Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 39

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah dan Jenis Pembuatan Pulp

Pembuatan kertas dengan bahan baku pulp pertama kali dilakukan di China.
Teknologi yang yang diterapkan pada saat itu sangat sederhana, yaitu pemanfaatan
suspensi dari serat bambu atau serat mulberry yang selanjutnya dijadikan pulp. Teknologi
pembuatan pulp sebagai bahan baku kertas ini lalu dikembangkan di Timur Tengah dan
Eropa setelah dibawa oleh pedagang dari China.
Pada tahun 1690, di Amerika Utara tepatnya Philadelphia, pertama kali didirikan
industri paper mill. Selanjutnya mulailah berkembang dan bermunculan paper mill di
Canada, Amerika Serikat, dan belahan dunia lainnya. Pada abad ke-20, terjadi sebuah
loncatan teknologi dengan ditemukannya metode yang hebat dan effisien, seperti
Continous Cooking, Modified Continous Cooking, Bleaching Continous Multistage,
Machine Paper Coating, Dry Foaming, dan proses pembuatan pulp dan kertas yang
lainnya. Tabel 2.1 menyajikan perkembangan teknologi pembuatan pulp dan kertas pada
masa modern, karena pada masa sebelumnya, tidak ada data historis yang menunjang.

Tabel 2.1. Perkembangan Teknologi Pulp dan Kertas


Tahun Teknologi Penemu Negara
1798 Mesin pembuatan kertas Nicholas – Louis Perancis
kontinyu
1803 Mesin Fourdrinier Donkin Brothers Inggris
1840 Pembuatan pulp secara - -
Ground wood-mekanis
1854 Proses soda – kimia - Inggris
1867 Proses sulfit – kimia Benjamin T USA
1884 Proses sulfat – kimia Carl Dahl Jerman

Di Indonesia, perkembangan industri pulp dan kertas baik yang intergrated


ataupun non-intergrated berlangsung cukup pesat. Dimulai dengan dibukanya pabrik
pulp berserat panjang (softwood) di D.I Aceh dengan kapasitas produksi 165.000
ton/tahun, dan di Riau dengan kapasitas 200.000 ton/tahun, serta pada tahun 1979,
100.000 ton/tahun di tangerang. Sampai tahun 1998, mengacu pada PUSDATA
Departemen Perindustrian – BPS, di Indonesia sudah berdiri 65 industri pulp dan kertas.
Pemodelan Matematika Digester Pulp

Pada dasarnya, proses pembuatan pulp adalah proses pemisahan serat selulosa
dari pengotor-pengotor yang terdapat pada bahan baku. Proses tersebut lalu diikuti
dengan pengubahan bentuk bulk menjadi serat kecil yang terpisah. Proses pemasakan
pulp merupakan proses pengubahan bahan baku menjadi bentuk serat, serta pelepasan
ikatan selulosa sebagai bahan yang diinginkan dari bahan pengotor lain seperti lignin,
silika, ash, dan lain-lain. Pada proses pemasakan digunakan bahan kimia tertentu yang
berlangsung pada tekanan, temperatur, dan komposisi lindi tertentu dalam sebuah reaktor
yang dikenal dengan nama Digester. Sedangkan untuk proses pemurnian terdiri dari
proses bleaching (pemutihan) dan penambahan zat aditif sesuai dengan karakteristik pulp
yang diinginkan konsumen.
Secara umum proses pembuatan pulp dibagi menjadi menjadi tiga jenis yaitu
mekanis, semikimia, dan kimia. Setiap proses memiliki karakteristik tersendiri dalam hal
yield, tenaga yang dibutuhkan (terutama untuk proses mekanik), dan beban bagi
pengolahan limbah (effluent). Tiap-tiap proses juga memiliki sifat-sifat pulp yang
tersendiri, seperti disajikan pada Gambar 2.1 yang membandingkan macam-macam
proses pembuatan pulp dalam hal kebutuhan energi listrik dan pengambilan kembali
bahan pemasak. Pada Tabel 2.2, tersaji perbandingan teknologi Pulping berdasarkan
proses pembuatannya, yang menghasilkan pulp dengan kuantitas tertinggi adalah proses
mekanis, sedangkan untuk kualitas, proses kimia memberikan hasil yang terbaik.
Kebutuhan energi listrik pada proses semi kimia lebih besar dibandingkan dengan proses
kimia, namun yield pulp yang dihasilkan lebih besar yaitu sekitar 75% untuk semi kimia,
dan 40 – 50 % untuk proses kimia.

6
Pemodelan Matematika Digester Pulp

Gambar 2.1. Diagram pembanding beberapa proses pembuatan pulp. (Alshol, O. and
Swan, B., 1984)

Tabel 2.2. Perbandingan teknologi pulping


Mekanis Semi-kimia Kimia
• Tidak memerlukan bahan • Gabungan antara mekanis • Memerlukan bahan kimia
kimia dan kimia • Hasilnya rendah (40-
• *Hasilnya tinggi (90 – • Hasilnya menengan (55- 55%)
95%) 90%) • Serat yang dihasilkan:
• Serat yang dihasilkan: • Serat yang dihasilkan ™ Putih
™ Pendek tergantung pada ™ Panjang, pendek
™ Tidak stabil kebutuhan produk yang sesuai bahan baku
™ Tidak kuat diinginkan ™ Kuat dan stabil
• Sulit untuk di-Bleaching • Contoh: • Mudah untuk di-
karena kadar lignin yang ™ Neutral Sulfite bleaching
tinggi SemiChemical • Contoh:
• Contoh: (NSSC) ™ Kraft
™ Stone Ground Wood ™ High Yield Kraft ™ Sulfite
™ Refiner Mechanical ™ Soda
Pulp
™ Thermo Mechanical
Pulp
Yield = Pulp yang dihasilkan
Chip yang dibutuhkan

7
Pemodelan Matematika Digester Pulp

2.1.1 Proses Mekanis

Proses ini merupakan proses yang paling sederhana dibandingkan dengan dua
proses lainnya. Pada proses ini digunakan sejumlah tenaga mekanis untuk
menghancurkan bahan baku yang mengandung selulosa untuk mendapatkan serat.
Beberapa jenis proses mekanis yang paling umum adalah Stone Ground Wood,
Refiner Mechanical Pulp (RMP), dan Thermo Mechanical Pulp (TMP). Pada proses
Stone Ground Wood, pulp dibuat dengan menggunakan gerinda. Prinsip pembuatan pulp
dengan metode ini adalah menekan bahan baku pada permukaan yang kasar dan abrasif
dari suatu gerinda yang terbuat dari batu. Sejumlah air digunakan dalam operasi ini. Air
tersebut berfungsi untuk mendinginkan, membersihkan dan melumasi permukaan batu
gerinda serta membawa pulp yang terbentuk. Permukaan gerinda yang kasar dan abrasif
dilapisi oleh Al2O3 atau Silikon Karbida yang tebalnya sekitar 7 cm. Kekasaran
permukaan gerinda yang digunakan mempengaruhi pulp yang dihasilkan. Pulp yang
dihasilkan dari proses ini dipakai sebagai bahan baku pembuatan kertas cetak, karton dan
kertas khusus.
Proses RMP sejenis dengan proses gerinda, namun ada perbedaan yaitu gerinda
digantikan oleh sebuah refiner, yang fungsinya sama dengan gerinda yaitu
menghancurkan kayu. Proses RMP ini menggunakan uap panas untuk memanaskan
bahan baku sebelum dihancurkan. Hasil yang diperoleh dari proses ini memiliki warna
yang lebih suram dan kotor dibandingkan dengan proses gerinda. Proses Thermo
Mechanical Pulp (TMP) merupakan modifikasi proses RMP, pada proses ini dilakukan
pengontrolan temperatur yang lebih intensif selama proses pemanasan bahan baku. Pulp
yang dihasilkan lebih kuat dan panjang dibandingkan proses RMP dan gerinda.

2.1.2 Proses Semi-kimia

Proses semi-kimia pada umumnya digunakan oleh industri yang tidak terlalu
membutuhkan derajat keputihan yang tinggi pada produk seratnya. Proses ini, sesuai
dengan namanya, merupakan gabungan proses mekanis dan kimia, dimana bahan kimia
yang digunakan tidak terlalu banyak dan tenaga mekanis yang digunakan juga tidak

8
Pemodelan Matematika Digester Pulp

sebesar proses mekanis. Dalam prosesnya terdapat pengerjaan yang hanya dilakukan
secara mekanis tanpa bantuan zat kimia.
Proses yang termasuk ke dalam proses semi-kimia yang umum adalah Neutral
Sulfite SemiChemical (NSSC) dan High Yield Kraft. Pada Proses Neutral Sulfite
SemiChemical (NSSC), serpihan kayu dimasak dengan larutan natrium sulfit yang
mengandung sedikit bahan kimia yang bersifat alkalis. Bahan kimia tersebut antara lain
natrium karbonat, bikarbonat atau hidroksida. Serpihan yang sudah dimasak kemudian
diolah secara mekanis dengan menggunakan disk refiner. Pada proses NSSC hampir
setengah dari lignin yang terdapat pada bahan baku kayu berhasil dihilangkan, yaitu
sekitar 40%. Kekurangan dari proses NSSC adalah dalam hal ekonomi, karena proses ini
membutuhkan bahan kimia yang relatif banyak.
Proses High Yield Kraf disebut juga sebagai proses Bisulfit, karena proses ini
menggunakan bisulfit sebagai bahan kimia yang mengandung magnesium atau natrium
sebagai dasar, ada juga beberapa yang menggunakan amonium. Proses ini banyak dipakai
pada industri kertas koran dan karton. Pemasakan dengan bisulfit lebih cepat dari pada
NSCC, namun kekuatannya rendah. Pembuatan dengan bahan kimia dasar mengandung
magnesium menghasilkan kualitas pulp yang hampir menyerupai NSCC, dengan cara
menaikkan perbandingan magnesium terhadap Sulfur Oksida.

2.1.3 Proses Kimia

Proses kimia merupakan proses yang paling banyak digunakan oleh industri pulp
dewasa ini. Sesuai dengan namanya, seluruh proses pembuatan pulp mulai dari
pemutusan ikatan lignoselulosa pada chips kayu hingga pencucian, menggunakan zat
kimia. Beberapa proses yang termasuk kedalam proses kimia secara umum adalah proses
sulfat, sulfit, dan soda.
Prinsip dari teknologi proses sulfat adalah hidrolisis, yaitu lignin yang terdapat
pada bahan baku dan berikatan dengan selulosa di-hidrolisis sehingga ikatannya terputus
dan membentuk alkohol, asam dan sedikit merkaptan. Reaksi umum yang terjadi:

9
Pemodelan Matematika Digester Pulp

Rselulosa-OH + NaOH Rselulosa-OH . NaOH +


Na2S + H2O

(2.1)
NaOH + NaSH
Rselulosa-Na

Lignin – C = O + NaSH Lignin – C SNa


OH

Dalam pemasakan kayu proses sulfat, dipergunakan larutan pemasak alkalis yang
disebut lindi putih (white liquor). Pemasakan berlangsung pada temperatur 160-180oC
selama 2-5 jam pada tekanan 660-925 kPa dimana sebagian besar lignin akan terlarut dan
terlepas dari serat. Pada proses sulfat ini dihasilkan pulp dengan kandungan lignin sekitar
3% dan tingkat keputihan (Brightness) dari pulp setelah melewati unit bleaching adalah
sekitar 89%.
Proses Sulfit menggunakan cairan pemasak yang disiapkan dari pembakaran gas
sulfur yang menghasilkan SO2. Reaksi pembakaran sulfur seperti berikut:
S + O SO2 (2.2)

kemudian gas SO2 yang terbentuk dilewatkan pada sebuah menara absorber. Biasanya
pada industri-industri yang baru, digunakan NH4OH, Mg(OH)2 atau Na2CO3 sebagai zat
absorber. Reaksi yang terjadi adalah:
SO2 + H 2O H2SO3 (2.3)
H2SO3 + Mg(OH)2 Mg(HSO3)2 + 2 H2O (2.4)
Kombinasi sulfur

Chips kayu dimasak selama 6 – 12 jam, pada temperatur 125 – 160oC dan tekanan 620 –
755 kPa. Hasil dari proses sulfit ini biasanya digunakan sebagai bahan baku pembuat
kertas tisu, pembungkus roti, kertas buku dan lain-lain.
Proses soda pada umumnya sama dengan proses sulfat, perbedaannya terjadi pada
penggunaan Na2SO4. Pada proses ini, selain digunakan NaOH dan Na2CO3, juga

10
Pemodelan Matematika Digester Pulp

digunakan Na2SO4 pada larutan pemasaknya. Buangan limbah dari proses ini cenderung
lebih ramah lingkungan, karena tidak mengandung belerang, hal ini disebabkan karena
pada larutan pemasak terdapat banyak jenis garam.

2.2 Kayu

Pada proses pulping, salah satu parameter yang dipertimbangkan dalam penentuan
kondisi operasi serta hasil pulp yang diinginkan adalah komposisi bahan baku. Pada
umumnya bahan baku utama pembuatan pulp adalah kayu, pada beberapa proses ada
yang menggunakan bahan baku lain seperti bambu, kayu bekas gergaji, dan beberapa
bahan lain. Kayu memiliki karakteristik tersendiri untuk tiap jenisnya, bahkan beberapa
jenis berbeda dalam hal komposisi berdasarkan tempat tumbuhnya. Umur tanaman, faktor
genetik, dan kecepatan tumbuh, juga merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi
komposisi dan struktur kayu.
Kayu sebagai bahan baku utama pembuatan pulp sangat sulit untuk didefinisikan
secara kimia, karena merupakan hasil heterogen yang kompleks dari alam serta memiliki
berat molekul yang amat besar. Secara umum, komponen utama dari kayu dapat
diklasifikasikan sebagai selulosa, lignin, hemiselulosa dan zat ekstraktif, yang jumlahnya
berturut-turut sekitar 40 – 50%, 15 – 35%, 20 – 35%, dan 3 – 10%. Komposisi kimia ini
tidak mungkin untuk dipisahkan kecuali melakukan pengubahan dan pendegradasian
strukturnya. Ketidakmungkinan ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu komponen kayu
yang memiliki berat molekul yang besar sekali, tiap-tiap komponen memiliki kesamaan,
ikatan fisika dan kimia antar komponen, dan sitem kristalin yang dimiliki oleh kayu.
Secara umum pembuatan pulp melewati beberapa tahap, yaitu tahap persiapan,
tahap pemasakan, dan tahap akhir produksi. Proses persiapan berupa penyiapan bahan
baku kayu. Pada proses ini, kayu dipotong menjadi potongan-potongan kecil (chips).
Chips selanjutnya melalui bagian screening yang memilikiki beberapa tingkatan, lalu
dilakukan pencucian pada chips untuk menghilangkan volatile matter. Selanjutnya chips
mengalami pemasakan awal pada bejana peresapan dan pemanasan untuk menghilangkan
udara pada pori-pori chips. Sebagian kecil lignin hilang pada tahap awal ini.
Secara komersial kayu dibagi menjadi dua golongan, kedua golongan tersebut
adalah softwood (gymnosperms) dan hardwood (angiosperms atau dicotyledonous

11
Pemodelan Matematika Digester Pulp

angiosperms). Softwood juga dikenal sebagai “kayu jarum” karena jenis ini memiliki
benih yang dihasilkan pada kerucut dan tidak tertutup, sebaliknya hardwood
menghasilkan benih yang tertutup oleh bunga. Pembeda yang lain antar kedua jenis kayu
tersebut adalah softwood biasa dikenal sebagai “evergreen”, karena sebagian besar jenis
ini menghasilkan daun baru setelah beberapa tahun, sedangkan hardwood dikenal sebagai
"deciduous", karena umumnya jenis ini menggugurkan daunnya pada musim tertentu.
Komposisi kimia kayu yang berbeda-beda itu mempengaruhi kondisi serta bahan
kimia yang digunakan pada proses pulping. Secara umum komposisi kimia kayu yang
digeneralisasikan sebagai softwood dan hardwood, ditunjukkan oleh Tabel 2.3.

Table 2.3. Konsentrasi rata-rata komponen utama pembentuk kayu, dinyatakan dalam
satuan kg/m3. (F. Kayihan, 1996, 2000)
Komponen Softwood Hardwood
High Reactivity Lignin 4,8 10
Low Reactivity Lignin 18,6 15
Selulosa 50,3 45
Galactuglucomman 2,2 5
Araboxylan 24 25

Gambar 2.2 merupakan ilustrasi dari struktur dinding sel kayu, yang menunjukkan
struktur kayu secara umum. Pada gambar tersebut, terlihat bahwa dinding sel secara garis
besar dibagi menjadi dua, yaitu primer dan sekunder. Dinding primer (P) merupakan
dinding yang tipis, terdiri dari jaringan terbuka mikrofibril yang terikat pada bahan
amorphous. Dinding sekunder (S) secara umum merupakan kumpulan mikrofibril, bagian
sekunder terbagi menjadi tiga lapisan, lapisan S1 dan S3 umumnya lebih tipis
dibandingkan lapisan S2. mikrofibril pada S2 tersusun secara spiral sepanjang axis
dinding sel.

Gambar 2.2. Ilustrasi struktur dinding sel kayu (FAPET)

12
Pemodelan Matematika Digester Pulp

Komposisi kimia kayu pada dinding sel bervariasi. Gambar 2.3 memperlihatkan
distribusi dari komponen utama pembentuk kayu yang paling umum. Pada gambar
tersebut terlihat bahwa konsentrasi lignin paling tinggi adalah pada daerah middle
lamella dan paling rendah pada daerah S2 dan S3, dimana lapisan S2 mengandung
konsentrasi selulosa yang tinggi.

Gambar 2.3. Komposisi umum pembentuk kayu pada dinding sel. (FAPET)

Chips (potongan) kayu dibentuk dengan cara memotong-motong kayu. Dimensi


dari chips bervariasi tergantung pada struktur kayu yang digunakan sebagai bahan baku.
Umumnya dimensi chips adalah 12 – 25 mm panjang dan tebal 2 – 10 mm. Jika panjang
chips meningkat, maka ketebalan rata-rata juga meningkat, biasanya panjang chips juga
disesuaikan dengan panjang serat yang diinginkan pada produk akhir. Chips dapat
dipastikan tidak memiliki ketebalan yang homogen.
Ukuran chips, dalam hal ini ketebalannya, mempengaruhi proses pemilihan
kondisi operasi. Pengaruh tersebut antara lain pada waktu dan temperatur reaksi yang
dipilih. Optimasi proses juga memerlukan data ketebalan chips. Biasanya ketebalan
tersebut merupakan nilai rata-rata, karena keseragaman chips sangat sukar untuk dicapai.
Proses shredding (pencabikan) pada chips sangat berguna sekali untuk
memperpendek waktu impregnasi dan waktu reaksi. Namun ada sisi negatifnya, yaitu
13
Pemodelan Matematika Digester Pulp

proses pencabikan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya struktur molekul, sehingga


sifat kekuatan produk menjadi rendah. Pada beberapa jenis hardwood proses pencabikan
masih dapat diterima. Menurut Temler dan Bryce, 1978, proses pencabikan chips pada
hardwood berakibat chips packing tidak berbeda, alkali charge lebih rendah, kualitas
hasil yang lebih tinggi, yield lebih tinggi (kebutuhan bahan kimia pada proses bleaching
akan meningkat), dan “Strength Properties” yang sama dengan chips yang tidak dicabik.
Sebelum diolah lebih lanjut, maka chips harus diayak terlebih dahulu untuk
mencegah terjadinya oversize. Oversize akan mengakibatkan heterogennya hasil
delignifikasi. Bila ukuran terlalu kecil maka chips yang dihasilkan terlalu lembut
sehingga berakibat terjadinya overcooking pada pulp. Ketebalan chips kayu pada
hardwood sekitar 4 mm dan softwood 7 mm.
Kayu adalah bahan berpori yang pada bentuk alaminya kayu terdiri dari bahan
padat (dinding sel), gas, dan air. Densitas kayu kering didefinisikan dalam bentuk
densitas kayu tidaklah begitu bervariasi, yaitu berkisar antara 1,50 – 1,55 t/m3. Gambar
2.4 menyajikan skema massa, volume, dan densitas chips.

Gambar 2.4. Skema dari massa, volume, dan densitas komponen chips. (FAPET)

Densitas spesies kayu berpori, ρdc, didefinisikan oleh persamaan berikut:


mc
ρ dc = (2.5)
Vc
Sedangkan densitas untuk padatan kayu, ρw, didefinisikan oleh persamaan:

14
Pemodelan Matematika Digester Pulp

mw
ρw = (2.6)
Vw
Densitas padatan pada chips untuk kepentingan praktis adalah konstan dan tidak
tergantung pada spesies, kondisi pertumbuhan, dan substansinya. Sehingga memberikan
sebuah persamaan umum:
ρw = ρF = ρD (2.7)
Pengertian dari densitas bulk seperti yang dituliskan pada persamaan di bawah ini
mw
ρb = (2.8)
Vc − Vv
Densitas bulk berbeda-beda untuk tiap jenis, ukuran, dan distribusi chips.
Kekosongan pada chips kayu hanya terisi sebagian oleh larutan pada kondisi kayu
segar. Sebagian lagi dari kekosongan tersebut diisi oleh udara. Derajat penetrasi (P),
didefinisikan sebagai berapa besar kekosongan pada chips yang terisi oleh larutan:
Vl ml ρv
P= = (2.9)
Vv mv ρl
Sehingga chips akan mengalami penetrasi penuh pada P = 1, atau Vl = Vv.
Pada proses alkaline pulping yang terlebih dahulu terlarut adalah komponen
polisakarida, dalam hal ini hemiselulosa. Lignin, sebagai komponen yang ingin
diturunkan konsentrasinya, hanya sebagian kecil yang larut pada larutan pemasak yang
dingin. Menurut Mathews (1974), selulosa lebih tahan terhadap alkali, namun pada
pemasakan akan mengalami penurunan derajat polimerisasi, sehingga sekitar 5% akan
terlarut.

2.2.1 Komponen ekstraktif kayu

Jika kayu dipisah-pisahkan, maka akan didapatkan bahan tepung kayu dan bahan
terektraksi oleh pelarut netral. Jumlah bahan yang terekstraksi pada pelarut seperti air
dingin, alkohol, benzen, eter, dan aseton berkisar 3 – 10% dari bahan kayu. Fraksi yang
terlarut ini dinamakan ekstraktif. Fraksi ini adalah bahan-bahan yang umumnya terdiri
dari sedikit bahan organik, seperti karbohidrat dengan berat molekul rendah, asam alifatik
dan aromatik, alkohol, bahan warna, protein, lignin terlarut, dan alkaloid.

15
Pemodelan Matematika Digester Pulp

Bahan ekstraktif ini memiliki fungsi yang besar pada kayu. Fungsi-fungsi tersebut
antara lain dapat mencegah kebusukan, memberi ketahanan terhadap serangga, serta
memberikan kayu khas-nya sendiri dalam hal wangi, rasa dan aroma.
Komponen ekstraktif tidak terdistribusi secara seragam pada tanaman atau pada
serat dinding sel. Beberapa ekstraktif pada kayu antara lain terlihat pada Gambar 2.5.
Dari seluruh enam komponen yang disajikan pada gambar tersebut, terlihat bahwa
komponen terbesar dari zat ekstraktif kayu adalah aromatic berantai medium.

Gambar 2.5. Beberapa rumus kimia ekstraktif pada kayu. (FAPET)

2.2.2 Hemiselulosa.

Polisakarida pada kayu dapat mencapai 60% hingga 80% berat yang merupakan
komponen karbohidrat dengan berat molekul besar. Komponen ini dapat menghasilkan
gula sederhana seperti glukosa, manosa, dan xylosa melalui hidrolisis menggunakan asam
encer. Komponen utama dari polisakarida adalah selulosa, sisanya berupa komponen
berantai lebih pendek adalah hemiselulosa, yang keduanya bila digabungkan menjadi
holoselulosa.
Jika holoselulosa mengalami perlakuan pada temperatur ruangan dengan larutan
alkali (misalnya, 17,5% Natrium hidroksida), sekitar 15 – 30% dari berat kayu awal akan
terlarut. Bahan yang terlarut dalam alkali ini kita sebut sebagai fraksi non-selulosa dari
polisakarida kayu yaitu hemiselulosa. Sedangkan bagian yang tahan terhadap alkali pada
temperatur ruangan disebut sebagai selulosa kayu.
16
Pemodelan Matematika Digester Pulp

Komponen pembentuk hemiselulosa tergantung pada jenis tanaman, namun untuk


mempermudah digeneralisasikan sebagai softwood dan hardwood. Pada hardwood,
komponen utama pembentuk hemiselulosa adalah 4-O-Methylglucuronoxylan.
Sedangkan pada softwood, komponen utama yang membentuknya adalah
Galactoglucomannan dan 4-O-Methylglucurono-arabinoxylan (Araboxylan). Struktur
molekul dari bahan-bahan tersebut di atas, diperlihatkan pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6. Struktur molekul bahan utama pembentuk hemiselulosa. (FAPET)

Pengaruh dari reagent untuk proses pembuatan pulp pada hemiselulosa bukan
hanya terhadap yieldnya saja, namun juga pada proses lanjutan pada pembuatan kertas.
Reagent tersebut juga berpengaruh besar pada jumlah hemiselulosa yang terbawa, tipe,
struktur, serta derajat polimerisasi. Hemisellosa mudah sekali menyerap dan
mengembang dalam air, hal tersebut terjadi karena umumnya hemiselulosa kurang
bersifat kristalin, berat molekul yang rendah dibandingkan lignin dan selulosa,
ketidakteraturannya, dan molekulnya yang bercabang. Hemiselulosa mengakibatkan
kontak antar serat meningkat pada proses pembuatan kertas, sehingga kekuatan ikatan
akan meningkat dengan adanya hemiselulosa, walaupun bila terlalu banyak akan
merusak.
Hemiselulosa juga sangat berguna untuk menjadi bahan pembuat furfural, karena
fraksi pentosan dapat dikonversi dan didestilasi dengan mineral kuat menghasilkan
17
Pemodelan Matematika Digester Pulp

furfural. Pada larutan sulfit yang mengandung hemiselulosa, dapat dijadikan tempat
pembiakan ragi yang dikonsumsi untuk suplemen diet dan makanan ternak. Sedangkan di
negara kanada dan negara-negara eropa telah dikembangkan metode yang sangat
menguntungkan untuk membuat etanol dengan kemurnian 95% dari hemiselulosa yang
terlarut pada larutan sulfit. Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
pengolahan pulp untuk menghilangkan hemiselulosa tergantung pada kebutuhan pulp
tersebut pada industri selanjutnya.
Pada proses pembuatan pulp dengan metode sulfit terjadi tingkat keasaman yang
tinggi. Karena tingkat keasamaan yang tinggi itu terjadi pemotongan rantai kelompok
acetyl dan arabinofuranose dari jenis rantai xylan, dan meninggalkan
Methylglucuronoxylan sebagai residunya.

2.2.3 Selulosa

Selulosa adalah komponen utama pada dinding sel, memiliki berat molekul yang
tinggi dan berupa bahan kristalin. Selulosa merupakan bahan organik yang paling
berlimpah di dunia karena merupakan bahan utama dari seluruh kayu dan tanaman yang
lebih besar.
Pertimbangan menjadikan selulosa sebagai bahan baku utama pada pembuatan
kertas dan rayon adalah (1) tersedia banyak di alam sehingga mudah dibudidayakan dan
ditransportasikan, (2) memiliki kekuatan yang besar karena berbentuk serat, (3) bersifat
hidrofilik namun tidak larut dalam air dan pelarut netral lainnya, sehingga mudah pada
saat pemanfaatannya, dan (4) tahan serta stabil terhadap bahan kimia, terutama asam dan
alkali, sehingga dengan proses kimia akan menghasilkan kemurnian yang baik.
Isolasi selulosa dari bahan induknya, kayu, secara industri dikenal dengan nama
pulping. Proses ini mengharapkan hasil berupa pulp yang mengandung selulosa
sebanyak-banyaknya, yang paling murni adalah 99,8%.
Studi tentang selulosa dimulai pada tahun 1838 oleh Payen. Studi ini
menunjukkan analisa dasar bahwa jaringan-jaringan pada tanaman terdiri dari komponen
utama yang memiliki 44,4% karbon, 6,2% hidrogen dan 49,3% oksigen. Rumus empiris
selulosa dari studi ini adalah C6H10O5.

18
Pemodelan Matematika Digester Pulp

Berat molekul dari selulosa tidak dapat diperkirakan secara langsung, walaupun
pada awalnya Payen mengatakan bahwa berat molekul selulosa adalah 162. Setelah tahun
1930, terbukti bahwa selulosa adalah polimer dengan banyak sekali pengulangan
monomernya. Seperti polimer lainnya selulosa terdiri dari campuran molekul yang
memiliki perbedaan mendasar dalam ukuran.
Derajat polimerisasi adalah jumlah pengulangan unit yang ada pada sampel,
dimana tiap unit pengulangan memiliki berat molekul yang sama. Perkalian dari derajat
polimerisasi terhadap berat molekul unit, hampir dapat kita katakan, sebagai berat
molekul polimer. Derajat polimerisasi dari selulosa dapat mencapai 10,000 (FAPET).
Struktur umum dari selulosa seperti ditunjukkan pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7. Struktur kimia selulosa. (FAPET)

2.2.4 Lignin

Lignin dapat dikatakan sebagai substansi yang paling kompleks di alam, terdapat
di kayu sekitar 20 – 35% berat dan terdiri dari fraksi non-karbohidrat. Pada kayu,
jaringan lignin terkonsentrasi antara lapisan serat dan di luar lapisan serat. Hal ini
menyebabkan bervariasinya kadar kekuatan kayu dalam hal pengerasan dan pengikatan
serat-serat. Lignin termasuk ke dalam bagian non-kristalin, dan merupakan termoplastik
di alam.
Lignin amat sulit untuk dipisahkan dari struktur kayu kecuali dengan melakukan
degradasi strukturnya. Pada dasarnya lignin adalah polimer aromatik yang terdiri dari zat-

19
Pemodelan Matematika Digester Pulp

zat heterogen. Sistemnya terlihat benar-benar Amorphous dan mungkin untuk terikat
secara kimia dengan hemiselulosa. Walaupun lignin hampir dapat ditemukan dalam
semua tanaman hidup, namun komposisinya tidak identik sama sekali, dan secara garis
besar komposisi lignin pada hardwood dan softwood berbeda dalam struktur dasarnya.
Gambar 2.8 memperlihatkan struktur kompleks dari lignin. Holtzapple (2003),
mengklasifikasikan lignin pada komponen pembentuknya, yang terdiri dari tiga
komponen utama, yaitu trans-Coniferyl alkohol, trans-Sinapyl alcohol, dan trans-p-
Coumaryl alkohol. Monomer-monomer dari komponen pembentuk lignin terlihat pada
Gambar 2.9. Konsentrasi masing-masing komponen pembentuk lignin, berbeda untuk
tiap jenis tumbuhan, namun menurut Holtzapple (2003), perbedaan tersebut dapat
diminimalisasi dengan mengelompokkan kayu menjadi dua, yaitu softwood dan
hardwood. Pada hardwood, komponen yang paling banyak adalah trans-Coniferyl
alcohol dan trans-Sinapyl alcohol, sedangkan pada softwood, 90% pembentuknya adalah
trans-Coniferyl alcohol.

Gambar 2.8. Struktur kimia lignin. (FAPET)

Lokasi lignin pada tumbuhan biasanya terdapat diantara elemen-elemen serat,


sekitar 70%-nya, dan pada dinding primer kayu. Studi tentang pembentukkan lignin pada

20
Pemodelan Matematika Digester Pulp

tanaman sangat berguna untuk menentukan kemungkinan dari struktur lignin, walaupun
penelitian ini belum menghasilkan kesimpulan.

Gambar 2.9. Komponen-komponen utama pembentuk lignin. (FAPET)

Lignin tidak dapat di-isolasi dari kayu tanpa mendegradasikan strukturnya, hal
tersebut dikarenakan jaringannya berupa ikatan kimia yang sangat kuat dari polimer ber-
berat molekul tinggi. Cara paling sederhana untuk melepaskan lignin dari kayu adalah
pertama dengan meng-ekstraksi kayu dengan air dingin lalu eter dan etanol yang diikuti
dengan pengendapan etanol dan lignin terlarut dalam eter. Namun cara tadi hanya
merepresentasikan lignin sekitar 10%-nya saja, dan dikenal sebagai Brauns’ Native
Lignin.
Beberapa metode lain yang digunakan untuk mengisolasi lignin “pertama” adalah
dengan cara melarutkan serta memurnikannya secara kimia. Cara melarutkan tersebut
antara lain dengan shulphonation dan hidrolisis dengan larutan bisulfit atau sulfite,
ekstraksi pelarut yang di-asamkan (alkohol, dioxan, dan phenol), serta ekstraksi larutan
alkali, dengan atau tanpa ion sulfide. Tentu saja beberapa jenis proses pembuatan pulp
secara umum digunakan untuk melarutkan lignin dalam rangka membebaskan dan
membersihkan lignin dari serat selulosa, dibandingkan untuk keperluan riset.
Berat molekul lignin terisolasi berkisar antara 1000 hingga 12000, tergantung
pada degradasi kimia dan kondensasi selama isolasi lignin. Derajat polimerisasi monomer
pembentuk lignin juga berpengaruh pada berat molekul lignin. Holtzapple (2003)
mengatakan bahwa secara umum sub-unit pada softwood memiliki berat molekul sebesar
184 dengan formula diperkirakan C9H7.95O0.92 (OCH3)0.92, dengan derajat polimerisasi
sekitar 50 hingga 60. Sedangkan untuk hardwood, dengan perkiraan formula C9H7.49O2.53

21
Pemodelan Matematika Digester Pulp

(OCH3)1.93, memiliki berat molekul sub-unit sebesar 200 dan derajat polimerisasi sebesar
25 hingga 30.
Berdasarkan kepada penelitian dengan menggunakan sinar-x terhadap lignin,
dihasilkan beberapa kesimpulan. Kesimpulan tersebut adalah lignin bersifat non-kristalin,
dalam kayu berlaku seperti gel dalam pipa kapiler dan dapat digembungkan, memiliki
kemampuan untuk menyerap bahan kimia gas dan liquid, serta memiliki luas permukaan
sekitar180 m2/gr. Karena berbentuk amorph, maka lignin tidak memiliki titik didih,
namun lignin melembut pada temperatur 70 – 110oC.
Pentingnya reaksi berwarna dari lignin biasanya diabaikan, padahal lignin
berpengaruh secara signifikan pada pengotoran kertas berbahan dasar kayu, warna pulp,
proses bleaching pada saat klorinasi dan ekstraksi alkalin, pengotor pada saat pembilasan
pulp dan kertas yang disebabkan oleh cuaca.
Lignin di alam berwarna putih atau cokelat muda, namun biasanya menghasilkan
warna karena reaksi kondensasi, warna tersebut diperkuat oleh oksidasi dan kehadiran
besi. Warna kekuningan pada kertas karena penyimpanan terjadi karena oksidasi dari
grup fenol pada lignin.

2.3 Pulping dan Larutan Pemasak

Lignin dan beberapa karbohidrat dipisahkan dari chips kayu pada saat pemasakan
berlangsung. Bahan-bahan tersebut lalu dilarutkan dalam larutan yang dapat bersifat
alkali, netral, ataupun asam. Proses yang paling banyak digunakan saat ini adalah proses
Alkaline Kraft, komponen aktif yang terlibat di dalam proses tersebut adalah hiroksida
(OH-) dan hidrosulfida (HS-). Untuk proses yang menggunakan larutan netral ataupun
asam, biasanya digunakan ion HSO3-.
Sifat-sifat serat yang dihasilkan dari proses pulping ini, tergantung pada
morfologi dari kayu serta proses delignifikasinya. Proses alkalin menghasilkan fiber yang
fleksibel dan relatif kuat namun berwarna kecoklatan, sementara proses yang
menggunakan asam menghasilkan serat yang lebih cerah dalam hal warna namun lebih
lemah, kaku, dan rapuh.
Chips kayu mempertahankan struktur kayunya selama proses pemasakan kecuali
lignin yang terdapat di dalam struktur kayunya dan sekitar setengah dari berat padatan-

22
Pemodelan Matematika Digester Pulp

nya. Namun struktur chips tersebut melemah dan akan hancur menjadi serat-serat
tersendiri. Delignifikasi secara kimia tidak dapat dengan mudah menembus secara
langsung ke ikatan yang kaya akan lignin, bagian “middle lamella”, yang terikat secara
kuat pada kayu. Bahan pelarut kimia biasanya bergerak dari cekungan serat yang
bercahaya menembus ke dinding sel yang berpori kecil menuju middle lamella, yang
selama perjalanan tersebut melarutkan lignin dan karbohidrat. Komponen yang terdapat
pada middle lamella terlarutkan terakhir.
Larutan yang digunakan sebagai pemasak pada proses delignifikasi tergantung
pada jenis proses yang digunakan. Secara prinsip, proses delignifikasi dibagi menjadi
dua, yaitu proses soda dan proses sulfat. Proses soda merupakan proses yang lebih tua,
namun sekarang agak jarang digunakan. Walaupun kebijakan lingkungan saat ini
cenderung untuk membuat proses yang bebas sulfur, kualitas pulp yang baik serta
keuntungan lain pada proses sulfat mengakibatkan banyaknya industri yang masih
menggunakannya.
Pemakaian alkali pada pembuatan pulp sebagai bahan baku kertas, kemungkinan
pertama kali diterapkan oleh bangsa Arab yang belajar dasar prosesnya dari tahanan
berkebangsaan China sekitar tahun 750 setelah masehi. Bangsa Cina menggunakan
pohon mulberi sebagai bahan baku utama, sedangkan bangsa Arab menggunakan
potongan kain linen yang dipisahkan dengan cara diragikan.
Proses sulfat merupakan pengembangan dari proses soda, ditemukan oleh Dahl,
ahli kimia jerman, pada tahun 1879. Dahl menemukan bahwa ketika kehilangan alkali
pada proses soda digantikan oleh sodium sulfat termasuk sodium karbonat, sulfat akan
tereduksi menjadi sulfida selama terjadinya pemanasan/pembakaran lindi hitam.
Kata sulfat pada proses sulfat mengacu pada sulfat sebagai agen pemasak yang
paling aktif, sedangkan yang lain menggunakan sodium hidroksida dan sodium sulfat
sebagai agen aktifnya. Kata “Kraft” pada proses Kraft diambil dari bahasa jerman dan
swedia yang berarti kuat, dikarenakan pulp yang dihasilkan sangat kuat.
Pada Proses Kraft, campuran natrium sulfida dan natrium hidroksida digunakan
sebagai larutan pemasak. Sulfida mempercepat proses delignifikasi, sehingga chips
bersentuhan dengan alkali panas dengan waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan
proses soda. Hal tersebut yang mengakibatkan pulp yang dihasilkan lebih kuat.

23
Pemodelan Matematika Digester Pulp

Pada awalnya, proses kraft digunakan hanya pada pulp yang tidak dibilas sebagai
bahan baku kertas kuat. Saat ini, kedua bentuk proses tersebut digunakan secara
bergantian. Proses kraft lebih baik dari proses soda pada bagian laju produksi pulp, yield,
kualitas, dan ongkos produksi. Proses kraft juga memiliki keunggulan dibandingkan
proses sulfit yaitu hampir seluruh jenis kayu dapat dijadikan sebagai bahan baku, waktu
pemasakan yang lebih pendek, dan pulp yang dihasilkan memiliki kekuatan yang baik.
Keunggulan lain dari proses kraft adalah proses pengambilan kembali lindi pemasak yang
mudah dilakukan, kulit kayu yang masih melekat pada chips masih dapat ditoleransi, dan
dapat menghasilkan produk samping yang bernilai, tergantung pada jenis kayu yang
digunakan
Istilah yang digunakan pada praktek industri untuk bahan-bahan pemasak pada
proses kraft, digunakan pada pemodelan ini. Tujuan dari penggunaan istilah tersebut
dimaksudkan agar tidak terjadi kesimpangsiuran istilah. Istilah-istilah tersebut disajikan
pada Table 2.4.

24
Pemodelan Matematika Digester Pulp

Tabel 2.4. Istilah-istilah yang digunakan pada pembuatan pulp menggunakan proses kraft
Istilah Keterangan
Total Chemical. Semua garam natrium, dinyatakan sebagai Na2O.

Total alkali. NaOH + Na2S + Na2CO3 + 1/2Na2SO3

Active alkali. NaOH + Na2S

Efektif alkali. NaOH + 1/2Na2S


Activity. Prosentase perbandingan dari aktif alkali terhadap total
alkali.

Causticizing efficiency. Prosentase perbandingan dari NaOH terhadap jumlah


NaOH + Na2CO3 pada lindi putih.
Causticity. Prosentase perbandingan dari NaOH terhadap aktif alkali.
Chemical recovery Prosentase perbandingan total bahan kimia yang
efficiency. diumpankan ke digester dikurangi total chemical dibagi
dengan total chemical yang diumpankan ke digester.
Green liquor. Sebutan untuk larutan yang dibuat oleh pelarutan bahan
kimia yang terambil kembali dalam air, menjadi larutan
yang lemah yang dipersiapkan untuk dicampur kaustik,
selanjutnya disebut lindi hijau.
White liquor. Sebutan untuk larutan yang dibuat dengan memberikan
kaustik pada lindi hijau, larutan ini siap untuk digunakan
pada digester, selanjutnya disebut lindi putih.
Black liquor. Sebutan untuk larutan yang diambil kembali dari digester
berisi padatan dan lignin terlarut, selanjutnya disebut lindi
hitam.

Komposisi lindi putih pada proses kraft umumnya seperti diberikan pada Tabel
2.5. Komposisi tersebut merupakan lindi putih hasil pengambilan kembali. Lindi putih
yang masih baru, hanya mengandung NaOH dan Na2S saja. Natrium sulfat dihasilkan
dari reduksi yang tidak sempurna pada tungku, Na2CO3 didapatkan dari proses
causticizing yang tidak sempurna.

Na2CO3 + Ca(OH)2 2NaOH + CaCO3 (2.10)

Na2S2O3 dihasilkan dari sulfide yang teroksidasi oleh udara. Pada lindi putih,
komponen-komponen kimia selain NaOH dan Na2S disebut sebagai “dead load”. Dengan
meningkatnya dead load tersebut, maka pelepasan lignin dari chips akan menurun.
25
Pemodelan Matematika Digester Pulp

Tabel 2.5. Komposisi kimia lindi putih, (Kayihan, 1996)


Komponen Range (g/L) % Total
NaOH 81 – 120 53
Na2S 30 – 40 21
Na2CO3 11 – 44 15
Na2SO3 2.0 – 6.9 3
Na2SO4 4.4 – 18 5
Na2S2O3 4 – 8.9 3

Untuk komposisi lindi hitam secara umum diberikan pada Tabel 2.6.
Dibandingkan dengan lindi putih, lindi hitam memiliki porsi sulfur yang lebih besar, hal
ini disebabkan oleh dioksidasinya sulphat menjadi thiosulphat. Selain dari beberapa
komponen tersebut di atas, pada lindi juga terdapat sedikit (traces) logam yang berasal
dari kayu bahan baku.

Table 2.6. Komposisi kimia lindi hitam pada beberapa industri, (Nolan dkk, 1978)
Komponen Range (g/L) % Total
NaOH 1.0 – 4.5 6–7
Na2S 1.6 – 5.6 19
Na2CO3 5 - 12 36
Na2SO3 0.4 – 3.8 9
Na2SO4 0.5 - 6 13
Na2S2O3 1.8 – 5.1 16

Lindi hitam selanjutnya menuju ke bagian pengambilan kembali, dimana larutan


yang masih encer disebut sebagai weak black liquor. WBL lalu dikentalkan dengan
memasuki daerah evaporasi, hasilnya berupa heavy black liquor. HBL dengan
konsentrasi 50%, kemudian dikentalkan lagi dengan proses kristalisasi sehingga menjadi
65% berat. Lalu larutan dengan konsentrasi 65% tersebut dibakar pada tungku,
sedangkan yang terpisah pada proses pengambilan kembali, diambil sebagai green liquor.
Green liquor tersebut kemudian dikonversi menjadi lindi putih melalui proses
causticizing.

2.4 Bilangan Kappa

Salah satu acuan dalam menilai kualitas serat pulp pada industri adalah Bilangan
Kappa. Bilangan Kappa dikatakan sebagai derajat residual lignin yang terdapat pada

26
Pemodelan Matematika Digester Pulp

serat, karena lignin tidak mungkin untuk hilang seluruhnya dari ikatan lignoselulosa.
Salah satu formulasi untuk mencari nilai Kappa seperti yang disarankan oleh Kayihan
(1996) adalah:
654 × massa lignin
Κn = (2.11)
total massa solid
Sedangkan Christensen dkk (1982), memberikan persamaan untuk menentukan Bilangan
Kappa sebagai berikut:
ρlignin
Kn = (2.12)
⎛ 5 ⎞
0, 00153 ⎜ ∑ ρ si ⎟
⎝ 1 ⎠
Bilangan Kappa merupakan suatu standar kualitas dari produk pulp. Pada industri
Bilangan Kappa dianalisa setiap satuan waktu oleh Quality Control department, yang
kemudian dilaporkan ke bagian pembuatan pulp. Bilangan Kappa yang dianalisa
merupakan Bilangan Kappa chips keluaran dari zona terakhir bejana digester. Setelah
seksi pembuatan pulp menerima laporan mengenai Bilangan Kappa, maka seksi
pembuatan pulp akan melakukan aksi lanjutan untuk menjaga, menurunkan atau
menaikkan Bilangan Kappa disesuaikan dengan spesifikasi yang ditentukan. Seksi
lanjutan dari seksi pemasakan adalah pencucian dan bleaching.
Pada praktek industri, Bilangan Kappa diperoleh dengan cara mencampurkan
sample serat keluaran digester dengan 50 ml 0,1 N KMnO4 dan 50 ml 4 N H2SO4, lalu
dilihat hasilnya dengan table acuan. Dari hasil analisa laboratorium tersebut dapat
ditentukan konsentrasi lignin pada serat dengan menggunakan persamaan:

% Lignin in dry pulp = Bilangan Kappa * 0,15 (2.13)

2.5 Digester

Pada industri pulp, digester yang berfungsi sebagai tempat pemasakan bahan baku
merupakan jantung bagi proses produksinya. Secara tata bahasa digester adalah “sebuah
alat yang digunakan untuk memisahkan selulosa dari bahan lainnya yang terdapat pada
kayu, sehingga dapat lebih bermanfaat, dengan menggunakan cara-cara mekanis,
kimiawi, dan atau keduanya” (Caballero, 2003).

27
Pemodelan Matematika Digester Pulp

Perkembangan teknologi digester dapat dikatakan mengalami kenaikan yang


lambat, dimulai dengan digester sederhana yang beroperasi batch, hingga digester
modern yang beroperasi kontinyu dan menghasilkan pulp yang lebih berkualitas dengan
kuantitas yang besar. Pembahasan pada butir-butir berikutnya akan dititikberatkan pada
digester kontinyu yang erat kaitannya dengan kajian penelitian ini.
Perbedaan utama digester batch dan digester kontinyu terletak pada proses yang
terjadi. Pada digester batch, seluruh bahan dimasukan ke dalam digester, lalu melalui
beberapa jam pemasakan tanpa ada bahan yang masuk dan keluar sistem pemasakan
tersebut. Pada digester kontinyu, bahan baku masuk dan produk keluar terjadi secara
terus-menerus.
Beberapa tipe bejana bertekanan yang berbeda digunakan sebagai digester pada
proses batch. Ada yang berbentuk vertikal berputar, ada juga yang horizontal. Namun
yang sering digunakan adalah tipe vertikal stasioner.
Hampir kebanyakan industri pulp menggunakan bejana ber-kapasitas 6000 – 8000
3
ft . Unit yang lebih besar lebih efisien, namun dengan naiknya kapasitas, tebal dinding
juga harus ditambah.

2.5.1 Digester Batch

Pada digester yang menggunakan sistem batch, chips yang sudah diayak masuk
melalui bagian atas digester. Selanjutnya lindi putih dan hitam dimasukan ke digester
hingga tercapai target persentase alkali aktif serta rasio larutan terhadap kayu. Untuk
mencapai temperatur pemasakan yang diinginkan, kukus bertekanan diumpankan ke
dalam digester secara langsung dan yang lain dengan cara memanaskan lindi putih dan
men-sirkulasikannya melalui digester.
Hingga tahun 1950-an, proses pembuatan pulp dengan proses kraft hanya
menggunakan digester batch. Pada tahun 1960-an, barulah proses kontinyu diterapkan
pada proses pemasakan tersebut, dan menjadi kompetitor bagi proses batch. Pada tahun
1970-an hingga awal 1980-an, sejalan dengan desakan untuk menciptakan proses yang
ramah terhadap lingkungan, dan juga makin banyaknya penelitian untuk mengembangkan
proses pemasakan secara batch, digunakan beberapa teknik yang mengkombinasikan
beberapa proses pemasakan, serta pemakaian energi yang semakin efisien. Hasilnya,
berupa metode pemasakan yang diantaranya dikenal dengan nama cold blow.
28
Pemodelan Matematika Digester Pulp

Proses “displacement” atau penggantian lindi pada sistem batch merupakan hal
yang sangat penting. Pada proses ini, lindi hitam yang masing mengandung larutan dan
panas yang masih dapat digunakan akan ambil kembali. Proses pemisahan lindi hitam
dengan larutan yang akan ambil kembali dilakukan dengan memasukkan lindi hitam ke
dalam akumulator pemisah bertekanan.
Prinsip yang dilakukan pada Displacement batch cooking seperti pada Gambar
2.10 diberikan pada Tabel 2.7. Pada table tersebut dijelaskan secara umum proses yang
terjadi pada tiap-tiap tahapnya.
Tabel 2.7. Tahap-tahap pada Displacement batch cooking.
Tahap Keterangan
Chips filling Digester diisi dengan chips, dan secara simultan udara
diekstrak melalui penyaring sirkulasi lindi.
Warm black liquor fill Warm black liquor (WBL) dipompakan melalui bagian
bawah digester. Setelah volume yang diinginkan
tercapai, kerangan keluaran yang terletak di atas,
ditutup. Pemompaan lindi yang terus-menerus,
meningkatkan tekanan dalam digester. Sebagian lindi
putih digunakan sebagai penambah ion OH- sehingga pH
tetap tinggi.
Hot black liquor (HBL) fill HBL dipompakan dari bawah ke atas.
Hot white liquor (HWL) fill HWL yang belum dipanaskan sering dicampurkan
dengan HBL pada saat pemompaannya.
Heating Fasa pemanasan dilakukan hingga digester mencapai
temperatur maksimum yang diinginkan, sering dengan
menggunakan kukus secara langsung yang memanaskan
lindi. Biasanya fasa ini hanya membutuhkan kenaikkan
sebanyak 15-20OC, sehingga pemakaian kukus sangat
minimal. Hal ini merupakan keuntungan yang sangat
besar bila dibandingkan dengan pemasakan batch
konvensional yang lain.
Terminal displacement Isi dari digester didinginkan untuk menghentikan reaksi
ketika tingkat delignifikasi yang diinginkan sudah
tercapai. Hal ini dilakukan dengan memompakan larutan
pencuci melalui bagian bawah digester, mengeluarkan
lindi panas menuju akumulator.
Pulp discharge Isi dari digester sudah ber-temperatur 100oC dikeluarkan
dari digester menggunakan metoda pelarutan dan
pemompaan. System terbaru pada displacement ini
menggunakan udara bertekanan atau kukus untuk
menekan (“blow”) bahan-bahan keluar dari digester.

29
Pemodelan Matematika Digester Pulp

Gambar 2.10. Displacement batch cooking, (FAPET)

Teknik displacement yang banyak digunakan dewasa ini adalah Rapid


displacement Heating, SuperBatch, Enerbacth, dan Cold Blow. Pada Rapid Displacement
Heating (RDH), terdapat karakteristik tersendiri yaitu pengambilan panas dari HBL pada
akhir proses pemasakan dan digunakan pada batch berikutnya. Temperatur impregnasi
pada proses ini umumnya 125OC-130OC. Pada SuperBatch terdapat tempat displacement
pada akhir proses pemasakannya, yang dimaksudkan untuk mendapatkan kembali lindi
hitam dalam sebuah akumulator dengan acuan volume lindi dalam digester. Pengambilan
kembali sisa lindi hitam bila volume sudah tidak mencukupi dilanjutkan ke akumulator
yang lain. Pada tahap impregnasi, lindi hitam bertemperatur 80OC – 90OC.
Teknik Enerbatch mengimplementasikan tahap impregnasi dilakukan dengan
lindi putih dalam jumlah yang banyak dan sejumlah lindi hitam dari pemasakan
sebelumnya. Larutan impregnasi lalu digantikan oleh Hot Black Liquor dan lindi putih.
Teknik yang terakhir adalah Cold Blow. Pada metode ini, pemasakan dimulai dengan
mengisi digester dengan lindi putih bertemperatur 90OC dan Hot Black Liquor pada
165OC setelah proses pengumpanan chips. Temperatur awal sekitar 135°C-140°C. Isi dari
digester kemudian dipanaskan hingga temperatur pemasakan dengan cara re-sirkulasi
larutan dan pemanasan tidak langsung. Pada pemasakan cold-blow dua tahap, campuran
dari hasil penyaringan pencuci sebelum dipanaskan dengan padatan yang sedikit terlarut
serta lindi putih yang menggantikan larutan pemasak sebelum akhir proses pemasakan.

30
Pemodelan Matematika Digester Pulp

Pada versi satu tahap, pemasakan berlangsung secara normal tanpa tahap kedua.
Penggantian larutan pemasak dengan hasil penyaringan pencuci menghentikan reaksi
pemasakan. Karakteristik utama pada cold blow adalah tidak adanya tahap impregnasi
yang panas.
Metode memasukkan umpan pada digester batch ada beberapa macam. Beberapa
metode langsung memasukkan seluruh umpan hingga memenuhi bejana. Ada juga
metode lain yang memasukkan larutan bersamaan dengan chips, namun larutan tersebut
disirkulasikan lagi terus-menerus. Kukus bertekanan diumpankan dari bagian bawah agar
dapat “mengocok” chips. Pengumpanan chips haruslah seragam, karena chips yang tidak
seragam mengakibatkan kekacauan dalam sirkulasi, pemasukkan alkali serta perpindahan
panas.
Selama pengumpanan chips, udara dan kukus yang tidak terkondensasi
dikeluarkan dari digester melalui penyaring dengan menggunakan fan. Sebuah cyclone di
atas fan ini, mengeluarkan bahan-bahan halus. Tanpa pengeluaran udara leher dari
digester akan tersumbat. Proses yang terjadi secara garis besar terlihat pada Gambar 2.11.
Gambar tersebut menunjukkan sirkulasi larutan impregnansi, sebagian besar berupa lindi
hitam bertemperatur sekitar 95OC, dipompakan ke dalam digester melalui bagian
dasarnya hingga seluruh digester terisi olehnya. Beberapa proses menggunakan liquor
berlebih dan over flow-nya menuju tangki lindi hitam.
Sirkulasi yang umum dilakukan pada suatu digester batch dengan cara
dilewatkannya larutan melalui sebuah penukar panas seperti pada Gambar 2.11. Larutan
yang disirkulasikan tersebut didistribusikan kembali ke bejana. Pompa sirkulasi yang
digunakan, dirancang sedemikian rupa sehingga larutan tersirkulasi sekali tiap sepuluh
menit.

31
Pemodelan Matematika Digester Pulp

Gambar 2.11. Sistem sirkulasi pada digester batch (FAPET)

Penggunakan digester batch pada proses pemasakan, dapat memudahkan kita


untuk mengukur total yield. Sistem Liquor Displacement Batch dapat meningkatkan yield
seperti terlihat pada gambar berikut ini. Hal ini dapat terjadi karena keseragaman proses
pemasakan dan pemodifikasian bahan kimia pemasak. Gambar 2.12 memberikan profil
Bilangan Kappa terhadap yield pada system pemasakan konvesional dan displacement.
Sejalan dengan tingkat kekuatan yang dihasilkan, proses displacement juga memberikan
yield yang lebih besar.

Gambar 2.12. Yield vs Bilangan Kappa pada sistem konvensional dan displacement
(FAPET)

32
Pemodelan Matematika Digester Pulp

2.5.2 Digester Kontinyu


2.5.2.1 Sejarah dan Perkembangan Digester Kontinyu

Prototype digester kontinyu pertama digunakan oleh industri pulp di Swedia pada
tahun 1938, dengan kapasitas 20 ton per hari. Model digester yang pertama ini berupa
chamber yang memiliki temperatur dan tekanan yang tinggi, dimana chips dan bahan
kimia dimasukkan. Campuran tersebut dijalankan melalui beberapa seri tube, untuk
mencapai waktu reaksi pembentukan pulp.
Digester dengan model seperti yang dijelaskan pada alinea sebelumnya masih
digunakan oleh beberapa industri untuk melakukan pulping semi kimia, atau juga pada
proses alkaline pulping yang berbahan baku bagian-bagian dari kayu, misalnya bubuk
halus hasil penggergajian kayu. Peningkatan kapasitas menjadi 30 ton per hari terjadi
tahun 1948 dan terpasang sebanyak 15 buah selama kurang lebih 10 tahun. Selanjutnya
terjadi lonjakan teknologi pada digester kontinyu, yaitu pada tahun 1957 di Swedia.
Perbedaan generasi baru ini jika dibandingkan generasi pertama adalah terjadinya proses
cold blowing, yaitu pada saat keluar dari digester, serat mengalami penurunan tekanan
dan temperatur yang ekstrim, proses ini menghasilkan serat yang lebih kuat.
Perkembangan selanjutnya adalah digester M&D, yaitu digester yang
dikembangkan oleh Messing dan Durkee, berupa tube conveyor yang menanjak
(inclined). Karena pada keseluruhan chamber diberi tekanan, temperatur pada setiap titik
akan meningkat sejalan dengan injeksi kukus. Pada digester ini, tahap impregnansi dapat
diselesaikan sebelum temperatur maksimal tercapai. Waktu tinggal dapat dikendalikan
dengan cara mengatur kecepatan putaran conveyor. Penggunaan dua buah M&D secara
seri dapat lebih memaksimalkan pengontrolan tahap impregnansi. Dengan impregnansi
yang sempurna, tahap pemasakan dapat berjalan lebih cepat pada temperatur tinggi
dengan kukus bertekanan atmosfer. Gambar 2.13 memperlihatkan digester M&D.
Walaupun M&D dapat digunakan pada kraft pulping, namun secara komersial hanya
terbatas pada bahan baku berupa serbuk gergaji. Salah satu masalah yang dihadapi pada
M&D adalah terbatasnya ukuran bejana, yang hanya berdiameter 8 ft, sehingga untuk
mendapatkan hasil dengan kuantitas yang besar dibutuhkan tiga hingga lima unit
digester, baik itu secara seri ataupun paralel.

33
Pemodelan Matematika Digester Pulp

Gambar 2.13. Digester kontinyu M&D (FAPET)

2.5.2.2 Digester Kontinyu Bejana Tunggal

Perkembangan lebih jauh pada digester kontinyu adalah sebuah digester vertikal
yang mengimplementasikan chips mengalir ke bawah. Digester jenis vertikal ini
dikembangkan oleh Kamyr. Instalasi komersial pertama dilakukan pada tahun 1950, dan
pada tahun 1979 sudah terpasang 237 unit digester pada industri-industri pulp. Pada
sistem ini, chips memasuki digester pada bagian atas, lalu didorong ke bawah dengan
menggunakan ulir berputar. Ketika chips memasuki digester, proses penyerapan larutan
pulping terjadi.
Laju produksi pada digester ini sudah dapat mencapai lebih dari 2000 ton per hari.
Metode baru pada tahun 1980-an adalah MCC dan ITC. MCC adalah modified Cooking
Continuous, yaitu pemasakan pulp yang dilakukan setelah pemasakan tahap pertama
dengan cara mengontakkan chips dengan lindi pemasak secara berlawanan arah. Dengan
cara tersebut, serat yang dihasilkan lebih kuat dan yield lebih banyak (FAPET). Demikian
juga dengan Isothermal Continuous, proses pemasakan dengan menggunakan bejana
vertikal tunggal dan temperatur operasi yang dipertahankan sekitar 150 – 160oC
tergantung kondisi operasi. Berbeda dengan cara pemasakan konvensional yang
memasukkan seluruh bahan padat dan cair dari atas digester, dan menunggu hasilnya di
“bawah”, cara MCC dan ITC memodifikasi proses sehingga hasilnya lebih baik.

34
Pemodelan Matematika Digester Pulp

Kamyr digester berbejana kontinyu tunggal diilustrasikan pada Gambar 2.14.


Pada digester ini, chips bergerak ke bawah secara secara seragam mendekati model
reaktor aliran sumbat. Zona pertama pada digester ini adalah zona impregnansi, yaitu
zona penyerapan larutan pulping ke dalam pori-pori chips, sehingga udara dalam pori-
pori tergantikan oleh larutan tersebut. Fungsi lain dari zona impregnasi adalah
melunakkan kayu, dan memudahkan reaksi deligniikasi pada tahap pemasakan. Pada
tahap impregnasi ini, waktu tinggal berkisar sekitar 45 menit pada temperatur 105 hingga
130oC. Sebelum memasuki tahap reaksi, chips kayu mengalami tahap pemanasan yang
bertujuan untuk menghasilkan temperatur pemasakan. Temperatur yang dihasilkan
berkisar sekitar 4oC lebih dari temperatur pemasakan.

Chips Chips and Steam


Liquor

Chips Impregnation
Silo Zone
Steam Liquor
Screens

Cooking
Zone
White Liquor High Liquor
Pressure Washing
Feeder Zone

Blow Line
Gambar 2.14. Kamyr digester kontinyu sistem satu bejana

Pada tahun 1983, digester model Modified kraft Continous Cooking (MCC)
diujikan pada industri. Metode yang dikembangkan oleh STFI di Stockholm ini,
memberikan delignifikasi yang selektif dan pulp yang lebih kuat dibandingkan dengan
proses konvensional. Pada operasi MCC, sejumlah lindi putih ditambahkan ke dalam
sistem melalui sirkulasi MCC di mana lindi tersebut dicampurkan dengan lindi yang
sudah lemah dari dalam kolom. Sistem sirkulasi tersebut memanaskan dan

35
Pemodelan Matematika Digester Pulp

mendistribusikan lindi ini ke sepanjang kolom. Jenis aliran pada zona MCC adalah
berlawanan (countercurrent) menuju atas pada daerah free liquor dalam kolom.

Gambar 2. 15. Sistem pemanasan dan sirkulasi pencuci (Fapet CD-ROM)

2.5.2.2 Digester Kamyr Dengan Dua Bejana

Beberapa perubahan dan pengembangan yang signifikan terhadap digester


kontinyu dilakukan oleh beberapa institusi. Pengembangan itu terutama dalam hal
peningkatan kapasitas digester dan kualitas pulp, serta teknik pengambilan kembali
massa dan energi. Extended modified continuous cooking (EMCC) merupakan
pengembangan dari MCC, yang memasukkan lindi putih tambahan melalui sistem
pemanasan dan sirkulasi pencuci pada bagian dasar kolom seperti yang diilustrasikan
pada Gambar 2.15. Temperatur sirkulasi pencucian meningkat sampai ke temperatur
pemasakan maksimal. Pada prakteknya teknologi MCC dapat juga digunakan menjadi
teknologi EMCC dengan menambahkan sejumlah lindi putih ke sistem sirkulasi cairan
pencuci. Hal tersebut akan menjadikan dua kolom penambahan lindi putih secara
countercurrent. Dengan menerapkan teknologi EMCC, maka bejana pada digester harus
ditambah dalam tingginya, maka dimodifikasi menjadi bejana ganda.
Gambar 2.16 menyajikan gambaran umum digester kontinyu type Kamyr bejana
ganda. Chips kayu masuk ke conveyor dari woodyard dan memasuki proses melalui bin.
Alat pengukur chips mengontrol laju keluaran bin dan laju produksi. Keluaran dari alat
pengukur chips diumpankan ke Low Pressure Feeder, yang memindahkan chips ke
36
Pemodelan Matematika Digester Pulp

horizontal tank, bertekanan sekitar 100-150 kPa dengan kukus. Bejana pre-steaming
merupakan sebuah screw conveyor horizontal yang keluarannya menuju ke vertikal
chute. Lalu chips menuju ke pengumpan bertekanan tinggi, di saat yang sama juga terjadi
pengontrolan level lindi pada chute (tempat peluncuran) ini. Chips bergerak secara
grafitasi, dan kontak dengan lindi pada saat pertama. Lindi ini berputar (sirkulasi) dari
chute pada pengmpan bertekanan tinggi dan kembali ke chute melewati penguras seperti
pada gambar 2.15. Pada bagian dasar dari bejana vertikal, chips menuju pengumpan
bertekanan tinggi secara grafitasi dan dibantu oleh aliran lindi yang tersirkulasi.
Pengumpan bertekanan tinggi menjadikan chips yang bertekanan 100-150 kPa,
menjadi tekanan proses sebesar 1 MPa. Chips bersama lindi di-flush menuju bagian atas
bejana impregnansi atau digester sebagai slurry, dimana terdapat sebuah pemisah berulir
memisahkan lindi pembawa dari chips, mengembalikannya ke bagian inlet pengumpan
bertekanan tinggi, dan secara terus menerus membawa chips ke bagian atas digester,
seperti terlihat pada Gambar 2.17. Lindi putih (bahan kimia pemasak) dimasukkan ke
dalam proses selama proses pengumpanan.

Gambar 2.16. Sistem digester bejana ganda (FAPET)


Setelah melewati tahap pengumpanan, chips menuju tahap impregnansi. Tahap ini
terjadi dalam sebuah bejana khusus impregnansi, atau dapat juga dalam sebuah digester

37
Pemodelan Matematika Digester Pulp

yang terintegrasi dengan bejana tersebut. Pada tahap ini, proses-proses yang terjadi
adalah (1) penetrasi lindi ke dalam struktur kapilar chips, (2) bahan kimia pemasak
berdifusi dari bagian luar chips ke bagian tengahnya.

Gambar 2.17. Contoh pengumpan chips dengan steam bertekanan tinggi

Efisiensi pada tahap ini dipengaruhi oleh tahap pengeluaran udara dari dalam
chips. Tahap impregnansi pada proses kontinyu umumnya berlangsung pada temperatur
115-130oC selama 45-60 menit. Namun penelitian skala laboratorium memberikan hasil
bahwa untuk menambah kekuatan dan yield dari pulp, dibutuhkan waktu impregnasi yang
lama serta temperatur yang lebih rendah.
Setelah melewati tahap impregnasi, slurry menuju tahap pemanasan untuk
mencapai temperatur pemasakan maksimal. Kemudian chips diumpankan ke digester
melalui bagian atasnya. Pada bagian atas digester terdapat pipa udara bertekanan yang
berfungsi menjaga chips tetap begerak secara plugflow. Setelah itu secara simultan
dimasukkan cairan pemasak, hingga dalam digester secara esensial hanya terdapat sebuah
sistem dua fase, yaitu liquid dan padatan. Fase liquid mengisi kolom-kolom udara yang

38
Pemodelan Matematika Digester Pulp

terdapat antara masing-masing chips, larutan yang berada pada posisi ini dikenal dengan
nama “free liquor”.
Selama proses pemasakan, chips mempertahankan sifat-sifat fisiknya dan tidak
menjadi serat hingga proses depressurisasi atau blowdown pada ujung digester. Fraksi
massa padatan dalam chips akan menjadi 0,35-0,1 bergantung pada densitas chips kayu
pada saat belum diolah (densitas awal). Penurunan fraksi massa terjadi selama proses
pemasakan ini, padatan terlarut ke dalam larutan pemasak.
Pada tiap-tiap bagian akhir dari zona pemasakan, MCC, dan EMCC, terdapat
stainer yang berfungsi memisahkan padatan dan larutan. Larutan pemasak yang sudah
mengandung padatan terlarut, lindi hitam, dikeluarkan melalui bagian dinding strainer,
sedangkan padatan mengalir ke bawah menuju tahap pemasakan selanjutnya. Gambar
2.18 menyajikan gambaran mengenai bentuk dari strainer tersebut. Pada bagian ujung
dari keseluruhan digester, terdapat alat yang berfungsi sebagai “outlet device”. Selain
berfungsi sebagai pemisah padatan dan larutan, juga sebagai penurun tekanan, karena
bubur pulp akan memasuki zona bleaching. Gambar dari alat tersebut diperlihatkan pada
Gambar 2.19.

Gambar 2.18. Strainer jenis stave pada digester kontinyu (PT. Indah Kiat Pulp and
Paper)

39
Pemodelan Matematika Digester Pulp

Gambar 2.19. Outlet Device pada ujung digester kontinyu (PT. Indah Kiat Pulp and
Paper)

Pemakaian digester kontinyu pada industri mengantikan batch proses, memiliki


beberapa keuntungan, yaitu lebih efisien dalam hal ukuran, kebutuhan kukus yang
konstan, komponen tambahan yang tidak terlalu banyak (belt conveyor, sistem recover
panas), tahap pencucian termasuk ke dalam digester (Kamyr), dapat digunakan untuk
semua jenis kayu, dan memiliki efisiensi energi yang lebih baik.
Faktor-faktor lain yang dapat menjadi acuan bagi pemilihan tipe digester yang
akan digunakan adalah dalam hal capital cost serta tenaga manusia yang digunakan untuk
pengoperasian.

2.6 Pengendalian Operasi

Digester pulp merupakan alat yang sangat menentukan pada industri pulp,
sehingga pengendalian yang baik sangat diperlukan. Pada pengontrolan digester pulp
terdapat tiga hal yang menyulitkan, yaitu (1) kualitas chips yang bervariasi, karena sifat
chips sangat heterogen akibat umur dan ukuran pohon, (2) masalah pengukuran dimana
Bilangan Kappa tidak dapat diukur pada saat pemasakan, dan (3) proses yang lama
(antara 90 hingga 200 menit).

40
Pemodelan Matematika Digester Pulp

Pengendalian dasar pada digester kontinyu mengacu pada urutan proses. Urutan
tersebut diuraikan menjadi pengendalian pengumpanan, pengendalian laju produksi, dan
pengendalian laju perubahan. Pengukuran umpan masuk menggunakan chips meter speed
yang dioperasikan oleh seorang operator, disesuaikan dengan laju produksi yang
diharapkan. Penyesuaian juga dilakukan berdasarkan volume, bulk density dan yield.
Pengendalian dosis diuraikan menjadi pengendalian dosis alkali, pengendalian
profil alkali, dan pengendalian larutan terhadap kayu. Agar didapatkan pulp dengan
kualitas yang konstan, perbandingan dosis alkali harus sesuai dengan jumlah kayu bebas
air. Dalam beberapa kasus, alkali dimasukkan pada tempat yang berbeda-beda, contohnya
pada proses modified cooking.
Pengendalian lain yang merupakan pengendalian dasar adalah pengendalian pada
bejana penyerapan yang meliputi pengendalian level chips dan pengendalian pencairan
pada bagian bawah bejana. Pengendalian pada digester dilakukan agar tidak terjadi
rejection of pulp pada akhir digester. Hal-hal yang harus dikendalikan pada digester
adalah pengendalian level chips, pengendalian level larutan, pengendalian profil
temperatur, serta pengendalian H-factor.

2.7 Kinetika Reaksi

Mekanisme reaksi pada proses pulping kimiawi sangat komplek yang meliputi
pelarutan bahan organik, lignin, karbohidrat, dan bahan ekstraktif lainnya selama proses
berlangsung pada fase yang berbeda. Pelarutan bahan-bahan tersebut berbeda pada tiap
tahap pemasakannya, dan membutuhkan perlakuan khusus untuk masing-masing bahan.
Sistem reaksi merupakan sitem yang heterogen antara fase larutan dan padatan dimana
terjadi mekanisme perpindahan massa yang sangat kompleks secara simultan. Larutan
pemasak yang aktif berpindah ke dalam pori-pori chips dan dinding sel, serta hasil reaksi
berpindah dari sistem. Sistem reaksi pulping dapat dikatakan sebagai sistem yang
homogen jika beberapa faktor dari perpindahan massa dan energi memungkinkan untuk
diabaikan.
Kebanyakan literatur yang membahas kinetika reaksi dalam digester
menggunakan asumsi bahwa kinetikanya diperlakukan sebagai sistem reaksi homogen.
Hampir semua model digester kontinyu pada literatur dapat di-klasifikasi-kan menjadi
dua kategori tergantung pada penekanan yang dilakukan, yaitu (1) Pulping Chemistry dan
41
Pemodelan Matematika Digester Pulp

(2) Deskripsi hidraulis dari aliran chips dan larutan. Smith dan Williams (1974)
mengembangkan model kinetika dasar yang mendeskripsikan delignifikasi chips dengan
bentuk berikut:
Rs ,i = − ⎡⎣ k A,i (T )COH
a
+ k B ,i (T )COH
b c
CHS ⎤⎦ ( Cs ,i − Cs∞,i ) (2.14)

dengan subscript s,i menunjukan substansi padatan yang terkandung dalam chips,
konstanta model (a, b, c) dihitung dengan cara trial and error oleh para peneliti
sebelumnya pada data kimia pulping. Sedangkan untuk model Arrhenius menggunakan
persamaan:
k Ai (T ) = k Aoi exp(− E Ai / RT ) (2.15)
k Bi (T ) = k Boi exp(− EBi / RT ) (2.16)

Variabel reaksi utama pada delignifikasi adalah spesies kayu (komponen utama
pembentuknya), ukuran chips, temperatur, waktu reaksi, dan konsentrasi larutan pemasak
(ion-ion OH- dan HS-). Sifat kimia dan morfologi dari kayu merupakan faktor yang
paling dominan pada sifat-sifat pulp yang dihasilkan. Kondisi proses memainkan peranan
penting, namun hanya bisa digunakan pada bahan baku yang sesuai. Jenis kayu dan
ukuran chips dapat digunakan untuk menentukan kondisi optimal yang akan digunakan.
Vroom dkk (1957) membuat sebuah cara untuk mengantarkan sebuah model yang
universal untuk laju reaksi pulping, dengan menggunakan persamaan Arrhenius sebagai
dasar dan mengasumsikan bahwa tidak ada perbedaan laju antar fase selama reaksi
berlangsung dan tidak mempertimbangkan konsentrasi reaktan.
H-factor didefinisikan sebagai 1 untuk efek pulping, dengan nilai “1 h” pada
o
100 C; nilai tersebut meningkat sejalan dengan kenaikan temperatur yang dikenal sebagai
energi aktifasi untuk delignifikasi. Sebagai rule of thumb, Vroom dkk mengasumsikan
bahwa laju reaksi pada proses kraft adalah dua kali lipat dengan kenaikkan temperatur
10oC. Vroom dkk mendefinisikan H-factor dengan persamaan berikut:
H = ∫ kr .dt (2.17)

Secara prakteknya, H-factor adalah luas daerah dibawah kurva hubungan temperatur dan
waktu reaksi.
Laju pelepasan lignin lambat pada awal pemasakan. Fase ini disebut sebagai insial
delignifikasi, yang akan terus meningkat bersamaan dengan temperatur hal ini dikenal

42
Pemodelan Matematika Digester Pulp

dengan istilah fase bulk delignifikasi. Laju tersebut kemudian akan melambat kembali
pada tahap terakhir pemasakan, yang juga dikenal dengan fase residual delignifikasi.
Walaupun adanya ion hidrosulfit pada larutan pemasak, reaksi delignifikasi melambat
pada suatu titik tertentu, sehingga tidak semua akan hilang.
Laju reaksi delignifikasi juga dipengaruhi oleh suatu faktor yang disebut dengan
Reaction Rate Effectiveness Factor, θ, disebut juga faktor keefektifan, yang
menggambarkan pengaruh difusi dan reaksi secara relatif terhadap laju reaksi secara
keseluruhan keseluruhan. Faktor keefektifan juga dikenal sebagai perbandingan laju
reaksi global terhadap reaksi intrinsik. Nilai dari faktor keefektifan berkisar dari 0 sampai
dengan 1.
Beberapa model kinetika dapat menggambarkan efek ini dengan tingkat
keberhasilan yang berbeda-beda, ada yang menggambarkan hanya pada fase
pemasakannya saja, namun ada juga yang menggambarkan lebih lengkap pada hampir
setiap tahap. Namun, asumsi dasar yang harus diambil adalah chips mengalami penetrasi
yang baik sebelum memasuki tahap pemasakan serta konsentrasi larutan pada volume
bebas dan terisi pada awalnya adalah sama.
Semakin menurun konsentrasi lignin, H-factor akan meningkat. Temperatur juga
mempengaruhi nilai dari H-factor, dengan makin meningkatnya nilai H-factor, berarti
juga temperatur dan/atau waktu reaksi meningkat, maka konsentrasi lignin pada pulp
yang dihasilkan akan menurun. Namun hal tersebut juga menurunkan yield dari pulp
yang dihasilkan.

43

You might also like