Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 20

PERAN ILMU BIOMATERIAL BAGI

UMAT MANUSIA:
SUATU PENDEKATAN REKAYASA BIOMEDIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar


Pada Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Gadjah Mada

Oleh:
Prof. Dr. drg. Widowati Siswomihardjo MS.
2

PERAN ILMU BIOMATERIAL BAGI


UMAT MANUSIA:
SUATU PENDEKATAN REKAYASA BIOMEDIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar


Pada Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Gadjah Mada

Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar


Universitas Gadjah Mada
Pada tanggal 3 November 2008
di Yogyakarta

Oleh
Prof. Dr. drg. Widowati Siswomihardjo MS.
3

PERAN ILMU BIOMATERIAL BAGI UMAT MANUSIA :


SUATU PENDEKATAN REKAYASA BIOMEDIK

Judul pidato ini saya pilih karena menyangkut minat yang saya
tekuni selama lebih dari dua puluh tahun di Fakultas Kedokteran
Gigi UGM. Selama itu saya telah mencoba memahami, menggunakan,
mengembangkan serta memperkenalkan ilmu biomaterial pada para
mahasiswa. Oleh karena itu, meskipun masih sangat terbatas yang
saya ketahui, saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk
menyampaikan kepada hadirin pentingnya ilmu biomaterial bagi
perbaikan hidup manusia.

Apa yang dimaksud dengan Ilmu Biomaterial


Ilmu biomaterial merupakan suatu bidang ilmu yang relatif
baru. Saya ingat pada waktu kuliah di Fakultas Kedokteran Gigi
UGM, tidak pernah mendapat matakuliah ilmu biomaterial. Yang saya
pelajari waktu itu adalah Metallurgy dan Material yang kemudian
berubah nama menjadi Dental Material. Pada waktu itu kuliah
mencakup komposisi dan sifat bahan yang digunakan di Kedokteran
Gigi, serta cara berinteraksinya di dalam rongga mulut (McCabe dan
Walls, 2008). Sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi, baru
sekitar tahun 1995 saat saya sudah menjadi tenaga pengajar dan atas
jerih payah serta usaha almarhum drg Hari Suatmadji yang pada
waktu itu menjabat sebagai Kepala Bagian Teknologi Gigi, lahirlah
satu bagian baru di Fakultas Kedokteran Gigi UGM, yaitu bagian Ilmu
Biomaterial Kedokteran Gigi. Topik yang diajarkan juga menjadi
lebih luas bila dibandingkan dengan Dental Material.
Dalam kajian sejarah, sebetulnya tidak pernah diketahui dengan
pasti kapan ilmu biomaterial mulai hadir. Kurang lebih 2500 tahun
yang lalu masyarakat Romawi dan Cina sudah mulai memanfaatkan
bahan atau material untuk digunakan dalam tubuh. Disebutkan pula
bahwa emas adalah jenis bahan yang pertama yang digunakan oleh
orang Yunani dan Romawi kuno (Powers dan Sakaguchi, 2006). Pada
saat Perang Dunia II, para penerbang telah menggunakan polimetil
metakrilat, yaitu sejenis plastik, untuk diimplantasikan ke dalam mata
4

mereka yang rusak akibat perang. Ternyata bahan asing tersebut


dapat beradaptasi baik dengan tubuh. Beberapa tahun kemudian
setelah Perang Dunia II para dokter mulai mencoba menggunakan
bahan parasit sebagai pengganti pembuluh darah yang rusak.
Pemakaian bahan tersebut juga menunjukkan hasil yang baik.
Akhirnya, baru pada tahun 1960 polimetil metakrilat dan baja anti
karat untuk pertama kalinya digunakan oleh para dokter sebagai
pengganti tulang pinggul (Poelstra dkk., 1997).
Merupakan kenyataan bahwa bahan atau material sudah sejak
lama digunakan untuk kepentingan kesehatan. Namun demikian,
menelusuri saat yang tepat lahirnya kata atau istilah 'biomaterial'
tidaklah mudah. Sebagai gambaran dapat kita lacak bahwa sejarah
lahirnya istilah ‘biomaterial’ dimulai pada awal tahun 1960. Pada
tahun tersebut Universitas Clemson di Amerika mengadakan
pertemuan ilmiah dengan topik Biomaterials Symposia. Sejak saat itu,
terutama setelah terbentuknya Society for Biomaterials sekitar tahun
1975, para ahli ilmu fisika bukan lagi menjadi satu-satunya ahli yang
dapat melakukan penelitian di bidang ilmu biomaterial. Pada saat itu,
ilmu biomaterial mulai diminati oleh para ahli dari berbagai bidang
ilmu, selain dari bidang medik sendiri tentunya. Akhirnya, baru pada
tahun 1987 para ahli dari berbagai disiplin ilmu secara sepakat
mendefinisikan ilmu biomaterial sebagai ‘suatu ilmu yang
mempelajari tentang bahan tidak hidup, yang digunakan untuk
melengkapi kebutuhan medik sebagai upaya untuk menghasilkan
interaksi yang baik dengan sistem tubuh manusia’ (Ratner dkk., 2004).
Dengan pengertian lain yang lebih mudah, ilmu biomaterial adalah
‘ilmu yang mempelajari tentang bahan yang beradaptasi dengan
sistem kehidupan yang fungsinya menggantikan organ atau jaringan
tubuh yang hilang atau rusak’ (Rogero dkk., 2003).

Peran Ilmu Biomaterial bagi Umat Manusia


Kesehatan, pendidikan, serta pendapatan setiap individu
merupakan faktor utama dalam membentuk kualitas kehidupan
manusia. Untuk faktor kesehatan, Departemen Kesehatan RI telah
mencanangkan Visi dan Misi Pembangunan Kesehatan yang disebut
‘Indonesia Sehat 2010’. Visi dan misi tersebut menggambarkan
5

masyarakat Indonesia yang hidup dalam lingkungan sehat serta


berperilaku sehat (DepKes RI, 2003). Untuk menjadi manusia yang
sehat dia haruslah sehat fisik, juga sehat rohani. Padahal, manusia
dalam kehidupannya antara lain selalu dihadapkan pada permasalahan
bagaimana memperbaiki tubuh yang mengalami kerusakan jaringan
atau organ akibat kecelakaan atau karena menderita sakit. Pada
dasarnya semua tindakan medik yang dilakukan untuk memperbaiki
jaringan atau organ tubuh yang rusak atau hilang adalah untuk
memenuhi dua faktor, yaitu estetika dan atau fungsional (Powers dan
Sakaguchi, 2006). Dalam semua tindakan medik, baik untuk
memenuhi faktor estetika maupun fungsional selain karena
ketrampilan para dokter yang memadai, keberhasilan tindakan medik
banyak tergantung pada pemakaian bahan atau biomaterial yang tepat
(Siswomihardjo, 2008).
Tindakan medik untuk memenuhi faktor estetika, dapat dilihat
pada maraknya akhir-akhir ini klinik atau praktek dokter gigi yang
menawarkan perawatan untuk mempercantik diri. Kita juga dapat
melihat begitu banyak remaja terutama putri yang menggunakan
kawat dan karet di sepanjang lengkung giginya (Gambar 1). Memang
ada dari para pemakai alat tersebut yang mempunyai susunan gigi
yang cukup parah. Bisa jadi hal ini, karena susunan gigi yang tidak
teratur atau bisa juga karena posisi gigi yang terlalu maju, yang
menyebabkan fungsi pengunyahan menjadi tidak nyaman. Kondisi
tersebut sangat mengurangi kepercayan diri mereka sehingga mereka
memakai kawat gigi. Namun demikian, saya yakin akhir-akhir ini,
banyak dari pasien yang menjalani perawatan tersebut untuk
menambah cantik penampilannya dengan kata lain untuk kepentingan
estetika semata.

Gambar 1: Lengkung gigi rahang atas dan bawah dengan memakai kawat dan karet
untuk merapikan letak gigi
6

Contoh lain dari kedokteran gigi estetik adalah pemasangan


‘berlian’ pada gigi depan atas seseorang. Pada jaman dahulu, mungkin
hal tersebut dapat menjadi bukti status sosial atau tingkat kekayaan
seseorang, yaitu dengan menyimpan sebagian kekayaannya berupa
‘berlian’ di dalam mulut. Untuk jaman sekarang jelas hal tersebut
bukan menjadi alasan. Pemasangan ‘berlian’ semata-mata hanya untuk
membuat senyum kita menjadi lebih menarik untuk dipandang. Kawat
yang melengkung di sepanjang gigi atau karet warna-warni yang
dipasang pada gigi yang berkawat, ataupun ‘berlian’ yang dipasang
pada gigi depan, adalah bahan yang dapat dan hanya boleh digunakan
oleh manusia jika sudah memenuhi persyaratan sebagai biomaterial.
Artinya pemakaian bahan tersebut tidak akan menimbulkan efek
negatif bagi manusia.
Tindakan medik yang berdasarkan pada aspek fungsional juga
tidak dapat lepas dari pemakaian biomaterial. Keterlibatan biomaterial
dalam suatu tindakan medik, memang sangat luas. Apalagi karena
penggunaan bahan atau biomaterial dalam tindakan medik bisa secara
langsung dalam memberikan perawatan atau untuk melakukan
pekerjaan penunjang di laboratorium (Siswomihardjo, 2006). Sebagai
contoh, kateter, jarum suntik, benang jahit, sendok pencetak rahang
untuk membuat gigitiruan. Semua perlengkapan atau peralatan
tersebut digunakan untuk melakukan tindakan medik. Dan semuanya
terbuat dari bahan yang dapat digunakan bagi manusia karena sudah
memenuhi persyaratan sebagai biomaterial. Artinya, bahan yang
digunakan untuk membuat peralatan medik tersebut bersifat aman
bagi manusia.
Dalam ilmu biomaterial, syarat untuk menentukan apakah suatu
bahan dapat digunakan bagi manusia, tidak hanya tergantung pada
kekuatannya saja. Apakah biomaterial itu untuk ditanam dalam tubuh,
atau untuk menambal gigi, atau untuk membuat suatu instrumentasi
medik, semua harus memenuhi syarat utama yang berlaku dalam
konsep biomaterial. Konsep tersebut menyebutkan bahwa suatu
bahan dapat digunakan oleh manusia apabila bahan tersebut
mempunyai biokompatibilitas yang baik (Craig, 1997). Artinya bahwa
bahan tersebut dapat memberikan respon yang aman apabila dipakai
oleh manusia serta tidak menimbulkan kerugian dalam tubuh manusia
(Van Noort, 2007). Pemahaman biokompatibilitas sangat penting
7

dalam ilmu biomaterial karena memungkinkan penggunaan


biomaterial menjadi sangat luas, baik untuk kepentingan perdagangan
maupun untuk pengembangan ilmu dan teknologi (Ratner dkk., 2004).
Untuk mengetahui apakah suatu jenis bahan bersifat biokompatibel
atau aman bagi manusia, bukanlah pekerjaan mudah, tidak murah dan
juga tidak dalam waktu sesaat. Bahan-bahan tersebut harus melewati
suatu rangkaian penelitian yang mengacu pada dokumen tentang
pengujian bahan sebelum dapat digunakan oleh manusia.
Pada tahap yang paling awal, bahan harus diuji terlebih dahulu
dengan menggunakan biakan sel manusia atau hewan (pemeriksaan in
vitro). Tahap pemeriksaan ini relatif tidak membutuhkan waktu lama,
dan dapat memberikan hasil yang baik mengingat semua kondisi dapat
dikontrol. Kekurangannya bahwa hasil penelitian ini belum dapat
memberikan penjelasan tentang mekanisme apabila terjadi suatu
inflamasi. Pemeriksaan tahap ke dua, yaitu dengan menguji bahan
yang dicoba penggunaannya pada hewan (pemeriksaan in vivo).
Penelitian dengan menggunakan hewan mulai terasa kesukarannya,
karena banyak faktor pada hewan yang belum tentu bisa
dikendalikan semuanya. Namun demikian pada tahap ini respon
biologik hewan terhadap bahan yang diuji sudah mulai terlihat.
Kalau ada kerugiannya yaitu karena penelitian dengan hewan relatif
mahal serta memerlukan waktu yang lama. Tahap penelitian yang
paling akhir disebut pemeriksaan klinis. Bahan dicobakan sesuai
dengan pemakaian yang sebenarnya pada sukarelawan atau pasien,
sehingga pada tahap ini faktor etik dan moral sangat diperhatikan.
Setelah tiga tahap penelitian dilakukan, maka biokompatibilitas bahan
baru dapat diketahui dengan pasti (Powers dan Sakaguchi, 2006).
Jenis pemeriksaan yang harus dilakukan pada setiap tingkat
pemeriksaan terhadap suatu bahan juga tidak sedikit. Untuk setiap
bahan dengan fungsinya yang berbeda, pemeriksaan yang harus
dilakukan juga berbeda (Powers dan Sakaguchi, 2006). Misalnya,
untuk mengetahui apakah suatu bahan jenis resin komposit aman
digunakan untuk menambal gigi, maka antara lain harus diuji
toksisitasnya. Contoh lain, untuk mengetahui apakah suatu jenis
logam aman digunakan untuk implan, maka logam tersebut harus
diuji apakah mampu tumbuh menyatu dengan tulang (Stanford, 1980).
Untuk mengetahui biokompatibilitas suatu bahan serta untuk dapat
8

menyebutkan bahwa suatu bahan aman dipakai manusia, waktu yang


digunakan untuk melakukan penelitian tidak sedikit, bahkan dapat
sampai bertahun-tahun.
Pertanyannya, mengapa penelitian biokompatibilitas biomaterial
harus sedemikian rumit? Hal ini karena pada saat bahan mulai
diletakkan di dalam tubuh atau berkontak dengan jaringan hidup, saat
itu juga akan segera terjadi interaksi yang sangat kompleks antara
bahan dengan tubuh manusia (Wataha, 2001). Padahal, interaksi
antara bahan dengan jaringan hidup dapat mengubah proses
metabolisme tubuh ke arah yang merugikan (Craig, 1997). Sangat
mungkin terjadi, suatu bahan apabila diletakkan di luar tubuh
manusia tidak akan menimbulkan masalah. Sebaliknya, begitu bahan
tersebut ditanam di dalam tulang, atau dikontakkan dengan jaringan
hidup dalam tubuh manusia, dapat menjadi pemicu terjadinya infeksi
atau penyakit lainnya.

Penelitian Ilmu Biomaterial dalam Bidang Kedokteran Gigi


Permasalahan tentang pemakaian biomaterial di bidang medik
menjadi tantangan bagi para peneliti ilmu biomaterial. Hal ini pula
yang terjadi dengan para peneliti biomaterial dalam bidang
Kedokteran Gigi. Dapat saya sampaikan bahwa kenyataannya, sampai
saat ini masih ada bahan yang tetap digunakan untuk melakukan
perawatan Kedokteran Gigi, walaupun pada dasarnya bahan tersebut
secara kimiawi tidak terlalu aman bagi manusia. Bahan-bahan
tersebut tidak hanya digunakan di Indonesia, melainkan juga di
berbagai negara di dunia. Sebagai contoh, untuk melakukan
perawatan saluran akar gigi, dibutuhkan suatu tindakan untuk
mematikan saraf gigi. Ada beberapa cara yang bisa digunakan, salah
satunya adalah dengan menggunakan bahan arsen yang dasarnya
merupakan bahan yang bersifat toksik (Holladay dkk, 2006). Karena
sifat toksik inilah maka arsen digunakan untuk mematikan saraf gigi.
Akan tetapi jika cara pemakaiannya salah, misalnya dosis terlalu
banyak atau waktu paparan terlalu lama, maka bisa berakibat yang
mati bukan hanya saraf gigi, tetapi juga nyawa si empunya gigi akan
ikut melayang. Kasus kematian Munir yang sampai saat ini masih
belum jelas siapa pembunuhnya, hanya dapat memberikan kejelasan
9

bahwa Munir meninggal karena arsen. Kenyataan bahwa arsen


berbahaya, menjadi tantangan bagi para peneliti di bidang ilmu
biomaterial untuk menemukan bahan baru yang sama efektifnya,
tetapi dengan cara kerja yang lebih aman. Salah satu penelitian yang
sudah dilakukan adalah dengan meneliti saponin pada tingkat biakan
sel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa saponin ternyata juga
mempunyai kemampuan untuk mematikan sel fibroblas dengan dosis
yang lebih ringan dibandingkan dengan arsen (Siswomihardjo, 2005).
Namun demikian, untuk mewujudkan saponin menjadi alternatif
pengganti arsen, tentu saja masih dibutuhkan waktu yang lama.
Selain arsen banyak bahan lain yang sampai saat ini masih
digunakan di Kedokteran Gigi yang sebetulnya tidak terlalu aman.
Salah satunya bisa saya sebut adalah resin akrilik. Bahan tersebut
merupakan jenis bahan yang paling populer untuk membuat basis
gigitiruan jenis lepasan. Bagi bapak ibu sekalian yang menggunakan
gigitiruan jenis lepasan, nanti di rumah bisa diperhatikan resin akrilik
adalah bagian gigitiruan yang berwarna merah jambu, yaitu bagian
yang menempel pada gusi (Gambar 2).

Gambar 2 : Gigitiruan rahang atas dan bawah dengan basis terbuat dari resin akrilik

Sampai hari ini memang tidak ada, dan semoga jangan sampai
ada, hasil penelitian yang dapat menyebutkan bahwa resin akrilik
bersifat mematikan atau berbahaya bagi manusia. Hal ini bukan berarti
bahwa bahan tersebut seratus persen aman bagi manusia. Pada
dasarnya monomer metil metakrilat sebagai komponen utama dalam
resin akrilik mudah mengalami pelepasan dan hal ini yang menjadi
penyebab utama timbulnya alergi pada beberapa orang (Pfeiffer dan
Rosenbauer, 2004). Selain itu, monomer metil metakrilat mudah
10

sekali menguap dan uapnya bersifat toksik (Wesley dan Bronsko,


2003). Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan monomer
metil metakrilat pada biakan sel tikus menunjukkan bahan tersebut
dapat menghambat terjadinya sintesa ATP di dalam mitokhondria
yang dapat berlanjut pada kematian sel (Bereznowski, 2004).
Permasalahan tersebut merupakan tantangan bagi para peneliti
di bidang ilmu biomaterial kedokteran gigi untuk mencari bahan
alternatif resin akrilik yang harapannya bisa lebih aman bagi manusia.
Salah satu penelitian menunjukkan bahwa pada tingkat biakan sel dan
hewan coba tikus, ternyata poliester jenis bahan yang biasa digunakan
untuk membuat patung menunjukkan sifat yang cukup aman terhadap
jaringan hidup (Siswomihardjo, 2004). Persoalannya, poliester secara
umum tidak mempunyai kekuatan yang sebaik resin akrilik sehingga
kemungkinan untuk dikembangkan menjadi bahan basis gigitiruan
masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Paling tidak selain lebih
aman, poliester merupakan bahan dasar yang sudah banyak diproduksi
di Indonesia sehingga harapannya harga gigitiruan yang dihasilkan
juga akan lebih murah.
Indonesia sebagai negara tropis juga sangat kaya akan tanaman
herbal. Selain dapat digunakan untuk obat-obatan, tanaman herbal
juga bisa digunakan untuk bahan dasar pasta gigi atau obat kumur. Hal
ini menjadi sumber penelitian yang sangat baik bagi para peneliti
bidang ilmu biomaterial untuk menghasilkan produk-produk yang
bermanfaat bagi manusia. Kita semua tentu sangat kenal dengan buah
pepaya yang selama ini hanya dimanfaatkan buah dan daunnya.
Ternyata ada bagian dari pepaya yang juga mempunyai manfaat bagi
manusia, yaitu mengandung enzim papain. Hasil penelitian
membuktikan bahwa papain mempunyai kemampuan yang baik untuk
menjadi antiplak yang dapat berfungsi untuk membersihkan plak
yang melekat pada permukaan gigitiruan (Sunarintyas, 2004). Plak
merupakan biofilm, suatu lapisan tipis dan dan transparan yang
mengandung banyak sekali bakteri, melekat pada permukaan gigi,
tambalan dan gigitiruan. Plak harus dihilangkan karena keberadaan
plak dapat menimbulkan penyakit di dalam rongga mulut (Marsh dan
Martin, 2000).
11

Penelitian herbal lainnya yang dilakukan di bagian Biomaterial


Fakultas Kedokteran Gigi UGM, adalah penelitian terhadap daun dan
kulit batang pohon mimba (Azadirachta indica). Mimba merupakan
salah satu jenis pohon tropik yang mengandung azadirachtin dan
tannin sebagai komponen aktif untuk menghambat pertumbuhan
bakteri (Siswomihardjo dkk., 2007). Penelitian dengan menggunakan
mimba masih terus dikembangkan karena bahan tersebut berpotensi
menjadi bahan dasar pasta gigi atau obat kumur. Di India, tanaman
mimba sangat mudah ditemukan, dan salah satu produk sabun mandi
yang populer di India terbuat dari ekstrak daun mimba.

Pengembangan Biomaterial melalui Rekayasa Biomedik


Salah satu permasalahan terbesar bidang kesehatan di Indonesia
adalah pelayanan kesehatan yang belum bisa tersebar secara merata
untuk dapat dirasakan semua penduduknya. Di samping karena secara
geografis wilayah Indonesia sangat luas sehingga jangkauan tenaga
medik sangat terbatas, juga karena banyak perawatan medik yang
menggunakan bahan impor yang akhirnya membuat biaya perawatan
menjadi mahal (DirJen DepKes, 2007).
Ilmu biomaterial hadir antara lain untuk ikut mengatasi
permasalahan kesehatan tersebut. Dengan empat macam bahan yang
secara struktur atomnya berbeda, yaitu polimer, logam, keramik, dan
komposit (McCabe dan Walls, 2008), ilmu biomaterial memberikan
arti bagi kehidupan manusia. Tantangan yang telah dihadirkan oleh
keanekaragaman dan kompleksitas kehidupan, menuntut ilmu
biomaterial untuk lebih mengembangkan diri melalui ilmu lintas
bidang, salah satunya yaitu melalui Rekayasa Biomedik ( Biomedical
Engineering). Rekayasa biomedik adalah ilmu lintas-bidang yang
melibatkan ilmu biologi, ilmu kedokteran dasar, ilmu kimia, serta
teknologi. Cakupan yang lebih luas dari Rekayasa Biomedik meliputi
biomaterial, biomekanik, bioteknologi, rekayasa jaringan, biosensor,
instrumentasi biomedik, bioinformatika, serta organ tiruan (Webster,
2004; Bronzino, 2006). Ilmu biomaterial melalui rekayasa biomedik
digunakan untuk penelitian serta pengembangan bahan yang akhirnya
bisa menghadirkan bahan-bahan baru, menciptakan instrumentasi
12

medik baru atau membuat organ tiruan misal, larynx buatan, engsel
untuk persendian rahang atau tempurung lutut (Poelstra dkk., 1997).
Program studi Rekayasa Biomedik Sekolah Pascasarjana UGM
telah menyusun kurikulum bersama untuk strata 2 yang dibiayai oleh
European Commission melalui proyek Asia Link. Dalam proyek
internasional tersebut telah terlibat Rijks Universiteit Groningen,
University of Leeds, India Institute of Technology, University of
Ghent, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Gadjah Mada.
Dengan kerja keras teman-teman sejawat dari Fakultas Kedokteran,
Fakultas Teknik jurusan Mesin, dan Fakultas Kedokteran Gigi UGM,
program studi Rekayasa Biomedik telah meluluskan 3 orang pilot
students yang sempat mendapat kesempatan mengikuti summer course
di Belanda dan India. Saat ini program studi Rekayasa Biomedik
sedang dikembangkan sebagai program yang bertaraf internasional.
Penelitian dalam bidang Rekayasa Biomedik yang sangat
bermanfaat dan sudah berhasil, telah dilakukan oleh seorang teman
sejawat dari Fakultas Kedokteran UGM. Dari penelitian tersebut
berhasil dilakukan pemasangan pipa karet dari bahan silikon yang
berfungsi untuk mengurangi tekanan intrakranial (tengkorak kepala)
pada pasien bayi dan anak hidrosefalus (Sudiharto, 2004). Penelitian
tersebut merupakan penelitian lintas bidang, karena untuk mengatasi
permasalahan yang bersifat medik, yaitu mencari upaya untuk
mengurangi tekanan pada tengkorak kepala akibat adanya
penumpukan cairan. Permasalahan tersebut telah diatasi dengan
pemasangan sistem pirau (shunt system) katup semiluner ventrikulo
peritoneal yang bekerja berdasarkan konsep hidrodinamika.
Permasalahan medik lain yang dapat saya kemukakan adalah
sejumlah pasien dari SMF Bedah Mulut RSUP.Dr. Sardjito (Indarto,
2008). Informasi menyebutkan bahwa relatif banyak pasien yang
datang dengan menderita ameloblastoma pada rahang, yaitu sejenis
tumor atau benjolan yang bersifat jinak (Gambar 3). Keadaan tersebut
harus segera ditangani, yaitu dengan cara memotong sebagian rahang
yang rusak. Karena ada sebagian tulang rahang yang akan dipotong,
maka segera setelah pemotongan tulang harus ada tulang pengganti
yang diimplankan. Bahan atau biomaterial yang biasa diimplankan
disebut pelat atau bridging plate yang terbuat dari titanium (Gambar
4).
13

Gambar 3: Pasien wanita dari Gunung Kidul dengan benjolan (ameloblastoma)


pada bagian tengah rahang bawah

Gambar 4: Pasien dengan rahang bawah kiri yang dipotong dan dipasang bridging
plate titanium sebagai pengganti tulang yang sudah dipotong

Yang menjadi permasalahan adalah harga bridging plate atau


pelat titanium yang relatif mahal, yaitu sekitar 6 juta rupiah, sehingga
sukar dijangkau oleh banyak lapis masyarakat kita. Padahal, asuransi
kesehatan yang disediakan oleh pemerintah bagi warga yang tidak
mampu, tidak mencakup pembelian pelat titanium tersebut. Tindakan
pemotongan rahang yang tidak segera diikuti dengan pemasangan
pelat titanium dapat berakibat pada terganggunya fungsi lidah. Hal ini
bisa terjadi karena pada saat pemotongan bagian depan tulang rahang
bawah, banyak otot yang mengatur gerakan lidah menjadi ikut
terpotong. Karena ketidakmampuan ini, maka pasien dari Gunung
Kidul tersebut di atas, terpaksa ditunda operasinya yang sampai saat
ini kurang lebih sudah satu tahun. Sudah pasti penundaan operasi
menyebabkan bertambah besarnya benjolan. Perlu diketahui bahwa
14

masih ada beberapa pasien lain yang mengalami kondisi yang sama.
Sebagai catatan, pada tahun 2007 jumlah pasien ameloblastoma di
SMF Bedah Mulut RSUD.Dr.Sardjito mencapai sekitar 45 pasien, dan
tidak semua dari mereka dapat ditangani.
Kasus lain dari SMF Bedah Mulut di RSUP.Dr. Sardjito adalah
pasien dengan tumor pada langit-langit rahang atas. Cara penanganan
untuk pasien tersebut adalah dengan mengambil tumor, yang akan
mengakibatkan adanya lubang pada langit-langit rahang atas (Indarto,
2008) .

Gambar 5: Pasien dengan langit-langit yang berlubang karena tumor yang sudah
diambil

Untuk penanganan pasien tersebut adalah dengan memasang


obturator (Gambar 6) yang terbuat dari resin akrilik. Alat tersebut
berfungsi sebagai penutup langit-langit rahang atas yang berlubang,
sekaligus juga sebagai gigitiruan rahang atas (Wahyuningtyas, 2008).
Obturator ini bersifat lepasan, jadi pasien pada dasarnya tetap
mempunyai permasalahan karena tidak mempunyai jaringan keras
atau tulang pada langit-langit rahang atasnya. Alangkah beruntungnya
pasien tersebut apabila sudah ada bahan untuk pengganti tulang.

Gambar 6 : Obturator (penutup langit-langit berlubang) terbuat dari resin akrilik


15

Kasus-kasus tersebut di atas menunjukkan bahwa sangat perlu


dicarikan bahan pengganti tulang yang tidak mahal. Masalah tersebut
merupakan tantangan yang sangat menarik bagi para peneliti di bidang
rekayasa biomedik. Untuk itu mulai dari pengujian bahan sampai
proses fabrikasinya memerlukan adanya kerjasama yang baik antara
peneliti dari berbagai bidang ilmu. Dengan dana dari Riset Unggulan
Terpadu XII sudah dilakukan penelitian dengan mensintesa
hidroksiapatit dari bahan mineral gipsum (Tontowi dkk, 2006).
Hidroksiapatit merupakan komponen utama dalam tulang dan gigi
manusia (Petchey, 2007), dan bahan tersebut terdapat dalam
kandungan gipsum di Kulon Progo. Penelitian pada biakan sel hewan
menunjukkan bahwa hidroksiapatit tidak menimbulkan toksisitas
(Siswomihardjo dkk., 2007). Harapan saya bersama teman-teman
bahwa suatu saat hidroksiapatit dari bahan lokal dapat diproduksi di
dalam negeri untuk bisa menjadi bahan dasar pengganti tulang, yang
tentunya akan lebih murah bila dibandingkan dengan pelat titanium
yang merupakan produk impor.

Masa Depan Ilmu Biomaterial melalui Rekayasa Biomedik


Pada awal pidato telah saya sampaikan bahwa ilmu biomaterial
termasuk relatif baru, tetapi sejarah perkembangan ilmu ini berjalan
dengan pesat. Diawali dengan pemakaian bahan atau biomaterial
oleh para dokter di rumah sakit pada jaman Yunani kuno sampai
akhirnya pada awal abad-21 biomaterial masuk ke universitas dan
laboratorium riset (Ratner dkk., 2004). Para ilmuwan dan peneliti
telah berhasil mengembangkan biomaterial menjadi suatu cabang ilmu
pengetahuan yang bisa menghasilkan produk perdagangan yang
bahkan sangat menguntungkan.
Perkembangan biomaterial di bidang kedokteran gigi modern
dapat menjadi bukti. Semen silikat merupakan bahan tambal gigi yang
pertama kali dikenal. Saat ini, bahan tersebut sudah mulai
ditinggalkan karena mengandung unsur asam yang dianggap
berbahaya bagi pulpa gigi. Sebagai penggantinya kemudian dikenal
glass ionomer cement. Perkembangan bahan tambal terus bergulir
dengan adanya resin komposit polimerisasi sinar tampak dengan
16

bahan bondingnya yang sampai hari ini sudah berkembang sampai


generasi ketujuh (McCabe dan Walls, 2008). Ilmu biomaterial
kedokteran gigi memang berkembang dengan cepat, tetapi banyak
permasalahan yang tetap belum teratasi. Pemakaian bahan tambal
amalgam yang mengandung merkuri masih menghadirkan persepsi
yang bermacam-macam tentang toksisitas dan tentang pemakaiannya
di kedokteran gigi. Banyak penelitian menyebutkan bahwa merkuri
berbahaya bagi manusia. Sebaliknya, banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa konsentrasi merkuri dalam tambalan amalgam
masih dalam batas aman (McCabe dan Walls, 2008). Mungkin
pernyataan ‘Bapak Toksikologi’ Paracelsus adalah benar, bahwa the
dose makes the poison (Smith, 2002). Kenyataan yang ada sampai hari
ini WHO memang belum melarang secara resmi pemakaian amalgam.
Hal tersebut merupakan salah satu tantangan bagi ilmuwan dan
peneliti biomaterial untuk mengakhiri kontroversi tentang pemakaian
bahan tambal amalgam yang sudah berjalan lebih dari 150 tahun
(Powers dan Sakaguchi, 2006).
Pada saat yang sama, penggunaan biomaterial atau bahan pada
manusia sering dianggap sebagai penyebab utama terjadinya
kegagalan dalam suatu perawatan medik atau pemakaian organ tiruan
dalam tubuh. Kegagalan tersebut bisa terjadi karena pemilihan jenis
biomaterial yang salah. Bisa juga kegagalan terjadi karena permukaan
biomaterial menjadi tempat pertumbuhan biofilm, karena pada
dasarnya, sejak manusia lahir, di dalam tubuh pasti terdapat
bermacam-macam mikroorganisme. Tidak semua mikroorganisme
merugikan dan berkolonisasi, tetapi ada yang berkolonisasi dengan
membentuk biofilm (lapisan tipis terdiri dari mikroorganisme).
Terbentuknya biofilm pada permukaan organ tiruan atau bahan asing
dalam tubuh dapat berakibat terjadinya Biomaterial Centered
Infections – yaitu gagalnya pemakaian bahan dalam tubuh karena
terjadi infeksi (Gottenbos, 2001). Permasalahan menjadi lebih rumit,
karena ada kecenderungan mikroorganisme yang tumbuh pada lapisan
biofilm mulai kebal terhadap pemakaian antibiotika (Gottenbos,
2001).
Pada akhir uraian ini, saya ingin menyampaikan bahwa kualitas
kehidupan manusia akan terus menjadi salah satu masalah terpenting
dalam bidang kesehatan. Saat ini bangsa Indonesia sedang
17

menghadapi beban berat dalam sektor pelayanan kesehatan bagi


rakyatnya. Merujuk pada pernyataan penemu filsafat ilmu, yaitu
filosof Francis Bacon, bahwa scientific knowledge could give men
power over nature (Magee, 2001), yang berarti pengembangan suatu
ilmu pengetahuan harus berakhir untuk kepentingan manusia. Oleh
karena itu, para ilmuwan dan peneliti ilmu biomaterial melalui
rekayasa biomedik harus terus berkarya untuk kepentingan umat
manusia. Namun demikian, jerih payah para ilmuwan dan peneliti
ilmu biomaterial tidak akan ada artinya bagi masyarakat apabila tidak
disertai dengan peran serta dan dukungan pemerintah. Memperbesar
alokasi dana untuk penelitian merupakan keharusan yang tidak dapat
ditunda, agar penelitian-penelitian tidak hanya berhenti pada tingkat
dasar saja, tetapi bisa mewujudkan sebuah produk yang bermanfaat
bagi kehidupan manusia. Sudah saatnya pula pemerintah mulai
mempertimbangkan agar asuransi kesehatan, khususnya untuk warga
miskin, tidak hanya meliputi pembiayaan obat dan perawatan medik,
tetapi juga mencakup misalnya pembelian alat atau bahan pengganti
organ. Untuk itu, pemerintah harus mampu mengatur agar produk
lokal bisa menjadi public goods yang dapat diakses oleh orang
banyak. Patut disayangkan jika produk buatan ilmuwan kita dikelola
oleh pasar yang menyebabkan kelompok yang paling membutuhkan
tidak mampu menjangkaunya. Dengan semakin dibutuhkannya produk
lokal rekayasa biomedik, maka semakin diperlukan pula ilmuwan dan
peneliti yang cukup dan mumpuni bergerak di bidang tersebut. Untuk
itu, perlu ditingkatkan pendirian lembaga pendidikan yang terkait
dengan ilmu lintas bidang rekayasa biomedik. Semua itu merupakan
harapan dalam upaya untuk mendukung agar pelayanan kesehatan
agar bisa merata dan dijangkau oleh seluruh lapisan rakyat Indonesia.
Dengan memiliki rakyat yang sehat jasmani dan rokhani tentunya
akan lebih mudah untuk membangun sebuah bangsa yang sehat dan
cerdas.
.
18

DAFTAR PUSTAKA

Bereznowski, Z. 2004. Effect of methyl methacrylate on


Mitochondrial function. Int J. Biochem. 26 (9) : 119-127
Bronzino, JD.2006. Tissue Engineering and Artificial Organs.3rd ed.,
Taylor & Francis, London. pp. 5-7.
Craig, RG. 1997. Restorative Dental Materials. 10th ed. Mosby,
St.Louis. pp. 137 – 139.
DepKes RI. 2003. KepMen Kesehatan no 1202/Menkes/ SK/ VIII
/2003/
DirJen DepKes.2007. Utilization of Human Resource in biomedical
Engineering in Health Care industry. Dipresentasikan pada
Temu Ilmiah Biomedical Engineering- Proyek Asia Link UI.
Gottenbos, B. 2001. The Development of Antimicrobial Biomaterial
Surfaces. Rijks University of Groningen, Belanda
Holladay, SD., Wolf DC.,Robertson JL.2006. Reproductive and
Development of Arsenic. Int J. Toxicol. 25 (5) : 319-331.
Indarto, M. 2008. Penanganan Pasien Ameloblastoma di SMF Bedah
Mulut RSUP Sardjito. Konsultasi pribadi.
Magee, B. 2001. The Story of Philosophy – An Introduction to the
World’s Greatest Thinkers and Their Ideas. Dorling Kindersley
Limited. Great Britain. pp. 74-75.
Marsh, P., dan Martin MV. 2000. Oral Microbiology. 4th ed. Wright
Pub, Oxford. pp. 5, 58-63.
McCabe, JF dan Walls WG. 2008. Applied Dental Materials. 9th ed.,
Blackwell Pub.,Oxford. pp. 1-3.
Petchey, F. Bone. http://d. www.c14dating.com/bone.html. Diakses
tgl15 Maret 2007
Pfeiffer, P., Rosenbauer E. 2004. Residual Methyl Methacrylate
monomer of hypoallergenic denture Base Materials. J. Prosthet
Dent. 92: 72-78.
Poelstra, KA., Busscher HJ., Van Horn JR. 1999. Biomedical
Materials Research in Groningen. Rijks University of
Groningen, Belanda
Powers, JM., Sakaguchi RL. 2006. Craig’s Restorative Dental
Materials. 12th ed., Mosby Elsevier, USA. pp. 2-11.
19

Ratner, BD., Hoffman AS., Schoen FJ., Lemons JE.2004.


Biomaterials Science – An Introduction to Materials in
Medicine. 2nd ed., Elsevier, Amsterdam. pp. 1-3.
Rogero, SO., Malmonge SM., Lugao AB. 2003. Biocompatibility
Study of Polymeric Biomaterials. J Artificial Organs, 27(5):
424-427.
Siswomihardjo, W. 2004. The Mutagenicity of polyester in human
DNA. Int J of Oral Health. 1 (1): 15
------------------------2005. Saponin sap of Plumeria Acuminate, as an
Alternative Medicament in devitalizing dental pulp.
Maj.Kedokteran Gigi Unair edisi khusus
------------------------2006. Biomaterials and The Restoration of
Function in Dentistry. Dipresentasikan pada pertemuan proyek
Asia-Link Casecube di Rijks University of Groningen, Belanda.
------------------------Sunarintyas S., Tontowi AE., 2007. Effect of
Synthesized Hydroxyapatite fromLocal Gypsum on Apoptosis of
Human fibroblast. Dipresentasikan pd Temu Ilmiah
International Association of Dental Researchers di Bali.
---------------------Sunarintyas S., Nishimura M., Hamada T. 2007. The
difference of antibacterial of neem leaves and stick Extracts.
Int Chinese J of Dent .7 (1) : 27-31.
---------------------2008. The Importance of Biocompatibility in
Dentistry. Dipresentasikan pada Kuliah dosen tamu di Fakultas
Kedokteran Gigi, University of Malaya, Malaysia
Smith, R. 2002. Place makes the poison. J. Environ Epidemiol. (12):
161-171.
Stanford, JW. 1980. Recommended Standard Practices for Biological
Evaluations of Dental Materials. Int Dent J. 30 (2): 140-188
Sudiharto, P. 2004. Terapi Pembedahan pada Hidrosefalus Bayi dan
Anak dengan Sistem Perau Katup Semiluner Ventrikulo
Peritoneal. Ringkasan Disertasi. Sekolah Pascasarjana UGM.
Sunarintyas, S. 2005. Hypersensitivity Test of Papain Solution as
Denture Cleanser. Dipresentasikan pada International Meeting
on Dentistry for Nano-Informatic Genomic Technology Era di
Thailand
Tontowi, AE., Siswomihardjo W.,Wasiz W., Ana ID., Pujianto E.
2006. Laporan Akhir RUT XII
20

Van Noort, R.2007. Introduction to Dental Materials. 3rd ed., Mosby,


London. Pp. 222-223.
Wahyuningtyas, E. 2008. Pemakaian obturator. Konsultasi pribadi.
Wataha, JC. 2001. Principles of Biocompatibility for Dental
Practioners. J. Prosthet Dent. 86 (2): 203-209.
Webster, JG. 2004. Bioinstrumentation. John Wiley & Sons Inc,
USA.pp. 2-3.
Wesley, ER dan Brinsko JD. 2003. Toxicity of methyl methacrilate
monomer. An Ophtalmol. 24 (8) : 307-309.

You might also like