Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 24

PENGALAMAN RELIGIUS KONTEKSTUAL

Tinjauan Fenomenologis Terhadap Kehidupan Beragama


Bagi Dialog Kerukunan Antar Pemeluk Agama
St. Hardiyarso
Universitas Katolik Soegijapranata Semarang
bekerjasama dengan Proyek PKHUB- DEPAG RI
………………………………………………………………………………………….

Abstraksi
Solusi aktual dalam dialog antar pemeluk agama adalah “semua agama pada
dasarnya mempunyai tujuan yang sama, meskipun berbeda dalam cara”. Pandangan
demikian kiranya wajar dalam suasana kerukunan hidup antar pemeluk agama. Tetapi,
kewajaran ini perlu dilihat secara kritis.
Salah satu langkah sikap kritis terhadap pandangan tersebut adalah refleksi ke
belakang, ke masa lalu. Langkah ini ditempuh bukan semata-mata karena kecenderungan
masa kini ”back to basic”. Akan tetapi, metode ini ditempuh untuk mencari jawaban yang
bersifat universal (bukan personal/kelompok) tentang “Mengapa manusia mempunyai
kepercayaan akan adanya ‘Misteri Ilahi’, yang suci, yang berada di luar batas manusia?”
Persoalan di sekitar pemahaman secara rasional tentang ‘eksistensi’ Sang Ilahi-itulah yang
menjadi pokok pemikiran para fenomenolog agama, melalui pemahaman secara kristis-
rasional, filsafati.
Untuk mengungkapkan relasi manusia dengan Sang Khaliq, kaum fenomenolog
mempunyai istilah yang khas, yakni: “pengalaman religius”. Melalui istilah tersebut,
ditunjukan bahwa relasi manusia dengan ‘Sang Ilahi’ terjadi di dalam situasi konkrit-faktual
dan duniawi, sesuai dengan situasi dan kondisi manusia. Dengan kata lain, secara negatif
ditekankan bahwa korelasi manusia dengan Sang Ilahi tidak dapat dilepaskan dari alam,
realitas kehidupan manusia. Korelasi tersebut tidak terpisahkan dari “dunia”. Dalam
pengalaman, manusia berhadapan dengan masalah-masalah dasariah kehidupan: mengapa
manusia hidup, dari mana asal dan ke mana tujuan hidup; mengapa ada kebahagian,
kesengsaraan dan kematian; mengapa manusia terbatas. Atas dasar pengalaman manusia
sebagai makhluk yang terbatas, disadari bahwa jawaban persoalan tentang arti kehidupan
itu ditemukan pada “Dhat Lain”, Misteri Ilahi yang tak terbatas. Manusia mempunyai
kerinduan untuk berhubungan secara dekat dengan “Dhat Ilahi” tersebut, sehingga muncul
istilah religius, “mengikat kembali” (kata latin = religare).
Harapan akan kedekatan manusia dengan Misteri Ilahi (=keselamatan) tidak bersifat
“melayang-layang di surga”, melainkan terjadi hic et nunc. Seperti halnya, pemahaman akan
adanya Sang Ilahi muncul dari pengalaman konkrit manusia ketika berhadapan dengan alam
di sekitarnya, demikian pula, usaha manusia ‘berjuang’ untuk memperoleh keselamatan, juga
tidak dapat dilepaskan dari alam, realitas, kehidupan manusia yang bersangkutan. Bukti
faktualnya adalah penghayatan manusia akan kehadiran dan harapan akan kedekatan pada
Sang Ilahi diwujudkan dalam dan melalui agama-agama. Dengan kata lain, agama pada
dasarnya secara eksistensial muncul dan berkembang sebagai impak kesadaran manusia
akan adanya Misteri Transenden dan Imanen atas kehidupan manusia.
Akan tetapi, di kemudian hari, fakta pun menunjukkan bahwa situasi penghayatan
agama menjadi ‘berubah-arah’. Pada mulanya, secara eksistensial agama muncul dalam
kebudayaan manusia dengan peran sebagai ‘alat bantu’ untuk mewujud-nyatakan kesadaran
manusia akan Sang Ilahi. Oleh karenanya, dapatlah dipahami, bahwa muncul pewujudan-
nyata kesadaran akan Sang Ilahi muncul dan berkembang dalam pelbagai macam ujud
kebudayaan manusia, pluralistas (bukan, pluralisme) agama.
Pada hakekatnya pluralitas agama adalah wajar dan manusiawi, sesuai dengan
kodrat alam semesta dan juga manusia yang bersifat plural. Pluralitas menjadi problema
manusia yang tiada akhir ketika berubah arah menjadi pluralisme. Pluralitas berubah
menjadi pluralisme, ketika dalam perjalan waktu (sekarang) keanekaragaman penghayatan
kesadaran akan Sang Ilahi dipahami sebagai institusi yang secara fndamental menentukan
manusia dalam bersikap dan memberi pemahaman terhadap realitas-alam, arti-makna

1
kehidupan dan bagaimana manusia harus menjalankan kehidupan, bahkan “menentukan
eksistensi” Sang Ilahi.
Hal ini adalah wajar, sebab pengalaman beragamapun tak dapat dilepaskan dari
“alam” pemeluknya. Namun perlu disadari bahwa kewajaran ini justru akan menjadi “Batu
Sandungan “ yang demikian itu tentunya tidak menguntungkan bagi bangsa – negara
Pancasila yang sedang membangun.

BAB I. PENDAHULUAN

1.Pemikiran Fenomenologis
Menariknya mempelajari religiositas manusia adalah kenyataan bahwa hal ini
adalah fenomena/gejala yang dapat ditemukan pada hamper semua suu bangsa di
muka bumi. Bahkan religiositas tidaklah dapat dilepaskan dari zaman serta
kebudayaan manusia. Maka di sisi lain, zaman dan kebudayaan pun mengalami
perkembangan yang evolutiv, sehingga pada gilirannya religiositas pun mengalami
evolusi sesuai dengan perkembangan kebudayaan manusia.
Pada kenyataan masa kini, religiositas manusia telah berkembang dalam
pelbagai bentuk lembaga. Maka pembicaraan tentang religiositas tidak cukup berkisar
pada praktek religiositas masa kini, jika yang dicari adalah “titik temu” pluralisme
agama. Titik temu pluralisme agama justru ditemukan jika pembicaraan tentang
religiositas kembali pada gejala-gejalanya, sebagaimana yang dikembangkan dalam
pemikiran fenomenologis tentang religiositas dan agama.
Yang disebut “fenomenologi” adalah suatu metode pemikiran ilmiah dengan
latar belakang filsafat. Metode ini oleh Edmund Husserl (1859-1938), dengan
semboyan ”kembali kepada hal-hal itu sendiri”. Maksudnya adalah bahwa untuk
mendapatkan pemahaman yang memuaskan tentang suatu hal, kita harus melepaskan
segala teori dan doktrin tentang hal tersebut; dan kembali kepada gejala dari hal itu,
sebagaimana “menampakkan diri” (Yunani : phainomenon ) kepadaku. Dengan cara
yang demikian, metode fenomenologi berusaha menemukan pemahaman dasariah dan
asli, yang masih bebas nilai, belum dipengaruhi oleh dampak perkembangan
kebudayaan.
Usaha untuk menemukan pengalaman asli itu ditempuh melalui 2 ( dua )
langkah. Pertama, fenomen diselidiki sejauh disadari secara langsung dan spontan.
Kedua, fenomen itu diselidiki hanya sejauh ada sebagai bagian dari dunia yang
dihayati secara keseluruhan. Menurut prinsip-prinsip tersebut, segala fenomena serta
pemahaman tentangnya dianalisa. Kemudian semua penyempitan atau interpretasi
yang berat sebelah terhadap pemahaman otentik diangkat, disingkirkan, sehingga
ditemukan pemahaman dasariah yang otentik tentang pengalaman awali manusia akan
Dhat Ilahi.

2. Permasalahaan tentang Pluralisme


Metode fenomenologis tersebut di atas digunakan oleh banyak pemikir dan
pemerhati gejala agama, misalnya: Emile Durkheim, Wilhelm Schmidt. Mark Scheler,
Rudolph Otto, Gerardus van der Leeuw, Marcia Eliade dan J.W.M. Bakker. Motivasi
para pemikir tersebut adalah kenyataan bahwa pada masa kini gejala religiositas telah
berkembang dalam bentuk doktrin-doktrin dan lembaga-lembaga yang beraneka
ragam. Gejala religiositas telah berkembang dalam pluralistas agama. Hal ini pada
gilirannya berdampak pada munculnya perbedaan paham manusia tentang Allah,
tentang dunia dan segala isinya. Bahkan tidak jarang mengarahkan pada perbedaan
dan pertentangan antara pemeluk agama. Sebabnya adalah berkembanganya pluralitas

2
menjadi pluralisme, yakni ketika muncul kecenderungan dari masing-masing
pemahaman religiositas yang menekankan kebenaran pemahamannya dan
menganggap salah pemahaman lain.
Pluralisme makin berkembang dan makin mengkristal, ketika kesadaran akan
hak asasi manusia. Kesadaran akan hak asasi manusia ini makin menyadarkan
manusia bahwa manusia pada dasarnya memiliki martabat yang sama.
Situasi demikian juga berpengaruh pada penghayatan religiositas manusia
dengan agama yang dianutnya dalam inter-aksi dengan agama-agama lain. Pada
umumnya terdapat 3 (tiga) sikap terhadap pluralisme agama. Pertama, hanya satu
religi yang benar, yakni agama yang saya anut. Secara naluriah spontan, paham ini
terdapat pada setiap pemeluk agama. Ini adalah hal yang wajar, sebab kesadaran -
meski tidak disengaja- muncul sebagai sebuah keyakinan terdalam seseorang tentang
realitas. Dampaknya bagi interaksi atau dialog dengan agama-agama lain adalah sikap
ambil jarak dan sikap sulit menerima adanya kebenaran yang ditawarkan agama-
agama lain.
Kedua, pandangan bahwa semua tradisi religius itu berciri relatif, Artinya,
kebenaran dari tiap tradisi religius adalah benar bagi yang mempercayainya. Di satu
pihak, pandangan ini lebih memungkinkan adanya dialog antar tradisi religius.
Namun, di lain pihak, pandangan ini dirasa justru mengurangi keyakinan akan
kebenaran yang dipercayai. Sebabnya, keyakinan saya adalah hanya benar bagi diri
sendiri dan tidak bagi yang lain.
Ketiga, pandangan bahwa tradisi religius pada dasarnya sama. Pandangan ini
pada masa kini sangat populer untuk menjawab persoalan tentang pluralisme agama.
Pandangan ini melihat bahwa pluralisme adalah akibat, yang bersifat kebetulan
historis dan selera individu saja. Dengan kata lain, perbedaan antar tradisi tidak
menyangkut kebenaran hakiki.

BAB II. REFLEKSI FENOMENOLOGIS

1. Pengalaman religius
Releksi hidup beragama dengan metode fenomenologi dimaksud untuk
memahami pengalaman asli, bahwa awal mula manusia dalam relasi dengan “Al
Khaliq”. Refleksi demikian terasa makin penting dalam situasi pluralisme agama
masa kini. Sebab refleksi ini akan memberi jawaban tentang ; mengapa terdapat
perbedaan-perbedaan cara dalam mengungkapkan kepercayaan kepada Allah. Dengan
kata lain, refleksi fenomenologi tidak hanya menunjukkan asal mula perbedaan antar
agama, tetapi lebih dari itu bahwa refleksi demikian membawa pada pengalaman asli
manusia dalam relasinya dengan Allah. Marcia Eliade menamakan pengalaman itu
“pengalaman religius”.

1.1. Apa itu pengalaman religius ?


Yang kami maksudkan dengan “pengalaman” adalah suatu pengetahuan
atau/dan pemahaman yang timbul dari pergaulan praktis dengan dunia, alam; dan
bukan dari pikiran konseptual atau doktrin – doktrin. Pergaulan tersebut bersifat
langsung, intuitif, spontan dan afektif. Maksudnya, pemahaman manusia tentang
dunia melibatkan diri sendiri dan tidak dapat ditolak untuk tidak memberi perhatian
terhadapnya. Justru karena keterlibatan diri sendiri pemahaman manusia tentang dunia
itu bersifat “penuh”, sejauh yang dialami dan mampu diungkapkan. Sebagai

3
perbandingan, pemahaman kita tentang danau Toba adalah :penuh”, sejauh kita
sendiri pernah terlibat dengan danau Toba. Dan karenanya , kita mampu berbicara
tentang segalanya dialami di sana.
Persoalannya, bagaimana dengan “alam” Allah? Secara objektif, jelas bahwa
“alam” Allah berada di luar jangkauan manusia, karena ke-MAHA-an-Nya. Meskipun
demikian, toh manusia mampu mengalami ”alam” Allah. Ini melibatkan manusia
sendiri. Keterlibatan manusia dengan “alam” Allah yang demikian paling jelas dalam
“kerinduan” manusia untuk berkomunikasi, berelasi dengan-Nya. Kerinduan ini kami
sebut sebagai ”pengalaman” manusia, karena bersifat konkrit, langsung, intuitif,
objektif, spontan dan afektif serta emosional.
Isi dan makna kerinduan manusia itu yang kami maksudkan dengan istilah
“religius”. Istilah ini berasal dari bahasa latin “religare”, yang artinya mengikat
kembali. Manusia mempunyai kerinduan untuk mengikatkan dirinya kembali dengan
Allah. Manusia rindu untuk berhubungan dengan secara dekat dengan Allah.
Kerinduan itu memerlukan keterlibatan manusia secara langsung sebagai pengalaman
manusiawi.
Dengan demikian, mulai tampak bahwa istilah “religius” mempunyai makna
yang lebih luas dan dalam daripada istilah “agama”. “Agama” yang diturunkan dari
bahasa sansekerta “gam”, mempunyai makna: macam, jenis, aliran. Bandingkan
aneka ragam, yang berarti aneka macam. “Agama” menunjukkan pada aneka macam
institusionalisasi pengalaman religius. Institusionalisasi atau pengalaman di satu pihak
memperjelas bentuk pengalaman religius; di pihak lain, justru bentuk lembaga ini
membuat pengalaman religius makin terbatas “aturan main “ lembaga agama.
Kondisi semcam itulah yang sering memunculkan sikap skeptis terhadap
agama. Agama dilihat melulu sebagai “cara” manusia berkomunikasi dengan Allah.
“Aturan main” agama justru membuat perbedaan dan pertentangan antar manusia.
Padahal tujuannya adalah sama, yakni Allah. Jika demikian, mana yang lebih penting.
Ataukah agama, atau Allah?

1.2. Latar Belakang Pengalaman Religius


Dengan memanfaatkan metoda fenomenologis, Y.M.W. Bakker memandang
Agama asli sebagai kerohanian khas (suku) bangsa, yang belum diinstitusionalisasi,
belum disistemisasi dalam doktrin-doktrin dan belum mendapat pengaruh dari cara
berpikir (kebudayaan) bangsa lain. Kerohanian khas tersebut mengungkapkan sikap
batin dalam penghayatan manusia terhadap Dhat Tertinggi.
Sikap batin ini muncul ketika manusia sadar akan keterbatasan dan
kelemahannya. Dalam praktek hidupnya manusia mengalami bahwa ada peristiwa
alam, misalnya, yang tidak mampu diatasi sendiri. Manusia sadar bahwa hidupnya
tergantung pada alam. Kemudian, dalam refleksi yang lebih dalam, manusiapun
menemukan bahwa toh alam pun tergantung pada “alam “ laun. Maka pertanyaan
dasariah manusia adalah siapa dirinya, mengapa ada, bagaimana asal – usulnya, ke
mana tujuannya, mengapa manusia terbatas?
Secara spontan dan intuitif, manusia meletakkan jawaban atas pertanyaan
dasariah tersebut pada Dhat Ilahi; yang tak terbatas. Bersamaan dengan itu ditemukan
pula bahwa Dhat Ilahi adalah sekaligus asal dan tujuan hidup manusia. “Ia” adalah
yang menciptakan manusia dan dirindukan untuk mengatasi keterbatasan manusia.
Dengan kata lain, kerinduan manusia akan Dhat Ilahi sebagi pemberi kebahagian
mengungkapkan kerinduan manusia untuk berhubungan kembali dengan penciptanya.
Sikap batin dan penghayatannya yang demikian tampak dalam mitologi
tentang asal-usul manusia. Pola umum yang terdapat dalam mitologi adalah :
a. Dualisme antara alam atas dan alam bawah,

4
b. Antara keduanya diadakan perkawinan (hierogami),
c. Oleh sebab – sebab tertentu, umumnya kesalahan/ dosa, satu – satu keturunan
mereka diutus sebagai penguasa dunia,
d. Penguasa dunia itu kemudian menurunkan manusia.
--- Pola umum ini berkembang dengan aneka variasi, sesuai dengan muncul
dan berkembangnya suku (bangsa)---

Dengan pola yang demikian, mitologi berusaha menjawab persoalan dasariah


manusia tentang asal-usul, tujuan dan arti kehidupan. Pengalaman akan keterbatasan
dan kelemahan justru membuat kesadaran dan pemahaman yang sama sekali berbeda
tentang zaman pra-human. Pada awal mula manusia berada dekat dengan Dhat
Tertinggi. Jika pada masa kini manusia mengalami kejauhan dari Dhat tertinggi, dan
mengalami keterbatasan, hal itu adalah akibat kesalahan pendahulunya. Maka, untuk
mengatasi keterbatasannya manusia harus menjalin kembali kedekatannya dengan
Dhat Tertinggi.
Usaha untuk menjalin kembali hubungan mereka dengan Dhat Tertinggi
dilaksanakan dalam praktek hidup manusiawi. Namun sepenuhnya secara total
dipahami baru akan terjadi pada masa yang akan datang, bersamaan dengan diatasinya
ketidak-kekalan asasi manusia, yakni: kematian. Dengan demikian, kepenuhan
kemesraan dengan Dhat Tertinggi tetap tinggal sebagai kerinduan yang harus dikejar
manusia dalam hidup. Inilah makna pokok pengalaman religiositas manusia.

2. Analisis Struktural Religi Purba


Motivasi pemakaian metode fenomenologi oleh banyak pemikir adalah
keinginan untuk memperoleh pemahaman tentang gejala-gejala atau pengalaman
religius yang asali, yang masih murni, bebas dari sistem dan legalitas. Karena
motivasi yang demikian, para pemikir “terpaksa” kembali ke zaman masyarakat
purba, yang masih berpikir secara sederhana, yang belum memiliki konsep-konsep
teologi. Bagi para pemikir tersebut, kesederhanaan refleksi masyarakat purba itulah
yang mampu memberi pemahaman tentang pengalaman asali religiositas manusia.

2.1. Mysterium Tremendum


Analisa fenomenologi memperlihatkan bahwa kerohanian/ batin masyarakat
purba muncul tanggapan terhadap pengalaman suka dan duka, yang digeluti setiap
hari. Dalam lubuk hatinya, mereka merasakan adanya suat “Dhat Gaib” menaungi
hal-ikhwal manusia. Secara lain, Mircea eliade menemukan bahwa masyarakat
memandang dunia dan alam sebagai simbol penampakan diri (hierofani) Dhat Gaib
tersebut.
Dalam karangannya yang terkenal “Das Heilige “ ( terjemahan Inggris : The
Idea of The Holy), Rudolph Otto (1859-1937) mengemukakan bahwa reaksi batin
manusia terhadap Numinosum (istilah untuk Dhat Gaib , dari bahas batin : “Numen”,
artinya nama, kuasa Ilahi) muncul dari salah satu struktur apriori irrasional, yakni
“rasa kedekatan” (sensus religiosus). Sensus religius inilah yang menjadi sarana
manusia untuk berrefleksi tentang realitas Numinosum yang maha dasyat (Mysterium
Tremendum)
Lebih lanjut, R. Otto menguraikan dua kutub yang serentak dialami manusia
sebagai pengalaman religius terhadap numinosum. Kutub yang satu adalah kutub
tremendum. Kutub ini memuat 3 (tiga) unsur sifat. Pertama Numinosum dialami
sebagai pemurka. Sifat ini menimbulkan perasaan takut di dalam diri manusia. Kedua,
Numinosum dialami oleh sebagai Maha Kuasa dan Maha Mulia. Sesuai dengan sifat

5
ini manusia merasa diri sebagi makhluk ciptaan yang kecil. Ketiga, Numinosum
sebagi objek pengalaman religius sebagai yang sama sekali berbeda dengan hal
duniawi, yang tak terjangkau oleh manusia.
Kutub lain serentak juga dialami dalam pengalaman religius adalah kutub
fascinosum (yang menarik, menyenangkan) dalam kutub ini manusia mengalami
Numinosum sebagai yang bersifat mempesona, menentramkan hati. Sifat ini
menumbuhkan rasa kebahagian, kerinduan untuk mendekati.
Kedua kutub tersebut boleh dikatakan sebagai “ harmoni-kontras”. Sebab,
kedua kutub, walau bertentangan, serentak ada dan serentak didambakan untuk di
dekati dan didambakan untuk menjauhkan bahaya pada manusia. Bahkan Anton
Bakker berpandangan bahwa semakin besar harmoni, makin besar pula kontrasnya;
dan sebaliknya. “Mysterium Tremendum et fascinosum” yang demikian itu adalah
struktur objek pengalaman religius. Dan, karenanya pengalaman religius pun
mempunyai struktur demikian. Nanti akan tampak mana yang merupakan hasil dan
mana yang merupakan pelaku proyeksi struktur tersebut.

2.2. Ketergantungan sebagai Makhluk Tercipta


Analisa struktur pengalaman religius tersebut lebih kompleks daripada analisa
Friedrich Schleiermacher, pendahulu Otto. Dalam analisa struktur pengalaman
religius, F. Schleiermacher menguraikannya dalam dua taraf perkembangan. Pada
taraf pertama, pengalaman religius mengungkapkan keterkaitan antara intuisi dengan
perasaan. Yang dimaksud dengan intuisi adalah kesadaran manusia akan sistem sinyal
yang terbatas sebagai bagian dalam dan berasal dari yang tak terbatas. Sedang yang
dimaksud dengan perasaan adalah sikap penghayatan akan eksistensi manusia
tersebut. Kemudian pada taraf kedua, pengalaman religius mengungkapkan
ketergantungan mutlak manusia dengan yang tak terbatas. Ketergantungan mutlak ini
terjadi karena tidak ada lagi perbedaan antara intuisi dan perasaan. Artinya, kesadaran
akan diri sendiri (self-consciousness) memuat juga kesadaran akan yang tak terbatas
(God-consciousnes ).
Terhadap pandangan F. Schleiermacher tersebut, R. Otto mengritik bahwa
pengalaman religius taraf kedua itu hanya dilakukan oleh orang “saleh”. Sebab, hanya
orang saleh yang mampu menghayati God-consciousness dalam praktek kehidupan,
dalam kesadaran dirinya. Padahal pengalaman religius tidak hanya milik orang saleh
saja. Untuk itu, R. Otto berpandangan bahwa perasaan ketergantungan pada yang Tak
Terbatas perlu dibedakan dari perasaan-perasaan ketergantungan yang lain, seperti :
terhadap situasi, terhadap alam, terhadap iklim.
Meskipun pandangannya berat sebelah, terlalu menekankan dimensi irrasional.
F. Schleiermacher memberi “dasar” untuk memahami keterarahan manusia pada
“alam” di luar dan menguasai manusia. Scheiermacher telah menemukan lingkungan
yang subjektif dan pra-reflektif, di mana pengalaman religius muncul dan
mempengaruhi manusia sendiri.

2. Kebudayaan dan Pengalaman Religius (‘Simbolisasi’ Pengalaman


Religius)
Yang kami maksudkan dengan kebudayaan di sini adalah seluruh hasil
kegiatan pikiran dan perilaku manusia, baik yang sudah “tetap tinggal” sebagai
warisan maupun yang masih berkembang sebagai tradisi. Antara keduanya,
kebudayaan dan pemgalaman religius terdapat interaksi timbal balik. Saling
mempengaruhi dan dipengaruhi. Secara lain, dapatlah dikatakan – meminjam istilah
R. Otto – apriori rasional memberi pengaruh dan dapat memberi pengaruh apriori

6
irrasional. Dalam hal ini sebenarnya ada persoalan yang belum terjawab, mana yang
terlebih dahulu ada? Analog dengan peribahasa rakyat: “dahulu mana telur dan
ayam?”
Lepas dari permasalahan tersebut, para tokoh fenomenologi agama
menemukan bahwa pengalaman religius merupakan bagian dari kebudayaan, sejauh
tampak dalam perilaku. Kemudian , pada gilirannya, kebudayaan sebagai hasil olah
pikir dan perilaku manusia terhadap realitas membawa pengaruh bagi pengalaman
religius.
Dinamika timbal balik antara pengalaman religius dan kebudayaan dapat kita
temukan dalam penamaan (predikasi) terhadap Dhat Gaib; proses simbolisasi dalam
konsepsi hierofani, praksis ritus dan mitologi.

3.1. Predikasi Dhat Gaib


Prediksi atau penamaan Dhat Gaib tidak dapat dilepaskan dari kesadaran diri
manusia sebagai makhluk yang terbatas. Kesadaran akan keterbatasan tidak hanya
melekat pada diri manusia, tetapi juga pada dunia, alam, tempat tinggal manusia. Bagi
manusia yang terbatas itu bersifat fana, hanya sementara. Bersamaan dengan
kesadaran ini manusia merasa bahwa terdapat “kuasa” yang mengatur alam dan
kehidupan. Dan “kuasa” tersebut tentu berada “di luar” dunia profan. Kuasa itu sama
sekali “lain” dan “terpisah” dari hal-hal duniawi. Maka untuk mengungkapkan
“keterpisahan” Dhat gaib sebagai yang mengatasi hal-hal duniawi, dipakai kata-kata
yang mengandung makna simbolik sosial.
Sebutan “suci” dipakai untuk memisahkan unsur-unsur “di luar batas
kemampuan manusia”, Dhat Gaib dari unsur-unsur duniawi. Istilah “qados” (=bahasa
Ibrani); “hagios” (=bahasa Yunani); “sacer” serta “sanctus” (=bahasa Latin)
menunjukkan unsur-unsur yang bukan suci keterpisahan dari yang tidak suci juga
terdapat dalam. Istilah-istilah tersebut secara etimologis mengandung arti simbolik
spasial. Demikian pula terjemahan bahasa Indonesia “kudus”. Istilah “kudus” berarti
“yang-dipisahkan” atau “yang-dikhususkan”. Jika kata Polinesia “tabu”. Kata “tabu”
menunjukkan bahwa suatu benda, tempat, atau orang yang ditandai keistimewaan dari
Dhat Gaib harus dipisahkan dari hal-hal lain.
Sebutan “Allah” (=bahasa Ibrani : El) pun mempunyai arti simbolik spasial.
Namun sebutan ini juga melambangkan perasaan dan kuasa Dhat Gaib. Sebutan
“Allah” diturunkan dari ungkapan-ungkapan Ibrani : “El Shaddai” : “Ia yang berdiri
di gunung”; “El Syaloom” : “Ia yang memberi keselamatan”. Sebutan “Allah” sebagai
pencipta. Awal dari segala ciptaan, sangat dekat dengan huruf pertama dalam abjad :
“alfa” ; “alief” ; “A”.
Peranan dan kedudukan “Misteri Ilahi” tampak jelas dalam penamaan menurut
tradisi, bahasa masing-masing suku, sebagaimana ditemukan oleh Y.M.W. Bakker.
Dengan nama tersebut, ditampilkan peranan dan kedudukan misteri Ilahi, sebagai asal
mula (pencipta), pemilik, pengurus, yang mengatur dunia dan isinya. Sebagai contoh,
“Ompu Tuan Mula Jadi Na Bolon” (Batak); “Sang Hyang Murbeng Dumadi” (Jawa);
“Mori Agu Ngaran “ (Flores/ Manggarai); “Ama Amugholo” (Sumba) dan lain-lain.

3.2. Hierofani, Ritus, Mitologi


Menurut M. Eliade, hierofani, ritus dan mitologi merupakan 3 (tiga) unsur
pokok dalam pengalaman religius masyarakat purba.

3.2.1. Hierofani = Pengudusan Ruang


Bagi masyarakat purba yang belum memiliki pemikiran teoritis teologis,
seluruh kosmos terbuka kepada Misteri Ilahi, yang Kudus. Oleh karenanya, segala

7
objek duniawi dapat tampil sebagai “penampakan diri yang Kudus”, “hierofani”,
“hierofani” (dari istilah dalam bahasa Yunani: hieros, artinya “kudus”; dan fani dari
‘phenomai’, artinya “menampakan diri”). Meskipun demikian , hanya beberapa objek
saja yang sekaligus dan serentak dapat menjadi hierofani. Pada kenyataannya, ada
objek uang bersifat sakral dan ada yang bersifat profan. Akan tetapi, di antara
keduanya saling berkorelasi, bahwa ‘yang tidak sakral’ terletak di dalam ‘hal yang
sakral’. ‘Hal yang tidak sakral’ menjadi sarana bagi ‘hal yang sakral’ untuk menjadi
tampak (phanomai) secara fisik, sehingga hal yang tidak sakral disebut sebagai
“profan”. Dalam rangka pembedaan antara yang kudus dan yang profan, bagi semua
objek duniawi, yang kudus berfungsi sebagai horison. Oleh karenanya objek sakral
sebagai hierofani juga dipahami sebagai pusat dunia. Pemahaman itu berpengaruh
bagi pandangan terhadap dunia.
Perbedaan sikap terhadap objek-objek dunia dipengaruhi oleh kekudusan
dan/atau tidaknya objek alam. Dengan kata lain, masyarakat purba memahami tata
susunan ruang (kosmologi-makrokosmos) berdasarkan pengalaman religius. Sebagai
contoh pandangan masyarakat tradisional terhadap Kraton Ngajogjakarta Hadiningrat.
Fungsi sentral “keraton” dipahami bukan hanya sebagai pusat pemerintahan,
melainkan terutama sebagai pusat kosmis, sebagai hierofani, penampakkan dari alam
semesta yang Kudus :

Gunung Merapi
(Kanjeng Ratu sekar)

Tawang Sari
Kayangan Tawang Mangu,
Ndlepih Sang KRATON Arga Dalem,
Hyang Tirtomoyo pada
Pramoni Gunung Lawu
Durga di hutan
Krendawahana

Segoro Kidul
(Ni Lara Kidul)
 Pelindung dinasti 
Mataram

3.2.2. Ritus = Pengudusan Waktu


Berkaitan dengan pengudusan ruang, masyarakat purba juga memahami
kehadiran misteri yang kudus dalam waktu. Sakralisasi waktu tampak dalam ritus,
upacara dan tata cara ibadat masyarakat purba, yang dilaksanakan di tempat khusus.
Dengan mengadakan upacara ibadat, masyarakat meninggalkan sejenak ruang dan
waktu profan untuk masuk ke suasana yang dikuduskan. Masyarakat “kembali” pada
masa-masa kudus yang dialami oleh nenek moyang. Ritus mengatualkan kehadiran
yang kudus yang pernah terjadi pada awal mula, pada saat terciptanya “cikal bakal”
masyarakat sekarang. Meniru “type-arkhe” ini adalah vital dan sangat penting, sebab
dengan cara itu masa kini yang bersifat profan dihubungkan dengan masa kuno yang
penuh dengan kekudusan. Apa yang pernah terjadi dan dilaksanakan pada masa lalu
oleh nenek moyang, sekarangpun terjadi dan dilaksanakan. Sebaliknya apa yang

8
terjadi dan dilaksanakan pada masa kini menurut “arche-type” mendapat makna
sakral yang sama dengan waktu lampau.

3.2.3. Mitologi = Pengudusan Hidup


Yang menarik adalah bahwa dalam lingkungan (dan untuk kepeluan) rituslah
manusia membangun dan mengembangkan mitologi. Namun, kemudian justru mitos
mempunyai peranan penting bagi arti sakral ritus, dan juga bidang-bidang kehidupan
profan. Mengenai maknanya, Mircea Eliade menunjukkan bahwa mitologi bersifat
kosmogonis, yakni: bercerita tentang awal mula terjadinya alam semesta beserta
isinya, termasuk manusia. Oleh karenanya mitologi mempunyai fungsi sebagai “a
frame of reference”, kerangka acuan bagi masyarakat dalam memahami kesan dan
pengalaman akan kehidupan. Berkat mitologi manusia menjadi tanu tentang makna,
asal dan tujuan hidupnya. Manusia sadar dan menghayati dari dan untuk ‘siapa”
hidupnya. Dalam arti ini, mitologi berperan sebagai pegangan hidup manusia.
Meskipun demikian, para ahli fenomenologi agama menemukan pula
perbedaan antara kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang
lain. Pada umumnya mereka berpendapat bahwa perbedaan itu terjadi justru karena
pengalaman religius dan mitos muncul dari kesana dan penmgalaman masyarakat
akan hidupnya “hic” (masa kini). Situasi dan kondisi tempat tinggal masyarakat
sangat berpengaruh bagi terbentuknya hierofani, ritus dan mitologi.
Dari sisi lain, dapat dikatakan bahwa ketiga unsur pokok pengalaman religius
tersebut hasil dari kegiatan pikiran manusia berdasarkan pengalaman. Maka
perbedaan pengalaman hidup akan berpengaruh pada perbedaan ritus, hierofani dan
mitologi. Sebagai contoh, perbedaan antara kelompok masyarakat pesisir dengan
kelompok masyarakat pengunungan. Tentu bukan kareana paham hierofani, ritus dan
mitologi berbeda, maka pengalaman hidup mereka berbeda; melainkan sebaliknya.
Demikian pula anata mereka yang tinggal di daerah beriklim tropis dengan di daerah
iklim gurun pasir. Itulah kehidupan religiositas manusia.

BAB III PENGALAMAN RELIGIUS MASA KINI

1. Universalitas Keselamatan
Uraian fenomenologis tentang pengalaman religius menunjukkan bahwa relasi
atau komunikasi manusia dengan Allah dihayati secara manusiawi. Relasi tersebut
bertolak dari pergulatan hidup manusia menjadi sadar akan keterbatasan dirinya.
Maka dalam kesadaran ini ada harapan bahwa relasi dengan Allah mampu menjawab
persoalan dasariah kehidupan tersebut.
Ketika refleksi manusia tentang pengalaman religius makin “maju”, lebih
sistemtis dalam konsep-konsep teologi, persoalan hidup dan kerinduan akan
jawabannya kiranya tidak jauh berbeda. Atas dasar konsep-konsep teologi,
pengalaman religius dapat dilihat secara lebih sitematis. Cara pandang yang sistematis
tersbut tampak pada istilah-istilah yang dipakai oleh agama masa kini. Istilah itu
adalah wahyu, iman dan keselamatan.
Jika di bawah ini, kami membicarakan wahyu, iman dan keselamatan secara
terpisah, hal ini tidak berarti bahwa ketiganya memang dapat dipisahkan satu dari
yang lain. Wahyu, iman dan keselamatan merupakan 3 unsur utama dari pengalaman
religius, yang saling mengandaikan dan melengkapi. Bahkan ketiganya harus
diucapkan dalam satu waktu secara bersama. Maka, pemilihan ketiga unsur utama

9
pengalaman religius masa kini tersebut merupakan usaha untuk pemahaman secara
sistematis perspektif saja dengan dasar pemikiran fenomenologi agama.

1.1. Wahyu
Pengertian “wahyu” yang dipakai dalam studi fenomenologi agama adalah
pengertian yang cukup luas. Tidak terbatas pada konsepsi wahyu yang dipahami,
diyakini dan ditawarkan serta menjadi alam pemikiran teologi oleh beberapa agama-
agama. Katakanlah, pengertian wahyu menurut agama Kristen atau agama Islam.
Menurut kedua agama ini, wahyu adalah “Sabda Allah”. Tetapi antara keduanya jelas
sekali adanya perbedaan dasariah sabda Allah yang diyakini sebagi wahyu. Agama
Kristen mempunyai keyakinan “Sabda Allah memuncak dalam diri Kristus”.
Sedangkan dalam agama Islam meyakini sabda Allah adalah apa yang tertulis dalam
Al-Quran. Perbedaan-perbedaan demikian tidak dimaksudkan oleh penyelidikan
fenomenologi agama.
Fenomenologi agama menemukan fakta bahwa para penganut agama
mempunyai keyakinan yang serupa tentang penghayatan akan The Ultimate Reality,
Realitas Ilahi. Pada umumnya, dipahami bahwa terjadinya proses komunikasi antara
Yang Ilahi dengan manusia, bukan terutama karena manusia mencari, melainkan
terutama karena Yang Ilahi telah berinisiatif untuk menyatakan Diri pada manusia.
Inisiatif Yang Ilahi untuk menyatakan diri kepada manusia inilah yang
dimaksud dengan wahyu. Dalam hal ini, fenomenologi agama tidak melihat
kepentingan bentuk atau cara Yang Ilahi dalam menyatakan diriNya.
Menurut keyakinan para penganut agama, wahyu selalu berasal dari suatu
sumber, yang terletak atas suatu “level-ontologis” yang sama sekali berbeda dengan
segala hal duniawi dan manusiawi. Dengan kata lain, wahyu selalu bersifat adi-
kodrati. Artinya, wahyu terjadi tanpa tergantung pada cara-cara berfungsinya unsur-
unsur alam atau daya-daya manusiawi. Wahyu terjadi atas prakarsa Ilahi, yang
menagtasi unsur alam dan daya manusia.
Dalam praktis keagamaan, penghayatan manusia terhadap wahyu tidak dapat
dilepaskan dari adanya objek yang berfungsi sebagi perantara. Ada dua alasan.
Pertama, praksis keagamaan adalah pengalaman manusiawi yang bersifat konkrit.
Dalam pengalaman manusia sadar bahwa keterbatasannya membuat dirinya tak
mampu berinteraksi-korelasi secara langsung dengan Yang Ilahi. Kedua, berkaitan
dengan alasan pertama, pengalaman manusiawi tersebut mengubah kesadaran dalam
dirinya akan “siapa” itu Kenyataan Ilahi, yakni sebagai yang sama sekali berbeda
dengan hal-hal yang duniawi dan manusiawi (yang berperan sebagai ujud-fenomenal
Dhat Ilahi). Berdasarkan dua alasan tersebut, dapat dikatakan bahwa, di satu pihak,
Kenyataan Ilahi hanya dapat ditemui oleh manusia “di dalam” lambang. Di lain pihak,
Kenyataan Ilahi itu pun hanya dapat mewahyukan diri melalui dan “di dalam “
lambang.
Berkaitan dengan dua alasan munculnya “lambang” sebagai objek medium
wahyu, tampak bahwa terdapat ketegangan dalam diri manusia dalam memahami
wahyu Ilahi. Ketegangan ini makin terasa ketika manusia menangkapkan dua fungsi
objek perantara itu. Pertama, objek alam berfungsi menyatakan isi wahyu; sementara
itu objek alam juga berfungsi, bahkan menyatakan bahwa sumber wahyu itu sama
sekali tak terjangkau dan sama sekali berbeda dari manusia.
Ketegangan-ketegangan yang demikianlah yang kini mewarnai pengalaman
religius manusia dalam agama yang dianut. Ketegangan itu dapatlah dikatakan
sebagai “harmoni-contras” manusia berelasi dengan kenyataan Ilahi. Justru adanya

10
ketegangan, katakanlah ketegangan religius, manusia dapat berelasi, berkomunikasi
dengan sumber wahyu denagn iman, kepercayaan.

1.2. Iman
Secara fenomenologis, iman atau kepercayaan diistilahkan dengan “intensionalitas”
(Jerman : “einstellung”) orang-orang beragama terhadap wahyu Ilahi. Dengan istilah
tersebut , iman atau kepercayaan berarti :
a. Pengalaman orang-orang bersangkutan, bahwa mereka berhadapan dengan
suatu objek yang berfungsi sebagai perantara Ilahi.
b. Pengakuan bahwa objek tersebut tidak dapat dipandang dan diartikan seperti
Kenyataan alamiah atau duniawi lagi;
c. Pengakuan serta penilaian terhadap kenyataan Ilahi sejauh pernyataan/
penyingkapan diri di dalam simbol; dan sekaligus sejauh kenyataan Ilahi tetap
tidak menampakkan dirinya sendiri seutuhnya dalam simbol.

Dalam pengalaman religius, baiklah bahwa unsur ini kita lihat terlebih dahulu.
Berkaitan dengan pengakuan dan penilaian terhadap kenyataan Ilahi, reaksi pertama
manusia adalah bahwa kenyataan Ilahi diakui sebagai yang bersifat kudus (Ibrani :
‘qaidos’ ; Arab : ‘quddus’ ; Latin : ‘sacer’ ). Istilah “kudus” di sini berarti pengakuan
akan “transedensi” mutlak kenyataan Ilahi yang mewahyukan atau menyatakan diri.
Dalam pengakuan ini tercakup pula unsur kekaguman manusia, sekaligus rasa
ketergantungan manusia terhadap kenyataan Ilahi. Di satu pihak manusia tidak
pernah mampu menyentuh kenyataan Ilahi secara utuh. Namun, di lain pihak, pada
saat yang sama manusia sadar bahwa dirinya perlu taqwa pada kenyataan Ilahi
yang memiliki tendensi mutlak. Reaksi demikian mengingatkan kita pada analisa R.
Otto. R. Otto menyatakan bahwa dalam berhadapan dengan kenyataan Ilahi, manusia
menghayati kenyataan Ilahi sebagai “mysterium tremendum et fascinosum”.
Dalam penghayatan keagamaan terdapat objek yang berfungsi sebagai simbol
dari kenyataan Ilahi. Mengenai hal ini pertama-tama harus dikatakan, bahwa yang
memerlukan simbol tersebut adalah manusia, dan bukan kenyataan Ilahi. Simbolisasi
diperlukan oleh manusia atas dasar kesadaran akan transedensi mutlak kenyataan
Ilahi. Kenyataan Ilahi berada di luar jangkauan dan daya pemahaman rasional
manusia. Maka, relasi iman yang terdapat dalam diri para penganut agama adalah
penghargaan terhadap kenyataan yang kudus sejauh dapat ditangkap dalam simbol.
Dengan kesadaran dan penilaian bahwa kenyataan Ilahi bersifat kudus,
penganut agama memberi nilai kudus dalam objek yang berfungsi sebagai medium
antara kenyataan Ilahi dengan manusia. Pemberian nilai kudus atau proses sakralisasi
itu muncul secara langsung dari cara menjalankan intensionalitas iman orang
beragama. Kenyataan Ilahi yang telah mewahyukan diri, terus-menerus dicari. Namun
kekudusan kenyataan Ilahi dari dirinya sendiri tidak dapat ditemui oleh manusia “ke
luar” dari alam dan dunianya. Kenyataan Ilahi dapat ditemui oleh manusia “dalam”
kenyataan alamiah dan duniawi manusia, yakni sejauh kenyataan Ilahi
mengungkapkan diri dalam objek alamiah dan duniawi. Oleh sebab itu, menurut para
penganut agama, objek alamiah yang berfungsi sebaga simbol dihargai dan
disakralisasi sebagi objek yang memiliki nilai kudus. Proses sakralisasi ini
mengakibatkan bahwa objek yang berfungsi sebagi simbol atau perantara wahyu Ilahi
tidak boleh diperlakukan seperti objek-objek alamiah lain. Secara lain, Henry Dumezy
menyatakan, “iman orang beragama berarti bahwa mereka mencari suatu nilai kudus
dari kenyataan Ilahi melalui suatu ekspresi yang dapat diserap oleh panca indera itu
dihormati sebagai tanda pengenalan kenyataan Ilahi.

11
Penghargaan dan pemberian nilai sebagai “kudus” pada objek yang berfungsi
sebagai perantara wahyu Ilahi tidak berarti kekudusan kenyataan Ilahi dikurangi, atau
dibatasi oleh objek yang bersangkutan. Intensionalitas terhadap kenyataan Ilahi atau
iman juga berarti bahwa para penganut agama mengakui kekudusan mutlak kenyataan
Ilahi. Kekudusan dan keangungan Ilahi tetap tidak terjangkau oleh manusia;
sedangkan simbol ilahi hanya muncul dari batas kemampuan manusiawi. Bahkan,
kerap kali orang beragama memahami simbol sebagai yang menampakkan
keagungan, ketidak-terjangkauan, kekudusan kenyataan Ilahi. Pemahaman demikian
itu muncul atas kesadaran dalam pengakuan atas kesadaran dalam pengakuan akan
kemutlakan Ilahi mendahului segala usaha manusiawi untuk mengenalnya. Sebab itu,
pemahaman dan pengakuan akan kenyataan Ilahi dapat dilakukan dalam “iman atau
kepercayaan”. Justru atas dasar iman, orang beragama mengakui bahwa kenyataan
Ilahi yang mewahyukan diri tetap tersembunyi. Bersamaan dengan itu, dari pihak
manusia, iman tersebut menyentuh manusia. Menentukan sikap manusia terhadap
kenyataan Ilahi yang kudus, sebagaimana terungkap dalam perilaku keagamaan.

1.3. Dialog Keselamatan


Dalam pembicaraan tentang wahyu dan iman di atas, nampak bahwa keduanya
sebenarnya tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain, walaupun sering dibedakan
menurut”arah datangnya”. Secara filosofis dapat dikatakan, bahwa “wahyu ada,
sejauh ada iman; dan wahyu tidak ada, sejauh tidak ada iman”. Kesatupaduan
“wahyu-iman” tampak jelas dalam istilah yang dipakai semua agama pada masa kini.
Istilah itu adalah “KESELAMATAN”.
Makna utama dan mendasar “keselamatan” tersebut adalah sama dengan
makna kata “religi/religare”. Terhadapan dengan masalah-masalah dasariah tentang
kehidupan, dalam hati manusia tersimpan kerinduan yang terbuka dan tertuju pada
“Al-Khaliq”. “Al Khaliq” – atau sebutan apa pun bagi Dia – diyakini sebagai asal dan
tujuan hidup manusia, yang mampu memenuhi kerinduan mendasar manusia tersbut.
Dengan kata lain, dia diyakini sebagai “yang memanggil semua manusia untuk
diselamatkan”. Pengertian inilah yang termuat dalam “Panggilan
universal/keselamatan menyeluruh”, sebagai pengalaman religius manusia masa kini.
Keselamatan manusia dipercaya tidak terjadi begitu saja, atau secara otomatis.
Keselamatan akan terpenuhi ketika manusia mempunyai keyakinan (=“iman”) akan
panggilan (sama dengan “wahyu”) Al-Khaliq. Antara manusia dengan sang Pencipta
terjadi “dialog keselamatan” .
Dalam dialog keselamatan itu pihak kenyataan Ilahilah yang mengambil
inisiatif. Dia-lah yang lebih dahulu mengkomunikasikan Diri-Nya sendiri; dan
mewahyukan Diri sebagai pokok pangkal keselamatan. Dan, maksud dialog dari pihak
Al- Khaliq ini baru terpenuhi, ketika ada tanggapan dari penerimaan dari pihak
manusia.

ALLAH

Wahyu Iman
(pengenalan) (penanggapan)

MANUSIA

12
2. Beberapa Paham Keselamatan
Menjadi fenomen – fenomen yang sangat jelas, bahwa hampir semua agama
menawarkan dan mengajak pemeluknya untuk menanggapi bahwa Al Khaliq atau
Allah, “hic et nunc” (di sini dan kini). Dari sini dapatlah dikatakan, bahwa iman atau
kepercayaan akan tawaran keselamatan Allah menjadi pengalaman religius manusia,
dan tentunya pengalaman religius itupun adalah pengalaman manusiawi.
Sebagai pengalaman manusiawi, tanggapan atau iman manusia mendapat
pengaruh dari faktor-faktor manusiawi, yang ada dalam keterbatasan. Akibatnya
adalah munculnya perbedaan paham keselamatan. Misalnya, perbedaan interpretasi
“wujud” keselamatan; “cara” memperoleh keselamatan.

2.1.Pola Dialog Keselamatan


Mengenai “wujud” dialaog keselamatan, para ahli paga umumnya
membedakan dalam 3 (tiga) pola korelasi Allah- manusia :
a. Identifikasi :
Peleburan yang satu dengan yang lain. Dalam proses identifikasi dipahami
bahwa hal-hal duniawi (termasuk juga manusia) melebur dalam Kenyataan
Ilahi itu. Bahkan, kerapkali dipahami bahwa realitas tercipta disamakan
sebagai Kenyataan Ilahi itu sendiri. Pemahaman dan praksis keagamaan yang
demikian ini dikenal sebagai kecenderungan pantheistik, yakni : hal-hal
duniawi dilihat sebagai bersifat Ilahi.
b. Separasi
Pemisahan yang unsur duniawi dari Kenyataan Ilahi. Dalam pola relasi
separasi dipahami, bahwa Dhat Ilahi adalah „suatu” realitas yang tidak
dapat disamakan dengan realitas duniawi-konkrit. Bahkan konsep relasi
ataupun korelasi antara keduanya adalah suatu kesia-siaan. Dhat Ilahi disadari
sebagai „entitas” yang sama sekali bersifat „asing” bagi entitas duniawi, dan
sebaliknya. Allah dirasakan sebagai bersifat “asing” bagi manusia, dan
sebaliknya. Oleh karenanya, manusia, sebagai entitas duniawi hanya mungkin
memahami Dhat Ilahi, sebagai sebuah konsep, yang sama sekali tidak berarti
apa-apa bagi manusia.
c. Distingsi
Pembedaan antara Kenyataan Ilahi dari entitas duniawi. Kenyataan Ilahi
dipahami oleh manusia sebagai bersifat bukan manusiawi, bukan duniawi dan
bukan entitas yang diciptakan. Pembedaan ini tidak berarti pemisahan. Dhat
Ilahi, Allah, yang transenden juga bersifat imanen (berdiam) dalam
kehidupan manusia. Allah Yang Maha Besar terlibat dalam dunia ciptaan
secara terus-menerus.

2.2. Sikap Terhadap Keselamatan


Berkaiatan dengan pelaksanaan karya keselamatan, secara fenomenologis
terdapat 2 (dua) perbedaan “prioritas” pelaksana. Pertama, penekanan pada peranan
manusia dalam pelaksanaan keselamatan (istilahnya: paham keselamatan
antrophocentris). Kedua, penekanan pada peranan Allah ( theocentris )
Dari paham keselamatan antrophocentris dapat muncul dua kemungkinan
sikap atau pandangan, yakni :
a. Sektarianisme Eksklusif
Sikap ini berpandanagn bahwa tindakan manusia untuk masuk dalam kelompok
pemeluk (sekte) suatu agama merupakan tindakan penyelamatan. Sedangkan
mereka yang berada di luar kelompok tidak memperoleh keselamatan. Latar

13
belakang sikap ini adalah pandanagan bahwa agama merupakan lembaga
keselamatan. Maka, perana memperoleh keselamatan diwujudkan dengan
“masuk” dalam kelompok dan mentaati aturan atau dogma agama.

b. Sektarianisme Inklusif Yang Toleran


Pada dasarnya, sikap ini mempunyai latar belakang yang sama dengan yang di
atas. Namun sikap ini melihat bahwa “ tindakan masuk” manusia terbatas pada
agama tertentu. Sikap ini mengembangkan sikap toleransi bahwa semua agama
menawrakan kebenaran dan keselamatan.

Kemudian atas dasar paham keselamatan theocentris pun terdapat 2 (dua


kemungkinan sikap :
a. Sikap Anti Religi
Sikap ini muncul ketika manusia “over-pasrah”/ekstrem pada penyelenggaraan
Ilahi. Akibatnya sikap ini membuat manusia antipati terhadap agama, yang
dipandang sebagai lembaga manusiawi. Degan sikap ini manusia melihat bahwa
sebagai lembaga justru membedakan dan memecah belah kesatuan umat
manusia.
b. Religi sebagai Mediasi
Latar belakangnya adalah kesadaran bahwa karya penyelamatan yang
diprakarsai oleh Allah terjadi secara manusiawi. Allah adalah sumber
penyelamat. Tetapi perwujudannya memerlukan keterlibatan manusia pula.
Dengan pandangan demikian, manusia akan melihat lembaga-lembaga manusia
adalah sekedar mediasi. Lembaga-lembaga agama dari dirinya sendiri tidak
mampu menjadi lembaga keselamatan Ilahi. Lembaga mampu menjadi karya
penyelamatan, ketika lembaga agama itu berperan sebagai “penerus” wahyu
keselamatan Allah.

3.Beragama sebagai Pengalaman Religius


Dalam pembicaraan tentang Keselamatan, tentu yang dimaksudkan adalah
situasi di “akherat”, atau hidup sesudah mati kelak. Meskipun demikian, pembicaraan
tentang akherat tersebut tidak pernah dilepaskan dari situasi kini, ketika manusia
hidup. Hal ini tampak dalam ajaran agama-agama. “Apa yang kau perbuat di dunia
akan diperhitungkan oleh Allah di akhir zaman”. Artinya usaha untuk mendapatkan
keselamatan dilakukan manusia dalam masa hidupnya, bukam setelah kematian.
Dengan ajaran ini, tampak bahwa agama tidak hanya menganjurkan manusia
untuk “percaya” atau beriman akan kenyataan Ilahi, Allah; melainkan juga
menganjurkan manusia untuk menjadi pribadi yang utuh. Sampai di sini kita sampai
pada persoalan tentang cita-cita humanisme integral dan hubungan antara agama
dengan bagian intinya, yakni iman.

3.1. Humanisme
Yang kami maksud dengan humanisme integral adalah paham yang melihat
proses perkembangan manusia secara utuh dan menyeluruh. Oleh Jaques Maritain,
faham ini dijadikan dasar dan tujuan bagi penghayatan keagamaan, atau penghayatan
iman. Oleh karena itu, dari sudut pandang keagamaan, humanisme integral dapat
diletakan pada tatanan keselamatan manusiawi, ketika manusia masih hidup di dunia.
Tatanan keselamatan manusiawi tersebut merupakan realisasi usaha manusia ,ketika
mengantisipasi pencapaian keselamatan Kekal. Manusia mewujudkan iman/
kepercayaan dan baktinya akan Allah, misalnya dalam penghargaan hak asasi dan
martabat manusia; dalam cinta dan hormat pada pribadi – pribadi lain.

14
Istilah “humanisme integral” ini digunakan sebagai penyeimbang antara dua
faham yang berat sebelah dalam perkembangan pribadi manusia, yakni : humanisme
strukturalis dan humanisme spritualis.

a. Humanisme Struktualis = jasmani – dunia - sekuler


Faham ini menegaskan bahwa pengembangan pribadi manusia hanya
dimungkinkan bila struktur dan sistem masyarakat yang ada memberi kebebasan
berpikir dan mengekspresikan diri sebagai manusia. Maka bila struktur masyarakat
yang ada bersifat „membelenggu“ kebebasan, harus ditiadakan perubahan struktural.
“Belenggu” struktural yang dimaksud oleh paham ini adalah misalnya, ketimpangan
sistem ekonomi. Sistim hukum, hegemoni kekuasaan. == hedonisme etis (nikmat) ==
bahagia

b.Humanisme Spiritual == rohani = jiwa - akalbudi


Paham ini menekankan pengembangn pribadi manusia pada dimensi spritualis/
rohaniah manusia. Paham ini didasarkan pada pandangan bahwa dimensi spritualitas
merupakan penentu kualitas hidup manusia. Maka, proses humanisasi harus
berlandaskan pada dimensi spritualitas, yakni perwujudan dalam pengembangan
religiositas manusia.

c. Humanisme Integral  jasmani rohani


Terhadap kedua pemikiran tersebut pemikir humani berpendapat bahwa
keduanya berat sebelah. Mereka memandang bahwa perombakan struktural yang
diusulkan humanime struktural mengarah pada humanisme sekuler. Sedangkan
humanisme spritualis jelas menekankan humanisme sprituralis. Padahal kedua
dimensi tersebut tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain dalam pribadi manusia.
Dengan demikian proses humanisasi mau tidak mau harus menyangkut kedua dimensi
tersebut. Perpaduan tersebutlah yang dimaksudkan dengan humanisasi integral, di
mana martabat manusia dihargai dan dikembangkan secara utuh dan lengkap. Menjadi
gejala yang tampak jelas bahwa ajakan untuk mengembangkan diri sebagai pribadi
yang utuh menjadi unsur penting dalam misi, atau dakwah agama di samping ajakan
untuk mengembangkan iman dan hidup beragama. Bahkan, beberapa tokoh agama
berpendapat bahwa ajakan tersebut menjadi‚ titik temu’ dalam dialog antar iman dan
antar agama.

3.2. Korelasi Antara Beriman Dan Beragama


Dalam pembicaraan tentang faham universalitas keselamatan, disadari bahwa
iman akan Allah Yang Esa dihayati melalui berbagai macam agama. Oleh karena itu,
perlu adanya pembedaan antara kedua istilah: ‚beriman’ dan ‚beragama’. Pembedaan
ini justru diperlukan untuk mengetahui hubungan satu dengan yang lain.
Istilah ‘beriman’ menunjuk pada dimensi tampak dalam relasi manusia dengan
Allah. Beriman kepada Allah merupakan sikap manusia menanggapi pewahyuan diri
Allah; sikap serah diri dan tunduk sepenuhnya kepada Allah. Sikap inilah yang
menjadi unsur pokok relasi manusia dengan Allah. Dari unsur pokok ini, manusia
berbicara tentang : ‘religiositas’, ‘spriritualitas’ beserta perwujudannya dalam proses
humanisasi integral.
Kemudian, istilah agama dipakai, jika religiositas diletakkan pada tataran
institusi, lembaga, yang merupakan segi lahiriahnya. Sebagai institusi, agama mampu
di satu pihak berfungsi dan di lain pihak tidak berfungsi bagi dimensi spiritual
manusia. Agama berfungsi ketika ia dipandang dan dihayati sebagai mediasi antara
manusia dengan Allah. Sebagai contoh, ketika seseorang menganut dan secara

15
sungguh menjalankan ajaran dari suatu lembaga agama, hal ini akan berdampak
bahwa ia akan makin berkembang dalam iman, makin taqwa akan Allah Yang Maha
Kuasa. Namun, agama menjadi tidak mempunyai fungsi, disfungsional, justru ketika
agama mengurangi ke-iman-an seseorang. Sebagai contoh, sikap-sikap fariseik,
ritualistik, dogmatik, dan lain sebagainya.
Dari perbedaan antara kedua istilah tersebut dapat dikatakan bahwa agama
sebagi institusi membeda-bedakan manusia dalam kelompok-kelompok, seperti yang
menjadi keprihatinan Abdulrahman Wahid dan Arief Budiman. Sedangkan, iman
atau religiositas justru memperastukan manusia yang berbeda-beda, sebab dalam
sudut pandang iman manusia akan berhadapan dengan Allah sebagi misteri, yang
tidak dapat dirumuskan secara kategoris manusiawi.
Sampai di sini, kita dapat kembali lagi pada perwujudan iman, yakni
humanisme integral dan penghargaan martabat manusiawi, sebab iman tidak dapat
dilepaskan dari pengalaman manusiawi biasa. Maka, pada gilirannya dialog anta
agama dapat dilaksanakan dalam taraf dialog antar iman.

BAB IV
PENGALAMAN RELIGIUS DALAM KONTEKS INDONESIA
Jika dalam bab III kami sudah singgung, bahkan tentang titik temu dialog
antar agama dan antar umat, maka dalam bab ini akan dibicarakan secara lebih rinci
permasalahan pluralisme agama. Pembicaraan mengenai pluralisme agama ini jelas
tidak dapat dilepaskan, jika pengalaman religius ataupun penghayatan kepercayaan
akan Allah Yang Maha Esa diletakkan dalam konteks Indonesia.
Selain itu, berhubungan dengn konteks Indonesia, pengalaman religius perlu
dilihat dalam sosio politiknya. Bagaimana keterkaitan pengalaman religius beserta
penghayatannya dengan sosio politik negara Indonesia. Hal ini perlu dibicarakan
karena cita-cita untuk mempertahankan kesatuan bangsa dan negara Indonesia secara
nyata berhadapan dengan pluralisme agama, yang dijamin keberadaanya oleh negara.

1. Pluralisme Agama.
Kenyataan bahwa masyarakat Indonesia mampu memelihara pergaulan yang
baik antar agama memperoleh penilaian yang positif dari dunia internasional dalam
dua dekade terakhir. Penilaian tersebut kiranya tidak berarti bahwa dalam bangsa
Indonesia tidak lagi terdapat persoalan mengenai pluralitas agama. Kenyataan juga
menunjukkan bahwa kadang kala kesulitan-kesulitan akibat pluralisme tampak ke
permukaan, walaupun tidak separah negara-negara tetangga. Maka, boleh saja kita
sebagai bangsa Indonesia bangga akan kerukunan yang ada. Namun sebagaimana
ditegskan oleh Presiden RI pada peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW, tanggal
20 Agustus 1994, “segenap bangsa dan masyarakat Indonesia perlu mewaspadai
munculnya pertentangan antar pemeluk agama lain dan antar pemeluk agama yang
sama”.
Penegasan dan/atau keprihatinan Presiden itu adalah wajar. Secara sekilas
tampak bahwa berbagai konflik dan krisis negara-negara di akhir abad 20 ini muncul
akibat konflik kepentingan dibidang politik, sosial, atau ekonomi. Namun, kalau
direfleksikan secara lebih mendalam akan ditemukan akar konflik, yakni kepentingan
agama-agama.

16
Dalam kondisi politik Indonesia saat ini, berkat Pancasila dan UUD 1945
pasal 29, konflik pluralisme mungkn lebih mudah dideteksi dan diantipasi,. Namun,
bagaimana dengan konflik anata pemeluk dalam satu agama?

1.1 Sikap Terhadap Pluralisme


Di sini, atas dasar metode fenomenologis, kami berkan beberapa sikap
terhadap pluralisme agama; dan bukan perbedaan sikap terhadap masing-masing
ajaran yang dianut. Yang terakhir ini adalah teologi. Perbedaan sikap tersebut,
meslipun tidak hakiki, berpotensi untuk menjadi alasan konflik, baik antar pemeluk
agama yang berbeda, kedua, sama tradisi agama bersifat relatif. Ketiga semua tradisi
agama pada dasarnya sama.

a. Hanya satu agama yang benar : agama-ku


Disadari atau tidak, panadanagan ini terdapat dalam keyakinan setiap pemeluk
agama. Keyakinan ini muncul dari pengahayatan akan agama yang dianut sebagi
pemberi orientasi terdalam dan terakhir tentang realitas dan masalah hakiki
kehidupan. Karena itu, tidak ada pemberi orientasi terdalam dan terakhir yang lain.
Apalagi terutama, keyakinan bahwa peranan agama tersebut didasarkan pada
peristiwa pewahyuan Allah yang otentik dan objektif.
Sudah barang tentu, sikap ini sikap keyakinan demikian tidak akan
memuaskan, bahkan “menyakiti” tradisi agama yang lain. Sebabnya adalah bahwa
keyakinan ini tidak menerima realitas pluralisme kepercayaan kepada wahyu Allah.
Dan, sejarah agama – agama menunjukkan bahwa keyakinan tersebut dianut oleh
semua tradisi agama. Dengan akibat bahwa sikap itu pulalah yang memunculkan
tradisi eksklusiveme destruktif antar tradisi agama.
Yang mungkin dapat diharapkan dari sikap keyakinan tersebut adalah
pandangan terhadap tradisi agama lain sebagai “sub-tradisi”.

b. Semua tradisi religius bersifat relatif : benar bagi pemeluknya


Pandangan dan sikap ini tentang tradisi agama sebagai bersifat relatif sedikit
banyak muncul akibat suasana ilmiah dan kesadaran historik, demikian pendapat B.
Lonedgan, seorang peneliti agama-agama. Suasana ilmiah yang dimaksud adalah
pengembangan ilmu pengetahuan sejak munculnya teori Relativitas dari Einstein.
Teori Relativitas tersebut disatu pihak, makin memperkokoh probabilitas kebenaran
ilmu. Namun, di lain pihak, justru menyadarkan manusia akan keterbatasan
kemampuannya untuk memahami kebenaran realitas.
Sedangkan, kesadaran historik yang dimaksudkan adalah pemahaman akan
proses pembentukan dan perubahan rumusan-rumusan kebenaran. Para ahli
menemukan bahwa kebenaran – kebenaran dirumuskan berdasarkan perkembangan
cara berpikir manusia dan dipengaruhi oleh kepentingan serta situasi kondisi tertentu,
termasuk rumusan-rumusan kebenaran dalam tradisi agama-agama.
Dengan demikian, orang menjadi lebih berhati-hati untuk mengklaim
keabsolutan hal-hal yang menjadi keyakinannya. Setidak-tidaknya, dalam pergaulan
dengan pemeluk agama yang berbeda.
Memang, pandangan relativisme demikian tidak mutlak benar, sebagaimana
pandangan itu sendiri. Paham relativisme ini mempunyai kelemahan-kelemahan.
Misalnya, fakta historis bahwa ada rumusan rumusan kebenaran yang muncul dalam
situasi. Kondisi dan kontaks tradisi tertentu yang bertahan dan berkembang
melampaui batas teritorial sampai kini.
Meskipun demikian, dalam segi-segi tertentu relativisme itu diperlukan dan
menjadi faktor penting. Terutama, dalam kondisi pluralisme agama. Relativisme

17
memungkinkan kita untuk merefleksikan citra-diri yang berkaitan dengan keyakinan
tentang kebenaran secara konkret. Relativisme juga memungkinkan munculnya
pandangan bahwa terdapat”kebenaran” dalam tradisi agama-agama lain.
Tentunya, hal ini justru membuat kita makin menghormati dan taqwa akan ke-Maha-
an Misteri Allah. Misteri Ilahi sebagai Kebenaran Sejati berada jauh di luar daya
tangkap akal-budi manusia. Misteri Ilahi tidak “disempitkan” secara terbatas hanya
dalam satu bentuk tradisi agama.

c. Semua Tradisi Agama Sama : agama-agama menuju satu tujuan , Sang Hyang
Ilahi
Pandangan behwa semua agama mempunyai tujuan yang sama, walau berbeda
dalam cara adalah yang paling populer pada kondisi pluralisme agama pada masa
kini. Persamaan antar agama-agama kiranya jelas. Sedangkan , perbedaan yang
dimaksudkan menurut pandangan ini adalah perbedaan yang menyangkut pilihan
individu atau latar belakang historis individu. Perbedaan bukan bersifat hakiki antar
agama.
Sehubungan dengan kesamaan dan perbedaan antar agama ini, W.C. Smith
menunjukkan dua gejala tradisi agama, yakni : Iman dan tradisi komulatif. Iman
adalah pengalaman batin seseorang tentang kenyataan Ilahi; cara seseorang berelasi
dengan yang transenden. Sedangkan tradisi komulatif adalah ungkapan-ungkapan
eksternal dari tradisis agama, seperti : dogma, credo/syahadat, hukum dan ritus. W. C.
Smith berpendapat kesamaan antara tradisi-tradisi agama terletak pada aspek iman.
Sebab pada aspek iman inilah dapat terjadi komunikasi antara masing-masing pribadi,
pemeluk tradisi agama. Sebaliknya jika kerjasama diadakan pada aspek tradisi
komulatif, tidal akan terjadi titik temu. Sebabnya adalah tradisi-tradisi komulatif
muncul dan berkembang sesuai dengan situasi dan konteks yang menjadi latar
belakang sejarahnya. Tradisi komulatif tidak mungkin dapat disamakan anatar tradisi
agama yang satu dengan tradisis agama yang lain.

1.2. Dialog Pengalaman Religius


Jika sikap yanmg terakhir berkembang menjadi “penghayatan” para pemeluk
agama yang berbeda-beda, kiranya akan tercipta suasana dialog pengalaman religius.
Bahkan, mungkin dialog tersebut dapat disebut sebagi dialog antar iman.
Maksudnya dialog antar pemeluk agama tidak hanya meyangkut segi-segi
luar, aktivitas luar. Sebagai misal, aplikasi dialog antar pemeluk agama dalam bentuk
kerja bakti, karya sosial, dll. Kerap kali “dialog” semacam ini muncul dari
“ketakutan” pertemuan (perbenturan) antar agama dan kepercayaan mengenai:
dogma, hadits, pandangan tentang dunia, dan sejenisnya. Akibatnya yang terjadi
bukan “dialog”, melainkan semata-mata “kerja sama” antar pemeluk agama dalam
bidang atau karya sosial. Dialog baru mempunyai nilai positif, jika terjadi dan/atau
diadakan atas dasar pengalaman religius atau pengalaman batin seseorang.
Maksudnya, dialog terjadi antar orang yang beriman, dalam arti yang sebenarnya.
Dialog antar iman mengalir secara spontan dalam bentuk „sharing” tentang hasil
refleksi atas pengalaman manusia dalam menjalani hidupnya dalam bingkai
religiositas.
Dalam dialog antar iman, sikap intelektual, memang diperlukan; namun dalam
hal itu belum cukup. Sebab iman merupakan sikap dasar orientasi seseorang tentang
aspek kehidupan yang tidak bersifat rasional. Dengan kata lain, sikap iman, yang
diungkapkan dalam memeluk agama tertentu, merupakan pola dasar untuk
memandang dan mengalami, berpikir dan merasa, berbahagia dan menderita. Pola

18
dasar itu bukan hasil pemahaman intelektual ataupun pencerapan teori-teori,
melainkan lebih merupakan struktur pengalaman dasar manusia.
Justru atas dasar sikap iman yang demikian dialog akan menumbuhkan
kesadaran bahwa kebenaran fundamental tentang kehidupan. Bahkan pada gilirannya,
kiranya harus dikatakan bahwa dialog antar iman harus didasarkan pada kesadaran
tersebut. Dengan demikian dialog antar iman tidak terbatas hanya pada satu aspek
kehidupan dan terbatas dalam suatu lembaga keagamaan saja.
Ini merupakan sikap dasar yang penting untuk mewujudkan dialog yang
positif dan tidak berat sebelah (pada sisi saya). Dialog tidak akan tercipta, jika saya
tidak mampu memahami posisi, cara pandang pihak lain. Padahal saya baru mampu
memahami pihak lain secara sungguh, jika saya pun memakai kacamata dari pihak
lain itu.
Kesulitan dalam mewujudkan dialog antar iman yang demikian adalah adanya
prejudice bahwa saya akan menjadi pihak lain karena kacamatanya saya pakai. Ini
yang kerap kali menjadi “momok”. Di samping itu, ada pula pra-anggapan bahwa
‚dialog antar iman pasti akan macet.’ Terlebih lagi, jika dalam pra-anggapan tersebut
terdapat klaim-klaim bahwa apa yang saya anut dan ikuti adalah satu-satunya yang
paling benar. Maka, motivasi awal untuk berdialog adalah sikap keterbukaan pada
kemugkinan perubahan secara tulus. Perubahan yang dimaksudkan terutama adalah
perubahan dalam sikap apriori atau pemahaman tentang pihak lain. Dan, keterbukaan
berarti keberanian untuk kenyataan yang lebih besar dan benar daripada yang
dipahami selama ini.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa dalam dialog antar iman dapat terwujud
dalam memenuhi 3 (tiga) kondisi sebagai prasyarat. Pertama, dialog perlu diawali
dengan sikap keterbukaan. Artinya pihak-pihak peserta dialog mempunyai kesediaan
untuk mendengar, bukan “menghakimi” pihak yang berbeda pendapat. Kedua, dialog
yang bersifat terbuka tersebut didukung dengan sikap kritis non-eksklusif.
Maksudnya, masing-masing pihak perlu menghilangkan sikap-sikap apriori terhadap
pihak lain. Ketiga, dialog antar pemeluk, yang merupakan dialog antar iman, tidak
boleh melulu/ berat pada aspek intelektual. Dengan sikap ini, pihak peserta dialog
akan mampu memahami pihak lain berdasar cara pandang/posisi pihak lain.
Dengan dialog semacam itu, para pemeluk agama-agama boleh berharap dan
berkeyakinan akan kehendak Allah untuk menyelematkan setiap orang. Kemudian,
kehendak Allah tersebut ditangkap, ditanggapi dan dialami sebagai pengalaman
religius secara bersama.

2. Pengalaman Religius Dalam Konteks Indonesia.


Sebagai pengalaman, relasi manusia Indonesia dengan kenyataan Ilahi jelas
tidak dapat dilepaskan dari konteks bangsa Indonesia. Maka, refleksi pengalaman
religius perlu diletakkan dalam kerangka persoalan global yang dihadapai bangsa
Indonesia pada dasawarsa terakhir.
Persoalan aktual masa globalisasi menyangkut problema kemiskinan dan
problem lingkungan hidup. Mengenai kemiskinan kerap kali dikatakan bahwa
kemiskinan (=pemiskinan??) struktural dan partial akan berkembang sebagi akibat
menguatnya sistem ekonomi kapitalistik pada negara-negara maju yang relatif
berpenduduk sedikit. Kemudian mengenai problema lingkungan hidup dikatakan
bahwa suhu bumi makin panas dan “tidak pasti” sebagi akibat kemajuan tekhnologi.
Jika persoalan global tersebut menjadi tantangan bangsa Indonesia, maka
persoalan itupun menjadi persoalan penghayatan pengalaman religius. Apalagi, yang
ada dibalik persoalan global tersebut sebenarnya ada persolan mengenai harkat dan

19
martabat manusia. Pengalaman religius tentu tidak berhenti pada “keinginan” atau
harapan untuk dekat dan selamat sampai pada Allah.
Pengalaman religius pada dasarnya muncul dari keterlibatan manusia terhadap
problema kehidupan. Pengalaman yang demikian akan menjadi makin konkrit sebagai
pengalaman manusia seutuhnya ketika dikembalikan pada problema kehidupan yang
sama. Dengan kata lain, manusia yang berpengalaman religius baru menjadi manusia
yang utuh, jika ia mampu pula menghargai harkat dan martabat manusia.

2.1. Negara Pancasila


Dalam konteks sosio politik Indonesia, bangsa Indonesia pantas bersyukur atas
kesempatan dan situasi yang ada untuk mengembangkan pengalaman religius.
Kesempatan dan situasai sosio-politik tersebut tampak jelas dalam rumusan sila I dari
Pancasila dan pasal 29 UUD 1945.
Perumusan sila pertama Pancasila dan pasal 29 UUD 1945 sebagaimana
diketahui dalam sejarah, dilakukan oleh para pendiri Negara Indonesia. Perumusan
tersebut tidak dapat disebut sebagai “intervensi” negara dalam kehidupan religius.
Sebaliknya, perumusan tersebut muncul dari kesadaran bahwa pengalaman
religius sudah menjadi tradisi sejak awal bangsa. Perumusan sila pertama dan UUD
1945 ps 29 hanya mengungkapkan –istilah umumnya– kristalisasi budaya bangsa
indonesia.
Kristalisasi yang sedemikian rupa tersebut dapatlah disamakan dengan
institusionalisasi pengalaman religi pada bentuk agama-agama, bahkan dapat pula
dikatakan bahwa sila pertama dan lembaga-lembaga agama mempunyai sumber awali
yang sama, yakni: pengalaman religius. Dari sudut pandang dan maksud politik,
pengalaman religius mengkristal sebagi sila pertama. Pengalaman religius yang sama
ber-institusi dalam bentuk agama, ketika pengalaman religius tersebut dipandang dari
dirinya sendiri, berhadapan dengan perkembangan budaya dan peradaban manusia.
Gejala yang tampil dari kristalisasi manpun institusionalisasi pengalaman
religius tersebut adalah “kesan” negatif, antipati. Sila Pertama dipandang sebagai
bentuk “intervensi” implisit negara terhadap warganya pada bidang religius. Dan,
agama-agama dipandang sebagi yang memilah-milah umat manusia dalm kelompok-
kelompok. Sikap antipati semacam ini, meski mungkin hanya menjadi pemikiran
segelintir orang, mau tak mau perlu juga direfleksikan. Tentu, demi maksud yang
positif dan bukan asal kontra.
Pertama-tama pantaslah diakui bahwa bentuk-bentuk kelembagaan, dalam hal
ini adalah negara dan agama, dapat berfungsi dan/ atau ber-disfungsional. Secara
umum, sebagaimana yang biasa dipahami, negara mempunyai fungsi sebagai suatu
sistem kelembagaan yang berkewajiban untuk melindungi hak dan kewajiban, harkat-
martabat manusia, khususnya warganya. Di lain pihak, lembaga agama akan
berfungsi sebagai “ragam”, cara atau jalan, ketika agama mampu menghantar dan
membantu pengikutnya manusia dalam berkomunikasi dengan kenyataan Ilahi, Al-
Khaliq. Fungsi-fungsi itulah yang kerapkali “diremehkan” oleh sebagian tokoh dan
penganut agama. Sebaliknya, negara menjadi disfungsional, ketika ia tidak
menghargai harkat-martabat serta hak dan kewajiban warganya. Sebagai contoh,
sloganisme tentang pembangunan dan openongkatan kesejahteraan. Dan, agama
menjadi disfungsional, sejauh ia justru membuat “jarak’ antara manusia dengan AL-
Khaliq. Sebagai misal, wejangan untuk mentaati segala perintah Allah dengan
melaksanakan hukum – hukum agama yang membuat pemeluknya “sibuk” sendiri dan
lupa pada Al- Khaliq.
Praktis-praktis disfungsional itulah yang membuat segelintir orang bersikap
antipati pada bentuk lembaga negara, termasuk pula sila pertama sebagai unsurnya

20
dan lemabag agama. Padahal, segi disfungsional itu bukan bagian hakiki. Itu hanya
merupakan dampak sampingan, bukan bagian dari maksud dasar pembentukan
lembaga negara dan agama.
Jika melihat fungsinya, kristalisasi nilai budaya bangsa Indonesia dlam
Pancasila muncul dari kesadaran positif tentang nilai budaya bangsa Indonesia, dan,
kesadaran itu sendiri muncul dalam proses panjang, setelah melihat dan mengalami
manfaat nilai budaya bagi manusia.
Bangsa Indonesia yang ada sekarang tidak dan tidak akan pernah mengalami
manfaat nilai-nilai itu. Maksudnya, nilai-nilai budaya ketika belum “mengkristal”
dalam bentuk sila-sila. Kita, memang, hanya menerima “bentuk-jadinya”. Namun,
justru “bentuk-jadinya” inilah yang membuat keadaan pada masa kini teratur.
Kemudian, dampak terdalam dan hakiki dari suasana ini adalah dihargainya hak-
kewajiban dan harkat-martabat manusia sebagi manusia.

2.2. Membangun Persaudaraan Sejati


Dengan cara pandang yang berbeda lembaga agama pun mempunyai arah pada
penghargaan hak-kewajiban dan harkat-martabat manusia. Segala perintah, hukum,
peraturan, tata cara ibadat dan lainnya dimaksudkan oleh agama sebagai “alat bantu”
bagi manusia untuk berelasi dengan Allah. Dengan kata lain, yang menjadi tujuan
pokok adalah terciptanya relasi personal manusia kepada Allah.
Dalam relasi personal inilah manusia mengalami transformasi diri dan
menemukan keselamatannya. Jika transformasi diri itu terwujud secara kualitatif,
dengan sendirinya akan terjadi pula transformasi struktural yang membuat manusia
menjadi manusia yang integral.
Dari sini, dapatlah secara tegas dikatakan bahwa kesatuan personal Allah
dengan manusia merupakan dasar kokoh bagi terciptanya persaudaraan sejati.
Artinya, suasana di mana manusia saling menghargai harkat-martabat dan hak-
kewajiban manusia lain sebagai manusia.
Secara konkret, kesediaan tulus untuk menciptakan persaudaraan sejati
terwujud pada keterlibatan diri dalam suasana kegembiraan dan harapan, duka dan
kecemasan umat manusia. Dalam hal ini tampak kekhasan tradisi-tradisi religius
lembaga agama. Nasihat/ wejangan religius menganjurkan agar pengikutnya memberi
perhatian khusus kepada kaum miskin, terlantar dan lemah. Dasar teologisnya adalah
Allah telah mewahyukan diriNya dan m,enghargai manusia yang lemah dan sangat
kecil dengan martabat manusiawi yang sangat besar. Ini adalah “cara” Allah
berkomunikasi dengan manusia, maka, untuk menanggapi Allah, yakni menghargai
martabat kaum miskin. Kaum miskin adalah mereka yang tidak mempunyai
kekuasaan, kedudukan, potensi, harta, dll. Yang ada pada mereka hanya pribadi
manusia. Situasi kaum miskin tersebut adalah sebanding dengan situasi umat manusia
dengan Allah. Bahkan, tidak jarang muncul analog religius : pada wajah kaum miskin
kita mengenal wajah Allah menjadi pokok pangkal keselamatan.
Motivasi untuk menciptakan persaudaraan sejati lembaga agama membawa
dampak pula pada sikap dominasi dan eksploitasi terhadap alam semesta, lingkungan.
Alam semesta diciptakan oleh Allah bagi umat manusia dalam mengembangkan
martabat sebagi manusia. Bukan hanya untuk mereka yang mempunyai kekuasaan.
Kedudukan, potensi, modal, dan lain – lain.
Dengan demikian, tampak dan dapat diakui bahwa agam, termasuk
pengikutnya, tampil dalam fungsi yang semestinya, Jika martabat manusia dihargai
dalam suasana persaudaraan sejati.
Agama disadari dan dihayati sebgai mediasi keselamatan yang ditawarkan
oleh Allah dan ditanggapi oleh manusia. Dari pihak manusia, penghayatan agama

21
sebagai mediasi mengandaikan adanya pengakuan diri sebagai yang lemah dan
terbatas sama sekali. Kemudian, pengakuan itu perlu dinyatakan dengan kesediaan
dan sikap manusia sesuai dengan keterlibatannya secara penuh dalam kondisi, konteks
hidupnya. Inilah yang dimaksudkan kehidupan beragama sebagai pengalaman
religius.

BAB V PENUTUP
Pengalaman religius merupakan wujud keterlibatan manusia dalam kehidupan
yang membawa pada persoalan dasariah tentang kehidupan, di mana jawabannya
ditemukan bukan dari diri manusia yang serba terbatas, melainkan hanya pada
kenyataan Ilahi yang Tak terbatas, Transenden.
Sebagai wujud keterlibatan manusia, persoalan beserta jawaban tentang
problema dasar kehidupan tersebut mendapat pengaruh yang kuat dari situasi-kondisi,
atau konteks di mana/kapan manusia yang bersangkutan hidup. Hal ini terungkap dari
munculnya berbagai macam bentuk tradisi, institusionalisasi pengalaman religius
manusia justru menampilkan; di satu pihak, keterbatasan manusia; di lain pihak, ke-
Maha-an Kenyataan Ilahi, Al-Khaliq, Allah, sang Pencipta.
Oleh karena itu, untuk mengejar pemenuhan jawaban problema dasar tersebut,
tidak cukuplah jika hanya dibatasi pada bentuk atau lembaga manusiawi saja,
meskipun pemenuhan tersebut menuntut ketelibatan manusiawai secara utuh.
Dalam konteks negara-bangsa Indonesia, keterlibatan manusiawi seutuhnya
dalam mencari pemenuhan jawaban menuntut adanya dialog manusiawi. Artinya,
saya menghargai manusia lain, entah dari tradisi yang sama atau berbeda, entah dari
status sosial yang sama atau tidak, sebagai manusia, hal tersebut dimaksudkan bukan
terutama- meski diharapkan demi dan mendukung terciptanya kesatuan negara,
bangsa Indonesia, melainkan justru untuk memenuhi panggilan keselamatan Ilahi
dalam kehidupannya.

===========

22
BAGAN EMPAT PILAR AGAMA
Kebudayaan dan Pengalaman Religius
(‘Simbolisasi’ Pengalaman Religius)

Simbolisasi Pengalaman Religius

Kebudayaan dan Pengalaman EMPAT PILAR AGAMA


Religius

Predikasi Dhat Gaib Ajaran / dogma / Fikh


Pengudusan Ruang = Hierofani Ibadat / Ibadah
Pengudusan Waktu = Ritus
Mitologi = Pengudusan Hidup Hukum / Larangan / Syariat
Kebiasaan = Tradisi Pewartaan / Syiar

1. Predikasi Dhat Gaib Ajaran / dogma

2. Hierofani = Pengudusan Ruang dan


Ritus = Pengudusan Waktu Ibadat

3. Mitologi = Pengudusan Hidup Hukum / Larangan

4. Tradisi Syiar/pewartaan

23
Dogma / ajaran Ibadat / ibadah
agam
a

Tradisi / katekese/ dakwah


Hukum / perintah
dahwadah

Satu pilar jatuh Agama


rubuh

Dogma / ajaran Ibadat / ibadah

agam
a
Hukum / perintah
Tradisi / katekese/ dakwah
dahwadah

Carilah contoh-contoh mengenai (dua contoh) dan berikanlah penjelasan makna


masing-masing contoh tersebut.
AJARAN – aneka konsep
IBADAT – nama-nama ibadat/ritus
HUKUM – nama-nama hukum
PEWARTAAN – aneka cara syiar/pewartaan

24

You might also like