Well Being 2

You might also like

Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 9

Subjective Well-Being

Pengertian Subjective Well-Being

Kebahagiaan bisa merujuk ke banyak arti seperti rasa senang (pleasure), kepuasan
hidup, emosi positif, hidup bermakna, atau bisa juga merasakan kebermaknaan
(contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being sebagai istilah dari
kebahagiaan (happiness) itu sendiri. Konsep well-being sendiri mengacu pada
pengalaman dan fungsi psikologis secara optimal.

Menurut Pasha (dalam Lestari, 2008) kebahagiaan adalah seni atau kemampuan
seseorang dalam menikmati apa yang ada padanya, atau apa yang dimiliki.
Kebahagiaan adalah keterpesonaan pada segala sesuatu yang indah dan memalingkan
diri dari kemuraman.Kebahagiaan adalah kemampuan diri meraih segala sisi
keindahan. Kebahagiaan bukan hanya memiliki, tetapi kebahagiaan adalah
kemampuan menggunakan apa yang kita miliki dengan baik. Menurut Pasha
kebahagiaan ditentukan oleh pikiran sendiri. Kebahagiaan adalah sesuatu yang
dirasakan oleh manusia dalam jiwanya berupa ketentraman jiwa, ketenangan hati,
kelapangan dada dan kedamaian nurani. Kebahagiaan adalah sesuatu yang tumbuh
dari dalam diri manusia, akan tetapi tidak datang dari luar. Jika diibaratkan sebagai
tumbuhan, maka akar kebahagiaan itu adalah jiwa dan hati yang jernih. Menurut Ryan
dan Deci (dalam Primasani, 2005) ada dua pendekatan dalam menjelaskan mengenai
well-being, yaitu pendekatan eudaimonic dan hedonic. Pendekatan Eudaimonic
memandang well-being tidak hanya sebagai pencapaian kesenangan, tetapi juga
realisasi potensi diri seorang individu dalam mencapai kesesuaian tujuannya yang
melibatkan pemenuhan dan pengidentifikasian diri individu yang sebenarnya. Konsep
yang banyak dipakai pada penelitian dengan pandangan ini adalah konsep
psychological well-being (PWB). Pendekatan Hedonic memandang well-being tersusun
atas kebahagiaan subjektif dan berfokus pada pengalaman yang mendatangkan
kenikmatan. Pandangan hedonic memperhatikan pengalaman menyenangkan versus
tidak menyenangkan yang didapatkan dari penilaian baik buruknya hal-hal yang ada
dalam kehidupan seseorang. Konsep yang dipakai dengan pandangan ini biasanya
adalah konsep subjective well-being.

Diener, Kahneman, dan Schwarz (dalam Ed Diener & Scollon, 2003) subjective well-
being adalah evaluasi subjektif masyarakat terhadap hidup individu, yang meliputi
konsep seperti kepuasan hidup, emosi yang menyenangkan, perasaan pemenuhan,
kepuasan dengan domain seperti perkawinan, pekerjaan dan tinggi rendahnya situasi
emosi. Dengan demikian subjective well-being merupakan istilah umum yang
mencakup berbagai konsep yang terkait pada bagaimana orang merasakan dan berfikir
tentang kehidupan mereka.
Diener (dalam Veenhoven, 2008), subjective well-being merupakan suatu produk
penilaian keseluruhan kehidupan yang menyeimbangkan baik dan buruk. Tidak
membatasi diri dengan perasaan tertentu dan tidak mencampur pengalaman subjektif
dengan penyebab konseptualisasi. Menurut Veenhoven (2008), subjective well-being
adalah suatu perbedaan antara penilaian kognitif dan afektif pada kehidupan.

Diener (dalam Ariati, 2010) subjective well-being adalah teori evaluasi akan kejadian
yang telah terjadi atau dialami dalam kehidupan. Yang ini melibatkan proses afektif dan
kognitif yang aktif karena menentukan bagaimana informasi tersebut akan diatur.
Evaluasi kognitif dilakukan saat seseorang memberikan evaluasi secara sadar dan
menilai kepuasan mereka terhadap kehidupan secara keseluruhan atau penilaian
evaluatif mengenai aspek-aspek khusus dalam kehidupan, seperti kepuasan kerja,
minat, dan hubungan. Reaksi afektif dalam subjective well-being (SWB) yang dimaksud
adalah reaksi individu terhadap kejadian-kejadian dalam hidup yang meliputi emosi
yang menyenangkan dan emosi yang tidak menyenangkan.

Beberapa definisi yang telah dikemukakan tersebut, maka dapat diartikan bahwa
subjective well-being adalah suatu ungkapan perasaan individu mengenai
kehidupannya didalam berbagai keadaan yang terjadi dan dialami, baik itu dilihat
berdasarkan kebahagiaan dan kepuasan dalam hidup.

Komponen Subjective Well-Being

Menurut Diener (2003), subjective well being mempunyai dua komponen. Hal ini akan
dijelaskan sebagai berikut:

1) Komponen Afektif

Menurut Diener (2003), afek positif dan afek negatif merupakan evaluasi individu
terhadap pengalaman atau
yang terjadi dalam kehidupannya. Subjective well being individu dapat diprediksi
dengan melakukan perbandingan antara pengalaman emosi positif dan negatif yang
dialami individu dalam kehidupan sehari-hari (Diener dalam Eid dan Larsen, 2008).
Selanjutnya, akan dijelaskan sebagai berikut:

a) Evaluasi terhadap Positive Affect (PA)

Keyes dan Magyar-Moe (dalam Lopez dan Snyder, 2003) menyebutkan bahwa positive
affect merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan sebuah pengalaman
emosi yang memberikan reaksi kesenangan, antusias, dan kebahagiaan dalam hidup
seseorang.

Diener, dkk. (1999) menyebutkan bahwa positive affect individu yang mempengaruhi
subjective well being adalah kesenangan (joy), sukacita (elation), kepuasan
(contentment), harga diri (pride), rasa kasih sayang (affection), kebahagiaan
(happiness), dan kegembiraan sesaat (ecstasy)

b) Evaluasi terhadap Negative Affect (NA)


Diener (2009b) menjelaskan bahwa negative affect merepresentasikan emosi dan
mood yang tidak menyenangkan. Negative affect juga merupakan refleksi dari respon
negatif yang dialami seseorang atas reaksinya terhadap kehidupan, keadaan,
kesehatan, dan peristiwa yang dialami. Diener (1999) menjelaskan bahwa negative
subjective well being seseorang adalah rasa bersalah dan malu (guilt and shame),
kesedihan (sadness), kecemasan dan kekhawatiran (anxiety and worry), tekanan
(stress), kedengkian (envy), depresi (depression), dan kemarahan (anger).

2) Komponen Kognitif

Menurut Diener, dkk. (2003), afek kognitif dalam subjective well being adalah evaluasi
atau penilaian individu mengenai kualitas hidupnya. Penilaian ini mengacu kepada
kepuasan hidup (life satisfaction/LS) seseorang (Diener, dkk. 2003). Kepuasan hidup ini
penting adanya karena individu mampu menilai apakah kondisi dalam kehidupannya
positif dan sudah memuaskan (Pavot, dalam Eid dan Larsen, 2008). Evaluasi kognitif
dalam kepuasan hidup ini dibagi menjadi dua, yakni kepuasan hidup secara global (life
satisfaction/LS) dan kepuasan atas ranah-ranah atau domain tertentu (domain
satisfaction/DS). Hal ini akan dijelaskan sebagai berikut: a) Evaluasi Kepuasan Hidup
Secara Global (Life Satisfaction/LS)

Kepuasan hidup seseorang merepresentasikan penilaian individu mengenai hidup yang


dijalaninya melalui perbandingan standar yang dimiliki (Diener, 2009b). Selanjutnya,
kepuasan hidup secara global merupakan representasi penilaian individu secara umum
dan reflektif terhadap kehidupannya.

Secara umum, Diener (1999) menjelaskan beberapa hal yang mempengaruhi kepuasan
hidup secara global, antara lain keinginan mengubah hidup (desire to change life),
kepuasan kepada kehiudpan masa lampau (satisfaction with past), kepuasan
kehidupan saati ini (satisfaction with current life), kepuasan terhadap masa depan
(satisfaction with future), dan pandangan orang-orang mengenai kehidupannya
(signification other’s of one’s life).

Evaluasi Kepuasan atas Ranah-ranah tertentu (Domain Satisfaction/DS)

Domain Satisfaction merupakan kepuasan individu dalam ranah-ranah kehidupan yang


berfokus pada penilaian mengenai beberapa aspek spesifik di kehidupan seseorang
(Pavot, dalam Eid dan Larsen, 2008). Diener, dkk. (1999) menggambarkan beberapa
ranah tersebut antara lain, keluarga (family), pekerjaan (work), kesehatan (health),
waktu luang (leisure), keuangan (finance), diri sendiri (self), dan kelompok tertentu
(one’s group).

3 Struktur Komponen Kognitif Subjective Well Being

Seseorang menilai kepuasan hidupnya secara individual berdasarkan pada apa yang
diinginkan dan apa yang telah dimiliki atau secara konseptual secara ideal dan realitas
(Sousa dan Lyubormirsky, 2001). Terdapat dua prosedur mengenai bagaimana
seseorang menentukan kepuasan hidupnya, yakni prosedur top-down atau bottom-up.
Bottom-up theories menyatakan bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup individu
dirasakan dan dialami seseorang tergantung dari banyaknya kebahagiaan-kebahagiaan
kecil dan jumlah peristiwa-peristiwa yang bahagia dalam kehidupannya. Artinya,
subjective well being merupakan penjumlahan dari pengalaman-pengalaman positif
yang terjadi dalam kehidupan individu. Semakin banyak pengalaman positif yang
dirasakan, maka tingkat subjective well being semakin tinggi. Top-down theories
menyatakan bahwa kebahagiaan individu tergantung dari cara individu mengevaluasi
atau menginterpretasi suatu peristiwa yang terjadi dalam hidupnya dari sudut pandang
yang positif. Teori ini menyatakan bahwa individulah yang menentukan apakah
peristiwa yang dialaminya akan menciptakan kebahagiaan dalam dirinya.

Bottom-up theories mengasumsikan bahwa penilaian LS dilakukan berdasarkan


pengukuran sejumlah DS (Diener dalam Eid dan Larsen, 2008). LS dan DS merupakan
pengaruh sebab akibat DS terhadap LS. Individu yang memiliki kepuasan pekerjaan
(DS) tinggi juga akan memiliki LS tinggi karena kepuasan pekerjaan merupakan aspek
penting dari LS. LS akan mengalami perubahan jika terjadi perubahan pada DS.

Sementara itu, top-down theories merupakan kebalikan dari bottom-up theories. Top-
down theories menyatakan bahwa seseorang yang puas atas hidupya secara
keseluruhan atau global juga akan menilai ranah-ranah penting kehidupannya secara
lebih positif pula, meskipun kepuasan hidup seseorang tidak berdasarkan pada
kepuasan pada ranah penting tersebut

Proses Pencapaian Subjective Well Being atau Kebahagiaan

Terdapat enam komponen yang menentukan berhasil atau tidaknya seseorang dalam
mencapai kehidupan yang bermakna dan bahagia (Bastaman, 1996). Keenam
komponen tersebut adalah:

1) Pemahaman diri (self insight), yakni meningkatnya kesadaran seseorang atas


buruknya kondisi pada saat ini dan keinginan kuat untuk melakukan perubahan ke arah
kondisi yang lebih baik.

2) Makna hidup (the meaning of life) merupakan nilai-nilai penting dan sangat
berarti bagi kehidupan pribadi seseorang. Nilai ini berfungsi sebagai tujuan hidup yang
harus dipenuhi dan sebagai pengarah kegiatan-kegiatannya.

3) Pengubahan sikap (changing attitude), yakni pengubahan seseorang dari yang


semula bersikap negatif dan tidak tepat menjadi mampu bersikap positif dan lebih tepat
dalam menghadapi masalah, kondisi hidup, dan perubahan yang tidak terelakkan.

4) Keterikatan diri (self commitment), merupakan komitmen seseorang terhadap


makna hidup yang ditemukan dan tujuan hidup yang ditetapkan.

5) Kegiatan terarah (directed activities), merupakan upaya-upaya yang dilakukan


secara sadar dan sengaja berupa pengembangan potensi- potensi pribadi yang positif
serta pemanfaatan relasi antar pribadi untuk menunjang tercapainya makna dan tujuan
hidup.
6) Dukungan sosial (social support), yakni kehadiran seseorang atau sejumlah
orang yang akrab, dapat dipercaya, dan selalu bersedia memberikan bantuan pada
saat-saat dibutuhkan.

Proses pencapaian tersebut dapat digambarkan pada bagan berikut ini:

Pengalaman Tragis
(Tragic Event)

Penghayatan Tak Bermakna


(Meaningless Life)

Penemuan Makna dan Tujuan Hidup


(Finding Meaning and Purpose Life)

Pengubahan Sikap
(Changing Attitude)

Keterikatan Diri
(Self Commitment)

Kegiatan Terarah dan Pemenuhan Makna Hidup


(Directed Activities and Fulfilling Meaning)

Hidup Bermakna
(Meaningfull Life)

Kebahagiaan
(Happiness)

Peristiwa tragis yang dialami (the tragic event) akan menimbulkan kesadaran diri (self
insight) seseorang untuk mengubah kondisi hidup yang tidak bermakna (the
meaningless life) menjadi kondisi diri yang lebih baik. Biasanya kesadaran ini muncul
karena berbagai sebab. Misalnya, karena perenungan diri, konsultasi dengan para ahli,
mendapat pandangan dari seseorang, hasil do’a dan ibadah, belajar dari pengalaman
orang lain, atau mengalami peristiwa-peristiwa tertentu yang mampu mengubah
sikapnya selama ini. Bersamaan dengan itu disadari pula adanya nilai-nilai yang
berharga atau hal-hal yang sangat penting dalam hidup (the meaning of life) yang
kemudian ditetapkan sebagai tujuan hidup (the purpose of life). Hal-hal yang dianggap
berharga dan penting itu mungkin saja berupa nilai-nilai kreatif (creative values)
misalnya bekerja dan berkarya, nilai-nilai penghayatan (experiental values) seperti
menghayati keindahan, keimanan, keyakinan, kebenaran, dan cinta kasih, nilai-nilai
bersikap (attitudinal values) yakni menentukan sikap yang tepat dalam menghadapi
penderitaan dan pengalaman tragis yang tak dapat dielakkan lagi.

Atas dasar pemahaman diri dan penemuan makna hidup ini timbul perubahan sikap
(changing attitude) dalam menghadapi masalah, yaknni dari kecenderungan berontak
(fighting), melarikan diri (flighting) atau seba bingung dan tak berdaya (freezing)
berubah menjadi kesediaan untuk lebih berani dan realistis menghadapinya (facing).
Setelah itu biasanya semangat hidup dan gairah kerja meningkay, kemudian secara
sadar melakukan keikatan diri (self commitment) untuk melakukan berbagai kegiatan
nyata yang lebih terarah (directed activities) guna memenuhi makna hidup yang
ditemukan dan tujuan yang telah ditetapkan (fulfilling meaning and purpose of life).
Kegiatan-kegiatan ini biasanya berupa pengembangan bakat, kemampuan,
ketrampolan, dan berbagai potensi positif lainnya yang sebelumnya terabaikan. Apabila
pada akhirnya tahap ini berhasil dilalui, dapat dipastikan akan menimbulkan perubahan
kondisi hidup yang lebih baik dan mengembangkan penghayatan hidup bermakna (the
meaningful life) dengan kebahagiaan (happiness) sebagai hasil sampingannya.

d. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Subjective Well Being

Diener (2009a) menjelaskan mengenai beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat


subjective well being, yakni sebagai berikut:

1) Faktor Genetik

Penelitian yang dilakukan oleh Tellegen, dkk. (dalam Eid dan Larsen, 2008)
menghasilkan penemuan bahwa level afek, negatif maupun positif, kembar identik dan
hidup terpisah lebih mirip satu sama lain daripada kembar fraternal yang dibesarkan
bersama. Hasil yang diperoleh memang belum dapat dipastikan apakah ini murni dari
dampak gen yang diwariskan atau lebih kepada pengaruh lingkungan keluarga, namun
walaupun dipengaruhi oleh lingkungan, gen mampu mengarahkan individu untuk
memilih lingkungan dan perilaku yang tepat baginya (Lucas dalam Eid dan Larsen,
2008).

2) Faktor Kepribadian

Lykken dan Tellegen (dalam Diener, 2009a) menyatakan bahwa kecenderungan


tempramen memberikan sumbangan sebanyak 50% pada kebahagiaan. Sifat
kepribadian tertentu (misalnya ekstrovet) juga lebih banyak mengalami afek positif
dibandingkan sifat kepribadian yang lain (misalnya neuroticsm).

3) Faktor Demografis

a) Pendapatan
Larson (dalam Diener, 2009a) mengatakan bahwa terdapat banyak bukti yang
menyatakan hubungan positif antara pendapatan dan subjective well being dalam suatu
negara, namun pendapatan hanya mempengaruhi pada tingkat yang lebih rendah
ketika kebutuhan dasar belum terpenuhi.

b) Status pernikahan dan keluarga

Andrews dan Withey (dalam Diener, 2009a) mengatakan bahwa individu yang menikah
memiliki subjective well being lebih besar dibandingkan individu yang tidak menikah.
Perempuan yang menikah memang memiliki tingkat stres yang lebih besar
dibandingkan yang belum menikah, namun mereka cenderung lebih puas dengan
kehidupan yang dijalani (Glen dalam Diener, 2009a). Kehadiran anak juga merupakan
penentu tingkat kebahagiaan keluarga (Herbst, 2012). Keluarga yang mempunyai anak
akan lebih bahagia dibandingkan dengan keluarga yang tidak memiliki anak. Keluarga
yang dikaruniai anak normal juga memiliki tingkat kebahagiaan yang lebih tinggi
dibandingkan anak cacat (Fatima, 2009).

c) Usia dan jenis kelamin

Tidak ada hubungan yang konsisten antara usia dengan subjective well being, namun
terdapat kecenderungan bahwa kepuasan hidup akan semakin menurun seiring
bertambahnya usia (Diener dan Ryan, 2009).

Perbedaan jenis kelamin tidak pernah memiliki korelasi yang kuat. Perempuan memang
lebih banyak menunjukkan afek negatif, namun juga terlihat lebih banyak mengalami
kesenangan (Diener, 2009a). Selain itu, hanya ditemukan sedikit perbedaan pada
kebahagiaan secara umum antara laki-laki dan perempuan (Goodstein, dkk. dalam
Diener, 2009a).

d) Ras

Andrews dan Withey (dalam Diener, 2009a) menyatakan bahwa di negara Amerika, kulit
hitam biasanya ditemukan memiliki subjective well being yang lebih rendah
dibandingkan kulit putih meskipun hal itu tidak berlaku secara universal. Penelitian ini
tidak bersifat universal karena tidak mengontrol beberapa faktor lain seperti pendidikan,
pernikahan, pendapatan, status pernikahan, dan urbanisasi.

e) Pendidikan

Menurut Palmore (dalam Diener, 2009a) faktor pendidikan tidak memiliki pengaruh yang
kuat. Toseland dan Rasch (dalam Diener, 2009a) menambahkan bahwa beberapa studi
menemukan bahwa meskipun faktor-faktor lain telah dikontrol, tetapi tetap saja tidak
ada pengaruh yang signifikan mengenai pendidikan dan subjective well being.

f) Pekerjaan

Individu yang tidak memiliki pekerjaan merupakan individu yang masuk dalam
kategorisasi tidak bahagia (Campbell, dkk. dalam Diener, 2009a).
g) Agama

Secara luas, iman, tradisionalisme, dan pentingnya agama berhubungan dengan


subjective well being (Cameron, dkk. dalam Diener, 2009a). Diener dan Ryan (2009)
menambahkan bahwa hubungan positif ini dikarenakan arti dan tujuan hidup, serta
berasal dari pendukung organisasi keagamaan.

4) Perilaku dan Hasil

a) Kontak sosial

Rhodes (dalam Diener, 2009a) menyatakan bahwa banyak penelitian yang menemukan
hubungan antara kepuasan dengan teman dan pengukuran subyektif lainnya seperti
kesendirian terhadap subjective well being. Mancini dan Orthner (dalam Diener, 2009a)
menambahkan bahwa kontak sosial yang dimaksud adalah kontak sosial dengan
saudara dan bukan sanak saudara, namun bagaimana mekanisme kontak sosial
tersebut saat ini masih menjadi bahan penelitian.

b) Aktivitas dan kejadian hidup

Aktivitas yang dimaksud mengacu kepada perilaku dan kejadian hidup mengacu
kepada hasil. Diener (2009a) menjelaskan bahwa kejadian hidup mempunyai hubungan
yang konsisten dengan subjective well being. Kejadian hidup yang baik maupun buruk
adalah dua hal yang berbeda dan berdiri sendiri-sendiri dalam kehidupan individu, dan
kejadian hidup positif berhubungan dengan afek positif sedangkan kejadian hidup
negatif berhubungan dengan afek negatif (Reich dan Zautra dalam Diener, 2009a).

Tidak semua aktivitas merupakan faktor yang baik bagi subjective well being (Kozma
dan Stones dalam Diener, 2009a). Hubungan antar keduanya tergantung kepada
kepribadian individu. Selain itu, konsep aktivitas ini juga biasanya dicampur dengan
kontak sosial, hobi, partisipasi dalam organisasi, dan aktivitas fisik (Diener, 2009a).
DAFTAR PUSTAKA

Alhamdu. (2015). Subjective well-being siswa MAN 3 yang tinggal di asrama. Jurnal Psikis, 1,
1-14.
Calhoun, J. F. and Acocella, J.R., (1990), PsychoIogv of Adjustment and Human
Relationships. New York: McGraw-Hill Publishing Company.

Carr, A. (2004). Postive Psychology: The Science of Happiness and Human


Strengths .NewYork: Brunner_Routledge.

Cohen, R. J., (1994). Psychology and Adjustment:Value,Culture,and Change. Boston :


Allyn & Bacon
Compton, W.C. (2005). An Introduction to Positive Psychology. Belmont : Thomson Wadsworth.
Diener. E. (2000). Subjective Well-Being : The Science of Happiness and a Proposal for a
National Index. American Psychologist, 55(1),34-43.
Diener,E., Suh, E., & Oishi, S. (1997). Recent Finding in Subjective Well-Being. Indian Journal
of Clinical Psychology. 24 (1),25-41.

You might also like