Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat Final

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 261

TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.

com

S
SII K
KAAK
KII S
SAAK
KTTII M
MEENNGGGGE
EMMP
PAAR
RKKA
ANN
D
DUUNNIIA
ASSIIL
LAAT
T
Scan Djvu : Mukhdan, editor : Hendra
Final Edit & Ebook oleh : Mukhdan
Tiraikasih Website

http://kangzusi.com/ & http://kang-zusi.info/

1
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Di jaman Bhahala Ceng, yaitu pada masa kaisar-kaisar Boan-ciu berkuasa di Tiongkok,
dikalangan Kang-ouw banyak terdapat jago-jago silat yang nama-namanya sangat masyhur
diseluruh negeri. Salah seorang antaranya adalah Sin-tui Lie Poan Thian, yang ilmu
tendangannya sangat dimalui orang, sehingga ia memperoleh nama-julukan Sintui tadi,
yang dalam bahasa Indonesia berarti si Kaki Sakti.

Adapun Lie Poan Thian ini asalnya orang residensi Cee-lam dalam propinsi Shoatang, putra
tunggal dari Lie Tek Hoat, seorang paberikan beras yang kaya raya.

Nama Poan Thian yang sebenarnya ialah Lie Kok Ciang, tetapi dari sebab belakangannya ia
telah menjagoi di daerah lima propinsi utara dari Tiongkok, yaitu Shoatang, Holam, Hopak,
Siamsay dan Shoasay yang lazim disebut orang “Separuh Jagat" (sedangkan seluruh
Tiongkok disebut “Seluruh Jagat"), maka nama aslinya lambat-laun telah dilupakan orang
dan berganti menjadi Lie “Poan Thian", yang berarti orang she Lie yang menjagoi diseparuh
jagat Tiongkok.

Lie Poan Thian ini pada masa mudanya adalah seorang yang berbadan lemah dan kerap
dihinggapi penyakit, oleh sebab itu ayahnya sangat masygul dan kuatir, kalau-kalau sang
putera yang sebiji mata itu tak dapat berumur panjang. Maka dari itu juga, Tek Hoat telah
berikhtiar sedapat mungkin untuk membikin puteranya menjadi seorang yang kuat sehat
dan tak berpenyakitan pula, biarpun untuk itu ia mesti keluar uang yang bukan sedikit
jumlahnya.

Pada suatu hari ketika Tek Hoat sedang berjalan-jalan kepasar, tiba-tiba ia menampak
banyak orang berkerumunan tengah menonton suatu pertunjukan. Maka Tek Hoat yang
juga tertarik oleh perhatian orang banyak itu, lalu ia sendiripun iseng-iseng maju
menghampiri dan kemudian menyelesap masuk diantara mereka, agar supaya dapat
menonton dari tempat yang lebih dekat. Tatkala maju sampai ke baris penonton yang
berdiri paling depan, disitu ia menampak seorang penjual silat yang sedang bersilat
sendirian dengan amat asyiknya.

Perawakan si-penjual silat ini tegap dan kuat, gerak-geriknya sebat dan lincah, Tek Hoat
sendiri tak mengerti ilmu silat, tetapi dengan menyaksikan sambutan tepuk tangan riuh dari
pihak orang banyak yang berkumpul disitu, maka ia menarik kesimpulan bahwa permainan
silat orang itu tentunya cukup baik untuk mendorong rasa kagum orang. Maka selama turut
menonton, Tek Hoat jadi teringat kepada puteranya yang berbadan lemah itu.

“Jikalau anakku dapat diajarkan ilmu silat," demikianlah pikirnya, “tentulah lambat-laun ia
akan menjadi seorang yang bertubuh sehat dan kuat seperti penjual silat itu."

Oleh karena mendapat pikiran begitu, maka timbulah didalam hati orang tua itu suatu
keinginan akan mengundang si-penjual silat akan menjadi guru puteranya. Tetapi karena
pertunjukan itu masih berlangsung, maka ia pikir paling betul akan mengutarakan pikiran itu
nanti saja, jikalau pertunjukan itu telah bubaran.

Maka sebegitu lekas pertunjukan berakhir dan para penonton bubaran dengan perasaan
puas, barulah Lie Tek Hoat menghampiri si-penjual silat itu sambil memberi hormat dan
berkata: “Tuan, aku ada suatu urusan yang hendak kurundingkan dengan dikau. Oleh
karena itu, sudikah kiranya kau ikut aku mampir ke sebuah kedai arak, agar supaya kita
dapat berunding disana dengan secara leluasa ?"

2
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Si-penjual silat yang mendapat tawaran begitu, sudah tentu saja jadi heran dan tak
mengerti apa maksud Tek Hoat yang sebenarnya. Ia tak kenal Tek Hoat, seperti juga ia
percaya Tek Hoat pun baru pernah bertemu padanya di-saat itu. Tetapi karena ia melihat
Tek Hoat orangnya manis budi dan sopan santun, lagi pula ia berpakaian pantas, maka ia
lantas mengabulkan undangan orang tua she Lie itu.

Begitulah kedua orang itu lalu mampir ke sebuah kedai arak yang terdekat. Disitu Tek Hoat
lalu panggil seorang pelayan, yang lalu diminta akan menyediakan arak dan beberapa
macam hidangan guna menjamu si-penjual silat itu.

Dalam pembicaraan yang berlangsung selama mereka makan minum itu, Tek Hoat baru
mengetahui bahwa si-penjual silat itu berasal dari residensi Thay-goan dalam propinsi
Sansee, she An bernama Chun San.

An Chun San ini sebenarnya ada seorang piauw-su atau pelindung kereta-kereta angkutan.
Oleh karena kelanggar apes jatuh sakit di kampung orang sehingga sebulan lamanya, maka
uang perbekalannya telah habis sama sekali, dari itu ia terpaksa menjual silat guna mencari
ongkos untuk pulang ke kampung halamannya. Akan tetapi karena ia bukan seorang yang
biasa menuntut penghidupan demikian, sudah tentu saja segala caranya agak kaku dan
canggung. Diwaktu berbicara di hadapan para penonton, tak mampu ia memilih kata-kata
yang indah-indah untuk menarik rasa simpati orang banyak, maka dari itu hasil usahanya
berkurang pula dan belum bisa mencukupi dipergunakan ongkos pulang ke kampung
kelahirannya.

Lie Tek Hoat yang mendengar penuturan itu, bukan saja menjadi semakin simpati dan
mengindahkan, tetapi juga ia semakin percaya bahwa ilmu kepandaian silat An Chun San ini
tentu cukup tinggi dan ada itu harga akan menjadi guru puteranya. Lebih-lebih karena ia
ada seorang piauw-su, maka selanjutnya tak ragu-ragu pula akan ia mengutarakan maksud
hatinya buat mengangkat si-penjual silat itu sebagai guru puteranya. Padahal ia tak tahu,
bahwa An Chun San ini bukanlah seorang piauwsu utama yang biasa dipercayakan dalam
hal melindungi kereta-kereta angkutan yang berharga mahal dan penting.

Maka An Chun San yang mendengar tawaran yang dapat menjamin penghidupannya
dikemudian hari itu, sudah barang tentu menjadi sangat girang dan bersyukur didalam hati,
untuk kemujuran yang sekarang terbayang didepan matanya. Tetapi buat bikin dirinya lebih
diindahkan orang, maka sambil bersenyum ia lantas berkata: “Lo-sian-seng, mula-mula aku
menduga kau mengalami peristiwa apa-apa yang agak sulit, tidak tahunya hanya urusan
begitu saja. Soal ini mudah sekali untuk diaturnya. Pada beberapa waktu ini sebenarnya aku
mesti kembali dahulu ke Thay-goan, akan tetapi karena mengingat atas kebaikanmu ini
yang telah begitu sungguh-sungguh mengundang aku buat menjadi guru puteramu, maka
aku suka batalkan keberangkatanku itu, agar dengan begitu, aku bisa bekerja banyak guna
kebaikan dan kebahagiaan rumah tangga dan puteramu itu."

Mendengar jawaban itu, tentu saja Lie Tek Hoat jadi sangat girang dan berterima kasih atas
kebaikan piauw-su yang baru dikenalnya itu.

Sedang Chun San yang penghidupannya agak sukar, juga tak luput berterima kasih pada
Thian Yang Maha Kuasa, karena penghidupan selanjutnya akan jauh lebih senang dan
terjamin sebagai seorang guru silat di rumahan, daripada menjadi seorang pembantu piauw-
su yang hidupnya selalu terancam bahaya maut dan sangat berat tanggung jawabnya.

Maka setelah membayar harga makanan dan minuman yang mereka telah dahar tadi, Tek
Hoat lalu ajak Chun San berkunjung ke rumahnya.

3
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Petang hari itu di rumah paberikan beras yang kaya raya itu telah diadakan sedikit
perjamuan sebagai tanda hormat atas diri An Chun San yang menjadi guru puteranya,
sedang Poan Thian pun lalu dipanggil buat mengunjuk hormatnya kepada sang guru itu.

Demikianlah semenjak itu An Chun San telah menjadi gurunya Lie Kok Ciang, yang
kemudian termasyhur sebagai Sintui Lie Poan Thian yang merupakan peranan utama dari
cerita kita ini.

Setahun telah lewat dengan tidak terasa pula. Selama itu An Chun San telah mengajarkan
segala macam ilmu silat yang ia paham kepada Lie Kok Ciang, yang ternyata ada seorang
yang mempunyai bakat baik untuk meyakinkan ilmu silat.

Diwaktu tertuang Poan Thian sering membaca buku-buku cerita yang menuturkan tentang
riwayat orang-orang gagah yang gemar menciptakan ilmu-ilmu pukulan atas pendapat
sendiri. Oleh sebab itu, maka ia sendiripun jadi tertarik sekali oleh cara-cara mereka itu.

Demikianlah dengan memakai dasar-dasar pelajaran yang telah dapat diyakinkannya dari An
Chun San, Poan Thian telah mulai melatih diri dengan sebaik-baiknya, tanpa sang guru
pernah pikir bahwa muridnya akan bertindak sekian jauhnya.

Di rumah keluarga Lie, Chun San tak mengajar dengan setengah hati. Tetapi disamping itu
permintaannya-pun banyak pula, karena buat sesuatu macam ilmu pukulan baru yang
diajarkannya, Poan Thian harus membayar mahal sekali. Syukur juga berkat pimpinan guru
dan kegiatannya sendiri, sehari demi sehari Poan Thian telah berobah, dari seorang yang
lemah menjadi seorang yang bertubuh tegap, kuat dan sehat, hingga ini membikin Tek Hoat
jadi semakin girang dan berterima kasih, dan selalu bersedia akan keluar uang buat turuti
segala permintaannya An Chun San itu.

Sementara Chun San yang melihat pekerjaannya telah berhasil baik, tidak jarang
membanggakan dirinya di hadapan Tek Hoat dan muridnya.

“Dengan ilmu pukulan yang kuturunkan pada Kok Ciang sekarang," begitulah katanya pada
suatu hari, “tidak kurang dari beberapa belas jagoan dikalangan Kang-ouw yang telah
berhasil dapat kurobohkan. Maka jikalau kau juga suka yakinkan itu dengan segiat-giatnya,"
ia menambahkan sambil melirik kepada Lie Poan Thian, “niscaya dapat juga kau berbuat
begitu. Tetapi kita yang mengerti ilmu silat, janganlah suka berlaku congkak kepada
sesamanya, apalagi terhadap para orang-orang yang lemah dan tidak pandai ilmu itu. Ada
satu kali pernah kualami suatu kejadian yang agak menggelikan hati. Seorang jago silat
termasyhur dikalangan Kang-ouw, yang disini kukira tidak perlu disebutkan namanya untuk
tidak mencemarkan nama baiknya, pernah menyombongkan diri di hadapanku, bahwa
dialah “Thian Hee Tee It" — nomor wahid dikolong langit — dan sesumbar akan pukul jatuh
semua jagoan dari segala golongan. Kepada dia ini aku telah menasehatkan agar supaya dia
jangan membuka mulut begitu besar. “Orang gagah di dunia ini bukan hanya kau saja
seorang," kataku. Tetapi nasihatku itu telah disambutnya dengan suatu ejekan yang dapat
membikin seorang yang paling sabar meluap darah. Demikian juga telah kejadian dengan
diriku sendiri, yang ketika itu masih muda dan berdarah panas, tetapi syukur juga aku masih
dapat mengendalikan amarahku yang telah mulai berkobar-kobar. Belakangan karena ia
mengira aku takut kepadanya, lalu dengan tidak segan-segan pula ia menantang kepadaku
untuk bertanding secara sahabat, hingga aku sendiri yang telah menjadi mual dengan
tingkah-lakunya yang menengil itu, segera terima tantangan itu dengan perjanjian akan
jangan saling mendendam, jikalau ada salah seorang yang luka atau bercacad. Ia terima
baik syarat itu.

Maka setelah kedua pihak memilih seorang wasit, kita lalu mulai bertempur disebidang

4
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

pekarangan yang agak luas, dengan disaksikan oleh jago-jago tua kenamaan dikalangan
Kang-ouw, yang sekarang hampir semua telah meninggal dunia."

Tek Hoat dan Poan Thian pasang telinga mendengari “obrolan" sang guru itu.

“Dalam pertandingan persahabatan itu," An Chun San melanjutkan ceritanya, “aku telah
mengalah buat kasih ia menyerang dahulu kepadaku, biarpun sekalian Lo-eng-hiong
mengatakan ini “tidak adil" ! Kau yang ditantang, maka haruslah kau dahulu yang berhak
akan menyerangnya, katanya. Tetapi aku ini memang orangnya terlalu see-jie, maka aku
lebih suka mengalah daripada mendahului memukul. Begitulah pertempuran itu lalu
dimulai."

Sambil berkata begitu, dengan tidak terasa lagi Chun San lalu berbangkit dari tempat
duduknya. “Orang itu disini kita katakan saja si A," katanya, “lalu mulai menerjang dengan
suatu pukulan untuk menjotos ulu hatiku." (Buat menutur dengan terlebih jelas, Chun San
lalu menggerak-gerakkan badan, kaki, tangan dan kepalanya). “Aku lalu mengegos sedikit,
buat kasih lewat pukulan itu, tetapi berbareng dengan itu, aku lalu maju setindak, akan
mendekati kepadanya.

Sebelah kakinya tiba-tiba menyapu kakiku yang sedikit maju kedepan, tetapi tendangan itu
luput, karena dengan mudah saja aku telah dapat hindarkan tendangan itu dengan
mengangkat kakiku sedikit keatas," (sambil Chun San menggerakkan kakinya sendiri). “Ia
jadi mendongkol karena tendangannya luput. Lantas ia mendesak dengan cepat. Untung
juga pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan yang sehebat itu ditujukan kepada diriku,
jikalau ini ditujukan pada orang lain, aku percaya orang itu akan kelabakan setengah mati.
Sekalian Lo-eng-hiong mula-mula sangat kuatir atas keselamatan diriku. Tetapi ketika dgn
mudah aku telah dapat singkirkan itu semua, ada beberapa orang yang berbisik, (tetapi ini
dapat didengar olehku), bahwa A itu bukan tandinganku yang setimpal. Ini akupun memang
telah ketahui, A itu memanglah bukan tandinganku yang setimpal ! Malah kalau aku mau,
aku bisa rubuhkan padanya dengan sekali gebrak."

Poan Thian yang mendengar penuturan itu jadi kelihatan tidak sabar dan lantas
menanyakan: “Suhu! Aku sungguh tidak bisa mengerti apa sebab kau tidak segera memukul
kepadanya, sedangkan kau tahu kau bisa berbuat begitu !”

“Suhu tentu ada kandung maksud lain," kata ayahnya.

Chun San tersenyum.

“Mula-mula aku tak mau berbuat begitu getas," katanya, “karena aku tahu, bahwa
perbuatan itu akan mencemarkan nama baiknya di hadapan orang banyak."

“Nah, itulah sebabnya mengapa Suhu tidak segera merubuhkan kepadanya," kata Tek Hoat
sambil mengacungkan jempolnya. “Itulah perbuatannya seorang budiman !"

“Tetapi kesabaran itu ada batasnya," kata Chun Sun pula. “Maka setelah melihat bahwa
perbuatanku yang mengalah itu jadi berbalik dianggap pengecut, aku jadi sengit. Aku mulai
menyerang dengan ilmu-ilmu pukulan yang ringan, tetapi semakin lama semakin berat,
sehingga akhirnya aku telah keluarkan ilmu-ilmu pukulan sangat lihay seperti apa yang
kupernah ajarkan kepadamu." (Sambil menggerakkan kaki tangannya, Chun San menoleh
pada Lie Poan Thian). “Paling belakang, pada sebelum ia keburu berteriak meminta ampun,
jari tanganku yang menyamber seperti kilat cepatnya telah tiba dibagian geger kirinya. Ia
berteriak dan jatuh pingsan dengan tiga buah tulang iganya patah !" (Chun San tertawa).

Lie Poan Thian kelihatan bernapas lega, hingga sambil berbangkit dari tempat duduknya ia

5
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

menyoja pada An Chun San dan berkata : “Itulah justeru ada bagian paling setimpal yang ia
harus dapatkan ! Aku harus mengucap “Kionghie" atas kemenangan guruku."

Chun San yang dipuji-puji jadi semakin mangkak.

“Sebetulnya masih untung ia dirobohkan dalam cara begitu dan dengan disodok iganya," ia
berkata sambil pelembungi dada. “Kalau ia kena kutendang, ia akan putus jiwanya
diseketika itu juga !"

Mendengar penuturan itu, Poan Thian dan ayahnya jadi sangat kagum atas kepandaian
sang guru yang maha dahsyat itu.

“Banyak jagoan-jagoan dikalangan Kang-ouw yang mendengar betapa lihaynya ilmu


tendanganku," Chun San melanjutkan ceritanya dengan penuh semangat, “telah sengaja
mengunjungi kepadaku, dengan maksud buat minta diajarkan ilmu tendangan itu, tetapi aku
menyatakan berkeberatan, berhubung kuatir nanti dipergunakan dengan sembarangan oleh
mereka itu, hingga akhirnya aku sendirilah yang akan tanggung dosanya."

Poan Thian jadi heran dan berbalik tanya kepada sang guru itu : “Suhu," katanya, “aku
sungguh tidak mengerti dengan maksud omonganmu tadi. Cara bagaimanakah perbuatan
orang lain bisa ditanggung olehmu, sedangkan kau sendiri ada kemungkinan tidak tahu-
menahu tentang perbuatan sesuatu orang itu ?"

“Ya, itu memang kelihatannya tidak menjadi soal penting," kata An Chun San, “tetapi sudah
terang bahwa setiap orang yang menerima pelajaran ilmu menendang dari aku, dengan
sendirinya berarti suatu kedosaan bagi diriku, apabila besok atau lusa ia menendang orang
sehingga mati, karena ilmu tendangan itu adalah aku sendiri yang menciptakannya, bukan
boleh meniru dari orang lain."

Lie Poan Thian menganggukkan kepalanya selaku orang yang berpikir, tetapi ia tak coba
berdeging lebih jauh, meskipun didalam hatinya ia merasa kurang puas dengan jawaban
gurunya itu. Sementara An Chun San yang melihat Poan Thian berdiam sejurus, ia kuatir
kalau-kalau murid itu minta diajarkan ilmu tendangan yang dikatakan olehnya tadi, maka
buat mencegah kejadian-kejadian lain yang akan menunjuk “tembaga" kepandaiannya, lalu
buru-buru ia tersenyum sambil mengatakan : “Ilmu tendangan ini akan kuturunkan
kepadamu nanti diakhir tahun pelajaran kedua."

Oleh karena Lie Poan Thian justeru hendak minta diajarkan ilmu tendangan itu, maka
terpaksa ia tutup mulut dan mesti menunggu sampai lain tahun, dan itulah ada jalan
pertama yang telah mendorong dia akan menciptakan ilmu tendangan baru, dengan mana
dikemudian hari dia menjagoi di daerah lima propinsi utara.

Lie Poan Thian yang berotak sangat terang, disamping meyakinkan ilmu silat yang diajarkan
oleh An Chun San, juga dengan diam-diam ia telah coba menyempurnakan sendiri ilmu-ilmu
silat yang dirasanya masih terdapat bagian-bagian yang lemah dan mudah diserang oleh
ilmu silat lain.

Pada suatu hari ketika Poan Thian minta diajarkan ilmu tendangan yang begitu diagulkan
oleh An Chun San, dengan perasaan kurang enak sang guru itu telah berkata : “Belum
boleh, belum boleh, karena ilmu-ilmu pukulan yang sekarang kau belum dapat yakinkan
sehingga faham betul, cara bagaimana bisa dicampur aduk dengan pelajaran-pelajaran lain
yang sifatnya jauh lebih sukar daripada itu ?"

Poan Thian dilahir tidak coba membantah omongan gurunya, tetapi didalam hati ia merasa
sangat kurang puas, oleh sebab itu selanjutnya ia belajar dengan terlebih giat, sehingga

6
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

lama kelamaan Chun San jadi kuatir sekali, akan ilmu kepandaiannya sendiri akhirnya kena
terdesak oleh sang murid. Buat mengaku yang ia sudah hampir kehabisan “kunci" untuk
mengajarkan pada sang murid, sudah tentu saja tak mau ia berbuat begitu. Karena jikalau
ia berhenti mengajar ilmu silat kepada Lie Poan Thian, ia kuatir tak akan mendapat
pekerjaan lain yang terlebih menyenangkan. Tetapi, apa akal sekarang ?

Pikir punya pikir, akhirnya didapatilah suatu akal untuk memperpanjang tempo bekerjanya
dengan jalan memberikan pelajaran lebih sedikit kepada muridnya. Oleh karena itu,
dapatlah Chun San berdiam enam bulan pula lamanya di rumah keluarga Lie itu.

Pada suatu hari dimusim dingin, selagi orang enak berminum arak yang hangat dimuka
perapian, adalah Lie Poan Thian sedang asyiknya melatih ilmu silat ciptaannya di tengah
pelataran halaman rumahnya.

Dalam pada itu An Chun San yang menyaksikan perbuatan muridnya dari kejauhan, diam-
diam merasa heran dan menduga-duga, ilmu silat apa itu yang sedang diyakinkan oleh Lie
Poan Thian.

Ia ingat pernah mengajarkan beberapa banyak macam ilmu pukulan pada sang murid itu,
tetapi ini satu agak berlainan dengan apa yang ia telah pernah ajarkan. Betul di-beberapa
bagian dari ilmu silat yang sedang diyakinkannya itu mirip dengan ilmu pukulan Song-cong-
koan, tetapi perubahan selanjutnya agak asing bagi pengetahuannya dikalangan itu.

“Apakah gerangan nama aslinya ilmu pukulan ini ?" An Chun San bertanya pada diri sendiri.
Tetapi biarpun ia berpikir bolak-balik, tidak juga ia ketahui apa namanya ilmu pukulan yang
sedang diyakinkan oleh sang murid itu.

Ia sama sekali tidak menyangka bahwa semua itu adalah hasil daripada ciptaan Lie Poan
Thian, yang telah didapat dengan berdasarkan pelajaran-pelajaran yang telah diberikan
olehnya sendiri.

Lebih jauh ia telah menyaksikan bagaimana kerasnya diwaktu Poan Thian menendang,
hingga angin tendangan itu bersuara dan terdengar olehnya yang terpisah dari tempat
berlatih kira-kira dua ratus tindak jauhnya.

Chun San jadi sangat memuji didalam hatinya, tetapi berbareng dengan itu, ia jadi kuatir
juga akan mesti lekas berlalu dari rumah itu, jikalau nanti Poan Thian telah paham benar
dalam pelajaran-pelajaran silatnya.

Sekarang ia telah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, alangkah pesatnya Poan
Thian telah peroleh kemajuan dalam pelajarannya.

Chun San menghela napas dengan berat, apabila ia memikirkan itu semua, tetapi tidak
urung akhirnya ia memanggil-manggil juga kepada Poan Thian yang sedang bersilat itu.

Poan Thian lalu berhenti bersilat dan lekas menoleh kebelakang. Ketika menampak gurunya
berdiri dari kejauhan, buru-buru ia mengunjukkan hormatnya dan tersenyum sambil berkata
: “Oh, pada sangkaku siapa, tidak tahunya guruku sendiri. Belum tahu barusan Suhu
memanggil aku ada petunjuk apakah yang hendak disampaikan kepadaku ?"

“Ilmu silat Song-cong-koan yang telah kau pertunjukkan tadi," kata Chun San, “ternyata
kurang benar dan banyak bagian yang masih perlu diperbaiki. Dalam waktu orang
mempertunjukkan ilmu pukulan ini, bukan saja tenaga yang dikeluarkan harus cukup kuat,
tetapi juga segala gerakannya-pun tidak boleh dilakukan menyimpang daripada ketentuan-
ketentuan yang memangnya sudah ada sedari dahulu. Maka dari sebab itu juga, kau harus

7
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

ketahui dan perhatikan dengan sebaik-baiknya, bahwa titik kepentingannya ilmu ini ialah
untuk dipakai memukul saluran darah Kie-hun-hiat. Musuh yang kena terpukul dengan ilmu
pukulan Song-cong-koan ini, walaupun tidak mati seketika itu juga, akan tetapi sudah pasti
dia akan menderita luka berat.

Maka jikalau pemukulan itu dilakukan kurang tepat dan tidak cukup kuat, selain pihak
musuh tidak sampai mengalami kesukaran apa-apa, malah diri kita sendiri bisa berbalik
dicelakai olehnya. Kita pasti tak akan keburu menggunakan ilmu pukulan lain buat menjaga
diri kita. Itulah bahayanya yang bisa diterbitkan oleh karena akibat kekeliruan-kekeliruan
seperti apa yang telah ditunjukkan olehmu tadi."

Lie Poan Thian jadi melengak ketika mendengar keterangan begitu. Karena menurut
keterangan-keterangan Chun San tadi, seolah-olah ia hendak mengatakan bahwa gerak-
geriknya musuh harus mengimbangi jalannya ilmu pukulan Song-cong-koan itu, tetapi
bukanlah ilmu pukulan itu yang harus disesuaikan jalannya untuk dapat merobohkan musuh.

Musuh itu bukan boneka, dan ia pasti tidak tinggal diam apabila pihak musuh mendadak
mengganti taktik dengan mengajukan lain macam ilmu pukulan. Tetapi dimanakah ada ilmu
pukulan yang bisa di jalankan terus-menerus dari awal sehingga diakhir didalam suatu
pertempuran ?

Keterangan-keterangan itu memang agak bocenglie dan bisa menerbitkan buah tertawaan
orang, tetapi Poan Thian tidak berani berbantahan dan segera mengulangi pula ilmu Song-
cong-koan tadi menuruti petunjuk-petunjuk Chun San yang sudah-sudah. Dan setelah
selesai menjalankan ilmu pukulan tersebut, barulah ia menanyakan pendapat gurunya
tentang ilmu pukulan itu.

Tetapi Chun San lalu menggelengkan kepalanya sambil berkata: “Belum sempurna,
walaupun itu boleh dikatakan lebih baik daripada tadi."

Lebih jauh buat membenarkan kekeliruan-kekeliruan yang telah diperbuat Poan Thian itu,
maka Chun San lalu memberikan segala petunjuk yang perlu dengan lisan dan praktek.
Kemudian dgn menggunakan ilmu Song-cong-koan itu ia memukul sebuah pohon liu yang
besar garis tengahnya sepelukan orang, hingga badan pohon yang bergoncang-goncang
karena menerima pukulan Chun San yang begitu keras, telah menyebabkan juga banyak
daun-daunnya yang sudah tua jatuh terserak kemuka bumi.

“Nah, kau lihat itu," kata guru silat itu dengan perasaan bangga atas kekuatan tenaganya
sendiri.

“Dengan menyaksikan pada kejadian ini, tentulah kau bisa pikir sendiri berapa besarnya
tenagaku. Maka biarpun musuh berotot besi atau bertulang tembaga juga, niscaya tak akan
tahan dia menerima pukulan-pukulan semacam itu !"

An Chun San tertawa ber-gelak-gelak sesudah berkata begitu. Sementara Lie Poan Thian
yang menyaksikan kekuatannya sang guru, juga kelihatan kagum dan memuji tidak sudah-
sudahnya. “Tetapi, Suhu," kata sang murid, “cara bagaimanakah kita harus
menghindarkannya, apabila pihak musuh kita yang menggunakannya ilmu Song-cong-koan
itu ?" An Chun San lalu menjawab dengan sembarangan, karena ilmu kepandaiannya
memang masih sangat terbatas. “Oleh karena ilmu pukulan demikian pasti akan dilakukan
dengan tenaga sepenuh-penuhnya," kata sang guru. “maka tidak boleh kita tangkis dengan
sembarangan. Kita bisa celaka sendiri apabila kita berlaku kurang sehat untuk
menghindarkannya, maka buat dapat meloloskan diri daripada pukulan itu, aku pujikan
supaya kau pergunakan ilmu pukulan “Gan-lok-peng-see" (burung meliwis jatuh dipasir

8
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

rata). Ini harus kau perhatikan betul-betul. Bukankah ilmu “Gan-lok-peng-see" ini sudah
pernah kuajarkan kepadamu ?" Chun San melanjutkan bicaranya. Poan Thian mengangguk.
“Ya." sahutnya. “Apakah engkau masih ingat cara bagaimana mempergunakannya ?”

“Masih ingat, masih ingat," sahut sang murid.

Selanjutnya karena merasa senang pasang omong tentang ilmu silat, maka Poan Thian lalu
mengajukan pertanyaan-pertanyaan lain kepada sang guru.

“Suhu, bagaimana kita harus memecahkan ilmu pukulan “Sian-jin-ciauw-ciang" ?” tanyanya


kemudian. (Sian-jin ciauw-ciang artinya Sang dewa membentangkan telapak tangan).

“Pergunakanlah tipu “Hun-kim-siu" (Muslihat membagi emas)," sahut yang ditanya dengan
tidak ragu-ragu lagi. “Sebab tipu silat yang kau katakan barusan itu, pada umumnya
dipergunakan untuk menyerang dengan berturut-turut diwaktu bertempur dengan musuh.
Maka apabila orang menggunakan ilmu pukulan Hun-kim-siu buat menimpalinya, niscaya
pihak musuh akan mengalami lebih banyak celaka daripada selamat!"

“Tetapi Tee-cu sendiri telah mendapat suatu jalan lain yang agak berbedaan dengan
pendapat Suhu tadi," katanya, “dan cara inipun dapat dipergunakan untuk memecahkan tipu
Sian-jin-ciauw-ciang itu."

An Chun San yang mendengar omongan sang murid, mendadak tampaknya jadi kurang
senang.

“Kurang ajar benar anak ini," demikianlah pikirnya, “hingga baru saja belajar ilmu silat
setahun lebih, ia sudah mengunjuk tingkah laku yang begitu sombong! Ia seolah-olah mau
lebih menang daripadaku yang menjadi gurunya. Maka apabila aku tidak ajar sedikit adat,
tentulah selanjutnya ia bisa khoabo (memandang enteng) kepadaku." Oleh sebab itu ia
berkata: “Apakah yang kau katakan barusan itu benar-benar ?"

Poan Thian menetapkan perkataannya dengan mengatakan : “Ya, benar."

An Chun San jadi semakin mendongkol mendengar jawaban itu, karena itu baginya boleh
dianggap sebagai suatu tantangan.

“Kalau begitu, baiklah !" katanya. “Aku hendak melihat cara bagaimana engkau akan
menghindarkan dirimu, apabila aku menyerang kepadamu dengan tipu Sian-jin-ciauw-
ciang!"

Lalu ia maju mendekati kepada sang murid. Hampir dalam saat itu juga Chun San lalu
mengayunkan tangan kirinya kedepan muka Lie Poan Thian, yang maksudnya untuk
membikin terkesiap hati orang, sedang tangan kanannya yang menyusul dengan cepat,
dimaksudkan untuk memukul jalan darah Thay-yang-hiat pada bagian pilingan murid itu.
Serangan itu telah dilakukan oleh An Chun San dengan gerakan yang luar biasa cepatnya !

Dalam pada itu Chun San percaya bahwa Poan Thian tidak akan mampu memecahkan
serangan-serangan itu, jikalau bukan menggunakan ilmu Hun-kim-siu yang pernah
diajarkannya.

Tetapi dugaan itu ternyata meleset.

Poan Thian bukan saja tidak menggunakan tipu Hun-kim-siu barang sedikit, malah
gerakannya untuk menghindarkan diripun jauh berbeda daripada apa yang pernah diimpikan
oleh An Chun San sendiri. Sang murid ini ternyata tidak melakukan penangkisan menurut
cara yang pernah diajarkannya itu ! Hal mana, sudah tentu saja telah bikin Chun San jadi
9
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

semakin mendongkol!

Buat menghindarkan pukulan itu Poan Thian bukan berkelit atau mengegos, hanyalah
segera membuang diri kebelakang, tetapi berbareng dengan itu kedua kakinya lalu dikasih
bekerja untuk menyapu kearah kakinya An Chun San.

Sang guru jadi terkejut, ia tidak tahu dari mana Poan Thian dapat pelajarkan ilmu
tendangan yang baginya masih agak asing ini.

Buru-buru ia berlompat buat mengasih lewat sebelah kakinya Poan Thian yang menyamber
kepadanya itu. Tetapi sebegitu lekas kakinya menginjak tanah, kaki Poan Thian yang
menyamber balik telah bikin Chun San jadi gelagapan !

“Celaka !" ia berteriak didalam hati.

Ia sama sekali tak menduga bahwa muridnya dapat melakukan ilmu tendangan selihay itu !

Akan menghindarkan diri dari tendangan musuh dengan jalan melompat keatas, itulah
bukan pekerjaan yang terlalu sukar, tetapi buat menghindarkan tendangan musuh yang
menyamber diwaktu kita akan menginjak tanah, itulah sesungguhnya ada saat yang paling
berbahaya bagi kita. Dan itulah justeru ada dibagian ini yang Poan Thian telah mengambil
ketika untuk menjajal kesehatan gurunya.

Maka sebegitu lekas saat yang tegang itu telah sampai, sekonyong-konyong An Chun San
terdengar berteriak : “Ayaa !" yang kemudian disusul dengan suara-suara “plak! sret!
gedebuk!"

An Chun San yang telah terkena tendangan sang murid, tidak berbeda dengan daun-daun
kering yang tertiup angin, ia terlempar jauh sekali dan jatuh jumpalitan di tanah dengan
kepala benjut dan mengeluarkan darah !

Poan Thian sendiri tak pernah menyangka bahwa persoalan bakal terjadi begitu rupa, tak
pernah ia impikan bahwa akibat daripada tendangannya itu, sang guru bisa kejadian
terlempar sejauh itu. Dari itu, buru-buru ia berlari menghampiri dan mengangkatnya bangun
sambil meminta maaf berulang-ulang.

“Aku mohon beribu-ribu maaf atas kelancanganku itu," kata Lie Poan Thian dengan laku
gugup. “Tendangan tadi ternyata telah dilakukan terlalu cepat, sehingga aku tak menyangka
sama sekali bakal menerbitkan luka kepada guruku."

Sambil berkata begitu Poan Thian cepat membungkukkan diri buat menolong kepada sang
guru, tetapi Chun San yang telah keburu berbangkit, dengan muka merah karena malu dan
gusar lalu menuding pada sang murid sambil berkata: “Bagus benar perbuatanmu ini!
Engkau telah berani menyerang guru sendiri dengan sungguh-sungguh dan selagi aku tidak
bersedia!"

Poan Thian yang mendengar omongan itu, dengan tak tertahan lagi jadi tertawa geli. Sebab
pada pikirnya, apakah gunanya orang meyakinkan ilmu silat apabila dalam hal melakukan
penyerangan orang mesti memberitahukan terlebih dahulu kepada pihak lain yang menjadi
musuhnya ? Maka berhubung dengan peristiwa yang telah dialaminya pada kali ini, lambat-
laun Poan Thian jadi mendusin, kalau-kalau kepandaian silat sang guru itu hanyalah
terbatas sampai disitu saja, sedangkan omongan-omongan tekebur yang pernah
diucapkannya dahulu, itulah melulu merupakan khayal-khayal yang tidak ada buktinya sama
sekali. Dari itu, tidaklah heran jika ia jadi tertawa geli.

10
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Chun San yang ditertawai jadi sengit dan merasa sangat penasaran, biarpun Poan Thian
meminta-minta maaf dan menyatakan penyesalannya telah kelepasan tangan, tetapi tidak
urung dengan tidak pikir panjang lagi ia segera mengeluarkan suara bentakan keras yang
dibarengi dengan serangan Go-houw-kim-yo (harimau lapar menubruk kambing) untuk
menerjang kepada sang murid itu.

Syukur juga Poan Thian yang terlebih siang telah menduga peristiwa apa yang bakal
dialami, sudah lantas mengerti tindakan apa yang harus diambilnya seketika itu. Maka
sebegitu lekas ia melihat gurunya menyerang, buru-buru ia mempergunakan siasat Pek-kee-
tian-Cie (Ayam putih membentangkan sayap) membentangkan kedua tangannya buat
menyingkirkan pukulannya sang guru, sambil kemudian melanjutkan gerakannya dengan
mengegos kesamping, hingga dengan cara ini ia bisa terluput dan lompat ke suatu jurusan
sambil mulutnya tidak berhenti-henti berkaok: “Suhu, tahan dulu! Sabar! Maafkanlah atas
kelancangan Tee-cu !"

Tetapi Chun San tidak menghiraukannya dan terus menggerakkan kaki tangannya buat
memukul pada sang murid yang dianggapnya sangat kurang ajar itu.

Lama-lama peristiwa ini telah dapat dilihat oleh seorang bujang tua keluarga Lie yang
bernama Ong Kiu, ia jadi sangat terkejut dan buru-buru berlari-lari masuk kedalam rumah
sambil tidak henti-hentinya berkaok : “Celaka! Celaka ! An Kauw-su berkelahi dengan tuan
muda kita!"

Mula-mula Tek Hoat tidak mau percaya dengan keterangan itu, bahkan menyomel pada si
bujang tua itu yang dikatakan “edan". Tetapi ketika ia dikasih keterangan lebih jauh dengan
sikap yang tergopoh-gopoh, orang tua itu jadi percaya juga dan terus berlari-lari dengan
diiring oleh beberapa bujang yang lain-lainnya.

Dan ketika Tek Hoat sampai dipelataran halaman rumah, betul saja ia melihat Chun San
menerjang pada anaknya dengan berulang-ulang, tetapi syukur juga Poan Thian bisa me-
luputkan diri sambil berkaok-kaok minta dimaafkan atas segala kekhilafannya.

Tek Hoat yang merasa kuatir atas keselamatan diri anaknya, buru-buru berlari menghampiri
kepada An Chun San sambil membujuk dan meminta maaf atas kelancangan dan kekhilafan
anaknya itu.

Oleh karena mendengar omongan orang tua itu, Chun San jadi mendusin dari perbuatannya
yang semberono dan lekas-lekas balas memberi hormat kepada Tek Hoat sambil
memaksakan diri buat mengunjuk muka manis.

“Semua ini sebetulnya cuma merupakan suatu permainan saja," katanya, “karena Kok Ciang
memang perlu diajar tabah disamping dilatih dalam hal ilmu pelajaran silatnya. Karena
jikalau ia tidak diajarkan berlaku tabah dari sekarang, bagaimanakah ia bisa berhadapan
dengan musuh, jikalau dikemudian hari ia sampai benar-benar bertempur dengan orang lain
?"

Tek Hoat mengangguk-angguk sambil membenarkan omongan guru silat itu, kemudian ia
menanyakan mengapa dahi Chun San berlumuran darah dan tampak berjendul ?

Atas pertanyaan ini Chun San lalu tuturkan segala sesuatu yang telah terjadi tadi, tetapi
sifatnya ia sengaja perlunak buat menutup perasaan malunya.

Sementara Tek Hoat yang mendengar begitu, segera memberikan comelan pada sang anak.
“Kau ini sungguh amat tidak patut telah berani melukai guru sendiri," katanya. “Maka
setelah melakukan perbuatan yang begitu kurang ajar, mengapakah kau tidak lekas berlutut

11
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

di hadapan An Lo-suhu buat meminta maaf ?"

Poan Thian menurut dan lekas menjura di hadapan An Chun San sambil menyoja dan
meminta maaf, hingga Chun San yang menerima permintaan maaf itu dengan perasaan hati
tidak enak lalu banguni Poan Thian sambil melanjutkan pembicaraannya dengan sang
majikan tua.

“Perkara kecelakaan dalam waktu melatih ilmu silat," kata guru silat itu, “memanglah ada
suatu hal lumrah yang tidak perlu banyak direcoki. Demikian juga dengan halnya kejadian
sekarang ini. Perlu apakah Lo-ya mesti kuatirkan sampai begitu ?"

Tek Hoat kelihatan puas dengan jawaban An Chun San itu. Tetapi karena melihat dahi sang
guru bercucuran darah, maka ia telah tawarkan Chun San buat berobat dengan segala
ongkos-ongkosnya ditanggung oleh orang tua itu.

Tetapi Chun San yang merasa bahwa sendirinya ada seorang guru silat, ia pikir sangat
memalukan apabila ia luka sedikit saja mesti diobati orang lain. Lagi pula ia sendiripun
mengerti sedikit tentang obat-obatan, hingga dengan secara getas ia telah menampik
tawaran Tek Hoat sambil berkata: “Oh, itu tidak perlu, karena aku disinipun ada sedia obat
luka yang manjur sekali, yang akan dapat menyembuhkan segala macam luka-luka dalam
tempo hanya beberapa saat saja lamanya."

Kemudian ia pergi mengambil obat yang dikatakannya itu, yang ternyata benar manjur dan
telah dapat menahan darah yang mengucur didahinya hampir disaat itu juga.

Ketika dihari esoknya Poan Thian bangun tidur dan hendak pergi melatih ilmu silat
dihalaman pelataran rumahnya seperti biasa, ia menampak keadaan disitu agak berlainan
dengan hari-hari yang telah lampau, karena Chun San yang telah dapat malu oleh karena
telah dirobohkan oleh muridnya sendiri, ternyata dengan tak meminta diri lagi telah
meninggalkan rumah itu buat selama-lamanya. Hal mana sedikit banyak telah menerbitkan
sesalan juga didalam hati pemuda itu, yang tetap menghargai jasa-jasanya Chun San yang
telah mendidiknya sehingga dapat membuka jalan akan ia menjadi seorang jago silat dan
ahli menendang dengan ilmu Lian-hwan Sauw-tong-tui yang telah diciptakannya dan
dikemudian hari sangat disegani oleh sekian orang-orang gagah dikalangan Kang-ouw.

Maka seperginya Chun San dari rumah keluarga Lie, Poan Thian telah kerap meminta pada
ayahnya supaya dicarikan guru silat lain untuk memberikan pelajaran kepadanya, tetapi
orang tua itu selalu menolak dan memberikan comelan, hingga selanjutnya ia tidak bisa
berbuat lain daripada melatih diri dengan ilmu-ilmu pelajaran yang telah didapatinya dari An
Chun San, disamping memperbaiki ilmu tendangan ciptaannya, dengan mana ia telah
berhasil dapat merobohkan gurunya sendiri.

Setiap hari diwaktu Poan Thian berlatih dengan giat dihalaman pelataran rumahnya, banyak
orang yang kebetulan melewat telah pada berhenti menonton dengan sorot mata yang
menandakan kagum atas kekuatannya pemuda itu. Karena di-saban waktu ia memukul atau
menendang pohon liu yang sebesar pelukan itu, tentulah pohon itu bergoncang keras
dengan daun-daunnya pada rontok dan jatuh terserak kemuka bumi. Sedang Poan Thian
sendiri yang sedikit demi sedikit telah menyaksikan tentang kemajuan dan kekuatan dirinya,
sudah tentu saja jadi kagum dan sering berkata pada diri sendiri: “Apabila pohon yang besar
ini bisa bergoncang karena pukulan atau tendanganku, maka pastilah pukulan atau
tendanganku ini akan bikin orang mati atau patah tulang, apabila nanti kucoba dalam
pertempuran."

Demikianlah pada pikirnya anak muda itu, yang seolah-olah anak kerbau yang baru

12
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

bertanduk itu, tak takut akan harimau, juga berani menghadapi segala sesuatu dengan
sikap yang angkuh, sehingga ia lupa bahwa orang gagah dikolong langit ini bukan hanya dia
seorang saja. Itulah cacadnya orang yang baru mengerti ilmu silat dengan serba sedikit!

Sebulan telah lewat semenjak An Chun San meninggalkan rumah keluarga Lie.

Pada suatu pagi hari selagi Poan Thian melatih diri seperti biasa, banyak orang telah berdiri
menonton ia bersilat dari kejauhan. Disetiap waktu ia selesai bersilat, mereka itu tentulah
menyambut dengan tampik sorak yang riuh, hingga hatinya Poan Thian jadi sangat gembira
dan lambat-laun berpendapat bahwa dirinya “Thian He Tee It", nomor wahid dikolong langit.

Tetapi, apa mau, tengah orang banyak bertampik sorak, mendadak ia mendengar ada
seorang yg mengejek kepadanya sambil tertawa-tawa, hingga Poan Thian yang mendengar
begitu, sudah tentu saja merasa kurang senang dan lalu bercelingukan buat melihat siapa
adanya orang yang telah mengejeknya itu. Dan tatkala ia memandang kian-kemari sekian
lamanya, akhirnya barulah diketahui bahwa orang itu kira-kira berumur 30 tahun,
pakaiannya sederhana. Orangnya tidak besar, tetapi badannya tegap, ia berhidung
mancung, bermulut lebar, dan apa yang terutama paling menarik perhatiannya Poan Thian,
ialah sepasang matanya yang jeli dan seakan-akan mengeluarkan sinar yang bisa menusuk
penglihatan orang yang diamat-amatinya. Kepada ia ini Poan Thian lalu menghampiri,
memberi hormat serta menanyakan sebagai berikut:

“Oleh karena barusan aku mendengar kau mengejek sambil tertawa-tawa, maka aku
berpendapat bahwa kau ini tentulah ada seorang yang paham ilmu silat. Aku sendiri harus
mengaku bahwa ilmu kepandaianku belum sempurna dan masih perlu diperbaiki dibawah
pimpinannya seorang yang ahli. Maka apabila tuan sesungguhnya paham ilmu silat, sudikah
kiranya tuan memberikan petunjuk-petunjuk yang berharga kepadaku ?"

Orang itu kembali tertawa, tetapi mula-mula tidak mau berkata apa-apa. Ia bersikap “masa
bodoh". Dan tatkala Poan Thian mendesak akan minta jawabannya, ia lalu menggelengkan
kepalanya. Ia menjawab : “Tidak, aku tidak pandai ilmu silat."

Poan Thian jadi semakin tidak senang mendengar jawaban itu.

“Apabila kau tidak pandai ilmu silat," katanya, “perlu apakah kau mesti mentertawai orang
lain ?"

“Semua orang adalah bebas buat tertawa," sahut orang itu sambil bersenyum. “Aku tertawa
dengan mulutku sendiri, seperti juga kau bersilat dengan kaki tanganmu sendiri! Ada apakah
hubungannya antara mulutku dan kaki tanganmu ?"

“Ah, kurang ajar benar orang ini !" pikir Lie Poan Thian didalam hatinya. “Jikalau aku selalu
mengunjukkan sikap yang mengalah, tidak mustahil orang menganggap aku pengecut.
Maka buat mengunjukkan bahwa aku ini bukan seorang yang penakut, aku perlu ajar sedikit
adat kepada si congkak ini."

Kemudian dengan sikap gusar dan mata mendelik, Poan Thian menuding pada orang itu
sambil membentak: “Hai, orang desa ! Kau harus ketahui bahwa ejekan terhadap seorang
yang mengerti ilmu silat, itulah berarti suatu hinaan yang bisa dipersamakan dengan suatu
tantangan berkelahi ! Tetapi karena mengingat bahwa kau tidak mengerti ilmu silat, maka
aku mau sudahi saja urusan ini, apabila kau suka meminta maaf dengan berlutut di tanah
............ di hadapanku !"

“Apa, berlutut ?" Orang itu jadi tertawa tergelakap. Suara tertawanya itu ada begitu nyaring,
sehingga menerbitkan gema yang telah mendatangkan rasa herannya semua orang.

13
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Aku tidak biasa berlutut di hadapan sembarangan orang," katanya, “apalagi anak yang baru
lepas pupuk seperti kau ini!"

Mendengar omongan itu, Lie Poan Thian bukan main marahnya, hingga dengan tidak
banyak bicara lagi ia menjotos orang itu dengan menggunakan siasat Song-twie-ciang
hingga orang banyak yang setiap hari menyaksikan tenaga sipemuda yang begitu kuat, rata-
rata jadi pada kuatir atas nasibnya orang itu, dan pernyataan itu menjadi semakin kuat lagi,
ketika orang banyak pada mengatakan : “Celaka! Celaka ! Orang itu sesungguhnya tak
berbeda dengan seekor ular yang mencari pentungan !"

Tetapi sikapnya orang itu tinggal tenang-tenang saja, walaupun Poan Thian menerjang
bagaikan harimau kelaparan. Ia kelihatan tersenyum sedikit, dan sebegitu lekas kepalannya
Lie Poan Thian mendekati dadanya, lalu ia merangkapkan kedua tangannya sambil
menggunakan tipu Hun-sui-ciang, hingga ketika ia menggerakkan tangan itu dengan
kecepatan seperti kilat, Poan Thian rasakan dari pihak orang itu telah keluar semacam
tenaga penolak yang telah memaksa ia mundur ke belakang sehingga beberapa tindak
jauhnya. Maka dengan adanya sedikit pengalaman ini, Poan Thian segera ketahui bahwa
orang ini tentunya ada seorang ahli silat yang ilmu lwee-kangnya sangat tinggi, tetapi oleh
karena sudah ketelanjuran ia memulai membuka penyerangan, apa boleh buat ia hendak
menjajal juga sampai dimana kepandaiannya orang itu. Begitulah ketika ia maju menerjang
buat kedua kalinya, Poan Thian telah berlaku jauh lebih hati-hati daripada tadi, karena
selain ia tidak menggunakan kepelan lagi, iapun tidak mau “menyeruduk" dengan sekenanya
saja. Lalu ia menendang dengan menggunakan tipu Tan-hui-tui, semacam ilmu menendang
yang ia biasa praktekkan setiap hari. Maksud daripada mempergunakan ilmu tendangan ini,
ialah untuk memancing supaya orang itu berkelit atau menghindarkan tendangan itu dengan
jalan berjongkok, hingga diwaktu orang itu berbuat demikian, ia segera akan merangsek
dan menendang pula dengan ilmu tendangan yang sangat dibanggakannya itu, ialah ilmu
tendangan Lian-hwan Sauw-tong-tui yang dahulu telah dipakai merobohkan gurunya sendiri.

Tetapi lebih cepat daripada kilat yang menyamber, Poan Thian sama sekali tak menduga
kalau-kalau perhitungannya itu meleset semua. Ia sendiri tidak melihat cara bagaimana
pihak lawannya telah menyingkirkan diri dari tendangannya, seperti juga ia tidak melihat
cara bagaimana pihak lawannja telah membalas menyerang kepadanya. Karena tahu-tahu
ketika ia menendang dengan sepenuhnya tenaga, ia merasakan dirinya seperti juga
dilemparkan ke udara, hingga pada sebelum ia bisa mengucap sepatah kata “Celaka!" ia
sudah terbanting ke suatu tempat yang terpisah kira-kira beberapa belas kaki jauhnya dari
tempat ia semula melakukan penyerangan tadi !

Orang banyak jadi bertampik sorak dengan riuh sekali. Mereka sama sekali tak menyangka,
kalau orang itu bisa merobohkan Poan Thian dalam tempo hanya sekejapan saja lamanya !

Tetapi Poan Thian yang lekas insyaf akan kekeliruannya, bukan saja tidak jadi gusar
mengalami kekalahan itu, malah sebaliknya lekas berbangkit dan membungkukkan badan
memberi hormat pada orang itu sambil berkata : “Tuan, nyatalah bahwa aku ini ada seorang
yang tak bisa mengenali seorang pandai, hingga jikalau kau tidak memberikan sedikit
pengunjukan ini, niscaya aku akan tetap buta buat menganggap bahwa diri sendiri “Thian
He Tee It", paling jago dan tidak ada lawannya dikolong langit ini !"

“Itu dimuka adalah rumahku sendiri," Poan Thian melanjutkan omongannya, “sudikah
kiranya tuan mampir sebentar buat beromong-omong dan memberikan sedikit petunjuk
berharga kepada diriku yang bodoh ini ?"

Orang itu nampaknya tidak berkeberatan buat mengabulkan permintaan pemuda itu.

14
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Aku yang rendah bernama Lie Kok Ciang," begitulah Poan Thian perkenalkan dirinya
sendiri. “Tetapi belum tahu apakah aku punya itu kehormatan akan mengetahui she dan
nama tuan yang mulia ?"

“Aku bernama Hoa In Liong," menerangkan orang yang ditanya itu.

Poan Thian jadi girang dan lalu dengan berpimpin tangan ia mengajak sahabat baru itu akan
berkunjung ke rumahnya.

Disana In Liong telah diperkenalkan pada ayahnya Lie Poan Thian, yang telah menanyakan
she, nama dan asal usulnya.

In Liong terangkan she dan namanya sendiri, tetapi tampak agak berkeberatan akan
menerangkan asal usulnya.

Maka Tek Hoat yang seolah-olah telah dapat membaca pikiran tetamunya, lalu
kesampingkan pertanyaan itu dengan pura-pura menanyakan : “Tahun ini Cong-su masuk
umur berapa ?"

“Tiga puluh tahun," sahut In Liong dengan pendek.

Kemudian Tek Hoat perintah orang-orang sebawahannya akan menyajikan makanan dan
minuman yang paling baik untuk menjamu kepada tamu yang baru datang itu.

In Liong kelihatan agak see-jie (sungkan), tetapi Poan Thian lalu mendesak supaya ia suka
duduk makan minum dahulu, pada sebelum mereka mengobrol lebih jauh.

“Kita semua adalah orang-orang sendiri," Tek Hoat bantu membujuk, “buat apakah mesti
berlaku sungkan ?"

In Liong apa boleh buat meluluskan juga ajakan itu dan menyampaikan terima kasihnya.

Pada waktu mereka duduk makan minum, Poan Thian telah membicarakan banyak sekali
tentang soal-soal yang bersangkut paut dengan ilmu silat.

“Ciang-jie (dimaksudkan Kok Ciang) telah beberapa lamanya meyakinkan ilmu silat," kata
Tek Hoat pula sambil bersenyum, “tetapi hasilnya ternyata sangat menyedihkan."

“Meyakinkan ilmu silat itu memang meminta sangat banyak tempo, keuletan dan
kesabaran," kata Hoa In Liong. “Banyak sekali orang yang meyakinkan ilmu itu telah jadi
kandas karena kekurangan keuletan, takut capai dan ingin lekas pandai. Oleh sebab itu,
boleh dikata sudah bagus kalau ia kandas setengah jalan dengan tidak menderita kerugian
apa-apa. Yang paling celaka adalah orang yang memaksakan diri sampai melewati batas,
hingga oleh karenanya ia telah mendapat celaka atas perbuatannya sendiri. Badan rusak
dan peryakinannyapun terbang sia-sia, itulah yang dinamakan menyedihkan, tetapi bukan
sebagai keyakinan yang diperbuat saudara Kok Ciang ini, harap Loo-pek jangan salah
paham."

Tek Hoat tertawa waktu mendengar omongan itu. “Justeru karena aku sendiri hampir mirip
dengan keadaan orang yang kau tuturkan itu," Poan Thian menyampuri berbicara, “maka
aku mohon supaya sudilah kiranya tuan memberikan pengunjukan-pengunjukan untuk
memperbaiki cacat-cacatku itu. Aku ini memanglah sesungguhnya sangat ingin lekas pandai,
lekas paham untuk mempergunakan segala macam ilmu pukulan yang aku praktekkan
setiap hari. Tetapi karena pada beberapa waktu ini aku tidak mempunyai guru untuk
memimpin dan menilik pelajaran silatku, maka aku bermaksud mengundang tuan akan
menjadi guruku. Cuma belum tahu apakah tuan sudi meluluskan atau tidak permintaanku ini
15
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

?"

In Liong tersenyum sambil kemudian berkata: “Saudara, dalam hal ini aku sangat menyesal
tidak dapat memenuhkan permintaanmu. Karena selain aku sedang melakukan tugas yang
diberikan oleh guruku, ilmu silatkupun masih mentah-mateng dan belum mempunyai
kecakapan buat mengajar pada orang lain. Maka buat tidak men-sia-siakan pengharapanmu
yang begitu sungguh-sungguh, aku bersedia buat memperkenalkan kau kepada guruku Kak
Seng Siang-jin Lo-suhu diklenteng Liong-tam-sie. Tetapi kau harus berjanji akan tidak
menyebut-nyebut namaku di hadapannya, karena aku bisa digusari oleh karena berani
berlaku lancang memperkenalkan dirinya kepada orang lain. Beliau ini adalah seorang tua
yang tabiatnya agak luar biasa. Beliau tidak sembarangan menerima orang sebagai
muridnya, maka dari itu muridnyapun tidak banyak. Beliau terlalu cerewet dalam hal
memilih murid."

Tek Hoat mengangguk-angguk dengan tidak bicara barang sepatah katapun. Tetapi Poan
Thian yang mendengar keterangan begitu, sebaliknya jadi semakin bernapsu buat berguru
pada gurunya Hoa In Liong yang dikatakan bertabiat aneh itu.

“Belum tahu apakah syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang hendak
berguru kepada beliau itu ?" tanya Lie Poan Thian dengan laku sungguh-sungguh. “Aku
percaya tuan yang pernah berdiam lama dikelenteng Liong-tam-sie, tentulah mengetahui
syarat-syaratnya itu."

Tetapi Hoa In Liong yang tidak mengerti maksud Lie Poan Thian, sudah tentu saja jadi
heran dan balik bertanya: “Saudara, pertanyaanmu itu sungguh mengherankan hatiku.
Syarat-syarat apakah itu yang hendak kau minta keterangan dariku ?"

Poan Thian yang merasa telah kelepasan omong, sudah tentu saja jadi gugup dan
menjawab : “Maafkanlah padaku, saudara. Yang aku maksudkan dengan kata-kata “syarat-
syarat" itu, ialah selain syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang hendak minta
berguru, juga berapakah setiap murid diharuskan ............ membayar sebagai ongkos
belajarnya ?”

Mendengar omongan itu, wajahnya Hoa In Liong mendadak jadi merah. Ia kelihatan kurang
senang dengan pertanyaan itu, yang mana dengan cara tegas dapat dilihat oleh Poan Thian
dan ayahnya. Tetapi akhirnya ia terpaksa bersenyum getir dan menjawab : “Saudara !
Pertanyaanmu itu sebenarnya merupakan suatu hinaan bagi nama baik guruku di Liong-
tam-sie. Tetapi karena mengingat bahwa semua ini telah terjadi bukan karena disengaja,
maka aku hendak memperingatkan supaya selanjutnya kau jangan menyebut-nyebut pula
soal pembayaran. Guru kami betul bukan orang beruang, tetapi kami percaya beliau bukan
seorang yang terlalu kemaruk dengan harta dunia ! Beliau menerima murid dengan tidak
mengharapkan pembayaran apa-apa. Barang siapa yang dianggap mempunyai bakat baik
dan berharga buat dididik dengan mudah lantas diterima; tetapi barang siapa yang ternyata
tidak berharga mendapat perhatiannya, meski dia membawa “uang pembayaran"
bergudang-gudang sekalipun niscaya akan ditolaknya dengan secara getas ! Itulah syarat
yang terutama buat orang berguru pada Kak Seng Siang-jin Lo-suhu, yang sama sekali tidak
menitik beratkan pengajaran karena keuangan !"

Tek Hoat dan Poan Thian jadi terperanjat melihat In Liong menjadi gusar mendengar
pertanyaan tadi. Buru-buru mereka berbangkit dan meminta maaf atas kekeliruan dan
kelancangan bicara itu.

“Ya, ya, itu aku mau percaya. Saudara Kok Ciang ini tadinya tentu menyangka bahwa
guruku itu boleh dipersamakan dengan guru-guru silat lain, yang mau mengajar silat apabila

16
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

mendapat pembayaran baik. Hal ini aku harus maafkan, berhubung ia belum mengenal
banyak tentang orang-orang pandai yang berkeliaran dikalangan Kang-ouw. Selain daripada
itu, aku mohon tanya, dahulu saudara Kok Ciang pernah berguru dengan siapa ?"

Poan Thian lalu tuturkan lelakon ia berguru dengan An Chun San, dari bermula sehingga
guru itu mabur setelah kena dirobohkan olehnya.

“Kalau begitu," kata Hoa In Liong, “teranglah sudah bahwa gurumu itu bukan seorang guru
silat yang baik. Aku bukan mencela orang karena menganggap diri sendiri lebih pandai
daripada orang lain. Aku bukan menghinakan kepadanya ataupun kepada dirimu sendiri.
Dalam hal ini rasanya aku tidak perlu berlaku seejie buat mengeritik untuk kebaikanmu
sendiri, juga tidak perlu kau merasa tersinggung oleh karenanya."

“Itu betul, itu betul," menyambungi Tek Hoat. “Touw-gouw-ok-cia, sie-gouw-su: barang
siapa yang menegur kesalahan kita, orang itulah guru kita. Harap Cong-su tidak usah
merasa sungkan buat mengajukan kritik apa-apa yang baik."

Sementara Hoa In Liong yang diberikan kesempatan untuk menyatakan pikirannya terhadap
ilmu silat yang dipelajari Poan Thian dari An Chun San, dengan sabar lalu mulai
membentangkan beberapa banyak kekeliruan tentang gerakan-akan ilmu silat yang ia telah
saksikan dipergunakan oleh Poan Thian ketika tadi ia menyerang kepadanya.

“Beruntung juga saudara Kok Ciang belum belajar terlalu lama dibawah pimpinannya An
Chun San," ia melanjutkan, “hingga dengan begitu masih tidak begitu sukar untuk
memperbaiki apa-apa yang telah keliru dipelajarinya."

Disamping mengunjukkan bagian-bagian yang keliru dalam pelajaran-pelajaran yang Poan


Thian telah pelajari dari An Chun San itu, In Liong-pun tidak lupa memberikan petunjuk-
petunjuk cara bagaimana Poan Thian harus merubah kekeliruan-kekeliruan itu sehingga jadi
benar dan dapat dipergunakan sebaik-baiknya.

“Dari hal kau suka mencipta ilmu-ilmu pukulan baru dari apa yang memangnya sudah ada,"
In Liong kata pula, “itu sudah tentu saja ada juga kebaikannya, tetapi cara itu bukannya
mesti dilakukan olehmu sekarang, dimana ilmu kepandaianmu masih belum cukup mateng.
Karena dengan mengambil cara yang melampaui kemampuanmu itu, dikuatir cara
penciptaanmu itu akan jadi lebih kacau dan tidak keruan macam, sehingga itu lebih banyak
mendatangkan kerugian daripada keuntungan yang diharapkan olehmu dari dimuka."

“Itu betul, itu betul," menimbrung Tek Hoat, walaupun ia kurang mengerti kemana
maksudnya omongan itu.

Poan Thian jadi sangat berterima kasih atas pengunjukan-pengunjukan berharga dari Hoa
In Liong, yang telah membentangkan semua itu dengan sejujur-jujurnya.

Maka buat melaksanakan bakat baik yang dipunyai oleh si-pemuda itu, In Liong memberi
nasehat supaya sedapat mungkin Poan Thian berangkat ke kelenteng Liong-tam-sie, buat
coba berguru pada Kak Seng Siang-jin yang menjadi kepala kelenteng tersebut.

Poan Thian berjanji akan berbuat begitu, tetapi Tek Hoat merasa tidak mupakat, walaupun
ia tidak menyatakan itu dengan secara terang-terangan. Orang tua ini tampaknya
berkeberatan akan anaknya belajar ilmu silat disuatu tempat yang terpisah dari rumahnya
sendiri, tetapi buat melarang dengan kekerasan di hadapan tamunya, iapun merasa sungkan
dan tak berani. Begitulah tatkala matahari hampir selam kebarat In Liong lalu pamitan pada
Tek Hoat dan Poan Thian sambil berkata : “Hari untuk kita saling bertemu masih banyak,
tetapi sekarang kiranya sudah cukup kita mengobrol sampai disini saja dahulu."

17
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Tek Hoat dan Poan Thian coba menahan supaya ia suka berdiam di rumah mereka sampai
beberapa hari lamanya, tetapi In Liong cuma bisa menyatakan menyesalnya, tidak dapat
mengabulkan permintaan mereka itu, berhubung ia masih ada urusan penting yang katanya
perlu diurus selekasnya. Maka disamping mengucapkan perbanyak terima kasih atas
kebaikannya kedua orang ayah dan anak itu, iapun tidak lupa bantu berdoa, agar supaya
Poan Thian bisa diterima sebagai murid oleh Kak Seng Siang-jin di Liong-tam-sie. Dan
jikalau disuatu tahun ia kembali lagi dan mengunjungi mereka, ia percaya akan dapat
menjumpai Poan Thian dengan sudah menjadi salah seorang ahli silat yang pandai dan
termasyhur dikalangan Kang-ouw.

Pujian itu telah membikin Poan Thian jadi semakin besar hati dan bernapsu akan berguru
pada Kak Seng Siang-jin di Liong-tam-sie.

Tetapi sebegitu lekas In Liong berlalu, Tek Hoat lalu menyatakan ketidak setujuannya akan
sang anak mempelajari ilmu silat di Liong-tam-sie.

Karena jikalau semula ia telah mengundang An Chun San untuk mengajari ilmu silat
kepadanya, bukanlah mengingini supaya Poan Thian menjadi ahli silat yang jempolan,
hanyalah sekedar buat melatih diri sang anak sehingga menjadi seorang yang kuat dan
sehat. Maka setelah sekarang ia berhasil memperoleh kesehatan dan kekuatan yang
diharapkan itu, perlu apakah mesti capaikan hati lagi untuk memperdalam ilmu itu dengan
meninggalkan rumah tangga sendiri?

Tetapi Poan Thian tetap pada pendiriannya dan hendak pergi juga, hingga kedua orang
ayah anak itu akhirnya jadi bercekcokan dan berdeging untuk membelakan pendirian
masing-masing.

Syukur juga selagi percekcokan itu hampir sampai dipuncaknya ketegangan, tiba-tiba ada
seorang tetamu yang datang berkunjung dan lalu memisahkan kepada mereka sambil
berkata : “Sabar, sabar ! Kamu berdua ada soal apakah sehingga mesti bercekcokan satu
sama lain?"

Tek Hoat merasa tidak enak buat bercekcokan lebih jauh dengan anaknya sendiri, karena
orang yang baru datang itu-pun bukan lain daripada sahabat karibnya sendiri Cek Kong
Giok, yang telah sekian tahun lamanya tidak tahu bertemu.

Maka orang tua itu yang melihat kunjungan sahabatnya yang sangat sekonyong-konyong itu
sudah tentu saja lantas mengunjukkan roman yang girang sekali dan berkata : “Eh, eh,
angin manakah ini yang telah meniup kau datang ke Cee-lam ?"

“Itulah sebab aku dari kejauhan telah petang-petangi akan menonton pertunjukan bapak
dan anak berebut pepesan kosong!" kata Cek Kong Giok sambil tertawa terbahak-bahak.

Sementara Tek Hoat yang kenal baik Kong Giok seperti saudara sekandung, bukan saja
tidak menjadi gusar malah sebaliknya lantas jabat tangan sang sahabat buat dipersilahkan
duduk.

Kemudian ia panggil Poan Thian buat memberi hormat pada Kong Giok yang memang
dikenal baik oleh segenap keluarga Lie.

“Kau ini memang sedari masih anak-anak mempunyai kenakalan seperti Sun Go Kong," kata
Kong Giok pada pemuda itu sambil tertawa. “Belum tahu hari ini ada soal apa yang telah
membikin kau mengacau di Keraton Langit?" (Kong Giok yang suka memain sering
menamakan Tek Hoat: Lie Thian-ong, karena pada dahi orang tua itu tampak bekas luka
yang hampir menyerupai sebuah mata tambahan seperti matanya Tok-tha Lie Thian-ong

18
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

yang ada tiga buah. Sedang Tek Hoat membalas “memoyoki" Kong Giok: Bie Lek Hud,
berhubung perawakannya Kong Giok trokmok dan suka tertawa).

Poan Thian jadi tertawa geli, karena dengan tiada angin atau hujan mendadak telah
dinaikkan “pangkat" dengan gelaran Sun Gouw Kong. Kemudian ia tuturkan apa sebabnya ia
telah bercekcok tadi.

“Ah, itulah ternyata ada suatu perkara kecil saja," kata Cek Kong Giok, “buat apakah mesti
tarik urat sampai begitu? Engkau sebagai anak sebenarnya tidak patut berbantahan kepada
perintah orang tua. Engkau belum kenal banyak tentang asam garam dunia, sehingga
engkau belum bisa menjajaki bagaimana kesukarannya orang memelihara dan mendidik
anak sebagai ayahmu ini. Ia sebenarnya sangat mencintai kau, maka dari itu ia kuatir kau
mendapat kesusahan apa-apa jikalau mesti berdiam jauh dari rumah sendiri."

“Itu benar, itu benar," mencampuri Tek Hoat, “tetapi dia tak mau dengar omonganku. Dia
mau bawa kehendaknya sendiri !"

“Bukan begitu," akhirnya Poan Thian-pun mencampuri bicara juga, “bukan aku hendak
membantah perintah orang tua. Aku cintai ayahku lebih besar daripada diriku sendiri. Tetapi
orang jangan lupa, bahwa jaman pemerintahan Boan-ciu sekarang ini agak berlainan
dengan pemerintah-pemerintah di jaman lain. Aku bukan ahli nujum atau seorang yang
pandai melihat gelagat, tetapi kenyataan mengunjukkan tegas sekali, bahwa barang siapa
yang hidup di jaman ini dengan berada dipihak lemah, tidak mustahil ia akan ditindas oleh
pihak yang kuat. Oleh sebab itu, aku telah mengambil suatu ketetapan untuk menjadikan
diriku seorang kuat yang tak akan menyerah mentah-mentah ditindas orang! Sie-siok ada
seorang yang sudah kenyang mencicipi asam garam dunia, maka dari itu tentu bisa
menimbang dengan sebaik-baiknya omonganku ini."

Tetapi Tek Hoat lantas membantah dengan mengatakan: “Salah, salah ! Itu aku tidak
mupakat. Kita orang baik-baik selalu memperlakukan orang lain dengan baik pula, cara
bagaimanakah orang bisa menindas pada kita ? Kau jangan lupa bahwa diatas kita masih
ada Thian yang melindungi kita, sedangkan dimuka bumi ada pengadilan negeri yang akan
menjamin dan mengurus urusan kita, apabila nanti kita sampai ditindas atau diperlakukan
sewenang-wenang oleh orang lain!"

Mendengar omongan ini, Poan Thian jadi tersenyum. Tetapi pada sebelum ia membuka
mulut buat membantah omongan itu, Kong Giok telah menyelak sambil berkata: “Sudah,
sudah, tidak perlu memperdebatkan segala urusan yang tiada berguna. Sekarang hanya ada
satu pertanyaan yang aku hendak ajukan kepada Lauw-hia," (sambil menoleh pada Tek
Hoat), “apakah kiranya kau mupakat, apabila aku sendiri yang mengantarkan Kok Ciang
sampai di Liong-tam ?" Tek Hoat tarik muka kecut.

“Apakah kau sendiri memang tidak ada urusan apa-apa, sehingga kau merasa perlu buat
mengantarkan sendiri kepadanya kesana ? Kukuatir hal itu akan membuang waktumu
dengan sia-sia.”

Kong Giok mengerti, bahwa anjurannya itu tidak disetujui oleh Tek Hoat, tetapi ia sengaja
berpura-pura tidak tahu dan menjawab: “Itu tidak mengapa. Karena aku sendiri yang
memang hendak pergi ke Cong-ciu, sekalian akan lewat juga di Liong-tam, dimana
kelenteng itu terletak."

Tek Hoat tinggal membungkam saja, tidak mengatakan “ya" atau “tidak" atas tawaran itu.

“Lauw-hia harus pikir baik-baik," kata Kong Giok pula. “Anak laki-laki itu tidak perlu dipingit
seperti anak-anak perempuan, karena cara itu cuma-cuma akan bikin dia bodoh dan cupat
19
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

pikiran. Aku sendiripun punya seorang anak laki-laki satu-satunya seperti Giok Ciang ini,
tetapi aku tidak suruh dia “ngerem" di rumah, hanya kuanjurkan dia akan chut-gwa
(merantau) dan berusaha dimana-mana, biar dia bisa rasakan bagaimana susah-payahnya
orang mencari nafkah. Karena disamping dia bisa berusaha dengan tiada mengandalkan
terus tenaga orang tua, diapun bisa juga luaskan pemandangan dengan memperhatikan
seluk-beluk penghidupan di-tempat-tempat lain."

Sementara Poan Thian yang seolah-olah telah mendapat dorongan baru dari pembicaraan
Kong Giok ini, sudah tentu saja diam-diam jadi sangat girang dan berkata dalam hati : “Nah,
kalau dilihat begini gelagatnya, nyatalah maksudku akan berguru pada Kak Seng Siang-jin
bakal bisa kesampaian juga."

“Kau ini si Bie Lek Hud memang pandai mengacau urusan !" kata Tek Hoat sambil
menuding-nuding pada sahabatnya.

Tetapi Kong Giok anggap sepi semua dampratan itu. Kemudian ia menoleh pada Poan Thian
sambil berkata: “Hei, Ciang, mengapakah kau tinggal melongo saja dan tidak lekas pergi
berkemas-kemas untuk berangkat ke Liong-tam besok?"

Poan Thian tampak tersenyum girang. Tetapi buat tidak membelakangi kepada orang tua
sendiri, ia tidak lupa akan meminta juga perkenan ayahnya, hingga Tek Hoat yang merasa
tidak bisa menghalangi lebih jauh kehendak sang anak yang begitu sungguh-sungguh,
dengan apa boleh buat telah mengabulkan juga sambil menggerutu: “Dasar tidak boleh
diurus orang ! Pergilah kau kasih tahu pada ibumu."

Dan tatkala Poan Thian telah berlalu, Tek Hoat kembali telah menuding-nuding pada si
trokmok dan mengomel panjang pendek. “Kau ini kelewat usil mulut !" katanya. “Barusan
sebenarnya aku sudah mau mengucapkan terimakasih kepadamu, karena kau telah
mengajari supaya Ciang-jie jangan membantah kemauan orang tua, tetapi tidak kira
buntutnya omonganmu jadi berbalik lain daripada apa yang aku harapkan. Bukannya
pegang teguh pendirianmu, mendadak sontak kau menganjurkan dia pergi juga. Belum tahu
ada hal apa sih yang bikin kau jadi berpikiran bolak-balik begitu rupa ?"

Kong Giok tertawa. “Dari tadi pun aku sudah lihat tegas bahwa Giok Ciang yang keras
kepala ini sukar digertak dengan segala omongan yang bersifat mengancam. Buktinya kau
bisa saksikan sendiri, ketika kau mengatakan apa-apa yang bermaksud melarang ia pergi, ia
lantas memberikan segala alasan dengan sekenanya saja. Aku percaya jikalau aku juga
memihak padamu dan melarang ia pergi, ia akan mabur dari sini buat bisa melaksanakan
kehendaknya. Maka daripada ia mabur dengan secara diam-diam, kukira lebih baik kau
berlaku sedikit lunak dan perkenankan kepadanya akan berguru ilmu silat di Liong-tam-sie.
Karena selain letaknya Liong-tam tidak terlalu jauh dari sini, dikelenteng itu pun dia tentu
mendapat penilikan yang baik dari guru dan kawan-kawannya. Buat apakah mesti jadi ribut
mulut dengan anak kecil oleh karena urusan sebegitu ?"

Tek Hoat pikir omongan itu memang ada juga kebenarannya, maka hatinya yang tadinya
mendongkol jadi berkurang banyak oleh karenanya.

Keesokan harinya diwaktu Poan Thian tengah berdandan dan menyediakan segala keperluan
yang hendak dibawanya, Tek Hoat dan Kong Giok telah menantikan dihalaman pertengahan
sambil mengobrol dan minum air teh.

“Kepergianmu ini ke Cong-ciu," Tek Hoat bertanya, “apakah berhubung dengan urusan
dagang atau keperluan-keperluan lain ?"

“Yang pertama memang berhubungan dengan urusan dagang." sahut Kong Giok, “tetapi
20
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

aku pikir hendak sekalian menyambangi kawan dan sahabat disaban kota yang aku lewati.
Kalau tidak begitu, dimanakah aku mau melewat ke Liong-tam ?"

“Kalau begitu," kata Tek Hoat, “tolonglah kau sampaikan salamku pada kawan-kawan kita,
kepada siapa kita memang mempunyai perhubungan yang baik."

Cek Kong Giok berjanji akan berbuat begitu.

Tatkala seorang bujang keluar memberitahukan bahwa makanan sudah disajikan, Tek Hoat
undang sahabat itu dahar dahulu pada sebelumnya berangkat.

Sesudah dahar dan bermohon diri kepada Tek Hoat dan sekalian keluarganya, Kong Giok
lalu ajak Poan Thian menuju ke Liong-tam dengan menunggang dua ekor kuda.

Sesampainya di Liong-tam pada beberapa hari kemudian, barulah Kong Giok dan Poan Thian
saling berpisahan, yang pertama melanjutkan perjalanannya ke Cong-ciu, sedang yang
tersebut belakangan menuju ke Liong-tam-sie, setelah menanyakan pada penduduk disitu,
dimana letaknya kelenteng tersebut yang hendak ditujunya itu.

Namanya kelenteng itu ternyata dikenal cukup baik oleh setiap orang, bahkan nama Kak
Seng Siang-jin pun tidak asing pula bagi penduduk kota itu. Maka dengan adanya
kegampangan-kegampangan ini, tidaklah heran kalau dalam waktu yang singkat Poan Thian
telah dapat ketemukan kelenteng itu, dimana ternyata banyak dikunjungi orang, yang keluar
masuk disitu buat memasang hio atau membayar kaul. Oleh sebab itu, keadaan disitu tidak
berbeda dengan sebuah pasar kecil, dan ketika Poan Thian menanyakan pada salah seorang
yang berjalan berpapasan dengannya, dimana tempat kediaman padri kepala, orang itu lalu
menunjuk ke sebuah ruangan sambil berkata : “Tu, disana. Apakah kau ini ada seorang
yang baru pernah berkunjung kesini ?"

Poan Thian mengangguk sambil mengucapkan terima kasih, kemudian ia menuju ke


ruangan yang ditunjuk itu.

Disitu, karena melihat ada beberapa banyak orang yang duduk dibangku panjang, maka
iapun lalu maju menghampiri, memberi hormat pada seorang yang berdekatan dan
numpang duduk didekatnya.

Tatkala orang-orang itu seorang demi seorang telah pada berlalu, tinggallah Poan Thian saja
seorang diri yang duduk disitu.

Matahari sudah mulai silam kebarat, tetapi tidak tampak pula orang yang datang atau keluar
menanyakan kepadanya.

Oleh karena kesal duduk sekian lamanya disitu, maka Poan Thian lalu letakkan pauw-hok
yang dibawanya keatas meja yang terdekat, sedang ia sendiri lalu berjalan mondar-mandir
dihalaman itu, untuk menghilangkan sedikit rasa kesalnya.

Tetapi setelah ditunggu-tunggu sampai hari petang, ternyata tidak juga tampak
bayangannya barang satu manusiapun. Bahkan diluaran hanya terdengar suara kutu-kutu
saja yang memecah kesunyian didalam kelenteng itu.

Poan Thian jadi heran dan tidak mengerti, apa sebab ia dijemur orang begitu rupa. Padahal
kunjungannya itu diketahui serta dilihat oleh setiap orang.

“Apakah barangkali aku disuruh menunggu dahulu beberapa saat lagi lamanya ?" pikirnya
ketika kemudian melihat beberapa orang padri keluar memasang api lentera diserambi
depan kelenteng.
21
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Salah seorang antara padri-padri itu yang melihat Poan Thian berdiri disitu, lalu
menghampiri sambil bertanya : “Tuan, hari sudah hampir malam, tetapi mengapakah tuan
masih ada disini ?"

Poan Thian jadi kemekmek.

“Aku sedang menantikan padri kepala," sahutnya.

“Oh, kalau begitu," kata sang padri, “bolehlah tuan menunggu saja dahulu."

Poan Thian mengucap terima kasih, kemudian ia duduk pula sambil menahan perutnya yang
sudah mulai keruyukan minta diisi.

Beberapa jam kembali telah lewat. Dan ketika padri tadi balik kembali dan masih saja
melihat Poan Thian menjublek disitu, ia segera menghampiri dan bertanya, apakah guru
mereka belum juga memberikan perkenan akan ia masuk ?

“Belum," sahut Poan Thian. “Apakah Lo-suhu ada didalam ?"

Padri itu jadi heran.

“Aku sungguh tidak bisa mengerti apa maksudmu itu," katanya, “apakah barangkali kau
belum memberitahukan kepada padri pengawal pintu, bahwa kau minta bertemu kepada
guruku ?"

Poan Thian menggelengkan kepalanya: “Ti ............. tidak," sahutnya. “Barusan aku melihat
orang berkumpul disini, dari itu, akupun lalu turut duduk disini. Seorang demi seorang
mereka masuk kepintu sana," (sambil menunjuk pintu di hadapannya), “tetapi tidak tampak
seorang pun yang keluar kembali. Kukira aku mesti menunggu giliran disini, maka aku
menunggu dan menunggu. Sehingga hari sudah petang begini, belum juga ada orang
memanggil masuk kepadaku."

Mendengar keterangan demikian, sang padri jadi tertawa terbahak-bahak. Kemudian ia


memberitahukan bahwa diruangan itu memang banyak orang yang menunggu giliran
buat.........menanyakan peruntungan atau perjodohan dengan jalan menarik ciam-sie,
hingga Poan Thian jadi mengurut dada dan sesalkan kebodohan dirinya yang tidak mau
menanyakan keterangan dari orang-orang yang berkumpul tadi, sehingga kejadian ia
“nongkrong" disitu tanpa gawe dan dengan perut keruyukan !

“Tadinya kusangka bahwa orang-orang itu sedang menunggukan panggilan dari padri
kepala," kata Poan Thian kebogehan.

“Tetapi lantaran sudah terlanjur menunggu sampai seharian, sudikah kau memberitahukan
kepada Lo-suhu, bahwa aku, Lie Kok Ciang, orang dari Cee-lam, mohon berjumpa
kepadanya ?"

Padri itu mengabulkan sambil mengerendeng : “Kasihan."

Tidak antara lama ia telah kembali dan memberitahukan bahwa guru mereka sedang
bersemadi.

“Kalau nanti ia sudah selesai bersemadi," menjanjikan padri itu, “tentulah aku beritahukan
kepadanya tentang kunjunganmu ini. Harap kau suka bersabar beberapa saat lagi lamanya."

Poan Thian menurut.

22
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Selama menunggu panggilan, ia terpaksa rebahan dibangku panjang buat menghilangkan


rasa pegalnya.

Tidak lama tampak seorang padri yang berusia agak lanjut, hingga Poan Thian yang
menyangka bahwa padri itu akan memanggil dia masuk, buru-buru berbangkit sambil
bertanya: “Suhu apakah Lo-suhu sudah selesai bersamedi ?"

Padri itu tersenyum.

“Ah," katanya, “sekarang Lo-suhu sudah masuk tidur ! Kalau kau ingin berjumpa, baiklah
kau kembali lagi besok saja pagi-pagi."

Poan Thian jadi menghela napas. Ia pikir Kak Seng Siang-jin sekarang justeru ada
dikelenteng dan tidak bepergian ke-mana-mana, oleh sebab itu tentu mudah dijumpainya.
Jikalau ia sampai keluar bepergian sehingga bertahun-tahun lamanya (seperti apa katanya
Hoa In Liong), tentulah tidak ada harapan lagi untuk ia bisa berguru. Oleh karena ia berpikir
begitu maka ia lantas menjawab : “Tidak apa. Aku tunggu disini sampai Lo-suhu bangun
tidur dihari esok."

“Ya, kalau begitu sih tinggal sukamu sendiri," kata padri itu sambil berlalu.

Selama rebahan diatas bangku panjang dihalaman itu, Poan Thian jadi tidak mengerti
mengapa pelayanan padri-padri disitu ada begitu buruk. Dari pagi tadi ia belum makan atau
minum, tetapi tiada seorangpun antara padri-padri disitu yang menawarkan ia makan atau
minum. Dan setelah sekarang ia menyatakan hendak melewati malam (bukan bermalam)
disitu, juga tidak tampak seorangpun yang memberikan kamar buat ia tidur.

“Aku sungguh tidak mengerti, apakah maunya mereka itu?" Poan Thian bertanya kepada diri
sendiri, sambil mendengari suara perutnya yang berkeruyukan tidak hentinya !

Lama-lama ia jadi kepulesan.

Kira-kira hampir fajar ia telah tersadar karena mendengar suara berketupraknya sepatu
diatas jubin. Ia buka matanya sedikit, tetapi ia lantas pejamkan lagi, karena orang yang
mendatangi tidak melalui halaman dimana ia rebah.

Sesaat kemudian barulah ia bangun dan pergi buang air kecil. Diwaktu kembali kehalaman
itu, Poan Thian berpapasan dengan seorang padri yang ia baru lihat romannya diseketika
itu. Buru-buru ia memberi hormat dan bertanya: “Suhu, apakah Lo-suhu sudah bangun tidur
?"

“Wah, nyatalah kau datang terlambat," sahut padri tersebut. “Barusan saja ia keluar, tetapi
tidak lama lagi ia tentu kembali, karena ia tidak meninggalkan pesan apa-apa kepadaku.
Harap kau suka bersabar sedikit akan menunggukan kepadanya disini."

Mau tak mau, Poan Thian terpaksa mesti menunggu lagi, hanya tidak diketahui kapan Kak
Seng Siang-jin akan kembali.

Mulutnya Poan Thian sudah dirasakan kering, karena sehari semalam lamanya tidak minum;
badannya letih karena kelaparan. Tetapi ia tahan semua penderitaan itu dengan tidak
mengeluh barang sepatah katapun.

Kira-kira berselang seperempat jam lamanya, seorang padri telah keluar menghampirinya
dengan paras muka yang berseri-seri.

Poan Thian lekas memberi hormat dan bertanya : “Apakah Lo-suhu telah kembali ?"

23
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Ya," sahut padri yang ditanya itu, “sekarang ia panggil kau akan datang menghadap."

Poan Thian jadi girang, dan dengan tindakan lebar ia mengikuti padri itu masuk kehalaman
pertengahan kelenteng.

Disitu, setelah melalui beberapa banyak pintu, akhirnya sampailah ia ke sebuah ruangan,
dimana Poan Thian menampak seorang padri tua tengah duduk bersila diatas ranjang untuk
padri-padri, sepasang matanya dipejamkan. Walaupun usianya padri itu sudah lanjut, tetapi
potongan badannya tinggal tetap tegap. Sepasang alisnya yang panjang sudah tercampur
sedikit uban. Wajahnya yang angker dan lebar, ditimpali oleh sepasang daun telinga yang
lebar pula; ia tidak berjanggut ataupun bermisai. Hidungnya mancung, mulutnya agak lebar,
sedang sembilan Kay-khong atau noda bunder bagaikan bekas luka yang tampak dikepala
tiap-tiap padri, tampak dengan tegas dikepala padri itu yang agak besar. Maka setelah ia
diberitahukan bahwa padri tua itu bukan lain daripada Kak Seng Siang-jin, Poan Thian buru-
buru jatuhkan diri menjura diatas jubin beberapa kali. Dan tatkala Kak Seng Siang-jin
membuka mata dan mengamat-amatinya, Poan Thian jadi terperanjat bagaikan orang yang
terkena getaran listrik, hingga ini telah membikin ia hampir tak berani memandang lagi so-
rotan mata itu, kalau saja sang padri tak mulai bertanya : “Apakah kau ini bukan Lie Kok
Ciang yang baru datang dari Cee-lam ?"

Poan Thian membenarkan apa kata padri tua itu.

“Apakah maksudnya kau datang mencari aku?" bertanya Kak Seng Siang-jin pula.

Poan Thian lalu tuturkan dengan sejelas-jelasnya maksud apa yang dikandung didalam
hatinya.

“Kau ini ternyata mempunyai kesabaran yang lumayan juga," kata sang padri sambil
tersenyum sedikit. “Jikalau kau memangnya sudah pernah meyakinkan ilmu silat, cobalah
tuturkan itu, berapa lama dan siapa gurumu ?"

Poan Thian lalu tuturkan segala keterangan yang diminta, dengan mana Kak Seng Siang-jin
kelihatan merasa puas.

“Tetapi ini bukan berarti bahwa aku lantas bisa terima kau sebagai murid," kata padri tua
itu. “Karena disamping kau harus bisa memenuhi segala peraturanku, aku harus tahu juga
sampai dimana keuletan dan kerajinanmu buat belajar dengan menurut sistim yang aku
biasa kasihkan kepada murid-muridku disini. Lebih jauh karena kau disini telah dua hari dan
semalam menunggu-nunggu akan berjumpa denganku, maka aku percaya kau tentu merasa
capai dan lelah. Sekarang pergilah kau istirahat dahulu, supaya nanti sore aku bisa periksa
segala pelajaran yang telah kau pelajari dari An Chun San itu."

Lie Poan Thian lalu menyoja sambil mengucapkan terima kasih.

Kemudian Kak Seng Siang-jin perintah seorang murid kecil akan pergi mengantarkan Poan
Thian pergi tidur.

Sebagaimana dibagian atas telah dikatakan, Poan Thian yang sudah merasa sangat lelah,
tentu saja jadi girang dan lalu pergi mengikut pada murid kecil itu. Dan sebegitu lekas ia
dapat “mencium bantal", dengan lantas ia tidur pules dengan amat nyenyaknya, hingga
tahu-tahu ketika ia tersadar dari tidurnya, ternyata haripun sudah hampir senjakala. Buru-
buru ia bangun pergi mencuci muka dan menukar pakaian, kemudian murid kecil tadi
muncul dan persilahkan ia akan sama-sama dahar nasi.

Poan Thian mengucap banyak terima kasih atas kebaikannya kawan baru itu.

24
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Begitulah sambil duduk dahar bersama-sama, mereka berdua beromong-omong dan saling
menuturkan asal-usul masing-masing, sehingga kemudian datang ke kelenteng Liong-tam-
sie itu.

Dari penuturan si murid kecil itu, Poan Thian mengetahui bahwa ia itu adalah seorang anak
desa yang sudah tidak mempunyai ayah bunda lagi. Sanak saudaranya tidak mau mengakui
kepadanya, berhubung ia ditinggalkan mati oleh ayah-bundanya dalam keadaan sangat
miskin. Maka Kak Seng Siang-jin yang pada suatu hari kebetulan melalui desa itu dan dapat
dengar kejadian ini, ia jadi merasa kasihan dan lalu ajak anak itu datang berdiam di Liong-
tam-sie untuk diberikan didikan dan pelajaran sebagaimana mestinya.

“Semenjak aku datang kesini," kata si murid kecil itu, “tidak sedikit orang-orang yang
bernasib buruk sebagaiku telah diajaknya datang kesini oleh Kak Seng Siang-jin Lo-sian-su."

Tatkala Poan Thian menanyakan she dan namanya, murid kecil itu lalu menjawab bahwa ia
orang she Song bernama Yong, dikelenteng itu sudah berdiam dua tahun lamanya.

Poan Thian kelihatan girang sekali mendapat kawan yang begitu ramah-tamah. Kemudian ia
perkenalkan diri sendiri dan tuturkan apa sebab ia berkunjung ke Liong-tam-sie, tetapi
dalam pembicaraan itu sama sekali ia tidak menyebut-nyebut atas perantaraannya Hoa In
Liong.

“Murid-murid Lo-sian-su disini tidak berapa banyak." kata Song Yong, “tetapi hampir semua
terdiri dari ahli-ahli silat yang jarang bandingannya, terutama Hoa In Liong Su-heng, yang
ilmu kepandaiannya boleh dikatakan nomor satu diantara murid-murid Lo-sian-su yang ada
disini."

Poan Thian yang mendengar Song Yong menyebut-nyebut namanya Hoa In Liong, diam-
diam ia jadi girang dan lalu coba menanyakan tentang asal-usulnya orang she Hoa itu,
tetapi Song Yong lalu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum dan berkata : “Tentang
itu aku tidak tahu-menahu, karena baikpun Lo-sian-su ataupun In Liong Su-heng sendiri tak
pernah mengatakan apa-apa tentang asal-usulnya."

Poan Thian mengangguk-angguk sambil menggerakkan sumpitnya menyomot lauk-pauk


yang disajikan di hadapannya.

“Guru kita disini orangnya kelewat aneh," kata Song Yong pula. “Ia amat cerewet dalam hal
menerima orang sebagai muridnya. Tetapi aku harus memberi selamat kepadamu,
berhubung dengan banyak kemungkinan akan kau diterima olehnya. Karena barang siapa
yang kiranya tidak bakal diterima sebagai murid, bukan saja tidak diperkenankan masuk ke-
halaman ini, tetapi dengan getas lantas diberitahukan bahwa dengan sangat menyesal ia
tidak bisa diterima dengan alasan ini atau itu. Sementara orang-orang yang sudah diterima
sebagai murid, bisa disembarang waktu diusir dari sini, apabila berani melanggar peraturan-
peraturan yang telah ditetapkan oleh Lo-sian-su. Banyak sekali anak-anak hartawan dan
orang-orang berpangkat berkunjung kesini untuk berguru dengan membawa bingkisan-
bingkisan yang berharga mahal, tetapi tiada seorangpun yang diterima. Bahkan anak-anak
jembel yang dianggap mempunyai bakat baik, telah dibawa dan dididik oleh Lo-siansu disini.
Demikianlah perbedaannya cara penerimaan murid antara Lo-siansu dengan kebanyakan
ahli-ahli silat lain yang kudapat dengar dari orang lain."

Lie Poan Thian saban-saban mengangguk-angguk sambil turut menyatakan keheranannya


dengan caranya sang padri tua itu.

Sebegitu lekas mereka habis makan, Poan Thian lalu permisi pada Song Yong akan pergi
mengunjungi Kak Seng Siang-jin.
25
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Kita sekarang telah menjadi saudara dari satu golongan," kata Song Yong sambil
bersenyum. “Oleh sebab itu, anggaplah bahwa kita semua ada sama dan tidak perlu berlaku
sungkan lagi."

Poan Thian mengucapkan terima kasih. Kemudian ia pergi menjumpai Kak Seng Siang-jin.

“Aku disini baru saja hendak suruhkan orang buat panggil padamu, tetapi kau telah
mendahului datang kesini," kata padri tua itu, setelah melihat Poan Thian datang
menghadap. “Sekarang cobalah kau tuturkan dahulu segala pelajaran silat yang telah kau
dapat pelajari dari An Chun San, setelah itu, barulah kau jalankan itu dalam praktek, untuk
disaksikan olehku."

Lie Poan Thian menurut.

Mula-mula ia tuturkan hal-ihwalnya ia berguru pada An Chun San, sehingga guru silat itu
mabur karena dirobohkan olehnya.

Kak Seng Siang-jin berdiam sejurus, mendengari penuturannya Lie Poan Thian. Kemudian ia
perintah pemuda itu perlihatkan kepandaiannya.

Poan Thian menjawab : “Menurut perintah." sambil lantas bersilat menurut apa yang ia
tahu.

Tetapi pada sebelum ia selesai bersilat, Kak Seng Siang-jin lalu memberi tanda supaya ia
lantas berhenti.

“Sudah, sudah cukup," katanya. “Sekarang aku telah lihat dengan tegas bahwa selama
hampir dua tahun kau telah belajar silat dengan secara sia-sia saja, karena segala pelajaran
yang kau pertunjukkan itu, tidak lebih tidak kurang daripada hoa-couw belaka, atau ilmu
silat untuk pertunjukan. Bagus kelihatannya, tetapi hampir tak berguna akan dipakai
bertempur. Dan jikalau kau bertempur dengan seorang yang lebih pandai daripada dirimu,
kau bisa dapat celaka atau mudah dirobohkan dengan tak usah memakai terlalu banyak
tenaga lagi. Karena dengan tenagamu yang kau keluarkan itu, sudah cukuplah akan bikin
kau sendiri jatuh terpelanting. Hal mana aku bisa saksikan bagaimana tadi kau telah
menggunakan beberapa macam ilmu pukulan, yang berhubung keliru di jalankannya, maka
menerbitkan beberapa titik kelemahan yang seolah-olah membuka jalan untuk memudahkan
orang lain merobohkan kepadamu. Maka setelah sekarang kau berada disini, kau harus
lupakan segala pelajaran itu dan memulai pula dengan menurut sistim yang aku telah
tetapkan sendiri. Tetapi apabila kau tidak sanggup menuruti sistim pelajaran ini, kau harus
selekasnya memberitahukan kepadaku, agar supaya kau jangan sampai menyesal akan
mengikuti pelajaran-pelajaran yang begitu berat dengan tiada mendapat hasil begitu cepat
sebagaimana yang kau harapkan."

Poan Thian berjanji akan mentaati segala peraturan itu, kemudian ia diperintah akan
kembali dihari esok untuk menerima pelajaran yang pertama.

***

Enam tahun telah lalu dengan tidak terasa lagi.

Oleh karena berkat dari kerajinan dan keuletannya, yang dibarengi juga dengan didikan
seorang ahli yang tinggi ilmu pengetahuannya seperti Kak Seng Siang-jin, Lie Poan Thian
akhirnya telah berhasil menjadi salah seorang murid Kak Seng Siang-jin yang paling pandai,
sementara pelajaran ilmu menendangnya boleh dikatakan hampir tiada bandingannya
diantara kawan-kawan seperguruannya. Maka padri tua itu yang melihat keistimewaan

26
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

muridnya ini, dengan sengaja telah menurunkan semua ilmu kepandaiannya yang paling
terahasia dan belum pernah diketahui oleh murid-murid yang lainnya. Dan tatkala semua ini
telah dapat dipelajari Poan Thian sebaik-baiknya, pada suatu sore Kak Seng Siang-jin telah
menganjurkan akan si-pemuda coba menciptakan sendiri ilmu pukulan dibawah
penilikannya, agar supaya jikalau ada apa-apa yang keliru diciptakan atau di jalankannya
dalam praktek, disembarang waktu bisa dikoreksi oleh sang guru itu dengan cara yang
sempurna.

“Karena jikalau penciptaan-penciptaan baru dapat dilakukan sekarang olehmu," kata sang
guru, “memanglah tidak lebih dan pantas dan justeru tepat benar pada waktunya, yaitu
setelah kau dapat mempelajari semua pelajaranmu dengan sesempurna-sempurnanya."

Oleh sebab Poan Thian bukan seorang yang suka menganggur, sudah tentu anjuran itu
diterima dengan baik olehnya, maka dengan tiada menunggu lagi sampai dihari esok, pada
sore itu juga Poan Thian lalu mulai menyempurnakan ilmu tendangan Sauw-tong-lian-hwan-
tui, yang dahulu pernah dipergunakan olehnya diwaktu merobohkan An Chun San.

Ilmu tendangan ini setelah dipraktekkan beberapa minggu lamanya dengan ditilik oleh Kak
Seng Siang-jin sendiri, ternyata hasilnya ada begitu memuaskan, hingga sebuah patok
Bwee-hoa-chung yang dipendam di tanah sampai 3-4 kaki dalamnya, dengan mudah dapat
diruntuhkan oleh tendangan baru yang diciptakan oleh si-pemuda. Sedang sebuah pohon
yang dahulu ia cuma bisa bikin tergoncang dengan tendangannya, sekarang ia bisa
robohkan dengan hanya sekali tendang saja !

Diwaktu ia berjalan di tanah dengan kaki telanjang dan menyalurkan khi-kangnya kearah
telapak kaki itu, maka kemana saja ia menindak, segera tampak bekas kaki yang tercetak di
tanah sehingga beberapa dim dalamnya !

Sementara Kak Seng Siang-jin yang menyaksikan kemajuan Poan Thian yang begitu pesat
dalam ilmu pelajarannya, sambil menepuk tangan lalu berkata : “Nah, jikalau semua murid-
muridku bisa mempunyai kerajinan dan keuletan belajar seperti ini, pengharapanku tidak
menjadi sia-sia dalam hal mempertahankan nama baiknya kelenteng Liong-tam-sie kita ini.
Karena biarpun aku disini tidak mempunyai begitu banyak murid seperti orang lain, tetapi
sudah puaslah hatiku dengan mempunyai beberapa murid saja seperti In Liong dan Kok
Ciang ini !"

Oleh karena kemajuan-kemajuannya ini, maka murid-murid lain pun menghormati dan
mengindahkan pada Lie Poan Thian, dan mereka satu-persatu telah datang menyatakan
kegirangannya dan mengucapkan banyak selamat atas sukses yang diperoleh pemuda kita
itu.

Tetapi Poan Thian tidak jadi sombong karena diuruk pujian-pujian dari pihak guru dan
kawan-kawan seperguruannya, karena telah lama ia insjaf bahwa orang-orang gagah di
dunia ini bukan hanya dia seorang diri saja. Dari itu, selanjutnya ia tidak berani
menganggap dirinya “Thian He Tee It" seperti dahulu pula.

Sambil berlutut, Poan Thian terima pau-hok pemberian gurunya itu.

Pada suatu hari Poan Thian menerima sepucuk surat yang terkirim dari rumahnya di Cee-
lam, dan ketika surat itu dibuka dan dibaca bunyinya, ternyata berisikan kabar mengejutkan
tentang dirinya Tek Hoat yang telah dihinggapi penyakit sangat berat, hingga lantaran itu,
Poan Thian diminta supaya selekasnya kembali ke Cee-lam.

Pemuda itu jadi bingung dan lalu pergi memberitahukan hal ini kepada Kak Seng Siang-jin,
yang setelah turut juga membaca bunyinya surat itu, lalu menganjurkan supaya Poan Thian
27
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

lantas berangkat ke kota kelahirannya dihari itu juga.

“Ayahmu sekarang sudah berumur 60 tahun lebih dengan hanya mempunyai kau seorang
anak saja," kata sang guru, “maka buat memenuhkan kewajiban seorang anak kepada
orang tuanya, memang tidak lebih dari pantas jikalau kau segera pulang buat mengurus
orang tuamu yang sakit keras itu."

Sementara Poan Thian yang pikirannya sedang kalut oleh karena mendapat kabar celaka itu,
dengan air-mata berlinang-linang dan suara gemetar lalu berkata : “Suhu, sebenarnya murid
tak akan meninggalkan kelenteng ini, pada sebelum ilmu kepandaianku mencapai kepada
puncaknya kesempurnaan, tetapi karena keadaan yang begini memaksa, maka mau tak mau
murid mesti kembali dahulu ke rumahku buat beberapa waktu lamanya. Tetapi ini bukan
berarti bahwa murid meninggalkan pelajaran setengah jalan. Maka paling cepat 3 bulan atau
paling lama setengah tahun, murid tentu akan balik kembali buat menerima lagi pelajaran-
pelajaran dari Suhu seperti biasa."

Tetapi dengan wajah yang tenang Kak Seng Siang-jin lalu berkata : “Dari hal kau akan
kembali lagi atau tidak ke kelentengku disini, itulah bukan soal yang perlu diributi sampai
begitu. Karena walaupun kau tidak balik kembali juga, aku tidak kuatir lagi akan kau
mengalami kesukaran diluaran. Hanya kalau disuatu waktu kau kebetulan melewat ke Liong-
tam dan ada waktu terluang akan mampir kesini, sudah tentu saja aku akan merasa girang
dan menerima kedatanganmu dengan tangan terbuka."

Sesudah berkata begitu, Kak Seng Siang-jin lalu perintah seorang murid pelayannya buat
mengambil sebuah bungkusan yang memang telah disediakan untuk diberikan kepada Poan
Thian, kalau nanti ia berlalu dari kelenteng Liong-tam-sie.

“Isinya pauw-hok kecil ini," kata sang guru, “bukanlah terdiri dari emas atau perak,
hanyalah beberapa macam senjata dan pakaian yang kau mungkin butuhkan dalam
perantauanmu dikalangan Kang-ouw nanti. Pakaian yang ada di dalamnya, aku telah
sengaja suruh orang bikin dengan menurut ukuran pakaianmu sendiri, dari itu, aku percaya
tentu akan cocok dipakai olehmu."

Sambil berkata begitu, padri tua itu lalu membuka pauw-hok tersebut buat diperlihatkan
isinya kepada Lie Poan Thian.

“Segala macam senjata rahasia," kata sang guru pula, “aku sengaja berikuti disini untuk
memudahkanmu jikalau nanti perlu dipakai, apalagi diwaktu ada serangan mendadak yang
bisa membikin orang jadi gugup. Tiok-yap-piauw, Kim-chie-piauw, Liu-seng-piauw dan
senjata-senjata rahasia lain, semua aku telah sediakan disini. Ini juan-pian," ia
menganjurkan pada sang murid, “baiklah kau libatkan saja dipinggangmu supaya bisa lantas
dipergunakan diwaktu kesusu."

Poan Thian menurut dan lalu berbuat apa yang diperintah oleh gurunya.

“Pedang ini agaknya terlalu panjang buat disoren, maka baik kau simpan saja dan boleh
dibawa kalau nanti kau berjalan diwaktu malam. Sementara pakaian Ya-heng-ie (pakaian
untuk berjalan diwaktu malam) yang ada disini, kau jangan pakai jikalau bukannya terlalu
perlu. Sepatu ini," melanjutkan sang padri, “sebenarnya memakai pisau yang disembunyikan
pada bagian ujungnya, yang jikalau ditendangkan, lalu bisa keluar akan melukai orang.
Tetapi karena melihat tendanganmu yang begitu sempurna dan cukup berbahaya, maka aku
pikir tidak perlu lagi akan sepatu ini dipasangi pisau lagi, oleh sebab itu, maka pisau itu aku
lalu suruh orang singkirkan."

Lie Poan Thian menyoja sambil mengucapkan terima kasih.

28
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Lain hal lagi yang hendak kupesan kepadamu," kata Kak Seng Siang-jin lebih jauh, “adalah
kau diluaran jangan berlaku sombong dan menganggap bahwa diri sendiri paling jempol,
karena orang-orang pandai didalam dunia ini sukar dihitung berapa banyaknya.
Pergunakanlah ilmu kepandaianmu untuk bantu menenteramkan masyarakat daripada
gangguan-gangguan segala cabang-atas yang gemar memeras dan berlaku sewenang-
wenang kepada sesamanya yang lemah dan tidak berpengaruh. Orang hidup harus
mempunyai banyak kawan, tetapi jangan lupa buat memilih serta dapat membedakan,
kawan mana yang boleh dicampur atau tidak. Kin Cu Cia, Cek; Kin Bak Cia, Hek, barang
siapa yang mendekati cat merah, pastilah ia akan bernoda merah: dan barang siapa yang
mendekati bak, ada kemungkinan ia akan kecipratan hitam. Demikianlah ujarnya pujangga
di zaman dahulu. Setiap orang harus berlaku budiman, kalau saja keadaannya bisa
mengijinkan; tetapi tiada salahnya akan orang berbuat apa yang dinamakan “kouwkatie"
(mementingkan diri sendiri), karena menurut pendapatku, tidak semua perbuatan kouwkatie
berarti salah, kalau saja dengan berbuat begitu kita tidak merugikan kepada orang lain.
Karena buat menolong diri sendiri, sudah tentu saja kita harus berdaya dengan sekuat
tenaga kita, dan sama sekali bukannya mesti selalu mengandalkan kepada tenaga orang
lain. Tetapi terhadap perbuatan kouwkatie yang terutama biasa menguntungkan kepada diri
sendiri dengan tiada memperdulikan kepada kerugian yang diderita oleh orang lain, itulah
suatu perbuatan keji yang aku selalu menganjurkan buat kau atau siapapun akan bantu
memberantasnya dengan sekuat-kuatnya tenaga."

Dengan ini, Poan Thian kembali menyoja mengucapkan terima kasih.

Setelah itu Kak Seng Siang-jin lalu perintah supaya ia lekas berangkat ke Cee-lam dihari itu
juga.

Maka dalam keadaan yang begitu kesusu dan sekonyong-konyong, tentu saja Poan Thian
tidak sempat banyak pikir lagi, hingga sebegitu lekas ia dahar, lalu ia bawa pauw-hoknya,
yang dijadikan satu dengan pauw-hok pemberian gurunya, kemudian barulah ia berpamitan
pada guru dan kawan-kawannya. Dari situ, dengan tindakan yang tergopoh-gopoh ia telah
meninggalkan kelenteng Liong-tam-sie yang dicintainya itu.

Begitulah dengan menyewa sebuah kereta yang ditarik oleh seekor kuda yang dapat berlari
cepat, Poan Thian lalu berangkat ke Cee-lam.

Pada suatu hari ketika ia sampai di Cee-lam, haripun telah hampir senja. Di jalan-jalan raya
tampak penuh sesak dengan kereta-kereta, kendaraan-kendaraan lain, pedagang-pedagang
yang memikul barang dagangan dan orang-orang yang kembali dari luar kota. Maka karena
kereta yang dinaiki Poan Thian tak dapat melanjutkan perjalanannya karena kudanya mogok
apa boleh buat pemuda itu lalu turun disitu, membayar uang sewaannya dan kembali ke
rumahnya dengan berjalan kaki, sambil menggendong pauw-hok dipunggungnya.

Mula-mula Poan Thian masih bisa berjalan dengan tindakan cepat. Akan tetapi ketika ia
melalui pintu Soan-hoa-mui dan membelok ke lereng Cay-hong-kee yang agak sempit, ia
jadi tercegat oleh lautan manusia yang seolah-olah membendung dan memperlambat
perjalanannya. Meskipun dia saban-saban memohon pada orang banyak akan diberikan
sedikit lowongan akan melewat, tidak urung ia mesti berjalan juga dengan perlahan,
berhubung mulut lorong di bagian sana masih berjejal banyak orang.

Dalam pada itu sekonyong-konyong kelihatan mendatangi empat orang berkuda yang juga
hendak melalui lorong itu.

Pemimpin dari penunggang-penunggang kuda itu adalah seorang yang berbadan tegap,
beroman angker. Ia kelihatan tidak sabaran melihat orang-orang yang berjalan seperti

29
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

merayap itu. Sambil duduk terus diatas punggung kudanya, ia menyerukan supaya orang
banyak membuka sedikit jalan untuk ia dan pengawal-pengawalnya lewat disitu.

Dan ketika seruan itu seolah-olah tidak dihiraukan orang, si-pemimpin jadi marah-marah
dan mengancam akan menubrukkan kudanya pada orang banyak, apabila mereka tidak juga
suka memperhatikan atas peringatan itu.

“Jalanan disini memangnya amat sempit," begitulah terdengar suaranya seorang orang yang
mengomel, “oleh karena itu, mengapakah tidak mengambil jalan lain saja yang lebih lebar
dan leluasa, sehingga disitu orang boleh kaburkan kudanya dengan sesenang hati ?"

“Hus ! Sudah, jangan banyak bicara," kata seorang yang lainnya. “Apakah kau tidak tahu,
bahwa dia itu adalah Teng Yong Kwie, komandan dari tangsi Tok-piauw-eng ? Dia inilah
seorang yang berjasa besar dalam hal melakukan pembasmian terhadap kaum Pek-lian-
kauw, sehingga ia sangat dipercaya oleh pihak atasannya."

Tetapi orang pertama yang tadi bicara itu lalu mengeluarkan suara jengekan dari lubang
hidung sambil berkata : “Hm! Apakah mentang-mentang dia berjasa besar, sehingga orang
banyak harus takut padanya seperti harimau ?"

Pemimpin itu rupanya mendengar comelan dan jengekan itu, tetapi ia tidak tahu siapa yang
menyomelnya, maka sambil bercelingukan kesana-kesini, kembali ia sengaja berseru buat
minta orang banyak membuka jalan untuk mereka lewat.

Sementara Lie Poan Thian yang mendengar suara kuda dan orang yang berseru, lalu
menoleh kebelakang buat coba melihat, sehingga dengan tidak disengaja sorot matanya jadi
kebentrok dengan sorot mata orang itu. Tetapi selanjutnya Poan Thian tidak sempat
menaruh perhatian terhadap orang yang ia sama sekali tidak kenal itu, berhubung
pikirannya terlalu kalut memikirkan penyakit ayahnya sendiri.

Tidak kira selagi berdesakan diantara orang banyak akan melalui lorong itu, mendadak si-
pemuda telah dibikin kaget oleh kepala kuda yang membentur pauw-hok yang
digendongnya, hingga ketika ia coba menoleh kebelakang, si-penunggang kuda jadi tertawa
bergelak-gelak, seolah-olah perbuatan itu telah dilakukannya dengan sengaja. Hal mana
sudah barang tentu telah membikin Poan Thian jadi mendongkol, tetapi syukur juga ia
masih mempunyai kesabaran akan menghindarkan persetorian dengan penunggang kuda
itu.

Tetapi ketika perbuatan itu diulangkan buat kedua kalinya, Poan Thian lantas menganggap
bahwa cara itu betul-betul sangat terlalu, hingga ini tak boleh dibiarkan begitu saja. Maka
sambil mendorong kepala kuda itu dengan tangan kirinya, Poan Thian lalu bertindak maju
dan mengangkat dada binatang itu dengan tangan kanannya, hingga pada sebelum orang
mengeluarkan suara teriakan, binatang itu berikut penunggangnya telah jatuh terbanting
kemuka bumi, bagaikan sebuah bola yang dilemparkan orang ketengah lapangan !

Setelah itu, Poan Thian yang kuatir terbit rusuh terlebih besar, lalu menggunakan siasat
Yan-cu-cuan-liam, atau burung kepinis menerobos tirai bambu, menyingkirkan diri dari situ
dengan jalan melayang diatas kepalanya orang banyak yang berjejal dilorong sempit
tersebut. Oleh sebab ini, dalam tempo sekejapan saja ia telah menghilang diantara orang-
orang yang jalan berduyun-duyun disebelah depan perjalanannya.

Sementara si-pemimpin yang telah ditolong oleh ketiga orang pengawalnya, buru-buru ia
menyerukan kepada Lie Poan Thian sambil berkata : “Hai sahabat! Siapakah she dan
namamu ? Dan dimanakah tempat kediamanmu?"

30
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Tetapi Poan Thian yang diserukannya telah tidak kelihatan lagi mata-hidungnya, hingga
pemimpin itu pun tidak tahu kemana mesti mencarinya, diantara orang banyak yang
berdesakan dilorong yang sempit itu.

***

Tidak lama kemudian Poan Thian telah sampai di rumahnya sendiri.

Dari pertanyaan-pertanyaan mengenai penyakit orang tuanya, Poan Thian mendapat kesan
bahwa Tek Hoat bukan sakit karena usianya telah lanjut, hanyalah karena jengkel ditipu
orang, yang duduknya perkara bisa dituturkan dengan singkat sebagai berikut:

Sebagaimana para pembaca tentu belum lupa, Lie Tek Hoat ini adalah seorang pabrikan
beras yang kaya raya, dan di kota Cee-lam ia membuka perusahaan tersebut dengan
memakai merek penggilingan Eng Tiang Chun.

Pada beberapa waktu Tek Hoat menerima pesanan 2000 pikul gandum dari seorang
saudagar bernama Ma-Cu Lie, atau Lie si Bopeng, yang sebenarnya mempunyai juga
perusahaan penggilingan yang memakai merek Ban Seng Mo Hong. Oleh karena Tek Hoat
dan Ma-Cu Lie mempunyai perhubungan yang baik sekali, maka kejadian pesanan gandum
tadi telah disanggupi oleh Tek Hoat dengan tidak membikin surat perjanjian apa-apa.

Tek Hoat tidak mengetahui bahwa hatinya si-bopeng itu terlalu busuk, bahkan maksud yang
benar daripada pesanan gandum tersebut adalah semata-mata akan membikin perusahaan
Tek Hoat jadi bangkrut dengan suatu muslihat keji yang telah dipikirkan oleh Ma-Cu Lie
sejak beberapa waktu lamanya.

Maka setelah gandum yang 2000 pikul itu telah tersedia, Ma-Cu Lie lalu pura-pura
mengatakan belum dapat membayar harga barang itu, dari itu ia minta supaya Tek Hoat
simpan saja dahulu gandum itu didalam gudangnya, sehingga nanti ia sudah mendapat
cukup uang untuk menebusnya.

Tek Hoat mula-mula mau percaya omongan itu. Tetapi setelah gandum itu hampir rusak dan
belum juga diambil atau dibayar harganya, ia jadi hilang sabar dan lalu pergi mengunjungi
Ma-Cu Lie, yang olehnya dikatakan telah menipu serta diancam akan diadukan kepada
pembesar yang berwajib, apabila si-bopeng tidak juga mau membayar harganya gandum
tersebut. Tetapi hal ini dianggap sepi oleh Ma-Cu Lie, karena ia mempunyai banyak
hubungan dengan pembesar-pembesar negeri dan kepala-kepala polisi bangsa Boan dan
Tionghoa, hingga selain ancaman itu tidak dihiraukannya, malahan ia sendiri lantas balas
menjengeki pada Tek Hoat dengan mengatakan : “Aku sama sekali tidak berhutang
kepadamu, seperti juga kau tidak berhutang kepadaku. Gandum yang ada padamu, itulah
tinggal tetap menjadi milikmu; lain perkara jikalau gandum itu aku sudah angkat dan tidak
membayar harganya, itulah memang patut kau adukan aku pada pembesar yang berwajib.
Maka jikalau gandum itu sampai rusak ditanganmu sendiri, itulah sudah tentu bukan karena
salahku. Cara bagaimanakah kau boleh persalahkan lain orang !"

Tek Hoat jadi sangat mendongkol dan semenjak itu ia jatuh sakit, hingga ibunya Poan Thian
jadi sangat masgul dan lalu perintahkan orang mengabarkan peristiwa ini kepada sang anak
yang berdiam dikelenteng Liong-tam-sie.

Maka setelah Poan Thian mengetahui jelas duduknya perkara yang benar, sudah tentu saja
ia jadi sangat gusar dan sesumbar bahwa ia akan membalas dendam atas perbuatannya Ma-
Cu Lie yang amat busuk itu.

Tetapi ibu dan sanak saudara Poan Thian yang kuatir pemuda kita akan mengambil tindakan

31
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

nekat, lalu dengan sabar memberikan nasihat, agar supaya dia jangan terburu napsu
mengambil tindakan apa-apa, pada sebelum mengetahui seluk-beluknya keadaan pihak
sana, apapula kalau diingat bahwa Ma-Cu Lie ini bukannya seorang dari golongan
terhormat.

“Asal mulanya dia bisa membuka perusahaan penggilingan sendiri," menerangkan salah
seorang keluarganya Lie Poan Thian, “adalah dengan jalan mengeret gundik kawannya
sendiri, yang setelah sikawan itu mati dan semua miliknya terjatuh kedalam tangan si-
gundik itu, lalu si-bopeng “tolong" uruskan harta benda orang, berikut nyonya-rumahnya
sekali dibuat isteri olehnya. Itulah riwayat permulaannya si-bopeng jadi jaya dan hidup
beruntung sehingga sekarang ini. Maka disamping ia bisa “tempel" pembesar-pembesar
yang berpengaruh, ia-pun memelihara beberapa banyak tukang pukul yang biasa mengiringi
padanya diwaktu ia bepergian."

“Menurut kabar yang aku dengar diluaran," melanjutkan seorang keluarganya pula, “si-
bopeng ini dulunya pernah juga menjadi guru silat. Tetapi belum tahu apakah kabar itu
benar atau tidak ?"

“Itu benar," kata keluarga Poan Thian yang pertama bicara, “tetapi bukan seorang guru silat
kelas satu, hanyalah guru silat biasa yang berbuat begitu untuk mencari sesuap nasi."

Oleh karena mendengar keterangan-keterangan begitu, maka Poan Thian jadi mendapat
pikiran akan menerbitkan persetorian dengan Ma-Cu Lie, sebagai tindakan pertama akan
minta penggantian kerugian atas gandum yang telah dipesan tetapi telah sengaja tidak
diambil olehnya buat kerugian ayahnya sendiri.

Maka setelah sekian lamanya mencari tahu kemana biasanya si-bopeng itu berkunjung
diwaktu siang hari, lalu Poan Thian pun datang juga ketempat yang sama untuk sengaja
mencari setori.

Begitulah ketika ia mendengar kabar bahwa si-bopeng sering mengunjungi kedai dan rumah
makan Cay-hong-lauw, maka iapun lalu sengaja juga datang ketempat itu dan sambil
berjalan ia memakan kwacie.

Tatkala naik keloteng dan dikasih tahu oleh seorang pelayan yang mana satu ada Ma-Cu Lie
yang hendak dicarinya, Poan Thian lalu berjalan menghampiri sambil menyemburkan kulit
kwacie ke meja orang, hingga Ma-Cu Lie yang sedang asyik makan minum dengan ditemani
oleh lima atau enam orang gundalnya jadi marah, karena perbuatan Poan Thian yang
dianggapnya sangat kurang ajar itu.

“Engkau dan pihak kami baru saja pada hari ini saling bertemu muka," membentak Ma-Cu
Lie, “mengapa kau telah berani berlaku begitu kurang ajar akan mengganggu kegembiraan
Toa-ya yang sedang duduk makan minum disini ? Apabila kau bermaksud baik, marilah kau
boleh bicara baik; apabila kedatanganmu ini memang bermaksud kurang baik, bolehlah kau
bicara dengan secara terus terang. Apakah perlunya kau mesti berlaku begitu jail
menyembur-nyemburkan kulit kwacie ke meja kami ?"

Tetapi Lie Poan Thian yang berpura-pura tidak mendengar atas teguran itu, lalu mencari
meja yang kosong di hadapan meja Ma-Cu Lie, dimana ia memanggil: “Pelayan, bawakan
aku 10 kati arak dan beberapa kati daging sapi yang baik!"

Ma-Cu Lie jadi semakin marah dan lalu berbangkit dari kursinya sambil menuding pada
pemuda kita dan mendamprat : “Binatang! Apakah barangkali kau tuli, hingga tak
mendengar omonganku tadi ?"

32
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Poan Thian melirik sambil balas membentak : “Tutup bacotmu ! Aku tidak ada urusan
dengan kau !"

“Tetapi mengapa kau barusan telah menyembur-nyemburkan kulit kwacie ke mejaku ?" kata
Ma-Cu Lie pula dengan amat marahnya. “Terhadap orang lain kau boleh berlaku menurut
sukamu, tetapi terhadap diriku kau boleh dengar-dengar dulu. Tahukah kau aku ini siapa ?"

“Aku tahu !" sahut Poan Thian juga lalu bangun berdiri. “Jawabanku cukup ringkas, tetapi
juga sampai cukup akan diingat olehmu seumur hidup. Ini dia, terimalah!"

Berbareng dengan habisnya ucapan itu, Poan Thian lalu tempiling mukanya Ma-Cu Lie
sehingga jatuh meloso diatas lantai, hingga lima atau enam orang gundalnya si-bopeng
yang menyaksikan kejadian itu, segera pada berlompatan bangun mengepung pemuda kita.

“Kamu sekalian tidak ada sangkut pautnya dengan urusanku," kata Lie Poan Thian dengan
suara nyaring, “maka itu, paling betul kamu jangan mencampuri urusan ini. Jikalau sesudah
diberitahukan masih saja kamu berkepala batu hendak membela pihak yang keliru dan
jahat, kamu sekalian harus terima segala akibatnya yang akan terjadi !"

Tetapi gundal-gundal itu yang setia pada majikannya, dengan serentak lalu maju
mengepung pada Lie Poan Thian, hingga pemuda kita lalu menggerakkan kaki tangannya
buat meladeni bertempur beberapa orang lawan itu.

Begitulah perkelahian yang maha dahsyat telah terjadi dengan satu melawan enam orang !

Ketika Ma-Cu Lie telah bisa berdiri pula dengan kepala masih dirasakan pusing karena
tempilingan tadi, lalu membentak dengan keras, sambil menerjunkan diri kedalam kalangan
pertempuran, buat mengeroyok pemuda kita yang ia tidak kenali ada puteranya Lie Tek
Hoat.

Tetapi Poan Thian tidak mengunjukkan rupa takut atau jerih akan menghadapi musuh-
musuh yang hampir semua berbadan tinggi besar itu.

Kursi-kursi telah dipakai menyambit dan memukul pada Lie Poan Thian oleh Ma-Cu Lie dan
gundal-gundalnya, tetapi semua itu telah dapat dielakkan dengan jalan dikelit atau dijaga
dengan kursi-kursi lain yang dapat ia sembat dari kiri-kanan.

Salah seorang gundalnya si-bopeng yang berani maju paling dekat, telah dibikin terpental
dengan satu tendangan, hingga selanjutnya ia kapok akan mendekati pula Lie Poan Thian,
dan hanya menganjurkan kawan-kawan yang lainnya akan maju bertempur dari kejauhan
saja.

Sementara itu Ma-Cu Lie yang merasa bahwa iapun pernah menjadi seorang guru silat
beberapa tahun lamanya, sudah tentu menjadi penasaran telah ditempiling oleh seorang
yang usianya jauh lebih muda daripada dirinya sendiri. Maka setelah mengasih perintah
akan gundal-gundalnya mundur dari kalangan pertempuran, ia segera menindak maju
sambil menantang Poan Thian akan berkelahi satu lawan satu. Poan Thian terima baik
tantangan itu. “Kalau tadi kau menyatakan hendak bertanding satu lawan satu," kata
pemuda kita, “pastilah kursi meja disini tidak sampai mengalami kerusakan begini hebat.
Tetapi hal ini biarlah kita nanti bicarakan lagi belakangan. Sekarang aku ingin bertanya
kepadamu: kau hendak bertanding dengan cara apa?"

Ma-Cu Lie tidak mengatakan “ba" atau “bu", hanya segera maju menerjang dengan
menggunakan siasat Beng-houw-kim yo (harimau buas menerkam kambing), hingga Poan
Thian yang melihat tangannya si-bopeng menyamber kearah dadanya, buru-buru ia

33
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

miringkan sedikit badannya sambil memasang bee-sie setengah jongkok: tangan kirinya ia
pergunakan buat menolak kesamping tangan si-bopeng yang menjotos itu, sementara
tangan kanannya lalu dipergunakan buat membikin terkesiap hatinya sang lawan. Seketika
itu jikalau Ma-Cu Lie sedikit saja berlaku kurang teliti, pastilah siang-siang ia sudah jatuh
kena tertendang oleh kakinya Poan Thian yang menyapu kearah kakinya dengan secara
yang amat mendadak.

Maka setelah Poan Thian menyaksikan si-bopeng dapat juga menghindarkan diri dari
tendangannya, lalu ia mengganti siasat penyerangannya dengan gerakan-akan yang lebih
cepat dan sukar diduga, antara mana ia telah pergunakan ilmu-ilmu tendangan Lian-hwan
Cuan-sim-tui, Sauw-tong-tui, dll., dengan hanya sedikit menggunakan ilmu pukulan dengan
tinju atau telapak tangan.

Si-bopeng yang pengertian ilmu silatnya sangat terbatas, sudah tentu jadi kelabakan dan
tidak lama kemudian ia telah kena ditendang oleh Lie Poan Thian sehingga meringkuk di-
atas lantai dengan memuntahkan banyak darah yang tampak cerecetan disana-sini.

Kemudian sambil menoleh pada gundal-gundalnya Ma-Cu Lie yang sedang sibuk menolong
majikannya, Poan Thian lalu memperingatkan sambil berkata: “Kamu sekalian harus
mengerti, bahwa tindakan ini aku terpaksa ambil berhubung dengan kecurangan-
kecurangan yang telah dilakukan majikanmu terhadap pada Lie Tek Hoa, pemilik
penggilingan Eng Chun Tiang, hingga dengan begitu ia menderita kerugian uang 3000 tail
dan gandum sejumlah 2500 pikul yang tidak dibayar biaya menggilingnya untuk dijadikan
tepung. Maka jikalau sekarang aku tidak mau pukul majikanmu sehingga mati, itulah berarti
aku masih suka mengampuni kepadanya, kalau saja kerugian-kerugian itu segera diganti
berikut pembayaran rentennya sebagaimana mestinya. Jikalau peringatan ini tidak juga
dihiraukan oleh majikanmu, terpaksa aku nanti mengambil tindakan yang mungkin juga
akan menerbitkan perkara jiwa ! Itulah ada peringatanku yang paling penghabisan, buat
mana aku tunggu pelunasan penggantian kerugian itu selama 3 hari ini dipenggilingan Lie
Tek Hoat yang tersebut tadi !"

Sementara gundal-gundal Ma-Cu Lie yang sekarang telah ketahui dengan orang macam apa
mereka berhadapan, diam-diam merasa “seram juga" dan berjanji akan sampaikan
peringatan itu kepada majikan mereka, jikalau nanti tersadar dari pingsannya.

Maka Poan Thian yang telah mendapat kesanggupan begitu dari gundal-gundalnya si-
bopeng, iapun segera berlalulah dari loteng Cay-hong-lauw dengan tidak banyak bicara lagi.

Dan tatkala si-pemuda telah tidak kelihatan pula bayangan-bayangannya, barulah gundal-
gundal itu angkut majikannya, dibawa pulang ke rumah untuk diobati luka-lukanya bekas
bertempur tadi.

Selagi Ma-Cu Lie rebah di pembaringan sambil memikirkan nasibnya yang amat malang itu,
mendadak ada seorang sahabatnya yang bernama Couw Siu Chun datang menyambangi
kepadanya.

Sahabat ini sama sekali tidak mengetahui peristiwa-peristiwa apa yang telah dialami oleh si-
bopeng tadi, maka seperti seorang sahabat karib yang biasa keluar-masuk di rumah sahabat
itu, ia lantas saja masuk dan menghampiri pada Ma-Cu Lie yang berbaring sambil berselimut
diatas pembaringannya.

“Eh, eh," kata sahabat itu, “apakah kau sakit ?"

Si-bopeng mengangguk sambil menjawab: “Ya."

34
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Ini berarti bahwa kau terlalu banyak keluar malam," kata Siu Chun sambil tertawa. Tetapi
ia tak coba menggoda lebih jauh, ketika melihat banyak darah mengumpyang dalam
tempolong yang diletakkan dibawah kaki pembaringan.

“Ah, apakah kau muntah darah?"

Si-bopeng kembali mengangguk, tetapi tidak mengatakan apa-apa.

Dengan menyaksikan keadaan sahabatnya disaat itu, Siu Chun yang sudah kenyang
mencicipi asam garam dunia lantas menduga kalau-kalau Ma-Cu Lie telah mengalami
peristiwa apa-apa yang agak hebat.

“Tampaknya itulah darah yang keluar dari paru-paru," katanya dengan rupa kaget, “apakah
barangkali kau telah bertempur dengan orang lain, sehingga kau telah dilukai begitu rupa ?"

Ma-Cu Lie membenarkan atas dugaan sahabatnya itu.

Kemudian ia menuturkan duduknya perkara dengan sengaja di-lebih-lebihkan guna kebaikan


dirinya sendiri, tetapi ia tidak menyebut-nyebut tentang gandumnya Lie Tek Hoat yang
hendak “disikutnya itu".

“Astaga! Kalau begitu kau harus berobat pada seorang tabib yang pandai," kata Siu Chun
pula. “Aku kenal seorang sahabat yang paham mengobati orang, seorang ahli silat tua yang
sekarang sudah tak mau mengajar silat lagi dan menuntut penghidupan sebagai sin-she
dalam ilmu obat-obatan. Dia itu seorang she Louw bernama Cu Leng, yang aku percaya kau
juga tentu kenal namanya."

“Apakah dia itu bukannya berumah tinggal di jalan Hu-tong-toa-kee dipintu kota timur ?"
tanya Ma-Cu Lie.

“Benar, benar; dia memang berumah tinggal disitu," sahut Siu Chun. “Penyakitmu ini
tampaknya agak berat juga, dari itu perlu sekali segera diperiksa hari ini juga. Maka jikalau
sekiranya kau sudi, aku bersedia buat pergi mengantarkan kau ke rumah Louw Cu Leng itu."

Ma-Cu Lie mengucap terima kasih atas kebaikannya si sahabat. Kemudian ia perintah
seorang gundalnya buat pergi menyewa kereta, dengan mana ia berangkat kejalan Hu-tong-
toa-kee dengan diantar oleh Couw Siu Chun.

Sesampainya ditempat yang dituju, Siu Chun lalu ajak si-bopeng turun dan mengetok pintu
beberapa kali.

Tatkala seorang bujang keluar dan menanyakan she, nama dan maksud kedatangan
mereka, lalu ia persilahkan mereka menunggu dikamar tetamu, sedang ia sendiri lalu masuk
memberitahukan kedatangan mereka kepada majikannya.

Setelah mereka menunggu beberapa saat lamanya, lalu muncul seorang tua yang janggut
dan misainya sudah hampir putih semua, tetapi gerakan-akannya masih tetap gagah seperti
anak muda yang baru berusia 30 tahun.

Orang tua ini ketika melihat Couw Siu Chun dan kawannya, lalu mengangkat tangan
memberi hormat sambil bersenyum dan berkata: “Ah, tidak kunyana hari ini kau datang
kesini. Belum tahu ada urusan apa sehingga tampaknya engkau begitu kesusu ?"

Siu Chun lalu terangkan dengan sejelas-jelasnya maksud kedatangan mereka, yaitu akan
minta supaya Cu Leng merawat dan mengobati pada Ma-Cu Lie yang telah mendapat luka
didalam badan karena bertempur dengan seorang bajingan yang katanya hendak memeras

35
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

kepadanya.

Louw Cu Leng mengangguk-angguk sambil menyatakan kesediaannya akan menolong apa


yang ia bisa.

Begitulah setelah minta si-bopeng menanggalkan bajunya, orang tua itu lalu mulai
memeriksa pada beberapa tanda biru yang disebabkan karena terpukul atau jatuh.

“Semua tanda-tanda luka ini tidak berbahaya." kata Louw Cu Leng, “kecuali ini satu,"
(sambil menunjuk pada tanda biru yang tampak didadanya si-bopeng). “Syukur juga bekas
tendangan ini tidak terlalu parah kenanya............"

“Ya, ya, sebab aku lekas membuang diri, ketika tendangan itu ditujukan kedadaku," kata si-
bopeng yang tidak mau mengaku dirinya pecundang.

“Juga harus dibuat girang yang tendangan itu dilakukan dengan telapak kaki, bukan dengan
ujung kaki," kata Louw Cu Leng pula, “jikalau tendangan itu dilakukan dengan ujung kaki,
niscaya orang tak tahan hidup biarpun cuma empat atau lima jam saja lamanya. Dan jikalau
tendangan itu kenanya parah, orang bisa lantas mati seketika itu juga. Inilah yang
dinamakan ilmu tendangan Cuan-sim-tui, yang tidak mudah dipelajari oleh sembarangan
orang. Tetapi berkat kemurahan orang yang menendang kepadamu, maka aku masih
sanggup buat menyembuhkan penyakitmu ini."

Kemudian setelah memberikan obat-obat yang perlu, Cu Leng lalu menasihati agar supaya
Ma-Cu Lie jangan terlalu banyak bergerak dan harus istirahat di pembaringan. “Nanti hari
esok kira-kira pukul sepuluh," katanya lebih jauh, “aku tentu datang ke rumahmu buat coba
melihat kemajuannya obat yang kau akan makan itu, kalau nanti ternyata masih ada apa-
apa yang kurang, disembarang waktu bisa ditambah untuk mempercepat kemajuan dalam
penyembuhannya."

Ma-Cu Lie dan Siu Chun kembali mengucap terima kasih, tetapi Cu Leng tidak mau
menerima ang-pauw atau honorarium pada sebelum penyakitnya si-bopeng sudah menjadi
sembuh betul.

Dalam perjalanan pulang, si-bopeng telah menanyakan asal-usulnya Cu Leng pada Siu
Chun.

“Dengan Louw Cu Leng ini aku telah bersahabat kira-kira 20 tahun lamanya," memulai
sahabat itu. “Dia ini orangnya budiman, suka menolong kepada sesamanya. Diwaktu
mudanya pernah ia membuka piauw-kiok dan jalan malang-melintang dikalangan Kang-ouw
sebagai seorang pendekar yang tidak suka melihat perbuatan tidak patut yang biasa
dilakukan oleh jagoan-jagoan setempat yang sering memeras dan mempermainkan rakyat
yang lemah dan tidak berdaya buat bikin perlawanan. Setelah berhenti menjadi piauw-su, ia
lantas membuka rumah perguruan silat dan rumah obat dengan berbareng. Tetapi karena ia
kelewat cerewet dalam hal memilih murid, maka rumah perguruan silatnya kurang
mendapat perhatian orang, sehingga selanjutnya ia lantas tutup dan hanya menuntut
penghidupan dengan menjual obat-obat saja seperti sekarang, biarpun namanya dikalangan
Kang-ouw masih tetap harum sebagai seorang ahli silat yang jarang didapat tandingannya.
Itulah apa yang aku ketahui tentang dirinya Louw Cu Leng ini, hingga aku boleh pujikan
supaya kau juga bersahabat dengan orang-orang semacam ia ini."

Tetapi dasar si-bopeng ini ada seorang busuk yang banyak akal; sebegitu lekas ia
mendengar tentang orang macam apa adanya Louw Cu Leng itu, segera dengan diam-diam
ia menjadi girang dan berkata didalam hatinya : “Nah, kalau begitu jalannya, tentulah tidak
sukar akan kuatur suatu muslihat yang tidak sembarang orang bisa ketahui kelihayannya !"
36
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Begitulah Ma-Cu Lie telah putar otak dalam perjalanannya pulang.

Sesampainya di rumahnya sendiri, ia lantas diturunkan dari kereta dengan dipimpin


tangannya dibawa masuk kedalam kamar oleh Couw Siu Chun.

“Sekarang kau disini boleh beristirahat dan jangan turun dari ranjang sebelum
diperkenankan Louw Suhu," kata Siu Chun. “Aku sendiri karena masih ada urusan, maka
hari ini tak bisa menemani kau lama-lama. Besok aku datang lagi kesini buat menyambangi
kepadamu."

Si-bopeng mengucapkan terima kasih atas kecintaan sahabatnya itu, selain dari itu, ia
memohon supaya si-sahabat sering-sering datang menyambanginya, buat mana Siu Chun-
pun janji akan berbuat begitu, kalau saja ia tidak berhalangan apa-apa.

Tetapi sebegitu lekas Siu Chun berlalu, si-bopeng segera panggil berkumpul sekalian konco-
konconya.

“Sekarang aku dapat suatu akal yang baik," kata Ma-Cu Lie. “Kau, Ah Siok," ia menoleh
pada seorang gundalnya yang paham membaca dan menulis, “cobalah tulis sepucuk surat
kepada pengurus penggilingan Eng Tiang Chun Mo Hong didalam surat itu kau boleh
katakan begini : berhubung penyakitku belum sembuh, maka tak dapat aku mengantarkan
sendiri uang penggantian kerugian gandum yang telah dijanjikan akan dilunaskan dalam
tempo tiga hari. Oleh sebab itu, kita minta supaya dia datang sendiri buat menerima
uangnya disini besok tengah hari. Kau mengerti ?"

“Mengerti, mengerti," sahut Ah Siok.

“Jikalau surat itu selesai ditulis," kata si-bopeng pula, “kau boleh lekas perintahkan orang
antarkan ke rumah keluarga Lie."

“Sekarang kau, Ah Chit," kata Ma-Cu Lie pada seorang gundalnya yang bertubuh tinggi
besar, “jikalau anak muda yang bertempur dengan kita diloteng Cay-hong-lauw itu datang
kesini, katakanlah bahwa aku masih sakit, belum bisa melunaskan perhutanganku. Jikalau ia
memaksa mau minta juga, aku serahkan buat kau dan kawan-kawanmu atur bagaimana
saja yang kau rasa baik."

Ah Chit berdiam sejurus, suatu tanda ia masih ragu-ragu buat lantas menyanggupi. Karena
menurut sepanjang pengalamannya di Cay-hong-lauw pada beberapa hari yang lalu, ia
harus akui bahwa ia “seram" melihat sepak terjangnya Lie Poan Thian yang begitu gagah
dan lihay.

Hal mana, pun bukannya tidak diketahui oleh Ma-Cu Lie yang sendirinya belum pernah
menyaksikan ada seorang ahli silat yang mempunyai tendangan sebaik Lie Poan Thian itu.

Maka ketika melihat Ah Chit tinggal membisu saja, si-bopeng lalu berkata: “Kau jangan
takut, karena kau dan kawan-kawanmu hendak kupergunakan sebagai pemancing saja,
sedangkan orang yang akan “tangani" padanya adalah orang lain yang ilmu kepandaiannya
jauh lebih tinggi daripada si-pemuda congkak itu. Kau mengerti ?"

Ah Chit yang mendengar keterangan begitu, barulah mau menyanggupi akan menjadi
pemancing, asalkan ia diperbolehkan memakai toya atau senjata tajam lain. Ma-Cu Lie
menyatakan tidak berkeberatan. Sekarang kita ajak pembaca kembali pada Lie Poan Thian,
yang sesudahnya melabrak Ma-Cu Lie dan kawan-kawannya sehingga terlentang tengkurup
diloteng Cay-hong-lauw, lalu kembali ke rumahnya dan kasih tahu peristiwa ini kepada
ayah-bunda dan sekalian keluarganya.

37
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Semua orang jadi kaget tercampur girang. Yang menyebabkan mereka kaget adalah mereka
tidak nyana bahwa Poan Thian telah dapat melabrak musuhnya dengan cara yang begitu
gampang, sedang kegirangannya adalah seluruh Cee-lam akan mengetahui bahwa diantara
kaum keluarga Lie telah muncul “harimau muda" yang tak boleh sembarangan dipermainkan
orang.

Tatkala Tek Hoat yang mendengar kabar tentang kemenangan itu, dengan mendadak
merasakan penyakitnya hilang hampir tiga-perempatnya, bahwa merasa sangat puas
mendengar si-bopeng telah dihajar oleh Poan Thian sehingga setengah mati.

“Pada si jahanam ini aku telah memberikan tempo 3 hari untuk melunaskan
perhutangannya," kata Poan Thian pula, “jikalau ia berani mungkir satu perkataan saja,
akan kuputar batang lehernya sehingga mampus !"

Dua hari telah lewat, tetapi ternyata tidak ada kabar ceritanya dari pihak si-bopeng.

Poan Thian mulai tidak sabar, tetapi sanak saudaranya menasehati supaya ia suka
menunggu sehari lagi.

Kira-kira hari hampir petang, mendadak ada seorang suruhan Ma-Cu Lie yang membawa
sepucuk surat, yang ketika dibaca bunyinya, Poan Thian lalu kasih tahu pada sipembawa
surat itu bahwa ia akan datang besok, tepat pada waktu yang tersebut dalam surat itu.

Si-pembawa surat itu mengatakan: “Baik," dan segera berlalu dengan tidak banyak bicara
lagi.

“Maksudnya surat itu," kata salah seorang keluarganya Lie Poan Thian, "mungkin juga
hendak memancing kau akan datang ke rumah si-bopeng, dimana bukan mustahil ia akan
menyediakan lebih banyak orang buat mengeroyok kepadamu. Oleh sebab itu, paling betul
kau jangan pergi, karena itu berarti lebih banyak celaka bagimu daripada selamat."

Tetapi Poan Thian tidak mupakat dengan omongan itu.

“Si-bopeng dan gundal-gundalnya telah kuhantam sehingga setengah mampus," katanya,


“masakah mereka berani lagi berbuat begitu ? Aku sebenarnya telah berlaku murah buat
menendang si-bopeng dengan hanya menggunakan telapak kakiku, apabila aku tendang
padanya dengan ujung kakiku, niscaya ia sekarang sudah tinggal namanya saja !"

“Itu betul. Tetapi kau jangan lupa, bahwa satru yang sembunyi itu adalah lebih berbahaya
daripada satru yang kelihatan," menasehatkan sanak saudaranya itu.

Poan Thian mupakat dengan omongan itu. Maka ketika dihari esoknya ia pergi ke rumahnya
Ma-Cu Lie, dipinggangnya Poan Thian tidak lupa membekal juan-pian pemberian gurunya.

Sesampainya di rumah Ma-Cu Lie, Poan Thian bertemu dengan Ah Chit yang ia kenali
sebagai salah seorang yang pernah ia hantam diloteng Tjhay-hong-lauw. Tetapi karena
mengingat bahwa kedatangannya kali ini bukanlah hendak mencari setori, maka dengan
berbaik ia lantas bertanya : “Sahabat, apakah tuan Lie Cong Tong ada di rumah ?"

Lie Cong Tong itu adalah nama aslinya si-bopeng. “Ada," sahut si Ah Chit, “tetapi ia masih
sakit dan tak dapat menerima tetamu."

“Aku disini membawa surat dari tuan Lie sendiri," kata Lie Poan Thian, “yang bunyinya
menyuruh aku datang buat menerima uang penggantian kerugian yang harus diterimakan
pada pengurus penggilingan Eng Tiang Chun Mo Hong."

38
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Majikanku sekarang dalam keadaan sakit, cara bagaimanakah bisa melunaskan


perhutangan itu ?" kata Ah Chit. “Surat itu kukira bukan dikirim dari sini."

“Itu tidak bisa jadi !" kata Lie Poan Thian dengan sengit. “Habis ada siapakah lagi yang
bernama Lie Cong Tong di daerah sekitar kita ini ?"

“Mungkin juga ada orang lain yang hendak mengadu-dombakan kau dengan majikan kami."
kata Ah Chit. “Harap sekarang kau boleh pulang saja dahulu, nanti lain hari kau boleh
kembali lagi buat berurusan dengan majikan kami."

Tetapi Lie Poan Thian tak mau mengerti dan lalu bentangkan surat yang ia bawa dengan
dibubuhi tanda-tangannya Ma-Cu Lie. “Ni, kau lihat !" katanya. “Apakah ini bukannya tanda-
tangan majikanmu ?"

Ah Chit yang memang ada seorang kasar yang buta huruf, tentu saja tidak dapat membaca
walaupun telah dipaksa oleh Poan Thian begitu rupa, sehingga akhirnya ia lantas
menggelengkan kepala sambil berkata: “Oh...........Ah, aku tidak pandai membaca !"

“Kalau begitu," Poan Thian berkata dengan suara memaksa, “biarlah aku sendiri saja yang
pergi ketemui padanya !"

“Oh, itu tidak mungkin !" kata Ah Chit pula dengan suara keras. “Karena sebagaimana telah
kukatakan tadi, majikanku hari ini tidak menerima tetamu !"

Lie Poan Thian jadi mendongkol dan lalu mengucap: “Kurang ajar !" Sementara Ah Chit
yang telah kenal kegagahannya Lie Poan Thian, buru-buru berlari masuk untuk menyiapkan
kawan-kawannya yang memang bersembunyi disana-sini dengan masing-masing sudah
menyediakan toya dan barang-barang tajam yang lainnya.

Tetapi Poan Thian yang melihat gelagat tidak baik, terlebih siang lantas berjaga-jaga untuk
menghadapi segala kemungkinan.

Maka diwaktu melihat ada berapa orang gundalnya Ma-Cu Lie yang keluar dengan
membekal senjata, dengan tertawa getir ia lantas menuding pada orang-orang itu sambil
berkata: “Hai, apakah kamu sekalian hendak mengeroyok aku ? Kalau maksud itu benar,
kamu harus berjaga-jaga, karena senjatamu sendiri bisa disuatu saat berbalik makan tuan !
Aku dan kamu sekalian tidak pernah tersangkut permusuhan atau urusan apapun juga, dari
itu aku merasa perlu buat memperingatkan kepada kamu sekalian. Sekarang pergilah
beritahukan kedatanganku ini kepada majikanmu, bahwa aku disini tengah menantikan uang
penggantian kerugian yang ia telah janjikan akan lunaskan pada hari ini juga !"

Tetapi tiada seorangpun yang mau berlalu dari situ. Mereka tidak mengucap barang sepatah
katapun; demikian juga tiada seorangpun yang berani “menyerobot" dengan secara
membuta tuli, meskipun mereka semua membekal senjata dalam tangan masing-masing.

Oleh karena mendapat kesimpulan bahwa mereka masih ragu-ragu atau takut untuk
mengambil tindakan yang tegas, maka Poan Thian pun lalu sengaja menggertak dengan
berseru: “Mundur tidak mau dan majupun tidak mau, apa sih kehendak kamu sekalian yang
sebenar-benarnya ? Jikalau kamu pikir baik mengeroyok, ayolah kamu boleh coba keroyok
aku; jikalau kiranya tidak berani, kamu sekalian boleh segera mundur dengan serentak !"

Sambil berkata begitu, Poan Thian lalu berpura-pura mengunjukkan sikap yang hendak
menerjang masuk ke rumah si-bopeng, hingga beberapa orang gundalnya Ma-Cu Lie yang
berhati kecil dan pernah dihajar oleh Poan Thian di Cay-hong-lauw, dengan rupa gugup
segera lari berbirit-birit sambil berteriak : “Celaka, celaka! Pemeras telah datang menyatroni

39
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

kita ! Tolong, tolong ! Ia hendak mengamuk !"

Tidak disangka Louw Cu Leng yang kebetulan telah datang lebih pagi dan justeru tengah
memeriksa penyakitnya Ma-Cu Lie, jadi agak terkejut dan lalu menanyakan apa artinya
suara ribut-ribut itu ?

Ma-Cu Lie yang sudah menghitung dengan matang bakal terjadi keributan itu, lalu pura-
pura menanyakan salah seorang gundalnya sambil berkata: “Diluar terjadi urusan apakah,
sehingga menerbitkan suara begitu ribut dan mengganggu kepada Louw Suhu ?" Ia tidak
mengatakan bahwa suara ribut-ribut itu mengganggu sekali bagi dirinya sendiri yang sedang
menderita sakit, tetapi terhadap Louw Suhu yang tenaganya hendak dipergunakannya itu.

“Itulah suara si-pemeras yang pada beberapa waktu yang lalu telah mengatakan hendak
datang sendiri kesini, dan sekarang ternyata benar dia datang buat meminta uang kerugian,
hanya tidak diketahui, kita telah menerbitkan kerugian apa terhadap pada dia itu ?" kata si-
gundal, yang memang telah diatur buat berkata begitu di hadapannya Louw Cu Leng.

Mendengar keterangan begitu, lalu si-bopeng pura-pura menarik muka masgul dan takut
sambil mengeluh : “Oh, Tuhan ! Apakah kau tidak mengatakan bahwa aku masih sakit dan
belum bisa memenuhkan segala permintaannya ? Aku bukan mau pungkir kesanggupanku
yang telah dilakukan dibawah paksaan itu, tetapi cobalah minta keringanan kepadanya, agar
supaya aku boleh menunda apa yang dia menamakan “uang penggantian kerugian" itu,
setelah penyakitku sembuh."

“Itu juga telah diberitahukan tadi oleh Ah Chit-ko, tetapi ternyata dia tidak mau mengerti,"
kata si-gundal itu pula. “Dia minta supaya uang itu segera dibayarkan kepadanya hari ini
juga; kalau tidak dia telah mengancam akan membakar rumah ini beserta semua
pengisinya!"

Ma-Cu Lie yang pandai “main komedi", lalu pura-pura menggebrak pembaringan sambil
mengutuk : “Ah ! Sungguh kejam sekali manusia busuk itu !"

Sementara Louw Cu Leng yang dari setadian mendengari pembicaraan itu, lama-kelamaan
jadi “panas perut" juga dan lalu campur berbicara dengan tak dapat dicegah pula.

“Aku orang she Louw amat tidak puas mendengar soal-soal ganjil seperti ini," katanya. “Aku
suka mengalah jikalau orang suka berlaku manis dan mengenal persahabatan, tetapi tak
sudi terima perbaik segala sikap congkak yang mau menang sendiri saja. Maka jikalau orang
yang baru datang itu memangnya benar mengandung maksud yang hendak menindas dan
memeras orang, maka perbuatan itu tidak boleh dibiarkan dengan begitu saja. Ia harus
dibasmi pada sebelum mendapat kesempatan akan memeras kesana-sini!"

Tetapi Ma-Cu Lie lalu pura-pura mencegah sambil berkata. “Louw Suhu, aku harap kau
jangan berlaku semberono dalam berhadapan dengan anak muda ini. Karena meski benar
aku membencinya melebihi daripada segala apa, tetapi aku harus akui bahwa ilmu silatnya
sangat lihay dan tinggi sekali, hingga seumur hidupku belum pernah kulihat seorang ahli
silat lain yang mempunyai ilmu kepandaian sebaik dia itu. Ketambahan usia Louw Suhu
sudah agak lanjut, hingga ini ada baiknya juga jikalau persoalan ini ditimbang dahulu
semasak-masaknya, pada sebelum Louw Suhu mengambil tindakan apa-apa terhadap pada
si-pemeras yang congkak itu."

Tetapi bukan saja “nasehat" itu tidak digubris, malah sebaliknya Cu Leng jadi semakin
mendongkol dan lalu menepuk dada sambil berkata: “Tuan Lie, barangkali kau tidak kenal
siapa sebenarnya aku ini. Aku telah berkeliaran dikalangan Kang-ouw sehingga beberapa
puluh tahun lamanya, dengan tak pernah menemui barang seorang lawan yang mampu
40
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

berkelahi denganku buat 20 jurus saja lamanya, jangankan buat mengalahkan aku. Setelah
kemudian aku tidak campur lagi urusan diluaran, nama gelarku yang disebut Sin-kun atau
Tinju Malaikat, lalu ditambahkan menjadi Sin-kun Bu Tek, atau Tinju Malaikat tanpa
tandingan ! Gelar ini orang telah berikan kepadaku berhubung mengingat bahwa sejak aku
hidup dikalangan Kang-ouw sehingga aku mengasingkan diri, belumlah pernah aku
dikalahkan orang. Apakah bukti itu belum cukup akan membikin kau percaya bahwa aku tak
akan dikalahkan orang mentah-mentah, walaupun benar usiaku sekarang sudah bukan
muda lagi?"

Ma-Cu Lie lalu sengaja mengunjuk rupa kaget tercampur girang.

“Ah, kalau begitu," katanya, “nyatalah aku ini tidak bisa mengenali orang pandai ! Sudah
lama aku mendengar nama gelaran Louw Suhu yang begitu masyhur dikalangan Kang-ouw,
tetapi baru sekarang aku dapat berjumpa dengan orang aslinya. Maka jikalau si-pemeras itu
mesti berhadapan dengan Sin-kun Bu-tek dari jaman yang lampau itu, niscaya ia akan jatuh
bangun atau mati dalam pertempuran yang meminta waktu hanya beberapa jurus saja
lamanya itu !" Louw Cu Leng jadi merasa terhibur juga mendengar “umpakan" itu. Tetapi
pada sebelum ia keburu menuturkan sedikit riwayat hidupnya untuk bantu memperhebat
kegagahan dan keberaniannya diwaktu mudanya, mendadak beberapa orang gundalnya si-
bopeng berlarian masuk sambil berteriak-teriak: “Ia mengamuk i Ia mengamuk ! Saudara-
saudara, ayolah lekas keroyok padanya !"

Tetapi Louw Cu Leng segera berbangkit sambil mencegah dan berkata: “Jangan, jangan !
Kamu sekalian boleh tidak usah turun tangan akan mengeroyok kepadanya, karena
perbuatan itu bukanlah perbuatan seorang Tay-tiang-hu ! Biarlah saja aku yang nanti layani
padanya."

Hal mana telah membikin gundal-gundal si-bopeng yang memang segan berurusan dengan
Lie Poan Thian, dengan diam-diam jadi girang dan hanya bantu bersorak-sorak buat
menambahkan keangkeran pihak sendiri.

Sementara Louw Cu Leng yang hatinya telah kena “dibakar" oleh Ma-Cu Lie, buru-buru ia
berjalan keluar sambil mencincing ujung bajunya. Dan tatkala sampai didepan pintu, ia
melihat seorang muda yang bertangan kosong telah berhasil dapat merobohkan beberapa
orang gundalnya si-bopeng; tetapi apa yang telah membikin Cu Leng tidak mengerti, adalah
orang muda itu tidak mau menggunakan senjata yang telah dapat dirampas dari tangan
musuhnya, hanyalah dia lantas melemparkan senjata-senjata itu, sebegitu lekas dia berhasil
merampas itu dari tangan mereka.

Maka Cu Leng yang hendak menjajal sampai dimana ilmu kepandaiannya Lie Poan Thian,
dengan tidak mengatakan “ba" atau “bu" segera maju menerjang dengan menggunakan
salah satu semacam ilmu pukulannya yang tersohor berbahaya.

Dalam pada itu Lie Poan Thian yang sama sekali tidak menyangka bakal mendapat lawan
yang begitu tangguh, sudah tentu saja menjadi kaget juga dan buru-buru merubah taktik
silatnya, agar supaya dengan cara itu ia bisa mengimbangi jalannya pertempuran yang
makin lama makin menghebat itu.

Louw Cu Leng jadi terperanjat dan diam-diam berkata pada diri sendiri: “Astaga ! Ilmu
kepandaian bocah ini benar-benar tak boleh dibuat gegabah ! Dalam keyakinan bertempur
diatas Bwee-hoa-chung, aku sendiri telah mempunyai pengalaman hampir 40 tahun lamanya
dengan tak mendapat lawan atau sateru yang dapat merintangi sepak terjangku. Tetapi
tidak dinyana hari ini aku telah mendapat lawan yang amat tangguh dan usianya terpaut
begitu jauh dengan usiaku. Maka jikalau aku sampai dikalahkan oleh bocah ini, niscaya

41
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

hancurlah nama baikku yang telah mengharum sehingga berpuluh tahun lamanya
dikalangan Kang-ouw !"

Oleh sebab memikir begitu, Louw Cu Leng jadi semakin hati-hati dalam hal melakukan
penyerangannya atau menghindarkan diri daripada serangan-serangannya Lie Poan Thian,
yang ternyata bukannya semakin kendor, tetapi semakin lama jadi semakin cepat sehingga
akhirnya hanya tampak saja bayangannya yang menyerang keatas, kebawah, kekiri dan
kekanan, tetapi sama sekali tak kelihatan tegas badan atau wajahnya si-pemuda itu.

Banyak orang yang kebetulan melewat dan menyaksikan pertempuran itu, pada berkerumun
merupakan kalangan, di-tempat mana kedua orang itu telah bertempur buat menjajal
keunggulan dan kegagahan masing-masing.

Tetapi karena matahari yang terang benderang telah mulai selam kebarat, maka Poan Thian
yang kuatir ayah bunda dan sanak saudaranya akan menunggu kepadanya terlalu lama,
buru-buru ia melompat keluar dari kalangan pertempuran sambil memberi hormat pada Cu
Leng dan berkata : “Lo-eng-hiong, aku harus memuji tinggi atas ilmu kepandaianmu yang
begitu lihay dan jarang tandingnya ! Dua ratus beberapa belas macam ilmu pukulan telah
kugunakan buat merobohkan kepadamu, tetapi semua itu telah dapat kau hindarkan dengan
secara bagus sekali. Amat disayangi sekarang hari sudah mulai petang, hingga pertempuran
ini terpaksa harus ditunda sampai disini dahulu. Oleh sebab itu, biarlah kita lanjutkan
pertempuran ini dikelenteng Tay-seng-tian pada besok lohor, sehingga kita bisa menentukan
siapa antara kita berdua yang sebenarnya lebih unggul !"

Kemudian, sesudahnya mengucapkan: “Selamat tinggal !'' Poan Thian lalu menggunakan
siasat Yan-cu-cuan-liam buat melayang keluar dari kalangan pertempuran, dengan melewati
kepala para penonton yang berkerumun dimuka rumah si-bopeng itu.

Sementara Louw Cu Leng yang seperti orang naik harimau yang tak mendapat jalan untuk
turun, sudah tentu saja jadi bisa bernapas lega, tatkala melihat lawannya dengan
sekonyong-konyong berlalu dari hadapannya.

Dan ketika ia masuk kedalam rumah untuk memberitahukan jalannya pertempuran itu
kepada Ma-Cu Lie, para penontonpun lalu pada bubaran dan satu pada lain berjanji akan
menyaksikan pertempuran lanjutannya yang akan diadakan dikelenteng Tay-seng-tian pada
hari besok diwaktu lohor.

“Anak muda itu," kata Louw Cu Leng pada Ma-Cu Lie, “ternyata ilmu kepandaiannya tidak
ada dibawah daripada aku. Ia berkelahi dengan memakai aturan, juga tingkah lakunya tidak
bisa dicela. Oleh sebab itu, apakah tidak bisa jadi tuan Lie telah keliru menyangka orang
baik sebagai seorang jahat ?"

Tetapi si-bopeng yang cukup licin untuk menutup kesalahannya sendiri, bukan saja tidak
menjadi gugup mendengar pertanyaan itu, malah sebaliknya jadi tertawa sambil berkata:
“Louw Suhu, dalam hal ini rasanya tidak perlu lagi kau merasa heran. Dia itu bukan seorang
bodoh, maka dia mengerti cara bagaimana akan memperlakukan orang. Kepada siapa yang
dia takut, dia berlaku baik dan hormat, dan terhadap orang yang dia berani seperti aku ini,
dia lantas unjuk “tembaganya" dan memeras orang dengan tiada mengenal kasihan. Apakah
barangkali Louw Suhu tidak memikirkan sampai disitu ?"

Louw Tiu Leng yang ternyata kurang berakal jadi melengak ketika mendengar keterangan
begitu, hingga akhirnya ia jadi menghela napas sambil berkata : “Ya, ya, kalau katamu
begitu, memanglah mungkin juga kau yang benar. Tetapi seperti beras yang sudah menjadi
bubur, urusanmu itu sekarang telah berpindah kebahuku. Besok lohor aku bakal bertempur

42
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

pula dengan anak muda itu dikelenteng Tay-seng-tian, untuk menentukan siapa diantara
kita berdua yang lebih unggul ilmu kepandaiannya."

“Tetapi aku percaya betul bahwa dia itu bukanlah tandinganmu yang setimpal." kata Ma-Cu
Lie dengan maksud mengumpak. “Malah bukan mustahil, karena dia takut, dia tak akan
muncul di Tay-seng-tian, sedangkan tantangan itu hanya merupakan perpanjangan tempo
untuk dia dapat meloloskan diri dari dalam tanganmu dengan tidak hilang muka."

Cu Leng menghela napas dan berdiam sejurus. Kemudian ia berpamitan dan kembali ke
rumahnya untuk menyediakan segala keperluan guna pertempuran yang bakal datang itu.

Berita tentang bakal terjadinya pertempuran antara Louw Cu Leng dan Lie Poan Thian
dikelenteng Tay-seng-tian pada besok lohor, dengan cepat telah tersiar kesana-sini, hingga
beberapa orang sahabat dan handai taulan Louw Cu Leng yang mendengar kabar begitu,
lalu pada datang ke Hu-tong toa-kee buat menanyakan bagaimana duduknya perkara yang
benar pada jago silat tua itu.

Salah seorang diantara sahabat-sahabatnya yang datang berkunjung ke rumah Louw Cu


Leng, adalah seorang she Co bernama Thian Ko, yang dikalangan Kang-ouw termasyhur
dengan nama julukan Houw-jiauw Co, berhubung ia sangat mahir dalam ilmu Hok-houw-
kang, yang dapat membikin orang patah tulang atau hancur daging apabila terkena
cengkeramannya.

Kepada sahabat ini Louw Cu Leng telah menuturkan hal ihwalnya, bagaimana ia mengobati
Ma-Cu Lie sehingga akhirnya bertemu dengan pemuda yang tidak dikenalnya itu.

“Gerakan-akan si-pemuda ini yang bercorak ilmu silat dari cabang Siauw-lim, boleh
dikatakan semua tidak ada kecewanya," kata Louw Cu Leng, “terutama ilmu tendangannya
yang begitu keras dan sukar diduga, hingga biarpun aku telah hidup puluhan tahun lamanya
dikalangan Kang-ouw, belumlah kulihat ada orang yang pandai menendang sebaik itu. Maka
di-waktu aku bertempur padanya siang tadi, boleh dikatakan hampir 60 bahagian dari
perhatianku ditujukan pada tendangan-tendangannya ini, lebih-lebih karena ia lebih banyak
menggunakan tendangan daripada pukulan dengan tinju."

“Kalau begitu," kata Houw-jiauw Co dengan hati penasaran, “aku ingin turut menyaksikan
pertempuran itu. Dan jikalau ternyata ada kesempatan untuk aku campur tangan, aku
sendiripun ingin menjajal sampai dimana kelihayannya lawanmu itu."

Begitulah buat mempelajari lebih jauh taktik silat Lie Poan Thian dari keterangannya Louw
Cu Leng, maka pada malam itu Thian Ko telah menginap di rumah sahabatnya itu.

Sementara Lie Poan Thian pulang ke rumahnya, ia telah berpapasan dengan pamannya dari
pihak ibu yang bernama Han Siauw San, oleh siapa ia telah dicomeli, mengapa ia pulang
menagih hutang begitu sore, sedangkan rumahnya Ma-Cu Lie tidak terpisah terlalu jauh dari
pusat kota.

Kemudian Poan Thian lalu tuturkan pada sang paman, peristiwa apa yang telah terjadi atas
dirinya, sehingga ia terlambat dalam melakukan pekerjaannya.

“Malah selain dari itu," ia melanjutkan, “besok lohor aku mesti bertempur dengan seorang
tua yang menjadi pembelanya si-bopeng itu. Ilmu silatnya si-empeh ini boleh dikatakan
tidak tercela, tetapi aku tidak bisa mengerti cara bagaimana dia rela “diperkuda" oleh
seorang busuk seperti si-bopeng itu !"

Dan tatkala Poan Thian memberitahukan nama bakal lawannya itu, Han Siauw San kelihatan

43
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

terperanjat dan membentak : “Kau edan ! Apakah kau tidak tahu siapa sebetulnya dia itu?"

“Aku tidak perduli dia itu siapa," kata Lie Poan Thian sambil tersenyum, “jikalau aku sudah
keluarkan ucapan yang menantang, niscaya tak akan aku mundur barang setindak pun,
pada sebelum dapat membuktikan siapa diantara kita berdua yang lebih unggul ilmu
kepandaiannya!"

“Dia itu bukan lain daripada Sin-kun Bu-tek Louw Cu Leng!" kata sang paman. “Kau anak
kecil mana bisa tahu sampai dimana kegagahannya orang tua itu !"

Tetapi Poan Thian hanya mengganda tertawa atas omongan itu, maka pembicaraan itupun
berakhirlah sampai disitu.

Pada hari esok menjelang lohor, Poan Thian telah mendahului datang dikelenteng Tay-seng-
tian dimana ia menantikan kedatangannya Louw Cu Leng. Tetapi karena ia belum dikenal
orang cukup baik semenjak kembali dari Liong-tam-sie, maka para penonton yang
berduyun-duyun berkunjung kekelenteng itu buat menyaksikan orang mengadu ilmu silat,
tidak mengetahui jikalau diantara mereka terdapat juga salah seorang yang hendak
bertempur, yakni Lie Poan Thian, yang dengan secara tenang lalu berdiri dimuka kelenteng
sambil matanya tidak berhentinya ditujukan kian-kemari.

Tatkala menantikan disitu beberapa lamanya, barulah dari kejauhan ia menampak sebuah
joli yang dipikul mendatangi dengan diiringi oleh seorang berkuda yang romannya angker
dan berpakaian ringkas, yang umum dipakai diwaktu melatih ilmu silat.

Orang banyak yang melihat si-penunggang kuda itu, diam-diam jadi terkejut dan saling
berbisik: “Ah, apakah boleh jadi Louw Suhu kuatir dirobohkan oleh lawannya yang masih
muda itu, sehingga ia merasa perlu juga mengundang Houw-jiauw Co sebagai pembantunya
?"

Poan Thian pasang telinga untuk mendengari pembicaraan orang banyak itu, kemudian ia
berpura-pura menanyakan : “Siapakah yang kau katakan Houw-jiauw Co itu ?"

Salah seorang diantara para penonton itu lalu menerangkan betapa hebatnya ilmu
kepandaian orang yang namanya dikatakan mereka itu.

“Batu karang yang bagaimana keras juga," katanya, “apabila kena dicengkeram oleh jari-jari
tangannya, segera jadi hancur lebur seperti tepung! Sedangkan kerbau yang kena dicekal
batang lehernya, dengan sekali bentak saja tulang-ulang lehernya menjadi patah! Apakah
itu dapat diperbuat oleh sembarangan orang ?"

“Ya, ya, aku mau percaya keteranganmu itu," kata Poan Thian sambil tersenyum, “tetapi
sebentar lagi akan ada orang lain yang akan mampu berbuat lebih aneh daripada itu."

Maka setelah Houw-jiauw Co dan joli yang membawa Louw Cu Leng berhenti dimuka
kelenteng, Lie Poan Thian lalu maju memberi hormat pada kedua orang itu sambil berkata :
“Aku yang rendah telah lama juga menantikan kedatangan Louw-eng-hiong disini. Tetapi
belum tahu apakah aku boleh mempunyai kehormatan buat mengetahui juga she dan nama
tuan yang turut datang bersama-sama kau ini ?"

Sambil balas memberi hormat, Louw Cu Leng perkenalkan si-pemuda itu pada Houw-jiauw
Co tersebut.

Kemudian setelah Thian Ko minta supaya orang banyak suka membuka halaman yang agak
luas dimuka kelenteng itu, barulah ia mengucapkan sebuah pidato pendek tentang

44
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

maksudnya pertempuran itu, yang semata-mata dititik-beratkan untuk mengadu ilmu silat
sejati buat menetapkan keunggulan salah satu pihak, tetapi sama sekali bukanlah hendak
saling bunuh-membunuh yang biasa menerbitkan permusuhan yang tidak habisnya.

“Barang siapa yang kalah," ia melanjutkan, “tidak boleh mendendam sakit hati atau
melakukan pembalasan dengan bergelap. Dan jikalau ia masih merasa penasaran akan
kekalahannya, disembarang waktu ia boleh minta diadu pula dengan pihak si-pemenang,
agar supaya dengan begitu dapat ditentukan pihak mana yang sesungguhnya lebih unggul,
sehingga akhirnya ia rela mengaku kalah. Dengan begitu, pertempuran itupun berakhirlah
dengan selamat sampai disitu."

“Sekarang aku minta supaya tuan-tuan sekalian suka menyaksikan pertempuran ini dari
tempat yang terpisah sedikit jauh," Thian Ko menambahkan, “karena selainnya halaman
pertempuran jadi lebih lega, bahaya-bahaya yang tidak terdugapun bisa dihindarkan
sewaktu kedua orang sedang bertempur dengan asyiknya."

Maka sebegitu lekas orang banyak mundur untuk membuka halaman, Cu Leng dan Poan
Thian lalu menindak masuk ke-dalam kalangan pertempuran dengan tindakan yang tenang.

Mula-mula mereka memberi hormat pada orang banyak dan Co Thian Ko, kemudian Cu
Leng persilahkan Poan Thian membuka serangan lebih dahulu.

Tetapi Poan Thian tampak agak ragu-ragu, berhubung melihat usianya Cu Leng yang
terpaut begitu jauh dengan dirinya.

“Tidak usah kau berlaku see-jie," menganjurkan Co Thian Ko, “kau yang menantang, maka
patutlah kau juga yang mulai membuka serangan. Ayolah, sekarang kamu boleh mulai
bertempur !"

Oleh karena mendapat anjuran dari pihak lawan dan wasitnya, maka apa boleh buat Poan
Thian lalu mulai membuka serangan, yang lalu ditangkis oleh Louw Cu Leng dengan secara
gesit sekali.

Dalam pertempuran itu, kedua pihak telah mengunjukkan ketangkasan masing-masing dgn
jalan mempergunakan ilmu-ilmu silat amat lihay yang hanya diketahui oleh ahli-ahli silat
yang ilmu silatnya telah mencapai tingkat yang amat tinggi, sedangkan para penonton cuma
mengerti bertepuk sorak jikalau melihat ada salah satu pihak yang terdesak, walaupun
desakan itu belum berarti kemenangan bagi pihak yang mendesak.

Selama pertempuran itu berlangsung dengan amat hebatnya, Houw-jiauw Co telah


menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, tentang ilmu tendangan kilat Lie Poan Thian
yang begitu disohorkan oleh Louw Cu Leng. Oleh karena itu, ia sendiripun jadi kagum dan
diam-diam harus mengakui bahwa itulah sesungguhnya ilmu tendangan yang jarang dapat
dipahami oleh sembarang orang.

Dan ketika Cu Leng berlaku sedikit kendor dan tendangannya Lie Poan Thian menyamber
dalam jurus Lian-hwan cuan-sim-tui, ia jadi terkejut dan berteriak : “Celaka !"

Syukur juga Cu Leng yang memang telah ulung dalam rimba persilatan dan paham
menghindarkan diri dari segala serangan berbahaya dari pihak lawannya, terlebih siang
telah melihat itu dan lekas mengegos untuk meluputkan diri daripada serentetan tendangan-
tendangan lain yang ia ketahui akan segera menyusul belakangan.

Benar tak mampu ia menjaga atau memecahkan ilmu-ilmu tendangan yang menjadi
keistimewaan kepandaian pemuda itu, tetapi Cu Leng cukup berpengalaman, akan sampai

45
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

kena diselomoti dengan tendangan-tendangan yang amat berbahaya itu.

Sementara Lie Poan Thian yang melihat tendangan-tendangannya yang begitu diandalkan
telah gagal semua dan dapat dihindarkan oleh Louw Cu Leng, lalu sedikit demi sedikit
merubah siasat silatnya dengan jalan mengunjukkan ilmu Sauw-tong-tui, sebagian besar
telah diciptakannya sendiri dibawah penilikan Kak Seng Siang-jin dari kelenteng Liong-tam-
sie.

Maka Louw Cu Leng yang seumur hidupnya baru pernah menyaksikan ilmu tendangan
semacam itu, sudah tentu saja jadi amat terkejut, buru-buru ia menjauhkan diri buat
menghindarkan tendangan-tendangan itu, sambil menduga-duga apa namanya serta
memperhatikan cara bagaimana ilmu tendangan itu harus dipecahkannya.

Tetapi, lebih cepat daripada kilat yang menyamber dari angkasa, ia hampir tidak melihat lagi
cara bagaimana Poan Thian telah merangsek kepadanya.

Dalam pada itu Poan Thian yang sudah berada dekat sekali dari tempat mana Cu Leng
berdiri, lalu mengirim sebuah tendangan dengan kaki kanannya, yang kemudian lalu disusul
dengan kaki kiri dengan gerakan yang hampir tak kelihatan.

“Aya !" semua penonton jadi berteriak dengan suara tertahan didalam tenggorokan.

“Celaka !" Houw-jiauw Co teturutan berteriak dengan tidak terasa pula.

Tendangan yang pertama dapat disingkirkan oleh Cu Leng, tetapi tendangan yang kedua tak
sanggup ia jaga atau singkirkan, karena datangnya yang begitu cepat. “Celaka !" ia
berteriak didalam hati.

Tatkala tendangan itu menyamber kedadanya, Louw Cu Leng terpaksa membuang diri,
hingga tendangannya Lie Poan Thian telah nyelonong terus dan mengenai sebuah pohon liu
dimuka kelenteng, sehingga pohon itu tercabut akarnya dan roboh diseketika itu juga !

Hal mana sudah tentu saja telah membikin orang banyak jadi bertepuk sorak dan memuji:
“Itulah sesungguhnya sebuah tendangan malaikat !"

“Ya, ya," menyetujui Houw-jiauw Co, “itulah memang tepat sekali akan diberikan sebagai
nama julukan Lie Lauw-tee ini ! Sin-tui Lie ! Biarlah nama julukan itu dikenal oleh para eng-
hiong dan hohan dikalangan Kang-ouw."

“Hiduplah seorang murid Kak Seng Siang-jin yang telah berhasil dapat memulihkan nama
guru dan kelenteng perguruannya !" teriak satu suara diantara orang banyak.

Lie Poan Thian dan Cu Leng yang mendengar suara teriakan itu, mereka jadi kaget dan lalu
melihat kearah suara teriakan yang telah diucapkan orang tadi, tetapi ternyata tidak bisa
dikenali siapa orangnya yang telah mengucapkan suara teriakan tersebut.

“Itulah suaranya Hoa In Liong Su-heng," pikir Poan Thian didalam hatinya.

Sementara Cu Leng setelah dibanguni oleh Poan Thian dan mengucap terima kasih atas
kebaikan itu, lalu menjabat tangan si-pemuda sambil berkata: “Lauw-tee! Nyatalah ilmu
kepandaianmu sangat tinggi dan aku rela mengaku kalah di hadapan orang banyak disini.
Lebih jauh, dari suara teriakan tadi yang entah telah diucapkan oleh siapa, aku seolah-olah
mendengar orang mengatakan bahwa kau ini adalah salah seorang murid Kak Seng Siang-
jin Lo-sian-su dari kelenteng Liong-tam-sie. Hanya belum tahu apakah omongan itu benar
atau tidak ?"

46
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Lie Poan Thian membenarkan atas omongan itu. Bahkan siapa yang telah berteriak tadi
diantara orang banyak, itupun ia kenali sebagai saudara seperguruannya dikelenteng Liong-
tam-sie, yaitu su-hengnya yang bernama Hoa In Liong. Tetapi ia tak tahu mengapa ia tak
mau keluar buat bertemu muka. Selain dari itu, iapun tidak tahu, buat maksud apa ia datang
ke Cee-lam.

“Sekarang urusan ini sudah menjadi beres," kata Louw Cu Leng, setelah bersama-sama
Poan Thian dengan sia-sia mencari Hoa In Liong yang berteriak tadi diantara orang banyak.

“Aku sama sekali tak pernah menyangka bahwa hari ini aku akan dapat menyaksikan
seorang ahli silat yang begitu pandai dan lihay ilmu tendangannya!" kata Houw-jiauw Co,
yang baru pada saat itu mau percaya segala keterangannya Louw Cu Leng tentang
kelihayannya Lie Poan Thian.

“Aku sebenarnya masih banyak urusan yang hendak dibicarakan dengan Lie Lauw-tee," kata
Louw Cu Leng. “Maka jikalau Lie Lauw-tee sudi dan tidak berkeberatan, aku mohon supaya
pada hari ini juga kau suka berkunjung ke rumahku. Tetapi, belum tahu, apakah Lauw-tee
sudi mengabulkan permintaanku ini ?"

Poan Thian menyatakan tidak berkeberatan akan mengabulkan permintaan itu, maka
dengan naik joli bersama-sama Cu Leng, ia ikut menuju ke Hu-tong-toa-kee dengan diiringi
oleh Houw-jiauw Co yang menunggang seekor kuda besar dan berjalan mengikuti disamping
joli tersebut.

Orang banyak yang kurang mengerti, apa sebab pertempuran itu dihentikan dengan cara
yang begitu mendadak, terpaksa pada berjalan pulang sambil beromong-omong dan men-
duga-duga tentang peristiwa apa yang terjadi dibalik pertempuran itu.

Sekarang kita ajak para pembaca mengikuti pada Louw Cu Leng dan Lie Poan Thian yang
menuju ke Hu-tong-toa-kee tadi.

Sebegitu lekas sampai ke rumahnya, jago tua itu lalu pimpin tangan Poan Thian, yang lalu
diajak masuk keruangan pertengahan, dengan Houw-jiauw Co mengiringi mereka di-sebelah
belakang.

Disini Cu Leng lalu panggil beberapa orang bujangnya. Yang sebagian ia perintah pergi
mengambil air teh wangi dan beberapa macam makanan, sedangkan yang lainnya ia
perintah menyajikan sebuah meja perjamuan untuk menjamu pada Lie Poan Thian. Hal
mana, sudah barang tentu telah membuat pemuda kita merasa malu hati dan saban-saban
menyatakan terima kasihnya atas kebaikannya jago tua itu. Tetapi Louw Cu Leng sebaliknya
telah minta agar supaya Poan Thian jangan berlaku sungkan, dan anggaplah bahwa urusan
begini sebagai suatu perkara lumrah.

“Apalagi kita baru saja saling berkenalan satu sama lain," katanya, “dari itu, maka kuanggap
cara ini tidak lebih dari pantas, akan dilakukan sebagai tanda persahabatan dan
persaudaraan diantara kita sesama golongan orang-orang dalam rimba persilatan."

Sementara Thian Ko yang melihat Poan Thian berlaku see-jie, lalu mencampuri berbicara,
sambil turut membenarkan apa kata sahabatnya itu.

Oleh karena merasa tidak baik buat terus-menerus menampik tawaran orang yang begitu
manis dan sungguh-sungguh, maka apa boleh buat Poan Thian telah mengabulkan juga,
sambil tak lupa mengucap diperbanyak terima kasih atas kebaikannya jago tua itu.

Begitulah setelah mereka selesai minum the, beberapa orang bujang lalu memberitahukan

47
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

bahwa hidangan telah disediakan dan dikuatirkan akan keburu dingin, jikalau tidak lekas
didahar.

“Ya, ya, itu benar," kata Louw Cu Leng sambil berbangkit dari kursinya, kemudian menoleh
pada Poan Thian dan Thian Ko dikiri-kanannya. “Ayoh, marilah kita orang dahar. Hidangan
kali ini, mungkin juga kurang memuaskan, berhubung semua ini telah dikerjakan dengan
cara yang kesusu. Nanti lain hari akan kuundang kamu berdua akan makan besar dengan
hidangan-hidangan yang istimewa. Marilah !"

Poan Thian mengucapkan terima kasih, kemudian ia mengikuti Cu Leng dengan diiringi oleh
Thian Ko.

Selama mereka duduk makan minum, Cu Leng telah menuturkan pada Lie Poan Thian, cara
bagaimana dahulu ia pernah membuka sebuah piauw-kiok, menjadi piauw-su dan dapat
berkenalan dengan Kak Seng Siang-jin, yang ringkasnya kita bisa tuturkan sebagai berikut:

Pada jaman 20 tahun yang lampau, di kota Cee-lam terdapat sebuah kantor angkutan yang
memakai merek Cin-wie-piauw-kiok dan dikepalai oleh Sin-kun Louw, yakni Cu Leng, yang
ketika itu hampir tidak seorangpun di daerah Shoa-tang yang tidak kenal namanya. Bahkan
banyak hohan-hohan atau orang-orang gagah dikalangan Rimba Hijau merasa segan untuk
melanggar kepadanya, hingga selama ia membuka piauw-kiok dan melindungi barang-
barang orang, belum pernah ada kejadian barang-barang angkutannya yang dirampok
orang. Maka dari itu, Cin-wie Piauw-kiok mendapat kepercayaan besar sekali dari para sau-
dagar, yang kerap mengirim barang-barang berharga dalam melakukan perhubungan
dengan daerah-daerah lain diseluruh Tiongkok.

Pada suatu waktu adalah seorang saudagar kaya raya yang bernama Souw Bun Hoan dan
hendak menuju ke kota Siang-kiu dalam propinsi Holam. Oleh karena kereta-kereta piauw
Cin-wie Piauw-kiok-pun hendak menuju ke kota tsb, maka si-saudagar ini telah menitipkan
barang-barangnya atas perlindungan Louw Cu Leng, sedang ia sendiripun turut juga
menumpang dalam salah sebuah kereta piauw tersebut.

Begitulah setelah iringan kereta-kereta piauw tersebut telah berjalan beberapa hari
lamanya, akhirnya sampailah mereka di-lembah pegunungan Cay-heng-san, yang
perjalanannya sukar dilewati orang dan banyak didiami kawanan berandal yg kerap keluar
mencegat orang-orang atau kereta-kereta piauw yang kebetulan melewat disitu. Salah
seorang diantara kepala-kepala berandal yang menjagoi di daerah itu adalah seorang yang
bernama Han Houw, yang dikalangan Kang-ouw dikenal orang dengan nama julukan Say-
pa-ong atau Couw Pa Ong kedua.

Han Houw ini orangnya tinggi besar, bertenaga kuat dan mahir menggunakan sepasang
gegaman yang berbentuk aneh dan dinamakan jit-gwat-lun, atau roda rembulan dan
matahari.

Kepada ia ini Louw Cu Leng hanya mendengar nama tetapi tidak pernah bertemu muka,
hingga sampai sebegitu jauh, ia belum tahu sampai dimana ilmu kepandaiannya kepala
berandal itu.

Maka waktu Cu Leng melewat disitu dan diberi ingat oleh beberapa orang juru kabar
tentang bahaya perampokan yang mengancam didepan mata, lalu ia mengatur orang-
orangnya buat menjaga dimuka dan kiri-kanannya iringan kereta-kereta piauw itu,
sedangkan ia sendiri mengiringi belakangan untuk menjaga penyerangan-penyerangan
gelap yang umum dilakukan oleh para hohan dikalangan Rimba Hijau.

Tetapi dugaan Cu Leng kali ini telah meleset. Karena bukannya kawanan perampok itu
48
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

mengejar dari sebelah belakang, ternyata mereka telah mencegat dari depan, sesudah
melepaskan dua batang anak panah yang berbunyi nyaring dan melayang disebelah atas
iringan kereta-kereta piauw tadi.

Louw Cu Leng yang kuatir dibokong dari belakang, apabila ia segera maju kemuka iringan
kereta-keretanya, lalu tinggal menunggu sampai ada salah seorang sebawahannya datang
memberitahukan kepadanya, tentang gerak-geriknya pihak kawanan berandal yang
mencegat dimuka perjalanan mereka itu.

Begitulah ketika dari salah seorang piauw-khek yang berjalan duluan ia diberitahukan
tentang munculnya seorang kepala berandal yang bermuka hitam dan berjembros pendek
dengan mencekal gegaman luar biasa ditangannya, Cu Leng segera menduga bahwa si-
kepala berandal itu tentulah bukan lain daripada Say-pa-ong Han Houw yang pernah
didengar namanya itu. Maka setelah memerintahkan beberapa orang akan menggantikan
tempat jagaannya dibelakang iringan kereta-kereta itu, ia lantas tampil kemuka sambil
memberi hormat dan berkata: “Selamat berjumpa, Tay-ong! Apakah kamu ini bukan Say-pa-
ong Han Houw, yang namanya bergema dikalangan Kang-ouw bagaikan suara guntur
diwaktu langit terang ?"

Kepala berandal itu yang ternyata benar ada Say-pa-ong Han Houw, dengan laku yang
congkak lalu menjawab : “Betul. Dan setelah kau mengetahui namaku yang besar,
mengapakah kau tidak lekas turun dari kuda buat mempersembahkan segala barang
angkutanmu buat dibawa olehku keatas gunung ?"

Louw Cu Leng jadi sangat mendongkol mendengar omongan Han Houw yang begitu
sombong dan bersifat lebih mengutamakan harta daripada persahabatan, maka dengan
mengeluarkan suara jengekan dari lubang hidung ia lantas menjawab: “Oh, oh, itulah sudah
tentu saja boleh sekali, apabila kau mampu lawan aku bertempur buat 20 jurus lamanya!"

Say-pa-ong Han Houw yang sama sekali tak menyangka bahwa ia bakal mendapat jengekan
yang begitu pedas sudah tentu saja jadi amat gusar, hingga sambil menuding pada si-
jagoan she Louw ia lantas membentak : “Jahanam ! Aku bersumpah akan tak menjadi
manusia pula, apabila tak mampu aku mengalahkan seorang macam kau ini!"

Sambil berkata begitu ia segera menyerang pada Louw Cu Leng dengan sepasang senjata
jit-gwat-lun ditangannya.

Cu Leng lalu cabut goloknya, dengan mana ia lantas tangkis serangan lawan itu dengan tak
banyak bicara pula.

Begitulah pertempuran itu telah berlangsung sehingga beberapa belas jurus lamanya dalam
keadaan seri. Tetapi Cu Leng yang tidak mau mengasih hati terlebih lama pula kepada sang
musuh itu, lalu mulai menghujani serentetan serangan-serangan yang telah membikin Han
Houw terpaksa mundur dan akhirnya mesti mengakui bahwa ia sendiri bukanlah lawan yang
setimpal dari sang piauw-su itu. Tetapi ia bukan seorang bodoh yang rela menyerah dengan
begitu saja. Maka setelah berpikir dengan cepat beberapa saat lamanya, Han Houw lalu
mulai memberi isyarat kepada orang-orang sebawahannya, agar supaya mereka maju
menerjang dari segala jurusan buat membikin kalut hatinya Louw Cu Leng. Jikalau siasat itu
berhasil, sebagian dari orang-orang sebawahan itu boleh pasang tali-tali jiretan untuk
menjiret kaki kudanya Louw Cu Leng, karena jikalau binatang itu dapat dirobohkan, sang
piauw-su sendiripun tentu akan jatuh juga, hingga ia mudah ditawan tanpa melakukan
perlawanan apa-apa.

Karena semua isyarat-syarat itu ternyata tidak diketahui oleh Cu Leng, maka ini justeru

49
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

merupakan titik lemah yang telah banyak merugikan bagi dirinya sang piauw-su ini.

Sementara Han Houw yang melihat taktiknya berhasil, lalu memberi tanda supaya
pengepungan itu dilakukan dengan lebih hebat dan rapat, sehingga Cu Leng yang akhirnya
telah mengerti juga muslihatnya sang musuh itu setelah waktunya telah kasip, barulah
mencoba dengan se-kuat-kuatnya tenaga akan menoblos pengepungan itu dengan jalan
bekerja sama dengan orang-orang sebawahannya. Cuma celakanya jumlah kawanan
perampok itu ada jauh lebih banyak daripada mereka, hingga Cu Leng dan kawan-kawannya
tak berdaya memberikan pertolongan pada satu sama lain, tanpa merugikan kepada
penumpang-penumpang beserta sekalian barang-barang angkutannya dan diri mereka
sendiri.

Tetapi Cu Leng yang berhati keras dan lebih suka mati daripada hilang muka, lalu
mengeluarkan suara bentakan keras dan segera menerjang pada Han Houw yang saban-
saban hampir jatuh terpelanting dari atas kudanya, disaban waktu Cu Leng menabas
dengan golok yang dicekal ditangannya.

Lama-kelamaan, Han Houw mengerti, yang ia tak akan mampu mengalahkan sang piauw-su
itu. Maka setelah memberikan pula beberapa macam isyarat kepada orang-orang seba-
wahannya, buru-buru ia balikkan kudanya, sambil melambai-lambaikan tangannya dan
berkata: “Hei, piauw-su goblok! Jikalau kau sesungguhnya ada seorang yang gagah berani
dan pandai, cobalah kau kejar dan taklukkan aku ! Jikalau tak berani kau berbuat begitu,
segeralah katakan demikian di hadapanku, agar supaya aku boleh memberikan keampunan
dengan hanya merampas semua barang-barang angkutanmu, tetapi sama sekali tak akan
mengganggu kepadamu dan semua orang yang ikut dalam iringan kereta-kereta piauw ini."

Mendengar dirinya dihinakan begitu rupa, sudah tentu saja Cu Leng jadi amat gusar dan lalu
balas menantang : “Berandal gunung yang hina dina !" bentaknya, “beberapa belas tahun
lamanya aku hidup dikalangan Kang-ouw tak pernah terkalahkan orang, dimanalah hari ini
mau menyerah mentah-mentah kepada segala kawanan tikus hutan semacam kamu ini !
Ayoh, jikalau kau benar seorang hohan yang jujur, marilah kita boleh bertempur dengan
memakai syarat-syarat, siapa diantara kita berdua yang ilmu kepandaiannya terlebih
unggul!”

Tetapi Han Houw yang memang mengetahui bahwa ia bukan lawan Louw Cu Leng yang
setimpal, dengan menebalkan muka lalu pecut kudanya yang segera berlari naik keatas
gunung sambil berseru: “Ayo! mari kita bertempur diatas gunung ini!"

Louw Cu Leng jadi semakin sengit dan lalu pecut juga kudanya buat mengejar. Tetapi ketika
baru saja mengejar beberapa tindak jauhnya, mendadak kudanya telah terjiret kakinya dan
jatuh terjerumus kedalam sebuah lubang, hingga Cu Leng yang tidak menyangka bakal
terjadi begitu, sudah tentu saja jadi turut terjerumus juga dan segera ditawan oleh kawanan
berandal yang memang telah bersembunyi diantara semak-semak untuk melaksanakan
maksud busuk itu.

Demikianlah Louw Cu Leng yang namanya telah mengharum sekian lamanya dikalangan
Kang-ouw, hampir saja jadi ternoda oleh karena terjadinya peristiwa ini. Syukur juga setelah
ia tertawan dan hendak digantung sehingga mati oleh Say-pa-ong Han Houw, mendadak
telah muncul seorang padri tua yang telah datang menolong dan membikin Han Houw
insyaf dari segala kekeliruannya.

Padri itu, yang kemudian ternyata bukan lain dari Kak Seng Siang-jin dari kelenteng Liong-
tam-sie, memang telah sengaja datang ke pegunungan Thay-heng-san oleh karena telah
lama mendengar perbuatan-perbuatannya Han Houw yang agak menyimpang daripada

50
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

peraturan-peraturan yang umum ditaati orang dikalangan Kang-ouw. Oleh karena itu ia
telah datang sendiri untuk memperingati kepada kepala berandal itu, agar supaya
selanjutnya dia bisa merubah segala perbuatannya yang tak patut itu.

Sementara Han Houw yang kenal baik pada Kak Seng Siang-jin sebagai sahabat gurunya,
sudah tentu saja lantas berjanji akan menjadi seorang baik dan selanjutnya tidak pula
campur dalam segala urusan yang dapat menodai nama baiknya dikalangan Kang-ouw
hitam.

Maka atas nama gurunya Han Houw — Ciauw-bian Bie-lek Tay Thong Hweeshio — Kak Seng
Siang-jin telah menerima kebaikan janjinya Han Houw, yang kemudian telah menyampaikan
juga pernyataan maafnya kepada Sin-kun Louw Cu Leng.

Demikianlah sebab-musabab Cu Leng dapat berkenalan dengan Kak Seng Siang-jin, yang
ternyata bukan lain daripada guru Lie Poan Thian yang semula menjadi lawannya itu !

Oleh karena mendengar penuturan itu, buru-buru Poan Thian berbangkit dari tempat
duduknya dan menyoja kepada jago tua itu, sambil tak lupa mengucapkan maafnya atas
segala perbuatannya yang olehnya dirasa kurang patut itu.

Tetapi Cu Leng lantas tertawa dan berkata : “Jikalau kita tak berkelahi, tentulah tidak
menjadi sahabat, dan berbareng dengan itu, kau tentunya tidak mengetahui cara
bagaimana aku bisa berkenalan dengan Kak Seng Siang-jin Lo-sian-su yang menjadi gurumu
itu."

“Itu benar, itu benar," menambahkan Houw-jiauw Co sambil bantu menuangi arak ke-
masing-masing cawan yang diletakkan di hadapan mereka bertiga.

Tengah mereka bermakan minum Louw Cu Leng tidak lupa menanyakan tentang halnya Ma-
Cu Lie kepada Lie Poan Thian, siapa dengan secara singkat telah menuturkan mengapa ia
membikin ribut di rumahnya si-bopeng itu.

Sementara Cu Leng yang baru tahu jelas duduknya perkara, keruan saja jadi membanting-
banting kaki sambil menyatakan kemenyesalannya, yang ia telah kasih dirinya “diperkuda"
oleh manusia busuk itu.

“Jikalau terlebih siang aku tahu duduknya perkara yang benar," katanya, “niscaya tak sudi
aku menginjak lantai rumah manusia terkutuk itu ! Maka setelah sekarang aku ketahui tipu
muslihatnya manusia busuk itu, niscaya aku belum mau sudah, jikalau tidak kembali lagi ke
rumahnya untuk mendamprat dan minta ia segera ganti segala kerugian yang telah diderita
oleh ayahmu itu !" Tetapi Poan Thian lantas menyatakan bahwa urusan kecil itu ia
sendiripun sudah cukup untuk menyelesaikannya.

Tetapi Cu Leng lantas berkata : “Bukan begitu. Aku percaya Lauw-tee memang dapat
menyelesaikan sendiri urusan itu, tetapi aku perlu peringatkan dan minta kepastian dari
padanya, supaya selanjutnya perbuatan-perbuatan yang serupa itu tak sampai terulang
pula. Jikalau masih saja ia berani berbuat begitu, aku nanti turun tangan sendiri buat bikin
ia kapok betul-betul seumur hidupnya."

Poan Thian mengucap terima kasih atas kesudian Cu Leng yang telah menyatakan
kesediaannya akan campur tangan dalam urusannya ini, maka dari itu, Ma-Cu Lie yang
kemudian jadi ketakutan karena akal muslihatnya telah diketahui oleh jago silat tua itu,
buru-buru ia meminta maaf atas kesalahan-lahannya, sambil lantas mengganti semua
kerugian berikut bunganya kepada Tek Hoat, tanpa Cu Leng menegurnya pula sampai dua
kali.

51
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Begitulah karena adanya lelakon Ma-Cu Lie yang hendak menyikut dan merobohkan
perusahaannya Lie Tek Hoat ini, maka selanjutnya Louw Cu Leng dan Co Thian Ko jadi
bersahabat sangat baik dengan Lie Poan Thian, hingga perhubungan ini baru berakhir
setelah masing-masing menutup mata, dengan meninggalkan nama harum dikalangan
Kang-ouw sehingga di jaman sekarang ini.

Pada suatu hari ketika Poan Thian datang bertamu ke rumah Louw Cu Leng, justeru ahli
silat itu telah keluar bepergian dan belum kembali, tetapi karena ia mendapat kabar bahwa
Cu Leng akan kembali pada hari itu juga, maka Poan Thian pun lalu menantikan
kedatangannya sahabat itu sambil membaca buku-buku yang banyak terdapat dalam
perpustakaan milik ahli silat tua itu.

Disitu Poan Thian belum membaca cukup lama, tatkala disebelah luar terdengar sebuah
kereta yang berhenti, dengan dibarengi oleh seorang yang menanyakan pada salah seorang
keluarga Louw, katanya: “Sahabat, apakah Louw Suhu ada di rumah ?”

“Hari ini ia belum kembali," sahut bujang yang ditanya itu.

Sementara dua orang yang menggotong seorang yang rupanya mendapat sakit berat telah
turun dari kereta sambil mengulangi pertanyaan tadi: “Apakah Louw Suhu tiada di rumah ?”

“Louw Suhu belum kembali," sahut bujang Louw Cu Leng tadi. “Tetapi ada kemungkinan ia
akan kembali pada hari ini juga."

“Ah, kalau Suhu sampai datang terlambat," meratap orang yang digotong itu, “niscaya
jiwaku akan sukar tertolong lagi, hingga dengan begitu berarti sukarlah juga akan dapat aku
membalas dendam kepada musuh besarku itu !"

Tatkala itu Poan Thian yang menyangka telah terjadi peristiwa apa-apa yang hebat atas diri
orang itu, buru-buru ia keluar memberi nasehat, agar supaya mereka menggotong saja si-
sakit itu akan dibawa masuk kedalam.

Ketika orang itu dibawa masuk, dengan lantas Poan Thian dapat mengenali, bahwa si-sakit
itu bukan lain daripada Teng Yong Kwie, komandan dari tangsi Tok-piauw-eng, yang ia
pernah dorong jatuh dari kudanya dilorong Cay-hong-kee belum berapa hari berselang!
Tetapi tak tahu ia, Yong Kwie telah bertempur dengan siapa, sehingga ia menderita luka
sedemikian hebatnya.

Maka setelah komandan itu dibaringkan disebuah balai papan, Poan Thian lalu menghampiri
kepadanya sambil berkata : “Tuan, aku rasanya sudah pernah bertemu muka dengan
dikau."

Teng Yong Kwie yang bermula tidak begitu memperhatikan kepada Lie Poan Thian, lalu
mengamat-amati si-pemuda itu sehingga beberapa saat lamanya, kemudian seperti juga
seorang yang baru mendusin dari tidurnya lalu berkata : “Ya, ya. Kau ini sesungguhnyalah
ada seorang pemuda gagah-perkasa yang harus dibuat bangga oleh setiap orang yang
menjadi sahabatnya. Aku telah coba buat mencari tempat kediamanmu, ketika dihari itu kau
telah melemparkan aku berikut kudaku dengan sekaligus, tetapi ternyata tak berhasil,
berhubung aku belum kenal siapa she dan namamu yang mulia."

“Namaku Lie Kok Ciang," menerangkan Poan Thian sambil tersenyum.

Kemudian Yong Kwie pun lalu perkenalkan juga dirinya sendiri.

Selanjutnya karena Poan Thian menanyakan juga peristiwa apa yang telah terjadi atas

52
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

dirinya, maka Teng Yong Kwie lalu menuturkan pengalamannya dengan secara singkat
seperti berikut:

Seperti dibagian atas telah dikatakan, Yong Kwie ini adalah seorang komandan dari tangsi
Tok-piauw-eng yang selain diberi tugas sebagai guru silat dikalangan tentara negeri, juga
kerap diperintah oleh seatasannya untuk melakukan tugas sebagai kepala polisi, yang biasa
bertindak akan membasmi segala kejahatan yang diorganisir oleh orang-orang berpengaruh
dan hartawan-hartawan jahat yang semata-mata bekerja untuk mencari keuntungan guna
saku sendiri.

Oleh karena perbuatan dan sepak terjang mereka ini kerap menggelisahkan kaum kecil,
maka pembesar yang berkuasa di Cee-lam merasa perlu akan mengambil tindakan-akan
tegas terhadap pada sekelompok orang-orang yang sangat mengganggu kesejahteraan
masyarakat dan tak bertanggung jawab itu.

Salah seorang diantara manusia-sia busuk ini adalah seorang hartawan yang terkenal
dengan nama sebutan Lauw Sam-ya, siapa telah sekian lamanya mencari jalan untuk
mencelakai Teng Yong Kwie yang merupakan sebagai duri dimatanya. Karena sebegitu lama
Yong Kwie masih hidup dalam masyarakat di Cee-lam, ia selalu merasa tidak tenteram akan
melakukan segala perbuatan yang melanggar undang-undang negeri, seperti menadah
barang gelap, memperdagangkan barang-barang pemerintah yang dicuri oleh
komplotannya, dan perbuatan-perbuatan lain yang disembarang waktu bisa bikin ia
berbentrok dgn kekuasaan polisi di kota tersebut, jikalau hal-hal ini sampai dapat diendus
oleh pihak hamba-hamba negeri yang bengis seperti Teng Yong Kwie ini.

Maka buat bisa menyingkirkan jiwanya Yong Kwie dengan tak usah bertanggung jawab atas
perbuatannya itu, telah sekian lamanya Lauw Sam-ya melepaskan beberapa orang mata-
matanya akan mencari tahu, dengan jalan apa agar supaya Yong Kwie bisa dipancing dan
dijebak, buat kemudian dibinasakan jiwanya diluar tahunya orang-orang sebawahannya.

Pada suatu hari salah seorang mata-mata itu telah kembali dan melaporkan pada Lauw
Sam-ya, bahwa Teng Yong Kwie ini orangnya amat gemar memacuh kuda dan memiliki
kuda-kuda yang baik. Maka Lauw Sam-ya yang mendapat kabar begitu, lalu atur suatu tipu
muslihat dan kirim seorang kepercayaannya pada Teng Yong Kwie buat pura-pura
menanyakan, kalau-kalau ia itu suka membeli seekor kuda yang dikatakan sangat istimewa
dan akan dijual lekas oleh karena pemiliknya kebetulan perlu pakai uang.

Mendengar kabar ini, Yong Kwie yang memang amat gemar dengan kuda-kuda yang baik,
sudah tentu saja jadi sangat bernapsu.

“Jikalau apa kata saudara itu benar," katanya, “niscaya tak lupa akan kuberikan kau sedikit
hadiah sebagai jasa kecapaianmu itu, jikalau kuda itu kupenujui dan dapat dibeli dengan
harga yang pantas."

Si-pesuruh yang mendengar omongan itu, keruan saja menunjukkan paras muka girang,
biarpun kegirangan itu lebih banyak berarti kedengkian dan kecurangan daripada kejujuran,
karena sifat kegirangan itupun bukan lain daripada untuk main tedeng alingkan belaka !

Begitulah dua macam kegirangan telah dirasakan dalam hati kedua orang itu.

Karena jikalau kegirangan Yong Kwie telah keluar dari hati yang tulus, adalah kegirangan
pesuruh Lauw Sam-ya itu telah keluar dari dua jalan yang menguntungkan kepada dirinya
sendiri, yakni kegirangan-kegirangan yg semata-mata tidak menghiraukan kepada akibat
kerugian orang lain yg hendak dijerumuskan ! Dua jalan keuntungan yang telah kita katakan
tadi, ialah kesatu karena ia berhasil dapat menipu pada Teng Yong Kwie, yang hendak
53
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

dipancingnya masuk kelubang harimau itu; dan keduanya, ia merasa pasti bahwa
majikannya akan merasa senang dengan pekerjaannya ini, hingga buat itu ia boleh
mengharap akan mendapat hadiah dari sang majikan.

Maka setelah pesuruh itu memberikan alamatnya pemilik kuda yang katanya hendak dijual
itu, lalu buru-buru ia kembali ke rumah Lauw Sam-ya dan melaporkan kepada sang majikan
tentang “pekerjaannya" itu.

Lauw Sam-ya jadi sangat girang dan memuji tinggi atas kecerdikannya pesuruh itu,
kemudian ia kerahkan orang-orang sebawahannya buat bersiap-siap dan menjaga jikalau
Teng Yong Kwie nanti datang buat melihat kuda yang dikatakan akan dijual itu.

Pada hari esoknya ketika Yong Kwie mengunjungi rumah Lauw Sam-ya buat memeriksa
kuda dengan mengajak tiga orang kawannya, komandan itu lalu disambut oleh pesuruh
yang telah datang padanya dihari kemarin, tetapi disitu ia tidak bertemu dengan Lauw Sam-
ya sendiri, yang memang telah sengaja tidak mau bertemu muka.

Oleh sebab itu, maka soal tawar-menawar kuda yang akan dijualnya itupun oleh Lauw Sam-
ya diserahkan kedalam tangan pesuruh tersebut.

“Jikalau tuan sudah melihat macam kuda itu," katanya, “niscaya tuan akan merasa penuju
dan tidak banyak tawar-menawar pula. Ditiap gegernya binatang itu terdapat 9 buah titik
putih yg dapat dilihat jelas dan besar-besar bagaikan bentuk uang logam senan, maka dari
itu, dia patut dinamakan Kiu-tiam Pek-bwee-hoa, seekor kuda yang bisa berlari 1000 lie
seharinya."

Keterangan-keterangan itu membuat Teng Yong Kwie jadi semakin tertarik dan menanyakan
: “Dimanakah adanya kuda itu sekarang ?"

“Marilah tuan ikut aku," kata pesuruh Lauw Sam-ya itu.

Yong Kwie dan ketiga orang kawannya lalu mengikut si-pesuruh itu menuju kesebuah istal,
yang terletak dibelakang sebuah gedung besar miliknya Lauw Sam-ya.

Tatkala mereka melalui sekian gang-gang yang sempit dan berliku-liku sehingga beberapa
puteran, akhirnya sampailah mereka kesebuah istal, dimana benar saja ada terdapat seekor
kuda besar yang berbulu gambir, tetapi sama sekali tidak cocok keadaannya, dengan
keterangan-keterangan yang ia telah diberitahukan tadi. Oleh sebab itu juga, maka Teng
Yong Kwie lalu menanyakan pada si-pesuruh itu, mengapa keterangan-keterangan itu bisa
menyimpang daripada apa yang dia telah katakan tadi ?

Dengan ini, si-pesuruh kelihatan terperanjat dan lalu berkata : “Oh, kalau begitu, nyatalah
bahwa kuda ini telah ditukar oleh kawanku ! Aku sungguh tak bisa terima akan
dipermainkan orang begini rupa ! Harap tuan-tuan suka menunggu dahulu disini, sampai
aku membereskan perhitungan dengan kawanku yang curang itu.”

Yong Kwie dan ketiga orang sebawahannya menyatakan tidak berkeberatan akan menunggu
disitu. Kemudian orang itu segera berlalu dengan tindakan yang terburu-buru.

Ketika mereka menunggu sampai beberapa saat lamanya dan ternyata orang itu tidak
kelihatan muncul kembali, hatinya Yong Kwie mendadak timbul rasa curiga. Lalu ia perintah
salah seorang sebawahannya buat pergi menyusul dengan melalui gang-gang dari mana
mereka masuk tadi.

Tidak antara lama orang sebawahan itu telah balik kembali sambil berlari-lari dengan paras

54
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

muka pucat bagaikan kertas, peluhnya bercucuran, sedangkan napasnya pun “senin-kemis".

“Celaka, celaka ! Kita telah terjebak oleh kawanan buaya darat yang menjadi musuh-musuh
kita!" katanya. “Semua gang-gang tadi telah tertutup, begitupun pintu-pintunya diselot rapat
!"

“Celaka!" Dengan suara hampir berbareng, kedua orang sebawahan yang lainnyapun
mengucapkan kata-kata yang sangat mencemaskan hati itu.

Tetapi Yong Kwie sama sekali tidak mengunjukkan sikap yang jerih atau takut. Ia percaya,
sebagai salah seorang muridnya Sin-kun Louw Cu Leng yang terpandai, tak mungkin ia bisa
dikalahkan mentah-mentah oleh segala bu-beng-siauw-cut yang hina-dina itu, bahkan tidak
sedikit tukang-tukang pukul yang terkenal tangguh telah dirobohkan dan dibikin kucar-kacir
olehnya dengan hanya bertempur beberapa gebrakan saja lamanya.

Maka tempo menyaksikan ketiga orang sebawahannya tampak ketakutan, Yong Kwie jadi
tersenyum dan berkata : “Jangan takut ! Selama kita masih bisa bernapas, kita pasti akan
mendapat jalan untuk meloloskan diri dari sini. Ayoh, mari kita dobrak pintu-pintu yang
merintangi jalan kita buat keluar dari tempat ini !"

Kemudian mereka berempat lalu menuju ke-gang-gang yang mereka lalui tadi.

Dengan mengandalkan pada tenaganya yang kuat bagaikan kerbau, Yong Kwie telah
berhasil bisa merobohkan sesuatu penghalang yang orang telah pasangkan diantara gang-
gang itu, dan pekerjaan ini hampir saja dapat diselesaikan seluruhnya, ketika dengan
sekonyong-konyong muncul sekelompok orang-orang yang bersenjatakan barang tajam dan
terus mengepung mereka bagaikan pemburu-buru yang mengepung babi rusa.

“Kamu sekalian boleh menjaga serangan musuh-musuh kita yang datang dari belakang,"
kata si-komandan, “sedangkan aku sendiri akan membuka jalan untuk kita keluar dari sini !"

Ketiga orang sebawahan itu lalu menjawab : “Baik," kemudian mereka lalu mencabut golok
masing-masing untuk bersiap-siap akan menghadapi segala kemungkinan yang akan
menimpali atas diri mereka.

Sementara Teng Yong Kwie yang berjalan dimuka dengan golok terhunus, lalu menerjang
setiap musuh-musuhnya yang berani mendekati kepadanya, hingga musuh-musuh itu yang
baru mengetahui akan keberanian komandan itu, perlahan-lahan segera pada mundur
dengan meninggalkan beberapa orang kawannya yang telah dilukai oleh Yong Kwie dan
menggeletak di tanah dalam keadaan separuh mandi darah.

Lebih jauh karena anak buah Lauw Sam-ya menyaksikan bahwa Yong Kwie tidak mungkin
dapat dikalahkan dengan jalan berkelahi secara jujur, maka pemimpin dari rombongan
orang-orang itu lalu menteriakkan kawan-kawannya sambil berkata : “Mundur, mundur!
Pergilah kamu mengundang Sek-hui Ya-ya datang kesini !" Yong Kwie yang menyangka
bahwa mereka akan memanggil seorang ahli silat lain untuk bantu mengepung ia dan
orang-orang sebawahannya, sudah tentu saja tak mau melewatkan ketika yang terbaik ini
untuk melabrak musuh-musuhnya dengan sehebat-hebatnya.

Karena apabila “ahli silat" yang akan menjadi lawannya itu telah keburu campur tangan, ia
kuatir keadaan akan menjadi semakin berbahaya bagi pihaknya yang hanya terdiri dari
empat orang saja jumlahnya. Maka sambil memikirkan bahaya yang akan mendatangi itu,
Yong Kwie telah mengamuk dan menerjang kesana-sini untuk meloloskan diri dari dalam
kepungan para buaya darat itu secepat mungkin.

55
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Tidak disangka selagi keadaan mencapai puncaknya ketegangan, mendadak dari kiri-kanan
gang-gang itu dan dari atas genteng telah turun hujan kapur yang dilepaskan oleh kawanan
manusia busuk itu, untuk mencelakai Teng Yong Kwie dan orang-orang sebawahannya,
hingga Yong Kwie yang sama sekali tak menduga bakal mengalami kejadian serupa itu,
sudah barang tentu jadi kalang kabut dan coba menerjang dengan mati-matian, tetapi
percobaan itu segera jadi terhambat dan mandek setengah jalan, ketika dari pihak para
buaya darat telah dilepaskan juga anak-anak panah, yang mana telah mematikan dua orang
sebawahan Yong Kwie yang menerjang paling depan. Dan tatkala ia sendiripun telah kena
dilukai oleh anak panah dan senjata serta kapur yang telah membuatnya hampir buta, Yong
Kwie terpaksa melakukan perlawanan dengan mata hampir dipejamkan, hingga karena ini
tidak sedikit pukulan-pukulan musuh yang tak mampu ia jaga, yang mana telah bikin ia
hampir jatuh pingsan dan saban-saban berteriak karena amat kesakitan.

Syukur juga karena kawanan buaya darat itu tak sanggup mendekati pada Yong Kwie, yang
ternyata masih mampu bertempur meski matanya sudah separuh buta, dengan tubuh
menderita luka-luka mereka segera melarikan diri. Oleh sebab itu, seorang sebawahan Yong
Kwie yang hanya mengalami luka-luka ringan, buru-buru menggendong Yong Kwie keluar
dari gang-gang itu, dari mana ia telah melarikan komandannya dengan berkuda, yang
ternyata tidak dibawa pergi oleh kawanan penjahat yang telah lari kalangkabutan itu.

Sesampainya mereka ke tangsi Tok-piauw-eng, orang sebawahan itu lalu laporkan peristiwa
ini kepada pihak yang berwajib, yang kemudian segera mengirim sepasukan tentara buat
menangkap kawanan pengacau itu serta menolong dua orang sebawahan Yong Kwie yang
telah menjadi mayat.

Tetapi dalam penggerebekan ini tidak dapat ditangkap barang seorangpun yang telah
menyebabkan terjadinya keributan itu, sedangkan Lauw Sam-ya yang disangka menjadi
biang-keladinya, ternyata telah beberapa hari lamanya bepergian, hingga dalam kerusuhan
ini ia tidak tahu-menahu, walaupun keributan itu telah terjadi disalah satu bagian dari
rumahnya sendiri.

Tatkala kemudian Yong Kwie tersadar dari pingsannya, lalu ia minta supaya orang
sebawahannya itu lekas membawa padanya ke rumah Louw Cu Leng. Karena selain luka-
lukanya yang baru itu dapat lekas disembuhkan, juga musuh-musuhnya itupun masih belum
lari jauh dan tidak terlalu sukar untuk dibekuknya.

Tetapi apa celaka, sesampainya di Hu-tong-toa-kee, Yong Kwie dapatkan gurunya belum
kembali dari luar kota, hingga ia hampir putus asa, apabila Poan Thian tidak membujuk agar
supaya ia suka bersabar, sehingga urusan ini dapat diurus sebagaimana mestinya. Lebih
jauh dengan mengandal pada pengetahuan ilmu obat-obatan yang ia pernah pelajarkan dari
Kak Seng Siang-jin di Liong-tam-sie, Poan Thian lalu coba rawat luka-lukanya Yong Kwie,
berikan dia obat makan dan obat luar untuk menahan sampai Cu Leng kembali dari luar
kota.

Oleh karena ini, Yong Kwie jadi sangat berterima-kasih atas kebaikannya si-pemuda itu.

Malah buat menghibur hati Yong Kwie dan bantu memberantas keburukan yang menjalar
dalam masyarakat di Cee-lam, Lie Poan Thian menyatakan kesediaannya akan membantu
Yong Kwie dalam usaha ini. Sedangkan berbareng dengan itu, iapun menganjurkan juga
agar supaya Yong Kwie jangan tarik panjang dulu perkara ini. Karena pihak musuh-
musuhnya Yong Kwie yang melihat tidak tampak reaksi apa-apa dari perbuatan mereka
yang tidak baik itu, tentulah merekapun tinggal diam dan urusan ini akan jadi lebih mudah
untuk diurusnya dikemudian hari.

56
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Karena dengan adanya “keademan" dipihak kita," menganjurkan Lie Poan Thian lebih jauh,
“maka pihak musuh-musuhmu akan berlaku kurang giat buat menyelidiki tentang keada-
anmu setelah terjadinya kerusuhan itu. Malahan terlebih baik pula jikalau kau tidak
berkeberatan supaya boleh perintah orang-orang sebawahanmu akan sengaja menyiarkan
kabar burung diluaran bahwa setelah terjadinya keributan itu, kau telah mati oleh karena
luka-lukamu. Karena disamping aku bisa selidiki dengan diam-diam siapa yang telah berlaku
paling aktip dalam hal pekerjaan busuk ini, akupun dapat juga segera ketahui, siapa
sebenarnya biangkeladinya dari kerusuhan ini. Hanya belum tahu, apakah kau merasa
mufakat apabila urusan ini diatur demikian ?"

Mendengar anjuran itu, bukan saja Yong Kwie merasa sangat mufakat, malah sangat
berterima kasih kepada Lie Poan Thian, yang telah begitu sudi akan campur tangan dalam
urusan ini.

Tetapi Poan Thian yang memang bersikap tak suka tinggal peluk tangan saja akan melihat
segala perbuatan tidak patut dilakukan orang tanpa pembalasan yang setimpal, lalu
mengatakan bahwa ia senang sekali akan berbuat sesuatu guna kebaikannya masyarakat,
lebih-lebih karena peristiwa-peristiwa serupa itu telah terjadi ditempat kelahirannya sendiri.
Maka selain merasa turut bertanggung jawab untuk bantu memelihara kesejahteraan
didalam wilayah tanah tumpah darahnya, iapun dapat sekalian bantu membikin terang
mukanya Yong Kwie yang menjadi muridnya Cu Leng yang menjadi juga sahabatnya sendiri.

Sementara buat mengetahui terlebih jelas tentang gerak-geriknya Lauw Sam-ya yang ia
sangat curigai turut campur tangan dalam perkara penganiayaan Yong Kwie dan orang-
orang sebawahannya, maka Poan Thian telah sengaja mengirim seorang mata-mata yang
bernama Lauw Su, dari siapa kemudian ia telah menerima laporan bahwa selain Lauw Sam-
ya menjadi biangkeladi dalam perkara busuk itu, si-hartawan bajingan itupun menjadi juga
pemimpin sebuah perkumpulan gelap yang dikenal dengan nama Sam-liong-hwee, sebuah
perkumpulan yang dianggap umum sebagai suatu perkumpulan kematian, tetapi sebenarnya
ada suatu perkumpulan penjahat, yang karena organisasinya yang diatur sedemikian
licinnya, maka pihak yang berwajib tak dapat mengambil tindakan untuk menutupnya tanpa
alasan yang kuat. Selanjutnya, ketika ditanyakan tentang gerak-gerik kawanan buaya darat
itu, tempo mendapat kabar tentang kematiannya Teng Yong Kwie, Lauw Su lalu jadi
tersenyum dan dengan rupa yang sungkan lalu menjawab : “Ah, itulah sesungguhnya ada
suatu hal yang sangat menjemukan untuk diceritakan disini."

Tetapi karena Poan Thian dan Yong Kwie telah minta ia bicara terus, maka apa boleh buat ia
telah menuturkan juga, bagaimana Lauw Sam-ya beserta sekalian konco-konconya kelihatan
begitu girang, tatkala mendengar tentang kematiannya sang komandan itu, hingga lantaran
itu, selanjutnya mereka lalu mengadakan suatu perjamuan besar yang dikunjungi oleh
hampir seluruh anggota Sam-liong-hwee yang terkemuka, dimana telah dinyatakan “turut
berduka-cita" atas kematiannya orang yang mereka anggap sebagai duri dimata mereka itu.

Sementara Teng Yong Kwie yang mendengar kabar begitu, sudah tentu saja jadi sangat
mendongkol dan bersumpah akan menuntut balas kepada mereka, jikalau nanti ia sudah
sembuh dari penyakitnya. Tetapi Poan Thian lalu membujuk dan minta supaya ia suka
bersabar dahulu.

“Kita mesti telan dahulu semua hinaan ini," katanya, “kita harus berlaku tenang, sementara
menunggu ketika akan melakukan hajaran-hajaran yang kiranya cukup untuk membikin
namanya Lauw Sam-ya dan perkumpulannya mengalami keambrukan dimatanya orang
banyak. Karena manusia busuk serupa mereka itu, perlu sekali dibasmi sehingga ke-akar-
akarnya."

57
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Jikalau kau mengunjuk sedikit saja aksi yang menyatakan bahwa kau masih hidup," Poan
Thian melanjutkan, “dikuatirkan pekerjaanku ini akan gagal. Dan jikalau pekerjaanku pada
kali ini gagal, niscaya selanjutnya tak dapat pula aku menolong kepadamu. Karena selain
mereka sukar akan dicari, malah bahaya yang mengancam pada kita akan menjadi semakin
besar. Itulah sebabnya mengapa aku minta kau “berlagak" mati, tetapi bukanlah sekali-
sekali hendak menganjurkan kau menjadi seorang pengecut. Apakah sekarang saudara telah
mengerti maksud-maksud apa yang sebenarnya terkandung didalam hatiku ?"

Yong Kwie yang mendengar keterangan begitu, seakan-akan orang yang baru mendusin
dari tidur yang nyenyak, hingga dengan berulang-ulang ia mengucap banyak terima kasih
dan memuji tinggi atas ikhtiarnya Poan Thian yang begitu teliti dan rapi. Dan jikalau ia
sendiri bisa berpikir panjang sampai begitu, demikianlah katanya, niscaya tak sampai ia
begitu mudah diselomoti oleh pihak musuh-musuhnya. Tetapi beras sudah menjadi bubur,
hingga ia menyesalpun sudah kasip; ia tidak bisa berbuat lain daripada terima nasib apa
yang ada.

“Tetapi saudara Teng tak usah pikirkan pula segala hal yang telah lampau itu," Poan Thian
menambahkan, “sementara dihari esok, adalah giliranku yang akan pergi menyatroni Lauw
Sam-ya di Sam-liong-hwee, dimana akan kulakukan “penagihan", atas apa yang ia telah
berhutang kepadamu."

Demikianlah pembicaraan itu telah berakhir sampai disitu, karena Poan Thian telah minta
dengan sangat agar supaya Yong Kwie suka lekas beristirahat dan jangan banyak bergerak,
selama minum dan memakai obat yang ia telah bawa dari Liong-tam-sie itu.

Tetapi hingga hari sudah terganti dengan malam, ternyata Louw Cu Leng belum juga
kelihatan muncul, hingga Poan Thian terpaksa menginap buat merawat dan menilik luka-
lukanya si-komandan muridnya jago tua itu.

Pada hari esoknya sesudah memberikan obat dan mengganti obat-obat lukanya dengan
yang baru, Poan Thian lalu terangkan maksudnya pada Yong Kwie bahwa pada hari itu ia
hendak coba pergi menyelidiki pada Lauw Sam-ya, yang menurut katanya Lauw Su, kerap
berada digedung perkumpulan Sam-liong-hwee.

Maka setelah menanyakan dimana letaknya gedung perkumpulan Lauw Sam-ya itu, Poan
Thian lalu menuju kesana dengan hanya membekal sebatang juan-pian yang dilibatkan
dipinggangnya. Senjata ini tak dapat dilihat orang, berhubung disebelah luarnya dialingi oleh
baju si-pemuda. Oleh sebab ini, dengan enak saja Poan Thian berjalan diluaran tanpa
dicurigai orang.

Sesampainya digedung perkumpulan Sam-liong-hwee, Poan Thian lalu menghampiri salah


seorang yang kebetulan berada disitu dan coba bertanya: “Sahabat, apakah hari ini Tong-cu
(ketua perkumpulan) ada digedung perkumpulan ?"

Orang itu tidak lantas menjawab pertanyaan orang, hanyalah tinggal mengamat-amati
sehingga beberapa saat lamanya. Ketika Poan Thian mengulangi pertanyaannya, barulah ia
mendapat jawaban: “Kau ini siapa ? Dan ada urusan apakah menanyakan Tong-cu kami ?"

Poan Thian jadi mual mendengar omongan orang itu yang begitu ketus dan kasar tingkah-
lakunya.

“Aku ada urusan penting yang hendak disampaikan kepada Tong-cu," katanya, dengan sikap
yang ketus pula.

“Tidak ada ! Tidak ada !" kata orang itu. “Hari ini Tongcu tidak datang ! Jikalau kau hendak

58
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

bertemu kepadanya, bolehlah kau datang pula kesini dihari esok saja !"

“Aku ada suatu urusan yang teramat penting !" Poan Thian memaksa, “urusan ini perlu
sekali dilaporkan kepadanya hari ini juga !"

“Tidak bisa !" bentak orang itu. “Tong-cu tidak ada ! Kau boleh datang lagi pada hari esok!"
Sambil berkata begitu, orang itu lalu berjalan masuk dengan tindakan cepat, tetapi Lie Poan
Thian lalu jambret lengan bajunya sambil berkata : “Nanti dulu! Aku masih ada omongan
yang mau ditanyakan !"

Orang itu jadi kelihatan mendongkol dan lalu tarik lengan bajunya yang dicekal Poan Thian
dengan sekuatnya tenaga, hingga dengan mengeluarkan suara “bret!" lengan baju itu telah
menjadi sobek. Hal mana, sudah barang tentu telah membikin orang itu jadi sangat gusar
dan lalu menjotos dada pemuda kita sambil memaki: “Bangsat !"

Tetapi pada sebelum ia bisa sampaikan maksudnya, Poan Thian telah keburu berkelit dan
lalu maju setindak sambil melintangi kakinya, hingga ketika kakinya orang itu kena terbentur
oleh kaki pemuda kita, dengan lantas ia jatuh mengusruk dan berteriak : “Rampok !
Rampok!"

Teriakan itu telah membikin orang-orang yang berada didalam gedung perkumpulan itu jadi
ribut dan terus keluar dengan serentak, dengan membawa senjata ditangan masing-masing.

“Ayo ! jangan kasih lari perampok itu !" teriak seorang muda yang rupanya menjadi
pemimpin dari kelompokan orang-orang itu.

Tetapi Poan Thian yang sebenarnya bermaksud hendak mengacau untuk menarik
perhatiannya Lauw Sam-ya, ia merasa tak perlu akan meladeni berkelahi pada orang-orang
ini. Maka setelah melihat ada sebuah pagar tembok yang tingginya beberapa tumbak di
hadapannya, buru-buru ia gerakkan kakinya meloncat keatas, dan terus melayang bagaikan
burung kepinis ke-atas pagar tembok tersebut.

Sekelompok orang-orang itu yang telah tak berhasil melakukan pengepungan itu, lalu pada
berteriak: “Ambillah busur dan anak panah buat menembaknya ! Saudara-saudara, ayohlah
lekas bersiap-siap untuk meringkusnya dari atas pagar tembok itu!"

Mendengar ancaman itu, bukan saja Poan Thian tak menjadi jerih atau takut, malah
sebaliknya lantas tertawa dan berkata: “Sahabat-sahabat, jangan pula kamu hendak
memanah kepadaku, sedangkan jala alam semesta sekalipun, tak nanti akan kutakuti !
Kamu sekalian tidak pernah bermusuhan denganku, seperti juga aku sendiri tak pernah
bermusuhan dengan kamu sekalian. Kedatanganku ini adalah untuk bertemu dengan Tong-
cu, tetapi bukan hendak mencari setori dengan kamu sekalian. Aku bukan takut berkelahi,
juga bukan takut karena aku tak bersenjata; aku hendak berkelahi dengan memakai aturan,
tetapi bukan berkelahi seperti kamu ini, yang cuma-cuma akan membikin diri celaka saja.
Maka buat mencegah kerewelan-kerewelan yang tidak diinginkan, pergilah kamu
beritahukan kepada Tong-cu, bahwa aku disini ingin bertemu kepadanya !"

Tidak antara lama, lalu muncullah dari antara orang banyak, seorang yang berusia kira-kira
40 tahun lebih, wajahnya bengis, hidungnya bengkok macam paruh betet, bermisai dan
berjembros pendek. Oleh karena orang itu berpakaian ringkas dan mengenakan sepasang
sepatu ringan yang umum dipakai oleh orang-orang yang gemar bersilat, maka Poan Thian
lantas mengerti bahwa sedikit-sedikitnya orang itu tentu mengerti juga ilmu silat. Oleh
sebab itu ia lantas menyoja dari atas pagar tembok sambil berkata: “Lauw-hia, mohon
tanya, apakah kau ini bukannya Tong-cu dari Sam-liong-hwee yang bernama Lauw Sam-ya
?”
59
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Orang itu tidak lantas menjawab, tetapi segera mengamat-amati orang sehingga beberapa
saat lamanya.

“Apakah kau tahu Sam-liong-hwee ini tempat apa?" tanyanya dengan sikap yang amat
sombong.

Lie Poan Thian yang melihat sikap orang itu, keruan saja jadi mendongkol dan lalu
menjawab: “Tak tahu aku, apakah Sam-liong-hwee ini sebuah tempat hitam atau putih,
tetapi aku tahu betul bahwa inilah bukan tempat yang terlalu berbahaya untuk ditakuti
orang!"

Orang itu kelihatan bersungut-sungut, kemudian mengeluarkan suara jengekan dari lobang
hidung: “Hm !" katanya. “Barusan telah kau katakan bahwa kau minta bertemu dengan
Lauw Sam-ya. Aku inilah ada orang yang kau cari itu ! Belum tahu kau mencari aku ada
urusan apa yang perlu kau bicarakan ? Ayo, marilah kau turun kesini !"

Poan Thian menurut.

Dengan sekali lompat saja, pemuda kita telah berada di hadapannya Lauw Sam-ya.

“Cobalah ceritakan maksud kedatanganmu ini," kata ketua perkumpulan Sam-liong-hwee


itu.

Poan Thian lekas menyoja dan berkata: “Aku ini adalah seorang dari tempat lain yang
kebetulan melewat disini, tetapi karena justeru keputusan ongkos dan mendengar namamu
yang dermawan dan suka menolong pada orang-orang yang miskin dan tertindas, maka aku
telah sengaja datang berkunjung kepadamu untuk meminta pertolonganmu. Belum tahu,
apakah kau sudi mengabulkan atau tidak permintaanku ini ?"

Lauw Sam-ya berdiam sejurus, sambil berpikir didalam hatinya.

“Jikalau ditilik dari gerak-gerakannya orang ini," pikirnya, “nyatalah ia bukan seorang yang
boleh diperlakukan dengan sembarangan. Maka buat mencegah peristiwa-peristiwa yang
tidak diingini, baiklah aku berlaku sedikit mengalah dan memberikan dia sedikit uang, agar
supaya dengan begitu dia boleh pergi dari sini dengan tak usah menerbitkan kerewelan apa-
apa."

Begitulah setelah berpikir sesaat lamanya, Lauw Sam-ya lalu panggil kasir perkumpulan buat
mengambil 50 uang tembaga untuk diberikan kepada pemuda itu.

Tetapi Poan Thian yang melihat jumlah uang sekecil itu, lalu jadi tertawa dan berkata: “Ah,
Lauw-hia, apakah artinya uang 50 tembaga itu, sedangkan buat membayar ongkos satu kali
makan saja belum keruan bisa cukup ? Aku sungguh menyesal sekali, telah mau percaya
saja kata orang: mereka telah mengatakan bahwa Lauw Sam-ya itu orangnya amat
dermawan, tidak sayang uang untuk dapat bersahabat dengan orang-orang yang bersatu
haluan. Tidak tahunya semua omongan itu bohong belaka! Dan jikalau itu benar, aku hanya
berani mengatakan bahwa Lauw Sam-ya itu orangnya terlalu pelit, sehingga buat
memberikan uang 50 tembaga saja mesti dipikir dahulu bolak-balik sampai beberapa jam
lamanya. Ha, ha! Aku sungguh jadi tertawa geli akan mengalami kejadian lucu semacam
ini!"

Lauw Sam-ya yang disindir begitu, dengan mata mendelik dan hati mendongkol lalu
berkata: “Ah, kau ini sesungguhnya ada seorang yang amat cerewet! Jikalau kau tidak mau
terima dermaanku yang berjumlah 50 uang tembaga itu, berapa banyakkah yang kiranya
patut kuberikan kepadamu ?"

60
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Jikalau kau mau membicarakan tentang banyak sedikitnya jumlah yang kau harus
keluarkan," kata Lie Poan Thian sambil tertawa, “jumlah 10 ribu tail perak bagimu belumlah
terlalu banyak, sedangkan jumlah seribu tail belum boleh dikatakan terlalu besar. Hanya
karena kau memangnya seorang yang pelit, perlu apakah kau menanyakan berapa banyak
kau harus keluarkan buat aku, sedangkan kau sendiri memangnya tidak mau keluar uang ?"

Lauw Sam-ya jadi semakin mendongkol dan lalu perintah kasir akan memberikan Poan
Thian 100 uang tembaga, tetapi pemuda kita kembali tertawakan padanya sambil berkata :
“Itu masih terlalu jauh dari cukup ! Itu masih terlalu jauh dari cukup !"

Lauw Sam-ya akhirnya jadi naik darah dan membentak: “Hei, pengemis ! Sungguh tidak
kunyana akan bertemu dengan seorang pengemis yang kelakuannya lebih mirip dengan
seorang perampok! Belum tahu sampai dimana adanya ilmu kepandaianmu, sehingga kau
berani berlaku begitu kurang ajar akan memeras orang ?"

“Ha, ha, ha !" Poan Thian tertawa. “Jikalau mau diceritakan tentang ilmu kepandaianku, ada
kemungkinan kau akan terperanjat atau kesima karena heran. Tetapi semua ini kiranya
perlu juga akan kuberitahukan kepadamu, walaupun ini bisa membikin kau gegetun seumur
hidupmu!"

Kemudian sambil menunjukkan tinjunya, ia melanjutkan omongannya dengan mengatakan :


“Dengan tinju ini aku mampu membinasakan harimau dari Bukit Selatan, sedangkan dengan
kedua kakiku ini, aku bisa tendang mati ular naga dari Lautan Timur. Oleh sebab itu,
siapakah diantara kamu sekalian yang berani mengadu ilmu kepandaian denganku ?"

Lauw Sam-ya jadi tersenyum segan ketika mendengar omongan Poan Thian yang
sesombong itu.

“Akan membunuh harimau atau mematikan ular naga," katanya, “itulah bukan perkara
gampang, hingga ini terlalu sukar untuk dapat disaksikan oleh setiap orang. Sekarang aku
disini mempunyai delapanbelas patok Lo-han-chung yang biasa dipergunakan untuk berlatih
ilmu silat. Jikalau patok-patok ini dapat kau tumbangkan seluruhnya dengan jalan apa saja,
barulah aku suka menyerah dan bersedia akan keluar uang menurut jumlah permintaanmu
dengan tidak tawar-menawar pula!"

“Kalau begitu," sahut Lie Poan Thian, “aku suka terima kebaikan tawaranmu itu. Tetapi
dimanakah adanya patok-patok itu?"

Lauw Sam-ya lalu menunjuk pada sebuah lapangan di-sebelah timur sambil berkata: “Itu,
disana. Apakah kau sanggup menumbangkan semua patok-patok itu ?"

Lie Poan Thian lalu mengamat-amati pada ketiga perangkat patok-patok yang terpendam
dalam tanah, kemudian ia menganggukkan kepalanya sambil berkata : “Ya, ya, itu semua
aku sanggup tumbangkan atau patahkan dengan kaki dan tanganku. Marilah kita coba pergi
kesana, supaya kau dapat menyaksikan “pekerjaanku" dari dekat."

Lauw Sam-ya menurut. Begitulah dengan mengajak semua orang sebawahannya, ketua
perkumpulan Sam-liong-hwee itu lalu dipersilahkan Poan Thian buat coba jajal ilmu
kepandaiannya menurut kesanggupan yang telah ia utarakan tadi.

Maka setelah menyingsingkan lengan baju dan mengikat erat tali pinggangnya, Poan Thian
lalu memukul patok yang pertama dengan menggunakan sisi telapak tangannya.

“Plak!" Begitulah terdengar suara barang yang patah, dan berbareng dengan itu, maka
patok itupun putuslah bagaikan terbacok oleh sebilah golok yang amat tajam !

61
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Plak, plak, plak !

Disetiap waktu terdengar suara itu, disetiap waktu juga tampak patok-patok itu satu persatu
terkutung karena tersabet putus oleh sisi telapak tangannya pemuda itu!

Lauw Sam-ya dan orang-orang sebawahannya yang menyaksikan keanehan itu, semua jadi
pada memuji didalam hati tentang kepandaiannya pemuda kita yang amat lihay itu.

Sedangkan dengan kedua kakinya yang ditendangkan dengan cepat dan berulang-ulang,
Poan Thian telah “sapu" patok-patok itu sehingga tumbang dan berantakan disana-sini!

Lauw Sam-ya dan orang-orang sebawahannya yang sekarang telah dapat menyaksikan
dengan mata kepala sendiri betapa hebatnya ilmu kepandaian pemuda itu, sudah tentu saja
hati mereka jadi djerih dan tidak tahu selanjutnya mesti berbuat bagaimana.

Maka setelah Poan Thian dapat menyelesaikan semua “pekerjaannya", lalu ia menghampiri
Lauw Sam-ya dan bersenyum berkata : “Lauw-hia, sekarang pekerjaanku untuk
menumbangkan dan mematahkan patok-patok itu telah selesai. Apakah kau sudah bersedia
akan mengeluarkan sejumlah uang yang aku bakal minta itu ?"

“Oh, ya, ya, sudah tentu," kata ketua Sam-liong-hwee itu dengan suara gugup. “Tetapi
belum tahu apakah kau juga mampu mementang gendewa Gukak-kiong yang tergantung di-
atas dinding tembok itu ?"

Lauw Sam-ya berkata sambil menunjuk pada sebuah busur besar yang digantungkan
didinding tembok timur, yang terpisah tak berapa jauh dari tempat mereka berdiri.

Poan Thian lalu menoleh kearah yang diunjukkan Lauw Sam-ya tadi.

Tetapi sungguh tidak dinyana, selagi mengamat-amati pada busur itu, mendadak Poan
Thian merasakan ada “angin tidak baik" yang berkesiur dibelakang kepalanya, berbareng
dengan mana sebuah sinar menyamber kearah batang lehernya.

Poan Thian lekas berjongkok buat mengasih lewat badik Lauw Sam-ya yang telah dijujukan
pada dirinya, kemudian ia putar badannya dan menyapu kakinya Lauw Sam-ya dengan kaki
kanannya.

Ketua perkumpulan Sam-liong-hwee itu buru-buru berlompat kesuatu pinggiran, hingga


dengan begitu ia telah dapat meluputkan diri daripada tendangan Poan Thian itu.

Sementara pemuda kita yang melihat Lauw Sam-ya hendak berlaku curang, lalu tertawa dan
berkata dengan maksud menyindir, katanya : “Sudah lama aku mendapat kabar bahwa
Lauw Sam-ya itu ada seorang yang tidak suka berlaku curang untuk menjatuhkan orang
yang dianggap sebagai seterunya. Tetapi omongan itu sekarang kembali telah terbukti
kedustaannya. Karena selain ternyata bahwa kau ada seorang yang pengecut, kaupun tidak
segan akan melakukan perbuatan-perbuatan busuk seperti apa yang telah kau unjuk
sekarang ini. Sedangkan menurut aturan yang patut dan sebagai seorang laki-laki sejati, kau
harus mengajukan tantanganmu dengan secara berterang kepadaku, agar supaya dengan
begitu kita boleh berkelahi satu lawan satu untuk menetapkan pihak mana yang
sesungguhnya lebih unggul dan pandai dalam pertempuran ini !"

Lauw Sam-ya yang telah didamprat di hadapan orang-orang sebawahannya, tentu saja jadi
amat malu dan apa boleh buat berlagak tertawa sambil berkata: “Saudara, sebetulnya aku
bukan bermaksud hendak membokong kepadamu. Dan jikalau aku telah berlaku begitu,
itulah semata-mata buat mencoba ilmu kepandaianmu saja. Maka setelah sekarang aku

62
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

ketahui betul sampai berapa tinggi adanya ilmu kepandaianmu, aku-pun selalu bersedia
buat menetapkan siapa diantara kita berdua yang sebenarnya lebih unggul atau lebih
rendah."

Maka sesudah memerintahkan orang-orang sebawahannya berkumpul disuatu tempat yang


terpisah sedikit jauh dari kalangan pertempuran, Lauw Sam-ya lalu memasang bee-sie
(kuda-kuda) sambil berkata : “Saudara ! Marilah kita boleh lantas mulai !"

Lie Poan Thian mengangguk sambil kemudian maju menyerang, hingga dalam tempo
beberapa saat saja kedua orang itu telah bertempur dengan amat hebatnya.

Selama pertempuran itu berlangsung, Poan Thian telah mengetahui bahwa Lauw Sam-ya ini
sesungguhnya ada juga “isinya", walaupun ia belum tergolong pada seorang ahli silat dari
tingkat kelas satu. Maka buat menjaga supaya dirinya jangan sampai kena diselomoti atau
“dicepol" orang, ia pikir lebih baik berlaku see-jie dahulu pada sebelum menerjang pada
lawan itu dengan sekuat-kuat tenaganya.

Maka biarpun Lauw Sam-ya lebih banyak menyerang daripada semula, tetapi Poan Thian
tinggal tetap berlaku tenang dan tidak tergesa-gesa dalam hal menghindarkan diri daripada
penyerangan-penyerangan musuh, yang semakin lama telah berlangsung semakin cepat dan
berbahaya itu.

Akan tetapi, sebegitu lekas dapat “meloloskan diri" dari ilmu pukulan Cong-pouw-teng-cu-siu
yang Lauw Sam-ya telah jujukan kepada dirinya, Lie Poan Thian lekas-lekas menggunakan
ilmu Tan-kam-ciang, guna menyabet pinggang Lauw Sam-ya dengan mempergunakan sisi
telapak tangannya yang kuat dan “tajam bagaikan golok" itu.

Hal ini, sudah tentu saja telah membikin Lauw Sam-ya jadi terperanjat. Karena selain
mengetahui bagaimana lihaynya telapak tangan itu, iapun tahu juga bahwa dalam ilmu silat
pukulan dengan sisi telapak tangan itu bisa dianggap lebih berbahaya daripada pukulan
dengan tinju. Karena jikalau bekerjanya tenaga pukulan dengan tinju itu hanya terbatas
pada bagian kulit dan daging saja, adalah sabetan dengan sisi telapak tangan itu mampu
memukul dengan tandas sehingga mengenai celah-celah tulang, apa pula kalau pukulan itu
dijujukan pada bagian iga atau pinggang seperti apa yang dilakukan oleh Lie Poan Thian
ketika itu.

Pada waktu Lauw Sam-ya melihat Lie Poan Thian telah memukul seperti apa yang telah kita
tuturkan tadi, buru-buru ia mengegos sambil menendang dengan sekuat-kuatnya tenaga,
hingga ketika Poan Thian berkelit untuk meluputkan diri daripada tendangan itu, Lauw Sam-
ya segera melakukan desakan kilat untuk membikin kalut pikirannya pemuda kita.

Tetapi sungguh tak dinyana, pada sebelum ia berhasil dapat melanjutkan rencana
penyerangannya, tiba-tiba Poan Thian telah melompat keluar dari kalangan pertempuran
sambil berkata : “Hei! Orang she Lauw! Setelah kau menyerang padaku dengan sepuas-
puasnya, sekarang giliranku buat balas menyerang kepadamu, dengan suatu cara yang
menjadi keistimewaan dalam ilmu kepandaianku. Sekarang akan kutitik beratkan segala
serangan-seranganku dengan hanya mempergunakan ilmu tendangan saja. Hal ini perlu
sekali aku beritahukan kepadamu dari dimuka, agar supaya kau tidak menjadi menyesal
apabila nanti kau kena dirobohkan olehku. Dari itu, jagalah dirimu dengan sebaik-baiknya.
Sekarang akan kumulai dengan siasat tendangan Tan-tui, atau menendang dengan sebelah
kaki, kemudian akan kususul dengan ilmu tendangan lain yang kiranya tak perlu kusebutkan
nama-namanya satu persatu. Hati-hatilah !"

Sambil berkata begitu, Poan Thian lalu mulai mengajukan serentetan tendangan-tendangan

63
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

yang mula-mula dapat dihindarkan dengan baik oleh pihak lawannya. Tetapi ketika jalannya
pertempuran semakin lama jadi semakin cepat, Lauw Sam-ya jadi terperanjat dan berpikir
didalam hatinya: “Sungguh tidak kunyana," pikirnya, “bahwa omongan si-budak ini ternyata
bukan gertakan belaka!"

Maka kalau tadi ia berpendapat bahwa ia tak akan bisa dikalahkan mentah-mentah oleh
pemuda itu, adalah sekarang ia jadi keder dan timbul rasa kuatir, kalau-kalau ia nanti
dirobohkan oleh Lie Poan Thian di hadapan orang-orang sebawahannya sendiri.

Dan jikalau kekuatiran itu sampai benar-benar terbukti, cara bagaimanakah ia bisa ada
muka akan bertemu dengn handai taulan dan orang banyak, sedangkan di hadapan mereka
ia pernah bicara tekebur mengenai pembelaan nama baiknya perkumpulan Sam-liong-hwee,
yang pernah dikatakannya tak akan “turun merek" sebegitu lama diketuai olehnya?

Disamping itu ia telah lupa bahwa orang gagah di dunia ini bukanlah hanya dia saja
seorang.

Betul telah banyak ahli-ahli silat yang telah berkunjung dan menjajal ilmu kepandaiannya
Lauw Sam-ya, tetapi mereka itu hampir rata-rata bukan ahli-ahli silat jempol yang telah
sengaja datang buat “minta pelajaran" kepada ketua Sam-liong-hwee itu, tetapi semata-
mata hendak “menjilat" dan meminta tunjangannya yang berupa uang atau makanan. Maka
selama dilakukan pertempuran itu, mereka lebih banyak mengalah daripada melawan
dengan sungguh-sungguh hati. Maka Lauw Sam-ya yang menyangka bahwa ilmu
kepandaian silatnya sudah begitu tinggi sehingga tak dapat pula dikalahkan orang, tentu
saja jadi amat bangga, dan selanjutnya telah berani bicara tekebur seperti apa yang telah
kita sebutkan diatas.

Sementara Lie Poan Thian yang juga ingin menunjukkan kepandaiannya kepada Lauw Sam-
ya dan gundal-gundalnya, bukan saja tak mau memberikan kelonggaran lebih jauh kepada
sang lawan itu, tetapi juga segera menerjang dengan ilmu-ilmu tendangan lihay yang telah
membikin Lauw Sam-ya kelabakan, dan tak tahu bagaimana selanjutnya ia harus menolong
dirinya sendiri.

“Sekarang telah tibalah saatnya akan aku merobohkan kepadamu !" kata Lie Poan Thian,
sambil mempergunakan ilmu tendangan Lian-hwan Sauw-tong-tui yang sangat
diandalkannya itu.

Hal mana sudah barang tentu telah membikin Lauw Sam-ya semakin gugup dan tak
sanggup pula buat meladeni sang lawan yang masih muda dan jauh lebih pandai daripada
dirinya itu.

“Hei, anak muda! Tahan dulu !"

Ucapan itu baru saja diucapkan oleh Lauw Sam-ya, ketika satu kakinya Lie Poan Thian telah
menyamber bagaikan kilat cepatnya kearah dada sang lawan itu, hingga biarpun ia berhasil
dapat menghindarkan diri daripada tendangan itu tetapi tidak urung ia mesti menyerah juga
dengan tendangan Poan Thian yang kedua kalinya, yang ternyata tidak kalah cepatnya
dengan tendangan yang telah dilakukannya semula itu.

Maka dengan mengeluarkan suara teriakan ngeri, Lauw Sam-ya segera kelihatan terpental
dengan tulang iga melesak dan jatuh pingsan disuatu tempat yang terpisah kira-kira bebe-
rapa belas kaki jauhnya, dimana ia mengeluarkan banyak darah dari hidung dan mulutnya.

Orang-orang sebawahan ketua Sam-liong-hwee yang telah menyaksikan peristiwa itu dan
menganggap ini sebagai suatu hinaan besar bagi mereka dan perkumpulan mereka, sudah

64
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

tentu saja jadi amat gusar dan lalu berniat akan mengeroyok pemuda kita dengan
pentungan dan barang tajam yang dicekal dalam tangan mereka.

Tetapi Lie Poan Thian yang memang tidak bermaksud akan melukai setiap orang dengan
membabi-buta, buru-buru menuding kepada mereka sambil berkata: “Sahabat-sahabat
sabar dulu! Janganlah kamu terburu napsu dan menerbitkan persetorian-persetorian yang
tidak bermanfaat bagi diri kamu sekalian. Aku Lie Kok Ciang," pemuda kita melanjutkan
sambil memperkenalkan dirinya sendiri, “bukanlah semata-mata hendak menerbitkan
persetorian-persetorian dengan tidak ketentuan apa maksud atau alasannya. Dan jikalau
hari ini aku telah datang juga kesini, itulah melulu akan coba “berkenalan" dengan induk
semangmu, yang amat masyhur namanya sebagai seorang hartawan jahat, pemeras,
penyelundup dan “algojo" dari rakyat yang lemah dan tidak berpengaruh. Bahkan belum
berapa hari yang lalu, ia telah mengatur suatu muslihat busuk untuk membinasakan jiwanya
komandan Teng Yong Kwie dari tangsi Tok-piauw-eng, yang telah dijebaknya dengan jalan
menawarkan seekor kuda yang katanya dapat berlari 1000 lie seharinya. Apakah kamu tahu
akan adanya muslihat yang keji ini?"

Semua orang tinggal bungkem dan tidak berani bergerak barang setindak pun.

“Aku tidak memaksa akan kamu menerangkan, apakah kamu tahu atau tidak tentang
adanya urusan yang sekeji ini," Poan Thian melanjutkan. “Tetapi kamu yang terlahir di Cee-
lam, tentunya harus merasa malu dengan adanya peristiwa busuk serupa itu ditempat
kelahiran kamu sendiri."

Tetapi nasehat-nasehat itu bukan saja tak dapat diterima oleh sekelompok manusia-sia
kasar yang tak mengerti aturan itu, malah sebaliknya mereka jadi lebih gusar dan lalu
bersiap-siap akan mengeroyok dengan tidak banyak bicara pula.

Sementara Lie Poan Thian yang melihat gelagat tidak baik, segera hampiri Lauw Sam-ya
yang belum sadar dari pingsannya, yang lalu diangkatnya keatas sambil membentak pada
orang-orang yang hendak menyerang kepadanya itu.

“Hei, kamu orang-orang dogol !" katanya dengan perasaan jengkel. “Kamu sekalian
janganlah mengira bahwa karena kamu berjumlah banyak, maka kamu hendak menggertak
aku yang hanya bersendirian saja. Aku bukan omong besar. Jikalau aku mau, aku bisa bikin
kamu sekalian binasa dengan hanya beberapa tendangan saja. Atau, jikalau kamu tak mau
percaya juga omonganku, kamu boleh coba maju dengan serentak diseketika ini juga, agar
supaya aku bisa gunakan induk semangmu sebagai senjata buat membinasakan kamu
sekalian ! Siapakah diantara kamu sekalian yang ingin terlebih dahulu merasai dikemplang
dengan induk semangmu yang sekarang menjadi senjataku ini?"

Sekelompok manusia-sia kasar itu jadi terkejut dan tinggal terbengong bagaikan mendadak
kesima oleh perbuatannya pemuda kita itu.

Dan selagi Poan Thian hendak berlalu dari situ sambil menyeret Lauw Sam-ya yang pingsan
itu, mendadak seorang wakilnya Teng Yong Kwie telah sampai dengan membawa sepasukan
orang-orang polisi, hingga sesudah Poan Thian memberitahukan peristiwa apa yang telah
terjadi tadi, maka wakil komandan itu lalu memerintahkan orang-orang polisi sebawahannya
buat menangkap semua orang-orangnya Lauw Sam-ya yang berada disitu, yang lalu digiring
kekantor polisi buat diperiksa perkaranya terlebih jauh.

Sementara Poan Thian sendiri setelah menyerahkan Lauw Sam-ya dibawah perlindungannya
wakil komandan itu, buru-buru kembali ke Hu-tong-toa-kee buat menyampaikan kabar
girang ini pada Teng Yong Kwie, yang menantikan padanya di rumah Sin-kun-Bu-tek Louw

65
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Cu Leng dengan hati yang tidak sabaran. Tatkala Yong Kwie mendengar kabar tentang hasil
pekerjaannya pemuda kita, sudah tentu saja ia jadi sangat berterima kasih, dan semenjak
itu perkumpulan Sam-liong-hwee pun telah dibubarkan oleh para anggautanya, berhubung
pemimpin-pemimpinnya satu persatu telah ditangkap dan dijatuhkan hukuman atau dibuang
ke-tempat-tempat lain.

Demikianlah salah sebuah lelakon menarik yang telah terjadi dalam riwayat hidupnya Sin-tui
Lie Poan Thian, yang sehingga di jaman ini masih diingat dan dijadikan orang bahan untuk
beromong-omongan diwaktu senggang.

***

Beberapa tahun telah lewat dengan tidak terasa pula.

Tatkala Tek Hoat suami-isteri dengan berturut-turut telah kembali kealam baka, maka
perusahaan pabrik Eng-tiang-chun Mo-hongpun lalu dilanjutkan oleh Lie Poan Thian yang
menjadi ahliwaris satu-satunya.

Tetapi berhubung pada tahun itu telah terbit bahaya banjir dahsyat yang telah menggenang
sebagian besar daerah Shoa-tang dan menerbitkan kerugian yang bukan kecil bagi
penduduk negeri, maka Poan Thian yang pabriknya telah termusnah seluruhnya oleh air dan
tak dapat bekerja lagi, apa-boleh-buat segera pindah ke Tiong-ciu (sekarang Tiong-ciu
dalam propinsi Holam) untuk menumpang tinggal pada suami kakak perempuannya disana,
yang membuka kedai garam dan memperoleh untung besar dalam perusahaannya itu.

Begitulah dengan membawa dua buah pauw-hok dan “harta bendanya" yang berupa
barang-barang pemberian dari Kak Seng Sian-jin dari kelenteng Liong-tam-sie, Poan Thian
telah menuju ke propinsi Holam dengan menyewa sebuah kereta. Tetapi karena rodanya
kereta itu telah patah di tengah jalan, maka apa-boleh-buat Poan Thian telah membayar
sewa kereta tersebut sampai disitu saja, sedangkan perjalanan selanjutnya terpaksa telah
dilanjutkannya dengan berjalan kaki.

Ketika itu justeru musim hujan, hingga ini membikin Poan Thian mengalami kesukaran yang
tidak sedikit dalam perjalanannya.

Beberapa buah kereta yang kebetulan diketemukannya melawat dalam perjalanannya, ia


telah berhentikan buat coba menumpang, tetapi semua kereta-kereta itu tak ada yang
kosong, hingga percobaannya itu sia-sia belaka. Oleh sebab itu, mau tak mau ia mesti
melanjutkan perjalanan itu dengan berjalan kaki.

Satu lie, dua lie, dan begitu selanjutnya. Dan ketika matahari telah menyelam kebarat, ia
telah sampai disebuah desa diperbatasan propinsi Shoa-tang-Holam, dimana ia mendapat
keterangan dari salah seorang penduduk disitu, bahwa disebelah depan perjalanannya ada
dua buah rumah penginapan yang baru saja dibuka orang dalam daerah itu, oleh karena itu,
buru-buru Poan Thian pergi mencari rumah penginapan tersebut untuk menumpang
bermalam. Tetapi, apa celaka, rumahm penginapan itu telah penuh dan tak dapat pula
menerima tetamu, walaupun hanya untuk seorang saja.

Kebingungan hati Lie Poan Thian jadi semakin memuncak, ketika berkunjung dari satu
kelain tempat rumah untuk menumpang bermalam, tetapi disana-sini ia telah ditolak dan
belum juga bisa mengaso meski hari telah terganti dengan malam.

Kira-kira hampir tengah malam, hujan lebat telah turun ke muka bumi, hingga Poan Thian
yang melihat ada sebuah gardu dimuka sebuah lapangan yang biasa dipergunakan orang
menjemur padi atau palawija, buru-buru ia berlindung ditempat itu sementara menantikan

66
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

berhentinya hujan.

Disitu Poan Thian menantikan sampai lewat tengah malam, tetapi sang hujan yang jail
belum juga mau berhenti, hingga pemuda kita yang memang telah merasa sangat lelah dan
mengantuk, perlahan-lahan telah tertidur sambil bersandar pada dua pauw-hok dan sebuah
bungkusan yang dibawanya itu.

Ketika mendusin diwaktu fajar, Poan Thian rasakan badannya demam dan kepalanya berat
bagaikan tertindas oleh sebuah besi. Lebih jauh karena penglihatannya berkunang-kunang,
maka apa-boleh-buat ia telah pejamkan kembali matanya, agar supaya dapat tidur pula
untuk meringankan sedikit rasa sakitnya. Tetapi tidak kira selagi enak menggeros disitu,
mendadak ia telah dibikin kaget oleh suara seorang yang membentak: “Kurang ajar,
sedangkan kita telah pada bangun tidur untuk bekerja, adalah kau disini yang masih saja
enak-enakan tidur menggeros ! Apakah tidak malu kau ditonton orang-orang yang berjalan
mondar-mandir disini? Ayoh, lekas bangun; kalau kau tak mau lekas bangun, akan kuseret
kau ke jalan raya!"

Poan Thian bukannya tidak mendengar atas bentakan itu, hanya karena badannya dirasakan
amat tidak enak, maka terpaksa tinggal mempejamkan saja matanya dengan tak
mengucapkan barang sepatah katapun.

Maka orang itu yang melihat Poan Thian tidak menghiraukan kepadanya, dengan suara yang
sengit lantas membentak: “Hei, orang pekak ! Apakah kau tidak mendengar apa kataku
tadi?"

Poan Thian lalu mencoba buat memaksakan diri akan membuka matanya, tetapi buru-buru
ia memejamkan pula matanya, karena silau melihat sinar matahari yang telah mulai naik
tinggi.

“Tuan," katanya, “oleh karena aku sedang menderita sakit, maka izinkanlah aku berdiam
disini buat beberapa saat pula lamanya. Jikalau rasa sakitku telah menjadi kurangan, sudah
tentu akan kulekas berlalu dari sini."

“Kau seorang pemalas sungguh banyak saja akalmu yang tidak-tidak !" Kata suara orang itu
sambil berlalu dengan cepat. “Lihatlah bagaimana akan kubikin kau merasa kapok akan
menjadi seorang pemalas pula !"

Tetapi Lie Poan Thian yang sama sekali tak pernah menyangka bakal mengalami suatu
peristiwa yang tidak enak, tinggal tetap memejamkan matanya sambil menahan rasa
sakitnya, yang sekarang seakan-akan berkumpul menjadi satu di-bagian kepalanya.

Tidak antara lama, ia mendengar suara tindakan kaki yang agak tergesa-gesa. Lalu ia
berniat akan membuka matanya buat melihat.

Tetapi, ketika baru saja hendak membuka matanya, mendadak Poan Thian merasakan
dirinya diguyuri air dingin dengan sekonyong-konyong, yang kemudian dibarengi dengan
suara jengekan dan tertawa tergelak-gelak.

“Nah, mampus kau !" kata orang yang tadi pula. “Apakah kau sekarang belum mau bangun
juga ?"

Lie Poan Thian jadi gelagapan.

Para pembaca tentu bisa bayangkan sendiri, alangkah tidak enaknya jikalau kita sedang
demam dan sakit kepala mendadak diguyuri air begitu rupa.

67
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Maka biarpun Poan Thian dalam keadaan sakit, tidak urung ia menjadi gusar juga dan lalu
mendelikkan matanya sambil mendamprat: “Hei, jahanam! Sungguh amat keterlaluan
perbuatanmu ini! Apakah kau tidak mendengar apa kataku tadi, bahwa karena sakit, aku
menumpang tinggal disini berapa saat lagi lamanya ?"

“Jangan banyak bacot !"

Sambil berkata begitu, kembali orang itu telah mengguyuri air pada diri pemuda kita yang
sedang sakit itu.

Oleh karena melihat bahwa omongan yang baik dan mengalah tidak membikin orang itu
mau mengerti tentang penderitaan seseorang yang sedang sakit, sudah tentu saja Poan
Thian jadi habis kesabaran dan segera melompat bangun dengan badan gemetaran bahna
gusar dan demam.

Seperti juga seekor singa yang sedang tidur dan mendadak dibanguni secara kasar, ia lantas
cekal orang itu sambil membentak: “Bangsat !"

Karena kuatnya cekalan Poan Thian itu, maka orang itu-pun tak dapat bergerak dan
meringis-ringis karena kesakitan.

“Engkau ini ternyata ada seorang yang tidak mempunyai liangsim !" kata Poan Thian dengan
suara gemetar. “Maka jikalau kata-kata yang baik tidak bikin seorang yang baik bisa
dimengerti kebaikannya, kukira tidak ada jalan lain yang lebih tegas daripada memberikan
kau sedikit pelajaran yang singkat tapi nyata !"

Sambil berkata begitu, Poan Thian lalu perkuat cekalannya, sehingga selain orang itu
teraduh-aduh karena kesakitan, celananyapun bagian muka dan belakangnya segera
tampak basah dengan warna kekuning-kuningan yang amat tidak sedap baunya!

“Amp ............!"

Kata-kata “Ampun" belum lagi dapat diucapkan sebagaimana mestinya, ketika sebelah
tangannya pemuda kita telah menyamber dan memberikan dia dua kali tempilingan yang
nyaring dan membikin dia jatuh pingsan diseketika itu juga.

Sedangkan Poan Thian sendiri yang dengan sekonyong-konyong telah merasakan sekujur
badannya amat dingin dan lelah, di-lain saatnyapun telah jatuh pingsan juga dengan tak
dapat dicegah pula.

Tahu-tahu ketika coba membuka matanya, barulah ia mendusin bahwa ia telah berbaring
disebuah ranjang didalam sebuah kamar yang ia tak tahu berada dimana.

Tidak berapa jauh dari muka ranjang itu, tampak seorang muda yang ia tidak kenal dan
rupanya sedang menunggui padanya sambil duduk diatas sebuah kursi. Dan ketika melihat
Poan Thian tersadar dari pingsannya, ia lantas berbangkit dan maju mendekati sambil
tersenyum dan berkata : “Tuan, terlebih dahulu aku mengucapkan beribu maaf atas
kekurang-ajaran mandorku yang telah mengganggu selagi kau tidur nyenyak tadi."

Poan Thian jadi terbengong sejurus, karena ia sesungguhnya tak mengetahui bagaimana
duduknya perkara yang benar. Dari itu sudah tentu saja ia lantas menanyakan : “Tuan,
mohon tanya, aku ini ada dimana ? Kau siapa, dan mengapa aku berada disini ?"

“Aku yang rendah adalah Chung-cu dari desa ini," sahut si-pemuda. “Namaku Tan Tong
Goan. Barusan aku mendengar ribut-ribut dimuka gardu, maka aku telah keluar melihat dan
ternyata kau telah jatuh pingsan disamping mandorku, yang juga jatuh pingsan dengan
68
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

mulutnya mengeluarkan banyak darah. Dari keterangan yang telah kuperoleh dari beberapa
sebawahanku, aku telah diberitahukan cara bagaimana kau telah menempiling mandorku
itu, yang ternyata telah berlaku amat kurang ajar kepadamu, yang justeru ini berada dalam
keadaan sakit. Aku disini amat gemar bergaul dengan orang-orang gagah atau ahli-ahli silat
dari tempat-tempat lain. Oleh karena mendapat keterangan dari orang-orang sebawahanku
tadi, maka aku lantas ketahui bahwa kau ini tentu mengerti ilmu silat. Dari itu, aku telah
perintah orang-orangku buat bawa kau kesini, untuk dirawat penyakitmu dengan sebaik-
baiknya. Namun belum tahu tuan ini berasal dari mana ? She dan nama apa ?"

Dengan suara gemetaran Poan Thian menjawab: “Aku she Lie bernama Kok Ciang, asal
orang dari kota Cee-lam dalam propinsi Shoa-tang."

Chung-cu atau tuan-tanah itu jadi kelihatan terkejut, waktu mendengar nama yang
disebutkan oleh pemuda kita itu.

“Apakah tuan ini bukan Lie Kok Ciang yang terkenal dengan sebutan Sin-tui Lie ? Yang
dahulu pernah menjadi murid Kak Seng Siang-jin Lo-sian-su dari kelenteng Liong-tam-sie,
pernah mengalahkan Sin-kun-Bu-tek Louw Cu Leng dan mengobrak-abrik sarangnya Siauw-
pa-ong Lauw Sam-ya dari perkumpulan Sam-liong-hwee ?"

“Ya, itulah benar aku," sahut Lie Poan Thian. Dengan diperolehnya keterangan-keterangan
itu, Tan Tong Goan baru tahu, dengan siapa ia sekarang sedang berhadapan, oleh karena
itu, buru-buru ia membungkukkan badan sambil memberi hormat dan berkata: “Lie Lauw-
hia, nyatalah kau ini ada orang yang sudah sekian lamanya aku harapkan buat bisa ber-
kenalan, yang sehingga hari ini dengan secara yang amat tidak terduga, telah dapat
bertemu disini ditempatku sendiri. Penyakit Lauw-hia ini kelihatan agak berat juga, maka
aku pikir baik kau beristirahat dahulu disini untuk beberapa hari lamanya."

Poan Thian mengucap banyak terima kasih atas kebaikannya sang Chung-cu itu.

“Lebih jauh," kata Tan Tong Goan pula, “aku akan merasa girang sekali apabila Lauw-hia
sudi menerangkan sebab-musabab sehingga kau bisa berada disini. Jikalau ternyata ada
apa-apa yang aku bisa menolong, aku tentu akan berdaya sedapat mungkin guna menolong
kepadamu."

Mendengar omongan itu, Poan Thian lalu tuturkan segala sesuatu yang telah terjadi di kota
kelahirannya, tetapi sama sekali tidak diterangkan olehnya bahwa ia hendak minta
menumpang tinggal kepada suami kakak perempuannya di Holam.

Oleh karena mendengar keterangan begitu, maka Tong Goan lalu memajukan suatu usul,
supaya Poan Thian suka berdiam saja di rumahnya, untuk mengajar ilmu silat kepadanya
dan orang-orang sebawahannya.

“Aku disini betul mempunyai dua orang kauw-su dan beberapa orang ahli silat lain yang
kerap menemani kami berlatih," kata Chung-cu, “tetapi kedua orang itu kukira masih belum
cukup untuk dapat melatih dengan sebaik-baiknya pada orang-orangku, yang sama sekali
berjumlah puluhan orang banyaknya. Maka jikalau Lauw-hia sudi mengabulkan
permintaanku, bukan saja aku dan orang-orangku akan merasa sangat berterima kasih,
bahkan desa inipun akan merasa bangga dapat memberikan kau tempat, sedangkan para
penduduknya boleh belajar ilmu silat dibawah pimpinan seorang ahli silat kenamaan seperti
kau ini. Hanya belum tahu, apakah kau sudi mengabulkan atas permintaanku ini?"

Poan Thian yang melihat Tong Goan orangnya begitu baik dan sopan-santun, sudah tentu
saja tidak berani menolak permintaan itu.

69
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Begitulah setelah menumpang tinggal beberapa hari lamanya di rumah tuan-tanah yang
baik hati itu, barulah Poan Thian merasakan penyakitnya sedikit lebih baik, walaupun
kewarasannya belum pulih sama sekali.

Pada suatu hari ketika Tong Goan mengajak ia mengobrol tentang ilmu silat diruangan
pertengahan, mendadak seorang yang bertubuh tinggi besar kelihatan berjalan masuk
dengan tindakan kaki yang berat dan bersuara.

“Inilah ada salah seorang kauw-su kami yang bernama Liu Tay Hong," Tong Goan
perkenalkan Poan Thian pada orang yang baru datang itu.

Pemuda kita lekas berbangkit, memberi hormat dan persilahkan duduk guru silat itu.

“Saudara ini orang dari mana? She dan nama apa?" bertanya Liu Tay Hong sambil
mengambil tempat duduk disebuah kursi didampingnya si-tuan-tanah.

“Saudara ini bukan lain daripada orang yang menjadi buah bibir kita sekalian," Tong Goan
memotong pembicaraan orang sambil tersenyum dan mengacungkan ibu-jarinya. “Ia inilah
Lie Kok Ciang dari Cee-lam, Sin-tui Lie, yang namanya tak asing pula dalam kalangan Rimba
Persilatan !"

Tay Hong tampak kurang senang mendengar Tong Goan begitu memuji tetamu yang baru
ia kenal itu.

“Aku dengar banyak orang kerap mengatakan," katanya, “bahwa kelenteng Liong-sam-sie
itu ada sebuah perguruan ilmu silat yang selalu mengeluarkan murid-murid yang jempolan.
Aku diluaran telah berkeliaran mencari murid-murid dari kelenteng tersebut, untuk coba
meminta pengunjukan, tetapi sampai sebegitu jauh, belum juga dapat diketemukan barang
seorangpun. Sekarang oleh sebab mengetahui bahwa Lie Lauw-hia ini adalah salah seorang
murid dari Liong-tam-sie, maka aku akan merasa berterima kasih apabila kau sudi memberi
pengunjukan kepadaku. Tetapi belum tahu, apakah Lauw-hia sudi mengabulkan
permintaanku ini ?"

Ucapan ini bukan saja telah membikin Poan Thian jadi tidak enak, malah Tong Goan
sendiripun jadi turut kurang senang dan mual mendengar omongan yang agak menantang
itu. Akan tetapi, buat membikin keadaan tidak sampai menjadi tegang, Tong Goan lalu pura-
pura tersenyum dan berkata : “Oleh karena kewarasan Lie Lauw-hia masih belum pulih
betul, maka baiklah hal ini dibicarakan pula nanti saja di-lain waktu."

Tetapi Liu Tay Hong yang memangnya bersikap sombong, bukan saja tidak mau mengerti
dengan alasan itu, malah sebaliknya lantas bersenyum sindir dan berkata : “Mula-mula
kukira Sin-tui Lie itu ada seorang yang berkepala tiga dengan berlengan enam, tidak
tahunya hanya seorang biasa saja yang bertubuh begini kecil dan hampir tidak ada
“potongan" untuk dinamakan seorang gagah. Maka dengan menilik pada keadaan badan
yang begini lemah dan kecil, kukira tidak perlu sampai aku turun tangan sendiri, karena
salah seorang muridkupun akan mampu merobohkannya dengan hanya beberapa gebrakan
!"

Kemudian dengan melancangi Tong Goan yang menjadi induk semangnya Tay Hong lalu
panggil seorang muridnya yang bernama See Tek Hun.

“Orang ini bukan lain daripada apa yang khalayak ramai kenal sebagai Sin-tui-Lie," kata si
kauw-su kepada muridnya. “Apakah kiranya kau berani, apabila aku suruh kau bertempur
dengannya ?"

70
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Tong Goan jadi kemekmek. Poan Thian mendongkol, tetapi tidak mengatakan apa-apa
selainnya bersenyum sedikit. Sedangkan See Tek Hun yang dianjurkan buat diadu
bertempur dengan Lie Poan Thian, tampaknya ragu-ragu dan berpaling pada Tay Hong
seperti juga orang yang hendak bertanya : “Sungguh aneh benar perintahmu ini! Dialah
seorang yang kewarasan badannya belum pulih betul, cara bagaimanakah aku bisa melawan
seorang yang keadaannya masih separuh sakit ?"

“Cobalah katakan olehmu !" kata Tay Hong sambil mendelikkan matanya. “Apakah kamu
berani melawan bertempur orang itu?" (Sambil menunjuk pada Lie Poan Thian).

“Suhu............" Tetapi Tek Hun tidak berani melanjutkan bicaranya.

“Aku inilah gurumu," kata Tay Hong sambil menepuk dadanya, “Cara bagaimanakah kau
berani membantah kehendakku?”

“Aku bukan membantah," kata See Tek Hun, “tetapi aku malu akan bertempur dengan
seorang yang aku tahu keadaannya masih separuh sakit !"

“Kau jangan omong kosong !" kata Liu Tay Hong pula. “Sekarang ia sudah separuh sembuh
dari penyakitnya, ini berarti ia sudah mampu akan bertempur sebagaimana mestinya,
sedangkan diwaktu sakit ia masih mampu tempiling si Ah Djie sehingga jatuh pingsan. Oleh
sebab itu, kau ada omongan apa lagi untuk mengeloni dia ini ?"

“Aku harap Liu Supoo supaya suka bersabar sedikit," kata Tan Tong Goan yang sekarang
baru mendusin, apa sebab Tay Hong jadi begitu gusar pada Lie Poan Thian.

Itulah karena Tay Hong merasa sangat kurang senang dan terhina, karena Ah Djie, mandor
Tong Goan dan salah seorang muridnya, telah dihajar oleh Lie Poan Thian pada beberapa
hari yang lampau!

“Dari hal Ah Djie telah diberikan pengajaran oleh Lie Lauw-hia," kata Tong Goan pula,
“itulah bukan karena semata-mata dilakukan dengan secara membuta-tuli. Ini aku tahu
betul dan menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Ah Djie telah berlaku keterlaluan,
hingga kalau aku tidak pandang ia sudah bekerja sedari jaman ayahnya masih hidup, aku
tentu sudah lepas dia dari pekerjaannya !"

Kata suatu peribahasa : semut yang kecil kalau sengaja dipijak, akhirnya tentulah akan
menggigit juga, apalagi manusia yang mempunyai kecerdasan dan pandai timbang-
menimbang perkara.

Demikian juga dengan halnya Lie Poan Thian, yang telah dihinakan begitu rupa oleh Tay
Hong yang sombong itu.

Biarpun dilahir ia kelihatan tenang dan menerima saja jengekan-jengekan itu, tetapi hatinya
semakin lama jadi semakin panas. Maka setelah tak tertahan pula rasa panas hatinya, Poan
Thian lalu berbangkit dari tempat duduknya dengan paras muka yang menandakan gusar.

Mula-mula ia meminta maaf pada Tan Tong Goan yang menjadi tuan rumahnya, kepada
siapa ia menyatakan penyesalannya akan membikin ribut di hadapannya, se-olah-olah tak
ada tempat lain untuk ia berbuat begitu. Kemudian ia lambarkan tangannya pada Liu Tay
Hong sambil berkata: “Liu Supoo ! Perbuatanmu ini sebenarnya aku boleh lewatkan dengan
begitu saja. Tetapi karena mengingat bahwa cara mengalah sebagai aku ini bisa berbalik
dihinakan orang sampai begitu rupa, maka sekarang kukira sudah bukan waktunya pula
akan selalu tinggal mengalah. Dari itu sekarang aku persilahkan salah seorang diantara
muridmu akan coba meladeni aku yang separuh sakit ini dalam pertempuran satu lawan

71
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

satu. Tetapi jikalau kau masih ragu-ragu atau takut, boleh juga kamu ke-dua-duanya maju
dengan berbareng, agar supaya kamu berdua mengetahui bahwa gelaran SIN-TUI LIE itu
bukanlah sebuah gelaran kosong belaka! Ayoh, kamu boleh maju !"

Sementara Liu Tay Hong yang sekarang baru melihat sikapnya Lie Poan Thian yang begitu
garang, buru-buru dorongkan punggung See Tek Hun sambil berbisik : “Ayoh segeralah
serang padanya dengan tak usah banyak bicara pula ! Jikalau kau kalah, aku nanti labrak
padanya sehingga ia mampus !"

See Tek Hun yang mendapat anjuran begitu, dengan tidak banyak bicara pula segera
menerjang dengan ilmu pukulan Hek-houw-touw-sim (harimau hitam menyengkeram hati)
pada Lie Poan Thian, siapa sebegitu lekas menghindarkan diri daripada jotosan yang
menyambar keulu hatinya, lalu ia pergunakan kakinya menendang sambil membentak:
“Pergi !"

Dan berbareng dengan habisnya seruan itu, See Tek Hun telah mencelat tanpa ia mengerti
karena tak dapat ia melihat dengan jalan apa Poan Thian telah “melemparkan" padanya dan
jatuh tepat di hadapannya Liu Tay Hong dengan kepala bonyok!

“Suhu, tolong !" teriaknya.

Dengan hati sangat mendongkol Tay Hong lalu banguni muridnya.

“Sekarang adalah giliran gurunya yang akan kuajar kenal dengan tendangan-tendanganku !"
kata Lie Poan Thian. “Tetapi karena mengingat bahwa Liu Supoo ini bukan seorang yang
sudah termasuk pada golongan ahli-ahli silat jempolan seperti aku sendiri, maka aku suka
memberikan kelonggaran untuk bertempur dengan memakai beberapa syarat; yakni yang
pertama, dalam pertempuran ini aku tak akan menggunakan tinju, dan jikalau aku sampai
menggunakan itu, karena terpaksa atau tidak, bolehlah terhitung aku kalah berkelahi
dengan Liu Supoo; yang kedua, dengan segala rela hati aku suka terima kalah daripadanya,
apabila dia bisa meluputkan diri dari tiga kali tendanganku. Jikalau ia mampu kalahkan aku
pada sebelum aku menendang sehingga tiga kali, aku rela akan membuang gelaranku “Sin-
tui" dan selanjutnya akan menjadi hweeshio dan tak campur pula segala urusan dikalangan
Kang-ouw. Itulah syarat-syaratku, yang aku minta supaya Tan Chung-cu suka berlaku
sebagai saksi dalam urusan ini !"

Tetapi pada sebelum Tong Goan membuka mulut buat menyanggupi, Liu Tay Hong telah
menuding pada Lie Poan Thian sambil membentak: “Orang she Lie, janganlah kau kira
bahwa orang gagah dikolong langit ini hanya kau seorang saja ! Sekarang jagalah dirimu
sebaik-baiknya !"

Dan berbareng dengan ucapan “Aku mendatangi !" kauw-su itu lalu menerjang pada Lie
Poan Thian dengan menggunakan siasat Twe-san-jip-hay (mendorong gunung masuk ke-
lautan), hingga Poan Thian yang memang telah menaruh perjanjian tak akan menggunakan
tinju, dengan sebat mengegos sambil menendang dan berseru: “Satu !" suatu tanda bahwa
itulah ada tendangan pertama yang ia telah lakukan.

Liu Tay Hong yang mengerti bahwa tendangan itu tidak boleh dibuat gegabah, buru-buru ia
berjongkok buat meluputkan dirinya. Dan tatkala terluput dari tendangan tersebut, Tay
Hong segera maju merangsek sambil menyerang dengan ilmu Lian-hwan Cwan-sim-kian,
yang dijujukan pada ulu-hati Lie Poan Thian; hingga pemuda kita yang kenal baik bahaya
pukulan-pukulan yang akan datang dengan berturut-turut itu, dengan secara gesit ia telah
meluputkan dirinya dengan jalan mengegos ke-kiri atau kekanan, kemudian sambil
tersenyum ia berkata: “Oh, oh, nyatalah kau mengerti juga ilmu pukulan Lian-hwan cwan-

72
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

sim-tui! Sekarang cobalah kau boleh jaga tendanganku !"

“Dua !" ia membentak, sambil menendang dengan gerakan secepat kilat.

Dengan ini, Tay Hong yang merasa lebih selamat akan membuang diri untuk
menghindarkan tendangan itu, buru-buru ia mundur dengan maksud hendak
mempertahankan diri dengan tipu Yauw-cu-hwan-sin, atau alap-alap membalikkan badan.
Tetapi, apa celaka, pada sebelum ia keburu berbuat begitu, Poan Thian telah terdengar
berseru : “Tiga !" Dan berbareng dengan terputusnya seruan itu, mendadak Tay Hong
merasakan dunia ini bergoncang dengan amat hebatnya, hingga dengan badan terputar
diudara ia telah terpental dan jatuh menimpa sebuah pot bunga yang besar, yang mana
telah membuat pot tersebut hancur berarakan diseketika itu juga !

Sementara See Tek Hun yang melihat gurunya pun telah kena dipecundangi oleh Lie Poan
Thian, segera berlari-lari buat coba membanguni, tetapi dengan hati mendongkol Tay Hong
telah menolaknya sambil berkata: “Tidak apa-apa, tidak apa-apa !" Kemudian, dengan sorot
mata yang menyala-nyala, ia menuding pada pemuda kita sambil berkata: “Lie Kok Ciang !
Hari ini aku mengaku kalah kepadamu, tetapi berselang beberapa tahun lagi akan kucari kau
buat menetapkan siapa antara kita yang sesungguhnya lebih unggul ! Selamat tinggal !" ia
menambahkan.

Begitulah dengan tidak memohon diri lagi pada Tong Goan dan kawan-kawan yang lainnya,
Tay Hong dan See Tek Hun telah angkat kaki dari gedung tuan-tanah itu, untuk mencari
guru dan meyakinkan pula ilmu silat guna membalas dendam kepada Lie Poan Thian dimasa
yang akan datang.

Dan tatkala berselang beberapa hari lamanya semenjak terjadinya perselisihan antara Liu
Tay Hong dan Lie Poan Thian itu, mendadak salah seorang muridnya Liu Tay Hong yang
bernama Lian Cong kelihatan muncul dan menghadap pada Tan Tong Goan.

Maka beberapa orang yang tidak suka pada Liu Tay Hong dan bercuriga akan kauw-su
pecundang itu menjalankan muslihat busuk dengan menggunakan tenaga salah seorang
muridnya, dengan diam-diam lalu memberitahukan kepada Lie Poan Thian agar supaya ia
mengintai gerak-geriknya Lian Cong ini. Dan jikalau dia benar membawa titah-titah rahasia
dari orang yang menjadi gurunya, mereka menyatakan kesediaannya untuk menangkap
pada Lian Cong dan menyerahkannya pada pembesar yang berwajib.

Tetapi Poan Thian yang menganggap itu sebagai suatu urusan remeh, lalu pura-pura
mengucap terima kasih dan berjanji, yang ia akan berikhtiar untuk menghindarkan segala
bahaya yang akan datang itu.

Tidak tahunya duduknya urusan yang benar justeru bertentangan jauh daripada apa yang
semula disangka orang.

Demikianlah singkatnya maksud kedatangan Lian Cong pada tuan-tanah itu.

Ternyata ketika Tay Hong berselisih dengan Poan Thian, Lian Cong justeru berada di desa
kelahirannya, tengah mengurus penguburan jenazah ibunya.

Oleh karena tingkah-lakunya Lian Cong tidak mengecewakan, maka Tong Goan menaruh
simpati dan memberikan ia banyak uang untuk merawat ibunya, dari sakit sehingga
meninggalnya serta dikubur menurut kebiasaan yang lazim dilakukan orang.

Kepada kauw-su Liu Tay Hong, Lian Cong telah belajar ilmu silat tidak kurang dari dua-tiga
tahun lamanya, maka dalam pergaulan sekian lamanya itu, Lian Cong telah ketahui bahwa

73
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

maksudnya Tay Hong mengajar ilmu silat di rumah tuan-tanah itu, bukanlah didasarkan atas
mencari keuntungan, tetapi ada pula maksud lain yang tersembunyi dan dikandung didalam
hatinya.

Karena selain ingin mendapatkan adik perempuan Tong Goan yang bernama Giok Hwa,
iapun inginkan juga harta bendanya Tong Goan yang berjumlah bukan sedikit. Tetapi karena
seorang diri tak cukup untuk dapat melaksanakan pekerjaan besar itu, maka ia telah
berkomplot dengan seorang kepala rampok bernama Khong Thian Liong dipegunungan Kee-
jiauw-san.

Liu Tay Hong telah beberapa kali berusaha untuk bergerak dengan menggunakan Ah Djie
sebagai pembantu yang bekerja didalam, tetapi pekerjaan itu selalu kandas saja, karena
dirintangi oleh satu dan lain sebab, hingga waktu Poan Thian keburu datang kedesa itu, Tay
Hong jadi cemburu dan sedapat mungkin berdaya-upaya agar supaya pemuda kita bisa
disingkirkan atau kalau perlu dibinasakan jiwanya.

Tetapi syukur juga pada sebelum terjadi hal-hal lain yang lebih hebat, Tay Hong telah
keburu dipecundangi dan terpaksa angkat kaki dari desa itu, walaupun rasa penasarannya
hanya Allah saja yang tahu disamping dirinya sendiri.

“Maka setelah aku mengajukan laporan ini," Lian Cong akhirkan penuturannya, “aku banyak
harap supaya Chung-cu-ya jangan membicarakan lagi urusan ini pada orang lain. Karena
jikalau Liu Suhu yang sekarang sudah berada di-luaran mendapat tahu tentang kebocoran
rahasianya ini, di-sembarang waktu ia bisa mencari dan membunuh aku untuk
melampiaskan rasa penasarannya."

Tong Goan berjanji akan tutup mulut guna kebaikannya orang sebawahan itu. Maka sejak
hari itu dan selanjutnya, ia lantas perintah Lian Cong akan berguru pada Lie Poan Thian,
yang terpaksa mesti mewakili pekerjaan mengajar silat yang telah ditinggalkan oleh guru
silat Liu Tay Hong itu.

Pada suatu hari untuk melewati tempo yang terluang, Lie Poan Thian telah berjalan-jalan
kepekan dengan hanya seorang diri saja.

Dalam pada itu Poan Thian yang sedang enak memandang kian-kemari, tiba-tiba matanya
jadi tertarik oleh sekelompokan orang yang sedang mengobrol dengan amat asyiknya.

“Badannya binatang itu," kata salah seorang sambil memperumpamakan binatang itu
dengan seorang kawannya, “kira-kira hampir bersamaan tingginya dengan badanmu ini,
hanya dia itu lebih besar dan kuat. Bulunya putih bagaikan kapas, hingga lantaran itu dapat
dilihat orang biarpun ia bergerak ditempat gelap. Banyak orang yang merasa tertarik
dengan hadiah besar yang diberikan Na Thian Lun, telah coba tempur binatang itu untuk
menghindarkan puterinya hartawan itu akan menjadi korban, tetapi semua telah gagal dan
kena dilukai atau dibinasakan jiwanya oleh binatang aneh itu, yang ternyata pandai
memainkan pedang, seperti juga kita manusia yang biasa memainkan senjata itu."

Sementara salah seorang antaranya yang mendengar omongan itu, sambil tertawa lalu
berkata: “Ah, apakah kau ini sudah mabuk, hingga mau main percaya saja ada kera putih
yang dapat bertempur dengan menggunakan pedang ? Dijaman dahulu memang benar ada
dongeng-dongeng yang mengatakan begitu, tetapi dijaman kita ini yang termasuk jaman
baru, dimanalah ada perkara-perkara mustahil serupa itu ?”

“Hal ini kau jangan tidak percaya," menyambungi seorang yang lainnya pula, “karena dia ini
memang pernah juga satu kali ikut mengepung binatang itu serta melihat gerak-geriknya
binatang gaib itu dengan mata kepalanya sendiri. Selain dari itu, kau harus jangan lupa
74
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

bahwa dikolong langit ini banyak sekali keanehan-keanehan yang sukar dapat dialami oleh
setiap orang."

Tetapi orang yang menimbrung itu tinggal tetap tak mau percaya dengan omongan itu,
hingga diantara sekelompokan orang itu lalu timbul dua macam pendapat yang menyatakan
pro dan contra dengan adanya lelakon kera putih yang bisa bermain pedang bagaikan
manusia itu.

Oleh karena tertarik dengan pembicaraan mereka, maka Poan Thian pun lalu ikut
menimbrung dan coba menanyakan, hal apakah yang menjadi pokok dari perdebatan
mereka itu.

Dari salah seorang yang berkumpul disitu, pemuda kita mendapat keterangan seperti
berikut:

Seorang hartawan bernama Na Thian Lun yang menjadi salah seorang penduduk tanah milik
Tan Tong Goan itu, telah sekian lamanya menjadi sasaran dari gangguan seekor kera putih
yang besar dan ternyata hendak merampas puterinya hartawan tersebut yang bernama Giok
Tin. Tetapi berkat dari penjagaan kuat yang diadakan disekitar tempat itu, kera itu belum
berhasil bisa menculik si-nona itu keluar dari rumah orang tuanya. Tetapi walaupun
pekerjaannya selalu digagalkan orang, binatang itu kelihatan tidak menjadi kapok akan
mencoba dan mencoba pula buat melakukan maksudnya jang keji itu.

Pada suatu hari atas anjuran salah seorang keluarganya yang bernama Oey Kie Lee, Thian
Lun telah mengundang seorang gagah yang bernama The Goan, seorang ahli silat dari
cabang Siauw-lim.

Ahli silat itu dari satu kelain malam telah menunggu kedatangan kera itu di rumahnya
keluarga Na, tetapi ternyata binatang itu tidak juga muncul walaupun ia menjaga disitu
sampai kira-kira hampir satu minggu lamanya.

Pada suatu malam, kera itu telah datang dalam cara yang lain dari biasa, yakni selain tidak
menyatroni kamarnya nona Giok Tin pada kali ini, iapun menyoren juga pedang dan menuju
langsung ketempat jagaannya The Goan, seolah-olah ia ketahui bahwa ia harus robohkan
dahulu jago silat ini, pada sebelumnya bisa menyampaikan maksudnya yang tidak baik itu.

Ketika itu The Goan yang memang selalu berjaga-jaga sudah tentu saja tidak berayal lagi
buat menempur pada kera putih itu, sehingga tidak berapa lama kemudian, terjadilah suatu
pertempuran yang amat dahsyat antara manusia dan binatang itu.

Selama The Goan melawan bertempur dengan mempergunakan toya, kera itu hanya
menggunakan tangan kosong saja. Dan tatkala toya itu telah kena dirampas oleh binatang
tersebut, The Goan lalu mencabut golok, dengan mana ia telah menyerang pada kera putih
yang menjadi lawannya itu. Sedang kera itu, yang melihat The Goan menyerang dengan
menggunakan barang tajam, iapun lalu cabut pedangnya dan terus melawan bertempur
dengan memainkan pedang itu seperti juga lakunya seorang yang memang sudah menjadi
ahli dalam hal menggunakan senjata tersebut!

Maka The Goan yang melihat begitu, sudah tentu saja jadi heran dan diam-diam berpikir
didalam hatinya : “Jikalau ditilik dari cara berkelahinya binatang ini, apakah tidak bisa jadi
bahwa dia ini hanya binatang tetiron yang diperankan oleh manusia busuk yang tinggi ilmu
silatnya ? Segala serangannya cukup rapih dan berbahaya, hingga cara ini dapat dikatakan
terlalu mustahil akan dapat ditiru dan dilakukan dengan se-baik-baiknya oleh seekor kera,
biarpun kera itu terkenal berotak cerdas dan lekas mengerti jikalau diajarkan apa-apa.”

75
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Begitulah sambil berpikir, The Goan telah bertempur dengan kera putih itu, yang ternyata
telah mampu menjaga sesuatu serangannya dengan ilmu-ilmu silat yang justeru menjadi
timpalan yang cocok dari sesuatu siasat silat yang diajukannya itu!

“Adakah seekor kera dapat berbuat sebaik itu, dan mengerti cara bagaimana akan
menghindarkan diri dengan pelbagai siasat silat yang tidak mudah dapat dipelajari oleh
setiap orang ?" The Goan bertanya pula kepada diri sendiri.

Dalam pada itu The Goan yang bertempur sambil berpikir didalam hatinya, sudah tentu saja
tak dapat mencurahkan perhatiannya kesatu jurusan saja, hingga ketika kera itu membacok
dan ia menangkis dengan goloknya, dengan tak terasa pula ia telah bikin golok itu beradu
dengan pedang yang dipergunakan oleh kera putih itu.

Trang !

Berbareng dengan terdengarnya suara itu, diantara malam yang gelap gulita itu tampak
lelatu api yang keluar dari pedang dan golok yang beradu dengan amat hebatnya itu.

Tatkala The Goan menarik pulang goloknya, mendadak dirasakannya golok itu menjadi lebih
ringan daripada semula, hingga waktu golok itu diperiksa dalam kegelapan, ternyata
bahagian ujungnya telah kutung kena terbacok oleh pedang sang kera yang sesungguhnya
amat tajam itu !

Maka dengan adanya pengalaman ini, selanjutnya The Goan jadi semakin hati-hati buat
tidak membikin goloknya beradu dengan pedang sang kera itu. Dan ketika hari hampir
terganti dengan fajar, barulah binatang itu melarikan diri, dalam keadaan belum diketahui
pihak mana yang lebih tinggi atau lebih rendah ilmu kepandaiannya dalam pertempuran itu.

Sementara para penjaga yang bersembunyi disekitar tempat itu, lalu pada keluar mengejar
sambil bersorak-sorak, tetapi binatang itu telah dapat meloloskan dirinya setelah membabat
pedang-pedang, golok-golok dan pentungan-pentungan para penjaga seperti juga orang
yang menabas tanah liat.

Demikianlah menurut penuturannya salah seorang yang sedang mengobrol itu kepada
pemuda kita.

Maka Poan Thian yang mendengar penuturan itu, ia sendiripun lantas berpendapat, kalau-
kalau kera itu bukanlah kera sewajarnya, hanyalah seorang ahli silat keji yang sengaja
mengacau desa itu dengan menyamar sebagai seekor kera putih.

“Tetapi belum tahu apakah orang she The itu sampai sekarang masih menjaga disana atau
tidak ?" bertanya Lie Poan Thian dengan hati penasaran.

“Sekarang The Goan sudah tak menjaga lagi disana," sahut orang yang ditanya, “karena
selain kuatir dengan pedang sang kera yang amat tajam itu, iapun telah kena dilukai dan
hampir saja jiwanya tewas dalam tangan binatang itu."

Poan Thian jadi menghela napas panjang.

“Jikalau saudara-saudara sudi mengajak aku ke rumah Na Thian Lun itu," kata pemuda kita,
“aku bersedia buat menggantikan The Goan akan menjaga disana."

Mendengar omongan ini, sudah tentu saja orang banyak jadi pada mencurahkan
perhatiannya kepada Lie Poan Thian yang perawakan tubuhnya tidak berapa besar, hingga
mereka agak ragu-ragu, apakah hati pemuda itu cukup tabah akan berhadapan dengan
seekor kera besar yang kuat dan telah membikin kewalahan sekian ahli-ahli silat itu ?
76
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Dengan memperhatikan sikap saudara-saudara sekalian," kata Poan Thian pula,


“memanglah ada kemungkinan serta ada juga cenglinya, jikalau kamu merasa ragu-ragu
atas kemampuanku buat bertempur dengan kera putih itu. Aku bukan omong kosong.
Meskipun badanku tidak besar, tetapi aku tak akan menyerah mentah-mentah dengan
segala binatang yang hina dina itu."

Dan tatkala salah seorang antaranya menanyakan siapa dia dan Poan Thian
memberitahukan she dan namanya sendiri, orang itu lalu memberi hormat sambil berkata :
“Saudara, apakah kau ini bukan kauw-su dari keluarga Tan yang pada beberapa waktu yang
lalu pernah merobohkan Liu Tay Hong?"

“Ya, benar, itulah aku sendiri," sahut Poan Thian.

“Kalau begitu," kata orang itu pula, “nyatalah mataku tidak bisa mengenali seorang gagah."

Kemudian sambil menoleh pada kawan-kawannya yang terbanyak ia memperkenalkan


pemuda kita pada mereka sambil berkata : “Saudara-saudara, saudara ini ternyata bukan
lain dari Sin-tui Lie, yang sekian lamanya kita dengar namanya yang termasyhur, tetapi
belum kenal orangnya dan tidak tahu romannya bagaimana."

Lebih jauh karena orang itu telah menuturkan juga bagaimana Poan Thian telah mampu
merobohkan jago silat tua Sin-kun-Bu-tek Louw Cu Leng, Siauw-pa-ong Lauw Sam-ya dan
kauw-su dari keluarga Tan yang bernama Liu Tay Hong, maka orang banyak kelihatan mau
percaya juga bahwa pemuda kita akan mampu mengalahkan kera putih yang sering datang
membikin ribut di rumahnya Na Thian Lun itu. Oleh sebab itu, mereka dengan beramai-
ramai lalu mengantarkan Poan Thian akan berjumpa dengan Hartawan she Na itu.

Tetapi seperti juga pendapat orang banyak ketika mula-mula bertemu dengan Lie Poan
Thian, Na Wan-gwee sendiripun tampak agak ragu-ragu dan tidak percaya kalau pemuda
kita akan dapat bertempur dengan kera yang berbadan besar dan buas itu. Oleh karena itu
ia lantas berkata: “Tuan Lie ini rupanya bukan orang desa ini?"

“Ya, memang bukan," sahut Lie Poan Thian, “aku berasal dari kota Cee-lam dalam propinsi
Shoa-tang, dan jikalau sekarang aku berada disini, itulah karena aku kebetulan menumpang
pada Tan Chung-cu Tan Tong Goan, dimana untuk sementara lamanya aku mewakili salah
seorang kawan buat mengajar ilmu silat pada orang-orang sebawahannya Tan Chung-cu
tersebut."

Na Thian Lun kelihatan mengangguk-anggukkan kepalanya, ia tak berkata-kata. Romannya


bagaikan seorang yang sedang berpikir keras.

“Tetapi, maafkanlah jikalau aku mohon bertanya, belum tahu dalam pekerjaan ini tuan Lie
minta upah berapa ?" kata si-hartawan setelah berdiam sejurus lamanya.

Poan Thian tersenyum dan menyahut: “Tuan, aku ini adalah seorang suka rela, bukan
hendak minta upah berapa. Asal saja kera itu telah dapat diusir dan selanjutnya tidak berani
balik kembali kesini, itulah sudah cukup dan aku tidak bermaksud akan mengajukan
permintaan apa-apa pula."

Thian Lun dan orang banyak yang mendengar omongan si-pemuda, semua jadi memuji dan
kagum atas kebijaksanaannya.

Kemudian setelah menanyakan pada waktu bagaimana kera itu biasa datang menyatroni, Na
Wan-gwee lalu menjawab : “Itu tidak tentu. Juga tidak jarang dia tak datang sama sekali.
Dan jikalau seandainya dia mau datang juga, waktunya hampir terjadi sedikit dimuka tengah

77
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

malam atau selewatnya itu. Itulah sebabnya mengapa orang-orang yang pernah membantu
disini jadi bingung dan tidak tahan menunggu-nunggu."

“Kalau begitu,” kata Lie Poan Thian, “baiklah aku permisi pulang dahulu ke rumah Tan
Chung-cu, karena selain mesti membawa senjata, juga akupun tak menyangka bakal
menemui kejadian serupa ini. Oleh sebab itu, ijinkanlah aku pulang dahulu meminta
perkenan Chung-cu-ya buat bantu menjaga disini pada sebentar malam."

Sementara Na Wangwee yang ternyata bersahabat baik dengan Tan Tong Goan, lalu
menyatakan bahwa ia boleh kirim orang buat menyampaikan kabar itu pada Tan Chung-cu,
tetapi Poan Thian menampik dan mengucap terima kasih.

Maka sebagai pernyataan terima kasihnya, Thian Lun lalu mengadakan sedikit perjamuan
buat mengundang Poan Thian dan orang banyak akan duduk bermakan minum, pada
sebelum pemuda kita kembali dahulu ke rumahnya Tan Chung-cu.

***

Malam itu udara agak mendung.

Dibalik awan-awan yang bergulung-gulung diangkasa, bintang-bintang mengintip kemuka


bumi yang penuh dengan kekacauan ini.

Sedangkan siliran angin yang dingin dan seakan-akan hendak menembusi tulang setiap
orang, membikin para penjaga jadi mengantuk dan menganggap bahwa binatang itu tak
akan datang. Apapula karena mereka telah dipesan oleh pemuda kita akan jangan membikin
ribut atau mengunjukkan gerakan apa-apa sebelum mereka diberi isyarat, maka tidak sedikit
antara mereka yang telah meringkuk dan tidur pules dengan amat nyenyaknya, meskipun
tahu bahwa perbuatan itu akan sangat menyukarkan Poan Thian, jikalau si-pemuda sampai
kejadian keteter dalam pertempuran dengan kera putih itu.

Kira-kira hampir tengah malam, betul saja ia melihat ada sebuah benda putih yang
bergerak-gerak disuatu tempat yang terpisah agak jauh.

Gerak-gerakannya benda putih itu, yang ternyata bukan lain daripada kera itu sendiri, bukan
saja amat cepat dan gesit, tetapi juga ia seolah-olah telah ketahui bahwa pada malam itu
Poan Thian telah sengaja diundang buat bertempur dengan dirinya.

Dan seperti juga pada waktu The Goan diundang menjaga disitu, pada malam itu pun kera
tersebut tidak menyatroni kamarnya Giok Tin, tetapi dengan langsung menuju ke-tempat
jagaan Lie Poan Thian, dimana sekarang sipemuda itu sedang menunggukan kedatangannya
dengan sudah bersiap-siap.

“Kurang ajar !" menggerendeng pemuda she Lie itu. “Inilah sudah terang bukan kera asli,
tetapi adalah manusia yang menyamar buat mengelabui mata orang! Karena jikalau dia itu
betul binatang, bagaimanakah dia bisa melompati pagar tembok dengan menggunakan
siasat Yan-cu-cwan-liam ? Eh, eh, ini benar-benar luar biasa !"

Poan Thian membuka matanya lebar-lebar, karena dengan sekonyong-konyong ia melihat


“binatang" itu menyoren pedang dan menyelendang sebuah kantong kulit digegernya.
“Apakah ada seekor binatang yang dapat mempersiapkan diri untuk bertempur begini rupa?"

Semakin lama benda putih itu semakin mendekati ketempat jagaannya Lie Poan Thian. Dan
tatkala telah terpisah kira-kira 100 tindak jauhnya, dengan sebat “kera putih" itu telah
menyambit si-pemuda she Lie yang sedang berjongkok sambil bersembunyi dibelakang

78
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

lankan. Pletak ! pletak !

Pemuda kita tiba-tiba melihat ada dua sinar berkilauan yang dijujukan kejurusannya, dan
ketika ia berkelit dan barang itu menancap diatas tiang didekat tempat ia berlindung,
ternyata benda itu adalah dua buah piauw yang pada masing-masing ekornya diikat benang
sutera yang berwarna merah !

“Kurang ajar !" membentak Lie Poan Thian sambil berdiri, tetapi sebegitu lekas ia
mengunjukkan dirinya, mendadak “kera" yang telah menyabut pedang itu telah membacok
kepadanya dengan sekuat-kuat tenaganya ! Brak !

Syukur juga bacokan itu luput, karena Poan Thian yang bermata sangat celi, telah keburu
melompati langkan itu sambil menyabut jwan-pian dari pinggangnya, tetapi palang lankan
itu telah terbacok putus oleh pedang si “kera" yang ternyata amat tajam itu !

Sekarang Poan Thian mengerti bahwa pedang si-“kera" itu tak boleh dibuat gegabah. Maka
buat menghindarkan jwan-piannya ditabas pedang tersebut, ia merasa perlu sekali akan
berkelahi dengan sangat hati-hati dan tidak memberikan kelonggaran akan sang lawan itu
merangsak terlalu dekat.

Sebaliknya sang “kera" yang seolah-olah telah mengetahui bahwa kelihayan Poan Thian
terletak dalam tendangan-tendangannya, tampaknya berlaku “see-jie" dan Poan Thian
merangsak sambil menghujani tendangan-tendangan yang terkenal kelihayannya diseparuh
jagat Tiongkok.

Begitulah pertempuran itu telah berlangsung sehingga 20 jurus lamanya. Karena selain
kepandaian si-“kera" itu sudah boleh digolongkan pada tingkat ahli silat kelas satu, Poan
Thian-pun agak “see-jie" dengan pedang yang dipergunakan lawannya itu. Tetapi biarpun ia
telah berlaku bagaimana hati-hati juga, tidak urung seperempat bagian dari jwan-piannya
telah kena juga dibabat putus oleh pedang itu !

Tetapi kejadian itu tidak membikin Poan Thian jadi jerih atau takut, juga tak mencoba ia
memberikan isyarat akan para penjaga yang bersembunyi disana-sini akan keluar
membantui kepadanya.

Ia ingin bertempur satu lawan satu, sehingga dalam hal ini ia bisa menyaksikan
kesudahannya, apakah ada salah satu yang mati atau menyerah kalah.

Dalam pertempuran itu, tidak kurang dari beberapa puluh macam ilmu tendangan telah
dipergunakan Poan Thian untuk merobohkan pada si-“kera", tetapi semua tendangan-
tendangan itu telah dapat disingkirkan oleh pihak lawannya, hingga ini telah membikin ia
jadi heran dan teringat pada waktu ia bertempur dengan Sin-kun Bu-Tek Louw Cu Leng, ahli
silat satu-satunya yang pernah ia ketemukan mampu berbuat begitu.

Tetapi pada saat itu bukanlah waktunya akan orang melamunkan segala sesuatu yang
bersifat khayal.

Ia harus berkelahi dengan gagah, buat tidak membikin dirinya sampai kena “dicepol" orang.

Begitulah pertempuran itu telah berlangsung dengan tiada kurang hebatnya dari pada
semula.

Disuatu saat ketika sang “kera" telah berhasil dapat meluputkan diri dari tendangannya Lie
Poan Thian, buru-buru ia berlompat keluar dari kalangan pertempuran, berlompat melalui
pagar tembok dan terus berlari menuju kedalam rimba.

79
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Tetapi Lie Poan Thian yang tak mau membiarkan “binatang" itu meloloskan diri dengan cara
begitu saja, iapun segera mengejar sambil menghujani piauw yang satu-persatu telah
mengenai dengan tepat pada sasarannya. Dan disaban waktu ada piauw yang menancap
dipunggung, bahu dan gegernya “binatang" itu, dengan tentu-tentu “binatang" itu berteriak:
“Aduh ! Aduh !”

“Kurang ajar!" pikir pemuda kita didalam hatinya. “Nyatalah dia ini benar manusia! Tetapi
siapakah sebenarnya dia itu, yang ternyata ada seorang ahli silat yang ilmu kepandaiannya
tidak bisa dicela ?"

Sambil mengejar “binatang" itu keluar-masuk semak-semak, Poan Thian berpikir dan
akhirnya menyaksikan, cara bagaimana “binatang" itu telah terjerumus kedalam sebuah
lobang, dari dalam mana ia mendengar suara jeritan manusia: “Tolong ! Tolong ! Matilah
aku sekali ini!"

Poan Thian jadi merandek dengan heran, tetapi ia tak berani sembarangan mendekati tepi
lubang itu, walaupun bulan sabit dapat juga menyinari sedikit keadaan didalam rimba itu.

“Tolong! ......... To ......... Long !........." Semakin lama suara itu jadi semakin lemah,
semakin lemah, dan akhirnya tidak terdengar sama sekali.

Maka Poan Thian yang kuatir juga akan kecelakaan lain bagi dirinya yang kurang mengerti
tentang seluk-beluknya keadaan dalam rimba itu, lalu buru-buru kembali ke rumahnya Na
Thian Lun, buat melaporkan apa yang telah terjadi dan berjanji akan kembali lagi kesitu
dihari esoknya, buat coba memeriksa pula kedalam lubang itu, kalau-kalau kera tetiron itu
masih bisa ditolong dan ditanyakan keterangan-keterangannya mengapa ia telah
menerbitkan heboh dengan menyamar sebagai binatang.

Hal mana, sudah tentu saja sangat disetujui oleh Na Thian Lun dan para penjaga yang juga
ingin mengetahui bagaimana kesudahannya tentang lelakon kera putih tetiron itu.

Begitulah setelah dihari esoknya Poan Thian dan para penjaga telah selesai dahar nasi,
mereka dengan beramai-ramai lalu menuju kedalam rimba, dengan Poan Thian berjalan
duluan sebagai petunjuk jalan mereka.

Disana, tatkala mencari kian-kemari sekian lamanya, barulah Poan Thian dapat ketemukan
lubang yang semalam telah “menelan" kera tetiron itu.

Tetapi berhubung lubang itu amat dalam dan gelap, sehingga ini telah membikin tidak
seorangpun diantara mereka yang berani turun kebawah, maka penyelidikan itupun
terpaksa disudahi sampai disitu saja, dengan rahasia kera tetiron itu tak dapat dipecahkan
sehingga dijaman ini.

Betul belakangan ada juga orang yang mengatakan bahwa itulah ada kepala berandal
Khong Tay Liong dari Kee-jiauw-san, yang telah menyamar menjadi kera putih untuk
mengacau dan melarikan anak perempuan Thian Lun, tetapi kabar itu ternyata kurang
benar, berhubung ia telah dibikin kocar-kacir oleh seorang gagah tidak terkenal, ketika
peristiwa kera putih itu terjadi di tanahnya Tan Tong Goan. Maka selain waktu terjadinya
tidak cocok dengan kenyataan, juga tak ada alasan yang kuat buat membikin orang percaya
dengan kabaran itu.

Demikianlah akhirnya lelakon kera putih yang diliputi oleh rahasia yang tak dapat
dipecahkan orang sehingga dijaman ini.

***

80
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Oleh karena terjadinya peristiwa diatas, maka dengan meminta perantaran Tong Goan yang
menjadi sahabat karibnya, akhirnya Thian Lun telah dapat perjodohkan puterinya Giok Tin
kepada pemuda kita.

Tetapi karena mengingat bahwa ia masih mempunyai kakak perempuan yang berdiam di
Tiong-ciu, maka Poan Thian minta supaya pernikahannya ditunda dahulu, berhubung ia
akan pergi menjumpai sang kakak itu dan berembuk lebih jauh mengenai urusan ini.

Ketika Poan Thian hendak berangkat dihari esoknya, Tong Goan dan bakal mertuanya telah
memberikan ia banyak uang, tetapi sebagian besar dari ini telah ditampik, hingga apa yang
diambilnya dari jumlah itu, hanyalah sekedar untuk ongkos dalam perjalanan saja. Karena ia
mengatakan lebih jauh, bahwa ia tak akan berdiam terlalu lama di Tiong-ciu, hingga Tong
Goan dan Thian Lun menyatakan kegirangannya dan mengharap akan selekasnya dapat
minum arak kemantin, apabila nanti Poan Thian kembali dari tempat kakak perempuannya
di Tiong-ciu.

Poan Thian mengucapkan banyak terima kasih dan berjanji akan kembali selekas mungkin,
jikalau disana ia tak mengalami halangan apa-apa yang memperlambat perjalanan
pulangnya ketanah Tong Goan disitu. Kemudian ia pergi membeli seekor kuda yang kuat
dan dapat melakukan perjalanan jauh, dengan mana ia bisa berangkat ke Tiong-ciu dengan
membawa pakaian yang perlu dan dibungkus menjadi sebuah pauwhok besar, dengan
didalamnya berisikan pelbagai senjata rahasia dan golok yang telah diperoleh sebagai
hadiah dari gurunya sendiri.

Begitulah Thian Lun mengadakan sedikit perjamuan makan minum yang dikunjungi juga
oleh Tan Tong Goan yang berlaku sebagai wakil dari Lie Poan Thian, barulah pemuda kita
melanjutkan perjalanannya dengan menunggang kuda yang baru dibelinya.

Selama melalui perjalanan yang beberapa puluh lie jauhnya itu, boleh dikatakan tidak terjadi
peristiwa apa-apa yang penting untuk dituturkan disini.

Pada suatu tengah hari Poan Thian telah sampai disebuah desa yang bernama Oey-touw-pa,
suatu desa yang keadaannya ramai dan besar juga, karena selain terdapat banyak toko-toko
dan kedai-kedai kecil dan besar, juga penduduknya tampak agak padat juga. Gedung-
gedung dan rumah-rumah penduduk kira-kira ada beberapa puluh buah banyaknya.

Pemuda kita yang tatkala itu telah merasa lelah dan haus, dari kejauhan menampak sebuah
kedai yang memakai panji putih dengan tiga huruf merah yang berbunyi: Heng-hoa-lauw.

Poan Thian lalu pecut kudanya supaya berlari lebih cepay akan mampir kekedai tersebut.

Sesampainya disana, ia lantas tambatkan kudanya dibawah sebuah pohon, sedang ia sendiri
lalu menindak masuk dan panggil jongos buat minta disediakan arak dan beberapa macam
hidangan yang menjadi kegemarannya.

Tatkala arak dan hidangan telah disediakan, Poan Thian lalu tuang secawan arak, yang lalu
diminumnya dengan perlahan kemudian barulah disusul dengan hidangannya yang didahar
olehnya dengan bernapsu sekali.

Tengah bermakan minum dengan hanya seorang diri saja, mendadak Poan Thian melihat
beberapa belas orang militer telah berhenti juga dikedai itu, menambatkan kuda mereka
diluar dan terus berjalan masuk sambil beromong-omong pada satu dengan yang lainnya.

Dua orang diantara mereka, Poan Thian lihat tinggal menunggu terus diluar kedai, karena
mereka ini ternyata membawa seorang tawanan yang rantainya diikat pada sebuah pohon

81
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Lek-yang dimuka kedai tersebut.

Orang tawanan itu menurut pandangan Poan Thian, tidaklah mirip dengan orang persakitan
biasa. Perawakannya tidak terlalu jangkung, tetapi tegap dan kuat. Ia berusia antara tiga
puluh atau tiga puluh lima tahun. Wajahnya lebar, hidung mancung, mata celi dan alisnya
yang tebal dan panjang hampir sampai kebagian telinganya.

Sambil bermakan minum, Poan Thian memperhatikan dan bertanya pada diri sendiri :
“Apakah kedosaan orang ini, sehingga ia mesti mengalami perlakuan yang tidak enak serupa
ini ?"

Poan Thian tak sempat melamun terlalu lama, ketika tak antara lama seorang tinggi besar
dengan berkuda telah sampai juga dikedai itu.

Dua orang militer penjaga persakitan tadi yang melihat kedatangannya, buru-buru
menghampiri dan sambuti les kuda yang disodorkan kepada mereka oleh orang yang baru
datang itu.

Gerak-gerakannya orang itu selain gesit dan tangkas, wajahnyapun keren, bermisai dan
berusia hampir bersamaan dengan persakitan yang dirantai dibawah pohon Lek-yang itu.

Orang itu dengan tak banyak bicara pula lalu bertindak masuk kekedai, hingga orang-orang
militer yang berada di-dalam dan melihat kedatangannya, buru-buru pada bangun memberi
hormat dan mempersilahkannya akan duduk dikursi yang diatur dikepala meja.

Mula-mula Poan Thian menduga bahwa orang itu adalah seorang piauwsu, tetapi ketika
diperhatikannya lebih jauh, ia mendapat kenyataan bahwa dugaannya itu telah meleset.

“Dia ini rupanya ada seorang keturunan militer yang berpangkat tinggi," pikirnya.

Dengan dikepalai oleh orang militer yang datang terbelakang itu, maka sebuah perjamuan
makan minum lalu diadakan, dengan orang-orang militer yang berkumpul disitu turut juga
bermakan minum, hingga selanjutnya tak sempat pula mereka bercakap-cakap dengan
leluasa seperti semula tadi.

Sementara dua orang militer lain yang menjaga orang tawanan diluar kedai, pun diberikan
makanan dan minuman yang sama oleh orang militer yang menjadi pemimpin mereka itu.

Sambil bermakan minum dan tertawa-tawa kearah orang tawanan yang dirantai dibawah
pohon Lek-yang itu, dua orang penjaga yang gatal tangan itu telah mulai
mempermainkannya dengan jalan menyambiti muka orang itu dengan kulit kwaci dan
kacang goreng, hingga perbuatan ini sudah tentu saja telah membikin orang tawanan itu
kelihatan mendongkol, tetapi tak dapat ia berbuat lain daripada mandah dirinya
diperlakukan demikian, berhubung borgolan yang tergantung dileher dan tangannya agak
berat untuk memungkinkan ia bergerak dengan leluasa.

Tetapi belum puas mempermainkan orang dengan begitu saja, kemudian kedua orang
penjaga itu telah mulai menyambitinya dengan bacang, hingga dalam waktu sekejapan saja
muka orang itu telah berlepotan dengan nasi bacang yang agak lekat.

“Ah, sungguh bodoh benar kau ini!" kata salah seorang penjaga itu kepada orang tawanan
tersebut. “Aku tahu kau tentu merasa lapar juga, mengapakah kau tidak caplok saja
bacang-bacang yang kita lemparkan kepadamu itu?"

Tetapi orang tawanan itu tinggal membisu, mendelikan matanya yang bundar dan merah
karena mengandung kegusaran.
82
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Anjing yang terhitung binatang, bisa mencaplok makanan jikalau dilemparkan oleh
majikan," kata seorang penjaga yang lainnya. “Apakah kau sebagai seorang manusia, tak
mampu menyontoh teladan itu ?"

Kemudian mereka berdua tertawa terbahak-bahak.

“Kurang ajar !" teriak orang tawanan itu, yang akhirnya tak mampu menindas amarahnya
terlebih lama pula. “Sayang diriku diborgol ! Jikalau aku sekarang tidak memakai borgolan
ini, niscaya akan kuberikan kamu ajaran yang tak akan dapat dilupakan seumur hidupmu !"

“Eh, eh, bukannya kau minta dikasihani, sekarang kau berbalik mendamprat kami berdua !"
kata kedua orang penjaga itu sambil berbangkit dari tempat duduk masing-masing.

Salah seorang antaranya lalu mengambil air yang lalu disiramkan kemuka orang tawanan
itu.

“Nah, tu! Dinginlah sedikit amarahmu!" katanya sambil tertawa.

Orang itu jadi gelagapan, hingga sesaat lamanya ia terpaksa mempejamkan matanya.
“Kurang ajar !"

Lie Poan Thian yang menyaksikan perbuatan yang amat sewenang-wenang itu, keruan saja
jadi sangat gusar dan menyomel didalam hatinya. Tetapi ia sampai cukup taktis buat tidak
membikin keadaan jadi menyimpang daripada rencana yang hendak dilakukannya disaat itu.

Segala peristiwa yang menjengkelkan diluar kedai itu, ia seolah-olah anggap sepi. Lalu ia
panggil jongos, bayar harga arak dan makanan yang dimakannya tadi, kemudian dengan
tindakan yang tenang ia keluar dari ruangan kedai itu.

Mula-mula ia berlagak berjalan melewat kesamping penjaga yang telah menyiram muka
orang tawanan itu dengan air. Kudanya Poan Thian ditambatkan tidak berapa jauh dari
pohon Lek-yang yang dipergunakan untuk mengikat rantai si-orang tawanan.

Disitu ia berpura-pura berjalan diantara kedua orang penjaga yang sedang mempermainkan
terus pada orang tawanan yang tak berdaya itu.

Kemudian, dengan gerak-gerakan secepat kilat, Poan Thian telah tempiling penjaga yang
berdiri disebelah kirinya, sedang penjaga yang berdiri disebelah kanan ia telah tendang
sehingga terpental masuk kedalam kedai dan jatuh tepat di tengah meja perjamuan yang
diadakan oleh pemimpin orang-orang militer tadi !

“Pemberontakan ! Pemberontakan !" teriak orang-orang militer itu.

Keadaan dikedai itu segera menjadi ribut. Orang-orang yang sedang bermakan minum jadi
berlarian kian kemari. Sedang orang-orang militer berlomba keluar dari ruangan itu untuk
mengejar pada Lie Poan Thian, yang dengan secara mendadak telah menerbitkan keonaran
yang mereka tak pernah impikan sama sekali.

Sementara Poan Thian yang telah merobohkan kedua orang penjaga itu, buru-buru
menghampiri si-orang tawanan sambil berkata : “Saudara, marilah lekas kau ikut aku !"

Dengan mengandalkan pada ilmu kepandaian dan tangannya yang kuat, pemuda kita lalu
patahkan borgolan tangan dan putuskan rantai yang membikin orang tawanan itu tak dapat
bergerak dengan leluasa, hingga dengan begitu ia dapat terbebas dan dengan sebat
merampas golok penjaga yang menggeletak pingsan karena ditempiling Poan Thian tadi.

83
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

"Pergilah ambil salah seekor kuda mereka !" kata Lie Poan Thian dengan cepat. “Kita perlu
berlalu dari sini selekas mungkin !"

“Saudara-saudara!" teriak pemimpin militer itu. “Ayoh lekas kejar dan bekuk kedua orang itu
!"

Lebih jauh untuk memperlambat gerakannya orang-orang militer itu, agar supaya ia dapat
memberikan waktu cukup untuk si-orang tawanan merampas kuda dan bersiap-siap akan
melarikan diri, Poan Thian telah angkat orang militer yang pingsan tadi, akan dipakai
memukul dua orang militer yang baru keluar dari kedai itu, hingga mereka berdua jatuh
melosoh, karena tertimpah oleh kawannya yang dilemparkan kejurusan mereka. Dan ketika
mereka keluar dari kedai itu, Poan Thian dan orang tawanan tersebut telah dapat
meloloskan diri dengan menunggang kuda yang dilarikan bagaikan terbang cepatnya !

Setelah melalui perjalanan gunung yang panjangnya beberapa puluh lie jauhnya, barulah
Poan Thian mendapat kenyataan bahwa orang-orang militer itu telah tidak kelihatan pula
bayangan-bayangannya. Tetapi orang tawanan yang kuatir dikejar terus oleh pihak orang-
orang militer yang menjadi musuh-musuhnya tetap menganjurkan supaya Poan Thian
kaburkan kudanya sehingga melalui daerah perbatasan Shoatang-Holam.

Poan Thian kabulkan permintaan orang tawanan itu.

Kira-kira sedikit waktu dimuka waktu magrib, kedua sahabat baru yang tak saling mengenal
ini telah sampai disebuah desa pegunungan yang sunyi dan mereka percaya bahwa orang-
orang militer itu pasti tak dapat pula menyusul mereka disitu.

Buat menghilangkan rasa lelah mereka dan kuda-kuda yang mereka tunggangi, kedua orang
itu lalu beristirahat ditepi jalan, dimana orang tawanan itu lalu membungkukkan badannya
memberi hormat kepada Lie Poan Thian sambil berkata : “Saudara, aku sungguh harus
mengucapkan beribu-ribu terima kasih atas pertolonganmu yang sangat besar dan tak akan
kulupakan itu seumur hidupku. Karena jikalau semua itu bukan mengandal atas
pertolonganmu, niscaya tidak mungkin aku terlolos dari tangan mereka dengan cara yang
begini mudah. Atau, bisa jadi juga aku sudah mati disaat ini, karena mereka telah
merencanakan akan membunuh aku di tengah jalan, sehingga dengan begitu urusanku
dapat disudahi sampai disitu saja. Tanpa diketahui orang, juga tanpa diadili pula
sebagaimana mestinya !"

Si-pemuda tampak tertarik mendengar penuturan orang tawanan yang agak samar dan
aneh itu. Dan ketika Poan Thian coba menanyakan tentang duduknya perkara yang telah
membikin orang itu ditawan dan akan dibunuh, maka orang tawanan itu lalu menuturkan
riwayatnya sebagai berikut :

“Aku ini adalah seorang she Cin bernama Kong Houw," katanya, “asal orang dari Holam.
Sedari muda aku gemar sekali ilmu silat, maka hampir tak sempat menaruh perhatian pada
ilmu surat. Tatkala usiaku telah dewasa dan menikah, aku telah menerima undangan
jenderal Bu Goan Kwie yang berkedudukan di Holam juga, untuk menjadi guru silat dalam
tangsi tentara.

Pada lain tahunnya isteriku telah meninggal dunia, hingga semenjak itu tak berniat pula aku
akan beristeri pula. Tetapi sang nasib yang jail telah bikin aku tertarik dengan seorang
bunga raya yang bernama Ya Beng Cu, yang lalu aku pelihara sebagai gundik. Kita hidup
dengan rukun sehingga beberapa bulan lamanya. Pada suatu hari ia bertemu dengan Poo
Tin Peng, putera Poo Co Tjiong yang memangku jabatan Toa-to-sie-wie (pengawal kaisar) di
kota-raja. Manusia busuk ini yang mengandal pada pengaruh bapaknya yang ternyata

84
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

menjadi pengawal kesayangan raja, bukan saja suka berlaku sewenang-wenang dan tidak
segan melakukan segala perbuatan yang melanggar perikemanusiaan, tetapi juga ia tak
malu akan mengganggu anak-isteri orang baik-baik dengan tidak memandang bulu. Hal
mana pun tidak terkecuali bagi diriku, walaupun aku juga ada seorang militer yang
memangku jabatan Tong-leng (komandan) dari tangsi Tok-piauw-eng.

Manusia busuk Poo Tin Peng itu ternyata telah tergiur hatinya oleh perempuan lacur
gundikku itu !

Kali ini si-jahanam agak “see-jie" akan mengunjuk aksinya dengan secara terang-terangan,
karena ia tahu bahwa aku ini bukan seorang yang boleh diperlakukan sesukanya dengan
tidak melakukan perlawanan apa-apa. Oleh sebab itu, ia terpaksa pura-pura mengundang
aku kesuatu perjamuan makan, dimana aku telah diloloh sehingga mabuk. Tahu-tahu ketika
aku tersadar dari mabukku, aku telah diborgol dan berada disebuah kamar tahanan !

Aku lalu memperotes atas penangkapan itu, karena aku sendiri tidak mengetahui apa
kesalahanku, sehingga mesti diborgol sebagai seorang persakitan. Tetapi protesku itu tidak
dihiraukannya.

Kemudian aku lalu digiring oleh sekawanan orang-orang militer, yang katanya akan bawa
aku kekota-raja buat memeriksa perkaraku terlebih jauh.

Sesampainya diluar halaman kamar tahanan, barulah ada seorang sahabatku yang telah
memberitahukan kepadaku bahwa aku akan dibinasakan oleh Poo Tin Peng dengan
meminjam tangan orang-orang militer tersebut !

Tetapi aku hadapi nasib buruk itu dengan tenang dan tanpa mengeluh, karena aku telah
yakin bahwa bintang kawanan dorna-dorna itu sedang terangnya, sedang semua orangpun
seolah-olah membenarkan atas sepak terjang mereka yang amat tidak patut itu.

Demikianlah duduknya perkara yang benar, sehingga akhirnya Thian menurunkan kau
sebagai bintang penolongku.

Maka setelah kau ketahui sebab musabab mengapa aku telah ditawan, sekarang adalah
giliranku akan menanyakan she dan namamu, agar supaya nama itu bisa terukir buat
selama-lamania didalam hati sanubariku !"

Sementara Lie Poan Thian yang mendengar penuturan yang sangat menjengkelkan itu,
dengan roman yang gusar lalu berseru: “Ah, sungguh terkutuk benar si-jahanam Poo Tin
Peng itu ! Jikalau manusia yang seperti ini dibiarkan hidup di dunia, niscaya dunia yang
sudah rusak ini akan jadi semakin bejat, semakin kotor! Marilah kita basmi padanya
bersama-sama!"

Cin Kong Houw yang mendengar anjuran dan kesanggupan pemuda kita, dengan tidak
terasa lagi segera jatuhkan dirinya berlutut di tanah sambil berkata :

“Saudara, setelah kau menghidupkan jiwaku, sekarang kembali kau hendak mengorbankan
jiwamu buat aku, hingga aku Cin Kong Houw biarpun mati dan kemudian hidup kembali,
niscaya tak akan mempu membalas budi kebaikanmu yang teramat besar itu !"

Tetapi Poan Thian lekas banguni padanya sambil menghibur dan berkata : “Cin Lauw-hia,
janganlah kau berlaku sungkan dan menyebut-nyebut perihal pembalasan budi. Aku Lie
Poan Thian bukan seorang yang kepingin dipuji-puji sebagai seorang gagah yang budiman,
juga bukan kepingin termasyhur oleh karenanya. Aku menolong sekadar apa yang aku bisa.
Oleh sebab itu, aku mohon supaya selanjutnya kau jangan menyebut-nyebut pula urusan

85
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

itu, yang cuma-cuma akan membikin aku jadi jengah saja."

Begitulah dengan Cin Kong Houw berlaku sebagai petunjuk jalannya, Lie Poan Thian lalu
menuju ke Khay-hong buat membantu kawan baru itu akan melaksanakan balas dendamnya
terhadap Poo Tin Peng yang keji itu.

Kira-kira pada waktu hampir senja, mereka berhenti disebuah kedai kecil untuk
menghilangkan dahaga dan mengisi perut.

Selama mereka bermakan minum, Poan Thian menanyakan banyak sekali keterangan-
keterangan mengenai tempat tinggalnya Poo Tin Peng, bagaimana bentuk rumah yang
didiaminya, dia di Khay-hong tinggal di jalan apa namanya, dan yang paling terutama
bagaimanakah romannya si-jahanam itu, yang satu-persatu lalu dijawab oleh Cin Kong
Houw dengan secara teliti.

Sehabis dahar kenyang dan membayar harganya minuman dan makan yang mereka telah
pesan tadi, kedua orang itu lalu melanjutkan pula perjalanan mereka, dengan mengambil
jalanan yang lebih sunyi dan lebih jauh, berhubung dikuatirkan Kong Houw nanti
berpapasan dengan orang-orang yang dikenal baik, sehingga ini menerbitkan hal-hal yang
tidak diinginkan dan dapat menggagalkan rencana mereka untuk membikin pembalasan.

Dalam perjalanan itu, mereka telah menginap disebuah rumah makan kecil yang juga
menyewakan kamar untuk orang-orang perjalanan yang melewat disitu dan justru
kemalaman dalam perjalanan.

Dengan beristirahat semalaman dalam rumah makan kecil itu, maka Poan Thian dan Kong
Houw dapat pulih kesegaran badan masing-masing dihari esoknya.

Maka sehabis sarapan pagi dan membayar semua ongkos-ongkos mereka makan dan
menginap, kedua orang itupun lalu melanjutkan pula perjalanan mereka ke Khay-hong
dengan menurut cara seperti apa yang telah mereka lakukan dihari kemarin, yaitu jalanan
yang sunyi tetapi lebih aman daripada kalau berjalan di jalan raya yang ramai.

Oleh sebab itu juga, mereka baru sampai diluar kota Khay-hong tatkala matahari menyelam
kebarat, tetapi mereka tidak lantas masuk kota, karena disitu Kong Houw mempunyai
banyak kenalan, yang sewaktu-waktu bisa berpapasan dengan kaki tangan Poo Tin Peng
yang sedang “dimauinya" itu. Maka atas anjuran Kong Houw, Poan Thian lalu menumpang
menginap disebuah rumah makan merek Hok Goan, yang juga menyewakan kamar buat
para tetamu yang tidak suka menginap didalam kota, terutama bagi mereka yang tidak suka
dengan tempat yang terlalu ramai dan berisik.

Disitu Kong Houw dan Poan Thian lalu berembuk, cara bagaimana mereka akan beraksi
pada malam hari itu.

“Menurut pendapatanku !" Kong Houw menganjurkan, “paling betul sore-sore kita masuk
tidur. Nanti hampir tengah malam, kalau keadaan sudah agak sunyi, barulah kita keluar
dengan diam-diam dan menuju dengan langsung ke rumahnya jahanam Poo Tin Peng itu.
Tetapi belum tahu pikiran saudara bagaimana ?"

“Ya, ya, itu benar. Aku mupakat," sahut Lie Poan Thian.

“Apakah kau mempunyai golok atau barang-barang tajam lain ?" bertanya Cin Kong Houw.

“Ada," sahut pemuda kita, “malah kalau kau merasa perlu, aku disini ada sedia pelbagai
macam senjata rahasia, yang kau boleh pilih sendiri yang mana kau rasa perlu pakai."

86
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Cin Kong Houw jadi sangat girang dan lalu minta 10 buah piauw, jikalau Poan Thian
mempunyai senjata itu.

Poan Thian mengabulkan. Lalu ia berikan senjata yang diminta itu.

“Golok yang aku rampas dari tangan orang militer itu," kata Kong Houw pula, “ada
kemungkinan telah disediakan buat membunuh diriku. Tetapi sekarang golok itu hendakku
pergunakan untuk menyembelih jahanam she Poo itu."

“Semoga niatanmu itu terkabul menurut cita-citamu," kata Lie Poan Thian, bagaikan
seorang yang memberkahkan kawan itu.

Kong Houw tersenyum, walaupun dalam senyuman itu lebih banyak mengandung kegetiran,
daripada kegirangan yang maksud pekerjaannya ditunjang oleh tenaga seorang kawan yang
boleh diandalkan.

Begitulah sehabis dahar sore dan beres mengatur rencana yang akan dilakukan pada malam
itu, Poan Thian dan Kong Houw lalu pergi masuk tidur.

Kira-kira hampir tengah malam, Poan Thian tersadar dari tidurnya. Keadaan disana-sini
gelap-gulita, karena didalam kamar itu memang tidak dipasangi lampu. Lalu ia banguni Kong
Houw dengan suara bisik-bisik, tetapi sang kawan itu rupa-rupanya keenakan tidur hingga ia
tidak mendengar suara bisikannya.

Orang sedalam rumah penginapan itu sudah pada tidur dengan nyenyak, hingga dalam
kesunyian hanja terdengar saja suara kutu-kutu kecil yang berbunyi saling sahutan disana-
sini.

Dalam pada itu Poan Thian yang kuatir tempo “beraksi" mereka akan jadi terlambat oleh
karena kelalaian ini, maka sambil menguap dan mengucek-ucek mata ia lantas berbisik
dengan suara yang terlebih keras, katanya: “Cin Lao-hia! Cin Lao-hia !"

Tetapi meski bisikan itu diulangkan sampai beberapa kali juga, Kong Houw tetap tidak
menjawab, hingga Poan Thian yang mulai jadi tidak sabar dengan sikapnya sang kawan itu,
buru-buru turun dari ranjang dan menghampiri pada Cin Kong Houw yang tidur diranjang
lain yang dipasang berhadapan dengan ranjangnya sendiri.

Lalu ia singkap kelambu ranjang itu sambil berbisik: “Cin Lao-hia, lekas bangun! Malam ini
kita harus bekerja dengan cepat !”

Tetapi alangkah terperanjatnya pemuda kita, tatkala ia melongok keatas ranjang itu dan
mendapatkan Kong Houw telah berlalu entah sedari kapan!

“Celaka !" pikirnya dengan perasaan kuatir. “Jikalau ia berlaku kurang hati-hati sedikit saja,
niscaya ia akan dikepung dan ditawan kembali oleh pihak musuh-musuhnya! Aku mesti
menyusul padanya selekas mungkin !"

Begitulah dengan tidak membuang tempo lagi, Poan Thian segera berpakaian untuk berjalan
diwaktu malam, membekal golok dan senjata-senjata lain yang dibutuhkannya, kemudian ia
tolak daun jendela yang ternyata tidak terkunci, berhubung Kong Houw telah keluar dari situ
selagi ia masih tidur tadi.

Dari itu ia melompat keluar dan rapatkan pula daun jendela itu dari sebelah luar.

Syukur juga Poan Thian telah menanyakan cukup jelas dari dimuka, cara bagaimana Kong
Houw hendak melakukan “penyerangan" itu dan kemana mereka harus menuju, hingga

87
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Poan Thian yang memang sering mengunjungi kota Khay-hong dan kenal baik seluk-
beluknya keadaan dalam kota itu, dengan mudah saja telah bisa masuk kota dengan jalan
melompati bagian pagar tembok yang tidak diawasi terlalu keras oleh serdadu-serdadu
penjaga kota disitu.

Dari sana, dengan jalan bersembunyi apabila kebetulan berpapasan dengan serdadu-
serdadu atau orang-orang yang masih berkeliaran kota yang sudah mulai sunyi itu, Poan
Thian menuju ke-rumahnya Poo Tin Peng dengan menuruti petunjuk-petunjuk yang ia telah
dapatkan dari Cin Kong Houw dihari kemarin.

Tetapi tidak kira pada sebelum sampai ketempat yang dituju, di tengah jalan ia menampak
seorang yang berpakaian untuk berjalan diwaktu malam berkelebat melompati pagar
tembok disebelah atasan kepalanya, hingga Poan Thian yang justru berjalan dibawahnya
dengan tindakan yang hampir tak bersuara, jadi terperanjat dan lekas bersembunyi disuatu
peloksok yang agak gelap, berhubung ia telah mengenali bahwa orang itu bukanlah
kawannya sendiri!

Menurut penuturan Cin Kong Houw, di rumah Poo Tin Peng terdapat beberapa orang
kauwsu yang dipekerjakan oleh si-jahanam itu sebagai pengawal-pengawal.

“Apakah ia ini bukan salah seorang antara kauwsu-kauwsu yang dikatakan Kong Houw itu?"
Poan Thian berpikir didalam hatinya.

Selagi berpikir demikian mendadak orang yang melompati pagar tembok itu telah turun
kebawah, sehingga sekarang ia jadi berhadapan dengan Poan Thian yang berada kira-kira
100 tindak jauhnya dari tempat mana ia berdiri !

Poan Thian lekas cabut golok dari pinggangnya.

“Kau jangan maju terus !" kata orang itu.

Pemuda kita jadi kemekmek, kemudian ia mengeluarkan suara teriakan girang : “Hoa
Suheng, cara bagaimanakah kau bisa berada disini ?"

“Sst, jangan bikin ribut !" kata orang itu, yang ternyata bukan lain daripada Hoa In Liong
adanya !

Poan Thian lekas memburu dan merangkul padanya dengan mengucurkan air mata
kegirangan.

“Suheng," katanya, “cara bagaimanakah kau bisa berada disini ?"

“Marilah kau ikut aku ketempat lain yang aman," kata Hoa In Liong, yang lalu pimpin tangan
Poan Thian buat diajak bersembunyi ketempat lain yang lebih sentosa.

“Disana ada seorang kawanku yang sedang “menyerbu" ke rumah Poo Tin Peng," berbisik
pemuda kita.

Hoa In Liong menganggukkan kepalanya.

“Ya, itu aku tahu," sahutnya, “tetapi sekarang ia berhasil dapat membinasakan manusia keji
itu serta meloloskan diri dari dalam pengepungan pihak musuhnya."

Lie Poan Thian jadi girang tercampur heran mendengar keterangan begitu.

Yang pertama-tama ia jadi girang karena maksudnya Cin Kong Houw telah berhasil,

88
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

sedangkan yang keduanya, adalah ia heran cara bagaimana In Liong bisa ketahui adanya
peristiwa ini ?

In Liong tertawa dan lalu menerangkan duduknya hal yang benar pada adik seperguruannya
itu.

Demikianlah singkatnya penuturan Hoa In Liong itu :

Sebagaimana dibagian muka pernah disebutkan, Hoa In Liong ini adalah murid Kak Seng
Siang-jin dari kelenteng Liong-tam-sie, yang bertugas keliaran dikalangan Kang-ouw untuk
bantu memperbaiki keadaan masyarakat yang diperbudak oleh bangsa Boanciu yang
menguasai seluruh Tiongkok dibawah telapak kaki besinya pada masa itu.

Pada waktu yang pertama-tama ia berjumpa dengan Poan Thian semenjak pemuda itu lulus
dari perguruan silat di Liong-tam-sie, adalah ketika Poan Thian hendak mengadu ilmu
kepandaian silat dengan Sin-kun Bu-tek Louw Cu Leng dikelenteng Tay-seng tian. Tetapi
karena kepingin menyaksikan sampai dimana keberanian dan kepandaian pemuda itu, maka
In Liong telah sengaja tak mau mengunjukkan diri pada saudara seperguruannya itu.

Kebetulan pada waktu itu Louw Cu Leng diiringi oleh Houw-jiauw Co, maka hatinya In Liong
jadi bercekat dan kuatir kalau-kalau Poan Thian nanti dikerubuti oleh kedua orang itu. Oleh
sebab itu, dengan secara diam-diam In Liong telah mencurahkan perhatiannya pada ahli
silat she Co tersebut. Ketambahan karena mendapat keterangan bahwa jago silat itu pandai
mempergunakan pelbagai senjata rahasia, sudah tentu saja ia menjadi semakin teliti dalam
hal memperhatikan gerak-gerik orang. Karena jikalau nanti Louw Cu Leng kena dikalahkan
oleh adik seperguruannya itu, ia pikir bukan mustahil akan ahli silat she Co itu turun tangan
juga untuk membela nama baik kawannya.

Itulah sebabnya mengapa In Liong merasa lebih perlu tinggal sembunyi dan berlaku
waspada, daripada mengunjukkan diri yang bisa membikin keadaan jadi semakin tegang.
Lebih-lebih jikalau dipihak lawan mereka sampai kejadian terbit sangkaan yang tidak baik
dan paham atas kedatangannya yang terjadi diluar dugaan itu.

Tetapi ternyata pertempuran itu telah berlangsung dengan beres dan jujur, hingga In Liong
jadi girang dan lalu menyerukan supaya Poan Thian suka mempertahankan nama baiknya
guru dan rumah perguruan silat mereka di Liong-tam-sie. Kemudian ia lekas menyingkir dari
muka kelenteng Tay-seng-tian ketika melihat gelagat Poan Thian dan Cu Leng hendak
mencarinya diantara orang banyak yang berkerumunan disitu.

Itulah sebabnya mengapa tak dapat ia diketemukan oleh Lie Poan Thian.

Pada kedua kalinya ia bertemu dengan suteenya itu ialah pada malam itu, dimana Kong
Houw masuk kota Khay-hong dengan meninggalkan Poan Thian sendirian di rumah-makan
Hok Goan.

Tatkala itu In Liong yang memang telah beberapa hari yang lalu mendapat kabar tentang
perbuatannya Poo Tin Peng yang amat keji itu, iapun telah jadi sangat gusar dan berniat
malam itu juga akan membinasakan jiwanya manusia busuk itu.

Di tengah jalan ia berpapasan dengan Cin Kong Houw. Mula-mula ia berniat akan
bersembunyi, tetapi Kong Houw keburu melihat dia dan lantas mengejar.

Kong Houw menyangka kalau-kalau In Liong itu adalah kaki-tangan jahanam she Poo itu,
seperti juga In Liong yang telah menyangka demikian kepada orang yang pertama dise-
butkan itu.

89
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Mereka lalu saling tanya-menanya dengan cepat, dan tatkala mengetahui bahwa tujuan
mereka itu bersamaan, yaitu akan membinasakan jiwanya Poo Tin Peng, In Liong lalu
mengalah dan memberikan jaminan akan melindungi padanya dengan secara diam-diam.

Kong Houw jadi sangat berterima kasih dan mengharap akan dapat membalas budi
kebaikan sang sahabat yang tidak dikenal itu, tetapi Kong Houw tidak pernah menyebutkan
tentang adanya lain kawan pula yang bersedia akan memberikan pertolongan kepadanya
dimana perlu, dan orang itu bukan lain daripada Lie Poan Thian adanya.

Maka setelah Poan Thian saling berjanji akan bertemu dan mengobrol terlebih panjang
dihari esok di rumah-makan Hok Goan, mendadak mereka telah dibikin kaget dengan suara
orang yang berteriak: “Tangkap, tangkap si-pembunuh ! Dia tentu belum lari terlalu jauh !"

“Celaka!" kata Hoa In Liong. “Rupanya kawanmu itu telah dikepung orang! Ayoh, pergilah
kau lekas menolong kepadanya. Aku disini nanti menghambat orang-orang yang akan
mengeroyok kesana."

Poan Thian menurut. Kemudian dengan mempergunakan siasat Yan-cu-cwan-liam ia


berlompat melalui sebuah pagar tembok yang tinggi, dari mana ia dapat menyaksikan
bagaimana Kong Houw sedang dikepung oleh beberapa orang kauwsunya Poo Tin Peng
yang diiringi oleh beberapa orang murid-muridnya yang membawa obor.

Poan Thian yang merasa kuatir Kong Houw akan dilukai oleh seorang kauwsu yang
bersenjata sepasang golok dan gerak-gerakannya jauh lebih gesit daripada kawan-kawan
yang lainnya, lalu menggunakan pelanting buat melepaskan peluru-peluru Lian-cu-tan yang
segera dijujukan pada musuh itu.

Ser! Ser! Ser!

Sebutir dua butir peluru telah dapat dihindarkan oleh si-kauwsu, tetapi sebutir peluru yang
telah dilepaskan paling belakang telah membikin ia berjengit, berteriak karena kesakitan dan
terus jatuh terlentang di tanah dengan kepala boboran darah.

Sementara Kong Houw yang melihat sudah tak terdapat rintangan pula untuk melarikan diri,
buru-buru ia berlompat keluar dari kalangan pertempuran dan terus melayang keatas pagar
tembok.

Tetapi tidak kira ketika kakinya baru saja menginjak bagian atasnya pagar tembok tersebut,
mendadak dari sebelah belakangnya terasa ada sesuatu yang menyamber kejurusannya.
Lekas-lekas ia berkelit, tetapi ternyata tidak keburu. Sebatang anak panah yang panjangnya
kira-kira satu kaki telah menancap diatas bahu kirinya!

Ia pusing dan hampir saja jatuh kebawah pagar tembok, kalau saja Poan Thian tidak keburu
jambret padanya buat diajak lari keluar dari tempat berbahaya itu.

Dalam perjalanan kembali ke rumah penginapan, Kong Houw hendak mencabut anak panah
yang menancap dibahunya itu, tetapi Poan Thian lalu mencegah sambil berkata: “Jangan !
Biarkan saja aku nanti obati setelah sampai di-kamar kita !"

Kong Houw menurut.

Begitulah ketika mereka kembali dengan tiada diketahui oleh barang satu manusiapun, Poan
Thian lalu cabut anak panah itu dari bahunya Kong Houw, cuci lukanya, pakaikan obat untuk
menghentikan darah dan menghilangkan rasa sakit, kemudian ia minta sang kawan
berbaring diatas ranjang untuk beristirahat.

90
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Tidak antara lama sang fajar telah mulai menyingsing, hingga Poan Thian tak mendapat
kesempatan pula untuk tidur.

Tetapi Cin Kong Houw yang merasa sangat lelah karena pertempuran semalam, bukan saja
telah tidur dengan nyenyak sekali, malah tak pernah ia mengimpikan bahwa suatu bahaya
besar tengah mengancam pada dirinya sendiri.

Maka Poan Thian yang tak mau membikin kaget kawannya yang sedang tidur itu, lalu
mengasih tahu pada jongos, agar supaya dia jangan membanguni kepadanya, berhubung
kawan itu sedang sakit, katanya.

Kemudian ia minta disediakan makanan untuk satu orang.

Sesudah selesai dahar, ia lantas pergi membeli obat. Karena selain lukanya Kong Houw
perlu diobati dengan memakai obat tidur, iapun perlu juga diberikan lain macam obat
minum.

Tetapi tidak kira, sekembalinya dari pasar, ia telah berpapasan dengan seorang yang
bertubuh tinggi besar dan beroman keren, yang entah sedari kapan tampak duduk
dihalaman pertengahan dengan sikap yang menandakan kurang senang.

Orang itu kurang-lebih berusia 30 tahun; ia mengenakan baju pendek warna hitam dan
bersepatu zool tipis serta menyoren sebilah golok dipinggangnya.

Oleh karena melihat sikap orang yang agak aneh itu, maka hatinya Poan Thian jadi bercekat
dan menduga, kalau-kalau ada hal sesuatu yang tidak diingini terjadi di rumah makan itu.
Tetapi dilahir ia berpura-pura mengunjuk sikap yang tenang dan terus saja berjalan menuju
kekamarnya Cin Kong Houw.

“Hei sahabat, tahan dulu !" teriak satu suara yang nyaring dari sebelah belakang pemuda
kita.

“Belum tahu tuan ada urusan apa memanggil aku ?" tanya Lie Poan Thian.

Orang tinggi-besar itu lalu menghampiri padanya dengan sikap yang sombong dan
menantang.

“Kemanakah kau mau pergi ?" tanyanya dengan suara ketus.

Poan Thian jadi mendongkol dan lalu menjawab dengan secara ketus pula !

“Kemana aku hendak pergi, itulah ada urusanku sendiri ! Ada apa sih untungnya kau
menanyakan begitu ?"

“Kurang ajar !" membentak orang itu, sambil berniat akan menempiling pada si-pemuda.

Tetapi Poan Thian segera miringkan sedikit kepalanya, hingga tempilingan itu telah luput.

“Apakah kau hendak melawan aku ?" teriak orang itu dengan hati sangat penasaran.

Kemudian dengan tidak mengatakan “ba" atau “bu" ia lantas menjotos muka Lie Poan
Thian, siapa setelah berkelit dan kasih liwat tinju itu diatas bahunya, lalu putarkan tubuhnya
sambil menggunakan siasat Yu-ceng pwe-pauw, kedua tangannya dipergunakan untuk
mencekal tinju orang itu yang melalui diatas bahunya, hingga dengan begitu punggungnya
pun jadi mendekati pada dada orang tersebut, kemudian dengan kecepatan bagaikan kilat,
ia tarik tangan itu sambil membentak : “Pergi !"

91
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Dan berbareng dengan terputusnya bentakan itu, Poan Thian telah melemparkan orang
tinggi besar itu bagaikan orang yang melemparkan bola ketanah lapang, hingga orang itu
yang telah jatuh keatas jubin dengan kepala mendahului kaki, sudah tentu saja lantas jatuh
pingsan dan ditinggalkan oleh Poan Thian yang menuju kekamarnya Kong Houw dengan
tindakan yang tergopoh-gopoh.

Tatkala sampai kedepan pintu kamar, Poan Thian mendengar suara berkerincingnya rantai
yang dibarengi dengan suaranya orang yang menyomel sambil mengancam : “Kau dan aku
sebenarnya sahabat-sahabat baik yang telah sekian lamanya bekerja dibawah satu majikan.
Tetapi kalau sekarang aku telah memperlakukan kau begini rupa, itulah sama sekali bukan
karena aku melupakan pada persahabatan kita, hanyalah karena kau telah melakukan
pembunuhan terhadap pada Poo Tin Peng dan sekalian keluarganya, dari itu aku terpaksa
mengambil tindakan buat menangkap kau sebagai seorang pembunuh! Sebagai seorang
sahabat, aku boleh memaafkan itu, tetapi sebagai seorang hamba negeri, aku harus berlaku
keras dan tidak memandang bulu! Itulah sebabnya mengapa setelah sekian lamanya kita
bersahabat, barulah pada kali ini aku merasa perlu mengambil tindakan tegas dan keras ter-
hadap dirimu. Maka kalau kau berani berbantahan atau membikin perlawanan, golokku yang
tidak bermata ini akan memenggal kepalamu diseketika ini juga!"

Setelah itu, lalu terdengar suaranya Cin Kong Houw yang tidak kalah sengitnya dan
membentak : “Tutup bacotmu ! Di-sini tidak ada soal sahabat atau bukan sahabat! Jikalau
kau mau menangkap, segeralah kau boleh tangkap, perlu apakah mesti mendongeng
panjang lebar buat mencari kemenangan sendiri ?"

“Kurang ajar !" teriak orang itu dengan amat marahnya.

Sementara Lie Poan Thian yang kuatir Kong Houw yang terluka dianiaya oleh pihak musuh-
musuhnya, buru-buru berlompat masuk kedalam kamar dan bikin seorang militer yang
berdiri dibelakang pintu jadi terpental dan jatuh mengusruk kedepan ranjang, karena
terbentur pintu yang didorongnya dari sebelah luar oleh pemuda kita.

“Kau ini siapa ?" membentak seorang militer lain yang beroman keren dan bermisai, yang
ketika itu justeru sedang memborgol Cin Kong Houw.

Tetapi Poan Thian tinggal membelalakkan matanya dengan tak bicara barang sepatah
katapun.

Kemudian dengan pelembungi dada orang militer itu lalu membentak: “Hei, anak kecil !
Tahukah kau siapa aku ini ? Di tanah Holam tak ada dua atau tiga orang yang bergelar Sin-
kun selain aku Tang Ngo ini, kau tahu ?"

Mendengar omongan orang militer yang sombong itu, Poan Thian lalu mengeluarkan suara
jengekan dari lobang hidung dan berkata: “Perduli amat dengan segala gelaran kosong !
Aku disini tidak gentar dengan segala “tinju malaikat" atau “tinju iblis". Jikalau kau berani,
segeralah kau serang aku; jikalau kau takut, kau boleh segera pergi dari sini !"

Tang Ngo yang bersifat pemarah, sudah tentu saja jadi amat gusar. Dengan satu teriakan
keras ia lantas menyerang pada Lie Poan Thian dengan sepasang tinjunya.

Poan Thian yang melihat halaman kamar disitu agak sempit, segera menyingkir dari pada
pukulan itu sambil berlompat keluar kamar, perbuatan mana pun diikuti juga oleh Tang Ngo
yang membentak: “Kau jangan lari !"

Tatkala berada dihalaman pertengahan, barulah kedua orang itu mulai berhantam dan
menguji kepandaian masing-masing dengan tidak banyak bicara pula.

92
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Dalam pada itu Poan Thian mendapat kenyataan bahwa ilmu kepandaian Tang Ngo ini
sesungguhnya tidak boleh dipandang ringan. Karena selain gerak-geriknya amat sebat dan
sesuatu pukulannya sukar diduga, iapun mempunyai beberapa macam ilmu pukulan yang
Poan Thian belum pernah lihat dipergunakan orang lain daripada Sin-kun Bu-tek Louw Cu
Leng di kota tumpah darahnya.

Maka sambil bertempur dengan orang militer itu, pemuda kita jadi berpikir didalam hatinya:
“Apakah orang ini ada salah seorang muridnya Louw Cu Leng Lo-suhu di Cee-lam, yang juga
pernah mempunyai murid orang militer Teng Yong Kwie itu ?"

Tetapi Poan Thian tak sempat berpikir atau menduga-duga lebih jauh pula, karena Tang
Ngo yang melihat pemuda kita berlaku sedikit lambat dalam penyerangan atau
penangkisannya, bukan saja telah menyangka bahwa Poan Thian tidak tahan lama dalam
pertempuran itu, malah hatinyapun diam-diam jadi girang dan lalu menyerang dengan cara
yang terlebih gencar, sambil mengajukan ilmu-ilmu pukulan yang ia percaya Poan Thian tak
akan mampu jaga.

Tetapi tidak kira, ketika sedang enaknya ia merangsek, mendadak Poan Thian telah
merubah siasat perlawanannya dan terus menerjang pada Tang Ngo dengan menggunakan
ilmu tendangan yang bernama Siang-Hui-Lian-Hwan-Tui.

Tendengan ini sifatnya bersamaan dengan ilmu tendangan yang bernama Tan-hui-tui, tetapi
dipergunakannya agak berlainan sedikit.

Kalau dengan mempergunakan ilmu yang tersebut belakangan orang hanya


mempergunakan sebelah kaki saja, adalah dengan ilmu tendangan yang tersebut
belakangan itu orang menendang dengan berturut-turut, baik dengan kaki kanan maupun
dengan kaki kiri, hingga jikalau orang berlaku lengah sedikit saja, sudah pasti dirinya bakal
menjadi celaka oleh tendangan yang sedemikian hebatnya itu.

Sin-kun Tang Ngo terkejut bukan main ketika melihat serangan lawan yang sangat
berbahaya dan lagi pula sangat gencar itu, maka buru-buru ia melompat kesamping buat
menghindari serangan-serangan itu, kemudian ia menjotos pilingan orang she Lie itu
dengan siasat “Menuang arak kedalam cawan", yang tergolong sebagai salah satu macam
ilmu pukulan yang berbahaya dari golongan siasat silat Ngo-houw-kun.

Pilingan itu adalah sebagian yang berbahaya dari bagian kepala, maka orang yang kena
dijotos pada bagian anggotanya itu, pasti bisa menjadi mati, atau sedikit-sedikitnya bakal
menderita luka berat.

Tetapi Lie Poan Thian tidak menjadi gugup barang sedikitpun menghadapi serangan musuh
itu.

Pukulan itu segera disampoknya kesamping, sambil berbareng mengirim satu tendangan
yang hebat sekali kejurusan dada musuh yang telah menjadi terbuka dan tiada terlindung
itu.

Oleh sebab ini, sudah barang tentu Tang Ngo jadi kaget sekali, maka buru-buru ia
berlompat mundur beberapa tindak jauhnya, setelah itu barulah selanjutnya ia melayani
musuhnya berkelahi dengan hati-hati sekali, agar supaya tidak sampai kejadian ia
dijatuhkan lawannya itu.

Demikianlah pertempuran itu telah berlangsung dengan amat serunya, tetapi belum
diketahui pihak mana yang lebih tinggi atau rendah ilmu kepandaiannya.

93
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Oleh karena Tang Ngo adalah seorang militer, maka Lie Poan Thian agak khawatir, kalau-
kalau lawannya itu akan memperoleh lebih banyak bantuan dari kawan-kawannya,
sedangkan ia hanya bersendirian saja, maka tak mau ia membiarkan pertempuran itu
berjalan terus dengan begitu saja.

Dari itu ia segera mengubah caranya bersilat, sambil mengeluarkan bentakan keras untuk
mengejutkan hati lawannya, tangan kirinya diayunkan kehadapan mata lawannya, tetapi
tangan kanannya lalu mencakar muka lawannya dengan siasat “Naga emas
mempersembahkan semangka".

Dengan siasat ini, benar saja Tang Ngo terkesiap hatinya, menampak serangan didepan
mukanya itu, dan tatkala ia menangkis serangan tersebut dengan membentangkan kedua
tangannya kekiri-kanan buat menyampok, Lie Poan Thian dengan secepat kilat telah
menendang dada lawannya dengan siasat “Siauw-pouw-lian-hwan-tui", yang menjadi salah
satu macam ilmu tendangan yang sangat lihay dari perguruan ilmu silat cabang Liong-tam-
sie.

Oleh karena Tang Ngo sedang sibuk menjaga serangan dari atas, maka tak keburu ia
mengelakkan serangan Poan Thian dari sebelah bawah.

Hampir dalam saat itu, segera terdengar suara-suara dan jeritan yang mengerikan.

Duk ! “Aduh !" Gedebuk !

Ternyata dada Tang Ngo telah kena ditendang dengan telak sekali oleh Lie Poan Thian,
hingga tidak ampun lagi orang she Tang itu jadi terpental kebelakang dan jatuh terlentang
di tanah bagaikan seekor ayam yang kelabakan karena disembelih dan hampir putus
nyawanya.

Oleh karena dada itu adalah tempat berkumpulnya paru-paru dan hati, yang merupakan
bagian yang sangat penting dalam tubuh manusia, maka orang yang anggota badannya
kena dilukakan dibagian itu, banyakan menjadi celaka daripada selamat.

Maka setelah berkali-kali memuntahkan darah segar, Tang Ngo terus jatuh roboh dengan
tidak sadar lagi akan dirinya.

Sementara kawan-kawannya yang turut datang bersama-sama ketempat itu, ketika melihat
gelagat tidak baik, sudah lantas memanjangkan langkahnya buat melarikan diri, dengan
meninggalkan kawan-kawan mereka yang menderita luka-luka berat itu.

Lie Poan Thian mengetahui bahwa tempat itu tidak baik buat didiami terlebih lama pula.

Syukur juga lukanya Cin Kong Houw pun telah mulai menjadi baikan, maka tidak berayal
pula ia segera pergi ke-istal buat menuntun keluar dua ekor kuda. Sesudah membereskan
barang-barang mereka serta membayar rekening hotel, kedua orang itu terus cemplak kuda
masing-masing yang lalu dilarikan dengan pesat meninggalkan tempat itu.

Sesudah mereka melarikan diri sekira 30 lie lebih jauhnya, barulah mereka berani berjalan
lebih perlahan.

Selanjutnya, untuk menghindarkan diri daripada kerewelan-kerewelan yang mungkin bakal


terjadi, jikalau nanti Bu Goan Kwie mengirimkan pasukan berkuda buat mengejar mereka,
maka Poan Thian dan Kong Houw terus mengambil jalan kecil yang sunyi dan dikedua
tepinya banyak ditumbuhi semak-semak dan pohon-pohon yang lebat.

Sesudah berjalan beberapa lie jauhnya, mereka sudah hampir tak menemui pula
94
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

perkampungan, sedangkan orang yang lalu-lintas di jalan itupun tidak dijumpai mereka
barang seorangpun.

Kemudian karena keadaan jalanan itu semakin lama semakin menanjak dan berkelok-kelok,
maka Poan Thian jadi takut menyasar dan segera menanyakan kepada Cin Kong Houw,
apakah mereka tidak mengambil jalan yang keliru ?

“Disekitar daerah ini, aku ketahui semua dengan baik sekali. Disini kita sedang mendaki
bukit jie-liong-nia, sesudah melewati bukit ini, kita akan ketemukan pula sebuah bukit lain
yang dinamakan Hek-gu-nia, dan selanjutnja adalah bukit Tay-hun-nia. Sesudah kita
berjalan pula kira-kira 85 lie jauhnya, kita akan tiba diresidensi Eeng-ciu, kemudian mulai
masuk kedaerah Kang-souw utara."

Mendengar keterangan begitu, sudah tentu saja Poan Thian jadi merasa agak kecewa,
karena tempat tujuannya yang sebenarnya adalah Tiong-ciu, hingga sekarang ia jadi
berbalik menjauhkan diri dari tempat yang ditujunya itu.

Lalu ia memberitahukan maksud hatinya kepada orang she Cin itu.

“Letak Tiong-ciu dan Khay-hong tidak berjauhan," menerangkan Kong Houw, “dan kedua-
duanya daerah itu berada dalam kekuasaan Bu Goan Kwie. Apabila Lauw-hia belum pernah
campur tangan dalam urusanku, sudah tentu saja engkau boleh pergi ke-tempat-tempat itu
dengan sekehendak hatimu. Tetapi sekarang karena Lauw-hia sudah pernah menerbitkan
keonaran di daerah kekuasaannya, maka aku percaya, apabila orang she Bu itu mengetahui
kedatangan Lauw-hia kesana, tentulah dia akan berdaya-upaya buat mencelakakan kepada
dirimu. Apabila dia berani mengganggu Lauw-hia dengan secara berterang, Lauw-hia tentu
masih bisa menghindarkan diri, tetapi apabila dia mempergunakan tipu-muslihat busuk
dengan secara menggelap, sudah tentu sukar sekali buat Lauw-hia bisa menjaganya. Maka
daripada mengantarkan diri ketempat yang berbahaya itu, kukira lebih baik Lauw-hia turut
aku bersama-sama pergi ke Kang-lam, untuk pesiar dan menghilangkan sedikit rasa jengkel
kita dengan jalan memandang keindahan alam disana yang terkenal permai."

Pemuda kita jadi merasa tertarik juga dengan omongan Cin Kong Houw itu, yang kemudian
menceritakan berbagai macam keindahan alam di daerah Kang-lam, sehingga dengan begitu
ia menurut juga buat bersama-sama pergi kesana.

Begitulah setelah berjalan beberapa lamanya, akhirnya tibalah mereka di kota Kim-leng.

Sesudah puas pesiar di ibukota kuno itu, mereka terus berangkat lagi keselatan dan menuju
ke kota Hang-ciu, yang termasyhur sebagai salah sebuah “Sorga dalam Dunia" disamping
kota Souw-ciu yang menjadi timpalannya.

Kota Hang-ciu ini adalah ibu propinsi Ciat-kang, yang mempunyai pemandangan alam
sangat indah dan termasyhur didalam dunia, terutama telaga See-ouw-nya, yang tak asing
lagi dan sering disebut-sebut dalam sajak-sajak para penyair kenamaan dijaman dahulu dan
sekarang.

Cin Kong Houw ini ternyata sudah paham sekali dengan keadaan tempat-tempat disitu,
maka dengan tiada menanyakan pula kepada orang lain, ia sudah bisa mengajak Lie Poan
Thian mengunjungi keperbagai tempat yang indah-indah pemandangan alamnya, serta
tempat-tempat termasyhur peninggalan dari jaman kuno yang sering dikunjungi dan dipuji
orang sedunia.

Setelah puas berputer-kayun disekeliling tempat-tempat itu, akhirnya mereka merasa haus
dan lapar, hingga mereka lalu mampir kesebuah kedai arak yang terletak dipantai telaga

95
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

See-ouw, dari mana sambil duduk-duduk dan berminum arak orang dapat menikmati
pemandangan alam yang terbentang disekitar tempat itu.

Begitulah sesudah memilih tempat duduk yang terletak di dekat mulut jendela, mereka lalu
panggil seorang pelayan dan memesan arak dan makanan yang menjadi kegemaran
masing-masing.

Dalam pada itu, dilain meja didekat mereka, terdapat pula dua orang tamu lain yang sedang
duduk bercakap-cakap sambil makan minum dengan asyik sekali.

Salah seorang diantaranya mengenakan baju biru, sedangkan yang lainnya berbaju panjang
yang berwarna kuning.

Rupanya mereka inipun ada orang-orang pelancong yang telah sengaja pesiar ketelaga yang
termasyhur permai itu.

Dalam omong-omong yang dilakukan oleh kedua orang itu, Poan Thian dan Kong Houw
mendengar orang yang berjubah panjang itu berkata demikian: “Diantara pemandangan-
pemandangan alam yang termasyhur disekitar tempat ini, kelenteng kuno Leng-coan-sie
dipegunungan Houw-kiu-san pun kiranya baik juga buat dikunjungi. Karena selain
pemandangannya tak bisa dicela, juga ketua kelenteng itu yang bernama Siang Goan Taysu
bukan lain daripada salah seorang kenalanku yang baik sekali."

Tetapi orang yang berbaju biru lalu memotong pembicaraan orang itu sambil berkata:
“Kukira paling betul kita jangan pergi kesana. Karena selain terkabar Taysu sudah lama
meninggal dunia, disanapun kini terbit suatu peristiwa aneh yang telah membikin orang-
orang yang pesiar ketempat itu segan mengunjungi kelenteng tersebut. Dari itu, disamping
mengalami serangan-serangan dengan sambitan batu atau genteng dari dalam kelenteng
itu, mungkin juga rumah berhala itu sekarang telah menjadi sarang tikus atau ular."

Kemudian ia menunda sebentar pembicaraannya, karena mengirup arak yang disajikan di


hadapannya.

“Tempo hari," ia melanjutkan, “ada beberapa orang yang iseng-iseng mengunjungi


kelenteng itu. Tetapi sungguh tidak dinyana, selagi mereka asyik memandang keindahan
alam disekitar situ, tiba-tiba mereka telah diserang entah oleh siapa yang telah
menggunakan batu-batu dan pecahan-pecahan genteng yang dibuat menyambiti orang,
hingga dua orang diantara mereka telah menderita luka-luka yang agak berat juga. Oleh
karena itu, semenjak hari itu dan selanjutnya, tidak pernah lagi ada orang yang berani
datang mengunjungi pula kelenteng tersebut, itulah sebabnya mengapa aku tidak suka
pujikan kau akan mengunjungi kelenteng Leng-coan-sie itu."

Hal mana, sudah tentu saja telah membikin si-baju kuning jadi heran dan lantas bertanya :
“Sebenarnya ada perkara aneh apa sih yang terjadi didalam kelenteng itu ?"

“Menurut cerita orang-orang yang mengetahui," demikianlah si-baju biru memulai bercerita
pula, “kabarnya didalam kelenteng itu orang sering menjumpai setan yang selalu muncul
diwaktu tiap-tiap tengah malam. Setan itu sekujur badannya berwarna putih, bisa
berlompat2 dengan cepat sekali dan sering dijumpai orang menangis tersedu-sedu sambil
menghadapi rembulan, hingga kejadian ini sangat menyeramkan orang dan membuat orang
takut akan mengunjungi kelenteng Leng-coan-sie tersebut.

Pada suatu hari, pernah ada seorang yang bernama Siauw Cu Ceng, seorang terpelajar yang
gemar pesiar dan tidak percaya segala urusan takhayul yang bersangkut-paut dengan setan-
setan atau malaikat-malaikat, yang diwaktu terang bulan telah berjalan-jalan kepegunungan

96
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Houw-kiu-san buat memandang rembulan dari atas bukit.

Petang hari itu sinar rembulan yang sangat terang dan menyoroti muka dunia kita ini, boleh
dikatakan hampir mirip dengan keadaan diwaktu siang hari. Keadaan disekitarnya sunyi-
senyap, sehingga siliran angin yang paling halus sekalipun dapat didengar suaranya dengan
tegas melalui daun-daun pohon yang bersuara keresekan.

Tatkala orang she Siauw itu sedang enak berjalan-jalan, ia hampir tidak merasa lagi telah
sampai dimuka kelenteng Leng-coan-sie yang terkenal angker itu. Tetapi ini semua tidak
membikin ia jadi keder atau takut. Selanjutnya karena merasa keisengan, maka ia lantas
mendekati kelenteng itu sambil melihat-lihat kebagian dalamnya dari pintu depan yang
ternyata tidak terkunci.

Selagi berbuat demikian, betul saja ia telah menyaksikan didekat ruangan besar kelenteng
itu tampak berdiri satu makhluk gaib sebesar manusia, berpakaian serba putih dan justru
sedang menengadah kelangit sambil memandang bulan purnama yang gilang-gemilang.
Kemudian ia menghela napas dengan berulang-ulang, seolah-olah ada sesuatu yang
menjadi “ganjelan" didalam hatinya.

Sementara Siauw Cu Ceng yang tinggal mengawasi dari kejauhan, mendapat kenyataan
bahwa makhluk itu berambut panjang yang terurai diatas kedua bahunya, mukanya putih
dan sepasang matanya mengeluarkan sinar yang menakuti orang.

Begitulah ketika Cu Ceng sedang terliput oleh rasa heran yang sekarang tercampur aduk
dengan rasa takut, tiba-tiba makhluk gaib itu telah mendusin, jikalau segala perbuatannya
telah diketahui orang, oleh sebab itu dengan kaget ia jadi menoleh kepada Cu Ceng, yang
dengan mendadak merasakan bulu romanya jadi pada berdiri!

Tetapi syukur juga makhluk itu tidak mengunjukkan aksi apa-apa yang bisa membahayakan
bagi diri Cu Ceng. Hanya setelah menendangkan kakinya ketanah dengan sama sekali tak
mengeluarkan suara apa-apa, makhluk itu lalu melayang keatas wuwungan kelenteng dan
terus menghilang entah kemana perginya.

Cu Ceng jadi kemekmek sehingga buat beberapa saat lamanya ia berdiri tegak bagaikan
sebuah patung. Tetapi sebegitu lekas perasaan kagetnya telah menjadi kurangan, akhirnya
timbullah rasa kepingin tahu didalam hatinya kemana selanjutnya makhluk gaib itu telah
berlalu. Jikalau Cu Ceng segera berlalu dari tempat itu, ada kemungkinan dia tak akan
mengalami kecelakaan atau kejadian-kejadian tidak enak bagi dirinya sendiri. Tetapi justru
karena ini, maka selanjutnya banyak orang yang jerih akan mengunjungi pula kelenteng
kuno itu.

Diceritakan tatkala Cu Ceng melihat makhluk itu melayang keatas wuwungan kelenteng,
buru-buru iapun masuk kedalam buat coba memperhatikan kemana dia itu pergi. Tidak kira
selagi bercelingukan kian kemari, mendadak ia telah dihujani sambitan batu dan pecahan
genteng yang telah memaksa ia melarikan diri dari dalam kelenteng tersebut dengan
mendapat luka-luka dibadan dan dengan kepala separuh bonyok !

Cu Tieng lari terbirit-birit dengan tidak memperdulikan lagi pada pakaiannya yang dalam
tempo sekejapan saja telah menjadi compang-camping karena tersangkut pohon-pohon
berduri yang banyak terdapat diantara jalanan gunung yang sunyi senyap itu. Setibanya di
rumahnya sendiri, ia telah jatuh pingsan karena letih berlari-lari tidak henti-hentinya.

Demikianlah, pada hari esoknya mulailah Cu Ceng menuturkan pengalamannya yang seram
itu kepada teman-teman dan handai-taulannya.

97
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Maka setelah kabar itu bersambung-sambung dari satu kelain mulut, orang lantas
berpendapat bahwa kelenteng yang telah lama tidak diurus itu, tidak baik akan dikunjungi
orang. Bukan saja diwaktu malam hari, bahkan diwaktu siang hari juga, selanjutnya tak ada
pula orang yang sudi datang kesitu. Sekarang ditambah pula dengan munculnya makhluk
gaib yang bersarang disitu, maka ada siapakah pula yang begitu edan buat berurusan
dengan segala setan pejajaran itu ?"

Si-baju kuning yang mendengar penuturan itu tampak mengangguk-anggukkan kepalanya


sambil sebentar-sebentar minum arak yang dituangkan oleh kawannya itu.

“Ceritaku ini belum habis sampai disitu saja," kata si-baju biru setelah membasahkan pula
tenggorokannya dengan arak.

Sambil bermakan minum dengan perlahan, Poan Thian dan Kong Houw memperhatikan
ceritanya si-baju biru itu.

“Cerita tentang adanya setan atau makhluk gaib dikelenteng Leng-coan-sie ini memang
telah tersiar kesana-sini dan diketahui oleh setiap penduduk kota Hang-ciu," si-baju biru
memulai pula ceritanya. “Tatkala itu di Hang-ciu kebetulan ada serombongan piauw-su yang
baru saja datang habis menghantarkan uang kiriman dari Gie Hin Piauw Kiok di Kwi-say.
Salah seorang diantaranya yang menjadi pemimpin dan bernama Chio Hoat Coan adalah
seorang ahli silat jempolan yang sangat terkenal tentang keberaniannya.

Ketika Chio Piauw-su mendengar kabar yang agak menggemparkan ini, ia jadi penasaran
dan menyatakan tidak percaya dengan kabar yang bukan-bukan itu. Apalagi ketika
mengunjungi kelenteng itu dan tidak dapat ketemukan apa-apa, ia jadi mendongkol dan lalu
pergi menegur pada Siauw Cu Ceng, yang dikatakannya telah menyiarkan kabar dusta untuk
membikin para penduduk kota Hang-ciu jadi gelisah.

Tetapi sudah tentu saja Cu Ceng pun tidak mau terima begitu saja tuduhan itu, hingga
selain ia telah menetapkan itu dengan suara persumpahan, iapun menyatakan kesediaannya
buat menghantarkan si-piauw-su itu buat pergi mengunjungi kelenteng itu diwaktu malam
hari. Hoat Coan terima baik tawaran itu. Begitulah dengan hanya berduaan saja dan secara
diam-diam, Cu Ceng dan si-piauw-su itu lalu mengunjungi kelenteng tersebut.

“Dimanakah biasanya setan itu terlihat?" bertanya Hoat Coan dengan perasaan tidak
percaya.

“Disana, diruangan besar," sahut Cu Ceng sambil menunjuk kedalam kelenteng itu.

“Kalau begitu," kata si-piauw-su itu pula, “biarlah aku nanti pergi sendiri buat coba buktikan
omonganmu itu."

Cu Ceng menjawab: “Baik," kemudian ia menantikan diluar untuk menyaksikan hal apa yang
akan terjadi selanjutnya.

Diceritakan ketika Hoat Coan masuk kedalam kelenteng yang gelap itu, ternyata buat
beberapa saat lamanya ia tidak melihat ada apa-apa yang menandakan bahwa disitu benar-
benar pernah ada setan yang bersarang. Tetapi buat memastikan betul atau tidaknya kata
orang diluaran, ia tidak lekas berlalu pada sebelum mendapat lihat apa-apa yang dirasanya
baik untuk dijadikan bahan laporan dari penyelidikannya nanti.

Tidak kira selagi ia menoleh kesana-sini didalam kegelapan yang membungkus keadaan
disekitarnya kelenteng itu, mendadak ia berpapasan dengan benda putih yang ia tidak lihat
dari mana datangnya! Hoat Coan biarpun hatinya terkenal tabah, tidak urung pada waktu itu

98
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

telah jadi gentar juga dan lalu berlompat mundur tanpa ia merasa lagi.

Itulah ternyata suatu makhluk gaib yang telah dikatakan oleh Cu Ceng tadi!

Maka setelah menetapkan hatinya, Hoat Coan lalu bertindak maju buat menyekal makhluk
gaib itu, tetapi makhluk tersebut lalu tendangkan kakinya keatas jubin dan terus menghilang
diantara wuwungan kelenteng yang bersusun bagaikan mercu.

Hoat Coan jadi semakin penasaran dan lalu susul makhluk itu dengan jalan mengikuti
melayang keatas wuwungan tersebut. Tetapi tidak kira, pada sebelum bisa menginjak
wuwungan itu, mendadak ia telah dihujani batu dan pecahan genteng yang telah membikin
ia terpaksa lompat turun pula keruangan besar, dengan badan mendapat luka-luka dan
kepala setengah bonyok seperti apa yang pernah dialami oleh Cu Ceng pada beberapa
waktu yang lampau itu.

Tetapi Hoat Coan ini ternyata berkepala lebih keras dan berlaku lebih nekat buat melakukan
penyelidikan lebih jauh.

“Jikalau aku belum ketahui apakah kau sesungguhnya setan atau manusia yang menyamar
jadi setan," kata si-piauw-su itu, “belumlah puas aku melakukan penyelidikan ini!"

Begitulah buat kedua kalinya ia telah mencoba buat naik keatas wuwungan kelenteng itu,
tetapi “sambutan" pada kali inipun ternyata tidak kalah “hangatnya" daripada apa yang telah
dialaminya tadi. Karena selain batu-batu yang dipergunakannya untuk menyambit jauh lebih
besar daripada tadi, bahkan genteng-genteng yang melayangpun bukan lagi dalam rupa
pecahan yang kecil-kecil saja, hanyalah genteng-genteng utuh, yang sebuah antaranya telah
mengenai dengan tepat sekali pada belakang kepala Chio Hoat Coan, hingga ini telah
membikin mata Hoat Coan berkunang-kunang, kemudian tak ampun lagi jatuh roboh dalam
keadaan pingsan.

Tatkala akhirnya ia tersadar, ia dapatkan dirinya telah berada diluar kelenteng diatas
dukungannya Siauw Cu Ceng!

Oleh sebab itu, ia sekarang baru mau percaya bahwa apa yang telah dikatakan orang she
Siauw itu sesungguhnyalah berbukti dan bukan omong kosong belaka ! Maka dengan
terjadinya peristiwa yang tersebut paling akhir itu, boleh dikatakan sudah tidak ada barang
satu manusia lagi yang sudi mengunjungi kelenteng kuno itu."

Demikianlah si-baju biru telah mengakhiri penuturannya yang luar biasa itu.

Lebih jauh oleh karena si-baju kuning pun mengetahui bahwa Siauw Cu Ceng dan Chio Hoat
Coan itu adalah orang-orang yang namanya cukup terkenal di kota Hang-ciu, maka ia
kelihatan mau percaya juga penuturan sahabatnya itu. Dari itu ia terpaksa membatalkan
maksudnya buat mengunjungi kelenteng tua Leng-coan-sie yang terletak dipegunungan
Houw-kiu-san itu.

Kemudian sesudah mereka puas bermakan minum dan membayar harganya makanan dan
minuman, kedua orang itu lalu meninggalkan kedai arak itu untuk melanjutkan perjalanan
mereka akan pesiar disekitar telaga yang terkenal itu.

Sementara Poan Thian yang memasang telinga mendengari penuturan si-baju biru tadi, lalu
menoleh pada Cin Kong Houw dengan roman yang menandakan tidak percaya dengan
segala obrolan yang dianggapnya kosong itu.

“Apakah engkau percaya apa kata orang itu tadi ?" ia bertanya pada Kong Houw.

99
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Ya, itu memang mungkin juga bisa dipercaya,” sahut Cin Kong Houw. “karena dalam dunia
yang seluas ini tentunya segala macam keanehan pun memang bisa kejadian diluar dugaan
kita. Coba saja kau pikir tentang lelakon setan-setan yang sering mengganggu manusia itu.
Jikalau perkara itu memangnya tidak ada, cara bagaimanakah orang bisa menceritakan
tentang segala keanehan-keanehan yang bersangkut-paut dengan urusan setan-setan itu ?"

Poan Thian tersenyum dengan hati yang tetap tidak percaya dengan penuturan si-baju biru
tadi.

“Aku kira iblis di Leng-coan-sie itu bukanlah iblis sungguhan," katanya, “tetapi bukan lain
daripada manusia yang menyamar sebagai iblis, buat membikin orang takut akan
mengunjungi tempat itu."

“Ya, ya, pendapatmu itupun memang bisa jadi juga masuk akal," sahut Kong Houw yang
kelihatan lebih mementingkan untuk mengisi perut daripada campur tahu dalam urusan
yang agak takhayul itu.

Begitulah ketika matahari telah menyelam kebarat, barulah mereka kembali ke rumah
penginapan.

Malam hari itu karena turun hujan gerimis dan hawa udara agak dingin, maka sore-sore
Kong Houw sudah tidur menggeros bagaikan seekor kerbau yang disembelih.

Kecuali Poan Thian sendiri yang karena tak sudah-sudahnya memikirkan lelakon setan itu,
maka sudah barang tentu tinggal gulak-gulik diatas pembaringan tak dapat lekas tidur pules.

Dalam pada itu pemuda kita kembali membayangkan lelakon kera tetiron yang lampau itu,
kemudian ia coba bandingkan lelakon itu dengan setan dikelenteng Leng-coan-sie yang
sekarang sedang di hadapinya itu.

“Tentang maksud tujuan si-kera tetiron itu, memang sudah terang ditujukan untuk maksud
jahat," pikirnya. “Tetapi apakah maksudnya iblis dari kelenteng kuno itu, yang sampai
sebegitu jauh belum pernah mencelakai jiwa manusia dan tampaknya agak kuatir akan
“sarangnya" disana dikunjungi manusia ? Apakah barangkali dikelenteng itu ada
tersembunyi sesuatu rahasia yang diorganisir oleh sekelompok manusia-sia yang tidak
bertanggung jawab terhadap pada kesusilaan atau ketertiban umum ?"

Poan Thian yang semakin memikirkan hal itu, jadi semakin penasaran dan kepingin tahu
rahasia apa yang terletak dibalik tabir lelakon iblis dikelenteng kuno itu. Oleh karena ini,
maka akhir-akhirnya ia telah mengambil keputusan buat di-malam hari itu juga mengunjungi
kelenteng tersebut, agar supaya dengan begitu ia bisa membuktikan dengan mata
kepalanya sendiri, sampai dimana kebenaran omongan orang di-luaran itu.

Begitulah setelah selesai menukar pakaian untuk berjalan diwaktu malam dan membawa
genggaman yang dirasa perlu, Poan Thian lalu menolak daun jendela dan berlompat
kelataran rumah penginapan bagaikan lakunya seekor kucing.

Kemudian dengan jalan melalui tembok pekarangan rumah penginapan itu ia keluar ke jalan
raya.

Dari situ, syukur juga karena keadaan masih sore dan banyak orang yang masih berkeliaran
di jalan raya, maka Poan Thian dapat menanyakan dengan cukup jelas dimana letaknya
kelenteng Leng-coan-sie yang hendak ditujunya itu.

Hal mana, sudah barang tentu telah membikin orang banyak jadi heran dan coba

100
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

menasehatkan agar supaya pemuda kita jangan pergi mengunjungi tempat yang berbahaya
itu.

Tetapi Poan Thian yang mendengar begitu, tinggal mengganda mesem dan berbicara
dengan secara memain bahwa ia akan pergi menangkap iblis yang telah sekian lamanya
menerbitkan ribut-ribut diantara kalangan khalayak ramai di kota itu.

Kemudian ia menuju ke gunung Houw-kiu-san itu dengan tindakan cepat. Dan tatkala
berjalan kira-kira satu jam lamanya, maka tibalah ia dimuka kelenteng yang dituju itu, yang
selain keadaannya sangat busuk karena sudah lama tidak dirawat, juga disana-sini amat
gelap dan seram sekali kelihatannya dalam pandangan mata.

Maka buat menghindarkan sesuatu kemungkinan yang tidak diinginkan, Poan Thian lalu
mendekati kelenteng itu dengan golok terhunus ditangannya.

Mula-mula ia menuju keruangan besar dari pintu depan, tetapi ternyata makhluk berpakaian
putih yang dikatakan Cu Ceng dan Chio Piauw-su itu tidak tampak bayang-bayangannya,
hingga ini telah mulai membikin ia percaya bahwa kabar-kabar yang menggemparkan itu
adalah isepan jempol belaka.

Lalu ia berjalan mondar-mandir diruangan pertengahan kelenteng yang kosong melompong


itu. Tidak ada kursi meja atau perabotan apapun juga.

Tengah ia memandang kesana-sini hendak melanjutkan penyelidikannya, mendadak dari


sebelah belakang terasa bersiurnya angin aneh yang telah membikin Poan Thian buru-buru
tundukkan kepalanya. Dan berbareng dengan itu, ia mendengar suara barang pecah
disebelah atasan kepalanya, suatu tanda bahwa sebuah genteng yang disambitkan orang ke
jurusannya telah luput dari sasarannya dan membentur dinding tembok di hadapannya.

“Kurang ajar !" pikirnya, sambil hendak berjalan terus.

Tetapi sebuah genteng lain telah menyamber pula ke jurusannya.

Buru-buru Poan Thian berkelit dengan jalan bersembunyi di-belakang sebuah tiang batu
yang terdekat, hingga sambitan itupun kembali telah mengenai tempat kosong.

Selanjutnya, oleh sebab sambitan-sambitan itu masih saja dilakukannya dengan gencar
sekali, maka pemuda kita terpaksa melanjutkan penyelidikannya dengan jalan merayap
dibawah kaki tembok. Karena jikalau sedikit saja ia berlaku lalai, ia bisa mengalami kejadian-
kejadian tidak enak seperti apa yang pernah dialami oleh Siauw Cu Ceng dan Chio Hoat
Coan pada beberapa waktu yang lampau itu.

Lama-lama dengan mengandal pada sinar rembulan yang agak guram dan mulai mengintip
kedalam rumah berhala itu dengan melalui cim-che, Poan Thian melihat ada suatu benda
putih yang berkelebat dan bersembunyi dibelakang sebuah tiang batu lain yang terpisah
kira-kira beberapa puluh tindak lebih jauhnya dari tempat mana ia berdiri. Maka Lie Poan
Thian yang sekarang telah ketemui iblis yang sedang dicari itu, tentu saja lantas mengejar
dengan golok terhunus ditangannya.

“Soal ini tentulah tidak banyak bedanya dengan lelakon kera putih tetiron yang pernah
kualami duluan itu," pikir pemuda kita didalam hatinya.

Tetapi ketika baru saja ia berjalan beberapa puluh tindak jauhnya, mendadak disebelah
depan tertampak sebuah sinar berkilau-kilauan yang menyambar ke jurusannya.

Poan Thian jadi terperanjat.


101
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Oleh karena merasa bahwa dia tak mendapat jalan untuk menghindarkan diri, apa boleh
buat ia lantas angkat goloknya dan menyampok benda yang berkilau-kilauan itu, yang telah
terlempar kearah cim-che dengan mengeluarkan suara berkontrangan. Karena sinar itupun
ketika kemudian diperhatikannya, bukan lain daripada sebatang tombak pendek yang
berujung sangat runcing dan tajam, hingga ini dapat mengeluarkan sinar yang berkilau-
kilauan apabila dilontarkan ditempat gelap yang disinari oleh penerangan bintang-bintang
atau rembulan yang tergantung diangkasa !

“Kurang ajar!" membentak pemuda itu sambil mengejar terus.

Sekarang Poan Thian telah ketahui cukup jelas bahwa apa yang dinamakan “iblis dari Leng-
coan-sie" itu, ternyata bukan lain daripada samaran manusia belaka. Karena sebegitu jauh
yang pernah ia dengar dari cerita-cerita yang pernah dituturkan oleh orang-orang tua adalah
bahwa iblis-iblis atau setan-setan itu tidak pernah, bahkan tidak mampu mempergunakan
barang-barang tajam atau tombak untuk mencelakai manusia. Karena itu Poan Thian jadi
berani menetapkan dugaannya bahwa “iblis" itu adalah samaran manusia belaka, hingga
dengan tidak ragu-ragu pula ia lantas membentak: “Hei, sahabat ! Janganlah engkau salah
sangka atas kedatanganku ini ! Aku tidak bermaksud jahat, juga tidak mau banyak “usil"
dalam urusan orang lain. Dan jikalau sekarang aku datang juga kesini, itulah karena aku
hendak mencari tempat perlindungan untuk sementara melewati malam dan hawa dingin
serta hujan gerimis yang baru saja berhenti itu. Nanti pada hari esoknya pagi-pagi sekali
aku sudah mesti berlalu lagi dari sini. Harap supaya engkau jangan mencurigai apa-apa
terhadap pada diriku !"

Tetapi belum lagi bentakan itu selesai diucapkan, ketika dengan secara mendadak benda
putih itu telah keluar dari tempat sembunyinya dan terus menerjang kepada Lie Poan Thian
dengan golok yang terhunus ditangannya.

Melihat dirinya diserang dengan secara tiba-tiba dan tidak diketahui sebab musababnya,
sudah barang tentu Poan Thian tidak membiarkan dirinya hendak dilukai orang dengan
begitu saja.

Sambil mengayunkan goloknya untuk dipakai menangkis bacokan yang menyamber kearah
dirinya itu, Poan Thian coba mengamat-amati macamnya iblis itu, yang akhirnya ia baru
ketahui dengan jelas dan cocok dengan dugaannya, ialah seorang manusia yang menyamar
sebagai iblis. Tetapi apa yang tak pernah diimpikannya sama sekali adalah bahwa orang itu
bukan orang laki-laki seperti kera tetiron itu, hanyalah seorang perempuan muda yang
berpakaian serba putih ! Dan karena warna pakaiannya yang dikenakannya itu, maka dari
kejauhan ia terlihat sebagai bayangan putih, yang dalam waktu yang amat singkat telah
menggemparkan seluruh kota Hang-ciu dengan berita-berita tentang adanya “Makhluk
Putih" di rumah berhala Leng-coan-sie yang kuno itu.

Maka setelah sekarang ia bisa menyaksikan dengan mata kepala sendiri apa adanya dan
bagaimana macam “makhluk gaib" yang sangat menggemparkan itu, barulah Poan Thian
mengerti dan berbareng merasa heran, karena pakaian putih itu adalah tidak umum dipakai
oleh penjahat-penjahat yang biasa keliaran dikalangan Kang-ouw. Dan jikalau ada juga
penjahat-penjahat yang berani berpakaian begitu, maka dengan lantas mereka dicap
“dogol" oleh rekan-rekan mereka. Karena selain pakaian begitu mudah ternoda, juga sangat
menyolok mata apa bila dipakai dalam “melakukan pekerjaan" diwaktu malam.

Oleh sebab itu, Poan Thian jadi merasa curiga akan asal-usul perempuan muda yang
sikapnya agak mengherankan itu.

Pemuda kita sebenarnya tidak bermaksud akan meladeni ia bertempur, tetapi karena ia

102
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

diserang dengan ber-turut-turut, maka apa-boleh-buat ia telah meladeninya juga sampai


beberapa jurus lamanya biarpun didalam hati ia mendapat firasat, kalau-kalau ilmu
kepandaian orang perempuan itu masih terlalu jauh akan dibandingkan dengan ilmu
kepandaiannya sendiri.

Sebaliknya orang perempuan itupun yang perlahan dengan perlahan telah mulai keteter,
segera mengerti bahwa dia bukan lawan Lie Poan Thian yang setimpal. Maka sebegitu lekas
ia melihat ada kesempatan untuk meloloskan diri, buru-buru ia tendangkan kakinya keatas
jubin dan terus melayang keatas wuwungan kelenteng dengan menggunakan siasat Hui-
yan-ciong-thian, atau burung kepinis menerobos keangkasa.

Poan Thian yang melihat begitu, pun tidak mau ketinggalan akan mengejar terus pada si-
nona itu.

“Hei, jangan lari !" teriaknya dengan suara bengis.

Tetapi orang perempuan itu setelah berlompat beberapa kali melalui wuwungan kelenteng,
segera turun kebawah dan terus melarikan diri kedalam rimba.

Poan Thian membuntuti dengan tidak mengalami terlalu banyak kesukaran. Karena biarpun
keadaan dalam rimba itu sangat gelap, tetapi ia mudah dapat melihatnya kemana saja si-
nona yang berpakaian putih itu menuju, karena warna putih itu justeru terlalu menyolok
sekali akan dilihat orang, meski umpama ditempat gelap sekalipun.

Begitulah hutan yang lebat dan gelap itu mereka telah lalui, kemudian mereka tiba disebuah
tegalan yang luas dan datar.

Ketika orang yang dikejar itu hampir kecandak, mendadak Poan Thian melihat orang
perempuan itu merandek, memutarkan badannya dan membentak dengan suara keras:
“Hei, bangsat! Apakah maksudmu engkau mengejar aku terus-menerus ?"

Sambil membentak begitu, si-nona lalu mengayunkan goloknya yang terus dibacokkan ke
jurusan batok kepala Lie Poan Thian dengan menggunakan siasat Tok-pek-hoa-san.
Serangan itu memang cukup hebat, tetapi Lie Poan Thian tidak gentar dengan ilmu pukulan
yang telah diunjuk oleh pihak lawannya itu.

Buru-buru ia melompat kesamping buat menghindarkan diri dari serangan itu, hingga
bacokan itu telah mengenai tempat kosong.

Sementara si-nona yang melihat serangannya telah luput, sudah tentu saja jadi semakin
mendongkol dan lalu menabas pula pinggangnya Lie Poan Thian dengan sekuat-kuat
tenaganya.

Tetapi Poan Thian yang telah ulung dalam pertempuran, untuk keberapa kalinya telah
berkelit dengan secara sebat dan bagus sekali.

Hal mana, tidaklah heran jikalau ini telah membikin si-nona jadi sangat jengkel dan
menyerang sang lawan terus-menerus dengan secara nekat sekali.

Lama-lama Poan Thian tak dapat berkelit begitu rupa terus-menerus, maka akhir-akhirnya ia
terpaksa mesti mempergunakan juga genggemannya buat menangkis setiap serangan yang
ditujukan kepada dirinya itu.

Pertempuran ini belum lagi berlangsung terlalu lama, ketika dengan sekonyong-konyong si-
pemuda terdengar mengeluarkan satu suara teriakan, dan berbareng dengan itu, iapun
kelihatan jatuh roboh keatas tanah.
103
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Sementara nona itu yang menampak lawannya mendadak jatuh roboh, sudah tentu saja tak
mau menyia-nyiakan ketika yang baik itu. Lalu ia maju memburu, mengayunkan goloknya
dan terus dibacokkan pada Poan Thian yang seolah-olah telah dirobohkan sehingga tak
dapat ia berdaya pula.

Tetapi, cepat bagaikan kilat, Poan Thian telah menggulingkan dirinya kesebelah belakang si-
nona. Disatu pihak ia berkelit dari serangan sang lawan itu, sedangkan dilain pihak ia
mengangkat sebelah kakinya dengan menggunakan siasat Oey-kauw-sia-niauw.

Pada sangka perempuan yang berpakaian putih itu, lawannya tadi benar-benar telah jatuh
karena menderita luka yang disebabkan oleh serangannya, tidak tahunya itulah ada dia
sendiri yang justeru sedang diakali oleh pemuda kita.

Oleh karena siasat Lie Poan Thian itu sukar diduga, karuan saja si-nona tak keburu berkelit
buat menghindarkan sabetan kaki pemuda kita, hingga ketika bagian belakang tekukan
lututnya kena tersabet, tidak ampun lagi ia jatuh mengusruk.

Sementara Poan Thian yang dengan secara sebat telah dapat berlompat bangun dari atas
tanah, bukan saja tidak menunjukkan sikap yang hendak melanjutkan pertempuran itu,
malah sebaliknya ia mengucapkan maaf atas perbuatan kasar yang telah diunjuknya itu.

Tetapi orang perempuan itu yang juga telah berlompat bangun, dengan sorot mata
menyala-nyala tinggal mengawasi pada lawannya dengan napas memburu karena
kegusaran yang bukan alang-kepalang besarnya. Dan ketika ia hendak menerjang pula,
Poan Thian lalu melemparkan goloknya sendiri ketanah sambil menggoyang-goyangkan
tangannya dan berkata: “Nona, haraplah kau suka bersabar dengarkanlah sebab-musabab
mengapa aku datang kesini."

Oleh karena melihat sikap pemuda kita yang suka damai itu, maka si-nona itupun
tampaknya jadi lebih sabar dan tenang, biarpun suara bicaranya masih tetap kaku ketika ia
berkata : “Baik ! Bicaralah !"

Poan Thian lalu mulai penuturannya, dengan mengatakan bahwa diantara si-nona dan
dirinya bukan saja tidak pernah terbit permusuhan apa-apa, malah bertemu muka pun baru
saja pada kali itu. Ia tidak bermaksud jahat; hal mana ia bisa unjuk bahwa jikalau ia
memang mengandung maksud tidak baik buat mengambil jiwanja si-nona itu bolehlah
dikatakan sama mudahnya dengan orang yang mengambil barang dari dalam kantong.
Karena diwaktu si-nona jatuh tadi, apakah itu bukan ketika yang terbaik untuk ia turunkan
tangan kalau saja ia mau ?

Tetapi tak mau ia mengambil kesempatan itu; karena ia sendiripun memang bukan
bermaksud untuk mencari setori dengan segala orang.

“Aku bukan berasal dari tempat ini," Poan Thian melanjutkan penuturannya. “Tetapi karena
tertarik oleh cerita orang tentang adanya iblis yang sering mencelakai orang di-kelenteng
Leng-coan-sie ini, maka malam-malam aku telah datang berkunjung kesini, untuk
membuktikan benar atau tidaknya perkabaran itu. Jikalau iblis itu benar-benar bisa
mencelakai orang, akupun merasa turut berkewajiban untuk bantu membasmi dia dengan
se-kuat-kuat tenagaku. Tetapi syukur juga bahwa iblis itu bukan iblis sesungguhnya,"
begitulah pemuda kita tertawa ketika berbicara sampai disini, “hingga ini tidak perlu lagi
untuk dibicarakan lebih jauh."

Oleh karena mendengar omongan itu, maka si-nona itupun jadi menghela napas sambil
mengunjukkan roman yang menandakan lesu. Ia kelihatan hendak berbicara apa-apa, tetapi
lantas membatalkan niatannya ketika mendengar Poan Thian berkata pula : “Maka setelah
104
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

sekarang kau ketahui maksud yang benar dari kunjunganku ini, sudikah kiranya kau
memberitahukan kepadaku kau siapa, orang dari mana, dan karena apa kau berada disini
dengan menyamar sebagai iblis dalam kelenteng Leng-coan-sie ini ?"

Orang perempuan itu mula-mula kelihatan ragu-ragu akan memberikan segala keterangan
yang bersangkut-paut dengan dirinya sendiri, tetapi ketika ia menyaksikan sikap Lie Poan
Thian yang lemah-lembut dan sopan-santun, barulah ia jadi menghela napas dan berkata:
“Tuan, nyatalah bahwa aku telah keliru menyangka engkau sebagai seorang jahat!"

Kemudian ia menerangkan bahwa ia berasal dari kabupaten Ham-yang dalam propinsi Siam-
say, she Bu bernama Liu Sian.

Ayahnya yang bernama Ciang Tong adalah seorang murid jempolan dari perguruan ilmu
silat cabang Ceng-leng-sie dipegunungan Ngo-tay-san.

Bu Ciang Tong ini semasa mudanya memangku jabatan kepala polisi dalam kabupaten Ham-
yang yang menjadi tanah tumpah darahnya. Oleh karena ilmu silatnya yang tinggi dan
ditambah dengan kecakapannya dalam tugas yang di jalankannya, maka tidak sedikit
penjahat-penjahat dari Rimba Hijau yang telah dibekuk dan di hadapkan olehnja kepada
pembesar yang berwajib, hingga untuk jasa-jasa besar yang telah diperolehnya itu, bukan
saja ia mendapat hadiah dan pujian dari pihak seatasannya, tetapi berbareng juga ia jadi
semakin dibenci oleh musuh-musuhnya yang selalu berdaya-upaya buat menyingkirkan
jiwanya yang merupakan sebagai duri besar dimata kawanan penjahat pihak lawannya
tersebut. Tetapi sampai sebegitu jauh Ciang Tong tinggal tetap tak dapat dicelakai ataupun
dibikin terguling dari kedudukannya, berhubung dikalangan cabang-cabang atas dalam
komplotan Rimba Hijau belum ada orang yang sanggup merobohkan atau melebihi ilmu
kepandaiannya.

Demikianlah kedjadian pada suatu hari sekawanan perampok yang dikepalai oleh cap-ek-
sin-kauw atau kera malaikat yang bersayap Ngay Houw Cun telah masuk kesebuah dusun
dalam kabupaten Ham-yang itu untuk melakukan “pekerjaannya". Tetapi, apa celaka, pada
sebelum pekerjaan itu dimulai, mendadak telah diketahui oleh Bu Ciang Tong, yang tidak
membuang tempo lagi segera membawa sepasukan orang-orang polisi dan menyergap
kawanan perampok yang sial itu.

Cap-ek-sin-kauw Ngay Houw Cun sendiri biarpun bukan tandingan Bu Ciang Tong, tetapi
masih boleh dikatakan mujur juga telah dapat meloloskan diri dari dalam pengepungan
hamba-hamba negeri itu. Sedangkan kawan-kawannya yang terbanyak, jikalau tidak
terbunuh atau tertangkap, tentulah dapat juga melarikan diri dengan susah-payah dan
menderita luka-luka yang dapat dibuat peringatan daripada pekerjaan mereka yang telah
gagal itu.

Oleh sebab pekerjaannya telah digagalkan, sudah tentu saja Ngay Houw Cun jadi amat sakit
hati dan selanjutnya telah berdaya-upaya sedapat mungkin buat membalas dendam kepada
kepala polisi she Bu itu.

Begitulah setelah ia “mencari kawan" sekian lamanya di kalangan Kang-ouw, akhirnya Houw
Cun telah ketemukan seorang gagah yang sanggup untuk merobohkan Bu Ciang Tong
dengan suatu perjanjian bahwa jikalau ia mati dalam pertempuran dengan kepala polisi itu,
Houw Cun harus tanggung seumur hidup ongkos penghidupan anak-isterinya. Dan jikalau ia
memperoleh kemenangan, Houw Cun harus berikan separuh dari harta-bendanya yang
berjumlah ratusan ribu tail banyaknya itu. Perjanjian mana, sebenarnya kurang disetujui
oleh kepala kampak itu. Tetapi karena mengingat yang ia boleh mungkir buat mengongkosi
rumah-tangga si-hohan itu jikalau dia mati dalam pertempuran, maka Houw Cun lalu

105
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

menyangggupi sambil menambahkan, “bahwa semua itu adalah perkara remeh saja,"
hingga si-hohan boleh tak usah merasa ragu-ragu lagi.

Maka sesudah perjanjian itu “ditutup" dengan diadakan suatu perjamuan makan-minum
sebagai tanda pemberian selamat jalan dan “berharap akan berhasil" dalam pekerjaannya
itu, si-hohan lalu berangkat ke Ham-yang buat menjajal sampai dimana kepandaian Bu
Ciang Tong yang disohorkan sebagai seorang murid cabang Ceng-leng-sie yang jempolan
itu.

Pada suatu hari sesudah menanyakan kepada orang-orang yang kebetulan dijumpainya
berjalan mundar-mandir di jalan raya, si-hohan itu telah berhasil dapat ketemukan rumah
kepala polisi she Bu itu, yang ketika itu kebetulan berada di rumahnya.

Tetapi karena Ciang Tong selalu bercuriga kepada orang-orang asing yang minta bertemu
dengannya, maka ia telah memesan pada bujang-bujangnya, agar supaya kalau ada orang
yang datang menanyakan kepadanya, katakan saja bahwa ia tak ada di-rumah. Dan jikalau
orang itu juga menanyakan kemana ia pergi, bujang-bujang itu boleh menjawab: “Tidak
tahu." Terkecuali kalau orang itu mengatakan mau bicara pada siapa saja yang ada di
rumah itu, bolehlah bujangan-bujangan itu menjawab : “Di rumah hanya ada Jie-ya saja."
(dimaksudkan : adiknya Ciang Tong yang sebenarnya sudah lama telah meninggal dunia)
atau apa saja sekenanya menurut suka mereka. Tetapi tidak kira ketika si-hohan sampai di
rumahnya, Ciang Tong dari sebelah dalam justeru mau berjalan keluar, sehingga kedua
orang itu jadi berpapasan dan saling mengawasi satu sama lain dengan tidak dapat dicegah
lagi.

“Tuan ini tentunya kepala rumah tangga ini bukan ?" kata si-hohan itu sambil memberi
hormat.

Bu Ciang Tong yang selalu bisa berlaku hati-hati dalam waktu yang kesusu, sambil
membalas memberi hormat ia bersenyum dan berkata: “Ah, sangat menyesal perkunjungan
tuan ini sedikit terlambat. Toa-ya baru saja keluar pada setengah jam yang lalu itu. Sudikah
tuan duduk-duduk dahulu untuk minum satu-dua cawan air teh ?"

Si-hohan itu tidak lantas menjawab tawaran itu, hanyalah tinggal mengamat-amati pada Bu
Ciang Tong sesaat lamanya, kemudian ia menghela napas dan berkata: “Sayang, sayang.
Tetapi belum tahu kapan tuanmu kembali?”

“Itu aku kurang tahu. Menyesal," kata kepala polisi she Bu itu dengan hati semakin
bercuriga.

Dalam pada itu, si-hohan yang ingin menunjukkan berapa tinggi ilmu kepandaiannya, lalu
sengaja membanting-bantingkan kakinya keatas jubin, maka jubin-jubin itu jadi berlubang
sebesar bekas sepatu si-hohan itu!

Maka Ciang Tong yang sekarang telah ketahui maksud yang benar dari tetamu yang tidak
diundang itu, sudah tentu saja lantas bersedia untuk menghadapi segala kemungkinan, dan
sebegitu lekas ia melihat si-hohan itu selesai menunjukkan “kelihayannya", buru-buru iapun
membungkukkan badannya selaku orang memberi hormat dan merasa kagum atas
kepandaian itu.

“Tuan," katanya, “nyatalah kau ini ada seorang ahli silat yang mempunyai ilmu kepandaian
jauh lebih tinggi daripada ilmu kepandaian yang dipunyai majikanku sendiri! Aku merasa
sangat kagum melihat kepandaianmu itu. Oleh karena itu, terimalah ini pemberian
hormatku!"

106
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Sambil berkata begitu, Ciang Tongpun lalu membungkukkan pula badannya sambil menyoja
kearah si-hohan itu.

Dimata seorang yang sama sekali tak mengerti ilmu silat yang tergolong pada bagian ilmu
Lwee-kang, perbuatan itu boleh dianggap lumrah dan tidak ada apa-apanya yang kelihatan
aneh. Tetapi bagi si-hohan yang telah melihat tegas gerak-gerik Ciang Tong yang
semulanya dianggap orang pelayan belaka, sudah tentu saja jadi amat kaget dan buru-buru
balas memberi hormat sambil mengumpulkan khi-kangnya kebahagian dada. Karena
sebegitu lekas ia melihat Ciang Tong menggerakkan tangannya, dengan sekonyong-konyong
ia merasakan dadanya seperti di desak oleh suatu tenaga amat berat yang telah memaksa
ia mundur kebelakang dengan napasnya dirasakan sesak! Maka biarpun sampai beberapa
kali ia mencoba akan menolak tenaga yang tidak kelihatan itu, tetapi ternyata maksudnya
sia-sia saja, dan tatkala paling belakang ia mengerti yang ia bukan lawan Ciang Tong yang
setimpal, buru-buru ia berlompat kesamping sambil berkata: “Tuan, ilmu kepandaianmu itu
sesungguhnya amat tinggi dan aku harus akui bahwa aku ini lebih tepat akan menjadi
“kacungmu" daripada lawanmu yang telah sengaja berkunjung kesini untuk merobohkan
kepadamu!"

“Ya, tetapi aku ini adalah bujangnya Bu Too-ya," kata Ciang Tong yang masih saja hendak
berpura-pura.

Tetapi si-hohan lalu menggelengkan kepalanya sambil berkata : “Tidak perlu kau mendustai
aku. Aku tahu bahwa kau inilah memang Bu Ciang Tong sendiri yang aku niat cari. Selamat
tinggal, dan lagi beberapa hari akan kuberkunjung pula kesini!"

Begitulah si-hohan telah akhiri bicaranya sambil berlalu dari situ dengan tindakan amat
cepat.

Sementara Bu Ciang Tong yang mengerti bahwa urusan tidak habis sampai disitu saja,
sudah barang tentu jadi semakin hati-hati dalam hal menjaga keselamatan dirinya. Karena
ia sendiripun yakin bahwa kalau musuhnya tak berani membikin pembalasan dengan secara
berterang, tentulah mereka akan mencelakai padanya dengan jalan lain yang lebih halus.

Maka semenjak terjadinya peristiwa yang telah dialaminya itu, Ciang Tong selalu
mengenakan kaca tembaga dibagian ulu-hati dan punggungnya, dengan ditutupi oleh
pakaian yang dikenakannya dibagian luar, agar supaya dengan berbuat demikian ia dapat
meringankan kecelakaan bagi dirinya, kalau nanti pihak musuh membokong kepadanya
dengan secara sekonyong-konyong.

Diceriterakan ketika berselang hampir satu minggu lamanya, betul saja si-hohan itu telah
kembali pula ke rumah kepala polisi she Bu itu dengan mengajak dua orang kawannya yang
masing-masing bertubuh tinggi-besar dan beroman agak “menyeramkan" dipemandangan
mata.

Kedatangan ketiga orang itu telah disambut oleh bujang-bujangnya Bu Ciang Tong, yang
memang telah dipesan mesti berbuat bagaimana apabila si-hohan itu benar-benar balik
kembali ke-tempat kediamannya disitu.

“Hari ini tuanku justeru belum kembali dari kantor," kata salah seorang bujang itu, sambil
persilahkan mereka masuk dan duduk dikamar tetamu. “Tetapi rupanya ia telah ketahui
bahwa tuan-tuan akan datang hari ini, karena sedari pagi ia telah memberitahukan pada
kami sekalian, agar supaya kami jangan pergi kemana-mana. Dan jikalau nanti tuan-tuan
datang kesini, katanya kami boleh menyampaikan kabar pada tuan-tuan sekalian bahwa ia
akan kembali kesini selekas mungkin."

107
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Si-hohan dan kedua kawannya itu jadi saling lihat-lihatan satu sama lain dengan rupa yang
menyatakan heran.

“Cara bagaimanakah dia bisa tahu bahwa kita akan datang kesini pada hari ini?" ketiga
orang itu seolah-olah hendak saling menanyakan pendapat masing-masing.

Tetapi sampai beberapa kali, tidak juga mereka dapat pikir bagaimana Ciang Tong telah
dapat ketahui bahwa mereka akan datang kesitu pada hari itu.

Padahal mereka tak pernah pikir sama sekali, bahwa siasat itu memang telah diaturnya dari
dimuka untuk membingungkan pikiran mereka bertiga.

“Kalau begitu, tidaklah mengherankan apabila segala gerak-gerik saudara-saudara kita


dikalangan Liok-lim bisa diketahui oleh kepala polisi bajingan ini," berbisik si-hohan pada
dua orang kawannya, sebegitu lekas melihat para pelayan tadi berlalu dari hadapan mereka.

“Dia itu rupanya pandai meramal!" kata si-hohan.

“Ya, ya, itu boleh jadi," menyetujui kedua orang kawannya.

Selagi mereka “kasak-kusuk" membicarakan halnya kepala polisi she Bu itu, adalah salah
seorang bujang Ciang Tong yang boleh dipercaya telah pergi menyampaikan kabar tentang
kedatangan ketiga orang yang rupanya tidak mengandung maksud baik itu kepada induk
semangnya. Ciang Tong sekarang mengerti bahwa saat yang tegang dan sedang di-tunggu-
tunggu itu akhirnya telah tiba.

Maka sebegitu lekas ia diberitahukan tentang kedatangan si-hohan dan kedua orang
kawannya itu, buru-buru ia kembali ke-rumahnya dengan membekal 5 buah Tiok-yap-piauw
yang disembunyikan disisi sepatunya, pada bagian yang bersambung di-bawah lipatan kaki
celananya.

Tetapi alangkah mengejutkannya hati si-kepala polisi itu, tatkala sampai dimuka pintu
pekarangan rumahnya, ia menampak dua buah singa-singaan batu yang tadinya ditaruh
dikiri-kanan rumah, mendadak berpindah ketengah pintu pekarangan tersebut. Maka
dengan mengandangnya kedua singa-singaan ini di-tengah jalan-masuk, sudah barang tentu
tak dapat ia masuk kedalam rumahnya, jikalau singa-singaan tersebut tidak terlebih dahulu
disingkirkan ke tempat lain!

Perbuatan ini memang merupakan suatu rintangan atau kesukaran bagi orang-orang yang
bertenaga kecil, tetapi bagi Ciang Tong yang memang bertenaga amat kuat, semua ini
bukanlah suatu hal yang perlu diributi sama sekali.

Dari itu, segera juga ia singsingkan lengan bajunya, pasang bee-sie (kuda-kuda) dan lalu
angkat singa-singaan batu itu, yang olehnya lalu dikembalikan pada tempat asalnya masing-
masing dengan tidak banyak bicara pula!

Sesudah menunjukkan sedikit kelihayan itu, dengan laku yang tenang si-kepala polisi lalu
menghampiri pada mereka bertiga, memberi hormat dan menunjukkan roman yang berseri-
seri sambil berkata: “Tuan-tuan, haraplah kamu sekalian sudi memaafkan atas
kelambatanku ini." (Seolah-olah apa yang telah terjadi tadi tidak pernah dialaminya sama
sekali).

“Setelah sekarang kita saling berhadapan," ia melanjutkan omongannya, “belum tahu ada
pengajaran apa pula yang tuan-tuan sekalian hendak sampaikan kepadaku ?"

108
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Kedua orang yang baru datang itu tinggal bungkam dan hanya mengamat-amati pada
kepala polisi itu dengan mata tidak berkesip, hingga si-hohan yang melihat “kebungkeman"
itu, lalu tampil kemuka dengan sikap yang sombong dan mata yang menyala-nyala.

“Sebagaimana telah kukatakan pada beberapa hari yang lampau itu," demikianlah memulai
si-hohan itu, “aku telah berjanji akan datang pula kesini. Maka setelah sekarang kami
berada disini, mengapakah engkau berbalik berpura-pura meminta pengajaran dari kami ?"

Bu Ciang Tong yang mendengar begitu jadi tersenyum dan berkata: “Oh, kalau begitu,
cobalah engkau beritahukan syarat-syarat apa yang harus dikemukakan dalam pertempuran
ini, agar supaya sesuatu orang yang kalah bisa merasa rela dan selanjutnya urusan ini
jangan sampai menjadi kepanjangan."

“Ya, ya, itu aku mupakat," kata si-hohan. “Tentang syarat-syarat yang engkau katakan tadi,
itulah boleh dikatakan perlu, juga boleh dikata tidak perlu. Tetapi pokoknya harus dititik-
beratkan kepada kejujuran dan kepercayaan. Apabila orang berkelahi dengan jujur dan
akhirnya masih juga kena dikalahkan, maka yang menderita kekalahan itu-pun akan rela
mengaku kalah; tetapi jikalau ia merasa yang ia telah dikalahkan dengn secara curang, cara
bagaimanakah orang bisa terima itu dan urusan itu lalu disudahi sampai disitu saja?"

“Itu benar, itu benar," sahut Bu Ciang Tong. “Dibelakang rumahku ini ada sebidang
pekarangan yang agak luas dan baik sekali untuk “berlatih". Marilah tuan-tuan boleh ikut
padaku, supaya pertandingan persahabatan ini bisa kita lakukan disana."

Ketiga orang itu lalu menjawab: “Baik," tetapi dalam prakteknya ternyata berlainan daripada
apa yang telah mereka katakan itu.

Karena sebegitu lekas Ciang Tong membalikkan badannya akan mengajak mereka pergi
kepekarangan tempat berlatih dibelakang rumahnya, mendadak hohan itu melirik pada
kedua orang kawannya sambil memberi isyarat dengan kedipan mata. Kedua orang itu yang
lantas mengerti apa maunya isyarat itu, dengan sebat lalu mencabut badi masing-masing
yang disembunyikan dibawah lipatan kaki celana mereka, dengan mana mereka lalu
menyerang pada kepala polisi itu dengan tidak banyak bicara pula.

Tetapi Ciang Tong yang memang sudah mendapat firasat akan “kejadian", begitu segera
menjatuhkan diri kedepan sambil berguling diatas jubin sampai beberapa kali, hingga
setelah terluput dari penyerangan yang curang itu, sambil tertawa menyindir dan melirik
pada si-hohan itu ia lantas berkata : “Oh, oh, apakah ini ada cara bertempur dengan jujur
seperti katamu tadi ?"

Si-hohan yang ternyata ada seorang kasar yang tidak tahu malu, bukan saja tidak mau
terima kebaikan jengekan itu, malah sebaliknya menjadi amat gusar dan membentak: “Bu
Ciang Tong! Jangan engkau mengira bahwa orang gagah dikalangan Kang-ouw hanyalah
engkau seorang saja! Engkau telah tidak memandang mata pada kawan-kawan kami dan
menganggap bahwa jiwa mereka itu adalah jiwa2 semut! Engkau tangkapi dan bunuhi
mereka itu dengan secara kejam, walaupun tahu bahwa diantara engkau dan mereka tak
pernah terbit permusuhan apa-apa!"

“Engkau jangan melantur !” membentak Ciang Tong dengan hati mendongkol. “Kamu juga
tentu telah ketahui bahwa tugasku sebagai seorang polisi adalah untuk menjaga keamanan
dan membasmi kejahatan yang bersifat mengacau kepada ketertiban umum dan
kesejahteraan didalam negeri. Kamu sekalian tidak mengindahkan ini semua dan mengacau
kian-kemari dengan jalan melakukan perampokan2 atau pembunuhan2 yang ganas terhadap
pada anak-anak negeri yang telah mencoba untuk mempertahankan harta-benda mereka

109
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

yang kamu hendak kangkangi, dengan kamu sekalian sama sekali tidak pernah memikirkan
betapa sukar dan payahnya mereka telah mengumpulkan itu sedikit demi sedikit, sehingga
akhirnya menjadi suatu jumlah yang besar dan cukup untuk membiayai penghidupan
mereka dihari tua. Tetapi kamu sekalian orang-orang malas dan tidak berbudi, hanya
memikirkan keuntungan diri sendiri saja, sehingga dengan begitu, kamu tidak memikirkan
sama sekali tentang akibat2 dan kerugian-kerugian yang bakal dialami oleh orang lain. Oleh
sebab itu, ada apakah salahnya apabila aku sebagai alat negara mengambil tindakan-akan
yang tegas untuk menunaikan kewajiban yang negara telah percayakan kepadaku ?"

Si-hohan yang mendengar omongan itu, bukan main marahnya dan lalu menerjang pada
Ciang Tong dengan dibantu oleh kedua orang kawannya yang masing-masing bersenjatakan
badi tadi.

Sementara Ciang Tong yang memang bukan seorang yang biasa mundur dalam hal
bertempur dengan musuh, dengan gagah lalu menyambut serangan itu dengan
menggunakan siasat Khong-siu-jip-pek-jim, serupa ilmu pukulan tangan kosong, yang biasa
dipergunakan untuk bertempur dengan musuh-musuh yang bersenjatakan golok atau
barang-barang tajam lain.

Ilmu pukulan tersebut oleh karena gerak-gerakannya amat cepat, sudah barang tentu telah
membikin ketiga penjahat itu jadi bingung sendiri, hingga semakin lama mereka jadi
semakin kewalahan, dan akhirnya salah seorang diantaranya telah kena ditendang dan jatuh
terpental kesuatu tempat yang terpisah kira-kira beberapa belas kaki jauhnya.

Orang yang kedua telah dibikin tidak berdaya karena badi2 yang dicekalnya telah ditendang
begitu rupa, sehingga menancap pada papan loteng yang tingginya tidak kurang dari dua
puluh kaki!

Maka kedua orang itu yang mengerti bahwa mereka bukanlah orang-orang yang setimpal
akan menjadi lawan kepala polisi itu, buru-buru keluarkan “ilmu langkah seribu" dan terus
melarikan diri dari dalam ruangan rumah itu, dengan meninggalkan si-hohan sendirian
bertempur dengan Bu Ciang Tong, yang sudah terang bukan lawannya yang seimbang
dalam pertempuran yang maha dahsyat itu.

Dan ketika pertempuran itu baru saja berlangsung beberapa jurus lamanya, hohan itu
ternyata cuma bisa menangkis, tetapi tak mampu membalas untuk menyerang kepada
musuhnya.

Ia mengeluh didalam hati dan sesambat untuk meminta bantuan yang tidak kelihatan dari
para sedereknya yang telah tewas jiwanya ditangan kepala polisi yang ilmu kepandaiannya
sangat lihay itu, tetapi kenyataan telah membuktikan bahwa semua itu adalah sia-sia
belaka.

Ia tak dapat mempertinggi ilmu kepandaiannya yang memangnya sangat terbatas dan kalah
jauh dengan pihak lawannya !

Akhir-akhirnya karena telah merasa tak sanggup akan meladeni bertempur pada Bu Ciang
Tong terlebih lama pula, maka hohan itu lalu mencari “lowongan" untuk meloloskan diri
dengan jalan mempergunakan segala ilmu pukulan yang ia ketahui dan cukup berbahaya,
tetapi ternyata bagi Ciang Tong semua itu hanya merupakan sebagai pukulan-pukulan yang
hampir tak ada artinya sama sekali.

Hal mana, keruan saja telah membikin si-hohan jadi semakin bingung, semakin kalut
pikirannya untuk mencari jalan akan meloloskan diri dengan jalan yang tercepat tetapi

110
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

selamat, walaupun ia telah mencoba segala cara dengan sedapat mungkin dan dengan
sekuat-kuat tenaganya.

Sementara Ciang Tong yang melihat tegas “kesibukan" pihak musuhnya, bukan saja tidak
membiarkan dia dengan begitu saja, malah sebaliknya ia merangsak terus 2an dengan
mempergunakan ilmu-ilmu pukulan yang gerakan-akannya amat cepat dan sukar diduga.
Maka selagi si-hohan itu telah hampir tidak berdaya pula, kepala polisi itu lekas maju
menendang sambil membentak: “Pergilah engkau dari hadapanku !"

Si-hohan buru-buru mencoba akan berkelit, tetapi usaha itu bukan saja telah gagal, malah
sebaliknya ia sendiri telah terpental dan kena menubruk dinding tembok yang segera jadi
gugur dan berlubang, dan berbareng dengan terdengarnya satu suara jeritan ngeri, si-
hohan itupun telah jatuh ke jalan raya dengan melalui lobang tembok yang telah
ditomploknya sehingga berlubang itu!

Ketika Ciang Tong memburu dan menoleh keluar lubang tembok itu, ternyata si-musuh telah
menghilang entah kemana perginya!

Sekarang kita ajak para pembaca menilik pada Cap-ek-sin-kauw Ngay Houw Cun, yang
usahanya selalu gagal untuk mencelakai jiwa kepala polisi she Bu itu.

Setelah beberapa kalipun tak berhasil ia melakukan penyerangan gelap untuk


membinasakan jiwa musuh besarnya itu, akhirnya ia insyaf bahwa untuk berurusan pada
Ciang Tong dengan memakai kekerasan, biar bagaimana juga ia tentu tak akan berhasil.
Dari itu, ia lantas “putar kemudi" untuk mencelakai Ciang Tong dengan jalan halus,
terutama mempergunakan tenaga orang-orang dalam yang bekerja dikantor kebupaten
Ham-yang sendiri.

Pada suatu waktu bupati lama dari Ham-yang telah dinaikkan pangkat dan dipindahkan
untuk diperbantukan dalam pekerjaan di ibu-kota.

Bupati ini karena mempunyai perhubungan yang erat dengan Ciang Tong, maka ia telah
coba menganjurkan agar supaya kepala polisi itu mengikuti dan membantunya dalam
pekerjaannya yang baru itu, tetapi Ciang Tong yang merasa berat untuk meninggalkan
tanah tumpah darahnya, sudah lantas menyatakan menyesal tak dapat mengabulkan
permintaan sepnya itu, buat mana sang bupati-pun merasa amat menyesal dan terpaksa
berangkat ke-ibukota sambil tidak lupa berpesan kepada si-kepala polisi, agar supaya
sewaktu2 kalau kebetulan dalam perlop pergi berkunjung ketempat kediamannya di ibu-
kota.

Ciang Tong berjanji akan berbuat begitu. Maka dengan saling mengucurkan air mata, sep
dan pegawai yang telah bekerja sama hampir 20 tahun lamanya itu telah saling berpisahan
dari satu dengan yang lainnya, setelah digedung kabupaten diadakan perjamuan makan
minum sebagai tanda perpisahan antara si-bupati dan sekalian pegawainya dalam
kabupaten Ham-yang itu.

Sekarang kita berkenalan dengan bupati baru yang bernama An Hun Ie.

Bupati ini adalah seorang hartawan yang telah mendapatkan pangkatnya dengan jalan
menyogok pada pembesar tinggi yang berpengaruh besar di Kota-raja.

Ia ini bukan orang terpelajar, juga bukan seorang yang pandai timbang-menimbang segala
perkara dengan secara bijaksana.

111
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Jikalau se-waktu2 dapat juga ia mengurus pekerjaannya dengan baik, itulah bukan karena
baiknya rencana yang keluar dari otaknya sendiri, hanyalah berkat kecerdikan pegawainya
yang ia sengaja telah sewa tenaganya buat mengurus segala pekerjaan dikantor kabupaten.
Maka biarpun ia sendiri disebut seorang bupati, tetapi sebenarnya ia tak bekerja sama
sekali, juga tak mengerti bagaimana seluk-beluknya pekerjaan serta tugas seorang bupati,
dari itu, lebih tepat dia dinamakan “bupati tetiron", daripada bupati yang memang karena
kepandaiannya telah diangkat dengan secara resmi oleh pemerintah negeri.

Maka pada waktu kabar tentang penggantian bupati itu sampai ketelinga Cap-ek-sin-kauw
Ngay Houw Cun, buru-buru ia kirim beberapa orang mata-matanya buat mencari tahu
bagaimana sikap dan sepak-terjang bupati baru itu.

Tidak berapa lama kawanan mata-mata itu telah kembali dan melaporkan pada Houw Cun,
bahwa bupati An itu adalah seorang yang temaha pada harta benda dan mudah “ditempel"
dengan “menggunakan pengaruh uang", hingga si-kepala kampak yang mendengar laporan
begitu, dengan hati amat girang ia lantas menggebrak meja sambil berkata : “Nah, inilah
ada ketika yang terbaik untuk memfitnah pada jahanam she Bu itu !"

Lalu ia menyamar sebagai seorang hartawan besar, dan dengan membawa bingkisan
berharga ia berkunjung ke gedung bupati, dengan alasan untuk berkenalan serta memberi
selamat atas keangkatan Hun Ie sebagai bupati baru di kota Ham-yang itu.

An Hun Ie yang lebih perhatikan bingkisan orang daripada mencari tahu siapa dan dengan
maksud apa orang telah memberikan bingkisan itu kepadanya, tentu saja lantas menyambut
kepala kampak itu dengan berpura-pura mengatakan, “sudah lama mendengar nama Houw
Cun yang dermawan di-daerah Ham-yang," biarpun sebenarnya ia tidak pernah dengar
ataupun kenal nama samaran “Thio Sin" yang telah dipergunakan Houw Cun itu !

Maka dengan menggunakan pengaruh uang dan hadiah2 yang mahal harganya kepada
bupati bangpak dan orang sebawahannya yang ternyata juga ada dari satu kaliber, dengan
cepat Houw Cun telah bikin dirinya populer dikantor kabupaten itu, hingga selanjutnya ia
bisa keluar-masuk dikantor tersebut bagaikan di rumahnya sendiri.

Pada suatu hari seorang siu-cay she Gouw dari kecamatan Nouw-tam-lie telah datang
kekantor kabupaten buat mengadu bahwa pada malam kemarin sebuah mustikanya yang
bernama Ya-beng-cu telah dicuri orang.

Mustika itu walaupun hanya sebesar telur burung merpati saja, tetapi khasiatnya amat besar
dan dapat menerangi segala sesuatu yang ditaruh dalam sebuah kamar yang gelap gulita,
oleh karena itu, tidak heran jikalau ia amat sayang dan bingung sekali tatkala mengetahui
bahwa mustika kesayangan hatinya itu telah hilang.

“Berapa besar harganya mustika itu," begitulah ia mengadu di hadapan bupati An Hui Ie,
“itulah sesungguhnya belum ada seorangpun yang mampu menaksirnya. Karena menurut
cerita orang, mustika hamba itu adalah sebuah mustika masyhur yang pernah dipergunakan
oleh kaisar Korya (Korea) sebagai pembayaran upeti, ketika kaisar Tong Thay Cong Lie Sie
Bin menyerbu ke semenanjung Korea."

Maka An Hun Ie yang mengingat bahwa peristiwa itu telah terjadi di daerah lingkungannya
juga, tentu saja ia lantas panggil Bu Ciang Tong buat diajak berembuk, cara bagaimana
baiknya untuk mengurus perkara pencurian ini.

Tetapi karena pencurian itu telah dilakukan dengan amat sempurna, maka Ciang Tong jadi
bingung dan lalu minta permisi buat pergi tengok sendiri ke rumah Gouw Siu-cay. Karena

112
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

selain ia bisa lihat dibagian mana letaknya rumah itu, iapun bisa sekalian menyelidiki juga
bekas2nya, cara bagaimana si-pencuri telah melakukan pekerjaannya.

Bupati mengabulkan dengan suatu perjanjian bahwa biar bagaimana juga, Ciang Tong harus
bisa bekuk pencurinya. Karena, sebagai seorang pembesar baru yang datang menjabat
pangkatnya dikabupaten itu, ia merasa akan kecewa apabila perkara yang begitu kecil tidak
dapat dibikin terang.

Bu Ciang Tong berjanji akan bekerja dengan se-kuat-kuatnya tenaga, guna membikin terang
muka orang yang menjadi seatasannya. Kemudian ia kerahkan seluruh tenaga kepolisian
yang berada dibawah penilikannya, agar supaya perkara pencurian itu bisa lekas dibikin
terang, dengan pencurinya sendiri dibekuk buat diberikan hukuman yang setimpal dengan
perbuatannya.

Tetapi karena belakangan baru ternyata bahwa si-pencuri tidak meninggalkan bekas2
sebagaimana kebiasaan peristiwa-peristiwa yang bersangkut-paut dengan pencurian, maka
diam-diam Ciang Tong jadi bercuriga, kalau-kalau pengaduan Gouw Siu-cay itu suatu
pengaduan yang palsu belaka. Tetapi ia tak menyangka sama sekali bahwa Gouw Siu-cay itu
adalah seorang samaran dari salah seorang gundal Cap-ek-sin-kauw Ngay Houw Cun, yang
memang telah sengaja berbuat begitu untuk mempersukar dan kemudian membuka jalan
kearah kecelakaan bagi diri kepala polisi she Bu itu !

Maka setelah penyelidikan itu telah dilakukan dengan susah-payah sehingga setengah bulan
lamanya dengan tidak mengasih hasil yang diinginkan, Bu Ciang Tong jadi amat jengkel dan
tak tahu lagi apa yang harus diperbuatnya selanjutnya.

Sementara Cap-ek-sin-kauw yang telah diberi kabar oleh kaki-tangannya tentang kejadian
ini, segera dengan secara diam-diam ia pergi menjumpai bupati she An itu, kepada siapa ia
memberikan kisikan bahwa pencuri mustika Ya-beng-cu itu makanya sukar ditangkap,
adalah karena pencurinya bukan lain daripada Bu Ciang Tong sendiri!

Maka An Hun Ie yang lebih percaya omongan Ngay Houw Cun daripada keterangan-
keterangan yang didapat dari Bu Ciang Tong sendiri, sudah tentu saja lantas mau percaya
kebenarannya omongan si-kepala kampak itu. Apalagi jikalau menilik laporan2 yang sudah-
sudah tentang pekerjaan kepala polisi ini yang begitu aktif dan belum pernah gagal, orang
segera bisa kemukakan kesimpulan2, walaupun kenyataan mengunjuk dengan tegas bahwa
Ciang Tong bukan seorang yang boleh direndengkan namanya dengan segala kawanan
pencuri atau penjahat yang hina-dina.

Tetapi Hun Ie yang telah dibutakan matanya dengan harta dan emas, bukanlah seorang
dengan siapa kita boleh bicara tentang liangsim ataupun cenglie, karena segala keputusan2
yang menurut kata hati orang lain benar dan bijaksana, itu semua seolah-olah telah
dihapuskan seluruhnya dari dalam kamus yang tersimpan dibatinnya manusia busuk ini.

Oleh karena berpendapat bahwa dia mempunyai pengaruh besar diseluruh kabupaten Ham-
yang itu, maka tak segan2 ia memutar balikkan perkara, dari yang hitam sehingga berubah
menjadi putih dan begitupun sebaliknya.

Demikian juga dalam hal memberikan pertimbangan terakhir atas Bu Ciang Tong yang telah
bekerja sampai puluhan tahun lamanya sebagai kepala polisi, hingga dengan tidak
memikirkan pada jasa-jasa besar yang telah diperolehnya selama itu, Hun Ie segera
perintah orang buat tangkap padanya sebagai seorang pencuri, biarpun ia ketahui bahwa
tidak semua omongannya Houw Cun itu boleh dipercaya.

113
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Berita tentang ditangkapnya Ciang Tong yang disangka sebagai pencuri, sudah tentu telah
menerbitkan kegemparan besar diseluruh kabupaten Ham-yang.

Bagi pihak musuh-musuhnya kepala polisi itu, berita ini telah disambut dengan bertampik
sorak saking kegirangan; tetapi bagi pihak kawan-kawan dan orang-orang yang bersimpati
kepadanya, berita itu telah disambut dengan kemarahan yang sukar dilukiskan dengan
perkataan.

Bukan saja mereka menyomel dan mengutuk pada bupati jahanam itu, tetapi juga mereka
segera menuju kekantor kabupaten untuk memprotes dan minta supaya Ciang Tong yang
tidak berdosa itu segera dibebaskan dari dalam tahanan, hingga Hun Ie yang memang
berhati penakut dan kuatir akan rombongan orang-orang yang datang memprotes itu
menerbitkan keributan, sudah tentu saja segera kirim beberapa orang yang pandai bicara
buat membujuk pada mereka dan coba menerangkan duduknya perkara.

Ciang Tong yang telah ditahan, kata utusan2 dari kabupaten itu, bukanlah dianggap atau
diperlakukan sebagai seorang tahanan biasa. Karena sebagai seorang kepala polisi yang
sudah kawakan dan memperoleh banyak jasa dalam pekerjaannya, nyatanya hanya
namanya saja ia ditahan, padahal dikabupaten ia tetap dihormati dan dirawat sebagai
seorang tetamu agung.

Malah bupati sendiri tidak percaya, melanjutkan mereka, bahwa Ciang Tong ada turut
campur dalam pencurian mustika Ya-beng-cu miliknya Gouw Siu-cay itu. Maka jikalau
karena tuduhan itu Ciang Tong telah ditahan juga, itulah ada maksud lain yang dikandung
oleh bupati, guna melancarkan jalannya penyelidikan dan guna kebaikannya kepada polisi
itu sendiri.

“Sayang kami tak dapat menerangkan semua maksud-maksud bupati dengan secara terang-
terangan," kata mereka pula, “hingga hanya sekian saja yang kami dapat sampaikan kepada
tuan-tuan sekalian. Sedangkan apa yang terjadi selanjutnya kami persilahkan supaya tuan-
tuan suka menunggu dengan sabar, dengan mana kami percaya tuan-tuan pasti akan
merasa puas dengan cara pemeriksaan yang akan dilakukan oleh bupati kita dengan
sebijaksana2nya."

Oleh karena mendengar keterangan begitu, maka orang banyakpun kelihatan mau percaya
dan segera pada bubaran dengan tidak menerbitkan keributan ataupun mengunjuk sikap
yang penasaran sebagaimana pada waktu tadi mereka datang kesitu.

Sekarang kita ajak para pembaca untuk membalik tabir yang menyelimuti peristiwa yang
bersangkut-paut dengan penangkapan dan penahanan diri Bu Ciang Tong yang bernasib
malang itu.

Sebagaimana dibagian atas telah kita tuturkan dengan panjang lebar, kepala polisi she Bu
itu adalah seorang murid jempolan dari cabang Ceng-leng-sie di Ngo-tay-san, yang ilmu
kepandaiannya sudah lama dikenal dikalangan jago2 silat di daerah barat-laut Tiongkok.

Oleh sebab itu, para pembaca tentu hendak bertanya: cara bagaimanakah seorang yang
ilmu silatnya begitu tinggi bisa ditangkap dan ditahan tanpa melawan serta dalam cara yang
begitu gampang sekali ?

Hal ini memang perlu diterangkan sedikit untuk tidak membingungkan kepada para
pembaca.

Semenjak An Hun Ie mendapat anjuran akan menangkap pada Bu Ciang Tong yang dituduh
mencuri mustika Ya-beng-cu milik Gouw Siucay oleh Cap-ek-sin-kauw Ngay Houw Cun,

114
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

bupati jahanam ini selalu putar otak cara bagaimana buat melakukan pekerjaan itu dengan
suatu risiko yang sekecil-kecilnya, tetapi akan dapat menarik keuntungan yang se-besar-
besarnya dengan tak usah mengalamkan kerusuhan apa-apa.

Tetapi setelah berapa orang kepercayaannya ditanyakan pikirannya dan tidak juga dapat
memecahkan persoalan ini, lalu ia undang Houw Cun buat coba mengunjukkan ia suatu
jalan yang didasarkan atas anjuran yang telah keluar dari otak si-kepala kampak itu.

Houw Cun yang merasa telah diberikan ketika se-luas2nya untuk membikin pembalasan
kepada musuhnya itu, tentu saja jadi sangat girang dan lalu mengatur suatu muslihat keji.

Mula-mula ia mengatakan bahwa Bu Ciang Tong itu bukan hanya pada kali itu saja
melakukan kejahatan, tetapi sudah banyak kali, tetapi karena orang takut kepadanya, maka
rahasia itu orang tak berani sembarangan siarkan diluaran, berhubung kuatir dengan
pembalasan2 hebat yang juga mungkin akan dilakukan oleh kepala polisi itu dan
komplotannya yang berjumlah bukan sedikit.

Sebagai salah satu bukti yang paling nyata, Houw Cun telah mengalihkan pandangannya
kepada kekayaan Bu Ciang Tong yang tidak sedikit jumlahnya, yang sebenarnya telah
diperolehnya sebagai warisan dari ayahnya almarhum, tetapi oleh si kepala kampak itu
dikatakan telah dapat dikumpulkan dari perampokan, pencurian, dan sumber 2 lain yang
tidak halal.

Lebih jauh Houw Cun menambahkan bahwa karena bupati itu ada seorang baru, maka tidak
heran jikalau ia belum ketahui tentang adanya peristiwa-peristiwa tidak baik yang pernah
dilakukan oleh kepala polisi itu pada masa yang lampau. Tetapi lain halnya bagi dirinya
sendiri, yang memang sudah sedari lama menjadi salah seorang penduduk kabupaten Ham-
yang, juga telah ketahui jelas rahasia-sia ini dari sumber2 yang sangat boleh dipercaya.

Maka jikalau Ciang Tong ditangkap dan dijatuhi hukuman berat, bukan saja si-bupati bisa
dianggap berjasa terhadap negeri dan kesejahteraan kabupaten Ham-yang, tetapi
berbareng ia bisa sita harta-benda Bu Ciang Tong yang jumlahnya bukan sedikit itu.

“Semua orang suka uang dan harta-benda," Houw Cun berbisik ditelinga bupati jahanam itu.
“Maka setelah Tayjin sita harta-bendanya Bu Ciang Tong, ada apakah salahnya kalau harta-
benda itu Tay-jin ambil semua atau sebagian untuk keperluan sendiri ? Dalam pensitaan
Tayjin boleh menggunakan “atas nama negeri", tetapi dalam “praktek" toh orang tidak akan
ambil pusing atau hendak mencari tahu lebih jauh “kemana perginya" harta sitaan itu,
bukan ?"

An Hun Ie yang kemaruk harta-benda jadi sangat girang ketika mendengar anjuran
sahabatnya itu.

“Engkau ini sesungguhnya ada seorang yang pandai dan cerdik sekali !" katanya. “Aku sama
sekali tak pernah pikir, bahwa hal ini bisa dengan secara langsung menguntungkan kepada
diriku sendiri. Maka apabila pekerjaan ini sesungguhnya telah berhasil menurut ikhtiarmu
tadi, aku tentu tak akan melupakan atas jasa-jasamu yang bukan kecil itu."

Tetapi Houw Cun selalu merendahkan diri dan mengatakan bahwa semua itu bukanlah
menjadi tujuannya akan ia “mengikut untung" dalam pensitaan hartanya Bu Ciang Tong itu.
Karena ia sendiripun, katanya tidak membutuhkan harta, berhubung kekayaannya sendiri
tidak akan habis dimakan, walaupun diibaratkan, ia bisa hidup sehingga 100 tahun lamanya.

“Tetapi belum tahu cara bagaimana kita harus menangkap Bu Ciang Tong itu ?" bertanya si-
bupati jahanam kepada kepala kampak itu.

115
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Bu Ciang Tong ini adalah seorang yang keras kepala dan tidak gampang ditaklukkan," kata
Ngay Houw Cun. “Maka cara yang terbaik untuk menangkap kepadanya adalah Tayjin disini
pura-pura mengadakan suatu perjamuan makan-minum, dimana Tayjin boleh undang
padanya serta berikan ia minuman arak yang berisikan Bong-han-yo, agar supaya dengan
begitu ia bisa dibikin tidak berdaya dan terus diringkus serta dijebluskan ke kamar tahanan.
Itulah ada tindakan pertama yang Tayjin perlu ambil. Apabila kemudian ia sudah dapat
ditangkap, Tayjin boleh perintahkan orang lobangi bagian tulang yang menghubungkan
antara bagian bahu dan badan. Pada bagian lobang itu boleh dipasangi rantai yang membe-
lenggu sekujur badannya, sehingga dengan begitu, walaupun ia punya sayap buat terbang,
niscaya ia tak akan mampu lagi buat meloloskan dirinya. Ia boleh bicara besar sebelum ia
mengalami kejadian itu, tetapi Tayjin boleh saksikan bagaimana lagaknya kalau ia nanti
sudah mengalami “pengajaran" itu."

Begitulah Houw Cun akhiri pembicaraannya sambil tertawa bergelak-gelak. Hal manapun
diturut juga oleh si bupati jahanam itu.

Begitulah dengan menuruti muslihat busuk yang ia telah dapat dari ajaran kepala kampak
itu, An Hun Ie lalu mengadakan perjamuan makan minum diantara kaum seterunya, dengan
Bu Ciang Tong yang terhitung sebagai “orang luar" adalah orang satu-satunya yang
diundang dalam perjamuan tersebut.

Mula-mula Ciang Tong tidak tahu bakal dijebak oleh sepnya sendiri.

Tahu-tahu ketika ia minum tiga cangkir arak dan mendadak merasakan langit dan bumi se-
olah-olah berputar, barulah ia separuh curiga bahwa diadakannya perjamuan itu tentulah
ada mengandung maksud apa-apa yang tersembunyi. Tetapi ia sama sekali tidak
menyangka, kalau-kalau hal itu ada sangkut-pautnya dengan hal-hal lain yang akan
membawa dirinya kearah kecelakaan dan kemusnaan diri dan rumah tangganya. Hal mana,
baru ia ketahui jelas ketika ia mendusin dari mabuknya dan merasakan sakit yang amat
hebat ketika tulang kipasnya dilubangi dan dipasangi rantai2 yang kuat! Maka dari itu,
jangankan mau berontak untuk meloloskan dirinya, sedangkan untuk bergerak saja ia sudah
tidak bebas daripada perasaan sakit.

Sementara An Hun Ie yang sekarang telah menyaksikan Ciang Tong telah diborgol dan tidak
berdaya lagi untuk membikin perlawanan, tidak tempo lagi segera membuka persidangan
buat memeriksa perkara Bu Ciang Tong yang dikatakan telah mencuri mustika Ya-beng-cu
milik Gouw Siucay dari kecamatan Nouw-tam-lie.

Tetapi karena merasa tak pernah melakukan kejahatan itu, sudah tentu saja Ciang Tong
menyangkal keras atas semua tuduhan itu.

Maka si-bupati jahanam yang tidak berhasil buat membikin Ciang Tong mengakui
“kedosaannya", dengan gusar lalu mempergunakan segala macam alat pengompres yang
paling hebat untuk memaksa memperoleh berbagai keterangan yang diinginkannya. Dan
setelah kewalahan buat memaksa kepala polisi itu akan mengaku sebagai pencuri, Hun Ie
perintah opas kabupaten buat menjebluskan Ciang Tong kedalam tahanan.

Dan ketika berselang beberapa hari lamanya, kembali pemeriksaan dilanjutkan. Tetapi
karena mengingat bahwa tuduhan busuk itu ada sangkut-pautnya dengan nama baiknya,
sudah barang tentu Ciang Tong tidak sudi mengaku dengan begitu saja, walaupun ia
merasakan dirinya sudah hampir tidak tahan karena saban-saban mesti mengalami
pengompresan2 yang amat hebat.

116
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Lama-lama, karena tidak mendapat perawatan baik selama berada dalam tahanan, maka
Ciang Tong telah jatuh sakit dan akhirnya menutup mata dengan meninggalkan seorang
isteri dan seorang gadis remaja yang bernama Liu Sian. Dan tatkala harta-bendanya disita
“atas nama negeri" dan dikatakan telah dapat dikumpul dengan jalan yang tidak halal,
kemudian telah dikangkangi oleh si bupati jahanam, hingga isteri dan puteri Ciang Tong
yang bernasib malang dan terusir keluar dari rumah tangganya, terpaksa hidup terlunta 2
diluaran dengan hanya mendapat tunjangan yang tidak seberapa dari kawan-kawan dan
handai taulan yang mempunyai perhubungan baik semasa hidupnya kepala polisi itu.

Maka sesudah ibunyapun telah meninggal juga karena mereras, Liu Sian jadi hidup sebatang
kara dan terpaksa menyingkir ketempat sunyi untuk berikhtiar akan menuntut balas pada si
bupati jahanam yang telah menjadi gara2 dari kematian ayah-bunda dan keruntuhan rumah
tangganya itu.

Liu Sian ini sejak masih anak-anak memang pernah meyakinkan ilmu silat dibawah pimpinan
ayahnya sendiri, tetapi karena mengingat bahwa Liu Sian hanya ada seorang perempuan
saja, maka Ciang Tong tidak terlalu mengutamakan untuk mendidik sang puteri buat
menjadi seorang ahli silat besar sebagai dirinya sendiri.

Ditempat sunyi yang dikunjunginya itu, Liu Sian beruntung bisa menumpang tinggal didalam
sebuah rumah berhala kecil yang ditinggali oleh beberapa orang paderi perempuan.

Oleh karena kepada mereka Liu Sian telah menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang
maksud tujuannya yang hendak melakukan pembalasan sakit hati kepada musuh-musuhnya,
maka para nikouw yang merasa simpathi kepadanya telah menganjurkan supaya si nona
suka berlatih ilmu silat dengan rajin untuk dapat melaksanakan maksud yang dikandung
didalam hatinya itu.

Disitu Liu Sian menumpang tinggal baru saja kira-kira sebulan lamanya, ketika ia mendengar
An Hun Ie telah dinaikan pangkat menjadi residen dan diunjuk kota Hangciu sebagai tempat
kedudukannya.

Si nona yang mendengar kabar begitu, tentu saja jadi heran tercampur menyesal didalam
hatinya.

Yang pertama2 ia tidak mengerti cara bagaimana bupati jahanam itu bisa begitu lekas naik
pangkat, berhubung ia sebagai seorang perempuan yang tidak tahu tentang kebusukan2
dikalangan pemerintah dijaman penjajahan itu, tidak mengetahui sama sekali bahwa
pangkat itu bisa dibeli, sedangkan rasa menyesalnya adalah karena kedudukan sang musuh
telah menjadi semakin jauh dan disebuah kota yang lebih besar daripada Hamyang, maka
sudah barang tentu maksudnya akan membikin pembalasan akan menjadi semakin sukar.

Tetapi para nikouw yang kemudian mengetahui tentang rahasia hati si nona, semua pada
menghibur dengan mengatakan bahwa Thian Yang Maha Kuasa pasti akan melindungi dan
bantu melaksanakan pekerjaan seorang anak berbakti yang hendak menuntut balas untuk
orang tuanya yang difitnah orang dengan secara keji dan tanpa melakukan sesuatu
kedosaan.

Hal mana, ternyata dapat juga menolong untuk meringankan rasa penyesalan Liu Sian yang
bernasib malang itu.

Tatkala ia menumpang tinggal di rumah berhala itu kira-kira beberapa bulan lamanya, pada
suatu hari si nona telah menyatakan pikirannya pada nikouw tua yang menjadi pengurus
rumah berhala itu, bahwa dihari esok ia akan berangkat ke-kota Hangciu guna membikin
pembalasan pada An Hun Ie yang menjadi musuh besarnya. Tetapi maksud itu lantas
117
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

dicegah oleh si nikouw dengan mengatakan: “Nona, aku bukan hendak merintangi
niatanmu, juga bukan karena tidak percaya dengan kepandaianmu yang kita pernah
saksikan diwaktu engkau berlatih sehari-hari; aku hanya kuatir karena engkau ada seorang
perempuan dan hanya seorang diri saja, tentunya engkau tak mempunyai kekuatan cukup
akan melakukan pekerjaan yang sesungguhnya bukan gampang itu. Lain halnya jikalau
maksudmu itu mendapat tunjangan dari beberapa orang pandai yang bersatu hati,
memanglah banyak kemungkinan engkau akan berhasil; kalau tidak, rasanya paling betul
supaya kau bersabar dahulu sehingga beberapa bulan lagi, agar dengan begitu, aku bisa
membantu engkau berikhtiar lebih jauh cara bagaimana pekerjaan ini harus diaturnya."

Tetapi Liu Sian yang sudah merasa tidak sabar lagi buat menunggu-nunggu, lalu
mengatakan yang ia sangat menyesal tidak bisa turuti omongan nikouw yang baik hati itu.
Karena selain ia telah mengambil keputusan untuk melakukan pekerjaan yang sangat
berbahaya itu, iapun telah bersumpah akan tidak mau hidup bersama-sama dengan orang
yang menjadi musuh besarnya itu.

Jika umpama percobaannya itu gagal, ia tidak melihat ada jalan lain baginya daripada
kematian, walaupun ia belum bisa meramalkan dengan pasti, apa ia akan mati ditangan
orang lain atau mati karena membunuh dirinya sendiri.

Maka nikouw tua tadi yang mendengar omongan si nona, dengan mata mengembeng air
karena terharu lalu berkata : “Nona, engkau ini sesungguhnyalah ada seorang gadis yang
berhati keras bagaikan baja! Aku disini hanya bisa bantu berdoa agar supaya Tuhan Yang
Maha Kuasa melindungi dirimu dalam tugasmu yang suci itu."

Hal mana, dengan tak dapat ditahan lagi, Liu Sian jadi menangis tersedu-sedu.

***

Ketika cuaca baru saja terang tanah, si nona telah bangun dan berdandan sebagai seorang
gadis desa yang hendak masuk kota untuk mencari nafkah atau berburuh.

Maka setelah meminta diri pada nikouw tua dan berlalu dari rumah berhala itu dengan
menggendong pauwhok yang didalamnya disembunyikannya sebilah golok, Liu Sian lalu
menuju ke kota Hangciu dengan mengambil jalan ditempat sunyi yang jarang dilalui
manusia. Karena jikalau sampai dikenali oleh orang-orang yang menjadi kaki-tangan pihak
musuhnya, bukan saja maksudnya akan jadi gagal, malah dirinya sendiripun tidak mustahil
akan ditangkap dan mengalami nasib yang bersamaan dengan ayahnya yang telah marhum
itu.

Begitulah pada suatu hari Liu Sian telah sampai dengan selamat diluar kota Hangciu.

Disini karena ia mendapat pikiran bahwa berpakaian cara lelaki adalah lebih leluasa daripada
dengan secara terang-terangan berpakaian sebagaimana apa yang dikenakannya sekarang
ini, maka ia lantas membeli seperangkap pakaian pria yang kiranya cocok untuk dikenakan
olehnya. Setelah pakaian ini dikenakannya disuatu tempat yang sunyi, barulah ia menuju
kedalam kota dan mencari rumah penginapan untuk dijadikan “pokok operasinya", dari
mana dengan secara diam-diam ia hendak menuju ke gedung residen untuk melakukan
pembalasan terhadap pembesar jahanam itu, yang telah menerbitkan kemusnahan dan
keruntuhan bagi rumah tangganya, yang dahulu dirasakannya amat beruntung dan
tenteram didalam dunia ini.

Maka persoalan itu semakin dipikirkan didalam hatinya, Liu Sian jadi semakin jengkel dan
sedih, sehingga ketika ia berdiam beberapa hari lamanya di kota Hangciu dan mengetahui
dimana letaknya kantor residen yang hendak disatroninya itu, pada suatu malam ia telah
118
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

keluar dari rumah penginapan dengan diam-diam dan terus menuju ke kantor tersebut
dengan berpakaian ringkas dan membekal golok yang ia selalu bawa dalam perjalanannya.

Tetapi karena ia bukan seorang yang biasa melakukan pekerjaan 2 yang meminta ketabahan
hati sampai begitu jauh, sudah tentu saja ia jadi keder juga, akan segera mulai bertindak
menurut rencana yang telah dipikirkannya sekian lama itu, terutama ketika melihat
penjagaan yang diatur begitu rapih dan sempurna disekitar gedung residen tersebut yang
akan dijadikan sasarannya itu.

Maka jikalau mula-mula ia telah membayangkan akan membalas kepada musuhnya dengan
cara ini atau itu yang agak muluk2 buat melampiaskan sakit hatinya, adalah sekarang ia jadi
mundur-maju dan buat beberapa saat lamanya tampak ragu-ragu, karena tak tahu
bagaimana yang harus diperbuatnya selanjutnya.

Begitulah selagi memutar otak dengan perasaan sedih dan penasaran disuatu pelosok yang
gelap diluar pagar tembok gedung keresidenan, mendadak si nona mendengar dua orang
penjaga malam beromong-omong sambil duduk mengisap huncwee disebelah pagar tembok
dimana ia bersembunyi.

Salah seorang antara penjaga malam itu dengan suara perlahan-lahan berkata kepada
kawannya sebagai berikut:

“Menurut kabar yang aku dapat dengar dari beberapa teman-teman dikalangan Kang-ouw,
Tamtong atau kepala polisi rahasia yang baru ini sebenarnya bukan bernama Thio Sin,
tetapi Ngay Houw Cun yang terkenal dengan gelaran Cap-ek-sinkauw, hanya belum tahu
sebab apa dia bisa bergaul begitu rapat dengan residen."

“Nama dan gelaran yang kau katakan tadi," kata penjaga malam yang lainnya, “aku rasanya
sudah lama dapat dengar dikalangan Kang-ouw. Apakah dia itu bukan seorang kepala
kampak yang menjadi musuh besar dari bekas kepala polisi Bu Ciang Tong di Hamyang,
yang kabarnya telah mati didalam penjara karena difitnah oleh residen yang sekarang dan
menjadi sahabat karib dari si kepala kampak itu ?"

“Hal itu aku kurang tahu," kata si penjaga malam yang pertama. “Tetapi dari kabar angin
yang orang telah sampaikan kepadaku, aku telah dikasih tahu bahwa pangkat yang
dipangkunya itupun bukanlah berdasarkan dari keangkatan resmi karena berhubung dengan
jasa-jasa yang telah diperolehnya, hanyalah ............"

Kedua-duanya penjaga malam itu jadi pada tertawa cekikikan.

“Aku tahu, aku tahu. Itulah tentu ada suatu “perkara e-hem" didalamnya, bukan ?"

“Ya, ya, itulah memang bukan urusan langka bagi orang-orang hartawan yang kepingin
mencari untung dengan mengandalkan kepada pengaruh kepangkatannya. Semakin mereka
kaya, semakin mudah pula akan mereka “membeli" pangkat yang tinggi 2, dan berbareng
semakin rakus mereka “menerima" sogokan2 dan tak segan melakukan pemerasan kekiri-
kanan. Dengan begitu, semakin bertimbun pula harta benda mereka yang tidak halal.
Tinggal kita kaum kecil yang separuh mati separuh hidup; perut kelaparan, badan
kedinginan ............"

“Hus, jangan kau melantur!" kata si penjaga malam yang kedua. “Kalau hal ini dapat
didengar oleh si Ah Kauw, dia pasti akan mengadu pada sepnya yang baru, hingga selain
kita bisa dihukum rangket, kitapun tidak mustahil akan dipecat dari pekerjaan kita."

“Apakah si Ah Kauw akan dipekerjakan dibawah perintah Tamtong baru itu ?"

119
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Ya, itu sudah pasti," sahut sang kawan yang ditanya itu.

“Syukurlah," kata penjaga malam itu dengan suara menyindir. “Tukang cungo bekerja
dibawah perintah kepala kampak, hingga dalam sedikit waktu saja aku percaya dia bisa
ketularan juga menjadi kepala kampak kecil !"

Dengan mendengari pembicaraan kedua orang penjaga malam itu, Bu Liu Sian jadi
mengetahui semakin jelas tentang jalannya permusuhan antara An Hun Ie dan ayahnya
almarhum, dengan Cap-ek-sin-kauw yang campur tangan diantaranya, adalah merupakan
sebagai biang keladi yang menjadi gara2 dari semua kecelakaan yang dialami mereka
serumah tangga itu.

Maka dengan bertambahnya seorang musuh yang tak pernah ia impikan sama sekali, sudah
tentu saja Liu Sian jadi menghadapi percobaan yang semakin berat dan sulit. Karena selain
bertambahnya seorang musuh yang ia belum kenal bagaimana romannya, juga ia telah
yakin dengan melihat pada gelarannya yang disebut Cap-ek-sin-kauw itu bahwa ilmu silat
musuhnya itupun tentunya tidak bisa dikata lemah.

Dari itu, semakin memikirkan urusan dan kesulitan2 yang bakal datang itu, Liu Sian jadi
semakin putus asa dan merasa bosan untuk hidup terlebih lama pula dalam dunia yang
penuh dengan kepalsuan dan kekejian ini.

Maka dengan timbulnya kenekatan yang sekonyong-konyong itu, lalu timbullah juga
keberanian yang luar biasa dari si nona untuk menerjang masuk ke sarang harimau dan
membikin pembalasan pada An Hun Ie yang menjadi musuh besarnya itu.

Syukur juga Liu Sian pernah meyakinkan ilmu tiam-hwe-kin, serupa ilmu kepandaian untuk
membikin orang tidak berdaya dengan jalan ditotol jalan darahnya, dalam ilmu mana
biarpun belum dapat dikatakan ia sangat pandai, tetapi kepandaian itu pernah juga
dicobanya dengan hasil yang lumayan.

Begitulah setelah berhasil dapat melompati pagar tembok yang tidak berapa tinggi itu, si
nona lalu menghampiri kepada dua penjaga malam tadi bagaikan lakunya seekor kucing
yang hendak menerkam tikus yang menjadi mangsanya.

Mula-mula ia mendekati mereka dengan jalan bersembunyi di-belakang pohon-pohon yang


banyak terdapat dihalaman kantor residen tersebut. Dan tatkala ia berada cukup dekat
dibelakang kedua orang itu, Liu Sian dengan sekonyong-konyong lalu membentak : “Jangan
bergerak atau berteriak, apabila kamu sayang jiwamu sendiri !"

Sambil membentak begitu, si nona segera kelebatkan goloknya di hadapan muka kedua
orang itu.

Hal mana, sudah barang tentu telah membikin mereka jadi kemekmek saking kagetnya.

Dalam pada itu, Liu Sian yang telah mendapat suatu akal akan masuk kegedung residen,
lalu menyatakan pada kedua orang penjaga malam itu supaya mereka bawa ia menghadap
pada residen disaat itu juga.

“Hohan ini siapa ? Asal dari mana, dan ada keperluan apa malam-malam berkunjung kesini
akan berjumpa pada paduka residen?" tanya salah seorang antaranya dengan badan
gemetaran dan menyangka bahwa si nona itu adalah seorang laki-laki.

120
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Hal itu tidak perlu kamu tahu !" membentak si nona pula. “Kamu hanya perlu bawa aku
menghadap pada residen, lain daripada itu tidak perlu kamu menanyakan apa-apa pula
kepadaku ! Ayoh, lekas kamu berjalan!"

Kedua orang itu menurut.

“Tetapi apabila ada kawan-kawanmu yang menyatakan aku ini siapa," memesan Bu Liu
Sian, “katakanlah bahwa aku ini seorang mata-mata yang baru kembali dari luar kota !
Jangan salah, apabila kamu sayang jiwamu sendiri!"

“Ya, ya, baiklah," kata mereka dengan hati kebat-kebit.

Tatkala mereka berjalan melalui muka gedung keresidenan, disitu mereka telah
diberhentikan oleh dua orang penjaga malam yang bertugas menjaga ditempat tersebut.

“Kamu siapa ?" tanya mereka.

“Thio Pin dan Lie Kie," sahut kedua orang yang mengiringkan si nona yang menyamar itu.
“Itu siapa yang seorang lagi?"

“Mata-mata dari gedung keresidenan yang baru kembali dari luar kota."

“Ya, kamu boleh lewat!" kata salah seorang antaranya dengan suara memerintah.

Lie Kie dan Thio Pin melanjutkan perjalanannya dengan diikuti oleh Bu Liu Sian, yang
sekarang telah masukkan goloknya kedalam serangkanya yang digendong dipunggungnya.

Beberapa pengawal telah dijumpai dan diberikan jawaban yang bersamaan ketika mereka
menanyakan siapa adanya si nona itu.

Tidak antara lama mereka telah sampai digedung residen, dimana An Hun Ie dan Houw Cun
kebetulan sedang duduk makan minum dengan dilayani oleh beberapa orang perempuan
tukang menari.

Sebagaimana dimuka ini telah diterangkan dengan melalui penuturan yang dilakukan oleh
kedua orang penjaga malam Thio Pin dan Lie Kie tadi, Cap-ek-sin-kauw Ngay Houw Cun ini
sekarang telah menjabat pangkat Tam-tong yang diperbantukan dikantor residen sambil
berbareng juga merangkap jabatan penasehat dari pembesar durjana itu.

Ia ini dengan mengandel pada pengaruh An Hun Ie yang telah “kasih persen" ia pangkat
dengan perdio, mulai dari beberapa minggu yang lalu telah datang kegedung residen untuk
“menjalankan tugas yang Hun Ie telah percayakan" kepadanya.

Kedua manusia busuk ini karena memperoleh harta rampasan dari Bu Ciang Tong yang
dalam teori dikatakan “disita atas nama negeri", tetapi dalam prakteknya masuk kantong
mereka, bukan saja merasa sangat girang oleh karena mendapat harta “terkejut" itu, tetapi
juga merasa bersyukur di-dalam hati; berhubung yang dimaksudkan bahaya yang sangat
ditakuti itu atau kepala polisi yang bernasib malang itu — sekarang telah dapat “diatasi"
dengan memberikan kesudahan2 yang sangat memuaskan. Oleh sebab itu, tidaklah heran
jikalau hampir setiap hari mereka berpesta pora dan saling memberi selamat atas
keberuntungan yang mereka telah peroleh bersama-sama itu.

Tetapi tidak kira selagi mereka bermakan minum dengan gembira, tiba-tiba ada seorang
pengawal yang masuk untuk melaporkan bahwa diluar ada seorang mata-mata yang baru
kembali dari luar kota dan ada urusan penting yang perlu disampaikan kepada paduka
residen seketika itu juga.

121
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Sementara An Hun Ie yang memang biasa melepas mata-mata diluaran buat mencari tahu
tentang gerak-gerik dan sikap penduduk negeri yang berada dibawah perintahnya, dengan
lantas ia mengasih perintah supaya “si mata-mata" itu segera datang menghadap.

Diceritakan ketika pengawal tadi masuk melaporkan tentang kedatangannya kepada residen
jahanam itu, Bu Liu Sian dengan sebat lalu menotol jalan darah Thio Pin dan Lie Kie, yang
segera menjadi kaku dan tak dapat berbicara, hingga biarpun mereka bisa melihat, tetapi
sama sekali tak dapat bergerak dan tinggal berdiri tegak diluar gedung residen bagaikan dua
buah patung.

Demikian juga waktu si pengawal itu keluar, ia inipun lantas di-tiam oleh si nona dan
menjadi bisu seperti juga kedua orang penjaga malam yang telah “dikerjakannya" tadi itu!

Kemudian, sebegitu lekas ia berhadapan dengan An Hun Ie dan Ngay Houw Cun yang
sedang berduduk makan minum, bukan saja ia tidak memberi hormat atau mengunjuk sikap
yang manis, tetapi sebaliknya dengan berseru: “Jahanam! Oleh karena perbuatan kamu
berdua, maka ayah-bundaku berikut rumah tanggaku telah binasa dan termusnah dalam
keadaan yang sangat menyedihkan!"

Mendengar bentakan yang sangat mendadak itu, sudah tentu saja Hun Ie jadi terperanjat
bukan main, kemudian ia jadi gemetaran karena ketakutan, sebab disamping sikap si nona
yang begitu gagah dan berani, iapun merasa cemas melihat Bu Liu Sian menghunus golok
yang sinarnya ber-kilau-kilau-an dibawah api lilin yang terang benderang.

Kecuali Ngay Houw Cun, yang selain berhati tabah, juga dengan lantas ia dapat menetapkan
kembali hatinya dan paham ilmu silat, hingga setelah mengalami sedikit kekagetan,
memandang pada si nona dengan mata tidak berkesip.

“Setelah sekarang aku berhasil bisa mencari tempat kediamanmu dan bertemu denganmu
berdua disini," melanjutkan si nona, “aku tak minta lain daripada jiwamu berdua sebagai
penggantian jiwa ayahku yang telah kamu fitnah sehingga binasa itu ! Ni ! Kamu boleh
rasakan golokku yang tidak bermata!"

Sambil berkata begitu, Liu Sian segera membacok pada An Hun Ie, hingga si-residen
jahanam ini yang memang tidak mengerti ilmu silat, bukan saja tak dapat berkelit untuk
menghindarkan diri daripada bacokan itu, tetapi sebaliknya lantas mengeluarkan suara
teriakan ngeri: “Hohan ! Ampun !”

Kemudian terdengar suara bergedubrakan dan pembesar jahanam itu telah jatuh keatas
jubin.

Liu Sian jadi kaget dan lekas tarik pulang goloknya yang telah dipakai membacok dengan
terlalu terburu napsu itu. Karena apabila ia tidak lekas tarik pulang golok itu, Houw Cun
yang ia tahu paham ilmu silat dapat merampasnya selagi tenaganya dicurahkan ke ujung
senjata tersebut.

Apakah sebabnya Liu Sian yang membacok, tetapi jadi berbalik kaget oleh karena
perbuatannya itu ?

Hal ini kiranya perlu juga untuk diterangkan sedikit.

Tatkala si nona membacok pada An Hun Ie, sebenarnya ia tidak kira yang bacokan itu bisa
kejadian gagal. Karena waktu si nona membacok dengan hati yang sangat bernapsu, ia
sama sekali tidak menduga kalau Houw Cun yang duduk berhadapan dengan residen
bangpak itu, telah tendang kursi Hun Ie sehingga terbalik. Maka berbareng dengan

122
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

terbaliknya kursi itu, lalu terjungkellah orang yang duduk diatasnya. Dan itulah ada saat
yang sangat berbahaya, ketika goloknya Liu Sian menyamber kearah musuhnya, hingga
dengan begitu, Hun Ie telah diselamatkan jiwanya oleh Houw Cun yang selalu berlaku
waspada disetiap waktu berhadapan dengan musuh.

Sementara si nona yang melihat maksudnya telah digagalkan oleh si kepala kampak,
dengan gusar lantas menerjang pada Ngay Houw Cun sambil berseru: “Manusia terkutuk!
Aku bersumpah tak akan mau hidup ber-sama-sama engkau di-kolong langit ini!"

Sementara Houw Cun yang ditangannya tidak bersenjata sama sekali, buru-buru sembat
sebuah kursi didekatnya, dengan mana ia telah menangkis golok si nona yang dibacokkan
secepat kilat kearah dirinya.

Dan dalam pada itu Hun Ie yang telah keburu bangun dan lari ter-birit-birit dari dalam
ruangan itu, lalu teriakkan pengawal-pengawal yang bersenjata buat datang membantui
mengepung si nona yang sedang bertempur dengan Houw Cun yang bersenjatakan diri
dengan sebuah kursi itu.

Maka dengan teriakan pembesar itu yang dikerahkan dengan se-keras2nya, dalam tempo
sekejapan saja ruangan itu telah penuh dengan pegawai 2 bersenjata yang maju mengepung
pada Bu Liu Sian sambil ber-sorak-sorak untuk bantu menambahkan keangkeran. Tetapi
sebaliknya si nona yang melihat semakin lama orang yang datang mengepung padanya jadi
semakin banyak jumlahnya, sudah tentu saja jadi kuatir dan buru-buru berlompat keluar
ruangan akan mencari jalan buat meloloskan diri.

“Tangkap, tangkap ! Jangan kasih lolos pembunuh itu !" teriak Hun Ie dari kejauhan.
“Barang siapa yang berhasil dapat menangkapnya, hidup atau mati, akan diberi hadiah
seribu tail perak!"

“Tangkap, tangkap ! Jangan kasih lolos pembunuh itu !" supaya semua orang tambah
semangat dalam pengepungan terhadap si nona yang merupakan sebagai suatu bahaya
yang bukan kecil bagi dirinya.

Tetapi Liu Sian biarpun pernah belajar silat dibawah pimpinan seorang ahli sebagai ayahnya
sendiri, ilmu kepandaian itu bukanlah khusus untuk mendidik ia akan menjadi seorang ahli
didalam kalangan ilmu silat, maka sesudah bertempur dengan Houw Cun beberapa belas
jurus saja lamanya, ia sudah lantas ketahui bahwa ia bukan tandingan yang setimpal dari
kepala kampak itu, hingga biarpun hatinya masih sangat penasaran, apa-boleh-buat ia mesti
tahan sabar dahulu akan mengalah pada kali ini dan kembali pula dilain waktu dengan
mengambil cara yang lebih taktis dan tidak terburu napsu seperti sekarang ini.

Begitulah setelah melihat ada sedikit lowongan untuk meloloskan diri, Bu Liu Sian lekas
ayunkan tangannya sambil berseru : Jahanam! Kau rasakan ini popweeku!"

Houw Cun buru-buru berlompat sambil berjongkok dan menundukkan kepalanya, karena
kuatir dilukai oleh senjata rahasia musuh itu. Padahal semua itu adalah suatu gertakan
belaka, yang se-mata-mata dilakukan si nona untuk membikin terkesiap hati si kepala
kampak itu!

Maka dengan mengambil ketika selagi Houw Cun berkelit dan berlaku sedikit ayal dalam
perlawanannya, Liu Sian segera meloloskan diri dengan jalan melompati pagar tembok dan
terus menghilang diantara lorong2 yang gelap dan memang telah diperhatikan beberapa hari
lamanya untuk dipergunakan sebagai jalan untuk merat. Dari itu, biarpun Houw Cun telah
mengerahkan semua tenaga yang ada dibawah perintahnya untuk melakukan pengejaran,
tidak urung Liu Sian telah dapat juga meloloskan diri, tak dapat dicekal ataupun diketahui
123
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

kearah mana larinya. Hal mana, sudah barang tentu telah membikin Houw Cun jadi sangat
jengkel dan terpaksa menghentikan usaha pengejarannya itu.

Sekembalinya ke gedung residen, si kepala kampak ini buru-buru pergi menjumpakan An


Hun Ie, yang ternyata tidak mendapat luka apa-apa selain mengalami sedikit kekagetan.
Dan sesudah menyatakan kegirangannya melihat sep bebodor itu tidak kurang suatu
apapun, Houw Cun lalu menganjurkan agar supaya Hun Ie segera mengeluarkan maklumat
untuk menangkap pembunuh yang telah gagal itu.

Hun Ie membenarkan dan menurut usul gundalnya itu. Kemudian dengan tidak menunggu
lagi sampai dihari esoknya, pada malam itu juga residen keji ini telah perintah pegawai2nya
buat menulis maklumat2 itu, yang antara lain berbunyi sebagai berikut:

“Barang siapa yang dapat menangkap si pembunuh itu, mati atau hidup, akan diberi hadiah
1000 tail perak; tetapi barang siapa yang berani melanggar perintah serta berani
menyembunyikan si pembunuh, bukan saja harta bendanya akan disita oleh negeri, malah
orangnya pun akan dijatuhi hukuman yang sama beratnya dengan si pembunuh itu sendiri!"

Maka semenjak dikeluarkannya maklumat2 itu, para penduduk dan pemilik2 rumah
penginapan jadi keder buat menerima sembarang orang yang agak mencurigakan akan
menumpang tinggal. Dan jikalau ada juga beberapa orang diterima untuk menumpang
menginap, mereka tak suka mengizinkan si tetamu itu berdiam lebih lama daripada 3 hari.

Oleh sebab itu juga, tidaklah heran kalau Bu Liu Sian yang perlu berdiam agak lama buat
mencapai maksudnya untuk membikin pembalasan pada An Hun Ie dan Ngay Houw Cun,
jadi ketakutan karena diadakannya larangan tersebut.

Untuk dapat menghindarkan diri daripada intaian mata-mata dan orang-orangnya Ngay
Houw Cun yang selalu berkeliaran kesana-sini dan se-waktu2 mengadakan penggeledahan
dengan sekonyong-konyong, Liu Sian terpaksa bersembunji dikelenteng Leng coan-sie,
dengan ia sendiri sama sekali tak pernah menyangka bahwa berdiamnya ia disitu telah
menerbitkan “lelakon burung" tentang adanya “hantu putih" yang bersarang dikelenteng
kuno tersebut.

Lebih jauh karena Liu Sian yang sudah putus asa kerap uring 2an dan merasa jemu dengan
pengunjung2 yang datang kesitu, maka tidak jarang ia menyambut mereka itu dengan
sambitan-sambitan batu bata atau genteng, agar supaya mereka kapok akan selanjutnya
berkunjung pula kesitu. Tidak tahunya perbuatan itu telah menarik juga perhatiannya Lie
Poan Thian, sehingga karena usahanya ini, akhirnya dapatlah dibongkar suatu perkara
penasaran seperti apa yang telah dituturkan oleh si nona tadi.

Pemuda kita mendengari semua penuturan itu dengan penuh perhatian. Disamping
menyatakan simpathi dan menghibur supaya si nona jangan terlalu bersusah hati, iapun
menyatakan kesediaannya untuk bantu berikhtiar akan membasmi residen jahanam berikut
gundalnya yang amat keji itu.

Begitulah setelah minta supaya Liu Sian suka bersabar dahulu sedikit waktu lamanya, Poan
Thian lalu berpamitan akan kembali ketempat penginapannya.

“Sebentar malam dengan mengajak seorang kawanku," ia menambahkan, “aku akan


kembali pula kesini buat bantu merembukkan lebih jauh urusanmu ini. Karena setelah
selesai penggerebekan kedua yang akan dilakukan terhadap pada sarang kawanan manusia
busuk itu, tidak perduli apakah maksud itu bisa berhasil atau tidak, kita sekalian perlu
angkat kaki se-lekas-lekasnya dari sini; kalau tidak, kita akan dicekal oleh alat2 negara
sebagai kawanan pengacau yang merusak kesejahteraan dan tata-tertib didalam negeri."
124
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Oleh karena itu, maka si nona pun berjanji akan turuti sesuatu pengajarannya pemuda kita.

Kemudian Poan Thian kembali ketempat penginapannya, dimana ia dapatkan Kong Houw
sedang duduk termenung di-atas pembaringannya. Dan tatkala melihat Poan Thian kembali
dengan mengambil jalan dari jendela kamar, ia jadi berbangkit dan hendak buka mulut buat
menanyakan apa-apa, tetapi Poan Thian lekas memberi isyarat supaya ia jangan bikin ribut.
Setelah itu ia mendekati pada Kong Houw dan bicara dengan per-lahan-lahan, katanya: “Kali
ini aku telah ketemukan suatu perkara Wan-ong, suatu persoalan yang membuat kita turut
merasa penasaran, hingga tak boleh tidak akan kita turut campur tangan dalam urusan ini."

“Cobalah kau tuturkan persoalan itu kepadaku," kata Kong Houw yang sudah barang tentu
belum mengerti jelas bagaimana duduknya perkara yang benar.

Poan Thian lalu tuturkan pengalamannya tadi.

Dengan ini, benar saja Cin Kong Houw jadi kelihatan mendongkol ketika mendengar
penuturan itu.

“Kurang ajar benar perbuatannya manusia-sia terkutuk itu !" katanya dengan suara agak
keras.

Beruntung juga Poan Thian lekas tekap mulut sang kawan yang bertebeat pemarah itu,
hingga suara itu tidak sampai menarik perhatian pelancong2 lain yang turut bermalam di
rumah penginapan itu.

“Habis bagaimana rencanamu, yang akan menolong nona itu untuk melaksanakan
maksudnya akan menuntut balas kepada musuh-musuhnya?" Cin Kong Houw meminta
keterangan sekali lagi kepada sahabatnya itu.

“Kukira tidak ada jalan lain daripada kita membantui dia akan melakukan penyerbuan pula
untuk kedua kalinya," sahut Poan Thian. “Berhasil atau tidak, itulah tinggal tergantung pada
nasib masing-masing. Oleh karena itu, sekarang aku hendak minta bantuanmu sekali ini
untuk menunaikan janjiku pada nona Bu Liu Sian, dengan suatu perjanjian yang kau tidak
akan menyesal didalam hati, jikalau dalam usaha yang berbahaya ini kau sampai mengalami
kejadian apa-apa yang tidak diinginkan. Karena dalam pekerjaan kita pada kali ini, kita
semua membantu pada nona Bu bukan dengan arti suka rela saja, bahkan ada
kemungkinan mempertaruhkan juga jiwa kita sendiri, kau mengerti?"

“Jiwaku yang sekarang ini, adalah jiwa punyamu juga," sahut Kong Houw, “karena jikalau
bukan kau yang menolong aku dari tangan komplotan Poo Tin Peng, bukan saja tak mampu
aku membikin pembalasan kepada musuh-musuhku itu, malah jiwaku sendiripun bisa
melayang didalam tangan manusia busuk itu. Maka sebagaimana apa kataku dahulu di
hadapanmu, bukanlah se-mata-mata bermaksud untuk “mengumpak" saja. Benar aku ini
ada seorang kasar, tetapi sebegitu jauh yang aku pernah ingat, tidak pernah aku menjilat
pula ludah yang sudah dibuangkan di tanah! Percayalah padaku, Lie Lauw-hia."

Poan Thian tersenyum dan kelihatan mau percaya omongan Kong Houw yang bertabiat
keras tapi jujur itu.

Maka setelah membayar ongkos makan dan penginapan, pada hari esoknya Poan Thian
kembali dengan diam-diam ke kelenteng Leng-coan-sie dengan mengajak sahabat karibnya
itu.

Begitulah dengan menunggang kuda-kuda yang dapat berlari cepat, kedua orang itu lalu
menuju ke pegunungan Houw-kiu-san dengan membekal sedikit makanan kering untuk me-

125
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

reka dan si nona yang bersembunyi disana, yang tentunya membutuhkannya selama berada
dalam persembunyiannya itu.

Kira-kira pada waktu magrib, barulah Poan Thian dan Kong Houw berani datang ke
kelenteng kuno itu, dimana mereka telah disambut oleh Liu Sian yang telah ajak mereka
masuk ke dalam kelenteng.

“Inilah ada sahabatku Cin Kong Houw," Poan Thian memperkenalkan sahabatnya pada si
nona.

Liu Sian lekas memberi hormat, yang lalu disambuti oleh Kong Houw sebagaimana
mestinya.

“Nona Bu ini adalah puteri almarhum Bu Ciang Tong Lo-cianpwee yang namanya sangat
terkenal dikalangan Kang-ouw," kata Lie Poan Thian. “Bu Lo-enghiong telah difitnah orang
sehingga nona Bu mengalami kesengsaraan besar dan ter-lunta2 diluar kota tumpah
darahnya. Kita semua belum berhasil dapat menjumpai Bu Lo-enghiong diwaktu masih
hidupnya, hingga ini sesungguhnya amat tidak beruntung bagi kita ahli silat angkatan muda.
Tetapi karena mengingat bahwa akan menjumpai nona Bu adalah sama saja seperti kita
menjumpai Bu Lo-enghiong sendiri, maka tidak lebih dari pantas akan kita membantu pada
nona Bu yang menjadi puterinya. Karena dengan jalan berbuat begitu, bukan saja berarti
kita bantu meringankan kesukaran nona Bu sendiri, tetapi berbareng juga bantu Bu Lo-
enghiong membalas sakit hati kepada musuh-musuhnya yang sangat busuk dan keji itu.
Bahkan disamping itu, kita jadi berbareng juga bantu meringankan kesengsaraan anak
negeri yang diperas dan dipermainkan dengan secara sewenang-wenang oleh An Hun Ie
dan Ngay Houw Cun yang menjadi biang keladi dari semua kebencanaan ini. Tetapi belum
tahu pikiran Cin Lauw-hia bagaimana?"

“Aku ini biarpun seorang kasar yang tidak mengerti aturan," kata Cin Kong Houw, “tetapi
bisa juga aku membedakan antara mana yang benar dan tidak benar. Terhadap pada
perkara yang benar, sudah tentu tidak perlu aku pusingi hati apa-apa; tetapi terhadap
urusan nona Bu ini jang merupakan suatu perkara wan-ong yang bukan kecil dan justeru
memang sangat perlu buat dibantu, aku bersedia buat mengorbankan jiwaku, jikalau itu
ternyata perlu !"

“Tetapi itulah bukan bagianmu yang mesti berbuat begitu," memotong si nona sambil
menghapus airmata yang mengucur dipipinya. “Itulah ada kewajibanku sendiri yang menjadi
puterinya, tidak perduli apa juga yang akan terjadi atas diriku."

“Hal ini tidak perlu lagi kita saling merendahkan diri, Lie Poan Thian menyelak diantara
pembicaraan mereka berdua. “Paling betul kita sekarang dahar dahulu seadanya, karena
sebentar kita mesti melakukan penyerbuan yang terakhir dan memastikan. Berhasil atau
gagal, itulah akan kita lihat apa yang akan terjadi pada petang ini. Pauwhok 2 kita boleh
tunda dahulu disini. Juga kuda-kuda kita boleh tunda dan jangan dilepaskan selanya, agar
supaya binatang2 itu bisa segera dipergunakan dimana dirasa perlu. Barang siapa yang
sudah berhasil bisa menerobos masuk kegedung residen, janganlah sembarangan
membunuh orang-orang yang tidak ada sangkut-pautnya dengan kita. Tugas kita yang
utama, adalah akan membunuh An Hun Ie dan Ngay Houw Cun berdua. Setelah itu, kita
boleh kembali kesini, agar supaya kita bisa selekas mungkin melarikan diri ketempat lain
yang lebih aman dan sentosa."

Kong Houw dan Liu Sian menyatakan mupakat dengan omongan itu.

126
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Begitulah setelah selesai dahar dan minum air dari pancuran dibelakang kelenteng itu, Poan
Thian lalu minta mereka segera bersiap-siap, berpakaian buat berjalan diwaktu malam,
membekal golok dan senjata-senjata lain yang perlu dipakai dalam pertempuran dengan
musuh.

Kemudian mereka menuju ke gedung residen untuk membikin penyerbuan mati atau hidup
buat membalas sakit hati Bu Ciang Tong yang telah difitnah oleh residen jahanam dan
gundalnya yang amat keji itu.

Dalam perjalanan, si pemarah Kong Houw yang kasar mendadak telah mendapatkan suatu
akal yang baik sekali.

“Kukira ada juga baiknya," katanya kepada Lie Poan, “apabila kita yang berjumlah sedikit
masuk kegedung residen dengan menggunakan suatu akal halus."

“Ya, itu sudah tentu saja baik sekali," sahut pemuda kita. “Tetapi akal apakah yang dapat
kau pikir akan segera dapat di jalankan disaat ini ?"

“Begini," kata Kong Houw pula. “Sebagaimana telah disebutkan dalam maklumat yang
dikeluarkan dari keresidenan, para penduduk dan pemilik 2 rumah penginapan diperingatkan
supaya jangan menerima tetamu2 yang agak mencurigakan. Maka barang siapa yang berani
melanggar perintah itu, sehingga kemudian menerbitkan keributan, bukan saja harta benda
yang tersangkut bisa disita, malah dirinya orang itupun akan dihukum dengan sama
beratnya seperti orang yang dianggap berdosa itu."

“Ya, ya," kata Lie Poan Thian. “Setelah itu, kau hendak berbuat bagaimana untuk menipu
residen jahanam berikut gundal-gundalnya itu?"

“Untuk itu aku boleh menyamar sebagai seorang tawanan," sahut Kong Houw, “sedangkan
lauw-hia boleh berlaku sebagai orang yang mengajukan aku kepada si residen. Badanku dan
tanganku kau boleh ikat begitu rupa, sehingga dengan begitu aku tampak sebagai seorang
tawanan sungguhan, tetapi tali-tali itu harus dibikin mudah terbuka, supaya aku mudah pula
akan bergerak dan segera melakukan penyerbuan dimana tiba saatnya akan kita berbuat
begitu.

Aku sendiri tidak tahu pengaduan apa yang selanjutnya harus disampaikan pada residen
bebodor itu, hingga tentang ini aku serahkan supaya lauw-hia sendiri mencari alasan2 yang
masuk diakal, karena aku sendiri yang memang kurang pandai menyusun kalimat2 yang
agak boleh dipercaya orang, tak tahu bagaimana harus melaksanakannya."

“Tentang itu baik diatur begini saja," kata Lie Poan Thian. “Aku menyamar sebagai anak
seorang pemilik rumah penginapan yang justeru sedang berlatih ilmu silat, ketika kau —
sebagai seorang tetamu — datang membikin ribut dalam rumah penginapanku, berhubung
kau ditolak oleh ayahku untuk menumpang menginap di rumah penginapanku, karena
ayahku bercuriga melihat roman dan dandananmu. Oleh sebab itu, kau jadi marah dan
akhirnya jadi bertempur serta kena ditawan olehku. Nanti di hadapan si residen aku
memberitahukan bahwa kau ini mungkin juga ada komplotannya si pembunuh yang tersebut
dalam maklumat itu, maka dari itu aku bawa kau menghadap pada residen buat dilakukan
pemeriksaan dan pengompesan lebih jauh. Sementara buat membikin orang-orang yang
menyaksikan kita tidak menaruh curiga apa-apa, aku minta supaya kau memaki2 dan se-
olah-olah hendak melawan kepadaku, waktu aku giring kau menghadap ke kantor residen.
Dalam pada itu nona Bu yang memang sudah dikenali oleh si residen jahanam dan gundal-
gundalnya disana, baiklah jangan turut “menyelenggarakan" permainan komidi ini."

127
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Kalau begitu," kata Liu Sian, “belum tahu Lie Congsu akan memberikan aku tugas
bagaimana?"

Congsu artinya orang gagah. Suatu bahasa sebagai tanda penghormatan.

“Bagi kau," kata pemuda kita, “paling betul bersembunyi dahulu ditempat gelap buat
menunggu ketika yang baik akan turun tangan. Apabila kau mendengar dikantor residen ada
kejadian ribut-ribut, bolehlah kau segera keluar juga membikin ribut dibagian lain dari
gedung ini. Maka biarpun kita datang hanya bertigaan saja, tetapi ramai dan orang tak
mungkin percaya bahwa pihak kita yang menyerbu kesana hanya terdiri dari tiga orang saja
jumlahnya."

“Ya, ya, siasat itu memang baik sekali," menyetujui Kong Houw dan si nona.

Kemudian Poan Thian lalu atur tipu daya itu selekas mungkin, agar supaya nanti dapat
segera “di jalankan", jikalau sampai ke kantor residen.

Sekarang kita menilik pada An Hun Ie dan Cap-ek-sin-kauw Ngay Houw Cun, yang telah
mengatur penjagaan semakin keras dikantor residen, semenjak Liu Sian melakukan
percobaan membunuh atas residen keji itu.

Petang hari itu selagi sep dan gundalnya berembuk, cara bagaimana akan melakukan
penyelidikan dimana tempat sembunyinya si pembunuh yang mereka telah ketahui ada
puterinya Bu Ciang Tong, mendadak ada seorang pengawal yang melaporkan bahwa diluar
ada seorang puteranya pemilik rumah penginapan yang membawa menghadap seorang
tetamu yang dicurigai sebagai komplotannya si pembunuh yang telah menyatroni gedung
residen pada beberapa hari yang telah lalu itu.

Tetapi karena kuatir bahwa semua itu adalah akal bulus dari musuh-musuh mereka, maka
Hun Ie tidak lantas panggil orang-orang itu akan datang menghadap, hanyalah ia
menanyakan dahulu pikirannya Houw Cun, apakah orang-orang itu boleh disuruh meng-
hadap atau dibiarkan saja pengaduannya diurus oleh orang-orang sebawahannya ?

“Ini semua adalah akalan belaka," kata si kepala kampak sambil bersenyum getir. “Jikalau
kita biarkan mereka berada diluar, mereka tentu mudah melarikan diri. Maka buat membikin
mereka tidak berdaya, baiklah Tayjin perintah supaya mereka datang menghadap. Aku disini
ada suatu akal untuk menjebak mereka itu."

Kemudian, sambil menoleh pada si pengawal, Houw Cun lalu bertanya: “Belum tahu mereka
itu semua ada berapa orang ?"

“Hanya berduaan saja, anak pemilik rumah penginapan dan orang tawanannya itu," sahut si
pengawal.

Mendengar jawaban demikian, Cap-ek-sin-kauw Ngay Houw Cun jadi mengkerutkan


dagunya sesaat lamanya.

Mula-mula ia kelihatan mengangguk-angguk, kemudian perintah pengawal itu buat


memanggil kepala opas si Ah Kauw.

“Kepada anak pemilik rumah penginapan itu, kau boleh minta supaya dia suka menunggu
dahulu," kata Ngay Houw Cun, “karena Tayjin disini justeru sedang sibuk mengurus suatu
perkara penting."

Si pengawal itu mengatakan : “Mengerti," kemudian ia berjalan keluar buat minta anak
pemilik rumah penginapan itu menunggu dahulu.
128
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Poan Thian menjawab : “Baik”, meskipun hatinya sendiri mendadak jadi bercekat melihat
gerak-gerik si pengawal itu.

“Aku harap supaya tuan suka menunggu panggilan disini," kata si pengawal itu, “karena aku
ada urusan lain yang perlu diurus."

“Ya," sahut Poan Thian dengan sembarangan.

Tatkala si pengawal telah berlalu jauh, pemuda kita lalu melirik pada Kong Houw yang
menjadi orang tawanan tetiron sambil berbisik : “Celaka ! Mungkin juga mereka telah
mengendus bahwa kita disini hendak mengakali mereka."

“Tidak usah kau banyak bacot ! Kau telah menipu aku," Kong Houw mendadak memaki
kalang kabut bagaikan lakunya seorang edan. “Setelah kau terima uang pembayaran
kamarku, kau lantas katakan aku bersekongkol dengan pembunuh yang disiarkan dalam
maklumat itu !"

“Tutup bacotmu!" akhirnya Poan Thian pun ikut “main sandiwara". “Kau memaksa buat
minta menginap di rumah penginapan kami, hingga se-olah-olah kau hendak fitnah kami
serumah tangga. Kau membikin ribut dan merusakkan segala perabotan di rumah
penginapan kami, apakah itu bukan berarti bahwa kau ini seorang pengacau yang
mengganggu kesejahteraan dan tata-tertib didalam daerah kota Hangciu ini ?"

“Hei, kamu jangan bikin ribut disini !" membentak pengawal tadi, yang telah kembali dengan
mengajak kepala opas Ah Kauw. “Jikalau kamu ada urusan wan-ong yang perlu meminta
keadilan, katakanlah itu nanti di hadapan Tayjin, tetapi bukan mestinya kamu tarik urat
disini. Kamu mengerti?"

Poan Thian dan Kong Houw apa-boleh-buat tutup mulut sebagai tanda mengindahkan atas
perintah si pengawal itu.

Dan ketika balik kembali habis mengantarkan Ah Kauw menghadap pada residen jahanam
itu, barulah si pengawal memberi tanda supaya Poan Thian dan Kong Houw boleh masuk
menghadap.

Poan Thian menurut sambil mengiringi orang tangkapannya.

Tetapi tidak kira ketika baru saja ia berjalan beberapa tindak, mendadak Ah Kauw maju
menerjang buat menyergap Lie Poan Thian sambil berseru : “Bangsat! Apakah kamu kira
kita semua anak-anak yang masih menyusu, sehingga begitu gampang diselomoti oleh
segala muslihatmu yang busuk itu? Jangan lari! Aku Bu Ah Kauw belum mau sudah, apabila
belum dapat membekuk dan membuka rahasia kamu berdua!"

Sementara Poan Thian yang sekarang telah mengetahui bahwa mereka tak dapat pula
melanjutkan permainan “sandiwara" mereka itu, dengan lantas miringkan badannya buat
kasih lewat tangannya Ah Kauw yang hendak menyekal kepadanya, sedang sebelah kakinya
lalu digerakkan buat menyapu kaki si kepala opas itu.

Ah Kauw lekas berkelit, tetapi karena berlaku kurang cepat, tidak urung kena juga ia
“diserampang" kakinya sehingga jatuh terjungkel bagaikan sebuah kundur yang gugur dari
tangkainya, maka selain maksudnya yang akan menyergap telah gagal, malah dirinya sendiri
berbalik mendapat hadiah tendangan dari pemuda kita.

129
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Para pengawal residen yang lainnya ketika mendengar suara ribut-ribut, sudah tentu saja
segera memburu kegedung residen, buat membantu menangkap orang-orang yang dengan
sekonyong-konyong telah membikin ribut dengan tidak mengetahui apa sebabnya.

Tetapi Ngay Houw Cun yang lebih siang telah singkirkan An Hun Ie ketempat lain yang lebih
aman, dengan membekal golok segera keluar dan maju menerjang pada Lie Poan Thian
sambil membentak : “Bangsat! Jangan lari! Aku Thio Sin hendak menjajal golokku yang
sudah lama haus darah dan hampir karatan ini!"

Poan Thian tertawa menyindir sambil berkata: “Apa ? Thio Sin ? Aku rasanya belum pernah
dengar nama itu! Apakah itu bukan Cap-ek-sin-kauw Ngay Houw Cun ?"

Mendengar omongan itu, si kepala kampak jadi berjengit bagaikan orang dipagut ular,
sehingga buat beberapa saat lamanya ia merandek dan memandang pada pemuda kita
dengan mata yang tidak berkesip. Tetapi sudah barang tentu bukan perkara mudah, akan
memikirkan cara bagaimana Poan Thian telah dapat mengenali kepadanya.

Sementara Cin Kong Houw yang sekarang merasa tak berguna lagi akan “bermain komidi",
buru-buru melepaskan tali-tali ikatan-hidup dari badannya, hunus goloknya dari atas
bebokongnya dan terus meladeni Ngay Houw Cun sambil berkata : “Hei, kepala kampak !
Janganlah kau bertingkah di hadapan kakek-moyangmu! Aku inilah orang she Cin yang
hendak meminjam kepalamu untuk dijadikan samseng!"

Ngay Houw Cun jadi amat gusar dan lalu mainkan goloknya dengan cepat buat
mengindarkan diri daripada serangan musuh itu. Sebaliknya Poan Thian yang melihat Houw
Cun telah berbalik diserang oleh Kong Houw, dengan tidak membuang tempo lagi segera
tendang si Ah Kauw sehingga terpental dan jatuh pingsan, kemudian sambil berlari kesana-
sini buat mencari tempat persembunyian An Hun Ie, pemuda itu telah menggunakan kaki
dan tangannya buat memukul dan menendang para pengawal yang dalam tempo sekejapan
sadja telah berkerumun bagaikan kawanan semut yang datang mengerumuni gula2
kegemaran mereka.

Demikianlah selagi pertempuran2 itu berlangsung dengan amat hebatnya, sekonyong-


konyong terdengar beberapa orang yang berseru: “Ada api! Ada api! Ayolah, sebagian dari
kamu yang ada disini, lekas pergi bantu memadamkan api yang berkobar2 dihalaman
belakang kamar An Tayjin !"

Kemudian disusul pula oleh para pengawal kelompok lain yang berseru : “Saudara-saudara,
disanapun ternyata ada kawanan pengacau yang menerjang masuk! Lekaslah kepung
padanya agar dapat lekas dibekuk!"

Dengan mendengar seruan2 yang diucapkan oleh kedua kelompok para pengawal tadi, maka
Poan Thian dan Kong Houw pun lantas mengerti bahwa pada saat itu Liu Sian dibahagian
sana sedang beraksi buat membikin keadaan jadi semakin kacau.

Tetapi karena kuatir si nona tak dapat bergerak dengan leluasa, maka Poan Thian lalu
keluar dari kalangan pertempuran dengan menggunakan siasat Yan-cu-cwan-liam, untuk
pergi membantu si nona yang sedang dikepung para pengawal dalam gedung keresidenan
disitu. Karena selama pertempuran2 itu berlangsung, ia telah perhatikan dengan cukup jelas,
bahwa disamping meladeni bertempur Ngay Houw Cun, Kong Houw pun masih sanggup
menangkis serangan-serangan yang datang dari kiri-kanan. Maka karena percaya bahwa
sahabat ini akan tahan meladeni musuh-musuhnya sampai beberapa waktu lamanya, ia
segera menerjang masuk kebagian dalam ruangan kantor residen, yang ternyata

130
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

bersambung dengan sebuah ruangan besar yang dijaga oleh beberapa orang penjaga
pilihan murid-muridnya si-kepala kampak she Ngay itu.

Dengan bersenjatakan golok, Poan Thian telah tempur mereka itu dan berhasil bisa
melanjutkan penyerbuannya ketempat kediaman residen, setelah terlebih dahulu dapat
melukai beberapa orang penjaga-jaga yang bertugas disitu.

Dan tatkala An Hun Ie mendengar suara ribut-ribut dan diberitahukan bahwa kawanan
pengacau telah menyerbu dari segala jurusan, sudah tentu saja sangat ketakutan dan ke-
bingungan. Lebih-lebih ketika ia mendengar Bu Liu Sian berseru: “Aku hanya hendak minta
kepalanya An Hun Ie!" residen itu se-olah-olah merasakan dirinya dihinggapi penyakit
demam dengan secara tiba-tiba.

Ia lari kian-kemari bagaikan seorang edan. Justeru itu Liu Sian yang telah sampai dipintu
depan dari kamar dimana Hun Ie bersembunyi, sekonjong2 telah berpapasan dengan
sekawanan penjaga yang sebagian besar telah dilukai oleh Poan Thian tadi. Sedang maksud
penjaga-jaga ini datang kesitu adalah buat memberitahukan, agar supaya si residen
bangpak itu segera mencari tempat berlindung lain yang lebih aman. Karena jikalau ia tak
lekas berlalu dari situ, dikuatirkan pihak pengacau yang ternyata tidak bisa dikata lemah,
akhirnya akan sampai juga kesitu dan ketemukan si-induk semang ditempat
persembunyiannya.

Tetapi sungguh tidak dinyana, ketika baru saja sampai dihalaman lorong yang menembus
keruangan tersebut, mendadak mereka telah berpapasan dengan si nona, hingga dengan
satu teriakan nyaring Liu Sian segera terjang mereka dan terbit pertempuran hebat, yang
telah membikin Hun Ie yang berada didalam kamar dan mendengar dengan tegas peristiwa
itu, dengan tidak terasa lagi jadi jatuh duduk dan mengeluh : “Celaka ! Celaka ! Sekarang si
pembunuh itu berada diluar kamar! Kemanakah aku mesti lari ? Kemanakah aku mesti
bersembunyi untuk menyelamatkan diriku ?"

“Lari ! Lari!" Kemudian terdengar suara teriakan yang riuh sekali dari beberapa orang
penjaga yang merasa tidak sanggup bertahan lebih jauh buat meladeni pada si nona itu.
“Saudara-saudara! Lekaslah beritahukan supaya Tayjin segera berlalu dari sini!"

Sementara suara jeritan penjaga-jaga yang kena terbacok oleh si nona, telah membikin hati
residen jahanam itu jadi semakin ketakutan, hingga ia berlari-lari didalam kamar dengan
tidak ketentuan kemana maksud tujuannya.

Ia mengeluh, ia sesambat, dan akhirnya ............ Ia tertawa ter-bahak-bahak! Ia telah jadi


gila karena sangat ketakutan !

Paling belakang ia berlari keatas loteng dan menghampiri pada jendela yang terpisah kira-
kira duapuluh kaki lebih tingginya dari tanah yang berada dibawahnya. Disitu, setelah meng-
hela napas beberapa kali, ia lantas berteriak : “Bu Ciang Tong ! Tengoklah, sekarang aku
telah tumbuh sayap dan hendak terbang kelangit. Marilah kau boleh susul aku buat menagih
jiwamu disana !"

Dan berbareng dengan habisnya ucapan itu, An Hun Ie lalu terjun kebawah loteng, sehingga
badannya hancur remuk dan binasa diseketika itu juga!

Maka setelah Kong Houw kemudian muncul dengan menjinjing kepalanya Ngay Houw Cun
yang telah dibunuhnya dalam pertempuran tadi, si nona pun telah kutungi kepada residen
jahanam itu. Sedang Poan Thian yang memang bukan memusuhi para pengawal yang
mengepung mereka bertiga, lalu hentikan penyerangannya sambil menerangkan di hadapan
orang banyak, bahwa kedatangan mereka kesitu bukanlah bermaksud hendak mengacau,
131
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

tetapi se-mata-mata untuk menuntut balas atas kekejian si residen jahanam dan gundalnya,
yang telah memfitnah dan membuat berantakan keluarga Bu serumah tangga pada masa
yang lampau itu.

Lebih jauh Poan Thian menerangkan di hadapan mereka, bahwa Tam-tong yang mereka
kenal bernama Thio Sin ini, sebetulnya bukan lain daripada Cap-ek-sin-kauw Ngay Huow
Cun yang sudah sekian lama dicari pihak yang berwajib untuk dijatuhi hukuman berhubung
ia telah melakukan banyak perampokan disana-sini dan tak dapat ditangkap karena pihak
lawannya yang terkuat yaitu Bu Ciang Tong telah difitnah olehnya dengan jalan
bersekongkol dengan residen jahanam yang telah mati menjatuhkan diri dari atas loteng itu.

“Maka pada sesudah maksud kami untuk menuntut balas telah tercapai," kata pemuda kita
pula, “tugas kamipun telah berakhir sampai disini. Dengan begitu, selanjutnya kami
mengharap agar supaya tuan-tuan sekalian mendapat induk semang yang jauh lebih
bijaksana daripada komplotan manusia busuk ini, yang sebenarnya sama sekali tak berharga
untuk dicokolkan disini sebagai pemimpin anak negeri seluruh kota Hang-ciu."

Setelah selesai berpidato di hadapan para pengawal dan penjaga dari kantor residen
tersebut, Poan Thian lalu mengajak si nona dan Kong Houw berlalu dengan membawa dua
buah kepala musuh si nona, yang kemudian hendak dipergunakan untuk menyembahyangi
rohnya Bu Ciang Tong dikelenteng Leng-coan-sie. Tetapi karena kuatir akan dikepung oleh
pihak yang berwajib sebagai pengacau2 yang telah berani melakukan penyerbuan ke kantor
pemerintah, maka ketiga orang itu tidak berani berdiam terlalu lama dikelenteng tersebut.

Oleh sebab itu, mereka segera melarikan diri ketempat lain dengan menunggang dua ekor
kuda miliknya Poan Thian dan Kong Houw, dengan yang seekor dinaikkan oleh Bu Liu Sian,
sedangkan yang seekor pula dinaikkan oleh Poan Thian dan Kong Houw berduaan, yang
ternyata telah menderita luka yang agak berat dalam pertempuran dengan Cap-ek-sin-kauw
Ngay Houw Cun, yang akhirnya toh telah berhasil dapat membunuhnya dengan susah-
payah.

Tatkala mereka telah berjalan beberapa lamanya, mendadak Kong Houw jatuh pingsan dan
buru-buru dipondong oleh Poan Thian akan diturunkan dari kuda.

Liu Sian jadi sibuk memberikan pertolongan dan lalu tanggalkan baju luarnya yang lantas
dibentangkan diatas rumput.

“Marilah baringkan padanya disitu buat beberapa saat lamanya," kata si nona.

Lie Poan Thian turuti permintaannya dengan hanya mengucapkan satu perkataan : “Ya,"
kemudian ia membuka pauw-hoknya yang dibebankan diatas kudanya, buat mengambil obat
untuk mengobati luka-luka kawannya itu.

Dalam kegelapan, si pemuda yang memegang bahu Kong Houw dan merasakan bahu
tersebut agak basah dan lekat, dari itu Poan Thian lantas ketahui, bahwa darah telah keluar
dari luka-luka yang terdapat pada bagian itu.

“Cobalah kau pergi mencari air buat membersihkan darah2 yang masih mengucur dari luka-
luka yang diderita Cin Lauw-hia ini," si pemuda meminta bantuan Liu Sian.

Si nona menurut.

Setelah membuka pauwhoknya dan mengambil sebuah gelas, lalu ia menyenduk air dari
sebuah solokan kecil yang airnya mengalir turun dari mata-air yang terdapat diatas bukit.

132
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Kemudian ia balik kembali dan kasihkan itu pada Lie Poan Thian, yang segera pergunakan
itu untuk mencuci luka-lukanya Cin Kong Houw.

Dan tatkala luka-luka itu telah dibersihkan, barulah Poan Thian pakaikan obat luka yang
dapat memunahkan bisa, meringankan rasa sakit dan menahan mengucurnya darah.

Untuk membalut luka-lukanya itu, tidak bisa dicari kekainan yang cukup lebar. Tetapi Liu
Sian yang terlebih siang telah mengetahui ini, lalu cabut goloknya dan potong sehelai
bajunya sendiri untuk maksud itu.

Maka setelah Kong Houw tersadar dari pingsannya, ia rasakan luka-lukanya telah menjadi
kurangan sakitnya dan telah dibalut dengan rapih.

Tetapi karena ia masih kelihatan agak lemah dan perlu dirawat, maka Poan Thian lalu coba
memandang kesekeliling tempat itu, untuk mencari penduduk yang kiranya boleh
dimintakan pertolongannya akan memberikan mereka kamar buat mengaso.

“Itu disana tampak api yang berkelak-kelik," Bu Liu Sian menunjuk kesuatu jurusan, “apakah
itu bukannya sebuah rumah penduduk, dimana kita boleh coba kunjungi buat menumpang
mengaso untuk beberapa saat lamanya ?”

“Ya, benar," sahut Poan Thian, “akupun baru saja melihat sinar api itu dan berpikiran
begitu."

Kemudian sesudah menyimpan kembali segala keperluan tadi yang dipakai untuk merawat
luka-lukanya Kong Houw, Poan Thian lalu pondong sahabatnya itu dinaikkan keatas
punggung kudanya, sedangkan si nona lalu menyelimuti Kong Houw dengan bajunya yang
dipakai hamparan tadi.

Setelah itu Poan Thian sendiripun lalu naik juga keatas punggung kuda itu, sambil
memegangi Kong Houw yang kelihatannya masih lemah sekali karena mengeluarkan terlalu
banyak darah dari luka-lukanya.

Hal mana, pun diturut juga oleh Liu Sian yang menunggangi kuda lain dan segera dilarikan
menuju kearah sinar api yang dilihatnya tadi.

Sesampainya ketempat yang dituju, barulah mereka ketahui bahwa itulah bukan sebuah
rumah penduduk, tetapi sebuah kelenteng yang didiami oleh paderi2 perempuan.

Karena dengan melihat nama “Giok-hun-am" yang tercantum dimuka pintu kelenteng
tersebut, orang segera ketahui jelas, paderi2 dari jenis kelamin mana yang mendiami rumah
suci itu.

Lalu Poan Thian minta Liu Sian turun dari kuda buat coba mengetok pintu.

Ketika si nona mengetok pintu kelenteng itu beberapa kali, benar saja lantas terdengar
suara orang yang berjalan keluar membukakan pintu sambil bertanya: “Siapakah itu yang
mengetok pintu pada waktu malam begini?"

“Kami," sahut Liu Sian, “orang-orang yang telah kegelapan dalam perjalanan dan mohon
menumpang berhenti untuk melepaskan rasa letih kami."

Begitulah tatkala pintu kelenteng itu dibuka, dari dalam lalu tampak dua orang nikouw yang
masih muda dan buat beberapa saat lamanya mereka tinggal terbengong mengawaskan
pada si nona dan kedua orang kawannya dengan tidak mengucapkan barang sepatah
katapun.

133
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Hal mana, telah membuat Poan Thian kuatir, kalau-kalau Liu Sian nanti kesalahan dalam hal
menerangkan siapa diri mereka bertiga. Oleh sebab itu, buru-buru ia minta supaya si nona
suka pegangi dahulu Kong Houw yang masih duduk diatas punggung kudanya, sedangkan ia
sendiri lalu maju memberi hormat pada kedua orang nikouw itu sambil ber-pura-pura
menerangkan bahwa mereka bertiga adalah pelindung2 kereta pio yang telah tidak
beruntung kena dirampok oleh kawanan penjahat yang telah melukai juga salah seorang
kawannya ini.

Oleh karena kawan ini mendapat luka-luka yang agak hebat dalam pertempuran tadi, maka
ia mohon supaya mereka diperbolehkan untuk menumpang berhenti guna melepaskan lelah
dan merawat lukanya sang sahabat itu. Apabila luka-luka itu telah tidak berbahaya pula,
maka dihari esok juga mereka berjanji akan segera berlalu dari situ.

Tetapi karena nikouw2 itu tak berani mengambil keputusan sendiri untuk menerima serta
memberikan orang menumpang tinggal, maka salah seorang antaranya lantas berkata:
“Sicu, aku harap engkau jangan menjadi kecil hati. Tentang permintaanmu untuk
menumpang bermalam disini, itulah tidak kuasa buat mengabulkan atau melarang. Coba
saja nanti aku beritahukan hal ini pada guru kami. Apabila ia suka mengizinkan, sudah tentu
saja kami pun tidak berkeberatan untuk menerima kunjunganmu ini."

Poan Thian mengucap terima kasih dan menunggu diluar untuk menantikan jawaban dari
paderi kepala.

Tidak antara lama salah seorang nikouw muda tadi telah balik kembali dan memberitahukan
bahwa guru mereka tidak berkeberatan buat memberikan mereka menumpang disitu untuk
sementara waktu.

Mendengar penyahutan demikian, sudah tentu saja Poan Thian dan kawan-kawannya jadi
sangat girang dan lalu menanyakan pada kedua orang nikouw itu, dimana kuda mereka
mesti dititipkannya.

“Dibelakang kelenteng ini terdapat sebuah emper tua yang sudah lama tidak terpakai," kata
salah seorang nikouw itu, “tempatkanlah kuda-kudamu itu disana, karena selain tempat itu
dapat dipergunakan untuk berlindung dari hujan atau panas diwaktu siang hari, juga
disekitarnya terdapat banyak rumput2 yang gemuk buat makan binatang2 itu."

Poan Thian mengucap terima kasih dan lalu turunkan Kong Houw dan pauwhok 2 mereka
dari atas binatang2 itu.

Setelah kuda-kuda itu ditambatkan ditempat yang telah diunjuk oleh si nikouw tadi, barulah
Poan Thian bertiga masuk ke-kelenteng itu untuk menjumpai paderi kepala yang kemudian
ia ketahui bernama Beng Sim Suthay.

Nikou tua ini berasal dari distrik Taylie dalam propinsi Hunlam. Usianya sudah tua sekali,
(menurut keterangan muridnya, 90 tahun), tetapi gerak-gerakannya masih gesit dan
tangkas laksana orang-orang yang baru berusia antara 30 atau 40 tahun.

Nikouw tua ini ketika melihat Poan Thian memondong Kong Houw masuk dengan diiringi
oleh Liu Sian, dengan lantas ia ketahui bahwa luka-lukanya Kong Houw itu sesungguhnya
tak dapat dikatakan ringan. Maka setelah diunjuk sebuah kamar yang agak besar, Beng Sim
lalu menganjurkan supaya pemuda kita segera baringkan Kong Houw diatas ranjang,
diberikan minum air teh hangat dan dirawat luka-lukanya sebagaimana mestinya.
Sedangkan Liu Sian yang merasa bahwa kecelakaan itu se-olah-olah telah diterbitkan oleh
karena gara2 tindakannya sendiri, maka ia tinggal terus didalam kamar buat melayani Kong
Houw yang dilarang banyak bergerak oleh nikouw tua tersebut.
134
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Sementara Poan Thian yang diminta datang ke ruangan pertengahan kelenteng oleh Beng
Sim Suthay, lalu buru-buru pergi kesana, setelah terlebih dahulu ia membuka baju luarnya,
yang ia baru ketahui berlepotan darah, ketika berada didalam kelenteng itu.

Maka sesudahnya mempersilahkan pemuda kita akan duduk dan disuguhkan air teh hangat,
Beng Sim lalu mulai menanyakan sebab2nya, mengapa Poan Thian dan kawan-kawannya
bisa sampai kesitu dan peristiwa apa yang telah dialami mereka, setelah menilik keadaan
Kong Houw yang mendapat luka-luka agak berat itu.

Buat menyembunyikan peristiwa sebetulnya yang telah dialami mereka tadi, Poan Thian lalu
karang sebuah cerita tentang bagaimana mereka dirampok dipegunungan Pek-ma-san,
dimana sahabatnya ini telah menderita luka-luka dalam pertempuran dengan perampok2 itu.
Kemudian barulah mereka berhasil dapat meloloskan diri dan sampai ke kelenteng Giok-hun-
am disitu.

Tetapi Beng Sim yang mendengar penuturan itu, bukan saja agak tak percaya dengan
keterangan-keterangan itu, malah sebaliknya ia tersenyum sambil berkata : “Congsu,
rasanya ada lebih baik engkau bicara terus-terang dan jangan menjustakan kepadaku.
Karena walaupun aku ini bukan dewa atau malaikat, tetapi aku percaya bahwa namaku
cukup diindahkan oleh segala penjahat-penjahat besar dan kecil yang hidup keliaran
dikalangan Kang-ouw. Lagi pula letaknya pegunungan Pek-ma-san itu hanya 30 atau 40 lie
saja jauhnya dari sini. Maka apabila orang-orang yang berada laksaan lie jauhnya bisa
ketahui Beng Sim Lo-nie itu siapa, apakah nama itu sebaliknya tidak dapat didengar oleh
orang-orang yang berdiam hanya beberapa puluh lie saja jauhnya dari kelenteng ini?"

Pemuda kita jadi kemekmek waktu mendengar omongan paderi perempuan itu. Karena
dengan memperhatikan gaya bicara dan maksud-maksudnya omongan tadi, ia baru
mendusin bahwa Beng Sim Suthay ini bukanlah seorang nikouw sembarangan.

Jikalau ia bukan seorang ahli silat yang ilmu kepandaiannya sangat tinggi, cara
bagaimanakah orang-orang dari kalangan Kang-ouw yang hidup laksaan lie jauhnya dari situ
bisa kenal dan mengindahkan kepadanya ?

Poan Thian jadi merasa menyesal yang ia telah menjustakan kepadanya tadi.

Maka buat menebus sedikit kedosaan itu, buru-buru ia berbangkit dari tempat duduknya,
menyoja sambil mengucapkan maaf dan berkata : “Suthay, aku percaya engkau tentu akan
memaafkan kami sekalian, apabila sebentar aku menuturkan peristiwa-peristiwa yang
sesungguhnya dialami oleh kami bertiga."

“Ya, ya, sebagai seorang penganut agama Buddha yang berpegang kepada pokok dasar2
kebaikan hati dan mencintai pada sesama makhluk yang hidup didalam dunia ini," kata
nikouw tua itu, “sudah barang tentu aku harus berlaku jujur dan tidak berat sebelah dalam
hal timbang menimbang terhadap pada segala persoalan ini atau itu yang dialami oleh
seseorang. Oleh karena itu, aku anjurkan supaya engkau bicara dengan sejujur-jujurnya.
Peristiwa apakah yang sebenarnya telah dialami oleh kamu bertiga ?"

Sekarang Poan Thian yang baru mengerti bahwa nikouw tua itu bukan seorang jahat, maka
dengan secara terus-terang ia lantas menuturkan apa yang telah terjadi atas diri mereka,
dari awal sehingga diakhirnya, dengan sama sekali tiada dikurangi atau di-lebih-lebihkan.

Sementara Beng Sim Suthay yang mendengar penuturan itu, sambil menghela napas ia
lantas berkata : “Oh, kalau begitu, patutlah tampaknya kamu begitu ter-gesa-gesa. Tetapi,
tentang ini, tidak perlu kamu merasa takut atau curiga apa-apa, apabila kamu sekalian
masih ada disini."
135
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Poan Thian lalu berbangkit dari tempat duduknya dan menyoja serta mengucapkan terima
kasih atas kebaikannya nikouw tua itu.

“Aku lihat luka-lukanya kawanmu itu agak berat juga," kata Beng Sim pula. “Sekarang
marilah kita coba periksa, agar supaya selanjutnya kita ketahui apa yang kita harus perbuat
untuk meringankan sedikit penderitaannya."

“Ya, baiklah." Pemuda kita mengangguk sebagai tanda setuju.

Kemudian ia mengikut Beng Sim menuju kekamar di mana Kong Houw dirawat oleh Bu Liu
Sian.

Tetapi Kong Houw disana ternyata telah tidur dengan nyenyak oleh karena khasiat obat luka
Poan Thian yang telah dipakaikan kepadanya oleh si nona tadi.

Maka Beng Sim yang melihat kemajuan obat yang dipakainya itu, lalu memberi isyarat
supaya Poan Thian dan si nona membiarkan saja Kong Houw tidur dan jangan diganggu.

“Apabila nanti ia tersadar," memesan nikouw tua itu, “engkau boleh berikan padanya sedikit
bubur dan obat minum yang nanti aku suruh anak-anak buat sediakan."

Poan Thian dan si nona kembali mengucapkan terima kasih, hingga Beng Sim jadi
tersenyum dan minta supaya mereka tidak usah berlaku sungkan sampai begitu.

Tetapi karena kuatir mereka nanti dikenali oleh mata-mata pemerintah, maka nikouw tua itu
menasehatkan agar supaya Poan Thian jangan keluar kemana-mana dahulu, buat mana
Poan Thian berjanji akan perhatikan nasehat itu dengan se-baik-baik-nya.

Begitulah beberapa hari telah lalu dengan tidak terasa pula.

***

Pada suatu sore sesudah membantu Liu Sian merawat dan mengobati Kong Houw, Poan
Thian lalu iseng-iseng pergi ke belakang kelenteng untuk melihat kuda-kuda mereka yang
ditambatkan dalam sebuah emper kosong.

Disitu, selagi menambahkan rumput dan air dalam sebuah periuk bekas, mendadak Poan
Thian telah dibikin kaget oleh suara orang-orang yang membentak dan dibarengi dengan
suara beradunya barang tajam.

Buru-buru ia berlompat bangun dan coba pasang telinga akan mendengari, dari mana
datangnya suara-suara yang mencurigai hatinya itu.

Tatkala mendengar dengan pasti bahwa suara-suara itu telah keluar dari belakang pagar
tembok yang terpisah tidak berapa jauh dari emper kosong itu, Poan Thian lalu melayang
ke-atas genteng dan terus merangkak menuju kearah pagar tembok tadi, dari mana ketika
memandang kearah pelataran sebelah dalam kelenteng itu, ternyata disana ada beberapa
orang nikouw yang masih muda, tengah berlatih ilmu silat dibawah pimpinan Beng Sim
Suthay, yang duduk melihati dari halaman belakang kelenteng yang hampir menghadapi
pagar tembok tersebut. Tetapi karena halaman itu teraling dengan ujung wuwungan yang
menyenderung kebawah, maka Poan Thian yang berjongkok disitu tidak terlihat oleh
nikouw2 yang sedang berlatih itu.

Tetapi sungguh tidak dinyana, selagi nikouw2 itu asyik bertempur dengan menggunakan
golok masing-masing, se-konjong2 Beng Sim terdengar berseru : “Berhenti !" hingga
sepasang nikouw yang sedang berlatih itu segera menghentikan latihan mereka dengan

136
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

rupa heran. Karena sebegitu jauh yang mereka tahu, selama itu mereka tak pernah
melakukan gerak-gerakan yang menyimpang daripada apa yang mereka telah dapat ajaran
dari sang guru itu.

Sementara Beng Sim yang tampaknya paham juga akan perasaan mereka disaat itu, lalu
menunjuk keatas genteng sambil berkata : “Perhatikanlah olehmu sekalian ! Diatas
wuwungan itu ada seorang yang mengintip gerak-gerakan kita."

Kemudian ia menoleh pada seorang muridnya yang berdiri tidak berjauhan dengan nikouw 2
yang sedang berlatih tadi.

“Biauw Ko !" katanya, “Cobalah kau pergi lihat siapa adanya orang itu !"

Tetapi pada sebelum Biauw Ko melompat keatas genteng, Poan Thian sudah mendahului
turun kebawah dan segera membungkukkan badannya memberi hormat pada Beng Sim
sambil berkata: “Suthay, mohon beribu ampun atas kelancanganku yang telah berani datang
kesini dan dengan secara tidak disengaja telah mengganggu pada Suthay yang sedang
melatih para murid sekalian."

Tetapi Beng Sim bukan saja tidak kelihatan jadi gusar, malah sebaliknya lantas panggil
pemuda kita sambil ditanyakan: “Selama beberapa hari ini, aku telah lupa menanyakan
tentang asal usulmu. Kau ini asal orang mana? Oleh karena kau juga mengerti ilmu silat,
apakah aku boleh dapat tahu siapa nama gurumu?"

“Murid ini berasal dari Ceelam dalam propinsi Shoatang," sahut Lie Poan Tian, “dahulu
pernah berguru pada Kak Seng Siangjin Lo-siansu yang menjadi ketua dari kelenteng Liong-
tam-sie.”

“Kalau begitu," kata nikouw tua itu pula, “kau ini tentunya ada seorang murid yang berasal
dari satu perguruan dengan Hoa In Liong, bukan ?”

“Benar, benar," sahut Poan Thian, “Hoa In Liong itu adalah Suheng hamba."

Mendengar penyahutan itu, Beng Sim jadi tertawa dan berkata: “Oleh karena kau ada
seorang she Lie, apakah kau ini bukan Lie Poan Thian yang orang-orang dikalangan Kang-
ouw memberikan gelaran Sin-tui itu?"

Poan Thian tersenyum sambil menghela napas.

“Suthay," katanya, “itulah hanya gelaran kosong yang orang telah berikan kepadaku sebagai
suatu “umpakan". Karena menurut apa yang aku ketahui, ilmu kepadaianku itu adalah
sangat terbatas. Maka kalau Suthay telah mendengar juga tentang adanya seorang yang
mempunyai gelaran demikian dikalangan Kang-ouw, aku harap supaya Suthay anggap itu
sebagai suatu “kabar burung" belaka. Karena dengan sesungguhnya juga gelaran itu telah
diberikan orang tidak seimbang dengan kenyataan atau apa yang mereka tahu tentang “isi"
yang sebenar-benarnya."

“Kau ini kelihatannya terlalu merendahkan diri sendiri," kata Beng Sim Suthay sambil
tersenyum. “Mungkin juga karena aku belum menerangkan siapa sebenarnya aku ini, maka
engkau telah berlaku sungkan dan pura-pura mengatakan begitu. Aku inilah bukan lain
daripada adik seperguruan gurumu Kak Seng Siangjin dari Liong-tam-sie. Jadi dengan
adanya hubungan dengan gurumu itu, kau dan aku masih kepernah Su-tit dan Su-kouw.
Oleh sebab itu, dimanalah ada seorang Su-kouw yang tidak merasa banga, akan mendengar
salah seorang Su-titnya memperoleh nama besar dikalangan Kang-ouw, hingga dengan
begitu, nama ilmu silat dari cabang Siauwlim jadi semakin mengharum didalam dunia ini?"

137
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Lie Poan Thian jadi kaget tercampur girang tatkala mendengar omongan itu.

Ia sama sekali tidak menduga akan bisa berjumpa dengan salah seorang adik seperguruan
gurunya sendiri ditempat sunyi itu.

Maka setelah sekarang mengetahui dengan siapa ia berhadapan, Poan Thian lekas jatuhkan
diri berlutut dan menjura di hadapan Beng Sim sambil berkata : “Sukouw, nyatalah aku ini
ada seorang yang punya mata tetapi tak mengenali Su-kouw sendiri! Maka jikalau selama
itu aku telah melakukan perbuatan sesuatu yang kurang patut dan tidak sopan sudilah apa
kiranya Su-kouw memaafkan kepadaku."

Sementara Beng Sim yang melihat Poan Thian menjura di hadapannya, buru-buru ia
banguni dan berkata : “Kita sekarang adalah terhitung sanak saudara dari satu golongan
juga, perlu apakah Su-tit mesti berlaku sungkan sampai begitu ?"

Poan Thian lalu bangun dan berdiri di hadapan nikouw tua itu, yang sekarang ia kenali
sebagai Su-kouwnya, Su-moay atau adik seperguruan dari gurunya sendiri.

“Kita sekarang justeru tengah berlatih ilmu silat," kata Beng Sim Suthay, “oleh sebab itu,
sudikah kiranya kau juga turut berlatih, untuk membuka pemandangan para Su-cie dan Su-
moymu yang sekarang justeru berkumpul disini ?"

Poan Thian merasa tidak baik buat menolak, apalagi kalau mengingat bahwa mereka semua
adalah berasal dari satu cabang perguruan Siauw-lim juga. Dari itu, sesudah memberi
hormat pada Beng Sim, yang lalu perkenalkannya pada sekalian nikouw 2 yang berkumpul
disitu, Poan Thian lalu menyatakan kesediaannya akan turut berlatih.

Tetapi berhubung ilmu kepandaiannya masih sangat terbatas, si pemuda merendahkan diri,
maka ia harap jangan dibuat celaan, jikalau ilmu silat yang dipertunjukkannya itu kurang
baik.

“Kak Seng Suheng adalah seorang yang terlalu cerewet dalam hal memilih murid," kata
Beng Sim Suthay sambil tersenyum, “oleh sebab itu aku tidak percaya ia akan mempunyai
murid yang mengecewakan pengharapannya. Salah seorang antaranya, aku boleh sebutkan
namanya Hoa In. Salah seorang, yang sekarang dianggapnya sebagai salah seorang murid
keluaran Liong-tam sie yang paling berjasa dan telah membikin orang-orang dikalangan
Kang-ouw semakin mengindahkan terhadap orang tua yang menjadi gurunya. Sedangkan
orang kedua yang telah membikin Kak Seng mendapat muka terang di-mana-mana, adalah
kau sendiri — Sin-tui Lie Poan Thian. Karena aku tahu bahwa setiap orang yang tidak
mempunyai bakat baik akan dididik menjadi seorang ahli silat, Kak Seng selalu menolak
dengan getas akan orang itu belajar ilmu silat di Liong-tam-sie. Tidak perduli berapa banyak
orang itu hendak membayar biaya melatih kepadanya. Sedangkan murid-muridnya yang
sekarang ada di Liong-tam-sie, itulah ada murid-murid pilihan, yang baru keluar apabila ilmu
kepandaiannya sudah dianggap sempurna betul. Oleh sebab itu, perlu apakah kau mesti
berlaku sungkan terus-menerus ?"

Poan Thian jadi merasa tidak enak karena perbuatannya yang terlalu seejie itu. Maka
setelah memberi hormat pada Beng Sim dan para nikouw sekalian, lalu ia menindak
ketengah lataran, dimana ia lalu bersilat dengan menggunakan ilmu pukulan Kie-to-kun
yang dimulai dengan merangkapkan kedua tangannya, kemudian ia bergerak dengan
mengunjukkan gerak-gerakan lain yang semakin lama tampak semakin cepat dan menarik
dipemandangan mata.

138
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Setelah seantero gerakan dari ilmu pukulan itu selesai dipertunjukkan, barulah Poan Thian
dengan ber-turut-turut menyambungkan ilmu pukulan tadi dengan ilmu-ilmu tendangan
Lian-hwan-jie-sie-tui, Tiap-pouw-wan-yo-tui, Soan-hong-tui, dll., hingga Beng Sim Suthay
yang merasa kagum menyaksikan ilmu kepandaian pemuda itu, saban-saban terdengar ber-
sorak-sorak: “Sungguh bagus sekali! Sungguh bagus sekali!"

“Jikalau ditilik dari jalannya ilmu kepandaian Kok Ciang ini," pikir nikouw tua itu, “nyatalah
dia tak kecewa akan dimintakan bantuan tenaganya untuk melakukan kebaikan bagi dunia."

Begitulah, tatkala Poan Thian selesai menjalankan ilmu pukulannya yang terakhir, ia segera
membungkukkan badannya sambil berkata : “Su-kouw, sekianlah ilmu kepandaianku yang
jelek itu."

Beng Sim jadi kelihatan girang dan berkata: “Jikalau dilihat dari segala sudut ilmu
kepandaianmu itu, yang sesungguhnya tidak mengecewakan bagi nama baiknya kita orang-
orang dari golongan Siauw-lim, kukira orang macam kau inilah yang sangat dibutuhkan oleh
In Cong Siansu dari kelenteng Po-to-sie. Hanya belum tahu apakah kau bersedia akan
membantu usaha orang tua itu ?"

“Su-tit belum kenal siapa adanya In Cong Siansu itu," Poan Thian memotong pembicaraan
nikouw tua itu. “Juga dalam soal apakah, yang ia membutuhkan seorang sebagaiku ini ?"

Beng Sim Suthay lalu menerangkan kepadanya sebagai berikut : “In Cong Siansu ini adalah
ketua dari kelenteng Po-to-sie, yang terletak dipegunungan Po-to-san dalam propinsi Ciat-
kang. Oleh karena mempunyai penglihatan yang amat tajam dan dapat melihat segala
sesuatu diwaktu malam yang gelap gulita, maka orang-orang dikalangan Kang-ouw telah
memberikan ia nama julukan Kim-gan-sin-eng, atau garuda sakti yang bermata emas. Ilmu
kepandaiannya In Cong Siansu ini walaupun benar setingkat denganku, tetapi ia bukan
belajar dengan secara langsung dari kelenteng Siauw-lim-sie dipegunungan Siong-san,
tetapi dengan melalui kelenteng Ceng-liang-sie dipegunungan Ngo-ta-san dalam propinsi
Sansee, maka dari itu, ia sangat paham dalam ilmu Lo-han-kun yang menjadi pokok
pelajaran ilmu silat dikelenteng tersebut.

Sedangkan aku sendiri dan Kak Seng Suheng, adalah berasalkan dari kelenteng Siauw-lim-
sie dan keluar dari paseban Lo han-tong untuk bantu menyiarkan ilmu silat cabang Siauw-
lim disamping mengembangkan agama Buddha.

Lebih jauh karena Kak Seng Suheng menjadi salah seorang antara empat murid dari
kelenteng Siauw-lim-sie yang ilmu kepandaiannya telah mencapai puncak yang tertinggi,
maka ia telah diunjuk sebagai salah seorang guru besar dengan membuka sendiri perguruan
ilmu silat dikelenteng Liong-tam-sie, dimana kau sendiripun pernah belajar dibawahi
pimpinannya sehingga beberapa tahun lamanya.

Tetapi caranya Kak Seng dan In Cong menerima murid-murid, masing-masing sangat
berlainan sekali. Karena jikalau yang pertama mengutamakan kwalitet pelajaran dan bakat
seseorang, adalah In Cong suka dengan banyak murid dan kepingin kelihatan maju dimata
umum. Oleh sebab itu, ia menjadi kurang menaruh perhatian terhadap pada kwalitet murid-
murid yang turut belajar dikelenteng Po-to-sie tersebut.

Salah seorang muridnya In Cong yang bernama Wie Hui, akhirnya telah melarikan diri dari
Po-to-sie, setelah dapat memahamkan ilmu Pek-houw-kang dengan se-baik-baiknya.

In Cong Siansu sendiri mula-mula tidak mengerti apa sebabnya sang murid itu telah
melarikan diri, apalagi kalau mengingat bahwa ia itu adalah seorang yang tidak suka
mencari setori dan bisa hidup rukun diantara sesama kawan seperguruannya.
139
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Begitulah beberapa orang muridnya telah diperintah akan pergi mencari kepadanya di-
daerah-daerah sekitar pegunungan itu dan ditepi daratan yang berdekatan, tetapi murid-
murid itu telah kembali dengan memberikan laporan bahwa orang yang dicari itu tidak dapat
diketemukan.

Paling belakang karena orang melihat pakaiannya pemuda itu telah diketemukan ditepi
jurang yang dibawahnya terletak lautan yang sangat luas dan dalam, maka orang segera
menarik kesimpulan, kalau-kalau Wie Hui itu telah membunuh diri dengan jalan menyebur
kedalam laut, walaupun tidak terdapat tanda-tanda yang mengunjukkan dengan tegas,
bahwa tindakan itu telah diambil oleh Wie Hui karena dialaminya sesuatu peristiwa dalam
penghidupannya selama berdiam dikelenteng Po-to-sie tersebut. Oleh sebab itu selanjutnya
orang telah tidak mencoba pula akan mencarinya.

Tahu-tahu ketika pada suatu hari ada salah seorang sahabatnya In Cong yang berkunjung
ke Po-to-sie, barulah diketahui, bahwa Wie Hui itu sekarang telah menjadi seorang penjahat
yang namanya mulai dikenal oleh pihak yang berwajib tetapi sampai sebegitu jauh belum
ada seorangpun yang mampu membekuk murid yang sesat itu.

In Cong yang mendengar kabar itu sudah tentu saja tak berbeda dengan seorang yang
mendadak mendengar suara guntur dihari terang, dan ia marah bukan main pada Wie Hui,
yang dianggapnya telah berkhianat kepadanya dan merusak nama baik perguruan ilmu silat
cabang Siauw-lim yang terbesar diseluruh Tiongkok.

“Barang siapa yang mengkhianat atau menodakan nama baik rumah perguruannya," kata
paderi tua itu, “ia harus dihukum dengan jalan membunuh diri atau dibunuh dengan secara
kekerasan!"

Demikianlah menurut kata salah seorang muridku, tatkala aku perintah ia membawa surat
kesana untuk memperingati pada In Cong, agar supaya murid yang begitu jahat bisa lekas
dibasmi pada sebelum keburu ia melakukan lebih banyak kejahatan yang membikin
namanya cabang Siauw-lim jadi semakin “jatuh" dimatanya khalayak ramai.

Akhir-akhirnya karena In Cong sendiri tak mempunyai murid lain yang ilmu kepandaiannya
lebih tinggi daripada Wie Hui, maka ia telah minta supaya aku disini-pun turut
mengikhtiarkan akan mencari salah seorang atau beberapa orang saja yang bisa dimintakan
bantuannya untuk membasmi muridnya yang telah berkhianat itu, asalkan permintaan itu
diajukan kepada orang-orang dari golongan kita juga.

Maka waktu aku menyaksikan ilmu kepandaianmu yang begitu bagus dan aku percaya tak
ada dibawah daripada Wie Hui, aku jadi ingat pada pesanan In Cong pada beberapa bulan
yang lampau itu. Hanya belum tahu apakah kau bersedia akan bantu melaksanakan usaha
orang tua itu, yang mengalami peristiwa tidak enak dan mungkin juga karena ini akan
kejadian hilang muka dan “turun merek" dalam pandangan saudara-saudara dan saudari2
kaum lain dikalangan Kang-ouw ?"

Poan Thian yang memang berhati tabah dan tidak suka mendengar segala perbuatan yang
melanggar tata-tertib dan kesusilaan umum, dengan lantas menyatakan kesediaannya untuk
membantu, sehingga Wie Hui dapat dibasmi dan nama baiknya In Cong Sian-su terbebas
pada tuduhan orang banyak sebagai seorang guru yang tak mampu mengajar murid.

“Aku sendiri sebetulnya hendak pergi ke Tiongciu untuk memberitahukan kepada kakakku
disana tentang pernikahanku yang akan dilakukan sekembalinya aku dari sana," kata
pemuda kita. “Tetapi karena mengingat bahwa itu hanya bersangkutan dengan suatu
perkara perseorangan saja yang masih boleh ditunda, maka aku pikir urusan ini akan

140
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

kudahulukan penyelesaiannya, selagi perbuatannya Wie Hui belu seberapa menghebat.


Karena jikalau ia telah memperoleh banyak kawan yang turut serta dalam “perjuangannya”,
mungkin juga aku seorang tidak cukup untuk membasmi kejahatannya manusia busuk itu
sehingga tercabut sampai keakar-akarnya. Hanya belum tahu sekarang Su-kouw hendak
atur bagaimana tentang penyelesaiannya urusan ini ?”

“Buat itu,” kata Beng Sim Suthay dengan paras muka yang berseri-seri, “sudah tentu saja
kau harus berangkat ke Po-to-sie untuk merembukkan hal ini dengan In Cong Lo-siansu
disana.”

Poan Thian meng-angguk-anggukkan kepalanya beberapa kali, kemudian dengan suara


perlahan ia berkata: “Su-kouw, aku ada suatu hal yang hendak minta bantuanmu diseketika
ini juga.”

“Ya, itu sudah tentu saja boleh sekali," kata nikouw tua itu. "Cobalah kau terangkan,
bantuan apa yang hendak kau minta dari aku."

Poan Thian lalu tuturkan riwayatnya Kong Houw dan Bu Liu Sian, yang ke-dua-duanya
pernah ia tolong untuk melaksanakan pekerjaan masing-masing dalam hal menuntut balas
terhadap musuh-musuh mereka.

Maka setelah maksud masing-masing telah tercapai, apakah tidak baik kalau diusulkan
supaya mereka menikah saja, agar supaya dengan begitu perhubungan mereka jadi lebih
erat dan bisa hidup terus sehingga se-lama-lamanya ?

“Ya, ya, benar," Beng Sim Suthay menyetujui. “Itu aku sangat mupakat. Apakah hanya
dalam hal ini saja yang hendak kau minta bantuanku?"

Poan Thian membenarkan omongan itu.

“Urusan itu tidak sukar," kata nikouw tua itu sambil tersenyum. “Nanti besok aku sampaikan
urusan ini kepada mereka berdua. Aku percaya mereka tentu suka menurut. Karena dengan
hidup saling berkumpul setelah mengalami kesukaran ber-sama-sama, sudah tentu saja ada
lebih baik daripada tercerai-berai diluaran dengan masing-masing tak mempunyai tujuan
yang tertentu, bukan?"

Poan Thian tersenyum dan mengucapkan terima kasih atas bantuannya Beng Sim yang baik
budi itu.

Sekembalinya dari perkunjungan dan turut berlatih ilmu silat di hadapan Su-kouwnya, Poan
Thian segera kembali ke-kamarnya untuk masuk tidur. Akan tetapi tidak langsungnya ia
masuk ke kamar itu, berhubung dari sebelah luar ia mendengar Liu Sian dan Kong Houw
yang luka-lukanya sudah hampir sembuh tengah pasang omong dengan suara perlahan-
lahan.

“Itulah sebabnya mengapa aku telah bersembunyi dikelenteng Leng-coan-sie," si nona


terdengar berbicara sambil dibarengi dengan suara elahan napas, “tetapi sungguh tidak
kunyana, karena adanya aku disitu, lalu timbullah lelakon “Hantu Putih" yang telah
menggemparkan khalayak ramai, sehingga akhirnya aku telah beruntung bisa bertemu
dengan kau dan Lie Congsu. Jikalau aku tidak bertemu dengan Lie Congsu dan kau berdua,
belum tahu sampai kapan musuh-musuhku itu bisa terbalas. Oleh karena itu, apakah
salahnya jikalau aku menjunjung begitu tinggi atas pertolongan dan bantuan-tuan kamu
berdua itu ?”

Kong Houw kedengaran tertawa.

141
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Hanya belum tahu setelah kita saling berpisahan nanti," katanya, “sampai kapankah kita
akan bisa berjumpa pula ?"

Kata-kata yang kedengaran agak romantis itu, bikin Poan Thian yang berada diluar jadi
semakin asyik mendengarinya. Ia saban-saban kelihatan tersenyum sendiri2. Ia sangat
kepingin tahu, jawaban apa yang hendak diberikan si nona itu.

“Setelah kemudian kita saling berpisahan," sahut Liu Sian dengan suara yang kurang nyata,
“ada kemungkinan ............kita tak akan berjumpa pula............."

Pemuda kita jadi terharu mendengar omongan si nona itu.

“Itu tidak bisa jadi," kata Kong Houw. “Biarpun kita berada dimana juga, kalau kita masih
ada umur, tentulah kita akan bisa saling bertemu. Hanya belum tahu nona Bu berumah
dibagian mana dari kota Ham-yang ?"

Liu Sian bungkam. Tetapi elahan napasnya bisa terdengar dengan tegas dalam keadaan
yang sesunyi itu.

“Aku ............ tidak punya rumah tangga lagi," tiba-tiba ia menjawab. “Karena apa yang ada
............ semua telah disita oleh jahanam she An yang kita telah bunuh itu. Dari itu, aku
sekarang hidup sebatang kara ............"

Setelah berkata sampai disitu, Liu Sian tak tertahan pula terdengar menangis dengan suara
perlahan.

Poan Thian jadi menghela napas dan turut berduka atas nasib si nona yang malang itu.

Kong Houw yang rupanya jadi “kesima" dengan kelakuan si nona, mula-mula tidak
terdengar berbicara apa-apa, tetapi kemudian lantas menghibur sambil berkata: “Nona Bu,
segala sesuatu yang telah terjadi, sudah tentu kita sesalkan-pun tak ada gunanya pula.
Maka apa yang sekarang paling perlu kita pikirkan adalah berikhtiar untuk penghidupan kita
yang bakal datang. Aku telah lama memikirkan dan berniat akan membuka sebuah pio-kiok.
Kau dan aku adalah orang-orang yang boleh dikatakan hampir senasib, hanya persoalannya
saja yang agak berbedaan. Juga, seperti apa yang telah dialami olehmu sendiri akupun
beruntung telah mendapat bantuan dan pertolongannya Lie Lauw-hia, kalau tidak, belum
tahu bagaimana jadinya dengan diriku sekarang. Bisa jadi juga aku sudah mati dibuang
ketempat yang jauh. Aku pikir, jikalau maksudku buat membuka pio-kiok itu kesampaian,
apakah tidak baik jikalau ............jikalau kau juga turut dalam usahaku itu?"

Akhir-akhirnya Poan Thian yang tidak sabar lagi mendengari pembicaraan mereka diluar
kamar, lalu berjalan masuk dan turut menimbrung: “Mupakat, mupakat! Cara kerjasama itu
memanglah ada suatu jalan yang paling baik untuk mempererat perhubungan kita," katanya
sambil tersenyum. “Aku bantu doakan, agar supaya cita-cita itu bisa lekas kesampaian.”

Kong Houw tertawa, yang juga diturut oleh Liu Sian sambil menyusut airmatanya.

“Dan jikalau pio-kiok itu bisa kejadian dibuka," Poan Thian menambahkan, “aku pujikan
supaya diberi bernama “Siang-hap Piok-kiok" atau “Pio-kiok Dua Sejoli" ! Tetapi belum tahu
apakah kamu setuju dengan nama pemberianku itu ?”

Kedua orang itu jadi bungkem sejurus. Karena dalam kata penolong mereka itu se-akan-
akan menyelip “maksud" sesuatu yang agak samar tetapi ............. mudah dimengerti.

Selanjutnya karena urusan Kong Houw hendak membuka pio-kiok telah tidak dilanjutkan
pula, maka ketiga orang itupun lalu pergi masuk tidur.
142
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Dihari esoknya pagi-pagi sehabis dahar nasi, ketika Poan Thian pergi memeriksa kuda
mereka dibelakang kelenteng, Beng Sim Suthay telah datang menyambangi Kong Houw
yang luka-lukanya sudah hampir sembuh.

Disitu, setelah duduk mengobrol beberapa saat lamanya, nikouw itu lalu mulai mengulangi
penuturannya Lie Poan Thian tentang dirinya (Kong Houw) dan si nona itu, yang dikatakan
betapa baiknya apabila mereka bisa terangkap menjadi suami-isteri.

Karena disamping keperluan Kong Houw se-hari-hari bisa ada orang yang bantu urus, juga
si nona yang sekarang hidup sebatang kara bisa mempunyai pelindung yang boleh
dipercaya dan telah saling mengenal dengan baik tabeat masing-masing pada beberapa
waktu itu.

Sementara Kong Houw dan Liu Sian yang mendengar omongan nikouw tua itu, merekapun
jadi teringat akan omongan Poan Thian yang telah diucapkan kemarin di hadapan mereka
dengan secara memain.

Maka setelah sekarang mereka mendapat juga anjuran dari Beng Sim Suthay yang baik hati
itu, sudah tentu saja merekapun suka menurut dan berjanji akan melaksanakan
pengharapan Poan Thian dan nikouw tua itu, lebih-lebih karena mereka memang “ada hati"
satu sama lain selama mereka menumpang tinggal dikelenteng Giok-hun-am itu.

Tetapi karena mereka berdua tak mempunyai sanak saudara, maka Beng Sim kembali
menganjurkan kepada mereka, supaya upacara pernikahan itupun diadakan saja dikelenteng
tersebut, dengan semua keperluan-keperluannya diatur serba sederhana oleh ia sendiri dan
Poan Thian berdua.

Kong Houw dan Liu Sian yang mendengar omongan itu, dengan girang lekas menjura di
hadapan Beng Sim Suthay, sambil menyampaikan rasa terima kasih mereka. Demikian juga
ketika melihat Poan Thian kembali memeriksa kuda, merekapun lalu menyambut dan
mengucap terima kasih, atas perantaraan si pemuda yang telah bantu mengikat perjodohan
mereka, dengan melalui usaha yang telah disampaikan oleh Beng Sim Suthay tadi.

Sedang Poan Thian yang melihat maksudnya yang hendak merangkapkan perjodohan Kong
Houw dan Liu Sian telah berhasil sebagaimana apa yang diharapnya, sudah tentu saja iapun
menyatakan turut bergirang, maka selanjutnya dengan suara separuh memain ia bantu
berdoa, supaya dengan perangkapan jodoh ini, “Siang-hap Pio-kiok" yang dicita-
citakannyapun bisa lekas dibuka. Karena dengan begitu, se-waktu2 ia bisa “numpang
berhenti", apabila ia kebetulan sempat atau melewat ketempat kediaman mereka berdua.

Sebaliknya Kong Houw dan Liu Sian yang telah menerima budi bukan kecil dari pemuda kita,
mengharap juga akan lekas ikut minum arak kemantin yang akan diadakan di rumah
keluarga Na, dimana pun akan dirayakan pernikahan antara Poan Thian sendiri dan nona
Giok Tin.

Maka setelah Kong Houw dan Liu Sian menikah dan menuju ke selatan untuk melaksanakan
cita-cita mereka akan membuka sebuah pio-kiok, Poan Thian pun dengan membawa surat
dari Beng Sim Suthay lalu menuju ke propinsi Ciat-kang, dari mana ia telah diperintah akan
berangkat ke kelenteng Po-to-sie, untuk membantu usaha In Cong Siansu yang telah
dikhianati oleh seorang muridnya yang bernama Wie Hui itu.

Oleh karena kuda-kuda yang ada telah diberikan pada Kong Houw suami-isteri, maka ia
sendiri terpaksa melanjutkan perjalanannya ke Po-to-sie dengan berjalan kaki.

***

143
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Pada suatu hari sesampainya di desa Sam-li-tun, yang terletak beberapa puluh lie jauhnya
disebelah utara dari kota Hangciu, Poan Thian telah dibikin tertarik oleh orang banyak yang
berkumpul dimuka sebuah kelenteng Touw-tee-bio, sambil se-bentar2 bertampik sorak riuh
dan berseru : “Ho bugee ! Ho bugee ! Itulah sesungguhnya permainan silat yang bagus
sekali !”

Mula-mula ia menyangka disitu ada seorang penjual silat keliling yang sedang
mempertunjukkan ilmu kepandaiannya. Tetapi ketika mendapat keterangan tentang adanya
pertandingan antara dua orang ahli silat yang penduduk situ belum pernah kenal, Poan
Thian jadi semakin tertarik dan lalu turut menonton dengan jalan naik keatas gunung 2an
tanah yang terdapat dimuka bio tersebut.

Dari situ ketika Poan Thian memandang sekian lamanya, mendadak ia kenali bahwa salah
seorang ahli silat yang sedang bertempur itu, ia rasanya pernah kenal tetapi lupa dimana
dahulu ia pernah bertemu dengannya.

Pertempuran itu rupanya telah berlangsung agak lama juga, karena ahli silat yang ia rasa
kenal itupun sudah agak kalut ilmu pukulannya dan mulai terdesak oleh lawannya, yang
usianya jauh lebih muda daripada dirinya sendiri.

Dalam pada itu, Poan Thian perhatikan dengan teliti ilmu-ilmu pukulan yang telah diajukan
oleh si ahli silat muda itu, yang telah meluncurkan pukulan-pukulan dahsyat untuk
merobohkan pada lawannya yang lebih tua itu.

“Itulah ada bagian-bagian dari ilmu silat Lo-han-kun yang telah dipergunakan oleh si
pemuda itu," kata Poan Thian pada diri sendiri. “Oleh sebab itu, tidak salah lagi, bahwa ia
inilah salah seorang ahli silat Siauw-lim dari cabang Ngo-tay-san. Tetapi belum tahu apa
sebab musabab mereka bertempur ditempat yang agak ramai ini, sedangkan tempat-tempat
lain buat bertempur pun bukan sedikit disekitar pedusunan ini ?"

Belum habis Poan Thian berpikir tentang caranya mereka mengadu ilmu silat ditempat yang
sedemikian itu, ketika dengan se-konyong-konyong dari sebelah belakang ia merasai
bersiurnya angin yang menandakan tentang kedatangannya seorang yang hendak
menghampiri kepadanya dengan secara diam-diam. Dan tatkala ia coba menoleh
kebelakang, ia jadi terperanjat melihat seorang yang bertubuh tinggi besar berdiri
dibelakangnya dengan sorot mata yang menyala-nyala.

Kemudian orang itu mengunjukkan senyuman iblis sambil bertanya : “Apakah kau masih
kenali siapa aku ini ?"

“Itu aku tidak sangsi lagi," sahut Lie Poan Thian. “Kau ini adalah Liu Tay Hong, salah
seorang kauwsu Tan Chungcu Tan Tong Goan yang dahulu pernah kupecundangi. Sekarang
sebab kuyakin, bahwa pertemuan ini tidak mengandung maksud baik, kukira tidak perlu lagi
aku menanyakan kepadamu “Apakah selama ini kau ada baik ?" tetapi lebih tepat jikalau
aku menanyakan : “Apakah sekarang kau telah cukup melatih diri untuk merobohkan
kepadaku ?" Jikalau kau ternyata telah bersedia, bolehlah kita melanjutkan pertempuran kita
yang telah tertunda beberapa tahun lamanya itu; jikalau kau merasa masih belum berlatih
cukup matang, aku nasehatkan supaya kau boleh lekas berlalu dari hadapanku. Tunggu
kalau nanti kau sesungguhnya telah berlatih sampai cukup matang, barulah kau mencari
pula padaku, untuk menetapkan siapa salah seorang antara kita berdua yang ilmu
kepandaiannya lebih unggul !"

144
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Orang itu, yang ternyata bukan lain daripada Liu Tay Hong yang para pembaca tentu masih
ingat, sudah tentu saja jadi amat gusar dan lalu menerjang pada Lie Poan Thian dengan
tidak banyak bicara lagi.

Poan Thian buru-buru berkelit dan berlompat turun dari atas gunung2an tanah itu, untuk
menunda pauwhok yang digendong diatas bebokongnya.

Begitulah dengan terjadinya pertempuran antara Lie Poan Thian dan Liu Tay Hong dibawah
gunung2an tanah tersebut, maka dihalaman kelenteng Touw-tee-bio itu telah tertampak jadi
semakin ramai, dengan adanya dua rombongan orang-orang yang bertempur dengan para
penonton sama sekali tidak mengetahui sebab-musabab daripada perkelahian itu.

Tapi kebanyakan orang pada umumnya tidak mengambil pusing mereka siapa atau sebab
apa mereka bertempur, oleh karena itu, orang banyak yang berkerumun didepan kelenteng
itu segera terpecah menjadi dua rombongan: dengan yang sekelompok saban-saban
bertampik sorak lebih ramai daripada rombongan yang lainnya. Dan semakin ramai orang-
orang yang bertampik sorak, semakin tegas pula kehebatannya pertempuran 2 yang sedang
berlangsung disaat itu.

Dalam pada itu, Sin-tui Lie Poan Thian yang telah sekian lamanya tidak bertemu muka
dengan Liu Tay Hong, dengan lantas mengetahui lebih tegas tentang kemajuan ilmu silat
sang lawan itu, hingga jikalau dahulu ia boleh berlaku sedikit ayal2an dalam perlawanannya,
adalah sekarang tak sempat pula ia berbuat begitu tanpa menanggung resiko yang bukan
kecil bagi keselamatan dirinya sendiri.

Karena jikalau dahulu Tay Hong hanya merupakan sebagai seorang kauwsu yang se-mata-
mata mengajar ilmu silat untuk mencari nafkah, adalah sekarang ia telah menjadi seorang
yang betul-betul ahli dalam hal mempertunjukkan ilmu Hek-houw-kun yang terkenal lihay
dan disegani orang itu.

Maka Poan Thian yang telah matang dalam pengalaman dikalangan ilmu silat, sudah tentu
saja lantas atur penjagaan dengan se-baik-baiknya, sehingga Tay Hong sama sekali tidak
mendapat ketika akan melakukan penyerangan kilat terhadap pada bagian-bagian Poan
Thian yang ia anggap lemah.

Begitupun Poan Thian yang mengerti bahwa Liu Tay Hong tak dapat dirobohkan dengan
menggunakan ilmu pukulan, buru-buru ia maju menerjang lawan itu dengan ilmu-ilmu
tendangan lihay yang ia memang amat paham.

Sementara Liu Tay Hong yang telah kenal bahwa keunggulan Lie Poan Thian adalah
dibagian ini, sudah tentu saja iapun terpaksa mesti pasang mata dengan betul, dan ia sudah
merasa sangat beruntung jikalau ia tidak sampai dirobohkan pula seperti apa yang telah
dialaminya pada waktu yang lampau itu.

Maka karena sikap yang sangat hati-hati daripada kedua belah pihak lawan itu, tidaklah
heran jikalau pertempuran itu telah berlangsung sampai beberapa lamanya dengan tidak
tertampak pihak mana yang lebih unggul atau lebih rendah ilmu kepandaiannya.

Meskipun Tay Hong telah beberapa kali mengajukan ilmu-ilmu pukulan yang sangat
berbahaya, tidak urung pukulan-pukulan itu telah dapat dielakkan dan dibikin tidak
berbahaya oleh kegesitan dan kepandaian Lie Poan Thian, hingga orang banyak jadi sangat
memuji atas kepandaian pemuda kita yang dikatakan sangat lihay itu.

Pada satu saat karena suatu kesalahan dalam penyerangan yang telah dilakukan oleh Liu
Tay Hong, maka Poan Thian mendapat kesempatan buat segera menggunakan ilmu

145
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

tendangan yang gerakannya amat cepat untuk membikin terkesiap hati lawannya itu. Dan
sebegitu lekas Tay Hong hendak berkelit buat meluputkan diri daripada tendangan tsb, Poan
Thian lalu barengi mempergunakan ilmu Sauw-tong Lian-hwan-tui yang ternyata belum
pernah diketahui bagaimana kelihayannya oleh Liu Tay Hong, hingga biarpun tendangan
yang satu telah berhasil dapat dielakkannya, tetapi tendangan yang lain tak berdaya ia
dapat singkirkannya. Maka pada sebelum ia keburu berpikir dengan jalan apa ia harus
menyelamatkan dirinya, kaki kiri Lie Poan Thian telah menyamber keulu-hatinya bagaikan
kilat cepatnya. Tay Hong lekas miringkan sedikit badannya, tetapi tidak urung ia telah kena
juga ditendang sehingga terpental dan jatuh disuatu tempat yang terpisah kira-kira bebe-
rapa belas kaki jauhnya.

Beruntung juga kenanya tendangan itu tidak seberapa telak, hingga Tay Hong keburu
bangun dan berteriak: “Lekas lari !" Kemudian ia panjangkan langkahnya dan melarikan diri
ke sebelah barat kelenteng dengan tidak menoleh lagi ke belakang buat melihat, apakah
Poan Thian masih mengejar atau tidak.

Sementara pemuda yang sedang bertempur dengan orang setengah tua dimuka kelenteng
Touw-tee-bio tersebut, segera berlompat keluar dari kalangan pertempuran, tatkala
mendengar seruan Liu Tay Hong itu. Ia ini, yang rupanya menjadi juga kawan Liu Tay Hong,
lalu melarikan diri dengan mengambil jurusan yang dituju oleh sang kawan itu.

Selanjutnya karena melihat musuh itu telah kabur, maka Poan Thian pun merasa tidak perlu
akan melakukan pengejaran, tetapi segera maju menghampiri orang setengah tua itu sambil
tersenyum dan memberi hormat. “Suhu," katanya, “semenjak kita saling berpisahan, apakah
kau ada baik dan sehat wal'afiat ?"

Orang itu kelihatan jadi terperanjat dan buat sejurus lamanya tak dapat ber-kata-kata
barang sepatahpun.

“Apakah kau ini bukan Lie Kok Ciang dari Ceelam ?" ia menegaskan bagaikan orang yang
takut keliru mengenali orang.

“Benar," sahut Poan Thian, “apakah Suhu telah lupa kepadaku ?"

Orang itu mendadak tertawa ber-gelak-gelak, kemudian ia lantas memegang bahu pemuda
kita sambil berkata : “Aku tidak nyana bahwa sehingga sekarang kau masih tetap mengaku
aku sebagai gurumu. Kok Ciang, nyatalah engkau ini ada seorang yang berbudi.”

Setelah orang banyak yang berkerumun dimuka kelenteng telah pada bubaran, Poan Thian
lalu gendong pula pauwhoknya dan ajak orang itu yang ternyata bukan lain daripada An
Chun San, yang dahulu pernah menjadi guru dan pernah dirobohkannya akan mampir
kesebuah kedai untuk mengaso dan menanyakan apa sebab ia bertempur disitu, dan
siapakah orang muda yang menjadi musuhnya itu?

Maka setelah kedai yang dicari itu telah dapat diketemukan, Poan Thian lalu ajak bekas guru
itu akan mampir dan persilahkan Chun San pilih sendiri, makanan atau minuman apa yang
digemarinya.

Begitulah sambil duduk makan minum ber-sama-sama, Chun San telah menuturkan riwayat
perjalanannya, semenjak ia mabur dari rumah Poan Thian di Cee-lam sehingga mereka
bertemu dikelenteng Touw-tee-bio yang telah dipilih oleh kedua pihak sebagai tempat untuk
menentukan, siapa salah seorang antara Chun San dan musuhnya yang lebih unggul ilmu
kepandaiannya.

146
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Musuh ini sebenarnya aku tidak kenal siapa namanya yang benar," memulai bekas guru itu.
“Dalam desa Sam-li-tun ini aku telah berdiam beberapa tahun lamanya, yaitu semenjak aku
berlalu dengan diam-diam dari rumahmu di Cee-lam. Didalam desa ini aku kebetulan ada
mempunyai seorang sahabat yang membuka sebuah toko obat. Oleh karena ia mengetahui
bahwa aku paham juga obat-obatan dan ilmu pengobatan, maka ia telah ajak aku bersero
dengan hanya keluar tenaga, sedangkan segala ongkos-ongkos dan keperluan semua
ditanggung oleh sahabatku itu. Dalam perseroan ini kita telah peroleh keuntungan yang
lumayan buat melewati hari.

Semakin lama perusahaan kita ini semakin maju, sehingga akhirnya rumah obat kita
menjadi tersohor dan dikenal oleh hampir seluruh penduduk tua dan muda dalam desa Sam-
li-tun ini.

Paling belakang karena banyak terjangkit penyakit mejen diantara rakyat 2 yang miskin dan
tidak mampu, maka kita lantas adakan kampanye untuk memberikan obat dan pemeriksaan
dengan cuma-cuma, sehingga penyakit itu dapat dibasmi diseluruhnya dari desa tersebut.

Maka berkat kampanye ini, bukan saja kita mendapat pujian dari pihak anak negeri, bahkan
pihak yang berwajibpun menyatakan terima kasihnya atas bantuan kita yang berharga itu
terhadap masyarakat di Sam-li-tun khususnya, sehingga karena itu, nama rumah obat kita
jadi semakin termasyhur di-mana-mana. Hanya amat disayangkan, antara adanya
kemasyhuran itu, kita jadi menghadapi soal lain yang berupa gangguan dari sahabat-
sahabat yang menuntut penghidupan tidak baik dikalangan Kang-ouw hitam. Mereka
berpendapat, karena kita memperoleh banyak keuntungan dalam perusahaan kita, maka
merekapun ingin minta juga beberapa bagian dari keuntungan itu guna di-bagi2kan diantara
golongan mereka. Hal mana sudah barang tentu, aku sebagai kuasa dan pengurus rumah
obat Tiang-seng-tong itu, tidak suka mengabulkan atas permintaan yang sangat bocengli
itu.

Oleh sebab itu juga, pada suatu hari anak muda yang bertempur dengan aku itu dan
mengaku bernama Hok Cie Tee, telah datang berkunjung ke rumah obat kita buat coba
membujuk padaku. Katanya, kalau aku tidak suka keluarkan “uang jago" sejumlah yang
telah diminta duluan, dikasih separuhnyapun mereka mau terima juga.

Tetapi aku tetap tidak mau memberinya juga, sehingga akhirnya terbit percekcokan yang
telah menyebabkan ia menantang berkelahi padaku dimuka kelenteng Touw-tee-bio itu.

Ilmu kepandaian anak muda itu ternyata tidak bisa dicela, dan jikalau aku memangnya tidak
meyakinkan ilmu silat pula pada seorang paderi dari kelenteng Siauw-lim-sie sebegitu lekas
aku berlalu dari Cee-lam, niscaya siang-siang aku telah dirobohkan oleh pemuda bajingan
itu."

“Ketika barusan aku lalu dikelenteng Touw-tee-bio," Poan Thian memotong pembicaraan
bekas gurunya itu, “akupun telah bertemu dengan seorang kauwsu yang aku pernah
pecundangi dan dia bersumpah akan menuntut balas kepadaku di-kemudian hari. Dia ini
rupanya menjadi juga komplotan si anak muda yang aku percaya telah datang ber-sama-
sama, tetapi ber-pura-pura tidak kenal satu sama lain. Hanya belum tahu apakah Suhu
ketahui juga hal ini dimuka terjadinya pertempuran itu!"

“Tentang ini aku tidak tahu pasti," sahut An Chun San, “tetapi aku percaya bahwa si
pemuda bajingan itu tidak datang kesitu dengan hanya seorang diri saja. Apalagi ketika aku
melihat kau dan orang itu bertempur dari kejauhan, hatiku bercekat dan semakin percaya,
bahwa kedatangan kawannya itu dengan secara diam-diam, adalah telah diatur lebih dahulu
buat mengerubuti atau mencelakai pada diriku dengan secara menggelap. Hanya aku tidak

147
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

mengerti, apa sebabnya sehingga kau jadi bertemu dengan orang itu. Barusan, karena aku
sedang sibuk menjaga diriku dari serangan-serangan musuh itu, maka tidak sempat aku
berpikir akan mencari tahu sebab atau alasan2nya yang masuk diakal berhubung dengan
terjadinya pertempuran yang amat ter-konyong-konyong itu."

Maka buat menjelaskan tentang duduknya urusan yang benar, Poan Thian lalu tuturkan
pertemuannya dengan Liu Tay Hong di rumah Tan Tong Goan, dari awal sehingga akhirnya
ia merobohkan bekas kauwsu itu. Tetapi tak tahu ia bagaimana Tay Hong bisa jadi
berkawan dengan pemuda bajingan itu.

“Ketika barusan aku melihat Suhu bertempur dengan penjahat itu," Poan Thian melanjutkan
omongannya, “sebenarnya aku tidak nyana bakal bertemu dengan Suhu ditempat ini."

Tatkala Chun San menanyakan Poan Thian sebenarnya hendak pergi kemana, pemuda kita
lalu tuturkan perutusannya, yang ia telah terima dari Beng Sim Suthay dari kelenteng Giok-
hun-am. “Aku diperintah akan membantu In Cong Siangsu buat menaklukkan atau
menangkap muridnya yang berkhianat dan bernama Wie Hui itu," ia akhiri bicaranya.

“Nama itu sudah lama aku dapat dengar," kata Chun San, “tetapi sayang bukan didalam
golongan orang-orang yang terhormat. Menurut ceritera beberapa orang kawanku
dikalangan Kang-ouw putih, Wie Hui itu adalah seorang ahli ilmu Pek-houw-kang yang
paling muda dimasa ini, jikalau tidak mau dikatakan paling baik dan paling pandai dari
antara yang lain-lain-nya."

“Ya, itupun aku telah ketahui sedikit dari mulut orang-orang yang aku ketemukan dalam
perjuanganku," sahut Lie Poan Thian.

Sehabisnya bermakan minum dan Poan Thian membayar semua rekening meski Chun San
mencegah dan hendak membayar sendiri, Chun San lalu ajak Poan Thian mampir ke-tempat
kediamannya dan menganjurkan agar supaya pemuda itu suka berdiam beberapa hari
lamanya sebagai tanda memperbaharui serta mempererat perhubungan mereka yang da-
hulu telah terputus itu.

Poan Thian menurut untuk memenuhi pengharapan bekas gurunya itu.

Dua malam telah lewat dengan tiada terjadi hal apa-apa yang penting untuk dituturkan
disini. Tetapi pada malam ketiga selagi Chun San menjamu Poan Thian duduk makan minum
dihalaman belakang tempat kediamannya, mendadak mereka telah dibikin kaget oleh
sepasang bayangan manusia yang berkelebatan masuk kehalaman itu.

Oleh karena An Chun San dan Poan Thian baru saja beberapa hari mengalami pertempuran,
karuan saja mereka lantas menyangka kalau-kalau kedatangan kedua orang itu tentulah
tidak bermaksud baik.

Tidak kira ketika melihat tuan rumah dan tetamunya pada berbangkit dari tempat duduk
masing-masing, kedua orang tadi lalu maju menghampiri sambil berkata: “Selamat malam,
tuan-tuan! Kedatangan kami ini bukanlah bermaksud jahat, sebagaimana kamu berdua
tentu mengira. Kami berdua adalah kakak dan adik yang bernama Lauw Thay dan Lauw An;
berdua saudara yang bekerja dibawah perintah Liu Tay Hong dan Hok Cit, yang tempo hari
telah mengaku bernama Hok Cie Tee di hadapan tuan An. Oleh karena mengingat atas budi
kebaikan tuan An yang telah berlaku dermawan memberikan bantuan yang berupa obat-
obatan, pemeriksaan dengan Cuma-cuma dan uang untuk menghidupkan seluruh rumah
tangga kami, maka kami berdua walaupun bekerja dibawah perintah mereka, tetapi masih
mempunyai liangsim dan tidak bersedia akan mentaati tugas busuk yang kami sekarang
telah diperintah untuk melakukannya."
148
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Tatkala Chun San menanyakan, tugas apakah itu yang mereka telah diperintah buat lakukan
pada malam itu, Lauw Thay lalu bentangkan telapak tangannya dan unjukkan itu pada si
tuan rumah dan Lie Poan Thian dibawah penerangan api lampu.

“Api !" kata mereka dengan suara yang hampir berbareng.

“kalau dugaanku tidak keliru," kata an chun san kemudian, “kamu berdua telah diperintah
akan membakar rumah tanggaku ini. apakah bukan begitu maksud yang benar dari
perkataan “api" yang dituliskan dimana telapak tanganmu itu ?"

“Ya, benar," sahut Lauw Thay. “Tetapi disamping itu, masih ada pula lain macam perintah
yang bagi orang lain berarti amat hebat, tetapi bagi tuan An boleh dianggap sepi saja. Yaitu
............ ini."

Sambil berkata begitu, Lauw Thay lalu membentangkan telapak tangan yang lainnya: SOE
(mati). Demikianlah tulisan yang tampak pada telapak tangan itu !

“Tetapi ini boleh dikatakan tidak ada artinya bagi tuan An yang berilmu kepandaian jauh
lebih tinggi daripada kami berdua," kata Lauw Thay pula, “karena buat membunuh tuan An,
aku percaya Hok Cit sendiripun belum tentu mampu, apalagi kami berdua yang bodoh dan
tidak pernah berguru pada orang-orang pandai. Dimanalah kami bisa lakukan pekerjaan
yang seberat itu ?"

An Chun San dan Lie Poan thian berdua jadi “KESIMA" waktu mendengar omongan itu.

“Setelah sekarang kamu menyampaikan kabar yang tidak baik itu kepadaku," kata Chun San
akhir-akhirnya, “ada hal apakah lagi yang kamu hendak katakan selanjutnya ?"

“Kami berdua sebetulnya tidak akan kembali pula kepada mereka," kata kedua orang itu.
“Tetapi oleh karena kami kuatir akan hidup berkeliaran diluaran apabila komplotan Liu Tay
Hong dan Hok Cit belum dapat dibasmi, maka kami bermohon, atas kebijaksanaan dan
kedermawanan tuan An di-sini, untuk memberikan kami berdua tempat bersembunyi untuk
beberapa waktu lamanya. Apabila komplotan manusia-sia busuk itu telah dibasmi oleh pihak
yang berwajib, sudah tentu saja kami lantas berlalu dengan tidak menyusahkan apa-apa lagi
bagi tuan An. Hanya belum tahu apakah tuan An sudi meluluskan atas permintaan kami ini?"

An Chun San mula-mula kelihatan ragu-ragu, karena biarpun mereka telah mengatakan
bahwa mereka pernah menerima budi kebaikannya, tetapi ia sama sekali tidak pernah kenal,
mereka asal dari mana dan dimana rumah tangga mereka yang dikatakannya itu.

Air yang dalam bisa diukur, tetapi hati manusia cara bagaimanakah bisa diukurnya ?

“Kalau begitu aku punya suatu jalan yang paling baik bagi kamu berdua dan bagi aku juga
yang berada disini," kata An Chun San setelah berpikir sejurus lamanya.

Ketika mereka mendahului menanyakan, cara bagaimana yang Chun San akan atur buat
menolong diri mereka, si tuan rumah lantas menjawab : “Begini. Sekarang aku berikan
kamu ongkos 200 tail perak untuk menyingkir sementara waktu lamanya ke tempat lain
yang kamu kira cukup selamat untuk kamu berlindung. Dan disana, apabila kamu
mendengar kabar bahwa komplotan manusia-sia busuk itu telah dibasmi oleh pihak yang
berwajib, barulah kamu kembali lagi kesini, agar supaya dengan begitu, akupun bisa atur
cara lain guna menjamin penghidupanmu berdua. Tetapi belum tahu apakah kamu setuju
dengan caraku ini ?”

Lauw Thay kelihatan menghela napas ketika mendengar omongan itu.

149
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Cara itu rasanya boleh juga diturut," kata Lauw An. “Karena disamping kita bisa
menyelamati diri kita, tuan An disinipun tidak usah kuatir jadi kerembet dengan urusan kita.
Maka setelah kita tidak melupakan atas budi kebaikan tuan An terhadap seluruh keluarga
kita, kitapun sebaliknya harus bantu berdaya guna keselamatan tuan An serumah tangga
yang berdiam di desa Sam-li-tun ini."

“Ya, ya, itulah ada suatu jalan paling baik yang kukira bisa disetujui oleh kedua pihak," kata
Lie Poan Thian yang turut campur berbicara.

Maka setelah mereka menyatakan mupakat, An Chun San lalu pergi mengambil sejumlah
uang yang lalu diberikan pada mereka berdua sambil memesan seperti berikut:

“Uang ini kamu boleh gunakan dengan sehemat-hematnya. Apabila nanti ternyata tidak
cukup, kamu boleh suruhan orang datang membawa surat kesini buat minta ditambahkan.
Aku disini selalu terbuka buat menolong sesuatu orang yang patut ditolong, apalagi
terhadap pada orang-orang yang memangnya kupernah berhutang budi. Kalau nanti kamu
sudah berada di-tempat lain, jangan lupa akan memberitahukan alamatmu, agar jikalau
nanti keadaan sudah tidak berbahaya lagi bagimu berdua, akupun boleh segera panggil
kamu kembali ke Sam-li-tun, buat membantu pekerjaanku atau mengatur cara lain yang
bisa mendatangkan kebaikan bagi kita kedua pihak."

“Benar, benar," menyetujui Lauw An. “Cara lain yang bisa digunakan dalam keadaan kesusu
seperti sekarang, mungkin juga tidak ada lagi yang sebaik itu."

Sementara Lie Poan Thian yang lebih banyak mendengari pembicaraan orang daripada turut
campur berbicara, akhirnya mendapat suatu pikiran yang segera diajukannya pada An Chun
San seperti berikut:

“Menurut pendapatku yang cupat, kiranya ada baiknya juga jikalau kedua saudara ini
diperbantukan dalam sebuah pio-kiok. Karena selain pekerjaan itu menyocokkan betul bagi
bakat mereka, merekapun bisa juga dipergunakan sebagai petunjuk-petunjuk dalam soal
pengangkutan2 yang biasa dilakukan orang ke-tempat-tempat lain."

An Chun San mupakat. Demikian juga Lauw Thay berdua saudara, mereka menyatakan
setuju dengan usul itu, asalkan mereka diperbantukan dalam pio-kiok2 yang letaknya jauh
dari daerah kekuasaan komplotan Liu Tay Hong dan Hok Cit, hingga dengan begitu, ketika
buat kejadian berbentrok dengan kedua penjahat itu jadi bisa diringankan, biarpun itu
bukan berarti akan dapat disingkirkan sama sekali.

“Aku juga makanya menganjurkan begitu," kata Lie Poan Thian, “adalah karena aku
mempunyai seorang sahabat yang selama ini berniat akan membuka pio-kiok diselatan.
Orang ini asal Holam, she Cin bernama Kong Houw. Kini ia dan isterinya ada dalam
perjalanan pulang kedesa kelahirannya. Jikalau kamu berdua berlaku cepat, ada
kemungkinan kamu ketinggalan pun tidak berapa jauh."

Semua orang mupakat benar dengan anjuran pemuda kita itu.

Maka sesudah merekapun dijamu makan minum, diberikan uang dan sepucuk surat oleh
Poan Thian yang dialamatkan kepada Cin Kong Houw serta petunjuk-petunjuk lain yang
memudahkan untuk mereka mencari pada orang yang dimaksudkan itu, barulah Lauw Thay
dan Lauw An memohon diri pada Chun San dan Poan Thian, kemudian pada malam itu juga
mereka kembali ke rumah mereka sendiri, untuk berkemas-kemas dan berangkat keselatan
dihari esoknya pagi-pagi.

Tatkala mereka telah berlalu lama juga, barulah Poan Thian ingat suatu hal yang ia

150
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

sebenarnya kepingin menanyakan pada kedua saudara itu, tetapi apa mau, ia telah lupa
utarakan selagi mereka berada di hadapannya.

“Barusan aku telah lupa menanyakan," katanya. “Apakah mereka kenal atau tidak dengan
Wie Hui, murid In Cong Lo-siansu yang berkhianat itu. Karena kedua saudara itu yang hidup
dikalangan Kang-ouw hitam dalam daerah ini, tidak mustahil mereka tak kenal nama itu."

Chun San membenarkan omongan itu, tetapi sudah tentu saja ia tidak bisa berbuat lain
daripada menganjurkan Poan Thian akan pergi menyelidiki sendiri, berhubung orang-orang
yang bisa dimintakan keterangannya telah berlalu dari hadapan mereka.

Di rumah An Chun San, Poan Thian telah berdiam sehingga 3 hari lamanya, barulah ia
dikabulkan permintaannya buat melanjutkan perjalanannya ke Po-to-san, sambil tak lupa
dipesan oleh Chun San akan mampir lagi kesitu, apabila tugas sang bekas murid itu telah
dapat ditunaikan.

Poan Thian berjanji akan berbuat begitu, biarpun ia belum bisa tentukan kapan ia akan
kembali lagi kesitu. Kemudian ia berpamitan pada Chun San dan terus menuju kepantai
untuk menumpang perahu yang akan berangkat ke-tempat yang dituju.

Begitulah dengan menumpang sebuah perahu seorang nelayan yang kebetulan hendak
pergi ke Po-to-san, Poan Thian akhirnya telah sampai kepegunungan tersebut, dan sesudah
membayar uang sewaan perahu, lalu ia menuju ke kelenteng Po-to-sie dengan mengikuti
jalan gunung yang semakin lama semakin tinggi, sedang dikiri kanannya tampak
pemandangan alam yang amat indah dan se-olah-olah tidak dipunyai oleh tempat-tempat
dan pegunungan2 lain yang terletak dialam Tiongkok.

Disitu Poan Thian menyaksikan cadas yang curam dan batu-batu gunung yang sebesar-
besar rumah, diantara mana terdapat jalan-jalan yang menjurus kesana-sini. Sedangkan
jalan yang terbesar sendiri ialah sebuah jalan yang menuju ke kelenteng Po-to-sie, yang
ramai oleh orang-orang dari tempat-tempat lain yang sengaja berkunjung kesitu untuk
bersembahyang, membayar kaul atau menyaksikan pemandangan alam yang tertampak di-
situ dan daerah sekitarnya.

Poan Thian yang baru pada kali itu pernah menginjakkan kakinya dipegunungan yang
merupakan pulau itu, sudah tentu saja masih kelihatan agak kikuk dan tidak tahu jurusan
mana yang mesti diambilnya untuk ia dapat menyampaikan tempat yang ditujunya.

Syukur juga karena banyaknya orang yang mondar-mandir ke kelenteng itu dengan tidak
putus2nya, maka gampang ia menanyakan keterangan-keterangan yang diperlukan,
terutama mengenai jalan yang lebih pendek supaya orang bisa lekas sampai ke kelenteng
tersebut.

Tetapi karena ia memang masih asing bagi tempat-tempat disitu, tidak urung ia tersesat
juga di jalan, dan tahu-tahu ia telah sampai dibagian lain daripada kelenteng yang masyhur
itu; dimana karena mendengar ada beberapa orang yang sedang berlatih ilmu silat dibalik
pagar tembok yang terdekat, maka Poan Thian jadi timbul keinginan buat coba menyaksikan
ke sebelah dalam, dengan jalan melompati pagar tembok yang tak dapat dikatakan rendah
itu.

Tetapi sungguh tidak dinyana, selagi baru saja ia menindak akan mendekati pagar tembok
tersebut, tiba-tiba ia telah dibikin kaget oleh suara seseorang yang membentak dari balik
tembok itu.

“Kau siapa ?" tanyanya, “dan perlu apakah kau datang mengintip kemari ?"

151
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Poan Thian bukan main herannya dan terutama sangat tidak mengerti, cara bagaimanakah
orang yang berada dibalik tembok sana bisa mengetahui bahwa ia berada diluarnya ?

Ia pikir orang itu niscaya tidak bisa berbuat begitu, apabila bukan seorang yang ilmu
pendengarannya telah sampai pada puncak yang tertinggi.

Tetapi ia belum sempat berpikir lebih jauh, ketika suara itu mengatakan pula: “Apabila
kedatanganmu tidak bermaksud jahat, apakah sebabnya kau tidak berani datang
menghadap kepadaku ?"

Poan Thian yang ditanya begitu, keruan saja lantas insyaf dari kekeliruannya dan segera
menjawab: “Murid mendatangi, dan maafkanlah atas perbuatanku yang kurang sopan ini."

Kemudian dengan menggunakan siasat Hui-yan-chut-lim ia melayang masuk kehalaman


sebelah dalam dari pagar tembok itu.

Disana, sambil duduk diatas kursi di hadapan para pelatih yang sedang meyakinkan ilmu
silat, Poan Thian nampak seorang paderi tua yang misai dan janggutnya sudah berwarna
putih seluruhnya, tetapi semangatnya masih tetap gagah dan terutama sinar matanya yang
amat tajam bikin orang merasa terkesiap disaban waktu beradu sorot mata dengannya.

Maka setelah menyaksikan Poan Thian masuk dengan menggunakan siasat silat tadi, sang
paderi lantas ketahui bahwa pemuda itu tentulah bukan orang sembarangan.

“Kau ini orang dari mana?" tanyanya, ketika melihat Poan Thian maju memberi hormat
kepadanya, “nama apa, dan dengan maksud apa kau datang kesini ?"

“Murid yang rendah bernama Lie Kok Ciang," sahut Poan Thian, “orang dari Ceelam propinsi
Shoatang. Hari ini murid membawa sepucuk surat Beng Sim Suthay dari kelenteng Giok-
hun-am untuk disampaikan kepada In Cong Lo-siansu. Hanya belum tahu Lo-siansu
sekarang ada dimana ? Murid seorang yang seumur hidup baru pernah kali ini datang
kemari, telah tersesat jalan dan akhirnya sampai kesini. Banyak harap supaya guru sudi
memberikan maaf atas kesemberonoanku ini."

“Apakah Beng Sim Suthay tidak mengatakan apa-apa tentang isinya surat itu ?" bertanya
paderi itu pula sambil memandang dengan teliti kepada pemuda kita.

Lie Poan Thian lalu tuturkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud kedatangannya itu,
tetapi tidak menceritakan apa-apa tentang hal ia bertempur dalam perjalanannya ketempat
itu.

“Ya, kalau begitu," kata sang paderi, “marilah kau serahkan surat itu kepadaku."

“Apakah barangkali guru ini bukan In Cong Lo-siansu yang hendak murid jumpai itu?" tanya
Lie Poan Thian yang mendadak telah mendusin bahwa apa yang telah dikatakannya tadi,
adalah kurang sopan dan sesungguhnya terlalu semberono.

Tetapi apa yang telah diperbuat, sudah tentu saja tak dapat ditarik pulang, hingga
selanjutnya ia melainkan bisa berjanji pada diri sendiri, akan berlaku lebih hati-hati dalam
segala perkara untuk mencegah kekeliruan-kekeliruan yang akan datang itu.

Sementara paderi tua itu yang dengan se-konyong-konyong melihat tingkah laku Poan Thian
jadi agak gugup, dengan tersenyum lalu berkata: “Anak muda, aku inilah memang benar In
Cong Siansu yang hendak kau jumpai itu."

Poan Thian yang mendengar omongan itu, lalu buru-buru menjatuhkan diri menjura di

152
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

hadapan paderi itu sambil berkata : “Lo-siansu, mohon diberi keampunan dan beribu maaf
atas perbuatan murid yang amat tidak sopan itu !"

Tetapi In Cong Siansu lalu banguni padanya sambil berkata : “Kita adalah orang-orang dari
satu golongan juga, perlu apakah mesti berlaku begitu sungkan ?"

Poan Thian mengucap terima kasih dan lalu serahkan suratnya Beng Sim Suthay yang lalu
dibuka sampulnya dan dibaca bunyinya oleh paderi tua tersebut.

Sehabis membaca surat itu, In Cong lalu menoleh pada Lie Poan Thian dengan paras muka
yang ber-seri-seri.

“Gurumu dan aku adalah saudara yang berasal dari satu golongan Siauw-lim juga," katanya,
“demikian juga dengan Beng Sim yang menyiarkan ilmu silat dari golongan kita di-kelenteng
Giok-hun-am. Kepada ia ini aku pernah meminta bantuannya, untuk mencari beberapa
orang murid-murid dari cabang Siauw-lim yang ilmu kepandaiannya sudah boleh dianggap
sempurna untuk membantu usahaku akan menaklukkan atau membasmi muridku Wie Hui
yang telah berkhianat itu."

“Ya, hal itu muridpun telah dapat dengar dari penuturan Beng Sim Sukouw," kata pemuda
kita. “Hanya belum tahu, selama ini ia bersembunyi dimana ? Juga dimana ia kerap
kelihatan mengunjukkan rupanya ?"

“Belum berapa lama ia telah mengacau di kota Lengpo," sahut In Cong Siansu. “Disana ia
telah coba menculik seorang gadis she Ong, tetapi perbuatannya itu telah gagal, berhubung
si gadis yang hendak diculik itu telah nyebur kedalam sumur sehingga menemui
kematiannya. Oleh barisan polisi disana ia telah dikepung dengan secara hebat sekali, tetapi
Wie Hui, si bajingan ini tidak berhasil dapat dibekuk. Bahkan semakin ia dicari oleh pihak
yang berwajib, semakin kurang ajar pula perbuatan-perbuatannya diluaran, hingga kawanan
polisi disana yang hampir kewalahan akan membekuk padanya tanpa mengalami kerusakan
atau kehilangan jiwa, akhirnya mendapat tahu juga bahwa aku inilah guru si Wie Hui dan
lalu hendak menangkap kepadaku. Beruntung juga pembesar di Lengpo kerap berkunjung
kesini dan kenal baik kepadaku, oleh karena itu penangkapan itupun telah diurungkan atas
jaminan pembesar tersebut. Maka aku sendiri yang merasa telah dipertanggungkan
keselamatanku oleh pembesar itu, tentu saja aku lantas berjanji buat selekas mungkin
membekuk Wie Hui sebagai penebusan atas kedosaanku itu. Aku sendiri bukannya tidak
mampu membekuk anak itu, tetapi aku sebagai gurunya tentu tidak baik akan turun tangan
sendiri, berhubung murid-muridku sendiri bukan sedikit jumlahnya. Tetapi karena aku
mengetahui bahwa diantara murid-muridku yang terbanyak itu bukan tandingannya Wie
Hui, maka aku merasa perlu meminta bantuan saudara-saudara dan saudari2ku yang
berasal dari satu golongan, untuk mencari murid-murid mereka yang kiranya sudah dididik
cukup sempurna akan bantu melaksanakan usahaku yang tidak bisa dikata ringan itu.

Maka dengan diterimanya surat Beng Sim ini, yang telah mengajukan kau akan membantu
kepadaku, sudah barang tentu bukan main besarnya terima kasihku kepadamu, dan aku
percaya betul bahwa dengan bantuanmu ini, Wie Hui pasti akan dapat dikalahkan, sehingga
kejahatan2nya dapat dicabut bersih sampai ke-akar-akarnya."

Tetapi Poan Thian yang telah banyak merasakan pahit-getirnya penghidupan dikalangan
Kang-ouw, lalu berjanji akan berdaya dengan sekuat-kuat tenaganya untuk bantu
melaksanakan usaha orang tua itu.

“Hanya berhubung murid tidak kenal pada Wie Hui," katanya, “maka sudilah apa kiranya Lo-
siansu memberikan aku seorang kawan yang kenal baik kepadanya, sehingga dengan begitu

153
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

murid jadi mudah mengenalinya dan tidak sampai kena dibokong olehnya, yang tentu akan
berlaku lebih waspada daripada murid yang bermaksud hendak membekuk kepadanya."

In Cong Siansu memang telah berpikir juga sampai disitu. Maka setelah Poan Thian
mendahului mengajukan permintaannya, barulah ia panggil seorang muridnya yang
bernama Hwat Yan, buat disuruh pergi mengikut Poan Thian akan membikin penyelidikan
dimana adanya Wie Hui dihari esoknya.

Begitulah setelah menginap dikelenteng Po-to-sie pada malam itu, dihari esoknya pagi-pagi
ia sudah bangun menghadap pada In Cong Siansu, yang ternyata telah bangun lebih dahulu
dan berikan Poan Thian sebilah pedang yang amat tajam dan dapat memutuskan logam
dengan sama mudahnya seperti juga orang membacok tanah liat.

Kemudian ia panggil Hwat Yan dan perintah supaya murid itu ajak Poan Thian sarapan
dahulu, setelah itu barulah mereka berpamitan pada In Cong dan terus menyewa perahu
yang akan membawa mereka kedaratan Tin-hay; dari mana mereka menuju ke kota Lengpo
yang terletak diarah barat-daya dari kota pelabuhan tadi.

Di kota Lengpo ini ketika Poan Thian dan calon paderi Hwat Yan menyelidiki tempat
sembunyinya Wie Hui, akhirnya mereka mendapat keterangan bahwa penjahat muda itu
sering berkeliaran di-rumah2 pelacuran. Salah seorang bunga raya yang menjadi
kecintaannya Wie Hui dan terkenal dengan nama Ban Tho Hoa atau selaksa sungai Tho, lalu
sengaja pura-pura “ditempel" oleh Poan Thian buat coba mencari keterangan, pada waktu
bagaimana Wie Hui biasa datang berkunjung kesitu.

Setelah keterangan-keterangan yang diperlukan telah dapat diperoleh, barulah Poan Thian
berembuk dengan Hwat Yan cara bagaimana mereka harus membikin penggerebekan selagi
Wie Hui belum keburu membikin persediaan.

Tetapi tidak kira pada sebelum rencana ini dapat di jalankan, mendadak pada suatu hari ada
seorang kacung yang datang berkunjung ketempat penginapan Poan Thian dan Hwat Yan
dengan membawa sepucuk surat. Surat tersebut diterimakan pada kedua orang itu sambil
berkata :

“Apabila Ji-wie hendak bertemu dengan tuan Wie, diharap supaya berhubungan dengan
nona Ban Tho Toa, karena disana ia sudah titipkan alamatnya dimana Jie-wie mesti bertemu
dengannya."

Poan Thian dan Hwat Yan jadi tidak habis mengerti, mengapa mereka dianjurkan akan
menanyakan pula keterangan dari bunga raya itu, sedangkan Wie Hui bisa tuliskan
alamatnya didalam surat yang dikirimkannya ini. Maka tempo hal ini ia coba tanyakan pada
si kacung pembawa surat tersebut, orang yang ditanya itu lalu menggelengkan kepalanya
sambil berkata: “Dari hal itu, aku sesungguhnya tidak tahu-menahu."

“Apakah kau dipesan oleh tuan Wie, supaya surat ini dijawab olehku ?” Poan Thian bertanya
sambil membuka sampul surat itu.

“Hal itu tinggal terserah atas kehendakmu sendiri. Apabila disitu diminta jawaban tuan dan
tuan hendak menjawabnya, aku tunggu; kalau tidak, akupun boleh lantas pergi."

“Anak ini sungguh pandai sekali berbicara," pikir Poan Thian didalam hatinya.

“Apakah tidak bisa jadi bahwa ia ini ada seorang mata-mata-nya Wie Hui, yang telah
sengaja dikirim kesini untuk menyelidiki kami berdua ?"

154
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Kemudian ia menoleh pada kacung itu sambil berkata: “Kalau begitu, boleh tunggu dahulu
sehingga aku selesai membaca bunyinya surat ini."

Tetapi alangkah herannya hati pemuda kita, tatkala ia bentangkan surat itu akan dibaca
bunyinya, ternyatalah bahwa surat itu hanya sehelai kertas kosong yang tidak ada artinya
sama sekali, hingga Poan Thian yang menerima surat kosong itu, sudah tentu saja tidak
mengerti apa maksudnya Wie Hui mengirimkan kertas kosong tersebut kepadanya !

Tetapi buat tidak membikin kentara rasa herannya di hadapan si kacung itu, maka Poan
Thian lalu berpura-pura menanyakan : “Apakah selain menyampaikan amanat akan kita
menanyakan alamatnya pada nona Ban Tho Hoa, tuan Wie tidak mengatakan apa-apa pula
kepadamu ?"

“Tidak," sahut kacung itu dengan pendek.

“Kalau begitu kau boleh kasih tahu pada tuan Wie, bahwa kita akan bertemu ditempat yang
diunjuk menurut alamat yang dititipkannya pada nona Ban Tho Hoa," kata pemuda kita.

Si kacung menjawab “baik" dan terus berlalu dengan tidak banyak bicara pula.

“Apakah tidak bisa jadi bahwa Wie Hui sekarang tengah mengatur suatu rencana akan
menjebak kita berdua ?" tanya Hwat Yan setelah mendusin bahwa kedatangan mereka ke-
kota Lengpo itu telah diketahui oleh saudaranya seperguruan yang telah berkhianat itu.

“Ya, hal inipun memang bukan mustahil akan terjadi atas diri kita," sahut Poan Thian, “maka
selanjutnya kita harus berlaku sangat hati-hati akan menghindarkan diri kita daripada akal
muslihat musuh yang keji itu."

Hwat Yan menyatakan mupakat dengan pikiran pemuda kita itu.

Tatkala mereka menanyakan hal ini pada Ban Tho Hoa, si nona lalu menunjuk keatas
tiongcit sambil berkata: “Alamat yang kamu minta itu, tidak diterimakan kedalam tanganku
sendiri, hanyalah ditaruh disana, digantungkan diatas tiongcit itu."

Ketika Poan Thian dan Hwat Yan menengadah kearah tiongcit tersebut, betul saja disana
tertampak sebuah sampul merah yang digantungkan dengan sepotong tali. Dan jikalau
perbuatan itu bukannya dilakukan oleh seorang yang ilmu kepandaian silatnya amat tinggi,
niscaya tidak akan mampu melakukan pekerjaan yang sesukar itu.

Setelah menyaksikan perbuatan Wie Hui itu, Poan Thian lalu tersenyum sambil menoleh
pada Hwat Yan dan berkata: “Sekarang aku mengerti, apa sebabnya Wie Hui minta kita
datang kesini buat meminta alamatnya ............"

“Itulah melulu buat mempamerkan ilmu kepandaiannya di-hadapan kita berdua," kata Hwat
Yan yang memotong pembicaraan si pemuda.

“Itu benar," Poan-Thian menyetujui. “Tetapi apakah artinya perbuatan itu bagi kita, yang
juga mengerti ilmu silat dan tidak ada dibawah daripadanya ?"

Hwat Yan membenarkan omongan kawan itu.

Tetapi ketika Poan Thian hendak mengambil piauw akan menyambit sampul merah itu, si
calon paderi lalu mencegah sambil berkata : “Tidak usah Suheng mencapaikan hati, biarkan
saja perkara kecil ini diurus olehku sendiri."

“Ya, kalau begitu, aku persilahkan kau mengambil sampul itu menurut caramu sendiri," kata

155
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Lie Poan Thian yang lantas urungkan niatnya buat menyambit sampul yang tergantung
diatas tiongcit itu.

Sementara Hwat Yan yang merasa telah dikasih ketika akan mengunjukkan kepandaiannya,
lalu merogoh sakunya dan keluarkan sebuah pelanting dengan sebutir peluru besi dengan
mana ia telah tembak jatuh sampul itu, karena talinya putus terlanggar peluru tersebut.

Poan Thian jadi sangat kagum dan memuji atas kepandaian Hwat Yan dalam
mempergunakan alat yang tergolong pada senjata-senjata rahasia itu.

Dan tatkala sampul itu dibuka, ternyata didalamnya terisi beberapa baris tulisan yang
berbunyi:

Kamu berdua boleh susul aku ke Giok-hong-kok dipegunungan Jie-sian-san pada hari esok
diwaktu lohor.

Aku tunggu kedatangan kamu berdua dengan segala senang hati. Jangan salah.

Surat itu tidak dibubuhi tandatangan, tetapi sudah terang bahwa itulah telah ditulis oleh Wie
Hui sendiri.

“Tetapi dimanakah letaknya pegunungan Jie-sian-san itu ?" bertanya Lie Poan Thian yang
baru saja pada kali itu mendengar ada sebuah gunung yang bernama begitu.

Sedangkan Hwat Yan sendiri yang tidak tahu dimana letaknya pegunungan itu, tentu saja
tak dapat berbuat lain daripada menggaruk2 kepalanya yang tidak gatal. Kemudian ia
berjanji akan menanyakan ini kepada penduduk-duduk yang berdiam di luar kota Lengpo.

“Apabila gunung itu betul ada," katanya, “niscaya tidak sukar akan kita dapat ketemukan,
tidak perduli berapa jauh letaknya dari kota ini."

Poan Thian mupakat dengan omongan itu.

Begitulah setelah berpamitan pada nona Ban Tho Hoa, kedua orang itu lalu menuju keluar
kota Lengpo dan mampir disebuah kedai makanan dan minuman yang banyak dikunjungi
oleh orang-orang yang mondar-mandir keluar-masuk kota.

Disini, sambil berpura-pura membicarakan soal ini dan itu dengan orang-orang yang pada
berkumpul dikedai itu, akhirnya Poan Thian mendapat kesempatan buat menanyakan
dimana letaknya pegunungan Jie-sian-san itu.

“Tuan ini orang dari mana?" bertanya orang itu sambil mengawaskan pada pemuda kita
sesaat lamanya.

“Kami berasal dari utara," sahut Lie Poan Thian, “Yang sekarang berada dalam perjalanan
ke Jie-sian-san akan mencari seorang sahabatku."

“Tuan," kata orang itu, setelah bercelingukan kekiri-kanan, “menurut pikiranku, lebih baik
kau jangan pergi kesana. Pegunungan itu bukan tempat kediaman orang baik-baik. Itulah
sarang kawanan perampok yang dikepalai oleh seorang kepala kampak muda yang bernama
Wie Hui."

“Ya, ya, benar, dia itulah yang kami hendak cari," kata Lie Poan Thian yang merasa tidak
perlu lagi akan berlaku dengan secara sembunyi.

Karena ia telah yakin dari bukti2 yang telah dialaminya selama itu, biarpun mereka telah

156
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

mencoba akan menyelidiki dengan secara diam-diam, tidak urung perbuatan itu telah
ketahuan juga oleh pihak bakal lawannya itu. Maka dari itu apakah perlunya ia selanjutnya
berlaku sembunyi2 pula ?

Orang yang ditanyakan keterangan tadi jadi semakin heran, ketika menyaksikan tingkah-
laku dan pembicaraan Poan Thian yang begitu terbuka dan tidak mengunjuk sikap yang
khawatir barang sedikitpun.

Ia jadi kelihatan ragu-ragu akan bicara lebih jauh.

“Aku percaya bahwa tuan ini tentulah seorang yang jujur dan berhati tulus," kata Poan
Thian pula pada orang itu. “Oleh sebab itu, kukira tidak jahatnya akan aku menerangkan
dengan sejujur-jujurnya tentang maksud kunjungan kami ke pegunungan Jie-sian-san
tersebut. Kami berdua ini adalah kakak dari satu golongan perguruan ilmu silat dengan Wie
Hui itu. Tetapi oleh karena perbuatan-perbuatan adik itu sangat mencemarkan nama baik
perguruan silat kami, maka hari ini kami perlu memperingati supaya ia suka menghentikan
perbuatan-perbuatan-nya yang tidak baik itu. Syukur jikalau ia mau mendengar nasehat
kami; apabila ia ternyata sudah menjadi sukar akan diperbaikinya, terpaksa kami harus
menggunakan kekerasan dan membasmi padanya sebagai seorang perampok biasa.
Demikianlah maksud yang benar dari perkunjungan kami ini. Oleh sebab itu, jadilah apa
kiranya tuan memberikan petunjuk pada kami, berapa jauh dan dimana letaknya pegunung-
an Jie-sian-san itu ?”

“Pegunungan itu letaknya lebih-kurang 30 lie jauhnya dari tempat ini," sahut orang yang
ditanya itu. “Dari sini kamu boleh menuju kearah tenggara dengan mengikuti jalan ini."
Sambil berkata ia menunjuk pada sebuah jalan kecil yang terpecah dari jalan desa yang
lebih besar dan lebar. “Tetapi jalan itu semakin jauh semakin sempit dan buruk, dan sudah
sekian lama tidak diurus oleh pihak yang berwajib. Karena kekurangan pengurusan ini maka
kawanan perampok yang bersarang di daerah itu jadi semakin enak melakukan pekerjaan
mereka. Bahkan menurut kabar diluaran, Wie Hui sendiri pernah mengakui bahwa
pegunungan Jie-sian-san itu adalah punyanya sendiri."

Poan Thian dan Hwat Yan jadi heran mendengar keterangan begitu.

“Apakah barangkali Wie Hui hendak memberontak dengan mempergunakan gunung itu
sebagai pangkal operasinya ?” tanya pemuda kita.

Tetapi, sudah tentu saja, pertanyaan-pertanyaan demikian ada diluar kemampuan orang itu
akan menjawabnya.

“Diatas gunung itu kudengar ada sebuah gedung atau bangunan yang bernama Giok-hong-
kok," kata Poan Thian pula, “apakah gedung atau bangunan itu berupa rumah berhala atau
hanya suatu nama saja yang sengaja dikarang untuk menyesatkan orang ?”

“Tentang ini aku memang tahu dan bukan suatu isapan jempol belaka," sahut orang itu.
“Adapun nama Giok-hong-kok itu, asalnya sebuah rumah berhala dari kaum Taoist.
Umurnya rumah berhala ini memang sudah amat tua; karena menurut ceritera orang tua2,
rumah berhala tersebut telah didirikan di jaman Tong Tiauw, dimasa kaisar Tong Thay Cong
(Lie Sie Bin) duduk bertakhta. Ketambahan disitu pernah bersemayam seorang pertapaan
she Lie yang bergelar Thay Liong Cinjin, maka kaisar jadi lebih-lebih mengindahkan dan lalu
perbaiki rumah berhala itu dengan serba-serbinya dari lantai sehingga keatas wuwungan
dibuat daripada bahan2 tembaga, berhubung kaisar menaruh kepercayaan bahwa agama
Too Kauw itu telah diturunkan oleh leluhurnya Lie Djie yang kemudian dikenal orang sebagai
Lo Cu, bapak dari agama Too Kauw tadi.

157
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Tetapi setelah Thay Liong Cinjin naik menjadi dewa, mendadak didalam rumah berhala itu
tampak lukisan Cinjin diruangan sembahyang. Oleh karena itu, maka anak negeri yang
menganggap Cinjin sebagai keramat, tidak putusnya datang bersembahyang buat meminta
ini atau itu, sehingga kepercayaan itu berlangsung turun-temurun sampai di jaman ini.

Pada suatu hari l.k. 1,5 tahun yang lampau, tiba-tiba didalam rumah itu telah muncul seekor
ular amat besar yang telah makan semua orang yang berdiam disitu, bahkan orang-orang
yang datang untuk bersembahyang pun tidak sedikit yang jiwanya telah melayang dimakan
oleh binatang yang tidak diketahui dari mana datangnya itu.

Karena terjadinya peristiwa-peristiwa yang sangat menggemparkan itu, sudah tentu saja
selanjutnya orang tak berani berkunjung pula ke rumah berhala itu. Maka selama berselang
beberapa bulan saja, jalan ini yang menyambung ke-jalan-jalan lain dengan mana orang
bisa sampai ke Giok-hong-kok telah menjadi sunyi dan kembali pula pada asal mulanya,
yalah jalan pegunungan yang ditumbuhi oleh alang2 yang semakin hari kelihatan bertumbuh
semakin tinggi karena kurang dirawat.

Pihak yang berwajib telah mengambil tindakan-akan yang perlu untuk membasmi binatang
itu, tetapi segala percobaan telah berhasil nihil, berhubung pemburu-buru yang diperintah
pergi membinasakan binatang itu, hanya beberapa orang saja yang bisa lari pulang dan mati
di rumah. Sedangkan yang lain-lain semua telah hilang dan tidak ada kabar ceritanya
sehingga sekarang ini."

“Kalau betul di Giok-hong-kok itu ada bersarang seekor ular besar sebagaimana katamu
tadi," Poan Thian memotong pembicaraan orang itu. “Cara bagaimanakah Wie Hui bisa
bersarang juga disitu dengan tidak mengalami gangguan-gangguan dari binatang liar yang
telah mengorbankan sekian jiwa manusia itu ?”

“Itulah karena Wie Hui sendiri yang memang telah membasminya, yang telah membakarnya
dengan mempergunakan bahan2 bakar yang terdiri dari getah cemara yang mudah
menyala," sahut orang itu. “Maka setelah binatang itu dapat dibinasakan, barulah kemudian
tersiar kabar diluaran bahwa Wie Hui dengan mengajak beberapa orang kawannya
dikalangan Kang-ouw hitam telah mendiami Giok-hong-kok yang telah dipergunakannya
sebagai markas besar kawanan perampok dan melakukan pekerjaannya dengan dimulai dari
kecil dahulu.

Dan tatkala kabar tentang dibinasakan ular yang berbahaya itu telah tersiar ke-mana-mana,
barulah orang mulai berani lagi akan berjalan-jalan ke pegunungan Jie-sian-san, yang mula-
mula tidak pernah diganggu oleh Wie Hui dan kawan-kawannya yang bersarang disitu.

Tetapi ketika lalu-lintas disitu menjadi semakin ramai dan umum juga dilalui oleh
pengantar2 kereta pio untuk memperpendek perjalanan mereka, barulah Wie Hui dan
kawan-kawan-nya mulai beraksi dengan mengadakan peraturan-peraturan cukai jalan yang
sangat menggelisahkan bagi khalayak ramai yang kerap kali melewat ditempat itu.

Lebih-lebih terhadap para pengantar pio yang dimestikan membayar 10% dari jumlah
angkutan mereka, hingga banyak antara piosu2 yang merasa kurang puas dengan peraturan
itu dan telah menentang dengan se-keras2nya, telah terbit perselisihan dan pertempuran
yang telah mengakibatkan tidak sedikit antara piosu2 itu yang mendapat luka atau binasa
di-tangan Wie Hui dan kawan-kawannya itu.

Oleh sebab adanya peristiwa-peristiwa tersebut, tidaklah heran apabila selanjutnya orang
jadi segan akan melewat disitu, hingga jalan pegunungan yang telah mulai jadi ramai itu
pun perlahan dengan perlahan telah kembali pada keadaan seasalnya dahulu, yalah menjadi

158
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

sunyi dan tidak tampak pula manusia yang berjalan mondar-mandir seperti pada beberapa
waktu yang lalu itu."

Demikianlah menurut penuturan orang yang telah ditanyakan oleh Poan Thian dan Hwat
Yan tadi.

“Apabila Wie Hui telah bertindak sekian jauhnya," kata Lie Poan Thian, “nyatalah kita tak
boleh membiarkan saja ia berbuat menurut sesuka hatinya. Kita harus membasmi padanya
selekas mungkin, untuk bantu meringankan penderitaan orang-orang yang tertindas oleh
manusia keji dan kawan-kawannya itu."

Hwat Yan membenarkan atas omongan saudara segolongannya itu.

“Kalau begitu," katanya, “sekarang hari masih siang. Apakah tidak baik jika kita berangkat
kesana sekarang juga?"

“Ya, benar," Poan Thian menyetujui kawannya itu.

Begitulah sesudah membayar harga makanan dan minuman yang mereka telah pesan tadi,
Poan Thian dan Hwat Yan mengucap banyak terima kasih atas petunjuk-petunjuk orang itu,
kemudian mereka menuju ke Jie-sian-san dengan menuruti jalanan yang telah ditunjukkan
orang itu tadi.

Sesampainya dikaki pegunungan yang dituju, Poan Thian dan Hwat Yan telah berjumpa
dengan seorang pemotong kayu yang lalu menghampiri kepada mereka sambil bertanya:
“Tuan-tuan, apakah kamu berdua bukan orang-orang yang sedang mencari tuan Wie ?"

“Ya, benar," sahut Poan Thian yang sekarang telah tidak merasa heran lagi, karena ia telah
yakin bahwa mata-matanya saudara segolongan yang berkhianat itu telah tersebar dengan
luas disegala pelosok. “Apakah barangkali Tuan Wie ada meninggalkan pesan apa-apa bagi
kami berdua ?"

“Ya," kata orang itu sambil mengangguk. “Dalam daerah dan jalan pegunungan2 disini
banyak terdapat perangkap2 yang sehingga tentara negeri tak berani datang melakukan
penggerebekan untuk kedua kalinya. Oleh sebab kuatir kamu akan terjerumus kedalam
perangkap2 itu, maka tuan Wie telah perintah aku buat menjemput padamu berdua akan
naik keatas gunung. Tuan Wie mengatakan bahwa ia tunggu kedatangan tuan-tuan disana
dengan segala senang hati."

Poan Thian dan Hwat Yan mengucap terima kasih dengan suara yang hampir berbareng.
Kemudian mereka mengikut si pemotong kayu itu akan ber-sama-sama naik gunung.

Tatkala berjalan beberapa lamanya, akhirnya mereka menampak dimuka perjalanan mereka
ada sebuah gedung mirip kelenteng yang atapnya seolah-olah mengeluarkan sinar karena
menjadi sasaran matahari yang hampir selam kebarat. Gedung itu tidak berapa besar
bentuknya, tetapi buatannya amat teguh dan bercokol diatas gunung bagaikan sebuah
menara.

“Gedung itu adalah apa yang dinamakan orang Giok-hong-kok," kata pemotong kayu itu
pada Lie Poan Thian dan kawannya. “Perjalanan dari sini sudah tidak berapa jauh lagi, maka
dari itu aku percaya tuan-tuan tentu akan dapat menyampaikan gedung itu tanpa diantar
pula olehku. Akan tetapi buat mencegah kejadian-kejadian yang tidak diingini, janganlah
sekali-sekali kamu masuk ke Giok-hong-kok dengan melalui pintu besar atau menginjak
halaman lantai yang terbentang disekitar tempat itu."

159
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Kalau begitu," kata mereka, “dari manakah kami akan dapat masuk kesitu, apabila disekitar
tempat itu tidak dapat dilalui orang ?"

“Jalan satu-satunya adalah kamu harus mengambil jalan dari atas wuwungan gedung
tersebut," kata pemotong kayu itu pula, “kemudian kamu mengikuti tembok wuwungan
menuju kebarat. Dari situ jangan kamu berjalan terus, tetapi kamu harus melalui wuwungan
emper yang terletak disebelah kiri dan terus menuju ke halaman cimche. Itulah ada jalan
yang paling selamat akan kamu dapat masuk ke Giok-hong-kok."

Lie Poan Thian yang mendengar begitu dan kelihatan agak sukar untuk dapat mengikuti
petunjuk-petunjuk itu dengan sebaik-baiknya, sudah tentu saja jadi tertawa dan berbalik
mengejek pada diri Wie Hui sambil berkata: “Hm, apakah itu ada perbuatan seorang ho-
han, yang berani “mengundang" orang tetapi se-olah-olah tidak berani bertemu muka
dengan sengaja mengambil jalan yang mempersukar orang begitu rupa ? Kita sendiri bukan
beranggapan ia takut pada kita. Tetapi apakah orang lain tidak nanti menganggap demikian,
apabila mereka tahu tentang adanya cara2 yang sangat tidak masuk diakal ini ?"

Kemudian ia berpura-pura menoleh pada Hwat Yan sambil menambah : “Saudara, kukira
sekarang paling betul kita kembali saja ketempat penginapan kita, sebab Wie Hui yang mau
dijumpai itu ternyata tidak berani bertemu dengan kita. Marilah. Buat apakah kita mesti
dijemur orang disini sampai berjam2 dengan tak ada gunanya sama sekali ?"

Lalu kedua orang itu membalikkan badan masing-masing, seolah-olah benar-benar mereka
hendak membatalkan perjalanan mereka dan berlalu dari situ.

Tetapi ketika mereka baru saja berjalan beberapa tindak jauhnya, mendadak Poan Thian
merasakan ada angin yang berkesiur agak hebat menyamber ke jurusannya.

Pemuda kita mengerti bahwa ia hendak “dijajal" orang, maka ia sengaja berdiri jejak buat
mengunjukkan sedikit kelihayan dalam hal menjaga diri dengan jalan Thia-hong atau
mendengar berkesiurnya suara angin.

“Itulah ada 3 buah hui-piauw yang orang sambitkan kepadaku," kata Poan Thian didalam
hatinya.

Dan sebegitu lekas ia mendengar suara-suara itu telah mendatangi cukup dekat, dengan
sebat ia lantas putarkan badannya sambil menggerakkan kaki tangannya untuk menghindar-
kan diri daripada penyerangan gelap yang orang telah sengaja tujukan pada dirinya.

“Jangan main kayu !” katanya sambil menyambuti sebuah piauw dengan tangan kirinya.

Dengan tangan kanannya ia menyambuti sebuah piauw yang lainnya, sedangkan yang
sebuah lagi lalu disambut olehnya dengan tendangan, sehingga senjata rahasia itu telah
terpental entah kemana perginya !

Semua itu telah dilakukan olehnya dengan kesebetan yang begitu mengagumkan, sehingga
orang hampir tidak melihat dengan jalan apa ia telah dapat menghindarkan diri daripada
sambitan-sambitan itu.

Hal mana, bukan saja telah menerbitkan rasa kagumnya Hwat Yan, tetapi si pemotong kayu
tadipun yang telah melakukan perbuatan itu, jadi melongo dan kemudian buru-buru
membungkukkan dirinya memberi hormat sambil berkata : “Tuan, nyatalah bahwa kau ini
ada seorang ahli silat paling pandai yang aku pernah jumpai seumur hidupku!"

Poan Thian tersenyum sambil menyindir: “Benar. Aku pun baru pernah pada kali ini saja

160
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

menjumpai seorang ahli silat paling curang seumur hidupku!"

Orang itu jadi kebogehan, sehingga tak dapat pula ia berkata-kata barang sepatahpun.

“Beruntung juga sambitan itu kau telah lakukan atas diriku," kata Poan Thian pula, “apabila
itu dilakukan atas diri orang lain, apakah itu tidak nanti membahayakan jiwa orang itu ?"

Orang itu jadi semakin bungkem.

“Pergilah kau sampaikan omonganku pada Wie Hui," kata Hwat Yan yang campur bicara.
“Jikalau sesungguhnya ia minta bertemu dengan kita berdua, bolehlah ia lekas keluar bicara
dengan kami disini; jikalau ia tidak mau bertemu dengan kita, kitapun boleh segera berlalu
dari sini. Perlu apakah mesti membicarakan segala urusan tetek-bengek yang tidak ada
gunanya sama sekali ?"

Orang itu yang kemudian ternyata ada seorang kaki-tangannya Wie Hui yang menyamar
sebagai seorang pemotong kayu, dengan rupa malu segera memberi hormat dan berjanji
akan sampaikan pesan itu kepada pemimpinnya.

Tetapi pada sebelum ia berlalu dari situ, tiba-tiba dari kejauhan tampak mendatangi seorang
muda yang perawakan badannya tegap, alisnya hitam jengat, berpakaian baju pendek
dengan menyoren sebilah golok tanto dipinggangnya.

Hwat Yan jadi mengawasi dengan mata mendelong dan bertanya pada diri sendiri:
“Siapakah adanya orang muda ini ?"

***

Tetapi Poan Thian kelihatan tidak asing lagi terhadap pada orang muda yang sedang
mendatangi itu.

“Ia itulah bukan lain dari seorang penjahat yang pernah mengacau di Sam-li-tun," katanya.
“Ia pernah mengaku bernama Hok Cie Tee, tetapi menurut keterangan yang pernah
kuperoleh, ia ini sebenarnya bernama Hok Cit. Hanya belum tahu cara bagaimana ia bisa
berada disini ?"

“Suheng rupanya kenal juga pada orang ini ?" tanya Hwat Yan.

“Ya," sahut Poan Thian dengan pendek. Penjahat muda itu jadi agak terperanjat ketika
melihat Poan Thian datang bersama-sama seorang lain yang ia tidak kenal.

“Wie Toako mengundang Ji-wie akan datang ke Giok-hong-kok," katanya dengan suara
ragu-ragu.

“Kau jangan omong kosong !" kata Hwat Yan dengan suara ketus. “Kedatangan kita kemari
adalah karena menerima undangan Wie Hui. Oleh sebab itu, pergilah kau kasih tahu pada
Wie Hui supaya ia datang menyambut sendiri pada kita, tetapi bukanlah kita yang harus
pergi “menghadap" kepadanya !"

Orang muda itu kelihatan kurang senang mendengar omongan Hwat Yan yang seketus itu.

Lalu ia menuding pada calon paderi itu dengan mata mendelik dan membentak : “Hei,
sahabat ! Disini bukan di rumah tanggamu sendiri, sehingga dalam segala sesuatu kau boleh
menuruti apa kata hatimu. Inilah ada tanah daerah kekuasaan kami, dimanakah kau sebagai
seorang tetamu harus tunduk kepada segala peraturan yang umumnya berlaku ditempat
ini!"

161
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Tak usah kau banyak bicara !" akhir-akhirnya Poan Thian teturutan membentak. “Pergilah
kau panggil kawanmu Liu Tay Hong buat sekalian bertemu juga dengan Wie Hui disini !"

Hok Cit jadi sengit dan lalu dengan tidak banyak bicara lagi ia menerjang pada Lie Poan
Thian dengan menghunus golok ditangannya.

Begitulah selanjutnya dilereng gunung Jie-sian-san itu telah terjadi pertempuran yang
dahsyat antara Lie Poan Thian dan Hok Cit, sedangkan Hwat Yan mendapat lawan si
pemotong kayu tetiron tadi, yang kemudian baru diketahui bernama Sin-to-thay-swee Khu
Siu Cun.

Kedua pasang lawan ini mula-mula kelihatan berimbang dalam hal tenaga kepandaiannya,
terutama mengenai kepandaian Hwat Yan yang bertempur dengan menggunakan jwan-pian
dengan Khu Siu Cun yang bersenjatakan sebilah golok. Tetapi Lie Poan Thian yang
bersenjata pedang pemberian In Cong Siansu yang amat tajam dan bergerak dengan amat
lincahnya, perlahan dengan perlahan telah dapat mendesak pada Hok Cit yang segera
merasa bahwa ia lebih selamat akan mundur keatas gunung daripada mendesak pada
musuhnya yang ia belum tentu mampu kalahkan.

Maka setelah dua kali ujung goloknya terkupas oleh pedangnya Lie Poan Thian, Hok Cit
lekas melarikan diri dengan diikuti oleh Siu Cun yang dikejar oleh Hwat Yan dari sebelah
belakang.

“Hei, beburonan hutan! Kemanakah kamu hendak menyembunyikan diri!" teriak calon paderi
itu yang hendak melanjutkan pengejarannya.

Tetapi Poan Thian lekas mencegah sambil berkata : “Su-tee! Sabar dulu! Paling baik kita
tunggu Wie Hui disini, daripada mesti membuang tenaga dengan sia-sia dalam pertempuran
dengan kawanan tikus hutan itu!"

Hwat Yan pikir omongan itu memang ada benarnya juga.

“Pergilah kamu panggil Wie Hui buat bicara dengan kami disini!" menyerukan calon paderi
itu pada dua orang musuhnya yang lari naik keatas gunung itu.

Tidak antara lama, betul saja dari atas gunung telah muncul seorang muda yang Hwat Yan
lantas kenali sebagai saudara seperguruannya yang sedang dicari dan telah mengundang
mereka akan datang ke Jie-sian-san.

“Inilah, dia yang bernama Wie Hui, dan kita sedang cari untuk membikin perhitungan guna
kebaikannya nama rumah perguruan kami di Po-to-sie," berbisik Hwat Yan pada pemuda
kita.

Poan Thian mengangguk.

Sementara Wie Hui yang dari kejauhan telah mengenali pada Hwat Yan, dengan wajah yang
tenang dan berseri-seri lalu berjalan menghampiri dan memberi hormat kepada mereka
berdua sambil berkata : “Selamat datang, saudara-saudaraku, aku sebenarnya tidak
menyangka yang kamu akan datang dengan cara yang begitu terkonyong-konyong,
sehingga aku telah terlambat datang menyambut dan bikin kamu berdua kesal menunggu-
nunggu."

“Engkau tidak perlu berlaku pura-pura untuk menyembunyikan segala cacad2mu," kata
Hwat Yan dengan suara kaku. “Engkau telah mencemarkan nama baik guru dan rumah
perguruan sendiri; kau ketahui ini, tetapi engkau tidak mau merubah kekeliruan-

162
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

kekeliruanmu itu. Bahkan disamping itu, engkau telah menimbun dari satu kepada kedosaan
yang lainnya dengan sama sekali tidak berikhtiar untuk menghentikan. Maka oleh sebab itu,
apakah bukan berarti bahwa kau memang sengaja hendak mencari setori dengan orang-
orang dari golongan sendiri ?"

“Suheng !" kata Wie Hui dengan suara menyindir, “diwaktu aku masih berdiam di Po-to-sie,
memang tidak lebih dari pantas jika aku mesti menuruti segala perintah guru disana. Tetapi
setelah sekarang aku berada diluaran dan tidak ada pula sangkut pautnya dengan guru dan
kelenteng Po-to-sie, cara bagaimanakah engkau masih juga tetap menganggap aku sebagai
seorang kacung yang harus mentaati perintah induk semangnya dimana saja ia berada ?"

“Kalau begitu," kata Hwat Yan dengan hati mendongkol, “engkau ini tidak berbeda dengan
seekor babi atau binatang2 lain yang tak mengenal budi kebaikan orang ! Ingatlah olehmu,
bagaimana engkau dari seorang anak jembel yang sebatang kara telah ditolong oleh guru
dan dididik sehingga menjadi seorang yang agak pantas dilihat orang. Tetapi bukannya
engkau berterima kasih atas susah-payah guru yang telah mendidik padamu, sebaliknya kau
telah melemparkan najis kemuka orang yang telah menolongmu. Apakah itu suatu
perbuatan seorang yang menamakan dirinya “manusia" ? Seekor anjing masih ingat
kebaikan majikannya, tetapi seekor babi tidak pernah memikirkan kebaikan majikannya
barang sedikitpun! Demikian juga dengan halnya dirimu, hingga itu patut kukatakan
perbuatannya seekor babi!"

Mendengar dirinya dicaci-maki sedemikian hebatnya, sudah barang tentu ia menjadi sangat
gusar, tetapi dilahir ia tetap kelihatan tenang dan berkata: “Suheng, kukira tidak perlu kau
memberikan aku nasehat-nasehat sampai begitu, apalagi karena aku sendiripun memangnya
tidak bersedia akan menerimanya. Sekarang hanya terbuka satu jalan untuk mengakhiri
urusanku dan kamu dari Po-to-sie. Apakah kau sanggup kalahkan aku, bolehlah aku
menyerah kepadamu untuk dibawa kembali kepada guru disana, jikalau tidak, jangan harap
akan kamu bisa memaksa kepadaku !"

“Kurang ajar!" teriak Lie Poan Thian yang tidak tahan mendengar omongan Wie Hui yang
sangat brutal itu. “Aku Lie Poan Thian memang telah sengaja dikirim kesini untuk menjajal
sampai dimana kekerasan kepalamu ! Apabila dengan tanganku sendiri aku tak mampu
menaklukan kepadamu, aku bersumpah tak akan hidup lebih lama pula didalam dunia ini!"

Sambil berkata begitu, Poan Thian lalu minta supaya Hwat Yan menyingkir kesuatu
pinggiran, kemudian ia bertindak maju sambil menanyakan pada sang lawan itu, apakah ia
hendak bertempur dengan tangan kosong atau bersenjata ?

Wie Hui lalu mengeluarkan suara jengekan dari lobang hidung sambil dengan cepat
mencabut golok yang disoren dipinggangnya.

Itulah jawabannya atas tantangan Poan Thian tadi.

Maka dengan tidak banyak bicara lagi Poan Thian pun lalu maju menerjang dengan pedang
terhunus dan berseru : “Aku mendatangi!"

“Persilahkan !" sahut Wie Hui yang juga segera mainkan goloknya untuk menangkis bacokan
pemuda kita yang dijujukan pada dirinya.

Begitulah dengan terjadinya pertempuran itu, maka terjadilah pula pertempuran antara
Hwat Yan dan beberapa orangnya Wie Hui, yang kemudian telah turun kebawah gunung
dengan beramai2 dan segera mengepung calon paderi itu. Tetapi biarpun jumlah lawan
dikedua pihak tidak sama banyaknya, ternyata pertempuran itu telah berlangsung dengan
sama imbangan dalam kekuatannya.
163
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Dalam pertempuran itu, sebenarnya Wie Hui tidak mengetahui bahwa pedangnya Poan
Thian ada begitu tajam. Jikalau ia ketahui ini lebih siang, ia tentu lebih suka berkelahi
dengan tangan kosong saja.

Tahu-tahu ketika goloknya terbacok putus oleh pedangnya Lie Poan Thian, barulah ia jadi
terperanjat dan lekas-lekas berlompat kesamping sambil melemparkan senjatanya yang
telah tinggal separuh itu.

Sementara Poan Thian sendiri yang menyaksikan lawannya telah tidak bersenjata lagi, buru-
buru ia masukkan pedang itu kedalam serangkanya. Demikianlah, pertempuran selanjutnya
telah dilakukan olehnya dengan sama-sama bertangan kosong, yang mana sebenarnya lebih
digemari oleh Poan Thian daripada bertempur dengan memakai senjata.

Kedua lawan ini yang masih asing dengan kepandaian musuh masing-masing, kelihatannya
agak ragu-ragu tatkala pertempuran baru saja berjalan beberapa jurus lamanya. Tetapi
setelah kedua pihak telah menyaksikan dan mengetahui gerak-gerakan masing-masing,
barulah pertempuran itu menjadi semakin sengit, semakin hebat, sehingga orang cuma
menampak saja bayangan orang-orang yang sedang bertempur, tetapi tidak dapat melihat
tegas yang mana Lie Poan Thian atau yang mana Wie Hui!

Selagi pertempuran itu berlangsung dalam saat2 yang amat tegang dan se-olah-olah tak
dapat disudahi apabila belum ada salah seorang yang mati atau mau menyerah kalah, tiba-
tiba Poan Thian telah dibikin kaget oleh seorang yang muncul dengan ter-konyong-konyong
dan membentak: “Hei, budak she Lie! Setelah beberapa kali kita bertemu untuk menjajal
ilmu kepandaian masing-masing, sekarang inilah ada hari yang terakhir bagimu akan melihat
dunia ini! Jangan lari ! Aku Liu Tay Hong belum merasa puas apabila belum dapat meminum
darah atau memakan dagingmu !"

Dalam pada itu, Poan Thian yang memang selalu berlaku waspada memperhatikan
serangan-serangan Wie Hui yang semakin lama menjadi semakin gencar itu, dengan lantas
mengerti bahwa dia hendak dijebak oleh pihak musuh-musuhnya, terutama Liu Tay Hong ini
yang memang menjadi musuh besarnya dan permusuhan itu tidak akan bisa berakhir jikalau
salah seorang belum ada yang mati.

Maka pada sebelum Wie Hui keburu memberi tanda supaya sang kawan itu jangan turut
campur dalam pertempuran yang sedang berlangsung itu, mendadak Tay Hong telah
berlompat maju sambil menghunus sebilah golok dan menerjang pada Lie Poan Thian
dengan secara mati-matian.

Oleh sebab itu, pemuda kita yang sedang bertempur dengan Wie Hui dan belum ketahuan
bagaimana kesudahannya, sudah tentu saja jadi agak sibuk untuk menjaga diri dari
serangan-serangan Tay Hong yang bersenjata dan nekat itu. Maka sambil meladeni Wie Hui
disatu pihak, pemuda kitapun telah tidak mensia-siakan kesempatan untuk melindungi diri
dengan ilmu pukulan Khong-siu-jip-pek-jim, yang memang khusus diciptakan oleh para ahli
silat angkatan tua dalam perlawanan tangan kosong terhadap pihak musuh yang
bersenjatakan golok atau barang tajam yang lainnya.

Dalam pertempuran satu melawan dua yang agak ganjil itu, banyak macam ilmu pukulan
telah diajukan buat merobohkan salah satu pihak, tetapi berkat ketangkasan dan
kepandaian masing-masing, belumlah tampak pihak mana yang lebih unggul atau asor,
walaupun pertempuran itu telah berlangsung beberapa puluh jurus lamanya.

Pada satu saat ketika Poan Thian maju menerjang pada Wie Hui dengan menggunakan ilmu
tendangan Soan-hong-tui yang sudah cukup terkenal tentang kelihayannya, Liu Tay Hong

164
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

dilain pihak telah mengayunkan goloknya dari bagian atas kearah bawah, hendak membelah
kepalanya pemuda kita dengan menggunakan tipu Tok-pek-hoa-san. Tetapi Poan Thian
yang bermata celi dan tidak mudah diselomoti oleh pihak musuhnya, buru-buru miringkan
kepalanya sedikit untuk meluputkan diri dari bacokan itu. Dengan cara2 ini Poan Thian
memang telah berhasil dapat meluputkan dirinya daripada bacokan tersebut, tetapi
berbareng dengan itu, ia telah luput pula akan merobohkan pada Wie Hui dengan
tendangannya.

Hal itu, sudah barang tentu, telah membikin pemuda kita jadi amat jengkel dan sengit.
Karena dengan bertambahnya Tay Hong dalam pertempuran segi tiga itu, bukan saja telah
memperlambat pekerjaannya untuk mengakhiri pertempurannya dengan Wie Hui, tetapi
juga tak dapat ia “mengukur" dengan betul, sampai dimana kepandaiannya Wie Hui yang
benar dalam pertempuran satu lawan satu.

Maka untuk dapat melaksanakan dan menjajakkan ini semua, ia pikir paling betul robohkan
dahulu Tay Hong yang menjadi cumi2 dalam pertempuran itu, kemudian baru
melangsungkan jalannya pertempuran untuk menguji sampai dimana kepandaian Wie Hui
yang namanya sangat disohorkan orang sebagai salah seorang ahli Pek-houw-kang yang
termuda dimasa itu.

Tetapi, sebagaimana telah kita katakan dimuka ini, ilmu kepandaian Tay Hong sekarang
telah beroleh banyak kemajuan dan berbeda jauh semenjak ia pertama kali bertempur
dengan Lie Poan Thian di rumahnya Tan Tong Goan, hingga untuk dapat lekas mengakhiri
separuh dari pertempuran segitiga ini, Poan Thian tak dapat berbuat lain daripada
menggunakan pedangnya dalam menghadapi Tay Hong yang bersenjata dan gerak-
gerakannya amat gesit itu.

Maka setelah ia berpikir beberapa saat lamanya, buru-buru ia berlompat untuk mengasih
lewat kakinya Wie Hui yang ditendangkan kearah ulu hatinya, sedang tangan kanannya
lekas menghunus pedang yang lalu dipergunakan untuk menahan serangan-serangan Liu
Tay Hong, yang ketika itu telah menerjang maju sambil menusuk kearah iganya dengan
kecepatan bagaikan kilat yang menyamber kemuka bumi.

Lie Poan Thian yang sekarang tidak boleh pandang terlalu ringan pula lawannya itu, dengan
cepat telah putarkan pedangnya dan membacok ujung golok Tay Hong yang dijujukan
kearah tubuhnya itu. Dan berbareng dengan terdengarnya suara barang tajam yang beradu
dan muncratnya beberapa banyak lelatu api, separuh dari golok yang tergenggam oleh Tay
Hong itu telah terkupas dan terpental entah kemana perginya !

Bacokan yang berhasil itu karena dibarengi juga dengan satu tendangan, telah membikin
Tay Hong yang terperanjat karena goloknya terkupas, jadi semakin terkesiap hatinya tatkala
melihat menyambernya tendangan Poan Thian yang secepat kilat itu. Dan sebelum ia
keburu mengegos untuk menghindarkan diri daripada tendangan itu, kakinya Poan Thian
telah sampai dan bikin ia mengeluarkan satu suara jeritan ngeri sambil membuang diri
kesamping jalan gunung yang penuh ditumbuhi dengan rumput2. Dan ketika Tay Hong
jatuh keatas rumput2 itu, mendadak Poan Thian mendengar ia itu berseru : “Matilah aku
sekali ini!" Hal mana, sudah barang tentu telah membikin Poan Thian jadi heran dan tidak
mengerti. Karena, pikirnya, cara bagaimana Tay Hong boleh berteriak begitu, sedangkan ia
sama sekali tidak kena tertendang dan telah keburu membuang dirinya?

“O Mi To Hud !" Begitulah Poan Thian telah mengucapkan, tatkala menyaksikan diantara
tepi jalan yang ditumbuhi rumput2 itu mendadak tampak melekah sebuah lubang jebakan
yang besar dan dalam, kemana Tay Hong telah jatuh terjerumus dan ............ tak pernah
kembali kedunia fana !

165
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Itulah sebabnya mengapa Tay Hong telah memperdengarkan teriakannya yang


mengandung rasa ketakutan tadi, hingga Poan Thian jadi bergidik apabila mengetahui jelas
duduknya perkara yang sangat menyeramkan ini!

Maka dengan hilangnya seorang lawan ini, Poan Thian jadi dapat melanjutkan
pertempurannya dengan Wie Hui dengan secara lebih leluasa dan mencurahkan sepenuhnya
perhatiannya kesuatu jurusan saja.

Begitulah tatkala pertempuran itu telah berlangsung pula setelah Poan Thian menyimpan
kembali pedangnya, pemuda kita lalu “ngepiah" dengan ilmu-ilmu tendangannya yang
sangat lihay untuk merobohkan pada Wie Hui, yang ternyata amat licin dan mengerti bahwa
jikalau ia berlaku lambat sedikit saja dalam sesuatu gerakannya, siang-siang ia bisa dapat
celaka atau terbinasa dalam tangan lawannya yang ternyata amat lihay itu.

Dari itu, ia insyaf bahwa ia kalah jauh dalam bagian yang musuhnya amat paham, hingga
selanjutnya Wie Hui tidak memberi kesempatan untuk Poan Thian menyerang padanya
terlalu dekat. Dan jikalau dia tak dapat menghalaukan serangan-serangan itu, buru-buru ia
berlompat kesana-sini, keatas, kebawah atau ke jalan-jalan gunung yang lebih tinggi dan
sempit halamannya.

Maka Poan Thian yang kuatir akan kena terjebak oleh pihak musuhnya, sudah tentu saja
berlaku sangat hati-hati buat tidak sembarangan menginjak bagian-bagian jalan gunung
atau tepi jalan yang tidak terinjak oleh Wie Hui.

Pada satu saat dalam pertempuran diantara karang2 yang licin dan curam dilereng
pegunungan Jie-sian-san itu, Poan Thian merasa agak kewalahan juga, karena kalah biasa
dengan Wie Hui yang memang telah lama menjadi penghuni daerah pegunungan yang
berada dibawah kekuasaannya itu.

Dan itulah ada dibagian ini, yang Poan Thian telah menyaksikan kepandaiannya Wie Hui,
yang gerak-gerakannya lincah sekali dalam hal berlari naik-turun di-lamping2 gunung yang
licin bagaikan lakunya seekor cicak. Dengan punggung menempel pada batu-batu karang
atau dinding2 batu yang tinggi, Poan Thian melihat Wie Hui meloloskan diri dari tendangan-
tendangannya dengan secara gesit dan tanpa dapat dituruti olehnya sendiri. Maka biarpun
benar bahwa Wie Hui itu seorang musuhnya, tetapi tidak urung ia harus memuji juga atas
ilmu kepandaiannya yang amat bagus dan telah mencapai pada puncaknya yang tertinggi
itu.

Demikianlah ilmu Pek-houw-kang yang ia pernah dengar namanya, tetapi baru saja pada
waktu itu dapat menyaksikan dilakukan orang, hingga selanjutnya belum pernah ia
menjumpai seorang ahli Pek-houw-kang lain yang dapat mempergunakan ilmu tersebut
dengan sama baik dan lincahnya daripada apa yang pernah diunjukkan oleh pihak lawan
pada kali itu.

Lebih jauh karena Wie Hui selalu menjauhkan diri dan tidak lagi mau bertempur seperti
barusan, maka apa boleh buat Poan Thian lalu melakukan pengejaran padanya kesana-sini.
Setelah bertempur dan meloloskan diri dari tendangan-tendangan yang dilakukan Lie Poan
Thian tadi, kembali Wie Hui melompat kian-kemari selaku orang yang mengejek atau me-
mang jeri melanjutkan pertempuran itu.

Oleh sebab itu, Poan Thian yang akhirnya menjadi sangat jengkel, lalu sengaja membikin
panas hati sang lawan sambil mengatakan bahwa dia bukan seorang ho-han, (seorang laki-
laki sejati), karena berkelahinya selalu dengan berlari-lari sadja. Dan jikalau ia benar-benar
sudah putus asa untuk mengalahkan padanya, paling baik ia menyerah saja, agar supaya ia

166
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

masih mempunyai kesempatan untuk hidup di dunia, dengan jalan mengoreksi perbuatan-
perbuatannya yang sesat itu. Tetapi sebaliknya, jikalau ia benar berani dan tidak sudi dicap
sebagai seorang pengecut, perlu apakah ia mesti mempermainkan orang sampai begitu,
sedangkan kedatangannya kesitupun adalah karena menerima “undangannya" yang katanya
bersifat “ramah tamah" itu ?

Wie Hui yang usianya masih muda dan berdarah panas, ternyata berhasil juga dibikin panas
hatinya dan lalu berbalik menerjang pemuda kita sambil berseru: “Orang she Lie, janganlah
engkau membuka mulut besar ! Aku Wie Hui bersumpah tak akan mau hidup bersama-sama
kau, apabila belum dapat membinasakan kepadamu !"

“Ayoh! Marilah kau boleh buktikan omonganmu itu !" membalas Poan Thian sambil
menggerakkan kaki tangannya bagaikan angin taufan yang hendak menggoncangkan
gelombang dilautan.

Dari itu Wie Hui yang merasa dirinya dihinakan, kali ini telah bertempur bagaikan seekor
harimau yang haus darah. Ia tidak kenal takut atau memikirkan bahaya apa-apa yang bakal
menimpa atas dirinya sendiri.

Sementara Lie Poan Thian yang telah menyaksikan pihak lawannya yang mendadak jadi
nekat, dengan sikap yang tenang dan cepat lalu maju menghujani pukulan-pukulan dan
tendangan-tendangan dalam gerak-gerakan paling cepat yang ia pernah unjuk dalam
pertempuran seumur hidupnya. Maka jikalau yang satu tidak ingin mengalah mentah-
mentah, adalah yang lainpun tidak mandah saja akan dicap lawannya sebagai seorang
pengecut.

Mereka bertempur dengan sepenuhnya tenaga dan ilmu kepandaian yang pernah diyakinkan
seumur hidup mereka.

Beberapa banyak pukulan telah tiba dibadannya Lie Poan Thian, seperti juga tendangannya
sendiri yang telah membikin Wie Hui jatuh bangun dan saban-saban menjerit karena
kesakitan.

Dalam pertempuran itu Wie Hui yang kepingin lekas menghabiskan jiwa lawannya, bukan
saja tak pernah memikirkan tentang keadaan tempat-tempat yang begitu curam dan
berbahaya dikiri kanannya, bahkan akibat tendangan-tendangan Poan Thian tadi-pun ia
sama sekali tidak bayangkan bagaimana akan jadinya nanti. Tetapi lain sekali dengan
pandangan Lie Poan Thian yang ternyata telah matang betul-betul dalam hal menggunakan
siasat2 diwaktu sangat perlu untuk dapat menjatuhkan seorang lawan, ia telah melakukan
penyerangannya dengan cara yang tidak tergesa-gesa.

Maka setelah dengan ber-turut-turut ia mundur beberapa kali untuk menghindarkan diri dari
serangan-serangan Wie Hui yang senekat itu, dengan tiba-tiba Poan Thian telah merangsek
sambil menghujani pula pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan yang telah memaksa
akan membikin Wie Hui berlompat, berkelit dan mengegos untuk menghindarkan diri. Dan
tatkala ia berbalik menjadi pihak yang diserang, Wei Hui lalu sengaja mundur sehingga
punggungnya menempel pada batu-batu karang yang licin dan tinggi itu.

Tetapi Poan Thian yang telah mengerti bahwa dalam cara itu Wie Hui bisa menggunakan
ilmu Pek-houw-kang buat meloloskan diri, buru-buru ia menggunakan siasat Thian-ong-tok-
tha buat menyolok kedua biji mata Wie Hui sambil membentak: “Murid pengkhianat,
ternyatalah bahwa ilmu kepandaianmu belum cukup untuk di-bangga2kan di hadapan orang
banyak! Jangan lari!"

“Kurang ajar!" teriak Wie Hui yang karena perhatiannya dicurahkan pada pihak musuh yang
167
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

sedang menghujani serangan-serangan kepadanya, maka ia tidak sadar bahwa ia telah


sengaja dibikin lebih panas hatinya untuk tidak kabur pada saat2 yang terbaik akan Poan
Thian segera dapat mengakhiri pertempuran itu.

Maka sebegitu lekas Wie Hui memiringkan sedikit kepalanya untuk menyingkir daripada dua
jari tangan Poan Thian yang dijujukan kearah biji matanya, ia segera melompat kesamping
jurang dengan kesebatan melombai seekor kera.

“Lekaslah menyerah !" membentak pemuda kita sambil maju mendesak.

Dalam pada itu Lie Poan Thian yang telah menendang dengan sangat bernapsu, mendadak
kakinya telah kena tersandung batu karang sehingga ia jatuh ngusruk dengan tak dapat
dicegah pula.

“Aih !” ia berseru dengan rupa sangat kaget.

Melihat ketika yang terbaik itu untuk turun tangan, dengan sebat Wie Hui lantas
mengayunkan kakinya akan menendang.

“Celaka !" Poan Thian yang terkenal bisa berlaku tenang dalam waktu2 yang kesusu, pada
waktu itu kelihatan terkesiap dan lekas menyampok kaki Wie Hui yang ditendangkan ke
jurusan tubuhnya yang separuh terbaring diantara batu-batu karang.

Tetapi pada sebelum Wie Hui sempat memikirkan hal apa yang akan terjadi selanjutnya,
Poan Thian telah keburu melompat bangun dan lalu balas menendang dengan ilmu Lian-
hwan Sauw-tong-tui yang telah membikin Wie Hui jadi kelabakan dan amat sibuk akan
menghindarkannya.

Satu tendangan yang dijujukan keulu hatinya telah dapat disingkirkan olehnya dengan
bagus sekali, tetapi tendangan lain yang menyambar dari bawah dan kelihatan agak
mustahil akan dapat disingkirkan tanpa berlompat keatas, telah membikin Wie Hui lupa
bahwa dibelakangnya terletak jurang2 yang curam dengan dibawahnya terbentang batu-
batu karang yang tajam dan tiada seorangpun yang jatuh kesitu akan bisa utuh baikpun
badan maupun jiwanya.

Maka diwaktu berlompat keatas dengan menggunakan tipu Hui-yan-cwan-thian, Poan Thian
segera mengirim pula satu tendangan sambil menyapu kaki musuhnya yang tiba di tanah,
hingga Wie Hui yang berlompat terlalu jauh dan kemudian diserang pula dengan tendangan
yang serupa itu, sudah barang tentu jadi amat gugup dan dengan tidak terasa lagi telah
............menyelonong ketempat kosong dan terjerumus kedalam jurang, sehingga badannya
remuk diantara batu-batu gunung yang tajam dan sangat mengerikan hati itu!

Demikianlah akhirnya pertempuran itu, yang disetiap waktu ia beromong-omong dengan


handai taulannya, Poan Thian kerap mengakui sebagai salah satu pertempurannya yang
paling dahsyat yang pernah ia alami seumur hidupnya. Karena selain merasakan sangat
lelah sesudah mengalami pertempuran itu, ia-pun baru pertama kali ini mengalami dapat
luka dari pukulan-pukulan musuhnya, sehingga buat itu ia mesti berobat sehingga hampir
sebulan lamanya dengan berturut-turut, barulah luka-luka itu sembuh kembali dan ia bisa
bergerak pula dengan leluasa seperti sediakala.

Dan tatkala Poan Thian mengetahui bahwa Wie Hui tidak akan bisa hidup kembali, barulah
ia ingat pada Hwat Yan yang sedang bertempur dengan Hok Cit tadi. Buru-buru ia mene-
ngok dan memandang kesana-sini, tetapi sang Sutee itu tidak kelihatan bayang-
bayangannya. Lebih jauh karena teringat pula pada nasib Tay Hong yang telah terjerumus
kedalam perangkap yang dalam dan seolah-olah telah disediakan sebagai kuburannya, Poan

168
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Thian jadi sangat berkuatir dan buru-buru mencari Hwat Yan dengan melalui jalan-jalan
yang kiranya selamat dan tidak terdapat jebakan menurut petunjuk-petunjuk Sin-to-thay-
swee Khu Siu Cun tadi. Karena jikalau mula-mula ia menganggap bahwa itulah hanya
merupakan omongan-omongan untuk menakut-nakuti saja kepadanya, adalah sekarang ia
harus mengakui bahwa itulah sesungguhnya bukan mustahil dan tidak bisa dipandang
ringan dengan begitu saja.

Tetapi betapa girangnya hati pemuda kita, tatkala ia membiluk kesuatu jalan gunung yang
sedikit teraling oleh semak-semak yang agak tinggi, ia melihat Hwat Yan berjalan
mendatangi dalam keadaan sehat wal'afiat, walaupun pakaiannya compang-camping karena
terlanggar oleh senjata yang dipergunakan dalam pertempuran oleh musuhnya tadi.

Kemudian Poan Thian lekas menghampiri dan menjabat tangan sang Sutee itu sambil
menanyakan : “Kemanakah perginya kawanan berandal yang telah mengepung padamu
tadi?"

“Mereka itu telah pada kabur ketika mengetahui Liu Tay Hong mati dan kau sendiri sedang
menguber pada Wie Hui," sahut calon paderi itu. “Tetapi bagaimana dengan halnya Wie Hui
si terkutuk itu ?"

Poan Thian lalu menjawab: “Dia sekarang sudah tidak berbahaya. Dia mati terjerumus
kedalam jurang, tatkala ia bertempur denganku tadi."

“Syukur," kata Hwat Yan dengan perasaan puas, “karena dengan begitu, hilanglah suatu
noda besar yang sangat mencemarkan nama baik kaum kita golongan Siauw-lim ........."

Begitulah dengan tidak menghiraukan pula apa yang selanjutnya akan terjadi dipegunungan
Jie-sian-san itu, Poan Thian dan Hwat Yan lalu kembali ketempat penginapannya di Lengpo,
dari mana mereka segera kembali ke kelenteng Po-to-sie dan melaporkan usaha mereka
yang telah berhasil itu, hingga In Cong Siansu yang mendengar laporan tsb. girang bukan
main dan berterima kasih atas bantuan pemuda kita yang sangat berharga itu. Maka setelah
sebulan lamanya Poan Thian berobat dikelenteng itu dari luka-luka yang telah dialaminya
dalam pertempuran dengan Wie Hui, barulah ia bisa melanjutkan perjalanannya ke Tiongciu,
untuk mencari kakaknya yang berniaga garam disana, pada siapa ia bermaksud akan
mengabarkan tentang pernikahannya dengan gadis keluarga Na itu.

Tetapi karena kakak itu tidak dapat diketemukannya, maka apa boleh buat ia kembali
kedesa Sam-li-tun rumah obat Tiang-seng-tong, dimana ia telah disambut oleh An Chun San
yang telah tahan ia berdiam disitu sehingga beberapa bulan lamanya.

Dari desa itu Poan Thian kemudian menuju ke propinsi Holam, dengan maksud akan
menyambangi Cin Kong dan Bu Liu Sian yang membuka sebuah pio-kiok disana.

Pada hari itu Poan Thian justeru telah sampai ke Tian-tien, sebuah kota kecil yang terpisah
80 lie jauhnya disebelah barat kota Hangciu. Kota kecil ini walaupun hanya mempunyai 5
atau 6 ribu penduduk saja banyaknya, tetapi keadaannya boleh dikatakan ramai juga.
Karena selain disitu terdapat banyak bangunan2 yang besar, gedung2, toko2, rumah2
penginapan dan kedai2 makanan, kota itupun terhitung “hidup" oleh karena mempunyai
jalan-jalan penting yang dapat menghubungkan beberapa propinsi yang tersebar diempat
penjuru dengan sekaligus. Sedangkan pedagang-pedagang keliling, orang-orang perjalanan
dan pelindung2 kereta pio yang kerap mondar-mandir dari satu propinsi pada yang lainnya,
biasa berkumpul disitu jika kebetulan kemalaman atau menantikan kawan-kawan mereka
untuk melanjutkan perjalanan mereka ke-kota2 lain yang letaknya terpisah agak jauh dari
kota kecil tersebut. Demikianlah keadaan kota Tian-tien tersebut.

169
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Pada hari itu sebenarnya Poan Thian tidak bermaksud akan bermalam di Tian-tien, tetapi
karena kehujanan dalam perjalanan, maka terpaksa ia mencari juga rumah penginapan,
agar supaya bisa melanjutkan perjalanannya ke Holam pada keesokan harinya.

Tatkala itu kota Tian-tien yang telah sekian lamanya mengalami “kekeringan", mendadak
telah ditimpali hujan yang bukan main lebatnya, sehingga selain jalan-jalan raya tergenang
air, orangpun sukar sekali berjalan dengan leluasa, sedangkan rumah2 yang penuh sesak
dengan para tamu, membuat Poan Thian mengalami kesukaran mencari kamar.

Maka setelah keluar-masuk dibeberapa banyak rumah2 penginapan dengan selalu mendapat
jawaban: “Sangat menyesal, tuan, kami disini tidak ada kamar kosong," akhirnya Poan Thian
telah sampai ke rumah penginapan Cee Hok, yang ternyata ada rumah penginapan satu-
satunya dimana orang masih bisa dapat kamar kosong, yang jumlahnyapun hanya tinggal
satu-satunya pula.

“Kamar ini sebenarnya telah dipesan oleh serombongan pelindung kereta pio yang mestinya
datang kesini pada hari ini," menerangkan pemilik rumah penginapan itu, “tetapi berhubung
mereka tidak datang, maka boleh juga tuan pakai kamar itu, walaupun itu sebenarnya
terlalu besar untuk ditinggali oleh hanya seorang saja."

“Soal besar kecilnya kamar," kata pemuda kita, “itulah sama sekali aku tidak pikiri.
Pendeknya, asal ada saja sudah merasa puas. Begitupun tentang uang sewaannya, engkau
boleh perhitungkan menurut apa yang dirasa pantas."

“Ya, ya, baiklah," kata pemilik rumah penginapan itu, “Tetapi cara bagaimanakah mesti
diaturnya apabila mereka mendadak datang dan hendak pakai kamar itu ?"

“Sudah tentu saja akan kumengalah dan serahkan itu pada mereka, yang memang berhak
untuk mendiami kamar itu," sahut Lie Poan Thian.

Si pemilik rumah penginapan itupun menyatakan mupakat, hingga dengan begitu, Poan
Thian boleh merasa bersyukur akan tidak kebasahan atau kedinginan selama hujan turun
kemuka bumi bagaikan di-tuang2 hebatnya.

Akan tetapi, apa mau, selagi baru saja ia tidur layap2, mendadak Poan Thian mendengar
pintu kamarnya diketok orang.

“Siapa ?" ia bertanya dengan gugup.

“Aku, pemilik rumah penginapan ini," sahut satu suara yang ia kenali sebagai suara pemilik
tersebut.

Buru-buru ia turun dari ranjang dan membuka pintu.

Si pemilik rumah penginapan yang telah datang dengan diikuti oleh tiga orang piosu yang
berbadan tegap dan salah seorang antaranya bertubuh tinggi besar, dengan paras muka
yang berseri-seri lalu maju memberi hormat pada Lie Poan Thian sambil berkata : “Tuan,
inilah adalah tiga orang antara tuan-tuan yang telah memesan kamar ini."

Sementara Poan Thian yang melihat kedatangannya ketiga orang asing yang kamarnya ia
diami itu, buru-buru memberi hormat sambil berkata : “Tuan-tuan, oleh karena aku
kehujanan dan mengira yang kamu tidak datang, maka dengan secara lancang aku telah
diami kamarmu yang telah kau pesan ini. Banyak harap supaya tuan-tuan sudi memaafkan
atas kelancanganku itu."

“Oh, itulah sama sekali bukan suatu perbuatan yang lancang," kata salah seorang antara
170
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

ketiga piosu itu, “juga bukan suatu perbuatan yang terlalu salah apabila kamu telah berbuat
begitu."

Tetapi ketika Poan Thian hendak pindahkan pauwhoknya keluar kamar, ketiga orang itu lalu
mencegah sambil berkata : “Itu tidak perlu, itu tidak perlu. Kamar ini masih cukup besar
untuk didiami oleh empat atau lima orang lagi. Oleh karena semua kamar telah penuh,
mengapakah tuan juga tidak turut berdiam disini ? Kawan-kawan kita sebenarnya ada
beberapa belas orang banyaknya, tetapi banyak antaranya yang mengawal kereta-kereta pio
dengan terpencar kesana-sini, maka orang-orang yang ditugaskan untuk melindungi kereta-
kereta pio melalui kota ini, adalah hanya kami bertigaan saja."

Poan Thian mengucapkan terima kasih atas kebaikan ketiga orang piosu itu.

“Kamar ini," kata piosu yang bertubuh tinggi besar itu kepada pemilik rumah penginapan,
“kami akan diami bersama-sama tuan ini." Sambil ia menunjuk pada Lie Poan Thian.

Si pemilik rumah penginapan tersebut menyatakan turut bersyukur dan berterima kasih atas
kebaikan para tetamunya itu. Kemudian ia berlalu meninggalkan mereka dengan perasaan
hati lega.

Maka setelah ketiga orang itu mengajak Poan Thian kembali kedalam kamar, mereka lalu
saling memperkenalkan diri dan duduk mengobrol dimuka 5 buah pembaringan yang
terdapat didalam kamar yang berhalaman amat luas itu.

Dari keterangan-keterangan yang ia dengar disampaikan oleh ketiga orang itu, Poan Thian
telah ketahui bahwa mereka itu masing-masing bernama Ang Tek Piu, Sie Hiong dan Teng
Kim Sek (yang bertubuh tinggi besar itu).

Lebih jauh karena nama Lie Poan Thian telah cukup terkenal dikalangan Kang-ouw pada
dewasa itu, sudah tentu saja merekapun jadi sangat girang akan bisa berkenalan dan sama
sekali tidak nyana bakal berjumpa dengan Sin-tui Lie Poan Thian yang mereka telah lama
dengar namanya, tetapi baru pada kali itu saja kenal orangnya di rumah penginapan itu.

Selanjutnya dalam tanya-jawab soal perusahaan pengangkutan barang-barang yang pada


masa itu diurus oleh berbagai2 piokiok, Poan Thian telah menanyakan apakah mereka kenal
juga dengan seorang piosu yang bernama Cin Kong Houw.

Ang Tek Piu dan kedua orang kawannya lalu menjawab dengan suara yang hampir
berbareng: “Kenal, kenal, ia itu adalah pemilik dari Siang-hap Pio-kiok, yang pada baru2 ini
telah mengalami kegagalan karena diperdayakan orang. Hanya belum tahu apa tuan Lie
mempunyai juga hubungan dengan dia itu?"

“Ia itu adalah seorang sahabat karibku," kata Poan Thian yang hatinya mendadak tidak
enak, tatkala mendengar kabar jelek tentang diri sahabatnya itu. “Tetapi belum tahu dengan
jalan bagaimana sehingga ia mengalami kegagalan yang tuan telah katakan itu ?"

Ketiga orang itu mula-mula kelihatan ragu-ragu akan menjelaskan tentang duduknya
peristiwa itu, berhubung kuatir nanti ada kata-kata apa-apa yang agak menyinggung nama
baiknya Kong Houw, yang tentunya akan membikin tidak enak juga hatinya Poan Thian
yang menjadi sahabat karibnya. Akan tetapi setelah mereka mendapat kepastian bahwa
persoalan itu tak akan menyinggung perasaan hati Poan Thian, walaupun itu umpamanya
terpaksa harus dibicarakan juga, maka Teng Kim Sek yang mengetahui paling jelas
duduknya peristiwa tersebut, lalu mulai berceritera, setelah mengatakan bahwa Kong Houw
pasti tak mudah dikalahkan orang, apabila dengan sejujurnya hati orang meladeninya
bertempur.

171
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Demikianlah peristiwa-peristiwa kegagalan Kong Houw yang dituturkan Kim Sek dalam
bagian-bagian yg sekecil-kecilnya seperti berikut:

Sebagaimana para pembaca tentu belum lupa, semenjak berpisahan dengan Poan Thian,
Kong Houw dan isterinya telah kembali ke kota Kim-leng, dimana buat memenuhi
pengharapan pihak penolongnya, yaitu Lie Poan Thian, ia telah membuka sebuah piokiok
dengan memakai merek Siang-hap Pio-kiok. Oleh karena nama Kong Houw telah dikenal
orang sebagai seorang bekas guru silat militer yang tinggi ilmu kepandaiannya, maka sudah
tentu saja perusahaan angkutannya mendapat kepercayaan orang banyak, hingga dalam
tempo beberapa waktu saja lamanya, namanya Siang-hap Pio-kiok segera jadi terkenal
kemana-mana.

Ketambahan karena belakangan ia mendapat pula dua orang pembantu Lauw Thay dan
Lauw An yang telah dikerjakan atas anjurannya Lie Poan Thian, ternyata dua orang
pembantu inipun sampai cukup cakap dalam hal melakukan segala pekerjaan yang
dipercayakannya. Dengan begitu, atas kerjasama antara Kong Houw suami isteri dan kedua
orang pembantunya ini, lambat-laun kemasyhuran Siang-hap Pio-kiok telah meningkat
begitu rupa, sehingga lambang pengangkutan perusahaan angkutan itu lebih dikenal orang
daripada lambang2 yang dipergunakan oleh kantor2 perusahaan pengangkutan yang lain-
lainnya. Hal mana, sudah barang tentu telah menerbitkan rasa mengiri hatinya pengusaha2
piokiok lain yang tak mampu menyaingi perusahaan angkutan yang diurus oleh Cin Kong
Houw itu.

Pada suatu hari sekembalinya dari pesta makan-minum dengan beberapa orang handai
taulannya, di jembatan Hian-bu-kio Kong Houw telah berpapasan dengan dua orang
berkuda yang berjalan mendatangi dengan berendeng satu sama lain, dan karena jembatan
itu agak sempit, sudah tentu saja ia bisa terdesak kesamping dan terpijak kuda jikalau tidak
mau mengalah dengan jalan ............menyebur kedalam sungai.

Maka Kong Houw yang menyangka bahwa mereka telah keenakan mengobrol sehingga
tidak memperhatikan padanya yang mendatangi dengan berjalan kaki, buru-buru ia
memberi tanda supaya salah seorang antaranya suka minggir sedikit, agar supaya dengan
begitu ia bisa juga turut melewat disitu dengan tidak usah mesti terdesak ke sisi jembatan.

Tetapi, entah isyarat itu tidak dapat dilihat atau memang mereka sengaja tidak hiraukan,
kedua orang itu bukan saja tidak suka minggir, malah sebaliknya lantas larikan kuda mereka
dengan tidak memperdulikan pada keselamatan diri Kong Houw yang sekarang telah berada
di tengah jembatan. Maka Kong Houw yang menyaksikan perbuatan kedua orang itu,
karuan saja jadi mendongkol dan lalu berdiri tegak akan menantikan mereka berdua.

Dan sebegitu lekas mereka mendatangi cukup dekat, ia lantas menyerukan: “Tuan-tuan,
jembatan ini sangat sempit dan tak mungkin aku bisa melewat, apabila kamu berjalan
berendeng begitu rupa. Sudikah kiranya kamu berlaku cukup baik akan berjalan dengan
yang seorang mengikuti pada yang lainnya, sehingga dengan begitu, kita bisa lewat
bersama-sama dengan tidak saling menyukarkan pada satu dengan yang lainnya ?"

“Jembatan ini toh bukan kau yang punya!" kata salah seorang penunggang kuda itu dengan
suara ketus. “Apabila kau kuatir terpijak kuda, cara bagaimanakah kau telah berani
mendahului pada kita akan melewat disini, sedangkan kau yang berjalan kaki seharusnya
mesti menunggu dahulu ditepi jembatan sehingga kita berdua lewat?"

Kong Houw yang memang agak sinting karena minum terlalu banyak air kata-kata, sudah
tentu saja jadi gusar dan lantas membentak: “Kurang ajar! Kamu berdua ternyata ada
orang-orang kasar yang berkepala batu dan tidak mengerti peri-kesopanan! Maka jikalau

172
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

omongan yang baik belum cukup akan membuka keinsyafanmu, biarlah kepelanku ini nanti
membikin kamu insyaf dari segala perbuatanmu yang amat congkak itu ! Jangan lari!"

Sambil memasang kuda-kuda di tengah jembatan, Kong Houw lalu cekal lesnya salah seekor
kuda itu yang lalu didorong kebelakang, dengan sebelah tangan ia sanggapi dada binatang
itu sambil mengeluarkan suara bentakan keras, sedangkan dengan sebelah kakinya ia tolak
perut binatang itu. Oleh karena dikejutkan dengan cara yang amat ter-konyong-konyong itu,
sudah barang tentu kuda itu segera berdiri dengan dua kakinya, hal mana, tidak ampun lagi
telah membikin penunggangnya jadi terlempar dan jatuh kedalam sungai!

Sementara kawannya penunggang kuda itu yang telah menyaksikan perbuatan Kong Houw
yang tidak sudi menelan saja segala hinaan orang, dengan lantas pecut kudanya supaya lari
menubruk pada Cin Kong Houw yang berjalan kaki itu. Tetapi Kong Houw yang bermata celi
dan tidak boleh dipermainkan punya suka, walaupun dalam keadaan sinting, pikirannya
masih tetap jernih. Ia mengerti apa maksudnya penunggang kuda yang kedua itu, maka
buru-buru ia berbuat seperti apa yang telah dilakukannya tadi, untuk melemparkan orang
itu kedalam sungai dengan meminjam tenaga binatang yang kaget itu, tetapi dugaan itu
sekarang meleset dan si penunggang itu tidak sampai jatuh sebagaimana apa yang
diharapkannya didalam hatinya.

Orang itu tidak dapat dijatuhkan dari atas kudanya, karena ia lekas jepitkan kedua kakinya
pada punggung kuda yang berdiri dengan dua kakinya itu. Bahkan lebih dari itu, ia telah
ayunkan cambuknya kearah mukanya Kong Houw sambil membentak: “Kau jahanam,
apakah matamu buta, sehingga kau tidak tahu dengan siapa kau sekarang berhadapan?"

“Aku tidak perduli kau siapa," sahut Kong Houw, “apabila kelakuanmu tidak senonoh,
apakah orang harus mandah saja dibikin punya suka dengan tiada ketahuan apa sebab
musababnya ?"

“Tutup bacotmu !" membentak penunggang kuda itu sambil mengayunkan pula cambuknya,
yang pada kali ini disabetkan dengan hebat pada dirinya piosu dan pemimpin dari Siang-hap
Pio-kiok itu.

Kong Houw jadi semakin marah dan lalu tangkap cambuk yang disabetkan kepadanya itu,
kemudian dengan mengeluarkan satu suara bentakan, ia lantas menarik ujung cambuk itu
dengan sepenuh tenaganya, hingga orang itu yang ternyata kalah tenaganya, hampir dalam
saat itu juga telah jadi terlempar dan terbanting keatas jembatan seperti juga sebuah
kundur yang mendadak gugur dari tangkainya!

Tetapi orang itu ternyata ada seorang ahli silat yang ilmu kepandaiannya tidak boleh
dipandang ringan. Karena sebegitu lekas ia jatuh, sebegitu lekas juga ia mencelat keatas
dengan menggunakan siasat Lee-hie-tiauw-liong-bun, sambil berbalik menerjang pada Cin
Kong Houw. Tetapi Kong Houw yang tak mudah diselomoti orang dengan begitu saja, buru-
buru menggunakan siasat Sian-jin-toat-yang, untuk menghindarkan diri daripada
penyerangan sang musuh itu.

Dalam pada itu si penunggang kuda yang telah jatuh kedalam sungai tadi, pun telah naik
kedaratan dan terus membantui kawannya mengerubuti Cin Kong Houw, yang ternyata
selain berhati tabah, juga ilmu silatnya tidak ada dibawah daripada mereka berdua.

“Jikalau aku belum melihat kau mampus di tengah jembatan ini," teriaknya, “belum puas
rasa hatiku!"

“Engkau tidak perlu sesumbar yang tidak ada artinya sama sekali," sahut Cin Kong Houw
sambil meladeni mereka berkelahi, “tetapi cobalah buktikan apa katamu, kalau saja engkau
173
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

sesungguhnya mampu berbuat begitu !"

Apa katanya pemilik Siang-hap Pio-kiok, sesungguhnyalah bukan berarti suatu gertakan
belaka. Karena selain ia telah unjuk sampai berapa jauh ilmu kepandaiannya, iapun sanggup
meladeni kedua orang lawan itu seperti juga orang yang bertempur dengan satu melawan
satu.

Ia tidak kelihatan gugup atau jerih, juga tidak mundur barang setindakpun, meski ia
dikepung sedemikian hebatnya oleh kedua orang musuhnya itu.

Lama-lama karena salah seorang musuh itu telah dipukul roboh, maka seorang musuh yang
lainnya buru-buru berlompat keluar dari kalangan pertempuran sambil berseru: “Tahan dulu!
Aku ada omongan yang hendak disampaikan kepadamu!"

Cin Kong Houw lalu berhentikan gerakannya sambil menjawab: “Baik! Engkau ada omongan
apakah yang hendak disampaikan kepadaku ?"

“Pertempuran ini kita terpaksa mesti tunda berhubung kita masih ada urusan sangat penting
yang perlu diurus selekasnya," kata sang musuh yang belum keburu dirobohkan itu. “Kami
perlu menanyakan she dan namamu, untuk kemudian kita bertemu pula."

Cin Kong Houw kelihatan bersenyum tatkala mendengar omongan itu.

“Aku inilah bernama Cin Kong Houw," katanya, “pemilik dari Siang-hap Pio-kiok. Kamu
berdua juga boleh menerangkan she dan namamu untuk kemudian memudahkan kita akan
melanjutkan pertempuran ini!"

“Kami berdua adalah murid-murid dari golongan Siauw-lim cabang Hong-pay dan berguru
pada Khong Hoat Tjwan," sahut sang musuh itu. “Namaku disebut Gouw-kong Ho In Kheng,
sedang itu kawanku, (sambil ia menunjuk pada kawannya yang tadi), bernama Thiat-sian-
ciu Ong Liong."

Kemudian mereka naikkan kuda masing-masing dan berlalu dengan tidak banyak bicara
pula.

Sementara Kong Houw yang mengerti bahwa urusan ini pasti akan ada “buntutnya" dilain
hari, iapun selanjutnya sangat hati-hati dan tidak pernah keluar pintu diwaktu malam hari,
kalau saja tidak sangat perlu. Kalau ia mesti keluar juga, ia selalu berlaku waspada, agar
jangan sampai kejadian dibokong orang.

Apalagi ketika mendapat keterangan bahwa Khong Hoat Tjwan itu ada seorang guru yang
mudah dihasut2, lebih-lebih pula ia berhati-hati akan menjaga keselamatan dirinya.

Demikian juga kepada Liu Sian, Lauw Thay, Lauw An dan pegawai2 yang lainnya, ia tidak
lupa memesan akan berlaku hati-hati, jikalau berurusan dengan orang-orang sebagai Ho In
Kheng dan Ong Liong itu. Dan bersamaan dengan itu, iapun lukiskan roman dan perawakan
kedua orang musuhnya itu.

Satu bulan, dua bulan, dan bulan yang ketiga telah hampir tiba, semenjak terjadinya
peristiwa di jembatan Hian-bu-kio itu, tetapi selama itu tidak terjadi apa-apa yang perlu
dituturkan disini.

Sementara Kong Houw yang sibuk mengurus pekerjaan2 angkutan dari satu tempat
ketempat yang lainnya, lambat-laun telah melupakan juga peristiwa yang tersebut tadi.
Bahkan semua pegawai2 Cin Kong Houw beranggapan, kalau-kalau peristiwa itu telah
berakhir sampai disitu saja.
174
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Pada suatu hari karena menerima pesanan dari sekian langganannya akan melindungi satu
partai barang-barang angkutan sehingga sejumlah beberapa puluh kereta banyaknya, maka
Kong Houw lalu pecah rombongan piosu2nya menjadi beberapa kelompok, dengan ia sendiri
terpaksa mesti turun tangan untuk melindungi kereta-kereta pio yang perlu dikirim ke Kie-
ciu, yang letaknya agak jauh dan mesti melalui perjalanan yang “penuh duri gangguan" dari
“cabang-cabang atas" dikalangan Rimba Hijau.

Begitulah ketika berjalan kira-kira setengah bulan lamanya dan hampir sampai diperbatasan
kota Kie-ciu, mendadak ada seorang pegawainya yang datang melaporkan bahwa bendera
lambang Siang-hap Pio-kiok telah ........hilang entah kemana perginya !

Kong Houw jadi kaget tercampur masgul waktu mendengar keterangan begitu.

Lalu ia kasih perintah pada sekalian pegawainya akan coba periksa segala barang-barang
angkutan mereka, tetapi setelah diperiksa dengan teliti hingga beberapa lamanya, ternyata
semua tiada terdapat barang sepotongpun yang kurang karena kehilangan.

Maka Kong Houw yang mendapat laporan itu, dengan lantas ia menduga kalau-kalau
pencurian bendera lambang itu adalah perbuatan salah seorang atau mungkin juga kedua-
dua musuhnya yang ia pernah labrak agak hebat juga di jembatan Hian-bu-kio itu.

Tetapi karena tidak melihat ada bukti2 yang memperkuat tentang pencurian bendera yang
berarti suatu penghinaan itu, Kong Houw jadi bingung juga dan tidak tahu selanjutnya ia
mesti berbuat bagaimana. Karena selain belum kenal betul kedua orang musuhnya itu,
iapun tidak ketahui dimana tempat kediaman mereka berdua.

Selanjutnya sesudah berpikir beberapa saat lamanya, akhirnya Kong Houw teringatlah pada
seorang sahabat yang dahulu pernah melakukan pekerjaan sebagai seorang piosu, tetapi
sekarang telah mengundurkan diri dan tidak campur tangan lagi dikalangan itu.

Orang itu bernama Ouw Yong, dan sekarang berdiam di-sebuah rumah yang terletak di jalan
Po-ciok-kee dipintu kota barat.

Oleh karena mengingat bahwa Ouw Yong kenal baik setiap orang gagah yang berdiam di
daerah Kie-ciu, maka ia percaya bahwa sahabat ini tentu dapat memberikan keterangan
tentang siapa yang mencuri bendera lambang yang dimilikinya itu, yang jikalau urusan ini
sampai terdengar diluaran, niscaya Kong Houw bisa hilang muka dan hilang mata pencarian
karena adanya peristiwa pencurian yang sangat memalukan nama-baiknya itu.

Dizaman dahulu diantara pengusaha2 piokiok ada suatu pepatah yang mengatakan : Lebih
baik hilang barang angkutan daripada hilang bendera lambang kehormatan, dan itulah
sebabnya mengapa Kong Houw jadi jengkel dan akhir-akhirnya telah coba pergi menjumpai
Ouw-Yong untuk mencari keterangan, kalau-kalau sahabat itu mengetahui siapa
manusianya yang telah mencuri bendera lambangnya itu.

Ouw Yong kelihatan girang sekali melihat kunjungan si sahabat itu, hingga dengan wajah
yang berseri-seri ia berkata: “Tidak nyana hari ini mendapat kunjunganmu. Belum tahu ada
angin manakah yang telah meniup engkau datang kesini ?"

“Seorang yang membutuhkan nasehat sang guru, memang kerap berkunjung diwaktu yang
tidak terduga," sahut Kong Houw sambil memaksakan diri buat bersenyum.

“Tetapi belum tahu ada urusan apa sih yang telah membikin engkau kelihatan begitu
bersusah hati?" bertanya Ouw Yong sambil persilahkan si sahabat itu akan duduk.

175
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Kong Houw lalu tuturkan dengan sejelas-jelasnya, dari mulai terjadinya peristiwa di
jembatan Hian-bu-kio, sehingga kemudian bendera lambangnya kejadian hilang dicuri
orang. Lebih jauh, karena ia yakin bahwa Ouw Yong mempunyai banyak kenalan dikalangan
Kang-ouw putih dan hitam, maka Kong Houw telah sengaja berkunjung untuk meminta
nasehat si sahabat itu, kalau-kalau ia bisa mencari keterangan tentang siapa pencuri
bendera lambangnya itu, agar kalau nanti sudah diketahui, ia boleh pergi parani sendiri
untuk minta dikembalikan dengan secara baik atau menggunakan kekerasan, apabila
tindakan itu dirasa perlu.

Sedang Ouw Yong yang juga mengerti kepentingan dan artinya bendera lambang itu, sudah
tentu saja berpendapat bahwa Kong Houw memang perlu mengambil segala tindakan untuk
menjaga kehormatan dan nama baiknya dikalangan pengusaha2 piokiok. Karena jikalau dia
tak mampu mengambil pulang atau mencari lambang yang hilang itu sehingga didapat
kembali, ia bisa mengalami hilang muka dan mata pencarian dengan sekaligus. Oleh sebab
itu, siapakah yang tidak jengkel mengalami kejadian yang amat tidak enak itu ?

Ouw Yong sendiri sebenarnya tidak bisa menduga pasti siapa yang telah menjadi pencuri
bendera lambang itu. Juga, sebagai seorang yang sudah “mencuci tangan", tidak patut akan
ia mencampuri diri dalam urusan2 begini. Tetapi karena mengingat perhubungannya yang
begitu baik dengan Cin Kong Houw, maka apa-boleh-buat ia telah memberikan petunjuk
juga, supaya Kong Houw coba pergi mencari keterangan pada Tja Tiauw Cin di desa Ca-kee-
chung. Tetapi karena orang she Tja ini bukan tergolong pada orang baik-baik, maka ada
baiknya juga kalau Kong Houw suka berlaku hati-hati, jangan coba berbantahan atau
mencari setori dengan “cabang-atas" ini.

Maka setelah Kong Houw mendapat petunjuk-petunjuk yang perlu dari Ouw Yong, dengan
tidak berayal lagi ia segera menuju ke gedung keluarga Tja di desa Ca-kee-chung.

Disana Kong Houw telah disambut oleh beberapa orang pengawal yang lantas menanyakan
she, nama, maksud kedatangannya dan dengan siapa ia hendak bertemu, atas pertanyaan-
pertanyaan mana, Kong Houw lalu menjawab satu-persatu dengan mengasih unjuk sikap
yang seolah-olah tidak bersangkut paut dengan urusan penting apapun juga.

Dan tatkala kabar ini telah disampaikan pada Tja Tiauw Cin, ahli silat dari cabang atas itu
lalu persilahkan Kong Houw akan masuk berjumpa.

Kong Houw menurut, setelah terlebih dahulu ia mengucapkan banyak terima kasih kepada
para pengawal yang telah melayani padanya dengan ramah-tamah.

Begitulah tatkala berada diruangan pertengahan, disitu Kong-Houw telah berjumpa dengan
seorang yang bertubuh tidak berapa tinggi, tetapi agak gemuk dedakan badannya. Tidak
bermisai atau berjanggut, tetapi romannya cukup keren oleh karena agak jarang tampak
tersenyum.

Ia berpakaian baju pendek warna coklat yang ditimpali dengan kopiah yang berwarna coklat
pula. Bersepatu tipis, berkaos kaki putih dan tinggal duduk tegak ketika Kong Houw masuk
dan memberi hormat kepadanya sambil bertanya: “Tuan, apakah tuan ini Tja Losu Tja
Tiauw Cin ?"

Orang itu lalu berbangkit dari kursinya, balas memberi hormat dan menjawab : “Ya, itulah
memang namaku yang rendah. Belum tahu tuan ini orang dari mana ? She dan nama apa,
dan apa keperluannya tuan mencari aku ?”

Didalam hatinya, Kong Houw jadi merasa heran juga. Pikirnya, mengapakah pertanyaan itu
telah diulangi pula, sedangkan hal itu ia telah sampaikan dengan perantaraan para pegawai
176
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

tadi ? Ia tidak mengerti maksud apa yang terkandung didalam pertanyaan itu, tetapi ia
sengaja telah kesampingkan itu buat tidak mensia-siakan pesannya Ouw-Yong, maka
dengan sikap yang mengunjuk sangat mengindahkan kepada tuan rumah, Kong Houw lalu
menerangkan pula siapa dia dan dengan maksud apa ia berkunjung kesitu.

Mendengar omongan itu, Tiauw Cin buru-buru membungkukkan diri sambil memberi hormat
dan berkata: “Oh, oh, aku kira tuan ini siapa, tidak tahunya Cin Kong Houw Piosu yang
namanya begitu terkenal dikalangan Kang-ouw, yang begitu lama aku kagumi tetapi baru
hari ini mempunyai kesempatan buat saling berkenalan. Sit-lee, sit-lee."

Kong Hauw lekas membalas pemberian hormat itu dengan sikap merendah.

“Marilah silahkan Cin Piosu duduk mengobrol diruangan dalam," mengajak Tiauw Cin pada
tetamunya.

Kong Houw tidak menolak atas tawaran itu.

Setelah dipersilahkan duduk dan disuguhkan air teh, Kong Houw lalu menanyakan nasihat
Tja Tiauw Cin, dengan jalan apa si pencuri bendera lambang itu harus diselidikinya ?

Tja Tiauw Cin tersenyum sedikit dan tidak memberikan penjelasan apa-apa tentang ikhtiar
yang dikandung didalam hatinya.

“Dari hal bendera lambangmu yang telah hilang dicuri orang itu," katanya, “aku percaya
dalam tempo sedikit waktu saja akan bisa diketemukan serta diambil pulang. Perlu apakah
urusan yang sekecil itu mesti dipikirkan sampai begitu !"

Kong Houw mengangguk-angguk selaku orang yang menantikan jawaban yang


dibutuhkannya; tetapi anehnya, bukannya Tiauw Cin membentangkan ikhtiar2 apa yang
harus diambilnya, malah sebaliknya ia memanggil koki buat minta disediakan satu meja
perjamuan.

“Cin Piosu ini yang mengalami banyak kecapaian dalam perjalanan," katanya, “tentunya
merasa haus dan lapar serta perlu beristirahat beberapa waktu lamanya. Pergilah kau
sediakan beberapa macam hidangan yang paling lezat dengan beberapa kati arak yang
terbaik. Juga jangan lupa buat menyediakan cawan-awan yang agak besar, karena kita
jago2 minum tidak biasa memakai cawan-awan yang terlampau kecil diwaktu mengundang
handai taulan atau sahabat-sahabat karib kita."

Kong Houw mengerti bahwa perjamuan itu akan diadakan dengan secara istimewa untuk
dirinya, maka barang tentu ia lantas menampik dengan kata-kata yang manis dan
merendah, sambil mengatakan supaya Tiauw Cin jangan membikin susah apa-apa. Tetapi
Tiauw Cin yang sebenarnya mengandung maksud lain, dengan wajah yang berseri-seri lalu
berkata : “Cin Piosu, kita ini adalah orang-orang dari satu golongan juga, perlu apakah mesti
berlaku begitu sungkan ? Kita saling bertemu-pun tidak kejadian setiap hari. Oleh karena itu,
apakah salahnya jikalau aku mengadakan sedikit perjamuan sebagai tanda berkenalan dan
mempererat persahabatan kita2?"

Kong Houw yang kurang bersiasat, tertarik benar oleh omongan itu, hingga selanjutnya ia
tak bisa berbuat lain daripada mengucapkan terima kasihnya.

Maka setelah koki balik kembali memberitahukan bahwa hidangan telah disediakan, Tiauw
Cin lalu mengundang Kong Houw akan duduk makan minum dihalaman lain dari gedung
yang besar dan mentereng itu.

177
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Disini, dengan dilayani oleh beberapa pelayan perempuan yang berparas elok, Tiauw Cin
lalu perintah salah seorang antaranya menuangi secawan arak buat Kong Houw, yang
kemudian dipersembahkannya sendiri sambil berkata : “Dengan cawan yang pertama ini,
aku doakan supaya Cin Piosu beroleh kemajuan dalam usahamu yang sekarang ini."

Kouw Houw lalu sambuti cawan itu sambil mengucapkan terima kasih. Kemudian ia minum
kering arak yang terisi di-dalamnya dengan beberapa tegukan.

Cawan yang kedua lalu menyusul dengan diiringi oleh kata-kata yang bantu mendoakan
agar supaya Kong Houw panjang umur sehingga ia sanggup mempertahankan nama
baiknya dikalangan perusahaan pengangkutan dibawah bendera Siang-hap Po-kiok itu.

Setelah itu, lalu menyusul cawan yang ketiga.

“Dengan ini," kata Tja Tiauw Cin yang seakan-akan orang berpikir untuk mencari
perkataan2 yang tepat buat diucapkannya, “adalah ............"

Ia merandek, tetapi tangannya yang memegang cawan itu tetap diangsurkan kehadapannya
Kong Houw.

Tidak kira ketika Kong Houw menyambuti cawan itu, mendadak Tja Tiauw Cin menindak
maju, dengan kecepatan bagaikan kilat, ia menggerakkan telapak tangannya kearah Cin
Kong Houw. Plok ! — “Ayo !"

Suara kedua lengan Tja Tiauw Cin yang menepuk embun-embunan Kong Houw, masing-
masing telah mengeluarkan suara yang hampir berbareng waktunya.

Jikalau yang tersebut belakangan tidak keburu berkelit, mungkin juga batok kepalanya akan
remuk ditepuk oleh kedua telapak tangan Tja Tiauw Cin yang paham ilmu Thiat-see-ciang
itu !

Selagi Kong Houw merasakan kepalanya pusing dan matanya berkunang-kunang, Tiauw Cin
telah mengeluarkan suara bentakan keras sambil menendang dengan ilmu tendangan Swan-
hong-tui, hingga Kong Houw yang belum bisa berdiri jejak karena menyingkirkan diri dari
pada pukulan tadi, sudah tentu saja jadi terpental dan jatuh disudut ruangan itu dalam
keadaan tidak ingat orang.

Dan tatkala kemudian ia tersadar dari pingsannya, Kong Houw melihat ada beberapa orang
yang berkumpul disitu dengan membekal senjata ditangan masing-masing, tetapi pada saat
itu Tiauw Cin telah tidak kelihatan pula mata hidungnya.

Lebih jauh dilain sudut dari ruangan itu, ia menampak sebuah bendera yang ia kenali bukan
lain dari pada bendera lambangnya yang telah hilang dicuri orang itu !

“Kurang ajar!" Kong Houw memaki.

“Tuan Cin," kata salah seorang bersenjata yang berkumpul disitu, “barusan Tja Lo-suhu
telah memesan pada kami, apabila nanti kau sudah tersadar dari pingsanmu, supaya engkau
boleh membawa balik bendera lambangmu yang hilang itu."

Tetapi Kong Houw tak mau memungut bendera itu, karena menganggap bahwa perbuatan
itu sangat menghinakan nama-baiknya, dan ia baru mau ambil balik bendera itu, apabila
nanti ia sudah merobohkan Tja Tiauw Cin yang licin itu.

Maka dari itu, dengan hati sangat penasaran ia lalu menoleh pada orang-orang itu sambil
berkata: “Tuan-tuan, bendera ini aku titip dahulu pada kamu sekalian buat beberapa waktu

178
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

lamanya. Apabila aku sudah sembuh dan aku balik kembali untuk menentukan siapa antara
aku dan Tja Tiauw Cin yang lebih unggul ilmu kepandaiannya, barulah aku mau ambil balik
bendera itu. Tja Tiauw Cin telah berlaku pengecut melukai aku dengan jalan membokong,
hingga buat ini aku tidak mau sudah jikalau salah satu antara kita belum ada yang mau
menyerah atau mati. Sampaikanlah omonganku ini pada gurumu yang pengecut itu!"

Begitulah setelah memuntahkan darah diatas lantai bekas tadi ia jatuh pingsan, dengan
gerakan yang susah payah ia kembali ke tempat penginapannya dan sampaikan berita
celaka ini pada kawan-kawannya, hingga semua orang jadi mendongkol dan lalu dengan
serentak hendak menyatroni serta menggempur orang she Tja itu, tetapi Kong Houw lalu
mencegah dan mengatakan bahwa urusan ini adalah ia sendiri yang harus tanggung, hingga
terhadap yang lain-lain tidak ada sangkut pautnya. Dari itu, paling betul mereka menantikan
saja apa yang akan terjadi kemudian.

Pendek kata selain ia dan isterinya, Kong Houw melarang akan orang lain turut campur
dalam urusan permusuhannya ini.

Demikianlah penuturan yang Poan Thian dapat dengan tentang Cin Kong Houw dari
keterangan Teng Kim Sek, hingga ia jadi begitu gusar sehingga ia berjingkrak dengan tidak
terasa pula.

“Kurang ajar benar si jahanam she Tja itu !" teriak pemuda kita. “Apabila aku belum
hancurkan ilmu Thiat-see-ciang yang dipunyakannya, belumlah puas rasa hatiku! Tetapi
belum tahu apakah saudara-saudara bersedia akan menjadi petunjukku, sehingga dengan
begitu aku bisa sampai ketempat tujuanku dan menjumpakan orang yang aku niat cari itu !"

Ketiga piosu itu yang memang tidak mempunyai perhubungan baik dengan Tja Tiauw Cin
dan berdiri dipihaknya Cin Kong Houw, sudah tentu saja menyatakan kesediaannya buat
mengantar Poan Thian pergi menjumpai Tja Tiauw Cin, hingga ia jadi girang dan minta
mereka menetapkan, bilamana ia dapat turut berangkat ke desa Ca-kee-chung itu.

“Pikirku," kata Ang Tek Piu setelah berpikir beberapa saat lamanya, “paling betul kita jangan
pergi ke Ca-kee-chung pada sebelum menjumpai dahulu Cin Toako. Karena selain kita
belum tahu jelas duduknya perkara, disanapun kita bisa berembuk lebih jauh sambil melihat
bagaimana kewarasannya Cin Toako dewasa ini.

Kita bukan takut pada Tja Tiauw Cin dan sekalian gundal-gundal-nya, tetapi rasanya ada
baiknya juga apabila kita bertindak ke-dalam urusan ini dengan cara yang lebih teliti dan
jujur, sehingga biarpun kemudian Tja Tiauw Cin sampai kena dirobohkan, iapun tentu akan
merasa rela hati dan tidak terjadi permusuhan yang tak ada akhirnya antara kita dan pihak
mereka. Tetapi belum tahu pendapat tuan Lie bagaimana ?"

Lie Poan Thian yang tadi telah diliputi oleh kemarahan dengan secara tiba-tiba, sudah tentu
saja tidak memikirkan sama sekali akibat2 daripada perbuatannya itu, hingga ketika
mendengar nasehat baik yang telah diajukan oleh Ang Tek Piu, ia jadi insyaf akan
kekeliruannya dan berkata : “Ai, jikalau tuan Ang tidak mengajukan nasehat yang berharga
itu, mungkin juga aku bisa terlibat dalam urusan permusuhan yang memang ada
kemungkinan akan jadi menjalar kesegala kalangan diantara kambrat2nya orang she Tja itu!

Maka setelah sekarang kau telah berhasil dapat menghalaukan peristiwa yang tidak baik itu,
sudikah kiranya tuan Ang memberikan petunjuk-petunjuk lain yang berharga mengenai
urusan ini ? Dan cara bagaimanakah aku harus berbuat supaya permusuhan itu tidak sampai
merembet pada diri kawan-kawan kita yang lainnya ?"

“Perbuatan orang she Tja itu memang sudah terang bersifat pengecut dan kita perlu tindas
179
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

dengan beramai2," kata Sie Hiong, “perlu apakah tuan Lie mesti berkuatir akan hal itu
merembet pada kawan-kawan kita yang lainnya ? Seorang Tay-tiang-hu (laki-laki sejati)
jikalau berani berbuat, haruslah berani juga menanggung risikonya. Buat apakah mesti
ditanyakan jalan mana yang lebih selamat bagi pihak ini atau itu? Ingatlah, tuan, bahwa
didalam segala urusan, pastilah mesti ada risikonya. Tidak perduli berapa kecil atau berapa
besar sifatnya risiko itu. Dan jikalau orang selalu ragu-ragu memikirkan ini atau itu, paling
betul orang jangan berbuat apa-apa sama sekali, hingga dengan begitu urusanpun boleh
disudahi sampai disitu saja.”

“Omongan Sie Hian-tee inipun memang tidak bersalahan!" menyetujui Teng Kim Sek.
“Tetapi turut pikiranku yang cupat, pikiran Ang Toako memang patut dan lebih selamat buat
diturut."

“Tetapi aku tidak bisa mupakat," Lie Poan Thian memotong pembicaraan semua orang,
“apabila karena perbuatan aku seorang, kawan-kawan kita yang lainnya lantas jadi
kerembet kedalam urusanku itu. Hal ini aku sesungguhnya merasa amat tidak senang, dan
sedapat mungkin ingin melakukan apa-apa atas risikoku sendiri, barulah aku anggap bahwa
perbuatan itu benar-benar merupakan perbuatan seorang Tay-tiang-hu !"

“Itu juga benar, itu juga benar," kata Ang Tek Piu.

“Tetapi bilamana kita dapat menyambangi Cin Lao-hia dan menanyakan padanya tentang
duduknya urusan Tja Tiauw Cin ini ?” Poan Thian bertanya dengan rupa yang bernapsu.

“Semua angkutan kita telah selesai diserahkan pada tiap-tiap alamat yang harus
menerimanya," kata Ang Tek Piu, “hingga sekarang kita tinggal menantikan kedatangan
rombongan kawan-kawan kita yang kedua. Dan jikalau merekapun telah dapat
menyerahkan barang-barang angkutan mereka, kitapun sudah boleh berangkat ke kota
Kimleng dalam waktu seminggu itu."

“Ah, kalau begitu," kata Lie Poan Thian, “aku kuatir waktu itu akan terlalu lama buat aku
bisa menahan napsu amarahku. Maka turut pikiranku, biar saja aku pergi sendiri ke kota
Kimleng, kemudian kita bertemu lagi jikalau urusan ini sudah beres. Apakah tuan Ang juga
tidak pikir baik diatur begitu saja ?"

“Ya, begitupun boleh," kata Ang Tek Piu akhir-akhirnya.

Begitulah setelah dihari esoknya mereka duduk dahar bersama-sama, Poan Thian lalu
menggendong pauwhoknya, berpisahan dengan ketiga piosu itu dan terus melanjutkan
perjalanannya ke kota Kimleng, untuk pergi menyambangi Cin Kong Houw yang telah
mendapat luka karena muslihat Tja Tiauw Cin yang curang itu.

Dalam perjalanan itu karena Poan Thian kerapkali ketimpah hujan, maka apa boleh buat ia
mesti saban-saban berhenti di-rumah penginapan, hingga lantaran ini, sudah tentu saja
sangat memperlambat perjalanannya itu.

Lebih-lebih ketika tiba disuatu daerah pegunungan yang terpencil dan tidak ada
penduduknya, ia jadi mengeluh karena merasai sukarnya mencari tempat perlindungan dari
serangannya air hujan yang semakin lama telah turun semakin lebat kemuka bumi.

Lie Poan Thian yang tak berkuasa akan menentang kemarahan alam, mau atau tidak mesti
berlindung juga dari bawah satu kelain pohon untuk melanjutkan perjalanannya.

Dan tatkala hari sudah hampir magrib, barulah ia menemukan sebuah kelenteng yang
terletak dilereng gunung yang sunyi dan dengan tidak mencari tahu lagi apakah didalam

180
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

kelenteng itu ditinggali orang atau tidak, Poan Thian segera berlari di-antara hujan dan
terus masuk kedalamnya.

“Untunglah masih ada kelenteng ini sebagai penolongku,” kata pemuda kita sambil menaruh
pauwhoknya diatas jubin yang batunya sudah banyak rusak.

Lebih jauh karena pada pintu kelenteng itu tertampak sarang laba2 dan debu2 yang
bertimbun disana-sini, maka ia lantas ketahui bahwa kelenteng itu sudah lama tidak dirawat
atau ditinggali orang.

Maka karena berkeyakinan bahwa ialah seorang diri yang berada disitu pada saat itu, Poan
Thian lalu mencari suatu pelosok yang lebih bersih untuk duduk-duduk dan beristirahat
sehingga hari sudah menjadi terang tanah dihari esoknya.

Begitulah pada malam itu Poan Thian telah menjemur pakaiannya yang basah disekitar
meja2 dan kursi-kursi rusak yang masih terdapat reruntuhnya dikelenteng itu. Dan tatkala
ini semua telah selesai dilakukan, barulah ia duduk bersemedi untuk meringankan rasa letih
dan dingin yang telah dialami selama melalui hujan yang lebat itu.

Disini perlu diterangkan bahwa Poan Thian biasa bersemedi dalam keadaan telanjang bulat.
Tidak perduli dimusim dingin atau panas.

Dalam pada itu siliran angin dan kilat yang diseling dengan suara guntur, telah membikin
Poan Thian lebih anteng bersemedinya, sehingga pada waktu ia selesai tepekur, tahu-tahu
pakaiannja telah ............ lenyap entah kemana perginya!

Dan sebagai gantinya daripada pakaian yang telah hilang itu, disitu tampak sepotong kertas
yang diatasnya terdapat tulisan yang rupanya telah diperbuat orang dengan
mempergunakan arang. Bunyinya tulisan itu adalah sebagai berikut:

Lie Poan Thian !

Janganlah kau menganggap bahwa dikolong langit ini hanyalah kau sendiri saja yang berhak
memakai gelaran SIN-TUI.

Maka jikalau diutara ada satu SIN-TUI, apakah salahnya jikalau diselatan-pun ada yang
memakai juga gelaran begitu ?

Aku bukan sirik atau mengiri. Gelaran itu tidak boleh ada dua-tiga dijagat Tiongkok ini.

Oleh sebab itu, sudilah kiranya kau memberitahukan dimana kita boleh bertemu akan
menetapkan, siapa salah seorang antara kita yang berhak memakai gelaran itu ?

Tertanda aku, SIN-TUI BIE.

Poan Thian yang membaca bunyi surat itu, bukan saja tidak menjadi gusar atau kecil hati,
malah sebaliknja jadi tertawa bergelak-gelak sambil kemudian berkata-kata seorang diri:
“Sungguh edan benar orang itu! Rupanya dia tidak tahu bahwa gelaran itu bukan dipakai
olehku atas kehendakku sendiri. Dan juga tidak benar jikalau ia beranggapan bahwa aku
hendak monopoli gelaran itu. Apakah artinya segala gelaran kosong ? Tampaknya dia terlalu
penasaran, karena aku memakai gelaran ini. Maka buat mencegah segala kemungkinan
yang akan terjadi karena hasutan2 orang, paling betul aku jangan ladeni segala urusan
tetek-bengek serupa ini."

Demikianlah, sambil mengakhiri omongannya, Poan Thian lalu merobek2 surat itu, kemudian
ia buka pauw-hoknya buat mengambil pakaian keringnya yang terbungkus dengan

181
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

bungkusan yang tidak dapat ditembusi air.

Setelah selesai berpakaian, sang hujanpun sudah mulai berhenti, tetapi karena memikirkan
bahwa perjalanannya masih jauh dan belum tentu ia mendapatkan tempat berlindung yang
lebih baik daripada kelenteng itu, maka ia pikir lebih baik berdiam saja disitu dahulu,
daripada melanjutkan perjalanannya dalam suasana musim hujan itu.

Maka setelah membeberkan selembar selimut diatas jubin, Poan Thian lalu merebahkan
dirinja, sambil mendengari .........perutnya yang berkeruyukan menagih isi ............Lama-
lama ia jadi kepulesan juga.

Kira-kira hampir tengah malam, ia telah dibikin kaget oleh rasa dingin yang telah menyerang
pada dirinya dengan amat tiba-tiba. Buru-buru ia bangun akan mencari tahu sebab-
musabab yang telah membikin ia tersadar dari tidurnya yang nyenyak itu.

Segala apa tinggal tetap sebagaimana biasa, kecuali ............selimut yang dibuat hamparan
telah hilang entah kemana perginya !

Maka jikalau surat tantangan yang telah diterimanya tanpa diketahui siapa pengirimnya itu
tidak membikin ia jadi gusar atau kecil hati, adalah pada kali ini ia jadi terbengong sehingga
beberapa saat lamanya, tak dapat menduga siapa kiranya orang yang telah menggoda
kepadanya itu!

Kemudian ia bangun berdiri sambil menoleh kekiri-kanan. Oleh karena awan-awan yang
tebal telah tersapu oleh angin yang menderu2 diangkasa, maka sang rembulan sabitpun
segera terlihat sinarnya yang remang2 menyoroti muka bumi ini.

Dalam pada itu Lie Poan Thian yang merasa sangat gegetun dengan peristiwa yang barusan
terjadi, lalu coba berjalan ke-sekitar kelenteng itu buat coba memeriksa, kalau-kalau ia nanti
dapat menyelidiki siapa dan dari mana datangnya orang yang telah menggoda padanya itu,
yang ternyata mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada apa yang diketahui
olehnya sendiri.

“Dia mempunyai ilmu kepandaian yang begitu tinggi dan bagus," pikir pemuda kita didalam
hatinya, “dari itu, ada apakah kesukarannya, jikalau dia benar seorang jahat, akan
mengambil kepalaku selagi aku tidur nyenyak ? Aku berkeyakinan bahwa dia itu bukan
orang jahat. Tetapi apakah maksudnya dia menggoda begini kepadaku ? Hal ini aku
sesungguhnya tidak bisa mengerti dan belum mau sudah dengan begitu saja, apabila
perkara gelap ini belum dapat dibikin terang !"

Begitulah sambil berjalan kian-kemari, pemuda kita telah menyelidiki segala sesuatu
kesekeliling pelosok2 didalam kelenteng itu, tetapi segala percobaannya ternyata sia-sia
saja. Ia sama-sekali tidak dapat mencari bekas2 atau apa-apa yang dapat memudahkan
penyelidikannya.

Maka setelah merasa bohwat buat melanjutkan penyelidikan itu, Poan Thian lalu kembali
ketempat mana ia menaruh pauw-hoknya tadi.

Tetapi, dalam kekagetan dan keheranannya, ternyata pauwhok itupun ............ telah
terbang entah kemana perginya!

Sekarang Poan Thian jadi mendongkol betul-betul dan lantas sesumbar dengan suara keras,
katanya : “Hei, sahabat! Engkau dan aku tidak pernah terbit permusuhan apa-apa, tetapi
kelihatannya engkau terlalu penasaran karena aku mempunyai gelaran SIN-TUI. Tetapi,
ketahuilah olehmu, bahwa gelaran ini bukanlah aku yang ciptakan sendiri, juga bukan aku

182
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

yang memintanya pada para sahabat dan handai taulan dikalangan Kang-ouw. Maka apabila
gelaran itu ada begitu mentereng sehingga itu sedemikian berharganya untuk diperebuti,
biarlah aku serahkan itu kepadamu dengan baik, asalkan engkau suka mengunjukkan
rupamu dan minta itu dengan baik juga kepadaku. Buat apakah mesti berlaku sembunyi dan
menggoda orang begini rupa ?”

Tetapi selanjutnya tidak terdengar pula barang satu suara-pun yang meladeni panggilan
pemuda itu, selainnya gema yang keluar dari dalam kelenteng yang rusak dan mengirim
suara itu balik kepadanya.

Poan Thian yang merasa bahwa urusan ini tidak boleh disudahi sampai disitu saja, maka lalu
dimulailah menengadah kian-kemari buat coba memperhatikan, kalau-kalau nanti ia dapat
ketemukan orang yang menggodanya dan bersembunyi dibagian kelenteng itu.

Tetapi ternyata disanapun tidak tampak tanda apa-apa yang mengunjukkan bahwa orang itu
berada disitu.

Maka setelah merasa kewalahan dan tak berdaya pula akan mencari orang yang jail itu,
pada malam itu juga ia lantas berangkat melanjutkan perjalanannya ke kota Kimleng
dengan hati yang bukan main gusar dan jengkelnya. Karena jikalau ia pertama mampir ke
kelenteng itu dengan menggendong pauwhok, adalah sekarang ia telah keluar dari situ
dengan tangan kosong. Tidak membawa pakaian, juga tidak mempunyai uang barang
sesen-pun disakunya!

Tatkala hari hampir terang tanah, Poan Thian telah sampai disebuah desa yang ia tidak tahu
apa namanya, tetapi penduduknya kelihatannya ada banyak juga. Karena selain ada kedai2
yang sudah mulai buka, juga ada gedung2 yang rupanya dimiliki oleh petani2 kaya atau
orang-orang hartawan kecil yang berumah tinggal dalam desa tersebut.

Poan Thian yang melihat kedai arak dan makanan yang baru membuka pintu itu, sudah
tentu saja membikin ia semakin mengiler akan mencicipi arak dan makanan yang semenjak
kemarin tidak melalui tenggorokannya. Tetapi karena mengingat bahwa ia tidak punya
uang, maka apa boleh buat ia berjalan terus dengan tidak coba menoleh lama-lama pada
kedai itu.

Tidak disangka ada seseorang yang dengan tiba-tiba memanggil-manggil kepadanya sambil
berkata : “Tuan, apakah engkau ini bukan seorang perjalanan yang telah kehilangan
pauwhok dan pakaian di-kelenteng rusak ?”

Mendengar panggilan itu, Poan Thian jadi merandek sesaat lamanya.

Mula-mula ia bercelingukan kesana-sini, karena dikuatirkan ia keliru mendengar orang yang


memanggil pada orang lain. Tetapi ketika melihat seorang yang berdiri dimuka kedai itu
melambai-lambaikan tangan kejurusannya, ia jadi menghampiri dan memberi hormat sambil
menanyakan: “Tuan, apakah itu aku ini yang engkau teriakkan tadi ?"

“Ya, benar," sahut orang itu. “Barusan ada seorang yang lalu disini dan memesan pada kami
bahwa jikalau engkau melewat disini, supaya tolong terimakan pauwhok dan pakaian yang
dititipkannya disini."

Sambil berkata begitu, orang itu yang ternyata bukan lain daripada pemilik kedai tersebut,
lalu keluarkan sebuah pauwhok dan pakaian yang masih agak demak dan dibungkus dengan
menggunakan selimut.

Poan Thian jadi terperanjat, hingga sejenak ia kemekmek dan tidak tahu mesti bicara

183
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

bagaimana disaat itu.

“Apakah barangkali tuan kenal siapa orangnya yang telah menitipkan pauwhok ini
kepadamu ?" akhir-akhirnya Poan Thian bertanya.

Tetapi pemilik kedai itu lantas menjawab : “Tidak kenal", hingga Poan Thian pun tidak bisa
mendesak lebih jauh, selain meminta sedikit keterangan tentang roman, usia dan
pakaiannya orang itu. Kemudian kemanakah arah yang ditujunya ?

“Orang itu masih muda sekali," sahut pemilik kedai, “usianya barangkali belum cukup dua
puluh tahun. Potongan badannya tegap dan kulitnya putih kuning. Ia berpakaian baju biru
dengan banyak kancingnya, menyoren pedang dan menggendong pauwhok diatas
punggungnya."

Dan tatkala pemilik kedai itu mengunjukkan arah yang ditujunya, Poan Thian jadi bercekat
hatinya dan berkata sendiri2 : “Hei, apakah dia juga hendak menuju ke kota Kimleng ?
Siapakah dia ini ? ............ Ah, orang-orang gagah di dunia ini sesungguhnya juga tidak
sedikit jumlahnya!"

Sehingga pemilik kedai mempersilahkan dia duduk, barulah Poan Thian “tersadar" dari
bengongnya.

Lalu ia mengucap banyak terima kasih dan lantas duduk, dan tidak antara lama seorang
pelayan telah membawakan air teh yang masih panas.

“Menurut keterangan pemuda tadi," si pemilik kedai melanjutkan omongannya, “tuan telah
semalaman tidak makan atau minum karena dirintangi oleh hujan lebat. Oleh karena itu,
barusan ia telah memesan beberapa rupa barang makanan untuk tuan, yang harganya telah
dibayar tunai olehnya. Maka jikalau tuan sudi menantikan beberapa saat lamanya, aku
percaya hidangan-hidangan itu tentu sudah selesai dimasak dan tersedia untuk tuan dahar."

Mendengar omongan begitu, Poan Thian jadi semakin tidak mengerti, apa maksud pemuda
yang tidak dikenal itu. Tetapi buat tidak menerbitkan kecurigaan si pemilik kedai, Poan
Thian hanya menanyakan : “Apakah selain ini, pemuda itu tidak memesan apa-apa pula
kepadamu ?"

“Tidak," sahut pemilik kedai itu.

Pemuda kita tidak melanjutkan pula pertanyaan-pertanyaannya, tetapi didalam hatinya ia


tetap memikirkan persoalan yang merupakan cangkriman sulit ini.

“Siapakah dia itu ? Ditinjau sambil lalu, surat yang ditinggalkannya itu seakan-akan orang
yang penasaran dan menantang kepadaku, tetapi buktinya ia berlaku cukup baik hati
kepadaku. Apakah maksudnya ini semua ? Apakah barangkali ia hendak mempamerkan
kepandaiannya semata-mata, atau memperingati kepadaku atas hal apa-apa yang telah
diperbuat olehku dengan secara keliru diluar pengetahuanku ?"

Poan Thian berkutet buat mengajukan pertanyaan dan jawaban kepada dirinya sendiri, yang
hasilnya sudah barang tentu tinggal tetap begitu2 juga.

Maka setelah hidangan telah disajikan berikut araknya yang sudah dibikin hangat terlebih
dahulu, Poan Thian lalu kesampingkan segala kesulitan itu dan lalu mulai duduk dahar
“untuk menunaikan" rasa lapar yang ia telah alami dihari kemarin.

Tetapi ketika ia melihat hidangan-hidangan yang disajikan itu, kembali ia menjadi


terperanjat, karena hampir semua hidangan itu terdiri dari sayuran2 yang olehnya sangat
184
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

digemari, seolah-olah orang itu bukan asing lagi bagi dirinya. Maka jikalau ini bukannya
dilakukan oleh seorang yang kenal baik dirinya dan tahu benar tentang kegemarannya
dalam soal makanan, niscaya hal ini tidak dapat dilakukan dengan cara yang begitu
sempurna. Tetapi ia sungguh tidak bisa mengerti, apakah sebabnya orang itu tidak mau
mengunjukkan rupa kepadanya ? Juga, siapakah sebenarnya dia itu ?

“Ia kelihatan lebih senang menggoda daripada menjumpai aku," pikir Lie Poan Thian
didalam hatinya. “Apakah didalam hal ini, ada terselip rahasia apa-apa yang sulit sehingga ia
memilih jalan begini untuk keselamatan kita berdua pihak ?"

Begitulah sambil duduk dahar, Poan Thian memikiri hal itu dengan tidak sudahnya.

Sehabis dahar, barulah ia melanjutkan pula perjalanannya ke kota Kimleng.

Pada suatu hari setibanya di kota tersebut, ia coba menanyakan dimana tempat
kediamannya Cin Kong Houw pada beberapa orang pio-khek yang kebetulan berpapasan di
jalan raya.

Oleh karena nama Kong Houw memang tidak asing lagi di kota tersebut, maka Poan Thian
tidak sukar akan mencari sang kawan itu.

Lalu ia mampir ke kantor Siang-hap Pio-kiok, dimana ia telah disambut oleh Lauw An
dengan wajah yang berseri-seri.

“Tuan Lie," katanya, “Cin Lopan pasti merasa girang sekali atas kedatanganmu ini. Marilah
engkau ikut aku buat menjumpainya."

Poan Thian mengangguk sambil tersenyum, kemudian ia menanyakan tentang


keselamatannya sang kawan itu.

“Ia sekarang sudah hampir sembuh sama sekali dari luka-lukanya," kata Lauw An. “Apakah
barangkali tuan Lie juga telah ketahui tentang peristiwa celaka yang belum lama telah
dialaminya itu ?"

“Ya," sahut Lie Poan Thian, “dan justru urusan itulah yang telah menyurung aku berkunjung
kesini."

Dan tatkala Liu Sian kedengaran berkata : “Lie Congsu datang ! Lie Congsu datang !" Kong
Houw yang sedang tidur nyenyak jadi terkesiap dan lantas bangun dan bertanya : “Dimana?
Ia dimana?"

Ia belum keburu berbangkit dari pembaringan, ketika Poan Thian berjalan masuk dengan
diiringi oleh Liu Sian.

Kong Houw rasanya kepingin menangis bahna kegirangan. Karena selain memang sudah
kangen tidak bertemu sekian lamanya, iapun bisa mendapat juga bantuannya Lie Poan
Thian dalam hal berurusan dengan Tja Tiauw Cin, walaupun ia sendiri belum suka menyerah
dengan cabang atas Ca-kee-chung yang curang itu.

Maka dengan diapit oleh Liu Sian dan Kong Houw dikiri-kanan, Poan Thian duduk ditepi
ranjang, sambil menjabat tangan kedua orang itu.

“Semenjak kita berpisahan dikelenteng Giok-hun-am," katanya, “sehingga sekarang telah


berselang beberapa tahun lamanya dengan tidak terasa pula. Tetapi belum tahu
bagaimanakah dengan perusahaan pengangkutanmu disini ? Apakah itu kiranya
menguntungkan juga ?"

185
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Ya," kata Kong Houw sambil menghela napas. “Jikalau mau dikatakan menguntungkan,
itulah memang juga benar demikian. Tetapi disamping keuntungan itu, orang harus jangan
lupa juga dengan rasa mengiri yang keluar dari pihak sesama pengusaha pengangkutan
yang berhati dengki. Karena jikalau mereka tak mampu mengganggu dengan secara
berterang, mereka lalu mengganggu pada kita dengan bergelap atau meminjam tangannya
orang lain. Demikian juga telah terjadi dengan diriku, sehingga aku timbul perasaan segan
buat melanjutkan perusahaan ini. Apakah barangkali kau belum tahu tentang terjadinya
suatu peristiwa celaka yang belum lama telah menimpah atas diriku ?"

“Ya," sahut Poan Thian, “dan justeru itulah yang telah menyurung aku datang kesini. Oleh
sebab itu, sudikah kiranya engkau menuturkan padaku tentang duduknya perkara ini,
sehingga dengan begitu aku ketahui juga bagaimana aku harus perlakukan si jahanam she
Tja itu ?"

“Aku dan orang she Tja itu sebenarnya belum pernah kenal atau mempunyai perhubungan
apa-apa," menerangkan Cin Kong Houw. “Yang menjadi sebab mengapa ia telah mencari
setori dengan jalan mencuri bendera lambangku adalah karena ia telah disuap oleh seorang
pengusaha angkutan lain yang merasa iri hati atas kemajuan kita dikalangan ini. Orang itu
aku boleh tidak usah sebutkan namanya, karena aku sendiripun sudah cukup akan
membikin ia tidak berani mengangkat kepala. Mula-mula ia telah sengaja mengirim dua
orang piosunya buat “mencari lantaran" denganku di jembatan Hian-bu-kio, tetapi kedua-
duanya telah kabur pada sebelum pertempuran itu berakhir. Dan itulah ada dari anjuran
kedua orang ini, yang si pengusaha piokiok itu telah “menyuruh" Tja Tiauw Cin buat
membikin malu kepadaku di hadapan umum. Ia telah melakukan penyerangan gelap dengan
menggunakan pukulan Thiat-see-ciang, yang sebenarnya dijujukan kearah embun2anku,
tetapi syukur juga pukulan itu meleset. Kalau tidak, niscaya siang-siang aku sudah menjadi
mayat karena kecurangan itu. Apakah hal itu tidak membikin aku jadi sangat penasaran dan
mendongkol ? Dalam pertempuran memang sudah sejamaknya jikalau sampai mengalami
luka, tetapi akan mendapat luka dalam cara ini, sesungguhnya aku tidak bisa terima dan
kubelum mau sudah, jikalau aku belum dapat membalasnya dengan sama hebatnya !"

“Kalau begitu," kata Lie Poan Thian, “aku ada suatu akal yang akan membikin ia kapok akan
bermusuh dengan kau, jikalau tidak mampu kubikin ia bertobat."

“Tetapi bagaimanakah Lie Lao-hia hendak atur akal itu ?” Kong Houw bertanya.

“Nanti hari esok atau lusa aku akan berangkat ke Ca-kee-chung buat lantas mengatur
akalku ini," kata Lie Poan Thian dengan sikap yang sungguh-sungguh. “Dalam hal ini kamu
tidak usah menanyakan dahulu dari dimuka. Kamu disini boleh dengarkan saja kabar apa
yang nanti tersiar diluaran, karena aku sendiripun dapat memastikan siapa diantara Tja
Tiauw Cin dan aku yang lebih unggul."

Kong Houw yang mendengar omongan itu, lalu berbayanglah suatu khayalan yang seolah-
olah menggambarkan suatu pertempuran mati-matian antara musuh dan sahabatnya yang
tercinta ini, yang jikalau belum ada salah seorang yang mati atau menyerah, ia percaya
bahwa pertempuran itu akan belum dapat disudahi dengan begitu saja.

“Kalau begitu," kata Kong Houw pada akhirnya, “lebih baik aku saja yang berjalan dimuka,
sedangkan kau boleh mengiringi padaku."

“Itu tidak perlu," kata pemuda kita, “kau tidak perlu merintangi buat menggagalkan siasat
yang aku telah atur ini!"

“Lukaku sekarang boleh dikatakan telah sembuh sama sekali," kata Cin Kong Houw.

186
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Ya, itu aku tahu," Poan Thian memotong pembicaraan sahabatnya, “tetapi itu belum berarti
bahwa kau sudah cukup kuat untuk memasuki gelanggang pertempuran. Aku bukan
menganggap kau takut pada Tja Tiauw Cin, malahan kemungkinan akan kau menang dalam
pertempuran pun memang bukan mustahil, kalau saja orang she Tja itu suka bertempur
dengan secara jujur. Dan itulah ada karena kecurangannya ini, yang telah bikin aku sangat
penasaran dan ingin mencoba sampai dimana kelihayannya.”

Kong Houw dan Liu Sian yang mendengar omongan itu, mau tak mau harus mengakui juga
kebenarannya omongan sahabat mereka itu.

Kemudian Liu Sian perintah koki buat menyajikan satu meja perjamuan untuk menjamu
pada Lie Poan Thian.

**

Selama duduk makan minum dengan ditemani oleh Cin Kong Houw dan isterinya, mendadak
Poan Thian teringat pula pada peristiwa yang terjadi dikelenteng rusak itu, dimana ia telah
ditantang oleh seorang yang mengaku bernama Sin-tui Bie, tetapi tidak kenal siapa dan
dimana tempat kediamannya. Maka karena mengingat bahwa pergaulan Kong Houw
dikalangan Kang-ouw begitu luas, ia jadi percaya kalau-kalau sahabat ini tentu kenal dengan
nama itu. Tetapi buat membikin suasana kelihatan tenang, Poan Thian sama sekali tidak
mengatakan apa-apa tentang peristiwa-peristiwa yang dialaminya dikelenteng rusak
sehingga ia mendapat kembali pauwhoknya yang hilang itu.

Ia hanya menanyakan pada Kong Houw demikian :

“Di daerah Kang-lam ini sudah lama aku mendengar namanya seorang gagah yang disebut
Sin-tui Bie,” katanya, “tetapi belum tahu apakah Cin Lao-hia kenal baik dan mempunyai
perhubungan apa-apa dengan dia itu ?”

“Nama itu rasanya akupun pernah dengar juga," sahut Kong Houw. “Ia itu ada seorang jago
tua yang sekarang telah mengundurkan diri dari kalangan Kang-ouw dan menuntut
penghidupan sebagai toosu dikelenteng Ceng-hie-koan di kota ini. Belum tahu dari mana Lie
Lao-hia mendapat dengar nama orang tua itu ? Juga engkau ada hubungan apakah dengan
dia itu ?”

Poan Thian jadi kemekmek sejurus lamanya ketika mendengar Kong Houw menghujani
pertanyaan-pertanyaan padanya begitu rupa.

“Itu semua hanyalah suatu kejadian yang kebetulan saja," ia berkata akhir-akhirnya.
“Didalam perjalananku kemari, aku mendengar orang bercerita tentang dirinya orang tua
itu, maka aku telah iseng-iseng menanyakan hal ini kepadamu. Apakah kau sudah pernah
mengunjungi kelenteng Ceng-hie-koan tersebut?"

“Belum,” sahut Cin Kong Houw. “Tetapi apabila kau hendak berkunjung kesana, akupun
ingin turut juga pergi, buat sekalian belajar kenal dengan orang tua itu."

Poan Thian mupakat.

Begitulah setelah mereka habis dahar dan istirahat, diwaktu sorenya kedua sahabat itu lalu
berkunjung ke kelenteng Ceng-hie-koan yang ternyata terletak sedikit jauh diluar kota
Kimleng, hingga mereka merasa perlu akan menunggang kuda untuk menyampaikan tempat
yang dituju itu.

Sesampainya dihalaman kelenteng tersebut dan menambatkan kuda mereka dibawah

187
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

sebuah pohon gouwtong, Kong Houw dan Poan Thian lalu mengetok pintu beberapa kali.
Kemudian dari sebelah dalam terdengar suara orang yang bertanya : “Siapa ?”

“Kami, orang dari kota Kimleng yang sengaja berkunjung kemari untuk mencari sahabat,"
kata kedua orang itu dengan suara hampir berbareng.

Dan tatkala pintu kelenteng itu dibuka, seorang toosu kecil lalu menyambut pada mereka
sambil bertanya : “Tuan-tuan, siapakah nama sahabat tuan-tuan yang hendak dicari itu ?
Disini tidak ada lain orang selainnya guruku dan para toosu. Apakah barangkali tuan-tuan
mempunyai sahabat juga kaum toosu ?”

Kedua orang itu jadi kemekmek dan sejurus lamanya tidak tahu mesti menjawab
bagaimana.

Tetapi Poan Thian yang lekas juga bisa membikin tenteram hatinya, segera maju
menanyakan : “Apakah diantara para toosu disini, ada seorang yang dahulu bernama Sin-tui
Bie ?"

Si toosu kecil itu jadi melongo waktu mendengar omongan itu.

“Aku ini adalah toosu baru dan tidak tahu-menahu tentang nama itu," katanya, “tetapi
apabila tuan-tuan sudi menunggu sebentar, boleh juga aku coba tanyakan nama ini pada
guru kami."

“Ya, baik," kata pemuda kita. “Kami tunggu padamu disini."

Tidak antara lama toosu kecil itu telah balik kembali dan bertanya pada mereka: “Apakah
tuan-tuan ini bukan pesuruh2 dari Sin-kun Louw Cu Leng di kota Ceelam ?"

Poan Thian jadi melengak waktu mendengar nama itu. Ia tidak tahu mesti memberikan
jawaban bagaimana. Ia tahu yang ia memang kenal baik dengan nama yang disebutkan itu,
tetapi ia belum tahu, apakah Louw Cu Leng itu ada sahabat atau musuhnya Sin-tui Bie ini ?

Maka karena memikirkan bahwa sedikit saja ia keliru menjawab akan mengakibatkan suatu
salah paham yang bisa menerbitkan permusuhan, tidaklah heran jikalau Poan Thian menjadi
kelihatan serba salah dan akhirnya dengan apa boleh buat menjawab : “Oh, bukan, bukan.
Kami ini bukan pesuruh Louw Cu Leng dari Ceelam, hanyalah dua orang pelindung pio yang
sengaja berkunjung untuk meminta nasehat dan petunjuk-petunjuk dari Sin-tui Bie disini.
Belum tahu apakah orang itu sesungguhnya ada disini atau tidak ?"

“Ya, benar," kata toosu kecil itu, “itulah ternyata ada guru kami sendiri. Kalau begitu,
marilah tuan-tuan boleh mengikut padaku."

Poan Thian dan Kong Houw jadi girang dan lalu masuk ke kelenteng tersebut, mengikuti
toosu kecil tadi.

Disebuah halaman yang bersih dan diantara asap dupa yang berkepul2, kedua orang itu
menampak seorang tua yang usianya antara 60-70 tahun. Rambut, janggut, dan misainya
sudah putih bagaikan kapas. Ia duduk diatas dipan yang diberi alas permadani. Dan tatkala
ia melihat Poan Thian dan Kong Houw mendatangi, dengan sabar ia lantas berbangkit dari
atas dipan dan memberi hormat sambil berkata : “Selamat datang atas kunjungan kedua
orang Kiesu ketempat kediamanku yang hina ini. Belum tahu Kie-su berdua ada urusan apa
datang berkunjung ke kelenteng kami ini ?”

“Murid yang rendah bernama Lie Kok Ciang," sahut Poan Thian, “orang dari Ceelam; dan ini
adalah sahabatku Cin Kong Houw, yang mengusahakan sebuah piokiok di kota Kimleng
188
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

disini."

“Kalau begitu," kata toosu tua itu setelah mempersilahkan duduk kedua orang tetamunya,
“apakah tuan Lie ini kenal baik Sin-kun Louw Cu Leng di Ceelam ? Kau yang menjadi
penduduk dari kota itu, mestinya kenal juga namanya orang tua itu, bukan ?"

Poan Thian jadi gugup, tetapi kesediaan pikirannya diwaktu kesusu segera timbul dan lantas
menjawab : “Ya, nama itu memang sudah lama murid dengar, tapi tidak kenal betul yang
mana satu antara penduduk Ceelam yang bernama begitu."

Si toosu tua itu kelihatan menganggukkan kepalanya sambil tersenyum sedikit.

“Kalau begitu, tidak heran jikalau kau tidak kenal pada orang tua itu," katanya dengan
perlahan.

Si pemuda mengangguk membenarkan. “Omong punya omong," kata Poan Thian pula,
“dengan ini murid numpang bertanya, apakah Lo-suhu bukan seorang gagah dikalangan
Kang-ouw yang dahulu terkenal dengan nama julukan Sin-tui Bie?"

Orang tua itu jadi memandang wajah pemuda kita dengan sorot mata tajam. Kemudian ia
tersenyum sambil berkata : “Itulah hanya sebuah gelaran kosong belaka. Dari manakah kau
mendengar tentang segala urusan tetek-bengek itu ?"

“Itulah karena ............ karena ............ oh, bukan, bukan," kata Poan Thian dengan gugup.
“Nama itu memang sudah lama aku dengar dikalangan Kang-ouw ............"

“Kau tidak perlu seejie akan bicara dengan secara terus terang," kata orang tua itu, yang
ternyata benar dahulu terkenal dengan nama julukan Sin-tui Bie. “Apakah barangkali kau
mendapat pengunjukan orang bahwa Tie Hwie Taysu yang bersemayam dikelenteng Ceng-
hie-koan disini dahulunya seorang yang dijulukkan dengan nama Sin-tui Bie itu ?"

Poan Thian menggelengkan kepalanya.

“Bukan, bukan," katanya. “Nama itu sebenarnya telah dikenal olehku dengan secara tidak
disengaja.”

“Cobalah tuturkan padaku dengan sejujur-jujurnya," kata toosu tua itu, yang ternyata ia
baru ketahui bergelar Tie Hwie Taysu.

Oleh karena melihat tidak ada jalan buat menyembunyikan rahasia hatinya, maka dengan
rasa sungkan Poan Thian lalu tuturkan juga segala pengalamannya, semenjak ia kehujanan
dikelenteng rusak sehingga akhirnya ia berkunjung ke kelenteng Ceng-hie-koan dengan
diantar oleh Cin Kong Houw, yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang terjadinya
peristiwa yang luar-biasa itu.

Sin-tui Bie alias Tie Hwie Taysu jadi kelihatan sedikit terperanjat ketika mendengar
penuturan Poan Thian tersebut. Tetapi setelah berdiam sejurus bagaikan seorang yang
memikirkan sesuatu, dengan lantas ia jadi tersenyum sambil berkata: “Di-dunia ini memang
lebih banyak terdapat manusia yang berhati busuk dan dengki daripada manusia-sia yg.
sesungguhnya ingin melihat perdamaian dan kerukunan diantara sesamanya yang hidup
dikolong langit ini.

Satu pihak tidak segan menggunakan pengaruh atau nama pihak ini untuk meruntuhkan
atau membusuki pihak lain, yang tujuannya semata-mata adalah untuk keuntungan diri
sendiri. Pikirnya, dengan menggunakan cara yang dianggapnya amat cerdik ini, dia bisa
merobohkan dua saingan dengan sekaligus. Dan dengan tidak banyak susah atau mesti
189
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

berjoang dengan mati-matian, dia bisa menjagoi dan boleh menganggap bahwa dirinya
adalah paling jempolan dikolong langit! Padahal dia lupa akan memikirkan bahwa jikalau
kedua-dua saingannya itu (yang dibusuki namanya) mempunyai kesadaran pikiran dan
bekerja sama untuk menindas pada dirinya, dia bisa mengalami dua ancaman hebat dengan
sekaligus pula!

Maka dengan adanya lelakon yang agak menegangkan ini, apakah Lie SiCu mau percaya
bahwa segala apa yang orang telah berbuat kepada dirimu itu, adalah sesungguhnya telah
dilakukan olehku Sin-tui Bie, yang sekarang telah memeluk agama Too Kauw dengan
memakai gelaran Tie Hwie ini ?"

Poan Thian yang sekarang baru mendusin bahwa dirinya orang hendak “adudombakan"
dengan Sin-tui Bie, sudah barang tentu jadi amat terkejut dan segera meminta maaf sambil
berkata : “Jikalau Losuhu bukan seorang yang berpikir panjang, niscaya urusan tetekbengek
ini bisa membikin orang jadi terjerumus kedalam permusuhan yang tidak ketahuan asal-
mula atau sebab-musababnya."

Sementara Cin Kong Houw yang baru disaat itu mengetahui apa sebabnya Poan Thian
mencari pada Sin-tui Bie, dengan lantas ia menghela napas sambil berkata : “Ah, ternyata
bahwa Lie Lao-hia juga telah mengalami suatu peristiwa yang jalannya hampir mirip dengan
peristiwa yang telah kualami itu. Hanya jikalau aku telah mengalami itu dari suatu jalanan
yang agak jelas, adalah soalmu ini amat sukar dimengerti dan tidak diketahui pasti karena
apa dan untuk maksud apa orang berbuat begitu kepadamu, disamping beranggapan bahwa
orang telah sengaja berbuat begitu untuk mencari setori kepadamu. Itulah bedanya antara
soalmu dan soalku, yang kita sekarang justru sedang hadapi bersama-sama."

“Ya, ya, itu benar," kata Lie Poan Thian selaku orang yang sedang asyik berpikir.

Tidak antara lama toosu kecil yang telah menyambut mereka tadi balik kembali dengan
membawa thekoan, tiga buah cangkir dan beberapa piring yang terisi buah2an kering yang
sangat digemari oleh Tie Hwie Taysu.

Setelah menuangi air teh buat guru dan kedua tetamunya, lalu ia suguhkan itu di hadapan
masing-masing, sambil mempersembahkan juga buah2an kering tadi, yang ditaruhnya
diatas meja di hadapan ketiga orang itu. Kemudian ia berdiri disuatu pinggiran untuk
melayani, tetapi Tie Hwie lantas perintah ia berlalu dan tak usah melayani mereka disitu,
asalkan thekoan itu ditaruh diatas meja didekatnya.

Toosu kecil itu menurut, kemudian ia berjalan masuk setelah memberi hormat pada semua
orang.

“Anak ini adalah salah seorang murid yang baru saja beberapa hari ini datang kesini," kata
toosu tua itu, “tetapi aku yakin bahwa ia inilah seorang anak yang cerdik dan terang sekali
otaknya. Ia ini bukan lain daripada cucu seorang bekas musuhku di-waktu masih sama-
sama muda, tetapi kemudian kita jadi berbalik saling menghormati dan bersahabat begitu
akrab, sehingga melebihi saudara yang keluar dari satu kandungan."

Dan tatkala Poan Thian hendak menanyakan siapa adanya orang itu, dengan pengharapan
kalau-kalau ia juga kenal pada orang itu, Tie Hwie telah keburu berkata : “Lie Sicu sendiri
tentu pernah dengar tentang perbuatannya orang itu dikalangan Kang-ouw dari penuturan
orang-orang Ceelam juga."

“Ya, bisa jadi juga akupun pernah mendengarnya," sahut pemuda kita dengan
sembarangan.

190
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Dia itulah bukan lain daripada Sin-kun Louw Cu Leng," kata Sin-tui Bie alias Tie Hwie Taysu
sambil tertawa. “Kedatanganmu tadi sebetulnya aku tidak menduga lain daripada
pesuruh2nya Louw Samtee, yang memang ia telah berjanji akan kirim, jikalau ia sendiri
tidak bisa datang sendiri kesini."

“Oh, oh, kalau begitu," kata Lie Poan Thian seperti orang yang baru mendusin dari tidur
yang nyenyak, “sekarang teranglah sudah, bagaimana aku telah keliru menyangka jahat
atas diri Lo-suhu disini, sehingga tadi aku telah berjusta dengan mengatakan bahwa Louw
Cu Leng itu aku hanya kenal namanya saja, padahal dalam kenyataan, kita pernah
bertempur, hendak saling merobohkan satu sama lain, yang beruntung juga akhirnya tidak
sampai kejadian ada salah seorang yang celaka, malah selanjutnya kita jadi bersahabat
akrab sekali sehingga disaat ini."

Tie Hwie Taysu yang mendengar omongan itu, iapun jadi tertawa dan berkata: “Nah, itulah
justru ada apa yang telah kusangka tentang salah paham yang mungkin terjadi antara kita
sama kita, tetapi syukur juga tidak sampai mengakibatkan hal-hal lain yang merugikan pada
perhubungan persahabatan kita. Maka soal ada seorang yang mengaku bernama “SIN-TUI
BIE" hendak menantang kepadamu, bolehlah urusan itu dikesampingkan dan dianggap
remeh saja. Karena, sebagaimana katanya satu pepatah, batu-batu akan segera kelihatan,
jikalau air banjir disungai telah surut.

Maka ada baiknya juga jikalau Lie Sicu suka bersabar dan saksikan dari kejauhan, akibat
daripada surat tantangan yang tidak keruan juntrungannya itu. Sedangkan aku disinipun,
nanti membantu sedapat mungkin untuk menyelidiki urusan ini dengan bantuannya
beberapa orang sahabat dan handai taulan dikalangan Kang-ouw."

Poan Thian yang mendengar omongan itu, merasa terhibur juga, walaupun hatinya masih
tetap kepingin menyelidiki sendiri, siapa sebenarnya orang yang telah menggoda padanya
dikelenteng rusak itu, yang ilmu kepandaiannya bukan saja tidak ada dibawah daripada
dirinya sendiri, malah dilain pihak ia masih kalah jauh dan perlu berlatih keras untuk dapat
memperoleh kepandaian seperti apa yang dipunyai orang yang ia sama sekali belum pernah
kenal atau melihat romannya itu.

Maka setelah minum air teh dan makan buah2an kering yang disuguhkan, barulah Poan
Thian dan Kong Houw meminta diri kepada Tie Hwie Taysu, yang dengan laku ramah-tamah
menyatakan kesediaannya akan menerima kunjungannya kedua orang itu, disetiap waktu
mereka ada waktu terluang untuk berbuat begitu, buat mana kedua orang itupun tak lupa
mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikannya toosu tua itu.

Begitulah sekembalinya Poan Thian dan Kong Houw ke kota Kimleng, kedua orang itu lalu
menuturkan pengalaman mereka pada Liu Sian diwaktu mereka duduk bersama-sama untuk
bersantap sore.

“Terhadap orang yang mengaku bernama Sin-tui Bie itu," kata si nona, “memanglah amat
perlu akan kita berlaku hati-hati, karena ia tentu bukan orang sembarangan, apabila ia
mampu mempermainkan Lie Congsu sampai begitu rupa."

“Ya, itupun memang justru salah suatu hal yang dibuat pikiran olehku," kata Lie Poan Thian
sambil menghela napas. “Orang itu mestinya jauh lebih pandai daripada diriku
sendiri............"

Tetapi Liu Sian lalu memotong pembicaraannya.

“Bukan dia lebih pandai," katanya, “tetapi dia lebih sebat, lebih gesit daripada kau. Tetapi
dia belum tentu bisa lawan tendanganmu, tidak perduli dia meminjam nama SIN-TUI dari
191
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

siapa juga ! Sampaipun Sin-tui Bie sendiri, aku tidak percaya akan mampu mengalahkan
kau. Aku bukan hendak bicara secara “mengumpak". itulah ada perkataan2 yang keluar dari
hatiku yang tulus."

“Itu benar, itu benar," menambahkan Cin Kong Houw dengan separuh bersorak.

Setiap orang memang doyan dipuji, tetapi pujian Liu Sian kali ini justru dianggap paling
tepat oleh Lie Poan Thian.

“Aku boleh kalah sebat atau gesit dengan orang lain," pikirnya, “tetapi dapatkah ia
memenangkan tendanganku ? Dalam hal ini aku sungguh mesti membenarkan pendapat Liu
Sian ini."

Itulah sebabnya mengapa Poan Thian jadi kelihatan adem terhadap urusan ini, walaupun
didalam hatinya ia tetap berjanji akan mencari Sin-tui Bie tetiron itu hingga dapat, untuk
dijajal sampai dimana ilmu kepandaiannya yang sesungguhnya dipunyainya.

Maka setelah berdiam di Kimleng beberapa hari lamanya, Poan Thian lalu menyatakan
pikirannya pada Kong Houw dan Liu Sian, mengenai niatannya semula akan menyatroni
pada Tja Tiauw Cin di Ca-kee-chung itu.

Kong Houw dan Liu Sian menganjurkan supaya pemuda kita suka membawa kawan secara
diam-diam, apabila ia tidak suka dikawani oleh mereka dengan secara berterang. Tetapi
Poan Thian telah menolak dengan getas dan berkata : “Cara itu malah akan memberi kesan
semakin buruk daripada membawa kawan dengan secara berterang. Maka turut
pendapatku, paling betul kamu tidak usah pikirkan tentang diriku. Rawatlah dirimu sebaik-
baiknya, sehingga kesehatanmu dapat pulih kembali sebagaimana sediakala. Selanjutnya,
kamu boleh lepas orang untuk mendengar-dengar tentang segala sepak-terjangku di Ca-
kee-chung. Tetapi, tidak perduli apa aku disana memperoleh kemenangan atau kekalahan,
aku melarang keras akan kamu turut campur dalam urusanku ini, karena menyimpang
daripada rencana yang kamu juga tentu pikirkan didalam hati, aku telah pecah antara
urusanmu dan urusanku yang hendak dilakukan ini menjadi dua soal yang terpisah sendiri2.
Tidak saling berhubung satu sama lain, walaupun pokoknya didasarkan atas titik yang
bersamaan."

Kong Houw dan Liu Sian merasa akan sia-sia saja untuk menanyakan keterangan lebih jauh
tentang tindakan-akan yang akan diambilnya terhadap pada diri cabang atas dari desa Ca-
kee-chung itu, maka selanjutnya merekapun tak menanyakan apa-apa pula selainnya
memesan dengan wanti2, agar supaya Poan Thian suka menjaga diri dan berlaku waspada
terhadap perbuatan musuh yang telah ternyata amat curang dan suka membokong itu.

“Jikalau orang lain bisa berbuat begitu," kata pemuda kita, “masakah kita juga tidak mampu
meneladaninya ?"

“Pertempuran ini tentunya akan terjadi dengan amat hebatnya," berbisik Liu Sian pada
suaminya, ketika pada sore itu Poan Thian kebetulan beromong-omong dengan para piosu
diserambi depan kantor usaha pengangkutan Siang-hap Pio-kiok itu. “Maka buat bantu
melindungi supaya Lie Congsu jangan sampai dicelakai pihak musuh-musuh kita, paling
betul kau boleh lantas perintah Lauw An atau Lauw Thay untuk menguntit padanya secara
diam-diam. Syukur jikalau Tja Tiauw Cin dapat dikalahkan; tetapi jikalau urusan sampai
kejadian sebaliknya, bolehlah kau perintah supaya dia selekasnya kembali kesini akan
mengabarkan pada kita, agar kita disini bisa berikhtiar bagaimana baiknya untuk melakukan
pembalasan pada orang she Tja itu."

Cin Kong Houw menyatakan mupakat dengan pikiran isterinya itu.

192
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Lalu ia perintah salah seorang pelayannya untuk pergi memanggil pada Lauw Thay.

Dan tatkala Lauw Thay diberitahukan apa yang ia harus berbuat, lalu teringatlah olehnya
desa Sam-li-tun, dimana ia tahu Poan Thian bersahabat baik dengan An Chun San, yang
disuatu waktu pernah menjadi juga penolong dari kaum keluarganya.

Maka setelah hal ini ia terangkan juga pada Kong Houw suami-isteri, sudah tentu suami-
isteri itupun jadi girang dan berkata : “Nah, kalau begitu, apakah salahnya jikalau ternyata
memang amat perlu kau minta bantuan orang tua itu, sementara menantikan bala bantuan
dari kita disini ? Kita bukan hendak membikin susah pada orang tua she An itu. Juga aku
melarang akan kau berbuat begitu, jikalau keadaan masih dapat dipertahankan tanpa
bantuannya."

Lauw Thay mupakat dengan omongan itu. Kemudian ia diperintah untuk bersiap-siap akan
melakukan tugas menurut apa yang telah dirundingkan mereka tadi, apabila nanti Poan
Thian berangkat ke Ca-kee-chung.

Lauw Thay menjawab : “Baik," barulah kemudian ia berlalu buat melakukan tugas itu
dengan secara diam-diam dan diluar pengetahuannya Sin-tui Lie Poan Thian.

Maka ketika Poan Thian bermohon diri pada Cin Kong Houw suami-isteri akan berangkat ke
Ca-kee-chung, Lauw Thay-pun dengan diam-diam lalu membuntutinya belakangan.

Begitulah setelah melalui perjalanan beberapa hari lamanya, akhirnya Poan Thian telah
sampai diluar desa Ca-kee-chung dan lalu mencari sebuah pondok untuk melewati hari yang
telah mulai berganti dengan malam.

Sementara Lauw Thay yang membuntuti dari kejauhan, juga mencari sebuah pondok lain
untuk membantui dengan bergelap, apabila kiranya Poan Thian tidak berhasil dapat
mengalahkan cabang atas she Tja itu.

Didalam pondok itu, setelah mendapat kamar dan duduk dahar, Poan Thian lalu panggil
seorang pelayan buat ditanyakan keterangannya, mengenai beberapa hal yang bersangkut-
paut dengan dirinya Tja Tiauw Cin, yang menjadi chungcu dari desa tersebut. Tetapi, sudah
barang tentu ia tidak menerangkan dengan maksud apa ia telah datang ke desa itu.

“Sudah lama aku mendengar namanya dia orang tua yang begitu tersohor dikalangan Kang-
ouw," Lie Poan Thian pura-pura memuji, “tetapi belum tahu pada waktu bagaimana ia biasa
ada di rumah ? Kau yang menjadi penduduk disini dan menjadi juga salah seorang
rakyatnya, tentulah mesti ketahui juga urusan ini, bukan ?"

“Ya," sahut pelayan itu.

“Pada beberapa hari yang lalu, aku dengan ia bepergian keluar kota, hingga belum tahu
apakah ia sekarang sudah kembali atau belum. Tetapi belum tahu apakah tuan kenal juga
kepadanya, atau memang sengaja datang kesini dengan maksud untuk berkenalan saja ?"

“Benar, benar," sahut Poan Thian, “maksud kedatanganku ini memanglah semata-mata
untuk belajar kenal dengannya. Oleh karena itu, sudikah kiranya saudara turut juga aku
pergi bersama-sama ke-rumah Tja Lo-suhu akan menjumpainya?”

Si pelayan menyatakan tidak berkeberatan buat mengabulkan permintaan pemuda itu.

“Tetapi karena aku disini memang diwajibkan untuk menerima tetamu," katanya, “maka aku
tidak bisa mengantarkan kamu sampai di hadapan Tja Chungcu. Hanya asal aku sudah
menunjukkan tempat kediamannya, akupun sudah mesti buru-buru kembali lagi kesini,
193
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

harap tuan sudi maafkan sebesar-besarnya."

“Ya, begitupun boleh," kata Lie Poan Thian yang lalu minta disediakan air masak untuk
mencuci muka dan membersihkan badan.

Pelayan itu menjawab : “Baik," sambil kemudian berlalu untuk melayani segala keperluan
tetamunya itu.

Dan tatkala selesai dahar dan membersihkan badan, Poan Thian lalu ajak pelayan itu pergi
berkunjung ke rumahnya Tja Tiauw Cin.

“Tja Chungcu ini apakah orangnya berhati budiman ?" begitulah sambil berjalan Poan Thian
coba menyelidiki tentang dirinya orang she Tja itu dari mulut pelayan tersebut.

“Tentang itu aku kurang terang," katanya, “tetapi aku tahu betul bahwa ia itu ada seorang
yang mempunyai banyak sekali kawan-kawan yang paham ilmu silat. Sedangkan dia sendiri
menurut kabar yang aku dapat dengar diluaran, adalah seorang ahli silat yang paham ilmu
Thiat-see-ciu. Tidak perduli batu atau besi yang bagaimana keras juga, jikalau digenggam
dan diremes dalam telapak tangannya, niscaya akan hancur menjadi tepung. Demikianlah
menurut cerita orang, tetapi belum tahu apakah itu benar atau cuma berarti suatu
“umpakan" saja terhadap Tja Chungcu, yang memang umumnya amat gila hormat dan tidak
suka orang berlaku sedikit saja kurang menghormati terhadap pada dirinya."

Mendengar keterangan begitu Poan Thian jadi tersenyum adem.

“Patutlah lagaknya begitu congkak terhadap Kong Houw," pikirnya didalam hati, “tidak
tahunya dia mempunyai banyak “simpanan" yang berupa tukang-tukang kepruk didalam
rumahnya. Tunggulah, aku nanti kasih ajaran yang akan membikin dia kapok buat berlaku
congkak pula, karena mengandal tenaga banyak orang !"

“Tetapi belum tahu apakah Tja Chungcu ini suka menerima juga ahli-ahli silat yang datang
dari tempat-tempat lain untuk menumpang tinggal atau minta bekerja dibawah perintahnya
?" Poan Thian mencari tahu tentang keadaan pihak bakal lawannya dengan jalan
menanyakan pada pelayan itu, yang ternyata mengetahui banyak juga tentang dirinya
cabang atas she Tja itu.

“Dahulu memang ia suka juga menerimanya," kata pelayan itu, “malahan beberapa orang
sebawahannya ia telah sengaja datangkan dari tempat-tempat lain, antara mana ada
seorang yang terkenal dengan nama sebutan Hek-houw-lie Tjian Cong, yang sehingga
sekarang masih berdiam di desa ini, yang kabarnya dipekerjakan oleh Tja Chungcu sebagai
seorang penasehatnya. Orang ini amat jahat dan terlalu dibenci oleh penduduk desa ini.
Tetapi karena ia selalu dieloni oleh Tja Chungcu, maka penduduk disini tidak bisa
mengusirnya, lain perkara jikalau hal ini disetujui oleh Tja Chungcu sendiri. Kita anak negeri
yang lemah memang harus selalu mengalah pada segala bebodor. Tidak perduli kita diper-
lakukan bagaimana, kita harus terima dan telan itu semua tanpa berani memprotes apa-apa.
Itulah caranya tuan tanah mengunjuk sepak terjangnya di desa Ca-kee-chung ini !"

Poan Thian jadi menghela napas, sedang didalam hatinya ia menyomel : “Kurang ajar !"
Kemudian ia pasang telinganya mendengari terus sesuatu penuturan si pelayan itu.

“Apakah barangkali Tja Chungcu ini ada seorang yang suka memeras pada anak rakyatnya?"

Si pelayan itu lalu menggelengkan kepalanya.

“Tentang itu aku sama sekali belum pernah dengar," katanya. “Orang tua ini memang

194
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

bertabeat agak luar biasa. Diwaktu dia berlaku keras, dia sering seperti juga kerangsokan
iblis; jikalau dia berlaku lemah, dia sering seperti juga buta dalam hal mengeloni pihak2
yang dicintainya. Maka dari itu tidaklah heran kalau orang-orang semacam Hek-houw Lie
Tjian Cong yang begitu licin dan likiat bisa pentang pengaruhnya dan mengadu biru kesana-
sini, dengan semua penyesalan orang timpakan diatas bahu Chungcu-ya seorang. Maka
kalau hal ini kita pikirkan secara teliti, bukan saja perkara itu amat tidak adil, tetapi juga kita
telah berlaku membuta dalam soal mempersalahkan orang yang sama sekali tidak campur
dalam urusan orang lain, yang ia sendiri sama sekali tidak tahu-menahu sebab-musababnya,
bukan?"

“Ya, itulah memang sudah sepantasnya," kata Lie Poan Thian, “apabila orang timpakan
kesalahan itu keatas bahunya Tja Chungcu sendiri. Karena dia yang seolah-olah
bertanggungjawab atas segala urusan yang telah diperbuat oleh orang-orangnya, cara
bagaimanakah bisa terlolos dari segala penyesalan serupa itu, yang memang ia harus terima
sebagai risiko dari perbuatannya yang terlalu mengeloni pada gundal-gundalnya sendiri ?”

Si pelayan itu mendadak jadi bungkem, ketika mendengar penyahutan pemuda kita yang
agak keras itu, hingga selanjutnya ia tidak berani berkata apa-apa pula, jikalau Poan Thian
tidak menanyakan sesuatu kepadanya.

Begitulah setelah berjalan beberapa lamanya, akhirnya sampailah mereka kemuka sebuah
gerbang yang dijaga oleh beberapa orang pengawal, yang hampir rata-rata bertubuh tinggi
besar dan menyoren pedang di-masing-masing pinggangnya.

“Inilah pintu gerbang dari mana tuan bisa minta permisi akan berjumpa pada Tja Chungcu,"
kata si pelayan, “dengan begitu, selanjutnya aku persilahkan supaya tuan sendiri saja yang
berurusan dengan para pengawal itu. Aku tak dapat mengantar tuan terlebih jauh pula."

“Ya," sahut Poan Thian, sambil meminta terima kasih dan memberikannya sedikit uang
sebagai persenannya.

Kemudian ia menghampiri pada para pengawal itu sambil memberi hormat dan bertanya :
“Tuan-tuan, aku mohon tanya, apakah hari ini Tja Lo-suhu ada di rumah ?”

“Kau ini siapa ? Asal dari mana ? Dan ada keperluan apa dengan induk semang kami ?”
balas menanyakan salah seorang pengawal itu, setelah beberapa saat lamanya ia
mengawaskan dengan teliti kepada pemuda kita.

“Aku bernama Lie Kok Ciang," sahut Poan Thian dengan terus terang, “asal orang Ceelam
dalam propinsi Shoatang."

Tetapi si pengawal lalu memotong omongan orang sambil menegaskan, katanya : “Tuan,
apakah kau ini bukan Lie Kok Ciang yang terkenal dengan nama alias Poan Thian dan
bergelar Sin-tui ?”

“Ya, benar," sahut Lie Poan Thian, “itu memang nama alias dan gelaranku yang rendah."

Si pengawal lalu membungkukkan badannya sambil memberi hormat dan berkata : “Selamat
datang Lie Toako, induk semang kami memang sudah lama mengharap2 tentang
kedatanganmu ini. Ia sangat kagumi padamu dan telah mencari padamu beberapa lamanya
untuk belajar kenal."

“Tetapi belum tahu apakah Tja Lo-suhu sekarang ada di rumah atau tidak ?” menanya Lie
Poan Thian sambil mengunjukkan roman girang yang di-buat2.

195
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Kemarin malam ia memang ada di rumah," kata si pengawal, “tetapi entahlah apa hari ini ia
keluar bepergian atau tidak. Dan jikalau Lie Toako sudi menunggu disini beberapa saat
lamanya, aku boleh coba tengok kedalam untuk mendapat kepastian, apakah sesungguhnya
ia ada di rumah atau tidak."

“Ya, jikalau Lao-hia sudi mencapaikan hati buat pergi melaporkan pada ia orang tua tentang
kedatanganku ini," kata Lie Poan Thian dengan suara merendah, “sudah barang tentu aku
merasa girang dan berterima kasih atas kebaikanmu itu."

Kemudian Poan Thian menantikan disitu beberapa lamanya barulah pengawal tadi kelihatan
muncul dan berkata : “Lie Toako, sangat menyesal, hari ini Tja Chungcu telah keburu
keluar, berhubung ada sesuatu urusan penting yang perlu sekali segera dibereskan pada
hari ini juga. Tetapi pada orang-orang kepercayaannya disana aku telah memberitahukan
tentang kedatanganmu ini, agar supaya nanti bisa disampaikan pada Tja Chungcu, jikalau ia
kembali sebentar lohor atau dihari esok. Maka buat membikin kunjunganmu tidak sampai
tersia-sia, hendaknya Lie Toako kembali kesini dihari esok saja kira-kira diwaktu magrib."

“Ya, baiklah," kata Lie Poan Thian sambil memberi hormat dan berlalu, tetapi didalam
hatinya diam-diam ia menggerutu : “Kurang ajar ! Dia kira aku boleh dikelabui dengan
segala omongan yang tidak masuk diakal ? Tunggulah, apa yang nanti “kuketemukan"
dalam penyelidikanku sebentar malam."

Dari situ Poan Thian tidak kembali lagi ketempat penginapannya, hanyalah segera mencari
sebuah kedai buat duduk menantikan sampai hari sudah terganti dengan malam, kemudian
barulah ia akan kembali ke desa Ca-kee-chung, untuk melakukan penyelidikan dan
pengintaian atas diri Tja Tiauw Cin, yang ia percaya tidak pergi ke-mana-mana, tetapi
sedang bersiap-siap untuk “menyambut" kedatangannya.

Karena jikalau pengawalnya telah dapat mengenali dirinya, apakah itu bukan berarti bahwa
orang she Tja itupun memang sudah “mengendus" tentang maksud kedatangannya ini?

Dugaan ini memang belum tentu cocok dengan anggapannya sendiri, tetapi gerak-gerik si
pengawal itu telah menimbulkan kesan apa-apa bagi pirasat pemuda kita ini.

Maka sesudah hari terganti dengan malam, Poan Thian lalu kembali ke Ca-kee-chung dan
masuk dengan diam-diam ke gedung Tja Tiauw Cin dengan melompat pagar tembok yang
agak tinggi dan tidak terjaga.

Seperti juga seekor kucing yang hendak menerkam mangsanya, Poan Thian merayap dari
atas pagar tembok itu dan terus berlompat keatas wuwungan rumah, yang ia sebenarnya
kurang tahu, apakah Tja Tiauw Cin berdiam disitu atau di-gedung2 lain, yang memangnya
banyak terdapat dalam halaman yang dikitari dinding2 tembok yang tinggi dan mustahil
akan dapat dipanjat, jikalau bukannya oleh orang-orang yang pandai ilmu silat dan dapat
berlompat tinggi.

Tetapi maksud itu kelihatannya agak sukar berhasil; karena Poan Thian yang melakukan
penyelidikan pada sebelum mengetahui betul seluk-beluk keadaan tempat itu, tentu saja
bukan perkara yang mudah akan mencari Tja Tiauw Cin yang memangnya ia belum pernah
kenal sama sekali !

Maka sesudah mendusin atas kesemberonoannya, buru-buru ia kembali kearah pagar


tembok tadi, lompat turun, dan terus kembali ke kedai tadi dimana ia berniat akan mencari
keterangan-keterangan yang perlu pada sebelum menyatroni pula sarangnya cabang atas
she Tja itu.

196
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Tetapi, diluar sangkaannya, pelayan kedai yang telah melayani padanya tadi telah
menyodorkan padanya sepucuk surat yang tertutup sambil menanyakan : “Tuan, apakah
tuan ini bukan Lie Poan Thian yang berasal dari Ceelam dalam propinsi Shoatang ?"

“Ya, benar," sahut pemuda kita dengan rupa heran.

“Barusan ada seorang muda yang minta aku sampaikan surat ini kepadamu," kata pelayan
itu.

Dan tatkala Poan Thian membuka sampulnya dan membaca bunyinya surat itu, ia jadi
sangat terperanjat dan menyebut “Aya !" dengan hampir tak terasa pula.

“Inilah kembali suratnya Sin-tui Bie tetiron itu !" katanya dengan hati berdebar2.

Bunyi surat itu tidak begitu panjang seperti apa yang pertama ia terima dikelenteng rusak
pada beberapa waktu yang lampau, tetapi bermaksud cukup keras buat membikin Poan
Thian mendongkol bukan buatan !

Lie Poan Thian !

Sampai kapankah kita bisa bertemu buat menentukan siapa diantara kita berdua yang
berhak memakai gelaran SIN-TUI itu?

Aku tunggu kedatanganmu dikelenteng Ceng-hie-koan di kota Kimleng.

Tertanda aku, SIN-TUI BIE.

Poan Thian jadi gemetaran karena menahan amarahnya.

“Jikalau manusia ini aku belum putar batang lehernya sehingga tidak mampu berkutik lagi,"
katanya, “belumlah puas rasa hatiku. Aku nanti kembali ke Ceng-hie-koan setelah aku
selesai berhitungan dengan si jahanam she Tja ini. Tunggulah giliranmu dalam tempo tidak
berapa lama lagi !"

Sesudah berkata begitu, lalu ia berniat akan merobek2 surat tantangan itu. Tetapi setelah ia
mendapat pikiran bahwa surat itu bisa dipergunakan sebagai bukti dimana ia perlu, maka ia
lantas urungkan niatannya dan lalu masukkan surat itu kedalam saku bajunya.

Kemudian ia panggil pelajan tadi, yang lalu diminta keterangannya mengenai orang muda
yang memberikan surat untuk disampaikan kepadanya itu.

“Orang itu rupanya belum cukup berusia 20 tahun," kata pelayan itu. “Ia menyoren pedang
dan memakai baju biru."

“Akur !" Poan Thian berkata didalam hatinya. Karena lukisan itu agak cocok dengan apa
yang dahulu ia pernah dengar dari pemilik kedai disebuah desa yang dilewatinya dalam
perjalanan ke kota Kimleng. “Apakah kau tidak coba menanyakan padanya," tanyanya pula,
“dia itu orang dari mana ?"

“Dia itu orang dari mana," sahut pelayan itu, “itulah sama sekali tidak pernah kutanyakan.
Tetapi dia itu memang sering datang kesini, juga tidak jarang aku menjumpainya dipasar
atau di-kantor2 usaha pengangkutan didalam kota."

Poan Thian mengangguk-angguk sambil berpikir didalam hatinya.

“Apakah barangkali dia menjadi juga salah seorang gundalnya jahanam she Tja itu ?"

197
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

pikirnya. “Cobalah hal ini aku selidiki sedikit demi sedikit dari keterangan si pelayan ini."

“Orang itu," kata pemuda kita kemudian, “apakah kau pernah juga lihat berkunjung
ketempat kediamannya Tja Chungcu disini ?"

Si pelayan lalu menggelengkan kepalanya.

“Tidak," sahutnya. “Itu belum pernah aku ketahui."

“Apakah kau tidak pernah dengar — diwaktu kawan-kawannya berbicara — sebutan apa
yang orang biasa pergunakan untuk memanggil kepadanya ?" Poan Thian coba menanyakan
terlebih jauh pula.

“Ya," sahut si pelayan. “Mereka sering bahasakan orang muda itu dengan sebutan Bie
Sutee, tetapi aku tidak tahu siapa nama aslinya."

“Siapa ? Bie Sutee ? Apakah antaranya ada juga orang yang mengatakan Sin-tui Bie ?"
menanya Poan Thian dengan rupa bernapsu.

“Ya, benar," kata pelayan itu sambil tertawa. “Apakah dia itu bukan sahabat tuan juga ?"

“Benar," kata Lie Poan Thian yang juga berpura-pura tertawa, walaupun hatinya panas
bagaikan dibakar oleh api yang tidak kelihatan. “Apakah ia tidak mengatakan bilamana ia
dapat kembali lagi kesini ?"

“Tidak. Tetapi mungkin juga ia bisa kembali dalam tempo tidak berapa lama lagi," sahut si
pelayan.

“Kalau begitu," kata Lie Poan Thian akhirnya, “apakah boleh kau tolong sampaikan
kepadanya bahwa aku akan kembali lagi kesini pada hari esok selewatnya lohor ?
Katakanlah padanya bahwa aku ada omongan sangat penting yang hendak disampaikan
kepadanya."

Si pelajan berjanji akan berbuat begitu.

Dalam pada itu, Lie Poan Thian yang melihat ada suatu jalan untuk mencari tahu bagaimana
raut mukanya Sin-tui Bie itu dengan pertolongan si pelayan ini, lalu keluarkan sedikit uang
yang segera diberikan pada si pelayan tersebut sebagai “persekot" atas pertolongannya
yang akan datang itu.

“Jangan salah," ia memesan lebih jauh. “Katakanlah bahwa aku sangat perlu akan dapat
menjumpainya disini."

“Ya, baiklah, tuan," kata si pelajan dengan wajah berseri-seri.

Tatkala itu karena sang waktu sudah tidak mengizinkan pula akan ia kembali ke Ca-kee-
chung, maka apa boleh buat Poan Thian lalu pulang ke tempat penginapannya, sambil
didalam hatinya berjanji akan menempur Tja Tiauw Cin dan Sin-tui Bie dengan sekaligus
dihari esok juga.

Hanya hal apa yang telah membikin ia agak ragu-ragu adalah ini:

Apakah didalam dunia ini bisa ada dua orang yang mempunyai gelaran dan she yang
bersamaan seperti Sin-tui Bie itu dgn Sin-tui Bie alias Tie Hwie Taysu dari kelenteng Ceng-
hie-koan itu?

198
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Kalau kejadian itu memang sesungguhnya ada suatu hal yang kebetulan, memanglah
kedua-duanya orang itupun tidak bisa dipersalahkan. Tetapi jikalau Sin-tui Bie yang lebih
muda itu ternyata ada Sin-tui Bie tetiron, ia benar-benar ingin bertanya : Perlu apakah ia
memakai nama dan/atau gelaran orang lain, sedangkan orang yang menjadi pemilik gelaran
aslinya masih segar bugar dikolong langit ini ?

Tetapi semua ini sukar dijawab atau dijelaskan pada sebelum urusan ini dapat dibikin
terang, hingga Poan Thian pikir lebih baik tunggu apa yang akan terjadi, daripada memutar
otak buat menerka dari dimuka hal apa yang akan terjadi berikutnya.

Demikianlah ia menuju ketempat penginapannya dengan tidak banyak memikirkan pula


segala hal yang tidak-tidak.

Tidak kira selagi enak berjalan, mendadak disuatu tempat yang terpisah kira-kira beberapa
puluh tindak jauhnya dari tepi jalan, ia melihat dua orang yang sedang bertempur dengan
amat hebatnya.

Tetapi karena keadaan disitu amat gelap, maka Poan Thian tidak dapat mengenali apakah
kedua pihak yang sedang bertempur itu ada orang-orang muda atau orang-orang yang
usianya sudah lanjut. Karena dikalangan orang-orang yang paham ilmu silat, perbedaan usia
bukan menjadi ukuran bagi gesit/ayalnya atau tangkas/lemahnya seseorang. Maka itu, tidak
mudah akan mengenali usia seseorang selagi orang-orang itu bertempur ditempat gelap.

Maka Poan Thian yang juga tidak tahu yang mana pihak lawan atau kawan, sudah tentu
saja tidak tahu mesti berbuat bagaimana disaat itu.

Tetapi ketika pikiran tentang persaudaraan teringat didalam hatinya, buru-buru ia berlompat
kedalam kalangan pertempuran sambil berseru : “Ji-wie Hohan, haraplah supaya kamu
berhenti dahulu dan janganlah bertempur satu sama lain jikalau masih ada jalan untuk
saling mengalah !"

Tetapi sebegitu lekas pemuda kita terdengar berseru, salah seorang yang sedang bertempur
itu lantas menyahuti: “Lie Toako ! Jangan kasih lari manusia yang pandai mengacau ini ?"

Poan Thian jadi terperanjat tempo mendengar ada orang yang mengenali dirinya.

Tetapi pada sebelum ia membuka mulut akan menanyakan, mendadak orang itu terdengar
berteriak dan segera roboh oleh karena kena terpukul atau dilukai oleh pihak musuhnya.

Sementara Poan Thian yang menyangka bahwa orang yang memanggil itu adalah kawannya
sendiri, buru-buru ia berlompat ke-tengah kalangan pertempuran untuk mencegat orang
yang telah merobohkan orang yang pertama memanggil dan rupanya kenal pada dirinya itu.

“Tunggu dahulu, sahabat!" Poan Thian berseru sambil berkelit dari pukulan yang dijujukan
orang itu kepadanya. “Aku sungguh ingin tahu apa yang telah menjadi sebab-musabab dari
pertempuran ini."

Dalam pada itu Poan Thian yang memang bukan bermaksud akan bertempur dengan orang
yang ia tidak kenal itu, lalu berkelit kian-kemari dengan sama sekali tidak mencoba buat
membalas.

Dan tatkala orang itu melihat sesuatu pukulannya telah jatuh ditempat kosong, dengan
lantas ia ketahui bahwa Lie Poan Thian ini bukan tandingan yang terlalu empuk, hingga
setelah beberapa tendangan yang dipergunakannyapun tidak ada satu yang mengenai
dirinya sang lawan, maka orang itupun lalu berlompat keluar kalangan pertempuran dan

199
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

menghilang diantara kegelapan.

Poan Thian yang merasa lebih perlu menolong orang yang telah dirobohkan tadi, tentu saja
tidak ada pikiran untuk mengejar pada sang lawan yang kabur itu.

Tidak tahunya, ketika ia menghampiri dan mengangkat bangun orang yang jatuh tadi,
mendadak ia jadi kaget dan menyebut : “Allah, cara bagaimanakah kau bisa berada disini ?
Dan siapakah orang yang kau tempur tadi ? Lauw Hiantee, lekaslah kau kasih tahu padaku,
dan karena apa kau katakan orang itu pandai mengacau ?”

Orang yang roboh itu ternyata bukan lain daripada Lauw Thay adanya, yang sebagaimana
para pembaca tentu masih ingat, telah diperintahkan oleh Cin Kong Houw untuk
membuntuti Lie Poan Thian yang hendak menyatroni Tja Tiauw Cin di desa Ca-kee-chung.

Maka setelah Poan Thian bawa ia kembali ketempat penginapannya dan ditanyakan sebab-
musabab mengapa ia sampai bertempur dengan orang tadi, Lauw Thay lalu tuturkan
pengalamannya seperti berikut :

Dengan menyampingkan segala hal yang bersangkut-paut dengan penguntitan yang ia telah
lakukan atas perintahnya Cin Kong Houw, Lauw Thay telah menuturkan pada pemuda kita,
bagaimana ia telah bertemu dengan seorang yang usianya sudah agak lanjut disebuah kedai
minuman diluar desa Ca-kee-chung.

“Orang tua ini karena oleh kawan-kawannya disebut Sin-tui Bie Loya," kata Lauw Thay,
“maka aku jadi ingat Sin-tui Bie yang pada beberapa waktu pernah menantang kepadamu.
Hanya aku belum tahu, apakah dia ini Sin-tui Bie yang dimaksudkan itu atau bukan. Maka
buat mencari keterangan lebih jauh tentang urusan ini, lalu aku berpura-pura belajar kenal
dengannya, dan dalam tanya-jawab antara kita berdua, barulah aku ketahui bahwa ia itu
bernama Bie Tiong Hong, dan juga benar dia bergelar Sin-tui. Lebih jauh karena nama dan
gelaran itu ternyata terkenal juga diantara golongan hitam dan putih dikalangan Kang-ouw,
maka aku berpendapat bahwa orang tua ini tentulah bukan orang sembarangan.

Selanjutnya untuk coba mencari keterangan sebab apa ia begitu memusuhi padamu,
sedangkan kau sendiri pernah mengatakan bahwa kau tidak pernah kenal siapa sebenarnya
Sin-tui Bie itu, maka aku telah mengundang dia untuk duduk makan minum bersama-sama
dengan semua rekeningnya dibayar olehku sendiri.

Orang tua itu tidak menolak dan dahar segala hidangan yang aku pesan dengan tidak
mengunjuk rupa seejie lagi. Hal mana, dengan secara kebetulan, telah membikin aku
mendapat suatu jalan untuk meloloh padanya sehingga sinting, hingga dengan jalan begitu,
aku bisa menanyakan dengan cara yang lebih leluasa, daripada jikalau pikirannya dalam
keadaan sadar.

Begitulah tatkala ia telah kelihatan mulai sinting, aku lalu pancing padanya dengan sengaja
mengatakan bahwa jumlahnya orang-orang gagah dikalangan Kang-ouw lebih banyak di
Utara daripada di Selatan. Demikian juga kaum mudanya lebih maju dari pemuda dan
pemudi kita di Selatan.

Tetapi waktu orang tua she Bie itu mendengar omonganku ini, dengan tiba-tiba ia
menggebrakkan sumpitnya keatas meja sambil membentak : “Kau bohong ! Kau ini orang
dari mana ?”

“Aku ini adalah seorang dari Selatan," jawabku.

“Hm !" orang tua itu mengeluarkan suara jengekan dari hidung. “Jikalau kau sendiri

200
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

memangnya berasal dari Selatan, mengapakah kau memuji2 pihak lain untuk merendahkan
pihak sendiri ? Omonganmu ini betul-betul tak dapat kuterima dengan begitu saja ! Cobalah
terangkan lebih jauh mengapa kau berpendapat bahwa kita orang Selatan lebih rendah
derajatnya daripada orang Utara ?”

“Aku bukan bermaksud hendak merendahkan pihak sendiri untuk meninggikan pihak orang
lain," kataku, “tetapi kenyataan yang sesungguhnyalah yang begitu keadaannya ............”

“Cobalah kau berikan aku beberapa contoh !" kata orang itu dengan rupa penasaran.

“Tentang hal-hal yang lain boleh tak usah kita ceritakan," kataku, “sedangkan seorang
gagah yang tingkatnya berimbang dengan Sin-tui Lie Poan Thian saja kita di Selatan belum
mampu keluarkan barang seorang ............"

“Apa ? Kita di Selatan tidak ada seorangpun yang mampu mengalahkan Sin-tui Lie Poan
Thian?" teriak orang tua itu sambil tertawa menyindir. “Kau ini masih terlalu muda buat
mengetahui tentang kelihayannya jago2 tua di Selatan ! Apakah kau — sebagai seorang
Selatan — belum pernah mendengar tentang adanya SIN-TUI BIE diantara kita kaum
Selatan ?”

Aku lalu menggelengkan kepalaku.

“Ah ! Goblok benar kau ini !" katanya dengan sikap yang tidak merasa seejie lagi. “Buat apa
kau punya telinga, jikalau itu bukannya dipergunakan untuk mendengar. Dan buat apa kau
punya mata, jikalau itu bukannya dipergunakan untuk melihat ?

Perhatikanlah olehmu, orang muda, kita orang Selatan bukannya semacam penjual obat
keliling yang suka menggembar-gemborkan kepandaian sendiri dimuka khalayak ramai.
Orang-orang pandai yang sepuluh kali lebih jempol daripada Sin-tui Lie Poan Thian itu,
masih tidak kurang jumlahnya diantara kita orang-orang Selatan. Hanya bedanya kita orang-
orang Selatan tidak kemaruk dengan segala nama kosong, suka menonjol2kan gelaran yang
boleh didapat dari tepi jalanan seperti Lie Poan Thian itu, kau mengarti ?”

“Maafkanlah padaku, Bie Lo-suhu," demikianlah aku telah memulai siasatku untuk
memancing orang tua ini. “Kita dan Lie Poan Thian belum pernah terbit permusuhan apa-
apa, tetapi — aku sungguh tidak bisa mengarti — mengapakah Lo-suhu kelihatan begitu
penasaran dengan dia itu ?"

“Aku dengan Lie Poan Thian," menerangkan orang tua she Bie itu, “memang benar belum
pernah saling mengenal, tetapi dia itu seakan-akan musuhku juga, kau tahu ? Dia telah
membunuh muridku, menghinakan padaku yang menjadi gurunya. Oleh sebab itu, cara
bagaimanakah bolehnya kau mempersalahkan aku penasaran dan memusuhi pada Lie Poan
Thian dengan tidak ketahuan apa sebabnya ?”

“Oh........," kataku, yang sekarang baru mengetahui jelas apa sebabnya dia begitu
penasaran dengan Lie Toako."

Lie Poan Thian mendengari terus penuturannya Lauw Thay, dengan tidak mencoba akan
memotong2 pembicaraan orang.

“Ya, ya," katanya. “Setelah itu, bagaimana ?”

“Murid orang tua ini," kata Lauw Thay, “ternyata bukan lain daripada Liu Tay Hong, yang
aku juga — sebagaimana Toako tentu telah ketahui — memang kenal baik, karena siapa kita
berdua saudara terpaksa menyingkir ke kota Kimleng dan mengikut pada Cin Toako

201
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

sehingga sekarang ini.

Barusan karena ia mengatakan yang ia telah ketahui bahwa kau ada disini dan hendak
melakukan pembunuhan gelap atas dirimu, maka aku lantas kuntit padanya sampai ditepi
jalan tadi, dimana orang tua she Bie itu yang rupanya telah mengetahui bahwa aku se-akan-
akan hendak merintangi perbuatannya, akhirnya ia menjadi amat gusar dan lalu dalam
keadaan mabuk menerjang padaku sehingga terjadi pertempuran sebagaimana apa yang
telah kau saksikan tadi.

Dalam pertempuran itu, aku harus akui bahwa ilmu tendangan orang tua itu memang amat
lihay, dan bisa jadi aku sudah mati oleh tendangan itu, jikalau Toako tidak keburu muncul
dan menolongku."

“Tetapi, mengapakah barusan kau mengatakan bahwa dia itu hendak mengacau ?”
menegasi pemuda kita.

“Sebab orang tua itu telah mengaku — dalam mabuknya — bahwa ia pernah mengirimkan
surat budek dan mengganggu padamu disebuah kelenteng rusak,” kata Lauw Thay.
“Malahan selanjutnya, ia kata, iapun akan mengganggu terus kepadamu, sehingga kau jadi
kewalahan sendiri. Itulah sebabnya mengapa aku katakan dia hendak mengacau, dia
hendak melakukan perang dingin pada sebelum mencelakai pada dirimu."

“Oh, oh, begitu ?" kata Lie Poan Thian yang sekarang baru mengarti, apa sebab Sin-tui Bie
yang sama sekali belum ia kenal itu telah mengunjuk sikap yang begitu bermusuhan
terhadap dirinya sendiri.

Kemudian Poan Thian menanyakan tentang roman dan perawakan orang tua she Bie itu,
yang tatkala diterangkan dengan secara teliti oleh Lauw Thay, ia jadi teringat pada Sin-tui
Bie alias Tie Hwie Taysu yang menjadi ketua dari kelenteng Ceng-hie-koan diluar kota
Kimleng itu.

“Keterangan Lauw Thay ini sungguh cocok benar dengan si toosu tua itu," pikirnya.
Kemudian ia menggerutu didalam hatinya : “Kurang ajar ! Sungguh tidak keliru bunyi
pepatah itu yang mengatakan bahwa : air yang dalam mudah diukur, tetapi hati manusia
sungguh amat sukar untuk diukurnya! Aku sungguh tidak bisa mengarti, mengapakah toosu
itu lebih suka “berperang dingin" daripada bertempur padaku dengan secara terbuka,
hingga dengan begitu tidak perlu lagi kita saling mendendam satu sama lain dengan
masing-masing saling memandang dari antara kabut keragu-raguan yang tidak akan
berakhir ini ?

Ah ! Jikalau orang she Tja ini telah berhasil kurobohkan, kukira sebaiknya akan segera
kembali ke kota Kimleng buat minta bertempur dengan secara berterang pada toosu itu.
Karena selain aku boleh tidak usah diganggu pikiranku karena urusan ini, peristiwa inipun
bisa lantas diakhiri setelah ada salah seorang yang telah mengalami kekalahan dalam
pertempuran yang menentukan ini. Kalau tidak aku, tentulah dia. Habis perkara."

Kemudian suatu pikiran lain telah muncul didalam hati pemuda itu.

“Apabila Sin-tui Bie telah jelas bagaimana romannya," pikirnya, “siapakah itu orang muda
yang dikatakan belum cukup usia 20, memakai baju biru dan menyoren pedang yang telah
menyampaikan surat pada pemilik kedai dahulu dan pelayan kedai yang tadi itu ? Inilah
ternyata ada sebuah teka-teki yang harus dipecahkan dan tentu sedikit banyak ada juga
hubungannya dengan peristiwa Sin-tui Bie ini."

Begitulah, sambil berpikir, Poan Thian lalu memeriksa luka bekas tendangan yang tampak

202
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

dibadannya Lauw Thay.

“Syukur juga tendangan ini telah dilakukan dengan menggunakan telapak kaki," kata ia.
“Jikalau tendangan ini dilakukan dengan ujung sepatunya Sin-tui Bie, kau bisa tewas, atau
paling mujur kau akan menderita luka berat. Karena dari bagian bajumu yang robek ini aku
bisa lantas ketahui dengan sejelas-jelasnya bahwa Sin-tui Bie itu mengenakan sepatu yang
pada bagian ujungnya dipasangi sebilah pisau kecil yang runcing !"

Lauw Thay yang mendapat keterangan begitu, diam-diam jadi bersyukur didalam hati dan
menyebut : “O Mi To Hut!" walaupun ia sendiri tidak menganut agama Budha.

“Lukamu ini tidak berbahaya," kata Lie Poan Thian pula. “Aku disini ada sedia Yowan dan
Koyo yang istimewa buat menyembuhkan luka-luka seperti ini."

Dan sesudah berkata demikian Poan Thian lalu buka pauw-hoknya dan mengambil beberapa
butir Yowan dan Koyo, obat-obat mana ia lantas berikan pada Lauw Thay untuk dimakan
dan dibakukan pada bagian tubuhnya yang telah tertendang oleh Sin-tui Bie tadi.

“Apabila dihari esok kau tersadar dari tidurmu," ia menambahkan, “niscaya lukamu sudah
sembuh sebagian dan kau boleh bergerak pula sebagaimana sediakala."

Lauw Thay mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan sang kawan itu. Kemudian ia
dipersilahkan naik keatas pembaringan untuk sama-sama beristirahat.

Tetapi pada malam itu Poan Thian yang diganggu oleh pikiran2 yang bersangkut-paut
dengan peristiwa-peristiwa yang telah ditimbulkan oleh Sin-tui Bie itu, sudah barang tentu
tak dapat tidur dengan nyenyak, malah waktu ia berbangkit dari atas pembaringan sambil
menghela napas dan berkata : “Oh, oh, apakah barangkali si pelayan itu telah menjustakan
kepadaku, sehingga duduknya urusan ini jadi terputar balik untuk membingungkan pikiranku
? Atau boleh jadi juga, pelayan itu sendiri memang bukan lain daripada kambrat situa
bangka itu, hingga mereka kedua-duanya seakan-akan hendak mempersukar kepadaku ?"

“Kukira jikalau aku coba gertak pelayan itu,” pikirnya lebih jauh, “niscaya aku bisa mendapat
keterangan lain yang akan dapat melancarkan jalannya penyelidikan2ku ini ............Ya, ya,
inilah ada suatu tindakan baru yang aku perlu lakukan pada malam ini juga."

Maka setelah ia menukar pakaian untuk berjalan diwaktu malam, Poan Thian lalu keluar dari
dalam kamarnya dengan melompati jendela, yang kemudian ia baru tinggalkan setelah daun
jendelanya dirapatkan dari sebelah luar.

Dari situ ia segera menuju ke kedai minuman dimana ia telah menerima surat tantangan
Sin-tui Bie yang telah disampaikan dengan perantaraan si pelayan yang pada umumnya
dikenal orang dengan nama Mo Djie.

Tetapi pelayan itu ternyata tidak kelihatan mata hidungnya.

Sambil menantikan sampai Mo Djie muncul, Poan Thian lalu memesan minuman pada
seorang pelayan lain yang kebetulan datang menghampiri kepadanya.

“Bawakan aku arak hangat dan 2 kati daging sapi rebus," kata ia.

Si pelayan mengangguk sambil mengatakan: “Ya, ya, baiklah."

Tidak antara lama ketika ia kembali dengan membawa arak dan daging yang dipesan, Poan
Thian lalu menanyakan : “Malam ini aku tidak lihat si Mo Djie. Kemanakah dia itu?"

203
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Si pelayan kelihatan tersenyum sambil berkata : “Hari ini ia justru minta perlop dari induk
semang kita, karena salah seorang keluarganya, katanya, hendak menikahkan seorang anak
perempuannya."

Poan Thian yang mendengar penyahutan itu, didalam hatinya tidak mau percaya omongan
pelayan itu, tetapi dilahir ia kelihatan tinggal tenang dan tidak mengunjuk sikap apa-apa
yang dapat menimbulkan rasa curiga orang.

“Si Mo Djie rupanya telah mendapat pirasat bahwa aku akan kembali pula kesini dalam
tempo yang se-konyong-konyong ini." pikir pemuda kita.

Tatkala bermakan minum disitu beberapa lamanya, mendadak ia berbangkit dari kursinya,
membayar harganya makanan dan minuman tadi dan terus berjalan keluar dari kedai itu
dengan tidak banyak bicara lagi.

Tetapi bukannya balik kembali ke tempat penginapannya, sebaliknya ia berdiri ditempat


gelap sambil memperhatikan dengan teliti sekali kearah kedai itu.

Lama-lama ia melihat juga si Mo Djie keluar, sambil tertawa-tawa dengan pelayan yang
telah melayaninya tadi.

“Kurang ajar benar si Mo Djie ini," menggerutu pemuda itu.

Kemudian dengan tindakan dua langkah yang dipercepat sehingga menjadi selangkah, Poan
Thian cepat2 mendekati kesamping kedai itu sambil memasang telinga mendengari sesuatu
patah perkataan yang diucapkan oleh si Mo Djie kepada kawannya itu.

“Tetamu itu sesungguhnya amat menakuti," kata si Mo Djie. “Untung juga kau dapat
mencari akal yang cukup dipercaya; kalau tidak, niscaya ia tidak mau mengerti, bagaimana
aku dalam tempo sekejapan saja bisa berlalu dari sini. Dengan begitu, selain aku harus
mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu itu, akupun tidak lupa, semenjak hari ini,
memberikan kau gelaran Say-cukat, atau Kong Beng kedua!"

“Say-cukat" kelihatan jadi amat bangga dipuji-puji demikian.

“Itu — boleh dikatakan — masih belum semua kukeluarkan segala muslihatku," katanya
sambil tertawa terbahak-bahak. “Jikalau nanti sudah tiba pada waktunya, aku bisa berbuat
apa-apa yang sama sekali tidak dapat diduga orang."

Mo Djie turut tertawa.

Mula-mula iapun kelihatan girang, tetapi semakin lama wajahnya jadi semakin kecut. Karena
ia yang berdiri dengan menghadapi keluar kedai, tentu saja dapat melihat apa-apa terlebih
dahulu daripada “Say-cukat" yang berdiri dengan membelakangi pintu kedai sambil
berbicara dengan kaki tangannya di-gerak-gerakkan se-akan-akan orang yang sedang
menari.

“Ah ............ itu ............ itu ............ ah ............" si Mo Djie jadi kemekmek.

“Say-cukat" tampak ke-heran2an.

“Eh, eh, kenapa ?” tanyanya, tatkala menyaksikan perubahan sikap dan wajah si Mo Djie
yang sangat mendadak itu.

“Itu ............ itu ............." ia berkata dengan suara berbisik dan ter-putus2.

204
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Say-cukat" sekarang mengarti apa maksudnya sang kawan itu. Dan tatkala ia coba
menoleh ke belakang, ia sendiripun mendadak seperti juga orang yang dipagut ular.

“Ah ! ............." katanya dengan mata mendelong dan badan menggigil seolah-olah
dihinggapi penyakit demam.

Karena diluar pengetahuan mereka berdua, Poan Thian telah tampak berdiri di hadapan
mereka dengan secara tiba-tiba. Ia tidak mengucap barang sepatah katapun, tetapi itu
sudah cukup akan membikin darah kedua pelayan kedai itu dirasakan beku !

Kemudian pemuda itu lalu maju menghampiri dengan tindakan agung, sehingga mereka
berdua segera menjatuhkan diri berlutut sambil meratap : “Hohan ! ampunilah kami berdua
yang telah menjustakanmu tadi !"

“Aku tidak minta dan tidak perlu dengan pernyataan ampunmu itu," kata Lie Poan Thian
dengan suara bengis. “Aku hanya perlu meminta keteranganmu dengan se-sungguh-
sungguhnya. Siapakah itu Sin-tui Bie ?”

“Itu hamba tidak tahu," sahut Mo Djie dengan badan menggigil.

“Tetapi apa sebab kau ketahui bahwa ia itu belum berusia 20, memakai baju biru dan
menyoren pedang !"

“Itulah ............ itulah hanya suatu lukisan...........khayal yang aku telah diperintah akan
menceriterakan kepadamu oleh orang tua yang memberikan surat itu," kata Mo Djie pula.

"Jadi dengan begitu," kata pemuda itu, “orang muda yang kau katakan itu sebenarnya tidak
ada orangnya sama sekali ?”

“Ya, benar," kata Mo Djie. “Karena aku diancam akan dicelakai apabila tidak mau
menerangkan begitu, maka apa boleh buat aku telah menjustakanmu."

“Apakah menurut keteranganmu, orang tua itu benar kau kenal dan sering datang kesini ?”

“Tidak. Tetapi ia telah menyuruh aku akan mengaku begitu di hadapanmu, apabila kau
menanyakan terlebih teliti," sahut Mo Djie.

“Baiklah," kata Lie Poan Thian. “Apabila dikemudian hari aku ketahui bahwa semua
omonganmu ini ternyata juga justa adanya, aku akan balik kembali kesini untuk membikin
perhitungan denganmu. Tetapi jikalau kau bicara benar sehingga segala urusan gelap ini
dapat dibikin terang, akan kuberikan kau hadiah besar atas pengunjukan-pengunjukanmu
ini. Nah, ini sedikit uang, kamu boleh terima sebagai pembayaran untuk sedikit
keteranganmu tadi."

Walaupun Mo Djie dan kawannya berpura-pura tidak mau terima pemberian uang itu, tetapi
Poan Thian telah lemparkan juga uang itu keatas meja dan segera berlalu dengan tidak
banyak bicara lagi.

Dari situ Poan Thian buru-buru kembali ke tempat penginapannya, akan memberitahukan
tentang hasil dari penyelidikannya ini pada Lauw Thay.

Tetapi alangkah terperanjatnya hati pemuda kita ini, ketika ia sampai ketempat
penginapannya, ia menampak pintu jendela kamarnya terpentang lebar, sedangkan diatas
pembaringan yang kelambunya tersingkap sebagian, tidak tampak mata hidung atau
bajangan2nya sang kawan itu !

205
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Buru-buru ia berlompat masuk kedalam kamar dan memeriksa segala apa yang berada
didalamnya, tetapi segala apa tinggal tetap tidak terganggu, kecuali Lauw Thay saja yang
telah menghilang entah kemana perginya !

Paling belakang ketika ia melihat puntung hio yang apinya sudah padam terletak dihalaman
kamar dibawah jendela, Poan Thian jadi membanting kaki sambil berkata : “Celaka ! Lauw
Thay mungkin telah diculik orang ! Rupanya ia telah dibikin tidak berdaya oleh asap Hun-hio
ini ! Ah ! Jikalau penculiknya itu Sin-tui Bie, kukuatir jiwanya akan dicelakai oleh orang tua
itu ! Ia tentu marah bukan main karena telah diloloh oleh Lauw Thay sehingga mabuk dan
membuka rahasia hati sendiri. Maka setelah mengetahui yang Lauw Thay ini ada seorang
yang berpihak kepadaku yang dianggapnya sebagai musuh besarnya, apakah jiwanya tidak
bisa diumpamakan dengan sebutir telur diujung tanduk ?”

Poan Thian belum sempat berpikir terus, tatkala diluar kamar ia melihat bayangan manusia
yang berkelebat dan terus menyelinap dibawah jendela. Tetapi pemuda kita yang selalu bisa
berpikir cepat diwaktu kesusu, buru-buru padamkan api lilin didalam kamar, kemudian ia
sembat sebuah kursi yang lalu dilontarkan keluar jendela sambil membentak : “Jangan lari !
Aku mendatangi untuk membikin perhitungan atas perbuatanmu ini !"

Tetapi, meskipun ia membentak demikian, Poan Thian tinggal tetap tidak bergerak atau
mengunjuk aksi apa-apa.

Tahu-tahu ketika kursi itu melayang melewati pintu jendela, mendadak kelihatan sinar golok
yang berkelebat dan membacok pada kursi itu dengan dibarengi suara seorang yang
menandakan rasa kecewanya atau kaget : “Aya !"

Poan Thian yang menyaksikan kejadian itu, diam-diam jadi menyebut: “O Mi To Hut !"
didalam hatinya. Karena jikalau ia berlaku ceroboh buat lantas melompat keluar, niscaya
dirinya sendirilah yang akan menjadi korban bacokan yang orang telah lakukan terhadap
kursi itu !

Sementara orang yang membacok tadi karena terburu napsu dan salah mata, buru-buru
berlompat ketengah pekarangan rumah penginapan itu sambil menantang pada pemuda itu,
katanya: “Lie Poan Thian ! Jikalau kau sesungguhnya seorang laki-laki sejati, marilah kita
bertempur disini sehingga ada salah seorang yang terbaring menjadi mayat !"

Poan Thian yang menyangka bahwa orang itu tentu bukan lain daripada Sin-tui Bie, lalu
cabut jwanpian yang hampir selalu tidak terpisah dari pinggangnya, kemudian sambil
membentak, “Aku mendatangi !" ia segera melompat keluar dengan menggunakan siasat
Hie-ciok-chut-lim atau burung kucica keluar rimba.

Orang itu tidak menunggu lagi sampai Poan Thian keburu menginjak tanah, hanyalah ia
lantas maju menerjang sambil membacok kearah kaki pemuda kita, hingga Poan Thian yang
memang telah menduga bahwa pihak musuhnya bakal melakukan penyerangan kilat begitu
rupa, sudah tentu saja lantas menangkis dengan jwanpian ditangannya. Dengan begitu
selanjutnya kedua orang itu jadi bertempur dengan sengit dan tidak banyak bicara pula.

Pihak musuh yang memang telah beraksi dengan sudah dipikir lebih dahulu, keruan saja
telah melakukan serangan-serangannya dengan gencar dan hebat sekali, tetapi Poan Thian
yang tidak mengetahui siapa sebenarnya musuh itu, sebaliknya tinggal berlaku tenang dan
lebih banyak bersikap menjaga daripada balas melakukan serangan-serangan sebagaimana
mestinya seorang lawan yang hendak merobohkan pihak musuhnya selekas mungkin.

Maka ketika pertempuran telah berlangsung sehingga beberapa belas jurus lamanya,
mendadak Poan Thian telah berlompat keluar dari kalangan pertempuran sambil berseru:
206
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Sahabat! Tahan dahulu ! Aku ingin tahu kau ini siapa, dan buat maksud apa kau memusuhi
aku begini rupa? Aku bukan takut buat bertempur, tetapi aku harus tahu dahulu, buat
maksud apa sehingga pertempuran ini dipandang perlu !"

“Aku ini bukan lain daripada Hok Cit!" kata orang itu, “Yang dahulu pernah bertemu
denganmu dipegunungan jie-sian-san. Kau telah bunuh pemimpinku Wie Hui dan
membunuh juga saudara seperguruanku Liu Tay Hong, kemudian kau telah menghinakan
juga guru kami Sin-siu-tay-seng Bie Tiong Liong. Oleh sebab itu, apakah kau masih juga
menganggap bahwa pertempuran ini tidak keruan juntrungannya ?"

Poan Thian yang mendengar omongan itu, sudah tentu saja jadi heran dan balik
menanyakan : “Siapakah itu Sin-siu-tay-seng Bie Tiong Liong ? Aku rasanya baru pernah kali
ini mendengar nama itu. Cara bagaimanakah kau mengatakan aku menghinakan ia orang
tua ?"

“Kau tidak perlu banyak bacot !" membentak Hok Cit pula. “Dikalangan kita orang-orang
yang hidup dikalangan Kang-ouw, namamu sudah cukup terkenal sebagai seorang yang
suka mengacau jalan mata pencaharian kita. Oleh sebab itu, memanglah sudah selayaknya
apabila kau dimusuhi orang, antara mana oleh sisa pendekar dari pegunungan jie-sian-san
yang telah kau ubrak-abrik dengan secara keji. Dan setelah itu, kau telah melindungi juga
Lauw Thay dan Lauw An yang telah berkhianat dari kita. Apakah itu semua masih belum
cukup untuk membuktikan sikapmu yang sengaja mencari setori terhadap pada kita orang-
orang dari golongan Rimba Hijau ?"

Lie Poan Thian jadi tertawa menyindir ketika mendengar omongan itu.

“Oh, oh, kiranya kau ini ada sisa berandal dari pegunungan jie-sian-san, yang sekarang
hendak menuntut balas kepadaku ?" katanya. “Kalau begitu, baiklah ! Sekarang sudah
terang apa maksudnya kau mencari padaku. Ayoh ! Marilah kau boleh lanjutkan pula
pertempuran ini, tetapi kau jangan menyesal, apabila jwanpianku ini berlaku kejam. Ayoh,
maju!"

Hok Cit tidak menunggu lagi sampai Poan Thian menantang buat kedua kalinya, hanya
dengan sengit ia lantas menerjang dengan menggunakan siasat Pek-coa-touw-sin, atau ular
putih memuntahkan bisa. Poan Thian lekas mengegos buat kasih lewat ujung golok yang
menusuk ulu hatinya, kemudian ia putar jwan-piannya dan bikin golok itu terlepas dari
genggamannya Hok Cit hingga dengan kaget bekas berandal dari jie-sian-san itu lalu
melompat dan menyambit dengan hui-piauw sehingga berturut-turut 5 kali, tetapi satu-
persatu senjata rahasia itu telah dibikin terpental oleh jwanpian yang terputar2 bagaikan
baling2 cepatnya. Maka selain daripada berkelebatnya senjata itu yang dibarengi dengan
suara yang menderu2, Hok Cit hampir tak dapat melihat tubuh Lie Poan Thian yang menjadi
lawannya itu.

Tatkala akhirnya ia insyaf bahwa Lie Poan Thian itu sesungguhnya bukan lawannya yang
setimpal, bekas berandal ini segera berlompat keluar dari kalangan pertempuran sambil
berseru : “Tunggu ! Lagi 3 tahun kita akan bertemu pula. Selamat tinggal !"

Sambil berseru demikian, Hok Cit lalu menghilang dengan jalan melompat keatas wuwungan
beberapa buah rumah yang berdiri berbaris dengan rumah penginapan dimana Poan Thian
menumpang. Dan tatkala orang-orang didalam rumah penginapan itu pada tersadar dari
tidur yang nyenyak dan keluar untuk melihat peristiwa apa yang telah terjadi, pertempuran
itupun telah berakhir dengan Hok Cit telah tidak kelihatan pula bayang-bayangannya.

Selanjutnya, buat mengelakkan pertanyaan-pertanyaan orang banyak yang pada bertanya,

207
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

hal apa yang telah terjadi tadi, Poan Thian lalu berjusta dengan mengatakan bahwa barusan
kamarnya telah kemasukan seorang pencuri yang segera lari sipat kuping ketika ia tersadar
dan mengejarnya keluar pekarangan rumah penginapan itu. Syukur juga keterangan ini
telah membikin orang banyak puas, maka urusanpun bisa berakhir hingga sekian saja.

Kecuali bagi diri Poan Thian sendiri, yang meski kemudian telah kembali ke dalam
kamarnya, pikirannya masih tetap kuatir atas keselamatannya Lauw Thay yang ia percaya
telah diculik oleh Sin-tui Bie, yang tentunya merasa sakit hati karena telah dipedayakan oleh
Lauw Thay sehingga ia membuka rahasia sendiri diwaktu dalam keadaan mabuk.

Maka disamping hal-hal yang telah lampau itu, sekarang timbul pula seorang bernama Sin-
siu-tay-seng Bie Tiong Liong yang telah dikatakan Hok Cit tadi. Oleh karena menilik bahwa
orang itupun memakai nama yang agak seimbang dengan nama Bie Tiong Hong, diam-diam
ia jadi menyangka, kalau-kalau orang itu tentu ada juga sangkut pautnya dengan Sin-tui
Bie, hanya hal apa yang telah membuatnya ragu-ragu, adalah yang mana satu antara kedua
orang itu — Sin-tui Bie atau Sin-siu-tay-seng Bie Tiong Liong — yang sebenarnya menjadi
guru Liu Tay Hong ?

“Apabila kedua-duanya orang itu ada sangkut-pautnya dari satu dengan yang lainnya ?”
pikirnya. “Apakah itu tidak berarti bahwa dengan sekaligus aku telah mendapat musuh-
musuh yang aku sama sekali tidak kenal atau tahu sebab-musabab daripada permusuhan
itu? Inilah sesungguhnya ada suatu perkara penasaran yang aku kepingin tahu bagaimana
akan kesudahannya nanti!"

Akan menuruti tujuan hatinya, sebenarnya Poan Thian hendak kembali dahulu ke kota
Kimleng, buat menanyakan dengan secara terbuka pada Sin-tui Bie alias Tie Hwie Taysu
dikelenteng Ceng-hie-koan, tentang sikapnya yang sangat tidak memandang persaudaraan
dikalangan Kang-ouw, menculik Lauw Thay dan melakukan perang dingin dalam cara yang
begitu pengecut. Tetapi ketika memikirkan tentang janjinya yang akan kembali lagi ke Ca-
kee-chung untuk bertemu dengan Tja Tiauw Cin pada hari esok diwaktu lohor, ia terpaksa
urungkan niatannya. Karena apabila ia tidak datang pada waktu yang telah ditentukan,
apakah orang tidak nanti beranggapan bahwa ia takut, suatu tuduhan yang tak dapat ia
terima dengan begitu saja ?

Sekarang pikiran2 itu telah mengaduk semakin hebat diotaknya, sehingga semalaman itu
hampir tak dapat ia tidur pulas.

Kemudian teringatlah olehnya pesan sang guru, ketika ia masih berdiam dikelenteng Liong-
tam-sie. “Bersemedilah," sabdanya, “jikalau kau menghadapi pikiran2 yang sulit, dan cara
itu akan menolong banyak bagi ketenteraman dan kecerdasan pikiranmu dihari esoknya."

Begitulah setelah menanggalkan pakaian luarnya, Poan Thian lalu bersila dengan tegak dan
mulai melakukan semedi dalam cara yang telah dipelajarinya sekian tahun lamanya.

Tatkala selesai bersemedi, ia lalu membaringkan dirinya dan tidur dengan nyenyak,
sehingga matahari sudah naik tinggi, barulah ia bangun dan lekas-lekas mencuci muka,
membersihkan mulut dan badan dengan hati dan pikiran yang jauh lebih tenang daripada
malam kemarin. Tetapi hatinya yang setia kawan tidak membikin ia jadi kurangan
memikirkan nasib Lauw Thay yang telah diculik orang itu.

Begitulah sesudah menimbang bolak-balik, akhirnya teringatlah olehnya, betapa tidak


baiknya jikalau perkara Lauw Thay ini diabaikan dengan begitu saja. Maka setelah selesai
sarapan pagi, lekas-lekas Poan Thian kembali ke kedai minuman yang ia telah kunjungi
semalam, buat coba mencari keterangan pada Mo Djie, berhubung dengan lenyapnya sang

208
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

kawan itu.

Disana, berbeda dengan waktu kemarin, Mo Djie melayani padanya dengan laku yang
sangat hormat dan telaten sekali.

“Hari ini acara makanan kami telah ditambah dengan beberapa rupa hidangan yang
istimewa," kata pelayan itu dengan paras muka yang berseri-seri.

“Hari ini aku bukan bermaksud akan mencari makanan," sahut pemuda kita.

“Kalau begitu,” kata Mo Djie, “dalam hal apakah yang aku bisa menolong kepadamu, tuan ?"

“Cobalah tolong kau bawakan dahulu aku teh hangat dan sedikit buah2an kering," kata
Poan Thian dengan cepat, “kemudian aku perlu menanyakan beberapa perkataan
kepadamu."

Mo Djie menjawab : “Baiklah, tuan," sambil cepat2 berlalu untuk menyediakan barang yang
dipesan itu.

Diwaktu si pelayan balik kembali dengan membawa barang tersebut, pemuda kita lalu
menanyakan kepadanya : “Apakah pada kemarin malam ada orang yang datang kesini buat
menanyakan aku ?"

Mo Djie bercelingukan kekiri-kanan pada sebelum menjawab pertanyaan itu. Dan tatkala
merasa cukup sentosa akan menyatakan pikiran apa-apa, barulah ia menjawab : “Ya, ada.
Tetapi orang itu aku tidak kenal. Tampaknya ia kenal baik kepadamu. Katanya : “Apakah
malam ini tuan Lie tidak datang kesini ?”

Orang itu kelihatan simpatik dan berbicara dengan lemah-lembut. Tetapi karena merasa
kuatir kalau-kalau ia ada seorang yang sengaja hendak datang mencari setori padamu
seperti orang tua she Bie itu, maka aku rasa lebih selamat akan menjawab : “Tidak ada."
Karena jikalau ia tidak ada urusan apa-apa dan bukan sengaja menyelidiki kepadamu, cara
bagaimanakah ia bisa tahu dan menanyakan kepadaku apakah kau ada disini.”

“Benar, benar," sahut Lie Poan Thian sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Tetapi
belum tahu apakah ia datang kesini dengan seorang diri saja atau berkawan ?”

“Ia datang dengan hanya bersendirian saja," sahut Mo Djie dalam suatu cara yang se-akan-
akan hendak memotong pembicaraan orang.

“Cobalah terangkan bagaimana bentuk perawakan orang itu," Poan Thian berkata sambil
menghirup teh dan mengunyah sebuah tikwee kering.

Mo Djie yang pandai berbicara lalu melukis romannya orang itu sambil meng-gerak-
gerakkan kaki tangannya, bagaikan seorang anak wayang yang sedang beraksi diatas
panggung.

“Oh, jikalau roman dan lukisan itu dibayangkan dalam pikiran," kata pemuda itu didalam
hatinya. “orang itu memang agak mirip dengan perawakan tubuh Hok Cit, kecuali misainya
saja yang berbeda dengan keadaan aslinya. Apakah si Hok Cit itu barangkali menyamar dan
memakai misai palsu ketika ia datang kesini ?”

Poan Thian merasa tidak baik buat menyatakan pikiran ini pada Mo Djie yang agak likiat itu.
Kemudian ia bertanya : “Setelah kau memberikan jawaban bahwa aku tidak datang kesini,
apakah yang selanjutnya diperbuat oleh orang itu ?”

209
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Ia tidak menanyakan apa-apa pula," sahut pelayan yang ditanyakan itu, “tetapi segera
berlalu dengan cepat dan tidak banyak bicara pula."

“Apakah orang itu membekal senjata ?” Poan Thian bertanya pula.

“Ya." sahut Mo Djie. “diatas bebokongnya ada tergantung sebilah golok yang memakai
serangka yang diukir dengan bagus sekali."

“Itulah pasti ada Hok Cit yang menyamar dengan memakai misai. Tidak bisa salah lagi."
pikir Lie Poan Thian sambil minum kering air teh yang terisi didalam cawannya.

Diwaktu membayar harga teh dan buah2an kering yang ia makan tadi, mendadak ia
mendengar orang-orang yang berseliweran di jalan raya ramai membicarakan tentang
diketemukannya satu mayat tidak berkepala didalam sebuah solokan dimuka sebuah rumah
makan yang memakai merek Eng-pin Cay-koan. Oleh sebab itu, Poan Thian jadi terperanjat
dan buru-buru mengikut orang banyak buat coba turut menyaksikan peristiwa itu dengan
mata kepala sendiri disana.

“Diharap saja yang kecelakaan ini bukan seperti apa yang kukuatirkan disaat ini," kata
pemuda itu didalam hatinya.

Tidak kira sesampainya dimuka rumah makan tersebut, ia mendapat keterangan dari orang
banyak bahwa mayat itu telah diangkut ke kelurahan untuk diperiksa lebih jauh serta dicari
tahu siapa sahabat atau sanak saudaranya yang harus mengurus mayat itu. Maka atas
petunjuk beberapa orang desa yang kebetulan berada disitu, Poan Thian lalu menuju ke
kelurahan untuk coba mengenali mayat tersebut.

Begitulah sesampainya dikelurahan dan memberitahukan maksud kedatangannya, lalu ia


dipersilahkan masuk kedalam sebuah kamar dimana mayat itu ditunda untuk sementara
waktu, sehingga ada sanak pamilinya yang datang mengakui dan menguburnya
sebagaimana mestinya.

Perasaan kaget Poan Thian sungguh bukan alang kepalang, ketika mengenali mayat itu dari
pakaian yang menempel dibadannya.

“Ah, celaka !" pikirnya. “itulah sesungguhnya adalah Lauw Thay yang telah dibunuh orang !"

“Apakah ini ada sanak saudaramu ?” bertanya lurah pada pemuda kita.

Poan Thian menyatakan ingin coba periksa dahulu. Karena biarpun pakaiannya agak sama
dengan apa yang dikenakan Lauw Thay ketika keluar dari rumah, tetapi tanda-tanda yang
tampak dibadannya belum tentu tepat dengan apa yang pernah diketahuinya, berhubung
mayat itu tidak berkepala dan sukar sekali untuk dikenalinya tanpa adanya bagian anggauta
badan itu ditempat asalnya.

Maka Poan Thian yang mengingat pada bagian baju Lauw Thay yang telah robek karena
tendangan sepatu musuh yang memakai sebilah pisau itu, buru-buru ia tujukan
pemeriksaannya pada bagian itu dengan hati yang berdebar2. Karena dengan memper-
hatikan bentuk tubuh dan pakaiannya, sekarang ia mulai mengenali bahwa mayat itu
memang ada kemungkinan mayat kawannya yang telah diculik orang itu.

Dugaan Poan Thian jadi semakin keras ketika melihat tanda robek yang tampak pada
pakaian mayat itu !

“Ah, inilah sesungguhnya memang Lauw Thay !" pikirnya. Tetapi ketika ia coba singkap
bagian tubuh yang ditutup oleh pakaian yang robek itu, ia jadi menghela napas lega dan
210
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

berkata : “O Mi To Hut ! Inilah bukan Lauw Thay ! Karena sudah jelas bahwa pada bagian
tubuh mayat ini tidak tampak bekas ditempeli koyo !"

Maka dengan berdasarkan kenyataan2 ini, Poan Thian lalu memberitahukan pada lurah itu
bahwa mayat ini bukanlah mayat pamilinya, yang telah diakuinya telah hilang dari rumah
pada beberapa hari yang lampau, walaupun didalam hatinya ia menanya pada diri sendiri
dengan berulang-ulang : “Mayat siapakah ini, yang ternyata mengenakan baju Lauw Thay
yang dikenakannya pada malam kemarin ? Dan jikalau Lauw Thay telah terlolos dari tangan
musuh, bagaimanakah ia tidak lekas kembali padaku buat melaporkan peristiwa apa yang
telah dialaminya pada malam kemarin ? Inilah tentu ada rahasia apa-apa yang lebih sulit
dan sukar dimengerti, tanpa diselidiki dengan secara teliti dan se-giat2nya. Tetapi
bersamaan dengan ini, aku jadi semakin mantap buat berhadapan dengan Tja Tiauw Cin di
Ca-kee-chung, karena dengan adanya bukti2 ini, tak usah aku memikirkan lagi pada Lauw
Thay, yang pada saat ini tentunya telah berada disuatu tempat yang lebih aman dan
sentausa."

Begitulah setelah mengucapkan terima kasih dan meminta diri pada pak lurah, Lie Poan
Thian lalu balik kembali ketempat penginapannya, untuk bersiap-siap akan menghadapi
pertempuran hebat yang ia telah bayangkan akan terjadi sebentar menjelang magrib.

Lebih jauh karena mengingat bahwa ia hanya bersendirian saja, maka ia pikir tidak jahatnya
akan bersedia apa yang perlu untuk menghadapi segala kemungkinan.

“Senjata rahasia, jwanpian dan pedang hadiah dari In Cong Lo-siansu, kali ini aku perlu
bawa buat melindungi diri daripada bahaya pengeroyokan orang she Tja dan sekalian
kambrat2nya itu," kata pemuda kita sambil membuka pauwhok dan keluarkan semua
senjata yang lalu ditaruhnya diatas meja.

Kemudian ia kunci pintu kamar, membuka pakaian dan duduk bersemedi untuk
mengumpulkan tenaga lahir dan batin yang akan menemui ujian dalam suatu pertempuran
yang tentu tidak akan kurang hebatnya daripada pertempuran dengan Wie Hui yang ia telah
alami dipegunungan jie-sian-san.

Tetapi Poan Thian yang sudah ulung dan “matang" dalam pertempuran, selalu bisa berlaku
hati-hati dan tidak pernah memandang ringan pada fihak musuhnya yang mana juga. Dan
itulah ada salah suatu sifat yang harus dipuji dan diindahkan benar oleh Kak Seng Siangjin
yang menjadi gurunya.

Kira-kira pada waktu lohor, Poan Thian lalu turun dari pembaringan, mengenakan pakaian
dan memanggil pelayan akan minta disediakan makanan.

“Malam ini jikalau aku tidak kembali," ia memesan pada pelayan setelah selesai dahar, “kau
boleh tidak usah mencari atau merasa kuatir apa-apa, karena ada kemungkinan aku
bermalam di-rumah Tja Chungcu. Jikalau seandainya ada tamu yang menanyakan aku,
katakanlah bahwa aku keluar mencari seorang sahabat, tetapi jangan dikatakan bahwa aku
pergi berkunjung ke-rumah Tja chungcu. Jangan salah."

“Baik, tuan," sahut pelayan itu, yang ternyata tidak curiga apa-apa dengan sikap dan
omongan pemuda she Lie itu.

Dan tatkala matahari hampir selam kebarat, Poan Thian lalu berpakaian untuk berjalan
diwaktu malam, melibatkan jwanpian dipinggangnya dan mengisi kantongnya dengan
selosin Hui-piauw.

Setelah selesai berpakaian, barulah ia mengenakan baju panjang dan menyoren pedang

211
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

hadiah dari In Cong Siansu, ketua dari kelenteng Po-to-sie dipegunungan Po-to-san.

Kedatangannya Poan Thian ke Ca-kee-chung, kembali telah disambut oleh pengawal yang
kemarin telah menanyakan she, nama dan gelarannya.

“Selamat sore, Lie Toako !" kata pengawal itu dengan sikap ramah-tamah.

“Selamat sore, saudara !" membalas Lie Poan Thian. “Aku harap sore ini Tja Chungcu telah
kembali dari bepergiannya."

“Ya, benar," sahut pengawal itu. “Malah tempo aku memberitahukan tentang kedatanganmu
kemarin, ia lantas mau mengunjungi tempat penginapanmu. Menyesal pada hari kemarin
aku telah lupa menanyakan tempat penginapanmu itu, hingga tak dapat aku mengantarkan
Chungcu-ya buat pergi menjumpai tuan disana."

“Aku sungguh tidak enak buat menyusahkan ia orang tua pergi sendiri ke tempat
penginapanku," kata Lie Poan Thian sambil tertawa.

Kemudian si pengawal lalu mengajaknya akan menjumpai Tja Tiauw Cin, yang ternyata juga
telah bersedia buat menyambut kedatangan pemuda kita.

“Selamat datang, Lie Toako !" kata Tja Tiauw Cin ketika melihat Poan Thian berjalan
mendatangi dengan diiringi oleh salah seorang pengawal kepercayaannya.

“Banyak terima kasih atas penyambutanmu yang ramah-tamah ini, Tja Losuhu." kata Lie
Poan Thian sambil balas memberi hormat pada tuan rumah.

Tatkala tamu dan tuan rumah telah mengambil tempat duduk dan diberi suguhan air teh
dan kue kering, Tja Tiauw Cin lalu menyatakan kekagumannya tentang kepandaian Lie Poan
Thian yang telah sekian lamanya ia dengar disohorkan orang dikalangan Kang-ouw. Maka
kalau duluan ia hanya mendengar dengan berdasarkan cerita orang, adalah sekarang ia
sesungguhnya mempunyai keberuntungan akan bertemu dengan orangnya sendiri.

“Dan jikalau dugaanku ini tidak keliru," kata Tja Tiauw Cin. “kedatangan Toako ini tentulah
ada sangkut-pautnya dengan satu dan lain urusan penting yang perlu diselesaikan selekas
mungkin. Oleh karena itu, sudilah kiranya Toako menyampaikan maksudmu itu kepadaku
dengan secara terbuka ?"

“Ya," sahut pemuda kita. “Seperti juga apa yang telah kau katakan tadi, kedatanganku ini
memanglah ada mengandung maksud apa-apa yang bukan saja meminta penyelesaian
selekas mungkin, tetapi berbareng juga akan meminta kebijaksanaan Lo-suhu untuk bantu
menimbang suatu perkara, yang jikalau dipikir dengan secara adil, agak menyimpang
daripada undang-undang persaudaraan yang kita semua harus junjung tinggi dikalangan
Kang-ouw.

Soal ini sebenarnya ada soal remeh, jikalau itu boleh dianggap begitu, tetapi sebaliknya
akan berakibat besar apabila kedua fihak tidak insyaf dan tidak suka saling mengalah buat
suatu hal yang sekecil ini."

“Aku hargakan tinggi sekali atas omongan Toako itu," kata Tja Tiauw Cin. “tetapi dalam soal
apakah yang kau katakan bisa berakibat besar apabila kita tidak insyaf dan tidak saling
mengalah itu?"

“Hal ini walaupun tidak merupakan soal yang berhubungan langsung kepada diriku sendiri."
kata Lie Poan Thian, “tetapi boleh dikatakan agak menyinggung perasaan dan
kehormatanku yang mempunyai sangkut-paut dekat sekali terhadap orang yang mengalami
212
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

peristiwa tidak enak itu. Oleh sebab itu, rasanya tidak terlalu keliru apabila aku turut campur
tangan untuk memperoleh pemberesan yang seadil2nya dengan jalan meminta bantuanmu
yang berharga itu."

Ketika Tja Tiauw Cin mendengar begitu, sudah tentu ia jadi heran dan berbalik
menanyakan: “Toako, maafkanlah kepadaku yang bodoh ini, aku sungguh tidak bisa
mengarti apa maksud omonganmu itu. Oleh sebab itu sudilah apa kiranya Toako berbicara
dengan kata-kata yang lebih sederhana dan jelas, sehingga dengan begitu, dapat juga aku
membantu apa-apa untuk membereskan persoalan ini."

Pemuda kita jadi tertawa menyindir sambil berkata : “Tja Lo-suhu, aku percaya kau juga
tentu belum lupa dengan halnya piauwsu Cin Kong Houw yang bendera lambangnya —
maaf, Tja Lo-suhu — kau telah curi dengan maksud untuk “merobohkan mereknya”
dikalangan usaha pengangkutan. Kemudian kau telah melukakan juga padanya dengan
secara bergelap.

Perbuatan itu sebenarnya tidak bisa dimaafkan. Tetapi lantaran mengingat kepada
persaudaraan dikalangan Kang-ouw, maka aku telah bujuk padanya buat bikin habis saja
persoalan ini dengan jalan kau meminta maaf atas kekhilafanmu dan kembalikan juga
kepadanya bendera lambangnya yang telah kau curi itu. Maka selain urusan bisa jadi beres
dengan secara damai, bagi kedua pihakpun tidak sampai mengalami peristiwa-peristiwa lain
yang tidak enak. Tetapi belum tahu bagaimana pendapat Tja Lo-suhu?"

Wajahnya Tja Tiauw Cin dengan mendadak jadi berubah merah tempo mendengar omongan
itu.

Ia sebenarnya tidak menduga, jikalau kunjungan Lie Poan Thian ini adalah hubungannya
dengan urusan Cin Kong Houw, dan jikalau ia ketahui hal ini dari dimuka, sudah pasti tak
mau ia bertemu dengan pemuda kita ini. Tetapi karena urusan itu telah ketelanjuran
dibicarakan, maka dengan sikap yang menandakan kurang senang ia lantas berkata : “Tuan
Lie, urusan ini sebenarnya tidak ada sangkut-pautnya meski dengan siapapun juga. Oleh
karena itu aku sangat harap supaya kau jangan campur tangan dalam urusanku ini. Aku
tidak melarang atau merasa iri hati terhadap setiap orang yang pandai berusaha dengan
secara jujur atau curang, asalkan itu jangan menyinggung atau membusukkan nama orang
lain seperti apa yang pernah diperbuat oleh Cin Kong Houw itu.

Aku juga ada dapat dengar tentang namanya yang terkenal dikalangan Kang-ouw sebagai
seorang piauwsu yang jujur dan boleh dipercaya. Tetapi janganlah menganggap bahwa diri
sendiri paling jempolan dikolong langit, sehingga berani membuka mulut besar dan
mengaku sanggup untuk bertanding dengan ahli-ahli silat yang mana juga diseluruh jagat
Tiongkok.

Tidak tahunya ketika aku saksikan sendiri ilmu kepandaiannya, bukan saja masih terlalu
jauh dari sempurna, bahkan orang-orangku sendiri barangkali masih banyak yang mampu
tandingi padanya."

Oleh karena mendengar omongan Tja Tiauw Cin yang begitu menusuk hati, keruan saja
Poan Thian jadi mendongkol dan lalu menyindir sambil berkata : “Ya, ya, akupun bukan
tidak percaya tentang ilmu kepandaianmu yang kau katakan jempolan dan paling sempurna
itu, tetapi aku belum mau percaya itu seratus presen, pada sebelum menyaksikan dengan
mata kepalaku sendiri.

Aku suka mengindahkan setiap orang gagah yang jujur dan suka melakukan segala
perbuatan dengan secara berterang, tetapi aku tidak senang dan tidak bisa menghargakan

213
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

terhadap perbuatanmu yang telah kau unjukkan di hadapan Cin Piauwsu itu !"

Tja Tiauw Cin jadi sengit dan segera berbangkit dari tempat duduknya dengan wajah
kemerah2an bagaikan kepiting direbus.

“Tuan Lie !" katanya dengan suara keras, “sekarang aku ingin tahu, ada apakah
hubungannya antara kau dan Cin Kong Houw itu, sehingga kau mesti ikutkan kurang senang
dalam suatu hal yang sudah terang tidak ada sangkut-pautnya seperti pengakuanmu sendiri
tadi ?”

Poan Thian jadi tertawa menyindir sambil menjawab : “Tja Lo-suhu, kau harus ketahui
bahwa Cin Kong Houw itu adalah “guruku" sendiri ! Apabila sang guru mengalami hinaan
dari orang lain, apakah orang yang jadi muridnya boleh tinggal peluk tangan saja melihat
dari kejauhan dengan hati dingin ? Beruntung juga peristiwa itu telah terjadi selagi aku tidak
ada di Kim-leng. Jikalau pada waktu itu aku tidak keluar bepergian kemana-mana, aku tidak
tahu apa jadinya sekarang ini."

Sementara Tja Tiauw Cin yang mendapat keterangan begitu dari Lie Poan Thian, bukan saja
tidak menjadi jerih atau takut, malah sebaliknya lalu menjawab selaku mengejek, katanya :
“Ah, menurut pendapatku yang cupat, sebenarnya tuan tidak perlu terlalu besar hati dalam
hal menghadapi soal ini, yang sesungguhnya bukan mudah untuk dibereskan dengan
omongan saja. Aku bukan memandang rendah kepada dirimu. Apabila ilmu kepandaian
seorang guru hanya baru sekian saja, cara bagaimana ilmu kepandaian muridnya bisa
diharap lain daripada begitu2 juga ? Sekarang aku telah ketahui jelas apa maksud
kunjunganmu ini. Jikalau kau belum datang kesini, boleh jadi ini masih bisa dimaafkan,
tetapi setelah kau berada disini, apakah masih juga kau tetap akan mempertahankan
niatanmu itu ?”

“Ya, benar," sahut Poan Thian dengan pendek.

“Apakah kau tidak menyesal, apabila nanti kau kembali dengan membawa luka-luka yang
lebih hebat daripada gurumu itu ?" menyindir Tja Tiauw Cin sambil tertawa.

“Malah lebih dari itu," kata Lie Poan Thian pula, “aku akan rela mengangkat kau menjadi
guru, apabila ilmu kepandaianmu ternyata lebih tinggi daripada apa yang diketahui oleh
guruku Cin Kong Houw."

“Kalau begitu," kata Tja Tiauw Cin, “marilah kau ikut padaku ke sebidang lapangan tempat
aku berlatih."

Poan Thian menurut.

Tatkala mereka sampai disebidang lapangan dimana benar saja tampak beberapa orang
yang sedang berlatih, dengan rupa bangga Tiauw Cin lalu menunjuk pada orang-orang itu
sambil berkata : “Tu, itulah ada murid-muridku yang sedang berlatih dengan secara giat
sekali."

“Sungguh mengagumkan!" kata Lie Poan Thian sambil tersenyum. “Aku harap saja yang
mereka itu akan merupakan benih2 yang subur dan jujur diantara kalangan orang-orang
gagah dikemudian hari. Dan moga2 mereka ini sebagai benih2 baik yang ditanam dalam
sebidang tanah yang kurang baik — akan keluar dengan membawa sifatnya yang baik,
tetapi tidak menuruti sifat tanahnya yang buruk itu !"

Tja Tiauw Cin yang selalu dipukul sindir, sudah tentu saja jadi amat marah, dan jikalau ia
ada seekor harimau, niscaya ia sudah terkam pemuda ini buat ditelan bulat2 !

214
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Begitulah setelah Tiauw Cin memerintahkan supaya murid-murid-nya itu menyingkir kesatu
pinggiran, lalu ia mempersilahkan Poan Thian akan menanggalkan baju luarnya.

“Tetapi belum tahu apa kita akan bertempur satu lawan satu atau seorang melawan musuh-
musuh yang berjumlah banyak," kata Lie Poan Thian sambil menunjuk pada murid-muridnya
cabang atas she Tja itu yang berkumpul disitu.

“Sudah tentu saja kita akan bertempur satu lawan satu." kata Tja Tiauw Cin dengan rupa
penasaran.

“Kalau begitu," kata pemuda kita, “kau boleh terangkan dahulu niatanmu pada sekalian
murid-muridmu, supaya jikalau nanti kau kena kurobohkan, mereka jangan turut campur
tangan dalam pertempuran ini. Dan jikalau kau sudah beritahukan mereka begitu, aku jadi
tahu bagaimana harus kubuat selanjutnya, kalau nanti mereka mengeroyok padaku.

Aku sekarang ada membekal senjata lengkap dibadanku, tetapi aku tidak akan gunakan itu
apabila mereka suka mengindahkan perintahmu dan tidak campur tangan dalam urusan kita
ini."

“Ya, baiklah," kata Tja Tiauw Cin yang lantas utarakan niatannya di hadapan para muridnya
yang berkumpul disitu.

“Apabila kamu sekalian tidak mendengar perintahku," kata cabang atas itu pada akhirnya,
“kamu harus terima sendiri risiko2 yang akan diakibatkan dari perbuatanmu masing-masing,
buat mana aku yang menjadi guru tidak bertanggung jawab sama sekali dalam urusan ini.
Kamu mengarti ?”

Hati para murid itu mendadak jadi berdebar2, ketika mendengar bahwa sang guru akan
mengadu ilmu silat dengan tetamu yang baru pada kali itu mereka lihat romannya.

“Wah ! Jikalau dua ekor harimau berkelahi," kata salah seorang murid-murid itu, “niscaya
kedua-duanya akan mengalami kerusakan badan disamping seekor yang mungkin juga akan
menemui kematian !"

“Itulah kita nanti lihat bagaimana kesudahannya nanti," jawab yang lainnya.

Dalam pada itu, Poan Thian pun telah menanggalkan baju luarnya dan kumpulkan itu
disuatu tempat dengan pedang dan jwanpiannya. Sementara Tja Tiauw Cin sendiri yang
menjadi tuan rumah, iapun lalu menuruti juga teladan tetamunya dan menanggalkan baju
luarnya, akan kemudian menindak ketengah lapangan sambil melambai-lambaikan
tangannya kearah pemuda she Lie itu.

“Tuan Lie !" katanya dengan suara menantang, “marilah kita boleh lantas mulai !"

Poan Thian menurut sambil menjawab : “Aku persilahkan buat Lo-suhu membuka serangan
terlebih dahulu."

“Itu tidak aturan," kata Tja Tiauw Cin. “Kau sekarang ada menjadi tetamuku. Oleh sebab itu
aku persilahkan kau buat menyerang terlebih dahulu."

Begitulah dengan ditonton oleh para murid cabang atas she Tja itu, Poan Thian lalu
membungkukkan badannya memberi hormat pada Tja Tiauw Cin sambil berkata : “Lo-suhu,
aku segera akan mulai !"

“Persilahkanlah !" sahut Tiauw Cin dengan mata tidak berkesip.

215
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Dan tatkala Poan Thian maju menerjang, Tja Tiauw Cin lalu mengegos buat menyingkirkan
diri dengan tidak balas menyerang apa-apa terhadap pada diri pemuda kita.

Tetapi setelah mengegos dan berkelit sehingga tiga kali, barulah ia balas menerjang sambil
berseru : “Lie Poan Thian, sekarang adalah giliranku yang akan menyerang kepadamu.
Berhati-hatilah ! Aku akan membuka serangan dengan menggunakan siasat Hek-liong-tam-
jiauw !"

“Ya, kau boleh keluarkan segala macam siasat silat yang kau rasa cukup berbahaya," kata
Lie Poan Thian, “aku tak akan mundur pada sebelum mampu memenuhkan janjiku kepada
Cin Kong Houw Lo-suhu !"

“Terimalah ini!" Sambil menggaet kaki pemuda kita, Tiauw Cin lalu membarengi
mencengkeram kearah muka orang. Tetapi Poan Thian yang menganggap bahwa cara
menggaet kaki itu hanyalah merupakan siasat belaka untuk membikin terkesiap hatinya,
buru-buru ia angkat sebelah kakinya keatas, seolah-olah orang yang mempertunjukkan
siasat Kim-ke-tok-lip. Dengan tangan kirinya ia menangkis tangannya Tja Tiauw Cin yang
datang mencengkeram itu, sedangkan kakinya yang diangkat keatas lantas ditendangkan
kejurusan dada musuhnya.

Tja Tiauw Cin lekas mengegos dengan jalan miringkan badannya, kemudian ia berdongko
sedikit sambil menjotos pada Lie Poan Thian dengan menggunakan siasat Pa-ong-song-
khek. Tetapi Poan Thian yang bermata jeli, sudah tentu saja tidak mau kasih dirinya
“dimakan mentah-mentah". Buru-buru ia berkelit, hingga jotosan pihak lawannya mengenai
tempat kosong, tetapi sebegitu lekas ia terlolos dari serangan itu, kembali Tia Tiauw Cin
telah maju menerjang dengan menggunakan seruntunan ilmu pukulan yang telah membikin
Poan Thian agak sibuk dan mengakui tentang kepandaian ilmu silat lawannya yang amat
lihay itu.

Banyak ahli-ahli silat ia telah jajal tenaganya, tetapi ilmu kepandaian Tja Tiauw Cin ini
ternyata masih jauh lebih tinggi daripada mereka semua. Maka kalau ilmu silat orang she
Tja ini hendak diperbandingkan dengan musuh-musuh lain yang pernah dijumpainya, ia
harus akui bahwa itulah tidak ada dibawah daripada Sin-kun Louw Cu Leng, ahli silat satu-
satunya yang ia anggap paling jempol dalam hal berkelahi dengan tangan kosong.

Dan jikalau semulanya ia menganggap ilmu kepandaian Tja Tiauw Cin hanya terbatas pada
ilmu Hek-see-ciang saja yang ia memang paham, nyatalah ia telah keliru jauh sekali. Karena
sebagaimana apa yang ia bisa saksikan sekarang, ia mendapat kenyataan bahwa ia masih
kalah jauh apabila hendak dibandingkan ilmu pukulannya dengan sang lawan ini.

Maka buat merubah supaya pertempuran itu jadi berimbang, Lie Poan Thian segera
merubah siasat penyerangannya dengan lebih banyak menggunakan ilmu tendangan yang
ia memang sangat mahir, daripada ilmu pukulan dengan tinju yang memang ternyata ia
lebih lemah.

Begitulah tatkala pertempuran telah berlangsung kira-kira 30 jurus lamanya, Tiauw Cin
kelihatan mulai terdesak. Lie Poan Thian merangsak dengan tendangan-tendangannya yang
terkenal lihay dan bikin namanya tersohor dikalangan Kang-ouw sehingga memperoleh
gelaran Sin-tui Lie atau Lie Si-Kaki Sakti itu.

Pada suatu saat karena ia menendang dengan agak terburu napsu, Poan Thian telah
terpeleset dan jatuh mengusruk ke muka bumi.

“Celaka!" teriak murid-muridnya Tja Tiauw Cin dengan tidak terasa pula.

216
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Semua orang menyangka bahwa disinilah pertempuran itu akan berakhir, dengan Lie Poan
Thian yang akan keluar sebagai pecundang. Karena dalam jatuhnya itu, tangannya Poan
Thian mendadak tidak dapat digerakkan, hal mana pun dapat dilihat oleh semua orang.

Tetapi Poan Thian yang memang bisa berpikir cepat diwaktu kesusu, dengan menahan sakit
lalu berlompat bangun dengan menggunakan siasat Lee-hie-ta-teng, sambil melakukan
tendangan kilat kearah lawannya, hingga Tja Tiauw Cin yang hendak menumbuk batok
kepala musuhnya dengan menggunakan ilmu Hek-see-ciang, keruan saja jadi terkesiap dan
lekas hendak mengegos dari tendangan Lie Poan Thian yang menyamber kearah kakinya
dengan gerakan secepat kilat. Kesudahannya, biarpun ia terluput dari tendangan yang
pertama, tetapi ia tak berdaya untuk menjaga tendangan musuhnya yang datang menyusul
belakangan. Maka berbareng dengan tibanya kaki Lie Poan Thian yang telah menyepak
dengan tepat pada tulang lututnya Tja Tiauw Cin, Chungcu dari Ca-kee-chung itu segera
memperdengarkan satu jeritan yang ngeri dan terlempar jatuh kesuatu tempat yang
terpisah belasan kaki jauhnya. Dan disitu, karena Tja Tiauw Cin tinggal rebah dengan rupa
yang menandakan kesakitan, maka Poan Thian pun lalu menghampirinya sambil berkata :
“Tja Lo-suhu, ayolah kau lekas bangun buat melanjutkan pertempuran ini !”

Tetapi sambil meringis Tja Tiauw Cin lalu berkata: “Lie Poan Thian Toako, sekarang aku
harus akui bahwa gelaran Sin-tui itu memang tepat sekali akan dipunyai olehmu ............"

“Oleh karena itu," kata Lie Poan Thian, “apakah itu berarti bahwa pertempuran ini hendak
dilanjutkan atau dihentikan sampai disini saja ?”

“Aku minta supaya pertempuran ini segera dihentikan saja," kata Tja Tiauw Cin. “Sekarang
aku suka mengaku dengan sejujur-jujurnya. Aku menyerah kalah kepadamu! Ayolah kau
tolong banguni aku."

“Apakah kau bukannya hendak memperdayakan dan menumbuk kepalaku dengan ilmu Hek-
see-ciang, seperti apa yang pernah kau berbuat terhadap guruku ?” kata Lie Poan Thian
dengan rupa masih ragu-ragu.

“Oh, tidak, tidak," kata Tja Tiauw Cin. “Aku bersumpah, Thian boleh kutuk padaku, apabila
aku memperdayakan dan berbuat curang terhadap pada dirimu."

Oleh karena itu, maka apa boleh buat Poan Thian pun lalu menghampirinya, meski didalam
hati belum mau percaya ia akan kejujuran pihak musuhnya itu. Pada waktu hendak
membanguninya, Poan Thian mendengar Tiauw Cin berbisik ditelinganya: “Tendanganmu
telah membikin kakiku patah," katanya dengan lemah dan terus jatuh pingsan.

Poan Thian meski jengkel bukan main akan kecongkakan perbuatan si tuan rumah tadi,
tetapi dalam keadaan begitu ia jadi kasihan dan lalu panggil murid-muridnya Tiauw Cin,
untuk menggotong guru mereka itu kedalam rumah, sedangkan ia sendiri lalu membalut
kaki Tiauw Cin yang patah kena tendangannya itu.

Maka setelah Tiauw Cin tersadar dari pingsannya dan dapatkan kakinya sudah dibalut oleh
pemuda kita, ia jadi sangat berterima kasih dan berkata : “Lie Toako, sekarang aku baru
ketahui bahwa selain ilmu kepandaianmu sangat tinggi, kau juga ada seorang gagah yang
bijaksana. Maka kalau nanti kau kembali ke kota Kimleng dan berjumpa dengan Cin Kong
Houw Piauwsu, sudilah apa kiranya kau sampaikan pernyataan menyesal dan maafku, yang
pada beberapa waktu yang lalu telah memperlakukannya dengan secara tidak jujur."

Dan bersamaan dengan ini, Tiauw Cin pun lalu perintah salah seorang muridnya buat
mengambil bendera lambang Cin Kong Houw yang telah dicurinya itu, yang lalu diterimakan
pada Lie Poan Thian sambil berkata : “Toako, haraplah kau tolong kembalikan bendera
217
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

lambang ini pada Cin Piauwsu, buat mana aku sekarang merasa sangat menyesal telah
menuruti saja hasutan orang, sehingga hari ini aku telah mendapat celaka oleh karena
perbuatanku sendiri. Sedang terhadap pada dirimu juga, aku harus menyatakan rasa
menyesal dan maafku yang sebesar-besarnya, dan berbareng dengan itu, akupun harus
mengucapkan juga terima kasih banyak2 atas kesudian Toako akan menolong pada seorang
lawan."

Maka Poan Thian yang mendengar omongan itu, didalam hatinya jadi sangat menyesal,
yang ia barusan telah mempergunakan ilmu Lian-hwan-sauw-tong-tui, berhubung ia sudah
lupa dan hanya ingat akan merobohkan pihak musuh, daripada dirinya sendiri yang
dirobohkan oleh pihak lawannya.

Tetapi beras sudah menjadi nasi, hingga biar bagaimana ia sesalkan juga, urusan yang telah
terjadi pasti tak dapat ditarik pulang kembali.

Begitulah setelah meminta diri pada tuan rumah yang sekarang seakan-akan telah menjadi
cacad, Poan Thian lalu kembali ke tempat penginapannya diwaktu hari telah larut malam,
kemudian ia pergi masuk tidur, sesudah membaluri tangannya yang salah urat tadi dengan
yosan untuk kepukul yang terlebih dahulu dihancurkan dengan arak obat yang ia memang
ada bawa didalam pauw-hoknya.

Ketika dihari esoknya ia bangun tidur kira-kira jam 10, Poan Thian telah diberitahukan oleh
pelayan rumah penginapan tersebut bahwa pada barusan pagi-pagi sekali ada seorang
tetamu yang datang mencari padanya. Tetapi tatkala diberitahukan bahwa Poan Thian
masih tidur, ia lantas berangkat pergi sambil mengatakan bahwa ia akan balik kembali
sebentar diwaktu lohor.

“Cobalah kau terangkan bentuk tubuh orang itu," kata pemuda kita pada si pelayan.

Orang yang ditanyakan lalu menerangkan menurut apa yang ia ketahui, dengan
menambahkan bahwa orang itu bermisai dan menggendong pedang yang memakai
serangka diukir bagus sekali diatas bebokongnya.

Mendengar keterangan dan lukisan perawakan tubuh orang yang dikatakan hendak balik
kembali sebentar lohor itu, Poan Thian jadi terkejut dan berkata didalam hati: “Oh, itulah
ternyata si Hok Cit yang menyamar ! Dan jikalau dugaanku tidak keliru, maksud
kedatangannya tentulah akan mencari setori pula denganku disini."

Maka buat menunjukkan bahwa ia tidak takut menghadapi segala kemungkinan karena
akibat daripada perbuatannya sendiri, Poan Thian sengaja tidak bepergian kemana-mana
buat menantikan kedatangannya musuh itu.

Mula-mula ia minta disediakan makanan pada pelayan tadi, dan setelah selesai dahar, ia
lantas duduk membaca sehingga beberapa jam lamanya.

Kira-kira hari hampir lohor, pelayan tadi telah kembali ke kamarnya dan memberitahukan
bahwa tetamu yang ditunggu-tunggu itu telah datang dan sekarang sedang menunggu
diluar dengan sikap yang sabar sekali.

“Heran, heran," pikir pemuda kita didalam hatinya. “Adakah Hok Cit begitu sabar
sebagaimana penuturannya si pelayan ini ?"

“Katakanlah padanya bahwa aku akan segera keluar menjumpakan padanya," kata Lie Poan
Thian sambil menjemput beberapa hui-piauw yang lalu dimasukkan kedalam saku bajunya.

218
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Si pelayan mengatakan: “Baik," dan segera berlalu, akan mengasih kabar pada tetamu yang
sedang menunggu itu.

Tatkala Poan Thian keluar menjumpai tetamu itu, ia hampir tidak percaya penglihatannya,
hingga ia berseru dengan girang: “Hoa Suheng!"

Orang itu tampak tersenyum kegirangan.

“Lie Sutee!" katanya. Kedua orang itu lalu saling merangkul satu pada lain.

Poan Thian hampir kepingin menangis saking kegirangan, karena orang yang disangka Hok
Cit itu, ternyata bukan lain daripada suhengnya sendiri Hoa In Liong. Tetapi ia tidak
mengarti bagaimana suheng itu telah berlaku begitu seeji, juga ia agak kurang mengarti
bagaimana In Liong telah mengetahui bahwa ia menumpang di rumah penginapan itu.

“Hal ini sebenarnya terlalu panjang buat bisa dituturkan selesai dengan satu-dua perkataan
saja," kata Hoa In Liong sambil tertawa.

“Kalau begitu," kata Lie Poan Thian, “marilah kita duduk mengobrol dikamarku." In Liong
menurut.

Sesampainya didalam kamar, mereka lalu mengambil tempat duduk dengan berhadap2an,
setelah terlebih dahulu In Liong gantungkan pedangnya pada paku yang ditancapkan
didinding tembok.

“Aku sungguh ingin mengetahui, bagaimana suheng ketahui yang aku ada menumpang
disini," kata pemuda kita. “Dan selain dari itu, bagaimanakah dengan guru dan saudara-
saudara kita di Liong-tam-sie ?"

“Mereka semua baik-baik saja dan mengharapkan akan kau sewaktu2 berkunjung kesana,"
sahut Hoa In Liong. “Sementara sebab-musabab mengapa aku ketahui kau berada disini,
sudah tentu saja kau juga tidak mengerti, pada sebelum aku menerangkan satu-persatu
duduknya perkara yang benar."

“Ya, ya, cobalah suheng tolong terangkan kepadaku," meminta pemuda kita.

In Liong lalu tuturkan pengalamannya, hingga Poan Thian yang mendengar penuturan itu,
saban-saban mengucapkan: “Beruntung kau keburu datang! Ah, sungguh jahat sekali orang
itu!"

Demikianlah jelasnya penuturan Hoa In Liong itu :

Sebagaimana para pembaca juga tentu masih ingat, orang tua she Bie itu yang telah diloloh
oleh Lauw Thay sehingga sinting dan membuka rahasia sendiri, akhirnya telah mendusin
juga yang ia telah dipedayakan orang, hingga setelah ia bertempur dengan Lie Poan Thian
dan melarikan diri pada sesudahnya merobohkan Lauw Thay, hatinya jadi begitu penasaran,
sehingga pada malam itu juga ia telah balik kembali ketempat penginapan Lie Poan Thian,
buat membalas dendam dan membunuh mereka berdua selagi tidur nyenyak.

Tidak tahunya setelah kembali kesana, ternyata Poan Thian telah keluar dan didalam kamar
itu hanya tampak Lauw Thay saja yang disangkanya masih belum tidur. Oleh sebab itu,
maka ia lantas pasang sebatang Hun-hio buat membikin hilang ingatannya piauwsu dari
Siang-hap Pio-kiok itu. Dan tatkala kemudian ia yakin bahwa pengaruh Hun-hionya telah
“memakan" dengan betul, barulah ia korek daun pintu jendela yang ternyata tidak terkunci,
berhubung tadi Poan Thian telah keluar dari situ buat coba satroni Mo Djie yang akan
diminta keterangannya, mengenai peristiwa yang bersangkut-paut dengan namanya Sin-tui
219
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Bie yang dengan berulang-ulang telah kita ceriterakan dibagian atas.

Orang tua she Bie itu yang melihat daun jendela itu tidak terkunci, sudah tentu dengan
mudah saja bisa masuk kedalam kamar, dimana mula-mula ia berniat akan membunuh
Lauw Thay. Tetapi berhubung ia melihat ada bayangan manusia yang berkelebat di-depan
jendela, buru-buru ia urungkan niatannya dan lalu gendong Lauw Thay yang telah dibikin
tidak berdaya oleh pengaruh Hun-hio, akan dibawah ketempat lain untuk ditanyakan
keterangan-keterangannya mengenai perbuatannya yang dianggap sangat curang itu,
kemudian barulah piauwsu itu dibunuh, jikalau ini dirasa perlu.

Tidak tahunya ketika ia melayang keluar dari dalam kamar itu dengan menggendong Lauw
Thay, ia baru ketahui bahwa bayangan yang terlihat berkelebat tadi bukan lain daripada Hok
Cit, yang dengan secara kebetulan telah sampai juga kesitu, tatkala diwaktu siangnya ia
(Hok Cit) ketahui bahwa Poan Thian menumpang di rumah penginapan tersebut.

Orang tua she Bie dan Hok Cit ini ternyata mempunyai perhubungan sebagai guru dan
murid.

Maka setelah orang tua itu mengasih perintah Hok Cit buat pergi membunuh Lie Poan Thian,
buru-buru ia berlalu sambil berkata : “Aku tunggu padamu di kelenteng Hok-tek-bio !"

Bio itu rupanya sudah cukup terkenal sebagai tempat pertemuan mereka, karena Hok Cit
sudah lantas menjawab : “Ya, ya, guruku boleh berangkat duluan. Dan jikalau urusan ini
sudah selesai, aku nanti menyusul kesana selekas mungkin."

Begitulah kejadian Hok Cit bertempur dengan Lie Poan Thian, sekembalinya pemuda kita
pergi mengompes pada Mo Djie dan menampak Lauw Thay telah menghilang entah kemana
perginya. Tetapi dalam pertempuran itu, Hok Cit terpaksa melarikan diri, sambil sesumbar
akan bertemu pula dengan Lie Poan Thian pada nanti 3 tahun kemudian.

Pada hari esoknya, ketika Poan Thian kembali ke kedai dimana Mo Djie bekerja, pemuda
kita diberitahukan pula oleh pelayan itu bahwa pada malam kemarin ada seorang yang
mencari padanya, dengan lukisan bentuk tubuh orang itu membuat Poan Thian menyangka,
kalau-kalau orang itu adalah Hok Cit yang menyamar dengan memakai misai. Sudah barang
tentu, karena keterangan ini hati si pemuda jadi semakin kuatir bagi keselamatan dirinya
Lauw Thay, tidak tahunya orang yang disangka Hok Cit itu, bukan lain daripada Hoa In
Liong, yang ketika itu sedang mencari Poan Thian buat menanyakan lebih jauh tentang
tanggal dan bulan pernikahannya pemuda kita dengan nona Giok Tien, yang ia telah ketahui
dari keterangan yang didapatnya dari Lauw Thay.

Tetapi In Liong dan Lauw Thay ini yang belum pernah saling mengenal satu sama lain, cara
bagaimanakah yang satu bisa memberi kabar kepada yang lain tentang keadaan diri
pemuda kita ?

Hal ini memang agak membingungkan, apabila kita tidak mundur sedikit jalannya cerita,
pada sebelum peristiwa-peristiwa lain yang telah lampau dijelaskan dahulu kepada pembaca
kita.

Lauw Thay yang ternyata masih panjang umurnya, ketika belum sampai dicelakai oleh orang
tua she Bie itu, di tengah jalan telah dijumpai oleh In Liong. Karena rasa curiga melihat
Lauw Thay yang digendong itu lalu dengan diam-diam ia menguntit belakangan.

Orang tua she Bie itu yang kemudian telah mengetahui juga bahwa dirinya tengah dikuntit
orang, lalu percepat tindakannya dan membiluk kejalan-jalanan kecil yang sunyi dan jarang
dilewati orang.

220
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Sementara In Liong yang jadi semakin heran dengan gerak-gerik orang tua itu, sudah
barang tentu jadi semakin curiga dan lalu menguntit terus dengan tindakan yang sama
cepatnya. Dan tatkala mereka berada disuatu tempat yang jauh kesana-sini, barulah In
Liong memanggil-manggil pada orang tua itu, yang telah dimintanya akan berhenti
sebentaran.

Tetapi orang tua she Bie itu yang melihat gelagat tidak baik, bukan saja tidak mau
meladeni, malah menengokpun tidak, hingga panggilan itu seolah-olah tidak dihiraukannya
sama sekali.

Hoa In Liong yang jadi semakin curiga dan tak mau membiarkan orang tua itu berlaku
begitu saja, iapun membuntuti terus dengan menggunakan ilmu berjalan cepat yang jarang
dapat dipahamkan oleh sembarang orang. Dan ketika telah mendekati kira beberapa puluh
tindak jauhnya, kembali In Liong memanggil : “Saudara, berhenti dulu ! Aku ada sedikit
omongan yang hendak disampaikan kepadamu !"

Tetapi sebagai jawaban dari pada panggilan tersebut, tiga buah barang yang berkilau-kilau
telah menyamber padanya dengan berturut-turut, hingga In Liong yang mengetahui bahwa
itulah ada Hui-piauw2 yang orang telah sambitkan kejurusannya, buru-buru ia berkelit
dengan jalan berlompat kesamping, dari mana dengan mengeluarkan suara bentakan yang
menandakan rasa mendongkolnya, ia lantas mencabut pedang sambil menyomel : “Kurang
ajar ! Kau ini ternyata ada satu manusia tidak bisa diajak berurusan dengan secara baik !
Jangan lari !"

Sementara orang tua she Bie itu yang melihat tidak ada jalan lain daripada meladeni
bertempur orang yang membuntutinya itu, lalu melemparkan Lauw Thay kesisi jalan,
kemudian mencabut juga goloknya yang digendong diatas bebokongnya.

“Kau ini siapa ?” ia membentak sambil putarkan badannya ke-belakang akan menghadapi
Hoa In Liong yang mengejar kepadanya.

In Liong lalu menerangkan siapa dirinya, tetapi nama itu agak asing dalam pendengaran
orang tua itu dikalangan Kang-ouw hitam.

Oleh sebab itu, ia pikir In Liong tentu mudah digertak oleh segala gelaran kosong, dari itu
sambil membusungkan dada ia lantas mengeluarkan suara jengekan dari lobang hidung :
“Hm !" katanya. “Tidak kunyana segala bu-beng siauw-cut hendak campur tangan dalam
urusanku ini ?"

“Terangkanlah siapa dirimu, dan siapa itu orang yang kau gendong tadi !" tanya Hoa In
Liong dengan suara keren.

“Diwaktu duduk tidak menukar she, dan diwaktu berjalan tidak mengganti nama," kata
orang tua itu, “Aku inilah Sin-tui Bie dari Kanglam !"

Hoa In Liong jadi tertawa tempo mendengar gertakan sambel itu.

“Kau jangan mengacau !" katanya. “Sin-tui Bie sudah lama mencuci tangan dan tidak
campur lagi dengan segala urusan tetek bengek dikalangan Kang-ouw, cara bagaimanakah
sekarang bisa muncul lagi satu Sin-tui Bie ?”

“Kau dan aku belum pernah saling mengenal atau terbit permusuhan apa-apa," kata orang
tua she Bie itu, “tetapi apakah sebabnya kau hendak mencampuri urusanku ?”

“Aku bukannya hendak menyampuri urusan orang lain," sahut Hoa In Liong, “tetapi karena

221
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

gerak-gerikmu agak mencurigakan, maka aku merasa berhak buat menanyakan. Apakah
perlunya diwaktu tengah malam buta kau memasuki kamar orang lain ? Dan kemana kau
hendak bawa pergi orang yang kau gendong itu ?”

Pertanyaan itu sudah tentu saja telah membikin orang tua itu jadi sangat terperanjat,
karena ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa segala perbuatannya telah dapat
dilihat oleh Hoa In Liong, yang dengan secara tidak disengaja melewat ditempat
penghinapan Poan Thian tadi.

Kesudahannya karena mengerti bahwa ia sukar berbantahan dengan orang yang tidak
dikenalnya ini, maka Sin-tui Bie tetiron itu jadi mendongkol dan lantas membentak :
“Persetan dengan segala percampuran tanganmu dalam urusanku ini! Sekarang hendak
keperingatkan kepadamu satu kali lagi. Apabila kau masih saja berkepala batu mencampuri
urusanku, janganlah kau anggap aku keterlaluan jikalau akau terpaksa mengambil tindakan
apa-apa yang tidak selayaknya!"

“Kalau begitu," kata Hoa In Liong pula, “cobalah jawab pertanyaanku ini. Siapakah
sebenarnya orang yang kau gendong itu ? Dan apakah maksudnya kau menyambitkan
huipiauw kepadaku tadi?"

Orang tua itu jadi “terdesak" dan akhirnya timbullah amarahnya dan lantas berseru :
“Kurang ajar ! Sekarang sudah teranglah bahwa perbuatanmu ini semata-mata hendak
mencari setori belaka ! Nah, cobalah kau boleh rasakan golokku ini!"

In Liong yang melihat orang tua itu mendadak jadi sengit dan membacok kepadanya, sudah
tentu saja iapun segera menangkis dengan pedang ditangannya. Begitulah selanjutnya
kedua orang itu lantas bertempur diantara jalanan yang sunyi dan gelap itu.

Tetapi Hoa In Liong ternyata lebih unggul dalam permainan pedangnya, dalam waktu sedikit
saat saja ia telah mendesak lawannya sehingga tidak berdaya akan melanjutkan terus
pertempuran itu. Dan tatkala pada suatu ketika ujung pedang In Liong menyamber kearah
ulu-hati orang tua itu dengan siasat Tok coa-chut-tong, Sin-tui Bie tetiron itu terdengar
menjerit sambil membuang diri berguling di tanah sampai beberapa kali, kemudian dengan
menggunakan siasat Lee-hie-ta-teng ia mencelat keatas dan terus melarikan diri sambil
sesumbar : “Sampai kita bertemu pula !"

Sementara Hoa In Liong yang merasa tidak perlu buat mengejar pada orang tua itu, lalu
buru-buru menghampiri pada Lauw Thay yang ternyata telah tersadar dari pingsannya dan
lekas berbangkit sambil menanyakan : “Saudara, terangkanlah dahulu, apakah kau ini ada
seorang lawan atau kawan ?"

“Aku ini adalah seorang kawan yg telah bantu mengusir orang yang telah menculik padamu
tadi. Tetapi belum tahu kau ini siapa ? Dan siapakah sebenarnya orang tadi yang telah
menculik kepadamu ?"

Lauw Thay jadi terbengong dan minta diberikan keterangan tentang peristiwa-peristiwa apa
yang telah terjadi tadi, dan cara bagaimanakah ia sekarang telah berada disitu.

In Liong yang sekarang baru mendusin bahwa Lauw Thay telah digendong tadi dalam
keadaan tidak ingat orang, lalu tuturkan pada sang piauwsu hal apa yang telah terjadi,
sehingga ia bertempur dan telah berhasil mengusir si penculik yang mengaku bernama Sin-
tui Bie itu.

Lauw Thay yang mendengar keterangan begitu, tanpa terasa lagi ia jadi bergidik sambil
menyebut: “O Mi To Hud ! To Hud ! Jikalau Congsu tidak datang menolong, niscaya pada

222
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

saat ini jiwaku telah melayang ketempat baka!"

Lebih jauh karena ia berpendapat yang Hoa In Liong ini bukan orang jahat, maka dengan
singkat tetapi jelas Lauw Thay lalu tuturkan segala peristiwa yang telah dialaminya, dengan
antaranya ia menyebut-nyebut juga namanya Lie Poan Thian.

Hoa In Liong jadi kelihatan girang mendengar nama adik seperguruannya itu, hingga ia
lantas menanyakan : “Belum tahu dia sekarang ada dimana ?"

“Lie Toako sendiri justeru berdiam di rumah penginapan yang sama, dari mana kau katakan
aku telah diculik oleh Sin-tui Bie tetiron tadi," sahut Lauw Thay.

Hoa In Liong mengangguk-anggukkan kepalanya selaku orang yang sedang berpikir keras,
hingga buat beberapa saat lamanya ia kelihatan terbengong tanpa mengucapkan barang
sepatah kata-pun.

Dan tatkala Lauw Thay mengajak ia kembali ke tempat penginapan Lie Poan Thian,
mendadak ia jadi menghela napas sambil berkata : “Ah, beginilah rasanya orang yang hidup
keliaran dikalangan Kang-ouw ! Pada sebelum terkenal orang berlomba akan memperebuti
nama dan gelaran kosong, dan tatkala sudah berhasil dan jadi terkenal, lalu timbullah
permusuhan dikiri-kanan dari orang-orang yang iri hati oleh karena gelaran kosong itu. Ai,
saudara, dunia ini benar-benar terlalu gila bagi kita orang-orang yang hidup di-kalangan
Kang-ouw."

Lauw Thay yang tidak mengarti kemana tujuan omongan itu, tentu saja tidak bisa berbuat
lain daripada mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata : “Ya, ya," dengan suara
yang tertahan didalam tenggorokan.

Selanjutnya, karena mendengar pengakuan Lauw Thay yang telah diperintah oleh Cin Kong
Houw akan membantu dengan secara diam-diam kepada Lie Poan Thian yang akan pergi ke
Ca-kee-chung buat menempur Tja Tiauw Cin, maka In Liong lalu menyatakan pikirannya
bahwa Lie Poan Thian yang memangnya bertabiat tidak suka mengunjuk kelemahan sendiri,
pasti akan jadi kurang senang apabila ia ketahui tindakan ini yang sebenarnya bermaksud
baik.

“Maka jikalau kita hendak membantu padanya," kata Hoa In Liong, “paiing baik jikalau kita
mengambil jalan lain dengan secara tidak langsung, untuk dapat meringankan usaha yang
sedang ditempuhnya. Misalnya, walaupun dengan membiarkan ia pergi sendirian ke Ca-kee-
chung, tetapi kita yang berada “digaris belakang" harus berdaya sedapat mungkin buat
menentang muslihat-lihat keji orang lain yang akan ditujukan kepadanya. Oleh sebab itu,
yang pertama2 kita harus tentang Sin-tui Bie tetiron yang selalu mencari “lantaran" buat
“menjatuhkan dengan secara diam-diam" nama baik Lie Sutee itu. Karena tidak mustahil,
selagi Lie Sutee sedang berhadapan dengan Tja Tiauw Cin, orang she Bie itu akan
mendadak muncul dan melakukan pembokongan yang Lie Sutee sendiri tidak pernah pikir
akan bisa terjadi."

Dengan keterangan itu, Lauw Thay pun membenarkan pendapat Hoa In Liong, walaupun dia
menanyakan : “Hanya belum tahu bagaimana cara itu akan diaturnya ?"

“Buat sekarang," kata Hoa In Liong, “hanya ada satu jalan yang kelihatannya dapat
dilakukan, yaitu buat beberapa hari lamanya kau jangan kembali dahulu ke rumah
penginapanmu, agar supaya Sin-tui Bie tetiron dan kambrat2nya jadi bimbang dan tidak
berani sembarangan “bergerak dahulu", pada sebelum mengetahui bahwa segala perbuatan
mereka tidak ada lagi orang yang akan merintanginya.

223
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Tetapi jikalau ia tahu bahwa kau telah bisa kembali dengan selamat, urusan bisa jadi
berlainan daripada apa yang kukira, dan inilah ada sangat berbahaya, karena pihak kita
yang lebih sedikit jumlahnya, bisa juga kejadian terdesak dan akhirnya akan mudah juga
terjebak oleh pihak mereka yang berjumlah lebih banyak.

Itulah bahayanya akan bertindak dengan secara berkawan dalam keadaan berbahaya
seperti sekarang ini."

Lauw Thay menyatakan mupakat dengan omongan itu.

“Tetapi, oleh karena aku mesti bersembunyi sehingga beberapa hari lamanya," katanya,
“apakah ini tidak membikin Lie Toako jadi bingung dan mencari padaku kian-kemari ?"

“Hal itu memang tak dapat dicegah," sahut Hoa In Liong, “tetapi apa boleh buat kita harus
berbuat begitu untuk membingungkan hati pihak lawan kita. Lie Sutee pasti tidak akan
berlalu dari sini, karena ia ada seorang yang tidak suka salah janji. Bukankah kau pernah
mengatakan tadi bahwa ia telah berjanji akan kembali ke rumah Tja Tiauw Cin pada hari
esok diwaktu magrib ?"

“Ya, benar," sahut Lauw Thay.

“Maka selama kau bersembunyi beberapa hari ini," In Liong melanjutkan pembicaraannya,
“aku sendirilah yang nanti berkeliaran akan menyelidiki segala gerakan Sin-tui Bie tetiron itu
beserta sekalian kambrat2nya diluaran. Malah kalau aku sendiri yang pergi menjumpakan
pada Lie Sutee, rasanya ada lebih baik daripada kau yang mesti berbuat begitu, karena
disamping aku masih agak asing bagi orang-orang disini, juga kambrat2nya Sin-tui Bie
tetiron tidak mengenali bahwa aku inilah pihak lawan mereka."

“Ya, ya," kata Lauw Thay, “kalau begitu aku turuti saja pengunjukan-pengunjukanmu.
Tetapi belum tahu apakah kau disini ada kenalan atau handai taulan yang boleh ditumpangi
untuk beberapa hari lamanya ?"

“Aku disini tidak mempunyai sahabat atau kenalan," kata Hoa In Liong. “Tetapi untuk tidak
menerbitkan rasa curiga pihak lawan kita, kukira ada lebih baik jikalau kau berdiam dibagian
tempat-tempat yang agak ramai daripada di-tempat-tempat sunyi seperti disini. Karena buat
sekarang ini bagimu, ada lebih banyak bahayanya daripada selamat jikalau berdiam
ditempat sunyi, karena pihak musuh tentu lebih suka memilih tempat-tempat sunyi sebagai
tempat pertemuan mereka. Oleh sebab itu, kiranya lebih baik jikalau kau menumpang di-
rumah2 penginapan yang ramai, asalkan kau disitu jangan keluar bepergian kemana-mana.
Tunggu sampai nanti Lie Sutee telah keluar dari Ca-kee-chung dengan memperoleh
kemenangan, barulah kau boleh ketemukan padanya dan tuturkan segala pengalamanmu,
sehingga ia ketahui bagaimana duduknya perkara yang benar. Maka dengan berbuat begitu,
bukankah kita disini seakan-akan telah bantu meringankan usahanya dengan tak usah kuatir
disesalkan oleh Lie Sutee yang bertabiat agak luar biasa itu ?"

“Ya, benar," menyetujui Lauw Thay. “Kalau begitu, biarlah aku kembali saja ketempat
penginapanku yang duluan, dimana aku telah pesan kamar ketika aku datang pada
beberapa hari yang lampau."

Maka sambil beromong dengan pelahan, mereka lalu berjanji akan bertemu pula disuatu
tempat yang mereka telah tetapkan dari dimuka. Kemudian mereka segera berpisahan buat
melakukan tugas masing-masing yang bertujuan sama, yaitu untuk meringankan usaha Lie
Poan Thian yang akan masuk ke Ca-kee-chung atas nama pengurus usaha pengangkutan
Siang-hap Pio-kiok yang hendak “dirobohkan mereknya", dengan jalan dicuri bendera
lambangnya oleh Chung-cu dari desa tersebut.
224
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Begitulah ketika pada malam itu juga Lauw Thay kembali ketempat penginapannya dan
justru pergi ke kamar kecil dengan meninggalkan pakaiannya dimuka kamar tidurnya yang
pintunya tidak terkunci, ia jadi terperanjat bukan main tatkala kembali dari kamar tersebut,
akan menyaksikan pakaiannya itu telah lenyap entah kemana perginya, hingga biarpun ia
menanyakan hal ini pada beberapa pelayan yang bekerja disitu, tidak seorang pun yang
ketahui atau mendapat keterangan siapa pencurinya pakaian itu.

Tetapi karena mengingat bahwa ia masih mempunyai beberapa perangkat pakaian yang
dititipkan di rumah penginapan tersebut, maka selanjutnya Lauw Thay tidak ambil pusing
pula tentang kehilangan pakaian kotor yang tak berharga seberapa itu.

Tahu-tahu ketika dihari esoknya ia mendengar ada orang yang terbunuh, ia sama sekali
tidak menyangka bahwa orang itu ada pencuri pakaiannya, yang tatkala dapat dilihat oleh
orang tua she Bie itu, lalu disangkanya bahwa dialah Lauw Thay yang dikenalinya karena
pakaiannya. Maka setelah melakukan pembunuhan, kepala pencuri yang malang itu lalu
dibawanya pergi, dengan pengharapan supaya pihak yang berwajib tak dapat menyelidiki
perkara pembunuhan itu. Padahal ia sama sekali tidak menyangka bahwa pembunuhan itu
telah dilakukan terhadap pada seorang-orang yang keliru dan tidak ada sangkut pautnya
dengan dirinya sendiri!

Lie Poan Thian yang mendengar penuturan suhengnya, dengan tak terasa lagi jadi
menggebrak meja sambil berkata : “Allah ! Tidak kunyana urusan bisa berbalik jadi begitu
rupa! Maka apabila orang mengatakan bahwa kejadian yang benar itu kerap-kali lebih aneh
daripada dongengan, itulah sesungguhnya tidak bersalahan barang sedikitpun!"

In Liong tertawa sambil menyatakan mupakat dengan pendapat suteenya itu.

“Tetapi aku sungguh tidak bisa mengarti," kata Lie Poan Thian pula, “cara bagaimana kau
telah berlaku begitu seeji, tidak mau membanguni aku, ketika kau datang kesini pada hari
tadi pagi-pagi ?”

“Itulah karena aku tahu bahwa semalam kau telah pulang kesini dalam keadaan lelah, habis
bertempur dengan Tja Tiauw Cin," sahut Hoa In Liong, “hingga aku rasa tidak baik akan
mengganggu padamu yang sedang tidur dengan nyenyak."

Poan Thian jadi heran dan lantas bertanya: “Cara bagaimanakah kau mengetahui bahwa
aku telah pulang terlambat pada malam kemarin ?”

“Karena aku telah menguntit padamu dari sebelah belakang," sahut Hoa In Liong,
“berhubung aku kuatir kau akan dijebak oleh Tja Tiauw Cin dan kambrat2nya, terutama oleh
akal muslihat Hek-houw-lie Tjian Cong yang terkenal likiat itu."

Tatkala Poan Thian menanyakan lebih jauh, mengapa ia tahu nama Hek-houw-lie yang
menjadi gundal orang she Tja itu, Hoa In Liong lalu menerangkan bahwa nama itu telah
dapat didengar dari penuturannya Lauw Thay.

“Tetapi sungguh aneh sekali," ia menambahkan, “kemana perginya manusia busuk itu,
selagi induk semangnya bertempur dengan mati-matian denganmu."

“Entah kemana perginya dia itu," Poan Thian berkata, sambil kemudian perintah pelayan
rumah penginapan itu untuk menyediakan makanan buat dua orang.

Dan tatkala makanan yang dipesan itu telah disajikan, mereka berdua lalu duduk makan
minum sambil membicarakan soal-soal yang telah lampau, antara mana In Liong tidak lupa
menanyakan kepada sang sutee, bilamana ia akan menikah dengan nona Giok Tin yang ia

225
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

dapat dengar dari penuturannya Lauw Thay.

Lebih jauh buat bisa hidup tenteram pada hari-hari yang akan datang, maka In Liong telah
menganjurkan supaya Poan Thian lekas menikah, kemudian mencuci tangan dan “mundur
teratur" dari kalangan Kang-ouw, untuk menuntut lain macam penghidupan yang lebih
berarti, buat mana Poan Thian akui kebenaran nasihat suhengnya itu.

Sehabis mereka makan minum, In Liong lalu ajak Poan Thian pergi ke tempat penginapan
Lauw Thay, untuk merembukkan tindakan apa yang selanjutnya perlu diambil terhadap Sin-
tui Bie tetiron itu yang selalu mencari setori dan terutama memusuhi pada Lie Poan Thian,
yang dikatakan telah membunuh muridnya yang bernama Liu Tay Hong itu.

“Jikalau urusan ini dapat disudahi dengan secara damai," kata Hoa In Liong lebih jauh,
“itulah memang yang kita harapkan. Tetapi apabila cara kompromi itu sukar diperoleh,
rasanya tak ada jalan lain daripada mesti menghadapi pertempuran yang terakhir untuk
mendapatkan pemberesan, asalkan tindakan ini disetujui oleh Tie Hwie Taysu, yang
menurut pendapatku tidak tahu-menahu tentang adanya peristiwa ini. Tetapi belum tahu,
bagaimana pendapat Sutee ?”

“Benar, benar," kata Poan Thian yang seolah-olah orang yang baru sadar dari tidur yang
nyenyak. Karena, bersamaan dengan itu, ia jadi ingat pada Sin-siu-tay-seng Bie Tiong Liong,
yang pernah disebut-sebut namanya oleh Hok Cit diwaktu bertempur pada kemarin dulu
malam.

Dan setelah ia tuturkan hal ini pada In Liong, sang suheng lantas berkata : “Nah, kalau saja
memang ada kesempatan dan alasan buat kau coba bicara dengan secara baik dengan Sin-
tui Bie yang sejati atau Tie Hwie Taysu, mengapakah kau tidak ambil ketika itu untuk
membereskan persoalan ini selekas mungkin ?"

“Ya, ya," menyetujui Poan Thian, “kalau begitu aku perlu selekasnya kembali ke kota
Kimleng dan menyampaikan kabar ini pada Tie Hwie Taysu dikelenteng Ceng-hie-koan."

Kemudian mereka lalu pergi ke tempat penginapan Lauw Thay buat merembukkan urusan
ini terlebih jauh.

***

Lauw Thay yang diberitakan oleh pelayan rumah penginapan tentang kedatangannya kedua
orang itu, tentu saja lekas keluar menyambut dan persilahkan mereka masuk akan duduk
pasang omong dihalaman kamarnya yang memang agak luas dan cocok akan dijadikan
kamar tamu.

Disini, setelah berembuk beberapa lamanya, akhirnya telah diambil keputusan, akan Lauw
Thay kembali ke kota Kimleng buat membawa bendera lambang yang telah dapat diambil
pulang dan sekalian melaporkan tentang kemenangan Poan Thian dalam pertempuran
dengan Tja Tiauw Cin kepada Cin Kong Houw suami-isteri, karena ia sendiri bersama In
Liong akan berkunjung ke kelenteng Ceng-hie-koan buat coba menyelidiki tentang lelakon
Sin-tui Bie tetiron itu pada Tie Hwie Taysu disana. Dan jikalau urusan ini sudah beres,
barulah mereka akan masuk ke kota Kimleng buat berjumpa dengan Cin Kong Houw dan
yang lain-lainnya.

Lauw Thay mupakat dengan omongan itu.

Maka setelah sore itu ia menerima bendera lambang Siang-hap Pio-kiok yang telah dicuri
oleh Tja Tiauw Cin itu dari tangan Lie Poan Thian, dihari esoknya pagi-pagi sekali Lauw

226
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Thay lalu berangkat ke kota Kimleng, sedangkan Poan Thian dan In Liong lalu menuju ke
kelenteng Ceng-hie-koan yang terletak diluar kota tersebut.

Pada suatu hari Poan Thian dan In Liong telah sampai di-sebuah dusun diluar kota Kimleng,
dimana mereka telah menunda pauwhok mereka disuatu rumah makan yang sekalian
menyewakan juga kamar pada tetamu2 yang kebetulan ingin beristirahat diluar kota,
kemudian mereka lalu menuju ke kelenteng Ceng-hie-koan buat menjumpai Tie Hwie Taysu.

Sesampainya disana, Poan Thian lalu mengetok pintu beberapa kali, kemudian barulah
kelihatan muncul seorang toosu kecil yang oleh Tie Hwie diakui sebagai cucunya Sin-kun
Louw Cu Leng, hingga toosu kecil yang kenali Poan Thian sebagai salah seorang tetamu
yang pada beberapa waktu pernah datang berkunjung kesitu, lalu memberi hormat sambil
bertanya : “Kisu, apakah kedatanganmu ini bukannya hendak mencari guruku ?”

“Ya, benar," sahut yang ditanya sambil balas memberi hormat. “Belum tahu apakah
kunjungan kami ini tidak mengganggu pada Taysu disini ?”

“Oh, itulah sama sekali tidak mengganggu apa-apa, malah kedatangan tuan ini justru sangat
diharapkan sekali oleh guruku," kata toosu kecil itu, “hanya sangat menyesal pada beberapa
hari ini ia tidak ada dikelenteng, hingga kedatanganmu itu berarti sia-sia belaka."

“Apakah ia tidak memberitahukan padamu bilamana ia akan kembali ?” Poan Thian


bertanya.

“Tidak," sahut toosu kecil itu, “ia orang tua mungkin juga akan kembali pada hari ini atau
pada hari esok, tetapi ia belum pernah bepergian lebih lama daripada lima hari."

“Belum tahu semenjak kapan ia keluar bepergian?" Poan Thian bertanya pula.

“Sudah empat hari," sahut yang ditanya.

“Kalau begitu," kata In Liong yang campur bicara, “baiklah kita kembali lagi dihari esok saja
pada waktu begini." Poan Thian menyatakan setuju.

Begitulah setelah minta si toosu kecil itu supaya suka menyampaikan kepada gurunya
tentang kunjungan mereka itu, pemuda kita lalu mengajak In Liong kembali ke rumah
makan tempat mereka menginap.

Dihari esoknya pada waktu yang bersamaan, kedua orang itu kembali telah berkunjung ke
kelenteng tersebut, tetapi lagi2 mereka telah “pulang kosong", berhubung Tie Hwie Taysu
belum kembali dari bepergiannya. Begitu juga setelah mereka pulang-pergi sampai
beberapa kali dan tidak juga bisa menjumpai toosu tua itu, lambat-laun mereka jadi timbul
rasa curiga, kalau-kalau Tie Hwie memang sengaja menyuruh muridnya menjawab yang
agak menyimpang, biarpun sebenarnya ia ada dalam kelenteng tersebut dan tidak pergi ke-
mana-mana.

Maka sambil berjalan pulang setelah berkunjung berkali-kali dengan tidak dapat
menyampaikan maksudnya, akhirnya kedua orang itu lalu berembuk akan coba melakukan
penyelidikan kesitu diwaktu malam hari.

Apabila ternyata benar Tie Hwie tidak ada didalam kelenteng, urusan itu boleh dianggap
saja sebagai suatu hal yang kebetulan, tetapi apabila ia ada dikelenteng, dan sesungguhnya
tidak mau bertemu dengan mereka, mereka boleh coba menanyakan dan menegur atas
perbuatannya yang tidak manis itu.

“Cara ini memang bisa berakibat tidak baik dan berarti juga penanaman benih permusuhan
227
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

antara kita dan dia," kata Lie Poan Thian. “Tetapi urusan meminta akan kita berbuat begitu.
Apa boleh buat ............"

“Asalkan kita jangan berlaku sembrono dan kurang taktis," menasehati Hoa In Liong.

Poan Thian menyatakan mupakat dengan omongan itu.

Demikianlah sesudahnya selesai dahar dan bersedia apa yang perlu untuk melakukan
pengintipan menurut rencana yang mereka atur tadi, maka pada malam itu juga Poan Thian
dan In Liong lalu menuju ke kelenteng Ceng-hie-koan dengan masing-masing mengenakan
pakaian yang ringkas untuk berjalan diwaktu malam hari.

Sesampainya dimuka kelenteng tersebut, kembali mereka berunding dari arah mana mereka
akan memasuki kelenteng itu. Tetapi In Liong yang selalu bisa berlaku hati-hati, mendadak
dapat pikiran lain yang segera dinyatakan pada adik seperguruannya itu : “Cara ini baiklah
kita jangan lakukan dahulu," katanya. “Aku disini ada suatu cara yang akan dapat
melancarkan penyelidikan kita ini dengan tidak mesti mengalami risiko begitu besar
sebagaimana apa yang kita pikirkan pada siang hari tadi."

“Cobalah tuturkan tindakan apa yang hendak kau lakukan itu," meminta Lie Poan Thian.

“Jikalau kita melakukan penyelidikan ini dengan berduaan," kata Hoa In Liong, “niscaya kita
akan terlibat berduaan pula, apabila urusan sampai tak dapat diselesaikan dengan secara
damai. Maka dari itu, apakah tidak baik kalau aku saja yang melakukan pekerjaan ini,
sedangkan kau boleh menunggu dahulu akan melihat hasil2 dari pekerjaan yang akan
datang itu ?”

“Ya, jikalau dipandang sepintas lalu, tindakanmu itu memang ada benarnya juga. Tetapi
oleh karena mengingat yang kau belum pernah kenal atau melihat romannya Tie Hwie
Taysu, apakah urusan ini tidak akan jadi gagal, apabila nanti kau berjumpa dengan seorang
yang romannya bersamaan dengan toosu tua itu ?” Poan Thian berkata dengan rupa yang
menyatakan keragu-raguannya.

“Justru karena aku tidak kenal padanya," kata In Liong, “maka kukira segala perbuatanku
itu masih mudah akan diperbaikinya apabila nanti aku berbuat kekeliruan, sedangkan jikalau
itu diperbuat olehmu yang memang kenal padanya, niscaya urusan bisa berubah menjadi
permusuhan yang kukuatirkan, tidak mungkin disudahi tanpa ada salah seorang yang
“keluar" dari situ dalam keadaan utuh. Apakah barangkali Sutee tidak memikirkan sampai
disitu ?”

Poan Thian berdiam sejurus, kemudian ia berkata : “Ya, sudahlah. Sekarang kita atur begini
saja. Kau sendiri mengintip dan mendengari dari atas wuwungan kelenteng tentang ada
tidaknya Tie Hwie didalam kelenteng ini, sedangkan aku di-luar akan coba mengetok pintu
buat menanyakan pada toosu kecil yang kita biasa ketemukan itu. Jikalau Tie Hwie telah
kembali, aku boleh lantas pergi menjumpainya; jikalau ia belum kembali, kita boleh lantas
lanjutkan penyelidikan ini. Kita harus berlaku sangat hati-hati dalam melakukan pekerjaan
ini, karena Tie Hwie itu bukan seorang yang boleh dipersamakan dengan segala orang yang
pernah berkeliaran dikalangan Kang-ouw."

“Ya, ya, begitupun boleh," sahut Hoa In Liong. “Tetapi aku masih ada sepatah dua patah
omongan yang hendak kusampaikan kepadamu. Jikalau Tie Hwie ternyata ada dikelenteng
ini dan kau pergi menjumpainya, aku diatas wuwungan tidak akan lekas turun buat
mengunjukkan rupa, apabila aku melihat atau mendengar yang agak tidak baik. Tetapi
jikalau ia ternyata bermaksud baik terhadap kita berdua, aku nanti berpura-pura mengetok
pintu akan mencari padamu, sambil mengatakan yang aku tidak mendapat cari padamu
228
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

ditempat penginapanmu, tetapi akhirnya lantas datang mencarimu disini, setelah mendapat
keterangan dari “pelayan" rumah penginapan."

“Ya, ya, caramu itu aku sangat mupakat," kata Lie Poan Thian yang lalu menghampiri ke
muka kelenteng Ceng-hie-koan buat mengetok pintu.

Sedangkan In Liong setelah menoleh ke kiri-kanan, lalu menggunakan siasat Hui-yan-ciong-


thian, ia tendangkan kakinya ke-tanah dan terus melayang keatas wuwungan kelenteng,
dari mana ia berjalan dengan indap2 untuk mencari tahu dibagian mana yang terdengar ada
suara manusia.

Sementara Lie Poan Thian sesudah mengetok pintu beberapa kali, kemudian melihat toosu
kecil itu membuka pintu sambil berkata: “Oh, nyatalah Siecu yang telah mengetok pintu.
Guruku sekarang sudah kembali."

“O Mi To Hud !" Poan Thian berkata didalam hatinya. “Beruntung aku tidak mengambil
tindakan dengan secara semberono !"

“Harap supaya kau sudi memberitahukan pada Lo-suhu tentang kedatanganku ini," kata
pemuda kita dengan paras muka berseri-seri.

Tatkala toosu kecil itu berlalu tidak berapa lama, Poan Thian telah menampak Tie Hwie
sendiri keluar menyambut dengan sikap yang manis dan ramah-tamah.

“Selamat sore, Lie Siecu," kata toosu tua itu.

“Selamat sore, Lo-suhu," kata Lie Poan Thian sambil memberi hormat. “Aku harap saja
kedatanganku ini tidak mengganggu kepadamu."

“Oh, itulah sama sekali tidak," sahut Tie Hwie Taysu. “Marilah kita duduk beromong-omong
didalam kelenteng. Hwat Lok telah melaporkan padaku tadi bahwa Siecu telah beberapa kali
datang kesini mencari aku, tetapi selalu tidak bisa bertemu saja, berhubung aku belum
pulang. Kemanakah kawanmu yang pernah disebutkan oleh Hwat Lok itu ?”

Mendengar pertanyaan itu, hati pemuda kita jadi agak terkejut, tetapi kesediaannya dalam
hal menghadapi soal-soal yang agak kesusu, telah membikin ia sadar dan segera menjawab
: “Sahabatku hari ini tidak datang ke tempat penginapanku, maka aku telah berkunjung
kesini dengan hanya seorang diri saja."

“Marilah kita masuk," mengajak toosu tua itu.

Poan Thian menurut dengan sikap yang agak seejie.

Tatkala tuan rumah dan tetamu telah duduk bersama-sama, toosu kecil Hwat Lok lalu
datang membawa air teh dan bebuahan kering. Tie Hwie Taysu yang dari setadian
memperhatikan pada pemuda kita lalu mulai bertanya : “Aku lihat Siecu tampak sibuk benar
pada petang hari ini. Ada urusan apakah yang perlu diurus olehmu ?” bertanya Tie Hwie
yang dari setadian memperhatikan Poan Thian yang mengenakan pakaian untuk berjalan
diwaktu malam itu.

Poan Thian kembali jadi terperanjat ketika mendengar pertanyaan sang toosu yang agak
mendadak itu.

Tetapi ketika baru saja ia hendak menjawab, mendadak di-atas wuwungan kelenteng
terdengar suara orang yang bertempur sambil mengeluarkan kata-kata yang mengutuk dan
bersifat penasaran.

229
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Kalau tidak kau tentulah aku !" teriak satu suara yang telah membikin Tie Hwie Taysu
kelihatan jadi terperanjat.

“Diatas ada orang yang bertempur," kata sang toosu yang lalu berbangkit dengan diikuti
oleh pemuda kita. “Marilah kita coba tengok."

Bagaikan seekor burung kepinis, toosu itu lalu melayang ke-atas wuwungan rumah dengan
diikuti oleh Lie Poan Thian.

Disana, dibawah sinar bulan sabit yang mulai mengintip dari cela2 awan yang bergerak-
gerak oleh silirannya angin malam, mereka menampak dua orang tengah bertempur dengan
menggunakan barang tajam.

Salah seorang antaranya, Poan Thian kenali sebagai kakaknya seperguruan Hoa In Liong,
tetapi yang lainnya ia tidak kenal siapa.

“Ah, itulah si tua bangka Tiong Liong yang datang membikin ribut disini!" kata Tie Hwie
Taysu yang segera masuk kedalam kalangan pertempuran, untuk memisahkan mereka
berdua dengan menggunakan ilmu Khong-siu jip-pek-jim.

“Berhenti !" ia membentak pada salah seorang yang dikatakan bernama “Tiong Liong" itu.

Tiong Liong apa boleh buat berlompat kesuatu pinggiran dengan sikap yang masih sangat
penasaran.

Kemudian Poan Thian buru-buru menghampiri Hoa In Liong sambil berpura-pura


menanyakan: “Suheng, cara bagaimanakah kau bisa berada disini ?”

“Hal ini akan kau ketahui nanti," kata Hoa In Liong dengan cepat.

Setelah berkata begitu, diapun lantas maju memberi hormat pada Tie Hwie Taysu sambil
menghaturkan maaf atas keributan yang telah diterbitkannya tadi.

“Kamu sekalian marilah mengikut padaku kedalam kelenteng," kata Tie Hwie Taysu setelah
balas pemberian hormat Hoa ln Liong.

Begitulah ke-empat orang itu lalu dengan berturut-turut melompat turun dari atas
wuwungan rumah dan masuk kehalaman kelenteng dalam suasana yang masih agak
“panas".

Disitu semua orang lalu dipersilahkan duduk dan disuguhkan air teh dan buah2an kering
oleh Tie Hwie Taysu.

Mula-mula toosu itu perkenalkan kepada Poan Thian dan In Liong bahwa orang yang
bernama Tiong Liong ini, yang ternyata mempunyai roman yang hampir mirip dengan Tie
Hwie sendiri, adalah adiknya sekandung yang bernama Tie Tiong Liong, yang di-kalangan
Kang-ouw terkenal dengan gelaran Sin-siu-tay-seng atau Nabi yang bertangan sakti,
berhubung ia dapat “bergerak" dengan amat sebat dan gesit dengan “menggunakan" kedua
tangannya. Dan setelah itu, barulah ia menanyakan pada adiknya sendiri, karena apa ia
telah datang membikin ribut ketempat kediamannya pada waktu malam hari begitu ?

Sinsiu-tay-seng Bie Tiong Liong tinggal bungkem dan saban-saban melirik pada ketiga orang
itu dengan sorot mata mengandung kebencian.

“Beritahukanlah padaku sebab-musabab daripada pertempuran ini," berkata Tie Hwie pula,
yang sekarang mengunjukkan dengan nyata sikapnya yang kurang senang pada saat itu.

230
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Segala urusan jikalau masih boleh didamaikan, mengapakah orang mesti berlaku begitu
goblok akan coba saling mencelakai pada satu sama lain ?

Aku bukan hendak campur tangan dalam urusan orang lain. Tetapi sebagai seorang yang
ingin melihat segala sesuatu berlangsung dalam suasana damai, kukira tidak buruknya
jikalau aku dapat membantu akan perlaksanaan yang menuju kearah perdamaian itu. Oleh
sebab itu, aku minta dengan baik supaya kau suka memberitahukan padaku sebab-musabab
dari perselisihanmu dengan kedua tuan ini, agar supaya aku ketahui bagaimana selanjutnya
aku harus bertindak."

“Ya, tetapi hal itu toh tidak ada sangkut pautnya dengan urusanmu," selak Bie Tiong Liong.
“Perlu apakah kau mesti menanyakan hal itu kepadaku dengan secara melit? Sekarang
paling betul kau boleh kesampingkan urusan itu. Dan jikalau kau masih mengaku saudara
kepadaku, aku ingin supaya kau memilih satu antara dua jalan dengan secara tegas. Apakah
kau menyatakan suka memilih pihakku atau pihak kedua orang ini ?”

“Aku sungguh tidak bisa mengerti," kata Tie Hwie Taysu, “cara bagaimana aku harus
memihak kesana-sini, apabila dalam hal ini aku tidak tahu terang kemana juntrungannya.
Cobalah kau tuturkan dahulu sebab-musabab dari perselisihan ini, agar supaya aku bisa
menimbang dengan secara bijaksana, pihak mana yang harus disalahkan dan pihak mana
yang harus dibenarkan."

Tetapi Bie Tiong Liong tampak semakin kurang senang mendengar pertanyaan itu. Entahlah
apa ia merasa bahwa dirinya bersalah dan ingin dieloni atau menganggap Tie Hwie selalu
berpihak pada orang lain karena ia tidak suka dikatakan berlaku berat sebelah dengan
hanya memihak pada saudaranya sendiri. Maka setelah berdiam sejurus lamanya, Tiong
Liong lalu berkata dengan suara menyindir: “Aku tahu," katanya, “bahwa segala sesuatu
yang termasuk dalam pertimbanganmu, hampir selalu membenarkan pada pihak orang lain
daripada pihak saudara sendiri. Oleh sebab itu, apakah perlunya aku memberitahukan
urusanku, kalau saja kesudahannya akan jatuh dipihakku juga yang bersalah ?”

Toosu tua itu jadi menghela napas ketika mendengar pembicaraan Tiong Liong yang
mengandung sindiran itu, hingga semakin lama ia kelihatan jadi semakin jengkel dan segan
akan menanyakan apa-apa pula kepada saudaranya yang memang ia kenal baik sangat
keras kepala itu.

“jiwie Siecu," akhir-akhirnya ia berkata pada Lie Poan Thian dan Hoa In Liong, “maafkanlah
padaku, apabila dalam hal ini tak berkuasa aku mengambil jalan damai sebagaimana
mestinya. Maka untuk selanjutnya mengetahui sebab-musabab daripada perselisihanmu
dengan saudaraku ini, sudikah kiranya tuan memberitahukan kepadaku asal-usul peristiwa
celaka itu ?”

Sementara Lie Poan Thian yang merasa bahwa pokok persoalan itu telah dimulai dari
pengalamannya sendiri, lalu mulai menerangkan pada Tie Hwie Taysu, semenjak ia
diganggu dan ditantang dikelenteng tua oleh seseorang yang mengaku bernama “Sin-tui
Bie", sehingga kemudian ia datang ke kelenteng Ceng-hie-koan buat pertama kalinya
dengan diantar oleh Cin Kong Houw, untuk menanyakan keterangan-keterangan lebih jauh
pada Tie Hwie Taysu, pada waktu mana ia tidak mengetahui bahwa Tiong Liong itu adalah
saudara kandungnya, yang dengan secara tidak sah telah menggunakan nama sang kakak
itu.

Kemudian ia telah kesampingkan dan hampir melupakan soal-soal yang tidak enak itu,
ketika mendadak Tiong Liong telah muncul pula dan kembali datang mencari setori, hingga
setelah merasa bahwa urusan ini tidak boleh dibiarkan dan mungkin juga ada sangkut-

231
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

pautnya dengan sang toosu, maka ia jadi mengambil keberanian akan menanyakan hal ini
pada Tie Hwie, dengan dikawani oleh kakaknya seperguruan yang sekarang datang
bersama-sama ke kelenteng Ceng-hie-koan disitu.

Demikianlah singkatnya pengaduan yang telah diajukan oleh pemuda kita pada toosu tua
itu.

Tiong Liong yang mendengar pengaduan Lie Poan Thian di-hadapan Tie Hwie alias Sin-tui
Bie yang memang bukan lain daripada saudaranya sendiri, sudah barang tentu jadi sangat
mendongkol dan lalu berkata dengan suara keras: “Lie Poan Thian, aku sungguh merasa
amat menyesal tidak lantas bunuh saja padamu, ketika aku menjumpai kau bersendirian
dikelenteng tua itu, hingga aku sama sekali tidak menyangka bahwa urusan akan menjadi
begitu ruwet seperti hari ini !"

“Tetapi kau harus jangan lupa," begitulah Tie Hwie telah mencampuri bicara, “bahwa cara
itu adalah suatu perbuatan pengecut yang tiada taranya !"

Sin-siu-tay-seng Bie Tiong Liong jadi sengit mendengar kecaman kakaknya, yang
dianggapnya seolah-olah mengeloni pada pihak musuh.

“Sekarang telah jelaslah bahwa kau telah memihak pada orang yang menjadi musuh
besarku !" katanya. “Ia telah membunuh muridku, kemudian telah menghinakan nama
baikku. Apakah perbuatan itu boleh dibiarkan dengan tidak segera diambil tindakan keras
atau diberantas sebagaimana mestinya ? Tampaknya kau selalu lebih senang membenarkan
pihak orang lain daripada memihak saudara sendiri !"

“Kau jangan salah paham," kata Tie Hwie Taysu. “Pendek, aku tidak perduli siapa, kalau dia
benar, walaupun kau mau putar balik bagaimana juga, dia tetap benar. Bukan sebab kau
ada saudaraku, sehingga segala perbuatanmu — meski yang bagaimana sesat juga — lantas
harus dibenarkan olehku. Kau sendiri telah memakai namaku dengan tiada seijinku, itu saja
sudah menjadi suatu kesalahan besar yang tidak boleh dimaafkan; dan bukan karena kau
ada saudaraku, hingga kau boleh punya suka membawa2 namaku yang sudah “dipendam"
dan tidak campur lagi dikalangan Kang-ouw untuk “dipamerkan" pula diantara khalayak
ramai!

Telah beberapa hari lamanya aku berkeliaran mencarimu, karena aku mendengar orang
diluaran menceritakan tentang munculnya kembali Sin-tui Bie dikalangan Kang-ouw. Kau
sendiri yang mempergunakan nama itu, boleh enak-enakan “mengadu biru" kian-kemari,
tetapi aku sendirilah yang harus tanggung risikonya yang paling besar. “Eh, eh, heran
benar. Sin-tui Bie yang sudah menjadi seorang toosu, mendadak sontak “mengamen" pula
dikalangan Kang-ouw !" begitulah orang nanti bisik-bisik disana-sini. Apakah itu kau anggap
suatu reklame baik bagi diriku ?

Pikirlah dahulu masak-masak pada sebelum kau berbuat apa-apa. Bagaimana akibatnya bagi
dirimu, dan terutama bagaimana akibatnya pula terhadap orang yang namanya kau “bawa
mengamen" cuma karena akan dapat melampiaskan napsu amarah dengan jalan mengadu
dombakan diriku pada Lie Siecu ini, sedangkan kau sendiri yang tersangkut mau enak-
enakan mencuci tangan, meminjam nama orang buat keuntungan diri sendiri.

Itulah — rupanya — maksud yang terutama mengapa kau telah mengganggu pada Lie Siecu
dengan mempergunakan namaku sebagai “benderanya". Apa bukan begitu, orang tua yang
baik hati ?" Sambil menyindir, Tie Hwie Taysu melirik adik kandungnya itu.

Sin-siu-tay-seng Bie Tiong Liong jadi semakin tidak enak hatinya mendengar “semprotan2"
kakaknya yang begitu pedas.
232
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Dengan cepat ia bangun berdiri, sambil menepok dada dan berkata: “Hm ! Setelah kau
berpihak pada musuhku, sekarang kembali kau menghinakan aku, apakah itu bukan berarti
bahwa persaudaraan kita terputus sampai disini ?”

Poan Thian dan In Liong yang merasa tidak enak tinggal menonton saja, lalu merekapun
coba campur bicara, tetapi mereka telah dibentak oleh Bie Tiong Liong yang mengatakan:
“Persetan dengan kamu berdua ! Inilah bukan urusanmu, dimana kau boleh teturutan
membuka bacot !"

Wajah kedua orang muda itu jadi merah jengah, menyesal dan mendongkol tercampur aduk
dalam hati mereka.

Apabila mereka bukan berada di Ceng-hie-koan dan di hadapannya Tie Hwie Taysu, niscaya
salah seorang antara mereka sudah turun tangan buat memberikan hajaran pada orang tua
yang kurang “penerima" itu.

Tetapi Tie Hwie Taysu yang terlebih siang telah dapat membaca perasaan kedua tetamunya,
dengan lantas ia menuding pada Tiong Liong sambil membentak : “Dasar manusia tidak
berbudi ! Jiwie Siecu ini bukan takut padamu, hanyalah karena mereka mengindahkan
kepadaku, maka mereka apa boleh buat tinggal bersabar dan tidak mengunjukkan aksi apa-
apa yang dapat memperhebat ketegangan ini.

Maka apabila kau tetap berkeras kepala tidak sudi diperlakukan dengan baik oleh orang lain,
apakah barangkali kau kepingin supaya peristiwa ini diakhiri dengan suatu pertempuran
yang menentukan pihak mana yang lebih unggul atau rendah ?

Cobalah kau terangkan dengan secara terbuka di hadapanku, supaya selanjutnya aku
ketahui cara bagaimana aku dapat bantu membereskan soal-soal yang tentunya akan terus
meruncing bagi kedua pihak, apabila salah satu pihak belum ada yang suka mengalah untuk
menyudahi perselisihan ini !"

Lie Poan Thian yang tadinya berniat akan menyudahi saja peristiwa itu untuk mencegah
perpecahan persaudaraan antara Tie Hwie dan Tiong Liong, sekarang jadi berbalik “sebal"
dan tinggal menantikan saja bagaimana jawabannya sang lawan itu.

“Aku telah mengambil keputusan buat menentukan siapa diantara kita yang lebih unggul
atau rendah !" kata Bie Tiong Liong dengan suara kaku.

“Kalau begitu," kata sang toosu sambil menghela napas, “aku tak berdaya buat mencegah
keruntuhan salah satu pihak yang mengancam didepan mata! Ya, apa boleh buat."

Kemudian ia menoleh pada Bie Tiong Liong sambil berkata : “Jikalau ternyata kau rela akan
membela muridmu yang telah kuketahui bukan seorang baik, itulah tinggal terserah atas
pertimbanganmu sendiri. Karena biarpun aku selalu berikhtiar buat coba mencegah
perselisihan ini, ternyata masih juga kau berkeras kepala tidak mau mendengari
nasihat2ku yang baik itu.”

“Kau sendiri berpihak pada musuhku," Tiong Liong memotong pembicaraan kakaknya
dengan wajah kemerah2an karena gusar, “buat apakah mesti dibicarakan tentang
kebaikanmu, yang hanya berarti baik bagi pihak musuh dan tidak baik bagi diriku sendiri ?”

Mendengar kata-kata yang diucapkan oleh adiknya itu, Tie Hwie jadi kelihatan semakin
mendongkol.

“Jadi dengan perkataan lain," katanya pada akhir-akhirnya, “kau ingini supaya peristiwa ini

233
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

dilanjutkan dengan suatu pertempuran yang menentukan ? Aku ulangi perkataanmu ini;
agar supaya selanjutnya kau jangan menyesal, apabila kau sendiri yang akan mengalami
apa-apa yang tidak enak nanti."

“Segala risiko akan kutanggung sendiri dan tidak akan minta pertolongan pada siapapun
juga !" kata Bie Tiong Liong yang kelihatan sudah hilang sabar dan selalu melirik pada Poan
Thian dan In Liong dengan sikap menantang.

Kedua orang itu yang memang mengharapkan juga akan lekas dapat mengakhiri
perselisihan itu, dengan hati berdebar2 tinggal menantikan jawaban Tie Hwie Taysu yang
terakhir.

Begitulah setelah berdiam sejenak, toosu tua itu lalu bertanya pada Sin-siu-tay-seng Bie
Tiong Liong: “Apakah kau sekarang telah siap sedia ?"

“Aku selalu siap sedia !" jawab yang ditanya dengan pendek.

Kemudian Tie Hwie menoleh pada kedua orang tetamunya itu.

“Kamu berdua janganlah menganggap bahwa omongan yang telah kuucapkan ini hanya
berarti main2 belaka," katanya. “Aku telah berdaya sedapat mungkin buat mendamaikan
urusanmu ini, tetapi semua — sebagaimana kamu juga mendengar sendiri tadi — tidak
berhasil dan tidak dapat tidak diakhiri dengan suatu pertempuran yang akan menentukan
salah satu pihak, yang mana lebih unggul atau rendah, biarpun sudah terang bahwa semua
kesalahan telah terjadi karena kesemberonoannya saudaraku ini.

Maka buat menghilangkan rasa penasaran saudaraku ini, aku minta dengan hormat supaya
Lie Siecu suka meladeni ia bertempur beberapa jurus. Bukan secara main2, tetapi kau boleh
unjukkan ilmu kepandaianmu seadanya dengan tak usah merasa seejie lagi."

Lie Poan Thian yang mendapat anjuran dan kesempatan akan mengakhiri perselisihannya
dengan jalan bertempur dengan Bie Tiong Liong yang pernah menggganggu dan melakukan
“perang dingin" dengan memakai nama kakaknya, sudah tentu saja jadi merasa girang dan
lalu mengucap terima kasih atas ijin yang telah diberikan oleh toosu tua itu.

“Tetapi oleh karena mengingat bahwa dalam suatu pertempuran tidak semua orang akan
“keluar" dengan badan utuh," katanya, “maka aku banyak harap supaya Lo-suhu sudi
memaafkan kepadaku, apabila dalam pertempuran ini aku kesalahan tangan sehingga
melukai pada saudaramu."

“Ya, ya, itulah memang ada suatu hal lumrah yang tidak usah kau jelaskan pula kepadaku,"
kata Tie Hwie Taysu, yang berbareng dengan itu, ingin coba menyaksikan juga sampai
dimana kepandaiannya Lie Poan Thian yang begitu disohorkan orang dikalangan Kang-ouw
sebagai si Kaki Sakti.

Maka dengan mengajak pihak yang bersangkutan kesuatu lapangan yang agak luas dan
terletak dibelakang kelenteng dengan dilingkungi pagar tembok tinggi, Tie Hwie Taysu lalu
kumpulkan semua murid-muridnya buat turut menyaksikan pertempuran itu, sambil dipesan
akan jangan bersorak-sorak atau menerbitkan suara ribut yang akan dapat menarik
perhatian orang yang kebetulan melewat diluar atau dimuka kelenteng itu.

Begitulah setelah kedua pihak telah saling berhadapan di tengah lapangan, Tie Hwie Taysu
lalu memberi tanda bahwa pertempuran itu boleh segera dimulai.

Dalam pada itu, dengan tidak menunggu lagi sampai sang toosu selesai berbicara, Sin-siu-

234
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

tay-seng Bie Tiong Liong segera menerjang pada Lie Poan Thian dengan menggunakan
siasat Go-houw-pok-yang, atau harimau kelaparan menerkam kambing.

Ilmu pukulan itu memang amat cepat dan sangat berbahaya bagi seorang yang kurang
paham ilmu silat, tetapi bagi seorang yang sudah ulung dalam pertempuran sebagai Lie
Poan Thian, ilmu pukulan itu seakan-akan merupakan remeh yang hampir tidak ada artinya
sama sekali.

Tetapi karena ia ada seorang yang tidak suka memandang ringan pada musuh-musuh dari
tingkat yang mana juga, maka ia selalu bisa berlaku tenang dan melakukan penjagaan
dengan baik pada tiap-tiap pukulan yang orang telah ajukan kepada dirinya. Apalagi karena
ia telah menduga bahwa Bie Tiong Liong akan “ngepiah" buat merobohkan padanya sebagai
lawan dan musuh besar dari muridnya sendiri, sudah tentu saja ia belum mau sudah apabila
belum melihat Poan Thian rebah di tanah dengan mendapat luka-luka parah yang bisa
membahayakan jiwa dan mengalami keruntuhan nama baiknya yang telah sekian lamanya
mengharum dikalangan Kang-ouw.

Begitupun Lie Poan Thian yang tidak mau dinodakan namanya oleh seorang yang belum
begitu tersohor sebagai dirinya sendiri, selalu berjaga-jaga dan menunjukkan
kepandaiannya dengan dimulai dari gerak-gerakan yang kendor dahulu, kemudian semakin
cepat dalam babak2 berikutnya.

Poan Thian yang melihat dengan tegas bahwa letaknya kelemahan pihak musuhnya itu
adalah dibagian kaki, (yang toh dengan secara berani mati ia “membual" Sin-tui dengan
memakai gelaran kakaknya), diam-diam jadi geli dihati dan kemudian lalu mulai
mempertunjukkan serentetan tendangan-tendangan yang telah diperlihatkannya di hadapan
Bie Tiong Liong, dengan pengharapan supaya musuh itu bisa mengarti bahwa apa yang
telah bikin ia terkenal dikalangan Kang-ouw, bukanlah SIN-TUI tetiron seperti apa yang
pernah “dipamerkan" oleh Tiong Liong dengan memalsukan nama julukan orang lain.

Sementara Tiong Liong sendiri yang ternyata mengarti juga apa maksudnya pemuda kita
berbuat begitu, sudah tentu saja jadi amat mendongkol dengan “sentilan halus" itu. Maka
dengan tidak memikirkan pula akan akibat2 daripada perbuatan-perbuatan yang
dilakukannya pada saat itu, Tiong Liong lalu “ngepiah" dengan mengajukan berbagai macam
ilmu pukulan lihay yang ia pernah yakinkan seumur hidupnya.

Tetapi karena segala rahasia kelemahannya telah diketahui cukup jelas, sudah barang tentu
tidak sukar buat Poan Thian membikin setiap gerakannya Bie Tiong Liong jadi “ngawur",
dengan jalan mengajukan serangan-serangan yang hebat kearah bagian-bagian yang lemah
dari pihak lawannya itu.

Tie Hwie Taysu yang sekian lamanya menaruh perhatian atas ilmu tendangan yang
dipergunakan oleh Lie Poan Thian, diam-diam ia jadi memuji didalam hati atas kebagusan
dan kegesitan pemuda kita yang telah mempertunjukkan ilmu kepandaiannya itu. Bahkan In
Liong sendiri yang telah sekian lamanya tidak pernah menyaksikan sang sutee bersilat,
dengan tidak terasa lagi jadi kelepasan omong dan mengatakan : “Ah, sungguh tidak
kunyana bahwa ilmu kepandaianmu telah maju sedemikian pesatnya !"

Tie Hwie yang mendengar pujian In Liong untuk alamat adik seperguruannya itu, dengan
tersenyum lalu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mencampuri bicara: “Benar,
benar. Itulah memang suatu ilmu tendangan sangat lihay yang pernah kusaksikan seumur
hidupku, walaupun aku sendiri mempunyai nama gelaran yang sama pada beberapa puluh
tahun yang lampau itu. Maka dengan menyaksikan ilmu kepandaian Lie Siecu ini, aku harus
akui bahwa adikku yang keras kepala itu bukanlah merupakan lawannya yang setimpal,

235
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

hingga kekalahan baginya hanya tinggal menunggu beberapa saat lagi saja lamanya."

Dan selagi Tie Hwie hendak melanjutkan omongannya, mendadak Tiong Liong yang berkelit
sambil berjongkok dari tendangan Lie Poan Thian yang dijujukan pada bagian
kempungannya, dengan gerakan secepat kilat telah memukul dari bawah kebagian atas,
sehingga kalau pukulan itu tidak lekas dihindarkan, pemuda kita akan menjadi korban
terpukul bagian anggota rahasianya dengan ilmu pukulan Ya-ce-chut-hay yang sangat
berbahaya itu.

Poan Thian sendiri yang menyaksikan Tiong Liong menggunakan ilmu pukulan itu, bukannya
tidak kuatir atau terperanjat, tetapi karena ia biasa berlaku tenang didalam keadaan kesusu,
maka sikapnya yang kuatir dan kaget itu hampir tidak kentara pada paras mukanya.

Semulanya In Liong tidak menyangka akan bahaya yang sedang di hadapkan suteenya itu,
dan ia baru mendusin setelah melihat Poan Thian menjatuhkan diri kebelakang dengan
menggunakan tipu Say-cu-hwan-sin, pukulan Bie Tiong Liong telah jatuh ke tempat kosong!

“Aih, sungguh tak kunyana bahwa jalannya pertempuran bisa jadi begitu rupa!" kata In
Liong dengan rupa terkejut.

Sekarang kita mengikuti pada Bie Tiong Liong, yang setelah melihat pukulannya luput,
segera ia berlompat bangun dan maju merangsek sambil berniat akan menendang. Tetapi
Poan Thian yang seolah-olah telah dapat menerka dari dimuka apa maunya sang lawan itu,
buru-buru berlompat bangun dan mencelat keatas dengan menggunakan siasat Lee-hie-ta-
teng, kemudian diwaktu turunnya kebawah, ia telah menggunakan dua-dua kepalannya
buat menumbuk kepala Bie Tiong Liong dengan menggunakan siasat jie-lui-ta-kun-san, atau
dua geledek yang memukul gunung Kun-san.

Orang tua itu telah berhasil dapat mengelakkan salah satu tinju pemuda kita yang
menyamber padanya dari sebelah atas, tetapi tinju Lie Poan Thian yang lainnya telah
berhasil tiba di-bahunya dan bikin ia berteriak karena kesakitan : “Aduh !"

Tiong Liong roboh dan jatuh terlentang dimuka bumi. Tetapi pada sebelum kaki Poan Thian
menginjak tanah, tiba-tiba ia berlompat bangun sambil meluncurkan tendangan berantai
Wan-yio-lian-hwan-tui!

“Aya !" Poan Thian berteriak dengan hati terkesiap.

Oleh karena gerakan tendangan itu yang amat cepat dan sukar disingkirkan, maka Tie Hwie
dan In Liong pun jadi teturutan menyebut: “Celaka!"

Dalam pada itu Lie Poan Thian yang melihat tidak ada jalan lain buat meluputkan diri,
segera dengan sebat ia cekal kaki kiri Bie Tiong Liong yang menendang kearah ulu hatinya,
tetapi berbareng dengan itu, kaki kanannya Tiong Liong pun telah sampai, hingga Poan
Thian terpaksa mencekal kaki itu dengan tangan kirinya, kemudian ia lemparkan orang tua
itu sehingga beberapa belas kaki jauhnya !

“Aya! Celaka !" Poan Thian berkata pada diri sendiri.

Karena biarpun tendangan-tendangan itu tidak mengenai dengan langsung pada dirinya,
sedikitnya ia bisa rasakan juga bagaimana tenaga yang keluar dari kaki2 yang menendang
itu telah berhasil juga melukai dan membikin sebelah paru-parunya tergoncang, biarpun
luka itu tidak seberapa berat atau cukup membahayakan bagi jiwanya.

Sementara Bie Tiong Liong yang dilemparkan oleh pemuda kita, segera berputar2 sampai

236
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

beberapa kali, kemudian barulah jatuh ketanah dan berdiri tegak bagaikan tak terjadi apa-
apa!

“Sungguh bagus sekali ilmu kepandaian saudaramu ini !" memuji In Liong sambil menoleh
pada Tie Hwie Taysu.

Toosu tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya, tanpa berkata-kata barang sepatahpun,


tetapi matanya selalu ditujukan pada Lie Poan Thian yang ia tahu telah mendapat luka
karena tendangan saudaranya tadi. Hal mana, pun bukan tidak diketahui oleh Hoa In Liong,
tetapi ia tidak menjadi kaget atau kecil hati, berhubung luka itu tidak sukar akan
disembuhkannya.

Menurut aturan, Poan Thian tidak boleh melanjutkan pula pertempuran itu. Ia harus
beristirahat dan berobat, walaupun lukanya itu tidak berapa berbahaya. Tetapi pemuda kita
yang tidak suka mengunjukkan kelemahan diri sendiri, bukan saja tidak mau berbuat begitu,
malah sebaliknya ia bersumpah di-dalam hati bahwa Bie Tiong Liong ia harus bisa robohkan
dahulu, kalau saja ia mesti mati dalam pertempuran ini. Dan jikalau seumpama Tiong Liong
tak dapat dikalahkan, ia akan menetapkan suatu tanggal dimana ia akan bertempur dengan
mati-matian dengan disaksikan oleh orang banyak.

Demikianlah keputusan yang telah diambil oleh pemuda kita itu.

Maka ketika buat kedua kalinya Tiong Liong maju menerjang, Poan Thian lalu sengaja
berlaku kendor, guna memancing pihak musuhnya akan datang mendekati.

Sebegitu lekas Tiong Liong membuka serangan baru, Poan Thian lalu bentangkan kedua
tangannya dengan siasat Pek-ho-liang-cie, atau bangau putih membentangkan sayap,
hingga orang tua she Bie itu yang menyangka Poan Thian kehabisan tenaga untuk
bergebrak pula dengan ilmu tendangan-tendangannya yang berat dan meminta banyak
tenaga, lalu maju menerjang dengan ilmu-ilmu pukulan yang cepat dan dapat menewaskan
jiwa. Padahal ia tidak pernah pikir bahwa Poan Thian bisa sapu seluruh ilmu pukulan itu
dengan hanya satu kali jalan saja, ialah menjujukan serangan kilat pada bagian lemah sang
musuh dengan ilmu tendangan yang ia memang sangat paham.

Maka jikalau ia ingat bagaimana ia telah kena “dicepol” dengan ilmu tendangan Wan-yio
Lian-hwan-tui oleh Sin-siu-tay-seng Bie Tiong Liong tadi, Poan Thian sungguh malu bukan
buatan karena tidak patut akan seorang ahli dalam ilmu menendang, bisa kena dilukai
dengan ilmu yang dipahaminya itu. Maka buat membalas atas serangan sang musuh itu
tadi, Poan Thian telah mengambil keputusan akan “mengembalikan" itu dengan disertai
bunganya sekaligus, sehingga dengan begitu, ia boleh tidak usah merasa penasaran lagi
atas kelalaiannya itu.

Begitulah setelah pertempuran itu berlangsung pula sampai beberapa belas jurus lamanya,
Poan Thian lalu tunjukkan pula “tangan besinya", dengan jalan mempergunakan lain macam
ilmu tendangan yang ia telah sengaja “simpan" karena merasa seejie pada Tie Hwie, buat
keluarkan itu guna mencelakai pada Bie Tiong Liong yang menjadi saudaranya.

Tetapi kenyataan telah mengunjuk dengan tegas sekali, apabila ia tidak mau turun tangan
sebagaimana mestinya, ia sendirilah yang akhirnya akan menjadi korban dari sang musuh
itu.

Jadi dengan begitu, ia boleh merasa seejie terhadap toosu itu, tetapi tidak mestinya ia
berlaku seejie pada Bie Tiong Liong yang menjadi musuhnya. Tidak perduli akibat apa yang
akan dialaminya nanti.

237
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Jikalau aku tidak berlaku seejie seperti tadi," pikir Lie Poan Thian didalam hatinya, “niscaya
aku tidak sampai dicelakai orang. Ah ! Dasar goblok sekali aku ini!"

Tetapi beras yang sudah menjadi nasi biar bagaimanapun tak dapat dikembalikan menjadi
beras pula.

Maka setelah menetapkan pikirannya, Poan Thian lalu mengajukan ilmu Sauw-tong Lian-
hwan-tui yang telah diciptakannya sendiri, dan kemudian disempurnakan pula oleh Kak Seng
Siang-jin dari kelenteng Liong-tam-sie. Ilmu tendangan ini agak bertentangan gerak-
gerakannya dengan ilmu-ilmu Lian-hwan-tui yang biasa, oleh sebab itu, maka tidak sedikit
ahli-ahli silat yang telah dirobohkan oleh pemuda kita, berhubung mereka tidak menyangka
sama sekali bahwa dalam ilmu tendangan tersebut terdapat gerak-gerakan yang luar biasa
itu.

Demikian juga setelah Tiong Liong menyaksikan keistimewaan ilmu tendangan yang
sekarang diajukan oleh pihak lawannya, iapun segera dapat membayangkan sendiri, betapa
besarnya bahaya yang sedang mengancam pada dirinya itu. Tetapi, seperti juga seorang
yang menunggang harimau dan tak berani turun karena kuatir diterkam, Tiong Liong apa
boleh buat melanjutkan juga pertempuran itu, walaupun harapan menang dengan
mendadak sontak telah buyar bagaikan awan yang tertiup angin.

Sementara Lie Poan Thian yang melihat musuhnya telah keteter, segera ia menghujani
tendangan-tendangan yang amat gencar dan akhirnya telah bikin Tiong Liong pusing dan
jatuh-bangun sehingga beberapa kali, tetapi kekerasan hatinya orang tua itu tidak menjadi
lumer dan tinggal tetap ia berlaku agung dengan tak mau menyerah mentah-mentah. Oleh
sebab itu, pemuda kitapun jadi semakin sengit dan semakin gencar pula mempergunakan
tendangan-tendangannya.

Dan ketika Tiong Liong terpaksa menyebut: “Lie Poan Thian! Sekarang aku suka menyerah
kalah kepadamu !" tendangan pemuda kita sudah tak dapat ditahan pula. Dan berbareng
dengan terdengarnya suara yang mirip dengan dua benda yang saling bertubrukan dengan
hebat, Tiong Liong menjerit dan terlempar ketengah lapangan dengan dada melesak dan
dari mulutnya memuntahkan darah hidup yang menyemprot keluar bagaikan air yang
muncrat dari sebuah pipa yang pecah !

Hal mana, sudah barang tentu telah membikin semua orang yang berkumpul disitu jadi
sangat terperanjat.

Lalu Hoa In Liong, Tie Hwie Taysu dan toosu2 kecil yang menyaksikan pertempuran itu pada
datang berkerumun buat menolong orang tua yang celaka itu. Dan ketika baju Tiong Liong
yang penuh darah ditanggalkan, ternyata pelindung hatinya yang dibuat daripada baja tipis
telah pecah kena tertendang oleh Lie Poan Thian, sedangkan pecahan baja itu pada
menancap kedadanya Tiong Liong yang melesak karena beberapa tulang rusuknya telah
patah !

Menyaksikan keadaan lawannya yang sedemikian payahnya itu, buru-buru Poan Thian maju
memberi hormat pada Tie Hwie Taysu buat meminta maaf atas kesemberonoannya itu.
Tetapi toosu tua itu lantas berkata : “Inilah justru ada kecelakaan yang aku berniat akan
cegah, tetapi sekarang sudah kasip akan dapat dihindarkannya. Kau tidak bersalah, Lie
Siecu; juga tidak usah kau menyesal oleh karenanya."

Maka setelah Tiong Liong diangkut kedalam kelenteng dan dirawat luka-lukanya
sebagaimana mestinya, barulah Poan Thian mendapat giliran buat diobati dan lalu diminta
oleh Tie Hwie supaya diapun suka beristirahat juga dikelenteng itu untuk beberapa hari

238
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

lamanya.

Poan Thian mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan toosu tua itu. Demikian juga In
Liong yang menyaksikan sikap Tie Wie yang sportif itu, tidak lupa menyatakan kekaguman
hatinya dan berterima kasih atas kesudiannya buat menerima adik seperguruannya akan
menumpang beristirahat ditempat kediamannya.

“Apabila pertempuran itu tidak membawa kesudahan yang agak hebat itu,” kata Tie Hwie,
“niscaya adikku belum puas hatinya dan urusan akan tinggal meruncing terus dengan tidak
sudah-sudahnya. Luka-lukanya Tiong Liong itu memang kelihatan berbahaya, tetapi aku
percaya ia akan dapat disembuhkan setelah meminta waktu pengobatan dan perawatan
yang agak lama. Ia akan sembuh kembali, tetapi bersamaan dengan itu, ia akan menjadi
cacad dan tak berguna lagi seumur hidupnya."

Mendengar keterangan begitu, Hoa In Liong lalu menyatakan penyesalannya dan


persalahkan Poan Thian yang telah berlaku “terlampau keras", buat mana ia menghaturkan
maaf sebesar-besarnya atas perbuatan adik seperguruannya itu.

“Tiong Liong bukan anak kecil," kata sang toosu, “hingga ia tak boleh menyesal akan
memetik buah buruk dari akibat perbuatan-perbuatannya yang tidak baik itu."

Demikianlah, setelah mereka beromong-omong pula buat beberapa saat lamanya, Tie Hwie
lalu persilahkan In Liong akan masuk tidur.

Pada hari esoknya sehabisnya bersantap pagi, Hwat Lok telah datang melaporkan pada
gurunya bahwa diluar ada dua orang tetamu yang datang berkunjung dengan diantar oleh
seorang pelayan rumah penginapan dimana Poan Thian dan In Liong menumpang.

“Kedua orang itu," katanya lebih jauh, “hendak mencari pada Lie Kok Ciang dan Hoa In
Liong jiwie Siecu. Tetapi belum tahu apakah jiewie Siecu yang berada disini bernama begitu
atau bukan ?”

“Ya, ya, benar," sahut In Liong, “itulah ada kami berdua yang mereka cari."

“Persilahkanlah mereka itu masuk," kata Tie Hwie Taysu.

Sementara Poan Thian yang mendengar ada orang yang mencari pada mereka, lalu berniat
akan bangun dari pembaringan, tetapi Tie Hwie lekas mencegahnya sambil berkata: “Lie
Siecu tidak perlu keluar menyambut sendiri. Disini ada Hoa Siecu yang akan mewakilkan
kau."

“Itu benar," In Liong menambahkan.

Kedua orang tamu itu yang bukan lain daripada Cin Kong Houw dan Lauw Thay, buru-buru
memberi hormat dan mengucap : “Selamat pagi, Lo-suhu ! Selamat pagi Hoa Toako !"

“Selamat pagi!" kata Tie Hwie dan In Liong dengan suara yang hampir berbareng.

“Dari setadian aku telah menduga-duga," kata In Liong dengan paras muka yang berseri-
seri, “bahwa kedua orang tamu itu tentunya bukan lain daripada kamu berdua."

“Marilah, silahkan jiewie duduk," kata Tie Hwie dengan sikap yang ramah-tamah.

Kedua orang itu setelah perintah pelayan tadi kembali ke rumah penginapan dengan
diberikan persenan berupa uang, mereka lalu menanyakan pada In Liong, mengapakah
Poan Thian tidak tampak disitu ?

239
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

In Liong lalu tuturkan peristiwa apa yang telah terjadi pada malam kemarin, hingga kedua
orang itu jadi kaget dan lantas memohon pada Tie Hwie Taysu, supaya mereka
diperbolehkan menyambangi Poan Thian dan Bie Tiong Liong yang telah menderita luka-
luka dalam pertempuran itu.

“Saudaraku sekarang masih tidur," kata si toosu. “Oleh sebab itu, biarlah kita pergi
sambangi Lie Siecu saja."

Cin Kong Houw dan Lauw Thay menurut. Maka dengan diantar oleh Tie Hwie, mereka dan
In Liong lalu menyambangi Poan Thian yang rebah di pembaringan dan dilarang bergerak
oleh toosu tua itu.

Tetapi karena Poan Thian tidak diperbolehkan bicara, maka setelah menyambangi beberapa
saat lamanya, merekapun lalu kembali keruangan pertengahan, dimana Kong Houw dan
Lauw Thay disuguhkan air teh dan sedikit bebuahan kering oleh Hwat Lok, yang selalu
mengarti cara bagaimana buat melayani para tamu yang berkunjung ke kelenteng mereka,
sehingga Tie Hwie tidak perlu lagi akan memerintahkannya cara bagaimana ia mesti berbuat
terhadap pada tamunya itu, tidak perduli apa ia kenal atau tidak pada orang-orang yang
datang berkunjung itu.

Disini, setelah mereka saling menyatakan rasa kagum dan terima kasih mereka atas
kebaikan sang toosu kepada sahabat-sahabat mereka, Cin Kong Houw lalu menyatakan
pikirannya akan mengajak Poan Thian kembali ke tempat kediamannya didalam kota, yang
jaraknya memang tidak berapa jauh dengan kelenteng itu. Tetapi Tie Hwie menyatakan
tidak berkeberatan buat merawat dahulu sampai Poan Thian sembuh betul dari lukanya,
barulah kemudian berpindah tinggal kedalam kota. Hanya karena Kong Houw meminta
dengan sangat, supaya Tie Hwie tidak usah membikin banyak susah dengan merawat dua
orang yang sakit dengan berbareng, maka apa boleh buat toosu itupun mengabulkanlah
permintaannya Cin Kong Houw itu.

Maka setelah In Liong pergi membayar uang sewa rumah penginapan dan sekalian juga
mengambil pauwhok Poan Thian dan punyanya sendiri, lalu ia berpamitan pada Tie Hwie
dan mengikut pada Kong Houw dan Lauw Thay akan kembali ke kota Kim-leng, buat bantu
merawat Poan Thian yang sebelum pemuda itu boleh bergerak pula seperti sediakala.

Sebulan telah lalu. Pada suatu hari ketika Poan Thian tengah duduk pasang omong dengan
In Liong dan Kong Houw suami-isteri, mendadak ada seorang piokhek yang masuk
melaporkan bahwa diluar ada seorang tua dari Ceelam bernama Louw Cu Leng yang minta
bertemu dengan pemuda kita.

Poan Thian yang diberi kabar begitu, dengan tidak terasa lagi jadi berjingkrak saking
kegirangan, karena ia hampir tidak mau percaya pendengarannya bahwa sahabat lawas itu
bisa datang juga ke kota Kimleng dalam cara yang begitu tiba-tiba.

“Apakah dia itu bukan Sin-kun Louw Cu Leng yang dahulu pernah bertempur denganmu
dikelenteng Tay-seng-tian ?” bertanya Hoa In Liong seperti juga orang yang memikirkan
apa-apa.

“Ya, benar," sahut pemuda kita, “Itulah memang dia, seorang jago tua yang namanya
sangat terkenal dikalangan Kang-ouw di masa ini."

Kemudian ia ajak semua orang keluar menyambut orang tua itu.

Sin-kun Louw Cu Leng meski usianya sudah lanjut, tetapi gerakan-akannya masih gesit dan
sama gagahnya dengan seorang yang usianya baru 30 tahun lebih. Rambut, misai dan

240
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

jenggotnya sudah putih semua, tetapi tubuhnya masih tetap kekar dan kuat, meski sedikit
perubahan terjadi semenjak ia pertama bertemu dengan pemuda kita, ialah punggungnya
tampak agak bungkuk.

Maka setelah ia dan yang lainnya memberi hormat, Poan Thian lalu menjabat tangan
sahabat itu sambil berkata: “Aku sama sekali tidak nyana bahwa pada hari ini ada angin baik
yang telah membawa kau ke kota Kim-leng. Oleh sebab itu, aku harap supaya Lo-enghiong
sudi memaafkan, apabila aku tidak keburu datang menyambut padamu dari kejauhan."

“Ah, buat apa Lao-tee meski berlaku begitu sungkan, sedangkan kita orang semua toh ada
orang-orang sendiri juga," kata orang tua itu sambil tertawa.

Setelah itu Kong Houw lalu panggil semua pio-khek2 buat diperkenalkan pada jago tua itu,
kemudian dengan beramai2 mereka mengadakan beberapa meja perjamuan untuk
menghormati pada Cu Leng, hingga orang tua itu jadi kelihatan sangat girang atas
penyambutan sekalian sahabat-sahabatnya yang begitu hangat dan ramah-tamah.

Dan tatkala Poan Thian menanyakan bagaimana Cu Leng ketahui yang ia menumpang pada
Kong Houw, orang tua itu lalu tuturkan tentang pertemuannya dengan Tie Hwie Taysu, dari
siapa ia mendapat keterangan tentang terjadinya pertempuran antara pemuda kita dengan
adiknya si toosu pada beberapa waktu yang lampau itu, dalam pertempuran mana Tiong
Liong telah menderita luka-luka dan sehingga pada hari itu belum juga diperbolehkan turun
dari pembaringan oleh Tie Hwie yang menjadi kakaknya.

“Lohu dan Tie Hwie — atau yang dimasa mudanya terkenal dengan nama gelaran Sin-tui Bie
— sebenarnya ada dua orang musuh besar yang saling bersaingan dengan hebat dikalangan
Kang-ouw untuk berebut gelaran jago," kata orang tua itu. “Tetapi karena kemudian kita
telah berbalik pikir dan insyaf bahwa cara kita itu bukan suatu persaingan yang sehat, maka
akhirnya kita lantas saling meminta maaf satu sama lain atas kegoblokan kita itu, dan
semenjak itu kita telah bersahabat kekal sehingga pada hari ini.

Aku sendiri sebenarnya tidak tahu-menahu tentang peristiwa ini atau dimana sekarang
Laotee berada, kalau saja kemarin malam — ketika aku berkunjung ke Ceng-hie-koan — Tie
Hwie tidak menceritakan padaku tentang kejadian ini. Dan dalam pembicaraannya, Tie Hwie
sangat sesalkan adiknya yang keras kepala itu, sehingga ia mesti mengalami kecelakaan
yang membikin ludes seluruh nama baiknya yang telah mengharum dikalangan Kang-ouw
sekian tahun lamanya.

Sementara dalam omong-omong dengan Tiong Liong sendiri, aku telah mendapat
keterangan banyak sekali tentang segala perbuatannya, bagaimana ia telah membikin kau
mengalami banyak kepusingan, semenjak ia mengganggu padamu dikelenteng rusak, se-
hingga kau bertempur di Ceng-hie-koan dan melukai padanya, buat mana — dengan secara
berterang — aku sesalkan benar atas perbuatan-perbuatannya yang tidak baik itu."

Semua orang mendengari penuturan orang tua itu dengan penuh perhatian.

“Belum tahu diwaktu kau beromong-omong dengan Tiong Liong," kata Poan Thian, “apakah
ia pernah menceritakan juga cara bagaimana ia telah berhasil dapat “mengambil" pakaianku
yang basah ketika aku sedang bersemedi ?”

“Ya, hal itupun ia telah ceritakan juga kepadaku," kata Louw Cu Leng, “yaitu tatkala kau
sedang bersemedi, Tiong Liong yang bersembunyi diatas para disebelah atas kepalamu,
telah kail pakaianmu dengan menggunakan galah. Itulah sebabnya mengapa kau tidak
ketahui dengan jalan bagaimana orang telah ambil pakaianmu."

241
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Ah !" kata pemuda kita yang sama sekali tidak menyangka bahwa pakaiannya telah dicuri
secara demikian.

“Sementara Tiong Liong sendiri yang menyangka bahwa perbuatannya ini akhirnya akan
dapat diketahui juga olehmu," kata Cu Leng, “sebenarnya telah bersedia akan menempur
kau dikelenteng rusak itu. Tetapi oleh karena kau tidak pernah menyangka ia bersembunyi
diatas para, maka urusan telah berlangsung dengan tidak terjadi apa-apa.

Maka sebegitu lekas kau keluar dari kelenteng tersebut pada malam itu juga, Tiong Liong
lalu bawa pergi pauwhokmu dan titipkan itu pada pemilik rumah makan, yang kemudian
telah kau jumpai dan memanggil-manggil ketika kau berjalan lewat dimuka rumah makan
itu.

Si pemilik rumah makan ini, yang memang telah dipesan oleh Tiong Liong bagaimana ia
mesti menjawab apabila ditanyakan olehmu, sudah tentu saja memberikan keterangan yang
menyimpang, sehingga kau menyangka bahwa pencuri pauwhokmu itu adalah seorang
muda, yang — kalau aku tidak keliru — dikatakannya berpakaian biru dengan menyoren
pedang."

“Ya, ya, benar begitu," Poan Thian memotong pembicaraan orang. “Hal mana, pun
bersamaan saja dengan keterangan pelayan rumah makan di Ca-kee-chung, yang juga telah
disuruh mengatakan begitu oleh Bie Tiong Liong, tetapi kemudian telah mengaku juga
dengan sebenarnya setelah aku gertak dan ancam akan mengambil tindakan keras, apabila
ia berani menjustakan aku."

“Tetapi urusan itu sekarang telah menjadi beres," kata Louw Cu Leng, “maka tidak baik
akan saling mendendam mengenai peristiwa-peristiwa celaka itu. Apalagi ia ada saudara
kandung Tie Hwie Taysu atau Sin-tui Bie yang tulen, maka kita harus pandang padanya dan
mengakhiri permusuhan itu sampai disitu saja. Karena, biarpun Tiong Liong masih tetap
memusuhi kepadamu, iapun selanjutnya tak akan bisa berbuat apa-apa pula, berhubung ia
akan menjadi seorang yang tidak berguna lagi oleh karena tendanganmu itu, meskipun
umpama luka-lukanya itu kemudian dapat disembuhkan."

Semua orang menyetujui atas omongan orang tua itu.

Dan tatkala pada akhirnya Kong Houw memberitahukan pada Louw Cu Leng bahwa Poan
Thian akan menikah dengan nona Giok Tin, orang tua itu jadi kelihatan girang dan
mengharap akan bisa turut hadir juga dalam pesta pernikahan itu. Buat mana Poan Thian
yang mengetahui bahwa Louw Cu Leng itu ada seorang jujur dan tidak pernah salah janji,
sudah barang tentu segera mengucap banyak2 terima kasih atas kecintaan sahabat lawas
itu.

Demikianlah perjamuan makan minum itu telah berlangsung sehingga hari menjelang senja,
barulah semua orang pada bubaran dan pergi ketempat masing-masing untuk beristirahat.

Pada malam itu Cu Leng bermalam di rumah Kong Houw dan tidur bersama-sama Poan
Thian disebuah pembaringan.

“Banyak tahun aku telah hidup di dunia ini," kata Cu Leng sambil menguap, “tetapi tidak
sama dengan banyaknya urusan yang kudengar terjadi diluaran seperti juga dalam tahun
ini."

“Benar," menyetujui Lie Poan Thian.

“Dunia ini sudah tua dan semestinya sudah mengalamkan beberapa kali perubahan," Cu

242
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Leng melanjutkan, “tetapi keadaan masih tinggal tetap buruk dan agaknya akan tinggal
tetap begitu, apabila manusia yang menjadi para penduduknya belum juga mempunyai
keinsyafan akan menuju kearah perdamaian. Dan setelah orang ingat pada perdamaian,
pada umumnya sang waktu sudah kasip dan sukar diperbaiki oleh karena akibat2 daripada
kerusakan-akan yang telah dideritanya itu.

Sebagai salah satu contoh yang terdekat, aku boleh kemukakan soalnya Bie Tiong Liong,
yang setelah ia mendapat luka yang sukar dapat memulihkan keadaannya pada waktu
dahulu pula, barulah ia merasa menyesal atas segala perbuatannya yang sesat itu ............"

“Dan penyesalan itu," Poan Thian memotong pembicaraan orang, “tentunya ditimpahkan
langsung atas diriku. Apakah bukan begitu, Louw Lo-enghiong ?"

“Hal itu tak pernah aku dengar diucapkannya," sahut jago tua itu. “Tetapi meski didalam
hati ia mungkin bermaksud begitu, tetapi ia sekarang sudah tidak berdaya lagi akan
membalas dendam kepadamu. Ia sudah cacad."

“Itu benar," kata Lie Poan Thian, “ia sudah tak mampu pula akan melawan padaku, tetapi ia
masih mempunyai mulut yang ada kemungkinan akan dapat juga menghasut kekiri-kanan,
agar supaya aku jadi celaka didalam tangan orang lain. Dan meskipun dia tak dapat berbuat
apa-apa, tetapi dengan secara tidak langsung ia bisa juga membalas dendam dengan
menggunakan tenaga orang lain, yang dianggapnya mempunyai ilmu kepandaian yang
seimbang dengan diriku."

“Apakah barangkali kau menyangka Tie Hwie akan dapat dihasut olehnya?" kata orang tua
itu, yang seolah-olah hendak menyelami rahasia hati pemuda kita.

“Tie Hwie Taysu itu adalah kakak kandung Tiong Liong," kata Lie Poan Thian. “Oleh sebab
itu, apakah ia sesungguhnya merasa rela melihat adiknya dilukai orang sampai begitu?"

“Kecurigaanmu ini memang sesungguhnya masuk akal juga," kata Cu Leng. “Tetapi
berdasarkan pengetahuanku selama aku bergaul dgn Tie Hwie beberapa belas tahun
lamanya, aku rasanya tak percaya akan Tie Hwie bertindak hingga sejauh itu, walaupun
Tiong Liong benar saudara kandungnya. Ia ada seorang jujur yang tidak suka mengeloni
pada sesuatu pihak yang olehnya dianggap bersalah, tidak perduli orang itu sanak
saudaranya atau orang lain. Dan itulah sebabnya mengapa ia tidak bisa hidup akur dengan
adiknya itu."

“Sudikah kiranya Lo-enghiong menuturkan padaku bagaimana sikap kedua orang ini, dalam
kalangan persaudaraan mereka menurut apa yang telah kau ketahui ?" bertanya Lie Poan
Thian setelah berdiam beberapa saat lamanya.

“Mereka ini," sahut Louw Cu Leng, “memang sesungguhnya tak dapat hidup bersama-sama
disatu tempat. Coba saja kau lihat nanti. Jikalau Tiong Liong sudah sembuh dan dapat
bergerak seperti biasa lagi, ia lantas berlalu dari Ceng-hie-koan dengan tidak berpamitan
lagi. Tiong Liong ini ada seorang yang kurang penerima. Di waktu susah atau kesakitan, ia
ingat pada saudaranya, tetapi dalam kesehatan dan kesenangan, ia lupa pada saudaranya
hingga tampaknya ia lebih suka membagi2 kesenangan itu pada orang lain daripada saudara
kandungnya sendiri. Apakah manusia serupa itu boleh dikasihani orang ?”

“Oh, oh, begitu,” kata Poan Thian yang baru tahu benar tentang perhubungan persaudaraan
Tie Hwie dan adiknya itu.

Maka dengan diperolehnya keterangan-keterangan dari Louw Cu Leng itu, barulah hati
pemuda kita merasa lebih lega dan tidak antara lama iapun tidak terdengar berbicara pula.

243
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Demikianpun orang tua itu. Mereka berdua telah kepulesan, sehingga pembicaraan
merekapun telah jadi terputus sampai disitu.

Pada hari esoknya ketika Kong Houw selesai melayani duduk bersantap pagi pada jago tua
itu dan sahabat-sahabatnya, mendadak muncul seorang piokhek yang membawa
menghadap seorang dari Ca-kee-chung yang membawa surat untuk Lie Poan Thian.

“Tuan-tuan," kata si pembawa surat sambil memberi hormat pada orang banyak. “apakah
boleh aku numpang tanya yang mana satu antara kamu yang bernama Lie Poan Thian
Toako ?”

Sikap orang itu tidak dapat dikatakan hormat, tetapi agak congkak dan kasar, hingga ini
telah membikin orang banyak jadi mendongkol dan hampir tidak suka meladeninya
bercakap-cakap.

Tetapi Poan Thian yang disebutkan namanya dan dicari oleh orang itu, apa boleh buat
menahan hatinya yang jengkel dan lalu menjawab: “Itulah aku sendiri. Belum tahu saudara
ada urusan apa mencari padaku ?”

“Disini ada sepucuk surat yang Chung-cu-ya perintah aku sampaikan sendiri kepadamu,"
sahut orang itu.

Sambil berkata begitu ia lantas keluarkan sepucuk surat yang lalu diterimakan kepada Lie
Poan Thian.

Tetapi sebegitu lekas Poan Thian mengulurkan tangannya akan menerima surat itu, tiba-tiba
si pembawa surat telah menggerakkan tangannya secepat kilat dan menyolok kedua biji
mata pemuda kita dengan menggunakan siasat Thian-ong-tok-tha, atau raja malaikat
menyanggap mercu. Syukur juga Poan Thian yang dari setadian telah memperhatikan
dengan teliti gerak-gerik orang itu, lebih siang telah berjaga-jaga dan mengarti tentang
datangnya gelagat yang tidak baik itu. Maka sebegitu lekas orang itu menggerakkan
tangannya buat menyolok kearah matanya, buru-buru ia miringkan kepalanya sambil
dengan tangan kirinya menyampok tangan orang itu, sedangkan kaki kanannya lantas
menendang sambil membentak : “Kurang ajar ! Tidak kunyana kau telah datang kesini buat
mencari setori! Mari, mari, kita boleh bertempur di atas pekarangan yang luas diluar
halaman ini!"

Sementara orang itu setelah menghindarkan diri daripada tendangan pemuda kita, iapun
buru-buru berlompat keluar sambil menantang : “Ayo ! Marilah kita menentukan siapa salah
seorang antara kau dan aku yang lebih unggul atau rendah!"

Sementara orang banyak yang mendengar tantangan itu, sudah tentu saja jadi sangat
mendongkol dan lalu berlomba akan meladeninya bertempur, tetapi Lie Poan Thian segera
berseru: “Kamu sekalian tidak usah campur tangan ! Aku yang ditantang, maka aku jugalah
yang harus meladeninya!"

Begitulah setelah mereka berada diatas sebidang pekarangan yang luas, dengan tidak
banyak bicara lagi kedua orang itu segera bertempur sambil mengunjuk ilmu kepandaian
masing-masing, hingga para piokhek yang tidak mengetahui sebab-musabab pertempuran
itu, semua jadi pada melongo dan kemudian mengatakan : “Mengapa sih tak hujan tak
angin lantas jadi bertempur ? Ai, sungguh tidak salah jikalau orang yang tua2 mengatakan :
“mencari musuh gampang, tetapi mencari sahabat yang jujur terlalu sukar."

Padahal mereka tak tahu peristiwa apa yang telah terjadi di-balik tabir yang meliputi
keheranan mereka itu.

244
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Siapakah orang itu? Dan karena apakah dengan secara sekonyong-konyong ia melakukan
penyerangan kilat terhadap pemuda kita yang agaknya ia belum kenal sama sekali ?

Demikianlah orang banyak telah bertanya pada diri sendiri, selama menyaksikan
pertempuran yang maha dahsyat itu.

Ilmu silat orang itu ternyata tak dapat dicela. Ia bergerak dengan gesit bagaikan seekor
kera, sedangkan kaki tangannya digerakkan dengan sama cepat dan gencarnya untuk
memukul dan menendang lawannya.

Tetapi Poan Thian yang dihujani jotosan dan tendangan, bukan saja tidak balas menyerang
atau mengunjukkan tendangan-tendangannya yang terkenal, malah sebaliknya sambil
melawan bertempur sambil ia mundur, seakan-akan orang yang kena terdesak. Hal mana,
telah membuat orang banyak yang menyangka bahwa Poan Thian masih lelah karena baru
baik dari lukanya, sudah tentu saja jadi kuatir dan menyaksikan pertempuran itu dengan
hati berdebar2. Tidak tahunya ketika pertempuran berlangsung beberapa jurus lamanya,
mendadak pemuda kita telah merubah siasat silatnya dengan secara yang amat tiba-tiba,
yaitu jikalau pada semula ia kelihatan sabar dan lebih banyak bersikap menjaga, adalah
sekarang tiba-tiba ia telah berubah jadi beringas dan berbalik menyerang pada lawannya
dengan sikap yang tidak mengasih hati. Dan jikalau semula lawan itu boleh tersenyum,
adalah sekarang ia jadi meringis dan berkelit kian-kemari untuk menghindarkan diri daripada
tendangan-tendangan Lie Poan Thian yang semakin lama jadi semakin gencar. Dan tatkala
serangan-serangan itu telah sampai pada titik yang terhebat, penglihatan orang itu jadi
kabur dan akhir-akhirnya terpaksa mundur karena tidak tahan dicecer terus-menerus
dengan tendangan-tendangan kilat yang tampaknya dilakukan oleh beberapa orang,
walaupun kenyataan mengunjukkan dengan jelas bahwa disitu hanya ada satu Lie Poan
Thian yang sedang meladeninya bertempur disaat itu !

Orang itu, ketika melihat tidak ada jalan lain untuk dapat mengalahkan pemuda kita, buru-
buru ia membalikkan badannya dengan maksud akan melarikan diri. Tetapi, apa celaka pada
sebelum ia berhasil bisa berbuat begitu, kaki Poan Thian telah menyapu kaki lawan itu,
hingga dengan dibarengi oleh satu jeritan ngeri, orang itu telah terlempar dan jatuh disuatu
tempat yang terpisah beberapa belas kaki jauhnya dalam keadaan pingsan, berhubung
tulang kakinya telah patah kena tersabet oleh tendangan Lian-hwan Sauw-tong-tui pemuda
kita yang terkenal sangat lihay itu.

“Celaka !" Poan Thian berseru, karena ia sama sekali tak menyangka bahwa tendangan itu
akan mengakibatkan kecelakaan diluar dugaannya.

Tahu-tahu ketika kemudian ia tersadar dari pingsannya, orang itu telah dapatkan dirinya
terbaring diatas ranjang dengan kaki yang patah tulangnya telah dibalut orang sebagaimana
mestinya. Dan ketika melihat Poan Thian pun berada disitu dengan dikawani oleh In Liong,
Kong Houw dan piokhek2 yang lainnya, orang jadi kelihatan terperanjat dan buat beberapa
saat lamanya tinggal menundukkan kepalanya dengan tidak berkata-kata barang sepatah
katapun.

Tetapi Poan Thian yang tidak mau menghinakan orang yang telah menjadi pecundangnya,
dengan sikap yang tenang ia lantas berkata : “Saudara, antara kau dan aku sebenarnya
tidak pernah terbit permusuhan apa-apa, bahkan bertemu denganmupun saja pada kali ini.
Apakah sebab-musabab yang telah membikin kau begitu memusuhi aku ?"

Orang itu jadi menghela napas dan berkata : “Lie Toako, aku mohon dengan sangat supaya
kau sudi memaafkan pada sebelum aku berbicara."

245
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Ya, aku bersedia akan memaafkan kepadamu," kata Lie Po Thian. “Kau tidak perlu berlaku
malu atau takut akan berbicara dengan secara terus terang di hadapan kita sekalian."

“Aku ini adalah seorang suruhan dari Hek-houw-lie Tjian Cong dari Ca-kee-chung," kata
orang yang celaka itu. “Olehnya aku telah dijanjikan sejumlah upah yang besar sekali, guna
mencelakai pada dirimu sehingga namamu menjadi ternoda di-kalangan Kang-ouw."

“Aku dan Tjian Cong tidak pernah terbit permusuhan apa-apa," kata pemuda kita dengan
heran. “Juga aku tidak kenal siapa dia itu. Oleh sebab itu, apakah kau bisa memberikan
sedikit keterangan kepadaku karena apa dia memusuhi aku ?"

“Tentang ini aku tidak tahu jelas,” kata orang itu.

“Kau ini siapa?" Kong Houw mencampuri bicara.

“Aku bernama Teng Kie," sahut orang yang ditanya.

Mendengar nama itu, Hoa In Liong jadi turut juga berbicara dan menanyakan : “Apakah kau
ini bukan Teng Kie yang dikalangan Kang-ouw dikenal orang dengan nama gelaran Sin-
kauw-jie?" (Sin-kauw-jie berarti si kera sakti).

“Ya, benar," sahut Teng Kie dengan rupa malu.

In Liong jadi membanting kaki sambil menggerutu : “Sayang, sayang! Kau telah
mempertaruhkan nama baikmu oleh karena kemaruk dengan upah besar. Tidak kunyana
bahwa urusan bisa jadi begitu ............"

Tetapi ia tidak melanjutkan terus omongannya, berhubung kuatir Teng Kie akan jadi
tersinggung dan berbalik menjadi sakit hati kepadanya.

“Sekarang cobalah kau boleh lanjutkan omonganmu," Poan Thian menganjurkan.

Teng Kie sambil menahan rasa sakit dan malu lalu menuturkan sebagai berikut:

Pada suatu hari ketika kembali ke Ca-kee-chung dari Hang-ciu, Teng Kie telah mendapatkan
Tja Tiauw Cin telah menjadi seorang cacad karena dilukai oleh Lie Poan Thian. Tatkala itu
Teng Kie telah menyatakan pikirannya akan membalas dendam pada pemuda kita, tetapi
niatan itu telah dicegah oleh Tja Tiauw Cin yang mengatakan bahwa ia tidak menyesal
mengalami kecelakaan itu. “Aku rela dirobohkan oleh seorang yang namanya begitu
tersohor seperti Lie Poan Thian," katanya, “tetapi aku tidak bisa terima dengan begitu saja,
jikalau Lie Poan Thian itu ada seorang Bu-beng Siau-cut. Selain dari itu, aku tahu juga
bahwa kau sendiri bukan tandingan Lie Poan Thian, maka itu aku nasehatkan kepadamu,
janganlah kau coba memusuhinya tanpa sebab."

Teng Kie yang mendengar omongan Chungcu itu, dimulut ia mengatakan “ya", tetapi
didalam hati ia masih sangat penasaran dan berjanji pada dirinya, akan disuatu waktu
menjajal sampai dimana kepandaian orang yang begitu disohorkan oleh induk semangnya
itu. Maka pada suatu hari ketika ada seorang tamu yang berkunjung ke Ca-kee-chung buat
menjumpai Hek-houw-lie Tjian Cong, disitulah Teng Kie telah diberi kesempatan oleh Tjian
Cong dengan membelakangi perintah Tja Tiauw Cin yang telah menjadi cacad, akan coba
melawan bertempur pemuda kita dengan dijanjikan upah 1000 tail perak, apabila ia mampu
mengalahkan Lie Poan Thian sehingga namanya jadi tercemar di kalangan Kang-ouw.

Dan tatkala Poan Thian menanyakan, apakah Teng Kie kenal siapa nama tamu yang mencari
Tjian Cong itu, ia mendapat jawaban dia itulah bernama Hok Cit.

246
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Oh, oh, tidak tahunya dia itulah yang hendak mencari setori pada kita !” kata orang banyak
ketika mendengar Teng Kie menyebut nama penjahat muda itu.

“Boleh, boleh, aku bersedia buat “tangani" semua sisa berandal dari jie-sian-san itu," kata
Lie Poan Thian sambil menganggukkan kepalanya.

Kemudian ia menoleh pada Teng Kie buat minta penjelasan terlebih jauh.

“Pada waktu kau berangkat kesini," tanyanya, “apakah Hok Cit itu masih ada di Ca-kee-
chung ?"

“Ya, sehingga hari inipun dia mungkin masih berada disana," sahut Teng Kie.

“Membabat rumput harus dicabut dengan akar-akarnya," Poan Thian menggerutu dengan
tak tentu kemana juntrungannya.

Sekarang ia mulai tahu jelas mengapa Teng Kie bisa datang mencarinya ke kota Kimleng
dengan menyamar sebagai seorang pembawa surat.

“Apakah kau kenal siapa Hok Cit itu ?”

“Tidak," Teng Kie menggelengkan kepalanya.

“Apakah dia kelihatan bersahabat rapat dengan Hek-ouw-lie Tjian Cong?"

Teng Kie membenarkan pertanyaan itu. “Kalau begitu," kata pemuda kita, “mungkin juga
Tjian Cong telah dihasut oleh dia itu, sedangkan kau sendiri telah dijadikan alat mereka.
Tidak bisa salah lagi."

Kong Houw yang melihat sikap Poan Thian terhadap pada pecundangnya itu, iapun lalu
mendekati kemuka ranjang sambil berkata : “Saudara, sekarang kau boleh berdiam dan
berobat disini sehingga beberapa hari lamanya. Apabila kau merasa haus atau lapar,
panggillah pelayan2 yang akan kuperintahkan berdiam disini untuk melayani segala
keperluanmu. Kau tidak usah merasa sungkan apa-apa, dan anggaplah bahwa rumah ini
adalah rumahmu juga."

Hal mana, sudah barang tentu telah membikin Teng Kie jadi sangat berterima kasih dan
malu bukan main mendapat perlakuan yang justru sebaliknya daripada apa yang semula
dipikirkannya. Dan jikalau ia bisa berdiri dengan tegak, ia tentu sudah bersoja dan berlutut
buat menyatakan bertobat atas perbuatannya yang sangat hina dan rendah itu.

Lebih-lebih tatkala ia tahu bahwa orang yang menjadi tuan rumah itu adalah Cin Kong
Houw, pemimpin dan pemilik Siang-hap Piok-kiok, Teng Kie jadi terperanjat dan berkata :
“Tuan Cin, kepadamu aku harus menghaturkan beribu2 maaf, buat kesukaran2 yang kau
telah alami selama kehilangan bendera lambangmu pada beberapa waktu yang telah
lampau itu. Karena bendera lambang itu bukan dicuri oleh Tja Chungcu sendiri, hanya
tangankulah yang telah mencurinya. Tetapi aku harus puji Tja Chungcu sebagai seorang
Tay-tiang-hu sejati, berani berbuat juga berani memikul risikonya. Itulah sebabnya mengapa
ia tidak mengatakan bahwa pencurian itu telah dilakukan olehku."

“Jadi dengan begitu," kata Lie Poan Thian, “inilah ada buat kedua kalinya kau diperintah
akan melakukan pekerjaan dengan ............secara bergelap ?”

“Ya," sahut Teng Kie sambil menundukkan kepalanya, karena merasa sangat menyesal dan
malu dengan perbuatannya sendiri.

247
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Seorang yang perbuatannya sesat tetapi kemudian insyaf dan bersedia akan berbuat baik,
itulah masih belum kasip akan dipimpin menjadi seorang baik," kata Louw Cu Leng yang
bermaksud buat menyadarkan pikiran Teng Kie yang telah terliput oleh pengaruh2 yang
tidak baik.

“Ya, benar," sahut Teng Kie. “Dari itu, aku rasanya kepingin mati saja karena penyesalan2
yang aku harus timpahkan atas diriku sendiri."

“Kau jangan putus asa," kata jago tua itu. “Dan jikalau kau tidak buat celaan, aku bersedia
akan mendidik padamu ke jalan yang benar, yang aku percaya akan membawa bahagia bagi
penghidupanmu yang bakal datang. Kau masih muda, mengapakah tidak berusaha untuk
hari kemudianmu ? Tuan Cin disini mempunyai perusahaan angkutan yang meminta banyak
orang yang paham ilmu silat buat menjadi pengantar kereta-kereta pio. Oleh karena itu, aku
pujikan benar, jikalau nanti kau telah sembuh dari lukamu, akan membantu pada tuan Cin
disini, yang tentu bagimu akan lebih baik sepuluh kali daripada berkeliaran dikalangan Kang-
ouw dengan tidak tentu tujuannya. Hanya belum tahu pikiranmu bagaimana ?”

Teng Kie tidak mampu mengucapkan barang sepatah perkataan. Ia jadi begitu terharu dan
berterima kasih atas nasihat2 orang tua itu, sehingga dengan tidak terasa lagi ia
mengucurkan air mata oleh karena menyesal atas segala perbuatannya yang sudah-sudah.

Sementara Kong Houw dan orang banyak yang pada menyaksikan begitu, semua jadi
merasa kasihan dan berjanji akan sedapat mungkin bantu membukakan jalan untuk Teng
Kie menjadi seorang baik.

Dan sesudah mereka pada berlalu dan berkumpul diruangan pertengahan, disitu Poan Thian
lalu menyatakan pikirannya akan mencari pada Hok Cit, yang ia percaya akan mengacau
terus-menerus apabila ia belum dikasih hajaran yang cukup hebat.

Tetapi hampir semua orang menyatakan tidak mupakat akan Poan Thian berlaku begitu
tergesa-gesa.

“Memotong rumput harus dicabut dengan akarnya," kata pemuda kita. “Buat apakah mesti
ditinggal separuh2 ?”

“Itu benar," kata Hoa In Liong. “Tetapi kau harus jangan lupa bahwa itulah ada urusan
remeh. Ingatlah, seekor naga boleh menjagoi dilautan, tetapi tak dapat ia berbuat begitu
dalam sebuah sungai, dimana ada kemungkinan ia diganggu oleh kawanan udang."

“Itu benar, itu benar. Aku mupakat," kata Louw Cu Leng sambil tertawa.

Tetapi Poan Thian tetap berkeras akan mencari juga pada Hok Cit, hingga orang banyak
tidak bisa mencegah lagi akan pemuda kita pergi mencari pada sisa berandal dari jie-sian-
san itu, yang menurut keterangannya Teng Kie ada kemungkinan masih berada di Ca-kee-
chung.

“Kedatanganku kesana," katanya, “bisa dipergunakan sebagai pelabi akan menyambangi


pada Tja Tiauw Cin yang telah kulukai sehingga cacad itu."

Begitulah setelah minta supaya Kong Houw sudi melayani Louw Cu Leng dan Hoa In Liong
sementara ia pergi “membereskan perhitungan" dengan Hok Cit di Ca-kee-chung, pemuda
itu lalu menyatakan juga menyesalnya pada orang tua itu dan kakak seperguruannya bahwa
ia tidak bisa melayani mereka sebagaimana mestinya, berhubung ia tak senang akan Hok Cit
yang berada diluaran masih saja mencari gara2 dan menghasut kekiri-kanan untuk
membikin ia jadi bertambah banyak musuh dan dibenci orang tanpa alasan yang bisa masuk

248
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

diakal.

Maka dengan hanya membawa beberapa stel pakaian saja, pedang hadiah dari In Cong
Siansu dan kantong kulit yang berisikan senjata-senjata rahasia, pemuda kita segera
berangkat ke Ca-kee-chung dengan menunggang seekor kuda yang dapat berlari cepat.

Dan tatkala melakukan perjalanan sehingga beberapa hari lamanya, akhirnya sampailah ia
dimuka gerbang desa Ca-kee chung, dimana ia lantas minta salah seorang pengawal akan
pergi memberitahukan pada Tja Tiauw Cin tentang perkunjungannya itu, tetapi diluar
sangkaannya ia memperoleh jawaban bahwa Chungcu-ya justru keluar bepergian. Oleh
sebab itu, maka si pengawal minta supaya Poan Thian suka kembali lagi nanti, dua atau tiga
hari pula kemudian.

Oleh karena mendengar keterangan itu, Poan Thian terpaksa pergi mencari rumah
penginapan untuk berikhtiar, cara bagaimana ia bisa mencari Hok Cit yang saban-saban
telah membuat ia mengalami banyak kesukaran. Bahkan kalau ia bisa bertemu dengannya
disaat itu, niscaya ia akan bunuh padanya dengan tidak ampun lagi.

Demikianlah sambil dahar di rumah penginapan, Poan Thian berpikir dengan tidak henti-
hentinya.

Lama-lama timbul ingatan dalam hatinya akan menerobos saja ke Ca-kee-chung. Tetapi
karena mengingat bahwa Tja Tiauw Cin sekarang sudah menjadi seorang baik, ia jadi tidak
enak buat berlaku semberono, memasuki rumah orang dengan tidak mengindahkan kepada
orang yang menjadi tuan rumahnya. Sebaliknya, jikalau dibiarkan saja Hok Cit diberi ketika
akan merat, lalu segala kecapaiannya yang dari jauh datang kesitu dengan maksud khusus
untuk membereskan perhitungan dengan sang musuh itu, akan menjadi sia-sia belaka. Oleh
karena itu, bagaimanakah ia harus berbuat sekarang ?

Pikirannya bekerja dengan keras, tetapi pemecahannya belum juga dapat diperoleh.

“Pelayan," ia berkata, “cobalah bawakan pula aku dua kati arak."

Si pelayan yang memang telah pernah kenal pada pemuda kita, tentu saja heran dan balik
bertanya : “Tuan, hari ini tidak sari2-nya kau minum banyak, sedangkan diwaktu biasa,
hanya kau minum sekadarnya saja."

Poan Thian tertawa.

“Aku sebenarnya telah lupa," katanya, “bahwa hari ini adalah hari ulang tahunku. Aku disini
tidak punya kenalan atau sanak saudara, oleh karena itu, sudikah kau menemani aku duduk
makan minum sambil mengobrol buat melewati waktu yang terluang ?"

Si pelayan itu kelihatan ragu-ragu.

“Tuan," katanya, “aku ini adalah seorang pelayan yang tugasnya khusus untuk melayani
para tamu yang menumpang menginap disini, tetapi bukan mestinya akan melayani para
tamu bermakan minum. Induk semangku akan menjadi kurang senang dan menganggap
aku kurang ajar kalau saja aku berani berbuat begitu."

“Ya, tetapi inilah ada kehendakku sendiri," kata Lie Poan Thian sambil tertawa, “bukan kau
yang sengaja berbuat begini atas kehendak sendiri. Dan jikalau nanti induk semangmu
datang menegur kepadamu, aku suka pikul risiko dan menjawab semua tegorannya."

“Kalau begitu," kata si pelayan, “aku bersedia akan mengabulkan permintaanmu, dengan
terlebih dahulu aku mengucap : Selamat ulang tahun ! Semoga Thian memberi kurnia
249
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

panjang umur dan bahagia bagi dirimu dalam tahun-tahun yang akan datang."

Poan Thian mengucapkan terima kasih atas pemberian selamat si pelayan itu.

“Tetapi karena aku bukan orang kaya," katanya, “maka perayaan ulang tahun ini hanya
dapat kurayakan dengan seada2nya saja."

“Tetapi siapa tahu perayaan ini akan dirayakan dengan lebih besar dan mewah pada lain
tahun ?” kata si pelayan itu dengan wajah yang berseri-seri. “Ingatlah tuan, bahwa segala
apa yang besar tidak dimulai dengan secara besar-besaran."

“Itu benar," kata pemuda kita. “Sekarang aku persilahkan kau memilih makanan dan
minuman yang digemari sendiri olehmu. Nanti rekeningnya aku bayar sekalian dengan
makanan yang telah aku pesan tadi."

Si pelayan itu jadi kelihatan girang dan lalu pergi mengambil makanan dan minuman itu
tanpa diperintah sampai dua kali.

Dan tatkala makanan dan minuman itu telah disajikan, Poan Thian lalu persilahkan si
pelayan akan duduk makan minum bersama-sama.

Tetapi ketika ia persilahkan si pelayan minum beberapa cawan arak dan mengobrol dengan
gembira, mendadak pemuda kita telah bertanya: “Ah, barusan aku telah lupa menanyakan
siapa she dan namamu."

“Aku bernama Kwie Djie," sahut si pelayan sambil dahar santapannya dengan secara
bernapsu sekali.

“Aku sekarang justru sedang bothauwlo," begitulah Poan Thian pura-pura berkata. “Aku
dengan Tja Chungcu kini sedang mengundang orang-orang yang paham ilmu silat buat
dijadikan kauw-su digedungnya, tetapi ia tidak mau terima sembarangan orang yang tidak
punya sanak saudara atau sedikit-sedikitnya mempunyai kenalan yang berdiam didalam
desa ini. Oleh sebab itu, apakah saudara sudi mengajak aku ke gedungnya Tja Chungcu
buat melamar pekerjaan itu, dengan mengakui bahwa aku inilah seorang sanak saudara
atau handai taulanmu ?”

“Oh, itulah suatu pekerjaan yang gampang sekali, aku juga bisa minta perantaraan mereka
buat memperkenalkan kau pada Tja Chungcu. Tetapi belum tahu kapan kau hendak pergi
kesana ?"

“Aku sendiri baik menunggu saja disini dahulu," kata pemuda kita, “sedangkan kau sendiri
boleh berhubungan pada salah seorang kenalanmu disana, sambil menerangkan juga
niatanku akan meminta pekerjaan tersebut. Tetapi belum tahu apa ini tidak menyusahkan,
apabila urusan diatur begitu rupa ?”

“Tidak, tidak," sahut Kwie Djie. “Malah kalau aku sendiri yang bantu bicara, aku percaya
dalam 10 tentulah ada 9 bagian yang mesti bisa berhasil."

“Apabila dengan pertolonganmu itu aku bisa berhasil bekerja digedung Tja Chungcu," kata
Lie Poan Thian. “niscaya aku tidak lupakan atas budi kebaikanmu itu."

“Itu perkara kecil," kata si pelayan itu sambil tertawa. “Sebentar sore aku tanggung kau
sudah mendapat kabar baik."

“Syukurlah kalau usahamu itu bisa berhasil," sahut Poan Thian yang lalu berpura-pura juga
tertawa buat mengunjukkan kegirangannya.

250
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Tidak antara lama setelah si Kwie Djie kelihatan mulai sinting, Poan Thian lalu menggunakan
ketika itu buat coba menanyakan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan keadaan di Ca-
kee-chung. Misalnya bagaimana pandangan si pelayan itu terhadap dirinya Tja Tiauw Cin,
siapa orang kepercayaannya, dan soal-soal lain yang tidak ada kepentingannya untuk
dijelaskan satu-persatu.

Si Kwie Djie yang diloloh dan ternyata tahu benar tentang keadaan didalam desa tersebut,
sudah tentu saja lantas berbicara ketimur dan kebarat buat mengunjukkan bahwa ia ada
seorang “ahli" dalam hal memberikan keterangan-keterangan yang bersangkut paut dengan
keadaan desa yang didiaminya itu.

Dari keterangan-keterangan yang diperolehnya dari Kwie Djie, Poan Thian segera ketahui
bahwa Tja Tiauw Cin itu sebenarnya bukan orang jahat, tetapi sifatnya memang benar
congkak, tidak suka mengunjuk kelemahan diri sendiri dan agak “gila hormat".

“Ia itu sekarang telah cacad karena dilukai oleh Sin-tui Lie Poan Thian," kata Kwie Djie yang
sama sekali tidak mendusin bahwa tetamunya itu adalah orang gagah dari utara yang
disebutkan namanya itu. “Tetapi ia kelihatan tidak menjadi menyesal, karena ia insyaf
bahwa semua itu telah disebabkan oleh karena kekeliruannya sendiri."

“Keterangan itu cocok benar dengan keterangan Teng Kie," kata Poan Thian didalam
hatinya.

“Tetapi karena ia sekarang telah menjadi cacad," Kwie Djie melanjutkan. “maka
pengaruhnya telah hampir lenyap sama sekali, sehingga Hek-houw-lie Tjian Cong yang
menjadi orang kepercayaannya, hampir tidak mau bertunduk lagi dibawah perintahnya. Dan
jikalau sampai hari ini Tjian Cong masih berada disana, adalah karena aku kira ia hendak
merampas hartanya Tja Chung-cu dengan menggunakan tenaga orang dalam yang sedikit
demi sedikit telah kena juga dipengaruhinya. Bahkan setiap sahabat Tja Chungcu yang
sengaja datang berkunjung untuk menyambanginya, hampir selalu ditolak oleh Tjian Cong
ini, dengan mengatakan bahwa Chungcu keluar bepergian buat beberapa hari lamanya.
Padahal Chungcu-ya semenjak menjadi seorang cacad tak pernah keluar bepergian kemana-
mana. Malah keluar pintu saja belum pernah aku dapat lihat.

Sementara lain hal lagi yang telah membikin banyak penduduk desa ini berkuatir, adalah
selama ini Tjian Cong selalu mengundang kambrat2nya buat berdiam sama-sama digedung
Tja Chungcu, dengan Tja Chungcu sendiri kabarnya tidak tahu-menahu tentang urusan ini,
berhubung orang-orang sebawahannya telah “ditutup mulutnya" dengan menggunakan
persenan2 yang besar serta dipesan akan jangan menyampaikan sesuatu gerakan yang
telah dilakukannya dengan secara diam-diam dibelakang pengetahuan induk semang
mereka itu.

Maka supaya kau bisa berhasil bekerja digedung Tja Chung-cu, kukira tidak ada jalan lain
yang lebih baik daripada coba “menempel" pada Hek-houw-lie Tjian Cong ini. Karena tanpa
persetujuan gundal yang licin ini, maksudmu itu pasti tak akan berhasil."

“Kalau begitu," kata pemuda kita, “cara bagaimana urusan ini hendak kau aturnya ?"

“Dalam hal ini tidak usah kau kuatir," sahut Kwie Djie. “Aku nanti atur begitu rupa sehingga
kau bisa berhasil bekerja digedung Tja Chungcu. Percayalah padaku, tuan Lie."

Lie Poan Thian diam-diam menjadi girang juga didalam hatinya.

Maka setelah mereka puas bermakan minum, tidak lupa pemuda kita telah “selipkan" juga
beberapa buah uang perak di-telapak tangan pelayan itu.

251
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Kwie Djie yang “mengarti" maksud Lie Poan Thian, mula-mula telah berpura-pura berlaku
seejie dan hendak menolak pemberian itu, tetapi ketika Poan Thian memaksa beberapa kali,
barulah ia mau terima juga hadiah itu, yang dikatakannya sebagai “tanda persahabatan".
Kemudian ia berlalu setelah memesan supaya Poan Thian jangan pergi kemana-mana,
sementara ia menantikan kabar baik dari Ca-kee-chung.

Poan Thian berjanji akan berbuat begitu.

Pada petang hari itu, Kwie Djie telah kembali dari luaran dan mengunjungi pemuda kita
dikamarnya dengan wajah yang berseri-seri.

“Beruntung, beruntung," katanya. “Ketika aku datang menghadap pada Tjian-ya dan
terangkan maksud kedatanganku, ia lantas menyatakan tidak berkeberatan akan menerima
kau sebagai salah seorang kauwsunya. Aku katakan bahwa kau adalah seorang saudaraku
dari pihak ibu. Maka kalau nanti kau datang menghadap padanya, jangan lupa buat
mengaku begitu, ya ?"

“Baik, baik," kata Lie Poan Thian yang merasa mendapat suatu jalan akan mencari Hok Cit
disana. “Bilamanakah aku dapat menghadap kepada Tjian-ya ?"

“Petang hari inipun boleh," sahut Kwie Djie. “Malah kalau kau suka, akupun boleh juga pergi
mengantarkan kau kesana."

“Itu tidak perlu menyusahkan kepadamu," kata pemuda kita. “Biar saja aku nanti jumpai
sendiri kepadanya. Tetapi belum tahu bagaimana bentuk tubuh dan roman Tjian-ya itu ?"

Kwie Djie lalu coba melukiskan raut muka dan perawakan Tjian Cong dengan menggunakan
kata-kata dan gerakan-akan dengan tangannya.

“Tjian-ya ini orangnya tidak berapa tinggi," katanya. “Kira-kira lebih tinggi sedikit daripada
kau sebegini." Sambil ia petakan dengan tangannya yang diangkat kesebelah atas kepala Lie
Poan Thian. “Badannya agak gemuk." (Sambil membentangkan kedua tangannya kekiri-
kanan). “Usianya lebih tua daripadamu. Kulitnya kehitam2an. Dan jikalau kau masih merasa
ragu-ragu, tanyakanlah keterangan lebih jauh pada pengawal yang bernama Tong Yan, dia
tentu akan memberikan keterangan padamu sebagaimana mestinya. Katakan saja bahwa
kau datang kesana atas perantaraannya Kwie Djie, dia tentu akan menolong kepadamu."

“Baik, baik," sahut Lie Poan Thian sambil mengucap terima kasih atas bantuan pelayan itu.

Maka sesudah selesai menukar pakaian dan tak lupa membekal jwan-pian yang dilibatkan
dipinggangnya, pada petang hari itu juga Poan Thian lalu masuk ke Ca-kee-chung dan
bertemu dengan Hek-houw-lie Tjian Cong atas perkenalannya Tong Yan yang dikatakan
oleh Kwie Djie tadi.

Tjian Cong menyambut kedatangan pemuda kita sebagaimana mestinya seorang yang
menjadi tuan rumah.

“Saudara ini apakah bukan sanak saudara Kwie Djie ?" tanyanya sambil memperhatikan
dengan teliti gerak-geriknya pemuda kita.

“Benar," sahut Lie Poan Thian, yang juga pasang mata dengan tajam buat menyelidiki
kalau-kalau disitu ada Hok Cit yang sedang dicarinya untuk “membikin perhitungan".

“Menurut keterangan yang aku peroleh dari Kwie Djie," kata Tjian Cong, “kau ini ada
seorang ahli silat yang berasal dari utara. Oleh karena itu, kau tentu kenal juga dengan
beberapa orang jago silat kenamaan ditempat kelahiranmu itu; misalnya dengan Sin-tui Lie
252
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Poan Thian, Sin-kun Louw Cu Leng, dan yang lain-lainnya pula, tidakkah ?”

“Ya, nama-nama itu memang telah lama aku dapat dengar dikalangan Kang-ouw," Poan
Thian mendusta, “tetapi berhubung aku telah mengembara semenjak masih anak-anak,
maka aku tidak kenal bagaimana roman mereka itu."

“Malam ini oleh karena kita kebetulan mengadakan sedikit perjamuan sederhana," kata Tjian
Cong, “maka tidak jahatnya akan kami minta supaya saudara Lie Kok Ciang sudi mengunjuk
sedikit ilmu kepandaian silatmu, buat bantu meluaskan pemandangan kita sekalian."

Tetapi Poan Thian lantas merendahkan diri dengan mengatakan bahwa ilmu kepandaian
silatnya masih sangat terbatas, hingga jikalau nanti ternyata ia tak dapat mengunjuk
kepandaiannya sebagaimana mestinya, ia sangat mengharap supaya Tjian Cong tidak buat
celaan atau merasa kecewa kepada dirinya.

Sementara Tjian Cong yang menyangka bahwa Lie Poan Thian dan Lie Kok Ciang itu ada
dua orang, tentu saja beranggapan bahwa pemuda kita telah sengaja merendahkan diri
karena menaruh harga sangat tinggi atas dirinya yang sekarang berlaku sebagai tuan
rumah.

“Saudara Lie ini memang terlalu merendahkan diri," katanya sambil tertawa. “Kita semua
adalah orang-orang sendiri dan harus menganggap bahwa kita semua adalah sama rata.
Oleh sebab itu, perlu apakah kau mesti berlaku sungkan sampai begitu ? Marilah, silahkan
kuperkenalkan kau dengan saudara-saudara kita yang lainnya."

Sambil berkata begitu Tjian Cong lalu ajak pemuda kita masuk menjumpai beberapa orang
gagah yang menjadi kambrat2nya, tetapi mereka ini ternyata tiada seorangpun yang dikenal
oleh Lie Poan Thian, bahkan Hok Cit yang dicarinyapun tidak kelihatan mata hidungnya.

Maka selama diperkenalkan oleh Tjian Cong pada orang-orang gagah tersebut, Lie Poan
Thian tidak henti-hentinya memikirkan didalam hatinya : “Kemanakah perginya si Hok Cit ?
Apakah barangkali ia telah mencium bau bahwa aku bakal datang kesini, sehingga siang-
siang ia lantas menyingkir ke tempat lain buat bersembunyi ?"

“Sebentar lagi apabila semua saudara-saudara telah berkumpul," kata Tjian Cong pula,
“barulah perjamuan yang kukatakan tadi akan dimulai. Maka selama kita menantikan
kedatangan mereka, marilah kita pergi ke ruangan belakang buat melihat murid-muridku
yang sedang berlatih."

Poan Thian menurut dan mengikuti pada Tjian Cong dengan hati yang semakin curiga.

“Saudara Tjian," katanya pada akhirnya, “apakah boleh saudara perkenalkan aku pada Tja
Chungcu ? Aku belum pernah kenal kepadanya, selain mendengar namanya yang begitu
tersohor dikalangan Kang-ouw."

Tjian Cong tertawa dingin waktu mendengar Poan Thian menyebut-nyebut nama Tja Tiauw
Cin.

“Dahulu nama Tja Chungcu memang amat disegani oleh jago2 dikalangan Kang-ouw, tetapi
sekarang ............ hm, siapakah lagi yang mau mengindahkannya yang telah menjadi cacad
karena dipecundangi oleh Lie Poan Thian yang tergolong sebagai seorang jagoan tingkat
terendah diantara golongan kita ? Dia boleh buka mulut besar dan merasa bangga dengan
gelaran Sin-tui yang dipunyainya, tetapi ia lupa bahwa dibelakang dirinya masih ada saingan
lain yang sepuluh kali lebih jempolan daripada dirinya ! Dia boleh main gertak terhadap
orang-orang yang takut kepadanya, tetapi gertakan-akan itu tak akan “mempan" terhadap

253
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

pada orang-orang yang memang sesungguhnya berani.

Selain daripada itu, iapun telah berbuat suatu kekeliruan besar dan mengira bahwa semua
orang ada begitu goblok sehingga tak dapat mengenali padanya yang telah memasuki desa
ini dengan secara bergelap.

Sahabat, Hek-houw-lie Tjian Cong itu bukanlah seorang yang mudah dikelabui matanya,
sehingga seolah-olah ia buta dengan kedatangan seseorang yang mengandung maksud
tidak baik. Dan orang itu adalah kau sendiri, Sin-tui Lie Poan Thian !"

Mendengar omongan itu, sudah barang tentu pemuda kita jadi sangat terperanjat, karena
dengan begitu telah jelaslah bahwa penyamarannya telah diketahui oleh si Musang Hitam !

“Dan jikalau aku mesti akui bahwa omongan itu memang benar begitu," katanya, “apakah
yang kau akan berbuat padaku selanjutnya ?”

Tjian Cong mundur beberapa tindak ke belakang sambil menentang wajah pemuda kita.
Sedangkan sorot matanya yang semula bersifat simpatik, sekarang telah berubah menjadi
beringas dan penuh dengan kebencian. Kemudian ia menghunus goloknya dengan cepat
dan membentak : “Sekarang aku hendak buktikan sendiri sampai dimana keunggulanmu!"

Sambil berkata begitu, Tjian Cong lalu menerjang pada Lie Poan Thian dengan
menggunakan siasat Tok-coa-chut-tong, hingga pemuda kita yang mengetahui betapa
berbahayanya serangan itu, buru-buru ia miringkan badannya buat mengasih lewat tusukan
itu, kemudian ia maju setindak sambil melakukan tendangan kilat kearah si Musang Hitam.

Tetapi Tjian Cong yang bermata sangat jeli dan ternyata bisa berlaku amat sebat, lalu
mengegos buat menghindarkan diri dari pada tendangan itu, dan tatkala ia membacok
kearah kepala lawannya dengan menggunakan siasat Tok-pek-hoa-san, Lie Poan Thian telah
keburu mencabut jwan-pian dipinggangnya, dengan mana ia telah menangkis golok Hek-
houw-lie yang dijujukan kearah kepalanya. Maka dalam waktu hanya sekejapan mata saja,
tuan rumah dan tamu yang semula kelihatan begitu hormat dan saling mengindahkan,
sekarang telah berbalik menjadi musuh-musuh yang telah mencoba segala daya-upaya
untuk saling membunuh dan merobohkan pada satu sama lain.

Sementara kambrat2 Tjian Cong yang menyaksikan pertempuran itu, sudah barang tentu
segera mengambil pihak pemimpinnya. Dan sesudah mereka mengambil senjata masing-
masing, dengan serentak mereka lalu mengeroyok pemuda kita dengan tidak banyak bicara
lagi.

Poan Thian yang melihat dirinya dikeroyok begitu rupa, dengan tidak berlaku seejie lagi
iapun lalu putar jwan-piannya dan menerjang kekiri dan kanan bagaikan Tio Cu Liong yang
sedang dikepung oleh laskar2 Tio Coh di daerah Tong-yang-kwan.

Dan tatkala pertempuran itu tengah berlangsung dengan amat hebatnya, tiba-tiba terdengar
seorang orang yang berseru : “Saudara-saudara, janganlah lepaskan musuh kita itu, pada
sebelum ia berlutut meminta ampun di hadapan kita!"

“Kurang ajar!" kata pemuda kita setelah mengetahui siapa yang telah memperdengarkan
seruannya itu, karena orang itupun bukan lain daripada Hok Cit yang sedang dicarinya untuk
“membereskan perhitungan" yang telah diperbuat untuk kerugian jiwa dan nama baiknya.

“Hai, pengecut !" teriak Lie Poan Thian dengan hati sangat penasaran. “Hari ini jikalau aku
tak dapat mengambil kepalamu, aku bersumpah tak akan menjadi manusia lagi! Ayoh, kau
boleh maju buat terima binasa!"

254
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Sang hari yang semakin lama telah menjadi semakin gelap, telah membikin Poan Thian jadi
semakin enak buat menerjang kekiri dan kekanan dengan memperoleh hasil yang sangat
memuaskan.

Tidak sedikit kambrat2nya Tjian Cong dan Hok Cit telah roboh atau kabur karena tidak
tahan bertempur dengan Lie Poan Thian, maka akhirnya Hok Cit pun terpaksa mencabut
goloknya buat bantu mengepung pemuda she Lie itu.

Tetapi meski dikerubuti begitu hebat dan gencar oleh Tjian Cong dan Hok Cit yang maju
dimuka sekalian kawan-kawannya yang telah mulai keteter, perhatian Poan Thian hampir
seluruhnya dipusatkan pada Hok Cit sendiri yang memang sedang “dimauinya".

Begitulah tatkala Poan Thian telah berhasil dapat memukul Tjian Cong sehingga beberapa
kali dan saban-saban terdengar ia menjerit karena kesakitan, akhirnya sang lawan itu jadi
jerih juga dan sedikit demi sedikit telah coba menjauhkan diri dari kalangan pertempuran,
hingga Hok Cit yang melihat gelagat tidak baik, sudah tentu saja lantas panjangkan langkah
dan terus melenyapkan diri diantara kegelapan. Dan meskipun Poan Thian hendak
memaksakan diri akan mengejarnya, tetapi ternyata tidak mungkin akan ia bisa berbuat
begitu, berhubung musuh-musuhnya yang terbanyak selalu datang merintangi untuk ia
dapat melanjutkan pengejarannya atas diri si Hok Cit yang sangat dibencinya itu.

Maka pada waktu Tjian Cong telah terpukul roboh sehingga otaknya berarakan dan binasa
diseketika itu juga, Hok Cit telah berlalu jauh dan tak mungkin lagi akan dapat dicekal !

Oleh karena itu, Poan Thian yang melihat maksudnya telah gagal, tentu saja menjadi sangat
menyesal dan beranggapan bahwa manusia keji itu selanjutnya akan lari jauh dan tidak
bakal menunjukkan muka pula seumur hidupnya.

“Sayang, sayang !" kata si pemuda didalam hatinya.

Tetapi sisa musuh-musuhnya yang masih melakukan perlawanan dengan secara hebat, tidak
dapat dibiarkan begitu saja.

“Mereka harus dipukul habis2an !" Itulah ada pikiran yang semula dipikirkan didalam
hatinya. Tetapi setelah mengingat yang mereka itu tidak berdosa dan terpaksa campur
tangan atas anjuran Tjian Cong yang sekarang telah mati terbunuh, ia jadi berbalik pikir dan
lalu berlompat keatas pagar tembok sambil menyerukan : “Saudara-saudara, tahan dahulu!
Kamu sekalian sebenarnya tidak terikat permusuhan apa-apa denganku, seperti juga aku
sendiri yang belum pernah mengambil sikap bermusuh kepada kamu sekalian. Oleh sebab
itu, hentikanlah dengan segera pertempuran ini, agar supaya penumpahan darah lebih jauh
dapat dicegah !"

“Tetapi kau telah membunuh pemimpin kami," kata seorang yang bertubuh kate dan
bersikap agak kasar. “Pendek permusuhan ini tak dapat disudahi dengan begitu saja,
apabila kau tak mampu menghidupkan kembali Hek-houw-lie Tjian Cong ini!"

“Saudara," kata Lie Poan Thian, “kau jangan salah paham dan menyangka bahwa aku telah
membunuhnya dengan maksud sengaja. Dan jikalau ia sampai kejadian terbinasa didalam
tanganku, itulah telah terjadi karena kesalahannya sendiri, yang terlalu mengeloni pada Hok
Cit yang busuk itu, yang toh bukan membela pada Tjian Cong seperti kau, tetapi sebaliknya
telah meninggalkan sahabatnya yang hendak membela dirinya.

Aku harus akui, bahwa rasa persahabatanmu itu kepada Tjian Cong cukup tebal. Aku bukan
datang kesini dengan maksud untuk membunuh kepadanya, tetapi itulah ada Hok Cit yang
aku “maui".

255
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

Maka setelah orang yang “kumaui" telah melarikan diri entah kemana perginya, cara
bagaimana aku mesti memusuhi padamu sekalian yang tidak ada sangkut pautnya dengan
urusanku ini ?

Pikirlah olehmu masak-masak, saudara, pada sebelum kau bertindak menuju kearah
perpecahan antara persahabatan kita dikalangan Kang-ouw. Sementara buat mengunjukkan
bahwa aku tidak bermaksud akan memusuhi saudara-saudara yang lain-lainnya, dengan ini
aku Lie Poan Thian menghaturkan beribu2 maaf pada kamu sekalian."

Demikianlah, sambil mengangkat kedua tangannya pemuda kita lalu memberi hormat pada
sisa kambratnya Tjian Cong yang berada dibawah pagar tembok.

“Jikalau kau sesungguhnya memandang kita sebagai sahabat, marilah kau boleh turun buat
menerangkan duduknya perkara yang benar pada kita sekalian," kata orang banyak yang
telah mulai insyaf dari kekeliruan-kekeliruan yang telah diperbuat mereka itu.

Poan Thian mengabulkan atas permintaan mereka itu.

Dalam pada itu Tja Tiauw Cin yang mendengar suara ribut-ribut dari beberapa orang yang
bertempur, lalu dengan diantar oleh orang-orang kepercayaannya telah datang juga ke
tempat keributan itu. Dan tatkala menampak Lie Poan Thian tengah dikerubungi oleh
kauwsu-kauwsunya disitu, segera juga ia maju menghampiri sambil bertanya : “Saudara-
saudara, ada urusan apakah ini yang telah menerbitkan suara ribut-ribut ?"

Semua orang lalu membuka jalan buat mengasih lewat pada pemuda kita yang lalu maju
menghampiri pada Tja Tiauw Cin sambil memberi hormat dan berkata : “Chungcu-ya, aku
mohon beribu2 maaf atas kunjunganku ini yang telah menimbulkan keributan tadi. Tetapi
agar supaya kau mengetahui duduknya perkara yang benar, biarlah aku nanti tuturkan
peristiwa ini dari awal sehingga diakhirnya, supaya Chungcu-ya dapat bantu menimbang
perkara ini, siapa yang salah dan siapa yang benar."

Tja Tiauw Cin menyatakan mupakat dengan omongan pemuda she Lie itu.

“Tetapi karena disini bukan tempat untuk berunding," katanya, “biarlah Lie Toako dan
saudara-saudara sekalian suka mengikut aku keruangan pertengahan untuk membicarakan
perkara ini terlebih jauh."

Begitulah setelah Tiauw Cin telah mengajak semua orang berkumpul diruangan tersebut,
lalu ia minta supaya semua orang duduk dengan tenang sambil mendengarkan segala
penuturan yang akan disampaikan oleh Lie Poan Thian kepadanya, yang tentunya
dimaksudkan juga untuk diperhatikan oleh mereka yang terbanyak.

Maka setelah Poan Thian selesai menuturkan sebab musabab mengapa ia telah datang ke
desa Ca-kee-chung dalam cara yang begitu mendadak dan tergesa-gesa, barulah Tiauw Cin
jadi kaget dan berkata : “Ah, kalau begitu ternyata aku telah keliru memilih kawan seperti
Tjian Cong itu.

Aku percaya betul kepadanya dan turuti segala permintaannya. Tetapi bukannya ia
mengatur segala apa dengan sebaik-baiknya sebagai tanda terima kasihnya, malah berbalik
hendak mengkhianati aku dengan secara keji dan diam-diam. Hal mana aku percaya, karena
ia pikir bahwa aku telah menjadi seorang cacad, seorang yang tidak berguna lagi."

Kemudian sambil menoleh pada kauwsu-kauwsunya yang terbanyak, ia telah melanjutkan


omongannya: “Nah, sekarang dengarkanlah olehmu sekalian. Apakah Tjian Cong itu bukan
merupakan sebagai seekor kutu yang menumpang hidup dengan menggigiti dan menghisap

256
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

darah diatas kepalaku ? Lie Toako ini," sambil ia menunjuk pada Lie Poan Thian, “dahulu
memang benar pernah menjadi seorang lawanku, tetapi sekarang ternyata telah
membuktikan diri di hadapanku bahwa dia inilah seorang sahabat yang berharga. Jikalau ia
tidak lekas menolong padaku, belum tahu Tjian Cong akan berbuat bagaimana padaku yang
sudah tidak berguna lagi, sehingga dalam segala hal ia hendak berlaku lebih berkuasa
daripada aku yang menjadi tuan rumah yang asli di desa Ca-kee-chung ini.

Bahkan kalau aku nanti sudah tidak ada lagi didalam dunia ini, ada kemungkinan ia akan
ubah nama desa ini menjadi Tjian-kee chung, dengan ia sendiri yang akan bercokol sebagai
Chungcu-nya !"

Semua orang yang mendengar keterangan begitu, sudah tentu saja jadi agak terkejut dan
pada menghela napas sambil berkata : “Sungguh tidak dinyana bahwa Tjian Cong yang
begitu dipercaya, ternyata ada seorang musuh dalam selimut!"

“Ya, ya, itulah memang tepat sekali sebagaimana katamu sekalian," kata Tja Tiauw Cin.

Maka semua orang yang sekarang telah mengetahui duduknya perkara yang benar, dengan
sendirinya mereka kelihatan rela akan menyudahi perselisihan mereka dengan pemuda kita,
yang ternyata mendapat dukungan sepenuhnya dari pihak Tja Tiauw Cin yang menjadi
induk semang mereka.

Lebih jauh sebagai tanda mempererat persahabatan kedua pihak, Tja Tiauw Cin lalu
melangsungkan perjamuan yang telah dirancangkan oleh Tjian Cong untuk mengatur siasat,
cara bagaimana mereka harus “menggulingkan" sang induk semang dan menggantikan
kedudukan itu dengan mencokolkan dirinya sendiri dalam kedudukan sebagai Chungcu dari
desa tersebut.

Tetapi, apa mau Poan Thian telah datang dan menolong dengan secara tidak langsung pada
Tja Tiauw Cin dari keadaan yang sangat krisis itu, hingga karena ini Poan Thian kelihatan
agak puas juga, biarpun ia tidak berhasil dapat membekuk Hok Cit yang menjadi pokok dari
perkunjungannya itu.

Tatkala perjamuan itu ditutup pada kira-kira hampir tengah malam, barulah Poan Thian
meminta diri pada Tja Tiauw Cin dan terus kembali ke rumah penginapannya, dengan
pikirannya selalu tidak lupa pada Hok Cit, yang ia belum berhasil dapat binasakan untuk
melampiaskan rasa penasarannya.

Sesampainya di rumah penginapan, ia telah disambut oleh Kwie Djie yang mengatakan
bahwa dari setadian ada seorang tamu yang menantikan dan minta bertemu pada pemuda
kita.

“Orang itu asal dari mana dan siapa namanya ?” menanya Lie Poan Thian dengan rupa
heran.

“Entahlah," sahut Kwie Djie sambil menggelengkan kepalanya, “karena ia tidak mau
menjawab pertanyaanku. Katanya dialah salah seorang sahabatmu............ Hanya sebegitu
saja."

“Sekarang dia ada dimana ?”

“Disana, dikamar tamu," sahut si pelayan sambil menunjuk keruangan yang dimaksudkan
itu.

Poan Thian berdiam sejurus lamanya, seperti seorang yang sedang memikirkan apa-apa.

257
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

“Apakah dia bersenjata ?” tanyanya kemudian.

“Ya," sahut Kwie Djie.

Pada waktu Poan Thian berjalan masuk keruangan yang ditunjuki oleh si pelayan, tamu
yang sedang duduk-duduk dengan menghadap kesebelah dalam segera berbangkit sambil
membalikkan badannya, sehingga sekarang ia jadi berhadap2an dengan pemuda kita.

Lie Poan Thian jadi berlompat kebelakang dengan hati terkesiap, karena tamu itu bukan lain
daripada ............ Hok Cit yang sedang “dimauinya" !

Sementara Hok Cit yang melihat Poan Thian datang dan kelihatan terperanjat, buru-buru
membungkukkan badannya sambil memberi hormat dan berkata : “Tuan Lie, ampunkanlah
padaku yang telah membikin kau banyak mengalami kesukaran dan kepusingan oleh karena
perbuatan-perbuatanku yang tidak baik itu. Sekarang baru kuinsyaf itu semua, setelah
mengetahui bahwa kita orang adalah berasal dari satu golongan Siauw-lim juga. Aku telah
berdosa dan melanggar pesan guruku yang telah marhum !"

Sambil berkata begitu, Hok Cit lalu cabut goloknya dan serahkan itu dengan kedua
tangannya kehadapan pemuda kita.

“Kau kelihatan masih sangat penasaran kepadaku,” katanya, “tetapi semua itu tak dapat aku
persalahkan kepadamu. Aku insyaf telah berdosa besar, dari itu bunuhlah aku dengan
golokku ini ............"

Poan Thian biarpun terhitung seorang yang berhati baja, tetapi ternyata tidak tahan uji
dengan sikap yang lemah dan minta dikasihani. Maka setelah menerima golok itu, ia lantas
lemparkan senjata itu sambil berkata : “Kau edan !"

Hok Cit lantas berlutut dengan mengembang air mata dan berkata : “Aku rela mati
ditanganmu, aku telah menodakan nama guruku yang telah berada di tanah baka!"

“Siapakah yang kau katakan menjadi gurumu itu?" kata Poan Thian yang dengan laku
gugup lalu membanguni pada Hok Cit, yang sekarang telah menjadi begitu jinak bagaikan
seekor anak kambing yang menganggap “sepi" seekor harimau di hadapannya.

“Itulah Cie Ceng Suthay dari Ngo-tay-san," sahut orang yang ditanya.

Lie Poan Thian jadi membanting kaki sambil menghela napas dan menyebut: “Allah ! Cara
bagaimanakah urusan bisa jadi berputar balik begitu rupa? Cie Ceng itu adalah adik
seperguruan Beng Sim Suthay dari kelenteng Giok-hun-am, sehingga dengan begitu ia
masih menjadi kepernah Sukouw-ku. Aku sungguh tidak bisa mengarti mengapa kau
sebagai seorang murid golongan Siauw-lim, bisa jadi ikut2an kedalam golongan Kang-ouw
hitam ? Mari, duduklah disini. Aku ingin mengetahui sebab-musabab yang telah membikin
kau tersesat sampai begitu jauh."

Hok Cit menurut dengan tak perlu diajak sampai dua kali.

“Sebenarnya jikalau guruku tidak meninggal dalam usia yang boleh dikata belum begitu tua,
aku tidak sampai tersesat begini jauh," katanya.

“Cobalah tuturkan semua riwayat hidupmu," meminta Poan Thian yang sekarang seolah-
olah telah lenyap perasaan antipatinya.

“Semasa aku diajak datang ke Pek-lian-am oleh Cie Ceng Suthay," Hok Cit mulai
menuturkan, “usiaku baru saja beberapa belas tahun. Ayah bundaku telah menutup mata

258
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

ketika aku belum cukup usia 10 tahun, oleh karena itu aku lalu menumpang tinggal di
rumah pamanku, seorang petani yang boleh dikatakan mampu juga. Karena selain
mempunyai beberapa puluh bouw sawah2, iapun mempunyai juga beberapa belas ekor ker-
bau, yang setiap hari diperintahkannya aku untuk memeliharanya.

Oleh sebab itu, aku semulanya buta huruf, pada sebelum masuk kelenteng Pek-lian-am
dimana aku telah diberi kesempatan untuk belajar ilmu silat dan surat dengan berbareng
oleh Cie Ceng Suthay yang baik hati itu.

Paman dan bibiku mungkin juga tak akan mengizinkan aku berlalu dari rumah mereka, kalau
saja aku tidak bertemu dengan Cie Ceng Suthay, yang karena kasihan melihat keadaanku
yang begitu “dianak-tirikan", dengan secara diam-diam telah melarikan aku dari rumah
pamanku.

Tetapi sungguh tidak beruntung, ketika aku berdiam di Pek-lian-am baru saja kira-kira 2,5
tahun lamanya guruku telah meninggal dunia, hingga ini telah memaksa aku lari dari
kelenteng tersebut karena hasutan Hek-houw-lie Tjian Cong, yang ketika itu masih menjadi
seorang bajak ditelaga Thay-ouw, yang justru itu tengah berada dalam perjalanan mencari
kawan untuk melakukan perampokan dengan secara besar-besaran.

Aku tertarik benar oleh omongan Tjian Cong ini, yang selalu menjanjikan aku segala
keuntungan dan kesenangan, hingga aku tidak pikirkan sama sekali akibat2 daripada
perbuatanku yang tidak baik itu..................Tidak tahunya ketika tiba pada waktunya
perampokan itu dilakukan, mereka telah dipukul hancur oleh tentara negeri yang dikepalai
oleh beberapa ahli silat kenamaan, hingga tercerai berailah aku dari Tjian Cong dan
melarikan diri untuk mencari tempat berlindung lain yang lebih selamat.

Dalam keadaan terlunta2, aku telah bertemu dengan Liu Tay Hong yang kemudian telah
perkenalkan aku pada Wie Hui yang menjadi pemimpin dari kawanan berandal
dipegunungan jie-sian-san. Maka dengan mempergunakan nama pemimpin ini, Tay Hong
telah ajak aku memeras kekiri-kanan, sehingga akhirnya aku bertemu dengan An Chun San
dengan siapa aku telah bertempur dikelenteng Touw-tee-bio, yang mana kiranya tak perlu
lagi buat aku tuturkan disini, berhubung kau sendiripun telah ketahui cukup jelas peristiwa
ini.

Tidak berapa lama setelah kau berhasil membinasakan Wie Hui dan kawan-kawannya, aku
segera melarikan diri ke daerah Kimleng, dimana aku telah bertemu dengan Sin-siu-tay-seng
Bie Tiong Liong, pada siapa aku kemudian telah berguru, tatkala mengetahui bahwa dia
itulah guru Liu Tay Hong.

Oleh karena hasutan orang tua ini, maka aku jadi semakin bermusuh kepadamu, sehingga
selanjutnya aku telah sengaja membikin kau banyak pusing dengan melakukan berbagai2
perbuatan yang tidak patut, yang sekarang sangat kusesalkan tidak sudah-sudahnya,
apabila hal itu dikenang-kenangkan dalam peringatanku.

Paling belakang karena segala sepak-terjangku untuk mencelakai padamu telah menjadi
gagal, sedangkan guruku sendiri telah dirobohkan olehmu, mendadak aku bertemu dengan
Hek-houw-lie Tjian Cong, yang aku lalu hasut untuk memusuhi juga kepadamu. Begitulah ia
lantas kirim Teng Kie buat melakukan penyerangan gelap kepadamu, tetapi maksud itu —
sebagaimana aku telah dapat kabar kemarin — kembali telah gagal. Karena selain maksud
itu tidak kesampaian, malah Teng Kie sendiri berbalik kena dilukai olehmu.

Maka setelah aku terlolos dari tanganmu barusan, diluar sangkaan aku telah bertemu
dengan seorang bekas Suhengku yang dahulu bersama-sama berdiam dikelenteng Pek-lian-

259
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

am, hingga dalam omong-omong dengan secara berterus terang, ia amat sesalkan atas per-
buatanku itu dan ia mengatakan bahwa tuan Lie ini bukan lain daripada salah seorang murid
Kak Seng Siang-jin Supek, hingga ini bikin aku jadi kaget dan merasa sangat berdosa besar.
Karena selain aku telah berani melawan pada seorang yang masih kupernah suheng,
akupun telah mengabaikan pesan guruku ketika beliau hampir menutup mata.

“Ingatlah," katanya, “bahwa nama Siauw-lim telah mengharum sekian abad lamanya
diseluruh negeri, dan barang siapa diantara murid-murid kami yang berani melanggar dan
menodakan nama baik golongan kita, ia harus tebus dan perbaiki dengan suatu
pengorbanan jiwa !"

“Tetapi aku sendiri bersedia akan mengampuni kepadamu," kata Lie Poan Thian, setelah
selesai mendengar penuturan Hok Cit, “apabila kau suka merubah perbuatanmu sehingga
kau kembali lagi menjadi seorang yang baik. Hal mana aku percaya, Cie Ceng Sukouw yang
sudah berada ditempat baka, tentu akan menyetujui juga atas tindakanku itu."

Lebih jauh untuk mengakhiri permusuhan-permusuhan dengan segala pihak, pemuda kita
telah menganjurkan supaya Hok Cit membantu pada Cin Kong Houw yang membuka Siang-
hap Pio-kiok di kota Kimleng, buat mana Hok Cit menyatakan kesediaannya akan
melaksanakan maksud itu, asalkan Poan Thian suka memperkenalkannya dan menerangkan
pada Kong Houw bahwa selanjutnya ia akan menjadi orang baik dan mohon dipimpin ke
jalan yang terang dalam penghidupannya dikemudian hari.

“Lebih-lebih karena disanapun turut membantu juga dua saudara Lauw yang dahulu pernah
bekerja dibawah perintah Liu Tay Hong ber-sama-sama kau sendiri," kata pemuda kita,
“kukira kau akan merasa senang menuntut penghidupan sebagai seorang piosu, yang tentu
jauh lebih terhormat daripada berkeliaran dikalangan Kang-ouw dengan tidak tentu kemana
juntrungannya. Karena sesuatu orang yang pernah terjerumus dan kemudian insyaf atas
segala kekeliruannya, sedapat mungkin aku suka bantu mencarikan jalan agar supaya ia
bisa hidup bahagia dan dapat mencicipi keberuntungan dalam cara yang halal."

Sementara Hok Cit yang mendengar omongan itu, iapun tampaknya sangat berterima kasih
dan berjanji akan menjalankan tugasnya yang akan datang itu dengan sebaik-baiknya.

Begitulah setelah kedua pihak melupakan permusuhan yang telah lampau itu, pada hari
esoknya Poan Thian lalu mengajak Hok Cit akan menjumpai Cin Kong Houw di kota Kimleng,
dan kedatangan mereka kesana bukan saja telah disambut dengan gembira oleh Kong
Houw dan kedua saudara Lauw yang memang kenal pada Hok Cit, tetapi Cu Leng dan In
Liong pun menyatakan turut bergirang, akan melihat kedua orang musuh besar itu akhirnya
telah bisa kembali dan menjadi sahabat-sahabat yang jauh lebih menguntungkan pada
kedua pihak daripada kalau mereka saling bermusuhan dan mengancam akan saling
membunuh jiwa masing-masing.

Maka sebagai tanda turut bersyukur atas kejadian yang menggirangkan itu, Kong Houw
telah mengadakan perjamuan dengan secara besar-besaran, dalam mana telah diundang
orang-orang gagah yang menjadi handai taulan Kong Houw dan Poan Thian, dengan nama-
nama Sin-kun Louw Cu Leng, Hoa In Liong dan Hok Cit tercantum sebagai orang-orang
yang turut mengundang.

Tetapi perjamuan itu masih belum dapat dikatakan besar, apabila dibandingkan dengan
perayaan pesta pernikahan Lie Poan Thian dengan nona Giok Tin yang diadakan di rumah
keluarga Na, dimana selain turut hadir handai taulan Lie Poan Thian, juga Kak Seng Siangjin
sendiri telah datang memberi berkah kepada kedua mempelai. Dan sedikit waktu setelah
melangsungkan pernikahannya, Poan Thian pun telah “mencuci tangan" dan keluar dari

260
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com

kalangan Kang-ouw sebagai salah seorang ahli silat yang seumur hidupnya tak pernah
dikalahkan orang.

— TAMAT —

261

You might also like