilakukan
sebelum usia 2 tahun. Intervensi yang dilakukan sebelum usia 2 tahun akan mengubah IQ sampai 16–
20 digit dari IQ awal yang didapatkan dari tes IQ. Intervensi yang dilakukan setelah usia 2 tahun hanya
akan mengubah IQ sebesar 5 digit, jarang sekali kita dapatkan perubahan angka IQ yang lebih dari 5
digit apalagi kelainan-kelainan yang kita dapatkan dan yang diintervensi dengan gangguan
perkembangan bahasa.1,4,6 Tentu, selain usia yang dini (kurang dari 2 tahun) maka kompleksitas
gejala-gejala yang ditemukan dan bentuk intervensi yang diberikan pada kasus neurodevelopmental
tersebut menjadi sangat menentukan dalam perubahan angka IQ penderita. Sangat penting kita
pahami bahwa angka IQ merupakan patokan potensi kecerdasan seorang individu untuk mampu dan
tidak mampu mengikuti kegiatan-kegiatan akademik di sekolah, mulai dari tingkatan yang paling dasar
(sekolah dasar) sampai yang paling tinggi (perguruan tinggi). Karena itu, angka IQ dapat dijadikan salah
satu indikator kemampuan seorang individu dalam bersekolah.1,6

Simpulan
Menentukan tingkat kecerdasan seorang individu adalah salah satu bagian yang penting dalam menilai
perkembangan kemampuan akademik. Tingkat kecerdasan dapat ditentukan bahkan sejak anak
berusia kurang dari 2 tahun menggunakan tes Griffith mental development scale, tes yang menilai
enam (6) profil perkembangan. Pada berbagai kasus neurodevelopmental disorder didapatkan pola-
pola IQ yang berbeda-beda antara satu kelainan dan kelainan yang lainnya. Pola IQ tersebut
menentukan apakah individunya akan mampu secara akademik untuk dapat mengikuti pendidikan
formal sejak dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi. Oleh karena itu, deteksi dini dan
intervensi dini dari suatu kelainan di bidang neurodevelopmental disorder adalah sangat penting
karena dapat menentukan “long term out come” penderitanya.

Daftar Pustaka
1. Batshaw ML. Mental Retardation. Dalam : Roizen, NJ, penyunting. Children with disabilites. Edisi
ke-4. Washington. Paul H Brookes Publishing Co.; 1997. hlm. 335–57.
2. Schwarts CF, Boccuto L. Genetics of X-linked intellectual disability. Dalam : Schwartz CE,
penyunting. Neuronal and synaptic dysfunction in autism spectrum disorder and intellectual
disability. Greenwood. Elsevier; 2016. hlm. 25–34.
3. Stevenson RE, Schwartz CE, Rogers RC. Fragile X syndrome. Dalam : Schwartz CE, Stevenson RE,
JC Self Research Institute of Human Genetics, penyunting. Atlas of X-linked intellectual disability
syndromes. Oxford University Press; 2012. hlm. 89–90.
4. Fettig A, Fleury VP. Early intervention services for children with autism. Dalam : Zager D, Cihak
DF, penyunting. Autism spectrum disorder, identification, education, and treatment. Edisi ke-4
Routleidge. 2017. hlm. 124–38.
5. Kinsbourne M, Wood FB. Disorder of mental development. Dalam: Menkes JH, Sarnat HB, Maria
BL, penyunting. Child neurology. Lippincott Williams & Wilkins; 2006. Edisi ke-7. Los Angeles. hlm.
1097–106.
6. Elias ER, Crocker AC. Intellectual disability. Dalam : Crocker AC, penyunting. Developmental-
behavioral pediatrics. Philadelphia : Saunders. 2009. hlm. 663–72.
7. Le Page P, Courey S. Characteristic of children with autism. Dalam : Le Page P, penyunting.
Teaching Children with High-Level Autism. Evidence from Families. Routlidge. 2017. hlm. 19–48.

PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 161



PENDIDIKAN BERKELANJUTAN ILMU KESEHATAN ANAK XIV 162

You might also like