Professional Documents
Culture Documents
Kasus 4: Effect Seperti Heart Block
Kasus 4: Effect Seperti Heart Block
Seorang laki-laki berusia 72 tahun mengalami fibrilasi atrial. Dia diresepkan digoksin
untuk mengontrol denyut ventrikulernya. Hasil tes darah pada saat itu adalah Na 135 mmol/L
(133-148), K 4.0 mmol/L (3.4-5.3), kreatinin 145 mcmol/L (45-120), urea 15 mmol/L (2.5-
7.0). Tiga tahun kemuadian berat badannya naik dan pergelangan kakinya bengkak. Dia juga
memiliki napas yang pendek pada aktivitas ringan dan sering bangun saat malam karena
kesulitan bernapas.
Dia didiagnosa mengalami gagal jantung kongestif dan diresepkan bendroflumetazide
dan enalapril. Gejalanya membaik setelah diberi obat tersebut, namun dalam waktu 1 tahun
dia dibawa ke rumah sakit dan didiagnosa mengalami gagal jantung. Hasil tes darah
menunjukkan Na 140 mmol/L, K 2.2 mmol/L, kreatinin 370 mcmol/L, dan urea 45 mmol/L.
Digoksin dapat mengatur denyut ventrikuler karena, selain berefek untuk menurunkan
pompa jantung, digoksin juga menstimulasi saraf kolinergik di sistem saraf pusat yang
melepaskan asetilkolin dari ujung saraf parasimpatik jantung. Hal ini menurunkan
konduktansi dan refrakter nodus atrioventrikuler sehingga mengurangi kecepatan denyut
ventrikuler yang dapat memperbaiki pengisian ventrikuler dan efisiensi pemompaan.
Pada hasil tes darah yang pertama pasien mengalami gagal jantung kongestif menurut
gejala yang ditimbulkan. Hasil tes darah yang kedua terjadi renal impairment yaitu kegagalan
ginjal melakukan tugasnya karena ada obat/senyawa yang tidak bisa dikeluarkan dari tubuh
oleh ginjal. Hal ini dapat dikarenakan adverse effect dari enalapril. ACEi menyebabkan
penurunan tekanan pengisisan glomerular atau glomeruloneprhritis. Kadar kreatinin plasma
harus diukur setelah pemberian dan teratur selama terapi obat tersebut.
Digoxin dieliminasi utamanya di ginjal. Pasien mengalami peningkatan kadar
kreatinin dan urea dalam plasma karena renal impairment. Hal ini menyebabkan kliren
digoksin menurun sehingga konsentrasi dalam plasma mencapai kadar toksik. Pasien juga
mengalami hipokalemia yang mungkin disebabkan diuretik (bendroflumetazide). Kalium
bersaing dengan digoksin pada tempat aksi (pompa Na/K-ATPase). Konsentrasi plasma yang
rendah dari kalium menyebabkan peningkatan aktivitas digoksin, sehingga terjadi adverse
effect seperti heart block.
Kasus 5
Seorang pria berusia 60 tahun mempunyai angina pektoris stabil dan memiliki
hubungan cinta dengan perempuan yang lebih muda beberapa bulan yang lalu. Khawatir
dengan performa seksualnya dia membeli sidenofil (viagra) dari apotek online. Pada
kunjungan terakhirnya dia meminum tablet viagra, namun bukan efek menguntungkan yang
timbul justru dia hilang kesadaran dan jatuh.
Ereksi penis bergantung pada pelepasan nitrit oksida (NO) dari saraf nitrergik dan
sel endotel vaskular. NO meningkatkan konsentrasi intraseluler dari cGMP di otot polos
arteri, arteriol, dan trabekula jaringan ereksi. Relaksasi otot polos meningkatkan aliran darah
penis dan dengan cepat mengisi sinusoid dan perluasan corpora cavernosa. Hal Ini
menekan/membuka pleksus vena antara trabekula dan tunika albuginea yang menutupi aliran
keluar vena sehingga menyebabkan ereksi. Aksi cGMP dihentikan oleh phosphodiesterase-5
(PDE5), isoenzim PDE yang ada dalam otot polos pembuluh darah penis. Sidenafil adalah
penghambat selektifitas PDE5 dengan memperpanjang aksi cGMP sehingga memperbaiki
respons ereksi terhadap rangsangan seksual.
Pria itu mungkin meminum nitrat organik untuk profilaksis angina pektorisnya.
Nitrat menyebabkan vasodilatasi dengan memproduksi NO dan meningkatkan kadar cGMP
intraselular pada otot polos vaskuler. Sildenafil menghambat inaktivasi vaskuler dari cGMP
oleh PDE5, dan mestimulasi aksi nitrat yang menyebabkan hipotensi berat dan berpotensi
fatal. Penurunan tekanan darah yang ini mungkin menyebabkan jatuhnnya pria ini.
Pria itu harus ditempatkan dalam posisi telentang dengan kaki terangkat untuk
mengembalikan kembali aliran darah vena ke jantung. Dia harus diberitahu bahwa Viagra
berinteraksi berbahaya dengan obat yang diminum untuk anginanya. Dia disarankan untuk
berkonsultasi dengan dokter sebelum meminum beberapa obat bersamaan.
Kasus 6
Seorang isteri dari pasangan muda diketahui menderita epilepsi sejak lima tahun
yang lalu. Selama itu dia selalu mengkonsumsi karbamazepin, fenitoin, dan fenobarbital atas
resep dokter. Dia saat ini berkeinginan untuk punya anak karena dalam usia perkawinan yang
sudah berumur 7 tahun lebih pasangan tersebut belum dikaruniai keturunan.
Sebagai apoteker yang bekerja di unit pelayanan dan konsultasi keluarga sebuah
rumah sakit saudara diminta untuk memberi konsultasi dan informasi tentang keamanan
penggunaan obat antiepilepsi yang selama ini digunakan apabila ibu muda tersebut benar-
benar merencanakan kehamilannya.
Barbiturates Neonatal withdrawal syndrome
Carbamazepine Neural tube defects
Fenitoin central nervous sistem malformation, fetal growth restriction
Carbamazepine
Carbamazepine has the most data in pregnancy compared with other AEDs. The AAN
concluded that carbamazepine is probably not associated with a substantial increased risk of
MCMs. One class I study showed no increased risk in children born to WWE taking
carbamazepine [Morrow et al. 2006]. The North American Pregnancy Registry reported in
infants exposed in utero to carbamazepine a 2.6% overall risk of major malformations versus
1.62% in the general population; this difference was not statistically significant [Holmes and
Wyszynski, 2004]. There was increased risk for cleft lip/palate and neural tube defect noted
by the same pregnancy registry [Holmes and Wyszynski, 2004]. The recent large European
Surveillance of Congenital Anomalies (EUROCAT) study confirmed the risk for spina bifida
for carbamazepine monotherapy (OR 2.6, 95% CI 1.2—5.3 compared with no AED
exposure). The risk for carbamazepine did not differ from other AED monotherapies but was
less than valproic acid [Jentink et al. 2010a]. However, the risk of cleft lip/palate was not
confirmed in the EUROCAT study. This study had 19 population-based registries of
congenital malformations in Europe based on over 3.8 million births. Another study with data
taken from the EURAP epilepsy and pregnancy registry (an observational cohort study
representing a collaboration of physicians from 42 countries) prospectively monitored
pregnancies exposed to monotherapy with different doses of carbamazepine, lamotrigine,
valproic acid, or phenobarbital with primary endpoint of MCMs detected up to 12 months
after birth [Tomson et al. 2011]. This study found a dose-dependent effect for carbamazepine
and also found that risks of malformation were significantly higher with carbamazepine at
doses greater than 400 mg per day compared with lamotrigine
Phenobarbital
Phenytoin
The Australian AED Pregnancy Registry reported a 10.5% risk of birth defects with fetal
phenytoin exposure compared with 4.3% in those not exposed to AEDs [Vajda et al. 2006a,
2007a, 2007b]. A meta-analysis found a 7.36% risk of MCMs for phenytoin monotherapy
compared with 3.26% in those not exposed to AEDs, but this difference was not statistically
significant due to large variance in the data [Meador et al. 2008b]. The UK registry reported a
3.7% risk for phenytoin compared with 3.5% in those without AED exposure
Folic Acid
The fact that Bactrim may block the effects of folic acid is the main cause for concern in
taking it while pregnant. Folic acid is very important during pregnancy because it reduces the
risk of the baby developing neural tube defects, which are serious defects to the spine and
brain such as spina bifida or anencephaly. Therefore, if a healthcare provider deems it
necessary for a pregnant woman to take Bactrim, she should also take a daily folic acid
supplement of at least 400 micrograms. Most prenatal vitamins meet and exceed this
requirement.
There is not enough research to determine if Bactrim is safe for breastfeeding women. It is
known that Bactrim passes through breast milk in humans, and will therefore have an effect
on the baby.
Mothers and mothers-to-be should be cautious with any medications that are taken during
pregnancy or while breastfeeding. For the most part, it is wise to avoid “category C” drugs
like Bactrim if at all possible. However, in some cases your healthcare provider may decide
that the benefits of taking Bactrim out-weight the risks, because in pregnancy and
breastfeeding, a baby's health is directly related to the health of its mother.