Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 12

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Minyak Mentah (Crude-OIil)

Crude-oil berasal dari kata petroleum dalam bahasa Yunani berarti minyak
karang (rock oil). Crude oil atau minyak mentah merupakan campuran kompleks
dari beberapa senyawa organik rantai pendek sampai rantai panjang yang
terdiri dari campuran molekul hidrokarbon mulai dari rantai C1 sampai dengan
C60. Molekul hidrokarbon C1 sampai C4 berupa fasa gas, rantai C5 sampai C19
cair, dan C19 sampai C60 padat. Senyawa lain hidrokarbon yang terdapat dalam
crude oil adalah sulfur, niotrogen, oksigen, trace metal ( Ni, Fe, V, Hg, As, Ag,
Al, Ca, Cd, Cr, Cu, Fe, K, Mg, Mn, Na, Pb, Sn, Zn, dan Si), kaolinite,
montmorillonite, garam, (NaCl, MgCl2, CaCl2, KCl, MgCl2.6H2O). Umumnya
persentase atom di dalam crude oil tersusun atas (83-87)% karbon, (11-15)%
hidrogen, nitrogen (0,1-2)%, oksigen (0,05-1,5)%, dan logam (0,05-6,0)%.
Berdasarkan perbedaan sifat kelarutan dan kepolarannya, senyawaan
hidrokarbon dalam crude oil terbagi atas 4 kelompok yaitu saturates, aromatik,
resin, dan ashphaltene. Kelompok pertama senyawaan dalam minyak mentah
adalah kelompok saturated yang merupakan hidrokarbon parafinik (alkana) yang
dapat berupa alkana rantai lurus atau bercabang dan alkana siklis. Contoh
saturates adalah metana, propana, n-heptana, siklopentana, dan wax. Kelompok
senyawaan kedua adalah kelompok aromatis yaitu senyawa hidrokarbon yang
memiliki cincin aromatis. Contoh senyawaan hidrokarbon aromatis yaitu benzena
dan naftalena. Kelompok senyawaan ketiga adala resin yang merupakan
hidrokarbon kompleks terdiri dari gugus alkil rantai panjang, cincin aromatik
yang rapat dan cincin naftenik. Resin merupakan fraksi minyak mentah yang
mengandung molekul polar heteroatom yang mengandung nitrogen, oksigen, atau
sulfur. Resin merupakan fraksi yang larut dalam alkana rantai pendek seperti
pentana, dan heptana, tetapi tidak larut dalam propana cair.
Kelompok senyawaan kempat adalah asphaltene yang merupakan fraksi
minyak mentah mengandung molekul polar serupa dengan resin tetapi memiliki
berat molekul yang lebih besar biasanya antara 500-1500 g/mol. Asphaltene tidak
larut dalam alkana rantai pendek seperti pentana, heksana, atau heptana, tetapi
larut dalam pelarut aromatis seperti toluena dan benzena. Fraksi asphaltene
mengandung persentase heteroatom lebih besar dibanding resin, dimana
asphaltene mengandung O, S, N dan konstituen organometalik Ni, V, Fe. Molekul
asphaltene dalam minyak mentah membentuk suspensi koloid yang disolvasi oleh
resin. Asphaltene berada dalam bentuk suspensi mikrokoloid dengan ukuran
partikel sekitar 3 nm. Setiap partikel tersebut merupakan monomer asphaltene
yang berisi satu atau lebih klaster aromatik. Apabila molekul resin teradsorbsi
pada monomer asphaltene maka akan terbentuk suspensi koloidal yang stabil
karena resin dapat mensolvasi monomer asphaltene menghasilkan efek stabillitasi
koloid. Asphaltene didalam crude oil dapat bersifat sebagai emulsifier alami
sehingga dapat membentuk emulsi dalam crude oil.

2.2 Emulsi
Pengertian emulsi, yaitu air dalam minyak berada dalam dua bentuk yaitu
free water (air yang langsung memisah dari fluida dalam waktu beberapa menit)
dan emulsion water (air yang teremulsi dan baru terpisah setelah beberapa jam
hingga beberapa minggu).
Emulsi adalah dua cairan yang pada kondisi alamiahnya tidak saling
bercampur namun pada suatu kondisi menyatu menjadi satu fasa. Emulsi juga
didefinisikan sebagai disperse koloid dimana droplet (titik kecil) dari salah
satu fasa terdispersi pada fasa lainnya (Kokal, 2005). Maka dapat didefinisikan
bahwa emulsi merupakan campuran dari macam cairan yang dalam kondisi
normal dapat bercampur, dimana dalam emulsi ini salah satu cairan dihamburkan
dalam cairan yang lain dalam bentuk butiran- butiran yang sangat kecil
(Wahyuni, 2001).
Ada dua jenis emulsi yaitu emulsi air dalam minyak dan emulsi
minyak dalam air. Gambar 2.1 sebelah kiri adalah ilustrasi emulsi air dalam
minyak (fasa yang lebih banyak adalah minyak, air sebagai pengotor) dan gambar
sebelah kanannya adalah emulsi minyak dalam air (air sebagai fasa yang lebih
banyak).

Gambar 1. Ilustrasi emulsi air dalam minyak, W/O emulsion: water in oil
(kiri) dan minyak dalam air, O/W emulsion: oil in water (kanan), (Kokal, 2005).

Ada tiga tahapan terbentuknya emulsi yaitu :


1. Ada dua macam cairan yang tidak saling bercampur pada kondisi tertentu.
2. Kedua cairan mendapat agitasi yang cukup kuat, yaitu dengan contoh :
ketika fluida melewati choke/keran di wellhead.
3. Terdapat suatu zat koloid yang dapat membantu terjadinya emulsi
karena bersifat sebagai emulsifier.

2.2.1 Faktor Penyebab Kestabilan Emulsi.


Emulsi yang terbentuk sebenarnya secara alamiah akan cenderung untuk
memisah kembali menjadi air dan minyak, namun ada beberapa kondisi yang
menyebabkan emulsi menjadi stabil sehingga lambat untuk memisah. Stabilitas
emulsi adalah suatu ketahanan emulsi untuk menahan tenaga yang akan
memecahkan emulsi tersebut. Beberapa faktor penyebab kestabilan emulsi
diantaranya dijelaskan sebagai berikut:
1. Agitasi atau pengadukan adalah salah satu faktor utama penyebab
kestabilan emulsi. Semakin kuat dan semakin banyak agitasi yang terjadi
emulsi akan semakin stabil. Tempat-tempat di mana banyak terjadi agitasi
terjadi di wellbore/perforation, gas lift, valve, choke, Pompa dan tempat
pengambilan sampel.
2. Ukuran Butir (Droplet), secara kuantitatif hubungan antara ukuran butir
dan kecepatan pemisahan dinyatakan berdasarkan Hukum Stoke (Kokal,
2005). Butiran air yang kecil akan menyebabkan kecepatan pemisahan
yang lambat. Umumnya semakin ke downstream ukuran butir semakin
kecil jadi biasanya didapatkan hubungan antara jauhnya jarak antara
wellhead hingga stasiun pengumpul (gathering station), dengan tingkat
keketatan emulsi. Butir air akan mengecil pada tempat dimana terjadi
perbedaan tekanan, pompa, wellhead dan choke valve. Fasilitas-fasilitas
diatas adalah hambatan yang akan memperkecil butir air. Semakin banyak
hambatan semakin kecil ukuran butir air. Pengecilan butir disebabkan
oleh agitasi dan butir air yang mengecil akan menyebabkan emulsi lebih
mudah terbentuk.
3. Surfaktan adalah zat aktif yang menurunkan tegangan permukaan air
minyak. Tegangan permukaan yang rendah akan menyebabkan emulsi
akan semakin stabil. Surfaktan bekerja sebagai pembuat emulsi atau
penyetabil emulsi (emulsifier). Jenis surfaktan yang bersifat alami (sudah
ada bersama minyak yang terproduksi) dan ada yang berasal dari luar
formasi. Beberapa contoh emulsifier di lapangan minyak adalah
asphaltene dan resin. Beberapa bahan kimia (Drilling Fluids, Biocide,
Corrosion Inhbitor, Scale Inhbitor, Chemical EOR) yang mengandung
surfaktan dapat menyebabkan emulsi bertambah ketat.
4. Pengaruh pH, dimana zat bersifat asam atau basa bersifat penyetabil
emulsi. Pengaruh pH rendah meningkatkan “oil wetting solids” dan
memperketat emulsi air dalam minyak. pH tinggi meningkatkan “water
wetting solids” dan mempeketat emulsi minyak dalam air.
5. Komposisi dari Brine Water. Brine water adalah air yang berasal dari
formasi (perut bumi). Brines yang mengandung banyak kationik seperti
Ca2+ dan Mg2+ akan membentuk sabun ketika bereaksi dengan asam
organik (asam carboxylic atau asam naphthenic). Sabun sebagai hasil
reaksi ini bersifat sebagai surfaktan yang menyebabkan emulsi menjadi
ketat.
6. Viskositas Minyak, sesuai dengan Rule of thumb : minyak mentah dengan
API Gravity rendah (viskositas tinggi) cenderung memiliki emulsi yang
lebih sulit pecah viskositas tinggi akan menghambat pergerakan molekul
air untuk saling bertemu membentuk molekul yang lebih besar. Menurut
hukum Stoke kecepatan pemisahan berbanding terbalik dengan viskositas.
7. Temperatur, jika temperatur turun maka viskositas emulsi meningkat,
lilin/wax/ paraffin mungkin mulai terbentuk, wax dapat juga berfungsi
sebagai emulsifier dan menambah tingginya viskositas emulsi dan energi
panas butiran air untuk bergerak dan saling bertemu akan menurun.

2.2.2 Emulsi Minyak mentah


Stabilitas emulsi minyak-air ditentukan oleh beberapa parameter salah
satunya adalah konsentrasi garam dari 0 - 5,5 %, pencampuran (800 -1600) rpm,
konsentrasi air (10 – 80)% dan temperatur. (Nour, et. al.,2006). Hidrokarbon
rantai panjang akan membentuk emulsi yang lebih stabil daripadaa rantai pendek
dan larutan elektrolit akan menambah kestabilan emulsi minyak-air. (Binks,
1998). Keberadaan air di dalam minyak mentah membentuk formasi lapisan
(film) viskoelastis pada lapisan antar muka minyak mentah-air dan lapisan
tersebut memegang peran utama dalam menstabilkan emulsi minyak mentah-air.
Beberapa senyawa yang terdapat dalam crude oil, seperti asphaltene dan resin
memiliki sifat aktif permukaan seperti surfaktan. Pada molekul surfaktan terdapat
molekul hidrofilik dan lifopilik yang dapat menurunkan tegangan antarmuka
interfecial tension ketika berada dalam antarfasa suatu sistem dispersi minyak dan
air selain menurunkan tegangan antarmuka asphaltene-resin ini akan teradsorpsi
dan terakumulasi pada antarmuka membentuk lapisan film yang rigid dan
viskoelastis, sehingga asphaltene dan resin dapat berlaku sebagai emulsifier alami.

2.3 Surfaktan
Surfaktan merupakan substansi yang ada dalam sebuah sistem dengan
konsentrasi rendah. Surfaktan teradsorpsi pada antarmuka atau permukaan dan
mengubah derajat energi bebas permukaan atau antarmuka tersebut. Energi bebas
antarmuka adalah energi minimum yang dibutuhkan untuk membentuk antarmuka
(Rosen, 2004). Dalam struktur molekulnya, surfaktan memiliki dua gugus polar
dan non polar. Gugus polar memperlihatkan affinitas (daya ikat) yang kuat
terhadap fasa polar, contohnya air, sehingga sering disebut gugus hidrofilik.
Sedangkan gugus non polar (gugus hidrofobik atau lipofilik) memperlihatkan
affinitas (daya ikat) yang kuat terhadap fasa non polar (Rosen, 2004; Schramm
dan Marangoni, 2010). Surfaktan sering diberi nama sesuai dengan tujuan
penggunaannya yaitu sabun, deterjen, zat pembasah (wetting agent), pendispersi,
pengemulsi, pembusa, bakterisida, inhibitor korosi, dan agen antistatis (Salager,
2002).
Surfaktan yang teradsorpsi pada antarmuka mempengaruhi kestabilan emulsi
dengan menurunkan tegangan antarmuka serta meningkatkan elastisitas dan
viskositas antarmuka. Emulsi yang distabilkan emulsifier berbasis campuran
surfaktan menghasilkan emulsi yang lebih stabil dibandingkan emulsi yang
distabilkan emulsifier berbasis surfaktan tunggal. Hal ini karena emulsifier
berbasis campuran surfaktan dapat membentuk sebuah kompleks agregat yang
rigid pada antarmuka sehingga menghasilkan film antarmuka yang sangat kuat
dan tegangan antarmuka yang rendah (Gerrard, 2010).
Jenis – Jenis Surfaktan
Berdasarkan sifat gugus hidrofiliknya, surfaktan diklasifikasikan ke dalam empat
jenis (Perkins, 1998), yaitu sebagai berikut :
 Surfaktan anionik
Surfaktan anionik adalah surfaktan yang gugus hidrofiliknya bermuatan negatif,
misalnya alkil benzen sulfonat (detergen), fatty acid, lauril sulfat (foaming agent),
dialkil sulfosuksinat (wetting agent), lignosulfonat (dispersant).
 Surfaktan kationik
Surfaktan kationik adalah surfaktan yang gugus hidrofiliknya bermuatan positif.
Misalnya garam amina rantai panjang dan amonium klorida kuarterner
 Surfaktan nonionik
Surfaktan non ionik adalah surfaktan yang gugus hidrofiliknya tidak bermuatan.
Misalnya asam lemak rantai panjang monogliserida, sorbitan mono-oleat, Tween
80, polyoxyethylenated alkylphenol dan polyoxyethylenated alcohol.
 Surfaktan amfoterik/Zwitterionik
Surfaktan amfoterik/Zwitterionik adalah surfaktan yang memilki dua gugus fungsi
positif dan negatif dalam satu struktur, bentuk muatan akhir surfaktan jenis ini
tergantung pada pH medium. Misalnya asam amino rantai panjang dan
sulfobetaine
2.4 Aplikasi Surfaktan dalam Industri Perminyakan

Salah satu aplikasi surfaktan dalam industri perminyakan adalah sebagai


demulsifier. Surfaktan yang digunakan untuk demulsifikasi minyak mentah
berbeda, bergantung tipe minyak mentahnya. Surfaktan yang digunakan sebagai
demulsifier umumnya adalah surfaktan anionik, kationik, nonionik, dan
ampoterik. Demulsifier umumnya diformulasikan dari jenis- jenis surfaktan
sebagai berikut: poliglikol dan poliglikol ester, ethoxylated alcohol dan amina,
resin ethoxylated, ethoxylated phenol formaldehyde, ethoxylated nonylphenols,
polyhydric alcohols, ethylene oxide, propylene oxide block copolymer fatty acids,
fatty alcohols, dan garam sulfonat. Namun, jenis surfaktan non ionik seperti
polyoxyethylenated alkylphenol atau nonyl phenol ethoxylate banyak
diaplikasikan dalam proses demulsifikasi. Hal ini karena surfaktan non ionik
memiliki beberapa kelebihan yaitu sifat kompatibilitas yang baik, stabil, dan lebih
efisien dalam penggunaanya dibandingkan surfaktan anionik atau kationik
(Mikula dan Munoz, 2010).
Menurut Mikula dan Munoz (2010), parameter yang digunakan untuk
memilih demulsifier didasarkan pada berat molekul, Hidrofilik-Lipofilik Balance
(HLB), koefisien partisi, Relative Solubility Number (RSN), dan Preferred alkane
carbon number (PACN). Relative solubility number (RSN) adalah salah satu
karakter surfaktan non ionik. seperti HLB, RSN diukur berdasarkan nilai affinitas
kelarutan surfaktan terhadap fasa minyak atau air, yang didasarkan pada
kombinasi komponen polar (hidrofilik) dan non polar (lipofilik) pada surfaktan.
RSN lebih banyak digunakan dalam menentukan sifat surfaktan non ionik
dibandingkan nilai HLB karena pengkuran nilai RSN memberikan pengaruh yang
lebih tepat dibandingkan dengan nilai HLB. Korelasi antara efisiensi
demulsifikasi dengan nilai HLB telah banyak dipelajari (Cooper et al, 1980;
Averyard et al, 1983). Hal yang sama dilaporkan oleh Williams (1991) yang
menggambarkan hubungan nilai HLB cosurfaktan dan stabilitas emulsi air dalam
minyak. HLB ditentukan berdasarkan persamaan (2.1).
HLB = 7 + Σ(NHidrofilik-NHidrofobik)
Nilai HLB beberapa gugus fungsi hidrofilik dan hidrofobik dapat dilihat
pada lampiran 1. Surfaktan non ionik memiliki nilai HLB 0 – 20. Pada HLB
rendah (HLB < 9) bersifat lipofilik (oil soluble) dan HLB tinggi ( HLB > 11)
bersifat hidrofilik (water soluble). Zat pengemulsi emulsi air dalam minyak
merupakan surfaktan yang mempunyai HLB pada rentang 3 – 8 sedangkan
pengemulsi emulsi minyak dalam air merupakan surfaktan yang mempunyai HLB
8 – 18 (Gerrard, 2010).

2.5 Demulsifikasi

Demulsifikasi adalah pemecahan emulsi menjadi minyak dan air dengan


menurunkan stabilitas emulsi seperti menghancurkan film interface dengan cara
menaikkan suhu, menurunkan pengadukan, menaikkan waktu tinggal, dan
mengusir padatan. Beberapa metode demulsifikasi yang sering digunakan, yaitu
metode termal, metode listrik, metode mekanik, dan metode kimia (Wasirnuri,
2008). Pemecahan emulsi identik dengan proses demulsifikasi atau memisahkan
minyak dari air. Bahan kimia yang biasa dipakai berupa demulsifier atau emulsion
breaker. Demulsifier atau pemutus emulsi termasuk kelas bahan kimia khusus
yang digunakan untuk memisahkan emulsi, misalnya air dalam minyak.
Ansyori (2003) menjelaskan fungsi demulsifier adalah memisahkan
partikel-partikel air dari minyak pada sistem emulsi yang stabil. Demulsifier
termasuk solvent base (pelarut dominan) dengan prinsip kerjanya menurunkan
tegangan permukaan atau interface sistem minyak-air atau air-minyak,
sehinggaa partikel-partikel kecil minyak atau air akan menyatu menjadi ukuran
yang lebih besar atau lebih berat. Pengguna utama dari demulsifier biasanya
adalah industri baja, alumunium, pengolahan kimia, penyulingan minyak, serta
industri yang bergerak dalam pengolahan minyak mentah di ladang minyak.
Elaine (2006) menambahkan bahwa kestabilan emulsi cair dapat rusak
apabila terjadi pemanasan, sentrifugasi, pendinginan, penambahan elektrolit, dan
perusakan zat pengemulsi. Krim (creaming) atau sedimentasi dapat terbentuk
pada proses ini. Pembentukan krim dapat dijumpai pada emulsi minyak dalam
air. Apabila kestabilan emulsi ini rusak, maka partikel-partikel minyak akan naik
ke atas membentuk krim dan partikel-partikel air akan turun ke bawah. Contoh
penggunaan proses ini adalah penggunaan proses demulsifikasi dengan
penambahan elektrolit untuk memisahkan karet dalam lateks yang dilakukan
penambahan asam format (CH2O2) atau asam asetat (CH3COOH).
Gaya gravitasi membuat kedua campuran antara minyak dan air menjadi
terpisah. Partikel-partikel air yang telah menyatu akan turun, sedangkan partikel-
partikel minyak yang telah menyatu akan naik, maka terjadiah dua fase yang
terpisah, yaitu minyak dan air tanpa terjadinya reaksi kimia, tetapi hanya reaksi
fisika saja. Reaksi ini sangat dipengaruhi oleh suhu. Umumnya, semakin
tinggi suhu semakin efektif reaksinya, misalnya untuk emulsi yang terjadi
pada heavy crude oil, suhu mulai efektif pada 150 ˚F ( Ansyori, 2003).
Pemilihan jenis demulsifier yang tepat sangat penting untuk diperhatikan.
Biasanya jenis demulsifier yang dipilih tergantung pada jenis emulsi, baik Oil
in Water (O/W) ataupun Water in Oil (W/O) serta jenis kotoran yang
terkandung dalam emulsi itu. Setelah diketahui ada atau tidaknya kotoran yang
terkandung dalam emulsi dan jenis emulsi apa yang dominan pada air limbah
emulsi tersebut, selanjutnya dilakukan pemilihan demulsifier yang cocok agar
proses demulsifikasi dapat berlangsung cepat dan sempurna (Ansyori, 2003).
Lebih lanjut, Dow (2010) juga menjelaskan bahwa terdapat berbagai cara
yang bisa dilakukan untuk memecahkan sistem emulsi, diantaranya meningkatkan
suhu agar emulsi tersebut menjadi tidak stabil menambahkan asam untuk
menurunkan pH dan menghilangkan stabilitas pada emulsi, menambahkan garam
(elektrolit) agar sistem emulsi menjadi tidak stabil, maupun dengan
menambahkan surfaktan yang memiliki nilai Hidrofil Lipofil Balance (HLB)
tinggi ke dalam sistem emulsi yang memiliki nilai HLB lebih rendah, maupun
sebaliknya yang bertujuan untuk mengacaukan sistem emulsi tersebut.

2.6 Mekanisme Demulsifikasi

Stabilitas emulsi minyak mentah-air dicapai karena pembentukan


lapisan antarmuka partikel air. Penurun stabilitas dan pemecahan emulsi
berhubungan sangat erat (intimately) dengan mengenyahkan lapisan
antarmuka. Untuk memecah emulsi menjadi minyak dan air maka lapisan
antar muka harus dihancurkan selanjutnya butiran-butiran air akan
bergabung. Demulsifikasi ada dua tahapan proses. Tahap pertama adalah
penggumpalan (atau pengumpulan, pengelompokan) dan tahap kedua adalah
penggabungan (menjadi satu). (Kokal, 2005).

1. Penggumpalan dan Pengelompokan.

Tahap pertama di dalam demulsifikasi adalah pengelompokan butiran


air dan selama pengelompokan butiran air pergi bergandengan bersama
membentuk kelompok atau gumpalan. Butiran bergandengan satu dengan
lainya dengan menyentuh sebuah titik yang pasti tetapi boleh jadi kehilangan
identitasnya. Pengelompokan pada tahap ini terjadi jika permukaan antar
film di sekeliling butiran air lemah. Kecepatan pengelompokan tergantung
pada sejumlah faktor yaitu air bebas, temperatur, viskositas minyak,
perbedaan densitas antara air dengan minyak. (Kokal, 2005)

2. Penggabungan

Penggabungan adalah tahap kedua di dalam proses demulsifikasi.


Selama berkelompok butiran air bersatu atau berkelompok menjadi bentuk
butiran besar. Proses ini tidak dapat balik dan berperan terhadap penurunan
jumlah butiran air yang akhirnya terjadi demulsifikasi secara lengkap.
Penggabungan dipercepat dengan menaikkan kecepatan penggumpalan,
tiadanya kekuatan mekanik pada film, rendahnya viskositas antar muka
minyak, naiknya jumlah air bebas dan temperatur.
Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kecepatan pemecahan
emulsi antara lain: kenaikan temperatur, penurunan agitasi atau pemotongan,
kenaikan waktu tinggal atau waktu tarikan (retention), pengenyahan padatan,
pengendalian zat pemicu emulsi. (Kokal, 2005)
2.7 Metode-metode Demulsifikasi

Syauqi (2009) mengutarakan terdapat tiga metode yang bisa dilakukan


dalam memisahkan campuraan emulsi, yaitu thermal, electrical, dan chemical
method, ataupun kombinasi dari ketiga metode tersebut. Metode termal
(perlakuan panas) dalam merusak sistem emulsi biasanya menghabiskan dana
yang banyak tergantung dari kecanggihan peralatan yang digunakan dan kelarutan
air dalam minyak karena suhu yang diperlukan harus sangat tinggi dan panas
agar tercipta kondisi pemisahan yang optimal, sedangkan metode electrical
(muatan elektrolit) dapat mengakibatkan terganggunya tegangan permukaan
pada tiap droplet emulsi, sehingga menyebabkan molekul polar reorientasi diri
yang membuat film disekitar droplet emulsi melemah karena molekul polar tidak
lagi intens pada permukaan droplet. Umumnya, metode ini tidak menyelesaikan
pemisahan emulsi sepenuhnya dengan sendirinya, meskipun terkadang sering
ditambahkan pula bahan kimia dan pemanasan, tapi tetap saja metode ini
dianggap kurang efisien. Metode chemical merupakan metode yang paling
umum digunakan untuk memisahkan campuran emulsi air dalam minyak di
lapangan dikarenakan adanya kombinasi dari panas dan bahan kimia
(demulsifier) yang dirancang untuk menetralisir efek dari agen pengemulsi,
sehingga efektif mampu memecahkan film antarmuka tanpa penambahan peralatan
baru atau modifikasi dari peralatan yang ada.

1. Metode Fisis

Metode fisis dapat dilakukan dengan bermacam cara yaitu:


Pemanasan. Pemanasan akan memperbanyak pemecahan atau pemisahan,
menurunkan viskositas minyak sehingga akan menaikan kecepatan
pemisahan air. Temperatur dinaikan juga akan menurunkan stabilitas film.
Selanjutnya frekuensi pengelompokan antar butir air naik karena menerima
energi termal. Dengan kata lain panas akan mempercepat proses pemecahan
emulsi.
Penurunan kecepatan aliran. Penurunan kecepatan aliran akan diikuti
pemisahan secara gravitasi dari air terhadap minyak.
Merubah karakter fisik dari emulsi. (Kokal, 2005). Karakter fisik emulsi
seperti viskositas jika diturunkan maka air akan mudah terpisah dari
minyak atau emulsi karena dengan viskositas turun akan menyebabkan air
lebih mudah bergerak.

2. Metode Kimia

Metode kimia paling umum digunakan untuk memecah emulsi


yaitu dengan menambahkan zat kimia yang disebut demulsifier. Zat kimia
tersebut dirancang untuk menetralkan pengaruh pemicu pengemulsi yang
menstabilkan emulsi. Demulsifier adalah senyawa aktif permukaan dan jika
ditambahkan ke emulsi zat pemicu tersebut akan berpindah ke lapisan
antar-muka minyak-air atau memperlemah film yang kaku serta akan
memperbanyak pengelompokan butiran air. Pada pemakaian metode kimia
yan perlu diperhatikan adalah : pemilihan dan jumlah zat kimia yang cocok,
pencampuran, pH, kecukupan waktu dan suhu. (Kokal, 2005). Bahan kimia
yang dapat digunakan dalam demulsifikasi adalah larutan yang mengandung
alkoxilat dari alkilpenol, alkilamin, alkilol atau larutan garam yang larut ke
dalam air seperti : Reagen twitchell, glicerid sulfonat, minyak kastor asetilat,
resin penol formaldehid etoxilat. (Argellir, et. al., 2004)

3. Metode listrik.

Metode ini dilakukan menggunakan medan listrik. Bidang medan


listrik dapat memecah emulsi minyak mentah-air yang stabil, (Aske, et. al.,
2002). Medan listrik akan mengganggu film antar muka yang kaku dengan
cara penataan kembali molekul-molekul polar. Dengan cara tersebut ikatan
film menjadi lemah dan akan memperbanyak pengelompokan. (Kokal,
2005).

2.8 Hipotesa
Penambahan demulsifier terhadap crude oil dengan mengoptimalkan dosis
demulsifier serta penyesuaian suhu sesuai lokasi pengeboran, diharapkan
diperoleh minyak mentah dengan %BS&W dibawah 0.5%.

You might also like