Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penyakit kusta atau lepra (leprosy) atau disebut juga Morbus Hansen, adalahse
buah penyakit infeksi menular kronis yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
leprae. Indonesia dikenal sebagai satu dari tiga negara yang paling banyak memiliki
penderita kusta. Dua negara lainnya adalah India dan Brazil. (Mansjoer, Arif, 2000,
Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media Aeuscualpius, Jakarta)
Bakteri Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang ahli fisika Norwegia
bernama Gerhard Armauer Hansen, pada tahun 1873 lalu. Umumnya penyakit kusta
terdapat di negara yang sedang berkembang, dan sebagian besar penderitanya adalah
dari golongan ekonomi lemah.
Penyakit kusta disebabkan oleh kuman yang dimakan sebagai microbakterium,
dimana microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk
batang yang tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap
dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil
“tahan asam”.
Mekanisme penularan yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah
dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Dan diduga
faktor genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada
kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat
terjadi tipe kusta yang berbeda pada setiap individu.
Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti
berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah
beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda.Masa inkubasi
maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan
pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian
berpindah ke daerah non-endemik. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa
inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun.

B. TUJUAN UMUM
Untuk memperoleh gambaran yang nyata tentang pelaksanaan ASKEP
pada klien dengan Kusta dengan menggunakan metode proses keperawatan.

C. TUJUAN KHUSUS
1. Mendapatkan gambaran yang nyata tentang konsep penyakit kusta
2. Mampu membuat pengkajian keperawatan pada klien dengan kusta
3. Mampu membuat Dx keperawatan berdasarkan anamnesa
4. Mampu membuat rencana keperawatan berdasakan teori keperawatan.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP DASAR

1.1 Definisi
Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta
(mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.
(Depkes RI, 1998).Kusta (lepra atau morbus Hansen) adalah penyakit kronis yang
disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae (M. leprae). (Kapita Selekta
Kedokteran, 2000).

1.2 Etiologi
Mikobakterium leprae merupakan basil tahan asam (BTA) bersifat obligat
intraseluler, menyerang saraf perifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran
nafas bagian atas, hati, sumsum tulang kecuali susunan saraf pusat.Masa membelah
diri mikobakterium leprae 12-21 hari dan masa tunasnya antara 40 hari-40 tahun.
Kuman kusta berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 micro, lebar 0,2-0,5 micro
biasanya berkelompok dan ada yang disebar satu-satu, hidup dalam sel dan BTA.

1.3 Patofisiologi (WOC)


Setelah mikobakterium leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit
kusta bergantung pada kerentanan seseorang. Respon setelah masa tunas dilampaui
tergantung pada derajat sistem imunitas seluler (celuler midialet immune) pasien.
Kalau sistem imunitas seluler tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkoloid dan
bila rendah berkembang kearah lepromatosa. Mikobakterium leprae berpredileksi
didaerah-daerah yang relatif dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang
sedikit.

3
Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena imun
pada tiap pasien berbeda. Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi seluler
dari pada intensitas infeksi oleh karena itu penyakit kusta disebut penyakit
imonologik.

4
Microbakterium Leprae

Menyerang saraf perifer, kulit, mukosa


saluran pernafasan atas

Gangguan Fungsi Saraf


Tepi

Motorik
Sensori Otonom
k m
kelemahan
Anastesi Gangguan
kelenjar keringat,
kelenjar minyak, aliran
Tangan/kaki: Mata darah

Tangan/ kaki: Kornea mata lemah/lumpuh Logophthalmus


kurang rasa anastesi reflek
kedip mata
Kulit: kering /pecah/
berkurang
jari bengkok/ Infeksi kemerahan
Luka kaku
Infeksi
Buta Benjolan-benjolan kecil
Luka
Mutilasi diseluruh tubuh
Absorpsi tulang Buta
Mutilasi
absorpsi tulang inflamasi

Ggg konsep Intoleran Nyeri


diri aktivitas Kerusakan
integritas
kulit

5
1.4 Manifestasi Klinis
Menurut WHO (1995) diagnosa kusta ditegakkan bila terdapat satu dari
tanda kardinal berikut :
a. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas
Lesi kulit dapat tunggal atau multipel biasanya hipopigmentasi tetapi
kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga biasanya berupa:
makula, papul, nodul. Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan
gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi sebagai
kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot.
b. BTA positif
Pada beberapa kasus ditemukan BTA dikerokan jaringan kulit.
c. Penebalan saraf tepi, nyeri tekan, parastesi (kesemutan/kebas).
Klasifikasi bentuk klinis penyakit kusta dibedakan atas dua jenis yaitu
1. Kusta bentuk kering (tipe tuberkuloid)
Merupakan bentuk yang tidak menular. Kelainan kulit berupa bercak
keputihansebesar uang logam atau lebih, jumlahnya biasanya hanya
beberapa, sering di pipi,punggung, pantat, paha atau lengan. Bercak
tampak kering, perasaan kulit hilangsama sekali, kadang-kadang tepinya
meninggi.
Pada tipe ini lebih sering didapatkan kelainan urat saraf tepi, sering
terjadi gejala kulit tak begitu menonjoltetapi gangguan saraf lebh jelas.
Komplikasi saraf serta kecacatan relative lebih sering terjadi sering terjadi
dan timbul lebih awal dari bentuk basah.
Pemeriksaan bakteriologis sering kali negative, berarti tidak
ditemukan adanya kuman penyebab. Bentuk ini merupakan yang paling
banyak yang ditemukan di Indonesia dan terjadi pda orang yang daya
tahan tubuhnya terhadap kuman kusta cukup tinggi.

6
2. Kusta bentuk basah (tipe lepromatosa)
Merupakan bentuk menular karena banyak kuman dapat ditemukan
baik diselaput lendir hidung, kulit maupun organ tubuh lain. Jumlahnya
lebih sedikit dibandingkan kusta bentuk kering dan terjadi pada orang
yang daya tahan tubuhnya rendah dalam menghadapi kuman kusta.
Kelainan kulit bisa berupa bercak kamarahan, bisa kecil-kecil dan
tersebar diseluruh badan ataupun sebagai penebalankulit yang luas
(infiltrat) yang tampak mengkilap dan berminyak. Bila juga
sebagaibenjolan-benjolan merah sebesar biji jagung yang sebesar di
badan, muka dan dauntelinga. Sering disertai rontoknya alis mata,
menebalnya cuping telinga dan kadang-kadang terjadi hidung pelana
karena rusaknya tulang rawan hidung. Kecacatan padabentuk ini
umumnya terjadi pada fase lanjut dari perjalanan penyakit.
Pada bentuk yang parah bisa terjadi ”muka singa” (facies leonina).
Diantara kedua bentuk klinis ini, didapatkan bentuk pertengahan atau
perbatasan(tipe borderline) yang gejala-gejalanya merupakan peralihan
antara keduanya. Bentuk ini dalam pengobatannya dimasukkan jenis kusta
basah.

1.5 Komplikasi
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kusta baik
akibat kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi
reaksi kusta.

7
1.6 Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Bakteriologis
Ketentuan pengambilan sediaan adalah sebagai berikut:
1) Sediaan diambil dari kelainan kulit yang paling aktif.
2) Kulit muka sebaiknya dihindari karena alasan kosmetik kecuali tidak ditemukan
lesi ditempat lain.
3) Pemeriksaan ulangan dilakukan pada lesi kulit yang sama dan bila perlu
ditambah dengan lesi kulit yang baru timbul.
4) Lokasi pengambilan sediaan apus untuk pemeriksaan mikobakterium leprae
ialah:
a) Cuping telinga kiri atau kanan
b) Dua sampai empat lesi kulit yang aktif ditempat lain
5) Sediaan dari selaput lendir hidung sebaiknya dihindari karena:
a) Tidak menyenangkan pasien
b) Positif palsu karena ada mikobakterium lain
c) Tidak pernah ditemukan mikobakterium leprae pada selaput lendir hidung
apabila sedian apus kulit negatif.
d) Pada pengobatan, pemeriksaan bakterioskopis selaput lendir hidung lebih dulu
negatif dari pada sediaan kulit ditempat lain.
6) Indikasi pengambilan sediaan apus kulit:
a) Semua orang yang dicurigai menderita kusta
b) Semua pasien baru yang didiagnosis secara klinis sebagai pasien kusta
c) Semua pasien kusta yang diduga kambuh (relaps) atau karena tersangka kuman
resisten terhadap obat
d) Semua pasien MB setiap 1 tahun sekali
7) Pemerikaan bakteriologis dilakukan dengan pewarnaan tahan asam, yaitu ziehl
neelsen atau kinyoun gabett
8) Cara menghitung BTA dalam lapangan mikroskop ada 3 metode yaitu cara zig
zag, huruf z, dan setengah atau seperempat lingkaran. Bentuk kuman yang

8
mungkin ditemukan adalah bentuk utuh (solid), pecah-pecah (fragmented),
granula (granulates), globus dan clumps.

b. Indeks Bakteri (IB):


Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan hapus. IB
digunakan untuk menentukan tipe kusta dan mengevaluasi hasil pengobatan.
Penilaian dilakukan menurut skala logaritma RIDLEY sebagai berikut:
0 : bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang
1 : bila 1-10 BTA dalam 100 lapangan pandang
2 : bila 1-10 BTA dalam 10 lapangan pandang
3 : bila 1-10 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
4 : bila 11-100 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
5 : bila 101-1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang
6 : bila >1000 BTA dalam rata-rata 1 lapangan pandang

c. Indeks Morfologi (IM)


Merupakan persentase BTA bentuk utuh terhadap seluruh BTA. IM digunakan
untuk mengetahui daya penularan kuman, mengevaluasi hasil pengobatan, dan
membantu menentukan resistensi terhadap obat.

1.7 Penatalaksanaan
a. Terapi medik
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah penyembuhan pasien
kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata rantai penularan dari
pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk menurunkan
insiden penyakit.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin,
klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi

9
resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien,
menurunkan angka putus obat, dan mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam
jaringan.
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai rekomendasi WHO 1995
sebagai berikut:
1) Tipe PB ( PAUSE BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa :
a) Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
b) DDS tablet 100 mg/hari diminum di rumah
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6
dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif.
2) Tipe MB ( MULTI BASILER)
Jenis obat dan dosis untuk orang dewasa:
a) Rifampisin 600mg/bln diminum didepan petugas
b) Klofazimin 300mg/bln diminum didepan petugas dilanjutkan dengan
klofazimin 50 mg /hari diminum di rumah
c) DDS 100 mg/hari diminum dirumah
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan sesudah
selesai minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya
masih aktif dan pemeriksaan bakteri positif.
3) Dosis untuk anak
Klofazimin:
a) Umur dibawah 10 tahun :
1. Bulanan 100mg/bln
2. Harian 50mg/2kali/minggu
b) Umur 11-14 tahun :
1. Bulanan 100mg/bln
2. Harian 50mg/3kali/minggu
4) Pengobatan MDT terbaru

10
Metode ROM adalah pengobatan MDT terbaru. Menurut WHO(1998), pasien
kusta tipe PB dengan lesi hanya 1 cukup diberikan dosis tunggal rifampisin 600 mg,
ofloksasim 400mg dan minosiklin 100 mg dan pasien langsung dinyatakan RFT,
sedangkan untuk tipe PB dengan 2-5 lesi diberikan 6 dosis dalam 6 bulan. Untuk tipe
MB diberikan sebagai obat alternatif dan dianjurkan digunakan sebanyak 24 dosis
dalam 24 jam.
5) Putus obat
Pada pasien kusta tipe PB yang tidak minum obat sebanyak 4 dosis dari yang
seharusnya maka dinyatakan DO, sedangkan pasien kusta tipe MB
dinyatakan DO bila tidak minum obat 12 dosis dari yang seharusnya.
b. Perawatan umum
Perawatan pada morbus hansen umumnya untuk mencegah kecacatan.
Terjadinya cacat pada kusta disebabkan oleh kerusakan fungsi saraf tepi,
baik karena kuman kusta maupun karena peradangan sewaktu keadaan
reaksi netral.
1) Perawatan mata dengan lagophthalmos
a) Penderita memeriksa mata setiap hari apakah ada kemerahan atau
kotoran
b) Penderita harus ingat sering kedip dengan kuat
c) Mata perlu dilindungi dari kekeringan dan debu.
2) Perawatan tangan yang mati rasa
a) Penderita memeriksa tangannya tiap hari untuk mencari tanda- tanda
luka, melepuh
b) Perlu direndam setiap hari dengan air dingin selama lebih kurang
setengah jam
c) Keadaan basah diolesi minyak
d) Kulit yang tebal digosok agar tipis dan halus
e) Jari bengkok diurut agar lurus dan sendi-sendi tidak kaku
f) Tangan mati rasa dilindungi dari panas, benda tajam, luka

11
3) Perawatan kaki yang mati rasa
a) Penderita memeriksa kaki tiap hari
b) Kaki direndam dalam air dingin lebih kurang ½ jam
c) Masih basah diolesi minyak
d) Kulit yang keras digosok agar tipis dan halus
e) Jari-jari bengkok diurut lurus
f) Kaki mati rasa dilindungi
4) Perawatan luka
a) Luka dibersihkan dengan sabun pada waktu direndam
b) Luka dibalut agar bersih
c) Bagian luka diistirahatkan dari tekanan
d) Bila bengkak, panas, bau bawa ke puskesmas

12
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian

a. Biodata
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak
dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan tingkat
sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada kenyataannya bahwa
sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan ekonomi lemah.

b. Riwayat penyakit sekarang


Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan adanya
lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf) kadang-kadang
gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan adanya komplikasi pada
organ tubuh.

c. Riwayat kesehatan masa lalu


Pada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam kondisi
lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.

d. Riwayat kesehatan keluarga


Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang disebabkan
oleh kuman kusta ( mikobakterium leprae) yang masa inkubasinya diperkirakan 2-5
tahun. Jadi salah satu anggota keluarga yang mempunyai penyakit morbus hansen
akan tertular.
e. Riwayat psikososial
Klien yang menderita morbus hansen akan malu karena sebagian besar
masyarakat akan beranggapan bahwa penyakit ini merupakan penyakit kutukan,
sehingga klien akan menutup diri dan menarik diri, sehingga klien mengalami

13
gangguan jiwa pada konsep diri karena penurunan fungsi tubuh dan komplikasi yang
diderita.

f. Pola aktivitas sehari-hari


Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki
maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam
perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan.

g. Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat


Pada umumnya pada pola presepsi pada pasien kusta mengalami gangguan
terutama pada body image,penderita merasa rendah diri dan merasa terkucilkan
sedangkaan pada tatalaksana hidup sehat pada umumnya klien kurang kebersihan diri
dan lingkungan yang kotor dan sering kontk langsung dengan penderita kusta.Karena
kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya maka timbul masalah dalam perawatan
diri.
h. Pola nutrisi dan metabolisme
Meliputi makanan klien sehari-hari komposisi:sayur, lauk pauk,minum sehari
berapa gelas,berat badan naik atau turun,sebelum dan saat masuk rumah sakit turgor
kulit normal atau menurundan kebiasaan maskan klien.Klien tinggal ditempat yang
kotor atau bersih Adanya penurunan nafsu makan, mual, muntah, pemnurunan berat
badan, gangguan pencernaan.

i. Pola eliminasi
Pada Pola eleminasi alvi dan uri pada pasien kusta tidak ada kelainan.

j. Pola istirahat dan tidur


Pada klien kusta pada umumnya pola tidur tidak teerganggu tetapi bagi kusta
yang belum menjalani pengubatan pasien baru biasanya terjadi gangguan kebutuhan

14
tidur dan istirahat yang disebabkan oleh pikiran stress, odema dan peningkatan suhu
tubuh yang yang diikuti rasa nyeri.

k. Pemeriksaan fisik

Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat pada
tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya gangguan
saraf tepi motorik.Sistem penglihatan. Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik,
kornea mata anastesi sehingga reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi
mengakibatkan kebutaan, dan saraf tepi motorik terjadi kelemahan mata akan
lagophthalmos jika ada infeksi akan buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat,
jika terjadi peradangan pada organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis.
Sedangkan pause basiler jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.

a. Sistem pernafasan. Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan
terdapat gangguan pada tenggorokan.
b. Sistem persarafan:
a. Kerusakan fungsi sensorik

Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang/ mati rasa. Alibat
kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka, sedang pada kornea
mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.

b. Kerusakan fungsi motorik


Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-lama
ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan dan kaki
menjadi bengkok dan akhirnya dapat terjadi kekakuan pada sendi (kontraktur), bila
terjadi pada mata akan mengakibatkan mata tidak dapat dirapatkan (lagophthalmos).

15
c. Kerusakan fungsi otonom
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan
sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering, menebal, mengeras dan akhirnya dapat
pecah-pecah.

c. Sistem muskuloskeletal.
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau
kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.

d. Sistem integumen.
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak eritem
(kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul (benjolan). Jika ada kerusakan
fungsi otonom terjadi gangguan kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan
sirkulasi darah sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut:
sering didapati kerontokan jika terdapat bercak

2. Diagnosa

a. Kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan lesi dan proses inflamasi
b. Gangguan rasa nyaman, nyeri yang berhubungan dengan proses inflamasi
jaringan
c. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan kelemahan fisik

16
3. Intervensi

NO
DX Tujuan/kriteria hasil Intervensi Rasional
(NOC)
1 Tujuan : 1. Kaji/ catat warna lesi,p 1. Memberikan
setelah dilakukan tindaka erhatikan jika ada inflamasi das
n keperawatan proses jaringan nekrotik dan ar tentang ter
inflamasi berhenti dan kondisi sekitar luka jadi proses in
berangsur-angsur 2. Berikan perawatan flamasi dan
sembuh. khusus pada daerah atau mengen
Kriteria : yang terjadi inflamasi ai sirkulasi d
a) Menunjukkan 3. Evaluasi warna lesi dan aerah yang te
regenerasi jaringan jaringan yang terjadi rdapat lesi.
b) Mencapai inflamasi perhatikan 2. Menurunkan t
penyembuhan tepat adakah penyebaran erjadinya pen
waktu pada lesi pada jaringan sekitar yebaran infla
4. Bersihan lesi dengan masi pada jari
sabun pada waktu diren ngan sekitar.
dam 3. Mengevaluasi
5. Istirahatkan bagian yan perkembanga
gterdapat lesi dari n lesi dan infl
tekanan amasi dan me
6. Posisikan untuk ngidentifikasi
menghindari terjadinya ko
menempatkan mplikasi.
ketegangan pada 4. Kulit yang ter
lika,dengan tepat jadi lesi perlu
7. Dorong cairan, yang perawatan kh

17
sesuai usus untuk m
8. Anjurkan pasien untuk empertahanka
menggunakan pakaian n kebersihan
yang longgar lesi
5. Tekanan pada
lesi bisa maen
ghambat
proses
penyembuhan
6. Posisi yang
nyaman
mengurangi
ketegangan
pada kulit
7. Mengurangi
dehidrasi
8. Agar pasien
merasa lebih
nyaman

2 Tujuan:setelah dilakukan 1. Observasi lokasi, 1. Memberikan i


tindakan keperawatan intensitas dan penjalar nformasi
proses inflamasi berhenti an nyeri untuk memba
dan berangsur-angsur 2. Observasi tanda-tanda ntu dalam me
vital
hilang mberikan
3. Ajarkan dan anjurkan
Kriteria:setelah dilakuka intervensi
melakukan tehnik
n tindakan keperawatan 2. Untuk menget
distraksi dan relaksasi

18
proses inflamasi dapat be 4. Atur posisi senyaman ahui perkemb
rkurang dan nyeri berkur mungkin angan atau ke
ang dan beraangsur- 5. Kolaborasi untuk pem adaan pasien
angsur hilang berian analgesik sesuai 3. Dapat mengur
indikasi angi rasa
6. Hindari gangguan nyeri
yang tidak perlu dan 4. Posisi yang
berikan untuk waktu nyaman dapat
istirahat menurunkan
rasa nyeri
5. menghilangka
n rasa nyeri
6. pmenuhan
istirahat

19
3 Tujuan:Setelah 1. Pertahankan posisi 1. meningkatk
dilakukan tindakan tubuh yang nyaman anposisi fun
keperawatan kelemahan 2. Perhatikan sirkulasi, gsional pada
fisik dapat teratasi dan gerakan, kepekaan pada ekstremitas
aktivitas dapat dilakukan kulit 2. oedema
Kriteria: 3. Lakukan latihan dapat memp
a) asien dapat melak rentang gerak secara engaruhisirk
ukan aktivitas konsisten, diawali deng ulasi pada
sehari-hari an pasif kemudian aktif ekstremitas
b) ekuatan otot 4. Jadwalkan pengobatan 3. mencegah se
penuh dan aktifitas perawatan cara progres
untuk memberikan if mengenca
periode istirahat ngkan jaring
5. Dorong dukungan dan an, meningk
bantuan keluaraga/ atkan pemeli
orang yang terdekat haraan fungs
pada latihan i otot/ sendi
6. Monitor nutrisi dan 4. meningkatk
sumber energi yang an kekuatan
adekuat dan toleransi
7. Monitor pola tidur dan pasien terha
lamanya tidur/istirahat dap aktifitas
pasien 5. menampilka
nkeluarga /
oarng terdek
at untuk akti
f dalam pera
watan pasie

20
n dan memb
erikan terapi
lebih konsta
n
6. memenuhi
nutrisi yang
adekuat
7. mengetahui
kenyamanan
dan keadaan
pasien

21
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kusta adalah penyakit yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta
(mikobakterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan tubuh lainnya.
Kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh infeksi mikobakterium
leprae.
Adapun cirri-ciri sesorang terkena kusta ialah sbagai berikut :
1. Adanya lesi kulit yang khas dan kehilangan sensibilitas
2. Lesi kulit dapat tunggal atau multipel biasanya hipopigmentasi tetapi
kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna tembaga biasanya berupa:
makula, papul, nodul. Kehilangan sensibilitas pada lesi kulit merupakan
gambaran khas. Kerusakan saraf terutama saraf tepi, bermanifestasi
sebagai kehilangan sensibilitas kulit dan kelemahan otot.
3. BTA positif
4. Pada beberapa kasus ditemukan BTA dikerokan jaringan kulit.
5. Penebalan saraf tepi, nyeri tekan, parastesi.

B. SARAN
1. Dengan mengetahui perjalanan penyakit kusta, diharapkan agar dapat
menangani kasus tersebut dengan tepat.
2. Dengan adanya pengkajian serta diagnose dan intervensi keperawatan
terhadap penyakit kusta, diaharapkan agar pasien mengidap penyakit ini
dapat dirawat dengan tepat.

22
DAFTAR PUSTAKA

Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Ed. III, media
Aeuscualpius, Jakarta
Juall, Lynda, Rencana Asuhan Keperawatan Dan Dokumentasi Keperawatan
Edisi II, EGC. Jakarta, 1995

23
LAMPIRAN GAMBAR

24
25

You might also like