Mipro PKM

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah infeksi saluran pernapasan

yang disebabkan oleh virus atau bakteri dan berlangsung selama 14 hari. ISPA

merupakan penyakit infeksi akut yang menyerang saluran pernapasan bagian atas dan

bagian bawah. ISPA dapat menimbulkan gejala ringan (batuk, pilek), gejala sedang

(sesak, mengi) bahkan sampai gejala berat (sianosis, pernapasan cuping hidung).1

Pada umumnya anak-anak lebih sering mengalami ISPA baik di negara

berkembang maupun di negara maju. Kejadian ISPA lebih sering terjadi di negara

yang sedang berkembang. Insidensi kejadian ISPA bila dikelompokkan menurut

kelompok umur balita diperkirakan sebesar 0,29 episode per anak/tahun di negara

berkembang dan 0,05 episode per anak/tahun di negara maju. Hal ini menunjukkan

bahwa terdapat 156 juta episode baru di dunia per tahun dimana 151 juta episode

(96,7%) terjadi di negara berkembang. Kasus terbanyak terjadi di India (43 juta),

China (21 juta), dan Pakistan (10 juta). Di Bangladesh, Indonesia dan Nigeria masing-

masing sekitar 6 juta episode.1, 2

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) masih menjadi masalah kesehatan

utama di Indonesia. Prevalensi ISPA di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 25,0%,

tidak jauh berbeda dengan prevalensi pada tahun 2007 sebesar 25,5%. Prevalensi

ISPA tertinggi terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun sebesar 25,8%, diikuti

kelompok umur kurang dari 1 tahun sebesar 22,0%. ISPA mengakibatkan sekitar 20-

30% kematian pada balita.1,3

1
Pemberian air susu ibu (ASI) secara eksklusif mempunyai peranan penting

untuk menunjang pertumbuhan, perkembangan, kesehatan, dan pemenuhan nutrisi

pada bayi. ASI eksklusif diberikan kepada bayi sejak lahir hingga usia 6 bulan tanpa

diberikan makanan tambahan apapun. Setelah itu, baru kemudian bayi harus diberi

makanan pendamping yang bergizi dan tetap menyusu sampai bayi berusia dua tahun

atau lebih. Menyusui sejak dini mempunyai dampak yang positif, baik bagi ibu

maupun bayinya. Bagi ibu, memberikan ASI tidak hanya bermanfaat untuk menjalin

kasih sayang, tetapi juga dapat mengurangi perdarahan setelah melahirkan,

mempercepat pemulihan kesehatan ibu, menunda kehamilan, hingga mengurangi

risiko terkena kanker payudara. ASI sendiri mengandung banyak faktor kekebalan

yang bermanfaat terhadap pencegahan dari berbagai macam penyakit.4

Pemberian ASI eksklusif di Indonesia belum dilaksanakan sepenuhnya.

Terdapat beberapa permasalahan seperti faktor sosial budaya, rendahnya kesadaran

akan pentingnya ASI, pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan yang belum

sepenuhnya mendukung program Peningkatan Pemberian ASI (PP-ASI), gencarnya

promosi susu formula, dan ibu yang bekerja. Selain itu, rendahnya pengetahuan ibu

tentang manfaat pemberian ASI eksklusif juga menjadi salah satu faktor penyebab

permasalahan di atas. 5,6

Pemberian ASI non-eksklusif merupakan salah satu faktor risiko terjadinya

ISPA pada bayi. Bayi berusia 0-11 bulan yang tidak optimal memperoleh ASI

eksklusif mempunyai risiko 5 kali lebih besar meninggal karena ISPA dibandingkan

dengan bayi yang memperoleh ASI eksklusif.7 Di negara-negara berkembang, bayi

yang mendapat ASI eksklusif mempunyai angka kesakitan dan kematian yang lebih

rendah dibandingkan dengan yang diberikan susu formula.8 ASI juga terbukti

2
memberikan efek protektif 39,8% terhadap ISPA pada bayi berusia 0-12 bulan.9

Risiko untuk terjadi ISPA pada bayi yang diberikan ASI tidak eksklusif sebesar 4,59

kali lebih besar daripada bayi yang diberikan ASI secara eksklusif.10 ISPA merupakan

salah satu penyebab utama kunjungan pasien ke sarana kesehatan. Sebanyak 40-60%

kunjungan pasien untuk berobat ke Puskesmas dan 15-30% kunjungan pasien berobat

di bagian rawat jalan dan rawat inap di rumah sakit karena menderita ISPA.11

B. Pernyataan Masalah

Apakah terdapat hubungan antara pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian

ISPA pada bayi?

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui adanya hubungan pemberian ASI eksklusif terhadap

kejadian ISPA pada bayi di Puskesmas Pelaihari.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian ISPA pada bayi di Puskesmas Pelaihari

pada tanggal 11 April – 10 Mei 2016.

b. Mengetahui distribusi frekuensi pemberian ASI eksklusif pada bayi di Puskesmas

Pelaihari pada tanggal 11 April – 10 Mei 2016.

c. Menganalisis hubungan pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA pada

bayi di Puskesmas Pelaihari.

3
D. Manfaat

1. Manfaat bagi Penulis

Kegiatan ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan penulis lebih

mendalam tentang hubungan faktor risiko ISPA terhadap kejadian ISPA khususnya

pemberian ASI eksklusif.

2. Manfaat bagi Puskesmas

Laporan ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi

perumusan program baru di Puskesmas Pelaihari yang bisa meningkatkan angka

frekuensi pemberian ASI eksklusif pada bayi, sehingga dapat menurunkan angka

kejadian ISPA.

3. Manfaat bagi Masyarakat

Memberikan informasi kepada masyarakat khususnya bagi ibu-ibu tentang

ISPA dan manfaat pemberian ASI eksklusif pada bayi, dan menambah pengetahuan

masyarakat tentang hubungan pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA pada

bayi.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)

1. Definisi

Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan suatu penyakit infeksi akut

yang menyerang salah satu bagian atau lebih dari saluran napas mulai dari hidung sampai

alveoli termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga tengah, dan pleura

yang berlangsung selama 14 hari.13 Menurut WHO, Infeksi Saluran Pernapasan Akut

(ISPA) adalah penyakit saluran pernapasan atas atau bawah, biasanya menular, yang

dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit mulai dari penyakit tanpa gejala atau

infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan, tergantung pada patogen

penyebabnya, faktor lingkungan, dan faktor pejamu.14

2. Epidemiologi

ISPA merupakan salah satu masalah kesehatan utama di dunia, baik di negara

maju maupun di negara berkembang. ISPA banyak terjadi di negara berkembang dan

sering menyerang anak-anak terutama bayi dan balita.9 Di Bangladesh, ISPA

merupakan penyakit infeksi yang menyebabkan kematian sebesar dua per tiga dari

total kematian anak berusia di bawah satu tahun.15 Insidens kejadian ISPA menurut

kelompok umur balita diperkirakan 0,29 episode per anak/tahun di negara

berkembang dan 0,05 episode per anak/tahun di negara maju. Di Indonesia, angka

kejadian ISPA pada tahun 2013 sebesar 25,0%. Lima provinsi dengan prevalensi

ISPA tertinggi yaitu Nusa Tenggara Timur (41,7%), Papua (31,1%), Aceh (30,0%),

5
Nusa Tenggara Barat (28,3%) dan Jawa Timur (28,3%). ISPA paling banyak diderita

oleh kelompok usia 1-4 tahun (25,8%). Tidak ada perbedaan angka kejadian ISPA

pada laki-laki maupun perempuan. Penyakit ini lebih banyak dialami pada kelompok

penduduk dengan ekonomi menengah ke bawah.1

3. Etiologi

ISPA merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri atau virus. Etiologi

ISPA meliputi lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA

terbanyak dari genus Streptococcus, Staphylococcus, Pneumococcus, Haemophylus,

Bordetella, dan Corinebacterium. Virus penyebab ISPA antara lain dari golongan

Myxovirus, Adenovirus, Coronavirus, Picornavirus, dan lain-lain. Kebanyakan ISPA

disebabkan oleh virus. 1,16

4. Klasifikasi

Berasarkan lokasi anatomi terkena infeksi, ISPA dibagi menjadi:

a. ISPA bagian atas

ISPA bagian atas terdiri atas nasofaringitis atau common cold, faringitis akut,

rhinitis akut, dan sinusitis akut.13

b. ISPA bagian bawah

ISPA bagian bawah terdiri atas bronkitis akut, bronkiolitis, dan pneumonia.13

Menurut Kemenkes RI dalam Pedoman Pengendalian ISPA, ISPA

diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

a. ISPA Pneumonia, merupakan ISPA yang sampai mengenai jaringan paru-paru

(alveoli).11

6
b. ISPA bukan pneumonia, merupakan penyakit yang dikenal masyarakat dengan

istilah batuk dan pilek (common cold).11

Berdasarkan kelompok umur, ISPA diklasifikasikan lagi menjadi:

a. Kelompok umur 2 bulan – di bawah 5 tahun

1) Pneumonia berat, apabila terdapat gejala batuk dan/atau sukar bernapas

disertai adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest

indrawing).

2) Pneumonia, apabila terdapat gejala batuk dan/atau sukar bernapas disertai

napas cepat sesuai golongan umur, yaitu bila umur 2 bulan hingga <1 tahun

sebanyak 50 kali atau lebih/menit; dan bila umur 1 hingga <5 tahun 40 kali

atau lebih/menit.

3) Bukan pneumonia, apabila hanya terdapat gejala batuk dan/atau sukar

bernapas.

b. Kelompok umur kurang dari 2 bulan

1) Pneumonia berat, apabila terdapat gejala batuk dan/atau sukar bernapas

disertai napas cepat >60 kali per menit, atau adanya tarikan dinding dada

bagian bawah ke dalam (chest indrawing).

2) Bukan pneumonia, apabila hanya teradpat gejala batuk dan/atau sukar

bernapas.

5. Faktor Risiko

1. Mikroorganisme penyebab

Penyebab tersering ISPA adalah virus, karena sifatnya yang mudah menular

sehingga angka kejadian ISPA di masyarakat menjadi tinggi. Tetapi, ISPA yang

7
disebabkan virus tidak memerlukan tatalaksana khusus karena bersifat self-limiting.

2. Faktor host (pejamu)

a. Usia

ISPA lebih sering terjadi pada kelompok umur 1-4 tahun. Anak berusia kurang

dari 2 tahun mempunyai risiko terkena ISPA lebih besar daripada anak yang lebih tua

karena pada usia kurang dari 2 tahun anak tersebut belum memiliki imunitas yang

sempurna dan lumen saluran napas yang relatif sempit.17

b. Jenis kelamin

Suatu studi menyebutkan laki-laki lebih banyak mengalami ISPA daripada

perempuan.18 Tetapi dalam Riskesdas disebutkan tidak terdapat perbedaan angka

kejadian ISPA pada laki-laki maupun perempuan.1 Terdapat sedikit perbedaan

anatomi saluran napas antara anak laki-laki maupun perempuan, tetapi hal ini tidak

mempengaruhi kejadian ISPA.17

c. Berat lahir

ISPA cenderung terjadi pada balita dengan riwayat berat badan lahir rendah

(BBLR) dibandingkan dengan balita tanpa riwayat BBLR.22 Bayi BBLR memiliki

sistem pertahanan tubuh yang belum sempurna yang mengakibatkan bayi BBLR

memiliki daya tahan tubuh yang rendah. Selain itu, bayi BBLR juga memiliki pusat

pengaturan pernapasan yang belum sempurna, surfaktan paru yang masih kurang

jumlahnya, otot-otot pernapasan dan tulang iga yang masih lemah. Bayi BBLR juga

mudah mengalami infeksi paru dan gagal napas.19

d. Status gizi

Status gizi menggambarkan baik atau buruknya konsumsi zat gizi seseorang.

Zat gizi diperlukan untuk pembentukan sistem kekebalan tubuh seperti antibodi.

8
Semakin baik status gizi seseorang, maka semakin baik sistem kekebalan tubuhnya.

Infeksi saluran pernapasan akut yang disebabkan virus sangat dipengaruhi oleh sistem

kekebalan tubuh. Bila sistem kekebalan tubuh baik, maka seseorang akan kebal

terhadap serangan virus. Selain itu, kesembuhan dari penyakit akibat serangan virus

juga akan lebih cepat. Anak dengan malnutrisi juga lebih sering mengalami ISPA

dibandingkan dengan anak dengan gizi yang baik.17

e. Status Imunisasi

Anak yang tidak mendapatkan imunisasi secara lengkap cenderung lebih

sering mengalami ISPA. Kebanyakan kasus ISPA pada anak terjadi akibat komplikasi

dari campak yang merupakan faktor risiko yang dapat dicegah dengan imunisasi.

Namun, kemampuan tubuh untuk menangkal suatu penyakit masih dipengaruhi oleh

beberapa faktor yang lain seperti faktor genetik dan kualitas vaksin.18

f. Pendidikan

Kurangnya pengetahuan di masyarakat akan gejala dan upaya penanggulangan

ISPA dan bagaimana pencegahan agar tidak mudah terserang penyakit ISPA

menyebabkan masih banyak kasus ISPA yang dapat ke sarana pelayanan kesehatan

sudah dalam keadaan berat.20

g. Pemberian ASI eksklusif

Pemberian ASI secara eksklusif hingga bayi berusia 6 bulan merupakan

langkah yang efektif dan efisien dalam memenuhi kebutuhan gizi dan memberikan

perlindungan bagi bayi dari serangan infeksi khususnya ISPA.21 ASI mengandung

banyak faktor kekebalan dan bermanfaat terhadap pencegahan ISPA terutama sejak

pemberian ASI di awal kehidupan bayi hingga bayi berusia 6 bulan, salah satunya

adalah imunoglobulin. Imunoglobulin yang banyak ditemukan pada saluran cerna dan

9
saluran napas adalah imunoglobulin A (IgA).21 Selama minggu pertama kehidupan (4-

6 hari) payudara ibu akan menghasilkan kolostrum, yaitu ASI awal yang banyak

mengandung zat-zat kekebalan tubuh (imunoglobulin, komplemen, lisozim, laktoferin,

dan sel-sel leukosit) yang sangat penting untuk melindungi bayi dari serangan

infeksi.21

Bayi yang diberi ASI eksklusif cenderung tidak pernah mengalami ISPA

sedangkan bayi yang mendapatkan ASI non-eksklusif cenderung lebih sering

mengalami ISPA.21 Risiko anak yang diberi ASI tidak secara eksklusif lebih besar

dibandingkan dengan anak yang diberi ASI secara eksklusif.21 Kematian akibat

penyakit saluran pernapasan 2-6 kali lebih banyak pada bayi yang diberi susu formula

dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI.21

h. Faktor lingkungan

Keadaan fisik sekita rmanusia berpengaruh terhadap kesehatan manusia, baik

secara langsung maupun tidak langsung. Ada beberapa faktor dari lingkungan yang

berpengaruh terhadap kesehatan, meliputi udara, kelembapan, air, dan pencemaran

udara. ISPA termasuk air-borne disease yang merupakan penyakit yang penularannya

melalui udara yang tercemar dan masuk ke dalam tubuh melalui saluran pernapasan.22

Karena itu, secara epidemiologi, udara mempunyai peranan yang besar pada transmisi

penyakit infeksi saluran pernapasan. Selain itu, faktor dari lingkungan yang

meningkatkan risiko terjadinya kejadian ISPA adalah asap yang dihasilkan pabrik,

asap kendaraan bermotor, asap dari perokok, asap dari bahan bakar yang digunakan

untuk memasak, kurangnya ventilasi di rumah, suhu ruangan rumah di bawah 18°C

atau di atas 30°C, kepadatan hunian rumah, penggunaan antinyamuk, dan partikel

debu di sekitar tempat tinggal.22

10
6. Manifestasi Klinis

Gejala ISPA dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Gejala ISPA Ringan

Seorang bayi/balita dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu

atau lebih gejala-gejala berikut:

a) Batuk

b) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara seperti pada

waktu berbicara atau menangis

c) Pilek, yaiut mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung

d) Demam, dengan suhu badan lebih dari 37°C

2. Gejala ISPA Sedang

Seorang bayi/balita dinyatakan menderita ISPA sedang jika ditemukan gejala

ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala berikut:

a) Pernapasan cepat sesuai umur yaitu pada kelompok umur <2 bulan dengan

frekuensi napas 60 kali per menit atau lebih, pada kelompok umur 2 - <12 bulan

dengan frekuensi napas 50 kali per menit atau lebih, dan pada kelompok umur 12

bulan - <5 tahun dengan frekuensi napas 40 kali per menit atau lebih.

b) Suhu badan lebih dari 39°C

c) Tenggorokan berwarna merah

d) Telinga sakit atau mengeluarkan cairan dari lubang telinga

e) Pernapasan berbunyi seperti mengorok/mendengkur

3. Gejala ISPA Berat

Seorang bayi/balita dinyatakan menderita ISPA berat jika ditemukan gejala

ISPA ringan disertai satu atau lebih gejala-gejala berikut:

11
a) Bibir atau kulit membiru

b) Kesadaran anak menurun

c) Pernapasan berbunyi seperti mengorok dan anak tampak gelisah

d) Sela iga tertarik ke dalam saat bernapas

e) Nadi lebih cepat dari 160 kali per menit atau tidak teraba

f) Pernapasan cuping hidung 22

7. Diagnosis

Diagnosis etiologi ISPA pada bayi/balita cukup sulit ditegakkan karena

pengambilan dahak sulit dilakukan. Prosedur pemeriksaan imunologi pun belum bisa

memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan penyebab ISPA. Pemeriksaan

darah dan pembiakan spesimen fungsi atau aspirasi paru bisa dilakukan untuk

diagnosis penyebab ISPA. Cara ini cukup efektif untuk menentukan etiologi ISPA.

Namun cara ini dianggap prosedur yang berbahaya dan bertentangan dengan etika.

Dengan pertimbangan ini, diagnosis etiologi penyebab ISPA di Indonesia didasarkan

pada hasil penelitian asing (melalui publikasi WHO) bahwa Streptococcus

pneumoniae dan Haemophylus influenza merupakan bakteri yang selalu ditemukan

pada penelitian etiologi di negara berkembang, sedangkan di negara maju seringkali

disebabkan oleh virus. Diagnosis ISPA ditegakkan berdasarkan gejala yang timbul

pada bayi/balita seperti yang telah dijelaskan pada uraian manifestasi klinis di atas.22

8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan ISPA dikembangkan melalui suatu Manajemen Terpadu

Balita Sakit (MTBS). Melalui MTBS ini semua penderita ISPA langsung ditangani di

12
unit yang menemukan. Namun, bila kondisi bayi/balita sudah berada dalam

pneumonia berat, sedangkan peralatan tidak mencukupi maka penderita langsung

dirujuk ke unit dengan fasilitas yang lebih lengkap. Pengobatan ISPA dilaksanakan

berdasarkan klasifikasi ISPA sebagaimana diuraikan secara ringkas pada bagan

berikut.

Gambar 2.1. Tatalaksana ISPA pada Bayi Kurang dari 2 Bulan

Gambar 2.2. Tatalaksana ISPA pada Bayi/Balita Usia 2 bulan - <5 tahun

13
Antibiotika yang dapat digunakan adalah kotrimoksazol atau amoksisilin

selama 3 hari, dan dapat juga diberikan penurun panas seperti parasetamol. Setelah

mendapat antibiotika, penderita ditindaklanjuti pada kunjungan ulang setiap dua hari

di fasilitas pelayanan kesehatan. Bila pasien menderita pneumonia berat, pasien harus

segera dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap.11

9. Pencegahan

Penyuluhan dilakukan oleh tenaga kesehatan. Kegiatan ini diharapkan dapat

mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap hal-hal yang dapat meningkatkan

faktor risiko ISPA. Penyuluhan dapat berupa penyuluhan penyakit ISPA, penyuluhan

ASI eksklusif, penyuluhan imunisasi, penyuluhan gizi seimbang pada ibu dan anak,

penyuluhan kesehatan lingkungan rumah, atau penyuluhan bahaya rokok.

1) Imunisasi lengkap

2) Usaha di bidang gizi dengan tujuan mengurangi malnutrisi.

3) Program KIA yang menangani kesehatan ibu dan bayi BBLR.

4) Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP) yang menangani masalah

polusi di dalam maupun di luar rumah.22

B. Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif

ASI eksklusif merupakan pemberian ASI pada 6 bulan pertama kelahiran tanpa

disertai pemberian makanan atau minuman apapun.3 Setelah bayi berusia 6 bulan,

barulah bayi mulai diperkenalkan dengan makanan pendamping atau makanan padat

secara benar dan tepat, sedangkan ASI tetap diberikan kepada bayi sampai berusia 2

tahun atau bahkan lebih dari 2 tahun.

14
Bayi sehat umumnya tidak memerlukan makanan tambahan apapun sampai

berusia 6 bulan kecuali terdapat keadaan-keadaan khusus yang membuat bayi perlu

diberi makanan tambahan sebelum berusia 6 bulan. Misalnya terjadi peningkatan berat

badan bayi yang tidak sesuai standar atau terdapat tanda-tanda lain yang menunjukkan

bahwa pemberian ASI eksklusif tidak berjalan dengan baik. Namun, sebelum

diberikan makanan tambahan, ibu sebaiknya memperbaiki terlebih dahulu cara

pemberian ASI kepada bayi. Apabila setelah 1-2 minggu usaha tersebut telah

dilakukan tetapi belum terjadi peningkatan berat badan, barulah ibu dapat memikirkan

untuk memberikan makanan tambahan bagi bayi berusia di atas 4 bulan, tetapi belum

mencapai 6 bulan.4

ASI merupakan suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa dan garam-

garam organik yang disekresikan oleh kelenjar mammae.4 Berdasarkan stadium

laktasinya, komposisi ASI dapat dibagi sebagai berikut:

 Kolostrum

Kolostrum merupakan cairan yang pertama kali disekresi oleh kelenjar

mammae, mengandung tissue debris dan residual material yang terdapat dalam

alveoli dan duktus dari kelenjar mammae. Kolostrum mulai disekresikan dari hari ke-1

sampai hari ke-4 setelah melahirkan. Kolostrum bersifat viscous dengan warna

kekuning-kuningan, lebih kuning daripada ASI matur. Kolostrum juga merupakan

pencahar yang ideal untuk membersihkan mekonium dari usus bayi yang baru lahir

dan mempersiapkan saluran pencernaan bayi terhadap makanan yang akan datang.4

Kolostrum mengandung lebih banyak protein serta antibodi (untuk

memberikan perlindungan pada bayi sampai umur 6 bulan) daripada ASI matur, kadar

karbohidrat dan lemak yang lebih rendah daripada ASI matur. Mineral, terutama

15
natrium, kalium dan klorida lebih tinggi daripada ASI matur. Total energi yang lebih

rendah daripada ASI matur, yaitu hanya 58 Kal/100 mL. Vitamin yang larut dalam

lemak lebih tinggi dan vitamin yang larut dalam air lebih rendah daripada ASI matur.

ASI yang mengandung kolostrum akan menggumpal jika dipanaskan serta pH lebih

alkalis daripada ASI matur. Kolostrum mengandung tripsin inhibitor, sehingga

hidrolisis protein dalam usus bayi menjadi kurang sempurna agar kadar antibodi lebih

banyak pada bayi. Volumenya berkisar 150-300 mL/24 jam.4

 ASI masa peralihan

ASI ini merupakan peralihan dari kolostrum sampai menjadi ASI matur yang

disekresikan dari hari ke-4 sampai hari ke-10 pada masa laktasi. Kadar protein makin

rendah sedangkan kadar karbohidrat dan lemak makin tinggi. Volume ASI pada masa

peralihan semakin meningkat.4

 ASI matur

ASI matur merupakan ASI yang disekresikan pada hari ke-10 dan seterusnya.

Komposisinya relatif konstan. Ibu yang sehat dengan produksi ASI cukup dapat

memberikan ASI sebagai satu-satunya makanan yang paling baik dan cukup untuk

bayi sampai usia 6 bulan. ASI matur berwarna putih kekuning-kuningan karena

mengandung garam Ca-caseinat, riboflavin, dan karoten. ASI matur tidak

menggumpal jika dipanaskan dan mengandung antimikrobial lain, seperti:

 Antibodi terhadap bakteri dan virus

 Sel (fagosit, granulosit, makrofag, dan limfosit T)

 Enzim (lisozim, laktoperoksidase, lipase, katalase, fosfatase, amilase,

fosfodiesterase, alkalinfosfatase)

 Protein (laktoferin, B12 binding protein)

16
 Resistance factor terhadap stafilokokus

 Komplemen

 Interferron producing cell

 Sifat biokimia yang khas, kapasitas buffer yang rendah dan adanya faktor bifidus.4

 Hormon-hormon

Laktoferin merupakan suatu iron binding protein yang bersifat bakteriostatik

kuat terhadap Escherichia coli serta Candida Albicans. Lactobacillus bifidus

merupakan koloni kuman yang memetabolisir laktosa menjadi asam laktat yang

menyebabkan rendahnya pH sehingga pertumbuhan kuman patogen akan terhambat.

Imunoglobulin memberikan mekanisme pertahanan yang efektif terhadap bakteri dan

virus (terutama IgA) dan bila bergabung dengan komplemen dan lisozim merupakan

suatu antibakterial yang langsung terhadap Escherichia coli. Faktor lisozim dan

komplemen ini adalah suatu antibakterial nonspesifik yang mengatur pertumbuhan

flora di usus.4

ASI adalah cairan yang mengandung zat kekebalan yang akan melindungi bayi

dari serangan virus, bakteri, parasit, dan jamur. Kolostrum mengandung zat kekebalan

10-17 kali lebih banyak dari ASI matur. Zat kekebalan tersebut akan melindungi bayi

dari penyakit diare. ASI juga akan menurunkan kemungkinan bayi terkena penyakit

infeksi telinga, batuk, pilek, dan penyakit alergi. Bayi yang diberi ASI secara eksklusif

akan lebih sehat dan jarang sakit dibandingkan bayi yang tidak mendapat ASI secara

eksklusif.4

17
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik untuk mengetahui hubungan

pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA pada bayi. Desain penelitian yang

digunakan adalah studi cross sectional.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat penelitian dilakukan di Poli Anak/MTBS Puskesmas Pelaihari. Waktu

penelitian yaitu tanggal 11 April 2016 – 10 Mei 2016.

C. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh bayi yang dibawa oleh ibunya

yang datang berobat ke Puskesmas Pelaihari.

Pengambilan sampel dilakukan dengan metode non-probability sampling jenis

consecutive sampling. Metode non-probability sampling merupakan teknik yang tidak

memberikan peluang atau kesempatan yang sama bagi setiap unsur atau anggota

populasi untuk dipilih menjadi sampel. Consecutive sampling berarti bahwa semua

subjek yang datang secara berurutan dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan

sebagai sampel penelitian sampai subjek yang diperlukan terpenuhi.

1. Kriterian inklusi

Kriteria inklusi subjek penelitian adalah:

18
a. Bayi berusia 0-12 bulan datang ke Puskesmas Pelaihari baik yang didiagnosis

ISPA maupun bukan ISPA.

b. Ibu yang membawa bayi tersebut bersedia menjadi responden.

2. Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi subjek penelitian ini adalah:

a. Ibu tidak mengisi kuesioner secara lengkap.

b. Bayi yang bukan dibawa oleh ibunya.

D. Metode Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer yang

diperoleh secara langsung dari subjek penelitian dengan cara wawancara. Instrumen

yang digunakan untuk pengambilan data adalah dengan pembagian kuesioner.

E. Metode Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan Data

Semua data dikumpulkan, dicatat, dan dikelompokkan lalu dimasukkan ke

komputer dan selanjutnya diolah dengan menggunakan program SPSS.

2. Analisis Data

a. Analisis Univariat

Data yang diperolah dari hasil pengumpulan data disajikan dalam bentuk tabel

distribusi frekuensi, yaitu tabel distribusi frekuensi ISPA dan tabel distribusi

frekuensi pemberian ASI eksklusif.

19
b. Analisis Bivariat

Untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dan variabel dependen

disajikan dalam bentuk tabel, lalu dianalisis dengan uji statistik Chi-square.

Pengambilan keputusan statistik dilakukan dengan membandingkan nilai P value

dengan nilai α 0,05. Bila nilai P value < nilai α 0,05, maka terdapat hubungan

bermakna (signifikan) antara variabel independen dan dependen, sedangkan bila

nilai P value > nilai α 0,05 maka tidak terdapat hubungan bermakna (signifikan)

antara variabel independen dan variabel dependen.

20
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Deskripsi Karakteristik Sampel

Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden

Karakteristik Frekuensi (n) Persentase (%)


Jenis Kelamin Bayi
Laki-laki 16 53%
Perempuan 14 47%
Usia (bulan)
0–6 20 67%
7 – 12 10 33%
Pemberian ASI Eksklusif
Ya 23 77%
Tidak 7 23%
Menderita ISPA
Ya 15 50%
Tidak 15 50%
Frekuensi ISPA
Tidak Pernah 15 50%
< 2 kali 6 20%
≥ 2 kali 9 30%
Total 30 100%

Dari tabel tersebut diketahui bahwa jumlah responden pada penelitian ini

sebanyak 30 orang. Kebanyakan responden berjenis kelamin laki-laki, sebanyak

16 orang (53%), dan kebanyakan responden berusia 0-6 bulan (67%). Sebagian

besar responden diberikan ASI eksklusif, yaitu sebanyak 23 orang (77%),

sedangkan yang tidak diberikan ASI eksklusif berjumlah 7 orang (23%).

Responden yang menderita ISPA didapatkan sebanyak 15 orang (50%), dan


kebanyakan tidak pernah menderita ISPA, yaitu sebanyak 15 orang (50%) dari

responden.

2. Distribusi Kejadian ISPA berdasarkan Pemberian ASI Eksklusif

Pada penelitian ini dapat diketahui besar kejadian ISPA berdasarkan

pemberian ASI eksklusif kepada bayi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada

tabel di bawah ini.

Tabel 4.2. Distribusi Kejadian ISPA berdasarkan Pemberian ASI Eksklusif

ASI Menderita ISPA Total


Eksklusif Ya Tidak
n % n % n %
Ya 8 26,7% 15 50% 23
100
Tidak 7 23,3% 0 0% 7

Dari tabel tersebut didapatkan bayi yang tidak diberikan ASI eksklusif

lebih banyak menderita ISPA daripada bayi yang mendapat ASI eksklusif.

3. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif terhadap Kejadian ISPA

Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada atau tidaknya hubungan antara

pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA pada bayi berusia 0-12 bulan.

Data hasil penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini.

22
Tabel 4.3. Hubungan antara Pemberian ASI Eksklusif terhadap Kejadian ISPA

Kejadian ISPA
Ya Tidak P
n % n %
ASI Ya 8 26,7 15 50%
Eksklusif Tidak 7 23,3 0 0% < 0,05
Total 15 100 15 100

Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa secara keseluruhan terdapat 15

orang bayi yang menderita ISPA dan 15 orang bayi yang tidak menderita ISPA.

Dari 15 bayi yang menderita ISPA, terdapat 8 bayi yang mendapat ASI eksklusif

dan 7 bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif. Sedangkan pada bayi yang tidak

menderita ISPA, keseluruhan bayi yang tidak menderita ISPA tersebut ,mendapat

ASI eksklusif dan tidak terdapat bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif yang

tidak pernah menderita ISPA. Setelah dilakukan uji hipotesis dengan metode Chi

Square dengan derajat tingkat kemaknaan 0,05 (α=5%), diperoleh nilai p sebesar

0,003. Akan tetapi, karena terdapat 2 cells dengan nilai expected < 5, maka

penelitian ini tidak layak untuk diuji dengan Chi Square. Oleh karena itu,

digunakan uji alternatif dengan Uji Fisher, dan didapatkan hasil p = 0,006 untuk

2-sided dan p = 0,003 untuk 1-sided (p<0,05). Dengan demikian terdapat

hubungan yang bermakna antara pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA

pada bayi di Puskesmas Pelaihari.

B. Pembahasan

Dari hasil penelitian diketahui bahwa dari 30 responden, sebagian besar

responden mendapat ASI eksklusif, yaitu sebanyak 23 bayi (77%). Hal ini dapat

23
dikarenakan ajakan atau penyuluhan yang diberikan oleh dokter/bidan/perawat

tentang manfaat ASI bagi kesehatan tubuh bayi, sehingga kesadaran atau antusias

ibu akan pentingnya pemberian ASI eksklusif meningkat. Selain itu, kemungkinan

ada ibu yang sebelum bekerja memompa ASInya terlebih dulu dan

menyimpannya dalam lemari pendingin sehingga bayi tetap mendapatkan ASI

dari ibunya. Sedangkan, sebanyak 7 bayi (23%) tidak mendapat ASI eksklusif.

Hal ini mungkin dikarenakan ibu lebih menyukai memberikan susu formula dan

makanan tambahan lain sebelum waktunya agar lebih mudah dan simpel. Selain

itu, mungkin memang masih ada ibu yang belum memahami tentang pentingnya

ASI, atau merasa terlalu sibuk sehingga tidak memilih untuk memberikan ASI

pada bayinya. Akan tetapi, dapat pula terjadi karena faktor lain, seperti sedikitnya

produksi ASI atau ASI tidak ada keluar sama sekali dari payudara ibu, faktor

makanan, psikologis, dan perawatan payudara oleh ibu. ASI eksklusif adalah

pemberian hanya ASI saja tanpa makanan dan minuman lain. Pemberian ASI

eksklusif dianjurkan sampai enam bulan pertama kehidupan bayi.

Pada table 4.1 dipaparkan bahwa kejadian ISPA pada bayi di Puskesmas

Pelaihari sejak tanggal 11 April 2016 sampai 10 Mei 2016 berimbang, yaitu

sebanyak 15 bayi menderita ISPA dan 15 bayi tidak menderita ISPA. Dari 15 bayi

yang menderita ISPA, 8 bayi mendapat ASI eksklusif dan 7 bayi tidak mendapat

ASI eksklusif. Namun, dari 15 bayi yang tidak pernah menderita ISPA,

seluruhnya merupakan bayi dengan ASI eksklusif. Hal ini berarti bahwa, bayi

yang tidak mendapat ASI eksklusif lebih mungkin terkena ISPA dibandingkan

bayi dengan ASI eksklusif. Hal ini sesuai dengan penelitan yang dilakukan oleh

24
Softic dkk (2004). Penelitian dilakukan dengan mengobservasi anak yang berusia

6 bulan yang ketika lahir memiliki berat badan lahir rendah dan usia kelahiran

kurang dari 37 minggu. Sebanyak 612 kuesioner dibagikan dan didapat sebanyak

493 responden yang bersedia mengisi kuesioner. Dari hasil kuesioner didapatkan

sebanyak 395 anak mengkonsumsi ASI eksklusif dan 98 anak mengkonsumsi susu

formula. Dan anak yang mengkonsumsi susu formula lebih rentan mengalami

infeksi pernapasan dan pencernaan. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh

Elfia (2012) menyatakan bahwa bayi yang mendapatkan ASI Eksklusif ternyata

akan lebih sehat dan jarang mengalami kejadian ISPA dibandingkan dengan bayi

yang tidak mendapatkan ASI eksklusif. Dilihat dari frekuensi terjadinya ISPA

pun, bayi yang menderita ISPA ≥ 2 kali selama 1 tahun terakhir sebanyak 9 bayi,

5 diantaranya adalah bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif.

Hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada bayi diuji

dengan uji alternatif Fisher dengan hasil p = 0,006 untuk 2-sided dan p = 0,003

untuk 1-sided (p<0,05). Hal ini berarti terdapat hubungan yang bemakna antara

pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada bayi. Hasil ini didukung

oleh penelitian lainnya, seperti penelitian pada bayi yang dilakukan Okto pada

tahun 2010 juga mendapati adanya hubungan pemberian ASI eksklusif dengan

kejadian ISPA (p=0,011). Demikian pula penelitian pada bayi di RS Sanglah,

Denpasar (p=0,001).

Telah diketahui sebelumnya bahwa ASI mengandung komponen-

komponen bioaktif yang dapat mencegah bayi mengalami ISPA. Beberapa

komponen-komponen tersebut adalah komponen-komponen imun seperti

25
imunoglobulin A (IgA) dan interferon yang mampu memberikan perlindungan

kepada bayi dari serangan infeksi. IgA dapat mengaktifkan sistem komplemen

melalui jalur alternatif dan bersama-sama dengan makrofag memfagositosis

berbagai kuman yang masuk. Selain itu Bronchus Associated Lymphocyte Tissue

(BALT) yang dikandung Asi merupakan antibodi alami di saluran pernapasan.

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan signifikan antara

pemberian ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada bayi. Penanganan penurunan

prevalensi ISPA tentu tidak hanya dengan upaya kuratif tetapi perlu ditingkatkan

upaya promotif dan preventif termasuk di dalamnya upaya peningkatan pemberian

ASI eksklusif kepada bayi sampai usia 6 bulan.

26
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik beberapa

simpulan sebagai berikut:

1. Pemberian ASI eksklusif pada bayi di Puskesmas Pelaihari, Kabupaten Tanah

Laut sebesar 77%, sedangkan yang tidak diberi ASI eksklusif sebesar 23%.

2. Kejadian ISPA pada bayi di Puskesmas Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut

sebesar 50% (20% mengalami ISPA sebanyak 2 kali dalam setahun dan 30%

mengalami ISPA ≥ 2 kali dalam setahun) sedangkan yang tidak mengalami

ISPA sebesar 50%.

3. Terdapat hubungan antara pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA

pada bayi (p<0,05).

B. Saran

1. Perlu dilakukan pembuatan leaflet mengenai pentingnya pemberian ASI

eksklusif dan hubungannya dengan ISPA pada bayi untuk menambah

wawasan masyarakat sekitar Puskesmas Pelaihari, Kabupaten Tanah Laut.

2. Perlu dilakukan pembinaan peran serta masyarakat dan kerja sama dengan

kader-kader PKK dan posyandu untuk lebih memotivasi ibu menyusui dalam

memberikan ASI eksklusif kepada bayinya.

27
3. Perlu digalakkan lagi tentang perilaku hidup bersih sehat (PHBS) melalui

penyuluhan mengenai pencegahan ISPA dan faktor-faktor risiko kejadian

ISPA.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.


Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2013.
2. World Health Organization (WHO). Penanganan ISPA pada Anak di Rumah
Sakit Kecil Negara Berkembang. Alih Bahasa: C. Anton Widjaja. Jakarta:
Penerbit Kedokteran EGC, 2003.
3. Harahap, Okto M F. Riwayat ASI Eksklusif pada Balita ISPA di Puskesmas
Sering. Medan: Universitas Sumatera Utara, 2010.
4. Roesli, Utami. Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta: Tubulus Agriwidya, 2001.
5. Fuadi, Mirzal. Gambaran Tingkat Pengetahuan Ibu Pasca Melahirkan
terhadap Pentingnya Pemberian ASI Eksklusif di RSUP H. Adam Malik
Medan Tahun 2010. Medan: Universitas Sumatera Utara, 2010.
6. Kristiyansari, W. ASI, Menyusui, dan SADARI. Yogyakarta: Nuha Medika,
2009.
7. Elfia, Yunita. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dan ASI Non Eksklusif
dengan Kejadian ISPA pada bayi Usia 0-6 Bulan di Puskesmas Ngesrep
Semarang. Undergradute Theses from JTPTUNIMUS. Diambil pada tanggal
10 Januari 2016 dari http://digilib.unimus.ac.id.
8. Ariefuddin, Y., Priyantini, S. dan Desanti, O.L. Hubungan Pemberian ASI
Eksklusif terhadap Kejadian INFeksi Saluran Pernapasan Akut pada Bayi 0-
12 Bulan. Semarang: Universitas Islam Sultan Agung, 2010.
9. Widarini dan Sumasari. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian
ISPA pada Bayi. Jurnal Ilmu Gizi (JIG), 1(1): 28-41, 2010.
10. Rustam, Musfardi. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif terhadap Kejadian
ISPA pada Bayi usia 6-12 Bulan di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.
Jakarta: FKM UI, 2010.
11. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Lingkungan. Pedoman
Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI, 2012.
12. Puskesmas Dalam Pagar. Laporan Tahunan Puskesmas. 2015
13. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC, 2003.
14. Muttaqin. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta: EGC, 2008.
15. Mirshahi, Seema et al. Prevalence of Exclusive Breastfeeding in Bangladesh
and Its Association with Diarrhoea and Acute Respiratory Infection. J Health
Popul Nutr, 25(2): 105-294, 2007.
16. Erlien. Penyakit Saluran Pernapasan. Jakarta: Sunda Kelapa Pustaka, 2008.
17. Elyana, Mei dan Chandra, Ayu. Hubungan Frekuensi ISPA dengan Status Gizi
Balita. Journal of Nutrition and Health, 1(1), 2014.
18. Layuk, R., Noer, N., Wahiduddin. Faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian ISPA pada Balita di Lembang Batu Sura’. 2013. Diambil pada
tanggal 10 Januari 2016 dari
http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/4279.

29
19. Ibrahim, Hartati. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian ISPA
pada Anak Balita di Wilayah Puskesmas Botumoito Kabupaten Boalemo
Tahun 2010. Makassar: Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, 2011.
20. Dharmage et al. Risk Factors of Acute Lower Respiratory Tract Infections in
Children Under Five Years of Age. Southeast Asian Journal of Trop Med
Public Health, 27(1): 107-110, 2009.
21. Gani, A. Strategi Penurunan Insiden Pneumonia pada anak Balita di
Kecamatan Banyuasin dan Betung Kabupaten Banyuasin Sumatera Selatan.
Medan: Universitas Sumatera Utara, 2004.
22. Gulo, R.R., Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Infeksi Saluran
Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita di Kelurahan Ilir Gunung Sitoli
Kabupaten Nias Tahun 2008. Medan: Universitas Sumatera Utara, 2010.
23. Noorhidayah, Widya S. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dengan Kejadian
ISPA pada Balita di Puskesmas Pekauman Banjarmasin. Socioscience, 6(1):
45-50, 2014.
24. Tallo, Karolina T et al. The Effect of Exclusive Breastfeeding on Reducing
Acute Respiratory Infections in Low Birth Weight Infants. Paediatr Indones,
52(4): 229-232, 2012.
25. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Cabang DKI Jakarta. Bedah ASI.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2008.

30
LAMPIRAN

31
A. Kuosioner Penelitian

KUESIONER PENELITIAN

HUBUNGAN PEMBERIAN ASI EKSKLUSIF TERHADAP KEJADIAN


INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) PADA BAYI
DI PUSKESMAS PELAIHARI

Nomor Responden :
Tanggal Pengambilan Data :

Petunjuk pengisian kuesioner.

1. Sebelum menjawab pertanyaan, bacalah terlebih dahulu pertanyaan yang


diteliti.
2. Jawablah pertanyaan dibawah ini dengan memilih salah satu jawaban yang
dianggap benar dengan memberikan tanda (√).
3. Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dari kuesioner mohon dilakukan
dengan memberikan jawaban yang sejujurnya.
4. Mohon diteliti ulang, agar tidak ada pernyataan yang terlewatkan untuk
dijawab.
5. Mohon jawaban diisi sendiri sesuai dengan apa yang diketahui tanpa ada
unsur paksaan maupun rekayasa, demi tercapainya hasil yang diharapkan.
6. Data yang dikumpulkan semata-mata untuk keperluan ilmiah yang kami jamin
kerahasiaannya.

A. Data Ibu
Nama :
Usia :
Pekerjaan :
Agama :
Pendidikan terakhir :
Alamat :
Nomor HP :
B. Data Bayi
Nama :
Usia :
Jenis Kelamin :
Alasan Dibawa ke Puskesmas :

32
C. Kuesioner penelitian
a. Pemberian ASI Eksklusif
Jawaban
No Pertanyaan
Ya Tidak
1 Jika bayi berusia di atas 6 bulan :
a. Apakah ibu memberikan ASI pada bayi sampai
berusia 6 bulan?
b. Selain ASI, apakah ibu memberikan makanan
tambahan atau susu formula sampai berusia 6
bulan?
2 Jika bayi berusia di bawah 6 bulan / berusia 6 bulan :
a. Apakah ibu memberikan ASI kepada bayi?
b. Selain ASI, apakah ibu memberikan makanan
tambahan atau susu formula?

Keterangan:
- Bayi diberikan ASI secara eksklusif, apabila pertanyaan nomor 1a atau 2a
dijawab Ya dan pertanyaan nomor 1b atau 2b dijawab Tidak.
- Bayi tidak diberikan ASI secara eksklusif, apabila pertanyaan nomor 1b atau
2b dijawab Ya.

b. Kejadian ISPA
Jawaban
No Pertanyaan
Ya Tidak
1 Apakah bayi ibu pernah sakit batuk dan atau pilek?
2 Apakah kejadian sakit batuk/pilek pada bayi ibu
disertai demam?
3 Apakah kejadian batuk/pilek tersebut berlangsung
lebih dari 14 hari?
4 Apakah bayi ibu mengalami kejadian sakit batuk/pilek
lebih dari 2x dalam kurun waktu satu tahun terakhir?

Keterangan:
Kejadian ISPA ditentukan oleh pertanyaan nomor 1 dan 3.
- Bayi menderita ISPA apabila pertanyaan nomr 1 dijawab Ya dan nomor 3
dijawab Tidak.
- Bayi tidak menderita ISPA apabila pertanyaan nomor 1 dijawab Tidak.

33
LEMBAR PENJELASAN

Dengan hormat,
Kami dokter internsip Puskesmas Pelaihari, atas nama dr. Tria Sefty Maidina, dr.
Nelly Astika, dr. Fatimatuzzarah, dr. Sheila Dwiyani Aisha, dr. Indwiana Arifi,
dan dr. Dewi Ayu Krisanti, sedang melakukan penelitian berjudul Hubungan
Pemberian ASI Eksklusif terhadap Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan
Akut (ISPA) pada Bayi di Puskesmas Pelaihari.

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) merupakan penyakit infeksi yang sering
terjadi pada anak terutama bayi dan balita. Adapun gejala dari penyakit ini adalah
seperti batuk dan pilek (gejala ringan), sesak napas dan wheezing/bunyi napas
tambahan (gejala sedang), serta sianosis/kebiruan pada tubuh dan pernapasan
cuping hidung (gejala berat). ISPA yang ringan jika tidak segera ditangani akan
menjadi berat dan bahkan sampai menyebabkan kematian. Banyak faktor yang
mempengaruhi timbulnya ISPA pada bayi, salah satunya pemberian ASI
eksklusif. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan pemberian ASI
eksklusif terhadap kejadian ISPA. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah
memberikan informasi tambahan di bidang kesehatan tentang hubungan
pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian ISPA, serta dapat memberikan data
untuk penelitian selanjutnya yang lebih mendalam.

Oleh karena itu, kami meminta kesediaan Ibu untuk berpartisipasi dalam
penelitian ini dengan sukarela dan tanpa paksaan. Kami akan melakukan
wawancara dengan mengajukan beberapa pertanyaan seputar pemberian ASI
eksklusif dan ISPA pada bayi Ibu pada lembaran kuesioner untuk diisi. Kami
mengharapkan Ibu menjawab semua pertanyaan dengan kejadian sebenarnya yang
dialami. Identitas pribadi Ibu sebagai partisipan akan dirahasiakan dan informasi
yang diberikan hanya akan digunakan untuk penelitian ini. Untuk penelitian ini,
Ibu tidak akan dikenakan biaya apapun. Setelah memahami berbagai hal yang
menyangkut penelitian ini diharapkan Ibu bersedia mengisi lembar persetujuan
yang telah kami siapkan. Bila terdapat hal yang kurang dimengerti, Ibu dapat
langsung menanyakan kepada kami sebagai peneliti.

Demikian informasi ini kami sampaikan. Atas bantuan dan kesedian Ibu menjadi
partisipan dalam penelitian ini, kami ucapkan terima kasih.

Pelaihari, April 2016

Dokter Internsip Puskesmas Pelaihari

34
LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN (PSP)
(INFORMED CONSENT)

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama :

Usia :

Alamat :

setelah mendapatkan penjelasan mengenai penelitian tentang “Hubungan


Pemberian ASI Eksklusif terhadap Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut
(ISPA) pada Bayi di Puskesmas Pelaihari”, dengan ini menyatakan
BERSEDIA/TIDAK BERSEDIA* untuk ikut serta berpartisipasi dengan menjadi
objek penelitian.

*) coret yang tidak perlu

Pelaihari, April 2016

Peneliti, Yang Membuat Pernyataan,

Dokter Internsip Puskesmas Pelaihari ..................................................

35
B. Hasil SPSS

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

ASI * ISPA 30 100.0% 0 .0% 30 100.0%

ASI * ISPA Crosstabulation

ISPA

YA TIDAK Total

ASI YA Count 8 15 23

Expected Count 11.5 11.5 23.0

TIDAK Count 7 0 7

Expected Count 3.5 3.5 7.0


Total Count 15 15 30

Expected Count 15.0 15.0 30.0

Chi-Square Tests

Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. (1-


Value df (2-sided) sided) sided)

Pearson Chi-Square 9.130a 1 .003


Continuity Correctionb 6.708 1 .010
Likelihood Ratio 11.869 1 .001
Fisher's Exact Test .006 .003
Linear-by-Linear 8.826 1 .003
Association
N of Valid Cases 30

a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.50.
b. Computed only for a 2x2 table

36

You might also like