Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 19

BAGIAN ANESTESI Laporan Kasus

FAKULTAS KEDOKTERAN Mei 2018


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

FENTANYL

Oleh:
Fachrur Rozi M, S.Ked
111 2015 2204

Pembimbing
dr. Fendy Dwimartyono, Sp.An

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Dengan ini, saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Fachrur Rozi M, S.Ked


Stambuk : 111 2015 2204
Judul : Fentanyl

Telah menyelesaikan kepaniteraan klinik pada Bagian Anestesi Fakultas


Kedokteran, Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, Mei 2018

Pembimbing, Dokter Muda,

(dr. Fendy Dwimartyono, Sp.An) (Fachrur Rozi M, S.Ked)


BAB I

PENDAHULUAN

Premedikasi merupakan suatu rangkaian anestesi umum berupa pemberian

obat satu sampai dua jam yang biasanya diberikan beberapa saat sebelum tindakan

induksi anestesi dengan tujuan meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar

induksi anestesi, mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan

jumlah anestesi, mengurangi rasa mual muntah pasca bedah, menciptakan amnesia,

mengurangi isi cairan lambung, mengurangi refleks yang membahayakan. Salah

satu analgesi-Opioid yang sering diberikan saat premedikasi adalah fentanyl.

Pemakaian Fentanil sebagai obat anestesi intravena saat ini makin banyak

digunakan. Beberapa keuntungan menggunakan obat ini adalah mempunyai batas

keamanan yang lebih lebar karena dapat mencapai efek opioid yang diinginkan

pada Sistem Saraf Pusat tanpa mendatangkan efek samping yang ditengahi oleh

aksi dari beberapa receptor tipe lain, mekanisme yang berbeda, atau dengan efek-

efek itu sendiri pada beberapa tipe jaringan(Nunn, Utting, Brown, 1989).

Sedangkan kerugian anestesi intravena pada fentanil, yaitu terjadinya hipoventilasi

atau penurunan volume tidal serta hipotensi tetapi tidak terlalu banyak. Pada

fentanil hipoventilasi dan hipotensi yang terjadi tidak seberapa dibandingkan

petidin, serta efek analgesiknya yang lebih kuat dibandingkan petidin.


BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Maddi
Agama : Islam
Umur : 46 tahun
Alamat : Dusun Datte Enrekang
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Makassar
Status : Sudah Menikah
Tgl. Masuk : 07 Mei 2018
Tgl pemeriksaan : 08 Mei 2018

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Benjolan di perut.
Anamnesis Terpimpin :
 Informasi mengenai keluhan utama
Keluhan dialami pasien sejak 2 bulan yang lalu sebelum masuk rumah
sakit. Benjolan awalnya hanya sebesar telur, lokasi perut kanan bawah,
sekarang sebesar bola speak. Keluhan disertai rasa nyeri, BAB kurang
lancar. BAK baik dan lancar.

 Informasi riwayat penyakit terdahulu (penyakit yang mungkin mendasari


KU dan penyakit yang pernah diderita.
Riwayat penyakit serupa : tidak ada
Riwayat trauma : (+)
Riwayat operasi : (-)
Riwayat hipertensi : (-)
Riwayat penyakit gula : (-)
III. Pemeriksaan Fisik
A. Keadaan Umum : Sakit sedang/gizi baik (IMT: 21,9
kg/m2). / compos mentis
B. Tanda Vital
a. Tekanan darah : 130/90 mmHg
b. Nadi : 82 x/menit, reguler, kuat angkat
c. Pernapasan : 22 x/menit
d. Suhu : 36,5 ºC
e. NPRS : 2/10
C. Pemeriksaan Fisis
 Kepala
o Ekspresi : Biasa
o Simetris muka : simetris kiri=kanan
o Deformitas : -
o Rambut : Hitam, lurus, sukar dicabut
 Mata
o Eksoftalmus/enoftalmus : -/-
o Gerakan : dalam batas normal
o Tekanan bola mata : tidak diperiksa
o Kelopak mata : dalam batas normal
o Konjunctiva : anemis -/-
o Kornea : jernih
o Sklera : ikterus -/-
 Telinga
o Pendengaran : dalam batas normal
o Tophi : (-)
 Hidung
o Perdarahan : (-)
o Sekret : (-)
 Mulut
o Bibir : kering (-)
o Gusi : normal, perdarahan (-)
o Lidah : kotor (-)
o Tonsil : T1-T1 hiperemis (-)
o Faring : hiperemis (-)
 Leher
o Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran
o Kelenjar gondok : tidak ada pembesaran
o DVS : tidak ada kelainan
o Pembuluh darah : tidak ada kelainan
o Kaku kuduk : (-)
o Tumor : (-)
 Thoraks
Inspeksi : Normochest, pergerakan napas
simetris, kiri sama dengan kanan.
 Paru
Palpasi
 Sela iga : kiri=kanan
 Nyeri tekan : (-)
 Massa tumor : (-)
Perkusi
 Paru kiri : sonor
 Paru kanan : sonor
Auskultasi
 Bunyi pernapasan : vesikuler,
 Bunyi tambahan : Rh(-), Wh(-)
 Cor
o Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
o Palpasi : ictus cordis tidak teraba
o Perkusi : pekak, batas jantung kesan normal
o Auskultasi : BJ I/II murni reguler, bising (-)
 Abdomen
o Inspeksi : Membesar
o Auskultasi : peristaltik (+), kesan normal
o Palpasi : Teraba massa kistik, mobile, batas
tegas di kuadran bawah abdomen, NT (+).
 Hepar : tidak teraba
 Lien : tidak teraba

IV. STATUS LOKALIS


Regio Abdomen :
 Inspeksi : Massa berukuran sebesar bola sepak
 Palpasi : nyeri tekan (+), teraba massa kistik,
mobile, batas tegas di kuadran
bawah abdomen, NT (+).

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Laboratorium (12 April 2018)
Darah lengkap (12/4/2018) RS. Ibnu Sina
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Satuan

WBC 8.5 x 103 4,4 – 10,8 mm3


RBC 5,31 x 106 4,20 – 6,40 mm3

HGB 16,4 12,0 – 18,0 g/dl

HCT 44,9 37,0 – 52,0 %

PLT 180 x 103 150 – 450 mm3

PCT 0,13 0.20-0.50 %

MCV 84,6 80 – 99 µm3


MCH 30,9 27,0 – 31,0 Pg

MCHC 36,5 33,0 – 37,0 g/dl

RDW 11 10,0 – 15,0 %

MPV 7,2 6,5 – 11,0 µm3

PDW 18,1 10,0 – 18,0 %

(12/4/2018) RS. Ibnu Sina


Foto Manus Sinistra AP/Lat
Hasil Pemeriksaan:
 Discontinuitas pada distal interphalang digiti IV dengan pergeseran
fragmen distal ke superolateral kiri, separasi 1 cm
 Callus belum terbentuk
 Mineralisasi tulang baik
 Soft tissue swelling

VI. ASSESSMENT
- Open fraktur digiti IV manus sinistra

VII. Penatalaksanaan Awal


- Infus Ringer Laktat 28 tpm
- Ceftriaxone 1g/ 12 jam/IV
- Ketorolac 30 mg/ 8 jam/ IV
- Ranitidin 50 mg/12 jam/IV
VIII. RESUME
Pasien laki-laki berumur 24 tahun dibawa ke UGD RS Ibnu Sina pada
tanggal 12 April 2018 dengan keluhan nyeri jari tangan kiri setelah terjepit
mesin percetakan 1 jam yang lalu. Intensitas nyeri seperti tertusuk-tusuk pada
jari tangan kiri. Nyeri dirasakan terus-menerus dan bertambah hebat bila
digerakan. Pada Pemeriksaan fisik NPRS (7/10 ) dan tampak luka koyak dan
bengkak pada jari tangan kiri.

IX. DIAGNOSA
 Open fraktur digiti IV Manus Sinistra
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANALGESIK OPIOID

Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat seperti

opium. Opium yang berasal dari getah Papaver Somniferum mengandung sekitar

20 jenis alkaloid diantaranya morfin, kodein, tebain, dan papaverine. Analgesik

opioid terutama digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa nyeri,

meskipun juga memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain.

Klasifikasi obat golongan opioid berdasarkan kerjanya pada reseptor, obat

golongan opioid dibagi menjadi: 1. agonis penuh (kuat), 2. agonis parsial (agonis

lemah sampai sedang), 3. campuran agonis dan antagonis, dan 4. antagonis. Opioid

golongan agonis kuat hanya mempunyai efek agonis, sedangkan agonis parsial

dapat menimbulkan efek agonis, atau sebagai antagonisdengan menggeser agonis

kuat dari ikatannya pada resptor opioid dan mengurangi efeknya.

Ada 3 jenis utama reseptor opioid yaitu mu, delta, dan kappa. Ketiga jenis

reseptor ini termasuk pada jenis reseptor yang berpasangan dengan protein G, dan

memiliki subunit tipe: mu1, mu2, delta1, delta2, kappa1 dan kappa2 dan kappa3.

Karena suatu opioid dapat berfungsi sebagai suatu agonis, agonis parsial, atau

antagonis pada lebih dari satu jenis reseptor atau subtipe reseptor maka senyawa

yang tergolong opioid dapat memiliki efek farmakologik yang beragam.

Obat opioid selain memberikan efek analgesi (antinyeri) juga memberikan

efek sedatif (penenang). Penggunaan opioid harus hati-hati pada anak-anak dan
orang tua karena bisa menimbulkan depresi pusat nafas dan akan semakin parah

pada orang yang dalam keadaan buruk. (Pratiwi, 2009)

Berdasarkan struktur kimia, analgetik narkotik atau opioid dibedakan menjadi 3

kelompok.

1. Alkaloid Opium (natural) morfin dan kodein

2. Derivat semisintetik : diasetilmorfin (heroin), hidromorfin, oksimorfon,

hidrokodon, dan oksikodon.

3. Derivat sintetik

 Fenilpiperidin : petidin, fentanyl, sulfentanil dan alfentanil.

 Benzmorfans : Pentazosin, fenazosin, dan siklazosin.

 Morfinans : lavorvanol

 Propionanilides : metadon

 Tramadol

B. SIFAT UMUM FENTANIL

Fentanil atau Phentanyl citrate dengan nama kimia N-(1- phenethyl-4-

piperidyl)propionanilide dihydrogen dan formula empirisnya adalah C22H28N2O.

Sifat Fisikokimia : Serbuk kristal putih, larut sebagian dalam air, larut baik dalam

alkohol. Fentanil berasal dari kelas terapi analgesik narkotik, serta mempunyai
nama dagang Duragesic dan Fentanyl. Fentanil diindikasikan pada nyeri sebelum

operasi,selama dan paska operasi, penanganan nyeri pada kanker, sebagai suplemen

anestesi sebelum operasi untuk mencegah atau menghilangkan takipnea dan

delirium paska operasi emergensi. (Dinas Kesehatan, 2010). Fentanil digunakan

secara ekstensif untuk anestesia dan analgesia, sering dilakukan dalam ruang

operasi dan unit perawatan intensif.

Fentanil merupakan obat analgesik opioid, memiliki besar potensi analgesik

75-125 kali lebih baik daripada Morfin atau 750- 1250 lebih kuat daripada petidin.

Fentanil merupakan sintetik piperidin, tidak ada pelepasan histamine, sangat larut

dalam lemak, dan waktu paruh eliminasi 3-4 jam. Fentanil berinteraksi secara

predominan dengan mu-reseptor opioid. Analog dari Fentanil yaitu alfentanil dan

Sufentanil di mana Sufentanil memiliki potensi lebih baik daripada Fentanil yakni

sebesar 5 sampai 10 kali, dan Sufentanil ini biasanya digunakan di dalam operasi

jantung. Secara klinis, efek farmakologi fentanil digunakan dalam sistem saraf

pusat. Yang biasa terjadi adalah analgesik, pengubahan mood, euforia, disphoria,

dan mengantuk. Stabilitas penyimpanan fentanil yaitu sediaan injeksi disimpan

dalam suhu ruangan, terlindungi cahaya. (Dinas Kesehatan, 2010)

1) Farmakokinetik

Kapasitas pengikatan protein plasma fentanil menurun seiring dengan kenaikan

ionisasi obat. Distribusi fentanil dan sufentanil onsetnya cepat dan durasi

singkat setelah injeksi bolus dengan potensi kira-kira 75-125 kali morfin.

Metabolismenya sangat tergantung pada biotransformasinya di hepar, aliran

darah hepar. Produk akhir berupa bentuk yang tidak aktif. Eliminasi terutama
oleh metabolisme hati, kurang lebih 10% melewati bilier dan tergantung pada

aliran darah hepar. Remifentanil dimetabolisme oleh sirkulasi darah dan otot

polos esterase.

Ekskresi melalui urin sebagai metabolit tidak aktif dan obat utuh 2-12%. Pada

kerusakan ginjal terjadi akumulasi morfin-6- glukoronid yang dapat

memperpanjang aktivitas opioid. Kira-kira 7- 10% melalui feses. Ekskresi

melalui urin sebagai metabolit tidak aktif dan obat utuh 2-12%. Pada kerusakan

ginjal terjadi akumulasi morfin-6-glukoronid yang dapat memperpanjang

aktivitas opioid. Kira-kira 7-10% melalui feses. (Dinas Kesehatan, 2010)

2) Farmakodinamik

Berbeda dengan dengan petidin, fentanil menghasilkan efek anestesi yang

maksimum dengan pengeluaran histamin yang lebih sedikit, depresi kardiak

secara langsung, serta serangan atau kejang pada grand mal (Nunn , Utting,

Brown, 1989). Fentanil menekan pusat respirasi, menekan reflek batuk, dan

kontraksi pupil, serta penurunan pada laju nadi. Pada dosis terapi, fentanil

relative tidak berefek banyak dalam sistem kardiovaskuler. Tetapi, beberapa

pasien menunjukkan hipotensi ortostatik dan pingsan. Fentanil terutama

bekerja sebagai agonis reseptor µ. Sistem kardiovaskuler tidak mengalami

perubahan baik kontraktilitas otot jantung maupun tonus otot pembuluh darah.

Tahanan pembuluh darah biasanya akan menurun karena terjadi penurunan

aliran simpatis medulla. Dapat meyebabkan penekanan pusat nafas, ditandai

dengan penurunan frekuensi nafas, dengan jumlah volume tidal yang menurun.

Menyebabkan penurunan peristaltik sehingga pengosongan lambung juga


terhambat. Fentanil mampu menekan respon sistem hormonal dan metabolik

akibat stress anesthesia dan pembedahan, sehingga kadar hormon katabolik

dalam darah relatif stabil. Pemberian dosis terapi Fentanil pada pasien yang

berbaring relatif tidak mempengaruhi kardiovaskular, tidak menghambat

kontraksi miokard dan tidak mengubah gambaran EKG. Penderita berobat

jalan mungkin menderita sinkop disertai penurunan tekanan darah, tetapi gejala

ini cepat hilang jika penderita berbaring. Sinkop timbul pada penyuntikan cepat

Fentanil IV karena terjadi vasodilatasi perifer dan penglepasan histamine.

Seperti Morfin, Fentanil dapat menaikkan kadar CO2 darah akibat depresi

napas; kadar CO2 yang tinggi ini menyebabkan dilatasi pembuluh darah otak

sehingga timbul kenaikan tekanan cairan serebrospinal.

3) Kontraindikasi

Hipersensitivitas, depresi pernapasan yang parah, Sediaan transdermal tidak

direkomendasikan pada nyeri akut atau paska operasi, nyeri kronis ringan atau

intermiten atau pasien yang belum pernah menggunakan opioid dan toleran

terhadap opioid. (Dinas Kesehatan, 2010)

4) Efek Samping

 Depresi pernapasan.

 Sistem saraf : sakit kepala, gangguan penglihatan, vertigo, depresi,

rasa mengantuk, koma, euforia, disforia, lemah, agitasi, ketegangan,

kejang.

 Pencernaan : mual, muntah, konstipasi

 Kardiovaskular : aritmia, hipotensi postural


 Reproduksi, ekskresi dan endokrin : retensi urin, oliguria

 Efek kolinergik : bradikardia, mulut kering, palpitasi,

 Tremor otot, pergerakan yang tidak terkoordinasi, delirium atau

 disorientasi, halusinasi

 Lain-lain : Berkeringat, muka merah, pruritus, urtikaria, ruam kulit.

(Dinas Kesehatan, 2010)

5) Interaksi Dengan Obat Lain :

 Antidepresan (MAOi & trisklik) : Potensiasi efek antidepresan.

 Agonis opiod lainnya, anestetik umum, trankuilizer, sedative

 Hipnotik : potensiasi efek depresi sistem saraf pusat.

 Relaksan otot : Opioid dapat meningkatkan kerja penghambatan

neuromuscular.

 Kumarin antikoagulan : Potensiasi aktivitas antikoagulan.

 Diuretik : Opioid menurunkan efek diuretic pada pasien dengan

kongestif jantung.

 Amfetamin : Dekstroamfetamin dapat meningkatkan efek analgetik

agonis opioid. (Dinas Kesehatan, 2010)

6) Pengaruh

a. Terhadap Kehamilan : Kategori C : Dapat digunakan jika potensi

manfaat lebih besar daripada resiko terhadap janin.

b. Terhadap Ibu Menyusui : Hati-hati pemakaiannya pada ibu

menyusui.
c. Terhadap Anak-anak : Keamanan dan efikasi pada anak-anak belum

diketahui. (Dinas Kesehatan, 2010)

7) Parameter Monitoring

Status sistem pernapasan, status mental, tekanan darah.

8) Bentuk Sediaan

Injeksi Ampul 50 mcg/ml, Transdermal 25 mcg/jam, 50 mcg/jam.

9) Mekanisme Aksi

Berikatan dengan reseptor di sistem saraf pusat, mempengaruhi persepsi dan

respon terhadap nyeri.

10) Monitoring Penggunaan


Obat Status sistem pernapasan, status mental, tekanan darah.

11) Sediaan dan Posologi

Fentanil sitrat transmukosal oral merupakan metode efektif menghasilkan

analgesia dan sedasi dengan onset cepat (10 menit) analgesia dan sedasi

pada anak-anak (15-20 μg/Kg) dan dewasa (200-800 μg). Pemberian secara

intravena dosisnya adalah seperseratus dosis Petidin, yaitu 1 μg/kg BB.

C. ANTAGONIS OPIOID

Obat-obat yang tegolong antagonis opioid umumnya tidak menimbulkan

banyak efek kecuali bila sebelumnya telah ada efek agonis opioid atau bila

opioid endogen sedang aktif misalnya pada keadaan stres atau syok. Obat ini

terutama digunakan pada overdose atau intoksikasi. Nalokson merupakan

prototip antagonis opioid yang relatif murni, demikian pula naltrekson yang

dapat diberikan per oral dan memperlihatkan masa kerja yang lebih lama dari

nalokson. Kedua obat ini merupakan antagonis kompetitif pada reseptor ʋ, k dan

σ, tetapi afinitasnya terhadap reseptor u jauh lebih tinggi. Dalam dosis besar

keduanya memperlihatkan beberapa efek agonis, tetapi efek ini tidak berarti

secara klinis.

Nalorfin, levalorfan, siklazosin dan sejenisnya disamping

memperlihatkan efek antagonis, menimbulkan efek otonomik, endokrin,

analgesik, dan depresi napas mirip efek yang ditimbulkan oleh morfin. Obat-

obat ini merupakan antagonis kompetitif pada reseptor ʋ, tetapi juga

memperlihatkan efek agonis pada reseptor-reseptor lain.


 Efek Dengan Pengaruh Opioid

Semua efek agonis opioid pada reseptor ʋ diantagonis oleh nalokson

dosis kecil (0,4-0,8 mg) yang diberikan IM atau IV. Frekuensi napas

meningkat dalam 1-2 menit setelah pemberian nalokson pada penderita

dengan depresi napas akibat agonis opioid, efek sedatif dan efek terhadap

tekanan darah juga seera dihilangkan. Pada dosis besar, nalokson

menyebabkan kebaikan efek dari efek psikotomimetik dan disforia akibat

agonis-antaonis. Antagonisme nalokson ini berlangsung selama 1-4 jam,

tergantung dari dosisnya.

Antagonisme nalokson terhadap efek agonis opioid sering disertai

dengan terjadinya fenomen overshoot misalnya berupa peningkatan

frekuensi napas melebihi frekuensi sebelum dihambat oleh opioid.

Fenomena ini diduga berhubungan dengan terungkapnya (unmasking)

ketergantungan fisik akut yang timbul 24 jam setelah morfin dosis besar.

Terhadap individu yang memperlihatkan ketergantungan fisik

terhadap morfin, dosis kecil nalokson SK akan menyebabkan gejala putus

obat yang dapat berat. Gejala ini mirip dengan gejala akibat penghentian

tiba-tiba pemberian morfin, hanya timbulnya beberapa menit setelah

penyuntikan dan berakhir setelah 2 jam. Berat dan lama berlangsungnya

sindrom ini tergantung dari dosis antagonis dan beratnya ketergantungan.

Hal yang sama terjadi terhadap orang dengan ketergantungan fisik terhadap

agonis parsial, tetapi diperlukan dosis lebih besar.


 Indikasi

Antagonis opioid diindikasikan untuk mengatasi depresi napas

akibat takar lajak opioid, pada bayi yang baru dilahirkan oleh ibu yang

mendapat opioid sewaktu persalinan, atau akibat tentamen suicide dengan

suatu opioid, dalam hal ini nalokson merupakan obat terpilih. Obat ini juga

digunakan untyk mendiagnosis dan mengobati ketergantungan fisik

terhadap opioid

You might also like