Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 8

MAKALAH

KEABSAAN PEKAWINAN ADAT SUKU ALOR BERDASARKAN PERSPEKTIF


HUKUM NASYONAL

NAMA : PUTRI SANIA ETIKAMENA

NIM : 201772811

Akademi Pekerjaan Sosial Kupang

2018
BAB I

PENDAHULUAN

Perkawinan merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Perkawinan


adalah melegalkan hubungan hukum antara seorang laki-laki dan seorang wanita. Oleh sebab
itulah beberapa ahli memandang dan memberikan arti yang sangat penting terhadap institusi
yang bernama perkawinan. Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan :
Perkawinan ialah ikatan lahir batin anatar seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasrkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sahnya perkawinan menurut perundangan diatur dalam Pasal 2 Ayat 1 UU No. 1 Tahun
1974 yang menyatakan : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu. Jadi perkawinan yang sah menurut hukum
perkawinan nasional adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan hukum
yang berlaku dalam agama islam, Kristen/katolik , hindu, budha dan kepercayaannya.
Hukum adat perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat mengatur tentang bentuk-bentuk
perkawinan, cara-cara lamaran, upacara perkawinan dan putusan perkawinan di Indonesia. Adat
setiap daerah memiiki perbedaan-perbedaan, salah satu daerah yang masih kental dengan adat
perkawinan menurut hukum adat nya adalah Suku Alor di Nusa Tenggara Timur.
Pada Suku Alor terdapat sistem yang harus dijalankan diantaranya ada aturan dalam
pemberian mas kawin/mahar. Bagi sebagian masyarakat NTT meminta belis sama halnya
menjual anak gadis, karena sering berkembang pemahaman di masyarakat jika seorang gadis
sudah dibelis, maka secara keseluruhan dia menjadi milik keluarga mempelai laki-laki, selain
wajib mengikuti marga dari pihak laki-laki, keluarga laki-laki berhak melakukan apa saja
terhadap sang gadis, termasuk melarang sang gadis untuk bertemu keluarganya lagi.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Perkawinan dalam Suku Alor


Alor adalah sebuah kabupaten di Provinsi Nusa Tenggar Timur, disebut suku Alor
karena berbagai macam budaya yang masih dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat.
Salah satunya ialah hukum adat yang mengatur tentang perkawinan.
Sebelum masuknya agama-agama besar, penduduk Alor menganut paham animisme dan
dinamisme. Mereka menyembah matahari (Larra/Lera), bulan (Wulang), sungai
(Neda/dewa air), hutan (Addi/dewa hutan), dan laut (Hari/dewa laut). Saat ini mayoritas
penduduk Alor adalah penganut agama Kristen (Katolik dan Protestan), sementara
sisanya adalah pemeluk agama Islam, Budha dan Hindu.
Prinsip hubungan keturunan suku Alor biasanya bersifat patrilineal. Keluarga ini
disebut kukkus. Gabungan dari beberapa kukkus menjadi klen kecil yang disebut bala.
Gabungan dari beberapa bala menjadi klen besar yang disebut laing.
Dalam perkawinannya orang Alor menganut adat eksogami klen. Eksogami klen yaitu
sistem yang mengharuskan seorang pria diharuskan kawin dengan wanita diluar kerabat
atau familinya sendiri, dilarang mencari istri dalam marganya sendiri. Sebelum
perkawinan dilaksanakan pihak laki-laki wajib membayar sejumlah belis (maskawin)
secara kontan kepada pihak pemberi wanita. Belis tersebut dapat terdiri atas sejumlah
uang, gong, selimut (sejenis ikat pinggang) dan moko (sejenis genderang untuk
mengiringi upacara).
Seperti halnya dalam budaya masyarakat lain di Indonesia, dalam tradisi
masyarakat NTT pun mengenal mahar atau mas kawin, yang biasa disebut Belis. Belis
biasanya diberikan oleh keluarga calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita dan
keluarganya. Secara sederhana, belis dapat diartikan sebagai pemberian yang bersifat
material kepada kerabat atau saudara pada peristiwa-peristiwa tertentu. Pada umumnya,
belis selalu diasosiasikan dengan pemberian sejumlah uang maupun barang pada upacara
perkawinan. Perkawinan dalam tradisi kehidupan sosial masyarakat NTT umumnya
menganut sistem genealogis patrilineal (mengikuti garis keturunan ayah) dan
menempatkan marga/suku sebagai identitas penting. Setiap perkawinan akan membentuk
suatu aliansi dan melibatkan sistem pertukaran aset antarkeluarga atau antarsuku. Dalam
adat perkawinan masyarakat NTT, pembayaran belis menjadi prasyarat penting
keabsahan perkawinan tersebut dan dimaknai sebagai simbol pemersatu laki-laki dan
perempuan sebagai suami-istri, sebagai syarat utama pengesahan perpindahan
marga/suku istri ke marga/suku suami, serta sebagai kompensasi terhadap jasa orangtua
calon mempelai perempuan yang telah membesarkan anak mereka.
Namun, belis secara harfiah dapat juga berarti pihak keluarga laki-laki “membeli
gadis secara lunas” dari keluarga pihak perempuan. Di luar adat perkawinan, belis juga
berarti pengeluaran atau sumbangan keluarga kepada kerabat untuk peristiwa kematian
atau sumbangan untuk membangun rumah adat dan melakukan upacara adat.
Sebagai salah satu bentuk pemindahan aset antar keluarga, belis memiliki nilai atau
besaran yang bermacam-macam dan tidak ada yang berlaku umum. Belis dapat berbentuk
uang dan ternak, juga barang, seperti sofren (uang atau lempengan emas), atau tergantung
pada kebiasaan suku setempat. Meskipun demikian, pada umumnya nilai belis tergantung
pada beberapa faktor. Untuk perkawinan, besaran belis dipengaruhi oleh, pertama, status
sosial keluarga; makin tinggi status sosialnya, makin tinggi nilai belis-nya. Kedua,
dipengaruhi oleh kesepakatan atau hasil negosiasi antara keluarga laki-laki dan keluarga
perempuan.
Jika di Flores, seorang mempelai wanita dihargai dengan gading gajah, maka
berbeda dengan permintaan belis di Alor. Di daerah ini seorang mempelai wanita akan
dihargai dengan permintaan belis moko. Moko atau nekara perunggu sebagai lambang
status sosial masyarakat setempat. Pemilikan terhadap jumlah dan jenis moko tertentu
dapat menunjukkan status sosial seseorang. Bagi masyarakat Alor, moko adalah benda
suci yang ‘dikeramatkan’ dalam mengikat tali perkawinan karena merupakan alat
pembayaran belis (mas kawin) seorang laki-laki kepada calon isterinya yang kemudian
diangkat dan dimasukkan ke dalam clannya.
Untuk memperoleh moko sebanyak-banyaknya juga telah diatur oleh lembaga adat dalam
suatu pola perkawinan. Moko hanya beredar dan keluar pada saat peristiwa adat
perkawinan dilaksanakan. Dan sebuah perkawinan dinyatakan syah menurut adat apabila
memenuhi persyaratan membayarbelis (mas kawin) dengan moko. Pembayaran belis
dengan Moko merupakan simbol tempat pengganti tenaga kerja dan kedudukan anak
gadis yang dibawa suaminya dan gong sebagai lambang tempat duduk ibunya pada waktu
melahirkan.
Ukuran besar kecilnya moko dan tahun pembuatannya serta pola hias ikut menentukan
tinggi rendahnya harga sebuah moko sebagai alat pembayaran belis.Harga pasaran Moko
di Alor bervariasi mulai dari paling murah sampai paling mahal. Namun moko tak bisa
diukur dengan uang berapapun jumlahnya karena Moko mempunyai kedudukan dan nilai
tersendiri dalam relasi sosial masyarakat Alor.
Seperti yang disebutkan diatas, prinsip hubungan keturunan bersifat patrineal
sehingga ada sistem JUJUR didalamnya. Selain itu perkawinan dapat pula terjadi tanpa
harus membayar belis secara kontan, untuk itu si suami harus mengabdi beberapa lama
untuk lingkungan asal isterinya. Ada pula yang disebut perkawinan tukar gadis, dimana
laki-laki yang tidak mampu membayar belis menyerahkan saudara perempuannya untuk
dikawini pula oleh laki-laki pihak keluarga asal isterinya. Jalan pintas yang ditempuh
seorang laki-laki untuk menghindari semua kewajiban belis tersebut biasanya dengan
melarikan si gadis. Namun tetap ada sanksinya.

B. Perkawinan Dalam Hukum Nasional


Keabsahan suatu perkawinan merupakan suatu hal yang prinsipil, karenanya perkawinan
erat kaitannya dengan segala hal akibat perkawinan, baik menyangkut dengan anak
(keturunan) maupun yang berkaitan dengan harta. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
telah merumuskan kriteria keabsahan suatu perkawinan, yang dituangkan dalam Pasal 2,
sebagai berikut:

1. Perkawinan adalah sah apaila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu;

2. tiap-tiap perkawinan di catat menurut aturan perundang-undangan yang berlaku.


Ketentuan diatas menetapkan dua garis hukum yang harus dipatuhi dalam melakukan
suatu perkawinan. Pada ayat (1) dapat dilihat secara tegas diatur dengan tegas tentang
keabsahaan suatu perkawinan, yakni bahwa satu-satunya syarat sahnya suatu perkawinan
adalah bila perkawinan itu dilakukan menurut ketentuan agama dari mereka yang akan
melangsungkan perkawinan.
Sedangakan Asas-asas Perkawinan dalam Hukum Adat yang diserap oleh UU Nomor 1
Tahun 1974 diantaranya:

 Perkawinan bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga dan hubungan


kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.

 Perkawinan harus sah menurut hukum agama dan kepercayaan dan mendapat
pengakuan dari anggota kerabat.

 Perkawinan dilakukan oleh seorang pria dan seorang wanita (beberapa wanita) ,
sebagai istri yang masing-masing kedudukannya ditentukan menurut hukum adat
setempat.

 Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota kerabat.
Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami istri yang tidak diakui
masyarakat adat.

 Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur atau
masih anak-anak, dengan seijin orang tua atau kerabat.

 Perceraian ada yang boleh dan ada yang tidak boleh sebab dapat memecah belah
hubungan kekeluargaan
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Dari penjelasan mengenai perkawinan adat suku Alor dan pekawinan menurut hukum
nasioanl, dapat dipahami bahwa perkawinan pada Suku Alor tidak melanggar ketentuan hukum
nasional. Karena keabsahannya menurut UU Perkawinan didasarkan pada hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya. Sedang dalam masyarakat adat suku Alor, sebagian sudah
memeluk agama seperti agama islam, kristen, katolik, hindu dan budha. sehingga keabsahannya
tidak diragukan.
Untuk permasalahan “Belis” tersebut tidak menjadi suatu hal yang membatalkan sahnya
suatu perkawinan karena disebutkan diatas adalah “Perkawinan harus sah menurut hukum agama
dan kepercayaan dan mendapat pengakuan dari anggota kerabat” maka, apabila Belis tadi
merupakan salah satu bentuk dari pengakuan dari anggota kerabat maka hal itu diperbolehkan
dan tidak melanggar hukum nasional.
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan (LN 1974 Nomor 1,TLN 3019)

Hilman Hadikusuma, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adar,
Hukum Agama, CV. Mandur Maju :Bandung

Soerjono Wignjodipoere, 1988, Asas-asas Hukum Adat, Jakarta : Gunung Agung

http://digilib.uinsuka.ac.id/10623/1/BAB%20I,%20BAB%20V,%20DAFTAR%20PUSTAKA.p
df

http://www.negarahukum.com/hukum/perkawinan-dalam-perspektif-hukum-islam-dan-hukum-
positif.html

You might also like