Professional Documents
Culture Documents
Referat Pertussis
Referat Pertussis
Referat Pertussis
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1
II.1 Definisi Pertusis
Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif. Syndenham
yang pertama kali menggunakan istilah pertusis pada tahun 1670. Disebut juga
whooping cough karena penyakit ini ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari
batuk yang bersifat spasmodik dan paroksismal disertai nada yang meninggi,
karena pasien berupaya keras untuk menarik napas sehingga pada akhir batuk
sering disertai bunyi yang khas. Nama pertusis lebih disukai daripada whooping
cough karena tidak semua pasien pertusis disertai bunyi yang khas. Pertusis
merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Bordetella pertussis.
(1,3,4)
2
Bordetella pertussis termasuk kokobasilus, gram negatif, kecil, ovoid,
ukuran panjang 0,5 µm sampai 1 µm dan dimeter 0,2 µm sampai 0,3 µm, tidak
bergerak, tidak berspora, tumbuh pada suhu kamar, aerob obligat, segera mati di
luar saluran nafas. Dengan pewarnaan toluidin biru, dapat terlihat granula bipoler
metakromatikdan mempunyai kapsul. Untuk melakukan biakan B.pertusis,
diperlukan suatu media pembenihan yang disebut bordet gengou (potato-blood-
glycerol agar) yang ditambah Penisilin G 0,5 µg/ml untuk menghambat
pertumbuhan organisme lain.(1,5)
Gambar 2.
Pewarnaan Gram Bordetella pertussis
Organisme yang didapatkan umumnya tipe virulen (disebut fase 1). Pasase
dalam biakan dapat merangsang pembentukan varian yang avirulen (fase 2, 3 atau
4). Strain 1 berperan untuk penularan penyakit dan menghasilkan vaksin yang
efektif. Bordetella pertusis dapat mati dengan pemanasan pada suhu 50ºC selama
setengah jam, tetapi bertahan pada suhu rendah (0º – 10ºC).(4-6)
Spesies Bordetella memiliki tingkat homologi DNA (Deoxynucleic acid)
yang tinggi pada gen virulen. Hanya B.pertussis yang mengeluarkan toksin
pertusis (TP), protein virulen utama. Penggolongan serologis tergantung pada
aglutinogen K labil panas. Dari 14 aglutinogen, 6 spesifik untuk B.pertussis.(3-5)
B.pertussis mengahasilkan beberapa bahan aktif secara biologis yang
berperan dalam penyakit dan imunitas. Sitotoksin trakea, adenilat siklase, dan TP
(toksin pertusis) tampak menghambat pembersihan organisme. Sitotoksin trakea,
faktor dermonekrotik, dan adenilat siklase menyebabkan cedera epitel lokal yang
menghasilkan gejala-gejala pernapasan dan mempermudah penyerapan TP. Toksin
3
pertusis terbukti mempunyai banyak aktivitas biologis, misalnya sensitivitas
histamin, sekresi insulin, disfungsi leukosit. Toksin pertusis menyebabkan
limfositosis segera pada hewan coba. Toksin pertusis tampak memainkan peran
sentral tetapi bukan peran tunggal dalam patogenesis.
Batuk paroksismal yang mirip pertusis, namun lebih ringan, dari Pertusis
disebabkan B. parapertussis, Chlamydia trachomatis, enterovirus, virus sinsitial
respiratori, dan beberapa jenis Adenovirus. (4,5)
II.4 Epidemiologi
Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat
menimbulkan attack rate 80% sampai 100% pada penduduk yang rentan. Sampai
saat ini manusia merupakan satu-satunya host. Pertusis dapat ditularkan melalui
udara secara kontak langsung yang berasal dari droplet penderita selama batuk.
Epidemi penyakit ini pernah terjadi di beberapa Negara, seperti amerika
serikat selama tahun 1977 – 1980 terdapat 102.500 penderita pertusis. Di Jepang
tahun 1947 terdapat 152.600 penderita dengan kematian 17.00 orang. (8) Pada
tahun 1983 di Indonesia di perkirakan 819.500 penderita dengan kematian 23.100
4
orang.(1) Di Amerika Serikat antara tahun 1932 sampai tahun 1989 telah terjadi
1.188 kali puncak epidemi pertusis.(8,9) Data yang diambil dari profil kesehatan
jawa barat 193, jumlah pertusis tahun 1990 adalah 4.970 kasus dengan CFR (case
fatality rate) 0,20%, menurun menjadi 2.752 kasus pada tahun 1991 dengan CFR
0%, kemudian turun lagi menjadi 1.379 kasus dengan CFR 0% pada tahun 1992.
(1,9)
Penyebaran penyakit ini terdapat di seluruh udara, dapat menyerang semua
golongan umur, yang terbanyak adalah anak umur di bawah 1 tahun.(1-9) Makin
muda usianya makin berbahaya penyakitnya, lebih sering menyerang anak
perempuan daripada laki-laki. Di Amerika Serikat + 35% penyakit terjadi pada
usia kurang dari 6 bulan, termasuk bayi yang berumur 3 bulan. (9) Sekitar 45%
penyakit terjadi pada usia kurang dari 1 tahun dan 66% pada usia kurang dari 5
tahun. (10) Kematian dan jumlah kasus yang dirawat tertinggi terjadi pada usia 6
bulan pertama kehidupan.
Antibodi dari ibu (transplansenta) selama kehamilan tidak cukup untuk
mencegah pertusis pada bayi baru lahir. Pertusis yang berat pada neonatus dapat
ditularkan dari ibu dengan gejala pertusis ringan. Kematian sangat menurun
setelah diketahui bahwa dengan pengobatan Eritromisin dapat menurunkan
tingkat penularan pertusis, karena biakan nasofaring akan negatif setelah 5 hari
pengobatan.(1)
5
Diagram 2. Jumlah Kasus Pertusis di Amerika Tahun 1922-2000.(9)
II.5 Patogenesis
Masa inkubasi 6 sampai 20 hari (rata-rata 7 sampai 10 hari). Pertusis paling
mudah menular pada stadium kataral, bisa menular selama 3 minggu, atau
sebelum 5 hari pengobatan dengan Eritromisin.(1-3)
Penularan terutama melalui saluran pernapasan dimana Bordetella
pertussis akan terikat pada silia epitel saluran pernapasan, kemudian kuman ini
akan mengalami multiplikasi disertai pengeluaran toksin, sehingga menyebabkan
inflamasi dan nekrose trakea dan bronkus. Mukosa akan mengalami kongesti dan
infiltrasi limfosit dan polimorfonukleus lekosit. Di samping itu terjadi hiperplasi
dari jaringan limfoid peribronkial diikuti oleh proses nekrose yang terjadi pada
lapisan basal dan pertengahan epitel bronkus. Lesi ini merupakan tanda khas pada
pertusis. Pada pemeriksaan postmortem dapat dijumpai infiltrasi peribronkial dan
pneumonia interstitial.(2)
Mekanisme patogenesis infeksi terjadi melalui 4 tingkatan yaitu
perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal,
dan akhirnya timbul penyakit sistemik.(2)
Filamentous hemaglutinin (FHA), lymphositosis promoting factor (LPF)/
pertusis toxin (PT) dan protein 69 Kd berperan dalam perlekatan B.pertussis pada
silia. Setelah terjadi perlekatan, B.pertsusis kemudian bermultiplikasi dan
6
menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran pernapasan. Proses ini tidak
invasif, oleh karena itu pada pertusis tidak terjadi bakterimia. Selama
pertumbuhan B.pertussis akan dihasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit
yang dikenal dengan whooping cough. Toksin terpenting yang dapat menyebabkan
penyakit adalah pertussis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 subunit, yaitu A dan
B. Toksin subunit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target, kemudian
menghasilkan sel unit A yang aktif pada daerah aktivasi membran sel. Efek LPF
menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke daerah infeksi.(1-4)
Toxin mediated adenosine diphosphate mempunyai efek mengatur sintesis
protein di dalam membran sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi
fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati),
meningkatkan pengeluaran histamin dan serotonin, efek memblokir beta
adrenergik dan meningkatkan aktivitas insulin, sehingga akan menurunkan
konsentrasi gula darah.(1,3)
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hiperplasia jaringan
limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah mukus pada permukaan silia, maka
fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder
(tersering oleh Streptococcus pneumoniae, H.influenzae, dan Staphylococcus
aureus). Penumpukan mukus akan menimbulkan plug yang dapat menyebabkan
obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan
pertukaran oksigen saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah
akibat pengaruh langsung toksin atau sekunder sebagai akibat anoksia. Terjadi
perubahan fungsi sel yang reversibel, pemulihan tampak bila sel mengalami
regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik
terhadap proses penyakit.(3,5)
Dermonecrotic toxin adalah heat labile cytoplasmic toxin menyebabkan
kontraksi otot polos pembuluh darah dinding trakea sehingga menyebabkan
iskemia dan nekrosis trakea. Sitotoksin bersifat menghambat sintesis DNA,
menyebabkan siliostasis, dan diakhiri dengan kematian sel. Pertussis
lipopolysaccharide (endotoksin) tidak terlalu penting dalam hal patogenesis
7
penyakit ini. Kadang-kadang B.pertussis hanya menyebabkan infeksi yang ringan
karena tidak menghasilkan toksin pertusis.(1)
Pada anak yang lebih besar, manifestasi klinis tersebut lebih ringan dan
lama sakit lebih pendek, kejang jarang pada anak kurang dari 2 tahun. Suhu jarang
lebih dari 38,4oC pada semua golongan umur. Penyakit yang disebabkan
B.parapertussis atau B.bronkiseptika lebih ringan daripada B.pertussis dan juga
lama sakit lebih pendek. Ketiga stadium pertusis diuraikan di bawah ini.(1,2)
8
Gambar 3. Manifestasi klinis pertussis
II.6.a. Stadium Kataral (1-2 minggu)
Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran napas bagian atas yaitu timbulnya
rinore ringan (pilek) dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva,
lakrimasi, batuk ringan dan panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya
diagnosis pertusis belum dapat ditetapkan karena sukar dibedakan dengan
common cold.
Selama stadium ini sejumlah besar organisme tersebar dalam inti droplet
dan anak sangat infeksius, pada tahap ini kuman paling mudah diisolasi. (1,2)
Selama masa ini penyakit sering tidak dapat dibedakan dengan common cold.
Batuk yang timbul mula – mula malam hari, kemudian pada siang hari dan
menjadi semakin hebat. Sekret pun banyak dan menjadi kental dan melengket.
9
Pada bayi lendir dapat viskuos mukoid, sehingga dapat menyebabkan obstruksi
jalan napas, bayi terlihat sakit berat dan iritabel.
10
Gambar 4. Batuk paroksismal pada pertusis
Walaupun batuknya khas, tetapi di luar serangan batuk, anak akan keliatan
seperti biasa. Setelah 1 – 2 minggu serangan batuk makin meningkat hebat dan
frekuen, kemudian menetap dan biasanya berlangsung 1 – 3 minggu dan
berangsur –angsur menurun sampai whoop dan muntah menghilang.(2,4,6)
II.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang.
II.7.a Anamnesis
Pada anamnesis penting ditanyakan adanya riwayat kontak dengan pasien
pertusis, adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi whoop yang jelas.
Perlu pula ditanyakan mengenai riwayat imunisasi.
11
II.7.b Pemeriksaan Fisik
Gejala klinis yang didapat dari pemeriksaan fisik tergantung dari stadium saat
pasien diperiksa.
II.7.c Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000 sampai 50.000/ IU
dengan limfositosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium
paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis karena
respon limfositosis juga terjadi pada infeksi lain.(2,11,12)
12
Pemeriksaa lain yaitu foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler,
atelektasis, atau emfisema.(1,4)
II.9 Komplikasi
Komplikasi pertusis utama adalah apnea, infeksi sekunder (otitis media dan
pneumonia), dan sekuele fisik batuk kuat. Kebutuhan untuk perawatan intensif
dan ventilasi artifisial biasanya terbatas pada bayi kurang dari 36 bulan. Apnea,
sianosis, dan pneumonia bakteri sekunder mempercepat kebutuhan intubasi dan
ventilasi.(4,6) Pneumonia merupakan penyulit yang paling sering dijumpai,
menyebabkan 90% kematian pada anak kurang dari 3 tahun. Pneumonia dapat
diakibatkan oleh B.pertussis, tetapi lebih sering diakibatkan oleh infeksi sekunder
(H.influenzae, S.pneumoniae, S.aureus, S.pyogenes). Tuberkulosis laten dapat juga
13
menjadi aktif. Atelektasis terjadi sekunder terhadap sumbatan mukus yang kental.
Aspirasi mukus atau muntah dapat menyebabkan pneumonia. Panas tinggi
merupakan tanda infeksi sekunder oleh bakteri.(1)
Kenaikan tekanan intratoraks dan intraabdomen selama batuk dapat
menyebabkan perdarahan konjungtiva dan sklera, ptekie pada bagian tubuh atas,
epistaksis, perdarahan pada sistem saraf sentral dan retina, pneumotoraks dan
emfisema subkutan, dan hernia umbilikaslis serta inguinalis. Luka robek frenulum
lidah tidak jarang.(4-6)
14
tua pada riwayat alamiah penyakit dan pada perawatan yang akan diberikan di
rumah. Untuk kebanyakan bayi yang tanpa komplikasi, keadaan ini
disempurnakan dalam 48-72 jam.(2,4)
Frekuensi jantung, frekuensi pernafasan, dan oksimetri nadi dimonitor
terus, pada keadaan yang membahayakan, sehingga setiap paroksismal disaksikan
oleh personel perawat kesehatan. Rekaman batuk yang rinci dan pencatatan
pemberian makan, muntah, dan perubahan berat memberikan data untuk penilaian
keparahan. Paroksismal khas yang tidak membahayakan mempunyai tanda
sebagai berikut lamanya kurang dari 45 detik, perubahan warna merah tetapi tidak
biru, bradikardi, atau desaturasi oksigen yang secara spontan selesai pada akhir
paroksismal, berteriak atau kekuatan untuk menyelamatkan diri pada akhir
paroksismal, mengeluarkan sumbatan lendir sendiri, kelelahan pasca batuk tetapi
bukan tidak berespon.(4)
Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya menghindarkan
faktor-faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi,
oksigen dapat diberikan pada distres pernapasan akut/kronik, dan penghisapan
lendir terutama pada bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan. Beberapa
agen terapeutik atau medikamentonsa yang digunakan pada pasien pertussis
adalah sebagai berikut:
1. Agen Antimikroba
15
Claritomisin, Ampisillin, Rifampin, Trimethoprim-Sulfametoksasol cukup
aktif tetapi sefalosporin generasi pertama dan ke-2 tidak. Pada penelitian
klinis, eritromicin lebih unggul daripada amoksisilin untuk pelenyapan B.
pertussis dan merupakan satu-satunya agen dengan kemanjuran yang
terbukti.(1,2,4,6)
2. Kortikosteroid dan Salbutamol
Dapat mengurangi batuk paroksismal walaupun belum terbukti
dalam penelitian kontrol.
Tidak ada trial klinis buta acak cukup besar yang telah dilakukan
untuk mengevaluasi penggunaan kortikosteroid dalam manajemen
pertussis. Penelitian pada binatang menunjukkan pengaruh yang
bermanfaat pada manifestasi penyakit yang tidak mempunyai kesimpulan
pada infeksi pernafasan pada manusia. Pengguanaan klinisnya tidak
dibenarkan.(1,2,4)
II.11 Pencegahan
Cara terbaik untuk mengontrol penyakit ini adalah dengan imunisasi. Banyak
laporan mengemukakan bahwa terdapat penurunan angka kejadian pertusis
dengan adanya program imunisasi. Pada tahun 1926 sampai tahun 1930 (era
sebelum imunisasi) di Amerika Serikat dan Inggris terdapat sebanyak 36.013
kematian yang disebabkan pertusis dan setelah era imunisasi berjalan terdapat 26
kematian yang disebabkan pertusis (tahun 1986 sampai tahun 1988). Melalui PPI
(Program Pengembangan Imunisasi), Indonesia telah melaksanakan imunisasi
pertusis dengan vaksin DPT (Difteri Pertusis Tetanus). Pencegahan dapat
dilakukan melalui imunisasi pasif dan aktif.(1)
16
Dalam imunisasi pasif dapat diberikan human hyperimmune globulin. Namun
berdasarkan beberapa penelitian di klinik terbukti tidak efektif sehingga akhir-
akhir ini human hyperimmune globulin tidak lagi diberikan untuk pencegahan.(1)
17
Eritromisin efektif untuk pencegahan pertusis pada bayi baru lahir dari ibu
dengan pertusis. Kontak erat pada anak usia kurang dari 7 tahun yang sebelumnya
telah diberikan imunisasi hendaknya diberi booster dan Eritromisin, 40-50
mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi dua sampai empat (maksimum 2
g/24 jam) selama 14 hari merupakan pengobatan baku. Booster tidak perlu
diberikan bila telah diberi imunisasi dalam 6 bulan terakhir. Kontak erat pada usia
lebih dari 7 tahun juga perlu diberikan eritromisin sebagai profilaksis.(1)
Pengobatan eritromisin awal berguna untuk mengurangi penyebaran
infeksi dan mengurangi gejala penyakit. Seseorang yang kontak dengan pasien
pertusis tetapi belum pernah diimunisasi hendaknya diberi eritromisin selama
14 hari setelah kontak diputuskan. Jika kontak tidak dapat diputuskan hendaknya
eritromisin diberikan sampai pasien berhenti batuk atau setelah pasien mendapat
eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertusis monovalen dan eritromisin diberikan
waktu terjadi epidemi.(1)
(1) Vaksin Seluruh Sel
Vaksin yang sekarang digunakan untuk seri imunisasi primer di AS (Amerika
Serikat) dan dianjurkan oleh WHO untuk penggunaan seluruh bagian terbesar
dunia adalah vaksin seluruh sel mati yang membentuk suspensi B.pertusis yang
diinaktifkan, digabung dengan toksoid difteri dan tetanus (DT) dan tambahan
berisi aluminium (vaksin DPT). Kekuatan vaksin pertusis di-assay dalam tikus
dengan uji proteksi-tantangn intraserebral, suatu standard yang terbukti
berkorelasi dengan kemajuan protektif vaksin pada manusia. Kekuatan vaksin
diwujudkan pada unit kekeruhan (juga standard keamanan) atau unit protektif
preparat AS berisi 4 sampai 12 unit protektif dan tidak lebih dari 16 unit
kekeruhan per 0,5 ml dosis. Kemanjuran vaksin sel utuh bervariasi menurut
definisi kasus dari 64% untuk batuk ringan, sampai 81% untuk batuk paroksismal,
dan sampai 95% untuk penyakit klinis berat. Komposisi preparat yang digunakan,
tingkat kecocokan antara tipe-tipe aglutinogen dalam vaksin dan strain tantangan,
tipe pajanan, waktu sesudah imunisasi dan kebutuhan untuk konfirmasi biakan
kasus semua berdampak pada perkiraan kemajuan vaksin. Individu lebih dari
7 tahun tidak secara rutin diberi vaksin berisi pertusis. Bila digunakan pada orang
18
dewasa untuk mengendalikan ledakan serangan rumah sakit, vaksin seluruh sel
ternyata kurang reaktogenik daripada yang dilaporkan pada anak.(4,12)
Keterbatasan utama penggunaan vaksin seluruh sel adalah reaktogenisitas
terkaitnya, yang dilaporkan 1 dekade yang lalu terjadi pada 75% vaksin.
Dibanding dengan vaksin DT, DTP mempunyai reaksi lokal yang lebih bermakna
seperti nyeri, pembengkakan, eritema, dan reaksi sitemik seperti demam, rewel,
menangis, mengantuk, dan muntah. Manivestasi ini terjadi dalam beberapa jam
setelah imunisasi dan berkurang secara spontan tanpa sekuele. Penelitian baru-
baru ini melaporkan frekuensi reaksi lokal da sistemik yang lazim menurun,
memberi kesan bahwa modifikasi vaksin seluruh sel telah terjadi. Anafilaksis
berat atau abses steril sangat jarang paska vaksin DTP. Urtikaria sementara jarang,
mungkin terkait dengan kompleks antigen-anti bodi dalam sirkulasi, dan jika
reaksi tidak terjadi dalam beberapa menit imunisasi adalah tidak mungkin menjadi
reaksi serius yang diperantarai IgE (Immunoglobulin E), atau kumat pada
imunisasi berikutnya.(4,6,12)
Kejang-kejang terjadi dalam 48 jam dari sekitar 1:1.750 dosis yang
diberikan, singkat, menyeluruh dan sembuh sendiri, terjadi pada anak demam
pada hampir semua keadaan. Terjadi lebih lazim pada mereka dengan riwayat
pribadi atau keluarga konvulsi dan tidak berakibat epilepsi atau sekuele neurologis
permanen. Menangis terus-menerus yang tidak dapat dihibur atau berteriak selama
3 jam/lebih dilaporkan sesudah diberikan 1% dosis, biasanya pada bayi muda
yang menderita reaksi lokal, tidak aneh pada imunisasi pertusis dan tampak
merupakan manivestasi nyeri pada banyak keadaan. Keadaan kolaps (episode
hipotonik-hipertonik) biasanya tidak terkait dengan demam atau reaksi lokal, telah
diamati sesudah 1:1.750 vaksinasi pertusis, biasanya pada bayi muda. Reaksi ini
tampak terkait secara unik dengan vaksin pertusis dan tidak mempunyai sekuele
neurologis permanen. Sebanyak 60 anak dievaluasi secara teliti segera pasca
kejadian-kejadian yang merugikan akibat vaksin pertusis termasuk kejang-kejang,
menangis terus-menerus yang tidak dapat dihibur, demam sangat tinggi, dan
hipotonik-hiporesponsif. Sebanyak 90% kejang adalah khas kejang demam. Tidak
ada kekacauan metabolik atau toksin pertusis yang dapat diukur ditemukan dalam
19
darah. Bayi umur kurang dari 1 tahun cenderung mempunyai kadar insulin lebih
tinggi daripada yang diharapkan memberi kesan kemungkinan kerentanan terkait
umur individu atau perubahan akibat vaksin dalam pengaturan insulin.(4,6,12)
Amat jarang (dengan dosis 1:140.000) vaksin pertusis dapat dihubungkan
dengan penyakit neurologis akut yang sebelumnya normal. Kejadian berat yang
merugikan seperti kematian, ensefalopati, mulai gangguan kejang, perkembangan
lambat, atau masalah belajar atau perilaku telah terjadi pada individu yang
berkaitan secara temporal dengan imunisasi pertusis atau diduga keras ada
hubungan sebab akibat. Lima penelitian epidemiologi utama telah memeriksa
risiko neurologis akibat imunisasi pertusis. Kematian bayi mendadak (sudden
infant death) dan spasme infantil ditemukan tidak terkait sementara atau tidak
terkait sebab akibat. Analisis dan reanalisis oleh 7 komisi besar tidak
mendapatkan informasi yang cukup untuk mendapatkan hubungan sebab akibat
antara DTP dan gangguan neurologis kronik. Pertimbangan manfaat lawan risiko
vaksin seluruh sel telah berulang-ulang menyimpulkan setuju penggunaannya.(4)
20
ke-5 seri DTP yang dianjurkan. Vaksin ini ditoleransi dengan baik, dan
penggunaannya disertai dengan sedikit reaksi lokal yang lazim dan gejala-gejala
sistemik, demam dan kejang demam.(4)
II.12 Prognosis
Prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis lebih baik.
Pada bayi risiko kematian 0,5-1% disebabkan ensefalopati. Pada observasi jangka
panjang, apnea atau kejang akan menyebabkan gangguan intelektual di kemudian
hari.(1)
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
III.1. Kesimpulan
Pertusis merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri B.pertussis.
Pertusis disebut juga batuk rejan atau whooping cough karena pasien batuk 5
sampai 10x batuk tanpa berhenti dan berupaya keras untuk menarik napas
sehingga pada akhir batuk sering disertai bunyi yang khas (whoop). Pertusis
ditularkan melalui aerosol batuk atau bersin dari penderita pertusis. Tanpa
pengobatan, penderita pertusis dapat menularkan penyakitnya kepada orang lain
mulai awal batuk sampai berminggu-minggu kemudian hingga batuk berhenti,
namun dapat menjadi tidak infeksius setelah 5 hari pengobatan dengan
eritromisin. Masa inkubasi 6 sampai 20 hari (rata-rata 7 sampai 10 hari). Stadium
klinis pertusis terdiri dari stadium katar yang ditandai dengan gejala seperti
21
infeksi saluran pernapasan, stadium paroksismal yang ditandai dengan batuk berat
5 sampai 10x batuk tanpa henti dan diakhiri dengan suara khas (whoop) dan/ atau
muntah, dan stadium konvalesens ditandai dengan batuk berkurang dan tidak
muntah lagi. Penegakan diagnosis berdasarkan klinis dan pemeriksaan penunjang
(limfositosis dan biakan bakteri B.pertussis). Eritromisin 50 mg/kgBB/hari dalam
2 sampai 4 dosis dapat membasmi basil dalam 3 sampai 4 hari, namun tidak
meringankan stadium paroksismal penyakit. Terapi suportif diberikan terutama
untuk menghindari faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi
dan nutrisi, bila perlu beri oksigen dan pengisapan lendir pada bayi. Komplikasi
pertusis terutama pada sistem pernapasan (apnea dan pneumonia) dan saraf pusat
(ensefalopati dan kejang). Prognosisnya lebih baik pada anak usia lebih tua.
Siapa saja dapat terkena pertusis, terutama bayi muda dan anak yang lebih
tua. Infeksi pada bayi lebih serius dan dapat menimbulkan kematian. Imunisasi
yang diberikan pada usia 2, 4, dan 6 bulan efektif untuk mencegah infeksi yang
berat, namun tidak memberikan kekebalan yang permanen. Oleh karena itu, perlu
diberikan booster dan profilaksis eritromisin pada anak usia kurang dari 7 tahun
yang kontak erat dengan penderita pertusis. Efek samping vaksinasi pertusis
adalah demam tinggi, nyeri lokal, dan rewel. Kontraindikasi pemberian vaksin
pertusis yaitu anak yang mengalami ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi,
kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi,
menangis lebih dari 3 jam, high pitch cry dalam 2 hari, kolaps atau hipotensif
hiporesponsif ndalam 2 hari, demam lebih dari 40,5oC selama 2 hari yang tidak
dapat diterangkan penyebabnya. Pemberian vaksin pertusis aseluler memberi efek
samping lebih ringan, namun efek protektifnya lebih rendah dibandingkan
dengan vaksin pertusis sel penuh.
III.2. Saran
Bayi sangat rentan terhadap infeksi pertusis, oleh karena itu dianjurkan pemberian
vaksin DTP pada usia 2, 4, dan 6 bulan sesuai dengan Program Pengembangan
Imunisasi untuk mencegah infeksi yang berat. Vaksin booster dianjurkan pada usia
4 tahun dan 15 tahun karena imunisasi dasar pertusis tidak memberi kekebalan
22
permanen. Selain itu bila ada kontak erat dengan penderita pertusis perlu
diberikan profilaksis eritromisin dan isolirkan penderita, jika tidak mungkin
memutus kontak, maka perlu diberi eritromisin profilaksis hingga batuk berhenti.
DAFTAR PUSTAKA
2. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk : Ilmu Kesehatan Anak Penyakit
Infeksi Tropik. Bandung, Indonesia. FK Unpad, 1993. h: 80-86.
5. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Pertusis. Staf pengajar I.K.Anak
FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia. FKUI, 1997.
Jilid 2. h: 564-566.
23
6. http://textbookofbacteriology.net/pertussis.html
7. www.cdc.gov/nip/publication/pink/pert.
8.Irawan Hindra, Rezeki Sri, Anwar Zarkasih. Buku Ajar Infeksi Dan Pediatrik
Tropis. Edisi 2, Cetakan I. Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI,
Jakarta, 2008. Hal 331 – 337.
9.James D. Cherry. [Serial Online] Updated : 2 mei 2005. PEDIATRICS Vol.
115 No. 5 May 2005, pp. 1422-1427.
http://www.pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/115/5/1422
10.Rampengan T.H , Laurents I.R, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Edisi 1,
Cetakan III. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997. Hal 20 -33.
11.Nelson E Waldo , Behrman E Richard, Kliegman Robert, Arvin M Ann.
Nelson Textbook Of Pediatric. Edisi 15, volume 2, cetakan I. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta, 2000. Hal : 960 – 965
24