Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 22

TEORI GUJARAT – Teori Kedatangan Islam di Indonesia

Gujarat merupakan wilayah yang kini berada di negara India. Daerah Gujarat di India
diduga menjadi daerah asal Islam di Indonesia. Teori Gujarat menjelaskan bahwa Islam
masuk ke Indonesia pada abad XIII Masehi dibawa pedagang dari Gujarat (India). Teori
Gujarat pertama kali dicetuskan oleh J. Pijnapel, W.F. Sutterheim, dan Sucipto
Wirjosuparto. Menurut J.Pijnapel, orang Arab bermazhab Syafi’i telah bermukim di Gujarat
dan Malabar sejak abad VII Masehi. Penyebaran Islam di Indonesia tidak langsung
dilakukan pedagang Arap, melainkan oleh pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam,
kemudian berdagang di Indonesia.

Snouck Hurgronje menjelaskan Islam masuk ke Indonesia melalui kota-kota di anak benua
India seperti Gujarat, Bengali, dan Malabar karena Islam terlebih dahulu berkembang di
kota tersebut. Dalam bukunya berjudul L’arabie et Les Indes Neerlandaises, Snouck
menjelaskan bahwa teori Gujarat didasarkan pada peranan orang-orang gujarat yang telah
membuka hubungan dagang dengan Indonesia sebelum pedagang Arab.

Menurut Sucipto Wiryosuparto, teori Gujarat didasarkan atas bukti berikut.


1. Corak batu nisan Sultan Malik As-Saleh dan Maulana Malik Ibrahim memiliki kemiripan
dengan corak nisan yang ada di Gujarat.
2. Hubungan dagang penduduk Indonesia dengan India telah lama terjalin, melalui jalur
perdagangan Indonesia – Cambay - Timur Tengah – Eropa

Dalam perkembangannya, teori Gujarat dibantah oleh banyak ahli. Bukti-bukti yang lebih
akurat seperti berita dari Arab, Persia, Turki, dan Indonesia memperkuat keterangan bahwa
Islam masuk di Indonesia bukan dibawa pedagang Gujarat. Sejarawan Azyumardi Azra
menjelaskan bahwa Gujarat dan kota-kota di anak benua India hanya tempat
persianggahan bagi pedagang Arab sebelum melanjutkan perjalanan ke Asia Tenggara dan
Asia Timur. Selain itu, pada abad XII-XIII Masehi wilayah Gujarat masih dikuasai pengaruh
Hindu yang kuat.

TEORI PERSIA – Teori Kedatangan Islam di Indonesia

Dimanakah letak Persia? Mungkin akan sulit menemukan wilayah Persia pada peta. Pada
saat ini Persia mengarah pada wilayah negara Iran. Menurut teori Persia, Islam di
Indonesia berasal dari Persia. Pencetus teori ini adalah Hoesein Djajadiningrat dan Oemar
Amir Husein. Argumentasi Hoesein Djajadiningrat didasarkan pada bukti berikut.

1. Kesamaan budaya dan tradisi yang berkembang antara masyarakat Persia dan
Indonesia. Tradisi tersebut antara lain tradisi perayaan 10 Muharram atau Asyuro, sebagai
hari suci Kaum Syiah atas wafatnya Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad SAW dan tradisi
tabuik/tabot yang berkembang di Bengkulu.
2. Ajaran sufi Wihdatul Wujud Syekh Siti Jenar dari Jawa Tengah memiliki kesamaan
dengan ajaran sufi Al-Hallaj dari Persia.
3. Kesamaan seni kaligrafi yang terpahat pada nisan makam Islam di Indonseia dengan
makam-makam di Persia.
4. Penggunaan gelar syah pada raja-raja Islam di Indonesia.

Bukti yang disampaikan Hoesein Djajadiningrat dan Oemar Amir Husein dengan
mengemukakan bukti tambahan sebagai berikut.
1. Di Persia terdapat Suku Leran. Kemungkinan besar suku Leran berasal dari Jawa.
Kemungkinan ini didukung dengan adanya kampung bernama Leran di Jawa Timur.
2. Di Persia terdapat Suku Jawi. Suku Jawi diduga mengajarkan huruf Arab di Jawa.
Huruf arab itu disebut sebagai huruf Arab Pegon yang sering digunakan pada naskah-
naskah kuno kerajaan Islam.

3. Teori Mekkah
Teori Mekkah mengatakan bahwa proses masuknya Islam di Indonesia adalah langsung dari
Mekkah atau Arab. Proses ini berlangsung pada abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M. Tokoh
yang memperkenalkan teori ini adalah Haji Abdul Karim Amrullah atau Buya Hamka, salah
seorang ulama sekaligus sastrawan Indonesia. Hamka mengemukakan bahwa Islam berasal dari
tanah kelahiran Arab atau Mesir.

Pandangan Hamka ini hampir sama dengan Teori Sufi yang diungkapkan oleh A.H Johns yang
mengatakan bahwa para musafirlah (kaum pengembara) yang telah melakukan Islamisasi awal di
Indonesia. Kaum Sufi biasanya mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya untuk
mendirikan kumpulan atau perguruan tarekat.

Dari beberapa pendapat para ahli tersebut dapat diambil kesimpulan, antara lain sebagai berikut.
Abad ke-7 dapat dipandang sebagai abad permulaan kedatangan dan hubungan pedagang-
pedagang muslim di Indonesia.
Proses penyebaran Islam di Indonesia terjadi menjelang terbentuknya Kerajaan Islam Perlak dan
Kerajaan Samudra Pasai.
Setelah terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam penyebaran dan perkembangan Islam dilaksanakan
di pusat kerajaan.
Dengan demikian, Islam masuk ke Indonesia antara abad ke-7 sampai abad ke-13 karena
disebarkan oleh orang Arab, Persia, dan Gujarat (India).

Berdasarkan kenyataan itu, dapat diperkirakan bahwa pengaruh Islam telah masuk ke Indonesia
lebih awal daripada yang diduga banyak orang. Setidaknya, orang-orang Gujarat lebih awal
menerima pengaruh Islam dan mereka membawanya ke Indonesia melalui kegiatan perdagangan.
Beberapa bukti peninggalan sejarah yang dapat dipergunakan untuk memastikan masuknya Islam
di Indonesia adalah sebagai berikut.
Nisan makam Fatimah binti Maimun di Leran (Gresik) yang berangka tahun 1082 M.
Berita yang ditulis Marco Polo dari Vanesia (Italia). Marco Polo sempat singgah di Peureulak,
Aceh dalam perjalanan pulangnya dari Cina (1292). Marco Polo mengatakan bahwa di tempat itu
banyak orang yang memeluk Islam. Banyak pula pedagang India yang menyebarkan agama
Islam. Akan tetapi, masyarakat di luar peureulak belum memeluk agama Islam.
Nisan makam Malik Al-Saleh di Samudra Pasai (Aceh) yang berangka tahun 1297 M. Batu nisan
itu ternyata mempunyai kesamaan dengan hasil budaya bangsa Gujarat, India.

Nah itulah beberapa teori-teori masuknya Islam ke Indonesia beserta bukti masuknya Islam ke
Indonesia. Demikian artikel mengenai sejarah agama Islam yang dapat saya bagikan dan semoga
bermanfaat.

Perkembangan
1. Di Sumatra
Kesimpulan hasil seminar di Medan tersebut di atas, dijelaskan bahwa wilayah Nusantara yang
mula-mula dimasuki Islam adalah pantai barat pulau Sumatra dan daerah Pasai yang terletak di
Aceh utara yang kemudian di masing-masing kedua daerah tersebut berdiri kerajaan Islam yang
pertama yaitu kerajaan Islam Perlak dan Samudra Pasai.

Menurut keterangan Prof. Ali Hasmy dalam makalah pada seminar “Sejarah Masuk dan
Berkembangnya Islam di Aceh” yang digelar tahun 1978 disebutkan bahwa kerajaan Islam yang
pertama adalah kerajaan Perlak. Namun ahli sejarah lain telah sepakat, Samudra Pasailah
kerajaan Islam yang pertama di Nusantara dengan rajanya yang pertama adalah Sultan Malik Al-
Saleh (memerintah dari tahun 1261 s.d 1297 M). Sultan Malik Al-Saleh sendiri semula bernama
Marah Silu. Setelah mengawini putri raja Perlak kemudian masuk Islam berkat pertemuannya
dengan utusan Syarif Mekkah yang kemudian memberi gelar Sultan Malik Al-Saleh.

Kerajaan Pasai sempat diserang oleh Majapahit di bawah panglima Gajah Mada, tetapi bisa
dihalau. Ini menunjukkan bahwa kekuatan Pasai cukup tangguh dikala itu. Baru pada tahun 1521
di taklukkan oleh Portugis dan mendudukinya selama tiga tahun. Pada tahun 1524 M Pasai
dianeksasi oleh raja Aceh, Ali Mughayat Syah. Selanjutnya kerajaan Samudra Pasai berada di
bawah pengaruh keSultanan Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam (sekarang dikenal
dengan kabupaten Aceh Besar).

Munculnya kerajaan baru di Aceh yang berpusat di Bandar Aceh Darussalam, hampir bersamaan
dengan jatuhnya kerajaan Malaka karena pendudukan Portugis. Dibawah pimpinan Sultan Ali
Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim kerajaan Aceh terus mengalami kemajuan besar. Saudagar-
saudagar muslim yang semula berdagang dengan Malaka memindahkan kegiatannya ke Aceh.
Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Iskandar Muda Mahkota
Alam ( 1607 - 1636).

Kerajaan Aceh ini mempunyai peran penting dalam penyebaran Agama Islam ke seluruh wilayah
Nusantara. Para da’i, baik lokal maupun yang berasal dari Timur Tengah terus berusaha
menyampaikan ajaran Islam ke seluruh wilayah Nusantara. Hubungan yang telah terjalin antara
kerajaan Aceh dengan Timur Tengah terus semakin berkembang. Tidak saja para ulama dan
pedagang Arab yang datang ke Indonesia, tapi orang-orang Indonesia sendiri banyak pula yang
hendak mendalami Islam datang langsung ke sumbernya di Mekah atau Madinah. Kapal-kapal
dan ekspedisi dari Aceh terus berlayar menuju Timur Tengah pada awal abad ke 16. Bahkan
pada tahun 974 H. atau 1566 M dilaporkan ada 5 kapal dari kerajaan Asyi (Aceh) yang berlabuh
di bandar pelabuhan Jeddah. Ukhuwah yang erat antara Aceh dan Timur Tengah itu pula yang
membuat Aceh mendapat sebutan Serambi Mekah.

2. Di Jawa
Benih-benih kedatangan Islam ke tanah Jawa sebenarnya sudah dimulai pada abad pertama
Hijriyah atau abad ke 7 M. Hal ini dituturkan oleh Prof. Dr. Buya Hamka dalam bukunya Sejarah
Umat Islam, bahwa pada tahun 674 M sampai tahun 675 M. sahabat Nabi, Muawiyah bin Abi
Sufyan pernah singgah di tanah Jawa (Kerajaan Kalingga) menyamar sebagai pedagang. Bisa
jadi Muawiyah saat itu baru penjajagan saja, tapi proses dakwah selanjutnya dilakukan oleh para
da’i yang berasal dari Malaka atau kerajaan Pasai sendiri. Sebab saat itu lalu lintas atau jalur
hubungan antara Malaka dan Pasai disatu pihak dengan Jawa dipihak lain sudah begitu pesat.

Adapun gerakan dakwah Islam di Pulau Jawa selanjutnya dilakukan oleh para Wali Sanga, yaitu
:
a. Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik
Beliau dikenal juga dengan sebutan Syeikh Magribi. Ia dianggap pelopor penyebaran Islam di
Jawa. Beliau juga ahli pertanian, ahli tata negara dan sebagai perintis lembaga pendidikan
pesantren. Wafat tahun 1419 M.(882 H) dimakamkan di Gapura Wetan Gresik
b. Raden Ali Rahmatullah (Sunan Ampel)
Dilahirkan di Aceh tahun 1401 M. Ayahnya orang Arab dan ibunya orang Cempa, ia sebagai
mufti dalam mengajarkan Islam tak kenal kompromi dengan budaya lokal. Wejangan
terkenalnya Mo Limo yang artinya menolak mencuri, mabuk, main wanita, judi dan madat, yang
marak dimasa Majapahit. Beliau wafat di desa Ampel tahun 1481 M.
Jasa-jasa Sunan Ampel :
1) Mendirikan pesantren di Ampel Denta, dekat Surabaya. Dari pesantren ini lahir para mubalig
kenamaan seperti : Raden Paku (Sunan Giri), Raden Fatah (Sultan Demak pertama), Raden
Makhdum (Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat) dan Maulana Ishak yang pernah diutus
untuk menyiarkan Islam ke daerah Blambangan.
2) Berperan aktif dalam membangun Masjid Agung Demak yang dibangun pada tahun 1479 M.
3) Mempelopori berdirinya kerajaan Islam Demak dan ikut menobatkan Raden Patah sebagai
Sultan pertama.

c. Sunan Giri (Raden Aenul Yaqin atau Raden Paku)


Ia putra Syeikh Yakub bin Maulana Ishak. Ia sebagai ahli fiqih dan menguasai ilmu Falak.
Dimasa menjelang keruntuhan Majapahit, ia dipercaya sebagai raja peralihan sebelum Raden
Patah naik menjadi Sultan Demak. Ketika Sunan Ampel wafat, ia menggantikannya sebagai
mufti tanah Jawa.

d. Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)


Putra Sunan Ampel lahir tahun 1465. Sempat menimba ilmu ke Pasai bersama-sama Raden
Paku. Beliaulah yang mendidik Raden Patah. Beliau wafat tahun 1515 M.

e. Sunan Kalijaga (Raden Syahid)


Ia tercatat paling banyak menghasilkan karya seni berfalsafah Islam. Ia membuat wayang kulit
dan cerita wayang Hindu yang diislamkan. Sunan Giri sempat menentangnya, karena wayang
Beber kala itu menggambarkan gambar manusia utuh yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Kalijaga mengkreasi wayang kulit yang bentuknya jauh dari manusia utuh. Ini adalah sebuah
usaha ijtihad di bidang fiqih yang dilakukannya dalam rangka dakwah Islam.

f. Sunan Drajat
Nama aslinya adalah Syarifudin (putra Sunan Ampel, adik Sunan Bonang). Dakwah beliau
terutama dalam bidang sosial. Beliau juga mengkader para da’i yang berdatangan dari berbagai
daerah, antara lain dari Ternate dan Hitu Ambon.

g. Syarif Hidayatullah
Nama lainnya adalah Sunan Gunung Jati yang kerap kali dirancukan dengan Fatahillah, yang
menantunya sendiri. Ia memiliki keSultanan sendiri di Cirebon yang wilayahnya sampai ke
Banten. Ia juga salah satu pembuat sokoguru masjid Demak selain Sunan Ampel, Sunan Kalijaga
dan Sunan Bonang. Keberadaan Syarif Hidayatullah dengan kesultanannya membuktikan ada
tiga kekuasaan Islam yang hidup bersamaan kala itu, yaitu Demak, Giri dan Cirebon. Hanya saja
Demak dijadikan pusat dakwah, pusat studi Islam sekaligus kontrol politik para wali.
h. Sunan Kudus
Nama aslinya adalah Ja’far Sadiq. Lahir pada pertengahan abad ke 15 dan wafat tahun 1550 M.
(960 H). Beliau berjasa menyebarkan Islam di daerah kudus dan sekitarnya. Ia membangun
masjid menara Kudus yang sangat terkenal dan merupakan salah satu warisan budaya Nusantara.

i. Sunan Muria
Nama aslinya Raden Prawoto atau Raden Umar Said putra Sunan Kalijaga. Beliau menyebarkan
Islam dengan menggunakan sarana gamelan, wayang serta kesenian daerah lainnya. Beliau
dimakamkan di Gunung Muria, disebelah utara kota Kudus.

Diparuh awal abad 16 M, Jawa dalam genggaman Islam. Penduduk merasa tentram dan damai
dalam ayoman keSultanan Demak di bawah kepemimpinan Sultan Syah Alam Akbar Al Fatah
atau Raden Patah. Hidup mereka menemukan pedoman dan tujuan sejatinya setelah mengakhiri
masa Siwa-Budha serta animisme. Merekapun memiliki kepastian hidup bukan karena wibawa
dan perbawa sang Sultan, tetapi karena daulah hukum yang pasti yaitu syari’at Islam

“Salokantara” dan “Jugul Muda” itulah dua kitab undang-undang Demak yang berlandaskan
syari’at Islam. Dihadapan peraturan negeri pengganti Majapahit itu, semua manusia sama
derajatnya, sama-sama khalifah Allah di dunia. Sultan-Sultan Demak sadar dan ikhlas dikontrol
oleh kekuasaan para Ulama atau Wali. Para Ulama itu berperan sebagai tim kabinet atau
merangkap sebagai dewan penasehat Sultan.

Dalam versi lain dewan wali sanga dibentuk sekitar 1474 M. oleh Raden Rahmat (Sunan
Ampel), membawahi Raden Hasan, Maftuh Ibrahim, Qasim (Sunan Drajat) Usman Haji (ayah
Sunan Kudus, Raden Ainul Yakin (Sunan Gresik), Syekh Sutan Maharaja Raden Hamzah, dan
Raden Mahmud. Beberapa tahun kemudian Syekh Syarif Hidayatullah dari Cirebon bergabung di
dalamnya. Sunan Kalijaga dipercaya para wali sebagai muballig keliling. Disamping wali-wali
tersebut, masih banyak Ulama yang dakwahnya satu kordinasi dengan Sunan Ampel hanya saja,
sembilan tokoh Sunan Wali Sanga yang dikenal selama ini memang memiliki peran dan karya
yang menonjol dalam dakwahnya.
3. Di Sulawesi
Ribuan pulau yang ada di Indonesia, sejak lama telah menjalin hubungan dari pulau ke pulau.
Baik atas motivasi ekonomi maupun motivasi politik dan kepentingan kerajaan. Hubungan ini
pula yang mengantar dakwah menembus dan merambah Celebes atau Sulawesi. Menurut catatan
company dagang Portugis pada tahun 1540 saat datang ke Sulawesi, di tanah ini sudah ditemui
pemukiman muslim di beberapa daerah. Meski belum terlalu banyak, namun upaya dakwah terus
berlanjut dilakukan oleh para da’i di Sumatra, Malaka dan Jawa hingga menyentuh raja-raja di
kerajaan Gowa dan Tallo atau yang dikenal dengan negeri Makasar, terletak di semenanjung
barat daya pulau Sulawesi.

Kerajaan Gowa ini mengadakan hubungan baik dengan kerajaan Ternate dibawah pimpinan
Sultan Babullah yang telah menerima Islam lebih dahulu. Melalui seorang da’i bernama Datuk
Ri Bandang agama Islam masuk ke kerajaan ini dan pada tanggal 22 September 1605 Karaeng
Tonigallo, raja Gowa yang pertama memeluk Islam yang kemudian bergelar Sultan Alaudin Al
Awwal (1591-1636 ) dan diikuti oleh perdana menteri atau Wazir besarnya, Karaeng Matopa.

Setelah resmi menjadi kerajaan bercorak Islam Gowa Tallo menyampaikan pesan Islam kepada
kerajaan-kerajaan lain seperti Luwu, Wajo, Soppeng dan Bone. Raja Luwu segera menerima
pesan Islam diikuti oleh raja Wajo tanggal 10 Mei 1610 dan raja Bone yang bergelar Sultan
Adam menerima Islam tanggal 23 November 1611 M. Dengan demikian Gowa (Makasar)
menjadi kerajaan yang berpengaruh dan disegani. Pelabuhannya sangat ramai disinggahi para
pedagang dari berbagai daerah dan manca negara. Hal ini mendatangkan keuntungan yang luar
biasa bagi kerajaan Gowa (Makasar). Puncak kejayaan kerajaan Makasar terjadi pada masa
Sultan Hasanuddin (1653-1669).

4. Di Kalimantan
Islam masuk ke Kalimantan atau yang lebih dikenal dengan Borneo melalui tiga jalur. Jalur
pertama melalui Malaka yang dikenal sebagai kerajaan Islam setelah Perlak dan Pasai. Jatuhnya
Malaka ke tangan Portugis kian membuat dakwah semakin menyebar sebab para muballig dan
komunitas muslim kebanyakan mendiamai pesisir barat Kalimantan.

Jalur kedua, Islam datang disebarkan oleh para muballig dari tanah Jawa. Ekspedisi dakwah ke
Kalimantan ini mencapai puncaknya saat kerajaan Demak berdiri. Demak mengirimkan banyak
Muballig ke negeri ini. Para da’i tersebut berusaha mencetak kader-kader yang akan melanjutkan
misi dakwah ini. Maka lahirlah ulama besar, salah satunya adalah Syekh Muhammad Arsyad Al
Banjari.
Jalur ketiga para da’i datang dari Sulawesi (Makasar) terutama da’i yang terkenal saat itu adalah
Datuk Ri Bandang dan Tuan Tunggang Parangan.

a. Kalimantan Selatan
Masuknya Islam di Kalimantan Selatan adalah diawali dengan adanya krisis kepemimpinan
dipenghujung waktu berakhirnya kerajaan Daha Hindu. Saat itu Raden Samudra yang ditunjuk
sebagai putra mahkota oleh kakeknya, Raja Sukarama minta bantuan kepada kerajaan Demak di
Jawa dalam peperangan melawan pamannya sendiri, Raden Tumenggung Sultan Demak (Sultan
Trenggono) menyetujuinya, asal Raden Samudra kelak bersedia masuk Islam.
Dalam peperangan itu Raden Samudra mendapat kemenangan. Maka sesuai dengan janjinya ia
masuk Islam beserta kerabat keraton dan penduduk Banjar. Saat itulah tahun (1526 M) berdiri
pertama kali kerajaan Islam Banjar dengan rajanya Raden Samudra dengan gelar Sultan
Suryanullah atau Suriansyah. Raja-raja Banjar berikutnya adalah Sultan Rahmatullah (putra
Sultan Suryanullah), Sultan Hidayatullah (putra Sultan Rahmatullah dan Marhum Panambahan
atau Sultan Musta’in Billah. Wilayah yang dikuasainya meliputi daerah Sambas, Batang Lawai,
Sukadana, Kota Waringin, Sampit Medawi, dan Sambangan.

b. Kalimantan Timur
Di Kalimantan Timur inilah dua orang da’i terkenal datang, yaitu Datuk Ri Bandang dan Tuan
Tunggang Parangan, sehingga raja Kutai (raja Mahkota) tunduk kepada Islam diikuti oleh para
pangeran, para menteri, panglima dan hulubalang. Untuk kegiatan dakwah ini dibangunlah
sebuah masjid.
Tahun 1575 M, raja Mahkota berusaha menyebarkan Islam ke daerah-daerah sampai ke
pedalaman Kalimantan Timur sampai daerah Muara Kaman, dilanjutkan oleh Putranya, Aji Di
Langgar dan para penggantinya.

5. Di Maluku.
Kepulauan Maluku terkenal di dunia sebagai penghasil rempah-rempah, sehingga menjadi daya
tarik para pedagang asing, tak terkecuali para pedagang muslim baik dari Sumatra, Jawa, Malaka
atau dari manca negara. Hal ini menyebabkan cepatnya perkembangan dakwah Islam di
kepulauan ini.
Islam masuk ke Maluku sekitar pertengahan abad ke 15 atau sekitar tahun 1440 dibawa oleh para
pedagang muslim dari Pasai, Malaka dan Jawa (terutama para da’i yang dididik oleh para Wali
Sanga di Jawa). Tahun 1460 M, Vongi Tidore, raja Ternate masuk Islam. Namun menurut H.J
De Graaft (sejarawan Belanda) bahwa raja Ternate yang benar-benar muslim adalah Zaenal
Abidin (1486-1500 M). Setelah itu Islam berkembang ke kerajaan-kerajaan yang ada di Maluku.
Tetapi diantara sekian banyak kerajaan Islam yang paling menonjol adalah dua kerajaan , yaitu
Ternate dan Tidore.

Raja-raja Maluku yang masuk Islam seperti :


a. Raja Ternate yang bergelar Sultan Mahrum (1465-1486).
b. Setelah beliau wafat digantikan oleh Sultan Zaenal Abidin yang sangat besar jasanya dalam
menyiarkan Islam di kepulauan Maluku, Irian bahkan sampai ke Filipina.
c. Raja Tidore yang kemudian bergelar Sultan Jamaluddin.
d. Raja Jailolo yang berganti nama dengan Sultan Hasanuddin.
e. Pada tahun 1520 Raja Bacan masuk Islam dan bergelar Zaenal Abidin.

Selain Islam masuk dan berkembang di Maluku, Islam juga masuk ke Irian yang disiarkan oleh
raja-raja Islam di Maluku, para pedagang dan para muballig yang juga berasal dari Maluku.
Daerah-daerah di Irian Jaya yang dimasuki Islam adalah : Miso, Jalawati, Pulau Waigio dan
Pulau Gebi.
Kerajaan islam

Kesultanan samudra pasai


Kesultanan Pasai, juga dikenal dengan Samudera Darussalam, atau Samudera Pasai, adalah
kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota
Lhokseumawe dan Aceh Utara, Provinsi Aceh, Indonesia.

Belum begitu banyak bukti arkeologis tentang kerajaan ini untuk dapat digunakan sebagai bahan
kajian sejarah.[1] Namun beberapa sejarahwan memulai menelusuri keberadaan kerajaan ini
bersumberkan dari Hikayat Raja-raja Pasai,[2] dan ini dikaitkan dengan beberapa makam raja
serta penemuan koin berbahan emas dan perak dengan tertera nama rajanya.[3]

Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Sultan Malik as-Saleh, sekitar tahun 1267.
Keberadaan kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke
Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah (1304–1368), musafir Maroko yang singgah ke negeri
ini pada tahun 1345. Kesultanan Pasai akhirnya runtuh setelah serangan ihsan Portugal pada
tahun 1521.

Pembentukan awal[sunting | sunting sumber]


Berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai, menceritakan tentang pendirian Pasai oleh Marah Silu,
setelah sebelumnya ia menggantikan seorang raja yang bernama Sultan Malik al-Nasser.[2]
Marah Silu ini sebelumnya berada pada satu kawasan yang disebut dengan Semerlanga
kemudian setelah naik tahta bergelar Sultan Malik as-Saleh, ia wafat pada tahun 696 H atau 1267
M.[4] Dalam Hikayat Raja-raja Pasai maupun Sulalatus Salatin nama Pasai dan Samudera telah
dipisahkan merujuk pada dua kawasan yang berbeda, namun dalam catatan Tiongkok nama-
nama tersebut tidak dibedakan sama sekali. Sementara Marco Polo dalam lawatannya mencatat
beberapa daftar kerajaan yang ada di pantai timur Pulau Sumatera waktu itu, dari selatan ke utara
terdapat nama Ferlec (Perlak), Basma dan Samara (Samudera).

Pemerintahan Sultan Malik as-Saleh kemudian dilanjutkan oleh putranya Sultan Muhammad
Malik az-Zahir dari perkawinannya dengan putri Raja Perlak. Pada masa pemerintahan Sultan
Muhammad Malik az-Zahir, koin emas sebagai mata uang telah diperkenalkan di Pasai, seiring
dengan berkembangnya Pasai menjadi salah satu kawasan perdagangan sekaligus tempat
pengembangan dakwah agama Islam. Kemudian sekitar tahun 1326 ia meninggal dunia dan
digantikan oleh anaknya Sultan Mahmud Malik az-Zahir dan memerintah sampai tahun 1345.
Pada masa pemerintahannya, ia dikunjungi oleh Ibn Batuthah, kemudian menceritakan bahwa
sultan di negeri Samatrah (Samudera) menyambutnya dengan penuh keramahan, dan
penduduknya menganut Mazhab Syafi'i.[5]

"Maka titah Sang Nata akan segala tawanan orang Pasai itu, suruhlah ia duduk di tanah Jawa ini,
mana kesukaan hatinya. Itulah sebabnya maka banyak keramat di tanah Jawa tatkala Pasai kalah
oleh Majapahit itu".
— Gambaran penaklukan Pasai oleh Majapahit, kutipan dari Hikayat Raja-raja Pasai[2].
Relasi dan persaingan[sunting | sunting sumber]
Kesultanan Pasai kembali bangkit di bawah pimpinan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir
tahun 1383, dan memerintah sampai tahun 1405. Dalam kronik Cina ia juga dikenal dengan
nama Tsai-nu-li-a-pi-ting-ki, dan disebutkan ia tewas oleh Raja Nakur. Selanjutnya pemerintahan
Kesultanan Pasai dilanjutkan oleh istrinya Sultanah Nahrasiyah.

Armada Cheng Ho yang memimpin sekitar 208 kapal mengunjungi Pasai berturut turut dalam
tahun 1405, 1408 dan 1412. Berdasarkan laporan perjalanan Cheng Ho yang dicatat oleh para
pembantunya seperti Ma Huan dan Fei Xin. Secara geografis Kesultanan Pasai dideskripsikan
memiliki batas wilayah dengan pegunungan tinggi disebelah selatan dan timur, serta jika terus ke
arah timur berbatasan dengan Kerajaan Aru, sebelah utara dengan laut, sebelah barat berbatasan
dengan dua kerajaan, Nakur dan Lide. Sedangkan jika terus ke arah barat berjumpa dengan
kerajaan Lambri (Lamuri) yang disebutkan waktu itu berjarak 3 hari 3 malam dari Pasai. Dalam
kunjungan tersebut Cheng Ho juga menyampaikan hadiah dari Kaisar Cina, Lonceng Cakra
Donya.[6]

Sekitar tahun 1434 Sultan Pasai mengirim saudaranya yang dikenal dengan Ha-li-zhi-han namun
wafat di Beijing. Kaisar Xuande dari Dinasti Ming mengutus Wang Jinhong ke Pasai untuk
menyampaikan berita tersebut.[6]

Pemerintahan[sunting | sunting sumber]

Lonceng Cakra Donya


Pusat pemerintahan Kesultanan Pasai terletaknya antara Krueng Jambo Aye (Sungai Jambu Air)
dengan Krueng Pase (Sungai Pasai), Aceh Utara. Menurut ibn Batuthah yang menghabiskan
waktunya sekitar dua minggu di Pasai, menyebutkan bahwa kerajaan ini tidak memiliki benteng
pertahanan dari batu, namun telah memagari kotanya dengan kayu, yang berjarak beberapa
kilometer dari pelabuhannya. Pada kawasan inti kerajaan ini terdapat masjid, dan pasar serta
dilalui oleh sungai tawar yang bermuara ke laut. Ma Huan menambahkan, walau muaranya besar
namun ombaknya menggelora dan mudah mengakibatkan kapal terbalik.[6] Sehingga penamaan
Lhokseumawe yang dapat bermaksud teluk yang airnya berputar-putar kemungkinan berkaitan
dengan ini.

Dalam struktur pemerintahan terdapat istilah menteri, syahbandar dan kadi. Sementara anak-anak
sultan baik lelaki maupun perempuan digelari dengan Tun, begitu juga beberapa petinggi
kerajaan. Kesultanan Pasai memiliki beberapa kerajaan bawahan, dan penguasanya juga bergelar
sultan.

Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, Kerajaan Perlak telah menjadi
bagian dari kedaulatan Pasai, kemudian ia juga menempatkan salah seorang anaknya yaitu Sultan
Mansur di Samudera. Namun pada masa Sultan Ahmad Malik az-Zahir, kawasan Samudera
sudah menjadi satu kesatuan dengan nama Samudera Pasai yang tetap berpusat di Pasai. Pada
masa pemerintahan Sultan Zain al-Abidin Malik az-Zahir, Lide (Kerajaan Pedir) disebutkan
menjadi kerajaan bawahan dari Pasai. Sementara itu Pasai juga disebutkan memiliki hubungan
yang buruk dengan Nakur, puncaknya kerajaan ini menyerang Pasai dan mengakibatkan Sultan
Pasai terbunuh.

Perekonomian[sunting | sunting sumber]


Pasai merupakan kota dagang, mengandalkan lada sebagai komoditi andalannya, dalam catatan
Ma Huan disebutkan 100 kati lada dijual dengan harga perak 1 tahil. Dalam perdagangan
Kesultanan Pasai mengeluarkan koin emas sebagai alat transaksi pada masyarakatnya, mata uang
ini disebut Deureuham (dirham) yang dibuat 70% emas murni dengan berat 0.60 gram, diameter
10 mm, mutu 17 karat.

Sementara masyarakat Pasai umumnya telah menanam padi di ladang, yang dipanen 2 kali
setahun, serta memilki sapi perah untuk menghasilkan keju. Sedangkan rumah penduduknya
memiliki tinggi rata-rata 2.5 meter yang disekat menjadi beberapa bilik, dengan lantai terbuat
dari bilah-bilah kayu kelapa atau kayu pinang yang disusun dengan rotan, dan di atasnya
dihamparkan tikar rotan atau pandan.[6]

Agama dan budaya[sunting | sunting sumber]


Islam merupakan agama yang dianut oleh masyarakat Pasai, walau pengaruh Hindu dan Buddha
juga turut mewarnai masyarakat ini. Dari catatan Ma Huan dan Tomé Pires,[7] telah
membandingkan dan menyebutkan bahwa sosial budaya masyarakat Pasai mirip dengan Malaka,
seperti bahasa, maupun tradisi pada upacara kelahiran, perkawinan dan kematian. Kemungkinan
kesamaan ini memudahkan penerimaan Islam di Malaka dan hubungan yang akrab ini dipererat
oleh adanya pernikahan antara putri Pasai dengan raja Malaka sebagaimana diceritakan dalam
Sulalatus Salatin.

Akhir pemerintahan[sunting | sunting sumber]


Menjelang masa-masa akhir pemerintahan Kesultanan Pasai, terjadi beberapa pertikaian di Pasai
yang mengakibatkan perang saudara. Sulalatus Salatin[8] menceritakan Sultan Pasai meminta
bantuan kepada Sultan Melaka untuk meredam pemberontakan tersebut. Namun Kesultanan
Pasai sendiri akhirnya runtuh setelah ditaklukkan oleh Portugal tahun 1521 yang sebelumnya
telah menaklukan Melaka tahun 1511, dan kemudian tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi
bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh.

Daftar penguasa Pasai[sunting | sunting sumber]


Berikut adalah daftar para sultan yang memerintah Kesultana Samudera Pasai[9]:

No Periode Nama Sultan atau Gelar Catatan dan peristiwa penting


1 1267 - 1297 Sultan Malik as-Saleh (Meurah Silu) Pendiri Samudra Pasai
2 1297 - 1326 Sultan Al-Malik azh-Zhahir I / Muhammad I Koin emas mulai
diperkenalkan
3 1326 - 133? Sultan Ahmad I Penyerangan ke Kerajaan Karang Baru, Tamiang
4 133? - 1349 Sultan Al-Malik azh-Zhahir II Dikunjungi Ibnu Batutah
5 1349 - 1406 Sultan Zainal Abidin I Diserang Majapahit
6 1406 - 1428 Ratu Nahrasyiyah Masa kejayaan Samudra Pasai
7 1428 - 1438 Sultan Zainal Abidin II
8 1438 - 1462 Sultan Shalahuddin
9 1462 - 1464 Sultan Ahmad II
10 1464 - 1466 Sultan Abu Zaid Ahmad III
11 1466 - 1466 Sultan Ahmad IV
12 1466 - 1468 Sultan Mahmud
13 1468 - 1474 Sultan Zainal Abidin III Digulingkan oleh saudaranya
14 1474 - 1495 Sultan Muhammad Syah II
15 1495 - 1495 Sultan Al-Kamil
16 1495 - 1506 Sultan Adlullah
17 1506 - 1507 Sultan Muhammad Syah III Memiliki 2 makam
18 1507 - 1509 Sultan Abdullah
19 1509 - 1514 Sultan Ahmad V Malaka jatuh ke tangan Portugis
20 1514 - 1517 Sultan Zainal Abidin IV
Warisan sejarah[sunting | sunting sumber]
Penemuan makam Sultan Malik as-Saleh yang bertarikh 696 H atau 1267 M, dirujuk oleh
sejarahwan sebagai tanda telah masuknya agama Islam di Nusantara sekitar abad ke-13. Walau
ada pendapat bahwa kemungkinan Islam telah datang lebih awal dari itu. Hikayat Raja-raja Pasai
memang penuh dengan mitos dan legenda namun deskripsi ceritanya telah membantu dalam
mengungkap sisi gelap sejarah akan keberadaan kerajaan ini. Kejayaan masa lalu kerajaan ini
telah menginspirasikan masyarakatnya untuk kembali menggunakan nama pendiri kerajaan ini
untuk Universitas Malikussaleh di Lhokseumawe.

.kerajaan aceh darusalam


Kesultanan Aceh Darussalam merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di provinsi
Aceh, Indonesia. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatera dengan ibu kota Bandar
Aceh Darussalam dengan sultan pertamanya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan
pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507. Dalam sejarahnya yang
panjang itu (1496 - 1903), Aceh mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer,
berkomitmen dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, memiliki sistem pemerintahan yang
teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, dan menjalin
hubungan diplomatik dengan negara lain.

Awal mula[sunting | sunting sumber]


Kesultanan Aceh didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada awalnya
kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan menyatukan
beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya, Pedir, Lidie, Nakur. Selanjutnya pada
tahun 1524 wilayah Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan
Aru.

Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama
Salahuddin, yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. Kemudian Salahuddin digantikan oleh
Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1571.[3]

Masa Kejayaan[sunting | sunting sumber]


Meskipun Sultan dianggap sebagai penguasa tertinggi, tetapi nyatanya selalu dikendalikan oleh
orangkaya atau hulubalang. Hikayat Aceh menuturkan Sultan yang diturunkan paksa diantaranya
Sultan Sri Alam digulingkan pada 1579 karena perangainya yang sudah melampaui batas dalam
membagi-bagikan harta kerajaan pada pengikutnya. Penggantinya Sultan Zainal Abidin terbunuh
beberapa bulan kemudian karena kekejamannya dan karena kecanduannya berburu dan adu
binatang. Raja-raja dan orangkaya menawarkan mahkota kepada Alaiddin Riayat Syah Sayyid
al-Mukamil dari Dinasti Darul Kamal pada 1589. Ia segera mengakhiri periode ketidak-stabilan
dengan menumpas orangkaya yang berlawanan dengannya sambil memperkuat posisinya sebagai
penguasa tunggal Kesultanan Aceh yang dampaknya dirasakan pada sultan berikutnya.[4]

Kesultanan Aceh mengalami masa ekspansi dan pengaruh terluas pada masa kepemimpinan
Sultan Iskandar Muda (1607 - 1636) atau Sultan Meukuta Alam. Pada masa kepemimpinannya,
Aceh menaklukkan Pahang yang merupakan sumber timah utama. Pada tahun 1629, kesultanan
Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan armada yang terdiri dari 500
buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi
Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Sayangnya ekspedisi ini gagal, meskipun
pada tahun yang sama Aceh menduduki Kedah dan banyak membawa penduduknya ke Aceh.[5]

Pada masa Sultan Alaidin Righayat Syah Sayed Al-Mukammil (kakek Sultan Iskandar Muda)
didatangkan perutusan diplomatik ke Belanda pada tahun 1602 dengan pimpinan Tuanku Abdul
Hamid. Sultan juga banyak mengirim surat ke berbagai pemimpin dunia seperti ke Sultan Turki
Selim II, Pangeran Maurit van Nassau, dan Ratu Elizabeth I. Semua ini dilakukan untuk
memperkuat posisi kekuasaan Aceh.

Kemunduran[sunting | sunting sumber]


Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya
kekuasaan Belanda di pulau Sumatera dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah
Minangkabau, Siak, Tiku, Tapanuli, Mandailing, Deli, Barus (1840) serta Bengkulu kedalam
pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di
antara pewaris tahta kesultanan.

Diplomat Aceh di Penang. Duduk: Teuku Kadi Malikul Adil (kiri) dan Teuku Imeum Lueng
Bata (kanan). Sekitar tahun 1870an
Hal ini bisa ditelusuri lebih awal setelah kemangkatan Sultan Iskandar Tsani hingga serangkaian
peristiwa nantinya, dimana para bangsawan ingin mengurangi kontrol ketat kekuasaan Sultan
dengan mengangkat janda Iskandar Tsani menjadi Sultanah. Beberapa sumber menyebutkan
bahwa ketakutan akan kembalinya Raja tiran (Sultan Iskandar Muda) yang melatar-belakangi
pengangkatan ratu.

Sejak itu masa damai terasa di Aceh, para Ulèëbalang bebas berdagang dengan pedagang asing
tanpa harus melalui pelabuhan sultan di ibukota. Lada menjadi tanaman utama yang
dibudidayakan seantero pesisir Aceh sehingga menjadi pemasok utama lada dunia hingga akhir
abad 19. Namun beberapa elemen masyarakat terutama dari kaum wujudiyah menginginkan
penguasa nanti adalah seorang laki-laki bergelar Sultan. Mereka mengklaim bahwa pewaris sah
masih hidup dan tinggal bersama mereka di pedalaman. Perang saudara pecah, masjid raya,
Dalam terbakar, kota Bandar Aceh dalam kegaduhan dan ketidak-tentraman. Menindaklanjuti
pertikaian ini, Kadhi Malikul Adil (semacam mufti agung) Tgk. Syech Abdurrauf As-Sinkily
melakukan berbagai reformasi terutama perihal pembagian kekuasaan dengan terbentuknya tiga
sagoe. Hal ini mengakibatkan kekuasaan sultanah/sultan sangat lemah dengan hanya berkuasa
penuh pada daerah Bibeueh (kekuasaan langsung) semata.
Perang saudara dalam hal perebutan kekuasaan turut berperan besar dalam melemahnya
Kesultanan Aceh. Pada masa Sultan Alauddin Jauhar Alamsyah (1795-1824), seorang keturunan
Sultan yang terbuang Sayyid Hussain mengklaim mahkota kesultanan dengan mengangkat
anaknya menjadi Sultan Saif Al-Alam. Perang saudara kembali pecah namun berkat bantuan
Raffles dan Koh Lay Huan, seorang pedagang dari Penang kedudukan Jauhar (yang mampu
berbahasa Perancis, Inggris dan Spanyol) dikembalikan. Tak habis sampai disitu, perang saudara
kembali terjadi dalam perebutan kekuasaan antara Tuanku Sulaiman dengan Tuanku Ibrahim
yang kelak bergelar Sultan Mansur Syah (1857-1870).

Sultan Mansyur Syah berusaha semampunya untuk memperkuat kembali kesultanan yang sudah
rapuh. Dia berhasil menundukkan para raja lada untuk menyetor upeti ke sultan, hal yang
sebelumnya tak mampu dilakukan sultan terdahulu. Untuk memperkuat pertahanan wilayah
timur, sultan mengirimkan armada pada tahun 1854 dipimpin oleh Laksamana Tuanku Usen
dengan kekuatan 200 perahu. Ekspedisi ini untuk meyakinkan kekuasaan Aceh terhadap Deli,
Langkat dan Serdang. Namun naas, tahun 1865 Aceh angkat kaki dari daerah itu dengan
ditaklukkannya benteng Pulau Kampai.[6]

Wikisource memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan artikel ini:


Surat Sultan Aceh Ibrahim Mansur Syah Kepada Presiden Perancis

Sultan juga berusaha membentuk persekutuan dengan pihak luar sebagai usaha untuk
membendung agresi Belanda. Dikirimkannya utusan kembali ke Istanbul sebagai pemertegas
status Aceh sebagai vassal Turki Utsmaniyah serta mengirimkan sejumlah dana bantuan untuk
Perang Krimea. Sebagai balasan, Sultan Abdul Majid I mengirimkan beberapa alat tempur untuk
Aceh. Tak hanya dengan Turki, sultan juga berusaha membentuk aliansi dengan Perancis dengan
mengirim surat kepada Raja Perancis Louis Philippe I dan Presiden Republik Perancis ke II
(1849). Namun permohonan ini tidak ditanggapi dengan serius.[4]

Kemunduran terus berlangsung dengan naiknya Sultan Mahmudsyah yang muda nan lemah ke
tapuk kekuasaan. Serangkaian upaya diplomasi ke Istanbul yang dipimpin oleh Teuku Paya
Bakong dan Habib Abdurrahman Az-zahier untuk melawan ekspansi Belanda gagal. Setelah
kembali ke ibukota, Habib bersaing dengan seorang India Teuku Panglima Maharaja Tibang
Muhammad untuk menancapkan pengaruh dalam pemerintahan Aceh. Kaum moderat cenderung
mendukung Habib namun sultan justru melindungi Panglima Tibang yang dicurigai
bersekongkol dengan Belanda ketika berunding di Riau.[6]

Pada akhir November 1871, lahirlah apa yang disebut dengan Traktat Sumatera, dimana
disebutkan dengan jelas "Inggris wajib berlepas diri dari segala unjuk perasaan terhadap
perluasan kekuasaan Belanda di bagian manapun di Sumatera. Pembatasan-pembatasan Traktat
London 1824 mengenai Aceh dibatalkan." Sejak itu, usaha-usaha untuk menyerbu Aceh makin
santer disuarakan, baik dari negeri Belanda maupun Batavia. Para Ulee Balang Aceh dan utusan
khusus Sultan ditugaskan untuk mencari bantuan ke sekutu lama Turki. Namun kondisi saat itu
tidak memungkinkan karena Turki saat itu baru saja berperang dengan Rusia di Krimea. Usaha
bantuan juga ditujukan ke Italia, Perancis hingga Amerika namun nihil. Dewan Delapan yang
dibentuk di Penang untuk meraih simpati Inggris juga tidak bisa berbuat apa-apa. Dengan alasan
ini, Belanda memantapkan diri menyerah ibukota. Maret 1873, pasukan Belanda mendarat di
Pantai Cermin Meuraksa menandai awal invasi Belanda Aceh.

Perang Aceh[sunting | sunting sumber]


Artikel utama untuk bagian ini adalah: Perang Aceh
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873
setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang
besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan
1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh.

Berkas:Atjeh Overgave Januari 1903.jpg


Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat menyerah di hadapan Jenderal Van Heutsz di
Kraton Meuligoe.
Pada tahun 1896 Dr. Christiaan Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden
yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, memberikan saran
kepada Belanda agar merangkul para Ulèëbalang, dan melumatkan habis-habisan kaum ulama.
Saran ini baru terlaksanan pada masa Gubernur Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz.
Pasukan Marsose dibentuk dan G.C.E. Van Daalen diutus mengejar habis-habisan pejuang Aceh
hingga pedalaman.

Pada Januari tahun 1903 Sultan Muhammad Daud Syah akhirnya menyerahkan diri kepada
Belanda setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda.
Panglima Polem Muhammad Daud, Tuanku Raja Keumala, dan Tuanku Mahmud menyusul pada
tahun yang sama pada bulan September. Perjuangan di lanjutkan oleh ulama keturunan Tgk.
Chik di Tiro dan berakhir ketika Tgk. Mahyidin di Tiro atau lebih dikenal Teungku Mayed tewas
1910 di Gunung Halimun.

Pemerintahan[sunting | sunting sumber]


Sultan Aceh[sunting | sunting sumber]
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Sultan Aceh

Sultan Muhammad Daud Syah Johan Berdaulat, Sultan Aceh terakhir yang bertahta pada tahun
1874-1903.
Sultan Aceh atau Sultanah Aceh merupakan penguasa / raja dari Kesultanan Aceh. Sultan
awalnya berkedudukan di Gampông Pande, Bandar Aceh Darussalam kemudian pindah ke
Dalam Darud Dunia di daerah sekitar pendopo Gubernur Aceh sekarang. Dari awal hingga tahun
1873 ibukota berada tetap di Bandar Aceh Darussalam, yang selanjutnya akibat Perang dengan
Belanda pindah ke Keumala, sebuah daerah di pedalaman Pidie.

Sultan/Sultanah diangkat maupun diturunkan atas persetujuan oleh tiga Panglima Sagoe dan
Teuku Kadi Malikul Adil (Mufti Agung kerajaan). Sultan baru sah jika telah membayar "Jiname
Aceh" (mas kawin Aceh), yaitu emas murni 32 kati, uang tunai seribu enam ratus ringgit,
beberapa puluh ekor kerbau dan beberapa gunca padi. Daerah yang langsung berada dalam
kekuasaan Sultan (Daerah Bibeueh) sejak Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah adalah daerah
Dalam Darud Dunia, Masjid Raya, Meuraxa, Lueng Bata, Pagarayée, Lamsayun, Peulanggahan,
Gampông Jawa dan Gampông Pande.
Lambang kekuasaan tertinggi yang dipegang Sultan dilambangkan dengan dua cara yaitu keris
dan cap. Tanpa keris tidak ada pegawai yang dapat mengaku bertugas melaksanakan perintah
Sultan. Tanpa cap tidak ada peraturan yang mempunyai kekuatan hukum.

Perangkat Pemerintahan[sunting | sunting sumber]


Perangkat pemerintahan Sultan kadang mengalami perbedaan tiap masanya. Berikut adalah
badan pemerintahan masa Sultanah di Aceh:

Balai Rong Sari, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Sultan sendiri, yang anggota-anggotanya
terdiri dari Hulubalang Empat dan Ulama Tujuh. Lembaga ini bertugas membuat rencana dan
penelitian.
Balai Majlis Mahkamah Rakyat, yaitu lembaga yang dipimpin oleh Kadli Maiikul Adil, yang
beranggolakan tujuh puluh tiga orang; kira-kira semacam Dewan Perwakilan Rakyat sekarang.
Balai Gading, yaitu Lembaga yang dipimpin Wazir Mu'adhdham Orang Kaya Laksamana Seri
Perdana Menteri; kira-kira Dewan Menteri atau Kabinet kalau sekarang, termasuk sembilan
anggota Majlis Mahkamah Rakyat yang diangkat.
Balai Furdhah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal ekonomi, yang dipimpin oleh seorang
wazir yang bergelar Menteri Seri Paduka; kira-kira Departemen Perdagangan.
Balai Laksamana, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal angkatan perang, yang dipimpin oleh
seorang wazir yang bergelar Laksamana Amirul Harb; kira-kira Departemen Pertahanan.
Balai Majlis Mahkamah, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal kehakiman/pengadilan, yang
dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Seri Raja Panglima Wazir Mizan; kirakira
Departemen Kehakiman.
Balai Baitul Mal, yaitu lembaga yang mengurus hal ihwal keuangan dan perbendaharaan negara,
yang dipimpin oleh seorang wazir yang bergelar Orang Kaya Seri Maharaja Bendahara Raja
Wazir Dirham; kira-kira Departemen Keuangan.
Selain itu terdapat berbagai pejabat tinggi Kesultanan diantaranya

Syahbandar, mengurus masalah perdagangan di pelabuhan


Teuku Kadhi Malikul Adil, semacam hakim tinggi.
Wazir Seri Maharaja Mangkubumi, yaitu pejabat yang mengurus segala Hulubalang; kira-kira
Menteri Dalam Negeri.
Wazir Seri Maharaja Gurah, yaitu pejabat yang mengurus urusan hasil-hasil dan pengembangan
hutan; kira-kira Menteri Kehutanan.
Teuku Keurukon Katibul Muluk, yaitu pejabat yang mengurus urusan sekretariat negara
termasuk penulis resmi surat kesultanan, dengan gelar lengkapnya Wazir Rama Setia Kerukoen
Katibul Muluk; kira-kira Sekretaris Negara.
Ulèëbalang & Pembagian Wilayah[sunting | sunting sumber]

Keramik dari Fujian pada masa Dinasti Ming, Cina yang dihadiahkan untuk Kesultanan Aceh
pada abad ke-17 M
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Ulèëbalang
Pada waktu Kerajaan Aceh sudah ada beberapa kerajaan seperti Peureulak, Pasée, Pidie,
Teunom, Daya, dan lain-lain yang sudah berdiri. Disamping kerajaan ini terdapat daerah bebas
lain yang diperintah oleh raja-raja kecil. Pada masa Sultan Iskandar Muda semua daerah ini
diintegrasikan dengan Kesultanan Aceh dan diberi nama Nanggroe, disamakan dengan tiga
daerah inti Kesultanan yang disebut Aceh Besar. Tiap daerah ini dipimpin oleh Ulèëbalang. Pada
masa Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1088 - 1098 H = 1678 - 1688 M) dengan Kadi Malikul
Adil (Mufti Agung) Tgk. Syaikh Abdurrauf As-Sinkily dilakukan reformasi pembagian wilayah.
Kerajaan Aceh dibagi tiga federasi dan daerah otonom. Bentuk federasi dinamakan Sagoe dan
kepalanya disebut Panglima Sagoe. Berikut pembagian tiga segi (Lhée Sagoe):

Sagoe XXII Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Muda Perkasa Panglima Polem Wazirul
Azmi. Kecuali menjadi kepala wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirud Daulah (Menteri
Negara).
Sagoe XXV Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Setia Ulama Kadli Malikul 'Alam.
Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Ketua Majelis Ulama Kerajaan.
Sagoe XXVI Mukim, yang Kepala Sagoenya bergelar Sri Imeum Muda Panglima Wazirul Uzza.
Kecuali menjadi Kepala Wilayahnya, juga diangkat menjadi Wazirul Harb (Menteri Urusan
Peperangan).
Dalam setiap Sagoe terdapat Gampong. Setiap gampong memiliki sebuah Meunasah. Kemudian
gampong itu membentuk Mukim yang terdapat satu Masjid untuk melakukan shalat jumat sesuai
mazhab Syafi'ie. Kecuali dari 3 wilayah Sagoe ini, semua daerah memiliki hak otonom yang
luas.

Ulèëbalang yang diberi hak mengurus daerah otonom non Lhée Sagoe, secara teori adalah
pejabat sultan yang diberikan Sarakata pengangkatan dengan Cap Sikureueng. Namun fakta di
lapangan mereka adalah merdeka. Memang Sultan Aceh tidak dapat mengontrol semua
Ulèëbalang yang telah menjadi pejabat di pedalaman. Dengan lemahnya pengontrolan ini
sehingga mereka lambat laun tidak mau tunduk lagi dan mengindahkan kekuasaan Sultan.
Mereka mulai berdagang dengan pedagang asing di pelabuhan mereka sendiri. Saudagar-
saudagar yang terlibat dalam perdagangan luar negeri ini tidak mau menyetorkannya kepada
petugas Sultan, tetapi menyetorkannya kepada Ulèëbalang langsung.

Ditegaskan juga dalam sarakata bahwa Ulèëbalang terikat dalam sumpah yang isinya sebagai
berikut:

Demi Allah, kami sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh, dan sekalian kami yang ada jabatan
masing-masing kadar mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kami ini
semuanya, kami thaat setia kepada Allah dan Rasul, dan kami semua ini thaat setia kepada
Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini taat setia kepada
raja kami dengan mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya cinta pada Negeri
Aceh, mempertahankan dari pada serangan musuh, kecuali ada masyakkah, dan kami semua ini
cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang amanah harta orang yang telah dipercayakan
oleh empunya milik. Maka jika semua kami yang telah bersumpah ini berkhianat dengan
mengubah janji seperti yang telah kami ikral dalam sumpah kami semua ini, demi Allah kami
semua dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada anak cucu kami dan
cicit kami turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh
senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun. Wassalam.

— Sumpah Ulee Balang


Dokumen sumpah itu kemudian disimpan oleh Wazir Rama Setia selaku Sekretaris Kerajaan
Aceh, Said Abdullah Di Meuleuk, yang kemudian disimpan secara turun temurun oleh
keturunannya hingga saat ini, khusus bagi rakyat yang termasuk dalam daerah wewenangnya,
dalam hal ini ia boleh mengangkat seorang Kadi/hakim untuk membantunya. Sebagai penutup
ditegaskan, sekiranya Ulée Balang gagal dalam melaksanakan tugasnya menurut hukum-hukum
Allah, ia akan kehilangan kepercayaan atasannya.Diakhir sarakata itu dianjurkan Uleebalang itu
menegakkan shalat lima waktu, melakukan sembahyang Jum'at, mengeluarkan zakat, mendirikan
masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya, mendirikan dayah, dan sekiranya kuasa melakukan
ibadah haji.

Perekonomian[sunting | sunting sumber]

Salah satu kerajinan logam di Aceh.


Aceh banyak memiliki komoditas yang diperdagangkan diantaranya:

Minyak tanah dari Deli,


Belerang dari Pulau Weh dan Gunung Seulawah,
Kapur dari Singkil,
Kapur Barus dan menyan dari Barus.
Emas di pantai barat,
Sutera di Banda Aceh.
Selain itu di ibukota juga banyak terdapat pandai emas, tembaga, dan suasa yang mengolah
barang mentah menjadi barang jadi. Sedang Pidie merupakan lumbung beras bagi kesultanan.
Namun di antara semua yang menjadi komoditas unggulan untuk diekspor adalah lada.

Produksi terbesar terjadi pada tahun 1820. Menurut perkiraan Penang, nilai ekspor Aceh
mencapai 1,9 juta dollar Spanyol. Dari jumlah ini $400.000 dibawa ke Penang, senilai $1 juta
diangkut oleh pedagang Amerika dari wilayah lada di pantai barat. Sisanya diangkut kapal
dagang India, Perancis, dan Arab. Pusat lada terletak di pantai Barat yaitu Rigas, Teunom, dan
Meulaboh.

Kebudayaan[sunting | sunting sumber]


Arsitektur[sunting | sunting sumber]

Gunongan

Kandang (komplek makam) Sultan Iskandar Tsani


Tidak terlalu banyak peninggalan bangunan zaman Kesultanan yang tersisa di Aceh. Istana
Dalam Darud Donya telah terbakar pada masa perang Aceh - Belanda. Kini, bagian inti dari
Istana Dalam Darud Donya yang merupakan tempat kediaman Sultan Aceh telah berubah
menjadi Pendapa Gubernur Aceh dan "asrama keraton" TNI AD. Perlu dicatat bahwa pada masa
Kesultanan bangunan batu dilarang karena ditakutkan akan menjadi benteng melawan Sultan.
Selain itu, Masjid Raya Baiturrahman saat ini bukanlah arsitektur yang sebenarnya dikarenakan
yang asli telah terbakar pada masa Perang Aceh - Belanda. Peninggalan arsitektur pada masa
kesultanan yang masih bisa dilihat sampai saat ini antara lain Benteng Indra Patra, Masjid Tua
Indrapuri, Komplek Kandang XII (Komplek Pemakaman Keluarga Kesultanan Aceh), Pinto
Khop, Leusong dan Gunongan dipusat Kota Banda Aceh. Taman Ghairah yang disebut Ar
Raniry dalam Bustanus Salatin sudah tidak berjejak lagi.

Kesusateraan[sunting | sunting sumber]


Sebagaimana daerah lain di Sumatera, beberapa cerita maupun legenda disusun dalam bentuk
hikayat. Hikayat yang terkenal di antaranya adalah Hikayat Malem Dagang yang berceritakan
tokoh heroik Malem Dagang berlatar penyerbuan Malaka oleh angkatan laut Aceh. Ada lagi
yang lain yaitu Hikayat Malem Diwa, Hikayat Banta Beuransah, Gajah Tujoh Ulee, Cham
Nadiman, Hikayat Pocut Muhammad, Hikayat Prang Gompeuni, Hikayat Habib Hadat, Kisah
Abdullah Hadat dan Hikayat Prang Sabi.

Salah satu karya kesusateraan yang paling terkenal adalah Bustanus Salatin (Taman Para Sultan)
karya Syaikh Nuruddin Ar-Raniry disamping Tajus Salatin (1603), Sulalatus Salatin (1612), dan
Hikayat Aceh (1606-1636). Selain Ar-Raniry terdapat pula penyair Aceh yang agung yaitu
Hamzah Fansuri dengan karyanya antara lain Asrar al-Arifin (Rahasia Orang yang Bijaksana),
Syarab al-Asyikin (Minuman Segala Orang yang Berahi), Zinat al-Muwahhidin (Perhiasan
Sekalian Orang yang Mengesakan), Syair Si Burung Pingai, Syair Si Burung Pungguk, Syair
Sidang Fakir, Syair Dagang dan Syair Perahu.

Karya Agama[sunting | sunting sumber]


Para ulama Aceh banyak terlibat dalam karya di bidang keagamaan yang dipakai luas di Asia
Tengga. Syaikh Abdurrauf menerbitkan terjemahan dari Tafsir Alqur'an Anwaarut Tanzil wa
Asrarut Takwil, karangan Abdullah bin Umar bin Muhammad Syirazi Al Baidlawy ke dalam
bahasa jawi.

Kemudian ada Syaikh Daud Rumy menerbitkan Risalah Masailal Muhtadin li Ikhwanil Muhtadi
yang menjadi kitab pengantar di dayah sampai sekarang. Syaikh Nuruddin Ar-Raniry setidaknya
menulis 27 kitab dalam bahasa melayu dan arab. Yang paling terkenal adalah Sirath al-
Mustaqim, kitab fiqih pertama terlengkap dalam bahasa melayu.

Militer[sunting | sunting sumber]

Salah satu meriam yang dimiliki Kesultanan Aceh.


Pada masa Sultan Selim II dari Turki Utsmani, dikirimkan beberapa teknisi dan pembuat senjata
ke Aceh. Selanjutnya Aceh kemudian menyerap kemampuan ini dan mampu memproduksi
meriam sendiri dari kuningan.

Kerajaan islam di riau


Kerajaan Siak
Kerajaan Siak merupakan kerajaan melayu Islam yang terletak di Kabupaten Siak, Provinsi Riau.
Kerajaan ini tumbuh menjadi kerajaan bercorak islam pada abad ke 15. Menurut Berita Tome
Pires, Kerajaan Siak menghasilkan padi, madu, timah, dan emas. Pada awalnya, kerajaan Siak
merupakan kerajaan bawahan Kerajaan Malaka pada masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah.
Kerajaan Siak menghasilan padi, madu, lilin, rotan, bahan-bahan apotek, dan banyak emas.
Raja-raja yang pernah berkuasa di Kerajaan Siak Sri Indrapura antara lain sebagai berikut:
Raja Abdullah (Sultan Khoja Ahmad Syah). Saat itu Kerajaan Siak masih berada di bawah
kekuasaan Malaka.Raja Abdullah adalah raja yang ditunjuk oleh Sultan Johor untuk memimpin
dan memerintah Kerajaan Siak.
Raja Hasan Putra Ali Jalla Abdul Jalil. Pada masa pemerintahannya, Belanda berhasil menguasai
Malaka.Dengan demikian, Kerajaan Siak terikat politik ekonomi perdagangan VOC. Semua
timah yang dihasilkan Siak harus dijual ke VOC.
Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723-1748). Beliau akran juga disebut Raja Kecik.Raja Kecik
adalah anak dari Sultan Kerajaan Johor bergelar Sultan Mahmud Syah II dengan Encik Pong.
Beliaulah yang mendirikan Kerajaan Siak yang berdaulat, bukan di bawah kekuasaan Malaka
lagi. Ia meluaskan daerah kekuasaannya sambil terus memerangi VOC.
Sultan Said Ali (1784-1811). Pada masa pemerintahannya, Ia berhasil mempersatukan kembali
wilayah-wilayah yang memisahkan diri. Pada tahun 1811, ia mengundurkan diri dan digantikan
oleh anaknya, Tengku Ibrahim.
Sultan Assyaidis Syarif Ismail Jalil Jalaluddin (1827-1864). Pada masa pemerintahannya, Siak
mengalami kemunduran dan semakin banyak dipengaruhi politik penjajahan Hindia- Belanda.
Sultan Assayaidis Syarief Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin (1889-1908). Pada masa
pemerintahannya, dibangunlah istana yang megah terletak di kota Siak dan istana ini diberi nama
Istana Asseraiyah Hasyimiah yang dibangun pada tahun 1889. Pada masa pemerintahan Sultan
Syarif Hasyim ini Siak mengalami kemajuan terutama dibidang ekonomi. Setelah wafat, beliau
digantikan oleh putranya yang masih kecil dan sedang bersekolah di Batavia, yaitu Sultan Syarif
Kasim II.
Syarif Kasim Tsani atau Sultan Syarif Kasim II (1915-1945). Bersamaan dengan
diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia, beliau pun mengibarkan bendera merah
putih di Istana Siak dan menyatakan bergabung dengan Republik Indonesia.

Kerajaan Siak Sri Indrapura sangat kaya dengan hasil alam yang melimpah. Sayangnya pada
awal mula munculnya, kerajaan ini dikuasai oleh Kerajaan Malaka. Daerah ini diawasi oleh
Syahbandar yang ditunjuk oleh Raja Johor untuk memungut cukai hasil hutan dan hasil laut.
Pada tahun 1641, Belanda berhasil menguasai Malaka. Dengan demikian, Kerajaan Siak terikat
politik ekonomi perdagangan VOC. Semua timah yang dihasilkan Siak harus dijual ke VOC.
Namun pada masa pemerintahan Raja Kecik, rakyat Siak hidup makmur karena tidak harus
menyerahkan hasil alamnya kepada Malaka maupun VOC. Bahkan pada masa pemerintahan
Sultan Syarif Hasyim ini Siak mengalami kemajuan terutama dibidang ekonomi. Sultan Syarif
Hasyim mulai menjalin hubungan dengan luar negri.

Siak Sri Inderapura sampai sekarang tetap diabadikan sebagai nama ibu kota dari Kabupaten
Siak, dan Balai Kerapatan Tinggi yang dibangun tahun 1886 serta Istana Siak Sri Inderapura
yang dibangun pada tahun 1889, masih tegak berdiri sebagai simbol kejayaan masa silam,
termasuk Tari Zapin Melayu dan Tari Olang-olang yang pernah mendapat kehormatan menjadi
pertunjukan utama untuk ditampilkan pada setiap perayaan di Kesultanan Siak Sri Inderapura.
Begitu juga nama Siak masih melekat merujuk kepada nama sebuah sungai di Provinsi Riau
sekarang, yaitu Sungai Siak yang bermuara pada kawasan timur pulau Sumatera.

Kerajaan Indragiri
Kerajaan Indragiri terletak di Kabupaten Indragiri Hilir, dan Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi
Riau. Kerajaan Indragiri berdiri sejak tahun 1298, kerajaan ini didirikan oleh Raja Kecik
Mambang atau Raja Merlang. Kerajaan ini tumbuh menjadi kerajaan bercorak islam pada abad
ke 15. Menurut Berita Tome Pires, Kerajaan Siak menghasilkan padi, madu, timah, dan emas.
Pada awalnya, kerajaan Siak merupakan kerajaan bawahan Kerajaan Malaka pada masa
pemerintahan Sultan Mansyur Syah. Beberapa raja yang pernah memerintah Indragiri adalah
sebagai berikut.
1298-1337: Raja Kecik Mambang alias Raja Merlang I.
1337-1400: Raja Iskandar alias Nara Singa I.
1400-1473: Raja Merlang II bergelar Sultan Jamalluddin Inayatsya.
1473-1532: Paduka Maulana Sri Sultan Alauddin Iskandarsyah Johan NaraSinga II bergelar
Zirullah Fil Alam.
1532-1557: Sultan Usulluddin Hasansyah.
1557-1599: Raja Ahmad bergelar Sultan Mohamadsyah.
1559-1658: Raja Jamalluddin bergelar Sultan Jammalludin Keramatsyah.
1658-1669: Sultan Jamalluddin Suleimansyah.
1669-1676: Sultan Jamalluddin Mudoyatsyah.
1676-1687: Sultan Usulluddin Ahmadsyah.
1687-1700: Sultan Abdul Jalilsyah.
1700-1704: Sultan Mansyursyah.
1704-1707: Sultan Modamadsyah.
1707-1715: Sultan Musafarsyah.
1715-1735: Raja Ali bergelar Sultan Zainal Abidin
1735-1765: Raja Hasan bergelar Sultan Salehuddin Keramatsyah.
1765-1784: Raja Kecik Besar bergelar Sultan Sunan.
1784-1815: Sultan Ibrahim.
1815-1827: Raja Mun bergelar Sultan Mun Bungsu.
1827-1838: Raja Umar bergelar Sultan Berjanggut Keramat Gangsal.
1838-1876: Raja Said bergelar Sultan Said Modoyatsyah.
1876: Raja Ismail bergelar Sultan Ismailsyah.
1877-1883: Tengku Husin alias Tengku Bujang bergelar Sultan Husinsyah.
1887-1902: Tengku Isa bergelar Sultan Isa Mudoyatsyah.
1902-1912: Raja Uwok. Sebagai Raja Muda Indragiri.
1912-1963: Tengku Mahmud bergelar Sultan Mahmudsyah.

Kerajaan Kampar
Kesultanan Pelalawan atau Kerajaan Pelalawan (1725 M-1946 M) yang sekarang terletak di
Kabupaten Pelalawan, Riau. Periode pemerintahan di Pelalawan dibagi menjadi dua: periode pra
Islam dan pasca Islam. Pada era pra Islam, kerajaan ini masih bernama Pekantua. Sementara
pada era Islam, ada tiga kali pergantian nama, dari Pekantua Kampar, kemudianTanjung Negeri,
dan terakhir Pelalawan. Kerajaan ini eksis dari tahun 1380 hingga 1946.

Kerajaan Malaka pada masa pemerintahan Sultan Mansur Syah (1459-1477 M) menyerang
Kerajaan Pekantua, dan kerajaan Pekantua dapat dikalahkan. Kemudian Sultan mengangkat
Munawar Syah sebagai Raja Pekantua. Pada upacara penebalan, diumumkan bahwa kerajaan
Pekantua berubah menjadi "kerajaan Pekantuan Kampar"
Ketika kerajaaan Johor dipimpin oleh Sultan Abdul Jalil Syah (cucu Sultan Alauddin Syah II,
Raja Kampar), Tun Megat di Kerajaan Pekantua Kampar meminta salah seorang keturunan
Sultan Alauddin Riayat Syah II kembali ke Pekantua Kampar untuk menjadi raja. Sekitar tahun
1590 M, Raja Abdurrahman dinobatkan menjadi Raja Pekantua Kampar dengan gelar "Maharaja
Dinda" (1590-1630 M). selanjutnya beliau memindahkan pusat kerajaan Pekantua Kampar dari
Pekantua ke Bandar Tolam.

Setelah mangkat, Maharaja Dinda digantikan oleh puteranya Maharaja Lela I, yang bergelar
Maharaja Lela Utama (1630-1650 M). Tak lama kemudian beliau pun mangkat, dan digantikan
oleh puteranya Maharaja Lela Bangsawan (1650-1675 M), selanjutnya digantikan puteranya
Maharaja Lela Utama (1675-1686 M). Pada masa pemerintahan Maharaja Lela Utama, ibu kota
kerajaan dipindahkan ke Sungai Nilo. Kerajaan ini dinamakan Kerajaan Tanjung Negeri. Setelah
beliau mangkat digantikan Maharaja Wangsa Jaya.

Ketika Maharaja Wangsa Jaya (1686-1691 M) mangkat digantiakn oleh puteranya Maharaja
Muda Lela (1691-1720 M), yang kemudian digantikan oleh puteranya Maharaja Dinda II (1720-
1750 M). Pada masa maharaja Dinda II sekitar tahun 1725 M terjadi pemidahan pusat kerajaan
Pekantua Kampar ke Sungai Rasau, salah satu anak sungai Kampar,dan nama kerajaan
"Pekantua Kampar" diganti menjadi kerajaan "Pelalawan". setelah beliau mangkat, digantikan
puteranya Maharaja Lela Bungsu (1750-1775 M), yang berhasil membuat hubungan dagang
dengan daerah sekitarnya.

Kemudian kerajaan tersebut tunduk kepada Kerajaan Siak, dan pada 4 Februari 1879 dengan
terjadinya perjanjian pengakuannya Kampar berada di bawah pemerintahan Hindia Belanda.
Kerajaan Indragiri sebelum 1641 yang berada di bawah Kemaharajaan Malayu berhubungan erat
dengan Portugis, tetapi setelah Malaka diduduki VOC, mulailah berhubungan dengan VOC yang
mendirikan kantor dagangnya di Indragiri berdasarkan perjanjian 28 Oktober 1664.

Kesultanan jambi
Kesultanan Jambi adalah kerajaan Islam yang berkedudukan di provinsi Jambi sekarang.
Kerajaan ini berbatasan dengan Kerajaan Indragiri dan kerajaan-kerajaan Minangkabau seperti
Siguntur dan Lima Kota di utara. Di selatan kerajaan ini berbatasan dengan Kesultanan
Palembang (kemudian Keresidenan Palembang). Jambi juga mengendalikan lembah Kerinci,
meskipun pada akhir masa kekuasaannya kekuasaan nominal ini tidak lagi dipedulikan.

Ibukota Kesultanan Jambi terletak di kota Jambi, yang terletak di pinggir sungai Batang Hari.

kerajaan islam di jambi


KERAJAAN ISLAM DI JAMBI

Kesultanan Jambi adalah Kerajaan Islam yang berkedudukan di Provinsi Jambi sekarang. Kerajaan ini
berbatasan dengan Kerajaan Indragiri dan Kerajaan - Kerajaan Minangkabau sepertiSiguntur dan Lima
Kota dii utara. Di selatan kerajaan ini berbatasan dengan Kesultanan Palembang (kemudian Keresidenan
Palembang). Kesultanan Jambi juga mengendalikan Lembah Kerinci, meskipun pada masa akhir
kekuasaannya, kekuasaan nominal tidak lagi diperdulikan. Ibukota Kesultanan Jambi terletak di Kota
Jambi, yang terletak di pinggir sungai Batanghari.
Geografi
Jambi berkembang di wilayah cekungan Batanghari, sungai terpanjang di Sumatera. Sungai ini, dan
anak-anak sungainya seperti : Tembesi, Tabir dan Merangin, merupakan tulang punggung wilayah
tersebut. Sungai Tungkal yang berbatasan dengan Indragiri memiliki cekungan tangkapan air sendiri.
Sungai - sungai itu merupakan andalan transportasi utama Jambi.
Kependudukan
Penduduk Jambi relatif jarang, pada 1852 jumlah penduduk diperkirakan hanya sebanyak 60.000 jiwa
dan Jambi Timur nyaris tidak berpenghuni. Etnis Melayu berdiam di pinggiran Sungai Batanghari dan
Tembesi. Orang Kubu menghuni hutan - hutan, sedangkan Orang-orang Batinmendiami wilayah Jambi
Hulu. Pendatang dari Minangkabau disebut sebagai orang Penghulu, yang menyatakan tunduk pada
orang - orang Batin.

Sejarah
Wilayah Jambi dulunya merupakan wilayah Kerajaan Malayu dan kemudian menjadi bagian dari
Sriwijaya. Pada akhir abad ke-14 Jambi merupakan Vasal Majapahit, dan pengaruh jawa masih terus
mewarnai Kesultanan Jambi selama abad ke-17 dan abad ke-18.
Berdirinya Kesultanan Jambi bersamaan dengan bangkitnya Islam di wilayah itu. pada tahun 1616 Jambi
merupakan Pelabuhan terkaya kedua di Sumatera setelah Aceh, dan pada tahun 1670 kerajaan ini
sebanding dengan tetangga-tetangganya seperti Johor dan Palembang. Namun kejayaan Jambi tidak
berumur panjang, Tahun 1680-an Jambi kehilangan kedudukan sebagaiPelabuhan Lada utama, setelah
perang dengan Johor dan konflik internal.
Tahun 1903 Pangeran Ratu Martaningrat, keturunan Sultan Thaha, sultan yang terakhir, menyerah
kepada Belanda, Jambi digabungkan dengan Keresidenan Palembang. Tahun 1906 Kesultanan Jambi
resmi dibubarkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Pemerintahan
Kesultanan Jambi dipimpin oleh Raja yang bergelar SULTAN. Pada tahun 1877-1879 kediaman Sultan
Jambi berada di Dusun Tengah (sekarang bernama desa Rambutan Masam, Kecamatana Muara
Tembesi), Kabupaten Batanghari. Raja ini dipilih dari perwakilan empat bangsawan (Suku) yaitu : Suku
Kraton, Kedipan, Perban dan Raja Empat Puluh. Selain memilih raja keempat suku tersebut juga
memilih Pangeran Ratu, yang mengendalikan jalannya roda pemerintahan sehari-hari. Dalam
menjalankan pemerintahan Pangeran Ratu dibantu oleh para menteri dan dewan penasehat yang
anggotanya berasal dari keluarga bangsawan. Sultan berfungsi sebagai pemersatu dan mewakili negara
bagi dunia luar.
Senarai (Silsilah) Sultan Jambi
Berikut ini adalah daftar Sultan Jambi
1790-1812 Mas'ud Badruddin bin Ahmad Sultan Ratu Seri Ingalaga.
1812-1833 Mahmud Muhieddin bin Ahmad Sultan Ratu Seri Ingalaga.
1833-1841 Muhammad Fakhruddin bin Mahmud Sultan Keramat.
1841-1855 Abdul Rahman Nazaruddin bin Mahmud.
1855-1858 Thaha Syaifuddin bin Muhammad (1st time).
1858-1881 Ahmad Nazaruddin bin Mahmud.
1881-1885 Muhammad Muhieddin bin Abdul Rahman.
1885-1899 Ahmad Zainul Abidin bin Muhammad.
1900-1904 Thaha Syaifuddin bin Muhammad (2nd time).
1904- Dihancurkan Belanda.
2012- Abdurrachman Thaha Syaifuddin (Dinobatkan pada tanggal 18 Maret 2012)

You might also like