Professional Documents
Culture Documents
My Agoraphobia Skuy
My Agoraphobia Skuy
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Agorafobia didefinisikan sebagai ketakutan berada sendirian di tempat-tempat
publik (sebagai contoh, supermarket), khususnya tempat dari mana pintu keluar yang cepat
akan sulit jika orang mengalami serangan panik.3
2.2 Epidemiologi
Agorafobia maupun gangguan panik dapat berkembang pada setiap usia dengan
usia rata-rata timbulnya adalah kira-kira 25 tahun. Prevalensi seumur hidup agorafobia
dilaporkan terentang antara 0,6 persen sampai setinggi 6 persen. Dan pada penelitian yang
dilakukan di lingkungan psikiatrik dilaporkan sebanyak tiga perempat pasien yang terkena
agorafobia juga menderita gangguan panik. Hasil yang berbeda ditemukan pada
lingkungan masyarakat di mana separuh dari pasien yang menderita agorafobia tidak
menderita gangguan panik. Perbedaan hasil penelitian dan rentang prevalensi yang lebar
diperkirakan karena kriteria diagnostik yang bervariasi dan metoda penilaian yang
berbeda.3,4
2.3 Etiologi
Etiologi untuk agorafobia belum diketahui secara pasti, tapi patogenesis fobia
berhubungan dengan faktor-faktor biologis, genetik dan psikososial.1,3,4
Keberhasilan farmakoterapi dalam mengobati fobia sosial dan penelitian lain yang
menunjukkan adanya disfungsi dopaminergik pada fobia sosial mendukung adanya faktor
biologis. Agorafobia diperkirakan dipicu oleh gangguan panik. Data penelitian
menyimpulkan bahwa gangguan panik memiliki komponen genetik yang jelas, juga
menyatakan bahwa gangguan panik dengan agorafobia adalah bentuk parah dari gangguan
panik, dan lebih mungkin diturunkan.1,3,4,5
Dari faktor psikososial, penelitian menyimpulkan bahwa anak-anak tertentu yang ada
predisposisi konstitusional terhadap fobia, memiliki temperamen inhibisi perilaku terhadap
yang tidak dikenal dengan stres lingkungan yang kronis akan mencetuskan timbulnya fobia.
Misalnya perpisahan dengan orang tua, kekerasan dalam rumah tangga dapat mengaktifkan
diatesis laten pada anak-anak yang kemudian akan menjadi gejala yang nyata. Menurut Freud,
fobia yang disebut sebagai histeria cemas disebabkan tidak terselesaikannya konflik
oedipal masa anak-anak. Objek fobik merupakan simbolisasi dari sesuatu yang
berhubungan dengan konflik.1,3,4,5
2.4 Diagnosis
Diagnosis agorafobia berdasarkan gejala ansietas dan fobia yang tampak jelas.
Menurut Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa Edisi ke III(PPDGJ-III),
diagnosis pasti agorafobia harus memenuhi semua kriteria dengan adanya gejala ansietas
yang terbatas pada kondisi yang spesifik yang harus dihindari oleh penderita.
Tabel 2.1 Kriteria Diagnostik Untuk Agorafobia6
Semua kriteria dibawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis pasti :
(a) Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul
harus merupakan manifestasi primer dari anxietasnya dan
bukan sekunder dari gejala-gejala lain seperti misalnya
waham atau pikiran obsesif;
(b) Anxietas yang timbul harus terbatas pada (terutama terjadi
dalam hubungan dengan) setidaknya dua dari situasi
berikut: banyak orang/keramaian, tempat umum, bepergian
keluar rumah, dan bepergian sendiri; dan
(c) Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan
gejala yang menonjol (penderita menjadi “house-bound”).
Tabel 2.2 Kriteria Diagnostik untuk Agorafobia Tanpa Riwayat Gangguan Panik3,4
A. Adanya agorafobia berhubungan dengan rasa takut mengalami gejala mirip
panik (misalnya, pusing atau diare).
B. Tidak pernah memenuhi kriteria untuk panik.
C. Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat
yang disalahgunakan, medikasi) atau suatu kondisi medis umum.
D. Jika ditemukan suatu kondisi medis umum yang berhubungan, rasa takut yang
dijelaskan dalam kriteria A jelas melebihi dari apa yang biasanya berhubungan
dengan kondisi.
5
2.8 Pengobatan
Dengan terapi, sebagian besar pasien mengalami perbaikan dramatik pada gejala
gangguan panik dan agorafobia. Dua terapi yang paling efektif adalah farmakoterapi dan
terapi kognitif –perilaku. Terapi keluarga dan kelompok mungkin membantu pasien yang
menderita dan keluarganya untuk menyesuaikan dengan kenyataan bahwa pasien
menderita gangguan dan dengan kesulitan psikososial yang telah dicetuskan oleh
gangguan.3,4
Farmakoterapi
Tujuan dari farmakoterapi adalah untuk mengobati gangguan panik karena
agorafobia pada umumnya disebabkan oleh gangguan panik. Diharapkan dengan perbaikan
gangguan panik maka agorafobia juga akan semakin membaik. Semua obat golongan
Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRI) efektif untuk gangguan panik. Paroksetin
memiliki efek sedatif dan cenderung membuat pasien tenang sehingga menimbulkan
kepatuhan yang lebih besar serta putus minum obat yang lebih sedikit. Jika efek sedasi
paroksetin tidak dapat ditoleransi, maka dapat diganti dengan fluoxetin. Obat lain yang
biasa digunakan adalah dari golongan Benzodiazepin karena memiliki awitan kerja untuk
panik yang paling cepat, sering dalam minggu pertama, dan dapat digunakan untuk periode
waktu yang lama tanpa timbul toleransi terhadap antipanik.3,4
BAB III
KESIMPULAN
Agorafobia didefinisikan sebagai ketakutan berada sendirian di tempat-
tempat publik (sebagai contoh, supermarket), khususnya tempat dari mana pintu
keluar yang cepat akan sulit jika orang mengalami serangan panik. Agorafobia
dapat terjadi pada setiap usia, dengan rata-rata usia 25 tahun. Etiologi agorafobia
sering didahului oleh adanya serangan panik dan dapat juga timbul karena adanya
permasalahan psikososial yang tidak teratasi. Penegakan diagnosa dapat
menggunakan kriteria PPDGJ-III maupun DSM IV TR. Penderita agorafobia
memiliki gejala ansietas yang muncul pada kondisi yang spesifik. Diagnosis
banding agorafobia adalah segala kondisi medis yang dapat menimbulkan
kecemasan. Sedangkan diagnosis banding psikiatrinya dapat berupa gangguan
depresi, skizofrenia, gangguan kepribadian paranoid, gangguan kepribadian
menghindar, dan gangguan kepribadian dependan. Perawatan yang paling baik
bagi penderita agorafobia adalah mengobati gangguan paniknya serta terapi
perilaku dan kognitif.
DAFTAR PUSTAKA
3. Sadock BJ; Sadock VA. Buku Ajar Psikiatri Klinis, 2nd ed.EGC, Jakarta:2004.
237-241
4. Kaplan HI,Sadock BJ, dan Grebb JA. Sinopsis Psikiatri, Jilid II. Binarupa
Aksara. Tangerang: 2010. 33-46
5. Halgin RP, Whitbourne SK. Abnormal Psychology Clinical Perspectives
on Psychological Disorders. McGraw-Hill, New York:2009. 144-148