Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 24

MAKALAH

PENGERTIAN TEORI HUKUM MURNI DAN NORMA-NORMA TEORI


HUKUM MURNI

TUGAS TEORI HUKUM

Dosen Pengajar :

Oleh :

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM PASCA SARJANA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA
2017
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Teori merupakan sebuah keberadaan yang sangat penting dalam
dunia hukum, karena hal tersebut merupakan konsep dasar yang dapat
menjawab suatu masalah. Teori juga merupakan sarana yang
memberikan rangkuman bagaimana memahami suatu masalah dalam
setiap bidang ilmu pengetahuan hukum. Penting untuk seorang akademisi
hukum mengetahui pengertian teori secara luas, sehingga tidak terjadi
kesalahan dalam membuat karya-karya ilmiah yang merupakan proses
kegiatan seorang akademisi dalam kegiatan ilmiah maupun dalam suatu
penelitian.
Berikut ini merupakan pendapat beberapa pakar yang memberikan
pengertian arti teori.
1. Kartini Kartono menjelaskan bahwa teori adalah satu prinsip umum
yang dirumuskan untuk menerangkan sekelompok gejala yang
saling berkaitan.
2. Ronny Hanitijo Soemitro berpendapat bahwa teori adalah
serangkaian konsep, definisi, dan proposisi yang saling berkaitan
dan bertujuan untuk memberikan gambaran yang sistematis
tentang suatu fenomena.
3. M.Solly Lubis mengemukakan bahwa teori adalah pengetahuan
ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu sektor tertentu
dalam disiplin keilmuan.
4. S.Nasution menguraikan bahwa teori adalah susunan fakta yang
saling berhubungan dalam bentuk sistematis, sehingga dapat
dipahami fungsi dan peranan teori dalam penelitian ilmiah,
mengarahkan, merangkum pengetahuan dalam sistem tertentu,
serta meramalkan fakta.
2

Teori menurut para pakar diatas berasal dari cabang-cabang ilmu


lain, tergantung dari sudut mana memandang substansi teori tersebut,
begitu pula dengan ilmu hukum yang luas sehingga terdapat banyak aliran
teori atau mahzab yang lahir dari para sarjana.
Teori hukum selalu berkembang mengikuti perkembangan manusia
serta mengikuti kebutuhan dan nilai-nilai yang hidup dalam manusia
sehingga teori dapat dikatakan sebagai kajian fundamental.
Makalah ini mencoba mengulas berbagai macam teori-teori hukum
yang ada serta mahzab-mahzab yang dikemukakan oleh para sarjana.
merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama
dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata
maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari
Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan
wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie).
Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut
Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di
bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia
juga berlaku sistem hukum Adat, yang merupakan penerusan dari aturan-
aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah
Nusantara.Salah satu teori hukum yang akan dibahas dalam makalah ini
adalah teori hukum murni.
Sehingga berdasarkan uraian tersebut diatas, tentunya amat
sangat menarik apabila penulis membahas lebih lanjut mengenai
mengenai hukum dan aliran realisme hukum dan hubungannya, dan akan
dituangkan dalam karya tulis yang berjudul : “PENGERTIAN TEORI
HUKUM MURNI DAN NORMA-NORMA TEORI HUKUM MURNI”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dalam makalah ini
penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
1. Apa Pengertian Teori Hukum Murni ?.
2. Apa yang menjadi norma-norma Teori Hukum Murni ?
3

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Dengan adanya makalah ini, para mahasiswa diharapkan dapat
mengetahui dan memahami hal-hal di bawah ini:
1. Untuk mengetahui yang dimaksud pengertian teori hukum murni.
2. Untuk mengetahui yang menjadi norma-norma teori hukum murni.
Karya tulis ini diharapkan dapat memiliki beberapa bentuk manfaat
yaitu:
a. Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang diharapkan oleh penulis adalah karya tulis
ini diharapkan mampu menambah ilmu pengetahuan mengenai
yang menjadi norma-norma teori hukum murni pada umumnya
baik bagi penulis maupun pembaca.
b. Manfaat Akademis
Karya tulis ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan serta
bacaan bagi mahasiswa ilmu hukum serta dapat membantu
perkembangan ilmu pengetahuan dibidang hukum yang menjadi
norma-norma teori hukum murni.
c. ManfaatTeoritis
Manfaat Teoritis yang diharapkan oleh penulis adalah karya tulis
ini diharapkan mampu menambah ilmu pengetahuan dibidang
teori hukum pada umumnya baik bagi penulis maupun
pembaca, serta secara khusus dapat membantu pemahaman
mengenai norma-norma teori hukum murni.

D. Metode Penelitian
Dalam suatu penelitian hukum, metode yang dipergunakan berbeda
dengan metode pada penelitian sosial, pada metode penelitian hukum
penempatan istilah kualitatif dan kuantitatif di letakan pada teknik analisa,
sedangkan untuk metode generalnya yang lazim dipergunakan pada
penelitian hukum adalah metode penelitian yuridis normatif, yuridis
4

empiris, atau yuridis Normatif-empiris (gabungan).1Pada penelitian ini


metode penelitian yang dipergunakan adalah metode penelitian hukum
yuridis normatif dimana menurut Soetandyo Wignjosoebroto,
menyebutkan dengan istilah metode penelitian hukum doctrinal2.
Sedangkan Ronny Hanitjo Soemitro, menyebutkan dengan istilah metode
penelitian hukum yang normatif atau metode penelitian hukum yang
doctrinal3.Penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif oleh karena
sasaran penelitian ini adalah hukum atau kaedah (norm). Pengertian
kaedah meliputi asas hukum, kaedah dalam arti sempit (value), peraturan
hukum konkret. Penelitian yang berobjekan hukum normatif berupa asas-
asas hukum, sistem hukum, taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal.

1SoetandyoWignjosoebroto, Hukum, Paradigma Metode dan Dinamika Masalahnya,


Jakarta :IfdhalKasim et.al., Elsam dan Huma, 2002, hlm. 14
2Ibid., hlm. 147.

3 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan Kelima,

Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994, hlm. 10


5

BAB II
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Umum Tentang Hukum
Hukum adalah peraturan yang berupa norma dan sanksi yang dibuat
dengan tujuan untuk mengatur tingkah laku manusia, menjaga ketertiban,
keadilan, mencegah terjadinya kekacauan.
Hakikat hukum dapat dijelaskan dengan cara memberikan suatu
definisi tentang hukum. Sampai saat ini menurut Apeldoom sebagaimana
dikutipnya dari Immanuel Kant, para ahli hukum masih mencari tentang
apa definisi hukum (Noch suchen die juristen eine Definition zu ihrem
BegrifJe von Recht). Definisi tentang hukum yang dikemukakan para ahli
hukum sangat beragam, bergantung dari sudut mana mereka melihatnya.
Ahli hukum Belanda J. van Kan (1983) mendefinisikan hukum sebagai
keseluruhan ketentuan-ketentuan kehidupan yang bersifat memaksa,
yang melindungi kepentingan-kepentingan orang dalam masyarakat.
Pendapat tersebut mirip dengan definisi dari Rudolf van Jhering yang
menyatakan bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma yang
memaksa yang berlaku dalam suatu negara. Hans Kelsen menyatakan
hukum terdiri dari norma-norma bagaimana orang harus berperilaku.
Pendapat ini didukung oleh ahli hukum Indonesia Wirjono Projodikoro
(1992) yang menyatakan bahwa hukum adalah rangkaian peraturan
mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota suatu masyarakat,
sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum ialah menjamin keselamatan,
kebahagiaan dan tata tertib masyarakat itu. Selanjutnya O. Notohamidjojo
(1975) berpendapat bahwa hukum adalah keseluruhan peraturan yang
tertulis dan tidak tertulis yang biasanya bersifat memaksa untuk kelakuan
manusia dalam masyarakat negara serta antar negara, yang berorientasi
pada dua asas yaitu keadilan dan daya guna, demi tata tertib dan damai
dalam masyarakat.4

4Ibid., hlm. 37
6

Menurut Plato, dilukiskan dalam bukunya ”Republik”. Hukum adalah


sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat
masyarakat. Menurut Aristoteles, hukum hanya sebagai kumpulan
peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim.
Undang-undang adalah sesuatu yang berbeda dari bentuk dan isi
konstitusi karena kedudukan itulah undang-undang mengawasi hakim
dalam melaksanakan jabatan nya dalam menghukum orang-orang yang
bersalah. Menurut Austin, hukum adalah sebagai peraturan yang
diadakan untuk memberi bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh
makhluk yang berakal yang berkuasa atasnya. 5
Mengenai hukum Immanuel Kant mengatakan: "Noch suchen die
Juristen eine Definition zu ihrem Begriffe von Recht" atau "sampai
sekarang para ahli hukum masih mencari definisi hukum." Disini dapat kita
tangkap bahwa sampai sekarang para ahli masih belum menemukan
definisi mengenai hukum itu sendiri.Hal ini diakibatkan oleh banyaknya
segi dan bentuk yang tidak mungkin dapat dijangkau hanya oleh satu
definisi saja, karena cakupan hukum sangatlah luas.6
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem Norma. Norma adalah
pernyataan yangmenekankan aspek “seharusnya” atau das solen, dengan
menyertakan beberapa peraturan tentangapa yang harus dilakukan.
Norma-norma adalah produk dari aksi manusia yang deliberatif. Kelsen
meyakini David Hume yang membedakan antara apa yang ada (das sein)
dan apa yang“seharusnya”, juga keyakinan Hume bahwa ada
ketidakmungkinan pemunculan kesimpulan darikejadian faktual bagi das
solen. Sehingga, Kelsen percaya bahwa hukum, yang
merupakanpernyataan-pernyataan “seharusnya” tidak bisa direduksi ke
dalam aksi-aksi alamiah.Hans Kelsen juga menyatakan bahwa, hukum
adalah tata aturan (order) sebagai suatu sistem aturan-aturan (rules)
tentang perilaku manusia. Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada

5Sampara, Said, dan Agis, Abdul,Buku Ajar Pengantar Ilmu Hukum, Total Media,
Bandung, 2011. hlm. 14
6 Lil, Rasjidi, dan Ira Thania,Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, 2010. hlm. 16
7

satu aturan tunggal (rule), tetapi seperangkat aturan (rules) yang memiliki
suatu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu
sistem.Konsekuensinya, adalah tidak mungkin memahami hukum jika
hanya memperhatikan satu aturan saja.7
Arti hukum menurut Thomas Aquinas adalah adanya hukum yang
datang dari wahyu, dan hukum yang dibuat oleh manusia. Hukum yang
didapat dari wahyu dinamakan hukum Ilahi positif. Hukum wahyu ada
pada norma-norma moral agama, sedangkan hukum yang datang dari
akal budi manusia ada tiga macam, yaitu hukum alam, hukum bangsa-
bangsa, dan hukum positif manusiawi. Hukum alam bersifat umum, dan
karena itu tidak jelas. Maka perlu disusun hukum yang lebih jelas yang
merupakan undang-undang negara yang mengatur kehidupan manusia
dalam masyarakat. I-Iukum ini disebut hukum positif. Apabila hukum positif
ini bertentangan dengan hukum alam, maka hukum alamlah yang berlaku.
Keadilan juga merupakan suatu hat yang utama dalam teori hukum
Thomas Aquinas. Meskipun Thomas Aquinas membedakan antara
keadilan distributif, keadilan tukar-rnenukar, dan keadilan legal, tetapi
keadilan legal menduduki peranan yang sangat penting. Hal ini
disebabkan karena keadilan legal menuntut agar orang tunduk pada
undang-undang, sebab mentaati hukum merupakan sikap yang baik.
Jelaslah bahwa kedua tokoh Kristiani ini mendasarkan teori hukumnya
pada hukum tuhan.8
B. Teori Hukum Murni
Teori Hukum Murni (bahasa Jerman: Reine Rechtslehre) adalah
sebuah buku oleh ahli teori hukum Hans Kelsen, pertama kali diterbitkan
pada tahun 1934 dan dalam pengembangan yang sangat diperluas di
"edisi kedua" (secara efektif di buku baru) pada tahun 1960. Edisi kedua

7Asshiddiqie,
Jimly, dan Safa’at, M. Ali, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat
Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006.hlm.
15
8Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Sejarah Aliran dan Pemaknaan, Yogyakarta :

UGM Press, 2012. hlm. 16-17


8

muncul dalam terjemahan bahasa Inggris pada tahun 1967, sebagai Teori
Hukum Murni,[1] edisi pertama dalam terjemahan bahasa Inggris pada
tahun 1992, sebagai Pengantar Masalah Teori Hukum. Teori yang
diusulkan dalam buku ini mungkin telah menjadi teori yang paling
berpengaruh dari hukum yang dihasilkan selama abad ke-20. Hal ini,
setidaknya, menjadi salah satu poin yang tinggi dari teori hukum
modernis.9
Teori hukum murni adalah teori positif. Ia merupakan teori tentang
hukum positif umum, bukan tentang tatanan hukum khusus. Ia merupakan
teori hukum umum, bukan penafsiran tentang norma hukum nasional atau
internasional tertentu; namun menyajikan teori penafsiran. Sebagai suatu
teori,ia terutama dimaksud untuk mengetahui dan menjelaskan tujuannya.
Teori ini berupaya menjawab pertanyaan apa itu hukum dan bagaimana ia
ada, bukan bagaimana semestinya dia ada. Teori hukum murni
merupakan ilmu hukum (yuruspudensi) dan bukan politik hukum. Teori ini
disebut teori hukum murni lantaranhanya menjelaskan hukum dan
berupaya membersihkan objek penjelasannya dari hal yang tidak
bersangkut-pautdengan hukum. Yang menjadi tujuannya adalah
membersihkan ilmu hukum dari unsur-unsur asing. Inilah landasan
metodologis dari teori itu.10
Kelsen memahami Pure Theory of law –nya sebagai teori kognisi
hukum, teori pengetahuan hukum. Ia berulang kali menulis bahwa satu-
satunya tujuan pure theory adalah kognisi atau pengetahuan objeknya,
tepatnya ditetapkan sebgai hukum itu sendiri. Dalam merumuskan teori
kognisi hukum khususnya, tugas khusus Kelsen adalah mencegah
“elemen-elemen asing” yang acapkali menyesatkan teori hukum di masa
lalu. Mengapa Kelsen menolak hal ini, atas nama teori hukum tersebut
kelsen menolak kecenderungan untuk meminta bantuan etika, psikologi
dan lain-lain guna menyelesaikan persoalan-persoalan hukum. Dan

9 Asshiddiqie, Jimly, dan Safa’at, M. Ali, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Op. Cit.,
hlm. 7
10 Ibid., hlm. 13
9

sindiriannya pada apa yang dinamakan bidang-bidang asing. Disiplin ilmu


itu dikenal sebgai ilmu hukum khusus yang harus dibedakan dari filsafat
keadilan disatu pihak dari sosiologi, atau kognisi relaitas sosial, di lain
pihak. Teori hukum murni adalah teori hukum positif tetapi bukan hukum
positif suatu sistem hukum tertentu melainkan suatu teori hukum umum
(general legal theory). Sebagai suatu teori tujuan utamanya adalah
pengetahuan terhadap subjeknya untuk menjawab apakah hukum yang
seharusnya (what the law ought to be) atau bagaimana seharusnya dibuat
(ought to be made). Teori hukum murniadalah ilmu hukum (legal science),
bukan kebijakan hukum (legal policy).11
Pemikiran Kelsen kebanyakan dipengaruhi oleh filosof Jerman,
Immanuel Kant. Ia hampir mengutip teori pengetahuan Kantian yang
berhubungan dengan teori hukumnya.Kant percaya bahwa hal yang
objektif berubah yang disebabkan oleh golongan-golonganresmi tertentu
(hal-hal tertentu) yang pakai dalam pemikiran. Bila seseorang bisa
belajar Teori Kelsen secara linguistic (bahasa). Seperti
methodology, normarivity, causality, diantaranya :12
1. Methodologi
Teori hukum adalah sebuah pengetahuan. Metodenya itu
harus murni/bersih.Harus adanya kesatuan hukum.
2. Kausalitas (Hubungan Sebab Akibat)
Ilmu-ilmua fisika mengadopsi kausalitas sebagai suatu hal yang
utama/penting.Hal-hal umum yang sering terjadi. Seperti,
ketika oksigen dan hydrogen dicampur, maka air akan
terbentuk.
3. Normativitas
Dalam ilmu hukum, hukum didasarkan pada kemauan, bukan pada
sebab-akibat,Jadi hukum didasarkan pada normativity (norma).
4. Piuritas (kemurnian/kebersiah)

11 Ibid., hlm. 7
12 Ibid., hlm. 12
10

Kelsen mengatakan sebuah teori hukum harus bebas/terlepas dari


politik, sejarah,etnik, moralitas, ekonomi, eustetis atau ilmu social
lainnya. Fungsi sebuah teori hukumialah untuk mengubungkannya
kedalam sebuah pola yang masuk akal (logic)
Ide mengenai Teori hukum Murni (The Pure Theory of Law)
diperkenalkan oleh seorang filsuf dan ahli hukum terkemuka dari Austria
yaitu Hans Kelsen. Kelsen lahir di Praha pada 1881. Bukunya yang
terkenal berjudul “Reine Rechslehre” (ajaran hukum murni). Teori hukum
murni ini lazim dikaitkan dengan Mazhab Wina. Mazhab teori hukum
murni, dalam arti tidak mengenal kompromi, yaitu pengetahuan yang
bebas dari naluri, kekerasan, keinginan-keinginan dan sebagainya. Teori
hukum murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi,
sejarah dan pembicaraan tentang etika.13
Salah satu ciri yang menonjol pada teori Hukum Murni adalah adanya
suatu paksaan. Setiap hukum harus mempunyai alat atau perlengkapan
untuk memaksa. Negara dan hukum dinyatakan identik, sebab negara
hanya suatu sistem perilaku manusia dan pengaturan terhadap tatanan
sosial. Kekuasaan memaksa ini tidak berbeda dengan tata hukum,
dengan alasan bahwa di dalam suatu masyarakat hanya satu kekuasaan
yang memaksa pada saat yang sama. Bagian lain dari teori Hans Kelsen
yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai Grundnorm, yaitu suatu
dalil yang akbar yang tidak dapat ditiadakan yang menjadi tujuan dari
semua jalan hukum bagaimanapun berputar-putarnya jalan itu.
Grundnorm merupakan induk untuk melahirkan peraturan-peraturan
hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu.14
Teori Hukum Murni dari Hans Kelsen muncul setelah munculnya teori
hukum kodrat, pemikiran tentang moral yang disebut "the Golden Rule",
mazhab sejarah hukum, mazhab utilitarianisme hukum, mazhab sosiologi

13 Ibid., hlm. 8
14 Ibid., hlm. 8-9
11

hukum, Analytical Jurisprudence dari Austin dan mazhab realisme hukum


Amerika Serikat dan Skandinavia. 15
Fokus utama teori hukum murni, menurut Hans Kelsen, bukanlah
salinan ide transendental yang sedikit banyak tidak sempurna. Teori
hukum murni ini tidak berusaha memandang hukum sebagai anak cucu
keadilan, sebagai anak dari orang tua yang suci. Teori hukum tampaknya
memegang teguh suatu perbedaan yang tegas antara hukum empirik dan
keadilan transendental dengan meniadakan keadilan transendental dari
perhatian spesifiknya. Teori ini tidak melihat manifestasi dari suatu otorita
gaib di dalam hukum, melainkan meninjau suatu teknik sosial spesifik
yang didasarkan pada pengalaman manusia; teori hukum murni menolak
untuk dijadikan ilmu metafisika hukum.16
Pada dasarnya, tidak ada perbedaan esensial antara ilmu hukum
analitik dan teori hukum murni. Adapun letak perbedaannyam, kedua
bidang itu berbeda karena teori hukum murni berusaha untuk melanjutkan
metode hukum analitik dengan lebih konsisten dari yang diupayakan
Austin dan para pengikutnya. Usaha yang konsisten ini terutama
menyangkut konsep-konsep fundamental, seperti konsep norma hukum di
satu pihak dan konsep-konsep hak dan kewajiban hukum di lain pihak. Di
Perancis dan Jerman, ilmu hukum disajikan secara berbeda antara hukum
dalam pengertian obyektif dan hukum dalam pengertian subyektif, dan
terakhir menyangkut hubungan antara hukum dan negara. Teori hukum
murni merupakan suatu pemberontakan yang ditujukan terhadap ilmu
hukum yang ideologis, yakni yang hanya mengembangkan hukum itui
sebagai alat pemerintahan dalam negara-negara totaliter. Teori ini lazim
dikaitkan pada mazhab Wina yang tokohnya adalah Hans Kelsen.17
Pada dasarnya, pemikiran Kelsen sangat dekat dengan pemikiran
Austin. Walaupun Kelsen ketika mulai mengembangkan teori-teorinya,
seperti diakui kemudian, sama sekali tidak mengetahui karya Austin. Asal-

15 Ibid., hlm. 9
16 Ibid., hlm. 7
17 Ibid., hlm. 5
12

usul falsafah madzhab Wina sangat berbeda dari Utilitarianisme Austin.


Dasar falsafah pemikiran Kelsen adalah Neo Kantialisme, hal ini
menghubungkan kelsen dengan inspirasi Neo-Kant dari Stamler dan
Delfeccio, tetapi simpulan-simpulan yang ditarik Kelsen dan Madzhab
Wina dari dalil-dalil aliran Neo-Kant, secara radikal bertentangan dengan
dalil-dalil kedua kedua ahli hukum ini. Stamler menjadi terlibat dalam
kesukaran-kesukaran teori hukum murni yang berlaku di seluruh dunia,
bersih dari segala sesuatu yang dapat berubah, tetapi masih mampu
memberikan gagasan-gagasan yang memberi bimbingan bagi ahli hukum
yang mencari keadilan.18
C. Norma-Norma Teori Hukum Murni
Norma adalah peraturan yang ditetapkan untuk mengatur bagaimana
seseorang berperilaku dan oleh karenanya hukum positif adalah tata tertib
normatif yang mengatur tindakan manusia dalam cara tertentu. Sebuah
norma adalah sebuah proposisi “harus”: norma tidak mengekspresikan
apa yang, atau apa yang harus, namun apa yang harus akan terjadi,
dalam keadaan-keadaan tertentu; keberadaannya hanya dapat diartikan
dari keberlakuannya, dan hal ini mengacu pada hubungannya dengan
sistem dari norma-norma yang menjadi bagian-bagiannya. Norma tidak
dapat dibuktikan keberadaannya secara faktual, namun norma semata-
mata diturunkan dari norma lainnya, dan oleh sebab itu, menjadi absah.
Namun jika sebuah norma hanya dapat diturunkan dari norma lain,
maka bahwa seseorang dapat meneruskan penurunan ini ad infinitum
dimana secara teoritis, hal ini dapat berlaku, namun, dalam praktiknya,
sebab norma berkaitan erat dengan tindakan manusia, maka haruslah ada
sebuah norma mutlak yang didalilkan sebagai dasar pijakan bagi norma-
norma lainnya. Inilah yang menjadi norma dasar. Sejauh yang dianut oleh
sistem hukum norma dasar ini mesti bersifat sebagai hukum agung, sebab
ex hypothesi norma dasar ini tidak diturunkan dari norma hukum yang lain.
Namun Kelsen tidak semudah itu menuding bahwa pilihan norma dasar ini

18 Ibid., hlm. 6
13

bukanlah sesuatu yang arbitrer. Justru sebaliknya, norma dasar ini harus
dipilih oleh para ilmuwan hukum berdasar prinsip keampuhan, yaitu bahwa
aturan hukum secara keseluruhan mesti berpijak pada asumsi bahwa
pada kebanyakan kekuatan keampuhannya, orang-orang akan bertindak
sesuai dengan norma tersebut. Norma dasar bersifat non-positif dan oleh
karenanya bukanlah urusan ilmu hukum, namun norma dasar memang
sesungguhnyalah ada untuk memberi kesatuan terhadap sistem hukum
dan dalam menarik garis batas untuk norma-norma yang menjadi subjek
ilmu hukum. Pilihan akan norma dasar juga memiliki implikasi penting
dalam menentukan relasi hukum nasional Negara hingga hukum
internasional. Jika norma dasar sesuai dengan undang-undang setiap
Negara, maka tidak akan ada tumpukan pluralistik dalam sistem hukum
mandiri. Sementara jika norma tersebut dipilih sebagai dasar hukum
internasional, maka akan tercipta sebuah tata dunia monistik, yang akan
menjadi dasar pijakan hukum nasional setiap Negara. Kelsen, meski
demikian, tidak menjabarkan secara jelas mengenai sejauh apa pilihan
norma tersebut ditentukan terlebih dahulu oleh prinsip kefektifan,
meskipun fakta bahwa setiap Negara tunduk untuk menganggap diri
mereka sendiri terikat oleh hukum internasional (tunduk terhadap
konstruksi mereka sendiri mengenai apa yang seharusnya menjadi
aturan), mungkin saja terdengar seperti mendengungkan sistem monistik,
tanpa diragukan lagi sangat didukung oleh Kelsen sendiri, dalam prinsip-
prinsip ini.
Kelsen, sebagai positivis filsosofis sejati, menolak segala entitas
metafisik, seperti Negara atau hak atau kewajiban. Oleh sebab itu,
imputasi sebuah tindakan terhadap Negara adalah sesuatu yang figuratif,
yang, dalam konteks hukumnya semata-mata mengacu pada norma-
norma tata hukum. Namun istilah “tatanan hukum” bermakna lebih luas
daripada Negara, sebab Negara hanyalah sebuah tata tertib yang
dipusatkan dan diberi nama Negara, dan situasi ini menafikan, misalnya,
masyarakat primitif dan tata hukum internasional yang berlaku. Sekali lagi
14

hak dan kewajiban bukanlah sebuah entitas yang berdiri sendiri, namun
semata-mata ekspresi norma-norma hukum yang terkait dengan tindakan
konkrit seorang individu.
Konsepsi Hukum Murni menurut Hans Kelsen tidak memberi tempat
berlakunya hukum alam, menghindari dari soal penilaian dan juga tidak
memberi tempat bagi hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat, hanya memandang hukum sebagai Sollen Yuridis
yang terlepas dari Das Sei/ kenyataan sosial. Orang mentaati hukum
karena ia merasa wajib untuk mentaatinya sebagai suatu kehendak
negara. Hukum itu tidak lain merupakan suatu kaedah ketertiban yang
menghendaki orang mentaatinya sebagaimana seharusnya.
Disamping ajaran Teori Hukum Murni, Hans Kelsen memperkenalkan
konsepsi mengenai “Grundnorm” yang berfungsi sebagai dasar dan tujuan
dari semua jalan hukum. Grundnorm sebagai induk yang melaahirkan
peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan hukum yang selanjutnya
dikembangkan oleh Aolf Merkl yang dikenal dengan Stufenbau Des Recht
yang mengutamakan tentang adanya hierarkis dari pada perundang-
undangan.
Fokus utama teori hukum murni, menurut Hans Kelsen, bukanlah
salinan ide transendental yang sedikit banyak tidak sempurna. Teori
hukum murni ini tidak berusaha memandang hukum sebagai anak cucu
keadilan, sebagai anak dari orang tua yang suci. Teori hukum tampaknya
memegang teguh suatu perbedaan yang tegas antara hukum empirik dan
keadilan transendental dengan meniadakan keadilan transendental dari
perhatian spesifiknya. Teori ini tidak melihat manifestasi dari suatu otorita
gaib di dalam hukum, melainkan meninjau suatu teknik sosial spesifik
yang didasarkan pada pengalaman manusia; teorihukum murni menolak
untuk dijadikan ilmu metafisika hukum. Pada dasarnya, tidak ada
perbedaan esensial antara ilmu hukum analitik dan teori hukum murni.
Adapun letak perbedaannyam, kedua bidang itu berbeda karena teori
15

hukum murni berusaha untuk melanjutkan metode hukum analitik dengan


lebih konsisten dari yang diupayakan Austin dan para pengikutnya.
Usaha yang konsisten ini terutama menyangkut konsep-konsep
fundamental, seperti konsep norma hukum di satu pihak dan konsep-
konsep hak dan kewajiban hukum di lain pihak. Di Perancis dan Jerman,
ilmu hukum disajikan secara berbeda antara hukum dalam pengertian
obyektif dan hukum dalam pengertian subyektif, dan terakhir menyangkut
hubungan antara hukum dan negara. Teori hukum murni merupakan
suatu pemberontakan yang ditujukan terhadap ilmu hukum yang ideologis,
yakni yang hanya mengembangkan hukum itui sebagai alat pemerintahan
dalam negara-negara totaliter. Teori ini lazim dikaitkan pada mazhab Wina
yang tokohnya adalah Hans Kelsen.
Madzhab Wina mengetengahkan dalam teori hukum pencarian
pengetahuan yang murni, dalam arti yang paling tidak mengenal
kompromi, yakni pengetahuan yang bebas dari naluri, kekerasan dan
keinginan. Baik Stamler maupun Del Vecchio mengkombinasikan
perbedaan bentuk dan materi dari Kant dengan ideologi hukum; Stamler
dengan cita hukum yang semu formal yang ditarik dari etika Kant, Del
Vecchio dengan instuisi cita keadilannya yang didasarkan atas kesadaran
manusia. Kelsen dan para pengikutnya menolak tiap idealisme hukum
seperti itu dan menganggapnya tidak ilmiah. Teori hukum harus murni
formal dan di pihak lain hukum pada hakekatnya berbeda dengan alam.
Ilmu hukum adalah ilmu normatif, demikian menurut Kelsen dan
hukum itu semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen. Karakteristik
dari norma adalah sifatnya yang hipotetis, lahir bukan karena alami,
melainkan karena kemauan dan akal manusia. Kemauan dan akal ini
menelorkan pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar. Teori
Kelsen dapat dirumuskan sebagai “suatu analisis tentang struktur hukum
positif, yang dilakukan seeksak mungkin, suatu analisis yang bebas dari
semua pendapat etis atau politis mengenai suatu nilai”. Kelsen pada
dasarnya ingin menciptakan suatu ilmu pengetahuan huikum murni,
16

menghilangkan dari semua unsur-unsur yang tidak penting dan


memisahkan jurisprudence dari ilmu-ilmu sosial, sebagaimana yang
dilakukan oleh kaum analis dengan tegas.
Dasar-dasar pokok teori hukum murni menurut Kelsen adalah sebagai
berikut:
1. Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk
mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity).
2. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah
pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang
seharusnya ada.
3. Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam.
4. Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak
berurusan dengan persoalan efektivitas norma-norma hukum.
5. Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara
pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola yng
spesifik.
6. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif
tertentu adalah seperti antara hukum yang mungkin dan hukum
yang ada.
Ilmu hukum adalah “ilmu normatif”, demikian dinyatakan oleh Kelsen
berkali-kali. Hukum itu semata-mata berada dalam kawasan dunia sollen.
Ciri hakiki dari norma adalah sifatnya yang hipotetis. Ia lahir bukan karena
proses alami, melainkan karena kemauan dan akal manusia. Kemauan
dan akal ini menelorkan pernyataan yang berfungsi sebagai asumsi dasar
atau permulaan. Dinyatakan, bahwa berbuat begini atau begitu
merupakan dalil yang umum dan sebagai kelanjutannya harus diikuti oleh
konsekuensi tertentu. Konsekuensi yang demikian itu akan dilaksanakan
oleh kehendak manusia sendiri juga. Oleh karena itu salah satu ciri yang
menonjol pada teori Kelsen adalah: paksanaan. Setiap hukum harus
mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa.
17

Teori Kelsen dapat dirumuskan sebagai “suatu analisis tentang


struktur hukum positif, yang dilakukan seeksak mungkin, suatu analisis
yang bebas dari semua pendapat (judgements) etik atau politik mengenai
nilai”. Kritik yang ditujukan kepada teori Kelsen yang positivistis, realistis
dan murni itu, di antaranya didorong oleh pemikiran, bahwa teori yang
demikian itu akan terlalu menekankan pada hukum sebagai konsep-
konsep, yang mengutamakan studi terhadap hukum sebagai suatu
Deutungsschema yang kait mengait secara logis tanpa cacat dan
melupakan nilai kemanusiaannya. Pengikut-pengikut Kelsen tertentu
menghawatirkan, bahwa teori itu akan terjatuh menjadi
Begriffsjurisprudenz yang kering. Yang disebut terakhir ini
mengembangkan ilmu hukum dari konsep-konsep yang ada melalui suatu
penalaran logis semata, sehingga menimbulkan kesan tentang adanya
suatu kekuatan dari hukum untuk melakukan suatu ekspansi logis.
Ekspansi ini semata-mata didasarkan pada penalaran logis dan tidak
memperhatikan segi manusiawi dari konstruksinya, sehingga diperoleh
hasil yang secara logis benar, tetapi secara menusiawi mungkin
merupakan keanehan.
Kelsen juga menolak untuk memberikan definisi hukum sebagai suatu
perintah. Oleh karena definisi yang demikian itu mempergunakan
pertimbangan-pertimbangan subyektif dan politis, sedangkan yang
dikehendaki ilmu pengetahuannya benar-benar objektif. Perspektif Kelsen
dalam memandang hukum tidak berusaha menggambarkan apa yang
terjadi, tetapi lebih menitik beratkan untuk menentukan peraturan-
peraturan tertentu, meletakkan norma-norma bagi tindakan yang harus
diikuti orang.
Teori hukum murni sendiri pada dasarnya dapat dilihat sebagai suatu
pengembangan yang amat saksama dari aliran positivisme yang baru saja
dibicarakan. Seperti dikatakan di atas, ia menolak ajaran yang bersifat
ideologis dan hanya menerima hukum sebagaimana adanya, yaitu dalam
bentuk peraturan-peraturan yang ada. Menurut Kelsen, teori hukum murni
18

adalah teori tentang hukum positif. Ia berusaha untuk mempersoalkan dan


menjawab pertanyaan; “Apakah hukumnya?” dan bukan “Bagaimanakah
hukum yang seharusnya?” Oleh karena titik tolak yang demikian itu, maka
Kelsen berpendapat, bahwa keadilan sebagaimana lazimnya
dipersoalkan, hendaknya dikeluarkan dari ilmu hukum. Ia adalah suatu
konsep ideologis, suatu ideal yang “irasional” (Bodenheimer, 1974:99).
Dikatakan olehnya, “Pendapat yang umum dikemukakan mengatakan,
bahwa keadilan itu ada, tetapi pendapat itu tidak bisa memberikan
batasan yang jelas sehingga menimbulkan suatu keadaan yang
kontradiktif. Bagaimanapun keadilan itu tidak dapat dilepaskan dari
kehendak (volition) dan tindakan manusia, tetapi ia tidak bisa menjadi
subyek pengetahuan. Dipandang dari sudut pengetahuan rasional, yang
ada hanya kepentingan-kepentingan”.
Dari uraian di atas dapat diketahui, bahwa dalam teori hukum murni
menurut Hans Kelsen, terdapat norma-norma yang menghendaki suatu
gambaran tentang hukum yang bersih dalam abstraksinya dan ketat
dalam logikanya. Oleh karena itulah ia menyampingkan hal-hal yang
bersifat ideologis, oleh karena dianggapnya irasional. Teori hukum yang
murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah
dan pembicaraan tentang etika.
19

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya dapat diketahui kesimpulan
pada karya tulis ini adalah sebagai berikut :
1. Menurut teori hukum murni, aturan hukum harus selalu
berdasarkan kaidah yang lebih tinggi yang akhirnya sampai pada
Grundnorm, yang intinya bersifat dasar-dasar hukum seperti
keadilan, keseimbangan, perlindungan, dan lain-lain. Hans Kelsen
mengatakan bahwa hal itu berada di luar ilmu hukum. Oleh karena
itu, para penegak hukum, terutama hakim, dalam bekerja
menegakkan hukum sebaiknya bukan hanya sebagai corong
undang-undang saja, tetapi harus memperhatikan nilai-nilai dasar
yang terkandung dalam Grundnorm.
2. Kesimpulan berdasarkan uraian pada bab sebelumnya mengenai
norma-norma dalam teori hukum murni, adalah bahwa dalam teori
hukum murni menurut Hans Kelsen, terdapat norma-norma yang
menghendaki suatu gambaran tentang hukum yang bersih dalam
abstraksinya dan ketat dalam logikanya. Oleh karena itulah ia
menyampingkan hal-hal yang bersifat ideologis, oleh karena
dianggapnya irasional. Teori hukum yang murni juga tidak boleh
dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah dan pembicaraan
tentang etika.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas maka dapat dirumuskan mengenai
saran pada karya tulis ini adalah sebagai berikut :
1. Hukum sebagai perangkat aturan manusia, diharapkan kedepannya
semakin berkembang demi kepentingan manusia juga, dan bukan
manusia dalam arti sempit, namun keseluruhan manusia di dunia,
20

khususnya di Indonesia, dimana hukum, dalam kenyataannya


hanya dijadikan sebagai alat kepentingan bagi segolongan pihak.
2. Teori Hukum Murni dari Hans Kelsen tidak dapat diterapkan dalam
berlakunya hukum di Indonesia. Hukum di Indonesia tidak terlepas
dari unsur-unsur sosiologi, ekonomi dan politis bahkan etika moral.
Hukum di Indonesia akan efektif dan berdaya guna apabila
memasukan unsur-unsur agama,sosial budaya dan etika moral,
tanpa memasukkan unsur kepentingan kekuasaan.
21

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkarim, Pendidikan Kewarganegaraan untuk kelas X SMA, Bandung :


Grafindo Media Pratama, 2006

Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Sejarah Aliran dan Pemaknaan,


Yogyakarta : UGM Press, 2012.

Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia, prinsip-prinsip dan implementasi


hukum di Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2004.

Jimmly Asshidiqqie, Negara Hukum, Jakarta : Sekretariat Mahkamah


Konstitusi Indonesia, 2006.

Jimly Asshiddiqie, dan Safa’at, M. Ali, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum,
Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Jakarta, 2006.

Lil, Rasjidi, dan Ira Thania,Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, 2010.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,


Cetakan Kelima, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994,

Sampara, Said, dan Agis, Abdul,Buku Ajar Pengantar Ilmu Hukum, Total
Media, Bandung, 2011.

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Jakarta : Citra Aditya Bakti, 2006,

Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma Metode dan Dinamika


Masalahnya, Jakarta :IfdhalKasim et.al., Elsam dan Huma, 2002,
22

DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah……………………………………….…. 1


B. Rumusan Masalah…..…………………………………………..... 2
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ………………………………...... 3
D. Metode Penelitian…..………..…………………………………..... 3
BAB II PEMBAHASAN

A. Tinjauan Umum Tentang Hukum..…………………………......… 5


B. Teori Hukum Murni .......................................…….....……..….… 7
C. Norma-Norma Teori Hukum Murni ....................….....…….….… 13
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ….................................................................…....… 19
B. Saran …..........….…........…..............…...........................…....… 19
DAFTAR PUSTAKA........…..............…...................................….… 21

ii
23

MAKALAH
PENGARUH CRITICAL LEGAL STUDIES TERHADAP
PERKEMBANGAN HUKUM DI INDONESIA

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah TOLONG DI ISI

Dosen Pengajar :

Oleh :

ISI NAMA
ISI NOMOR MAHASISWA
KELAS :

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM PASCA SARJANA


UNIVERSITAS BHAYANGKARA JAKARTA RAYA
2017

You might also like