Professional Documents
Culture Documents
Azoospermia
Azoospermia
AZOOSPERMIA
Pembimbing:
Bagian Bedah
2016
0
Lembar Pengesahan
Referat:
Azoospermia
Nickanor Wonatorey
Mengetahui,
Pembimbing
1
Daftar Isi
Daftar Pustaka...................................................................................................... 20
2
A. Definisi dan Etiologi
Secara garis besar infertilitas dapat dibagi dua (Jungwirth et. al, 2012):
1. Infertilitas primer: merupakan suatu keadaan dimana pria (suami) tidak pernah
menghamili wanita (istri) meskipun telah melakukan hubungan seksual secara
teratur selama >12 bulan secara teratur tanpa kontrasepsi.
2. Infertilitas sekunder: merupakan suatu keadaan dimana pria (suami) pernah
menghamili wanita (istri) tetapi kemudian tidak mampu menghamili lagi wanita
(istri) meskipun telah melakukan hubungan seksual secara teratur selama >12
bulan secara teratur tanpa kontrasepsi.(Jungwirth et. al, 2012)
3
a. Kelainan kromosom. Sebagai contoh pada penderita sindroma
Klinefelter, terjadi penambahan kromosom X, testis tidak berfungsi
dengan baik, sehingga spermatogenesis tidak terjadi.
b. Varikokel, yaitu terjadinya dilatasi dari pleksus pampiriformis vena
skrotum yang mengakibatkan terjadinya gangguan vaskularisasi testis
yang akan mengganggu proses spermatogenesis.
c. Gonadotoksin (radiasi, obat)
d. Adanya trauma, torsi, peradangan
e. Penyakit sistemik ( gagal ginjal, gagal hati, dan anemia sel sabit) .
f. Tumor
g. Kriptorkismus. Hampir 9% infertilitas pria disebabkan karena
kriptorkismus (testis tidak turun pada skrotum).
h. Idiopatik. Hampir 25%-50% infertilitas pria tidak teridentifikasi
penyebabnya.
3. Azoospermia post testicular (7%-51% dari keseluruhan pria dengan azoospemia)
Merupakan kelainan pada jalur reproduksi termasuk epididimis, vas deferens, dan
duktus ejakulatorius. (Raheem, 2012).
4
adalah sebesar 28.41% dari keseluruhan subjek pada penelitian tersebut, termasuk
didalamnya 184 orang pasien (20.91%) dengan kelainan kromosom, dan 66 pasien (7.5%)
dengan kelainan ada kromosom Y. Kelainan kromosom paling banyak ditemukan adalah
sindrom Klinefelter, yang menyerang 161 subyek atau (18.3%). (Alhalabi et al, 2013).
Kelainan kromosom X lainya, seperti yang sudah diketahui banyak gen spesifik yang
berhubungan dengan testis pria pada kromosom X, dan pada khususnya gen premeiotic
banyak di perlihatkan oleh kromosom X daripada oleh kromosom autosom,
bagaimanapun juga hingga saat ini hanya beberapa gen yang sudah di teliti dan hanya
sedikit dari mereka yang dapat menyebabkan infertilitas pada pria. (Jungwirth et. al,
2016).
5
Selain kromosom X didapatkan juga infertilitas pada pria yang disebabkan oleh
kromosom Y. Kelaina dari kromosom Y tersebut biasa disebut dengan AZFa, AZFb, dan
AZFc. Kehilangan sebagian atau keseluruhan gen tersebut dapet mengakibatkan
terjadinya oligospermia atau bahkan Azoospermia, karena pada gen AZF tersebut
terdapat beberapa kandidat gen untuk spermatogenesis, kehilangan gen tersebut terjadi
secara bersamaan atau per-blok, hingga saat ini masih belum diketahui fungsi dari gen
AZF tersebut secara soliter, dikarenakan seluruh bagian dari gen AZF tersebut diperlukan
dalam proses spermatogenesis sehingga fungsi dari gen AZF secara satuan pada
spermatogenesis masih belum diketahui. Hingga saat ini kehilangan gen tersebut secara
sebagian baru ditemukan pada gen AZFa pada abgian USP9Y, pada penelitian yang
dilakukan, gen USP9Y tersebut dikatakan bekerja sebagai pengatur atau penyempurna
dari proses produksi sperma.(Jungwirth et. al, 2016).
B. Diagnosis
Setelah paling tidak terdapat dua kali analisa sperma dengan hasil azoospermia,
sang pria harus di anamnesis secara menyeluruh ( tabel 1), dan dilakukan pemeriksaan
fisik (tabel 2). Terkadang juga dibutuhkan pemeriksaan laboratorium dan radiologis (Jarvi
et.al, 2015).
6
Apakah ada infeksi sistem genito-urinari, Infeksi penyakit menular seksual
inflamasi atau infeksi testis yang Epididimo-orkhitis
dicurigai atau sudah terdiagnosa Orkhitis
Riwayat operasi di traktus reproduksi Kangker testis
Testis gagal turun
Hidrokelektomi
Spermatokelektomi
Varikokelektomi
Vasektomi
Paparan obat atau zat yang dapat Terapi hormon/ steroid
mempengaruhi spermatogenesis Antibiotik (sulfasazine)
Penyekat alpha
Penyekat 5-alpha-reduktase
Agen kemoterapi
Radiasi
Finasterid
Narkotika
Paparan lingkungan Pestisida
Panas berlebih pada testis
Zat rekreasional Ganja
Alkohol
Riwayat penyakit genetik pada pasien atau keluarga pasien
Jika pria tersebut telah terpapar oleh zat gonadotoxic maka paparan tersebut
harus segera dihentikan dan harus dilakukan analisa sperma ulang setelah 3 sampai 6
bulan,. Jika pria tersebut memiliki riwayat penyakit yng cukup serius, atau memiliki
riwayat infeksi saluran reproduksi maka analisis semen ulang harus dilakukan setidaknya
3 bulan setelah sembuh dari penyakit tersebut. (Jarvi et.al, 2015).
7
Kelas Obat
Anti-androgen Spironolakton, cyproterone acetate,
cimetidine, flutamide, ketokonazol,
leuprolide
Esterogen dan hormon lain Agonis esterogen, hormon pertumbuhan,
steroid anabolik
Obat-obatan kardiovaskular Propanolol, methildopa, digoksin,
penyekat kanal kalsium, reserpin,
amiodaron, fenitoin
Obat-obatan pencernaan Penyekat asetilkolinesterase, sulfasalazine
Obat-obatan anti kangker Siklofosfamid, melphelan, chlorambucil,
nitrosourea, busulphan, methotreksat
Obat-obatan anti infeksi Nitrofurantoin, nirizadole
Obat-obatan psikoaktif Antidepresan golongan trisiklik,
amfetamin, narkotika, obat bius kat dan
lemah
Obat-obatan lainya kolkisin
Obat-obatan terlarang Steroid anabolik, alkohol, ganja, kokain,
nikotin
Semen Analisis
Analisa karakteristik semen dapat diklasifikasikan menjadi 2 kelompok (Jungwirth et. al,
2016):
1. Pemeriksaan makroskopik:
Terdapat lima hal yang diukur pada pemeriksaan makroskopik ini, yaitu pH,
koagulasi/pengenceran, warna, viskositas dan volume semen. Semen normal
manusia berwarna agak putih hingga kuning keabu-abuan. Bila terkontaminasi
dengan urin, maka semen berwarna kuning. Semen juga dapat berwarna merah
muda pada pasien dengan perdarahan uretra dan kekuning-kuningan pada pasien
jaundice. Keadaan fisik semen yang baru diejakulasi adalah kental. Tapi sekitar 20
menit kemudian akan mengalami pengenceran, disebut likuifaksi oleh fibrinolisin
enzim proteolitik yang disekresikan oleh prostat. Jika pengenceran tidak wajar
berarti ada ketidakberesan pada kelenjar itu. Pengukuran pH merupakan
komponen standar dalam analisis semen yang ditentukan oleh sekresi vesika
seminalis dan prostat. pH normal adalah sekitar 7,2 hingga 8,0. Karena sekresi
vesika seminalis bersifat alkali, pH asam mengindikasikan terdapat hipoplasia
vesika seminalis yang biasa ditemui pada pasien azoospermia.
8
2. Pemeriksaan Mikroskopik(Jungwirth et. al, 2012)
a. Aglutinasi sperma: Pemeriksaan ini dimulai dengan hapusan tebal dengan
meletakkan semen pada slide yang ditutup oleh cover slip dan diamati pada
pembesaran 1000x. Melalui metode ini, aglutinasi sperma, keberadaan
sperma dan motilitas subjektif sperma dapat diamati. Dalam keadaan normal
tidak ditemukan adanya aglutinasi dan jumlah leukosit ≤1 juta/mL serta tidak
ditemukan adanya immature germ cell. Adanya adhesi sperma ke elemen non
spema mengindikasikan adanya infeksi kelenjar aksesoris, adanya adhesi
sperma-sperma mengindikasikan adanya antibodi antisperma sekunder .
b. Jumlah dan konsentrasi: Pemeriksaan ini dilakukan setelah terjadi
pengenceran cairan semen. Jumlah sperma normal ≥20 juta sperma per mL.
Bila jumlahnya < 20 juta sperma/mL maka disebut sebagai oligospermia.
Azoospermiadapat disebabkan karena adanya gangguan saat
spermatogenesis, disfungsi ejakulasi ataupun karena adanya obstruksi.
Laboratorium WHO menetapkan batas toleransi jumlah sperma terendah
yang masih dikatakan normal adalah ≥20juta sperma/mL atau jumlah sperma
total ≥39 juta/ejakulasi.
c. Motilitas: Motilitas dikenali sebagai prediktor yang terpenting dalam aspek
fungsional spermatozoa. Motilitas sperma merupakan refleksi perkembangan
normal dan kematangan spermatozoa dalam epididimis. Menurut WHO
tahun 2010, motilitas spermatozoa dikelompokkan menjadi sebagai berikut:
Progressive motility (PR): Spermatozoa bergerak bebas, baik lurus
maupun lingkaran besar, dalam kecepatan apapun.
Non-progressive motility (NP): semua jenis spermatozoa yang tidak
memiliki kriteria progresif, seperti berenang dalam lingakran kecil, ekor/
flagel yang sulit menggerakkan kepala, atau hanya ekor saja yang
bergerak.
Immotility (IM): tidak bergerak sama sekali.
Yang dikatakan memiliki nilai motilitas normal yaitu Progressive motility (PR)
≥32% atau PR + NP ≥40%. Disebut asthenospermia (motilitas yang tidak sesuai
dengan kriteria WHO) dapat disebabkan oleh antibodi antisperma (15%),
periode abstinensi yang panjang, infeksi traktus genitalia obstruksi duktus
9
parsial, dan varikokel. Hal ini dapat menurunkan motilitas sperma dalam
penetrasi ke mukosa servikal.
d. Morfologi, Morfologi sperma menunjukkan persentasi bentuk abnormal yang
ditemukan dalam semen. Terdapat dua klasifikasi yang digunakan untuk
menentukan morfologi sperma yaitu berdasarkan kriteria WHO, dan kriteria
Kruger’s strict. Teratozoospermia (<15% morfologi normal sperma) dapat
terjadi pada keadaan demam, varikokel, dan stres.
e. Viabilitas, standar nilai viabilitas normal adalah ≥58% Bila sperma yang motil
ditemukan kurang dari 58% sperma yang viabel, maka kemungkinan motilitas
sperma akan menurun karena terdapat sperma yang mati (nekrospermia).
Perlu dilakukan pemeriksaan viabilitas pada analisa sperma ini.
f. Sel non sperma: sel germinal yang immatur, sel epitel dan leukosit. Leukosit
merupakan elemen sel non sperma yang sangat signifikan dan sering dijumpai
pada pasien dengan infertilitas. WHO menyatakan bahwa bila level leukosit
diatas 1 x 106 WBC/mL maka disebut dengan leukositospermia. Nilai
normalnya adalah ≤1juta/ml.
10
Azoospermia dengan penurunan volume semen
Dikarenakan hampir seluruh semen berasal dari glandula seminalis dan prostat
(>90%) maka rendahnya volume semen dapat mengindikasikan.
Pemeriksaan fisik dapat membantu menentukan apakah terdapat vas deferens pada
skrotum atau tidak, tidak adanya vas deferens dapat diasosiasikan dengan tidak adanya
glandula seminalis yang menyebabkan rendahnya volume semen atau azoospermia.
Apabila tidak ditemukan bukti adanya ejakulasi retrograd, maka perlu dilakukan
pemeriksaan radiologis pada traktus reproduksi untuk mencari apakah ada kelainan atau
obstruksi pada traktus reproduksi, dengan menggunakan ultrasonografi trans-rectal
dapat dilihat apakah glandula seminalis dan vas deferens di sekitar prostat normal atau
tidak. (Jarvi et al, 2015).
11
ejakulatorius, maka pria tersebut memiliki kemungkinan kelainan gen sebanyak 25% yang
diasosiasikan dengan kistik fibrosis, maka dari itu tes untuk mendiagnosa kistik fibrosis
harus dilakukan kepada semua ria dengan kista pada ductus ejakulatori. (Jarvi et al, 2015).
Azoospermia
dengan penurunan
volume semen
Tidak ditemukan
Kista duktus Ejakulasi tidak
vas deferens +/- Ejakulasi antegrad
ejakulator antegrad
vesika seminalis
Ejakulasi retrograd
1. Azoospermia pre-testikuler.
2. Azoospermia dengan kegagalan testikuler atau azoospermia tanpa obstruksi, dan
3. Azoospermia dengan obstruksi post testikuler.
Pembagian azoospermia daat juga ditentukan melalui kadar leutenizing hormone (LH),
dan folicular stimulating hormone (FSH) tanpa harus melalui biopsi testis. Diagnosis
azoospermia pre testikuler lebih mudah dilakukan, karena apabila kadar FSH dan LH
rendah maka kadar testosteron juga akan rendah atau bisa juga normal, pria dengan kadar
FSH dan LH yang meningkat dan memiliki testis yang lebih kecil dari normal biaanya
mengalami azoospermia tanpa obstruksi.(Jungwirth et al, 2012).
Bagaimanapun juga paria dengan kadar FSh dan LH yang normal dapat terkena
azoospermia tanpa obstruksi ataupun dengan obstruksi, dan sayangnya tidak ada metode
12
lain selain biopsi testis untuk mendiagnosis apakah seseorang mengidap azoospermia non
obstruktif atau obstruktif.
Azoospermia
dengan volume
semen normal
Kegagalan
Pre-testikuler Biopsi testis
testis
Kegagalan Azoospermia
testis obstruktif
Kegagalan ejakulasi
Pada pria dengan masalah neurologis yang jelas (cidera medula spinalis, operasi
limfonodi retroperitoneal) tidak perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan sebelum dilakukan
pengobatan. Namun demikian pada pria dengan kegagalan ejakulasi yang idiopatik harus
disarankan untuk berkonsultasi dengan sex therapist.
Pria yang tida memiliki vas deferens atau mengalami obsruksi pada epididimis
atau ductus ejakulator memiliki kemungkinan yang cukup tinggi disebabkan oleh kistik
fibrosis, kami menyarankan tidak hanya sang pria akan tetapi pasangan wanitanya juga di
tes untuk mendiagnosis apakah benar menderita kistik fibrosis atau tidak. (Jarvi et al,
2015).
13
Semua pria dengan kegagalan testis (spermatogenesis) disarankan untuk tes
karyotype dan Y-micro-deletion testing, lalu dirujuk ke genetic counseling apabila
ditemukan kelainan (level of evidence 1, grade of recommendation A), pada pria dengan
Azoospermia tanpa obstruksi tidak diperlukan pengujian terhadap kistik fibrosis (Jarvi et
al, 2015).
Tabel 3. Kelainan genetis yang biasa ditemukan pada beberapa kasus Azoosermia
Kistik Karyotipe Mikrodelesi
fibrosis kromosom -Y
Obstruksi atau tidak ditemukanya vas
deferens
Obtruksi atau tidak ditemukanya 25-80%
epididimis
Obstruksi atau tidak ditemukanya
traktus ejakulator
Kegagalan testis 14% 1-30%
C. Manajemen
Untuk mengerti tentang manajemen dari azoospermia kita harus mengerti tentang
assisted reproductive technologies (ARTs) (contoh, fertilisasi in-vitro) sebagai manajemen
dari azoospermia. Sejak tahun 1970-an, penemuan-penemuan dalam hal ART telah
membantu kita memberikan manajemen kepada hingga 98% pasangan dengan faktor pria
terdiagnosis azoopermia.(Jarvi et al, 2015).
Penemuan signifikan tersebut tidak membantu menaika kualitas sperma, akan tetapi
menggunakan ART untuk “mengobati” infertilitas pada pria. Program tersebut
menggunakan teknik untuk menaikan jumlah telur yang masak yang di produksi oleh
wanita dengan memanipulasi kadar hormon pada wanita, menggunakan hormon eksogen
(induksi ovulasi) lalu dilakukan.(Jarvi et al, 2015).
14
3. Injeksi sperma intra sitoplasmik, dengan menyuntikan sel sperma langsung ke
dalam sitoplasma dari oosit atau sel telur.
Semua teknik di atas digunakan untuk mengobati pasangan dengan faktor infertilitas
pria, di amerika serikat pada 2012, lebih dari 165000 fertilisasi in vitro atau injeksi sperma
intra sitoplasmik dilakukan. Diseluruh dunia angka tersebut lebih tinggi lagi, ada 2013
International Committe for Monitoring Assisted Reproductive technologies melaporkan
bahwa pada tahun 2004 diseluruh dunia dilakukan 954743 fertilisasi in vitro atau ijeksi
sel intra sitoplasmik, dengan angka kelahiran bayi sebanyak 237809 bayi . (Jarvi et al,
2015).
Dengan menggunakan teknik injeksi sperma intra sitoplasmik saat ini dapat
membantu terjadinya kehamilan, dengan menggunakan sperma yang hidup (motil
ataupun tidak), yang didapatkan dari semen ataupun dari traktus reproduksi pria bagian
mana saja, bahkan pada pria dengan azoospermia dapat dilakukan pengambilan sperma
dengan teknik injeksi intra sitoplasmik. Para pria tersebutyang sebelumnya memiliki
kemungkinan sangat rendah untuk memiliki anak biologis sendiri, terdapat hingga 50%
angka kehamilan tiap siklus injeksi spermal intra sitoplasmik ( pada wanita dibawah usia
35 tahun), denga angka kemungkinan kehamilan bervariasi tergantung tempat
pengambilan sperma. (Jarvi et al, 2015).
manajemen dan pengobatan yang akan dijelaskan hanya diberikan kepada pasangan
yang menginginkan keturunan yang memiliki hubungan biologis dengan ayah dan ibunya.
15
Ejakulasi retrograd
Pada kasus ini terapi yang dapat diberikan adalah dengan menggunakan
pseudoephedrine sebanyak 60 mg sebelum ejakulasi, atau bisa juga menggunakan agonis
alpha yang lain untuk mengubah ejakulasi retrograd menjadi anterograd, namun apabila
terapi ini tidak berhasil, maka bisa dilakukan pengambilan sperma dari kandung kemih,
dengan menggunakan teknik urin kateter atau pengeluaran urin post-ejakulasi,
berikutnya sperma tersebut dapat digunakan untuk assisted reproductive technologies
(ARTs).
Azoospermia obstruktif
Keadaan ini dapat diterapi dengan salah satu pilihan berikut.(Sharlip, 2001)
1. Sperma diambil dari traktus reproduksi lalu digunakan untuk program injeksi
sperma intra sitoplasma. Teknik pengambilan sperma tersebut dapt melalui
teknik perkutan atau dengan melakukan aspirasi sperma terbuka langsung ke
epididimis, atau bisa juga diambil dari testis dengan teknik perkutan atau biops
terbuka.
2. Dilakukan bypass/repair onbstruksi pada area traktus reproduksi yang terkena.
Terpi ini adalah yang paling realistis pada pria denga azoospermia obstruktif, area
yang sering terjadi obstruksi adalah epididimis, dengan teknik prosedur oprasi
mikroskopis yang ada saat ini, center yang memiliki ahlinya dapat melakukan
vaso-epididymostomi dengan patensi anastomosis yang dilaporkan sebesar 85%,
dengan angka kehamilan spontan sebanyak 50%. Bagaimanapun juga prosedur ini
memerlukan ahli yang sudah memiliki pengalaman dan sebaiknya dilakukan di
center yang memadi untuk prosedur tersebut, para pria tersebut juga dianjurkan
untuk menyimpan dahu sperma di bank sperma sebagai antisipasi apabila
tindakan operasi tersebut tidak berhasil (level of evidence 3, grade of
recommendation C).
3. Transurthral resection (TUR) pada duktus ejakulatorius. Pria dengan obstruksi
duktus ejakulatorius bisa menjadi kandidat untuk dilakukan TUR duktus
ejakulatori. Prosedur ini baiknya dilakukan dengan bimbingan TRUS agar TUR
tersebut dapat scecara tepat mebuka kista pada duktus ejakulatori. Penting untuk
16
memberitau pasiententang semua komplikasi yang mungkin terjadi pada
tindakan TUR duktus ejakulatori.
Walaupun begitu faktor waktu juga harus diperhatikan, apabila onset terjadinya
obstruksi sudah lama maka prosedur aspirasi sperma lalu dilanjutkan dengan injeksi
sperma intra sitoplasmik atau fertilisasi in vitro lebih dipilih sebagai terapi dikarenakan
angka keberhasilan kehamilan pada prosedur ini lebih tinggi yaitu sekitar 30% sampai 40%
pada pasien dengan obstruksi yng berlangsung lebih dari 15 tahun lamanya. (Liguori,
2012).
17
Azoospermia non-obstruktif
Pada kasus ini dapat dilakukan ekstraksi sperma dari testis yang kemudian
dilakukan analisa dan lalu juga digunakan untuk prosedur injeksi sperma intra sitoplasmik,
saat ini cara yang paling optimal untuk mengidentifikasi kantung sperma, adalah dengan
melakukan diseksi ekstensif pada tubulus seminiferus (ekstraksi sperma pada testis)(level
of evidence 2, grade of Recommendation B). Sebagian besar tubulus seminiferus di periksa
menggunakan mikroskop, tubulus yang memiliki ukuran lebih besar memiliki
kemungkinan lebih besar terdapat spermatogenesis dibandingkan tubulus dengan ukuran
yang lebih kecil. (chiba et al, 2016).
Kelebihan dari teknik ini adalah dapat mengidentifikasi bagian mana dari testis
yang memiliki sperma lebih banyak, sebelum bagian tersebut dikeluarkan dari testis,
dengan demikian kemungkinan mendapatkan sperma lebih tinggi dibandingkan dengan
teknik biopsi acak biasa (pada satu studi 63% berbanding 45%) walaupun prosedur ini
memerlukan waktu yang lama (lebih dari 3 jam) kerusakan yang terjadi pada testis lebih
minimal dikarenakan jumlah jaringan yang di angkat dari testis lebih sedikit. Rasio
kehamilan dengan menggunakan prosedur injeksi intra sitoplasma menggunakan sperma
yang di ambil dengan teknik ini adalah sekitar 19% sampai 50%. Prosedur ini sebaiknya
dilakukan oleh ahli yang sudah berpngalamn dan dilakukan di center yang sudah biasa
menangani tindakan ekstraksi sperma dan injeksi intra sitoplasma. (chiba et al, 2016).
Terapi hormon dipercaya tidak terlalu efisien pada pasien dengan azoospermia
non obstruktif diakarenakan tingginya kadar hormon gonadotropin, bagaimanapun juga
beberapa penelitian menjelaskan bahwa stimulasi spermatogenensis dengan
menggunakan inhibitor aromatase anti-esterogens dan hormon gonadotropin sebelum
pengambilan sperma secara langsung di testis dapat membantu memperbaiki kualitas
sperma yang di ambil, hasil penelitian tersebut hingga saat ini masih kontroversial. Salah
satu cara meningkatkan angka spermatogenesis adalah dengan menaikan jumlah
testosteron yang ada di lama testis (intratesticular testosteron, ITT), ITT sendiri dapat di
naikan dengan pemberian terapi hormon berbasis hCG, hal ini dimungkinakan karena
pada pria dengan azoospermia non obstruktif basanya disertai dengan rendahnya tingkat
hormon ITT, reseptor androgen yang berada di sel sertoli memiliki andil yang sangat besar
pada spermatogenesis, faktor hormonal dan non-hormonal lain juga dapat
18
mempengaruhi hasil tersebut. Sebuah penelitian menjelaskan bahwa pada pria dengan
sindrom Klinefelter yang memiliki ambang bawah testosteron yang rendah dan merespon
terapi hormon, berhasil menaikan kadar testosteron hingga lebih dari 250ng/dl dan
memiliki hasil yang lebih baik pada pengambilan sperma yaitu sekitar 77% dibandingkan
dengan yang tiidak merespon terhadap terapi hormon yaitu sekitar 55%.(Shirashi et al,
2014).
Salah satu anti-esterogen yang dapat digunakan adalah Clomiphene citrate dan
tamoxifen, yaang keduanya adalah obat2 an anti-esterogen non-steroid yang aman
digunakan, sedangkan untuk obat-obat an penyekat aromatase yang aman digunakan ada
2 macam yaitu yang memiliki sifat steroidal (testolactone) dan yang non-steroidal
(anastrozole, letrozole), pada pria dengan azoospermia tanpa obstruksi, reseptor hormon
gonadotropin biasanya mengalami penekanan diakarenakan tingginya tingkat hormon
gonadotropin endogen. (Shirashi et al, 2014).
Kegagalan Ejakulasi
Pada pria dengan kegagalan ejakulasi yang disebabkan oleh gangguan neurologis,
dapat diberikan terapi vibro-stimulation atau electro-ejaculation, kedua prosedur
tersebut dapat menyebabkan disrefleksia atonom pada pria dengan cidera medula
spinalis letaak tinggi, setelahnya semen tersebut dapat digunakan untuk prosedur ARTs,
untuk mengoptimalkan kualitas sperma biasanya perlu dilakukan prosedur lebih dari
sekali (2 sampai 3 kali) dengan jeda beberapa minggu, biasanya pasien tersebut juga
memiliki obstruksi pada epididmis, sehingga kadang diperlukan aspirasi sperma.
19
Daftar Pustaka
1. Jarvi, K., Lo, K.,Grober, E.,Mak,V., Fischer, A.,Grantmyre, J., Zini, A., Chan, P., Patry,
G., Chow, V., Domes, T. CUA Guideline: The workup and management of
azoospermic males. cua guideline. 230-236 (2015)
2. Jungwirth, A., Diemer, T., Dohle, G,R., Giwercman, A., Kopa, Z., Krausz, C.,
Tournaye, H. Guidelines on Male Infertility. European Association of Urology.
(2015)
3. Alhalabi, M., Kenj, M., Monem, F., Mahayri, Z., Alchamat, G, A., Madania, A. High
prevalence of genetic abnormalities in Middle Eastern patients with idiopathic
non-obstructive azoospermia. Springer Science Business Media. New York. 799-
805 (2013)
4. Shirashi, K., Hormonal therapy for non-obstructive azoospermia: basic and clinical
perspectives. Japan Society for Reproductive Medicine. Japan. 65-72 (2014)
5. Jungwirth, A., Giwercman, A., Tournaye, H., Diemer, T., Kopa, Z., Dohle, G., Krausz,
C. European Association of Urology Guidelines on Male Infertility: The 2012
Update. European Association of Urology. 324-332 (2012)
6. Raheem, A, A., Ralph, D., Minhas, S. Male infertility. British Journal of Medical and
Surgical Urology. 5. Elsevier 254-268 (2012)
7. Koji Chiba, K., Enatsu, N., Fujisawa, M. Management of non-obstructive
Azoospermia. Japan Society for Reproductive Medicine. Japan. 165-173 (2016)
8. Pastore, A, L., Palleschi, G.,Silvestri, L.,Leto, A., Carbone A. Obstructive and Non-
Obstructive Azoospermia. Sapienza University of Rome, Faculty of Pharmacy and
Medicine, Department of Medico-Surgical Sciences and Biotechnologies, Urology
Unit, S. Maria Goretti Hospital Latina 2Uroresearch Association. Italy
9. Wosnitzer, M, S.,Goldstein, M. Review of Azoospermia, Spermatogenesis. (2014)
10. Kolettis, P, N. The Evaluation and Management Review of the Azoospermic
Patient. Journal of Andrology, Vol. 23 (2002)
11. Sharlip et.al. Report on Management of Obstructive Azoospermia. American
Urological Association. Cleveland. (2001)
12. Liguori, G., Trombetta, C., Zordani, A., Napoli, R., Ollandini, G., Mazzon, G., de
Concilio, B., Belgrano, E.The Infertile Male-4: Management of Obstructive
Azoospermia. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. 241-248 (2012)
20
13. Castiglioni, M., Colpi, E, M., Scroppo, F, I., Colpi, G, M. The Infertile Male-5:
Management of Non-Obstructive Azoospermia. Springer-Verlag Berlin
Heidelberg. 249-259 (2012)
14. Jungwirth, A., Diemer, T., Dohle, G, R., Kopa, Z., Krausz, C., Tournaye, H. EAU
Guidelines on Male Infertility. European Association of Urology. (2016)
21