Sejarah Peranan Komandan SEAC Dalam Kemerdekaan Indonesia

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 14

Sejarah Peranan Komandan SEAC, Laksamana Lord Louis

Mountbatten Terhadap Kemerdekaan Indonesia

Mata kuliah : Sejarah Indonesia Masa Kemerdekaan dan Orde


Lama

Disususn oleh :

Muhammad Taufik Nurwansyah (4415155270)

Pendidikan Sejarah 2015 B

Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Negeri Jakarta


Perkembangan Awal Kemerdekaan Indonesia

Revolusi yang menjadi alat tercapainya kemerdekaan bukan hanya merupakan kisah
sentral dalam sejarah Indonesia, melainkan merupakan unsur yang kuat dalam persepsi bangsa
Indonesia tentang dirinya sendiri. Semua usaha yang tidak menentu untuk mencari identitas-
identitas baru, untuk persatuan dalam menghadapi kekuasaan asing, dan untuk tatanan sosial
yang lebih adil tampaknya akhirnya membuahkan hasil pada masa-masa sesudah perang dunia
II. Untuk yang pertama kalinya di dalam kehidupan kebanyakan rakyat Indonesia, segala
sesuatu yang serba paksaan yang berasal dari kekuasaan asing hilang secara tiba-tiba. Tidaklah
mengherankan apabila hasilnya bukanlah munculnya suatu bangsa baru yang serasi namun
suatu pertarungan sengit di antara individu-individu dan kekuatan-kekuatan sosial yang
bertentangan.

Sekalipun begitu, di balik pertarungan-pertarungan yang sering kali keras itu, terdapat
suatu rasa rindu akan kemerdekaan. Tradisi nasional berikutnya yang mengatakan bahwa
rakyat Indonesia berjuang bahu-membahu selama revolusi hanya mempunyai sedikit dasar
sejarah. Akan tetapi, keyakinan bahwa itu merupakan zaman yang paling cemerlang dalam
sejarah Indonesia, bahwa hak Indonesia akan kemerdekaan ditunjukkan oleh pengorbanan-
pengorbanan yang dilakukan atas nama revolusi, memang didukung banyak fakta.

Masa pembuktian perjuangan untuk merebut kemerdekaan tersebut disediakan pada


saat momentum yang sangat tepat, yaitu setelah berakhirnya pendudukan Jepang selama tiga
setengah tahun, dan merupakan salah satu periode yang paling menentukan dalam sejarah
Indonesia. Pada waktu Jepang menyerah, telah berlangsung begitu banyak perubahan luar biasa
yang memungkinkan terjadinya revolusi di Indonesia.1 Kejadian tersebut diawali dengan
peristiwa Jepang yang berhasil dibuat bertekuk lutut oleh sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945.
Disaat yang bersamaan, dengan mulai tibanya pihak sekutu guna menerima penyerahan Jepang,
maka muncullah tantangan-tantangan serius yang pertama terhadap revolusi.

1
M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 ( Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 2005) hlm 405.

2
Kemajuan yang dicapai Amerika melalui samudra pasifik telah membuat daerah-daerah
kantong sekutu di Kalimantan (Tarakan dan Balikpapan), di Morotai, dan di berbagai wilayah
di Irian Jaya. Para pejabat Belanda pun sudah kembali ke daerah-daerah tersebut. Pada akhir
Juni 1945, satuan-satuan komando kecil (sebagian besar terdiri atas orang-orang Belanda,
tetapi disertai beberapa perwira Inggris) juga telah diterjunkan di Sumatera Utara. Pada awal
tahun 1945, pihak sekutu telah memutuskan bahwa pasukan-pasukan Amerika akan
memusatkan perhatian pada pulau-pulau di Jepang.

Dengan demikian, pada saat terakhir, tanggung jawab atas Indonesia dipindahkan dari
komando pasifik barat daya Amerika kepada komando Asia Tenggara Inggris di bawah
pimpinan seorang Laksamana bernama Lord Louis Mountbatten. Admiral of the Fleet Louis
Francis Albert Victor Nicholas Mountbatten (biasa disebut secara informal sebagai Lord
Mountbatten) merupakan seorang politisi, negarawan, serta perwira angkatan laut Britania
Raya. Lord Mountbatten juga adalah paman dari Pangeran Philip dan sepupu Ratu Elizabeth
II. Selama Perang Dunia II, ia bertindak sebagai Panglima Komando Asia Tenggara (1943-
1946). Ia merupakan Raja Muda India terakhir sekaligus Gubernur Jenderal India yang
pertama. Pada tahun 1950, India berdiri sebagai republik yang merdeka. Berbagai posisi
penting dijabat Lord Mountbatten sesudah penugasannya di India baik di Britania Raya
maupun di tingkat internasional.2

2
https://id.wikipedia.org/wiki/Louis_Mountbatten, diakses pada 26 November 2017

3
Mountbatten dan Kemerdekaan Indonesia

Setelah Jepang menyerah dan proklamasi kemerdekaan Indonesia berhasil


dikumandangkan, Prospek Republik Indonesia sangat tidak pasti. Belanda, yang bertekad
untuk mengumpulkan kembali koloni mereka, menghukum Sukarno dan Hatta sebagai
kolaborator dengan Jepang dan Republik Indonesia sebagai ciptaan fasisme Jepang. Tapi
Belanda, yang hancur akibat pendudukan Nazi, kekurangan sumber daya untuk menegaskan
kembali kewenangannya di salah satu tanah jajahannya tersebut. Kepulauan Indonesia
sekarang telah berada di bawah yurisdiksi Laksamana Earl Louis Mountbatten, komandan
tertinggi Sekutu di Asia Tenggara.

Karena jarak Indonesia dari medan perang utama cukup jauh dan juga merupakan
prioritas sangat rendah dalam daftar kegiatan Mountbatten, pasukan Sekutu, kebanyakan dari
Persemakmuran Inggris, tidak mendarat di Jawa sampai akhir September (tepatnya pada
tanggal 26 September 1945). Pihak sekutu yang ditugaskan untuk mengurus Indonesia, yang
diwakili oleh SEAC (South East Asian Command) pimpinan Lord Louis Mountbatten juga
telah membentuk suatu komando khusus guna mengatur dan memegang tanggung jawab atas
wilayah Indonesia pasca Jepang kalah yang dinamakan AFNEI (Allied Forces Netherlands East
Indies). Komando khusus yang dikomandoi oleh Letjen Sir Philips Christison tersebut
mempunyai tugas pokok sebagai berikut3 :

- Menerima penyerahan dari tangan Jepang


- Membebaskan para tawanan perang dan interniran sekutu
- Melucuti dan mengumpulkan orang Jepang untuk kemudian dipulangkan
- Menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk kemudian diserahkan kepada
pemerintah sipil
- Menghimpun keterangan tentang penjahat perang dan menuntut mereka di depan
pengadilan sekutu

3
Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia VI (Jakarta : Balai Pustaka, 2008) hlm 185.

4
Pasukan Jepang yang berada di Indonesia hanya diperintahkan untuk memelihara
hukum dan ketertiban (menjaga status quo sampai sekutu telah benar-benar datang). Peran
mereka pada tahap awal revolusi republik ini ambigu: di satu sisi, terkadang mereka bekerja
sama dengan Sekutu dan berusaha untuk mengekang kegiatan republik; Di sisi lain, beberapa
komandan Jepang, biasanya di bawah paksaan, menyerahkan senjata kepada republiken, dan
angkatan bersenjata yang didirikan di bawah naungan Jepang dan nantinya menjadi bagian
penting dari perlawanan anti-Belanda pasca perang.4

Pasukan AFNEI tidak cukup banyak untuk memasuki seluruh wilayah di Indonesia pada
saat itu, sehingga wilayah Indonesia di bagian timur diserahkan kepada tanggung jawab
pasukan Australia, sehingga dengan begitu pasukan AFNEI hanya akan menjalankan tugasnya
di pulau Jawa dan Sumatera. Wilayah yang diserahkan tanggung jawabnya kepada Australia
diantaranya di Kalimantan (terutama daerah Tarakan dan Balikpapan), di Morotai, dan di
berbagai wilayah di Papua.

Sementara itu Inggris sebelum melakukan pendaratan ke wilayah yang sudah ditentukan
sebelumnya, telah terlebih dahulu mengirim perintah kepada Panglima Komando Jepang di
wilayah Selatan, yaitu Marsekal Terauchi pada 6 September, untuk sementara terus
mempertahankan hukum dan ketertiban sampai Sekutu mampu mengambil alih serta
mengontrol keadaan.5 Inggris juga mengirim Mayor Greenhalgh untuk mempersiapkan markas
besar sekutu di Jakarta. Ia diterjunkan dengan parasut di lapangan terbang Kemayoran pada
tanggal 14 September 1945. Lima belas hari kemudian, tepatnya pada tanggal 29 September
1945, rombongan pertama yang diangkut dengan kapal Cumberland mendarat di Tanjung
Priok, Jakarta. Sesudah itu, menyusul pendaratan di tempat-tempat lain. Sampai akhir Oktober
1945 sekutu sudah mendarat di tiga kota pelabuhan utama di Jawa (Jakarta, Semarang,
Surabaya) dan tiga kota pelabuhan utama di Sumatra (Medan, Padang, Palembang). Dari kota-
kota ini mereka bergerak ke kota-kota pedalaman, antara lain Bandung dan Magelang, untuk
membebaskan para interniran dan menerima penyerahan Jepang.

4
http://countrystudies.us/indonesia/16.htm, diakses pada 26 November 2017
5
Peter Dennis, Troubled Days of Peace: Mountbatten and South East Asia Command, 1945-46 (Manchester :
Manchester University Press, 1987) hlm 82.

5
Kedatangan pasukan sekutu tersebut sebenarnya telah disambut oleh pihak Indonesia
secara netral. Selain itu dengan adanya tenggang waktu antara proklamasi kemerdekaan dan
kedatangan tentara Inggris selama satu setengah bulan, telah membawa tiga keuntungan bagi
Republik Indonesia. Pertama, api revolusi membara di seluruh Indonesia, kedua, memberi
kesempatan kepada Republik untuk mengorganisasi pemerintahannya dan menyusun kekuatan
fisiknya, dan yang ketiga, selama di markas besarnya di Kandy, Sri Lanka. Mountbatten mulai
menyadari bahwa informasi yang diterimanya dari sumber-sumber Belanda mengenai keadaan
di Indonesia sama sekali tidak cocok dengan kenyataan yang diberikan oleh Van Mook, Letnan
Gubernur Jendral Hindia Belanda, antara lain melaporkan bahwa kemerdekaan Indonesia di
proklamasikan oleh panglima tertinggi Jepang di Jawa bersama Ir. Soekarno pada tanggal 19
Agustus 1945. Syukurlah Mountbatten menerima laporan dari dua perwira Inggris, Let. Kol.
Maisy dan Wing Commander Davis. Maisy adalah seorang dokter di beberapa rumah sakit
untuk tawanan perang di dekat Jakarta, dan Davis adalah komandan beberapa kamp tahanan
perang sekitar Pekan Baru.

Untuk menjalankan tugasnya mengadakan inspeksi, mereka diizinkan oleh komandan


Jepang untuk berkeliling. Davis mengunjungi rumah-rumah sakit dan Maisy mengunjungi
tempat-tempat tahanan perang. Mereka melaporkan betapa mendalam dan luas api
nasionalisme membara sejak Belanda menyerah kepada Jepang. Tuntutan bangsa Indonesia
tidak boleh dikurangi dari seratus persen merdeka. Mountbatten menentukan garis kebijakan,
yakni tentara Inggris tidak akan campur tangan dalam perselisihan politik Republik dan
Belanda (seperti yang dituntut oleh Belanda). Tugas tentara Inggris terbatas pada pembebasan
tahanan-tahanan sekutu, sipil dan militer, serta memerintahkan penyerahan tentara Jepang,
melucuti dan mengembalikan mereka ke Jepang. Tentara Inggris tidak bertugas menegakkan
kembali pemerintah Hindia Belanda. Tetapi bersedia membantu supaya pihak Belanda dan
pihak Indonesia mencapai persetujuan politik.

Apalagi, hal tersebut juga dikuatkan oleh pernyataan Christison dalam wawancara dengan
pers di Singapura tanggal 29 September 1945. Christison mengatakan bahwa tugas sekutu
hanyalah untuk membebaskan tawanan perang dan interniran serta melucuti pasukan Jepang.
Sekutu tidak akan mencampuri urusan politik dan tidak akan menyingkirkan pemerintah RI,
bahkan ia bermaksud mengadakan musyawarah dengan pemimpin RI, apalagi, pada tanggal 1
Oktober 1945 Christison mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno.

6
Hal senada juga telah diungkapkan oleh komandan tertinggi SEAC, yaitu Mountbatten. Dia
mengungkapkan tentang keengganannya, atau bisa dikatakan tidak berniat untuk menaklukkan
Indonesia demi ambisi Belanda yang ingin menegakkan kembali kekuasaannya di negeri itu,
dan ia pun memang tidak memiliki cukup banyak serdadu untuk melakukan tindakan tersebut.
Mountbatten bahkan melihat sikap keras kepala Belanda untuk meminta bantuan atau asistensi
ke Inggris terhadap usahanya dalam rangka penguasaan kembali Hindia Belanda sebagai
penyebab masalah, sementara Inggris malahan berpikir bahwa lebih baik mendukung Belanda
melawan Sukarno. Edwina Mountbatten, yang telah membantu menyelamatkan korban perang
yang sekarat, berusaha mengangkat masalah ini serta mendiskusikannya secara lebih lanjut
dengan pemerintah Partai Buruh Inggris yang baru dan merasa yakin bahwa mereka tidak akan
mendukung Belanda lebih lama lagi. Kepada Inggris, Indonesia merupakan prioritas rendah.

Amerika juga melawan keterlibatan Inggris di Indonesia; Ziegler menulis bahwa "Orang-
orang Amerika menambah tekanan terhadap usaha Belanda di Indonesia dengan memutuskan
bahwa kapal-kapal Amerika tidak boleh digunakan untuk mengangkut tentara India dari
Bangkok ke Jawa. Amerika Serikat juga tidak merasa harus mendukung Belanda di Indonesia
(tidak seperti dukungan kami untuk Prancis di Indocina), karena mereka sama sekali bukan
sekutu penting seperti orang Prancis".6Dia menetapkan sasarannya secara terbatas, yaitu
membebaskan para tawanan berkebangsaan Eropa dan menerima penyerahan pihak Jepang,
hal-hal lainnya diserahkan kepada Belanda. Sebenarnya Mountbatten juga memperlakukan
pemerintahan-pemerintahan Republik yang ada di daerah-daerah sebagai kekuasaan de facto.

6
Jonathan Templin Ritter, Stilwell and Mountbatten in Burma: Allies at War, 1943-1944 (Denton : University of
North Texas Press, 2017) hlm 178-179.

7
Pernyataan sekutu dekatnya tersebut tentu saja menghebohkan pemerintah Belanda, apalagi
pada saat itu Belanda setelah perang dunia kedua belum mampu membangun kekuatan
militernya secara maksimal dikarenakan keadaan ekonomi yang sedang susah serta masih
dalam tahap pemulihan pasca perang7, dan mereka kini hanya bisa bertumpu kepada pihak
Inggris. Van Mook bahkan berusaha mendesak Mountbatten untuk tidak mengakui Republik
tersebut "dalam hal apapun," karena ini "akan menciptakan kesulitan terbesar dan membawa
kekacauan ke dalam pikiran semua orang Indonesia yang taat terhadap hukum." Namun,
Inggris menolak permintaan ini. Mountbatten berargumen bahwa pasukan Inggris hanya bisa
menguasai wilayah utama dan akan bergantung pada kerja sama pasukan Republik untuk
melucuti senjata Jepang.

Terlebih lagi, di Burma, Inggris telah meminimalisir situasi atau keadaan yang berpotensi
dapat membahayakan Inggris dengan bekerja sama dengan Aung San dan kepemimpinan
nasionalisnya, dan mereka juga bingung mengapa Belanda tidak mencoba untuk melakukan
hal yang sama terhadap Indonesia. Akhirnya, pasukan Inggris yang sebagian besar terdiri dari
tentara India. Dengan pertimbangan akan dampak pada politik di India (Karena sejumlah besar
pasukan komando Inggris adalah orang-orang India, para pemimpin Kongres di New Delhi
dibuat terkejut atas orang-orang India yang tengah bentrok dengan nasionalis lokal di
Indonesia)8 dan moral para prajurit tersebut.

7
Rushdy Hoesein, Terobosan Soekarno Dalam Perundingan Linggarjati ( Jakarta : PT Kompas Media Nusantara,
2010) hlm 107.
8
Paul H. Kratoska, South East Asia, Colonial History: Independence through revolutionary war (New York :
Routledge, 2001) hlm 158.

8
Disisi lain, Mountbaten pun sebenarnya juga tidak siap untuk membuat pasukannya
berjuang keras untuk masalah yang sedang dihadapi oleh Belanda tersebut. Ia juga berpikiran
bahwa pasukan yang utamanya terdiri dari orang India juga sangat ingin memiliki kemerdekaan
di negara mereka sendiri, pasukannya hanya ingin kembali ke negara mereka setelah bertahun-
tahun melakukan peperangan ganas dan pengalamannya sendiri di Burma telah membuatnya
menghormati keinginan bangsa-bangsa di Asia Tenggara untuk meraih kemerdekaan)9,
Mountbatten merasa bahwa dia tidak dapat memaksa pasukannya sendiri untuk bertindak
melawan nasionalis Indonesia.

Sementara pasukan Inggris mendarat di Batavia pada tanggal 29 September, Mountbatten


pun mendesak Belanda untuk bernegosiasi dengan pimpinan Republik. Permintaan
Mountbatten tersebut juga diperkuat pada hari yang sama oleh ratusan ribu orang Indonesia,
yang berkumpul di ibukota untuk berdemonstrasi melawan pemerintahan kolonial dan untuk
menuntut kemerdekaan.10Oleh karena itulah kedatangan pasukan sekutu ini diterima dengan
tangan terbuka oleh pejabat-pejabat RI. Hal tersebut dibuktikan oleh Inggris dengan
mengirimkan serdadu-serdadu lama bekas tentara kolonial Belanda dan pasukan-pasukan
Belanda yang baru tiba ke Indonesia Timur oleh Letjen Christison yang beralasan ingin
menghindari konflik atau bentrokan lebih lanjut dengan rakyat Indonesia.

9
Adrian Vickers, A History of Modern Indonesia (New York : Cambridge University Press, 2013) hlm 103.
10
Marc Frey, Ronald W. Pruessen, dan Tan Tai Yong, The Transformation of Southeast Asia: International
Perspectives on Decolonization (New York : Routledge, 2015) hlm 87.

9
Jalan yang Terjal Menuju Perdamaian

Kepercayaan pihak Republik terhadap sekutu yang sudah dibangun dengan susah payah
pun akhirnya runtuh, setelah diketahui bahwa diantara pasukan sekutu tersebut terdapat
serdadu Belanda dan aparat yang tergabung kedalam Netherlands Indies Civil Administration
(NICA, yaitu sebuah pemerintah sipil Hindia Belanda yang dibentuk di Brisbane oleh sisa
pimpinan pemerintah Hindia Belanda yang melarikan diri sesaat setelah kalah dari Jepang ke
Australia, diantara pimpinan tersebut terdapat Letnan Gubernur Jenderal Dr. Hubertus Jan van
Mook)11 dan secara terang-terangan bermaksud menegakkan kembali pemerintah Hindia
Belanda, sikap pihak Indonesia berubah menjadi curiga, bahkan memperlihatkan sikap
bermusuhan. Situasi keamanan pun dengan cepat memburuk sebab NICA mempersenjatai
kembali anggota KNIL yang baru dibebaskan dari tawanan Jepang.

Di kota-kota yang diduduki sekutu, seperti Jakarta dan Bandung, anggota KNIL ini
memancing kerusuhan dengan mengadakan provokasi-provokasi bersenjata. Bahkan, di
Jakarta mereka berusaha membunuh perdana menteri Sutan Sjahrir dan menteri penerangan
Amir Sjarifuddin. Aksi-aksi teror terhadap penduduk mereka lakukan dengan memakai
seragam sekutu. Hal inilah yang antara lain menyebabkan Presiden Soekarno dan wakil
Presiden Hatta pada tanggal 4 Januari 1946 telah memutuskan untuk pindah ke Yogyakarta
yang sampai akhir tahun 1949 dijadikan ibukota RI.

11
Rosihan Anwar, Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia Jilid 7 Kisah-Kisah Zaman Revolusi Kemerdekaan (
Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 2015) hlm 28.

10
Dengan mulai munculnya pasukan-pasukan sekutu, maka semakin meningkatlah
ketegangan-ketegangan di Jawa dan Sumatera. Pada bulan Oktober, meletus pertempuran di
jalan-jalan antara para pemuda Republik di satu pihak dengan orang-orang Belanda bekas
tahanan, pasukan-pasukan kolonial Belanda (termasuk orang-orang Ambon), orang-orang
Cina, orang-orang Indo-Eropa, dan orang-orang Jepang di pihak lain. Pihak Jepang berada
dalam posisi sulit, karena mereka tidak mungkin lagi mengabaikan kewajiban-kewajiban
mereka kepada pihak sekutu dan terus bersikap lepas tangan terhadap kaum revolusioner.

Akibatnya pihak Indonesia telah terlanjur menilai bahwa sekutu melindungi kepentingan
Belanda. Oleh karena itu, kehadiran mereka ditentang yang dengan sendirinya menimbulkan
bentrokan-bentrokan bersenjata, bahkan di beberapa kota meledak menjadi pertempuran. Kini
bahaya mengancam kehidupan Republik, pasukan sekutu sudah mendarat, tentara Jepang yang
bersenjata lengkap bertindak selaku polisi sekutu atau sebagai pemegang status quo sampai
sekutu benar-benar dapat mengontrol keadaan, serdadu-serdadu NICA meneror rakyat Jakarta
dan kota-kota lain yang telah diduduki oleh sekutu sebelumnya sehingga Republik saat itu tidak
mempunyai pilihan lain selain harus membentuk barisan angkatan bersenjata sendiri dan akan
bertempur secara habis-habisan dalam mempertahankan Indonesia.

11
Kesimpulan

Revolusi yang menjadi alat tercapainya kemerdekaan bukan hanya merupakan kisah
sentral dalam sejarah Indonesia, melainkan merupakan unsur yang kuat dalam persepsi bangsa
Indonesia tentang dirinya sendiri. Semua usaha yang tidak menentu untuk mencari identitas-
identitas baru, untuk persatuan dalam menghadapi kekuasaan asing, dan untuk tatanan sosial
yang lebih adil tampaknya akhirnya membuahkan hasil pada masa-masa sesudah perang dunia
II. Masa pembuktian perjuangan untuk merebut kemerdekaan tersebut disediakan pada saat
momentum yang sangat tepat, yaitu setelah berakhirnya pendudukan Jepang selama tiga
setengah tahun, dan merupakan salah satu periode yang paling menentukan dalam sejarah
Indonesia.

Pada waktu Jepang menyerah, telah berlangsung begitu banyak perubahan luar biasa
yang memungkinkan terjadinya revolusi di Indonesia. Kejadian tersebut diawali dengan
peristiwa Jepang yang berhasil dibuat bertekuk lutut oleh sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945.
Disaat yang bersamaan, dengan mulai tibanya pihak sekutu guna menerima penyerahan Jepang,
maka muncullah tantangan-tantangan serius yang pertama terhadap revolusi. Pada awal tahun
1945, pihak sekutu telah memutuskan bahwa pasukan-pasukan Amerika akan memusatkan
perhatian pada pulau-pulau di Jepang. Dengan demikian, pada saat terakhir, tanggung jawab
atas Indonesia dipindahkan dari komando pasifik barat daya Amerika kepada komando Asia
Tenggara Inggris di bawah pimpinan seorang Laksamana bernama Lord Louis Mountbatten.

Kedatangan pasukan sekutu tersebut sebenarnya telah disambut oleh pihak Indonesia
secara netral. Apalagi, dalam wawancara dengan pers di Singapura tanggal 29 September 1945
Christison mengatakan bahwa tugas sekutu hanyalah untuk membebaskan tawanan perang dan
interniran serta melucuti pasukan Jepang. Hal senada juga telah diungkapkan oleh komandan
tertinggi SEAC, yaitu Mountbatten. Dia mengungkapkan tentang keengganannya, atau bisa
dikatakan tidak berniat untuk menaklukkan Indonesia demi ambisi Belanda yang ingin
menegakkan kembali kekuasaannya di negeri itu, dan ia pun memang tidak memiliki cukup
banyak serdadu untuk melakukan tindakan tersebut. Dia menetapkan sasarannya secara
terbatas, yaitu membebaskan para tawanan berkebangsaan Eropa dan menerima penyerahan
pihak Jepang, hal-hal lainnya diserahkan kepada Belanda. Sebenarnya Mountbatten juga
memperlakukan pemerintahan-pemerintahan Republik yang ada di daerah-daerah sebagai
kekuasaan de facto.

12
Pernyataan sekutu dekatnya tersebut tentu saja menghebohkan pemerintah Belanda,
apalagi pada saat itu Belanda setelah perang dunia kedua belum mampu membangun kekuatan
militernya secara maksimal dikarenakan keadaan ekonomi yang sedang susah serta masih
dalam tahap pemulihan pasca perang , dan mereka kini hanya bisa bertumpu kepada pihak
Inggris. Oleh karena itulah kedatangan pasukan sekutu ini diterima dengan tangan terbuka oleh
pejabat-pejabat RI. Hal tersebut dibuktikan oleh Inggris dengan mengirimkan serdadu-serdadu
lama bekas tentara kolonial Belanda dan pasukan-pasukan Belanda yang baru tiba ke Indonesia
Timur oleh Letjen Christison yang beralasan ingin menghindari konflik atau bentrokan lebih
lanjut dengan rakyat Indonesia.

Akan tetapi, setelah diketahui bahwa diantara pasukan sekutu tersebut terdapat serdadu
Belanda dan aparat yang tergabung kedalam Netherlands Indies Civil Administration (NICA,
yaitu sebuah pemerintah sipil Hindia Belanda yang dibentuk di Brisbane oleh sisa pimpinan
pemerintah Hindia Belanda yang melarikan diri sesaat setelah kalah dari Jepang ke Australia,
diantara pimpinan tersebut terdapat Letnan Gubernur Jenderal Dr. Hubertus Jan van Mook)
dan secara terang-terangan bermaksud menegakkan kembali pemerintah Hindia Belanda, sikap
pihak Indonesia berubah menjadi curiga, bahkan memperlihatkan sikap bermusuhan. Situasi
keamanan pun dengan cepat memburuk sebab NICA mempersenjatai kembali anggota KNIL
yang baru dibebaskan dari tawanan Jepang.

Akibatnya pihak Indonesia telah terlanjur menilai bahwa sekutu melindungi


kepentingan Belanda. Oleh karena itu, kehadiran mereka ditentang yang dengan sendirinya
menimbulkan bentrokan-bentrokan bersenjata, bahkan di beberapa kota meledak menjadi
pertempuran. Kini bahaya mengancam kehidupan Republik, pasukan sekutu sudah mendarat,
tentara Jepang yang bersenjata lengkap bertindak selaku polisi sekutu atau sebagai pemegang
status quo sampai sekutu benar-benar dapat mengontrol keadaan, serdadu-serdadu NICA
meneror rakyat Jakarta dan kota-kota lain yang telah diduduki oleh sekutu sebelumnya
sehingga Republik saat itu tidak mempunyai pilihan lain selain harus membentuk barisan
angkatan bersenjata sendiri dan akan bertempur secara habis-habisan dalam mempertahankan
Indonesia.

13
Daftar Pustaka

Anwar, Rosihan, Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia Jilid 7 Kisah-Kisah Zaman Revolusi
Kemerdekaan, Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 2015.

Dennis, Peter, Troubled Days of Peace: Mountbatten and South East Asia Command, 1945-
46, Manchester : Manchester University Press, 1987.

Djoened Poesponegoro, Marwati, Sejarah Nasional Indonesia VI, Jakarta : Balai Pustaka,
2008.

Frey, Marc, Ronald W. Pruessen, dan Tan Tai Yong, The Transformation of Southeast Asia:
International Perspectives on Decolonization, New York : Routledge, 2015.

H. Kratoska, Paul, South East Asia, Colonial History: Independence through revolutionary
war, New York : Routledge, 2001.

Hoesein, Rushdy, Terobosan Soekarno Dalam Perundingan Linggarjati, Jakarta : PT Kompas


Media Nusantara, 2010.

http://countrystudies.us/indonesia/16.htm

https://id.wikipedia.org/wiki/Louis_Mountbatten

Ricklefs, M. C., Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta,
2005.

Ritter, Jonathan Templin, Stilwell and Mountbatten in Burma: Allies at War, 1943-1944,
Denton : University of North Texas Press, 2017.

Vickers, Adrian, A History of Modern Indonesia, New York : Cambridge University Press,
2013.

14

You might also like