Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Gabungan sel,


molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem
imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul dan bahan lainnya terhadap
mikroba disebut respons imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan
keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam
lingkungan hidup.

Pada kondisi yang sama, kadang-kadang imunitas yang seharusnya melindungi


tubuh dapat menghasilkan dampak yang merusak jaringan, bahkan dapat berakhir
pada kematian. Sistem imun dapat diibaratkan bagaikan pedang bermata dua, yang
seharusnya melindungi terhadap serangan musuh tetapi sekaligus berpeluang melukai.
Perlu diingat bahwa perbedaan hipersensitivitas dengan respons imun yang bersifat
protektif, terletak hanya pada respons yang bersifat berlebihan, atau tidak biasa dan
bahkan membawa kerusakan jaringan tubuh yang bersangkutan. Konfigurasi sistem
imun yang sama mungkin membangkitkan respons tubuh yang tidak sama. Pada satu
individu terjadi respons protektif, sedangkan pada individu lain terjadi respons
hipersensitivitas.

Suatu keadaan respons imun yang menyimpang dari respons imun yang
biasanya protektif disebut alergi. Dengan istilah alergi, fenomena tersebut akan
mencakup semua keadaan penderita yang bermanifestasi menyimpang dari respons
imun yang biasa. Jika diperiksa lebih lanjut pada penderita tersebut ternyata mereka
mengalami adanya kerusakan jaringan, sedangkan mereka yang tidak menunjukkan
gejala alergi tidak ditemukan kerusakan jaringan. Timbulnya gejala terletak pada
kepekaan seseorang terhadap suatu antigen, atau dikatakan menunjukkan reaksi
hipersensitivitas.

1
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa definisi reaksi hipersensitivitas?
2. Bagaimana penggolongan reaksi hipersensitivitas?
3. Bagaimana mekanisme terjadinya reaksi hipersensitivitas?
4. Apa saja manifestasi reaksi hipersensitifitas?

1.3. Tujuan
1. Mengetahui definisi reaksi hipersensitivitas.
2. Mengetahui penggolongan reaksi hipersensitivitas.
3. Mengetahui mekanisme terjadinya reaksi hipersensitivitas.
4. Mengetahui manifestasi reaksi hipersensitifitas.

2
BAB II

ISI

2.1. Definisi Reaksi Hipersensitivitas


Reaksi hipersensitivitas adalah reaksi imunologik yang berlebihan atau tidak
wajar, sehingga menimbulkan kerusakan jaringan. Reaksi hipersensitivitas dapat
terjadi bila jumlah antigen yang masuk relatif banyak atau bila status imunologik
seseorang, baik selular maupun humoral meningkat.

2.2. Penggolongan Reaksi Hipersensitivitas


Reaksi hipersensitivitas dapat di bedakan berdasarkan :
1. Reaksi hipersensitivitas menurut waktu timbulnya reaksi
a. Reaksi cepat
Reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam
dua jam. Ikatan silang antara alergan dan IgE pada permukaan sel
mast menginduksi pelepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi
cepat berupa anafilaksis sistemik atau anafilaksis lokal.
b. Reaksi intermediet
Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan
menghilang dalam 24 jam. Reaksi ini melibatkan pembentukan
kompleks imun IgG dan keruskan jaringan melalui aktivasi
komplemen dan atau sel NK/ADCC. Manifestasi reaksi intermediet
dapat berupa :
i. Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia
hemolitik autoimun.
ii. Reaksi Arthus lokal dan reaksi sistemik seperti serum sickness,
vaskulitis nekrotis, glomeruloneftritis, artritis reumatoid LES.
Reaksi intermediet diawali oleh IgG dan keruskan jeringan
pejamu yang disebabkan oleh sel neutrofil atau sel NK.
c. Reaksi lambat
Reaksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi
pajanan dengan antigen yang terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada DTH,
sitokin yang dilepas sel T mengaktifkan sel efektor makrofag yang
menimbulkan keruskan jaringan. Contoh reaksi lambat adalah

3
dermatitis kontak, reaksi M. Tuberkulosis dan reaksi penolakan
tandur.

2. Reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs


a. Reaksi tipe I : reaksi anafilaktik
b. Reaksi tipe II : reaksi sitotoksik
c. Reaksi tipe III : reaksi kompleks antigen-antibodi
d. Reaksi tipe IV : reaksi hipersensitivitas tertunda/terlambat

Gambar 1. Reaksi hipersensitivitas tipe I, II, III dan IV menurut Gell dan Coombs

2.3. Mekanisme Terjadinya Reaksi Hipersensitivitas


a. Reaksi tipe I
Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau
reaksi alergi, timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan alergan. Istilah
alergi yang pertama kali digunakan Von Pirquet pada tahun 1996 yang
berasal dari bahasa alol (Yunani) yang berarti perubahan dari asalnya yang
dewasa. Ini diartikan sebagai perubahan reaktivitas organisma.
Pada reaksi tipe I, alergan yang masuk kedalam tubuh menimbulkan
respons imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi,
asma dan dermatitis atopi. Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai
berikut :

4
1) Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan
IgE sampai diikat silang oleh reseptor spesifik (Fc-R) pada
permukaan sel mast atau basofil.
2) Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang
dengan antigen yang spesifik dan sel mast/basofil melepas isinya
yang berisikan granul yang ,enimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh
ikatan silang antara antigen dan IgE.
3) Fase Efektor, yaitu waktu terjadi rfespons yang kompleks
(anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepaskan sel
mast/basofil dengan aktivitas farmakologik.
Sel mast berperan sentral pada timbulnya reaksi hipersensitivitas tipe I.
Sel mast adalah sel yang berasal dari sumsum tulang dan terdistribusi luas di
jaringan. Sel ini terutama dijumpai didekat pembuluh darah dan saraf serta di
lokasi subepitel, tempat terjadi reaksi hipersensitivitas tipe I cenderung
terjadi. Sel mast memiliki granula terbungkus membran sitoplasmik yang
mengandung beragam mediator aktif-biologis. Sel mast dan basofil
diaktifkan oleh pengikatan silang reseptor Fc IgE berafinitas kuat. Basofil
serupa dengan sel mast dalam banyak aspek, termasuk adanya reseptor Fc
IgE pada permukaan sel serta granula di sitoplasma. Akan tetapi, basofil
biasanya hanya sedikit beredar di dalam darah.
Sebagian besar reaksi hipersensitivitas tipe I diperantarai oleh IgE
yang dihasilkan oleh sel B. Sel B penghasil IgE berdiferensiasi dari sel B naif
(menghasilkan IgD dan IgM), dan proses ini bergantung pada aktivitas sel T
penolong CD4+ tipe TH2. Oleh karena itu, sel TH2 berperan penting pada
patogenesis hipersensitivitas tipe I.
Sitokin-sitokin khas dari subset ini adalah IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4
esensial untuk mengaktifkan sel B penghasil IgE dan untuk mempertahankan
perkembangan sel TH2. IL-5 mengaktifkan eosinofil yang merupakan efektor
penting hipersensitivitas tipe I. IL-3 meningkatkan produksi IgE dan bekerja
pada sel epitel untuk merangsang sekresi mukus. Selain itu, sel TH2 dan sel
epitel menghasilkan kemokin yang menarik lebih banyak sel TH2, serta
eosinofil dan kadang-kadang basofil ketempat reaksi.

5
Gambar 2. Patogenesis reaksi hipersensitivitas tipe I

Pada langkah pertama dalam rangkaian reaksi ini, antigen (alergan)


mengikat antibodi IgE yang telah melekat pada sel mast. Antigen multivalen
mengikat lebih dari satu molekul IgE sehingga menyebabkan terbentuknya
ikatan silang antara antibodi-antibodi IgE yang berdekatan dengan reseptor
Fc IgE dibawahnya. Pembentukan jembatan antar molekul-molekul IgE
mengaktifkan jalur-jalur tranduksi sinyal dari bagian sitoplasma reseptor Fc
IgE. Sinyal-sinyal ini memicu dua proses yang paralel, tetapi saling
bergantung, satu proses menyebabkan degranulasi sel mast disertai pelepasan
mediator primer yang tersimpan di granula, dan proses yang lain
meyebabkan sintesis de novo dan pelepasan mediator sekunder.

6
Gambar 3. Pengaktifan sel mast pada hipersensitivitas tipe I
Mediator yang berperan dalam reaksi hipersensitivitas tipe I ini adalah :
1) Mediator primer
Mediator primer yang terkandung didalam granula sel mast dapat dibagi
menjadi 3 kategori, yaitu :
a. Amin biogenik
Amin vasoaktif yang paling penting adalah histamin. Histamin
menyebabkan kontraksi kuat otot polos, peningkatan permeabilitas
vaskular, dan peningkatan sekresi oleh kelenjar hidung, bronkus, dan
lambung.
b. Enzim
Enzim yang terkandung dalam granula termasuk protease netral
(kimase, triptase) menimbulkan kerusakan.
c. Proteoglikan
Zat ini mencakup heparin. Zat ini berfungsi untuk mengemas dan
menyimpan mediator lain di dalam granula.
2) Mediator sekunder
a. Leukotrien
Merupakan zat vasoaktif dan spasmogenik terkuat yang pernah
diketahui.

7
b. Prostaglandin D2
Zat ini menyebabkan bronkospasme hebat dan meningkatkan sekresi
mukus.
c. Platelet-activating factor (PAF)
Zai ini meyebabkan agregasi trombosit, pelepasan histamin,
bronkospasme, peningkatan permeabilitas vaskular, dan vasodilatasi.
Selain itu, PAF dapat mengaktifkan sel-sel radang, sehingga sel-sel
tersebut mengumpul dan melepaskan granulanya.
d. Sitokinin
Sel mast merupakan sumber sejumlah besar sitokin yang berperan
penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I.
Secara ringkas, hipersensitivitas tipe I adalah suatu gangguan kompleks
yang terjadi akibat terpicunya sel mast, yang diperentarai oleh IgE beserta
akumulasi sel radang di tempat pengendapan antigen. Proses-proses ini sebagian
besar diatur oleh induksi sel TH2 yang meningkatkan sintesis IgE dan akumulasi
sel radang terutama eosinofil.
Kerja Mediator
Vasodilatasi, peningkatan permeabilitas Histamin
vaskular PAF
Leukotrien C4, D4, E4
Protease netral yang mengaktifkan
komplemen dan kinin
Prostaglandin D2
Spasme otot polos Leukotrien C4, D4, E4
Histamin
Prostaglandin
PAF
Infiltrasi sel Sitokin (TNF)
Leukotrien B4
Faktor kemotaktik eosinofil dan
neutrofil
PAF
Tabel 1. Ringkasan efek mediator sel mast pada reaksi hipersensitivitas tipe I

8
 Manifestasi Reaksi tipe I
Manifestasi reaksi Tipe I dapat bervariasi dari local, ringan sampai berat
dan keadaan yang mengancam nyawa seperti anafilaksis dan asma berat.
a. Reaksi Lokal
Reaksi hipersensitivitas Tipe I local terbatas pada jaringan atau
organ spesifik yang biasanya melibatkan permukaan epitel tempat
allergen masuk. Kecenderungan untuk menunjukkan reaksi Tipe I
adalah diturunkan dan disebut atopi. Sedikitnya 20% populasi
menunjukkan penyakit yang terjadi melalui IgE seperti rhinitis alergi,
asma, dan dermatitis atopi.
Sekitar 50-70% dari populasi membentuk IgE terhadap antigen
yang masuk tubuh melalui mukosa selaput seperti selaput lender
hidung, paru dan konjungtiva, tetapi hanya 10-20% masyarakat yang
menderita rhinitis alergi dan sekitar 3-10% yang menderita asma
bronchial. IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast akan menetap
untuk beberapa minggu. Sensitisasi dapat pula terjadi secara pasif bila
serum (darah) orang yang alergi dimasukkan kedalam kulit/sirkulasi
orang normal. Reaksi alergi yang mengenai kulit, mata, hidung, dan
saluran nafas.
b. Reaksi Sistemik-Anafilaksis
Anafilaksis adalah reaksi Tipe I yang dapat fatal dan terjadi
dalam beberapa menit saja . anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas
Gell dan Coombs. Tipe I atau reaksi alergi yang cepat ditimbulkan
IgE yang dapat mengancam nyawa. Sel mast dan basofil merupakan
sel efektor yang melepas berbagai mediator. Reaksi dapat dipacu oleh
berbagai elergen, seperti makanan (asal laut, kacang-kacangan), obat
atau sengatan serangga dan juga lateks, ;atihan jasmani dan bahan
diagnostic lainnya. Pada 2/3 pasien dengan anafilaksis, pemicu
spesifiknya tidak dapat diidentifikasi.
c. Reaksi Pseudoalergi atau Anafilaktoid
Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik
umum yang melibatkan pelepasan mediator oleh sel mast yang terjadi
tidak melalui IgE. Mekanisme pseudoalergi merupakan mekanisme
melalui jalur efektor nonimun. Secara klinis reaksi ini menyerupai
9
reaksi Tipe I seperti syok, utikaria, bronkospasme, anafilaksis,
pruritus, tetapi tidak berdasarkan reaksi imun. Manifestasi klinisnya
sering serupa, sehingga sulit dibedakan satu dari lainnya. Reaksi ini
tidak memerlukan pajanan terdahulu untuk menimbulkan sensitasi.
Reaksi anafilaktoid dapat ditimbulkan antimikroba, protein, kontras
dengan yodium, AINS, etilonoksid,taksol, penisilin dan pelemas otot.

Dari uraian tentang pathogenesis dan akibat sampingan reaksi tahap


lambat , dapata dipahami arti penting dari upaya-upaya menghambat
berlangsungnya proses tersebut agar dapat mengurangi penderitaan.
Dalam pengelolaan penyakit alergi, pencegahan dan pengobatan
terhadap reaksi tahap lambat merupakan bagian penting dari strategi
pengobatan secara umum. Berdasarkan pentingnya peran matosit dalam
pathogenesis reaksi tahap lambat, maka pencegahan aktivasi matosit yang
mengawali reaksi radang merupakan tindakan awal yang harus
dipertimbangkan terlebih dahulu. Untuk mencegah aktivasi matosit , maka
sediaan yang dapat mempertahankan kestabilan membrane sel matosit
menjadi pilihan utama.
Penggunaan sediaan kortikosteroid, walaupun belum diketahui secara
jelas mekanisme kerjanya , namun oleh karena pengobatan dengan
kortikosteroid dapat menekan gejala – gejala yang timbul pada reaksi tahap
lambat. Dari pengalaman para klinis dilaporkan bahwa penggunaan
kortikosteroid dapat menekan gejala radang seperti vasodilatasi,
peningkatan permeabilitas pembuluh darah, infiltrasi sel-sel radang serta
kerusakan jaringan. Terutama dalam mencegah kemotaksis sel netrofil,
kemampuan kortikosterois sangat berarti , sebab sel netrofil akan
mengawali kemotaksis sel-sel monosit yang dapat mengakibatkan
kerusakan jaringan selanjutnya. Perlu diperhatikan bahwa kortikosteroid
tidak bias digunakan untuk mencegah reaksi tahap cepat dari reaksi alergi.
Perlu diingat pula bahwa obat-obatan yang tergolong untuk stabilitator
membrane dan menghambat kemotaksis tersebut, tidak dapat menghambat
gejala- gejala reaksi tahap lambat seperti penyempitan saluran nafas dan
efek histamine lainnya. Maka pemakaian obat-obatan yang tidak berkhasiat
terhadap pathogenesis radang, dimaksudkan sebagai bronkodilator,

10
antikolinergik, antihistamin, antipruritus dan dekongestan dianggap sebagai
pengobatan supportif dan digunakan secara simptomatis (Kaliner,1987).
Untuk menurunkan kadar IgE dengan cara imunoterapi merupakan
tindakan primer, oleh karena peningkatan antibody IgG yang merupakan
immunoglobulin yang dapat menetralisasi allergen yang masuk ke tubuh
tidak disertai terjadinya degranulasi mastosit. Upaya menurunkan kadar IgE
harus didasarkan pada mekanisme sisntesis IgE dan bagaiman cara
pengendalian sintesis tersebut.

1. PENYAKIT ATOPI
Istilah atopi diusulkan oleh Coca (1923) yang berasal dari kata atopos
yang dalam bahasa Yunani berarti “tidak biasa”, oleh karena itu Koka ingin
menggambarkan bahwa gejala yang dijumpai merupakan keadaan
hipersensitivitas yang tidak biasa dijumpai dengan hipersensitivitas pada
orang-orang normal , yaitu dermatitis kontak, “serum sickness”, anafilaksis
dan infeksi oleh basil tbc.
Hingga lama berselang , dilaporkan bahwa atopi tidak hanya diderita
oleh manusia , tetapi juga pada hewan seperti anjing dan tikus. Pada
manusia , atopi melibatkan kulit,saluran nafas, ruang telinga, saluran
pencernaan, saluran kemih dan khususnya didaerah SSP. Gejala yang
ditimbulkan tergantung dengan organ yang terlibat.

Dasar Genetik Atopi


Dari hasil penelitian Frick pada keluarga –keluarga yang menunjukkan
gejala atopi. Ternyata apabila kedua orang tuanya menunjukkan gejala atopi
, amak terdapat 75% kemungkinan menderita atopi. Namun apabila hanya
salah satu orang tuanya menderita atopi maka ditemukan hanya 50%
menderita atopi. Sebaliknya dari 38% penderita atopi tidak memberikan
petunjuk bahwa orang tuanya ada yang menderita atopi. Keterkaitan faktor
genetik dengan atopi dicari melalui keterkaitannya dengan system HLA.
Pada kaukasus ditemukan bahawa HLA tertentu seperti HLA-D2, -D3, -A1,
-A2, -A28, -B7,-B8 mempunyai keterkaitan dengan beberapa allergen
tertentu.

11
Pengaturan Produksi IgE
Dalam upaya menurunkan kadar IgE dalam darah bagi mereka yang
menderita atopi, perlu dilakukan pengaturan produksi IgE. Penelitian
imunoregulasi produksi IgE diperlukan sebagai dasar penjelasan
mekanisme imunoregulasi pada umumnya, disamping itu bertujuan untuk
penggunaan praktis dalam upaya menghambat produksi antibody yang
dapat merugikan tubuh. Diduga imunoregulasi IgE dikendalikan sebagian
secara terpisah dari pengendalian produksi IgM, IgA, dan IgG.
Oleh kelompok Ishizaka (1984) dan Katz (1984) ditemukan adanya
beberapa sel dengan marker tertentu yang menghasilkan faktor-faktor yang
terdapat dalam pengaturan produksi IgE. Limfosit T (Lyt l+) yang memiliki
reseptor untuk Fc IgE dan Fc IgG bila dirangsang oleh IgE atau “
interferon like inducer “ akan menghasilkan IgE-potentiating Factor atau
IgE-suppresive Factor, tergantung dari pengaruh substansi lain yang
dihasilkan oleh Limfosit T jenis lain sebagai GIF (Glycosylation Inhibition
Factor) ataupun GEF (Glycosylation Enhancing Factor). Maka
keseimbangan GIF dan GEF akan menentukan jenis faktor pengatur IgE
yang akan dibentuk oleh limfosit T (Lyi l+) . Sangat mungkin pula bahwa
substansi ditemukan oleh Ishizaka sebagai GIF dan GEF.
Mengenai pengaturan produksi IgE ,diusulkan oleh Katz (1979) yang
dinamakan terobosan alergik (Alergic breakthrough), yaitu produksi IgE
akann minimal pada individu yang non alergik dan keadaan tersebut akan
dipertahankan pada konsentrasi yang rendah , yang dinamakan mekanisme
“damping mechanism” dari limfosit T supresor dihambat, misalnya oleh
adanya radiasi ,siklofosfamid atau infeksi virus. Akibatnya limfosit B akan
mampu menghasilkan IgE.

Bentuk Klinik Atopi


Pada individu yang secara genetic memang peka, atopi dapat
menyerang lebih dari satu organ sasarannya. Misalnya atopi pada alat
pernafasan dapat disertai radang dalam telinga yang disertai demam. Usus
dan saluran kemih yang lebih peka , apabila mendapat rangsangan dari
alergennya dapat menimbulkan gejala muntah, tidak bias menahan buang
air kecil dan nyeri pada saat buang air kecil. Keterlibatan pembuluh darah,

12
terutama dalam SSP dapat menimbulkan sakit kepala, perubahan prilaku,
dan manifestasi lain dari Susunan Saraf.
Apabila antigen yang berasal dari luar masuk ke tubuh, maka terdapat
berbagai kemungkinan jalan masuknya. Sehingga alergen tersebut dapat
berbentuk sebagai ingestan apabila melalui saluran pencernaan, inhalan
apabila melalui saluran pernafasan , injektan apabila melalui suntikan dan
kontaktan apabila melaui kontak kulit. Kontaktan biasanya menimbulkan
gejala alergi tipe lambat (TipeIV) yang merupakan hipersensitivitas respon
imun seluler . Organ sasaran yang biasanya menimbulkan gejala pada atopi
yaitu : Saluran pencernaan, saluran pernafasan dan kulit.

Anaphylactic Shock
Jika sebuah allergen diberikan secara sistemik atau diserap secara
cepat diusus , mastosit jaringan pengikat yang berkaitan dengan semua
pembuluh darah akan diaktifkan. Kejadian tersebut akan menyebabkan
terjadinya syndrome yang berbahaya yang disebut systemic anaphylasix.
Aktivasi matosit yang menyebar luas menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah yang meluas. , penyempitan saluran napas,
dan pembengkakan epiglottis yang mengakibatkan gejala tercekik.
Kumpulan gejala tersebut disebut dengan anaphylactic shock.
Kejadian ini sering dijumpai pada orang yang peka terhadap jenis obat
tertentu. Bahkan gigitan serangga pada orang yang hipersensitif terhadap
serangga dapat berkembang menjadi sindrom anafilaktik. Beberapa jenis
makanan, seperti kacang tanah, dapat berkaitan dengan systemic
anaphylasix. Sindrom ini biasanya dapat berakhir fatal , tetapi umumnya
dapat diatasi dengan suntikan epinefrin secara tepat.
Sebagian besar reaksi alergi terhadap obat –obatan terjadi pada
penisilin dan turunannya. Penyuntikan obat penisilin dan turunannya dapat
menyebakan reaksi anafilaksis, bahkan kematian. Penisilin merupakan
hapten yang memiliki cincin β-lactam yang berperan dalam aktivitas
antibiotic. Hapten sendiri tidak imunogen , tetapi jika cincin bereaksi
dengan gugus amino protein jaringan tubuh membentuk konjugat kovalen ,
berubah menjadi imunogen. Penisilin yang diminum atau disuntikkan akan
bereaksi dengan protein tubuh membentuk konjugat. Konjugat ini

13
menginduksi respon TH2 pada beberapa individu . Sel-sel TH2 akan
mengaktivasi sel-sel B penghasil IgE yang mengikat penisilin untuk
melepaskan IgE spesifik terhadap hapten penisilin. Maka penisilin
bertindak baik sebagai antigen bagi sel B , maupun dengan cara
memodifikasi peptide menjadi antigen sel T. Jika penisilin disuntikkan
secara IV kepada individu yang hipersensitiv, penisilin bersama protein
akan menghubung silangkan molekul IgE pada mastosit yang memicu
terjadinya anafilaksis.

MANIFESTASI ALERGI PADA ORGAN


1. Manifestasi pada Saluran Pencernaan
Alergi gastrointestinal merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap
substansi eksogen yang sebagian besar masuk melalui saluran pencernaan.
Reaksi tersebut dapat menimbulkan gejala muntah, diare , nyeri perut atau
kadang gangguan penyerapan makanan. Kelainan ini dapat dibarengi
dengan gejala yang bermanifestasi pada organ lain , seperti pada saluran
nafassebagai sesak nafas (misalnya rhinitis, atau asma) atau pada kulit
gatal-gatal (urtikaria). Gejala muntah dan diare merupakan mekanisme agar
makanan yang mengandung allergen tersebut cepat keluar dari tubuh. Dan
sering disebung Food Allergy.
Kondisi selain alergi terhadap makanan yang memberikan gambaran
klinik yang sama diantaranya : defisiensi enzim disakaridase, enteropati
kepekaan terhadap gluten “celiac disease”, cystic fibrosis dan galaktesemia.
Adapun mekanisme reaksi hipersensitivitas gastrointestinal biasanya dalam
bentuk Reaksi Tipe I, yaitu melibatkan antibody IgE yang spesifik terhadap
alergennya sehingga terjadi degranulasi mastosit. Dengan demikian
penyakit atopi karena makanan terjadi karena masuknya allergen pada
tubuh seseorang yang mempunya latar belakang atopi. Mediator yang
dilepaskan oleh matosit dan mediator sekunder oleh sel-sel yang terlibat
akan menghasilkan gejala local yang telah disebutkan dan mungkin juga
menyebabkan manifestasi gejala pada organ lainnya sebagai sasaran
kardiovaskular.
Terdapat berbagai kesulitan yang dihadapi pada keluhan karena alergi
gastrointestinal, diantaranya dalam menentukan penyebab dan tipe

14
mekanisme yang berlangsung. Biasanya alergi makanan disebabkan oleh
bentuk degradasi makanan yang sudah sulit dilacak dan diidentifikasi dari
sejumlah makanan yang telah ditelan.
Dengan adanya system imunitas pada selaput lendir , yaitu terbentuk
nya lapisan IgA pada permukaannya, maka antibody tersebut akan
melindungi terhadap masuknya allergen. Walaupun belum diketahui adanya
hubungan antara IgA dan IgE, tetapi beberapa peneliti menduga bahwa
adanya defisiensi IgA dapat menyebabkan penyerapan substansi alergik
sehingga menimbulkan produksi IgE dengan segala akibatnya.

2. Manifestasi pada Kulit


Kulit merupakan organ terluar dan terluas, manifestasi hipersensitivitas
yang nampak pada kulit dibangkitkan oleh allergen sebagai ingestan,
inhalan, injektan dan kontaktan. Manifestasi yang disebabkan oleh
kontaktan berlangsung lama oleh karena mekanismenya tergolong
hipersensitivitas tipe IV. Gejala yang ditimbulkan oleh kontaktan
dinamakan “ contact dermatitis”.
Oleh karena gambaran klinik dan hispatologik pada gangguan “ atopic
dermatitis” yang prosesnya melalui mekanisme tipe I , khususnya tahap
lambat, dan “contact dermatitis” yang prosesnya melalui mekanisme tipe IV
sangat mirip satu sama lain, maka kedua kelainan kulit ini menyebabkan
kesulitan dalam menegakkan diagnosis.
Dermatitis atopic dikelompokkan dalam penyakit hipersensitivitas
segera (Tipe I) yang disertai peningkatan kadar IgE dalam darah. Kerusakan
dasar dermatitis atopic tidak diketahui, tetapi diduga berkurangnya sebum
sehingga memudahkan air kulit untuk menyerap cairan udem, penguapan
air melalui epidermis karena berkurangnya bahan pengikat air , sedangkan
sangat rendahnya ambang rasa gatal karena adanya perbedaan genetic.IgE
dalam serum , namun gambaran hispatologik tidak mencerminkan reaksi
hipersensitivitas tipe I.
Dermatitis atopic dicirikan dengan adanya eritema , bula, vesikula
yang cairannya dapat merembes ke permukaan (khususnya pada bayi).
Sering kali ditemukan kelianan kulit pada penderita atopic tidak jelas
hubungannya dengan kelainan primer oleh hipersensitivitas Tipe I, sehingga

15
sulit dalam menegakkan diagnosis . Gejala yang dimaksudkan tersebut
misalnya dermatografisme pada kulit yang timbul karena goresan kulit atau
penyuntikan asetilkolin . biasanya penyuntikan asetilkolin seharusnya
menimbulkan eritema pada kulit.

2. URTIKARIA
Urtikaria atau kaligata (bahasa Sunda) atau Biduren (bahasa Jawa)
merupakan manifestasi alergi pada kulit yang cepat timbulnya dengan ciri-
ciri pembentukan benjolan datar yang tidak beraturan bentuknya dengan
disertai eritema., dan diseratai rasa yang sangat gatal. Secara klinik urtikaria
dibedakan menjadi urtikaria yang non imunologik , yaitu yang disebakan
oleh : fisik (dingin), kolinergik, emosional, atau obat-obat yang melepaskan
histamine , dan urtikaria imunologik yang tergantung oleh IgE. Namun
mekanisme dasar terjadinya urtikaria tidak berbeda dengan kedua jenis
kategori tersebut. Kelainan tersebut dimulai dengan adanya peningkatan
permeabilitas pembuluh darah setempat sebagai akibat kerja histamin.
Pada urtikaria terdapat 3 kejadian yang menyertainya yaitu :
1. Pelebaran pembuluh darah setempat yang menyebabkan eritema
2. Transudasi cairan karena kenaikan permeabilitas pembuluh darah
sehingga menimbulkan benjolan permukaan kulit.
3. Perluasan perubahan kulit karena refleks axon.
Urtikaria yang imunologik walaupun penyebabnya oleh pengaruh
mediator vasoaktif, tetapi pelepasan mediatornya sendiri tidak semata-mata
oleh respon IgE (Tipe I), melainkan dapat juga melalui mekanisme sepeti
kompleks antigen-antibodi dan proses sitolitik.

3. Manifestasi pada Saluran Pernafasan


Reaksi hipersensitivitas yang tergolong dalam kelainan atopic ini,
sebagian besar allergen nya dihirup melalui udara (dalam bentuk debu,
tepung sari , spora, kotoran hewan dan lain-lainnya) kadang-kadang melalui
saluran itu pencernaan atau suntikan.
Mekanisme yang berakar pada hipersensitivitas saluran nafas pada
orang atopic adalah reaksi tipe I, bermanifestasi sebagai asma bronkialedan
rhinitis alergika. Reaksi alergi yang menyerang saluran nafas bagian atas

16
berbentuk sebagai rhinitis alergika dengan manifestasi sumbatan dihidung
karena udema selaput lendir dengan lendir yang berhebihan.
Asma bronkiale merupakan gejala sesak nafas yang datangnya akut,
intermiten dan reversible sebagai manifestasi dari sumbatan saluran nafas.
Sumbatan ini disebabkan karena spasme otot dinding bronkiolus, udema
dan timbunan lendir. Penderita mengalami gangguan ventilasi karena
gangguan ini. Maka untukmengurangi sumbatan ini obat yang efektif
adalah yang dapat merileksasi otot, mengurangi udema dan mencairkan
lendir. Oleh karena itu, semua reaksi Tipe I yang semula berlangsung cepat
biasanya melanjutkan dalam reaksi tahap lambat, maka obat-obatan
ditujukan untuk mencegah berlangsungnya reaksi ini diperlukan, misalnya
kortikosteroid.

Patogenesis Asma
Patogenesis serangan asma melibatkan dua mekanisme, yaitu mekanisme
alergi (hipersensitivitas) dan non alergi. Terbukti bahwa pengecilan bronkus
diperantai oleh mekanisme reflex autonom N. vagus (N.X) yang melibatkan
reseptor aferen yang terdapat dalam lapisan mukosa atau sub mukosa
bronkus yang merupakan tanggapan terhadap iritan atau mediator kimiawi
dan impuls aferen kholinergik, yang menyebabkan kontraksi otot-otot
bronkus dan hipersekresi kelenjar mukosa.
Mediator-mediator yang dilepaskan oleh mastosit: histamine, lekotrien,
prostaglandin, kinin PAF dan faktor-faktor khemotaktik, memiliki sifat-
sifat yang akan menjelaskan kelainanan patologik dan gangguan fungsional
saat serangan asma. Pada penderita asma , reseptor aferen rupanya
disensitisasi untuk merespon rangsangan dibawah ambang batas. Status
kepekaan yang berlebihan dari mukosa bronkus sebagai akibat dari
kerusakan fungsi atau blockade reseptor β-adrenergik, untuk mencegah
respon pelebaran homeostatic dari katekolamin endogen. Kepekaan
berlebihan dari bronkus tersebut selanjutnya diperbesar selama fase lambat
reaksi asmatik.
Hubungan antara interaksi allergen-IgE dengan pelepasan, aktivasi dan
sekresi mediator dari mastosit telah diketahui dengan pasti. Tetapi

17
bagaiman rangsangan non alergik, seperti iritan dan infeksi virus
merangsang mastosit yang belum jelas diketahui, dan mungkin terdapat sel-
sel mediator lain yang terlibat dalam serangan asma yang non-alergik.
Jenis-jenis non–spesifik yang mengawali serangan asma sangat luas.
Beberapa dari faktor ini dapat dilihat sebagai berikut :
Infeksi :
 Infeksi virus pernafasan
Faktor Fisiologik :
 Gerakan olahraga
 Hiperventililasi
 Penafasan dalam faktor kejiwaaan
Faktor atmosfer :
 SO2
 NH3
 Udara dingin
 O3
 Uap air destilasi
Bahan-bahan melalui pencernaan
 Propanolol
 Aspirin
 NSAID
Inhalan eksperimental
 Cairan hipertonik
 Asam sitrat
 Histamin
 Methacholin
 Prostaglandin F2α
Inhalan okupasional
 Isosianat

Mekanisme serangan asma pada orang peka terhadap aspirin, bukan


merupakan mekanisme imunologik, melainkan berupa idiosinkrasi, sejak
aspirin dan senyawa terkait biasanya menghambat jalur siklooksigenase

18
dalam biosintesis prostaglandin E2 (dilatators bronkus) dari asam
arachidonat. Respon idiosinkrasi terhadap obat-obatan tersebut akan
menguntungkan sintesis local prostaglandin F2 (konstriktor bronkus) atau
lekotrien melalui jalur lipoksigenase.
Kepentingan klinik respon segera dan respon lambat (LPR) dari IgE
sangat jelas dalam asma. Episode bronhospastik yang berlangsung dalam
beberapa menit setelah terpapar valergen, segera dapat diatasi oleh
dilatators bronkus, cocok dengan respon fase segera.
Dalam atopi, molekul-molekul allergen sering dihadapi sebagi
komponen partikel berasal dari udara, seperti butir-butir sari bunga, atau
spora kapang. Dalam ronconjutivitis allergic, paartikel-partikel ini ,mudah
berdampak pada konjungtiva sasaran mukosa hidung, sekaligus
menyempurnakan model kontak langsung. Tetapi pada asma alergik,
partikel-partikel pada ujung atas dari percabangan trakheo-bronkhial tidak
diharapkan dapat menembus mukosanya.
Asma yang berhubungan dengan pekerjaan dapat juga timbul dari
kepekaan imunologik atau iritasi oleh sejumlah substansi yang gagal
menginduksi respon antibodi IgE atau lainnya. Tetapi kebanyakan asma
yang berhubungan dengan pekerjaan, baik diperantai oleh IgE atau non-
imunologik, terjadi pada karyawan-karyawan non atopic. Hal ini
menunjukkan bahwa paparan dosis tinggi yang tidak biasa terhadap allergen
yang potensial dalam lingkungan pekerjaan dapat melampaui persyaratan
untuk predisposisi genetic dari atopi.

b. Reaksi tipe II
Kerusakan jaringan melalui mekanisme efektor pada hiopersensitifitas
sitotoksik diperantarai oleh antibody IgG dan IgM yang ditujukan kepada
antigen yang melekat pada sel atau jaringan termasuk dalam reaksi
hipersensitifitas Tipe II. Antigen tersebut timbul karena perubahan struktur
molekul pada permukaan sel-sel atau adanya konfigurasi baru asing yang
menempel pada sel-sel tersebut (misalnya obat-obatan).

19
Mekanisme kerusakan yang bekerja pada reaksi Tipe II ada dua macam:

1. Berlangsung reaksi antigen – antibody yang menyebabkan aktivitas


system komplemen dengan segala akibatnya, terutama karena adanya
Lisis sel. Sasaran pada reaksi sitotoksik ini dapat berupa sel-sel darah
atau sel-sel dalam jaringan.
2. Dengan bereaksinya antibody dengan antigen jaringan/sel, maka
antibody secara langsung melalui bagian Fc atau dengan perantaraan
C3b (Komponen komplemen), terikat dengan molekul reseptor pada
fagosit. Penempelan pada permukaan tersebut akan berlanjut dengan
fagositosis (Obsonisasi), atau Lisis oleh enzim yang dilepaskan oleh
fagosit.
Biasanya kedua mekanisme kerusakan sel tersebut ditemukan pada
penyakit anemia hemolitica atau nefritis nefrotoksik pada manusia. Memang
tidak begitu banyak penyakit-penyakit pada manusia dengan pathogenesis
reaksi tipe II.
Berikut merupakan penyakit-penyakit yang ditemukan dengan
mekanisme hipersensitifitas tipe II sitotoksik :

1. Reaksi tranfusi
Untuk memudahkan penjelasannya, langsung dngan contoh
yang mungkin terjadi pada seseorang dengan golongan darah O yang
akan mendapatkan transfusi darah dengan golongan A atau B. Dalam
serum pemilik golongan darah O tersebut terdapat antibody anti -A
dan anti-B dari kelas IgG dan IgM. Bila orang dari golongan darah O
tersebut mendapatkan transfusi yang kurang sesuai, misalnya dengan
darah golongan A, berarti dalam darahnya dimasukkan sel-sel eritrosit
yang pada permuakaannya terdapat antigen tipe A yang akan dikenal
aing oleh resipien. Dalam darah resipien terdapat cukup banyak
antibody anti - A dan anti-B sebelumnya, maka sel-sel eritrosit dengan
antigen tipe A akan segera terikat oleh antibody anti-A dalam
peredaran. Antibody IgM sangat efisien dalam mengaktifkan
komplemen, sehingga sebagian besar eritrosit dalam darah transfusi
akan segera di Lisis oleh aktivitas komplemen dalam pembuluh darah

20
resipien. Transfusi yang dilakukan ternyata tidak berguna, karna tidak
ada mekanisme perbaikan sel-sel eritrosit yang rusak. Selain penderita
tidak mendapatkan manfaat dari transfusi, dia menghadapi suatu
resiko keusakan pada organ ginjalnya, karna dalam jaringa ginjal
terdapat sumbatan oleh timbunan membrane sel eritrosit yang begitu
banyak, serta dihadapinya efek toksik yang dilepaskan oleh komplek
hem dari eritrosit.
2. Rekasi inkompatibilitas golongan Rh
Agak mirip dengan yang terjadi pada contoh diatas, contoh
berikut dapat dialami oleh seorang bayi yang dilahirkan dengan
golongan darah rhesus yang tidak cocok dengan golongan rhesus
orang tuanya. Contoh sederhananya, bayi dilahirkan dengan golongan
darah Rh+ oleh ibu dengan golongan darah Rh₊. Selam dalam
kandungan, dengan adanya kebocoran sawar bayi-ibu, bayi tersebut
mungkin melepaskan beberapa eritrosit dengan antigen Rh+ kedalam
peredaran darah ibunya. Bila ibu tersebut cukup mandapatkan
imunisasi dari bayinya dengan Rh+, maka dalam darah ibunya akan
terbentuk antibody anti-Rh dengan kelas IgG. Keadaan inilah akan
memberikan risiko pada bayinya, karena antibody anti-Rh dengan
kelas IgG dapat -melintas plasenta untuk mencapai tubuh bayi. Ketika
antibody-anti Rh dari ibu mencapai tubuh bayi terjadilah reaksi ikatan
dengan antigen Rh pada permukaan sel-sel eritrosit. Karena
kepadatan antigen Rh pada eritrosit masih rendah, biasanya antibody
IgG dari ibu gagal melisis atau mengaglutinasi sel-sel eritrosit bayi
secara langsung. Tetapii eritrosit bayi yang kini terbungkus oleh IgG
dari ibunya akan mempermudah terjadinya opsonisasi oleh fagosit
dari bayi. Peristiwa ini akan mengakibatkan kerusakan eritrosit yang
dahsyat dengan membawa konsekuensi patologis yang berawal dari
menurunnya trasfortasi oksigen bayi karena kekurangan sel-sel
eritrosit sehat.
3. Anemia hemolitik
Pada beberapa orang yang memproduksi antibody terhadap
antigen asing yang terdapat pada permukaan sel-selnya sendiri,
sebagai akibat oleh penyakit infeksi tertentu, atau oleh penyebab lain
21
yang belum diketahui, dapat terjadi reaksi hipersensitifitas sitotoksik.
Misalnya penderita mengalami kerusakan pada sel-sel eritrositnya
karena reaksi sitotoksik sehingga mengalami anemia. Antibodi yang
diproduksi oleh penderita tersebut akan mengikat antigen yang ada
pada permukaan eritrosit, yang selanjutnya akan memperpendek umur
eritrosit dengan keterlibatan hemolisis atau fagositosis (opsonisasi)
malaui reseptor Fc atau C3b pada fagosit.
4. Reaksi obat-obatan
Terjadi reaksi sitotoksik pada beberapa individu karena obat-
obatan yang digunakan. Obat-obatan yang bertindak sebagai hapten
akan bergabung pada permukaan sel atau sel-sel darah. Hapten
tersebut akan menginduksi pembentukan antibody sebagai respon
terhadap obat-obatan yang digunakan. Apabila antibody yang spesifik
terhadap obat yang bertindak sebagai hapten tersebut mengikat pada
permukaan sel-sel darah atau jaringan, berlangsunglah proses
kerusakan sel-sel bersangkutan.
Kerusakan sel-sel darah melalui perantaraan antibody, seperti
eritrosit yang menyebabkan penyakit anemia hemolitica , atau
kerusakan trombosit yang menyebabkan trhombositopenia merupakan
kejadian efek sampingan luar biasa setelah penggunaan obat-obatan.
Berbagai obat-obatan seperti penisilin (antibiotika), obat anti aritmia
jantung, quinidin atau obat-obatan antihipertensi, dan metildopa
dilaporkan dapat memberikan efek samping melalui mekanisme
reaksi hipersensitifitas Tipe II.
Kerusakan sel-sel tersebut melalui mekanisme yang diawali
oleh penempelan obat-obatan pada permukaan sel yang akan
mengalami kerusakan. Molekul obat-obatan tersebut akan merupakan
sasaran antibody anti-obat yang terbentuk sebagai efektor respin imun
humoral terhadap obat sebagai konfigurasi asing. Dengan terjadinya
ikatan antara antibody dengan komponen obat pada permukaan pada
permukaan sel, terbetukkah kompleks imun yang akan mengaktifkan
system komplemen apada permukaan sel. Antibody anti-obat hanya
dibentuk dalam sebagian kecil populasi sel saja. Mengapa individu
tersebut peke membentuk antibody terhadap obat-obatan tertentu

22
belum dipahami. Kombinasi antibody yang terikat sel dan komplemen
akan memicu pembersihan sel dari peredaran darah yang sebagian
besar yang dilakukan oleh sel makrofag limfa. Sel-sel makrofag
tersebut memiliki reseptor untuk Fcy dan reseptor untuk komponen
komplemen. Reaksi hipersensitifitas Tipe II yang berlangsung pada
penggunaan obat-obatan tersebut digolongkan dalam “drug induced
reaction”.
Kerusakan sel yang terjadi tergantung pada jaringan/sel yang
mengikat obat-obatan yang menginduksi reson imun. Jenis penyakit
yang akan diderita, bergantung pada jenis sel yang rusak, sedang
gejalanya pun akan berbeda. Misalnya akan timbul trombositopenia
dengan gejala purpuranya, netropenia, anemia hemoLitik beerturut-
turut jika yang terkena adalah trombosit, netrofil, eritrosit. Jika terjadi
trombositopenia, muncullah gejala purpura (perdarahan dikulit).
Misalnya orang yang peka terhadap sedomid yang termasuk
golongan obat sedative,IgG akan mengikat molekul obat tersebut
membentuk kompleks imun pada permukaan trombosit yang
selanjutnya akan berakhir dengan terjadinya trombositopenia, karena
terjadinya Lisis trombosit. Gangguan ini pada gilirannya akan
menilbulkan gejala purpura (bintik-bintik perdarahan dikulit). Obat-
obatan lain seperti khloramfenikol dapat terikat pada sel-sel leukosit,
sedangkan fenasetin (obat analgesic) dan klorpromazin (obat
penenang) dapat terikat pada eritrosit. Akibat respon imun terhadap
obat-obatan tersebut akan menjurus kepada terjadinya agranulositosis
(penurunan jumlah granulosit) jika terikat pada leukosit, atau anemia
hemolitika jika terikat pada eritrosit.

c. Reaksi tipe III


Reaksi hipersensitivitas Tipe III ini juga disebabkan adanya reaksi
antara antigen dan antibody, tetapi antigennya tidak menempel pada
sel/jaringan seperti pada reaksi Tipe II, melainkan antibody dengan antigen
tersebut mengendap dalam jaringan, yang selanjutnya akan diikuti beberapa
peristiwa yang akan menjurus kepada kerusakan jaringan.

23
Raeksi hipersensitivitas Tipe III timbul jika antigennya berbentuk
larutan. Penyakit akan bermanifestasi jika terjadi pengendapan (presipitasi)
agregat kompleks imun dalam jaringan tertentu. Seperti kita ketahui,
terbentuknya komplek imun berlangsung pada setiap respon imun humoral
(antibody). Potensi patogenik kompleks imun tersebut ditentukan sebagian
oleh ukuran senyawa kompleks imun. Ukuran agregat yang lebih besar akan
mengikat komplemen dan segera dibersihkan dari peredaran darah oleh
system fagosit monunuklear, sedangkan agregat yang lebih kecil ukurannya
karena berkelebihan antigen, cenderung diendapkan pada dinding pembuluh
darah, dan disinilah akan dimulai kerusakan melalui ikatan dengan resepor
Fc dan komponen komplemen pada permukaan endotel yang pada gilirannya
akan menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah.
Reaksi hipersensitivitas Tipe III setempat dapat dipicu dalam jaringan
kulit individu yang telah dissensitisasi, yang memiliki antibody IgG yang
spesifik terhadap antigen pemicu sensitisasi (respon imun) tersebut. Apabila
kemudian antigen disuntikkan dalam kulit individu tersebut, antibody IgG
yang telah berdifusi dalam jaringan kulit akan membentuk senyawa kimpleks
imun setempat. Kompleks imun tersebut mengikat reseptor Fc pada
permukaan sel dan juga mengaktifkan komplemen sehingga C5a yang
terbentuk akan memicu respon peradangan setempat dengan disertai
peningkatan permeabilitas pembuluh darah setempat. Peningkatan
permeabilitas ini akan memudahkan cairan dan sel-sel darah, khususnya sel-
sel netrofil, masuk dalam jaringan pengikat setempat disekitar pembuluh
darah tersebut.
Pada umumnya keruskan jaringan sebagai akibat adanya pengendapan
kompleks imun berlangsung melalui 4 tahap :
1. Ikatan antibody dengan antigen membentuk komplek imun
2. Dalam kondisi tertentu, kompleks imun akan mengendap pada
jaringan tertentu seperti endotel, kulit, ginjal dan persendian.
3. Factor humoral seperti komplemen atau enzim fagosit dan factor
selular akan berkumpul didaerah pengendapan.
4. Berlangsung kerusakan jaringan oleh factor humoral dan selular.

24
Beberapa contoh penyakit yang melibatkan mekanisme raeksi Tipe III
akan dibahas untuk menunjang pemahaman reaksi hipersensitivitas. Penyakit-
penyakit kompleks imun sistemik, dapat berkembang sesudah pemberian
antigen-entigen yang tidak mudah dikatabolisme dalam jumlah besar. Ada
dua jenis reaksi kompleks imun, yang terlibat dalam penyakit kompleks imun,
yaitu Arthus yang berlangsung setempat dan serum sickness yang
berlangsung melalui penyuntikan secara sistemik.
1. Reaksi Arthus
Seorang ilmuwan perancis bernama Arthus dalam tahun 1903 meneliti
pada hewan coba kelinci yang telah diimunisasi dengan serum kuda melalui
penyuntikan intradermal berulang kali. Setelah bebererapa minggu kemudian,
beliau mengamati bahwa pada setiap penyuntikan yang berurutan tersebut
dihasilkan adanya peningkatan reaksi pada daerah penyuntikan yang semakin
parah. Pada awalnya tampak eritema kulit yang tidak seberapa dan edema
yang muncul 2-4 jam setelah penyuntikan. Reaksi-reaksi ini akan mereda
tanpa ada akibat apa-apa pada keesokan harinya, tetapi sesudah penyuntikan
berikutnya tampak respons edema yang lebih besar, dan menjelang suntikan
ke-5 dan ke-6 reaksinya berubah menjadi pendarahan dan nekrosis yang
lambat sembuh. Fenomena ini, dinamakan reaksi Arthus. Reaksi Arthus ini
merupakan prototype semua reaksi kompleks imun atau reaksi yang
diperantarai oleh pembentukan agregat senyawa antibodi dan antigen.
Antigen (pada percobaan Arthus serum kuda) yang disuntikkan
intradermal ke dalam hewan yang imun akan berdifusi menuju pembuluh
darah yang mengandung antibody yang sedang beredar. Jika antigen telah
terikat oleh antibody spesifiknya, terbentuklah kompleks imun yang larut
dalam pembuluh darah atau disekitar venula dan berkumpul seperti pada
kondisi in vitro dalam reaksi imunodifusi Ochterlony. Jika agregat telah
cukup besar, bagian Fc dari molekul-molekul IgC mengikat komponen
pertama komplemen (C1) yang mengakibatkan aktivasi sistem komplemen.
Pembentuka C3a dan C5a (anafilaktoxin) menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga terjadi kebocoran yang
menyebabkan gejala udema, komponen lain yang bersifat kemotaktik akan
menarik sel-sel netrofil dan trombosit dari pendarahan darah. Sesl-sel netrofil
dan trombosit dari peredaran darah. Sel-sel netrofil bersama trombosit akan

25
menumpuk pada daerah reaksi. Akhirnya terjadi bendungan darah. Netrofil
yang teraktivasi akan memfagositosis kompleks imun dan bersama dengan
gumpalan trombosit melepaskan rangkaian enzim protease, kolagenase, dan
substansi vasoaktif. Seluruh peristiwa ini berakhir dengan perdarahan yang
dibarengi oleh nekrosis jaringan setempat.

2. Serum Sickness
Serum Sickness merupakan fenomena jenis ke-dua pada reaksi
kompleks imun. Istilah tersebut muncul sekitar seabad yang lalu ketika von
Pirquet dan Schick menyuntikkan serum imun dari kuda dalam rangka
mengobati penderita beberapa penyakit menular, seperti difteri dan tetanus.
Secara umum telah diketahui bahwa penyakit difteri dan tetanus, yang
masing-masing disebabkan oleh Corynebacterium dan Clostridium
menghasilkan toksin yang sangat merusak jaringan dari penderita yang
terinfeksi, sedangkan bakterinya sendiri tidak terlalu invasive dan hanya
sedikit menyebabkan kerugian. Maka strategi para dokter pada waktu itu,
dengan segera menghilangkan dampak yang merugikan dari toksin sebelum
berdampak merusak jaringan penderita, dengan cara menetralisasi dengan
antibodi yang dibuat dalam serum kuda. Karena imunisasi aktif pada manusia
memerlukan waktu beberapa minggu agar cukup antibodi dalam menetralkan
toksin, maka dilakukan “imunisasi pasif” dengan menyuntikkan serum dalam
jumlah banyak yang mengandung anti-toksin segera setelah penyakitnya
dapat didiagnosis. Kuda-kuda yang mudah diperoleh dan mudah diimunisasi
dan mampu memberikan antisera dalam jumlah yang sangat banyak,
merupakan pilihan hewan sebagai penghasil antibodi anti-toksin. Tetapi kini
ketika telah mengetahui bahwa dengan menyuntikkan serum dari hewan
(heterologus) dalam jumlah banyak akan membangkitkan respons imun
terhadap keasingannya berupa suatu penyakit serum sickness pada beberapa
orang.
Dengan menggunakan antiserum kuda untuk imunisasi pasif, dapat
berkembang reaksi yang tidak diinginkan. Kira-kira 1-2 minggu setelah
menerima serum kuda, mereka mengalami demam dan rasa gatal-gatal,
bengkak-bengkak di sebagian tubuh, rasa sakit pada persendian yang
bengkak, serta adanya pembesaran kelenjar limfe. Kadang-kadang dalam

26
urine mereka ditemukan eritrosit dan albumin. Temuan ini menandakan
adanya tanda-tanda peradangan glomerulus dalam ginja. Pada saatnya, semua
gejala tersebut mereda dengan sedikit sisa-sisa kerusakan, akan tetapi
penyuntikan berulang serum kuda dapat menginduksi gejala yang lebih parah
dan bahkan dapat diinduksi oleh banyak jenis antigen lain (dalam hal ini
antiserum kuda dipandang sebagai antigen), penyakit yang timbul tetap
dinamakan “serum sickness”. Bentuk hipersensitivitas tersebut, lagi-lagi
menjadi pertimbangan penting pada penderita yang mendapatkan pengobatan
antibodi monoklonal yang dibuat dari mencit atau tikus, terhadap penyakit
keganasan, penolakan jaringan cangkok, dan penyakit autonimun.
Mekanisme yang berlangsung yang bercirikan jenis reaksi seperti pada
“serum sickness” akan menjadi lebih jelas dipahami jika mengacu pada
model hewan (Gambar 3-14). Dalam model hewan ini, seekor kelinci disuntik
dengan protein asing dalam jumlah banyak. Misalnya disuntik dengan
albumin serum sapi (bovine serum albumin = BSA). Selama percobaan
dipantau kadar albumin bebas, antibodi anti-albumin dan senyawa kompleks
imun yang terbentuk. Setelah terjadi perimbangan dalam cairan tubuh, protein
yang disuntikkan mulai menghilang dengan kecepatan yang khas terjadi
dalam proses biodegradasi normal. Setelah 8-10 hari kemudian, terjadilah
perubahan mendadak dalam kecepatan penurunan kadarnya yang berakhir
dengan lenyapnya sisa-sisa protein bebas dalam peredaran. Peristiwa ini
disebut eliminasi imun. Setelah terjadi eliminasi imun segera diikuti oleh
adanya antibodi anti-BSA yang beredar bebas dalam darah. Jadi pada saat
lenyapnya antigen bebas dalam serum, segera diikuti meningkatnya antibodi
anti-BSA yang merupakan saat timbulnya tanda-tanda “serum sickness”.
Pada saat yang bersamaan, terjadi penurunan kadar normal aktivitas
komplemen dalam serum.
Perubahan-perubahan tersebut dijelaskan dengan temuan dalam
peredaran darah adanya kompleks imun (senyawa antibodi anti-BSA dan
antigen BSA) yang larut. Dengan dimulainya produksi antibodi yang masih
berkadar rendah dengan kadar antigen yang masih tinggi.
Kompleks imun yang beredar dalam darah biasanya dibersihkan oleh
sistem retikuloendotelial. Lagipula eritrosit yang memiliki reseptor C3b dapat
mengikat kompleks imun yang telah mengikat komplemen dan kemudian

27
diangkut ke hepar. Dalam hepar kompleks imun dilenyapkan oleh sel-sel
Kupffer. Dibawah beberapa kondisi tertentu, kompleks imun tidak
dibersihkan oleh sistem retikuloendotelial, melainkan ditimbun dalam
jaringan ginjal, persendian atau kulit. Penimbunan ini akan memicu
kerusakan jaringan karena mekanisme aktivasi komplemen.
Ukuran kompleks imun sangat penting ; senyawa yang berukuran besar
diberssihkan oleh hepar, sedang yang berukuran kecil dapat tidak ditimbun
semua. Kompleks imun berukuran sedang agaknya dapat menyebabkan
kerusakan jaringan setempat.
Penanganan penyakit-penyakit infeksi dengan “imunisasi pasif”
memang berhasil mengatasi penyakit yang diderita, walaupun sebagian akan
menunjukkan reaksi hipersensitivitas. Namun setelah pengetahuan vaksinasi
berhasil dikembangkan, maka cara penanganan tersebut diganti dengan
pemberian vaksin dengan cara imunisasi aktif.

2. Penyakit Kompleks Imun berkaitan dengan Infeksi


Beberapa penyakit digolongkan dalam penyakit kompleks imun,
karena terjadi kerusakan jaringan degan mekanisme reaksi hipersensitivitas
Tipe III. Dalam peristiwa berbagai infeksi dan peristiwa lain yang belum
jelas, beberapa individu menghasilkan antibody yang bereaksi silang dengan
beberapa bagian dari sel/jaringan normal. Sebagian contoh misalnya, sindrom
Goodpasture dengan gejala pendarahan di paru-paru dan glomerulonephritis,
telah diungkapkan adanya antibody yang mengikat secara langsung
membrane basalis epitel jaringan terlibat. Pembentukan kompleks imun ini
akan mengarah kepada kerusakan membrane basalis dan jaringan, aktivasi
sistem komplemen. Keruakan jaringan juga merupakan konsekuensi
berkumpulnya sel-sel netrofil yang melepaskan enzim degradatif. Namun
sindroma Goodpasture kadang-kadang dianggap melalui reaksi
hipersensitivitas Tipe II, karena kerusakan jaringan yang terjadi melibatkan
efek sitotoksik melalui perantaraan antibody terhadap sel-sel normal.
Perbedaan antara penyakit yang diperantarai antibody dan terkait
infeksi ini dengan penyakit agregasi imun dari serum sickness yaitu terungkap
pada pengamatan jaringan yang mengalami jejas dengan mikroskop
imunofluoresens. Pada sayatan jaringan glomerulus ginjal akan terlihat

28
timbunan antibody sebagai pita sepanjang membrane basalis, apabila
menggunakan antibody anti-Ig manusia yang berlabel pewarnaan fluoresensi.
Penampilan ini disebabkan karena adanya kompleks imun dari ikatan
antibody dengan antigen sepanjang membrane basalis. Sebaliknya pada kasus
serum sickness, timbunan agregat komplek imun pada membrane basalis
tampak berbenjol-benjol tidak rata.
Penyakit reumatik fever dapat didahului oleh infeksi streptokokus A
pada tenggorokan, dapat melibatkan radang dan kerusakan jantung persendian
dan ginjal. Peristiwa ini dijelaskan dengan temuan berbagai jenis antigen pada
dinding dan membrane sel stroptokokus yang bereaksi silang dengan antigen
yang ada pada otot jantung manusia, katilago, dan membrane basalis
glomerulus renalis. Kerusakan tersebut diduga melalui mekanisme yang sama
seperti contoh diatas. Telah diduga bahwa antibody terhadap antigen
streptokokus mengikat komponen jaringa normal tersebut dan menginduksi
reaksi peradangan melalui lintasan yang sama dengan penjelasan diatas.
Dalam rheumatic arthritis (RA) telah terbukti adanya produksi
rheumatoid factor (RF) yang merupakan auto antibody dari kelas IgF. RF
tersebut mengikat bagian Fc dari IgG normal penderita. Kompleks imun yang
terbentuk tersebut oleh bebrapa peneliti diduga bertanggung jawab dalam
peradangan dan kerusakan persendian, yang merupakan cirri khas dari
penyakit ini.
Dalam sejumlah penyakit infeksi (malaria, virus, dan kusta) mungkin
pada saat-saat tertentu selama berlangsungnya infeksi, apabila antigen dan
antibody berada bersama dalam jumah banyak akan menyebabkan
terbentuknya agregat imun yang ditimbun pada berbagai lokasi. Maka adanya
kumpulan gejala yang kompleks dalam sembarang penyakit tersebut dapat
mencakup sebuah komponen yang melekat pada reaksi hipersensitivitas Tipe
III.

3. Penyakit Okupasional
Farmer’s lung merupakan bentuk prototype reaksi Tipe III yang
digolongkan dalam penyakit okupasional. Bagi individu yang peka,
berhubungan dengan jerami yang berkapang akan menjurus ke gangguan
pernapasan yang parah dalam waktu 6-8 jam setelah terpapar sebagai

29
Pneumonitis. Telah diungkapkan bahwa individu yang terkena gangguan akan
memproduksi antibody IgG yang spesifik terhadap spora aktinomisetes
termofilik yang tumbuh dalam jerami yang terlantarkan. Hirupan udara yang
mengandung spora kapang tersebut mendorong ke dalam reaksi dalam paru-
paru yang mirip dengan reaksi Arthus pada kulit yaitu terbentuknya agregat
kompleks imun yang berlanjut dalam proses peradangan.
Banyak jenis reaksi Tipe III dalam paru-paru yang mengandung nama
yang berkaitan dengan atau profesi seseorang atau age penyebabnya. Dapat
disebutkan beberapa contoh di sini: pigeon breeder’s disease (penyakit
peternak merpati), cheese washer’s disease, bagagosis (bagasse adalah serat
batang tebu), maple bark tripper’s disease, paprika worker’s disease dan
lain-lainnya. Pekerjaan dalam lingkungan kotor, melibatkan paparan bahan-
bahan berpotensi antigenic rupanya memberikan risiko berkembangnya
okupasional melalui mekanisme reaksi hipersensitivitas Tipe III.

d. Reaksi tipe IV
Reaksi hipersensitivitas tipe IV atau hipersensitivitas tipe lambat
merupakan reaksi yang melibatkan respon imun selular khususnya oleh sel T.
Reaksi ini berlangsung lambat, umumnya baru timbul lebih dari 12 jam
setelah pemaparan dengan antigen. Hal ini disebabkan karena migrasi sel T
dan makrofag ke tenpat adanya antigen memrlukan waktu yang berkisar
antara 12-24 jam.
Tahap pertama dalam reaksi ini, yaitu terikatnya allergen dengan
limfosit T yang spesifik melalui reseptornya. Apabila limfosit T diaktifkan
memlalui kontak dengan antigen yang disajikan oleh sel cocok, menyusul
tahap berikutnya yaitu pelepasan zat-zat soluble oleh limfosit T efektor
dalam bentuk berbagai jenis lomfokin. Beberapa dari limfokin menarik dan
mengaktifkan sel-sel mononuclear lain seperti misalnya monosit, sel
makrofag dan limfosit non imun. Aktivasi ini merupakan sebuah contoh
kaskade: Aktivasi limfosit T spesifik yang berjumlah sangat sedikit mampu
mendorong kearah reaksi yang melibatkan sebagian besar sel mononuclear
yang ada, dan bertanggung jawab atas akhir reaksi yang ternyata sel-sel
limfosit T yang tidak spesifik antigen. Antigen yang membangkitkan jenis
respons imun ini dapat berupa jaringan asing (misalnya respons terhadap

30
jaringan cangkok), parasit intraselular (misalnya infeksi virus dan
mikobakteria), protein soluble atau satu dari sejumlah bahan kimia yang
mampu menembus jaringan kulit dan bergabung dengan protein tubuh yang
bertindak sebagai pengemban (carrier).
Reaksi hipersensitivitas tertunda ini berlangsung pada respons imun
selular yang melibatkan sel T spesifik. Berbeda dengan ketiga tipe reaksi
hipersensitivitas yang terdahulu, reaksi tipe IV ini tidak melibatkan efektor
humoral antibody, sehingga hipersensitivitas ini merupakan penyimpangan
dari respons imun selular. Berbeda dengan reaksi hipersensitivitas tipe lain,
hipersensitivitas tipe lambat tidak dapat ditularkan ke individu lain dengan
menyuntikkan serumnya, melainkan perlu melalui pemindahan limfosit T-
nya. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi hipersensitivitas tipe IV benar-benar
melibatkan efektor selular.
Nomenklatur untuk respons semacam ini berubah-ubah dalam
perjalanan waktu, biasanya didasarkan pada penggunaannnya seiring dengan
perjalanan sejarahnya. Penamaan aslinya respons tersebut semula disebut:
reaksi tuberculin, yang pada awalnya berasal dari pengamatan Koch dalam
tahun 1890. Pada masa itu orang-orang yang terinfeksi oleh M. tuberculosis
akan memberikan uji kulit positif jika padanya disuntikkan intradermal
dengan cairan biakan M. tuberculosis. Sebagai konsekuensi sifat
keterlambatan awal respons yang berlangsung 2-3 hari, yang berlawanan
dengan lebih cepatnya reaksi hipersensitivitas lain yang melibatkan efektor
antibody, maka akhirnya respons dinamakan delayed type hypersensitivity
atau DTH.
Bentuk reaksi hipersensitivitas yang dinamakan sebagai “delayed type
hypersensitivity” atau DTH ini ditemukan pada beberapa reaksi alergi
terhadap bakteri, virus, dan fungi, reaksi terhadap bahan-bahan kimia sebagai
dermatitis kontak dan reaksi terhadap jaringan cangkok. Contoh yang telah
banyak diketahui dan paling tepat adalah reaksi Mantoux (yang semula
disebut reaksi tuberculin), sebagai reaksi suntikan intradermal tuberculin
pada seseorang yang pernah terpapar oleh M. tuberculosis yang diikuti oleh
respons imun selular sebelumnya. Reaksi tersebut bercirikan eritema dan
pengerasan (indurasi) kulit di daerah sekitar suntikan yang timbul setelah 24-
48 jam. Akhirnya reaksi tersebut mereda. Gambaran histology pada fase dini

31
menunjukkan adanya kumpulan sel-sel mononuclear sebagai selubung sekitar
pembuluh darah yang kemudian diikuti peningkatan eksudasi sel-sel
polinuklear. Segera sel-sel polinuklear meninggalkan daerah reaksi sehingga
akhirnya darah tersebut dikuasai oleh kumpulan sel-sel mononuclear yang
terdiri atas limfosit dan monosit/sel makrofag. Gambaran ini sangat berbeda
dengan reaksi Arthus pada reaksi tipe III.

Table perbedaan reaksi hipersensitivitas tipe I, tipe II, tipe III dan tipe IV

Karakteristik Hipersensitivitas Hipersensitivitas Hipersensitivitas Hipersensitivitas


tipe I tipe II tipe III tipe IV
Jenis antibodi IgE IgC, IgM IgG, IgM Tidak ada
Jenis antigen Eksogen Permukaan sel Antigen larut Organ dan
jaringan
Waktu respon 15-30 menit Menit-jam 3-8 jam 48-72 jam
Keadaan fisik Kemerahan, Lisis dan Eritema, Eritema dan
panas dan nekrosis nekrosis, edema indurasi
bengkak
Diperantarai Antibodi Antibodi Antibodi Sel T
oleh
Histologi Sel basofil dan Antibodi dan Komplemen dan Monosit dan
eosinofil komplemen neutrofil limfosit
Contoh reaksi Alergi, asma, Erythroblastosis Systemic Lupus, Tes tuberculin
demam fetalis, Erythematosus, poison ivy,
goodpasture’s farmer’s lung granuloma
nephritis disease

Ciri Umum

Sesungguhnya peristiwa reaksi tipe IV ini bermula dengan telah


dikenalnya allergen bersangkutan oleh klon limfosit T tertentu dalam periode
sensitisasi yang memerlukan waktu 1-2 minggu. Dalam periode sensitisasi
tersebut berlangsung pemekaran klon sel T spesifik terhadap antigen
bersangkutan. Antigen tersebut harus disajikan dahulu oleh molekul MHC

32
kelas II yang terdapat pada permukaan sel penyaji antigen (APC). Dalam
kasus parasit intraselular yang berada dalam sel makrofag, penyajian ini
dapat merupakan konsekuensi langsung dari pertumbuhan parasit dalam sel.
Antigen lain, seperti protein atau virus harus diproses lebih dahulu dalam sel
penyaji dan kemudian baru disajikan oleh molekul MHC kelas II.

Karena limfosit T merupakan sel-sel yang beredar, sekali telah


diinduksi dalam jumlah yang cukup, sel-sel tersebut akan masuk dalam
peredaran melalui nodus lymphaticus, kemudian pembuluh limfe yang
kemudian bermuara dalam ductus thoracicus yang akhirnya bermuara dalam
pembuluh darah. Peredaran tersebut dilanjutkan, ketika darah mencapai
nodus lymphaticus sehingga limfosit T berkesempatan masuk dalam jaringan
limfoid menembus venula pasca kapiler (HEV). Dengan beredarnya limfosit
T tersebut, sel-sel T sangat mampu mendapatkan paparan dan kontak dengan
antigen pada sembarang titik dalam peredaran di sembarang tempat di tubuh,
tidak pandang jaraknya jauh atau dekat. Apabila dikemudian hari setelah
sensitisasi terjadi paparan lagi oleh antigen yang sama juga disajikan kepada
limfosit T memory dengan cara yang sama, terjadilah picuan serangkaian
peristiwa yang mengarah kepada hasil yang khas dalam bentuk CMI beserta
cirri-cirinya. Sel memory dari respons imun tersebut bersama-sama dengan
molekul MHC kelas II pada permukaan sel makrofag yang menyajikan
alergen yang sama, akan terangsang untuk berproliferasi.

Penampilan Jaringan

Penyuntikan intradermal kepada hewan atau individu yang


tersensitisasi, tidak segera menampakkan respons yang jelas dapat diamati,
melainkan baru ttampak sekitar 18-24 jam setelah tantangan antigen tersebut.
Kurun waktu inilah yang membedakan secara khas dengan respons antibody
yang tampak lebih awal. Delapan belas sampai 24 jam setelah diberikan
tantangan antigen yang sama tampaklah erythema (kemerahan kulit) dan
indurasi (pengerasan) pada tempat yang mencapai puncaknya 24-48 jam
setelah penyuntikan. Indurasi kulit sangat mudah dibedakan dengan udema
(penimbunan cairan) nelalui penekanan dengan jari pada kulit, yang tidak
meninggalkan lekukan bekas tekanan jari. Indurasi pada kulit terbentuk oleh

33
timbunan fibrin dalam jejas jaringan. Walaupun reaksi pada kulit tersebut
bersifat parah, namun jarang mengarah kepada kerusakan nekrotik karena
akan mereda secara perlahan-lahan.

Jika dilakukan biopsy kulit pada saat awal dari reaksi, akan ditemukan
terutama kumpulan sel-sel mononuclear dari keluarga monosit/sel makrofag
dengan sebaran sel limfosit. Infiltrasi sel-sel mononuclear tersebut sangat
khas membentuk selubung disekitar pembuluh darah, sebelum berlangsung
invasi yang luas pada lokasi timbunan antigen berada. Keberadaan sel-sel
netrofil bukanlah merupakan gambaran yang mencolok pada awal reaksi.
Tetapi biopsy pada saat kemudian akan emnampilkan pola yang kompleks,
yaitu dengan kedatangan sel-sel B dan pembentukan granuloma pada jejas
yang permanen. Granuloma merupakan kumpulan sel-sel makrofag dalam
jaringan.

Mekanisme CMI

Beberapa pakar menyatakan bahwa untuk mengurangi mekanisme


CMI, mengingatkan kita kepada permainan “jigsaw”. Sejumlah apek CMI
yang diungkapkan dalam penelitian khusus yang terpisah baik secara in vivo
maupun in vitro, akhirnya dikumpulkan hasil-hasil penelitian tersebut ke
dalam suatu gambaran komprehensif yang kini telah luas diperkenalkan.

Disimpulkan bahwa mekanisme tersebut dapat dipisahkan dalam tahap:

1. Penyajian antigen dan aktivasi sel T


2. Pelepasan limfokin.

Penyajian Antigen dan Aktivasi Sel


Seperti telah diuraikan dalam Buku Imunobiologi, sel-sel T spesifik
antigen yang sedang beredar akan kontak dengan antigen ketika disajikan
oleh sel penyaji antigen melalui molekul MHC kelas II yang cocok. Sel-sel T
ini masih dalam fase Gₒ, sehingga perlu diaktivasi dengan sinyal kedua
dalam bentuk IL-1 yang akan dilepaskan oleh sel penyaji yang akan
mengaktifkan sel T tersebut, setelah terjadi kontak dengan atigen bersama
MHC kelas II melalui reseptor sebagai sinyal pertama (Gambar 3-17).

34
Kerjasama antara limfosit T (TH) dengan sel penyaji diperkuat melalui ikatan
antara molekul CD4 dengan molekul MHC kelas II.
Aktivasi limfosit T tersebut dapat diidentifikasi melalui beberapa cara :
1) pembesaran sel 2) menjadi blastoid 3) pembelahan sel. Walaupun
peristiwa tersebut dapat diamati secara langsung, tetapi pengamatan tersebut
tidak mudah dan kompleks. Maka pengamatan langsung telah diganti dengan
cara yang umum dipakai yaitu menggunakan pengukuran proliferasi sel.
Biasanya digunakan pelabelan dengan thymidine berlabel 3H.
Aktivasi tersebut merupakan contoh sebuah kaskade: aktivasi sel-sel
spesifik antigen yang jumlahnya tidak banyak mengarahkan kepada sebuah
reaksi yang melibatkan sel-sel mononuklear yang berjumlah banyak dan
bertanggung jawab kepada hasil akhir sebagai reaksi yang sebenarnya
bersifat tidak spesifik kepada antigen/alegen. Antigen yang dapat
membangkitkan respons demikian, mungkin berasal dari jaringan asing
(sebagai reaksi terhadap alograf), parasit intraselular (virus, mycobacteria),
protein soluble, atau satu dari banyak bahan kimia yang mampu menembus
kulit yang kemudian bergabung dengan protein jaringan sebagai pengemban
(carrier).

35
Pelepasan Limfokin

Sel-sel limfosit T yang teraktifkan tersebut akan menghasilkan


sejumlah mediator (limfokin) yang akan berfungsi dalam reaksi
hipersensitivitas, khususnya dalam menarik dan mengaktifkan sel makrofag,
dan monosit. Mediator tersebut juga membantu sel-sel T sitotoksik menjadi
sel pembuluh (Killer Cell) yang akan ikut merusak jaringan.

Limfokin yang dilepaskan oleh limfosit T setelah diaktifkan, yaitu :


MCF (macrophage chemotactic factor), Interferon-ϒ, MIF (macrophage
inhibiting factor), MAF (macrophage activating factor), Lymphotoxin, dan
IL-2.

Dampak Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV

Hipersensitivitas tipe lambat dapat berlangsung pada berbagai kondisi,


seperti misalnya infeksi. Perkembangan hipersensitivitas tipe lambat terhadap
produk bakteri mungkin bertanggung jawab atas kerusakan yang
berhubungan dengan alergen bakteri seperti pada gejala kerusakan pada
infeksi tbc atau pembentukan granuloma pada kulit penderita kusta tipe
peralihan. Apabila perjuangan antara bakteri sebagai pemenang, maka secara
terus menerus antigen bakteri akan dilepaskan sehingga menimbulkan reaksi
lokal hipersensitivitas tipe lambat. Pelepasan limfokin yang terus menerus
oleh limfosit T akan menghimpun sejumlah besar sel makrofag menjadi sel
epiteloid (yang tidak mempunyai kemampuan fagositosis) dan sebagian lain
menjadi sel datia (giant cell). Sel makrofag yang memiliki antigen bakteri
pada permukaannya akan menjadi sasaran sel T sitotoksik dan akan
dihancurkan.

Kerusakan berikutnya akan berlangsung sebagai akibat dari aktivasi sel


makrofag oleh limfokin dan sel NK dan tentu saja oleh limfotoksinnya
sendiri. Campuran limfosit yang berproliferasi dengan berbagai jenis sel
tersebut bersama fibroblast dalam daerah fibrosis dan jaringan nekrosis
dinamakan granuloma kronik. Gambaran ini tidak lain dimaksudkan untuk
membatasi meluasnya infeksi ke daerah lain.

36
Perubahan penampilan permukaan kulit pada penyakit cacar, campak,
dan herpes simpleks sebagian besar disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas
tipe lambat dengan disertai kerusakan sel-sel jaringan yang terinfeksi virus
oleh limfosit T sitotoksik. Gambaran serupa dijumpai pula pada infeksi jamur
dan penyakit parasit lain.

37
BAB III

KESIMPULAN

1. Reaksi hipersensitivitas adalah reaksi imunologik yang berlebihan atau tidak


wajar, sehingga menimbulkan kerusakan jaringan.
2. Reaksi hipersesitivitas dapat digolongan berdasarkan waktu terjadinya dan
reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs
3. Reaksi hipersesitivitas berdasarkan waktu terjadinya :
 Reaksi cepat
 Reaksi intermediet
 Reaksi lambat
4. Reaksi hipersesitivitas menurut Gell dan Coombs
 Reaksi tipe I
 Reaksi tipe II
 Reaksi tipe III
 Reaksi tipe IV
5. Reaksi tipe I terdiri dari 3 fase :
 Fase sensitasi
 Fase aktivasi
 Fase efektor
6. Manifestasi reaksi tipe I : rhinitis, alergi, asma, urtikaria.
7. Reaksi tipe II diperantarai oleh antibody IgG dan IgM.
8. Manifestasi reaksi tipe II : reaksi transfusi, eritoblastosis fetalis, anemia
hemolitik autoimun
9. Reaksi tipe III disebabkan disebabkan adanya reaksi antara antigen dan
antibody.
10. Manifestasi reaksi tipe III : arthus, serum sickness, vskulitis dengan nekrosis,
glomerulonefritis, AR dan LES.
11. Reaksi tipe IV merupakan reaksi yang melibatkan respon imun selular
khususnya oleh sel T.
12. Manifestasi reaksi tipe IV : dermatitis kontak, lesi tuberkulosis dan penolakan
tandur.

38
DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaya ,K,G.2009. Imunologi Dasar Edisi ke 8. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia.

Kumar V; Abbas A K; & Fausto N. 2010. Robbins & Cotran: Dasar Patologis Penyakit.
Edisi 7. Jakarta: ECG.

Kresno,S,B.2010. Immunologi: Diagnosis dan Prosedur Laboratorium Edisi V. Jakarta :


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Subowo. 2009. Imunologi Klinik Edisi ke-2 . Jakarta : Sugeng Seto.

39

You might also like