Final Paper Ijrf

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 22

PENGUJIAN FORMIL DAN MATERIL ATAS PERMOHONAN UPAYA PAKSA

APARAT PENEGAK HUKUM OLEH HAKIM SEBAGAI PRAKONDISI


PELAKSANAANNYA DALAM RANGKA PERLINDUNGAN HAM
Irawati Puteri, Rizkina Aliya, Satria Afif Muhammad
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, irawatiputri@ymail.com
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Aliya.rizkina@gmail.com
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, satriaafif13@gmail.com

Abstrak
Hukum pidana meletakkan negara dan rakyat dalam gelanggang dengan kekuatan yang
timpang. Oleh karena itu garansi terhadap hak asasi manusia warga negara merupakan hal yang
tidak dapat teralienasikan untuk mencegah pencideraan terhadap hak asasi akibat kesewenang-
wenangan penguasa sebagai otoritas penegak hukum. Dalam melaksanakan perlindungan
terhadap hak asasi manusia pada tataran hukum acara pidana di Indonesia, telah ada mekanisme
pengawasan yang bersifat post factum untuk dapat menguji keabsahan tindakan Negara, yakni
praperadilan. Namun, evaluasi bernegara hukum kemudian mendatangkan konklusi kesadaran
bahwa mekanisme tersebut tidak lagi cukup karena masih menyisakan lubang-lubang yang
berimplikasi pada fenomena yang kerap mendepiksi coreng pada profesionalitas kinerja aparat
penegak hukum: kekerasan dan penyiksaan pada tahap penyidikan dan penuntutan, hingga
salah tangkap.
Kelemahan dari mekanisme praperadilan yang sudah ada saat ini perlu direformasi dan
dilengkapi dengan mekanisme untuk menciptakan suatu perlindungan terhadap hak asasi
manusia yang paripurna dalam konteks hukum acara pidana. Perlu diadakan suatu upaya
preventif bersifat wajib dalam rangka memverifikasi bukti permulaan sebelum penetapan status
tersangka dan sebelum dilaksanakannya upaya paksa yang merupakan pe/mbatasan terhadap
hak asasi manusia. Hal ini dilakukan dengan menyeimbangkan posisi pemegang fungsi
eksekutif yakni jaksa penuntut umum dan kepolisian sebagai penyidik dan penyelidik, dengan
pemegang fungsi yudikatif yakni hakim dalam menguji legitimasi upaya paksa yang hendak
dilakukan sebagai pengejawantahan mekanisme check and balances dalam abstraksi
praajudikasi..
Kata kunci: Perlindungan hak asasi manusia, upaya preventif, bersifat wajib, praperadilan,
hukum acara pidana

1
FORMAL AND SUBSTANTIAL EXAMINATION OF WARRANT REQUESTS BY A
JUDGE FOR THE PROTECTION OF BASIC HUMAN RIGHTS IN THE CRIMINAL
JUSTICE PROCESS

Abstract
The criminal law places the state and citizens in an arena with unequal strength. Therefore,
guarantees on the human rights of citizens are irrevocable to prevent the abuse of human rights
due to the arbitrariness of the authorities as law enforcement authorities. In implementing the
protection of human rights at the level of criminal procedural law in Indonesia, there has been
a post factum oversight mechanism to be able to test the legitimacy of state action, named, pre-
trial. However, the evaluation of law-enforcement then brings into conclusion the awareness
that the mechanism is no longer sufficient because it still leaves holes that have implications
on phenomena that often replicate streaking on the professionalism of the performance of law
enforcement officers: violence and torture at the stage of investigation and prosecution, to mis-
arrest.
The disadvantages of pre-existing pretrial mechanisms need to be reformed and complemented
by mechanisms to create a complete protection of human rights in the context of criminal
procedural law. A mandatory preventive effort is required in order to verify the preliminary
evidence prior to the determination of the suspect status and prior to the enforced attempts that
constitute a violation of human rights. This is done by balancing the position of the executive
function holder namely the public prosecutor and the police as investigators and investigators,
with the judicial function holder namely the judge in testing the legitimacy of the forced effort
to be performed as the embodiment of the check and balances mechanism in pre-accreditation
abstraction.
Keywords: Human rights protection, preventive, mandatory, pretrial, criminal procedure law

2
1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana evaluasi terhadap penyelenggaraan kewenangan aparat penegak
hukum di Indonesia dalam tahap pra ajudikasi?
2. Bagaimana evaluasi terhadap implementasi praperadilan di Indonesia dalam
mengupayakan perlindungan hak asasi manusia?
3. Bagaimana reformasi terhadap tahap pra ajudikasi yang dapat dilakukan untuk
mewujudkan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang holistik dalam
acara pidana Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian


Penelitian ini ditulis dengan tujuan untuk memberikan gagasan perlindungan
hak asasi manusia secara paripurna melalui mekanisme preventif yang bersifat
wajib pada tahap praajudikasi untuk memverifikasi bukti permulaan dan upaya
paksa yang hendak dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam sistem peradilan
pidana Indonesia sebagai pelengkap dari mekanisme pra peradilan yang sudah ada
dan reformasi terhadap rangkaian peradilan pidana secara keseluruhan.

1.4. Manfaat Penulisan

Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah pengetahuan tentang hukum
acara pidana dalam kerangka perlindungan hak asasi manusia pada tahapan pra
ajudikasi.

Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pembuat undang-undang
sebagai reformasi tahapan pra ajudikasi sistem peradilan di Indonesia.

2. Tinjauan Teoritis

3
2.1. Penegakan HAM dalam sistem peradilan pidana di Indonesia
“Human rights are rights that human beings possess because they are human
beings (Berting, 1990, p. 33).”
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena
ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh
masyarakat atau berdasarkan hukum positif; melainkan semata-mata berdasarkan
martabatnya sebagai manusia (Donelly, 2003, p. 7). Sebagai sebuah identitas yang
membedakan manusia dengan makhluk lain, maka sudah sepantasnya Hak Asasi
Manusia (HAM) diakui secara universal tanpa peduli apapun warna kulit, jenis
kelamin, usia, latar belakang kultural dan pula agama atau kepercayaan
spiritualisasnya. Dalam buku klasik “The Second Treatise of Civil Government and
a Letter Concerning Toleration”, John Locke mengajukan sebuah postulat
pemikiran bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup,
kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat
dicabut atau diganggu gugat oleh negara (Locke, 1964). Melalui suatu ‘kontrak
sosial’ (social contract), perlindungan atas hak yang tidak dapat dicabut ini
diserahkan kepada negara, dan apabila penguasa negara mengabaikan kontrak
sosial itu dengan melanggar hak-hak kodrati individu, maka rakyat di negara itu
bebas menurunkan sang penguasa dan menggantikannya dengan suatu pemerintah
yang bersedia menghormati hak-hak tersebut.
Dari pengertian di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa keberadaan HAM
mendahului hukum. Dengan kata lain bahwa HAM adalah hak dasar yang secara
kodrat melekat pada diri manusia sepanjang hidupnya sebagai anugerah Tuhan,
bersifat universal dan harus dilindungi oleh hukum (Efendi & Sukmana, 2007, p.
35). HAM sendiri menjadi diskursus di Indonesia sejak awal pendirian di negara
ini, yaitu pada saat BPUPKI menyiapkan rancangan Undang-Undang Dasar pada
tahun 1945 meskipun pro dan kontra mewarnai perdebatan kala itu. Akhirnya, pada
tanggal 18 Agustus 1945, PPKI menetapkan UUD Negara Republik Indonesia 1945
sebagai Staatsfundamentalnorm dan Staatsgrundgrezets yang di dalamnya memuat
hak-hak asasi manusia yang mendasar, meskipun masih secara sporadis dan implisit
(Arinanto, 2005, pp. 8-11). Dimana untuk menegaskan dukungan konstitusi
terhadap HAM di Indonesia, perubahan kedua UUD pada tahun 2000 menetapkan
bab khusus yang mengatur tentang HAM dalam Bab XA yang merupakan perluasan

4
Pasal 28 UUD 1945 yang semula hanya satu pasal menjadi 10 pasal perluasan, yaitu
Pasal 28A sampai 28J (Arinanto, 2005).

2.2. Upaya Paksa


Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak menjelaskan
secara rinci mengenai pengertian dari upaya paksa. Dalam buku Acara Pidana
Indonesia dalam Sirkus Hukum, Nikolas Simanjuntak menjelaskan bahwa melihat
pada konstruksi Bab V KUHAP, upaya paksa adalah serangkaian tindakan
penyidik (Polisi atau PNS yang diberi wewenang khusus oleh UU untuk
melakukan penyidikan) untuk melaksanakan penyidikan, yaitu dalam hal
melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan
surat (Simanjuntak, 2009, p. 77). Upaya Paksa sendiri merupakan salah satu
kegiatan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Kepolisian sebagaimana diatur
dalam Pasal 15 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor
14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, yaitu kegiatan
penyidikan secara bertahap meliputi:
a. Penyelidikan; f. Penyelesaian Berkas
b. Pengiriman Surat Perkara;
Pemberitahuan Dimulainya g. Penyerahan Berkas Perkara
Penyidikan (SPDP); ke Penuntut Umum;
c. Upaya Paksa; h. Penyerahan Tersangka dan
d. Pemeriksaan; Barang Bukti; dan
e. Gelar Perkara; i. Penghentian Penyidikan.

Pada Pasal 26 menyatakan bahwa upaya paksa sebagaimana yang dimaksud


dalam Pasal 15 huruf c tersebut, meliputi:

a. Pemanggilan; d. Penggeledahan;
b. Penangkapan; e. Penyitaan; dan
c. Penahanan; f. Pemeriksaan Surat.

Dalam keadaan normal, bilamana tindakan itu dilajukan tanpa dasar ketentuan
undang-undang, maka hal tersebut dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran hak
asasi manusia, khususnya tentang hak dan kebebasan pribadi dari orang yang

5
ditindak. Dan memang dalam realitanya, penerapan upaya paksa seringkali
berbenturan dengan hak asasi manusia. Tindakan sewenang-wenang oleh penyidik
dalam melakukan upaya paksa dilakukan tanpa prosedur yang tepat sehingga
tersangka pelaku tindak pidana seperti sudah divonis bersalah sebelum dinyatakan
benar-benar bersalah berdasarkan proses peradilan yang adil dan berkekuatan
hukum tetap (Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Manusia,
1994, p. 25). Orang yang bertindak sebagai penegak hukum wajib menghormati hak
orang yang melakukan tindak pidana dan tidak menghambat tersangka atau
terdakwa dalam memperoleh hak-haknya tersebut. Polisi sebagai aparat penegak
hukum yang diberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan seharusnya
tidak melakukan perbuatan dan tindakan sewenang-wenang. Dalam hal ini aparat
penegak hukum yaitu Kepolisian Republik Indonesia sebagai penyidik dan
penyelidik, seringkali menggunakan cara kekerasan dan penyiksaan dalam
melaksanakan proses pemeriksaan pendahuluan. Padahal polisi sebagai aparat
penegak hukum wajib menghormati dan melindungi hak orang yang melakukan
tindak pidana.

Jaminan konstitusi atas HAM memiliki arti penting bagi arah pelaksanaan
ketatanegaraan sebuah Negara. Adanya jaminan terhadap hak-hak dasar setiap
warga negara mengandung arti bahwa penguasa tidak dapat dan tidak boleh
bertindak sewenang-wenang kepada warga negaranya demi menjaga keseimbangan
antara kekuasaan dan hak dari warna negara itu sendiri (Soemantri, 1992, p. 29).
Perlindungan HAM seorang tersangka juga tertera dalam UU Kekuasaan
Kehakiman yang tertera dalam beberapa pasal seperti Pasal 2 ayat (4) yang
mengatur mengenai Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan, Pasal 4
ayat (1) tentang Asas Non-Diskriminasi, Pasal 8 ayat (1) tentang Asas Praduga Tak
Bersalah, dan lain sebagainya. Begitu pula dalam ketentuan UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia yang menjamin hak tersangka untuk tidak menerima
perlakuan secara diskriminasi, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa serta hak
persamaan di depan hukum.

2.3. Due Process of Law


Sejarah due process of law bermula dari Magna Carta di mana Raja John
berjanji pada abad ketigabelas bahwa sebagai seorang penguasa dia hanya akan
bertindak atas dasar hukum (legality) dan semua tanpa terkecuali akan

6
mendapatkan penanganan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku
(procedures of law) (Legal Information Insitute, 2017). Black Law Dictionary
mengartikan due process of law sebagai suatu konsep yang menekankan hak
seorang individu untuk tampil di muka suatu pengadilan (tribunal) yang dapat
memutus dalam hal menyangkut nyawa, kemerdekaan, atau kepemilikan secara
komprehensif. Di muka pengadilan tersebut, seseorang mempunyai hak untuk
didengar, untuk menolak atas dasar bukti-bukti dari fakta materiil. Due process of
law sendiri adalah suatu hak konstitusional agar pemerintah tidak dapat secara
sewenang-wenang merampas hak rakyatnya sendiri. Unsur-unsur dari due process
of law dapat diuraikan menjadi (Reksodiputro, 1994):

1. Hearing 4. Evidence
2. Counsel 5. Fair and Impartial
3. Defence Court

Implikasi-implikasi lain dari due process of law juga dapat dilihat dari
Prinsip Dasar Keadilan Bagi Pelaku Kejahatan (The Prevention of Crime and
The Treatment of Offenders) adanya hak-hak sebagai berikut:

1. the right not to be subject to arbitrary arrest, detention, search or


seizure;
2. the rights to know the nature of the charges and evidence;
3. the right to counsel;
4. the presumption of innocence;
5. the standart of proof ( beyond a reasonable doubt );
6. the right to a public trial by an independent court;
7. the right to test the prosecution evidence ( e.g. cross-examine witness);
8. the right to give and call evidence;
9. the right to appeal

Mengingat hak-hak tersebut, pada prinsipnya peradilan pidana Indonesia


juga mencerminkan due process of law baik dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun peraturan perundang-undangan lain
seperti Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39 tahun 1999 Pasal 18 yang
menyatakan bahwa, “Setiap orang ditangkap, ditahan, dituntut, karena disangka
melakukan tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan

7
kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala
jaminan hukum yang diperlukan untuk membelanya, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.”

Dapat disimpulkan bahwa due process of law adalah suatu prinsip yang
harus diingat khususnya dalam hal pelaksanaan upaya paksa di mana rawan
sekali terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang melampaui kebutuhan karena
hak-hak individu yang terkait tetap harus dikedepankan dengan menghargai dan
terus memperbaiki proses yang ada.

2.4. Checks and Balances


Immanuel Kant dalam pandangannya mengenai negara hukum menyatakan
bahwa syarat/ciri negara hukum adalah adanya perlindungan HAM dan pemisahan
kekuasaan. Diilhami oleh John Locke mengenai pembagian kekuasaan,
Montesquieu menyempurnakannya dengan mengemukakan bahwa dalam
pemerintahan negara terdapat 3 (tiga) jenis kekuasaan: legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Kekuasaan legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang.
kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan undang-undang.
Kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan untuk mengadili pelanggaran terhadap
undang-undang (Strong, 2008, p. 330). Montesquieu juga menyatakan bahwa ketiga
kekuasaan itu terpisah satu sama lain, baik mengenai fungsi maupun lembaga yang
menyelenggarakannya (Hadi, 2013, p. 78). Dalam praktiknya, separation of power
dari trias politica sulit terlaksana karena pemisahan mutlak antar lembaga negara,
sehingga menyebabkan teori pembagian kekuasaan (distribution of power) lebih
berkembang, dan berujung dengan lahirnya teori checks and balances.
Distribusi kekuasaan merupakan suatu hal yang penting dalam membangun
sistem ketatanegaraan. Dengan pendistribusian kekuasaan yang baik diharapkan
terwujud keseimbangan kekuasaan antara satu lembaga dengan lembaga lainnya
dan terdapatnya saling kontrol untuk menghindari terjadinya penyimpangan.
Pengalaman sejarah pemerintahan menunjukkan bahwa ketika kekuasaan terpusat
pada satu tangan atau satu lembaga tertentu, yang muncul adalah penyimpangan
dan berujung pada gerakan rakyat menuntut terjadinya perubahan (Sunarto, 2016,
p. 157). Perkembangan ketatanegaraan di Indonesia yang mengarah pada sistem
checks and balances ditandai dengan adanya amandemen Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 yakni lembaga negara yang saling mengawasi dan

8
mengimbangi lembaga negara lainnya. Checks and balances ini, yang
mengakibatkan satu cabang kekuasaan dalam batas-batas tertentu dapat turut
campur dalam tindakan cabang kekuasaan lain untuk membatasi kekuasaan dari
setiap cabang kekuasaan secara efektif.
Hal ini berarti sistem checks and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan
memungkinkan adanya saling kontrol antar cabang kekuasaan yang ada dan
menghindari tindakan-tindakan hegemonik, tiranik dan sentralisasi kekuasaan
(Hadjar, 2003, p. 4). Sistem ini mencegah terjadinya overlapping antar kewenangan
yang ada (Hadjar, 2003). Begitu pula dengan pendapat Prof. Jimly Asshiddiqie
adanya sistem checks and balances mengakibatkan kekuasaan negara dapat diatur,
dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya, sehingga penyalahgunaan
kekuasaan oleh aparat penyelenggaraan negara yang menduduki jabatan dalam
lembaga negara dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya
(Asshiddiqie, 2006, p. 74).

3. Penyajian Data
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam penyusunan tulisan ini adalah jenis
eksploratoris. Penelitian ini dikonstruksikan dengan memberikan penjelasan
mengenai latar belakang masalah yakni kepastian hukum dan hak asasi manusia
bagi tersangka dalam proses peradilan pidana yang menjadi dasar atas proposal
kami yaitu penerapan kewajiban penetapan pengadilan dalam rangka upaya paksa
dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

3.2. Metode Penelitian


Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
komparatif yang dilakukan terhadap sistem peradilan pidana di dua negara yaitu
Indonesia dan Amerika Serikat dengan penekanan pada komparasi prosedur untuk
mendapatkan penetapan pengadilan untuk melakukan upaya paksa (warrants)
dalam proses pra-ajudikasi yang berlaku di kedua negara tersebut.

3.3. Jenis Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yakni data
yang dihimpun dari berbagai bahan pustaka yang diantaranya terdiri dari buku-

9
buku teks, jurnal, artikel, dan berbagai data sekunder publik lainnya seperti data
arsip dan data resmi pada instansi pemerintah.

3.4. Sumber Hukum


Sehubungan dengan metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah
komparatif dua negara dengan stelsel hukum yang berbeda, maka sumber hukum
yang dirujuk pun berasal dari hukum Indonesia dan Amerika Serikat. Bahan hukum
primer, sekunder, maupun tersier digunakan dalam tulisan ini. Secara lebih
terperinci, bahan hukum primer yang digunakan adalah kaidah dasar dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945), sejumlah undang-
undang yang mengatur tentang hukum acara pidana dan beberapa yurisprudensi
baik di Indonesia maupun Amerika Serikat. Bahan hukum sekunder yang turut
menjadi rujukan dalam tulisan ini adalah penjelasan terhadap bahan-bahan hukum
primer yang digunakan juga sejumlah tulisan dari pemikir hukum baik dari
Indonesia maupun asing. Selain itu, bahan hukum tersier yang digunakan dalam
tulisan ini adalah kamus dan ensiklopedia hukum yang utamanya membantu dalam
memberikan penjelasan mengenai berbagai terminologi hukum di Indonesia
maupun Amerika Serikat.
4. Pembahasan

4.1. Permasalahan Error in Persona dalam upaya paksa


Namun yang menarik dan akan dibahas secara mendalam dalam tulisan ini adalah
mengenai fenomena penangkapan Error in Persona atau lebih dikenal dengan
Salah Tangkap. Kita sudah paham bahwa upaya paksa berbentuk penangkapan,
penahanan, penggeledahan, dan penyitaan adalah suatu pelanggaran HAM yang
berat jika dilakukan tanpa dasar ketentuan undang-undang atau tanpa sebab-sebab
yang jelas. Bisa dibayangkan jika upaya paksa ini terjadi kepada orang yang salah
sasaran, orang yang tidak melanggar ketentuan hukum namun ditangkap begitu
saja tanpa alasan yang jelas, atau yang lebih parah lagi dengan alasan yang dibuat-
buat dengan motif tertentu di belakang itu.
Kelemahan konseptual pada tubuh praperadilan sebagai instrumen pengawasan
pada tahap penyidikan dan pra penuntutan mengakibatkan jayanya kesewenangan
aparat penegak hukum yang berimplikasi pada masifnya pencideraan terhadap hak
asasi manusia. Pada tahun 2013, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi

10
Manusia Indonesia (PBHI) mencatat bahwa telah terjadi 31 kali kasus salah
tangkap yang turut diwarnai oleh kekerasan pada tahap penyidikan dan pra
penuntutan, diantaranya:
1. Salah satu contoh nyata yang termasuk pelanggaran HAM yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum ialah kasus salah tangkap yang dilakukan oleh
polisi terhadap Kemat cs (Ali, 2017). Kemat Cs merupakan korban salah
tangkap dalam kasus pembunuhan Asrori, mayat yang ditemukan di sebuah
kebun tebu Desa Bandar Kedungmulyo, Jombang. Kemat Cs bahkan sudah
divonis masing-masing 17 tahun dan 12 tahun penjara. Kemat Cs mengaku
diintimidasi dan dianiaya penyidik supaya mengaku telah membunuh
Asrori. Namun setelah diperiksa ulang, berdasarkan hasil tes Deoxiribo
Nuclead Acid (DNA) Laboratorium Pusdokkes Polri, mayat yang ditemukan
adalah Fauzin Suyanto, warga Nganjuk. Kemat Cs juga pada akhirnya tidak
terbukti telah bersalah membunuh Fauzin. Kasus yang lebih parah terjadi di
Surabaya, dimana seorang kakek bernama Suharto (68 Tahun) ditangkap di
rumahnya bersama salah satu keluarganya Devi. Upaya paksa penangkapan
atas Suharto ini dilakukan tanpa dasar dan bahkan diakui tidak
diperintahkan oleh atasan di kepolisian setempat, namun dengan sewenang-
wenang polisi yang menindak saat itu ikut memaksa Suharto untuk ikut
masuk ke dalam mobil polisi. Karena kondisi kesehatannya yang tidak baik,
seketika Suharto terjatuh, muntah, pingsan, dan kemudian meninggal dunia,
tanpa bantuan polisi sedikit pun yang berada di sana (Wahyudiyanta, 2017).
2. Sri Mulyani di Semarang yang sempat ditahan selama 13 bulan di dalam
penjara karena tuduhan mempekerjakan anak di bawah umur setelah
sebelumnya dipaksa mengaku oleh Penyidik (Putusan PT Semarang, 2013).
3. Krisbayudi, seorang buruh di Jakarta yang ditahan selama 251 hari akibat
tuduhan pembunuhan berencana terhadap seorang anak di daerah Priok.
4. Rahman Idaman di Batam, korban Lakalantas yang malah dijadikan
tersangka hingga harus menjalani penahanan sampai akhirnya dibebaskan
oleh Pengadilan Negeri Batam.

Terlebih lagi jika merujuk pada data yang dirilis oleh Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) Jakarta, pengaduan atas kasus salah tangkap hingga penyiksaan oleh oknum

11
kepolisian dalam tiga tahun terakhir (2015-2017) yang tercatat sebanyak 37 kasus
(Puspita, 2017).

4.2. Evaluasi kelemahan lembaga praperadilan


Dalam praktik hukum acara pidana di Indonesia, kerap kali penafsiran due
process of law dilakukan secara parsial dengan sekadar menerapkan aturan-aturan
hukum acara pidana dalam suatu proses peradilan secara mekanis. Padahal,
pengertian dari proses peradilan pidana yang adil harus lebih luas dari pada sekadar
menerapkan aturan hukum acara pidana secara benar pada tataran formil
administratif, namun juga mengejawantahkan suatu sikap penghargaan terhadap
hak-hak warga negara yang berhadapan dengan kewibawaan negara dalam
gelanggang peradilan. Due process of law yang adil dan idiil adalah perlindungan
terhadap kebebasan warga negara dengan standar yang "reasonableness" dalam
konteks pembatasan terhadap kebebasan tersebut, sesuai dengan konstitusi. Hal ini
merupakan tonggak utama sistem peradilan pidana dalam negara hukum
(Konstitusi, 2017).

Namun nyatanya, lembaga praperadilan yang digunakan untuk mewujudkan


sistem peradilan pidana yang baik dan menghargai hak asasi manusia, masih tidak
luput dari kelemahan secara konseptual yang menyebabkan tujuan dan fungsi
mulia dari mekanisme praperadilan tidak bisa tercapai, diantaranya:

1. Proses pengadilan atas praperadilan hanya dapat dilaksanakan jika ada


pihak yang menggunakan haknya. Selama tidak ada pihak yang
menuntut, hakim tidak dapat menguji sah tidaknya tindakan penyidik
dan penuntut umum. Dalam praperadilan, hakim bersifat pasif, ia baru
dapat memeriksa bila ada inisiatif. Dalam pemeriksaan tentang sah
tidaknya suatu penangkapan atau penahanan (pasal 79 KUHAP),
inisiatif datang dari tersangka, keluarga, atau kuasanya. Untuk
memeriksa sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan,
inisiatif datang dari penyidik, penuntut, atau pihak ketiga (pasal 80
KUHAP). Lalu, untuk permintaan ganti kerugian inisiatif datang dari
tersangka atau pihak ketiga (pasal 81 KUHAP). Namun nyatanya,
evaluasi terhadap pelaksanaan peradilan pidana di Indonesia
menunjukkan bahwa praperadilan cenderung jarang digunakan.

12
Contohnya, dari penelitian yang dilakukan Institute for Criminal Justice
Reform (ICJR), dalam kurun waktu 2005-2010 di Kupang, Nusa
Tenggara Timur, dari 2.830 perkara pidana, Pengadilan Negeri Kupang
hanya menerima 12 permohonan perkara praperadilan (Luthan, 2014, p.
176), mengambil contoh di wilayah lain, dalam kurun waktu 2005-2010,
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hanya menerima 211 perkara
praperadilan (Luthan, 2014, p. 176). Minimnya penggunaan
praperadilan dalam hal ini tidak serta merta berarti aparat penegak
hukum telah melaksanakan kewenangannya dengan baik, bahkan
sebaliknya. Ini artinya masih banyak warga negara Indonesia yang buta
hukum meskipun telah dikriminalisasi atau diperlakukan tidak dengan
semestinya;
2. Hak tersangka, keluarga, atau kuasanya dapat gugur jika perkara pidana
telah mulai disidangkan. Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP menegaskan
dalam hal perkara sudah diperiksa pengadilan negeri, sedangkan
pemeriksaan permintaan praperadilan belum selesai, maka permintaan
tersebut gugur;
3. Masalah terkait kepastian jangka waktu pelaksanaan praperadilan.
Belum ada pengaturan lanjutan terkait jangka waktu Praperadilan;
4. Pengaturan secara umum mengenai hukum acara Praperadilan di dalam
KUHAP tidak cukup memadai sehingga melahirkan situasi
ketidakpastian hukum yang tidak menguntungkan bagi tersangka dalam
memanfaatkan mekanisme Praperadilan. Mekanisme pengajuan
praperadilan memang tidak secara tegas dan rinci diatur dalam KUHAP
(ICJR, 2017);
5. Tidak ada ketegasan dalam mengatur acara pemeriksaan praperadilan
mengakibatkan hakim praperadilan sekadar menilai secara formil
administratif terhadap tindakan aparat penegak hukum pidana yang
diajukan sebagai termohon praperadilan.

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban juga kerap mendapatkan


pengaduan dari seseorang yang telah menyandang status Tersangka dalam satu
perkara karena menjadi korban penyiksaan dari penyidik dalam suatu
pemeriksaan perkara. Penyidik seringkali menggunakan praktik yang

13
sewenang-wenang dengan melakukan penyiksaan untuk memaksa para
Tersangka mengaku terhadap suatu perbuatan, yang belum tentu juga
dilakukannya. Padahal dalam setiap upaya paksa yang dilakukan pejabat
penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, pada hakikatnya merupakan:

1. Tindakan paksa yang dibenarkan undang-undang demi kepentingan


pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka
2. Tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan undang-undang, setiap
tindakan paksa dengan sendirinya merupakan perampasan kemerdekaan
dan kebebasan serta pembatasan terhadap hak asasi manusia.

Oleh karena tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum
merupakan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka oleh Negara,
tindakan ini seyogyanya dilakukan secara proporsional, bertanggung jawab, dan
menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku, maka dari itu perlu
terdapat instrument untuk menguji penyelenggaraan kewenangan oleh Negara
dalam pembatasan HAM pada konteks peradilan pidana.

Pembahasan HAM terbatas dalam konteks peradilan pidana (criminal


justice system) yang berada dalam kerangka jaringan sistem peradilan yang
mendayagunakan hukum pidana—hukum pidana materiil, hukum pidana formil
dan hukum pelaksanaan pidana, kiranya tidak akan memperoleh gambaran
menyeluruh dan sistemik, sehingga perlu dikaji secara utuh mencakup
administrasi peradilan pidana (administration of criminal justice) yang
memiliki daya jangkau lebih luas mulai dari kebijakan peradilan pidana
(criminal justice policy), hak dan kewajiban serta etika penguasa dalam
memperlakukan pelaku tindak pidana, saksi dan korban, dan pelbagai
pembatasan terhadap kekuasaan negara sebagai tetap menjamin usaha
menciptakan keseimbangan terhadap efisiensi dalam pencegahan dan
penanggulangan kejahatan dengan jaminan terhadap hak-hak pelaku. Adanya
pelanggaran prosedur bahkan hingga kesalahan tindakan identifikasi terhadap
korban tindak pidana, merupakan suatu momok yang mendepiksi
profesionalisme aparat penegak hukum dan mekanisme pengawasan yang dapat
dilekatkan kepada kewenangannya.

14
Praperadilan yang hanya melakukan pengawasan terhadap persoalan
administratif dengan tidak menyentuh kebenaran materiil tidak efektif dalam
menjamin hak tersangka. Penahanan pra persidangan atau sebelum persidangan
merupakan suatu objek yang dapat dijadikan tinjauan kelemahan dari
praperadilan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 124 KUHAP ‘Dalam hal apakah
sesuatu penahanan sah atau tidak sah menurut hukum, tersangka, keluarga atau
penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada pengadilan negeri setempat
untuk diadakan praperadilan guna memperoleh putusan apakah penahanan atas
diri tersangka tersebut sah atau tidak sah menurut undang-undang ini’. Terhadap
adanya penahanan yang melanggar ketentuan di dalam Pasal 77 KUHAP dapat
diajukan praperadilan sesuai dengan ketentuan Pasal 124 KUHAP. Namun,
kekurangan praperadilan dalam hal ini adalah bahwa sudah ada hak tersangka
yang kemungkinan terlanggar dikarenakan adanya penahanan pra persidangan.
Fungsi utama dari praperadilan adalah melakukan pengawasan, sehingga jika
pengawasan yang dilakukan setelah adanya penahanan maka dapat dikatakan
tujuan dari praperadilan ini tidak efektif.

Pengawasan yang dilakukan akan menjadi ‘pincang’ jika seandainya


penahanan tersangka merupakan salah tangkap atau error in persona.
Penahanan sudah terjadi tanpa melihat adanya kesesuaian dari tindak pidana
yang terjadi dengan keterlibatan seseorang yang dijadikan tersangka. Kesalahan
ini terjadi bermula dari penetapan tersangka yang hanya dilakukan oleh satu
pihak yakni penyidik. Keputusan dari adanya bukti permulaan yang cukup
terhadap seseorang yang dianggap melakukan tindak pidana diputuskan oleh
penyidik, padahal pihak yang mengumpulkan bukti permulaan adalah penyidik
pula. Sehingga terdapat keraguan dalam penetapan status tersangka yang
objektif karena hanya dilakukan oleh satu pihak.

Ruang lingkup yurisdiksi praperadilan terestriksi pada masalah pengujian


keabsahan (post factum) atas upaya paksa secara keliru. Sebagaimana diatur
dalam KUHAP, apabila seseorang dikenakan upaya paksa dalam fase
penyidikan maupun pra penuntutan, ia dapat mengajukan pemeriksaan pada
hakim praperadilan yang kemudian baru melahirkan wewenang terhadap hakim
praperadilan untuk melakukan pemeriksaan terkait upaya paksa tersebut. Jika
dikomparasikan dengan konsep magistrate, kewenangan hakim dalam konsep

15
praperadilan Indonesia amat limitatif. Meski hakim praperadilan dapat
menyatakan sah tidaknya suatu upaya paksa, kewenangan ini baru lahir 1) pasca
upaya paksa dilakukan dan 2) kewenangan ini baru aktif apabila dimohonkan
dan tidak bersifat wajib dalam peradilan pidana. Di dalam pengawasan terhadap
upaya paksa di konsep magistrate, persetujuan atas pemeriksaan terhadap upaya
paksa dilakukan di awal sebagai tindakan preventif untuk memverifikasi bukti
permulaan dan pencegahan akan proses penyidikan yang salah alamat atau
sewenang-wenang. Pengawasan ini dilakukan secara terbuka dengan
melibatkan partisipasi masyarakat.

Kelemahan Praperadilan yang bersifat “post factum” muncul sebagai


masalah dalam penentuan status seseorang yang diduga melakukan tindak
pidana sebagai tersangka. Di dalam sistem peradilan pidana Indonesia,
konsiderasi dalam penentuan status tersebut merupakan wewenang penyidik.
Penetapan penyidik yang berdasar dari bukti permulaan yang ‘dianggap’ cukup
tidak terverifikasi oleh pihak lain sehingga tidak dapat dipertanyakan mengenai
reasonablessnes dan probable cause dalam penetapan status tersangka. Amat
disayangkan, lembaga praperadilan tidak dapat mengawasi dalam pemeriksaan
bukti permulaan yang cukup (probable cause) dan adanya alasan untuk
memenuhi syarat juridis (reasoneblessnes) untuk menahan. Hal ini berimplikasi
logis pada 1) sulitnya melihat unsur objektivitas dalam penetapan tersangka, 2)
luputnya mekanisme check and balances yang diimbangi oleh pemegang
kekuasaan yudikatif dalam konteks beracara yakni hakim. Adapun kerugian
yang dapat dialami akibat tidak terdikotominya wewenang untuk menentukan
status tersangka ini adalah fenomena kekerasan dalam proses penyidikan akibat
tidak adanya mekanisme pengawasan hingga fenomena salah tangkap.

4.3. Keharusan adanya penetapan pengadilan atas upaya paksa sebagai


perwujudan perlindungan HAM

4.3.1. Perbandingan dengan Amerika Serikat


Surat perintah atau warrant adalah suatu dokumen yang ditandatangani oleh
seorang hakim yang memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum
untuk melaksanakan suatu upaya paksa. Surat perintah untuk menangkap (arrest
warrants) ataupun untuk menggeledah (search and seizure warrants) diberikan
atas dasar probable cause yang disimpulkan dari berbagai bukti-bukti yang bisa

16
dibawa oleh aparat yang berkaitan serta affidavit atau surat sumpah dari aparat
yang berkaitan. Dalam praktiknya, aparat penegak hukum akan memastikan
terlebih dahulu apakah mereka mempunyai bukti yang cukup sebelum
memohonkan agar suatu urat perintah untuk upaya paksa dikeluarkan oleh hakim
(Law Firms, n.d.) (Illinois v. Gates, 1983). Tanpa adanya probable cause sebuah
upaya paksa menjadi tidak valid dan barang bukti apa pun yang didapatkan tidak
dapat dipakai dalam proses pengadilan

Probable cause yang dijadikan dasar dalam dikeluarkannya suatu surat perintah
oleh hakim tidak pernah secara eksplisit didefinisikan dalam hukum AS meskipun
Amandemen Keempat Konstitusi AS menyebutkan bahwa “no warrants shall
issue, but upon probable cause.” Pada asasnya, hakim dapat memutuskan adanya
probable cause apabila ada suatu kemungkinan yang cukup baik bahwa dengan
dilakukannya suatu upaya paksa akan didapatkan perkembangan atas
pengungkapan suatu perkara pidana (FindLaw, 2017). Mahkamah Agung AS
telah mencoba memberikan tolak ukur atas apa yang dimaksud dengan probable
cause, namun lembaga tersebut tetap berpendapat bahwa parameter dari probable
cause memang bersifat kasuistis dan menyesuaikan dengan konteks dari tiap
perkara sebab pada akhirnya hakim harus dapat memutuskan setelah
mempertimbangan keseluruhan dari bukti-bukti penyidik (Legal Information
Institute, 2017). Dalam kasus Illinois v. Gates, Mahkamah Agung AS memilih
untuk mengambil suatu pandangan yang “praktis dan non-teknis” atas dasar
“pertimbangan-pertimbangan faktual dan praktis mengenai kehidupan sehari-hari
dari tindakan-tindakan individu yang masuk akal (reasonable and prudent)
(Illinois v. Gates, 1983). Maka, dapat disimpulkan bahwa dalam penentuan
probable cause, hakim tetap mempunyai ruang gerak untuk memiliki pandangan
tersendiri.

Hal ini kontras dengan pengaturan Indonesia mengenai upaya paksa yang bisa
dilakukan atas dasar surat perintah yang dikeluarkan oleh penyidik. Penyidik
dapat membuat surat perintah untuk melaksanakan upaya paksa cukup dengan
memiliki dugaan yang kuat atas adanya suatu tindak pidana berdasarkan minimal
dua alat bukti. Hakim tidak terlibat dalam penentuan validitas atau kebutuhan akan
suatu upaya paksa, dan penegak hukum mempunyai ruang gerak yang dapat
dibilang terlampau luas. Karena keputusan untuk melakukan upaya paksa

17
disandarkan kepada otoritas penegak hukum saja, maka tidak ada evaluasi lanjutan
atas apakah suatu perkara dapat dibilang telah memenuhi parameter probable
cause. Adapun dalam hukum prosedural Indonesia memang tidak ada standar apa
pun atas kekuatan dugaan penyidik yang dapat dijadikan validasi untuk suatu
upaya paksa, sehingga membuat keputusan penyidik untuk melakukan
penangkapan, penahanan, maupun penggeledehan dan penyitaan terlampau
subyektif.

4.3.2. Kewenangan hakim untuk mengeluarkan penetapan upaya paksa


Berangkat dari praktik di AS, ada baiknya Indonesia menerapkan suatu proses
di mana aparat penegak hukum harus mengajukan permohonan kepada hakim untuk
memberikan perizinan atas upaya paksa yang akan dilakukan. Sebelum hakim
memberikan afirmasi tersebut, hakim harus mempertimbangkan aspek formil dan
materil dari perkara yang diajukan berdasarkan bukti-bukti permulaan yang telah
dikumpulkan oleh aparat penegak hukum. Hakim harus dapat memutuskan apakah
perkara yang diajukan padanya sudah memenui kualifikasi probable cause agar
upaya hukum yang diajukan memang betul-betul dibutuhkan demi perkembangan
kasus pidana terkait.
Jika kewajiban adanya penetapan hakim terlebih dahulu sebelum suatu upaya
paksa dapat dilakukan diterapkan di Indonesia, maka ada satu loophole dalam
peradilan Indonesia yang dapat ditangani di mana peran aparat penegak hukum
yang menjadi wasit di dalam permainan pribadinya karena ia hanya dilimitasi
standar dugaannya sendiri untuk melakukan upaya paksa. Ini dapat dicapai karena
kewajiban aparat penegak hukum untuk melakukan permohonan kepada hakim
tidak menggeser otoritas upaya paksa kepada tangan hakim, namun memunculkan
suatu hubungan simbiosis antara penyidik sebagai pengumpul bukti dengan hakim
sebagai lembaga independen agar dapat berlangsung suatu hubungan check and
balance yang dibutuhkan. Sehingga dapat dikatakan bahwa upaya paksa sebagai
suatu bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah tidak dengan mudah
dijadikan senjata karena standar yang harus dipatuhi tidak hanya pandangan pribadi
penyidik namun juga pemenuhan derajat pembuktian probable cause oleh hakim.
Reformasi sederhana ini juga dibutuhkan dalam rangka pengejawantahan
prinsip due process of law di mana hak-hak dari seseorang yang terduga melakukan
suatu tindak pidana seharusnya dihargai. Maka, logis apabila diterapkan suatu tahap

18
yang dapat menjadi lapisan tambahan sebagai pengaman atas pelanggaran HAM
yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh penguasa melalui upaya paksa.
Meskipun dapat diperdebatkan segi kemanfaatan penambahan suatu tahap
dalam proses pra-adjudikasi dengan mempertimbangkan bahwa penambahan tahap
dapat memperlambat proses yang ada, namun jika ditinjau kembali kegawatan dari
adanya kewenangan upaya paksa yang tidak memiliki pembatasan yang jelas dari
aparat penegak hukum, maka penambahan tahap ini dirasa perlu untuk menjamin
keadilan.
Patut dicatat bahwa dengan adanya tahapan tersebut, tidak serta merta berarti
bahwa lembaga praperadilan, sebagaimana kewenangannya diuraikan KUHAP,
dihapus. Meskipun lembaga praperadilan hanya melakukan pengujian formil post-
factum, lembaga praperadilan masih memiliki kewenangan untuk
memeriksa/memutus sah atau tidaknya upaya paksa (penggeledahan, penyitaan,
penangkapan, penahanan), memeriksa sah/tidaknya penghentian penyidikan dan
penuntutan, memeriksa tuntutan ganti rugi, permintaan rehabilitasi ssampai dengan
penetapan tersangka (Harahap, 2006, pp. 5-8) (Legal Information Institute, 2017).
Dengan diintrodusirnya tahapan tambahan adanya penetapan pengadilan dalam
rangka upaya paksa, lembaga praperadilan masih harus menjadi safeguard atas
terjadinya pelanggaran-pelanggaran dalam pelaksanaan upaya paksa yang dapat
menyebabkan suatu upaya paksa menjadi tidak sah (contohnya adalah penggunaan
kekerasan dan intimidasi). Justru tahapan pengajuan permohonan penetapan
pengadilan atas upaya paksa dalam pra-adjudikasi menjadi lapisan tambahan yang
akan turut menjamin bahwa pelanggaran hak asasi manusia individu yang terkait
dengan upaya paksa dapat diminimalisir. Ini sebanding dengan jalur pengajuan
habeas corpus dalam peradilan AS di mana seorang individu yang merasa bahwa
hak-haknya terlanggar dengan pelaksanaan suatu upaya paksa dapat memohonkan
agar aparat yang melakukan upaya paksa serta dirinya dibawa ke muka persidangan
untuk diuji keabsahannya (Legal Information Institute, 2017).

5. Kesimpulan dan Saran


Karya tulis ini menyarankan adanya tambahan dalam tahap pra-adjudikasi dalam hal aparat
penegak hukum ingin melaksanakan upaya hukum terhadap seorang individu yang diduga
melakukan suatu tindak pidana atas dasar analisis dan perbandingan dengan sistem AS. Dalam
tahapan tersebut, aparat penegak hukum harus mengajukan permohonan kepada hakim untuk

19
memberikan afirmasi atas upaya paksa yang akan dilakukan. Sebelum hakim memberikan
afirmasi tersebut, hakim harus mempertimbangkan aspek formil dan materil dari perkara yang
diajukan berdasarkan bukti-bukti permulaan yang telah dikumpulkan oleh aparat penegak
hukum. Adanya aspek pengujian materiil yang membuat tahapan pra-adjudikasi tersebut
berbeda dari praperadilan. Hakim juga harus dapat memutuskan apakah perkara yang diajukan
padanya sudah memenui kualifikasi probable cause agar upaya hukum yang diajukan memang
betul-betul dibutuhkan demi perkembangan kasus pidana terkait.

Harus diketahui bahwa tahapan tersebut penting dalam rangka mengadakan suatu hubungan
checks and balances antara aparat penegak hukum dan hakim sehingga kewenangan untuk
melanggar HAM seseorang melalui pengadaan upaya paksa. Upaya paksa sebagai suatu alat
yang bisa dipergunakan aparat penegak hukum untuk mengusut suatu perkara pidana, tidak
seharusnya dipergunakan secara sewenang-wenang dan seharusnya diberlakukan menurut asas
due process of law. Tahapan tambahan ini tidak dimaksud sebagai alternatif dari lembaga
praperadilan namun layaknya jalur habeas corpus dalam sistem pidana AS sebagai lapisan
pengamanan tambahan terhadap hak asasi manusia seorang individu terkait hak untuk
kemerdekaan dan kepemilikan dalam rangka peradilan pidana. Pada akhirnya, dapat
disimpulkan bahwa pencapaian hubungan checks and balances dan penerapan asas due process
of law melalui pengadaan tahapan pengujian tambahan dilangsungkan demi mengadakan
perlindungan HAM.

Ucapan Terima Kasih

Puji Syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
rahmatNya, karya tulis ilmiah ini dapat selesai pada waktunya. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan karya
tulis ilmiah ini sehingga dapat berjalan dengan lancar tanpa suatu obstruksi yang berarti.

References

Ali. (2017, Oktober 9). Salah Tangkap Kemat Cs Berbuah Sanksi Etik dan Profesi. Retrieved
from Hukumonline.com: http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21010/salah-
tangkap-kemat-cs-berbuah-sanksi-etik-dan-profesi
Arinanto, S. (2005). Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Jakarta: Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

20
Asshiddiqie, J. (2006). Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Berting, J. (1990). Human RIghts in a Pluralist World: Individuals and Collectivities.
London: Meckler.
Donelly, J. (2003). Universal Human Rights in Theory and Practice. London: Cornell
University.
Efendi, M., & Sukmana, T. (2007). HAM: Dalam Dimensi dan Dinamika Yuridis, Sosial dan
Politik. Bogor: Ghalia Indonesia.
FindLaw. (2017, Desember 21). Probable Cause. Retrieved from FindLaw:
http://criminal.findlaw.com/criminal-rights/probable-cause.html
Hadi, S. (2013, Februari). Fungsi Legislasi dalam Sistem Pemerintahan Presidensiil: Studi
Perbandingan dan Amerika Serikat. Jurnal Ilmu Hukum DIH, 9(18), 78.
Hadjar, A. F. (2003). Pokok-Pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi. Jakarta: KRHN dan Kemitraan.
Harahap, Y. (2006). Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar
Grafika.
ICJR. (2017, Desember 22). Mekanisme Praperadilan Harus di Reformasi Total. Retrieved
from icjr.or.id: http://icjr.or.id/mekanisme-praperadilan-harus-di-reformasi-total-
perma-4-tahun-2016-belum-komprehensif-mengatur-soal-praperadilan/
Illinois v. Gates, 462 U.S. 213, 232 (US 1983).
Konstitusi, M. (2017, Desember 22). No. 21/PUU-XII/2014. Retrieved from
mahkamahkonstitusi.go.id:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/21_PUU-
XII_2014.pdf
Law Firms. (n.d.). What an Arrest Warrant Means. Retrieved Desember 21, 2017, from
http://www.lawfirms.com/resources/criminal-defense/defendants-rights/what-arrest-
warrant-means.htm
Legal Information Insitute. (2017, Desember 21). Due Process. Retrieved from Wex:
https://www.law.cornell.edu/wex/due_process
Legal Information Institute. (2017, Desember 23). Habeas Corpus. Retrieved from Wex:
https://www.law.cornell.edu/wex/habeas_corpus
Legal Information Institute. (2017, Desember 21). Probable Cause. Retrieved from Wex:
https://www.law.cornell.edu/wex/probable_cause
Locke, J. (1964). The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning
Toleration. Oxford: Blackwell.
Luthan, S. (2014). Praperadilan di Indonesia: Teori, Sejarah dan Praktiknya. Jakarta:
Institute for Criminal Justice Reform.

21
Puspita, S. (2017, Desember 22). Kisah Korban Salah Tangkap yang Disiksa Polisi.
Retrieved from megapolitas.kompas.com:
http://megapolitan.kompas.com/read/2017/06/22/08572121/kisah.korban.salah.tangka
p.yang.disiksa.polisi
Reksodiputro, M. (1994). Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Manusia. Jakarta:
Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia.
Reksodiputro, M. (1994). Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum.
Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Simanjuntak, N. (2009). Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Soemantri, S. (1992). Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung: Alumni.
Strong, C. (2008). Konstitusi-Konstitusi Politik Modern. Bandung: Nusa Media.
Sunarto. (2016, April). Prinsip Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia.
Masalah-Masalah Hukum, 45(2), 157.
Wahyudiyanta, I. (2017, Desember 22). Diduga Jadi Korban Salah Tangkap, Seorang Kakek
Meninggal. Retrieved from news.detik.com: https://news.detik.com/berita-jawa-
timur/d-3431153/diduga-jadi-korban-salah-tangkap-seorang-kakek-meninggal

22

You might also like