Professional Documents
Culture Documents
3 Pengalaman Religius Kontekstual PDF
3 Pengalaman Religius Kontekstual PDF
Abstraksi
Solusi aktual dalam dialog antar pemeluk agama adalah “semua agama pada
dasarnya mempunyai tujuan yang sama, meskipun berbeda dalam cara”. Pandangan
demikian kiranya wajar dalam suasana kerukunan hidup antar pemeluk agama. Tetapi,
kewajaran ini perlu dilihat secara kritis.
Salah satu langkah sikap kritis terhadap pandangan tersebut adalah refleksi ke
belakang, ke masa lalu. Langkah ini ditempuh bukan semata-mata karena kecenderungan
masa kini ”back to basic”. Akan tetapi, metode ini ditempuh untuk mencari jawaban yang
bersifat universal (bukan personal/kelompok) tentang “Mengapa manusia mempunyai
kepercayaan akan adanya ‘Misteri Ilahi’, yang suci, yang berada di luar batas manusia?”
Persoalan di sekitar pemahaman secara rasional tentang ‘eksistensi’ Sang Ilahi-itulah yang
menjadi pokok pemikiran para fenomenolog agama, melalui pemahaman secara kristis-
rasional, filsafati.
Untuk mengungkapkan relasi manusia dengan Sang Khaliq, kaum fenomenolog
mempunyai istilah yang khas, yakni: “pengalaman religius”. Melalui istilah tersebut,
ditunjukan bahwa relasi manusia dengan ‘Sang Ilahi’ terjadi di dalam situasi konkrit-faktual
dan duniawi, sesuai dengan situasi dan kondisi manusia. Dengan kata lain, secara negatif
ditekankan bahwa korelasi manusia dengan Sang Ilahi tidak dapat dilepaskan dari alam,
realitas kehidupan manusia. Korelasi tersebut tidak terpisahkan dari “dunia”. Dalam
pengalaman, manusia berhadapan dengan masalah-masalah dasariah kehidupan: mengapa
manusia hidup, dari mana asal dan ke mana tujuan hidup; mengapa ada kebahagian,
kesengsaraan dan kematian; mengapa manusia terbatas. Atas dasar pengalaman manusia
sebagai makhluk yang terbatas, disadari bahwa jawaban persoalan tentang arti kehidupan
itu ditemukan pada “Dhat Lain”, Misteri Ilahi yang tak terbatas. Manusia mempunyai
kerinduan untuk berhubungan secara dekat dengan “Dhat Ilahi” tersebut, sehingga muncul
istilah religius, “mengikat kembali” (kata latin = religare).
Harapan akan kedekatan manusia dengan Misteri Ilahi (=keselamatan) tidak bersifat
“melayang-layang di surga”, melainkan terjadi hic et nunc. Seperti halnya, pemahaman akan
adanya Sang Ilahi muncul dari pengalaman konkrit manusia ketika berhadapan dengan alam
di sekitarnya, demikian pula, usaha manusia ‘berjuang’ untuk memperoleh keselamatan, juga
tidak dapat dilepaskan dari alam, realitas, kehidupan manusia yang bersangkutan. Bukti
faktualnya adalah penghayatan manusia akan kehadiran dan harapan akan kedekatan pada
Sang Ilahi diwujudkan dalam dan melalui agama-agama. Dengan kata lain, agama pada
dasarnya secara eksistensial muncul dan berkembang sebagai impak kesadaran manusia
akan adanya Misteri Transenden dan Imanen atas kehidupan manusia.
Akan tetapi, di kemudian hari, fakta pun menunjukkan bahwa situasi penghayatan
agama menjadi ‘berubah-arah’. Pada mulanya, secara eksistensial agama muncul dalam
kebudayaan manusia dengan peran sebagai ‘alat bantu’ untuk mewujud-nyatakan kesadaran
manusia akan Sang Ilahi. Oleh karenanya, dapatlah dipahami, bahwa muncul pewujudan-
nyata kesadaran akan Sang Ilahi muncul dan berkembang dalam pelbagai macam ujud
kebudayaan manusia, pluralistas (bukan, pluralisme) agama.
Pada hakekatnya pluralitas agama adalah wajar dan manusiawi, sesuai dengan
kodrat alam semesta dan juga manusia yang bersifat plural. Pluralitas menjadi problema
manusia yang tiada akhir ketika berubah arah menjadi pluralisme. Pluralitas berubah
menjadi pluralisme, ketika dalam perjalan waktu (sekarang) keanekaragaman penghayatan
kesadaran akan Sang Ilahi dipahami sebagai institusi yang secara fndamental menentukan
manusia dalam bersikap dan memberi pemahaman terhadap realitas-alam, arti-makna
1
kehidupan dan bagaimana manusia harus menjalankan kehidupan, bahkan “menentukan
eksistensi” Sang Ilahi.
Hal ini adalah wajar, sebab pengalaman beragamapun tak dapat dilepaskan dari
“alam” pemeluknya. Namun perlu disadari bahwa kewajaran ini justru akan menjadi “Batu
Sandungan “ yang demikian itu tentunya tidak menguntungkan bagi bangsa – negara
Pancasila yang sedang membangun.
BAB I. PENDAHULUAN
1.Pemikiran Fenomenologis
Menariknya mempelajari religiositas manusia adalah kenyataan bahwa hal ini
adalah fenomena/gejala yang dapat ditemukan pada hamper semua suu bangsa di
muka bumi. Bahkan religiositas tidaklah dapat dilepaskan dari zaman serta
kebudayaan manusia. Maka di sisi lain, zaman dan kebudayaan pun mengalami
perkembangan yang evolutiv, sehingga pada gilirannya religiositas pun mengalami
evolusi sesuai dengan perkembangan kebudayaan manusia.
Pada kenyataan masa kini, religiositas manusia telah berkembang dalam
pelbagai bentuk lembaga. Maka pembicaraan tentang religiositas tidak cukup berkisar
pada praktek religiositas masa kini, jika yang dicari adalah “titik temu” pluralisme
agama. Titik temu pluralisme agama justru ditemukan jika pembicaraan tentang
religiositas kembali pada gejala-gejalanya, sebagaimana yang dikembangkan dalam
pemikiran fenomenologis tentang religiositas dan agama.
Yang disebut “fenomenologi” adalah suatu metode pemikiran ilmiah dengan
latar belakang filsafat. Metode ini oleh Edmund Husserl (1859-1938), dengan
semboyan ”kembali kepada hal-hal itu sendiri”. Maksudnya adalah bahwa untuk
mendapatkan pemahaman yang memuaskan tentang suatu hal, kita harus melepaskan
segala teori dan doktrin tentang hal tersebut; dan kembali kepada gejala dari hal itu,
sebagaimana “menampakkan diri” (Yunani : phainomenon ) kepadaku. Dengan cara
yang demikian, metode fenomenologi berusaha menemukan pemahaman dasariah dan
asli, yang masih bebas nilai, belum dipengaruhi oleh dampak perkembangan
kebudayaan.
Usaha untuk menemukan pengalaman asli itu ditempuh melalui 2 ( dua )
langkah. Pertama, fenomen diselidiki sejauh disadari secara langsung dan spontan.
Kedua, fenomen itu diselidiki hanya sejauh ada sebagai bagian dari dunia yang
dihayati secara keseluruhan. Menurut prinsip-prinsip tersebut, segala fenomena serta
pemahaman tentangnya dianalisa. Kemudian semua penyempitan atau interpretasi
yang berat sebelah terhadap pemahaman otentik diangkat, disingkirkan, sehingga
ditemukan pemahaman dasariah yang otentik tentang pengalaman awali manusia akan
Dhat Ilahi.
2
menjadi pluralisme, yakni ketika muncul kecenderungan dari masing-masing
pemahaman religiositas yang menekankan kebenaran pemahamannya dan
menganggap salah pemahaman lain.
Pluralisme makin berkembang dan makin mengkristal, ketika kesadaran akan
hak asasi manusia. Kesadaran akan hak asasi manusia ini makin menyadarkan
manusia bahwa manusia pada dasarnya memiliki martabat yang sama.
Situasi demikian juga berpengaruh pada penghayatan religiositas manusia
dengan agama yang dianutnya dalam inter-aksi dengan agama-agama lain. Pada
umumnya terdapat 3 (tiga) sikap terhadap pluralisme agama. Pertama, hanya satu
religi yang benar, yakni agama yang saya anut. Secara naluriah spontan, paham ini
terdapat pada setiap pemeluk agama. Ini adalah hal yang wajar, sebab kesadaran -
meski tidak disengaja- muncul sebagai sebuah keyakinan terdalam seseorang tentang
realitas. Dampaknya bagi interaksi atau dialog dengan agama-agama lain adalah sikap
ambil jarak dan sikap sulit menerima adanya kebenaran yang ditawarkan agama-
agama lain.
Kedua, pandangan bahwa semua tradisi religius itu berciri relatif, Artinya,
kebenaran dari tiap tradisi religius adalah benar bagi yang mempercayainya. Di satu
pihak, pandangan ini lebih memungkinkan adanya dialog antar tradisi religius.
Namun, di lain pihak, pandangan ini dirasa justru mengurangi keyakinan akan
kebenaran yang dipercayai. Sebabnya, keyakinan saya adalah hanya benar bagi diri
sendiri dan tidak bagi yang lain.
Ketiga, pandangan bahwa tradisi religius pada dasarnya sama. Pandangan ini
pada masa kini sangat populer untuk menjawab persoalan tentang pluralisme agama.
Pandangan ini melihat bahwa pluralisme adalah akibat, yang bersifat kebetulan
historis dan selera individu saja. Dengan kata lain, perbedaan antar tradisi tidak
menyangkut kebenaran hakiki.
1. Pengalaman religius
Releksi hidup beragama dengan metode fenomenologi dimaksud untuk
memahami pengalaman asli, bahwa awal mula manusia dalam relasi dengan “Al
Khaliq”. Refleksi demikian terasa makin penting dalam situasi pluralisme agama
masa kini. Sebab refleksi ini akan memberi jawaban tentang ; mengapa terdapat
perbedaan-perbedaan cara dalam mengungkapkan kepercayaan kepada Allah. Dengan
kata lain, refleksi fenomenologi tidak hanya menunjukkan asal mula perbedaan antar
agama, tetapi lebih dari itu bahwa refleksi demikian membawa pada pengalaman asli
manusia dalam relasinya dengan Allah. Marcia Eliade menamakan pengalaman itu
“pengalaman religius”.
3
perbandingan, pemahaman kita tentang danau Toba adalah :penuh”, sejauh kita
sendiri pernah terlibat dengan danau Toba. Dan karenanya , kita mampu berbicara
tentang segalanya dialami di sana.
Persoalannya, bagaimana dengan “alam” Allah? Secara objektif, jelas bahwa
“alam” Allah berada di luar jangkauan manusia, karena ke-MAHA-an-Nya. Meskipun
demikian, toh manusia mampu mengalami ”alam” Allah. Ini melibatkan manusia
sendiri. Keterlibatan manusia dengan “alam” Allah yang demikian paling jelas dalam
“kerinduan” manusia untuk berkomunikasi, berelasi dengan-Nya. Kerinduan ini kami
sebut sebagai ”pengalaman” manusia, karena bersifat konkrit, langsung, intuitif,
objektif, spontan dan afektif serta emosional.
Isi dan makna kerinduan manusia itu yang kami maksudkan dengan istilah
“religius”. Istilah ini berasal dari bahasa latin “religare”, yang artinya mengikat
kembali. Manusia mempunyai kerinduan untuk mengikatkan dirinya kembali dengan
Allah. Manusia rindu untuk berhubungan dengan secara dekat dengan Allah.
Kerinduan itu memerlukan keterlibatan manusia secara langsung sebagai pengalaman
manusiawi.
Dengan demikian, mulai tampak bahwa istilah “religius” mempunyai makna
yang lebih luas dan dalam daripada istilah “agama”. “Agama” yang diturunkan dari
bahasa sansekerta “gam”, mempunyai makna: macam, jenis, aliran. Bandingkan
aneka ragam, yang berarti aneka macam. “Agama” menunjukkan pada aneka macam
institusionalisasi pengalaman religius. Institusionalisasi atau pengalaman di satu pihak
memperjelas bentuk pengalaman religius; di pihak lain, justru bentuk lembaga ini
membuat pengalaman religius makin terbatas “aturan main “ lembaga agama.
Kondisi semcam itulah yang sering memunculkan sikap skeptis terhadap
agama. Agama dilihat melulu sebagai “cara” manusia berkomunikasi dengan Allah.
“Aturan main” agama justru membuat perbedaan dan pertentangan antar manusia.
Padahal tujuannya adalah sama, yakni Allah. Jika demikian, mana yang lebih penting.
Ataukah agama, atau Allah?
4
b. Antara keduanya diadakan perkawinan (hierogami),
c. Oleh sebab – sebab tertentu, umumnya kesalahan/ dosa, satu – satu keturunan
mereka diutus sebagai penguasa dunia,
d. Penguasa dunia itu kemudian menurunkan manusia.
--- Pola umum ini berkembang dengan aneka variasi, sesuai dengan muncul
dan berkembangnya suku (bangsa)---
5
ini manusia merasa diri sebagi makhluk ciptaan yang kecil. Ketiga, Numinosum
sebagi objek pengalaman religius sebagai yang sama sekali berbeda dengan hal
duniawi, yang tak terjangkau oleh manusia.
Kutub lain serentak juga dialami dalam pengalaman religius adalah kutub
fascinosum (yang menarik, menyenangkan) dalam kutub ini manusia mengalami
Numinosum sebagai yang bersifat mempesona, menentramkan hati. Sifat ini
menumbuhkan rasa kebahagian, kerinduan untuk mendekati.
Kedua kutub tersebut boleh dikatakan sebagai “ harmoni-kontras”. Sebab,
kedua kutub, walau bertentangan, serentak ada dan serentak didambakan untuk di
dekati dan didambakan untuk menjauhkan bahaya pada manusia. Bahkan Anton
Bakker berpandangan bahwa semakin besar harmoni, makin besar pula kontrasnya;
dan sebaliknya. “Mysterium Tremendum et fascinosum” yang demikian itu adalah
struktur objek pengalaman religius. Dan, karenanya pengalaman religius pun
mempunyai struktur demikian. Nanti akan tampak mana yang merupakan hasil dan
mana yang merupakan pelaku proyeksi struktur tersebut.
6
irrasional. Dalam hal ini sebenarnya ada persoalan yang belum terjawab, mana yang
terlebih dahulu ada? Analog dengan peribahasa rakyat: “dahulu mana telur dan
ayam?”
Lepas dari permasalahan tersebut, para tokoh fenomenologi agama
menemukan bahwa pengalaman religius merupakan bagian dari kebudayaan, sejauh
tampak dalam perilaku. Kemudian , pada gilirannya, kebudayaan sebagai hasil olah
pikir dan perilaku manusia terhadap realitas membawa pengaruh bagi pengalaman
religius.
Dinamika timbal balik antara pengalaman religius dan kebudayaan dapat kita
temukan dalam penamaan (predikasi) terhadap Dhat Gaib; proses simbolisasi dalam
konsepsi hierofani, praksis ritus dan mitologi.
7
objek duniawi dapat tampil sebagai “penampakan diri yang Kudus”, “hierofani”,
“hierofani” (dari istilah dalam bahasa Yunani: hieros, artinya “kudus”; dan fani dari
‘phenomai’, artinya “menampakan diri”). Meskipun demikian , hanya beberapa objek
saja yang sekaligus dan serentak dapat menjadi hierofani. Pada kenyataannya, ada
objek uang bersifat sakral dan ada yang bersifat profan. Akan tetapi, di antara
keduanya saling berkorelasi, bahwa ‘yang tidak sakral’ terletak di dalam ‘hal yang
sakral’. ‘Hal yang tidak sakral’ menjadi sarana bagi ‘hal yang sakral’ untuk menjadi
tampak (phanomai) secara fisik, sehingga hal yang tidak sakral disebut sebagai
“profan”. Dalam rangka pembedaan antara yang kudus dan yang profan, bagi semua
objek duniawi, yang kudus berfungsi sebagai horison. Oleh karenanya objek sakral
sebagai hierofani juga dipahami sebagai pusat dunia. Pemahaman itu berpengaruh
bagi pandangan terhadap dunia.
Perbedaan sikap terhadap objek-objek dunia dipengaruhi oleh kekudusan
dan/atau tidaknya objek alam. Dengan kata lain, masyarakat purba memahami tata
susunan ruang (kosmologi-makrokosmos) berdasarkan pengalaman religius. Sebagai
contoh pandangan masyarakat tradisional terhadap Kraton Ngajogjakarta Hadiningrat.
Fungsi sentral “keraton” dipahami bukan hanya sebagai pusat pemerintahan,
melainkan terutama sebagai pusat kosmis, sebagai hierofani, penampakkan dari alam
semesta yang Kudus :
Gunung Merapi
(Kanjeng Ratu sekar)
Tawang Sari
Kayangan Tawang Mangu,
Ndlepih Sang KRATON Arga Dalem,
Hyang Tirtomoyo pada
Pramoni Gunung Lawu
Durga di hutan
Krendawahana
Segoro Kidul
(Ni Lara Kidul)
Pelindung dinasti
Mataram
8
terjadi dan dilaksanakan pada masa kini menurut “arche-type” mendapat makna
sakral yang sama dengan waktu lampau.
1. Universalitas Keselamatan
Uraian fenomenologis tentang pengalaman religius menunjukkan bahwa relasi
atau komunikasi manusia dengan Allah dihayati secara manusiawi. Relasi tersebut
bertolak dari pergulatan hidup manusia menjadi sadar akan keterbatasan dirinya.
Maka dalam kesadaran ini ada harapan bahwa relasi dengan Allah mampu menjawab
persoalan dasariah kehidupan tersebut.
Ketika refleksi manusia tentang pengalaman religius makin “maju”, lebih
sistemtis dalam konsep-konsep teologi, persoalan hidup dan kerinduan akan
jawabannya kiranya tidak jauh berbeda. Atas dasar konsep-konsep teologi,
pengalaman religius dapat dilihat secara lebih sitematis. Cara pandang yang sistematis
tersbut tampak pada istilah-istilah yang dipakai oleh agama masa kini. Istilah itu
adalah wahyu, iman dan keselamatan.
Jika di bawah ini, kami membicarakan wahyu, iman dan keselamatan secara
terpisah, hal ini tidak berarti bahwa ketiganya memang dapat dipisahkan satu dari
yang lain. Wahyu, iman dan keselamatan merupakan 3 unsur utama dari pengalaman
religius, yang saling mengandaikan dan melengkapi. Bahkan ketiganya harus
diucapkan dalam satu waktu secara bersama. Maka, pemilihan ketiga unsur utama
9
pengalaman religius masa kini tersebut merupakan usaha untuk pemahaman secara
sistematis perspektif saja dengan dasar pemikiran fenomenologi agama.
1.1. Wahyu
Pengertian “wahyu” yang dipakai dalam studi fenomenologi agama adalah
pengertian yang cukup luas. Tidak terbatas pada konsepsi wahyu yang dipahami,
diyakini dan ditawarkan serta menjadi alam pemikiran teologi oleh beberapa agama-
agama. Katakanlah, pengertian wahyu menurut agama Kristen atau agama Islam.
Menurut kedua agama ini, wahyu adalah “Sabda Allah”. Tetapi antara keduanya jelas
sekali adanya perbedaan dasariah sabda Allah yang diyakini sebagi wahyu. Agama
Kristen mempunyai keyakinan “Sabda Allah memuncak dalam diri Kristus”.
Sedangkan dalam agama Islam meyakini sabda Allah adalah apa yang tertulis dalam
Al-Quran. Perbedaan-perbedaan demikian tidak dimaksudkan oleh penyelidikan
fenomenologi agama.
Fenomenologi agama menemukan fakta bahwa para penganut agama
mempunyai keyakinan yang serupa tentang penghayatan akan The Ultimate Reality,
Realitas Ilahi. Pada umumnya, dipahami bahwa terjadinya proses komunikasi antara
Yang Ilahi dengan manusia, bukan terutama karena manusia mencari, melainkan
terutama karena Yang Ilahi telah berinisiatif untuk menyatakan Diri pada manusia.
Inisiatif Yang Ilahi untuk menyatakan diri kepada manusia inilah yang
dimaksud dengan wahyu. Dalam hal ini, fenomenologi agama tidak melihat
kepentingan bentuk atau cara Yang Ilahi dalam menyatakan diriNya.
Menurut keyakinan para penganut agama, wahyu selalu berasal dari suatu
sumber, yang terletak atas suatu “level-ontologis” yang sama sekali berbeda dengan
segala hal duniawi dan manusiawi. Dengan kata lain, wahyu selalu bersifat adi-
kodrati. Artinya, wahyu terjadi tanpa tergantung pada cara-cara berfungsinya unsur-
unsur alam atau daya-daya manusiawi. Wahyu terjadi atas prakarsa Ilahi, yang
menagtasi unsur alam dan daya manusia.
Dalam praktis keagamaan, penghayatan manusia terhadap wahyu tidak dapat
dilepaskan dari adanya objek yang berfungsi sebagi perantara. Ada dua alasan.
Pertama, praksis keagamaan adalah pengalaman manusiawi yang bersifat konkrit.
Dalam pengalaman manusia sadar bahwa keterbatasannya membuat dirinya tak
mampu berinteraksi-korelasi secara langsung dengan Yang Ilahi. Kedua, berkaitan
dengan alasan pertama, pengalaman manusiawi tersebut mengubah kesadaran dalam
dirinya akan “siapa” itu Kenyataan Ilahi, yakni sebagai yang sama sekali berbeda
dengan hal-hal yang duniawi dan manusiawi (yang berperan sebagai ujud-fenomenal
Dhat Ilahi). Berdasarkan dua alasan tersebut, dapat dikatakan bahwa, di satu pihak,
Kenyataan Ilahi hanya dapat ditemui oleh manusia “di dalam” lambang. Di lain pihak,
Kenyataan Ilahi itu pun hanya dapat mewahyukan diri melalui dan “di dalam “
lambang.
Berkaitan dengan dua alasan munculnya “lambang” sebagai objek medium
wahyu, tampak bahwa terdapat ketegangan dalam diri manusia dalam memahami
wahyu Ilahi. Ketegangan ini makin terasa ketika manusia menangkapkan dua fungsi
objek perantara itu. Pertama, objek alam berfungsi menyatakan isi wahyu; sementara
itu objek alam juga berfungsi, bahkan menyatakan bahwa sumber wahyu itu sama
sekali tak terjangkau dan sama sekali berbeda dari manusia.
Ketegangan-ketegangan yang demikianlah yang kini mewarnai pengalaman
religius manusia dalam agama yang dianut. Ketegangan itu dapatlah dikatakan
sebagai “harmoni-contras” manusia berelasi dengan kenyataan Ilahi. Justru adanya
10
ketegangan, katakanlah ketegangan religius, manusia dapat berelasi, berkomunikasi
dengan sumber wahyu denagn iman, kepercayaan.
1.2. Iman
Secara fenomenologis, iman atau kepercayaan diistilahkan dengan “intensionalitas”
(Jerman : “einstellung”) orang-orang beragama terhadap wahyu Ilahi. Dengan istilah
tersebut , iman atau kepercayaan berarti :
a. Pengalaman orang-orang bersangkutan, bahwa mereka berhadapan dengan
suatu objek yang berfungsi sebagai perantara Ilahi.
b. Pengakuan bahwa objek tersebut tidak dapat dipandang dan diartikan seperti
Kenyataan alamiah atau duniawi lagi;
c. Pengakuan serta penilaian terhadap kenyataan Ilahi sejauh pernyataan/
penyingkapan diri di dalam simbol; dan sekaligus sejauh kenyataan Ilahi tetap
tidak menampakkan dirinya sendiri seutuhnya dalam simbol.
Dalam pengalaman religius, baiklah bahwa unsur ini kita lihat terlebih dahulu.
Berkaitan dengan pengakuan dan penilaian terhadap kenyataan Ilahi, reaksi pertama
manusia adalah bahwa kenyataan Ilahi diakui sebagai yang bersifat kudus (Ibrani :
‘qaidos’ ; Arab : ‘quddus’ ; Latin : ‘sacer’ ). Istilah “kudus” di sini berarti pengakuan
akan “transedensi” mutlak kenyataan Ilahi yang mewahyukan atau menyatakan diri.
Dalam pengakuan ini tercakup pula unsur kekaguman manusia, sekaligus rasa
ketergantungan manusia terhadap kenyataan Ilahi. Di satu pihak manusia tidak
pernah mampu menyentuh kenyataan Ilahi secara utuh. Namun, di lain pihak, pada
saat yang sama manusia sadar bahwa dirinya perlu taqwa pada kenyataan Ilahi
yang memiliki tendensi mutlak. Reaksi demikian mengingatkan kita pada analisa R.
Otto. R. Otto menyatakan bahwa dalam berhadapan dengan kenyataan Ilahi, manusia
menghayati kenyataan Ilahi sebagai “mysterium tremendum et fascinosum”.
Dalam penghayatan keagamaan terdapat objek yang berfungsi sebagai simbol
dari kenyataan Ilahi. Mengenai hal ini pertama-tama harus dikatakan, bahwa yang
memerlukan simbol tersebut adalah manusia, dan bukan kenyataan Ilahi. Simbolisasi
diperlukan oleh manusia atas dasar kesadaran akan transedensi mutlak kenyataan
Ilahi. Kenyataan Ilahi berada di luar jangkauan dan daya pemahaman rasional
manusia. Maka, relasi iman yang terdapat dalam diri para penganut agama adalah
penghargaan terhadap kenyataan yang kudus sejauh dapat ditangkap dalam simbol.
Dengan kesadaran dan penilaian bahwa kenyataan Ilahi bersifat kudus,
penganut agama memberi nilai kudus dalam objek yang berfungsi sebagai medium
antara kenyataan Ilahi dengan manusia. Pemberian nilai kudus atau proses sakralisasi
itu muncul secara langsung dari cara menjalankan intensionalitas iman orang
beragama. Kenyataan Ilahi yang telah mewahyukan diri, terus-menerus dicari. Namun
kekudusan kenyataan Ilahi dari dirinya sendiri tidak dapat ditemui oleh manusia “ke
luar” dari alam dan dunianya. Kenyataan Ilahi dapat ditemui oleh manusia “dalam”
kenyataan alamiah dan duniawi manusia, yakni sejauh kenyataan Ilahi
mengungkapkan diri dalam objek alamiah dan duniawi. Oleh sebab itu, menurut para
penganut agama, objek alamiah yang berfungsi sebaga simbol dihargai dan
disakralisasi sebagi objek yang memiliki nilai kudus. Proses sakralisasi ini
mengakibatkan bahwa objek yang berfungsi sebagi simbol atau perantara wahyu Ilahi
tidak boleh diperlakukan seperti objek-objek alamiah lain. Secara lain, Henry Dumezy
menyatakan, “iman orang beragama berarti bahwa mereka mencari suatu nilai kudus
dari kenyataan Ilahi melalui suatu ekspresi yang dapat diserap oleh panca indera itu
dihormati sebagai tanda pengenalan kenyataan Ilahi.
11
Penghargaan dan pemberian nilai sebagai “kudus” pada objek yang berfungsi
sebagai perantara wahyu Ilahi tidak berarti kekudusan kenyataan Ilahi dikurangi, atau
dibatasi oleh objek yang bersangkutan. Intensionalitas terhadap kenyataan Ilahi atau
iman juga berarti bahwa para penganut agama mengakui kekudusan mutlak kenyataan
Ilahi. Kekudusan dan keangungan Ilahi tetap tidak terjangkau oleh manusia;
sedangkan simbol ilahi hanya muncul dari batas kemampuan manusiawi. Bahkan,
kerap kali orang beragama memahami simbol sebagai yang menampakkan
keagungan, ketidak-terjangkauan, kekudusan kenyataan Ilahi. Pemahaman demikian
itu muncul atas kesadaran dalam pengakuan atas kesadaran dalam pengakuan akan
kemutlakan Ilahi mendahului segala usaha manusiawi untuk mengenalnya. Sebab itu,
pemahaman dan pengakuan akan kenyataan Ilahi dapat dilakukan dalam “iman atau
kepercayaan”. Justru atas dasar iman, orang beragama mengakui bahwa kenyataan
Ilahi yang mewahyukan diri tetap tersembunyi. Bersamaan dengan itu, dari pihak
manusia, iman tersebut menyentuh manusia. Menentukan sikap manusia terhadap
kenyataan Ilahi yang kudus, sebagaimana terungkap dalam perilaku keagamaan.
ALLAH
Wahyu Iman
(pengenalan) (penanggapan)
MANUSIA
12
2. Beberapa Paham Keselamatan
Menjadi fenomen – fenomen yang sangat jelas, bahwa hampir semua agama
menawarkan dan mengajak pemeluknya untuk menanggapi bahwa Al Khaliq atau
Allah, “hic et nunc” (di sini dan kini). Dari sini dapatlah dikatakan, bahwa iman atau
kepercayaan akan tawaran keselamatan Allah menjadi pengalaman religius manusia,
dan tentunya pengalaman religius itupun adalah pengalaman manusiawi.
Sebagai pengalaman manusiawi, tanggapan atau iman manusia mendapat
pengaruh dari faktor-faktor manusiawi, yang ada dalam keterbatasan. Akibatnya
adalah munculnya perbedaan paham keselamatan. Misalnya, perbedaan interpretasi
“wujud” keselamatan; “cara” memperoleh keselamatan.
13
belakang sikap ini adalah pandanagan bahwa agama merupakan lembaga
keselamatan. Maka, perana memperoleh keselamatan diwujudkan dengan
“masuk” dalam kelompok dan mentaati aturan atau dogma agama.
3.1. Humanisme
Yang kami maksud dengan humanisme integral adalah paham yang melihat
proses perkembangan manusia secara utuh dan menyeluruh. Oleh Jaques Maritain,
faham ini dijadikan dasar dan tujuan bagi penghayatan keagamaan, atau penghayatan
iman. Oleh karena itu, dari sudut pandang keagamaan, humanisme integral dapat
diletakan pada tatanan keselamatan manusiawi, ketika manusia masih hidup di dunia.
Tatanan keselamatan manusiawi tersebut merupakan realisasi usaha manusia ,ketika
mengantisipasi pencapaian keselamatan Kekal. Manusia mewujudkan iman/
kepercayaan dan baktinya akan Allah, misalnya dalam penghargaan hak asasi dan
martabat manusia; dalam cinta dan hormat pada pribadi – pribadi lain.
14
Istilah “humanisme integral” ini digunakan sebagai penyeimbang antara dua
faham yang berat sebelah dalam perkembangan pribadi manusia, yakni : humanisme
strukturalis dan humanisme spritualis.
15
sungguh menjalankan ajaran dari suatu lembaga agama, hal ini akan berdampak
bahwa ia akan makin berkembang dalam iman, makin taqwa akan Allah Yang Maha
Kuasa. Namun, agama menjadi tidak mempunyai fungsi, disfungsional, justru ketika
agama mengurangi ke-iman-an seseorang. Sebagai contoh, sikap-sikap fariseik,
ritualistik, dogmatik, dan lain sebagainya.
Dari perbedaan antara kedua istilah tersebut dapat dikatakan bahwa agama
sebagi institusi membeda-bedakan manusia dalam kelompok-kelompok, seperti yang
menjadi keprihatinan Abdulrahman Wahid dan Arief Budiman. Sedangkan, iman
atau religiositas justru memperastukan manusia yang berbeda-beda, sebab dalam
sudut pandang iman manusia akan berhadapan dengan Allah sebagi misteri, yang
tidak dapat dirumuskan secara kategoris manusiawi.
Sampai di sini, kita dapat kembali lagi pada perwujudan iman, yakni
humanisme integral dan penghargaan martabat manusiawi, sebab iman tidak dapat
dilepaskan dari pengalaman manusiawi biasa. Maka, pada gilirannya dialog anta
agama dapat dilaksanakan dalam taraf dialog antar iman.
BAB IV
PENGALAMAN RELIGIUS DALAM KONTEKS INDONESIA
Jika dalam bab III kami sudah singgung, bahkan tentang titik temu dialog
antar agama dan antar umat, maka dalam bab ini akan dibicarakan secara lebih rinci
permasalahan pluralisme agama. Pembicaraan mengenai pluralisme agama ini jelas
tidak dapat dilepaskan, jika pengalaman religius ataupun penghayatan kepercayaan
akan Allah Yang Maha Esa diletakkan dalam konteks Indonesia.
Selain itu, berhubungan dengn konteks Indonesia, pengalaman religius perlu
dilihat dalam sosio politiknya. Bagaimana keterkaitan pengalaman religius beserta
penghayatannya dengan sosio politik negara Indonesia. Hal ini perlu dibicarakan
karena cita-cita untuk mempertahankan kesatuan bangsa dan negara Indonesia secara
nyata berhadapan dengan pluralisme agama, yang dijamin keberadaanya oleh negara.
1. Pluralisme Agama.
Kenyataan bahwa masyarakat Indonesia mampu memelihara pergaulan yang
baik antar agama memperoleh penilaian yang positif dari dunia internasional dalam
dua dekade terakhir. Penilaian tersebut kiranya tidak berarti bahwa dalam bangsa
Indonesia tidak lagi terdapat persoalan mengenai pluralitas agama. Kenyataan juga
menunjukkan bahwa kadang kala kesulitan-kesulitan akibat pluralisme tampak ke
permukaan, walaupun tidak separah negara-negara tetangga. Maka, boleh saja kita
sebagai bangsa Indonesia bangga akan kerukunan yang ada. Namun sebagaimana
ditegskan oleh Presiden RI pada peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW, tanggal
20 Agustus 1994, “segenap bangsa dan masyarakat Indonesia perlu mewaspadai
munculnya pertentangan antar pemeluk agama lain dan antar pemeluk agama yang
sama”.
Penegasan dan/atau keprihatinan Presiden itu adalah wajar. Secara sekilas
tampak bahwa berbagai konflik dan krisis negara-negara di akhir abad 20 ini muncul
akibat konflik kepentingan dibidang politik, sosial, atau ekonomi. Namun, kalau
direfleksikan secara lebih mendalam akan ditemukan akar konflik, yakni kepentingan
agama-agama.
16
Dalam kondisi politik Indonesia saat ini, berkat Pancasila dan UUD 1945
pasal 29, konflik pluralisme mungkn lebih mudah dideteksi dan diantipasi,. Namun,
bagaimana dengan konflik anata pemeluk dalam satu agama?
17
memungkinkan kita untuk merefleksikan citra-diri yang berkaitan dengan keyakinan
tentang kebenaran secara konkret. Relativisme juga memungkinkan munculnya
pandangan bahwa terdapat”kebenaran” dalam tradisi agama-agama lain.
Tentunya, hal ini justru membuat kita makin menghormati dan taqwa akan ke-Maha-
an Misteri Allah. Misteri Ilahi sebagai Kebenaran Sejati berada jauh di luar daya
tangkap akal-budi manusia. Misteri Ilahi tidak “disempitkan” secara terbatas hanya
dalam satu bentuk tradisi agama.
c. Semua Tradisi Agama Sama : agama-agama menuju satu tujuan , Sang Hyang
Ilahi
Pandangan behwa semua agama mempunyai tujuan yang sama, walau berbeda
dalam cara adalah yang paling populer pada kondisi pluralisme agama pada masa
kini. Persamaan antar agama-agama kiranya jelas. Sedangkan , perbedaan yang
dimaksudkan menurut pandangan ini adalah perbedaan yang menyangkut pilihan
individu atau latar belakang historis individu. Perbedaan bukan bersifat hakiki antar
agama.
Sehubungan dengan kesamaan dan perbedaan antar agama ini, W.C. Smith
menunjukkan dua gejala tradisi agama, yakni : Iman dan tradisi komulatif. Iman
adalah pengalaman batin seseorang tentang kenyataan Ilahi; cara seseorang berelasi
dengan yang transenden. Sedangkan tradisi komulatif adalah ungkapan-ungkapan
eksternal dari tradisis agama, seperti : dogma, credo/syahadat, hukum dan ritus. W. C.
Smith berpendapat kesamaan antara tradisi-tradisi agama terletak pada aspek iman.
Sebab pada aspek iman inilah dapat terjadi komunikasi antara masing-masing pribadi,
pemeluk tradisi agama. Sebaliknya jika kerjasama diadakan pada aspek tradisi
komulatif, tidal akan terjadi titik temu. Sebabnya adalah tradisi-tradisi komulatif
muncul dan berkembang sesuai dengan situasi dan konteks yang menjadi latar
belakang sejarahnya. Tradisi komulatif tidak mungkin dapat disamakan anatar tradisi
agama yang satu dengan tradisis agama yang lain.
18
dasar itu bukan hasil pemahaman intelektual ataupun pencerapan teori-teori,
melainkan lebih merupakan struktur pengalaman dasar manusia.
Justru atas dasar sikap iman yang demikian dialog akan menumbuhkan
kesadaran bahwa kebenaran fundamental tentang kehidupan. Bahkan pada gilirannya,
kiranya harus dikatakan bahwa dialog antar iman harus didasarkan pada kesadaran
tersebut. Dengan demikian dialog antar iman tidak terbatas hanya pada satu aspek
kehidupan dan terbatas dalam suatu lembaga keagamaan saja.
Ini merupakan sikap dasar yang penting untuk mewujudkan dialog yang
positif dan tidak berat sebelah (pada sisi saya). Dialog tidak akan tercipta, jika saya
tidak mampu memahami posisi, cara pandang pihak lain. Padahal saya baru mampu
memahami pihak lain secara sungguh, jika saya pun memakai kacamata dari pihak
lain itu.
Kesulitan dalam mewujudkan dialog antar iman yang demikian adalah adanya
prejudice bahwa saya akan menjadi pihak lain karena kacamatanya saya pakai. Ini
yang kerap kali menjadi “momok”. Di samping itu, ada pula pra-anggapan bahwa
‚dialog antar iman pasti akan macet.’ Terlebih lagi, jika dalam pra-anggapan tersebut
terdapat klaim-klaim bahwa apa yang saya anut dan ikuti adalah satu-satunya yang
paling benar. Maka, motivasi awal untuk berdialog adalah sikap keterbukaan pada
kemugkinan perubahan secara tulus. Perubahan yang dimaksudkan terutama adalah
perubahan dalam sikap apriori atau pemahaman tentang pihak lain. Dan, keterbukaan
berarti keberanian untuk kenyataan yang lebih besar dan benar daripada yang
dipahami selama ini.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam dialog antar iman dapat terwujud
dalam memenuhi 3 (tiga) kondisi sebagai prasyarat. Pertama, dialog perlu diawali
dengan sikap keterbukaan. Artinya pihak-pihak peserta dialog mempunyai kesediaan
untuk mendengar, bukan “menghakimi” pihak yang berbeda pendapat. Kedua, dialog
yang bersifat terbuka tersebut didukung dengan sikap kritis non-eksklusif.
Maksudnya, masing-masing pihak perlu menghilangkan sikap-sikap apriori terhadap
pihak lain. Ketiga, dialog antar pemeluk, yang merupakan dialog antar iman, tidak
boleh melulu/ berat pada aspek intelektual. Dengan sikap ini, pihak peserta dialog
akan mampu memahami pihak lain berdasar cara pandang/posisi pihak lain.
Dengan dialog semacam itu, para pemeluk agama-agama boleh berharap dan
berkeyakinan akan kehendak Allah untuk menyelematkan setiap orang. Kemudian,
kehendak Allah tersebut ditangkap, ditanggapi dan dialami sebagai pengalaman
religius secara bersama.
19
martabat manusia. Pengalaman religius tentu tidak berhenti pada “keinginan” atau
harapan untuk dekat dan selamat sampai pada Allah.
Pengalaman religius pada dasarnya muncul dari keterlibatan manusia terhadap
problema kehidupan. Pengalaman yang demikian akan menjadi makin konkrit sebagai
pengalaman manusia seutuhnya ketika dikembalikan pada problema kehidupan yang
sama. Dengan kata lain, manusia yang berpengalaman religius baru menjadi manusia
yang utuh, jika ia mampu pula menghargai harkat dan martabat manusia.
20
dan lemabag agama. Padahal, segi disfungsional itu bukan bagian hakiki. Itu hanya
merupakan dampak sampingan, bukan bagian dari maksud dasar pembentukan
lembaga negara dan agama.
Jika melihat fungsinya, kristalisasi nilai budaya bangsa Indonesia dlam
Pancasila muncul dari kesadaran positif tentang nilai budaya bangsa Indonesia, dan,
kesadaran itu sendiri muncul dalam proses panjang, setelah melihat dan mengalami
manfaat nilai budaya bagi manusia.
Bangsa Indonesia yang ada sekarang tidak dan tidak akan pernah mengalami
manfaat nilai-nilai itu. Maksudnya, nilai-nilai budaya ketika belum “mengkristal”
dalam bentuk sila-sila. Kita, memang, hanya menerima “bentuk-jadinya”. Namun,
justru “bentuk-jadinya” inilah yang membuat keadaan pada masa kini teratur.
Kemudian, dampak terdalam dan hakiki dari suasana ini adalah dihargainya hak-
kewajiban dan harkat-martabat manusia sebagi manusia.
21
sebagai mediasi mengandaikan adanya pengakuan diri sebagai yang lemah dan
terbatas sama sekali. Kemudian, pengakuan itu perlu dinyatakan dengan kesediaan
dan sikap manusia sesuai dengan keterlibatannya secara penuh dalam kondisi, konteks
hidupnya. Inilah yang dimaksudkan kehidupan beragama sebagai pengalaman
religius.
BAB V PENUTUP
Pengalaman religius merupakan wujud keterlibatan manusia dalam kehidupan
yang membawa pada persoalan dasariah tentang kehidupan, di mana jawabannya
ditemukan bukan dari diri manusia yang serba terbatas, melainkan hanya pada
kenyataan Ilahi yang Tak terbatas, Transenden.
Sebagai wujud keterlibatan manusia, persoalan beserta jawaban tentang
problema dasar kehidupan tersebut mendapat pengaruh yang kuat dari situasi-kondisi,
atau konteks di mana/kapan manusia yang bersangkutan hidup. Hal ini terungkap dari
munculnya berbagai macam bentuk tradisi, institusionalisasi pengalaman religius
manusia justru menampilkan; di satu pihak, keterbatasan manusia; di lain pihak, ke-
Maha-an Kenyataan Ilahi, Al-Khaliq, Allah, sang Pencipta.
Oleh karena itu, untuk mengejar pemenuhan jawaban problema dasar tersebut,
tidak cukuplah jika hanya dibatasi pada bentuk atau lembaga manusiawi saja,
meskipun pemenuhan tersebut menuntut ketelibatan manusiawai secara utuh.
Dalam konteks negara-bangsa Indonesia, keterlibatan manusiawi seutuhnya
dalam mencari pemenuhan jawaban menuntut adanya dialog manusiawi. Artinya,
saya menghargai manusia lain, entah dari tradisi yang sama atau berbeda, entah dari
status sosial yang sama atau tidak, sebagai manusia, hal tersebut dimaksudkan bukan
terutama- meski diharapkan demi dan mendukung terciptanya kesatuan negara,
bangsa Indonesia, melainkan justru untuk memenuhi panggilan keselamatan Ilahi
dalam kehidupannya.
===========
22
BAGAN EMPAT PILAR AGAMA
Kebudayaan dan Pengalaman Religius
(‘Simbolisasi’ Pengalaman Religius)
4. Tradisi Syiar/pewartaan
23
Dogma / ajaran Ibadat / ibadah
agam
a
agam
a
Hukum / perintah
Tradisi / katekese/ dakwah
dahwadah
24