Professional Documents
Culture Documents
Bab Iii
Bab Iii
1. Biografi Singkat
Nama lengkap dari Wahbah Zuhaili adalah Wahbah bin Syekh Musthafa al-
Zuhaili. Wahbah Zuhaili ialah seorang ulama’ dan intelektual Islam di Syam. Dalam
diktat yang dikeluarkan oleh kedutaan Republik Iran tentang Samahah al-Syaikh al-
karya-karya yang dihasilkan oleh al-Zuhaili. Dalam diktat tersebut dijelaskan bahwa
Wahbah Zuhaili lahir pada tahun 1932 H di daerah Dir ‘Athyah Damaskus Syiriah.1
Bapaknya adalah ulama’ besar yakni Syaikh Musthafa al-Zuhaili seorang petani sekaligus
pedagang yang hafal Alquran pecinta al-Sunnah. Bapaknya dikenal sebagai seoarang
shaleh, wara’, peduli terhadap kehidupan sosial dan agama serta melibatkan diri dalam
gerakan keagamaan.2
kelahirannya, kemudian Śanawiyah dan fakultas syari’ah Damaskus selesai pada tahun
1952. Setelah itu Wahbah Zuhaili melanjutkan belajar di al-Azhar juga di fakultas
Syari’ah selesai pada tahun 1956 dan fakultas hukum di Universitas ‘Ain Syam di tahun
1957, kemudian mengambil tingkat magister di bidang Hukum di Universitas Kairo pada
1
Muhammad Faruq Yunaedi, Taubat Dalam Surat al-Nisā’ Ayat 17-18 “Perspektif Wahbah Zuhailī dan
Syaikh Mutawallī al-Sya’rawī”, Skripsi Prodi Tafsīr Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas IAIN Sunan Ampel
Surabaya, hlm. 45.
2
Yayuk Nuroniyah, Perkawianan Anatar Agama “Studi Perbandingan Antara Pendapat Nurchalish
Madjid dan Pendapat Wahbah Zuhailī”, Skripsi Prodi Ahwalus Syakhsiyah Fakultas Syari’ah Universitas IAIN
Sunan Ampel Surabaya, hlm. 36.
43
tahun 1959, lalu memperoleh gelar Doktor pada fakultas Syari’ah al-Azhar tahun 1963.
Setelah menyelesaikan studinya, Wahbah Zuhaili diangkat sebagai dosen dan kemudian
lingkungan kampus. Kegiatan dan pengabdiannya banyak tercurah untuk kegiatan ilmiah
dan akademisi. Setelah tamat dari perguruan tinggi, Wahbah Zuhaili langsung
mengabdikan diri sebagai dosen dan bahkan menjabat sebagai dekan. Bahwa ilmu
pengetahuan yang dimiliki oleh Wahbah Zuhaili diperoleh secara formal tidak seperti
2. Guru-gurunya
berguru, diantaranya:
c. Mahmud Yassin
d. Judat al-Mardini
e. Hassan al-Shati
i. Mahmud al-Rankusi.
3. Karya-Karya
3
Ibid, 37
4
Ibid. 40
44
Melihat dari latar belakang yang digeluti selama pendidikannya, memberikan
gambaran jelas bahwa Wahbah Zuhaili adalah seorang ilmuan yang memilki spesialisasi
dalam bidang fiqh dan hukum. Namun demikian Wahbah Zuhaili juga dikenal sebagai
seorang ahli tafsir dan ilmu-ilmu Islam lainnya. Karya karyanya Wahbah Zuhaili secara
c. Tafsīr al-Munīr
Fiqh Islamī
f. Al-Waṣayā wa al-Waqf
Dengan mengamati beberapa metode yang terdapat dalam beberapa kitab ‘Ulum
Al quran Secara metodis sebelum memasuki bahasan ayat, Wahbah Zuhaili pada setiap
awal surat selalu mendahulukan penjelasan tentang keutamaan dan kandungan surat
tersebut, dan sejumlah tema yang terkait dengannya secara garis besar. Setiap tema yang
diangkat dan dibahas mencakup aspek bahasa, dengan menjelaskan beberapa istilah yang
5
Ibid, 38
45
termaktub dalam sebuah ayat, dengan menerangkan segi-segi balaghah dan gramatika
bahasanya.6
Dengan demikian, maka metode penafsiran yang dipakai adalah metode tahlili
dan tematik, karena beliau menafsirkan Alquran dari surat al-Fatihah sampai dengan
surat an-Naas dan memberi tema pada setiap kajian ayat yang sesuai dengan
kandungannya, seperti dalam menafsirkan surat al-Baqarah ayat satu sampai lima, beliau
memberi tema sifat-sifat orang mukmin dan balasan bagi orang-orang yang bertaqwa.
Seterusnya sampai surat an-Naas selalu memberi tema bahasan di setiap kelompok ayat
Corak tafsir al-Munir, dengan melihat kriteria-kriteria yang ada penulis dapat
simpulkan bahwa tafsir tersebut bercorak ‘addabi ‘ijtima’i dan fiqhi, karena memang
Wahbah Zuhaili mempunyai basik keilmuan Fiqh namun dalam tafsirnya beliau
menyajikan dengan gaya bahasa dan redaksi yang sangat teliti, penafsirannya juga
masyarakat. Sedikit sekali dia menggunakan tafsir bi al-‘ilmi, karena memang sudah
disebutkan dalam tujuan penulisan tafsirnya bahwa dia akan meng-counter beberapa
a. Pengelompokan tema.
6
Wahbah Zuhaili, Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj , (Damaskus: Dar al-Fikr,
1998), 23
7
Ibid, 42
8
Ibid, 24
46
b. Menyajikan al-I’rab, al-balaghah, al-mufradat al-lughawiyah, asbab an-nuzul, at-
tafsir wa al-bayan, dan fiqh al-hayat aw al-ahkam pada tiap-tiap tema atau ayat-
d. Mengakomodir perdebatan yang terjadi antar ulama madzhab pada tafsir ayat-ayat
ahkam.
Secara sistematika sebelum memasuki bahasan ayat, Wahbah Zuhaili pada setiap
awal surat selalu mendahulukan penjelasan tentang keutamaan dan kandungan surat
tersebut, dan sejumlah tema yang terkait dengannya secara garis besar. Setiap tema yang
diangkat dan dibahas mencakup tiga aspek, yaitu: Pertama, aspek bahasa, yaitu
menjelaskan beberapa istilah yang termaktub dalam sebuah ayat, dengan menerangkan
Kedua, tafsir dan bayan yaitu deskripsi yang komprehensif terhadap ayat-ayat,
dan keshahihan hadis-hadis yang terkait dengannya. Dalam kolom ini, beliau
mempersingkat penjelasannya jika dalam ayat tersebut tidak terdapat masalah, seperti
terlihat dalam penafsirannya terhadap surat al-Baqarah ayat 97-98 Namun, jika ada
permasalahan diulasnya secara rinci, seperti permasalahan nasakh dalam ayat 106 dari
surat al-Baqarah.
9
Ibid, 25
10
Adz-Dzahabi, Muhammad Husain, At-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), 57
47
Ketiga, fiqh al-hayat wa al-ahkam, yaitu perincian tentang beberapa kesimpulan
yang bisa diambil dari beberapa ayat yang berhubungan dengan realitas kehidupan
manusia dan ketika terdapat masalah-masalah baru dia berusaha untuk menguraikannya
Wahbah Zuhali sendiri menilai bahwa tafsirnya adalah model tafsir Al-qur’an
yang didasarkan pada Al qur’an sendiri dan hadis-hadis shahih, mengungkapkan asbab
an-nuzul dan takhrij al-hadis, menghindari cerita-cerita Isra’iliyat, riwayat yang buruk,
dan polemik, serta bersikap moderat. Dengan melihat fakta data-data di atas, maka
Wahbah Zuhaili memenuhi sebagian besar kriteria yang diajukan oleh Khalid Abd ar-
a. Muthabaqat tafsir dan mufassir, dengan tidak mengurangi penjelasan makna yang
diperlukan , tidak ada tambahan yang tidak sesuai dengan tujuan dan makam serta
b. Menjaga makna haqiqi dan makna majazi, yang dimaksud makna haqiqi tapi di
c. Muraat ta’lif antara makna dan tujuan yang sesuai dengan pembicaraan dan
f. Memulai dengan bahasa, sharf dan isytiqaq (derivasi) yang berhubungan dengan
48
g. Menghindari idd’a pengulangan Alquran.11
Banyak komentar positif ulama dan pemikir kontemporer tentang kitab Tafsir al-
Munir ini. Dalam Pengantar Penerjemah buku biografi Syaikh Wahbah, Dr. Ardiansyah
adalah ulama paling produktif dalam melahirkan karya pada abad ini, sehingga dapat
disamakan dengan Imam as Suyuti. Demikian pula dengan sambutan luar biasa dari
kalangan akademisi dan masyarakat luar terhadap karya-karya monumentalnya seperti al-
Fiqh al-Islamiy wa Adillahtu, at-Tafsir al-Munir, dan Ushul al-Fiqh, sehingga layak
langkah diraih oleh siapa pun pada masa sekarang ini, merupakan anugrah dari Allah
Syaikh Muhammad Kurayyim Rajih, dan ahli qira’at di Syam sangat memuji
tafsir al-Munir ini, Kitab ini sungguh sangat luar biasa, sarat ilmu, disusun dengan
metode ilmiah, memberikan pelajaran layaknya seorang guru, sehingga setiap orang yang
membacanya memperoleh ilmu. Kitab ini layak dibaca setiap kalangan, baik yang
berilmu maupun orang awam. Mereka akan mendapatkan inspirasi dari kitab ini dalam
kehidupannya, sehingga ia tidak perlu lagi merujuk kepada kitab-kitab yang lain.
Tidak hanya sampai di situ, kitab ini juga dinikmati oleh kalangan Syi`ah. Hal ini
terbukti ketika kitab ini mendapat penghargaan karya terbaik untuk tahun 1995 M dalam
kategori keilmuan Islam yang diselenggarakan oleh pemerintah Republik Islam Iran.
Kitab ini juga disambut oleh berbagai Negara dengan cara menerjemahkannya dalam
49
B. Ragam Qira’at Dalam Tafsir Al-Munir Fi Al-Aqidah Wa Al-Syari’ah Wa Al-Manhaj
Seperti yang telah dipaparkan diatas bahwa metode tafsir Al-Munir adalah
gadungan antara metode tahlili dan maudhu’I, dengan sistematika penyusunan tafsir
mengkolaborasikan antara tafsir klasik dan kontemporer, ini terbukti didalam karyanya
beliau mencantumkan beberapa sub tema yang dilengkapi dengan pemaparan kajian
bahasa, balaghah dan gramatikanya, asbab an-Nuzul, penjelasan dan tafsir dan lainnya.
Selain itu, Wahbah Zuhaili juga tidak meninggalkan aspek qira’at dalam penafsirannya,
hal ini dapat dilihat dalam tafsirnya disetiap ayat yang mempunyai ragam qira’at beliau
sering kali mencantumkan bentuk qira’at dari qira’at sab’at. Dan adakalanya di beberapa
ayat-ayat al-Qur’an Wahbah Zuhaili menjadikan qira’at sebagai sumber penafsiran. Hal
Salah satu aspek pembahasan dalam menafsirkan yang digunakan oleh Wahbah
Zuhaili adalah dengan mencantumkan ragam qira’at. Aspek ini disusun dengan
memberikan sub tema القراءاتpada awal setelah poin pengelompokkan ayat, salah
a. Q.S al-Fatihah[1]:1-712
12
Wahbah Zuhaili, Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj , (Damaskus: Dar al-Fikr,
1998), 55-56
50
يمَِٰ ِِ٣م ِل ِكِي ۡو ِمِ
لر ِح ِِ
نِٱ َ بِٱ ۡل َٰعل ِمينِِِ٢ٱ َ
لر ۡح َٰم ِِ يمِِ١ٱ ۡلح ۡمدِِ ِ َّللِِر ِ
لر ِح ِِ
نِٱ َلر ۡح َٰم ِِ بِ ۡس ِِمِٱ َِ
ّللِِٱ َ
ص َٰرطِ ِٱلَذِينِِ لص َٰرطِ ِٱ ۡلم ۡست ِقيمِ ِِ ِ ٦
ِين ِِ ٤إِيَاكِ ِنعۡ بد ِوإِيَاك ِن ۡست ِعين ِِ ٥ٱ ۡهدِنا ِٱ ِ ٱلد ِِ
ضا ٓ ِلينِِِ ِ٧
بِعل ۡي ِه ۡمِوَلِٱل َ أ ۡنع ۡمتِعل ۡي ِه ۡمِغ ۡي ِرِٱ ۡلم ۡغضو ِِ
القراءت:
ك)ِِ:قرئِ : ( َٰم ِل ِِ
( -مالك)ِعلىِوزنِ(فاعل)ِبالخفضِ,وهيِقراءةِعاصمِ,والكسائيِ,وهيِ
قراءةِكثيرِمنِالصحابةِ,منهمِأبيِ,وإبنِمسعودِ,وابنِعباس.
( -ملك) ِعلى ِوزن ِ(فعل) ِبالخفضِ ,وهي ِقراءة ِباقي ِالسبعةِ ,وزيد ِبنِ
ثابتِ,وأبيِالدارداءِ,وابنِعمرِ,وكثيرِمنِالصحابةِوالتابعين.
لص َٰرطِ)ِِ:قرئِ :
(ٱ ِ
( -الصراط) ِبالصادِ ,وهي ِقراءة ِالجمهورِ ,وهي ِالفصحىِ ,وهي ِلغةِ
قريش.
( -السراط)ِبالسينِعلىِاألصلِ,وهيِقراءةِقنبل.
(عل ۡي ِه ِۡم)ِقرئِ :
( -عليهم)ِبكسرِالهاءِوإسكانِالميمِ,وهيِقراءةِالجمهور.
( -عليهم)ِبضمِالهاءِوإسكانِالميمِ,وهيِقراءةِحمزة.
Pada surat Al-Fatihah ini terdapat beberapa bentuk qira’at yang berbeda
dengan kasrah merupakan bacaanفاعل bentuk bacaan itu dinisbatkan pada wajan
‘Ashim dan al-Kisa’i dan banyak dibaca oleh para shahabat seperti Ubay, Ibn
ك Mas’ud dan Ibn ‘Abbas. Selanjutnya ahli qira’at yang lainnya membaca
م ِل ِِ
dengan kasrah, bacaan ini merupakan qira’at Nafi’, Ibn Katsir,فعل dengan wajan
Abu ‘Amr, Ibn ‘Amir dan Hamzah. Selain itu Zaid bin Tsabit, Abi Darda, Ibn
ك ‘Umar dan sahabat juga para tabi’in yang lainnya membaca dengan bacaan
.م ِل ِِ
51
Kemudian pada lafadz الصراطdengan huruf صdan ada yang memabaca
dengan huruf سyaitu السراطini merupakan bacaan dari qanbul. Seterusnya pada
lafadz عليهمada versi bacaan lain dengan membaca عليهِمini merupakan bacaan
Hamzah.
b. Q.S al-Baqarah[2]:1-513
ِِب ِوي ِقيمونِِ ِ ِٱلَذِينِ ِي ۡؤ ِمنون ِبِِ ۡٱلغ ۡي٢ِ ِ َٰذ ِلكِ ِ ۡٱل ِك َٰتبِ َِل ِر ۡي َۛب ِفِي َۛ ِه ِهدٗ ى ِِل ۡلمت َِِقين١ِ ا ٓل ِٓم
ِنزل ِ ِمنِ نزل ِ ِإل ۡيكِ ِومِا ٓ ِأ ِ ِوٱلَذِينِ ِي ِۡؤ ِمنون ِ ِبما ٓ ِأ٣ِ صل َٰوةِ ِو ِم َما ِرز ۡق َٰنه ۡم ِين ِفقون َ ٱل
ٓ ٓ
ِ ٥ِِنِر ِب ِه ۡۖۡمِوأ ِْو َٰل ِئكِِهمِ ۡٱلمِ ۡف ِلحون ِ ِٗأ ْو َٰل ِئكِِعل َٰىِهِد٤ِق ۡب ِلكِوِِب ۡٱأل ٓ ِخر ِِةِه ۡمِيو ِقنون
َ ىِم
ِ :القراءت
ِ .ِوهيِقراءةِابنِكثير,ِموصوَلًِبياء,)ِ(فيهي:( ِفي َۛ ِِه)ِقرئ
pada qari’. Sedangkan versi bacaan وبِِاَل ِخرةadalah versi bacaan Warsy’.
dicantumkan begitu saja akan tetapi mempunyai fungsi tersendiri. Tentunya Wahbah
Zuhaili menjadikan ragam qira’at sebagai kepentingan salah satu sumber dalam
13
Ibid, 75-76
52
Q.S Al-Maidah[5]:614
yang membaca dengan jar itu dimahmul kepada makna ( الجوارberdekatan), seperti dalam
benar )(ألي ًما. dan faidah jar terhadap ( الجوارberdekatan) disana pada firman Allah
( )ا ْرجلكمsebagai peringatan untuk pantas seharusnya berniat mengucurkan pada kaki dan
dikhususkan kaki pada hal tersebut. Karena sesunggguhnya kaki merupakan tempat
makna lafadz atau kalimat dalam al-Qur’an. Hal ini diperlihatkan Wahbah Zuhaili
14
Ibid, 449
53
seorang ulama yang ahli dibidang fiqh dalam menafsirkan ayat-ayat tentang hukum,
berikut ini:
ِيض ِوَل ِت ۡقربوه َن ِ ِ يض ِق ۡل ِهو ِأ ٗذىِفِٱ ۡعت ِزلوِاِْٱ ِلنسآءِ ِ ِفيِٱ ۡلم ِح
ِ ۡۖ ِ وي ۡسِلونكِ ِع ِن ِٱ ۡلم ِح
ِِّلل ِي ِحبُّ ِٱلت َ َٰ َوبِين ِِم ۡن ِح ۡيث ِأمركم ِٱ َه
َِ ّلل ِ ِإ َن ِٱ ِ حت َ َٰى ِي ۡطه ۡر ۖۡن ِفإِذا ِتط َه ۡرن ِف ۡأتوه َن
ِ ِ٢٢٢ِِوي ِحبُّ ِٱ ۡلمتط ِه ِرين
”Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu
kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu
haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka
telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah
Potongan
Penafsiran Riwayat
ayat
54
mereka bersuci ()الطهر15
Ada yang menafsirkan sebagai al-istighsal bi al-ma’I (mandi dengan air), ada yang
menafsirkannya menjadi al-wudhu’ (berwudhu), ghasl al-farj (mencuci farji), dan ghasl
Imam Malik, Imam Syafi’i, Al-awzal dan Al-Sawri berpendapat bahwa seorang
suami haram hukumnya, bersetubuh dengan isterinya yang sedang dalam keadaan haid
hal ini qira’at sab’at) adalah dapat dijadikan hujjah secara ijma’. Oleh karena itu, apabila
mengandung arti, sampai mereka suci atau berhenti dari darah haid mereka. Sedangkan
Kedua ketentuan hukum dalam kedua qira’at tersebut, dapat digabungkan yaitu sampai
َِ ط َه ۡرن ِف ۡأتوه
terpenuhinya kedua ketentuan hukum tersebut. Kedua, dalam kalimat ن َِ فإِذاِت
menunjukkan bahwa seorang suami dibolehkan bersetubuh dengan isterinya yang telah
menjalani haid, apabila telah menjalani persyaratan الطهرyaitu bersuci dengan cara
mandi.
15
Wahbah Zuhaili, Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj , (Damaskus: Dar al-Fikr,
1998), Juz.1, 666-676
16
Hasanuddin AF, “Anatomi Al-Qur’an Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum
dalam Al-Qur’an”, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 1995). Hlm. 203
17
Ibid, hlm 203
55
َِ تmenunjukkan secara jelas, bahwa batas
Al-Qosimi juga menjelaskan kata ِط َه ۡرن
seseorang menyetubuhi isterinya yang sedang haid adalah sampai isterinya mandi karena
sampai berhentinya darah haid, akan tetapi apabila dikaitkan dengan potongan ayat
dengan cara mandi, oleh karenannya jadilah kedua ketentuan hukum tersebut (berhenti
dari darah haid dan bersuci dengan cara mandi) menjadi batas keharamana dalam kasus
dimaksud dalam potongan ayat tersebut adalah janganlah bersetubuh dengan mereka
sampai mereka suci, dalam arti telah berhenti dari darah haid mereka. Dengan demikian,
para suami dibolehkan bersetubuh dengan isteri mereka setelah haid mereka berhenti.18
Q.S An-Nisa[4]:43
ِصل َٰوةِ ِوِأنتِ ۡم ِسِ َٰكر َٰى ِحِت َ َٰى ِتعۡ لمواْ ِما ِتقِولون ِوَلَ َٰ ٓيأيُّها ِٱلَذِينِ ِءامنواْ َِل ِت ۡقربواْ ِٱل
ِ ٞجنبًاِ ِإ ََلِعا ِب ِريِس ِبي ٍلِحت َ َٰى ِت ۡغتِسِلو هاِْو ِإنِكِنتِمِ َمرِۡض َٰ ٓىِأ ۡوِعِل َٰى ِسف ٍرِأ ۡوِجآءِِأحد
ِْمِمن ِٱ ۡلغآئِ ِط ِأ ۡو َِٰلم ۡستم ِٱلنِسآءِ ِفل ۡم ِتِ ِجدِواْ ِمِا ٓ ٗء ِفتي َِممواْ ِص ِعيدٗاِطيِبِٗاِفِٱمۡ سحوِاِ ِمنك
ِ ِ٤٣ِّللِكانِعف ًّواِغِفو ًرا َِ بِوجو ِهك ۡمِوأ ۡيدِيك ۡۗۡمِإِ َنِٱ
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid)
sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.
Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau
kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
18
Lihat:Imam Muhammad al-Razi, op. cit, Juz ke 6, hlm. 73. Juga al-Qurthubi, op. cit, Juz ke 3, hlm. 88-
89. Lihat:Hasanudin AF, hlm 205
56
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.
Potongan
Penafsiran Riwayat
ayat
apapun.
ً ( األ ْمري ِْن ِج ْمعِاkeduanya, bersetubuh ِلِم ۡستم Hamzah dan al-Kisa’I
Dalam memaknai ِ َٰلم ۡستمseperti Wahbah Zuhaili, mengartikan denganِ ِقب ْلتم
(berciuman dan sebangsanya), bersifat aktif, sementara makna ِ لِم ۡستمadalah ِمسْتم
(menyentuh) karena pihak wanita (yang disentuh) dalam hal ini tidak aktif.20
19
Wahbah Zuhaili, Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj , (Damaskus: Dar al-Fikr,
1998), Juz.3, hlm.83-98
20
Wahbah Zuhaili, Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj , (Damaskus: Dar al-Fikr,
1998), 83
57
Beberapa ulama berpendapat menurut Ibn Abbas, al-Hasan, Mujahid, Qatadah
dan Abu Hanifah berpendapat bahwa yang dimaksud adalah bersetubuh ()الجماع.
Sedangkan Ibn Mas’ud, Ibn Umar, al-Nakh’I dan Imam Syafi’I mamaknai kata َِٰلم ۡستم
dalam ayat ini dengan (ْن ْ ) ْإلتِقbertemunya kedua kulit/bersentuhan (baik dalam
ِِ اءِالب ِشيْرتي
yang tipis. Jika dikelompokkan kesemua arti di atas, keduanya ditafsirkan sebagai ulama
dengan “bersentuh” dan sebagian yang lain dengan “bersetubuh”. Bedanya, لمستم
wudhu’ terjadi hanya jika bersentuhan dengan perempuan, atau bersetubuh dengan
perempuan. Bisa pula dari segi sengaja ataupun tidak (pasif atau tidaknya), artinya batal
jika bersentuhan secara sengaja atau tetap batal meski tidak disengaja.
Dalam hal ini Wahbah Zuhaili cenderung berpendapat, batal wudhunya orang
yang menyentuh, atau bersentuhan dengan sengaja anggota tubuh laki-laki dan wanita.
Hal ini mengingat arti dari kata ( )لمستمyaitu: menyentuh, dan kata ( )َلمستمyaitu:
bersentuhan.
Q.S al-Maidah[5]:6
ِقِِ ِصل َٰوةِِ ِفِٱ ۡغسِلوِاْ ِوجوهك ۡم ِوأ ۡيدِيك ۡم ِ ِإلىِٱ ۡلمراف َ َٰ ٓيأيُّها ِٱلَذِينِ ِءامن ٓواْ ِإِذاِق ۡمت ۡم ِ ِإلىِٱل
ِط َهروهِاْ ِو ِإن ِكنتم َ ن ِو ِإن ِكنت ۡم ِجنبٗ ا ِفِٱ ِِ وِٱ ۡمسحوِاْ ِ ِبرءو ِسك ۡم ِوأ ۡرجلك ۡم ِ ِإلى ِٱ ۡلكعۡ ب ۡي ه
ِْط ِأ ۡو َِٰلم ۡستم ِٱ ِلنِسآءِ ِفل ۡم ِت ِجدوا
ِِ ِمِمن ِٱ ۡلغآئِ ِمنك ِ َٞم ۡرض َٰ ٓى ِأ ۡو ِعل َٰى ِسف ٍر ِأ ۡو ِجآء ِأحد
58
َِ ِم ۡن هه ِما ِي ِريد ِٱ
ِّلل ِ ِلي ۡجعل ِ ما ٓ ٗء ِفتي َممواْ ِص ِعيدٗا ِطيِبٗ ا ِفِٱمۡ سحوِاْ ِبِوجو ِهك ۡم ِوأ ۡيدِيكم
ِ ِ٦ِمِم ۡنِحر ٖجِوَِٰل ِكنِي ِريدِ ِليط ِهرك ۡمِو ِليتِ َمِنِعۡ متهِۥِعل ۡيك ۡمِلعلَك ۡمِت ۡشكرِون
ِ عل ۡيك
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah,
dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus)
atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah
dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.
Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
Potongan
Penafsiran Riwayat
ayat
ِ)وجوهك ۡم
59
bahwa kedua kaki (dalam berwudhu)
Pada ayat ini Wahbah Zuhaiili menjelaskan bahwa pada kelompok ayat ini adalah
penjelasan tentang wudhu’. Pada fardu wudhu’ yang keempat itu adalah membasuh
kedua kaki sampai kedua mata kaki,yang mana kedua mata kaki itu adalah dua tulang
yang muncul pada pergelangan betis dan telapak kaki pada dua sisi, maka Rosulullah
menyuruh “basuhlah kaki kalian sampai kedua mata kaki”. Maka wajib hukumnya untuk
membasuh kedua kaki dengan dalil yang telah ditetapkan, karena Rasulullah, sahabat dan
tabiin mencontohkan hal tersebut, dan telah di syahkan oleh ijma’ ulama.
Telah ditetapkan dalam hadits bukhari muslim dari jalan malik dari umar bin
yahya almazini dari ayahnya bahwa sesungguhnya ada seseorang yang berkata kepada
abdillah bin zayid bin ‘asyim, ia adalah kake dari umar bin yahya, termasuk dari sahabat-
sahabat Nabi. Apakah kamu dapat memperlihtkanku bagaimana cara Rasul berwudhu?
Maka abdillah bin zayid berkata:benar, maka abdillah bin zayid mengajak ia untuk
berwudhu. Maka ia menyelesaikan dengan kedua tangannya sebanyak dua kali dua kali,
kemudian dia berkumur dan memasukan air kedalam hidungnya sebanyak tiga kali dan
membasuh wajahnya sebanyak tiga kali kemudian membasuh kedua tangannya dua kali
sampai kedua siku kemudian mengusap kepalanya dengan tangannya, kemudian memulai
60
mengembalikan kedua tangannya sampai kembali pada tempat dimana ia memulai
Diriwayatkan dari mu’awiyah dan mikdad bin mu’ad sulit mencontoh sifat wudhu
Rasul Imam muslim meriwayatkan dari hadits yang diriwayatkan oleh imam abu
sampai bahu kemudian membasuh tngan bagian kiri disyariatkan membasuh tangan
bagian siku sampai bahu, kemudian mengusap kepalanya kemudian membasuh kaki
bagian kanan disyaria’tkan sampai betis, kemudian membasuh kaki bagian kiri sampai
betis kemudia ia berkata seperti itulah saya melihat cara Rasul berwudhu.
Imam muslim meriwayatkan juga dari hadits abu hurairah, bahwa sesungguhnya
nabi melihat seseorng yang tidak membasuh tumitnya maka nabi bersabda “Api neraka
ganjarannya bagi orang mengabaikan mencuci tumit (dalam berwudhu)”. Hal ini
Imam bukhori dan imam muslim meriwayatkan dari ibn umar, Rasulullah
tertinggal dari kita ketika melakukan sebuah perjalanan kemudian ia menyusul kita dan
sungguh waktu shalat ashar sudah hamper masuk kemudian kami berwudhu dan
mengusap kaki kami maka nabi bersabda berteriak dengan suara yang lantang celakalah
bagi orang-orang yang tidak membasuk tumit sebanyak 2 kali dan 3 kali. Dan benar
bahwa sesungguhnya nabi berwudhu sekal sekali, dua kali dua kali dan perbuatan itu
61
Dalam hal ini kebanyakan para qori’ menbaca dengan nasab )(وا ْرجلك ِْم. Adapun
yang membaca dengan jar itu dimahmul kepada makna ( الجوارberdekatan), seperti dalam
benar )(ألي ًما. dan faidah jar terhadap ( الجوارberdekatan) disana pada firman Allah
( )ا ْرجلكمsebagai peringatan untuk pantas seharusnya berniat mengucurkan pada kaki dan
dikhususkan kaki pada hal tersebut. Karena sesunggguhnya kaki merupakan tempat
Boleh mengusap sepatu sebagai pengganti dari membasuh kedua kaki setelah
menggunakan dua sepatu dalam keadaan suci yang beraal dari hadis at-Thari, bagi orang
yang mukim satu hari satu malam dan bagi orang yang dalam perjalanan 3 hari,
pensyariatannya telah ditetapkan dalam hadis mutawatir, Hasan Basri berkata kepadaku
70 orang sahabat Rosul bahwa Rosulullah saw mengusap 2 sepatu. Dan Ibnu Hajar
berkata sekumpulan para hafidz telah menjelaskan bahwa sesungguhnya hadis yang
menjelaskan mengusap kedua sepatu adalah hadis mutawatir, hadis ini diperkuat oleh
hadis Ibn Jarir, imam ahmad imam bukhari imama muslim dan abu dauud telah
sepatunya maka ditanyakan kepadanya apakah kau melakukan hal tersebut? Dia berkata
iya saya melihat Rasulullah kencing kemudian berwudhu dan mengusap kedua
sepatunya.21
21
Wahbah Zuhaili, Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj , (Damaskus: Dar al-Fikr,
1998), Juz.4, hlm. 449-464
62
Jumhur ulama cenderung memilih qira’at ()وأ ۡرجلك ِۡم. Karena mereka berpendapat
bahwa dalam berwudhu kedua kaki wajib dicuci dan tidak cukup diusap dengan air.
mengabaikan mencuci tumit mereka ketika berwudhu, antara lain hadits berikut:22
“Dari Abdullah ibn umarberkata: dalam suatu perjalanan bersam kami, Rasulullah
shalat ashar. Setelah beliau tiba, kami lalu berwudhu dan kaki hanya kami usap
(dengan air). Abdullah ibn Umar berkata: lalu Nabi saw berseru dengan suara
tinggi: “Api neraka ganjarannya bagi orang mengabaikan mencuci tumit (dalam
berwudhu)”. Hal ini diulanginya sampai dua atau tigakali. (H.R. Bukhari).
dalam berwudhu kedua kaki hanya wajib diusap (dengan air), tentu Nabi saw tidak
akan mengancam orang yang tidak mencuci kaki dalam berwudhu. Hal ini, lanjut ibn
2. Dalam ayat tersebut Allah SWT membatasi kaki ( )أرجلكمsampai dengan mata kaki,
22
Lihat: AL-Bukhari, Sahih al-Bukhari, (Beirut, Idar al-Thaba’at al-Munirriyar, t.t.), juz ke-4, hlm 27.
23
Liahat: Jamaludin al-Qasmi, op.cit, Juz ke-6, hlm. 1890.
63
Selain itu, jumhur berupaya mentaqwilkan qira’at ( )وأرجلكمsebagai berikut:24
)للمجاورةdengan kata sebelumnya yang juga majrur yaitu ()رءوسكم. hal seperti ini
ِ٣٥ِان
ِ ِصر ٞ ِمنِنَ ٖارِونح
ِ ِ اسِفالِتنت ٞ ي ۡرسلِِعل ۡيكماِشو
ِ اظ
sebagai berikut.25
kalimat:
ِب
ٍ بِخِ ِْر
ٍِ ِهِادِاِجِحِْرِض
24
Liahat: Mustafa Sa’id al-Khann, op.cit, Hlm. 39-40.
25
Lihat: Muhammad al-azi, op.cit, Juz ke-11, hlm. 164-165.
64
Lafadz (ب
ٍِ )خرyang setatusnya marfu’ (ِ)خرب, bias dibaca majrur
(ب
ٍِ )خرkarena diketahui dengan pasti, bahwa lafadz ( )خربmerupakan
sifat dari lafadz (ِ)جحر, dan tidak mungkin merupakan sifat dari lafadz
dalam hal ini, yaitu lafadz ()ضب, keamanan dari keracunan seperti ini
tidak terdapat.
seperti tersebut pada butir (1) dan (2), hanya berlaku apabila natara kedua
dari segi lafadz, dan tidak dari segi makna (dalam pengertian: usaplah kepalamu
dan (cucilah) kakimu, dengan alasan, hadits Ibn Umar di muka (lihat hl. 211).
Hal ini dibolehkan, sebagaimana dalam kalimat bahasa arab berikut ini: (ِ ِاِكلت
واللَبن
ِ ِ )الخِبزlafadz ( )اللبنdalam kalimat diatas, ma’thuf kepada ( )الخبزhanya dari
segi lafadz, tetapi tidak dari segi makna. Karena itu, terjemah dari kaliamat
tersebut bukan: “saya makan roti dan susu”, tetapi: “saya makan roti dan (minum)
susu”.26
Dari uraian diatas tampak dengan jelas, bahwa perbedaan qira’at dalam hal ini,
26
Hasanuddin AF, op.cit, Hlm 214.
65
Qira’at ( )وأرجلكمdipahami oleh jumhur ulama dengan menghasilkan
mencuci kedua kaki, akan tetapi hanya diwajibkan mengusapnya (dengan air).
diantara mereka ada yang membolehkan untuk memilih salah satu dari kedua
Dalam hal ini Wahbah Zuhaili berpendapat, wajib mencuci kaki dalam
27
Wahbah Zuhaili, Tafsir munir fi al-Aqidah wa asy-Syari’ah wa al-Manhaj , (Damaskus: Dar al-Fikr,
1998), 449-464
66