Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 25

Makalah

Tata Kelola Etis Perusahaan dan Akuntabilitas

Kelompok 10 :

Maman Suriaman (A31116002)


Ahmad Nirta T (A31116514)

DEPARTEMEN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulisan makalah ini dapat selesai. Penulisan makalah ini bertujuan
untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika Profesi Akuntan Publik mengenai Tata Kelola Etis
Perusahaan dan Akuntabilitas. Dalam makalah ini membahas tentang bagaimana mengelola suatu
perusaahan dengan etis dan akuntabilitas, sehingga dapat memberikan gambaran tentang
bagaimana sistem pengelolaaan perusahaan yang baik dan transparan.

Makalah ini merupakan tugas kerja kelompok yang diberikan oleh salah-satu dosen kami dalam
mata kuliah Etika Profesi Akuntan. Dalam penyelesaiannnya, terdapat pihak-pihak yang telah
membantu kami dengan memberikan masukan-masukan yang membangun, sehingga makalah ini
dapat selesai sesuai dengan apa yang ditugaskan. Untuk itu,dengan kerendahan hati kami dari
penulis makalah ini mengucapkan banyak terima kasih.

Mungkin dalam penyusunan makalah ini masih terdapat kekurangan, sehingga kritik dan saran
yang membangun kami butuhkan dari segala pihak agar penyusunan makalah yang selanjutnya
bisa lebih sempurna dan sesuai dengan apa yang dinginkan oleh pengguna serta penulis dapat
menghasilkan karya yang lebih baik untuk masa yang akan datang. Demikian sepatah kata dari
kami, semoga pihak yang membaca serta mempelajari makalah ini dapat mengerti dan memahami
apa yang ada dalam isi makalah ini.

Makassar, 14 April 2018

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................................. i


DAFTAR ISI................................................................................................................................................ ii
Bab I .............................................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ......................................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ....................................................................................................................... 2
Bab II ............................................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ........................................................................................................................................... 3
A. Latar belakang munculnya GCG................................................................................................... 3
B. Pengertian Good Corporate Governance (GCG) ....................................................................... 4
C. Prinsip-Prinsip GCG ..................................................................................................................... 6
D. Peta Akuntabilitas Pemangku Kepentingan Perusahaan ............................................................... 8
E. Proses Tata Kelola Berdasarkan Kepentingan Pemangku Kepentingan ..................................... 10
F. Mekanisme Pedoman-Budaya Etis dan Kode Etik ..................................................................... 12
G. Ancaman Terhadap Tata Kelola yang Baik dan Akuntabilitas ................................................... 12
H. Elemen Kunci Tata Kelola Perusahaan dan Akuntabilitas.......................................................... 15
I. Kewajiban Direktur dan Pejabat ................................................................................................. 17
Bab III ......................................................................................................................................................... 20
PENUTUP ................................................................................................................................................. 20
A. Kesimpulan ................................................................................................................................. 20
B. Saran ........................................................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. iii

ii
Bab I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kita sering mendengar banyak perusahaan yang terpuruk karena tata pemerintahan sebuah
perusahaan tersebut tidak baik sehingga banyak fraud atau praktik korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN) yang terjadi, sehingga terjadinya krisis ekonomi dan krisis kepercayaan para
investor, yang mengakibatkan tidak ada investor yang mau membeli saham perusahaan
tersebut. artinya,bisa dikatakan jika perusahaan tersebut tidak menerapkan Corporate
Governance dengan baik. Oleh karena itu, undang-undang ini menjadi acuan awal dalam
penjabaran dan penciptaan GCG di berbagai negara. Good Corporate Governance
dimaksudkan agar tata kelola perusahaan baik sehingga bisa meminimalisir praktek-prakter
kecurangan.

Pemegang saham dan para pemangku kepentingan lainnya menaruh harapan besar terhadap
bisnis, direksi, eksekutif, dan akuntan profesional tentang apa yang dikerjakan dan bagaimana
cara mereka melakukannya. Pada saat yang sama, lingkungan tempat bisnis beroperasi
semakin kompleks sehingga hal tersebut menjadi tantangan etika bagi mereka. Jika mereka
sampai melakukan tindakan yang melanggar etika, maka hal tersebut dapat menimbulkan
risiko yang besar dan akan berpengaruh buruk bagi reputasi dan pencapaian tujuan perusahaan
secara keseluruhan. Jadi, sangat dibutuhkan sistem tata kelola perusahaan yang menyediakan
aturan serta akuntabilitas yang tepat untuk kepentingan pemegang saham dan semua pemangku
kepentingan lainnya.

Perusahaan (korporasi) saat ini telah berkembang dari sesuatu yang relative tidak jelas
menjadi institusi ekonomi dunia yang amat dominan. Kekuatan tersebut terkadang mampu
mendikte hingga ke dalam pemerintahan suatu negara, sehingga mejadi tidak berdaya dalam
menghadapi penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh para pelaku bisnis yang
berpengaruh tersebut. Semua itu terjadi karena perilaku tidak etis dan bahkan cenderung
kriminal-yang dilakukan oleh para pelaku bisnis yang memang dimungkinkan karena kekuatan

1
mereka yang sangat besar disatu sisi, dan ketidakberdayaan aparat pemerintah dalam
menegakkan hukum dan pengawasan atas perilaku para pelaku bisnis tersebut; disamping
berbagai praktik tata kelola perusahaan dan pemerintahan yang buruk.

Dalam corporate governance selalu ada dua hal yang perlu diperhatikan. Apakah aturan
atau sistem tata-kelola sudah ada secara jelas, lengkap, dan tertulis ? Apakah aturan dan sistem
yang sudah jelas tersebut dilaksanakan dengan konsisten atau tidak ? Kedua hal tersebutlah
yang menentukan apakah sudah ada good corporate governance dalam suatu perusahaan.

1.2 Rumusan Masalah

Yang menjadi rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah :

1. Bagaimana tata cara pengelolaan perusahaan yang etis dan akuntabilitas ?


2. Bagaimana konsep Good Corporate Governance dalam tata kelola etis perusahaan ?
3. Apa saja ancaman umum untuk tata kelola yang baik?
4. Bagaimana penerapan tata kelola etis dan akuntabilitas dalam perusahaan saat ini ?

1.3 Tujuan Penulisan

tujuan penulisan dari makalah ini agar kita dapat mengetahui tata kelola etis dan akuntabilitas
perusahaan serta penerapannya dalam perusahaaan. Selain itu agar bisa memberi pemahaman
yang lebih tentang konsep GCG dalam perusahaan, agar pengelolaan perusahaan sesuai
dengan apa yang diharapkan oleh semua pihak.

2
Bab II
PEMBAHASAN

A. Latar belakang munculnya GCG

Good Corporate Governance atau dikenal dengan nama Tata Kelola Perusahaan yang Baik
(selanjutnya disebut “GCG”) muncul tidak semata-mata karena adanya kesadaran akan
pentingnya konsep GCG namun dilatar belakangi oleh maraknya skandal perusahaan yang
menimpa perusahaan-perusahaan besar. Joel Balkan (2002) mengatakan bahwa perusahaan
(korporasi) saat ini telah berkembang dari sesuatu yang relative tidak jelas menjadi institusi
ekonomi dunia yang amat dominan. Kekuatan tersebut terkadang mampu mendikte hingga ke
dalam pemerintahan suatu negara, sehingga mejadi tidak berdaya dalam menghadapi
penyimpangan perilaku yang dilakukan oleh para pelaku bisnis yang berpengaruh tersebut.
Semua itu terjadi karena perilaku tidak etis dan bahkan cenderung kriminal -yang dilakukan
oleh para pelaku bisnis yang memang dimungkinkan karena kekuatan mereka yang sangat
besar disatu sisi, dan ketidakberdayaan aparat pemerintah dalam menegakkan hukum dan
pengawasan atas perilaku para pelaku bisnis tersebut; disamping berbagai praktik tata kelola
perusahaan dan pemerintahan yang buruk.
Salah satu dampak signifikan yang terjadi adalah krisis ekonomi di suatu negara, dan
timbulnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Sebagai akibat adanya tata kelola
perusahaan yang buruk oleh perusahan-perusahaan besar yangmana mengakibatkan terjadinya
krisis ekonomi dan krisis kepercayaan para investor, seperti yang terjadi di Amerika pada
awal tahun 2000 dan tahun 2008 yang mengakibatkan runtuhnya beberapa perusahan besar
dan ternama dunia; disamping juga menyebabkan krisis global dibeberapa belahan negara
dunia. Sebagai contoh, untuk mengatasi krisis tersebut, pemerintah amerika mengeluarkan
Sarbanes-Oxley Act tahun 2002; undang-undang dimaksud berisikan penataan kembali
akuntansi perusahaan publik, tata kelola perusahaan dan perlindungan terhadap investor. Oleh
karena itu, undang-undang ini menjadi acuan awal dalam penjabaran dan penciptaan GCG di
berbagai negara. Konsep GCG belakangan ini makin mendapat perhatian masyarakat
dikarenakan GCG memperjelas dan mempertegas mekanisme hubungan antar para pemangku
kepentingan di dalam suatu organisasi yang mencakup :

3
a) hak-hak para pemegang saham (shareholders) dan perlindungannya,
b) peran para karyawan dan pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders) lainnya,
c) pengungkapan (disclosure) yang akurat dan tepat waktu,
d) transparansi terkait dengan struktur dan operasi perusahaan,
e) tanggungjawab dewan komisaris dan direksi terhadap perusahaan itu sendiri, kepada
para pemegang saham dan pihak lain yang berkepentingan.

B. Pengertian Good Corporate Governance (GCG)

Pada awalnya, istilah “Corporate Governance” pertama kali dikenalkan oleh Cadbury
Committee di Inggris tahun 1922 yang menggunakan istilah dimaksud dalam laporannya yang
dikenal dengan Cadbury Report (dalam sukrisno Agoes, 2006). Berikut disajikan beberapa
definisi “Corporate Governance” dari beberapa sumber, diantaranya:
1. Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI-2006)
FCGI tidak membuat definisi sendiri, namun mengadopsi definisi Cadbury Committee of
United Kingdom dan menerjemahkan “Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antar
pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, kreditur, pemerintah, karyawan serta
para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak -hak dan
kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan
perusahaan”.
2. Sukrisno Agoes (2006)
Tata kelola perusahaan yang baik sebagai suatu sistem yang mengatur hubungan peran
dewan komisaris, para direksi, pemegang saham, dan pemangku kepentingan lainnya. Tata
kelola perusahaan yang baik juga disebut sebagai suatu proses yang transparan atas penentuan
tujuan perusahaan, pencapaiannya, dan penilaian kinerjanya.
3. Organization for Economics Cooperation and Development (OECD) (dalam Tjager
dkk, 2004)
The structure through which shareholders, directors, managers, set of the board objectives
of the company, the means of attaining those objectives and monitoring performance. [Suatu
struktur yang terdiri atas para pemegang saham, direktur, manager, seperangkat tujuan yang

4
ingin dicapai perusahaan, dan alat-alat yang akan digunakan dalam mencapai tujuan dan
memantau kinerja.
4. Wahyudi Prakarsa (dalam Sukrisno Agoes, 2006)
Mekanisme adninistratif yang mengatur hubungan-hubungan antara manajemen
perusahaan, komisaris, direksi, pemegang saham, dan kelompok-kelompok kepentingan
(stakeholders) yang lain. Hubungan-hubungan ini dimanifestasikan dalam bentuk berbagai
aturan (prosedur) dan sistem insentif sebagai kerangka kerja (framework) yang diperlukan
untuk mencapai tujuan perusahaan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut, serta
pemantauan atas kinerja yang dihasilkan.

Dari berbagai definisi yang dikemukakan oleh ahli, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Good
Corporate Governance (GCG) yaitu seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara
pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta
para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan
kewajiban mereka; atau dengan kata lain suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan
perusahaan.

Konsep GCG ada empat, yaitu:

1. Wadah : Organisasi (perusahaan, sosial, pemerintahan)


2. Model : Suatu sistem, proses, dan seperangkat peraturan, termasuk prinsip-prinsip, serta
nilai-nilai yang melandasi praktik bisnis yang sehat
3. Tujuan: tujuan dari GCG sendiri adalah :
 Meningkatkan kinerja organisasi
 Menciptakan nilai tambah bagi semua pemangku kepentingan
 Mencegah dan mengurangi manipulasi serta kesalahan yang signifikan dalam
pengelolaan organisasi
 Meningkatkan upaya agar para pemangku kepentingan tidak dirugikan
4. Mekanisme: Mengatur dan mempertegas kembali hubungan, peran, wewenang, dan
tanggung jawab, dalam arti sempit: antara pemilik/pemegang saham, dewan komisaris, dan
dewan direksi. Serta dalam arti luas yaitu hubungan antar seluruh pemangku kepentingan.

5
C. Prinsip-Prinsip GCG

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, konsep GCG memperjelas dan mempertegas


mekanisme hubungan antar para pemangku kepentingan di dalam suatu organisasi. Prinsip-prinsip
Organization for Economic Cooperation and Development – OECD (dalam Sukrisno Agoes,
2006) yaitu:

 Perlakuan yang setara antara pemangku kepentingan (fairness)


 Transparansi (transparency)
 Akuntabilitas (accountability)
 Responsibilitas (responsibility)
Dalam hubungannya dengantata kelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Menteri
Negara BUMN juga mengeluarkan Keputusan Nomor Kep-117/M-MBU/2002 tentang
penerapan GCG (Tjager dkk., 2003). Ada lima prinsip menurut keputusan ini, yaitu:
 Kewajaran (fairness)
 Transparansi
 Akuntabilitas
 Pertanggungjawaban
 Kemandirian
Selanjutnya, National Committen on Governance (NCG, 2006) memublikasikan “Kode
Indonesia tentang tata kelola perusahaan yang baik pada tanggala 17 Oktober 2006. Dalam
kode GCG ini, NCG mengemukakan lima prinsip GCG yaitu:
 Transparansi (transparency)
 Akuntabilitas (accountability)
 Responsibilitas (responsibility)
 Independensi (independency)
 Kesetaraan (fairness)
Prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh NCG hampir sama dengan yang diungkapkan oleh
Menteri Negara BUMN. Penjelasan singkat atas masing-masing prinsip yang telah
dikemukakan dapat diberikan sebagai berikut:
a) Perlakuan yang setara (fairness) merupakan prinsip agar para pengelola memperlakukan
semua pemangku kepentingan secara adil dan setara, baik pemangku kepentingan primer

6
(pemasok, pelanggan, karyawan, pemodal) maupun pemangku kepentingan sekunder
(pemerintah, masyarakat, dan yang lainnya)
b) Prinsip transparansi (disebut juga prinsip keterbukaan), artinya kewajiban bagi para
pengelola untuk menjalankan prinsip keterbukaan dalam proses keputusan dan
penyampaian informasi.
c) Prinsip akuntabilitas adalah prinsip dimana para pengelola berkewajiban untuk membina
sistem akuntansi yang efektif untuk menghasilkan laporan keuangan (financial statements)
yang dapat dipercaya. Untuk itu, diperlukan kejelasan fungsi, pelaksanaan, dan
pertanggungjawaban setiap organ sehingga pengelolaan berjalan efektif.
d) Prinsip responsibilitas (lebih sering disebut prinsip tanggung jawab) adalah prinsip di mana
para pengelola wajib memberikan pertanggungjawaban atas semua tindakan dalam
mengelola perusahaan kepada para pemangku kepentingan sebagai wujud kepercayaan
yang diberikan kepadanya.
Tanggung jawab ini mempunyai lima dimensi, yaitu: ekonomi, hukum, moral, social dan
spiritual yang dijelaskan sebagai berikut:
i. Dimensi ekonomi, artinya tanggung jawab pengelolaan diwujudkan dalam bentuk
pemberian keuntungan ekonomis bagi para pemangku kepentingan.
ii. Dimensi hukum, artinya tanggung jawab pengelolaan diwujudkan dalam bentuk
ketaatan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku; sejauh mana tindakan
manajemen telah sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku.
iii. Dimensi moral, artinya sejauh mana wujud tanggung jawab tindakan manajemen
tersebut telah dirasakan keadilannya bagi semua pemangku kepentingan.
iv. Dimensi spiritual, artinya sejauh mana tindakan manajemen telah mampu mewujudkan
akuntabilitas diri atau telah dirasakan sebagai bagian dari ibadah sesuai dengan ajaran
agama yang diyakininya.
e) Kemandirian sebagai tambahan prinsip dalam mengelola BUMN, artinya suatu keadaan di
mana para pengelola dalam mengambil suatu keputusan bersifat profesional, mandiri,
bebas dari konflik kepentingan, dan bebas dari tekanan/pengaruh dari mana pun yang
bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip pengelolaan
yang sehat.

7
D. Peta Akuntabilitas Pemangku Kepentingan Perusahaan

Para pengusaha, direktur, eksekutif dan akuntan profesional dihadapkan pada peningkatan
ekspektasi dari para pemegang saham dan pemegang kepentingan lainnya terhadap apa yang
dilakukan oleh entitas organisasi dan cara entitas organisasi tersebut melakukannya. Pada waktu
yang bersamaan, lingkungan tempat dimana organisasi itu menjalankan usahanya juga sudah
semakin kompleks, termasuk tantangan mengenai etika. Tata kelola organisasi dan mekanisme
akuntabilitas sudah semakin ketat dan sangat diharapkan adanya peningkatan atas kedua hal
tersebut. Hal ini dalam upaya jangka panjang agar perusahaan menaruh perhatian dan fokus pada
pengembangan budaya integritas.

Pengambilan keputusan secara trial dan error memiliki risiko yang terlalu tinggi konsekuensi
kegagalannya terhadap reputasi dan pencapaian sasaran strategis organisasi, para eksekutif
profesional, karyawan dan para akuntan. Akibatnya, para pimpinan organisasi atau akuntan
profesional dan perusahaan diharapkan untuk menerapkan program tata kelola yang menyediakan
pedoman etika yang memadai dan program akuntabilitas untuk memenuhi ekspektasi seperti
tersebut di atas. Walaupun penerapan etika tata kelola dan program akuntabilitas sifatnya sukarela
tergantung pada perusahaan tersebut, dan ada beberapa organisasi yang tidak akan pernah mau
menerapkannya, para direktur, eksekutif dan akuntan `profesional tersebut yang menginginkan
untuk mengurangi risiko penyalahgunaan wewenang dan menikmati manfaat keberlanjutan
pemegang kepentingan mendukung penerapannya.

Adapaun pemangku kepentingan tersebut terbagi atas, yaitu :

1. Pemegang saham
 Kepentingan (Interest): Memperoleh dividen dan capital gain dari saham yang
dimiliki.
 Kekuasaan (Power): Tidak mau membeli saham perusahaan dan memberhentikan
para eksekutif perusahaan.
2. Karyawan
 Kepentingan (Interest): Memperoleh gaji/upah yang wajar dan ada kepastian
kelangsungan pekerjaan.

8
 Kekuasaan (Power): Melakukan aksi unjuk rasa/mogok kerja dan memaksakan
kehendak melalui organisasi buruh yang ada.
3. Pelanggan
 Kepentingan (Interest): Memperoleh produk yang aman dan berkualitas sesuai
dengan yang dijanjikan serta memperoleh pelayanan yang memuaskan.
 Kekuasaan (Power): Membatalkan pesanan dan membeli dari pesaing dan
melakukan kampanye negatif tentang perusahaan.
4. Pemasok
 Kepentingan (Interest): Menerima pembayaran tepat waktu dan memperoleh order
secara teratur.
 Kekuasaan (Power): Membatalkan atau memboikot order dan menjual kepada
pesaing.
5. Media Massa
 Kepentingan (Interest): Menginformasikan semua kegiatan perusahaan yang
berkaitan dengan isu etika, nilai-nilai, kesehatan, keamanan, dan kesejahteraan.
 Kekuasaan (Power): Mempublikasikan berita negatif yang merusak citra
perusahaan.
6. Pesaing
 Kepentingan: Memberikan motivasi dalam menciptakan hal-hal baru
 Kekuasaan (Power): Menyebarkan hal-hal negatif yang dapat menjatuhkan
perusahaan.
7. Kreditur dan pemberi pinjaman
 Kepentingan (Interest): Memperoleh penerimaan bunga dan pengembalian pokok
pinjaman sesuai jadwal yang telah ditetapkan.
 Kekuasaan (Power): Tidak memberikan kreditr dan membatalkan/menarik kembali
pinjaman yang telah diberikan.
8. Pemerintah
 Kepentingan (Interest): Mengharapkan pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja,
dan memperoleh pajak.
 Kekuasaan (Power): Menutup/menyegel perusahaan dan mengeluarkan berbagai
peraturan; melakukan aksi kekerasan.

9
9. Aktivis Lingkungan
 Kepentingan (Interest): Kepedulian terhadap pengaruh positif dan negatif dari
tindakan perusahaan terhadap lingkungan hidup, HAM, dan sebagainya.
 Kekuasaan (Power): Mengampanyekan aksi boikot dengan mempengaruhi
pemerintah, media massa, dan masyarakat, dan melobi pemerintah untuk
membatasi/melarang impor produk perusahaan tersebut bila merusak lingkungan
hidup atau melanggar HAM.

E. Proses Tata Kelola Berdasarkan Kepentingan Pemangku Kepentingan

Ketika direktur perusahaan dan/atau eksekutif menyadari bahwa perusahaan bertanggung


jawab secara hukum kepada pemegang saham, dan secara strategis kepada pemangku kepentingan
tambahan yang dapat secara signifikan memengaruhi pencapaian objektifnya, menjadi logis dan
diharapkan bahwa mereka mengatur perusahaan dengan memperhitungkan kepentingan semua
pemangku kepentingan yang penting. Pemegang saham, pada kenyataannya, adalah sebuah

10
kelompok pemangku kepentingan dan mungkin yang paling penting pada dasarnya, tetapi mereka
tidak lagi hanya kelompok pemangku kepentingan yang kepentingannya seharusnya memengaruhi
tindakan perusahaan

Dalam proses tata kelola berorientasi pada akuntabilitas-pemangku kepentingan (stakeholder-


accountability oriented governance process-SAOG), Dewan Direksi harus mempertimbangkan
semua kepentingan pemangku kepentingan dan memastikan bahwa mereka dibangun dalam visi
perusahaan, misi, strategi, kebijakan, kode etik, praktik, sesuai mekanisme, dan pengaturan umpan
balik. Jika ini tidak dilakukan, tindakan perusahaan mungkin gagal untuk mempertimbangkan

11
kepentingan yang penting, dan perusahaan dapat kehilangan dukungan dari satu atau lebih
kelompok pemangku kepentingan.

Pedoman yang tepat diperkuat oleh mekanisme umpan balik harus diberikan kepada
manajemen, dan diperkuat oleh budaya perusahaan yang etis, jika tidak, manajemen dapat dengan
jujur mengatakan bahwa tidak ada yang memberitahu mereka apa yang menjadi batas-batas dalam
beroperasi. Pedoman ini akan memengaruhi penyusunan laporan keuangan dan sumber-sumber
lain dari umpan balik, dan juga perilaku yang dipertunjukkan dalam berurusan dengan pelanggan,
karyawan, dan pemangku kepentingan lainnya.

Dewan Direksi mungkin akan diperingatkan oleh beberapa agen jika muncul perilaku
manajemen yang dipertanyakan. Pemegang saham biasanya memilih auditor eksternal untuk
memberikan pendapat ahli tentang apakah laporan keuangan yang disiapkan oleh manajemen telah
menyajikan secara wajar hasil usaha dan posisi keuangan perusahaan dan sesuai dengan GAAP-
(generally accepted accounting principles). Enron dan skandal lain mendedikasikan kembali
profesi audit untuk melindungi kepentingan publik ketika menerapkan GAAP, bukan kepentingan
manajemen senior atau direksi saat ini. Auditor eksternal diminta untuk bertemu dengan Komite
Audit dari dewan dan mendiskusikan laporan keuangan serta pekerjaan dan pendapat mereka, dan
tentang keadaan tindakan internal kontrol perusahaan.

F. Mekanisme Pedoman-Budaya Etis dan Kode Etik

Nilai-nilai yang inginyang ingin ditanamkan oleh direktur perusahaan dalam rangka
memotivasi keyakinan dan tindakan personel perlu disampaikan untuk memberikan bimbingan
yang diperlukan. Biasanya bimbingan tersebut berbentuk kode etik yang menyatakan nilai-nilai
yang dipilih, prinsip-prinsip yang mengalir dari nilai-nilai, dan peraturan yang harus diikuti untuk
memastikan nilai-nilai tersebut telah dihormati. Misalnya, prinsip-prinsip lebih berguna daripada
hanya aturan karena prinsip dapat memfasilitasi interpretasi ketika keadaan yang ditemui tidak
tepat seperti aturan yang ditentukan. Campuran prinsip dan aturan kadang lebih optimal.

G. Ancaman Terhadap Tata Kelola yang Baik dan Akuntabilitas

12
Pemikiran bahwa para personel secara otomatis akan termotivasi untuk berperilaku
sebagaimana diinginkan oleh pemilik tidak lagi berlaku. Akibatnya ada kebutuhan yang lebih besar
untuk membuat panduan yang lebih jelas dan efektif untuk mengidentifikasi dan mengelola
ancaman terhadap tata kelola yang baik dan akuntabilitas. Ancaman tersebut dapat dijabarkan
sebagai berikut:

1. Kesalapahaman tujuan dan tugas fidusia / Kesalahpahaman terhadap tanggung jawab dan
tugas yang diamanahkan
Sering kali, karyawan tergoda untuk mengambil jalan pintas etika, dan mereka percaya
bahwa manajemen puncak mereka menginginkannya, mereka diperintahkan untuk
melakukannya, atau mereka didorong untuk melakukannya dengan program insentif sesat
atau yang dapat dimanipulasi. Tindakan ini terjadi meskipun dewan direksi lebih suka jika
itu tidak terjadi. Personel hanya salah paham atas apa yang diharapkan oleh manajemen
karena bimbingan yang tidak jelas, atau mereka tersesat dan tidak mengerti bagaimana
mereka melaporkan masalah tersebut untuk mendapatkan koreksi yang tepat, atau kepada
siapa atau bagaimana.
Kurangnya bimbingan yang tepat atau mekanisme pelaporan mungkin merupakan akibat
dari direksi dan orang lain yang tidak memaham kewajiban sebagai pemegang amanah.
Seperti disebutkan sebelumnya, direksi berutang pada pemegang saham dan regulator
untuk melakukan beberapa tugas, termasuk kepatuhan, loyalitas, dan perlakuan akibat
adanya pengamanan asset. Banyak direksi telah mencari jalan keluar untuk kepentingan
mereka sendiri, dan mereka telah menghabiskan banyak waktu untuk melindungi
pemegang saham, pemangku kepentingan lainnya, dan kepentingan publik dari manajemen
puncak. Bahkan meski ada bimbingan yang baik, mekanisme kepatuhan tidak ada, telah
usang, atau diabaikan karena sebagian besar direktur berkonsentrasi pada menggerakan
perusahaan, bukan dalam melindungi dari keburukan etika.
2. Kegagalan untuk mengidentifikasi dan mengelola risiko etika
Pengakuan atas meningkatnya kompleksitas, volatilitas, dan risiko yang melekat pada
kepentingan dan operasi perusahaan, maka risiko harus dapat diidentifikasi, dinilai, dan
dikelola dengan hati-hati. Prinsipnya yaitu, risiko etika terjadi ketika terdapat kemungkinan
harapan stakeholder tidak terpenuhi. Menemukan dan memperbaikinya adalah sangat
penting untuk menghindari krisis atau kehilangan dukungan dari para pemangku

13
kepentingan. Hanya dalam segelintir perusahaan telah ada proses yang sistematis tahunan
yang dirancang untuk memfokuskan perhatian direksi, eksekutif, dan penasihat pada
bidang-bidang di mana tindakan perusahaan mungkin tidak memenuhi harapan pemangku
kepentingan.
3. Konflik kepentingan
Konflik kegagalan telah menjadi topik yang sangat penting dalam skandal yang muncul
baru-baru ini, di mana karyawan, agen, dan para professional gagal untuk melakukan
penilaian yang tepat atas nama principal mereka. Konflik kepentingan terjadi ketika
penilaian independen seseorang bergoyang, atau mungkin berayun, dari mengambil
keputusan demi kepentingan terbaik dari orang lain yang bergantung pada penilaian itu.
Seorang eksekutif atau karyawan diharapkan untuk mengambil keputusan demi
kepentingan terbaik perusahaan. Seorang direktur secara hukum diharapkan untuk
mengambil keputusan demi kepentingan terbaik perusahaan dan pemegang saham, dan
melakukannya secara strategis sehingga tidakmembahayakan dan mungkin membawa
beberapa keuntungan bagi pemangku kepentingan lainnya dan kepentingan umum.
Seorang akuntan professional diharapkan untuk mengambil keputusan untuk kepentingan
umum.
Penyebab konflik kepentingan:
 Kepentingan yang terombang-ambing
Setiap kepentingan, pengaruh, kesetiaan, perhatian, emosi, atau fitur lain yang
cenderung untuk mengambil keputusan kurang dapat diandalkan daripada keadaan
normal
 Kepentingan pribadi
a) Penyalahgunaan dana atau property
b) Kecurangan pada rekening pengeluaran
c) Memalsukan dokumen
d) Mencuri uang tunai, aset, atau sumber daya
e) Memalsukan hasil untuk mendapatkan bonus, upah prestasi, atau promosi
 Kesalahpahaman
a) Sinyal atau insentif yang membingungkan
b) Atasan atau semua orang melakukannya

14
c) Perbedaan budaya
 Slippery slope
Artinya apabila suatu bantuan kecil menyebabkan tuntutan yang semakin besar.

H. Elemen Kunci Tata Kelola Perusahaan dan Akuntabilitas

1. Mengembangkan, melaksanakan, dan mengelola budaya etis

Para direktur, pemilik, manajemen senior, dan karyawan semuanya harus memahami bahwa
suatu organisasi akan lebih bernilai jika mempertimbangkan kepentingan seluruh pemangku
kepentingannya, tidak hanya pemegang saham, dan dalam membuat keputusan
mempertimbangkan nilai-nilai etika yang tepat. Direksi dan para eksekutif harus cermat dalam
mengatur bisnis dan risiko etika perusahaannya. Mereka harus memastikan bahwa budaya etis
telah berjalan dengan efektif dalam perusahaan. Oleh karena itu, dibutuhkan pengembangan
kode etik sehingga dapat menciptakan pemahaman yang tepat mengenai perilaku-perilaku etis,
memperkuat perilaku-perilaku tersebut, dan memastikan bahwa nilai-nilai yang mendasarinya
melekat pada strategi dan operasi perusahaan. Untuk memastikan komitmennya terhadapp
prinsip-prinsip etis atau nilai-nilai yang tepat bagi organisasi, harus jelas dimata anggota
organisasi bahwa manajemen puncak sangat mendukung dan bahwa dukungan tersebut sangat
nyata diseluruh sistem tata kelola organisasi.

 Menurut peneliti, ada lima orientasi untuk desain dan pengoperasian program etika,
yaitu:
 Berbasis kepatuhan: mencegah, mendeteksi, dan menghukum pelanggaran
terhadap hokum
 Berbasis integritas atau nilai: mendefinisikan nilai-nilai organisasi dan mendorong
komitmen karyawan
 Kepuasan pemangku kepentingan eksternal: peningkatan citra dan berhubungan
dengan pemangku kepentingan eksternal
 Melindungi manajemen puncak dari kesalahan
 Kombinasi keempat orientasi di atas

15
2. Kode etik perusahaan

Kode etik dapat didefinisikan sebagai mekanisme struktural perusahaan yang digunakan
sebagai tanda komitmen mereka terhadap prinsip-prinsip etika. Mekanisme tersebut dipandang
sebagai suatu cara yang efektif untuk mendukung kebiasaan etika dalam menjalankan bisnis.
Kode etik menuntut karyawan dan pimpinan perusahaan untuk melakukan praktik-praktik
etika bisnis terbaik dalam semua hal yang dilakukan atas nama perusahaan. Jika prinsip
tersebut telah mengakar di dalam budaya perusahaan, maka seluruh karyawan dan pimpinan
perusahaan akan berusaha memahami dan berusaha mematuhi mana yang boleh dan mana
yang tidak boleh dilakukan dalam aktivitas bisnis perusahaan. Pelanggaran kode etik
merupakan hal yang serius, bahkan dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum.

3. Etika kepentingan

Salah satu elemen penting dari tata kelola dan akuntabilitas perusahaan adalah “tone at the
top” dan peran para pimpinan dalam membangun, membina, melaksanakan, dan memantau
budaya perusahaan yang diharapkan. Jika para pemimpin senior atau junior hanya bersuara
untuk menyatakan nilai-nilai yang diinginkan di dalam perusahaan, maka karyawan akan
mempertimbangkan hal tersebut sebagai suatu yang tidak patut diperhatikan. Meskipun budaya
formal organisasi menetapkan nilai tersebut, namun jika tidak didukung oleh budaya informal
maka hal tersebut hanya akan diangap sebagai suatu ocehan atau istilah lainnya “window
dressing”.

Sifat-sifat, perilaku, dan karakteristik pengambilan keputusan harus jelas transparan, atau
mereka mungkin disalahartikan, dan eksekutif tidak dapat dilihat sebagai orang yang moral
atau etis. Kunci kepemimpinan etis adalah tindakan efektif yang dapat dilihat yang berasal dari
basis etika. Kepemimpinan semacam ini akan sangat memperkuat program etika perusahaan
dan upaya untuk mengembangkan dan memelihara budaya perusahaan yang etis. Tanpa
kepemimpinan etis yang kuat dari eksekutif dan pengawas, upaya untuk mengembangkan dan
memelihara budaya perusahaan etis ditakdirkan untuk biasa-biasa saja dan mungkin
mengalami kegagalan.

Tantangan kepemimpinan etis yang kuat tidak terbatas pada perilaku eksekutif sendiri,
tetapi harus diperluas ke motivasi para eksekutif lainnya dan personel pengawasan

16
menggunakan persuasi pribadi dan teknik-teknik yang dibahas pada bagian sebelumnya.
Dukungan manajemen puncak adalah penting untuk setiap program etika, dan
kepemimpinannya yang kuat disisi moral atau etika sangat penting untuk memberi dukungan
yang efektif.

I. Kewajiban Direktur dan Pejabat

Tata kelola etika perusahaan dan akuntabilitas tidak lagi hanya baik bagi bisnis-ini telah menjadi
aturan hukum.

Sarbanes-Oxley Act (SOX) tahun 2002 memicu tata kelola bagi para perusahaan pendaftar SEC
diseluruh dunia dan melahirkan tata peraturan reformasi serupa di berbagai yuridiksi nasional
lainnya. Section 404 dari SOX mengharuskan perusahaan untuk memeriksa efektivitas sistem
kontrol internal berkaitan dengan pelaporan keuangan. CEO, CFO, dan auditor harus melaporkan
dan bersaksi atas efektivitasnya. Misertifikasi yang dilakukan secara sadar oleh CEO dan CFO
dapat menyebabkan tuntutan kriminal terjadi.

Apakah yang terjadi jika harapan tata kelola baru tidak terpenuhi? Ketidakpatuhan terhadap
peraturan Bursa dapat mengakibatkan denda, suspeni, atau penghapusan, pencatatan saham yang
diperdagangkan, disamping keterbatasan yang diberlakukan pada direksi atau manajemen yang
melanggar. Ketidakpatuhan terhadap persyaratan SOX ditetapkan dalam peraturan SEC, atau
peraturan komisi efek di seluruh dunia yang sama, yang dapat menyebabkan penuntutan sipil dan
juga pidana. Yang pertama dapat mengakibatkan denda dan keterbatasan pribadi, sedangkan yang
kedua dapat menambahkan hukuman penjara yang signifikan bagi para eksekutif. Perkembangan
terbaru adalah persyaratan bahwa eksekutif dan direksi mungkin diminta untuk membayar denda
dengan dana pribadi bukan dengan dana perusahaan atau melalui rencana asuransi.

Jika terbukti bersalah, manajemen dan direksi harus menghadapi hukuman di Amerika Serikat
memenuhi ketentuan dari U. S. SOX juga menurunkan ambang batas untuk pembatasan individu
dari bertindak sebagai direktur atau pejabat penerbit dari “ketidaksempurnaan substansial”
menjadi “ketidaksempurnaan” (Section 305). Seperti yang ditunjukkan dalam studi oleh Forensik
KPMG, “pedoman ini sekarang membuat harapan yang lebih eksplisit bahwa organisasi

17
mempromosikan budaya kode etik, menyesuaikan setiap elemen program berdasarkan risiko
kepatuhan, dan secara berkala mengevaluasi efektivitas program.” Hukuman ini begitu signifikan
sehingga salah memahami dan/atau berupaya mengurangi mereka adalah hal yang tidak menarik.
Daftar harapan pedoman etika yang harus dipertimbangkan dalam hal penerapan hukuman
menurut Pedoman hukuman Amerika Serikat, sebagaimana telah diubah pada 1 November 2004
antara lain sebagai berikut:

 Mempromosikan suatu budaya yang mendorong perilaku etis dan komitmen untuk
sesuai dengan undang-undang.
 Menetapkan standar dan prosedur untuk mencegah dan mendeteksi tidak kriminal.
 Memastikan dewan direksi dan eksekutif senior berpengetahuan dan menjalankan
pengawasan yang wajar dari kepatuhan/program etika.
 Menetapkan individu tingkat tinggi dalam organisasi untuk memastikan organisasi
memiliki kepatuhan dan program etika yang efektif, dan tanggung jawab
mendelegasikan operasional sehari-hari untuk individu dengan otoritas sumber daya
yang memadai, dan memiliki akses langsung ke dewan.
 Gunakan upaya yang cukup dan latihan due diligence untuk mengecualikan individu
dari posisi otoritas substansial yang telah terlibat dalam kegiatan ilegal atau tindakan
lain yang tidak konsisten dengan kepatuhan yang efektif dan program etika.
 Melakukan program-program pelatihan yang efektif bagi direksi, pejabat karyawan dan
agen lain dan memberikan orang tersebut informasi berkala sesuai dengan peran
masing-masing dan tanggung jawab relatif terhadap kepatuhan dan program etika.
 Memastikan bahwa kepatuhan dan program etika diikuti, termasuk pengawasan dan
audit untuk mendeteksi tindak kriminal.
 Mengumumkan sistem, yang mungkin mencakup mekanisme untuk anonimitas dan
kerahasiaan, di mana karyawan organisasi dan agen dapat melapor untuk mencari
petunjuk mengenai potensi atau kesalahan yang benar terjadi tanpa takut akan terjadi
pembalasan.
 Evaluasi berkala efektivitas program kepatuhan dan etika.
 Mengambil langkah yang wajar untuk merespons dengan tepat kesalahan, termasuk
membuat modifikasi yang diperlukan untuk memenuhi/program etika.

18
 Mempromosikan dan konsisten menerapkan program kepatuhan dan etika melalui
insentif dan tindakan disiplin.

19
Bab III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Tata kelola perusahaan yang etis bukan hanya baik bagi binis, kini itu diwajibkan oleh hukum.
Perubahan terbaru dalam tata peraturan sedang mengubah harapan secara signifikan. Dalam era
keterbukaan yang meningkat, di mana perilaku etis dapat memengaruhi pencapaian tujuan
perusahaan secara mendalam, adalah untuk kepentingan para pemegang saham, direktur, dan
eksekutif bahwa system tata perusahaan mereka menyediakan pedoman yang memadai dan
berakuntabilitas

Direksi harus menunjukkan due diligence dalam pengelolaan bisnis perusahaan dan risiko etika.
Mereka harus memastikan bahwa budaya etis yang efektif berlaku di perusahaan mereka. Hal ini
memerlukan pengembangan kode etik, dan sara penting untuk menciptakan kesadaran tentang
perilaku yang tepat, perilaku yang memperkuat, dan memastikan bahwa nilai-nilai yang mendasari
tertanam dalam strategi perusahaan dan operasi. Posisi perubahan pada konflik kepentingan,
pelecehan seksual, dan topik serupa harus terlihat dari awal, dengan waspada memutakhirkan
informasi untuk mengikuti harapan budaya perusahaan saat ini.

Jika para direktur mampu mengenali dan mempersiapkan perusahaan mereka untuk era baru
akuntabilitas pemangku kepentingan melelui system, tata kelola etika yang efektif, mereka tidak
hanya akan mengurangi risiko, tetapi mereka akan menghasilkan keunggulan kompetitif di antara
pelanggan, karyawan, mitra, lingkungan, dan pemangku kepentingan lainnya yang pasti akan
menarik bagi pemegang saham.

20
B. Saran

Salah-satu perkembangan terkini yang perlu dipertimbangkan oleh dewan direksi dan
manajemen ketika mengembangkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang mendasari budaya
perusahaan dan tindakan karyawan adalah gelmbang baru dalam pengawasan pemangku
kepentingandan kebutuhan untuk transparansi dan akuntabilitas publik. Jika direksi mampu
mengenali dan mempersiapkan perusahaan mereka di era baru dimana akan berhadapan dengan
akuntabilitas para pemangku kepentingan yang efektif dan juga sistem tata kelola yang etis,
mereka tidak hanya mengurangi risiko, tapi juga akan menghasilkan keuntungan kompetitif dari
pelanggan, karyawan, mitra, lingkungan, dan para stakeholder lainnya yang intinya dapat
meningkatkan perkembangan perusahaan.

Untuk itu, setiap direksi perusahaan harus paham betul tentang konsep tata kelola perusahaan
yang etis dan akuntabilitas agar keberlangsungan perusahaan akan tetap terjamin serta dapat
menimbulkan hubungan mutualisme antar pihak yang berkepentingan.

21
DAFTAR PUSTAKA

Agoes, S. dan Ardana, I.C. 2009. Etika Bisnis dan Profesi: Tantangan Membangun Manusia
Seutuhnya. Jakarta: Salemba Empat

Leonard J. Brooks, Paul Dunn. 2012. Etika Bisnis & Profesi untuk Direktur, Eksekutif, dan
Akuntan. Jakarta Selatan: Salemba Empat.

http://rezafauzan84.blogspot.co.id/2014/01/etika-tata-kelola-perusahaan.html. Diakses pada 12


April 2018.

http://irmaawahyuni.blogspot.co.id/2014/11/makalah-good-corporate-governance.html. Diakses
pada 12 April 2018.

iii

You might also like