Professional Documents
Culture Documents
Pesentasi Kasus
Pesentasi Kasus
PITYRIASIS VERSICOLOR
Disusun oleh :
20164011141
Dokter Pembimbing :
2018
BAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : An. LDNR
Umur : 1 tahun 8 bulan
Alamat : Bantulan RT01/04
KU : Baik, CM
Kesan Gizi : Cukup
Vital sign
Antropometri
Berat badan : 12 kg
Tinggi badan : 95 cm
Pemeriksaan Fisik
V. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
- Pityriasis Versicolor
- Pityriasis Alba
- Vitiligo
VI. DIAGNOSIS
Pityriasis Versicolor
VII. TERAPI
- Farmakoterapi
R/. shampoo Ketokonazole 2% 120 ml no. I
S 1 dd ue
- Edukasi
a. Ibu pasien diminta untuk menjaga kebersihan pasien dan tetap membersihkan
wajah pasien dengan sabun.
b. Jika pasien mudah berkeringat maka ibu pasien diminta untuk sering
mengganti baju pasien.
c. Pasien diminta untuk memakai baju tipis dan menyerap keringat.
d. Hindari penggunaan handuk bersamaan dengan kakak pasien.
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad functionam : bonam
Ad sanationam : bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi
Pityriasis versicolor (PVC) atau lebih dikenal dengan panu adalah infeksi jamur
superfisial kronik, biasanya asimtomatik atau terjadi perubahan pigmen kulit, akibat kolonisasi
stratum korneum oleh jamur lipofilik dimorfik dari flora normal kulit, Malassezia furfur. Bercak
dapat berwarna putih sampai coklat kehitaman serta dapat meliputi badan dan kadang-kadang
dapat menyerang ketiak, lipat paha, lengan, tungkai atas, leher, muka dan kulit.
II. Etiologi
PVC menginfeksi 20-25% penduduk dunia, lebih sering di area dengan kelembapan dan
temperature cukup tinggi. Selain itu, faktor kulit berminyak, hiperhidrosis, faktor herediter,
pengobatan dengan glukokortikoid, dan defisiensi imun juga dapat memicu terjadinya PVC.
Penyakit ini biasa terjadi pada masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah. Faktor
utama terjadinya penyakit ini adalah kebersihan perseorangan yang kurang. Pemakaian minyak
seperti minyak kelapa merupakan predisposisi terjadinya PV pada anak-anak.
Berdasarkan penelitian Maria Ulfa & Iskandar Zulkarnain tahun 2016 menyatakan bahwa
semakin meningkat usia anak, semakin tinggi pula kejadian PVC. Hal tersebut dikarenakan pada
kelompok usia 5-14 tahun, aktivitas anak sudah mulai aktif sehingga menimbulkan banyak
keringat, basah atau lembab dan trauma. Selain itu, penyakit ini sering dijumpai pada deawsa
muda di mana kelenjar sebasea lebih aktif bekerja.
IV. Pathogenesis
Malassezia berubah dari bentuk blastospore ke bentuk mycelia (massa kumpulan hifa).
Hal ini dipengaruhi oleh faktor predisposisi. Malassezia memiliki enzim oksidasi yang dapat
merubah asam lemak pada lipid yang terdapat pada permukaan kulit menjadi asam dikarboksilat.
Asam dikarboksilik ini menghambat tyrosinase pada melanosit epidermis di stratum basalis dan
dapat mengakibatkan hipomelanosit. Tirosinase adalah enzim yang memiliki peranan penting
dalam pembentukan melanin. Selain itu Malassezia menghasilkan metabolit seperti pitiasitrin
dan pitirialakton yang mampu menyerap sinar UV. Oleh karena itu terbentuk lesi
hipopigmentasi. Lesi hiperpigmentasi juga dapat terbentuk akibat stimulasi pathogen dari M.
furfur yang memicu pembesaran melanosom oleh melanosit di stratum basalis.
Infeksi jamur ini merangsang makrofag untuk melepaskan mediator inflamasi (IL-1, IL-6,
TNF-α) sehingga terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang menimbulkan papul,
vasodilatasi pembuluh darah sehingga terjadi macula atau patch hiperemis, serta terjadi mitosis
sel epidermis yag menimbulkan skuama halus.
Malassezia Furfur dapat menginfeksi pada individu yang sehat sebagaimana ia dapat
menginfeksi individu dengan immunocompromised, misalnya pada pasien kanker atau AIDS.
V. Gejala Klinis
Biasanya tidak ada keluhan (asimtomatis), tetapi dapat dijumpai gatal pada keluhan
pasien. Pasien yang menderita PVC biasanya mengeluhkan bercak pigmentasi dengan alasan
kosmetik. Predileksi pitiriasis vesikolor yaitu pada tubuh bagian atas, lengan atas, leher,
abdomen, aksila, inguinal, paha, genitalia. Bentuk lesi macula atau patch hipopigmentasi atau
hiperpigmentasi dengan bentuk tidak teratur, berbatas tegas sampai difus dengan ukuran lesi
dapat milier, lentikuler, numuler sampai plakat serta tertutup skuama halus. Ada dua bentuk yang
sering dijumpai:
1. Bentuk makuler: berupa bercak yang agak lebar, dengan squama halus diatasnya, dan tepi
tidak meninggi.
2. Bentuk folikuler: seperti tetesan air, sering timbul disekitar rambut.
Pytiriasis Alba
Pytiriasis alba disebut juga Pityriasis simpleks facei merupakan dermatitis non spesifik,
asimptomatik dan idopatik. Penyakit ini sering dijumpai pada anak hingga dewasa muda, usia 3-
16 tahun dan merupakan bentuk ringan dari dermatitis atopi. Lesi berupa macula (bercak
kemerahan) bulat, oval, terkadang ireguler, awalnya berwarna merah muda tertutup skuama
halus kemudian menjadi lesi hipopigmentasi dalam beberapa minggu. Seiring perjalanan
penyakitnya, skuama berangsur hilang, tersisa lesi hipopigmentasi yang menetap beberapa bulan
hingga tahun.
Menurut pendapat beberapa ahli, sedikitnya terdapat lima penyebab yang berhubungan
dengan kejadian Pityriasis alba yaitu dermatitis, fotosensitisasi, pathogenesis jamur dan bakteri
serta proses peradangan. Terjadi penurunan jumlah melanosit dan berkurangya ukuran serta
menurunnya jumlah melanosom. Predileksi tersering adalah wajah, ditemukan juga di lokasi lain
seperti leher, bahu,punggung, ekstremitas dan bokong. Pytiriasis alba ekstensif yang terjadi pada
orang deawa, lesinya simteris, berbatas tegas, berwarna putih, cenderung merusak permukaan
kulit. Selain itu, pytiriasis alba dapat disertai infeksi jamur superficial dengan gambaran lesi
hiperpigmentasi kebiruan dikelilingi area hipopigmentasi, di mana sering terjadi pada wajah.
Pada pemeriksaan evoked scale sign tidak didapatkan skuama tipis. Pada pemeriksaan
lampu wood, pytiriasis alba tidak memancarkan warna kuning keemasan. Sedangkan pada
pemeriksaan KOH tidak ditemukan hifa dan spora.
Penatalaksanaan Pityriasis alba meliputi perawatan kulit secara keseluruhan serta
perlindungan terhadap sinar matahari. Edukasi tidak hanya diberikan kepada pasien, namun juga
orang tua bahwa kelainan ini dapat sembuh dan tidak berbahaya. Pengobatan medikamentosa
tidak begitu diperlukan. Beberapa obat topikal yang dapat digunakan antara lain :
1. Emolien
Campuran yang berisi hidrokarbon, minyak, lilin dan asam lemak rantai panjang dengan
bahan dasar dapat berupa lotion, krim atau salep. Emolien dapat membantu menahan
penguapan air kulit sehingga diberikan setelah mandi, 2-6 kali sehari. Penggunaan emolien
juga dapat mengurangi skuma, terutama pada daerah wajah. Contoh emolien yaitu
petrolatum, lotion atau krim ammonium laktat 12%, krim aqueous (Curel, Cetaphil, Nivea,
Lubridem).
2. Steroid topikal
Penggunaan steroid topikal bertujuan untuk mengurangi eritem dan rasa gatal, serta
mempercepat repigmentasi. Steroid topikal potensi medium (golongan V dan VI) aman
digunakan pada anak-anak. Namun penggunaan untuk jangka waktu lama pada daerah wajah
tidak dianjurkan. Steroid topikal potensi kuat dapat menyebabkan atrofi kulit, erupsi
akneiformis sehingga tidak dapat digunakan pada wajah.
3. Steroid oral plus PUVA (Photochemotherapy Ultraviolet light A)
Penggunaan psoralen secara oral dengan PUVA diindikasikan untuk repigmentasi pada
kasus Pityriasis alba yang luas. Setelah pengobatan dihentikan, tingkat kekambuhanya cukup
tinggi.
4. Tacrolimus salep 0,1% (Protropic)
Tacrolimus salep merupakan suatu imunosupresan yang dapat mengurangi gejala pruritus
dan menekan inflamasi. Obat ini jarang digunakan karena lebih mahal dibandingkan steroid
topikal. Bentuk sediannya salep dengan konsentrasi 0,03% dan 0,1%. Obat ini digunakan
sampai 1 minggu setelah tanda dan gejala menghilang. Obat ini diindikasikan jika
pengobatan lainnya tidak memberikan hasil.
Vitiligo
Vitiligo merupakan kelainan kulit akibat gangguan pigmentasi dengan gambaran berupa
bercak-bercak putih yang berbatas tegas. Penyebabnya idiopatik, yang berhubungan dengan
proses imunologik, gangguan neurologis atau autotoksik. Epidemiologi penyakit ini dapat
menyerang semua umur di mana puncaknya usia 20-40 tahun. Perempuan lebih sering terkena
daripada pria.
Keluhan dimulai dengan munculya bintik-bintik putih semakin melebar hingga mencapai
ukuran lentikuler (sebebsar biji jagung) sampai plakat (lebih besar dari uang logam). Biasanya
tidak disertai keluhan gatal atau nyeri. Lesi dapat ditemukan berupa macula hipopigmentasi batas
tegas, di sekitar lesi sering dijumpai hiperpigmentasi. Jika lesi dilihat dari tepi, batasnya
berbentuk konkaf. Lesi hipopigmentasi ini disebabkan karena proses autoimun yang menyerang
melanosit sehingga tidak diproduksinya melanin.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan berupa pemeriksaan mikroskopis di mana
tidak ditemukan melanosit pada pewarnaan hematosiklin eosin (HE) dan kadang ditemukan
limfosit di tepi makula. Penyakit ini berhubungan dengan terjadinya penyakit Diabetes Mellitus
sehingga perlu diketahui kadar gula darah.
Penatalaksanaan kasus ini dapat diberikan zat warna topikal berupa Vitadye atau Dy-o-
Derm jika lesi tidak luas. Dapat diberikan kortikosteroid fluorinasi kuat karena merupakan reaksi
autoimun, misalnya betametason valerat 0,1% atau klobetasol propionate 0,05%. Larutan
psoralen 1% dalam alkohol dioleskan, kemudian dipajankan di bawah sinar matahari antara jam
10-12, hingga warna kulit menjadi merah, dengan dosis 0,6 mg/kgBB 2 jam sebelum penyinaran.
Diperlukan eduakasi pada pasien untuk menggunakan sunscreen dengan SPF (Sun Protecting
Factor) >30 agar kulit terlindungi dari reaksi sunburn.
Topical agents. Karena koloni jamur ini pada permukaan kulit, maka pengobatan topikal
sangat efektif. Lotion atau shampo Selenium sulfide (2.5%) dioleskan pada bercak selama 10-15
menit, kemudian dicuci, digunakan selama 2-3 minggu setiap hari. Sampo ketokonazol 2%
digunakan sekali sehari selama 5 hari. Krim Azole (ketoconazole, econazole, micronazole,
clotrimazole) dioleskan setiap hari sekali selama 2 minggu. Efek samping penggunaan
ketokonazole berupa kulit kering, rasa terbakar dan sedikit iritasi. Solusio Terbinafine 1%
dioleskan dua kali sehari selama 7 hari (maksimum 4 minggu). Topikal Terbinafine merupakan
fungsisidal yang bekerja menghambat biosintesis jamur dan merusak dinding sel membrane.
efektif pada pitriasis versikolor, dengan penggunaan satu atau dua kali sehari selama dua
minggu, terbukti dapat menyembuhkan dari penelitian terhadap lebih dari 80% pasien pitiriasis
versikolor, tinea pedis, tinea corporis/cruris.
Systemic therapy. Terapi sistemik pada PV merupakan lini sekunder. Indikasinya untuk
pasien dengan infeksi luas, sering rekuren dan gagal dengan terapi topikal. Ketokonazol
termasuk kelas antijamur imidazoles. Ketokonazol merupakan antifungi spectrum luas yang
bekerja cara menghambat enzim lanosterol 14-αdemethylase sehingga memperlambat
pertumbuhan jamur yang menyebabkan infeksi. Dosis Ketoconazole 400 mg (diminum satu jam
sebelum beraktifitas), Fluconazole 400 mg diberikan dalam dosis tunggal, Itraconazole 200-400
mg/hari selama 3-7 hari. Adapun efek samping ketokonazol adalah nausea, dispepsia, sakit perut,
dan diare. Efek samping adri penggunaan flukonazole antara lain nyeri kepala, nausea, nyeri
abdomen dan diare. Penelitian yang dilakukan Aditya K. Gupta et al. tahun 2015 menunjukkan
bahwa pemerian Fluconazole oral lebih efektif dibandingkan Ketokonazole oral.
VIII. Prognosis
Prognosis baik bila pengobatan dilakukan menyeluruh, teratur, dan konsisten. Pengobatan
harus diteruskan 2 minggu setelah fluoresensi negatif dengan pemeriksaan lampu wood dan
sediaan langsung negatif. Meskipun jamur telah dieradikasi dengan pengobatan, tetapi
hipopigmentasi menetap selama beberapa minggu hingga bulan sampai melanosit memulai untuk
memproduksi melanin lagi.