Muqaranah Al Mazhahib Fil Ushul

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 14

MAKALAH

MUQARANAH AL MAZHAHIB FIL USHUL

“Konsep Ushul Fiqh Tentang Dilalah”

Nursinita Killian S. Sy.,M.HI

DISUSUN OLEH

KELOMPOK : 8

NAMA : SUFAHRI TAHER

NIM : 15.135.O21

: SARJAN HAMZAH

: 15.135.076

: SUFIRA DOHU

: 15.135.0

: ASNAN B. NGUNA NGUNA

: 15.135.0

PROGRAM STUDI : MUAMALAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN EKONOMI ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

TERNATE 2018
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini. saya juga bersyukur atas
berkat rezeki dan kesehatan yang diberikan kepada kami sehingga dapat mengumpulkan
bahan – bahan materi makalah ini dari Buku dan Internet. saya telah berusaha semampu saya
untuk mengumpulkan berbagai macam bahan tentang:Konsep ushul fiqh tentang dilalah.

Saya sadar bahwa makalah yang saya buat ini masih jauh dari sempurna, karena itu
saya mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk menyempurnakan makalah ini
menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu saya mohon bantuan dari para pembaca.

Demikianlah makalah ini saya buat, apabila ada kesalahan dalam makalah ini, saya
mohon maaf yang sebesar-besarnya dan sebelumnya saya mengucapkan terima kasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb.


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................... I

DAFTAR ISI.................................................................................................... II

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ....................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian dilalah................................................................................... 2
B. Macam-macam dalalah menurut imam mazhab .................................... 3
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................................... 10
B. Saran ..................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sumber hukum utama umat islam adalah al-qur’an dan al-hadist, karena dari dua
pedoman itu sangat banyak terkandung petunjuk hidup yang terdapat di dalamnya, baik itu
petunjuk hidup kita di dunia yang sangat beragam mulai dari kita lahir sampai kita
meninggal, dan juga sebagai petunjuk bagaimana menuju jalan akhirat dengan mendapatkan
keridhaan Allah swt. Al-qur’an dan hadis yang dijadikan sebagai sumber hukum memberikan
berbagai pengertian yang dapat digali dari berbagai lafaz-lafaz yang terdapat didalamnya.
Nah untuk menggali dan mengenali bagaimana kita bisa lebih paham terhadap lafaz-lafaz
tersebut maka dapat dipahami melalui metode kajian “dilalah lafziyah dan dilalah ghairu
lafzhiyah”. Kedua dilalah ini apabila ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam
mengetahui sesuatu lafaz yang terdapat dalam al-qur’an dan sunnah, sebagaimana dijelaskan
di dalam buku bapak Amir Syarifuddin.
Defenisi dari dilalah itu sendiri secara umum adalah ”memahami sesuatu atas
sesuatu”. Yang dimaksud dengan sesuatu yang pertama disebut dengan “ madlul” (yang
ditunjuk) atau dimaksud dengan hukum itu sendiri. Sedangkan kata sesuatu yang kedua
disebut dengan dalil hukum atau yang menjadi petunjuk. Menurut ulama hanafiah
bahwasannya dilalah ini dibagi kepada dua macam, pertama dilalah lafzhiyah dan kedua
dilalah ghairu lafzhiyah. Untuk lebih jelasnya apa itu yang disebut lafaz ghairu lafzhiyah
tersebut maka nanti kami jelaskan secara lebih mendetail di bab pembahasan.
Di dalam makalah ini penulis lebih memfokuskan pembahasan tentang bagaimana dan
apa-apa saja yang termasuk ke dalam dalalah ghairu lafzhiyah menurut golongan Hanafiyah.
Harapan kami yang sebesar-besarnya kepada pembaca, Karena makalah ini masih tidak luput
dari kekurangan baik itu dari segi isi (materi), walaupun dari cara penulisannya, supaya
pembaca memberikan sebuah kritikan dan saran yang bersifat konstruktif.
B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian dilalah.?
b. Apa saja Macam-macam dalalah menurut imam mazhab.?
BAB II
PEMBAHASAAN
A. Pengertian Dilalah
Dilalah adalah petunjuk yang menunjukkan kepada yang di maksudkan atau
memahami sesuatu atas sesuatu. Kata sesuatu yang disebutkan pertama disebut Madlul
(‫ )المدلول‬- yang ditunjuk. Dalam hubungannya dengan hukum, yang disebut madlul adalah
hukum itu sendiri. Kata sesuatu yang disebutkan kedua kalinya disebut dalil (‫ )دليل‬- yang
menjadi petunjuk Dalam hubungannya dengan hukum dalil itu disebut dalil hukum.
Di dalam Al Misbah Al Munir, dijelaskan bahwa :

‫الداللة مايقتضيه اللفظ عند اإلطالق‬

“Dalalah adalah apa yang dikehendaki oleh lafal ketika lafal itu diucapkan secara mutlaq”

Dalam ilmu ushul fiqih dapat ditegaskan bahwa dalalah adalah “pengertian yang
ditunjuk oleh suatu lafadh kepada makna tertentu pembahasan tentang dilalah memiliki
peranan penting dalam ilmu logika dan ushul fiqih’. Dalam berfikir dengan pola dilalah tidak
mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung tetapi cukup menggunakan
petunjuk dan isyarat yang ada. Pola berfikir dengan menggunakan petunjuk dan isyarat
disebut dengan berfikir dilalah.

Dilalah berasal Secara bahasa kata “‫ ”داللـة‬adalah bentuk mashdar (kata dasar) dari

kata “َّ‫ َّيَـدُل‬-َّ‫ ”دَل‬yang berarti menunjukkan. Sedangkan Dilalah menurut istilah adalah
penunjukkan suatu lafadz nash kepada pengertian yang dapat dipahami, sehingga dengan
pengertian tersebut kita dapat mengambil kesimpulan hukum dari sesuatu dalil nash.
Tegasnya, dilalah lafadz itu ialah makna atau pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz
nash dan atas dasar pengertian tersebut kita dapat mengetahui ketentuan hukum yang
dikandung oleh sesuatu dalil nash.

Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah merupakan kumpulan lafadz-lafadz yang


dalam ushul fiqh disebut pula dengan dalil dan setiap dalil memiliki dilalah atau dilalah
tersendiri. Yang dimaksud dengan dalil di sini, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Wahab
Khalaf adalah sebagai berikut;

‫ســ ِبـيْـ ِل ا لـقَـ ْط ِع أ َ ِوالـ َظ ِن‬


َ ‫َـر ِعي عَـ َم ِلي عَـلَى‬ َّ ‫سـتَـ َد ُّل ِبالـنَّـ ْظ ِرال‬
ْ ‫ص ِحيْحِ فِـيْـ ِه عَـلَى ُحك ِْم ش‬ ْ ُ ‫مـايـ‬
Artinya; “segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pemikiran
yang benar untuk menetapkan (menemukan) hukum syara’ yang bersifat amali, baik sifatnya
qoth’iy maupun zhanniy.”
Oleh karena itu dapat dipahami bahwa, pada dasarnya, yang disebut dengan dalil atau
dalil hukum itu ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha
menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat.
Sementara itu, yang dimaksud dengan dilalah, seperti dijelaskan oleh Dr.wahbah Zuhaili
dalam kitab ushulnya Dilalah adalah :

‫ــظ َعـلَى ْال َمـ ْعـنَى‬


ِ ‫َكـيْـ ِفـيَّةُ دَ ََللَـ ِة اللَّـ ْف‬ atau ‫َك ْي ِفيَّةُ دَ ََللَتِ ِه َعلَى ال ُم َرا ِد ال ُمت َ َك ِل ِم‬
“penunjukan suatu lafadz atas sesuatu yang dimaksud oleh mutakallim atau cara
penunjukkan lafaz atas sesuatu makna”
Dilalah sebenarnya merupakan salah satu bagian dalam pembahasan ilmu logika, di
mana untuk mengetahui sesuatu tidak mesti harus melihat atau mengamati sesuatu itu secara
langsung, tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir dengan
menggunakan petunjuk atau isyarat disebut berpikir secara dilalah. Oleh karena itu, dalam
pembahasan ilmu Ushul al-Fiqh, dilalah adalah memahami suatu hukum syar’i berdasarkan
dalil hukum syar’i.
B. Macam-macam dalalah Dilihat dari segi cara penunjukkan suatu makna
1) Ulama Hanafiyah

a. Dilalah Lafzhiyyah (‫لفظية‬ ‫)داللة‬


Dilalah lafzhiyyah adalah dilalah yang menggunakan dalil menurut lahiriyahnya
sebagai petunjuk hukum. Para fuqaha’ hanafiyyah membedakan empat tingkat makna dalam
suatu urutan yang dimulai dengan makna eksplisit atau makna langsung suatu nash. Urutan
berikutnya adalah makna yang tersirat yang diikuti oleh makna yang tersimpul dan terakhir
oleh makna yang dikehendaki. Adapun penjelasan keempat bagian tersebut secara terperinci
adalah sebagaimana berikut:
 ‫ داللةَّالعبارة‬atau ‫( عبارةَّالنص‬makna eksplisit)
dalalah ibaratun nash ialah petunjuk lafadz kepada suatu arti yang mudah dipahami
baik dimaksudkan untuk arti asli maupun untuk arti tab’i. dikatakan demikian,
karena petunjuk lafadz tersebut kepada arti yang lahir (dharirud dalalah),
sebagaimana dikatakan bidran abul’aini bidran, dalalah ibratun nash ialah petunjuk
lafadz pada artinya yang cukup jelas baik dimaksudkan sebagai arti ashli maupun
arti tab’i.
Dengan demikian petunjuk lafadz dalam dalalah ‘ibratun nash ini bukan petunjuk
lafadz kepada arti yang tidak jelas dan bukan pula petunjuk lafaz kepada arti yang tersirat
atau tersimpul atau arti yang tersembunyi dibalik arti yang terang itu. Sehingga dalam
memahaminya tidak perlu mencari arti yang tersembunyi pada lafaz tersebut karena telah
memiliki kejelasan makna.
Sebagaimana contoh QS. al-Baqarah (2): 275

‫واحل هللا البيع وحرم الر بوأ‬


“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”

Menurut Abd. Wahab Khallaf, sighat nas dalam QS. al-Baqarah (2): 275,
menunjukkan dengan Dalalah yang jelas atas dua makna, yang masing-masing makna
dikehendaki dari susunan kalimatnya, yaitu pertama, meniadakan persamaan antara jual beli
dengan riba, kedua bahwasannya hukum jual beli dihalalkan dan hukum riba diharamkan.

Kedua makna itu dipahami dari susunan kalimat nas tersebut dan dimaksudkan dari
susunannya, akan tetapi makna yang pertama dikehendaki secara asal dari susunannya,
karena ayat tersebut dikemukakan untuk membantah opini orang-orang kafir yang
mengatakan bahwasannya jual beli itu adalah seperti riba, sedangkan makna yang kedua
dimaksudkan dari susunan kalimatnya secara mengikut, karena sesungguhnya penafian
persamaan diikuti dengan penjelasan hukum masing-masing dari kedua duanya, sehingga dari
perbedaan hukum tersebut diambil kesimpulan bahwasannya kedua hal tersebut tidaklah
sama. Kalau sekiranya Allah mencukupkan pada makna yang dikehendaki dari susunan
kalimatnya saja secara asal. Niscaya Allah mengatakan, ….padahal jual beli itu tidaklah
seperti riba.

Contoh firman QS al-Hasyr (59): 7


‫قل‬
‫وما نهكم عنه فا نتهوا‬ ‫وما ا تكم الرسول قخذوه‬
“Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah”

Arti asli yang dipahami dengan dalalah ibarah al-nas ialah apa yang diberikan Rasul
dari harta rampasan ketika dilakukan pembagian maka terimalah dan yang dilarang bagimu
dari harta rampasan itu maka tinggalkanlah. Arti ini dikatakan sebagai arti asli karena
susunan lafaz dalam ayat tersebut terkait dengan pembagian harta rampasan perang
sebagaimana yang diterangkan sebelumnya.

Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal
dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim,

Sedangkan arti tab’i yang dapat dipahami dengan dalalah al-nas dari ayat tersebut
adalah wajib taat kepada Rasulullah pada setiap yang diperintahkan dan yang dilarang.yaitu
makna yang dapat segera dipahami dari shighatnya. Makna tersebut adalah yang
dimaksudkan dari susunan kalimatnya. Makna tersebut bisa langsung dipahami dari lafazh
yang disebutkan baik dalam bentuk penggunaan menurut asalnya (nash) atau bukan menurut
asalnya (zhahir).
 ‫ داللةَّاإلشارة‬atau ‫( إشارةَّالنص‬makna tersirat)
Menurut arti istilah (terminology) ulama ushul adalah Petunjuk lafaz kepada arti
atau hukum yang dipahami dengan jalan mengambil kelaziman dari arti yang
dipahami dengan dalalah ibarah al-nas.
Menurut Abu Zahrah dilalah ibarah al-nas yaitu dengan menyimpulkan satu hukum dari arti
yang dipahami dengan dalalah ibarah al-nas.
Contoh ini dapat dilihat dalam QS. al-Baqarah (2): 236

‫ال جناح عليكم ان طلقتم النساء ما لم تمسو هن او تفر ضوالهن فريضة‬


”Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu
sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya”.
Arti yang dipahami dengan dalalah ibarah al-nas ialah boleh mentalak istri yang
belum digauli serta belum ditentukan maharnya. Dari arti tersebut dapat disimpulkan hukum
lain bahwa perkawinan tanpa ditentukan maharnya terlebih dahulu adalah sah. Karena
talaknya sah maka pernikahannya juga sah karena talak yang sah itu dari pernikahan yang
sah. Hukum ini dapat dipahami dari istilah isyarah al-nas karena hukum itu tidak tertera
dalam ayat tetapi merupakan suatu kelaziman baik secara akal maupun kebiasaan.
 ‫ داللةَّالداللة‬atau ‫( داللةَّالنص‬makna yang tersimpul),
Dalalah al-nas menurut istilah ulama usul adalah Petunjuk lafaz kepada berlakunya
suatu hukum yang disebut oleh lafaz itu kepada peristiwa lain yang tidak disebutkan
hukumya oleh suatu lafaz karena ada persamaan makna yang dipahami oleh ahli
bahasa bahwa itu adalah illah yang menjadi sebab adanya hukum itu.
Perlu dijelaskan bahwa illah dalalah al-nas adalah jelas dan dapat dipahami dari
susunan kalimat atau bahasa dari nas itu sendiri dan bukan illah yang dihasilkan dari ijtihad.
Atas dasar ini ulama membedakan antar dalalah al-nas dengan qiyas. Ilah dalalah al-
nas dapat dipahami dari lafaz atau dari sisi bahasa. Sementara Ilah dalam qiyas tidak bisa
dipahami kecuali dengan jalan ijtihad. Namun demikian imam Syafi’i menyamakan antara
dalalah al-nas dengan qiyas karena hukum dihasilkan oleh keduanya berdasarkan dengan
illah.
Contoh; ketika Allah swt melarang suatu perbuatan, maka bukan sekedar perbuatan
itu yang dilarang, tapi yang lebih penting lagi adalah apa yang ditimbulkan setelah pekerjaan
itu dilakukan atau kesan apa yang ditimbulkan setelah pekerjaan itu terjadi, apakah
menimbulkan manfaat atau mudarat, mafsadat atau mashlahat dari akibat inilah muncul suatu
hukum, wajib, haram dan lain-lain.
Contoh firman Allah swt QS. Al-Isra (17) 23

‫فَ َال تَقُ ْل لَ ُه َما أُف َو َال ت َ ْن َه ْر ُه َما‬


“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”

Maka lafaz ‘ah’ atau al-ta’fif satu ungkapan untuk menyatakan ketidak senangan
atau penolakan kita atas perintah orang lain dan ucapan itu dapat menyakiti hati atau perasaan
orang lain, sementara dalam pandangan Islam menyakiti perasaan sama hukumnya dengan
menyakiti badan, bahkan terkadang dampaknya lebih besar lagi, apalagi kalau yang
melakukan itu adalah anak kepada orang tuanya. Ini dipahami dari pemahaman bahasa
semata tanpa ada unsur ijtihad di dalamnya.

Demikian pulalah kalimat memukul dari sisi bahasa kata ‘memukul’ adalah kata yang
sudah dipahami oleh semua orang baik bentuknya maupun tujuannya, dan tujuannya adalah
untuk memberikan rasa sakit seseorang baik fisik maupun perasaan dan lebih menyakitkan
lagi jika kalau itu dilakukan oleh seorang anak kepada orang tuanya; maka memahami makna
dan tujuannya tidak membutuhkan ijtihad, hanya dipahami dari sisi bahasa dan asar yang
ditimbulkannya.

 ‫ داللةَّاإلقتضاء‬atau ‫( إقتضاءَّالنص‬makna yang dikehendaki)


Dalalah al-Iqtida’a yaitu Petunjuk lafaz terhadap suatu makna yang dipahami dari
makna yang ditakdirkan kepada berlakunya suatu hukum sebagaimana yang
dimaksudkan oleh al-syari. Kebenaran dan kesahihan makna tersebut sangat
tergantung kepada makna yang ditakdirkan itu baik secara syara maupun secara akal.

Contoh sabda Rasulullah saw: “Diangkat dari umatku, kesalahan, dan lupa dan apa yang
dipaksakan atasnya”

Secara zahir hadis ini menunjukkan bahwa, kesalahan, sifat lupa dan dipaksa, tidak
akan menimpa seseorang, tetapi ini bertentangan dengan kenyataan karena manusia bukanlah
makhluk yang ma’sum.

Begitupulah ketika manusia melakukan sesuatu karena lupa atau dipaksa, maka
sesungguhnya pekerjaan itu tidaklah diangkat atau dihapus karena pekerjaan itu tetap ada.

Oleh sebab itu apa yang dikhabarkan Rasul saw kepada kita menyalahi kenyataan,
tetapi Rasulullah tidak pernah mengucapkan kecuali kebenaran, maka dapat dipahami bahwa
disitu ada makna yang harus ditakdirkan supaya makna menjadi sempurna.

b. Dilalah Ghayru Lafzhiyyah (‫)داللة غير لفظية‬

Dilalah ghayru lafzhiyyah adalah dilalah yang menggunakan dalil bukan menurut
lahiriyahnya sebagai petunjuk hukum. Dilalah seperti ini disebut dengan ‫( داللةَّالسكوت‬dilalah

as-sukut) atau ‫( بيانَّالضرورة‬bayan adl-dlarurah). Dilalah semacam ini dibagi menjadi empat
macam yaitu:

1. Kelaziman yang untuk menyebutkan suatu ketetapan hukum tertentu juga menetapkan
hukum yang tidak disebutkan.

Misalnya dalam firman Allah QS. An-nisa’ (4): 11.

ُ‫َان لَهُ َولَ ٌد فَ ِإ ْن َل ْم َيك ُْن لَهُ َولَ ٌد َو َو ِرثَه‬


َ ‫ُس ِم َّما ت َ َركَ ِإ ْن ك‬ ِ ‫َو ِِل َ َب َو ْي ِه ِل ُك ِل َو‬
ُّ ‫احد ِم ْن ُه َما ال‬
ُ ‫سد‬
‫ث‬ُ ُ‫أَبَ َواهُ فَ ِِل ُ ِم ِه الثُّل‬
“Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat
sepertiga;”
Ketetapan bahwa bagian warisan ibu adalah sepertiga, maka bagian ayah adalah dua
pertiga ketika ahli waris hanya mereka berdua karena bagian laki-laki adalah dua kali bagian
wanita.
1. Penunjukan keadaan diamnya seseorang yang berfungsi sebagai penjelasan
persetujuannya.
2. Menganggap diamnya seseorang sebagai sudah berbicara untuk menghindari adanya
penipuan.
3. Penunjukan keadaan diam untuk sesuatu yang berbilangan tetapi dihilangkan untuk
menyederhanakan kata.
2) Ulama Syafi’iyyah
Dalam pandangan ulama Syafi’iyyah, dilalah itu dibagi menjadi dua macam, yaitu
dilalah manthuq dan dilalah mafhum.
1. Al-Manthuq (‫)المنطوق‬
Dalalah mantuq ialah petunjuk lafadh kepada arti yang disebutkan oleh lafadh itu
sendiri. syaikh muhammad al khudlari menjelaskan hawa dalalah mantuq membagi lagi
menjadi dua macam, yaitu dalalah matuq sharin dan dalalah manthuq ghairu sharih.

a. Mantuq Sharin,

yaitu petunjuk lafadh kepada arti yang secara tegas disebutkan oleh lafadh tersebut
misalnya dalam firman allah swt

‫فَ َال تَقُ ْل لَ ُه َما أُف َو َال ت َ ْن َه ْر ُه َما‬


“maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkata ah”.
b. Manthuq Ghayru Sharih
yaitu petunjuk lafadz kepada arti yang tidak tegas disebutkan oleh lafadz tersebut. arti
yang dijuluki dengan dalalah manthtuq ghairu sharih ini dapat berupa: pertama, arti yang
dikehendaki oleh pembicaraan lafadz (syara’) akan tetapi tidak secara tegas disebutkan oleh
tuturan lafadznya dan kedua arti yang disebutkan oleh tuturan lapadz adalah tidak
dimaksudkan oleh pembicaraan (syara’). untuk yang pertama. dapat berbentuk:
a) petunjuk lafadz kepada keharusan adanya sesuatu yang dihilangkan, sebab kebenaran
atau keabsahaan suatu pembicaraan sangat tergantung kepadanya. dalalah dalalah
semacam ini, menurut ulama hanafiyah disebutkan dengan dalalah iqitidlaun nash.
b) petunjuk lapadz pada arti yang disertai dengan sifat yang merupakan ‘illah (alasan)
bagi adanya arti tersebut, seandainya sifat itu bukan merupakan ‘illahnya, maka tidak
ada gunanya dengan menyebutkan itu.

2. Al-Mafhum (‫)المفهوم‬

Mafhum secara etimologi adalah sesuatu yang dipahami dari suatu teks. Sedangkan
pengertian mafhum menurut ulama ushul adalah pengertian tersirat dari suatu lafazh atau
pengertian kebalikan dari pengertian lafazh yang diucapkan. Mafhum menurut mayoritas
ulama ushul fiqh – sebagaimana tergambar dalam definisi di atas – dapat dibagi menjadi dua
macam;
a. Mafhum muwafaqah yang lafazhnya menunjukkan bahwa hukum yang tidak
disebutkan sama dengan hukum yang disebutkan dalam lafazh. Mafhum ini terbagi
menjadi dua, yaitu mafhum awlawiy dan mafhum musawiy, sebagaimana keterangan
dalam .‫دَللة النص‬
b. Mafhum mukhalafah yang lafazhnya menunjukkan bahwa hukum yang tidak
disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan. Atau bisa juga diartikan hukum
yang berlaku berdasarkan mafhum itu berlaku berlawanan dengan hukum yang
berlaku pada manthuq. Mafhum mukhalafah ini dinamai juga dengan dalil khithab.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Arti dilalah secara umum adalah memahami sesuatu atas sesuatu. Kata “sesuatu” yang
disebutkan pertama disebut “madlul” yaitu yang ditunjuk. Dalam hubungannya dengan
hukum, yang disebut madlul itu adalah “hukum” itu sendiri.
Ulama Hanafiyah membagi dilalah kepada dua macam, yaitu dilalah lafzhiyah dan dilalah
ghairu lafzhiyah.

Dilalah lafzhiyah yaitu dilalah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk
kepada sesuatu dalam bentuk lafaz, suara atau kata. Dilalah lafzhiyah terbagi kepada 4
macam yang berbeda tingkatan kekuatannya.

Dilalah ghairu lafzhiyah yaitu dalil yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan
lafaz, dan bukan pula dalam bentuk kata.
DAFTAR PUSTAKA

Syarifuddin, Amir. 2008. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.

Abu Zahrah, Muhammad. 2010. Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus

http://www.abdulhelim.com/2012/5/dilalah dalam-perspektif -hanafiyah,

Alyasa, Abu Bakar, Metode Istinbat Fiqih di Indonesia, Yogyakarta: PT. Logos

Wacana Ilmu, 1987.

Khalaf, Abdul Wahab, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, Kairo: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah,
cet. VIII, 1984.

You might also like