Professional Documents
Culture Documents
Referat Meningoencephalocele
Referat Meningoencephalocele
MENINGOENCEPHALOCELE
Disusun oleh:
Pembimbing:
SERANG
DAFTAR ISI
I. EMBRIOLOGI .......................................................................................................................... 3
Neurulasi (Pembentukan Neural Tube) .......................................................................................... 3
Pengertian Neurulasi .................................................................................................................. 3
Tahapan – tahapan Neurulasi ..................................................................................................... 4
Perkembangan Neural Tube ........................................................................................................... 5
Susunan Saraf Mula – Mula ........................................................................................................... 6
Perkembangan Saraf Janin Intra Uterus .......................................................................................... 8
Pembentukan Tuba Neural (neural tube) ........................................................................................ 9
Neurulasi Primer.......................................................................................................................... 10
Neurulasi Sekunder ..................................................................................................................... 11
Perkembangan Meningens ........................................................................................................... 11
Tengkorak ................................................................................................................................... 12
II. DEFINISI DAN KLASIFIKASI .............................................................................................. 12
III. EPIDEMIOLOGI..................................................................................................................... 13
IV. ETIOLOGI .............................................................................................................................. 13
V. PATOGENESIS ...................................................................................................................... 13
VI. DIAGNOSIS ........................................................................................................................... 16
VII. MANIFESTASI KLINIS ......................................................................................................... 16
VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG ............................................................................................. 18
1. CT Scan ............................................................................................................................... 18
2. MRI ..................................................................................................................................... 18
3. USG .................................................................................................................................... 18
4. Angiografi ........................................................................................................................... 19
IX. TATALAKSANA ................................................................................................................... 19
A. Teknik Ekstrakranial ............................................................................................................ 21
B. Teknik Transkranial ............................................................................................................. 21
X. KOMPLIKASI ........................................................................................................................ 23
XI. PROGNOSIS........................................................................................................................... 23
XII. DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 24
I. EMBRIOLOGI
Minggu I (Hari 1-7) – satu lapisan. Setelah fertlisasi, zigot mengalami pembelahan
membentuk blastula. Cairan disekresikan ke dalam blastula membentuk blastokist
dengan Inner cell mass (embrioblast) yang akan menjadi embrio dan outer cell mass
(placentoblast) yang akan menjadi plasenta. 2,3
Minggu II (hari 8-14) - 2 lapisan. Embrioblast berdiferensiasi menjadi 2 lapisan
berbeda, epiblast dan hipoblast, membentuk cakram mudigah bilaminer.
Minggu III – cakram mudigah trilaminer. Gastrulasi merupakan proses pembentukan 3
lapisan germinal pada embrio, yaitu ectoderm, mesoderm dan endoderm. Langkah
pertama dalam gastrulasi adalah pembentukan primitive strike pada permukaan epiblas.
Primitive strike merupakan sebuah alur pada garis tengah cakram embrio yang akan
menjadi ujung kaudal embrio. Alur tersebut dibentuk oleh invaginasi sel-sel epiblast
yang menggantikan sel hipoblast dan membentuk mesoderm dan ectoderm. Sel-sel
yang tetap berada di epiblast membentuk ectoderm. Semua sistem organ mayor
termasuk sistem saraf mulai berkembang selama periode embrionik, menyebabkan
terbentuknya pelipatan craniocaudal dan lateral embrio. 4
Neurulasi Primer
Selama neurulasi primer, ektoderm asli dibagi menjadi tiga set sel: (1) ditempatkan
secara internal neural tube, yang akan membentuk otak dan sumsum tulang belakang, (2)
diposisikan eksternal epidermis kulit, dan (3) saraf sel puncak. Sel puncak neural formulir di
kawasan yang menghubungkan tuba neural dan kulit ari, tapi kemudian pindah di tempat lain,
mereka akan menghasilkan perifer neuron dan glia, sel-sel pigmen kulit, dan beberapa jenis sel
lain.
Proses neurulasi primer pada amfibi, reptil, burung, dan mamalia mirip. Tidak lama
setelah piring saraf telah terbentuk, tepi menebal dan bergerak ke atas untuk membentuk lipatan
saraf, sedangkan saraf berbentuk U groove muncul di tengah piring, membagi masa depan sisi
kanan dan kiri embrio. Lipatan saraf yang bermigrasi ke arah garis tengah embrio, akhirnya
sekering untuk membentuk tuba neural di bawah ektoderm di atasnya. Sel-sel di bagian
dorsalmost tuba neural menjadi puncak sel saraf.
Neurulasi terjadi dengan cara yang agak berbeda di berbagai daerah dalam tubuh. Yaitu
kepala, badan, dan ekor masing-masing daerah membentuk tuba neural dengan cara-cara yang
mencerminkan hubungan induktif dari endoderm faring, prechordal piring, dan notochord ke
atasnya ektoderm. Kepala daerah dan batang kedua menjalani neurulation varian dari primer,
dan proses ini dapat dibagi menjadi empat yang berbeda tetapi saling tumpang tindih spasial
dan temporal tahap: (1) pembentukan lempeng saraf, (2) pembentukan saraf piring; (3)
pembengkokan dari piring saraf membentuk saraf dashed; dan (4) penutupan alur saraf untuk
membentuk tuba neural
Neurulasi Sekunder
Neurulasi sekunder merupakan pembentukan rongga pada pita sel – sel solid. Neurulasi
sekunder melibatkan pembuatan sebuah tali meduler dan pengosongan selanjutnya menjadi
tuba neural. Daerah yang tumbuh di ujung bibir disebut chordoneural engsel (Pasteels 1937),
dan berisi prekursor untuk kedua bagian posteriormost piring dan saraf posterior bagian
notochord. Pertumbuhan wilayah ini kurang lebih berbentuk bola mengubah gastrula, 1.2 mm
diameter, menjadi kecebong linear beberapa 9 mm lama.
Perkembangan Meningens
Otak dan medulla spinalis manusia dewasa dikelilingi oleh 3 membran (meningens):
dura-, arachnoid-, and pia mater. Dura mater berasal dari mesoderm yang mengelilingi neural
tube. Pia dan arachnoid mater berasal dari sel neural crest. 2,3
Tengkorak
Tengkorak dibagi menjadi 2 bagian neurokranium dan viserokranium. Neurokranium
terdiri dari: a) bagian membranosa yang terdiri dari tulang-tulang pipih, yang mengelilingi otak
sebagai suatu kubah dan b) bagian kartilaginosa (kondrokranium), yang membentuk tulang-
tulang dasar tengkorak, kedua bagian tersebut berkembang dari sel neural crest kecuali daerah
oksipital dan posterior rongga mata yang berasal dari mesoderm paraxial (yang juga
membentuk vertebrae). Viserokranium terdiri atas tulang-tulang wajah yang berasal dari
pharyngeal arches (branchial arches).2,3
III. EPIDEMIOLOGI
Insiden meningoencephalocele 1-3 per 10.000 bayi lahir hidup; paling kecil dari seluruh
penyakit defek tuba neuralis (8% - 19%). Di Eropa dan Amerika hampir 70% - 80%
meningoencephalocele terdapat di regio oksipital; meningoencephalocele di daerah anterior
(frontal, nasofrontal, nasopharyngeal) lebih sering di Asia Tenggara. Meningoensefalokel lebih
sering terjadi pada wanita dibandingkan pada laki-laki.8,11
Dalam suatu survei yang dilakukan di Inggris, insidens terjadinya defek tuba neuralis
(anensefali, ensefalokel, spina bifida) secara konsisten lebih besar pada ibu-ibu dari tingkat
sosial ekonomi rendah daripada mereka yang dari tingkat sosial ekonomi tinggi. Hal ini
berhubungan dengan diet yang dijalani bahwa pada ibu-ibu dari tingkat sosial ekonomi yang
tinggi memiliki diet yang lebih baik dibanding dengan ibu-ibu dari tingkat sosial ekonomi yang
rendah. Penelitian Laurence dkk. menunjukkan bahwa wanita yang mendapat diet adekuat
mempunyai insidensi yang lebih rendah untuk terjadinya defek tuba neuralis pada anaknya.
Namun yang lebih penting adalah edukasi mengenai suplementasi nutrisi pada ibu-ibu hamil.1
IV. ETIOLOGI
Meningoensefalokel disebabkan oleh kegagalan penutupan tuba neural selama
perkembangan janin. Kegagalan penutupan tuba neural ini disebabkan oleh gangguan
pembentukan tulang kranium saat dalam uterus seperti kurangnya asupan asam folat selama
kehamilan, adanya infeksi pada saat kehamilan terutama infeksi TORCH, mutasi gen (terpapar
bahan radiologi), obat – obatan yang mengandung bahan yang terotegenik.
Meningoensefalokel juga disebabkan oleh defek tulang kepala, biasanya terjadi dibagian
occipitalis, kadang – kadang juga dibagian nasal, frontal, atau parietal. 8,9
Faktor genetik dan lingkungan terbukti mempengaruhi perkembangan susunan saraf
pusat sejak konsepsi. Data terakhir menyebutkan bahwa suplementasi vitamin seperti folic acid
saat sekitar konsepsi akan mencegah defek tuba neuralis.10
V. PATOGENESIS
Etiologi kelainan ini masih belum diketahui dengan pasti. Terdapat faktor
multifaktorial yang mirip dengan petogenesa terjadinya spina bifida dan anencephaly.
Hipotesa-hipotesa yang ada meliputi mutasi autosomal dominan, faktor lingkungan, infeksi
jamur, virus dan parasit serta usia ibu pada saat terjadinya konsepsi. Kadang-kadang ditemukan
keterkaitannya dengan sindroma genetik yang telah dikenali, seperti Robert syndrome,
Amniotic band syndrome dan Apert syndrome. Sebagian besar penulis tidak menemukan faktor
familial pada kelaianan ini.
Tampaknya factor populasi ikut berperan dalam patogenesa meningoensefalokel.
Suwanwela menduga bentuk kepala yang khas Asia Tenggara dengan hidung yang datar pada
basis yang lebar merupakan predisposisi kelainan ini.
Defek kranium pada lesi meningoensefalokel terletak pada pertemuan antara os
Frontale dan os ethmoidale atau foramen cecum. Kadang-kadang dijumpai cartilage crista galli
pada tepi posterior defek, lateralnya atau bahkan cartilage tersebut terbelah menjadi dua bagian
pada tepi lateral defek. Crista galli seringkali mengalami distorsi, tepi anteriornya halus dan
berbentuk konkav dan lamina cribrosa biasanya terdorong ke inferior dibawah planum
sphenoidalis dan membentuk sudut 45 – 50 dengan bidang orbito-meatal.
Lokasi, bentuk dan ukuran defek tulang umumnya konstan. Lokasinya adalah pada garis tengah
pada foramen cecum, 56% tunggal pada garis tengah, 27% bilateral paramedian, 17% sisanya
unilateral paramedian. Ukurannya cukup barvariasi dari beberapa milimeter hingga beberapa
cm, diameter umumnya berkisar 8-20 mm (mean 12 mm, SD 5 mm).
Kantong meningeal terdiri dari duramater normal yang melekat pada tepi defek tulang. Pada
kebanyakan kasus, kantong meningeal mengandung jaringan otak, biasanya bagian medial dari
kedua lobus frontalis dan jarang ditemukan isi kantong meningeal yang hipervaskular.
Pemeriksaan histologis isi kantong menunjukkan jaringan otak, jaringan glia dan jaringan ikat.
Kelemahan struktur pada pertemuan os frontale (membranous) yang berbatasan dengan
pembentukan endokondral os ethmoidale memungkinkan herniasi elemen saraf. Selama
penutupan sulcus neuralis, ujung anterior dan posterior menutup seminggu lebih lambat
daripada bagian tuba neural lainnya. Neuropor anterior yang menutup pada awal minggu ke
empat terletak pada lokasi foramen cecum, yang pada embrio matur terletak pada level akar
hidung diantara kedua mata. Neuropor anterior dipisahkan dari kulit dengan lipatan
pertumbuhan pada setiap sisi mesoderm yang nantinya membentuk cranium.
Tetapi jika hubungan ini menetap, maka invasi mesoderm primitive antara neuropor
anterior-endoderm neuralis dan ektoderm primitif akan terhalang dan terjadilah defek tulang
pada lokasi tersebut, yang menyebabkan herniasi kantong meningeal.
Tulang cranium dan wajah merupakan hasil osifikasi membrane dan tulang basis cranii adalah
osifikasi cartilage. Kebanyakan tulang cranium dan wajah telah mengalami osifikasi pada saat
lahir. Pada awal bulan kedua intrauterine, mesoderm yang mengelilingi vesikel otak yang
sedang tumbuh meningkatkan ketebalannya dan membentuk massa terlokalisir.
Massa ini menggambarkan stadium perkembangan cranium yang paling dini. Pada awal
bulan kedua kondensasi mesoderm yang mengelilingi hipofise dan lalu meluas ke depan
membentuk dasar ossis sphenoidalis dan ethmoidale serta septum nasale. Kondrifikasi basis
cranii dimulai pada bulan kedua intrauterine. Planum occipital, sphenoidal, capsula auditoria,
ethmoidal dan radix alae majoris dan minoris ossis sphenoidalis dan terakhir septum nasale
mengalami kondrifikasi. Ossis ethmoidale mengalami osifikasi dari tiga pusat ossifikasi, satu
dari lamina perpendikularis dan crista galli yang tampak pada usia satu tahun dan satu untuk
setiap labirinth. Lamina cribrosa mengalami osifikasi dari tiga pusat ossifikasi endokhondral.
Bagian membran cranium mengalami osifikasi dari empat pusat osifikasi pada setiap sisi. Pusat
osifikasi os frontale terletak pada sisi eminentia frontalis dan nampak pada kira-kira usia fetus
delapan minggu.
Pada akhir bulan ketiga intrauterin, os frontale dan os ethmoidale masih terpisah,
meskipun pada saat lahir telah menjadi satu. Pada masa intrauterin yang sangat dini, os frontale
nampak sebagai lamina mesoderm yang meluas ke inferior bertemu dengan mesoder basis
cranii yang akan membentuk os ethmoidale.
Jaringan tuba neural yang ada lebih dulu pada regio ini, mencegah mesoder cranium
datang bersama pada regio ini, yang lalu mengakibatkan defek mesoderm pada pertemuan os
frontale dan ethmoidale.
Defek tulang ini bersifat menetap dan mesoderm sekitarnya mengalami kondrifikasi
dan osifikasi. Tampaknya, protrusi meningeal dan jaringan saraf terjadi lebih dulu dan defek
tulang terbentuk disekitarnya. Bila tabung meningeal dan jaringan saraf dipisahkan pada
lehernya dan tidak lagi ada ganjalan pada defek tulang, maka dengan cepat akan terjadi
pengurangan diameter defek tulang dan akhirnya menutup.
Ini berarti bahwa, tabung meningeal dan saraf yang menghalangi defek tulang
bertanggung jawab atas menetapnya dan juga terbentuknya defek tulang ini. Sulit dibayangkan
bahwa pada jaringan festus yang sedang sangat aktif tumbuh, gagal mengalami proses
penutupan (fusi) normalnya tanpa adanya obstruksi, terutama jika jaringan saraf yang sama
demikian cepat tumbuhnya dan menutup lubang pada saat elemen penghalang telah
dihilangkan.
Dari beberapa seri meningoensefalokel yang pernah dilaporkan, dikatakan bahwa 50-
78% meningoensefalokel disertai dengan kelainan intrakranial seperti aganesis corpus
callosum, kelainan pola ventrikel, atrofi otak, midline shift, arachnoid cyst, hydrocephalus,
konfigurasi otak yang tidak teratur, porencephalic cyst, stenosis aquaductus.
Meningoensefalokel Oksipital adalah bentuk yang paling umum terjadi di Bagian Barat
yaitu (71% di Amerika Serikat, Eropa). Hal ini sering dikaitkan dengan malformasi Dandy-
Walker dan malformasi Arnold-Chiari II. Encephalocele oksipital dapat terletak tinggi, di atas
foramen magnum, atau mungkin melibatkan tulang belakang leher bagian atas dan tulang
oksipital. (The Chiari III malformasi adalah cervico-oksipital encephalocele yang berisi
sebagian besar otak kecil.) Frontoparietal encephalocele yang paling umum adalah jenis
encephalocele di Asia Tenggara. Hal ini terkait dengan garis tengah kraniofasial dysraphism.
Sphenoidal encephaloceles sering klinis okultisme dan biasanya menjadi jelas pada akhir
dekade pertama kehidupan.8
VI. DIAGNOSIS
Diagnosa meningoensefalokel secara fisik lebih mudah dikenal yakni adanya benjolan
diwajah depan tepatnya di daerah hidung dan mata yang timbul sejak lahir. Benjolan terletak
digaris tengah wajah atau kadang disisi kanan–kiri mata. Lokasi benjolan, terbanyak di daerah
wajah depan yang dikenal sebagai daerah ‘fronto ethmoidal’. Lokasi lain ensefalokel terdapat
didaerah atap (vertex), dasar (basis) dan belakang kepala (occipital). 5,11 Selain itu, diagnosis
saat perinatal dapat ditegakkan dengan pemeriksaan USG, alfa feto protein (AFP) cairan
amnion dan serum ibu.13
1. CT Scan
Berdasarkan gambaran CT scan, ensefalokel dapat didiagnosis banding dengan infeksi
dan tumor. Keduanya dapat menyebabkan destruksi dr tulang kranium. Material kontras yang
dimasukkan secara intratekal dapat memberikan gambaran yang lebih baik. CT scan
cisternography dapat menunjukkan adanya hubungan antara kantung hernia dengan ruang
subarachnoid.16
2. MRI
MRI dapat menjadi salah satu pilihan dalam pemeriksaan ensefalokel dengan
kemampuannya menghasilkan gambar dengan berbagai proyeksi. MRI dapat menunjukkan
detail yang tepat dari suatu kelainan, juga dapat menunjukkan isi hernia.
Gambaran ensefalokel pada pemeriksaan USG tampak sebagai adanya massa di garis
tengah cranium. Ukuran deri defek pada tulang dan penonjolan dari kantung hernia dapat
berukuran kecil hingga besar.16
IX. TATALAKSANA
Terapi yang dikerjakan adalah pembedahan, yaitu dengan cara eksisi jaringan
ensefalokel, menutup defek durameter (watertight dural closure) dan tulang serta tindakan
kosmetik yang diperlukan. Indikasi terapi definitif meningoensefalokel meliputi alasan
kosmetik, pencegahan kerusakan otak lebih lanjut, pencegahan ulserasi, ruptur dan kebocoran
cairan serebrospinal. Indikasi operasi segera adalah meningoensefalokel tanpa dilapisi kulit,
adanya perdarahan, disertai dengan obstruksi jalan nafas dan gangguan visus.
Tujuan utama dilakukan pembedahan adalah untuk melindungi jaringan otak,
memudahkan perawatan, mencegah infeksi, perbaikan fungsi jalan nafas, bicara dan visus, dan
memperbaiki anomali lainnya seperti hidrosefalus, telecanthus, serta kelainan kosmetik lainnya
dan masalah psikologis.
Kontraindikasi operasi adalah keadaan umum penderita yang jelek dan kerusakan otak
hebat dengan hanya sedikit harapan perkembangan mental. Penyebab utama kerusakan otak
adalah herniasi masif jaringan otak yang disertai anomali otak dan hidrosefalus. Pada keadaan
infeksi akut dari kantung meningoensefalokel yang pecah, maka operasi sebaiknya ditunda.
Waktu optimal untuk tindakan pembedahan elektif berbeda-beda menurut beberapa
penulis. Tetapi patokan yang dipakai ialah bila kondisi penderita telah memungkinkan. Makin
dini operasi dikerjakan, makin kecil kemungkinan deformitas wajah dan kerusakan otak yang
terjadi dan prosedur operasi meningoensefalokel pada periode neonatus lebih sederhana bila
dibandingkan dengan usia yang lebih tua, karena cukup melakukan eksisi dan penutupan defek
tulang saja tanpa perlu melakukan rekonstruksi tulang.
Charoonsmith dan Suwanwela menganjurkan operasi dua tahap pada neotatus dan anak
usia kurang dari tiga tahun, dimana tahap pertama adalah reseksi massa herniasi dan eksisi kulit
pada teknik ekstrakranial dan reseksi massa herniasi serta penutupan defek tulang tanpa eksisi
kulit pada teknik intrakranial. Tahap kedua adalah rekonstruksi kraniofasial. Pada usia ini tidak
dianjurkan koreksi telecanthus. Hayasi menganjurkan operasi pada umur dua tahun.
Sedang untuk anak usia lebih dari tiga tahun, Charoonsmith menganjurkan operasi satu tahap
yaitu reseksi massa herniasi, eksisi kulit yang berlebihan dan koreksi telecanthus.
Mulliken menganjurkan rekonstruksi tulang pada tahap kedua, dengan alasan reseksi septum
nasal superior turbinate dapat mengganggu pertumbuhan wajah, tetapi Tulasne ternyata tidak
menemukan komplikasi itu pada anak usia 4 – 11 tahun.
Menurut Collohan, piliha satu atau dua tahap tergantung usia, derajat deformitas wajah
dan ukuran massa. Pada anak usia lebih dari 4 tahun dan terdapat telecanthus, maka dikerjakan
operasi satu tahap, sedang anak usia ukuran dari 4 tahun dikerjakan operasi dua tahap dengan
alasan dinding orbita rapuh, canthus medial tidak stabil dan orbita masih bisa tereposisi spontan
setelah massa direseksi. Alasan lain adalah bahwa pada meningoensefalokel, deformitas tulang
yang ada tersebut berhubungan dengan rongga yang terjadi akibak efek herniasi otak dan bukan
intrinsik akibat jaringan itu sendiri, sehingga makin dini tindakan bedah satu tahap, akan
memberi kesenpatan otak dan mata yang sedang tumbuh untuk membentuk tulang orbita dan
proses mengunyah, berbicara dan bernafas akan membantu proses pembentukan kembali wajah
yang mengalami deformitas. Dan sejak adanya perbaikan teknik kraniofasial modern maka
mulai dilakukan rekonstruksi deformitas defitif satu tahap transkranial. David menganjurkan
rekosntruksi definitif pada usia kurang dari tiga bulan jika kondisi memungkinkan.
Sejumlah komplikasi telah tercatat pada teknik eksisi sederhana ekstrakranial, seperti
kebocoran cairan otak dan terjadinya massa residif. Terjadi meningitis juga meningkatkan
terjadinya hidrosefalus.
Salah satu penyebab tersering kebocoran CSS pada eksisi ekstrakranial adalah lapisan
durameter yang terletak tepat dibawah defek tulang sifatnya tipis dan melekat erat sehingga
mudah robek dan penjahitan kedap air sulit dikerjakan, selain itu robekan ini sulit terlihat
selama eksplorasi.
Sedangkan salah satu penyebab terjadi meningoensefalokel residif adalah adanya titik
lemah pada defek duramater itu berhubungan langsung dengan tulang diatasnya. Sehingga
untuk mencegah terjadinya meningoensefalokel residif, perlu dilakukan penutupan tulang atau
transposisi tulang untuk menutup titik lemah pada defek durameter tersebut.
Untuk mencapai hasil maksimal adalah dengan penutupan duramater kedap air dengan
diperkuat musculofascial atau periosteum, menutup titik lemah pada defek duramater dengan
transposisi tulang dan memperkuat defek tulang dengan fasia, tandur tulang atau protesa
lainnya. Ada tiga macam teknik eksisi ensefalokel yaitu:
A. Teknik Ekstrakranial
Dibuat insisi elips berbentuk huruf S, melengkung atau Y disekitar basis massa
ensefalokel, preparasi kantong duramater dan periosteum dan reseksi massa herniasi pada level
defek tulang. Duramater dijahit kedap air dengan jahitan jelujur vicryl atau dexon 4,0 dengan
jarum bulat, kalau perlu diperkuat dengan musculofacia atau periosteum.
Defek tulang diperkuat dengan suatu tandur tulang yang diletakkan diantara durameter
dan cranium. Kulit dijahit lapis demi lapis, dimulai dari galea dan jaringan subcutan. Kulit
dijahit jelujur subcutan dengan benan vicryl atau dexon 4,0. teknik ini lebih cocok untuk
meningoensefalokel type nasofrontale karena kanalnya pendek dan defek internalnya tidak
dicapai lewak defek eksternal. Teknik ini cukup emmadai untuk neonatus dan bayi.
B. Teknik Transkranial
Teknik ini pertama kali diajukan oleh Dodge pada tahu 1959. melalui insisi kulit
bikoronal dan kraniotomi frontal bilateral, dikerjakan eksplorasi pada fossa cranii anterior
didalam dan diluar duramater. Otak yang herniasi direseksi pada defek internal dan dibuang.
Duramater dipisahkan dari sekitar defek tulang, tetapi jangan melepas duramater melewati
crista galli kecuali bila defek tulangnya terletak dibagian posterior crista galli, suatu hal yang
jarang terjadi. Lalu duramater ditutup dengan kedap air, kalau perlu dengan tandur fascia atau
periosteum. Defek tulang bisa diperkuat dengan tandur tabula interna atau protesa lainnya.
Teknik ini cocok untuk meningoensefalokel type nasoethmoidal dan naso-orbital dimana kanal
tulangnya panjang dan sulit tercapai dengan pendekatan ekstrakranial.
C. Teknik Osteotomi Subfrontal
Teknik ini ditekankan pada pendekatan langsung pada defek tulang dengan cara yang
lebih sederhana daripada teknik intrakranial, yaitu dengan melakukan osteotomi subfroto-naso-
orbital, melepaskan duramater dari tepi defek tulang, reseksi jaringan otak yang herniasi dan
penutupan duramater kedap air, diperkuat dengan facia atau periosteum kalau perlu. Bila
diameternya lebih dari 1 cm, defek tulang ditutup dengan tandur tulang tabula interna, costa
atau akrilik. Akrilik dapat digunakan pada penderita dengan umur diatas enam tahum. Bila
diameternya kuran dari 1 cm maka defek tulang tidak perlu ditutup tetapi titik lemah pada defek
duramater harus dittutup, karena diharapkan akant erjadi penutupan spontan setelah massa
herniasi dibuang.
Tindakan selanjutnya adalah koreksi telecanthus dengan esksisi sebagian os nasale
sampai tercapai jarak intercanthal yang normal, kantopeksi transnasal dan rekonstruksi
jembatan hidung. Insisi kulit yang dianjurkan adalah:
1. Insisi Bikoroner
2. Insisi Transfasial
Insisi kulit bikoroner dikerjakan bila kulit kantong meningoensefalokel dianggap tidak
perlu di eksisi, sedangkan bila kulit kantong meningoensefalokel berlebihan dan perlus dieksisi
atau terdapat jaringan parut dari operasi terdahulu, maka insisi dikerjakan langsung diatas
kantong vz (insisi tansfacial). Teknik ini dapat digunakan untuk semua tipe meningo. Penderita
diletakkan dalam posisi supinasi dengan kepala sedikit defleksi dan lebih tinggi dari jantung.
Rambut dicukur pada bagian kulit yang akan di insisi saja (penderita dewasa) sedang pada bayi
sebaiknya dicukur semua pada insisi bikoroner dan pada insisi tranfacial rambut tidak perlu
dicukur.
Luasnya bedah rekonstruksi harus ditinjau dari konteks pertumbuhan dan
perkembangan struktur wajah. Pada anak-anak, tindakan pembedahan sebaiknya hanya
terbatas pada eksisi jaringan yang berlebihan saja karena deformitas wajah akan membaik
spontan setelah eksisi jaringan herniasi. Koreksi struktur wajah yang sedang tumbuh seperti os
nasale dan kartilagonya diusahakan seminimal mungkin untuk menjaga pola pertumbuhan
yang normal.
Tetapi sebaliknya untuk mendapat hasil dengan kemungkinan terbaik pada usia yang
lebih tua dan dewasa, rekonstruksi tulang dan jaringan lunak sebaiknya lebih radikal, dengan
melakukan koreksi telecanthus, posisicanthus medialis, deformitas nasalis dan retrusi os
maksilla.
Medial orbitotomi dikerjakan bila terdapat telecanthus. Osteotomi dinding medial
orbita dikerjakan dengan bor kipas. Hati-hati dengan kelenjar dan duktus nasola crimalis akibat
posisi os lakrimal dan pars orbitalis maksilae yang terdorong ke arah caudal. Jembatan tulang
dapat dipatahkan dan dipindahkan ke medial. Ligamen canthus medial diikat transnasal kea rah
craniomedial dan sejajar kiri kanan. Garis canthus medial (GCM) dibuat lebih rendah daripada
garis canthus lateral (GCL).1,11
X. KOMPLIKASI
Meningoensefalokel sering disertai dengan kelainan kranium fasial atau kelainan otak
lainnya, seperti hidrosefalus atau kelainan kongenital lainnya (Meckel Syndrome, Dandy-
Walker Syndrome). Kelainan kepala lainnya yang dapat dideteksi dengan USG adalah kista
otak, holoprocencephaly (kelainan dimana prosensefalon gagal berkembang menjadi dua
hemisfer otak), hydranencephalus (destruksi total jaringan otak sehingga kepala hanya berisi
cairan), kelainan bentuk kepala (dolichocephaly, brachycephaly) dan sebagainya.10,13 Berikut
adalah beberapa komplikasi dari meningoensefalokel, yaitu:
XI. PROGNOSIS
Faktor penentu prognosis pada pasien meningoensefalokel meliputi ukuran ensefalokel,
banyaknya jaringan otak yang mengalami herniasi, derajat ventrikulomegali, adanya
mikrosefali dan hidrosefalus terkait, serta munculnya kelainan congenital lain. Ensefalokel
berukuran besar memiliki prognosis yang buruk. Jika operasi berhasil, dan gangguan
perkembangan tidak terjadi, seorang pasien dapat berkembang secara normal maka prognosis
pada pasien tersebut baik. Kerusakan neurologis dan gangguan perkembangan dapat terjadi,
tetapi harus dapat meminimalkan gangguan baik mental dan cacat fisik. Pasien ensefalokel
tanpa hidrosefalus memiliki peluang mencapai intelektual normal sebesar 90% sedangkan
ensefalokel dengan hidrosefalus memiliki peluang lebih rendah sebesar 30%.12
XII. DAFTAR PUSTAKA
1. Albert L, Et al. 2009. Meningoencephalocele Imaging. Diunduh dari :
http://emedicine.medscape.com/article/403308-overview
2. Embryology and maldevelopment. 10 Maret 2018. Diunduh dari:
http://www.neuronotes.com/content/view/122/30/
3. Saddler, T.W. Langman’s Medical Embriology. 13th Edition. USA: Wolters Kluwer. 2015.
4. Ropper AH, Brown RH. Adam and Victor’s Principles of Neurology. 10th Ed. USA :
McGraw-Hill. 2014.
5. Acosta J, Et al. Sabiston’s Textbook of Surgery. 20th Edition. Saunders. 2017.
6. Brunicardi FC, et al. Schwartz’s Principle of Surgery. 10th Edition. USA : McGraw-Hill.
2015.
7. Suwanwela C, Suwanwela N. A morphological classification of sincipital
encephalomeningoceles. J Neurosurg [Internet]. 1972;36(2):201–11. Available from:
http://thejns.org/doi/10.3171/jns.1972.36.2.0201
8. Ropper, Allan H, Brown, Robert H. Chapter 38: Developmental Disease of the Nervous
System. Adams & Victors' Principles of Neurology, 10th Edition. McGraw-Hill. 2014.
9. Christopher G. Goetz: Neural Tube Defect. Textbook of Clinical Neurology, 3rd ed.
Elsevier-Saunders. 2007.
10. Tsementzis, S.A. Differential Diagnosis of Neurology and Neurosurgery; Thieme Stuttgart;
New York; 2000.
11. K. Singh, M. B. Garasia, Et al. 2007. Giant Occipital Meningoencephalocele: Anaesthetic
Implications. The Internet Journal of Anesthesiology. Volume 13 Number 2.
12. Tirumandas M, Sharma A, Gbenimacho I, Shoja MM, Tubbs RS, Oakes WJ, et al. Nasal
encephaloceles: A review of etiology, pathophysiology, clinical presentations, diagnosis,
treatment, and complications. Child’s Nerv Syst. 2013;29(5):739–44.
13. Fenichel, G.M. Clinical Pediatric Neurology. 4th edition. Saunders Company. Philadelphia.
2001.
14. Lubis, N.U. Encephalocele. CKD – Cermin Dunia Kedokteran Magazine. Kalbe Farma;
PT. Temprint; Jakarta; 2009.
15. Ashari, S. Disrafisme Sistem Saraf. Dalam : Sinopsis Ilmu Bedah Saraf 1 st Edition. Sagung
Seto Jakarta. 2011.
16. Nelson, B.; Arvin K. Buku Ilmu Kesehatan Anak. 15th edition. Penerbit Buku Kedokteran
EGC. Jakarta. 2000