Professional Documents
Culture Documents
Final Paper Ijrf
Final Paper Ijrf
Final Paper Ijrf
Abstrak
Hukum pidana meletakkan negara dan rakyat dalam gelanggang dengan kekuatan yang
timpang. Oleh karena itu garansi terhadap hak asasi manusia warga negara merupakan hal yang
tidak dapat teralienasikan untuk mencegah pencideraan terhadap hak asasi akibat kesewenang-
wenangan penguasa sebagai otoritas penegak hukum. Dalam melaksanakan perlindungan
terhadap hak asasi manusia pada tataran hukum acara pidana di Indonesia, telah ada mekanisme
pengawasan yang bersifat post factum untuk dapat menguji keabsahan tindakan Negara, yakni
praperadilan. Namun, evaluasi bernegara hukum kemudian mendatangkan konklusi kesadaran
bahwa mekanisme tersebut tidak lagi cukup karena masih menyisakan lubang-lubang yang
berimplikasi pada fenomena yang kerap mendepiksi coreng pada profesionalitas kinerja aparat
penegak hukum: kekerasan dan penyiksaan pada tahap penyidikan dan penuntutan, hingga
salah tangkap.
Kelemahan dari mekanisme praperadilan yang sudah ada saat ini perlu direformasi dan
dilengkapi dengan mekanisme untuk menciptakan suatu perlindungan terhadap hak asasi
manusia yang paripurna dalam konteks hukum acara pidana. Perlu diadakan suatu upaya
preventif bersifat wajib dalam rangka memverifikasi bukti permulaan sebelum penetapan status
tersangka dan sebelum dilaksanakannya upaya paksa yang merupakan pe/mbatasan terhadap
hak asasi manusia. Hal ini dilakukan dengan menyeimbangkan posisi pemegang fungsi
eksekutif yakni jaksa penuntut umum dan kepolisian sebagai penyidik dan penyelidik, dengan
pemegang fungsi yudikatif yakni hakim dalam menguji legitimasi upaya paksa yang hendak
dilakukan sebagai pengejawantahan mekanisme check and balances dalam abstraksi
praajudikasi..
Kata kunci: Perlindungan hak asasi manusia, upaya preventif, bersifat wajib, praperadilan,
hukum acara pidana
1
FORMAL AND SUBSTANTIAL EXAMINATION OF WARRANT REQUESTS BY A
JUDGE FOR THE PROTECTION OF BASIC HUMAN RIGHTS IN THE CRIMINAL
JUSTICE PROCESS
Abstract
The criminal law places the state and citizens in an arena with unequal strength. Therefore,
guarantees on the human rights of citizens are irrevocable to prevent the abuse of human rights
due to the arbitrariness of the authorities as law enforcement authorities. In implementing the
protection of human rights at the level of criminal procedural law in Indonesia, there has been
a post factum oversight mechanism to be able to test the legitimacy of state action, named, pre-
trial. However, the evaluation of law-enforcement then brings into conclusion the awareness
that the mechanism is no longer sufficient because it still leaves holes that have implications
on phenomena that often replicate streaking on the professionalism of the performance of law
enforcement officers: violence and torture at the stage of investigation and prosecution, to mis-
arrest.
The disadvantages of pre-existing pretrial mechanisms need to be reformed and complemented
by mechanisms to create a complete protection of human rights in the context of criminal
procedural law. A mandatory preventive effort is required in order to verify the preliminary
evidence prior to the determination of the suspect status and prior to the enforced attempts that
constitute a violation of human rights. This is done by balancing the position of the executive
function holder namely the public prosecutor and the police as investigators and investigators,
with the judicial function holder namely the judge in testing the legitimacy of the forced effort
to be performed as the embodiment of the check and balances mechanism in pre-accreditation
abstraction.
Keywords: Human rights protection, preventive, mandatory, pretrial, criminal procedure law
2
1. Pendahuluan
Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah pengetahuan tentang hukum
acara pidana dalam kerangka perlindungan hak asasi manusia pada tahapan pra
ajudikasi.
Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pembuat undang-undang
sebagai reformasi tahapan pra ajudikasi sistem peradilan di Indonesia.
2. Tinjauan Teoritis
3
2.1. Penegakan HAM dalam sistem peradilan pidana di Indonesia
“Human rights are rights that human beings possess because they are human
beings (Berting, 1990, p. 33).”
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena
ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh
masyarakat atau berdasarkan hukum positif; melainkan semata-mata berdasarkan
martabatnya sebagai manusia (Donelly, 2003, p. 7). Sebagai sebuah identitas yang
membedakan manusia dengan makhluk lain, maka sudah sepantasnya Hak Asasi
Manusia (HAM) diakui secara universal tanpa peduli apapun warna kulit, jenis
kelamin, usia, latar belakang kultural dan pula agama atau kepercayaan
spiritualisasnya. Dalam buku klasik “The Second Treatise of Civil Government and
a Letter Concerning Toleration”, John Locke mengajukan sebuah postulat
pemikiran bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup,
kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat
dicabut atau diganggu gugat oleh negara (Locke, 1964). Melalui suatu ‘kontrak
sosial’ (social contract), perlindungan atas hak yang tidak dapat dicabut ini
diserahkan kepada negara, dan apabila penguasa negara mengabaikan kontrak
sosial itu dengan melanggar hak-hak kodrati individu, maka rakyat di negara itu
bebas menurunkan sang penguasa dan menggantikannya dengan suatu pemerintah
yang bersedia menghormati hak-hak tersebut.
Dari pengertian di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa keberadaan HAM
mendahului hukum. Dengan kata lain bahwa HAM adalah hak dasar yang secara
kodrat melekat pada diri manusia sepanjang hidupnya sebagai anugerah Tuhan,
bersifat universal dan harus dilindungi oleh hukum (Efendi & Sukmana, 2007, p.
35). HAM sendiri menjadi diskursus di Indonesia sejak awal pendirian di negara
ini, yaitu pada saat BPUPKI menyiapkan rancangan Undang-Undang Dasar pada
tahun 1945 meskipun pro dan kontra mewarnai perdebatan kala itu. Akhirnya, pada
tanggal 18 Agustus 1945, PPKI menetapkan UUD Negara Republik Indonesia 1945
sebagai Staatsfundamentalnorm dan Staatsgrundgrezets yang di dalamnya memuat
hak-hak asasi manusia yang mendasar, meskipun masih secara sporadis dan implisit
(Arinanto, 2005, pp. 8-11). Dimana untuk menegaskan dukungan konstitusi
terhadap HAM di Indonesia, perubahan kedua UUD pada tahun 2000 menetapkan
bab khusus yang mengatur tentang HAM dalam Bab XA yang merupakan perluasan
4
Pasal 28 UUD 1945 yang semula hanya satu pasal menjadi 10 pasal perluasan, yaitu
Pasal 28A sampai 28J (Arinanto, 2005).
a. Pemanggilan; d. Penggeledahan;
b. Penangkapan; e. Penyitaan; dan
c. Penahanan; f. Pemeriksaan Surat.
Dalam keadaan normal, bilamana tindakan itu dilajukan tanpa dasar ketentuan
undang-undang, maka hal tersebut dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran hak
asasi manusia, khususnya tentang hak dan kebebasan pribadi dari orang yang
5
ditindak. Dan memang dalam realitanya, penerapan upaya paksa seringkali
berbenturan dengan hak asasi manusia. Tindakan sewenang-wenang oleh penyidik
dalam melakukan upaya paksa dilakukan tanpa prosedur yang tepat sehingga
tersangka pelaku tindak pidana seperti sudah divonis bersalah sebelum dinyatakan
benar-benar bersalah berdasarkan proses peradilan yang adil dan berkekuatan
hukum tetap (Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Manusia,
1994, p. 25). Orang yang bertindak sebagai penegak hukum wajib menghormati hak
orang yang melakukan tindak pidana dan tidak menghambat tersangka atau
terdakwa dalam memperoleh hak-haknya tersebut. Polisi sebagai aparat penegak
hukum yang diberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan seharusnya
tidak melakukan perbuatan dan tindakan sewenang-wenang. Dalam hal ini aparat
penegak hukum yaitu Kepolisian Republik Indonesia sebagai penyidik dan
penyelidik, seringkali menggunakan cara kekerasan dan penyiksaan dalam
melaksanakan proses pemeriksaan pendahuluan. Padahal polisi sebagai aparat
penegak hukum wajib menghormati dan melindungi hak orang yang melakukan
tindak pidana.
Jaminan konstitusi atas HAM memiliki arti penting bagi arah pelaksanaan
ketatanegaraan sebuah Negara. Adanya jaminan terhadap hak-hak dasar setiap
warga negara mengandung arti bahwa penguasa tidak dapat dan tidak boleh
bertindak sewenang-wenang kepada warga negaranya demi menjaga keseimbangan
antara kekuasaan dan hak dari warna negara itu sendiri (Soemantri, 1992, p. 29).
Perlindungan HAM seorang tersangka juga tertera dalam UU Kekuasaan
Kehakiman yang tertera dalam beberapa pasal seperti Pasal 2 ayat (4) yang
mengatur mengenai Asas Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan, Pasal 4
ayat (1) tentang Asas Non-Diskriminasi, Pasal 8 ayat (1) tentang Asas Praduga Tak
Bersalah, dan lain sebagainya. Begitu pula dalam ketentuan UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia yang menjamin hak tersangka untuk tidak menerima
perlakuan secara diskriminasi, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa serta hak
persamaan di depan hukum.
6
mendapatkan penanganan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku
(procedures of law) (Legal Information Insitute, 2017). Black Law Dictionary
mengartikan due process of law sebagai suatu konsep yang menekankan hak
seorang individu untuk tampil di muka suatu pengadilan (tribunal) yang dapat
memutus dalam hal menyangkut nyawa, kemerdekaan, atau kepemilikan secara
komprehensif. Di muka pengadilan tersebut, seseorang mempunyai hak untuk
didengar, untuk menolak atas dasar bukti-bukti dari fakta materiil. Due process of
law sendiri adalah suatu hak konstitusional agar pemerintah tidak dapat secara
sewenang-wenang merampas hak rakyatnya sendiri. Unsur-unsur dari due process
of law dapat diuraikan menjadi (Reksodiputro, 1994):
1. Hearing 4. Evidence
2. Counsel 5. Fair and Impartial
3. Defence Court
Implikasi-implikasi lain dari due process of law juga dapat dilihat dari
Prinsip Dasar Keadilan Bagi Pelaku Kejahatan (The Prevention of Crime and
The Treatment of Offenders) adanya hak-hak sebagai berikut:
7
kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala
jaminan hukum yang diperlukan untuk membelanya, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.”
Dapat disimpulkan bahwa due process of law adalah suatu prinsip yang
harus diingat khususnya dalam hal pelaksanaan upaya paksa di mana rawan
sekali terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang melampaui kebutuhan karena
hak-hak individu yang terkait tetap harus dikedepankan dengan menghargai dan
terus memperbaiki proses yang ada.
8
mengimbangi lembaga negara lainnya. Checks and balances ini, yang
mengakibatkan satu cabang kekuasaan dalam batas-batas tertentu dapat turut
campur dalam tindakan cabang kekuasaan lain untuk membatasi kekuasaan dari
setiap cabang kekuasaan secara efektif.
Hal ini berarti sistem checks and balances dalam penyelenggaraan kekuasaan
memungkinkan adanya saling kontrol antar cabang kekuasaan yang ada dan
menghindari tindakan-tindakan hegemonik, tiranik dan sentralisasi kekuasaan
(Hadjar, 2003, p. 4). Sistem ini mencegah terjadinya overlapping antar kewenangan
yang ada (Hadjar, 2003). Begitu pula dengan pendapat Prof. Jimly Asshiddiqie
adanya sistem checks and balances mengakibatkan kekuasaan negara dapat diatur,
dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya, sehingga penyalahgunaan
kekuasaan oleh aparat penyelenggaraan negara yang menduduki jabatan dalam
lembaga negara dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya
(Asshiddiqie, 2006, p. 74).
3. Penyajian Data
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam penyusunan tulisan ini adalah jenis
eksploratoris. Penelitian ini dikonstruksikan dengan memberikan penjelasan
mengenai latar belakang masalah yakni kepastian hukum dan hak asasi manusia
bagi tersangka dalam proses peradilan pidana yang menjadi dasar atas proposal
kami yaitu penerapan kewajiban penetapan pengadilan dalam rangka upaya paksa
dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
9
buku teks, jurnal, artikel, dan berbagai data sekunder publik lainnya seperti data
arsip dan data resmi pada instansi pemerintah.
10
Manusia Indonesia (PBHI) mencatat bahwa telah terjadi 31 kali kasus salah
tangkap yang turut diwarnai oleh kekerasan pada tahap penyidikan dan pra
penuntutan, diantaranya:
1. Salah satu contoh nyata yang termasuk pelanggaran HAM yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum ialah kasus salah tangkap yang dilakukan oleh
polisi terhadap Kemat cs (Ali, 2017). Kemat Cs merupakan korban salah
tangkap dalam kasus pembunuhan Asrori, mayat yang ditemukan di sebuah
kebun tebu Desa Bandar Kedungmulyo, Jombang. Kemat Cs bahkan sudah
divonis masing-masing 17 tahun dan 12 tahun penjara. Kemat Cs mengaku
diintimidasi dan dianiaya penyidik supaya mengaku telah membunuh
Asrori. Namun setelah diperiksa ulang, berdasarkan hasil tes Deoxiribo
Nuclead Acid (DNA) Laboratorium Pusdokkes Polri, mayat yang ditemukan
adalah Fauzin Suyanto, warga Nganjuk. Kemat Cs juga pada akhirnya tidak
terbukti telah bersalah membunuh Fauzin. Kasus yang lebih parah terjadi di
Surabaya, dimana seorang kakek bernama Suharto (68 Tahun) ditangkap di
rumahnya bersama salah satu keluarganya Devi. Upaya paksa penangkapan
atas Suharto ini dilakukan tanpa dasar dan bahkan diakui tidak
diperintahkan oleh atasan di kepolisian setempat, namun dengan sewenang-
wenang polisi yang menindak saat itu ikut memaksa Suharto untuk ikut
masuk ke dalam mobil polisi. Karena kondisi kesehatannya yang tidak baik,
seketika Suharto terjatuh, muntah, pingsan, dan kemudian meninggal dunia,
tanpa bantuan polisi sedikit pun yang berada di sana (Wahyudiyanta, 2017).
2. Sri Mulyani di Semarang yang sempat ditahan selama 13 bulan di dalam
penjara karena tuduhan mempekerjakan anak di bawah umur setelah
sebelumnya dipaksa mengaku oleh Penyidik (Putusan PT Semarang, 2013).
3. Krisbayudi, seorang buruh di Jakarta yang ditahan selama 251 hari akibat
tuduhan pembunuhan berencana terhadap seorang anak di daerah Priok.
4. Rahman Idaman di Batam, korban Lakalantas yang malah dijadikan
tersangka hingga harus menjalani penahanan sampai akhirnya dibebaskan
oleh Pengadilan Negeri Batam.
Terlebih lagi jika merujuk pada data yang dirilis oleh Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) Jakarta, pengaduan atas kasus salah tangkap hingga penyiksaan oleh oknum
11
kepolisian dalam tiga tahun terakhir (2015-2017) yang tercatat sebanyak 37 kasus
(Puspita, 2017).
12
Contohnya, dari penelitian yang dilakukan Institute for Criminal Justice
Reform (ICJR), dalam kurun waktu 2005-2010 di Kupang, Nusa
Tenggara Timur, dari 2.830 perkara pidana, Pengadilan Negeri Kupang
hanya menerima 12 permohonan perkara praperadilan (Luthan, 2014, p.
176), mengambil contoh di wilayah lain, dalam kurun waktu 2005-2010,
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hanya menerima 211 perkara
praperadilan (Luthan, 2014, p. 176). Minimnya penggunaan
praperadilan dalam hal ini tidak serta merta berarti aparat penegak
hukum telah melaksanakan kewenangannya dengan baik, bahkan
sebaliknya. Ini artinya masih banyak warga negara Indonesia yang buta
hukum meskipun telah dikriminalisasi atau diperlakukan tidak dengan
semestinya;
2. Hak tersangka, keluarga, atau kuasanya dapat gugur jika perkara pidana
telah mulai disidangkan. Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP menegaskan
dalam hal perkara sudah diperiksa pengadilan negeri, sedangkan
pemeriksaan permintaan praperadilan belum selesai, maka permintaan
tersebut gugur;
3. Masalah terkait kepastian jangka waktu pelaksanaan praperadilan.
Belum ada pengaturan lanjutan terkait jangka waktu Praperadilan;
4. Pengaturan secara umum mengenai hukum acara Praperadilan di dalam
KUHAP tidak cukup memadai sehingga melahirkan situasi
ketidakpastian hukum yang tidak menguntungkan bagi tersangka dalam
memanfaatkan mekanisme Praperadilan. Mekanisme pengajuan
praperadilan memang tidak secara tegas dan rinci diatur dalam KUHAP
(ICJR, 2017);
5. Tidak ada ketegasan dalam mengatur acara pemeriksaan praperadilan
mengakibatkan hakim praperadilan sekadar menilai secara formil
administratif terhadap tindakan aparat penegak hukum pidana yang
diajukan sebagai termohon praperadilan.
13
sewenang-wenang dengan melakukan penyiksaan untuk memaksa para
Tersangka mengaku terhadap suatu perbuatan, yang belum tentu juga
dilakukannya. Padahal dalam setiap upaya paksa yang dilakukan pejabat
penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, pada hakikatnya merupakan:
Oleh karena tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum
merupakan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka oleh Negara,
tindakan ini seyogyanya dilakukan secara proporsional, bertanggung jawab, dan
menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku, maka dari itu perlu
terdapat instrument untuk menguji penyelenggaraan kewenangan oleh Negara
dalam pembatasan HAM pada konteks peradilan pidana.
14
Praperadilan yang hanya melakukan pengawasan terhadap persoalan
administratif dengan tidak menyentuh kebenaran materiil tidak efektif dalam
menjamin hak tersangka. Penahanan pra persidangan atau sebelum persidangan
merupakan suatu objek yang dapat dijadikan tinjauan kelemahan dari
praperadilan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 124 KUHAP ‘Dalam hal apakah
sesuatu penahanan sah atau tidak sah menurut hukum, tersangka, keluarga atau
penasihat hukum dapat mengajukan hal itu kepada pengadilan negeri setempat
untuk diadakan praperadilan guna memperoleh putusan apakah penahanan atas
diri tersangka tersebut sah atau tidak sah menurut undang-undang ini’. Terhadap
adanya penahanan yang melanggar ketentuan di dalam Pasal 77 KUHAP dapat
diajukan praperadilan sesuai dengan ketentuan Pasal 124 KUHAP. Namun,
kekurangan praperadilan dalam hal ini adalah bahwa sudah ada hak tersangka
yang kemungkinan terlanggar dikarenakan adanya penahanan pra persidangan.
Fungsi utama dari praperadilan adalah melakukan pengawasan, sehingga jika
pengawasan yang dilakukan setelah adanya penahanan maka dapat dikatakan
tujuan dari praperadilan ini tidak efektif.
15
praperadilan Indonesia amat limitatif. Meski hakim praperadilan dapat
menyatakan sah tidaknya suatu upaya paksa, kewenangan ini baru lahir 1) pasca
upaya paksa dilakukan dan 2) kewenangan ini baru aktif apabila dimohonkan
dan tidak bersifat wajib dalam peradilan pidana. Di dalam pengawasan terhadap
upaya paksa di konsep magistrate, persetujuan atas pemeriksaan terhadap upaya
paksa dilakukan di awal sebagai tindakan preventif untuk memverifikasi bukti
permulaan dan pencegahan akan proses penyidikan yang salah alamat atau
sewenang-wenang. Pengawasan ini dilakukan secara terbuka dengan
melibatkan partisipasi masyarakat.
16
dibawa oleh aparat yang berkaitan serta affidavit atau surat sumpah dari aparat
yang berkaitan. Dalam praktiknya, aparat penegak hukum akan memastikan
terlebih dahulu apakah mereka mempunyai bukti yang cukup sebelum
memohonkan agar suatu urat perintah untuk upaya paksa dikeluarkan oleh hakim
(Law Firms, n.d.) (Illinois v. Gates, 1983). Tanpa adanya probable cause sebuah
upaya paksa menjadi tidak valid dan barang bukti apa pun yang didapatkan tidak
dapat dipakai dalam proses pengadilan
Probable cause yang dijadikan dasar dalam dikeluarkannya suatu surat perintah
oleh hakim tidak pernah secara eksplisit didefinisikan dalam hukum AS meskipun
Amandemen Keempat Konstitusi AS menyebutkan bahwa “no warrants shall
issue, but upon probable cause.” Pada asasnya, hakim dapat memutuskan adanya
probable cause apabila ada suatu kemungkinan yang cukup baik bahwa dengan
dilakukannya suatu upaya paksa akan didapatkan perkembangan atas
pengungkapan suatu perkara pidana (FindLaw, 2017). Mahkamah Agung AS
telah mencoba memberikan tolak ukur atas apa yang dimaksud dengan probable
cause, namun lembaga tersebut tetap berpendapat bahwa parameter dari probable
cause memang bersifat kasuistis dan menyesuaikan dengan konteks dari tiap
perkara sebab pada akhirnya hakim harus dapat memutuskan setelah
mempertimbangan keseluruhan dari bukti-bukti penyidik (Legal Information
Institute, 2017). Dalam kasus Illinois v. Gates, Mahkamah Agung AS memilih
untuk mengambil suatu pandangan yang “praktis dan non-teknis” atas dasar
“pertimbangan-pertimbangan faktual dan praktis mengenai kehidupan sehari-hari
dari tindakan-tindakan individu yang masuk akal (reasonable and prudent)
(Illinois v. Gates, 1983). Maka, dapat disimpulkan bahwa dalam penentuan
probable cause, hakim tetap mempunyai ruang gerak untuk memiliki pandangan
tersendiri.
Hal ini kontras dengan pengaturan Indonesia mengenai upaya paksa yang bisa
dilakukan atas dasar surat perintah yang dikeluarkan oleh penyidik. Penyidik
dapat membuat surat perintah untuk melaksanakan upaya paksa cukup dengan
memiliki dugaan yang kuat atas adanya suatu tindak pidana berdasarkan minimal
dua alat bukti. Hakim tidak terlibat dalam penentuan validitas atau kebutuhan akan
suatu upaya paksa, dan penegak hukum mempunyai ruang gerak yang dapat
dibilang terlampau luas. Karena keputusan untuk melakukan upaya paksa
17
disandarkan kepada otoritas penegak hukum saja, maka tidak ada evaluasi lanjutan
atas apakah suatu perkara dapat dibilang telah memenuhi parameter probable
cause. Adapun dalam hukum prosedural Indonesia memang tidak ada standar apa
pun atas kekuatan dugaan penyidik yang dapat dijadikan validasi untuk suatu
upaya paksa, sehingga membuat keputusan penyidik untuk melakukan
penangkapan, penahanan, maupun penggeledehan dan penyitaan terlampau
subyektif.
18
yang dapat menjadi lapisan tambahan sebagai pengaman atas pelanggaran HAM
yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh penguasa melalui upaya paksa.
Meskipun dapat diperdebatkan segi kemanfaatan penambahan suatu tahap
dalam proses pra-adjudikasi dengan mempertimbangkan bahwa penambahan tahap
dapat memperlambat proses yang ada, namun jika ditinjau kembali kegawatan dari
adanya kewenangan upaya paksa yang tidak memiliki pembatasan yang jelas dari
aparat penegak hukum, maka penambahan tahap ini dirasa perlu untuk menjamin
keadilan.
Patut dicatat bahwa dengan adanya tahapan tersebut, tidak serta merta berarti
bahwa lembaga praperadilan, sebagaimana kewenangannya diuraikan KUHAP,
dihapus. Meskipun lembaga praperadilan hanya melakukan pengujian formil post-
factum, lembaga praperadilan masih memiliki kewenangan untuk
memeriksa/memutus sah atau tidaknya upaya paksa (penggeledahan, penyitaan,
penangkapan, penahanan), memeriksa sah/tidaknya penghentian penyidikan dan
penuntutan, memeriksa tuntutan ganti rugi, permintaan rehabilitasi ssampai dengan
penetapan tersangka (Harahap, 2006, pp. 5-8) (Legal Information Institute, 2017).
Dengan diintrodusirnya tahapan tambahan adanya penetapan pengadilan dalam
rangka upaya paksa, lembaga praperadilan masih harus menjadi safeguard atas
terjadinya pelanggaran-pelanggaran dalam pelaksanaan upaya paksa yang dapat
menyebabkan suatu upaya paksa menjadi tidak sah (contohnya adalah penggunaan
kekerasan dan intimidasi). Justru tahapan pengajuan permohonan penetapan
pengadilan atas upaya paksa dalam pra-adjudikasi menjadi lapisan tambahan yang
akan turut menjamin bahwa pelanggaran hak asasi manusia individu yang terkait
dengan upaya paksa dapat diminimalisir. Ini sebanding dengan jalur pengajuan
habeas corpus dalam peradilan AS di mana seorang individu yang merasa bahwa
hak-haknya terlanggar dengan pelaksanaan suatu upaya paksa dapat memohonkan
agar aparat yang melakukan upaya paksa serta dirinya dibawa ke muka persidangan
untuk diuji keabsahannya (Legal Information Institute, 2017).
19
memberikan afirmasi atas upaya paksa yang akan dilakukan. Sebelum hakim memberikan
afirmasi tersebut, hakim harus mempertimbangkan aspek formil dan materil dari perkara yang
diajukan berdasarkan bukti-bukti permulaan yang telah dikumpulkan oleh aparat penegak
hukum. Adanya aspek pengujian materiil yang membuat tahapan pra-adjudikasi tersebut
berbeda dari praperadilan. Hakim juga harus dapat memutuskan apakah perkara yang diajukan
padanya sudah memenui kualifikasi probable cause agar upaya hukum yang diajukan memang
betul-betul dibutuhkan demi perkembangan kasus pidana terkait.
Harus diketahui bahwa tahapan tersebut penting dalam rangka mengadakan suatu hubungan
checks and balances antara aparat penegak hukum dan hakim sehingga kewenangan untuk
melanggar HAM seseorang melalui pengadaan upaya paksa. Upaya paksa sebagai suatu alat
yang bisa dipergunakan aparat penegak hukum untuk mengusut suatu perkara pidana, tidak
seharusnya dipergunakan secara sewenang-wenang dan seharusnya diberlakukan menurut asas
due process of law. Tahapan tambahan ini tidak dimaksud sebagai alternatif dari lembaga
praperadilan namun layaknya jalur habeas corpus dalam sistem pidana AS sebagai lapisan
pengamanan tambahan terhadap hak asasi manusia seorang individu terkait hak untuk
kemerdekaan dan kepemilikan dalam rangka peradilan pidana. Pada akhirnya, dapat
disimpulkan bahwa pencapaian hubungan checks and balances dan penerapan asas due process
of law melalui pengadaan tahapan pengujian tambahan dilangsungkan demi mengadakan
perlindungan HAM.
Puji Syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
rahmatNya, karya tulis ilmiah ini dapat selesai pada waktunya. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan karya
tulis ilmiah ini sehingga dapat berjalan dengan lancar tanpa suatu obstruksi yang berarti.
References
Ali. (2017, Oktober 9). Salah Tangkap Kemat Cs Berbuah Sanksi Etik dan Profesi. Retrieved
from Hukumonline.com: http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21010/salah-
tangkap-kemat-cs-berbuah-sanksi-etik-dan-profesi
Arinanto, S. (2005). Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Jakarta: Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
20
Asshiddiqie, J. (2006). Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Berting, J. (1990). Human RIghts in a Pluralist World: Individuals and Collectivities.
London: Meckler.
Donelly, J. (2003). Universal Human Rights in Theory and Practice. London: Cornell
University.
Efendi, M., & Sukmana, T. (2007). HAM: Dalam Dimensi dan Dinamika Yuridis, Sosial dan
Politik. Bogor: Ghalia Indonesia.
FindLaw. (2017, Desember 21). Probable Cause. Retrieved from FindLaw:
http://criminal.findlaw.com/criminal-rights/probable-cause.html
Hadi, S. (2013, Februari). Fungsi Legislasi dalam Sistem Pemerintahan Presidensiil: Studi
Perbandingan dan Amerika Serikat. Jurnal Ilmu Hukum DIH, 9(18), 78.
Hadjar, A. F. (2003). Pokok-Pokok Pikiran dan Rancangan Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi. Jakarta: KRHN dan Kemitraan.
Harahap, Y. (2006). Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sinar
Grafika.
ICJR. (2017, Desember 22). Mekanisme Praperadilan Harus di Reformasi Total. Retrieved
from icjr.or.id: http://icjr.or.id/mekanisme-praperadilan-harus-di-reformasi-total-
perma-4-tahun-2016-belum-komprehensif-mengatur-soal-praperadilan/
Illinois v. Gates, 462 U.S. 213, 232 (US 1983).
Konstitusi, M. (2017, Desember 22). No. 21/PUU-XII/2014. Retrieved from
mahkamahkonstitusi.go.id:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/21_PUU-
XII_2014.pdf
Law Firms. (n.d.). What an Arrest Warrant Means. Retrieved Desember 21, 2017, from
http://www.lawfirms.com/resources/criminal-defense/defendants-rights/what-arrest-
warrant-means.htm
Legal Information Insitute. (2017, Desember 21). Due Process. Retrieved from Wex:
https://www.law.cornell.edu/wex/due_process
Legal Information Institute. (2017, Desember 23). Habeas Corpus. Retrieved from Wex:
https://www.law.cornell.edu/wex/habeas_corpus
Legal Information Institute. (2017, Desember 21). Probable Cause. Retrieved from Wex:
https://www.law.cornell.edu/wex/probable_cause
Locke, J. (1964). The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning
Toleration. Oxford: Blackwell.
Luthan, S. (2014). Praperadilan di Indonesia: Teori, Sejarah dan Praktiknya. Jakarta:
Institute for Criminal Justice Reform.
21
Puspita, S. (2017, Desember 22). Kisah Korban Salah Tangkap yang Disiksa Polisi.
Retrieved from megapolitas.kompas.com:
http://megapolitan.kompas.com/read/2017/06/22/08572121/kisah.korban.salah.tangka
p.yang.disiksa.polisi
Reksodiputro, M. (1994). Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Manusia. Jakarta:
Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia.
Reksodiputro, M. (1994). Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum.
Republik Indonesia. (2009). Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Simanjuntak, N. (2009). Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Soemantri, S. (1992). Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia. Bandung: Alumni.
Strong, C. (2008). Konstitusi-Konstitusi Politik Modern. Bandung: Nusa Media.
Sunarto. (2016, April). Prinsip Checks and Balances dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia.
Masalah-Masalah Hukum, 45(2), 157.
Wahyudiyanta, I. (2017, Desember 22). Diduga Jadi Korban Salah Tangkap, Seorang Kakek
Meninggal. Retrieved from news.detik.com: https://news.detik.com/berita-jawa-
timur/d-3431153/diduga-jadi-korban-salah-tangkap-seorang-kakek-meninggal
22