Professional Documents
Culture Documents
Muqaranah Al Mazhahib Fil Ushul
Muqaranah Al Mazhahib Fil Ushul
Muqaranah Al Mazhahib Fil Ushul
DISUSUN OLEH
KELOMPOK : 8
NIM : 15.135.O21
: SARJAN HAMZAH
: 15.135.076
: SUFIRA DOHU
: 15.135.0
: 15.135.0
TERNATE 2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini. saya juga bersyukur atas
berkat rezeki dan kesehatan yang diberikan kepada kami sehingga dapat mengumpulkan
bahan – bahan materi makalah ini dari Buku dan Internet. saya telah berusaha semampu saya
untuk mengumpulkan berbagai macam bahan tentang:Konsep ushul fiqh tentang dilalah.
Saya sadar bahwa makalah yang saya buat ini masih jauh dari sempurna, karena itu
saya mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan makalah ini
menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu saya mohon bantuan dari para pembaca.
Demikianlah makalah ini saya buat, apabila ada kesalahan dalam makalah ini, saya
mohon maaf yang sebesar-besarnya dan sebelumnya saya mengucapkan terima kasih.
DAFTAR ISI.................................................................................................... II
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian dilalah................................................................................... 2
B. Macam-macam dalalah menurut imam mazhab .................................... 3
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 10
B. Saran ..................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sumber hukum utama umat islam adalah al-qur’an dan al-hadist, karena dari dua
pedoman itu sangat banyak terkandung petunjuk hidup yang terdapat di dalamnya, baik itu
petunjuk hidup kita di dunia yang sangat beragam mulai dari kita lahir sampai kita
meninggal, dan juga sebagai petunjuk bagaimana menuju jalan akhirat dengan mendapatkan
keridhaan Allah swt. Al-qur’an dan hadis yang dijadikan sebagai sumber hukum memberikan
berbagai pengertian yang dapat digali dari berbagai lafaz-lafaz yang terdapat didalamnya.
Nah untuk menggali dan mengenali bagaimana kita bisa lebih paham terhadap lafaz-lafaz
tersebut maka dapat dipahami melalui metode kajian “dilalah lafziyah dan dilalah ghairu
lafzhiyah”. Kedua dilalah ini apabila ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam
mengetahui sesuatu lafaz yang terdapat dalam al-qur’an dan sunnah, sebagaimana dijelaskan
di dalam buku bapak Amir Syarifuddin.
Defenisi dari dilalah itu sendiri secara umum adalah ”memahami sesuatu atas
sesuatu”. Yang dimaksud dengan sesuatu yang pertama disebut dengan “ madlul” (yang
ditunjuk) atau dimaksud dengan hukum itu sendiri. Sedangkan kata sesuatu yang kedua
disebut dengan dalil hukum atau yang menjadi petunjuk. Menurut ulama hanafiah
bahwasannya dilalah ini dibagi kepada dua macam, pertama dilalah lafzhiyah dan kedua
dilalah ghairu lafzhiyah. Untuk lebih jelasnya apa itu yang disebut lafaz ghairu lafzhiyah
tersebut maka nanti kami jelaskan secara lebih mendetail di bab pembahasan.
Di dalam makalah ini penulis lebih memfokuskan pembahasan tentang bagaimana dan
apa-apa saja yang termasuk ke dalam dalalah ghairu lafzhiyah menurut golongan Hanafiyah.
Harapan kami yang sebesar-besarnya kepada pembaca, Karena makalah ini masih tidak luput
dari kekurangan baik itu dari segi isi (materi), walaupun dari cara penulisannya, supaya
pembaca memberikan sebuah kritikan dan saran yang bersifat konstruktif.
B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian dilalah.?
b. Apa saja Macam-macam dalalah menurut imam mazhab.?
BAB II
PEMBAHASAAN
A. Pengertian Dilalah
Dilalah adalah petunjuk yang menunjukkan kepada yang di maksudkan atau
memahami sesuatu atas sesuatu. Kata sesuatu yang disebutkan pertama disebut Madlul
( )المدلول- yang ditunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul adalah
hukum itu sendiri. Kata sesuatu yang disebutkan kedua kalinya disebut dalil ( )دليل- yang
menjadi petunjuk Dalam hubungannya dengan hukum dalil itu disebut dalil hukum.
Di dalam Al Misbah Al Munir, dijelaskan bahwa :
“Dalalah adalah apa yang dikehendaki oleh lafal ketika lafal itu diucapkan secara mutlaq”
Dalam ilmu ushul fiqih dapat ditegaskan bahwa dalalah adalah “pengertian yang
ditunjuk oleh suatu lafadh kepada makna tertentu pembahasan tentang dilalah memiliki
peranan penting dalam ilmu logika dan ushul fiqih’. Dalam berfikir dengan pola dilalah tidak
mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung tetapi cukup menggunakan
petunjuk dan isyarat yang ada. Pola berfikir dengan menggunakan petunjuk dan isyarat
disebut dengan berfikir dilalah.
Dilalah berasal Secara bahasa kata “ ”داللـةadalah bentuk mashdar (kata dasar) dari
kata “َّ َّيَـدُل-َّ ”دَلyang berarti menunjukkan. Sedangkan Dilalah menurut istilah adalah
penunjukkan suatu lafadz nash kepada pengertian yang dapat dipahami, sehingga dengan
pengertian tersebut kita dapat mengambil kesimpulan hukum dari sesuatu dalil nash.
Tegasnya, dilalah lafadz itu ialah makna atau pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz
nash dan atas dasar pengertian tersebut kita dapat mengetahui ketentuan hukum yang
dikandung oleh sesuatu dalil nash.
Menurut Abd. Wahab Khallaf, sighat nas dalam QS. al-Baqarah (2): 275,
menunjukkan dengan Dalalah yang jelas atas dua makna, yang masing-masing makna
dikehendaki dari susunan kalimatnya, yaitu pertama, meniadakan persamaan antara jual beli
dengan riba, kedua bahwasannya hukum jual beli dihalalkan dan hukum riba diharamkan.
Kedua makna itu dipahami dari susunan kalimat nas tersebut dan dimaksudkan dari
susunannya, akan tetapi makna yang pertama dikehendaki secara asal dari susunannya,
karena ayat tersebut dikemukakan untuk membantah opini orang-orang kafir yang
mengatakan bahwasannya jual beli itu adalah seperti riba, sedangkan makna yang kedua
dimaksudkan dari susunan kalimatnya secara mengikut, karena sesungguhnya penafian
persamaan diikuti dengan penjelasan hukum masing-masing dari kedua duanya, sehingga dari
perbedaan hukum tersebut diambil kesimpulan bahwasannya kedua hal tersebut tidaklah
sama. Kalau sekiranya Allah mencukupkan pada makna yang dikehendaki dari susunan
kalimatnya saja secara asal. Niscaya Allah mengatakan, ….padahal jual beli itu tidaklah
seperti riba.
Arti asli yang dipahami dengan dalalah ibarah al-nas ialah apa yang diberikan Rasul
dari harta rampasan ketika dilakukan pembagian maka terimalah dan yang dilarang bagimu
dari harta rampasan itu maka tinggalkanlah. Arti ini dikatakan sebagai arti asli karena
susunan lafaz dalam ayat tersebut terkait dengan pembagian harta rampasan perang
sebagaimana yang diterangkan sebelumnya.
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal
dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim,
Sedangkan arti tab’i yang dapat dipahami dengan dalalah al-nas dari ayat tersebut
adalah wajib taat kepada Rasulullah pada setiap yang diperintahkan dan yang dilarang.yaitu
makna yang dapat segera dipahami dari shighatnya. Makna tersebut adalah yang
dimaksudkan dari susunan kalimatnya. Makna tersebut bisa langsung dipahami dari lafazh
yang disebutkan baik dalam bentuk penggunaan menurut asalnya (nash) atau bukan menurut
asalnya (zhahir).
داللةَّاإلشارةatau ( إشارةَّالنصmakna tersirat)
Menurut arti istilah (terminology) ulama ushul adalah Petunjuk lafaz kepada arti
atau hukum yang dipahami dengan jalan mengambil kelaziman dari arti yang
dipahami dengan dalalah ibarah al-nas.
Menurut Abu Zahrah dilalah ibarah al-nas yaitu dengan menyimpulkan satu hukum dari arti
yang dipahami dengan dalalah ibarah al-nas.
Contoh ini dapat dilihat dalam QS. al-Baqarah (2): 236
Maka lafaz ‘ah’ atau al-ta’fif satu ungkapan untuk menyatakan ketidak senangan
atau penolakan kita atas perintah orang lain dan ucapan itu dapat menyakiti hati atau perasaan
orang lain, sementara dalam pandangan Islam menyakiti perasaan sama hukumnya dengan
menyakiti badan, bahkan terkadang dampaknya lebih besar lagi, apalagi kalau yang
melakukan itu adalah anak kepada orang tuanya. Ini dipahami dari pemahaman bahasa
semata tanpa ada unsur ijtihad di dalamnya.
Demikian pulalah kalimat memukul dari sisi bahasa kata ‘memukul’ adalah kata yang
sudah dipahami oleh semua orang baik bentuknya maupun tujuannya, dan tujuannya adalah
untuk memberikan rasa sakit seseorang baik fisik maupun perasaan dan lebih menyakitkan
lagi jika kalau itu dilakukan oleh seorang anak kepada orang tuanya; maka memahami makna
dan tujuannya tidak membutuhkan ijtihad, hanya dipahami dari sisi bahasa dan asar yang
ditimbulkannya.
Contoh sabda Rasulullah saw: “Diangkat dari umatku, kesalahan, dan lupa dan apa yang
dipaksakan atasnya”
Secara zahir hadis ini menunjukkan bahwa, kesalahan, sifat lupa dan dipaksa, tidak
akan menimpa seseorang, tetapi ini bertentangan dengan kenyataan karena manusia bukanlah
makhluk yang ma’sum.
Begitupulah ketika manusia melakukan sesuatu karena lupa atau dipaksa, maka
sesungguhnya pekerjaan itu tidaklah diangkat atau dihapus karena pekerjaan itu tetap ada.
Oleh sebab itu apa yang dikhabarkan Rasul saw kepada kita menyalahi kenyataan,
tetapi Rasulullah tidak pernah mengucapkan kecuali kebenaran, maka dapat dipahami bahwa
disitu ada makna yang harus ditakdirkan supaya makna menjadi sempurna.
Dilalah ghayru lafzhiyyah adalah dilalah yang menggunakan dalil bukan menurut
lahiriyahnya sebagai petunjuk hukum. Dilalah seperti ini disebut dengan ( داللةَّالسكوتdilalah
as-sukut) atau ( بيانَّالضرورةbayan adl-dlarurah). Dilalah semacam ini dibagi menjadi empat
macam yaitu:
1. Kelaziman yang untuk menyebutkan suatu ketetapan hukum tertentu juga menetapkan
hukum yang tidak disebutkan.
a. Mantuq Sharin,
yaitu petunjuk lafadh kepada arti yang secara tegas disebutkan oleh lafadh tersebut
misalnya dalam firman allah swt
2. Al-Mafhum ()المفهوم
Mafhum secara etimologi adalah sesuatu yang dipahami dari suatu teks. Sedangkan
pengertian mafhum menurut ulama ushul adalah pengertian tersirat dari suatu lafazh atau
pengertian kebalikan dari pengertian lafazh yang diucapkan. Mafhum menurut mayoritas
ulama ushul fiqh – sebagaimana tergambar dalam definisi di atas – dapat dibagi menjadi dua
macam;
a. Mafhum muwafaqah yang lafazhnya menunjukkan bahwa hukum yang tidak
disebutkan sama dengan hukum yang disebutkan dalam lafazh. Mafhum ini terbagi
menjadi dua, yaitu mafhum awlawiy dan mafhum musawiy, sebagaimana keterangan
dalam .دَللة النص
b. Mafhum mukhalafah yang lafazhnya menunjukkan bahwa hukum yang tidak
disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan. Atau bisa juga diartikan hukum
yang berlaku berdasarkan mafhum itu berlaku berlawanan dengan hukum yang
berlaku pada manthuq. Mafhum mukhalafah ini dinamai juga dengan dalil khithab.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Arti dilalah secara umum adalah memahami sesuatu atas sesuatu. Kata “sesuatu” yang
disebutkan pertama disebut “madlul” yaitu yang ditunjuk. Dalam hubungannya dengan
hukum, yang disebut madlul itu adalah “hukum” itu sendiri.
Ulama Hanafiyah membagi dilalah kepada dua macam, yaitu dilalah lafzhiyah dan dilalah
ghairu lafzhiyah.
Dilalah lafzhiyah yaitu dilalah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk
kepada sesuatu dalam bentuk lafaz, suara atau kata. Dilalah lafzhiyah terbagi kepada 4
macam yang berbeda tingkatan kekuatannya.
Dilalah ghairu lafzhiyah yaitu dalil yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan
lafaz, dan bukan pula dalam bentuk kata.
DAFTAR PUSTAKA
Alyasa, Abu Bakar, Metode Istinbat Fiqih di Indonesia, Yogyakarta: PT. Logos
Khalaf, Abdul Wahab, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah,
cet. VIII, 1984.