Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 11

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan suatu proses patofisiologi dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif,
dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. CKD merupakan penyakit ginjal
yang irreversible dengan LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) < 60 ml/menit dalam
waktu 3 bulan atau lebih, sehingga kemampuan tubuh untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan elektrolit menurun (Suwitra dalam Sudoyo
et al., 2014).
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insiden Chronic
Kidney Disease (CKD) diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan
angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di negara-negara berkembang
lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun
(Suwitra dalam Sudoyo et al., 2014). Berdasarkan data survei Perhimpunan
Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) menyebutkan bahwa Indonesia merupakan
negara dengan prevalensi penyakit gagal ginjal kronik yang cukup tinggi, yaitu
mencapai 30,7 juta penduduk (Rustiana, 2012).
Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi CKD, yaitu
pengaturan pola makan, transplantasi ginjal, dan hemodialisa (Wilson dalam Price
dan Lorraine, 2006). Pada keadaan terburuk, pasien dapat terancam nyawanya jika
tidak menjalani hemodialisa berkala atau transplantasi ginjal untuk menggantikan
organ ginjalnya yang telah rusak parah (Kementerian Kesehatan, 2013).
Hemodialisa merupakan terapi utama pada pasien gagal ginjal kronik.
Hemodialisa adalah terapi pengganti fungsi ginjal yang bertujuan untuk
mengeluarkan sisa-sisa protein dan memperbaiki gangguan keseimbangan air dan
elektrolit antara kompartemen darah pasien dengan kompartemen dialisat melalui
selaput semipermeabel yang bertindak sebagai ginjal buatan (Suhardjono et al
dalam Sudoyo et al., 2014).

1
2

Pada tahun 2014, jumlah pasien hemodialisa di Indonesia sebanyak 11.689


orang pasien aktif dan 17.193 orang pasien baru. Di Sumatera Selatan tercatat 715
orang pasien yang aktif menjalani hemodialisa dan 1.287 orang pasien baru
(Indonesian Renal Registry, 2014). Hemodialisa dilakukan 2-3 kali seminggu,
dengan setiap hemodialisa dilakukan selama 4-5 jam (Suhardjono et al dalam
Sudoyo et al., 2014).

1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Memperoleh informasi mengenai hemodialisa.
1.2.2. Tujuan Khusus
1. Mengetahui definisi, tujuan, indikasi, kontraindikasi, proses, dan
komplikasi dari hemodialisa.
2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang
kedokteran.
3. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang dan Rumah Sakit Umum
Daerah Palembang BARI.

1.3. Manfaat
Menambah wawasan dan pemahaman mengenai hemodialisa.
3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hemodialisa
2.1.1. Definisi
Hemodialisa merupakan suatu proses pengubahan kompossi solut
darah oleh larutan lain (cairan dialisat) melalui membran semipermiabel
(membran dialisis). Saat ini terdapat beragai definisi hemodialisa, tetapi pada
prinsipnya hemodialisa adalah suatu proses pemisahan atau penyaringan
darah melalui suatu membran semipermebel yang dilakukan pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal yang kronik maupun akut (Suhardjono et al
dalam Sudoyo et al., 2014).
Hemodialisa (HD) adalah suatu proses yang menggunakan mesin
ginjal buatan dan berbagai aksesorisnya dimana terjadi difusi partikel terlarut
(salut) dan air secara pasif melalui darah menuju kompartemen cairan dialisat
melewati membran semipermeabel dalam dializer (Wilson dalam Price dan
Lorraine, 2006).

2.1.2. Tujuan Hemodialisa


Tujuan hemodialisa adalah mengendalikan uremia, mengatasi
kelebihan cairan, dan ketidakseimbangan elektrolit yang terjadi pada pasien
gagal ginjal kronik (Suwitra dalam Sudoyo et al., 2014). Zat toksik yang
menimbulkan gejala uremia dapat dihilangkan dengan melakukan dialisis
darah, yakni menggunakan cairan dengan komposisi yang sesuai dalam suatu
mesin ginjal buatan (hemodialisa). Pasien dapat dipertahankan hidup dan
sehat selama berbulan-bulan dengan dialisis, meskipun telah terjadi keadaan
anuria total atau salah satu dari ginjal telah diangkat (Ganong, 2012). Selain
memperpanjang usia pasien gagal ginjal kronik, hemodialisa juga bertujuan
untuk memberikan kualitas hidup yang baik bagi penderita (Suwitra dalam
4

Sudoyo et al., 2014).

2.1.3. Indikasi Hemodialisa


Kidney Disease Outcome Quality Initiative (KDOQI) tahun 2006
(dalam Suhardjono et al., 2014) merekomendasikan untuk
mempertimbangkan manfaat dan risiko memulai terapi pengganti ginjal
(TPG) pada pasien dengan perkiraan laju filtrasi glomerulus kurang dari 15
mL/menit/1,73m2 (CKD tahap 5). Namun, terdapat bukti-bukti penelitian
baru bahwa tidak terdapat perbedaan hasil antara memulai dialisis dini
dengan terlambat memulai dialisis (Suhardjono et al dalam Sudoyo et al.,
2014).
Oleh karena itu pada Chronic Kidney Disease tahap 5, inisiasi (saat
memulai) HD dilakukan apabila terdapat keadaan sebagi berikut.
1. Kelebihan (overload) cairan ekstraselular yang sulit dikendalikan
dan/atau hipertensi.
2. Hiperkalemia yang refrakter terhadap restriksi diit dan terapi
farmakologis.
3. Asidosis metabolik yang refrakter terhadap pemberian terapi
bikarbonat.
4. Hiperfosfatemia yang refrakter terhadap retriksi diit dan terapi pengikat
fosfat.
5. Anemia yang refrakter terhadap pemberian eritropoietin dan besi.
6. Adanya penurunan kapasitas fungsional atau kualitas hidup tanpa
penyebab yang jelas.
7. Penurunan berat badan atau malnutrisi, terutama apabila disertai gejala
mual, muntah, atau adanya bukti lain gastroduodenitis.
8. Selain itu indikasi segera untuk dilakukannya hemodialisa adalah
adanya gangguan neurologis (seperti neuropati, ensefalopati, gangguan
psikiatri), pleuritis atau perikarditis yang tidak disebabkan oleh
penyebab lain, serta diatesisi hemoragik dengan pemanjangan waktu
pendarahan.
5

(Suhardjono et al dalam Sudoyo et al., 2014)

2.1.4. Kontraindikasi Hemodialisa


Kontraindikasi absolut untuk dilakukan hemodialisa adalah apabila
tidak didapatkannya akses vaskular. Sedangkan kontraindikasi relatif adalah
apabila ditemukan adanya kesulitan akses vaskular, fobia terhadap jarum,
gagal jantung, dan koagulopati (Suhardjono et al dalam Sudoyo et al., 2014).

2.1.5. Proses Hemodialisa


Suatu mesin ginjal buatan atau hemodializer terdiri dari membran
semipermeabel yang terdiri dari dua bagian, bagian untuk darah dan bagian
lain untuk dialisat. Darah mengalir dari arah yang berlawanan dengan arah
dialisat ataupun dalam arah yang sama dengan arah aliran darah. Dializer
merupakan sebuah hollow fiber atau capillary dializer yang terdiri dari ribuan
serabut kapiler halus yang tersusun pararel. Darah mengalir melalui bagian
tengah tabung-tabung kecil ini, dan dialisat membasahi bagian luarnya.
Dializer ini sangat kecil dan kompak karena memiliki permukaan yang luas
akibat adanya banyak tabung kapiler (Wilson dalam Price dan Lorraine,
2006).
Menurut Corwin (2009) hemodialisa adalah dialisa yang dilakukan di
luar tubuh. Selama hemodialisa darah dikeluarkan dari tubuh melalui sebuah
kateter masuk ke dalam sebuah mesin yang dihubungkan dengan sebuah
membran semipermeabel (dializer) yang terdiri dari dua ruangan. Satu
ruangan dialirkan darah dan ruangan yang lain dialirkan dialisat, sehingga
keduanya terjadi difusi. Setelah darah selesai dilakukan pembersihan oleh
dializer darah dikembalikan ke dalam tubuh melalui arterio venosa shunt
(AV-shunt).
Selanjutnya Wilson (2006) juga menyebutkan bahwa suatu sistem
dialisa terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan satu lagi untuk dialisat.
Darah mengalir dari pasien melalui tabung plastik (jalur arteri/blood line),
melalui dializer hollow fiber dan kembali ke pasien melalui jalur vena.
6

Dialisat membentuk saluran kedua. Air kran difiltrasi dan dihangatkan sampai
sesuai dengan suhu tubuh, kemudian dicampur dengan konsentrat dengan
perantaraan pompa pengatur, sehingga terbentuk dialisat atau bak cairan
dialisa. Dialisat kemudian dimasukan ke dalam dializer, dimana cairan akan
mengalir di luar serabut berongga sebelum keluar melalui drainase.
Keseimbangan antara darah dan dialisat terjadi sepanjang membran
semipermeabel dari hemodializer melalui proses difusi, osmosis, dan
ultrafiltrasi.
Komposisi dialisat diatur sedemikian rupa sehingga mendekati
komposisi ion darah normal, dan sedikit dimodifikasi agar dapat memperbaiki
gangguan cairan dan elektrolit yang sering menyertai gagal ginjal. Unsur-
unsur yang umum terdiri dari Na+, K+, Ca++, Mg++, Cl-, asetat dan glukosa.
Urea, kreatinin, asam urat dan fosfat dapat berdifusi dengan mudah dari darah
ke dalam dialisat karena unsur-unsur ini tidak terdapat dalam dialisat.
Natrium asetat yang lebih tinggi konsentrasinya dalam dialisat, akan berdifusi
ke dalam darah (Wilson dalam Price dan Lorraine, 2006).
Tujuan menambahkan asetat adalah untuk mengoreksi asidosis
penderita uremia. Asetat dimetabolisme oleh tubuh pasien menjadi
bikarbonat. Glukosa dalam konsentrasi yang rendah ditambahkan ke dalam
dialisat untuk mencegah difusi glukosa ke dalam dialisat yang dapat
menyebabkan kehilangan kalori dan hipoglikemia. Pada hemodialisa tidak
dibutuhkan glukosa dalam konsentrasi yang tinggi, karena pembuangan
cairan dapat dicapai dengan membuat perbedaan tekanan hidrostatik antara
darah dengan dialisat (Wilson dalam Price dan Lorraine, 2006).
Ultrafiltrasi terutama dicapai dengan membuat perbedaan tekanan
hidrostatik antara darah dengan dialisat. Perbedaaan tekanan hidrostatik dapat
dicapai dengan meningkatkan tekanan positif di dalam kompartemen darah
dializer yaitu dengan meningkatkan resistensi terhadap aliran vena, atau
dengan menimbulkan efek vakum dalam ruang dialisat dengan memainkan
pengatur tekanan negatif. Perbedaaan tekanan hidrostatik diantara membran
dialisa juga meningkatkan kecepatan difusi solut (Wilson dalam Price dan
7

Lorraine, 2006).
Sirkuit darah pada sistem dialisa dilengkapi dengan larutan garam atau
NaCl 0,9 %, sebelum dihubungkan dengan sirkulasi penderita. Tekanan darah
pasien mungkin cukup untuk mengalirkan darah melalui sirkuit
ekstrakorporeal (di luar tubuh), atau mungkin juga memerlukan pompa darah
untuk membantu aliran dengan quick blood (QB) (sekitar 200 sampai 400
ml/menit) merupakan aliran kecepatan yang baik. Heparin secara terus-
menerus dimasukkan pada jalur arteri melalui infus lambat untuk mencegah
pembekuan darah. Perangkap bekuan darah atau gelembung udara dalam jalur
vena akan menghalangi udara atau bekuan darah kembali ke dalam aliran
darah pasien. Untuk menjamin keamanan pasien, maka hemodializer modern
dilengkapi dengan monitor-monitor yang memiliki alarm untuk berbagai
parameter (Wilson dalam Price dan Lorraine, 2006).
Wilson (2006) menjelaskan bahwa dialisat pada suhu tubuh akan
meningkatkan kecepatan difusi, tetapi suhu yang terlalu tinggi menyebabkan
hemolisis sel-sel darah merah sehingga dapat menyebabkan pasien
meninggal. Robekan pada membran dializer yang mengakibatkan kebocoran
kecil atau masif dapat dideteksi oleh fotosel pada aliran keluar dialisat.
Hemodialisa rumatan biasanya dilakukan tiga kali seminggu, dan lama
pengobatan berkisar dari 3 sampai 5 jam, tergantung dari jenis sistem dialisa
yang digunakan dan keadaan pasien.

2.1.6. Komplikasi Hemodialisa


Komplikasi akut yang sering terjadi selama hemodialisa adalah
hipotensi, terutama pada pasien dengan diabetes. Hal ini terjadi karena
sejumlah faktor risiko, yaitu ultrafiltrasi dalam jumlah besar disertai
mekanisme kompensasi pengisian vaskular yang tidak adekuat, adanya
gangguan respon vasoaktif atau otonom, pemberian antihipertensi yang
berlebihan, dan menurunnya kemampuan pompa jantung (Suhardjono et al
dalam Sudoyo et al., 2014).
Kram otot juga sering terjadi selama dialisis. Beberapa faktor pencetus
8

yang dihubungkan dengan kejadian krom otot ini adalah gangguan perfusi
otot karena pengambilan cairan yang agresif dan pemakaian dialisat rendah
sodium. Selain itu, reaksi anafilaktoid terhadap dialiser juga sering muncul
pada pemakaian pertama. Reaksi ini sering dilaporkan terjadi pada membran
bioinkompatibel yang mengandung selulosa (Suhardjono et al dalam Sudoyo
et al., 2014).
Reaksi terhadap dialiser dibagi menjadi dua tipe, yaitu A dan B. Pada
reaksi tipe A terjadi segera setelah terapi dimulai (dalam beberapa menit
pertama), terjadi reaksi hipersensitivitas intermediate yang diperantarai oleh
IgE terhadap etilen oksida yang dipakai untuk sterilisasi dialiser yang baru.
Reaksi tipe B terdiri dari kumpulan gejala dari nyeri dada dan punggung yang
tidak spesifik yang mungkin disebabkan oleh aktivasi komplemen dan
pelepasan sitokin (Suhardjono et al dalam Sudoyo et al., 2014).
Komplikasi jangka panjang hemodialisa adalah penyakit
karidovaskular. Penyebab dasar penyakit ini berkaitan dengan faktor risiko
seperti diabetes melitus, inflamasi kronik, perubahan besar pada volume
ekstraselular, tatalaksana hipertensi inadekuat, anemia, dislipidemia, dan
perubahan hemodinamik kardiovaskular selama dialisis berlangsung
(Suhardjono et al dalam Sudoyo et al., 2014).
Terjadinya gangguan pada fungsi tubuh pasien hemodialisis, menyebabkan
pasien harus melakukan penyesuaian diri secara terus menerus selama sisa
hidupnya. Bagi pasien hemodialisis, penyesuaian ini mencakup keterbatasan
dalam memanfaatkan kemampuan fisik dan motorik, penyesuaian terhadap
perubahan fisik dan pola hidup, ketergantungan secara fisik dan ekonomi
pada orang lain serta ketergantungan pada mesin dialisa selama sisa hidup.
Perubahan dalam kehidupan ini merupakan salah satu pemicu terjadinya
depresi pada pasien hemodialisa. Angka kejadian depresi lebih tinggi pada
pasien yang berusia tua, pendapatan rendah, dan menjalani terapi lebih dari 1
tahun (Sarafino, 2010).
9

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
10

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. EGC. Jakarta, Indonesia.


Hal. 243.

Dany, Frans. 2012. Patofisiologi Penyakit Pengantar Menuju Kedokteran Klinis.


EGC. Jakarta, Indonesia. Hal. 506-512.
Ganong, William F. 2012. Fisiologi Kedokteran (Review of Medical Physiology).
Terjemahan Oleh: Pendit, Braham U. EGC. Jakarta, Indonesia. Hal. 753.
Indonesian Renal Registry. 2014. 7th Report Of Indonesian Renal Registry.
(http://www.indonesianrenalregistry.org, Diakses 05 Mei 2016).

Kementerian Kesehatan RI. 2013. Hasil Riset Kesehatan Dasar. Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta, Indonesia. Hal. 94.
National Kidney Foundation, 2007. Hemodialysis: What You Need to Know.
(https://www.kidney.org, Diakses 05 Mei 2016).
Price, Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. EGC. Jakarta, Indonesia. Hal. 913-975.
Sudoyo, et al. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing. Jakarta,
Indonesia. Hal. 1035-1052.
Wang et al., 2010. Depression and Suicide Risk in Hemodialysis Patients With
Chronic Renal Failure. 51(6), (http://www.ncbi.nlm.nih.gov, Diakses 25 Juli
2016).
11

You might also like