Professional Documents
Culture Documents
Presus Pemfigus Vulgaris
Presus Pemfigus Vulgaris
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemfigus vulgaris (PV) merupakan bentuk tersering dari jenis pemfigus
yaitu sekitar 80% dari semua kasus pemfigus. Penyakit ini tersebar diseluruh
dunia dan dapat mengenai semua bangsa dan ras. Angka kejadian Pemfigus
vulgaris bervariasi 0,5-3,2 % kasus per 100.000 penduduk (Siregar, 2014).
Pemfigus dulunya digunakan untuk menyebut semua jenis penyakit
erupsi bula di kulit, tetapi dengan berkembangnya tes diagnostic, penyakit
bulosa pun diklasifikasikan dengan lebih tepat (Zeina, 2011). Pada tahun 1964,
penelitian menunjukkan adanya anti-skin antibodies yang ditemukan pada
pasien-pasien pemfigus yang diketahui dari pengecatan imunofloresensi tak
langsung. Sejak itu, dengan adanya perkembangan teknik imunofloresensi
imunologis, antigen yang menyebabkan penyakit ini pun berhasil diidentifikasi.
Perkembangan medis ini tidak hanya memberikan pengetahuan baru dalam
memahami pathogenesis pemfigus tetapi juga mengarahkan pada
perkembangan protein rekombinan, yang diperlukan dalam tes ELISA (Enzyme
Linked Immunosorbent Assay) untuk diagnosis pemfigus (Chan, 2002).
Penyebab pasti timbulnya penyakit ini belum diketahui, namun
kemungkinan yang relevan adalah berkaitan dengan faktor genetik dan lebih
sering menyerang pasien yang sudah menderita penyakit autoimun lainnya.
Kelainan pada kulit yang ditimbulkan akibat Pemfigus vulgaris dapat bersifat
lokal ataupun menyebar, terasa panas, sakit, dan biasanya terjadi pada daerah
yang terkena tekanan dan lipatan paha, wajah, ketiak, kulit kepala, badan, dan
umbilicus. Terapi pada Pemfigus vulgaris ditujukan untuk mengurangi
pembentukan autoantibodi. Penggunaan kortikosteroid dan imunosupresan
telah menjadi pilihan terapi, akan tetapi morbiditas dan mortalitas akibat efek
samping obat tetap harus diwaspadai (Amagai, 2003). Berdasarkan alasan
tersebut, penulis merasa tertarik untuk menulis mengenai pemphigus vulgaris.
II. LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. P
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 62 tahun
Pendidikan : SD
Agama : Islam
Alamat : Ledug, Purwokerto Timur
No. CM : 02021548
B. Anamnesis
Anamnesis dilakukan pada tanggal 19 April 2018 di Poliklinik Kulit dan
Kelamin RSUD Margono Soekarjo pada pukul 10.00 WIB.
Keluhan utama:
Luka melepuh pada seluruh tubuh.
Keluhan tambahan:
Gatal, nyeri, luka semakin menghitam, terdapat bekas seperti koreng.
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUD Margono
Soekarjo untuk kontrol dengan pemphigus vulgaris. Pasien awalnya
mengeluhkan timbul gelembung berisi air sejak 2 tahun yang lalu. Awalnya
hanya pada bagian punggung, lalu menyebar ke bagian lain seperti dada, tangan,
kaki, kepala, dan wajah. Gelembung terasa sangat kendur dan mudah pecah.
Setelah gelembung tersebut pecah timbullah luka yang melepuh. Luka melepuh
tersebut meninggalkan bekas seperti koreng dan semakin lama semakin
menghitam. Pasien juga mengeluhkan gatal dan nyeri sehingga pasien merasa
sulit untuk tidur. Sebelumnya pasien sudah pernah berobat ke puskesmas dan
dinyatakan penyebabnya berhubungan dengan sistem imun. Oleh dokter
puskesmas pasien dirujuk ke RSUD Margono Soekarjo. Saat ini pasien
merasakan luka melepuh akibat gelembung yang pecah semakin meluas,
terdapat hampir di seluruh tubuhnya. Pasien juga merasakan gatal pada seluruh
tubuhnya. Luka melepuh juga dirasakan semakin menghitam dan terasa nyeri.
Pasien juga mengeluhkan terdapat bekas seperti koreng pada bagian wajahnya.
Riwayat penyakit dahulu:
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat penyakit kulit sebelumnya : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat penyakit gula : disangkal
Riwayat pernyakit darah tinggi : disangkal
Riwayat penyakit kronis lainnya : disangkal
Riwayat konsumsi imunosupresan jangka panjang : disangkal
Riwayat penyakit keluarga:
Riwayat penyakit serupa : disangkal
Riwayat sakit kulit sebelumnya : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat penyakit gula : disangkal
Riwayat pernyakit darah tinggi : disangkal
Riwayat sosial dan ekonomi
Pasien tingal bersama suami dan anaknya. Pasien sehari-hari bekerja
sebagai ibu rumah tangga, suami pasien bekerja sebagai buruh lepas.
C. Status Generalis
Keadaaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign : Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi : 88x/menit
Pernafasan : 20x/menit
Suhu : 36° C
BB, TB : 51 kg, 155 cm
Mata : conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-
Telinga : ottorhea (-)
Hidung : napas cuping hidung (-) secret (-)
Mulut : sianosis (-)
Leher : dalam batas normal
Thorax : Simetris, retraksi (-)
Jantung : BJ I – II reguler, murmur (-), Gallop (-)
Paru : SD vesikuler, ronki (-/-), wheezing (-)
Abdomen
Inspeksi : Datar
Perkusi : Timpani
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), massa (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
D. Status Dermatologis
1. Lokasi
Generalisata
2. Efloresensi
Makula hiperpigmentasi polimorfik disertai erosi
Gambar 2.1. Gambaran Klinis Pasien
E. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan
F. Diagnosis Banding
1. Dermatitis herpetiformis
2. Pemfigoid bulosa
3. Sindrom Steven Johnson
G. Diagnosis Kerja
Pemfigus vulgaris
H. Pemeriksaan Anjuran
1. Imunofluoresensi langsung
2. Imunofluoresensi tidak langsung
3. Tzanck test
I. Resume
Pasien Ny. P, usia 62 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUD Margono Soekarjo untuk kontrol dengan pemphigus vulgaris. Pasien
awalnya mengeluhkan timbul gelembung berisi air sejak 2 tahun yang lalu.
Awalnya hanya pada bagian punggung, lalu menyebar ke bagian lain seperti
dada, tangan, kaki, kepala, dan wajah. Gelembung terasa sangat kendur dan
mudah pecah. Setelah gelembung tersebut pecah timbullah luka yang melepuh.
Luka melepuh tersebut meninggalkan bekas seperti koreng dan semakin lama
semakin menghitam. Pasien juga mengeluhkan gatal dan nyeri sehingga pasien
merasa sulit untuk tidur. Sebelumnya pasien sudah pernah berobat ke
puskesmas dan dinyatakan penyebabnya berhubungan dengan sistem imun.
Oleh dokter puskesmas pasien dirujuk ke RSUD Margono Soekarjo. Saat ini
pasien merasakan luka melepuh akibat gelembung yang pecah semakin meluas,
terdapat hampir di seluruh tubuhnya. Pasien juga merasakan gatal pada seluruh
tubuhnya. Luka melepuh juga dirasakan semakin menghitam dan terasa nyeri.
Pasien juga mengeluhkan terdapat bekas seperti koreng pada bagian wajahnya.
Pada pemeriksaan didapatkan keadaan umum pasien baik, BB 51 kg dan
TB 155 cm. Pemeriksaan fisik dalam batas normal. Pemeriksaan status lokalis
didapatkan eflloresensi makula hiperpigmentasi polimorfik disertai erosi.
J. Penatalaksanaan
Medikamentosa
1. Prednisone 25 mg/hari
2. Cetirizine 10 mg/hari
3. Desoximethasone 0,25%
Edukasi kepada pasien:
1. Menjelaskan tentan penyakit pemphigus vulgaris (penyebab, tanda dan
gejala, komplikasi, pengobatan, serta prognosis)
2. Menjaga higienitas diri dengan mandi dua kali sehari
3. Asupan nutrisi adekuat
4. Merawat luka dengan baik
5. Mengurangi aktivitas agar resiko cedera pada kulit dapat berkurang
K. Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Quo ad komestikum : dubia ad bonam
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Pemphigus vulgaris adalah salah satu bentuk bulos dermatosis yang
bersifat kronis, disertai dengan adanya proses akantolisis dan terbentuknya bula
pada epidermis (Murtiastutik et al, 2011). Kata pemphigus diambil dari bahasa
Yunani pemphix yang artinya gelembung atau lepuh. Pemfigus dikelompokkan
dalam penyakit bulosa kronis, yang pertama kali diidentifikasi oleh Wichman
pada tahun 1971 (Zeina, 2008). Istilah pemfigus berarti kelompok penyakit bula
autoimun pada kulit dan membran mukosa dengan karakteristik secara
histologis berupa adanya bula intraepidermal disebabkan oleh akantolisis
(terpisahnya ikatan antara sel epidermis) dan secara imunopatologis adanya IgG
in vivo maupun sirkulasi yang secara langsung melawan permukaan sel-sel
keratinosit (Stanley, 2012).
B. Epidemiologi
Secara global, insidensi pemfigus vulgaris tercatat sebanyak 0.5-3.2
kasus per 100.000 populasi. Kejadian pemfigus vulgaris mewakili 70% dari
seluruh kasus pemfigus dan merupakan penyakit bula autoimun yang tersering
di negara-negara timur, seperti India, Malaysia, China, dan Timur Tengah
(Wojnarowska dan Venning, 2010). Insidensi PV meningkat pada populasi
keturunan Yahudi Ashkenazi dan Mediterania, kecenderungan familial ini
merupakan faktor predisposisi genetik pada kejadian pemfigus vulgaris (Zeina,
2011). Predominansi etnis ini tidak ada dalam kasus pemfigus foliaseus (PF).
Karena itu, di area dimana terdapat dominasi kelompok keturunan Yahudi,
Timur Tengah, dan Mediterania, rasio PV : PF cenderung lebih tinggi. Sebagai
contoh, di New York, Los Angeles, dan Kroasia, rasio PV : PF sebesar 5 : 1, di
Iran 12:1, sedangkan di Finlandia hanya 0.5 : 0.1, dan di Singapura 2:1.
Insidensi pemphigus vulgaris bervariasi berdasarkan lokasi. Di Jerussalem,
insidensi PV diperkirakan 1,6 kasus per 100.000 populasi per tahun dan di Iran
10 kasus per 100.000 populasi, Finlandia jauh lebih rendah 0,76 kasus per per
juta populasi. Di Prancis dan Jerman, 1 kasus per juta populasi per tahun
(Stanley, 2012).
Pemfigus vulgaris adalah penyakit mukokutaneus autoimun yang
berpotensi mengancam jiwa dengan mortalitas sebesar 5-15%. Mortalitas
pasien pemfigus vulgaris tiga kali lebih tinggi daripada populasi pada
umumnya. Komplikasi sekunder terkait dengan penggunaan kortikosteroid
dosis tinggi. Morbiditas dan mortalitas terkait dengan luas lesi, dosis maksimum
steroid sistemik yang diperlukan untuk induksi remisi, dan adaya penyakit
penyerta. Prognosis semakin buruk pada pasien dengan pemfigus vulgaris
ekstensif dan pasien usia tua. Pemfigus vulgaris melibatkan lesi pada jaringan
mukosa pada 50-70% pasien. Hal ini menyebabkan terbatasnya asupan nutrisi
karena disfagia. Bula dan erosi akibat bula yang pecah bersifat nyeri sehingga
membatasi aktivitas penderita (Zeina, 2011).
C. Etiologi
Pemfigus vulgaris mengenai semua ras dan jenis kelamin dengan
perbandingan yang sama. Penyakit ini banyak terjadi pada usia paruh baya dan
jarang terjadi pada anak-anak. Tetapi di India, pasien pemfigus vulgaris lebih
banyak terjadi pada usia muda. Ras Yahudi, terutama Yahudi Ashkenazi
memiliki kerentanan terhadap pemfigus vulgaris. Di Afrika Selatan, pemfigus
vulgaris lebih banyak terjadi pada populasi India daripada warga kulit hitam dan
kaukasia. Kasus pemfigus lebih jarang ditemukan di negara-negara barat
(Wojnarowska dan Venning, 2010).
Predisposisi pemfigus terkait dengan faktor genetik. Anggota keluarga
generasi pertama dari penderita pemfigus lebih rentan terhadap penyakit ini
daripada kelompok kontrol dan memiliki antibodi antidesmoglein sirkulasi
yang lebih tinggi. Genotip MHC kelas II tertentu sering ditemukan pada pasien
pemfigus vulgaris dari semua ras. Alela subtype HLA-DRB1 0402 dan DRB1
0503 memberi risiko terjadinya pemfigus dan menyebabkan adanya perubahan
struktural pada ikatan peptide, berpengaruh pada presentasi antigen dan
pengenalan oleh sel T. Di Inggris dan India, pasien dengan haplotip desmoglein
tertentu juga memiliki risiko pemfigus vulgaris dan hal ini tampaknya
menambah efek yang diakibatkan oleh HLA-DR. Kerentanan juga dapat
disebabkan pengkodean immunoglobulin oleh gen atau oleh gen dalam
pemrosesan pada antigen HLA kelas I (Wojnarowska dan Venning, 2010).
Terdapat beberapa klasifikasi pemfigus yang dapat dilihat dalam
gambar berikut ini:
F. Penegakan diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap diperlukan untuk
mendiagnosis Pemfigus vulgaris. Kulit lepuh dapat dijumpai, namun perlu
dilakukan pemeriksaan manual dermatologi untuk membuktikan adanya
Nikolsky’s sign yang menunjukkan terjadinya lisis epidermis (epidermolisis)
pada Pemfigus vulgaris. Tanda ini didapatkan dengan menekan dan
menggeser kulit diantara dua bula atau menekan atap bula. Tanda ini
patognomonik karena hanya ditemukan pada pemfigus dan nekrolisis
epiderma toksik (Brown, et al., 2008).
1. Biopsi Kulit dan Patologi Anatomi
Pada pemeriksaan ini, diambil sampel kecil dari kulit yang berlepuh dan
diperiksa di bawah mikroskop. Pasien yang akan dibiopsi sebaiknya pada
pinggir lesi yang masih baru dan dekat dari kulit yang normal. Gambaran
histopatologi utama adalah adanya akantolisis yaitu pemisahan keratinosit
satu dengan yang lain (Beers, 2006).
2. Imunofluoresensi
a. Imunofluoresensi langsung (Direct Immunofluorescence)
Imunofluoresensi langsung dilakukan dengan cara mengambil
sampel dari biopsi, kemudian diwarnai dengan cairan fluoresens.
Imunofluoresensi langsung menunjukan deposit antibodi dan
imunoreaktan lainnya secara in vivo. Imunofluoresensi langsung
menunjukkan IgG yang menempel pada permukaan keratinosit yang
di dalam maupun sekitar lesi (Stanley dan Paynee, 2008).
b. Imunofluoresensi tidak langsung
Pemeriksaan ini ditegakkan jika pemeriksaan imunofluoresensi
langsung dinyatakan positif. Pemeriksaan ini dideteksi melalui
serum pasien. Pasien dinyatakan menderita pemfigus vulgaris jika
serum mengandung autoantibodi IgG yang menempel di epidermis
(Stanley dan Paynee, 2008).
G. Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada pemfigus vulgaris ialah pemfigoid bulosa
dan dermatitis herpetiformis. Tabel 1 menerangkan perbedaan pemfigus
vulgaris, pemfigoid bulosa dan dermatitis herpetiformis.
H. Penatalaksanaan
Medikamentosa
Tatalaksana harus dilakukan segera setelah didiagnosis meskipun lesi
hanya sedikit, karena lesi akan cepat meluas dan jika tidak ditatalaksana
dengan baik prognosisnya buruk. Tatalaksana pemfigus vulgaris dibagi
dalam 3 fase, yaitu fase kontrol, fase konsolidasi, dan fase rumatan
(Wojnarowska, et al., 2004):
1. Fase kontrol
adalah fase penyakit dapat dikontrol, terbukti dari tidak terbentuknya
lesi baru dan penyembuhan lesi yang sudah ada. Direkomendasikan
kortikosteroid dosis tinggi, umumnya prednison 100-150 mg/hari
secara sistemik, alternatif adalah deksametason 100 mg/hari. Dosis
harus di taper off segera setelah lesi terkontrol. Selama terapi
kortikosteroid dosis tinggi harus dipantau risiko diabetes, infeksi,
hipertensi, gangguan jantung dan paru.
Obat-obat imunosupresi, seperti azathioprin, mikofenolat mofetil,
methrotrexat, dan siklosfosfamid, dikombinasi dengan kortikosteroid
dosis rendah dapat mengurangi efek samping kortikosteroid.
Azatrioprin merupakan terapi adjuvan yang sering digunakan karena
relatif murah dan aman dikombinasikan dengan kortikosteroid dosis
tinggi. Dosis azatriopin 2,5 mg/kgBB/ hari. Prednison dengan
azatriopin lebih efektif daripada prednison saja, azatriopin tanpa
prednison baru memberikan efek positif 3-5 minggu kemudian.
Mikofenolat mofetil 2 gram/hari dapat memberikan efek positif, tetapi
jarang digunakan karena efek toksiknya. siklofosfamid 1-3 mg/kgBB/
hari efektif jika dikombinasikan dengan kortikosteroid.
Plasmaferesis dapat dikombinasi dengan obat-obat imunosupresi,
dilakukan tiga kali seminggu dengan mengganti 2 L plasma setiap
plasmaferesis. Plasmaferesis tanpa kombinasi obat imunosupresi dapat
menyebabkan rebound pembentukan antibodi. Plasmaferesis memiliki
resiko infeksi, saat ini banyak digantigan dengan Intra Venous
Immunoglobuline (IVIG).
Jao, et al, dikutif dari Bystryn, et al menyatakan serum antibodi
berkurang lebih dari setengah pada 1-2 minggu pertama pemakaian
IVIG. Intra Venous Immunoglobuline (IVIG) bekerja meningkatkan
katabolisme molekul immunoglobulin, sehingga dapat mengurangi
antibodi. Dosis IVIG 2gram/kgbb selama 3-5 hari.
2. Fase konsolidasi
Merupakan fase terapi untuk mengontrol penyakit hingga sebagian
besar (sekitar 80%) lesi kulit sembuh, fase ini dimulai saat berlangsung
penyembuhan kulit hingga sebagian besar lesi kulit telah sembuh.
Lama fase ini hanya beberapa minggu, jika penyembuhan lambat dosis
terapi kortikosteroid ataupun terapi adjuvan imunosupsresan perlu
ditingkatkan.
3. Fase rumatan
Fase pengobatan dengan dosis terendah yang dapat mencegah
munculnya lesi kulit baru, fase ini dimulai saat sebagian besar lesi telah
sembuh dan tidak tampak lagi lesi baru. Pada fase ini dosis
kortikosteroid diturunkan bertahap, sekitar seperempat dosis setiap satu
hingga dua minggu. Penurunan yang terlalu cepat berisiko
memunculkan lesi kulit baru, penurunan yang terlalu lambat
meningkatkan risiko efek samping kortikosteroid. Jika pada fase ini
muncul lesi baru minimal dapat diberi kortikosteroid topikal. Jika lesi
jumlahnya banyak, dosis kortikosteroid ditingkatkan 25-50%. Pada
fase ini obat- obat imunosupresi perlu dibatasi karena mempunyai efek
samping infertilitas dan meningkatkan risiko kanker.
Obat topikal seperti sulfadiazine perak 1% dapat mencegah infeksi
sekunder. Lesi mukosa dapat diberi obat kumur diphenhydramine
hydrochloride. Kortikosteroid topikal dapat memberikan efek positif
pada lesi minimal. Pasien harus tetap mandi setiap hari untuk
mengurangi risiko infeksi sekunder, mengurangi penebalan krusta dan
mengurangi bau badan.
Non Medikamentosa
Terapi pemphigus vulgaris diberikan dengan dosis optimal.
Namun, pasien masih merasakan gejala-gejala ringan dari penyakit ini,
maka perawatan luka yang baik adalah sangat penting karena ia dapat
memicu penyembuhan bula dan erosi. Pasien disarankan mengurangi
aktivitas agar resiko cedera pada kulit dan lapisan mukosa pada fase
aktif penyakit ini dapat berkurang. Aktivitas yang dikurangi adalah
olahraga dan makan atau minum yang dapat mengiritasi rongga mulut
(Amagai, 2003).
I. Prognosis
Tingkat kesembuhan dari pemfigus bervariasi, sebelum adanya
pengobatan steroid, rata-rata pasien dengan pemfigus vulgaris meninggal dunia.
Pengobatan dengan steroid sistemik telah mengurangi angka kematian scara
signifikan. Pemfigus vulgaris yang tidak di obati sering berakibat fatal karena
rentan terhadap gangguan infeksi dan cairan dan elektrolit (Wojnarowska, et al.,
2004).
Sebagian besar kematian terjadi selama beberapa tahun pertama
penyakit, dan jika pasien bertahan 5 tahun, prognosisnya baik. Pemfigus
vulgaris yang di deteksi lebih dini lebih mudah dikendalikan daripada penyakit
yang meluas, dan tingkat kematian mungkin lebih tinggi jika terapi terlambat
(Wojnarowska, et al., 2004).
Morbiditas dan mortalitas terkait dengan tingkat penyakit, dosis
prednisolon maksimum yang diperlukan untuk menginduksi remisi, dan adanya
penyakit lainnya. Prognosis lebih buruk pada pasien yang lebih tua dan pada
pasien dengan penyakit lainnya. Prognosis biasanya lebih baik di masa kanak-
kanak daripada di masa dewasa (Wojnarowska, et al., 2004).
22
IV. PEMBAHASAN
23
Kemudian erosi akan tertutup krusta yang hanya sedikit atau bahkan tidak memiliki
kecenderungan untuk sembuh. Penyembuhan lesi berupa hiperpigmentasi tanpa
terbentuknya jaringan parut (Amagai, 2003).
Tatalaksana harus dilakukan segera setelah didiagnosis meskipun lesi hanya
sedikit, karena lesi akan cepat meluas dan jika tidak ditatalaksana dengan baik
prognosisnya buruk. Tatalaksana pemfigus vulgaris dibagi dalam 3 fase, yaitu fase
kontrol, fase konsolidasi, dan fase rumatan (Wojnarowska, et al., 2004).
Fase control adalah fase penyakit dapat dikontrol, terbukti dari tidak
terbentuknya lesi baru dan penyembuhan lesi yang sudah ada. Direkomendasikan
kortikosteroid dosis tinggi, umumnya prednison 100-150 mg/hari secara sistemik,
alternatif adalah deksametason 100 mg/hari. Dosis harus di taper off segera setelah
lesi terkontrol. Selama terapi kortikosteroid dosis tinggi harus dipantau risiko
diabetes, infeksi, hipertensi, gangguan jantung dan paru (Wojnarowska, et al.,
2004).
Fase konsolidasi merupakan fase terapi untuk mengontrol penyakit hingga
sebagian besar (sekitar 80%) lesi kulit sembuh, fase ini dimulai saat berlangsung
penyembuhan kulit hingga sebagian besar lesi kulit telah sembuh. Lama fase ini
hanya beberapa minggu, jika penyembuhan lambat dosis terapi kortikosteroid
ataupun terapi adjuvan imunosupsresan perlu ditingkatkan paru (Wojnarowska, et
al., 2004).
Fase rumatan adalah fase pengobatan dengan dosis terendah yang dapat
mencegah munculnya lesi kulit baru, fase ini dimulai saat sebagian besar lesi telah
sembuh dan tidak tampak lagi lesi baru. Pada fase ini dosis kortikosteroid
diturunkan bertahap, sekitar seperempat dosis setiap satu hingga dua minggu. Obat
topikal seperti sulfadiazine perak 1% dapat mencegah infeksi sekunder. Lesi
mukosa dapat diberi obat kumur diphenhydramine hydrochloride. Kortikosteroid
topikal dapat memberikan efek positif pada lesi minimal. Pasien harus tetap mandi
24
setiap hari untuk mengurangi risiko infeksi sekunder, mengurangi penebalan krusta
dan mengurangi bau badan paru (Wojnarowska, et al., 2004).
Terapi pemphigus vulgaris diberikan dengan dosis optimal. Namun, pasien
masih merasakan gejala-gejala ringan dari penyakit ini, maka perawatan luka yang
baik adalah sangat penting karena ia dapat memicu penyembuhan bula dan erosi.
Pasien disarankan mengurangi aktivitas agar resiko cedera pada kulit dan lapisan
mukosa pada fase aktif penyakit ini dapat berkurang. Aktivitas yang dikurangi
adalah olahraga dan makan atau minum yang dapat mengiritasi rongga mulut
(Amagai, 2003).
Tingkat kesembuhan dari pemfigus bervariasi, sebelum adanya pengobatan
steroid, rata-rata pasien dengan pemfigus vulgaris meninggal dunia. Pengobatan
dengan steroid sistemik telah mengurangi angka kematian scara signifikan.
Pemfigus vulgaris yang tidak di obati sering berakibat fatal karena rentan terhadap
gangguan infeksi dan cairan dan elektrolit (Wojnarowska, et al., 2004).
25
V. KESIMPULAN
26