Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pencapaian target populasi ternak dilakukan dengan berbagai cara.
Kemampuan reproduksi ternak adalah kunci dalam mengembang biakan tenak.
Adanya penyakit-penyakit yang akan mengganggu kemampuan reproduksi perlu
diketahui dan dipetakan dengan akurat, sehingga upaya pengendalian, pencegahan
dan penanganannya bisa membuahkan hasil yang optimal. Dan semua upaya itu
berujung pada tercapainya derajat kesehatan ternak yang optimal untuk menghasilkan
keturunan-keturunan yang sehat pula sehingga populasi ternak di Indonesia bisa
mencapai target yang ditentukan dan muaranya bangsa kita bisa mencapai
kemandirian dalam memenuhi kebutuhan akan daging pada penduduknya (Santosa,
2014).
Pemerintah dan masyarakat Indonesia dewasa ini menunjukkan perhatian
yang tinggi terhadap usaha-usaha pengembangan peternakan. Hal tersebut disebabkan
oleh peningkatan kebutuhan akan protein hewani sebagai akibat dari pertambahan
penduduk dan peningkatan pengetahuan masyarakat tentang nilai gizi makanan dari
hasil ternak serta peningkatan ekonomi. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut
berbagai upaya telah, sedang dan akan terus dilaksanakan, baik dari segi manajemen,
penyediaan makanan ternak dan pengadaan bibit unggul (Matli, 2014).
Namun, dalam upaya untuk mencapai target tersebut, upaya dalam
meningkatkan produksi peternakan tidak terlepas dari masalah reproduksi yang
langsung berpengaruh terhadap kenaikan dan penurunan jumlah atau populasi hewan
ternak. Di Indonesia, khususnya populasi hewan ternak sampai saat ini masih belum
seimbang dengan jumlah yang dibutuhkan. Hal ini disebabkan oleh tingginya angka
kematian dan pemotongan ternak yang tidak diimbangi dengan angka kelahiran yang
memadai (Matli, 2014).
Gangguan reproduksi hewan terutama pada sapi disebabkan oleh faktor
manajemen dan penanganan ternak, faktor makanan, lingkungan, faktor genetik dan
fungsi hormonal serta faktor kecelakaan/traumatik. Oleh karena itu, pencegahan dan
penanggulangan penyakit perlu mendapatkan perhatian karena pada dasarnya
penyakit dapat merubah proses produksi dan menimbulkan kerugian apabila penyakit
menular (Achjadi, 2013 dalam Matli, 2014). Gangguan reproduksi yang dapat
menurunkan nilai produktifitas peternakan di Indonesia salah satunya adalah distokia.
Kejadian distokia pada ternak mencapai 3,3% dan lebih sering terjadi pada ternak
perah daripada ternak potong. Kurangnya pengawasan sapi saat kelahiran anak sapi
dapat juga meningkatkan kejadian distokia, untuk itu perlu dilakukan suatu hal untuk
menurunkan angka kematian fetus akibat distokia (Datrianto, 2015).
Akibat adanya distokia yang diikuti dengan kematian fetus menjadi salah satu
penyebab penurunan populasi sapi di Indonesia. Pendataan distokia perlu dilakukan
karena informasi tentang kejadian distokia di Indonesia masih kurang.

1|Page
Penanggulangan kejadian distokia di lapangan perlu dioptimalkan guna
meningkatkan populasi sapi di Indonesia (Datrianto, 2015).
1.2 Tujuan
Mahasiswa dapat menjelaskan keadaan distokia pada hewan beserta cara
penanggulangannya
1.3 Manfaat
1.3.1 Praktikan dapat mengetahui pengertian distokia dan eutokia
1.3.2 Praktikan dapat mengetahui penyebab-penyebab distokia dan eutokia
1.3.3 Praktikan dapat mengetahui prosedur pendahuluan penanganan distokia dan
eutokia
1.3.4 Praktikan dapat mengetahui teknik penanganan distokia dan eutokia

2|Page
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Distokia dan Eutokia
Distokia umumnya dikenal sebagai kesulitan dalam kelahiran yang
berkepanjangan. Distokia adalah kondisi dimana pada tahap pertama dan kedua
proses kelahiran terjadi secara nyata dan lebih lama serta sapi membutuhkan lebih
banyak bantuan daripada yang diinginkan dalam proses kelahiran (Abdela dan Wahid,
2016). Distokia dalam bahasa Yunani, dys- yang artinya kesulitan dan tocos- yang
berarti kelahiran, dan situasi ini dapat terjadi pada banyak kasus yang subyektif.
Eutokia merupakan situasi dimana proses kelahiran yang terjadi secara normal
(Mekonnen dan Nibret, 2016)

2.2 Sebab-Sebab Distokia


Sebab-sebab distokia dibagi menjadi dua yaitu sebab dasar dan sebab langsung.
Sebab dasar distokia antara lain herediter, gizi, tatalaksana, infeksi, traumatik dan
berbagai sebab lain. Sedangkan sebab langsung distokia dapat dibedakan dalam
distokia tipe maternal dan tipe fetal (Sasadara, 2014).
2.2.1 Sebab Dasar
2.2.1.1 Herediter
Faktor genetik yang mempengaruhi distokia termasuk efek langsung dan
induk. Efek genetik langsung mengacu pada genotipe janin dan kemungkinan
berkontribusi pada janin yang mengalami distokia saat lahir. Efek maternal yang
mempengaruhi distokia adalah faktor-faktor yang diatur oleh genotipe dan
lingkungan permanen dari sebuah bendungan yang berdampak pada janin, seperti
efek kapasitas uterus pada berat badan lahir dari anak sapi atau yang berkontribusi
pada penyebab induk mengalami distokia, seperti efek potensi genetik waduk untuk
panggul daerah pada kemungkinan disproporsi fetus dan induk terjadi. Efek maternal
berkontribusi pada kemungkinan terjadinya sebuah bendungan distokia saat
melahirkan (Hickson et al., 2006).
Kista ovarium adalah contoh distokia akibat herediter. Status ovarium
dikatakan kista apabila mengandung satu atau lebih struktur berisi cairan dan lebih
besar dibanding dengan folikel masak. Penyebab terjadinya kista ovarium adalah
gangguan ovulasi dan endokrin (rendahnya hormon LH). Faktor predispo-sisinya
adalah herediter, problem sosial dan diet protein. Ada kista tersebut menjadikan
(folikel masak) tidak berovulasi (a-novulasi) tetapi mengalami regresi (melebur) atau
mengalami luteinisasi sehingga ukuran folikel meningkat, adanya degenerasi lapisan
sel granulosa dan menetap paling sedikit 10 hari. Akibatnya sapi–sapi menjadi
anestrus atau malah menjadi nymphomania (kawin terus) (Affandhy et al., 2007).
2.2.1.2 Nitrisional dan Manajemen
Jika tubuh kekurangan nutrisi terutama untuk jangka waktu yang lama maka
akan mempengaruhi fungsi reproduksi, efisiensi reproduksi menjadi rendah dan

3|Page
akhirnya produktifitasnya rendah. Kekurangan nutrisi akan mempengaruhi fungsi
hipofisis anterior sehingga produksi dan sekresi hormon FSH dan LH rendah (karena
tidak cukupnya ATP), akibatnya ovarium tidak berkembang (hypofungsi). Pengaruh
lainnya pada saat ovulasi, transpor sperma, fertilisasi, pembelahan sel, perkembangan
embrio dan fetus. Kekurangan nutrisi yang terjadi pada masa pubertas sampai
beranak pertama maka kemungkinannya adalah birahi tenang, devec ovulatory
(kelainan ovulasi), gagal konsepsi, kematian embrio atau fetus. Nutrisi yang sangat
menunjang untuk saluran reproduksi diantaranya: protein, vitamin A, mineral atau
vitamin (P, Kopper, Kobalt, Manganese, Iodine, dan Selenium). Selain nutrisi tersebut
di atas, yang perlu diperhatikan adalah adanya ransum yang harus dihindari selama
masa kebuntingan karena dapat menyebabkan (keguguran), diantaranya racun daun
cemara, nitrat, ergotamine, napthalen, khlor dan arsenic (Affandhy et al., 2007).
Sebab manajemen dapat dipengaruhi oleh faktor kandang, kandang yang
bersih merupakan faktor penting untuk kesehatan ternak. Apabila kandang kotor akan
menyebabkan banyak kuman penyakit yang akan menginfeksi ternak. Ternak yang
sakit nafsu makan menjadi menurun, badan kurus, kondisi ini akan menyebabkan
gangguan fungsi fisiologis tubuh termasuk gangguan proses reproduksinya. Sanitasi
lingkungan khususnya kandang sangat menentukan tingkat pencemaran organ
reproduksi yang dapat berakibat timbulnya infeksi pada uterus dan menyebabkan
kejadian kawin berulang (Suharyati dan Madi, 2016).
Infeksi uterus salah satunya yaitu endometritis. Endometritis merupakan
peradangan pada endometrium (dinding rahim). Uterus (rahim) sapi biasanya
terkontaminasi dengan berbagai mikroorganisme (bakteri) selama masa puerpurium
(masa nifas). Gejalanya meliputi leleran berwarna jernih keputihan sampai purulen
(kekuningan) yang berlebihan, uterus mengalami pembesaran (peningkatan ukuran).
Penderita bisa nampak sehat, walaupun dengan leleran vulva purulen dan dalam
uterusnya tertimbun cairan. Pengaruh endometritis terhadap fertilisasi (pembuahan)
adalah dalam jangka pendek, menurunkan kesuburan, calving interval dan S/C naik,
sedangkan jangka panjang menyebabkan sterilitas (kemajiran) karena terjadi
perubahan saluran reproduksi. Faktor predisposisi (pendukung) terjadinya
endometritis adalah distokia, retensi plasenta, musim, kelahiran kembar, infeksi
bakteri serta penyakit metabolit (Affandhy et al., 2007).
2.2.1.3 Penyakit Menular
Salah satu penyakit menular bakterial adalah Brucellosis, dimana penyebab
dari Brucellosis adalah Brucella abortus. Penyakit ini bersifat zoonosis dan
menyebabkan demam undulan pada manusia bila mengkomsumsi susu yang tercemar
B. abortus. Brucellosis dapat menular melalui eksudat (lendir) alat kelamin, selaput
lendir mata, makanan dan air yang tercemar ataupun (inseminasi buatan) dari semen
yang terinfeksi. Gejala yang nampak pada sapi yang mengalami abortus pada usia
kebuntingan 6-9 yaitu selaput fetus yang terlihat oedema, nekrotik, metritis dan
keluar kotoran dari vagina (Affandhy et al., 2007).
2.2.1.4 Traumatik

4|Page
Traumatik merupakan sebab atau faktor yang tidak dapat di prediksi
sebelumnya atau seperti halnya kecelakaan. Kejadian-kejadian tersebut misalnya
distokia dan abortus. Kejadian-kejadian tersebut dapat membawa akibat kepada
kurang suburnya ternak penderita bila tidak ditangani secara serius. Pemberian pakan
yang berlebihan dapat menyebabkan disitokia pada sapi dara karena deposisi lemak
yang berlebihan di daerah pelvis (Sudono 2001 dalam Matli, 2014).
2.2.2 Sebab Langsung
2.2.2.1 Sebab Maternal
a. Torsio uteri
Adalah perputaran uterus pada porosnya atau sumbu memanjangnya pada
ternak yang sedang bunting. Torsio uterus biasanya terjadi pada kehamilan tua. Rotasi
uterus pada sumbunya yang panjang dengan memutar vagina anterior adalah
penyebab umum dystocia pasa sapi. Torsi uterus adalah komplikasi persalinan tahap
akhir atau awal tahap kedua. Hal ini mungkin karena ketidakstabilan rahim sapi yang
dihasilkan dari kelengkungan yang lebih besar dari organ yang dorsal dan dari uterus
yang dibuang ke anterior ke suspensi subilial oleh luas ligament (Mekonnen dan
Nibret, 2016).
b. Inersia uterina
Inersia uteri adalah kondisi dimana otot uterus tidak dapat berkontraksi
(primary uterine inertia) atau menjadi fatique selama proses kelahiran (secondary
uterine inertia). Inersia uteri diklasifikasikan menjadi dua, yaitu inersia uteri primer
(primary inertia) dan inersia uteri sekunder (secondary inertia). Inersia uteri primer
dapat terjadi secara komplit (primary complete uterine inertia) atau parsial (primary
partial uterine inertia). Inersia uteri primer komplit adalah kegagalan kerja uterus
dalam jangka penuh, sedangkan inersia uteri primer parsial terjadi ketika kontraksi
uterus yang terjadi cukup untuk memulai proses kelahiran namun tidak cukup untuk
menyelesaikan kelahiran dari keseluruhan fetus secara normal, dalam keadaan tidak
adanya obstruksi. Inersia uteri sekunder terjadi ketika kontraksi uterus tidak cukup
untuk mengeluarkan semua fetus namun beberapa fetus telah berhasil dikeluarkan,
diakibatkan oleh obstruksi pada saluran peranakan (Sasadara, 2014).
c. Uterine rupture
Pecahnya dinding uterus dapat terjadi sebagai akibat dari cedera traumatik
yang tidak disengaja, adanya beberapa titik lemah atau setelah torsi uterus yang
parah, baik pada sapi dan kerbau. Ruptur uterus dianggap sebagai hasil daripada
penyebab distokia (Purohit et al., 2011).
d. Obstruksi uterus
Konstriksi/obstruksi dari jalan lahir bisa mengakibatkan distokia dan dapat
disebabkan oleh kelainan panggul, stenosis vulva atau vagina, neoplasma
vagina dan vulva, cystocoele vagina, pelebaran serviks yang tidak lengkap, torsi
uterus dan pergeseran ventral uterus. Penyebab yang tidak umum dari penyempitan
saluran lahir adalah karsinoma kandung kemih dengan metastasis di serviks (Purohit
et al., 2011).
2.2.2.2 Sebab Fetus

5|Page
Faktor fetus dapat dibedakan menjadi tiga yaitu karena ukuran fetus yang terlalu
besar, ketidaknormalan pada presentasi atau hubungan sumbu tubuh fetus dengan
pinggul serta ketidaknormalan pada posisi dan postur dari fetus. Ukuran fetus yang
abnormal dapat terjadi karena hydrocephallus, anasarca dan ascites. Presentasi fetus
yang dikatakan normal adalah longitudinal anterior dan longitudinal posterior. Tidak
dapat dijelaskan apa yang menyebabkan terjadinya malposisi tersebut. Sebelum lahir,
secara normal fetus akan ada pada posisi ventral dan berputar hingga 180° sebelum
memasuki pelvis. Kegagalan mencapai rotasi ini menyebabkan fetus dilahirkan di
posisi lateral atau ventral (Sasadara, 2014).
a. Fetal oversize
Janin terlalu besar untuk melewati panggul atau saluran vagina dengan
mudah. Paling sering dijumpai dengan kehamilan tunggal. Sejumlah besar penelitian
yang dilakukan pada sapi perah dan sapi pedaging menunjukkan bahwa berat lahir
anak lembu, terutama pada anak sapi betina pertama yang berusia 2 tahun, secara
signifikan sulit dalam melahirkan. Telah didokumentasikan dengan baik oleh banyak
peneliti bahwa berat lahir biasanya merupakan faktor utama yang menyebabkan
masalah melahirkan. Bahkan, penelitian dari Miles City, Montana, akan menunjukkan
berat badan lahir adalah sifat yang paling berkorelasi tinggi dengan distokia, diikuti
oleh jenis kelamin anak sapi, daerah panggul dan panjang kehamilan dan berat badan
sapi. Genetika dan breed of sire memainkan peran yang paling penting dalam
menentukan berat badan anak lembu namun, pengaruh genetik induk tidak boleh
diabaikan. Misalnya, heritabilitas berat lahir hampir 4 persen. Oleh karena itu, dengan
menempatkan tekanan seleksi pada sapi jantan untuk berat badan lahir dan
kemudahan melahirkan, adalah mungkin untuk mengurangi banyak masalah
melahirkan yang ada (Mekonnen dan Nibret, 2016).
b. Twinning
Gestasi kembar pada sapi sering memuncak pada distokia. Twin dystocia
terdiri dari tiga jenis: kedua janin hadir secara bersamaan dan menjadi berdampak
pada panggul ibu, satu janin hanya disajikan tetapi tidak dapat dilahirkan karena
postur yang cacat, posisi atau presentasi: posturpaling sering salah, kurangnya
ekstensi anggota badan atau kepala yang karena ruang uterus tidak mencukupi.
Inertia uterus, kontraksi uterus yang menyebabakan cacat, baik oleh beban janin yang
berlebihan atau dengan kelahiran prematur. Ketika inersia hadir, kelahiran janin
pertama atau kedua tidak dilanjutkan meskipun presentasi normal (Mekonnen dan
Nibret, 2016).
c. Penyakit fetus
Berbagai penyakit pada janin dapat menyebabkan perubahan bentuk janin dan
distosia pada sapi. Kondisi janin yang mengalami distokia termasuk hydrocephalus,
ascites, hydrothorax and anasarca. Distokia karena ascites fetus merupakan kondisi
tetes mata yang kadang terjadi pada spesies manapun tetapi paling sering pada sapi.
Distokia yang berkepanjangan akibat ascites janin pada sapi persilangan yang
berhasil ditangani dengan antibiotik, anti inflamasi dan terapi pendukung setelah

6|Page
penusukan manual rongga perut janin dengan pisau yang dijaga menghilangkan
distokia (Mekonnen dan Nibret, 2016).

2.3 Teknik Pendahuluan Penanganan Distokia


2.3.1 Anamnesa
Sebagai pemeriksaan awal dan persiapan untuk menangani distokia sedang
dilakukan, sejarah kasus serta informasi tertentu lainnya harus diperoleh dari pemilik
atau dengan pengamatan. Informasi ini harus mencakup lamanya kebuntingan,
riwayat breeding sebelumnya, apakah distokia atau kondisi abnormal lainnya pernah
dialami pada prosesi sebelumnya atau lamanya hewan tersebut telah bekerja aktif
(Mekonnen dan Nibret, 2016).
2.3.2 Pemeriksaan
Pemeriksaan fisik pada distokia dilakukan pemeriksaan fisik secara umum
termasuk kondisi fisik hewan, apakah terlalu kurus, terlalu gemuk atau dalam kondisi
baik. Jika hewan terlentang, dokter harus menentukan: apakah hewan dapat berdiri
atau tidak, apakah hewan lelah atau mengalami paralysis obturator. Denyut nadi,
suhu dan frekuensi respirasi harus dicatat. Pada sebagian kasus distokia, pulsus dan
tingkat pernapasan akan sangat tinggi dan suhu tubuh akan ada diatas suhu normal
karena adanya upaya hewan melakukan partus (Abera, 2017).
Pemeriksaan pada vulva, apakah berair, berlendir, terdapat darah atau cairan
fetus akan mengindikasikan bagaimana kondisi fetus juga terdapat banyak darah
segar pada vulva, mengindikasikan adanya cedera pada saluran kelahiran yang bisa
diakibatkan karena intervensi peternak maupun orang lain. Karakter dari membran
fetus menunjukkan kondisi fetus dan lamanya distokia telah terjadi. Jika sebagian
tubuh fetus telah kelihatan dari vulva, kondisi, posisi dan postur harus fetus harus
diamati. Vulva harus diperhatikan untuk mendapatkan informasi adanya oedema atau
trauma yang ada akibat lamanya waktu distokia (Abera, 2017).
2.3.3 Pemeriksaan Khusus
2.3.3.1 Pemeriksaan vagina
Setelah mencuci bagian genital sapi, lengan dan tangan dokter hewan,
pemeriksaan internal dimulai. Selama pemeriksaan ini vagina, vulva dan uterus harus
diperiksa untuk kemungkinan cedera, untuk memastikan dilatasi serviks dan yang
terkahir yaitu posisi, viabilitas dan ukuran anak sapi. Tangan harus dilumasi untuk
dimasukkan ke dalam vagina dan untuk menilai kondisi serviks. Jika serviks tertutup,
ostium eksternal yang menonjol tetapi lunak dapat diidentifikasi. Pada serviks yang
sepenuhnya berdilatasi, tidak dapat dibedakan karena dinding vagina tetap berlanjut
dengan dinding uterus. Ukuran pelvis juga harus ditentukan apakah sempit atau
normal. Kita juga harus memastikan apakah kaki depan atau kaki belakang yang
teraba berada di jalur kelahiran (Mekonnen dan Nibret, 2016).
2.3.3.2 Pemeriksaan rectal
Ketika stenosis pada cranial vagina terdeteksi selama pemeriksaan vagina,
pemeriksaan rektum juga diindikasikan untuk mengkonfirmasi keberadaan torsio
uteri. Pemeriksaan organ reproduksi dengan palpasi per rektum diindikasikan hanya

7|Page
pada beberapa kasus distokia. Indikasi paling umum untuk palpasi rektal adalah untuk
memastikan torsio uteri ketika stenosis vagina cranial terdeteksi selama pemeriksaan
vagina. Deformitas pelvis dan eksostosis mungkin lebih mudah dideteksi dengan
palpasi per rektum dibandingkan dengan pemeriksaan vagina (Mekonnen dan Nibret,
2016).
2.3.4 Alat-Alat
Alat-alat obstretical yang digunajan yaitu baju pelindung, sarung tangan karet
dan pelindung lengan harus digunakan saat diindikasikan untuk mencegah infeksi dan
bau yang mengkontaminasi lengan operator atau untuk mencegah transfer sumber
infeksi. Instrumen yang digunakan untuk menarik fetus terdiri dari kawat dan tali
pengikat obstretical (OB), rantai dan pegangan OB, penjerat dan pengait OB
(panjang, pendek, tumpul dan runcing), tang OB dan restraktor fetus. Instrumen yang
digunakan untuk repulsi atau melakukan rotasi pada fetus yaitu tongkat kuhn (Kuhn’s
cructh), tongkat untuk repulsi fetus dengan ujung tajam dan forceps. Instrumen yang
digunakan untuk pemotongan fetus termasuk fetotomy yaitu pisau fetotomy (lurus
atau bengkok), scalpel BP (telanjang atau terbungkus), OB chisel, fetotom (berbagai
tipe) dan benang gergaji. Dibutuhkan pula jubah anti air, boots karet, tiga tali nilon
calving dengan warna yang berbeda dengan pegangan silinder kayu pendek, gel
koloid pelumas-sintetis sangat berguna dan setidaknya 750 ml harus disediakan untuk
calving. Sabun dan air adalah pelumas obstetric tradisional, serta parafin cair juga
dapat digunakan sebagai pelumas (Abera, 2017).
2.3.5 Obat-Obatan
2.3.5.1 Toxemia
Penanganan distokia pada toxemia dilakukan dengan 400 ml dari 400 %
larutan glukosa diberikan melalui injeksi intravena dan 20 ml propylene glycol
diberikan melalui mulut dengan cara diminumkan. Induksi kelahiran diperlukan jika
pasien tidak menunjukkan respon terhadap pengobatan medis: 20-30 bethametason
dan 500 µg clopostenol yang diberikan melalui injeksi intramuskular (Jackson, 2004).
2.3.5.2 Hydroallantois
Hewan itu diberikan sintetis PGF2α dan injeksi Cloprostenol 500 μg bersama
Dexamethasone 24 mg intramuskular, untuk meningkatkan respon yang lemah
terhadap dilatasi serviks. Selanjutnya hari ketiga os serviks eksternal dan internal
membesar. Kemudian hewan itu di obati dengan dosis kedua PGF2α I/M,
Kalsiumboroglukonate 150 hingga 200 mg/kg berat badan dan oksitosin 60 IU secara
intravena. Untuk mengkompensasi kehilangan 2.500 ml cairan DNS dan 2500 ml RL
diberikan secara intravena. Untuk melawan infeksi bakteri Enrofloxacin diberikan
dengan dosis 5mg/kg berat badan secara intramuskular (Rangasamy et al., 2013).
2.3.5.3 Hydro amnion
Penanganan hydroamnion pada hewan dilakukan dengan cara drainase, dan
diberikan terapi antimikroba tambahan, flunixinmegluminee (1 mg / kg PO atau IV q

8|Page
12 jam selama 5-7 hari) dan altrenogestm dosis ganda (0,088 mg / kg PO q 24 jam)
(Slovis et al., 2013)

2.3.5.4 Mumifikasi fetus


Pengobatan pilihan dalam kasus-kasus mumifikasi fetus adalah perawatan
medis dan bedah. pengobatan dapat terdiri dari pemberian PGF2α analog untuk
menginduksi luteolysis, yang menyebabkan lisisnya fetus dalam dua hingga empat
hari (Yilmaz et al., 2015)
2.3.5.5 Maserasi fetus
Untuk memperbaiki kondisi umum dan untuk melawan toxemia yang
mungkin terjadi, hewan diberikan cairan intravena dan antibiotik. Suatu usaha
dilakukan untuk mengevakuasi rahim oleh pemberian prostaglandin, 2 ml IM dan
estradiol 2 ml IM). Pada hari kedua dan ketiga Injeksikan haristrol 10 ml IM
diberikan (Kumar et al., 2013)

2.4 Teknik Penanganan Distokia


2.4.1 Konservatif
Pengobatan konservatif yang dimaksud adalah dokter menganggap bahwa kasus
tersebut belum siap untuk diberi bantuan sehingga dokter memutuskan membiarkan
pasien sampai jangka waktu terbatas sebelum mengambil tindakan lebih lanjut
(Jackson, 2004). Sedapat mungkin, dokter kandungan hewan harus berusaha
menangani pasien mereka di lingkungan yang paling sesuai untuk kedua belah pihak.
Dalam banyak kasus ketika hewan tidak dapat dipindahkan mungkin tidak ada pilihan
lain selain untuk berurusan dengan hewan di tempat itu. Jika memungkinkan, kasus
obstetri harus diperiksa, didiagnosis dan dirawat lingkungan yang bersih, hangat dan
cukup terang.
2.4.2 Manipulatif
Yang dimaksud dengan penanganan secara manipulatif yaitu dengan teknik
persalinan per vagina setelah dilakukannya reposisi pada fetus yang mengalami
maldisposisi (Jackson, 2004).
2.4.3 Teknik obat-obatan
Rencana pengobatan untuk kasus distokia adalah melalui metode mutasi dan
traksi untuk mengeluarkan fetus yang telah mati. Flunixin meglumine dengan dosis
sebesar 2,2 mg/kg bwt diberikan secara intravena sebagai analgesik dan anti-
inflamasi. Kemudian, 500 mL 5% cairan Dextrose diberikan secara intravena untuk
mencegah syok selama ekstraksi fetus dan untuk mencegah dehidrasi. Anestesi
epidural dilakukan antara ruang interoccygeal pertama dan kedua menggunakan 2,5
ml Lignocaine hydrochloride 2%. Selain itu, KY jelly dan NaCl dimasukkan kedalam

9|Page
saluran atau jalan kelahiran yang berfungsi sebagai pelumas. Penanganan distokia
dilakukan dengan menggunakan metode traksi dimana fetus didorong kembali ke
dalam rongga uterus untuk memperbaiki posisi fetus kemudian fetus ditarik
keluar. Namun, jika janin tetap susah untuk dikeluarkan misalnya bagian carpal dari
fetus tertekuk maka dilakukanlah pemblokan cincin menggunakan 5 ml Lignocaine
hydrochloride yang dilakukan disekitar wilayah vulva. Kemudian, sayatan
melengkung dilakukan di bagian posterior dari vulva menggunakan pisau bedah
(Abdullah et al., 2015).
Setelah sayatan vulva, aplikasikan traksi secara pelan-pelan untuk
mengevakuasi janin yang telah mati bersama dengan plasenta .Siram intrauterin
dilakukan dengan menggunakan 200 ml 0,9% larutan NaCl diikuti oleh 10
mL Oxytetracycline dengan dosis 20 mg/kg bwt. Vitamin K3 diberikan ke wilayah
insisi untuk mengurangi koagulasi. insisi dijahit menggunakan benang 3/0 dengan
pola jahitan simple interrupted. Campuran bubuk negasunt dan pasta yodium
diaplikasikan pada daerah jahitan serta antiseptic untuk mencegah adanya
myasis. Untuk obat pasca operasi, Flunixin meglumine (dosis sebesar 2,2 mg/kg bwt)
diberikan intramuskuler dua kali sehari selama 3 hari sebagai anti-inflamasi
dan Norodine (tertutup pada 1 mL/16-kg bwt) diberikan secara intramuskular sekali
sehari selama 5 hari sebagai spektrum luas antibiotic (Abdullah et al., 2015). Selain
itu, penggunaan obat ecobolic spesifik seperti oksitosin , kalsium atau terapi glukosa
diperlukan dan untuk kasus torsio uteri. Prostaglandin F-2alpha digunakan untuk
memicu onset estrus (Mekonnen dan Nibret, 2016).
2.4.4 Teknik Surgery
2.4.4.1 Fetotomy
Jika persalinan dengan metode traksi tidak dapat dilakukan maka
dipertimbangkan untuk dilakukan metode fetotomy. Fetotomy didefinisikan sebagai
operasi yang dilakukan pada janin dengan tujuan untuk memisahkan bagian-bagian
tubuh dengan teknik pemotongan. Hal ini di indikasikan pada janin yang berukuran
besar, kelainan pada presentasi, posisi, atau postur serta kombinasi yang tidak dapat
ditangani oleh mutasi. Keuntungan dari fetotomy adalah: menghindari operasi perut
besar pada operasi caesar, memerlukan lebih sedikit bantuan daripada operasi caesar,
waktu pemulihannya singkat setelah operasi dan biaya yang sedikit. Sedangkan
kerugiannya adalah dapat menyebabkan injuries atau laserasi ke uterus atau jalan
lahir karena alat fetotomy yang tajam dan juga bisa memakan waktu lama sehingga
membuat operator kelelahan. Sebuah kasus di mana anak sapi sudah
mati, fetotomy adalah metode pilihan karena kelangsungan hidup sapi yang optimal
(Moges, 2016).
Fetotomy dapat lengkap ketika seluruh janin dibagi menjadi potongan-
potongan yang lebih kecil, atau parsial. Secara umum, fetotomy tidak boleh dijadikan
bahan percobaan kecuali jika instrument fetotomy telah tersedia, ada ruang yang
cukup di saluran lahir untuk pengenalan dan penyelarasan fetotome, pasien dapat
ditahan di area yang memungkinkan ruang yang cukup untuk mengoperasikan gergaji
kawat dan bantuan yang memadai (Moges, 2016).

10 | P a g e
2.4.4.2 Caesar section
Bedah caesar biasanya dilakukan dengan laparo- hyterotomy. Operasi ini
dilakukan ketika mutasi, ekstraksi paksa dan fetotomy dianggap tidak memadai atau
terlalu sulit untuk di kerjakan. Caesar section dilakukan untuk mengurangi distokia
sehingga fetus dapat dilahirkan. ndikasi untuk caesar section meliputi oversize foto-
pelvis fetus, pelebaran serviks yang tidak tereduksi, torsion uterus yang tidak dapat
direduksi, hydrops fetus, hydroallantois, kelainan presentasi, posisi atau postur, hernia
ventral dan kasus distokia yang terkelupas. Operasi caesar saat ini merupakan
prosedur obstetric rutin dalam praktik ternak dan ini adalah metode pilihan ketika
berhadapan dengan anak sapi hidup serta untuk mengoptimalkan survivabilitas anak
sapi. Teknik bedah yang baik adalah termasuk penanganan jaringan yang lembut,
bahan jahitan yang tepat, dan pola yang memadai dalam lipatant dari sayatan uterus
untuk mencegah leakage, kemudian dikombinasikan dengan pengobatan oleh
antibiotik dan anti-inflamasi untuk meminimalkan adhesi yang dapat mempengaruhi
efisiensi reproduksi pada sapi. Pilihannya tergantung pada preferensi ahli bedah,
perilaku hewan, serta fasilitas yang tersedia. Pada sapi yang mampu menoleransi
operasi saat berdiri, fosa paralumbar kiri atau pendekatan panggul adalah teknik
standar untuk janin yang telah mati dan tidak terkontaminasi. Pendekatan oblique
kiri lebih disukai karena rahim mudah terekspos dan membatasi kontaminasi pada
rongga (Abera, 2017).
2.4.5 Euthanasia
Euthanasia adalah aktivitas umum dan penting dari dokter hewan. Alasan
untuk melakukan euthanasia pada sapi adalah hewan yang terluka akut, pilihan
pengobatan yang tidak layak, langkah-langkah pengendalian penyakit regional dan
neonatus dalam kasus distokia yang belum terselesaikan. Euthanasia hewan diizinkan
secara hukum di banyak negara, tunduk pada undang-undang dan peraturan
kesejahteraan hewan. Kewajiban termasuk penghindaran rasa sakit atau kesusahan.
Senjata api dan injeksi mematikan adalah dua metode utama yang
tersedia. Pertimbangan kesehatan dan keselamatan termasuk pemahaman penuh oleh
semua orang yang terlibat dari risiko yang ditimbulkan oleh metode euthanasia dan
hewan, dan penyediaan peralatan pelindung yang tepat. Umumnya, sapi muda lebih
mudah stress daripada sapi yang lebih tua, dan harus dimatikan terlebih
dahulu. Anak sapi yang belum diolah tidak boleh dipindahkan melalui fasilitas
pengikat karena untuk mencegah cedera yang parah (Mueller, 2015).

11 | P a g e
BAB III
MATERI DAN METODE
3.1 Materi
3.1.1 Alat
a. Meja
b. Kursi
c. Papan tulis
d. Ruangan
3.1.2 Bahan
a. Kertas
b. Pulpen
c. Buku
d. Spidol
3.2 Metode
3.2.1 Persiapan Diskusi
a. Praktikan bersiap memasuki ruangan dengan melengkapi kelengkapan
memasuki diskusi berupa buku penuntun dan laporan
b. Praktikan memasuki ruangan diskusi lalu mengumpul tugas pendahuluan dan
laporan
c. Praktikan duduk berdasarkan kelompok lalu mendengar intruksi dari asisten
tentang mekanisme diskusi berlangsung
3.2.2 Pembahasan Kasus
a. Setelah mendengar instruksi asisten mengenai mekanisme diskusi
berlangsung, praktikan diberikan waktu 5 menit untuk menyiapkan alat
diskusi.
b. Asisten membagikan selebaran yang memuat tentang kasus-kasus yang terjadi
pada ternak mengenai distokia
c. Praktikan melakukan diskusi bersama teman kelompok masing-masing
d. Praktikan mengisi soal yang tertera pada selebaran kasus yang diberikan dari
asisten.

12 | P a g e
e. Setelah waktunya tiba selebaran kasus yang dibagikan asisten dikumpul
kembalu untuk memulai diskusi
3.2.3 Diskusi
a. Setalah mengumpul selebaran
b. Selebaran kasus tersebut kemudian diperiksa oleh asisten
c. Setelah diperiksa, selebaran kasus tersebut dibagikan kembali ke setiap
kelompok untuk kemudian didiskusikan bersama kelompok lain.
d. Setiap kelompok diberikan kesempatan untuk mengomentari tentang diagnosa
kasus masing-masing dan menjelaskan patognomonisnya.
e. Setelah menemui titik tengah maka asisten akan memberikan diagnosa
sebenarnya dan menjelaskan tentang diagnosa tersebut.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Kasus 1
Sore tadi, ibu Hj. Mulyati warga desa Ukke’e kabupaten Soppeng telah
mengeluhkan sapi betina ras Bali miliknya kepada petugas puskeswan terdekat.
Setelah petugas datang terlihat keadaan sekitar kendang yang kurang terawatt disertai
saluran pembuangan yang penuh. Menurut anamnesa, ibu Hj. Mulyati mengeluhkan
bahwa sapi yang diperkirakan bunting itu semenjak dua hari yang lalu malas bergerak
dan tempat pakan yang diberikan masih penuh. Ketika drh. Septian melakukan
palpasi perrektal, serviks terbuka dan uterus yang diraba keras dan menonjol. Hasil
perabaan ovarium halus namun masih teraba bekas pertumbuhan CL.
Pertanyaan :
1. Apa diagnose kasus diatas? (terangkan gejala patognomonisnya?
2. Menurut Analisa anda, apa penyebab kesus tersebut bisa terjadi?
3. Terangkan penanganan yang tepat untuk kasus diatas?
4. Tindakan apa saja yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kasus
diatas?
4.1.2 Kasus 2
Dinas peternakan dan kesehatan hewan Kabupaten Bone telah melaksanakan
program GBIB serentak di seluruh kecamatan sekitar 8 bulan yang lalu. Kemudian
salah satu sapi Peranakan Bali milik Hj. Uppa tiba-tiba memperlihatkan gejala yakni
tidk nafsu makan tapi mengalami peningkatan berat badan yang pesat dan

13 | P a g e
pembesaran abdomen yang berlebihan serta sapi mengalami dyspnoe. Pada hasil
pemeriksaan palpasi perektal drh. Itta dan drh. Riswan menyatakan sapi telah bunting
tua meskipun fetus tidak dapat teraba.
Pertanyaan :
1. Apa diagnose kasus diatas? (terangkan gejala patognomonisnya)
2. Terangkan penanganan yang tepat untuk kasus diatas?
4.1.3 Kasus 3
Peternakan sapi Maju Jaya milik juragan H. Ali Haqqi merupakan peternakan
terbesar yang memiliki kendang kolektif. Salah satu betina dikandang tersebut sejak
10 bulan yang lalu memperlihatkan tanda-tanda layaknya sapi bunting seperti
pembesaran abdomen tetapi sapi tidak memperlihatkan tanda-tanda pembesaran
kelenjar mammae. Hasil palpasi rektal menunjukkan uterus membesar dan mengeras
pada salah satu sisi serta tidak ada desiran arteri uterine mediana dan ketika ovarium
diraba terdapat penonjolan folikel.
Pertanyaan :
3 Apa diagnose kasus diatas? (terangkan gejala patognomonisnya)
4 Terangkan penanganan yang tepat untuk kasus diatas?

4.1.4 Kasus 4
Mahasiswa program studi kedokteran hewan universitas hasanuddin angkatan
2015 telah melakukan praktikum PKB di UPTD Inseminasi Buatan Pucak Maros,
hasil PKB yang dilakukan oleh 7 orang mahasiswa pada sapi bali dinyatakan bahwa
sapi tersebut tidak bunting. Tetapi 3 minggu kemudian penjaga kendang melaporkan
adanya pembesaran kedua sisi abdomen pada sapi yang telah di PKB sehingga
mereka duga sapi tersebut bunting. Setelah itu dilakukan pemeriksaan oleh drh. Isnan
dan drh. Alfiah, dari hasil palpasi abdomen drh. Isnan, terlihat sapi memberontak
seakan-akan tidak ingin disentuh sedangkan pada saat drh. Alfiah ingin melakukan
palpasi perrektal tercium bau tidak sedap dari saluran reproduksi sapid an ketika
ovarium diraba tidak terdapat pertumbuhan CL.
Pertanyaan :
1. Apa diagnose kasus diatas? (terangkan gejala patognomonisnya?
2. Menurut analisa anda, apa penyebab kasus tersebut bisa terjadi?
3. Terangkan penanganan yang tepat untuk kasus diatas?
4. Tindakan apa yang dapat dilakukan untuk encegah terjadinya kasus diatas?
4.2 Pembahasan
4.2.1 Kasus 1

14 | P a g e
Diagnosa dari kasus 1 adalah maserasi fetus dimana gejala patognomonis dari
fetus itu sendiri adalah vulva yang mengeluarkan leleran yang berbau busuk, serviks
terbuka, uterus yang diraba keras dan menonjol serta masih terasa bekas pertumbuhan
CL setelah ovarium diraba. Uterus yang diraba keras dan menonjol dikarenakan
masih terdapat sisa-sisa tulang dari fetus itu sendiri yang merupakan hasil dari
maserasi. Selain itu, diagnosa diperkuat dengan keadaan sekitar kandang yang kurang
terawatt disertai saluran pembuangan yang penuh. Kandang yang kurang terawat
memicu adanya mikroorganisme atau mikroba pathogen yang merupakan salah satu
penyebab dari maserasi fetus. Hasil anamnesa dari peternak pun menyatakan bahwa
sapi yang diperkirakan bunting itu semenjak dua hari yang lalu malas bergerak dan
tempat pakan yang diberikan masih penuh. Maserasi fetus dapat terjadi jika fetus
yang mati disertai dengan dipertahankannya corpus luteum, dan diikuti lagi dengan
terbukanya pintu serviks yang menjadi pusat masuknya bakteri autolitik dan bakteri
lainnya ke dalam uterus. Penyebab dari maserasi fetus itu sendiri salah satunya
adalah mikroorganisme yang berada pada uterus yang dapat menyebabkan infeksi.
Penanganan yang tepat untuk kasus maserasi fetus adalah melakukan irigasi atau
flushing dan penyuntikan hormon prostaglandin untuk melisiskan corpus luteum.
Sedangkan tindakan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya maserasi fetus
yaitu melakukan perbaikan terhadap manajemen pakan dan perkandangan sehingga
tidak memicu munculnya mikroorganisme.
4.2.2 Kasus 2
Diagnosa dari kasus 2 adalah hydroallantois dimana gejala patognomonis dari
hydroallantois itu sendiri adalah tidak nafsu makan, mengalami peningkatan berat
badan yang pesat, pembesaran abdomen yang berlebihan serta sapi mengalami
dyspnoe. Hasil pemeriksaan palpasi perektal menyatakan sapi telah bunting tua
meskipun fetus tidak dapat teraba. Pembesaran abdomen terjadi karena adanya
akumulasi cairan pada allantois fetus sehingga mengakibatkan abdomen dari
induknya membesar. Dyspnoe terjadi karena adanya penekanan pada rongga thorax
akibat pembesaran abdomen sehingga membuat induk menjadi sesak nafas. Selain
itu, diagnosa diperkuat dengan dengan hasil pemeriksaan palpasi perektal yang
menyatakan bahwa sapi telah bunting tua dikarenakan pada dasarnya hydroallantois
memang menyerang sapi-sapi yang usia kebuntingannya sekitar 8-9 bulan atau pada
trimester terakhir. Penanganan yang tepat untuk kasus ini adalah dengan melakukan
aspirasi, penyuntikan hormon prostaglandin untuk melisiskan corpus luteum dan
pemberian obat corticosteroid.
4.2.3 Kasus 3
Diagnosa dari kasus 3 adalah mummifikasi fetus dimana gejala patognomonis
dari mummifikasi fetus itu sendiri adalah adanya pembesaran abdomen, tidak adanya
pembesaran pada kelenjar mammae, uterus yang membesar dan mengeras pada salah
satu sisi, tidak ada desiran arteri uterine mediana dan ketika ovarium diraba terdapat
penonjolan folikel yaitu CL. Diagnosa diperkuat dengan pernyataan bahwa sejak 10
bulan yang lalu sapi memperlihatkan tanda-tanda layaknya bunting berarti sapi
tersebut telah melewati usia kebuntingannya yaitu sekitar 9 bulan, ini ditandai dengan

15 | P a g e
adanya kematian fetus didalam uterus. Mummifikasi fetus menjadi diagnosa yang
tepat dikarenakan tanda-tanda klinis yang terlihat yaitu uterus yang membesar dan
mengeras. Pengerasan itu terjadi karena fetus didalam uterus telah mengering karena
adanya penyerapan cairan fetus oleh dinding uterus setelah terjadi proses autolisis
sehingga tubuh fetus menjadi kering dan keras. Selain itu, tidak adanya desiran arteri
uterine mediana dikarenakan fetus telah mati jadi sudah tidak ada vaskularisasi darah
serta tidak terlihatnya pembesaran pada kelenjar mammae karena fetus sudah mati
dimana perkembangan dan pertumbuhan kelenjar mammae terjadi setelah kelahiran.
Fetus masih berada didalam uterus walaupun telah mati dikarenakan masih adanya
corpus luteum jikalau saja CL tersebut telah luruh atau lisis maka kebuntingan sudah
tidak ada lagi. Oleh karena itu, penanganan yang tepat untuk kasus ini adalah
penyuntikan prostaglandin untuk melisiskan CL agar fetus yang telah mati didalam
uterus dapat dikeluarkan. Selain dari penyuntikan hormon, cara terakhir yang dapat
dilakukan yaitu caesar section jika sudah tidak ada pilihan lagi.
4.2.4 Kasus 4
Diagnosa dari kasus 4 adalah pyometra dimana gejala patognomonis dari
pyometra itu sendiri adalah adanya pembesaran pada abdomen, hasil dari palpasi
abdomen ternak (sapi) memberontak seakan-akan tidak ingin disentuh, dan terdapat
leleran yang keluar dari vagina yang memiliki bau tidak sedap, dan juga tidak
terdapat pertumbuhan corpus luteum pada ovarium. Diagnosa diperkuat dengan
pernyataan awal yang mengatakan terdapat 7 mahasiswa yang melakukan PKB pada
sapi tersebut di UPTD Inseminasi buatan Pucak Maros, yang dapat diasumsikan
mahasiswa tersebut belum ahli dalam melakukan PKB sehingga dapat terjadi luka
dan masuknya agen penyakit kedalam rektum yang dapat menyerang uterus sehingga
terjadi infeksi oleh agen penyakit tersebut, dan tidak adanya penanganan lebih lanjut
sehingga terjadi infeksi berkepanjangan yang menyebabkan penimbunan pus (nanah).
Pembesaran kedua sisi abdomen yang diakibatkan oleh penumpukan cairan (nanah)
pada uterus, baik itu pada cornua uteri dan corpus uteri, yang mengakibatkan
pembesaran. Pada saat ingin dilakukan palpasi rektal hewan ternak seolah-oleh tidak
ingin disentuh, hal ini disebabkan rasa sakit yang dirasakan pada uterus yang
mengalami pembesaran dan infeksi hingga ketika hendak ingin dilakukan palpasi
rektal hewan seakan-akan tidak ingin disentuh. Keluarnya cairan yang berbau busuk
pada vulva ini merupakan cairan yang dikeluarkan dari rongga uterus yang dipenuhi
oleh nanah akibat infeksi sekunder dari bakteri sehingga menghasilkan bau yang tidak
sedap, kemudian mengalir hingga vulva. Ketika dipalpasi rektal tidak dirasakan
pertumbuhan corpus luteum ini karena tidak terjadi kebuntingan sehingga CL pada
ovarium tidak dirasakan. Pyometra terjadi akibat adanya luka pada uterus atau
lapisan dinding uterus yang berlangsung lama dan juga akibat adanya infeksi
sekunder dari agen panyakit yang menyebabkan infeksi, bakteri atau agen penyakit
masuk kedalam organ reproduksi kemungkinan pada saat setelah partus, atau pada
saat kopulasi, karena hanya pada saat itu sajalah serviks mengalami pembukaan. Yang
dapat dilakukan pada penanganan pyometra dapat dilakukan induksi PGF2α dan PGE
sebagai luteolisis jika terdapat CL pada ovarium dan juga dapat merelaksasikan

16 | P a g e
serviks sehingga purulent yang terdapat pada uterus dapat keluar. Oxytocin juga dapat
diinduksi untuk merelaksasikan serviks, lalu pemberian antibiotik untuk penanganan
lesi yang mengalami infeksi dari agen penyakit, dapat dilakukan aspirasi, dan sectio
caesarian. Pencegahan yang dapat dilakukan dengan memperbaiki manajemen
kandang, pakan, dan, manajemen reproduksi serta dalam memilih pejantan.
Kebersihan dalam melakukan PKB atau IB.

BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
5.1.1 Distokia yaitu kesulitan dalam partus (melahirkan) sedangkan eutokia yaitu
persalinanan secara normal.
5.1.2 Penyebab dari distokia ada secara herediter dan secara langsung. Secara
herediter contohnya karena adanya traumatic ataupun nutrisional dan
manajemennya sedangkan secara langsung yaitu adanya penyakit-penyakt
infeksius seperti Brucellosis.
5.1.3 Teknik pendahuluan penanganan distokia dimulai dari anamnesa,
pemeriksaan klinis, pemeriksaan khusus, persiapan alat-alat dan obat-obatan.
5.1.4 Teknik penanganan distokia dapat dilakukan secara konservatif, manipulatif,
obat-obatan, surgery yaitu fetotomy atau Caesar section dan euthanasia

17 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA

Abdela, Nejash dan Wahid M. Ahmed. 2016. Risk Factors and Economic Impact of
Dystocia in Dairy Cows: A Systematic Review. Journal of Reproduction and
Infertility 7 (2): 63-74.
Abdullah, Faez Firdaus Jesse., Eric Lim Teik Chung, Muhammad Abubakar Sadiq,
Yusuf Abba, Abdul Nasir Tijjani, Konto Mohammed, Abdinasir Yusuf
Osman, dan Mohd Azmi Mohd Laila. 2015. Management of fetal dystocia
caused by carpal flexion in ewe: A case report. J. Adv. Vet. Anim. Res., 2(2):
225-228.
Abera, Dessie. 2017. Management of Dystocia Cases in the Cattle: A Review.
Journal of Reproduction and Infertility 8 (1): 01-09, 2017.
Affandhy, Lukman., Wulan Cahya Pratiwi, dan Dian Ratnawaiti. 2007. Petunjuk
Teknis Penanganan Gangguan Reproduksi pada Sapi Potong. Loka
Penelitian Sapi Potong: Grati Pasuruan.

18 | P a g e
Datrianto, Dwi Sunu. 2015. Prevalensi Dan Faktor Penyebab Kejadian Distokia Pada
Sapi Perah Di Kelompok Ternak Warga Mulya Dan Kelompok Ternak Upp
Kaliurang Kabupaten Sleman Yogyakarta. [Skripsi]. Fakultas Kedokteran
Hewan Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta.
Hickson, RE., ST Morris, PR Kenyon, dan N Lopes-Villalobos. 2006. Dystocia in
Beef Heifers: A Review of Genetic and Nutritional Influences. New Zealand
Veterinary Journal 54(6): 256-264.
Jackson, Peter G.G. 2004. Handbook of Veterinary Obstetrics 2nd Edition. Elsevier
Saunders: USA
Kumar, Pramod., GN Purohit, dan JS Mehta. 2013. Surgical Management Of A
Macerated Bovine Fetus. Ruminant Science. Vol 2, No 1, p 107-108.
Matli, Norafizah Binti. 2014. Gangguan Reproduksi Pada Sapi Perah dan Upaya
Penanggulangannya. Departemen Reprosuksi Patologi Fakultas Kedokteran
Hewan IPB : Bogor.
Mekonnen, Mollalign dan Nibert Moges. 2016. A Review on Dystocia in Cows.
European Journal of Biological Sciences 8(3):91-100.
Moges, Nibret. 2016. Etiology, Incidence and Economic Significance of Dystocia and
Recommendations for Preventive Measure and Treatment to Reduce the
Incidence of Dystocia: Review. Journal of Reproduction and Infertility 7 (1):
24-33, 2016.
Mueller, Karin. 2015. Bovine Medicine. Wiley Online Library: USA.
Purohit, Govind Narayan., Yogesh Barolia, Chandra Shekhar dan Pramod Kumar.
2011. Maternal Dystocia in Cows and Buffaloes: a review. Journal of
Animal Sciences. Vol.1, No.2, Hal: 41-53
Rangasamy, S., R.C. Rajasundaram, T. Sathiamoorth, dan T. Sarath. 2013.
Management OfHydroallantois In A Non Descriptive Cow. Indian Journal
Of Animal Reproduction 34 (2).
Santosa, Budi. 2014. Penanggulangan Penyakit Gangguan Reproduksi Pada sapi
Potong. Balai Veteriner Bukittinggi: Sumatera Barat
Sasadara, Maria Maliga Vernandes. 2014. Studi Kasus Distokia pada Anjing
Kintamani Bali. [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Hewanuniversitas Udayana
Denpasar.
Slovis, Nathan M., Kristina G. Lu, Karen E. Wolfsdorf, dan Walter W. Zent. 2013.
How to Manage Hydrops Allantois/Hydrops Amnion in a Mare. Aaep
Proceedings. Vol 59, Hal: 34-39
Suharyati, Sri dan Mdi Hartono. 2016. Pengaruh Manajemen Peternakan Terhadap
Efesiensi Reproduyksi Sapi Bali di Kabupaten Enrekang Pringsewu Provinsi
Lampung. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan 16(1): 61-67
Yilmaz, O., H.A. Celik E, Yazici, dan M. Ucar. 2011. Twin Mummified Foetuses in a
Holstein Friesian Cow: a case report. Veterinaria Medicina. 56, (11): 573–
576

19 | P a g e
20 | P a g e

You might also like